Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 15
KITA
tinggalkan dahulu Hui Song yang dengan hati sangat gembira melakukan perjalanan
cepat menuju ke utara itu, dan mari kita mengikuti kakek Wu-yi Lo-jin, menuju
ke tempat pertapaan kakek itu di Wu-yi-san.
Dalam
perjalanan hari pertama saja, kakek Wu-yi Lo-jin sudah mulai menguji ilmu
ginkang dara itu. "Mari kau ikuti lariku secepatnya!" katanya dan
belum juga kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap dari
situ.
Sui Cin
maklum bahwa kakek itu hendak mengujinya, maka dia pun cepat mengejar dan
mengerahkan seluruh tenaganya serta ilmu ginkang-nya untuk menyusul kakek itu.
Akan tetapi kakek yang bertubuh kecil pendek itu sungguh luar biasa sekali.
Betapa pun dia mengerahkan seluruh ilmunya, tetap saja dia tertinggal dalam
jarak belasan tombak. Dan hebatnya, kakek itu dari belakang kelihatan seperti
tidak berjalan, melainkan seperti orang melayang saja dan kelihatan seenaknya,
berbeda dengan dia yang mengerahkan tenaga. Sampai dia terengah-engah, kakek
itu masih terus berlari.
Akhirnya,
sesudah napasnya hampir putus, Sui Cin berhenti lantas berteriak memanggil.
"Berhenti, kek, aku tidak kuat lagi...!"
Mulai hari
itu juga, Wu-yi Lo-jin memberi kuliah tentang teori-teori ilmu ginkang-nya yang
oleh kakek itu dinamakan Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), semacam
ilmu meringankan diri ciptaannya sendiri. Setelah tiba di Wu-yi-san, Sui Cin
kagum sekali melihat keadaan puncak di mana kakek itu mengasingkan diri selama
puluhan tahun.
Tidak
sembarang orang dapat mencapai ke puncak ini karena tidak ada jalan umum dari
bawah, jalan setapak pun tidak ada. Yang ada hanyalah jurang-jurang yang
mengelilingi puncak, dan mereka harus mendaki puncak melalui jurang-jurang yang
curam dan tebing-tebing yang terjal. Kiranya hanya orang-orang yang memiliki
ginkang tinggi sajalah yang akan mampu mencapai puncak Wu-yi-san di bagian yang
didiami kakek Wu-yi Lo-jin itu.
Semenjak
hari itu, mulailah kakek Wu-yi Lo-jin menggembleng Sui Cin dengan tekun dan
keras sekali. Dia melatih dara itu untuk bersemedhi serta melatih sinkang dan
khikang, dia pun mengajarkan ilmu silat yang semuanya digerakkan dengan tenaga
dalam dan dengan ilmu meringankan tubuh sehingga di dalam melatih ilmu silat
ini berarti juga melatih dan menyempurnakan ginkang.
Kurang lebih
tiga tahun kemudian, dengan latihan yang sangat tekun di bawah bimbingan serta
pengawasan Wu-yi Lo-jin yang ketat dan keras, tanpa disadarinya sendiri Sui Cin
sudah memperoleh kemajuan hebat. Pada suatu hari, kakek itu membawanya ke
sebelah belakang puncak gunung itu dan mereka berdiri di tepi sebuah jurang
yang amat curam.
Ketika
menjenguk ke bawah, Sui Cin bergidik. Jurang itu sungguh curam, sampai tidak
nampak dasarnya! Di bawah nampak batu-batu gunung yang meruncing seperti
pedang-pedang raksasa, atau seperti gigi naga yang ternganga lebar. Di sebelah
depan, terpisah oleh celah yang sangat mengerikan itu, terdapat dataran yang
merupakan tepi jurang di seberang.
Wu-yi Lo-jin
mengeluarkan gulungan-gulungan besar tali yang terbuat dari otot serta kulit
binatang yang sudah kering dari dalam kantong besar yang tadi dibawanya,
kemudian dia mengeluarkan pula potongan-potongan baja sebesar kaki orang yang
tadi disembunyikan di balik sebuah batu besar. Potongan-potongan baja ini
runcing dan panjangnya ada tiga kaki. Sui Cin melihat kesibukan kakek itu
dengan hati heran, tidak tahu apa yang hendak dilakukan oleh Wu-yi Lo-jin.
"Sui
Cin, mulai hari ini engkau akan kuberi latihan-latihan terakhir yang selain
melatih silat dan ginkang, juga melatih keberanian, kecermatan dan kekuatan
batinmu. Nah, dapatkah engkau meloncat ke seberang sana?" Dia menuding ke
tebing di depan yang pinggirnya agak lebih rendah dari pada pinggiran tebing
sebelah sini.
Sui Cin
memandang terbelalak, lebih heran dari pada takut. "Meloncat ke seberang
sana? Ahh, perlukah itu, kek? Melihat jaraknya, agaknya aku akan bisa meloncat
ke sana, akan tetapi apa gunanya menantang bahaya maut padahal untuk latihan
melompat jauh tidak perlu menggunakan tempat seperti ini?"
Kakek itu
tertawa. "He-heh-heh, engkau belum mengerti maksudku. Tempat ini memang
menjadi tempat aku berlatih ginkang. Sudahlah, engkau saja yang memasang
tonggak-tonggak ini di sebelah sini, biarlah aku yang memasang di sebelah sana.
Kau lihat lubang-lubang di pinggir tebing ini? Ada sebelas lubang. Nah,
pasanglah tonggak-tonggak besi ini ke dalam lubang, masukkan yang dalam dan
kuat. Aku akan memasang tonggak-tonggak besi di sebelah sana."
Kakek itu
membagi tonggak-tonggak itu yang dibongkoknya menjadi satu, tubuhnya lalu
meloncat ke depan, melalui jurang yang curam itu. Sui Cin memandang dan biar
pun dia merasa yakin bahwa kakek itu akan mampu meloncati celah, namun tidak
urung hatinya merasa ngeri dan dia menahan napas sampai kakek itu selamat tiba
di seberang sana.
Melihat
kakek itu mulai menancap-nancapkan tonggak baja di tepi tebing di seberang, dia
pun lalu melakukan apa yang dipesankan kakek itu. Ternyata lubang-lubang dalam
batu di tepi tebing itu besarnya tepat sekali dan tonggak-tonggak itu masuk
dengan pas sampai hanya tersisa satu kaki yang kelihatan di atas permukaan
batu. Sebentar saja selesailah pekerjaan itu dan ketika dia mengangkat muka
memandang, ternyata kakek itu pun sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sui
Cin!" teriak kakek itu dari seberang. "Sekarang ambillah tali-tali
itu. Ada sebelas helai banyaknya, ikatkan ujungnya pada setiap tonggak dan
lemparkan ujung yang lain ke sini! Awas, yang kuat mengikatnya karena nyawamu
tergantung pada tali-tali ini!"
Terkejutlah
hati Sui Cin mendengar ucapan itu dan dia menduga-duga apa yang diajarkan kakek
itu kepadanya. Akan tetapi, dia tidak berkata apa-apa dan mulai mengikatkan
ujung tali-tali itu dengan sangat kuatnya pada tonggak-tonggak itu lalu
melemparkan ujung yang lain ke seberang. Kakek itu menangkap ujung yang lain
itu dan mulailah dia mengikatkan ujung itu pada tonggak-tonggak di depannya.
Sekarang
terbentanglah tali-tali itu, menjadi jembatan-jembatan istimewa yang berjumlah
sebelas helai. Dan hebatnya, kakek itu menyetel kendur kuatnya tali-tali itu
sehingga pada saat dia menyentil-nyentilnya, terdengar bunyi nyaring yang
berbeda-beda, seperti tali-tali yang-kim yang mengeluarkan nada-nada berbeda,
makin ke kanan nadanya makin tinggi. Setelah selesai, dia pun berkata kepada
Sui Cin dari seberang.
"Mulai
hari ini, engkau harus selalu berlatih di atas tali-tali ini. Kalau engkau
sudah dapat memainkan semua ilmu silat yang kau kuasai di atas tali-tali ini,
baru engkau lulus dan boleh meninggalkan tempat ini!"
Kakek itu
kemudian memberi petunjuk-petunjuk. Mula-mula hati Sui Cin memang merasa ngeri
ketika dia harus berjalan, melangkah, berlari-lari, dan berloncatan di atas
tali-tali itu. Menjenguk ke bawah dari atas tali-tali itu membuat ia merasa
seperti ia sedang melayang di langit dan setiap saat jika tali yang diinjaknya
putus, maka tubuhnya akan meluncur ke bawah, disambut ujung batu-batu runcing
untuk kemudian terbanting hancur berkeping-keping di dasar jurang yang tidak
nampak dari atas.
Akan tetapi,
sesudah terbiasa, lenyaplah rasa ngeri atau takutnya. Setiap hari dia berlatih
dengan tekun, dari pagi sampai sore, kadang kala di malam hari dan kini kedua
kakinya demikian trampilnya menginjak tali, berloncatan, berjungkir balik dan
bermain-main seolah dia berada di atas tanah datar saja.
Pada suatu
pagi, Sui Cin sudah berlatih di atas tali-tali itu. Gerakannya lincah bukan
main, seperti menari-nari ia bersilat di atas tali-tali itu. Dan tali-tali yang
diinjaknya mengeluarkan bunyi dengan nada-nada berbeda dan terdengarlah irama
nada yang teratur seperti bunyi yang-kim yang mendendangkan lagu merdu! Kendur
atau kuatnya tali-tali itu, lembut atau kuatnya loncatan dan injakan kaki Sui
Cin menciptakan getaran-getaran berbeda pada tali-tali itu.
Kakek Wu-yi
Lo-jin berdiri tegak di pinggir jurang itu, memandang dengan sepasang mata
bersinar-sinar dan wajah berseri. Sesudah dara itu selesai bersilat dan
meloncat ke tepi, kakek itu lalu mengangguk-angguk.
"Heh-heh-heh,
bagus! Bagus sekali! Tidak sia-sialah jerih payah kita selama hampir tiga tahun
ini. Kini engkau sudah mempunyai ginkang yang setingkat denganku, dan aku yakin
engkau sudah dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis dalam hal kecepatan. Dan
sekarang telah tiba waktunya bagimu untuk pergi dari sini, mempersiapkan dirimu
untuk menentang persekutuan busuk dari Pangeran Toan Jit Ong itu, Sui Cin.
Masih ada waktu setengah tahun lagi bagimu untuk pergi keluar tembok besar, ke
sarang mereka itu, bekas benteng Jeng-hwa-pang. Kita semua akan berkumpul di sana."
"Engkau
juga akan pergi ke sana, kek?" tanya Sui Cin yang selalu bersikap akrab
dan bicara kepada kakek itu seperti terhadap keluarga sendiri, tanpa banyak
peradatan. Wu-yi Lo-jin agaknya lebih senang dengan sikap ini, sesuai dengan
wataknya yang memang suka akan kebebasan dan tidak mau terikat oleh segala
macam peraturan.
"Tentu
saja! Juga Siang-kiang Lo-jin dan kawanmu itu, dan kalau memang masih hidup,
enam orang rekan kami, para Dewa yang lain, tentu akan muncul di sana."
Ucapan ini
segera mengingatkan Sui Cin kepada Hui Song yang telah bertahun-tahun tak
pernah dijumpainya itu. Hatinya merasa gembira, juga jantungnya berdegup aneh
karena begitu teringat kepada Hui Song, dia pun segera teringat akan ucapan
terakhir pemuda itu ketika mereka akan saling berpisah. Pengakuan cinta pemuda
itu terhadap dirinya!
Kini dia
bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah hampir sembilan belas tahun! Masa akhil
baliq sudah lewat dan dia kini sudah menjadi seorang wanita dewasa. Walau pun
belum memiliki pengalaman tentang cinta, tapi perasaan wanitanya membuat dia
sadar akan hal itu dan mulailah ia mempertimbangkan tentang uluran cinta pemuda
yang amat disukanya itu. Namun tetap saja Sui Cin belum dapat menentukan apakah
dia pun mencinta pemuda itu ataukah sekedar suka saja karena watak pemuda itu
cocok dengan wataknya.
"Kek,
karena waktunya masih cukup lama, maka aku akan singgah dulu ke Pulau Teratai
Merah. Sudah terlampau lama aku meninggalkan orang tuaku dan mereka tentu
merasa gelisah sekali."
"Heh-heh,
Pendekar Sadis dan Lam-sin, ya? Sui Cin, ayah bundamu adalah orang-orang hebat,
jadi alangkah baiknya jika mereka dapat mengulurkan tangan membantu kita untuk
menentang persekutuan pemberontak itu!"
"Akan
kusampaikan kepada mereka kek, dan mudah-mudahan saja mereka dapat melihat
pentingnya menentang Raja dan Ratu Iblis itu. Tentu mereka, terutama ibu, akan
tertarik sekali kalau mendengar bahwa Pangeran Toan Jit Ong itu masih paman
dari ibu."
Demikianlah,
pada hari itu juga Sui Cin meninggalkan Wu-yi-san, kemudian melakukan
perjalanan cepat ke utara, menuju ke Ning-po untuk menyeberang ke Pulau Teratai
Merah. Dara yang kini melakukan perjalanan turun Gunung Wu-yi-san ini sungguh
jauh bedanya dengan dara remaja yang hampir tiga tahun lalu mendaki gunung itu
bersama kakek katai.
Kini Sui Cin
bukan lagi seorang dara remaja, melainkan seorang gadis dewasa yang amat cantik
dan manis. Dia memang masih lincah jenaka seperti biasa, masih nyentrik karena
pakaiannya juga sembarangan saja asalkan bersih, akan tetapi dalam sikapnya
terdapat kematangan dan sepasang matanya juga mengeluarkan sinar mencorong yang
biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah tinggi tingkat
kepandaiannya.
Dengan
kepandaiannya yang amat tinggi, Sui Cin melakukan perjalanan cepat dan tanpa
sesuatu halangan, tibalah dia di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi betapa kecewa
hatinya setelah dia melihat ayah bundanya tidak berada di pulau! Dia hanya
disambut oleh para pelayan yang menjadi girang dan gembira bukan main melihat
munculnya nona mereka itu. Bahkan di antara mereka yang sudah tua dan yang
pernah mengasuh Sui Cin sejak gadis itu kecil, menangis saking terharu dan
gembiranya.
"Aihhh,
nona... terima kasih kepada Thian bahwa nona ternyata dalam keadaan selamat.
Betapa nona telah membuat kami semua gelisah dan berduka. Bahkan ayah dan ibu
nona selalu bingung dan entah telah berapa kali pergi meninggalkan pulau untuk
mencari nona. Yang terakhir mereka berdua pergi sebulan yang lalu, entah kapan
pulangnya."
Baru Sui Cin
merasa betapa besar kesalahannya terhadap ayah bundanya. Mereka hanya mempunyai
anak dia seorang dan dia telah pergi selama tiga tahun tanpa memberi tahu! Ayah
ibunya kebingungan, kemudian mencari-carinya. Tentu saja ayah ibunya tidak
dapat menemukan dirinya karena dia bersembunyi di Wu-yi-san dan tidak pernah
meninggalkan tempat pertapaan kakek katai. Dan sekarang ayah ibunya pergi,
tentu untuk mencarinya lagi, entah ke mana.
Padahal dia
pun tidak dapat lama-lama menanti kambali mereka di Pulau Teratai Merah sebab
dia mempunyai tugas berat untuk membantu para pendekar yang akan menentang
persekutuan pemberontak di luar tembok besar. Maka ia pun lalu membuat surat
panjang lebar kepada ayah bundanya dan menceritakan tentang semua
pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Wu-yi Lo-jin, tentang Raja dan Ratu
Iblis yang menghimpun para datuk sesat untuk melakukan pemberontakan.
Kemudian di
dalam surat itu dia menceritakan kepada ayah ibunya bahwa dia berangkat keluar
Tembok Besar untuk menentang persekutuan pemberontak itu bersama
pendekar-pendekar lain. Juga ia mengharapkan agar ayah ibunya suka pula
membantu, mengingat betapa kuatnya para datuk sesat itu. Bahkan dalam surat itu
ia tidak lupa menulis bahwa Raja Iblis itu bernama Pangeran Toan Jit Ong yang
mengaku masih bersaudara dengan mendiang kakeknya, Pangeran Toan Su Ong!
Setelah
meninggalkan surat itu di kamar ayah ibunya dan memesan kepada para pelayan
agar menyerahkan surat itu kepada mereka, Sui Cin lalu meninggalkan pulau itu
lagi dan mulailah dia melakukan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan yang
sangat jauh, namun dia memiliki banyak waktu dan dia pun dapat mengandalkan
ilmunya berlari cepat.
***************
Ruangan itu
sangat luas dan terhias indah, juga hiasannya menggambarkan kegagahan. Pilar
besar yang berada di ruangan itu diukir dengan gambar dua naga berebut mustika.
Ukirannya kuat dan indah, dengan warna yang mengkilap dan hidup. Meja kursi
yang ada di situ juga merupakan perabot-perabot yang kuno dan terawat baik.
Pada dinding
ruangan itu nampak tergantung lukisan-lukisan yang amat indah pula, yaitu
lukisan keindahan alam dengan sajak-sajaknya yang berisi dan berbobot.
Tulisan-tulisan indah juga menghiasi dinding ruangan itu. Sungguh sebuah
ruangan yang menimbulkan kesan kagum dan hormat bagi orang luar.
Akan tetapi
pada sore hari itu, di dalam ruangan indah ini terjadi ketegangan. Tiga orang
lelaki gagah yang usianya sekitar tiga puluh tahun, nampak sedang berlutut di
atas lantai, menghadap seorang laki-laki dan seorang wanita yang duduk
berdampingan. Sikap ketiga orang yang berlutut itu tegang dan gelisah, bahkan
takut-takut, terutama sekali laki-laki yang berlutut di tengah-tengah.
Laki-laki ini membawa sebatang pedang di punggungnya, mukanya pucat dan
membayangkan duka, kepalanya masih diikat kain putih tanda bahwa dia sedang
berkabung!
Pria yang
duduk di atas kursi itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi
rambutnya yang dikuncir ke belakang itu masih lebat dan hitam, begitu pula
jenggotnya yang pendek itu pun masih hitam. Wajahnya tampan dan sikapnya gagah,
alisnya tebal, akan tetapi pada pandang mata dan bibirnya membayangkan
kekerasan hati yang penuh wibawa.
Pakaiannya
sederhana, terbuat dari kain tebal yang bersih. Duduknya tegap berwibawa dan
sepasang matanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa pada saat itu hati
pria ini sedang tidak senang.
Wanita yang
duduk di sebelah kanannya itu usianya pun sudah hampir lima puluh tahun, namun
masih nampak cantik dengan mukanya yang putih halus belum dimakan keriput.
Tubuhnya sedkit pendek dan dari dandanannya menunjukkan bahwa dia adalah
seorang keturunan Jepang.
Pria itu
adalah ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar Cia Kong Liang dan wanita itu adalah
isterinya yang bernama Bin Biauw, puteri dari seorang bekas datuk timur yang
bernama Bin Mo To atau Minamoto dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur).
Pada siang hari itu, dia dan isterinya sedang berada di ruangan dalam rumahnya
yang besar, yang merupakan rumah perguruan Cin-ling-pai yang terkenal itu,
dihadap tiga orang muridnya.
Hawa
Pegunungan Cin-ling-san yang memasuki ruangan itu melalui jendela-jendela yang
terbuka lebar, tidak melenyapkan ketegangan yang terasa oleh mereka. Selain
mereka berlima, masih ada lagi dua puluh orang lebih murid Cin-ling-pai yang
juga berlutut di luar ruangan itu dan mereka semua memandang dengan muka tegang
karena mereka tahu bahwa ketua mereka sedang marah dan bahwa ada murid
Cin-ling-pai yang bersalah dan sedang diadili. Ketua atau guru mereka itu
terkenal dengan kekerasan hatinya yang tidak mengenal maaf dalam menghukum
murid Cin-ling-pai yang bersalah.
"Su
Kiat, engkau telah melanggar pantangan Cin-ling-pal, menodai nama baik
Cin-ling-pai dengan perbuatanmu. Nah, sekarang ceritakan semuanya!"
terdengar ketua Cin-ling-pai berkata, suaranya datar dan bengis, pandang
matanya berkilat.
Laki-laki
yang berada di tengah itu kini bangkit dalam keadaan masih berlutut. Mukanya
muram, akan tetapi sepasang matanya penuh semangat. "Suhu, teecu sudah
melakukan pelanggaran dan bersedia menerima hukuman suhu."
"Hemmm,
Koan Tek, ceritakan bagaimana kalian dapat membawanya ke sini. Apakah dia
melakukan perlawanan?" ketua itu lalu bertanya kepada laki-laki yang
berlutut di pinggir kanan.
"Ciang
Su Kiat suheng sedikit pun tidak melakukan perlawanan, suhu. Teecu berdua bisa
menemukan tempat dia bersembunyi dan membujuknya untuk memenuhi panggilan suhu.
Dia hanya mengatakan bahwa dia siap menerima hukuman walau pun dia menganggap
bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan terlalu keras."
Wajah ketua
Cin-ling-pai menjadi merah sekali. "Su Kiat, benarkah engkau mengatakan
demikian?"
"Benar,
suhu dan memang teecu tetap beranggapan bahwa teecu tidak bersalah sungguh pun
teecu telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi teecu juga siap menerima hukuman
karena teecu adalah murid Cin-ling-pai yang setia dan taat."
"Ceritakan
semua yang terjadi!"
"Harap
suhu dan subo ketahui bahwa ayah teecu yang sudah tua bekerja sebagai tukang
kebun di gedung Coan Ti-hu. Ayah teecu bekerja semenjak dia masih muda dan
dianggap sebagai seorang pembantu yang setia. Akan tetapi Coan Ti-hu terkenal
sangat pelit dan tidak dapat menghargai jasa para pembantunya. Ketika ibu dan
adik bungsu teecu sakit, ayah hamba minta bantuan majikannya, akan tetapi malah
dibentak dan dihina. Karena terpaksa dan tidak berdaya lagi, ayah teecu
melakukan penyelewengan, mencuri sebuah perhiasan emas yang dijualnya untuk
biaya pengobatan ibu dan adik teecu. Perbuatan itu diketahui dan ayah lantas
dihukum. Kalau hanya hukuman yang wajar saja, tentu teecu bisa menerimanya
karena bagaimana pun juga alasannya, ayah teecu telah mencuri dan wajarlah
kalau dipersalahkan dan dihukum yang pantas. Tetapi ayah telah dihajar, disiksa
sampai setengah mati, bahkan setelah ayah pulang, dalam waktu tiga hari
kemudian ayah meninggal dunia karena luka-lukanya!" Laki-laki itu berhenti
sebentar dan menghapus dua titik air mata yang membasahi matanya.
"Aku
mendengar bahwa ayahmu melawan dan mengeluarkan kata-kata makian terhadap
Coan-taijin," kata ketua Cin-ling-pai.
"Mungkin
saja ayah menegur karena semenjak muda ayah telah menghambakan diri akan tetapi
dalam keadaan terpepet ayah tidak dapat mengharapkan bantuan. Bagaimana pun
juga, teecu menganggap perbuatan pembesar itu keterlaluan. Ayah dibunuh hanya
untuk perbuatan mencuri yang dilakukan untuk mengobati isteri dan anaknya.
Karena itu, dalam keadaan berkabung dan berduka, teecu lupa diri dan mengamuk
di gedung Coan Ti-hu. Sayang teecu tidak berhasil membunuh pembesar yang
sewenang-wenang itu."
"Dan
sekarang engkau menjadi buronan pemerintah! Su Kiat, perbuatanmu itu tidak
hanya menyangkut dirimu sendiri, akan tetapi juga menyeret nama baik
Cin-ling-pai. Coan Ti-hu menuntut kepada Cin-ling-pai, menyalahkan kami sebab
engkau adalah murid Cin-ling-pai. Kalau kami tidak dapat menangkapmu, maka kami
akan diadukan dan dianggap sebagai pemberontak karena anak murid perguruan
Cin-ling-pai sudah berani menyerang seorang pembesar pemerintah! Nah, apa yang
hendak kau katakan sekarang?"
"Suhu,
bagaimana pun juga, teecu tidak merasa bersalah terhadap pembesar itu, bahkan
dia masih berhutang nyawa kepada teecu. Tetapi teecu memang merasa telah
melakukan pelanggaran terhadap Cin-ling-pai."
"Dan
mengapa engkau berani menganggap bahwa peraturan Cin-ling-pai tidak adil dan
terlalu keras?"
"Benar,
memang teecu mengatakan demikian kepada kedua orang sute yang mencari dan
menemukan tempat persembunyian teecu!" jawab Su Kiat dengan gagah.
"Memang peraturan kita terlalu keras, menghukum murid tanpa kebijaksanaan,
dan tidak adil karena tidak melihat lagi alasan-alasan kenapa perbuatan
pelanggaran itu dilakukan. Akan tetapi bukan berarti bahwa teecu akan
mengingkari sumpah, teecu siap menerima hukuman."
"Kesalahanmu
pada Cin-ling-pai sudah sangat jelas. Engkau telah mencoreng nama baik
Cin-ling-pai, bahkan menghadapkan Cin-ling-pai pada pemerintah sehingga
perkumpulan kita terancam bahaya dianggap pemberontak. Nah, kesalahanmu amat
jelas. Akan tetapi, Su Kiat, kami hanya ingin menangkapmu dan menyerahkanmu
kepada Coan Ti-hu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai."
"Tidak...!
Teecu... teecu bersedia menerima hukuman Cin-ling-pai, akan tetapi teecu tidak
mau diserahkan kepada pembesar laknat itu. Teecu dianggap menodai nama
Cin-ling-pai, hal itu merupakan pelanggaran dari peraturan nomor tiga. Nah, biarlah
teecu melakukan pelaksanaan hukuman itu!" Secepat kilat Su Kiat mencabut
pedangnya dengan tangan kanan lalu membacok lengan kirinya sendiri.
"Crakkk...!"
Lengan kiri
Su Kiat terbabat buntung sebatas siku! Darah muncrat-muncrat dan dua orang sute-nya
yang berlutut di sebelah kanan kirinya memandang dengan mata terbelalak dan
muka pucat. Akan tetapi, Su Kiat sendiri melaksanakan hukuman itu dengan sikap
gagah dan sedikit pun tidak mengeluh walau pun lengan kirinya buntung dan rasa
nyeri menusuk jantung.
Wajah ketua
Cin-ling-pai dan isterinya juga sedikit pun tidak membayangkan perasaan hati
mereka. Bahkan pada wajah ketua Cin-ling-pai itu terbayang penyesalan dan
dengan sikap dingin dia berkata, "Perbuatanmu itu adalah atas kehendakmu
sendiri. Bagaimana pun juga, buntung atau tidak, engkau harus kuserahkan kepada
Coan Ti-hu karena hal itu akan membersihkan nama Cin-ling-pai!"
"Tidak...!
Suhu... suhu tidak... akan begitu kejam..." Si buntung itu terkejut
memandang ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi dengan wajah dingin ketua
Cin-ling-pai itu menganggukkan kepala seperti hendak menegaskan pendiriannya.
"Kalau
begitu... lebih baik teecu mati...!" Berkata demikian, Su Kiat menggunakan
pedang yang masih berlumuran darah itu, membacok ke arah leher sendiri.
"Wuuuttt...!
Plakkk...! Trangggg...!"
Gerakan
ketua Cin-ling-pai itu cepat bukan main. Tubuhnya yang tadinya duduk tiba-tiba
meloncat ke depan, kakinya menendang dan tangan yang memegang pedang itu sudah
terkena tendangan sehingga pedang yang mengancam leher itu terpental dan
terjatuh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring.
Su Kiat
terbelalak memandang kepada gurunya yang sudah berdiri di depannya. Sejenak
ketua Cin-ling-pai itu menatap wajah murid yang dianggap bersalah itu, lalu dia
mundur lagi, duduk di atas kursinya dengan sikap tenang.
"Siapa
bersalah dan melanggar peraturan, dia harus menerima hukuman, tidak peduli apa
pun alasannya!" kata ketua Cin-ling-pai itu dengan wajah dan sikap keras.
Wajah Su
Kiat yang tadinya pucat itu kini berubah merah dan matanya melotot. "Mulai
saat ini, saya Ciang Su Kiat bersumpah tidak menjadi murid Cin-ling-pai lagi,
dan nyawa saya adalah milik saya pribadi, apa bila saya mau membunuh diri,
siapa yang akan dapat menghalangi saya!" Berkata demikian, laki-laki yang
sudah putus asa dan marah ini lalu menggerakkan tubuhnya hendak membenturkan
kepalanya ke atas lantai!
"Jangan...!"
Berbareng
dengan seruan ini, mendadak nampak bayangan berkelebat cepat bukan main dan
tahu-tahu tubuh Su Kiat terangkat ke udara dan di lain saat tubuhnya sudah
turun lagi bersama seorang pemuda yang gagah. Kiranya pemuda inilah yang tadi
menyambar tubuh Su Kiat pada saat yang tepat sehingga menyelamatkan nyawa orang
buntung yang sudah mengambil keputusan tetap hendak membunuh diri itu.
"Hui
Song...!" Teriak isteri ketua Cin-ling-pai, wajahnya cantik dan yang sejak
tadi nampak dingin saja itu, tiba-tiba berseri gembira dan sepasang matanya
mengeluarkan sinar. Dia bangkit dari tempat duduknya. Nyonya ini memang berada
dalam kedukaan besar karena selama ini dia sudah meragukan apakah puteranya itu
masih hidup.
Hui Song
cepat memberi hormat kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, maafkan, aku akan
membereskan urusan dengan Ciang-suheng ini. Ciang suheng, bunuh diri bukanlah
cara yang baik bagi seorang gagah untuk mengatasi persoalan. Bahkan bunuh diri
merupakan suatu perbuatan yang rendah dan pengecut."
Dia segera
menotok pundak dan pangkal lengan kiri yang buntung itu, dan menerima obat dari
seorang saudara seperguruan, lalu mengobati luka itu dan membalutnya.
"Ambillah
lengan buntungmu itu dan mari kita bereskan urusan ini dengan pembesar Coan
tanpa Cin-ling-pai. Seorang gagah, berani berbuat juga harus berani bertanggung
jawab!" Berkata demikian, Hui Song lalu menyambar tubuh Su Kiat yang sudah
memungut lengan buntungnya, lantas sekali berkelebat dia pun lenyap dari tempat
itu bersama suheng-nya yang sudah buntung lengannya.
"Hui
Song, apa yang hendak kau lakukan?" Ayahnya membentak, cepat meloncat
untuk mengejar. Akan tetapi pemuda itu sudah berada jauh di luar rumah dan
hanya terdengar suaranya yang lirih, akan tetapi seolah-olah diucapkan di dekat
telinga ketua Cin-ling-pai itu.
"Ayah,
aku akan membantu Ciang-suheng untuk menyelesaikan urusannya tanpa campur
tangan Cin-ling-pai, karena dia sekarang bukan murid Cin-ling-pai lagi."
Ketua
Cin-ling-pai itu terkejut. Puteranya sudah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu
kepandaiannya. Suara yang dikirim dari jauh itu saja sudah demikian hebat,
terdengar lirih akan tetapi jelas sekali di dekat telinganya, tanda bahwa
sekarang Hui Song telah mampu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh
secara hebat sekali, lebih hebat dari pada kalau dia sendiri yang melakukannya.
Lagi pula
dia pun sadar bahwa dengan sumpahnya tadi, Su Kiat telah menyatakan bahwa
dirinya bukan lagi murid Cin-ling-pai. Jika memang Su Kiat hendak menyelesaikan
sendiri urusannya dengan pembesar Coan dan meyakinkan pembesar itu bahwa dia
bukan lagi murid Cin-ling-pai, maka semua sepak terjangnya bukan lagi merupakan
tanggung jawab Cin-ling-pai. Bagaimana pun juga, pihak Cin-ling-pai sudah
melakukan tindakan dan telah menghukum murid yang bersalah.
Secara
diam-diam dia pun merasa kagum melihat sikap tegas puteranya yang hendak
membantu Su Kiat menyelesaikan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya
yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah
meninggalkannya lagi. Dia kemudian membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan
diri ke dalam kamar bersama isterinya, dengan hati tak sabar menunggu
kembalinya Hui Song yang sudah amat lama mereka rindukan itu.
***************
Sore sudah
berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal
Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan
Cin-ling-san. Sekeliling gedung itu dijaga ketat oleh pasukan penjaga, tetapi
mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang sangat cepat bagaikan burung
malam beterbangan itu.
Suasana
sunyi di gedung besar itu tiba-tiba menjadi ribut ketika terdengar teriakan
suara nyaring dari atas genteng.
"Coan
Ti-hu, buka telingamu dan dengar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang
datang!"
Tentu saja
para pengawal segera berlarian datang, namun mereka menjadi panik sendiri.
Sesudah ada pengawal yang melihat dua bayangan yang berdiri tegak di atas
wuwungan rumah, mereka lalu berteriak-teriak sehingga sebentar saja bangunan
itu telah dikurung.
Tentu saja
Coan Ti-hu sendiri juga mendengar teriakan-teriakan itu, akan tetapi dia tidak
berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya tetap menjaganya
di dalam kamar, lalu dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak
itu.
"Diam
di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu
mendengarkan kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau sudah bertindak sewenang-wenang
membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dendam sudah dihukum oleh
Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanku
ini adalah urusan sendiri, sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pihak
Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu
saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya
lenganku karena perbuatanmu!" Sesudah berkata demikian, Su Kiat
melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan
dan semua pengawal memandang dengan perasaan jijik dan ngeri.
"Serang
dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamanan dan belasan
orang prajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di
atas wuwungan itu. Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh
suheng-nya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia lalu meruntuhkan
semua anak panah yang menyambar tubuh suheng-nya kemudian dilarikannya
suheng-nya keluar kota Han-cung.
Di simpang
jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh
suheng-nya. "Ciang-suheng, di sini kita harus berpisah. Bawalah ini untuk
bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, tak seharusnya engkau naik ke
Cin-ling-san lagi, juga jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan
sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."
Dengan
tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia. "Sute...
ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu
sekarang demikian hebatnya. Sekarang aku pun mempunyai cita-cita, sute. Aku
akan mempelajari ilmu silat hingga tinggi agar aku dapat membalaskan kematian
ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu.
Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku,
akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja.
selamat tinggal, sute...!" Dan orang buntung itu pun pergilah berlari-lari
meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song.
Dia dapat
mengenal seorang jantan yang gagah perkasa, suheng-nya itu, Ciang Su Kiat. Dia
takkan merasa heran jika suheng-nya itu kelak dapat berhasil memenuhi
cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.
"Kasihan
Ciang-suheng...!" Tanpa terasa lagi kata-kata ini meluncur keluar dari
mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.
"Seorang
murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"
Mendengar
suara orang yang secara tiba-tiba menyambut ucapannya itu, Hui Song cepat
membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.
"Sumoi...!"
tegurnya, kaget dan juga girang setelah mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan
Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya.
Sebelum dia
mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun,
pernah dia bertemu dengan sumoi-nya itu dalam perantauannya, yaitu pada waktu
dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat pesta itu Tan Siang Wi
ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang
diserbu oleh para datuk sesat.
Ternyata
kini Siang Wi telah berada di hadapannya, memandang tajam kepadanya dan di
bawah cahaya bulan yang baru saja muncul, wajahnya tampak cantik manis dan
matanya bersinar-sinar.
"Suheng,
setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku
kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.
"Sumoi,
bagaimana engkau bisa berada di sini?" Hui Song bertanya, membiarkan kedua
tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia
merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.
"Suheng,
aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku
melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ahhh... alangkah hebat
engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."
Hui Song
melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum. "Kau terlalu
memuji, sumoi. Engkau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui,
hal ini membuktikan bahwa sekarang engkau bertambah lihai saja. Tak kusangka
bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."
"Habis,
di mana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya
Siang Wi heran.
Hui Song
tertawa. "Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu
sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."
Di bawah
sinar bulan remang-remang pemuda itu tidak dapat melihat betapa wajah gadis itu
menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena
kecewa, marah dan penasaran.
"Suheng!
Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"
Mendengar
suara yang bernada keras itu, Hui Song merasa heran. "Aihh, sumoi, kenapa
marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya
lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh
empat, maka sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"
"Bukan
itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga
tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan
janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga
sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati
rindu..."
Hui Song
terbelalak, terkejut dan langsung mundur tiga langkah ketika melihat sumoi-nya
membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia
lalu teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih
kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa
kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali.
Dahulu,
ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji
bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada saat itu tentu saja dia
tidak pernah bermimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak
bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoi-nya
ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoi-nya yang
berwatak galak, angkuh dan serius ini.
"Tapi...
janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."
"Suheng...!
Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa
engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula
akan hal ini!"
Hui Song
terkejut sekali. Tak disangkanya sudah sejauh itu urusan yang tadinya dianggap
hanya permainan kanak-kanak itu. Selama ini, mungkin semenjak anak-anak,
sumoi-nya mencintanya dan merasa yakin bahwa dia pun mencinta gadis ini, dan
ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Hal ini
bukan urusan kecil dan main-main lagi!
"Sumoi,
sekarang kita jangan bicarakan hal itu di tempat ini. Aku sendiri belum pernah
berpikir tentang perjodohan. Marilah kita pulang!" Dan tanpa menanti
jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ.
Siang Wi
juga meloncat dan segera mengejar, akan tetapi dia tertinggal jauh. Gadis itu
mengerahkan tenaga dan ilmu ginkang-nya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi
tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah dia dan baru dia tahu
bahwa ketika dia tadi membayangi Hui Song, dia dapat mengejar dan menyusul
karena pemuda itu belum mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su
Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap,
membuat dia menjadi semakin kagum.
Ketika
sampai di rumahnya, Hui Song langsung disambut oleh ayah ibunya yang ternyata
masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira akibat melihat
putera tunggal mereka itu pulang sesudah merantau selama bertahun-tahun, dan
gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.
"Apa
yang kau lakukan bersama Su Kiat?" ketua Cin-ling-pai bertanya kepada
puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.
"Aih,
biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu
merangkul Hui Song, menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di
sebelahnya. Sambil terus memegangi tangan puteranya dan sepasang matanya yang
basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu
melanjutkan, "Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama
bertahun-tahun! Ke mana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"
"Maaf,
ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu dengan seorang sakti dan mempelajari
ilmu selama tiga tahun."
"Hui
Song," potong ayahnya, "tentang perantauanmu itu dapat kau ceritakan
besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kau lakukan bersama Su
Kiat."
"Ayah,
Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras di atas gedung Coan
Ti-hu bahwa perbuatannya itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai,
bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."
"Hemmm,
engkau mencampurinya dan turut mengacau gedung pembesar itu?" ayahnya
bertanya dengan alis berkerut.
"Tidak,
ayah. Aku hanya mengantarkan dan melindungi Ciang-suheng sampai di situ. Dan
sesudah dia melemparkan potongan lengannya dan meneriakkan kata-katanya, kami
pun segera pergi."
Pada saat
itu masuklah Siang Wi. Dia baru saja dapat menyusul Hui Song dan dia masih
dapat mendengar keterangan pemuda itu.
"Benar,
suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat saat dia
dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan
mengebutkan dua tangannya, dan pada saat dia mengerahkan ginkang-nya, teecu
sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"
Tentu saja
Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu dan isterinya, merasa girang dan bangga
sekali. Akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata,
"Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih
tidak berubah sejak dulu dan setiap hari kusuruh bersihkan."
Ketika rebah
di atas pembaringannya, di dalam kamar yang sangat dikenalnya itu, secara
diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat
sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung ketika berada di
kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa
bermimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar
sekali.
Hari itu,
setelah mereka semua makan pagi, ketua Cin-ling-pai serta isteri dan puteranya,
dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang telah dianggap sebagai keluarga sendiri,
berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap. Di dalam
kesempatan ini, Hui Song menuturkan semua pengalamannya yang didengarkan dengan
penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoi-nya.
Ketika dia
bercerita tentang Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang menjadi temannya dalam
menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di
dalam hatinya terasa tidak enak mendengar betapa puteranya bergaul dengan
puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu
terkandung rasa suka dan kagum. Dia merasa tidak suka terhadap Pendekar Sadis yang
dianggapnya sebagai seorang pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki
puteranya bergaul dengan keluarga itu.
Memang
sebelumnya ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sudah mendengar dari Siang Wi
yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sadis. Pada waktu
itu mereka sudah merasa tidak senang, tetapi baru sekarang mereka mendengar
pengakuan langsung dari Hui Song.
Ketika Hui
Song bercerita mengenai kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, ayahnya
segera merasa tertarik sekali. Dia belum pernah mendengar nama itu, juga belum
pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dia merasa
gembira sekali mendengar bahwa puteranya telah mendapatkan gemblengan ilmu
selama tiga tahun dari kakek sakti Dewa Kipas.
Akan tetapi,
ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para
datuk untuk kelak melakukan pemberontakan, dan mendengar pula betapa oleh
gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pendekar menentang gerakan
para calon pemberontak, ketua Cin-ling-pai lantas mengerutkan alisnya.
"Hui
Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Semenjak dulu
Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai
seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi
pembela kaisar atau sebaliknya! Biar urusan pemerintahan dibereskan oleh para
pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu
mencampurinya."
"Akan
tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri apa bila melihat ada komplotan
busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.
"Hemm,
mana kita tahu siapa sebenarnya yang busuk? Apakah engkau tidak mendengar
betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau
dikelilingi oleh pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup? Sudahlah, tidak
perlu kita mencampuri urusan ini dan serahkan saja kepada mereka, baik para
pejabat mau pun mereka yang tak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu
mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan
dan pemberontakan!"
"Akan
tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas serta kewajiban para pendekar untuk
menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar
masyarakat dapat hidup tenteram?"
"Benar,
oleh karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan
pemerintahan."
"Akan
tetapi, mana mungkin ada ketenteraman kalau terjadi pemberontakan?"
"Pemerintah
sudah memiliki pasukan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak
biaya untuk membentuk bala tentara? Apa bila terjadi pemberontakan, pemerintah
tentu akan menumpasnya dengan kekuatan tentaranya."
"Justru
itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan
rakyat bukankah lebih baik kalau para pendekar turun tangan menentang komplotan
yang hendak memberontak itu?"
"Hemmm,
bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik? Bagaimana kalau pemerintahnya yang
ternyata tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur
tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar?
Sudah, kita jangan mencampuri urusan pemerintah, itu bukan tugas kita sebagai
pendekar!"
"Ayahmu
benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang
memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah yang tidak benar. Kalau
kita selalu membela pemerirtah, berarti kita tersesat kalau membantu pemerintah
yang tidak benar," sambung ibunya.
"Ayah
dan ibu, harap maafkan apa bila aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari
orang-orang juga, manusia-manusia biasa yang tidak akan bebas dari pada
kesalahan-kesalahan. Akan tetapi pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita
adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa ada warga
negara, tak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang
sudah dipilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya
rakyat pula yang akan menanggung, sebaliknya jika pemerintahan dipegang oleh
orang-orang bijaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur.
Jika pemerintahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikan jalannya
pemerintahan menyeleweng, maka hal itu menjadi tugas para warga negara pula untuk
mengawasi, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa adanya pengawasan dan kritik,
mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya?
Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik pula untuk menimbulkan
pemberontakan dan merebut kekuasaan, karena yang merebut kekuasaan itu pun
belum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah
yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau pun buruk keadaan
pemerintah, tetap saja kita, terutama para pendekar, mempunyai tugas untuk
menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."
Hui Song
yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas mengenai kepatriotan dan
kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan tangan dengan
tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja.
"Hayaaa,
Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri? Aku
juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masih seperti kanak-kanak itu!
Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada
para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela,
memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri
tanpa peduli akan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak
memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan
yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman
yang menggencet rakyat!"
"Tidak
ayah, aku tidak setuju! Pemerintah dalam bahaya, terancam gerombolan penjahat
yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para
pendekar menghalau bahaya ini lebih dulu, barulah kemudian kita bertindak
mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku juga pernah membantu
sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap? Kalau
kelak pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan
perbaikan-perbaikan dengan jalan menentang para pembesar korup. Apa lagi kalau
diingat bahwa pemberontakan sekali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang
sudah mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk
sesat lainnya."
"Cukup!
Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..." Pada saat itu terdengar
ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya lantas menyuruh
murid yang mengetuk pintu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di
luar ada tamu.
"Bin-locianpwe
datang berkunjung," katanya.
Mendengar
bahwa ayahnya datang berkunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu lalu
meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereka semua cepat menyongsong keluar dan
dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam.
Keluarga
ketua Cin-ling-pai itu kembali berkumpul di dalam ruangan, dengan ditemani oleh
Tan Siang Wi dan kali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua.
Kakek itu
sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih
nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir
gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya telahberwarna putih
semua. Inilah tokoh persilatan yang dahulu pernah merajai lautan timur dan
berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur), yaitu seorang berbangsa Jepang yang
tadinya bernama Minamoto kemudian berubah menjadi Bin Mo To.
Kakek ini
dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah
timur di sepanjang pantai laulan. Akan tetapi sesudah puterinya, Bin Biauw yang
merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia
mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan
Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Pada saat itu dia sudah cukup kaya sehingga
walau pun meninggalkan segala macam pekerjaan haram, dia masih dapat hidup
berkecukupan, di kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung.
Begitu
melihat Hui Song, kakek itu merangkulnya, lalu memegang kedua pundak pemuda
itu, mendorongnya supaya dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa
bergelak dengan gembira sekali.
"Ha-ha-ha,
engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang
amat gagah. Bagus, bagus, aku bangga bukan main. Berapa usiamu sekarang, Hui
Song?"
"Dua
puluh empat tahun, kek."
Kakek itu
menggerakkan alisnya yang putih. "Apa? Dua puluh empat tahun dan engkau
belum kawin?" Dia menoleh kepada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia
ini...?"
Wajah Hui
Song menjadi merah. "Tidak, kek, aku belum menikah."
"Aihh,
bagaimana ini?" Kakek itu menoleh kepada anaknya dan menantunya.
"Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah? Aku sudah ingin melihat
cucu buyutku."
"Mana
ada waktu lagi untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel.
"Waktunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Kemarin dia
baru saja pulang dari perantauannya yang memakan waktu hampir empat
tahun!"
"Ha-ha-ha,
merantau dan bertualang sangat baik bagi seorang pemuda untuk menambah
pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali
untuk menyambung keturunan," kata kakek itu.
"Aku
juga berpikir begitu, ayah, bahkan muridku ini merupakan calon mantu yang
sangat baik."
Bin Mo To
memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia
mengangguk-angguk. "Engkau tentu lebih pandai memilih...," katanya.
"Aku
belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suaranya
jengkel.
"Nah,
itulah ayah, cucumu ini yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang
pernikahan, dia selalu terlihat tidak senang, dan senangnya hanya bicara
tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.
"Pemberontakan?
Apa yang kau maksudkan dengan pemberontakan? Siapa yang hendak
memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia
tertarik sekali.
"Entahlah,
katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan
dia berkeras hendak menentang komplotan itu."
Kakek itu
menarik napas panjang. "Ah... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu
berkata, memandang kepada menantunya dengan mata penuh tanda tanya.
"Saya
sudah melarangnya, ayah. Selama ini Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan
pemerintah," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu
mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang masih diam saja.
"Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menentang
mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"
Pemuda itu
mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan
ayahnya. "Kongkong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri
bahwa para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis sedang
mengatur dan merencanakan pemberontakan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau
aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan
itu?"
"Ha-ha-ha,
tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan seorang pendekar memang sepatutnya kalau
berjiwa pahlawan, membela negara nusa dan bangsa. Akan tetapi hal ini harus
pula memperhitungkan dan melihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau
pemerintahan yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang sedang
memegang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi
penindas rakyat, apakah sebagai pendekar dan pahlawan kita juga harus membela
kelaliman?"
"Nah,
kau dengarkan ucapan kongkong-mu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang.
"Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"
"Akan
tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk sesat yang amat
jahat, kongkong!" Hui Song membantah.
Kakek itu
tersenyum sabar. "Cucuku, engkau harus bisa membagi-bagi antara pejuangan
para pahlawan dan perjuangan para pendekar. Pendekar adalah pembela kebenaran
dan keadilan perorangan saja, karena itu dia memang harus memilih mana yang
baik mana yang jahat, agar dapat membela yang baik dan menentang yang jahat.
Akan tetapi dalam perjuangan para pahlawan berbeda lagi. Dalam perjuangan itu,
untuk sementara sifat-sifat pribadi perorangan tidak masuk hitungan lagi, yang
penting adalah membela nusa bangsa dan kepentingan rakyat banyak."
"Jadi...
dengan kata lain, kongkong membenarkan tindakan para datuk sesat yang hendak
memberontak itu?"
Kakek itu
tetap tersenyum ramah. "Sudah kukatakan tadi bahwa dalam hal ini kita
harus memejamkan mata untuk sementara terhadap sifat-sifat pribadi karena hal
itu mengenai urusan negara. Yang penting kita harus melihat keadaan mereka yang
memegang tampuk kekuasaan. Bagaimanakah keadaannya? Sepanjang pendengaranku,
meski pun sekarang Liu-thaikam sudah tertangkap dan tewas, namun keadaan
kerajaan masih penuh dengan kotoran. Hanya terdapat beberapa orang menteri
serta beberapa orang jenderal saja yang merupakan pejabat-pejabat bersih.
Lainnya bertangan kotor dan semua ini tidak terlepas dari tanggung jawab
kaisar. Sri baginda kaisar masih terlalu muda dan terlalu membiarkan dirinya
dimabok kesenangan, tak peduli dengan pemerintahan. Bila keadaan ini dibiarkan
terus berlarut-larut, maka rakyatlah yang akan menderita. Oleh karena itu, apa
bila terjadi pemberontakan, hal itu kuanggap wajar, sebagai akibat dari tidak
baiknya pemerintahan. Bukan berarti bahwa aku membenarkan sikap para
pemberontak, akan tetapi jelas bahwa pemerintahan seperti keadaannya sekarang
tidak patut mendapat bantuan para pendekar yang berjiwa patriot!"
"Akan
tetapi, kongkong, bukankah semenjak jaman dahulu yang disebut orang gagah dan
patriot itu adalah orang-orang yang selalu setia kepada kerajaan dan membela
pemerintah mati-matian? Bukankah orang orang seperti itu akan selalu menentang
pemberontakan?"
"Hui
Song, engkau belum mengerti!" ayahnya membentak. "Seorang patriot
adalah orang gagah yang membela rakyat, membela nusa dan bangsa! Apa bila
pemerintahannya baik dan mengangkat nasib rakyat jelata, maka patriot tentu
akan membela pemerintah secara mati-matian karena berarti membela rakyat pula.
Sebaliknya, apa bila pemerintahnya lalim tetapi dia membantu pemerintah,
berarti dia membantu kelaliman dan ikut pula menindas rakyat. Yang seperti ini
namanya bukan pahlawan, bukan patriot, melainkan antek-antek pembesar lalim!"
"Akan
tetapi, ayah, bukankah semenjak dulu yang namanya pemberontak itu dikutuk dan
dianggap pengkhianat dan jahat?"
"Belum
tentu! Tidak semua pemberontak itu jahat. Jika ada orang memberontak terhadap
pemerintah yang baik, maka jelas bahwa dia jahat dan pamrihnya hanya hendak
mencari keuntungan. Akan tetapi kalau dia memberontak terhadap pemerintah yang
lalim, maka dia tidak dapat dinamakan jahat."
"Tetapi
pemberontak mengobarkan api perang saudara dan mengorbankan banyak harta milik
dan nyawa rakyat jelata!"
"Itu
pengorbanan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik!" Kakek Bin Mo To
menjawab cepat. "Untuk dapat membangun sesuatu yang lebih baik, kita harus
berani membongkar yang lama dan buruk dan hal ini selalu memerlukan
pengorbanan. Cucuku, ingat bahwa dalam setiap pergantian kekuasaan, calon
kaisar yang setelah menjadi kaisar melakukan perbaikan-perbaikan dan bertindak
bijaksana, tadinya adalah seorang pemberontak pula terhadap kekuasaan lama yang
lalim."
Hui Song
termenung. Kewalahan juga dia dikeroyok oleh ayah dan kongkong-nya, dan kini
timbul keraguan dalam hatinya. Gerombolan yang hendak memberontak itu dipimpin
oleh Raja dan Ratu Iblis, yang dia ketahui jahat hanya dari pendengaran saja.
Akan tetapi Raja Iblis itu adalah seorang bekas pangeran, jadi bukan tidak
mungkin jika pemberontakannya itu didorong oleh jiwa patriot untuk menghalau
kaisar dan antek-anteknya yang tak pernah mempedulikan nasib rakyat. Dia
menjadi bingung, bimbang dan ragu, lalu mengundurkan diri dan menyendiri di dalam
kamarnya.
Pahlawan!
Patriot! Dari mana lahirnya sebutan ini dan apakah sebenarnya arti sebutan itu?
Pada umumnya pengertian kata pahlawan adalah orang yang berjasa terhadap nusa
dan bangsa, namanya diagungkan dan dihormati, dicatat dalam sejarah bahkan
kadang-kadang diperingati, walau pun hanya sekali setahun dan hanya makan waktu
beberapa menit saja.
Namun
benarkah demikian? Benarkah bahwa seorang pahlawan itu dianggap pahlawan oleh
seluruh lapisan masyarakat, oleh seluruh bangsa? Atau hanya oleh satu golongan
saja, satu kelompok saja karena orang yang berjasa itu menguntungkan atau
membantu golongannya, kelompoknya?
Kenyataan
yang ada menunjukkan bahwa yang dipuja dan diagungkan sebagai pahlawan hanyalah
mereka yang dianggap berjasa terhadap golongan yang pada saat itu kebetulan
menjadi pemenang saja, kebetulan memegang kekuasaan saja. Lalu bagaimana dengan
mereka yang dahulu dianggap berjasa kepada nusa dan bangsa oleh golongan lain
yang dikalahkan oleh golongan yang kini berkuasa? Mereka ini sama sekali tidak
dinamakan pahlawan, bahkan sebaliknya, dicap sebagai pengkhianat! Inilah
kenyataan pahit yang harus dapat kita hadapi dengan mata terbuka.
Lihatlah
keadaan di seluruh dunia. Bukankah demikian pula? Tokoh-tokoh yang tadinya
dianggap pahlawan dan patriot terbesar sekali pun, kalau sekali waktu yang
memegang kekuasaan adalah pihak yang pernah menjadi lawannya, maka tokoh-tokoh
ini lalu dicap pengkhianat, yang masih hidup lalu ditangkap dan kadang kala ada
pula yang dibunuh, yang sudah mati akan diejek dan dihina namanya!
Dan ini
bukan terjadi antara bangsa, melainkan di dalam negeri, antara satu bangsa yang
berlainan golongan, berlainan corak pendapat dan gagasannya. Yang tadinya oleh
satu golongan diagungkan sebagai pahlawan, akan dicap pengkhianat dan jahat
oleh golongan lain yang menang dan berkuasa sebagai lawan dari golongan
pertama. Sebaliknya, orang yang oleh golongan pertama tadinya dicap sebagai
pengkhianat dan pemberontak, akan dipuja sebagai pahlawan, patriot dan
sebagainya setelah golongan orang itu menang.
Jelaslah
bahwa manusia sudah menjadi boneka dari permainan gagasan mereka sendiri,
saling bertentangan, bermusuhan, bunuh-membunuh. Dan seperti biasa, hanya
beberapa gelintir orang saja yang duduk di atas mendalangi semuanya itu,
mempergunakan nama rakyat, menyanjung dan memuji rakyat di waktu mereka sedang
berjuang untuk merebut kekuasaan dari tangan pihak lawan yang sedang berkuasa,
demi memperoleh dukungan dan bantuan rakyat.
Para pejuang
dari golongan mana pun, jika sedang berusaha menumbangkan kekuasaan yang
dianggap lalim, selalu menggunakan nama rakyat sebagai perisai dan senjata
untuk mencapai kemenangan. Demi rakyat, untuk rakyat, begitu semboyan usang
yang selalu diulang-ulang sepanjang sejarah. Rakyat pun terbujuk, terpukau,
tergugah semangatnya membantu para patriot yang berjuang demi keadilan dan
kebenaran, demi rakyat itu.
Akan tetapi
bagaimanakah kalau perjuangan itu sudah berhasil baik dan selesai? Lagu lama!
Sekelompok orang yang berada di tingkat atas itulah, bersama para pembantunya,
yang akan menikmati hasil kemenangan itu. Mereka akan berkuasa dan membagi-bagi
kedudukan seperti orang membagi-bagi warisan di antara mereka.
Lalu
bagaimana dengan rakyat? Rakyat yang paling menderita, berkorban menyerahkan
harta milik dan darah dalam perjuangan merebut kekuasaan itu? Lagu lama pula!
Rakyat hanya menerima janji-janji, sedangkan yang gugur akan diperingati
setahun sekali untuk beberapa menit saja.
Tapi apa
yang bisa dilakukan rakyat terhadap golongan yang berkuasa? Di mana-mana yang
berkuasa itu sama saja. Tidak mau salah, tak mau kalah, apa lagi mengalah. Yang
menentang, biar pun dia dahulu membantu dalam perjuangan, akan dicap pengacau
dan pemberontak. Hal ini dapat dibuktikan dan dilihat dalam sejarah.
Rakyat
tertekan lagi. Lantas muncul lagi golongan baru yang kembali mengulang sejarah
usang. Mereka yang baru muncul ini, seperti dahulu, seperti mereka yang kini
berkuasa, akan menggandeng rakyat untuk menentang mereka yang sekarang
berkuasa, menuduh pemerintah lalim dan semboyan usang demi rakyat, demi
keadilan dan kebenaran, akan kembali terulang lagi!
Berbahagialah
rakyat kalau ada sekelompok pemimpin yang berjuang dengan dasar demi rakyat
secara murni, bukan demi rakyat sebagai semboyan dan slogan kosong belaka.
Kalau ada sekelompok pemimpin seperti itu, yang tidak mementingkan diri
pribadi, tidak hanya mendahulukan kemuliaan, kekayaan dan kesenangan diri
pribadi, melainkan para pemimpin yang sungguh-sungguh berjuang dan berusaha
demi kepentingan rakyat, maka negara itu pasti akan makmur dan rakyat pasti
akan hidup dengan tenteram dan makmur.
Malam itu
Hui Song tak dapat tidur, gelisah dicekam keraguan dan kebingungan. Sebagai
seorang muda, dia merasa penasaran dan hendak menyelidiki sendiri. Ingin dia
melihat sendiri siapakah yang benar. Pendapat ayah ibu dan kakeknya, ataukah
pendapat Dewa Kipas dan golongannya? Dia harus pergi, sekarang juga, untuk
melakukan penyelidikan sendiri.
Pada
keesokan harinya, ketua Cin-ling-pai dan isterinya hanya menemukan satu sampul
surat di dalam kamar Hui Song. Dalam surat itu Hui Song mohon maaf dari ayah
ibunya dan bilang bahwa dia ingin melakukan penyelidikan tentang usaha
pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat itu.
'Saya akan
menyelidiki dengan seksama sebelum mengambil keputusan apa yang akan saya
lakukan terhadap pemberontakan itu.' Demikian Hui Song mengakhiri suratnya.
"Anak
bandel!" Cia Kong Liang mengepal tinju dengan marah, ada pun isterinya
langsung menangis. Anak tunggal yang baru saja tiba setelah pergi selama
bertahun-tahun, hanya satu malam saja tinggal di rumah lalu pergi lagi tanpa
pamit, entah ke mana.
"Ah,
sudahlah. Tidak ada yang aneh jika putera kalian haus akan petualangan.
Bukankah kematangan seorang pendekar juga hanya bisa didapat melalui
pengalaman? Biarkan Hui Song memperdalam pengetahuannya dalam perantauan,"
kata Bin Mo To menghibur.
"Tetapi,
ayah. Aku ingin melihat dia menikah atau setidaknya bertunangan dahulu dengan
muridku Siang Wi. Eh, mana Siang Wi...?" Isteri ketua Cin-ling-pai itu
memanggil-manggil muridnya, akan tetapi tidak nampak bayangan Siang Wi. Ketika
para murid Cin-ling-pai ditanya, mereka mengatakan bahwa semenjak pagi mereka
tak pernah melihat Hui Song mau pun Siang Wi.
"Jangan-jangan
muridmu itu pergi bersama puteramu," kata Bin Mo To.
"Entahlah...
akan tetapi baik sekali kalau memang begitu. Aku senang sekali bila mereka
pergi berdua meluaskan pengalaman. Kuharap saja dugaanmu itu benar, ayah,"
kata Bin Biauw.
Selanjutnya,
dalam percakapan di antara mereka, dengan perlahan-lahan kakek Bin Mo To
membujuk mantunya untuk mendukung setiap perjuangan menentang kaisar.
"Setiap
usaha untuk menentang pemerintah yang buruk patut didukung oleh orang-orang
gagah. Dan perjuangan menentang kelaliman, siapa pun juga yang memimpin
perjuangan itu, adalah usaha yang benar dan baik," antara lain Bin Mo To
berkata dengan nada suara serius.
Mendengar
ucapan ayahnya, juga melihat sikap ayahnya sejak kemarin jelas mendukung
pemberontakan terhadap kaisar, Bin Biauw mengerutkan kedua alisnya dan
memandang ayahnya dengan heran.
"Ayah,
ada apa pulakah ini? Bukankah sejak puluhan tahun, semenjak aku menikah, ayah
telah mencuci tangan dan tidak ingin mencampuri lagi segala urusan dunia?
Kenapa kini tiba-tiba saja ayah begitu menaruh perhatian terhadap usaha
pemberontakan itu dan ingin mendukungnya?"
Bin Mo To
tersenyum. Anaknya ini memang cerdik bukan main dan agaknya sudah amat mengenal
gerak-geriknya. Memang tepat sekali apa yang diduga dan ditanyakan oleh Bin
Biauw tadi. Dia memang menaruh perhatian besar, bahkan mendukung gerakan itu.
Kiranya,
gerakan yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, sesudah diadakan pertemuan antara
para datuk sesat, telah mengguncangkan dunia kaum sesat. Berita itu disambut
dengan ramai dan di daerah Ceng-tao juga terguncang oleh berita itu.
Biar pun Bin
Mo To sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, akan tetapi dia tetap
saja dikenal dan disegani oleh para tokoh hitam di wilayah pantai timur. Dan
bekas teman-teman kakek itu lalu datang berkunjung, kemudian urusan gerakan
pemberontakan itu mereka bicarakan.
Mendengar
bahwa gerakan itu dipimpin oleh Raja Iblis yang sesungguhnya juga seorang
pangeran bernama Toan Jit Ong, dan memperoleh dukungan Cap-sha-kui serta
sebagian besar para datuk dan tokoh sesat, Bin Mo To tertarik sekali. Dia
sendiri sudah tua, akan tetapi dia ingat akan mantunya.
Dia sama
sekali tidak ingin menentang kerajaan atas dasar bujukan atau karena paksaan,
namun ada suatu hal yang mendorongnya. Dia sudah merasa muak akan kekayaan yang
dirasakannya tidak mampu mendatangkan kabahagiaan. Kini dia ingin melihat
mantunya, sebagai suami anaknya, dapat meraih kedudukan.
Kalau orang
seperti mantunya, ketua Cin-ling-pai, dapat turut membantu perjuangan, dan
kelak kalau pemberontakan itu berhasil, tentu mantunya akan memperoleh pangkat
tinggi. Dan anaknya akan terangkat dalam kemuliaan, juga dia sebagai mertua
akan ikut pula naik derajatnya! Inilah sebabnya mengapa Bin Mo To datang
mengunjungi mantunya dan kebetulan sekali cucu dan mantunya bicara tentang
pemberontakan. Kini dia memperoleh jalan untuk membujuk mantunya.
"Anakku,
ayahmu ini sudah tua, mana ada tenaga lagi untuk turut berjuang? Perjuangan
adalah untuk yang muda-muda. Akan tetapi, aku hanya dapat mendukung di dalam
batin. Dan siapa yang takkan mendukung perjuangan menumbangkan kekuasaan lalim
karena hal itu berarti membebaskan rakyat dari kelaliman pemerintah?"
demikian dia menjawab pertanyaan-pertanyaan puterinya tadi.
"Akan
tetapi, sepanjang pendengaran saya, Kaisar Ceng Tek bukan seorang kaisar lalim,
hanya masih terlalu muda sehingga dia lemah dan mudah dipermainkan oleh para
pejabat tinggi yang membantunya," kata Cia Kong Liang.
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Mungkin benar, akan tetapi kalau dia lemah dan hanya
membiarkan para pejabat merajalela dengan kelaliman mereka, apa bedanya? Tetap
saja rakyatlah yang tertindas, dan hal itu berarti bahwa kaisar yang bersalah
karena dia harus bertanggung jawab atas kelaliman para pembantunya."
Bin Mo To
terus membujuk menantunya, dibantu oleh Bin Biauw yang memihak ayahnya.
Akhirnya Cia Kong Liang tertarik juga dan berjanji akan membantu kelak kalau
saatnya telah tiba.
***************
Hati Hui
Song masih diliputi oleh rasa penasaran sehingga dia nampak termenung ketika
berjalan seorang diri melalui jalan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu
amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan dusun di
depan sudah nampak genteng-gentengnya.
Sudah tiga
hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan sekarang Gunung Cin-ling-san sudah
tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa
sangat penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya, dan salahkah
gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin? Benarkah ayah
dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas?
Akan
tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu? Ahh, tidak
mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu jahat bukan main dan
perjuangan murni bagaimana pun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja
sama dengan kaum sesat itu. Dan dia pun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin
sudi membantu para datuk hitam itu.
Bagaimana
pun juga dia tak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu
pihak saja tanpa penyelidikan sendiri. Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi
oleh pembesar-pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap
orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlampau banyak pejabat yang
menggunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan
bagi diri sendiri.
Pada jaman
itu sulit ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung
rakyat. Dan memang telah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang
semua kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu
pemberontakan para datuk sesat, walau pun pemberontakan itu berdalih
mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia membayangkan sebuah pemerintahan baru
yang lebih baik apa bila kekuasaan itu berada di tangan para datuk sesat!
Dia sudah
mendekati dusun di depan ketika dari arah belakangnya terdengar derap kaki
kuda. Hui Song cepat minggir karena jalan itu amat sempit, memberi kesempatan
kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat
dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik.
Hui Song
dapat mengenal kuda yang baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di
sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan
si penunggang kuda. Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping
dengan pakaian yang potongannya sederhana namun bersih dan masih baru, dan
minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum.
Wajah gadis
ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang
sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggungnya dan diikat pita merah.
Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun
kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan menambah manis.
Sebatang
bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting
emas dan selain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat
gadis itu nampak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di
atas dagu sebelah kiri, agak di bawah mulut. Dan ketika gadis itu mengerling
ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar.
Lirikan itu
sungguh tajam dan mengandung banyak arti, lirikan yang dapat dikatakan genit
memikat! Lirikan yang dihiasi senyum membayang pada bibir yang tipis merah
membasah itu. Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat
melihat betapa gadis itu memiliki pinggang yang sangat ramping dan pinggulnya
menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.
Agak sukar
menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua
puluh empat tahun. Jika melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju
luar berkembang, dia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan tetapi
perawatan mukanya menunjukkan bahwa dia seorang gadis kota.
Dia tidak
membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat
cara dia menguasai kudanya, menunjukkan bahwa dia bukan seorang gadis yang
begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa dia menguasai ilmu menunggang
kuda dengan cukup baik. Kuda beserta penunggangnya itu bersembunyi di balik
debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda, kemudian akhirnya menghilang di balik
pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar.
Hui Song
sudah melupakan gadis itu pada saat dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup
besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat
rumah penginapan dan juga ada sebuah restoran yang cukup besar. Sesudah memesan
sebuah kamar di rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai
makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu.
Ada belasan
meja di sana dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore. Mereka
makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas itu,
mudahlah diduga bahwa mereka adalah langganan-langganan restoran itu. Akan
tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan
dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga dia pun memilih meja yang
tidak berjauhan dari dua orang tamu itu, hanya terpisah oleh dua meja kosong.
Dua orang
kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka
bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu terlihat menjadi semakin jangkung sebab dia
memakai sebuah topi hitam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh
para tosu atau kepala agama atau pertapa.
Jubahnya
juga lebar dan kedodoran hingga menutupi semua tubuhnya mulai leher sampai kaki
yang mengenakan sepatu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan
terurai di depan dan belakang, mencapai dadanya. Tubuh yang kurus itu laksana
tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak yang berkulit, dengan sepasang mata
kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling
mulutnya.
Orang ke dua
juga tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dan
perutnya itu dibiarkan terlihat karena bajunya terbuka tanpa kancing, atau
kancingnya agaknya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju
itu kurang lebar untuk dapat menutupi perutnya. Perut gendut dan dadanya
terbuka. Jubahnya juga lebar dan panjang pada bagian belakang, sampai hampir
menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung pada pinggang kanannya.
Kepalanya
yang bundar itu dicukur gundul, kecuali di tengah-tengah. Di atas ubun-ubun
terdapat segumpal rambut yang diikat dengan tali kasa. Kakek ini nampak seperti
hwesio akan tetapi bukan hwesio, sedangkan temannya itu seperti tosu akan
tetapi bukan tosu. Pada jaman itu banyak para pendeta dan pertapa yang
meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan,
maka kehadiran dua orang itu pun tidak menimbulkan perhatian orang.
Namun tidak
demikian bagi Hui Song. Pemuda ini sangat tertarik dan menaruh perhatian karena
sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan
sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang
sembarangan.
Tiba-tiba
percakapan di sebelah kirinya, di antara empat orang muda yang telah setengah
mabok, menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanannya telah dihidangkan dan
sambil makan dia pun memasang telinga untuk mendengarkan percakapan yang
terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal sebagai suara orang setengah
mabok.
"Huh,
pada jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara
lantang seorang pemuda yang bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan
mulut yang menyeringai tanda kemabokannya, dia lantas melanjutkan.
"Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung
malah mengganyang yang seharusnya dilindungi sendiri. Sekarang ini tidak ada
orang dapat dipercaya!"
"Benar,
benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, dan
sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat
saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan
mabok-mabokan minum arak, huh!"
Mudah saja
diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya sudah
menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat
orang pemuda itu pun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan,
sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment