Saturday, September 22, 2018

Cerita Silat Serial Asmara Berdarah Jilid 30



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Asmara Berdarah

                   Jilid 30


SEMENTARA itu, pertempuran di kota San-hai-koan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa pasukan pemberontak yang berada di San-hai-koan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung San-hai-koan.

Mereka dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya yang melawan dengan gigih dan mempertahankan benteng San-hai-koan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis, yaitu datuk-datuk sesat beserta tokoh-tokoh dunia hitam, ikut membantu pasukan pemberontak mempertahankan benteng itu.

Akan tetapi pasukan pemerintah jauh lebih kuat, dan pasukan ini pun dibantu oleh para pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak. Maka dalam waktu sehari semalam saja benteng itu pun bobol lantas pertempuran terjadi dengan serunya di dalam kota San-hai-koan.

Cia Sun dan Ci Kang sekarang mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengamuk sampai mereka dapat bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah.

Melihat betapa ketua Cin-ling-pai kini malah membantu pasukan pemerintah menggempur pemberontak, para pendekar menjadi amat girang dan mereka menganggap bahwa berita tentang Cin-ling-pai yang bersekutu dengan para pemberontak ternyata tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-ling-pai sudah menggunakan siasat pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah dalam!

Sesudah para pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian melarikan diri dan sebagian pula menakluk, Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke tempat rahasia di mana Hui Cu tadi mereka tinggalkan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang.

Juga dalam penyerbuan itu, walau pun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar lain, namun tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Su-kwi dan beberapa orang datuk sesat lain. Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya bisa mereka tawan hidup-hidup dalam keadaan luka-luka, namun panglima pemberontak ini pun tidak dapat menjawab ke mana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu.

Tentu saja para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Ternyata tokoh-tokoh terpenting mereka dapat melarikan diri.

Setelah kota San-hai-koan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Ceng-tek. Seperti yang sudah diperhitungkannya, pasukan pemberontak sedang mengepung kota Ceng-tek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobol benteng Ceng-tek yang sudah diduduki oleh pasukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari San-hai-koan yang keadaannya masih segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh semangat.

Tentu saja pasukan pemberontak yang tengah mengepung Ceng-tek menjadi terkejut dan panik ketika mendadak mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apa lagi sesudah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, San-hai-koan, telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan kedua benteng itu. Ceng-tek direbut oleh pasukan suku bangsa utara sedangkan San-hai-koan dirampas oleh pasukan pemerintah.

Pasukan pemberontak masih mencoba untuk melakukan perlawanan, akan tetapi mereka dihimpit dari depan dan belakang. Dalam waktu sehari saja mereka pun hancur lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.

Dan terjadi perubahan pula di Ceng-tek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota itu namun kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi.

Yang-ciangkun adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biar pun dia sudah mendengar bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa di utara untuk bergerak, pertama-tama menduduki benteng Ceng-tek untuk kemudian menyerbu ke selatan untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para pemberontak.

Dia pun tahu bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus dipergunakan kekerasan.

Oleh karena itu, Yang-ciangkun kemudian menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar yang suaranya keras supaya menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang mempunyai suara nyaring dan memang bertugas untuk itu, segera maju ke depan dengan corong-corong di depan mulut mereka kemudian terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat kuatnya.

"Para pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan dari Yang-ciangkun! Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, akan tetapi sebagai sahabat yang sudah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap kalian suka menyerahkan benteng Ceng-tek kembali kepada kami supaya persahabatan di antara kita tidak terganggu!"

Berkali-kali kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar hingga terdengar oleh mereka yang bertugas jaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja segera disampaikan kepada Yelu Kim.

Nenek itu berada di atas menara yang menjadi pusat di mana dia memimpin para kepala suku bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini sedang duduk berdua saja dengan Sui Cin dan merasa bimbang sekali. Ketika menerima laporan tentang usul yang diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. Dia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.

"Keparat! Dengan susah payah kita merebut benteng ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu saja? Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"

Semenjak tadi Sui Cin memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang dengan gagah dan pandainya sudah memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil menduduki Ceng-tek. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kini, sesudah pasukan pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, dia sendiri tidak mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan Yang-ciangkun.

"Subo...," katanya lirih dan hati-hati.

"Hemm...?" Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan memandang muridnya.

"Subo tentu percaya kepadaku, bukan?"

"Percaya apa?"

"Percaya bahwa aku selalu memiliki iktikad baik terhadap subo serta pasukan yang subo pimpin."

Nenek itu memperlebar matanya dan memandang tajam. "Tentu saja. Sudah banyak yang kau lakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali padamu. Bila aku tidak percaya padamu, tentu selama ini engkau tidak kuberi tugas yang penting-penting."

"Terima kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo, namun karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah, karena rasa suka itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak merasa tersinggung dan menjadi marah."

Nenek itu tersenyum dan memandang lembut. "Muridku, apa kau sangka aku belum juga mengenalmu sehingga tak tahu akan isi hatimu? Selama ini engkau membantuku karena melihat aku menentang kaum pemberontak. Engkau adalah seorang gadis pendekar dan tentu engkau pun menentang para kaum sesat yang menunggangi pasukan pemberontak. Bila mana kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas bahwa engkau tidak akan membantu kami sungguh pun aku percaya engkau tidak akan tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"

Sui Cin terkejut dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik dan bijaksana sekali. Pantaslah jika menjadi keturunan Yelu Ce-tai yang amat terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.

"Sungguh tepat sekali wawasan subo."

"Nah, kini katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang ini."

"Begini, subo. Ceng-tek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang jumlahnya sangat besar. Tanpa diserang sekali pun, baru dikepung saja sampai satu bulan lebih, tentu kita akan kehabisan ransum lantas akan celaka. Andai kata kita melawan pun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tak akan sebodoh itu, membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil seperti Ceng-tek ini. Kalau menurut pendapatku, akan jauh lebih menguntungkan kalau menerima usul Yang-ciangkun, yakni menyerahkan kembali benteng ini dalam suasana damai dan bersahabat dari pada harus mempertahankan dengan kekerasan dan akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."

"Pendapatmu itu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Tetapi pantaskah jika aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"

"Subo, Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik tentu tidak hanya pandai meminta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi. Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Apa bila subo menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan permintaan-permintaan yang kiranya akan berguna bagi bangsa-bangsa di utara sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya, bukan?"

"Aihh, benar sekali, Sui Cin!" Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya. "Mengapa aku tidak berpikir sampai ke situ? Engkau benar sekali. Kini aku akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi utusan atau wakilku. Engkaulah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan usul kami kepada Yang-ciangkun!"

Sui Cin gembira sekali. "Aku bersedia, subo!"

Nenek itu lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu, menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari terbit. Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi teriakan-teriakan dari bawah sehingga keadaan menjadi sunyi sekali.

Yang mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu membuat api unggun, ada pun yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas tembok benteng juga kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan kedua pihak begitu percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam hari itu.

Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas berisi permintaan-permintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada pemerintah Beng-tiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan, yang berlaku adalah peraturan-peraturan militer.

Akan tetapi dara itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang oleh Yelu Kim sendiri. Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim, juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada di antara para kepala suku bangsa yang tidak setuju kemudian hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah disiapkan oleh penjaga di pintu gerbang.

Pintu gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang, Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu.

Tiba-tiba nampak berkelebat dua bayangan orang yang langsung menghadang kuda yang ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apa lagi setelah mengenal bahwa dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri!

Gadis itu berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada hubungannya dengan surat yang dibawanya. "Kalian mau apa?" bentaknya marah.

"Menyerahlah dengan baik!" kata Ratu Iblis.

"Huh, kalian kira aku takut? Sampai mati aku tidak sudi menyerah!" Dan tiba-tiba Sui Cin membalapkan kudanya.

Akan tetapi tak mudah dia lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan yang sangat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan ginkang-nya yang tinggi dia dapat melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan.

Sementara itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat kemunculan dua bayangan itu, tidak masuk kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat berlari menghampiri tempat itu yang tidak begitu jauh dari tempat dia berdiri.

"Sui Cin, suratnya...!" nenek ini berseru.

Sui Cin maklum apa yang dikehendaki gurunya. Cepat gulungan kertas itu dia lemparkan ke arah nenek yang dengan cepat lalu menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke atas punggung kuda yang ketakutan dan dia membalapkan kuda itu untuk menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun, menyerahkan sendiri surat tuntutan atau permintaan bangsanya itu.

Akan tetapi kembali Raja Iblis menggerakkan tangan kanannya dan sekali ini bukan untuk melakukan pukulan jarak jauh seperti yang dia lakukan terhadap kuda tadi, melainkan ada benda bersinar putih yang meluncur dari tangan itu menuju ke arah tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda. Benda itu berputar-putar cepat seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim.

Nenek ini merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah benda pada punggungnya itu dan menariknya dari punggung. Ketika dilihatnya, ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak kecil.

Nenek ini terkejut sekali lantas membanting tengkorak itu ke atas tanah. Tengkorak pecah berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah dia bahwa dia telah terkena senjata beracun yang amat ampuh.

Akan tetapi dia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah yang mengepung Ceng-tek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Dia menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas.

Beberapa prajurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat-cepat menerima gulungan kertas, dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini, "Tai-ciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Ceng-tek kuserahkan akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang sangat pantas ini...," kemudian nenek yang gagah perkasa ini pun menghembuskan napas terakhir di depan Yang-ciangkun.

Berita mengenai kegagahan nenek Yelu Kim ini tersebar luas, dan sampai puluhan tahun kemudian namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur serta dikagumi pula oleh para pendekar selatan. Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini langsung disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku bangsa utara menjadi jauh lebih baik.


               ***************


Sementara itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim berhasil lari walau pun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah sekali.

"Kalian ini iblis-iblis busuk!" bentaknya. Dia pun sudah menerjang mereka dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang sangat ampuh sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

Akan tetapi yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri dan tergetar hebat. Akan tetapi dia tidak takut dan menyerang terus sehingga kakek itu menjadi marah bukan kepalang.

Bagaimana pun juga tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang lincah dan menggunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini itu.

Sui Cin tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika dia mengelak dari cengkeraman sepasang tangan Raja Iblis, tiba-tiba dia membalik dan dengan kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Angin dahsyat menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang pernah membikin dia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam waktu singkat.

Raja Iblis merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh kembali ke tangan pemerintah. Ketika melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan pasukan liar dari utara, dia masih memiliki harapan agar kedua pihak berperang sehingga keduanya lemah. Namun ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran tangan Yang-ciangkun untuk berdamai.

Oleh karena itu, dia segera keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, ternyata nenek Yelu Kim berhasil melarikan surat dan mengorbankan nyawa sendiri, dan kini tinggal dara itu yang juga tidak mudah ditangkap!

Melihat betapa dara itu malah menyerangnya dengan dahsyat, dari dalam mulutnya kakek yang seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dan dia pun mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.

"Plakkk!"

Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Maka dia pun semakin kagum, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa sepasang telapak tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat.

Dan pada saat itu pula, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak mampu mengelak dan dia pun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis.

Namun, pada saat itu serombongan prajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis segera membentak mereka, "Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru kalian!"

Melihat betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani menyerang maka terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak mampu bergerak.


                  ***************

Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan para pendekar dan turut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung Ceng-tek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang Ceng-tek.

Semua orang mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu tadi?" tanya Ci Kang.

"Mereka menawan nona Sui Cin, jadi kami tidak berani turun tangan."

"Apa?" Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis. "Ke mana mereka lari?"

"Ke sana...!" Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul dari tempat itu.

Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun berlari menuju ke bukit itu, menggunakan ilmu berlari cepat. Pada saat keduanya tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid Cin-ling-pai.

Seperti kita ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama dengan murid-murid Cin-ling-pai, berhasil dibawa keluar dari Ceng-tek oleh Sui Cin. Akan tetapi ketika mereka pergi ke San-hai-koan untuk mencari ketua mereka, ternyata San-hai-koan sedang dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu. Terpaksa mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir akan terjadi salah paham dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai bersekutu dengan pemberontak.

Sesudah perang berakhir, barulah Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah dan turut menyerang ke Ceng-tek. Mereka merasa gembira sekali, dan mereka pun mengejar ke Ceng-tek.

Biar pun hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi ketika melihat Cia Sun dia segera bertanya, "Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan di Ceng-tek? Apakah engkau bertemu dengan ayah?"

Cia Sun mengangguk. "Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau sekarang berada di antara pasukan yang mengepung Ceng-tek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."

"Apa...?!" Hui Song menjadi pucat wajahnya. "Ke mana dia dibawa lari?"

"Ke bukit itu, dan kita hendak mencarinya!" kata Cia Sun dan dia pun cepat mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.

"Aku ikut...!" kata Hui Song. "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di luar kota Ceng-tek!" Dan dia pun cepat mengerahkan tenaganya untuk mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu.

Bukit itu memang gundul dan kering. Sesudah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikit pun tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan yang dari jauh nampak amat menegangkan hati sehingga dengan sendirinya ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Di sana, dalam jarak puluhan meter, nampak Sui Cin sedang berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu diikat pada tiang itu.

"Itu Sui Cin...!" Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dahulu meloncat dan lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.

"Cin-moi...!" Hui Song berseru setelah tiba dekat.

"Song-ko! Jangan mendekat...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan memperhatikan keadaan.

Ternyata Sui Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran segi delapan. Pat-kwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat, sekitar tiga meter.

Tempat di mana Sui Cin diikat itu tak dapat dijangkau dengan tangan. Untuk menghampiri atau menolong dara itu, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di belakangnya.

Akan tetapi tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apa lagi ada cegahan Sui Cin yang membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan suatu jebakan yang mengandung rahasia yang amat berbahaya bila diinjak oleh orang yang hendak menolong gadis itu.

"Jangan mendekat dari arah depan. Tadi ada seorang pendekar yang tewas akibat hendak menolongku. Pasir di depan itu adalah pasir yang bisa membunuh, menyedot orang yang menginjaknya. Ahh, mengerikan sekali...! Aku melihat orang yang hendak menolongku itu tersedot, menangis tanpa aku mampu menolongnya hingga akhirnya dia lenyap ke bawah permukaan pasir..." Suara gadis itu tergetar hebat. "Raja Iblis sengaja menaruh aku di sini untuk menjebak kalian yang tentu datang mencoba untuk menolongku. Hati-hati, jangan sembarangan bergerak."

Tentu saja tiga orang pemuda itu menjadi terkejut sekali dan bingung. Mereka berdiri agak jauh di depan Sui Cin.

Kini gadis itu dapat melihat mereka semua dan wajahnya berseri gembira. Tidak dikiranya bahwa tiga orang pemuda itulah yang datang hendak menolongnya, tiga orang pemuda yang begitu dekat dengan hatinya! Baru kini seperti terbuka matanya bahwa mereka itu, Cia Sun, Cia Hui Song, dan Siangkoan Ci Kang, semua mencintanya, jatuh hati padanya!

Ketika melihat mereka bertiga itu berdiri berjajar di hadapannya, hati Sui Cin yakin bahwa sesungguhnya perasaan hatinya lebih condong kepada Hui Song. Apa pun kekurangan pemuda ini kalau dibandingkan dengan dua orang pemuda yang lain, tetap saja perasaan Sui Cin lebih dekat dengannya dan dia tahu bahwa Hui Song memiliki watak dan cita rasa yang mirip dengannya. Hanya dengan Hui Song dia dapat bergembira, dapat bertengkar, berbaik kembali, berbantahan dan saling mengalah.

Cia Sun terlalu serius, terlalu halus perasaannya sehingga tentu mudah tersinggung. Ada pun Siangkoan Ci Kang mungkin yang paling gagah di antara mereka, penuh daya tarik kejantanan, akan tetapi juga pendiam dan bahkan agak dingin. Sekarang, dalam keadaan terancam bahaya seperti itu, memang lucu sekali, gadis ini mengambil keputusan bahwa yang dicintanya hanyalah Hui Song.

"Cin-moi, aku harus menolongmu. Aku dapat meloncat ke atas batu dan membebaskan dirimu, tanpa menginjak tanah di tepi batu pat-kwa ini!" kata Hui Song.

"Jangan...! Hati-hatilah, Song-ko, engkau akan celaka nanti. Batu pat-kwa ini mengandung alat-alat rahasia yang sangat mengerikan. Aku melihat sendiri betapa Raja dan Ratu Iblis melakukan langkah-langkah aneh ketika menginjak batu pat-kwa ini, dan aku yakin bahwa jika sekali saja salah langkah dan menginjak bagian yang ada alat rahasianya, maka akan terjadi hal-hal yang mengerikan."

"Aku tidak takut, kalau perlu aku boleh saja mati untuk menolongmu!"

"Nanti dulu, paman Hui Song! Kalau alat rahasia itu mengakibatkan kematianmu masih baik, akan tetapi bagaimana kalau alat rahasia itu bekerja membunuh Sui Cin?" kata Cia Sun dan wajah Hui Song berubah menjadi pucat karena dia teringat akan kemungkinan ini dan membayangkan kematian mengerikan bagi Sui Cin sebagai akibat perbuatannya yang gegabah!

"Begini saja!" mendadak Ci Kang berkata. "Aku yang akan mencoba menghampiri nona Ceng dengan berjalan di atas batu pat-kwa. Kalau terjadi apa-apa dengan diriku, biarlah, aku rela mati. Dan jika terjadi sesuatu dengan nona Ceng, kalian berdua berjaga-jaga dan melindunginya."

"Biar aku saja yang mencobanya, Ci Kang," kata Cia Sun. "Engkau dan paman Hui Song yang berjaga-jaga melindungi Cin-moi."

"Jangan...!" Kini Hui Song yang berteriak. "Apakah kalian berdua hendak mempermainkan keselamatan Cin-moi? Tidak, tidak boleh gegabah! Kita harus menyelidiki dahulu keadaan batu pat-kwa ini dan sekelilingnya!"

"Lalu apa yang akan kau lakukan, paman Hui Song?"

"Kita selidiki dulu tanah di sekeliling pat-kwa ini." Hui Song mengambil batu-batu sebesar kepala orang. Dia melemparkan batu itu di dekat batu pat-kwa di depan Sui Cin dan benar saja, begitu tersentuh batu, mendadak pasir di depan batu pat-kwa itu bergerak memutar dan batu itu lantas disedot dengan cepat sekali ke bawah! Hui Song mencoba lagi untuk melihat di mana batas pasir berputar itu dan ternyata sampai sejauh tiga meter di bagian itu masih berbahaya.

Tanpa diminta lagi, kini Cia Sun dan Ci Kang membantu pemuda Cin-ling-pai itu. Mereka menggunakan batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu pat-kwa. Ada bagian yang kalau diinjak atau kejatuhan batu mengeluarkan paku-paku beracun, bahkan ada pula yang mengeluarkan asap beracun sehingga tidaklah mungkin menghampiri batu pat-kwa dengan menginjak tanah di sekelilingnya, kecuali satu bagian saja yang ketika dijatuhi batu tidak mengakibatkan apa-apa. Bagian ini berada di sebelah kiri Sui Cin. Ketika beberapa kali mereka melempukan batu di segi itu dan tidak terjadi reaksi apa-apa seperti yang terjadi pada tujuh segi yang lain, mereka pun menjadi girang.

"Bagian ini tidak mengandung perangkap!" kata Hui Song.

"Biar aku sekarang mencoba naik ke batu pat-kwa," kata Ci Kang sambil melangkah maju.

"Tidak! Engkau tidak boleh mendekatinya. Akulah yang berhak menolong Cin-moi, bukan engkau!" Hui Song yang masih sangat membenci Ci Kang karena perbuatannya yang lalu terhadap Sui Cin, membentak marah.

"Hemm, mengapa harus engkau saja?" Ci Kang merasa mendongkol dan membantah.

"Karena dia... dia... adalah orang yang kucinta!" dengan jujur Hui Song mengaku begitu saja sehingga wajah Sui Cin menjadi merah dan hatinya juga mendongkol mengapa Hui Song begitu lancang untuk bicara soal cinta di hadapan orang-orang lain dalam keadaan seperti itu.

"Hemm, engkau sungguh terlalu tinggi hati," kata Ci Kang tak puas.

"Paman Hui Song, siapa pun orangnya boleh saja jatuh cinta kepada Cin-moi tetapi hanya dialah yang akan menentukan siapa yang berhak memiliki hatinya. Akan tetapi jika untuk menolongnya kukira tidak ada perbedaan, semua pun berhak."

"Tidak! Biarlah aku yang mencobanya terlebih dahulu, dan kuharap engkau suka menjaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam dirinya, Cia Sun." Kemudian, tanpa memberi kesempatan kepada dua orang pemuda yang lain, Hui Song lalu melangkah ke atas tanah yang tadi telah dicoba berkali-kali dengan lemparan batu dan tidak terjadi sesuatu. Sui Cin yang tadi merasa bingung melihat betapa terjadi pertengkaran di antara mereka bertiga, kini memandang dengan hati khawatir.

Tiba-tiba terdengar ledakan dan Hui Song cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir balik. Untung dia dapat bergerak cepat dan bersikap waspada. Ternyata, tanah yang tadi sudah diselidiki dan dicoba dengan lemparan batu dan tidak berbahaya itu, begitu terkena injakan kakinya langsung melemparkan batu dan pasir ke atas disertai suara ledakan dari bawah!

"Sungguh aneh! Kenapa tadi ketika dicoba dengan batu tidak apa-apa?" tanya Hui Song.

Cia Sun juga merasa heran dan dia sudah melemparkan lagi sebuah batu ke tempat itu. Kembali terdengar ledakan dan pasir bersama batu menyambar ke atas disertai ledakan dari bawah!

"Ahh, aku tahu sekarang!" kata Ci Kang yang segera menusuk-nusukkan sebatang kayu yang didapatnya ke atas tanah di sebelah kanan bagian yang meledak tadi. Dan di bagian itu, ketika ditusuk-tusuk, tidak terjadi apa-apa. Padahal tadi bagian itu pada saat disentuh mengeluarkan paku-paku beracun!

"Aku mengerti sekarang. Lihat, bayangan tiang itu tadi tiba di segi yang meledakkan pasir dan ketika dicoba tidak apa-apa. Kini bayangan tiang telah bergeser ke kanan, jatuh pada bagian ini dan bagian ini yang tadi menyemburkan paku kini tidak berbahaya. Sebaliknya, bagian yang tadi terkena bayangan dan tidak berbahaya, kini malah menjadi berbahaya! Agaknya bayangan tiang itu membuat alat rahasia pada bagian atau segi yang tertutup bayangan menjadi lumpuh dan alat rahasia itu tidak bekerja!"

Dua orang pemuda yang lainnya turut mencoba-coba dan memang betul. Kini bagian yang terkena bayangan, yang nampak melintang hitam di satu segi dari batu pat-kwa, ketika dilempar batu tanah di depannya, tidak terjadi apa-apa.

"Aku akan naik, harap kalian menjaga nona Sui Cin!" kata Ci Kang dan dengan berani dia sudah melangkah ke depan.

Tanah itu diinjaknya dan tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah menghampiri batu pat-kwa, dipandang dengan jantung berdebar oleh Sui Cin. Dua orang pemuda yang lain, karena keduluan Ci Kang maka terpaksa hanya berdiri dengan sikap penuh kewaspadaan mereka menjaga kalau-kalau Sui Cin akan terancam bahaya bekerjanya alat rahasia.

Ci Kang sudah tiba di dekat batu pat-kwa. Dia tidak mau gegabah naik ke atas batu-batu pat-kwa itu, akan tetapi lebih dulu menggunakan tongkat kayu tadi memukul permukaan batu pada kotak pertama. Setelah tidak terjadi sesuatu, dia kemudian naik dan menginjak bagian itu. Dengan tongkatnya, dia lalu memukul kembali bagian depan, juga tidak terjadi apa-apa.

Kotak ketiga di depan dibagi menjadi dua oleh sebuah garis. Ci Kang meragu. Yang mana yang harus dipukul untuk mencari landasan yang aman. Dengan hati-hati dia memukulkan tongkatnya ke atas kotak yang kiri dan tiba-tiba saja bagian itu terbuka kemudian nampak berkelebat dua sinar hitam, satu ke arah Ci Kang dan yang lain ke arah Sui Cin!

Ci Kang cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik melompat ke bawah batu pat-kwa sehingga anak panah hitam itu meluncur lewat dan tak mengenai tubuhnya. Dan pada saat itu pula Hui Song sedang melemparkan sebuah batu besar untuk menyambit anak panah yang meluncur dan menyambar ke arah Sui Cin.

"Takkk...!"

Anak panah itu terpukul batu lalu mencelat jauh keluar dari batu pat-kwa. Wajah Sui Cin menjadi agak pucat dan wajah tiga orang pemuda itu pun diliputi ketegangan.

"Benar-benar berbahaya!" kata Cia Sun. "Biarlah sekarang aku yang mencobanya, harap kalian suka menjaga baik-baik." Tanpa menunggu jawaban, dia pun menghampiri bagian segi yang tadi dilalui Ci Kang.

Seperti juga Ci Kang, dia berhasil naik sampai ke dalam kotak kedua dan di sini, dengan hati-hati dia mempergunakan ujung kakinya menekan kotak yang kanan dari kotak yang terbagi dua itu. Ternyata di sini aman, tidak seperti di bagian kiri yang tadi menyemburkan anak panah. Dua orang pemuda lain memandang penuh ketegangan.

Di depan kotak ketiga yang terbagi dua itu pun terdapat kotak yang terbagi dua. Satu segi dari batu pat-kwa itu terbagi menjadi lima kotak dengan garis melintang dan pada bagian yang dilalui Cia Sun itu kotak ketiga dan keempat terbagi menjadi dua. Di sini Cia Sun menjadi ragu lagi. Kotak mana yang harus dilaluinya.

Dia sudah cukup dekat dengan Sui Cin, namun belum dapat menjangkau ke depan untuk melepaskan belenggu pada kedua pergelangan lengan gadis itu. Dia masih harus melalui dua bagian lagi ke depan. Dengan sangat hati-hati dan secara untung-untungan, kakinya menginjak bagian kanan dari kotak yang terbagi dua itu.

"Blarrrrr...!"

Bagian itu terbuka dan dengan desis yang mengerikan, keluarlah dua ekor ular sendok yang agaknya sudah kelaparan karena dua ekor ular itu tiba-tiba menyerang ke arah Cia Sun dan Sui Cin. Dalam keadaan berdiri dengan sebelah kaki seperti itu, tentu saja Cia Sun tidak dapat melawan serangan ular dan menghindarkan diri, dia lalu melempar tubuh ke belakang seperti yang dilakukan oleh Ci Kang tadi.

Akan tetapi Ci Kang dan Hui Song yang sudah siap siaga, menggerakkan tangan dan dua buah batu menghantam dua ekor ular itu sehingga dua binatang berbisa itu terlempar jauh dengan kepala hancur oleh dua buah batu yang disambitkan dengan kekuatan besar itu. Kini mereka bertiga saling pandang dengan muka pucat.

"Berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Sungguh tidak mungkin menghampiri Sui Cin melalui atas batu pat-kwa, terlalu berbahaya baginya, harus dicari jalan lain."

"Aku tahu," kata Hui Song "Aku akan melompat ke atas tiang itu. Dengan demikian aku akan melewati batu pat-kwa dan dari atas tiang, aku dapat membebaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin."

"Jangan, Song-ko, terlampau berbahaya. Bagaimana kalau sampai engkau terjebak dan celaka?" seru Sui Cin penuh kekhawatiran.

Bukan main gembiranya rasa hati Hui Song mendengar dan melibat kekhawatiran gadis itu. Mungkinkah Sui Cin demikian mengkhawatirkan keselamatan dirinya karena gadis itu mencintanya?

"Ahhh, apa artinya mala petaka bagiku, Cin-moi? Yang penting asal engkau selamat dan segera bebas dari tempat ini!"

Sesudah berkata demikian, dengan penuh semangat karena terdorong rasa gembiranya, Hui Song kemudian meloncat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dia melayang ke arah tiang di tengah batu pat-kwa dan hinggap di puncak tiang itu. Akan tetapi, begitu kedua kakinya menginjak tiang, tiba-tiba terdengar suara keras dan tiang itu pun lalu berputar dengan cepat sekali, membawa tubuh Sui Cin dan Hui Song berputaran dengan cepat.

Karena Sui Cin tidak mampu bergerak, kedua pergelangan tangannya terikat di belakang tiang, ia merasa ngeri dan hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut yang mungkin tidak dapat dihindarkannya lagi.

Tubuh Hui Song yang berdiri dengan sebelah kaki di atas tiang, berpusing dengan sangat cepatnya pula. Pemuda ini pun menjadi sangat bingung karena dia tidak mungkin dapat menghentikan gerakan tiang yang berputar dengan sangat cepatnya itu, yang membawa tubuhnya berpusing seperti kitiran. Bagaimana pun pandainya, mana mungkin dia dapat menggunakan tenaga untuk melawan perputaran tiang.


cerita silat online karya kho ping hoo


Yang sangat membingungkan hatinya adalah karena dia sedang memikirkan keselamatan gadis yang dicintanya, yang kini juga ikut berpusing di sebelah bawahnya. Dia tidak begitu memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.


Semua orang yang berada di luar batu pat-kwa juga terbelalak bingung. Apa bila tiang itu tidak cepat dapat dihentikan, kalau kedua orang itu terus berpusing seperti itu cepatnya, maka akan berbahayalah keadaan mereka. Orang dapat saja tewas hanya karena diputar secepat itu, atau setidaknya akan gila karena ketakutan.

"Hui Song, cepat meloncat turun!" tiba-tiba Ci Kang membentak dengan nyaring. Dia tidak ingat lagi dengan segala ketidak senangan hatinya dan menyebut nama Hui Song begitu saja di luar kesadarannya, saking gelisahnya melihat Sui Cin dan Hui Song yang masih terus berpusing seperti itu.

Barulah Cia Sun teringat dan dia pun cepat meneriaki Hui Song supaya segera meloncat turun. Tadinya Hui Song sendiri tidak sadar dan sudah mengambil keputusan untuk mati bersama Sui Cin. Akan tetapi, setelah mendengar teriakan-teriakan kedua orang pemuda di bawah itu, teringatlah dia bahwa berpusingnya tiang karena terinjak olehnya dan besar sekali kemungkinan tiang itu akan berhenti kalau tidak diinjak.

Akan tetapi, meloncat turun sampai di luar batu pat-kwa dalam keadaan berputar secepat itu bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Betapa pun juga, ketika teringat akan keselamatan Sui Cin, dia tak peduli lagi akan bahaya apa pun yang akan mengancamnya dan setelah mengumpulkan tenaga, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat meninggalkan tiang.

Tentu saja dia tidak dapat mempergunakan perhitungan karena pandang matanya sudah kabur dan dia tidak dapat melihat ke arah mana dia melompat. Bayangan kedua orang pemuda di luar batu pat-kwa itu pun sudah tidak kelihatan lagi olehnya saking cepatnya tubuhnya berpusing.

BEGITU tubuhnya meloncat dan terlepas dari tiang, tubuh itu terbawa oleh tenaga dorongan ketika berpusing itu sehingga loncatannya menjadi jauh sekali! Tubuhnya seperti sebuah batu yang dilemparkan dengan tenaga raksasa. Jika bukan Hui Song yang berkepandaian tinggi, tentu akan celakalah orang yang dilontarkan seperti itu.

Akan tetapi Hui Song tak kehilangan ketenangannya sehingga dalam keadaan yang amat berbahaya itu dia bisa mengambil tindakan yang tepat. Dia cepat mengerahkan tenaganya lantas dengan gerakan kaki tangannya dia mampu meloncat jungkir balik sedemikian rupa sehingga tubuhnya melayang ke atas dan dorongan tenaga berpusing tadi pun dapat dia hindarkan. Tubuhnya masih berjungkir balik beberapa kali, kemudian meluncur turun dan dia dapat hinggap ke atas tanah dengan selamat, sungguh pun mukanya menjadi pucat sekali dan tubuhnya basah oleh peluh.

Ketika memandang, kepalanya terasa pening sehingga dia memejamkan mata sebentar, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya dia mampu menguasai keadaannya. Dibukanya matanya dan ternyata dia telah terlempar sampai puluhan meter jauhnya! Kini dia melihat betapa tiang itu masih berputar, akan tetapi tidak cepat lagi dan perlahan-lahan berhenti. Tubuh Sui Cin masih terikat dan gadis itu nampak lemas, kepalanya terkulai dan matanya terpejam. Gads itu telah jatuh pingsan!

"Cin-moi...!" Hui Song berseru dengan hati penuh kegelisahan kemudian dia berlompatan menuju ke batu pat-kwa itu.

"Dia tidak apa-apa, hanya pingsan. Pernapasannya berjalan seperti biasa," kata Cia Sun.

"Untung dia pingsan, itu lebih baik bagi syarafnya," sambung Ci Kang.

Hui Song memandang penuh perhatian dan hatinya pun merasa lega. Memang gadis itu hanya pingsan, dan kini tiang itu telah berhenti sama sekali seperti semula. Kiranya kalau tiang itu diinjak atau disentuh dari atas, ada alat yang akan menggerakkannya sehingga berputar sampai dia dan Sui Cin tidak kuat lagi. Sungguh berbahaya!

"Aihh, bagaimana kita dapat membebaskannya?" Dia mengeluh khawatir.

"Kita harus berhati-hati. Agaknya Raja Iblis sengaja menggunakan Sui Cin sebagai umpan agar para penolong celaka," kata Cia Sun.

"Atau dia sengaja memancing para pendekar supaya berkumpul di sini dengan maksud-maksud tertentu. Dia tentu tidak jauh dari sini. Kalau kita bisa menemukan Hui Cu, tentu gadis itu dapat memberi tahu kepada kita rahasia batu pat-kwa ini," kata Ci Kang.

"Aku tidak peduli Iblis itu menggunakan siasat apa pun, aku tidak peduli siapa celaka asal dapat membebaskan Cin-moi!" kata Hui Song penuh nafsu.

Cia Sun mengerutkan alisnya. "Membebaskan Sui Cin memang amat penting, akan tetapi keselamatan orang lain juga penting," katanya seperti kepada diri sendiri. Ci Kang hanya diam saja dan Hui Song sadar betapa dia terlalu mementingkan keselamatan Sui Cin saja sehingga meremehkan keselamatan orang lain.

"Maksudku, aku tak peduli aku celaka atau mati sekali pun asalkan dia bisa diselamatkan dan dibebaskan dari situ," katanya lagi.

Pada saat itu terdengar suara keluhan dan mereka bertiga cepat-cepat mengangkat muka memandang kepada Sui Cin yang baru saja siuman. Gadis itu membuka matanya tetapi segera menutupkannya kembali. Seperti juga Hui Song tadi, dia merasa betapa tempat di sekelilingnya masih berpusing.

"Kumpulkan hawa murni, Cin-moi, sebentar juga pening itu akan hilang," kata Hui Song.

Mendengar suara Hui Song ini, legalah hati Sui Cin. Tadi dia telah merasa khawatir sekali akan nasib Hui Song. Ia yang terbelenggu pada tiang saja merasa berpusing sedemikian cepatnya, maka dia mengkhawatirkan Hui Song yang juga ikut terputar di atasnya. Ia lalu menarik napas panjang berkali-kali, mengumpulkan hawa murni hingga akhirnya dia dapat menguasai dirinya dan membuka matanya.

"Kalian berhati-hatilah, jangan bertindak gegabah," katanya. "Jangan sampai menolongku gagal, kalian malah tertimpa bahaya." Ia mengangkat mukanya memandang ke depan dan tiba-tiba gadis itu berkata. "Ahh, siapa yang datang itu...?"

Tiga orang muda itu memandang dan mereka mengerutkan alis. Dari jauh, di atas sebuah bukit, nampak dua sosok bayangan besar dan kecil bergerak cepat sekali menuruni bukit itu menuju ke arah mereka.

"Hemm, kalau ternyata itu adalah Raja dan Ratu Iblis yang datang, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!" kata Hui Song mengepal tinju.

"Raja Iblis tidak segendut itu!" kata Ci Kang.

"Dan yang seorang lagi itu terlalu pendek untuk menjadi Ratu Iblis," kata Cia Sun.

"Heii, itu suhu... tak salah lagi, itu suhu Wu-yi Lo-jin!" kata Sui Cin dengan suara gembira.

"Dan yang gendut itu adalah suhu Siang-kiang Lo-jin!" Hui Song juga berseru girang saat mengenal kakek gendut botak itu.

Dan memang benarlah. Setelah tiba dekat, ternyata mereka adalah dua orang kakek aneh sakti yang pernah menggembleng Sui Cin dan Hui Song selama tiga tahun. Begitu tiba di situ, Wu-yi Lo-jin yang berjuluk Dewa Arak itu terkekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Sui Cin.

"Heh-heh, bocah nakal, kau sedang mengapa di situ?"

"Suhu, aku tertawan oleh Raja Iblis dan diikat di sini. Suhu, jangan dekat-dekat, mereka bertiga tadi hampir celaka ketika mencoba menolongku! Batu pat-kwa ini mengandung alat rahasia yang amat berbahaya!"

Setelah mendengar seruan muridnya ini, kakek yang berkepala gundul dengan alis, kumis dan jenggot putih panjang sampai ke perut itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Wah, wah kalau begitu, bagaimana harus menolongmu?"

"Locianpwe, tadi kami bertiga telah mencoba-coba akan tetapi selalu gagal, bahkan bukan saja membahayakan penolongnya, juga membahayakan pula nona Sui Cin."

Mendengar ucapan Ci Kang ini, Hui Song yang sudah mendekati gurunya berkata, "Suhu, tolonglah suhu memberi petunjuk, bagaimana teecu bisa membebaskan Cin-moi dari tiang itu tanpa membahayakan keselamatannya?"

Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas nampak tertegun memandang batu pat-kwa itu, alisnya berkerut dan sebentar saja penggunaan pikiran yang diperas itu membuat tubuh gendut itu mandi keringat. Terpaksa dia pun menggerakkan kipasnya yang lebar untuk mengipasi tubuhnya yang bagian depannya nampak karena bajunya tidak dapat dikancingkan itu.

"Ha-ha-ha-ha, Si Dewa Kipas yang terlampau banyak makan, mana mampu memecahkan masalah rumit seperti ini? Aku berani bertaruh bahwa dia tidak akan mampu, ha-ha-ha!" Wu-yi Lo-jin yang suka berkelakar dan menggoda orang itu tertawa-tawa mengejek.

Kerut di antara alis mata Si Dewa Kipas makin mendalam dan agaknya otaknya diperas lebih keras lagi untuk mencari akal. "Ahhh, apa sih sukarnya? Walau pun batu pat-kwa ini mengandung banyak alat rahasia, kalau kugempur tentu hancur!"

"Jangan, suhu!" Hui Song berseru. "Baru diinjak saja sudah mengeluarkan senjata-senjata rahasia yang berbahaya, apa lagi kalau digempur!"

"Gendut, enak saja kau bicara! Kalau digempur kemudian alat-alat rahasia menggerakkan senjata-senjata maut menyerang muridku, berarti engkau membunuhnya dan kalau terjadi demikian, mau tidak mau terpaksa aku akan menggempur perut gendutmu itu!" kata Wu-yi Lo-jin dengan mata terbelalak dan mulut cemberut. Dia marah sungguh-sungguh, namun tetap saja mukanya nampak lucu sehingga sama sekali tidak menyeramkan.

"Huhh!" Siang-kiang Lo-jin mencela. "Lalu apa gunanya engkau si kerdil ini hadir di sini? Aku menggempur batu pat-kwa sementara engkau berjaga-jaga, kalau muridmu terancam bahaya, engkau harus menghalau serangan-serangan itu. Apa sukarnya? Kalau kau tidak mampu, berarti kau tidak berguna di sini dan lebih baik kau pergi agar tidak memuakkan saja!"

"Wah, wah! Kau menghina, ya? Aku ini memuakkan? Engkaulah yang memuakkan. Lihat perutmu, orang seperti engkau inilah yang menyebabkan banyak orang kelaparan. Makan sepuluh orang kau habiskan sendiri!"

"Dan engkau ini si kerdil yang mabok-mabokan. Engkau ini namanya orang yang tak tahu terima kasih kepada alam, meski alam melimpahkan segala untukmu, engkau tetap kurus kering, seperti cecak mati. Aku ini yang namanya mengenal budi dan selalu bersyukur sehingga tubuhku subur."

"Subur apanya? Perut gendut itu sarang cacing dan penyakit!"

Kini dua orang kakek itu berhadapan dan agaknya seperti dua orang anak kecil yang siap untuk berhantam. Melihat ini, Sui Cin segera berseru, "Suhu, aku tidak berdaya dan perlu pertolongan, akan tetapi suhu ribut-ribut sendiri saja bercekcok! Ini namanya suhu tidak sayang kepadaku!"

Ditegur demikian oleh Sui Cin, Wu-yi Lo-jin mundur menjauhi Siang-kiang Lo-jin dan kini dia memandang ke arah batu pat-kwa dengan alis bergerak-gerak. Sampai cukup lama dia termenung. Melihat ini, Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak, memegangi perut gendutnya yang kembang kempis bergelombang.

"Hua-ha-ha, otakmu terlalu kecil untuk dapat memecahkan persoalan ini!"

Akan tetapi Wu-yi Lo-jin tidak mau melayani, malah dia bertanya kepada Hui Song "Kalian tadi telah mencoba dan menyelidiki keadaan batu pat-kwa ini? Coba ceritakan kepadaku, apa rahasianya!"

"Begini, locianpwe. Delapan segi dari batu ini semua mengandung alat rahasia yang kalau diinjak atau disentuh lalu otomatis mengeluarkan serangan senjata-senjata rahasia yang berbahaya. Bahkan setiap kotak satu segi itu mempunyai senjata rahasia sendiri-sendiri. Bahkan tanah di sekeliling batu pat-kwa ini juga mengandung jebakan yang berbahaya sekali sehingga mendekati batu pat-kwa itu saja sudah berbahaya. Hanya bagian tanah di luar segi pat-kwa yang tertutup bayangan tiang itu saja yang agaknya menjadi lumpuh dan alat rahasianya tak berdaya lagi. Akan tetapi yang lumpuh itu hanya tanah di luarnya saja, sedangkan batu pat-kwa itu sendiri masih bekerja. Kami bertiga telah mencoba dari berbagai jurusan, namun selalu gagal dan membahayakan keselamatan Cin-moi. Bahkan saya sendiri sudah mencoba dengan meloncat melewati batu lantas hinggap di tiang itu akan tetapi begitu terinjak, tiang itu pun berpusing dengan amat cepatnya sehingga amat membahayakan dan tidak memungkinkan saya menolong dan membebaskan Cin-moi." Hui Song yang merasa gelisah sekali melihat keadaan Sui Cin lalu menyambung dengan suara memobon, "Locianpwe, tolonglah... tolonglah Cin-moi...!"

Melihat muridnya memohon kepada kakek kerdil itu, Siang-kiang Lo-jin segera mengejek, "Hemm, sudah kukatakan, otaknya terlalu kecil untuk dapat berpikir besar!"

Akan tetapi tiba-tiba kakek katai itu meloncat dan wajahnya nampak berseri, "Nah, sudah tahu aku bagaimana harus membebaskan muridku!"

Hui Song memandang girang. "Bagaimana, locianpwe?"

"Membebaskan dia melalui batu pat-kwa itu tidak mungkin, meloncat ke tiang itu pun tidak mungkin. Maka satu-satunya cara untuk menolongnya hanyalah dengan membuka ikatan tangannya tanpa menyentuh batu pat-kwa atau tiang. Bukankah sederhana saja cara itu?"

Mendadak kakek gendut itu tertawa bergelak. Kakek kerdil mengerutkan alis memandang kepadanya dengan marah. "Ndut, mengapa kau tertawa? Engkau mentertawakan akalku yang amat bagus itu?"

"Akal bagus tahi kucing! Akalmu itu hanya mampu dilakukan oleh Sun Go Kong (Si Raja Monyet dalam dongeng See-yu)! Hanya Sun Go Kong yang bisa mengulurkan lengannya sampai satu li panjangnya atau pian-hwa (berganti rupa) menjadi seekor lalat yang dapat terbang ke tangan muridmu itu tanpa menyentuh tiang, terapung di udara! Omong kosong akalmu itu!"

Biar pun ucapan kakek gendut itu bernada mengejek, berkelakar atau menggoda, namun tiga orang pemuda dan Sui Cin yang mendengarkan, mau tidak mau harus membenarkan dan mereka menganggap akal Wu-yi Lo-jin itu meski pun benar akan tetapi tidak mungkin dapat dilaksanakan.

Akan tetapi kakek kerdil itu bertolak pinggang lantas memandang kakek gendut dengan mata melotot. "Nah, ini buktinya bahwa biar kecil, aku seperti sebuah ciu-ouw (guci arak) yang penuh dengan arak wangi, sebaliknya engkau biar besar, seperti sebuah gentong air yang kosong melompong! Kalau aku tahu akalnya, tentu aku sudah tahu pula caranya untuk melaksanakan akal itu."

"Bagaimana caranya, suhu?" Sui Cin yang sudah tidak sabar mendengarkan perdebatan itu bertanya.

"Tenanglah, muridku. Selama ada gurumu di sini, tentu engkau akan selamat." Dan dia segera menghadapi Siang-kiang Lo-jin. "Kita adalah laki-laki berisi, bukan boneka-boneka lemah. Kita bentuk jembatan manusia. Engkau San-sian (Dewa Kipas), karena engkaulah yang paling gendut dan paling berat, juga sebagai hukumanmu tadi telah berani mengejek akalku, engkau menjadi tiang penyangga yang terbawah. Kemudian pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu..." dia menunjuk kepada Ci Kang, "menjadi tiang penahan. Dia ini..." kini dia menunjuk Cia Sun, "dan muridmu menjadi dua tiang penghubung yang melengkung ke arah muridku itu. Aku sendiri menjadi bagian paling atas untuk mencapai muridku dan membebaskannya dari belenggu. Nah, mengertikah engkau?"

Siang-kiang Lo-jin adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia memang kalah oleh kakek kerdil itu. Agaknya orang yang bertubuh kecil biasanya memang lebih gesit dan cerdik dari pada orang yang memiliki tubuh besar. Dia lalu menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti..."

"Suhu, aku sudah mengerti dan memang akal Wu-yi locianpwe itu hebat sekali! Mari kita laksanakan!" kata Hui Song.

Akan tetapi Siang-kiang Lo-jin masih belum mengerti dan melihat ini, Wu-yi Lo-jin berkata tidak sabar, "Kalau tidak mengerti, turuti saja perintahku! Tidak perlu membuang banyak waktu lagi. Nah, gendut, engkau rebahlah di dekat batu pat-kwa pada bagian yang ditimpa bayangan tiang. Engkau rebah terlentang di atas tanah dan persiapkan semua tenagamu. Apakah engkau masih kuat menyangga empat orang?"

Biar pun belum mengerti benar, akan tetapi pertanyaan ini dianggap tantangan oleh Dewa Kipas. "Jangan kata hanya empat orang, biar pun sepuluh orang masih dapat kuangkat!" jawabnya.

"Bagus, jika begitu cepat kau rebahkan dirimu terlentang, mukamu menghadap ke tiang!"

Siang-kiang Lo-jin menurut dan merebahkan dirinya terlentang di luar batu pat-kwa, pada bagian segi yang tertutup bayangan tiang.

"Sekarang engkau orang muda!" kata Wu-yi Lo-jin kepada Ci Kang. "Sebaiknya lepas dulu bajumu agar pegangan menjadi kuat, tidak berpegang kepada baju yang dapat robek."

Ci Kang membuka bajunya, diturut pula oleh Cia Sun dan Hui Song. Kemudian Ci Kang berdiri di depan tubuh Dewa Kipas, di antara kedua kakinya. Kini Dewa Kipas sudah mulai mengerti, maka ketika pemuda tinggi besar itu mengulurkan lengan kanannya yang kokoh kuat, Dewa Kipas memegang tangan Ci Kang dengan tangan kanannya, ada pun tangan kirinya memegang pangkal lengan pemuda itu.

Ci Kang menekuk kedua kakinya dan Cia Sun lantas meloncat ke atas kedua paha yang melintang itu, membiarkan kedua lengannya ke belakang untuk ditangkap oleh tangan kiri Ci Kang. Atas isyarat Wu-yi Lo-jin, kini Hui Song lalu memanjat ke atas dan dengan ilmu meringankan tubuhnya, dia berhasil duduk di atas kedua pundak Cia Sun, menjepit leher Cia Sun dengan kedua pahanya, kedua kakinya ditekuk ke belakang melalui kedua ketiak Cia Sun dan mengait punggung.

Setelah itu Wu-yi Lo-jin sendiri dengan sekali lompatan saja, bagai seekor burung, sudah melayang ke atas pundak Hui Song dan seperti juga Hui Song, dua kakinya menghimpit leher dan mengait ke punggung pemuda itu. Kini jadilah lima orang itu sebuah tiang yang cukup tinggi.

"Sekarang, perlahan-lahan melengkung ke depan, kita membentuk jembatan!" kata Wu-yi Lo-jin. "Heiii, gendut. Hati-hati kau, pegang yang kuat dan kerahkan tenagamu. Kalau kau gagal kami semua akan mampus!"

Tiang lima manusia ini mulai condong ke arah Sui Cin yang berdiri dengan hati tegang. Gadis ini menoleh ke belakang karena pada waktu itu matahari berada di depannya, ada pun bayangan tiang itu berada di belakangnya sehingga lima orang itu beraksi di sebelah belakangnya.

"Ha-ha-ha, engkau ringan seperti ampas kering, tidak perlu mengerahkan tenaga pun aku masih sanggup menahanmu!" Siang-kiang Lo-jin yang menahan berat tubuh empat orang itu masih sempat tertawa dan berbicara. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga karena maklum bahwa biar pun dia berada paling bawah dan seperti diremehkan, namun sesungguhnya kepercayaan kakek kerdil itu dipusatkan kepadanya dan dialah yang kini memegang keselamatan mereka semua!

"Melengkung lagi, sedikit lagi!" kata Wu-yi Lo-jin.

Tubuh Ci Kang yang menjadi tiang penahan itu nampak kokoh, urat-urat melingkar-lingkar pada kedua lengan dan dadanya yang telanjang. Akhirnya tiang manusia itu melengkung dan kedua tangan Wu-yi Lo-jin dapat mencapai ikatan tangan Sui Cin!

Akhirnya mereka dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa mau pun tiang. Dan jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil akan tetapi mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin.

"Hati-hati, jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar dari batu pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar dari batu pat-kwa!"

Sui Cin menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak terhalang oleh tiang. Gurunya memegang kedua pundaknya, lantas dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melempar tubuh muridnya itu ke arah samping.

Tubuh gadis itu segera melayang jauh. Dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah kecepatan luncuran tubuhnya hingga akhirnya dengan lunak gadis itu mendarat beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!

Tiang manusia itu pun terbongkar sesudah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.

"Suhu...!" Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.

"Anak nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"

Sui Cin yang merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan yang luar biasa, kini berlari menghampiri Hui Song yang telah melompat turun pula. Mereka berdua saling menghampiri dan sekarang berhadapan, berpegangan tangan dan saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa dia mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.

"Heh-he-he, kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata kakek kerdil.

"Benar sekali katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.

Mendengar kata-kata dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi panas. Muka itu kemerahan dan gadis ini sudah melepaskan pegangan tangannya, lantas menghampiri Cia Sun.

"Sun-toako, terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.

"Berterima kasihlah kepada suhu-mu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab Cia Sun.

Ci Kang merasa risi dan sungkan sekali. Dalam hatinya dia tak ingin berhadapan dengan Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu menghampirinya dan berkata halus, "Saudara Ci Kang, terima kasih!"

Ci Kang mengangkat muka memandang. Melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya. "Aku... aku tidak ada artinya, nona..."

Diam-diam Hui Song merasa mendongkol bukan kepalang ketika melihat betapa Sui Cin bercakap-cakap dengan Ci Kang. Bila menurutkan perasaan hatinya, ingin dia meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimana pun juga Ci Kang telah membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia pun menahan kepanasan hatinya.

"Di mana datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu sekarang, Cin-moi?" Hui Song meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu. "Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum sesat!"

Sambil berkata demikian dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa pemuda ini pun putera seorang datuk sesat.

"Sesudah mengikatku di sini mereka lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah sekarang masih di sana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.

"Kita harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua iblis itu dihancurkan tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi," kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju.

Seperti dikomando saja enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan jejak suami isteri iblis itu pun tidak mereka temukan.

Agaknya kedua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu dari jauh, karena dari puncak bukit sana memang batu pat-kwa itu dapat terlihat dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi di situ dapat terlihat dari puncak bukit. Agaknya ketika suami isteri iblis itu melihat betapa Sui Cin dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai pula, mereka menjadi gentar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

"Wah, iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.

"Hemmm, ke mana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis itu?" Hui Song juga berkata jengkel.

"Aku tahu di mana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata sehingga semua mata memandang padanya. Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis, dan hatinya berbisik, "Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan mereka."

Akan tetapi pada saat itu pula terdengar Cia Sun berkata, "Benar, Ci Kang dan aku tahu di mana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"

Sebagai penunjuk jalan Ci Kang dan Cia Sun segera berlari cepat diikuti oleh yang lain. Sesudah melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,

"Ehh, kenapa ke San-hai-koan?"

"Memang di situlah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan, dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapa pun sehingga di sana mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut, bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan.


                 ***************


Perang akhirnya selesai sesudah bala tentara pemerintah merebut kembali San-hai-koan dan Ceng-tek. Ketika enam orang pendekar itu memasuki San-hai-koan, mereka disambut dengan ramah oleh Yang-tai-ciangkun bersama para pendekar yang tadinya membantu pasukan dan kini masih berada di San-hai-koan.

Ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Iblis diduga keras sedang bersembunyi di dalam sebuah tempat rahasia di San-hai-koan dan tempat itu sudah diketahui oleh Ci Kang dan Cia Sun, Yang-ciangkun terkejut sekali dan segera menyerahkan seratus orang pasukan pengawal untuk membantu enam orang pendekar itu mengepung tempat rahasia.

Pagi hari itu juga, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Cia Sun, Hui Song, Ci Kang dan Sui Cin berangkat ke tempat rahasia itu. Mereka diikuti pula oleh beberapa orang pendekar yang merasa tertarik walau pun mereka merasa jeri juga mendengar bahwa enam orang itu hendak menyergap Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, juga diikuti oleh seratus orang prajurit pengawal pilihan.

Tempat rahasia itu segera dikepung oleh pasukan. Enam orang pendekar berjaga di luar lubang sumur dan lubang terowongan di balik semak-semak yang merupakan dua jalan keluar dari tempat rahasia itu.

"Kami akan bersembunyi dahulu," kata Wu-yi Lo-jin kepada para pendekar muda, "kalau Raja Iblis melihat kami dan dia menggunakan tongkat sakti itu, bagaimana pun juga kami berdua tidak dapat melanggar sumpah sendiri dan tidak akan dapat melawan."

"Baiklah, suhu," kata Sui Cin, "Nanti saja bila mana kami telah mengeroyoknya, suhu dan Siang-kiang locianpwe baru keluar membantu sehingga dia tak sempat lagi mengeluarkan tongkatnya itu."

Sesudah dua orang kakek yang takut melanggar sumpah terhadap tongkat sakti yang ada di tangan Raja Iblis itu bersembunyi, Hui Song lantas menjenguk ke dalam lubang sumur dan berteriak sambil mengerahkan khikang-nya.

"Pangeran Toan Jit Ong, Raja Iblis yang terkutuk, keluarlah menerima kematian!"

Tidak ada jawaban dari bawah, juga tak nampak gerakan sesuatu. Yang ada hanya gema suara teriakan Hui Song yang terdengar mengaum dan menyeramkan, seperti jawaban atas teriakan tadi, jawaban yang bukan keluar dari mulut manusia.

Melihat ini, seorang perwira yang memimpin pasukan pengawal itu menjadi tak sabar lagi. "Siapkan kayu bakar dan tiupkan asap ke dalam sumur!"

Perwira ini hendak menggunakan siasat mengisi tempat persembunyian itu dengan asap supaya mereka yang berada di sebelah dalam akan terpaksa keluar karena tidak tahan diasapi dari luar.

Melihat kesibukan prajurit-prajurit pengawal mempersiapkan perintah sang perwira, Wu-yi Lo-jin yang berada dalam persembunyiannya terkekeh. "Heh-heh-heh, kelinci-kelinci yang diasapi tentu akan keluar sekarang!"

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan delapan orang prajurit yang berada paling dekat dengan lubang sumur berteriak dan roboh terjengkang. Mereka tewas seketika karena jarum-jarum beracun sudah menyambar tenggorokan mereka. Dari dalam lubang sumur itu kini melayang dua sosok tubuh, seorang lelaki dan seorang perempuan, tampan dan cantik dan keduanya mengenakan pakaian indah pesolek.

Tentu saja para prajurit pengawal menjadi terkejut dan marah melihat robohnya delapan orang teman mereka. Dengan senjata golok atau tombak mereka segera mengepung dan menyerang. Akan tetapi dua orang muda itu benar-benar lihai dan begitu mereka berdua menggerakkan pedang, kembali robohlah empat orang prajurit yang mengeroyok mereka.

Sementara itu, ketika mengenal bahwa dua orang itu adalah Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, Ci Kang langsung marah sekali. Sim Thian Bu adalah murid mendiang ayahnya dan terhitung sute-nya biar pun Thian Bu lebih tua darinya. Dia sudah meloncat maju, hampir berbareng dengan Sui Cin yang juga sudah marah sekali melihat Siang Hwa.

"Sim Thian Bu manusia keparat!" Ci Kang membentak marah. "Hayo menyerah sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!"

Ternyata gemblengan Ciu-sian Lo-kai telah merubah sifat pemuda ini. Biar pun dia marah sekali dan tahu bahwa bekas sute-nya ini adalah seorang jahat yang sepatutnya dibasmi, namun dia masih memberi kesempatan kepada Thian Bu untuk menyerah dan menerima hukuman, kalau mungkin merubah sifatnya yang jahat.

Namun Sim Thian Bu tersenyum mengejek. "Siangkoan Ci Kang manusia busuk! Engkau seperti harimau berkedok domba, ha-ha-ha! Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta? Engkau pura-pura alim dan menjadi pendekar? Ha-ha-ha, betapa lucunya!" Setelah berkata demikian, Sim Thian Bu sudah menggerakkan pedangnya menusuk dada Ci Kang.

Akan tetapi, dengan mudah saja Ci Kang mengelak dan menendang ke arah pergelangan lengan lawan yang juga dapat dielakkan. Mereka segera berkelahi dengan seru biar pun Ci Kang hanya bertangan kosong dan lawannya berpedang.

Sementara itu, Sui Cin yang marah melihat murid Raja Iblis itu segera menyerang tanpa banyak cakap lagi. Dia pun hanya mempergunakan tangan kosong saja, menubruk sambil mencengkeram ke arah pundak Siang Hwa sambil membentak,

"Perempuan iblis, bersiaplah untuk mati!"

Siang Hwa, seperti juga Thian Bu, maklum bahwa dia telah terkepung oleh banyak orang pandai, maka tanpa banyak cakap dia pun juga mengelak dan mengelebatkan pedangnya membalas serangan Sui Cin dengan nekat. Akan tetapi sabetan pedangnya juga hanya mengenai tempat kosong, bahkan dia terkejut bukan main ketika melihat tubuh lawannya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah menyerang ke arah kepalanya dengan tamparan dari samping!

Tahulah dia bahwa gadis cantik yang menjadi lawannya ini adalah seorang ahli ginkang yang tangguh, sebab itu dia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh. Maka terjadilah perkelahian yang cepat dan mati-matian antara Sui Cin dan Siang Hwa.

Cia Sun dan Hui Song hanya menonton sambil bersiap-siap membantu dua orang teman mereka kalau perlu, akan tetapi mereka tidak mengeroyok karena maklum bahwa Ci Kang dan Sui Cin akan mampu menundukkan kedua orang musuh itu. Membantu teman yang lebih kuat dari pada lawan merupakan pantangan bagi mereka.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras, lalu tanah dan batu muncrat dari tempat tak jauh dari situ. Ledakan itu ternyata mengakibatkan tanah itu berlubang besar lantas dari dalam lubang itu nampak empat orang yang memanggul kayu pikulan berbentuk joli tanpa atap berloncatan keluar dengan kecepatan yang luar biasa.

Mereka adalah empat orang yang berpakaian seragam, bukan pakaian prajurit melainkan pakaian jago silat, ada pun di atas joli terbuka itu duduk dua orang yang membuat semua orang menjadi terkejut dan ngeri melihatnya. Dua orang itu adalah Raja dan Ratu Iblis!

Tentu saja para prajurit segera mengepungnya, lantas belasan batang tombak dan golok berkelebatan menyerang empat orang pemikul joli terbuka itu. Akan tetapi segera terjadi kekacauan dan semua orang terkejut melihat betapa empat orang pemikul joli itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya.

Kadang-kadang mereka berloncatan seperti terbang, lalu turun dan lari, sedangkan kakek dan nenek yang kadang-kadang duduk dan kadang-kadang bangkit berdiri itu menggerak-gerakkan tangan mereka. Hawa pukulan segera menyambar dahsyat, membuat belasan orang prajurit terpelanting ke kanan kiri tanpa mampu bangkit kembali! Tentu saja hal ini menggegerkan para prajurit dan perwira mereka memberi aba-aba agar terus mengepung dan mengejar......
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12