Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 11
PADA saat
itu pula, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri
seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, tangan kanan
memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nampak sebuah ciu-ouw
(guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun ini
memperhatikan perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel,
"Terlalu,
terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh
terlalu...!"
Kemudian,
tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus berbicara, "Nah, anak
baik, bagus begitu! Lawanlah dan jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu.
Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!"
Seperti
orang gila, kakek jembel ini lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat. Akan
tetapi karena tangannya memegang tongkat, maka tongkatnya bergerak pula dengan
lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang
berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.
Dan terjadilah
hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa
tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa
lengan mereka nyeri kemudian tubuh mereka terpelanting! Ada angin pukulan
dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan
tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan
tenaga sakti yang luar biasa.
Empat orang
tokoh Cap-sha-kui yang lainnya bukan orang-orang tolol. Kemunculan kakek jembel
yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya,
pikir mereka. Karena itu, tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju
menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang
karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.
Hwa-hwa
Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang
menggerakkan senjatanya, yaitu seutas pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe
Coa-li meledakkan cambuk hitam berekor sembilan, menyerang dari arah depan
bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengannya sehingga dua buah gelang
emas yang berat di kedua lengannya itu saling beradu mengeluarkan bunyi
nyaring. Dikepung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu
malah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
bagus, bagus!" Dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah berkelebatan di antara
sinar senjata empat orang pengeroyoknya yang bergulung-gulung itu.
Tentu saja
empat orang pengeroyok itu terkejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa
kakek jembel itu sedemikian lihainya dan seperti pandai menghilang saja saking
cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya.
Ternyata
kakek ini bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata
ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seperti tadi masih dapat pula
membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang
pengeroyoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk
pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi memiliki kekuatan yang besar sekali.
"Ha-ha-ha,
sungguh menggembirakan sekali!" kakek itu menari-nari ketika
senjata-senjata lawan berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan
menyambar-nyambar.
"Tar-tar-tarrr...!"
Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak, diselingi
ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.
"Singg...!
Tring-tringgg...!" Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kui-bo dan sepasang
gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek jembel
yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat
permainan yang menarik.
"Tar-tarr-tarrrr...!"
Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak di atas kepala
kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular
yang menyambar-nyambar turun.
Akan tetapi
kakek itu mempergunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk
menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya menyentil maka ekor
cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke arah tiga orang pengeroyok
lain.
Hal ini sama
sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kui-bo, Koai-pian Hek-mo, dan
Tho-tee-kwi berteriak kaget kemudian tubuh mereka terpelanting berturut-turut
karena tahu-tahu tubuh mereka telah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coa-li
yang tadi disentil sehingga menyeleweng. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek
jembel tertawa kemudian mengangkat kedua tangan di depan dada, menjura ke arah
Kiu-bwe Coa-li.
"Terima
kasih, engkau baik sekali telah menolongku dengan cambukmu!"
Saking
kagetnya, Kiu-bwe Coa-li terbelalak ketika melihat betapa ujung cambuknya malah
menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri. Dan pada saat kakek itu
menjura, tiba-tiba saja dia merasa ada sambaran angin dari arah depan. Dengan
cepat dia hendak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika dia mengerahkan
tenaga untuk melawan, segera tubuhnya terjengkang dan dadanya terasa sesak,
seperti baru saja dipukul orang dengan keras!
Empat orang
itu merangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh
Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan semudah itu oleh kakek jembel
ini? Si kakek jembel tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha-ha,
kalian memang sangat baik hati, pantas kalau kusuguhi arak!" Dan dia pun
menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir guci itu ke mulutnya dan minum
beberapa teguk, lalu dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang
bekas lawan.
Empat orang
datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh
mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan arak yang disemburkan
terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus
baju mereka dan mengenai kulit.
Sementara
itu, sesudah memperoleh bantuan rahasia dari kakek aneh, sekarang Ci Kang mulai
mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang.
Tiba-tiba terdengar suara kakek itu,
"Tendang
pantat mereka! Tendang pantat mereka!"
Aneh sekali,
dalam suara itu seperti terkandung tenaga mukjijat yang membuat Ci Kang tak
dapat menahan diri lagi lalu kakinya pun menyambar dan menendang berturut-turut
ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak
kuasa untuk mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.
"Bukk!
Bukk!"
Dua kali
kaki Ci Kang menendang lantas dua orang suami isteri itu pun terbanting ke atas
tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan sesudah saling pandang
dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan
kata-kata lagi.
Peristiwa
tadi terlalu hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan
orang secara ini. Akan tetapi, ketika kakek tadi menyembur dengan arak, wajah
mereka pucat karena mereka teringat akan nama seorang yang selama ini
dikabarkan sudah mati atau telah menjadi dewa, yaitu Ciu-sian Lo-kai (Jembel Tua
Dewa Arak).
Memang orang
sakti ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, akan tetapi ada beberapa orang
tokoh kang-ouw pernah melihat kesaktiannya sehingga namanya dikenal sebagai
seorang di antara tokoh-tokoh rahasia yang amat sakti. Maka, enam orang datuk
sesat itu segera mengambil langkah seribu. Biar pun mereka itu telah menjadi
datuk yang memiliki kedudukan tinggi, akan tetapi karena mereka adalah golongan
sesat, maka melarikan diri bukanlah hal yang dipantang oleh mereka.
Ci Kang
berdiri memandang sambil bertolak pinggang, sama sekali tidak bergerak untuk
melakukan pengejaran.
"Orang
muda, kenapa engkau tidak mengejar mereka?"
Ci Kang
menoleh kepada kakek jembel itu. "Mengapa aku harus mengejar mereka?"
dia balas bertanya sambil memandang tajam kepada kakek jembel yang sakti itu,
yang entah mengapa telah mencampuri urusannya dan membantunya. Namun harus
diakuinya dalam hati bahwa kakek ini telah menyelamatkan jiwanya dari ancaman
maut akibat dikeroyok orang-orang Cap-sha-kui tadi.
"Loh!
Bukankah mereka tadi mati-matian hendak membunuhmu?"
"Benar,
akan tetapi aku tidak ingin membunuh mereka."
Kakek jembel
itu bertindak mendekat dan memandang sambil tersenyum lebar, wajahnya berseri
dan matanya bersinar-sinar. "Orang muda, apakah engkau tidak menaruh
dendam kepada mereka yang hendak membunuhmu?"
"Tidak,
mereka suka kekerasan dan suka membunuh, tetapi aku tidak."
"Bagus!
Andai kata mereka itu membunuh ayahmu, apakah engkau juga tidak sakit hati dan
mendendam?"
Ci Kang
teringat akan ayahnya yang hidup sebagai datuk sesat. Kalau ayahnya terbunuh
orang, hal itu hanya terjadi karena kesalahan ayahnya sendiri. Orang yang suka
bermain dengan api seperti ayahnya, kalau sekali waktu terbakar, tidak perlu
penasaran lagi. Maka dia pun menggelengkan kepalanya.
Kakek jembel
itu kelihatan semakin girang. "Wah, inilah orangnya yang kucari selama
ini. Orang muda, engkau bernama Siangkoan Ci Kang, bukan? Engkau adalah putera
tunggal Siangkoan Lo-jin?"
Pemuda itu
menjadi semakin heran, akan tetapi dia mengangguk.
"He-he-heh,
bagus! Ayahnya menjadi pimpinan kaum sesat mengumbar nafsu, puteranya malah
bebas dari nafau dendam. Siangkoan Ci Kang, kalau tadi tidak ada aku, engkau
tentu sudah mati di tangan badut-badut itu. Nah, untuk membalas budi itu, apa
yang ingin kau lakukan untukku?"
Ci Kang
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Locianpwe, walau pun locianpwe
sudah mengusir orang-orang yang mengeroyokku dan menyelamatkan diriku,
hendaknya locianpwe ingat bahwa aku tidak pernah minta tolong kepadamu. Jadi
aku tidak berhutang budi atau apa pun kepada locianpwe."
Orang lain
tentu akan merasa penasaran serta marah sekali mendengar jawaban orang yang
pernah diselamatkan nyawanya seperti itu, akan tetapi sungguh kakek itu berwatak
aneh. Dia malah tertawa senang!
"Ha-ha-ha-ha,
cocok! Bagus! Tidak pernah hutang budi dan tidak pernah menghutangkan budi,
berarti tidak pernah mendendam pula. Ha-ha-ha, orang muda, engkaulah orang yang
kucari-cari!"
Ci Kang
merasa semakin heran. Kakek ini benar-benar luar biasa, tidak saja mengetahui
keadaannya, akan tetapi juga omongannya aneh dan sikapnya luar biasa.
"Mengapa
locianpwe berkata demikian? Mengapa locianpwe mencari-cari aku?"
"Aku
sedang mencari murid dan engkaulah orangnya yang paling cocok. Orang muda, tak
kusangkal bahwa engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan jarang ada
orang dapat menandingimu. Akan tetapi sayang, ilmu-ilmumu masih amat mentah.
Tadi pun andai kata ilmumu sudah matang, tanpa kubantu sekali pun tentu engkau
akan menang menghadapi para pengeroyokmu."
Ci Kang
menggeleng kepala. "Tidak mungkin, locianpwe. Mereka itu adalah
tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang berilmu tinggi. Bahkan ayah sendiri pun agaknya
tidak akan kuat kalau harus menghadapi pengeroyokan mereka."
"Ha-ha-ha,
engkau tadi sudah melihat betapa dengan mudahnya aku menghadapi mereka.
Siangkoan Ci Kang, mari kau ikut bersamaku setahun saja dan aku akan
mamatangkan ilmumu."
Ci Kang
mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. Dia yang sejak kecil belajar silat,
tentu saja merasa gembira kalau sampai dapat menjadi murid kakek yang dia tahu
mempunyai kepandaian hebat ini. Akan tetapi dia pun memiliki watak yang bebas,
tidak mau terikat.
"Apakah
locianpwe hendak mengambil murid kepadaku sebagai balas budi?"
"Ha-ha-ha,
seperti engkau, aku pun seorang yang suka bebas dari pada segala macam hutang
budi. Aku ingin mengambil engkau sebagai murid karena kulihat engkau berbakat
sekali, dan karena aku merasa cocok dengan watakmu."
Giranglah
rasa hati Ci Kang mendengar ucapan ini. Tanpa ragu-ragu lagi dia pun segera
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. "Baiklah, suhu, teecu
terima dengan gembira sekali."
Kakek itu
juga merasa gembira bukan main. Sambil tertawa-tawa dia lalu menarik tangan Ci
Kang dan diajaklah pemuda itu pergi dari situ untuk mulai menggemblengnya
sebagai murid. Kakek itu adalah Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti aneh yang tak
pernah muncul di dunia kang-ouw dan yang pernah mengunjungi Lembah Naga tempo
hari.
Seperti kita
ketahui, Ciu-sian Lo-kai berbeda pendapat hingga berbantahan dengan Go-bi
San-jin tentang sikap Pendekar Cia Han Tiong mengenai dendam dan ikatan. Dan
karena mereka merasa sudah terlalu tua untuk saling gempur, keduanya kemudian
berjanji untuk mencari murid dan mendidik murid itu menurut pandangan hidup
mereka masing-masing, tentu saja dengan maksud untuk kemudian diuji siapa yang
lebih berhasil. Go-bi San-jin lalu berhasil membujuk Cia Sun yang sedang
dicekam dendam karena kematian ibu dan para suheng-nya, sedangkan Ci Kang yang
jemu dengan dunia hitam dan kejahatan, kini menjadi murid kakek jembel itu.
***************
Pulau
Teratai Merah adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil yang terdapat di Lautan
Tiongkok Timur, beberapa li jauhnya dari pantai. Kalau dilihat dari pantai,
hanya nampak beberapa bintik kecil di sebelah timur yang tidak menarik
perhatian. Bahkan para nelayan hanya mengenal pulau-pulau kecil itu sebagai
pulau-pulau kosong yang sebagian besar hanya berupa pulau-pulau batu karang
yang tak ada gunanya karena tidak memiliki tanah subur dan tidak memiliki air
tawar. Akan tetapi ada beberapa buah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan
di antara pulau-pulau inilah yang dinamakan Pulau Teratai Merah.
Pulau ini
mempunyai tanah yang cukup subur, bahkan ada sumber airnya, dan ada bukit
kecilnya. Dulu, puluhan tahun yang lalu, pulau ini pun selalu hanya dilewati
saja oleh para nelayan karena hanya berisikan pohon-pohon liar dan
binatang-binatang berbahaya.
Akan tetapi
pulau ini sudah dipilih oleh Pangeran Toan Su Ong, pangeran pelarian yang
meninggalkan kota raja, seorang bangsawan yang menentang keluarga kaisar
sendiri, dan seorang ahli silat yang amat pandai. Di pulau inilah Pangeran Toan
Su Ong bersembunyi, hidup bersama isterinya yang tercinta, yang bernama Ouwyang
Ci.
Isterinya
itu memiliki kitab pusaka peninggalan Panglima The Hoo yang terkenal dan di
tempat sunyi ini, Pangeran Toan Su Ong dan Ouwyang Ci yang menjadi isterinya,
tekun memperdalam ilmu silat, bahkan berhasil menciptakan Ilmu Hok-mo Sin-kun
yang hebat. Di tempat itu pula mereka mempunyai seorang anak perempuan yang
diberi nama Toan Kim Hong yang kemudian menjadi datuk selatan Lam-sin dan
akhirnya kini menjadi isteri Pendekar Sadis.
Pangeran
bersama isterinya itu membabat hutan di pulau itu, menanami tanah pulau itu
dengan pohon-pohon yang ada gunanya, sayur-sayuran, bahkan akhirnya mereka
berdua juga menanam bunga-bunga, membuat telaga kecil dari air sumber yang
dialirkan ke situ dan sebentar saja mereka dapat memperkembang biakkan bunga
teratai merah. Pulau itu berubah menjadi tempat yang indah dan subur dan mereka
memberi nama Pulau Teratai Merah. Demikianlah riwayat singkat Ang-lian-to
(Pulau Teratai Merah) itu yang sekarang menjadi tempat tinggal Pendekar Sadis
Ceng Thian Sin dan isterinya, Lam-sin Toan Kim Hong.
Sesudah
Pendekar Sadis bersama isterinya yang memang ahli waris pulau itu tinggal di
situ, pulau itu menjadi makin indah dan terawat baik. Apa lagi karena pendekar
ini sudah mempergunakan belasan orang pelayan untuk merawat pulau, tempat itu
menjadi sebuah pulau yang mewah.
Ceng Thian
Sin telah menjadi seorang yang kaya raya, memiliki sebuah bangunan gedung
laksana istana di atas pulau. Para pembaca cerita serial Pendekar Sadis tentu
maklum, betapa suami isteri pendekar ini sudah memperoleh harta karun Jenghis
Khan yang amat besar nilainya dan yang membuat suami isteri itu menjadi kaya
raya.
Biar pun
sudah lama suami isteri pendekar ini tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw,
melainkan hidup makmur dan tenteram di Pulau Teratai Merah, akan tetapi hal ini
bukan berarti mereka mengasingkan diri dari pergaulan. Sama sekali tidak!
Keluarga
Ceng ini mengadakan hubungan dengan kota Ning-po, kota pelabuhan terbesar di
daratan yang terdekat dengan Pulau Teratai Merah. Para penghuni kota Ning-po,
mulai dari pembesar sampai kepada para pelayannya, tahu belaka di mana letaknya
pulau itu dan siapa keluarga yang tinggal di sana. Bahkan Pangeran Can Seng Ong
yang menjadi gubernur di Propinsi Ce-kiang dan daerah selatan, berkenan datang
berkunjung beberapa hari ke pulau indah itu dan menjadi tamu kehormatan
keluarga Ceng.
Terjalin
persahabatan antara keluarga Ceng dan keluarga Can, apa lagi setelah pangeran
yang masih berdarah keluarga kaisar di kota raja itu mengetahui bahwa isteri
Pendekar Sadis adalah keturunan Pangeran Toan Su Ong yang sangat terkenal itu.
Bagaimana pun juga, biar pun jauh, antara keluarga Can Seng Ong dan isteri
Pendekar Sadis masih ada hubungan keluarga. Di samping itu, telah beberapa kali
suami isteri majikan Pulau Teratai Merah itu berjasa dengan beberapa kali
mengusir dan membasmi penjahat-penjahat yang berani merajalela di kota Ning-po
dan sekitarnya, yang tak dapat ditanggulangi oleh para petugas keamanan.
Pada suatu
siang yang panas, sebuah perahu kecil meluncur meninggalkan Pantai kota Ning-po
menuju ke timur, ke arah pulau-pulau kecil yang terlihat seperti titik-titik
hitam itu. Perahu itu didayung oleh gadis berpakaian sederhana dan setelah agak
ke tengah, gadis itu lalu mengembangkan layar yang segera menangkap angin dan
meluncurlah perahu itu dengan lajunya, dikemudikan tangan-tangan kecil halus
dengan sikap cekatan.
Jelaslah
bahwa gadis ini tidak asing dengan lautan dan perahu. Hal ini tidaklah aneh
bila diketahui bahwa gadis itu lahir dan dibesarkan di Pulau Teratai Merah.
Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
Setelah
selesai membongkar rahasia Liu-thaikam di istana kemudian pembesar korup itu
ditangkap dan dihukum mati, Sui Cin bersama Cia Hui Song pergi meninggalkan
kota raja. Tadinya Hui Song hendak mengantarkan Sui Cin sampai ke Pulau Teratai
Merah karena pemuda yang sudah jatuh cinta ini selain ingin memperpanjang
perjalanannya bersama dara itu, juga ingin berkunjung ke pulau itu bertemu
dengan Pendekar Sadis dan isterinya yang sudah lama dia kagumi namanya itu.
Akan tetapi Sui Cin mencegahnya.
"Twako,
harap kau jangan dulu berkunjung ke rumah kami. Ayah ibuku tentu akan marah
kepadaku kalau membawa teman tanpa memberi tahu lebih dahulu. Tidak begitu
mudah untuk mendatangi Pulau Teratai Merah tanpa mendapat perkenan dari ayah
ibu. Aku telah lama pergi merantau meninggalkan mereka. Bila aku pulang membawa
teman tanpa lebih dahulu mendapat ijin, aku tentu akan kena marah. Lain kali
saja engkau datang kalau aku sudah menceritakan tentang dirimu kepada
mereka."
Hui Song
merasa kecewa akan tetapi tidak berani memaksa. "Cin-moi, aku pun tidak
akan berani lancang mengunjungi Pulau Teratai Merah tanpa ijin kedua orang
tuamu. Biarlah aku mengantarmu sampai ke pantai dan engkau lebih dahulu
menyeberang ke pulau dan melaporkan kepada orang tuamu. Kalau mereka sudah
setuju, baru aku akan ke sana. Bagaimana?"
Tentu saja
tidak ada alasan bagi Sui Cin untuk menolak. Apa lagi dara ini memang suka
kepada pemuda yang jenaka dan lincah akan tetapi gagah perkasa dan berbudi ini.
Dia tahu benar bahwa Hui Song mencintanya dan hal ini mendatangkan rasa senang
di dalam hatinya, walau pun dia sendiri tidak tahu pasti apakah dia pun
mencinta pemuda ini.
Dia suka
kepada Hui Song, sebagai seorang sahabat, hal ini sudah jelas. Senang bekerja
sama dengan pemuda yang gagah perkasa itu, melakukan perjalanan bersama,
bersenda gurau dan bicara tentang ilmu silat. Dan bagaimana pun juga harus
diakuinya bahwa cinta pemuda itu kepadanya mendatangkan semacam rasa bangga
dalam hatinya.
Mereka lalu
melakukan perjalanan ke selatan dan setelah mereka sampai di kota Ning-po, Sui
Cin berkata, "Song-twako, harap engkau suka menanti di kota ini lebih
dahulu. Paling lambat tiga hari aku pasti akan memberi kabar kepadamu, entah
aku datang sendiri atau menyuruh pelayan, mengabarkan kepadamu apakah engkau
sudah boleh menyeberang ke pulau ataukah tidak."
"Baik,
Cin-moi. Aku menanti di penginapan ini, mudah-mudahan orang tuamu berkenan
menerima kunjunganku. Selamat jalan, Cin-moi."
Selamat tinggal, sampai jumpa
kembali."
Sui Cin lalu
meninggalkan pemuda itu dan berlayar seorang diri menuju ke Pulau Teratai
Merah. Wajahnya gembira sekali, berseri-seri dengan senyum menghias bibirnya.
Hatinya terasa nyaman dan gembira sebab begitu dia berlayar menuju ke pulaunya,
barulah terasa betapa sesungguhnya dia merasa sangat rindu kepada ayah
bundanya, kepada pulaunya, bahkan rindu kepada air laut di mana semenjak kecil
dia biasa bermain-main.
Sekarang,
sesudah dia mengemudikan perahunya yang melaju kencang menuju ke timur, hatinya
riang sekali. Dalam keriangannya itu teringatlah dia akan sajak yang dibuat
ibunya dan yang dihafalnya ketika dia masih kecil. Kini, tanpa terasa lagi
bibirnya bergerak lantas terdengar alunan suaranya yang nyaring merdu di antara
suara percikan air pecah karena dibelah ujung perahunya.
Laut!
Hidupmu penuh rahasia airmu luas tak terjangkau mata bergerak berubah tiada
hentinya tak berdaya namun penuh kuasa! Kadang marah liar mengganas kadang
lembut halus dan lemas kadang riang gembira penuh tawa kadang meraung menangis
penuh duka! Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia cermin batin setiap manusia!
Dahulu, di
waktu dia masih kecil, meski pun dia hafal akan kata-kata nyanyian itu, namun
dia tidak mengerti apa yang termaksud dalam sajak itu. Memang penggambaran
lautan itu dapat dimengerti. Lautan selalu berubah. Kalau sedang tenang halus,
amat mentakjubkan karena indahnya, bagaikan sutera biru terhampar, atau bagai
padang rumput segar tertiup angin, seolah-olah melambai mengajak orang
menikmati keindahannya.
Akan tetapi
ada kalanya laut membuat dia berlari menjauh, bersembunyi aman di dalam rumah
karena laut mengamuk, mengganas, mengeluarkan suara yang mengerikan sekali,
gelombang menderu meraung-raung dan kadang menangis mendesis-desis, menggelegar
menghantam batu karang di pantai, demikian perkasa dan menyeramkan.
Akan tetapi
hanya sampai di situ saja batas kemampuannya untuk menyelami arti sajak buatan
ibunya itu. Malah setahun yang lalu ketika dia meninggalkan pulau, dia masih
tak peduli dengan isi sajak itu, tidak berminat untuk menyelami artinya lebih
mendalam. Akan tetapi sekarang, pada waktu dia bernyanyi, artinya meresap ke
dalam kalbu sehingga dia pun mengerti sepenuhnya akan isi kalimat terakhir dari
sajak itu.
'Laut! Penuh
segala kemungkinan rahasia, cermin batin setiap manusia!'
Memang ada
gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan. Kadang-kadang
manusia dapat bersikap lembut, kadang kala ganas dan kejam, dan selama ini dia
sudah melihat alangkah banyaknya manusia melakukan kekejaman-kekejaman serta
kebuasan yang lebih mengerikan dari pada kebuasan lautan!
Baru saja
Sui Cin menghentikan nyanyiannya, perhatiannya tertarik oleh beberapa buah
perahu yang agaknya baru saja pergi meninggalkan Pulau Teratai Merah. Sebuah
perahu besar mewah dikawal oleh empat buah perahu kecil.
Begitu
melihat perahu besar itu, Sui Cin pun tersenyum. Tentu saja dia mengenal perahu
mewah yang berbendera besar itu. Perahu siapa lagi kalau bukan perahu Pangeran
Can Seng Ong yang menjadi gubernur atau Raja Muda dan mempunyai rumah di
Ning-po itu!
Dia mengenal
keluarga itu, juga mengenal putera tunggal raja muda itu, seorang pemuda yang
usianya lima enam tahun lebih tua dari pada usianya dan yang tak disukainya
sebab pemuda bangsawan yang bernama Can Koan Ti itu wataknya ceriwis, suka
menggodanya dengan sikap yang kurang ajar! Akan tetapi di dalam pergaulan
biasa, tentu saja dia tidak menyatakan sikap tidak senang itu, karena dia pun
maklum bahwa orang tuanya adalah sahabat baik keluarga Can.
Agaknya yang
membuat dia tidak suka adalah kemewahan yang terlampau berlebihan itu. Ibunya
sendiri seorang wanita cantik jelita yang pesolek dan suka mengenakan
pakaian-pakaian indah, demikian pula ayahnya. Dan keluarga Can itu seolah-olah
berlomba dalam menonjolkan kekayaan mereka. Hal-hal inilah yang tidak disukai
Sui Cin.
Entah
bagaimana dia tidak suka bersolek, tidak suka menonjolkan kekayaan, dan ketika
dia kecil, kadang-kadang dia ngambek kalau oleh ibunya dipaksa mengenakan
pakaian-pakaian indah. Dia lebih mengutamakan keenakan pakaian yang menempel di
tubuh dari pada keindahannya. Karena inilah maka Sui Cin sering memakai pakaian
yang aneh-aneh dan nyentrik, semata-mata dilakukan bukan untuk menarik
perhatian, melainkan karena dia mengutamakan keenakan pada pakaian yang
dipakainya itu.
"Haiii...
Ceng Siocia...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari perahu besar dan seorang
laki-laki menjenguk dari atas pagar besi di tepi geladak perahu.
Orang itu
berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Wajahnya tidak berapa tampan akan
tetapi karena dia seorang pesolek, dengan kulit muka biasa dibedaki, rambut
tersisir rapi dan mengkilat karena minyak, juga pakaiannya mewah sekali, maka
dia nampak sebagai seorang pria yang ganteng.
Sui Cin
langsung mengenalnya karena pemuda itu bukan lain adalah Can Koan Ti, putera
tunggal Raja Muda Can Seng Ong atau gubernur Ce-kiang itu. Berjumpa dengan
orang yang sudah dikenalnya setelah lebih dari setahun berpisah mendatangkan
kegembiraan. Sui Cin segera melupakan sifat-sifat yang tidak disukanya pada
diri putera pembesar itu dan dia pun melambaikan tangan.
"Heiii,
Cong-kongcu... selamat berjumpa!" teriaknya riang.
Pemuda itu
melambaikan tangan dengan gembira, lantas terdengar suaranya nyaring dan
sengaja dinyaringkan karena perahu mereka sudah meluncur berpapasan,
"Haiii... engkau semakin cantik saja..."
Sui Cin
cemberut. Kiranya penyakit laki-laki itu belum sembuh juga, pikirnya. Dia
hendak memaki dan telah mengerahkan khikang untuk berteriak agar terdengar
sampai ke perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak
kepala nongol di tepi perahu itu sehingga dia melirihkan suaranya supaya tidak
terdengar oleh banyak orang, "Engkau... ceriwis dan brengsek...!"
Karena gadis
itu tidak mempergunakan khikang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak
dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa
sangat penasaran tidak mendengar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka dia
pun berteriak,
"Apaaaa...?!
Kau bicara apa, nona...?!"
Akan tetapi
Sui Cin hanya memoncongkan mulut dan mencibirkan bibir saja. Melihat ini,
pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi
milikku, akan kugigit bibirmu itu!
Sui Cin
tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu.
Aneh, mengapa aku menjadi marah karena dipuji cantik? Ahh, bukan pujiannya yang
membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari
siapa yang memujinya.
Kalau hati
memang sudah tidak suka, biar dipuji pun mungkin saja dianggap melakukan
kekurang ajaran. Sebaliknya jika hati suka, biar dikurang ajari sekali pun
mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!
Sui Cin
sengaja memutar perahunya, lantas menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah
selatan karena pada bagian selatan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut
yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak
ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak terlampau dalam dan dasar laut itu
pun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna.
Ketika tiba
di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati
tempat itu. Dia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani
mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan ayah bundanya telah
melarang para nelayan mendatangi taman laut itu.
Setelah
merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar,
menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya dan kemudian juga pakaian
dalamnya. Dengan bertelanjang bulat dia mengikat rambutnya di atas kepala
lantas terjunlah dia ke dalam air.
Dia menyelam
dan segera dia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam impian.
Sebuah alam yang sangat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna,
ada bunga-bunga raksasa dengan warna-warni menyolok, ada ikan-ikan yang
warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan
menyeramkan.
Sui Cin
menyelam, hanya sesekali timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni
sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan sudah satu jam lebih dia
bermain-main di tempat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya
sebelum dia merantau.
Setelah dia
merasa lelah dan puas, baru dia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan
rambut, lantas mengenakan pakaiannya kembali. Dan hatinya kini menjadi semakin
riang, wajahnya semakin cerah ketika dia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau
Teratai Merah.
Biar pun
Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut
akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata memiliki
kepandaian silat lumayan itu selalu bersikap waspada. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apa bila mereka sudah tahu akan kedatangan nona mereka dan hal ini
segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin
muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri
menyambut dengan senyum gembira.
"Ayah...!"
Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang
bidang itu.
Jari-jari
tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di
hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng
itu sambil tersenyum.
"Engkau
baik saja, bukan?" Ayahnya bertanya halus.
Sui Cin
mengangguk, lalu melepaskan diri dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya,
"Ibu...!"
Toan Kim
Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya. "Anak bengal, terlalu lama kau
pergi, membuat kami merasa rindu sekali."
Sui Cin juga
menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.
"Ihh,
rembutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu ini... hemm, mengapa engkau
memakai pakaian seperti... seperti jembel...!" Wanita itu menegur dan
alisnya berkerut.
Sebagai
seorang ibu yang senang akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa
kecewa saat melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan
terlampau sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin.
Sui Cin
melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah
ibunya. Baru sekarang dia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih
indah dari pada biasanya dan teringatlah dia bahwa tentu ayah ibunya belum
berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can
itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan dia berkata
dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.
"Wah,
pakaian ibu dan ayah indah bukan main, baru dan mewah seperti pakaian kaum
bangsawan saja!"
Memang
pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang
telah berusia empat puluh enam tahun itu masih terlihat muda dan gagah,
tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi
yang indah, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan
mewah bagaikan pakaian seorang hartawan asli, sepatunya mengkilap dan baru.
Toan Kim
Hong lebih mewah lagi. Rambutnya disanggul di atas, dihias emas dan permata
berbentuk sebuah mainan naga kecil, kedua telinganya dihias anting-anting
mutiara besar, juga kalung batu-batu permata bergantungan di luar bajunya yang
sangat indah. Gaun itu disulam dengan gambar seekor burung hong dari benang
emas, sesuai dengan namanya 'Kim Hong' yang berarti burung hong emas!
Wajah wanita
yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari pada suaminya ini masih nampak
bagaikan wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus.
Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang demikian cantik jelita pernah menjadi
Lam-sin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam.
Toan Kim
Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya yang indah
berkerut ketika dia berkata, "Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang
tuamu! Tidak pantas pula jika engkau mengenakan pakaian macam ini! Engkau tentu
tahu siapa ayahmu, dan dari mana asalnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih
berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka
memang sudah pantas jika keluarga kita termasuk keluarga bangsawan. Apa lagi
ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga
Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."
Thian Sin
memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya. "Sudahlah, masa
anak baru datang sudah dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap seperti
itu kepada ibumu. Mari kita berbicara di dalam. Kami ingin menyampaikan berita
yang penting sekali mengenai dirimu."
Mereka
bertiga lalu berjalan masuk, ada pun suasana antara ibu dan anak itu sudah
pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang
berani masuk tanpa dipanggil kemudian duduklah keluarga yang terdiri dari tiga
orang itu.
"Dalam
perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengan perahu Raja Muda
Can. Agaknya dia berkunjung ke sini, benarkah, ayah?" Sui Cin bertanya,
teringat akan perjalanannya tadi.
"Benar,"
jawab ayahnya. "Memang keluarga Can tadi berkunjung ke sini dan justru
urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritakan kepadamu!"
Sui Cin
mengerutkan alis. "Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting
mengenai diriku...?"
"Ada
hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can...," kata ibunya.
Sui Cin
memandang kepada ayah ibunya, akan tetapi mereka kelihatan ragu-ragu untuk
bicara. "Apakah yang terjadi? Apa hubunganku dengan keluarga Can? Ayah,
katakanlah!"
Suami isteri
itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis
bahwa isterinya sedang dalam keadaan terharu dan menghendaki supaya dia yang
menyampaikan berita itu kepada anak mereka.
"Anakku,
tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?" tanyanya, ingin menyampaikan
berita itu secara halus dan memutar.
"Usiaku?"
Sui Cin memandang heran. "Ayah tentu tahu, kini usiaku hampir enam belas
tahun..."
"Hemm,
sekarang anakku sudah dewasa," Toan Kim Hong berkata.
"Apa
hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can? Ahhh... aku tahu...
ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitukah ayah dan
ibu?"
"Sui
Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!" Ibunya segera menghardik.
"Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat, maka
merupakan suatu kehormatan yang sangat besar bagi kita jika mereka datang
meminangmu. Bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"
"Sui
Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan
terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata
kami," suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.
"Maafkan,
ayah." Dia pun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Kini dia
telah dewasa, bukan anak kecil lagi maka dia harus dapat menghadapi segala
sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.
"Sui
Cin, keluarga Can memang tadi datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas
dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang
wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda,
selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya raya dan kedudukannya tinggi
terhormat. Dan puteranya itu, Can-kongcu, adalah seorang pemuda yang terpelajar
dan halus budi. Tentu aku tak perlu bercerita banyak karena engkau pun sudah
mengenalnya."
"Dan
ayah ibu sudah menerimanya?" tanya Sui Cin, jantungnya berdebar tegang.
"Kami
menyambutnya dengan baik dan biar pun di dalam hati kami merasa setuju sekali,
namun kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil
keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti akan keadaan kami
karena engkau tidak berada di rumah dan mereka bersedia menanti sampai engkau
pulang."
"Terima
kasih, ayah dan ibu, dan memang pinangan itu tidak perlu diterima karena aku
tidak mau."
"Apa?"
Ceng Thian Sin bangkit berdiri. "Engkau tidak mau? Mengapa?"
Sui Cin
menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang. "Tidak
apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak disuka menjadi isteri Can Koan Ti yang
ceriwis itu!"
"Sui
Cin, engkau jangan sesombong itu!" Kini ibunya bangkit berdiri dengan
sikap marah. "Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau malah
memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan
mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi
perawan tua? Apakah engkau hendak membikin malu orang tuamu dengan penolakan
ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"
Melihat ayah
ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri dan
menghadapi mereka. Hatinya terasa panas karena dia merasa dipojokkan. "Ibu
sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun,
berarti bahwa ibu pun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah.
Mengapa hendak memaksa aku menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku
menjadi perawan tua?"
"Jangan
bawa-bawa masa muda ibumu!" Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya
dengan sikap marah. "Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun pada
saat menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justru kami tidak ingin melihat engkau
seperti kami pada masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan
yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi
orang yang terhormat dan mulia. Dan menjadi menantu Raja Muda Can merupakan
kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kau miliki, kecuali jika
engkau dapat menjadi menantu kaisar yang tak akan mungkin terjadi!"
Sui Cin
menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas hingga darahnya
bergolak. Dia pun bertolak pinggang sambil kedua alisnya berkerut ketika dia
memandang ayah ibunya. "Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"
Melihat
ketegangan makin memuncak, Thian Sin cepat melerai. "Bukan sekali-kali
kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan
secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Tentunya engkau tahu
betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk
membuatmu berbahagia," kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin
rasanya ingin menangis.
"Kalau
ayah dan ibu ingin melihat aku berbahagia, janganlah memaksaku kawin dengan
siapa pun juga. Tunggu sampai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu
dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu.
Pendeknya, aku tak suka menikah dengan orang bangsawan."
"Ehhh...?!"
Toan Kim Hong berseru marah.
Dia sendiri
adalah puteri dari seorang pangeran, walau pun pangeran pengasingan atau
buangan, dan sejak kecil dia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir
tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Tapi kini puterinya itu
malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan!
"Mengapa
engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan? Mengapa? Hayo jawab, tentu
ada alasannya."
"Karena
aku benci! Aku benci pada orang-orang bangsawan. Mereka itu sombong, tinggi
hati dan korup! Aku benci kepada pembesar-pembesar yang korup semacam
Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia
jatuh."
"Hemmm,
jadi engkaukah satu di antara mereka yang berhasil menjatuhkan orang she Liu
itu?" Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena
hatinya merasa girang dan bangga sekali.
Berita
mengenai kejatuhan Liu-thai-kam ini sudah mereka dengar dari keluarga Can yang
memuji-muji para pendekar yang membantu pemerintah membongkar persekutuan jahat
yang dipimpin oleh Liu-thaikam dan kini ternyata bahwa satu di antara
orang-orang gagah itu adalah Sui Cin.
"Sui
Cin, tidak semua bangsawan berwatak tinggi hati dan sombong. Engkau tidak boleh
menilai orang dari keadaan atau kedudukannya, karena keadaan apa pun juga tentu
ada kecualinya. Banyak pula bangsawan tinggi yang rendah hati dan orang-orang
biasa yang tinggi hati. Juga banyak orang-orang hartawan yang berwatak pendekar
tetapi sebaliknya orang-orang miskin yang berwatak penjahat. Sudahlah, nanti
kita bicarakan lagi. Engkau baru saja pulang dari kepergianmu yang setahun
lebih itu."
"Ayahmu
benar, Cin. Mari kita beristirahat dahulu dan berganti pakaian, lalu engkau
harus ceritakan semua pengalamanmu, terutama perjuanganmu meruntuhkan
Liu-thaikam yang sangat menggemparkan itu," kata Toan Kim Hong yang kini
sudah memperoleh kembali kesabarannya, merangkul puterinya dan mengajaknya
masuk ke dalam kamar.
Sui Cin lalu
menuturkan semua pengalamannya kepada ayah ibunya, juga pertemuannya dengan
tokoh-tokoh sesat Cap-sha-kui, dengan Cia Sun dan Cia Hui Song. Semuanya itu
diceritakan dengan jelas kecuali bahwa saat ini Hui Song sedang menanti di kota
Ning-po, menanti 'lampu hijau' darinya agar pemuda itu diperbolehkan
mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk berkenalan dengan orang tuanya.
Pada saat
Sui Cin bercerita tentang murid Cin-ling-pai yang bernama Tan Siang Wi yang
tinggi hati, angkuh dan galak, ibunya segera mengerutkan alis. "Ahh, ketua
Cin-ling-pai itu bernama Cia Kong Liang dan memang wataknya angkuh dan
memandang rendah semua orang. Pantas jika dia mempunyai seorang murid seperti
itu. Terus terang saja, aku tidak suka kepada Cin-ling-pai!"
"Memang
wataknya agak tinggi hati, akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Cin-ling-pai
adalah keluarga gagah perkasa yang selalu menjunjung tinggi kebenaran.
Bagaimana pun juga, aku sendiri pun terhitung murid Cin-ling-pai."
"Memang
benar ayah," kata Sui Cin. "Meski pun Tan Siang Wi itu berwatak
angkuh, akan tetapi Cia Hui Song, putera ketua Cin-ling-pai itu sama sekali
tidak sombong, bahkan dia ramah dan baik sekali di samping ilmu silatnya yang
tinggi. Dialah yang berkeras untuk menentang kelaliman Liu-thaikam dan aku
membantunya."
Sui Cin lalu
menceritakan semua mengenai pemuda itu, tentu saja sambil mencari jalan untuk
menyampaikan keinginan pemuda itu yang kini masih menanti di kota Ning-po.
"Cia
Hui Song juga menyatakan kekagumannya terhadap ayah dan dia ingin sekali datang
ke sini menghadap dan berkenalan dengan ayah dan ibu." Akhirnya dia
memancing.
"Hemm,
tidak usah ke sini... aku sudah merasa tidak suka kepada keluarga itu, lebih
baik tidak ada hubungan sama sekali," kata Kim Hong dan mendengar ucapan
ibunya itu, tentu saja Sui Cin tidak berani lagi mendesak.
Munculnya
urusan dengan keluarga Can tentu saja merupakan halangan besar baginya untuk
memperkenalkan Hui Song. Dia menolak pinangan keluarga Can dan hal itu tentu
mengesalkan hati ayah ibunya yang telah setuju menerima, maka jika dia membawa
Hui Song ke pulau tentu hanya akan makin menjengkelkan hati orang tuanya.
Tidak, saatnya tidak tepat bagi Hui Song untuk datang berkunjung dan dia harus
segera memberi tahu kepada pemuda itu agar tidak menunggu dengan sia-sia di
Ning-po.
Pada
keesokan harinya, selagi Sui Cin termenung di taman belakang gedung dan masih
bingung memikirkan tentang Hui Song yang menantinya di seberang sana, ibunya
datang menghampiri, memeluk dan duduk di sampingnya, di atas sebuah bangku batu
di taman itu.
"Anakku,
maafkan sikap ibu kemarin. Aku sudah marah-marah kepadamu, aku menyesal sekali
menyambut pulangmu yang sudah sangat kurindukan dengan kemarahan." Ibu itu
dengan sikap lembut dan sayang mencium pipi anaknya.
Sui Cin
balas mencium dan merangkul ibunya. "Tidak, ibu. Akulah yang minta maaf
sebab sesudah lama pergi meninggalkan ibu, aku malah pulang tidak membawa
oleh-oleh yang menyenangkan, hanya mendatangkan kejengkelan di hati ibu dan
ayah saja. Kalau saja aku tahu begini, aku tidak akan pulang dulu dan
melanjutkan perantauanku."
"Hushhh,
sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa kemarin dan mari kita bicara dengan hati
terbuka. Sui Cin, sekarang katakanlah terus terang, engkau menolak keras
lamaran dari putera Raja Muda Can, apakah dalam perantauanmu itu engkau bertemu
dengan pemuda yang telah menjatuhkan hatimu?"
Dara itu
memandang wajah ibunya dengan mata terbelalak. Kim Hong menatap sepasang mata
yang bening itu penuh selidik, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu pada
sepasang mata itu dan memang anaknya ini benar-benar heran dan terkejut, tidak
menyembunyikan sesuatu. Kim Hong adalah seorang wanita yang amat tinggi
ilmunya, luas pengalamannya dan sangat cerdik, maka andai kata Sui Cin
menyembunyikan sesuatu perasaan tertentu sudah pasti ibunya akan dapat
mengetahuinya atau setidaknya mencurigainya.
"Ibu,
apa yang kau maksudkan? Menjatuhkan hatiku?" Pertanyaan yang polos dan
jujur karena memang Sui Cin belum paham akan lika-liku dan istilah tentang
cinta.
"Maksudku,
apakah ada pemuda yang menarik hatimu dan kau suka?"
Sui Cin
masih bersikap biasa saja. Keheranan pada pandang matanya lenyap setelah dia
paham bahwa pengertian yang tadinya tidak diketahuinya itu ternyata keliru.
"Ahh,
kiranya itukah yang ibu maksudkan? Tentu saja ada dan banyak. Banyak kujumpai
orang-orang pandai dan lihai, gagah perkasa dan sangat menyenangkan. Terutama
sekali Cia Sun dan Cia Hui Song. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang
sangat mengagumkan."
"Bukan
begitu maksudku."
"Lalu
bagaimana?" Kembali keheranan membayang di mata dara itu.
"Maksudku,
apakah ada pemuda yang... ehhh, kepada siapa engkau jatuh cinta?"
"Ohh...!"
Wajah Sui Cin berubah merah dan sejenak dia termangu-mangu, akan tetapi dia
segera menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan.
Aku... aku tidak tahu apakah aku mencinta seseorang, tetapi kurasa aku hanya
suka saja, ibu, suka bersahabat, terutama kepada... Cia Hui Song."
"Hemm,
terutama kepada putera ketua Cin-ling-pai itu? Hati-hati, Sui Cin, jangan
sampai engkau jatuh cinta kepadanya. Aku tidak suka mempunyai mantu putera
Cin-ling-pai!"
Sudah
menjadi watak Sui Cin tidak bisa dikerasi. Kalau dihadapi dengan kekerasan,
maka dia akan menentang. Maka kini mendengar ucapan ibunya, dia berkata,
"Ibu, terus terang saja, aku suka kepada Hui Song, akan tetapi aku tidak
tahu apakah aku mencintanya. Andai kata aku mencinta, siapa pun juga tidak akan
dapat melarangku!"
Wajah ibunya
berubah dan matanya terbelalak, akan tetapi melihat sikap puterinya yang
demikian tegas dan keras, tiba-tiba nyonya ini tersenyum, teringat akan
kekerasan hatinya sendiri. Ia mengangguk dan merangkul puterinya.
"Baiklah, akan tetapi engkau tidak cinta kepadanya, bukan?"
Sui Cin
menggeleng kepala. "Aku suka kepadanya karena dia gagah perkasa, ramah dan
baik budi, ibu. Akan tetapi aku... aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya
atau kepada siapa pun juga. Kini aku masih suka hidup bersama ayah dan ibu,
atau hidup seorang diri, pergi merantau dan memperluas pengalaman. Aku tidak
ingin terikat oleh pernikahan dan menggantungkan hidupku pada seseorang,
mengurung diri dalam sebuah rumah tangga. Ngeri aku apa bila membayangkan
betapa aku menjadl nyonya rumah yang tidak pernah meninggalkan rumahnya,
bagaikan seekor anjing yang dirantai di dalam kandangnya. Aku masih ingin
bebas, ibu, seperti burung di udara..."
Ibunya
mengangguk. "Aku mengerti perasaanmu, Cin-ji. Agaknya jiwa petualangan
ayah ibu menurun kepadamu. Akan tetapi ingat, anakku. Usiamu sudah enam belas
tahun dan sudah sepatutnya engkau mempunyai ikatan dengan seseorang yang kelak
akan menjadi suamimu. Kulihat Can-kongcu merupakan calon yang paling baik dan
tepat bagimu. Kelak dia tentu akan menduduki pangkat yang tinggi sehingga
hidupmu akan terhormat, mulia, terjamin dan bahagia. Soal pernikahan bisa saja
diundur, akan tetapi asal engkau setuju, ikatan perjodohan dapat diadakan lebih
dulu."
"Tidak,
ibu, aku tidak mau! Aku tidak cinta kepada orang itu, aku tidak suka, bahkan
aku benci padanya!"
Wajah Toan
Kim Hong menjadi keruh, kemudian dia bangkit berdiri. "Ahh, engkau hanya
mengecewakan hati orang tua saja, Sui Cin."
Ibu yang
kecewa ini lantas meninggalkan anaknya yang duduk termenung dengan muka berubah
merah dan hampir menangis. Akan tetapi Sui Cin tidak menangis, walau pun dia
ingin melepaskan kemarahan dan kejengkelan hatinya melalui tumpahan air mata.
Tidak, dia tidak akan menangis.
Dia akan
menentang kalau harus dijodohkan dengan pemuda bangsawan she Can yang ceriwis
itu! Dia sudah bisa membayangkan kalau menjadi isteri bangsawan. Mengenakan
pakaian indah-indah dan tebal yang tidak nyaman dipakai, harus bersikap
agung-agungan menerima penghormatan orang, harus bersopan-sopan dan
berpatut-patut di depan orang banyak, kemudian akan merenungi nasib sendiri di
dalam kamar karena suaminya sang bangsawan pergi ke kamar selir-selir yang tak
terhitung banyaknya!
Tidak, dia
tidak mau. Kalau dia menjadi isteri bangsawan, tentu kelak dia akan menjadi
pembunuh, membunuh suaminya beserta selir-selir suaminya. Dia ingin bebas,
meski pun bersuami, akan tetapi bebas menjelajahi hutan dan gunung bersama
suaminya, tak hanya menjadi boneka-boneka hidup di dalam gedung besar dan
pengap!
Dia langsung
teringat akan kesenangan ketika melakukan perjalanan bersama Hui Song.
Menentang orang-orang jahat, menggoda dan menumpas mereka, menghadapi
bahaya-bahaya yang menegangkan, mengatasi banyak ancaman bahaya maut, dan tidur
di alam terbuka. Bebas! Betapa senangnya. Itulah hidup dan itulah kehidupan
yang disenanginya. Bukan menjadi boneka hidup di samping seorang bangsawan yang
menjadi suaminya, dan sekaligus juga majikannya.
Hui Song!
Dia masih menanti di Ning-po. Sui Cin cepat bangkit berdiri dan meninggalkan
taman itu, menuju ke pantai dan tidak lama kemudian dia pun sudah melayarkan
perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar.
Hari telah
senja ketika dia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan pada waktu
perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika dia
meloncat ke daratan dan menarik perahunya, tiba-tiba saja muncul sesosok
bayangan hitam yang menghampirinya.
"Cin-moi...!
Ahh, betapa girang hatiku melihatmu!"
"Song-twako,
engkau di sini?" tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.
"Aku
tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."
"Ehh?
Engkau... tidak kembali ke penginapan?"
Pemuda itu
membantunya menarik perahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya
berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu.
"Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut
kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."
Sui Cin
menahan tawanya. "Ihhh, engkau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil.
Masa aku tidak kembali? Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar
kepadamu?"
"Lalu
bagaimana, Cin-moi? Bolehkah aku menyeberang? Apakah engkau datang ini untuk
mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"
Wajah yang
cantik manis itu berubah muram dan dia menggelengkan kepala.
"Ahh,
orang tuamu... menolak kunjunganku?"
Sui Cin
merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil biasa
bersikap terbuka dan jujur. Akan tetapi kini dia merasa serba salah untuk
mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepada Cin-ling-pai, dan bukan hanya
keberatan menerima putera ketua Cin-ling-pai datang berkunjung, bahkan tidak
suka jika dia bergaul dengan pemuda itu.
"Maafkan,
twako. Pada saat ini ayah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik
lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."
"Ahh,
sayang sekali..." Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main.
Sebenarnya
dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekar Sadis yang
namanya sudah dia dengar sejak kecil itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa,
akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari
dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Maka
alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui
Cin.
Melihat
betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasihan dan cepat dia
berkata, "Bagaimana pun juga, aku sendiri tidak akan kembali ke sana,
twako."
Tentu saja
perkataan ini mengherankan hati Hui Song. "Apa? Apa maksudmu? Engkau tidak
akan pulang?"
Sui Cin
menggeleng. "Tidak, aku akan pergi merantau lagi."
Hui Song
mengerutkan alisnya. "Ehh, mengapa begitu, Cin-moi? Bukankah engkau baru
saja pulang dari perantauan? Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi?
Tentu orang tuamu akan melarangmu."
"Aku
tidak perlu minta ijin mereka, aku memang hendak pergi tanpa pamit!" kata
Sui Cin dengan nada suara tak senang.
Hui Song
memandang khawatir. "Cin-moi... maaf, bukan aku hendak mencampuri urusan
keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi? Engkau nampaknya tidak
senang dan marah. Jika hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tak ada
artinya, Cin-moi, jadi tidak perlu membuatmu marah, apa lagi kepada orang tuamu
sendiri."
"Bukan
hanya karena itu, twako. Yang membuat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi
meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gubernur!"
Hati Hui
Song berdebar sesudah terasa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan
menjura. "Wah, selamat, Cin-moi."
"Selamat
hidungmu itu!" Sui Cin membentak jengkel. "Engkau malah hendak
menambah kejengkelan hatiku? Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri
bangsawan ceriwis itu!"
Hui Song
merasa betapa ada kelegaan dan kegembiraan luar biasa menyelinap di hatinya
mendengar kata-kata setengah teriakan dari gadis itu. Akan tetapi dia pura-pura
terkejut dan bersikap serius. "Ahhh, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi.
Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak? Bukankah putera seorang
gubernur itu merupakan calon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan
berkedudukan tinggi? Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."
Sui Cin
memang mudah marah, namun mudah bergembira. Orang seperti dia tidak dapat marah
terlalu lama. Sifanya terlampau lincah gembira untuk dapat bertahan marah
terlalu lama. Kini dia memandang pemuda itu dengan wajah berseri dan mulut
tersenyum.
"Hemm,
engkau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu sekarang,
kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."
"Apa
lagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri? Engkau
tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."
Wajah yang
manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek. "Ihh,
engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak memiliki calon seperti yang kau
terka itu. Sedikit pun aku belum memikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja!
Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis
itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orang.
Aku masih ingin bebas seperti burung di udara, merdeka beterbangan ke mana pun
yang ku kehendaki."
Sui Cin
tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya
dan tentu saja pemuda ini merasa girang sekali karena sekarang dia tahu bahwa
gadis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.
"Kalau
engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi ke mana, Cin-moi?"
"Ke
mana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku supaya
menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"
"Jika
begitu, marilah engkau ikut bersamaku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke
Cin-ling-pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."
Sui Cin
mengangguk. "Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi
ke sana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-ling-pai dan aku pun ingin
berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi
jangan mengambil jalan darat. Lebih baik mempergunakan perahu menyusuri pantai
ke utara lalu mendarat di kota Hang-couw, baru kita melanjutkan perjalanan
melalui daratan."
"Kenapa
begitu?"
"Engkau
tidak tahu kelihaian orang tuaku. Sesudah mereka tahu aku pergi, tentu mereka
akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, jangan harap
dapat lolos dari kejaran mereka. Akan tetapi kalau dari sini kita mengambil
jalan laut, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapa pun lihainya ayah, tentu
dia tidak akan mampu mengikuti kepergianku."
Dengan kagum
Hui Song menyetujui dan tak lama kemudian mereka pun sudah berlayar lagi
menempuh gelombang menuju ke utara. Sementara itu, malam sudah tiba sehingga
pelayaran mereka hanya diterangi bintang-bintang di langit.
"Song-twako,
sekali ini aku benar-benar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa
pamit, tanpa membawa bekal pakaian, apa lagi uang. Perantauanku yang dahulu
direstui orang tuaku, karena itu aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi
sekarang... aku benar-benar miskin."
"Kita
bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang
banyak? Asal engkau tidak menyebar dan membagi-bagikan uang kepada para jembel
di pasar, aku masih mempunyai bekal cukup kalau hanya untuk biaya di perjalanan
saja."
"Kalau
hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya? Kalau memang kita memerlukan,
mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"
"Wah,
engkau hendak mencuri? Dari para hartawan?"
Sui Cin
menggelengkan kepala. "Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik
siapa pun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka
tentu tidak akan marah." Keduanya tersenyum dan perahu meluncur dengan
laju.
Indah bukan
main pemandangan pada malam hari itu. Bintang-bintang bagai bercermin di
permukaan air laut sehingga kadang-kadang orang akan terlupa dan menyangka
bahwa benda-benda bercahaya yang jutaan banyaknya itu bukan berada di atas
kepala, namun di bawah, jauh tak berdasar.
***************
Dusun
Lok-cun di luar kota Sin-yang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak
ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tak berapa besar itu nampak sedang
merayakan sesuatu dan sejak pagi tadi nampak sibuk sekali. Memang, pada hari
itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka.
Seperti di
dusun-dusun lainnya pada masa itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja
kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang menjadi rakyatnya.
Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lok-cun itu merayakan pernikahan
puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya.
Lurah Coa
hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang
dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka
merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di
kota Sin-yang!
Walau pun
jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke
lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang
sangat besar di kota Sin-yang, bahkan juga mempunyai pengaruh dan kawan-kawan
di kota raja. Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, biar pun isteri kelima,
bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang
terhormat, akan tetapi kepala dusun itu juga akan naik derajatnya dan mungkin
akan mudah naik pangkat!
Akan tetapi,
kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun
itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu hanya menangis saja di dalam
kamarnya. Dara ini setiap saat membayangkan seorang pemuda sederhana yang
selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi
pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya.
Pemuda ini
bahkan sudah disetujui oleh keluarga lurah Coa sendiri untuk menjadi calon
menantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja serta berbadan
sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda langsung
dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lurah Coa.
Bagaimana
hati Lan Kim tidak akan berduka apa bila dia memikirkan nasibnya dan nasib
kekasihnya yang bernama Lo Seng itu? Kini dia dipaksa untuk menjadi isteri
orang lain, padahal semenjak dahulu dia telah membayangkan kehidupan yang
berbahagia bersama pemuda itu.
Sekarang dia
harus menurut untuk dibawa pergi dari rumahnya, tidak akan dapat bertemu
kembali dengan Lo Seng. Yang membuat dia amat berduka adalah karena dia
mendengar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang
pernikahannya dengan jaksa itu. Dan kini dia tidak tahu lagi apa yang terjadi
dengan kekasihnya itu.
Pagi hari
itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim
menangis dalam kamarnya, tak mau mendengarkan bujukan-bujukan dan
hiburan-hiburan ibunya serta beberapa orang wanita yang bertugas menemaninya.
"Sudahlah,
Lan Kim. Kenapa engkau menangis terus? Nasibmu baik sekali, engkau akan menjadi
nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang kemewahan, mengapa
menangis? Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan amat memalukan kalau pengantin
matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau harus mulai dirias dengan
pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput lalu dibawa ke
kota Sin-yang," demikian antara lain ibunya membujuk.
"Ibu, aku
tidak suka... aku tidak mau..."
"Ahhhh...
engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah? Aku
tahu, engkau menolak hanya karena di sana ada Lo Seng, bukan?"
"Ibu...
bagaimana dengan dia? Ibu, kasihan dia..."
"Hemm,
sikapmu ini sama sekali tak akan menolongnya, bahkan akan mencelakakan Lo Seng
karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu
mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan
dijebloskan ke dalam penjara atau dibunuh!"
"Ibu...!"
"Karena
itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan
membujuk ayahmu supaya Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah dengan demikian
berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?" demikian sang ibu membujuk
puterinya yang kini hanya terisak perlahan. "Ambil pakaian pengantin itu,
akan kucobakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk
dibetulkan," sambung nyonya Coa.
Akan tetapi
terdengar jeritan kaget, dan tukang rias itu kini datang membawa sebuah peti
dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Nyonya... celaka... pakaiannya
hilang...!"
Wanita itu
terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya. "Apa? Hilang
bagaimana maksudmu?"
"Hilang,
nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"
Keadaan
menjadi geger. Pada waktu lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan segera
mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin itu.
Tetapi isterinya lebih cerdik. Dia cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk
secara kilat membuat pakaian pengantin baru, walau pun pakaian yang dibuat
tergesa-gesa ini tentu saja tidak akan seindah pakaian pengantin yang hilang.
Ketika
keadaan menjadi kacau dan tidak seorang pun memperhatikan pengantin wanita,
mendadak terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja,
seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, kini Coa Lan Kim juga lenyap
begitu saja dari dalam kamarnya!
Tak ada
seorang pun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tak ada yang mendengar
sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin
marah dan seluruh pasukan keamanan segera dikerahkan, bahkan semua penduduk
menjadi ikut gelisah dan ikut mencari-cari ke mana perginya pengantin wanita.
Kegembiraan
yang lantas berganti menjadi kegelisahan dan kekacauan itu amat menarik
perhatian Sui Cin dan Hui Song yang pada pagi hari itu kebetulan sekali tiba di
tempat itu, memasuki dusun Lok-cun di dalam perjalanan mereka menuju ke barat,
ke Pegunungan Cin-ling-san.
Tentu saja
hati mereka merasa tertarik melihat betapa penduduk nampak begitu gelisah
ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu ke sana-sini sedangkan rumah kepala
dusun terhias indah, akan tetapi kini tidak ada lagi orang yang melanjutkan
pekerjaan menghias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para
penjaga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka
bertambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung
mereka dengan senjata tajam di tangan.
"Hemm,
kalian ini mau apakah mengepung kami?" Sui Cin bertanya dengan alis
berkerut.
"Kalian
adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena
kami yakin bahwa kalian inilah yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau
dusun kami kecuali dua orang asing?" bentak seorang yang bermata lebar dan
bersikap bengis.
"Sabar
dulu, sobat," kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah. "Apa yang
terjadi dan kenapa kalian menuduh kami secara membabi-buta? Kami tidak tahu
apa-apa. Kami baru saja tiba di dusun ini dan melihat kekacauan ini, malah kami
bertanya-tanya kenapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"
"Cukup!
Ikut kami menghadap kepala dusun, tidak perlu membela diri di sini!"
bentak si muka bengis dan dia sudah maju untuk menangkap lengan Sui Cin. Akan
tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepatunya
mencium lutut si mata lebar sehingga orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.
"Nah,
bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara," Sui Cin mengejek.
Melihat
betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin
kuat bahwa tentu dua orang muda mudi inilah yang sudah mengacaukan dusun
mereka. Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka.
Hui Song
dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dusun ini salah duga.
Tentu mereka akan semakin curiga lagi jika sikap Sui Cin dilanjutkan. Maka dia
pun cepat menggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas
semua golok dan pedang.
Gerakannya
memang cepat bukan main sebab dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan
Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang
terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya
pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu
telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.
"Tenanglah
saudara-saudara. Kami bukan orang jahat dan beri tahukanlah kami jika ada
urusan. Siapa tahu kami dapat membantu kalian," kata Hui Song.
Pada saat
itu lurah Coa sudah tiba di situ, dan lurah ini pun tadi melihat betapa dengan
mudahnya pemuda tampan itu merampas senjata orang-orangnya. Dia pun bisa
menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar, maka dia pun cepat maju
menjura.
"Harap
taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang
dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin
wanita..."
"Ehh?
Ada pengantin dicuri?" Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.
"Pengantin
itu adalah anak saya sendiri. Dia baru saja lenyap tanpa bekas sesudah lebih
dahulu pakaian pengantin yang lenyap."
Lurah Coa
kemudian menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Hui Song dan Sui Cin
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kami
akan mencoba untuk mencari penculiknya," kata Hui Song.
"Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu."
Setelah
mendengarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian
mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun itu. Mereka mengambil keputusan
hendak mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak berharap akan
dapat menemukan penculik itu di dalam dusun. Mereka mencari keluar dusun,
mengelilingi dusun itu hingga akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tidak jauh
dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali
bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri.
Dengan cepat
sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di deerah berbatu di luar hutan,
dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk bersila di depan sebuah
goa yang besar. Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali karena
keadaan kakek itu saja sudah amat mengherankan hati.
Seorang
kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat
lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semuanya sudah
berwarna putih. Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus
tahun.
Akan tetapi
tubuh kakek itu pendek dan kecil, seorang kakek katai yang pakaiannya juga
aneh. Kakek katai berjenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang
mewah sekali! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang
hartawan! Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya
yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga
bagus dan masih baru....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment