Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 27
THIAN SIN
segera sadar lalu melepaskan cengkeramannya dan ternyata baju pada lengan
Lam-nong sudah hancur lebur! Kepala suku itu memandang dengan wajah pucat,
namun dia tersenyum.
"Aku
tahu, pendekar-pendekar selatan memang mempunyai kepandaian tinggi akan tetapi
hatinya palsu dan busuk. Nah, kau bunuhlah aku!" tantangnya.
"Nanti
dulu, saudara Lam-nong. Tentu ada kesalah pahaman di sini. Kalau memang benar
dia itu pendekar Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai, tidak mungkin dia
melakukan hal yang kotor itu. Dan andai kata benar dia melakukannya, tentu dia
bukanlah putera ketua Cin-ling-pai atau semua itu hanya fitnah belaka."
"Fitnah?
Orangku ini telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan masih dianggap
fitnah? Kalian pendekar-pendekar selatan tentu saja saling membela!" kata
Lam-nong dan dia lalu menyuruh pembantunya menceritakan kembali semua yang
telah terjadi.
Kakek Mancu
itu menceritakan sejak terjadinya penyerbuan pasukan pemberontak hingga ketika
dia tertawan kemudian dilepas karena mirip ayah pemimpin pasukan pemberontak,
dan betapa dia juga menyaksikan Hui Song berjinah dengan empat orang isteri
Lam-nong yang tertawan, betapa wanita-wanita lainnya menjadi korban perkosaan
yang biadab.
Mendengar
penuturan ini, Thian Sin dan isterinya saling pandang, kemudian pendekar ini
menggeleng-gelengkan kepalanya, "Sungguh sukar untuk dipercaya!"
serunya.
"Sungguh
membingungkan!" kata pula Toan Kim Hong.
Mereka sudah
mendengar dari puteri mereka mengenai nama Cia Hui Song itu yang oleh puterinya
dipuji-puji sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi menurut
penuturan dua orang Mancu ini, ternyata Hui Song adalah seorang mata keranjang
yang cabul dan berwatak busuk dan palsu.
Tentu saja
mereka belum mau percaya sepenuhnya hanya dengan mendengar penuturan dua orang
ini walau pun jelas bahwa dua orang yang keadaannya seperti itu, kehilangan
semua kawan yang terbunuh habis, kiranya tidak mungkin sempat lagi untuk
berbohong-bohong. Tak mungkin mereka ini menceritakan fitnah, akan tetapi besar
kemungkinannya pendekar yang menjadi sahabat mereka itu bukan putera
Cin-ling-pai yang sebenarnya, melainkan akuan saja. Bagaimana pun juga, di
dalam lubuk hatinya suami istri ini kurang begitu suka kepada ketua
Cin-ling-pai yang mereka anggap berwatak angkuh.
"Kami
akan menyelidiki kebenaran keterangan kalian tadi," akhirnya Thian Sin
berkata. "Jika benar orang itu melakukan hal yang demikian jahat, maka
kami akan menghajarnya. Akan tetapi, dapatkah kalian menolong kami menceritakan
di mana adanya nenek yang bernama Yelu Kim?"
Mendengar
pertanyaan ini, sepasang alis Lam-nong berkerut lantas dia pun memandang penuh
kecurigaan dan ejekan. "Hemm, kiranya kalian ini pendekar-pendekar dari
selatan yang hendak mengabdi kepada nenek Yelu Kim untuk memberontak terhadap
pemerintah kalian di selatan?"
"Tutup
mulutmu dan jangan menduga yang bukan-bukan!" Toan Kim Hong membentak marah.
Akan tetapi
Thian Sin tersenyum. Dia maklum mengapa kepala suku ini demikian penuh dendam
dan benci kepada para pendekar dari selatan. "Sobat Lam-nong, mengapa kau
menduga demikian?"
"Oleh
karena petualang-petualang dari selatan itu berkeliaran di sini hanya untuk
mencari kedudukan atau kekayaan saja. Nenek Yelu Kim sendiri pun sekarang sudah
dibantu oleh seorang pendekar wanita dari selatan..."
"Ahh,
pendekar wanita itulah yang sedang kami cari!" Toan Kim Hong berseru.
"Bukankah dia masih muda sekali, cantik dan lihai, dan namanya Ceng Sui
Cin?"
Lam-nong
menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal namanya, akan tetapi memang dia
muda, cantik dan lihai bukan main. Aku hanya mendengar bahwa dia menjadi murid
dan pembantu nenek Yelu Kim, malah dialah yang telah memenangkan sayembara
pemilihan jagoan sehingga kemenangannya membuat nenek Yelu Kim diangkat menjadi
pimpinan para kepala suku."
"Ah,
tentu dia itu puteri kami Ceng Sui Cin!" Toan Kim Hong berseru dan
suaranya agak gemetar.
"Puteri
kalian? Ahh, menarik sekali!" kata Lam-nong.
"Saudara
Lam-nong, berlakulah baik pada kami dan tolonglah tunjukkan di mana adanya
nenek Yelu Kim supaya kami dapat mencari puteri kami," kata Thian Sin,
suaranya halus membujuk.
"Hemmm,
kalau mengingat betapa kalian tadi baru saja menyelamatkan kami dari tangan
pasukan pemberontak, sudah cukup untuk kubalas dengan pertolongan apa pun.
Namun apakah arti pertolonganmu tadi sebagai pendekar dari selatan kalau
dibandingkan dengan kekejian yang dilakukan oleh pendekar selatan lainnya
kepada kami? Oleh karena itu, aku mau membantumu, bahkan bukan hanya
menunjukkan melainkan mengantarmu ke sana bila engkau mau berjanji bahwa engkau
akan membantuku pula menangkap dan menyeret si jahanam Cia Hui Song ke depan
kakiku! Bagaimana?"
Thian Sin
saling pandang dengan isterinya. Sungguh janji yang berat. Bagaimana kalau
ternyata bahwa pendekar itu benar-benar putera ketua Cin-ling-pai? Bukankah itu
berarti bahwa mereka akan berhadapan sebagai lawan dan musuh dengan keluarga
Cin-ling-pai? Demikian Thian Sin berpikir.
"Baik,
kami setuju!" Tiba-tiba Toan Kim Hong berseru. "Siapa pun juga adanya
pendekar itu, kalau benar dia melakukan kekejian seperti itu, tentu akan kami
hadapi sebagai lawan dan musuh!"
Kata-kata ini
segera menyadarkan Thian Sin akan kewajibannya sebagai seorang gagah, yaitu
harus menentang siapa saja tanpa pilih bulu, menentang siapa saja yang
melakukan perbuatan jahat.
"Benar,
kami setuju. Mari antar kami kepada tempat kediaman nenek Yelu Kim!" katanya.
Lam-nong
nampak gembira. Janji ini merupakan sinar terang di dalam kegelapan hatinya.
Dia baru akan merasa puas kalau sudah dapat membalas dendam kepada Cia Hui
Song, atas perbuatannya yang biadab kepada isteri-isterinya!
Memang sikap
Lam-nong ini kelihatannya aneh, akan tetapi memang sudah demikianlah sifat
dendam yang mengotori batin kita semua. Perbuatan merugikan kita yang dilakukan
oleh orang yang dekat dengan kita akan terasa jauh lebih menyakitkan dari pada
kalau dilakukan oleh orang lain yang asing bagi kita. Inilah sebabnya mengapa
kebencian yang menyelinap di dalam batin terhadap seorang bekas kawan baik atau
keluarga jauh lebih mendalam dari pada kebencian terhadap orang asing.
Lam-nong
seakan-akan melupakan perbuatan para pemberontak yang sudah membasmi keluarga
dan rombongannya, juga seperti lupa dengan cerita kakek pembantunya betapa
selir-selirnya yang lain juga sudah diperkosa secara biadab oleh mereka. Yang
diingatnya dengan penuh rasa sakit hati hanyalah perbuatan Hui Song yang
berjinah dengan empat orang isterinya!
"Baiklah,
aku akan mengantar ji-wi sampai ke depan nenek Yelu Kim. Bahkan aku akan minta
pertanggungan jawabnya atas kejadian yang menimpa rombonganku. Bukankah dia
sudah menamakan dirinya pemimpin para kepala suku? Mari, mari kita pergi. Akan
tetapi, siapakah ji-wi? Aku belum mengenal nama ji-wi."
Thian Sin
tersenyum. "Namaku Ceng Thian Sin dan ini adalah isteriku."
Lam-nong
mengangguk-angguk, baru sekarang dia teringat betapa lihainya suami isteri ini
ketika tadi membubarkan pasukan pemberontak. "Mari, taihiap dan toanio,
marilah kita berangkat."
Empat orang
itu kemudian berangkat, kembali menuju ke barat untuk mencari nenek Yelu Kim.
Lam-nong berjalan paling depan, diikuti oleh kakek pembantunya, kemudian barulah
suami isteri Pendekar Sadis yang berjalan berdampingan paling belakang.
***************
Dia tahu
bahwa mereka itu ketakutan dan menangis ketika mereka memeluknya seperti hendak
minta perlindungan, bahwa mereka itu dipaksa oleh Sim Thian Bu untuk merayu
dirinya. Dia tidak marah kepada wanita-wanita ini melainkan merasa kasihan,
akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Dia tidak berdaya sama sekali.
Untung
baginya, hanya sebentar saja wanita-wanita itu disuruh merayu atau menemani
dirinya. Dan dia melihat wajah orang Mancu itu ketika pintu dibuka, melihat
betapa orang Mancu tua itu terbelalak lalu menyumpah dan pintu ditutup kembali.
Agaknya hanya untuk keperluan memperlihatkan adegan itu kepada orang Mancu tua
tadilah maka empat orang wanita itu disuruh naik tempat tidurnya. Tidak lama
kemudian mereka disuruh keluar lagi, entah dibawa ke mana oleh Thian Bu.
Pada
keesokan harinya, Sim Thian Bu muncul pula di dalam kamarnya. Totokan pada
tubuhnya sudah bebas, akan tetapi malam tadi Thian Bu mengikat tangannya dengan
tali sutera yang amat kuat sehingga percuma saja ketika Hui Song berusaha
melepaskan diri dengan cara menariknya putus.
"Aha,
Cia-taihiap. Engkau nampak segar pagi ini. Bagaimana, apakah usulku semalam
sudah kau pertimbangkan?"
"Aku
tak sudi bersekutu dengan pemberontak. Biar akan kau bunuh sekali pun, aku
tidak peduli. Akan tetapi ingat, kalau aku sampai dapat lolos dari sini, aku
akan mengejar dan mencarimu, dan akan kupaksa engkau bertanding sampai
mampus!"
"Aihh,
mengapa galak amat? Bukankah aku sudah memperlakukanmu dengan amat baik? Bahkan
sudah kusuguhkan wanita-wanita cantik. Sayang engkau yang bodoh tidak mau
menerimanya. Cia-taihiap, ketahuilah bahwa aku bersikap baik terhadapmu bukan
tanpa sebab. Tahukah engkau bahwa ayah dan ibumu, juga kakekmu, sekarang sudah
berada bersama kami dan bekerja sama dengan kami, bahkan ayahmu kini mengepalai
pasukan keamanan di Ceng-tek?"
"Bohong!
Siapa sudi percaya dengan omongan busukmu?" bentak Hui Song. "Sim
Thian Bu, aku tidak tahu mengapa engkau memusuhiku, akan tetapi yang jelas
engkau adalah tokoh pemberontak rendah. Jangan mencoba-coba untuk membujukku.
Perbuatanmu tadi malam dengan memaksa empat orang isteri Lam-nong dalam keadaan
tidak tahu malu itu ke sini saja sudah melewati batas dan untuk itu, mau rasanya
aku membunuhmu sampai tujuh kali! Sekarang, kau apakan mereka itu?"
"Ha-ha-ha,
karena mereka tak berhasil membujukmu, maka mereka kuhadiahkan kepada
orang-orangku dan kau dapat membayangkan apa jadinya kalau empat orang wanita
itu harus melayani ratusan orang prajurit..."
"Jahanam
keparat kau!" bentak Hui Song dan wajahnya berubah merah sekali, hatinya
perih membayangkan nasib para isteri Lam-nong.
Sim Thian Bu
sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapannya dengan Hui Song itu ada yang
mendengarkan. Seorang lelaki yang berpakaian seragam prajurit berdiri di luar
kamar itu, dengan sikap bertugas jaga akan tetapi sebenarnya dia sedang
mendengarkan dengan teliti semua yang sedang dibicarakan di dalam kamar.
Prajurit ini bertubuh tinggi tegap dan memiliki sepasang mata yang mencorong
tajam. Prajurit ini adalah Siangkoan Ci Kang!
Seperti
telah kita ketahui, Ci Kang terancam bahaya maut di tangan Raja Iblis Pangeran
Toan Jit Ong, akan tetapi secara kebetulan dan tiba-tiba muncul Pendekar Sadis
beserta isterinya yang menyelamatkannya dan setelah dia memberi tahu kepada
mereka tentang Sui Cin, suami isteri yang sakti itu lalu meninggalkannya untuk
mencari puteri mereka.
Setelah
berpisah dari suami isteri yang sakti itu, yang membuat Ci Kang merasa semakin
nelangsa karena mereka adalah ayah bunda Sui Cin yang dicintanya sehingga
membuat dia merasa semakin kecil dan rendah, pemuda ini kemudian mengambil
keputusan untuk mencari Raja Iblis yang melarikan Hui Cu. Dia harus dapat
menyelamatkan gadis itu dari tangan ayah kandungnya sendiri yang jahatnya
melebihi iblis.
Gadis itu
sudah dua kali menyelamatkannya. Pertama kali ketika dia bersama Cia Sun
terjeblos ke dalam goa bawah tanah dan kedua kalinya ketika dia hampir celaka
di tangan murid Raja Iblis, Gui Siang Hwa. Kini dia tahu bahwa dara itu berada
dalam cengkeraman iblis yang membahayakan keselamatannya, maka dia harus
berusaha untuk menolong gadis itu, biar pun untuk itu keselamatan nyawanya
sendiri akan terancam.
Dalam
perjalanannya mencari Hui Cu inilah secara kebetulan Ci Kang tiba di dusun itu.
Dia hanya melihat bekas-bekas kejahatan pasukan pemberontak yang dipimpin Sim
Thian Bu itu, yang sudah membasmi puluhan orang anak buah suku Mancu Timur di
bawah pimpinan Lam-nong. Hatinya menjadi panas oleh kemarahan ketika dia
mendengar dari penyelidikannya betapa sute-nya itu sudah sedemikian jahatnya
membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, bahkan menganiaya dan memperkosa
wanita-wanitanya.
Namun
kedatangannya sudah terlambat dan dia tidak sempat lagi mencegah perbuatan
sute-nya. Lagi pula Ci Kang tidaklah demikian bodoh untuk langsung menemui
Thian Bu dan menegurnya. Bagaimana pun juga, jalan hidup antara mereka telah
terpisah, mereka telah bersimpang jalan, bahkan saling menentang.
Sesudah
sekarang memimpin ratusan orang prajurit, mana mungkin sute-nya itu masih mau
mentaatinya? Tentu tidak takut kepadanya, bahkan dia akan dianggap musuh dan
dikeroyok. Karena itulah secara diam-diam Ci Kang lalu menculik seorang
prajurit yang perawakannya seperti dia, membawa prajurit itu ke dalam sebuah
hutan yang cukup jauh, mengikat kaki tangannya setelah melucuti pakalannya, dan
dengan berpakaian prajurit dia kembali ke dalam dusun.
Dengan mudah
dia menyelinap di antara prajurit yang seribu orang banyaknya itu dan dia
berhasil masuk ke dalam pondok di mana Sim Thian Bu sedang mengunjungi Hui Song
yang tertawan. Dengan muka geram dia mendengarkan semua percakapan, dan tahulah
dia bahwa pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu sedang dibujuk oleh sute-nya
agar mau membantu pemberontak.
Sute-nya,
Sim Thian Bu, telah membantu Raja Iblis. Padahal, ayahnya, Siangkoan Lo-jin,
guru sute-nya itu tewas di tangan Raja Iblis. Sungguh seorang murid murtad. Dia
sendiri memang tidak mendendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya tewas
karena ulah sendiri, akan tetapi dia tidak akan sudi diperalat oleh
pemberontak.
Dan meski
pun Hui Song pernah memperlihatkan sikap bermusuh dengannya, ketika dia muncul
di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika dia berada di dalam kamar bersama Sui
Cin, tetapi dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar sejati. Dia pun
sudah mendengar tentang ketua Cin-ling-pai yang membantu gerakan para
pemberontak, maka diam-diam dia merasa kasihan kepada Hui Song.
Sedikit
banyak ada persamaan antara dia dan pemuda ini. Walau pun ayah pemuda ini
adalah seorang pendekar besar, ketua Cin-ling-pai, akan tetapi kini sudah
menyeleweng karena membantu pemberontak, padahal puteranya mati-matian
menentang pemberontak dan lebih memilih mati dari pada harus menjadi kaki
tangan kaum pemberontak seperti yang diperlihatkan ketika dibujuk oleh Sim
Thian Bu itu. Dan agaknya Hui Song belum tahu akan penyelewengan ayahnya.
"Hui
Song, engkau sungguh orang yang tidak tahu akan kebaikan orang!" Akhirnya
Sim Thian Bu menjadi marah dan tidak menyebutnya taihiap lagi. "Melihat
muka orang tuamu yang kini menjadi rekanku, aku bersikap baik kepadamu dan
tidak membunuhmu walau pun engkau sudah membantu suku bangsa liar. Bahkan aku
sudah menyuguhkan empat orang wanita tawanan untuk menghiburmu akan tetapi
engkau menolak. Baiklah, agaknya engkau baru akan mau percaya kalau sudah
kubawa ke Ceng-tek dan bertemu dengan ayah ibumu." Dia mendengus marah.
"Karena engkau masih tidak mau tunduk, terpaksa harus kubelenggu terus
sampai ke Ceng-tek. Hari ini juga kita berangkat ke sana!"
Dengan
uring-uringan Thian Bu meninggalkan Hui Song dalam kamar itu. Tadinya dia
berniat untuk membujuk Hui Song agar dapat membantu dan ikut dengannya secara
suka rela agar dia dapat berbangga memamerkan jasanya di Ceng-tek. Tidak
disangkanya Hui Song demikian keras hati sehingga terpaksa dia akan membawanya
sebagai tawanan, hal yang amat tidak enak terhadap ketua Cin-ling-pai.
"Jaga
dia, awasi terus jangan sampai dia dapat meloloskan diri!" perintah Sim
Thian Bu kepada dua orang pengawal yang berada di luar pintu kamar. Kedua orang
pengawal itu mengangguk dan masuk ke dalam kamar, berdiri dekat pembaringan
dengan tombak di tangan.
Akan tetapi,
tidak lama kemudian setelah Sim Thian Bu meninggalkan kamar itu, sesosok
bayangan berkelebat masuk ke dalam kamar itu. Hui Song yang masih rebah tak
mampu berkutik itu melihat betapa dengan gerakan yang sangat ringan, bayangan
ini menyergap ke arah dua orang penjaga yang tidak sempat berteriak atau
mempertahankan diri.
Dua kali
totokan membuat mereka itu roboh pingsan. Dengan cekatan Ci Kang, bayangan itu,
menyambar dua batang tombak agar tidak mengeluarkan bunyi keras saat terbanting
ke atas lantai.
Hui Song
terbelalak ketika mengenal siapa adanya prajurit tinggi tegap yang merobohkan
dua orang pengawal itu.
"Hemmm...kau...?"
gumamnya, sama sekali tidak gembira melihat kedatangan penolong ini, bahkan
matanya memancarkan sinar kemarahan. Andai kata dia tidak dalam keadaan
terbelenggu, tentu dia sudah bergerak menerjang Ci Kang!
Ci Kang
dapat melihat kebencian terpancar dari mata putera ketua Cin-ling-pai itu dan
dia pun memaklumi. "Sobat Cia Hui Song, sebaiknya engkau tahan kemarahanmu
dan kita simpan dulu urusan pribadi. Yang jelas engkau tertawan..."
"Benar,
dan yang menawan adalah murid ayahmu!" Hui Song mengejek.
"Simpan
ejekanmu itu, sobat! Walau pun dia adalah sute-ku, akan tetapi jalan hidup kami
tidak sejalur. Biar pun mendiang ayahku seorang datuk sesat, akan tetapi kau
tidak dapat menyamakan aku dengan mereka, seperti juga berbedanya jalur hidupmu
dengan ayahmu yang kini mengabdi pemberontak..."
"Tutup
mulutmu! Kalian pembohong...!" Hui Song membentak.
"Sstttt...
kita tunda dulu perselisihan ini. Yang penting kita harus bisa lari dari tempat
ini," berkata demikian Ci Kang cepat melepaskan ikatan kaki tangan Hui
Song.
Walau pun
bekas ikatan pada kaki dan tangan itu masih membuat kaki tangannya terasa
kesemutan dan setengah lumpuh, akan tetapi Hui Song memaksa diri meloncat turun
dari pembaringan dan langsung dia menyerang Ci Kang!
"Jahanam
busuk, aku harus membunuhmu untuk membalaskan penghinaanmu terhadap Sui
Cin!" Serangan Hui Song tentu saja hebat sekali dan Ci Kang yang sudah
mengenal kelihalan lawan ini cepat mengelak.
"Sabar
dulu, sobat. Masih ada banyak waktu dan kesempatan bagi kita untuk bertanding.
Sekarang yang penting kita harus meloloskan diri dari dusun ini!" Ci Kang
berseru, akan tetapi semua seruannya percuma saja karena Hui Song yang sudah
marah sekali teringat akan perbuatan pemuda ini memeluk dan mencium Sui Cin,
sudah menerjang lagi kalang kabut.
Tentu saja
Ci Kang menjadi bingung sekali. Sikap Hui Song ini membuat dia naik darah juga,
maka setelah mengelak dan menangkis, dia pun mulai balas menyerang! Terjadilah
perkelahian yang amat hebat di dalam kamar itu dan tentu saja, hal ini menarik
perhatian para pengawal yang cepat datang melihat.
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat tawanan itu sudah bebas dan
sekarang sedang berkelahi melawan seorang rekan prajurit, sedangkan dua orang
prajurit pengawal lainnya telah roboh tak bergerak di atas lantai. Melihat ini,
para prajurit itu yang mengira bahwa Ci Kang adalah salah seorang di antara
kawan mereka cepat menerjang dan membantu Ci Kang sehingga Hui Song kini
dikeroyok!
Pemuda yang
sudah mempunyai perasaan benci terhadap Ci Kang ini, rasa benci yang bukan
hanya karena Ci Kang putera datuk sesat Iblis Buta, akan tetapi terutama sekali
karena rasa cemburu yang hebat, kini menjadi semakin marah dan semakin yakin
bahwa Ci Kang tentu bekerja sama dengan sute-nya, Sim Thian Bu yang licik itu.
"Huh,
Siangkoan Ci Kang, majulah bersama semua antekmu! Aku tidak takut!" Dan
dia pun mengamuk merobohkan empat orang prajurit dengan sekali serang!
Pada saat
itu, Sim Thian Bu yang sudah diberi tahu oleh anak buahnya datang dan dia pun
terkejut bukan main sesudah mengenal prajurit tinggi tegap itu yang ternyata
adalah Siangkoan Ci Kang! Sebaliknya, melihat Sim Thian Bu, Ci Kang juga marah
sekali. Kalau tadi pada saat dia mendengar Thian Bu membujuk Hui Song dia masih
mampu menahan kemarahannya karena perlu membebaskan Hui Song lebih dahulu, kini
sesudah ketahuan dan dikeroyok, kemarahannya terhadap sute-nya itu makin
berkobar.
"Sim
Thian Bu, engkau semakin gila dan jahat saja!" bentaknya dan tiba-tiba
saja dia menyerang Sim Thian Bu!
Thian Bu
maklum akan kelihaian putera suhu-nya ini. Maka cepat dia menangkis dengan
lengan kanannya.
"Dukkk...!"
Dan tubuh
Thian Bu pun terlempar sampai bergulingan. Terkejutlah dia dan baru dia tahu
bahwa suheng-nya itu ternyata sudah menjadi semakin lihai saja. Maka dia pun
berteriak kepada para prajuritnya.
"Dia
prajurit palsu! Kepung dan bunuh dia juga!"
Tadi para
prajurit bingung melihat pimpinan mereka berkelahi melawan prajurit itu, bahkan
mereka kaget melihat betapa dalam satu gebrakan saja komandan mereka yang
biasanya amat lihai itu terlempar sampai bergulingan. Akan tetapi begitu
mendengar teriakan Thian Bu mengertilah mereka bahwa prajurit itu adalah
seorang musuh yang menyamar, maka tentu saja mereka segera mengeroyok Ci Kang!
Hui Song
sendiri juga dihujani senjata dan kini melihat betapa Ci Kang dikeroyok,
tadinya dia masih bingung dan ragu, mengira bahwa Ci Kang bersandiwara. Akan
tetapi melihat betapa Ci Kang mengamuk dan merobohkan banyak prajurit seperti
juga dia, dan betapa para pengeroyoknya itu juga menyerang dengan
sungguh-sungguh, barulah dia percaya bahwa Ci Kang benar-benar dimusuhi oleh Sim
Thian Bu dan pasukannya!
Dia masih
bingung, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lebih lama lagi.
Para pengeroyok terlalu banyak dan melihat betapa Ci Kang mendesak para
pengeroyok dan berhasil keluar dari dalam kamar yang sempit, dia pun menerjang
dan membuka jalan darah.
Segera dua
orang pemuda perkasa ini dikeroyok di luar pondok yang lebih luas sehingga
terjadilah pertempuran yang sangat seru. Akan tetapi, baik Ci Kang mau pun Hui
Song maklum bahwa mereka berdua saja tidak akan mungkin dapat menandingi
pengeroyokan prajurit yang jumlahnya hampir seribu orang itu. Mereka tentu akan
kehabisan tenaga.
Oleh karena
itu, seperti sudah berunding lebih dulu saja, keduanya menyerang ke depan dan
menyelinap kemudian meloncat jauh dan melarikan diri. Beberapa orang prajurit
yang berusaha mengejar, mereka robohkan dengan pukulan jarak jauh. Melihat ini,
para prajurit lainnya menjadi gentar dan ragu-ragu untuk mengejar.
Thian Bu
yang marah sekali melihat dua orang itu lolos, cepat berteriak memerintahkan
semua anak buahnya untuk mengejar, hendak mengandalkan jumlah banyak pasukan
itu melakukan pengejaran. Akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu telah lari
jauh dan tak nampak lagi bayangannya sehingga terpaksa para prajurit mencari ke
sana-sini di bawah pimpinan Sim Thian Bu yang menyumpah-nyumpahi mereka karena
pengejaran itu gagal sama sekali.
Sebenarnya
Sim Thian Bu cukup maklum bahwa prajurit-prajurit itu tidak dapat disalahkan
karena dua orang pemuda itu memang amat lihai, akan tetapi karena kegagalan ini
amat menjengkelkan hatinya, maka untuk melampiaskan kemarahannya itu dia
memaki-maki para prajuritnya.
Biar pun
tidak berjanji lebih dulu, akan tetapi kenyataannya Ci Kang dan Hui Song lari
ke satu jurusan. Agaknya mereka berdua tidak mau mengambil jalan lain atau
memisahkan diri, khawatir jika disangka takut atau sengaja hendak melarikan
diri untuk menghindarkan perkelahian.
Dan setelah
mereka lari jauh dan pasukan pemberontak tidak mengejar lagi, pada sebuah tanah
datar di lereng sebuah bukit, keduanya berhenti tanpa kencan lantas berdiri
saling berhadapan.
"Cia
Hui Song, masih belum percayakah engkau kepadaku? Aku juga menentang kaum
pemberontak!"
"Boleh
jadi engkau memang menentang pemberontak, akan tetapi tak mungkin aku dapat
mengampunimu atas kebiadabanmu menghina Sui Cin!" bentak Hui Song lantas
dia pun sudah menyerang dengan dahsyatnya.
Ci Kang
merasa betapa pemuda ini sudah keterlaluan sekali mendesaknya. Biar pun ada
dorongan aneh dalam dirinya ketika dia menjadi terangsang dan timbul birahinya
hingga dia melakukan hal yang tidak patut terhadap Sui Cin, akan tetapi dia
tidak mau mencari alasan untuk membela diri. Dia diam saja dan menangkis,
bahkan lalu membalas.
Dua orang
pemuda itu terlibat dalam suatu perkelahian yang amat seru dan mati-matian,
biar pun Hui Song lebih banyak menyerang karena Ci Kang masih merasa enggan
untuk menyerang. Dia tidak membenci Hui Song, tidak ada alasan baginya untuk
membenci pemuda ini, maka dia pun hanya membela diri saja.
Sungguh
berbahaya sekali dan tidak cukup aman bila mana hanya membela diri dengan
menangkis atau mengelak saja pada waktu menghadapi seorang lawan selihai Hui
Song. Serangan balasan yang dilakukannya, yang tak kalah dahsyatnya, hanya
dilakukan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Song terhadap
dirinya.
Dua orang
ini memang sama mudanya, sama gemblengan orang-orang pandai, bahkan pada
akhir-akhir ini selama tiga tahun keduanya sudah digembleng oleh orang-orang
sakti yang segolongan. Oleh karena itu sulit dikatakan siapa yang lebih kuat di
antara mereka.
Hui Song
adalah putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang tentu saja telah mewarisi semua
ilmu Cin-ling-pai yang sangat tinggi, dan gemblengan selama tiga tahun yang
diterimanya dari Siang-kiang Lo-jin membuat ilmu-ilmunya menjadi matang. Akan
tetapi di lain pihak, Ci Kang juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah kandungnya,
Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta, dan gemblengan selama tiga tahun oleh
Ciu-sian Lo-kai juga sudah mematangkan ilmu-ilmunya. Karena itu pertandingan
antara mereka ini sedemikian dahsyatnya bagaikan perkelahian dua ekor naga
sakti yang tidak mau saling mengalah.
Sesudah
perkelahian itu berlangsung seratus jurus tanpa ada yang terdesak, keduanya
semakin maklum bahwa lawan masing-masing itu ternyata lebih sukar dikalahkan
seperti yang mereka sangka semula. Oleh karena itu kini mereka bergerak dengan
amat hati-hati sambil mengeluarkan seluruh ilmu silat mereka dan mengerahkan
seluruh tenaga.
"Dukkk...!"
Kembali
terjadi adu tenaga yang sangat dahsyat, yang mengakibatkan kedua orang muda itu
terhuyung ke belakang hingga keduanya harus mengatur pernapasan beberapa detik
lamanya untuk menghimpun hawa murni melindungi tubuh bagian dalam supaya jangan
sampai terluka akibat guncangan pertemuan tenaga dahsyat itu.
Dan pada
saat itu, selagi keduanya siap untuk saling terjang lagi, nampak dua bayangan
orang berkelebat. Seorang gadis cantik menghadang di hadapan Hui Song, dan
seorang pemuda perkasa menghadang di depan Ci Kang.
"Suheng,
harap jangan berkelahi...!" Gadis itu berteriak.
"Ci
Kang, tahan dulu...!" Pemuda itu berseru pula.
Melihat
gadis yang menghadangnya itu, Hui Song terpaksa menghentikan serangannya, juga
Ci Kang segera menghentikan semua gerakannya sesudah dia mengenal siapa yang
menghadang di depannya. Gadis dan pemuda itu adalah Tan Siang Wi dan Cia Sun!
Bagaimanakah
dua orang muda ini dapat saling berkenalan dan dapat datang bersama di tempat
itu? Seperti kita ketahui, Cia Sun hadir pula dalam pertemuan para pendekar di
bekas benteng Jeng-hwa-pang dan seperti juga yang lain, dia terpaksa melawan
sambil berpencar dan akhirnya menyelamatkan diri karena jumlah lawan yang
terlampau banyak.
Ketika dia
sedang melarikan diri, tiba-tiba saja dia melihat seorang gadis yang dikepung
dan dikeroyok oleh banyak sekali prajurit yang agaknya hendak menangkap gadis
cantik itu hidup-hidup. Akan tetapi gadis cantik itu memainkan sepasang pedang
secara hebat sehingga dua puluh lebih orang prajurit itu sulit dapat
menangkapnya, dan mereka hanya dapat mengepung dan menyerang dari jauh dengan
tombak mereka untuk menghabiskan tenaga gadis itu agar akhirnya dapat disergap.
Gadis itu adalah Tan Siang Wi.
Sejak muda
Tan Siang Wi sudah terbiasa hidup dalam kekerasan sebagai seorang gadis
kang-ouw yang disegani. Dia murid Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai, bahkan
menerima petunjuk pula dari ketua Cin-ling-pai sehingga tentu saja dia sangat
lihai, terutama sekali Ilmu Silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang
Iblis) yang hebat itu. Dan karena sifatnya yang keras dan berani, juga karena
ia tidak pernah memberi ampun kepada para penjahat, maka di dunia kang-ouw dia
dijuluki Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)! Maka, meski pun kini dikepung
dan dikeroyok dua puluh orang lebih, dia mengamuk dan sedikit pun tidak menjadi
gentar.
Gadis ini
mendengar tentang adanya pertemuan di antara para pendekar di bekas sarang
Jeng-hwa-pang. Selama tiga tahun ini dia merantau dengan hati penuh duka,
mencari-cari Hui Song, pemuda yang menjadi pujaan hatinya. Dan seperti telah
kita ketahui, ia melihat betapa suheng yang dicintanya itu dirayu di dalam
kamar oleh Siang Hwa, membuat dia cemburu dan marah sekali.
Akan tetapi
akhirnya ia tertawan dan yang amat menyedihkan hatinya, suheng-nya malah
bersekutu dengan wanita iblis itu dan ia disuruh pergi! Sakit sekali rasa
hatinya walau pun ia tahu bahwa Hui Song melakukan hal itu untuk menyelamatkan
nyawanya dari ancaman Gui Siang Hwa. Akan tetapi bagi dia rasanya lebih suka
mati di tangan wanita itu dari pada melihat suheng-nya berkawan dengan iblis
betina itu dan dia disuruh pergi. Akan tetapi, suheng-nya yang menyuruhnya
sehingga dia tidak dapat membantah.
Dengan hati
dirundung duka, gadis yang usianya sudah dua puluh dua tahun ini lalu pergi ke
utara, hendak menghadiri pertemuan antara pendekar di benteng Jeng-hwa-pang.
Hal ini dilakukannya bukan hanya untuk memperluas pengalaman, akan tetapi
terutama sekali karena dia mengharapkan akan bertemu dengan suheng-nya. Ia
percaya bahwa seorang pendekar besar seperti suheng-nya itu pasti akan hadir
pula di sana.
Demikianlah,
dia tiba di antara para pendekar di bekas sarang Jeng-hwa-pang, kemudian
menyelinap di antara mereka, namun tak berani muncul secara berterang sebab dia
tidak mewakili siapa-siapa dan dia pun tidak datang atas nama perguruan
Cin-ling-pai. Hatinya merasa girang sekali ketika dia melihat Hui Song berada
di situ pula, bahkan membuat pelaporan. Dia merasa ikut bangga akan tetapi dia
tetap bersembunyi dengan keputusan akan menemui suheng-nya itu setelah
pertemuan selesai.
Hatinya lega
sebab dia tidak melihat adanya iblis betina yang merayu suheng-nya dahulu. Akan
tetapi, ada perasaan kecut dan cemburu di dalam hatinya apa bila mengingat akan
sikap suheng-nya yang amat dingin kepada dirinya, sikap yang tidak membalas
cintanya, teringat pula betapa manis sikap suheng-nya terhadap Ceng Sui Cin,
kemudian terhadap wanita iblis itu.
Dan ketika
pasukan pemberontak yang sangat besar jumlahnya datang menyergap, Siang Wi ikut
pula bertempur dan membela diri sambil mencari jalan keluar. Akan tetapi, belum
jauh dia berlari meninggalkan bekas benteng itu, dia dikepung oleh dua puluh
orang lebih prajurit pemberontak. Kembali dia mengamuk membela diri dan sama
sekali tidak merasa gentar walau pun pihak lawan terlampau banyak baginya.
Dalam
keadaan terancam inilah muncul Cia Sun yang segera turun tangan membantu.
Sungguh pun dia belum mengenal gadis itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa
gadis yang dikeroyok para prajurit pemberontak itu tentulah seorang di antara
para pendekar yang tadi hadir dalam pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.
Serbuan Cia
Sun mengubah keadaan dan dengan kerja sama mereka, dua puluh orang prajurit
pemberontak itu kocar kacir dan banyak di antara mereka yang roboh tidak dapat
bangkit kembali. Selebihnya, hanya beberapa orang saja, kemudian melarikan
diri.
"Saudara
yang gagah, terima kasih atas bantuanmu," Siang Wi berkata sambil menjura
setelah semua pengeroyok roboh dan pergi.
"Lebih
baik kita pergi secepatnya sebelum pasukan lainnya datang!" jawab Cia Sun
tidak mempedulikan ucapan terima kasih orang dan dia pun segera berlari dengan
cepat, diikuti oleh Siang Wi.
Gadis ini
tadi merasa kagum sekali melihat kelihaian Cia Sun ketika membantunya, dan kini
menjadi semakin kagum karena pemuda itu mempunyai ilmu berlari cepat yang hebat
sehingga dia tidak akan mampu menyusulnya kalau saja pemuda itu tidak
memperlambat larinya.
Demikianlah,
sesudah berhasil menyelamatkan diri, mereka saling berkenalan. Keduanya
terkejut dan girang setelah mendengar tentang diri masing-masing. Sudah lama
Siang Wi mendengar tentang keluarga Cia yang gagah perkasa di Lembah Naga, maka
cepat dia memberi hormat ketika mendengar bahwa sekarang dia sedang berhadapan
dengan Cia Sun, putera Lembah Naga.
"Sungguh
beruntung aku dapat bertemu dengan pendekar gagah perkasa dari Lembah Naga!
Pantas tadi aku seperti mengenal gerakan silatmu. Bukankah menurut keterangan
suhu, ilmu silat keluarga Cia di Lembah Naga masih dekat sekali kaitannya
dengan ilmu dari Cin-ling-pai?"
"Benar,
nona. Ilmu-ilmu silat keluarga kami memang satu sumber dengan ilmu-ilmu dari
Cin-ling-pai. Aku pun girang bahwa engkau adalah murid dari ketua Cin-ling-pai.
Apakah nona hadir di pertemuan itu bersama dengan putera ketua Cin-ling-pai
yang kulihat tadi hadir pula? Ataukah sebagai wakil Cin-ling-pai?"
"Cia-toako,
pertama-tama kuharap engkau tidak memanggil nona padaku. Bukankah jika
diselidiki benar, di antara kita ini masih ada ikatan saudara dalam perguruan?
Aku tidak datang bersama suheng, juga bukan utusan suhu. Aku datang untuk...
mencari suheng yang sudah lama pergi dan untuk meluaskan pengalaman. Toako,
apakah engkau melihat ke mana larinya suheng tadi?"
"Maksudmu
Cia Hui Song? Entahlah, nona... eh, Wi-moi. Aku pun tidak melihatnya. Mana
mungkin bisa melihatnya di antara serbuan ribuan orang pasukan pemberontak
itu?"
Siang Wi
mengepal tinju. "Aku benci pemberontak-pemberontak itu! Apa lagi iblis
betina yang memimpinnya itu! Sekali waktu aku harus membunuhnya!"
Diam-diam
Cia Sun tersenyum. Tidak begitu mudah, nona cilik, betapa pun lihaimu. Murid
Raja Iblis itu terlalu lihai bagimu, demikian pikirnya.
"Siauw-moi,
apakah engkau mengenal wanita iblis itu?"
"Tentu
saja! Dia adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis! Dan dialah wanita cabul yang
pernah merayu... suheng-ku. Aku benci sekali padanya! Dan sekarang, dia
mengerahkan pasukan pemberontak untuk menyerang sehingga banyak kawan kita yang
tewas. Dan kini aku terpisah lagi dari suheng yang kucari-cari, tidak tahu ke
mana harus mencarinya sekarang?"
Cia Sun
memandang wajah gadis itu. Malam telah terganti pagi dan sinar matahari pagi
yang keemasan menyiram wajah yang cantik itu. Wajah yang manis sekali dan
sepasang mata yang jeli dan penuh sinar berapi, penuh semangat hidup dan
keberanian.
"Wi-moi,
benarkah engkau membenci para pemberontak dan engkau hendak menentang
mereka?"
"Eh,
eh, kenapa engkau masih bertanya? Bukankah aku hampir celaka oleh mereka dan
mungkin sekarang aku sudah tewas kalau tidak ada engkau yang menolongku,
toako?"
"Begini,
Wi-moi. Adanya aku bertanya kepadamu adalah... ehhh, apakah engkau belum
mendengar atau mengerti bahwa suhu dan subo-mu juga berada di utara sini?"
Siang Wi
kaget akan tetapi juga girang. "Aihh! Benarkah itu? Di mana mereka
sekarang? Apakah toako sudah berjumpa dengan suhu dan subo? Mengapa mereka tidak
nampak hadir dalam pertemuan antara pendekar?"
Cia Sun
menggeleng kepala dan memandang tajam penuh selidik. "Siauw-moi, agaknya
engkau belum tahu atau mendengar tentang suhu dan subo-mu. Tahukah engkau
kenapa mereka berada di daerah ini dan sekarang berada di Ceng-tek?"
Siang Wi
memandang bingung. "Aku tidak tahu, toako. Mereka di Ceng-tek? Apa yang
terjadi dengan mereka?"
"Mereka...
membantu para pemberontak menyerbu Ceng-tek dan kini telah menjadi tokoh
pemberontak di Ceng-tek..."
"Ahh...!
Tidak mungkin!" seru gadis itu.
"Ketika
mendengar berita itu untuk pertama kalinya, aku sendiri tidak percaya dan
merasa penasaran bukan main. Aku memang mendengar bahwa gurumu, paman Cia Kong
Liang adalah seorang yang keras hati, akan tetapi menurut penuturan ayah, paman
Cia Kong Liang selalu menjunjung tinggi kegagahan dan agaknya tak mungkin kalau
sampai beliau begitu rendah menjadi kaki tangan pemberontak. Akan tetapi berita
itu sudah kuselidiki kebenarannya dan temyata memang paman Cia Kong Liang
bersama isterinya dan ayah mertuanya kini membantu Raja Iblis dan Panglima Ji
Sun Ki yang memberontak. Aku tak dapat menyelidiki mengapa terjadi hal yang
mustahil itu."
Siang Wi
termenung dengan wajah pucat. Dia dapat menduga. Tentu ini gara-gara kakek
Jepang yang menjadi mertua suhu-nya itu. Bagaimana juga, sebagai murid subo-nya
dia tahu bahwa kakek itu dahulu pernah menjadi datuk sesat di timur. Bukan
tidak mungkin kakek itu mempunyai hubungan dengan Raja Iblis dan para datuk
sesat yang sekarang memberontak, dan berhasil membujuk suhu-nya untuk membantu
pemberontak!
"Aku
harus cepat mencari mereka... harus menyadarkan mereka...!" Ia berkata
berkali-kali seperti kepada dirinya sendiri.
Cia Sun
merasa kasihan, juga kagum akan kegagahan gadis ini. Walau pun mendengar betapa
suhu dan subo-nya membantu pemberontak, gadis ini tetap dengan pendiriannya
berpihak kepada para pendekar yang menentang pemberontak, bahkan kini dia
hendak menyadarkan suhu dan subo-nya dari kesesatan itu.
"Wi-moi,
telah menjadi keputusan rapat tadi bahwa kita terpaksa harus bertindak
sendiri-sendiri, dengan cara sendiri menentang para kaum sesat yang ternyata
sudah bersekutu dengan pasukan pemberontak. Dan kita tidak akan berhasil
menghadapi mereka apa bila tidak bergabung dengan pasukan pula. Oleh karena
itu, mari kita melakukan penyelidikan ke kota Ceng-tek, dan kita membantu
gerakan pasukan pemerintah, sekalian menyelidiki paman Cia Kong Liang dan
alangkah baiknya jika sampai berhasil menyadarkan mereka sehingga mereka membantu
kita dari dalam untuk menghancurkan pemberontak."
Siang Wi
yang kini merasa suka dan kagum kepada pendekar muda Lembah Naga ini, merasa
setuju dan berangkatlah mereka bersama. Dan secara kebetulan sekali mereka
sampai di tempat sunyi di lereng bukit di mana mereka melihat Ci Kang sedang
berkelahi mati-matian melawan Cia Hui Song. Melihat ini, tentu saja mereka
menjadi terkejut sekali.
"Suheng-ku
melawan putera Iblis Buta, aku harus membantunya!" kata Siang Wi, dan dia
sudah siap menerjang. Akan tetapi lengannya disentuh Cia Sun.
"Jangan
tergesa-gesa! Putera Iblis Buta itu adalah orang yang gagah perkasa yang juga
menentang kaum sesat. Kita hentikan perkelahian itu dan bicara dengan
baik!" Sesudah berkata demikian, mereka segera meloncat ke dalam gelanggang
perkelahian. Siang Wi menghentikan suheng-nya dan Cia Sun menahan Ci Kang.
Baik Ci Kang
mau pun Hui Song terpaksa menghentikan gerakan perkelahian mereka ketika Siang
Wi dan Cia Sun melerai, walau pun hati Hui Song masih merasa penasaran sekali.
Cia Sun
segera memberi hormat kepada Hui Song. Walau pun usia mereka sebaya, dia hanya
satu tahun lebih tua dari Hui Song, akan tetapi menurut ibu dia jauh lebih muda
sebab Hui Song masih terhitung pamannya. Kalau pendekar sakti Cia Bun Houw
adalah kakek Hui Song, maka baginya kakek sakti itu adalah kakek buyutnya.
Kakek Cia
Bun Houw adalah ayah kandung Cia Kong Liang dari ibu Yap In Hong, ada pun
kakeknya sendiri, yakni Cia Sin Liong adalah anak kandung Cia Bun Houw dari ibu
Liong Si Kwi. Kakeknya itu dengan Cia Kong Liang adalah saudara seayah
berlainan ibu.
"Harap
paman Cia Hui Song suka bersabar dan maafkan saya yang berani melerai dan
menghentikan perkelahian ini," katanya.
Cia Hui Song
sudah tahu bahwa pemuda perkasa ini adalah Cia Sun, keturunan Lembah Naga yang
masih keluarga Cia juga. Dan walau pun dia terhitung paman dari pemuda itu,
karena mereka sebaya, dia pun cepat membalas penghormatan itu.
"Engkau
tentu Cia Sun, bukan? Sebetulnya aku senang sekali dapat berkenalan dengan
anggota keluarga sendiri, dan aku pun telah melihatmu di bekas benteng
Jeng-hwa-pang. Akan tetapi Cia Sun, apakah engkau tidak tahu siapakah jahanam
ini?" Dia menuding ke arah Ci Kang. "Bila mana engkau sudah tahu dia
siapa tentu engkau tidak akan melerai melainkan membantuku membunuhnya. Dan kau
juga sumoi, apakah engkau sudah lupa siapa adanya penjahat ini?"
"Aku
tidak lupa, suheng, dan tadi pun aku sudah hendak membantumu, tetapi Sun-toako
mencegah."
"Paman
Hui Song, aku pun tahu siapa adanya Siangkoan Ci Kang. Aku tahu benar bahwa dia
adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin..."
"Putera
Si Iblis Buta, datuk sesat yang amat jahat itu!" Hui Song menambahkan.
"Benar,
akan tetapi dia tidak boleh disamakan dengan mendiang ayahnya. Saudara Ci Kang
ini kukenal benar karena kami sudah sama-sama menentang Raja Iblis dan kami
berdua bahkan hampir tewas oleh Raja Iblis dan muridnya yang jahat, Gui Siang
Hwa. Saudara Ci Kang ini adalah murid locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan dia selalu
menentang kejahatan sampai dimusuhi oleh ayahnya sendiri dan oleh para tokoh
sesat. Dia adalah seorang gagah dan berjiwa pendekar..."
"Hemm,
engkau sudah kena ditipunya, Cia Sun! Engkau tidak tahu siapa dia sebenarnya.
Karena dia berkedok domba, engkau tidak tahu bahwa di balik kedok itu adalah
seekor harimau yang liar dan buas! Aku dapat membuktikannya sendiri
kejahatannya! Ketahuilah bahwa kalau tidak ada aku yang mencegahnya, mungkin
dia sudah... memperkosa Sui Cin!"
"Ahhh...!"
Cia Sun terbelalak dan memandang wajah Ci Kang dengan penuh selidik. Dia sudah
tahu sendiri betapa pemuda itu tak mau menyerah dan memilih mati ketika dirayu
Siang Hwa. Pemuda ini bukan orang yang lemah terhadap nafsu birahi dan agaknya
tidak mungkin akan melakukan hal terkutuk itu terhadap Sui Cin!
"Ci
Kang, benarkah itu...?" tanyanya, masih terkejut dan tidak percaya.
Ci Kang
menghela napas panjang. "Pendekar Cia Hui Song terlalu membenciku, terlalu
bernafsu memusuhiku sehingga tak memberi kesempatan kepadaku untuk membela
diri. Cia Sun, engkau sudah mengenalku, kita bersama telah menghadapi
ancaman-ancaman maut dan sudah saling mengenal watak masing-masing. Tidak
kusangkal bahwa memang aku pernah bersikap kurang ajar terhadap nona Ceng Sui
Cin, akan tetapi apa yang aku lakukan itu terjadi di luar kehendakku, di luar
kekuasaanku untuk menahan. Pada waktu itu aku sedang dikuasai nafsu dan gairah
yang tidak wajar, dan aku yakin bahwa aku telah keracunan sehingga melakukan
hal-hal di luar kesadaranku. Ketika itu aku sedang terluka dan menerima obat
dari nona Ceng Sui Cin. Aku diobati dan dirawat, mana mungkin aku melakukan hal
keji? Akan tetapi hal itu terjadi dan aku yakin bahwa racun itu terdapat justru
dalam obat itu!"
"Alasan
yang dicari-cari!" Hui Song membentak marah.
"Terserah,
akan tetapi kenyataannya memang demikian. Bukan aku mencari alasan untuk
membela diri. Tidak, aku cukup tersiksa dan merasa menyesal dan kalau nona Ceng
Sui Cin sendiri yang menghukumku, aku akan menyerahkan diri tanpa melawan. Akan
tetapi, jangan orang lain yang hendak menghukumku!" kata Ci Kang dengan
sikap dingin.
MENDENGAR
ucapan ini, Hui Song merasa betapa mukanya panas kemerahan. Dia seperti baru
diingatkan bahwa dia tidak berhak marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang.
Bagaimana pun juga, walau dia amat mencinta Sui Cin, akan tetapi secara resmi
gadis itu bukan apa-apanya, malah kekasihnya pun bukan karena selama ini dara
itu belum pernah menyatakan membalas cintanya! Kalau Sui Cin yang dihina itu
tidak apa-apa, mengapa dia yang ribut-ribut?
"Hemmm,
sekarang memang tidak dapat kubuktikan bahwa nona Ceng mendendam dan marah,
akan tetapi kalau kelak dia mencarimu untuk membuat perhitungan, maka aku akan
membantunya dan kami akan membunuhmu!" katanya menahan kemarahan.
"Sudahlah,
paman Hui Song. Kita semua sedang menghadapi keadaan yang amat gawat. Para
pemberontak sudah merebut Ceng-tek dan semakin merajalela saja. Kalau di antara
kita ribut sendiri, bagaimana kita bisa menentang mereka? Seperti yang telah
diputuskan dalam pertemuan itu, kita harus bergerak secara sendiri-sendiri
untuk membantu pasukan pemerintah yang tentu akan segera menyerbu mereka dari
selatan. Sekarang kita harus bersiap-siap dan kalau mungkin, sebelumnya kita
melakukan gangguan-gangguan untuk melemahkan mereka, atau setidak-tidaknya
menyelidiki kekuatan mereka, memata-matai mereka agar kita dapat memberi
pelaporan kepada pasukan pemerintah kelak."
"Benar,
suheng," Siang Wi menyambung. "Urusan pribadi lebih baik
dikesampingkan saja dulu, lebih baik kita cepat-cepat pergi ke Ceng-tek."
"Ke
Ceng-tek? Ada apa? Bukankah kota itu sudah diduduki musuh?" tanya Hui
Song.
"Kita
harus cepat pergi ke sana, suheng, karena..." Tiba-tiba saja Siang Wi
menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Ci Kang.
Melihat ini,
Cia Sun menoleh kepada Ci Kang, "Ci Kang, mari kita pergi."
Ci Kang
mengangguk. "Memang aku sedang mencari nona Hui Cu..."
"Hui
Cu? Ada apa dengannya?"
"Dia
telah tertawan oleh Raja Iblis..."
"Ahhh...!"
Cia Sun merasa terkejut bukan main.
"Cia
Sun, kita sudah berhutang budi kepadanya, marilah kau bantu aku mencarinya dan
menyelamatkan dia." Cia Sun mengangguk dan mereka lalu berpamit kepada
Siang Wi dan Hui Song.
Setelah dua
orang muda itu pergi, Siang Wi berkata, "Suheng, apakah engkau tidak tahu?
Suhu dan subo kini berada di Ceng-tek, juga semua saudara anggota
Cin-ling-pai."
Sepasang
mata Hui Song terbelalak. Dia teringat akan kata-kata Sim Thian Bu mengenai
orang tuanya. "Ada... ada apakah sehingga mereka berada di Ceng-tek?"
tanyanya gagap dan gelisah.
Siang Wi
dapat menduga bahwa suheng-nya belum mendengar tentang hal yang sangat
mengejutkan mengenai gurunya itu. "Suheng, suhu, subo, dan sukong bersama
dengan para murid Cin-ling-pai telah berada di kota Ceng-tek karena mereka
semua membantu pemberontak..."
"Tak
mungkin!" Hui Song berteriak. "Sumoi, dari siapa engkau mendengar
berita bohong itu?"
"Suheng,
ketika pertama kali mendengarnya, aku pun terkejut dan tidak percaya, bahkan
ingin marah. Akan tetapi... yang memberi tahu kepadaku adalah toako Cia Sun
sendiri."
"Ahhhh...!"
Jantung Hui Song berdebar keras. Jadi, benarkah apa yang didengarnya dari Sim
Thian Bu? "Bagaimana mungkin itu? Apakah Cia Sun tidak keliru ketika
bercerita kepadamu?"
"Suheng,
kalau saja yang berterita itu orang lain, tentu sudah kuserang dia! Akan tetapi
Cia-toako, kiranya tak mungkin dia berbohong dan aku khawatir sekali suheng.
Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan subo dan untuk membuktikan kebenaran
berita itu."
"Mari
kita cepat ke Ceng-tek. Berita itu harus kita selidiki dan kalau memang benar
terjadi hal yang luar biasa itu, aku harus menegur dan mengingatkan ayah dan
ibu!"
Dengan hati
gundah dan gelisah Hui Song dan Siang Wi meninggalkan tempat itu menuju ke
Ceng-tek. Mereka berdua mengambil keputusan bahwa kalau memang benar ketua
Cin-ling-pai dan para anggotanya membantu pemberontak, mereka akan menegur dan
menyadarkan sedapat mungkin.
***************
"Suhu,
teecu merasa sangsi apakah tindakan kita membantu para pemberontak ini sudah
tepat," seorang di antara lima pria gagah itu berkata kepada Cia Kong
Liang yang duduk bersanding dengan isterinya.
Sejak
pasukan pemberontak, dengan bantuan orang-orang Cin-ling-pai yang lebih dahulu
menyelundup ke dalam, berhasil menduduki Ceng-tek, ketua Cin-ling-pai itu
diangkat oleh Panglima Ji Sun Ki menjadi komandan pasukan penjaga keamanan kota
benteng itu. Dia sekeluarga berikut puluhan orang murid Cin-ling-pai mendapat
pelayanan yang mewah dan dihormati oleh pasukan pemberontak serta dianggap
berjasa besar.
Pada pagi
hari itu, ketua Cin-ling-pai duduk dalam ruangan belakang bersama isterinya, di
dalam gedungnya yang amat megah, menerima lima orang murid kepala Cin-ling-pai
yang menghadap sebagai wakil dari semua murid. Mendengar ucapan seorang di
antara murid kepala itu, Cia Kong Liang memandang tajam.
Pada
hari-hari terakhir ini dia sendiri merasa tidak tenang dan dalam keraguan
karena dia melihat betapa pasukan Ji-ciangkun dibantu oleh rombongan
orang-orang aneh yang dari sikap mereka menunjukkan kekerasan dan kekejaman
golongan hitam. Maka, mendengar ucapan muridnya yang biasanya tentu akan
membuatnya marah itu, dia merasa tertarik sekali.
"Kenapa
tidak tepat? Kita bukan sekedar memberontak memperebutkan kedudukan! Kita
berjuang menentang pemerintah yang lalim. Ini adalah tugas para pendekar dan
patriot, menyelamatkan rakyat dari penindasan pemerintah lalim," katanya
memancing pendapat.
"Akan
tetapi, suhu," kata pula murid kedua, "Pasukan pemberontak ini
dibantu oleh kaum sesat! Teecu melihat sendiri betapa mereka melakukan
pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap penduduk dusun yang diserbu, juga menculik
dan memperkosa wanita-wanita, merampok harta benda bahkan hasil sawah ladang
dan binatang ternak petani! Apakah benar kalau kita membantu orang-orang
seperti itu, suhu?"
Cia Kong
Liang meraba jenggotnya dan mengerutkan alisnya. "Hemmm, benarkah semua
itu? Apa lagi yang kalian dengar atau lihat?"
"Teecu
tidak berbohong, suhu!" kata orang ketiga. "Selama perantauan teecu
dalam dunia kang-ouw, teecu telah beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh
sesat yang kini nampak berada dalam rombongan mereka yang membantu pasukan dan
yang sekarang berdiam di San-hai-koan. Akan tetapi kadang-kadang ada utusan
mereka datang ke Ceng-tek ini dan apa bila bertemu dengan teecu, mereka
pura-pura tidak mengenal teecu. Teecu yakin, mereka itu adalah dari golongan
hitam, kaum penjahat yang kejam!"
"Bukan
itu saja, suhu," kata orang keempat, "teecu dahulu pernah bertemu
dengan Hwa Hwa Kui-bo, nenek iblis yang menjadi seorang tokoh dari Cap-sha-kui,
dan teecu melihat pula nenek iblis itu dalam rombongan mereka! Teecu dapat
menduga bahwa rombongan itu tentu dipimpin oleh iblis-iblis dari
Cap-sha-kui!"
Mendengar
ini, Cia Kong Liang menjadi terkejut sekali. "Cap-sha-kui...?"
Pernah dia
mendengar nama Tiga Belas Iblis ini walau pun dia belum pernah berjumpa dengan
mereka. Ia mendengar bahwa Cap-sha-kui pernah merajalela di dunia kang-ouw,
dikepalai oleh Si Iblis Buta. Dan kalau benar Cap-sha-kui sekarang membantu
pasukan pemberontak, ini merupakan hal yang amat mencurigakan!
"Apa
lagi yang kalian ketahui?" tanyanya.
"Satu
hal lagi yang sangat mengejutkan, suhu," kata seorang murid lain.
"Teecu... teceu takut mengatakan..." Murid ini memandang ke kanan
kiri dengan muka pucat dan mata membayangkan ketakutan.
"Kau
takut apa? Tidak usah takut, siapa yang akan mendengar keteranganmu kecuali
kita sendiri, dan andai kata ada orang lain mendengar, takut apa? Aku berada di
sini!"
Mendengar
ucapan guru atau ketuanya itu, murid Cin-ling-pai ini menjadi besar hati tetapi
walau pun demikian, suaranya masih lirih ketika dia melanjutkan keterangannya,
"Suhu, teecu mendengar bahwa Pangeran Toan itu, yang memimpin
pemberontakan bersama Ji-ciangkun, adalah rajanya kaum sesat yang berjuluk Raja
Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis...!"
"Ahhh...!"
Untuk kesekian kalinya Cia Kong Liang terkejut akan tetapi yang terakhir lebih
hebat lagi sehingga kedua matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Benarkah
itu? Tidak kelirukah penyelidikanmu?"
"Hati-hatilah
kau, jangan sembarangan karena kalau keteranganmu itu tidak benar, amat
berbahaya dan engkau telah menjatuhkan fitnah!" kata Bin Biauw yang juga
terkejut bukan main mendengar berita yang sama sekali tidak disangkanya ini.
Wanita ini
maklum bahwa ayahnya membujuk suaminya membantu pemberontak supaya suaminya
kelak bisa memperoleh kedudukan tinggi, akan tetapi dasar pemberontakan itu
adalah perjuangan menentang pemerintahan kaisar sekarang yang dianggap lalim.
Akan tetapi sedikit pun dia tak pernah menyangka bahwa pemberontakan itu
dipimpin oleh raja kaum sesat!
Seperti juga
suaminya, biar pun tidak jelas benar, namun dia pernah mendengar tentang
Cap-sha-kui dan Raja Iblis. Meski pun puteri bekas datuk sesat, sejak muda
nyonya ketua Cin-ling-pai ini tidak suka dengan kejahatan dan apa lagi sesudah
dia menjadi isteri ketua Cin-ling-pai, jiwa kependekarannya semakin menebal.
"Suhu
dan subo, teecu mana berani menyampaikan berita ini kepada suhu berdua kalau
teecu tidak lebih dahulu melakukan penyelidikan dengan seksama? Teecu telah
berbicara dengan beberapa orang anggota pasukan pemberotak yang sedang mabok
dan agaknya mereka tidak dapat menyimpan rahasia lagi. Hal itu mungkin karena
mereka menganggap teecu sebagai teman atau rekan satu pasukan. Bahkan menurut
mereka, ada pasukan inti yang biasanya menyerang ke dusun-dusun, dipimpin oleh
seorang tokoh hitam bernama Sim Thian Bu, murid mendiang Iblis Buta. Juga Gui
Siang Hwa, wanita cantik yang suka berkeliaran dan memimpin pasukan pengawal
itu adalah murid Raja dan Ratu Iblis."
"Sssttttt...!"
Tiba-tiba saja Cia Kong Liang memberi isyarat kepada muridnya agar jangan
melanjutkan kata-katanya karena dia mendengar sesuatu di luar.
Cepat
tubuhnya berkelebat dan ketua Cin-ling-pai ini sudah melompat keluar, kemudian
terus meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi tidak terdapat seorang pun di
sana. Betapa pun juga, dia yakin bahwa tadi ada seorang yang mengintai atau
mendengarkan percakapan mereka.
Sesudah
merasa yakin bahwa tidak ada orang di situ, ketua Cin-ling-pai segera meloncat turun
lagi dan memasuki ruangan, disambut oleh isterinya dan lima orang muridnya yang
sudah berdiri dan memandang dengan wajah tegang. Cia Kong Liang menggeleng
kepala sebagai jawaban pertanyaan yang terbayang dalam pandang mata mereka,
lalu berkata lirih.
"Mulai
sekarang kalian harus lebih berhati-hati dan melakukan penyelidikan lebih
teliti lagi. Bisiki semua kawan-kawanmu agar siap siaga dan menanti perintahku
selanjutnya. Nah, masih ada lagi yang hendak kalian laporkan?"
"Ada
satu hal lagi, suhu," kata murid yang menjadi pembicara pertama,
"teecu mendengar bahwa satu rombongan pendekar yang sedang mengadakan
pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang, telah disergap oleh pasukan
pemberontak dan banyak di antara mereka yang tewas."
Suami isteri
itu saling pandang dengan muka pucat dan tahulah mereka bahwa pada saat itu
mereka berdua mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu bahwa mungkin sekali putera
mereka berada di antara para pendekar yang disergap itu! Cia Kong Liang
mengangguk lalu memberi isyarat kepada lima orang murid itu agar mengundurkan
diri.
Setelah lima
orang murid itu meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu, Cia Kong Liang
berkata kepada isterinya. "Sungguh mengejutkan dan menggelisahkan apa yang
kita dengar dari para murid tadi. Jika benar demikian, kenapa gak-hu (ayah
mertua) diam saja dan tidak memberi tahu kepadaku? Apakah engkau tidak diberi
tahu oleh ayahmu?"
Isterinya
lalu menggeleng. "Aku juga hanya mengenal pangeran dan isterinya itu
sebagai Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya, dan mereka hendak menolong
negaranya dengan menggulingkan kaisar yang sekarang dianggap lalim. Dan aku pun
tidak pernah bertemu lagi dengan mereka sesudah kita bicara dengan Ji-ciangkun
tempo hari. Mereka berada di San-hai-koan dan kita berada di sini, mana aku
tahu?"
"Sebaiknya
ayahmu segera diberi tahu dan diajak bicara. Panggil dia ke sini, sebaiknya
sekarang juga kita bicarakan hal yang sangat penting ini. Hatiku merasa
khawatir sekali kalau-kalau kita telah keliru membantu kaum sesat yang ingin
memberontak bukan untuk mengenyahkan kaisar lalim, melainkan untuk merebut
kedudukan."
"Baik,
akan kucari dia dalam kamarnya," kata isterinya.
Ketika tiba
di luar kamar, Bin Biauw melihat berkelebatnya orang di atas genteng. Sebagai
seorang isteri ketua Cin-ling-pai yang juga mempunyai ilmu silat tinggi, nyonya
ini cepat melakukan pengejaran, meloncat ke atas genteng. Akan tetapi setibanya
di atas genteng, dia tidak melihat seorang pun dan dia terkejut sekali.
Orang tadi
benar-benar mempunyai ginkang yang amat hebat, jauh lebih tinggi dari pada
ginkang-nya sendiri. Setelah celingukan dan tidak melihat lagi bayangan itu,
maka dia pun turun kembali dan tak lama kemudian dia mengetuk daun pintu
ayahnya.
Ayahnya
belum tidur dan pada saat itu sedang membaca buku. Ketika daun pintu dibuka,
puterinya segera memberi tahu bahwa putera mantunya minta agar dia suka
memasuki ruang belakang untuk diajak merundingkan sesuatu yang amat penting.
Bin Mo To cepat berpakaian yang pantas lalu bersama puterinya pergi ke dalam
ruangan itu.
"Ada
keperluan apa sih malam-malam begini suamimu memanggilku?" ayah itu
bertanya dengan sikap heran.
"Ada
urusan penting sekali, ayah. Nanti saja kita bicarakan di dalam," jawab
puterinya dan melihat sikap puterinya yang serius itu kakek itu pun tidak
bertanya-tanya lagi.
Begitu berhadapan
dan dipersilakan duduk, kakek itu lalu bertanya. "Ada urusan penting
apakah...?" Akan tetapi kata-katanya terhenti karena Bin Biauw yang merasa
tegang itu langsung memotongnya dengan menceritakan kepada suaminya bahwa
ketika keluar dari kamar tadi dia melihat bayangan orang.
"Tidak
kau kejar?" tanya suaminya.
"Sudah,
akan tetapi orang itu mempunyai ginkang yang amat hebat. Begitu berkelebat ke
atas genteng dan kukejar, dia sudah lenyap dan tidak nampak lagi
bayangannya."
"Hemm,
makin mencurigakan lagi..." gumam Cia Kong Liang.
"Aihh,
apakah artinya semua ini? Apa yang telah terjadi?" kakek Bin Mo To
bertanya.
Cia Kong
Liang memandang wajah ayah mertuanya dengan tajam penuh selidik, lalu dia pun
berkata, "Maafkan kami, ayah, kalau kami mengganggu dan mengejutkan ayah
dari istirahat. Saya ingin bertanya, apakah ayah mengenal baik Pangeran Toan
Jit Ong?"
Ditanya
demikian dan dipandang dengan penuh selidik, kakek Bin Mo To maklum bahwa
mantunya ini agaknya mulai tahu akan kenyataan yang sebenarnya, akan tetapi ia
masih berpura-pura tidak mengerti. "Tentu saja aku mengenal baik Pangeran
Toan Jit Ong. Ada apakah?"
"Maksud
saya, apakah sebelum kita datang ke sini ayah sudah mengenalnya?"
Terpaksa
kakek itu membohong dan dia menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya tahu
bahwa komandan pasukan yang hendak memberontak terhadap kekuasaan kaisar lalim
adalah Panglima Ji Sun Ki dan setelah tiba di sini baru kita mendengar bahwa
pangeran itu adalah pemimpin kedua setelah dia atau sekutunya."
"Bukan
urusan itu, ayah. Akan tetapi pernahkah ayah mendengar bahwa Pangeran Toan itu
adalah raja golongan hitam yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu
Iblis?"
Kini
yakinlah hati kakek itu bahwa mantunya sudah tahu akan rahasia itu. Dengan
wajah polos dia berkata, "Benarkah itu? Aku tidak tahu..."
Bin Biauw
yang sudah mengenal watak ayahnya itu, yang demikian pandainya menguasai
dirinya sehingga apa yang berada dalam hatinya tidak pernah terbayang pada
wajahnya, langsung berkata, "Harap ayah tidak berpura-pura lagi karena
kita bicara antar keluarga. Ayah, aku tidak dapat percaya kalau ayah tidak
mengetahui semua ini. Bagaimana pun juga, belasan tahun yang lalu ayah pernah
menjadi seorang datuk di timur. Tentu ayah mengenal semua tokoh dalam dunia
hitam. Kalau sekarang tokoh-tokoh besar semacam Cap-sha-kui membantu Raja dan
Ratu Iblis memimpin pemberontakan ini, mustahil kalau ayah tidak tahu sama
sekali!"
Kakek itu
menarik napas panjang, merasa tiada gunanya lagi mengelak karena anak dan
menantunya ini agaknya telah mengetahui segalanya. "Baiklah, memang aku
mengetahui bahwa mereka membantu pemberontak..."
"Kalau
ayah tahu, mengapa menyeret kami ke sini?" puterinya berseru kaget dan
marah.
"Ayah,
mengapa ayah mengajak kami membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk
kaum sesat? Ini adalah penyelewengan besar sekali bagi seorang pendekar!"
kata pula Cia Kong Liang, terkejut bahwa ayah mertuanya sejak belasan tahun
telah mencuci tangan dan tak mau lagi berkecimpung di dalam dunia kaum sesat,
akan tetapi mengapa kini kakek itu malah menyeret keluarganya membantu
pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk sesat?
Kembali
kakek itu menghela napas, lalu memandang menantu dan anaknya dengan sinar mata
tajam. "Apakah artinya para datuk sesat itu tanpa adanya pasukan besar?
Mereka itu pun hanya menjadi pembantu-pembantu pasukan yang dipimpin
Ji-ciangkun. Berarti kita membantu Ji-ciangkun dan bukan membantu mereka."
"Akan
tetapi hal itu hanya sedikit bedanya. Bagaimana pun juga, berarti kita bekerja
sama atau bersekutu dengan para datuk sesat," bantah Cia Kong Liang.
"Apa
salahnya?" Mertuanya menjawab. "Kini bekerja sama untuk menentang
kaisar lalim. Jika kelak perjuangan telah berhasil dan kita memperoleh
kedudukan tinggi, apa sukarnya untuk berbalik menentang mereka kalau mereka itu
melakukan kejahatan?"
"TIdak!
Tidak mungkin!" Cia Kong Liang bangkit berdiri. "Ternyata aku sudah
melakukan penyelewengan, bersekutu dengan kaum sesat. Ah, perbuatanku ini
menyeret nama baik keluargaku, menyeret nama Cin-ling-pai ke lembah kehinaan.
Aku harus cepat bertindak!" Berkata demikian, pendekar ini melangkah maju
ke pintu.
"Apa
yang akan kau lakukan? Kau hendak pergi ke mana?" Isterinya tiba-tiba
memegang lengannya dan memandang dengan wajah khawatir.
Cia Kong
Liang berhenti lantas menepuk-nepuk pundak isterinya. "Sekarang aku harus
melakukan penyelidikan sendiri ke San-hai-koan dan menemui Ji-ciangkun. Ini
merupakan urusan besar yang menyangkut nama baik keluarga kita, lebih penting
dari pada sekedar keselamatan nyawa."
"Aku
ikut!" kata isterinya sambil memegang lengan suaminya kuat-kuat.
Suaminya
menggelengkan kepala. "Kita harus membagi tugas, isteriku. Semua anggota
Cin-ling-pai berada di sini. Aku menyelidiki ke San-hai-koan dan engkau
mengumpulkan semua murid lalu mengajak mereka diam-diam melarikan diri keluar
dari Ceng-tek. Kita akan kembali ke Cin-ling-san! Akan tetapi aku harus yakin
dulu dan karena itu aku akan menemui Ji-ciangkun!"
Isterinya
mengenal kekerasan hati suaminya dan membantah pun tak ada gunanya. Apa lagi
karena apa yang dikatakan suaminya itu memang tepat. Kalau mereka berdua pergi,
lalu siapa yang akan memimpin para murid yang berkumpul di Ceng-tek. Maka dia
pun mengangguk lemah, menyembunyikan kekhawatirannya terhadap keselamatan
suaminya. Sesudah sekali lagi menepuk pundak isterinya dengan perasaan kasih
sayang besar, Cia Kong Liang kemudian meloncat keluar dan sebentar saja sudah
lenyap dalam kegelapan malam.
"Ayah,
semua ini adalah kesalahan ayah!" Bin Biauw menghadapi ayahnya dan menegur
marah. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Anakku,
jangan kau marah-marah dulu. Semua ini kulakukan demi kebahagianmu!"
"Demi
kebahagiaanku, ayah? Engkau menyeret aku dan suamiku ke dalam persekutuan kotor
ini yang mengancam kebersihan nama baik suamiku beserta keluarganya, dan kau
masih mengatakan bahwa engkau melakukannya demi kebahagiaanku? Apa kau sangka
kebahagiaanku terletak pada kehancuran nama dan kehormatan suamiku?"
"Tenanglah
dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku melakukan semua ini bukan lain hanya
dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada suamimu agar kelak suamimu
mendapatkan sebuah kedudukan yang tinggi. Apa bila pemberontakan ini berhasil,
tentu suamimu akan memperoleh kedudukan. Sekarang pun sudah nampak hasilnya.
Suamimu diangkat menjadi komandan pasukan keamanan di Ceng-tek. Ini baru
permulaan. Kelak, jika gerakan ini berhasil, tentu sedikitnya suamimu akan
menjadi seorang panglima besar, memiliki kedudukan tinggi dan mulia, dihormati
oleh semua orang dan bukankah dengan demikian maka nama dan kehormatan suamimu
akan terangkat tinggi? Nah, siapa bilang aku hendak menghancurkan nama dan
kehormatan mantuku sendiri?"
"Tetapi
ayah sudah menggunakan cara yang sangat kotor, bersekutu dengan orang-orang
jahat dari dunia hitam!" bantah puterinya.
Kakek itu
tertawa. "Apa artinya cara? Yang penting dan menentukan adalah tujuannya!
Tujuanku sangat baik, yaitu mengangkat derajat mantuku sendiri, dengan cara apa
pun asal untuk tujuan baik, apa salahnya?"
Mendengar
bantahan ayahnya, Bin Biauw termenung dan bimbang. Benarkah pendapat ayahnya
itu? Selama ini ayahnya sudah mencuci tangan, tidak pernah lagi berkecimpung
dalam dunia kejahatan, dan ayahnya selalu kelihatan bangga sekali terhadap
mantunya, dan ia tahu bahwa ayahnya amat suka kepada suaminya.
Mungkinkah
ayahnya mencelakakan keluarga mereka? Agaknya tidak mungkin dan kalau yang
dilakukan ayahnya itu demi kebahagiaan keluarganya, bukankah itu benar? Wanita
ini menjadi bimbang dan hanya duduk dengan alis berkerut, hatinya gelisah.
"Percayalah,
anakku. Ayahmu ini sudah tua, tidak ingin apa-apa lagi. Segala yang ayah
lakukan hanya demi kebahagiaanmu dan suamimu. Kalau suamimu kelak berkedudukan
tinggi, bukankah kalian berdua menjadi bahagia? Menjadi orang-orang terhormat,
mulia dan kaya raya?"
Bin Biauw
semakin bingung. Hampir semua orang tua, baik disadari mau pun tidak, sering
melakukan hal yang sama seperti dilakukan Bin Mo To itu.
Orang-orang
tua selalu hendak mengatur anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai
anak-anaknya dalam hal apa saja, mulai dari pendidikan sampai kepada perjodohan
dan pekerjaan. Mereka, orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini,
menganggap bahwa apa yang baik baginya tentu akan baik pula bagi anaknya. Apa
yang dianggapnya menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula.
Karena ini
maka banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama,
malah calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian
saja, bahkan kalau perlu orang-orang tua ini menggunakan kekuasaannya sebagai
orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka. Tentu saja
dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan benar!
Mereka,
orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tak pernah memperhatikan selera anak
mereka, pilihan anak mereka, lalu mencari kesalahan-kesalahan pada pilihan
anak-anak mereka dan menonjolkan kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si
anak, baik dengan halus mau pun keras.
Akibatnya,
si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung, diam-diam
merasa sangat tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak
disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya, melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan harus hidup bersama
dengan jodoh yang sama sekali tidak dicintanya.
Demi orang
tua! Dan siapa yang senang dan lega? Orang tua itulah! Dengan demikian,
sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka,
mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka!
Orang-orang
tua yang bijaksana tak akan memperhitungkan selera diri sendiri, melainkan
mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan berarti melepaskan
pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar membahagiakan si anak, bukan
si diri sendiri! Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan
selera diri sendiri, tetapi demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani
mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.
Pendapat Bin
Mo To mengenai mementingkan tujuan merupakan penyakit yang banyak menghinggapi
batin kita. Cara apa pun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu
dipergunakan untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah
tujuan baik ini sehingga kita terjebak dalam perbuatan-perbuatan yang sama
sekali tidak baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara
untuk mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka
pegangannya hanyalah: Tujuan menghalalkan segala cara!
Sepintas
lalu kita mudah sekali terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia,
dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap
sebagai cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang
dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa
menyesatkan!
Apakah
mungkin kita dapat hidup damai bersama seseorang dengan cara memukuli dan
menaklukkan orang itu? Mungkin saja menjadi perdamaian bagi satu pihak, yaitu
pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu hanya mau
berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Tetapi berilah yang kalah
itu sebuah kesempatan, maka suatu ketika dia akan memberontak dan membalas
dendam!
Tujuan baik
sama sekali tidak mungkin dicapai dengan cara yang buruk! Kalau caranya kotor,
maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya suatu gambaran yang kita
buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak ada sangkut paut atau
hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan.
Yang
terpenting sekali adalah CARA itulah! Cara ini menentukan segalanya, karena
cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat ini! Kalau cara ini didikte oleh
tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi kalau cara atau perbuatan ini
tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah cara hidup yang benar! Tanpa
tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan hanya cinta kasih sajalah yang
menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa pamrih.
Mungkin
tanpa disadarinya lagi, sebenarnya Bin Mo To mementingkan diri sendiri ketika
dia menyeret anak dan mantunya untuk bersekutu dengan gerombolan Raja Iblis.
Dan hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa tujuannya adalah baik, yaitu
mengangkat derajat mantunya sehingga kelak dia boleh membonceng kemuliaan dan
kehormatan.
"Aku
harus mengumpulkan para murid..."
"Nanti
dulu, hal itu belum perlu!" Ayahnya mencegah. "Pula, kalau kita
memanggil mereka semuanya ke sini, tentu akan menimbulkan kecurigaan saja.
Sebaiknya kalau memanggil beberapa orang di antara mereka, sebaiknya para murid
kepala..."
Tiba-tiba ada
dua orang murid Cin-ling-pai masuk dengan tergesa-gesa ke dalam ruangan itu.
Wajah mereka pucat sekali sehingga Bin Biauw yang tadinya hendak marah melihat
mereka berani masuk tanpa dipanggil, berbalik bertanya,
"Ada
apakah? Mengapa kalian kelihatan begitu takut?"
"Subo...
celaka, subo... celaka...!" kata seorang di antara mereka dan agaknya
lidahnya menjadi kaku sehingga sukar baginya untuk bicara.
"Tenanglah!
Ada apa? Apa yang terjadi?" Bin Mo To membentak tak sabar.
"Celaka...
lima orang suheng... mereka... mereka telah tewas...!"
"Apa?!"
Bin Biauw dan ayahnya berteriak kaget sekali. "Hayo ceritakan apa yang
terjadi dengan mereka!"
Dengan suara
patah-patah kedua orang murid itu menceritakan betapa lima orang murid kepala
itu telah tewas semua, yang tiga orang tewas di dalam kamar masing-masing dan
dua orang lagi tewas di luar rumah jaga. Namun tidak ada orang mendengar mereka
itu berkelahi.
"Di
mana mereka sekarang?"
"Jenazah
mereka... kami kumpulkan di ruangan besar markas kami..."
Tanpa
membuang waktu lagi, Bin Biauw dan Bin Mo To lari bersama dua orang murid itu
menuju ke markas yang menjadi tempat tinggal para anggota Cin-ling-pai yang
dianggap oleh pasukan pemberontak sebagai pasukan istimewa yang sudah berjasa
dan menjadi tamu terhormat.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment