Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 10
PEMUDA itu
menangis sampai tersedu-sedu sambil berlutut. Dia mengepal tinju dan ingin dia
meraung-raung, akan tetapi ditahannya sehingga dia hanya tersedu dan terisak.
Pria setengah tua yang duduk bersila di depannya membuka mata memandang dan
menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara halus namun mengandung
wibawa.
"Hentikan
tangismu, hapus air matamu. Tidak pantas membiarkan perasaan dipengaruhi
pikiran sehingga menimbulkan kelemahan. Tidak ada gunanya semua itu."
Pemuda itu
berhenti terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, lalu dia
memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh tanya dan penasaran. Pemuda itu
adalah Cia Sun, sedangkan yang bersila di depannya adalah ayahnya, Cia Han
Tiong.
Baru saja
Cia Sun pulang ke Lembah Naga sesudah melakukan perantauan ke selatan. Ketika
pagi hari itu dia sampai di lembah, dia merasa heran mengapa keadaan demikian
sunyinya dan mengapa pula pandangan mata para petani gunung kepadanya demikian
ganjil dan penuh rasa iba. Hetinya merasa tidak enak dan dia menghampiri
seorang kakek petani lalu bertanya mengapa mereka memandangnya seperti itu.
"Kakek
Phoa, aku adalah Cia Sun, apakah kakek beserta saudara sekalian sudah lupa?
Ha-ha, baru saja aku pergi merantau selama satu tahun dan kalian memandangku
seperti aku ini orang asing bagi kalian."
Akan tetapi
betapa kagetnya ketika dia melihat beberapa orang petani wanita menangis dan
pergi meninggalkannya. Juga kakek itu memandang kepadanya dengan mata basah oleh
air mata.
"Kakek
Phoa, apakah yang sudah terjadi?" Dia memegang lengan kakek itu dan
bertanya dengan mata terbelalak, hatinya gelisah sekali.
Dan kakek
itulah yang bercerita. Betapa orang tuanya didatangi penjahat, betapa banyak
murid Pek-liong-pai tewas oleh para penjahat, juga ibunya turut tewas. Ibunya!
Tewas di tangan orang jahat! Mendengar ibunya tewas, Cia Sun tidak menunggu
sampai kakek itu melanjutkan ceritanya. Dia sudah meloncat dan lari menuju ke
pondok orang tuanya.
Didapatkannya
rumah itu sunyi dan kotor. Sesudah dia masuk, nampak ayahnya sedang duduk
bersila di dalam kamar. Ayahnya nampak menjadi sangat tua dan kurus. Maka dia
langsung menjatuhkan diri berlutut dan menangis sampai ayahnya menyuruhnya
berhenti menangis.
“Ayah,
siapakah yang membunuh ibu?" Hanya itu yang dapat dikatakan setelah
tangisnya dihentikannya.
Ayahnya
tidak menjawab, hanya memandang padanya. Sejenak ayah dan anak ini saling
pandang.
"Anakku,
apakah maksudmu dengan pertanyaan itu? Hanya sekedar ingin tahu, apakah di
baliknya tersembunyi dendam sakit hati?"
Cia Sun
sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng
ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan
tetapi pada waktu itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya
tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.
"Akan
tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang.
Apakah aku harus diam saja menerima nasib? Lalu menjadi anak macam apakah aku
ini? Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"
"Hemm,
dengan lain kata-kata, engkau hendak menanyakan pembunuh ibumu agar dapat
mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"
"Bukankah
hal itu sudah wajar saja, ayah? Sebagai anak ibu, apa bila aku tidak mencari
pembunuhnya kemudian membalaskan sakit hatinya, apakah ibu tak akan menjadi
setan penasaran?"
"Cia
Sun!" Ayahnya membentak dan di dalam suara pendekar ini terkandung wibawa
yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, namun memperingatkan dan tegas sekali.
"Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia
Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang sudah
meninggal dunia itu sekarang menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan
menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh? Serendah
itukah engkau menilai ibumu?"
Tentu saja
Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan
mata terbelalak. "Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku,
ayah!"
"Kalau
bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat
membunuh orang! Apa yang hendak kau lakukan itu tidak ada sangkut-pautnya
dengan ibumu, akan tetapi keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam
kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau
menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."
Getaran
dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia
Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu
timbul akibat ia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit
hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan
rasa senang di hatinya.
"Baiklah,
ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan tadi. Akan tetapi
apakah yang telah terjadi? Apakah kesalahan ibu maka dia sampai dibunuh
orang?"
Cia Han
Tiong lalu menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas membalas,
baik membalas budi mau pun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah
mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang
karena dendam terhadap keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang
menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, lalu ibumu serta
belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu mengenai mereka
itu, anakku? Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok
dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian di hati mereka saja
dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka
kenal?"
Cia Sun mengepal
tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.
"Bagus!"
kata ayahnya. "Dan sekarang engkau pun ingin menjadi seperti mereka,
hendak mencari orang-orang yang tak kau kenal untuk kau bunuh hanya untuk
memuaskan nafsu kebencianmu?"
Cia Sun
terkejut, tak menyangka bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah
mereka bunuh, juga para suheng!"
"Rasa
penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam dan
bunuh membunuh, lalu menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah
engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu,
terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas membalas tiada
akhirnya? Mata rantai itu sekarang berada di tanganmu, mau kau patahkan ataukah
mau kau sambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau
mendendam, lantas mencari pembunuh ibu dan para suheng-mu, kemudian engkau
membunuh mereka. Apakah kau kira sudah selesai sampai di sana saja? Kalau murid
atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, pasti mereka pun akan
mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau
keturunanmu. Terus menerus begitu, tak ada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau
hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan
menghapus dendam sekarang juga maka rantai belenggu itu pun patah."
Cia Sun
termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu,
aku dapat mengerti tentang penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimana pun
juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak
terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian
ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam
keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu
saja?"
"Andai
kata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela
ibumu serta suheng-suheng-mu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah
wajar. Akan tetapi, menanam kebencian di dalam hati merupakan racun bagi batin
sendiri, anakku."
"Biarkan
aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka
menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal
mulanya."
"Mereka
yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka
adalah cucu murid dari mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu
tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua jauh-jauh datang dari negeri Sailan
hendak mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas dendam. Akan tetapi
karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan
dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku sekeluarga. Dan di dalam
perkelahian itu, para suheng-mu dan ibumu jatuh sebagai korban dan tewas."
"Dan kedua
iblis itu?"
"Mereka
telah pergi dalam keadaan luka."
"Tapi
kenapa mereka tidak membunuh ayah? Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai
putera kongkong? Kenapa mereka hanya membunuh ibu dan para suheng, dan
melepaskan ayah?"
Cia Han
Tiong menghela napas. "Mereka tidak mampu melakukan hal itu karena mereka
terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."
Cia Sun
memandang dengan mata terbelalak. "Ayah telah mengalahkan mereka?"
Ayahnya
mengangguk. "Memang mereka itu lihai bukan main, akan tetapi aku berhasil
mengalahkan mereka."
"Dan
melukai mereka? Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos
dan pergi dari sini?"
"Aku
telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."
"Apa?"
Cia Sun terlonjak berdiri, memandang kepada ayahnya dengan muka pucat.
"Ayah berhasil mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah...
membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih
menggeletak di depan kaki ayah?"
Ayahnya
mengangguk. "Aku sendiri pun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan aku
pun tak luput dari pada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat
dengan jelas betapa aku sekeluarga akan terperosok semakin dalam kalau aku
hanya menuruti nafsu kebencian, maka aku sengaja membiarkan mereka pergi."
"Dan
dengan perbuatan itu ayah merasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan terputus?
Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum
tewas dan mereka masih berusaha untuk membunuh kita? Apakah kita pun harus diam
saja dan menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Di dalam pertanyaan pemuda ini
masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.
Mendengar
pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan
menggeleng kepala. "Aku percaya bahwa mereka pun sudah insyaf akan
kebodohan mereka dan merasa amat menyesal. Dan andai kata benar seperti yang
kau katakan tadi, andai kata mereka itu pada suatu hari datang kembali dan
berusaha untuk menyerang dan membunuh kita, tentu saja kita akan melawan
mereka."
"Hemmm,
bukankah hal itu sama saja namanya, ayah? Kita pun akan mempergunakan kekerasan
apa bila diserang dan kalau mereka itu sangat lihai, berarti mereka atau kita
yang akan tewas di dalam perkelahian itu?"
"Tidak,
anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Apa bila kita diserang
orang, berarti kita terancam bahaya dan sudah menjadi hak dan kewajiban kita
untuk melindungi dan membela diri, berusaha melepaskan diri dari ancaman
bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."
Han Tiong
menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat
betapa rasa penasaran yang sangat besar mencekam hati puteranya dan bahwa
dendam masih meracuni hati puteranya.
"Ingat,
anakku. Kegagahan sejati berarti bisa mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri
sendiri yang meracuni batin. Tak ada orang lain yang akan dapat membersihkan
batinnya sendiri dari cengkeraman racun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan
dan kesadaran sendiri."
Cia Sun
tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa amat penasaran dan untuk
melapangkan hatinya, dia segera berpamit dan meninggalkan ayahnya untuk
menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya
tariknya baginya itu. Dia pergi ke kuburan ibunya dan di hadapan kuburan yang
masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya. Menangislah pemuda
yang biasanya tabah ini tersedu-sedu.
Mengingat
betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun
yang lalu dan kini tiba-tiba sudah tiada, apa lagi mengingat betapa ibunya yang
dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia
di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan
dendam pun semakin tumbuh dalam hatinya.
Memang,
kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin
apa bila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan
segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa
iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan.
Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan
amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari
ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalah gunakan oleh si aku.
Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, maka takkan ada
kebencian.
Sampai hari
berganti malam, Cia Sun belum juga meninggalkan makam ibunya dan para
suheng-nya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis
lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam. Makin dia membayangkan
kehidupan yang silam di samping ibunya, dan makin dia mengingat-ingat akan
kematian orang yang disayangnya, maka semakin besar pula penderitaan batinnya.
Dia tidak
tahu bahwa sore tadi ayahnya sempat menjenguknya dan memandangnya dari jauh
tanpa mengganggunya. Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu,
kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya di
mana dia lantas duduk bersemedhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya
itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi
perang batin dalam diri puteranya.
Malam itu
langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi
dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di hadapan makam
ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat
akan Sui Cin, gadis yang sudah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami
perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya.
Ketika dia
melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa
ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia
hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan meminta
nasehat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan
kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis.
Dia percaya
bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta
dilamarkan Sui Cin. Bukankah di antara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat
pertalian batin yang amat erat? Teringat akan semua itu, hatinya menjadi
hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang
gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.
Selagi Cia
Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di
belakangnya, "Uhh-uhhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya
dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya,
tidak dapat diharapkan lagi!"
Cia Sun
melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar
suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang
tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Seorang kakek yang sangat menyeramkan,
dengan tubuhnya yang tinggi besar, wajahnya hitam penuh dengan cambang bauk dan
sepasang matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih
bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap.
Diam-diam
Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di
belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa
tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya ini
tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya tengah dipenuhi kemarahan dan rasa
dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya langsung
membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.
"Iblis
dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?!" bentaknya marah.
"Ha-ha-ha!"
Kakek itu tertawa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu.
Siapa mengganggu ketenteramanmu? Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau
engkau menangis seperti itu maka yang mati akan dapat bangkit kembali? Biar
engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekali pun, ibumu tetap saja
akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali,
ha-ha-ha!"
Tentu saja
Cia Sun menjadi marah sekali mendengar kata-kata yang kasar dan nadanya mengejek
ini. Andai kata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebencian, kata-kata
ini tentu masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu,
ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.
"Orang
asing, cepat pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan urusan
kematian ibuku?"
"Ha-ha-ha,
engkau belum tahu siapa pembunuh ibumu, hanya mendengar namanya saja. Siapa
tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha-ha!"
Cia Sun
terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya adalah dua orang yang berjuluk
Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. "Apakah engkau berjuluk Hek-hiat
Lo-mo?" tanyanya dengan suara membentak.
"Ha-ha-ha,
boleh saja aku disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku mempunyai
Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan lebih dahulu. Akan
tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah putera seorang pendekar yang berhati
lemah, yang tak memiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak
oleh orang lain. Engkau pun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat
diharapkan."
"Iblis
tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah
mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.
"Ha-ha,
engkau hendak menyerangku? Engkau memiliki keberanian itu? Cobalah, orang muda,
memang aku ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan keturunan Pendekar
Lembah Naga!"
Mendengar
ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar
musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya
yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga.
Maka, dengan
kemarahan meluap Cia Sun segera menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah
pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali,
maka dia pun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah
mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang kemudian begitu tangannya meluncur dia
sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan
bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama pada bagian depan tubuh lawan.
Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu
sungguh amat dahsyat!
Biar pun
tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat
cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia
Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan, "Ah, inikah yang disebut
totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)? Hebat, akan tetapi masih mentah!" Dan
ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat
saja dan tidak satu pun dapat mengenai tubuh kakek itu.
Diam-diam
Cia Sun terkejut bukan main. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus
simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari
tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat
luar biasa! Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat
sehingga kalau bukan orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah
otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri
semudah itu dari serangkaian totokannya.
Dia juga
merasa penasaran sehingga kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo
Cap-sha-ciang! Inilah ilmu dari ayahnya yang paling dirahasiakan. Hok-mo
Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar
biasa dan mukjijat. Biar pun hanya tiga belas jurus, akan tetapi setiap jurus
mengandung kehebatan yang sulit ditahan atau ditandingi lawan.
Apa bila
tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong
sendiri pun jarang menggunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tak
pernah menggunakannya dalam perkelahian. Tetapi kali ini Cia Sun yang berada
dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan telah
mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat di antara ilmu-ilmu yang
dipelajarinya dari ayahnya.
"Wuuuttt...!
Singgg...!" Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdengar
ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan.
Kakek itu
mengeluarkan suara kaget dan tak berani main-main lagi, segera mengerahkan
tenaga kemudian menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua
tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin
dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambut
pukulan dahsyat itu.
"Plakk!
Plakk!"
Tubuh Cia
Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan
sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang
amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam
air sehingga hilang kekuatannya.
Namun, di
balik kelembutan itu ternyata ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya
sehingga justru tubuhnyalah yang malah terdorong ke belakang. Dan begitu dia
berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar
dan terasa lemas sehingga dia hampir terguling. Sebaliknya, kakek itu pun
membelalakkan sepasang matanya yang melotot lebar.
"Ihh,
ilmu setan apakah itu? Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar
gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu
sesat macam itu tadi?" Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju
hingga jubahnya yang lebar itu berkembang.
Cia Sun
merasa seakan-akan dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang dan
menyambar ke arahnya. Kedua kakinya masih terasa lemas, maka kini terpaksa dia
pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan
dari samping sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Desss...!"
Sekali ini,
pertemuan antara lengan mereka bahkan membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum
hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang sangat lihai itu sudah menubruk dengan
cengkeraman kedua tangannya ke arah kepala dan dada Cia Sun.
"Hehh!"
Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar
dan panjang menyambar dengan cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya untuk
mengelak lalu meloncat bangun.
Dua tangan
kakek itu ternyata masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan
tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan
melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau
ditangkis!
"Bagus!"
Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!"
Sungguh pun
mulutnya memuji, akan tetapi kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang
ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia
Sun menjadi amat repot dibuatnya. Pemuda ini segera merubah gerakannya,
berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang sudah dipelajarinya.
Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah
mengejek!
"Ha-ha-ha,
ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi
I-beng? Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"
Cia Sun kini
merasa yakin bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai dan telah mengenal
ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa
gugup dan ketika kakek itu menerjangnya dengan tendangan-tendangan berputar
yang amat dahsyat, pahanya kena tendangan dan dia pun terguling lagi. Dan
sekali ini, sebelum dia sempat bangkit berdiri, tahu-tahu kakek itu sudah
menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya!
Cia Sun
memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa jika kakek itu
menggerakkan jari-jari tangannya, maka dia tak akan tertolong lagi. Akan tetapi
jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya sehingga dia pun membuka
mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya,
akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.
"Iblis
busuk, apa bila engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku
tidak takut mati!"
"Ha-ha-ha!"
kakek itu menarik tangannya lantas melangkah mundur. "Orang muda, kalau
aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kau kira engkau masih hidup sekarang ini?"
Sadarlah Cia
Sun bahwa kakek ini sebenarnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang
agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak
sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek ini pun
seorang di antara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa
ragu-ragu lagi dia pun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.
"Maaf
kalau saya sudah keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?"
tanyanya dengan sikap hormat.
"Orang
muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab sesudah
engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Kini hilang
sudah rasa marah dalam hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah
seorang sakti ini. "Silakan bertanya, locianpwe."
"Engkau
adalah putera dari keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan.
Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid
Pek-liong-pai pun adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi, pada
suatu hari malapetaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis datang
menyebar maut, menewaskan ibumu dan para suheng-mu yang sama sekali tidak
bersalah terhadap dua orang itu. Nah, kini aku hendak bertanya padamu. Apakah
engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan
tidak ingin mencari lantas membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga
untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"
Cia Sun
mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin
berkobar. "Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh
kedua iblis jahat itu!"
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Benarkah itu? Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai
yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"
Diam-diam
Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang
menimpa keluarganya saja, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja
hatinya memberontak karena dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama
ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi pada saat
itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan
membuat dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.
"Mungkin
ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi
orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman
dan tanpa membalas!"
"Jadi
engkau ingin membelas dendam? Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"
"Mereka
adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."
"Tahukah
pula engkau di mana adanya mereka?"
Cia Sun
memandang bingung dan menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, locianpwe,
tetapi saya akan mencari mereka sampai dapat!"
"Orang
muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira bahwa akan mudah saja
mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan
diri. Pula, andai kata dapat bertemu, belum tentu engkau sanggup mengalahkan
mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaian dan kegagahanmu.
Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau
ilmu-ilmu yang kau miliki itu sudah dapat kau kuasai sampai matang. Ibarat buah
engkau ini masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum lagi
digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama
satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu di mana adanya dua orang musuh besarmu
itu?"
Bukan main
girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia cepat memberi hormat
sambil berlutut dan menjawab. "Saya bersedia dan saya mau,
locianpwe!"
"Nah,
kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil
yang tak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi
tahu pada ayahmu."
"Baik,
suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun.
Dan malam
hari itu juga, dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya
tanpa memberi tahukan ayahnya! Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia
bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para
suheng-nya.
***************
Rumah besar
di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau
setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu.
Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik
seorang hartawan kaya raya ber-she (marga) Siangkoan.
Akan tetapi
hartawan yang kabarnya usianya telah lanjut sekali dan sakit-sakitan itu amat
jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan
dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang sempat
melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah,
entah pergi ke mana.
Pendeknya,
pemilik rumah besar itu dikenal orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan
Siangkoan) yang sudah tidak terlihat aktip berdagang lagi, agaknya hanya
seorang kakek pensiunan yang sedang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta
kekayaannya. Namun kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan
menyaksikan apa yang sering kali terjadi di dalam rumah itu, orang itu akan
terheran-heran dan terkejut bukan main.
Kiranya
kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk
kaum sesat yang ditakuti oleh hampir semua anggota dunia hitam. Juga para
pendekar di dunia kang-ouw merasa seram kalau mendengar namanya. Dia adalah
Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis
Buta!
Dengan
menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan
Lo-jin dapat terbebas dari gangguan. Dia pun lolos dari pengamatan para
pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya
sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas
pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri.
Siangkoan
Lo-jin diketahui sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang
bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman
mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan
tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui lain yang menjadi
para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak
buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.
***************
Pada suatu
malam sesudah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota
Ta-tung yang dekat dengan kota raja, pada sebelah dalam rumah besar itu terjadi
kesibukan. Kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu maka para
komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri.
Kiranya pada
malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah
berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, laksana iblis-iblis gentayangan,
berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam yang memasuki rumah
besar itu. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam
pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam, yang kini datang untuk memenuhi
panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam
persekutuan itu.
Menjelang
tengah malam, pada waktu kota Ta-tung menjadi sunyi karena sebagian besar
penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah sudah para tamu aneh yang
berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Dan di dalam ruangan
belakang, di sebuah ruangan yang luas, mereka duduk berkumpul mengelilingi
sebuah meja besar panjang.
Para pelayan
Siangkoan Lo-jin yang sebetulnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah
yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat
walau pun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tak pernah dicurigai orang.
Ruang itu cukup luas dan terang sekali sehingga tampak jelas wajah mereka yang
duduk mengelilingi meja besar panjang.
Di kepala
meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh
puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana,
pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dengan pakaian hartawan yang
dikenakannya bila mana dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah. Kini pakaian
hitamnya sangat sederhana dan longgar.
Kedua
matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tidak pernah berkedip. Di tangan
kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi alat
bantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang
amat ampuh.
Sebetulnya
kakek buta ini memiliki sebuah rumah di kota Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan
tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam,
terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, di mana dia dikenal sebagai seorang
hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.
Di sebelah
kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci
Kang tak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, pada saat
masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah
ibunya yang tewas ketika dia masih kecil.
Dia hidup
bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta namun harus diakuinya bahwa
ayahnya amat mencintanya, biar pun dengan caranya sendiri yang aneh. Seluruh
ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat
berbakat, biar pun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, akan tetapi dia
telah dapat mewarisi kepandaian itu.
Siangkoan Ci
Kang duduk diam bagai arca, ada pun wajahnya membayangkan hati yang dingin dan
tidak pedulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, malah jubahnya
terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, tetapi
tubuhnya tinggi tegap.
Pada waktu
itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang
mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang
sesungguhnya demikianlah. Sejak semula dia sudah tidak setuju ketika mendengar
ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar
korup Liu-thaikam.
Memang dia
tidak setuju, namun betapa pun juga, sebagai seorang anak yang mencinta
ayahnya, dia selalu turun tangan membantu ayahnya, walau pun bantuan itu lebih
berupa perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu bila mana kawan-kawan
ayahnya melakukan kejahatan.
Dia tahu
bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi dia juga tahu, bahkan
merasa yakin, bahwa sebenarnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang
yang diracuni dendam sesudah kedua matanya menjadi buta. Ayahnya hanya ingin
menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat.
Dia merasa
kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu
ternyata masih dapat menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat
seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.
Berturut-turut
mereka datang dan kini sudah berkumpul di sana dengan lengkap. Semua tokoh
Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama membantu Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah
Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo,
dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari
Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu
Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin.
Sebenarnya
Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat,
tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga
dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Oleh karena nama
sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seakan-akan ada
sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak
nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia kawan di
dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari
mereka tidak merasa tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.
Mereka
tengah bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan
mereka dan juga hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum
matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk kelak
dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan
penasaran sekali.
"Brakkkk…!"
Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar
dari gerakannya.
"Sungguh
membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang
pejabat saja sampai gagal, dan bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita
hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati pula. Kegagalan itu sendiri
tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam
lumpur. Masakah kita yang sudah dikenal seluruh dunia sebagai tokoh-tokoh utama
sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"
Kui-kok
Lo-mo yang mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa dia
pun jeri terhadap kakek buta itu. "Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan
sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur
sebaik-baiknya, bahkan kami juga dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan
tetapi pemuda Cin-ling-pai itu benar-benar menjemukan! Kini dia pula yang
menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan
ia pula yang menyelamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kauwsu. Dan
ternyata bahwa pesta itu pun agaknya sudah diatur oleh pemuda itu untuk
menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah
berhasil dengan baik semua."
“Pemuda
keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun
ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan
suara lantang dan marah.
"Bukan
hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar
Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!" Suara Kiu-bwe Coa-li
melengking ketika dia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang
terkejut.
"Anak
Pendekar Sadis? Yang mana?" Kui-kok Lo-bo bertanya, terkejut ketika
mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya
nampak kaget.
"Hi-hik,
sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dan tidak mengenal
dia. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Dia adalah puteri atau anak
tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang dia memakai pakaian wanita biasa, tapi
kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu kepandaiannya sangat
tinggi, agaknya sudah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe
Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu belum tahu akan
rahasia itu sehingga dia yang sudah tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik
dari pada mereka.
"Aihhh,
perempuan setan itukah yang kau maksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget.
"Apakah dia yang pernah kita jumpai di kuil Dewi Laut di kota
Ceng-tao?" Ia memandang kepada Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan
rekannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri.
Kakek iblis
ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu kemudian bertanding melawan seorang
gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah. Kiranya gadis itu
adalah puteri Pendekar Sadis! Memang demikian, di antara para tokoh sesat yang
dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini mempunyai tingkat kepandaian yang
paling rendah maka biar pun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi
Sui Cin.
"Brakkk!"
kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja.
Diam-diam
dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biar pun dia lihai akan
tetapi dia tak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal
kedua orang muda yang sudah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah
dihukum mati dan semua hartanya telah disita, ini berarti bahwa usaha yang dipupuknya
selama ini berantakan sama sekali.
"Sungguh
amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha
kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi dua orang muda
itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.
Sejak tadi
Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar
pertanyaan ayahnya, dia pun menarik napas panjang. "Aku sudah pernah
bertemu dengan mereka dan menurut penglihatanku, sungguh pun mereka itu
merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar
biasa!"
"Kalau
begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.
"Karena
mereka berada pada pihak yang benar dan di belakang mereka terdapat pasukan
pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.
"Keparat!
Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh
tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"
Enam orang
tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi tiba-tiba Tho-tee-kwi yang
sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Biar pun
kasar dan liar, akan tetapi raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu
setengah kali orang biasa ini amat cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia
tak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.
“Heh, bukan
aku takut menghadapi mereka, akan tetapi jika memusuhi ketua Cin-ling-pai dan
terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan
menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol?" Suaranya itu segera
membuat para rekannya saling pandang dengan muka berubah agak pucat.
Memang,
bagaimana pun juga mereka sudah mendengar tentang kehebatan tokoh-tokoh yang
hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis yang
membuat mereka harus berhitung sampai seratus kali sebelum benar-benar turun
tangan memusuhinya.
"Dalam
hal ini, nama Cap-sha-kui ikut tersangkut. Jika kalian semua sebanyak tiga
belas orang maju bersama, apakah masih takut juga? Dan aku sendiri pun tidak
akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk
menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Tidak,
ayah, aku tidak mau!"
Ucapan Ci
Kang ini membuat semua orang sangat terkejut hingga para tokoh Cap-sha-kui
memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya
itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang
mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.
"Apa...?
Apa kau bilang tadi, Ci Kang?" Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin,
lirih dan lambat, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
Siangkoan Ci
Kang tetap tenang saja walau pun dia tahu bahwa ayahnya beserta sekutu ayahnya
itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya. "Aku tidak mau mewakili
ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."
Terdengar
suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang
tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan
Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang sudah
berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu.
Melihat
betapa tongkat itu menyambar cepat hingga sulit diikuti pandang mata dan betapa
besar bahaya maut mengancam apa bila diserang oleh kakek buta itu, diam-diam
enam orang Cap-sha-kui itu bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu
dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walau pun mereka
juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apa lagi kalau lengkap tiga
belas orang, kakek buta itu pun belum tentu akan mampu melawan mereka.
"Ci
Kang, apa artinya ucapanmu itu? Apakah engkau hendak menjadi anak durhaka dan
mengkhianati ayahmu sendiri?"
"Tidak,
ayah. Akan tetapi semenjak dulu pun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan
ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya. Kegagalan yang lalu sudah
semestinya menjadi peringatan supaya ayah menghentikan semua kegiatan yang
tidak sehat itu. Aku tidak senang melihat ayah melakukan kejahatan dan
mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."
"Brakkk!"
Ujung tepi
meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan
sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.
"Ci
Kang, aku sudah tua dan aku telah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan
mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam.
Engkau harus lebih berhasil dari pada aku, anakku, dan..."
"Maaf,
ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan
dalam bentuk apa pun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."
"Tutup
mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak dari hasil pekerjaan
ayahmu? Kau kira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..." Kakek
itu cepat menahan diri karena baru dia teringat bahwa di situ terdapat
orang-orang lain yang turut mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka
semua rahasia keluarganya.
"Ayah,
aku tidak menghendaki semua harta itu. Jauh lebih baik aku hidup miskin dan
tidak mempunyai apa-apa dari pada harus mendapatkan harta kekayaan melalui
kejahatan."
"Sombong
engkau! Katakan saja bahwa engkau jeri dan takut terhadap Cin-ling-pai dan
Pendekar Sadis, engkau takut menghadapi manusia-manusia sombong yang menamakan
diri mereka kaum bersih, golongan putih atau para pendekar. Engkau memang
pengecut, penakut..."
"Aku
tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para
pendekar itu jauh lebih bersih dari pada penghidupan kaum sesat..."
"Anak
durhaka...!" Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci
Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat.
Akan tetapi
pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia
terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia telah meloncat bangun dan
berdiri kembali. Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena
serangannya gagal, segera menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan
serangan yang lebih hebat lagi.
Biar pun
buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya,
jauh lebih tajam dari pada orang lain sehingga dalam menghadapi lawan, dia
sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan serta
mengetahui di mana lawan berada! Melihat ayahnya telah nekat dan menyerangnya
secara mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan meloncat agak jauh ke dekat
pintu.
"Ayah!"
teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan
karena dibikin buta, ayah kemudian berubah dan menjadi pemimpin para datuk
sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah membikin
buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"
"Keparat,
kalau begitu aku akan membunuhmu!" Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan
menjadi marah sekali itu sudah meloncat ke arah puteranya, kemudian menusukkan
tongkatnya.
Akan tetapi
Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka dia pun tahu akan kehebatan
serangan itu. Tiba-tiba saja tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke
atas lantai, kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi. Pemuda ini sudah
mempergunakan ginkang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali
dan di situ dia berdiri tegak, sama sekali tak bergerak, bahkan pernapasannya
pun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
Dia tahu
akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran. Maka kini, sesudah
dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu ke mana
perginya Ci Kang!
"Anak
durhaka, jangan lari kau! Di mana engkau? Kurang ajar! Heii, apakah kalian
sudah berubah menjadi patung semua? Hayo bantu aku untuk menangkap dan membunuh
anak durhaka itu!" Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui
yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan
melihat bentrokan antara ayah dan anak itu.
Kini,
mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka
merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, dan selalu mereka segan kepada
pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pendiam dan tidak
banyak cakap itu. Sekarang pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah
dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju,
kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan mati konyol.
"Lo-jin,
puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok
Lo-mo berseru sehingga teman-temannya menjadi lega.
Memang
mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu
sebelum mereka turun tangan membantu Siangkoan Lo-jin. Begitu mendengar ucapan
ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin melompat ke kanan, dengan kecepatan luar biasa
tongkatnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya. Ketika Siangkoan
Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah
ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala puteranya.
Sebuah
serangan yang sangat berbahaya dan cepat, mengandung maut! Sungguh amat
berbahaya bila mengelak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari
jurusan lain, maka jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang.
Sebenarnya dia tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi
untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang mencengkeram, terpaksa dia harus
mengerahkan tenaganya menangkis.
"Dukkk!"
Dua tenaga
besar itu bertemu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin berusaha melompat ke belakang
untuk mematahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, ada pun Ci Kang
sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu!
Melihat
betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang
Cap-sha-kui itu menjadi berani dan mereka pun melakukan pengejaran keluar
ruangan.
"Orang
muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan
sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya. Angin keras menyambar disertai
uap tipis putih keluar dari sepasang telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini
ketika dia menyerang ke arah Ci Kang.
"Jangan
kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan dia pun
mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.
"Desss...!"
Keduanya
terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa
tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya
terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat
suaminya sampai terpental. Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan
ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang mempunyai tingkat lebih rendah,
menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar
rumah kemudian melarikan diri.....
Marahlah
hati Siangkoan Lo-jin ketika mendapatkan kenyataan bahwa puteranya berhasil
lolos. "Kalian ini sungguh sekelompok orang yang tidak berguna. Kalian
membiarkan anak durhaka itu lolos begitu saja, tanpa mengejar?"
“Jangan
salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena betapa pun
juga dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar apakah engkau hendak
melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.
"Bodoh!
Siapa main-main?! Dari pada melihat anakku sendiri durhaka dan menentangku,
lebih baik melihat dia mampus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua
anggota Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis,
juga mencari dan menyeret anak durhaka itu ke depan kakiku agar aku dapat
menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"
Enam orang
itu lalu berkelebatan pergi sehingga kakek buta itu kini berada seorang diri di
dalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan
puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan selalu menentang
kejahatan sehingga namanya dipuja serta dikagumi semua pendekar di dunia
kang-ouw.
Tanpa terasa
lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum. Teringatlah dia akan dirinya sendiri.
Menjadi seorang gagah yang dikagumi oleh seluruh dunia adalah cita-citanya, dan
karena cita-cita itu tidak dapat terlaksana melalui kebaikan, dia hendak
mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan
menjadi orang jahat nomor satu di dunia! Kalau puteranya bisa menjadi orang
yang paling menonjol dan terkenal, tak peduli sebagai penjahat nomor satu atau
pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!
Akan tetapi
dia sudah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! Tidak apa, memang
seharusnya begitu. Jika anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu di dunia,
maka dia harus sanggup menghadapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mampu membasmi
Cap-sha-kui! Apa bila anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu
tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biarlah anaknya mati saja dari pada
menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!
Pemikiran
seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap
gila dan tidak lumrah. Akan tetapi, kalau kita mau membuka mata mengamati
kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak
jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.
Kita semua
ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini telah
mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya
orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menuturkan betapa kakeknya dulu
adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan nomor satu, seorang penjudi
paling hebat dan sebagainya? Mereka ini bercerita dengan nada suara sama
bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dulunya seorang
yang paling terhormat, paling kaya atau tertinggi kedudukannya.
Juga hampir
semua orang bercerita dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal,
paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang bercerita
dengan suara malu-malu dan rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling
patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan
diri, baik diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang dapat menjadi
anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.
Membayangkan
betapa puteranya akan menjadi seorang yang sangat terkenal, kakek itu terkenang
akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal. Dia lalu meraba-raba dengan
tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi itu dan
menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang
jatuh ke atas pipi.
***************
Restoran itu
cukup ramai dan besar, dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu.
Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai
masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an. Ketika Ci Kang memasuki
restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut.
Dia memasuki
restoran, tidak peduli akan pandangan orang kepadanya. Memang pakaian pemuda
ini agak menyolok, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain. Pakaian Ci Kang
yang amat sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya tampak sebagai
seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu.
Ketika dia
melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat
pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung sering dikembang-kempiskan
seperti orang sedang mencium bau busuk, akan tetapi ada pula dua pasang mata
halus yang memandang kepadanya, ke arah wajahnya, dengan pandang mata kagum.
Empat pasang
mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki
berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah,
akan tetapi dengan sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah
orang-orang yang tergolong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik
untuk mencari uang.
Ada pun dua
pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpakaian mewah.
Mereka itu adalah dua orang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun,
cantik manis akan tetapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang
dibuat-buat untuk memikat hati orang, Ci Kang juga mengenal sifat berandalan
pada dua orang wanita itu sehingga bisa menduga bahwa mereka tentu
pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat orang itu yang
agaknya baru saja memperoleh hasil banyak dari pekerjaan kotor mereka.
Akan tetapi
Ci Kang tak peduli, kemudian duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah
menjadi wataknya untuk tidak mencampuri urusan orang dan tidak memperhatikan
orang lain. Dengan sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan. Kalau
tadi dia memandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja,
bukan karena ingin tahu.
Setelah
hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, ketika Ci Kang
mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua
orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil
tersenyum-senyum dan melemparkan kerling. Bahkan keduanya cekikikan sambil
saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang
membicarakan dirinya.
Melihat ini,
Ci Kang segera menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan
mereka. Hatinya sedang murung, ada pun sikap dua orang wanita cantik itu
menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang
terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu.
Dia
benar-benar menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega
hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan nafsu membunuh ayahnya ketika ayahnya
menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menyakitkan hatinya.
Dia merasa
benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah
mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia masih kecil. Akan tetapi dia juga
tahu bahwa ayahnya mengejar ambisi, dan untuk itu ayahnya bisa bersikap dan
berbuat kejam seperti yang telah ditunjukkannya, yaitu dengan cara hendak
membunuhnya, putera kandungnya sendiri.
"Heii,
kalian melihat siapa sih? Kenapa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada
orang itu?" terdengar seorang di antara empat pria itu menegur.
Ci Kang
mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang
pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan ‘orang itu’ tentulah dia sendiri. Akan
tetapi dia terus makan minum dan tidak peduli.
"Percuma
kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur
suara orang ke dua.
"Apakah
pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang
ke tiga berkata.
"Uhhh,
biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak
pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu tak akan dibayarnya!"
ejek orang ke empat dan mereka berempat tertawa-tawa. Dua orang pelacur itu pun
ikut tertawa walau pun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh
kegenitan mereka.
Tentu saja
Ci Kang mendengar semua itu dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada
dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang ke empat
mengatakan bahwa dia kotor dan menjijikkan. Akan tetapi di dalam batin Ci Kang
tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu, mereka
seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka.
Dia tidak
mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum
sedikit arak dan teh. Setelah semuanya selesai, dia pun cepat membayar harga
makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.
Empat orang
itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di kota
Cin-an. Karena itu, biar pun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka
yang menghina orang, tapi tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri
urusan empat orang itu berarti mencari penyakit. Sedangkan empat orang jagoan
itu memang sengaja melontarkan kata-kata tadi untuk menghina dan memancing
kemarahan Ci Kang.
Pemuda itu
makan di restoran ini tanpa mengganggu siapa pun juga, bahkan tidak pernah
menoleh kepada mereka, maka tak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci
Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang
mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lantas melontarkan kata-kata
hinaan untuk memancing supaya pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai
alasan untuk menghajarnya. Siapa sangka pemuda itu sama sekali tidak mau
menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab.
Melihat
betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur
itu mendapat kesempatan untuk menatap wajah pemuda itu dengan pandang kagum,
empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Sesudah
saling pandang dan mengangguk, mereka lantas bangkit dari kursi mereka dan
berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran.
Melihat hal
ini, para tamu yang telah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan
sehingga sebagian di antara mereka cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh
sambil memandang dengan hati khawatir.
Melihat
empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah
bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih
mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini
oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka segera
mengurungnya sambil tersenyum lebar. Ci Kang kehabisan jalan, dan terpaksa dia
mengangkat muka memandang mereka satu demi satu.
Empat orang
itu amat terkejut melihat sinar mata yang mencorong itu, akan tetapi karena
sejak tadi sikap pemuda itu yang tidak pernah memperlihatkan perlawanan,
membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua
orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya sudah
menarik hati dan dikagumi oleh dua orang pelecur yang mereka sewa.
"Ha-ha-ha,
bocah petani busuk, bersihkan dulu sepatu kami baru engkau boleh pergi dari
sini!" kata seorang di antara mereka yang kumisnya lebat. Tiga orang
temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan memandang
rendah.
Ci Kang
tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa mempedulikan mereka,
dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di hadapannya itu
mengangkat tangan ingin memukul, dia tidak mempedulikan dan melangkah terus
hendak menabrak tubuh si kumis tebal.
Tentu saja
si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang
dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang
Ci Kang dari kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang
oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah
apa-apa.
Sejenak
empat orang itu mengira bahwa pemuda itu tak akan melawan dan akan mandah saja
mereka pukuli karena tubuh Ci Kang sama sekali tak nampak bergerak atau bersiap
melawan. Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya,
tiba-tiba saja Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil
memutar tubuh menggeser kaki lantas terdengarlah suara tulang patah
berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke
belakang, jatuh dan memegangi tangan yang tadi dipakai menyerang karena lengan
tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu.
Ci Kang sama
sekali tidak mempedulikan mereka lagi. Seperti tak pernah terjadi sesuatu,
dengan wajah dingin dan langkah tenang pemuda ini lalu meninggalkan restoran
itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan
kekaguman.
Empat orang
itu bagaikan empat orang anak kecil, yang karena tololnya memukul benda keras
sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi mereka langsung maklum bahwa
pemuda berwajah dingin yang tadinya hendak mereka jadikan korban penghinaan
mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka akhirnya mereka pun
hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa
nyeri dan tidak berani mengejar.
Peristiwa di
dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu sesudah mereka
meninggalkan restoran. Akan tetapi, karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan
nama, bahkan di dalam peristiwa itu tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata,
orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah
dingin tetapi amat lihai itu.
Sementara
itu Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya, meninggalkan kota Cin-an pada
malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam
keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa di dalam restoran tadi. Sebagai
putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci
Kang pun mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang
beraksi di restoran tadi tentu memiliki kepala atau pemimpin.
Orang-orang
semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau
sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan semua kawan
mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan. Orang-orang seperti itu
tidak mempunyai kejantanan sedikit pun juga, dan mereka tidak akan malu-malu
untuk mengandalkan pengeroyokan serta kecurangan lain.
Oleh karena
dia tak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik
malam itu juga dia pergi meninggalkan kota Cin-an, bukan karena takut melainkan
karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.
Ci Kang
tidak pernah menyangka bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak
berhenti sampai di situ saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar.
Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di kota Cin-an karena disebar oleh para
tamu restoran yang menyaksikan keributan itu sehingga terdengar pula oleh enam
orang tokoh Cap-sha-kui yang pada keesokan harinya kebetulan tiba di kota itu.
"Heh,
tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci
Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.
"Benar,
dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa?
Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh.
Yang
lain-lain juga segera memandang kepada kakek jubah putih itu. Di samping
tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selalu tampil bersama
dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap
sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.
"Apa
perlunya? Tentu saja untuk menangkapnya lantas menyeretnya kepada Siangkoan
Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.
"Mengapa
kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"
Kembali yang
bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Di antara empat orang rekan suami isteri dari
Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya
dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain
menunggu jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mampu mewakili keraguan hati
mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.
"Begitu
bodohkah engkau maka hal demikian saja engkau tidak mengerti? Apakah kalian
merasa senang kalau selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin? Cap-sha-kui yang
selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada
seorang kakek buta! Lihat, di antara kita tiga belas orang, hanya kita berenam
saja yang tolol sehingga mau diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari
merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya
yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan
kita terima dari Liu-thaikam. Namun sekarang? Liu-thaikam sudah tidak ada,
untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu
lagi?"
"Nah,
jika begitu, kenapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk
menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.
"Kakek
buta itu tentu takkan mengampuni kita jika mendengar bahwa kita menentangnya.
Dan kakek itu sendiri sesungguhnya hanya seorang tua bangka buta, betapa pun
lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya
itu maju bersama, sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling
bentrok, maka kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk
menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah berhasil membunuh
anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu? Dia sudah
menyeret kita semua ke dalam persekutuan, berarti sudah merugikan kita, dan
sudah cukup lama dia meremehkan dan merendahkan kita sebagai
pembantu-pembantunya. Sekarang tibalah saat pembalasan kita!"
Memang
kehidupan para kaum sesat selalu dipengaruhi oleh nafsu angkara murka serta
dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan
persetujuan seluruh rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari
jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.
Tidaklah
mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian di
luar sebuah dusun yang sunyi, di bawah terik matahari, tiba-tiba saja dia
mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia
langsung tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini sudah berdiri di
hadapannya dan setengah mengepungnya.
Ci Kang
memandang heran sambil mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini
membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo
dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek
ini seolah-olah berlomba untuk memikat dirinya. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang
nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh serta wajahnya yang buruk, ditambah
lagi nenek ini suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari
Kui-kok-san itu pun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti
mayat hidup saja. Ada pun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu memang
menjemukan hatinya.
"Ada
keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya
singkat.
Yang menjawab
adalah Kui-kok Lo-mo, dia mewakili rekan-rekannya, "Siangkoan Ci Kang,
kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."
Ci Kang
mengangkat muka dan memandang kakek itu. Dia tahu akan adanya perubahan sebab
kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya mereka semua
menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada yang
amat menghormat.
"Kalau
aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.
"Kami
sudah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati.
Kalau engkau menolak maka kami akan menggunakan kekerasan!"
Tanpa
menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya sudah
menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya. Serangan ini dilakukan oleh
Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya yang mengandung hawa panas
menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang.
Pemuda ini
maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka dia pun cepat mengelak dengan
menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu
luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya. Pada
saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga
menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tak kalah ampuhnya. Ci Kang
cepat menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari
Kui-kok-san itu. Maka terjadilah perkelahian yang amat seru.
Tak dapat
disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda remaja yang
istimewa. Bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia
sudah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan
suami isteri itu, tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, atau ilmu
silatnya kalah matang.
Mengingat
bahwa Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang
tinggi ilmunya, tentu saja Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat ketika
dikeroyok dua. Andai kata suami isteri itu maju satu demi satu, agaknya tidak
akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang.
Akan tetapi
begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat bekerja sama secara
baik sekali di dalam serangan-serangan mereka, maka Ci Kang terdesak hebat dan
lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mampu mengelak ke
sana-sini sambil kadang kala menangkis, tanpa mempunyai kesempatan untuk balas
menyerang. Bahkan tubuhnya telah menerima beberapa hantaman dan tendangan, akan
tetapi berkat kekebalannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan.
Ci Kang yang
keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk
melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari?
Di sana terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga lari pun, dalam keadaan
terluka-luka, akan percuma saja. Dan dia pun tahu bahwa tidak ada harapan
baginya untuk lolos. Baru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apa
lagi kalau empat orang tokoh lain itu ikut maju mengeroyok.
Melihat cara
kedua orang suami isteri itu menyerang dengan pukulan-pukulan maut, maka
tahulah Ci Kang bahwa mereka menghendaki kematiannya. Karena itu dia pun
membela diri sebaik mungkin, segera mengeluarkan seluruh kepandaiannya,
mengerahkan seluruh tenaganya.
Hebat bukan
main sepak terjang pemuda ini. Meski pun terdesak hebat, akan tetapi tidak
mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja maka
pemuda itu akan membalas dengan serangan maut yang berbahaya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment