Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 28
KETIKA
memeriksa keadaan lima jenazah itu, hati Bin Biauw menjadi terharu, akan tetapi
juga terkejut. Lima orang murid itu adalah murid-murid kepala yang sore tadi
masih bicara dengan dia dan suaminya. Dan kini dia merasa yakin bahwa mereka
itu dibunuh karena tadi telah melaporkan kepada guru mereka tentang Raja dan
Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui.
Sudah pasti
inilah sebabnya, dan pembunuhnya tentulah bayangan yang telah dikejarnya dan
lenyap tadi, juga yang menimbulkan suara sehingga suaminya mencoba pula untuk
mengejar akan tetapi tidak melihat siapa pun di atas genteng. Bayangan itu
lihai dan lima orang murid ini pun tewas oleh orang yang lihai sekali.
Lima orang
itu adalah murid-murid kepala, tentu saja tingkat kepandaian mereka sudah
lumayan tingginya. Namun mereka tewas tanpa mengeluarkan teriakan dan tubuh
mereka tidak terluka parah, hanya pada kepala mereka ada bekas telapak jari
tangan menghitam!
Mereka itu
terbunuh dengan tiba-tiba atau lebih dahulu dirobohkan dengan pukulan atau
benda beracun. Ini memperkuat dugaannya bahwa musuh yang membunuh lima orang
murid ini tentulah mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan jelas merupakan seorang
tokoh kaum sesat yang biasa mempergunakan racun.
Bin Mo To
juga ikut memeriksa dengan teliti dan kakek ini mengerutkan alisnya.
"Hemm, benarkah mereka akan melanggar janji?" gumamnya pada diri
sendiri. "Benarkah mereka mengingkari janji kerja sama dan tak akan
mengganggu anak-anak buah Cin-ling-pai? Kita sudah berjasa besar dan mereka
masih tega membunuh lima orang murid kepala secara ini?" Kakek itu menjadi
marah, mengepal tinju dan mukanya berubah merah.
Melihat
sikap ayahnya ini, Bin Biauw lalu berbisik, "Hemm, ternyata ayah memang
sudah bersekutu dengan mereka?"
"Anakku,
aku bukan ingin berbaik dengan mereka, hanya kulihat kesempatan baik untuk
meraih kedudukan bagi suamimu, maka biarlah persekutuan ini dijadikan jembatan
untuk mencari kedudukan. Namun tak kusangka mereka sekeji ini..."
Para anggota
Cin-ling-pai sudah mendengar tentang adanya kaum sesat yang membantu
pemberontakan Ji-ciangkun dan mereka itu yang sejak dahulu digembleng dengan
keras oleh Cia Kong Liang untuk menjadi pendekar-pendekar sejati, merasa
penasaran sekali. Apa lagi melihat tewasnya lima orang saudara tua mereka ini,
mereka merasa marah dan ingin mengamuk.
"Subo,
apa yang harus kami lakukan?"
"Subo,
di mana suhu?"
"Subo,
haruskah kita berdiam diri saja?"
Lontaran-lontaran
penasaran ini membuat Bin Biauw semakin bingung. "Apa yang harus kita
lakukan sekarang?" tanyanya kepada ayahnya.
Kakek itu
pun merasa bingung dan gelisah. Sekarang barulah dia merasa menyesal telah
bermain api, telah menyeret anak beserta menantunya, bahkan sebagian besar
anggota Cin-ling-pai yang pada waktu itu berhasil dihubungi, untuk bersekutu
dengan orang-orang macam Cap-sha-kui dan para datuk yang membantu Raja dan Ratu
Iblis.
Kesetiaan
orang-orang semacam mereka itu memang sama sekali tidak boleh dipercaya. Andai
kata pemberontakan berhasil sekali pun, belum tentu mantunya akan memperoleh
kedudukan dan kemuliaan tanpa adanya pengkhianatan-pengkhianatan dari
orang-orang golongan hitam itu.
"Tidak
ada lain jalan kecuali menanti kembalinya suamimu." Jawaban ini cocok
dengan pendapat Bin Biauw, maka wanita ini lalu berkata kepada para murid
Cin-ling-pai.
"Kuminta
kalian jangan bertindak sendiri-sendiri secara ceroboh. Kita harus sabar
menanti sampai suhu kalian pulang, baru kita akan berunding tindakan apa yang
selanjutkan akan kita lakukan."
"Akan
tetapi, subo. Apa bila kita terlambat, mungkin kita semua akan mereka bunuh
selagi kita berada di sini."
"Subo,
ke manakah perginya suhu?" Kembali suara-suara terdengar di antara para
murid Cin-ling-pai yang marah itu.
"Suhu
kalian sedang melakukan penyelidikan ke San-hai-koan..."
"...dan
menjadi tawanan di sana!" tiba-tiba terdengar suara wanita memotong,
"dan kalian orang-orang Cin-ling-pai yang hendak berkhianat, menyerahlah dari
pada harus kubasmi semua!"
Bin Biauw
serta Bin Mo To cepat membalikkan tubuh, dan mereka melihat betapa yang
berbicara tadi adalah Gui Siang Hwa dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki
tampan pesolek, yaitu Sim Thian Bu!
"Kalian
sudah dikepung, melawan pun percuma saja!" kata Sim Thian Bu dengan suara
mengejek.
Wajah Bin Mo
To menjadi merah sekali. "Apa maksud kalian?" bentaknya dengan kedua
tangan dikepal. "Kami adalah orang-orang yang telah berjasa dalam
menduduki Ceng-tek! Kami bukan pengkhianat melainkan pejuang-pejuang gagah
berani!"
Sim Thian Bu
tertawa. "Ha-ha-ha, Tung-hai-sian, mungkin engkau memang satu golongan
dengan kami, tetapi orang-orang Cin-ling-pai itu jelas bukan! Karena engkau
bergabung dengan Cin-ling-pai, maka engkau pun harus menyerah juga!"
Tung-hai-sian
yang kini bernama Bin Mo To dan sudah lama membuang nama julukan ketika dia
masih menjadi datuk sesat itu menjadi marah sekali. Dia mengerti bahwa tidak
ada gunanya bicara dengan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa rencananya
menjadi berantakan begini. Dan semua ini adalah karena ulahnya.
Mantunya
yang pergi menyelidiki ke San-hai-koan sudah diketahui musuh dan tentu telah
terjebak. Cin-ling-pai juga sudah dikepung dan menghadapi bahaya besar. Semua
ini dia yang menjadi biang keladinya. Oleh karena itu dia pula yang kini harus
berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang-orang Cin-ling-pai.
"Serbu
keluar! Berpencar dan mencari jalan keluar sendiri-sendiri! Kita semua kembali
ke Cin-ling-san!" teriaknya dengan penuh geram, suaranya nyaring
melengking.
Dan para
anggota Cin-ling-pai yang maklum pula akan adanya bahaya yang mengancam lalu
tumbuh semangat, dan mereka pun bergerak mencabut senjata masing-masing lalu
menyerbu keluar! Bin Mo To dan Bin Biauw sendiri sudah mencabut pedang mereka
dan menerjang Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu.
Siang Hwa
dan Thian Bu mengelak, dan wanita itu berteriak memberi komando kepada pasukan
yang mengepung tempat itu untuk menyergap. Dia sendiri pun sudah mencabut
pedangnya dan menangkis kuat-kuat ketika Bin Biauw kembali menyerang.
"Cringgg...!"
Bin Biauw
terkejut bukan main karena merasa betapa lengannya yang memegang pedang
tergetar dan pedangnya terpental. Siang Hwa tertawa mengejek lantas balas
menyerang. Bin Biauw memutar pedangnya melindungi diri dan sebentar saja ia
telah terdesak hebat.
Betapa pun
juga, dia adalah isteri ketua Cin-ling-pai dan sedikit banyak sudah menerima
banyak petunjuk suaminya dalam ilmu silat. Maka biar pun tingkat ilmu pedangnya
kalah tinggi dan tenaganya kalah kuat dibandingkan Siang Hwa, dia membela diri
mati-matian sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru.
Sementara
itu, Bin Mo To yang sudah tua sekali itu pun mengamuk, akan tetapi amukan
pedangnya ditahan oleh pedang di tangan Sim Thian Bu. Bin Mo To pernah menjadi
datuk timur yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya dan ilmunya di dalam
air. Akan tetapi sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah mencabut pedang,
tidak pernah berkelahi dan ketika pasukan menyerbu Ceng-tek, dia pun hanya
memberi petunjuk saja dan tidak ikut terjun ke dalam pertempuran.
Akan tetapi
kali ini dia terpaksa bertanding mati-matian, ada pun lawannya adalah murid
terkasih mendiang Iblis Buta, maka tentu saja dia merasa kewalahan dan repot
sekali. Bukan hanya gerakannya kurang tangkas lagi, juga napasnya pendek
sehingga lewat tiga puluh jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Keadaannya
tidak lebih baik dari pada puterinya yang juga sudah terkurung oleh gulungan
sinar pedang di tangan Siang Hwa.
Maklum bahwa
keadaannya terhimpit dan sukar untuk meloloskan diri, Bin Biauw berseru keras
sekali, "Anak-anak, pergilah kalian dan selamatkan diri! Cepat...!"
Suaranya kandas dan tubuhnya terhuyung, pedangnya terlepas lantas kedua
tangannya mendekap dada di mana terdapat luka yang mencucurkan darah karena
ketika dia berteriak tadi, pedang di tangan Siang Hwa telah menembus
jantungnya.
"Ayah...
lari...!" Bin Biauw masih sempat berteriak sebelum tubuhnya terguling
kemudian tidak bergerak lagi.
Bin Mo To
terkejut bukan main dan rasa kaget ini melemahkan dan membuatnya lengah
sehingga dengan mudah saja pedang di tangan Sim Thian Bu menyambar lalu
mengenai batang lehernya! Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi kakek itu
terpelanting dan roboh dengan darah bercucuran dari lehernya. Kakek itu tewas
hanya berselang beberapa detik saja sesudah puterinya tewas.
Sementara
itu, sejak tadi para murid Cin-ling-pai sudah menerjang keluar dan terjadilah
pertempuran yang seru namun berat sebelah, antara puluhan orang Cin-ling-pai
melawan ratusan orang prajurit pemberontak, pasukan yang dipimpin oleh Gui
Siang Hwa, pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.
Biar pun
para anak murid Cin-ling-pai melawan dengan gagah berani, tetapi jumlah lawan
terlampau banyak. Setiap anggota Cin-ling-pai harus menghadapi pengeroyokan
belasan orang lawan, maka tentu saja mereka terdesak hebat.
Pada saat
Bin Biauw berteriak menyuruh mereka lari, ada beberapa orang yang berhasil
meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri, dikejar-kejar oleh para
prajurit. Keadaan kacau yang timbul dari kejar-kejaran ini kemudian memberi
kesempatan pada para murid Cin-ling-pai untuk berusaha meloloskan diri. Namun
demikian, banyak di antara mereka yang gagal dan roboh sebelum berhasil keluar
dari kota.
Ada belasan
orang saja yang akhirnya berhasil lolos dari dalam kota, melarikan diri sambil
membawa luka-luka pada tubuh mereka, sedangkan puluhan orang lainnya tewas.
Hanya seperempat bagian saja dari orang-orang Cin-ling-pai itu selamat dari
pembantaian yang terjadi di Ceng-tek!
Bagaimana
dengan nasib Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu? Ejekan yang keluar dari
mulut Siang Hwa bukan hanya kosong belaka. Memang kedatangan ketua Cin-ling-pai
itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu oleh Raja Iblis! Apa yang
terjadi di Ceng-tek sudah didengarkan oleh Siang Hwa dan Thian Bu,
bayangan-bayangan yang terlihat oleh Bin Biauw dan terdengar oleh Cia Kong
Liang.
Mendengar
percakapan itu, Siang Hwa yang memang selalu memata-matai orang-orang
Cin-ling-pai, cepat-cepat mengirim utusan ke San-hai-koan memberi tahu kepada
gurunya sehingga tentu saja kunjungan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan
telah diketahui lebih dahulu dan kedatangannya itu sudah ditunggu-tunggu!
Setelah
melakukan perjalanan semalam suntuk tanpa pernah berhenti, pada esok harinya
Cia Kong Liang yang mempunyai watak keras dan gagah perkasa itu memasuki
benteng San-hai-koan. Dia langsung masuk saja dan karena dia sudah dikenal oleh
para penjaga pintu gerbang, dia diperbolehkan masuk dengan sikap hormat.
Meski pun
hari masih sangat pagi dan belum pantas untuk sebuah kunjungan, Cia Kong Liang
tidak peduli. Kemarahan yang bergejolak di hatinya hampir tidak dapat
ditahannya lagi dan dia pun langsung mengunjungi gedung Panglima Ji Sun Ki yang
dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Mereka ini pun mengenal Cia Kong Liang dan
menyambutnya dengan hormat.
"Aku
hendak bertemu dengan Ji-ciangkun," katanya dengan tenang. "Katakan
ada urusan yang penting sekali dan kuharap dia akan suka menerimaku sekarang
juga!"
Sesudah
dilaporkan ke dalam, ketua Cin-ling-pai itu segera dipersilakan masuk ke dalam
ruangan tamu yang luas dan ketika dia masuk, di sana telah duduk Panglima Ji
Sun Ki seorang diri. Begitu melihat ketua Cin-ling-pai, panglima itu mengangkat
tangan kanan sebagai salam dan mempersilakannya duduk.
"Silakan
duduk, Cia-pangcu. Pagi-pagi sekali pangcu telah mencariku, ada urusan penting
apakah?" tanyanya ramah akan tetapi tegas.
Dengan
tenang Cia Kong Liang mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu,
terhalang sebuah meja besar. Setelah duduk, dia memandang sejenak penuh
selidik, barulah dia berkata, "Ji-ciangkun, maafkan kalau kedatanganku ini
mengganggumu. Akan tetapi ada satu hal yang teramat penting hingga memaksaku
malam-malam meninggalkan kota Ceng-tek dan langsung mengunjungi ciangkun pada
pagi hari ini."
Sambil
tersenyum ramah panglima itu berkata, "Ahh, kalau begitu tentu urusan itu
penting sekali. Katakanlah, pangcu, urusan apakah itu?"
Cia Kong
Liang menatap tajam, lalu melontarkan pertanyaannya, "Ciangkun, sebenarnya
siapakah Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya itu?"
Panglima itu
mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Sungguh mengejutkan sekali
pertanyaan pangcu ini sehingga aku tidak mengerti apa yang pangcu maksudkan
dengan pertanyaan aneh itu. Pangeran Toan Jit Ong adalah seorang pangeran
keluarga kaisar yang telah puluhan tahun meninggalkan kota raja dan hidup
bertapa. Akan tetapi, melihat keadaan pemerintah yang demikian lalim, sekarang
beliau turun gunung."
"Akan
tetapi dia adalah datuk sesat yang berjuluk Raja Iblis, sedangkan isterinya
adalah Ratu Iblis! Benarkah itu?"
Ji-ciangkun
mengangkat kedua pundaknya. "Aku tidak memperhatikan mengenai perkara itu,
pangcu, dan andai kata benar pun, apa bedanya?"
"Apa
bedanya?" Cia Kong Liang berseru marah, "dia adalah seorang raja
datuk sesat dan dia dibantu oleh Cap-sha-kui serta para datuk sesat lain dari
golongan hitam! Tak tahukah ciangkun akan hal ini?"
Ji-ciangkun
mengerutkan alisnya. "Aku tahu atau memang bisa menduganya. Akan tetapi
apa salahnya? Yang penting adalah menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh
kaisar lemah bersama pembesar-pembesar lalim, dan Pangeran Toan adalah seorang
pangeran asli..."
"Ji-ciangkun!
Aku... kami dari Cin-ling-pai tidak sudi bekerja sama dengan golongan hitam!
Para penjahat itu hanya akan mengotori perjuangan kita. Ji-ciangkun, engkau
tidak boleh bersekutu dengan orang-orang jahat dari kaum sesat itu!"
Panglima Ji
menatap dengan alis berkerut dan sinar matanya dingin sekali. "Cia-pangcu,
sikap dan kata-katamu sungguh aneh sekali. Lalu apa yang akan kau lakukan
karena aku bersekutu dengan mereka?"
"Ji-ciangkun,
engkau harus mengusir mereka semua dan tak boleh menggunakan tenaga mereka
untuk perjuangan!"
Wajah
panglima itu menjadi merah, sedangkan sinar matanya mengandung kemarahan.
"Cia-pangcu, bicaramu sungguh aneh dan lancang. Ada hak apakah maka engkau
hendak melarang dan mengatur apa yang akan kulakukan? Kalau aku tetap bekerja
sama dengan mereka, engkau mau apa?"
"Brakkk...!"
Cia Kong
Liang bangkit berdiri dan tangannya menampar meja di hadapannya sehingga empat
kaki meja itu menancap dan masuk ke dalam lantai hampir sejengkal dalamnya!
"Ji-ciangkun,
engkau tinggal memilih saja. Mereka yang pergi atau kami yang pergi!"
Panglima itu
pun bangkit berdiri dan memandang marah. "Orang she Cia, engkau adalah
manusia yang sombong dan angkuh! Apa sih artinya puluhan orang Cin-ling-pai
bagiku? Kalian datang tanpa kuundang dan kalau mau pergi, tidak semudah itu.
Kami tidak mau kalian keluar membawa rahasia-rahasia pertahanan kami!"
Tiba-tiba
saja terdengar suara dengusan dan disusul suara wanita, "Ketua
Cin-ling-pai ini memang besar kepala dan patut menerima hukuman!"
Cia Kong
Liang membalikkan tubuhnya dan dia melihat Raja Iblis bersama Ratu Iblis telah
berdiri di ambang pintu ruangan itu dengan sikap yang menakutkan, wajah mereka
yang kehijauan laksana dua mayat hidup saja. Dan di belakang mereka nampak
puluhan orang prajurit pengawal yang siap dengan tombak dan golok mereka.
Sekilas
pandang saja tahulah ketua Cin-ling-pai itu bahwa dia sudah terkepung dan tidak
mungkin dapat meloloskan diri kecuali harus melawan mereka. Dia pun dapat
menduga bahwa Raja dan Ratu Iblis ini tentu lihai sekali, apa lagi ditambah puluhan
orang pasukan pengawal. Mana mungkin dia yang hanya seorang diri dapat melawan
musuh yang sekian banyaknya itu?
Pikirannya
bekerja cepat dan tiba-tiba saja tubuhnya membalik lantas melompat ke arah
Ji-ciangkun! Panglima ini terkejut bukan main, dapat menduga bahwa ketua
Cin-ling-pai itu menyerangnya, maka dia segera menyambutnya dengan pukulan
tangan kanan yang keras ke arah dada Cia Kong Liang!
Akan tetapi
dengan amat mudahnya ketua Cin-ling-pai itu menangkap pergelangan lengan kanan
lawan kemudian sekali menggerakkan jari tangan kanan menotok, tubuh panglima
itu menjadi lemas tidak mampu melawan lagi! Cia Kong Liang menelikung lengan
itu ke belakang tubuh dan sambil mengancam dengan pedangnya.
Ketika dia
mencabut Hong-cu-kiam, nampak berkelebat sinar emas. Itulah pedang pusaka
Hong-cu-kiam yang tipis dan dapat digulung menjadi ikat pinggang! Sambil
menempelkan pedangnya di batang leher Ji-ciangkun, dia menghardik ke depan,
"Kalau
ada yang menyerangku, maka panglima ini akan kubunuh lebih dahulu!"
Akan tetapi
mendadak terdengar suara Ratu Iblis mengejek. "Heh-heh, pangcu, kau boleh
membunuh panglima tujuh kali dan kami masih dapat mengangkat yang lain delapan
kali. Apa artinya seorang panglima bagi kami? Setiap waktu kami dapat
mengangkat panglima lain sebagai penggantinya. Bunuhlah kalau mau bunuh dia,
akan tetapi engkau tetap tidak akan mampu lolos dari kami!"
Cia Kong
Liang bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa apa yang dikatakan Ratu Iblis itu
memang benar. Sekarang baru dia menyadari bahwa orang pertama dalam barisan
kaum pemberontak itu bukanlah Ji-ciangkun, melainkan Pangeran Toan Jit Ong atau
Raja Iblis yang berdiri diam saja di samping isterinya yang menjadi juru bicara
itu.
Menyandera
Ji-ciangkun tidak ada artinya dan membunuhnya pun juga tidak ada artinya.
Bahkan kalau mungkin lebih baik dia memanaskan hati Ji-ciangkun. Maka dia pun
segera membebaskan totokannya dari tubuh panglima itu.
"Nah,
ciangkun, harap jangan bertindak bodoh. Lihat sikap dan ucapan mereka! Apakah
engkau masih sudi bersekutu dengan iblis-iblis jahat dan palsu macam
mereka?"
Setelah
dibebaskan dari totokan, Ji Sun Ki mundur-mundur dan wajahnya nampak merah sekali
tanda kemarahannya. "Cia-pangcu, engkau sungguh bodoh! Tanpa bimbingan
dari Toan Ong-ya, mana mungkin kita berhasil? Menyerahlah saja!"
Tentu saja
Cia Kong Liang menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa Raja Iblis telah
menguasai Ji-ciangkun seperti itu. Tahulah dia bahwa sekarang harapan untuk
lolos tidak ada lagi, dan dia menjadi nekat. "Baiklah Raja Iblis, kalau
begitu aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Cia Kong
Liang meloncat lantas pedangnya berkelebat menjadi sinar emas yang panjang dan
cepat menyambar ke arah Raja Iblis. Akan tetapi, mendadak Ratu Iblis
mengeluarkan lengkingan panjang dan pedangnya telah berada di tangan, bergerak
menangkis serangan ketua Cin-ling-pai itu.
"Tranggg...!"
Keduanya
meloncat ke belakang dan langsung memeriksa pedang masing-masing karena
pertemuan kedua batang pedang itu tadi telah membuat tangan mereka tergetar.
Setelah melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, Cia Kong Liang cepat menyerang
lagi dengan dahsyatnya, langsung disambut oleh Ratu Iblis yang memutar
pedangnya dengan cepat. Serang menyerang terjadi akan tetapi semua serangan
dapat dielakkan atau ditangkis.
Lewat
belasan jurus kemudian, tiba-tiba saja Ratu Iblis membentak nyaring dan kini
bukan hanya pedangnya yang menusuk ke arah lambung lawan, namun rambutnya juga
sudah berubah menjadi senjata ampuh menyambar ke arah tenggorokan Cia Kong
Liang.
Pendekar ini
terkejut bukan kepalang. Dia maklum bahwa serangan rambut itu tidak kalah ampuh
dari serangan-serangan pedang, maka sambil menangkis pedang yang menusuk
lambung, dia pun mengerahkan tenaga pada telapak tangan kirinya dan sekarang
tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuatnya menyambar ke arah gumpalan rambut
itu.
Rambut itu
membuyar dan hilang tenaganya pada waktu bertemu dengan tenaga Thian-te
Sin-ciang, membuat nenek itu terkejut bukan kepalang. Dia dapat menduga bahwa
orang yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai tentu lihai sekali, akan tetapi tak
disangkanya selihai itu! Dengan sendirinya dia kini tidak berani memandang
rendah lawan.
Maka dia pun
mengeluarkan suara memekik nyaring dan kini pedangnya bergerak-gerak aneh dan
liar, sedangkan tangan kirinya diputar-putar lalu menyambar-nyambar ke depan
dengan telapak tangan terbuka. Terdengar desir angin ketika tangan kiri itu
didorongkan ke depan.
Cia Kong
Liang merasa betapa angin pukulan yang panas dan kuat menyambar ke arah
tubuhnya. Cepat dia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan melawan
pukulan-pukulan itu dengan dorongan telapak tangan kirinya, sedangkan pedangnya
masih terus berupa gulungan sinar emas yang kuat. Pertandingan itu berlangsung
semakin seru dan ternyata kedua pihak memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan
yang seimbang.
Cia Kong
Liang merasa penasaran bukan main melihat kenyataan bahwa sampai puluhan jurus
dia belum mampu mengalahkan nenek itu. Baru melawan nenek itu saja dia tidak
sanggup mengalahkan, apa lagi kalau Raja Iblis sendiri yang maju! Dia membentak
dan kini gerakan pedangnya berubah sama sekali karena dia sudah memainkan Ilmu
Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang amat aneh dan hebat.
Pedangnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu pedang itu menghujam
ke arah dada lawan.
Nenek itu
cepat menangkis, namun ketika kedua pedang bertemu, pedang Hong-cu-kiam itu
membuat gerakan memutar dan tiba-tiba terdengar suara keras saat pedang di
tangan nenek itu patah menjadi dua potong! Memang jurus Ilmu Pedang Siang-bhok
Kiam-sut itu sangat hebat dan pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu adalah
sebatang pedang pusaka yang lebih ampuh dari pada pedang si nenek.
Akan tetapi,
pada saat itu pula rambut nenek itu sudah menyambar dan menotok ke arah
pergelangan tangan kanan lawan, sedangkan dua tangan nenek itu sudah menubruk
dan mencengkeram. Gerakan ini dilakukan dengan lengking nyaring mengejutkan.
Biar pun Cia
Kong Liang telah mengerahkan Tiat-po-san, semacam ilmu kekebalan, tetap saja
lengannya agak kesemutan ketika terkena totokan rambut dan pada saat pedangnya
hampir terampas itu, tiba-tiba dari samping menyambar angin pukulan yang sangat
hebat dan tahu-tahu pedangnya telah terbang meninggalkan tangannya.
Cia Kong
Liang cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tubrukan Ratu
Iblis, dan ketika dia mengangkat muka, ternyata pedangnya telah berada di
tangan Raja Iblis yang sedang menimang-nimangnya dan memeriksanya tanpa
mempedulikan dirinya. Cara Raja Iblis merampas pedang saja sudah membuktikan
betapa saktinya iblis itu.
Akan tetapi
Cia Kong Liang tidak menjadi gentar, bahkan merasa penasaran dan marah sekali.
Sambil mengerahkan tenaga dia pun segera meloncat ke depan, menyerang Raja
Iblis sambil membentak, "Kembalikan pedangku!"
Akan tetapi
Ratu Iblis yang juga telah kehilangan pedang cepat meloncat lalu menyambut
serangan ketua Cin-ling-pai yang ditujukan kepada suaminya. Dua tubuh itu
bertemu di udara dan dua pasang tangan saling bersilang dan berbenturan.
"Desss...!"
Tubuh
keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi tubuh Ratu Iblis terlempar lebih
jauh dan dia agak terhuyung ketika kedua kakinya menyentuh tanah, ada pun tubuh
pendekar itu tetap tegak.
"Ji-ciangkun,
tangkap dia!" tiba-tiba terdengar suara Raja Iblis memerintah dan
terdengar Ji Sun Ki memberi aba-aba kepada anak buahnya.
"Kepung
dan tangkap pengkhianat ini!" bentaknya.
Mendengar
bentakan Ji-ciangkun ini, Cia Kong Liang menjadi amat marah dan tahulah dia
bahwa panglima itu sudah menjadi antek Raja Iblis. Bukan Panglima Ji yang
memimpin pemberontakan itu, melainkan Raja Iblis! Alangkah bodohnya! Dia telah
membawa nama Cin-ling-pai ke dalam lumpur, menyeret Cin-ling-pai menjadi
antek-antek Raja Iblis!
"Majulah
jangan dikira aku takut!" bentaknya dan dia pun mengamuk ketika dikepung
oleh banyak sekali prajurit pengawal.
Akan tetapi
jumlah mereka banyak sekali dan tiba-tiba lengannya dapat tertangkap oleh
seorang prajurit. Dia hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba prajurit itu
berbisik, suaranya terdengar dekat sekali di telinganya, tanda bahwa prajurit
itu menggunakan ilmu mengirim suara yang amat kuat.
"Percuma
melawan, menyerah saja untuk saat ini!" Dalam suara itu terkandung nasehat
dan juga bujukan, dan Cia Kong Liang dapat menduga bahwa prajurit ini tentu
bermaksud baik, maka dia pun berhenti meronta dan membiarkan dirinya ditelikung
dan dibelenggu.
"Bunuh
saja dia!" Terdengar Ji-ciangkun berkata. "Jika tidak tentu dia akan
menyusahkan saja di kemudian hari."
"Tidak,
masukkan saja ke dalam tahanan dan jaga keras jangan sampai lolos. Lain waktu
kita bisa membutuhkan dia," terdengar Raja Iblis berkata dan tubuh ketua
Cin-ling-pai lalu diseret oleh beberapa orang prajurit pengawal, dibawa ke
dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat dan dijaga oleh selosin orang
prajurit pengawal.
Cia Kong
Liang mencari-cari dengan pandang matanya, namun prajurit yang tadi berbisik
kepadanya sudah lenyap menyelinap di antara banyak prajurit di situ.
***************
Gerakan para
pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, tentu saja amat
mengejutkan pemerintah di kota raja. Panglima Ji dikenal sebagai seorang
Panglima golongan tua yang sejak dahulu selalu setia terhadap pemerintah. Oleh
karena itu, ketika mula-mula terdengar berita bahwa kota San-hai-koan sudah
diduduki oleh panglima yang memberontak ini, pemerintah di kota raja masih
merasa ragu-ragu untuk dapat percaya.
Mungkin
terjadi pertikaian pendapat antara pimpinan pasukan Ceng-tek dengan pimpinan
pasukan San-hai-koan yang dipimpin Ji-ciangkun, demikian para menteri di istana
kaisar berpendapat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penyelidikan terlebih
dahulu, tidak perlu dikirim pasukan besar dari kota raja, karena jaraknya cukup
jauh.
Penyelidikan
segera dilakukan dan terkejutlah kaisar serta para pembantunya pada waktu
mendengar bahwa bukan hanya San-hai-koan yang diduduki, bahkan kota Ceng-tek
juga telah diduduki oleh pasukan pemberontak yang kini terus memperluas
kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke dusun-dusun.
Setelah
mengadakan perundingan dengan para menteri, Panglima Yang Ting Houw, yaitu
seorang panglima muda yang sangat cerdik berkata, "Menurut penyelidikan
dan laporan beberapa orang pendekar yang baru kembali dari utara, pergerakan
kaum pemberontak yang dipimpin Ji Sun Ki itu dibantu oleh golongan hitam di
dunia kang-ouw. Pergerakan itu diikuti pula oleh para suku bangsa liar di
daerah utara yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan mereka di
selatan. Oleh karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik kalau membiarkan
dua pihak itu, pasukan pemberontak dan pasukan suku liar, saling hantam
sendiri. Sesudah mereka saling hantam dan menderita sehingga menjadi lemah,
barulah kita turun tangan membasmi keduanya dan mengerahkan pasukan besar yang
sudah kita persiapkan secara rahasia."
Kaisar serta
para pembesar menyatakan setuju, maka diaturlah pasukan yang berjumlah dua
puluh lima ribu orang, dipimpin oleh panglima-panglima yang berpengalaman,
untuk menuju ke utara secara diam-diam dan dengan cara berpencar.
Sementara
itu, Yelu Kim yang kini sudah menjadi pimpinan para kepala suku bangsa di
utara, sudah mempersiapkan diri pula. Dibentuknya pasukan sangat kuat yang
terdiri dari berbagai suku bangsa utara itu dan dilatihnya mereka supaya
mengenal tanda-tanda dan isyarat-isyarat barisan.
Mereka itu
tak perlu lagi dilatih untuk bertempur karena setiap anggota pasukan dari suku
bangsa di utara itu merupakan orang yang sudah biasa bertempur, terbiasa
menghadapi kesukaran, pendeknya orang yang sudah digembleng oleh keadaan hidup
yang sukar dan keras. Mereka adalah penunggang-penunggang kuda yang sangat
mahir, juga pemanah-pemanah yang terlatih sekali dan orang-orang yang berani
mati.
Karena
nampaknya pihak pemerintah di selatan belum juga mengirim pasukan besar dan
yang menentang gerakan para pemberontak itu hanyalah pasukan-pasukan pemerintah
di perbatasan yang tidak seberapa kuat, Yelu Kim kemudian merencanakan
penyerbuan ke Ceng-tek. Apa lagi setelah dia mendengar akan pemberontakan di
dalam benteng itu oleh orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya membantu
pemberontak.
Dia
menganggap sudah tiba saatnya yang baik untuk bergerak karena benteng Ceng-tek
itu tidaklah sekuat San-hai-koan yang menjadi pusat pemberontak di mana tinggal
para pimpinan pemberontak dengan pasukannya yang besar dan kuat. Kekuatan kota
Ceng-tek hanya beberapa ribu orang pasukan dan sesudah mengumpulkan kurang
lebih tujuh ribu orang, Yelu Kim kemudian mengatur siasat untuk melakukan
penyerbuan terhadap para pemberontak yang menduduki Ceng-tek.
Kota itu
akan diserbu dari delapan penjuru angin! Dan para pembantunya yang pandai akan
menimbulkan kekacauan pada empat pintu gerbang, kemudian, jauh hari sebelum
penyerbuan dilakukan, sebanyak mungkin pembantunya yang pandai akan
diselundupkan memasuki kota benteng itu dan pada waktu para pembantu
menimbulkan kekacauan di keempat pintu gerbang, mereka yang menyelundup ini
serentak melakukan pengrusakan dengan cara membakar tempat-tempat penting.
Kebakaran
inilah yang akan menjadi tanda bagi pasukan Yelu Kim untuk menyerbu dari delapan
penjuru. Yang empat bagian menyerbu langsung ke pintu gerbang yang sedang
kacau, dan yang empat bagian lain menyerbu dengan menghujankan anak panah
melalui tembok benteng dan menyerbu dengan menggunakan tangga dan tali.
Demikian
rapinya Yelu Kim mengatur siasat sehingga sudah puluhan orang mata-mata
diselundupkannya ke Ceng-tek tanpa ada yang mengetahuinya. Para komandan di
kota Ceng-tek masih tenang saja, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kota
mereka diam-diam telah terkepung oleh banyak prajurit pasukan suku bangsa
utara!
Sesudah
Cin-ling-pai dihancurkan, kota Ceng-tek ini dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Gui
Siang Hwa, dibantu oleh para perwira pasukan pemberontak. Di antara beberapa
orang datuk sesat yang membantu kedua orang ini melakukan penjagaan di Ceng-tek
terdapat Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo, dan Tho-tee-kwi, tiga di antara
Cap-sha-kui yang tinggal tujuh orang itu. Empat orang tokoh lainnya tak pernah
berpisah dari Raja dan Ratu Iblis karena mereka yang berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat
Setan Terbang ke Langit) ini dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi Raja dan
Ratu Iblis!
Kaum
pemberontak itu bukan pejuang-pejuang sejati, melainkan gerombolan orang-orang
yang selalu mengejar kesenangan. Bahkan pemberontakan itu pun mereka lakukan
demi mengejar kesenangan. Oleh karena itu, sesudah Cin-ling-pai dibasmi,
penjagaan di kota benteng itu tidaklah seketat semula.
Para
pimpinan itu kerjanya hanya bersenang-senang saja, makan minum, pesta pora dan
melampiaskan nafsu-nafsu mereka sepuasnya karena di kota benteng itu merekalah
yang berkuasa. Memang mereka tidak merasa khawatir. Benteng mereka itu amat
kuat, terjaga oleh ribuan orang, ada lima ribu lebih orang tentara. Apa lagi
tidak nampak tanda-tanda datangnya pasukan pemerintah dari selatan. Apa yang
perlu ditakutkan?
Pada senja
hari itu, seperti biasa, para penjaga pintu gerbang menjaga sambil
bersenang-senang. Ada yang bermain kartu, ada yang minum-minum dan setiap ada
wanita muda lewat di pintu gerbang, tentu mereka akan mengganggunya, baik
dengan ucapan-ucapan atau pun dengan sentuhan-sentuhan. Karena kebiasaan yang
amat buruk ini, jarang ada wanita muda berani melewati pintu gerbang.
Akan tetapi
pada senja hari itu, di pintu gerbang sebelah timur, nampak seorang wanita muda
mendorong sebuah gerobak, datang dari luar pintu gerbang. Wanita ini masih
muda, pakaiannya seperti wanita petani biasa, akan tetapi wajahnya amat cantik,
berkulit halus dan matanya indah bersinar-sinar.
Senja itu
jarang ada orang lewat di pintu gerbang dan keadaannya sudah sunyi, membuat
para penjaga menjadi semakin jemu dan membutuhkan hiburan. Sebentar lagi, bila
mana sudah ada tanda genta dibunyikan, pintu gerbang akan ditutup dan mereka
dapat berjaga sambil tidur.
Ketika
melihat wanita yang mendorong gerobak itu datang dari jauh, segera penjaga yang
melihatnya mengeluarkan seruan girang. "Si cantik datang mengunjungi
kita!" serunya.
Para penjaga
yang jumlahnya selosin orang itu pun keluar semua. Yang sedang berjudi
menghentikan permainan mereka, yang sedang minum-minumpun keluar dan semua kini
berdiri menghadang di pintu gerbang, memandang kepada wanita muda yang
mendorong gerobak itu dengan mulut menyeringai.
Wanita muda
itu agaknya tidak peduli dan terus saja datang menghampiri pintu gerbang. Gerobak
dorong itu tidak besar, muatannya penuh dengan jerami. Agaknya ia baru pulang
mengumpulkan jerami untuk makanan ternaknya. Tentu perempuan ini tadi keluar
melalui pintu gerbang lain, pikir para penjaga itu karena mereka tidak melihat
wanita itu keluar.
"Aih,
manis, perlahan dulu...!" kata kepala jaga sambil melintangkan tombak
panjangnya ketika wanita itu hendak lewat.
Wanita muda
itu terpaksa menghentikan gerobaknya dan memandang tajam kepada dua belas orang
penjaga itu. Alisnya berkerut dan matanya bersinar-sinar, akan tetapi bibirnya
tersenyum. Memang cantik jelita sekali gadis ini, maka walau pun dia berpakaian
wanita dusun, kecantikannya menonjol dan membuat dua belas orang penjaga itu
mengilar. Tak mereka sangka bahwa hari itu, sebelum tutup pintu gerbang, mereka
memiliki nasib begini baik bertemu dengan seorang wanita secantik ini.
"Kalian
mau apa? Biarkan aku lewat!" kata gadis itu sambil mencibirkan bibirnya
yang merah basah.
"Aihh,
kenapa terburu-buru amat?"
"Berhenti
dulu, kita bicara-bicara nona manis. Masih banyak waktu untuk pulang."
"Siapa
sih namamu, manis?"
"Berapa
usiamu?"
"Di
mana rumahmu? Aku belum pernah melihat seorang gadis secantikmu!"
Dengan sikap
amat ceriwis para penjaga itu mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda dan merayu,
akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.
"Harap
jangan menahanku, aku tergesa-gesa, sapiku sudah lapar," katanya membujuk.
"Ha-ha-ha-ha,
perlahan dulu, nona. Engkau tidak boleh lewat sebelum membayar pajak!"
kepala jaga berkata sambil tertawa-tawa dan mengamang-amangkan tombaknya
seperti orang mengancam dan menakut-nakuti.
"Pajak?
Pajak apa?" tanya gadis itu.
"Orang
lain harus membayar dengan uang, akan tetapi tetapi engkau cukup membayar...
ehm... tentu engkau tahu sendiri, nona."
"Hemm,
membayar apakah? Harap dijelaskan," gadis itu mendesak.
Kepala jaga
itu menyeringai lebar. "Bukan sapimu saja yang lapar, akan tetapi kami
juga lapar, bukan lapar karena makanan, melainkan lapar akan wanita cantik.
Engkau harus menemani kami tidur, baru boleh lewat."
"Ihhh!"
Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan cahaya
berapi. "Sudah kukira! Kalian hanyalah babi-babi yang kurang ajar dan suka
mengganggu wanita! Mau makan? Nih, makanlah ini...!"
Dan
tiba-tiba saja gadis itu mendorong gerobaknya menabrak si kepala jaga.
"Bresss...!"
Kepala jaga
itu terjengkang dan menimpa seorang kawannya yang berdiri di belakangnya. Dia
mengaduh-aduh sambil menyumpah-nyumpah karena tulang betisnya yang tertabrak
muka gerobak itu terasa nyeri bukan main, kiut-miut rasanya dan dia takut
kalau-kalau tulang itu patah.
"Perempuan
keparat! Tangkap dia...!"
Namun gadis
itu sudah mendorong kembali gerobaknya dengan kuat menabrak seorang penjaga
lain yang sudah mencabut golok. Penjaga itu terpelanting, goloknya terlepas dan
dia pun mengaduh-aduh kesakitan.
Kini semua
penjaga menjadi sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak memusuhi
mereka. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan mengepung. Akan tetapi
si kepala jaga berteriak,
"Simpan
senjata kalian, tolol! Tangkap dia hidup-hidup lalu kita permainkan dia
sepuasnya sebelum membunuhnya. Jahanam betina ini harus dihajar sampai kita
puas!"
Kepala jaga
dan kawan-kawannya itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Gadis itu
adalah Ceng Sui Cin!
Seperti
telah kita ketahui, gadis ini menjadi pembantu Yelu Kim, karena dia melihat
bahwa dengan membantu para suku bangsa di utara, maka dia dapat pula ikut
menentang para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Maka, ketika Yelu Kim
mengatur siasat dan merencanakan penyerbuan Ceng-tek, dia mengajukan diri untuk
bertugas mengacau satu di antara empat pintu gerbang pada waktu penyerbuan
hendak dilakukan. Dan gurunya, Yelu Kim, yang percaya akan kelihaian Sui Cin,
menyetujui lalu menugaskan muridnya itu untuk mengacau di pintu gerbang bagian
timur itu.
Andai kata
para penjaga itu telah mengenal Sui Cin, tentu dia akan mengerahkan semua
kekuatan kawan-kawannya, mempergunakan senjata untuk menyerang dan mengeroyok
gadis pendekar itu. Bahkan, andai kata mereka mempergunakan senjata tajam
sekali pun, mereka bukanlah lawan pendekar wanita perkasa ini.
Maka kini,
karena mereka maju dengan tangan kosong, enak dan mudah saja bagi Sui Cin untuk
mengamuk dan merobohkan mereka semua hanya dengan gerobaknya yang didorong ke
sana-sini!
Mereka yang
roboh tidak mampu bangkit kembali karena tulang mereka sudah patah atau
retak-retak dihantam kayu melintang di depan gerobak. Setelah mereka semua
roboh dan mereka berteriak-teriak minta tolong, Sui Cin cepat menyalakan api
membakar jerami di dalam gerobaknya, kemudian mendorong gerobak yang
berkobar-kobar itu sampai masuk ke dalam pondok penjagaan sampai pondok itu
terbakar pula.
Dia melihat
datangnya puluhan orang prajurit dari dalam. Cepat Sui Cin menyambar dua batang
golok dari atas tanah dan berlari menghampiri alat pemutar pintu gerbang. Pintu
gerbang yang berat itu dibuka atau ditutup dengan menggunakan alat putaran yang
kuat, kini Sui Cin menghajar rantai besar itu dengan sepasang goloknya,
membacoki rantai itu hingga sepasang goloknya rompal akan tetapi rantai itu pun
putus! Sekarang daun pintu gerbang tidak dapat ditutup kembali setelah rantai
itu putus.
Ketika
puluhan orang prajurit datang menyerbu dan mengeroyoknya, Sui Cin mengamuk,
menggunakan sepasang goloknya yang sudah rompal. Dia sengaja mengulur waktu
untuk memberi kesempatan kepada teman-temannya bergerak.
Memang, pada
saat yang sama di tiga pintu gerbang lainnya terjadi pula kekacauan yang
ditimbulkan oleh pembantu-pembantu Yelu Kim yang mempunyai kepandaian tinggi.
Akan tetapi mereka itu datang sedikitnya berlima, tidak seperti Sui Cin yang
bekerja seorang diri saja.
Tiba-tiba
saat yang dinanti-nanti oleh Sui Cin sambil mengamuk itu pun tiba. Terdengar
suara teriakan-teriakan riuh rendah di sebelah dalam kota, kemudian tampak api
berkobar tinggi. Ternyata kawan-kawan yang menyelundup ke dalam itu kini sudah
mulai dengan aksi mereka membakari tempat-tempat penting. Tentu saja ada di
antara mereka yang kepergok dan dikeroyok sehingga mulailah terjadi
pertempuran-pertempuran antara para mata-mata dengan para petugas keamanan.
Melihat ini
Sui Cin tidak mau melayani para pengeroyoknya. Cuaca mulai menjadi gelap dan
dia pun menggunakan ilmu ginkang-nya untuk melompat dan melarikan diri memasuki
kota Ceng-tek, meloncat ke atas wuwungan rumah-rumah orang lalu lenyap dari
kejaran para penjaga. Keadaan menjadi kacau ketika para penjaga melihat bahwa pintu
gerbang tidak dapat ditutup dan betapa di dalam kota sudah terjadi
pembakaran-pembakaran dan pertempuran-pertempuran.
Dan pada
saat itulah terdengar ledakan-ledakan disusul bunyi terompet dan tambur, lalu
pasukan-pasukan Yelu Kim menyerbu dari delapan penjuru. Kacau balaulah
pertahanan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Siang Hwa.
Begitu mereka mencurahkan perhatian untuk menahan serbuan musuh ke empat pintu
gerbang, datang serbuan melalui tembok-tembok benteng dan datang pula hujan
panah dari luar tembok.
Serbuan pada
waktu malam gelap ini sungguh telah diperhitungkan dengan masak-masak oleh Yelu
Kim. Pasukannya memiliki sasaran yang jelas, yaitu benteng itu. Dan di dalam
kota benteng itu terdapat penerangan yang cukup sehingga mereka mampu melihat
jelas keadaan musuh.
Sebaliknya,
pasukan pemberontak yang berada di dalam benteng menjadi bingung sebab pihak
musuh datang dari tempat gelap, tidak tahu dari arah mana yang tepat, dan pihak
musuh ini sama sekali tidak membawa obor. Mereka bahkan tidak tahu siapakah
musuh mereka dan berapa jumlahnya. Maka tanpa banyak susah payah, pada
menjelang tengah malam pasukan-pasukan Yelu Kim mulai berhasil mendesak masuk
melalui pintu gerbang dan melalui tembok-tembok benteng!
Tidak dapat
disangkal bahwa Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu adalah dua orang yang memiliki
ilmu silat tinggi. Akan tetapi dalam hal ilmu perang, mereka bukan ahli dan
tidak berpengalaman, maka ketika menghadapi penyerbuan yang dilakukan dengan
taktik yang matang dari Yelu Kim ini, mereka menjadi bingung.
Dan seperti
ahli-ahli silat umumnya, mereka hanya mengandalkan kepandaian silat untuk
bertahan, lupa bahwa perang antara pasukan tidak dapat disamakan dengan
perkelahian antar perorangan di mana ilmu silat memegang peranan yang
menentukan kalah menang. Karena pasukan mereka kalah banyak, juga karena mereka
diserbu secara tiba-tiba dan tak terduga-duga, maka pertahanan mereka akhirnya
bobol dan terjadilah pertempuran di dalam kota benteng itu antara pasukan
pemberontak dan suku bangsa utara yang berani mati.
Sebelum
melakukan penyerbuan, Sui Cin sudah mendengar dari para mata-mata Mancu bahwa
perkumpulan Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya sendiri juga ikut membantu
pemberontakan Raja Iblis, bahkan ketika pasukan pemberontak menyerbu kota
Ceng-tek dan akhirnya menguasainya, orang-orang Cin-ling-pai sudah berjasa
besar. Kemudian dia pun mendengar bahwa orang-orang Cin-ling-pai kini bertugas
sebagai perwira-perwira dan kepala-kepala pasukan penjaga untuk menjaga keamanan
Ceng-tek.
Oleh karena
itu, ketika dia berhasil mengacau pintu gerbang timur dan teman-temannya, baik
yang berada di dalam mau pun di luar sudah mulai bergerak, dia lalu berloncatan
dari wuwungan ke wuwungan lain, mencari-cari. Ketika dia mendengar akan hal
Cin-ling-pai, dia hampir tidak percaya dan merasa prihatin sekali.
Betulkah
orang-orang Cin-ling-pai ikut memberontak, bersekutu dengan Raja Iblis? Malah
dipimpin sendiri oleh ketuanya, ayah Hui Song? Sulit untuk dipercaya. Bukankah
Hui Song sendiri seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman?
Meski pun
ayah bundanya nampaknya tidak suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap
angkuh dan sombong, akan tetapi mereka pun mengakui bahwa ketua Cin-ling-pai
adalah seorang pendekar yang sangat lihai dan gagah perkasa. Bagaimana mungkin
kini pendekar itu beserta murid-muridnya malah bersekutu dengan Raja Iblis yang
dibantu oleh Cap-sha-kui?
"Tidak
mungkin...!" katanya pada diri sendiri.
Akan tetapi
tiba-tiba Sui Cin mendekam di atas wuwungan saat dia melihat berkelebatnya dua
orang dari dalam sebuah gedung di bawah. Ketika kedua orang itu berdiri di
bawah penerangan, dia segera mengenal mereka yang tidak lain adalah Gui Siang
Hwa dan Sim Thian Bu!
Melihat dua
orang musuh besar yang sangat dibencinya itu, Sui Cin lupa diri, lupa bahwa dua
orang itu amat lihai dan terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi mereka
berdua itu sendirian saja. Akan tetapi kemarahan sudah membuat dia melompat ke
bawah sambil berseru marah,
"Jahanam-jahanam
busuk hendak lari ke mana kalian?!"
Agaknya dua
orang itu memang telah bersiap-siap untuk lari. Mereka membawa buntalan yang
kelihatan berat di punggung masing-masing dan agaknya mereka hendak melarikan
diri sambil membawa barang-barang berharga dari dalam kota benteng itu.
Siang Hwa
dan Thian Bu terkejut sekali. Keduanya segera mencabut pedang dan ketika
mengenal Sui Cin, mereka pun marah lalu tanpa banyak cakap lagi keduanya
menyerang Sui Cin.
Gadis ini
cepat mengelak. Akan tetapi, dua orang itu yang melihat betapa gadis ini hanya
bertangan kosong dan sendirian saja, lalu mempercepat serangan mereka, dengan
penuh nafsu melancarkan serangan-serangan maut untuk membunuh Sui Cin.
Akan tetapi
Sui Cin sudah menguasai Ilmu Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, gerakannya
cepat laksana beterbangan saja sehingga dua pedang di tangan Siang Hwa dan
Thian Bu tidak dapat menyentuhnya. Dua orang lawan itu terkejut melihat
kecepatan gerak Sui Cin dan mereka terus mendesak. Sungguh pun Sui Cin mampu
mengelak dan berloncatan ke sana-sini, namun dia tidak mendapatkan kesempatan
untuk balas menyerang.
Untung
baginya bahwa dua orang lawannya itu kelihatan gugup. Kini pertempuran sudah
mulai memasuki kota sehingga mereka harus bergegas melarikan diri. Munculnya
Sui Cin menimbulkan bahaya bagi mereka, bahaya terlambat untuk melarikan diri.
Maka mereka lantas menyerang terus kalang kabut membuat Sui Cin terpaksa harus
mengerahkan ilmu ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari libatan dua gulung
sinar pedang itu.
Tiba-tiba
berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di sana telah nampak Hui Song dan
Siang Wi! Siang Wi sudah mempergunakan sepasang pedangnya menyerang Siang Hwa
sedangkan Hui Song juga membantu Sui Cin menghadapi Thian Bu.
Munculnya
dua orang muda ini tentu saja sangat mengejutkan hati Siang Hwa dan Thian Bu.
Apa lagi sesudah melihat betapa hebatnya gerakan Hui Song dan betapa sepasang
pedang dari Siang Wi itu pun tidak boleh dipandang rendah.
"Lari...!"
Thian Bu berseru sambil memutar pedangnya, mendesak mundur Hui Song dan Sui Cin
yang bertangan kosong itu. Keduanya lalu meloncat dan lari ke dalam gelap.
Sui Cin, Hui
Song dan Siang Wi tidak mengejar. Sui Cin dan Hui Song merasa gembira sekali
dapat bertemu di situ.
"Cin-moi,
engkau selamat, aku gembira sekali bertemu denganmu di sini!" kata Hui
Song sambil memegang tangan gadis itu.
Untuk
sejenak Sui Cin hanya membiarkan saja tangannya digenggam oleh pemuda itu,
kemudian sambil melirik kepada Siang Wi dia melepaskan tangannya.
"Song-ko, mari kita bantu pasukan suku bangsa utara menyerang pasukan
pemberontak!"
"Nanti
dulu, kami hendak menyelidiki apakah benar ayah dan ibu berada di sini,"
kata Hui Song, suaranya mengandung rasa penasaran.
Sui Cin
menatap wajah pemuda itu dengan hati tegang. Agaknya pemuda ini pun sudah
mendengar tentang Cin-ling-pai yang kabarnya membantu Raja Iblis!
"Sejak
tadi aku pun mencari-cari apakah benar ada anggota Cin-ling-pai yang..."
"Jadi
engkau sudah tahu pula tentang hal itu, Cin-moi?" Hui Song bertanya kaget.
"Jadi... benarkah berita tentang..."
"Aku
sudah mendengar beritanya dan aku tidak percaya, Song-ko. Aku pun tidak melihat
adanya orang Cin-ling-pai... akan tetapi mungkin mereka memakai pakaian seragam
dan aku tidak mengenal mereka..."
"Tunggu...!"
Tubuh Hui Song berkelebat.
Dan tidak
lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil mengempit tubuh seorang prajurit
pemberontak yang menggigil ketakutan akan tetapi tidak mampu bergerak itu. Hui
Song melemparkan tubuh orang itu ke atas tanah lantas meminjam sebatang pedang
dari Siang Wi dan menodongkan senjata itu ke dada tawanannya.
"Hayo
ceritakan di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai!" bentak Hui Song.
Orang itu
sudah sangat ketakutan karena tadi secara tiba-tiba saja tubuhnya tidak dapat
digerakkan lalu diterbangkan orang tanpa dia dapat berbuat
sesuatu. Akan tetapi melihat sikap Hui Song yang agaknya bukan sahabat
orang-orang Cin-ling-pai, dia mengira bahwa pemuda ini sedang mencari musuh-musuhnya,
maka dengan memberanikan hati dia pun menjawab.
"Orang-orang
Cin-ling-pai telah dibasmi, banyak yang tewas dan sebagian sudah ditahan dalam
penjara. Pengkhianat-pengkhianat itu..." Dia tidak mampu melanjutkan
karena Hui Song telah menendangnya sehingga prajurit itu jatuh pingsan.
"Bagus!"
Hui Song berseru gembira.
"Biar
pun ayah mengajak saudara-saudara Cin-ling-pai ke sini, tapi ternyata bukan
untuk menjadi sekutu, melainkan untuk melawan. Mari kita cari di dalam
penjara!"
Sui Cin ikut
pula bersama kakak beradik seperguruan itu dan mereka pun berloncatan ke atas
genteng. Akhirnya mereka dapat menemukan tempat para tahanan yang merupakan
penjara di dalam kota benteng itu.
Penjara itu
hanya dijaga oleh belasan orang saja, karena sebagian besar para penjaga sudah
menjadi panik dengan datangnya penyerbuan musuh dan sekarang mereka sudah ikut
membantu pasukan pemberontak untuk mempertahankan kota Ceng-tek dari serbuan
pasukan-pasukan suku bangsa utara.
Karena hanya
nampak belasan orang penjaga di situ, Sui Cin dan Siang Wi berdua saja sudah
cukup untuk melayang turun dan menghadapi mereka, sedangkan Hui Song tanpa
membuang banyak waktu lagi sudah memaksa pintu penjara terbuka. Dia membebaskan
semua tawanan dan akhirnya dia melihat murid-murid Cin-ling-pai yang diborgol
di dalam sebuah kamar tahanan besar.
Para murid
Cin-ling-pai gembira bukan main melihat kemunculan Hui Song, dan mereka segera
merangkulnya sambil menangis. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Hui
Song, karena dia tahu bahwa murid-murid ayahnya sangat gagah dan bukan
merupakan orang-orang cengeng.
"Aih,
kenapa kalian malah menangis setelah aku datang membebaskan kalian?"
tanyanya dengan alis berkerut.
"Sute...
ahhh, sute... kami sudah mengalami mala petaka! Sedikitnya empat puluh orang
saudara Cin-ling-pai sudah tewas..."
"Hemm,
itu sudah menjadi resiko perjuangan! Perjuangan selalu menuntut pengorbanan,
mengapa kalian menangis?" Hui Song mencela karena hatinya merasa tidak
puas melihat sikap cengeng saudara-saudara seperguruannya.
"Aihh,
sute... subo... subo dan sukong... mereka juga tewas..."
"Apa...?!"
Wajah Hui Song pucat dan matanya terbelalak mendengar bahwa kedua orang tua
itu, terutama sekali ibunya, sudah tewas pula sehingga beberapa lamanya dia
tidak mampu mengeluarkan suara. Siang Wi sudah langsung menangis terisak-isak
mendengar subo-nya tewas.
Beginilah
keadaan batin kita pada umumnya. Kalau orang lain yang terkena musibah,
pandai-pandai kita menghibur dan menasehatinya dengan kata-kata yang indah. Hal
ini lumrah karena kita sendiri tidak merasakan kedukaan akibat musibah yang
menimpa itu. Akan tetapi kalau kita sendiri yang terkena, entah ke mana
perginya segala nasehat kita tadi, sudah terlupa sama sekali dan kita tenggelam
ke dalam kedukaan dan kemarahan.
Ketika tadi
melihat saudara-saudara seperguruan itu menangis serta mendengar mereka
melaporkan bahwa banyak saudara yang tewas, Hui Song masih mampu menghibur dan
mengatakan bahwa perjuangan mereka memerlukan pengorbanan. Akan tetapi pada
saat mendengar ibu kandungnya sendiri tewas, jantungnya seperti ditusuk rasanya.
Muka yang amat pucat tadi perlahan-lahan berubah merah akibat dendam.
"Siapa
yang membunuh mereka?" pertanyaan ini keluar dengan datar.
"Sukong
tewas oleh Sim Thian Bu dan subo tewas di tangan Gui Siang Hwa," jawab
murid Cin-ling-pai itu yang sudah mengenal murid Iblis Buta dan murid Raja
Iblis yang menjadi tokoh-tokoh besar dalam pemberontakan itu.
Mendengar
siapa pembunuh ibu dan kakeknya itu, kemarahan Hui Song memuncak. Dia mengepal
tinju. "Jahanam keparat mereka itu! Aku harus bunuh mereka...!"
Tiba-tiba
ada tangan menyentuh lengannya, tangan yang berkulit halus dengan sentuhan
hangat akan tetapi dengan cengkeraman yang mengandung teguran. "Song-ko,
mereka itu korban-korban perjuangan." Lirih saja ucapan ini, akan tetapi
langsung terasa oleh hati Hui Song.
Dan dia pun
menoleh, memandang kepada Sui Cin lalu menggunakan punggung tangan untuk
menghapus dua titik air mata yang tergantung pada pelupuk matanya. Dia menarik
napas panjang dan mengangguk.
"Engkau
benar, Cin-moi," bisiknya kembali. Sesaat kemudian pemuda perkasa ini
sudah bisa menguasai dirinya, lalu memandang kepada saudara-saudara
seperguruannya yang masih merubungnya.
"Semuanya
ini adalah pengorbanan demi perjuangan, mereka gugur sebagai orang-orang gagah
yang menentang golongan jahat. Nah, sekarang ceritakan tanpa ragu-ragu, di mana
ayahku?"
"Sebelum
kami disergap oleh pasukan pemberontak itu, suhu sudah pergi meninggalkan kota
Ceng-tek untuk melakukan penyelidikan ke San-hai-koan, dan sejak itu tidak
pernah kembali."
Hui Song
mengerutkan alisnya. Pertempuran di luar penjara masih terdengar ramai sekali
dan semua tahanan, kecuali anak buah Cin-ling-pai, sudah berlarian keluar untuk
mencari kebebasan atau ada pula yang lari untuk ikut bertempur, tentu saja
memihak kepada para penyerbu. Atau ada pula tahanan orang-orang jahat yang lari
keluar untuk mengail di air keruh, mencari keuntungan selagi keadaan kacau oleh
pertempuran.
"Sebetulnya,
apakah yang sudah terjadi? Mengapa kalian berada di sini? Mengapa ayah berada
di sini? Lekas ceritakan dengan singkat!"
"Suhu
telah terbujuk dan membawa kami ke sini untuk membantu pemberontak. Tadinya
suhu mengira bahwa pasukan pemberontak yang dipimpin Ji-ciangkun mempunyai
tujuan perjuangan yang murni untuk menggulingkan pemerintahan lalim. Tapi
kemudian ternyata bahwa para pemberontak bersekutu, bahkan dipimpin oleh datuk
sesat Raja Iblis. Setelah mengetahui hal ini, suhu marah sekali lalu suhu pergi
ke San-hai-koan untuk menyelidik. Agaknya hal ini diketahui oleh pihak kaum
sesat, maka mereka telah bertindak lebih dulu, kami diserbu dan kami melakukan
perlawanan sedapat mungkin. Akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan dalam
pertempuran ini, subo dan sukong, juga banyak saudara kita tewas. Kemudian kami
ditangkap karena telah roboh dan tidak mampu melawan lagi."
"Kalau
begitu mari kita keluar lalu mengamuk dan membasmi para pemberontak keparat
yang ditunggangi golongan hitam itu!" Hui Song mengangkat tangan kanan
dengan tinju terkepal, disambut sorak sorai para saudara seperguruannya.
"Tahan
dulu...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru. "Kurasa tidak benar kalau kita
terjun ke dalam pertempuran..."
"Kami
hendak berjuang dan untuk itu kami tidak takut kehilangan nyawa, kenapa engkau
mengatakan tidak benar?" tiba-tiba Siang Wi berkata dengan alis berkerut.
Dia tahu
bahwa ada hubungan kasih antara suheng-nya dan Sui Cin, dan bagaimana pun juga
hal ini menimbulkan rasa tidak suka dalam hatinya terhadap gadis yang
dianggapnya telah merebut hati pria yang sejak kecil dicintanya itu.
"Cin-moi,
apa maksudmu menyalahkan maksud kami menyerbu keluar?" Hui Song juga
bertanya dan memandang heran.
"Song-ko,
menyerbu keluar dan ikut bertempur sama saja dengan bunuh diri..."
"Kami
tidak takut mati!" Siang Wi membentak. Semenjak tadi gadis ini sudah
mencabut sepasang pedangnya dan mukanya masih basah air mata ketika dia
menangisi kematian subo-nya tadi.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment