Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 09
MELIHAT
betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan dia merasa
betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Dia dapat menduga
apa yang akan dilakukan pemuda bejat akhlak ini terhadap dirinya dan mulailah
dia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk membebaskan diri dari ikatan kaki
tangannya. Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat
kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu pula sambil terkekeh Sim
Thian Bu yang sudah menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.
"Aihh,
jantung hatiku, engkau hendak lari ke mana sekarang?"
Melihat
pemuda itu telah menindihnya dan wajah pemuda itu pun demikian dekat dengan
wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit. "Jangan...! Kau bunuh saja
aku...!"
"Ha-ha-ha,
membunuh engkau? Aihh, sayang dong...! Engkau cantik manis..." Sim Thian
Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian
dia ingat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar
gemetar ketika dia berkata lirih.
"Akan
tetapi jangan begini... ah, jika memang tiada jalan lain... aku bersedia...
tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya
secara wajar..."
Sim Thian Bu
menjadi girang sekali. "Jadi engkau... engkau mau...?" Dia bertanya
sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.
"Tetapi
lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu
begini..." Dia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, dia akan mengirim
serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.
"Baik...,"
kata Sim Thian Bu dengan girang.
Pemuda itu
lalu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya. Tangannya meraih ke arah
belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan
tetapi jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba
kaki.
Kini wajah
pemuda itu menoleh, memandangnya sambil tersenyum mengejek. Jari tangan itu
sekarang malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda
itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainken hendak melucuti pakaian gadis
itu.
"Heh-heh-heh,
engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cerdik dan licik. Kau kira aku tidak
dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan
menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu? He-he-he, memang hendak kulepaskan,
akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan seluruh pakaianmu,
ha-ha-ha-ha!" Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Bui
Cin.
"Jangan...
ahhh, jangan...!" Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena
hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang sangat
mengerikan dari mala petaka yang akan menimpa dirinya.
"Sim
Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kau lakukan ini?" Tiba-tiba
terdengar suara bentakan keras.
Tahu-tahu di
ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang jika
melihat wajahnya masih nampak muda sekali, paling banyak berusia delapan belas
tahun, akan tetapi wajah itu terlihat dingin dan sepasang matanya mencorong,
ada pun tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa pada umumnya.
Sim Thian Bu
yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, menjadi
amat terkejut dan menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak
ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.
"Ahh,
kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan
urusan pribadiku ini dahulu, nanti akan kulayani suheng bicara apa bila memang
suheng datang membawa keperluan yang harus kubantu."
"Sim
Thian Bu, tadi aku bertanya. Apa yang akan kau lakukan ini?"
Sim Thian Bu
menatap pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi
agaknya dia merasa jeri terhadap pemuda remaja itu, dan dia pun tersenyum
lebar. "Aihh, engkau masih terlampau muda untuk mengetahui urusan ini,
suheng. Dia ini adalah kekasihku dan kami hendak bermain-main sebentar. Apakah
suheng ingin melihat kami bermain cinta?"
Sui Cin
sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam
saja dan memandang heran. Memang sungguh mengherankan keadaan pemuda remaja
yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, namun mengapa
jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan
bersikap jeri terhadap pemuda remaja itu?
Ah, kalau
pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu dia akan lebih celaka
lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekeli untuk dapat lolos. Menghadapi Sim
Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja dia sudah tidak berdaya dan kini berada
di ambang mala petaka yang mengerikan, apa lagi kalau kini datang suheng si
jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walau pun usianya
jelas lebih muda.
Dia lantas
memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan
kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini malah
akan menolongnya.
"Kekasihmu?
Dibelenggu?" Pemuda itu berkata dan kulit di antara sepasang alisnya yang
tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah
tubuh Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada
memerintah, "Lepaskan belenggu kaki tangannya!"
Sim Thian Bu
nampak terkejut dan marah. "Akan tetapi, suheng, dia itu punyaku, dan aku
berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya,
hendak main-main dulu dengan gadis ini..."
"Lepaskan
kataku!" Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh
Sui Cin betapa kuatnya khikang yang terkandung di dalam suara itu.
Sim Thian Bu
juga meraaakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran. "Suheng,
engkau keterlaluan mendesakku..."
Sim Thian Bu
terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu telah
menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Bagaikan terbang
saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu, lantas
tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil
menggerakkan tangan untuk menangkis.
"Plakkk!"
Entah
bagaimana, biar pun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis,
tetap saja pundaknya terkena tamparan sehingga tubuhnya terpelanting seperti
disambar pukulan yang amat kuat.
"Suheng...!"
teriaknya dan dia pun meloncat bangun, kemudian hendak balas menyerang pemuda
remaja itu.
"Plakk!
Plakk!" Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi.
Sui Cin
memandang heran dan kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu
menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biar pun Thian Bu yang menyerang, akan
tetapi sebaliknya dia yang roboh sendiri karena serangannya telah dihadang di
tengah jalan dan sebaliknya, balasan pemuda remaja itu tidak mampu
dihindarkannya.
Kini pemuda
remaja itu agaknya telah marah. Semenjak tadi dia tidak mau mengeluarkan
kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi-api.
Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan, dan tahu-tahu
tubuhnya sudah berada di dekat Thian Bu. Kini kaki tangannya bergerak secara
aneh. Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran!
"Plakk!
Plokk! Bakk! Bukk!"
Terdengar
suara ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja
itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tak sempat bangun karena
setiap kali merangkak hendak bangun telah disambut oleh tamparan atau pukulan
lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.
"Suheng...
ampunkan aku..."
Pemuda
remaja itu berhenti bergerak, lalu menatap wajah jai-hwa-cat yang telah
bengkak-bengkak dan matang biru itu.
"Kau
tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!"
Hanya itu kata-katanya.
Tiba-tiba
tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya lalu
Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan dia dapat
bergerak lagi! Begitu dapat bergerak, tentu saja meledaklah semua kemarahan dan
ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.
"Haiiiiittttt...!"
Dia
mengeluarkan suara melengking tinggi, lantas tubuhnya langsung meluncur ke
depan. Dengan pengerahan sinkang sekuatnya dia telah menggerakkan tangannya,
menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!
"Dukkk!"
Sim Thian Bu
sendiri tak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan
kepalanya pening. Akan tetapi tiba-tiba saja pemuda remaja itu bergerak dan
pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi.
Tangkisan
itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin sampai lengannya tergetar hebat. Dia
terdorong mundur tiga langkah, kemudian matanya menatap tajam kepada wajah
pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Dia menjadi serba salah. Mau
marah akan tetapi teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari
mala petaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, dia kecewa dan penasaran
karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi.
Sejenak
mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu sekarang
terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa
oleh Thian Bu itu adalah seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu
mengandung sinkang yang amat hebat sehingga lengannya sendiri tergetar dalam
pertemuan tenaga itu. Jelas bukan gadis sembarangan!
"Aku...
aku harus menghajar jahanam busuk itu!" Sui Cin akhirnya berteriak marah.
Pemuda itu
menggelengkan kepala, sikapnya tenang dan pandang matanya tetap dingin.
"Sute-ku
sudah kuhajar sendiri," katanya singkat saja.
"Tapi...
tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"
Kembali
pemuda itu menggeleng kepalanya. "Baru hendak, tapi belum. Pergilah,
nona."
Sui Cin
menjadi bingung, laksana kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak
banyak cakap dan bersikap dingin serius ini. Jika dia berkeras hingga dia
sampai bentrok dengan pemuda ini, berarti dia yang bo-ceng-li (tak tahu
aturan). Bukankah dia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi
maut? Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang
Thian Bu itu sute-nya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini?
Bumi dan langit bedanya.
Sui Cin
mengepal tinju, merasa kehilangan akal. Akhirnya ia mendengus dan menyambar
sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat dia sudah melompat keluar dari
dalam goa itu!
Kini pemuda
remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas
dipan di mana dia tadi hendak memperkosa Sui Cin. Dia menyusuti darah dari
ujung bibirnya dan kelihatan takut walau pun pada sinar matanya terdapat rasa
marah dan dendam yang disembunyikan.
"Sute,
kuulangi. Bila sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada
urusan penting yang engkau tinggalkan di telaga, malah engkau sibuk hendak
melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!" Pemuda itu menundingkan jari
telunjuknya ke pintu goa dengan nada dan sikap mengusir.
Sim Thian Bu
mengangkat muka dan memandang sejenak, lalu bangkit dan tertatih-tatih berjalan
keluar tanpa berani membantah lagi. Sesudah Thian Bu pergi, pemuda remaja itu
lantas menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu sambil mengepal
kedua tangannya.
Dia seperti
orang sedang berpikir mendalam penuh rasa penasaran, lalu memukulkan tinju
kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring,
kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan penuh penyesalan. Siapakah
pemuda remaja ini?
Dia adalah
pemuda yang muncul di telaga dan berperahu bersama seorang kakek kurus
bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi yang membakar
perahu besar di mana terjadi perkelahian dan dia pula yang monolong sehingga
tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos. Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song
yang sudah menduga bahwa pemuda itu sangat tangguh dan lihai. Dan tepat seperti
dugaan Shan-tung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini
adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.
Siangkoan
Lo-jin memiliki riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini
memang hidup di dalam kalangan sesat. Akan tetapi pada waktu dia masih muda,
dia yang sudah merasa tak suka akan perbuatan jahat yang kejam, sering kali dia
menentang para paman gurunya, bahkan gurunya sendiri sehingga akhirnya dia
dianggap murtad.
Sebagai
hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya lalu dibikin buta oleh guru dan
para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, ketika baru
berusia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang buta. Biar pun matanya tidak
cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapat melihat
apa-apa lagi.
Hukuman yang
membuat cacat ini diterima dengan sabar dan tabah. Akan tetapi di dalam hatinya
terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia terus berlatih silat dengan
tekun sehingga kepandaiannya menonjol, bahkan setelah berusia kurang lebih lima
puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui semua paman gurunya! Sementara itu,
suhu-nya sudah meninggal dunia.
Pada suatu
hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru mendapatkan
pelepasan. Siangkoan Lo-jin memberontak, dan lima orang paman gurunya yang dulu
ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu! Dan di kalangan kaum
sesat, siapa pun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya.
Mulailah
nama Siangkoan Lo-jin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadilah
perubahan pada diri kakek ini. Kalau pada waktu mudanya dia menentang kejahatan
para gurunya, sesudah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat!
Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia menentang kejahatan tetapi
matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak menjadi kepala semua
penjahat!
Setelah
berusia setengah abad dan diakui sebagai seorang jagoan yang sangat ditakuti di
antara golongan sesat, dia lalu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat
pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata mampu memberi
keturunan padanya, seorang anak laki-laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang.
Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main.
Semenjak
lahir, Ci Kang sudah digemblengnya. Bahkan untuk mandi bayi itu pun dia beri
ramuan obat supaya jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan ternyata
gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lo-jin tidak sia-sia.
Anak itu
ternyata mempunyai bakat yang amat hebat dan setelah berusia delapan belas
tahun, anak itu sudah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya! Dia bahkan
lebih lihai dari pada ayahnya karena dia lebih muda, jadi menang kuat dan
menang daya tahannya, juga menang cepat.
Ternyata
Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga
menuruni wataknya! Semenjak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca
kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendirian di batinnya yang berlawanan
dengan kenyataan yang ada pada keluarganya.
Dia, seperti
para pendekar dan para budiman di dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka
dengan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang
ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya sering kali termenung dan
merasa penasaran. Bahkan setelah mulai dewasa, pada suatu hari dia berani
menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam
dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.
"Hemm,
kau tahu apa?" ayahnya menjawab dengan senyum kecut. "Engkau tahu
kenapa mata ayahmu menjadi buta? Karena aku pun ingin menjadi orang bersih
macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku
justru kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi
orang baik hanya mengundang datangnya mala petaka dan kerugian saja. Semenjak
kehilangan mataku, aku mengambil keputusan hendak menjadi tokoh sesat, akan
tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"
Ci Kang
merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki di antara tokoh
sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru serta para paman
gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Sesudah lihai, akhirnya ayahnya
lantas membalas dendam, membunuh lima orang susiok-nya sendiri, kemudian
bangkit menjadi pemimpin kaum sesat.
Hal ini
membuat hati Ci Kang kadang kala berduka. Terjadi konflik dalam batinnya antara
pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali
kekejaman-kekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum sesat!
Sebagai
putera Siangkoan Lo-jin, tentu saja dia tak dapat lari dari kenyataan ini
sehingga beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya bila ayahnya
atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau jika sedang melaksanakan
tugas, seperti yang baru dilakukannya di Telaga Emas itu. Namun selamanya dia
sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada
orang lain.
Konflik-konflik
batin yang dideritanya sejak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh
pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemuda yang pendiam, dingin, keras bagaikan
baja dan kadang-kadang membawa mau sendiri, tidak pedulian, dan aneh!
Ketika Ci
Kang diajak ayahnya ke telaga itu kemudian dengan kegagahannya dia berhasil
membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga orang tokoh itu
yang gagal membunuh panglima Liang.
"Kalian
benar-benar tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melaksanakan
pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan telah digagalkan oleh
seorang pemuda yang menyamar sebagai menteri itu." Demikianlah Siangkoan
Lo-jin mengomel sesudah mereka semuanya berhasil melarikan diri dan berada di
tempat persembunyian. "Bukankah seharusnya kalian lebih dulu melakukan
pengamatan dan pengintaian?"
"Maaf,
Lo-jin. Sebenarnya kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang
telah digantikan oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah kesalahan
jembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanjikan oleh
Hwa-i Kai-pang yang hendak membantu dengan penyelidikan, dan perkumpulan jembel
itu sudah mengutus si gendut yang tidak teliti ini!" kata Kui-kok Lo-mo
dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang
yang gendut itu.
Siangkoan
Lo-jin mengerutkan alisnya yang sudah putih. Tentu saja dia tak dapat melihat
tudingan telunjuk Kui-kok Lo-mo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat
mengerti bahwa orang itu hadir pula di situ.
"Hemm,
siapakah engkau utusan Hwa-i Kai-pang?!" bentaknya.
Bhe Hok
adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan
dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek
buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah.
Maka, biar pun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.
"Saya
bernama Bhe Hok, Lo-jin. Dan sayalah yang telah diutus oleh para pimpinan Hwa-i
Kai-pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas
untuk mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Namun,
sebelum menteri itu muncul, secara tidak tersangka-sangka, saya terlibat dalam
perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lo-jin sendiri."
Iblis buta
itu mendengus. "Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"
"Benar,
Lo-jin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat
Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya
melihat murid Lo-jin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok
roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shan-tung Lo-kiam sehingga saya
harus berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lo-jin pergi melarikan
gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya
juga melarikan diri karena Lo-kiam itu sangat lihai. Kalau saja Sim-sicu tidak
muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tak meninggalkan saya
dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan mampu menjatuhkan Shan-tung
Lo-kiam dan keadaan akan menjadi lain."
"Hemmm...!"
Terpaksa Siangkoan Lo-jin tidak jadi marah kepada orang Hwa-I Kai-pang itu
karena ternyata muridnya sendiri yang sudah menjadi biang keladi kegagalan
usaha itu. "Ci Kang, engkau hendak ke mana?" Tiba-tiba kakek buta itu
menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal
gerakan puteranya yang sangat ringan sehingga dia cepat menegur.
Akan tetapi
Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu, hanya terdengar jawabannya dari luar,
"Ayah, aku mau mencari angin segar." Dan dia pun sudah jauh sekali
sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lo-jin telah
mengenal keanehan watak puteranya, karena itu dia pun lalu melanjutkan
percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.
"Sudahlah,
kegagalan membunuh Menteri Liang biarlah menjadi pelajaran baik bagi kalian
semua. Lain kali kita bisa mencari jalan lain untuk melenyapkannya. Sekarang
yang lebih penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lo-mo dan Lo-bo,
bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"
"Sudahlah,
Lo-jin. Kami akan melaksanakannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina
ini."
"Biar
pun kalian telah membantu melaksanakan tugasku, tapi telah mengalami kegagalan.
Jika aku membantu kalian sampai berhasil, maka lain kali kalian harus
membantuku pula sampai aku berhasil membunuh menteri itu." Kiu-bwe Coa-li
mengomel.
Demikianlah,
seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternyata melakukan
pengejaran terhadap murid ayahnya. Sungguh pun murid ayahnya itu jauh lebih tua
dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga harus
menyebut suheng kepadanya.
Dia sudah
tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mendengar bahwa sute-nya itu adalah seorang
jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sute-nya lantas menghajarnya, akan
tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lolos dan merahasiakan
kejahatannya. Sekarang, mendengar betapa sute-nya telah melarikan seorang
gadis, dia menjadi marah sekali dan segera melakukan pengejaran.
Tentu saja
dia dapat menduga ke mana sute-nya membawa pergi gadis culikannya itu. Ke mana
lagi kalau bukan ke dalam goa rahasia tempat persembunyian ayahnya? Hanya di
sanalah tempat aman bagi sute-nya itu untuk melakukan segala macam kejahatan
tanpa diketahui orang!
Dan ternyata
dugaannya memang benar. Dan dia datang pada saat yang tepat. Apa bila Sim Thian
Bu tidak bermaksud memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan
ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperkosanya seperti yang selama ini
biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang akan terlambat dan gadis itu sudah
ternoda, dan mungkin sekali jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang
licik.
Kemudian,
setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sute-nya sehabis menghajarnya babak
belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam goa itu sambil termenung. Hatinya
terasa semakin sakit dan menyesal sekali. Perbuatan keji dari sute-nya tadi
telah mengingatkan dia bahwa pria yang amat cabul dan keji itu adalah sute-nya,
murid ayahnya dan bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini
bahkan menjadi antek pemerintah yang lalim. Hatinya sedih bukan kepalang.
Dia sudah
banyak membaca mengenai pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan
penjahat-penjahat. Dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti
itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Namun kini
dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri telah menjadi penjahat
antek pembesar lalim! Siapa yang tak akan hancur dan sedih hatinya?
Baru setelah
goa itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari
dalam goa, menutupi lagi mulut goa dengan semak belukar, kemudian melangkah
pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya
semakin dingin.
***************
"Haiii...
nona...! Perlahan dulu, nona...!"
Sui Cin
sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini
sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak dengar atau
tak peduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan
santai.
Dia bahkan
tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan dia
melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya.
Dia pun duduk miring seenaknya saja di atas punggung kudanya sambil menikmati
keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitarnya. Jalan itu kasar dan sunyi,
sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.
"Prak-plok-prak-plok-prak-prok...!"
Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal
kaki baru.
Hui Song
merasa penasaran sekali. Dari jauh dia sudah mengenal gadis berpayung yang
menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tidak
dapat tidur nyenyak, gadis yang membuatnya tergila-gila, gadis perkasa yang
pernah membantu dirinya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui
yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo?
Maka dia pun
segera lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya
memang benar, terutama sekali karena sekarang gadis itu tidak membalapkan kuda
kecil yang lihai itu untuk meninggalkannya.
Seperti kita
ketahui, Sui Cin telah terlepas dari mala petaka ketika ia terculik Sim Thian
Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Sesudah pergi, dia lalu kembali ke
dusun di mana dia menitipkan kudanya dan kini dia melakukan perjalanan berkuda
dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai
Merah.
Sungguh
tidak disangkanya sama sekali bahwa dia berjumpa dengan Hui Song di tengah
perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemuda itu. Dia sengaja membiarkan
kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song
berjalan di sebelah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah
di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan
tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.
"Huh...,
apa maksudmu berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan lari-lari seperti
orang dikejar setan?" Sui Cin menegur sambil tersenyum mengejek.
"Aku
tidak kesurupan tapi memang gila, tepatnya tergila-gila. Dan aku bukan dikejar
setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tidak pernah kusangka sebelumnya
bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi
semua bidadari di kahyangan!"
Kedua pipi
itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang
lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan
mendengar pujian itu. Juga dia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat
menduga bahwa dia adalah Sui Cin si pemuda jembel itu. Kini dia tidak perlu
berpura-pura lagi.
"Hemm,
jadi baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Dia tidak menghentikan
kudanya, maka terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang
kelihatan tidak senang karena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat
sunyi indah itu.
"Memang
baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."
"Lalu
mau apa?"
"Tidak
apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan engkau bilang mempunyai
seorang cici."
"Akulah
cici-nya!"
"Ha-ha-ha,
dan engkau adiknya pula, pemuda jembel yang membagi-bagikan uang kepada para
jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau pernah menjanjikan kepadaku hendak
memperkenalkan aku kepada cici-mu. Nah, sekarang perkenalkan. Engkau tahu
namaku, akan tetapi apakah namamu juga masih sama? Sui Cin?"
Sui Cin
mengangguk. "Ehh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku
adalah pemuda jembel itu pula?"
"Nanti
dulu, apakah engkau begini kejam membiarkan aku berjalan-jalan bersama kudamu
yang mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"
"Hemm,
engkau pun boleh menggunakan kedua tanganmu sebagai kaki!"
"Sialan!
Kau suruh aku merangkak?"
"Kalau
kau mau!"
"Sudahlah,
kasihanlah padaku. Aku amat capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di
bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau
tidak kasihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan
dia istirahat sambil makan rumput."
Sui Cin tak
membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju
ke arah pohon rindang. Di sini dia turun, menutup payungnya dan membiarkan
kudanya makan rumput sedangkan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang
menonjol di atas tanah, berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak mereka saling
berpandangan tetapi sekali ini Hui Song yang lebih dulu menundukkan mukanya
karena malu akan tetapi juga girang sekali.
"Nah,
engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Mengenalimu?
Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan enci-nya
Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu,
maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku
terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin
pemuda jembel itu."
"Hemm,
mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau ternyata aku adalah enci-nya?"
"Memang
mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi
sinar mata dan senyum di bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini...
ehhh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal betul sinar mata dan senyum itu,
jadi begitu melihatnya aku langsung mengenalimu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal
menyebutmu nona, sesudah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Dan sekarang agaknya
tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja
namamu."
"Memang
benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan aku tidak mempunyai adik mau pun kakak.
Memang sudah menjadi kebiasaanku, pada waktu merantau aku suka menyamar sebagai
seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan
berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."
Mendadak Hui
Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan
sehingga dia menjadi marah. "Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"
Hui Song
menahan ketawanya. "Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu...
ha-ha-ha, pintar sekali engkau mencari alasan kenapa engkau marah-marah saat
aku mendekatimu. Ingat, ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara
laki-laki akan tetapi engkau marah-marah dan..."
Wajah dara
itu menjadi merah bukan main. "Sudahlah, tidak perlu diungkit-ungkit
kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"
Hui Song
bersikap sungguh-sungguh walau pun kini wajahnya cerah dan gembira sekali.
Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, ia
merasa kehilangan dan kesepian. "Sebenarnya aku tidak mengejarmu,
melainkan sedang mencari jejak Sui Cin pemuda itu."
"Mau
apa?"
Hui Song
tersenyum malu-malu. "Pertama... ehh, aku hendak bertanya mengapa dia
tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... aku... aku hendak menagih janji
karena dia berjanji akan memperkenalkan aku kepada enci-nya."
"Mata
keranjang!"
"Bukan
begitu, Sui Cin. Janji tetaplah janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau
tidak muncul di telaga itu? Aku mendengar penuturan Shan-tung Lo-Kiam bahwa ada
seorang gadis yang diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan
enci-nya Sui Cin, karena itu aku pun lalu melakukan pengejaran dan pencarian.
Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama enci-nya
sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shan-tung Lo-kiam
itu?"
Sui Cin
mengangguk. "Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang sudah
kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku lalu mengenakan
pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan
Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah
hendak ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia
seorang jai-hwa-cat maka kami segera berkelahi. Aku lengah ketika muncul
seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku
tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."
"Shan-tung
Lo-kiam..."
"Kakek
itu menyerang si gendut, kemudian mereka berkelahi. Aku yang telah tertotok
lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu dan aku dibawa menuju ke sebuah goa
tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja
menggangguku!"
Hui Song
mengepal tinju. "Keparat! Lalu bagaimana?"
"Untung
muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu
walau pun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu
sudah dua puluh lima tahun lebih. Pemuda itu melarang akan tetapi jahanam itu
membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat
lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja
aku segera menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda
itu menangkis dan ternyata dia sangat kuat..."
Hui Song
terbelalak heran. "Nanti dulu, apakah pemuda itu wajahnya masih sangat
muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana dan tubuhnya tinggi
tegap?"
"Benar,
jubahnya kasar belang-belang dan agaknya dari kulit harimau..."
"Ahh,
benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin
Si Iblis Buta!"
"Apa?!
Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu
adalah murid Si Iblis Buta?"
"Mungkin
sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena dia
kalah tingkat."
"Tapi
kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan menghajar
sute-nya sendiri?"
Hui Song
termenung. "Entahlah, sungguh teka-teki yang membingungkan."
Hening
sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa terbiasa berhadapan dengan Hui Song
sebagai seorang wanita, bertanya, "Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan
Menteri Liang?"
"Berhasil
dengan baik," katanya.
Dia pun lalu
menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana
kaum penjahat dan betapa pada saat yang ditentukan dia lalu menyamar sebagai
Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan pula
betapa yang muncul adalah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo beserta Kiu-bwe Coa-li
yang menyerangnya, akan tetapi dia dan para pengawal istimewa mampu
menanggulangi, bahkan dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam sudah hampir berhasil
untuk mengalahkan mereka.
"Sayang
muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung
Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali,
menggunakan panah api membakar perahu hingga dia berhasil menyelamatkan tiga
tokoh Cap-sha-kui itu dan kami tidak berhasil mencegah mereka meloloskan
diri."
Sui Cin
mendengarkan dengan rasa heran dan kagum. Tokoh muda yang menolongnya itu
sungguh aneh sekali. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menentang
kejahatan sute sendiri.
"Dan
selanjutnya, apa yang akan kau lakukan, Song-ko?"
"Masih
banyak pekerjaan yang ingin kulaksanakan, akan tetapi aku ingin melakukannya
bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."
"Baru
saja aku terlepas dari bencana dan sekarang aku ingin pulang, sudah terlalu
lama aku pergi meninggalkan ayah dan ibu."
"Ahhh,
betapa ingin aku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang
tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang namanya semenjak
kecil sudah kukenal! Akan tetapi tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu
tahu pula bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."
"Engkau
bukan seorang pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat
dilakukan oleh pasukan keamanan!"
"Engkau
benar. Akan tetapi kita tahu bahwa Jenderal Ciang juga terancam. Bila kita tidak
membantu, padahal sumber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah akan
merasa curiga dengan kebenaran berita itu. Apa lagi kalau di belakang para
penjahat itu terdapat pembesar yang sangat berpengaruh dan berkuasa. Maka kita
harus membongkar semua kejahatan itu dan menentang kelaliman, barulah tidak
percuma kita belajar silat sejak kecil dan menjadi keturunan para
pendekar."
"Wah!
Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera
ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum.
"Tidak
demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang-orang tua kita telah
berjuang sebagai pendekar dan memperoleh nama harum, bukankah sudah menjadi
kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan
gagah dan baik pula? Selain itu, bukankah di dalam lubuk hati kita sudah
terdapat perasaan menentang kejahatan?"
Sui Cin
mengibaskan tangan kirinya. "Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang
apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"
"Cin-moi,
aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda
jembel mau pun sebagai seorang gadis. Betapa pun juga, di antara kita masih
terdapat ikatan yang sangat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat
bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan,
dan engkau pun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari
Cin-ling-pai."
"Sudahlah
jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"
"Kita
masih saudara seperguruan, dan kita berdua sudah mengalami bersama kejahatan
yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika
engkau tidak keberatan, Cin-moi, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk
menentang mereka. Setidaknya sampai urusan ini selesai kemudian aku akan
menemanimu pulang ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan padaku
untuk belajar kenal dengan mereka."
Sui Cin
termenung. Bagaimana pun juga dia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah
menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tak enak juga
kalau sekarang dia membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar
menghadapi komplotan yang lihai itu.
Akhirnya dia
mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap
Jenderal Ciang itu dapat digagalkan."
Wajah yang
cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia
meloncat bangun dengan perasaan girang. "Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku
memang tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita sejati!"
"Simpan
pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang lebih
penting, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Untuk
sementara ini Menteri Liang sudah dapat diselamatkan, dan dia tentu akan selalu
dikawal ketat."
"Dan
kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu
dikawal pasukan-pasukan yang kuat, maka penjahat-penjahat itu mampu berbuat
apakah? Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"
"Engkau
tentu tahu, urusan ini bukan sekedar kejahatan biasa melainkan komplotan yang
menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat
sekali. Aku telah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran
mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena
dia tahu betapa Liu-thaikam amat membencinya. Kekuasaan Liu-thaikam harus
ditumbangkan, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan
semakin berani dan mungkin saja keselamatan kaisar sendiri kelak akan terancam
oleh kejahatan Liu-thaikam dan antek-anteknya."
"Apa
susahnya? Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar
dia ditangkap dan dihukum, habis perkara."
"Enak
saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, thaikam
itu kedudukannya tinggi sekali dan celakanya, kaisar sangat percaya kepadanya.
Bahkan dia adalah orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar.
Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor
karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta
bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka
agar turun tangan kemudian kita akan menghadapi mereka sehingga tak sampai
gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat
menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu bisa membuat pengakuan di depan
kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa
jahat dan palsunya kepala thaikam itu, lantas dapat menjatuhkan hukuman. Nah,
maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"
"Bagaimana
rencana jenderal itu?"
"Diam-diam
Ciang-goanswe telah memerintahkan salah seorang sahabatnya yang menjadi guru
silat di kota Pao-fan agar merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya,
juga mengundang para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan sesat mau pun
dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu sekaligus juga sebagai guru
silat, tidak terlampau menyolok jika dia memberi kesempatan kepada para tokoh
silat untuk datang menghadiri pestanya. Lantas disiarkan berita bahwa pesta itu
dihadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan
dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di
tempat pesta. Nah, pada saat itu pula kita turun tangan menentang kemudian
menangkap mereka, bersama dengan para pengawal yang secara diam-diam
diselundupkan ke tempat itu."
"Bagus
sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat. Sejak kecil
gadis ini memang suka berkelahi, apa lagi berkelahi menghadapi para penjahat
dan dalam urusan menentang kejahatan, dia tidak pernah mengenal takut.
Sui Cin
menunggang kudanya lagi, tetap memakai payung karena panas matahari masih
menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri-seri dan semangatnya
berkobar. Sesudah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar
dan dia pun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin
cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda
jembel.
***************
Ang-kauwsu
(guru silat Ang) memang mempunyai banyak kawan. Sebelum menjadi guru silat yang
tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bekerja sebagai kepala
piauwsu (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwsu, tentu
saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini
sangat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah,
maka para penjahat tak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera
piauwkiok yang dipimpinnya.
Sekarang
usianya telah enam puluh tahun. Pada waktu dia diundang oleh Jenderal Ciang
yang sudah dikenalnya dan diberi tahu tentang komplotan yang hendak membunuhi
para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu
jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan
pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan
agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan
berani turun tangan.
Dia sendiri
tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri
dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini langsung terbang dan mukanya
menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya tak akan ngeri mendengar nama
Cap-sha-kui?
Dengan cepat
berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberitakan
bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang
orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta
itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu memberi kesempatan kepada semua kawan di
rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan
surat undangan kepada mereka.
Berita ini
cukup bagi kaum sesat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua
orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu terhormat kalau menghadiri pesta
itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki
kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehormatan Ang-kauwsu.
Pada hari
yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman
depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, semenjak pagi mulai dibanjiri
tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sulit untuk membedakan siapakah tamu-tamu
dari golongan bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian
besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga pakaian dan
sikap mereka aneh-aneh. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari
kalangan persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita
dan pria.
Walau pun
wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria.
Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran.
Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain
wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian
saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan
rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, dia menjadi pusat
perhatian orang di sekitarnya.
Cin-ling-pai
adalah nama yang telah terkenal sekali. Akan tetapi banyak pula yang merasa
heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda,
cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang bisa menunjukkan bahwa dia
seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan
wajahnya yang angker itu.
Dara itu
berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas akan tetapi cukup mewah dan
bersih, sepatunya mengkilap. Wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan
dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali,
digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Apa
bila rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjang rambut itu sampai ke lutut.
Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada
punggung dan ini menambah kegagahan dara itu.
Pada saat
Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang
memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana
sudah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi
kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan....
DARA
Cin-ling-pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu kelihatan lega karena
memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan,
belum tua benar. Dia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera
bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu.
Tidak jauh
dari meja di mana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang
duduk bercakap-cakap. Sukar dikatakan apakah mereka itu dari golongan bersih
ataukah golongan sesat. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan
pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap mereka pun gagah.
Salah
seorang di antara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun
tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan
kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah
mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi.
Akan tetapi,
sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata
mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bahkan setiap kali ada tamu
datang, terutama tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan
hitam, mereka bertiga bicara sambil tertawa-tawa. Pandang mata mereka yang
ditujukan kepada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu
baru itu yang menjadi bahan tertawaan mereka.
Demikian
pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik sambil melirik ke arah
gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar sekali. Karena
Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, gadis ini pun tidak peduli.
Akan tetapi setelah dia duduk bersama tiga orang tamu dan kebetulan duduknya
menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi mengerutkan alisnya.
Dia melihat
betapa tiga orang itu, terutama dua orang yang termuda, selalu memandang
padanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak lelaki yang hendak
menggoda wanita. Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol.
Pada mulanya
dia memang membuang muka saja dan tak mau balas memandang. Akan tetapi
telinganya mulai bisa menangkap percakapan mereka itu di antara berisiknya
suara para tamu lain. Maka marahlah gadis ini.
Tan Siang Wi
adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai. Seperti sudah
kita ketahui, Bin Biauw atau nyonya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas
datuk sesat Tung-hai-sian, seorang bangsa Jepang. Sesudah dia berbesan dengan
ketua Cin-ling-pai, Tung-hai-sian mencuci tangan dan tidak lagi berkecimpung di
dalam dunia sesat.
Puterinya,
Bin Biauw, walau pun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik
sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang. Akan tetapi sesudah kini memiliki
seorang murid, ternyata muridnya ini sedikit banyak sudah mewarisi watak
Tung-hai-sian. Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau
mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walau pun dia selalu bertindak gagah dan
menentang kejahatan.
Selain sudah
mewarisi ilmu dari Bin Biauw, dia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu
silat dari ketua Cin-ling-pai sendiri, maka dapatlah dibayangkan betapa
lihainya Siang Wi. Kelihaiannya itu membuat dara ini semakin tinggi hati,
terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berubah
ganas kalau dia berurusan dengan kaum sesat dan sedikit pun dia tidak mau
mengalah atau memberi hati.
Maka, baru
selama satu dua tahun saja memasuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki
orang Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena keganasannya terhadap
musuh-musuhnya. Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa
sukong-nya, yaitu Bin Mo To di Ceng-to, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis
ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid
isteri ketua Cin-ling-pai, jadi dia adalah seorang pendekar, bukan orang sesat!
Ada
kecondongan di dalam hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menonjolkan
kelebihan kita. Kita selalu ingin dianggap baik. Keinginan seperti ini selalu
timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya
dari pada baik. Hanya orang yang berkulit hitam saja yang selalu ingin disebut
putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan
hanya orang yang melihat alangkah kotor dirinya sajalah yang selalu ingin
dianggap bersih dan baik.
Kita lupa
bahwa justru keinginan-keinginan untuk dianggap lain dari pada kenyataan ini
yang sering kali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh.
Kalau kita sadar dengan kekotoran kita, maka kita harus berusaha
membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya. Apa bila
kita sadar bahwa kita bersih, maka kita harus menjaga agar kebersihan itu tak
ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik
sendiri karena perasaan demikian itu justru akan menodai kebersihan itu
sendiri.
Kenapa kita
kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat kenyataan apa adanya,
walau betapa buruk dan kotor sekali pun kenyataan itu? Menutupi kenyataan,
melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merubah keadaan itu!
"Ha-ha-ha!"
Seorang di antara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue
yang mulai dihidangkan. Kini wajah mereka mulai merah oleh arak. "Agaknya
Cin-ling-pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina,
heh-heh-heh!"
Kata-kata
itu sebenarnya lebih berupa kelakar di antara mereka sendiri karena diucapkan
perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, lalu ketiganya tertawa
bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi.
Akan tetapi
karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata
itu sehingga marahlah gadis ini. Dia tak mampu lagi mengendalikan dirinya dan
sekali melompat, dia sudah meloncati mejanya dan tahu-tahu, seperti seekor
burung saja dia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!
"Kalian
tadi bilang apa?!" bentaknya sambil berdiri dengan dua tangan bertolak
pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka.
Tiga orang
itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat mendengar
ucapan yang menghina Cin-ling-pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu
demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap
mengancam.
"Ehh,
kami bilang apa? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" seorang di antara
mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas piring.
"Bagus!
Kalian menghina Cin-ling-pai dan masih berani bilang tidak ada sangkut-pautnya
denganku? Biar pun Cin-ling-pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih
gagah dari pada kalian ini banci-banci pengecut yang tidak berani mengakui
perbuatannya!"
Para tamu
yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget sehingga mereka pun menoleh
dengan penuh perhatian dan wajah mereka tertarik sekali. Dalam pertemuan antara
para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apa bila terjadi keributan dan
perkelahian. Bahkan sebagian besar dari mereka mengharapkan terjadinya hal ini,
karena dalam pertemuan para ahli persilatan, terasa kurang sedap dan kurang
bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian.
Ketiga orang
itu sesungguhnya bukan orang-orang sembarangan. Kakek yang berjenggot putih itu
adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dengan julukan Huang-ho Lo-eng
(Pendekar Tua Sungai Kuning) bernama Pui Tek. Ada pun dua orang laki-laki gagah
yang duduk di sampingnya adalah dua orang muridnya, juga amat terkenal sebagai
Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning).
Mereka bukan
penjahat dalam arti kata mempunyai pekerjaan jahat seperti perampok atau bajak,
akan tetapi karena orang-orang takut kepada mereka, maka dengan mudah mereka memperoleh
hasil dari hadiah yang mereka terima dari para pedagang demi keselamatan dan
keamanan. Mereka adalah semacam tukang-tukang pukul yang disegani.
Guru mereka,
Huang-ho Lo-eng Pui Tek, dalam suatu perkelahian pernah dikalahkan oleh Cia
Kong Liang ketua Cin-ling-pai. Walau pun bukan merupakan permusuhan pribadi dan
tak ada dendam secara terbuka, akan tetapi kekalahan itu membuat Pui Tek
mendongkol dan tidak suka terhadap Cin-ling-pai, menganggap ketua Cin-ling-pai
yang memang keras wataknya itu terlalu sombong. Dengan sendirinya, kedua orang
muridnya juga tidak suka kepada Cin-ling-pai, maka tidak heranlah kalau mereka
tadi mengeluarkan kata-kata yang nadanya tak bersahabat terhadap Cin-ling-pai
sehingga membuat Siang Wi menjadi amat marah.
Kini, di
depan meja mereka berdiri seorang gadis Cin-ling-pai yang bertolak pinggang dan
memaki mereka banci pengecut di hadapan begitu banyak orang. Tentu saja wajah
ketiga orang itu menjadi merah sekali dan kemarahan mulai memenuhi hati mereka.
Akan tetapi,
bagaimana pun juga mengingat akan julukan Pui Tek yang masih memakai Lo-eng
(Pendekar Tua), dua orang harimau itu tentu saja lebih condong merasa bahwa
diri mereka pendekar dari golongan bersih dari pada sebagai golongan hitam,
maka ada rasa harga diri pada mereka yang membuat mereka merasa malu kalau
harus ribut-ribut dan berkelahi melawan seorang gadis yang masih remaja, yang
usianya tentu belum ada dua puluh tahun. Mereka adalah jagoan-jagoan di
sepanjang Sungai Kuning, tentu sangat memalukan kalau harus berkelahi melawan
seorang dara remaja. Akan tetapi didiamkan saja pun tidak mungkin setelah gadis
itu memaki mereka sebagai banci pengecut.
"Bocah
perempuan kurang ajar, makanlah ini!" Bentak orang yang menyumpit kue itu
dan sekali tangan kanan yang memegang sumpit bergerak, kue sepotong yang
disumpitnya itu meluncur ke arah muka Siang Wi dengan kecepatan kilat!
"Cappp...!"
Dara itu
menggerakkan tangan kanan dan menjepit ke arah kue itu. Dengan tepat sekali
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya sudah menjepit kue itu dan dia
melakukan ini sambil tersenyum mengejek.
"Makanlah
sendiri!" Dara itu membentak dan tiba-tiba tangannya bergerak.
Kue itu
segera meluncur cepat ke arah muka orang yang menyambit tadi. Orang itu cepat
menggerakkan sumpit untuk menjepit kembali, akan tetapi begitu bertemu sumpit,
kue itu hancur dan tentu saja hancuran kue itu menyambar dan mengenai muka
orang itu.
Ternyata
sebelum membalas dengan timpukan, Siang Wi sudah lebih dulu menggunakan tenaga
jari tangan membikin kue itu remuk di bagian dalamnya. Hancuran kue menyerang
mata, hidung dan mulut, membuat orang itu repot membersihkan wajahnya sambil
terus memaki-maki!
Melihat
saudaranya mendapat malu, orang kedua sudah bangkit dan membentak marah,
"Bocah perempuan, berani kau menghina orang?"
Sekali
kepalanya bergerak, rambut yang dikuncir tebal itu langsung menyambar ke depan,
mengeluarkan suara bersuitan dan memukul ke arah leher Siang Wi. Sungguh
merupakan serangan yang sangat aneh akan tetapi juga berbahaya karena
thouw-cang (kuncir) yang digerakkan dengan tenaga sinkang ini tak kalah
ampuhnya dibandingkan dengan senjata keras.
Orang itu
sungguh terlalu memandang rendah pada Siang Wi maka dia berani selancang itu
menyerang dengan kuncirnya. Kalau tidak begitu tentu dia tidak akan berani
bergerak secara sembrono seperti itu.
"Wuuuuttt...!"
Kuncir itu
meluncur lewat pada saat Siang Wi merendahkan tubuh mengelak dan begitu kuncir
menyambar lewat, tangan kiri Siang Wi mencuat lantas tahu-tahu kuncir itu sudah
dapat dicengkeramnya! Dengan sekali sentakan, terpaksa kepala orang itu
tertunduk dan Siang Wi sudah mengangkat lutut untuk menghajar muka orang! Tentu
sedikitnya hidung orang itu akan berdarah kalau saja saudaranya tidak segera
menubruk dengan pukulan tangan ke arah punggung Siang Wi.
"Huh,
pengecut curang!" bentak Siang Wi. Dia terpaksa harus melepaskan orang
pertama dengan mendorongnya mundur, lalu sambil meloncat gadis itu membalik dan
menangkis pukulan orang kedua.
"Dukkk!"
Dua tenaga
besar bertemu dan akibatnya, orang berjenggot itu menyeringai kesakitan lalu
meloncat ke belakang. Tak disangkanya pertemuan lengan itu sudah membuat
lengannya kesakitan dan seperti lumpuh saking kuatnya lengan kecil milik nona
itu. Kini tahulah dua orang Harimau Sungai Kuning itu bahwa lawannya, biar pun
wanita, biar pun masih muda sekali, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang
cukup hebat.
Kini para
tamu menjadi semakin gembira, dan tuan rumah, yaitu Ang-kauwsu yang juga
melihat pertikaian itu diam saja karena dia pun ingin melihat kesudahannya.
Guru silat ini juga mempunyai penyakit yang sama dengan orang-orang dari
kalangan persilatan, yaitu suka melihat adu silat.
Pula,
diam-diam dia pun merasa tidak senang melihat sikap para jagoan Huang-ho yang
terkenal kasar dan banyak lagak itu tadi menghina utusan Cin-ling-pai. Dia
mengharapkan jagoan-jagoan sombong itu menemui batunya walau pun hatinya
khawatir melihat bahwa di situ terdapat pula Huang-ho Lo-eng yang dia tahu amat
lihai sekali.
"Budak
perempuan kurang ajar! Berani engkau menghina kami di tempat umum? Hayo cepat
berlutut minta maaf apa bila tidak ingin menerima hajaran kami!" bentak
seorang di antara dua jagoan yang mukanya terkena hancuran kue tadi.
Betapa pun
juga, dia dan kawannya masih sungkan melawan seorang gadis, apa lagi kini
mereka berdua sudah memegang senjata andalan mereka, yaitu sebatang tombak
besar gagang panjang. Kalau dara itu mau minta maaf, berarti muka mereka telah
tercuci, atau kalau dara itu tetap hendak melawan, berarti mereka sudah memberi
kesempatan kepada wakil Cin-lin-pai itu untuk minta maaf.
Seorang
seperti Siang Wi, mana mengenal minta maaf? Hatinya terlalu keras untuk mau
mengalah, apa lagi terhadap orang-orang yang sudah berani menghinanya dan
menghina Cin-ling-pai. Dia tersenyum mengejek lantas mukanya menjadi semakin
dingin, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat.
"Dua
monyet busuk, dengarlah baik-baik. Kalian yang telah menghina Cin-ling-pai dan
jika kini kalian mau berlutut minta ampun, barulah nonamu akan mempertimbangkan
apakah kalian dapat diampunkan. Kalau tidak, aku akan menghajar kalian!"
Kata-kata
ini sungguh hebat sekali. Bukan hanya menantang terang-terangan di hadapan
orang banyak itu, bahkan menghina. Mana bisa Huang-ho Siang-houw, dua jagoan
itu mau menerima begitu saja?
"Bocah
setan, engkau bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka lantas golok
besar bergagang panjang itu menyambar dahsyat ke leher Siang Wi.
Tentu saja
dara perkasa itu tidak sudi lehernya dibabat begitu saja. Dia cepat mengelak
sambil membalikkan tubuh menendang meja di depannya. Kakek Huang-ho Lo-eng yang
duduk di belakang meja itu cepat menghindar dengan lompatan gesit ke kanan
sehingga dia tidak sampai terkena tumpahan makanan dan arak.
Akan tetapi
dia bukan hanya melompat begitu saja, melainkan cepat meraih dan dia telah
berhasil menangkap kaki meja lalu menaruh meja itu di samping. Gerakan ini saja
sudah membuktikan kecepatan dan kelihaian jago tua ini.
Kini
terdapat ruang agak luas bagi Siang Wi yang menghadapi dua orang lawannya. Dua
orang harimau itu mulai menyerang dengan golok gagang panjang mereka. Semua
orang memandang dengan hati tegang dan juga agak khawatir karena Siang Wi tetap
tidak mau mempergunakan pedangnya.
Dara ini
tadi memang meloloskan sepasang pedangnya, akan tetapi bukan dicabut untuk
melawan, melainkan dia letakkan di atas mejanya sendiri agar sepasang senjata
itu tidak mengganggu gerakannya, kemudian dia kembali ke hadapan dua orang
lawannya, hanya melawan dengan tangan kosong saja.
"Anak
itu terlalu sembrono!"
"Terlalu
sombong bisa merugikannya."
"Tapi
dia kelihatan lihai sekali."
Demikianlah
para penonton saling berbisik melihat betapa dara itu menghadapi Huang-ho
Siang-houw hanya dengan tangan kosong, padahal kedua orang lawan itu
menggunakan senjata tajam yang bergagang panjang. Dua orang jagoan itu sendiri
merasa sangat kikuk dan sungkan.
"Bocah
gila, hayo pergunakan pedangmu!" bentak mereka.
"Melawan
dua ekor monyet tua macam kalian tidak perlu pakai pedang!" jawab Siang Wi
yang memang tinggi hati.
Dua orang
itu tak dapat lagi menahan kemarahan hati mereka. Keduanya lalu menyerang
dengan golok mereka. Senjata itu mengeluarkan suara bercuitan dan
berdesing-desing, lalu membentuk dua gulungan sinar lebar yang
menyambar-nyambar.
Tetapi para
tamu menjadi bengong ketika mereka melihat betapa dara itu menggerakkan
tubuhnya dan seperti seekor burung walet saja gesitnya beterbangan di antara
sambaran kedua golok itu! Bukan main indahnya gerakan dara itu dan tak terasa
lagi keluar pujian dari mulut para tamu yang ilmunya sudah tinggi.
Hui Song dan
Sui Cin baru saja menyelinap ke dalam rombongan tamu, memilih tempat di sudut.
Mereka mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau karena terjadi
perkelahian itu, di mana semua tamu mencurahkan pandang mata dan perhatiannya
ke arah perkelahian. Mereka lalu menyelinap masuk dan tanpa menemui tuan rumah
mereka telah mengambil tempat duduk di sudut yang agak tersembunyi oleh salah
satu di antara tiang-tiang penyangga bangunan darurat itu. Mereka juga tertarik
dan menonton ke arah perkelahian.
"Hemm,
berani benar gadis itu menghadapi keroyokan dua orang lawan yang bersenjata
panjang dengan tangan kosong saja." Sui Cin berkata sesudah melihat dengan
teliti dan mendapat kenyataan bahwa dua orang bersenjata golok panjang itu tak
boleh dipandang ringan.
"Sumoi
tak akan kalah," kata Hui Song lirih dan Sui Cin terkejut.
"Sumoi-mu...?"
Dia
memandang lebih teliti dan kini dia pun bisa mengenal gerakan kaki dan tangan
gadis itu, walau pun kadang-kadang gerakan itu berubah aneh. Masih ada
dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai dalam gerakan silat gadis itu, akan tetapi
sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang tidak dikenalnya.
Memang
demikianlah. Sesudah menikah dengan Cia Kong Liang, Bin Biauw memperoleh banyak
petunjuk dari suaminya dan dia pun mempelajari dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai
yang kokoh kuat. Maka, ketika dia melatih Siang Wi, tentu saja dasar-dasar ilmu
silat dari Cin-ling-pai juga diajarkan, bahkan Siang Wi juga telah menerima
gemblengan dari ketua Cin-ling-pai sendiri.
"Ya,
namanya Tan Siang Wi," jawab Hui Song sederhana.
Hui Song
tidak merasa girang bertemu dengan sumoi-nya. Pemuda ini tahu benar bahwa
sumoi-nya itu sudah sejak lama sekali menaruh perhatian kepadanya. Di dalam
sikap dan gerak-gerik gadis yang pendiam itu terdapat tanda-tanda bahwa Siang
Wi mencintanya. Hal inilah yang membuat dia merasa tidak enak kalau bertemu
dengan sumoi-nya.
Dia pun
menyayang sumoi-nya ini, akan tetapi sumoi-nya berwatak keras, terlalu berani
dan agak angkuh. Tetapi dia tidak mencinta sumoi-nya, maka merasa semakin tidak
enak setelah tahu bahwa sumoi-nya itu jatuh cinta kepadanya.
"Hemm,
dia cantik dan gagah!" Sui Cin memuji. Memang gadis itu manis sekali,
terutama pinggangnya amat ramping.
"Ya,
tapi keras hati dan galak sekali."
Sui Cin
menahan senyum sambil mengerling ke arah wajah pemuda itu, akan tetapi Hui Song
tidak sedang bergurau melainkan memandang ke arah perkelahian dengan wajah
serius dan hati tegang. Bagaimana pun juga, memang Sui Cin benar. Terlalu
sembrono menghadapi dua lawan tangguh yang bersenjata panjang itu dengan tangan
kosong.
"Haaaiiiittt...!"
Tiba-tiba Siang Wi memekik, tangan kanan memukul gagang tombak lawan yang
menyerang dari kanan sedangkan kaki kiri mendahului lawan kedua, menendang ke
arah dada.
"Bukk...!
Plakkk!"
Lawan
pertama terpental goloknya sedangkan lawan kedua tak mampu menghindar lagi.
Serangan atau gerakan Siang Wi memang sangat hebat, laksana seekor burung
rajawali mementang sayap, kedua lengannya berkembang dan kaki kirinya menendang
ke depan selagi tubuhnya masih melayang. Orang yang kena tendang dadanya itu
terbanting roboh dan sebelum orang kedua hilang kagetnya, kaki kanan
menggantikan kaki kiri yang turun untuk menyambar ke depan.
"Desss...!"
Orang kedua juga terbanting karena perutnya dicium ujung sepatu Siang Wi.
Dua orang itu
meringis kesakitan dan merayap bangun, sementara itu Huang-ho Lo-eng yang
melihat betapa dua orang muridnya dirobohkan oleh seorang gadis muda, mukanya
berubah merah sekali. Dia sudah bangkit berdiri, lantas mengebutkan ujung
jubahnya dan melangkah maju menghampiri Siang Wi. Akan tetapi sebelum guru
beserta kedua orang muridnya ini sempat bicara atau bergerak, tiba-tiba muncul
seorang pemuda tampan yang segera menghadapi tiga orang itu sambil menjura.
"Sam-wi-eng-hiong,
saya mewakili tuan rumah menyampaikan permohonan maaf, harap sam-wi suka
menyudahi urusan ini sampai di sini agar tidak mengganggu jalannya pesta."
Kemudian pemuda itu membalik dan menghadapi Siang Wi sambil menjura pula,
"Nona, harap suka mundur dan mengakhiri keributan ini." Dan tanpa setahu
orang, pemuda itu berkedip.
Sejenak
Siang Wi terbelalak. Tentu saja dia mengenal suheng-nya! Akan tetapi sebeium
dia menegur, Hui Song telah mengedipkan mata. Siang Wi yang cukup cerdik itu
maklum bahwa suheng-nya tidak ingin dikenal orang. Maka dia pun mengangguk dan
kembali ke mejanya, menggantung kembali siang-kiamnya di punggung lalu duduk
tenang, bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Tentu saja
Huang-ho Lo-eng masih penasaran. Dua orang muridnya dirobohkan seorang anak
perempuan di tempat pesta yang ramai, hal ini sungguh amat menyakitkan hati dan
menjatuhkan martabat serta nama besarnya, maka dia harus turun tangan
membersihkan noda itu. Akan tetapi kini muncul pemuda yang mewakili tuan rumah
minta agar keributan jangan dilanjutkan. Selagi kakek ini merasa serba salah,
tiba-tiba terdengar seruan di luar.
"Paduka
Jenderal Ciang telah tiba...!"
Mendengar
seruan ini, semua orang menengok keluar dan Ang-kauwsu sendiri bersama beberapa
orang penyambut bergegas lari keluar untuk menyambut datangnya tamu agung ini.
Seorang jenderal adalah seorang perwira yang berpangkat tinggi, apa lagi datang
dari kota raja, maka tentu saja merupakan seorang tamu agung yang paling
terhormat.
Hui Song dan
Sui Cin sudah duduk lagi dan mereka berdua memandang dengan penuh kewaspadaan.
Seperti telah mereka rencanakan pada waktu keduanya pergi menghadap Jenderal
Ciang, mereka berdua bersama belasan orang pengawal pilihan menyelundup ke
tempat pesta dan akan berjaga-jaga kalau-kalau ada orang melakukan serangan
gelap.
Sementara
itu, sang jenderal sendiri datang dikawal enam orang pengawal pilihan yang
dipercayanya. Agaknya belum puas dengan semua ini, Jenderal Ciang juga
mengenakan lapisan baja di balik baju kebesarannya sehingga tubuhnya akan kebal
terhadap serangan senjata tajam.
Tibalah saat
yang sudah dinanti-nantikan banyak orang ini! Tentu saja terjadi ketegangan
hebat di dalam dada mereka yang memiliki kepentingan dengan kedatangan jenderal
ini. Seperti telah mereka sepakati, Sui Cin memasang mata memandang ke kiri dan
Hui Song ke kanan, siap untuk turun tangan kalau melihat orang yang hendak
melakukan serangan gelap kepada jenderal itu.
Tadi pun
mereka sudah memasang mata mencari-cari, akan tetapi mereka tidak melihat
adanya tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang mereka kenal, biar pun mereka sudah melihat
ada beberapa orang dari Hwa-i Kai-pang yang sedang menyelinap dalam pakaian
biasa atau menyamar sebagai orang biasa, bukan sebagai pengemis. Mereka merasa
yakin bahwa di antara banyak tamu itu terdapat tokoh-tokoh kaum sesat yang
lihai.
Akan tetapi
tidak terjadi sesuatu ketika jenderal itu datang sampai diantar oleh tuan rumah
menuju ke kursi kehormatan di panggung yang agak tinggi. Sementara itu, Siang
Wi yang tadi memandang ke arah suheng-nya, merasa heran dan alisnya segera
berkerut ketika dia melihat suheng-nya berbisik-bisik dengan seorang gadis yang
cantik jelita!
Mereka
berbisik-bisik demikian akrabnya dan perasaan tidak senang memenuhi hati gadis
yang jatuh cinta ini. Perasaan cemburu membakar dadanya dan biar pun tadi dia
mengerti akan isyarat suheng-nya maka dia pun berdiam diri, kini perasaan
cemburu membuat dia cepat bangkit berdiri, meninggalkan teman-teman semeja dan
langsung saja menghampiri Hui Song dan Sui Cin yang duduk di sudut, di belakang
sebuah tiang.
"Suheng,
siapakah dia ini?" tanyanya sambil menuding ke arah muka Sui Cin dengan
alis berkerut, mulut cemberut dan mata menantang.
"Sstttt...
diamlah, sumoi..." Hui Song berbisik kaget, lalu cepat menarik tangan
sumoi-nya sehingga gadis itu terduduk di kursi kosong di dekatnya. "Kau
ikut menjaga keselamatan jenderal itu, jangan banyak tanya..."
"Tapi...
tapi siapa perempuan ini...?" Siang Wi masih berbisik dan matanya mengerling
ke arah Sui Cin dengan wajah membayangkan ketidak puasan.
"Diam
kau, cerewet!" Sui Cin balas menghardik dengan suara berbisik.
Siang Wi
terkejut setengah mati dan mukanya menjadi pucat lalu merah laksana dibakar.
Hatinya panas mendengar ada orang berani bersikap seperti itu, menghardiknya
dengan kasar. Tentu saja dia hendak membalas akan tetapi pada saat itu pula
terdengar ledakan-ledakan keras dan api pun mulai berkobar!
"Kebakaran!
Kebakaran...!"
Para tamu
menjadi panik. Semua orang bangkit berdiri, ada yang mulai lari ke sana-sini,
berdesak-desakan dan keadaan menjadi semakin kacau-balau setelah terjadi
perkelahian di sana-sini.
Sui Cin dan
Hui Song sudah melompat ke tengah, mendekati Jenderal Ciang. Ternyata para
pengawal sudah mulai berkelahi melawan beberapa orang di antara para tamu dan
kini dari luar bermunculan tokoh-tokoh Cap-sha-kui! Sui Cin mengenal Koai-pian
Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan
Tho-tee-kwi.
Tadi mereka
ini menerjang maju bagaikan berlomba hendak membunuh Jenderal Ciang. Akan
tetapi para pengawal, baik yang enam orang mau pun belasan orang lainnya yang
menyamar, segera menyambut mereka. Betapa pun juga, saking lihainya para
penyerang, masih ada senjata rahasia menyambar hingga mengenai dada sang
jenderal, akan tetapi karena pembesar itu memakai perisai di balik bajunya,
senjata itu mental kembali.
Sebelum para
penyerang yang jumlahnya ada dua puluh orang itu dapat mengepung sang jenderal,
Hui Song, Sui Cin dan diikuti pula oleh Siang Wi sudah tiba di situ. Hui Song
dan Sui Cin yang bertangan kosong mengamuk melindungi Jenderal Ciang yang juga
sudah mencabut pedang panjangnya.
"Goanswe,
mari kita keluar!" Hui Song berteriak sambil menggandeng tangan jenderal
itu dengan tangan kirinya. "Sui Cin, engkau jaga di sebelah kirinya."
Dara itu pun menggamit tangan kiri jenderal itu dengan tangan kanannya.
"Sumoi,
kau lindungi kami keluar!" teriak pula Hui Song kepada sumoi-nya.
Siang Wi
tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun dengan patuh dia mentaati perintah
suheng-nya. Dia cepat mencabut sepasang pedangnya, lantas melindungi mereka
berdua yang berusaha untuk membawa Jenderal Ciang keluar dari tempat itu.
Akan tetapi,
Huang-ho Lo-eng sudah meloncat dan menghadapi Siang Wi. "Hemm, bocah
sombong, sekarang tibalah saatnya aku membalas kekalahan dua muridku!"
katanya dan kakek ini menerjang ke depan.
Melihat hal
ini, Hui Song menjadi marah. Kakek ini tidak peduli akan keributan dan hanya
mengingat keperluan sendiri saja, keperluan dendam! Demikian pula Sui Cin juga
marah melihat lagak kakek ini. Mereka berdua seperti telah bersepakat saja,
tiba-tiba menerjang maju dan menampar ke arah Huang-ho Lo-eng. Kakek itu kaget
sekali ketika merasa ada angin menyambar dari kanan kiri, maklum bahwa dia
sedang diserang oleh dua orang secara hebat sekali.
"Uhhhhh...!"
Dia mengerahkan tenaga ke dalam dua lengannya lantas menangkis sambil
mendorong.
"Dessss...!"
Akibatnya,
tubuh kakek itu terjengkang dan menimpa meja kursi. Dia memandang dengan
bengong, melongo melihat bahwa yang merobohkan dia tadi adalah seorang pemuda
dan seorang gadis lain yang kini kembali menggamit Jenderal Ciang untuk keluar,
dilindungi oleh Siang Wi yang memutar sepasang pedangnya.
Beberapa
orang penjahat, agaknya anggota Hek-i Kai-pang karena di antaranya terdapat Bhe
Hok si gendut, hendak mencegah Hui Song membawa jenderal itu keluar. Siang Wi
menyerang mereka dan dara ini pun segera dikeroyok.
Maklum akan
besarnya bahaya bagi sang jenderal apa bila tidak cepat-cepat ke luar, Hui Song
dan Sui Cin cepat menarik tangan jenderal itu menyelinap di antara banyak
orang, menangkis semua serangan hingga akhirnya mereka pun berhasil keluar.
Sesudah tiba di luar, Jenderal Ciang mengeluarkan terompet kemudian ditiupnya
terompet itu berkali-kali. Bagaikan datangnya air bah, bermunculanlah barisan
pendam yang memang sudah sejak tadi dipasang oleh jenderal yang berpengalaman
itu di sekeliling tempat itu dan tempat itu pun sudah terkurung rapat!
Jenderal
Ciang dengan dikawal oleh Hui Song dan Sui Cin, kini berdiri di atas batu
besar, berteriak dengan suara lantang, "Hentikan semua perkelahian di
dalam! Semua penyerbu agar menyerah!"
Akan tetapi,
para penjahat yang tadi menyerbu dan hendak membunuh jenderal itu, malah
semakin mengamuk karena mereka merasa penasaran sekali bahwa rencana yang sudah
mereka atur dengan rapi itu menemui kegagalan. Oleh karena tempat itu penuh
dengan orang-orang dari dunia persilatan, maka begitu terjadi pertempuran,
orang-orang itu pun banyak pula yang terseret dan berkelahi sendiri!
Tentu saja
orang-orang dari golongan sesat membantu rekan-rekan mereka tanpa mereka
ketahui sebab-sebab perkelahian itu, dan orang-orang yang merasa dirinya
pendekar atau yang menentang kaum sesat segera pula melawan mereka. Hal ini
membuat tokoh-tokoh lihai seperti rombongan Cap-sha-kui itu mendapat banyak
kesempatan untuk merobohkan dan membunuh orang.
"Kalian
telah dikepung ratusan orang pasukan! Kalau tidak mau menyerah dan melempar
senjata, maka akan diambil tindakan kekerasan!" Kembali terdengar suara
jenderal itu.
Ketika para
tokoh sesat yang mengamuk di dalam itu tak mau juga mentaati perintahnya,
Jenderal Ciang kemudian mengeluarkan aba-aba memerintahkan pasukannya menyerbu
ke dalam. Hui Song, Sui Cin, dan Siang Wi juga ikut menyerbu bersama pasukan
karena Hui Song ingin menangkap hidup-hidup beberapa orang tokoh sesat untuk
dijadikan saksi tentang pengkhianatan Liu Kim atau Liu-thaikam.
Ketika para
prajurit menyerbu, suasana menjadi semakin kacau dan geger. Pada saat itu pula
terdengar suara melengking panjang dari luar tempat pesta yang berubah menjadi
tempat pertempuran itu. Suara lengkingan panjang dari luar ini disusul dengan
ledakan-ledakan benda yang dilempar dari luar. Begitu meledak, benda-benda yang
dilempar dari luar itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sehingga suasana
menjadi semakin kacau.
"Cepat
loloskan diri dari atas...!" Terdengar teriakan suara yang nyaring,
mengatasi suara kegaduhan itu. Mendengar seruan ini, enam orang tokoh
Cap-sha-kui berloncatan naik ke atas atap yang sudah dibuka dari atas.
Hui Song,
Sui Cin serta Siang Wi melihat pula hal ini dan melihat bahwa di atas berdiri
bayangan dua orang, seorang kakek tinggi kurus bertongkat dan seorang pemuda
tinggi tegap. Pemuda itulah yang membantu enam orang Cap-sha-kui lolos dengan
menyambar tangan mereka dan menariknya ke atas setelah mereka itu berloncatan
dan hampir tidak mencapai tempat yang amat tinggi itu. Apa lagi atap itu adalah
atap darurat yang terbuat dari bambu sehingga tidak begitu kuat dan ada
bahayanya mereka akan terjeblos lagi ke bawah. Untung ada pemuda itu yang
menyambut mereka dan menarik mereka keluar.
"Kejar...!"
Hui Song yang merasa sangat penasaran itu lalu berlompatan keluar diiringkan
sumoi-nya dan Sui Cin dan dari luar mereka lalu berloncatan naik ke atas atap.
Hui Song tidak begitu bodoh untuk menyusul naik dari lubang atap itu selagi musuh-musuh
yang lihai itu berada di luar lubang karena tentu mereka itu akan mudah
menyambutnya dengan serangan berbahaya.
Pada saat
ketiga orang muda perkasa itu sampai di atas atap, sebagian dari tokoh-tokoh
Cap-sha-kui berloncatan ke atas genteng rumah-rumah lainnya, ada pun di atas
atap itu masih terdapat kekek kurus, pemuda itu dan Kiu-bwe Coa-li bersama
ketua Kui-san-kok dan isterinya.
"Penjahat-penjahat
keji, kalian hendak lari ke mana?" Hui Song membentak dan segera menyerang
ke arah pemuda tinggi tegap itu.
"Kau...?!
Kau seorang tokoh sesat...?" Sui Cin juga berseru ketika dia mengenal
pemuda itu sebagai pemuda yang dulu pernah menyelamatkannya dari mala petaka
saat dia akan diperkosa oleh Sim Thian Bu. Akan tetapi dia hanya meloncat
mendekat dan tidak berani menyerang seperti yang dilakukan Hui Song.
Sementara
itu Siang Wi juga sudah kembali mencabut sepasang pedangnya dan segera
menyerang Kiu-bwe Coa-li.
"Singgg...!
Singgg...! Tarrrrr...!" Sepasang pedang yang menyambar-nyambar itu
tertahan oleh ledakan pecut ekor sembilan di tangan nenek ular yang lihai itu.
Sementara
itu, pemuda yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang, menyambut serangan Hui Song
dengan tenang, menangkisnya dari samping.
"Dukkkk!"
Tangkisan itu tepat menyambut pukulan Hui Song dan akibatnya, dua pemuda itu
terjeblos ke dalam atap yang menjadi jebol di bawah kaki mereka!
Hui Song
kaget bukan kepalang dan cepat melempar tubuh ke belakang lantas berjungkir
balik beberapa kali baru dia dapat mencegah tubuhnya tidak terjatuh ke bawah,
ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran. Dan ketika Siangkoan Ci
Kang terjeblos lalu tubuhnya jatuh ke bawah, tiba-tiba saja kakek tinggi kurus
itu menggerakkan tongkatnya dan tongkat itu dapat mengait kaki pemuda itu
lantas menempelnya sehingga pemuda itu terhindar dari jatuh ke bawah.
Bukan main
cepatnya gerakan kakek tinggi kurus itu ketika tiba-tiba dia menggerakkan
tongkat lagi. Tongkatnya menyelonong di antara Kiu-bwe Coa-li dan Siang Wi dan
ketika sebatang pedang di tangan kiri Siang Wi bertemu tongkat, gadis ini
berteriak kaget karena ada getaran hebat yang membuat tangannya hampir saja
melepaskan pedang. Terpaksa dia pun melangkah mundur dan kesempatan ini
digunakan oleh kakek itu untuk berseru,
"Kita
pergi!"
Hui Song
menahan napas. Dia tidak mau mengejar pada saat melihat kakek tinggi kurus,
pemuda perkasa, Kiu-bwe Coa-li dan sepasang suami isteri Kui-san-kok itu
berloncatan pergi. Dia tahu alangkah lihainya mereka itu, terutama pemuda dan
kakek tinggi kurus. Mereka berdua itu dan ditambah tiga orang tokoh Cap-sha-kui
sungguh merupakan lawan yang terlalu berat bagi dia, Sui Cin dan Siang Wi.
Juga Sui Cin
diam saja karena dia masih tertegun melihat betapa pemuda yang pernah
menyelamatkannya itu kiranya merupakan seorang tokoh sesat dan agaknya tepat
seperti yang pernah diceritakan Hui Song kepadanya. Kakek tinggi kurus yang
matanya terbuka tanpa berkedip itu tentulah yang bernama Siangkoan Lo-jin alias
Si Iblis Buta dan pemuda itu tentulah puteranya.
Akan tetapi
Siang Wi yang sudah hilang kagetnya, melihat mereka melarikan diri, segera
berseru, "Iblis-iblis busuk, kalian hendak lari ke mana?" Dia pun
meloncat ke depan untuk melakukan pengejaran.
"Sumoi,
jangan dikejar...!" Hui Song berseru sambil meloncat ke depan untuk
mencegah sumoi-nya.
Mendengar
suara suheng-nya yang setengah membentak, Siang Wi merasa terkejut dan segera
menahan kakinya. Pada saat itu pula, serombongan prajurit yang berada di bawah
melepaskan anak panah ke arah para penjahat yang melarikan diri. Akan tetapi,
mereka itu hanya mengebutkan tangan dan semua anak panah runtuh ke bawah!
Sebentar
saja, para penjahat itu sudah berhasil meloloskan diri. Dengan bantuan pemuda
itu bersama ayahnya yang buta, kembali enam orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos
dari kepungan pasukan yang amat kuat!
Hui Song
merasa kecewa, akan tetapi dia teringat bahwa di bawah masih terdapat banyak
penjahat, terutama orang-orang Hwa-i Kai-pang yang menyamar. Mereka pun dapat
juga dijadikan saksi, pikirnya, maka dia lalu mengajak Sui Cin dan Siang Wi
untuk kembali ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran hebat.....
Akan tetapi
tanpa adanya para tokoh Cap-sha-kui di situ, akhirnya para penjahat itu dapat
dirobohkan kemudian ditangkap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi masing-masing
berhasil menangkap seorang penjahat anggota Hwa-i Kai-pang, bahkan Hui Song
menotok roboh Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang gendut yang bertongkat dan cukup
lihai itu. Sui Cin juga menampar seorang anggota Hwa-i Kai-pang sehingga roboh
pingsan sementara Siang Wi yang berpedang itu merobohkan seorang tokoh sesat
dengan membacok pahanya hingga hampir buntung.
Jenderal
Ciang memerintahkan supaya semua tawanan itu dikumpulkan untuk dibawa ke kota
raja. Gerobak-gerobak tawanan dipersiapkan dan semua tawanan, kecuali Bhe Hok
si gendut, dijebloskan ke dalam gerobak-gerobak kerangkeng dengan kaki tangan
mereka dibelenggu.
Hui Song
sudah menemui Jenderal Ciang dan minta supaya tawanan yang satu ini tidak
dimasukkan gerobak kerangkeng, melainkan hendak dikawalnya sendiri ke kota
raja. Usul ini timbul di dalam hati Hui Song ketika membayangkan kemungkinan
tokoh sesat akan berusaha membebaskan para tawanan. Padahal, para tawanan itu
merupakan saksi-saksi penting sekali, terutama Bhe Hok yang tahu tentang semua
persekutuan busuk di istana, seperti yang pernah dia dengar bersama Sui Cin
ketika di gedung Hwa-i Kai-pang sedang diadakan pertemuan dan percakapan di
antara para tokohnya, termasuk Bhe Hok itu.
"Sumoi,
kalau engkau lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san, tolong beri tahukan ayah bahwa
sesudah selesai urusan di kota raja, aku akan pergi berkunjung ke Pulau Teratai
Merah, baru akan pulang ke Cin-ling-san." Hui Song berkata kepada
sumoi-nya.
Wajah yang
manis itu tampak semakin keruh dan matanya mengerling ke arah Sui Cin. Ia belum
tahu siapa adanya dara yang bersama suheng-nya ini, akan tetapi dari
pertempuran tadi ia melihat bahwa Sui Cin adalah seorang gadis yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi pula.
"Akan
tetapi, aku..." Ia merasa sungkan dan malu untuk menyatakan keinginannya
agar dapat selalu bersama suheng-nya.
"Engkau
pergilah lebih dulu dan aku akan menyelesaikan tugas kami berdua yang sudah
melibatkan diri kami sejak lama."
Kembali
Siang Wi memandang kepada Sui Cin dengan alis berkerut. Hui Song sangat
mengenal watak sumoi-nya maka dia kini tahu pula betapa hati sumoi-nya tidak
senang karena dia melakukan perjalanan berdua dengan seorang gadis lain.
"Sumoi,
engkau belum berkenalan. Nona ini adalah nona Ceng Sui Cin, yaitu puteri dari
Pendekar Sadis Ceng Thian Sin."
Sepasang
mata itu terbelalak, akan tetapi lalu menyipit kembali dan dua alisnya berkerut
lebih dalam, wajahnya dibayangi kekhawatiran yang lebih besar. Kiranya dara
cantik yang lihai sekali ini adalah puteri pendekar yang namanya sudah amat
dikenalnya itu. Sungguh merupakan saingan yang sangat kuat! Akan tetapi,
sebagai murid isteri ketua Cin-ling-pai dia pun cukup tahu akan peraturan, maka
cepat dia menjura ke arah Sui Cin.
"Ternyata
enci adalah puteri Ceng-locianpwe yang terkenal itu. Maaf kalau aku bersikap
kurang hormat karena tadi belum mengenalmu."
Sui Cin
tertawa geli dan mengibaskan tangannya. "Wah, sudahlah, di antara kita tak
perlu banyak memakai sungkan-sungkan lagi."
Hui Song
juga tersenyum, lega melihat sikap Siang Wi yang menghormat dan geli melihat
sikap wajar Sui Cin. Dia pun lalu tertawa. "Sumoi, nona Ceng ini baru
berusia enam belas tahun, jadi, sebaiknya kalau engkau menyebutnya adik, bukan
enci."
Setelah
berpamit dari sumoi-nya dan juga dari Jenderal Ciang yang sibuk sekali mengatur
sendiri pasukannya untuk membawa para tawanan, Hui Song lalu mengajak Sui Cin
pergi sambil menggiring si gendut Bhe Hok, pergi ke kota raja melalui jalan
memotong. Sui Cin tetap menunggang kudanya, Bhe Hok berjalan di belakang kuda
dan Hui Song berjalan di belakangnya.
Sui Cin dan
Hui Song tidak merasa khawatir kalau-kalau tawanan itu akan lari atau akan
memberontak karena Hui Song sudah monotok jalan darah pada kedua pundaknya yang
membuat kedua lengan si gendut itu tak dapat digerakkan lagi, hanya tergantung
lumpuh di kanan kiri tubuhnya.
***************
Begitu
mereka tiba di kota raja dengan selamat, Hui Song dan Sui Cin membawa tawanan
itu ke markas Jenderal Ciang. Para perwira di markas itu telah mengenal Hui
Song, maka mereka menyambut pemuda itu dan dengan gembira mendengarkan
penuturan Hui Song tentang peristiwa pertempuran di rumah Ang-kauwsu.
Si gendut Bhe
Hok dimasukkan ke dalam kamar tahanan dan dijaga dengan ketat. Sesuai dengan
permintaan Hui Song, si gendut yang menjadi tawanan penting ini diperlakukan
dengan baik. Hui Song sendiri mengancam bahwa kalau si gendut ini tidak mau
membuat pengakuan di depan kaisar nanti apa bila dibutuhkan, maka dia akan
disiksa.
"Terutama
engkau akan dibiarkan kelaparan sampai satu bulan lamanya. Akan tetapi jika
engkau mengaku, aku akan mintakan ampun untukmu, dan engkau akan mendapatkan
makanan enak, bahkan mungkin juga dibebaskan."
Tak ada
siksaan lain yang lebih menakutkan bagi si gendut Bhe Hok dari pada kelaparan!
Baginya, makan enak sekenyangnya merupakan kenikmatan nomor satu di dunia ini,
dan tanpa itu, hidup tidak ada artinya lagi. Maka, mendengar ancaman Hui Song
itu, dia sudah mengangguk-angguk seperti burung kakak tua diberi hidangan.
Kemudian,
tepat seperti yang sudah dikhawatirkan Hui Song, datang berita mengagetkan
bahwa pada senja hari itu pasukan Jenderal Ciang yang membawa rombongan tawanan
menuju ke kota raja, di tengah perjalanan sudah dihadang dan diserang oleh
gerombolan penjahat, dan sebagian besar para tawanan dapat dibebaskan oleh para
penyerang, ada pun yang tidak dapat dibebaskan, telah kedapatan mati di dalam
gerobak masing-masing! Tidak ada sisa seorang pun!
Ternyata
para penjahat yang lihai itu telah membunuh teman-teman sendiri yang tertawan,
tentu saja dengan maksud agar tawanan-tawanan itu tidak sampai membocorkan
rahasia. Rahasia besar bahwa Liu-thaikam yang berada di balik semua kejahatan
ini!
Begitu
memasuki benteng dengan wajah muram, Jenderal Ciang lalu menemui Hui Song dan
hatinya menjadi sangat lega mendengar bahwa Bhe Hok, satu-satunya tawanan yang
tersisa, kini sudah aman berada di dalam kamar tahanan.
"Harus
dijaga keras agar dia jangan sampai mendengar bahwa tidak ada tawanan lainnya
kecuali dia, bahwa dialah satu-satunya saksi di depan sri baginda kaisar,"
kata jenderal itu kepada Hui Song. "Bila dia mendengar tentang nasib para
tawanan yang tidak sempat dibebaskan, tentu dia akan ketakutan dan tidak mau
mengaku."
Hui Song
lalu mendatangi Bhe Hok. Dengan sikap tenang dan wajar dia pun menanyakan
bagaimana perlakuan para penjaga tahanan terhadap dirinya. "Engkau adalah
tawananku, karena itu akulah yang akan bertanggung jawab atas dirimu. Tawanan-tawanan
lain yang ditawan oleh pasukan dipisahkan, namun keadaan mereka tidaklah begitu
menyenangkan dibandingkan dengan keadaanmu."
"Apakah...
apakah Hwa-i Lo-eng juga... ikut tertangkap?" Bhe Hok bertanya dengan
penuh keinginan tahu.
Hui Song telah
mendengar berita mengejutkan lainnya, yaitu bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu
ternyata sudah kedapatan tewas di dalam gedung perkumpulan itu, tidak lama
setelah rombongan Jenderal Ciang tiba. Dan dia tahu apa artinya itu. Agaknya
para tokoh jahat, tentu saja atas perintah Liu-thaikam, telah melakukan
persiapan supaya rahasianya tidak terbuka, dengan jalan membunuhi semua
tawanan, dan ketua Hwa-i Kai-pang juga harus dibunuh agar pemerintah tidak akan
menangkap dan memaksanya mengaku!
"Dia?
Tentu saja dia pun ditangkap sebab anak buahnya banyak yang terlibat. Akan
tetapi pemeriksaan akan dilakukan secara terpisah dan satu demi satu. Maka
engkau tak perlu khawatir, mengakulah saja seperti apa adanya. Jika engkau
menyesali pengkhianatanmu dan mengaku terus terang tentang persekongkolan di
bawah pimpinan Liu-thaikam, tentu engkau akan mendapat keringanan."
"Apa?
Apa... Liu-thaikam...? Aku tidak... tidak mengerti..."
Hui Song
tersenyum. "Ahh, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Kami sudah
mendengar semua mengenai persekutuan itu, tentang bagaimana Hwa-i Kai-pang
dipergunakan oleh Liu-thaikam, juga tentang Cap-sha-kui sudah menjadi
antek-antek pembesar itu di bawah pimpinan seorang datuk yang bernama Siangkoan
Lo-jin berjuluk Iblis Buta. Kami sudah tahu semua, dan engkau hanya tinggal
membuat pengakuan sejujurnya saja. Ingat, kalau engkau membohong dan tidak mau
mengaku, kami pun sudah mengetahui persoalannya dan akibatnya engkau akan
disiksa."
Bhe Hok
mengangguk-angguk meyakinkan sehingga legalah hati Hui Song. Pengakuan si
gendut ini di depan sri baginda kaisar berarti berhasilnya tugas membongkar
persekutuan jahat di dalam istana yang dikepalai oleh Liu-thaikam.
Sementara
itu, Jenderal Ciang segera mengadakan hubungan dengan dua orang menteri lain
yang pandai dan termasuk sebagai menteri-menteri setia yang juga dianggap
sebagai saingan sehingga ditentang oleh Liu-thaikam. Mereka adalah Menteri Ting
Hoo dan Cang Ku Ceng.
Di dalam
sejarah tercatat bahwa kedua orang menteri ini kelak akan menjadi pembantu-pembantu
yang sangat setia dan pandai dari Kaisar Cia Ceng pengganti Kaisar Ceng Tek.
Jenderal Ciang mengadakan perundingan dengan dua orang menteri ini, kemudian
pada keesokan harinya, berkat usaha dari kedua orang menteri ini, sri baginda
kaisar berkenan menerima Jenderal Ciang yang diikuti pula oleh Menteri Liang
serta kedua orang menteri Ting dan Cang itu.
Tentu saja
sri baginda kaisar menjadi terkejut sekali ketika mendengar laporan Jenderal
Ciang mengenai persekutuan yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal
Ciang, terlebih lagi sesudah dengan terus terang jenderal itu mengatakan bahwa
persekutuan itu dipimpin oleh Liu-thaikam sendiri!
"Mustahil!"
Sri baginda kaisar berseru sambil menepuk lengan kursi. "Dia adalah
seorang pembantuku yang paling setia. Dan apa sebabnya dia hendak membunuh
kalian berdua? Tentu ada permusuhan pribadi!"
Pada saat
mendengar betapa kaisar agaknya malah berpihak kepada thaikam itu, wajah
Jenderal Ciang menjadi pucat. Menteri Liang yang berlutut itu lalu berkata,
"Mohon beribu ampun, sri baginda. Sesungguhnya tidak terdapat permusuhan
apa pun antara hamba dan Liu-thaikam, akan tetapi dia menganggap hamba dan Jenderal
Ciang serta banyak hamba paduka yang lain sebagai saingannya karena hamba
sekalian tak mau tunduk kepadanya. Itulah sebabnya mengapa dia hendak membunuh
hamba."
"Sudah
banyak pembesar dibunuhnya, sri baginda. Dia tidak segan-segan menggunakan para
penjahat sebagai antek-anteknya. Pada waktu hendak membunuh Menteri Liang dan
hamba, dia malah memperalat datuk-datuk sesat seperti Cap-sha-kui, juga
menggunakan orang-orang Hwa-i Kai-pang yang ikut pula bersekongkol dan menjadi
anteknya."
Alis Sri
Baginda Kaisar Ceng Tek berkerut, hatinya merasa tidak senang. "Jenderal
Ciang, kami tahu bahwa engkau adalah seorang jenderal yang gagah dan setia, dan
juga Menteri Liang adalah seorang menteri lama yang sangat setia. Tahukah
kalian betapa hebat dan berbahayanya semua cerita kalian ini? Kalau tidak
benar, ini merupakan fitnah yang akan dapat membuat kalian terpaksa harus
dihukum seberat-beratnya!"
"Hamba
bersedia dihukum kalau pelaporan hamba tidak benar, sri baginda!" kata
sang jenderal.
"Hamba
juga bersedia menyerahkan nyawa jika hamba menjatuhkan fitnah kepada siapa pun
juga," sambung Menteri Liang dengan suara tegas.
Mulailah
Kaisar Ceng Tek merasa bimbang. Sebenarnya sudah lama banyak pembesar yang
mencoba untuk menyadarkannya akan kepalsuan Liu-thaikam, akan tetapi karena
thaikam itu selalu bersikap baik dan menyenangkan hatinya, juga karena tidak
pernah ada bukti penyelewengannya, maka kaisar merasa terlalu sayang kepada
pembantu itu untuk melakukan penyelidikan secara mendalam.
Lagi pula,
kaisar yang masih amat muda itu, baru sembilan belas tahun usianya, merasa
banyak dibantu oleh Liu-thaikam. Pada waktu dia melakukan perjalanan keluar
dari istana secara diam-diam, thaikam itulah yang selalu membantunya, dan semua
urusan di dalam istana dapat diselesaikan dengan baik oleh thaikam itu.
"Bagaimana
kalian dapat memastikan bahwa laporan kalian ini bukannya fitnah belaka?"
kaisar mendesak.
"Penyerangan
terhadap Menteri Liang di telaga disaksikan oleh banyak orang, sedangkan
penyerangan terhadap hamba di dalam pesta Ang-kauwsu lebih banyak
saksinya," jawab Jenderal Ciang.
"Kalian
adalah pejabat-pejabat pemerintah, maka tidaklah aneh kalau dimusuhi oleh kaum
penjahat. Akan tetapi apa buktinya bahwa Liu-thaikam yang berdiri di belakang
semua itu?"
Inilah
pertanyaan yang ditunggu-tunggu oleh Jenderal Ciang. Dengan suara lantang
tetapi tetap hormat dia menjawab. "Sri baginda, hamba sudah menangkapi
sebagian dari para penjahat, akan tetapi ketika hamba menggiring para penjahat
itu ke kota raja, di tengah perjalanan para datuk sesat menghadang, merampas
tawanan dan membunuh mereka yang tidak dapat mereka rampas. Akan tetapi masih
ada seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang berhasil hamba bawa sebagai saksi. Jika
paduka berkenan, hamba dapat menyuruh dia membuat pengakuan di hadapan
paduka." Jenderal itu berhenti sebentar, kemudian menyambung, "Selain
itu, juga hamba dibantu oleh seorang pendekar muda yang pernah menyelamatkan
paduka pada saat paduka diserang oleh orang-orang Kang-jiu-pang, yaitu putera
ketua Cin-ling-pai bersama seorang temannya, pendekar wanita Ceng Sui
Cin."
"Hemm,
bawa mereka semua menghadap!" Kaisar memerintah.
Jenderal
Ciang lalu memberi isyarat kepada para penjaga di luar dan tak lama kemudian
muncullah Hui Song dan Sui Cin mengiringkan Bhe Hok sebagai tawanan. Mereka
segera menjatuhkan diri berlutut dan tubuh Bhe Hok gemetar ketakutan.
Jenderal
Ciang memperkenalkan dua orang muda pendekar itu, tetapi kaisar masih ingat
kepada Hui Song yang gagah. "Hai, engkau orang muda yang gagah perkasa
itu! Urusan apa lagi yang membawamu terlibat sehingga kini dihadapkan di
istana?" Kaisar menegur dengan suara ramah.
"Ampun,
sri baginda. Hamba melihat ada persekutuan busuk mengancam para pembesar setia.
Dan karena persekutuan itu dapat pula membahayakan keselamatan paduka, maka
hamba berdua nona Ceng berusaha membantu Jenderal Ciang untuk membuka rahasia
ini dan menghaturkannya kepada paduka."
Kaisar
teringat lagi akan tuduhan terhadap thaikam yang amat disayangnya, maka alisnya
berkerut lagi, hatinya kesal dan dia pun berkata kepada Jenderal Ciang.
"Nah, suruhlah saksi bercerita. Awas, kalau dia berbohong, kalian semua
takkan bebas dari hukuman!"
Sebenarnya
ucapan kaisar itu ditujukan untuk mengancam mereka yang telah memusuhi
Liu-thaikam, akan tetapi malah membuat si gendut Bhe Hok semakin ketakutan dan
tidak berani berbohong. Dia terus berlutut dan tak berani berkutik sampai
dihardik oleh Jenderal Ciang.
"Penjahat
Bhe, lekas membuat pengakuan apa adanya dan jangan berbohong!"
"Hamba...
hamba bernama Bhe Hok dan hamba menjadi seorang di antara para pembantu Hwa-i
Lo-eng ketua Hwa-i Kai-pang. Bersama rekan-rekan Cap-sha-kui, hamba menjadi
anggota kelompok yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin, dan hamba semua bekerja
untuk Liu-taijin. Hamba menerima tugas untuk membantu para tokoh Cap-sha-kui,
pertama-tama untuk membunuh Menteri Liang, kemudian membunuh Jenderal Ciang.
Hamba membuat pengakuan yang sesungguhnya, berani disumpah juga berani
mempertanggung jawabkan kebenaran pengakuan hamba."
Wajah kaisar
telah menjadi merah sekali. Haruskah dia mempercayai pengakuan seorang penjahat
macam ini?
"Tangkap
dan seret ketua Hwa-i Kai-pang ke sini!" bentaknya.
"Ampun
sri baginda. Hwa-i Lo-eng telah dibunuh oleh tokoh-tokoh sesat, mungkin karena
mereka merasa takut kalau-kalau ketua Hwa-i Kai-pang itu akan membuat pengakuan
dan membuka rahasia kejahatan Liu-thaikam."
"Hemm,
kalau begitu tangkap dan bawa Liu-thaikam ke sini!" perintah kaisar.
"Hamba
akan melaksanakan perintah paduka. Akan tetapi tanpa adanya leng-ki (bendera
tanda utusan kaisar), tentu dia tidak akan percaya dan akan melawan."
"Nih,
bawa tanda dari kami!" Berkata demikian kaisar muda itu melepaskan
pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Jenderal Ciang.
Benda itu
adalah pusaka tanda kekuasaan kaisar, maka tentu saja telah merupakan bukti
kekuasaan yang cukup. Dengan gembira sekali Jenderal Ciang menerima pedang,
lantas membawa pasukan pengawal pergi menuju ke gedung tempat tinggal
Liu-thaikam dan menangkapnya. Melihat pedang di tangan jenderal itu,
Liu-thaikam tidak berkutik lagi dan dengan muka pucat tak lama kemudian dia sudah
menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki kaisar.
"Mohon
paduka sudi mengampuni semua kesalahan hamba, akan tetapi sungguh hamba merasa
terkejut sekali menerima panggilan paduka seperti ini. Apakah yang telah
terjadi? Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka?" Tentu thaikam itu
hanya berpura-pura saja.
Dia sudah
mendengar akan semua yang telah terjadi, tentang kegagalan-kegagalan para
anteknya dan dialah yang memerintahkan supaya semua tokoh Hwa-i Kai-pang
dibunuh, juga para tawanan yang tidak sempat dibebaskan agar dibunuh. Sungguh
pun demikian, hatinya masih selalu dalam keadaan was-was maka dia telah bersiap
untuk melarikan diri, walau pun dia masih percaya akan pengaruhnya terhadap
kaisar. Kedatangan Jenderal Ciang yang menangkapnya sama sekali tidak
disangkanya.
"Orang
she Liu, apakah yang telah kau lakukan selama ini? Mengapa engkau memperalat
orang-orang jahat dan menyuruh orang-orang jahat itu mencoba untuk membunuh
Menteri Liang dan Jenderal Ciang?!" Kaisar membentak.
Dengan mimik
muka yang pandai, thaikam itu terbelalak lantas memprotes dengan sikap wajar
orang yang merasa difitnah. "Ampun, sri baginda! Hal itu sama sekali tidak
benar! Hamba telah difitnah orang! Banyak sekali orang yang merasa iri dan
ingin menjatuhkan hamba karena paduka sudah melimpahkan kepercayaan yang besar
kepada hamba. Ini adalah fitnah penasaran! Hamba berani bersumpah bahwa hamba
selalu setia terhadap paduka sampai mati!"
"Hemm,
setia dan memelihara penjahat-penjahat sebagai kaki tanganmu?"
"Tidak,
sama sekali tidak benar. Hamba bersumpah..."
"Apakah
persekutuan penjahat-penjahat Hwa-i Kai-pang dan Cap-sha-kui yang dipimpin oleh
datuk bernama Siangkoan Lo-jin itu bukan antek-antekmu?"
"Tidak,
hamba sama sekali tidak pernah mendengar nama-nama itu, hamba bahkan tidak
mengenalnya. Memang hamba merasa tidak suka pada Menteri Liang dan Jenderal
Ciang karena hamba melihat bahwa mereka itu menentang paduka, tidak
taat..."
Kaisar
menghardiknya kemudian berkata kepada Bhe Hok. "Hai, kamu! Katakan apakah
ini orangnya yang memimpin seluruh persekutuan busuk itu?!"
Bhe Hok
memandang pada Liu-thaikam dengan muka pucat. Tadi dia mendengar betapa Hwa-i
Lo-eng telah dibunuh dan sekarang agaknya tinggal dia yang harus berani menjadi
saksi. Akan tetapi dia tadi telah mengucapkan pengakuannya, tidak mungkin
mengingkari kembali, maka dia pun berkata dengan suara gemetar,
"Benar,
sri baginda. Dia adalah Liu-taijin yang dibantu oleh kelompok hamba
semua..."
Liu-thaikam
menengok dan begitu melihat wajah Bhe Hok, dia terkejut dan marah bukan main.
"Kau... kau...!" Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya.
"Engkau pengkhianat busuk! Berani engkau membawa-bawa namaku di sini? Akan
kusuruh mencincang hancur kepalamu..."
"Cukup!"
Kaisar membentak. "Tangkap pengkhianat ini dan seret ke pengadilan
tinggi!"
Para
pengawal lalu maju dan menangkap Liu-thaikam yang berteriak-teriak dan
meronta-ronta, memaki-maki Bhe Hok, Menteri Liang, Jenderal Ciang dan akhirnya
memaki-maki kaisar pula sehingga para pengawal membungkam mulutnya dan
menyeretnya keluar.
Dengan wajah
murung kaisar lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Jenderal Ciang, Menteri
Liang, juga kepada Hui Song dan Sui Cin, lalu kaisar membubarkan persidangan
darurat itu.
Pengadilan
menjatuhkan hukuman mati kepada Liu-thaikam. Saat diadakan pemeriksaan dan
penggeledahan, kaisar sendiri sampai tertegun melihat tumpukan harta hasil
korupsi dan penindasan yang dilakukan bekas pembantunya yang tadinya sangat
disayang serta dipercayanya itu. Harta benda yang ditumpuk oleh Liu Kim atau
Liu-thaikam itu sungguh amat besar jumlahnya.
Menurut
catatan sejarah, emas dan perak yang diperoleh sebanyak 251.583.600 tail, batu
permata sebanyak lebih dari sepuluh kilo, dua stel pakaian perang dari emas,
500 piring emas, 300 pasang gelang dan cincin emas, 4000 ikat pinggang emas
permata. Istananya di kota raja bahkan melebihi kemewahan istana kaisar
sendiri!
Penumpukan
harta yang dilakukan oleh Liu-thaikam melalui korupsi dan penindasannya itu
memang sungguh luar biasa. Tiada keduanya dalam sejarah. Kerakusannya dalam hal
menumpuk harta sukar dicari bandingannya sehingga menjadi buah bibir rakyat
sampai sepanjang sejarah. Padahal, sebelum menjadi thaikam, Liu Kim adalah
seorang anak dari keluarga yang miskin dan rendah.
Sesudah
komplotan itu berhasil dibongkar, Kaisar Ceng Tek baru menjadi panik sehingga
kaisar ini cepat-cepat melakukan pembersihan di kalangan para pejabat tinggi.
Juga dia segera memerintahkan Jenderal Ciang agar mengerahkan pasukan untuk
membasmi para penjahat yang tadinya menjadi antek Liu-thaikam.
Hwa-i
Kai-pang diserbu, semua anggotanya ditangkap dan dihukum, gedungnya dirampas
pemerintah. Akan tetapi tak mudah bagi Jenderal Ciang untuk dapat mencari
tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang selalu bergerak laksana setan. Dengan
tertangkapnya Liu-thaikam dan hancurnya komplotan itu, barulah pemerintahan
Kaisar Ceng Tek yang muda itu menjadi bersih dan barulah kaisar muda itu mulai
memperhatikan roda pemerintahan.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment