Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 29
SUI CIN
tersenyum melihat sikap Siang Wi itu, dan dia mengalihkan pandangan matanya
pada Hui Song. "Song-ko, engkau tahu bahwa semua orang gagah tidak takut
mati. Akan tetapi menceburkan diri dalam pertempuran adalah perbuatan nekat
atau membunuh diri. Harus diingat bahwa yang menyerbu Ceng-tek ini adalah
barisan suku bangsa utara dan mereka telah mendengar bahwa Cin-ling-pai
membantu pemberontak. Mereka tidak akan percaya semua alasan kita karena mereka
tentu akan menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh pula. Dan kita berada di dalam
kota benteng seperti sekumpulan burung di dalam sangkar perangkap. Apa bila
sekarang kita menyerbu keluar dan ikut bertempur di dalam kota, maka akhirnya
kita semua akan tewas..."
"Itulah
resiko perjuangan! Kalau kau takut, tak perlu ikut dengan kami!" Siang Wi
berseru.
"Sumoi,
diamlah!" Hui Song mencela sumoi-nya. "Cin-moi, lanjutkan
bicaramu." Dia mulai tertarik. Dia sudah mengenal siapa adanya Sui Cin,
gadis perkasa yang suka bertualang dan memiliki keberanian yang amat besar, dan
tidak mungkin gadis seperti Sui Cin takut bertempur.
Sui Cin
tetap tersenyum, tidak marah melihat sikap Siang Wi. "Sumoi-mu memang
penuh semangat, Song-ko. Sudah kukatakan tadi bahwa kalau kita ikut menceburkan
diri dalam pertempuran, berarti kita nekat dan membunuh diri. Dan perjuangan
bukanlah usaha nekat dan bunuh diri! Mati konyol karena kenekatan itu malah
merugikan perjuangan dan tidak ada gunanya sama sekali. Jauh lebih berguna
kalau kita berlaku cerdik. Kenekatan bukan perbuatan gagah perkasa dan bukan
suatu keberanian, melainkan kebodohan orang yang sudah putus asa dan kehilangan
akal. Kalau masih dapat mencari jalan yang lebih baik, kenapa mesti nekat dan
mati konyol?"
"Lalu
menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan, Cin-moi?"
"Kita
menyerbu keluar, akan tetapi bukan untuk menceburkan diri ke dalam pertempuran
melawan pemberontak dan membantu suku bangsa utara, namun untuk membuka jalan
darah dan meloloskan diri keluar dari kota benteng ini."
"Apa?
Melarikan diri? Aku tidak mau menjadi pengecut!" Siang Wi kembali
berteriak. Hui Song memandang sumoi-nya dengan alis berkerut dan memberi
isyarat kepadanya agar tidak banyak bicara.
"Melarikan
diri bukan karena takut, melainkan dengan perhitungan. Bila kita telah berhasil
lolos dari kota benteng ini, kita dapat menyusun kekuatan dan siasat baru untuk
bertindak selanjutnya menghadapi perkembangan dan dapat menarik keuntungan
sebesarnya bagi perjuangan kita. Apakah itu pengecut namanya? Dalam urusan
besar, tidak boleh hanya mengandalkan perasaan dan nafsu dendam belaka,
melainkan juga harus menggunakan kecerdikan dan ketenangan."
Hui Song
mengangguk-angguk. "Benar sekali apa yang diucapkan Cin-moi. Kita semua
tidak boleh membuang nyawa sia-sia belaka. Kita keluar dari kota ini. Aku harus
mencari ayah di San-hai-koan dan kalau dapat berjumpa dengan ayah, baru kita
tentukan langkah selanjutnya. Mari kita keluar, berpencar dan mencari jalan
keluar, kemudian berkumpul di sebelah selatan kota raja, di dalam hutan cemara
itu!"
Siang Wi
terpaksa tidak membantah perintah suheng-nya dan mereka pun lalu keluar dan
menyerbu sambil berpencar, mencari jalan keluar dan merobohkan setiap orang
prajurit pemberontak yang berani menghalang di depan mereka.
Sementara
itu pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya antara pasukan para suku
bangsa utara dengan pasukan pemberontak. Penyerbu telah berhasil membobolkan
pintu benteng dan kini pertempuran terjadi di mana-mana, di seluruh kota walau
pun yang paling ramai terjadi di pintu-pintu gerbang yang kini semua telah
dibuka secara paksa oleh pihak penyerbu.
Karena Sui
Cin berada di samping mereka, orang-orang Cin-ling-pai hanya dihalangi oleh
para prajurit pemberontak saja. Prajurit-prajurit suku bangsa utara semua
mengenal Sui Cin, oleh karena itu gadis ini dapat mencegah para penyerbu itu
menyerang orang-orang Cin-ling-pai. Dengan demikian akhirnya mereka berhasil
lolos dan keluar dari kota benteng Ceng-tek, walau pun jumlah mereka sudah
berkurang pula.
Setibanya di
dalam hutan cemara, Hui Song lalu mengajak Siang Wi serta para saudara lainnya
untuk pergi ke San-hai-koan mencari ayahnya. Sui Cin tidak mau ikut.
"Song-ko,
aku harus tinggal di sini, membantu subo Yelu Kim menghancurkan pasukan
pemberontak."
Hui Song
terbelalak. "Apa? Bukankah engkau sudah tahu bahwa nenek itu memiliki niat
untuk menyerbu ke selatan? Apakah engkau akan membantu pemberontakan baru yang
direncanakan oleh suku bangsa liar itu?"
Sui Cin
tersenyum dan menggelengkan kepala. "Song-ko, engkau tentu tahu bahwa aku
hanya mau membantu mereka dalam menentang dan menyerbu para pemberontak yang
dipimpin Raja Iblis. Jika tiba saatnya mereka akan menentang pemerintah kita,
tentu aku tidak akan membantu mereka, bahkan menentang mereka. Siapa tahu
dengan halus aku dapat membujuk subo Yelu Kim untuk tidak melanjutkan
rencananya yang gila itu. Nah, bukankah perjuangan dapat dilakukan dengan
bermacam cara, pokoknya membela nusa dan bangsa?"
Hui Song
merasa kecewa sekali harus berpisah lagi dari gadis yang dicintanya itu, akan
tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia harus mengeraskan hatinya
dan mengesampingkan semua urusan dan perasaan pribadi. Dia harus mencari
ayahnya, dan apa yang dikatakan Sui Cin tadi memang tepat.
Gadis ini
bukan orang sembarangan dan selalu memakai perhitungan yang amat matang.
Mungkin saja apa yang mampu dilakukan Sui Cin pada waktu itu akan jauh lebih
besar gunanya dari pada apa yang mampu dilakukan oleh para pendekar lainnya.
Maka dia pun berpamit dan bersama rombongannya pemuda ini lalu meninggalkan Sui
Cin.
Gadis ini
pun segera kembali ke induk pasukan dan bertemu dengan Yelu Kim membuat
laporan. Nenek itu merasa gembira sekali dan memuji-muji muridnya. Pertempuran
masih terus berlangsung. Biar pun pihak penyerbu berhasil membobolkan pintu
gerbang, namun kekuatan pasukan pemberontak juga cukup besar sehingga
pertempuran itu berlangsung sampai semalam suntuk.
Dan pada
keesokan harinya, sesudah bertempur mati-matian, akhirnya pasukan Yelu Kim
mulai mendesak pasukan pemberontak yang berusaha mempertahankan kota Ceng-tek.
Akan tetapi, karena desakan yang begitu kuat dari prajurit-prajurit utara yang
berani mati, akhirnya pasukan pemberontak mulai melarikan diri keluar kota.
Selagi
pasukan Yelu Kim mengobrak-abrik kota dan siap mendudukinya, tiba-tiba datang
pasukan bala bantuan dari San-hai-koan sehingga kembali terjadi lagi
pertempuran yang hebat. Sekali ini pasukan Yelu Kim yang telah menduduki
benteng itu menjadi pihak yang bertahan, berusaha mempertahankan benteng itu,
sedangkan barisan pemberontak yang datang dari San-hai-koan itu menjadi pihak
penyerbu!
***************
Perhitungan
Panglima Yang Ting Houw memang betul-betul tepat. Dia tidak tergesa-gesa
mengerahkan pasukan pemerintah untuk menggempur pasukan pemberontak yang sudah
menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, melainkan memimpin bala tentara ke utara
secara diam-diam dan membiarkan pihak pemberontak bertempur dengan pasukan suku
bangsa liar di utara. Peristiwa penyerbuan Ceng-tek oleh pasukan suku bangsa di
utara itu diikuti dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw beserta para
perwira pembantunya, juga mereka melihat betapa San-hai-koan dikerahkan untuk
menolong Ceng-tek.
Inilah saat
yang ditunggu-tunggu oleh Panglima Yang itu. Pasukannya sudah berkumpul dan
sekarang pasukan yang besar jumlahnya itu dia bagi dua, yang sebagian menyerbu
San-hai-koan dan sebagian lagi menyerang pasukan pemberontak yang sedang
berusaha merebut kembali Ceng-tek itu dari belakang, sesudah membiarkan pasukan
pemberontak itu mati-matian bertempur melawan pasukan utara yang sudah
menduduki Ceng-tek. Dan dalam penyerbuan ke San-hai-koan ini, pasukan
pemerintah dibantu orang-orang gagah yang datang menawarkan tenaganya dan
diterima dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw.
Sebelum
pasukan pemerintah melakukan serbuan ke San-hai-koan, dua orang pendekar telah
lebih dahulu memasuki kota benteng itu. Mereka adalah Cia Sun dan Siangkoan Ci
Kang. Seperti kita ketahui, kedua orang pendekar muda ini pergi ke San-hai-koan
untuk mencari jejak Toan Hui Cu yang dilarikan ayah kandungnya sendiri, yaitu
Pangeran Toan Jit Ong atau Si Raja Iblis.
Dengan ilmu
kepandaian mereka yang tinggi, dua orang muda ini berhasil menyelundup memasuki
kota benteng San-hai-koan dan mereka lalu berpencar, mencari jalan
sendiri-sendiri setelah saling berjanji bahwa sebuah kelenteng tua di sudut
barat kota itu menjadi tempat pertemuan mereka.
"Kalau
menemukan sesuatu yang penting, kita harus saling berhubungan," kata Cia
Sun sebelum mereka berpisah. "Dan di belakang kuil ini, tepat pada jam dua
belas malam, kita dapat mengadakan pertemuan."
Mereka
lantas berpisah dan menyelinap dengan cepat, menghilang ke dalam kegelapan
malam. Ci Kang merasa bingung, bagaimana dia akan dapat bersembunyi di waktu
siang, akan tetapi dia pun tidak kekurangan akal. Saat dia melihat banyaknya
orang berpakaian tentara yang ketika saling berpapasan di jalan tidak saling
menegur seperti tidak saling mengenal, dia lalu memperoleh akal.
Dia dapat
menduga bahwa saking banyaknya jumlah prajurit, apa lagi mengingat bahwa banyak
pula orang-orang kalangan sesat yang membantu pasukan pemberontak, tentu di
antara mereka banyak juga yang tak saling mengenal. Dia mencari kesempatan baik
dan ketika melihat seorang prajurit yang tubuhnya sebesar dia berjalan seorang
diri di tempat yang agak sunyi, dia cepat menotoknya dan prajurit itu pun roboh
pingsan tanpa sempat melihat siapa yang merobohkannya.
Kalau dia
menghendaki, tentu dengan sekali pukul saja dia mampu membunuh prajurit itu.
Akan tetapi, semenjak dia berguru kepada Ciu-sian Lo-kai, hatinya semakin
mantap untuk tidak sembarangan melakukan kekerasan-kekerasan terutama sekali
membunuh, seperti yang dilakukan oleh mendiang ayahnya dan para kaum sesat pada
umumnya. Maka dia tidak membunuh prajurit itu, melainkan hanya melucuti
pakaiannya lantas melemparkan tubuh yang pingsan itu ke balik semak-semak.
Sesudah
prajurit itu siuman kembali, tentu saja dia merasa heran dan ketakutan setengah
mati. Dia tidak melihat siapa penyerangnya, tahu-tahu telah pingsan dan
telanjang, hanya memakai pakaian dalam dan terbaring di semak-semak. Maka dia
pun diam saja, merasa malu untuk bercerita kepada orang lain bahwa dia telah dibawa
oleh siluman dan hal ini menguntungkan Ci Kang yang tidak menarik perhatian
atas kecurigaan orang lain.
Mudah bagi
Ci Kang untuk berkeliaran di kota benteng itu, bahkan pada siang hari pun dia
berani jalan-jalan. Kalau berpapasan dengan rombongan prajurit yang tidak
mengenalnya, rombongan itu tidak menjadi curiga karena memang banyak sekali
prajurit yang tak saling mengenal di tempat itu.
Demikianlah,
ketika ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dikepung dan dikeroyok oleh para
prajurit, dengan mudah tanpa dicurigai oleh siapa pun juga, Ci Kang dapat
menyelundup dan ikut pula mengeroyok. Dia mengikuti semua percakapan antara
ketua Cin-ling-pai itu dengan Ji-ciangkun dan Raja Iblis, dan dia merasa
bingung sekali.
Jika dia
turun tangan menolong dengan kekerasan, walau pun ketua Cin-ling-pai itu lihai,
akan tetapi dia tahu bahwa mereka berdua tidak akan mampu menghadapi
pengeroyokan banyak prajurit. Maka dia pun cepat mempergunakan ilmu mengirim
suara dari jauh untuk membisiki Cia Kong Liang agar menyerah saja karena dia
maklum bahwa Raja Iblis tidak menghendaki ketua Cin-ling-pai itu dibunuh,
melainkan hendak ditawan saja dan dijadikan sandera. Dan ketua Cin-ling-pai itu
pun mau menurut sehingga ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan dan dijaga dengan
ketat.
Karena Ci
Kang dapat pula menyelundup ke dalam tempat penjagaan penjara, maka pada malam
hari itu dia pun berhasil menyelundupkan sehelai surat yang dilipat-lipat kecil
dan dilemparkannya hingga mengenai tangan ketua Cin-ling-pai yang dua lengannya
diborgol di depan.
Kong Liang
memandang ke arah prajurit tinggi tegap itu dan tahulah dia bahwa prajurit itu
pula yang berbisik kepadanya agar dia suka menyerah. Dia mengangguk perlahan
sambil mengepal lipatan surat itu. Setelah dia dibiarkan sendiri dan memperoleh
kesempatan, dia membuka lipatan surat itu yang hanya terisi beberapa huruf dan
isinya memperkenalkan prajurit muda itu bernama Siangkoan Ci Kang, murid
Ciu-sian Lo-kai yang menentang Raja Iblis. Dan surat itu mengatakan pula bahwa
untuk sementara, penjara itu merupakan tempat yang aman bagi Cia Kong Liang,
juga ketua itu diminta untuk bersabar karena kalau sudah tiba saatnya yang
baik, tentu Ci Kang akan membebaskannya.
Membaca
surat ini, Kong Liang merasa girang dan berterima kasih sekali, juga dia kagum
akan kecerdikan pemuda itu. Dia merasa setuju sekali bahwa untuk sementara
penjara ini memang merupakan tempat aman baginya. Andai kata dia melepaskan
belenggu tangan dan kakinya sekali pun, agaknya akan sukar baginya untuk dapat
lolos dari San-hai-koan yang terjaga kuat itu, apa lagi di situ terdapat banyak
sekali orang yang amat lihai.
Dia lalu
menggunakan tenaga sinkang-nya untuk meremas sampai hancur kertas surat itu dan
bersila dengan tenang, biar pun sukar baginya menekan kegelisahannya memikirkan
keadaan isteri, ayah mertua, dan murid-muridnya yang masih berada di Ceng-tek.
***************
Bagaimana
dengan pengalaman Cia Sun? Seperti juga Ci Kang, pemuda ini mendapatkan akal
untuk dapat melakukan penyelidikan dengan baik, yaitu menyamar sebagai seorang
prajurit. Akan tetapi berbeda dengan Ci Kang, sesuai dengan gemblengan Go-bi
San-jin, dia bertindak keras dan tanpa ampun terhadap prajurit yang
ditangkapnya untuk diambil pakaiannya.
Dia membunuh
prajurit pemberontak itu kemudian mengenakan pakaiannya sendiri pada mayat
prajurit itu yang tewas tanpa terluka karena pukulan ampuhnya membuatnya tewas
seketika tanpa luka. Orang yang menemukan mayat prajurit itu tentu akan mengira
bahwa prajurit yang berpakaian preman itu mati karena penyakit mendadak!
Pada suatu
malam, ketika Cia Sun sedang berjalan-jalan dengan aman dalam pakaian prajurit
pengawal, dia melihat Raja Iblis berjalan diikuti oleh empat orang bertubuh
tegap dan berpakaian seragam, akan tetapi bukan seragam prajurit. Cia Sun yang
maklum akan lihainya Raja Iblis, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan
membayanginya dengan hati-hati, dan berjalan sebagai seorang prajurit yang
sedang bertugas ronda. Untung bagi dirinya bahwa Raja Iblis dan empat orang
pengikutnya itu tidak begitu memperhatikannya, atau mungkin juga sempat melihatnya
tetapi tidak curiga karena memang banyak prajurit berkeliaran di dekat bangunan
besar itu.
Ketika Raja
Iblis dan empat orang itu memasuki sebuah pintu tembusan kecil di samping
bangunan, terpaksa Cia Sun tidak berani mengikutinya lagi, apa lagi di depan
pintu kecil itu terdapat dua orang penjaga yang memegang tombak. Hanya sebuah
pintu tembusan saja namun dijaga, tentu tempat itu merupakan gedung yang
penting pula.
Akan tetapi
dia merasa penasaran. Dia harus dapat menyelidiki apa yang dilakukan oleh Raja
Iblis di dalam gedung itu. Siapa tahu Hui Cu yang dilarikan bekas pangeran itu
pun kini berada di situ.
Cia Sun lalu
mengambil keputusan nekat. Dengan gerakan yang amat cepat, dia segera menerjang
dua orang penjaga itu secepat kilat dari tempat gelap dan dua kali tangannya
bergerak, kedua orang penjaga pintu kecil itu roboh dan tewas tanpa dapat
mengeluarkan suara sedikit pun juga.
Cia Sun lalu
memanggul tubuh dua orang penjaga yang sudah tidak bernyawa itu berikut tombak
mereka, dan di belakang sebuah rumah yang sunyi, dia melemparkan mereka ke atas
tanah, kemudian mengatur mereka sedemikian rupa sehingga seakan-akan mereka itu
tewas karena saling tusuk dengan tombak yang masih dipegang di tangan. Kalau
ada yang menemukan dua orang penjaga ini, tentu mereka akan mengira bahwa dua
orang prajurit ini telah berkelahi dan mati sampyuh terkena tombak
masing-masing.
Setelah itu,
dengan berani Cia Sun menyelinap masuk ke dalam pintu kecil yang ternyata
membawa dia ke dalam sebuah taman yang luas. Untung bahwa taman itu penuh
dengan pohon-pohon bunga yang rimbun sehingga dia dapat menyelinap di antara
pohon-pohon dan semak-semak mendekati sebuah bangunan besar yang gelap. Hatinya
terasa girang ketika tiba-tiba dia melihat Raja Iblis dan empat orang pengikutnya
tadi keluar dari dalam bangunan besar dan sekarang dengan langkah lebar menuju
ke sebuah bangunan kecil di belakang taman.
Raja Iblis
membuka daun pintu, diikuti oleh empat orang tadi dan mereka berlima masuk ke
dalam. Cia Sun cepat mengintai dari balik sebuah jendela samping. Karena tidak
ada lubang di jendela itu, terpaksa dia hanya mampu mendengarkan, akan tetapi
tidak dapat melihat apa yang terjadi di sebelah dalam.
Akan tetapi,
apa yang didengarnya sudah cukup baginya, membuat jantungnya berdebar kencang
karena dia bisa mengenali suara seorang gadis, suara Hui Cu yang menyambut
kedatangan ayah kandungnya itu dengan kata-kata yang ketus.
"Iblis
tua, mau apa lagi engkau datang ke sini?" terdengar suara Hui Cu menyambut
Raja Iblis dengan kata-kata pedas.
Kini
terdengar suara Raja Iblis yang suaranya aneh seperti datang dari tempat jauh,
akan tetapi suara itu menggetar penuh wibawa dan menembus dinding bangunan
kecil itu. "Hui Cu, aku datang buat memperingatkanmu yang terakhir
kalinya. Kini tinggal kau pilih, mau menjadi isteriku atau menjadi anakku.
Kalau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang di sampingku, apa lagi jika
dapat menurunkan anak laki-laki bagiku. Jika menjadi anakku, aku akan
membunuhmu dengan tanganku sendiri. Dan besok malam engkau harus sudah dapat
memberi kepastian, mau hidup senang sebagai isteriku atau mati!"
"Iblis
tua tak tahu malu! Aku tidak sudi menjadi isterimu, juga tidak sudi menjadi
anakmu! Mau bunuh, bunuhlah."
Diam-diam
Cia Sun merasa kagum sekali kepada Hui Cu. Biar pun Hui Cu puteri tunggal
pasangan suami isteri iblis seperti Raja dan Ratu Iblis, namun ternyata Hui Cu
memiliki semangat dan watak yang gagah perkasa, bahkan berani menantang
ayahnya, walau pun dia tahu bahwa ayahnya itu adalah manusia berwatak iblis. Di
samping kekagumannya, juga Cia Sun merasa khawatir bukan main. Kalau Raja Iblis
turun tangan sekarang juga membunuh puterinya, dia sendiri jelas tidak mungkin
akan dapat menolong Hui Cu.
Akan tetapi
hatinya merasa lega karena tidak terjadi gerakan sesuatu di dalam pondok itu,
bahkan kini nampak Raja Iblis itu keluar dari sana bersama empat orang
pengikutnya dan bekas pangeran itu berkata,
"Su-kwi,
kalian harus menjaganya mulai sekarang sampai besok malam. Jangan sampai dia
lolos dan andai kata ibunya sendiri yang datang untuk membebaskannya, kalian
harus melarangnya. Hanya kalian berempat yang akan mampu menandingi ibunya.
Awas, kalau sampai dia lolos dari sini, kepala kalian akan menjadi gantinya."
Empat orang
itu bersikap siap dan mengangguk, kemudian mereka tetap tinggal di ruang depan
bangunan kecil itu ketika Raja Iblis pergi dengan langkah lebar dan cepat.
Sejenak Cia Sun termangu-mangu.
Menurut
dorongan hatinya, ingin dia menerjang ke dalam pondok itu untuk membebaskan Hui
Cu. Akan tetapi dia merasa ragu-ragu. Baru saja dia mendengar sendiri ucapan
Raja Iblis bahwa hanya empat orang itu saja yang akan mampu menandingi Ratu
Iblis! Padahal Ratu Iblis mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Dan empat
orang ini disebut Su-kwi (Empat Setan) oleh Raja Iblis.
Maka Cia Sun
langsung teringat akan keterangan gurunya, Go-bi San-jin bahwa di antara
Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) terdapat empat orang yang lihai sekali berjuluk
Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit)! Agaknya empat orang inilah
mereka. Maka dia ragu-ragu apakah dia akan sanggup mengalahkan keempat orang
ini. Andai kata mampu sekali pun tentu akan memakan waktu, sedangkan keributan
itu tentu akan diketahui oleh pengawal-pengawal lain dan kalau sudah begitu,
maka dia akan celaka sebelum mampu membebaskan Hui Cu.
Karena itu
dia pun diam-diam meninggalkan pondok itu. Raja Iblis memberi waktu cukup
panjang kepada Hui Cu. Sampai besok malam. Berarti malam ini dia tidak akan
diganggu. Dan kalau dia maju bersama Ci Kang, agaknya tidak akan sukar menolong
Hui Cu.
Menjelang
tengah malam, dua orang pemuda yang gagah perkasa itu saling bertemu di kuil
sunyi. Mereka berbisik-bisik saling menuturkan pengalaman mereka masing-masing.
Hati Cia Sun terasa lega saat mendengar betapa ketua Cin-ling-pai yang masih
terhitung paman dari ayahnya itu ternyata sekarang berbalik menjadi musuh Raja
Iblis dan menjadi tawanan.
Tadinya dia
pun ikut prihatin mendengar betapa paman dari ayahnya itu bersekutu dengan kaum
sesat. Apa lagi mendengar dari Ci Kang bahwa ketua Cin-ling-pai itu tertipu dan
kini untuk sementara dalam keadaan aman di dalam kamar tahanan karena Raja
Iblis tidak berniat membunuhnya sekarang.
Dia lalu
menceritakan kepada Ci Kang tentang Hui Cu yang kini ditahan di dalam sebuah
bangunan kecil, dan percakapan antara ayah dan anak itu seperti yang telah
didengarnya. Mendengar betapa Raja Iblis hendak memaksa Hui Cu menjadi
isterinya, dan betapa Hui Cu lebih memilih mati, Ci Kang mengepalkan tinjunya.
"Manusia
itu sungguh lebih keji dari pada iblis! Anak kandungnya sendiri akan
diperisteri!"
"Akan
tetapi sikap Hui Cu benar-benar mengagumkan. Di depan iblis itu sendiri dia
berani mengatakan bahwa dia tak sudi menjadi anaknya atau isterinya, malah
menantang mati!" kata Cia Sun.
"Gadis
itu memang hebat, Cia Sun, dan dia mencintamu!"
Wajah Cia
Sun berubah merah. "Hemm, dalam keadaan seperti sekarang ini, jangan kau
berkelakar, Ci Kang!"
"Tidak,
Cia Sun, aku mengatakan yang sejujurnya. Gadis itu sudah tergila-gila kepadamu
dan jatuh cinta kepadamu."
Cia Sun
mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang sampai tiga kali. Dia percaya
kepada Ci Kang dan pemuda perkasa di hadapannya ini tidak akan mau
membohonginya. Maka dia pun merasa kasihan sekali kepada Hui Cu.
"Kasihan
Hui Cu..." katanya, kata-kata yang tanpa disadarinya keluar dari mulut
langsung dari dalam hatinya.
Ci Kang
menatap tajam, berusaha menembus kegelapan malam untuk menjenguk isi hati
sahabat yang dikaguminya ini. "Cia Sun, apakah kata-katamu tadi berarti
bahwa engkau tidak membalas cintanya?"
Cia Sun
menggelengkan kepalanya.
"Ahhh,
kalau begitu kasihan sekali Hui Cu...!" kata Ci Kang yang mengerutkan
sepasang alisnya karena mengenang nasib gadis yang patut dikasihani itu.
"Memang
kasihan sekali Hui Cu. Tetapi aku harus berterus terang, aku mencinta seorang
gadis lain, jadi tak mungkin aku mencintanya."
Sesaat
lamanya Ci Kang memandang tajam, lalu berkata, "Sudahlah, mari kita
menolong Hui Cu sebelum terlambat."
Dua orang
pemuda perkasa yang sama-sama berpakaian sebagai prajurit pemberontak itu lalu
berangkat menuju ke bangunan yang dimaksudkan Cia Sun. Dia menjadi penunjuk
jalan, ada pun Ci Kang mengikutinya di belakangnya. Mereka bergerak cepat
menyusup-nyusup, dan kadang-kadang kalau ada prajurit-prajurit lain, mereka
cepat bersikap wajar, bergandengan sambil berjalan sempoyongan seperti dua
orang prajurit setengah mabok, sebuah pemandangan yang biasa saja.
Setelah
sampai di dekat pondok di mana Hui Cu ditahan, dua orang pemuda itu bergerak
perlahan sesuai rencana yang telah mereka atur ketika mereka menuju ke tempat
itu. Ci Kang dan Cia Sun kini berpencar. Ci Kang menghampiri empat orang
penjaga yang duduk sambil bercakap-cakap itu dari depan, ada pun Cia Sun
menyelinap dari samping pondok di mana terdapat jendela yang dipergunakan untuk
mendengarkan percakapan tadi.
Sesuai yang
telah direncanakan, Ci Kang berpura-pura mabok, berjalan terhuyung-huyung ke
arah empat orang Hui-thian Su-kwi yang kini sedang duduk di atas bangku di
depan pondok. Melihat seorang prajurit mabok menghampiri mereka, Su-kwi menjadi
marah.
"Hei,
prajurit tolol! Pergi dari sini dan jangan ganggu kami!" bentak seorang
dari mereka yang bermuka pucat.
"Heh-heh-hoh-hoh-hoh...!"
Ci Kang tertawa seperti orang mabok. "Sobat, mari kau temani aku minum
arak. Kau perlu minum banyak arak agar mukamu tidak pucat seperti mayat,
heh-heh-heh!" Dia menunjuk ke arah muka yang menegurnya tadi.
Si muka
pucat itu menjadi marah, kemudian bangkit berdiri. "Manusia goblok! Berani
kau mengeluarkan kata-kata sembarangan terhadap kami? Kami berempat adalah
Hui-thian Su-kwi, pengawal pribadi Toan Ong-ya!"
"Hah-hah-hah,
agaknya majikanmu kurang memberi upah kepadamu sehingga badanmu kurus mukamu
pucat kurang makan..."
"Ehh,
keparat bermulut lancang! Kuhancurkan mulutmu...!" Si muka pucat menjadi
marah sekali lalu sekali menggerakkan tubuhnya, tubuh itu telah mencelat ke
depan Ci Kang dan tangannya menampar ke arah mulut Ci Kang dengan keras sekali
karena si muka pucat itu agaknya benar-benar hendak menghancurkan mulut
prajurit yang berani menghinanya itu.
Diam-diam Ci
Kang terkejut bukan main menyaksikan gerakan ginkang yang begitu ringan dan
cepatnya dan tahulah dia mengapa mereka ini dijuluki Hui-thian (Terbang ke
Langit). Ternyata mereka adalah ahli-ahli ginkang yang cukup tinggi tingkat
kepandaiannya.
Akan tetapi
tamparan tangan itu menunjukkan tenaga yang tak perlu dikhawatirkan. Maka dia
hanya mundur sedikit sambil miringkan mukanya sehingga bukan mulutnya yang kena
tampar, melainkan pipinya.
"Plakkk...!"
Ci Kang sempoyongan dan hampir roboh, ditertawai oleh empat orang itu.
Ci Kang
bangkit lantas mengusap pipinya yang menjadi merah, matanya melotot dan dia pun
maju sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang yang tadi menamparnya.
"Kau monyet tak tahu malu, manusia yang tak mengenal budi. Diajak minum
arak malah memukul. Aku harus membalas pukulanmu!" Dan dengan gerakan
sembarangan saja dia pun menerjang maju hendak memukul kepala si muka pucat.
Melihat
gerakan Ci Kang ini, si muka pucat tentu saja memandang rendah dan dia sudah
menggerakkan tangannya hendak menangkis dan menangkap lengan lawan untuk
dipuntir dan ditelikung. Akan tetapi tangan yang memukul kepalanya itu
berkelebat secara aneh dan tahu-tahu pipinya telah kena ditampar.
"Plakkk...!"
Keras sekali
tamparan itu, membuat kepala si muka pucat terasa nanar dan tentu saja dia
menjadi marah sekali. Kemarahan membuat dia lengah dan dia masih tetap
memandang rendah kepada prajurit mabok ini pada saat dia membalas pula dengan
tendangan tenaga yang cukup kuat.
Akan tetapi
dengan mudah Ci Kang mengelak dengan lagak sempoyongan dan pada saat kaki lawan
masih terangkat, ujung sepatunya langsung menotok ke arah lutut kaki lawan yang
masih berpijak di atas tanah sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka
pucat itu pun terpelanting!
"Ha-ha-ha!"
Ci Kang tertawa seperti orang mabok dan bertepuk-tepuk tangan kegirangan sambil
memandang orang yang terpelanting itu.
Kini tiga
orang lainnya juga bangkit berdiri. Orang yang mampu menampar teman mereka,
bahkan mampu merobohkan dalam satu gebrakan saja, pasti bukan prajurit biasa!
"Siapa
engkau?" bentak mereka dan sekarang mereka telah mengurung bersama si muka
pucat yang sudah bangkit kembali.
Akan tetapi
Ci Kang bersikap pura-pura takut dikurung empat orang itu dan tiba-tiba dia pun
melompat ke belakang menjauhi empat orang itu yang kini menjadi semakin
terkejut karena mereka yang mengurung itu ternyata tak mampu menahan prajurit
yang melompat jauh ke belakang itu. Dan cara melompat Ci Kang tadi juga
mengejutkan mereka. Ci Kang melayang ke arah belakang begitu saja kemudian
berjungkir balik sampai lima kali!
Kini mereka
dapat menduga bahwa orang yang berpakaian prajurit dan bersikap mabok-mabokan
itu tentulah orang lihai yang mungkin adalah mata-mata musuh! Maka, sekarang
empat orang Hui-thian Su-kwi itu lantas mencabut pedang mereka dan segera
melakukan pengejaran. Ci Kang sengaja memancing mereka agar menjauhi pondok,
dan pada saat itu Cia Sun sudah cepat menyelinap masuk melalui jendela yang
dibongkarya dari luar.
Dan benar
saja, tepat seperti yang diduganya, di dalam pondok itu terdapat Hui Cu yang
dibelenggu kaki tangannya dan rebah di atas sebuah pembaringan! Cia Sun tidak
banyak bicara, cepat dia menghampiri lalu mempergunakan sinkang-nya mematahkan
belenggu yang mengikat kaki dan tangan Hui Cu. Gadis itu terbelalak, lantas
wajahnya berseri-seri ketika mengenal siapa pemuda yang menolongnya.
"Cia-toako...!"
keluhnya setelah kaki tangannya bebas.
Dia hendak
berlari menghampiri, akan tetapi karena kakinya terlampau lama dibelenggu,
aliran darahnya terganggu dan dia pun terhuyung dan tentu terbanting kalau saja
Cia Sun tidak cepat menyambarnya dan merangkulnya. Muka Hui Cu menjadi merah,
akan tetapi dia tersenyum dan balas merangkul leher Cia Sun dengan mesra dan
penuh penyerahan.
Ketika
pemuda itu merasa betapa rangkulan Hui Cu tak sewajarnya, melainkan rangkulan
yang penuh arti, dia terkejut dan teringat akan ucapan Ci Kang bahwa gadis itu
jatuh hati kepadanya, maka dia pun cepat-cepat melepaskan rangkulannya dan
membiarkan gadis itu berdiri.
"Aku
harus membantu Ci Kang yang sedang bertempur melawan Hui-thian Su-kwi,"
kata Hui Song ketika melihat betapa gadis itu memandang kecewa karena merasa
betapa Cia Sun melepaskan rangkulan tadi dengan tiba-tiba dan agak kasar.
"Ahh...!"
Hui Cu seperti baru sadar. "Mereka itu lihai sekali. Akan tetapi jangan tinggalkan
aku, lebih dahulu bawalah aku ke tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ibu
dan aku. Mari...!"
Dia
menggandeng tangan Cia Sun dan diajaknya pemuda itu melarikan diri melalui
pintu belakang. Gadis itu terus membawanya ke dalam taman dan membuka sebuah
semak belukar yang cukup tebal. Ternyata di bawah semak-semak ini terdapat
sebuah bundaran besi yang segera digesernya dan nampaklah lubang.
Hui Cu
mengajak Cia Sun memasuki lubang itu dan ternyata di bawahnya terdapat tangga
batu. Sesudah keduanya memasuki lubang, gadis ini menutupkan kembali bundaran
besi dan secara otomatis semak-semak itu pun ikut bergerak menutupi tempat
rahasia itu. Hui Cu terus berjalan turun sambil menggandeng tangan Cia Sun.
Tempat itu
tidak begitu gelap, ada sinar remang-remang keluar dari depan. Dan ternyata
lorong yang menyambung tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan segi empat.
Sebuah ruangan bawah tanah pula! Matahari dapat memasukkan cahayanya dari
lubang-lubang yang terdapat pada retakan-retakan bebatuan yang ada di
langit-langit goa bawah tanah ini.
Dan ternyata
di ruangan itu terdapat sebuah lilin besar yang bernyala di atas meja. Nyala
itu kecil saja karena sumbunya amat kecil, akan tetapi lilinnya besar sekali
sehingga jika dibiarkan bernyala terus, mungkin dalam waktu sebulan belum
habis! Dari nyala lilin inilah datangnya sinar remang-remang sampai ke lorong
tadi.
"Tempat
ini aman, toako, dan hanya diketahui oleh ibu saja. Ibu yang memberi tahukan
kepadaku agar kalau sewaktu-waktu aku berhasil lolos dari tangan iblis tua itu,
aku dapat bersembunyi dengan aman di sini. Ibu sengaja menyuruh seorang ahli
bersama dengan rombongannya membuat tempat ini dalam waktu dua hari setelah aku
ditangkap iblis itu."
Cia Sun
mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu selain engkau dan ibumu, masih
ada beberapa orang lain yang mengetahui rahasia tempat ini, yaitu para
pembuatnya."
"Tidak,
mereka itu semuanya berjumlah sembilan orang dan begitu tempat ini selesai, ibu
segera membunuh mereka semua, bahkan ibu menanam mayat mereka di dalam tanah di
belakang ruangan ini!"
Diam-diam
Cia Sun bergidik mendengar kekejaman luar biasa itu. Ayah kandung gadis ini
sudah jahat sekali, ternyata ibunya juga tidak kalah jahatnya. Yang sangat
mengherankan adalah gadis ini, yang ternyata memiliki perangai yang jauh
bedanya dengan ayah ibunya, seperti bumi dan langit!
"Hui
Cu, sekarang aku harus keluar membantu Ci Kang."
Akan tetapi
Hui Cu segera menghampirinya dan merangkulnya. "Jangan, toako... jangan
tinggalkan aku lagi. Aku takut kalau engkau celaka nanti... lalu... bagaimana
dengan aku? Kalau engkau mati, aku pun tidak mau hidup lagi, toako. Aku...
cinta padamu..." Gadis itu mempererat pelukannya.
Cia Sun
menjadi bingung sekali, akan tetapi dia adalah seorang gagah yang harus berani
bertindak tegas dan tepat. Dengan halus dia memegang kedua pundak Hui Cu
kemudian mendorongnya ke belakang dan kini mereka saling pandang. Dengan sinar
mata penuh iba Cia Sun menatap wajah cantik yang agak pucat itu.
"Hui
Cu, dengarlah baik-baik. Aku suka kepadamu, aku sayang kepadamu dan aku suka
menjadi kakakmu. Akan tetapi sebelum aku berjumpa denganmu, aku... aku sudah
jatuh cinta kepada seorang gadis lain..."
"Ahhh...!
Kalau begitu engkau tentu akan meninggalkan aku, toako..."
"Tidak,
walau pun aku tidak dapat berjodoh denganmu, aku akan selalu memperhatikan
keadaanmu dan kalau perlu melindungimu. Aku sudah berhutang budi, bahkan
berhutang nyawa kepadamu, engkau seorang gadis yang baik... ahh, aku harus
membantu Ci Kang sekarang!"
"Toako..."
Hui Cu menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya basah. "Aku ikut
keluar lagi membantu kalian..."
"Jangan!
Aku dan Ci Kang sudah susah-susah berusaha membebaskanmu, kini sesudah bebas
engkau hendak terjun kembali ke tempat berbahaya. Biar aku membantunya dulu,
baru kami berdua masuk ke sini dan kita bicara."
Gadis itu
mengangguk. "Baiklah, toako. Aku percaya kepadamu, dan kalau engkau tidak
kembali ke sini, sampai mati pun aku tidak akan mau keluar dari tempat
ini!"
Cia Sun
merasa terharu sekali. Dia mendekat, dipegangnya kedua pundak gadis itu dan
dengan penuh rasa terharu dan sayang dia mencium kepala gadis itu, lantas
berkelebat keluar dari ruangan itu melalui lorong dan naik kembali ke atas
taman dengan membuka penutup besi dan menyingkap semak-semak.
Ketika dia
berlari ke depan pondok, ternyata Ci Kang telah dikurung oleh empat orang itu
dan bagaimana pun lihainya Ci Kang, dia terdesak juga oleh gerakan empat orang
yang mengeroyoknya. Gerakan Hui-thian Su-kwi itu memang sungguh cepat dan
ringan, dapat berloncatan seperti kijang saja.
Melihat
kawannya terdesak, Cia Sun cepat meloncat dan begitu dia menyerang kepungan
terhadap Ci Kang itu pecah dan kini empat orang itu terkejut bukan main.
Seorang prajurit lain datang dan ternyata prajurit yang baru datang ini
kepandaiannya tidak kalah lihainya dari prajurit pertama!
Setelah Cia
Sun membantu, segera keadaan menjadi berubah. Sebentar saja dua orang pendekar
muda ini bisa mendesak empat orang lawan itu, bahkan mereka berdua mampu
merampas pedang dan membuat dua orang lawan terpelanting.
Hui-thian
Su-kwi menjadi gentar juga dan tiba-tiba saja mereka teringat kepada tawanan
mereka. Tanpa mereka sadari, mereka telah terpancing menjauhi pondok dan
perkelahian itu pun berlangsung jauh dari pondok. Karena teringat akan hal ini,
juga gentar terhadap dua orang prajurit muda yang amat lihai itu, mereka
kemudian berloncatan meninggalkan arena perkelahian dan kembali ke dalam pondok
untuk menjaga supaya tawanan mereka jangan sampai lolos. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka pada waktu mereka memasuki pondok,
ternyata tawanan itu telah lenyap, hanya tinggal borgol kosong berserakan di
atas pembaringan!
"Celaka...!"
teriak si muka pucat dan mereka pun keluar dari pondok dan berteriak-teriak
minta tolong.
Mendengar
teriakan-teriakan ini, berbondong-bondong datanglah prajurit-prajurit penjaga
sehingga keadaan menjadi kalut. Ketika Hui-thian Su-kwi mencari-cari, dua orang
pemuda yang berpakaian prajurit itu telah lenyap pula dari situ! Mereka
mengatur pasukan penjaga dan mencari-cari tanpa hasil.
Tentu saja
mereka tidak berhasil menemukan Ci Kang dan Cia Sun karena kedua orang pemuda
ini sudah aman berada dalam goa bawah tanah bersama Hui Cu! Ketika melihat
Hui-thian Su-kwi tadi lari ke pondok, Cia Sun lalu menarik tangan Ci Kang dan
mengajak putera Iblis Buta ini menyusul Hui Cu di tempat persembunyiannya.
Hui Cu
merasa gembira sekali melihat mereka masuk ke dalam goa bawah tanah. Akan
tetapi kegirangan itu hanya sebentar saja karena dara ini lalu duduk termenung
dengan wajah murung, teringat bahwa cintanya terhadap Cia Sun tidak mendapatkan
sambutan.
Ci Kang
tidak tahu mengapa gadis itu nampak murung. Maka, untuk memecah kesunyian yang
mencekam di antara mereka, sambil duduk di atas lantai bersandar dinding batu,
dia berkata,
"Sungguh
aneh nasib kita bertiga ini. Untuk kedua kalinya kita bertiga berkumpul menjadi
satu di tempat persembunyian yang hampir serupa, yakni di dalam goa di bawah
tanah. Barang kali inilah yang dinamakan jodoh!"
Ucapan ini
tidak disengaja menyindir sesuatu, akan tetapi Cia Sun dan Hui Cu yang baru
saja berbicara tentang cinta itu merasa tersindir sehingga wajah Cia Sun
menjadi merah, sebaliknya wajah Hui Cu menjadi semakin muram. Dari tempat
duduknya, sebuah bangku batu yang berada di situ, gadis itu memandang kepada
Cia Sun yang juga duduk di atas lantai bersandar dinding batu untuk memulihkan
tenaga dan tiba-tiba gadis itu bertanya, suaranya lirih dan polos.
"Cia-toako,
siapakah gadis yang kau cinta itu?"
Pertanyaan
yang amat tiba-tiba dan tidak terduga-duga ini bukan hanya mengejutkan Cia Sun,
akan tetapi juga Ci Kang. Barulah Ci Kang mengerti bahwa agaknya Cia Sun sudah
memberi tahu kepada Hui Cu bahwa dia tidak dapat menerima cinta dara itu karena
telah mencinta gadis lain!
Pantas saja
semenjak tadi wajah gadis yang cantik itu kelihatan muram saja. Dia merasa
kasihan sekali dan tidak berani memandang wajah cantik itu lama-lama karena
semakin dipandang maka semakin menimbulkan rasa iba.
"Hui
Cu, tak perlu aku mengatakan siapa gadis itu. Engkau pun tidak akan
mengenalnya."
Suasana
menjadi sunyi sekali karena ucapan itu keluar dari mulut Cia Sun dengan suara
tergetar. Mereka bertiga termenung dalam lamunan masing-masing. Ci Kang dan Hui
Cu tidak tahu bahwa keadaan Cia Sun tiada bedanya dengan mereka.
Hui Cu
mencinta Cia Sun akan tetapi tidak terbalas. Cia Sun mencinta Sui Cin namun
gadis itu pun agaknya tak dapat membalas cintanya. Apa lagi Ci Kang yang
mencinta Sui Cin akan tetapi malah melakukan suatu hal yang amat buruk terhadap
gadis itu sehingga tidak mungkin gadis itu akan membalas cintanya. Tiga orang
muda ini tenggelam dalam kesedihan masing-masing karena cinta yang bertepuk
sebelah tangan, cinta gagal!
Cinta asmara
yang condong untuk pemuasan nafsu diri pribadi selalu menimbulkan lebih banyak
duka dari pada suka. Cinta seperti ini selalu menuntut balasan, cinta seperti
ini selalu ingin menguasai, ingin memiliki sekaligus ingin dimiliki! Ingin
menyenangkan dan disenangkan, memuaskan dan dipuaskan. Banyak sekali yang
dituntut oleh cinta seperti ini dan satu saja di antara tuntutan-tuntutannya
itu tidak terlaksana atau tercapai, maka hal ini sudah cukup untuk
menghancurkan cinta itu! Dan akibatnya hanyalah kegagalan dan kedukaan. Cinta
seperti ini mengikat, membuat kita lekat kepada yang kita cinta dan sekali
waktu kalau saatnya tiba untuk perpisahan, hati kita menjadi luka dan timbul
pula duka.
Cinta yang
tidak terbalas menimbulkan duka. Cinta yang dihantui keraguan menimbulkan
cemburu dan duka. Seperti segala macam nafsu yang meramaikan hidup ini, maka
cinta seperti ini bersumber kepada keakuan, kepada keinginan menyenangkan diri
sendiri dan orang yang dicintanya itu dengan sendirinya hanya menjadi alat,
menjadi perabot atau sarana untuk menyenangkan dan memuaskan diri sendiri.
Inilah sebabnya mengapa cinta seperti ini mudah berubah menjadi benci bila mana
dirinya sudah tidak disenangkan atau dipuaskan lagi. Ini kenyataan yang terjadi
dalam hidup kita, dalam kisah cinta mencinta.
Tetapi,
benarkah itu patut dinamakan cinta jika hanya menimbulkan duka? Benarkah itu
namanya cinta kalau dapat berubah menjadi benci? Benarkah itu cinta kasih kalau
hanya sarat dengan beban berupa cemburu, nafsu birahi, ingin menguasai dan
pementingan diri sendiri? Sudah jelas bukan! Cinta kasih tidak mungkin
menimbulkan hal-hal yang buruk. Cinta kasih itu suci, murni, baik dan benar,
wajar tidak dibuat-buat, tanpa pamrih!
Orang lalu
mempersoalkan, menjadikannya sebagai bahan tanya jawab, mencari jawaban apakah
sebenarnya Cinta Kasih itu! Dan semua pendapat, semua jawaban, tidak benar atau
dapat disanggah, dapat dibantah serta didebat, karena semua pendapat itu selalu
mengandung pementingan diri sendiri. Pendapat datang dari satu sumber yang
tentu saja tergantung sepenuhnya dari keadaan sumber itu sendiri.
Cinta Kasih
terlalu lembut, terlalu tinggi, terlalu luas dan terlalu rumit bagi otak kita
yang lemah ini. Membicarakan Cinta Kasih seperti membicarakan Tuhan, atau
membicarakan kekuasaan Alam Semesta. Tidak terbatas! Tidak terjangkau oleh akal
budi, perasaan dan pikiran. Yang dapat kita selidiki dan mengerti hanyalah YANG
BUKAN CINTA KASIH. Nafsu birahi bukanlah cinta kasih, walau pun nafsu birahi
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri.
Kalau kita
menyingkirkan semua hal yang menjadikan Bukan Cinta Kasih, mungkin saja kita
dapat melihat berkelebatnya Cinta Kasih. Cinta Kasih tidak mungkin dapat
dipelajari, dipupuk mau pun dikejar dicari. Seperti juga cahaya terang yang tidak
dapat menembus rumah yang daun pintu dan jendelanya tertutup rapat-rapat.
Bukalah semua penutup itu dan cahaya terang itu akan masuk. Seperti juga sinar
lampu yang menjadi suram karena bola lampunya tertutup kotoran dan debu.
Bersihkan semua kotoran itu, singkirkan debu dan kotoran, maka sinar lampu itu
akan menjadi terang.
Lenyapnya
keinginan menyenangkan diri sendiri, keinginan untuk menguasai, cemburu, iri
hati, ingin memiliki, lenyapnya ikatan, sama artinya dengan lenyapnya kotoran
dan debu yang menempel pada bola lampu, dan sinar cinta kasih pun segera
bercahaya terang. Membiarkan pintu serta jendela terbuka sama dengan membiarkan
diri sendiri terbuka, tanpa pamrih, wajar, peka, kosong sehingga cahaya terang
cinta kasih, laksana cahaya matahari, akan masuk dan nampak.
Tiga orang
muda itu duduk termenung menyedihi nasib masing-masing.
Nasib yang
seperti segala macam sebutan nasib, tercipta oleh ulah sendiri. Orang yang
bijaksana akan selalu mencari kesalahan dalam diri sendiri setiap kali menghadapi
atau tertimpa keadaan yang dianggap tidak menyenangkan. Akan tetapi orang yang
picik akan selalu mencari sebab dan kesalahan pada diri orang lain, atau
melemparkannya kepada nasib!
Tidak dapat
disangkal lagi bahwa ada peristiwa-peristiwa terjadi di luar kemampuan kita
untuk memikirkan sebab-sebabnya, peristiwa yang merupakan rahasia-rahasia.
Namun, tetap saja akan tepat dan baik sekali kalau kita mencari segala
kesalahan yang menjadi sebab suatu peristiwa di dalam diri sendiri, karena
sebenarnya sumber segala peristiwa yang menimpa diri berada di dalam diri
sendiri pula.
Apa bila
sudah begini, tidak ada lagi pencarian kambing hitam, tidak menyalahkan orang
lain, tidak mengeluh kepada Tuhan, tidak mengutuk kepada setan, melainkan
melihat dengan penuh kewaspadaan bahwa sumber segala peristiwa terdapat dalam
diri sendiri. Dari sini timbullah penghentian segala tindakan yang tidak benar
dan yang hanya akan menimbulkan akibat buruk.
Tiba-tiba
Cia Sun dan Ci Kang meloncat berdiri dan dengan mata tajam memandang ke arah
lorong dan siap siaga. Mereka mendengar gerakan orang dan tidak lama kemudian
berkelebat bayangan orang dan disusul munculnya Ratu Iblis di ruang itu. Wajah
nenek yang biasanya pucat kehijauan itu kini nampak semakin menyeramkan dengan
sepasang mata yang mencorong dan liar memandang kepada dua orang pemuda itu.
"Kalian
lagi!" terdengar Ratu Iblis membentak marah. "Sekali ini kalian harus
mati untuk menyimpan rahasia tempat ini!"
Dan segera
dia pun sudah menyerang ke depan, pedangnya menyambar dalam bentuk sinar
berkilat ke arah dada Ci Kang sedang rambutnya yang panjang menyambar dalam
bentuk sinar putih ke arah leher Cia Sun. Nenek ini sudah menggunakan dua
senjatanya yang ampuh untuk merobohkan dua orang pemuda itu dan jangan dikira
bahwa serangan rambutnya itu tidak berbahaya. Bahkan kalau dibandingkan dengan
serangan pedangnya, mungkin lebih berbahaya.
Akan tetapi
dua orang pemuda perkasa itu sudah siap dan karena mereka maklum akan kelihaian
nenek itu, mereka pun cepat meloncat ke belakang sehingga serangan pedang dan
rambut itu tidak mengenai sasaran. Dan loncatan itu membuat Cia Sun dan Ci Kang
berjauhan sehingga tak mungkin bagi nenek itu untuk melakukan serangan ganda
kepada mereka. Terpaksa dia menyerang orang yang terdekat, yaitu Ci Kang,
dengan sambaran pedangnya.
Serangan itu
hebat bukan main, membuat Ci Kang terdesak dan berloncatan ke belakang
menghindarkan pedang yang menyambar-nyambar susul-menyusul itu. Melihat hal
ini, Cia Sun menerjang maju lalu mengirim totokan ke arah punggung nenek itu
untuk menolong sahabatnya.
RATU Iblis
mendengar desir angin dari arah belakang, membalikkan kepala dan rambutnya
menyambut tangan Cia Sun yang menotok, bermaksud menangkap pergelangan tangan
itu dengan rambutnya. Tapi Cia Sun yang menyerang hanya untuk membantu
sahabatnya dan mengurangi penekanan terhadap Ci Kang, langsung mengelak dengan
cara menarik kembali tangannya.
"Ibu,
jangan...!" Hui Cu berseru dan dia sudah meloncat ke depan, menghadang di
depan ibunya.
Sejenak ibu
dan anak saling berpandangan. Nenek itu masih memegang pedangnya dan dia
menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang riap-riapan panjang itu kini dari
depan pindah ke belakang.
"Hui
Cu, dulu engkau membela dua orang ini dan sekarang masih kau ulangi lagi
sikapmu itu. Akan tetapi tidak, sekali ini mereka harus mampus! Tempat ini
merupakan rahasia kita sendiri, tidak boleh ada orang lain yang tahu. Yang tahu
harus kubunuh!" Ia sudah hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan berani
Hui Cu memegang lengan ibunya.
"Tidak
boleh, ibu! Ketahuilah, mereka inilah yang telah membebaskan aku dari kurungan,
dari belenggu dan ancaman iblis tua itu! Kalau tidak ada mereka, tentu aku
telah celaka. Mereka telah melepas budi kebaikan kepadaku, maka mereka harus
kubela."
"Budi
tahi kucing!" Nenek itu membentak marah. "Bicara tentang budi adalah
kebohongan besar. Tak ada budi di dunia ini. Semua orang yang melakukan sesuatu
untuk membantu orang lain tentu mengandung pamrih!"
"Ibu
jangan menyamakan orang lain seperti teman-teman ibu sendiri! Teman-teman ibu
memang orang-orang yang tidak mengenal budi dan semua perbuatannya mengandung
pamrih kotor. Akan tetapi, dua orang pendekar ini menolong tanpa pamrih dan aku
pun tidak mau menjadi orang yang tidak mengenal budi. Mereka sengaja kuajak ke
sini untuk bersembunyi dan siapa pun yang akan mengganggu mereka, akan kulawan.
Juga ibu!"
Sejenak
nenek itu menjadi ragu-ragu, akan tetapi dia kemudian menghela napas panjang
dan menyarungkan lagi pedangnya. Dia terlampau mencinta puterinya dan demi
cintanya kepada puterinya dia bahkan berani menentang suaminya, walau pun
secara diam-diam.
"Baiklah,
aku ampunkan mereka ini. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk merahasiakan
tempat ini!"
"Baik,
kami berjanji," kata Ci Kang yang tidak ingin ribut-ribut di tempat itu
karena biar pun dia tidak takut menghadapi nenek ini, akan tetapi dia merasa
tidak enak terhadap Hui Cu kalau harus menentang ibu kandung gadis itu di
depannya.
"Dan
kalian harus berjanji pula untuk melindungi anakku!" kata pula nenek itu.
Diam-diam
kedua orang pendekar muda itu mendongkol. Nenek ini memang keterlaluan,
bersikap seolah-olah sebagai seorang pemenang yang memberi ampun dan mengajukan
syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan. Padahal, mereka berdua tidak pernah kalah
dan juga tidak takut menghadapi nenek ini. Akan tetapi, karena memang di dalam
hatinya Cia Sun merasa suka kepada Hui Cu, tanpa ragu-ragu dia pun berkata
dengan suara sungguh-sungguh.
"Baik,
kami berjanji!"
Sesudah
kedua orang pemuda itu berjanji untuk merahasiakan tempat itu dan melindungi
puterinya, barulah nenek itu merasa puas.
"Hui
Cu, jangan kau tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu,"
pesannya kepada puterinya dan nenek ini pun lalu berkelebat pergi, keluar dari
tempat rahasia itu.
Sesudah
ibunya pergi, Hui Cu menghadapi dua orang pendekar itu, "Harap kalian suka
maafkan ibuku tadi."
Cia Sun
tersenyum. "Hui Cu, aku benar-benar merasa heran sekali melihat betapa
suami isteri seperti Raja dan Ratu Iblis bisa mempunyai seorang puteri seperti
engkau. Sungguh seperti bumi dan langit bedanya!"
Wajah gadis
itu menjadi agak cerah mendengar pujian Cia Sun ini walau pun pandangan matanya
masih suram, lantas dia pun mulai mempersiapkan bahan-bahan masakan yang banyak
terdapat di tempat itu untuk membuatkan makanan. Ada mi kering, daging kering
dan gandum, juga beras sehingga sebentar saja, mereka bertiga sudah makan
bersama untuk mengisi perut mereka yang sudah amat lapar.
Pada malam
harinya, Ci Kang dan Cia Sun meninggalkan Hui Cu yang tidak dapat lagi menahan
mereka. "Engkau tinggallah di sini, Hui Cu. Kami berdua harus menolong
ketua Cin-ling-pai yang juga menjadi tawanan di sini. Kalau kami berhasil,
mungkin kami akan membawanya ke sini juga untuk bersembunyi. Andai kata kami
gagal, kami tentu akan kembali ke sini malam ini juga."
Terpaksa Hui
Cu membiarkan mereka pergi dan dua orang pemuda itu lalu menyusup-nyusup lagi
dalam penyamaran mereka sebagai dua orang prajurit. Mereka bersikap amat
berhati-hati karena mereka tahu bahwa setelah Hui-thian Su-kwi melaporkan
pengalaman tadi, tentu sekarang para pemberontak sudah tahu bahwa ada dua orang
musuh yang menyamar sebagai prajurit pasukan mereka.
Untung bagi
mereka bahwa pada malam itu keadaan di kota San-hai-koan tidak seperti
hari-hari yang lalu. Nampak para prajurit hilir mudik dalam keadaan panik dan
sebentar saja mereka berdua mendengar bahwa kota ini telah dikepung oleh
pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Inilah
sebabnya maka para prajurit di dalam kota benteng itu menjadi gelisah dan
mereka telah membuat persiapan pertempuran sehingga tak begitu memperhatikan
berita tentang dua orang mata-mata musuh yang menyelundup itu. Dan dengan
sendirinya, mudah saja bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup di antara banyak
prajurit yang berseliweran itu.
Mendengar
bahwa benteng itu telah dikepung pasukan pemerintah, Cia Sun dan Ci Kang merasa
girang, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus cepat-cepat membebaskan Cia
Kong Liang sebelum terlambat. Jika Raja Iblis menganggap bahwa ketua
Cin-ling-pai itu sudah tak ada gunanya lagi sebagai tawanan, tentu akan
dibunuhnya. Dan mengingat bahwa pasukan pemerintah sudah bergerak mengurung
kota San-hai-koan, bukan tidak mungkin ketua Cin-ling-pai itu kini terancam
bahaya besar.
Kesibukan-kesibukan
luar biasa terjadi di mana-mana, juga di penjara. Pasukan-pasukan hilir-mudik
dan nampak gelisah dan tegang. Kesempatan ini digunakan oleh Cia Sun dan Ci
Kang untuk menyusup memasuki penjara. Tiba-tiba, sesudah sampai di pintu
gerbang sebelah dalam, seorang perwira penjaga melintangkan pedangnya di depan
mereka dan memandang tajam.
"Mau
apa kalian? Kalian bukan anggota pasukan penjaga di tempat ini!" bentak
perwira itu dengan sikap curiga.
"Ciangkun,
apa kau mencurigai kami? Jangan mengira kami adalah dua orang mata-mata yang
hendak membikin kacau itu. Ketahuilah, kami diutus oleh Toan Ong-ya
sendiri!" kata Ci Kang.
Perwira itu
terkejut dan sikapnya segera berubah. Kalau benar dua orang ini utusan Toan
Ong-ya, sungguh dia tidak boleh bersikap lancang atau kurang hormat karena hal
itu bisa berarti hukuman berat baginya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu.
"Kalau
benar kalian adalah utusan dari Toan Ong-ya, mana surat perintahnya atau tanda
pengenalnya?"
Ci Kang
mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura marah. "Apa?! Kau tidak
mempercayai kami sebagai utusan Toan Ong-ya? Apakah kami tidak boleh melaksanakan
perintah itu? Baiklah, kami akan kembali dan melaporkan kepada Toan Ong-ya
bahwa seorang perwira berani melarang kami dan membangkang terhadap perintah
Toan Ong-ya!"
Wajah
perwira itu menjadi pucat. "Ahh, bukan begitu maksudku! Saudara berdua
harus paham bahwa kita harus bersikap waspada dan aku bersikap begini karena
berhati-hati. Baiklah, sekarang secara persahabatan saja, benarkah kalian ini
utusan Toan Ong-ya? Dan bagaimana aku dapat yakin akan kebenaran pengakuan
kalian itu?"
"Ciangkun,
dalam keadaan benteng dikepung musuh serta terancam bahaya ini, apakah Toan
Ong-ya sempat memberi tanda pengenal segala macam? Kami adalah kepercayaan
beliau dan kami diutus untuk menemui Cia Kong Liang..."
"Ketua
Cin-ling-pai? Wah, ini gawat! Kami diperintahken untuk menjaganya baik-baik
agar dia jangan sampai lolos dan perintah itu kami terima sendiri dari Toang
Ong-ya."
"Jadi
kau tetap tidak percaya kepada kami?" Ci Kang bertanya dengan suara
menantang.
Sikap ini
kembali membuat perwira itu ketakutan. "Tidak, tidak demikian. Akan tetapi
aku harus berhati-hati karena aku pun mempunyai tanggung jawab besar. Kalau
kalian hanya ingin mengunjungi saja tidak mengapa, akan tetapi kalau hendak
membawa pergi ketua Cin-ling-pai itu maka terpaksa kami menentang. Aku sendiri
menerima perintah dari Toan Ong-ya dengan pesan bahwa kecuali Toan Ong-ya
sendiri, siapa pun tak boleh membawa tawanan itu!"
Ci Kang
bertukar pandang dengan Cia Sun dan tiba-tiba Cia Sun yang berkata, suaranya
halus membujuk. "Ciangkun, harap tidak usah khawatir. Justru kami diutus
Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai itu, dengan tangan kami
sendiri!"
Diam-diam Ci
Kang terkejut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya sehingga
wajahnya biasa saja biar pun sinar matanya memandang Cia Sun penuh selidik.
Perwira itu sendiri nampak lega.
"Ahh,
kalau untuk membunuhnya tentu saja aku setuju sekali. Lebih cepat dibunuh lebih
baik agar tidak menjadi beban penjagaan saja. Mari kuantar sendiri kalian ke
sana!"
Diam-diam
Cia Sun memberi isyarat dengan pandangan mata kepada Ci Kang sehingga pemuda
ini yakin bahwa Cia Sun sedang menggunakan siasat ketika mengatakan hendak
membunuh ketua Cin-ling-pai, maka dia pun diam saja. Berkat pengawalan perwira
itu, tidak lama kemudian mereka dapat dengan mudah tiba di depan kamar tahanan
dan dari balik jeruji jendela kamar tahanan mereka melihat ketua Cin-ling-pai
dengan kaki tangan diborgol masih duduk bersila seperti arca.
"Nah,
itu dia," kata sang perwira.
Belasan
orang penjaga yang mendengar bahwa dua orang prajurit muda yang datang itu
adalah utusan Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai, merasa tertarik
sehingga mereka pun datang bergerombol untuk menonton, lantas berdiri di depan kamar
tahanan. Melihat ini, Cia Sun lalu berkata kepada sang perwira.
"Ciangkun,
karena kami berdua tidak membawa pedang, tolong pinjamkan pedangmu itu untuk
kupakai memenggal lehernya!"
Wajah
perwira itu berseri-seri dan dia segera mencabut pedangnya lalu menyerahkannya
kepada Cia Sun. "Ah, sungguh pedangku mendapat kehormatan besar untuk
memenggal leher ketua Cin-ling-pai, ha-ha-ha! Kelak akan menjadi
kebanggaanku!"
Sementara
itu, Cia Kong Liang membuka matanya dan mendengar semua percakapan itu. Diam-diam
dia terkejut mendengar ucapan Cia Sun, akan tetapi ketika dia melihat Ci Kang,
dia bisa mengenalnya dan hatinya menjadi tenang, apa lagi ketika dia menangkap
isyarat mata Ci Kang kepadanya.
Dengan
gembira perwira itu membuka pintu penjara dan semua prajurit penjaga penjara
cepat berdatangan untuk menonton pelaksanaan hukuman mati dari ketua
Cin-ling-pai itu. Tanpa ragu-ragu lagi Cia Sun berkata,
"Ciangkun,
seret dia keluar dari dalam kamar tahanan. Aku hendak melakukan hukuman mati
itu di lapangan penjara agar semua prajurit dapat melihatnya."
Ucapan ini
merupakan siasat Cia Sun yang ingin mengetahui kekuatan penjagaan di situ. Jika
semua berkumpul, agaknya akan lebih mudah baginya dan Ci Kang untuk membawa
ketua Cin-ling-pai melarikan diri.
Perwira itu
menjadi semakin girang dan bangga. "Hayo bangun dan ikut kami!"
bentaknya sembil memegang lengan Cia Kong Liang dan dengan kasar menariknya
bangkit berdiri.
Cia Kong
Liang bersikap tenang, bangkit berdiri dan dengan kaki tangan terbelenggu dia
pun diseret keluar dari dalam kamar tahanan. Pengikat kaki tangan ketua
Cin-ling-pai ini tidak terbuat dari besi. Raja Iblis maklum bahwa ketua ini
memiliki tenaga sinkang yang besar sehingga belenggu besi akan dapat
dipatahkannya. Maka untuk membuatnya tidak berdaya, kaki tangannya diikat pada
pergelangannya dengan tali sutera yang sangat ulet dan lentur sehingga tenaga
sinkang tak akan mampu membikin putus karena tali itu kalau direntangkan dapat
mulur akan tetapi tidak dapat putus saking uletnya.
Inilah
sebabnya mengapa Cia Sun minta meminjam pedang. Kalau belenggu itu dari besi,
tangannya akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, tali sutera seperti itu hanya
akan dapat dibikin putus dengan menggunakan senjata tajam. Lagi pula, ketua
Cin-ling-pai itu mungkin membutuhkannya, tidak seperti dia dan Ci Kang yang
cukup bertangan kosong saja.
Dia minta
supaya tawanan dibawa ke lapangan karena di tempat ini mereka akan lebih
leluasa bergerak kalau dikeroyok, tidak seperti di dalam kamar tahanan yang
sempit. Kini Ci Kang dapat menebak apa yang direncanakan oleh sahabatnya yang
cerdik itu, maka dia pun sudah bersiap-siap.
Kini Cia
Kong Liang sudah berada di tengah-tengah lapangan, dikelilingi oleh para
prajurit penjaga yang hendak melihat pelaksanaan hukuman mati itu. Ketua
Cin-ling-pai itu tetap berdiri dengan sikap gagah. Cia Sun menghampirinya
dengan pedang di tangan dan hati para penonton menjadi tegang.
"Pangcu,
aku sudah menerima perintah dari Toan Ong-ya untuk menjatuhkan hukuman mati
kepadamu. Maka kuminta agar engkau suka menyerahkan nyawa dengan ikhlas dan
memasang dirimu agar pedang ini dapat melaksanakan tugas sebaiknya!"
Cia Kong
Liang memandang wajah pemuda itu, lantas dia pun menjawab dengan suara yang
lantang dan gagah, "Aku akan menghadapi kematian dengan berdiri!" Dan
dia pun segera menjulurkan kedua lengannya yang diikat menjadi satu, juga kedua
kakinya agak direntangkan.
"Baik,
bersiaplah!" Cia Sun berkata.
Kini dengan
terbelalak semua mata memandang ke arah pedang yang sudah diangkat ke atas
kepala oleh Cia Sun. Tiba-tiba pedang itu berkelebat ke bawah dua kali dan
putuslah tali sutera pengikat lengan dan kaki Cia Kong Liang sehingga ketua itu
menjadi bebas!
"Heiii...!"
Perwira itu berteriak akan tetapi teriakannya terhenti di tengah jalan karena
dia sudah roboh dan pingsan oleh tamparan Ci Kang yang mengenai tengkuknya.
Gegerlah
keadaan di sana! Pedang yang tadi membikin putus belenggu kaki tangan Cia Kong
Liang, kini sudah berada di tangan ketua itu dan bersama Cia Sun dan Ci Kang,
dia lalu mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok yang masih panik akibat
perubahan keadaan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu.
"Locianpwe,
mari kita segera pergi!" Ci Kang berkata sambil mendekati Cia Kong Liang
yang mengamuk dengan pedangnya itu.
"Baik!"
kata ketua Cin-ling-pai karena dia pun tahu bahwa mereka bertiga saja, betapa
pun lihainya, tak mungkin akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak sekali
prajurit, apa lagi mereka berada di dalam benteng musuh.
Untung bagi
mereka bahwa pada saat itu, pasukan pemerintah yang mengepung benteng itu mulai
bergerak dan pertempuran mulai terjadi di sepanjang tembok benteng sehingga
pada waktu ketiganya melarikan diri, keadaan di luar penjara cukup kacau balau
sehingga sukarlah bagi para pengejar mereka untuk dapat mengikuti jejak mereka.
Lagi pula para pengejar itu pun merasa gentar sesudah menyaksikan kelihaian
tiga orang itu yang dalam waktu singkat saja sudah merobohkan puluhan orang
pengeroyok.
Setelah
menyusup-nyusup, akhirnya dua orang pendekar muda itu berhasil mengajak Cia
Kong Liang memasuki goa rahasia di bawah tanah dan mereka disambut dengan
girang oleh Hui Cu. Melihat gadis ini, Cia Kong Liang merasa heran dan dia
segera bertanya.
"Siapakah
nona ini?" Bagaimana pun juga, tentu saja ia pun ingin mengenal semua
orang yang berada di situ, mengingat bahwa mereka semua masih berada di tempat
yang amat berbahaya.
"Locianpwe,
nona ini adalah Toan Hui Cu, puteri dari... Pangeran Toan Jit Ong," Ci
Kang hampir saja menyebut nama Raja Iblis, akan tetapi diubahnya ketika dia
teringat bahwa gadis itu tentu akan merasa tersinggung dan tidak enak kalau
ayahnya disebut Raja Iblis.
Akan tetapi,
mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Toan Jit Ong, berarti puteri Raja
Iblis, mata ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan mukanya berubah merah.
Tangannya yang masih memegang pedang tadi segera bergerak dan dia sudah
menyerang Hui Cu dengan pedangnya! Akan tetapi dia terkejut sekali karena
tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap dan ternyata dengan gerakan yang luar
biasa ringan dan cepatnya, gadis itu telah melompat jauh ke belakang sambil
mengerutkan alisnya.
"Toako,
kenapa kalian membawa orang sejahat itu ke sini?" teriak Hui Cu penasaran.
Sementara
itu, Cia Sun dan Ci Kang cepat melerai dan berkata. "Harap locianpwe suka
menyimpan kembali pedang itu. Biar pun dia puteri Pangeran Toan, akan tetapi
dia sama sekali tak boleh disamakan dengan ayahnya atau ibunya. Dia menentang
kejahatan orang tuanya dan dia pernah menyelamatkan nyawa kami, bahkan sekarang
pun jika tidak ada dia yang menunjukkan tempat rahasia ini, kita bertiga jangan
harap dapat lolos dari kota San-hai-koan."
Cia Kong
Liang menarik napas panjang dan dia pun melepaskan pedangnya yang jatuh berdenting
ke atas lantai. Dia lantas teringat akan isterinya. Bukankah isterinya juga
puteri seorang datuk sesat? Isterinya juga tidak dapat dikatakan berwatak
penjahat, walau pun dia tahu bahwa ayah mertuanya, yang sudah lama mencuci
tangan, kini agaknya kumat lagi dan bersekutu dengan pemberontak yang dipimpin
datuk-datuk sesat.
"Maafkan
aku," katanya lirih kepada Hui Cu yang kini berani mendekat lagi.
"Nona
Toan Hui Cu ini bahkan dimusuhi oleh ayahnya sendiri," Ci Kang
menambahkan.
Cia Kong
Liang menggeleng-geleng kepala keheranan, lalu memandang kepada Ci Kang dengan
sinar mata mengandung rasa kagum dan terima kasih. "Dan sekarang baru kita
sempat bicara, orang muda. Siapakah engkau dan mengapa engkau dengan berani
mati telah menolongku?"
Ci Kang
tersenyum pahit dan dia pun menjawab, "Locianpwe, keadaan saya tidak
banyak bedanya dengan keadaan nona Hui Cu. Nama saya Siangkoan Ci Kang
sedangkan ayah saya adalah mendiang Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhh...!"
Kembali Cia Kong Liang terkejut sekali.
Dia tahu
siapa adanya Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta itu! Seorang datuk sesat yang
terkenal jahat, yang mengepalai para datuk sesat untuk mengeruhkan dunia
kang-ouw. Dan pemuda yang amat disukanya dan dikaguminya ini, pemuda yang telah
menolongnya secara cerdik dan berani, adalah putera datuk sesat itu!
"Saudara
Siangkoan Ci Kang ini, biar pun orang tuanya menjadi datuk sesat, akan tetapi
dia sendiri berjiwa pendekar sejati yang selalu menentang kejahatan, dan memang
benar bahwa agaknya keadaannya tidak berbeda dengan nona Toan Hui Cu." Cia
Sun segera menerangkan.
Cia Kong
Liang menghela napas panjang beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan
memandang kepada Ci Kang. "Siangkoan Ci Kang," akhirnya dia berkata,
"kalau melihat putera seorang pendekar menjadi orang gagah, hal itu
tidaklah aneh sehingga tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi putera seorang
raja datuk sesat menjadi seorang pendekar budiman, sungguh hal ini merupakan
sesuatu yang luar biasa dan amat mengagumkan." Kemudian dia memandang
kepada Cia Sun. "Dan engkau sendiri, orang muda. Siapakah kau?"
Cia Sun
menjura dengan hormat. "Harap locianpwe suka memaafkan kalau saya bersikap
kurang pantas. Sebenarnya saya adalah cucu keponakan locianpwe sendiri. Nama
saya Cia Sun dan ayah bernama Cia Han Tiong."
Sepasang
mata ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan wajahnya berseri ketika dia mengulur
tangan dan memegang lengan pemuda itu. "Ahh...! Ternyata engkau adalah
putera Cia Han Tiong? Pantas... Cia Sun, bagaimana kabarnya dengan ayah serta
ibumu? Apakah masih tinggal di Lembah Naga?"
"Terima
kasih, ayah baik-baik saja dan kini masih berada di Lembah Naga, akan tetapi
ibu telah tewas akibat terbunuh orang jahat." Cia Sun lalu menceritakan
keadaan keluarganya dengan singkat dan percakapan lalu menjurus ke arah
pemberontakan itu sendiri.
"Aku
telah tertipu! Aku telah khilaf karena kesembronoanku sendiri!" Ketua
Cin-ling-pai itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. "Tanpa
penyelidikan lebih dahulu aku telah membawa keluarga beserta murid-murid
Cin-ling-pai untuk membantu pasukan para pemberontak. Tadinya kukira bahwa
pemberontakan Ji-ciangkun adalah suatu perjuangan yang menentang pemerintah
lalim, tetapi siapa kira Ji-ciangkun sendiri diperalat oleh para datuk sesat
yang hendak mencari kedudukan. Aku memberontak terhadap mereka lantas ditawan, dan
entah bagaimana nasib keluarga dan para muridku di Ceng-tek."
Mendadak
terdengar suara keras dan gaduh di sebelah atas. "Ahh, di atas sedang
terjadi pertempuran besar!" kata Hui Cu ketika mereka semua terkejut
mendengar kegaduhan itu.
"Kota
ini sudah dikepung oleh pasukan besar pemerintah dan mungkin sekali kini sedang
terjadi pertempuran," kata Ci Kang.
"Bagus!"
Cia Kong Liang bangkit berdiri dan mengambil pedang yang tadinya dilemparkan ke
atas lantai. "Inilah kesempatan baik bagiku untuk menebus dosa. Kini aku
harus keluar membantu pasukan pemerintah dan menyerang para pemberontak laknat
itu!"
"Tetapi
kita harus bertindak hati-hati, locianpwe. Sebelum benteng ini bobol, kita
bertiga saja mana mungkin dapat menghadapi pasukan besar," Ci Kang membantah.
"Tentu
saja kita harus melihat keadaan," kata Cia Kong Liang yang sudah bangkit
kembali semangatnya. "Mari kita keluar, kita melakukan
pembakaran-pembakaran dan perusakan-perusakan untuk menimbulkan kekacauan dari
dalam."
Cia Sun
memandang kagum. Ketua Cin-ling-pai ini memang gagah perkasa serta penuh
semangat, sayang sekali tadinya agak ceroboh sehingga mudah tertipu.
"Memang
sebaiknya kalau kita keluar melakukan penyelidikan dari pada menduga-duga di
tempat ini dan tidak berbuat apa-apa."
"Harap
kalian jangan pergi meninggalkan aku lagi!" kata Hui Cu. "Atau bila
memang kalian terpaksa pergi juga, aku akan ikut!"
"Hui
Cu, kami keluar untuk melawan anak buah orang tuamu, sebaiknya engkau tinggal
saja di sini menunggu kedatangan ibumu. Tak mungkin engkau melawan ayahmu
sendiri," kata Ci Kang. Mendengar ini, wajah yang cantik dan agak pucat
itu menjadi murung dan gadis itu hampir saja menangis, kini memandang pada Cia
Sun dengan sinar mata penuh permohonan.
Cia Sun
merasa kasihan dan memegang tangan gadis itu. "Hui Cu, kami terpaksa harus
meninggalkanmu di sini. Tinggallah kau di sini. Jika engkau ikut dan terlihat
oleh ayahmu, tentu engkau terancam bahaya besar, padahal kami sudah berjanji
kepada ibumu untuk menjagamu. Tinggallah di sini dan aku berjanji bahwa kalau
pertempuran sudah selesai, maka aku pasti menjemputmu di sini."
Akhirnya Hui
Cu tidak membantah lagi, akan tetapi tak lama setelah tiga orang itu keluar,
Hui Cu tidak tahan untuk berada di tempat itu seorang diri saja sehingga dia
pun segera menyelinap keluar.
***************
Hati Sui Cin
girang sekali bahwa dia sudah berhasil mengantar Hui Song, Siang Wi serta para
murid Cin-ling-pai keluar dari dalam benteng Ceng-tek dengan selamat. Dia
berpisah dari mereka dan kembali ke Ceng-tek untuk membantu pasukan suku bangsa
utara, yang dipimpin Yelu Kim menyerbu Ceng-tek. Dia bergerak di antara para
prajurit dan mencari gurunya.
Pasukan para
suku bangsa utara itu telah memperoleh kemajuan, sudah dapat menyerbu ke dalam
dan kini terjadi pertempuran-pertempuran sengit di sebelah dalam kota benteng
Ceng-tek di mana pihak penyerbu mulai mendesak pasukan pemberontak yang
bertahan.
Akhirnya Sui
Cin menemukan gurunya, nenek Yelu Kim yang sedang memimpin pasukan pengawal di
depan sebuah gedung. Yelu Kim juga girang melihat muridnya. Tadi dia telah
merasa khawatir karena belum juga melihat gadis itu yang bertugas sebagai
penyelundup untuk mengacau sebelah dalam benteng musuh.
Tiba-tiba
saja dari dalam gedung itu muncul serombongan orang yang segera menyerbu
pasukan pengawal Yelu Kim. Ada tiga belas orang yang keluar menerjang itu dan
ternyata mereka semua memiliki gerakan yang amat cepat dan kuat, tanda bahwa
mereka adalah orang-orang yang mempunyai ilmu silat tinggi. Beberapa orang
prajurit pengawal Yelu Kim langsung roboh dalam segebrakan saja.
Ketika Sui
Cin memandang, ternyata mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang oleh Raja
Iblis tadinya diperbantukan di kota Ceng-tek. Tiga belas orang itu dipimpin
oleh Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo dan Tho-tee-kwi, tiga orang dari
Cap-sha-kui yang lihai!
"Hati-hati,
subo, tiga orang itu adalah orang-orang Cap-sha-kui yang sangat lihai!"
katanya memperingatkan gurunya.
Dia sendiri
telah menerjang maju dengan cepatnya. Gerakannya yang lincah ini disambut oleh
Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo. Koai-pian Hek-mo langsung menggerakkan
pecut bajanya yang panjang dilecutkan ke arah kepala Sui Cin, ada pun Hwa Hwa
Kui-bo juga sudah menyambut dengan tusukan pedang.
"Wuuuuttt...!"
Secara luar
biasa sekali tubuh Sui Cin yang masih melayang di udara itu menukik lantas
mengelak bagaikan seekor burung walet saja gesitnya, dan serangan dua orang itu
luput. Kini Sui Cin sudah turun dan berhadapan dengan mereka, sambil
tersenyum-senyum dia bertolak pinggang. Dia mentertawakan dua orang musuh
besarnya ini dan teringat betapa kurang lebih empat tahun lalu dia sudah pernah
bertanding menghadapi dua orang tokoh Cap-sha-kui ini.
"Hi-hi-hik,
kiranya dua orang tua bangka Cap-sha-kui yang sudah bosan hidup! Beberapa tahun
yang lalu pun kalian tidak bisa menang melawanku, apa lagi sekarang. Kalian
telah menjadi semakin tua, sedangkan kepandaianku semakin maju!"
Tadinya dua
orang tokoh Cap-sha-kui itu tidak mengenal Sui Cin, akan tetapi sesudah gadis
itu berbicara dan tertawa, mereka teringat dan keduanya merasa kaget dan marah
sekali. Sepasang mata di balik kedok hitam dari Hwa Hwa Kui-bo itu mengeluarkan
sinar berapi dan mulutnya yang lebar dengan gigi besar-besar putih itu terbuka.
"Ternyata
engkau bocah setan! Sekarang aku tidak akan mengampuni kamu lagi!" Dan
secepat kilat tangan kirinya bergerak dan dua sinar hitam menyambar ke arah
tubuh Sui Cin.
Gadis ini
telah maklum bahwa nenek ini pandai sekali menggunakan jarum-jarum beracun
sebagai senjata rahasia, maka dia sudah siap siaga dan sekali dia mengebutkan
tangan kirinya, ada angin menyambar kuat sekali lantas jarum-jarum itu pun
runtuh, bahkan ada sebagian yang menyambar kembali ke arah muka berkedok itu!
Hwa Hwa
Kuibo terkejut, mengeluarkan teriakan dan mengelak, lalu pedangnya bergerak
melakukan serangan ganas. Gerakannya ini diikuti pula dengan menyambarnya paku
di ujung pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo. Dua orang tokoh muara Sungai
Huang-ho ini lalu mengamuk dengan buasnya mengeroyok Sui Cin.
Akan tetapi
gadis ini mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya segera
berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, dengan enaknya ia
mempermainkan sehingga semua sambaran senjata lawan selalu luput, sebaliknya
dia pun membagi-bagi tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya, bahkan
yang membuat dua orang itu merasa gentar dan terdesak mundur.
Tho-tee-kwi
(Setan Bumi), kakek raksasa yang amat menyeramkan itu, yang mempunyai kebiasaan
mengerikan, yakni makan daging anak-anak, seorang tokoh Cap-sha-kui yang
memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa
Kui-bo, kini ditandingi oleh Yelu Kim yang dibantu oleh perwira-perwira
pengawal yang lihai pula. Ada pun para datuk lain dikeroyok oleh pasukan
pengawal.
Kini
terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Akan tetapi karena pihak
pasukan pengawal jauh lebih banyak jumlahnya, sekarang para datuk itu segera
terdesak hebat.
Tadinya Sui
Cin ingin sekali mempermainkan dua orang musuh lama itu, sesuai dengan wataknya
yang memang nakal. Akan tetapi dia pun tahu betapa lihainya Tho-tee-kwi dan dia
harus dapat cepat membantu gurunya menghadapi kakek raksasa itu. Maka dia pun
mempercepat gerakannya.
"Singggg...!"
Tiba-tiba saja
Hwa Hwa Kuibo yang licik itu menyerangnya dengan merendahkan diri dan pedang
itu membabat ke arah kedua kaki Sui Cin. Serangan ini berbahaya sekali karena
ketika itu Sui Cin sedang menghadapi serangan paku di ujung cambuk Koai-pian
Hek-mo yang menyambar ke arah matanya.
"Tingggg...!"
Sui Cin
menggunakan jari tangannya menyentil ke arah paku sehingga paku pada ujung
cambuk itu mencelat lantas membalik, menyambar ke arah muka pemiliknya
sedangkan tubuh gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan babatan pedang
nenek Hwa Hwa Kui-bo. Gerakannya cepat dan kuat.
Koai-pian
Hek-mo terkejut melihat pakunya membalik dan menyambar ke arah mukanya. Akan
tetapi sekali menggerakkan gagang cambuk, paku itu berhenti menyambar dan kini
cambuknya yang panjang ia gerakkan ke arah tubuh Sui Cin yang masih meloncat ke
atas ketika menghindarkan babatan pedang tadi.
Sui Cin
mengulur tangan menangkap ujung cambuk! Gerakan ini terlalu berani akan tetapi
gadis itu telah membuat perhitungan yang matang. Pada saat jari-jari tangannya
berhasil menangkap paku di ujung cambuk, secepat kilat dia meminjam tenaga
gerakan cambuk, melontarkan paku itu ke arah Hwa Hwa Kui-bo.
Paku pada
ujung cambuk itu meluncur bersama cambuk panjang itu ke arah kepala Hwa Hwa
Kui-bo. Nenek ini sama sekali tidak pernah menyangka dan tahu-tahu ujung cambuk
kawannya sendiri telah melayang ke arah kepalanya. Ia tidak keburu mengelak
lagi.
"Cappp...!
Aiiiiihhh...!" Nenek itu menjerit, paku menancap pada batok kepalanya.
Melihat ini,
Koai-pian Hek-mo terkejut setengah mati. Ditariknya cambuknya dan paku itu
tercabut keluar, diikuti muncratnya darah dari kepala nenek itu. Dengan mata
mendelik yang memandang dari belakang kedoknya, Hwa Hwa Kui-bo segera menubruk
ke depan dan tahu-tahu pedangnya telah menembus dada Koai-pian Hek-mo!
Dasar orang
sesat! Karena paku di ujung cambuk kawannya mengenai kepalanya, Hwa Hwa Kui-bo
sudah menjadi marah kepada temannya sendiri dan menyerangnya dengan tiba-tiba.
Koai-pian Hek-mo berteriak dan terjengkang roboh, darah muncrat dari dadanya.
Hwa Hwa Kui-bo tertawa bergelak akan tetapi segera terjengkang juga dan
berkelojotan, tewas dalam waktu hampir berbareng dengan temannya.
Sui Cin
sudah tak peduli lagi pada mereka. Segera saja dia terjun ke dalam pertempuran
membantu nenek Yelu Kim yang dibantu oleh beberapa orang perwira pengawal
sedang mengepung Tho-tee-kwi yang lihai.
Majunya Sui
Cin membawa perubahan. Kalau tadinya Tho-tee-kwi masih kelihatan gagah perkasa
dan agaknya sukar bagi Yelu Kim untuk dapat merobohkan raksasa ini walau pun
dia sudah dibantu oleh para perwira pasukan pengawal, sekarang sesudah Sui Cin
maju dan menghujankan pukulan dan tamparan ampuh kepada Tho-tee-kwi, kakek itu
terdesak hebat! Bahkan sebuah tamparan yang amat kuat dari tangan kiri Sui Cin
tepat mengenai pundak kakek itu yang membuatnya terhuyung ke belakang.
Kesempatan
ini langsung digunakan oleh Yelu Kim untuk menggerakkan kebutannya yang
berwarna putih. Ujung kebutan itu menjadi kaku dan menotok ke arah tiga jalan
darah di tubuh kakek raksasa.
Tho-tee-kwi
masih sempat menangkis dua totokan, akan tetapi totokan ketiga mengenai
tengkuknya dan tubuhnya seketika menjadi kejang. Saat ini kekebalannya pun
lenyap dan ketika dua orang perwira pengawal menusukkan pedangnya, pedang itu
langsung amblas memasuki lambung dan dadanya. Padahal tadi, sebelum terkena
totokan, pedang para perwira itu tidak mampu menembus kekebalan kulitnya!
Robohnya
Tho-tee-kwi berarti berakhirnya perlawanan gigih para datuk sesat. Tiga orang
Cap-sha-kui yang menjadi pimpinan mereka sudah roboh dan tewas, tentu saja
semangat mereka menjadi kecil lantas dengan mudah mereka pun dapat dirobohkan.
Habislah tiga belas orang datuk sesat itu, semua tewas di tangan rombongan Yelu
Kim walau pun pihak Yelu Kim juga menderita kematian belasan orang pasukan
pengawal.
Sesudah
bertempur semalaman suntuk, akhirnya Ceng-tek jatuh ke tangan pasukan Yelu Kim.
Namun kini datanglah bala bantuan dari San-hai-koan, yakni pasukan pemberontak
sehingga kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit lagi. Akan tetapi kali
ini pihak Yelu Kim yang mempertahankan benteng Ceng-tek, ada pun pihak pasukan
pemberontak yang menjadi penyerang dari luar.
Hebat sekali
pertempuran ini. Pihak pasukan Yelu Kim sudah lelah setelah mengerahkan tenaga
merebut benteng Ceng-tek, sedangkan pasukan pemberontak dari San-hai-koan masih
segar bugar dan jumlah mereka pun lebih banyak. Akan tetapi, dengan pandainya
Yelu Kim dapat menyusun kekuatan dan pintu-pintu benteng Ceng-tek yang rusak
sudah diperbaiki. Sekarang benteng itu menjadi kokoh kuat sehingga tidak mudah
bagi pasukan pemberontak untuk merebut kembali benteng itu.
Sampai lima
hari lamanya pasukan pemberontak terus mengepung Ceng-tek dan setiap hari
terjadi penyerbuan, namun tetap saja benteng itu dapat dipertahankan oleh
pasukan Yelu Kim. Bagaimana pun juga, nenek itu mulai merasa gelisah. Kalau
pengepungan itu dilanjutkan, paling lama sebulan saja pasukannya akan kehabisan
ransum dan ini berarti mereka akan menderita kekalahan dan terpaksa melepaskan
kembali kota Ceng-tek yang telah mereka kuasai.
Bagaimana
pun juga, nenek itu mengambil keputusan hendak mempertahankan Ceng-tek sampai
kekuatan terakhir, karena sekali mereka meninggalkan benteng itu, akan sukarlah
bagi mereka untuk memperoleh benteng baru di mana mereka dapat menyusun
kekuatan untuk melakukan penyerangan ke selatan.
Sui Cin
masih tinggal di Ceng-tek mendampingi gurunya. Gadis ini telah bertekad hendak
membantu pasukan Yelu Kim selama pasukan ini bertempur melawan para
pemberontak. Dia pun ikut prihatin melihat betapa pasukan gurunya terkurung di
Ceng-tek dan benteng itu sudah dikepung oleh pasukan pemberontak yang jumlahnya
lebih besar.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment