Saturday, September 22, 2018

Cerita Silat Serial Asmara Berdarah Jilid 27



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Asmara Berdarah

                   Jilid 27


THIAN SIN segera sadar lalu melepaskan cengkeramannya dan ternyata baju pada lengan Lam-nong sudah hancur lebur! Kepala suku itu memandang dengan wajah pucat, namun dia tersenyum.

"Aku tahu, pendekar-pendekar selatan memang mempunyai kepandaian tinggi akan tetapi hatinya palsu dan busuk. Nah, kau bunuhlah aku!" tantangnya.

"Nanti dulu, saudara Lam-nong. Tentu ada kesalah pahaman di sini. Kalau memang benar dia itu pendekar Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai, tidak mungkin dia melakukan hal yang kotor itu. Dan andai kata benar dia melakukannya, tentu dia bukanlah putera ketua Cin-ling-pai atau semua itu hanya fitnah belaka."

"Fitnah? Orangku ini telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan masih dianggap fitnah? Kalian pendekar-pendekar selatan tentu saja saling membela!" kata Lam-nong dan dia lalu menyuruh pembantunya menceritakan kembali semua yang telah terjadi.

Kakek Mancu itu menceritakan sejak terjadinya penyerbuan pasukan pemberontak hingga ketika dia tertawan kemudian dilepas karena mirip ayah pemimpin pasukan pemberontak, dan betapa dia juga menyaksikan Hui Song berjinah dengan empat orang isteri Lam-nong yang tertawan, betapa wanita-wanita lainnya menjadi korban perkosaan yang biadab.

Mendengar penuturan ini, Thian Sin dan isterinya saling pandang, kemudian pendekar ini menggeleng-gelengkan kepalanya, "Sungguh sukar untuk dipercaya!" serunya.

"Sungguh membingungkan!" kata pula Toan Kim Hong.

Mereka sudah mendengar dari puteri mereka mengenai nama Cia Hui Song itu yang oleh puterinya dipuji-puji sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi menurut penuturan dua orang Mancu ini, ternyata Hui Song adalah seorang mata keranjang yang cabul dan berwatak busuk dan palsu.

Tentu saja mereka belum mau percaya sepenuhnya hanya dengan mendengar penuturan dua orang ini walau pun jelas bahwa dua orang yang keadaannya seperti itu, kehilangan semua kawan yang terbunuh habis, kiranya tidak mungkin sempat lagi untuk berbohong-bohong. Tak mungkin mereka ini menceritakan fitnah, akan tetapi besar kemungkinannya pendekar yang menjadi sahabat mereka itu bukan putera Cin-ling-pai yang sebenarnya, melainkan akuan saja. Bagaimana pun juga, di dalam lubuk hatinya suami istri ini kurang begitu suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap berwatak angkuh.

"Kami akan menyelidiki kebenaran keterangan kalian tadi," akhirnya Thian Sin berkata. "Jika benar orang itu melakukan hal yang demikian jahat, maka kami akan menghajarnya. Akan tetapi, dapatkah kalian menolong kami menceritakan di mana adanya nenek yang bernama Yelu Kim?"

Mendengar pertanyaan ini, sepasang alis Lam-nong berkerut lantas dia pun memandang penuh kecurigaan dan ejekan. "Hemm, kiranya kalian ini pendekar-pendekar dari selatan yang hendak mengabdi kepada nenek Yelu Kim untuk memberontak terhadap pemerintah kalian di selatan?"

"Tutup mulutmu dan jangan menduga yang bukan-bukan!" Toan Kim Hong membentak marah.

Akan tetapi Thian Sin tersenyum. Dia maklum mengapa kepala suku ini demikian penuh dendam dan benci kepada para pendekar dari selatan. "Sobat Lam-nong, mengapa kau menduga demikian?"

"Oleh karena petualang-petualang dari selatan itu berkeliaran di sini hanya untuk mencari kedudukan atau kekayaan saja. Nenek Yelu Kim sendiri pun sekarang sudah dibantu oleh seorang pendekar wanita dari selatan..."

"Ahh, pendekar wanita itulah yang sedang kami cari!" Toan Kim Hong berseru. "Bukankah dia masih muda sekali, cantik dan lihai, dan namanya Ceng Sui Cin?"

Lam-nong menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal namanya, akan tetapi memang dia muda, cantik dan lihai bukan main. Aku hanya mendengar bahwa dia menjadi murid dan pembantu nenek Yelu Kim, malah dialah yang telah memenangkan sayembara pemilihan jagoan sehingga kemenangannya membuat nenek Yelu Kim diangkat menjadi pimpinan para kepala suku."

"Ah, tentu dia itu puteri kami Ceng Sui Cin!" Toan Kim Hong berseru dan suaranya agak gemetar.

"Puteri kalian? Ahh, menarik sekali!" kata Lam-nong.

"Saudara Lam-nong, berlakulah baik pada kami dan tolonglah tunjukkan di mana adanya nenek Yelu Kim supaya kami dapat mencari puteri kami," kata Thian Sin, suaranya halus membujuk.

"Hemmm, kalau mengingat betapa kalian tadi baru saja menyelamatkan kami dari tangan pasukan pemberontak, sudah cukup untuk kubalas dengan pertolongan apa pun. Namun apakah arti pertolonganmu tadi sebagai pendekar dari selatan kalau dibandingkan dengan kekejian yang dilakukan oleh pendekar selatan lainnya kepada kami? Oleh karena itu, aku mau membantumu, bahkan bukan hanya menunjukkan melainkan mengantarmu ke sana bila engkau mau berjanji bahwa engkau akan membantuku pula menangkap dan menyeret si jahanam Cia Hui Song ke depan kakiku! Bagaimana?"

Thian Sin saling pandang dengan isterinya. Sungguh janji yang berat. Bagaimana kalau ternyata bahwa pendekar itu benar-benar putera ketua Cin-ling-pai? Bukankah itu berarti bahwa mereka akan berhadapan sebagai lawan dan musuh dengan keluarga Cin-ling-pai? Demikian Thian Sin berpikir.

"Baik, kami setuju!" Tiba-tiba Toan Kim Hong berseru. "Siapa pun juga adanya pendekar itu, kalau benar dia melakukan kekejian seperti itu, tentu akan kami hadapi sebagai lawan dan musuh!"

Kata-kata ini segera menyadarkan Thian Sin akan kewajibannya sebagai seorang gagah, yaitu harus menentang siapa saja tanpa pilih bulu, menentang siapa saja yang melakukan perbuatan jahat.

"Benar, kami setuju. Mari antar kami kepada tempat kediaman nenek Yelu Kim!" katanya.

Lam-nong nampak gembira. Janji ini merupakan sinar terang di dalam kegelapan hatinya. Dia baru akan merasa puas kalau sudah dapat membalas dendam kepada Cia Hui Song, atas perbuatannya yang biadab kepada isteri-isterinya!

Memang sikap Lam-nong ini kelihatannya aneh, akan tetapi memang sudah demikianlah sifat dendam yang mengotori batin kita semua. Perbuatan merugikan kita yang dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita akan terasa jauh lebih menyakitkan dari pada kalau dilakukan oleh orang lain yang asing bagi kita. Inilah sebabnya mengapa kebencian yang menyelinap di dalam batin terhadap seorang bekas kawan baik atau keluarga jauh lebih mendalam dari pada kebencian terhadap orang asing.

Lam-nong seakan-akan melupakan perbuatan para pemberontak yang sudah membasmi keluarga dan rombongannya, juga seperti lupa dengan cerita kakek pembantunya betapa selir-selirnya yang lain juga sudah diperkosa secara biadab oleh mereka. Yang diingatnya dengan penuh rasa sakit hati hanyalah perbuatan Hui Song yang berjinah dengan empat orang isterinya!

"Baiklah, aku akan mengantar ji-wi sampai ke depan nenek Yelu Kim. Bahkan aku akan minta pertanggungan jawabnya atas kejadian yang menimpa rombonganku. Bukankah dia sudah menamakan dirinya pemimpin para kepala suku? Mari, mari kita pergi. Akan tetapi, siapakah ji-wi? Aku belum mengenal nama ji-wi."

Thian Sin tersenyum. "Namaku Ceng Thian Sin dan ini adalah isteriku."

Lam-nong mengangguk-angguk, baru sekarang dia teringat betapa lihainya suami isteri ini ketika tadi membubarkan pasukan pemberontak. "Mari, taihiap dan toanio, marilah kita berangkat."

Empat orang itu kemudian berangkat, kembali menuju ke barat untuk mencari nenek Yelu Kim. Lam-nong berjalan paling depan, diikuti oleh kakek pembantunya, kemudian barulah suami isteri Pendekar Sadis yang berjalan berdampingan paling belakang.


                ***************


 Bagaimana dengan Hui Song? Pemuda ini merasa marah dan mendongkol sekali ketika dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya itu, dia melihat empat orang isteri sahabatnya memasuki kamarnya dalam keadaan hampir telanjang bulat. Dia melihat betapa wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan pandang mata mereka penuh takut dan duka.

Dia tahu bahwa mereka itu ketakutan dan menangis ketika mereka memeluknya seperti hendak minta perlindungan, bahwa mereka itu dipaksa oleh Sim Thian Bu untuk merayu dirinya. Dia tidak marah kepada wanita-wanita ini melainkan merasa kasihan, akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Dia tidak berdaya sama sekali.

Untung baginya, hanya sebentar saja wanita-wanita itu disuruh merayu atau menemani dirinya. Dan dia melihat wajah orang Mancu itu ketika pintu dibuka, melihat betapa orang Mancu tua itu terbelalak lalu menyumpah dan pintu ditutup kembali. Agaknya hanya untuk keperluan memperlihatkan adegan itu kepada orang Mancu tua tadilah maka empat orang wanita itu disuruh naik tempat tidurnya. Tidak lama kemudian mereka disuruh keluar lagi, entah dibawa ke mana oleh Thian Bu.

Pada keesokan harinya, Sim Thian Bu muncul pula di dalam kamarnya. Totokan pada tubuhnya sudah bebas, akan tetapi malam tadi Thian Bu mengikat tangannya dengan tali sutera yang amat kuat sehingga percuma saja ketika Hui Song berusaha melepaskan diri dengan cara menariknya putus.

"Aha, Cia-taihiap. Engkau nampak segar pagi ini. Bagaimana, apakah usulku semalam sudah kau pertimbangkan?"

"Aku tak sudi bersekutu dengan pemberontak. Biar akan kau bunuh sekali pun, aku tidak peduli. Akan tetapi ingat, kalau aku sampai dapat lolos dari sini, aku akan mengejar dan mencarimu, dan akan kupaksa engkau bertanding sampai mampus!"

"Aihh, mengapa galak amat? Bukankah aku sudah memperlakukanmu dengan amat baik? Bahkan sudah kusuguhkan wanita-wanita cantik. Sayang engkau yang bodoh tidak mau menerimanya. Cia-taihiap, ketahuilah bahwa aku bersikap baik terhadapmu bukan tanpa sebab. Tahukah engkau bahwa ayah dan ibumu, juga kakekmu, sekarang sudah berada bersama kami dan bekerja sama dengan kami, bahkan ayahmu kini mengepalai pasukan keamanan di Ceng-tek?"

"Bohong! Siapa sudi percaya dengan omongan busukmu?" bentak Hui Song. "Sim Thian Bu, aku tidak tahu mengapa engkau memusuhiku, akan tetapi yang jelas engkau adalah tokoh pemberontak rendah. Jangan mencoba-coba untuk membujukku. Perbuatanmu tadi malam dengan memaksa empat orang isteri Lam-nong dalam keadaan tidak tahu malu itu ke sini saja sudah melewati batas dan untuk itu, mau rasanya aku membunuhmu sampai tujuh kali! Sekarang, kau apakan mereka itu?"

"Ha-ha-ha, karena mereka tak berhasil membujukmu, maka mereka kuhadiahkan kepada orang-orangku dan kau dapat membayangkan apa jadinya kalau empat orang wanita itu harus melayani ratusan orang prajurit..."

"Jahanam keparat kau!" bentak Hui Song dan wajahnya berubah merah sekali, hatinya perih membayangkan nasib para isteri Lam-nong.

Sim Thian Bu sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapannya dengan Hui Song itu ada yang mendengarkan. Seorang lelaki yang berpakaian seragam prajurit berdiri di luar kamar itu, dengan sikap bertugas jaga akan tetapi sebenarnya dia sedang mendengarkan dengan teliti semua yang sedang dibicarakan di dalam kamar. Prajurit ini bertubuh tinggi tegap dan memiliki sepasang mata yang mencorong tajam. Prajurit ini adalah Siangkoan Ci Kang!

Seperti telah kita ketahui, Ci Kang terancam bahaya maut di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong, akan tetapi secara kebetulan dan tiba-tiba muncul Pendekar Sadis beserta isterinya yang menyelamatkannya dan setelah dia memberi tahu kepada mereka tentang Sui Cin, suami isteri yang sakti itu lalu meninggalkannya untuk mencari puteri mereka.

Setelah berpisah dari suami isteri yang sakti itu, yang membuat Ci Kang merasa semakin nelangsa karena mereka adalah ayah bunda Sui Cin yang dicintanya sehingga membuat dia merasa semakin kecil dan rendah, pemuda ini kemudian mengambil keputusan untuk mencari Raja Iblis yang melarikan Hui Cu. Dia harus dapat menyelamatkan gadis itu dari tangan ayah kandungnya sendiri yang jahatnya melebihi iblis.

Gadis itu sudah dua kali menyelamatkannya. Pertama kali ketika dia bersama Cia Sun terjeblos ke dalam goa bawah tanah dan kedua kalinya ketika dia hampir celaka di tangan murid Raja Iblis, Gui Siang Hwa. Kini dia tahu bahwa dara itu berada dalam cengkeraman iblis yang membahayakan keselamatannya, maka dia harus berusaha untuk menolong gadis itu, biar pun untuk itu keselamatan nyawanya sendiri akan terancam.

Dalam perjalanannya mencari Hui Cu inilah secara kebetulan Ci Kang tiba di dusun itu. Dia hanya melihat bekas-bekas kejahatan pasukan pemberontak yang dipimpin Sim Thian Bu itu, yang sudah membasmi puluhan orang anak buah suku Mancu Timur di bawah pimpinan Lam-nong. Hatinya menjadi panas oleh kemarahan ketika dia mendengar dari penyelidikannya betapa sute-nya itu sudah sedemikian jahatnya membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, bahkan menganiaya dan memperkosa wanita-wanitanya.

Namun kedatangannya sudah terlambat dan dia tidak sempat lagi mencegah perbuatan sute-nya. Lagi pula Ci Kang tidaklah demikian bodoh untuk langsung menemui Thian Bu dan menegurnya. Bagaimana pun juga, jalan hidup antara mereka telah terpisah, mereka telah bersimpang jalan, bahkan saling menentang.

Sesudah sekarang memimpin ratusan orang prajurit, mana mungkin sute-nya itu masih mau mentaatinya? Tentu tidak takut kepadanya, bahkan dia akan dianggap musuh dan dikeroyok. Karena itulah secara diam-diam Ci Kang lalu menculik seorang prajurit yang perawakannya seperti dia, membawa prajurit itu ke dalam sebuah hutan yang cukup jauh, mengikat kaki tangannya setelah melucuti pakalannya, dan dengan berpakaian prajurit dia kembali ke dalam dusun.

Dengan mudah dia menyelinap di antara prajurit yang seribu orang banyaknya itu dan dia berhasil masuk ke dalam pondok di mana Sim Thian Bu sedang mengunjungi Hui Song yang tertawan. Dengan muka geram dia mendengarkan semua percakapan, dan tahulah dia bahwa pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu sedang dibujuk oleh sute-nya agar mau membantu pemberontak.

Sute-nya, Sim Thian Bu, telah membantu Raja Iblis. Padahal, ayahnya, Siangkoan Lo-jin, guru sute-nya itu tewas di tangan Raja Iblis. Sungguh seorang murid murtad. Dia sendiri memang tidak mendendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya tewas karena ulah sendiri, akan tetapi dia tidak akan sudi diperalat oleh pemberontak.

Dan meski pun Hui Song pernah memperlihatkan sikap bermusuh dengannya, ketika dia muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika dia berada di dalam kamar bersama Sui Cin, tetapi dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar sejati. Dia pun sudah mendengar tentang ketua Cin-ling-pai yang membantu gerakan para pemberontak, maka diam-diam dia merasa kasihan kepada Hui Song.

Sedikit banyak ada persamaan antara dia dan pemuda ini. Walau pun ayah pemuda ini adalah seorang pendekar besar, ketua Cin-ling-pai, akan tetapi kini sudah menyeleweng karena membantu pemberontak, padahal puteranya mati-matian menentang pemberontak dan lebih memilih mati dari pada harus menjadi kaki tangan kaum pemberontak seperti yang diperlihatkan ketika dibujuk oleh Sim Thian Bu itu. Dan agaknya Hui Song belum tahu akan penyelewengan ayahnya.

"Hui Song, engkau sungguh orang yang tidak tahu akan kebaikan orang!" Akhirnya Sim Thian Bu menjadi marah dan tidak menyebutnya taihiap lagi. "Melihat muka orang tuamu yang kini menjadi rekanku, aku bersikap baik kepadamu dan tidak membunuhmu walau pun engkau sudah membantu suku bangsa liar. Bahkan aku sudah menyuguhkan empat orang wanita tawanan untuk menghiburmu akan tetapi engkau menolak. Baiklah, agaknya engkau baru akan mau percaya kalau sudah kubawa ke Ceng-tek dan bertemu dengan ayah ibumu." Dia mendengus marah. "Karena engkau masih tidak mau tunduk, terpaksa harus kubelenggu terus sampai ke Ceng-tek. Hari ini juga kita berangkat ke sana!"

Dengan uring-uringan Thian Bu meninggalkan Hui Song dalam kamar itu. Tadinya dia berniat untuk membujuk Hui Song agar dapat membantu dan ikut dengannya secara suka rela agar dia dapat berbangga memamerkan jasanya di Ceng-tek. Tidak disangkanya Hui Song demikian keras hati sehingga terpaksa dia akan membawanya sebagai tawanan, hal yang amat tidak enak terhadap ketua Cin-ling-pai.

"Jaga dia, awasi terus jangan sampai dia dapat meloloskan diri!" perintah Sim Thian Bu kepada dua orang pengawal yang berada di luar pintu kamar. Kedua orang pengawal itu mengangguk dan masuk ke dalam kamar, berdiri dekat pembaringan dengan tombak di tangan.

Akan tetapi, tidak lama kemudian setelah Sim Thian Bu meninggalkan kamar itu, sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam kamar itu. Hui Song yang masih rebah tak mampu berkutik itu melihat betapa dengan gerakan yang sangat ringan, bayangan ini menyergap ke arah dua orang penjaga yang tidak sempat berteriak atau mempertahankan diri.

Dua kali totokan membuat mereka itu roboh pingsan. Dengan cekatan Ci Kang, bayangan itu, menyambar dua batang tombak agar tidak mengeluarkan bunyi keras saat terbanting ke atas lantai.

Hui Song terbelalak ketika mengenal siapa adanya prajurit tinggi tegap yang merobohkan dua orang pengawal itu.

"Hemmm...kau...?" gumamnya, sama sekali tidak gembira melihat kedatangan penolong ini, bahkan matanya memancarkan sinar kemarahan. Andai kata dia tidak dalam keadaan terbelenggu, tentu dia sudah bergerak menerjang Ci Kang!

Ci Kang dapat melihat kebencian terpancar dari mata putera ketua Cin-ling-pai itu dan dia pun memaklumi. "Sobat Cia Hui Song, sebaiknya engkau tahan kemarahanmu dan kita simpan dulu urusan pribadi. Yang jelas engkau tertawan..."

"Benar, dan yang menawan adalah murid ayahmu!" Hui Song mengejek.

"Simpan ejekanmu itu, sobat! Walau pun dia adalah sute-ku, akan tetapi jalan hidup kami tidak sejalur. Biar pun mendiang ayahku seorang datuk sesat, akan tetapi kau tidak dapat menyamakan aku dengan mereka, seperti juga berbedanya jalur hidupmu dengan ayahmu yang kini mengabdi pemberontak..."

"Tutup mulutmu! Kalian pembohong...!" Hui Song membentak.

"Sstttt... kita tunda dulu perselisihan ini. Yang penting kita harus bisa lari dari tempat ini," berkata demikian Ci Kang cepat melepaskan ikatan kaki tangan Hui Song.

Walau pun bekas ikatan pada kaki dan tangan itu masih membuat kaki tangannya terasa kesemutan dan setengah lumpuh, akan tetapi Hui Song memaksa diri meloncat turun dari pembaringan dan langsung dia menyerang Ci Kang!

"Jahanam busuk, aku harus membunuhmu untuk membalaskan penghinaanmu terhadap Sui Cin!" Serangan Hui Song tentu saja hebat sekali dan Ci Kang yang sudah mengenal kelihalan lawan ini cepat mengelak.

"Sabar dulu, sobat. Masih ada banyak waktu dan kesempatan bagi kita untuk bertanding. Sekarang yang penting kita harus meloloskan diri dari dusun ini!" Ci Kang berseru, akan tetapi semua seruannya percuma saja karena Hui Song yang sudah marah sekali teringat akan perbuatan pemuda ini memeluk dan mencium Sui Cin, sudah menerjang lagi kalang kabut.

Tentu saja Ci Kang menjadi bingung sekali. Sikap Hui Song ini membuat dia naik darah juga, maka setelah mengelak dan menangkis, dia pun mulai balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang amat hebat di dalam kamar itu dan tentu saja, hal ini menarik perhatian para pengawal yang cepat datang melihat.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat tawanan itu sudah bebas dan sekarang sedang berkelahi melawan seorang rekan prajurit, sedangkan dua orang prajurit pengawal lainnya telah roboh tak bergerak di atas lantai. Melihat ini, para prajurit itu yang mengira bahwa Ci Kang adalah salah seorang di antara kawan mereka cepat menerjang dan membantu Ci Kang sehingga Hui Song kini dikeroyok!

Pemuda yang sudah mempunyai perasaan benci terhadap Ci Kang ini, rasa benci yang bukan hanya karena Ci Kang putera datuk sesat Iblis Buta, akan tetapi terutama sekali karena rasa cemburu yang hebat, kini menjadi semakin marah dan semakin yakin bahwa Ci Kang tentu bekerja sama dengan sute-nya, Sim Thian Bu yang licik itu.

"Huh, Siangkoan Ci Kang, majulah bersama semua antekmu! Aku tidak takut!" Dan dia pun mengamuk merobohkan empat orang prajurit dengan sekali serang!

Pada saat itu, Sim Thian Bu yang sudah diberi tahu oleh anak buahnya datang dan dia pun terkejut bukan main sesudah mengenal prajurit tinggi tegap itu yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang! Sebaliknya, melihat Sim Thian Bu, Ci Kang juga marah sekali. Kalau tadi pada saat dia mendengar Thian Bu membujuk Hui Song dia masih mampu menahan kemarahannya karena perlu membebaskan Hui Song lebih dahulu, kini sesudah ketahuan dan dikeroyok, kemarahannya terhadap sute-nya itu makin berkobar.

"Sim Thian Bu, engkau semakin gila dan jahat saja!" bentaknya dan tiba-tiba saja dia menyerang Sim Thian Bu!

Thian Bu maklum akan kelihaian putera suhu-nya ini. Maka cepat dia menangkis dengan lengan kanannya.

"Dukkk...!"

Dan tubuh Thian Bu pun terlempar sampai bergulingan. Terkejutlah dia dan baru dia tahu bahwa suheng-nya itu ternyata sudah menjadi semakin lihai saja. Maka dia pun berteriak kepada para prajuritnya.

"Dia prajurit palsu! Kepung dan bunuh dia juga!"

Tadi para prajurit bingung melihat pimpinan mereka berkelahi melawan prajurit itu, bahkan mereka kaget melihat betapa dalam satu gebrakan saja komandan mereka yang biasanya amat lihai itu terlempar sampai bergulingan. Akan tetapi begitu mendengar teriakan Thian Bu mengertilah mereka bahwa prajurit itu adalah seorang musuh yang menyamar, maka tentu saja mereka segera mengeroyok Ci Kang!

Hui Song sendiri juga dihujani senjata dan kini melihat betapa Ci Kang dikeroyok, tadinya dia masih bingung dan ragu, mengira bahwa Ci Kang bersandiwara. Akan tetapi melihat betapa Ci Kang mengamuk dan merobohkan banyak prajurit seperti juga dia, dan betapa para pengeroyoknya itu juga menyerang dengan sungguh-sungguh, barulah dia percaya bahwa Ci Kang benar-benar dimusuhi oleh Sim Thian Bu dan pasukannya!

Dia masih bingung, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lebih lama lagi. Para pengeroyok terlalu banyak dan melihat betapa Ci Kang mendesak para pengeroyok dan berhasil keluar dari dalam kamar yang sempit, dia pun menerjang dan membuka jalan darah.

Segera dua orang pemuda perkasa ini dikeroyok di luar pondok yang lebih luas sehingga terjadilah pertempuran yang sangat seru. Akan tetapi, baik Ci Kang mau pun Hui Song maklum bahwa mereka berdua saja tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan prajurit yang jumlahnya hampir seribu orang itu. Mereka tentu akan kehabisan tenaga.

Oleh karena itu, seperti sudah berunding lebih dulu saja, keduanya menyerang ke depan dan menyelinap kemudian meloncat jauh dan melarikan diri. Beberapa orang prajurit yang berusaha mengejar, mereka robohkan dengan pukulan jarak jauh. Melihat ini, para prajurit lainnya menjadi gentar dan ragu-ragu untuk mengejar.

Thian Bu yang marah sekali melihat dua orang itu lolos, cepat berteriak memerintahkan semua anak buahnya untuk mengejar, hendak mengandalkan jumlah banyak pasukan itu melakukan pengejaran. Akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu telah lari jauh dan tak nampak lagi bayangannya sehingga terpaksa para prajurit mencari ke sana-sini di bawah pimpinan Sim Thian Bu yang menyumpah-nyumpahi mereka karena pengejaran itu gagal sama sekali.

Sebenarnya Sim Thian Bu cukup maklum bahwa prajurit-prajurit itu tidak dapat disalahkan karena dua orang pemuda itu memang amat lihai, akan tetapi karena kegagalan ini amat menjengkelkan hatinya, maka untuk melampiaskan kemarahannya itu dia memaki-maki para prajuritnya.

Biar pun tidak berjanji lebih dulu, akan tetapi kenyataannya Ci Kang dan Hui Song lari ke satu jurusan. Agaknya mereka berdua tidak mau mengambil jalan lain atau memisahkan diri, khawatir jika disangka takut atau sengaja hendak melarikan diri untuk menghindarkan perkelahian.

Dan setelah mereka lari jauh dan pasukan pemberontak tidak mengejar lagi, pada sebuah tanah datar di lereng sebuah bukit, keduanya berhenti tanpa kencan lantas berdiri saling berhadapan.

"Cia Hui Song, masih belum percayakah engkau kepadaku? Aku juga menentang kaum pemberontak!"

"Boleh jadi engkau memang menentang pemberontak, akan tetapi tak mungkin aku dapat mengampunimu atas kebiadabanmu menghina Sui Cin!" bentak Hui Song lantas dia pun sudah menyerang dengan dahsyatnya.

Ci Kang merasa betapa pemuda ini sudah keterlaluan sekali mendesaknya. Biar pun ada dorongan aneh dalam dirinya ketika dia menjadi terangsang dan timbul birahinya hingga dia melakukan hal yang tidak patut terhadap Sui Cin, akan tetapi dia tidak mau mencari alasan untuk membela diri. Dia diam saja dan menangkis, bahkan lalu membalas.

Dua orang pemuda itu terlibat dalam suatu perkelahian yang amat seru dan mati-matian, biar pun Hui Song lebih banyak menyerang karena Ci Kang masih merasa enggan untuk menyerang. Dia tidak membenci Hui Song, tidak ada alasan baginya untuk membenci pemuda ini, maka dia pun hanya membela diri saja.

Sungguh berbahaya sekali dan tidak cukup aman bila mana hanya membela diri dengan menangkis atau mengelak saja pada waktu menghadapi seorang lawan selihai Hui Song. Serangan balasan yang dilakukannya, yang tak kalah dahsyatnya, hanya dilakukan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Song terhadap dirinya.

Dua orang ini memang sama mudanya, sama gemblengan orang-orang pandai, bahkan pada akhir-akhir ini selama tiga tahun keduanya sudah digembleng oleh orang-orang sakti yang segolongan. Oleh karena itu sulit dikatakan siapa yang lebih kuat di antara mereka.

Hui Song adalah putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang tentu saja telah mewarisi semua ilmu Cin-ling-pai yang sangat tinggi, dan gemblengan selama tiga tahun yang diterimanya dari Siang-kiang Lo-jin membuat ilmu-ilmunya menjadi matang. Akan tetapi di lain pihak, Ci Kang juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah kandungnya, Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta, dan gemblengan selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai juga sudah mematangkan ilmu-ilmunya. Karena itu pertandingan antara mereka ini sedemikian dahsyatnya bagaikan perkelahian dua ekor naga sakti yang tidak mau saling mengalah.

Sesudah perkelahian itu berlangsung seratus jurus tanpa ada yang terdesak, keduanya semakin maklum bahwa lawan masing-masing itu ternyata lebih sukar dikalahkan seperti yang mereka sangka semula. Oleh karena itu kini mereka bergerak dengan amat hati-hati sambil mengeluarkan seluruh ilmu silat mereka dan mengerahkan seluruh tenaga.

"Dukkk...!"

Kembali terjadi adu tenaga yang sangat dahsyat, yang mengakibatkan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang hingga keduanya harus mengatur pernapasan beberapa detik lamanya untuk menghimpun hawa murni melindungi tubuh bagian dalam supaya jangan sampai terluka akibat guncangan pertemuan tenaga dahsyat itu.

Dan pada saat itu, selagi keduanya siap untuk saling terjang lagi, nampak dua bayangan orang berkelebat. Seorang gadis cantik menghadang di hadapan Hui Song, dan seorang pemuda perkasa menghadang di depan Ci Kang.

"Suheng, harap jangan berkelahi...!" Gadis itu berteriak.

"Ci Kang, tahan dulu...!" Pemuda itu berseru pula.

Melihat gadis yang menghadangnya itu, Hui Song terpaksa menghentikan serangannya, juga Ci Kang segera menghentikan semua gerakannya sesudah dia mengenal siapa yang menghadang di depannya. Gadis dan pemuda itu adalah Tan Siang Wi dan Cia Sun!

Bagaimanakah dua orang muda ini dapat saling berkenalan dan dapat datang bersama di tempat itu? Seperti kita ketahui, Cia Sun hadir pula dalam pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan seperti juga yang lain, dia terpaksa melawan sambil berpencar dan akhirnya menyelamatkan diri karena jumlah lawan yang terlampau banyak.

Ketika dia sedang melarikan diri, tiba-tiba saja dia melihat seorang gadis yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali prajurit yang agaknya hendak menangkap gadis cantik itu hidup-hidup. Akan tetapi gadis cantik itu memainkan sepasang pedang secara hebat sehingga dua puluh lebih orang prajurit itu sulit dapat menangkapnya, dan mereka hanya dapat mengepung dan menyerang dari jauh dengan tombak mereka untuk menghabiskan tenaga gadis itu agar akhirnya dapat disergap. Gadis itu adalah Tan Siang Wi.

Sejak muda Tan Siang Wi sudah terbiasa hidup dalam kekerasan sebagai seorang gadis kang-ouw yang disegani. Dia murid Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai, bahkan menerima petunjuk pula dari ketua Cin-ling-pai sehingga tentu saja dia sangat lihai, terutama sekali Ilmu Silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat itu. Dan karena sifatnya yang keras dan berani, juga karena ia tidak pernah memberi ampun kepada para penjahat, maka di dunia kang-ouw dia dijuluki Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)! Maka, meski pun kini dikepung dan dikeroyok dua puluh orang lebih, dia mengamuk dan sedikit pun tidak menjadi gentar.

Gadis ini mendengar tentang adanya pertemuan di antara para pendekar di bekas sarang Jeng-hwa-pang. Selama tiga tahun ini dia merantau dengan hati penuh duka, mencari-cari Hui Song, pemuda yang menjadi pujaan hatinya. Dan seperti telah kita ketahui, ia melihat betapa suheng yang dicintanya itu dirayu di dalam kamar oleh Siang Hwa, membuat dia cemburu dan marah sekali.

Akan tetapi akhirnya ia tertawan dan yang amat menyedihkan hatinya, suheng-nya malah bersekutu dengan wanita iblis itu dan ia disuruh pergi! Sakit sekali rasa hatinya walau pun ia tahu bahwa Hui Song melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman Gui Siang Hwa. Akan tetapi bagi dia rasanya lebih suka mati di tangan wanita itu dari pada melihat suheng-nya berkawan dengan iblis betina itu dan dia disuruh pergi. Akan tetapi, suheng-nya yang menyuruhnya sehingga dia tidak dapat membantah.

Dengan hati dirundung duka, gadis yang usianya sudah dua puluh dua tahun ini lalu pergi ke utara, hendak menghadiri pertemuan antara pendekar di benteng Jeng-hwa-pang. Hal ini dilakukannya bukan hanya untuk memperluas pengalaman, akan tetapi terutama sekali karena dia mengharapkan akan bertemu dengan suheng-nya. Ia percaya bahwa seorang pendekar besar seperti suheng-nya itu pasti akan hadir pula di sana.

Demikianlah, dia tiba di antara para pendekar di bekas sarang Jeng-hwa-pang, kemudian menyelinap di antara mereka, namun tak berani muncul secara berterang sebab dia tidak mewakili siapa-siapa dan dia pun tidak datang atas nama perguruan Cin-ling-pai. Hatinya merasa girang sekali ketika dia melihat Hui Song berada di situ pula, bahkan membuat pelaporan. Dia merasa ikut bangga akan tetapi dia tetap bersembunyi dengan keputusan akan menemui suheng-nya itu setelah pertemuan selesai.

Hatinya lega sebab dia tidak melihat adanya iblis betina yang merayu suheng-nya dahulu. Akan tetapi, ada perasaan kecut dan cemburu di dalam hatinya apa bila mengingat akan sikap suheng-nya yang amat dingin kepada dirinya, sikap yang tidak membalas cintanya, teringat pula betapa manis sikap suheng-nya terhadap Ceng Sui Cin, kemudian terhadap wanita iblis itu.

Dan ketika pasukan pemberontak yang sangat besar jumlahnya datang menyergap, Siang Wi ikut pula bertempur dan membela diri sambil mencari jalan keluar. Akan tetapi, belum jauh dia berlari meninggalkan bekas benteng itu, dia dikepung oleh dua puluh orang lebih prajurit pemberontak. Kembali dia mengamuk membela diri dan sama sekali tidak merasa gentar walau pun pihak lawan terlampau banyak baginya.

Dalam keadaan terancam inilah muncul Cia Sun yang segera turun tangan membantu. Sungguh pun dia belum mengenal gadis itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa gadis yang dikeroyok para prajurit pemberontak itu tentulah seorang di antara para pendekar yang tadi hadir dalam pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.

Serbuan Cia Sun mengubah keadaan dan dengan kerja sama mereka, dua puluh orang prajurit pemberontak itu kocar kacir dan banyak di antara mereka yang roboh tidak dapat bangkit kembali. Selebihnya, hanya beberapa orang saja, kemudian melarikan diri.

"Saudara yang gagah, terima kasih atas bantuanmu," Siang Wi berkata sambil menjura setelah semua pengeroyok roboh dan pergi.

"Lebih baik kita pergi secepatnya sebelum pasukan lainnya datang!" jawab Cia Sun tidak mempedulikan ucapan terima kasih orang dan dia pun segera berlari dengan cepat, diikuti oleh Siang Wi.

Gadis ini tadi merasa kagum sekali melihat kelihaian Cia Sun ketika membantunya, dan kini menjadi semakin kagum karena pemuda itu mempunyai ilmu berlari cepat yang hebat sehingga dia tidak akan mampu menyusulnya kalau saja pemuda itu tidak memperlambat larinya.

Demikianlah, sesudah berhasil menyelamatkan diri, mereka saling berkenalan. Keduanya terkejut dan girang setelah mendengar tentang diri masing-masing. Sudah lama Siang Wi mendengar tentang keluarga Cia yang gagah perkasa di Lembah Naga, maka cepat dia memberi hormat ketika mendengar bahwa sekarang dia sedang berhadapan dengan Cia Sun, putera Lembah Naga.

"Sungguh beruntung aku dapat bertemu dengan pendekar gagah perkasa dari Lembah Naga! Pantas tadi aku seperti mengenal gerakan silatmu. Bukankah menurut keterangan suhu, ilmu silat keluarga Cia di Lembah Naga masih dekat sekali kaitannya dengan ilmu dari Cin-ling-pai?"

"Benar, nona. Ilmu-ilmu silat keluarga kami memang satu sumber dengan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai. Aku pun girang bahwa engkau adalah murid dari ketua Cin-ling-pai. Apakah nona hadir di pertemuan itu bersama dengan putera ketua Cin-ling-pai yang kulihat tadi hadir pula? Ataukah sebagai wakil Cin-ling-pai?"

"Cia-toako, pertama-tama kuharap engkau tidak memanggil nona padaku. Bukankah jika diselidiki benar, di antara kita ini masih ada ikatan saudara dalam perguruan? Aku tidak datang bersama suheng, juga bukan utusan suhu. Aku datang untuk... mencari suheng yang sudah lama pergi dan untuk meluaskan pengalaman. Toako, apakah engkau melihat ke mana larinya suheng tadi?"

"Maksudmu Cia Hui Song? Entahlah, nona... eh, Wi-moi. Aku pun tidak melihatnya. Mana mungkin bisa melihatnya di antara serbuan ribuan orang pasukan pemberontak itu?"

Siang Wi mengepal tinju. "Aku benci pemberontak-pemberontak itu! Apa lagi iblis betina yang memimpinnya itu! Sekali waktu aku harus membunuhnya!"

Diam-diam Cia Sun tersenyum. Tidak begitu mudah, nona cilik, betapa pun lihaimu. Murid Raja Iblis itu terlalu lihai bagimu, demikian pikirnya.

"Siauw-moi, apakah engkau mengenal wanita iblis itu?"

"Tentu saja! Dia adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis! Dan dialah wanita cabul yang pernah merayu... suheng-ku. Aku benci sekali padanya! Dan sekarang, dia mengerahkan pasukan pemberontak untuk menyerang sehingga banyak kawan kita yang tewas. Dan kini aku terpisah lagi dari suheng yang kucari-cari, tidak tahu ke mana harus mencarinya sekarang?"

Cia Sun memandang wajah gadis itu. Malam telah terganti pagi dan sinar matahari pagi yang keemasan menyiram wajah yang cantik itu. Wajah yang manis sekali dan sepasang mata yang jeli dan penuh sinar berapi, penuh semangat hidup dan keberanian.

"Wi-moi, benarkah engkau membenci para pemberontak dan engkau hendak menentang mereka?"

"Eh, eh, kenapa engkau masih bertanya? Bukankah aku hampir celaka oleh mereka dan mungkin sekarang aku sudah tewas kalau tidak ada engkau yang menolongku, toako?"

"Begini, Wi-moi. Adanya aku bertanya kepadamu adalah... ehhh, apakah engkau belum mendengar atau mengerti bahwa suhu dan subo-mu juga berada di utara sini?"

Siang Wi kaget akan tetapi juga girang. "Aihh! Benarkah itu? Di mana mereka sekarang? Apakah toako sudah berjumpa dengan suhu dan subo? Mengapa mereka tidak nampak hadir dalam pertemuan antara pendekar?"

Cia Sun menggeleng kepala dan memandang tajam penuh selidik. "Siauw-moi, agaknya engkau belum tahu atau mendengar tentang suhu dan subo-mu. Tahukah engkau kenapa mereka berada di daerah ini dan sekarang berada di Ceng-tek?"

Siang Wi memandang bingung. "Aku tidak tahu, toako. Mereka di Ceng-tek? Apa yang terjadi dengan mereka?"

"Mereka... membantu para pemberontak menyerbu Ceng-tek dan kini telah menjadi tokoh pemberontak di Ceng-tek..."

"Ahh...! Tidak mungkin!" seru gadis itu.

"Ketika mendengar berita itu untuk pertama kalinya, aku sendiri tidak percaya dan merasa penasaran bukan main. Aku memang mendengar bahwa gurumu, paman Cia Kong Liang adalah seorang yang keras hati, akan tetapi menurut penuturan ayah, paman Cia Kong Liang selalu menjunjung tinggi kegagahan dan agaknya tak mungkin kalau sampai beliau begitu rendah menjadi kaki tangan pemberontak. Akan tetapi berita itu sudah kuselidiki kebenarannya dan temyata memang paman Cia Kong Liang bersama isterinya dan ayah mertuanya kini membantu Raja Iblis dan Panglima Ji Sun Ki yang memberontak. Aku tak dapat menyelidiki mengapa terjadi hal yang mustahil itu."

Siang Wi termenung dengan wajah pucat. Dia dapat menduga. Tentu ini gara-gara kakek Jepang yang menjadi mertua suhu-nya itu. Bagaimana juga, sebagai murid subo-nya dia tahu bahwa kakek itu dahulu pernah menjadi datuk sesat di timur. Bukan tidak mungkin kakek itu mempunyai hubungan dengan Raja Iblis dan para datuk sesat yang sekarang memberontak, dan berhasil membujuk suhu-nya untuk membantu pemberontak!

"Aku harus cepat mencari mereka... harus menyadarkan mereka...!" Ia berkata berkali-kali seperti kepada dirinya sendiri.

Cia Sun merasa kasihan, juga kagum akan kegagahan gadis ini. Walau pun mendengar betapa suhu dan subo-nya membantu pemberontak, gadis ini tetap dengan pendiriannya berpihak kepada para pendekar yang menentang pemberontak, bahkan kini dia hendak menyadarkan suhu dan subo-nya dari kesesatan itu.

"Wi-moi, telah menjadi keputusan rapat tadi bahwa kita terpaksa harus bertindak sendiri-sendiri, dengan cara sendiri menentang para kaum sesat yang ternyata sudah bersekutu dengan pasukan pemberontak. Dan kita tidak akan berhasil menghadapi mereka apa bila tidak bergabung dengan pasukan pula. Oleh karena itu, mari kita melakukan penyelidikan ke kota Ceng-tek, dan kita membantu gerakan pasukan pemerintah, sekalian menyelidiki paman Cia Kong Liang dan alangkah baiknya jika sampai berhasil menyadarkan mereka sehingga mereka membantu kita dari dalam untuk menghancurkan pemberontak."


cerita silat online karya kho ping hoo


Siang Wi yang kini merasa suka dan kagum kepada pendekar muda Lembah Naga ini, merasa setuju dan berangkatlah mereka bersama. Dan secara kebetulan sekali mereka sampai di tempat sunyi di lereng bukit di mana mereka melihat Ci Kang sedang berkelahi mati-matian melawan Cia Hui Song. Melihat ini, tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.


"Suheng-ku melawan putera Iblis Buta, aku harus membantunya!" kata Siang Wi, dan dia sudah siap menerjang. Akan tetapi lengannya disentuh Cia Sun.

"Jangan tergesa-gesa! Putera Iblis Buta itu adalah orang yang gagah perkasa yang juga menentang kaum sesat. Kita hentikan perkelahian itu dan bicara dengan baik!" Sesudah berkata demikian, mereka segera meloncat ke dalam gelanggang perkelahian. Siang Wi menghentikan suheng-nya dan Cia Sun menahan Ci Kang.

Baik Ci Kang mau pun Hui Song terpaksa menghentikan gerakan perkelahian mereka ketika Siang Wi dan Cia Sun melerai, walau pun hati Hui Song masih merasa penasaran sekali.

Cia Sun segera memberi hormat kepada Hui Song. Walau pun usia mereka sebaya, dia hanya satu tahun lebih tua dari Hui Song, akan tetapi menurut ibu dia jauh lebih muda sebab Hui Song masih terhitung pamannya. Kalau pendekar sakti Cia Bun Houw adalah kakek Hui Song, maka baginya kakek sakti itu adalah kakek buyutnya.

Kakek Cia Bun Houw adalah ayah kandung Cia Kong Liang dari ibu Yap In Hong, ada pun kakeknya sendiri, yakni Cia Sin Liong adalah anak kandung Cia Bun Houw dari ibu Liong Si Kwi. Kakeknya itu dengan Cia Kong Liang adalah saudara seayah berlainan ibu.

"Harap paman Cia Hui Song suka bersabar dan maafkan saya yang berani melerai dan menghentikan perkelahian ini," katanya.

Cia Hui Song sudah tahu bahwa pemuda perkasa ini adalah Cia Sun, keturunan Lembah Naga yang masih keluarga Cia juga. Dan walau pun dia terhitung paman dari pemuda itu, karena mereka sebaya, dia pun cepat membalas penghormatan itu.

"Engkau tentu Cia Sun, bukan? Sebetulnya aku senang sekali dapat berkenalan dengan anggota keluarga sendiri, dan aku pun telah melihatmu di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Akan tetapi Cia Sun, apakah engkau tidak tahu siapakah jahanam ini?" Dia menuding ke arah Ci Kang. "Bila mana engkau sudah tahu dia siapa tentu engkau tidak akan melerai melainkan membantuku membunuhnya. Dan kau juga sumoi, apakah engkau sudah lupa siapa adanya penjahat ini?"

"Aku tidak lupa, suheng, dan tadi pun aku sudah hendak membantumu, tetapi Sun-toako mencegah."

"Paman Hui Song, aku pun tahu siapa adanya Siangkoan Ci Kang. Aku tahu benar bahwa dia adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin..."

"Putera Si Iblis Buta, datuk sesat yang amat jahat itu!" Hui Song menambahkan.

"Benar, akan tetapi dia tidak boleh disamakan dengan mendiang ayahnya. Saudara Ci Kang ini kukenal benar karena kami sudah sama-sama menentang Raja Iblis dan kami berdua bahkan hampir tewas oleh Raja Iblis dan muridnya yang jahat, Gui Siang Hwa. Saudara Ci Kang ini adalah murid locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan dia selalu menentang kejahatan sampai dimusuhi oleh ayahnya sendiri dan oleh para tokoh sesat. Dia adalah seorang gagah dan berjiwa pendekar..."

"Hemm, engkau sudah kena ditipunya, Cia Sun! Engkau tidak tahu siapa dia sebenarnya. Karena dia berkedok domba, engkau tidak tahu bahwa di balik kedok itu adalah seekor harimau yang liar dan buas! Aku dapat membuktikannya sendiri kejahatannya! Ketahuilah bahwa kalau tidak ada aku yang mencegahnya, mungkin dia sudah... memperkosa Sui Cin!"

"Ahhh...!" Cia Sun terbelalak dan memandang wajah Ci Kang dengan penuh selidik. Dia sudah tahu sendiri betapa pemuda itu tak mau menyerah dan memilih mati ketika dirayu Siang Hwa. Pemuda ini bukan orang yang lemah terhadap nafsu birahi dan agaknya tidak mungkin akan melakukan hal terkutuk itu terhadap Sui Cin!

"Ci Kang, benarkah itu...?" tanyanya, masih terkejut dan tidak percaya.

Ci Kang menghela napas panjang. "Pendekar Cia Hui Song terlalu membenciku, terlalu bernafsu memusuhiku sehingga tak memberi kesempatan kepadaku untuk membela diri. Cia Sun, engkau sudah mengenalku, kita bersama telah menghadapi ancaman-ancaman maut dan sudah saling mengenal watak masing-masing. Tidak kusangkal bahwa memang aku pernah bersikap kurang ajar terhadap nona Ceng Sui Cin, akan tetapi apa yang aku lakukan itu terjadi di luar kehendakku, di luar kekuasaanku untuk menahan. Pada waktu itu aku sedang dikuasai nafsu dan gairah yang tidak wajar, dan aku yakin bahwa aku telah keracunan sehingga melakukan hal-hal di luar kesadaranku. Ketika itu aku sedang terluka dan menerima obat dari nona Ceng Sui Cin. Aku diobati dan dirawat, mana mungkin aku melakukan hal keji? Akan tetapi hal itu terjadi dan aku yakin bahwa racun itu terdapat justru dalam obat itu!"

"Alasan yang dicari-cari!" Hui Song membentak marah.

"Terserah, akan tetapi kenyataannya memang demikian. Bukan aku mencari alasan untuk membela diri. Tidak, aku cukup tersiksa dan merasa menyesal dan kalau nona Ceng Sui Cin sendiri yang menghukumku, aku akan menyerahkan diri tanpa melawan. Akan tetapi, jangan orang lain yang hendak menghukumku!" kata Ci Kang dengan sikap dingin.

MENDENGAR ucapan ini, Hui Song merasa betapa mukanya panas kemerahan. Dia seperti baru diingatkan bahwa dia tidak berhak marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang. Bagaimana pun juga, walau dia amat mencinta Sui Cin, akan tetapi secara resmi gadis itu bukan apa-apanya, malah kekasihnya pun bukan karena selama ini dara itu belum pernah menyatakan membalas cintanya! Kalau Sui Cin yang dihina itu tidak apa-apa, mengapa dia yang ribut-ribut?

"Hemmm, sekarang memang tidak dapat kubuktikan bahwa nona Ceng mendendam dan marah, akan tetapi kalau kelak dia mencarimu untuk membuat perhitungan, maka aku akan membantunya dan kami akan membunuhmu!" katanya menahan kemarahan.

"Sudahlah, paman Hui Song. Kita semua sedang menghadapi keadaan yang amat gawat. Para pemberontak sudah merebut Ceng-tek dan semakin merajalela saja. Kalau di antara kita ribut sendiri, bagaimana kita bisa menentang mereka? Seperti yang telah diputuskan dalam pertemuan itu, kita harus bergerak secara sendiri-sendiri untuk membantu pasukan pemerintah yang tentu akan segera menyerbu mereka dari selatan. Sekarang kita harus bersiap-siap dan kalau mungkin, sebelumnya kita melakukan gangguan-gangguan untuk melemahkan mereka, atau setidak-tidaknya menyelidiki kekuatan mereka, memata-matai mereka agar kita dapat memberi pelaporan kepada pasukan pemerintah kelak."

"Benar, suheng," Siang Wi menyambung. "Urusan pribadi lebih baik dikesampingkan saja dulu, lebih baik kita cepat-cepat pergi ke Ceng-tek."

"Ke Ceng-tek? Ada apa? Bukankah kota itu sudah diduduki musuh?" tanya Hui Song.

"Kita harus cepat pergi ke sana, suheng, karena..." Tiba-tiba saja Siang Wi menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Ci Kang.

Melihat ini, Cia Sun menoleh kepada Ci Kang, "Ci Kang, mari kita pergi."

Ci Kang mengangguk. "Memang aku sedang mencari nona Hui Cu..."

"Hui Cu? Ada apa dengannya?"

"Dia telah tertawan oleh Raja Iblis..."

"Ahhh...!" Cia Sun merasa terkejut bukan main.

"Cia Sun, kita sudah berhutang budi kepadanya, marilah kau bantu aku mencarinya dan menyelamatkan dia." Cia Sun mengangguk dan mereka lalu berpamit kepada Siang Wi dan Hui Song.

Setelah dua orang muda itu pergi, Siang Wi berkata, "Suheng, apakah engkau tidak tahu? Suhu dan subo kini berada di Ceng-tek, juga semua saudara anggota Cin-ling-pai."

Sepasang mata Hui Song terbelalak. Dia teringat akan kata-kata Sim Thian Bu mengenai orang tuanya. "Ada... ada apakah sehingga mereka berada di Ceng-tek?" tanyanya gagap dan gelisah.

Siang Wi dapat menduga bahwa suheng-nya belum mendengar tentang hal yang sangat mengejutkan mengenai gurunya itu. "Suheng, suhu, subo, dan sukong bersama dengan para murid Cin-ling-pai telah berada di kota Ceng-tek karena mereka semua membantu pemberontak..."

"Tak mungkin!" Hui Song berteriak. "Sumoi, dari siapa engkau mendengar berita bohong itu?"

"Suheng, ketika pertama kali mendengarnya, aku pun terkejut dan tidak percaya, bahkan ingin marah. Akan tetapi... yang memberi tahu kepadaku adalah toako Cia Sun sendiri."

"Ahhhh...!" Jantung Hui Song berdebar keras. Jadi, benarkah apa yang didengarnya dari Sim Thian Bu? "Bagaimana mungkin itu? Apakah Cia Sun tidak keliru ketika bercerita kepadamu?"

"Suheng, kalau saja yang berterita itu orang lain, tentu sudah kuserang dia! Akan tetapi Cia-toako, kiranya tak mungkin dia berbohong dan aku khawatir sekali suheng. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan subo dan untuk membuktikan kebenaran berita itu."

"Mari kita cepat ke Ceng-tek. Berita itu harus kita selidiki dan kalau memang benar terjadi hal yang luar biasa itu, aku harus menegur dan mengingatkan ayah dan ibu!"

Dengan hati gundah dan gelisah Hui Song dan Siang Wi meninggalkan tempat itu menuju ke Ceng-tek. Mereka berdua mengambil keputusan bahwa kalau memang benar ketua Cin-ling-pai dan para anggotanya membantu pemberontak, mereka akan menegur dan menyadarkan sedapat mungkin.


                 ***************


"Suhu, teecu merasa sangsi apakah tindakan kita membantu para pemberontak ini sudah tepat," seorang di antara lima pria gagah itu berkata kepada Cia Kong Liang yang duduk bersanding dengan isterinya.

Sejak pasukan pemberontak, dengan bantuan orang-orang Cin-ling-pai yang lebih dahulu menyelundup ke dalam, berhasil menduduki Ceng-tek, ketua Cin-ling-pai itu diangkat oleh Panglima Ji Sun Ki menjadi komandan pasukan penjaga keamanan kota benteng itu. Dia sekeluarga berikut puluhan orang murid Cin-ling-pai mendapat pelayanan yang mewah dan dihormati oleh pasukan pemberontak serta dianggap berjasa besar.

Pada pagi hari itu, ketua Cin-ling-pai duduk dalam ruangan belakang bersama isterinya, di dalam gedungnya yang amat megah, menerima lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang menghadap sebagai wakil dari semua murid. Mendengar ucapan seorang di antara murid kepala itu, Cia Kong Liang memandang tajam.

Pada hari-hari terakhir ini dia sendiri merasa tidak tenang dan dalam keraguan karena dia melihat betapa pasukan Ji-ciangkun dibantu oleh rombongan orang-orang aneh yang dari sikap mereka menunjukkan kekerasan dan kekejaman golongan hitam. Maka, mendengar ucapan muridnya yang biasanya tentu akan membuatnya marah itu, dia merasa tertarik sekali.

"Kenapa tidak tepat? Kita bukan sekedar memberontak memperebutkan kedudukan! Kita berjuang menentang pemerintah yang lalim. Ini adalah tugas para pendekar dan patriot, menyelamatkan rakyat dari penindasan pemerintah lalim," katanya memancing pendapat.

"Akan tetapi, suhu," kata pula murid kedua, "Pasukan pemberontak ini dibantu oleh kaum sesat! Teecu melihat sendiri betapa mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap penduduk dusun yang diserbu, juga menculik dan memperkosa wanita-wanita, merampok harta benda bahkan hasil sawah ladang dan binatang ternak petani! Apakah benar kalau kita membantu orang-orang seperti itu, suhu?"

Cia Kong Liang meraba jenggotnya dan mengerutkan alisnya. "Hemmm, benarkah semua itu? Apa lagi yang kalian dengar atau lihat?"

"Teecu tidak berbohong, suhu!" kata orang ketiga. "Selama perantauan teecu dalam dunia kang-ouw, teecu telah beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh sesat yang kini nampak berada dalam rombongan mereka yang membantu pasukan dan yang sekarang berdiam di San-hai-koan. Akan tetapi kadang-kadang ada utusan mereka datang ke Ceng-tek ini dan apa bila bertemu dengan teecu, mereka pura-pura tidak mengenal teecu. Teecu yakin, mereka itu adalah dari golongan hitam, kaum penjahat yang kejam!"

"Bukan itu saja, suhu," kata orang keempat, "teecu dahulu pernah bertemu dengan Hwa Hwa Kui-bo, nenek iblis yang menjadi seorang tokoh dari Cap-sha-kui, dan teecu melihat pula nenek iblis itu dalam rombongan mereka! Teecu dapat menduga bahwa rombongan itu tentu dipimpin oleh iblis-iblis dari Cap-sha-kui!"

Mendengar ini, Cia Kong Liang menjadi terkejut sekali. "Cap-sha-kui...?"

Pernah dia mendengar nama Tiga Belas Iblis ini walau pun dia belum pernah berjumpa dengan mereka. Ia mendengar bahwa Cap-sha-kui pernah merajalela di dunia kang-ouw, dikepalai oleh Si Iblis Buta. Dan kalau benar Cap-sha-kui sekarang membantu pasukan pemberontak, ini merupakan hal yang amat mencurigakan!

"Apa lagi yang kalian ketahui?" tanyanya.

"Satu hal lagi yang sangat mengejutkan, suhu," kata seorang murid lain. "Teecu... teceu takut mengatakan..." Murid ini memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan mata membayangkan ketakutan.

"Kau takut apa? Tidak usah takut, siapa yang akan mendengar keteranganmu kecuali kita sendiri, dan andai kata ada orang lain mendengar, takut apa? Aku berada di sini!"

Mendengar ucapan guru atau ketuanya itu, murid Cin-ling-pai ini menjadi besar hati tetapi walau pun demikian, suaranya masih lirih ketika dia melanjutkan keterangannya, "Suhu, teecu mendengar bahwa Pangeran Toan itu, yang memimpin pemberontakan bersama Ji-ciangkun, adalah rajanya kaum sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis...!"

"Ahhh...!" Untuk kesekian kalinya Cia Kong Liang terkejut akan tetapi yang terakhir lebih hebat lagi sehingga kedua matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Benarkah itu? Tidak kelirukah penyelidikanmu?"

"Hati-hatilah kau, jangan sembarangan karena kalau keteranganmu itu tidak benar, amat berbahaya dan engkau telah menjatuhkan fitnah!" kata Bin Biauw yang juga terkejut bukan main mendengar berita yang sama sekali tidak disangkanya ini.

Wanita ini maklum bahwa ayahnya membujuk suaminya membantu pemberontak supaya suaminya kelak bisa memperoleh kedudukan tinggi, akan tetapi dasar pemberontakan itu adalah perjuangan menentang pemerintahan kaisar sekarang yang dianggap lalim. Akan tetapi sedikit pun dia tak pernah menyangka bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh raja kaum sesat!

Seperti juga suaminya, biar pun tidak jelas benar, namun dia pernah mendengar tentang Cap-sha-kui dan Raja Iblis. Meski pun puteri bekas datuk sesat, sejak muda nyonya ketua Cin-ling-pai ini tidak suka dengan kejahatan dan apa lagi sesudah dia menjadi isteri ketua Cin-ling-pai, jiwa kependekarannya semakin menebal.

"Suhu dan subo, teecu mana berani menyampaikan berita ini kepada suhu berdua kalau teecu tidak lebih dahulu melakukan penyelidikan dengan seksama? Teecu telah berbicara dengan beberapa orang anggota pasukan pemberotak yang sedang mabok dan agaknya mereka tidak dapat menyimpan rahasia lagi. Hal itu mungkin karena mereka menganggap teecu sebagai teman atau rekan satu pasukan. Bahkan menurut mereka, ada pasukan inti yang biasanya menyerang ke dusun-dusun, dipimpin oleh seorang tokoh hitam bernama Sim Thian Bu, murid mendiang Iblis Buta. Juga Gui Siang Hwa, wanita cantik yang suka berkeliaran dan memimpin pasukan pengawal itu adalah murid Raja dan Ratu Iblis."

"Sssttttt...!" Tiba-tiba saja Cia Kong Liang memberi isyarat kepada muridnya agar jangan melanjutkan kata-katanya karena dia mendengar sesuatu di luar.

Cepat tubuhnya berkelebat dan ketua Cin-ling-pai ini sudah melompat keluar, kemudian terus meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi tidak terdapat seorang pun di sana. Betapa pun juga, dia yakin bahwa tadi ada seorang yang mengintai atau mendengarkan percakapan mereka.

Sesudah merasa yakin bahwa tidak ada orang di situ, ketua Cin-ling-pai segera meloncat turun lagi dan memasuki ruangan, disambut oleh isterinya dan lima orang muridnya yang sudah berdiri dan memandang dengan wajah tegang. Cia Kong Liang menggeleng kepala sebagai jawaban pertanyaan yang terbayang dalam pandang mata mereka, lalu berkata lirih.

"Mulai sekarang kalian harus lebih berhati-hati dan melakukan penyelidikan lebih teliti lagi. Bisiki semua kawan-kawanmu agar siap siaga dan menanti perintahku selanjutnya. Nah, masih ada lagi yang hendak kalian laporkan?"

"Ada satu hal lagi, suhu," kata murid yang menjadi pembicara pertama, "teecu mendengar bahwa satu rombongan pendekar yang sedang mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang, telah disergap oleh pasukan pemberontak dan banyak di antara mereka yang tewas."

Suami isteri itu saling pandang dengan muka pucat dan tahulah mereka bahwa pada saat itu mereka berdua mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu bahwa mungkin sekali putera mereka berada di antara para pendekar yang disergap itu! Cia Kong Liang mengangguk lalu memberi isyarat kepada lima orang murid itu agar mengundurkan diri.

Setelah lima orang murid itu meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu, Cia Kong Liang berkata kepada isterinya. "Sungguh mengejutkan dan menggelisahkan apa yang kita dengar dari para murid tadi. Jika benar demikian, kenapa gak-hu (ayah mertua) diam saja dan tidak memberi tahu kepadaku? Apakah engkau tidak diberi tahu oleh ayahmu?"

Isterinya lalu menggeleng. "Aku juga hanya mengenal pangeran dan isterinya itu sebagai Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya, dan mereka hendak menolong negaranya dengan menggulingkan kaisar yang sekarang dianggap lalim. Dan aku pun tidak pernah bertemu lagi dengan mereka sesudah kita bicara dengan Ji-ciangkun tempo hari. Mereka berada di San-hai-koan dan kita berada di sini, mana aku tahu?"

"Sebaiknya ayahmu segera diberi tahu dan diajak bicara. Panggil dia ke sini, sebaiknya sekarang juga kita bicarakan hal yang sangat penting ini. Hatiku merasa khawatir sekali kalau-kalau kita telah keliru membantu kaum sesat yang ingin memberontak bukan untuk mengenyahkan kaisar lalim, melainkan untuk merebut kedudukan."

"Baik, akan kucari dia dalam kamarnya," kata isterinya.

Ketika tiba di luar kamar, Bin Biauw melihat berkelebatnya orang di atas genteng. Sebagai seorang isteri ketua Cin-ling-pai yang juga mempunyai ilmu silat tinggi, nyonya ini cepat melakukan pengejaran, meloncat ke atas genteng. Akan tetapi setibanya di atas genteng, dia tidak melihat seorang pun dan dia terkejut sekali.

Orang tadi benar-benar mempunyai ginkang yang amat hebat, jauh lebih tinggi dari pada ginkang-nya sendiri. Setelah celingukan dan tidak melihat lagi bayangan itu, maka dia pun turun kembali dan tak lama kemudian dia mengetuk daun pintu ayahnya.

Ayahnya belum tidur dan pada saat itu sedang membaca buku. Ketika daun pintu dibuka, puterinya segera memberi tahu bahwa putera mantunya minta agar dia suka memasuki ruang belakang untuk diajak merundingkan sesuatu yang amat penting. Bin Mo To cepat berpakaian yang pantas lalu bersama puterinya pergi ke dalam ruangan itu.

"Ada keperluan apa sih malam-malam begini suamimu memanggilku?" ayah itu bertanya dengan sikap heran.

"Ada urusan penting sekali, ayah. Nanti saja kita bicarakan di dalam," jawab puterinya dan melihat sikap puterinya yang serius itu kakek itu pun tidak bertanya-tanya lagi.

Begitu berhadapan dan dipersilakan duduk, kakek itu lalu bertanya. "Ada urusan penting apakah...?" Akan tetapi kata-katanya terhenti karena Bin Biauw yang merasa tegang itu langsung memotongnya dengan menceritakan kepada suaminya bahwa ketika keluar dari kamar tadi dia melihat bayangan orang.

"Tidak kau kejar?" tanya suaminya.

"Sudah, akan tetapi orang itu mempunyai ginkang yang amat hebat. Begitu berkelebat ke atas genteng dan kukejar, dia sudah lenyap dan tidak nampak lagi bayangannya."

"Hemm, makin mencurigakan lagi..." gumam Cia Kong Liang.

"Aihh, apakah artinya semua ini? Apa yang telah terjadi?" kakek Bin Mo To bertanya.

Cia Kong Liang memandang wajah ayah mertuanya dengan tajam penuh selidik, lalu dia pun berkata, "Maafkan kami, ayah, kalau kami mengganggu dan mengejutkan ayah dari istirahat. Saya ingin bertanya, apakah ayah mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong?"

Ditanya demikian dan dipandang dengan penuh selidik, kakek Bin Mo To maklum bahwa mantunya ini agaknya mulai tahu akan kenyataan yang sebenarnya, akan tetapi ia masih berpura-pura tidak mengerti. "Tentu saja aku mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong. Ada apakah?"

"Maksud saya, apakah sebelum kita datang ke sini ayah sudah mengenalnya?"

Terpaksa kakek itu membohong dan dia menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya tahu bahwa komandan pasukan yang hendak memberontak terhadap kekuasaan kaisar lalim adalah Panglima Ji Sun Ki dan setelah tiba di sini baru kita mendengar bahwa pangeran itu adalah pemimpin kedua setelah dia atau sekutunya."

"Bukan urusan itu, ayah. Akan tetapi pernahkah ayah mendengar bahwa Pangeran Toan itu adalah raja golongan hitam yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis?"

Kini yakinlah hati kakek itu bahwa mantunya sudah tahu akan rahasia itu. Dengan wajah polos dia berkata, "Benarkah itu? Aku tidak tahu..."

Bin Biauw yang sudah mengenal watak ayahnya itu, yang demikian pandainya menguasai dirinya sehingga apa yang berada dalam hatinya tidak pernah terbayang pada wajahnya, langsung berkata, "Harap ayah tidak berpura-pura lagi karena kita bicara antar keluarga. Ayah, aku tidak dapat percaya kalau ayah tidak mengetahui semua ini. Bagaimana pun juga, belasan tahun yang lalu ayah pernah menjadi seorang datuk di timur. Tentu ayah mengenal semua tokoh dalam dunia hitam. Kalau sekarang tokoh-tokoh besar semacam Cap-sha-kui membantu Raja dan Ratu Iblis memimpin pemberontakan ini, mustahil kalau ayah tidak tahu sama sekali!"

Kakek itu menarik napas panjang, merasa tiada gunanya lagi mengelak karena anak dan menantunya ini agaknya telah mengetahui segalanya. "Baiklah, memang aku mengetahui bahwa mereka membantu pemberontak..."

"Kalau ayah tahu, mengapa menyeret kami ke sini?" puterinya berseru kaget dan marah.

"Ayah, mengapa ayah mengajak kami membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk kaum sesat? Ini adalah penyelewengan besar sekali bagi seorang pendekar!" kata pula Cia Kong Liang, terkejut bahwa ayah mertuanya sejak belasan tahun telah mencuci tangan dan tak mau lagi berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, akan tetapi mengapa kini kakek itu malah menyeret keluarganya membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk sesat?

Kembali kakek itu menghela napas, lalu memandang menantu dan anaknya dengan sinar mata tajam. "Apakah artinya para datuk sesat itu tanpa adanya pasukan besar? Mereka itu pun hanya menjadi pembantu-pembantu pasukan yang dipimpin Ji-ciangkun. Berarti kita membantu Ji-ciangkun dan bukan membantu mereka."

"Akan tetapi hal itu hanya sedikit bedanya. Bagaimana pun juga, berarti kita bekerja sama atau bersekutu dengan para datuk sesat," bantah Cia Kong Liang.

"Apa salahnya?" Mertuanya menjawab. "Kini bekerja sama untuk menentang kaisar lalim. Jika kelak perjuangan telah berhasil dan kita memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya untuk berbalik menentang mereka kalau mereka itu melakukan kejahatan?"

"TIdak! Tidak mungkin!" Cia Kong Liang bangkit berdiri. "Ternyata aku sudah melakukan penyelewengan, bersekutu dengan kaum sesat. Ah, perbuatanku ini menyeret nama baik keluargaku, menyeret nama Cin-ling-pai ke lembah kehinaan. Aku harus cepat bertindak!" Berkata demikian, pendekar ini melangkah maju ke pintu.

"Apa yang akan kau lakukan? Kau hendak pergi ke mana?" Isterinya tiba-tiba memegang lengannya dan memandang dengan wajah khawatir.

Cia Kong Liang berhenti lantas menepuk-nepuk pundak isterinya. "Sekarang aku harus melakukan penyelidikan sendiri ke San-hai-koan dan menemui Ji-ciangkun. Ini merupakan urusan besar yang menyangkut nama baik keluarga kita, lebih penting dari pada sekedar keselamatan nyawa."

"Aku ikut!" kata isterinya sambil memegang lengan suaminya kuat-kuat.

Suaminya menggelengkan kepala. "Kita harus membagi tugas, isteriku. Semua anggota Cin-ling-pai berada di sini. Aku menyelidiki ke San-hai-koan dan engkau mengumpulkan semua murid lalu mengajak mereka diam-diam melarikan diri keluar dari Ceng-tek. Kita akan kembali ke Cin-ling-san! Akan tetapi aku harus yakin dulu dan karena itu aku akan menemui Ji-ciangkun!"

Isterinya mengenal kekerasan hati suaminya dan membantah pun tak ada gunanya. Apa lagi karena apa yang dikatakan suaminya itu memang tepat. Kalau mereka berdua pergi, lalu siapa yang akan memimpin para murid yang berkumpul di Ceng-tek. Maka dia pun mengangguk lemah, menyembunyikan kekhawatirannya terhadap keselamatan suaminya. Sesudah sekali lagi menepuk pundak isterinya dengan perasaan kasih sayang besar, Cia Kong Liang kemudian meloncat keluar dan sebentar saja sudah lenyap dalam kegelapan malam.

"Ayah, semua ini adalah kesalahan ayah!" Bin Biauw menghadapi ayahnya dan menegur marah. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.

"Anakku, jangan kau marah-marah dulu. Semua ini kulakukan demi kebahagianmu!"

"Demi kebahagiaanku, ayah? Engkau menyeret aku dan suamiku ke dalam persekutuan kotor ini yang mengancam kebersihan nama baik suamiku beserta keluarganya, dan kau masih mengatakan bahwa engkau melakukannya demi kebahagiaanku? Apa kau sangka kebahagiaanku terletak pada kehancuran nama dan kehormatan suamiku?"

"Tenanglah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku melakukan semua ini bukan lain hanya dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada suamimu agar kelak suamimu mendapatkan sebuah kedudukan yang tinggi. Apa bila pemberontakan ini berhasil, tentu suamimu akan memperoleh kedudukan. Sekarang pun sudah nampak hasilnya. Suamimu diangkat menjadi komandan pasukan keamanan di Ceng-tek. Ini baru permulaan. Kelak, jika gerakan ini berhasil, tentu sedikitnya suamimu akan menjadi seorang panglima besar, memiliki kedudukan tinggi dan mulia, dihormati oleh semua orang dan bukankah dengan demikian maka nama dan kehormatan suamimu akan terangkat tinggi? Nah, siapa bilang aku hendak menghancurkan nama dan kehormatan mantuku sendiri?"

"Tetapi ayah sudah menggunakan cara yang sangat kotor, bersekutu dengan orang-orang jahat dari dunia hitam!" bantah puterinya.

Kakek itu tertawa. "Apa artinya cara? Yang penting dan menentukan adalah tujuannya! Tujuanku sangat baik, yaitu mengangkat derajat mantuku sendiri, dengan cara apa pun asal untuk tujuan baik, apa salahnya?"

Mendengar bantahan ayahnya, Bin Biauw termenung dan bimbang. Benarkah pendapat ayahnya itu? Selama ini ayahnya sudah mencuci tangan, tidak pernah lagi berkecimpung dalam dunia kejahatan, dan ayahnya selalu kelihatan bangga sekali terhadap mantunya, dan ia tahu bahwa ayahnya amat suka kepada suaminya.

Mungkinkah ayahnya mencelakakan keluarga mereka? Agaknya tidak mungkin dan kalau yang dilakukan ayahnya itu demi kebahagiaan keluarganya, bukankah itu benar? Wanita ini menjadi bimbang dan hanya duduk dengan alis berkerut, hatinya gelisah.

"Percayalah, anakku. Ayahmu ini sudah tua, tidak ingin apa-apa lagi. Segala yang ayah lakukan hanya demi kebahagiaanmu dan suamimu. Kalau suamimu kelak berkedudukan tinggi, bukankah kalian berdua menjadi bahagia? Menjadi orang-orang terhormat, mulia dan kaya raya?"

Bin Biauw semakin bingung. Hampir semua orang tua, baik disadari mau pun tidak, sering melakukan hal yang sama seperti dilakukan Bin Mo To itu.

Orang-orang tua selalu hendak mengatur anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa saja, mulai dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan. Mereka, orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa apa yang baik baginya tentu akan baik pula bagi anaknya. Apa yang dianggapnya menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula.

Karena ini maka banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, malah calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian saja, bahkan kalau perlu orang-orang tua ini menggunakan kekuasaannya sebagai orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka. Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan benar!

Mereka, orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tak pernah memperhatikan selera anak mereka, pilihan anak mereka, lalu mencari kesalahan-kesalahan pada pilihan anak-anak mereka dan menonjolkan kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si anak, baik dengan halus mau pun keras.

Akibatnya, si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung, diam-diam merasa sangat tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan harus hidup bersama dengan jodoh yang sama sekali tidak dicintanya.

Demi orang tua! Dan siapa yang senang dan lega? Orang tua itulah! Dengan demikian, sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka, mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka!

Orang-orang tua yang bijaksana tak akan memperhitungkan selera diri sendiri, melainkan mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan berarti melepaskan pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar membahagiakan si anak, bukan si diri sendiri! Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan selera diri sendiri, tetapi demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.

Pendapat Bin Mo To mengenai mementingkan tujuan merupakan penyakit yang banyak menghinggapi batin kita. Cara apa pun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu dipergunakan untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah tujuan baik ini sehingga kita terjebak dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara untuk mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka pegangannya hanyalah: Tujuan menghalalkan segala cara!

Sepintas lalu kita mudah sekali terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia, dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap sebagai cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa menyesatkan!

Apakah mungkin kita dapat hidup damai bersama seseorang dengan cara memukuli dan menaklukkan orang itu? Mungkin saja menjadi perdamaian bagi satu pihak, yaitu pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu hanya mau berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Tetapi berilah yang kalah itu sebuah kesempatan, maka suatu ketika dia akan memberontak dan membalas dendam!

Tujuan baik sama sekali tidak mungkin dicapai dengan cara yang buruk! Kalau caranya kotor, maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya suatu gambaran yang kita buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak ada sangkut paut atau hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan.

Yang terpenting sekali adalah CARA itulah! Cara ini menentukan segalanya, karena cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat ini! Kalau cara ini didikte oleh tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi kalau cara atau perbuatan ini tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah cara hidup yang benar! Tanpa tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan hanya cinta kasih sajalah yang menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa pamrih.

Mungkin tanpa disadarinya lagi, sebenarnya Bin Mo To mementingkan diri sendiri ketika dia menyeret anak dan mantunya untuk bersekutu dengan gerombolan Raja Iblis. Dan hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa tujuannya adalah baik, yaitu mengangkat derajat mantunya sehingga kelak dia boleh membonceng kemuliaan dan kehormatan.

"Aku harus mengumpulkan para murid..."

"Nanti dulu, hal itu belum perlu!" Ayahnya mencegah. "Pula, kalau kita memanggil mereka semuanya ke sini, tentu akan menimbulkan kecurigaan saja. Sebaiknya kalau memanggil beberapa orang di antara mereka, sebaiknya para murid kepala..."

Tiba-tiba ada dua orang murid Cin-ling-pai masuk dengan tergesa-gesa ke dalam ruangan itu. Wajah mereka pucat sekali sehingga Bin Biauw yang tadinya hendak marah melihat mereka berani masuk tanpa dipanggil, berbalik bertanya,

"Ada apakah? Mengapa kalian kelihatan begitu takut?"

"Subo... celaka, subo... celaka...!" kata seorang di antara mereka dan agaknya lidahnya menjadi kaku sehingga sukar baginya untuk bicara.

"Tenanglah! Ada apa? Apa yang terjadi?" Bin Mo To membentak tak sabar.

"Celaka... lima orang suheng... mereka... mereka telah tewas...!"

"Apa?!" Bin Biauw dan ayahnya berteriak kaget sekali. "Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan mereka!"

Dengan suara patah-patah kedua orang murid itu menceritakan betapa lima orang murid kepala itu telah tewas semua, yang tiga orang tewas di dalam kamar masing-masing dan dua orang lagi tewas di luar rumah jaga. Namun tidak ada orang mendengar mereka itu berkelahi.

"Di mana mereka sekarang?"

"Jenazah mereka... kami kumpulkan di ruangan besar markas kami..."

Tanpa membuang waktu lagi, Bin Biauw dan Bin Mo To lari bersama dua orang murid itu menuju ke markas yang menjadi tempat tinggal para anggota Cin-ling-pai yang dianggap oleh pasukan pemberontak sebagai pasukan istimewa yang sudah berjasa dan menjadi tamu terhormat.....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12