Saturday, September 22, 2018

Cerita Silat Serial Asmara Berdarah Jilid 26



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Asmara Berdarah

                   Jilid 26


HANYA kaum tua yang mewakili partai-partai besar itu saja yang mengenal empat orang ini lantas memperkenalkan mereka dengan sikap hormat kepada para pendekar. Mereka ini adalah Ciu-sian Lo-kai, Go-bi San-jin, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Seperti sudah kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai adalah guru Ci Kang, Go-bi San-jin menjadi guru Cia Sun. Wu-yi Lo-jin menjadi guru Sui Cin sedangkan Siang-kiang Lo-jin menjadi guru Hui Song.

Dan mereka berempat ini bukanlah asing satu sama lain. Puluhan tahun yang lalu mereka merupakan empat di antara tokoh penting di dunia persilatan yang sudah dikalahkan dan ditaklukkan oleh Raja Iblis, lalu mereka mengundurkan diri dari dunia ramai untuk bertapa dan memperdalam ilmu.

Dua orang di antara mereka sudah meninggal dunia dalam pertapaan mereka dan empat orang kakek ini pun tadinya sudah mengambil keputusan hendak mengasingkan diri dan tidak mencampuri urusan duniawi sampai mati. Akan tetapi, kini mereka semua terpaksa bangkit dan turun tangan sesudah mendengar betapa Raja Iblis telah muncul kembali ke dunia ramai, bahkan sedang merencanakan pemberontakan sesudah berhasil menguasai para datuk golongan hitam. Dan seperti yang kita ketahui, mereka telah mengambil murid pilihan masing-masing yang kemudian sengaja mereka gembleng dan mereka wariskan semua ilmu mereka kepada murid-murid itu untuk kelak dapat dipergunakan menghadapi Raja Iblis.

Puluhan tahun yang lalu pernah terjadi kelucuan antara Ciu-sian Lo-kai dan Wu-yi Lo-jin. Karena keduanya tukang minum arak, dan keduanya selalu membawa guci arak, ketika saling bertemu terjadilah keributan di antara mereka, yaitu saling memperebutkan julukan Ciu-sian (Dewa Arak). Untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai julukan Dewa Arak, keduanya lalu bertanding, bukan bertanding silat, melainkan bertanding minum arak dengan sewajarnya tanpa mempergunakan akal dan ilmu sinkang.

Dalam pertandingan ini, sesudah mereka berdua menghabiskan belasan guci besar arak yang kiranya bisa untuk menjamu dua ratus orang, akhirnya Wu-yi Lo-jin menyerah kalah! Dan mulai saat itu pula kakek berpakaian jembel berhak memakai julukan Ciu-sian Lo-kai, sedangkan kakek yang selalu berpakaian mewah memakai julukan Wu-yi Lo-jin, biar pun julukan Ciu-sian atau Dewa Arak masih menempel secara tidak resmi pada dirinya.

Pertemuan antara empat orang kakek itu menggembirakan mereka dan mereka merasa muda kembali dan penuh semangat perjuangan. Mereka berempat ini bersama beberapa orang kakek tokoh partai-partai persilatan yang besar berada di dalam lingkaran itu, dekat api unggun, dikelilingi oleh para pendekar dari berbagai aliran. Tanpa pemilihan dan tanpa diumumkan, empat orang ini lantas dipandang sebagai pimpinan, apa lagi karena mereka berempat itulah yang sudah mengenal Raja Iblis, juga kesaktiannya yang sangat tersohor dan menggemparkan dunia persilatan.

Wu-yi Lo-jin yang usianya sudah sangat lanjut, delapan puluh tahun lebih, masih nampak sehat dan gembira. Kepalanya gundul botak. Alis, kumis, jenggot dan sedikit rambut yang tersisa di belakang kepalanya sudah putih semua. Jenggotnya putih panjang sampai ke perut. Pakaiannya berkembang-kembang, dari kain yang baru dan indah.

Beberapa kali dia minum arak dari gucinya yang besar tanpa menawarkan kepada orang lain. Kini nampak dia menggerakkan tangan kiri ke atas dan berkata, "Mati pun aku tidak akan dapat memejamkan mataku bila mana Raja Iblis itu belum terbasmi habis sampai ke akar-akarnya!"

"Bicara memang enak dan mudah, akan tetapi pelaksanaannya yang amat sulit!" Ciu-sian Lo-kai yang selalu memiliki perasaan bersaing dengan Dewa Arak yang lain itu mencela. "Aku kira menentang Raja Iblis sekarang ini sama artinya dengan menentang puluhan ribu orang prajurit. Dia telah menguasai San-hai-koan dan sudah bergabung dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Ji Sun Ki. Mana mungkin kita mengandalkan kaki tangan biasa saja untuk menempuh dan melawan pasukan yang terdiri dari laksaan orang? Kita harus mencari cara yang lebih tepat."

"Betul, memang sekarang ini, dengan jumlah kita yang hanya seratus orang lebih, kiranya tidak mungkin melawan laksaan orang prajurit. Tadinya kita bermaksud untuk menentang Raja Iblis bersama antek-anteknya yang tentu jumlahnya tidaklah terlalu besar bagi kita. Hui Song, muridku, sudah kuperintah melakukan penyelidikan di antara para kepala suku karena di sana pun teriadi pergerakan-pergerakan. Hui Song, coba kau ceritakan semua yang kau ketahui," kata Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas kepada pemuda itu.

Dewa Kipas ini masih tetap gendut sekali perutnya. Kepalanya botak, dengan sedikit saja rambut pada belakang kepala. Jubahnya, seperti biasa, tidak dapat tertutup saking besar perutnya dan juga karena memang tidak suka hawa panas. Kipasnya yang amat lebar itu kini berkembang dan digerak-gerakkan ke arah perutnya. Kakek berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun masih nampak sehat.

Hui Song lalu bangkit berdiri di antara mereka yang duduk membentuk lingkaran sehingga semua mata ditujukan kepadanya. Dia lalu menceritakan tentang segala yang dialaminya, mulai dari jatuhnya kota San-hai-koan sampai pada para kepala suku yang mengadakan pertemuan dan pemilihan pimpinan.

"Dengan adanya pemberontakan yang terjadi di kota San-hai-koan, para kepala suku liar itu telah mengambil keputusan hendak mempergunakan kesempatan untuk membonceng keadaan dan mulai gerakan mereka ke selatan untuk menghidupkan kembali kekuasaan bangsa utara. Pertama-tama mereka akan menyerang para pemberontak dan mengambil alih kota-kota yang telah diduduki oleh para pemberontak, kemudian menyusun kekuatan dan bergerak terus ke selatan." Demikian dia mengakhiri ceritanya.

Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Ahhh, kalau begitu, sama saja dengan kita melibatkan diri ke dalam urusan pemerintah dan pemberontakan. Padahal, bukan demikian maksud kita semula. Kita hanya bergerak untuk menentang Raja Iblis," kata Go-bi San-jin, kakek berjubah pendeta, jubahnya bersih dan baru, mukanya hitam dan matanya lebar menambah kegagahan kakek berusia tujuh puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar ini. "Kalau saja kita bisa menyerbu Raja Iblis dan antek-anteknya selagi mereka semua berada di tempat persembunyian Raja Iblis, tentu kita tidak perlu berurusan dengan pasukan pemerintah mau pun pasukan pemberontak. Muridku sudah berhasil menemukan tempat persembunyian Raja Iblis itu. Cia Sun, lekas ceritakan pengalamanmu."

Cia Sun bangkit berdiri, kemudian dia bercerita tentang gedung kuno di lereng bukit yang menjadi tempat persembunyian dan pertapaan Raja dan Ratu Iblis. "Akan tetapi, agaknya akan sukar menemukan mereka di tempat itu," katanya sebagai penutup penuturannya. "Setelah kota San-hai-koan mereka rampas, tentu Raja Iblis dan para kaum sesat itu ikut memasuki kota untuk mempertahankan kota itu."

"Walau pun demikian," bantah Go-bi San-jin, "apa bila pasukan pemberontak itu sampai dipukul hancur, tentu tempat itu menjadi tempat pelarian Raja Iblis dan Cap-sha-kui. Nah, kalau mereka sudah lari ke sana, barulah kita dapat menyergap dan menyerang mereka tanpa adanya campur tangan pasukan."

"Semua itu tidak penting," Wu-yi Lo-jin berkata, "kini yang penting adalah bagaimana kita akan bertindak selanjutnya. Sayang bahwa muridku belum datang memberi laporan."

Tiba-tiba Hui Song bangkit berdiri dan berkata, "Locianpwe, saya sudah bertemu dengan nona Ceng Sui Cin. Dia sekarang membantu nenek Yelu Kim yang telah diangkat menjadi pemimpin para kepala suku. Dia berpendapat bahwa untuk menentang Raja Iblis yang sudah bergabung dengan pasukan pemberontak, harus dilakukan dengan menggunakan pasukan pula. Karena itu, dia akan membantu para suku liar kalau mereka menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutu Raja Iblis."

"Bagus sekali!" Wu-yi Lo-jin berkata girang. "Ahh, muridku memang cerdik sekali. Melihat keadaannya sekarang, tidak ada jalan lain bagi kita untuk menentang Raja Iblis kecuali dengan jalan membantu pasukan-pasukan yang menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutunya itu. Sebaiknya kita berpencar, masing-masing harus mengambil jalan dan cara sendiri, baik secara perseorangan mau pun bergabung dan membantu pasukan pemerintah atau pasukan mana saja yang menentang Raja Iblis dan sekutunya."

Semua orang merasa setuju dengan usul ini. Memang kebanyakan para pendekar lebih senang bekerja sendiri-sendiri secara bebas, tidak ditentukan oleh siasat suatu pimpinan, walau pun tujuan dari gerakan mereka mempunyai arah yang sama dan tertentu, yakni menentang kekuasaan Raja Iblis. Maka, mendengar ucapan para tokoh tua itu, mereka menerimanya dengan gembira.

Hanya Ciu-sian Lo-kai seorang yang tidak nampak gembira. Kemuraman tipis menyelimuti wajahnya yang biasanya gembira itu. Dia merasa kecewa karena muridnya, Siangkoan Ci Kang, tidak muncul di dalam pertemuan itu. Akan tetapi, dia tidak mau memperlihatkan kekecewaannya ini dan dia hanya menggunakan pandang matanya untuk melihat-lihat ke sekeliling tempat itu dengan harapan kemunculan Ci Kang yang amat dlharapkannya.

Tiba-tiba sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, bukan karena melihat Ci Kang, akan tetapi karena dia melihat gerakan orang-orang di luar tembok bekas benteng itu dan sebagai seorang pendekar yang sudah banyak memiliki pengalaman, dia dapat menduga apa artinya gerakan orang-orang ini.

Mendadak kakek ini meloncat ke depan dan menginjak-injak api unggun sambil berseru, "Semua berpencar! Kita dikepung!"

Mendengar ini dan melihat sepak terjang Ciu-sian Lo-kai, semua orang menjadi terkejut. Para tokoh tua yang melihat betapa orang seperti Ciu-sian Lo-kai terlihat amat gugup dan tegang, mengerti bahwa tentu keadaannya gawat, maka mereka pun cepat turun tangan membantu memadamkan api unggun.

"Berpencar dan bersembunyi!" teriak Go-bi San-jin.

"Lihat dulu siapa mereka! Kalau pasukan sekutu Raja Iblis, kita lawan mati-matian!" kata pula Wu-yi Lo-jin.

"Buka jalan darah dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing!" teriak Siang-kiang Lo-jin yang maklum bahwa kalau pasukan yang datang dalam jumlah yang amat banyak, melawan pun tidak akan menguntungkan.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi terompet disusul derap kaki banyak orang dan benar saja, tempat itu telah dikepung oleh sedikitnya seribu orang prajurit yang sekarang menyerbu ke dalam benteng kuno itu sambil bersorak-sorak. Dengan senjata golok atau pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri, pasukan besar itu menyerbu ke dalam benteng, dipimpin oleh beberapa orang yang amat lihai gerakannya.

Tentu saja para pendekar yang sudah siap itu lalu menyambut dengan perlawanan secara mati-matian dan terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam pekarangan luas itu, dalam cuaca yang remang-remang karena hanya disinari bulan purnama.

Pasukan yang menyerbu itu dipimpin oleh Gui Siang Hwa, lalu nampak orang-orang yang pakaiannya dan perawakannya aneh, namun mereka ini memiliki gerakan yang amat lihai. Mereka ini adalah orang-orang Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain. Kiranya Raja Iblis telah mengetahui adanya pertemuan para pendekar itu sebagai hasil penyelidikan Siang Hwa dan pembantunya.

Gadis murid Raja Iblis yang amat cerdik ini memang amat lincah dan pandai menyebar orang-orangnya. Mendengar adanya pertemuan para pendekar di daerah utara, Raja Iblis lalu mengirim pasukan dari San-hai-koan berjumlah seribu orang lebih yang dibantu dan dipimpin oleh Siang Hwa bersama para datuk Cap-sha-kui. Raja Iblis menghendaki agar semua pendekar yang berada di benteng tua Jeng-hwa-pang itu ditumpas habis.

Di sebelah Siang Hwa nampak seorang pemuda tampan yang gerakannya juga sangat gagah. Pemuda ini adalah Sim Thian Bu! Seperti kita ketahui, Sim Thian Bu adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta. Bagaimanakah murid itu malah membantu pasukan Raja Iblis, padahal gurunya tewas di tangan Ratu Iblis?

Agaknya Sim Thian Bu tidak menaruh dendam atas kematian gurunya. Dua hari yang lalu, pada suatu pagi, dia yang melakukan perjalanan seorang diri tiba di lereng sebuah bukit yang amat sunyi, di sebuah padang rumput. Tiba-tiba Thian Bu berpapasan dengan Siang Hwa yang menunggang kuda. Biar pun dia sedang berjalan kaki dan penunggang kuda itu membalapkan kuda dengan cepat sekali, namun Thian Bu yang mata keranjang itu dapat melihat bahwa penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda yang cantik sekali.

Sebaliknya, biar pun dia tengah sibuk dengan segala macam urusan pemberontakan yang dibantunya, namun melihat seorang pemuda gagah dan ganteng berada seorang diri di tempat sunyi itu, Siang Hwa segera merasa tertarik sekali. Ia menghentikan kudanya dan memutar kudanya, menjalankan kuda itu menghampiri Thian Bu.

Pemuda ini pun sudah merasa amat tertarik dan gembira sekali, maka setelah Siang Hwa menghentikan kudanya di hadapannya, dia memandang sambil tersenyum. Mereka saling pandang, saling memperhatikan, lantas keduanya tersenyum, terpesona oleh keanggunan masing-masing.

"Selamat pagi, nona!" Thian Bu yang memang jagoan dalam menghadapi dan mengambil hati wanita itu berkata dan memberi hormat dengan sikap sopan, wajahnya berseri penuh keramahan. "Sungguh mengejutkan sekali di tempat seperti ini bertemu dengan seorang wanita cantik jelita seperti nona. Sebuah kejutan yang sangat menggembirakan hati. Dari mana hendak ke manakah nona yang sendirian saja di tempat liar ini?"

Siang Hwa tersenyum, senyum manis yang penuh daya pikat. Dia senang sekali melihat sikap pemuda tampan itu. "Pertanyaan yang sama benar dengan yang berada di dalam hatiku. Siapakah engkau yang berada seorang diri di tempat sunyi ini?"

Thian Bu tertawa gembira. Seorang wanita yang selain cantik serta menggairahkan, juga tidak pemalu. Dan melihat pedang yang tergantung di punggung itu, dia dapat menduga bahwa wanita ini bukan orang lemah, apa lagi kenyataan bahwa seorang diri wanita ini berani berkeliaran di tempat liar penuh bahaya itu.

"Nona, namaku Sim Thian Bu. Senang sekali berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona dan bagaimana seorang gadis cantik jelita seperti nona dapat berada di tempat liar seperti ini?"

Siang Hwa tersenyum. Pemuda ini sungguh menarik hatinya. "Engkau sungguh tabah, berani berada seorang diri di tempat ini. Tidak takutkah kau bertemu dengan suku-suku liar? Ataukah engkau termasuk seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang?"

"Ha-ha, seorang gadis muda cantik seperti nona tidak takut bersendirian di sini, apa lagi seorang laki-laki seperti aku."

"Akan tetapi aku dapat membela diri dengan baik, kaki tanganku berikut pedangku akan mampu menghalau semua bahaya yang mengancam diriku."

"Aku pun tidak takut akan bahaya, nona, dan selama ini kaki dan tanganku pun mampu melindungi diriku dari ancaman bahaya. Ehh, nona belum memperkenalkan diri. Siapakah nama nona yang cantik dan gagah?"

Siang Hwa semakin tertarik dan dia pun meloncat turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya makan rumput yang hijau subur dengan membuka kendali kudanya.

"Aihh, benarkah engkau ahli membela diri? Tentu ilmu silatmu tinggi sekali. Nah, mari kita bermain silat sebentar, kalau ternyata engkau mampu menandingi aku, barulah aku akan memperkenalkan namaku. Tapi kalau engkau ternyata hanya seorang pemuda biasa saja, tidak perlu aku memperkenalkan nama."

Melihat pemuda yang tampan, nampak gagah dan bersikap menarik serta pandai merayu itu, timbul gairah dan kegembiraan di dalam hati Siang Hwa. Dia sudah terlalu lama sibuk mengurus hal-hal yang serius, karena itu dia membutuhkan hiburan sebagai selingan dan pemuda ini, baik dari wajahnya, bentuk tubuhnya mau pun sikapnya menjanjikan hiburan manis yang menyenangkan.

Sebaliknya, Thian Bu adalah seorang mata keranjang yang selalu tertarik apa bila melihat wanita cantik, maka sikap Siang Hwa sungguh menggembirakan hatinya. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada bermain cinta dengan seorang wanita cantik, dan bermain silat dengan wanita cantik pun tidak kalah menggembirakannya. Karena itu dia pun cepat meloncat ke belakang mencari tempat yang lebih enak agak menjauhi kuda.

"Mari nona, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, aku tidak biasa bertanding tanpa taruhan. Oleh karena itu, mari kita bertaruh dalam pertandingan silat ini," ajaknya sambil bertolak pinggang dengan sikap gagah.

Siang Hwa tersenyum gembira lantas menggulung lengan bajunya. Nampaklah sepasang lengan yang berkulit putih bersih dan berbentuk bulat indah. Dia pun bertolak pinggang dengan sikap menantang, akan tetapi wajahnya berseri gembira.

"Baik, apa taruhannya?"

"Kalau aku sampai kalah olehmu, maka aku akan menurut segala permintaanmu," jawab Thian Bu.

"Akur! Apa pun yang kuperintahkan harus kau taati. Dan kalau aku kalah?"

"Tentu sama juga, semua permintaanku harus kau penuhi."

Keduanya saling pandang sambil tersenyum karena mereka sudah sama-sama tahu apa maksud yang tersembunyi di balik taruhan itu.

"Nah, mari kita mulai. Lihat seranganku!" Siang Hwa membentak dan dia pun menyerang dengan cepat, mengayun tangannya menyambar ke arah dada Thian Bu.

Pemuda itu melihat datangnya serangan yang sangat cepat dan didahului angin pukulan kuat, diam-diam terkejut karena dia tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata demikian cepat dan kuatnya. Dia pun menggerakkan tangannya menangkis.

"Dukkk...!" Keduanya terpental akan tetapi Sim Thian Bu sampai terhuyung.

"Aihhhh...!" Kini dia benar-benar kaget dan Siang Hwa tertawa mengejek lalu menyerang lagi.

Karena maklum bahwa gadis itu ternyata jauh lebih lihai dari pada yang dikiranya, dia pun segera menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang seru dan ramai. Keduanya memang sudah saling tertarik maka tentu saja tidak suka saling melukai, namun bagaimana pun juga, keduanya sama-sama ingin keluar sebagai pemenang karena tentu akan lebih senang memerintah dari pada mentaati perintah.

Setelah perkelahian berlangsung selama lima puluh jurus, diam-diam Siang Hwa merasa gembira sekali. Pemuda ini bukan hanya ganteng, akan tetapi juga cukup lihai sehingga cukup berharga untuk dijadikan kekasih merangkap pembantunya!

Sebaliknya, Thian Bu mulai merasa khawatir ketika memperoleh kenyataan pahit bahwa dia tidak mampu mengatasi lawannya. Dia khawatir bahwa kalau sampai dia kalah, wanita ini mengajukan permintaan bukan seperti yang diharapkannya, namun yang malah akan memberatkan dirinya. Kalau dia menang, tentu dia tidak hanya akan minta supaya wanita itu mengakui namanya, akan tetapi juga akan minta agar wanita itu suka melayaninya dan menjadi kekasihnya untuk beberapa hari lamanya!

Maka dia pun mengeluarkan seluruh tenaganya dan mengerahkan semua kepandaiannya. Bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa dia kalah setingkat. Dia mulai terdesak dan tiba-tiba saja, dalam keadaan terdesak dan menghadapi serangan bertubi-tubi itu lututnya disentuh ujung sepatu Siang Hwa.

Thian Bu merasa betapa kaki kanannya kesemutan dan seperti lumpuh, maka pada saat tangan Siang Hwa mendorong dadanya, dia pun terjengkang dan terjatuh ke atas tanah yang bertilamkan rumput tebal. Sebelum dia dapat melompat bangun, Siang Hwa sudah menubruknya, menekan pundaknya dengan jari tangan mengancam ubun-ubun kepalanya dan wanita itu tersenyum menghardik,

"Engkau sudah kalah!"

Melihat sikap dan senyum itu, Thian Bu tersenyum pula. "Ya, aku sudah kalah. Aku sudah takluk dan akan mentaati permintaanmu."

"Bagus! Nah, kau peluklah aku, kau cintailah aku!"

Thian Bu terbelalak girang, langsung merangkul dan menarik wanita itu ke atas tubuhnya. "Ha-ha-ha, itulah yang akan kuminta kalau aku menang!"

"Kau kira aku tidak tahu?" Siang Hwa juga berkata dan balas merangkul.

Mereka berciuman dan bergumul di atas rumput tebal di tempat yang sunyi itu. Memang dua orang ini seperti lalat dengan sampah, cocok satu sama lain sehingga setelah saling bertemu, mereka seperti merasa memperoleh tandingan yang menyenangkan dan cocok sekali. Sampai matahari naik tinggi mereka masih lupa diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan mengumbar nafsu mereka sepuasnya.

Sesudah puas bermesraan dengan kekasih barunya itu, Siang Hwa mengajak Thian Bu duduk berteduh di bawah pohon. Sambil memegang tangan pemuda itu dan menatapnya dengan sinar mata mesra, dia berkata, "Sim Thian Bu, engkau adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin, bukan?"

Bagi Thian Bu, ucapan ini tidak mengejutkan. Nama gurunya memang sangat terkenal di dunia dan sejak tadi dia pun dapat menduga bahwa wanita yang sangat menyenangkan hatinya ini tentu dari golongan sesat. Yang membuat dia merasa tak enak adalah karena dia sendiri belum mengenal siapa adanya wanita ini, walau pun telah menjadi kekasihnya. Sejak tadi dia terus menduga-duga siapa gerangan wanita muda yang selain cantik, juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi ini.

"Benar, sayang. Dan engkau sendiri? Ilmu silatmu begitu hebat..."

"Nanti dulu. Aku mendengar bahwa gurumu itu tewas di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya. Benarkah?"

Thian Bu mengangguk, tidak mengerti apa maksud wanita ini bertanya tentang hal itu.

"Apakah engkau tidak menaruh dendam atas kematian gurumu itu?" Sepasang mata yang jeli namun genit itu memandang penuh selidik.

Thian Bu cukup cerdik untuk bersikap hati-hati. Kini dia mulai dapat menduga bahwa tentu wanita ini mempunyai hubungan dekat dengan Raja Iblis, maka dia pun menggelengkan kepala. "Mendiang suhu tewas karena dia menentang Toan Ong-ya, dan itu merupakan kesalahannya sendiri. Dia tidak tahu diri dan tidak mau menerima kehadiran orang yang jauh lebih kuat. Aku sendiri bahkan ingin membantu Toan Ong-ya, akan tetapi aku takut untuk menghadap karena tentu aku akan dicurigai sebagai murid mendiang suhu yang tewas di tangan beliau."

Giranglah hati Siang Hwa mendengar ini. Ia lalu merangkul dan mencium orang muda itu. "Kekasihku, jangan khawatir. Ada aku di sini yang akan menanggungmu bahwa engkau pasti akan diterima dengan hati girang oleh Toan Ong-ya."

"Engkau? Mengapa bisa begitu?"

"Karena aku adalah satu di antara muridnya yang paling dipercaya dan dikasihi."

"Ahh...!" Thian Bu benar-benar terkejut akan tetapi juga girang bahwa dia telah berhasil memikat hati murid terkasih Raja Iblis! "Pantas saja ilmu silatmu begitu hebat. Aku akan senang sekali kalau dapat membantu gurumu, yang berarti akan membantumu dan akan selalu berada di sampingmu."

"Jangan khawatir, mari kita pergi dan mulai saat ini, engkau tidak akan terpisah dariku."

Demikianiah, sejak saat itu juga Sim Thian Bu menjadi pembantu Siang Hwa yang paling boleh diandalkan, di samping juga menjadi kekasihnya yang melayaninya setiap saat dia menghendaki. Bahkan ketika dihadapkan kepada Raja dan Ratu Iblis, suhu dan subo-nya itu pun menerima Thian Bu dengan girang. Dan pada waktu penyerbuan terhadap para pendekar di dalam benteng Jeng-hwa-pang itu Thian Bu juga berada di samping Siang Hwa, membantu dan ikut menyerbu.

Kita kembali ke dalam bekas benteng Jeng-hwa-pang. Penyerbuan yang terjadi secara mendadak itu tentu saja amat mengejutkan dan membuat panik para pendekar. Namun mereka adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak mau menyerah begitu saja.

Begitu pasukan itu menyerbu masuk, mereka melakukan perlawanan dengan gigih. Dan karena rata-rata para pendekar memiliki ilmu silat tinggi, sebentar saja tempat itu penuh dengan tubuh anak buah pasukan yang berserakan dan tumpang tindih.

Akan tetapi jumlah pasukan itu jauh lebih besar, apa lagi di antara mereka terdapat pula orang-orang pandai Cap-sha-kui, juga Siang Hwa dan Thian Bu. Oleh karena itu, para pendekar terdesak dan banyak pula di antara mereka yang roboh setelah terlebih dahulu merobohkan beberapa orang prajurit. Para pendekar segera terhimpit dan cerai berai, dan terpaksa mencari jalan keluar berdarah untuk menyelamatkan diri.

Akhirnya hanya tokoh-tokoh besar yang mempunyai kepandaian tinggi saja di antara para pendekar yang mampu meloloskan diri. Sedikitnya lima puluh orang pendekar yang tewas dalam pertempuran itu dan selebihnya berhasil lolos. Akan tetapi, mayat-mayat anak buah pasukan pemberontak yang berserakan tewas di sana tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya!

Meski pun demikian, Siang Hwa merasa girang sekali dan membawa pulang pasukan ke San-hai-koan dengan gembira dan merasa telah memperoleh hasil baik dalam membasmi sebagian dari para pendekar yang menjadi musuh besar gurunya dan golongannya. Dan di San-hai-koan mereka disambut dengan girang dan pujian.

Dalam kesempatan ini Siang Hwa menonjolkan jasa Thian Bu sehingga Raja Iblis makin percaya pada pemuda ini. Bahkan panglima pemberontak Ji Sun Ki juga mempercayakan seribu orang prajurit untuk dipimpin oleh Sim Thian Bu, untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun di sekitar kota San-hai-koan untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka di samping merampok bahan-bahan makanan dan ternak untuk ransum.


                 ***************


Kini San-hai-koan telah menjadi kota benteng pemberontak. Pintu gerbangnya dijaga oleh pengawal-pengawal pasukan pemberontak dan setiap orang yang memasuki kota itu tentu akan digeledah dan diperiksa. Penjagaan sangat ketat. Selain benteng San-hai-koan, juga dusun-dusun di sekitar daerah itu telah diduduki pasukan pemberontak.

Pada suatu pagi, San-hai-koan didatangi tiga orang tamu yang disambut dengan sangat hormat. Bahkan begitu tiba tiga orang itu diterima di dalam markas. Panglima Ji Sun Ki lalu mengadakan perjamuan kehormatan dan dalam kesempatan ini Raja dan Ratu Iblis sendiri ikut hadir!

Siapakah tamu-tamu yang amat dihormati itu? Mereka bertiga kini sudah berada di dalam sebuah ruangan yang luas, menghadapi meja besar panjang, berhadapan dengan Ji Sun Ki sendiri yang berpakaian panglima gemerlapan.

Pangeran Toan Jit Ong berpakaian agak pantas, berwarna kuning gading, tapi rambutnya yang putih itu tetap saja riap-riapan, mukanya yang kehijauan nampak serius dan hanya jenggot kumis yang pendek terpelihara rapi itu yang membuat dia nampak agak pantas. Isterinya juga hadir, pakaiannya juga warna putih dan kuning, kainnya baru dan bersih, akan tetapi rambutnya juga masih riap-riapan.

Suami isteri ini duduk dengan sikapnya yang angkuh di sebelah kanan Panglima Ji yang amat menghormati mereka. Di sebelah kiri panglima itu duduk pula lima orang panglima pembantu dan di deretan lain duduklah orang-orang aneh yang sikapnya menyeramkan. Mereka adalah orang-orang Cap-sha-kui yang kini sudah berkumpul semua dan menjadi pembantu-pembantu Raja Iblis.

Nampak Koai-pian Hek-mo, kakek berusia enam puluh lima tahun yang tinggi besar dan bermuka hitam, bermata bulat dan hidungnya besar, mulutnya lebar tertutup kumis dan jenggot yang brewok. Di punggungnya nampak sebatang cambuk baja yang panjang dan ujungnya dipasangi paku.

Di sebelah kakek ini duduk Hwa Hwa Kui-bo, nenek berusia lima puluh empat tahun yang mukanya memakai kedok hitam hingga yang nampak hanya mata, hidung dan bibir saja. Mulutnya besar dan buruk, tubuhnya ramping dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo ini adalah tokoh-tokoh muara Huang-ho dan merupakan tokoh Cap-sha-kui yang terkenal.

Kemudian nampak pula Tho-te-kwi (Setan Malaikat Bumi), kakek raksasa yang umurnya telah enam puluh tahun lebih. Kakek ini amat menyeramkan, tingginya satu setengah kali orang biasa dan perawakannya serba besar. Pakaiannya hijau agak utuh, tidak compang camping seperti biasanya, kaki tangannya memakai gelang emas yang besar dan berat. Kakek peranakan Nepal bekas pendeta Lama ini duduk melenggut, sikapnya tidak peduli.

Masih nampak lagi empat orang pria berusia antara lima puluhan tahun yang pakaiannya seragam seperti orang-orang dari satu pasukan. Semuanya berjumlah tujuh orang dan memang, Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) kini tinggal tujuh orang lagi, karena yang enam orang telah tewas.

Tiga orang tamu itu terdiri dari seorang kakek yang sudah amat tua, usianya tentu sudah delapan puluh tahun lebih, akan tetapi dia masih kelihatan segar dan penuh semangat. Tubuhnya pendek tegap dan kepalanya botak hampir gundul sama sekali, sikapnya dan bicaranya gagah sekali. Sebatang pedang panjang model samurai Jepang tergantung di punggungnya.

Kakek ini bukan orang sembarangan. Dulu namanya pernah terkenal di dunia persilatan karena dia pernah menjadi seorang datuk sesat yang sangat ditakuti di bagian timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur). Dia seorang berbangsa Jepang yang semenjak muda sudah tinggal di pantai timur. Nama aslinya Minamoto sudah berubah menjadi Bin Mo To.

Orang kedua adalah Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Bin Mo To. Ketua Cin-ling-pai ini telah berusia lima puluh empat tahun, namun masih nampak tampan dan gagah. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang terkenal, dia nampak berwibawa dan angkuh, seperti tidak memandang mata terhadap orang-orang aneh yang berada di depannya walau pun dia tahu bahwa Raja Iblis dan teman-temannya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Isterinya yang bernama Bin Biauw, peranakan Jepang Korea itu, duduk di sisinya. Wanita yang usianya hampir lima puluh tahun ini berpakaian sederhana, namun nampak gagah dengan pedang yang tergantung di punggungnya.

Seperti sudah kita ketahui, atas bujukan ayah mertuanya serta isterinya, akhirnya ketua Cin-ling-pai ini menyetujui untuk membantu para pemberontak yang ingin menggulingkan Kaisar Ceng Tek yang dianggapnya tidak cakap itu. Sebagai seorang pendekar, Cia Kong Liang membenci pemerintahan yang penuh dengan koruptor, penuh dengan pembesar-pembesar penindas rakyat dan semua ini adalah kesalahan kaisarnya, oleh karena itu, dia mau membantu mereka yang berusaha menggulingkan kaisar, supaya kerajaan dipimpin oleh kaisar lain yang lebih baik. Tentu saja tidak demikian pendapat ayah mertuanya.

Ketua Cin-ling-pai ini keras hati dan tindakannya hanya didasari pendapatnya sendiri yang memang tak menyeleweng dari pada jalan yang benar. Cia Kong Liang tidak mempunyai pamrih pribadi ketika dia mengunjungi San-hai-koan. Satu-satunya tujuan yang ada dalam batinnya hanyalah menggulingkan kaisar yang dianggapnya tidak becus agar diganti oleh kaisar lain sehingga kehidupan rakyat akan menjadi lebih baik. Sebaliknya, Bin Mo To dan anak perempuannya memiliki ambisi besar, yaitu agar ketua Cin-ling-pai itu memperoleh kedudukan tinggi apa bila gerakan itu berhasil!

Kedatangan tiga orang tamu ini tentu saja menggirangkan hati Panglima Ji dan juga Raja Iblis. Bantuan tiga orang ini amat penting, karena di belakang ketua Cin-ling-pai ini masih terdapat anggota-anggota Cin-ling-pai dan sekali Cin-ling-pai bergerak, besar harapannya akan diikuti pula oleh perkumpulan pendekar yang lain.

Dan yang hadir di dalam ruangan itu, selain tujuh orang Cap-sha-kui sebagai pembantu-pembantu Raja Iblis, masih terdapat pula beberapa orang tokoh-tokoh sesat dan terakhir di deretan belakang, sebagai kaum muda, nampak Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa!

Setelah berkenalan secara singkat, Cia Kong Liang menyatakan maksud kedatangannya, yaitu hendak membantu gerakan para pemberontak untuk menentang dan menggulingkan kekuasaan kaisar yang dianggap tidak mampu menjadi pemimpin rakyat itu. Ji Sun Ki mendengarkan dengan wajah berseri gembira dan setelah tamunya selesai berbicara, dia pun mengangguk-angguk.

"Alangkah bahagianya hati kami menerima kunjungan Cia Pangcu (Ketua Cia), apa lagi mendengar pernyataan pangcu. Memang benar, kaisar yang sekarang sedang berkuasa adalah kaisar lalim yang dikelilingi oleh menteri-menteri korup dan jahat. Kalau kekuasaan mereka yang sekarang duduk di tampuk pemerintahan tidak digulingkan, maka kehidupan rakyat akan menjadi makin sengsara. Sebaiknya kini kami mohon pendapat Toan Ong-ya untuk menyambut uluran bantuan Cia Pangcu itu," panglima itu berkata sambil menoleh dengan sikap hormat kepada Raja Iblis yang duduk di sebelah kanannya.

Pangeran Toan Jit Ong mengangguk, kemudian menoleh ke sebelah kanannya memberi isyarat kepada isterinya. Seperti biasa, Raja Iblis ini tidak pernah atau jarang sekali bicara sendiri dan isterinya menjadi wakil pembicara. Ratu Iblis mengangguk dan memandang kepada semua yang hadir, lalu menghentikan pandang matanya kepada tiga orang tamu itu.

"Perlu cu-wi ketahui bahwa selama puluhan tahun Toan Ong-ya bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan duniawi. Akan tetapi setelah beliau mendengar akan kelaliman kaisar yang masih terhitung cucu beliau sendiri, beliau merasa amat penasaran dan bertanggung jawab untuk turun tangan. Sungguh kebetulan sekali bahwa beliau dapat bekerja sama dengan Ji-ciangkun sehingga dengan bantuan orang-orang gagah, dapat diharapkan kita bersama akan bisa menyerbu ke selatan dan menggulingkan pemerintahan yang lalim dan lemah itu. Bantuan Cia Pangcu untuk bekerja sama dengan kami benar-benar merupakan hal yang sangat baik dan mudah-mudahan akan ditiru oleh semua orang gagah di dunia. Dengan persatuan di antara kita sambil melupakan urusan pribadi, maka perjuangan ini akan dapat berhasil lebih cepat lagi. Kemudian, mengenai rencana siasat pergerakan kita, harap Ji-ciangkun yang menjelaskan sesuai dengan rencana yang telah diambil bersama." Ratu Iblis lalu mengangguk dengan anggun dan berwibawa.

Cia Kong Liang yang semula merasa ragu-ragu melihat keadaan dan sikap pangeran itu dan anak buahnya yang kelihatan kasar-kasar, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam, setelah mendengar ucapan Ratu Iblis merasa tertarik. Dari kata-katanya jelas dapat diketahui bahwa nenek itu adalah seorang terpelajar dan berpengetahuan luas dan sikap Toan Jit Ong juga begitu penuh wibawa, seperti seorang raja besar layaknya.

Panglima Ji segera menjelaskan. "Kita sudah beruntung bisa menduduki San-hai-koan ini yang dapat kita pergunakan sebagai benteng pusat, juga kita sudah berhasil menduduki dusun-dusun di sekitar daerah San-hai-koan. Kini kedudukan kita sudah cukup kuat untuk melanjutkan penyerbuan ke selatan. Akan tetapi sungguh menggemaskan, di utara timbul pergerakan dari para suku bangsa Nomad yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan bangsa Mongol yang sudah hancur. Oleh karena itu, kita diancam bahaya dari utara. Dan untuk memperkokoh kedudukan, kita harus segera merampas kota benteng Ceng-tek. Dengan demikian kita memiliki dua benteng, San-hai-koan dapat kita gunakan untuk menahan serbuan para suku bangsa dari utara, sedangkan benteng Ceng-tek dapat kita pergunakan sebagai benteng pertahanan untuk bergerak ke selatan."

Mereka lalu mengadakan perundingan, mencari siasat bagaimana akan dapat merampas benteng Ceng-tek yang dijaga ketat oleh pasukan pemerintah itu. Dalam perundingan itu, ketua Cin-ling-pai bersama isteri dan ayah mertuanya juga diikut sertakan, yang menjadi tanda bukti bahwa mereka bertiga itu telah diterima sebagai sekutu!

"Untuk gerakan ini, Toan Ong-ya sudah lama membuat gambaran rencana penyerbuan dan siasat memancing mereka keluar dari sarang," kata Ratu Iblis yang menyampaikan segulung kertas. Ji-ciangkun menerima gulungan kertas itu kemudian membukanya dan menggantung kertas yang sudah dibuka itu agar semua yang hadir dapat melihat dengan jelas.

Melihat gambar siasat penyerbuan itu, Cia Kong Liang merasa sangat kagum. Di sana digambarkan siasat yang diatur oleh Pangeran Toan Jit Ong. Dengan gambar dan tulisan dijelaskan siasat itu.

Pertama-tama pasukan yang tidak besar jumlahnya harus dapat diselundupkan ke kota Ceng-tek untuk mengatur siasat dan bergerilya membantu pasukan mereka kalau saatnya penyerbuan tiba. Kemudian pasukan besar dari San-hai-koan akan meninggalkan benteng San-hai-koan dengan berpencaran dan membuat gerakan seolah-olah hendak meluaskan wilayah dan menyerangi dusun-dusun di empat penjuru.

Yang ditinggalkan di dalam benteng hanya seperempat saja dari jumlah pasukan mereka, karena benteng San-hai-koan sudah dibuat sedemikian kokohnya sehingga musuh yang jumlahnya jauh lebih besar sekali pun tidak akan mudah dapat menjatuhkan benteng itu. Sementara itu, tiga perempat dari pasukan itu yang tadinya meninggalkan benteng dan dipencar, diam-diam bersatu kembali dan menanti kesempatan baik.

Bila mana diketahui oleh para pemimpin pasukan pemerintah di Ceng-tek bahwa benteng San-hai-koan ditinggalkan oleh sebagian besar pasukan pemberontak, tentunya Ceng-tek akan mengirim pasukan untuk menggempur lantas merampas kembali benteng itu. Nah, di dalam kesempatan inilah pasukan yang tiga perempat jumlahnya dan telah bersatu itu segera mengadakan penyerbuan kilat ke Ceng-tek, dibantu oleh mata-mata yang sudah menyelundup ke dalam kota Ceng-tek.

"Sungguh rencana siasat yang bagus sekali!" Ji-ciangkun berkata gembira, "Dan untuk tugas penyelundupan ke Ceng-tek, kami mohon bantuan Cia-pangcu dan para pendekar Cin-ling-pai. Dapatkah pangcu membantu?"

"Tentu saja Cia-pangcu dapat membantu!" Bin Mo To yang cepat mendahului mantunya. "Memang para anggota Cin-ling-pai sudah siap di luar."

Memang ketua Cin-ling-pai itu sudah menyiapkan lima puluh orang anggota Cin-ling-pai untuk membantu gerakan pemberontakan itu dan mereka sudah siap menanti di luar kota benteng San-hai-koan. Segera mereka dihubungi dan pada malam hari itu juga pasukan istimewa Cin-ling-pai ini dijamu dengan penuh penghormatan.

Dan beberapa hari kemudian, siasat itu dijalankan dengan baiknya. Pasukan di Ceng-tek yang dipimpin oleh Bhe-ciangkun terpancing, ketika para penyelidik melaporkan adanya gerakan besar-besaran dari pasukan pemberontak yang meninggalkan benteng sehingga benteng di San-hai-koan hampir kosong.

Panglima Bhe yang sampai kini masih menanti keputusan dari kota raja atas laporannya bahwa Ji-ciangkun dari San-hai-koan memberontak dan menguasai San-hai-koan, melihat kesempatan baik untuk merebut kembali kota benteng itu. Maka dia cepat mengerahkan pasukannya untuk menyerang San-hai-koan. Akan tetapi benteng ini ternyata amat kuat walau pun hanya dijaga oleh pasukan pemberontak yang tidak begitu banyak jumlahnya.

Pada saat pasukan pemerintah sibuk berusaha merampas kembali San-hai-koan, diterima berita bahwa benteng Ceng-tek diserbu oleh pasukan pemberontak yang kuat sekali! Dan dalam waktu semalam saja benteng itu jebol lantas diduduki oleh pasukan pemberontak!

Tentu saja pasukan pemerintah menjadi kacau, terlebih lagi ketika sebagian dari pasukan yang merampas Ceng-tek itu lalu digunakan oleh Ji-ciangkun untuk menyerang pasukan pemerintah dari belakang. Maka terpaksa Bhe-ciangkun menarik mundur pasukannya dan melarikan diri ke selatan sampai di Tembok Besar dan cepat mengirim berita ke kota raja untuk minta bantuan.


                 ***************

Cin-ling-pai mempunyai jasa besar dalam penyerbuan kota Ceng-tek karena perkumpulan orang gagah yang dipimpin sendiri oleh Cia Kong Liang, isteri serta mertuanya inilah yang menyelundup ke dalam kota Ceng-tek. Saat terjadi penyerbuan, mereka telah membantu dari dalam, membakari tempat-tempat penting, menyerang pembesar-pembesar sehingga kekacauan ini menyebabkan pertahanan kota Ceng-tek menjadi amat lemah dan mudah ditundukkan dan dirampas.

Untuk menyenangkan hati para pendekar Cin-ling-pai, atas petunjuk Raja Iblis, Ji-ciangkun lalu mengangkat Cia Kong Liang sebagai pimpinan pasukan keamanan di kota itu, ada pun para anggota Cin-ling-pai diangkat menjadi perwira-perwira pasukan keamanan kota Ceng-tek. Mereka itu, mulai dari para murid sampai ketuanya, bertugas dengan penuh disiplin dan semangat tinggi, merasa bahwa mereka telah menjadi pejuang-pejuang yang menegakkan keadilan dan menentang pemerintah lalim demi kebaikan rakyat dan negara.

Hanya Bin Mo To dan puterinya yang diam-diam merasa gembira dengan pengangkatan itu. Hal ini merupakan permulaan yang baik bagi Cia Kong Liang untuk menuju ke tangga kedudukan yang kelak tentu akan jauh lebih tinggi kalau pemberontakan itu berhasil. Bin Mo To yang sebelumnya secara diam-diam sudah mengadakan kontak dengan Raja Iblis dapat menyimpan rahasianya dan ketika berjumpa di San-hai-koan, dia berpura-pura tak mengenal pangeran itu.

Semenjak puterinya menikah dengan Cia Kong Liang, kakek ini memang tak lagi terjun ke dalam dunia kejahatan, namun bagaimana pun juga dia tidak mampu melawan dorongan ambisinya yang ingin melihat anak mantunya menjadi seorang yang berkedudukan tinggi sehingga dia sendiri otomatis akan terangkat martabatnya.


                   ***************

Sesudah kota Ceng-tek jatuh ke tangan para pemberontak, kekuasaan para pemberontak menjadi semakin besar dan mereka semakin rajin menyerbu ke dusun-dusun. Yang paling rajin di antara para pembantu Ji-ciangkun adalah Sim Thian Bu. Orang ini selain menjadi kekasih Siang Hwa, juga menjadi kepercayaan Raja Iblis dan Ji-ciangkun karena memang sudah banyak jasanya.

Selama ini Sim Thian Bu memperlihatkan kesetiaannya dan kesungguhan hatinya dalam membantu pasukan pemberontak menaklukkan desa-desa dan melakukan perampokan-perampokan. Oleh karena itulah dia dipercaya memimpin pasukan besar sebanyak seribu orang, bahkan dia boleh menentukan sendiri gerakan-gerakan aksinya ke desa-desa.

Thian Bu tak mau secara sembarangan menyerang dusun-dusun yang miskin. Dia selalu menyelidiki lebih dahulu apakah terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi penyerbuan pasukannya. Apa bila di dusun itu terdapat harta kekayaan, atau setidaknya ternak atau bahan makanan, terutama sekali kalau terdapat wanita-wanitanya yang muda, tentu dia akan mengerahkan anak buahnya menyerbu.

PADA suatu pagi, Sim Thian Bu menunggang kuda seorang diri. Dia mendengar dari salah seorang penyelidiknya bahwa ada serombongan orang suku bangsa Mancu memasuki sebuah dusun yang sudah kosong karena semua penghuninya telah pergi, yaitu sisa dari mereka yang terbunuh oleh pasukannya.

Yang tinggal hanyalah sisa-sisa rumah mereka yang sudah rusak dan sebagian terbakar. Mendengar berita bahwa rombongan itu terdiri dari kurang lebih seratus orang dan dalam rombongan terdapat banyak wanita cantik, hati Sim Thian Bu pun tergerak. Maka, pada pagi hari itu dengan menunggang kuda dia pergi sendiri melakukan penyelidikan.

Dusun itu berada di sebuah lereng bukit, tidak begitu jauh dari Ceng-tek. Sebuah dusun yang keadaannya sangat menyedihkan karena hanya tinggal belasan pondok yang masih utuh, selebihnya sudah menjadi puing bekas dibakar.

Pada waktu memasuki dusun itu, Thian Bu memandang dengan senyum bangga karena keadaan dusun itu merupakan hasil atau bekas tangan pasukannya. Lumayan juga hasil yang diperolehnya dari dusun ini ketika dirampoknya dua pekan yang lalu karena di sana terdapat serombongan pengungsi dari utara yang membawa harta benda cukup banyak.

Puluhan ekor kuda yang ditambatkan di lapangan rumput dekat dusun membuat Thian Bu memandang dengan gembira. Baru puluhan ekor kuda itu saja sudah akan menjadi hasil serbuan yang lumayan. Kemudian ada pemandangan lain yang menggirangkan hatinya, yaitu jemuran pakaian-pakaian wanita yang indah-indah!

Dia meloncat turun, menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan memasuki dusun itu sambil berindap dan menyelinap di antara pohon-pohon. Kemudian dia mulai melihat beberapa orang pria berjalan keluar dari dalam pondok. Mereka adalah orang-orang Mancu dan melihat pakaian mereka yang serba bagus, dia dapat menduga bahwa rombongan itu merupakan makanan yang berdaging.

Tiba-tiba saja perhatian Thian Bu tertarik pada lima orang wanita yang baru muncul dari dalam pondok sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau. Sepasang mata Thian Bu segera terbelalak. Wanita-wanita itu muda-muda, antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan semua cantik-cantik.

Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa pada tempat seperti itu dia akan dapat melihat demikian banyaknya wanita muda cantik. Wanita-wanita muda bangsa Mancu yang cantik dan berpakaian indah-indah, juga memakai perhiasan badan dari emas permata! Agaknya rombongan orang kaya raya yang kini berada di dusun ini, pikirnya dengan mulut berliur.

Karena lima orang wanita itu membawa keranjang berisi pakaian dan keluar dari pondok menuju ke sebuah sungai kecil yang mengalir tak jauh dari tempat itu. Thian Bu tidak bisa menahan diri lagi dan diam-diam dia membayangi mereka. Urusan menyerbu rombongan orang Mancu dalam dusun itu adalah soal nanti, yang terpenting baginya sekarang juga dia harus dapat melarikan seorang di antara lima gadis cantik itu.

Selama menjadi pembantu Raja Iblis, Thian Bu kekurangan hiburan karena seluruh waktu luangnya habis oleh Siang Hwa yang tak pernah mau melepaskannya. Ada pun wataknya sebagai seorang penjahat cabul, membuat dia tidak puas kalau hanya berdekatan dengan satu orang wanita yang itu-itu juga.

Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati laki-laki cabul ini ketika dia melihat lima orang wanita itu menuruni lorong kecil menuju ke anak sungai itu, dan mereka berlima segera melepas jubah luar lalu mandi-mandi sambil mencuci pakaian! Dia dapat melihat dengan jelas sekali bentuk tubuh mereka dan kecantikan mereka sehingga sukarlah dia memilih yang mana yang akan dilarikannya. Semuanya cantik manis dan memiliki daya tarik khas sendiri-sendiri.

Seperti seorang anak nakal Thian Bu bersembunyi, mendekam di balik semak-semak tak jauh dari tempat mereka mencuci pakaian dan berendam di air atau duduk di batu-batu besar itu. Matanya tak pernah berkedip, mukanya menjadi kemerahan dan buah lehernya turun naik.

"Laki-laki tidak sopan, tidak malu kau mengintai wanita-wanita mandi?!" tiba-tiba terdengar bentakan yang mengejutkan hati Thian Bu.

Thian Bu terkejut bukan karena perbuatannya diketahui orang, namun karena ada orang yang muncul di sana dan berada di belakangnya tanpa dia ketahui kedatangannya. Dia langsung menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan dan periang. Karena hatinya sedang gembira, dia pun menaruh telunjuk ke depan mulut dan berbisik,

"Sobat, kalau engkau ingin ikut menikmati pemandangan indah bersamaku, ke sinilah dan jangan ribut-ribut!"

Pemuda itu mengerutkan kedua alisnya dan mukanya berubah merah, pandang matanya mengandung kemarahan. "Aku bukan laki-laki cabul macam engkau! Sobat, pergilah dan jangan kurang ajar, kalau tidak..."

"Kalau tidak, bagaimana?" Thian Bu menjadi marah pula dan meloncat dari balik semak-semak, berdiri menghadapi pemuda itu sambil bertolak pinggang. Orang ini mengganggu kesenangannya, dan karena menganggap pemuda ini seorang pemuda biasa saja, maka dia pun bersikap sabar.

"Kalau tidak, terpaksa aku akan menyeretmu dan melemparmu pergi dari tempat ini!" kata pemuda itu dengan suara tegas.
  

cerita silat online karya kho ping hoo


Tentu saja Thian Bu menjadi marah bukan main. Dia, yang jarang menemui tandingan, bahkan kini menjadi seorang penting dari pasukan pemberontak, pembantu Raja Iblis dan Panglima Ji yang dipercaya, juga kekasih murid Raja Iblis, hendak diseret dan dilempar begitu saja oleh seorang pemuda dusun!


"Jahanam bermulut lancang! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan maka berani membuka mulut sembarangan. Untuk itu, engkau yang menjadi pengganggu kesenanganku harus mampus!" Berkata demikian, Sim Thian Bu lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang ampuh, mengerahkan tenaga sinkang karena dia ingin dengan sekali pukul membuat kepala pemuda dusun ini pecah untuk melampiaskan kemengkalan hatinya. Apa lagi lima orang wanita cantik itu mendengar suara ribut-ribut lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu, membawa cucian mereka sambil berlari-lari kecil!

Akan tetapi dapat dibayangkan alangkah kagetnya hati Thian Bu melihat pemuda dusun yang pakaiannya aneh-aneh itu berani menangkis pukulannya yang mengandung sinkang kuat itu. Dia tersenyum mengejek, lantas melanjutkan pukulannya dengan keyakinan hati bahwa tulang lengan lawan itu akan patah-patah dan tangannya tentu akan tetap dapat mengenai kepalanya.

"Dukkk...!"

Untuk kedua kalinya Thian Bu terkejut, akan tetapi sekali ini dia terkejut dan heran, juga kesakitan karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya yang kena tangkis tadi tergetar hebat dan terasa nyeri seolah-olah tulang lengannya akan patah rasanya! Barulah dia tahu bahwa pemuda dusun ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian silat yang tinggi!

"Siapa... siapakah engkau?" tanyanya terdorong oleh rasa kaget dan heran yang besar.

Pemuda itu tersenyum. Sepasang matanya yang tajam itu ikut tersenyum, dan kelihatan jenaka dan nakal. "Manusia cabul, ternyata engkau memiliki pula kepandaian yang tidak rendah. Aku tidak tahu orang macam apa adanya engkau ini dan apa keinginanmu maka mengintai para wanita yang sedang mandi, akan tetapi kalau engkau ingin tahu, namaku adalah Cia Hui Song."

Thian Bu terkejut. Dia sudah mendengar nama ini walau pun belum mengenal orangnya. Dengan sangat hati-hati dia bertanya, "Apa hubunganmu dengan ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang?"

Kini Hui Song terkejut. Kiranya orang ini sudah mengenal nama dan kedudukan ayahnya. Tentu bukan orang sembarangan. Tadi pun dia telah merasakan betapa orang itu memiliki tenaga sinkang yang kuat sekali.

"Dia adalah ayahku. Sobat, siapakah engkau yang mengenal nama ayahku?"

"Pendekar manakah yang tak mengenal nama besar Cin-ling-pai dan ketuanya? Maafkan tadi aku tidak mengenalmu, Cia-taihiap. Aku bernama Sim Thian Bu. Maafkan, ketika aku melakukan perjalanan lewat di sini, melihat wanita-wanita itu mandi... dan mereka begitu gembira, aku menjadi tertarik lalu mengintai..."

Kalau saja ketika terjadi penyergapan oleh pasukan gerombolan terhadap para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang terjadi pada siang hari, tentu Hui Song akan mengenal orang ini sebagai pembantu Gui Siang Hwa yang memimpin penyergapan itu. Akan tetapi malam itu gelap sehingga dia tidak mengenal Thian Bu dan percaya akan keterangannya. Bagaimana pun juga, dia maklum jika ada seorang laki-laki mengintai wanita-wanita yang sedang mandi, apa lagi kalau yang mandi itu adalah selir-selir Lam-nong yang demikian cantik manis dan periang.

"Sudahlah, harap engkau segera tinggalkan tempat ini. Wanita-wanita itu adalah isteri dari Lam-nong, harap jangan diganggu karena Lam-nong adalah sahabatku."

"Lam-nong...? Siapa dia?" Thian Bu bertanya, tidak mau sembrono menentang pemuda putera ketua Cin-ling-pai yang kini sudah menjadi sekutu Raja Iblis, apa lagi karena amat berbahaya melawan pemuda yang tadi sudah dia rasakan kekuatannya ketika menangkis pukulannya.

"Lam-nong adalah kepala suku Mancu Timur. Eh, saudara Sim, apakah engkau juga hadir ketika terjadi penyergapan terhadap para pendekar oleh pasukan pemberontak?"

Dengan cerdik dan hati-hati Thian Bu menggeleng kepala sambil menark napas panjang. "Sayang sekali aku datang terlambat, taihiap. Ketika aku tiba di benteng Jeng-hwa-pang, tak ada seorang pun di sana kecuali bekas-bekas pertempuran hebat. Lalu, apakah yang menjadi keputusan para pendekar yang mengadakan pertemuan di tempat itu?"

Akan tetapi Hui Song juga bukan seorang yang bodoh dan ceroboh. Dia belum mengenal betul laki-laki ini, tidak tahu siapa dia sebenarnya, oleh karena itu tentu saja dia tidak mau sembarangan saja menceritakan tentang hasil pertemuan para pendekar yang kemudian diserbu oleh pasukan pemberontak itu.

"Keputusan-keputusan itu hanya boleh diketahui oleh mereka yang hadir. Maaf, aku tidak dapat memberi tahu padamu."

Diam-diam Thian Bu merasa penasaran. Dia tahu bahwa putera ketua Cin-ling-pai tidak percaya kepadanya, dan dia dapat menduga pula bahwa Hui Song ini tentu belum tahu bahwa kini ayahnya tengah berada di kota Ceng-tek membantu Raja Iblis, membantu para pemberontak! Bagaimana pun juga, dia gembira sekali mendengar keterangan mengenai Lam-nong, kepala suku Mancu Timur yang kini bersama rombongannya berada di dusun itu.

"Sekali lagi maafkan kelancanganku, taihiap, dan perkenankan aku pergi," akhirnya dia berkata karena dia melihat datangnya beberapa orang Mancu menuju ke tempat itu.

Hui Song mengangguk dan Sim Thian Bu lalu pergi dengan cepat, diikuti pandang mata Hui Song yang masih menduga-duga orang macam apa adanya laki-laki yang berpakaian mewah dan memiliki kepandaian tinggi itu.

Enam orang Mancu yang datang itu adalah Lam-nong dan para pengawalnya. Melihat Hui Song, Lam-nong segera mengulur tangan dan memegang tangan sahabatnya itu. "Isteri-isteriku sudah bercerita bahwa engkau datang lantas bertengkar dengan seorang laki-laki. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dia?"

Hui Song tidak mau menyembunyikan urusan itu kepada sababatnya. "Tadi kulihat orang itu mengintai isteri-isterimu yang sedang mandi, maka kutegur dia dan kusuruh dia pergi. Saudara Lam-nong, engkau dan rombonganmu ini hendak pergi ke manakah?"

"Ke mana lagi kalau tidak pulang? Daerah ini berbahaya. Pasukan pemberontak membuat pembersihan di mana-mana. Mereka menyerbu ke dusun-dusun, membunuhi orang-orang dan merampok. Lihat, dusun ini pun habis dirampok dan dibakar. Kami hanya beristirahat dan bermalam di sini, besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan ke timur, pulang ke kampung halaman kami sendiri."

"Engkau tidak membantu nenek Yelu Kim?"

Lam-nong menggelengkan kepala dan menggandeng tangan sahabatnya diajak kembali ke dalam dusun. Mereka memasuki sebuah pondok yang telah dibersihkan dan dijadikan tempat bermalam Lam-nong dan para selirnya. Kedatangan Hui Song disambut dengan gembira oleh para selir yang sudah mengenalnya dan mereka semua lalu duduk di atas lantai yang ditilami tikar.

Sambil menjamu sahabatnya, Lam-nong mengajak Hui Song bercakap-cakap, sedangkan para selir hanya duduk mendengarkan saja. Mereka semua suka kepada Hui Song yang gagah, tampan dan sopan itu. Menghadapi pemuda ini dan bicara dengannya, para selir ini tidak merasa canggung atau malu-malu lagi, apa lagi karena suami mereka juga amat suka dan percaya terhadap pendekar itu.

"Bagaimana mungkin aku merendahkan diri mentaati perintah-perintah seorang wanita, sudah nenek-nenek pula? Tidak, aku tidak akan begitu merendahkan diri, lebih baik aku kembali ke timur dan lebih baik aku membantu seorang pemimpin bangsa Mancu yang kupercaya sekali waktu akan bangkit dan menjadi lebih besar dari pada suku-suku lain di utara," Lam-nong berhenti sebentar, lalu memandang kepada pendekar itu. "Dan engkau sendiri, dari mana dan hendak ke mana, Cia-taihiap? Bagaimana pula kabarnya dengan kepergianmu yang katanya hendak mengunjungi kawan-kawanmu itu?"

"Tidak baik sekali, kami yang sedang mengadakan pertemuan telah diserbu oleh pasukan pemberontak. Banyak di antara teman-teman kami tewas."

"Ahh, kalau begitu mari engkau ikut bersama kami saja ke timur, Cia-taihiap. Aku akan merasa beruntung sekali jika kelak engkau bisa membantu pergerakan kami orang-orang Mancu, apa bila waktunya sudah tiba untuk itu," kata Lam-nong yang merasa sangat suka kepada sahabat barunya ini.

Hui Song menghela napas panjang, memandang kepada Lam-nong serta isteri-isterinya. Mereka semua menatap wajahnya dengan sinar mata penuh harapan agar dia mau ikut menemani mereka. Betapa baiknya orang-orang ini, pikirnya.

"Sayang sekali, saudara Lam-nong. Sesungguhnya aku sendiri pun merasa amat senang bersama dengan kalian, akan tetapi agaknya tidak mungkin. Aku harus menentang para pemberontak, sebab mereka dipimpin oleh orang-orang jahat. Andai kata suku bangsamu turut mengangkat senjata menentang mereka, sudah pasti aku akan membantumu sekuat tenaga."

Lam-nong kemudian juga menarik napas panjang. "Sayang sekali. Akan tetapi aku tidak akan melakukan gerakan sekarang. Untuk itu bangsaku belum siap dan untuk bekerja di bawah perintah seorang nenek-nenek aku pun tidak sudi. Marilah kita bersenang-senang malam ini sebagai malam perpisahan, Cia-taihiap. Siapa tahu kita takkan saling bertemu kembali walau pun aku sungguh mengharapkan itu."

Pada malam harinya Hui Song dijamu dan mereka makan minum dengan gembira. Hui Song ditahan untuk bermalam di situ, bukan bermalam untuk tidur melainkan melewatkan malam sambil bercakap-cakap dan makan minum dengan gembira bersama Lam-nong dan isteri-isterinya.

Mereka yang sedang bergembira dalam malam perpisahan ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa malam perpisahan itu merupakan malam perpisahan yang sungguh-sungguh menyedihkan, menjadi malam mala petaka besar bagi keluarga Lam-nong dan rombongannya yang jumlahnya tidak besar itu.

Bencana ini datang dari Sim Thian Bu. Pemuda ini tentu saja mempersiapkan segalanya karena yang diincarnya ini bukan hanya rombongan yang diduganya membawa banyak harta, melainkan juga rombongan di mana terdapat wanita-wanita mudanya yang cantik manis!

Pertemuannya dengan Hui Song yang telah memberi tahu kepadanya bahwa rombongan Lam-nong itu adalah sahabat dari putera ketua Cin-ling-pai itu, membuat Thian Bu makin hati-hati. Pemuda itu tinggi ilmu silatnya dan amat berbahaya, pikirnya. Apa lagi pemuda itu adalah putera ketua Cin-ling-pai yang tentu saja tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, jika pemuda itu memihak kepada Lam-nong dan rombongannya, terpaksa dia turun tangan. Dan mengandalkan pasukannya yang amat besar itu, dia tidak takut menghadapi Cia Hui Song!

Maka, untuk meyakinkan keberhasilan pasukannya, dia mengerahkan pasukannya yang berjumlah seribu orang itu! Anak buah pasukan itu sendiri mengira bahwa mereka tentu dibawa menyerbu musuh yang besar jumlahnya dan kuat kedudukannya, maka tentu saja mereka merasa terheran-heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka serbu itu hanya serombongan orang yang kekuatannya tidak lebih dari tiga puluh orang lebih saja!

Dapat dibayangkan betapa paniknya tiga puluh orang lebih itu ketika tiba-tiba saja dusun itu sudah dikurung dan banyak sekali pasukan menyerbu mereka. Lam-nong yang sedang makan minum bersama Hui Song, sangat terkejut lalu bersama pendekar itu mengamuk dan membela diri mati-matian. Bahkan selir-selirnya pun, yang sedikit banyak pernah pula belajar ilmu membela diri karena mereka hidup di perantauan, ikut melawan dan membela diri.

Hui Song marah sekali dan dialah yang mengamuk seperti harimau kelaparan. Begitu ada penyerbuan itu, dia sudah bisa menduga bahwa penyerbu ini tentu pasukan pemberontak, sama dengan pasukan yang menyergap para pendekar di benteng kuno Jeng-hwa-pang. Maka dia pun mengamuk dengan hebatnya dan entah berapa banyak anak buah pasukan yang roboh dan terlempar oleh tamparan-tamparan dan tendangannya.

Akan tetapi jumlah lawan ini terlampau banyak, dan Hui Song maklum bahwa bagaimana pun gagahnya, menghadapi lawan yang nampaknya tidak pernah akan habis ini, akhirnya dia akan celaka sendiri. Yang terpenting adalah menyelamatkan Lam-nong.

Maka, melihat Lam-nong yang membela diri dengan pedangnya dan mengamuk dengan gagahnya itu dikepung oleh belasan orang musuh, dia pun langsung mengeluarkan suara melengking kemudian merobohkan beberapa orang ketika dia menerjang dan mendekati Lam-nong.

"Mari kita pergi, biar kulindungi engkau!" katanya kepada Lam-nong.

Kepala suku ini pun maklum betapa sia-sianya melawan. Dia pun lalu mengikuti Hui Song yang membuka jalan keluar dan sesudah merobohkan belasan orang dan membuat yang lain menjadi gentar dan mundur, dia pun menyambar tubuh kawannya itu dan dibawanya berloncatan lantas lari menjauhkan diri. Akhirnya mereka berhasil terbebas dan lolos dari kepungan pasukan dan Hui Song melarikan kawannya itu ke dalam hutan yang dekat.

"Berhenti dulu... lepaskan aku di sini, Cia-taihiap..." kata Lam-nong yang masih terengah-engah. Dan ketika Hui Song melepaskannya, Lam-nong lalu berkata, "Taihiap, kasihanilah aku, engkau bebaskanlah isteri-isteriku... kasihan mereka..."

Hui Song berdiri dan tertegun, kemudian menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Saudara Lam-nong, bagaimana mungkin itu? Kulihat pasukan itu jumlahnya besar sekali, tentu ada ratusan orang. Mana mungkin aku mampu menyelamatkan isteri-isterimu yang begitu banyak?"

Tiba-tiba Lam-nong menjatuhkan diri dan berlutut di depan kaki Hui Song. "Tidak semua, taihiap, hanya satu orang saja, hanya isteri ke tujuh. Engkau tentu tahu yang mana yang kumaksudkan. Aku cinta sekali padanya dan tanpa dia di sampingku, aku tak akan dapat hidup lagi. Tolonglah, tolonglah aku, taihiap, selamatkan kekasihku itu...!"

Hui Song merasa amat kasihan. Ia tahu betapa bahayanya memasuki dusun itu kembali, seperti orang menolong orang dari dalam sebuah rumah yang sudah terbakar dan apinya sedang berkobar saja. Akan tetapi dia merasa sangat kasihan kepada Lam-nong dan dia pun merasa bahwa kalau hanya menyelamatkan satu orang saja, kiranya dia masih akan sanggup dan besar kemungkinan akan dapat berhasil. Bagaimana pun banyaknya, para prajurit pasukan pemberontak itu hanya orang-orang yang mengandalkan pengeroyokan saja dan tidak ada yang memiliki kepandaian yang berarti.

"Baiklah, tunggu saja di sini, aku akan berusaha menyelamatkannya!" kata Hui Song dan tanpa menanti sahabatnya itu berterima kasih, dia sudah berkelebat lenyap.

Dengan cepat dia memasuki dusun yang masih ribut itu dan menyerbu ke dalam. Dan mudah saja baginya untuk memasuki rumah di mana tadi Lam-nong serta isteri-isterinya tinggal. Akan tetapi rumah itu telah kosong! Dan selagi dia kebingungan tidak tahu harus mencari ke mana, terdengar sorak sorai dan rumah itu pun sudah dikepung dengan ketat. Kiranya dia memang dijebak dan sekarang laksana seekor harimau yang jatuh ke dalam perangkap, dan para prajurit pasukan pemberontak itu menyorakinya!

Hui Song menggigit bibirnya sambil mengepal tinju. Dia akan membela diri dan melawan mati-matian, apa bila perlu dia akan menumpas semua anak buah pasukan pemberontak ini, walau hal itu nampaknya tidak mungkin mengingat betapa banyaknya jumlah mereka. Akan tetapi dia pun yakin bahwa andai kata dia tidak berhasil menemukan lagi isteri-isteri Lam-nong yang sekarang entah berada di mana itu, masih tak terlalu sukar baginya untuk menerjang ke luar dan membuka jalan darah meloloskan diri.

Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang lelaki yang membuat mata Hui Song terbelalak dan mukanya menjadi merah, matanya memancarkan api kemarahan. Laki-laki itu bukan lain adalah Sim Thian Bu!

Kini mengertilah dia! Ternyata siang tadi orang ini datang bukan hanya hendak mengintai wanita mandi, melainkan untuk memata-matai dan menyelidiki keadaan di dusun itu! Dan orang ini ternyata adalah seorang pemimpin pasukan pemberontak!

"Jahanam busuk! Kiranya engkau adalah seorang pemberontak?!" Hui Song membentak. "Bagus, aku tidak akan dapat mengampunimu lagi!"

Akan tetapi, Sim Thian Bu melintangkan pedangnya lantas berkata, "Cia-taihiap, aku tidak ingin memusuhimu. Ketahuilah bahwa banyak orang gagah yang membantu kami untuk menghadapi kaisar lalim. Menyerahlah, dan engkau akan kami sambut sebagai seorang pembantu kami yang terhormat."

"Tutup mulutmu yang busuk itu! Siapa sudi bersekutu dengan pemberontak busuk?" Hui Song menyerang dengan cepat sekali.

Akan tetapi Sim Thian Bu menyelinap di antara para prajurit, dan belasan orang prajurit dengan berbagai macam senjata kemudian menyambut terjangan Hui Song. Dua orang terdepan terjengkang muntah darah diterjang Hui Song dan yang lain-lain mundur. Akan tetapi, kepungan semakin diperketat dan puluhan batang senjata menyambar-nyambar.

Hui Song yang hanya bertangan kosong itu, cepat merampas dua batang pedang dan kini dengan sepasang pedang, dia mengamuk, menangkisi semua senjata dengan sepasang pedangnya dan merobohkan banyak sekali pengeroyok dengan tendangan-tendangannya!

Akan tetapi, betapa pun lihainya, dia hanya seorang manusia biasa dan tenaganya tentu saja terbatas. Setelah merobohkan tiga puluh orang lebih, dan bajunya sudah robek-robek terkena senjata, akhirnya Sim Thian Bu berhasil melukai pahanya dan selagi Hui Song terhuyung, belasan orang menubruknya dan dia pun akhirnya lemas terkena totokan Sim Thian Bu yang lihai.

Thian Bu melarang orang-orangnya untuk membunuh Hui Song dan dia sendiri menyeret tubuh Hui Song ke dalam sebuah kamar. Dia menambahkan beberapa totokan ke pundak dan punggung Hui Song, membuat pemuda ini menjadi lemas dan tak dapat mengerahkan sinkang, kaki tangannya seperti setengah lumpuh.

"Ha-ha-ha, Cia-taihiap, Lihat, jika aku mau membunuhmu, betapa mudahnya. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu. Bahkan aku hendak membikin senang hatimu karena aku mengharapkan engkau kelak suka membantu kami."

"Pemberontak hina, apa bila engkau mau membunuhku, lakukanlah. Dari pada bersekutu dengan pemberontak, lebih baik aku mati. Kalau engkau gagah dan memiliki kepandaian, mari kita bertanding satu lawan satu!" Dengan suara lemah Hui Song berkata.

Akan tetapi Thian Bu hanya tertawa saja, tertawa dengan sikap mengejek. Dan sesudah memerintahkan seregu pasukan pengawal untuk berjaga dengan ketat di luar kamar, dia lalu pergi meninggalkan Hui Song.

Hanya Lam-nong seorang yang berhasil lolos dari serbuan para prajurit pemberontak itu. Belasan orang wanita ditawan, sedangkan semua laki-laki dibunuh dengan kejam! Thian Bu sendiri segera mendatangi para tawanan wanita yang bersimpuh di atas lantai sambil menangis.

Di antara para selir dan para pelayan itu, dia memilih empat orang selir Lam-nong yang paling muda dan paling cantik, kemudian dia membawa empat orang wanita tawanan ini ke dalam bekas kamar Lam-nong. Empat orang wanita itu menangis dan menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar itu ketika Thian Bu membawa mereka masuk dan menutupkan pintunya.

"Ha-ha, nona-nona manis. Sekarang akulah yang menjadi suamimu, pengganti Lam-nong. Lihat, aku tidak kalah ganteng dan gagah jika dibandingkan dengan dia, bukan?" Thian Bu menyeringai dan membuka kancing bajunya, memperlihatkan dadanya yang bidang.

Priacabul ini memang berwajah tampan, berpakaian mewah dan bertubuh tegap. Memang dia mempunyai daya tarik yang kuat bagi wanita. Akan tetapi, empat orang selir itu yang masih ketakutan dan berduka karena mala petaka yang menimpa suami serta keluarga mereka, tentu saja tidak tertarik oleh gayanya ini dan mereka pun hanya berlutut di lantai, menundukkan muka dan menangis.

Melihat mereka itu menangis, Thian Bu mengerutkan alisnya yang tebal, hatinya merasa jengkel sekali. "Sudah, jangan menangis!" bentaknya. "Kalian kuajak ke sini bukan untuk bertangis-tangisan, melainkan untuk bersenang-senang!"

Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan wanita. Mendengar ini, empat orang wanita itu pun menjadi ketakutan lantas menangis semakin keras. Mereka mengenal suara jerit tangis itu sebagai suara tangis wanita-wanita yang tadi tidak terpilih oleh Thian Bu.

Belasan orang wanita, yaitu selir-selir Lam-nong dan para pelayan lainnya, oleh Thian Bu dihadiahkan kepada para pembantunya yang terdiri dari belasan orang perwira. Tentu saja orang-orang kasar ini langsung berebutan dan sebentar saja wanita-wanita itu ditarik dan dibetot sana-sini dan dipondong, dibawa ke tempat-tempat terpisah oleh orang-orang itu sehingga mereka pun menjerit-jerit dan menangis.

Mendengar jerit tangis itu, Thian Bu lalu menyeringai. "Nah, dengar itu. Mereka terpaksa harus melayani para prajurit itu dan mengingat jumlah para prajurit, tentu mereka akan hancur dan mati sebelum semua orang kebagian. Apakah kalian juga ingin kulemparkan kepada para prajurit itu?"

Empat orang wanita itu mengangkat muka dan mata mereka terbelalak memandang pada Thian Bu. Muka mereka pucat dan mereka menggeleng-gelengkan kepala, merasa ngeri membayangkan betapa mereka akan menjadi rebutan para prajurit yang kasar itu, seperti seekor kelinci dijadikan rebutan ratusan ekor harimau. Mereka tentu akan dicabik-cabik sampai tubuh mereka hancur binasa!

"Tidak... tidak... jangan...!" teriak mereka memohon.

Thian Bu tersenyum. "Jadi kalian memilih untuk melayani aku dari pada para prajurit itu? Nah, kalau begitu, hentikan tangis kalian dan bersikaplah manis!"

Saking takutnya kalau-kalau mereka dilemparkan kepada para prajurit yang buas seperti segerombolan anjing serigala itu, empat orang wanita ini lalu memaksa diri menghentikan tangis mereka. Sim Thian Bu menjadi girang bukan main dan mulailah dia membelai dan mempermainkan mereka.

Biar pun hati mereka terasa hancur, empat orang itu terpaksa mandah saja dipermainkan sesuka hati oleh Sim Thian Bu. Pemuda ini memang ganteng dan banyak pengalamannya dengan wanita. Maka tidaklah mengherankan apa bila empat orang wanita yang tadinya menangis sedih itu, pada akhirnya menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan mulai timbul kegembiraan mereka melayani pria yang ganteng dan pandai mengambil hati itu.

Ada seorang tawanan lain yang bukan wanita. Seorang kakek yang terluka pundaknya. Oleh Thian Bu, kakek ini tak boleh dibunuh, bahkan luka-lukanya diobati. Pada keesokan harinya, Thian Bu membawa kakek ini ke sebuah kamar, lalu dia berkata,

"Lihat baik-baik, dan laporkan kepada Lam-nong supaya lain kali dia berhati-hati memilih kawan. Kepercayaannya terhadap Cia Hui Song menghancurkan dia. Ayah pemuda itu, ketua Cin-ling-pai, adalah seorang tokoh di antara pasukan kami yang sedang berjuang. Lihat, sekarang dia bersenang-senang dengan kami!" Setelah berkata demikian, Thian Bu membuka daun pintu kamar itu dan membiarkan kakek Mancu ini menjenguk ke dalam. Setelah melihat ke dalam, kakek itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan makian.


Apakah yang dilihatnya? Cia Hui Song, pemuda yang selama ini sudah dianggap sebagai sahabat baik oleh Lam-nong, yang telah disambut sebagai tamu kehormatan oleh kepala sukunya itu, kini nampak rebah di atas pembaringan dengan pakaian setengah telanjang dan empat orang wanita cantik yang hampir tak berpakaian sama sekali malang melintang rebah di sisi dan di atas tubuh pendekar itu, bahkan ada yang merangkulnya! Melihat ini, tentu saja kakek itu menjadi marah karena empat orang wanita itu adalah selir-selir kepala sukunya!

"Nah, kau sudah melihat jelas? Kakek, sekarang engkau boleh pergi, cari Lam-nong dan laporkan semua yang kau lihat," kata Thian Bu sambil menutupkan lagi daun pintu kamar itu.

"Akan tetapi... kenapa... kenapa engkau membebaskan aku sedangkan semua kawanku telah dibunuh?"

"Kakek, bersyukurlah kepada para dewa bahwa wajahmu mirip sekali dengan mendiang ayahku. Itulah sebabnya mengapa aku tidak membolehkan anak buahku membunuhmu. Nah, kini cepatlah pergi!" katanya dan kakek itu pun tanpa banyak cakap lagi lantas pergi meninggalkan dusun itu.

Apakah yang telah terjadi? Mengapa empat orang wanita itu sekarang bisa berada di atas pembaringan bersama Hui Song? Ini merupakan akal Thian Bu yang memang licik sekali. Sesudah semalam suntuk puas bermain-main dengan empat orang wanita itu, kemudian dia menyuruh mereka memasuki kamar di mana Hui Song rebah tak berdaya.

"Sekarang kalian bantulah aku. Kalian tentu mengenal Cia Hui Song sahabat suami kalian itu, bukan? Nah, kalau kalian tidak ingin kuserahkan kepada para prajurit, kalian berempat sekarang harus melayani dia! Rayulah dia supaya suka bermain-main dengan kalian dan kalian boleh tidur di atas pembaringannya untuk melepaskan lelah."

Empat orang wanita yang kelelahan itu lantas digiring ke dalam kamar di mana Hui Song nampak rebah di atas pembaringan seorang diri. Dalam keadaan setengah atas hampir telanjang sama sekali, empat orang wanita itu menghampiri pembaringan.

Melihat Hui Song yang mereka suka dan menjadi kepercayaan suami mereka, mereka merasa seperti bertemu dengan seorang sahabat baik, apa lagi mengingat akan kelihaian Hui Song, mungkin mereka dapat mengharapkan pertolongannya. Maka tanpa diperintah lagi mereka segera lari dan menubruk pemuda itu. Akan tetapi, pemuda itu hanya dapat bergerak dengan lemah saja.

Di dalam hatinya, Hui Song terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa ucapan Thian Bu tadi benar-benar dibuktikannya, yaitu bahwa Thian Bu hendak menyenangkan hatinya, bahkan dengan cara yang membuat darahnya tersirap. Dia menjadi rikuh dan malu sekali saat melihat betapa empat orang selir-selir Lam-nong yang paling cantik menghampirinya dengan pakaian hampir telanjang, apa lagi ketika mereka menubruk dan merangkulnya.

Akan tetapi dia tak dapat menggerakkan kaki tangannya untuk menolak atau mengelak. Maka dia diam saja dan membiarkan mereka menangis di pundaknya, di dadanya dan mungkin akibat terpengaruh oleh rayuan-rayuan Thian Bu tadi, dan teringat akan ancaman Thian Bu, mereka bahkan mulai membelai tubuh Hui Song!

"Pergilah... jangan ganggu aku...!" kata Hui Song lemah, akan tetapi empat orang wanita itu tidak menghentikan usaha mereka.

Dalam keadaan seperti itulah tadi kakek Mancu dibawa oleh Thian Bu untuk melihat ke dalam kamar. Tentu saja dia merasa terkejut dan marah. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda yang diterima dengan ramah dan baik oleh Lam-nong itu, yang dianggap sebagai seorang sahabat suku bangsanya hanya untuk menjadi mata-mata, dan setelah terjadi penyerbuan, malah berbalik menjadi musuh dan melakukan hal-hal yang sungguh tidak patut, yaitu menjinahi isteri-isteri kepala sukunya.

Kakek Mancu itu tahu bahwa kepala sukunya, Lam-nong, dapat menyelamatkan dirinya, dan dia tahu pula di mana kepala suku itu menyembunyikan diri, karena mereka pernah melewati sebuah hutan sebelum sampai di dusun itu dan ketika itu Lam-nong mengatakan bahwa hutan itu merupakan tempat yang amat baik untuk menyembunyikan pasukan jika kelak terjadi perang di tempat itu.

Maka dia pun lalu memasuki hutan itu dan menyusup-nyusup, memanggil-manggil sambil mencari-cari. Akan tetapi baru dua hari kemudian panggilannya terjawab lantas muncullah Lam-nong dari balik semak-semak belukar.

Melihat pemimpinnya berada dalam keadaan compang-camping itu, kakek Mancu segera menjatuhkan diri berlutut lantas menangis! Lam-nong merangkul satu-satunya anak buah yang masih hidup ini dan dapat dibayangkan alangkah marah hatinya mendengar laporan orang itu bahwa seluruh anak buah dalam rombongannya telah habis dan tewas semua, dan betapa isteri-isterinya sudah menjadi korban perkosaan, dan terutama sekali betapa Cia Hui Song ternyata adalah seorang tokoh pemberontak dan juga turut pula menjinahi empat orang isterinya yang paling disayangnya!

"Mustahil!" Dia membentak. "Cia-taihiap adalah seorang sahabat dan dia pula yang telah menyelamatkan aku sampai ke sini!"

"Saya melihat sendiri dia dengan empat orang isteri paduka dalam sebuah kamar, dalam keadaan yang sangat tidak sopan dan memalukan. Saya berani bersumpah!" kata kakek itu.

Lam-nong mengerutkan alisnya dan hatinya mulai terasa panas. "Akan tetapi... mengapa dia bersikap begitu baik pada waktu menjadi tamu kita, dan dia sama sekali tidak pernah bersikap kurang ajar atau menggoda isteri-isteriku. Kenapa sikapnya bisa berbalik secara mendadak seperti itu dan kenapa pula dia sudah menyelamatkan aku kalau memang dia itu berpihak kepada musuh?"

"Dia tentu bertindak sebagai mata-mata pada waktu menjadi tamu kita, dan dia sengaja menyelamatkan paduka hanya untuk menutupi niatnya yang busuk terhadap isteri-isteri paduka. Bagaimana pun juga, sepasang mata saya tak dapat ditipu dan saya melihatnya sendiri." Kakek Mancu ini lantas menceritakan kembali dengan penggambaran yang lebih jelas apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, betapa dalam keadaan setengah telanjang Hui Song dipeluki oleh empat orang isteri Lam-nong yang telanjang bulat.

Mendengar penggambaran itu, hati Lam-nong menjadi semakin panas. Dia telah terpukul sekali mendengar tentang terbasminya seluruh anak buahnya, dan kini mendengar akan perbuatan Hui Song terhadap empat orang isterinya yang tercinta, dia mengepal tinju dan mukanya menjadi merah. Hui Song berjanji akan menyelamatkan seorang selirnya yang paling dicintanya, siapa tahu pemuda itu malah menjinahi selirnya itu bersama selir-selir lain pula.

"Keparat jahanam Cia Hui Song!" dia mengutuk, akan tetapi Lam-nong lantas menutupi mukanya dengan kedua tangannya. "Kasihan isteri-isteriku yang malang..." dan dia pun menangis!

Kakek Mancu itu menjadi terharu sekali ketika melihat pemimpinnya menangis, lantas dia pun teringat akan dua orang anaknya yang menjadi anggota rombongan dan tewas pula, maka tanpa dapat ditahannya, dia pun kini menangis. Dua orang laki-laki itu menangis di dalam hutan yang lebat dan sunyi, dengan hati dilanda duka yang amat hebat.

Dan memang sepatutnya Lam-nong menangisi isteri-isterinya karena nasib wanita-wanita itu memang menyedihkan. Sim Thian Bu adalah seorang lelaki cabul yang berhati kejam bukan main. Dia tak pernah merasa puas dengan wanita tertentu dan menganggap wanita seperti makanan atau pakaian saja. Apa bila sudah kenyang dimakannya, maka sisanya akan diberikan kepada anjing dan kalau sudah bosan memakainya, tentu bekasnya akan dicampakkan begitu saja.

Demikian pula sesudah dia merasa kenyang dan bosan terhadap empat orang wanita itu, untuk menyenangkan hati para anak buahnya, Thian Bu lalu menghadiahkan empat orang tawanan itu kepada anak buahnya. Empat orang wanita yang sejak dulu hidup berbahagia di samping Lam-nong kini mengalami nasib yang amat mengerikan. Mereka diperebutkan dan dipermainkan oleh banyak orang kasar sampai akhirnya mereka tak tahan dan tewas menyusul teman-temannya yang sudah mendahului mereka!

Akan tetapi mengapakah Thian Bu memperlakukan Hui Song seperti itu? Mengapa dia membiarkan kakek Mancu lolos setelah memberinya kesempatan melihat seolah-olah Hui Song sedang berjinah dengan empat orang selir Lam-nong?

Thian Bu melakukannya bukan hanya sekedar untuk melampiaskan rasa kemarahannya kepada Hui Song saat pemuda itu menggagalkan dia yang hendak menculik wanita ketika dia mengintai wanita-wanita yang sedang mandi itu. Dia melakukan hal ini dengan penuh perhitungan.

Ia membiarkan kakek Mancu lolos bukan sekali-kali karena wajah kakek itu mirip dengan ayahnya, sama sekali tidak. Itu hanyalah sebuah alasan belaka. Dia sengaja membiarkan kakek itu hidup agar kakek itu dapat menghubungi Lam-nong! Dia sengaja membiarkan kakek itu melihat seolah-olah Hui Song bermain gila dengan para selir Lam-nong supaya timbul kebencian dan permusuhan antara suku bangsa itu dengan Hui Song.

Dia tidak mau membunuh Hui Song, mengingat bahwa ayah pemuda itu menjadi sekutu Raja Iblis, akan tetapi dia ingin memberi kesan buruk terhadap pemuda ini kepada suku bangsa Mancu. Jika sudah demikian, maka tidak mungkin lagi Hui Song kelak membantu orang-orang Mancu. Dan dia hendak merusak nama baik Hui Song, bukan hanya untuk melampiaskan kebenciannya terhadap pemuda ini akan tetapi secara tidak langsung dia hendak menghantam pula nama baik ketua Cin-ling-pai.

Betapa pun juga, sejak dulu keluarga Cin-ling-pai adalah musuh-musuh yang dibencinya, orang-orang dari golongan pendekar yang selalu memusuhi golongannya. Dan di samping semua alasan ini, juga Thian Bu hendak main-main untuk merendahkan serta membikin malu Hui Song.

Karena memang sudah diaturnya, pada saat kakek itu melarikan diri, diam-diam Thian Bu menyuruh belasan orang pengawalnya untuk membayanginya dan kalau kakek itu sudah bertemu dengan Lam-nong, supaya menangkap mereka tanpa membunuhnya karena dia masih memiliki rencana lebih jauh dengan kepala suku Mancu Timur itu.

Demikianlah, ketika Lam-nong dan kakek Mancu itu bertangisan di dalam hutan, tiba-tiba saja muncul tiga belas orang prajurit pengawal pilihan yang langsung mengurung mereka dan membentak agar keduanya mau menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi, Lam-nong yang sedang dilanda duka dan dendam itu, tentu saja tidak sudi menyerah. Dia mencabut pedangnya dan mengamuk, dibantu oleh kakek Mancu yang sudah luka pundaknya.

Mereka berdua mengamuk secara nekat tanpa mempedulikan keselamatan nyawa sendiri sehingga tiga belas orang pengawal itu agak kewalahan. Kalau saja mereka diperintahkan membunuh, tentu kedua orang itu sudah terbunuh sejak tadi. Akan tetapi mereka dilarang membunuh, melainkan disuruh menangkap dua orang itu hidup-hidup dan inilah sukarnya.

Dua orang itu amat nekat, membuat para pengeroyok itu sulit menangkapnya hidup-hidup. Bagaimana pun juga, karena dikeroyok oleh banyak orang, perlahan-lahan Lam-nong dan pembantunya mulai kehabisan tenaga dan napas mereka sudah terengah-engah, tubuh sudah basah oleh keringat. Agaknya tidak lama lagi mereka akan roboh sendiri kehabisan tenaga sehingga akan mudah ditawan.

Pemimpin regu pengawal pemberontak itu juga tahu mengenai hal ini, maka dalam suatu kesempatan yang baik, kakinya terayun dan tepat mengenai lutut kanan Lam-nong yang lalu roboh terguling. Empat orang menubruknya dan kakek Mancu yang sudah kehabisan tenaga itu pun dapat tertangkap dari belakang dan keduanya lalu dibelenggu. Lam-nong meronta-ronta dan memaki-maki, akan tetapi dia segera tidak berdaya sesudah kaki dan tangannya diikat.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan dua orang prajurit terpelanting disusul oleh dua orang prajurit juga terpelanting ke kanan kiri. Semua orang melihat dan ternyata yang datang adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang gagah perkasa. Begitu mereka berdua itu tadi menggerakkan tangan, empat orang langsung terpelanting dan hal ini amat mengejutkan hati pasukan itu, juga membuat mereka marah.

Sembilan orang sisa pasukan pengawal itu segera mencabut senjata dan tanpa banyak cakap mereka lalu menerjang dan mengeroyok laki-laki dan wanita yang baru datang itu. Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan mudah saja, dua orang itu mengelak dan begitu mereka menggerakkan kaki tangan membalas, sembilan orang itu terpelanting satu demi satu! Untung bagi tiga belas orang prajurit pemberontak itu bahwa laki-laki dan wanita ini agaknya tidak berhati kejam dan tidak bermaksud membunuh sehingga mereka itu hanya menderita luka-luka ringan saja.

Akan tetapi mereka segera maklum bahwa dua orang ini adalah orang-orang sakti. Hati mereka menjadi gentar sekali dan tanpa menanti komando lagi mereka cepat berloncatan tunggang langgang melarikan diri dari tempat berbahaya itu, meninggalkan kedua orang tawanan yang sudah mereka belenggu.

Suami isteri setengah tua yang gagah perkasa itu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong. Tidak mengherankan kalau dalam satu gebrakan saja tiga belas orang prajurit pemberontak itu terpelanting semua. Setelah semua prajurit melarikan diri, Ceng Thian Sin lalu melepaskan ikatan tangan kaki Lam-nong dan pembantunya.

Setelah dibebaskan dari belenggu, Lam-nong berdiri memandang dua orang penolongnya itu dengan penuh perhatian, kemudian dengan suara kaku dia bertanya dalam bahasa Han. "Apakah kalian ini dua orang pendekar dari selatan?"

Tentu saja suami isteri itu merasa heran melihat sikap serta mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi sambil tersenyum Thian Sin mengangguk. "Benar, kami datang dari selatan. Sobat, siapakah engkau dan mengapa kalian ditangkap oleh pasukan itu?"

Tiba-tiba Lam-nong mengepal tinju sambil memandang marah. "Sudahlah! Aku tidak mau berurusan dengan segala pendekar dari selatan yang berhati palsu. Dari pada nanti kalian akan mengkhianati aku lebih baik kalian membunuhku sekarang juga!" Berkata demikian, tiba-tiba saja Lam-nong menyerang kalang kabut kepada Thian Sin. Tentu saja pendekar ini menjadi kaget dan terheran-heran, cepat mengelak.

"Manusia tak kenal budi memang lebih baik mampus!" Toan Kim Hong berseru marah dan tangannya telah bergerak hendak menghajar orang yang diselamatkan akan tetapi malah berbalik memusuhi mereka itu.

Akan tetapi suaminya memegang pundaknya dan mencegahnya menyerang Lam-nong. Dia sendiri lalu menghadapi Lam-nong dan ketika tangan orang itu menyambar ke depan, dia cepat menangkap sehingga tubuh Lam-nong tidak mampu bergerak lagi.

"Nanti dulu, sobat. Segala perkara harus dibicarakan dulu, tidak membabi buta menuduh dan menyerang orang. Apakah yang sudah terjadi dan mengapa engkau membenci para pendekar dari selatan?"

Akan tetapi Lam-nong tidak menjawab dan ketika Thian Sin melepaskan tangannya, dia pun menutupi mukanya dan menangis lagi! Hal ini tentu saja mengejutkan hati suami isteri itu dan Thian Sin lalu bertanya kepada pembantu Lam-nong yang hanya berdiri dengan wajah kusut dan muram.

"Sobat, sebenarnya apakah yang telah terjadi pada kalian?"

Kakek Mancu itu menarik napas panjang lantas menjawab dalam bahasa Han yang kaku akan tetapi cukup jelas. "Dia ini adalah pemimpin kami bernama Lam-nong, kepala suku Mancu Timur yang biasa hidup tenteram. Akan tetapi dalam perjalanan sekali ini kami tertimpa bencana. Semua anggota rombongan kami terbunuh oleh pasukan pemberontak, harta benda dirampok dan wanita-wanita kami juga ditawan. Yang amat menyedihkan dan menggemaskan hati, semua ini gara-gara pengkhianatan seorang pendekar dari selatan."

"Hemm, gara-gara seorang pendekar dari selatan? Apa yang sudah dilakukan pendekar itu?"

"Beberapa waktu yang lalu pemimpin kami telah bertemu dan bersahabat dengan seorang pendekar dan memperlakukan dia sebagai tamu agung dan sebagai sahabat. Akan tetapi, ketika rombongan kami diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemberontak, barulah ternyata bahwa pendekar yang tadinya kami kira seorang sahabat itu bukan lain adalah seorang mata-mata pemberontak yang keji bukan main dan sudah mengkhianati kami!" Kakek itu mengepal tinju dan suaranya terdengar marah.

Agaknya Lam-nong kini sudah berhasil menguasai dirinya. Dia menambahkan. "Coba saja bayangkan, orang yang kuanggap sebagai sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri, ketika rombonganku, anak buahku semua tertimpa bencana dan tewas, dia... dia malah menodai isteri-isteriku... dan aku yakin sekali bahwa dia tentu mempergunakan paksaan, kalau tidak, tak mungkin isteri-isteriku bertindak serong dan berjinah!"

Suami isteri itu sangat terkejut. Kalau seperti itu perbuatan pendekar itu, maka dia sama sekali bukan pendekar melainkan seorang penjahat yang mengaku sebagai pendekar.

"Ah, dia itu penjahat keji yang terkutuk, bukan pendekar!" Toan Kim Hong berseru marah.

"Akan tetapi dia seorang pendekar, bahkan putera seorang tokoh yang terkenal. Menurut keterangannya, ayahnya ialah seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang besar. Tidak, Cia Hui Song adalah seorang pendekar, namun ternyata hatinya busuk dan penuh khianat keji!"

"Apa...?! Siapa...?!" Ceng Thian Sin berseru kaget dan dia memegang lengan Lam-nong dengan kuat sehingga kepala suku itu menyeringai kesakitan.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12