Thursday, September 20, 2018

Cerita Silat Serial Asmara Berdarah Jilid 09



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Asmara Berdarah

                   Jilid 09


MELIHAT betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan dia merasa betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Dia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda bejat akhlak ini terhadap dirinya dan mulailah dia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk membebaskan diri dari ikatan kaki tangannya. Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu pula sambil terkekeh Sim Thian Bu yang sudah menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.

"Aihh, jantung hatiku, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

Melihat pemuda itu telah menindihnya dan wajah pemuda itu pun demikian dekat dengan wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit. "Jangan...! Kau bunuh saja aku...!"

"Ha-ha-ha, membunuh engkau? Aihh, sayang dong...! Engkau cantik manis..." Sim Thian Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian dia ingat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar gemetar ketika dia berkata lirih.

"Akan tetapi jangan begini... ah, jika memang tiada jalan lain... aku bersedia... tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya secara wajar..."

Sim Thian Bu menjadi girang sekali. "Jadi engkau... engkau mau...?" Dia bertanya sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.

"Tetapi lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu begini..." Dia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, dia akan mengirim serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.

"Baik...," kata Sim Thian Bu dengan girang.

Pemuda itu lalu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya. Tangannya meraih ke arah belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba kaki.

Kini wajah pemuda itu menoleh, memandangnya sambil tersenyum mengejek. Jari tangan itu sekarang malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainken hendak melucuti pakaian gadis itu.

"Heh-heh-heh, engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cerdik dan licik. Kau kira aku tidak dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu? He-he-he, memang hendak kulepaskan, akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan seluruh pakaianmu, ha-ha-ha-ha!" Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Bui Cin.

"Jangan... ahhh, jangan...!" Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang sangat mengerikan dari mala petaka yang akan menimpa dirinya.

"Sim Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kau lakukan ini?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.

Tahu-tahu di ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang jika melihat wajahnya masih nampak muda sekali, paling banyak berusia delapan belas tahun, akan tetapi wajah itu terlihat dingin dan sepasang matanya mencorong, ada pun tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa pada umumnya.

Sim Thian Bu yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, menjadi amat terkejut dan menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.

"Ahh, kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku ini dahulu, nanti akan kulayani suheng bicara apa bila memang suheng datang membawa keperluan yang harus kubantu."

"Sim Thian Bu, tadi aku bertanya. Apa yang akan kau lakukan ini?"

Sim Thian Bu menatap pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi agaknya dia merasa jeri terhadap pemuda remaja itu, dan dia pun tersenyum lebar. "Aihh, engkau masih terlampau muda untuk mengetahui urusan ini, suheng. Dia ini adalah kekasihku dan kami hendak bermain-main sebentar. Apakah suheng ingin melihat kami bermain cinta?"

Sui Cin sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam saja dan memandang heran. Memang sungguh mengherankan keadaan pemuda remaja yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, namun mengapa jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan bersikap jeri terhadap pemuda remaja itu?

Ah, kalau pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu dia akan lebih celaka lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekeli untuk dapat lolos. Menghadapi Sim Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja dia sudah tidak berdaya dan kini berada di ambang mala petaka yang mengerikan, apa lagi kalau kini datang suheng si jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walau pun usianya jelas lebih muda.

Dia lantas memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini malah akan menolongnya.

"Kekasihmu? Dibelenggu?" Pemuda itu berkata dan kulit di antara sepasang alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah tubuh Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada memerintah, "Lepaskan belenggu kaki tangannya!"

Sim Thian Bu nampak terkejut dan marah. "Akan tetapi, suheng, dia itu punyaku, dan aku berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya, hendak main-main dulu dengan gadis ini..."

"Lepaskan kataku!" Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh Sui Cin betapa kuatnya khikang yang terkandung di dalam suara itu.

Sim Thian Bu juga meraaakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran. "Suheng, engkau keterlaluan mendesakku..."

Sim Thian Bu terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu telah menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Bagaikan terbang saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu, lantas tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil menggerakkan tangan untuk menangkis.

"Plakkk!"

Entah bagaimana, biar pun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis, tetap saja pundaknya terkena tamparan sehingga tubuhnya terpelanting seperti disambar pukulan yang amat kuat.

"Suheng...!" teriaknya dan dia pun meloncat bangun, kemudian hendak balas menyerang pemuda remaja itu.

"Plakk! Plakk!" Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi.

Sui Cin memandang heran dan kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biar pun Thian Bu yang menyerang, akan tetapi sebaliknya dia yang roboh sendiri karena serangannya telah dihadang di tengah jalan dan sebaliknya, balasan pemuda remaja itu tidak mampu dihindarkannya.

Kini pemuda remaja itu agaknya telah marah. Semenjak tadi dia tidak mau mengeluarkan kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi-api. Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan, dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di dekat Thian Bu. Kini kaki tangannya bergerak secara aneh. Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran!

"Plakk! Plokk! Bakk! Bukk!"

Terdengar suara ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tak sempat bangun karena setiap kali merangkak hendak bangun telah disambut oleh tamparan atau pukulan lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.

"Suheng... ampunkan aku..."

Pemuda remaja itu berhenti bergerak, lalu menatap wajah jai-hwa-cat yang telah bengkak-bengkak dan matang biru itu.

"Kau tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!" Hanya itu kata-katanya.

Tiba-tiba tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya lalu Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan dia dapat bergerak lagi! Begitu dapat bergerak, tentu saja meledaklah semua kemarahan dan ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.

"Haiiiiittttt...!"

Dia mengeluarkan suara melengking tinggi, lantas tubuhnya langsung meluncur ke depan. Dengan pengerahan sinkang sekuatnya dia telah menggerakkan tangannya, menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!

"Dukkk!"

Sim Thian Bu sendiri tak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan kepalanya pening. Akan tetapi tiba-tiba saja pemuda remaja itu bergerak dan pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi.

Tangkisan itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin sampai lengannya tergetar hebat. Dia terdorong mundur tiga langkah, kemudian matanya menatap tajam kepada wajah pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Dia menjadi serba salah. Mau marah akan tetapi teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari mala petaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, dia kecewa dan penasaran karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi.

Sejenak mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu sekarang terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa oleh Thian Bu itu adalah seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu mengandung sinkang yang amat hebat sehingga lengannya sendiri tergetar dalam pertemuan tenaga itu. Jelas bukan gadis sembarangan!

"Aku... aku harus menghajar jahanam busuk itu!" Sui Cin akhirnya berteriak marah.

Pemuda itu menggelengkan kepala, sikapnya tenang dan pandang matanya tetap dingin.

"Sute-ku sudah kuhajar sendiri," katanya singkat saja.

"Tapi... tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"

Kembali pemuda itu menggeleng kepalanya. "Baru hendak, tapi belum. Pergilah, nona."

Sui Cin menjadi bingung, laksana kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak banyak cakap dan bersikap dingin serius ini. Jika dia berkeras hingga dia sampai bentrok dengan pemuda ini, berarti dia yang bo-ceng-li (tak tahu aturan). Bukankah dia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi maut? Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang Thian Bu itu sute-nya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini? Bumi dan langit bedanya.

Sui Cin mengepal tinju, merasa kehilangan akal. Akhirnya ia mendengus dan menyambar sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat dia sudah melompat keluar dari dalam goa itu!

Kini pemuda remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas dipan di mana dia tadi hendak memperkosa Sui Cin. Dia menyusuti darah dari ujung bibirnya dan kelihatan takut walau pun pada sinar matanya terdapat rasa marah dan dendam yang disembunyikan.

"Sute, kuulangi. Bila sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada urusan penting yang engkau tinggalkan di telaga, malah engkau sibuk hendak melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!" Pemuda itu menundingkan jari telunjuknya ke pintu goa dengan nada dan sikap mengusir.

Sim Thian Bu mengangkat muka dan memandang sejenak, lalu bangkit dan tertatih-tatih berjalan keluar tanpa berani membantah lagi. Sesudah Thian Bu pergi, pemuda remaja itu lantas menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu sambil mengepal kedua tangannya.

Dia seperti orang sedang berpikir mendalam penuh rasa penasaran, lalu memukulkan tinju kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring, kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan penuh penyesalan. Siapakah pemuda remaja ini?

Dia adalah pemuda yang muncul di telaga dan berperahu bersama seorang kakek kurus bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi yang membakar perahu besar di mana terjadi perkelahian dan dia pula yang monolong sehingga tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos. Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song yang sudah menduga bahwa pemuda itu sangat tangguh dan lihai. Dan tepat seperti dugaan Shan-tung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.

Siangkoan Lo-jin memiliki riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini memang hidup di dalam kalangan sesat. Akan tetapi pada waktu dia masih muda, dia yang sudah merasa tak suka akan perbuatan jahat yang kejam, sering kali dia menentang para paman gurunya, bahkan gurunya sendiri sehingga akhirnya dia dianggap murtad.

Sebagai hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya lalu dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, ketika baru berusia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang buta. Biar pun matanya tidak cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapat melihat apa-apa lagi.

Hukuman yang membuat cacat ini diterima dengan sabar dan tabah. Akan tetapi di dalam hatinya terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia terus berlatih silat dengan tekun sehingga kepandaiannya menonjol, bahkan setelah berusia kurang lebih lima puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui semua paman gurunya! Sementara itu, suhu-nya sudah meninggal dunia.

Pada suatu hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru mendapatkan pelepasan. Siangkoan Lo-jin memberontak, dan lima orang paman gurunya yang dulu ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu! Dan di kalangan kaum sesat, siapa pun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya.

Mulailah nama Siangkoan Lo-jin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadilah perubahan pada diri kakek ini. Kalau pada waktu mudanya dia menentang kejahatan para gurunya, sesudah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat! Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia menentang kejahatan tetapi matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak menjadi kepala semua penjahat!

Setelah berusia setengah abad dan diakui sebagai seorang jagoan yang sangat ditakuti di antara golongan sesat, dia lalu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata mampu memberi keturunan padanya, seorang anak laki-laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang. Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main.

Semenjak lahir, Ci Kang sudah digemblengnya. Bahkan untuk mandi bayi itu pun dia beri ramuan obat supaya jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan ternyata gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lo-jin tidak sia-sia.

Anak itu ternyata mempunyai bakat yang amat hebat dan setelah berusia delapan belas tahun, anak itu sudah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya! Dia bahkan lebih lihai dari pada ayahnya karena dia lebih muda, jadi menang kuat dan menang daya tahannya, juga menang cepat.

Ternyata Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga menuruni wataknya! Semenjak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendirian di batinnya yang berlawanan dengan kenyataan yang ada pada keluarganya.

Dia, seperti para pendekar dan para budiman di dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka dengan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya sering kali termenung dan merasa penasaran. Bahkan setelah mulai dewasa, pada suatu hari dia berani menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.

"Hemm, kau tahu apa?" ayahnya menjawab dengan senyum kecut. "Engkau tahu kenapa mata ayahmu menjadi buta? Karena aku pun ingin menjadi orang bersih macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku justru kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi orang baik hanya mengundang datangnya mala petaka dan kerugian saja. Semenjak kehilangan mataku, aku mengambil keputusan hendak menjadi tokoh sesat, akan tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"

Ci Kang merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki di antara tokoh sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru serta para paman gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Sesudah lihai, akhirnya ayahnya lantas membalas dendam, membunuh lima orang susiok-nya sendiri, kemudian bangkit menjadi pemimpin kaum sesat.

Hal ini membuat hati Ci Kang kadang kala berduka. Terjadi konflik dalam batinnya antara pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali kekejaman-kekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum sesat!

Sebagai putera Siangkoan Lo-jin, tentu saja dia tak dapat lari dari kenyataan ini sehingga beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya bila ayahnya atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau jika sedang melaksanakan tugas, seperti yang baru dilakukannya di Telaga Emas itu. Namun selamanya dia sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada orang lain.

Konflik-konflik batin yang dideritanya sejak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemuda yang pendiam, dingin, keras bagaikan baja dan kadang-kadang membawa mau sendiri, tidak pedulian, dan aneh!

Ketika Ci Kang diajak ayahnya ke telaga itu kemudian dengan kegagahannya dia berhasil membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga orang tokoh itu yang gagal membunuh panglima Liang.

"Kalian benar-benar tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melaksanakan pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan telah digagalkan oleh seorang pemuda yang menyamar sebagai menteri itu." Demikianlah Siangkoan Lo-jin mengomel sesudah mereka semuanya berhasil melarikan diri dan berada di tempat persembunyian. "Bukankah seharusnya kalian lebih dulu melakukan pengamatan dan pengintaian?"

"Maaf, Lo-jin. Sebenarnya kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang telah digantikan oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah kesalahan jembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanjikan oleh Hwa-i Kai-pang yang hendak membantu dengan penyelidikan, dan perkumpulan jembel itu sudah mengutus si gendut yang tidak teliti ini!" kata Kui-kok Lo-mo dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang gendut itu.

Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya yang sudah putih. Tentu saja dia tak dapat melihat tudingan telunjuk Kui-kok Lo-mo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu hadir pula di situ.

"Hemm, siapakah engkau utusan Hwa-i Kai-pang?!" bentaknya.

Bhe Hok adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah. Maka, biar pun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.

"Saya bernama Bhe Hok, Lo-jin. Dan sayalah yang telah diutus oleh para pimpinan Hwa-i Kai-pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas untuk mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Namun, sebelum menteri itu muncul, secara tidak tersangka-sangka, saya terlibat dalam perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lo-jin sendiri."

Iblis buta itu mendengus. "Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"

"Benar, Lo-jin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya melihat murid Lo-jin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shan-tung Lo-kiam sehingga saya harus berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lo-jin pergi melarikan gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya juga melarikan diri karena Lo-kiam itu sangat lihai. Kalau saja Sim-sicu tidak muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tak meninggalkan saya dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan mampu menjatuhkan Shan-tung Lo-kiam dan keadaan akan menjadi lain."

"Hemmm...!" Terpaksa Siangkoan Lo-jin tidak jadi marah kepada orang Hwa-I Kai-pang itu karena ternyata muridnya sendiri yang sudah menjadi biang keladi kegagalan usaha itu. "Ci Kang, engkau hendak ke mana?" Tiba-tiba kakek buta itu menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal gerakan puteranya yang sangat ringan sehingga dia cepat menegur.

Akan tetapi Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu, hanya terdengar jawabannya dari luar, "Ayah, aku mau mencari angin segar." Dan dia pun sudah jauh sekali sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lo-jin telah mengenal keanehan watak puteranya, karena itu dia pun lalu melanjutkan percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.

"Sudahlah, kegagalan membunuh Menteri Liang biarlah menjadi pelajaran baik bagi kalian semua. Lain kali kita bisa mencari jalan lain untuk melenyapkannya. Sekarang yang lebih penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lo-mo dan Lo-bo, bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"

"Sudahlah, Lo-jin. Kami akan melaksanakannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina ini."

"Biar pun kalian telah membantu melaksanakan tugasku, tapi telah mengalami kegagalan. Jika aku membantu kalian sampai berhasil, maka lain kali kalian harus membantuku pula sampai aku berhasil membunuh menteri itu." Kiu-bwe Coa-li mengomel.

Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternyata melakukan pengejaran terhadap murid ayahnya. Sungguh pun murid ayahnya itu jauh lebih tua dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga harus menyebut suheng kepadanya.

Dia sudah tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mendengar bahwa sute-nya itu adalah seorang jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sute-nya lantas menghajarnya, akan tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lolos dan merahasiakan kejahatannya. Sekarang, mendengar betapa sute-nya telah melarikan seorang gadis, dia menjadi marah sekali dan segera melakukan pengejaran.

Tentu saja dia dapat menduga ke mana sute-nya membawa pergi gadis culikannya itu. Ke mana lagi kalau bukan ke dalam goa rahasia tempat persembunyian ayahnya? Hanya di sanalah tempat aman bagi sute-nya itu untuk melakukan segala macam kejahatan tanpa diketahui orang!

Dan ternyata dugaannya memang benar. Dan dia datang pada saat yang tepat. Apa bila Sim Thian Bu tidak bermaksud memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperkosanya seperti yang selama ini biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang akan terlambat dan gadis itu sudah ternoda, dan mungkin sekali jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang licik.

Kemudian, setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sute-nya sehabis menghajarnya babak belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam goa itu sambil termenung. Hatinya terasa semakin sakit dan menyesal sekali. Perbuatan keji dari sute-nya tadi telah mengingatkan dia bahwa pria yang amat cabul dan keji itu adalah sute-nya, murid ayahnya dan bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini bahkan menjadi antek pemerintah yang lalim. Hatinya sedih bukan kepalang.

Dia sudah banyak membaca mengenai pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan penjahat-penjahat. Dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Namun kini dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri telah menjadi penjahat antek pembesar lalim! Siapa yang tak akan hancur dan sedih hatinya?

Baru setelah goa itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari dalam goa, menutupi lagi mulut goa dengan semak belukar, kemudian melangkah pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya semakin dingin.


                  ***************


"Haiii... nona...! Perlahan dulu, nona...!"

Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak dengar atau tak peduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai.

Dia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan dia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Dia pun duduk miring seenaknya saja di atas punggung kudanya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitarnya. Jalan itu kasar dan sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.

"Prak-plok-prak-plok-prak-prok...!" Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.

Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia sudah mengenal gadis berpayung yang menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tidak dapat tidur nyenyak, gadis yang membuatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantu dirinya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo?

Maka dia pun segera lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena sekarang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkannya.

Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari mala petaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Sesudah pergi, dia lalu kembali ke dusun di mana dia menitipkan kudanya dan kini dia melakukan perjalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah.

Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa dia berjumpa dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemuda itu. Dia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di sebelah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.

"Huh..., apa maksudmu berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan lari-lari seperti orang dikejar setan?" Sui Cin menegur sambil tersenyum mengejek.

"Aku tidak kesurupan tapi memang gila, tepatnya tergila-gila. Dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tidak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"

Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga dia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa dia adalah Sui Cin si pemuda jembel itu. Kini dia tidak perlu berpura-pura lagi.

"Hemm, jadi baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Dia tidak menghentikan kudanya, maka terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang karena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.

"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."

"Lalu mau apa?"

"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan engkau bilang mempunyai seorang cici."

"Akulah cici-nya!"

"Ha-ha-ha, dan engkau adiknya pula, pemuda jembel yang membagi-bagikan uang kepada para jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau pernah menjanjikan kepadaku hendak memperkenalkan aku kepada cici-mu. Nah, sekarang perkenalkan. Engkau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu juga masih sama? Sui Cin?"

Sui Cin mengangguk. "Ehh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda jembel itu pula?"

"Nanti dulu, apakah engkau begini kejam membiarkan aku berjalan-jalan bersama kudamu yang mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"

"Hemm, engkau pun boleh menggunakan kedua tanganmu sebagai kaki!"

"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"

"Kalau kau mau!"

"Sudahlah, kasihanlah padaku. Aku amat capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kasihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat sambil makan rumput."

Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rindang. Di sini dia turun, menutup payungnya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah, berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan tetapi sekali ini Hui Song yang lebih dulu menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.

"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Mengenalimu? Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan enci-nya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda jembel itu."

"Hemm, mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau ternyata aku adalah enci-nya?"

"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum di bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... ehhh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal betul sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku langsung mengenalimu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, sesudah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Dan sekarang agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."

"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan aku tidak mempunyai adik mau pun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku, pada waktu merantau aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."

Mendadak Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan sehingga dia menjadi marah. "Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"

Hui Song menahan ketawanya. "Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha-ha, pintar sekali engkau mencari alasan kenapa engkau marah-marah saat aku mendekatimu. Ingat, ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki akan tetapi engkau marah-marah dan..."

Wajah dara itu menjadi merah bukan main. "Sudahlah, tidak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"

Hui Song bersikap sungguh-sungguh walau pun kini wajahnya cerah dan gembira sekali. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, ia merasa kehilangan dan kesepian. "Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan sedang mencari jejak Sui Cin pemuda itu."

"Mau apa?"

Hui Song tersenyum malu-malu. "Pertama... ehh, aku hendak bertanya mengapa dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... aku... aku hendak menagih janji karena dia berjanji akan memperkenalkan aku kepada enci-nya."

"Mata keranjang!"

"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetaplah janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di telaga itu? Aku mendengar penuturan Shan-tung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis yang diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan enci-nya Sui Cin, karena itu aku pun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama enci-nya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shan-tung Lo-kiam itu?"

Sui Cin mengangguk. "Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang sudah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku lalu mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah hendak ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat maka kami segera berkelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."

"Shan-tung Lo-kiam..."

"Kakek itu menyerang si gendut, kemudian mereka berkelahi. Aku yang telah tertotok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu dan aku dibawa menuju ke sebuah goa tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"

Hui Song mengepal tinju. "Keparat! Lalu bagaimana?"

"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walau pun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima tahun lebih. Pemuda itu melarang akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku segera menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkis dan ternyata dia sangat kuat..."

Hui Song terbelalak heran. "Nanti dulu, apakah pemuda itu wajahnya masih sangat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana dan tubuhnya tinggi tegap?"

"Benar, jubahnya kasar belang-belang dan agaknya dari kulit harimau..."

"Ahh, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"

"Apa?! Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"

"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena dia kalah tingkat."

"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan menghajar sute-nya sendiri?"

Hui Song termenung. "Entahlah, sungguh teka-teki yang membingungkan."

Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa terbiasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya, "Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"

"Berhasil dengan baik," katanya.

Dia pun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa pada saat yang ditentukan dia lalu menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan pula betapa yang muncul adalah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo beserta Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya, akan tetapi dia dan para pengawal istimewa mampu menanggulangi, bahkan dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam sudah hampir berhasil untuk mengalahkan mereka.

"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu hingga dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu dan kami tidak berhasil mencegah mereka meloloskan diri."

Sui Cin mendengarkan dengan rasa heran dan kagum. Tokoh muda yang menolongnya itu sungguh aneh sekali. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menentang kejahatan sute sendiri.

"Dan selanjutnya, apa yang akan kau lakukan, Song-ko?"

"Masih banyak pekerjaan yang ingin kulaksanakan, akan tetapi aku ingin melakukannya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."

"Baru saja aku terlepas dari bencana dan sekarang aku ingin pulang, sudah terlalu lama aku pergi meninggalkan ayah dan ibu."

"Ahhh, betapa ingin aku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang namanya semenjak kecil sudah kukenal! Akan tetapi tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu pula bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."

"Engkau bukan seorang pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"

"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa Jenderal Ciang juga terancam. Bila kita tidak membantu, padahal sumber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah akan merasa curiga dengan kebenaran berita itu. Apa lagi kalau di belakang para penjahat itu terdapat pembesar yang sangat berpengaruh dan berkuasa. Maka kita harus membongkar semua kejahatan itu dan menentang kelaliman, barulah tidak percuma kita belajar silat sejak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."

"Wah! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum.

"Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang-orang tua kita telah berjuang sebagai pendekar dan memperoleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula? Selain itu, bukankah di dalam lubuk hati kita sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"

Sui Cin mengibaskan tangan kirinya. "Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"

"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda jembel mau pun sebagai seorang gadis. Betapa pun juga, di antara kita masih terdapat ikatan yang sangat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan, dan engkau pun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-ling-pai."

"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"

"Kita masih saudara seperguruan, dan kita berdua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk menentang mereka. Setidaknya sampai urusan ini selesai kemudian aku akan menemanimu pulang ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan padaku untuk belajar kenal dengan mereka."

Sui Cin termenung. Bagaimana pun juga dia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tak enak juga kalau sekarang dia membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu.

Akhirnya dia mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu dapat digagalkan."

Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan perasaan girang. "Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita sejati!"

"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang lebih penting, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Untuk sementara ini Menteri Liang sudah dapat diselamatkan, dan dia tentu akan selalu dikawal ketat."

"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, maka penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah? Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"

"Engkau tentu tahu, urusan ini bukan sekedar kejahatan biasa melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat sekali. Aku telah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam amat membencinya. Kekuasaan Liu-thaikam harus ditumbangkan, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan semakin berani dan mungkin saja keselamatan kaisar sendiri kelak akan terancam oleh kejahatan Liu-thaikam dan antek-anteknya."

"Apa susahnya? Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habis perkara."

"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, thaikam itu kedudukannya tinggi sekali dan celakanya, kaisar sangat percaya kepadanya. Bahkan dia adalah orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan kemudian kita akan menghadapi mereka sehingga tak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu bisa membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu, lantas dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"

"Bagaimana rencana jenderal itu?"

"Diam-diam Ciang-goanswe telah memerintahkan salah seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Pao-fan agar merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan sesat mau pun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu sekaligus juga sebagai guru silat, tidak terlampau menyolok jika dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk datang menghadiri pestanya. Lantas disiarkan berita bahwa pesta itu dihadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, pada saat itu pula kita turun tangan menentang kemudian menangkap mereka, bersama dengan para pengawal yang secara diam-diam diselundupkan ke tempat itu."

"Bagus sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat. Sejak kecil gadis ini memang suka berkelahi, apa lagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, dia tidak pernah mengenal takut.

Sui Cin menunggang kudanya lagi, tetap memakai payung karena panas matahari masih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri-seri dan semangatnya berkobar. Sesudah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan dia pun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda jembel.


                 ***************

Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kawan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bekerja sebagai kepala piauwsu (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwsu, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini sangat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauwkiok yang dipimpinnya.

Sekarang usianya telah enam puluh tahun. Pada waktu dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberi tahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan berani turun tangan.

Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini langsung terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya tak akan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui?

Dengan cepat berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberitakan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu memberi kesempatan kepada semua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka.

Berita ini cukup bagi kaum sesat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu terhormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehormatan Ang-kauwsu.

Pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, semenjak pagi mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sulit untuk membedakan siapakah tamu-tamu dari golongan bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga pakaian dan sikap mereka aneh-aneh. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kalangan persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.

Walau pun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria. Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, dia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya.

Cin-ling-pai adalah nama yang telah terkenal sekali. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang bisa menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.

Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas akan tetapi cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap. Wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Apa bila rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjang rambut itu sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahan dara itu.

Pada saat Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana sudah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan....

DARA Cin-ling-pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu kelihatan lega karena memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan, belum tua benar. Dia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu.

Tidak jauh dari meja di mana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang duduk bercakap-cakap. Sukar dikatakan apakah mereka itu dari golongan bersih ataukah golongan sesat. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap mereka pun gagah.

Salah seorang di antara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi.

Akan tetapi, sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bahkan setiap kali ada tamu datang, terutama tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan hitam, mereka bertiga bicara sambil tertawa-tawa. Pandang mata mereka yang ditujukan kepada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu baru itu yang menjadi bahan tertawaan mereka.

Demikian pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik sambil melirik ke arah gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar sekali. Karena Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, gadis ini pun tidak peduli. Akan tetapi setelah dia duduk bersama tiga orang tamu dan kebetulan duduknya menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi mengerutkan alisnya.

Dia melihat betapa tiga orang itu, terutama dua orang yang termuda, selalu memandang padanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak lelaki yang hendak menggoda wanita. Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol.

Pada mulanya dia memang membuang muka saja dan tak mau balas memandang. Akan tetapi telinganya mulai bisa menangkap percakapan mereka itu di antara berisiknya suara para tamu lain. Maka marahlah gadis ini.

Tan Siang Wi adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai. Seperti sudah kita ketahui, Bin Biauw atau nyonya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas datuk sesat Tung-hai-sian, seorang bangsa Jepang. Sesudah dia berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, Tung-hai-sian mencuci tangan dan tidak lagi berkecimpung di dalam dunia sesat.

Puterinya, Bin Biauw, walau pun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang. Akan tetapi sesudah kini memiliki seorang murid, ternyata muridnya ini sedikit banyak sudah mewarisi watak Tung-hai-sian. Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walau pun dia selalu bertindak gagah dan menentang kejahatan.

Selain sudah mewarisi ilmu dari Bin Biauw, dia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu silat dari ketua Cin-ling-pai sendiri, maka dapatlah dibayangkan betapa lihainya Siang Wi. Kelihaiannya itu membuat dara ini semakin tinggi hati, terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berubah ganas kalau dia berurusan dengan kaum sesat dan sedikit pun dia tidak mau mengalah atau memberi hati.

Maka, baru selama satu dua tahun saja memasuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki orang Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena keganasannya terhadap musuh-musuhnya. Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa sukong-nya, yaitu Bin Mo To di Ceng-to, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid isteri ketua Cin-ling-pai, jadi dia adalah seorang pendekar, bukan orang sesat!

Ada kecondongan di dalam hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menonjolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin dianggap baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya dari pada baik. Hanya orang yang berkulit hitam saja yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat alangkah kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik.

Kita lupa bahwa justru keinginan-keinginan untuk dianggap lain dari pada kenyataan ini yang sering kali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar dengan kekotoran kita, maka kita harus berusaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya. Apa bila kita sadar bahwa kita bersih, maka kita harus menjaga agar kebersihan itu tak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan demikian itu justru akan menodai kebersihan itu sendiri.

Kenapa kita kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat kenyataan apa adanya, walau betapa buruk dan kotor sekali pun kenyataan itu? Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merubah keadaan itu!

"Ha-ha-ha!" Seorang di antara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue yang mulai dihidangkan. Kini wajah mereka mulai merah oleh arak. "Agaknya Cin-ling-pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina, heh-heh-heh!"

Kata-kata itu sebenarnya lebih berupa kelakar di antara mereka sendiri karena diucapkan perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, lalu ketiganya tertawa bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi.

Akan tetapi karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata itu sehingga marahlah gadis ini. Dia tak mampu lagi mengendalikan dirinya dan sekali melompat, dia sudah meloncati mejanya dan tahu-tahu, seperti seekor burung saja dia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!

"Kalian tadi bilang apa?!" bentaknya sambil berdiri dengan dua tangan bertolak pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka.



cerita silat online karya kho ping hoo


Tiga orang itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat mendengar ucapan yang menghina Cin-ling-pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam.

"Ehh, kami bilang apa? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" seorang di antara mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas piring.

"Bagus! Kalian menghina Cin-ling-pai dan masih berani bilang tidak ada sangkut-pautnya denganku? Biar pun Cin-ling-pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih gagah dari pada kalian ini banci-banci pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya!"

Para tamu yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget sehingga mereka pun menoleh dengan penuh perhatian dan wajah mereka tertarik sekali. Dalam pertemuan antara para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apa bila terjadi keributan dan perkelahian. Bahkan sebagian besar dari mereka mengharapkan terjadinya hal ini, karena dalam pertemuan para ahli persilatan, terasa kurang sedap dan kurang bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian.

Ketiga orang itu sesungguhnya bukan orang-orang sembarangan. Kakek yang berjenggot putih itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dengan julukan Huang-ho Lo-eng (Pendekar Tua Sungai Kuning) bernama Pui Tek. Ada pun dua orang laki-laki gagah yang duduk di sampingnya adalah dua orang muridnya, juga amat terkenal sebagai Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning).

Mereka bukan penjahat dalam arti kata mempunyai pekerjaan jahat seperti perampok atau bajak, akan tetapi karena orang-orang takut kepada mereka, maka dengan mudah mereka memperoleh hasil dari hadiah yang mereka terima dari para pedagang demi keselamatan dan keamanan. Mereka adalah semacam tukang-tukang pukul yang disegani.

Guru mereka, Huang-ho Lo-eng Pui Tek, dalam suatu perkelahian pernah dikalahkan oleh Cia Kong Liang ketua Cin-ling-pai. Walau pun bukan merupakan permusuhan pribadi dan tak ada dendam secara terbuka, akan tetapi kekalahan itu membuat Pui Tek mendongkol dan tidak suka terhadap Cin-ling-pai, menganggap ketua Cin-ling-pai yang memang keras wataknya itu terlalu sombong. Dengan sendirinya, kedua orang muridnya juga tidak suka kepada Cin-ling-pai, maka tidak heranlah kalau mereka tadi mengeluarkan kata-kata yang nadanya tak bersahabat terhadap Cin-ling-pai sehingga membuat Siang Wi menjadi amat marah.

Kini, di depan meja mereka berdiri seorang gadis Cin-ling-pai yang bertolak pinggang dan memaki mereka banci pengecut di hadapan begitu banyak orang. Tentu saja wajah ketiga orang itu menjadi merah sekali dan kemarahan mulai memenuhi hati mereka.

Akan tetapi, bagaimana pun juga mengingat akan julukan Pui Tek yang masih memakai Lo-eng (Pendekar Tua), dua orang harimau itu tentu saja lebih condong merasa bahwa diri mereka pendekar dari golongan bersih dari pada sebagai golongan hitam, maka ada rasa harga diri pada mereka yang membuat mereka merasa malu kalau harus ribut-ribut dan berkelahi melawan seorang gadis yang masih remaja, yang usianya tentu belum ada dua puluh tahun. Mereka adalah jagoan-jagoan di sepanjang Sungai Kuning, tentu sangat memalukan kalau harus berkelahi melawan seorang dara remaja. Akan tetapi didiamkan saja pun tidak mungkin setelah gadis itu memaki mereka sebagai banci pengecut.

"Bocah perempuan kurang ajar, makanlah ini!" Bentak orang yang menyumpit kue itu dan sekali tangan kanan yang memegang sumpit bergerak, kue sepotong yang disumpitnya itu meluncur ke arah muka Siang Wi dengan kecepatan kilat!

"Cappp...!"

Dara itu menggerakkan tangan kanan dan menjepit ke arah kue itu. Dengan tepat sekali telunjuk dan jari tengah tangan kanannya sudah menjepit kue itu dan dia melakukan ini sambil tersenyum mengejek.

"Makanlah sendiri!" Dara itu membentak dan tiba-tiba tangannya bergerak.

Kue itu segera meluncur cepat ke arah muka orang yang menyambit tadi. Orang itu cepat menggerakkan sumpit untuk menjepit kembali, akan tetapi begitu bertemu sumpit, kue itu hancur dan tentu saja hancuran kue itu menyambar dan mengenai muka orang itu.

Ternyata sebelum membalas dengan timpukan, Siang Wi sudah lebih dulu menggunakan tenaga jari tangan membikin kue itu remuk di bagian dalamnya. Hancuran kue menyerang mata, hidung dan mulut, membuat orang itu repot membersihkan wajahnya sambil terus memaki-maki!

Melihat saudaranya mendapat malu, orang kedua sudah bangkit dan membentak marah, "Bocah perempuan, berani kau menghina orang?"

Sekali kepalanya bergerak, rambut yang dikuncir tebal itu langsung menyambar ke depan, mengeluarkan suara bersuitan dan memukul ke arah leher Siang Wi. Sungguh merupakan serangan yang sangat aneh akan tetapi juga berbahaya karena thouw-cang (kuncir) yang digerakkan dengan tenaga sinkang ini tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata keras.

Orang itu sungguh terlalu memandang rendah pada Siang Wi maka dia berani selancang itu menyerang dengan kuncirnya. Kalau tidak begitu tentu dia tidak akan berani bergerak secara sembrono seperti itu.

"Wuuuuttt...!"

Kuncir itu meluncur lewat pada saat Siang Wi merendahkan tubuh mengelak dan begitu kuncir menyambar lewat, tangan kiri Siang Wi mencuat lantas tahu-tahu kuncir itu sudah dapat dicengkeramnya! Dengan sekali sentakan, terpaksa kepala orang itu tertunduk dan Siang Wi sudah mengangkat lutut untuk menghajar muka orang! Tentu sedikitnya hidung orang itu akan berdarah kalau saja saudaranya tidak segera menubruk dengan pukulan tangan ke arah punggung Siang Wi.

"Huh, pengecut curang!" bentak Siang Wi. Dia terpaksa harus melepaskan orang pertama dengan mendorongnya mundur, lalu sambil meloncat gadis itu membalik dan menangkis pukulan orang kedua.

"Dukkk!"

Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya, orang berjenggot itu menyeringai kesakitan lalu meloncat ke belakang. Tak disangkanya pertemuan lengan itu sudah membuat lengannya kesakitan dan seperti lumpuh saking kuatnya lengan kecil milik nona itu. Kini tahulah dua orang Harimau Sungai Kuning itu bahwa lawannya, biar pun wanita, biar pun masih muda sekali, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat.

Kini para tamu menjadi semakin gembira, dan tuan rumah, yaitu Ang-kauwsu yang juga melihat pertikaian itu diam saja karena dia pun ingin melihat kesudahannya. Guru silat ini juga mempunyai penyakit yang sama dengan orang-orang dari kalangan persilatan, yaitu suka melihat adu silat.

Pula, diam-diam dia pun merasa tidak senang melihat sikap para jagoan Huang-ho yang terkenal kasar dan banyak lagak itu tadi menghina utusan Cin-ling-pai. Dia mengharapkan jagoan-jagoan sombong itu menemui batunya walau pun hatinya khawatir melihat bahwa di situ terdapat pula Huang-ho Lo-eng yang dia tahu amat lihai sekali.

"Budak perempuan kurang ajar! Berani engkau menghina kami di tempat umum? Hayo cepat berlutut minta maaf apa bila tidak ingin menerima hajaran kami!" bentak seorang di antara dua jagoan yang mukanya terkena hancuran kue tadi.

Betapa pun juga, dia dan kawannya masih sungkan melawan seorang gadis, apa lagi kini mereka berdua sudah memegang senjata andalan mereka, yaitu sebatang tombak besar gagang panjang. Kalau dara itu mau minta maaf, berarti muka mereka telah tercuci, atau kalau dara itu tetap hendak melawan, berarti mereka sudah memberi kesempatan kepada wakil Cin-lin-pai itu untuk minta maaf.

Seorang seperti Siang Wi, mana mengenal minta maaf? Hatinya terlalu keras untuk mau mengalah, apa lagi terhadap orang-orang yang sudah berani menghinanya dan menghina Cin-ling-pai. Dia tersenyum mengejek lantas mukanya menjadi semakin dingin, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat.

"Dua monyet busuk, dengarlah baik-baik. Kalian yang telah menghina Cin-ling-pai dan jika kini kalian mau berlutut minta ampun, barulah nonamu akan mempertimbangkan apakah kalian dapat diampunkan. Kalau tidak, aku akan menghajar kalian!"

Kata-kata ini sungguh hebat sekali. Bukan hanya menantang terang-terangan di hadapan orang banyak itu, bahkan menghina. Mana bisa Huang-ho Siang-houw, dua jagoan itu mau menerima begitu saja?

"Bocah setan, engkau bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka lantas golok besar bergagang panjang itu menyambar dahsyat ke leher Siang Wi.

Tentu saja dara perkasa itu tidak sudi lehernya dibabat begitu saja. Dia cepat mengelak sambil membalikkan tubuh menendang meja di depannya. Kakek Huang-ho Lo-eng yang duduk di belakang meja itu cepat menghindar dengan lompatan gesit ke kanan sehingga dia tidak sampai terkena tumpahan makanan dan arak.

Akan tetapi dia bukan hanya melompat begitu saja, melainkan cepat meraih dan dia telah berhasil menangkap kaki meja lalu menaruh meja itu di samping. Gerakan ini saja sudah membuktikan kecepatan dan kelihaian jago tua ini.

Kini terdapat ruang agak luas bagi Siang Wi yang menghadapi dua orang lawannya. Dua orang harimau itu mulai menyerang dengan golok gagang panjang mereka. Semua orang memandang dengan hati tegang dan juga agak khawatir karena Siang Wi tetap tidak mau mempergunakan pedangnya.

Dara ini tadi memang meloloskan sepasang pedangnya, akan tetapi bukan dicabut untuk melawan, melainkan dia letakkan di atas mejanya sendiri agar sepasang senjata itu tidak mengganggu gerakannya, kemudian dia kembali ke hadapan dua orang lawannya, hanya melawan dengan tangan kosong saja.

"Anak itu terlalu sembrono!"

"Terlalu sombong bisa merugikannya."

"Tapi dia kelihatan lihai sekali."

Demikianlah para penonton saling berbisik melihat betapa dara itu menghadapi Huang-ho Siang-houw hanya dengan tangan kosong, padahal kedua orang lawan itu menggunakan senjata tajam yang bergagang panjang. Dua orang jagoan itu sendiri merasa sangat kikuk dan sungkan.

"Bocah gila, hayo pergunakan pedangmu!" bentak mereka.

"Melawan dua ekor monyet tua macam kalian tidak perlu pakai pedang!" jawab Siang Wi yang memang tinggi hati.

Dua orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan hati mereka. Keduanya lalu menyerang dengan golok mereka. Senjata itu mengeluarkan suara bercuitan dan berdesing-desing, lalu membentuk dua gulungan sinar lebar yang menyambar-nyambar.

Tetapi para tamu menjadi bengong ketika mereka melihat betapa dara itu menggerakkan tubuhnya dan seperti seekor burung walet saja gesitnya beterbangan di antara sambaran kedua golok itu! Bukan main indahnya gerakan dara itu dan tak terasa lagi keluar pujian dari mulut para tamu yang ilmunya sudah tinggi.

Hui Song dan Sui Cin baru saja menyelinap ke dalam rombongan tamu, memilih tempat di sudut. Mereka mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau karena terjadi perkelahian itu, di mana semua tamu mencurahkan pandang mata dan perhatiannya ke arah perkelahian. Mereka lalu menyelinap masuk dan tanpa menemui tuan rumah mereka telah mengambil tempat duduk di sudut yang agak tersembunyi oleh salah satu di antara tiang-tiang penyangga bangunan darurat itu. Mereka juga tertarik dan menonton ke arah perkelahian.

"Hemm, berani benar gadis itu menghadapi keroyokan dua orang lawan yang bersenjata panjang dengan tangan kosong saja." Sui Cin berkata sesudah melihat dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa dua orang bersenjata golok panjang itu tak boleh dipandang ringan.

"Sumoi tak akan kalah," kata Hui Song lirih dan Sui Cin terkejut.

"Sumoi-mu...?"

Dia memandang lebih teliti dan kini dia pun bisa mengenal gerakan kaki dan tangan gadis itu, walau pun kadang-kadang gerakan itu berubah aneh. Masih ada dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai dalam gerakan silat gadis itu, akan tetapi sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang tidak dikenalnya.

Memang demikianlah. Sesudah menikah dengan Cia Kong Liang, Bin Biauw memperoleh banyak petunjuk dari suaminya dan dia pun mempelajari dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai yang kokoh kuat. Maka, ketika dia melatih Siang Wi, tentu saja dasar-dasar ilmu silat dari Cin-ling-pai juga diajarkan, bahkan Siang Wi juga telah menerima gemblengan dari ketua Cin-ling-pai sendiri.

"Ya, namanya Tan Siang Wi," jawab Hui Song sederhana.

Hui Song tidak merasa girang bertemu dengan sumoi-nya. Pemuda ini tahu benar bahwa sumoi-nya itu sudah sejak lama sekali menaruh perhatian kepadanya. Di dalam sikap dan gerak-gerik gadis yang pendiam itu terdapat tanda-tanda bahwa Siang Wi mencintanya. Hal inilah yang membuat dia merasa tidak enak kalau bertemu dengan sumoi-nya.

Dia pun menyayang sumoi-nya ini, akan tetapi sumoi-nya berwatak keras, terlalu berani dan agak angkuh. Tetapi dia tidak mencinta sumoi-nya, maka merasa semakin tidak enak setelah tahu bahwa sumoi-nya itu jatuh cinta kepadanya.

"Hemm, dia cantik dan gagah!" Sui Cin memuji. Memang gadis itu manis sekali, terutama pinggangnya amat ramping.

"Ya, tapi keras hati dan galak sekali."

Sui Cin menahan senyum sambil mengerling ke arah wajah pemuda itu, akan tetapi Hui Song tidak sedang bergurau melainkan memandang ke arah perkelahian dengan wajah serius dan hati tegang. Bagaimana pun juga, memang Sui Cin benar. Terlalu sembrono menghadapi dua lawan tangguh yang bersenjata panjang itu dengan tangan kosong.

"Haaaiiiittt...!" Tiba-tiba Siang Wi memekik, tangan kanan memukul gagang tombak lawan yang menyerang dari kanan sedangkan kaki kiri mendahului lawan kedua, menendang ke arah dada.

"Bukk...! Plakkk!"

Lawan pertama terpental goloknya sedangkan lawan kedua tak mampu menghindar lagi. Serangan atau gerakan Siang Wi memang sangat hebat, laksana seekor burung rajawali mementang sayap, kedua lengannya berkembang dan kaki kirinya menendang ke depan selagi tubuhnya masih melayang. Orang yang kena tendang dadanya itu terbanting roboh dan sebelum orang kedua hilang kagetnya, kaki kanan menggantikan kaki kiri yang turun untuk menyambar ke depan.

"Desss...!" Orang kedua juga terbanting karena perutnya dicium ujung sepatu Siang Wi.

Dua orang itu meringis kesakitan dan merayap bangun, sementara itu Huang-ho Lo-eng yang melihat betapa dua orang muridnya dirobohkan oleh seorang gadis muda, mukanya berubah merah sekali. Dia sudah bangkit berdiri, lantas mengebutkan ujung jubahnya dan melangkah maju menghampiri Siang Wi. Akan tetapi sebelum guru beserta kedua orang muridnya ini sempat bicara atau bergerak, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang segera menghadapi tiga orang itu sambil menjura.

"Sam-wi-eng-hiong, saya mewakili tuan rumah menyampaikan permohonan maaf, harap sam-wi suka menyudahi urusan ini sampai di sini agar tidak mengganggu jalannya pesta." Kemudian pemuda itu membalik dan menghadapi Siang Wi sambil menjura pula, "Nona, harap suka mundur dan mengakhiri keributan ini." Dan tanpa setahu orang, pemuda itu berkedip.

Sejenak Siang Wi terbelalak. Tentu saja dia mengenal suheng-nya! Akan tetapi sebeium dia menegur, Hui Song telah mengedipkan mata. Siang Wi yang cukup cerdik itu maklum bahwa suheng-nya tidak ingin dikenal orang. Maka dia pun mengangguk dan kembali ke mejanya, menggantung kembali siang-kiamnya di punggung lalu duduk tenang, bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Tentu saja Huang-ho Lo-eng masih penasaran. Dua orang muridnya dirobohkan seorang anak perempuan di tempat pesta yang ramai, hal ini sungguh amat menyakitkan hati dan menjatuhkan martabat serta nama besarnya, maka dia harus turun tangan membersihkan noda itu. Akan tetapi kini muncul pemuda yang mewakili tuan rumah minta agar keributan jangan dilanjutkan. Selagi kakek ini merasa serba salah, tiba-tiba terdengar seruan di luar.

"Paduka Jenderal Ciang telah tiba...!"

Mendengar seruan ini, semua orang menengok keluar dan Ang-kauwsu sendiri bersama beberapa orang penyambut bergegas lari keluar untuk menyambut datangnya tamu agung ini. Seorang jenderal adalah seorang perwira yang berpangkat tinggi, apa lagi datang dari kota raja, maka tentu saja merupakan seorang tamu agung yang paling terhormat.

Hui Song dan Sui Cin sudah duduk lagi dan mereka berdua memandang dengan penuh kewaspadaan. Seperti telah mereka rencanakan pada waktu keduanya pergi menghadap Jenderal Ciang, mereka berdua bersama belasan orang pengawal pilihan menyelundup ke tempat pesta dan akan berjaga-jaga kalau-kalau ada orang melakukan serangan gelap.

Sementara itu, sang jenderal sendiri datang dikawal enam orang pengawal pilihan yang dipercayanya. Agaknya belum puas dengan semua ini, Jenderal Ciang juga mengenakan lapisan baja di balik baju kebesarannya sehingga tubuhnya akan kebal terhadap serangan senjata tajam.

Tibalah saat yang sudah dinanti-nantikan banyak orang ini! Tentu saja terjadi ketegangan hebat di dalam dada mereka yang memiliki kepentingan dengan kedatangan jenderal ini. Seperti telah mereka sepakati, Sui Cin memasang mata memandang ke kiri dan Hui Song ke kanan, siap untuk turun tangan kalau melihat orang yang hendak melakukan serangan gelap kepada jenderal itu.

Tadi pun mereka sudah memasang mata mencari-cari, akan tetapi mereka tidak melihat adanya tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang mereka kenal, biar pun mereka sudah melihat ada beberapa orang dari Hwa-i Kai-pang yang sedang menyelinap dalam pakaian biasa atau menyamar sebagai orang biasa, bukan sebagai pengemis. Mereka merasa yakin bahwa di antara banyak tamu itu terdapat tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai.

Akan tetapi tidak terjadi sesuatu ketika jenderal itu datang sampai diantar oleh tuan rumah menuju ke kursi kehormatan di panggung yang agak tinggi. Sementara itu, Siang Wi yang tadi memandang ke arah suheng-nya, merasa heran dan alisnya segera berkerut ketika dia melihat suheng-nya berbisik-bisik dengan seorang gadis yang cantik jelita!

Mereka berbisik-bisik demikian akrabnya dan perasaan tidak senang memenuhi hati gadis yang jatuh cinta ini. Perasaan cemburu membakar dadanya dan biar pun tadi dia mengerti akan isyarat suheng-nya maka dia pun berdiam diri, kini perasaan cemburu membuat dia cepat bangkit berdiri, meninggalkan teman-teman semeja dan langsung saja menghampiri Hui Song dan Sui Cin yang duduk di sudut, di belakang sebuah tiang.

"Suheng, siapakah dia ini?" tanyanya sambil menuding ke arah muka Sui Cin dengan alis berkerut, mulut cemberut dan mata menantang.

"Sstttt... diamlah, sumoi..." Hui Song berbisik kaget, lalu cepat menarik tangan sumoi-nya sehingga gadis itu terduduk di kursi kosong di dekatnya. "Kau ikut menjaga keselamatan jenderal itu, jangan banyak tanya..."

"Tapi... tapi siapa perempuan ini...?" Siang Wi masih berbisik dan matanya mengerling ke arah Sui Cin dengan wajah membayangkan ketidak puasan.

"Diam kau, cerewet!" Sui Cin balas menghardik dengan suara berbisik.

Siang Wi terkejut setengah mati dan mukanya menjadi pucat lalu merah laksana dibakar. Hatinya panas mendengar ada orang berani bersikap seperti itu, menghardiknya dengan kasar. Tentu saja dia hendak membalas akan tetapi pada saat itu pula terdengar ledakan-ledakan keras dan api pun mulai berkobar!

"Kebakaran! Kebakaran...!"

Para tamu menjadi panik. Semua orang bangkit berdiri, ada yang mulai lari ke sana-sini, berdesak-desakan dan keadaan menjadi semakin kacau-balau setelah terjadi perkelahian di sana-sini.

Sui Cin dan Hui Song sudah melompat ke tengah, mendekati Jenderal Ciang. Ternyata para pengawal sudah mulai berkelahi melawan beberapa orang di antara para tamu dan kini dari luar bermunculan tokoh-tokoh Cap-sha-kui! Sui Cin mengenal Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Tho-tee-kwi.

Tadi mereka ini menerjang maju bagaikan berlomba hendak membunuh Jenderal Ciang. Akan tetapi para pengawal, baik yang enam orang mau pun belasan orang lainnya yang menyamar, segera menyambut mereka. Betapa pun juga, saking lihainya para penyerang, masih ada senjata rahasia menyambar hingga mengenai dada sang jenderal, akan tetapi karena pembesar itu memakai perisai di balik bajunya, senjata itu mental kembali.

Sebelum para penyerang yang jumlahnya ada dua puluh orang itu dapat mengepung sang jenderal, Hui Song, Sui Cin dan diikuti pula oleh Siang Wi sudah tiba di situ. Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong mengamuk melindungi Jenderal Ciang yang juga sudah mencabut pedang panjangnya.

"Goanswe, mari kita keluar!" Hui Song berteriak sambil menggandeng tangan jenderal itu dengan tangan kirinya. "Sui Cin, engkau jaga di sebelah kirinya." Dara itu pun menggamit tangan kiri jenderal itu dengan tangan kanannya.

"Sumoi, kau lindungi kami keluar!" teriak pula Hui Song kepada sumoi-nya.

Siang Wi tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun dengan patuh dia mentaati perintah suheng-nya. Dia cepat mencabut sepasang pedangnya, lantas melindungi mereka berdua yang berusaha untuk membawa Jenderal Ciang keluar dari tempat itu.

Akan tetapi, Huang-ho Lo-eng sudah meloncat dan menghadapi Siang Wi. "Hemm, bocah sombong, sekarang tibalah saatnya aku membalas kekalahan dua muridku!" katanya dan kakek ini menerjang ke depan.

Melihat hal ini, Hui Song menjadi marah. Kakek ini tidak peduli akan keributan dan hanya mengingat keperluan sendiri saja, keperluan dendam! Demikian pula Sui Cin juga marah melihat lagak kakek ini. Mereka berdua seperti telah bersepakat saja, tiba-tiba menerjang maju dan menampar ke arah Huang-ho Lo-eng. Kakek itu kaget sekali ketika merasa ada angin menyambar dari kanan kiri, maklum bahwa dia sedang diserang oleh dua orang secara hebat sekali.

"Uhhhhh...!" Dia mengerahkan tenaga ke dalam dua lengannya lantas menangkis sambil mendorong.

"Dessss...!"

Akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang dan menimpa meja kursi. Dia memandang dengan bengong, melongo melihat bahwa yang merobohkan dia tadi adalah seorang pemuda dan seorang gadis lain yang kini kembali menggamit Jenderal Ciang untuk keluar, dilindungi oleh Siang Wi yang memutar sepasang pedangnya.

Beberapa orang penjahat, agaknya anggota Hek-i Kai-pang karena di antaranya terdapat Bhe Hok si gendut, hendak mencegah Hui Song membawa jenderal itu keluar. Siang Wi menyerang mereka dan dara ini pun segera dikeroyok.

Maklum akan besarnya bahaya bagi sang jenderal apa bila tidak cepat-cepat ke luar, Hui Song dan Sui Cin cepat menarik tangan jenderal itu menyelinap di antara banyak orang, menangkis semua serangan hingga akhirnya mereka pun berhasil keluar. Sesudah tiba di luar, Jenderal Ciang mengeluarkan terompet kemudian ditiupnya terompet itu berkali-kali. Bagaikan datangnya air bah, bermunculanlah barisan pendam yang memang sudah sejak tadi dipasang oleh jenderal yang berpengalaman itu di sekeliling tempat itu dan tempat itu pun sudah terkurung rapat!

Jenderal Ciang dengan dikawal oleh Hui Song dan Sui Cin, kini berdiri di atas batu besar, berteriak dengan suara lantang, "Hentikan semua perkelahian di dalam! Semua penyerbu agar menyerah!"

Akan tetapi, para penjahat yang tadi menyerbu dan hendak membunuh jenderal itu, malah semakin mengamuk karena mereka merasa penasaran sekali bahwa rencana yang sudah mereka atur dengan rapi itu menemui kegagalan. Oleh karena tempat itu penuh dengan orang-orang dari dunia persilatan, maka begitu terjadi pertempuran, orang-orang itu pun banyak pula yang terseret dan berkelahi sendiri!

Tentu saja orang-orang dari golongan sesat membantu rekan-rekan mereka tanpa mereka ketahui sebab-sebab perkelahian itu, dan orang-orang yang merasa dirinya pendekar atau yang menentang kaum sesat segera pula melawan mereka. Hal ini membuat tokoh-tokoh lihai seperti rombongan Cap-sha-kui itu mendapat banyak kesempatan untuk merobohkan dan membunuh orang.

"Kalian telah dikepung ratusan orang pasukan! Kalau tidak mau menyerah dan melempar senjata, maka akan diambil tindakan kekerasan!" Kembali terdengar suara jenderal itu.

Ketika para tokoh sesat yang mengamuk di dalam itu tak mau juga mentaati perintahnya, Jenderal Ciang kemudian mengeluarkan aba-aba memerintahkan pasukannya menyerbu ke dalam. Hui Song, Sui Cin, dan Siang Wi juga ikut menyerbu bersama pasukan karena Hui Song ingin menangkap hidup-hidup beberapa orang tokoh sesat untuk dijadikan saksi tentang pengkhianatan Liu Kim atau Liu-thaikam.

Ketika para prajurit menyerbu, suasana menjadi semakin kacau dan geger. Pada saat itu pula terdengar suara melengking panjang dari luar tempat pesta yang berubah menjadi tempat pertempuran itu. Suara lengkingan panjang dari luar ini disusul dengan ledakan-ledakan benda yang dilempar dari luar. Begitu meledak, benda-benda yang dilempar dari luar itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sehingga suasana menjadi semakin kacau.

"Cepat loloskan diri dari atas...!" Terdengar teriakan suara yang nyaring, mengatasi suara kegaduhan itu. Mendengar seruan ini, enam orang tokoh Cap-sha-kui berloncatan naik ke atas atap yang sudah dibuka dari atas.

Hui Song, Sui Cin serta Siang Wi melihat pula hal ini dan melihat bahwa di atas berdiri bayangan dua orang, seorang kakek tinggi kurus bertongkat dan seorang pemuda tinggi tegap. Pemuda itulah yang membantu enam orang Cap-sha-kui lolos dengan menyambar tangan mereka dan menariknya ke atas setelah mereka itu berloncatan dan hampir tidak mencapai tempat yang amat tinggi itu. Apa lagi atap itu adalah atap darurat yang terbuat dari bambu sehingga tidak begitu kuat dan ada bahayanya mereka akan terjeblos lagi ke bawah. Untung ada pemuda itu yang menyambut mereka dan menarik mereka keluar.

"Kejar...!" Hui Song yang merasa sangat penasaran itu lalu berlompatan keluar diiringkan sumoi-nya dan Sui Cin dan dari luar mereka lalu berloncatan naik ke atas atap. Hui Song tidak begitu bodoh untuk menyusul naik dari lubang atap itu selagi musuh-musuh yang lihai itu berada di luar lubang karena tentu mereka itu akan mudah menyambutnya dengan serangan berbahaya.

Pada saat ketiga orang muda perkasa itu sampai di atas atap, sebagian dari tokoh-tokoh Cap-sha-kui berloncatan ke atas genteng rumah-rumah lainnya, ada pun di atas atap itu masih terdapat kekek kurus, pemuda itu dan Kiu-bwe Coa-li bersama ketua Kui-san-kok dan isterinya.

"Penjahat-penjahat keji, kalian hendak lari ke mana?" Hui Song membentak dan segera menyerang ke arah pemuda tinggi tegap itu.

"Kau...?! Kau seorang tokoh sesat...?" Sui Cin juga berseru ketika dia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang dulu pernah menyelamatkannya dari mala petaka saat dia akan diperkosa oleh Sim Thian Bu. Akan tetapi dia hanya meloncat mendekat dan tidak berani menyerang seperti yang dilakukan Hui Song.

Sementara itu Siang Wi juga sudah kembali mencabut sepasang pedangnya dan segera menyerang Kiu-bwe Coa-li.

"Singgg...! Singgg...! Tarrrrr...!" Sepasang pedang yang menyambar-nyambar itu tertahan oleh ledakan pecut ekor sembilan di tangan nenek ular yang lihai itu.

Sementara itu, pemuda yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang, menyambut serangan Hui Song dengan tenang, menangkisnya dari samping.

"Dukkkk!" Tangkisan itu tepat menyambut pukulan Hui Song dan akibatnya, dua pemuda itu terjeblos ke dalam atap yang menjadi jebol di bawah kaki mereka!

Hui Song kaget bukan kepalang dan cepat melempar tubuh ke belakang lantas berjungkir balik beberapa kali baru dia dapat mencegah tubuhnya tidak terjatuh ke bawah, ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran. Dan ketika Siangkoan Ci Kang terjeblos lalu tubuhnya jatuh ke bawah, tiba-tiba saja kakek tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya dan tongkat itu dapat mengait kaki pemuda itu lantas menempelnya sehingga pemuda itu terhindar dari jatuh ke bawah.

Bukan main cepatnya gerakan kakek tinggi kurus itu ketika tiba-tiba dia menggerakkan tongkat lagi. Tongkatnya menyelonong di antara Kiu-bwe Coa-li dan Siang Wi dan ketika sebatang pedang di tangan kiri Siang Wi bertemu tongkat, gadis ini berteriak kaget karena ada getaran hebat yang membuat tangannya hampir saja melepaskan pedang. Terpaksa dia pun melangkah mundur dan kesempatan ini digunakan oleh kakek itu untuk berseru,

"Kita pergi!"

Hui Song menahan napas. Dia tidak mau mengejar pada saat melihat kakek tinggi kurus, pemuda perkasa, Kiu-bwe Coa-li dan sepasang suami isteri Kui-san-kok itu berloncatan pergi. Dia tahu alangkah lihainya mereka itu, terutama pemuda dan kakek tinggi kurus. Mereka berdua itu dan ditambah tiga orang tokoh Cap-sha-kui sungguh merupakan lawan yang terlalu berat bagi dia, Sui Cin dan Siang Wi.

Juga Sui Cin diam saja karena dia masih tertegun melihat betapa pemuda yang pernah menyelamatkannya itu kiranya merupakan seorang tokoh sesat dan agaknya tepat seperti yang pernah diceritakan Hui Song kepadanya. Kakek tinggi kurus yang matanya terbuka tanpa berkedip itu tentulah yang bernama Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta dan pemuda itu tentulah puteranya.

Akan tetapi Siang Wi yang sudah hilang kagetnya, melihat mereka melarikan diri, segera berseru, "Iblis-iblis busuk, kalian hendak lari ke mana?" Dia pun meloncat ke depan untuk melakukan pengejaran.

"Sumoi, jangan dikejar...!" Hui Song berseru sambil meloncat ke depan untuk mencegah sumoi-nya.

Mendengar suara suheng-nya yang setengah membentak, Siang Wi merasa terkejut dan segera menahan kakinya. Pada saat itu pula, serombongan prajurit yang berada di bawah melepaskan anak panah ke arah para penjahat yang melarikan diri. Akan tetapi, mereka itu hanya mengebutkan tangan dan semua anak panah runtuh ke bawah!

Sebentar saja, para penjahat itu sudah berhasil meloloskan diri. Dengan bantuan pemuda itu bersama ayahnya yang buta, kembali enam orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos dari kepungan pasukan yang amat kuat!

Hui Song merasa kecewa, akan tetapi dia teringat bahwa di bawah masih terdapat banyak penjahat, terutama orang-orang Hwa-i Kai-pang yang menyamar. Mereka pun dapat juga dijadikan saksi, pikirnya, maka dia lalu mengajak Sui Cin dan Siang Wi untuk kembali ke dalam ruangan di mana masih terjadi pertempuran hebat.....

Akan tetapi tanpa adanya para tokoh Cap-sha-kui di situ, akhirnya para penjahat itu dapat dirobohkan kemudian ditangkap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi masing-masing berhasil menangkap seorang penjahat anggota Hwa-i Kai-pang, bahkan Hui Song menotok roboh Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang gendut yang bertongkat dan cukup lihai itu. Sui Cin juga menampar seorang anggota Hwa-i Kai-pang sehingga roboh pingsan sementara Siang Wi yang berpedang itu merobohkan seorang tokoh sesat dengan membacok pahanya hingga hampir buntung.

Jenderal Ciang memerintahkan supaya semua tawanan itu dikumpulkan untuk dibawa ke kota raja. Gerobak-gerobak tawanan dipersiapkan dan semua tawanan, kecuali Bhe Hok si gendut, dijebloskan ke dalam gerobak-gerobak kerangkeng dengan kaki tangan mereka dibelenggu.

Hui Song sudah menemui Jenderal Ciang dan minta supaya tawanan yang satu ini tidak dimasukkan gerobak kerangkeng, melainkan hendak dikawalnya sendiri ke kota raja. Usul ini timbul di dalam hati Hui Song ketika membayangkan kemungkinan tokoh sesat akan berusaha membebaskan para tawanan. Padahal, para tawanan itu merupakan saksi-saksi penting sekali, terutama Bhe Hok yang tahu tentang semua persekutuan busuk di istana, seperti yang pernah dia dengar bersama Sui Cin ketika di gedung Hwa-i Kai-pang sedang diadakan pertemuan dan percakapan di antara para tokohnya, termasuk Bhe Hok itu.

"Sumoi, kalau engkau lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san, tolong beri tahukan ayah bahwa sesudah selesai urusan di kota raja, aku akan pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, baru akan pulang ke Cin-ling-san." Hui Song berkata kepada sumoi-nya.

Wajah yang manis itu tampak semakin keruh dan matanya mengerling ke arah Sui Cin. Ia belum tahu siapa adanya dara yang bersama suheng-nya ini, akan tetapi dari pertempuran tadi ia melihat bahwa Sui Cin adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.

"Akan tetapi, aku..." Ia merasa sungkan dan malu untuk menyatakan keinginannya agar dapat selalu bersama suheng-nya.

"Engkau pergilah lebih dulu dan aku akan menyelesaikan tugas kami berdua yang sudah melibatkan diri kami sejak lama."

Kembali Siang Wi memandang kepada Sui Cin dengan alis berkerut. Hui Song sangat mengenal watak sumoi-nya maka dia kini tahu pula betapa hati sumoi-nya tidak senang karena dia melakukan perjalanan berdua dengan seorang gadis lain.

"Sumoi, engkau belum berkenalan. Nona ini adalah nona Ceng Sui Cin, yaitu puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin."

Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi lalu menyipit kembali dan dua alisnya berkerut lebih dalam, wajahnya dibayangi kekhawatiran yang lebih besar. Kiranya dara cantik yang lihai sekali ini adalah puteri pendekar yang namanya sudah amat dikenalnya itu. Sungguh merupakan saingan yang sangat kuat! Akan tetapi, sebagai murid isteri ketua Cin-ling-pai dia pun cukup tahu akan peraturan, maka cepat dia menjura ke arah Sui Cin.

"Ternyata enci adalah puteri Ceng-locianpwe yang terkenal itu. Maaf kalau aku bersikap kurang hormat karena tadi belum mengenalmu."

Sui Cin tertawa geli dan mengibaskan tangannya. "Wah, sudahlah, di antara kita tak perlu banyak memakai sungkan-sungkan lagi."

Hui Song juga tersenyum, lega melihat sikap Siang Wi yang menghormat dan geli melihat sikap wajar Sui Cin. Dia pun lalu tertawa. "Sumoi, nona Ceng ini baru berusia enam belas tahun, jadi, sebaiknya kalau engkau menyebutnya adik, bukan enci."

Setelah berpamit dari sumoi-nya dan juga dari Jenderal Ciang yang sibuk sekali mengatur sendiri pasukannya untuk membawa para tawanan, Hui Song lalu mengajak Sui Cin pergi sambil menggiring si gendut Bhe Hok, pergi ke kota raja melalui jalan memotong. Sui Cin tetap menunggang kudanya, Bhe Hok berjalan di belakang kuda dan Hui Song berjalan di belakangnya.

Sui Cin dan Hui Song tidak merasa khawatir kalau-kalau tawanan itu akan lari atau akan memberontak karena Hui Song sudah monotok jalan darah pada kedua pundaknya yang membuat kedua lengan si gendut itu tak dapat digerakkan lagi, hanya tergantung lumpuh di kanan kiri tubuhnya.


                    ***************


 Begitu mereka tiba di kota raja dengan selamat, Hui Song dan Sui Cin membawa tawanan itu ke markas Jenderal Ciang. Para perwira di markas itu telah mengenal Hui Song, maka mereka menyambut pemuda itu dan dengan gembira mendengarkan penuturan Hui Song tentang peristiwa pertempuran di rumah Ang-kauwsu.

Si gendut Bhe Hok dimasukkan ke dalam kamar tahanan dan dijaga dengan ketat. Sesuai dengan permintaan Hui Song, si gendut yang menjadi tawanan penting ini diperlakukan dengan baik. Hui Song sendiri mengancam bahwa kalau si gendut ini tidak mau membuat pengakuan di depan kaisar nanti apa bila dibutuhkan, maka dia akan disiksa.

"Terutama engkau akan dibiarkan kelaparan sampai satu bulan lamanya. Akan tetapi jika engkau mengaku, aku akan mintakan ampun untukmu, dan engkau akan mendapatkan makanan enak, bahkan mungkin juga dibebaskan."

Tak ada siksaan lain yang lebih menakutkan bagi si gendut Bhe Hok dari pada kelaparan! Baginya, makan enak sekenyangnya merupakan kenikmatan nomor satu di dunia ini, dan tanpa itu, hidup tidak ada artinya lagi. Maka, mendengar ancaman Hui Song itu, dia sudah mengangguk-angguk seperti burung kakak tua diberi hidangan.

Kemudian, tepat seperti yang sudah dikhawatirkan Hui Song, datang berita mengagetkan bahwa pada senja hari itu pasukan Jenderal Ciang yang membawa rombongan tawanan menuju ke kota raja, di tengah perjalanan sudah dihadang dan diserang oleh gerombolan penjahat, dan sebagian besar para tawanan dapat dibebaskan oleh para penyerang, ada pun yang tidak dapat dibebaskan, telah kedapatan mati di dalam gerobak masing-masing! Tidak ada sisa seorang pun!

Ternyata para penjahat yang lihai itu telah membunuh teman-teman sendiri yang tertawan, tentu saja dengan maksud agar tawanan-tawanan itu tidak sampai membocorkan rahasia. Rahasia besar bahwa Liu-thaikam yang berada di balik semua kejahatan ini!

Begitu memasuki benteng dengan wajah muram, Jenderal Ciang lalu menemui Hui Song dan hatinya menjadi sangat lega mendengar bahwa Bhe Hok, satu-satunya tawanan yang tersisa, kini sudah aman berada di dalam kamar tahanan.

"Harus dijaga keras agar dia jangan sampai mendengar bahwa tidak ada tawanan lainnya kecuali dia, bahwa dialah satu-satunya saksi di depan sri baginda kaisar," kata jenderal itu kepada Hui Song. "Bila dia mendengar tentang nasib para tawanan yang tidak sempat dibebaskan, tentu dia akan ketakutan dan tidak mau mengaku."

Hui Song lalu mendatangi Bhe Hok. Dengan sikap tenang dan wajar dia pun menanyakan bagaimana perlakuan para penjaga tahanan terhadap dirinya. "Engkau adalah tawananku, karena itu akulah yang akan bertanggung jawab atas dirimu. Tawanan-tawanan lain yang ditawan oleh pasukan dipisahkan, namun keadaan mereka tidaklah begitu menyenangkan dibandingkan dengan keadaanmu."

"Apakah... apakah Hwa-i Lo-eng juga... ikut tertangkap?" Bhe Hok bertanya dengan penuh keinginan tahu.

Hui Song telah mendengar berita mengejutkan lainnya, yaitu bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu ternyata sudah kedapatan tewas di dalam gedung perkumpulan itu, tidak lama setelah rombongan Jenderal Ciang tiba. Dan dia tahu apa artinya itu. Agaknya para tokoh jahat, tentu saja atas perintah Liu-thaikam, telah melakukan persiapan supaya rahasianya tidak terbuka, dengan jalan membunuhi semua tawanan, dan ketua Hwa-i Kai-pang juga harus dibunuh agar pemerintah tidak akan menangkap dan memaksanya mengaku!

"Dia? Tentu saja dia pun ditangkap sebab anak buahnya banyak yang terlibat. Akan tetapi pemeriksaan akan dilakukan secara terpisah dan satu demi satu. Maka engkau tak perlu khawatir, mengakulah saja seperti apa adanya. Jika engkau menyesali pengkhianatanmu dan mengaku terus terang tentang persekongkolan di bawah pimpinan Liu-thaikam, tentu engkau akan mendapat keringanan."

"Apa? Apa... Liu-thaikam...? Aku tidak... tidak mengerti..."

Hui Song tersenyum. "Ahh, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Kami sudah mendengar semua mengenai persekutuan itu, tentang bagaimana Hwa-i Kai-pang dipergunakan oleh Liu-thaikam, juga tentang Cap-sha-kui sudah menjadi antek-antek pembesar itu di bawah pimpinan seorang datuk yang bernama Siangkoan Lo-jin berjuluk Iblis Buta. Kami sudah tahu semua, dan engkau hanya tinggal membuat pengakuan sejujurnya saja. Ingat, kalau engkau membohong dan tidak mau mengaku, kami pun sudah mengetahui persoalannya dan akibatnya engkau akan disiksa."

Bhe Hok mengangguk-angguk meyakinkan sehingga legalah hati Hui Song. Pengakuan si gendut ini di depan sri baginda kaisar berarti berhasilnya tugas membongkar persekutuan jahat di dalam istana yang dikepalai oleh Liu-thaikam.

Sementara itu, Jenderal Ciang segera mengadakan hubungan dengan dua orang menteri lain yang pandai dan termasuk sebagai menteri-menteri setia yang juga dianggap sebagai saingan sehingga ditentang oleh Liu-thaikam. Mereka adalah Menteri Ting Hoo dan Cang Ku Ceng.

Di dalam sejarah tercatat bahwa kedua orang menteri ini kelak akan menjadi pembantu-pembantu yang sangat setia dan pandai dari Kaisar Cia Ceng pengganti Kaisar Ceng Tek. Jenderal Ciang mengadakan perundingan dengan dua orang menteri ini, kemudian pada keesokan harinya, berkat usaha dari kedua orang menteri ini, sri baginda kaisar berkenan menerima Jenderal Ciang yang diikuti pula oleh Menteri Liang serta kedua orang menteri Ting dan Cang itu.

Tentu saja sri baginda kaisar menjadi terkejut sekali ketika mendengar laporan Jenderal Ciang mengenai persekutuan yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang, terlebih lagi sesudah dengan terus terang jenderal itu mengatakan bahwa persekutuan itu dipimpin oleh Liu-thaikam sendiri!

"Mustahil!" Sri baginda kaisar berseru sambil menepuk lengan kursi. "Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia. Dan apa sebabnya dia hendak membunuh kalian berdua? Tentu ada permusuhan pribadi!"

Pada saat mendengar betapa kaisar agaknya malah berpihak kepada thaikam itu, wajah Jenderal Ciang menjadi pucat. Menteri Liang yang berlutut itu lalu berkata, "Mohon beribu ampun, sri baginda. Sesungguhnya tidak terdapat permusuhan apa pun antara hamba dan Liu-thaikam, akan tetapi dia menganggap hamba dan Jenderal Ciang serta banyak hamba paduka yang lain sebagai saingannya karena hamba sekalian tak mau tunduk kepadanya. Itulah sebabnya mengapa dia hendak membunuh hamba."

"Sudah banyak pembesar dibunuhnya, sri baginda. Dia tidak segan-segan menggunakan para penjahat sebagai antek-anteknya. Pada waktu hendak membunuh Menteri Liang dan hamba, dia malah memperalat datuk-datuk sesat seperti Cap-sha-kui, juga menggunakan orang-orang Hwa-i Kai-pang yang ikut pula bersekongkol dan menjadi anteknya."

Alis Sri Baginda Kaisar Ceng Tek berkerut, hatinya merasa tidak senang. "Jenderal Ciang, kami tahu bahwa engkau adalah seorang jenderal yang gagah dan setia, dan juga Menteri Liang adalah seorang menteri lama yang sangat setia. Tahukah kalian betapa hebat dan berbahayanya semua cerita kalian ini? Kalau tidak benar, ini merupakan fitnah yang akan dapat membuat kalian terpaksa harus dihukum seberat-beratnya!"

"Hamba bersedia dihukum kalau pelaporan hamba tidak benar, sri baginda!" kata sang jenderal.

"Hamba juga bersedia menyerahkan nyawa jika hamba menjatuhkan fitnah kepada siapa pun juga," sambung Menteri Liang dengan suara tegas.

Mulailah Kaisar Ceng Tek merasa bimbang. Sebenarnya sudah lama banyak pembesar yang mencoba untuk menyadarkannya akan kepalsuan Liu-thaikam, akan tetapi karena thaikam itu selalu bersikap baik dan menyenangkan hatinya, juga karena tidak pernah ada bukti penyelewengannya, maka kaisar merasa terlalu sayang kepada pembantu itu untuk melakukan penyelidikan secara mendalam.

Lagi pula, kaisar yang masih amat muda itu, baru sembilan belas tahun usianya, merasa banyak dibantu oleh Liu-thaikam. Pada waktu dia melakukan perjalanan keluar dari istana secara diam-diam, thaikam itulah yang selalu membantunya, dan semua urusan di dalam istana dapat diselesaikan dengan baik oleh thaikam itu.

"Bagaimana kalian dapat memastikan bahwa laporan kalian ini bukannya fitnah belaka?" kaisar mendesak.

"Penyerangan terhadap Menteri Liang di telaga disaksikan oleh banyak orang, sedangkan penyerangan terhadap hamba di dalam pesta Ang-kauwsu lebih banyak saksinya," jawab Jenderal Ciang.

"Kalian adalah pejabat-pejabat pemerintah, maka tidaklah aneh kalau dimusuhi oleh kaum penjahat. Akan tetapi apa buktinya bahwa Liu-thaikam yang berdiri di belakang semua itu?"

Inilah pertanyaan yang ditunggu-tunggu oleh Jenderal Ciang. Dengan suara lantang tetapi tetap hormat dia menjawab. "Sri baginda, hamba sudah menangkapi sebagian dari para penjahat, akan tetapi ketika hamba menggiring para penjahat itu ke kota raja, di tengah perjalanan para datuk sesat menghadang, merampas tawanan dan membunuh mereka yang tidak dapat mereka rampas. Akan tetapi masih ada seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang berhasil hamba bawa sebagai saksi. Jika paduka berkenan, hamba dapat menyuruh dia membuat pengakuan di hadapan paduka." Jenderal itu berhenti sebentar, kemudian menyambung, "Selain itu, juga hamba dibantu oleh seorang pendekar muda yang pernah menyelamatkan paduka pada saat paduka diserang oleh orang-orang Kang-jiu-pang, yaitu putera ketua Cin-ling-pai bersama seorang temannya, pendekar wanita Ceng Sui Cin."

"Hemm, bawa mereka semua menghadap!" Kaisar memerintah.

Jenderal Ciang lalu memberi isyarat kepada para penjaga di luar dan tak lama kemudian muncullah Hui Song dan Sui Cin mengiringkan Bhe Hok sebagai tawanan. Mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan tubuh Bhe Hok gemetar ketakutan.

Jenderal Ciang memperkenalkan dua orang muda pendekar itu, tetapi kaisar masih ingat kepada Hui Song yang gagah. "Hai, engkau orang muda yang gagah perkasa itu! Urusan apa lagi yang membawamu terlibat sehingga kini dihadapkan di istana?" Kaisar menegur dengan suara ramah.

"Ampun, sri baginda. Hamba melihat ada persekutuan busuk mengancam para pembesar setia. Dan karena persekutuan itu dapat pula membahayakan keselamatan paduka, maka hamba berdua nona Ceng berusaha membantu Jenderal Ciang untuk membuka rahasia ini dan menghaturkannya kepada paduka."

Kaisar teringat lagi akan tuduhan terhadap thaikam yang amat disayangnya, maka alisnya berkerut lagi, hatinya kesal dan dia pun berkata kepada Jenderal Ciang. "Nah, suruhlah saksi bercerita. Awas, kalau dia berbohong, kalian semua takkan bebas dari hukuman!"

Sebenarnya ucapan kaisar itu ditujukan untuk mengancam mereka yang telah memusuhi Liu-thaikam, akan tetapi malah membuat si gendut Bhe Hok semakin ketakutan dan tidak berani berbohong. Dia terus berlutut dan tak berani berkutik sampai dihardik oleh Jenderal Ciang.

"Penjahat Bhe, lekas membuat pengakuan apa adanya dan jangan berbohong!"

"Hamba... hamba bernama Bhe Hok dan hamba menjadi seorang di antara para pembantu Hwa-i Lo-eng ketua Hwa-i Kai-pang. Bersama rekan-rekan Cap-sha-kui, hamba menjadi anggota kelompok yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin, dan hamba semua bekerja untuk Liu-taijin. Hamba menerima tugas untuk membantu para tokoh Cap-sha-kui, pertama-tama untuk membunuh Menteri Liang, kemudian membunuh Jenderal Ciang. Hamba membuat pengakuan yang sesungguhnya, berani disumpah juga berani mempertanggung jawabkan kebenaran pengakuan hamba."

Wajah kaisar telah menjadi merah sekali. Haruskah dia mempercayai pengakuan seorang penjahat macam ini?

"Tangkap dan seret ketua Hwa-i Kai-pang ke sini!" bentaknya.

"Ampun sri baginda. Hwa-i Lo-eng telah dibunuh oleh tokoh-tokoh sesat, mungkin karena mereka merasa takut kalau-kalau ketua Hwa-i Kai-pang itu akan membuat pengakuan dan membuka rahasia kejahatan Liu-thaikam."

"Hemm, kalau begitu tangkap dan bawa Liu-thaikam ke sini!" perintah kaisar.

"Hamba akan melaksanakan perintah paduka. Akan tetapi tanpa adanya leng-ki (bendera tanda utusan kaisar), tentu dia tidak akan percaya dan akan melawan."

"Nih, bawa tanda dari kami!" Berkata demikian kaisar muda itu melepaskan pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Jenderal Ciang.

Benda itu adalah pusaka tanda kekuasaan kaisar, maka tentu saja telah merupakan bukti kekuasaan yang cukup. Dengan gembira sekali Jenderal Ciang menerima pedang, lantas membawa pasukan pengawal pergi menuju ke gedung tempat tinggal Liu-thaikam dan menangkapnya. Melihat pedang di tangan jenderal itu, Liu-thaikam tidak berkutik lagi dan dengan muka pucat tak lama kemudian dia sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki kaisar.

"Mohon paduka sudi mengampuni semua kesalahan hamba, akan tetapi sungguh hamba merasa terkejut sekali menerima panggilan paduka seperti ini. Apakah yang telah terjadi? Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka?" Tentu thaikam itu hanya berpura-pura saja.

Dia sudah mendengar akan semua yang telah terjadi, tentang kegagalan-kegagalan para anteknya dan dialah yang memerintahkan supaya semua tokoh Hwa-i Kai-pang dibunuh, juga para tawanan yang tidak sempat dibebaskan agar dibunuh. Sungguh pun demikian, hatinya masih selalu dalam keadaan was-was maka dia telah bersiap untuk melarikan diri, walau pun dia masih percaya akan pengaruhnya terhadap kaisar. Kedatangan Jenderal Ciang yang menangkapnya sama sekali tidak disangkanya.

"Orang she Liu, apakah yang telah kau lakukan selama ini? Mengapa engkau memperalat orang-orang jahat dan menyuruh orang-orang jahat itu mencoba untuk membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang?!" Kaisar membentak.

Dengan mimik muka yang pandai, thaikam itu terbelalak lantas memprotes dengan sikap wajar orang yang merasa difitnah. "Ampun, sri baginda! Hal itu sama sekali tidak benar! Hamba telah difitnah orang! Banyak sekali orang yang merasa iri dan ingin menjatuhkan hamba karena paduka sudah melimpahkan kepercayaan yang besar kepada hamba. Ini adalah fitnah penasaran! Hamba berani bersumpah bahwa hamba selalu setia terhadap paduka sampai mati!"

"Hemm, setia dan memelihara penjahat-penjahat sebagai kaki tanganmu?"

"Tidak, sama sekali tidak benar. Hamba bersumpah..."

"Apakah persekutuan penjahat-penjahat Hwa-i Kai-pang dan Cap-sha-kui yang dipimpin oleh datuk bernama Siangkoan Lo-jin itu bukan antek-antekmu?"

"Tidak, hamba sama sekali tidak pernah mendengar nama-nama itu, hamba bahkan tidak mengenalnya. Memang hamba merasa tidak suka pada Menteri Liang dan Jenderal Ciang karena hamba melihat bahwa mereka itu menentang paduka, tidak taat..."

Kaisar menghardiknya kemudian berkata kepada Bhe Hok. "Hai, kamu! Katakan apakah ini orangnya yang memimpin seluruh persekutuan busuk itu?!"

Bhe Hok memandang pada Liu-thaikam dengan muka pucat. Tadi dia mendengar betapa Hwa-i Lo-eng telah dibunuh dan sekarang agaknya tinggal dia yang harus berani menjadi saksi. Akan tetapi dia tadi telah mengucapkan pengakuannya, tidak mungkin mengingkari kembali, maka dia pun berkata dengan suara gemetar,

"Benar, sri baginda. Dia adalah Liu-taijin yang dibantu oleh kelompok hamba semua..."

Liu-thaikam menengok dan begitu melihat wajah Bhe Hok, dia terkejut dan marah bukan main. "Kau... kau...!" Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya. "Engkau pengkhianat busuk! Berani engkau membawa-bawa namaku di sini? Akan kusuruh mencincang hancur kepalamu..."

"Cukup!" Kaisar membentak. "Tangkap pengkhianat ini dan seret ke pengadilan tinggi!"

Para pengawal lalu maju dan menangkap Liu-thaikam yang berteriak-teriak dan meronta-ronta, memaki-maki Bhe Hok, Menteri Liang, Jenderal Ciang dan akhirnya memaki-maki kaisar pula sehingga para pengawal membungkam mulutnya dan menyeretnya keluar.

Dengan wajah murung kaisar lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Jenderal Ciang, Menteri Liang, juga kepada Hui Song dan Sui Cin, lalu kaisar membubarkan persidangan darurat itu.

Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Liu-thaikam. Saat diadakan pemeriksaan dan penggeledahan, kaisar sendiri sampai tertegun melihat tumpukan harta hasil korupsi dan penindasan yang dilakukan bekas pembantunya yang tadinya sangat disayang serta dipercayanya itu. Harta benda yang ditumpuk oleh Liu Kim atau Liu-thaikam itu sungguh amat besar jumlahnya.

Menurut catatan sejarah, emas dan perak yang diperoleh sebanyak 251.583.600 tail, batu permata sebanyak lebih dari sepuluh kilo, dua stel pakaian perang dari emas, 500 piring emas, 300 pasang gelang dan cincin emas, 4000 ikat pinggang emas permata. Istananya di kota raja bahkan melebihi kemewahan istana kaisar sendiri!

Penumpukan harta yang dilakukan oleh Liu-thaikam melalui korupsi dan penindasannya itu memang sungguh luar biasa. Tiada keduanya dalam sejarah. Kerakusannya dalam hal menumpuk harta sukar dicari bandingannya sehingga menjadi buah bibir rakyat sampai sepanjang sejarah. Padahal, sebelum menjadi thaikam, Liu Kim adalah seorang anak dari keluarga yang miskin dan rendah.

Sesudah komplotan itu berhasil dibongkar, Kaisar Ceng Tek baru menjadi panik sehingga kaisar ini cepat-cepat melakukan pembersihan di kalangan para pejabat tinggi. Juga dia segera memerintahkan Jenderal Ciang agar mengerahkan pasukan untuk membasmi para penjahat yang tadinya menjadi antek Liu-thaikam.

Hwa-i Kai-pang diserbu, semua anggotanya ditangkap dan dihukum, gedungnya dirampas pemerintah. Akan tetapi tak mudah bagi Jenderal Ciang untuk dapat mencari tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang selalu bergerak laksana setan. Dengan tertangkapnya Liu-thaikam dan hancurnya komplotan itu, barulah pemerintahan Kaisar Ceng Tek yang muda itu menjadi bersih dan barulah kaisar muda itu mulai memperhatikan roda pemerintahan.


                   ***************























Terima kasih telah membaca Serial ini.





No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12