Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 26
HANYA kaum
tua yang mewakili partai-partai besar itu saja yang mengenal empat orang ini
lantas memperkenalkan mereka dengan sikap hormat kepada para pendekar. Mereka
ini adalah Ciu-sian Lo-kai, Go-bi San-jin, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin.
Seperti sudah kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai adalah guru Ci Kang, Go-bi San-jin
menjadi guru Cia Sun. Wu-yi Lo-jin menjadi guru Sui Cin sedangkan Siang-kiang
Lo-jin menjadi guru Hui Song.
Dan mereka
berempat ini bukanlah asing satu sama lain. Puluhan tahun yang lalu mereka
merupakan empat di antara tokoh penting di dunia persilatan yang sudah
dikalahkan dan ditaklukkan oleh Raja Iblis, lalu mereka mengundurkan diri dari
dunia ramai untuk bertapa dan memperdalam ilmu.
Dua orang di
antara mereka sudah meninggal dunia dalam pertapaan mereka dan empat orang
kakek ini pun tadinya sudah mengambil keputusan hendak mengasingkan diri dan
tidak mencampuri urusan duniawi sampai mati. Akan tetapi, kini mereka semua
terpaksa bangkit dan turun tangan sesudah mendengar betapa Raja Iblis telah
muncul kembali ke dunia ramai, bahkan sedang merencanakan pemberontakan sesudah
berhasil menguasai para datuk golongan hitam. Dan seperti yang kita ketahui,
mereka telah mengambil murid pilihan masing-masing yang kemudian sengaja mereka
gembleng dan mereka wariskan semua ilmu mereka kepada murid-murid itu untuk
kelak dapat dipergunakan menghadapi Raja Iblis.
Puluhan
tahun yang lalu pernah terjadi kelucuan antara Ciu-sian Lo-kai dan Wu-yi
Lo-jin. Karena keduanya tukang minum arak, dan keduanya selalu membawa guci
arak, ketika saling bertemu terjadilah keributan di antara mereka, yaitu saling
memperebutkan julukan Ciu-sian (Dewa Arak). Untuk menentukan siapa yang lebih
berhak memakai julukan Dewa Arak, keduanya lalu bertanding, bukan bertanding
silat, melainkan bertanding minum arak dengan sewajarnya tanpa mempergunakan
akal dan ilmu sinkang.
Dalam
pertandingan ini, sesudah mereka berdua menghabiskan belasan guci besar arak
yang kiranya bisa untuk menjamu dua ratus orang, akhirnya Wu-yi Lo-jin menyerah
kalah! Dan mulai saat itu pula kakek berpakaian jembel berhak memakai julukan
Ciu-sian Lo-kai, sedangkan kakek yang selalu berpakaian mewah memakai julukan
Wu-yi Lo-jin, biar pun julukan Ciu-sian atau Dewa Arak masih menempel secara
tidak resmi pada dirinya.
Pertemuan
antara empat orang kakek itu menggembirakan mereka dan mereka merasa muda
kembali dan penuh semangat perjuangan. Mereka berempat ini bersama beberapa
orang kakek tokoh partai-partai persilatan yang besar berada di dalam lingkaran
itu, dekat api unggun, dikelilingi oleh para pendekar dari berbagai aliran.
Tanpa pemilihan dan tanpa diumumkan, empat orang ini lantas dipandang sebagai
pimpinan, apa lagi karena mereka berempat itulah yang sudah mengenal Raja
Iblis, juga kesaktiannya yang sangat tersohor dan menggemparkan dunia
persilatan.
Wu-yi Lo-jin
yang usianya sudah sangat lanjut, delapan puluh tahun lebih, masih nampak sehat
dan gembira. Kepalanya gundul botak. Alis, kumis, jenggot dan sedikit rambut
yang tersisa di belakang kepalanya sudah putih semua. Jenggotnya putih panjang
sampai ke perut. Pakaiannya berkembang-kembang, dari kain yang baru dan indah.
Beberapa
kali dia minum arak dari gucinya yang besar tanpa menawarkan kepada orang lain.
Kini nampak dia menggerakkan tangan kiri ke atas dan berkata, "Mati pun
aku tidak akan dapat memejamkan mataku bila mana Raja Iblis itu belum terbasmi
habis sampai ke akar-akarnya!"
"Bicara
memang enak dan mudah, akan tetapi pelaksanaannya yang amat sulit!"
Ciu-sian Lo-kai yang selalu memiliki perasaan bersaing dengan Dewa Arak yang
lain itu mencela. "Aku kira menentang Raja Iblis sekarang ini sama artinya
dengan menentang puluhan ribu orang prajurit. Dia telah menguasai San-hai-koan
dan sudah bergabung dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Ji
Sun Ki. Mana mungkin kita mengandalkan kaki tangan biasa saja untuk menempuh
dan melawan pasukan yang terdiri dari laksaan orang? Kita harus mencari cara
yang lebih tepat."
"Betul,
memang sekarang ini, dengan jumlah kita yang hanya seratus orang lebih, kiranya
tidak mungkin melawan laksaan orang prajurit. Tadinya kita bermaksud untuk
menentang Raja Iblis bersama antek-anteknya yang tentu jumlahnya tidaklah
terlalu besar bagi kita. Hui Song, muridku, sudah kuperintah melakukan penyelidikan
di antara para kepala suku karena di sana pun teriadi pergerakan-pergerakan.
Hui Song, coba kau ceritakan semua yang kau ketahui," kata Siang-kiang
Lo-jin atau Si Dewa Kipas kepada pemuda itu.
Dewa Kipas
ini masih tetap gendut sekali perutnya. Kepalanya botak, dengan sedikit saja
rambut pada belakang kepala. Jubahnya, seperti biasa, tidak dapat tertutup
saking besar perutnya dan juga karena memang tidak suka hawa panas. Kipasnya
yang amat lebar itu kini berkembang dan digerak-gerakkan ke arah perutnya.
Kakek berusia tujuh puluh tahun lebih ini pun masih nampak sehat.
Hui Song
lalu bangkit berdiri di antara mereka yang duduk membentuk lingkaran sehingga
semua mata ditujukan kepadanya. Dia lalu menceritakan tentang segala yang
dialaminya, mulai dari jatuhnya kota San-hai-koan sampai pada para kepala suku
yang mengadakan pertemuan dan pemilihan pimpinan.
"Dengan
adanya pemberontakan yang terjadi di kota San-hai-koan, para kepala suku liar
itu telah mengambil keputusan hendak mempergunakan kesempatan untuk membonceng
keadaan dan mulai gerakan mereka ke selatan untuk menghidupkan kembali
kekuasaan bangsa utara. Pertama-tama mereka akan menyerang para pemberontak dan
mengambil alih kota-kota yang telah diduduki oleh para pemberontak, kemudian
menyusun kekuatan dan bergerak terus ke selatan." Demikian dia mengakhiri
ceritanya.
Semua orang
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ahhh,
kalau begitu, sama saja dengan kita melibatkan diri ke dalam urusan pemerintah
dan pemberontakan. Padahal, bukan demikian maksud kita semula. Kita hanya
bergerak untuk menentang Raja Iblis," kata Go-bi San-jin, kakek berjubah
pendeta, jubahnya bersih dan baru, mukanya hitam dan matanya lebar menambah
kegagahan kakek berusia tujuh puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar ini.
"Kalau saja kita bisa menyerbu Raja Iblis dan antek-anteknya selagi mereka
semua berada di tempat persembunyian Raja Iblis, tentu kita tidak perlu
berurusan dengan pasukan pemerintah mau pun pasukan pemberontak. Muridku sudah
berhasil menemukan tempat persembunyian Raja Iblis itu. Cia Sun, lekas
ceritakan pengalamanmu."
Cia Sun
bangkit berdiri, kemudian dia bercerita tentang gedung kuno di lereng bukit
yang menjadi tempat persembunyian dan pertapaan Raja dan Ratu Iblis. "Akan
tetapi, agaknya akan sukar menemukan mereka di tempat itu," katanya
sebagai penutup penuturannya. "Setelah kota San-hai-koan mereka rampas,
tentu Raja Iblis dan para kaum sesat itu ikut memasuki kota untuk mempertahankan
kota itu."
"Walau
pun demikian," bantah Go-bi San-jin, "apa bila pasukan pemberontak
itu sampai dipukul hancur, tentu tempat itu menjadi tempat pelarian Raja Iblis
dan Cap-sha-kui. Nah, kalau mereka sudah lari ke sana, barulah kita dapat
menyergap dan menyerang mereka tanpa adanya campur tangan pasukan."
"Semua
itu tidak penting," Wu-yi Lo-jin berkata, "kini yang penting adalah
bagaimana kita akan bertindak selanjutnya. Sayang bahwa muridku belum datang
memberi laporan."
Tiba-tiba
Hui Song bangkit berdiri dan berkata, "Locianpwe, saya sudah bertemu
dengan nona Ceng Sui Cin. Dia sekarang membantu nenek Yelu Kim yang telah
diangkat menjadi pemimpin para kepala suku. Dia berpendapat bahwa untuk
menentang Raja Iblis yang sudah bergabung dengan pasukan pemberontak, harus
dilakukan dengan menggunakan pasukan pula. Karena itu, dia akan membantu para
suku liar kalau mereka menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutu Raja
Iblis."
"Bagus
sekali!" Wu-yi Lo-jin berkata girang. "Ahh, muridku memang cerdik
sekali. Melihat keadaannya sekarang, tidak ada jalan lain bagi kita untuk
menentang Raja Iblis kecuali dengan jalan membantu pasukan-pasukan yang
menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutunya itu. Sebaiknya kita
berpencar, masing-masing harus mengambil jalan dan cara sendiri, baik secara
perseorangan mau pun bergabung dan membantu pasukan pemerintah atau pasukan
mana saja yang menentang Raja Iblis dan sekutunya."
Semua orang
merasa setuju dengan usul ini. Memang kebanyakan para pendekar lebih senang
bekerja sendiri-sendiri secara bebas, tidak ditentukan oleh siasat suatu
pimpinan, walau pun tujuan dari gerakan mereka mempunyai arah yang sama dan
tertentu, yakni menentang kekuasaan Raja Iblis. Maka, mendengar ucapan para
tokoh tua itu, mereka menerimanya dengan gembira.
Hanya
Ciu-sian Lo-kai seorang yang tidak nampak gembira. Kemuraman tipis menyelimuti
wajahnya yang biasanya gembira itu. Dia merasa kecewa karena muridnya,
Siangkoan Ci Kang, tidak muncul di dalam pertemuan itu. Akan tetapi, dia tidak
mau memperlihatkan kekecewaannya ini dan dia hanya menggunakan pandang matanya
untuk melihat-lihat ke sekeliling tempat itu dengan harapan kemunculan Ci Kang
yang amat dlharapkannya.
Tiba-tiba
sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, bukan karena melihat Ci Kang,
akan tetapi karena dia melihat gerakan orang-orang di luar tembok bekas benteng
itu dan sebagai seorang pendekar yang sudah banyak memiliki pengalaman, dia
dapat menduga apa artinya gerakan orang-orang ini.
Mendadak
kakek ini meloncat ke depan dan menginjak-injak api unggun sambil berseru,
"Semua berpencar! Kita dikepung!"
Mendengar
ini dan melihat sepak terjang Ciu-sian Lo-kai, semua orang menjadi terkejut.
Para tokoh tua yang melihat betapa orang seperti Ciu-sian Lo-kai terlihat amat
gugup dan tegang, mengerti bahwa tentu keadaannya gawat, maka mereka pun cepat
turun tangan membantu memadamkan api unggun.
"Berpencar
dan bersembunyi!" teriak Go-bi San-jin.
"Lihat
dulu siapa mereka! Kalau pasukan sekutu Raja Iblis, kita lawan
mati-matian!" kata pula Wu-yi Lo-jin.
"Buka
jalan darah dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing!" teriak
Siang-kiang Lo-jin yang maklum bahwa kalau pasukan yang datang dalam jumlah
yang amat banyak, melawan pun tidak akan menguntungkan.
Tiba-tiba
saja terdengar bunyi terompet disusul derap kaki banyak orang dan benar saja,
tempat itu telah dikepung oleh sedikitnya seribu orang prajurit yang sekarang
menyerbu ke dalam benteng kuno itu sambil bersorak-sorak. Dengan senjata golok
atau pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri, pasukan besar itu
menyerbu ke dalam benteng, dipimpin oleh beberapa orang yang amat lihai
gerakannya.
Tentu saja
para pendekar yang sudah siap itu lalu menyambut dengan perlawanan secara
mati-matian dan terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam
pekarangan luas itu, dalam cuaca yang remang-remang karena hanya disinari bulan
purnama.
Pasukan yang
menyerbu itu dipimpin oleh Gui Siang Hwa, lalu nampak orang-orang yang
pakaiannya dan perawakannya aneh, namun mereka ini memiliki gerakan yang amat
lihai. Mereka ini adalah orang-orang Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain.
Kiranya Raja Iblis telah mengetahui adanya pertemuan para pendekar itu sebagai
hasil penyelidikan Siang Hwa dan pembantunya.
Gadis murid
Raja Iblis yang amat cerdik ini memang amat lincah dan pandai menyebar
orang-orangnya. Mendengar adanya pertemuan para pendekar di daerah utara, Raja
Iblis lalu mengirim pasukan dari San-hai-koan berjumlah seribu orang lebih yang
dibantu dan dipimpin oleh Siang Hwa bersama para datuk Cap-sha-kui. Raja Iblis
menghendaki agar semua pendekar yang berada di benteng tua Jeng-hwa-pang itu
ditumpas habis.
Di sebelah
Siang Hwa nampak seorang pemuda tampan yang gerakannya juga sangat gagah.
Pemuda ini adalah Sim Thian Bu! Seperti kita ketahui, Sim Thian Bu adalah murid
mendiang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta. Bagaimanakah murid itu malah
membantu pasukan Raja Iblis, padahal gurunya tewas di tangan Ratu Iblis?
Agaknya Sim
Thian Bu tidak menaruh dendam atas kematian gurunya. Dua hari yang lalu, pada
suatu pagi, dia yang melakukan perjalanan seorang diri tiba di lereng sebuah
bukit yang amat sunyi, di sebuah padang rumput. Tiba-tiba Thian Bu berpapasan
dengan Siang Hwa yang menunggang kuda. Biar pun dia sedang berjalan kaki dan
penunggang kuda itu membalapkan kuda dengan cepat sekali, namun Thian Bu yang
mata keranjang itu dapat melihat bahwa penunggang kuda itu adalah seorang
wanita muda yang cantik sekali.
Sebaliknya,
biar pun dia tengah sibuk dengan segala macam urusan pemberontakan yang
dibantunya, namun melihat seorang pemuda gagah dan ganteng berada seorang diri
di tempat sunyi itu, Siang Hwa segera merasa tertarik sekali. Ia menghentikan kudanya
dan memutar kudanya, menjalankan kuda itu menghampiri Thian Bu.
Pemuda ini
pun sudah merasa amat tertarik dan gembira sekali, maka setelah Siang Hwa
menghentikan kudanya di hadapannya, dia memandang sambil tersenyum. Mereka
saling pandang, saling memperhatikan, lantas keduanya tersenyum, terpesona oleh
keanggunan masing-masing.
"Selamat
pagi, nona!" Thian Bu yang memang jagoan dalam menghadapi dan mengambil
hati wanita itu berkata dan memberi hormat dengan sikap sopan, wajahnya berseri
penuh keramahan. "Sungguh mengejutkan sekali di tempat seperti ini bertemu
dengan seorang wanita cantik jelita seperti nona. Sebuah kejutan yang sangat
menggembirakan hati. Dari mana hendak ke manakah nona yang sendirian saja di
tempat liar ini?"
Siang Hwa
tersenyum, senyum manis yang penuh daya pikat. Dia senang sekali melihat sikap
pemuda tampan itu. "Pertanyaan yang sama benar dengan yang berada di dalam
hatiku. Siapakah engkau yang berada seorang diri di tempat sunyi ini?"
Thian Bu
tertawa gembira. Seorang wanita yang selain cantik serta menggairahkan, juga
tidak pemalu. Dan melihat pedang yang tergantung di punggung itu, dia dapat
menduga bahwa wanita ini bukan orang lemah, apa lagi kenyataan bahwa seorang
diri wanita ini berani berkeliaran di tempat liar penuh bahaya itu.
"Nona,
namaku Sim Thian Bu. Senang sekali berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona
dan bagaimana seorang gadis cantik jelita seperti nona dapat berada di tempat
liar seperti ini?"
Siang Hwa
tersenyum. Pemuda ini sungguh menarik hatinya. "Engkau sungguh tabah,
berani berada seorang diri di tempat ini. Tidak takutkah kau bertemu dengan
suku-suku liar? Ataukah engkau termasuk seorang pendekar yang akan menghadiri
pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang?"
"Ha-ha,
seorang gadis muda cantik seperti nona tidak takut bersendirian di sini, apa
lagi seorang laki-laki seperti aku."
"Akan
tetapi aku dapat membela diri dengan baik, kaki tanganku berikut pedangku akan
mampu menghalau semua bahaya yang mengancam diriku."
"Aku
pun tidak takut akan bahaya, nona, dan selama ini kaki dan tanganku pun mampu
melindungi diriku dari ancaman bahaya. Ehh, nona belum memperkenalkan diri.
Siapakah nama nona yang cantik dan gagah?"
Siang Hwa
semakin tertarik dan dia pun meloncat turun dari atas kudanya, membiarkan
kudanya makan rumput yang hijau subur dengan membuka kendali kudanya.
"Aihh,
benarkah engkau ahli membela diri? Tentu ilmu silatmu tinggi sekali. Nah, mari
kita bermain silat sebentar, kalau ternyata engkau mampu menandingi aku,
barulah aku akan memperkenalkan namaku. Tapi kalau engkau ternyata hanya
seorang pemuda biasa saja, tidak perlu aku memperkenalkan nama."
Melihat
pemuda yang tampan, nampak gagah dan bersikap menarik serta pandai merayu itu,
timbul gairah dan kegembiraan di dalam hati Siang Hwa. Dia sudah terlalu lama
sibuk mengurus hal-hal yang serius, karena itu dia membutuhkan hiburan sebagai
selingan dan pemuda ini, baik dari wajahnya, bentuk tubuhnya mau pun sikapnya
menjanjikan hiburan manis yang menyenangkan.
Sebaliknya,
Thian Bu adalah seorang mata keranjang yang selalu tertarik apa bila melihat
wanita cantik, maka sikap Siang Hwa sungguh menggembirakan hatinya. Tidak ada
yang lebih menyenangkan dari pada bermain cinta dengan seorang wanita cantik,
dan bermain silat dengan wanita cantik pun tidak kalah menggembirakannya.
Karena itu dia pun cepat meloncat ke belakang mencari tempat yang lebih enak
agak menjauhi kuda.
"Mari
nona, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, aku tidak biasa bertanding
tanpa taruhan. Oleh karena itu, mari kita bertaruh dalam pertandingan silat
ini," ajaknya sambil bertolak pinggang dengan sikap gagah.
Siang Hwa
tersenyum gembira lantas menggulung lengan bajunya. Nampaklah sepasang lengan
yang berkulit putih bersih dan berbentuk bulat indah. Dia pun bertolak pinggang
dengan sikap menantang, akan tetapi wajahnya berseri gembira.
"Baik,
apa taruhannya?"
"Kalau
aku sampai kalah olehmu, maka aku akan menurut segala permintaanmu," jawab
Thian Bu.
"Akur!
Apa pun yang kuperintahkan harus kau taati. Dan kalau aku kalah?"
"Tentu
sama juga, semua permintaanku harus kau penuhi."
Keduanya
saling pandang sambil tersenyum karena mereka sudah sama-sama tahu apa maksud
yang tersembunyi di balik taruhan itu.
"Nah,
mari kita mulai. Lihat seranganku!" Siang Hwa membentak dan dia pun
menyerang dengan cepat, mengayun tangannya menyambar ke arah dada Thian Bu.
Pemuda itu
melihat datangnya serangan yang sangat cepat dan didahului angin pukulan kuat,
diam-diam terkejut karena dia tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata
demikian cepat dan kuatnya. Dia pun menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukkk...!"
Keduanya terpental akan tetapi Sim Thian Bu sampai terhuyung.
"Aihhhh...!"
Kini dia benar-benar kaget dan Siang Hwa tertawa mengejek lalu menyerang lagi.
Karena
maklum bahwa gadis itu ternyata jauh lebih lihai dari pada yang dikiranya, dia
pun segera menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menyerang. Terjadilah
pertandingan yang seru dan ramai. Keduanya memang sudah saling tertarik maka
tentu saja tidak suka saling melukai, namun bagaimana pun juga, keduanya
sama-sama ingin keluar sebagai pemenang karena tentu akan lebih senang
memerintah dari pada mentaati perintah.
Setelah
perkelahian berlangsung selama lima puluh jurus, diam-diam Siang Hwa merasa
gembira sekali. Pemuda ini bukan hanya ganteng, akan tetapi juga cukup lihai
sehingga cukup berharga untuk dijadikan kekasih merangkap pembantunya!
Sebaliknya,
Thian Bu mulai merasa khawatir ketika memperoleh kenyataan pahit bahwa dia
tidak mampu mengatasi lawannya. Dia khawatir bahwa kalau sampai dia kalah,
wanita ini mengajukan permintaan bukan seperti yang diharapkannya, namun yang
malah akan memberatkan dirinya. Kalau dia menang, tentu dia tidak hanya akan
minta supaya wanita itu mengakui namanya, akan tetapi juga akan minta agar
wanita itu suka melayaninya dan menjadi kekasihnya untuk beberapa hari lamanya!
Maka dia pun
mengeluarkan seluruh tenaganya dan mengerahkan semua kepandaiannya. Bagaimana
pun juga, harus diakuinya bahwa dia kalah setingkat. Dia mulai terdesak dan
tiba-tiba saja, dalam keadaan terdesak dan menghadapi serangan bertubi-tubi itu
lututnya disentuh ujung sepatu Siang Hwa.
Thian Bu
merasa betapa kaki kanannya kesemutan dan seperti lumpuh, maka pada saat tangan
Siang Hwa mendorong dadanya, dia pun terjengkang dan terjatuh ke atas tanah
yang bertilamkan rumput tebal. Sebelum dia dapat melompat bangun, Siang Hwa
sudah menubruknya, menekan pundaknya dengan jari tangan mengancam ubun-ubun
kepalanya dan wanita itu tersenyum menghardik,
"Engkau
sudah kalah!"
Melihat
sikap dan senyum itu, Thian Bu tersenyum pula. "Ya, aku sudah kalah. Aku
sudah takluk dan akan mentaati permintaanmu."
"Bagus!
Nah, kau peluklah aku, kau cintailah aku!"
Thian Bu
terbelalak girang, langsung merangkul dan menarik wanita itu ke atas tubuhnya.
"Ha-ha-ha, itulah yang akan kuminta kalau aku menang!"
"Kau
kira aku tidak tahu?" Siang Hwa juga berkata dan balas merangkul.
Mereka
berciuman dan bergumul di atas rumput tebal di tempat yang sunyi itu. Memang
dua orang ini seperti lalat dengan sampah, cocok satu sama lain sehingga
setelah saling bertemu, mereka seperti merasa memperoleh tandingan yang
menyenangkan dan cocok sekali. Sampai matahari naik tinggi mereka masih lupa
diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan mengumbar nafsu mereka sepuasnya.
Sesudah puas
bermesraan dengan kekasih barunya itu, Siang Hwa mengajak Thian Bu duduk
berteduh di bawah pohon. Sambil memegang tangan pemuda itu dan menatapnya
dengan sinar mata mesra, dia berkata, "Sim Thian Bu, engkau adalah murid
mendiang Siangkoan Lo-jin, bukan?"
Bagi Thian
Bu, ucapan ini tidak mengejutkan. Nama gurunya memang sangat terkenal di dunia
dan sejak tadi dia pun dapat menduga bahwa wanita yang sangat menyenangkan
hatinya ini tentu dari golongan sesat. Yang membuat dia merasa tak enak adalah
karena dia sendiri belum mengenal siapa adanya wanita ini, walau pun telah
menjadi kekasihnya. Sejak tadi dia terus menduga-duga siapa gerangan wanita
muda yang selain cantik, juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi ini.
"Benar,
sayang. Dan engkau sendiri? Ilmu silatmu begitu hebat..."
"Nanti
dulu. Aku mendengar bahwa gurumu itu tewas di tangan Raja Iblis Pangeran Toan
Jit Ong dan isterinya. Benarkah?"
Thian Bu
mengangguk, tidak mengerti apa maksud wanita ini bertanya tentang hal itu.
"Apakah
engkau tidak menaruh dendam atas kematian gurumu itu?" Sepasang mata yang
jeli namun genit itu memandang penuh selidik.
Thian Bu
cukup cerdik untuk bersikap hati-hati. Kini dia mulai dapat menduga bahwa tentu
wanita ini mempunyai hubungan dekat dengan Raja Iblis, maka dia pun
menggelengkan kepala. "Mendiang suhu tewas karena dia menentang Toan
Ong-ya, dan itu merupakan kesalahannya sendiri. Dia tidak tahu diri dan tidak
mau menerima kehadiran orang yang jauh lebih kuat. Aku sendiri bahkan ingin
membantu Toan Ong-ya, akan tetapi aku takut untuk menghadap karena tentu aku
akan dicurigai sebagai murid mendiang suhu yang tewas di tangan beliau."
Giranglah
hati Siang Hwa mendengar ini. Ia lalu merangkul dan mencium orang muda itu.
"Kekasihku, jangan khawatir. Ada aku di sini yang akan menanggungmu bahwa
engkau pasti akan diterima dengan hati girang oleh Toan Ong-ya."
"Engkau?
Mengapa bisa begitu?"
"Karena
aku adalah satu di antara muridnya yang paling dipercaya dan dikasihi."
"Ahh...!"
Thian Bu benar-benar terkejut akan tetapi juga girang bahwa dia telah berhasil
memikat hati murid terkasih Raja Iblis! "Pantas saja ilmu silatmu begitu
hebat. Aku akan senang sekali kalau dapat membantu gurumu, yang berarti akan
membantumu dan akan selalu berada di sampingmu."
"Jangan
khawatir, mari kita pergi dan mulai saat ini, engkau tidak akan terpisah
dariku."
Demikianiah,
sejak saat itu juga Sim Thian Bu menjadi pembantu Siang Hwa yang paling boleh
diandalkan, di samping juga menjadi kekasihnya yang melayaninya setiap saat dia
menghendaki. Bahkan ketika dihadapkan kepada Raja dan Ratu Iblis, suhu dan
subo-nya itu pun menerima Thian Bu dengan girang. Dan pada waktu penyerbuan
terhadap para pendekar di dalam benteng Jeng-hwa-pang itu Thian Bu juga berada
di samping Siang Hwa, membantu dan ikut menyerbu.
Kita kembali
ke dalam bekas benteng Jeng-hwa-pang. Penyerbuan yang terjadi secara mendadak
itu tentu saja amat mengejutkan dan membuat panik para pendekar. Namun mereka
adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak mau menyerah begitu saja.
Begitu pasukan
itu menyerbu masuk, mereka melakukan perlawanan dengan gigih. Dan karena
rata-rata para pendekar memiliki ilmu silat tinggi, sebentar saja tempat itu
penuh dengan tubuh anak buah pasukan yang berserakan dan tumpang tindih.
Akan tetapi
jumlah pasukan itu jauh lebih besar, apa lagi di antara mereka terdapat pula
orang-orang pandai Cap-sha-kui, juga Siang Hwa dan Thian Bu. Oleh karena itu,
para pendekar terdesak dan banyak pula di antara mereka yang roboh setelah
terlebih dahulu merobohkan beberapa orang prajurit. Para pendekar segera
terhimpit dan cerai berai, dan terpaksa mencari jalan keluar berdarah untuk
menyelamatkan diri.
Akhirnya
hanya tokoh-tokoh besar yang mempunyai kepandaian tinggi saja di antara para
pendekar yang mampu meloloskan diri. Sedikitnya lima puluh orang pendekar yang
tewas dalam pertempuran itu dan selebihnya berhasil lolos. Akan tetapi,
mayat-mayat anak buah pasukan pemberontak yang berserakan tewas di sana tidak
kurang dari dua ratus orang jumlahnya!
Meski pun
demikian, Siang Hwa merasa girang sekali dan membawa pulang pasukan ke
San-hai-koan dengan gembira dan merasa telah memperoleh hasil baik dalam
membasmi sebagian dari para pendekar yang menjadi musuh besar gurunya dan
golongannya. Dan di San-hai-koan mereka disambut dengan girang dan pujian.
Dalam
kesempatan ini Siang Hwa menonjolkan jasa Thian Bu sehingga Raja Iblis makin
percaya pada pemuda ini. Bahkan panglima pemberontak Ji Sun Ki juga
mempercayakan seribu orang prajurit untuk dipimpin oleh Sim Thian Bu, untuk
menyerbu dan menduduki dusun-dusun di sekitar kota San-hai-koan untuk
memperluas dan memperkuat kedudukan mereka di samping merampok bahan-bahan
makanan dan ternak untuk ransum.
***************
Kini
San-hai-koan telah menjadi kota benteng pemberontak. Pintu gerbangnya dijaga
oleh pengawal-pengawal pasukan pemberontak dan setiap orang yang memasuki kota
itu tentu akan digeledah dan diperiksa. Penjagaan sangat ketat. Selain benteng
San-hai-koan, juga dusun-dusun di sekitar daerah itu telah diduduki pasukan
pemberontak.
Pada suatu
pagi, San-hai-koan didatangi tiga orang tamu yang disambut dengan sangat
hormat. Bahkan begitu tiba tiga orang itu diterima di dalam markas. Panglima Ji
Sun Ki lalu mengadakan perjamuan kehormatan dan dalam kesempatan ini Raja dan
Ratu Iblis sendiri ikut hadir!
Siapakah
tamu-tamu yang amat dihormati itu? Mereka bertiga kini sudah berada di dalam
sebuah ruangan yang luas, menghadapi meja besar panjang, berhadapan dengan Ji
Sun Ki sendiri yang berpakaian panglima gemerlapan.
Pangeran
Toan Jit Ong berpakaian agak pantas, berwarna kuning gading, tapi rambutnya
yang putih itu tetap saja riap-riapan, mukanya yang kehijauan nampak serius dan
hanya jenggot kumis yang pendek terpelihara rapi itu yang membuat dia nampak
agak pantas. Isterinya juga hadir, pakaiannya juga warna putih dan kuning,
kainnya baru dan bersih, akan tetapi rambutnya juga masih riap-riapan.
Suami isteri
ini duduk dengan sikapnya yang angkuh di sebelah kanan Panglima Ji yang amat
menghormati mereka. Di sebelah kiri panglima itu duduk pula lima orang panglima
pembantu dan di deretan lain duduklah orang-orang aneh yang sikapnya
menyeramkan. Mereka adalah orang-orang Cap-sha-kui yang kini sudah berkumpul
semua dan menjadi pembantu-pembantu Raja Iblis.
Nampak
Koai-pian Hek-mo, kakek berusia enam puluh lima tahun yang tinggi besar dan
bermuka hitam, bermata bulat dan hidungnya besar, mulutnya lebar tertutup kumis
dan jenggot yang brewok. Di punggungnya nampak sebatang cambuk baja yang
panjang dan ujungnya dipasangi paku.
Di sebelah
kakek ini duduk Hwa Hwa Kui-bo, nenek berusia lima puluh empat tahun yang
mukanya memakai kedok hitam hingga yang nampak hanya mata, hidung dan bibir
saja. Mulutnya besar dan buruk, tubuhnya ramping dan di punggungnya tergantung
sebatang pedang. Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo ini adalah tokoh-tokoh
muara Huang-ho dan merupakan tokoh Cap-sha-kui yang terkenal.
Kemudian
nampak pula Tho-te-kwi (Setan Malaikat Bumi), kakek raksasa yang umurnya telah
enam puluh tahun lebih. Kakek ini amat menyeramkan, tingginya satu setengah
kali orang biasa dan perawakannya serba besar. Pakaiannya hijau agak utuh,
tidak compang camping seperti biasanya, kaki tangannya memakai gelang emas yang
besar dan berat. Kakek peranakan Nepal bekas pendeta Lama ini duduk melenggut,
sikapnya tidak peduli.
Masih nampak
lagi empat orang pria berusia antara lima puluhan tahun yang pakaiannya seragam
seperti orang-orang dari satu pasukan. Semuanya berjumlah tujuh orang dan
memang, Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) kini tinggal tujuh orang lagi, karena
yang enam orang telah tewas.
Tiga orang
tamu itu terdiri dari seorang kakek yang sudah amat tua, usianya tentu sudah
delapan puluh tahun lebih, akan tetapi dia masih kelihatan segar dan penuh
semangat. Tubuhnya pendek tegap dan kepalanya botak hampir gundul sama sekali,
sikapnya dan bicaranya gagah sekali. Sebatang pedang panjang model samurai
Jepang tergantung di punggungnya.
Kakek ini
bukan orang sembarangan. Dulu namanya pernah terkenal di dunia persilatan
karena dia pernah menjadi seorang datuk sesat yang sangat ditakuti di bagian
timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur). Dia seorang berbangsa
Jepang yang semenjak muda sudah tinggal di pantai timur. Nama aslinya Minamoto
sudah berubah menjadi Bin Mo To.
Orang kedua adalah
Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Bin Mo To. Ketua
Cin-ling-pai ini telah berusia lima puluh empat tahun, namun masih nampak
tampan dan gagah. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang terkenal,
dia nampak berwibawa dan angkuh, seperti tidak memandang mata terhadap
orang-orang aneh yang berada di depannya walau pun dia tahu bahwa Raja Iblis
dan teman-temannya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Isterinya
yang bernama Bin Biauw, peranakan Jepang Korea itu, duduk di sisinya. Wanita
yang usianya hampir lima puluh tahun ini berpakaian sederhana, namun nampak
gagah dengan pedang yang tergantung di punggungnya.
Seperti
sudah kita ketahui, atas bujukan ayah mertuanya serta isterinya, akhirnya ketua
Cin-ling-pai ini menyetujui untuk membantu para pemberontak yang ingin
menggulingkan Kaisar Ceng Tek yang dianggapnya tidak cakap itu. Sebagai seorang
pendekar, Cia Kong Liang membenci pemerintahan yang penuh dengan koruptor,
penuh dengan pembesar-pembesar penindas rakyat dan semua ini adalah kesalahan
kaisarnya, oleh karena itu, dia mau membantu mereka yang berusaha menggulingkan
kaisar, supaya kerajaan dipimpin oleh kaisar lain yang lebih baik. Tentu saja
tidak demikian pendapat ayah mertuanya.
Ketua Cin-ling-pai
ini keras hati dan tindakannya hanya didasari pendapatnya sendiri yang memang
tak menyeleweng dari pada jalan yang benar. Cia Kong Liang tidak mempunyai
pamrih pribadi ketika dia mengunjungi San-hai-koan. Satu-satunya tujuan yang
ada dalam batinnya hanyalah menggulingkan kaisar yang dianggapnya tidak becus
agar diganti oleh kaisar lain sehingga kehidupan rakyat akan menjadi lebih
baik. Sebaliknya, Bin Mo To dan anak perempuannya memiliki ambisi besar, yaitu
agar ketua Cin-ling-pai itu memperoleh kedudukan tinggi apa bila gerakan itu
berhasil!
Kedatangan
tiga orang tamu ini tentu saja menggirangkan hati Panglima Ji dan juga Raja
Iblis. Bantuan tiga orang ini amat penting, karena di belakang ketua
Cin-ling-pai ini masih terdapat anggota-anggota Cin-ling-pai dan sekali
Cin-ling-pai bergerak, besar harapannya akan diikuti pula oleh perkumpulan
pendekar yang lain.
Dan yang
hadir di dalam ruangan itu, selain tujuh orang Cap-sha-kui sebagai
pembantu-pembantu Raja Iblis, masih terdapat pula beberapa orang tokoh-tokoh
sesat dan terakhir di deretan belakang, sebagai kaum muda, nampak Sim Thian Bu
dan Gui Siang Hwa!
Setelah
berkenalan secara singkat, Cia Kong Liang menyatakan maksud kedatangannya,
yaitu hendak membantu gerakan para pemberontak untuk menentang dan
menggulingkan kekuasaan kaisar yang dianggap tidak mampu menjadi pemimpin
rakyat itu. Ji Sun Ki mendengarkan dengan wajah berseri gembira dan setelah
tamunya selesai berbicara, dia pun mengangguk-angguk.
"Alangkah
bahagianya hati kami menerima kunjungan Cia Pangcu (Ketua Cia), apa lagi
mendengar pernyataan pangcu. Memang benar, kaisar yang sekarang sedang berkuasa
adalah kaisar lalim yang dikelilingi oleh menteri-menteri korup dan jahat.
Kalau kekuasaan mereka yang sekarang duduk di tampuk pemerintahan tidak
digulingkan, maka kehidupan rakyat akan menjadi makin sengsara. Sebaiknya kini
kami mohon pendapat Toan Ong-ya untuk menyambut uluran bantuan Cia Pangcu
itu," panglima itu berkata sambil menoleh dengan sikap hormat kepada Raja
Iblis yang duduk di sebelah kanannya.
Pangeran
Toan Jit Ong mengangguk, kemudian menoleh ke sebelah kanannya memberi isyarat
kepada isterinya. Seperti biasa, Raja Iblis ini tidak pernah atau jarang sekali
bicara sendiri dan isterinya menjadi wakil pembicara. Ratu Iblis mengangguk dan
memandang kepada semua yang hadir, lalu menghentikan pandang matanya kepada
tiga orang tamu itu.
"Perlu
cu-wi ketahui bahwa selama puluhan tahun Toan Ong-ya bertapa dan tidak pernah
mencampuri urusan duniawi. Akan tetapi setelah beliau mendengar akan kelaliman
kaisar yang masih terhitung cucu beliau sendiri, beliau merasa amat penasaran
dan bertanggung jawab untuk turun tangan. Sungguh kebetulan sekali bahwa beliau
dapat bekerja sama dengan Ji-ciangkun sehingga dengan bantuan orang-orang gagah,
dapat diharapkan kita bersama akan bisa menyerbu ke selatan dan menggulingkan
pemerintahan yang lalim dan lemah itu. Bantuan Cia Pangcu untuk bekerja sama
dengan kami benar-benar merupakan hal yang sangat baik dan mudah-mudahan akan
ditiru oleh semua orang gagah di dunia. Dengan persatuan di antara kita sambil
melupakan urusan pribadi, maka perjuangan ini akan dapat berhasil lebih cepat
lagi. Kemudian, mengenai rencana siasat pergerakan kita, harap Ji-ciangkun yang
menjelaskan sesuai dengan rencana yang telah diambil bersama." Ratu Iblis
lalu mengangguk dengan anggun dan berwibawa.
Cia Kong
Liang yang semula merasa ragu-ragu melihat keadaan dan sikap pangeran itu dan
anak buahnya yang kelihatan kasar-kasar, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah
golongan hitam, setelah mendengar ucapan Ratu Iblis merasa tertarik. Dari
kata-katanya jelas dapat diketahui bahwa nenek itu adalah seorang terpelajar
dan berpengetahuan luas dan sikap Toan Jit Ong juga begitu penuh wibawa,
seperti seorang raja besar layaknya.
Panglima Ji
segera menjelaskan. "Kita sudah beruntung bisa menduduki San-hai-koan ini
yang dapat kita pergunakan sebagai benteng pusat, juga kita sudah berhasil
menduduki dusun-dusun di sekitar daerah San-hai-koan. Kini kedudukan kita sudah
cukup kuat untuk melanjutkan penyerbuan ke selatan. Akan tetapi sungguh
menggemaskan, di utara timbul pergerakan dari para suku bangsa Nomad yang
agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan bangsa Mongol yang sudah hancur.
Oleh karena itu, kita diancam bahaya dari utara. Dan untuk memperkokoh
kedudukan, kita harus segera merampas kota benteng Ceng-tek. Dengan demikian
kita memiliki dua benteng, San-hai-koan dapat kita gunakan untuk menahan
serbuan para suku bangsa dari utara, sedangkan benteng Ceng-tek dapat kita
pergunakan sebagai benteng pertahanan untuk bergerak ke selatan."
Mereka lalu
mengadakan perundingan, mencari siasat bagaimana akan dapat merampas benteng
Ceng-tek yang dijaga ketat oleh pasukan pemerintah itu. Dalam perundingan itu,
ketua Cin-ling-pai bersama isteri dan ayah mertuanya juga diikut sertakan, yang
menjadi tanda bukti bahwa mereka bertiga itu telah diterima sebagai sekutu!
"Untuk
gerakan ini, Toan Ong-ya sudah lama membuat gambaran rencana penyerbuan dan
siasat memancing mereka keluar dari sarang," kata Ratu Iblis yang
menyampaikan segulung kertas. Ji-ciangkun menerima gulungan kertas itu kemudian
membukanya dan menggantung kertas yang sudah dibuka itu agar semua yang hadir
dapat melihat dengan jelas.
Melihat
gambar siasat penyerbuan itu, Cia Kong Liang merasa sangat kagum. Di sana
digambarkan siasat yang diatur oleh Pangeran Toan Jit Ong. Dengan gambar dan
tulisan dijelaskan siasat itu.
Pertama-tama
pasukan yang tidak besar jumlahnya harus dapat diselundupkan ke kota Ceng-tek
untuk mengatur siasat dan bergerilya membantu pasukan mereka kalau saatnya
penyerbuan tiba. Kemudian pasukan besar dari San-hai-koan akan meninggalkan
benteng San-hai-koan dengan berpencaran dan membuat gerakan seolah-olah hendak
meluaskan wilayah dan menyerangi dusun-dusun di empat penjuru.
Yang
ditinggalkan di dalam benteng hanya seperempat saja dari jumlah pasukan mereka,
karena benteng San-hai-koan sudah dibuat sedemikian kokohnya sehingga musuh
yang jumlahnya jauh lebih besar sekali pun tidak akan mudah dapat menjatuhkan
benteng itu. Sementara itu, tiga perempat dari pasukan itu yang tadinya meninggalkan
benteng dan dipencar, diam-diam bersatu kembali dan menanti kesempatan baik.
Bila mana
diketahui oleh para pemimpin pasukan pemerintah di Ceng-tek bahwa benteng
San-hai-koan ditinggalkan oleh sebagian besar pasukan pemberontak, tentunya
Ceng-tek akan mengirim pasukan untuk menggempur lantas merampas kembali benteng
itu. Nah, di dalam kesempatan inilah pasukan yang tiga perempat jumlahnya dan
telah bersatu itu segera mengadakan penyerbuan kilat ke Ceng-tek, dibantu oleh
mata-mata yang sudah menyelundup ke dalam kota Ceng-tek.
"Sungguh
rencana siasat yang bagus sekali!" Ji-ciangkun berkata gembira, "Dan
untuk tugas penyelundupan ke Ceng-tek, kami mohon bantuan Cia-pangcu dan para
pendekar Cin-ling-pai. Dapatkah pangcu membantu?"
"Tentu
saja Cia-pangcu dapat membantu!" Bin Mo To yang cepat mendahului mantunya.
"Memang para anggota Cin-ling-pai sudah siap di luar."
Memang ketua
Cin-ling-pai itu sudah menyiapkan lima puluh orang anggota Cin-ling-pai untuk
membantu gerakan pemberontakan itu dan mereka sudah siap menanti di luar kota
benteng San-hai-koan. Segera mereka dihubungi dan pada malam hari itu juga
pasukan istimewa Cin-ling-pai ini dijamu dengan penuh penghormatan.
Dan beberapa
hari kemudian, siasat itu dijalankan dengan baiknya. Pasukan di Ceng-tek yang
dipimpin oleh Bhe-ciangkun terpancing, ketika para penyelidik melaporkan adanya
gerakan besar-besaran dari pasukan pemberontak yang meninggalkan benteng
sehingga benteng di San-hai-koan hampir kosong.
Panglima Bhe
yang sampai kini masih menanti keputusan dari kota raja atas laporannya bahwa
Ji-ciangkun dari San-hai-koan memberontak dan menguasai San-hai-koan, melihat
kesempatan baik untuk merebut kembali kota benteng itu. Maka dia cepat
mengerahkan pasukannya untuk menyerang San-hai-koan. Akan tetapi benteng ini
ternyata amat kuat walau pun hanya dijaga oleh pasukan pemberontak yang tidak
begitu banyak jumlahnya.
Pada saat
pasukan pemerintah sibuk berusaha merampas kembali San-hai-koan, diterima
berita bahwa benteng Ceng-tek diserbu oleh pasukan pemberontak yang kuat
sekali! Dan dalam waktu semalam saja benteng itu jebol lantas diduduki oleh
pasukan pemberontak!
Tentu saja
pasukan pemerintah menjadi kacau, terlebih lagi ketika sebagian dari pasukan
yang merampas Ceng-tek itu lalu digunakan oleh Ji-ciangkun untuk menyerang
pasukan pemerintah dari belakang. Maka terpaksa Bhe-ciangkun menarik mundur
pasukannya dan melarikan diri ke selatan sampai di Tembok Besar dan cepat
mengirim berita ke kota raja untuk minta bantuan.
***************
Cin-ling-pai
mempunyai jasa besar dalam penyerbuan kota Ceng-tek karena perkumpulan orang
gagah yang dipimpin sendiri oleh Cia Kong Liang, isteri serta mertuanya inilah
yang menyelundup ke dalam kota Ceng-tek. Saat terjadi penyerbuan, mereka telah
membantu dari dalam, membakari tempat-tempat penting, menyerang
pembesar-pembesar sehingga kekacauan ini menyebabkan pertahanan kota Ceng-tek
menjadi amat lemah dan mudah ditundukkan dan dirampas.
Untuk
menyenangkan hati para pendekar Cin-ling-pai, atas petunjuk Raja Iblis,
Ji-ciangkun lalu mengangkat Cia Kong Liang sebagai pimpinan pasukan keamanan di
kota itu, ada pun para anggota Cin-ling-pai diangkat menjadi perwira-perwira
pasukan keamanan kota Ceng-tek. Mereka itu, mulai dari para murid sampai
ketuanya, bertugas dengan penuh disiplin dan semangat tinggi, merasa bahwa
mereka telah menjadi pejuang-pejuang yang menegakkan keadilan dan menentang
pemerintah lalim demi kebaikan rakyat dan negara.
Hanya Bin Mo
To dan puterinya yang diam-diam merasa gembira dengan pengangkatan itu. Hal ini
merupakan permulaan yang baik bagi Cia Kong Liang untuk menuju ke tangga
kedudukan yang kelak tentu akan jauh lebih tinggi kalau pemberontakan itu
berhasil. Bin Mo To yang sebelumnya secara diam-diam sudah mengadakan kontak
dengan Raja Iblis dapat menyimpan rahasianya dan ketika berjumpa di
San-hai-koan, dia berpura-pura tak mengenal pangeran itu.
Semenjak
puterinya menikah dengan Cia Kong Liang, kakek ini memang tak lagi terjun ke
dalam dunia kejahatan, namun bagaimana pun juga dia tidak mampu melawan
dorongan ambisinya yang ingin melihat anak mantunya menjadi seorang yang
berkedudukan tinggi sehingga dia sendiri otomatis akan terangkat martabatnya.
***************
Sesudah kota
Ceng-tek jatuh ke tangan para pemberontak, kekuasaan para pemberontak menjadi
semakin besar dan mereka semakin rajin menyerbu ke dusun-dusun. Yang paling
rajin di antara para pembantu Ji-ciangkun adalah Sim Thian Bu. Orang ini selain
menjadi kekasih Siang Hwa, juga menjadi kepercayaan Raja Iblis dan Ji-ciangkun
karena memang sudah banyak jasanya.
Selama ini
Sim Thian Bu memperlihatkan kesetiaannya dan kesungguhan hatinya dalam membantu
pasukan pemberontak menaklukkan desa-desa dan melakukan perampokan-perampokan.
Oleh karena itulah dia dipercaya memimpin pasukan besar sebanyak seribu orang,
bahkan dia boleh menentukan sendiri gerakan-gerakan aksinya ke desa-desa.
Thian Bu tak
mau secara sembarangan menyerang dusun-dusun yang miskin. Dia selalu
menyelidiki lebih dahulu apakah terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi
penyerbuan pasukannya. Apa bila di dusun itu terdapat harta kekayaan, atau
setidaknya ternak atau bahan makanan, terutama sekali kalau terdapat
wanita-wanitanya yang muda, tentu dia akan mengerahkan anak buahnya menyerbu.
PADA suatu
pagi, Sim Thian Bu menunggang kuda seorang diri. Dia mendengar dari salah
seorang penyelidiknya bahwa ada serombongan orang suku bangsa Mancu memasuki
sebuah dusun yang sudah kosong karena semua penghuninya telah pergi, yaitu sisa
dari mereka yang terbunuh oleh pasukannya.
Yang tinggal
hanyalah sisa-sisa rumah mereka yang sudah rusak dan sebagian terbakar.
Mendengar berita bahwa rombongan itu terdiri dari kurang lebih seratus orang
dan dalam rombongan terdapat banyak wanita cantik, hati Sim Thian Bu pun
tergerak. Maka, pada pagi hari itu dengan menunggang kuda dia pergi sendiri
melakukan penyelidikan.
Dusun itu
berada di sebuah lereng bukit, tidak begitu jauh dari Ceng-tek. Sebuah dusun
yang keadaannya sangat menyedihkan karena hanya tinggal belasan pondok yang
masih utuh, selebihnya sudah menjadi puing bekas dibakar.
Pada waktu
memasuki dusun itu, Thian Bu memandang dengan senyum bangga karena keadaan
dusun itu merupakan hasil atau bekas tangan pasukannya. Lumayan juga hasil yang
diperolehnya dari dusun ini ketika dirampoknya dua pekan yang lalu karena di
sana terdapat serombongan pengungsi dari utara yang membawa harta benda cukup
banyak.
Puluhan ekor
kuda yang ditambatkan di lapangan rumput dekat dusun membuat Thian Bu memandang
dengan gembira. Baru puluhan ekor kuda itu saja sudah akan menjadi hasil
serbuan yang lumayan. Kemudian ada pemandangan lain yang menggirangkan hatinya,
yaitu jemuran pakaian-pakaian wanita yang indah-indah!
Dia meloncat
turun, menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan memasuki dusun itu sambil
berindap dan menyelinap di antara pohon-pohon. Kemudian dia mulai melihat
beberapa orang pria berjalan keluar dari dalam pondok. Mereka adalah
orang-orang Mancu dan melihat pakaian mereka yang serba bagus, dia dapat menduga
bahwa rombongan itu merupakan makanan yang berdaging.
Tiba-tiba
saja perhatian Thian Bu tertarik pada lima orang wanita yang baru muncul dari
dalam pondok sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau. Sepasang mata Thian Bu
segera terbelalak. Wanita-wanita itu muda-muda, antara dua puluh sampai tiga
puluh tahun, dan semua cantik-cantik.
Sungguh
tidak pernah disangkanya bahwa pada tempat seperti itu dia akan dapat melihat
demikian banyaknya wanita muda cantik. Wanita-wanita muda bangsa Mancu yang
cantik dan berpakaian indah-indah, juga memakai perhiasan badan dari emas
permata! Agaknya rombongan orang kaya raya yang kini berada di dusun ini,
pikirnya dengan mulut berliur.
Karena lima
orang wanita itu membawa keranjang berisi pakaian dan keluar dari pondok menuju
ke sebuah sungai kecil yang mengalir tak jauh dari tempat itu. Thian Bu tidak
bisa menahan diri lagi dan diam-diam dia membayangi mereka. Urusan menyerbu
rombongan orang Mancu dalam dusun itu adalah soal nanti, yang terpenting
baginya sekarang juga dia harus dapat melarikan seorang di antara lima gadis
cantik itu.
Selama
menjadi pembantu Raja Iblis, Thian Bu kekurangan hiburan karena seluruh waktu
luangnya habis oleh Siang Hwa yang tak pernah mau melepaskannya. Ada pun
wataknya sebagai seorang penjahat cabul, membuat dia tidak puas kalau hanya
berdekatan dengan satu orang wanita yang itu-itu juga.
Dapat
dibayangkan betapa girang rasa hati laki-laki cabul ini ketika dia melihat lima
orang wanita itu menuruni lorong kecil menuju ke anak sungai itu, dan mereka
berlima segera melepas jubah luar lalu mandi-mandi sambil mencuci pakaian! Dia
dapat melihat dengan jelas sekali bentuk tubuh mereka dan kecantikan mereka
sehingga sukarlah dia memilih yang mana yang akan dilarikannya. Semuanya cantik
manis dan memiliki daya tarik khas sendiri-sendiri.
Seperti
seorang anak nakal Thian Bu bersembunyi, mendekam di balik semak-semak tak jauh
dari tempat mereka mencuci pakaian dan berendam di air atau duduk di batu-batu
besar itu. Matanya tak pernah berkedip, mukanya menjadi kemerahan dan buah
lehernya turun naik.
"Laki-laki
tidak sopan, tidak malu kau mengintai wanita-wanita mandi?!" tiba-tiba
terdengar bentakan yang mengejutkan hati Thian Bu.
Thian Bu
terkejut bukan karena perbuatannya diketahui orang, namun karena ada orang yang
muncul di sana dan berada di belakangnya tanpa dia ketahui kedatangannya. Dia
langsung menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang pemuda yang
berwajah tampan dan periang. Karena hatinya sedang gembira, dia pun menaruh telunjuk
ke depan mulut dan berbisik,
"Sobat,
kalau engkau ingin ikut menikmati pemandangan indah bersamaku, ke sinilah dan
jangan ribut-ribut!"
Pemuda itu
mengerutkan kedua alisnya dan mukanya berubah merah, pandang matanya mengandung
kemarahan. "Aku bukan laki-laki cabul macam engkau! Sobat, pergilah dan
jangan kurang ajar, kalau tidak..."
"Kalau
tidak, bagaimana?" Thian Bu menjadi marah pula dan meloncat dari balik
semak-semak, berdiri menghadapi pemuda itu sambil bertolak pinggang. Orang ini
mengganggu kesenangannya, dan karena menganggap pemuda ini seorang pemuda biasa
saja, maka dia pun bersikap sabar.
"Kalau
tidak, terpaksa aku akan menyeretmu dan melemparmu pergi dari tempat ini!"
kata pemuda itu dengan suara tegas.
Tentu saja
Thian Bu menjadi marah bukan main. Dia, yang jarang menemui tandingan, bahkan
kini menjadi seorang penting dari pasukan pemberontak, pembantu Raja Iblis dan
Panglima Ji yang dipercaya, juga kekasih murid Raja Iblis, hendak diseret dan
dilempar begitu saja oleh seorang pemuda dusun!
"Jahanam
bermulut lancang! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan maka
berani membuka mulut sembarangan. Untuk itu, engkau yang menjadi pengganggu
kesenanganku harus mampus!" Berkata demikian, Sim Thian Bu lalu menyerang
dengan pukulan tangannya yang ampuh, mengerahkan tenaga sinkang karena dia
ingin dengan sekali pukul membuat kepala pemuda dusun ini pecah untuk melampiaskan
kemengkalan hatinya. Apa lagi lima orang wanita cantik itu mendengar suara
ribut-ribut lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu, membawa cucian mereka
sambil berlari-lari kecil!
Akan tetapi
dapat dibayangkan alangkah kagetnya hati Thian Bu melihat pemuda dusun yang
pakaiannya aneh-aneh itu berani menangkis pukulannya yang mengandung sinkang
kuat itu. Dia tersenyum mengejek, lantas melanjutkan pukulannya dengan
keyakinan hati bahwa tulang lengan lawan itu akan patah-patah dan tangannya
tentu akan tetap dapat mengenai kepalanya.
"Dukkk...!"
Untuk kedua
kalinya Thian Bu terkejut, akan tetapi sekali ini dia terkejut dan heran, juga
kesakitan karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya yang kena tangkis
tadi tergetar hebat dan terasa nyeri seolah-olah tulang lengannya akan patah
rasanya! Barulah dia tahu bahwa pemuda dusun ini ternyata seorang yang memiliki
kepandaian silat yang tinggi!
"Siapa...
siapakah engkau?" tanyanya terdorong oleh rasa kaget dan heran yang besar.
Pemuda itu
tersenyum. Sepasang matanya yang tajam itu ikut tersenyum, dan kelihatan jenaka
dan nakal. "Manusia cabul, ternyata engkau memiliki pula kepandaian yang
tidak rendah. Aku tidak tahu orang macam apa adanya engkau ini dan apa
keinginanmu maka mengintai para wanita yang sedang mandi, akan tetapi kalau
engkau ingin tahu, namaku adalah Cia Hui Song."
Thian Bu
terkejut. Dia sudah mendengar nama ini walau pun belum mengenal orangnya.
Dengan sangat hati-hati dia bertanya, "Apa hubunganmu dengan ketua
Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang?"
Kini Hui
Song terkejut. Kiranya orang ini sudah mengenal nama dan kedudukan ayahnya.
Tentu bukan orang sembarangan. Tadi pun dia telah merasakan betapa orang itu
memiliki tenaga sinkang yang kuat sekali.
"Dia
adalah ayahku. Sobat, siapakah engkau yang mengenal nama ayahku?"
"Pendekar
manakah yang tak mengenal nama besar Cin-ling-pai dan ketuanya? Maafkan tadi
aku tidak mengenalmu, Cia-taihiap. Aku bernama Sim Thian Bu. Maafkan, ketika
aku melakukan perjalanan lewat di sini, melihat wanita-wanita itu mandi... dan
mereka begitu gembira, aku menjadi tertarik lalu mengintai..."
Kalau saja
ketika terjadi penyergapan oleh pasukan gerombolan terhadap para pendekar di
bekas benteng Jeng-hwa-pang terjadi pada siang hari, tentu Hui Song akan
mengenal orang ini sebagai pembantu Gui Siang Hwa yang memimpin penyergapan
itu. Akan tetapi malam itu gelap sehingga dia tidak mengenal Thian Bu dan
percaya akan keterangannya. Bagaimana pun juga, dia maklum jika ada seorang
laki-laki mengintai wanita-wanita yang sedang mandi, apa lagi kalau yang mandi
itu adalah selir-selir Lam-nong yang demikian cantik manis dan periang.
"Sudahlah,
harap engkau segera tinggalkan tempat ini. Wanita-wanita itu adalah isteri dari
Lam-nong, harap jangan diganggu karena Lam-nong adalah sahabatku."
"Lam-nong...?
Siapa dia?" Thian Bu bertanya, tidak mau sembrono menentang pemuda putera
ketua Cin-ling-pai yang kini sudah menjadi sekutu Raja Iblis, apa lagi karena
amat berbahaya melawan pemuda yang tadi sudah dia rasakan kekuatannya ketika
menangkis pukulannya.
"Lam-nong
adalah kepala suku Mancu Timur. Eh, saudara Sim, apakah engkau juga hadir
ketika terjadi penyergapan terhadap para pendekar oleh pasukan
pemberontak?"
Dengan
cerdik dan hati-hati Thian Bu menggeleng kepala sambil menark napas panjang.
"Sayang sekali aku datang terlambat, taihiap. Ketika aku tiba di benteng
Jeng-hwa-pang, tak ada seorang pun di sana kecuali bekas-bekas pertempuran
hebat. Lalu, apakah yang menjadi keputusan para pendekar yang mengadakan
pertemuan di tempat itu?"
Akan tetapi
Hui Song juga bukan seorang yang bodoh dan ceroboh. Dia belum mengenal betul
laki-laki ini, tidak tahu siapa dia sebenarnya, oleh karena itu tentu saja dia
tidak mau sembarangan saja menceritakan tentang hasil pertemuan para pendekar
yang kemudian diserbu oleh pasukan pemberontak itu.
"Keputusan-keputusan
itu hanya boleh diketahui oleh mereka yang hadir. Maaf, aku tidak dapat memberi
tahu padamu."
Diam-diam
Thian Bu merasa penasaran. Dia tahu bahwa putera ketua Cin-ling-pai tidak
percaya kepadanya, dan dia dapat menduga pula bahwa Hui Song ini tentu belum
tahu bahwa kini ayahnya tengah berada di kota Ceng-tek membantu Raja Iblis,
membantu para pemberontak! Bagaimana pun juga, dia gembira sekali mendengar
keterangan mengenai Lam-nong, kepala suku Mancu Timur yang kini bersama
rombongannya berada di dusun itu.
"Sekali
lagi maafkan kelancanganku, taihiap, dan perkenankan aku pergi," akhirnya
dia berkata karena dia melihat datangnya beberapa orang Mancu menuju ke tempat
itu.
Hui Song
mengangguk dan Sim Thian Bu lalu pergi dengan cepat, diikuti pandang mata Hui
Song yang masih menduga-duga orang macam apa adanya laki-laki yang berpakaian
mewah dan memiliki kepandaian tinggi itu.
Enam orang
Mancu yang datang itu adalah Lam-nong dan para pengawalnya. Melihat Hui Song,
Lam-nong segera mengulur tangan dan memegang tangan sahabatnya itu.
"Isteri-isteriku sudah bercerita bahwa engkau datang lantas bertengkar
dengan seorang laki-laki. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dia?"
Hui Song
tidak mau menyembunyikan urusan itu kepada sababatnya. "Tadi kulihat orang
itu mengintai isteri-isterimu yang sedang mandi, maka kutegur dia dan kusuruh
dia pergi. Saudara Lam-nong, engkau dan rombonganmu ini hendak pergi ke
manakah?"
"Ke
mana lagi kalau tidak pulang? Daerah ini berbahaya. Pasukan pemberontak membuat
pembersihan di mana-mana. Mereka menyerbu ke dusun-dusun, membunuhi orang-orang
dan merampok. Lihat, dusun ini pun habis dirampok dan dibakar. Kami hanya
beristirahat dan bermalam di sini, besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan
ke timur, pulang ke kampung halaman kami sendiri."
"Engkau
tidak membantu nenek Yelu Kim?"
Lam-nong
menggelengkan kepala dan menggandeng tangan sahabatnya diajak kembali ke dalam
dusun. Mereka memasuki sebuah pondok yang telah dibersihkan dan dijadikan
tempat bermalam Lam-nong dan para selirnya. Kedatangan Hui Song disambut dengan
gembira oleh para selir yang sudah mengenalnya dan mereka semua lalu duduk di
atas lantai yang ditilami tikar.
Sambil
menjamu sahabatnya, Lam-nong mengajak Hui Song bercakap-cakap, sedangkan para
selir hanya duduk mendengarkan saja. Mereka semua suka kepada Hui Song yang
gagah, tampan dan sopan itu. Menghadapi pemuda ini dan bicara dengannya, para
selir ini tidak merasa canggung atau malu-malu lagi, apa lagi karena suami
mereka juga amat suka dan percaya terhadap pendekar itu.
"Bagaimana
mungkin aku merendahkan diri mentaati perintah-perintah seorang wanita, sudah
nenek-nenek pula? Tidak, aku tidak akan begitu merendahkan diri, lebih baik aku
kembali ke timur dan lebih baik aku membantu seorang pemimpin bangsa Mancu yang
kupercaya sekali waktu akan bangkit dan menjadi lebih besar dari pada suku-suku
lain di utara," Lam-nong berhenti sebentar, lalu memandang kepada pendekar
itu. "Dan engkau sendiri, dari mana dan hendak ke mana, Cia-taihiap?
Bagaimana pula kabarnya dengan kepergianmu yang katanya hendak mengunjungi
kawan-kawanmu itu?"
"Tidak
baik sekali, kami yang sedang mengadakan pertemuan telah diserbu oleh pasukan
pemberontak. Banyak di antara teman-teman kami tewas."
"Ahh,
kalau begitu mari engkau ikut bersama kami saja ke timur, Cia-taihiap. Aku akan
merasa beruntung sekali jika kelak engkau bisa membantu pergerakan kami
orang-orang Mancu, apa bila waktunya sudah tiba untuk itu," kata Lam-nong
yang merasa sangat suka kepada sahabat barunya ini.
Hui Song
menghela napas panjang, memandang kepada Lam-nong serta isteri-isterinya.
Mereka semua menatap wajahnya dengan sinar mata penuh harapan agar dia mau ikut
menemani mereka. Betapa baiknya orang-orang ini, pikirnya.
"Sayang
sekali, saudara Lam-nong. Sesungguhnya aku sendiri pun merasa amat senang
bersama dengan kalian, akan tetapi agaknya tidak mungkin. Aku harus menentang
para pemberontak, sebab mereka dipimpin oleh orang-orang jahat. Andai kata suku
bangsamu turut mengangkat senjata menentang mereka, sudah pasti aku akan
membantumu sekuat tenaga."
Lam-nong
kemudian juga menarik napas panjang. "Sayang sekali. Akan tetapi aku tidak
akan melakukan gerakan sekarang. Untuk itu bangsaku belum siap dan untuk
bekerja di bawah perintah seorang nenek-nenek aku pun tidak sudi. Marilah kita
bersenang-senang malam ini sebagai malam perpisahan, Cia-taihiap. Siapa tahu
kita takkan saling bertemu kembali walau pun aku sungguh mengharapkan
itu."
Pada malam
harinya Hui Song dijamu dan mereka makan minum dengan gembira. Hui Song ditahan
untuk bermalam di situ, bukan bermalam untuk tidur melainkan melewatkan malam
sambil bercakap-cakap dan makan minum dengan gembira bersama Lam-nong dan
isteri-isterinya.
Mereka yang
sedang bergembira dalam malam perpisahan ini sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa malam perpisahan itu merupakan malam perpisahan yang sungguh-sungguh
menyedihkan, menjadi malam mala petaka besar bagi keluarga Lam-nong dan
rombongannya yang jumlahnya tidak besar itu.
Bencana ini
datang dari Sim Thian Bu. Pemuda ini tentu saja mempersiapkan segalanya karena
yang diincarnya ini bukan hanya rombongan yang diduganya membawa banyak harta,
melainkan juga rombongan di mana terdapat wanita-wanita mudanya yang cantik
manis!
Pertemuannya
dengan Hui Song yang telah memberi tahu kepadanya bahwa rombongan Lam-nong itu
adalah sahabat dari putera ketua Cin-ling-pai itu, membuat Thian Bu makin
hati-hati. Pemuda itu tinggi ilmu silatnya dan amat berbahaya, pikirnya. Apa
lagi pemuda itu adalah putera ketua Cin-ling-pai yang tentu saja tidak boleh
dibunuh. Akan tetapi, jika pemuda itu memihak kepada Lam-nong dan rombongannya,
terpaksa dia turun tangan. Dan mengandalkan pasukannya yang amat besar itu, dia
tidak takut menghadapi Cia Hui Song!
Maka, untuk
meyakinkan keberhasilan pasukannya, dia mengerahkan pasukannya yang berjumlah
seribu orang itu! Anak buah pasukan itu sendiri mengira bahwa mereka tentu
dibawa menyerbu musuh yang besar jumlahnya dan kuat kedudukannya, maka tentu
saja mereka merasa terheran-heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka
serbu itu hanya serombongan orang yang kekuatannya tidak lebih dari tiga puluh
orang lebih saja!
Dapat
dibayangkan betapa paniknya tiga puluh orang lebih itu ketika tiba-tiba saja
dusun itu sudah dikurung dan banyak sekali pasukan menyerbu mereka. Lam-nong
yang sedang makan minum bersama Hui Song, sangat terkejut lalu bersama pendekar
itu mengamuk dan membela diri mati-matian. Bahkan selir-selirnya pun, yang
sedikit banyak pernah pula belajar ilmu membela diri karena mereka hidup di
perantauan, ikut melawan dan membela diri.
Hui Song
marah sekali dan dialah yang mengamuk seperti harimau kelaparan. Begitu ada
penyerbuan itu, dia sudah bisa menduga bahwa penyerbu ini tentu pasukan
pemberontak, sama dengan pasukan yang menyergap para pendekar di benteng kuno
Jeng-hwa-pang. Maka dia pun mengamuk dengan hebatnya dan entah berapa banyak
anak buah pasukan yang roboh dan terlempar oleh tamparan-tamparan dan
tendangannya.
Akan tetapi
jumlah lawan ini terlampau banyak, dan Hui Song maklum bahwa bagaimana pun
gagahnya, menghadapi lawan yang nampaknya tidak pernah akan habis ini, akhirnya
dia akan celaka sendiri. Yang terpenting adalah menyelamatkan Lam-nong.
Maka,
melihat Lam-nong yang membela diri dengan pedangnya dan mengamuk dengan
gagahnya itu dikepung oleh belasan orang musuh, dia pun langsung mengeluarkan
suara melengking kemudian merobohkan beberapa orang ketika dia menerjang dan
mendekati Lam-nong.
"Mari
kita pergi, biar kulindungi engkau!" katanya kepada Lam-nong.
Kepala suku
ini pun maklum betapa sia-sianya melawan. Dia pun lalu mengikuti Hui Song yang
membuka jalan keluar dan sesudah merobohkan belasan orang dan membuat yang lain
menjadi gentar dan mundur, dia pun menyambar tubuh kawannya itu dan dibawanya
berloncatan lantas lari menjauhkan diri. Akhirnya mereka berhasil terbebas dan
lolos dari kepungan pasukan dan Hui Song melarikan kawannya itu ke dalam hutan
yang dekat.
"Berhenti
dulu... lepaskan aku di sini, Cia-taihiap..." kata Lam-nong yang masih
terengah-engah. Dan ketika Hui Song melepaskannya, Lam-nong lalu berkata,
"Taihiap, kasihanilah aku, engkau bebaskanlah isteri-isteriku... kasihan
mereka..."
Hui Song
berdiri dan tertegun, kemudian menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Saudara Lam-nong, bagaimana mungkin itu? Kulihat pasukan itu jumlahnya
besar sekali, tentu ada ratusan orang. Mana mungkin aku mampu menyelamatkan
isteri-isterimu yang begitu banyak?"
Tiba-tiba
Lam-nong menjatuhkan diri dan berlutut di depan kaki Hui Song. "Tidak
semua, taihiap, hanya satu orang saja, hanya isteri ke tujuh. Engkau tentu tahu
yang mana yang kumaksudkan. Aku cinta sekali padanya dan tanpa dia di
sampingku, aku tak akan dapat hidup lagi. Tolonglah, tolonglah aku, taihiap,
selamatkan kekasihku itu...!"
Hui Song
merasa amat kasihan. Ia tahu betapa bahayanya memasuki dusun itu kembali,
seperti orang menolong orang dari dalam sebuah rumah yang sudah terbakar dan
apinya sedang berkobar saja. Akan tetapi dia merasa sangat kasihan kepada
Lam-nong dan dia pun merasa bahwa kalau hanya menyelamatkan satu orang saja,
kiranya dia masih akan sanggup dan besar kemungkinan akan dapat berhasil.
Bagaimana pun banyaknya, para prajurit pasukan pemberontak itu hanya orang-orang
yang mengandalkan pengeroyokan saja dan tidak ada yang memiliki kepandaian yang
berarti.
"Baiklah,
tunggu saja di sini, aku akan berusaha menyelamatkannya!" kata Hui Song
dan tanpa menanti sahabatnya itu berterima kasih, dia sudah berkelebat lenyap.
Dengan cepat
dia memasuki dusun yang masih ribut itu dan menyerbu ke dalam. Dan mudah saja
baginya untuk memasuki rumah di mana tadi Lam-nong serta isteri-isterinya
tinggal. Akan tetapi rumah itu telah kosong! Dan selagi dia kebingungan tidak
tahu harus mencari ke mana, terdengar sorak sorai dan rumah itu pun sudah
dikepung dengan ketat. Kiranya dia memang dijebak dan sekarang laksana seekor
harimau yang jatuh ke dalam perangkap, dan para prajurit pasukan pemberontak
itu menyorakinya!
Hui Song
menggigit bibirnya sambil mengepal tinju. Dia akan membela diri dan melawan
mati-matian, apa bila perlu dia akan menumpas semua anak buah pasukan
pemberontak ini, walau hal itu nampaknya tidak mungkin mengingat betapa
banyaknya jumlah mereka. Akan tetapi dia pun yakin bahwa andai kata dia tidak
berhasil menemukan lagi isteri-isteri Lam-nong yang sekarang entah berada di
mana itu, masih tak terlalu sukar baginya untuk menerjang ke luar dan membuka
jalan darah meloloskan diri.
Akan tetapi
tiba-tiba muncul seorang lelaki yang membuat mata Hui Song terbelalak dan
mukanya menjadi merah, matanya memancarkan api kemarahan. Laki-laki itu bukan
lain adalah Sim Thian Bu!
Kini
mengertilah dia! Ternyata siang tadi orang ini datang bukan hanya hendak
mengintai wanita mandi, melainkan untuk memata-matai dan menyelidiki keadaan di
dusun itu! Dan orang ini ternyata adalah seorang pemimpin pasukan pemberontak!
"Jahanam
busuk! Kiranya engkau adalah seorang pemberontak?!" Hui Song membentak.
"Bagus, aku tidak akan dapat mengampunimu lagi!"
Akan tetapi,
Sim Thian Bu melintangkan pedangnya lantas berkata, "Cia-taihiap, aku
tidak ingin memusuhimu. Ketahuilah bahwa banyak orang gagah yang membantu kami
untuk menghadapi kaisar lalim. Menyerahlah, dan engkau akan kami sambut sebagai
seorang pembantu kami yang terhormat."
"Tutup
mulutmu yang busuk itu! Siapa sudi bersekutu dengan pemberontak busuk?"
Hui Song menyerang dengan cepat sekali.
Akan tetapi
Sim Thian Bu menyelinap di antara para prajurit, dan belasan orang prajurit
dengan berbagai macam senjata kemudian menyambut terjangan Hui Song. Dua orang
terdepan terjengkang muntah darah diterjang Hui Song dan yang lain-lain mundur.
Akan tetapi, kepungan semakin diperketat dan puluhan batang senjata
menyambar-nyambar.
Hui Song
yang hanya bertangan kosong itu, cepat merampas dua batang pedang dan kini
dengan sepasang pedang, dia mengamuk, menangkisi semua senjata dengan sepasang
pedangnya dan merobohkan banyak sekali pengeroyok dengan
tendangan-tendangannya!
Akan tetapi,
betapa pun lihainya, dia hanya seorang manusia biasa dan tenaganya tentu saja
terbatas. Setelah merobohkan tiga puluh orang lebih, dan bajunya sudah
robek-robek terkena senjata, akhirnya Sim Thian Bu berhasil melukai pahanya dan
selagi Hui Song terhuyung, belasan orang menubruknya dan dia pun akhirnya lemas
terkena totokan Sim Thian Bu yang lihai.
Thian Bu
melarang orang-orangnya untuk membunuh Hui Song dan dia sendiri menyeret tubuh
Hui Song ke dalam sebuah kamar. Dia menambahkan beberapa totokan ke pundak dan
punggung Hui Song, membuat pemuda ini menjadi lemas dan tak dapat mengerahkan
sinkang, kaki tangannya seperti setengah lumpuh.
"Ha-ha-ha,
Cia-taihiap, Lihat, jika aku mau membunuhmu, betapa mudahnya. Akan tetapi aku
tidak akan membunuhmu. Bahkan aku hendak membikin senang hatimu karena aku
mengharapkan engkau kelak suka membantu kami."
"Pemberontak
hina, apa bila engkau mau membunuhku, lakukanlah. Dari pada bersekutu dengan
pemberontak, lebih baik aku mati. Kalau engkau gagah dan memiliki kepandaian,
mari kita bertanding satu lawan satu!" Dengan suara lemah Hui Song
berkata.
Akan tetapi
Thian Bu hanya tertawa saja, tertawa dengan sikap mengejek. Dan sesudah memerintahkan
seregu pasukan pengawal untuk berjaga dengan ketat di luar kamar, dia lalu
pergi meninggalkan Hui Song.
Hanya
Lam-nong seorang yang berhasil lolos dari serbuan para prajurit pemberontak
itu. Belasan orang wanita ditawan, sedangkan semua laki-laki dibunuh dengan
kejam! Thian Bu sendiri segera mendatangi para tawanan wanita yang bersimpuh di
atas lantai sambil menangis.
Di antara
para selir dan para pelayan itu, dia memilih empat orang selir Lam-nong yang
paling muda dan paling cantik, kemudian dia membawa empat orang wanita tawanan
ini ke dalam bekas kamar Lam-nong. Empat orang wanita itu menangis dan
menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar itu ketika Thian Bu membawa mereka
masuk dan menutupkan pintunya.
"Ha-ha,
nona-nona manis. Sekarang akulah yang menjadi suamimu, pengganti Lam-nong.
Lihat, aku tidak kalah ganteng dan gagah jika dibandingkan dengan dia,
bukan?" Thian Bu menyeringai dan membuka kancing bajunya, memperlihatkan
dadanya yang bidang.
Priacabul
ini memang berwajah tampan, berpakaian mewah dan bertubuh tegap. Memang dia
mempunyai daya tarik yang kuat bagi wanita. Akan tetapi, empat orang selir itu
yang masih ketakutan dan berduka karena mala petaka yang menimpa suami serta
keluarga mereka, tentu saja tidak tertarik oleh gayanya ini dan mereka pun
hanya berlutut di lantai, menundukkan muka dan menangis.
Melihat
mereka itu menangis, Thian Bu mengerutkan alisnya yang tebal, hatinya merasa
jengkel sekali. "Sudah, jangan menangis!" bentaknya. "Kalian
kuajak ke sini bukan untuk bertangis-tangisan, melainkan untuk
bersenang-senang!"
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan wanita. Mendengar ini, empat orang wanita
itu pun menjadi ketakutan lantas menangis semakin keras. Mereka mengenal suara
jerit tangis itu sebagai suara tangis wanita-wanita yang tadi tidak terpilih
oleh Thian Bu.
Belasan
orang wanita, yaitu selir-selir Lam-nong dan para pelayan lainnya, oleh Thian
Bu dihadiahkan kepada para pembantunya yang terdiri dari belasan orang perwira.
Tentu saja orang-orang kasar ini langsung berebutan dan sebentar saja
wanita-wanita itu ditarik dan dibetot sana-sini dan dipondong, dibawa ke
tempat-tempat terpisah oleh orang-orang itu sehingga mereka pun menjerit-jerit
dan menangis.
Mendengar
jerit tangis itu, Thian Bu lalu menyeringai. "Nah, dengar itu. Mereka
terpaksa harus melayani para prajurit itu dan mengingat jumlah para prajurit,
tentu mereka akan hancur dan mati sebelum semua orang kebagian. Apakah kalian
juga ingin kulemparkan kepada para prajurit itu?"
Empat orang
wanita itu mengangkat muka dan mata mereka terbelalak memandang pada Thian Bu.
Muka mereka pucat dan mereka menggeleng-gelengkan kepala, merasa ngeri
membayangkan betapa mereka akan menjadi rebutan para prajurit yang kasar itu,
seperti seekor kelinci dijadikan rebutan ratusan ekor harimau. Mereka tentu
akan dicabik-cabik sampai tubuh mereka hancur binasa!
"Tidak...
tidak... jangan...!" teriak mereka memohon.
Thian Bu
tersenyum. "Jadi kalian memilih untuk melayani aku dari pada para prajurit
itu? Nah, kalau begitu, hentikan tangis kalian dan bersikaplah manis!"
Saking
takutnya kalau-kalau mereka dilemparkan kepada para prajurit yang buas seperti
segerombolan anjing serigala itu, empat orang wanita ini lalu memaksa diri
menghentikan tangis mereka. Sim Thian Bu menjadi girang bukan main dan mulailah
dia membelai dan mempermainkan mereka.
Biar pun
hati mereka terasa hancur, empat orang itu terpaksa mandah saja dipermainkan
sesuka hati oleh Sim Thian Bu. Pemuda ini memang ganteng dan banyak
pengalamannya dengan wanita. Maka tidaklah mengherankan apa bila empat orang wanita
yang tadinya menangis sedih itu, pada akhirnya menyerahkan diri dengan pasrah,
bahkan mulai timbul kegembiraan mereka melayani pria yang ganteng dan pandai
mengambil hati itu.
Ada seorang
tawanan lain yang bukan wanita. Seorang kakek yang terluka pundaknya. Oleh
Thian Bu, kakek ini tak boleh dibunuh, bahkan luka-lukanya diobati. Pada
keesokan harinya, Thian Bu membawa kakek ini ke sebuah kamar, lalu dia berkata,
"Lihat
baik-baik, dan laporkan kepada Lam-nong supaya lain kali dia berhati-hati
memilih kawan. Kepercayaannya terhadap Cia Hui Song menghancurkan dia. Ayah
pemuda itu, ketua Cin-ling-pai, adalah seorang tokoh di antara pasukan kami
yang sedang berjuang. Lihat, sekarang dia bersenang-senang dengan kami!"
Setelah berkata demikian, Thian Bu membuka daun pintu kamar itu dan membiarkan
kakek Mancu ini menjenguk ke dalam. Setelah melihat ke dalam, kakek itu
terbelalak dan mulutnya mengeluarkan makian.
Apakah yang
dilihatnya? Cia Hui Song, pemuda yang selama ini sudah dianggap sebagai sahabat
baik oleh Lam-nong, yang telah disambut sebagai tamu kehormatan oleh kepala
sukunya itu, kini nampak rebah di atas pembaringan dengan pakaian setengah
telanjang dan empat orang wanita cantik yang hampir tak berpakaian sama sekali
malang melintang rebah di sisi dan di atas tubuh pendekar itu, bahkan ada yang
merangkulnya! Melihat ini, tentu saja kakek itu menjadi marah karena empat
orang wanita itu adalah selir-selir kepala sukunya!
"Nah,
kau sudah melihat jelas? Kakek, sekarang engkau boleh pergi, cari Lam-nong dan
laporkan semua yang kau lihat," kata Thian Bu sambil menutupkan lagi daun
pintu kamar itu.
"Akan
tetapi... kenapa... kenapa engkau membebaskan aku sedangkan semua kawanku telah
dibunuh?"
"Kakek,
bersyukurlah kepada para dewa bahwa wajahmu mirip sekali dengan mendiang
ayahku. Itulah sebabnya mengapa aku tidak membolehkan anak buahku membunuhmu.
Nah, kini cepatlah pergi!" katanya dan kakek itu pun tanpa banyak cakap
lagi lantas pergi meninggalkan dusun itu.
Apakah yang
telah terjadi? Mengapa empat orang wanita itu sekarang bisa berada di atas
pembaringan bersama Hui Song? Ini merupakan akal Thian Bu yang memang licik
sekali. Sesudah semalam suntuk puas bermain-main dengan empat orang wanita itu,
kemudian dia menyuruh mereka memasuki kamar di mana Hui Song rebah tak berdaya.
"Sekarang
kalian bantulah aku. Kalian tentu mengenal Cia Hui Song sahabat suami kalian
itu, bukan? Nah, kalau kalian tidak ingin kuserahkan kepada para prajurit,
kalian berempat sekarang harus melayani dia! Rayulah dia supaya suka
bermain-main dengan kalian dan kalian boleh tidur di atas pembaringannya untuk
melepaskan lelah."
Empat orang
wanita yang kelelahan itu lantas digiring ke dalam kamar di mana Hui Song
nampak rebah di atas pembaringan seorang diri. Dalam keadaan setengah atas
hampir telanjang sama sekali, empat orang wanita itu menghampiri pembaringan.
Melihat Hui
Song yang mereka suka dan menjadi kepercayaan suami mereka, mereka merasa
seperti bertemu dengan seorang sahabat baik, apa lagi mengingat akan kelihaian
Hui Song, mungkin mereka dapat mengharapkan pertolongannya. Maka tanpa
diperintah lagi mereka segera lari dan menubruk pemuda itu. Akan tetapi, pemuda
itu hanya dapat bergerak dengan lemah saja.
Di dalam
hatinya, Hui Song terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa ucapan Thian Bu
tadi benar-benar dibuktikannya, yaitu bahwa Thian Bu hendak menyenangkan
hatinya, bahkan dengan cara yang membuat darahnya tersirap. Dia menjadi rikuh
dan malu sekali saat melihat betapa empat orang selir-selir Lam-nong yang
paling cantik menghampirinya dengan pakaian hampir telanjang, apa lagi ketika
mereka menubruk dan merangkulnya.
Akan tetapi
dia tak dapat menggerakkan kaki tangannya untuk menolak atau mengelak. Maka dia
diam saja dan membiarkan mereka menangis di pundaknya, di dadanya dan mungkin
akibat terpengaruh oleh rayuan-rayuan Thian Bu tadi, dan teringat akan ancaman
Thian Bu, mereka bahkan mulai membelai tubuh Hui Song!
"Pergilah...
jangan ganggu aku...!" kata Hui Song lemah, akan tetapi empat orang wanita
itu tidak menghentikan usaha mereka.
Dalam
keadaan seperti itulah tadi kakek Mancu dibawa oleh Thian Bu untuk melihat ke
dalam kamar. Tentu saja dia merasa terkejut dan marah. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa pemuda yang diterima dengan ramah dan baik oleh Lam-nong itu,
yang dianggap sebagai seorang sahabat suku bangsanya hanya untuk menjadi
mata-mata, dan setelah terjadi penyerbuan, malah berbalik menjadi musuh dan
melakukan hal-hal yang sungguh tidak patut, yaitu menjinahi isteri-isteri
kepala sukunya.
Kakek Mancu
itu tahu bahwa kepala sukunya, Lam-nong, dapat menyelamatkan dirinya, dan dia
tahu pula di mana kepala suku itu menyembunyikan diri, karena mereka pernah
melewati sebuah hutan sebelum sampai di dusun itu dan ketika itu Lam-nong
mengatakan bahwa hutan itu merupakan tempat yang amat baik untuk menyembunyikan
pasukan jika kelak terjadi perang di tempat itu.
Maka dia pun
lalu memasuki hutan itu dan menyusup-nyusup, memanggil-manggil sambil
mencari-cari. Akan tetapi baru dua hari kemudian panggilannya terjawab lantas
muncullah Lam-nong dari balik semak-semak belukar.
Melihat
pemimpinnya berada dalam keadaan compang-camping itu, kakek Mancu segera
menjatuhkan diri berlutut lantas menangis! Lam-nong merangkul satu-satunya anak
buah yang masih hidup ini dan dapat dibayangkan alangkah marah hatinya
mendengar laporan orang itu bahwa seluruh anak buah dalam rombongannya telah
habis dan tewas semua, dan betapa isteri-isterinya sudah menjadi korban
perkosaan, dan terutama sekali betapa Cia Hui Song ternyata adalah seorang
tokoh pemberontak dan juga turut pula menjinahi empat orang isterinya yang
paling disayangnya!
"Mustahil!"
Dia membentak. "Cia-taihiap adalah seorang sahabat dan dia pula yang telah
menyelamatkan aku sampai ke sini!"
"Saya
melihat sendiri dia dengan empat orang isteri paduka dalam sebuah kamar, dalam
keadaan yang sangat tidak sopan dan memalukan. Saya berani bersumpah!"
kata kakek itu.
Lam-nong
mengerutkan alisnya dan hatinya mulai terasa panas. "Akan tetapi...
mengapa dia bersikap begitu baik pada waktu menjadi tamu kita, dan dia sama
sekali tidak pernah bersikap kurang ajar atau menggoda isteri-isteriku. Kenapa
sikapnya bisa berbalik secara mendadak seperti itu dan kenapa pula dia sudah
menyelamatkan aku kalau memang dia itu berpihak kepada musuh?"
"Dia
tentu bertindak sebagai mata-mata pada waktu menjadi tamu kita, dan dia sengaja
menyelamatkan paduka hanya untuk menutupi niatnya yang busuk terhadap
isteri-isteri paduka. Bagaimana pun juga, sepasang mata saya tak dapat ditipu
dan saya melihatnya sendiri." Kakek Mancu ini lantas menceritakan kembali
dengan penggambaran yang lebih jelas apa yang dilihatnya di dalam kamar itu,
betapa dalam keadaan setengah telanjang Hui Song dipeluki oleh empat orang
isteri Lam-nong yang telanjang bulat.
Mendengar
penggambaran itu, hati Lam-nong menjadi semakin panas. Dia telah terpukul
sekali mendengar tentang terbasminya seluruh anak buahnya, dan kini mendengar
akan perbuatan Hui Song terhadap empat orang isterinya yang tercinta, dia
mengepal tinju dan mukanya menjadi merah. Hui Song berjanji akan menyelamatkan
seorang selirnya yang paling dicintanya, siapa tahu pemuda itu malah menjinahi
selirnya itu bersama selir-selir lain pula.
"Keparat
jahanam Cia Hui Song!" dia mengutuk, akan tetapi Lam-nong lantas menutupi
mukanya dengan kedua tangannya. "Kasihan isteri-isteriku yang
malang..." dan dia pun menangis!
Kakek Mancu
itu menjadi terharu sekali ketika melihat pemimpinnya menangis, lantas dia pun
teringat akan dua orang anaknya yang menjadi anggota rombongan dan tewas pula,
maka tanpa dapat ditahannya, dia pun kini menangis. Dua orang laki-laki itu
menangis di dalam hutan yang lebat dan sunyi, dengan hati dilanda duka yang
amat hebat.
Dan memang
sepatutnya Lam-nong menangisi isteri-isterinya karena nasib wanita-wanita itu
memang menyedihkan. Sim Thian Bu adalah seorang lelaki cabul yang berhati kejam
bukan main. Dia tak pernah merasa puas dengan wanita tertentu dan menganggap
wanita seperti makanan atau pakaian saja. Apa bila sudah kenyang dimakannya, maka
sisanya akan diberikan kepada anjing dan kalau sudah bosan memakainya, tentu
bekasnya akan dicampakkan begitu saja.
Demikian
pula sesudah dia merasa kenyang dan bosan terhadap empat orang wanita itu,
untuk menyenangkan hati para anak buahnya, Thian Bu lalu menghadiahkan empat
orang tawanan itu kepada anak buahnya. Empat orang wanita yang sejak dulu hidup
berbahagia di samping Lam-nong kini mengalami nasib yang amat mengerikan.
Mereka diperebutkan dan dipermainkan oleh banyak orang kasar sampai akhirnya
mereka tak tahan dan tewas menyusul teman-temannya yang sudah mendahului
mereka!
Akan tetapi
mengapakah Thian Bu memperlakukan Hui Song seperti itu? Mengapa dia membiarkan
kakek Mancu lolos setelah memberinya kesempatan melihat seolah-olah Hui Song
sedang berjinah dengan empat orang selir Lam-nong?
Thian Bu
melakukannya bukan hanya sekedar untuk melampiaskan rasa kemarahannya kepada
Hui Song saat pemuda itu menggagalkan dia yang hendak menculik wanita ketika
dia mengintai wanita-wanita yang sedang mandi itu. Dia melakukan hal ini dengan
penuh perhitungan.
Ia
membiarkan kakek Mancu lolos bukan sekali-kali karena wajah kakek itu mirip
dengan ayahnya, sama sekali tidak. Itu hanyalah sebuah alasan belaka. Dia
sengaja membiarkan kakek itu hidup agar kakek itu dapat menghubungi Lam-nong!
Dia sengaja membiarkan kakek itu melihat seolah-olah Hui Song bermain gila
dengan para selir Lam-nong supaya timbul kebencian dan permusuhan antara suku
bangsa itu dengan Hui Song.
Dia tidak
mau membunuh Hui Song, mengingat bahwa ayah pemuda itu menjadi sekutu Raja
Iblis, akan tetapi dia ingin memberi kesan buruk terhadap pemuda ini kepada
suku bangsa Mancu. Jika sudah demikian, maka tidak mungkin lagi Hui Song kelak
membantu orang-orang Mancu. Dan dia hendak merusak nama baik Hui Song, bukan
hanya untuk melampiaskan kebenciannya terhadap pemuda ini akan tetapi secara
tidak langsung dia hendak menghantam pula nama baik ketua Cin-ling-pai.
Betapa pun
juga, sejak dulu keluarga Cin-ling-pai adalah musuh-musuh yang dibencinya,
orang-orang dari golongan pendekar yang selalu memusuhi golongannya. Dan di
samping semua alasan ini, juga Thian Bu hendak main-main untuk merendahkan
serta membikin malu Hui Song.
Karena
memang sudah diaturnya, pada saat kakek itu melarikan diri, diam-diam Thian Bu
menyuruh belasan orang pengawalnya untuk membayanginya dan kalau kakek itu
sudah bertemu dengan Lam-nong, supaya menangkap mereka tanpa membunuhnya karena
dia masih memiliki rencana lebih jauh dengan kepala suku Mancu Timur itu.
Demikianlah,
ketika Lam-nong dan kakek Mancu itu bertangisan di dalam hutan, tiba-tiba saja
muncul tiga belas orang prajurit pengawal pilihan yang langsung mengurung
mereka dan membentak agar keduanya mau menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi,
Lam-nong yang sedang dilanda duka dan dendam itu, tentu saja tidak sudi
menyerah. Dia mencabut pedangnya dan mengamuk, dibantu oleh kakek Mancu yang
sudah luka pundaknya.
Mereka
berdua mengamuk secara nekat tanpa mempedulikan keselamatan nyawa sendiri
sehingga tiga belas orang pengawal itu agak kewalahan. Kalau saja mereka
diperintahkan membunuh, tentu kedua orang itu sudah terbunuh sejak tadi. Akan
tetapi mereka dilarang membunuh, melainkan disuruh menangkap dua orang itu
hidup-hidup dan inilah sukarnya.
Dua orang
itu amat nekat, membuat para pengeroyok itu sulit menangkapnya hidup-hidup.
Bagaimana pun juga, karena dikeroyok oleh banyak orang, perlahan-lahan Lam-nong
dan pembantunya mulai kehabisan tenaga dan napas mereka sudah terengah-engah,
tubuh sudah basah oleh keringat. Agaknya tidak lama lagi mereka akan roboh
sendiri kehabisan tenaga sehingga akan mudah ditawan.
Pemimpin
regu pengawal pemberontak itu juga tahu mengenai hal ini, maka dalam suatu
kesempatan yang baik, kakinya terayun dan tepat mengenai lutut kanan Lam-nong
yang lalu roboh terguling. Empat orang menubruknya dan kakek Mancu yang sudah
kehabisan tenaga itu pun dapat tertangkap dari belakang dan keduanya lalu
dibelenggu. Lam-nong meronta-ronta dan memaki-maki, akan tetapi dia segera
tidak berdaya sesudah kaki dan tangannya diikat.
Pada saat
itu terdengar bentakan nyaring dan dua orang prajurit terpelanting disusul oleh
dua orang prajurit juga terpelanting ke kanan kiri. Semua orang melihat dan
ternyata yang datang adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang gagah
perkasa. Begitu mereka berdua itu tadi menggerakkan tangan, empat orang
langsung terpelanting dan hal ini amat mengejutkan hati pasukan itu, juga
membuat mereka marah.
Sembilan
orang sisa pasukan pengawal itu segera mencabut senjata dan tanpa banyak cakap
mereka lalu menerjang dan mengeroyok laki-laki dan wanita yang baru datang itu.
Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan mudah saja, dua orang itu mengelak dan
begitu mereka menggerakkan kaki tangan membalas, sembilan orang itu
terpelanting satu demi satu! Untung bagi tiga belas orang prajurit pemberontak
itu bahwa laki-laki dan wanita ini agaknya tidak berhati kejam dan tidak
bermaksud membunuh sehingga mereka itu hanya menderita luka-luka ringan saja.
Akan tetapi
mereka segera maklum bahwa dua orang ini adalah orang-orang sakti. Hati mereka
menjadi gentar sekali dan tanpa menanti komando lagi mereka cepat berloncatan
tunggang langgang melarikan diri dari tempat berbahaya itu, meninggalkan kedua
orang tawanan yang sudah mereka belenggu.
Suami isteri
setengah tua yang gagah perkasa itu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan
isterinya, Toan Kim Hong. Tidak mengherankan kalau dalam satu gebrakan saja
tiga belas orang prajurit pemberontak itu terpelanting semua. Setelah semua
prajurit melarikan diri, Ceng Thian Sin lalu melepaskan ikatan tangan kaki
Lam-nong dan pembantunya.
Setelah
dibebaskan dari belenggu, Lam-nong berdiri memandang dua orang penolongnya itu
dengan penuh perhatian, kemudian dengan suara kaku dia bertanya dalam bahasa
Han. "Apakah kalian ini dua orang pendekar dari selatan?"
Tentu saja
suami isteri itu merasa heran melihat sikap serta mendengar pertanyaan ini.
Akan tetapi sambil tersenyum Thian Sin mengangguk. "Benar, kami datang
dari selatan. Sobat, siapakah engkau dan mengapa kalian ditangkap oleh pasukan
itu?"
Tiba-tiba
Lam-nong mengepal tinju sambil memandang marah. "Sudahlah! Aku tidak mau
berurusan dengan segala pendekar dari selatan yang berhati palsu. Dari pada
nanti kalian akan mengkhianati aku lebih baik kalian membunuhku sekarang
juga!" Berkata demikian, tiba-tiba saja Lam-nong menyerang kalang kabut
kepada Thian Sin. Tentu saja pendekar ini menjadi kaget dan terheran-heran,
cepat mengelak.
"Manusia
tak kenal budi memang lebih baik mampus!" Toan Kim Hong berseru marah dan
tangannya telah bergerak hendak menghajar orang yang diselamatkan akan tetapi
malah berbalik memusuhi mereka itu.
Akan tetapi
suaminya memegang pundaknya dan mencegahnya menyerang Lam-nong. Dia sendiri
lalu menghadapi Lam-nong dan ketika tangan orang itu menyambar ke depan, dia
cepat menangkap sehingga tubuh Lam-nong tidak mampu bergerak lagi.
"Nanti
dulu, sobat. Segala perkara harus dibicarakan dulu, tidak membabi buta menuduh
dan menyerang orang. Apakah yang sudah terjadi dan mengapa engkau membenci para
pendekar dari selatan?"
Akan tetapi
Lam-nong tidak menjawab dan ketika Thian Sin melepaskan tangannya, dia pun
menutupi mukanya dan menangis lagi! Hal ini tentu saja mengejutkan hati suami
isteri itu dan Thian Sin lalu bertanya kepada pembantu Lam-nong yang hanya berdiri
dengan wajah kusut dan muram.
"Sobat,
sebenarnya apakah yang telah terjadi pada kalian?"
Kakek Mancu
itu menarik napas panjang lantas menjawab dalam bahasa Han yang kaku akan
tetapi cukup jelas. "Dia ini adalah pemimpin kami bernama Lam-nong, kepala
suku Mancu Timur yang biasa hidup tenteram. Akan tetapi dalam perjalanan sekali
ini kami tertimpa bencana. Semua anggota rombongan kami terbunuh oleh pasukan
pemberontak, harta benda dirampok dan wanita-wanita kami juga ditawan. Yang
amat menyedihkan dan menggemaskan hati, semua ini gara-gara pengkhianatan
seorang pendekar dari selatan."
"Hemm,
gara-gara seorang pendekar dari selatan? Apa yang sudah dilakukan pendekar
itu?"
"Beberapa
waktu yang lalu pemimpin kami telah bertemu dan bersahabat dengan seorang
pendekar dan memperlakukan dia sebagai tamu agung dan sebagai sahabat. Akan
tetapi, ketika rombongan kami diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemberontak,
barulah ternyata bahwa pendekar yang tadinya kami kira seorang sahabat itu
bukan lain adalah seorang mata-mata pemberontak yang keji bukan main dan sudah
mengkhianati kami!" Kakek itu mengepal tinju dan suaranya terdengar marah.
Agaknya
Lam-nong kini sudah berhasil menguasai dirinya. Dia menambahkan. "Coba
saja bayangkan, orang yang kuanggap sebagai sahabat baik, bahkan seperti
saudara sendiri, ketika rombonganku, anak buahku semua tertimpa bencana dan
tewas, dia... dia malah menodai isteri-isteriku... dan aku yakin sekali bahwa
dia tentu mempergunakan paksaan, kalau tidak, tak mungkin isteri-isteriku
bertindak serong dan berjinah!"
Suami isteri
itu sangat terkejut. Kalau seperti itu perbuatan pendekar itu, maka dia sama
sekali bukan pendekar melainkan seorang penjahat yang mengaku sebagai pendekar.
"Ah,
dia itu penjahat keji yang terkutuk, bukan pendekar!" Toan Kim Hong
berseru marah.
"Akan
tetapi dia seorang pendekar, bahkan putera seorang tokoh yang terkenal. Menurut
keterangannya, ayahnya ialah seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang besar.
Tidak, Cia Hui Song adalah seorang pendekar, namun ternyata hatinya busuk dan
penuh khianat keji!"
"Apa...?!
Siapa...?!" Ceng Thian Sin berseru kaget dan dia memegang lengan Lam-nong
dengan kuat sehingga kepala suku itu menyeringai kesakitan.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment