Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 13
DUSUN di
kaki Pegunungan Ta-pie-san itu dinamakan dusun Kim-ciu-cung, sebuah dusun yang
cukup besar karena dusun itu menjadi pusat pasar rempah-rempah yang ditanam
oleh para penghuni dusun sekitarnya dan di dusun itulah semua hasil
rempah-rempah itu dikumpulkan. Banyak orang-orang kota yang datang ke situ dan
membeli rempah-rempah itu, kemudian dimuatkan gerobak untuk dibawa ke kota.
Sebuah kedai
makan baru saja dibuka orang. Tak begitu menarik perhatian karena hanya warung
kecil saja yang menyediakan empat buah meja dengan beberapa buah bangku saja.
Akan tetapi sesudah melihat dua orang penjaganya, orang akan tertarik juga
untuk sarapan atau makan siang di kedai ini.
Pelayannya
hanya seorang saja, yaitu seorang pemuda yang berwajah tampan, biar pun agak
kaku dalam pakaian pelayan itu. Kasirnya, yang juga kadang-kadang turun tangan
sendiri membantu si pelayan muda kalau kedai itu dipenuhi tamu, lebih menarik
lagi. Dia seorang gadis yang amat manis, meski pun dandanannya sederhana
seperti orang dusun. Tukang masaknya seorang kakek gundul botak berjenggot
panjang hingga ke perut. Tidak sukar menduga siapa adanya mereka. Pelayan muda
itu adalah Hui Song, kasir wanita itu Sui Cin dan kakek Wu-yi Lo-jin menjadi
tukang masaknya.
"Jangan
kau yang menjadi tukang masak," kata kakek itu kepada Sui Cin.
"Masakanmu terlalu aneh dan terlalu enak, bisa membuat orang
terheran-heran dan ketagihan, kita jadi repot. Pula, kalau aku yang membantu di
depan, orang-orang tentu akan merasa takut selain juga menarik perhatian dan
menimbulkan kecurigaan. Biar masakanmu hanya aku saja yang menikmatinya."
Kakek itu
mengajak Hui Song dan Sui Cin menyewa sebuah rumah pondok kecil untuk dijadikan
warung nasi. Semuanya ini dilakukan dalam usahanya melakukan penyelidikan,
hanya untuk sementara waktu saja menjelang datangnya hari di mana para datuk
sesat akan menghadap Sepasang Iblis atau Raja Iblis dengan Ratunya.
Tentu saja
kesal rasa hati mereka bertiga ketika pada hari-hari pertama, yang memenuhi
warung mereka hanyalah pedagang-pedagang rempah-rempah. Terpaksa mereka harus
melayani mereka yang datang makan, dan yang lebih memuakkan hati Sui Cin lagi
adalah omongan-omongan mereka yang jorok setelah mereka melihat bahwa warung
itu dilayani seorang gadis yang amat manis.
Mereka membuka
warung bukannya hendak mencari keuntungan, maka semakin banyak orang-orang
biasa berdatangan, makin gemas hati mereka karena semakin lelah mereka
melayani. Bahkan saking jengkelnya kepada orang-orang biasa yang berdatangan
makan, kakek nakal itu sengaja mencampurkan keringat pada masakannya, bahkan
kadang kala dia memasak sembarangan saja. Akan tetapi anehnya, para pendatang
itu tidak ada yang mengeluh, bahkan memuji-muji bahwa masakan warung itu enak
dan pujian ini tentu saja diucapkan sambil melirik dan tersenyum penuh arti
kepada Sui Cin!
"Wah,
kek, kalau begini terus aku tidak kuat!" Pada suatu malam, sepekan
kemudian Sui Cin mengeluh kepada kakek itu. "Apa bila aku tahu hanya akan
dijadikan bahan sikap dan ucapan jorok melayani orang-orang kasar itu, aku tak
sudi. Pula, katanya engkau hendak melatih ginkang kepadaku. Kalau setiap hari
harus bekerja seperti ini, kapan kita latihan? Apakah engkau begitu mata duitan
sehingga ingin mencari untung sebesarnya dari usaha buka warung ini dan
menggunakan aku dan Song-twako sebagai tenaga suka rela tanpa bayaran?"
"Sabarlah,
Sui Cin. Kita hanya bersandiwara saja dan selama beberapa hari ini permainan
kita baik sekali sehingga kita sudah dianggap sebagai tukang-tukang warung yang
wajar. Dengan cara begini, pada suatu hari pasti kita akan dapat mendengar
mengenai mereka, tunggulah saja."
Benarlah apa
yang diucapkan Wu-yi Lo-jin itu. Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi,
ketika warung masih sepi dan tiga orang itu baru membuat persiapan, masuklah
seorang tamu yang aneh. Dia seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya,
akan tetapi tentu telah enam puluh tahun lebih. Dan segala-galanya yang pada
kakek ini nampak besar dan bulat.
Kepalanya
besar bulat, botak licin di bagian atasnya, hanya tinggal sedikit rambut
tersisa di bagian belakang kepala yang dikumpulkan menjadi gelung kecil di
belakang. Anehnya, rambut pada kedua pelipisnya tumbuh panjang kecil seperti
ekor tikus berjuntai ke bawah sampai ke dada. Dua telinganya mirip seperti
telinga gajah. Mukanya yang seperti bentuk muka arca Ji-lai-hud itu selalu
tersenyum ramah.
Bajunya yang
berwarna biru dan kedodoran itu tak mampu menutupi dada dan perutnya. Dadanya
penuh dengan buah dada seperti wanita, perutnya bulat besar sekali sehingga
pusarnya mekar dan menjadi besar pula. Celananya lebar dan sepatunya dari kain
putih kekuningan.
Ketika
memasuki warung, kakek gendut ini tersenyum lebar dan membawa sebuah benda
aneh. Benda itu adalah kipas yang bergagang besi baja. Agaknya benda ini
mempunyai tugas ganda. Dapat dipergunakan untuk mengipas bila kegerahan, dan
gagangnya dapat dipakai sebagai tongkat atau mungkin saja benda itu dapat
digunakan sebagai semacam senjata toya.
Begitu
memasuki warung, hidung kakek itu kembang kempis mencium-cium seperti lagak
seekor anjing mencari jejak. "He-he-heh, sedap! Perutku lapar, bisakah aku
mendapatkan sarapan di warung ini?" tanyanya kepada tiga orang yang
memandang kepadanya.
Baru melihat
begitu saja, Sui Cin dan Hui Song sudah dapat menduga bahwa tentu tamu ini
bukan orang sembarangan, dan agaknya orang ini adalah seorang di antara para
datuk yang hendak menghadap Raja dan Ratu Iblis. Maka mereka saling pandang dan
bersikap hati-hati.
"Bisa,
bisa...!" kata Hui Song sambil cepat menghampiri kakek itu dengan sikap
seorang pelayan. "Kami ada bubur ayam, bakmi, daging, sayur..."
"Bubur
ayam? Bagus, sediakan semangkok besar!" Dan melihat beberapa buah perabot
dapur di atas meja karena baru saja dicuci, di antaranya ada sepasang sumpit
besar yang biasa dipergunakan untuk masak, kakek gendut itu mengambil sepasang
sumpit besar itu. "Heh-heh-heh, menggunakan sumpit ini untuk makan tentu
lebih enak!"
Wu-yi Lo-jin
sudah mempersiapkan bubur ayam satu mangkok besar dan Hui Song cepat membawa
bubur ayam yang masih mengepul panas-panas itu kepada tamunya. Kakek gendut itu
duduk di atas bangku, akan tetapi bangku itu terlalu kecil untuk tubuhnya yang
gendut besar, maka dia lalu pindah duduk di atas meja kecil pendek, mengangkat
kedua kakinya ke atas meja dan duduk seperti orang duduk di atas lantai.
Mangkok berisi bubur panas itu diterimanya, sepasang sumpit besar digerakkan,
dan segera terdengarlah suara berseruputan seperti seekor babi kalau sedang
makan.
"Hei,
pelayan, tambah lagi buburnya. Tolong cepat sedikit! Dan bawa saja sekaligus
dua mangkok agar makan ku tidak tertunda!" Kakek gendut itu berseru dan
Hui Song terkejut.
Satu mangkok
besar bubur tadi saja sudah cukup untuk dua orang, akan tetapi agaknya kakek
gendut ini hanya menuangkannya sekaligus ke dalam perutnya. Dengan bergegas Hui
Song menerima dua mangkok lagi dari Wu-yi Lo-jin, lalu mengantarnya kepada tamu
aneh itu.
Akan tetapi,
sebentar saja dua mangkok ini pun disikat habis dalam waktu singkat dan si
kakek gendut telah berteriak-teriak minta tambah lagi. Maka sibuklah Hui Song
berlari hilir mudik, sibuk pula Wu-yi Lo-jin yang harus melayani permintaan
tamu aneh itu. Walau pun tamu mereka hanya seorang saja, akan tetapi karena
cara makan tamu itu sangat cepat dan terus minta tambah, mereka menjadi sibuk
seolah-olah melayani banyak tamu.
Setelah
menghabiskan belasan mangkok bubur dan kakek gendut itu masih minta tambah
lagi, maka mulailah Wu-yi Lo-jin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song dan Sui Cin
melirik dengan alis berkerut dan hati tidak senang. Akan tetapi, yang dilirik
oleh ketiga orang itu enak-enak saja duduk sambil tersenyum ramah, mengulurkan
tangan kiri memperlihatkan mangkok kosong sambil minta tambah lagi.
"Masih
ada buburnya? Bung pelayan, tambah lagi buburnya lima mangkok, sekalian juga mi
goreng dua kati, masak daging sekati campur sayuran yang masih segar. Dan
araknya seguci!"
Mendengar
pesanan ini, tentu saja tiga orang itu menjadi terkejut dan semakin heran. Si
gendut itu makannya melebihi seekor kerbau!
"Hati-hati,
tanyakan apa dia membawa uang," bisik Wu-yi Lo-jin kepada Hui Song ketika
pemuda ini masuk ke dapur. "Kalau dia tidak bayar, bisa bangkrut
kita!"
Akan tetapi,
Hui Song yang merasa semakin yakin bahwa kakek gendut ini tentu bukan orang
sembarangan, merasa sungkan untuk menanyakan hal itu. Tidak demikian dengan Sui
Cin. Gadis ini setuju dengan pendapat Wu-yi Lo-jin, maka dari tempat duduknya
dia lantas berseru,
"Kakek
yang baik, pesanan mu makanan begitu banyak, harap suka bayar lebih dulu!"
Ucapan Sui
Cin itu wajar dan tidak mengandung penghinaan melainkan jujur dan terbuka, maka
kakek gendut itu pun tidak merasa tersinggung, melainkan tertawa,
"Hah-hah-hah! Nona, apakah aku terlihat seperti orang yang biasa menyikat
makanan tanpa membayar?"
"Aku
tidak menuduh demikian, akan tetapi, karena pesananmu amat banyak sedangkan
warung kami kecil saja..."
"Ya...
ya, warung kecil di kaki gunung, pemiliknya seorang gadis cantik jelita,
penjaganya seorang pemuda ganteng perkasa, tukang masaknya kakek aneh luar
biasa! Ha-ha, inilah uangku, apa masih kurang?" Berkata demikian, kakek
gendut itu mengeluarkan sepotong emas yang beratnya tentu tidak kurang dari
satu tail. Tentu saja sepotong emas ini sudah lebih dari cukup untuk membayar
makanan, berapa pun banyaknya.
Karena
kehabisan air jernih, Hui Song lantas membawa tong air untuk mengambil air dari
sumber di belakang warung. Ketika dia memikul air memasuki warung itu dan lewat
dekat si gendut, tiba-tiba kakek gendut itu menggerak-gerakkan dan mengembang
kempiskan hidungnya seperti tadi, seperti seekor anjing mencium sesuatu.
Dia
menghentikan makannya, matanya mengikuti Hui Song yang kini menuangkan air ke
dalam tong air besar yang berdiri di sudut dapur. Tiba-tiba kakek gendut itu
menggerakkan tangannya dan nampak dua sinar putih ber-kelebat memasuki dapur.
"Prokk!
Prakk!"
Dua batang
sumpit besar yang tadi dipakai makan si gendut itu sekarang tahu-tahu sudah
menancap dan membikin retak tong-tong air itu. Airnya tentu saja tumpah dan
mengucur keluar melalui lubang-lubang retakan tong yang disambar sumpit.
Melihat ini, tiga orang itu terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.
"Apa
artinya ini? Mengapa engkau melakukan ini?" Sui Cin menegur dengan marah.
Kakek gendut
itu kini telah menghampiri mereka di dalam dapur dan berdiri tegak, sambil
memegang tongkat kipasnya dan memandang pada air yang menggenang di lantai
dapur. Kemudian dia memandang kepada Wu-yi Lo-jin, dan tiba-tiba saja
menudingkan kipasnya ke arah guci arak milik kakek katai itu sambil berkata,
"Bukankah
guci itu guci emas dari Wu-yi-san? Coba kau kakek katai, pergunakan gucimu
untuk menguji apakah air ini beracun seperti yang kusangka atau tidak!"
Wu-yi Lo-jin
kaget buka main mendengar bahwa air itu beracun sehingga dia tidak terlalu
memperhatikan betapa si gendut itu mengenal gucinya. Dia membuka tutup gucinya,
akan tetapi nampak ragu-ragu.
"Wah,
arakku masih setengah guci..."
Kakek gendut
itu menyodorkan sebuah panci kosong dan tanpa banyak cakap lagi Wu-yi Lo-jin
segera menuangkan arak dari gucinya ke dalam panci itu. Tercium bau harum dan
sesudah guci itu kosong, Wu-yi Lo-jin segera menampung air yang tumpah itu ke
dalam gucinya. Benar saja, air itu berubah menghitam, tanda bahwa air itu
memang benar ada racunnya!
"Ihhh,
air ini beracun!" katanya sambil membuang air itu dari gucinya. Dia
mambalik untuk mengembalikan araknya, akan tetapi panci itu telah kosong, dan
araknya telah habis.
"Lho,
siapa yang minum arakku, hah?" Dia tak perlu terlalu sibuk menyelidiki
sebab kakek gendut itu masih kelihatan mengusap bibirnya yang berlepotan arak
dengan ujung lengan bajunya.
"Heh-heh,
arak baik... arak baik...!"
"Kurang
ajar si gendut laknat, kau mengbabiskan arakku, ya?" Wu-yi Lo-jin marah
sekali dan mengambil sikap menyerang. Si gendut juga sudah melangkah mundur
setindak dan bersikap hendak melawan.
Melihat
kedua orang kakek itu hendak bersitegang hanya karena hilangnya arak, Sui Cin
berkata, "Air beracun itu tentu ada yang membuat!"
"Benar!"
kata Hui Song. "Tentu ada yang menaruh racun. Wah, tadi banyak orang yang
mengambil air! Mari kita peringatkan mereka, jangan sampai ada yang menjadi
korban!"
Dua orang
muda itu segera berlari keluar dan dua orang kakek itu pun agaknya sadar lalu
mengikuti dari belakang. Akan tetapi, ketika mereka sampai di luar warung,
mereka lantas mendengar teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan tangis memenuhi
dusun itu.
Dan
tampaklah penglihatan yang mengerikan. Di sana-sini menggeletak orang-orang
yang berkelojotan sambil memegangi perutnya, bahkan ada pula di antara mereka
yang sudah tewas tak mampu bergerak lagi.
Hui Song
cepat-cepat meloncat ke depan dan suaranya lantang ketika dia berteriak keras,
"Saudara-saudara sekalian, dengarlah baik-baik! Air sumber itu mengandung
racun! Maka sebaiknya jangan minum dahulu sebelum diperiksa teliti apakah air
itu beracun atau tidak. Ingat, jangan ada yang minum dulu, air apa pun jangan
diminum dulu!"
Suaranya
yang amat lantang ini menolong banyak orang. Mereka yang telah mengangkat
cangkir hendak minum, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. Akan tetapi ketika
diperiksa, jumlah yang telah menjadi korban dan roboh keracunan tidak kurang
dari tiga puluh orang banyaknya!
Gegerlah
dusun itu. Tanpa dapat dicegah lagi, para penghuni dusun itu segera mengungsi
meninggalkan dusun yang dilanda mala petaka hebat itu. Hanya tinggal beberapa
orang saja yang tinggal dan bersama belasan orang ini, Hui Song, Sui Cin, dan
dua orang kakek itu segera mengurus jenazah puluhan orang itu. Ternyata racun
yang dicampurkan ke air itu amat jahat sehingga biar pun kedua orang kakek itu
mencoba untuk mengobati mereka yang tadinya belum tewas, namun percuma saja.
"Huh,
tanda-tanda ini seperti bekas tangan Setan Selaksa Racun," kata kakek
gendut itu setelah memeriksa seorang korban.
"Siapakah
Ban-tok-kwi (Setan Selaksa Racun) itu?" tanya Sui Cin.
"Seorang
di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)," jawab si kakek gendut.
"Kalau
begitu mereka sudah muncul?" Wu-yi Lo-jin berseru. "Celaka, kita
mengintai malah kebobolan."
"Heh-heh-heh,
tua bangka katai dari Wu-yi-san memang selalu bertindak ceroboh!" kata si
kakek gendut.
Kini Wu-yi
Lo-jin memandang pada kakek gendut dengan alisnya yang panjang berkerut,
wajahnya membayangkan kemarahan. "Heh, gendut! Engkau licik! Agaknya
engkau telah mengenalku, telah mengenal guci wasiatku, akan tetapi engkau
sendiri menyembunyikan nama. Siapa sih sebetulnya tua bangka gembul gendut ini dan
bagaimana pula kau bisa mengenalku, dan juga apa kehendakmu datang ke tempat
ini?"
"Ha-ha-ha-ha,
setan pendek, apa benar engkau tak dapat mengenalku lagi hanya karena tubuhku
sekarang sudah gendut? Hei, Ciu-sian (Dewa Arak), apakah engkau sudah lupa kepada
kipasku?"
Wu-yi Lo-jin
terbelalak, lantas menggunakan tangannya ke depan mukanya dan matanya kini
mengincar ke arah wajah si gendut. Dari balik tangannya, dia tidak lagi dapat
melihat tubuh si gendut dari leher ke bawah, hanya nampak kepalanya saja dan
dia pun terkekeh.
"Heh-heh-heh-heh,
kiranya San-sian (Dewa Kipas) benar-benar! Siapa bisa mengenalmu kalau kini
tubuhmu rusak seperti itu? Dahulu engkau paling gagah dan tampan di antara
Pat-sian (Delapan Dewa), akan tetapi sekarang engkau menjadi seperti kerbau
bengkak sedang hamil! Ha-ha--ha-ha!"
Si Dewa
kipas juga tertawa bergelak. "Dan engkau semakin pendek saja, apakah
selama ini engkau tidak tumbuh tinggi melainkan bahkan mengeriput dan
mengecil?"
"Mari
kita bicara di dalam warung," kata kakek katai. "Dan biarkan semua
orang pergi saja dari tempat ini. Tempat ini menjadi terlalu berbahaya bagi
orang-orang biasa."
Mereka lalu
menasehatkan kepada belasan orang yang masih tinggal di sana untuk pergi
mengungsi pula, sebab mungkin sekali akan muncul banyak datuk-datuk sesat yang
amat jahat dan kejam. Agaknya tempat itu memang telah diincar oleh para datuk
untuk menjadi tempat mereka berkumpul, maka mereka sengaja melepas racun untuk
mengusir semua penghuni dusun.
Empat orang
itu lalu memasuki warung dan atas perintah Wu-yi Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin
menutup semua pintu dan jendela.
"Sui
Cin, engkau mengintai dari bagian belakang dan engkau Hui Song, engkau
mengintai dari depan. Kalau nampak orang, cepat-cepat beri tahu kami."
Dua orang muda
itu segera menuju ke pos masing-masing. Sui Cin berdiri mengintai dari balik
jendela belakang, sedangkan Hui Song berdiri mengintai dari balik pintu depan
yang direnggangkan sedikit. Dusun itu kini sunyi sama sekali. Tak ada seekor
anjing atau ayam pun yang terlihat berkeliaran karena binatang-binatang itu
sudah mati semua, yang masih hidup dibawa mengungsi oleh para penduduk.
Sementara
itu, hari telah menjadi siang dan dusun yang kosong itu ditimpa sinar matahari
yang cukup hangat. Akan tetapi, pemandangan yang nampak oleh Sui Cin dan Hui
Song di luar warung itu amat menyeramkan. Sunyi sekali, tak ada sesuatu yang
hidup. Karena itu, bergeraknya daun-daun yang tertiup angin saja sudah amat
menarik perhatian. Dusun yang ramai itu kini berubah menjadi sunyi seperti
tanah kuburan.
Dua orang
kakek itu mulai bercakap-cakap dan biar pun biasanya mereka bersikap kocak
bahkan ugal-ugalan, kini mereka terlibat dalam percakapan yang serius dan
anehnya, dua orang kakek yang sudah jelas mempunyai kesaktian itu kini
kelihatan seperti orang-orang yang ketakutan!
"San-sian,
apa bila aku tidak keliru sangka, engkau yang selama ini juga bersembunyi dan
bertapa, kini keluar tentu dengan alasan yang sama dengan aku, bukan?"
Si gendut
mengangguk lantas mengangkat kedua jari kirinya, jari telunjuk dan jari tengah
ke atas.
"Benar,
mereka telah turun ke dunia, atau katakanlah keluar dari neraka dan tentu dunia
akan menjadi rusak binasa. Apakah engkau juga mendengar apa yang kudengar di
luaran bahwa para datuk sesat akan berkumpul menghadap mereka?"
Kembali si
gendut mengangguk. "Sebab itulah aku tiba di dusun ini," katanya.
"Ketika aku memasuki warung, aku sudah curiga, akan tetapi begitu
melihatmu, aku tahu bahwa aku malah memperoleh teman. Aku makan sambil
mempermainkan kalian, akan tetapi ketika pemuda itu membawa air, aku mencium
hal yang tidak wajar."
"Wah,
hidung anjingmu kiranya semakin tajam saja," kata si kakek katai.
"Apakah
selama ini engkau tetap tinggal di Wu-yi-san dan tidak pernah keluar dari
tempat pertapaanmu?" kakek gendut bertanya.
Kakek katai
mengangguk. "Mau apa aku keluar? Hanya akan menderita penghinaan saja.
Ketika secara kebetulan aku sedang keluar dan mendengar desas-desus bahwa
mereka juga keluar dari tempat persembunyian mereka, hatiku lantas terasa panas
sehingga aku pun nekat keluar. Dan engkau sendiri? Kabarnya tinggal di Lembah
Sungai Harum?"
"Benar,
aku tinggal di lembah Siang-kiang, tempat yang tersembunyi. Akan tetapi aku tak
betah untuk terus menyendiri di tempat sunyi. Aku mulai sering keluar dan
merantau, dan untung perutku sudah menjadi gendut sehingga tak mudah dikenali,
apa lagi kipasku juga sudah berubah bentuk. Aku pun memakai nama Siang-kiang
Lo-jin..."
"He-he-he,
kenapa bisa sama? Aku tinggal di Wu-yi-san dan menggunakan nama Wu-yi Lo-jin,
ternyata engkau pun mempergunakan nama Lo-jin pula. Apakah enam tua bangka yang
lain juga menggunakan nama itu? Bagaimana dengan mereka?"
Si gendut
yang memakai nama Siang-kiang Lo-jin (Kakek Sungai Harum) itu menggeleng
kepalanya. "Aku tak pernah lagi mendengar tentang mereka. Akan tetapi aku
mendengar betapa Si Iblis Buta memimpin beberapa orang Cap-sha-kui membantu
pembesar korup yang kabarnya kini telah terbasmi. Akan tetapi dengan munculnya
mereka berdua itu, apa bila para datuk sesat sampai dikuasai mereka berdua,
tentu keamanan rakyat akan rusak binasa."
"Karena
itu kita harus menyelidiki apa yang akan mereka lakukan. Dan ternyata mereka
telah meninggalkan jejak, biar pun mereka telah membunuh puluhan orang di dusun
ini."
"Kakek,
apa sih maksud mereka membunuh orang-orang dusun dengan penyebaran racun di
dalam air minum?" Sui Cin ikut bertanya sambil tetap melanjutkan
penjagaannya sebab hatinya ingin sekali tahu. "Dan siapakah kiranya yang
melakukan perbuatan keji itu?"
"Siapa
lagi kalau bukan mereka? Ahh, perbuatan mereka sekali ini belum seberapa hebat.
Mereka itu sanggup melakukan apa saja, bahkan yang jauh lebih kejam dari pada
ini. Dan mereka membunuhi orang-orang dusun itu tentu ada maksudnya," kata
kakek katai.
"Tetapi
yang jelas tentu saja untuk membunuh kalian bertiga yang agaknya sudah mereka
curigai," sambung kakek gendut Siang-kiang Lo-jin.
"Belum
tentu!" kata kakek katai dengan muka berubah gelisah. "Jika mereka
benar-benar menghendaki kami, kenapa yang mereka racuni adalah sumber air?
Tidak, tentu mereka itu hendak membikin panik dan takut kepada penduduk
sehingga semua penghuni dusun melarikan diri. Keadaan seperti sekarang inilah
yang mereka kehendaki, untuk membuat keadaan di sekeliling sini menjadi sunyi
agar mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman dan tidak diketahui orang
lain."
"Hayaaa,
tua bangka Ciu-sian ternyata masih cerdik sekali. Agaknya hawa arak semakin
mempertajam otakmu. Betul sekali dugaanmu itu. Akan tetapi tahukah engkau
bagaimana kita akan mencari jejak mereka?"
"Aku
tahu. Melalui air."
"Bagus!
Aku pun berpikir demikian. Mari kita selidiki."
"Ssttt...!"
Tiba-tiba saja Sui Cin memberi isyarat tanpa menoleh, matanya ditujukan keluar
pondok warung. "Aku melihat berkelebatnya bayangan orang, mungkin lima
atau enam orang, cepat sekali, di ujung dusun sebelah timur."
"Aku
juga melihat bayangan tiga orang di ujung barat, menuju ke utara," bisik
Hui Song.
"Benar,"
kata Sui Cin pula. "Bayangan-bayangan itu menuju ke utara."
Dua orang
kakek itu bergerak cepat, mendekati tempat pengintaian dua orang muda itu, akan
tetapi bayangan-bayangan yang bergerak cepat itu telah lenyap. Mereka menunggu
sampai cukup lama, dan kini dua orang kakek itu ikut mengintai, akan tetapi
dusun yang sudah kosong itu sunyi sekali, tidak nampak lagi adanya bayangan
lewat di situ. Dan kini senja telah mendatang.
"Kita
harus memberanikan diri mencari jejak mereka sekarang juga sebelum gelap. Siang
tadi mereka sudah beraksi dan membunuh banyak orang, maka kurasa malam ini
adalah waktu yang telah ditentukan bagi mereka berkumpul." Wu-yi Lo-jin
yang bersikap sebagai pemimpin rombongan empat orang itu berkata dengan nada
mengambil keputusan.
Agaknya
Siang-kiang Lo-jin juga tak berkeberatan dan membiarkan rekannya mengambil
sikap memimpin. Dia mengangguk dan mereka berempat lalu berloncatan keluar
dengan hati-hati sekali. Sesudah mereka berempat mengadakan pemeriksaan dan
merasa yakin bahwa di dusun itu memang tidak ada orang lain kecuali mereka
berempat, mulailah dua orang kakek sakti itu mengadakan pemeriksaan. Semua
saluran air mereka periksa dan ternyata di antara banyak saluran air, hanya ada
satu saluran air yang tidak mengandung racun, yaitu yang mengalir ke utara!
"Hemm,
kalau begitu tepatlah seperti yang tadi dilihat dua orang pembantu muda kita
ini, mereka menuju ke utara dan air yang menuju ke sana saja yang bersih dari
racun."
Dengan penuh
semangat akan tetapi amat berhati-hati, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin mereka lalu
bergerak menuju ke utara, menurutkan jalannya saluran air jernih itu. Saluran
air itu berlika-liku sehingga akhirnya terjun ke dalam Sungai Huai yang baru
saja meninggalkan sumbernya, jadi masih kecil dan jernih. Dan berhentilah
mereka di lembah sungai yang datar, yang merupakan padang rumput yang luas.
Mereka
melihat ada sebatang bambu tinggi yang puncaknya dipasangi sehelai bendera.
Itulah bendera yang sangat dikenal oleh Wu-yi Lo-jin. Sebuah bendera yang
melukiskan dua buah tengkorak disilang tulang-tulang yang menjadi gagang
sepasang pedang. Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin nampak pucat dan gelisah.
Tentu saja
Hui Song dan Sui Cin yang tidak mengenal bendera itu merasa heran. Akan tetapi
ketika mereka hendak bertanya, dua orang kakek sakti itu sudah menaruh telunjuk
di depan mulut, tanda bahwa dua orang kakek sakti itu amat gelisah, tak berani
bergerak sembarangan, bahkan pernapasan mereka pun agaknya ditahan-tahan agar
tidak sampai terdengar, tanda bahwa mereka berdua itu sungguh tidak ingin
ketahuan orang!
Tentu saja
hal ini membuat dua orang muda itu di samping merasa heran, juga merasa ngeri.
Bila dua orang kakek seperti mereka itu sampai ketakutan, tentu ada hal yang
amat gawat dan agaknya pemilik bendera itu betul-betul memiliki kesaktian
seperti iblis sendiri!
Malam itu
bulan bersinar terang, tidak dihalangi awan. Di angkasa memang ada beberapa
gumpalan-gumpalan awan hitam, akan tetapi gumpalan-gumpalan awan itu
terpisah-pisah dan hanya lewat sebentar saja, sejenak menutupi sinar bulan lalu
pergi lagi, membentuk berbagai macam rupa yang menyeramkan.
Lapangan
rumput itu pun nampak terang oleh sinar bulan yang lembut dan penuh rahasia.
Namun yang tampak hanyalah tiang bendera dari bambu itu saja, dan bendera
bergambar sepasang tengkorak yang kadang-kadang saja berkibar lembut tertiup
angin malam yang halus.
Empat orang
yang mengintai itu pun lalu berpencar, dengan hati-hati bersembunyi karena dua
orang kakek itu tadi sudah memesan kepada Hui Song dan Sui Cin agar
berhati-hati dan jangan sekali-kali sampai memperlihatkan diri.
"Mereka
itu amat berbahaya, apa lagi kalau sedang berkumpul dalam jumlah banyak. Kita
datang hanya untuk menyelidiki keadaan dan rencana mereka, bukan hendak
melakukan penyerbuan." Demikianlah dua orang kakek itu berpesan kepada dua
orang muda yang tentu saja dapat memaklumi pesanan itu sehingga tidak berani
sembarangan bergerak.
Sesudah
lebih satu jam mereka menunggu, tiba-tiba terdengar suara jerit tangis seorang
anak kecil! Dalam sunyi menegangkan itu, tentu saja suara ini membuat suasana
menjadi semakin menyeramkan. Suara anak menangis itu mengaduh-aduh ketakutan,
membuat wajah Sui Cin menjadi pucat dan dia pun tidak dapat menahan perasaan
hatinya lagi. Dia bergerak dan biar pun terdengar suara Hui Song mencegahnya,
namun Sui Cin tidak mau diam lagi.
Tangis anak
itu seperti menusuk-nusuk jantungnya. Mana mungkin dia tinggal diam saja bila
ada seorang anak begitu ketakutan dan agaknya terancam bahaya maut? Bagaimana
pun juga, dia harus menyelidikinya dan kalau perlu turun tangan menolongnya,
apa pun yang akan menjadi resikonya.
Maka, dengan
hati-hati sekali dia pun menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu besar,
bergerak cepat menuju ke arah suara tangis anak itu. Melihat ini, Hui Song
merasa khawatir sekali dan dia pun terpaksa bergerak mengejar. Ketika dia dapat
menyusul, dia cepat menangkap lengan gadis itu.
"Hati-hati,
Cin-moi..." bisiknya.
"Aku
harus menolongnya, apa pun yang terjadi," bisik Sui Cin kembali.
"Hati-hati,
siapa tahu ini jebakan mereka..."
Tapi Sui Cin
terus saja melanjutkan usahanya mencari karena kini hanya terdengar tangis
ketakutan lemah dari suara anak tadi. Dan ternyata suara itu membawa mereka
menjauhi padang rumput hingga tiba di luar sebuah hutan. Tiba-tiba, tiba-tiba
sekali sehingga amat mengejutkan hati Sui Cin dan Hui Song, terdengar jeritan
yang menyayat hati kemudian diam!
Dua orang
pendekar itu saling berpegangan tangan dan saling pandang di bawah cahaya
bulan, keduanya terbelalak dan muka mereka pucat. Jeritan tadi jelas merupakan
jeritan maut seorang anak yang sedang berada dalam puncak ketakutan atau
kesakitan. Sui Cin kini bergegas lari menyusup di antara semak-semak, diikuti
oleh Hui Song dan tidak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah goa,
mengintai dari balik batu, pohon dan semak-semak.
Dan apa yang
mereka lihat hampir membuat Sui Cin muntah, bahkan Hui Song sampai terbelalak
dan tak mampu bergerak seperti telah berubah menjadi patung. Mereka berdua
merasa ngeri, jijik, dan juga marah bukan main.
Pemandangan
di depan goa itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Sangat mengerikan! Seorang
lelaki yang nampak seperti raksasa sedang memangku tubuh seorang anak kecil
telanjang yang menelungkup dan bagian bawah tubuh anak itu bermandi darah
sehingga juga membasahi paha lelaki raksasa itu. Melihat tubuh kecil telanjang
yang tertelungkup di atas pangkuan dalam keadaan mandi darah dan tidak bergerak
lagi itu mudah diduga bahwa anak itu tentu sudah mati dan agaknya baru saja
tewas.
Yang sangat
menjijikkan adalah betapa raksasa itu sedang memegang sebuah kaki kecil yang
agaknya kaki anak itu yang direnggut lepas begitu saja dari tubuhnya. Raksasa
itu memegang kaki seperti memegang paha ayam atau paha kelinci, lalu
mengganyangnya mentah-mentah. Daging paha kaki yang masih berdarah itu
dilahapnya bagaikan seekor harimau sedang melahap paha domba.
Sui Cin
menutupi mulutnya untuk mencegah muntah atau berteriak. Memang penglihatan itu
amat mengerikan. Bahkan Hui Song hanya diam tertegun memandang kakek raksasa
yang terus mengganyang paha anak kecil itu dengan lahapnya.
Sulit
menaksir berapa usia kakek itu. Akan tetapi tubuhnya telanjang hanya mengenakan
untaian daun-daun yang dipasang melingkar di pinggangnya. Tubuh kakek itu besar
sekali dan kelihatan kuat. Pada pundak dan lengannya tumbuh rambut panjang
seperti monyet. Di bawah tengkuknya terdapat punuk atau daging jadi. Sebuah
gelang yang terbuat dari akar kayu hitam menghias lengan kirinya.
Kepala serta
muka orang ini sungguh menyeramkan. Di dahinya juga tumbuh daging jadi dan
hanya pada bagian belakang kepalanya saja yang ditumbuhi rambut pendek kaku.
Mukanya tidak berjenggot atau berkumis, muka yang kasar dengan mata besar,
hidung pesek dan mulut lebar dengan gigi-gigi menonjol. Di belakang raksasa ini
terdapat tulang-tulang dan tengkorak manusia, agaknya raksasa ini sudah biasa
makan daging manusia mentah-mentah.
Melihat
kekejian yang tiada taranya ini, Sui Cin tak bisa menahan kemarahannya dan dia
pun sudah bergerak siap menerjang keluar. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya
ditekan orang dan tubuhnya menjadi lemas. Ketika dia menengok, ternyata yang
menekan jalan darah di pundaknya itu adalah Wu-yi Lo-jin sendiri yang ternyata
kini sudah berada di belakangnya bersama Siang-kiang Lo-jin!
Sui Cin
mengerutkan alisnya, akan tetapi Wu-yi Lo-jin menggeleng kepala lantas memberi
isyarat kepada dua orang muda itu untuk mengikutinya pergi meninggalkan tempat
yang mengerikan itu. Setelah jauh dari raksasa itu, Wu-yi Lo-jin berkata,
"Sui
Cin, hampir saja engkau menggagalkan semua usaha kita."
"Tetapi,
kek, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja kekejian seperti yang dilakukan
oleh iblis raksasa itu?"
Wu-yi Lo-jin
tidak bergurau seperti biasa, akan tetapi memandang dengan wajah serius.
"Sui Cin, kekejian seperti itu saja masih belum apa-apa dibandingkan
dengan kejahatan yang dapat dilakukan oleh orang-orang dunia sesat. Anak itu
telah tewas, jadi tidak dapat ditolong lagi. Dan belum waktunya bagimu untuk
turun tangan menentang iblis itu, karena kalau hal itu tadi kau lakukan, maka
mereka semua akan bermunculan dan tak mungkin kita dapat menyelamatkan diri
lagi."
Sebelum Sui
Cin dapat membantah, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan dan hiruk
pikuk di sebelah kiri, dari arah sebuah dusun yang berada di luar hutan.
Mendengar suara ini, empat orang itu, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin, segera
mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk berlari ke arah dusun itu.
Apakah yang
terjadi di dusun kecil itu? Seorang kakek lainnya yang juga seperti raksasa,
yang bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan membawa sebuah tongkat
panjang, sedang mengamuk dan membunuhi para penduduk.
Seorang ayah
yang melindungi anak isterinya mencoba melawan dengan golok di tangan. Akan
tetapi ia bukanlah lawan kakek raksasa yang seperti iblis itu. Dengan sekali
dorong saja petani itu segera roboh dan ujung tongkat menembus dadanya,
sedangkan isterinya telah tewas di ambang pintu.
Anaknya yang
tunggal, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menangis dan tidak mampu
bergerak ketika lengan kanannya dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri yang
besar dan panjang itu. Melihat betapa ayah dan ibunya dibunuh, anak itu menjadi
nekat. Sambil menjerit-jerit dia lalu menggigit punggung tangan kakek yang
mencengkeram lengannya.
"Huh!
Keparat!" Kakek itu pun menghardik lalu sekali tangan kirinya bergerak,
kepala anak itu langsung pecah dan tubuhnya terpelanting ke dekat mayat ayahnya
dalam keadaan tewas seketika.
Begitu
melihat kakek ini mengamuk, para penduduk dusun cepat melarikan diri ketakutan,
meninggalkan belasan orang kawan yang sudah roboh dan tewas terlebih dahulu.
Ketika Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin tiba di sana dan
mengintai, semua penduduk yang masih hidup sudah lari mengungsi dan yang ada
hanya kakek raksasa itu yang tertawa bergelak memegangi tongkatnya, di
tengah-tengah dusun dan di sana-sini nampak mayat-mayat berserakan.
Kembali
Wu-yi Lo-jin harus menahan Sui Cin yang mukanya sudah merah karena marah dan
tangannya sudah gatal-gatal untuk keluar dan menyerang iblis itu.
"Sabarlah.
Mereka memang sengaja membuat pembersihan agar semua dusun di sekitar tempat
ini ditinggalkan kosong sehingga pertemuan mereka tak akan terganggu. Dengan
berbuat demikian itu, selain berusaha mengusir semua penghuni penduduk, juga
agaknya mereka hendak memancing keluarnya golongan musuh yang mungkin datang
mengintai seperti yang kita lakukan. Jangan kita mudah terpancing keluar dan
mati konyol. Mari kita bersembunyi dan mengintai lagi di padang rumput itu. Di
sana adanya bendera itu, maka tentu di sana pula mereka akan datang
berkumpul."
Empat orang
itu berindap-indap serta menyusup-nyusup melalui belakang semak-semak dan
batu-batu besar, kembali ke tempat tadi. Di sana masih sunyi, dan bendera itu
pun masih berkibar di ujung tiang bendera dari bambu. Akan tetapi, dengan
gerakan tangan Wu-yi Lo-jin menudingkan jari telunjuknya dan memberi isyarat
kepada kawan-kawannya untuk memperhatikan ke atas.
Sui Cin dan
Hui Song memandang ke arah yang ditunjuk dan mereka terbelalak. Di sana, di
atas puncak tiang bambu itu seperti ada dua ekor burung raksasa bermain-main.
Yang seekor hinggap di atas puncak tiang bambu dan yang seekor lagi berjungkir
balik di atas. Ketika yang berjungkir balik tadi melayang turun, yang hinggap
di ujung bambu mencelat ke atas, berjungkir balik dan tempatnya kini dipakai
oleh burung kedua.
Akan tetapi,
sesudah dipandang dengan teliti, nampak oleh Sui Cin dan Hui Song bahwa dua
bayangan yang bermain-main di puncak tiang bambu itu sama sekali bukan burung
melainkan manusia! Dua orang manusia yang semuanya berambut panjang
riap-riapan, berpakaian longgar dan dari jarak sejauh itu sukar dikenal
wajahnya. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang seorang ramping, mudahlah
diduga bahwa mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita.
Akan tetapi
yang sangat mengagumkan adalah gerakan mereka. Sui Cin sendiri seorang ahli
ginkang yang telah mewarisi ilmu ginkang ibunya yang juga sangat hebat. Akan
tetapi melihat cara dua orang itu main-main di puncak tiang bambu yang lentur
seperti dua ekor burung saja, diam-diam dia pun terkejut dan kagum bukan main.
Tahulah dia bahwa dua orang itu memiliki ilmu ginkang yang sangat tinggi dan
dia, seperti juga Hui Song, segera menduga-duga siapa adanya kedua orang lihai
itu.
Ketika Sui
Cin menoleh dan memandang kepada Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, dia
melihat betapa Dewa Arak dan Dewa Kipas itu tampak pucat, terbelalak dan
seperti orang ketakutan. Bahkan ketika Si Dewa Arak Wu-yi Lo-jin menoleh kepada
Sui Cin dan melihat gadis ini seperti hendak membuka mulut, dia cepat memberi
isyarat supaya gadis itu tidak mengeluarkan suara.
Sekarang
nampak oleh empat orang pengintai itu betapa yang pria hinggap di atas ujung
bambu dan yang wanita melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali kemudian
turun, melayang ke arah pria yang berdiri dengan satu kaki di atas puncak
bambu. Akan tetapi laki-laki itu tidak meninggalkan tempatnya dan si wanita
dengan lunaknya lantas hinggap di atas kepala lelaki itu dengan kepalanya pula!
Mereka beradu kepala dan kini si wanita berdiri jungkir balik, kepalanya
menempel pada kepala pria yang masih berdiri tegak.
Sungguh
pertunjukan yang amat mengagumkan dan kalau saja tidak ada tiga orang lain yang
memperingatkannya, tentu Sui Cin sudah bertepuk tangan sambil bersorak memuji.
Ginkang seperti yang diperlihatkan dua orang yang agaknya sedang berlath itu
sungguh membuat hatinya kagum bukan main.
Akan tetapi,
Wu-yi Lo-jin yang juga merupakan seorang ahli ginkang yang sangat hebat, kini
memandang khawatir. Dia tahu bahwa menghadapi sepasang iblis itu, hanya dalam
ginkang saja dia masih mampu mengungguli mereka, akan tetapi kini, melihat cara
kedua orang itu berlatih, dia merasa sangsi apakah ilmu ginkang-nya akan mampu
menandingi mereka sekarang!
Melihat
kekhawatiran pada wajah kedua orang kakek sakti, Sui Cin lalu menyentuh lengan
Wu-yi Lo-jin, kemudian dengan isyarat ia mengangkat ke atas dua jari tangannya,
telunjuk dan jari tengah. Melihat isyarat ini, Wu-yi Lo-jin mengangguk dan
tahulah Sui Cin bahwa kedua orang yang sedang berlatih itu benar adalah Raja
Iblis dan Ratu Iblis seperti yang pernah diceritakan Dewa Arak yang katai itu
kepadanya. Maka tentu saja dia pun menjadi gelisah dan tertarik, memandang
dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba
para pengintai itu melihat berkelebatnya bayangan orang. Agaknya mereka yang
sedang berlatih di puncak bambu juga melihatnya karena mereka berdua secara
tiba-tiba melayang turun. Gerakan mereka ketika melayang sambil mengembangkan
kedua lengan dan jubah mereka yang lebar berkibar benar-benar membuat mereka
nampak seperti dua ekor burung besar.
Tanpa
mengeluarkan sedikit pun suara, kedua orang itu turun lantas hinggap di atas
dua buah batu besar yang agaknya seperti juga tiang bendera itu, sudah sengaja
dipersiapkan lebih dulu di tempat itu. Dengan berdiri di atas batu yang besar
setinggi manusia ini, maka kedua orang itu nampak nyata dari jarak jauh.
Sui Cin
memandang penuh perhatian. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan berperawakan
sedang. Wajahnya sama sekali bukan seperti wajah iblis atau wajah tokoh-tokoh
sesat lain yang biasanya menyeramkan. Orang-orang Cap-sha-kui juga berwajah
menyeramkan, juga dua orang raksasa yang dilihatnya tadi jelas membayangkan
bahwa mereka adalah orang-orang sesat yang kejam sekali. Akan tetapi sungguh
membuat hatinya penasaran kalau pria ini dinamakan Raja Iblis yang sangat
ditakuti oleh dua orang kakek sakti yang berada di dekatnya.
Laki-laki
itu sulit ditaksir berapa usianya karena meski pun wajahnya masih nampak muda
dan tidak keriputan, akan tetapi rambutnya yang panjang dan riap-riapan itu
sudah putih semuanya. Kumis dan jenggotnya dipotong pendek. Tak nampak sesuatu
yang aneh atau menakutkan pada diri pria ini kecuali barang kali matanya.
Sepasang matanya itu bersinar mencorong dan nampak kehijauan! Sungguh bukan
seperti mata manusia biasa.
Orang kedua
adalah seorang wanita yang bertubuh langsing, juga tidak terlihat aneh atau
menakutkan. Tubuhnya masih langsing padat bagaikan tubuh seorang wanita muda,
dan wajahnya pun belum berkeriput pula, akan tetapi rambutnya yang riap-riapan
itu pun telah putih semua. Seperti pria itu, dia juga memiliki sepasang mata
yang mencorong bersinar kehijauan.
Selain mata
mereka yang mencorong kehijauan, juga sikap kedua orang ini amat dingin. Wajah
mereka seperti topeng saja, seperti kulit mati dan hanya mata mereka yang
hidup. Wajah itu tidak membayangkan perasaan apa-apa kecuali dingin dan mati,
dengan kerut di dekat mata dan mulut yang menunjukkan kemarahan atau ejekan
atau tidak pedulian. Pakaian mereka hanya dari dua macam warna, putih dan
kuning, dan polos. Potongannya sangat sederhana, kebesaran dan longgar, akan
tetapi kainnya terbuat dari sutera halus dan nampak bersih.
Bagaikan
setan-setan yang berkeliaran, nampak bayangan-bayangan berkelebat dan kini di
tempat itu telah berkumpul banyak orang. Tak kurang dari tiga puluh orang
berdatangan dari segala penjuru.
Sui Cin yang
mengintai, diam-diam bergidik melihat betapa sebagian besar dari puluhan orang
ini memiliki bentuk wajah, tubuh atau pakaian yang aneh-aneh dan menyeramkan.
Dua orang kakek raksasa yang dilihatnya tadi pun berada di situ. Anehnya, di
antara tiga puluh orang lebih itu, sebagian berlutut menghadap kepada dua orang
yang berdiri tegak di atas batu besar, akan tetapi sebagian lagi, kurang lebih
setengahnya tetap berdiri dan menghadap dua orang itu dengan sikap yang
jelas-jelas menyatakan bahwa mereka yang berdiri ini tidak mau tunduk! Dan dua
orang kakek raksasa tadi termasuk di antara mereka yang berdiri dengan sikap
angkuh.
Puluhan
orang itu rata-rata sudah tua, di antara empat puluh tahun sampai ada yang
sulit ditaksir berapa usianya. Dan Sui Cin melihat betapa hidung kakek gendut
Dewa Kipas kini berkembang kempis tanda bahwa dia mencium sesuatu. Dia sendiri
pun lapat-lapat dapat mencium bau yang bermacam-macam. Ada bau yang amis
sekali, ada bau harum yang aneh.
Dia pun tahu
bahwa di antara orang-orang yang berkumpul di situ tentu terdapat banyak
datuk-datuk sesat yang selalu bergelimang dengan racun yang berbahaya. Pada
saat dia membayangkan betapa di situ terdapat orang yang melepas racun ke dalam
air sehingga telah membunuh puluhan orang, sungguh dia merasa ngeri dan
bergidik. Agaknya mereka semua itu bukan manusia lagi, melainkan iblis-iblis
jahat yang berhati kejam bukan main.
Laki-laki
dan wanita yang berdiri di atas batu besar itu kini memandang ke bawah. Wajah
mereka yang tertimpa sinar bulan itu nampak kehijauan, akan tetapi tidak
memperlihatkan perasaan apa pun saat pandang mata mereka melihat betapa
sebagian dari mereka yang muncul itu tidak berlutut.
Wanita
berambut riap-riapan putih itu kini mengangkat tangan kanan ke atas, kemudian
terdengar suaranya, suara yang lantang namun melengking halus, menusuk anak
telinga. "Kawan-kawan yang sudah menunjukkan penghormatan kepada kami,
kami menerimanya dan silakan kalian duduk dan berkumpul di sebelah kanan!"
Jarinya menuding ke kanan.
Mereka yang berlutut
itu, berjumlah belasan orang, lalu bangkit dan berkumpul di sebelah kanan, di
mana mereka lalu duduk dengan santainya di atas rumput. Akan tetapi, dasar
orang-orang kasar yang tak pernah mengindahkan kesopanan dan aturan, mereka
duduk seenaknya, ada yang jongkok, ada yang mekangkang, ada pula yang setengah
tiduran.
Tinggal
belasan orang yang merupakan kelompok yang sejak tadi berdiri saja, tidak mau
berlutut seperti yang lain. Dan di tengah-tengah mereka, kini bahkan berada
paling depan, berdiri seorang kakek yang sudah dikenal oleh Sui Cin, yakni
kakek buta yang terkenal dengan julukan Iblis Buta! Itulah Siangkoan Lo-jin,
kakek yang berpakaian petani hitam sederhana, yang matanya buta hanya nampak
putihnya saja dan melek terus, kakek yang menjadi datuk sesat dan yang pernah
memimpin sebagian dari anggota Cap-sha-kui.
Siangkoan
Lo-jin atau Iblis Buta itu kini berdiri tegak dengan tongkat kayu cendana hitam
di tangannya. Sikapnya tegak dan angkuh berwibawa dan agaknya inilah yang
membuat belasan orang datuk lainnya, termasuk pula mereka dari Cap-sha-kui,
berani untuk berdiri di belakangnya menentang suami isteri yang merupakan raja
dan ratu baru di kalangan sesat, akan tetapi yang belum pernah mereka rasakan
sendiri kehebatan mereka itu.
Mereka semua
adalah kaum sesat yang pernah mendengar nama Raja Iblis dan Ratu Iblis dari Goa
Tengkorak, akan tetapi karena selama puluhan tahun suami isteri ini tidak
pernah muncul, maka mereka pun tidak pernah bertemu dengan mereka dan kini
mereka sangsi apakah benar suami isteri itu amat hebat dan lebih tangguh dari
pada Si Iblis Buta!
Wanita itu
kembali menghadapi mereka yang berdiri di bawah dan suaranya masih tetap
terdengar melengking nyaring dan tidak ada bedanya dengan tadi, tidak
memperlihatkan kemarahan, hanya terdengar lebih dingin.
"Dan
kalian yang berani menentang kami dengan pandang mata dan sikap, kami masih
memberi kesempatan untuk bicara dan mengemukakan alasan mengapa kalian tidak
mau tunduk kepada kami, Raja dan Ratu kalian!"
Belasan
orang yang tetap berdiri tegak dan tidak mau tunduk itu tampak ragu-ragu. Sikap
wanita itu biar pun nampak halus namun sungguh mengandung suatu wibawa yang
amat menyeramkan, dan lebih-lebih lagi sikap pria yang berdiri tegak di atas
batu besar tanpa mengeluarkan sepatah kata itu, yang hanya melihat dengan
matanya yang mengeluarkan sinar hijau laksana mata iblis. Agaknya Raja Iblis
ini memang jarang bicara dan isterinya, Ratu iblis itu yang menjadi juru bicara
untuknya.
Nama
seseorang memang mempunyai pengaruh besar. Walau pun belum pernah melihat
kelihaian Raja dan Ratu Iblis itu, namun tiga belas orang Cap-sha-kui yang kini
berkumpul semua, bersama beberapa orang datuk sesat lainnya dan dipelopori oleh
Iblis Buta, sudah pernah mendengar kesaktian suami isteri bangsawan yang kini
menjadi manusia iblis itu. Maka, bagaimana pun juga, ada perasaan gentar di
dalam lubuk hati mereka.
Hanya karena
di situ terdapat Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta yang menjadi pelopor, maka
mereka masih berbesar hati karena mereka semua sudah melihat sendiri kesaktian
Iblis Buta ini yang sudah mereka akui sebagai pemimpin, atau setidaknya
beberapa orang di antara Cap-sha-kui telah mengakuinya. Kini, mendengar
pertanyaan serta kata-kata Ratu Iblis, belasan orang itu lalu memandang ke arah
Siangkoan Lo-jin, mengharapkan tokoh pemimpin ini yang akan menjawab.
Siangkoan
Lo-jin yang buta itu maklum melalui pendengaran dan perasaan hatinya bahwa
rekan-rekannya mengharapkan dirinya sebagai pemimpin untuk menghadapi suami
isteri yang begitu muncul sudah menentukan dan mengangkat diri sendiri sebagai
raja dan ratu para datuk. Dia menjadi marah.
"Tukk!
Tukk! Tukk!" Tiga kali ujung tongkat kayu cendana yang berada di tangannya
itu menotok, di atas sebongkah batu yang berada di depan kakinya.
Totokan-totokan
itu nampaknya perlahan saja, akan tetapi sebongkah batu itu retak-retak dan
ketika tongkat kakek buta mendorong, batu itu pecah menjadi empat potong!
Betapa hebat tenaga sinkang kakek buta ini yang disalurkan melalui tongkatnya!
"Seorang
pemimpin dinilai dari perbuatannya, bukan dari namanya atau pun omongannya!
Kalian datang-datang mengangkat diri menjadi raja dan ratu dan minta agar kami
tunduk dan taat. Kami bukan anak kecil yang bisa kalian takut-takuti begitu
saja. Aku Siangkoan Lo-jin, minta bukti apakah kalian memang sudah pantas untuk
memimpin kami!"
Melihat betapa
pemimpin ini sudah berani maju menentang, tiba-tiba saja suami isteri dari
Kui-kok-pang, yaitu Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo juga berloncatan ke depan
dengan sikap menantang.
"Kami
juga penasaran!" kata Kui-kok Lo-bo dengan suara melengking. "Melihat
keadaan kalian, tidak lebih hebat dari pada aku dan suamiku. Mana mungkin kami
berdua mau tunduk dan taat kepada kalian kalau kami belum tahu sampai di mana
kesaktian kalian?"
Kui-kok
Lo-bo memandang dengan mata terbelalak. Nenek ini sesungguhnya tidak kalah
angkernya dibandingkan dengan nenek yang berdiri di atas batu besar. Dia dan
suaminya memang merasa penasaran sekali. Mereka merupakan suami isteri yang
terkenal sebagai sepasang iblis, ketua Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis)
dan merupakan dua tokoh Cap-sha-kui yang ditakuti.
Kini muncul
suami isteri yang seolah-olah hendak menyaingi mereka, dan melihat betapa suami
isteri yang baru muncul lantas mengangkat diri sendiri menjadi Raja Iblis dan
Ratu Iblis, tentu saja Kui-kok Lo-bo merasa penasaran. Kakek nenek di atas batu
itu nampak seperti orang-orang biasa saja.
Dan memang
keadaan suami isteri Kui-san-kok ini lebih menyeramkan jika dibandingkan dengan
Raja dan Ratu Iblis itu. Suami isteri ini berpakaian putih-putih dan muka
mereka pun putih pucat, seperti muka mayat. Mata mereka mencorong mengerikan
dan kekejian mereka sudah sangat terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Jauh lebih
mengesankan dari pada suami isteri biasa sederhana yang kini berdiri di atas
batu besar itu.
Sejenak
nenek berambut putih itu memandang kepada suami isteri yang berdiri bertolak
pinggang menentangnya di bawah batu itu tanpa perubahan air muka, hanya
sepasang matanya berkedip-kedip dan sinar pandangan matanya menyambar ganas.
Dengan suara tetap halus akan tetapi nadanya semakin dingin saja, akhirnya dia
pun bertanya sambil memandang ke arah sekelompok orang yang berdiri di sebelah
belakang Iblis Buta dan sepasang Iblis Kui-kok-pang itu,
"Masih
ada lagikah yang merasa penasaran dan yang hendak menentang kami selain tiga
ekor monyet ini?"
Sungguh pun
di sana berkumpul datuk-datuk sesat yang amat kejam seperti sekumpulan
Cap-sha-kui, namun selain ketiga orang itu ternyata tidak ada lagi yang berani
menentang secara terang-terangan. Mereka merasa akan lebih aman apa bila
menunggu dan melihat bagaimana kelanjutan dari sikap Iblis Buta dan suami
isteri Kui-kok-pang itu.
Sementara
itu, mendengar bahwa dirinya disebut 'Tiga ekor monyet', tentu saja Iblis Buta
dan suami isteri Kui-kok-pang menjadi marah bukan main. Itulah penghinaan yang
hebat! Sekali. Namun, merasa betapa derajatnya lebih tinggi, yaitu sebagai
pemimpin sebagian dari tokoh Cap-sha-kui termasuk suami isteri Kui-kok-pang
itu, Iblis Buta hanya diam saja, membiarkan bawahannya untuk bertindak lebih
dahulu.
Lagi pula
dia sendiri belum mengenal kelihaian lawan, maka kalau lawan telah bergebrak
melawan suami isteri Kui-kok-pang, dia dapat menggunakan pendengarannya yang
tajam untuk mengikuti gerakan mereka dan mengukur sampai di mana kelihaian dua
orang itu.
"Kawan-kawan
semua yang sudah datang memenuhi undangan kami, kami berdua ingin mengucapkan
selamat datang dan terima kasih atas perhatian kalian. Percayalah, kami berdua
Raja dan Ratu kalian hendak mendatangkan suasana baru bagi kita semua, dan
sudah waktunya bagi kita untuk menguasai dunia! Sekarang, kalau ada yang tidak
setuju bahwa kami berdua yang menjadi Raja dan Ratu, dan bila ada yang hendak
menentang, kami persilakan naik ke atas batu ini. Apa bila kami sampai dapat
digusur turun dari atas batu ini, biarlah kami tidak akan banyak bicara lagi
dan kembali ke tempat pertapaan kami lalu tinggal di sana sampai mati. Nah,
hayo, siapa hendak naik? Tiga ekor monyet ini?"
Sikap dan
ucapan nenek berambut putih itu sungguh menyakitkan hati Kui-kok Lo-mo dan
Kui-kok Lo-bo. Mereka melihat bahwa batu besar itu cukup luas, luasnya tidak
kurang dari lima meter persegi. Memang kurang luas untuk menjadi tempat
perkelahian, akan tetapi, mereka maju bersama dan mereka berdua sudah mempunyai
ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh mereka berdua. Tempat yang sempit itu
bahkan menguntungkan apa bila mereka maju bersama.
"Perempuan
sombong, biarkan kami yang mencoba untuk menyeret kalian turun!" Bentak
Kui-kok Lo-bo yang berwatak keras dan galak.
Dia
mendahului suaminya meloncat dan tampaklah dua bayangan berkelebat cepat ketika
suami isteri ini melayang naik ke atas batu dan dalam waktu sekejap mata saja
mereka telah berdiri berdampingan, menghadapi nenek berambut putih yang
menyambut mereka dengan sikap dingin dan mata mencorong penuh selidik.
Ada pun
suaminya, yaitu kakek berambut putih riap-riapan itu, agaknya sama sekali tidak
mempedulikan, bahkan kini dia mengundurkan diri dan duduk bersila di sudut
permukaan batu, kemudian memejamkan kedua matanya seperti orang bersemedhi.
"Agaknya
kalian berdua ini yang disebut Sepasang Iblis Kui-kok-pang, dua orang di antara
Cap-sha-kui. Sayang, mulai sekarang Cap-sha-kui harus merasa puas dengan sebutan
Cap-it-kui (Sebelas Iblis) saja," kata nenek berambut putih.
Mata suami
isteri Kui-kok-pang itu mendelik. Penghinaan ini bahkan lebih hebat dari pada
makian monyet tadi, karena ucapan itu sangat meremehkan mereka, memastikan
bahwa mereka berdua tentu akan tewas sehingga jumlah Cap-sha-kui (Tiga Belas
Iblis) hanya akan tinggal sebelas orang lagi saja.
"Perempuan
sombong, engkaulah yang akan mampus di tangan kami!" bentak Kui-kok Lo-bo
yang sudah menubruk ke depan. Kedua lengannya tadinya terkembang, kemudian
menubruk dengan sepuluh jari tangan membentuk cakar setan. Gerakannya begitu
cepat dan mengandung sinkang amat kuat sehingga mengeluarkan bunyi angin
bersiutan!
"Plakk!
Plakk!"
Dua kali
tangan nenek berambut putih menangkis dan tubuh Kui-kok Lo-bo terdorong dan
hampir terjengkang. Tentu saja dia terkejut bukan main ketika merasa betapa
dorongan tangan lawan itu lunak dan lembut, akan tetapi di balik kelembutan itu
terkandung tenaga dahsyat yang tenang seperti air telaga sehingga tenaga sinkang-nya
sendiri yang bersifat keras itu seperti tenggelam ke dalamnya!
Itulah
semacam tenaga halus yang amat hebat, yang membuat telapak tangan wanita itu
bagaikan kapas halusnya akan tetapi mengandung tenaga dahsyat yang
sewaktu-waktu dapat dikeluarkan untuk mengirim serangan maut dari balik
kelembutan.
Pada waktu
isterinya terdorong mundur, Kui-kok Lo-mo yang sangat terkejut melihat cara
lawan menangkis isterinya dan mampu membuat isterinya terhuyung, telah
mengeluarkan teriakan nyaring lantas dia pun menerjang maju mengirim pukulan
dengan tangan kanan terbuka ke arah dada lawan. Kali ini, angin yang berhembus
lebih kuat dari pada gerakan Kui-kok Lo-bo dan tangan maut itu menyambar
dahsyat, mengeluarkan suara berdesing.
Nenek rambut
putih mengenal pukulan dahsyat, maka dia pun segera mengelak. Dengan gerakan
yang gesit tubuhnya menyelinap ke samping, akan tetapi bukan hanya sekedar
mengelak karena sambil mengelak kakinya melayang ke arah selangkang lawan.
"Wuuuttttt...!"
Kui-kok
Lo-mo cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan yang amat berbahaya itu
lewat di depan tubuhnya. Menggunakan kesempatan ini, Kui-kok Lo-bo sudah
menerjang lagi dari belakang, mencengkeram ke arah tengkuk lawan, ada pun
tangannya yang lain cepat menusuk ke arah lambung dengan jari-jari tangan
ditegakkan. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya, dilakukan dari
belakang tubuh lawan pula!
Akan tetapi
nenek rambut putih itu sama sekali tidak kelihatan terkejut atau gugup dalam
menghadapi serangan dari belakang ini. Cepat dia menarik tubuh atas ke belakang
sambil memutar tubuh, menangkis tusukan ke arah lambungnya itu, sedangkan
cengkeraman ke arah tengkuknya luput. Secepat kilat dia lalu menggerakkan
kepala dan rambutnya yang putih dan riap-riapan itu tiba-tiba saja berubah kaku
seperti kawat-kawat baja menyambar ke depan.
Bukan main
hebatnya serangan ini! Di dunia persilatan ada ilmu mempergunakan rambut
sebagai senjata akan tetapi biasanya rambut itu dikuncir sehingga jika kepala
digerakkan, kuncir yang tebal itu dapat menghantam seperti ujung toya.
Tapi ilmu
mempergunakan rambut nenek ini lain lagi. Rambutnya tidak dikuncir melainkan
riap-riapan sehingga menurut nalar, rambut yang riap-riapan ini tentu saja
tidak memiliki daya kekuatan. Akan tetapi hebatnya, begitu nenek ini
menggerakkan kepalanya, rambut putih yang riap-riapan dan beribu-ribu banyaknya
itu menjadi tegang seperti kawat-kawat baja halus menyambar ke arah lawan.
Kui-kok
Lo-bo terkejut bukan main ketika tubuhnya dari dada sampai kepala diserang oleh
rambut-rambut putih yang menjadi kaku itu. Dia cepat melempar tubuh ke
belakang, akan tetapi masih saja ada rambut yang menyentuh kulit lehernya
sehingga kulit leher itu pun terluka berlubang-lubang seperti ditusuki
jarum-jarum halus! Memang bagi wanita iblis ini tidak terlampau nyeri, akan
tetapi cukup mengejutkan karena ternyata kekebalan kulitnya tidak dapat
bertahan terhadap rambut-rambut putih halus itu.
Sementara
itu, Kui-kok Lo-mo telah menyerang kembali dengan pukulan-pukulan dahsyat. Juga
Lo-bo cepat membantu suaminya dan sebentar saja nenek berambut putih itu sudah
dikeroyok dua oleh sepasang iblis dari Kui-kok-pang. Perlu diketahui bahwa
suami isteri Kui-kok-pang itu sering kali melatih diri bersama, mempelajari
berbagai ilmu pukulan yang ampuh-ampuh sehingga mereka berdua merupakan
pasangan yang dapat bekerja sama dengan baik.
Akan tetapi,
nenek yang keadaannya tidak mengesankan itu ternyata lincah bukan main dan dia
seperti mempermainkan kedua orang pengeroyoknya! Gerakannya begitu mantap dan
cepat sehingga ke mana pun kedua orang lawannya menyerang, dia telah siap untuk
mengelak atau menangkis, bahkan hampir selalu dia membalas secara langsung
setiap serangan dengan tak kalah dahsyatnya. Hebatnya, makin dahsyat serangan
lawan, makin dahsyat pula dia membalas, seakan-akan kedahsyatan serangannya
tergantung kepada serangan lawan.
Hui Song dan
Sui Cin yang nonton dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kagum. Mereka
berdua sudah maklum akan kesaktian suami isteri Kui-kok-pang itu. Akan tetapi
saat melihat betapa nenek rambut putih itu dapat mempermainkan pengeroyokan
mereka, sungguh hal ini amat mengejutkan dan mengagumkan. Kini mengertilah
mereka mengapa dua orang kakek sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Kipas itu
nampak jeri terhadap Raja dan Ratu Iblis!
Perkelahian
di atas batu itu menjadi makin seru. Bagaimana pun juga harus diakui bahwa
Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah dua orang datuk sesat yang sudah
mempunyai kedudukan tinggi sehingga mengalahkan pengeroyokan dua orang ini
bukan merupakan hal yang mudah, biar pun bagi nenek berambut putih itu sekali
pun.
Memang benar
bahwa nenek itu menang segala-galanya, baik kekuatan sinkang mau pun kepandaian
silat dan ketinggian ginkang. Namun berkat kerja sama yang sangat kompak, suami
isteri iblis dari Kui-san-kok itu dapat bertahan dan menjaga diri.
Mereka
berdua terdesak hebat dan kini bahkan sukar untuk membalas serangan nenek itu
yang dibantu oleh rambutnya itu. Bagaikan gelombang samudera, nenek itu
mengirim serangannya susul-menyusul, dengan kedua tangan, kedua kaki, sambil
diselingi dengan gerakan rambutnya yang amat berbahaya.
Oleh karena
merasa kewalahan, suami isteri dari Kui-kok-pang itu menjadi penasaran dan
marah. Walau pun mereka bertangan kosong dan nenek rambut putih itu juga
bertangan kosong, akan tetapi penggunaan rambut nenek itu malah lebih
merepotkan dari pada bila lawan menggunakan senjata.
Maka mereka
pun mengeluarkan bentakan nyaring, lantas nampaklah sinar berkelebat di bawah
bayangan cahaya bulan yang kini bersinar terang. Tahu-tahu Kui-kok Lo-mo sudah
memegang sebatang pedang panjang lemas yang tadinya dipakai sebagai ikat
pinggang, ada pun isterinya sudah memegang dua buah pisau belati yang tajam
mengkilat. Dengan senjata di tangan, mereka lalu mengamuk dan menyerang kalang
kabut.
"Plakk!
Plakk! Plakk!"
Hampir saja
Sui Cin berseru saking kagumnya. Nenek rambut putih itu tidak hanya pandai
mengelak, bahkan berani menangkis pedang dan pisau yang amat tajam itu dengan
dua lengannya! Kulit lengannya menjadi lunak sekali sehingga ketika bertemu
dengan senjata tajam, sama sekali tidak terluka akibat tenaga bacokan
senjata-senjata itu lenyap disedot oleh kulit pembungkus daging yang lunak dan
ulet seperti kapas di udara yang tidak akan rusak terbacok senjata tajam.
Betapa pun
juga, nenek itu belum berani menerima senjata-senjata yang digerakkan oleh
tangan-tangan yang memiliki tenaga sinkang amat kuat itu dengan tubuhnya. Yang
berani beradu dengan senjata-senjata tajam itu hanyalah kedua lengannya saja
yang agaknya sudah terlatih dengan amat baiknya.
"Tringgg...!
Crakkk...! Tranggg...!"
Bunga api
berpijar ketika ujung pedang mencium permukaan batu, membuat debu batu
bertaburan. Nenek itu harus melipat gandakan kecepatannya ketika dua kakinya
diserang dengan babatan pedang sedangkan pada saat yang sama Kui-kok Lo-bo
menggerakkan sepasang belatinya mengarah jalan-jalan darah yang berbahaya.
Sesudah
suami isteri itu mempergunakan senjata, perkelahian menjadi semakin seru dan
menegangkan. Semua orang yang hadir di sana, baik yang sekelompok dan kini
duduk di sebelah kanan mau pun mereka yang masih berdiri di belakang Iblis
Buta, nonton dengan perasaan tegang. Bagi mereka, yang berkelahi itu
seolah-olah mewakili golongan masing-masing, yaitu golongan yang tunduk kepada
Raja dan Ratu Iblis dengan golongan yang menentang.
Walau pun
Sui Cin harus mengakui bahwa nenek berambut putih itu memang lihai sekali
sehingga tidak sampai kalah meski dikeroyok suami isteri iblis dari
Kui-kok-pang itu yang keduanya bersenjata tajam, akan tetapi dia masih merasa
ragu-ragu apakah orang-orang seperti Dewa Arak atau Dewa Kipas harus takut
menghadapinya. Menurut penilaiannya, tingkat kepandaian dua orang kakek itu
belum tentu kalah oleh nenek berambut putih itu, akan tetapi mengapa mereka
berdua nampak sedemikian takutnya menghadapi Raja dan Ratu Iblis? Dia menaksir
bahwa kalau hanya dapat mengimbangi kepandaian dua orang suami isteri
Kui-kok-pang itu saja, ayahnya atau ibunya belum tentu akan kalah!
Akan tetapi
tiba-tiba kakek katai menyentuh lengannya dan menudingkan jari telunjuknya ke
arah batu di mana perkelahian masih berlangsung dengan serunya. Dan Sui Cin
yang tadinya termenung itu sekarang terbelalak. Kedua orang suami isteri
Kui-kok-pang itu kini kelihatan terhuyung-huyung!
Yang membuat
Sui Cin terheran-heran dan merasa ngeri adalah ketika dia melihat betapa kedua
tangan suami isteri itu kini berubah menjadi hijau, juga muka mereka yang
tadinya pucat seperti muka mayat itu tiba-tiba berubah menjadi kehijauan! Dan
dia, sebagai puteri suami isteri pendekar sakti, dapat menduga apa artinya itu.
Suami isteri Kui-kok-pang itu ternyata telah keracunan secara hebat sekali.
Inilah sebabnya mengapa gerakan mereka menjadi kacau dan lemah.
Padahal
nenek berambut putih itu sama sekali tak pernah kelihatan menggunakan racun!
Dari mana datangnya racun yang menguasai suami isteri itu? Dan kedua suami
isteri Iblis Kui-kok-san itu pun merupakan datuk-datuk sesat yang tidak asing
dengan segala macam racun, bagaimana mungkin mereka dapat keracunan semudah
itu?
Tiba-tiba
saja nenek berambut panjang itu mengeluarkan suara bentakan melengking, lalu
tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu sepasang pisau dan pedang itu telah
terbang dari tangan para penyerangnya. Suami isteri itu nampak sangat terkejut,
akan tetapi mereka menggunakan tangan kosong untuk melawan terus. Bahkan
sekarang mereka mengamuk secara nekat, melihat betapa tubuh mereka telah
dipengaruhi hawa racun hijau yang tidak menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi
membuat tubuh mereka makin lama semakin lemas.
"Hyaaattttt...!"
tiba-tiba Kui-kok Lo-bo menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar setan.
Nenek ini
sudah nekat karena merasa betapa sebetulnya dia dan suaminya dipermainkan,
karena kalau dikehendaki, agaknya sejak tadi dia dan suaminya sudah dapat
dikalahkan. Dia tadi sudah mencoba menggunakan pil anti racun untuk
menyembuhkan keracunan itu dengan menelannya, akan tetapi tidak ada hasilnya
sama sekali. Maka dia berlaku nekat, kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan
lawan.
Karena itu
serangannya itu hebat bukan main, tidak mempedulikan daya pertahanan lagi,
melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mencengkeram tubuh
lawan. Tentu saja dia menyerang sambil mengerahkan tenaga sinkang yang membuat
sepasang tangannya berubah hitam dan mengandung hawa beracun yang amat
berbahaya.
Akan tetapi
karena racun hijau itu mulai menguasai dirinya, gerakannya menjadi kurang cepat
dan lawannya dengan mudah saja dapat mengelak, bahkan kini lawannya berhasil
menangkap kedua pergelangan tangan Kui-kok Lo-bo. Sebelum Lo-bo dapat mencegah,
tahu-tahu ada sinar putih berkelebat lantas rambut-rambut putih yang
riap-riapan itu telah bergerak menyerang mukanya!
Terdengar
jerit mengerikan ketika rambut-rambut halus yang sudah berubah menjadi kaku
meruncing itu menerkam muka dan leher Kui-kok Lo-bo. Ketika nenek berambut
putih itu melepaskan pegangan sambil mendorong, tubuh Kui-kok Lo-bo terjengkang
dan terlempar jauh dari atas batu, terbanting ke atas tanah dan di situ
tubuhnya berkelojotan. Muka dan lehernya mandi darah, juga sepasang matanya
rusak dan hancur karena tusukan-tusukan rambut-rambut itu!
Melihat
isterinya roboh, Kui-kok Lo-mo menjadi marah dan mata gelap. Dia lupa bahwa
sudah jelas dia bukan lawan nenek rambut putih, akan tetapi dia sudah nekat dan
sambil berseru keras dia pun memukul dengan tangan kanannya ke arah kepala
nenek berambut putih, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut.
Serangan
kedua tangan ini hebat bukan main. Meski pun kakek ini juga sudah keracunan dan
tenaganya banyak berkurang, namun pengerahan sinkang dalam keadaan marah ini
melipat gandakan kekuatannya sehingga dua serangan itu sangat dahsyat dan
berbahaya sekali.
Nenek rambut
putih itu cepat menyambut cengkeraman itu dengan pukulan kedua tangan miring ke
bawah, sedangkan tangan yang menghantam ke arah kepalanya itu dia sambut dengan
rambutnya. Akan tetapi kali ini rambut di kepalanya tidak bergerak
sendiri-sendiri, melainkan menjadi bergumpal sebesar lengan dan dengan kekuatan
dahsyat menyambut pukulan tangan kanan Kui-kok Lo-mo dengan tangkisan dari atas
ke bawah pula, seperti sebuah lengan atau sebatang toya baja menangkis.
"Krakkk...!
Krekkk...!"
Kui-kok
Lo-mo meloncat ke belakang dan mukanya yang pucat agak kehijauan menjadi
semakin pucat. Kedua lengannya tergantung lemas dan tidak berdaya lagi karena
tulang-tulang kedua lengannya patah-patah oleh tangkisan gumpalan rambut serta
kedua tangan nenek itu! Dalam satu jurus saja, kedua lengannya menjadi tidak
berdaya dan tidak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi.
"Haiiiittt...!"
Biar pun sepasang lengannya sudah lumpuh, Kui-kok Lo-mo masih tidak mau mundur.
Sudah kepalang baginya.
Isterinya
telah tewas dan betapa pun juga, tak mungkin dia mundur menelan penghinaan dan
kekalahan begitu saja di depan begitu banyak orang. Akan dikemanakan mukanya?
Namanya akan hancur dan menjadi buah tertawaan orang bila dia mundur dan
mengaku kalah. Maka, sambil mengeluarkan pekik yang nyaring tadi, kedua kakinya
bergerak dan tubuhnya melayang ke atas, lalu kedua kaki melakukan tendangan
dahsyat sekali.
"Plakkk!
Brukkk...!"
Tubuh
Kui-kok Lo-mo terbanting keras di atas batu ketika nenek itu mengelak ke
samping sambil menangkis dengan lengannya. Akan tetapi Kui-kok Lo-mo bangkit
kembali dengan loncatan karena kedua tangannya tidak dapat dipergunakan untuk
menyangga tubuhnya, lantas dengan nekat dia menendang lagi. Akan tetapi, empat
kali dia menendang, empat kali pula tubuhnya terbanting sebab setiap tendangan
dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya, bahkan tangkisan keras lawan
membuat tubuhnya terpelanting dan terbanting.
"Aaahhhh...!"
Tiba-tiba Kui-kok Lo-mo mengambil posisi menunduk seperti seekor kerbau
mengamuk dan hendak mempergunakan tanduk menyerang. Akan tetapi karena Kui-kok
Lo-mo tidak bertanduk, pada saat dia lari menyeruduk ke depan, dia hanya
menggunakan kepalanya yang menerjang dan menyeruduk ke arah perut nenek
berambut putih itu.
Serangan
semacam ini jangan dipandang ringan! Bukan hanya kaki tangan kakek itu yang
terlatih dan dapat disaluri tenaga sinkang sehingga mampu menghancurkan batu
karang. Akan tetapi kepalanya juga menjadi anggota badan yang dapat dipakai
untuk menyerang. Serudukan kepala itu sangat berbahaya. Bahkan tembok tebal
sekali pun akan jebol kalau diseruduk kepala yang penuh dengan tenaga sinkang
ini.
Sui Cin dan
Hui Song yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan mata jarang
berkedip, kini memandang penuh perhatian. Mereka tahu bahwa nenek berambut
putih itu tentu akan mengelak. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka melihat
bahwa nenek itu sama sekali tidak mau mengelak, bahkan dia menerima kepala yang
menyeruduk ke arah perutnya yang kecil itu.
"Ceppp...!"
Terdengar
suara nyaring ketika kepala itu membentur perut dan... kepala itu menancap ke
dalam perut. Perut yang ramping itu laksana menjadi kosong dan kepala Kui-kok
Lo-mo masuk ke dalam rongga perut, disedot sehingga tidak dapat dikeluarkan
lagi!
Kui-kok
Lo-mo terkejut bukan main. Dari hidungnya ke atas, kepalanya sudah terbenam ke
dalam perut wanita itu. Dia hanya mampu bernapas melalui mulutnya dan dia
merasa betapa kepalanya menjadi panas sekali, seperti dimasukkan ke dalam
perapian! Dan ada gencatan amat kuat yang seolah-olah akan meledakkan
kepalanya.
Kedua
lengannya telah lumpuh, tidak dapat dipakai untuk menyerang, dan kedua kakinya
pun tidak dapat melakukan tendangan karena terlalu dekat dengan lawan. Kini dia
hanya dapat mengerahkan tenaga seadanya untuk meronta serta berusaha melepaskan
diri dari sedotan perut itu.
Akan tetapi
semua usahanya itu sia-sia belaka dan kepalanya terasa semakin nyeri dan panas.
Demikian hebat rasa nyeri yang dideritanya hingga kedua kakinya meronta-ronta,
kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan pekik mengerikan ketika tubuhnya
terlempar dari atas batu karena wanita berambut putih itu secara tiba-tiba
menggerakkan perutnya dan tenaga dari perut itu menendang kepala Kui-kok Lo-mo
sehingga tubuhnya terpental ke bawah batu, tepat di sisi tubuh isterinya yang
masih berkelojotan. Dari telinga, hidung dan mulutnya bercucuran darah dan
mulutnya mengeluarkan suara ngorok seperti seekor babi disembelih.
Melihat
tubuh kakek dan nenek itu berkelojotan dalam keadaan sekarat, Sui Cin merasa
ngeri sekali. Betapa sadisnya nenek berambut putih itu, pikirnya. Biar pun dia
ingat bahwa kakek dan nenek itu juga merupakan iblis-iblis berujud manusia,
akan tetapi menyaksikan kekejaman sedemikian hebatnya terjadi di depan matanya,
hampir dia tak dapat bertahan untuk meloncat keluar dan menyerang nenek iblis
itu! Akan tetapi Dewa Arak yang berada di dekatnya agaknya tahu akan isi hati
gadis ini, maka beberapa kali kakek itu menepuk pundak atau lengan Sui Cin
untuk menyabarkannya.
Sementara
itu Siangkoan Lo-jin kini menggerakkan kedua kakinya lalu tubuhnya mencelat ke
atas batu besar, berhadapan dengan nenek berambut putih yang kini sudah
bertolak pinggang menanti lawan itu. Biar pun buta, akan tetapi kakek berambut
putih itu tadi dapat mengikuti jalannya perkelahian dengan baik, hanya
menggunakan pendengarannya saja.
Bahkan lebih
dari pada mereka yang mempunyai mata sehat, dia mampu mengenal dan meneliti
gerakan-gerakan nenek berambut putih itu, dapat mengetahui di mana saja letak
kekuatannya dan di mana pula letak kelemahannya. Kini, dengan tenang dia
berhadapan dengan nenek itu, memegang tongkatnya dengan tangan kiri.
"Hemm,
sobat. Agaknya kini tinggal aku seorang saja yang berani menentang kalian. Mari
majulah dan kita akan selesaikan urusan ini dengan taruhan darah dan
nyawa."
Melihat
sikap kakek buta ini, nenek berambut putih nampak ragu-ragu. Biar pun buta tapi
kakek ini tidak boleh dibuat main-main, tidak boleh dipandang ringan karena dia
pun telah mendengar bahwa Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta ini telah berhasil
menundukkan banyak tokoh sesat yang lihai, malah beberapa orang anggota
Cap-sha-kui, termasuk pula suami isteri yang sudah dirobohkannya itu telah
tunduk kepada Iblis Buta ini. Orang yang sudah dapat menundukkan mereka, apa
lagi dalam keadaan buta, tentu mengandalkan ilmu silat yang luar biasa sehingga
dia harus berhati-hati.
Agaknya sang
suami maklum akan keraguan isterinya, karena suaminya itu tiba-tiba saja
bangkit berdiri lantas melangkah maju. Tanpa bicara apa pun, si isteri agaknya
maklum bahwa jika suaminya sudah maju sendiri, tak ada alasan baginya untuk
mencampurinya. Maka dia pun mundur dan duduk bersila di sudut batu seperti yang
dilakukan suaminya tadi. Kini kakek yang mukanya kehijauan itu berdiri
berhadapan dengan Iblis Buta.
Siangkoan
Lo-jin juga dapat mengikuti semua gerakan tadi, dan dia tahu bahwa nenek itu
telah mundur, digantikan oleh seorang yang langkah kakinya perlahan namun
getarannya terasa mempengaruhi batu besar itu hingga kakinya sendiri pun dapat
merasakan getaran itu!
Diam-diam
Siangkoan Lo-jin mengerutkan kedua alisnya dan maklum bahwa dia sedang
berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia adalah
pemimpin para datuk sesat, selama ini dia dianggap raja, maka tentu saja ia
akan mempertahankan kedudukannya itu yang hendak dirampas oleh suami isteri
yang menyebut diri Raja Iblis dan Ratu Iblis itu.
"Apakah
kini aku berhadapan dengan pangeran yang dijuluki Raja Iblis?" Slangkoan
Lo-jin bertanya, tongkatnya mengetuk-ngetuk permukaan batu besar untuk mengenal
keadaan.
"Kami
adalah Pangeran Toan Jit Ong," untuk pertama kalinya terdengar kakek
berambut putih riap-riapan itu bicara, suaranya halus dan tenang berwibawa,
bagai suara dan sikap seorang bangsawan tinggi. "Kamu tentu orang she
Siangkoan itu. Menyerahlah dan kami akan mengampunimu, lalu mengangkatmu
menjadi pembantu kami!"
"Manusia
sombong! Aku baru mau menyerah kalau kalah olehmu dan aku lebih baik mati jika
sampai kalah oleh orang lain!" Selesai berkata demikian, si buta telah
menggerakkan tongkatnya.
"Wirrrr...!
Siuuuuttt...!"
Nampak
cahaya hitam bergulung-gulung lalu mencuat ke arah kakek berambut putih yang
mengaku bernama Pangeran Toan Jit Ong itu. Serangan ini dahsyat sekali karena
tongkat kayu cendana itu digerakkan dengan tenaga sinkang yang amat kuat.
Pangeran
yang dijuluki Raja Iblis itu agaknya mengenal serangan ampuh, maka cepat dia
menggerakkan tubuhnya. Yang amat mengagumkan adalah bahwa gerakan itu dilakukan
seenaknya saja dan tidak tergesa-gesa, dan hanya menarik kaki menggeser tubuh
maka serangan tongkat itu luput dan lewat di samping tubuhnya.
Akan tetapi
kakek buta itu memang lihai bukan main. Biar pun matanya buta, akan tetapi
pendengarannya dapat mengikuti semua gerakan lawan dan walau pun tongkatnya
luput dalam serangan pertama, akan tetapi tongkat itu seperti hidup dan dapat
mengejar lawan dengan susulan serangan yang lebih dahsyat lagi, kini menghantam
dari atas ke bawah!
"Wuuuttt...!
Tarrr...!"
Bunga api
berpijar ketika tongkat itu menghantam batu dan debu berhamburan. Hebat bukan
kepalang tenaga pukulan ini. Batu besar itu tergetar dan dapat dibayangkan
kalau hantaman seperti itu mengenai kepala atau anggota badan lainnya.
Sampai lima
kali pangeran yang kini menjadi datuk sesat itu mengelak, dengan gerakan
seenaknya saja, kemudian tahu-tahu tubuhnya mencelat ke tempat tadi dalam
keadaan duduk bersila.
"Kamu
orang buta masih tidak berharga menjadi lawan kami!" katanya dan dia pun
sudah memejamkan kedua matanya.
Agaknya
sikap ini mudah dipahami oleh isterinya. Nenek yang tadinya juga duduk bersila
itu telah meloncat ke depan, menyambut si buta yang menjadi marah dan mengejar
lawan yang meninggalkannya. Ketika dia mendengar suara nenek itu bergerak
menyambutnya, dia cepat menggerakkan tongkatnya menyapu dari samping.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment