Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 16
DIAM-DIAM
Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan yang tidak tahu diri ini,
tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama
sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Maka dia khawatir kalau-kalau dua
orang kakek itu marah.
Akan tetapi
dari kerling matanya dia dapat melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja,
seolah-olah tak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum
tanpa memberi komentar, bahkan sedikit pun juga tak menoleh ke arah meja empat
orang yang menyindir mereka itu.
Agaknya
sekarang mereka telah selesai makan. Keduanya bangkit berdiri dan membayar
harga hidangan kemudian melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar
pintu, mereka melewati meja Hui Song.
Tiba-tiba
pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa
ada dua hawa yang sangat berlainan. Si jangkung berjalan di depan dan ketika
dia lewat, Hui Song merasakan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya
ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song
belum menduga buruk, dan dua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang
muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek
itu dengan mulut menyeringai penuh ejekan.
Tidak
terjadi sesuatu dan kedua orang kakek itu pun tidak kelihatan bergerak
melakukan serangan. Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, mereka menoleh
dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan
lantas mereka pun terguling roboh, bahkan kursi-kursi mereka juga terbawa
roboh.
Dan semua
tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa empat orang muda itu
berkelojotan dengan mata mendelik. Dari mata, hidung, mulut serta telinga
mereka keluar darah! Karena tidak menaruh curiga, tidak seorang pun di antara
para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang
kepada mereka dan melihat betapa kedua kakek itu melepas senyum keji lalu
mereka membalik dan terus melangkah lebar keluar dari rumah makan itu.
Hui Song
cepat bangkit dari kursinya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja.
Pada saat melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah
tewas itu, tanpa memeriksa tahulah dia bahwa empat orang itu tewas karena
pukulan beracun atau senjata gelap beracun, maka dia pun langsung saja mengejar
keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia dapat melihat bayangan dua orang yang
dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Dia
pun cepat melakukan pengejaran.
Tepat
seperti yang sudah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Begitu tiba
di luar dusun, mereka berdua segera berkelebat dan berlari cepat sekali,
bagaikan terbang saja! Akan tetapi Hui Song adalah seorang pendekar muda
gemblengan yang sudah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat.
Apa lagi
selama tiga tahun dilatih oleh Si Dewa Kipas, dia sudah memperoleh kemajuan
pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini sudah membuat ginkang-nya
juga memperoleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya sangat
ringan dan dia pun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.
Dua orang
kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu
tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui
Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak di antara mereka
semakin dekat, tiba-tiba dua orang yang merasa tidak akan dapat melepaskan diri
dari pengejarannya itu, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupakan padang
rumput kecil di antara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan
mengambil sikap menantang, juga sinar mata mereka membayangkan kemarahan.
Begitu Hui
Song tiba di depan mereka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh
selidik, kemudian si jangkung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu
menegur,
"Orang
muda, siapakah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"
Hui Song
maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan dua orang pandai. Dia tak mau
bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang
sedemikian mudah dan kejinya, maka dia pun menjura dengan hormat.
"Harap
ji-wi locianpwe suka memaafkan jika aku bersikap kurang hormat dan melakukan
pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam
restoran terhadap empat orang itu..."
"Hemm,
engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gendut.
"Pembunuhan
itu dilakukan dengan serangan beracun dan kiranya hanya ji-wi yang dapat
melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"
Kedua orang
kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang pandai
berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas
panjang dan berkata dengan nada suara menantang,
"Baik,
memang kami yang membunuh mereka. Habis, kau mau apa? Siapa engkau?"
Hui Song
mulai mengerutkan alisnya. Jawaban dua orang ini sungguh merupakan sebuah
tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia
masih tersenyum dan menjawab, "Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi
yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melakukan
pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di
restoran itu?"
"Ha-ha-ha,
engkau sudah tahu akan tetapi masih juga bertanya. Telingamu sendiri tentu
sudah menangkap penghinaan mereka yang ditujukan kepada kami," kata si
gendut dan perutnya bergerak aneh, seperti ada seekor kelinci besar yang hidup
di dalam perutnya dan kini berlari ke sana-sini. Melihat ini, Hui Song
terkejut. Si gendut ini memiliki sinkang yang amat kuat, pikirnya.
"Jika
karena ocehan orang-orang yang mabok saja membuat ji-wi demikian ringan tangan
membunuh orang, sekaligus empat nyawa, sungguh aku tidak dapat menerimanya
begitu saja," katanya dan sinar matanya mencorong menyambar ke arah wajah
dua orang kakek itu yang kelihatan terkejut sekali.
Baru
sekarang mereka melihat betapa sepasang mata pemuda itu mencorong seperti itu,
juga mereka berpikir-pikir mendengar nama keturunan Cia itu, diam-diam
menduga-duga apakah pemuda ini ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai
yang juga she Cia.
"Bagus,
bagus! Engkau orang muda yang bernyali besar! Kami sudah membunuh empat orang
lancang mulut dan kurang ajar itu. Nah, jika engkau tak dapat menerimanya,
habis engkau mau apa?" si jangkung menantang lagi sambil bertolak pinggang
di sebelah dalam jubahnya dengan cara menyisipkan tangannya ke dalam jubah. Hui
Song yang bermata tajam melihat gerakan tak wajar ini dan dia sudah bersikap
waspada dan siap siaga.
"Sebagai
pembunuh-pembunuh ji-wi harus ikut bersamaku untuk menyerahkan diri kepada
petugas keamanan. Kejahatan yang ji-wi lakukan harus diadili."
Dua orang
itu saling pandang kemudian tertawa bergelak. "Ha-ha-ha!" Si gendut
berkata. "Engkau ini seperti seekor burung yang baru turun dari sarang dan
belajar terbang, tidak mengenal peraturan kang-ouw. Bagi kami, hukum berada di
tangan kami sendiri. Siapa bersalah terhadap kami akan kami hukum sendiri dan
tidak ada pengadilan yang boleh mengadili kami!"
Tentu saja
Hui Song sudah mengenal kehidupan dunia kang-ouw yang tidak mengenal hukum
pemerintah itu. "Karena itulah maka aku harus menentang kejahatan yang
tidak diadili. Ji-wi membunuh orang yang tidak berdosa, tidak mungkin dapat
dilepaskan begitu saja tanpa hukuman..."
Tiba-tiba
tangan kiri yang tadinya menyusup ke balik jubah itu bergerak. Hui Song cepat
meloncat ke samping, membiarkan tiga cahaya menyambar lewat. Itulah pisau-pisau
kecil yang menyambar cepat sekali. Dari bau amis yang tercium olehnya ketika
pisau-pisau itu lewat, tahulah dia bahwa senjata-senjata rahasia itu beracun.
Akan tetapi
yang telah mencabut nyawa empat orang di dalam restoran itu bukan senjata
seperti ini, melainkan lebih kecil lagi atau bahkan mungkin juga hanya pukulan
jarak jauh yang mengandung racun.
"Kau
bocah yang bosan hidup!" melihat pemuda itu dapat menghindarkan serangan
gelap kawannya, si gendut segera membentak dan dua tangannya bergerak ke depan,
dengan jari-jari terbuka dia memukul dengan gerakan mendorong ke arah dada Hui
Song.
Angin
pukulan dahsyat menyambar ke depan sambil mengeluarkan hawa dingin! Hui Song
mengenal pukulan ampuh yang mengandung sinkang kuat, maka dia pun mengerahkan
tenaga dan menyambut dengan kedua tangan pula.
"Syuuuttt...!
Dukkk...!"
Dua tenaga
dahsyat bertemu di udara dan biar pun tangan mereka belum bersentuhan, masih
dalam jarak beberapa senti, akan tetapi benturan tenaga sinkang dahsyat itu
sudah memperlihatkan akibatnya. Tubuh si gendut langsung terpental ke belakang
dan Hui Song tetap tegak walau pun tubuhnya terguncang hebat.
Dua orang
kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, dan mereka pun melompat lantas
melarikan diri! Hui Song tidak mau mengejar. Dia maklum bahwa dua orang kakek
itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amatlah berbahaya mengejar dua orang
selihai itu padahal mereka telah melarikan diri dan agaknya tidak menginginkan
permusuhan dengan dirinya.
Bagaimana
pun juga empat orang itu telah tewas, sementara dia bukan seorang petugas
keamanan. Andai kata empat orang itu belum tewas dan berada dalam ancaman
bahaya, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi mereka. Akan tetapi mereka
telah tewas akibat kelancangan mulut mereks sendiri.
Sambil
menduga-duga siapa adanya dua orang kakek yang seperti pendeta akan tetapi
mempunyai watak yang kejamnya seperti iblis itu, mudah membunuh orang hanya
karena urusan amat kecil, dia lalu kembali memasuki dusun Lok-cun. Matahari
sudah condong ke barat ketika dia memasuki dusun dan menuju ke rumah penginapan
di mana dia sudah menyewa sebuah kamar.
Bagaimana
pun juga, hati Hui Song tertarik sekali dengan keadaan dusun ini. Dusun yang
sesungguhnya kecil saja akan tetapi cukup ramai karena di sekitar bukit itu
terdapat bukit yang menghasilkan banyak rempah-rempah sehingga penduduknya
cukup makmur. Yang menarik hatinya adalah munculnya dua orang kakek itu di tempat
kecil seperti ini.
Sesudah
mandi dan makan malam, dia mencari keterangan dari pelayan penginapan itu
tentang keadaan dusun dan terutama sekali dia menyelidiki apakah di tempat itu
terdapat kuilnya mengingat bahwa dua orang kakek itu berpakaian seperti pendeta.
"Dahulu
memang terdapat sebuah kuil di pinggir dusun sebelah selatan," pelayan itu
lalu menerangkan, "akan tetapi semenjak empat lima tahun ini, kuil itu
kosong, bahkan tak ada orang yang berani mendekati, terutama sekali pada waktu
malam hari."
"Ehh,
kenapa?" Hui Song bertanya.
"Karena...
tempat itu angker, ada setannya."
"Hemmm,
benarkah itu? Ada setannya bagaimana dan mengapa kuil itu ditinggalkan? Ke mana
perginya para pendetanya?"
"Kuil
itu dahulu adalah cabang kuil Kwan Im Po-sat yang diurus oleh lima orang
nikouw, yaitu seorang nikouw tua beserta empat orang muridnya yang usianya
kira-kira tiga puluh tahun. Akan tetapi, pada suatu malam terdengar
jeritan-jeritan dari kuil itu dan pada esok harinya, kami para penduduk melihat
mereka berlima sudah tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan!" Pelayan
itu bergidik dan kelihatan ketakutan.
"Bagaimana?
Terbunuhkah?"
"Mereka
terbunuh... dan agaknya iblis-iblis saja yang mampu melakukan pembunuhan itu.
Kepala mereka berubah hitam membengkak dan empat orang nikouw muda itu semuanya
telanjang bulat."
Hui Song
mengerutkan alisnya. Bukan iblis, pikirnya, melainkan orang atau orang-orang
yang amat kejam dan jahat, dan bukan tidak mungkin kalau empat orang nikouw
muda itu diperkosa penjahat sebelum mereka dibunuh.
"Dan
semenjak peristiwa itu, kuil itu dibiarkan kosong dan seperti keteranganmu
tadi, kini kuil itu ada setannya? Bagaimana pula itu?"
Pelayan itu
mengangguk-angguk. "Para penduduk mengurus jenazah mereka, dan sejak hari
itu juga kuil dibiarkan kosong dan tidak ada yang berani tinggal, bahkan
mendekati pun tak berani, apa lagi di waktu malam. Sering terdengar suara-suara
aneh dan nampak bayangan-bayangan setan di sekitar kuil itu. Bahkan ada
beberapa orang pemberani yang mengumpulkan tenaga sebanyak sepuluh orang pernah
tidur di sana untuk membuktikan dan mereka semua tertidur pulas atau pingsan
tetapi tahu-tahu tubuh mereka digantung di atas pohon, dengan kaki di atas dan
kepala di bawah!"
"Mati...?"
tanya Hui Song kaget.
"Tidak,
hanya pingsan. Akan tetapi tentu saja hal itu membuat kami semua menjadi makin
takut dan sejak itu tidak ada orang berani mencoba-coba mendekati kuil di waktu
malam, apa lagi tidur di situ."
Mendengar
keterangan ini, Hui Song makin tertarik. Hampir yakin hatinya bahwa tempat itu
tentu menjadi tempat yang sangat baik bagi orang-orang jahat untuk
menyembunyikan diri mereka. Dan dia teringat akan dua orang kakek siang tadi.
Bukan tidak mungkin kalau mereka itu pun mempergunakan tempat yang ditakuti
orang itu untuk bersembunyi atau setidaknya melewatkan malam.
Malam itu
Hui Song keluar dari penginapan dan berjalan menuju ke selatan. Setelah tiba di
depan kuil, dia melihat bahwa tempat itu memang terpencil dan sunyi. Gelap
sekali di situ, dan kuil itu nampak sunyi kosong dan menyeramkan.
Pohon-pohon
besar yang tumbuh di depan dan kanan kiri kuil itu menambah keseraman.
Batang-batang pohon itu nampak kehitaman dan cabang serta ranting-ranting yang
belum lebat menutupi sebagian genteng kuil yang nampak masih kokoh akan tetapi
kotor tidak terpelihara itu.
Memang
sebuah tempat yang amat sunyi, juga menyeramkan apa lagi kalau mengandung cerita
tentang setan-setan. Baru teringat akan kematian lima orang nikouw itu saja
sudah mendatangkan kengerian, apa lagi telah terjadi keanehan pada sepuluh
orang pemberani yang pernah tidur di sana. Di pohon-pohon itukah mereka
kedapatan tergantung dengan kepala di bawah?
Hui Song
mengayun tubuhnya, meloncat ke atas pohon dan mengintai. Sampai beberapa lama
dia mengintai dengan bersembunyi di atas cabang, di balik daun-daun lebat.
Namun tak nampak sesuatu dan tidak terdengar sesuatu dari dalam kuil. Ketika
dia memandang dari atas ke arah empat penjuru, nampak kelap-kelip sinar lampu
rumah-rumah agak jauh dari kuil, sedangkan di kuil dan sekelilingnya sunyi
saja, sunyi dan gelap.
Malam makin
larut dan kini nampak bulan sepotong tersembul naik dari awan-awan gelap yang
tadi menutupinya. Awan-awan terakhir meninggalkannya sehingga kini cahaya bulan
menerangi pohon dan genteng kuil, cukup terang bagi Hui Song sehingga dia bisa
melihat berkelebatnya bayangan orang! Bukan setan, melainkan orang!
Kalau ada
penduduk dusun yang kebetulan melihat bayangan itu, tentu akan menyangka bahwa
itu adalah bayangan setan karena memang bayangan itu berkelebat dengan amat
cepatnya, akan sukar dlikuti oleh pandang mata orang biasa. Kini dia tidak
merasa heran kalau muncul cerita tentang setan yang berkeliaran di sekitar kuil
itu.
Hui Song
melihat seorang gadis cantik berdiri di atas wuwungan kuil, setelah tadi gadis
itu menjadi bayangan berkelebatan di bawah, kemudian dengan ringan sekali
melayang naik. Dan dia pun terkejut dan terheran sekali.
Dia mengenal
gadis ini! Bukan lain adalah gadis penunggang kuda yang tadi melewatinya di
luar dusun ketika dia akan memasuki dusun Lok-cun. Kini dia tidak menunggang
kuda, melainkan berlompatan dengan gesit dan ringan. Namun pakaian yang
dipakainya masih seperti tadi. Gadis yang sederhana akan tetapi manis sekali.
Karena kaget
tadi, dan karena ingin memandang lebih jelas, Hui Song membuat gerakan sehingga
ranting-ranting dari cabang yang diinjaknya bergoyang lantas daun-daunnya ikut
pula bergoyang. Sedikit saja, seperti goyangan angin, namun cukup bagi wanita
itu yang segera memandang ke sekeliling untuk dapat melihat ketidak wajaran
ini. Hanya ranting-ranting di cabang itu yang bergoyang, sedangkan di malam itu
tidak ada angin sedikit pun juga.
"Wuuuttt...!
Cit-cittt...!"
Dua sinar
putih menyambar ke arah Hui Song ketika gadis itu menggerakkan jari tangan
kirinya. Kiranya ada dua batang jarum sulam yang meluncur bagaikan kilat
menyambar ke arah tubuh pemuda itu.
"Aihh...
galak amat...!" Hui Song melompat keluar dari balik rumpun daun lantas
berdiri di atas wuwungan, berhadapan dengan gadis itu sambil tersenyum. Dua
batang jarum dia serahkan kepada gadis itu. "Sayang jarummu ini, nona,
engkau akan kehilangan dan tidak dapat melanjutkan pekerjaanmu menyulam."
Tadi dia sudah melihat bahwa jarum itu tidak mengandung racun, maka dia pun
tidak menyangka buruk.
Dengan
pandang mata kagum dan tangan cekatan, gadis itu segera mengambil kembali dua
batang jarumnya dan menyimpannya di dalam saku di balik baju luar.
"Siapa
kau?"
"Nanti
dulu, nona. Kita pernah saling bertemu di luar dusun dan mengapa engkau begitu
mudah menyerangku dengan jarum-jarummu? Kalau tadi aku tidak hati-hati kemudian
dua jarummu itu menembus kepala atau dadaku, bukankah sekarang ini aku sudah
tidak bisa menjawab pertanyaanmu tadi?"
Sejenak
sepasang mata yang tajam dan jeli itu menatap wajah Hui Song penuh selidik, dan
kekerasan yang tadi membayang di wajah manis itu mulai melembut. Wajah pemuda
yang tampan, gagah dan juga penuh senyum itu sangat menarik dan mengagumkan
hati gadis ini. Akan tetapi dia masih menaruh curiga.
"Engkau
memata-matai dan menyelidiki tempatku!" bentaknya.
Hui Song
tersenyum dan kembali pada sepasang mata tajam itu terbayang kekaguman. Sungguh
ganteng pemuda ini, apa lagi kalau tersenyum.
"Nona,
menurut cerita orang-orang di dusun ini, kuil ini adalah tempat tinggal para
setan. Bagaimana bisa menjadi tempat tinggalmu? Aku yakin engkau bukan
setan."
"Untuk
sementara aku memilih tempat sunyi ini sebagai tempat berteduh, namun engkau
malam-malam begini datang dan bersembunyi di dalam pohon, tentu bermaksud
buruk. Agaknya engkau mengandalkan sedikit kepandaian menangkap jarum-jarumku
tadi. Nah, lihat serangan!" Gadis itu kembali menjadi galak dan tiba-tiba
saja melakukan serangan yang cukup keras dan cepat.
"Dukk!
Plakk!"
Hui Song
menangkis dua kali dan setiap kali ditangkis, tubuh gadis itu terdorong mundur.
Hal ini amat mengejutkan hati gadis itu. Tak disangkanya bahwa pemuda ini
benar-benar amat lihai, maka dia pun lalu mengeluarkan suara melengking dan
tubuhnya menyambar-nyambar, serangannya semakin hebat dan cepat. Jari-jari
tangannya berubah kaku keras dan dia menyelingi pukulan-pukulannya dengan
cengkeraman atau totokan ke jalan-jalan darah yang berbahaya.
Akan tetapi
Hui Song menghadapi semua serangan itu dengan tenang saja. Ia mengelak ke
sana-sini, kadang-kadang menangkis dan tidak pernah membalas.
"Eiiit,
perlahan dulu, nona. Kenapa galak amat? Kita tidak pernah bermusuhan, mengapa
engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan maut? Eiiit, sayang tidak kena!"
Nona itu
semakin penasaran dan tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah sapu tangan sutera
putih dari lengan bajunya. Sapu tangan itu dipergunakannya sebagai senjata dan
biar pun sapu tangan itu hanya berupa kain sutera tipis lemas, tapi di
tangannya berubah menjadi senjata ampuh, kadang kala merupakan cambuk yang
melecut dan mengeluarkan suara ledakan, dan kadang-kadang menjadi kaku dan
keras seperti besi baja!
Hui Song
masih tetap tenang. Sapu tangan sutera itu mungkin berbahaya bagi orang lain,
akan tetapi baginya tidak ada artinya. Pula, dia mendapat kenyataan bahwa sapu
tangan itu tak mengandung racun, sama seperti jarum-jarum tadi, maka hatinya
semakin senang. Seorang gadis manis seperti ini tidak mau berlaku curang, tentu
seorang gadis baik-baik, mungkin seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa,
seorang pendekar wanita seperti Sui Cin. Dia pun mulai membanding-bandingkan.
Gadis ini
juga cantik manis, dan juga galak seperti Sui Cin, akan tetapi apa bila dinilai
dari kepandaian silatnya, tentu saja Sui Cin masih lebih lihai, apa lagi
sekarang sesudah Sui Cin digembleng oleh Dewa Arak! Dia ingin sekali menguji
sampai di mana kemajuan dan kelihaian Sui Cin sekarang.
Gadis itu
semakin kagum saja, terbukti dari seruan-seruannya ketika setiap serangannya
selalu dapat dihindarkan oleh lawan dengan amat baik. Maka dia pun menyerang
semakin nekat. Melihat ini, Hui Song mengerutkan alisnya. Nona ini bukan orang
sembarangan, memiliki ilmu silat tinggi, tentu sudah tahu bahwa dia sengaja
mengalah dan tidak pernah membalas. Akan tetapi mengapa nona ini nekat
menyerang terus?
"Nona,
hentikanlah seranganmu ini dan mari kita bicara baik-baik. Di antara kita tidak
ada permusuhan. Kalau engkau tidak mau berhenti, terpaksa aku akan
membalas!" Terpaksa dia mengancam dan dia telah mengepal tinju kanan, siap
untuk membalas serangan jika lawannya tetap berkeras hati tidak mau menyudahi
perkelahian itu.
Tiba-tiba
saja sapu tangan sutera itu kembali menyambar ke arah muka Hui Song dan kini
benda itu menjadi lemas. Karena yang diserang adalah mukanya, juga karena dia
sudah mengambil keputusan untuk membalas, maka Hui Song segera menarik tubuh
atasnya ke belakang sehingga sapu tangan itu tidak mengenai muka, hanya lewat
saja. Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium aroma yang amat wangi lalu
tiba-tiba saja kepalanya pening dan pandang matanya gelap.
"Celaka...!"
teriaknya, sadar bahwa sekali ini, entah bagaimana caranya, sapu tangan itu
mengandung bubuk beracun yang pada saat dikebutkan telah menyambar dan masuk ke
dalam hidungnya, membuat dia keracunan.
"Tukk!"
Jari tangan gadis itu sudah menyambar dan menotok pinggang, membuat Hui Song
yang sudah setengah pingsan itu seketika menjadi lemas. Dia masih mendengar
suara gadis itu terkekeh disusul kata-katanya memuji, "Engkau gagah perkasa..."
Dan dia pun
tidak ingat apa-apa lagi. Juga dia tidak sadar sama sekali pada saat gadis itu
memondongnya dan membawanya melompat turun dari atas genteng, lalu membawanya
masuk ke dalam sebuah kamar dalam kuil itu.
Kalau saja
Hui Song tahu siapa adanya gadis ini, tentu dia tidak akan bersikap sembrono
dan mengalah seperti tadi. Gadis yang berusia dua puluh empat tahun ini
kelihatannya saja cantik manis dan lemah lembut, juga tidak nampak membawa
senjata atau bersikap menyeramkan. Akan tetapi sebenarnya dia merupakan seorang
tokoh besar dunia hitam pada waktu itu.
Sungguh pun
dia baru saja keluar dari tempat pertapaan bersama gurunya, boleh dibilang dia
menduduki tempat tinggi di kalangan kaum hitam, terangkat oleh nama gurunya
yang ditakuti semua orang di dunia kaum sesat. Dan siapakah gurunya ini? Bukan
lain adalah Pangeran Toan Jit Ong atau Si Raja Iblis sendiri!
Walau pun
merupakan sepasang tokoh yang mempunyai kesaktian luar biasa, tokoh sakti Toan
Jit Ong yang dijuluki Raja Iblis bersama isterinya yang berjuluk Ratu Iblis itu
hanya memiliki seorang murid itulah. Sebab itu dapatlah dibayangkan betapa
sayangnya mereka kepada murid itu dan tentu saja murid itu digembleng dan
diberi pelajaran ilmu-ilmu yang hebat.
Murid itu
bernama Gui Siang Hwa, seorang gadis yatim piatu yang dipelihara suami isteri
itu sejak berusia sepuluh tahun dan digembleng dengan ilmu-ilmu yang hebat.
Selain ahli dalam bermacam ilmu silat, memiliki sinkang kuat dan ginkang yang
hebat, juga gadis ini sangat ahli dalam pengolahan dan penggunaan racun,
terutama sekali racun yang berbau wangi. Karena pandainya bermain racun wangi
ini, juga karena memang dia cantik manis, maka sebentar saja dia memperoleh
julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi).
Siang Hwa
telah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia belum menikah. Biar pun
kedua orang gurunya telah membujuknya, akan tetapi dia belum mau menikah karena
dia belum menemukan seorang pria yang dianggapnya pantas menjadi suaminya. Akan
tetapi karena sejak kecil berada di lingkungan penjahat, wataknya pun menjadi
binal dan seperti para penjahat lain, gadis ini pun menjadi budak nafsunya sendiri.
Di luarnya
saja kelihatan halus dan sopan, juga alim dan lembut. Akan tetapi, seperti para
rekannya, dia pun dapat bertindak sangat kejam, penuh dengan akal dan muslihat
busuk, dan terutama sekali, sejak mulai dewasa, dia sudah suka berhubungan dengan
pria-pria tampan yang menarik hatinya. Bahkan dia termasuk seorang wanita mata
keranjang yang akan mempergunakan segala akal, kalau perlu mempergunakan ilmu
kepandaian silatnya yang tinggi untuk berhasil mendapatkan pria yang
disukainya.
Seperti yang
telah kita ketahui, Toan Jit Ong dan isterinya pada tiga tahun yang lalu telah
mengumpulkan para datuk sesat untuk mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan
ini Raja Iblis dan isterinya mengangkat diri mereka sendiri menjadi pimpinan
para datuk untuk merencanakan pemberontakan.
Pada waktu
pertemuan itu diadakan, Siang Hwa masih berusia dua puluh satu tahun dan dia
sendiri tidak memperlihatkan diri di dalam pertemuan itu karena dia mempunyai
tugas lain yang diberikan gurunya kepadanya. Dia harus bersembunyi dan
melakukan penjagaan rahasia bersama belasan orang teman yang menjadi kaki
tangan gurunya.
Setelah
pertemuan para datuk itu selesai, Raja Iblis dan isterinya lalu menggembleng
lagi anak murid mereka sambil mengatur persiapan untuk melakukan rencana
pemberontakan mereka. Murid inilah yang diberi tugas untuk mewakili mereka
mengadakan pertemuan-pertemuan dan persekutuan rahasia dengan para tokoh dan
juga para pembesar penting.
Berkat
kecantikan, kecerdikan dan juga kepandaiannya, Siang Hwa dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik sekali. Pada waktu itu, sudah banyaklah pembesar-pembesar
yang mempunyai kekuatan pasukan, secara diam-diam telah menjadi sekutu para
pemberontak yang telah siap siaga sehingga sewaktu-waktu mereka akan dapat
mengerahkan pasukan untuk bersama-sama menggempur kota raja dan merampas
kekuasaan dari Kaisar Ceng Tek!
Selain
membujuk para pembesar untuk bersekutu, juga Siang Hwa bertugas membujuk
orang-orang gagah dari kalangan kang-ouw, yang biasanya bahkan menjadi lawan
kaum sesat, untuk bekerja sama demi perjuangan membasmi kelaliman! Dalam rangka
tugas inilah Siang Hwa berada di dusun Lok-cun itu.
Dara ini
menggunakan kuil sunyi yang ditakuti orang itu sebagai tempat tinggal sementara
sehingga dia dapat melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dengan para
pembantunya tanpa dilihat orang. Sungguh tidak disangkanya bahwa malam hari itu
dia akan bertemu dengan seorang pemuda yang selain amat tampan dan ganteng,
juga amat gagah perkasa sehingga dia sendiri tidak mampu mengalahkannya dengan
ilmu silat.
Munculnya
pemuda seperti Hui Song ini sungguh di luar dugaan Siang Hwa dan begitu bertemu
dia telah jatuh cinta! Inilah pemuda yang selama ini diidam-idamkannya. Banyak
sudah dia bertemu dengan pemuda tampan, bahkan sudah sering pula dia
menyerahkan diri kepada pria-pria yang disukainya, namun belum pernah dia
bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan disukainya, yang memiliki
kepandaian lebih tinggi darinya.
Akan tetapi
para pria itu tidak masuk hitungan, hanya merupakan alat penghiburnya saja
untuk melampiaskan nafsunya. Ia hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang
selain disukanya juga memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, dan pemuda ini
sungguh sangat lihai. Maka, terpaksa ia harus mempergunakan akal dan sapu
tangannya yang berbahaya itu, yang kalau tidak dikehendakinya merupakan sapu
tangan biasa, akan tetapi pada saat ia terdesak, ia dapat menarik alat halus
pada sapu tangan itu yang akan membuka tempat penyimpanan bubuk beracun wangi
yang amat ampuh.
Selain tugas
untuk menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw agar mau bekerja sama
menentang kaisar, juga ada suatu tugas rahasia lain yang pada waktu itu sangat
mengganggu hati Siang Hwa. Gurunya telah menunjuk dia untuk memimpin
teman-teman yang boleh dipercaya dan yang memiliki kepandaian tinggi untuk
menyelidiki dan mencari sebuah harta karun yang berada pada sebuah tempat
rahasia yang amat sulit dan sukar dikunjungi.
Sudah
berkali-kali dia bersama teman-temannya mencoba menyelidiki tempat itu, namun
selalu gagal, bahkan beberapa orang temannya berkorban nyawa di tempat itu
sedangkan tempat penyimpanan harta karun itu tetap saja belum dapat dia
temukan. Gurunya telah berpesan bahwa kalau dia tidak mampu, barulah kedua
orang gurunya akan turun tangan sendiri.
Teman-temannya
telah menganjurkan dan menasehatkannya untuk melapor kepada Raja dan Ratu Iblis
saja bahwa dia dan teman-temannya tidak sanggup lagi. Akan tetapi Siang Hwa
adalah seorang gadis yang keras hati dan angkuh. Dia merasa malu apa bila harus
menghadap kedua orang gurunya dan melaporkan kegagalannya. Hal ini berarti
mengakui kelemahan sendiri! Tidak, dia harus mencoba lagi dan untuk itu dia
harus mendapatkan seorang teman yang lihai, setidaknya memiliki tingkat
kepandaian, terutama ginkang yang setingkat dengannya!
Di antara
para pembantunya ada dua orang kakek yang menjadi orang-orang kepercayaan
gurunya. Mereka itu adalah Hui-to Cin-jin (Manusia Sakti Pisau Terbang) dan
Kang-thouw Lo-mo (Setan Tua Kepala Baja) yang siang hari tadi sudah pernah
berjumpa dengan Hui Song. Mereka adalah dua orang kakek yang tadi membunuh
empat orang pemuda mabok di dalam restoran.
Dua orang
kakek ini bukan orang sembarangan, bukanlah penjahat biasa. Mereka adalah dua
di antara Cap-sha-kui yang tentu saja memiliki kepandaian hebat! Dan dari dua
orang kakek inilah Siang Hwa mendengar bahwa di dusun itu muncul seorang pemuda
yang lihai sekali, seorang pemuda bernama Cia Hui Song yang bukan hanya mampu
menghindarkan diri dari sambaran pissu-pisau maut yang dilempar oleh Hui-to
Cin-jin, akan tetapi bahkan sanggup menahan pukulan Kang-thouw Lo-mo yang amat
kuat itu.
Mendengar
ini, Siang Hwa merasa tertarik sekali, juga curiga. Jangan-jangan pemuda itu
adalah mata-mata pihak musuh, pikirnya. Ia tahu bahwa gerakan gurunya
mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan niat hendak memberontak itu tentu telah
terdengar oleh dunia persilatan dan bukan merupakan hal aneh kalau ada pihak
yang akan menentangnya.
***************
Ruangan yang
menjadi tempat tidur itu tidak berapa luas dan keadaannya pun tidak dapat
dibilang bagus, apa lagi mewah. Akan tetapi, jika orang melihat keadaan kuil
yang sudah tidak dipakai dan rusak itu, dia akan merasa heran melihat betapa di
dalam kuil kosong yang rusak itu ada sebuah kamar di dalamnya, kamar yang cukup
teratur dan terawat.
Meski pun
sederhana, kamar itu bersih dan berbau harum. Di dalam kamar itu hanya ada
sebuah dipan kayu dan sebuah meja kayu. Satu-satunya hiasan hanyalah selembar
tirai sutera yang juga dipergunakan sebagai penutup jendela yang sudah
berlubang dan daun jendelanya rusak.
Inilah
ruangan yang digunakan oleh Siang Hwa untuk menjadi kamar tidurnya, sementara
dia bersembunyi di dalam kuil itu. Sesudah berhasil membuat Hui Song pingsan
dan tidak berdaya kemudian menawannya, dia membawa pemuda itu ke dalam kamar
dan setelah mendudukkan tubuh Hui Song ke atas pembaringan dan mengikat kedua
tangan pemuda itu erat-erat, ia lalu menyadarkan Hui Song dengan usapan-usapan
pada muka, terutama di depan hidungnya, menggunakan obat bubuk penawar racun
yang membuat pemuda itu jatuh pingsan.
Tak lama
kemudian, sadarlah Hui Song. Ia menggerakkan cuping hidungnya karena yang
pertama terasa olehnya adalah keharuman yang menusuk hidungnya. Lalu dia
membuka mata dan terbelalak menatap wajah manis yang berada demikian dekat
dengan mukanya. Wajah cantik manis yang berbau harum, dengan sepasang mata
setengah terpejam, bibir setengah terbuka, menantang dengan tahi lalat keeil di
atas dagu.
Dia terkejut
dan otomatis meronta, akan tetapi dia semakin kaget memperoleh kenyataan bahwa
kedua lengannya tak dapat digerakkan, terbelenggu pada pergelangan tangannya.
Kini dia pun teringat lantas alisnya berkerut, matanya menatap tajam wajah
cantik yang amat dekat itu.
Siang Hwa
juga merasa bahwa tawanannya telah sadar, maka ia membuka mata menatap sambil
tersenyum dan semakin mendekat hingga tangannya menyentuh dada Hui Song. Pemuda
itu bergidik saat jari-jari tangan halus itu menyentuh dadanya yang ternyata
telah telanjang karena baju di bagian dadanya terbuka.
Jari-jari
tangan itu bergerak halus seperti cecak merayap di sepanjang dadanya, membuat
Hui Song merasa malu dan canggung, akan tetapi dia sama sekali tak mampu
mengelak karena punggungnya bersandar pada kepala dipan dan sepasang lengannya
tidak dapat digerakkan, Dia hanya dapat menarik kepalanya ke belakang untuk
menjauhi muka manis yang begitu dekat sehingga napas gadis itu menyapu pipinya.
"Ehh...?!
Kau... kau perempuan curang!" dia membentak, teringat bagaimana dia sampai
tertawan oleh gadis ini.
"Kau...
kau laki-laki yang gagah perkasa, seorang jantan perkasa yang mengagumkan
hatiku..." Siang Hwa berbisik dan merangkul, mendekap dan membenamkan
mukanya di dada yang bidang dan telanjang itu.
Sejenak
mereka diam saja dan gadis itu dapat merasakan dan mendengar degup jantung yang
sangat kuat dari balik dada itu, sedangkan Hui Song memejamkan kedua matanya.
Seluruh tubuhnya tergetar oleh dekapan yang penuh gairah dan nafsu ini. Terasa
olehnya betapa dari seluruh tubuh wanita ini bagaikan keluar hawa panas yang
membakarnya dan dia pun terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melawan
dorongan nafsu yang mulai timbul dalam benaknya.
Pengerahan
sinkang ini menolongnya dan dia membuka mata. Pada saat itu dia melihat
berkelebatnya bayangan orang di luar jendela! Nampak seorang wanita yang
mengintai ke dalam! Penglihatan ini sungguh amat membantunya dan seketika itu
pula kegelisahan serta kebimbangannya lenyap. Tidak, dia tidak boleh jatuh ke
dalam rayuan gadis jalang ini!
"Pergilah
kau, perempuan curang dan jalang!" dia membentak.
Siang Hwa
tidak menjadi marah, melainkan memandang dengan sinar mata lembut dan sikap
memikat. "Kalau aku menghendaki sejak tadi aku sudah membunuhmu. Akan
tetapi tidak, sedikit pun aku tidak ingin membunuhmu, karena itu aku harus
menggunakan siasat untuk mengalahkanmu tanpa melukaimu atau membunuh. Kau
maafkanlah aku."
"Hemm,
siapakah engkau dan mengapa engkau menawanku?"
"Aku...
namaku Siang Hwa, Gui Siang Hwa, seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara.
Aku ingin sekali bersahabat denganmu, akan tetapi engkau begitu gagah perkasa,
tanpa menggunakan akal aku tidak akan dapat merobohkanmu. Engkau... yang
bernama Cia Hui Song, bukan?"
Diam-diam
pemuda itu terkejut. Kiranya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan
tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan menduga
pun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah
mengenal namanya.
"Engkau
sudah mengenalku. Engkau tadi bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi
engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini malah
menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"
"Cia-taihiap,
aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali
kepadamu, aku... aku jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat denganmu. Akan
tetapi karena aku takut engkau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku,
maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji
mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan
kedua tanganmu..."
"Hemmm,
apa yang kau maksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?" Hui Song sudah
berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilah-istilah
tentang cinta dan memang dia belum berpengalaman tentang wanita.
Siang Hwa
tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan dia
mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda
itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terdengar gadis itu
berbisik,
"Taihiap,
uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan seluruh jiwa ragaku kepadamu, aku
cinta padamu, taihiap..." Dan Siang Hwa tiba-tiba saja mencium bibir Hui
Song yang tidak dapat mengelak lagi.
"Perempuan
hina tak tahu malu!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela
dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya kemudian sekali
meloncat dia sudah keluar dari dalam kamar itu.
Begitu dia
tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan
sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main.
Sebagai seorang ahli silat yang pandai, dia mengenal gerakan pedang yang sangat
lihai, maka dia pun segera mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi
gadis itu mendesaknya kembali dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang
dimainkan secara cepat, indah dan berbahaya.
"Siapa
engkau?" Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan
kamarnya yang luas.
"Perempuan
hina, aku adalah algojomu yang hendak mengakhiri kecabulanmu!" Gadis itu
berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa semua serangannya tidak
pernah berhasil. Dia lalu menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua
tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.
"Bagus!
Ilmu pedangmu bagus juga!" Siang Hwa berseru.
Dan begitu
tangan kanannya meraba pinggang, Siang Hwa telah mengeluarkan sebatang pedang
yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis
dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Kemudian,
begitu dia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.
"Trangg...!
Cringg...!"
Gadis itu
mengeluarkan seruan kaget. Dengan gerakan aneh dan cepat, pedang kebiruan itu
telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, dia merasa betapa dua
tangannya kesemutan. Cepat dia meloncat ke belakang sambil terus memutar
sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya.
Terdengar
Siang Hwa terkekeh. Sekarang dia pun membalas dengan serangan-serangan dahsyat
yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot
untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai
itu.
Mendengar
suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segera mengenalnya. Itulah suara Tan
Siang Wi, sumoi-nya! Tentu saja dia segera merasa gelisah sekali karena dia
tahu bahwa sumoi-nya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia berusaha
melepaskan diri, akan tetapi pengaruh obat bius tadi masih melemaskannya dan
tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya juga amat kuat.
Dia harus
menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoi-nya berada
dalam bahaya maut. Dengan pendengarannya dia sudah mendengar suara berdencingan
senjata pedang yang saling beradu dan dia pun dapat mengenal gerakan sumoi-nya
yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis dari pada menyerang.
"Gui
Siang Hwa, jangan celakai sumoi-ku...!" karena khawatir sumoi-nya celaka,
akhirnya dia berteriak.
Terdengar
suara ketawa merdu wanita itu disusul tangkisan-tangkisan yang menimbulkan
suara berdenting. "Hi-hik, kiranya dia adalah sumoi-mu sendiri? Tentu saja
aku tidak akan membunuhnya kalau begitu!" Dan suara ini disusul keluhan
Tan Siang Wi lalu terdengar jatuhnya tubuh gadis Cin-ling-pai itu.
"Sumoi,
awas bubuk beracun obat biusnya!" Kembali Hui Song berteriak dengan
khawatir.
Akan tetapi
sumoi-nya tidak menjawab dan suasana sudah menjadi sunyi. Yang terdengar
hanyalah suara ketawa Siang Hwa dan tak lama kemudian wanita itu masuk lagi ke
dalam kamar sambil mengempit tubuh Siang Wi yang sudah pingsan! Kiranya suara
terjatuh tadi adalah robohnya Siang Wi terkena obat bius seperti yang pernah
dialaminya tadi.
Sambil
tersenyum kepada Hui Song, Siang Hwa berkata, "Lihat, jika tidak berat
padamu, tentu dia sudah menjadi mayat. Cia-taihiap, dengan perbuatanku tidak
membunuh engkau dan sumoi-mu, bukankah sudah cukup bukti bahwa aku ingin
bersahabat denganmu?"
Hui Song
maklum bahwa pada waktu itu, sebelum dia dapat membebaskan dirinya, maka
keselamatan nyawanya serta nyawa sumoi-nya memang berada di tangan gadis lihai
ini. "Baiklah, kalau memang benar engkau ingin bersahabat denganku, apa
salahnya? Akan tetapi engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu mengenai...
mengenai cinta. Urusan seperti ini tidak boleh dipaksakan, sama sekali tidak
boleh!"
Siang Hwa
mengerutkan alisnya. Belum pernah atau jarang sekali ada pria yang menolak
cintanya. Hampir semua pria yang disenanginya pasti menyambut cintanya dengan
kedua tangan terbuka, sebagian kecil saja karena takut kepadanya dan sebagian
besar karena memang mereka tergila-gila oleh kecantikannya.
Akan tetapi
pemuda Cin-ling-pai ini, dan dia yakin benar bahwa tentu pemuda she Cia ini
adalah pemuda Cin-ling-pai karena ia tadi mengenal beberapa macam gerakan dasar
dari Cin-ling-pai, pemuda ini tidak tergila-gila kepadanya, juga sama sekali
tidak takut biar pun sudah tertawan dan tidak berdaya! Belum pernah dia bertemu
dengan seorang pemuda seperti ini.
Pemuda gagah
perkasa seperti ini selain sangat mengagumkan hatinya dan menjatuhkan hatinya
seperti yang belum pernah dialaminya, juga dapat merupakan seorang sahabat dan
sekutu yang sangat baik. Gurunya tentu akan girang sekali kalau bisa
mendapatkan pembantu seperti Cia Hui Song ini dan mereka tentu akan memujinya
sebagai seorang yang pandai menarik tenaga yang amat kuat sebagai sekutu.
Hatinya amat
kecewa dan nafsu birahinya yang tadinya telah memuncak itu tiba-tiba saja
menjadi menurun banyak. Baiklah, bagaimana pun juga, aku harus dapat
memanfaatkan pertemuannya dengan pemuda istimewa ini. Jika tidak bisa
menariknya sebagai kekasih, setidaknya untuk saat ini, biarlah dia menariknya
sebagai sahabat dan sekutu. Bila sudah menjadi sahabat, dengan perlahan-lahan
dia akan dapat merayunya dan dia masih penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya
dalam hal ini, bahkan hampir merasa yakin bahwa akhirnya pemuda ini akan roboh
ke dalam pelukannya juga.
"Cia-taihiap,
kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tidak biasa memaksakan cinta, dan
walau pun aku jatuh hati kepadamu dan mencintamu semenjak pertama kali bertemu,
akan tetapi aku hanya berharap engkau akan dapat menerima uluran tangan dan
hatiku, tapi aku tidak akan memaksamu. Baiklah, apakah engkau mau berjanji
untuk bersahabat denganku?"
Hui Song
juga bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis ini lihai dan berbahaya sekali,
dan dia tidak dapat memilih dalam keadaan seperti itu. Dia sendiri sudah merasa
betapa tenaganya sudah pulih dan dia merasa yakin bahwa kalau dia menghendaki,
pada saat itu pun dia akan mampu mengerahkan tenaga dan membebaskan diri dari
belenggu.
Akan tetapi,
dengan adanya Siang Wi yang masih tak mampu bergerak, akan berbahaya sekali
kalau dia melakukan hal itu. Wanita ini hanya minta kepadanya untuk bersahabat,
apa salahnya?
"Baiklah,
apa salahnya kalau kita bersahabat? Akan tetapi sikapmu tidak seperti hendak
bersahabat. Engkau menawan aku dan sumoi..."
"Sabarlah,
aku akan membebaskanmu. Dalam keadaan sekacau ini, bagaimana aku tahu bahwa
kalian adalah orang baik-baik? Siapa tahu kalau-kalau kalian ini adalah
mata-mata dari pihak pemberontak? Apa bila kau mau berjanji menjadi sahabatku
dan membantuku dalam satu urusan, aku tentu akan membebaskan engkau dan juga
sumoi-mu, dan minta maaf."
Diam-diam
Hui Song merasa sangat heran. Wanita ini agaknya tahu pula akan rencana
pemberontakan para datuk sesat. Akap tetapi hal ini pun tidaklah berapa aneh.
Bukankah berita itu telah tersiar di dunia kang-ouw dan melihat kepandaiannya,
wanita ini pun tentu seorang kang-ouw yang lihai dan sudah mendengar pula akan
berita itu. Agaknya wanita ini menentang kaum pemberontak, akan tetapi dia
harus yakin akan hal ini.....
"Nona,
seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana mungkin takut akan segala
kekacauan? Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"
"Hemmm,
tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang diatur oleh para
datuk di dunia kang-ouw?"
Hui Song
mengangguk. "Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, melainkan datuk
kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui ikut bersatu dan bersekutu dengan para datuk
jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!" Hui Song memandang tajam
untuk melihat reaksi pada wajah gadis itu.
"Ihh...!"
Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri. "Sampai sedemikian jauh dan hebat?
Kalau begitu, kerajaan sedang terancam bahaya!"
"Nona,
engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah
yang akan kau lakukan? Apakah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan
memberontak itu?"
Muka Siang
Hwa menjadi merah. Sesungguhnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati,
akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia
merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan teman para pemberontak.
"Hemm,
Cia-taihiap, apakah engkau juga ingin membantu Cap-sha-kui dan
pemberontak-pemberontak itu?" Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil
menatap tajam.
Hui Song
menggelengkan kepala. "Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan
aku lebih suka menentang Cap-sha-kui dari pada menjadi sahabat mereka!"
"Bagus,
kalau begitu kita sepaham!" Siang Hwa berkata dengan senyum lebar.
"Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoi-mu itu mata-mata
pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap."
Berkata demikian, dia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua
pergelangan tangan Hui Song. Akan tetapi dia berhenti dan menatap wajah itu.
"Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."
"Setelah
kita menjadi sahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk
perkara kejahatan."
"Hemm,
apakah engkau belum percaya padaku, taihiap? Aku bukan penjahat. Berjanjilah
bahwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoi-mu. Akan
tetapi, sumoi-mu tidak boleh ikut serta."
"Mengapa?"
"Urusan
itu adalah rahasia diriku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta
bantuan tidak boleh tahu."
Hui Song
mengangguk, mengerti. Lagi pula, dia pun tidak senang apa bila sumoi-nya ikut
mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoi-nya itu amat angkuh dan keras
sehingga di mana-mana akan mudah menimbulkan keributan dan permusuhan. Kedua,
tingkat ilmu kepandaian sumoi-nya, walau pun secara umum dapat dianggap cukup
lihai, akan tetapi belum boleh diandalkan apa bila bertemu dengan datuk-datuk
sesat. Dan ke tiga, dia tahu betapa sumoi-nya mencintanya dan mengharapkan agar
dia menjadi suaminya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak
untuk berhadapan dengan gadis itu.
"Kalau
begitu, sekarang juga aku akan membebaskanmu!" Siang Hwa mendekat tapi Hui
Song tersenyum.
"Tidak
perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadi pun aku sudah bisa membebaskan diri
sendiri." Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan
pada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdengar suara
keras, dan belenggu itu pun putus-putus.
"Ihhh...!"
Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya
terbelalak.
Akan tetapi
Hui Song tersenyum. "Jangan kaget dan tidak perlu khawatir, nona. Aku tadi
hanya ingin melihat apakah benar engkau berniat baik maka aku sengaja
membiarkan diri terbelenggu."
"Aihh...
engkau... benar-benar hebat, taihiap," kata Siang Hwa kagum. "Dan
sekarang aku akan membebaskan sumoi-mu," Ia pun cepat menghampiri Siang
Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi.
Tidak lama
kemudian terdengar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis
yang tadi merayu suheng-nya itu duduk berjongkok di dekatnya, segera Siang Wi
mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja dia mengirim pukulan-pukulan
bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu.
Siang Hwa
meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa kali. Setiap
gerakannya amat diperhatikan oleh Hui Song dan pemuda ini diam-diam harus
mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang sangat tinggi,
gerakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah biar pun bersifat aneh dan
liar. Mudah terlihat olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai dari pada
gerakan sumoi-nya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoi-nya akan kalah walau pun
Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.
"Sumoi,
hentikan seranganmu!" bentak Hui Song.
Mendengar
bentakan ini, Siang Wi menahan serangannya lantas membalik, memandang kepada
Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran. "Suheng,
dia... dia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"
"Sumoi,
tenanglah. Nona Gui ini adalah orang segolongan, tadi hanya terjadi salah paham
antara kami..."
"Tapi...
tapi aku tadi melihat dengan mataku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri
betapa dia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."
"Sstt,
sumoi. Sudahlah. Kukatakan tadi hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat,
dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui
orang lain. Oleh karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini
sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan ikuti aku lagi."
"Tapi...
suheng..."
"Sudahlah,
sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau tidak berniat baik,
kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"
Tan Siang Wi
berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini kedua matanya mulai
basah. Dia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya
pada Siang Hwa penuh kebencian, tetapi sepasang matanya memancarkan permohonan
dan kekecewaan kalau dia memandang suheng-nya.
"Suheng...
haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"
Hui Song
mengangguk. Ia tak ingin menyakiti hati sumoi-nya, akan tetapi mengingat akan
watak sumoi-nya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia sudah berjanji kepada
Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu.
Lagi pula,
diam-diam dia menaruh hati curiga terhadap Siang Hwa dan ingin menyelidiki
siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya. Dia merasa bahwa
ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa
tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan
minta bantuannya untuk mengurus sesuatu yang rahasia.
"Sumoi,
harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."
Kini
beberapa tetes air mata jatuh menitik. "Suheng... engkau... selalu
mengecewakan dan menyakiti hatiku..."
"Maafkan,
sumoi..."
Akan tetapi
Tan Siang Wi sudah menyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh di atas lantai
ketika dia roboh pingsan, lantas berloncatan pergi meninggalkan tempat itu.
Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi hingga akhirnya
terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.
"Aihh...
agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau sudah ditakdirkan untuk
menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Hari ini kulihat telah ada
dua orang wanita yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan yang
kedua adalah sumoi-mu tadi!"
Hui Song
juga turut menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada
Siang Wi, sumoi-nya itu. Semenjak kecil sumoi-nya mencintanya dan cinta
kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih
seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang berharap untuk diikat
dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri.
Dan dia tahu
benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoi-nya, biar pun dia sayang kepada
sumoi-nya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya
ini? Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta
kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita
ini.
"Maafkan
aku kalau memang demikian halnya, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa
kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat
dipaksakan."
Siang Hwa
tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan
membayangkan betapa akan nikmatnya kelak apa bila dia sampai berhasil membujuk
pria ini menjadi kekasihnya dan berada di dalam dekapannya.
"Aku
tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, hanya aku merasa kasihan kepada sumoi-mu itu
yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."
"Nona,
ingin sekali aku mengetahui bagaimana engkau dapat mengenal namaku?"
Mereka kini
duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu,
terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum. "Aku mendengar dari
Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang
kuminta bantuanmu ini."
Hui Song
teringat akan dua orang kakek itu, maka dia pun tersenyum mengejek. "Wah,
jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang
sudah membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."
"Memang
betul mereka!" Siang Hwa berkata dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan
harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka
berdua adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biar pun kini bukan lagi terikat
agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai
ketika masih menjadi pendeta. Sekarang mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka
juga turun ke dunia ramai hendak menentang kaum pemberontak."
"Ahh...!"
Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu
kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak
berdosa?"
Gadis itu
tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di
atas dagu itu. "Orang-orang muda yang tidak berdosa? Taihiap tidak
tahu..."
"Mungkin
mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya berupa ejekan
kepada mereka yang berpakaian pendeta, dan itu pun dilakukan dalam keadaan
mabok."
"Taihiap
sudah salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, bukan seperti
yang taihiap kira. Mereka adalah mata-mata kaum pemberontak yang menyamar
sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak
menggunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak gampang dikalahkan dan tempat
kami tentu sudah ketahuan, kemudian kami akan diserbu oleh para
pemberontak."
Hui Song
terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya
sama sekali.
"Aku
merasa gembira sekali bisa bersahabat dengan taihiap, apa lagi akan mendapatkan
bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri
taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentunya engkau adalah
seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap
nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan
menyebut-nyebut Cin-ling-san."
"Memang
aku adalah putera dari ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tak
ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.
"Ahh...!"
Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku sudah berlaku kurang
hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."
"Sudahlah,
nona. Kedudukan dan nama takkan merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona
ceritakan, urusan apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"
"Urusan
ini sangat penting dan merupakan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang
mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan
dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta
karun."
"Hemm..."
Hui Song termenung. Tak disangkanya sama sekali bahwa urusan itu hanyalah
urusan menyelidiki dan mencari harta karun!
"Ini
bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau menyangka bahwa kami adalah
orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami
mencari harta karun itu justru dalam usaha kami untuk menentang usaha para
pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun
itu tidak kita dahului dan kita ambil."
"Apa
maksudmu? Aku tidak mengerti, nona."
"Begini,
taihiap. Tempat di mana harta karun itu berada kini juga sedang diintai oleh
para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya.
Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami telah dapat menemukan tempat itu.
Hanya saja tempat itu sukar didatangi, bahkan aku sudah kehilangan nyawa
beberapa orang kawanku ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat
itu."
"Ah,
begitu berbahayakah? Apa yang menyebabkan bahaya itu?"
"Tempatnya
sangat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Goa Iblis Neraka!
Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani
memasuki. Kabarnya dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti yang mencuri harta
karun dari kaisar lalim dan disimpan di tempat itu, dan disediakan untuk mereka
yang akan menentang kaisar lalim di kemudian hari. Harta karun itu sudah hampir
seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil
menemukannya."
"Kalau
demikian sukarnya, kenapa engkau minta bantuanku? Kalau orang seperti engkau
dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"
"Begini,
taihiap. Di antara kami hanya aku seorang yang mampu menyeberangi jembatan batu
pedang. Kedua locianpwe itu pun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku
telah menyeberangi jembatan batu pedang itu, akan tetapi selanjutnya aku tidak
sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan
bantuan orang yang mempunyai ginkang dan sinkang yang melebihi aku dan ternyata
engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."
"Dan
dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek
Siang Hwa
lantas tertawa. "Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap? Sudahlah, biar
aku mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia
itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, maka hal itu berarti
bahwa engkau sudah menentang para pemberontak. Kalau kelak kita berhasil,
berarti kita telah memukul para pemberontak dan melumpuhkan setengah dari
kekuatan mereka!"
Tentu saja
Hui Song tertarik sekali. Biar pun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan
ternyata tidak dapat dinamakan kejam pula jika empat orang muda itu adalah
mata-mata pemberontak, dan biar pun gadis ini pernah bersikap tidak
menyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang menentang
pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri
dalam usahanya menentang para pemberontak.
"Baik,
kapan kita berangkat ke sana?"
"Sekarang
juga, taihiap."
"Baik,
mari kita berangkat, namun lebih dahulu singgah di rumah penginapan karena aku
hendak mengambil buntalan pakaianku."
Wanita itu
tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi
semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam kamar rumah penginapan
itu.
"Ehh?
Bagaimana... kapan..."
"Taihiap,
ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku merasa tertarik
sekali. Aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, dan diam-diam memasuki kamarmu.
Tapi ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke
sini karena aku bermaksud hendak mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau
berada di balik pohon, aku segera menyimpan pakaian ini, lalu aku pergi lagi
untuk muncul berlarian di atas genteng agar nampak olehmu dan selanjutnya kita
bertanding..." Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali.
Wajah Hui Song menjadi kemerahan.
"Sudahlah,
mari kita pergi."
"Pakaianmu
biar disimpan di sini dulu."
Berangkatlah
mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah
Siang Hwa memadamkan penerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari
luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.
Mereka
melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju arah timur. Pada pagi harinya,
setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan
di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh
Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu
tinggi kurus dan si hwesio gendut!
Kedua orang
kakek itu nampak terkejut melihat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa segera
tersenyum dan memperkenalkan.
"Ji-wi
locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap sudah menjadi sahabat kita yang
sehaluan dan sudah kujelaskan semua tentang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah
putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang mempunyai kemampuan untuk
membuat usaha kita berhasil."
Kini dua
orang itu sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali berjumpa dengan Hui Song.
Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap
hormat dan ramah.
"Cia-taihiap,
maafkan kami yang sudah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu
yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang di antara Cap-sha-kui yang belum
pernah dikenal Hui Song.
"Ha-ha-ha,
peribahasa kuno yang mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata
benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi
perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sesungguhnya adalah
Kang-thouw Lo-mo juga berkata.
"Cia-taihiap,
harap kau maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan sebaliknya Ciong-hwesio
senang bergurau!" Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isyarat kepada
kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai
Ciang-tosu dan Ciong-hwesio.
"Siancai...
memperoleh seorang pembantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu
kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.
"Omitohud,
sungguh pinceng yang tidak becus sehingga merepotkan saja kepada putera ketua
Cin-ling-pai," kata pula Ciong-hwesio.
Lalu
berangkatlah empat orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan
itu dilakukan secara cepat dan setelah mereka melewati dan menyeberangi Sungai
Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu.
Perjalanan sampai ke situ sudah memakan waktu lima hari dan selama lima hari
itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga
keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis.
Gadis itu
memang seorang pendekar wanita, pikirnya, tetapi agaknya memiliki kelemahan
terhadap lelaki yang menarik hatinya. Ataukah gadis ini memang benar-benar
jatuh cinta kepadanya?
Di sepanjang
perjalanan Siang Hwa tidak menunjukkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat
berani, yang dilakukan ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tak
nampak lagi dan dia hanya kelihatan sangat memperhatikan Hui Song dan selalu
berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh
cinta.
Setelah
melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka
sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui jalan yang amat
sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang
runcing dan tajam.
Jelas bahwa
orang biasa akan kesulitan melalui jalan seperti itu, dan kalau pun ada orang
pandai yang sanggup, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini?
Tanpa tujuan penting, kiranya tak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan
diri memasuki daerah yang liar dan sukar dilalui ini.
Setelah
matahari naik tinggi, di bawah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik
jalan liar itu, maka tibalah mereka di daerah berbukit-bukit dan mereka
berhenti di depan sebuah bukit yang dikelilingi jurang. Hui Song terbelalak
kagum. Bukit ini seperti sebuah rumah besar saja, dan pintunya adalah sebuah
goa yang besar.
Agaknya goa
ini dahulunya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu
itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu batu yang amat tebal dan beratnya
tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi,
GOA IBLIS
NERAKA.
Sungguh amat
indah, megah namun juga menyeramkan. Siapakah orangnya yang sudah mampu membuat
pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya? Apa bila
mempergunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang
yang menggabungkan tenaganya.
Dan goa yang
sudah terbuka itu nampak begitu luas, seakan-akan bukan goa melainkan sebuah
pintu tembusan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia yang penuh dengan
batu-batu raksasa yang bentuknya aneh-aneh, seperti diukir saja. Ataukah ini
merupakan istana besar yang dihuni setan?
Empat orang
itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti
patung-patung di depan goa yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu
sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di
atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi
di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka! Seorang gadis manis yang
cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan
bermata kocak, berpakaian sederhana.
Kalau saja
Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangan karena
dara itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke
dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!
"Sebaiknya
kita masuk sekarang saja sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to
Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.
"Mari,
taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah
beberapa kali pernah masuk ke sini!" kata Siang Hwa.
Hui Song
yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu masuk ke dalam goa,
Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang kakek itu. Setelah
mereka berempat masuk, Sui Cin dari atas "Melayang ke bawah. Ya,
gerakannya itu mirip seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan
cepatnya.
Ternyata
gadis ini sudah jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya
sungguh luar biasa karena dia sudah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng
(Lari Terbang Tanpa Bayangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, dia
pun turut menyelinap masuk ke dalam goa di sebelah sana pintu. Dan ternyata
pada bagian dalam itu merupakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan
gadis ini untuk menyelinap di antara batu-batu, bersembunyi dan terus
membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.
Setelah
melalui perjalanan berliku-liku di antara batu-batu besar, empat orang itu
berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.
"Inilah
jembatan batu pedang itu!" kata Siang Hwa dan Hui Song memandang
terbelalak ke depan.
Hebat
memang. Bukan sebuah jembatan, melainkan lorong yang penuh dengan batu-batu
meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu begitu
penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu,
satu-satunya jalan haruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung
batu runcing laksana pedang itu! Dan untuk mengerjakan ini bukanlah hal yang
mudah sebab membutuhkan ginkang yang telah matang sekaligus juga tenaga sinkang
yang kuat.
"Nah,
di tempat inilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah
mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah
tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjutnya aku
tak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar,"
Siang Hwa menerangkan.
"Apakah
kesukarannya?" Hui Song bertanya.
"Menuturkannya
hanya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati
jembatan ini dulu, di depan engkau akan dapat melihatnya sendiri, taihiap.
Mulai dari sinilah aku memerlukan bantuan seorang seperti engkau maka
selanjutnya engkaulah yang memimpin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan
dapat dipercaya dari pada aku sendiri."
"Nanti
dulu, nona. Selama beberapa hari aku terus mengikutimu dan membantumu tanpa
banyak bertanya. Sekarang kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak
mengetahui segala sesuatu tentang pekerjaan yang kita lakukan. Tempat apakah
ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah? Bagaimana pun juga, aku
tidak akan mau membantu jika terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan
pencurian atau perampasan."
Mendengar
ini, Siang Hwa dan dua orang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada
pandang mata dua orang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa lalu mengangguk dan
berkata, "Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang
yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-tosu." Dan
dia menoleh kepada kakek berpakaian tosu itu. "Ciang-locianpwe,
Cia-taihiap adalah orang satu golongan dan satu haluan, tiada salahnya kalau
mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locianpwe suka menjelaskannya."
"Siancai,
sebenarnya cerita mengenai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya
rahasia keluarga pinto, kini menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan.
Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan
menceritakannya."
Kakek yang
berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kiranya dia adalah
keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun
yang lalu merupakan pejabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang
berbangsa Mongol.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment