Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 30
SEMENTARA
itu, pertempuran di kota San-hai-koan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa
pasukan pemberontak yang berada di San-hai-koan terkejut bukan main melihat
betapa tiba-tiba pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung
San-hai-koan.
Mereka
dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya yang melawan dengan gigih dan
mempertahankan benteng San-hai-koan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis,
yaitu datuk-datuk sesat beserta tokoh-tokoh dunia hitam, ikut membantu pasukan
pemberontak mempertahankan benteng itu.
Akan tetapi
pasukan pemerintah jauh lebih kuat, dan pasukan ini pun dibantu oleh para
pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak. Maka dalam waktu
sehari semalam saja benteng itu pun bobol lantas pertempuran terjadi dengan
serunya di dalam kota San-hai-koan.
Cia Sun dan
Ci Kang sekarang mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur
para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengamuk sampai mereka dapat
bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah.
Melihat
betapa ketua Cin-ling-pai kini malah membantu pasukan pemerintah menggempur
pemberontak, para pendekar menjadi amat girang dan mereka menganggap bahwa
berita tentang Cin-ling-pai yang bersekutu dengan para pemberontak ternyata
tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-ling-pai sudah menggunakan siasat
pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah
dalam!
Sesudah para
pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian
melarikan diri dan sebagian pula menakluk, Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke
tempat rahasia di mana Hui Cu tadi mereka tinggalkan. Akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi
melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak
tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang.
Juga dalam
penyerbuan itu, walau pun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar
lain, namun tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Su-kwi
dan beberapa orang datuk sesat lain. Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak
dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya bisa mereka tawan
hidup-hidup dalam keadaan luka-luka, namun panglima pemberontak ini pun tidak
dapat menjawab ke mana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu.
Tentu saja
para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk
mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Ternyata tokoh-tokoh terpenting
mereka dapat melarikan diri.
Setelah kota
San-hai-koan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan
pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Ceng-tek.
Seperti yang sudah diperhitungkannya, pasukan pemberontak sedang mengepung kota
Ceng-tek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobol benteng
Ceng-tek yang sudah diduduki oleh pasukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu
kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari San-hai-koan yang keadaannya masih
segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh
semangat.
Tentu saja
pasukan pemberontak yang tengah mengepung Ceng-tek menjadi terkejut dan panik
ketika mendadak mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apa lagi
sesudah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, San-hai-koan,
telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan
kedua benteng itu. Ceng-tek direbut oleh pasukan suku bangsa utara sedangkan
San-hai-koan dirampas oleh pasukan pemerintah.
Pasukan
pemberontak masih mencoba untuk melakukan perlawanan, akan tetapi mereka
dihimpit dari depan dan belakang. Dalam waktu sehari saja mereka pun hancur
lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.
Dan terjadi
perubahan pula di Ceng-tek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota
itu namun kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh
lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi.
Yang-ciangkun
adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biar pun dia sudah mendengar
bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa di utara untuk bergerak,
pertama-tama menduduki benteng Ceng-tek untuk kemudian menyerbu ke selatan
untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia
menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para
pemberontak.
Dia pun tahu
bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar
yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan
damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus
dipergunakan kekerasan.
Oleh karena
itu, Yang-ciangkun kemudian menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar
yang suaranya keras supaya menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan
pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang mempunyai suara nyaring dan
memang bertugas untuk itu, segera maju ke depan dengan corong-corong di depan
mulut mereka kemudian terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat
kuatnya.
"Para
pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan dari Yang-ciangkun!
Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, akan tetapi sebagai sahabat yang
sudah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap
kalian suka menyerahkan benteng Ceng-tek kembali kepada kami supaya
persahabatan di antara kita tidak terganggu!"
Berkali-kali
kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar hingga terdengar oleh mereka
yang bertugas jaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja
segera disampaikan kepada Yelu Kim.
Nenek itu
berada di atas menara yang menjadi pusat di mana dia memimpin para kepala suku
bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini sedang duduk berdua saja dengan Sui Cin
dan merasa bimbang sekali. Ketika menerima laporan tentang usul yang
diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi
merah sekali. Dia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.
"Keparat!
Dengan susah payah kita merebut benteng ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa
pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu
saja? Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"
Semenjak
tadi Sui Cin memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang
dengan gagah dan pandainya sudah memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil
menduduki Ceng-tek. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kini, sesudah pasukan
pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, dia sendiri tidak
mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar
usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik
untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan
Yang-ciangkun.
"Subo...,"
katanya lirih dan hati-hati.
"Hemm...?"
Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan
memandang muridnya.
"Subo
tentu percaya kepadaku, bukan?"
"Percaya
apa?"
"Percaya
bahwa aku selalu memiliki iktikad baik terhadap subo serta pasukan yang subo
pimpin."
Nenek itu
memperlebar matanya dan memandang tajam. "Tentu saja. Sudah banyak yang
kau lakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali padamu.
Bila aku tidak percaya padamu, tentu selama ini engkau tidak kuberi tugas yang
penting-penting."
"Terima
kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat
perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo,
namun karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga
aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah,
karena rasa suka itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang
penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak merasa
tersinggung dan menjadi marah."
Nenek itu
tersenyum dan memandang lembut. "Muridku, apa kau sangka aku belum juga
mengenalmu sehingga tak tahu akan isi hatimu? Selama ini engkau membantuku
karena melihat aku menentang kaum pemberontak. Engkau adalah seorang gadis
pendekar dan tentu engkau pun menentang para kaum sesat yang menunggangi
pasukan pemberontak. Bila mana kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas
bahwa engkau tidak akan membantu kami sungguh pun aku percaya engkau tidak akan
tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"
Sui Cin terkejut
dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik
dan bijaksana sekali. Pantaslah jika menjadi keturunan Yelu Ce-tai yang amat
terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.
"Sungguh
tepat sekali wawasan subo."
"Nah,
kini katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang
ini."
"Begini,
subo. Ceng-tek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang jumlahnya sangat
besar. Tanpa diserang sekali pun, baru dikepung saja sampai satu bulan lebih,
tentu kita akan kehabisan ransum lantas akan celaka. Andai kata kita melawan
pun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tak akan sebodoh itu,
membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil
seperti Ceng-tek ini. Kalau menurut pendapatku, akan jauh lebih menguntungkan
kalau menerima usul Yang-ciangkun, yakni menyerahkan kembali benteng ini dalam
suasana damai dan bersahabat dari pada harus mempertahankan dengan kekerasan
dan akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."
"Pendapatmu
itu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Tetapi
pantaskah jika aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan
yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia
dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"
"Subo,
Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik
tentu tidak hanya pandai meminta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi.
Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Apa bila subo
menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan
permintaan-permintaan yang kiranya akan berguna bagi bangsa-bangsa di utara
sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya,
bukan?"
"Aihh,
benar sekali, Sui Cin!" Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya.
"Mengapa aku tidak berpikir sampai ke situ? Engkau benar sekali. Kini aku
akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi
utusan atau wakilku. Engkaulah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan
usul kami kepada Yang-ciangkun!"
Sui Cin
gembira sekali. "Aku bersedia, subo!"
Nenek itu
lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu,
menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari
terbit. Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi
teriakan-teriakan dari bawah sehingga keadaan menjadi sunyi sekali.
Yang
mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu
membuat api unggun, ada pun yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas
tembok benteng juga kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan kedua pihak begitu
percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam
hari itu.
Pada
keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas
berisi permintaan-permintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada
pemerintah Beng-tiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang
memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan, yang berlaku
adalah peraturan-peraturan militer.
Akan tetapi
dara itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang
oleh Yelu Kim sendiri. Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim,
juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada di antara para kepala suku
bangsa yang tidak setuju kemudian hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan
menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah
disiapkan oleh penjaga di pintu gerbang.
Pintu
gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang,
Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu
meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu.
Tiba-tiba
nampak berkelebat dua bayangan orang yang langsung menghadang kuda yang
ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apa lagi setelah mengenal bahwa
dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri!
Gadis itu
berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada hubungannya dengan surat
yang dibawanya. "Kalian mau apa?" bentaknya marah.
"Menyerahlah
dengan baik!" kata Ratu Iblis.
"Huh,
kalian kira aku takut? Sampai mati aku tidak sudi menyerah!" Dan tiba-tiba
Sui Cin membalapkan kudanya.
Akan tetapi
tak mudah dia lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan
yang sangat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung
Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan ginkang-nya yang tinggi dia dapat
melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak
terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan.
Sementara
itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat kemunculan dua bayangan itu, tidak masuk
kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat berlari menghampiri tempat itu
yang tidak begitu jauh dari tempat dia berdiri.
"Sui
Cin, suratnya...!" nenek ini berseru.
Sui Cin
maklum apa yang dikehendaki gurunya. Cepat gulungan kertas itu dia lemparkan ke
arah nenek yang dengan cepat lalu menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke
atas punggung kuda yang ketakutan dan dia membalapkan kuda itu untuk
menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun, menyerahkan sendiri surat
tuntutan atau permintaan bangsanya itu.
Akan tetapi
kembali Raja Iblis menggerakkan tangan kanannya dan sekali ini bukan untuk
melakukan pukulan jarak jauh seperti yang dia lakukan terhadap kuda tadi,
melainkan ada benda bersinar putih yang meluncur dari tangan itu menuju ke arah
tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda. Benda itu berputar-putar cepat
seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim.
Nenek ini
merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah
benda pada punggungnya itu dan menariknya dari punggung. Ketika dilihatnya,
ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak
kecil.
Nenek ini
terkejut sekali lantas membanting tengkorak itu ke atas tanah. Tengkorak pecah
berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa
panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah dia bahwa dia telah terkena
senjata beracun yang amat ampuh.
Akan tetapi
dia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah
yang mengepung Ceng-tek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Dia menahan rasa
nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur
karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting
dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas.
Beberapa
prajurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah
besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat-cepat menerima gulungan
kertas, dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini,
"Tai-ciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Ceng-tek kuserahkan
akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang sangat pantas
ini...," kemudian nenek yang gagah perkasa ini pun menghembuskan napas
terakhir di depan Yang-ciangkun.
Berita
mengenai kegagahan nenek Yelu Kim ini tersebar luas, dan sampai puluhan tahun
kemudian namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur serta dikagumi pula
oleh para pendekar selatan. Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku
bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini
langsung disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku
bangsa utara menjadi jauh lebih baik.
***************
Sementara
itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim
berhasil lari walau pun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah sekali.
"Kalian
ini iblis-iblis busuk!" bentaknya. Dia pun sudah menerjang mereka dengan
tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang sangat ampuh sambil mengerahkan
tenaga sinkang-nya.
Akan tetapi
yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali
kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri
dan tergetar hebat. Akan tetapi dia tidak takut dan menyerang terus sehingga
kakek itu menjadi marah bukan kepalang.
Bagaimana
pun juga tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai
belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang
lincah dan menggunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini itu.
Sui Cin
tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika dia mengelak
dari cengkeraman sepasang tangan Raja Iblis, tiba-tiba dia membalik dan dengan
kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang
dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Angin dahsyat
menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang
pernah membikin dia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat
Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam
waktu singkat.
Raja Iblis
merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan
membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh kembali ke
tangan pemerintah. Ketika melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan
pasukan liar dari utara, dia masih memiliki harapan agar kedua pihak berperang
sehingga keduanya lemah. Namun ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran
tangan Yang-ciangkun untuk berdamai.
Oleh karena
itu, dia segera keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat
dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, ternyata nenek
Yelu Kim berhasil melarikan surat dan mengorbankan nyawa sendiri, dan kini
tinggal dara itu yang juga tidak mudah ditangkap!
Melihat
betapa dara itu malah menyerangnya dengan dahsyat, dari dalam mulutnya kakek
yang seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dan dia pun
mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.
"Plakkk!"
Dua pasang
telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Maka
dia pun semakin kagum, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa sepasang
telapak tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik
kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua
telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat.
Dan pada
saat itu pula, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak
mampu mengelak dan dia pun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis.
Namun, pada
saat itu serombongan prajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan
mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis segera
membentak mereka, "Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru
kalian!"
Melihat
betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim
sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani
menyerang maka terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat
sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak
mampu bergerak.
***************
Sementara
itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan
para pendekar dan turut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung
Ceng-tek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh
mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh
pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang
Ceng-tek.
Semua orang
mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi
jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.
"Apa
yang terjadi? Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu
tadi?" tanya Ci Kang.
"Mereka
menawan nona Sui Cin, jadi kami tidak berani turun tangan."
"Apa?"
Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis. "Ke
mana mereka lari?"
"Ke
sana...!" Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul
dari tempat itu.
Tanpa banyak
cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun
berlari menuju ke bukit itu, menggunakan ilmu berlari cepat. Pada saat keduanya
tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid
Cin-ling-pai.
Seperti kita
ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama dengan murid-murid Cin-ling-pai,
berhasil dibawa keluar dari Ceng-tek oleh Sui Cin. Akan tetapi ketika mereka
pergi ke San-hai-koan untuk mencari ketua mereka, ternyata San-hai-koan sedang
dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu. Terpaksa
mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir akan terjadi salah paham
dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai
bersekutu dengan pemberontak.
Sesudah
perang berakhir, barulah Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka
mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah dan turut
menyerang ke Ceng-tek. Mereka merasa gembira sekali, dan mereka pun mengejar ke
Ceng-tek.
Biar pun
hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi ketika melihat
Cia Sun dia segera bertanya, "Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan
bagaimana dengan keadaan di Ceng-tek? Apakah engkau bertemu dengan ayah?"
Cia Sun
mengangguk. "Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau sekarang berada di
antara pasukan yang mengepung Ceng-tek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan
Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."
"Apa...?!"
Hui Song menjadi pucat wajahnya. "Ke mana dia dibawa lari?"
"Ke
bukit itu, dan kita hendak mencarinya!" kata Cia Sun dan dia pun cepat
mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.
"Aku
ikut...!" kata Hui Song. "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di
luar kota Ceng-tek!" Dan dia pun cepat mengerahkan tenaganya untuk
mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju
ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu.
Bukit itu
memang gundul dan kering. Sesudah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya
terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikit pun
tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan
yang dari jauh nampak amat menegangkan hati sehingga dengan sendirinya
ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Di sana, dalam jarak puluhan
meter, nampak Sui Cin sedang berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu
diikat pada tiang itu.
"Itu
Sui Cin...!" Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dahulu meloncat dan
lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.
"Cin-moi...!"
Hui Song berseru setelah tiba dekat.
"Song-ko!
Jangan mendekat...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan
tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan
memperhatikan keadaan.
Ternyata Sui
Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran
segi delapan. Pat-kwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya
biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam
meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat,
sekitar tiga meter.
Tempat di
mana Sui Cin diikat itu tak dapat dijangkau dengan tangan. Untuk menghampiri
atau menolong dara itu, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi
delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan
mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di
belakangnya.
Akan tetapi
tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apa lagi ada cegahan Sui Cin yang
membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan suatu jebakan yang
mengandung rahasia yang amat berbahaya bila diinjak oleh orang yang hendak
menolong gadis itu.
"Jangan
mendekat dari arah depan. Tadi ada seorang pendekar yang tewas akibat hendak
menolongku. Pasir di depan itu adalah pasir yang bisa membunuh, menyedot orang
yang menginjaknya. Ahh, mengerikan sekali...! Aku melihat orang yang hendak
menolongku itu tersedot, menangis tanpa aku mampu menolongnya hingga akhirnya
dia lenyap ke bawah permukaan pasir..." Suara gadis itu tergetar hebat.
"Raja Iblis sengaja menaruh aku di sini untuk menjebak kalian yang tentu
datang mencoba untuk menolongku. Hati-hati, jangan sembarangan bergerak."
Tentu saja
tiga orang pemuda itu menjadi terkejut sekali dan bingung. Mereka berdiri agak
jauh di depan Sui Cin.
Kini gadis
itu dapat melihat mereka semua dan wajahnya berseri gembira. Tidak dikiranya
bahwa tiga orang pemuda itulah yang datang hendak menolongnya, tiga orang
pemuda yang begitu dekat dengan hatinya! Baru kini seperti terbuka matanya
bahwa mereka itu, Cia Sun, Cia Hui Song, dan Siangkoan Ci Kang, semua
mencintanya, jatuh hati padanya!
Ketika
melihat mereka bertiga itu berdiri berjajar di hadapannya, hati Sui Cin yakin
bahwa sesungguhnya perasaan hatinya lebih condong kepada Hui Song. Apa pun
kekurangan pemuda ini kalau dibandingkan dengan dua orang pemuda yang lain,
tetap saja perasaan Sui Cin lebih dekat dengannya dan dia tahu bahwa Hui Song
memiliki watak dan cita rasa yang mirip dengannya. Hanya dengan Hui Song dia
dapat bergembira, dapat bertengkar, berbaik kembali, berbantahan dan saling
mengalah.
Cia Sun
terlalu serius, terlalu halus perasaannya sehingga tentu mudah tersinggung. Ada
pun Siangkoan Ci Kang mungkin yang paling gagah di antara mereka, penuh daya
tarik kejantanan, akan tetapi juga pendiam dan bahkan agak dingin. Sekarang,
dalam keadaan terancam bahaya seperti itu, memang lucu sekali, gadis ini
mengambil keputusan bahwa yang dicintanya hanyalah Hui Song.
"Cin-moi,
aku harus menolongmu. Aku dapat meloncat ke atas batu dan membebaskan dirimu,
tanpa menginjak tanah di tepi batu pat-kwa ini!" kata Hui Song.
"Jangan...!
Hati-hatilah, Song-ko, engkau akan celaka nanti. Batu pat-kwa ini mengandung
alat-alat rahasia yang sangat mengerikan. Aku melihat sendiri betapa Raja dan
Ratu Iblis melakukan langkah-langkah aneh ketika menginjak batu pat-kwa ini,
dan aku yakin bahwa jika sekali saja salah langkah dan menginjak bagian yang
ada alat rahasianya, maka akan terjadi hal-hal yang mengerikan."
"Aku
tidak takut, kalau perlu aku boleh saja mati untuk menolongmu!"
"Nanti
dulu, paman Hui Song! Kalau alat rahasia itu mengakibatkan kematianmu masih
baik, akan tetapi bagaimana kalau alat rahasia itu bekerja membunuh Sui
Cin?" kata Cia Sun dan wajah Hui Song berubah menjadi pucat karena dia
teringat akan kemungkinan ini dan membayangkan kematian mengerikan bagi Sui Cin
sebagai akibat perbuatannya yang gegabah!
"Begini
saja!" mendadak Ci Kang berkata. "Aku yang akan mencoba menghampiri
nona Ceng dengan berjalan di atas batu pat-kwa. Kalau terjadi apa-apa dengan
diriku, biarlah, aku rela mati. Dan jika terjadi sesuatu dengan nona Ceng,
kalian berdua berjaga-jaga dan melindunginya."
"Biar
aku saja yang mencobanya, Ci Kang," kata Cia Sun. "Engkau dan paman
Hui Song yang berjaga-jaga melindungi Cin-moi."
"Jangan...!"
Kini Hui Song yang berteriak. "Apakah kalian berdua hendak mempermainkan
keselamatan Cin-moi? Tidak, tidak boleh gegabah! Kita harus menyelidiki dahulu
keadaan batu pat-kwa ini dan sekelilingnya!"
"Lalu
apa yang akan kau lakukan, paman Hui Song?"
"Kita
selidiki dulu tanah di sekeliling pat-kwa ini." Hui Song mengambil
batu-batu sebesar kepala orang. Dia melemparkan batu itu di dekat batu pat-kwa
di depan Sui Cin dan benar saja, begitu tersentuh batu, mendadak pasir di depan
batu pat-kwa itu bergerak memutar dan batu itu lantas disedot dengan cepat
sekali ke bawah! Hui Song mencoba lagi untuk melihat di mana batas pasir
berputar itu dan ternyata sampai sejauh tiga meter di bagian itu masih
berbahaya.
Tanpa
diminta lagi, kini Cia Sun dan Ci Kang membantu pemuda Cin-ling-pai itu. Mereka
menggunakan batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu untuk menyelidiki
tanah di sekeliling batu pat-kwa. Ada bagian yang kalau diinjak atau kejatuhan
batu mengeluarkan paku-paku beracun, bahkan ada pula yang mengeluarkan asap
beracun sehingga tidaklah mungkin menghampiri batu pat-kwa dengan menginjak
tanah di sekelilingnya, kecuali satu bagian saja yang ketika dijatuhi batu
tidak mengakibatkan apa-apa. Bagian ini berada di sebelah kiri Sui Cin. Ketika
beberapa kali mereka melempukan batu di segi itu dan tidak terjadi reaksi
apa-apa seperti yang terjadi pada tujuh segi yang lain, mereka pun menjadi
girang.
"Bagian
ini tidak mengandung perangkap!" kata Hui Song.
"Biar
aku sekarang mencoba naik ke batu pat-kwa," kata Ci Kang sambil melangkah
maju.
"Tidak!
Engkau tidak boleh mendekatinya. Akulah yang berhak menolong Cin-moi, bukan
engkau!" Hui Song yang masih sangat membenci Ci Kang karena perbuatannya
yang lalu terhadap Sui Cin, membentak marah.
"Hemm,
mengapa harus engkau saja?" Ci Kang merasa mendongkol dan membantah.
"Karena
dia... dia... adalah orang yang kucinta!" dengan jujur Hui Song mengaku
begitu saja sehingga wajah Sui Cin menjadi merah dan hatinya juga mendongkol
mengapa Hui Song begitu lancang untuk bicara soal cinta di hadapan orang-orang
lain dalam keadaan seperti itu.
"Hemm,
engkau sungguh terlalu tinggi hati," kata Ci Kang tak puas.
"Paman
Hui Song, siapa pun orangnya boleh saja jatuh cinta kepada Cin-moi tetapi hanya
dialah yang akan menentukan siapa yang berhak memiliki hatinya. Akan tetapi
jika untuk menolongnya kukira tidak ada perbedaan, semua pun berhak."
"Tidak!
Biarlah aku yang mencobanya terlebih dahulu, dan kuharap engkau suka menjaga
kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam dirinya, Cia Sun." Kemudian, tanpa
memberi kesempatan kepada dua orang pemuda yang lain, Hui Song lalu melangkah
ke atas tanah yang tadi telah dicoba berkali-kali dengan lemparan batu dan
tidak terjadi sesuatu. Sui Cin yang tadi merasa bingung melihat betapa terjadi
pertengkaran di antara mereka bertiga, kini memandang dengan hati khawatir.
Tiba-tiba
terdengar ledakan dan Hui Song cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir
balik. Untung dia dapat bergerak cepat dan bersikap waspada. Ternyata, tanah
yang tadi sudah diselidiki dan dicoba dengan lemparan batu dan tidak berbahaya
itu, begitu terkena injakan kakinya langsung melemparkan batu dan pasir ke atas
disertai suara ledakan dari bawah!
"Sungguh
aneh! Kenapa tadi ketika dicoba dengan batu tidak apa-apa?" tanya Hui
Song.
Cia Sun juga
merasa heran dan dia sudah melemparkan lagi sebuah batu ke tempat itu. Kembali
terdengar ledakan dan pasir bersama batu menyambar ke atas disertai ledakan
dari bawah!
"Ahh,
aku tahu sekarang!" kata Ci Kang yang segera menusuk-nusukkan sebatang
kayu yang didapatnya ke atas tanah di sebelah kanan bagian yang meledak tadi.
Dan di bagian itu, ketika ditusuk-tusuk, tidak terjadi apa-apa. Padahal tadi
bagian itu pada saat disentuh mengeluarkan paku-paku beracun!
"Aku
mengerti sekarang. Lihat, bayangan tiang itu tadi tiba di segi yang meledakkan
pasir dan ketika dicoba tidak apa-apa. Kini bayangan tiang telah bergeser ke
kanan, jatuh pada bagian ini dan bagian ini yang tadi menyemburkan paku kini
tidak berbahaya. Sebaliknya, bagian yang tadi terkena bayangan dan tidak
berbahaya, kini malah menjadi berbahaya! Agaknya bayangan tiang itu membuat
alat rahasia pada bagian atau segi yang tertutup bayangan menjadi lumpuh dan
alat rahasia itu tidak bekerja!"
Dua orang
pemuda yang lainnya turut mencoba-coba dan memang betul. Kini bagian yang
terkena bayangan, yang nampak melintang hitam di satu segi dari batu pat-kwa,
ketika dilempar batu tanah di depannya, tidak terjadi apa-apa.
"Aku
akan naik, harap kalian menjaga nona Sui Cin!" kata Ci Kang dan dengan
berani dia sudah melangkah ke depan.
Tanah itu
diinjaknya dan tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah menghampiri batu pat-kwa,
dipandang dengan jantung berdebar oleh Sui Cin. Dua orang pemuda yang lain,
karena keduluan Ci Kang maka terpaksa hanya berdiri dengan sikap penuh
kewaspadaan mereka menjaga kalau-kalau Sui Cin akan terancam bahaya bekerjanya
alat rahasia.
Ci Kang
sudah tiba di dekat batu pat-kwa. Dia tidak mau gegabah naik ke atas batu-batu
pat-kwa itu, akan tetapi lebih dulu menggunakan tongkat kayu tadi memukul
permukaan batu pada kotak pertama. Setelah tidak terjadi sesuatu, dia kemudian
naik dan menginjak bagian itu. Dengan tongkatnya, dia lalu memukul kembali
bagian depan, juga tidak terjadi apa-apa.
Kotak ketiga
di depan dibagi menjadi dua oleh sebuah garis. Ci Kang meragu. Yang mana yang
harus dipukul untuk mencari landasan yang aman. Dengan hati-hati dia memukulkan
tongkatnya ke atas kotak yang kiri dan tiba-tiba saja bagian itu terbuka
kemudian nampak berkelebat dua sinar hitam, satu ke arah Ci Kang dan yang lain
ke arah Sui Cin!
Ci Kang
cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik melompat ke bawah batu
pat-kwa sehingga anak panah hitam itu meluncur lewat dan tak mengenai tubuhnya.
Dan pada saat itu pula Hui Song sedang melemparkan sebuah batu besar untuk
menyambit anak panah yang meluncur dan menyambar ke arah Sui Cin.
"Takkk...!"
Anak panah
itu terpukul batu lalu mencelat jauh keluar dari batu pat-kwa. Wajah Sui Cin
menjadi agak pucat dan wajah tiga orang pemuda itu pun diliputi ketegangan.
"Benar-benar
berbahaya!" kata Cia Sun. "Biarlah sekarang aku yang mencobanya,
harap kalian suka menjaga baik-baik." Tanpa menunggu jawaban, dia pun
menghampiri bagian segi yang tadi dilalui Ci Kang.
Seperti juga
Ci Kang, dia berhasil naik sampai ke dalam kotak kedua dan di sini, dengan
hati-hati dia mempergunakan ujung kakinya menekan kotak yang kanan dari kotak
yang terbagi dua itu. Ternyata di sini aman, tidak seperti di bagian kiri yang
tadi menyemburkan anak panah. Dua orang pemuda lain memandang penuh ketegangan.
Di depan
kotak ketiga yang terbagi dua itu pun terdapat kotak yang terbagi dua. Satu
segi dari batu pat-kwa itu terbagi menjadi lima kotak dengan garis melintang
dan pada bagian yang dilalui Cia Sun itu kotak ketiga dan keempat terbagi menjadi
dua. Di sini Cia Sun menjadi ragu lagi. Kotak mana yang harus dilaluinya.
Dia sudah
cukup dekat dengan Sui Cin, namun belum dapat menjangkau ke depan untuk
melepaskan belenggu pada kedua pergelangan lengan gadis itu. Dia masih harus
melalui dua bagian lagi ke depan. Dengan sangat hati-hati dan secara
untung-untungan, kakinya menginjak bagian kanan dari kotak yang terbagi dua
itu.
"Blarrrrr...!"
Bagian itu
terbuka dan dengan desis yang mengerikan, keluarlah dua ekor ular sendok yang
agaknya sudah kelaparan karena dua ekor ular itu tiba-tiba menyerang ke arah
Cia Sun dan Sui Cin. Dalam keadaan berdiri dengan sebelah kaki seperti itu,
tentu saja Cia Sun tidak dapat melawan serangan ular dan menghindarkan diri,
dia lalu melempar tubuh ke belakang seperti yang dilakukan oleh Ci Kang tadi.
Akan tetapi
Ci Kang dan Hui Song yang sudah siap siaga, menggerakkan tangan dan dua buah
batu menghantam dua ekor ular itu sehingga dua binatang berbisa itu terlempar
jauh dengan kepala hancur oleh dua buah batu yang disambitkan dengan kekuatan
besar itu. Kini mereka bertiga saling pandang dengan muka pucat.
"Berbahaya
sekali!" kata Cia Sun. "Sungguh tidak mungkin menghampiri Sui Cin
melalui atas batu pat-kwa, terlalu berbahaya baginya, harus dicari jalan
lain."
"Aku
tahu," kata Hui Song "Aku akan melompat ke atas tiang itu. Dengan
demikian aku akan melewati batu pat-kwa dan dari atas tiang, aku dapat
membebaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin."
"Jangan,
Song-ko, terlampau berbahaya. Bagaimana kalau sampai engkau terjebak dan
celaka?" seru Sui Cin penuh kekhawatiran.
Bukan main
gembiranya rasa hati Hui Song mendengar dan melibat kekhawatiran gadis itu.
Mungkinkah Sui Cin demikian mengkhawatirkan keselamatan dirinya karena gadis
itu mencintanya?
"Ahhh,
apa artinya mala petaka bagiku, Cin-moi? Yang penting asal engkau selamat dan
segera bebas dari tempat ini!"
Sesudah
berkata demikian, dengan penuh semangat karena terdorong rasa gembiranya, Hui
Song kemudian meloncat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dia
melayang ke arah tiang di tengah batu pat-kwa dan hinggap di puncak tiang itu.
Akan tetapi, begitu kedua kakinya menginjak tiang, tiba-tiba terdengar suara
keras dan tiang itu pun lalu berputar dengan cepat sekali, membawa tubuh Sui
Cin dan Hui Song berputaran dengan cepat.
Karena Sui
Cin tidak mampu bergerak, kedua pergelangan tangannya terikat di belakang
tiang, ia merasa ngeri dan hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya
maut yang mungkin tidak dapat dihindarkannya lagi.
Tubuh Hui
Song yang berdiri dengan sebelah kaki di atas tiang, berpusing dengan sangat
cepatnya pula. Pemuda ini pun menjadi sangat bingung karena dia tidak mungkin
dapat menghentikan gerakan tiang yang berputar dengan sangat cepatnya itu, yang
membawa tubuhnya berpusing seperti kitiran. Bagaimana pun pandainya, mana
mungkin dia dapat menggunakan tenaga untuk melawan perputaran tiang.
Yang sangat
membingungkan hatinya adalah karena dia sedang memikirkan keselamatan gadis
yang dicintanya, yang kini juga ikut berpusing di sebelah bawahnya. Dia tidak
begitu memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mengkhawatirkan
keselamatan Sui Cin.
Semua orang
yang berada di luar batu pat-kwa juga terbelalak bingung. Apa bila tiang itu
tidak cepat dapat dihentikan, kalau kedua orang itu terus berpusing seperti itu
cepatnya, maka akan berbahayalah keadaan mereka. Orang dapat saja tewas hanya
karena diputar secepat itu, atau setidaknya akan gila karena ketakutan.
"Hui
Song, cepat meloncat turun!" tiba-tiba Ci Kang membentak dengan nyaring.
Dia tidak ingat lagi dengan segala ketidak senangan hatinya dan menyebut nama
Hui Song begitu saja di luar kesadarannya, saking gelisahnya melihat Sui Cin
dan Hui Song yang masih terus berpusing seperti itu.
Barulah Cia
Sun teringat dan dia pun cepat meneriaki Hui Song supaya segera meloncat turun.
Tadinya Hui Song sendiri tidak sadar dan sudah mengambil keputusan untuk mati
bersama Sui Cin. Akan tetapi, setelah mendengar teriakan-teriakan kedua orang
pemuda di bawah itu, teringatlah dia bahwa berpusingnya tiang karena terinjak
olehnya dan besar sekali kemungkinan tiang itu akan berhenti kalau tidak
diinjak.
Akan tetapi,
meloncat turun sampai di luar batu pat-kwa dalam keadaan berputar secepat itu
bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Betapa pun juga, ketika teringat
akan keselamatan Sui Cin, dia tak peduli lagi akan bahaya apa pun yang akan
mengancamnya dan setelah mengumpulkan tenaga, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat
meninggalkan tiang.
Tentu saja
dia tidak dapat mempergunakan perhitungan karena pandang matanya sudah kabur
dan dia tidak dapat melihat ke arah mana dia melompat. Bayangan kedua orang
pemuda di luar batu pat-kwa itu pun sudah tidak kelihatan lagi olehnya saking
cepatnya tubuhnya berpusing.
BEGITU
tubuhnya meloncat dan terlepas dari tiang, tubuh itu terbawa oleh tenaga
dorongan ketika berpusing itu sehingga loncatannya menjadi jauh sekali!
Tubuhnya seperti sebuah batu yang dilemparkan dengan tenaga raksasa. Jika bukan
Hui Song yang berkepandaian tinggi, tentu akan celakalah orang yang dilontarkan
seperti itu.
Akan tetapi
Hui Song tak kehilangan ketenangannya sehingga dalam keadaan yang amat
berbahaya itu dia bisa mengambil tindakan yang tepat. Dia cepat mengerahkan
tenaganya lantas dengan gerakan kaki tangannya dia mampu meloncat jungkir balik
sedemikian rupa sehingga tubuhnya melayang ke atas dan dorongan tenaga
berpusing tadi pun dapat dia hindarkan. Tubuhnya masih berjungkir balik
beberapa kali, kemudian meluncur turun dan dia dapat hinggap ke atas tanah
dengan selamat, sungguh pun mukanya menjadi pucat sekali dan tubuhnya basah
oleh peluh.
Ketika
memandang, kepalanya terasa pening sehingga dia memejamkan mata sebentar,
mengumpulkan hawa murni dan akhirnya dia mampu menguasai keadaannya. Dibukanya
matanya dan ternyata dia telah terlempar sampai puluhan meter jauhnya! Kini dia
melihat betapa tiang itu masih berputar, akan tetapi tidak cepat lagi dan
perlahan-lahan berhenti. Tubuh Sui Cin masih terikat dan gadis itu nampak
lemas, kepalanya terkulai dan matanya terpejam. Gads itu telah jatuh pingsan!
"Cin-moi...!"
Hui Song berseru dengan hati penuh kegelisahan kemudian dia berlompatan menuju
ke batu pat-kwa itu.
"Dia
tidak apa-apa, hanya pingsan. Pernapasannya berjalan seperti biasa," kata
Cia Sun.
"Untung
dia pingsan, itu lebih baik bagi syarafnya," sambung Ci Kang.
Hui Song
memandang penuh perhatian dan hatinya pun merasa lega. Memang gadis itu hanya
pingsan, dan kini tiang itu telah berhenti sama sekali seperti semula. Kiranya
kalau tiang itu diinjak atau disentuh dari atas, ada alat yang akan
menggerakkannya sehingga berputar sampai dia dan Sui Cin tidak kuat lagi.
Sungguh berbahaya!
"Aihh,
bagaimana kita dapat membebaskannya?" Dia mengeluh khawatir.
"Kita
harus berhati-hati. Agaknya Raja Iblis sengaja menggunakan Sui Cin sebagai
umpan agar para penolong celaka," kata Cia Sun.
"Atau
dia sengaja memancing para pendekar supaya berkumpul di sini dengan
maksud-maksud tertentu. Dia tentu tidak jauh dari sini. Kalau kita bisa
menemukan Hui Cu, tentu gadis itu dapat memberi tahu kepada kita rahasia batu
pat-kwa ini," kata Ci Kang.
"Aku
tidak peduli Iblis itu menggunakan siasat apa pun, aku tidak peduli siapa
celaka asal dapat membebaskan Cin-moi!" kata Hui Song penuh nafsu.
Cia Sun
mengerutkan alisnya. "Membebaskan Sui Cin memang amat penting, akan tetapi
keselamatan orang lain juga penting," katanya seperti kepada diri sendiri.
Ci Kang hanya diam saja dan Hui Song sadar betapa dia terlalu mementingkan
keselamatan Sui Cin saja sehingga meremehkan keselamatan orang lain.
"Maksudku,
aku tak peduli aku celaka atau mati sekali pun asalkan dia bisa diselamatkan
dan dibebaskan dari situ," katanya lagi.
Pada saat
itu terdengar suara keluhan dan mereka bertiga cepat-cepat mengangkat muka
memandang kepada Sui Cin yang baru saja siuman. Gadis itu membuka matanya
tetapi segera menutupkannya kembali. Seperti juga Hui Song tadi, dia merasa
betapa tempat di sekelilingnya masih berpusing.
"Kumpulkan
hawa murni, Cin-moi, sebentar juga pening itu akan hilang," kata Hui Song.
Mendengar
suara Hui Song ini, legalah hati Sui Cin. Tadi dia telah merasa khawatir sekali
akan nasib Hui Song. Ia yang terbelenggu pada tiang saja merasa berpusing
sedemikian cepatnya, maka dia mengkhawatirkan Hui Song yang juga ikut terputar
di atasnya. Ia lalu menarik napas panjang berkali-kali, mengumpulkan hawa murni
hingga akhirnya dia dapat menguasai dirinya dan membuka matanya.
"Kalian
berhati-hatilah, jangan bertindak gegabah," katanya. "Jangan sampai
menolongku gagal, kalian malah tertimpa bahaya." Ia mengangkat mukanya
memandang ke depan dan tiba-tiba gadis itu berkata. "Ahh, siapa yang
datang itu...?"
Tiga orang
muda itu memandang dan mereka mengerutkan alis. Dari jauh, di atas sebuah
bukit, nampak dua sosok bayangan besar dan kecil bergerak cepat sekali menuruni
bukit itu menuju ke arah mereka.
"Hemm,
kalau ternyata itu adalah Raja dan Ratu Iblis yang datang, aku akan mengadu
nyawa dengan mereka!" kata Hui Song mengepal tinju.
"Raja
Iblis tidak segendut itu!" kata Ci Kang.
"Dan
yang seorang lagi itu terlalu pendek untuk menjadi Ratu Iblis," kata Cia
Sun.
"Heii,
itu suhu... tak salah lagi, itu suhu Wu-yi Lo-jin!" kata Sui Cin dengan
suara gembira.
"Dan
yang gendut itu adalah suhu Siang-kiang Lo-jin!" Hui Song juga berseru
girang saat mengenal kakek gendut botak itu.
Dan memang
benarlah. Setelah tiba dekat, ternyata mereka adalah dua orang kakek aneh sakti
yang pernah menggembleng Sui Cin dan Hui Song selama tiga tahun. Begitu tiba di
situ, Wu-yi Lo-jin yang berjuluk Dewa Arak itu terkekeh sambil menudingkan
telunjuknya kepada Sui Cin.
"Heh-heh,
bocah nakal, kau sedang mengapa di situ?"
"Suhu,
aku tertawan oleh Raja Iblis dan diikat di sini. Suhu, jangan dekat-dekat,
mereka bertiga tadi hampir celaka ketika mencoba menolongku! Batu pat-kwa ini
mengandung alat rahasia yang amat berbahaya!"
Setelah
mendengar seruan muridnya ini, kakek yang berkepala gundul dengan alis, kumis
dan jenggot putih panjang sampai ke perut itu menggaruk-garuk kepalanya yang
gundul. "Wah, wah kalau begitu, bagaimana harus menolongmu?"
"Locianpwe,
tadi kami bertiga telah mencoba-coba akan tetapi selalu gagal, bahkan bukan
saja membahayakan penolongnya, juga membahayakan pula nona Sui Cin."
Mendengar
ucapan Ci Kang ini, Hui Song yang sudah mendekati gurunya berkata, "Suhu,
tolonglah suhu memberi petunjuk, bagaimana teecu bisa membebaskan Cin-moi dari
tiang itu tanpa membahayakan keselamatannya?"
Siang-kiang
Lo-jin Si Dewa Kipas nampak tertegun memandang batu pat-kwa itu, alisnya
berkerut dan sebentar saja penggunaan pikiran yang diperas itu membuat tubuh
gendut itu mandi keringat. Terpaksa dia pun menggerakkan kipasnya yang lebar
untuk mengipasi tubuhnya yang bagian depannya nampak karena bajunya tidak dapat
dikancingkan itu.
"Ha-ha-ha-ha,
Si Dewa Kipas yang terlampau banyak makan, mana mampu memecahkan masalah rumit
seperti ini? Aku berani bertaruh bahwa dia tidak akan mampu, ha-ha-ha!"
Wu-yi Lo-jin yang suka berkelakar dan menggoda orang itu tertawa-tawa mengejek.
Kerut di
antara alis mata Si Dewa Kipas makin mendalam dan agaknya otaknya diperas lebih
keras lagi untuk mencari akal. "Ahhh, apa sih sukarnya? Walau pun batu
pat-kwa ini mengandung banyak alat rahasia, kalau kugempur tentu hancur!"
"Jangan,
suhu!" Hui Song berseru. "Baru diinjak saja sudah mengeluarkan
senjata-senjata rahasia yang berbahaya, apa lagi kalau digempur!"
"Gendut,
enak saja kau bicara! Kalau digempur kemudian alat-alat rahasia menggerakkan
senjata-senjata maut menyerang muridku, berarti engkau membunuhnya dan kalau
terjadi demikian, mau tidak mau terpaksa aku akan menggempur perut gendutmu
itu!" kata Wu-yi Lo-jin dengan mata terbelalak dan mulut cemberut. Dia
marah sungguh-sungguh, namun tetap saja mukanya nampak lucu sehingga sama
sekali tidak menyeramkan.
"Huhh!"
Siang-kiang Lo-jin mencela. "Lalu apa gunanya engkau si kerdil ini hadir
di sini? Aku menggempur batu pat-kwa sementara engkau berjaga-jaga, kalau
muridmu terancam bahaya, engkau harus menghalau serangan-serangan itu. Apa
sukarnya? Kalau kau tidak mampu, berarti kau tidak berguna di sini dan lebih
baik kau pergi agar tidak memuakkan saja!"
"Wah,
wah! Kau menghina, ya? Aku ini memuakkan? Engkaulah yang memuakkan. Lihat
perutmu, orang seperti engkau inilah yang menyebabkan banyak orang kelaparan.
Makan sepuluh orang kau habiskan sendiri!"
"Dan
engkau ini si kerdil yang mabok-mabokan. Engkau ini namanya orang yang tak tahu
terima kasih kepada alam, meski alam melimpahkan segala untukmu, engkau tetap
kurus kering, seperti cecak mati. Aku ini yang namanya mengenal budi dan selalu
bersyukur sehingga tubuhku subur."
"Subur
apanya? Perut gendut itu sarang cacing dan penyakit!"
Kini dua
orang kakek itu berhadapan dan agaknya seperti dua orang anak kecil yang siap
untuk berhantam. Melihat ini, Sui Cin segera berseru, "Suhu, aku tidak
berdaya dan perlu pertolongan, akan tetapi suhu ribut-ribut sendiri saja
bercekcok! Ini namanya suhu tidak sayang kepadaku!"
Ditegur
demikian oleh Sui Cin, Wu-yi Lo-jin mundur menjauhi Siang-kiang Lo-jin dan kini
dia memandang ke arah batu pat-kwa dengan alis bergerak-gerak. Sampai cukup
lama dia termenung. Melihat ini, Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak, memegangi
perut gendutnya yang kembang kempis bergelombang.
"Hua-ha-ha,
otakmu terlalu kecil untuk dapat memecahkan persoalan ini!"
Akan tetapi
Wu-yi Lo-jin tidak mau melayani, malah dia bertanya kepada Hui Song
"Kalian tadi telah mencoba dan menyelidiki keadaan batu pat-kwa ini? Coba
ceritakan kepadaku, apa rahasianya!"
"Begini,
locianpwe. Delapan segi dari batu ini semua mengandung alat rahasia yang kalau
diinjak atau disentuh lalu otomatis mengeluarkan serangan senjata-senjata
rahasia yang berbahaya. Bahkan setiap kotak satu segi itu mempunyai senjata
rahasia sendiri-sendiri. Bahkan tanah di sekeliling batu pat-kwa ini juga mengandung
jebakan yang berbahaya sekali sehingga mendekati batu pat-kwa itu saja sudah
berbahaya. Hanya bagian tanah di luar segi pat-kwa yang tertutup bayangan tiang
itu saja yang agaknya menjadi lumpuh dan alat rahasianya tak berdaya lagi. Akan
tetapi yang lumpuh itu hanya tanah di luarnya saja, sedangkan batu pat-kwa itu
sendiri masih bekerja. Kami bertiga telah mencoba dari berbagai jurusan, namun
selalu gagal dan membahayakan keselamatan Cin-moi. Bahkan saya sendiri sudah
mencoba dengan meloncat melewati batu lantas hinggap di tiang itu akan tetapi
begitu terinjak, tiang itu pun berpusing dengan amat cepatnya sehingga amat
membahayakan dan tidak memungkinkan saya menolong dan membebaskan
Cin-moi." Hui Song yang merasa gelisah sekali melihat keadaan Sui Cin lalu
menyambung dengan suara memobon, "Locianpwe, tolonglah... tolonglah
Cin-moi...!"
Melihat
muridnya memohon kepada kakek kerdil itu, Siang-kiang Lo-jin segera mengejek,
"Hemm, sudah kukatakan, otaknya terlalu kecil untuk dapat berpikir
besar!"
Akan tetapi
tiba-tiba kakek katai itu meloncat dan wajahnya nampak berseri, "Nah,
sudah tahu aku bagaimana harus membebaskan muridku!"
Hui Song
memandang girang. "Bagaimana, locianpwe?"
"Membebaskan
dia melalui batu pat-kwa itu tidak mungkin, meloncat ke tiang itu pun tidak
mungkin. Maka satu-satunya cara untuk menolongnya hanyalah dengan membuka
ikatan tangannya tanpa menyentuh batu pat-kwa atau tiang. Bukankah sederhana
saja cara itu?"
Mendadak
kakek gendut itu tertawa bergelak. Kakek kerdil mengerutkan alis memandang
kepadanya dengan marah. "Ndut, mengapa kau tertawa? Engkau mentertawakan
akalku yang amat bagus itu?"
"Akal
bagus tahi kucing! Akalmu itu hanya mampu dilakukan oleh Sun Go Kong (Si Raja
Monyet dalam dongeng See-yu)! Hanya Sun Go Kong yang bisa mengulurkan lengannya
sampai satu li panjangnya atau pian-hwa (berganti rupa) menjadi seekor lalat
yang dapat terbang ke tangan muridmu itu tanpa menyentuh tiang, terapung di
udara! Omong kosong akalmu itu!"
Biar pun
ucapan kakek gendut itu bernada mengejek, berkelakar atau menggoda, namun tiga
orang pemuda dan Sui Cin yang mendengarkan, mau tidak mau harus membenarkan dan
mereka menganggap akal Wu-yi Lo-jin itu meski pun benar akan tetapi tidak
mungkin dapat dilaksanakan.
Akan tetapi
kakek kerdil itu bertolak pinggang lantas memandang kakek gendut dengan mata
melotot. "Nah, ini buktinya bahwa biar kecil, aku seperti sebuah ciu-ouw
(guci arak) yang penuh dengan arak wangi, sebaliknya engkau biar besar, seperti
sebuah gentong air yang kosong melompong! Kalau aku tahu akalnya, tentu aku
sudah tahu pula caranya untuk melaksanakan akal itu."
"Bagaimana
caranya, suhu?" Sui Cin yang sudah tidak sabar mendengarkan perdebatan itu
bertanya.
"Tenanglah,
muridku. Selama ada gurumu di sini, tentu engkau akan selamat." Dan dia
segera menghadapi Siang-kiang Lo-jin. "Kita adalah laki-laki berisi, bukan
boneka-boneka lemah. Kita bentuk jembatan manusia. Engkau San-sian (Dewa
Kipas), karena engkaulah yang paling gendut dan paling berat, juga sebagai hukumanmu
tadi telah berani mengejek akalku, engkau menjadi tiang penyangga yang
terbawah. Kemudian pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu..."
dia menunjuk kepada Ci Kang, "menjadi tiang penahan. Dia ini..." kini
dia menunjuk Cia Sun, "dan muridmu menjadi dua tiang penghubung yang
melengkung ke arah muridku itu. Aku sendiri menjadi bagian paling atas untuk
mencapai muridku dan membebaskannya dari belenggu. Nah, mengertikah
engkau?"
Siang-kiang
Lo-jin adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal
kecerdikan, dia memang kalah oleh kakek kerdil itu. Agaknya orang yang bertubuh
kecil biasanya memang lebih gesit dan cerdik dari pada orang yang memiliki
tubuh besar. Dia lalu menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti..."
"Suhu,
aku sudah mengerti dan memang akal Wu-yi locianpwe itu hebat sekali! Mari kita
laksanakan!" kata Hui Song.
Akan tetapi
Siang-kiang Lo-jin masih belum mengerti dan melihat ini, Wu-yi Lo-jin berkata
tidak sabar, "Kalau tidak mengerti, turuti saja perintahku! Tidak perlu
membuang banyak waktu lagi. Nah, gendut, engkau rebahlah di dekat batu pat-kwa
pada bagian yang ditimpa bayangan tiang. Engkau rebah terlentang di atas tanah
dan persiapkan semua tenagamu. Apakah engkau masih kuat menyangga empat
orang?"
Biar pun
belum mengerti benar, akan tetapi pertanyaan ini dianggap tantangan oleh Dewa
Kipas. "Jangan kata hanya empat orang, biar pun sepuluh orang masih dapat
kuangkat!" jawabnya.
"Bagus,
jika begitu cepat kau rebahkan dirimu terlentang, mukamu menghadap ke
tiang!"
Siang-kiang
Lo-jin menurut dan merebahkan dirinya terlentang di luar batu pat-kwa, pada
bagian segi yang tertutup bayangan tiang.
"Sekarang
engkau orang muda!" kata Wu-yi Lo-jin kepada Ci Kang. "Sebaiknya
lepas dulu bajumu agar pegangan menjadi kuat, tidak berpegang kepada baju yang
dapat robek."
Ci Kang
membuka bajunya, diturut pula oleh Cia Sun dan Hui Song. Kemudian Ci Kang
berdiri di depan tubuh Dewa Kipas, di antara kedua kakinya. Kini Dewa Kipas
sudah mulai mengerti, maka ketika pemuda tinggi besar itu mengulurkan lengan
kanannya yang kokoh kuat, Dewa Kipas memegang tangan Ci Kang dengan tangan
kanannya, ada pun tangan kirinya memegang pangkal lengan pemuda itu.
Ci Kang
menekuk kedua kakinya dan Cia Sun lantas meloncat ke atas kedua paha yang
melintang itu, membiarkan kedua lengannya ke belakang untuk ditangkap oleh
tangan kiri Ci Kang. Atas isyarat Wu-yi Lo-jin, kini Hui Song lalu memanjat ke
atas dan dengan ilmu meringankan tubuhnya, dia berhasil duduk di atas kedua
pundak Cia Sun, menjepit leher Cia Sun dengan kedua pahanya, kedua kakinya
ditekuk ke belakang melalui kedua ketiak Cia Sun dan mengait punggung.
Setelah itu
Wu-yi Lo-jin sendiri dengan sekali lompatan saja, bagai seekor burung, sudah
melayang ke atas pundak Hui Song dan seperti juga Hui Song, dua kakinya
menghimpit leher dan mengait ke punggung pemuda itu. Kini jadilah lima orang
itu sebuah tiang yang cukup tinggi.
"Sekarang,
perlahan-lahan melengkung ke depan, kita membentuk jembatan!" kata Wu-yi
Lo-jin. "Heiii, gendut. Hati-hati kau, pegang yang kuat dan kerahkan
tenagamu. Kalau kau gagal kami semua akan mampus!"
Tiang lima
manusia ini mulai condong ke arah Sui Cin yang berdiri dengan hati tegang.
Gadis ini menoleh ke belakang karena pada waktu itu matahari berada di
depannya, ada pun bayangan tiang itu berada di belakangnya sehingga lima orang
itu beraksi di sebelah belakangnya.
"Ha-ha-ha,
engkau ringan seperti ampas kering, tidak perlu mengerahkan tenaga pun aku
masih sanggup menahanmu!" Siang-kiang Lo-jin yang menahan berat tubuh
empat orang itu masih sempat tertawa dan berbicara. Akan tetapi diam-diam dia
mengerahkan tenaga karena maklum bahwa biar pun dia berada paling bawah dan
seperti diremehkan, namun sesungguhnya kepercayaan kakek kerdil itu dipusatkan
kepadanya dan dialah yang kini memegang keselamatan mereka semua!
"Melengkung
lagi, sedikit lagi!" kata Wu-yi Lo-jin.
Tubuh Ci
Kang yang menjadi tiang penahan itu nampak kokoh, urat-urat melingkar-lingkar
pada kedua lengan dan dadanya yang telanjang. Akhirnya tiang manusia itu
melengkung dan kedua tangan Wu-yi Lo-jin dapat mencapai ikatan tangan Sui Cin!
Akhirnya
mereka dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa mau pun tiang. Dan
jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil akan tetapi mengandung tenaga sinkang
yang sangat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua
pergelangan tangan Sui Cin.
"Hati-hati,
jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar dari batu
pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian
kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar dari
batu pat-kwa!"
Sui Cin
menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak
terhalang oleh tiang. Gurunya memegang kedua pundaknya, lantas dengan
pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melempar tubuh muridnya itu
ke arah samping.
Tubuh gadis
itu segera melayang jauh. Dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah
kecepatan luncuran tubuhnya hingga akhirnya dengan lunak gadis itu mendarat
beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!
Tiang
manusia itu pun terbongkar sesudah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh
Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena
gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.
"Suhu...!"
Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan
kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.
"Anak
nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"
Sui Cin yang
merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan yang luar biasa,
kini berlari menghampiri Hui Song yang telah melompat turun pula. Mereka berdua
saling menghampiri dan sekarang berhadapan, berpegangan tangan dan saling
bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa dia
mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih
yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.
"Heh-he-he,
kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata
kakek kerdil.
"Benar
sekali katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum
akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.
Mendengar
kata-kata dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi
panas. Muka itu kemerahan dan gadis ini sudah melepaskan pegangan tangannya,
lantas menghampiri Cia Sun.
"Sun-toako,
terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.
"Berterima
kasihlah kepada suhu-mu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab
Cia Sun.
Ci Kang
merasa risi dan sungkan sekali. Dalam hatinya dia tak ingin berhadapan dengan
Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu
menghampirinya dan berkata halus, "Saudara Ci Kang, terima kasih!"
Ci Kang
mengangkat muka memandang. Melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama
sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa
terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya.
"Aku... aku tidak ada artinya, nona..."
Diam-diam
Hui Song merasa mendongkol bukan kepalang ketika melihat betapa Sui Cin
bercakap-cakap dengan Ci Kang. Bila menurutkan perasaan hatinya, ingin dia
meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap
dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimana pun juga Ci Kang telah
membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia pun menahan kepanasan hatinya.
"Di
mana datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu sekarang, Cin-moi?" Hui Song
meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu.
"Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum
sesat!"
Sambil
berkata demikian dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa
pemuda ini pun putera seorang datuk sesat.
"Sesudah
mengikatku di sini mereka lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah
sekarang masih di sana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.
"Kita
harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua iblis itu
dihancurkan tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi,"
kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju.
Seperti
dikomando saja enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang
berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai
matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan
jejak suami isteri iblis itu pun tidak mereka temukan.
Agaknya
kedua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu
dari jauh, karena dari puncak bukit sana memang batu pat-kwa itu dapat terlihat
dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi di situ dapat terlihat dari
puncak bukit. Agaknya ketika suami isteri iblis itu melihat betapa Sui Cin
dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang
bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai pula, mereka menjadi gentar dan
cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
"Wah,
iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.
"Hemmm,
ke mana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis
itu?" Hui Song juga berkata jengkel.
"Aku
tahu di mana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata sehingga
semua mata memandang padanya. Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis,
dan hatinya berbisik, "Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan
mereka."
Akan tetapi
pada saat itu pula terdengar Cia Sun berkata, "Benar, Ci Kang dan aku tahu
di mana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"
Sebagai
penunjuk jalan Ci Kang dan Cia Sun segera berlari cepat diikuti oleh yang lain.
Sesudah melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke
San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,
"Ehh,
kenapa ke San-hai-koan?"
"Memang
di situlah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan,
dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapa pun sehingga di sana
mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut,
bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan.
***************
Perang
akhirnya selesai sesudah bala tentara pemerintah merebut kembali San-hai-koan
dan Ceng-tek. Ketika enam orang pendekar itu memasuki San-hai-koan, mereka
disambut dengan ramah oleh Yang-tai-ciangkun bersama para pendekar yang tadinya
membantu pasukan dan kini masih berada di San-hai-koan.
Ketika
mendengar bahwa Raja dan Ratu Iblis diduga keras sedang bersembunyi di dalam
sebuah tempat rahasia di San-hai-koan dan tempat itu sudah diketahui oleh Ci
Kang dan Cia Sun, Yang-ciangkun terkejut sekali dan segera menyerahkan seratus
orang pasukan pengawal untuk membantu enam orang pendekar itu mengepung tempat
rahasia.
Pagi hari
itu juga, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Cia Sun, Hui Song, Ci Kang dan Sui
Cin berangkat ke tempat rahasia itu. Mereka diikuti pula oleh beberapa orang
pendekar yang merasa tertarik walau pun mereka merasa jeri juga mendengar bahwa
enam orang itu hendak menyergap Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, juga
diikuti oleh seratus orang prajurit pengawal pilihan.
Tempat
rahasia itu segera dikepung oleh pasukan. Enam orang pendekar berjaga di luar
lubang sumur dan lubang terowongan di balik semak-semak yang merupakan dua
jalan keluar dari tempat rahasia itu.
"Kami
akan bersembunyi dahulu," kata Wu-yi Lo-jin kepada para pendekar muda,
"kalau Raja Iblis melihat kami dan dia menggunakan tongkat sakti itu,
bagaimana pun juga kami berdua tidak dapat melanggar sumpah sendiri dan tidak
akan dapat melawan."
"Baiklah,
suhu," kata Sui Cin, "Nanti saja bila mana kami telah mengeroyoknya,
suhu dan Siang-kiang locianpwe baru keluar membantu sehingga dia tak sempat
lagi mengeluarkan tongkatnya itu."
Sesudah dua
orang kakek yang takut melanggar sumpah terhadap tongkat sakti yang ada di
tangan Raja Iblis itu bersembunyi, Hui Song lantas menjenguk ke dalam lubang
sumur dan berteriak sambil mengerahkan khikang-nya.
"Pangeran
Toan Jit Ong, Raja Iblis yang terkutuk, keluarlah menerima kematian!"
Tidak ada
jawaban dari bawah, juga tak nampak gerakan sesuatu. Yang ada hanya gema suara
teriakan Hui Song yang terdengar mengaum dan menyeramkan, seperti jawaban atas
teriakan tadi, jawaban yang bukan keluar dari mulut manusia.
Melihat ini,
seorang perwira yang memimpin pasukan pengawal itu menjadi tak sabar lagi.
"Siapkan kayu bakar dan tiupkan asap ke dalam sumur!"
Perwira ini
hendak menggunakan siasat mengisi tempat persembunyian itu dengan asap supaya
mereka yang berada di sebelah dalam akan terpaksa keluar karena tidak tahan
diasapi dari luar.
Melihat
kesibukan prajurit-prajurit pengawal mempersiapkan perintah sang perwira, Wu-yi
Lo-jin yang berada dalam persembunyiannya terkekeh. "Heh-heh-heh,
kelinci-kelinci yang diasapi tentu akan keluar sekarang!"
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan delapan orang prajurit yang
berada paling dekat dengan lubang sumur berteriak dan roboh terjengkang. Mereka
tewas seketika karena jarum-jarum beracun sudah menyambar tenggorokan mereka.
Dari dalam lubang sumur itu kini melayang dua sosok tubuh, seorang lelaki dan
seorang perempuan, tampan dan cantik dan keduanya mengenakan pakaian indah
pesolek.
Tentu saja
para prajurit pengawal menjadi terkejut dan marah melihat robohnya delapan
orang teman mereka. Dengan senjata golok atau tombak mereka segera mengepung
dan menyerang. Akan tetapi dua orang muda itu benar-benar lihai dan begitu
mereka berdua menggerakkan pedang, kembali robohlah empat orang prajurit yang
mengeroyok mereka.
Sementara
itu, ketika mengenal bahwa dua orang itu adalah Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa,
Ci Kang langsung marah sekali. Sim Thian Bu adalah murid mendiang ayahnya dan
terhitung sute-nya biar pun Thian Bu lebih tua darinya. Dia sudah meloncat
maju, hampir berbareng dengan Sui Cin yang juga sudah marah sekali melihat
Siang Hwa.
"Sim
Thian Bu manusia keparat!" Ci Kang membentak marah. "Hayo menyerah
sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!"
Ternyata
gemblengan Ciu-sian Lo-kai telah merubah sifat pemuda ini. Biar pun dia marah
sekali dan tahu bahwa bekas sute-nya ini adalah seorang jahat yang sepatutnya
dibasmi, namun dia masih memberi kesempatan kepada Thian Bu untuk menyerah dan
menerima hukuman, kalau mungkin merubah sifatnya yang jahat.
Namun Sim
Thian Bu tersenyum mengejek. "Siangkoan Ci Kang manusia busuk! Engkau
seperti harimau berkedok domba, ha-ha-ha! Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah
putera mendiang Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta? Engkau pura-pura alim dan
menjadi pendekar? Ha-ha-ha, betapa lucunya!" Setelah berkata demikian, Sim
Thian Bu sudah menggerakkan pedangnya menusuk dada Ci Kang.
Akan tetapi,
dengan mudah saja Ci Kang mengelak dan menendang ke arah pergelangan lengan
lawan yang juga dapat dielakkan. Mereka segera berkelahi dengan seru biar pun
Ci Kang hanya bertangan kosong dan lawannya berpedang.
Sementara
itu, Sui Cin yang marah melihat murid Raja Iblis itu segera menyerang tanpa
banyak cakap lagi. Dia pun hanya mempergunakan tangan kosong saja, menubruk
sambil mencengkeram ke arah pundak Siang Hwa sambil membentak,
"Perempuan
iblis, bersiaplah untuk mati!"
Siang Hwa,
seperti juga Thian Bu, maklum bahwa dia telah terkepung oleh banyak orang pandai,
maka tanpa banyak cakap dia pun juga mengelak dan mengelebatkan pedangnya
membalas serangan Sui Cin dengan nekat. Akan tetapi sabetan pedangnya juga
hanya mengenai tempat kosong, bahkan dia terkejut bukan main ketika melihat
tubuh lawannya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah menyerang ke arah
kepalanya dengan tamparan dari samping!
Tahulah dia
bahwa gadis cantik yang menjadi lawannya ini adalah seorang ahli ginkang yang
tangguh, sebab itu dia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya
melindungi tubuh. Maka terjadilah perkelahian yang cepat dan mati-matian antara
Sui Cin dan Siang Hwa.
Cia Sun dan
Hui Song hanya menonton sambil bersiap-siap membantu dua orang teman mereka
kalau perlu, akan tetapi mereka tidak mengeroyok karena maklum bahwa Ci Kang
dan Sui Cin akan mampu menundukkan kedua orang musuh itu. Membantu teman yang
lebih kuat dari pada lawan merupakan pantangan bagi mereka.
Tiba-tiba
terdengar suara ledakan keras, lalu tanah dan batu muncrat dari tempat tak jauh
dari situ. Ledakan itu ternyata mengakibatkan tanah itu berlubang besar lantas
dari dalam lubang itu nampak empat orang yang memanggul kayu pikulan berbentuk
joli tanpa atap berloncatan keluar dengan kecepatan yang luar biasa.
Mereka
adalah empat orang yang berpakaian seragam, bukan pakaian prajurit melainkan
pakaian jago silat, ada pun di atas joli terbuka itu duduk dua orang yang
membuat semua orang menjadi terkejut dan ngeri melihatnya. Dua orang itu adalah
Raja dan Ratu Iblis!
Tentu saja
para prajurit segera mengepungnya, lantas belasan batang tombak dan golok
berkelebatan menyerang empat orang pemikul joli terbuka itu. Akan tetapi segera
terjadi kekacauan dan semua orang terkejut melihat betapa empat orang pemikul
joli itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya.
Kadang-kadang
mereka berloncatan seperti terbang, lalu turun dan lari, sedangkan kakek dan
nenek yang kadang-kadang duduk dan kadang-kadang bangkit berdiri itu
menggerak-gerakkan tangan mereka. Hawa pukulan segera menyambar dahsyat,
membuat belasan orang prajurit terpelanting ke kanan kiri tanpa mampu bangkit
kembali! Tentu saja hal ini menggegerkan para prajurit dan perwira mereka
memberi aba-aba agar terus mengepung dan mengejar......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment