Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 14
WANITA
berambut putih itu mengelak dengan satu loncatan tinggi. Ketika tongkat lewat
di bawah kakinya, nenek itu membalas serangan dengan tamparan tangan dari atas.
Akan tetapi Siangkoan Lo-jin juga telah melanjutkan babatan tongkat tadi dengan
membalikkan tongkatnya dan kini gagang tongkat yang berbentuk kepala ular atau
naga itu menyambut serangan nenek itu dengan dorongan kuat!
Hampir saja
Ratu Iblis itu celaka ketika gagang tongkat itu menyambut dadanya langsung dari
depan. Namun dia lihai bukan main. Dalam keadaan meloncat tadi, selagi tubuhnya
melayang di udara dan didorong tongkat, tiba-tiba rambutnya menyambar ke depan
ketika dia menggerakkan kepalanya dan ribuan helai rambut membelit ujung
tongkat. Tubuhnya lantas terbawa oleh gerakan tongkat sehingga tubuh itu
terpelanting, akan tetapi berkat rambutnya yang bertahan pada tongkat, maka dia
tidak sampai terkena dorongan, juga tidak sampai terbanting ke atas batu.
Siangkoan
Lo-jin terkejut sekali ketika tubuh lawan menempel seperti lintah di tongkatnya.
Dia tidak dapat melihat, juga tidak dapat mengikuti gerakan rambut yang halus
itu, hanya mengira bahwa lawannya tentu menggunakan semacam senjata lemas untuk
menangkap ujung atau gagang tongkatnya. Maka dia segera memutar tongkatnya agar
tubuh itu ikut terputar dengan cepat.
Untung bagi
Ratu Iblis bahwa dia dapat menduga maksud lawan. Jika dia sampai terbawa
berputar oleh tongkat pada rambutnya, dia dapat celaka, terbanting keras atau
rambutnya tercabut dari kepala! Namun nenek ini cerdik sekali. Dia dapat
menduga siasat lawannya, maka cepat ia melepaskan rambutnya pada satu kali
putaran, dan dengan berjungkir balik di udara sampai lima kali ia dapat
mematahkan tenaga putaran itu lalu melayang turun ke atas batu.
Namun Iblis
Buta sudah menyambutnya lagi dengan hantaman-hantaman dahsyat hingga membuat
nenek itu terpaksa berloncatan ke sana-sini dengan sigapnya, bagaikan seekor
lalat saja.
"Dinda,
jangan main-main, cepat bereskan dia!" terdengar kakek yang duduk bersila
itu berkata. Dan tiba-tiba saja terdengar suara getaran lembut, seperti suara
nyamuk yang beterbangan di dekat telinga. Akan tetapi suara mendengung itu
makin lama semakin kuat sehingga menusuk telinga.
Sui Cin
terkejut sekali. Suara mendengung yang tadinya lembut seperti suara nyamuk itu
kini benar-benar merupakan suara yang amat menyiksa dan tahulah dia bahwa suara
itu dikeluarkan oleh Raja Iblis, suara mengandung khikang yang sangat kuat,
semakin lama semakin kuat. Terpaksa dia harus mengerahkan sinkang untuk
bertahan, karena dia tahu bahwa apa bila dibiarkan saja, kekuatan yang
tersembunyi dalam suara itu akan merusak jantungnya dan akan merusak
telinganya.
Pada saat
dia melirik ke arah Hui Song, dia pun melihat betapa pemuda itu juga sedang
mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan suara yang sangat menyiksa itu.
Demikian juga dua orang kakek sakti. Maka tahulah Sui Cin bahwa memang suara
mendengung itu amat kuat.
Dan sekarang
terjadi perubahan pada perkelahian di atas batu besar. Jika tadi Siangkoan
Lo-jin menggerakkan tongkatnya dengan ganas sehingga Ratu Iblis sibuk
mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak terus menerus, kini dia nampak seperti
orang kebingungan. Jelas bahwa dia terserang suara itu dan hal ini sungguh
membuat dia bingung. Biar pun dengan sinkang-nya yang kuat dia mampu bertahan
sehingga suara mendengung itu tak sampai melukainya, namun tetap saja
pendengarannya terganggu.
Untuk
berkelahi dia sepenuhnya hanya mengandalkan pendengaran saja. Akan tetapi kini
pendengarannya terganggu suara berdengung yang semakin kuat itu, menggetarkan
anak telinga sehingga tak mungkin lagi dia bisa mengikuti gerakan Ratu Iblis
dengan seksama. Maka kini dia hanya memutar tongkatnya secara ngawur saja,
bagaikan sebuah perahu tanpa kemudi dan tanpa kompas. Sudah tentu saja menghadapi
seorang lawan selihai Ratu Iblis, tidak mungkin dilawan dengan pemutaran
tongkat secara ngawur.
"Plakkk!"
Sebuah
tamparan yang sangat keras dari tangan kiri Ratu Iblis mengenai telinga kanan
Siangkoan Lo-jin. Tamparan itu masuk menyelinap melewati putaran tongkat dan
sama sekali tidak mampu dielakkan atau ditangkis oleh Siangkoan Lo-jin yang
kini benar-benar menjadi seperti buta-tuli itu.
"Ahhh...!"
Tubuh kakek itu terpelanting.
Tamparan itu
sangat keras, bukan hanya mengandung tenaga sinkang akan tetapi juga mengandung
hawa beracun. Seketika muka kakek buta itu yang sebelah kanan menjadi kehijauan
dan telinga kanannya menjadi rusak. Darah segar mengalir keluar dari telinga
itu!
Akan tetapi
kakek buta itu memang hebat bukan main. Setua itu dia masih memiliki daya tahan
yang mengagumkan. Padahal, apa bila orang lain yang terkena pukulan seperti
itu, tentu akan roboh dan tewas, atau setidaknya terluka parah dan tak mampu
melawan lagi. Namun begitu terpelanting, kakek ini mempergunakan tongkatnya
melindungi tubuh agar tidak menerima serangan susulan, lantas sekali
menggerakkan tubuh dia sudah meloncat bangkit lagi dan memutar tongkatnya.
Kini
bagaikan orang gila dia mengamuk, memutar tongkatnya sambil kakinya meraba-raba
dan melangkah ke kanan kiri dengan tegapnya! Darah yang bercucuran keluar dari
telinga kanannya tidak mengurangi kegesitannya.
Akan tetapi
sekarang dia sungguh tidak berdaya, seperti seekor tikus menghadapi seekor
kucing yang mempermainkan dirinya. Telinga kanannya sudah rusak, sedangkan
telinga kirinya seperti tuli saja karena dipenuhi suara berdengung-dengung yang
keluar dari dalam kerongkongan Raja Iblis.
Kini tahulah
Sui Cin bahwa Raja Iblis itu secara lihai sekali menyerang dengan suara dan
membuat Iblis Buta menjadi tidak berdaya sama sekali. Sungguh cerdik dan licik!
Pantas saja dia tak mau melawan Siangkoan Lo-jin yang dianggapnya terlalu
rendah atau terlalu lemah. Kiranya sekali berhadapan saja, Raja Iblis itu telah
tahu apa yang harus dilakukan untuk melumpuhkan lawan dan isterinya saja sudah
lebih dari cukup untuk menghadapi lawan ini.
"Desss...!"
Kembali Ratu
Iblis memukul dan sekali ini pukulannya mengenai telinga kiri kakek buta itu.
Kini darah juga mengucur keluar dari telinga kiri yang rusak dan tubuhnya
terhuyung-huyung. Akan tetapi dia masih sanggup bertahan dan tidak roboh!
Kembali dia memutar tongkatnya.
Sui Cin mengerutkan
alisnya. Dia melihat betapa nenek berambut putih itu tersenyum dingin, senyum
yang amat keji dan sinar mata yang mencorong itu kini berkilauan seperti mata
seekor binaang buas yang haus darah. Penuh kesadisan! Tahulah dia bahwa nenek
itu sengaja tidak mau merobohkan lawan, melainkan hendak mempermainkannya
terlebih dahulu.
Tiba-tiba
suara mendengung itu lenyap dan hal ini benar-benar mendatangkan perasaan yang
amat tidak enak dalam hati. Kalau tadi ada suara mendengung-dengung sehingga
dia terpaksa harus mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan, kini suara itu
mendadak lenyap akan tetapi telinganya masih saja mendengar suara dengungan
itu, seakan-akan selamanya tidak akan mau meninggalkan telinga.
Dan perasaan
tidak enak ini dapat nampak pada wajah semua orang yang berada di situ, yang
tadi pun semua mengerahkan sinkang melawan suara yang menyiksa itu. Sungguh
hebat sekali serangan suara Raja Iblis.
Agaknya
memang benar dugaan Sui Cin. Kini Ratu Iblis itu mempermainkan Siangkoan Lo-jin
yang sudah tidak dapat menggunakan pendengarannya lagi. Wanita itu berloncatan
ke sana sini dan begitu tiba di belakang kakek yang mengamuk ke depan, dia
mengirim tamparan. Tidak cukup keras untuk dapat mematikan lawan, akan tetapi
juga tidak terlalu perlahan karena setiap kali terkena tamparan, tubuh kakek
itu segera terputar-putar dan terhuyung-huyung.
Muka kakek
itu telah berlumuran darah. Darah bercucuran dari mulut, hidung dan telinga,
bahkan kedua matanya menjadi sasaran-sasaran pukulan ringan yang cukup membuat
biji mata yang tak dapat melihat itu pecah-pecah dan berdarah. Namun kakek itu
dengan semangat pantang mundur melawan terus dengan napas terengah-engah!
Yang
mengerikan, di antara para tokoh yang berada di kelompok yang menakluk kepada
Raja dan Ratu Ibils, terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan. Mereka itu nampak
beringas, bagai harimau-harimau mencium darah, dan semakin tersiksa Si Iblis
Buta maka semakin gembira pula suara mereka bersorak-sorak.
"Dinda,
hentikan main-main itu. Bereskan dia!" Kembali terdengar Raja Iblis
berkata.
"Dukkk...!
Aughhhh...!"
Tubuh
Siangkoan Lo-jin terjengkang dan terbanting jatuh ke bawah batu. Di atas tanah,
tubuh itu berkelojotan akan tetapi tongkat hitam kayu cendana masih saja
dipegangnya erat-erat. Kakek itu tewas dengan dada pecah dan dengan senjata
masih di tangan!
Sui Cin
menahan napas menahan isak. Dia tahu bahwa kakek buta itu juga seorang datuk
sesat yang kejam seperti iblis. Akan tetapi melihat kakek ini tersiksa seperti
itu, hatinya menjadi panas dan dia membenci Raja dan Ratu Iblis itu.
Akan tetapi
dia masih ingat bahwa dia tidak boleh sembarangan menuruti perasaan hati
terhadap dua orang yang benar-benar memiliki kepandaian amat hebat itu. Maka
dia pun segera menahan diri, sejenak menundukkan muka dan mengumpulkan hawa
murni untuk menenangkan batinnya yang terguncang.
Ketika dia
mengangkat muka lagi, dia melihat betapa para iblis Cap-sha-kui dan semua datuk
yang tadinya berdiri dengan sikap menentang di belakang Si Iblis Buta, kini
telah menjatuhkan diri berlutut. Agaknya sekarang mereka maklum bahwa setelah
suami isteri Kui-kok-pang dan Siangkoan Lo-jin sendiri tewas di tangan pangeran
dan isterinya yang mengangkat diri menjadi Raja dan Ratu Iblis, tidak ada
harapan lagi bagi mereka untuk dapat menang. Menentang suami isteri yang amat
lihai itu berarti mencari kematian yang mengerikan.
Ratu Iblis
tersenyum dingin melihat sebelas orang Cap-sha-kui dan dua orang tokoh sesat
lainnya berlutut tanda menakluk. "Kalian tadi berani menentang kami, untuk
hal itu saja sudah cukup bagi kami untuk membunuh kalian! Akan tetapi karena
kalian sudah insyaf dan menyerah, kalian harus bersumpah untuk selamanya tak
akan menentang kami lagi. Bersediakah kalian disumpah?"
Cap-sha-kui
kini tinggal sebelas orang lagi karena suami isteri Kui-kok-pang telah tewas.
Mereka adalah datuk-datuk sesat yang sangat lihai dan ditakuti, akan tetapi
mereka juga maklum bahwa kini berhadapan dengan dua orang yang memiliki
kepandaian amat tinggi. Dan mereka tahu pula bahwa nenek berambut putih itu
tidak mengancam kosong belaka. Kalau mereka menolak untuk takluk dan bersumpah,
tentu nenek itu tidak akan ragu-ragu turun tangan membunuh mereka semua!
"Kami
bersedia!" Serentak mereka menjawab!
Nenek itu
kemudian menghadap ke arah suaminya yang masih duduk bersila dan sambil menjura
dia pun berkata, "Pangeran, silakan. Saya akan menyumpah mereka."
Pangeran
Toan Jit Ong membuka matanya dan bangkit berdiri. Tubuhnya yang jangkung nampak
semakin tinggi dan Sui Cin memandang penuh perhatian kepada kakek berambut
putih ini. Tadi dia mendengar bahwa kakek ini bernama Pangeran Toan Jit Ong.
Hal ini mengingatkan dia dengan sesuatu yang membuat dara ini diam-diam merasa
jantungnya berdebar dan dia bergidik.
Ibunya, yang
selama ini dianggapnya sebagai seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar
wanita yang hebat, kabarnya pernah menjadi seorang datuk sesat di selatan! Dan
ibunya itu pun she Toan! Kakeknya, yaitu ayah dari ibunya yang sudah meninggal,
bernama Pangeran Toan Su Ong! Jangan-jangan masih ada hubungan keluarga di
antara kakeknya, Toan Su Ong itu dengan Raja Iblis yang mengaku bernama
Pangeran Toan Jit Ong ini. Apa bila benar demikian, berarti Raja Iblis masih
kakeknya juga! Kakek paman! Sungguh mengerikan, pikirnya.
Dengan
gerakan perlahan dan tenang sekali, kakek berambut putih itu lalu mengeluarkan
sebuah tongkat pendek hitam dari pinggangnya, yaitu sebatang tongkat yang
panjangnya hanya dua kaki dan dari jauh hanya nampak kehitaman. Kakek itu
mengangkat tongkat ke atas kepalanya dengan sikap menghormat sekali.
Dengan
perasaan heran bukan main, Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas
bersikap hormat pula dan menundukkan muka menghadap ke arah tongkat hitam itu!
"Kalian
semua lihatlah baik-baik. Tongkat di tangan Raja kalian itu adalah Tongkat
Suci, tongkat keramat pegangan para kaisar jaman dahulu, yang sampai sekarang
pun masih dianggap suci dan dapat membuka semua pintu di istana kaisar!
Pemegang tongkat suci ini berhak menasehati bahkan menegur kaisar yang mana pun
juga. Tongkat suci ini pun mengandung kekuasaan untuk menghukum siapa saja yang
bersalah, termasuk kaisar! Oleh karena itu kalian harus menganggap tongkat ini
sebagai tongkat suci dan disaksikan oleh tongkat suci ini kalian diminta
bersumpah. Bersediakah kalian?"
"Kami
bersedia!" Jawab belasan orang itu yang sudah terpengaruh oleh keterangan
Ratu Iblis mengenai tongkat hitam itu.
"Nah,
ikuti kata-kataku!" kata nenek itu, kemudian dengan suara lantang ia
mengucapkan kata-kata sumpah sekalimat demi sekalimat yang ditirukan oleh
belasan orang itu dengan serempak.
"Kami
bersumpah bahwa semenjak saat ini kami mengangkat Pangeran Toan Jit Ong dan
isterinya menjadi Raja serta Ratu kami. Kami bersumpah akan mentaati semua
perintah mereka dan kami siap mengorbankan nyawa untuk membela Tongkat Suci!
Kami bersama seluruh murid serta keturunan kami akan selalu menjunjung Tongkat
Sakti atau Tongkat Suci, dan akan taat kepada pemilik atau pemegangnya. Kalau
kami melanggar, kami rela mati di ujung Tongkat Suci! Sumpah kami ini
disaksikan oleh tongkat suci dan kesaktian tongkat suci akan menghukum kami,
biarlah Bumi dan Langit akan mengutuk kami hingga tujuh turunan kalau kami
melanggar sumpah!"
Sui Cin
meleletkan lidahnya. Sungguh merupakan sumpah yang sangat berat, dan secara
diam-diam dia memikirkan keadaan dua kakek sakti yang datang bersamanya ke
tempat itu. Seperti itu pulakah sumpah kedua orang sakti ini maka kini mereka
begitu ketakutan?
Kebetulan
pada saat itu kakek katai memandang kepadanya dan agaknya kakek itu dapat
menangkap pertanyaan di dalam hati Sui Cin itu melalui pandang matanya, karena
kakek itu seakan-akan memberi jawaban dengan mengangguk-angguk!
Nampak Raja
Iblis itu menyimpan kembali tongkat hitamnya dan berdiri tegak menghadapi semua
datuk sesat yang kini berlutut semua. Di sudut nampak mayat tiga orang yang
tadi dikalahkan Ratu Iblis.
"Kawan-kawan
semua, bangkitlah dan dengarkan baik-baik!" kata Ratu Iblis yang agaknya
memang menjadi juru bicara suaminya karena mungkin merasa terlalu tinggi untuk
bicara sendiri kepada para datuk yang baru saja tunduk kepadanya itu.
"Toan
Ong-ya sudah puluhan tahun meninggalkan istana, tetapi selama ini kaisar-kaisar
yang memimpin kerajaan tak ada yang becus, bahkan kaisar yang sekarang terlalu
muda dan tolol, hanya menjadi permainan pembesar-pembesar korup. Karena itu
Toan Ong-ya telah mengambil keputusan untuk pulang ke istana dan memimpin
sendiri pemerintahan!"
"Pemberontakan...?"
terdengar suara kasar dari tengah rombongan orang-orang yang kini telah berdiri
semua itu.
"Bukan
pemberontakan, melainkan perbaikan! Dengan menggunakan Tongkat Suci, Toan
Ong-ya hendak menggunakan kekuasaannya untuk menyalahkan dan menurunkan kaisar,
kemudian mengangkat penggantinya yang cakap. Akan tetapi karena mungkin kelak
akan timbul perlawanan dan pertentangan, kita perlu membina pasukan yang kuat.
Untuk itulah teman-teman semua dikumpulkan malam ini. Kalian semua diwajibkan
untuk menghimpun pasukan-pasukan dan membawa pasukan-pasukan itu untuk dilatih
bersama oleh Ong-ya sendiri."
"Mengumpulkan
pasukan-pasukan tentu akan diketahui pemerintah dan sebelum berhasil dihimpun,
tentu pemerintah akan mengirim bala tentara untuk menghancurkan kita!"
kata pula seorang datuk.
"Kita
harus dapat bekerja secara rahasia. Pasukan itu dikirim satu rombongan demi satu
rombongan kecil, menuju ke benteng yang telah disediakan. Dan Ong-ya memilih
benteng di luar tembok besar, di utara. Kalian tentu dapat mencari benteng itu.
Tempat itu dahulu merupakan markas dari perkumpulan Jeng-hwa-pang..."
"Ahh,
aku tahu..."
"Aku
tahu tempat itu!"
"Akan
tetapi tempat itu telah terbakar dan orang-orang Jeng-hwa-pai telah
terbasmi!"
Mendengar
suara-suara itu, nenek berambut putih mengangkat tangan kanan ke atas dan
suasana menjadi tenang kembali. "Kami tahu. Tempat itu kosong dan sunyi,
bangunan-bangunannya sudah rusak. Akan tetapi tempat itu amat baik, berada di
puncak bukit dan kalau kita membangun kembali benteng itu, maka akan menjadi
markas yang amat baik. Tempatnya di luar tembok besar, jadi pemerintah tentu
tidak akan mencampuri. Kita akan gembleng pasukan yang kita kumpulkan di situ,
kemudian pada saat yang tepat, pasukan kita turunkan melalui tembok besar ke
selatan, menuju ke kota raja, bertepatan dengan munculnya Toan Ong-ya di
istana. Pasukan kita itu mungkin tidak usah bergerak, hanya untuk memperkuat
wibawa saja."
Nenek itu
berhenti bicara dan semua tokoh sesat yang berada di bawah kembali berbicara
sendiri-sendiri hingga keadaannya menjadi berisik seperti tawon diganggu dari
sarangnya. Sementara itu Sui Cin melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas saling
pandang dengan mata terbelalak dan wajah mereka yang biasanya gembira itu
nampak gelisah sekali.
"Kawan-kawan
harap tenang! Apakah kalian sudah mengerti dan dapat mentaati perintah pertama
tadi?"
"Akan
tetapi, mengumpulkan pasukan membutuhkan waktu..."
"Kawan-kawan,
dengarkan baik-baik! Toan Ong-ya sudah memikirkan hal itu pula. Maka, beliau
memberi waktu selama tiga tahun. Tiga tahun lagi, tepat pada permulaan musim
semi, pada hari Tahun Baru, semua pasukan harus dikumpulkan di luar tembok
besar, di benteng kita untuk segera memulai dengan pembangunan benteng dan
melatih pasukan. Mengertikah kalian?"
Semua orang
mengangguk dan menjawab bahwa mereka mengerti dan dapat menerima perintah itu.
Kalau diberi waktu selama tiga tahun, tentu saja mereka akan sanggup untuk
mengumpulkan teman-teman. Bagaimana pun juga mereka telah bosan menjadi
golongan hitam yang selalu dimusuhi para pendekar dan selalu dikejar pasukan
pemerintah. Kini, di bawah pimpinan suami isteri yang sangat sakti itu, mereka
ditawari kehidupan lain yang lebih mulia.
Jika sampai
perjuangan Pangeran Twa Jit-ong itu berhasil, tentu mereka akan mendapat
kedudukan tinggi lantas mereka dapat hidup mulia dan terhormat seperti para
pembesar, bukan seperti sekarang ini. Dan mereka yakin bahwa pemimpin mereka
sekarang ini tentu akan berhasil, tidak seperti Liu-thaikam yang hanya seorang
pembesar korup saja. Kalau pemimpin sekarang ini berhasil merebut tahta
kerajaan, tentu kelak mereka semua akan menjadi pejabat tinggi!
Akan tetapi,
mendadak terdengar suara keras, "Tidak! Tidak boleh begitu! Pangeran Toan
tidak boleh memberontak terhadap kerajaan dan menimbulkan perang saudara,
sehingga menghancurkan kehidupan rakyat!" yang berseru demikian adalah
Siang-kiang Lo-jin atau San-sian Si Dewa Kipas.
Agaknya
kakek ini tidak dapat menahan dirinya lagi. Melihat dan mendengar semua yang
terjadi di situ, dia merasa khawatir dan penasaran. Hal ini tidak aneh karena
pada waktu mudanya, kakek ini adalah seorang yang berjiwa patriot, yang selalu
condong membela pemerintah dan dia paling anti pemberontakan. Oleh karena itu,
walau pun dia sendiri tidak berani menentang Toan Jit Ong dan isterinya, namun
rasa penasaran mendengar persekutuan yang hendak melakukan pemberontakan itu,
dia segera melompat keluar dan menegur.
Melihat hal
ini, maka tahulah Wu-yi Lo-jin bahwa tempat persembunyian mereka tak dapat
dipertahankan lagi sehingga tidak ada lain jalan baginya kecuali keluar dan
mendukung pendapat temannya.
"Benar,
Ong-ya. Tidak baik merencanakan pemberontakan karena setiap pemberontakan pada
akhirnya hanya akan mendatangkan kehancuran bagi diri sendiri dan perang amat
menyengsarakan rakyat!"
Melihat
kemunculan kedua orang ini, Pangeran Toan Jit Ong memandang dengan mata
mencorong marah. Juga Ratu Iblis menjadi marah sekali ketika mengenal dua orang
itu. Dia tidak turun tangan sendiri karena ingin menguji kesetiaan para anak
buah baru yang baru saja mengucapkan sumpah. Maka dia menudingkan telunjuknya
kepada dua orang kakek yang baru muncul itu sambil berteriak,
"Kawan-kawan,
tangkap dan bunuh dua orang tua bangka tak tahu diri ini!"
Kebetulan
yang paling dekat dengan San-sian Si Dewa Kipas adalah raksasa pemakan anak
kecil yang tadi mereka lihat. Raksasa ini hendak memperlihatkan kesetiaannya
dan juga kelihaiannya, maka begitu membalik dia mengeluarkan suara mengggereng
laksana seekor binatang buas, lantas mulutnya menyeringai, nampaklah giginya
yang besar-besar dan ada taring di ujung mulutnya.
"Grrrrr...
mampuslah!" bentak raksasa itu.
Dengan
gerakan seperti seekor beruang dia sudah menubruk ke depan dan yang menjadi
sasaran kedua tangannya yang besar-besar berbulu adalah perut gendut San-sian
yang tidak tertutup baju itu. Agaknya sang pemakan daging manusia ini sudah
mengilar melihat gumpalan di perut San-sian yang putih halus itu, maka langsung
saja dia menghantam dengan tangan kanan, lalu mencengkeram dengan tangan kiri
ke arah perut itu!
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak, maklum akan kehebatan raksasa ini. Akan
tetapi San-sian hanya menyeringai saja, mulutnya tersenyum lebar dan sama
sekali tidak mengelak atau pun membalas, bahkan dia menonjolkan perutnya
sehingga perut itu mengembung seperti balon ditiup!
"Bukkk!
Bunggg...!" Suara yang terdengar itu nyaring sekali, keluar dari perut
gendut itu bagaikan sebuah tambur besar ditabuhi. Akan tetapi hebatnya, raksasa
pemakan daging manusia itu terpental ke belakang dan hampir saja terbanting!
Tentu saja
dia menjadi marah bukan main. Kekuatannya amat besar dan jarang ada orang yang
mampu menahan pukulan atau cengkeramannya. Akan tetapi cengkeramannya tadi
seperti mengenai bola baja saja, licin dan keras, sedangkan pukulannya malah
membuat tubuhnya terpental, seperti orang memukul bola karet yang besar.
Kembali dia
mengeluarkan gerengan marah dan kini dia tahu bahwa lawannya lihai sekali, maka
dia sudah kembali menerjang ke depan, tidak ngawur macam binatang buas seperti
tadi, melainkan dengan gerakan-gerakan silat tinggi yang amat berbahaya!
Sementara
itu, kakek raksasa ke dua yang tadi mereka lihat membunuhi penduduk dusun
dengan tongkat kepala harimau, kini pun sudah menerjang Ciu-sian dengan
tongkatnya. Agaknya, tidak seperti raksasa pemakan daging manusia, kakek ini
sudah bisa menduga bahwa lawannya amat lihai, maka begitu menyerang dia sudah
menggunakan tongkatnya. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat
besar.
Akan tetapi
tiba-tiba dia melongo, karena kakek katai kecil yang dihantam tongkatnya itu
mendadak hilang begitu saja! Pada saat dia masih kebingungan, telinganya yang
sebesar telinga gajah itu tahu-tahu disentil orang dari belakang, dibarengi suara
orang terkekeh.
"Heh-heh-heh,
aku di sini!"
Kakek
raksasa itu segera membalik dan memutar tubuhnya, lantas menyerang lagi. Akan
tetapi kembali Ciu-sian sudah lenyap. Kakek katai ini mempermainkan lawannya
dengan menggunakan ginkang-nya yang memang luar biasa hebatnya itu. Kakek
tinggi besar itu bagaikan seorang anak kecil yang berusaha memukul seekor
capung dengan tongkatnya saja, memukul terus ke sana ke mari akan tetapi tidak
pernah mampu mengenai Ciu-sian. Jangankan mengenai tubuhnya, sedangkan menyentuh
ujung jubahnya pun tidak mampu. Demikian cepat gerakan kakek katai itu ketika
mengelak.
"Wah,
mulutmu bau darah dan mayat, bau bangkai, tidak kuat aku!" Berkali-kali
San-sian mengeluh dan mengejek, membuat raksasa pemakan bangkai itu semakin marah.
Dia adalah
seorang di antara Cap-sha-kui, seorang yang tadinya memiliki ilmu silat tinggi,
akan tetapi karena menjadi buronan kemudian menyembunyikan diri di dalam hutan
dan akhirnya dia berubah seperti seorang sinting atau seekor binatang buas yang
suka makan daging mentah, termasuk daging manusia! Akan tetapi, walau pun dia
sinting atau buas seperti binatang, dia tidak melupakan ilmu silatnya dan
karenanya, dia amat berbahaya.
Dengan
sebuah lompatan tinggi, kini raksasa itu menerjang San-sian yang semenjak tadi
hanya mengelak atau membiarkan perut dan tubuhnya dipukuli. Akan tetapi,
tiba-tiba saja sekarang San-sian membalikkan tongkat kipasnya, lalu gagang
tongkat itu dia sodokkan, menyambut tubuh lawan, menotok ke arah muka di antara
alis. Itulah serangan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan.
Namun
raksasa buas itu menggunakan kedua tangannya, mencengkeram dan menangkis ke
arah ujung tongkat, berusaha menangkapnya. Karena itu, terpaksa San-sian
menarik kembali tongkatnya sambil mengelak sebab tubuh lawan telah menubruknya
bagai seekor singa menubruk domba. Dan kini, pada saat lawannya membalik, dia
juga membalikkan senjatanya dan kipas besar itu bergerak meniup ke arah muka si
raksasa.
Tiupan kipas
ini hebat sekali. Datang angin laksana badai yang kekuatannya dipusatkan dan
menyambar ke arah muka si raksasa. Tentu saja raksasa itu terkejut sekali,
menarik kepala ke belakang dan terpaksa memejamkan matanya karena angin yang
menyambar itu amat dahsyat. Saat itu, tongkat membalik lagi dan ujungnya
menotok ke arah dada.
"Dukkk...!"
Kakek
raksasa mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua tangannya mencengkeram ke arah
dada sendiri. Akan tetapi tiba-tiba dia muntah-muntah dan darah segar yang
berbau busuk muncrat-muncrat dari mulutnya.
Totokan pada
ulu hatinya itu ternyata sudah membuat jantungnya pecah. Walau pun dia berusaha
untuk menyerang lagi, akan tetapi matanya terbelalak dan kini dia terpelanting
roboh lantas berkelojotan. Kakek raksasa yang suka membunuh dan makan daging
anak itu akhirnya tewas dalam keadaan yang amat mengerikan!
Sementara
itu, raksasa kedua yang menyerang Ciu-sian juga mulai terengah sebab sejak tadi
dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang secara bertubi-tubi tanpa
hasil sedikit pun juga. Ketika Ciu-sian yang selalu mempermainkan lawan itu
melihat betapa temannya sudah merobohkan musuh, dia pun segera menyemburkan
arak dari mulutnya. Semburan arak itu menyerang wajah si raksasa yang menjadi
bingung menghindar, dan kesempatan itu segera digunakan oleh Ciu-sian untuk
menendang ujung tongkat lawan ke samping, lalu menyusulkan pukulan dengan
ciu-ouw (guci arak) yang besar itu.
"Krakk!"
Robohlah raksasa yang menjadi lawannya itu dengan kepala retak-retak.
Tentu saja
peristiwa ini mengejutkan sembilan orang Cap-sha-kui yang lain. Tidak mereka
sangka bahwa dua orang rekan mereka akan roboh dalam waktu yang sesingkat itu,
tidak sampai dua puluh jurus! Dan dalam waktu singkat mereka telah kehilangan
empat orang rekan!
Pertama-tama
adalah suami isteri Kui-kok-pang yang tadi dibunuh oleh Ratu Iblis sendiri,
kemudian dua orang rekan ini tewas pula di tangan dua orang kakek aneh yang
agaknya menentang Toan Jit Ong! Sekarang Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) hanya
tinggal menjadi Kiu-lo-kwi (Sembilan Iblis Tua) saja!
"Ciu-sian
dan San-sian! Berani kalian membunuh para pembantu Toan Jit Ong ya?"
bentak Ratu Iblis dengan nada marah dan penasaran sekali.
"Maaf,
aku melihat si pemakan bangkai ini tadi membunuh seorang anak kecil dan makan
dagingnya. Dia bukan manusia lagi, tetapi iblis busuk yang sudah selayaknya
dienyahkan dari muka bumi!" Siang-kiang Lo-jin berkata sambil mengipasi
perutnya yang gendut dan berkeringat dengan kipasnya.
"Dan
raksasa buas ini pun bukan manusia karena tadi aku melihat dia membunuhi banyak
orang dusun yang sama sekali tidak berdosa, bahkan dia membunuh anak-anak
dengan tongkatnya itu. Karena itu, terpaksa aku membunuhnya ketika dia
menyerangku dan aku teringat akan kekejiannya!"
"Tua
bangka-tua bangka gila, berani kalian melawan Toan Ong-ya?!" kembali Ratu
Iblis membentak lagi, menoleh kepada suaminya yang kini berdiri tegak memandang
pada dua orang kakek itu dengan mata mencorong seperti mengeluarkan api.
"Ha-ha,
kami tak pernah menentang siapa saja, melainkan menentang kejahatan. Seperti
belum tahu saja!" jawab Ciu-sian sambil menenggak arak dari gucinya,
sikapnya acuh tak acuh walau pun Sui Cin dan Hui Song yang kini mengintai
dengan khawatir itu maklum betapa sebetulnya dua orang kakek itu merasa
ketakutan dan jeri terhadap suami isteri di atas batu itu.
Melihat
sikap dua orang kakek yang jelas-jelas menentang itu, tiba-tiba saja Toan Jit
Ong mengeluarkan tongkat hitamnya kemudian mengangkatnya ke atas kepala, lalu
terdengar bentakannya yang halus tapi berwibawa, "Berlututlah kalian semua
menghormati Tongkat Suci!"
Para datuk
yang tadinya mengambil sikap bermusuh dan telah siap menerjang dua orang kakek
itu, kini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Toan Jit Ong
yang mengangkat tongkat itu, sehingga hanya tinggal Ciu-sian dan San-sian yang
masih tetap berdiri, akan tetapi wajah dua orang kakek ini berubah pucat dan
sikap mereka bingung.
"Ciu-sian
dan San-sian, apakah kalian berani menentang Tongkat Suci dan melanggar sumpah
kalian sendiri?" terdengar Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong berkata
kepada mereka.
Kedua orang
kakek itu saling pandang, kemudian menghadap ke arah tongkat dan kakek katai
yang menjadi wakil mereka itu berkata dengan lirih, "Kami tidak
berani..."
Kini Sui Cin
melihat betapa wajah yang dingin seperti topeng itu agak tersenyum sehingga
bertambah seram. "Ciu-sian dan San-sian, kalian berdua sudah berdosa
karena berani memperlihatkan sikap menentang kepada kami, malah kalian telah
membunuh dua orang pembantu kami. Kalian berdosa kepada Tongkat Suci, sudah melanggar
janji dan karena itu, kami menjatuhkan hukuman mati kepada kalian. Adinda,
segera laksanakan hukuman itu sekarang juga!"
Ratu Iblis
mengangguk dan nampak girang sekali. Sui Cin dan Hui Song melihat dengan mata
terbelalak, apa lagi melihat betapa dua orang kakek itu agaknya tidak akan
melawan sama sekali, berlutut dengan muka tunduk, agaknya sudah pasrah!
Sui Cin yang
cerdik itu tadi telah mencari sepotong kayu dan di dalam keremangan cuaca, kayu
yang ukurannya persis sama dengan tongkat suci di tangan Toan Jit Ong itu
nampak kehitaman. Dia berbisik ke dekat telinga Hui Song.
"Kita
harus bertindak menolong mereka. Biar kupergunakan akal untuk merampas tongkat
iblis itu dari tangannya." Setelah membisikkan kata-kata ini, Sui Cin
segera menyelipkan tongkatnya di balik jubah, lalu bergegas meloncat keluar,
diikuti Hui Song.
"Tahan
dulu...!" Dengan gerakan yang amat gesit karena memang ginkang dara ini
cukup hebat, tahu-tahu tubuh Sui Cin telah berada di atas batu besar,
berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis. Hui Song juga meloncat dan tiba di
belakang dara itu.
"Hemm,
bocah-bocah yang bosan hidup! Siapa kalian berani mencampuri urusan
kami?!" bentak Ratu Iblis marah.
Hui Song
tidak dapat menjawab. Dia tidak tahu apa yang menjadi siasat Sui Cin. Karena
tindakan Sui Cin itu secara mendadak dan dia belum tahu apa yang akan dilakukan
oleh dara itu selanjutnya, maka dia diam saja, hanya bersikap waspada sambil
menyerahkan jawabannya kepada dara itu.
"Aku
ingin mengatakan bahwa tongkat suci yang berada di tangan Pangeran Jit-ong ini
adalah tongkat palsu!"
Tentu saja
semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan ini, maka semua muka diangkat
lalu semua mata memandang ke arah gadis yang berani mengeluarkan tuduhan
seperti itu. Bahkan Ciu-sian dan San-sian yang tadinya menunduk dan pasrah,
kini juga mengangkat muka memandang dengan mata terbalalak. Apakah gadis itu
sudah menjadi gila karena gelisahnya?
Tentu saja
Pangeran Toan Jit Ong marah bukan main. Dengan tongkat masih diangkat tinggi di
atas kepalanya, dia melirik ke arah tongkatnya itu, lalu berkata, suaranya agak
keras dan tidak sehalus tadi, "Anak perempuan gila, apa yang kau katakan
itu? Siapakah kamu?"
"Ibuku
adalah she Toan, dan ayah dari ibuku adalah Pangeran Toan Su Ong...!" Sui
Cin memperkenalkan diri.
"Gadis
itu adalah puteri Pendekar Sadis! Dan pemuda itu putera ketua Cin-ling-pai!
Bunuh mereka!" Kini orang-orang dari Cap-sha-kui mengenal Sui Cin dan Hui
Song dan mereka berteriak-teriak.
"Tenang!"
Tiba-tiba Pangeran Toan Jit Ong berseru sambil mengangkat tongkat ke atas
kepalanya. Suasana menjadi tenang dan pangeran itu memandang tajam kepada Sui
Cin. "Mendiang Toan Su Ong adalah kakakku! Jadi engkau ini cucunya? Apa
hubungannya kakekmu itu dengan tongkat suci ini?"
Sui Cin
merasa mendapat hati dan dia pun berkata dengan suara lantang. "Tongkat
Suci adalah sebuah tongkat keramat hadiah yang sangat mulia dari kaisar
sendiri. Tongkat itu diberi nama Ceng-thian Hek-liong (Naga Hitam Naik ke
Langit) dan merupakan semacam tek-pai atau tanda kekuasaan seseorang di istana.
Orang yang dulu menerima tongkat itu adalah mendiang kakekku, lalu benda
keramat itu diwariskan kepadaku. Maka, kalau kini muncul tongkat yang lain,
benda itu adalah palsu! Yang asli berada bersamaku!"
Tentu saja
semua ucapan Sui Cin ini hanya ngawur saja, walau pun pada saat itu sempat
membikin kaget dan bingung semua orang, juga termasuk Hui Song, Siang-kiang
Lo-jin dan Wu-yi Lo-jin. Sikap gadis itu sedemikian meyakinkan sehingga
Pargeran Toan Jit Ong sendiri mengerutkan alisnya dan matanya terbelalak.
Demikian pula isterinya.
"Tongkat
ini adalah Tongkat Suci yang asli! Tongkat Sakti yang asli dan selamanya berada
di tanganku. Mana mungkin palsu?" kata pangeran itu sambil memandangi
tongkatnya.
"Sebagai
cucu tunggal mendiang kakek Pangeran Toan Su Ong, tentu saja aku dapat mengenal
mana palsu mana asli. Yang asli berada di tanganku," kata Sui Cin pula
dengan suara lantang.
Pangeran
Toan Jit Ong mengerutkan alisnya dan semua orang yang hadir saling pandang
dengan bingung. "Bocah lancang, lekas kau perlihatkan tongkatmu agar
kuperiksa apakah omonganmu itu benar!" bentaknya.
"Boleh,
akan tetapi aku pun ingin melihat tongkatmu apakah bukan palsu seperti kuduga!
Tidak boleh orang menggunakan tongkat palsu untuk mengelabui begini banyak
orang!"
Tadinya
pangeran tua itu ragu-ragu, akan tetapi lalu teringat bahwa seorang dara
seperti Sui Cin ini akan dapat berbuat apakah terhadap dirinya? Sekali serang
saja dara itu akan roboh tewas.
"Baik,
mari kita saling memeriksa tongkat masing-masing!" katanya mengulurkan
tongkat hitam itu.
Sui Cin juga
mencabut tongkat kayu dari pinggangnya. Sambil menerima sodoran tongkat
pangeran itu dengan tangan kiri, dia pun menyerahkan tongkatnya sendiri. Dengan
sikap pura-pura sedang memeriksa lebih teliti tongkat hitam yang ternyata berat
itu, mundur dua langkah, lalu tiba-tiba dara itu meloncat jauh!
"Hei,
kembalikan tongkatku!" Pangeran Toan Jit Ong terkejut sekaii dan marah,
tangannya bergerak hendak mengejar.
Akan tetapi
kini Hui Song baru mengerti siasat apakah yang dipergunakan oleh temannya yang
bengal itu dan langsung saja dia membantu. Melihat pangeran itu hendak
mengejar, dia lalu membentak.
"Perlahan
dulu!"
Dan
tangannya telah menusuk ke arah perut orang itu. Bukan sembarang tusukan karena
jari-jari tangannya sudah berisi tenaga Thian-te Sin-ciang sepenuhnya dan dia
menusuk dengan jurus San-in Kun-hoat yang cepat dan halus.
Melihat
serangan yang tenaga sinkang-nya bisa dia rasakan kehebatannya ini, Pangeran
Toan Jit Ong langsung menggerakkan tongkat yang diambilnya dari tangan Sui Cin
tadi untuk menangkis.
"Krekkk...!"
Tongkat yang
sesungguhnya hanya sepotong dahan yang diambil Sui Cin tentu saja tidak dapat
bertahan pada saat bertemu dengan tangan Hui Song. Tongkat pendek itu hancur
berkeping-keping sehingga tahulah Pangeran Toan Jit Ong bahwa dia telah ditipu
mentah-mentah oleh gadis yang agaknya memang hendak merampas tongkat suci itu.
"Plakkk...!"
Sebuah
tamparan yang aneh dan tiba-tiba datangnya mengenai pundak Hui Song. Untung
pemuda ini masih dapat membuang tubuh ke belakang sehingga yang terkena
tamparan hanya pundaknya. Akan tetapi ini cukup membuatnya terpelanting.
Sementara itu, Ratu Iblis yang juga baru tahu bahwa suaminya diakali orang,
kini mengejar Sui Cin dengan kemarahan memuncak.
"Berikan
tongkat itu!" Teriaknya dan tangannya diulur ke depan, mencengkeram ke
arah tengkuk Sui Cin.
"Hihhhh...!"
Sui Cin bergidik ketika merasa betapa tengkuknya diserang hawa dingin. Dia
mempercepat gerakannya, berjungkir balik ke samping hingga serangan itu luput.
Sui Cin sudah meloncat ke atas cabang pohon lantas mengangkat tongkat hitam itu
tinggi di atas kepalanya.
"Berani
kau melawan tongkat suci ini?!" bentaknya kepada Ratu Iblis pada waktu
wanita itu hendak menyerangnya kembali. Aneh, tiba-tiba saja nenek itu
menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sui Cin yang berdiri di atas cabang
pohon, tidak berani berkutik.
"Hayo
kalian semua berlutut!" bentak Sui Cin lagi. "Beri hormat kepada
Tongkat Suci!"
Pada mulanya
para datuk sesat itu menjadi bingung. Akan tetapi mereka segera teringat dengan
sumpah mereka dan karena kini tongkat itu berada di tangan gadis itu, terpaksa
mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, walau pun hati mereka meragu dan
bingung.
Sementara
itu, Pangeran Toan Jit Ong masih hendak mengejar Sui Cin, akan tetapi Hui Song
selalu menghalangi dan menyerangnya, membuat Raja Iblis itu menjadi semakin
marah. Melihat ini Sui Cin berseru, "Hayo berlutut! Kau juga, Pangeran
Toan Jit Ong...!"
Akan tetapi
pangeran itu sama sekali tak mau mentaatinya, bahkan kini sambil mendesak Hui
Song, dia berkata, "Dinda, bangkit dan bantu aku menangkap bocah itu, merampas
kembali tongkatku!"
Nenek itu
mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya mencelat ke arah Sui Cin. Kaget bukan
main gadis itu.
"Krakkk...!"
Batang yang
tadi dijadikan tempat dia berdiri patah-patah, akan tetapi untung dia sudah
meloncat turun lebih dulu sehingga terhindar dari bahaya maut. Kini dia harus
berloncatan menjauh karena nenek itu terus-menerus mengejarnya dengan rambutnya
yang putih itu riap-riapan seperti ular-ular hidup. Sungguh mengerikan sekali!
"Wu-yi
Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, apakah kalian akan berlutut sampai tua? Tongkat
sudah berada di tanganku, kalian tidak perlu berlutut lagi kepada Toan Jit Ong!
Bantulah aku dan Hui Song!"
Ketika
mendengar teriakan Sui Cin ini, baru kedua orang kakek itu tahu mengapa dara
itu melakukan hal yang demikian berani dan aneh. Barulah mereka sadar bahwa
kini mereka bukan berarti melanggar sumpah apa bila melawan Raja dan Ratu
Iblis, karena bukankah Tongkat Suci sudah pindah tangan? Akan tetapi mereka
berdua maklum bahwa sampai kini pun, mereka bukanlah lawan Raja Iblis. Maka
mereka segera meloncat dan San-sian sudah menerjang Raja Iblis membantu Hui
Song yang kewalahan. Kipasnya mengebut dengan serangan dahsyat.
"Hemmm...!"
Pangeran
Toan Jit Ong menghardik dan kedua tangannya mendorong. Dari kedua tangan itu
keluar hawa pukulan yang dahsyat bukan main, bahkan ketika kedua telapak tangan
pangeran itu saling bersentuhan, nampak cahaya berkilat seperti ada api yang
bernyala! Akibatnya, Hui Song dan San-sian terdorong kemudian terpelanting!
Bukan main kagetnya kakek gendut itu.
"Mari...!"
serunya kepada Hui Song.
Sementara
itu, Sui Cin menjerit ketika tiba-tiba lengan kirinya terlibat rambut putih
yang panjang! Akan tetapi, pada saat itu pula Ciu-sian langsung menyemburkan
arak ke arah muka nenek berambut putih dan sekali tangannya mengebut selagi
nenek itu mengelak, rambut-rambut itu putus sehingga lengan Sui Cin bebas.
"Lari...!"
teriak pula Ciu-sian kepada Sui Cin.
Sui Cin dan
Hui Song cepat melompat dan melarikan diri, disusul oleh dua orang kakek yang
menjaga di belakang dengan senjata masing-masing, yaitu tongkat kipas dan guci
arak. Tentu saja Pangeran Toan Jit Ong bersama isterinya tidak mau membiarkan
mereka melarikan diri begitu saja maka mereka berdua cepat mengejar!
Gerakan Toan
Jit Ong dan isterinya sungguh sangat cepat dan yang dapat mengimbangi kecepatan
lari mereka hanyalah Sui Cin dan tentu saja kakek katai, maka Sui Cin cepat
memegang tangan Hui Song untuk dibantunya agar larinya lebih cepat, sedangkan
kakek katai memegang ujung tongkat kipas kakek gendut untuk ditariknya. Namun,
biar pun kini mereka dapat berlari lebih cepat, akhirnya tetap saja mereka
dapat disusul!
"Sui
Cin, cepat buang tongkat itu ke dalam jurang di kiri sana!" Teriak
Ciu-sian kepada Sui Cin. Gadis yang sangat cerdik ini langsung maklum akan
maksud kakek itu, maka sambil mengangkat tongkat hitam itu tinggi-tinggi, dara
itu berteriak ke belakang.
"Toan
Jit Ong, lihat tongkatmu melayang ke jurang dan lenyap di sana!" Ia
melemparkan tongkat itu tinggi-tinggi ke arah jurang. Tongkat itu melayang di
bawah sinar bulan.
"Tongkatku...!"
Kakek berambut putih itu menjerit dan dia pun segera meloncat ke arah jurang,
agaknya hendak mencari tongkatnya.
Melihat ini,
Ratu Iblis tidak berani melakukan pengejaran sendirian saja. Dua orang kakek
itu terlampau lihai, apa lagi dibantu dua orang muda yang tidak boleh dipandang
ringan. Selain itu, dia pun harus membantu suaminya mencari Tongkat Suci karena
tongkat itu sangat penting bagi mereka, untuk menundukkan serta menguasai semua
datuk sesat. Maka wanita itu pun menghentikan pergejaran dan ikut turun ke
dalam jurang.
Empat orang
itu lalu mempercepat lari mereka, dan kini dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin atau
Ciu-sian yang sengaja mengambil jalan berlika-liku agar tidak dapat disusul
oleh musuh. Biar pun tidak kelihatan ada yang mengejar mereka, namun mereka
tidak berani berhenti sebelum pagi. Raja dan Ratu Iblis itu terlalu berbahaya,
apa lagi sesudah mereka dibantu oleh para datuk sesat.
Setelah
malam berganti pagi, barulah kakek katai itu berhenti di sebuah lereng bukit.
Pagi itu di lereng bukit hawanya amat dingin, akan tetapi tetap saja San-sian
sibuk mengipasi perutnya yang basah oleh peluh. Kakek gendut ini mengomel
panjang pendek.
"Wah,
wah, untunglah aku tidak mempunyai anak cucu. Jika punya, malam tadi sungguh
menjadi bagian riwayat hidupku yang akan memalukan anak cucu. Lari
terbirit-birit seperti anjing tua yang diancam cambuk. Ha-ha-ha!"
Ciu-sian
juga tertawa. "Masih mending dari pada mati konyol disiksa Ratu Iblis. Aku
si tua bangka ini sudah tidak berdaya dan sudah pasrah menanti maut. Eh,
gendut, apa kau kira kita masih akan dapat menikmati sinar matahari pagi
mengusir kabut ini kalau dua orang muda ini tidak turun tangan menyelamatkan
kita dengan akal mereka?"
"Ha-ha-ha,
memang mereka ini mengagumkan sekali! Dan ilmu silat mereka pun hebat. Aku
ingin sekali mengambil mereka ini sebagai murid-muridku. Bagaimana pendapatmu,
katai?"
"Enak
saja kau ngomong! Aku yang terkena getahnya dan engkau yang mau menikmati
hasilnya! Aku yang susah payah menemukan mereka tetapi kamu yang enak-enakan
saja mengambil mereka sebagai murid? Mana ada aturan macam ini?"
Kakek gendut
menghentikan senyumnya, menyeringai sambil alisnya berkerut. "Hai, katai!
Kau berani menghalangi kehendakku?"
"Tentu
saja, habis kau mau merampas muridku! Kemarin kau sudah mencuri arakku, itu bisa
dimaafkan antara teman. Akan tetapi mencari murid? Nanti dulu, ya!"
"Wah,
kalau aku tetap mengambil mereka menjadi murid, lalu engkau mau apa?"
bentak si kakek gendut, kini melotot.
"Boleh,
asal engkau dapat mengalahkan aku terlebih dahulu!" Si kakek katai
membantah, ngotot.
Keduanya
kini berdiri berhadapan dengan mata sama-sama melotot, dengan pasangan
kuda-kuda. Si gendut hendak membusungkan dada, akan tetapi apa daya perutnya
yang terlalu gendut itu mendahului dada sehingga yang membusung bahkan
perutnya.
Sebaliknya,
si katai yang ingin membusungkan dada pun tidak mungkin karena dadanya
kerempeng, makin dibusungkan semakin kempis! Keduanya seperti dua ekor ayam
aduan berlagak, siap untuk saling serang.
Sui Cin
tersenyum geli melihat hal ini, akan tetapi Hui Song mengerutkan alisnya karena
pemuda ini khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu saling gempur dan akibatnya
bisa hebat. Hanya Sui Cin yang agaknya sudah dapat menangkap watak kedua orang
kakek sakti itu, yang kelihatan ayem saja, bahkan gembira karena dia tahu bahwa
dia hendak diberi suguhan tontonan yang hebat kalau sampai kedua orang kakek
sakti itu mengadu ilmu.
"Kau
mau apa?" bentak si gendut.
"Kau
mau apa?" bentak si katai.
"Heiii!
Kalian punya apa? Aku sih apa-apa mau!" mendadak Sui Cin berseru sambil
maju menghampiri kedua orang kakek itu.
Tentu saja
ucapan dara ini membuat dua orang kakek yang sudah saling tantang seperti dua
orang anak kecil memperebutkan kembang gula itu menjadi bingung, saling pandang
dan seperti lupa bahwa mereka tadi sudah saling tantang.
"Punya
apa? Kau mau apa?" kata kakek katai bingung.
"Aku
tidak punya apa-apa!" kakek gendut juga menjawab ragu.
Sui Cin
terkekeh menutupi mulutnya dengan punggung tangan. "Hi-hik, kalian ini
kulihat seperti dua orang badut wayang sedang melawak!"
"Aku
ingin mengambil kalian menjadi murid!" kata si gendut.
"Tidak
bisa, aku yang lebih dulu!" kata si kakek katai.
"Aku
dulu!"
"Aku
dulu!" Kembali mereka melangkah maju, mulut dicemberutkan sampai
meruncing, mata melotot, muka dijulurkan ke depan seolah-olah keduanya hendak
berciuman dengan mulut.
"Eiitt,
eiittt... harap diingat, ji-wi adalah dua orang sahabat. Kalau memang ingin adu
ilmu, harus dilakukan tanpa emosi, tanpa kebencian agar tidak sampai saling
bunuh!" kata Sui Cin.
"Eh,
siapa yang mau saling bunuh?" kakek gendut bertanya heran.
"Heh-heh-heh!
Sui Cin, kau kira kami ini orang-orang apa, mau saling bunuh? Kami hanya
memperebutkan kebenaran. Nah, gendut, kau sudah mendengar nasehat nonamu. Kalau
kau mampu menerima pukulan guci arakku sebanyak tiga kali, baru aku mau mengaku
kalah."
"Baik!
Dan kalau engkau mampu menerima kebutan kipasku tiga kali, aku pun mengaku
kalah."
"Bagus!
Nah, bersiaplah, aku akan memukulmu lebih dulu," kata Wu-yi Lo-jin.
"Enaknya!
Tidak, aku yang mulai dulu dengan kebutan kipasku," bantah Siangkoan
Lo-jin.
"Aku
dulu!"
"Aku
dulu!" Kembali mereka bersitegang seperti dua orang anak kecil, tidak mau
saling mengalah.
Diam-diam
Sui Cin dan Hui Song merasa heran. Mereka itu adalah dua orang kakek yang
memiliki kesaktian, akan tetapi mengapa kedang-kadang sikap mereka seperti anak
kecil? Apakah betul kata orang bahwa yang sudah terlampau tua berubah seperti
kanak-kanak? Dan ada pula yang bilang bahwa orang yang terlalu pintar itu pun
kadang-kadang sifatnya seperti kanak-kanak?
Betapa pun
juga, Sui Cin yang telah mendapatkan janji kakek katai untuk belajar ginkang
diam-diam berpihak kepada kakek ini. Maka, melihat mereka bersitegang kembali,
dia pun maju lagi dan berkata, "Di dalam dunia ini, apa yang lebih baik
dari pada keadilan? Biar pun gagah perkasa, kalau tidak adil apa gunanya?"
"Benar
sekali!" kata Ciu-sian.
"Tidak
salah itu!" kata San-sian.
"Demi
kebenaran dan keadilan, sudah sepantasnya kalau Wu-yi Lo-jin yang memulai lebih
dulu dalam adu ilmu ini. Pertama, melihat bentuk tubuhnya, dia jauh lebih kecil
ketimbang Siang-kiang Lo-jin, dan kedua, memang sebenarnya kami berdua lebih
dulu kenal dengan Ciu-sian sebelum bertemu dengan San-sian. Nah, kalau kalian
berdua memang adil, tentu Ciu-sian yang memperoleh kesempatan lebih dahulu.
Kecuali kalau kalian memang tidak adil."
Wajah si
gendut menjadi merah. "Hah, siapa yang tidak adil dan siapa yang takut?
Katai, kau pukulilah dulu, nih, perutku sudah siap menerima pukulanmu yang kau
banggakan itu. Mulailah!" Berkata demikian, si gendut itu lalu berdiri
memasang kuda-kuda, kaki kanan di depan, kaki kiri di belakang, tangan kiri
memegang tongkatnya, tangan kanan dikepal di pinggang, perutnya dikembungkan ke
depan!
"Bagus!
Aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang gagah yang adil!" seru kakek
katai dengan girang sekali sambil menurunkan guci araknya. Dia membuka
tutupnya, lalu minum sisa arak yang tinggal sedikit sampai kosong, menutup
mulut guci lagi kemudian memegang leher guci yang kecil dengan kedua tangannya.
"Nah,
kau bersiaplah baik-baik, aku akan mulai menghantam!" katanya sambil
memasang kuda-kuda dengan kedua kakinya yang kecil tetapi kokoh kuat. Kemudian,
diayunkannya guci itu dari belakang ke depan, menghantam ke arah perut gendut
itu.
"Bunggg...!"
Guci menghantam perut sehingga terdengar laksana gentong dipukul. Tubuh gendut
itu tidak bergeming dan guci arak itu hanya terpental sedikit seperti
menghantam karet yang amat kuat.
"Bukkkk...!"
Hantaman kedua lebih kuat lagi, namun tetap saja tubuh kakek gendut tidak
bergoyang malah kakek gendut itu selalu tersenyum lebar, mulutnya sedikit
terbuka dan senyum itu membuat kedua matanya semakin sipit.
Kakek katai
menjadi penasaran. Dua kali pukulan gucinya itu hebat sekali. Batu karang
sekali pun akan ambrol dan pecah terkena pukulannya, akan tetapi pukulan guci
araknya itu sungguh kehilangan daya kekuatannya ketika mengenai perut gendut
yang terisi penuh hawa sinkang itu.
Diam-diam
dia merasa kagum karena dua puluh tahun yang lalu. San-sian ini tidak akan
mungkin kuat untuk menerima hantamannya itu. Hal ini membuktikan bahwa selama
ini si gendut memang telah memperoleh banyak kemajuan.....
"Awas,
ini sekali lagi!" teriaknya.
Dua orang
muda yang berdiri menonton di pinggir memandang dengan penuh perhatian dan
kekaguman. Mereka berdua dapat merasakan kedahsyatan pukulan ciu-ouw itu. Dari
tempat mereka berdiri saja mereka dapat merasakan getaran hawa pukulan yang
sangat hebat dari guci arak, dan ketika guci arak tadi bertemu dengan perut,
terjadi getaran yang lebih dahsyat lagi, terasa benar oleh mereka.
"Siuuuttt...!
Bunggg...!"
Pukulan
ketiga ini hebat bukan kepalang, getarannya sampai membuat daun-daun pohon
bergerak dan bumi yang diinjak Hui Song dan Sui Cin turut tergetar. Akan tetapi
San-sian menerima pukulan ketiga itu sambil tersenyum lebar dan tubuhnya tak
tergoncang sedikit pun!
"Heh-heh-heh-ha-ha-ha!"
Kakek gendut tertawa.
Sui Cin dan
Hui Song maklum bahwa kakek itu bukan sembarang tertawa saja, melainkan
mengeluarkan hawa yang tadi dipergunakan untuk melindungi isi perutnya. Pada
saat dia tertawa, hawa itu keluar sehingga nampak uap putih keluar dari
mulutnya.
"Tiga
kali gucimu yang butut itu menghantamku, namun aku tidak merasa apa-apa! Kau
kalah, Ciu-sian!"
Ciu-sian
mengerutkan alisnya dan mengamati gucinya, seolah-olah hendak menyalahkan
gucinya dalam kegagalannya itu. Dia mengikatkan guci pada punggungnya kembali,
dan berkata, "Gendut! Engkau memang kuat. Akan tetapi sekarang cobalah kau
menyerangku tiga kali dengan kipas lalatmu itu. Jika aku tak kuat bertahan,
maka kekalahanku menjadi lengkap dan baru aku mau mengakui kekalahan."
"Ha-ha-ha-ha,
Ciu-sian, hati-hati kau dengan kebutan kipasku. Pohon besar itu pun akan roboh
dilanda kebutanku!" kata kakek gendut. "Apa lagi tubuhmu yang kecil
kerempeng ini!"
"Tidak
perlu memperlebar mulutmu yang sudah besar, San-sian. Mulailah!" Kakek
katai itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lalu ditekuk seperti
orang menunggang kuda, dan kedua lengan disilangkan, dipasang di depan dada.
"Sini,
agak jauh dari pohon itu!" kata San-sian sambil melangkah mundur menjauhi
pohon.
"Srrrttttt...!"
Kakek katai itu mengikuti maju, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak
melangkah. Tubuhnya maju dalam keadaan masih memasang kuda-kuda seperti tadi.
Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya Kakek Dewa Arak ini. Dengan
diam-diam kakek gendut harus mengakuinya juga.
"Awas,
Cui-sian, aku akan mulai! Jangan salahkan aku jika kipasku mengebutmu sampai
terlempar dan terbang ke langit!"
Sesudah
memasang kuda-kuda, kakek gendut menggerakkan tongkatnya, diputarnya ke atas
kepala dan tiba-tiba kipas itu menyambar dari belakang tubuhnya, membawa angin
besar mengebut ke arah kakek katai dengan kekuatan kebutan yang amat hebat.
Angin
kebutan menyambar dahsyat, membuat jenggot panjang dan jubah kakek katai itu
berkibar, bahkan Sui Cin dan Hui Song yang berada agak jauh merasakan kebutan
angin yang membuat pakaian dan rambut mereka berkibar. Namun tubuh kakek katai
itu sendiri sama sekali tidak bergeming, seperti angin keras yang biar pun
mampu menumbangkan pohon, tetapi sama sekali tidak berdaya terhadap sebongkah
pilar baja yang kokoh kuat dan tertanam dalam-dalam di tanah!
San-sian
menjadi penasaran dan kebutannya yang kedua kalinya lebih kuat lagi, sampai
mengeluarkan angin yang suaranya bersiutan. Akan tetapi, seperti juga tadi,
kakek katai itu tetap berdiri tegak dan tidak bergeming, hanya memejamkan mata
karena angin keras membuat matanya perih. Kedua kakinya yang berukuran kecil
seolah-olah sudah berakar dalam-dalam di tanah di mana dia berpijak.
"He-he-heh-heh,
satu kali lagi dan awas, hati-hati kau!" bentak kakek gendut itu.
Sekarang dia
memutar tongkatnya, kemudian kipasnya membuat gerakan berputar yang aneh. Dan
akibatnya hebat sekali. Debu beterbangan, bukan hanya debu, melainkan juga
pasir dan batu kerikil yang beterbangan lalu berpusingan.
Ternyata
gerakan kipas itu mendatangkan angin berpusing yang kuat sekali dan melanda
tubuh kakek katai, seakan-akan angin puyuh yang hendak mencabut kakek katai itu
dari atas tanah! Akan tetapi, kakek katai itu nampak mengerahkan kekuatannya,
kedua kainya sedikit tergetar, akan tetapi kekuatan dahsyat yang timbul dari
gerakan kebutan kipas itu pun sekali ini tidak mampu mengangkat kedua kakinya!
"Wah,
wah, Ciu-sian, engkau ini ternyata tua-tua keladi, makin tua makin jadi! Hebat
dan kita masih belum ada yang kalah atau menang!"
"Kurasa
jalan satu-satunya hanya mengadu ilmu silat, San-sian," kata kakek katai
sambil melepaskan guci araknya dari punggung.
"Boleh,
boleh, memang sejak tadi aku ingin sekali melihat kemampuanmu!" kata
San-sian sambil melintangkan tongkat kipasnya.
Melihat
betapa dua orang kakek katai itu sudah bersiap untuk saling gebuk, Sui Cin
cepat melangkah maju melerai. "Harap kalian bersabar dulu," katanya.
"Mana
bisa bersabar kalau kehendakku ditentang?" kata kakek gendut.
"Mana
bisa bersabar kalau muridku hendak dirampas?" bantah kakek katai.
Sui Cin
tersenyum. "Ji-wi berdua, dan kami pun berdua, mengapa harus ribut-ribut
untuk saling berebut? Bagi rata saja kan beres? Tadi Ciu-sian sudah berjanji
akan mengajarkan ginkang kepadaku, jadi kalau kakek San-sian mengajarkan
ilmunya kepada Song-twako, bukankah itu sudah tepat sekali?"
Dua orang
kakek itu bingung, lalu keduanya menggeleng kepala. "Mengapa kita jadi
tolol begini?" kata si gendut.
"Kenapa
hal begini sepele saja tidak mampu kita pecahkan tadi?" gumam si katai.
"Nah,
pemecahannya sangat mudah, bukan? Mulai sekarang, Song-twako menjadi murid
Siang-kiang Lo-jin dan..."
"Tidak
ada murid! Tidak ada murid!" Dua orang kakek itu berkali-kali segera
membantah, dan ketika dua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki mereka, keduanya membalikkan tubuhnya tidak mau menerima penghormatan
murid terhadap guru itu.
"Eh,
bukankah ji-wi tadi sampai mau berkelahi akibat memperebutkan kami untuk
menjadi murid? Kenapa sekarang malah menolak? Apa maksud ji-wi ini?" Hui
Song mengerutkan alisnya dan bertanya. Tadinya dia sudah merasa gembira sekali
karena kalau dia dapat mempelajari ilmu dari kakek gendut itu, alangkah senang
hatinya.
"Bangun
dan duduklah, mari bicara," kata Wu-yi Lo-jin. Kedua orang muda itu lalu
bangkit dari berlutut dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon.
"Seperti
pernah kuceritakan kepada kalian, kami sudah terikat oleh sumpah kami kepada
tongkat laknat... eh, Tongkat Suci itu bahwa kami seketurunan juga termasuk
murid-murid harus tunduk dan taat, tidak boleh melawan mereka yang memiliki
tongkat itu. Kami tidak ingin kalian menjadi murid kami hingga terseret ke
dalam ikatan itu. Kalian sudah melihat sendiri betapa Pangeran Toan Jit Ong
mempengaruhi dan mengikat mereka yang kalah dengan sumpah. Nah, kami yang
pernah dijuluki Delapan Dewa juga sudah diikat dengan sumpah."
"Akan
tetapi, kek. Kalau melihat ilmu kepandaian Ratu Iblis itu, agaknya kalian tidak
akan kalah..."
Kakek katai
menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. "Engkau tidak tahu...
kepandaian mereka itu hebat sekali. Ketika Ratu Iblis itu mengalahkan
lawan-lawannya, ia belum mengeluarkan semua ilmunya, hanya mempermainkan mereka
saja. Dan pangeran itu sendiri, hanya dengan mengeluarkan suara saja telah
mampu menaklukkan Iblis Buta! Agaknya aku sendiri hanya dapat mengimbanginya
dalam hal ginkang, sedangkan dalam ilmu-ilmu lain, jelas aku masih tidak
sanggup menandinginya."
"Benar
Itu! Ilmu iblis itu hebat bukan kepalang. Aku sendiri pun mungkin hanya sanggup
menandingi dalam hal kekuatan, akan tetapi dalam ilmu silat, aku kalah
jauh," sambung kakek gendut dengan suara sungguh-sungguh.
"Karena
kami sendiri tidak berdaya dan tidak mau melanggar atau mengkhianati sumpah
sendiri, maka satu-satunya jalan bagi kami adalah menurunkan semua ilmu kami
kepada orang-orang muda yang berbakat bagus dan berjiwa bersih. Merekalah yang
kelak harus menghadapi dan membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama para
pembantunya."
"Orang
muda, maukah engkau belajar ilmu dariku?" tanya San-sian sambil menatap
wajah pemuda yang ganteng dan gagah itu.
Hui Song
mengangguk-angguk dan menjura dengan wajah girang. "Tentu saja aku mau,
kek," katanya meniru Sui Cin karena kini dia tahu benar bahwa kakek ini
pun tidak mau dianggap guru olehnya.
"Akan
tetapi tidak mudah belajar dariku. Di samping harus tekun, juga harus tahan uji
dan sekali bilang mau, maka harus belajar hingga berhasil. Latihan-latihannya
berat sekali dan engkau tak boleh meninggalkannya setengah jalan, karena kalau
demikian, terpaksa aku akan membunuhmu dari pada engkau membawa pergi ilmuku
yang masih mentah."
Hui Song
mengangguk-angguk. Dia adalah putera ketua Cin-ling-pai, seorang yang sejak
kecil telah digembleng untuk menjadi pendekar tulen. Karena itu tentu saja dia
selalu siap menghadapi segala macam kesukaran dalam belajar ilmu.
"Dan
engkau ikutlah denganku, Sui Cin. Aku akan mengajarkan ilmu ginkang, akan
tetapi jangan dikira latihan-latihan dariku tidak berat! Selama belajar, kalau
engkau kurang tekun dan sembarangan, maka nyawalah taruhannya!" kata
Ciu-sian.
Sui Cin
tersenyum. "Kesukaran dan bahaya adalah makananku sejak kecil, kek, jangan
khawatir aku akan mundur karenanya. Akan tetapi, berapa lamakah kiranya kami
masing-masing harus belajar dari kalian?"
"Ilmu
silat kalian sudah cukup tinggi, apa bila dilatih sampai matang kiranya sudah
cukup untuk menghadapi lawan seperti Raja Iblis sekali pun. Akan tetapi
iblis-iblis itu memiliki sinkang dan ginkang yang amat hebat. Kalian jauh kalah
cepat dan kalah kuat, maka kami akan memperkuat kalian dalam hal itu, di
samping mematangkan ilmu silat kalian. Karena kita diburu waktu, dan kalian
sendiri sudah mendengar bahwa dalam waktu tiga tahun lagi mereka akan
menyiapkan pemberontakan mereka, maka sebelum waktu itu kalian harus sudah
selesai mematangkan ilmu-ilmu kalian," kata Ciu-sian dan mendengar ini,
San-sian mengangguk-angguk.
"Memang
benar sekali. Orang muda, dengan bekal ilmu silatmu yang tinggi dan murni dari
Cin-ling-pai itu, jika dimatangkan selama tiga tahun, tentu engkau akan cukup
kuat untuk menentang mereka."
Hati kedua
orang muda itu merasa gembira sekali. Akan tetapi wajah Hui Song menjadi muram
dan hatinya berduka sesudah dia mendengar bahwa kedua orang kakek itu akan
berpisah sehingga terpaksa dia pun akan berpisah dari Sui Cin! Dan perpisahan
itu untuk waktu tiga tahun!
"Cin-moi...,"
katanya ketika mereka diberi kesempatan untuk berbicara empat mata sebab dua
orang kakek itu pun sedang bercakap-cakap dan berunding berdua di bawah pohon,
agaknya tidak mempedulikan dua orang muda itu.
"Bagaimana
Song-twako? Tidak girangkah hatimu memperoleh guru yang demikian lihai?"
Dara itu menatap wajah yang tampan itu, lantas menyambung cepat. "Mengapa
wajahmu muram seperti orang berduka, twako?"
"Cin-moi,
bagaimana hatiku tidak akan berduka? Kita akan saling berpisah!"
Dara itu
tersenyum. "Aih, tentu saja! Bukankah kita masing-masing akan mengikuti
pelatih kita ke tempat masing-masing? Tiga tahun lagi kita akan saling
berjumpa, twako."
"Tiga
tahun... alangkah lamanya. Aku akan merasa rindu sekali kepadamu,
Cin-moi."
"Tentu
saja, aku pun akan merasa rindu kepadamu, twako," kata Sui Cin yang
berhati polos dan jujur. Mendengar ini, sepasang mata Hui Song bersinar penuh
harapan.
"Benarkah
itu, Cin-moi? Engkau akan rindu kepadaku?"
Sui Cin
memandang heran. Kenapa yang begitu saja Hui Song bertanya dan seperti tidak
percaya?
"Tentu
saja! Kenapa tidak?"
"Ahh,
setiap malam aku akan memimpikan engkau, Cin-moi...!"
Sui Cin
tertawa, "Ya, aku pun akan memimpikan engkau, twako. Akan tetapi tidak
saban malam. Wah, bisa capek kalau setiap malam memimpikan engkau saja."
Hui Song
mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang cantik manis itu.
"Cin-moi, jangan main-main, engkau... engkau tidak tahu apa artinya semua
ini begiku... Aku akan menderita, Cin-moi... selama tiga tahun tidak melihatmu.
Ahh, rasanya belum tentu kuat aku menahan kerinduan hatiku..."
"Ahh,
apa-apaan sih engkau ini twako? Omonganmu tidak seperti biasa dan aku menjadi
bingung."
"Cin-moi,
benarkah engkau tidak tahu atau tak dapat menduganya? Baiklah, sebelum kita
saling berpisah, aku harus memberi tahu kepadamu. Cin-moi, semenjak kita
berjumpa, semenjak kita berkenalan, bahkan selagi aku mengenalmu sebagai
pemuda, aku... aku telah jatuh cinta padamu! Nah, lega hati ini setelah
mengaku. Aku cinta padamu, Cin-moi, aku cinta padamu!"
Sepasang
pipi gadis itu memang berubah menjadi merah, namun dia tidak menundukkan
mukanya seperti lajimnya gadis yang menghadapi pengakuan cinta seorang pemuda
dan menjadi malu. Tidak, Sui Cin tidak merasa malu, bahkan merasa geli dan dia
tidak dapat menahan ketawanya. Dia tertawa bebas, seperti biasanya kalau dia
tertawa di depan Hui Song, tanpa malu-malu dan mulutnya tidak ditutup-tutupinya
lagi seperti kalau dia tertawa di depan orang lain.
"Ehh,
kenapa kau tertawa, Cin-moi?"
"Habis,
engkau lucu sih!"
"Cin-moi,
aku tidak main-main. Aku tadi bicara sungguh-sungguh dan semua kata-kataku
keluar langsung dari lubuk hatiku. Aku sungguh telah jatuh cinta padamu,
Cin-moi!"
"Ihh,
twako, engkau ini aneh-aneh saja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana cinta itu.
Aku suka padamu, twako, suka bersahabat denganmu. Akan tetapi cinta? Entahlah,
aku tidak tahu apakah aku mencintamu atau mencinta seseorang ataukah
tidak?"
"Cin-moi,
aku... aku ingin agar kelak kita menjadi jodoh, menjadi suami isteri..."
"Ihhh!
Kau membikin aku bingung dan canggung, twako. Aku belum memikirkan hal yang
tidak-tidak. Kita masih mempunyai banyak tugas, pertama belajar yang tekun dan
kedua menghadapi persekutuan Raja Iblis itu, bukan? Lagi pula, urusan
perjodohan selayaknya dibicarakan orang tua, bukan kita."
Sui Cin
teringat akan usul orang tuanya yang ingin menjodohkan dia dengan Can Koan Ti,
putera Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur Propinsi Ce-kiang di kota
Ning-po itu. Tentu saja dia akan memilih Hui Song dari pada Koan Ti, akan
tetapi dia tidak tahu apakah dia ingin menjadi isteri Hui Song atau isteri
siapa saja.
"Memang
betul, Cin-moi. Akan tetapi hatiku akan tenteram bila mengetahui bahwa engkau
pun setuju, bahwa engkau sudi menerima cintaku, bahwa engkau pun cinta
padaku..."
Kembali Sui
Cin tertawa dan kembali suara ketawa itu seperti ujung pedang menusuk hati Hui
Song. "Ehh, kenapa engkau tertawa lagi, Cin-moi?" tanyanya dengan
alis berkerut.
"Ucapanmu
tadi mengingatkan aku akan pertunjukan wayang yang pernah kutonton... jika tidak
salah, pada saat Pangeran Can Seng Ong gubernur di Ning-po, mengadakan pesta
ulang tahunnya. Ada sandiwara wayang di situ, dan di dalam pertunjukan itu ada
seorang pemain pria mengucapkan kata-kata sama persis dengan ucapanmu tadi
kepada seorang pemain wanita..."
"Cin-moi,
agaknya ucapan pengakuan cinta di bagian dunia mana pun sama saja. Ucapan itu
suci dan mulia, Cin-moi, jangan ditertawai karena aku sungguh-sungguh cinta
padamu. Sudikah engkau menerima cintaku Cin-moi?"
"Aih,
sudahlah twako, jangan bicara tentang hal itu sekarang. Aku belum mau
memikirkan hal itu dan aku tidak tahu!"
Itulah
kata-kata terakhir Sui Cin, karena Hui Song tidak berani mendesak lagi. Dia
cukup mengenal watak dara itu dan kalau dia terus mendesak, tentu Sui Cin akan
marah. Dara itu baru berusia lima belas atau enam belas tahun, mungkin belum
cukup dewasa untuk bicara tentang cinta. Dia harus bersabar.
Bagaimana
pun juga, hatinya terasa berat, tertekan dan sedih ketika pada siang hari itu
dia berpisah dari Sui Cin yang mengikuti kakek katai dengan wajah gembira. Dia
sendiri mengikuti kakek gendut yang menjadi gurunya tanpa mau disebut guru.
********************
cerita silat
online karya kho ping hoo
Teriakan-teriakan
yang menyelingi desir angin pukulan itu tidak terdengar lagi dari luar air
terjun, karena selain goa yang berada di belakang air terjun itu amat dalam,
juga suara air terjun yang gemuruh itu menyelimuti suara di sebelah dalam. Goa
itu memang lebar dan dalam, luas sekali. Dasarnya berupa anak sungai yang
mengalir jernih di antara batu-batu besar yang menonjol di sana-sini.
Di tepi anak
sungai itu terdapat lantai goa dari batu. Melihat betapa di sana-sini terdapat
pilar-pilar batu, dapat diketahui bahwa goa ini, yang tercipta oleh alam, telah
dibantu oleh manusia yang membuat pilar-pilar batu untuk menyangga. Sebuah
tempat persembunyian yang amat luas dan enak. Inilah tempat pertapaan
Siang-kiang Lo-jin. Sebuah goa di balik air terjun yang terdapat di lembah
Sungai Siang-kiang.
Kalau orang
memasuki goa itu, yang tidak nampak dari luar sehingga merupakan tempat
tersembunyi, maka dia akan melihat bahwa teriakan-teriakan itu keluar dari
mulut seorang pemuda yang sedang berlatih silat. Akan tetapi cara pemuda ini
bermain silat pasti akan membuat orang merasa heran dan kagum bukan main.
Pemuda itu
bertubuh sedang dan tegap, hanya memakai celana panjang saja tanpa baju. Nampak
tubuh yang sedang itu penuh dengan otot-otot yang melingkar-lingkar, membuat
tubuh itu kelihatan kokoh kuat penuh tenaga. Rambutnya agak awut-awutan,
digelung ke atas dan sisanya berjuntai ke bawah, ikut bergerak-gerak bersama
kepalanya ketika dia bermain silat.
Anehnya,
pemuda itu memakai beban besi yang besar pada kedua kaki dan tangannya. Beban
di kakinya itu masing-masing tentu tak kurang dari empat puluh kati dan di
tangan masing-masing melingkari lengan, tentu ada dua puluh lima kati. Selain
dibebani besi di kedua kaki dan lengannya, juga pemuda ini bersilat di atas
batu-batu yang menonjol di permukaan anak sungai itu, batu-batu yang amat
licin.
Dapat
dibayangkan beratnya latihan ini. Namun, pemuda yang usianya sekitar dua puluh
empat tahun itu terus berlatih dengan tekun, mengatur napas dalam setiap
gerakan, dan mengeluarkan bentakan-bentakan untuk setiap pukulan atau
tangkisan. Orang biasa saja tentu sudah akan merasa tersiksa kalau harus
bergerak dengan beban pada kaki tangan itu, apa lagi harus bermain silat, di
atas batu-batu licin lagi! Namun, pemuda itu bersilat dengan gaya yang indah,
dengan gerakan yang cepat dan amat keras. Setiap gerakannya menimbulkan desiran
angin.
Di tepi anak
sungai itu berdiri seorang kakek yang perutnya gendut sekali, berdiri sambil
tersenyum lebar dan memegang sebatang tongkat yang ujungnya ada kipasnya.
Dengan suara ramah dia memberi petunjuk-petunjuk dan mengangguk-angguk dengan
wajah puas sekali.
Memang tidak
ada alasan bagi Siang-kiang Lo-jin untuk merasa tidak puas dengan semua
kemajuan yang dicapai oleh Hui Song, pemuda itu. Selama hampir tiga tahun ini,
pemuda itu berlatih dengan sangat tekunnya. Dia digembleng keras oleh kakek
gendut itu, berlatih memperkuat sinkang dengan bertapa di dalam air setinggi
leher. Air dingin itu menyelimuti tubuhnya, sampai tiga hari tiga malam dan dia
hanya boleh meneguk air di hadapannya setiap kali kelaparan atau kehausan
menyiksanya.
Kemudian,
latihan dengan beban-beban berat pada kaki dan lengannya. Mula-mula beban itu
memang tidak seberapa berat, akan tetapi lambat laun ditambah sampai akhirnya
dia berlatih silat dengan beban seberat itu. Akan tetapi hasilnya memang hebat
bukan main. Tubuh pemuda itu menjadi kuat sekali, gerakannya lincah dan
tenaganya besar. Kini Hui Song mampu memainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai
jauh lebih sempurna dari pada tiga tahun yang lalu!
"Hentikan
sebentar dan buka beban kaki tanganmu. Aku ingin melihat untuk yang terakhir
kali apakah selama tiga tahun ini aku tidak mengajar secara sia-sia
belaka!" tiba-tiba saja kakek itu berkata.
"Yang
terakhir kali? Apa maksud locianpwe?" tanya Hui Song sambil membuat
gerakan melompat ke pinggir. Gerakannya demikian sigapnya seolah-olah dia tidak
dibebani besi yang berat itu. Sambil melepaskan beban kaki tangannya, pemuda
itu memandang wajah kakek gendut dengan penuh perhatian.
"Tentu
saja! Apakah engkau ingin selama hidupmu tinggal di sini?" tanya kakek
gendut.
"Tapi,
locianpwe, rasanya belum lama saya berada di sini..."
"Ha-ha-ha!
Itu adalah berkat ketekunanmu. Memang demikianlah rahasia waktu. Jika tidak
pernah kita pikirkan, dia berlalu sangat cepatnya melebihi anak panah. Akan
tetapi kalau diingat selalu, dia merayap seperti siput. Tidak tahukah engkau
bahwa kita sudah berada di sini hampir tiga tahun lamanya? Nah, kau
bersilatlah, kini tanpa beban itu."
Hui Song
yang kini sudah melepaskan beban besi dari kaki dan lengannya, lalu meloncat
lagi ke tengah sungai, di atas batu-batu licin itu dan dia bersilat dengan amat
cepatnya. Berkali-kali dia berseru kaget karena tubuhnya bergerak luar biasa
ringan dan cepatnya, lebih ringan dan lebih cepat dari pada yang
dikehendakinya.
Hal ini
adalah karena dia belum biasa terbebas dari beban-beban besi di kaki tangannya
itu. Selama bertahun-tahun kaki tangannya selalu dibebani sehingga begitu
dibuka, tentu saja dia merasa gerakannya sangat cepat dan ringan sehingga
mengejutkan. Akan tetapi, begitu dia sudah dapat menyesuaikan diri, maka
gerakannya mulai teratur dan sekarang tubuhnya berkelebatan di atas batu-batu
licin itu dengan amat mudahnya.
Kakek gendut
itu mengangguk-angguk dan wajahnya berseri-seri gembira. "Cukuplah, Hui
Song, ke sinilah aku mau bicara."
Tubuh Hui
Song mencelat ke tepi anak sungai itu, lantas dia menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek itu. Baru sekarang dia dapat merasakan benar kemajuan yang
diperolehnya selama tiga tahun digembleng kakek itu.
"Saya
menghaturkan terima kasih atas semua bimbingan locianpwe selama ini,"
katanya dengan hati terharu.
Kakek itu
tertawa. "Ha-ha-ha-ha, akulah yang bergembira, Hui Song. Engkau
benar-benar memenuhi harapanku. Siapa lagi kalau bukan orang-orang muda seperti
engkau ini yang dapat menyelamatkan dunia dari bencana. Walau pun aku masih
sangsi apakah engkau seorang diri saja akan sanggup menentang mereka, akan
tetapi setidaknya engkau akan mampu mengimbangi kelihaian Ratu Iblis. Mudah-mudahan
saja temanmu itu pun sudah mendapat kemajuan pesat di bawah pimpinan Wu-yi
Lo-jin sehingga dapat bekerja sama denganmu, bersama para pendekar muda
lainnya."
Mendengar
kata-kata ini, Hui Song merasa seperti diingatkan. Segera terbayanglah wajah
manis dari Sui Cin di depan matanya. Wajahnya berseri dan sinar matanya
berkilat ketika dia teringat kepada gadis itu. Selama ini dia sudah memaksa
batinnya untuk tidak selalu mengenangkan Sui Cin dan dia mencurahkan seluruh
perhatian dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu dari kakek gendut.
Dia mendapat
kenyataan bahwa kakek itu memang lihai bukan main, memiliki kesaktian yang jauh
melampaui tingkat ayah ibunya sendiri. Maka dia pun belajar dengan giat dan
mentaati semua petunjuk gurunya yang tidak mau disebut guru itu.
"Apakah
dia juga telah menamatkan pelajarannya dari Wu-yi Lo-jin, locianpwe?"
tanyanya dengan penuh gairah.
Kakek gendut
itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Kami berdua memang telah
saling bersepakat untuk menggembleng kalian berdua selama kurang lebih tiga
tahun dan sebelum tiba waktunya pemberontakan terjadi, penggemblengan itu harus
sudah selesai. Aku yakin temanmu itu sudah selesai belajar pula sekarang."
"Kalau
begitu, locianpwe tahu di mana Wu-yi Lo-jin membawanya dan di mana saya dapat
menjumpai Sui Cin?"
"Tentu
saja dia membawa gadis itu ke Wu-yi-san, ke tempat pertapaannya. Kami hanya
berjanji akan menggembleng kalian sampai tahun ini dan sebelum Tahun Baru, kami
akan menyuruh kalian masing-masing pergi keluar Tembok Besar di utara untuk
mencari bekas benteng Jeng-hwa-pang itu. Jadi, kalian bersiap-siap saja di sana
dan kita semua akan bertemu di sana untuk bersama-sama menghadapi gerombolan
pemberontak itu."
"Karena
saya tak pernah lagi mengikuti hari dan bulan, kapankah kiranya hari Tahun Baru
itu, locianpwe? Masih berapa lamakah?"
"Sekarang
pertengahan bulan sembilan. Masih ada tiga setengah bulan lagi bagimu untuk
melakukan perjalanan sebelum Tahun Baru tiba."
Hui Song
menjadi girang bukan main. "Kalau begitu masih banyak waktu bagi saya
untuk singgah ke Cin-ling-san. Orang tua saya tentu merasa gelisah karena
selama tiga tahun ini saya tidak pernah pulang."
"Terserah,
dan alangkah baiknya apa bila Cin-ling-pai juga mau turun tangan membantu dalam
usaha kita menentang ancaman mala petaka dari Pangeran Toan Jit Ong dan para
sekutunya."
"Baik,
locianpwe, akan saya bicarakan hal itu dengan ayah dan ibu dan semua saudara
pimpinan Cin-ling-pai."
Sesudah
menghaturkan terima kasih lagi dan menerima doa restu dari kakek gendut itu,
Hui Song lalu meninggalkan goa di balik air terjun itu dan melakukan perjalanan
dengan cepat ke utara. Hatinya gembira bukan main dan dia merasa seperti seekor
burung yang bebas terbang ke udara.
Alangkah
nikmatnya, alangkah senangnya dapat melakukan perjalanan bebas seperti itu
setelah hampir tiga tahun dapat dibilang selalu berada di dalam goa, atau
paling jauh juga ketika keluar dari situ dan mencari sayur-sayuran ke sekitar
air terjun di lembah sungai itu. Dan yang lebih menggembirakan hatinya lagi
adalah bayangan Sui Cin yang segera akan dapat dijumpainya lagi. Juga
membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan ayah dan ibunya, sungguh amat
menggembirakan hati pemuda ini.
Tanpa dia
sadari sendiri, Hui Song kini jauh berbeda dengan keadaan dirinya tiga tahun
yang lalu. Kini tubuhnya lebih tegap dan gerak-geriknya lebih gesit berisi,
bahkan ketika dia melakukan perjalanan cepat sambil berlari, larinya jauh lebih
ringan dan cepat apa bila dibandingkan dengan dulu sebelum dia digembleng oleh
Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.
********************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment