Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 17
KETIKA itu
pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok
dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun
Ti (1333-1368). Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang
tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan,
dibagi-bagi di antara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena
paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus
hektar!
Terjadilah
perampasan-perampasan sebab para pejabat tinggi menjadi ‘mabok tanah’ dan
timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu
masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan hingga ribuan hektar luasnya!
Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja
kecil di tengah tanah yang dikuasainya.
Tanah-tanah
itu oleh para tuan tanah lantas disewakan kepada buruh-buruh tani dengan
memungut hasil tanah yang sangat menekan, seolah-olah keringat para petani itu
diperas dan sebagian besar hasil tenaga mereka dihisap. Namun para petani itu
tetap mau saja diperas seperti itu sebab mereka hanya bermodal tenaga, tidak
memiliki tanah secuil pun. Tanpa adanya tanah, maka kepandaian dan tenaga
mereka untuk bercocok tanam tidak ada artinya, sementara mereka perlu makan
setiap hari.
Dengan
adanya kekuasaan mutlak yang digunakan secara sewenang-wenang ini, maka banyak
di antara para pejabat tinggi dan bangsawan ini yang berhasil menumpuk harta
kekayaan yang sukar dibayangkan banyaknya. Dan di antara mereka itu terdapat
nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu!
Pembesar
Mongol ini menumpuk harta kekayaan yang amat besar, lalu menurunkan harta
kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pemerintah Mongol ditumbangkan
oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan berakhirlah pemerintahan
penjajah Mongol lalu lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa
sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.
Namun,
seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang
Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan
menyembunyikan harta itu ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Goa Iblis
Neraka itu. Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu
menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah
berhasil menyembunyikannya, pembesar ini lalu memerintahkan para pengawalnya
untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya
diketahuinya sendiri saja.
Rahasia ini
dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta
benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi
anak cucunya. Akan tetapi tak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil
harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu.
Saat membuat
tempat rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat
rahasia sehingga sesudah mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan batu-batu
lantas runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang
untuk menemukan harta itu, biar pun dia sudah tahu di mana letaknya. Apa lagi
bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itu pun amatlah sukar dan
berbahaya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada
orang yang dapat menemukan harta yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman
di tempat yang menyeramkan itu.
"Keturunan
pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan
tetapi, biar pun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki
peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang
semenjak muda menjadi pendeta? Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk
dapat menggali serta menemukan harta pusaka itu, maka hingga sekarang pinto
tinggal diam saja. Setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai
ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk
dipakai biaya melakukan pemberontakan, barulah hati pinto tergerak lantas
bersama kawan-kawan sehaluan pinto berusaha mendapatkan harta karun itu
mendahului para pemberontak!"
Hui Song
adalah seorang pemuda yang sangat cerdik. Tentu saja dia tidak mau menelan
bulat-bulat begitu saja cerita yang dituturkan bekas tosu itu. “Akan tetapi,
kalau memang harta itu merupakan warisan turun temurun, tentu ada peta atau setidaknya
keterangan yang menjelaskan mengenai tempat rahasia ini. Tetapi mengapa sampai
selama ini harta karun itu masih saja berada di sini, belum diambil oleh salah
seorang keturunan bahkan rahasia ini dapat diketahui oleh para pemberontak yang
merupakan orang luar?”
“Apakah
taihiap mencurigai kami?” tanya Ciang-tosu sambil menatap tajam.
“Bukan
begitu. Tadi pun sudah kukatakan bahwa aku ingin tahu duduk perkaranya secara
jelas dahulu, dan aku baru mau turun tangan membantu kalau tidak bertentangan dengan
kebenaran,” jawab Hui Song sambil balas menatap tajam kepada tosu itu.
Melihat
suasana yang mulai memanas, Siang Hwa segera ikut bicara. “Ciang-tosu, tidak
ada salahnya bila Cia-taihiap ingin tahu sejelasnya, maka terangkan saja semua
hal yang ingin diketahuinya.”
Sejenak
kakek itu mengerutkan alis, lalu menghela napas dan mulai bercerita. “Sejak
dulu sebenarnya sudah banyak anggota keluarga yang hendak mencari tempat
rahasia ini dan mengambil harta karun itu, akan tetapi para orang tua selalu
melarang dan mengingatkan bahwa waktunya masih belum tepat. Menurut mereka,
karena waktunya belum terlampau lama, sekarang masih ada pembesar di istana
atau pejabat daerah yang mengetahui dan ikut mengincar harta ini sehingga
amatlah berbahaya apa bila diambil saat ini juga. Maka, orang-orang tua itu
meminta agar kami mau bersabar menunggu sampai petinggi-petinggi itu sudah
tidak ada lagi. Selama ini kami selalu menurut semua nasehat orang-orang tua
itu, akan tetapi sekarang kita tak dapat menunggu lebih lama lagi mengingat
bahwa pihak pemberontak juga telah mengetahui dan mulai mencari harta karun
itu. Nah, itulah alasan kenapa sampai sekarang harta itu masih di tempatnya,
walau pun kami sudah mendengar jelas semua keterangan tentang tempat rahasia
itu.” Kakek itu mengakhiri ceritanya yang sebagian besar hanyalah karangannya
sendiri saja.
Sesungguhnya
harta karun itu sudah berusia jauh lebih tua dan kabarnya disimpan pada jaman
sebelum Bangsa Mongol mulai menguasai daratan Tiongkok, jadi sudah lebih dari
tiga ratus tahun lamanya, disimpan oleh para pembantu Kerajaan Song yang telah
terjepit dan terancam oleh gerakan Jenghis Khan.
Dan rahasia
ini akhirnya terjatuh ke tangan Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong yang lalu
memerintahkan muridnya, Gui Siang Hwa dan para pembantunya untuk mencari dan
menemukan harta karun itu. Dengan cerdiknya Ciang-tosu yang sebenarnya adalah
salah seorang tokoh di antara Cap-sha-kui mengarang cerita untuk mengelabui Hui
Song.
Hui Song
memang tidak mau percaya sepenuhnya begitu saja, akan tetapi bagaimana pun juga
dia merasa tertarik sekali untuk menyelidiki harta karun di tempat aneh ini.
Baru tempat penyimpanannya saja sudah jelas membuktikan bekas tangan
orang-orang sakti yang berilmu tinggi.
“Terima
kasih, aku sudah mendengar cukup dan marilah kita mulai dengan penyelidikan
kita itu,” kata Hui Song.
Wajah gadis
itu nampak gembira. “Baik, taihiap. Mari kita mulai sebelum cuaca menjadi
gelap. Berjalanlah dulu menyeberangi jembatan ini, aku akan menyusul di
belakangmu!”
Sejenak Hui
Song memandang tajam ke arah deretan batu-batu runcing yang oleh Siang Hwa
disebut sebagai jembatan itu, menghela napas panjang, kemudian sekali
berkelebat tubuhnya telah melayang ke depan. Setelah mencapai jarak empat
tombak, tubuh itu baru melayang turun dengan ringannya, lalu kaki pemuda
menutul ujung batu runcing di bawah dan… kembali tubuhnya melayang ke depan
menuju ujung batu berikutnya lalu hinggap di atasnya. Hui Song mengerahkan
ginkang-nya yang tinggi hingga tubuhnya menjadi amat ringan dan ujung batu yang
runcing itu tak dapat melukai kakinya, bahkan sepatunya pun tidak menjadi rusak
sama sekali.
Siang Hwa
terus memperhatikan sejak pemuda itu belum bergerak dan matanya langsung
terbelalak kagum begitu melihat gerakan pertama tadi. Sesungguhnya dia memang
sudah pernah menyeberangi jembatan batu itu, namun apa yang dilakukan putera
Cin-ling-pai itu betul-betul membuatnya tunduk. Dia hanya sanggup meloncat satu
kali demi satu kali, itu pun dalam jarak dua tombak saja, tetapi pemuda itu mampu
melakukan sekaligus dua kali loncatan, masing-masing dalam jarak empat tombak.
Ilmunya sungguh tinggi, dan wajah itu demikian tampan, pikirnya.
“Nona,
sebaiknya engkau mulai meloncat juga agar jarak kita tidak terlalu jauh,” Hui
Song menegur karena melihat gadis itu hanya diam saja di tempatnya berdiri.
“Ohh… ya…
tentu saja…,” jawab Siang Hwa gagap dan mukanya berubah merah karena dengan
tegurannya tadi pemuda itu seakan-akan dapat menjenguk isi hatinya.
Murid
pasangan Raja Iblis dan Ratu Iblis ini cepat-cepat menenangkan diri, menarik
napas panjang meniru perbuatan Hui Song tadi, lalu mulai meloncat. Akan tetapi
dalam loncatan ini tidak mungkin dia mengikuti apa yang dilakukan oleh pemuda
Cin-ling-pai tadi karena dia pun sadar bahwa kepandaiannya tidak setinggi itu.
Dia meloncat
sejauh dua tombak dan hinggap di atas batu runcing, lalu diam sejenak dan
setelah kembali menarik napas panjang baru meloncat lagi ke batu berikutnya
yang juga berjarak dua tombak di depannya. Demikianlah, setelah meloncat tiga
kali dia baru tiba di atas batu yang jaraknya kira-kira dua tombak di belakang
batu tempat Hui Song berdiri.
Dua orang
itu terus melakukan hal yang sama. Dengan sekali berkelebat, tubuh Hui Song
akan berpindah delapan tombak ke depan, lalu Siang Hwa mengikutinya dengan tiga
kali loncatan hingga akhirnya mereka tiba di ujung jembatan batu pedang. Tempat
itu bukan lagi terdiri dari batu-batu runcing, melainkan berupa puncak tebing
dengan sebuah dataran yang cukup luas.
Sambil
menunggu tibanya gadis itu, Hui Song lalu memandang ke bawah tebing. Nampak
hamparan pasir yang tak berapa luas sehingga tempat itu seolah-olah membentuk
sebuah sumur pasir.
“Taihiap,
jangan meloncat ke bawah!” setengah berseru Siang Hwa memperingatkan.
Hui Song
segera membatalkan niatnya meloncat ke bawah, kemudian membalikkan tubuh dan
menghadapi gadis itu yang kini berdiri di depannya dengan napas agak memburu
dan tubuh basah oleh keringat. Melihat wajah pemuda itu, segera terpancar sinar
kagum pada sepasang mata jeli itu. Sedikit pun tidak nampak tanda-tanda
keletihan pada wajah yang tampan itu, kelihatan biasa saja, bahkan berkeringat
pun tidak.
“Kenapa
tidak boleh meloncat ke bawah?” Hui Song bertanya.
Memang tentu
saja dia tak mau sembarangan meloncat ke bawah. Terlampau berbahaya jika
melangkah di tempat aneh ini sebelum mengenal betul tempat berikutnya yang akan
terinjak kakinya. Siapa tahu jebakan-jebakan sudah diatur dan ada alat-alat
rahasia yang akan bekerja mencelakakan dirinya, Bukankah menurut Ciang-tosu tempat
ini dibuat oleh orang-orang pandai yang menggunakan alat-alat rahasia?
“Berbahaya
sekali kalau meloncat ke bawah, taihiap. Lihat…!”
Gadis itu
mematahkan ujung sebatang batu pedang, lantas melemparkannya ke bawah. Potongan
batu panjang itu meluncur turun ke atas dasar pasir dan masuk ke dalam pasir,
terus tenggelam dan lenyap!
Hui Song
memandang dan wajahnya berubah agak pucat. Tahulah dia apa artinya. Pasir itu
merupakan pasir maut, semacam sumur atau danau pasir yang akan menelan segala
sesuatu yang jatuh ke dalamnya! Terutama sekali benda-benda bergerak, sekali
terjatuh dan bergerak hendak keluar, maka semakin cepat tersedot ke dalam.
Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau tadi dia meloncat ke bawah.
“Ada dua
orang kawanku lenyap tertelan oleh sumur pasir itu,” kata Siang Hwa. “Dan aku
sendiri tidak berdaya menolongnya dari tempat ini. Karena itu, sekarang aku
sudah siap membawa tali panjang yang kulibatkan di pinggang untuk menjaga
kalau-kalau…”
“Hemmm,
andai kata aku tadi terlanjur meloncat ke bawah, tentu dapat tertolong olehmu,”
kata Hui Song. Kepercayaannya menebal terhadap gadis itu bahwa dia tak berniat
buruk, buktinya telah memperingatkan agar tidak terjun ke bawah.
"Jalan
selanjutnya bukan terjun ke bawah, tetapi melompati sumur pasir itu dan
berusaha mendarat di seberang," kata Siang Hwa.
"Menyeberang
ke sana? Tapi, di depan itu hanya tebing..."
"Inilah
mengapa aku mengatakan bahwa tempat ini sangat sukar, taihiap. Dan bagian ini
bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai ke sana. Kau lihat batu
menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman? Nah, tonjolan batu itu
dapat dipakai tempat mendarat. Disebelah atas tonjolan itu terdapat lekukan
yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan
di bawah tonjolan batu itu terdapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat
kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"
Hui Song
mengangguk-angguk dan dia merasa kagum sekali pada nona ini. Seorang diri,
Siang Hwa dapat menemukan tempat mendarat yang luar biasa itu, sungguh
merupakan kecerdikan dan juga keberanian yang jarang terdapat. Kalau tidak
diberi tahu, dia sendiri belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan meloncati
sumur pasir dan mendarat di tebing yang curam itu.
"Kalau
ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap," kata Siang Hwa.
Mendengar
ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Apa bila gadis itu berani meloncati,
mengapa dia tidak? Dan pula, sesudah melihat tonjolan batu serta
lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di
tebing itu bukanlah merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.
"Tidak,
biarkan aku melompat lebih dulu."
Tanpa
menunggu jawaban, Hui Song lalu mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan
mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di
tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki
kirinya hinggap di lekukan bawah.
"Bagus,
sekarang harap merayap ke kiri. Di belakang batu itu terdapat batu datar, harap
berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."
Hui Song
merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang
tidak rata dan sebentar saja dia sudah menemukan tempat yang dimaksud oleh
gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar maka dia pun berputar
lalu berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng
yang batunya datar.
Dia
memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati
sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama
kemudian gadis itu sudah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat
lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin
gemetar.
"Kenapa?"
tanyanya heran.
Jari-jari
tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu pegangannya dilepaskan kembali.
"Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati
sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya."
Dia bergidik.
Kemarahan Hui
Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap, bahkan kini dia merasa iba.
"Engkau tidak sendirian, nona. Aku pun merasa tegang dan ngeri. Memang
tempat ini sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan
membantu sampai engkau berhasil menemukan tempat penyimpanan harta karun itu,
terutama demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."
"Terima
kasih, Cia-taihiap, mari kita melanjutkan perjalanan ini. Tak jauh lagi, akan
tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya
lagi. Nah, kau lihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan
menuju tempat penyimpanan harta karun itu. Dalam perjalananku yang sudah-sudah,
rawa itu menjadi biang keladi dari kegagalan usahaku. Yang pertama, ketika aku
melakukan perjalanan seorang diri untuk menyelidik, aku hanya sampai di tepi
rawa ini dan tidak sanggup melanjutkan. Kemudian aku datang lagi, dibantu oleh
seseorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada
rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, kawanku itu bahkan celaka dan
tewas di rawa itu."
Jika saja
Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu saat itu dia akan bergidik
ngeri. Memang benar bahwa gadis itu dulu pernah berhasil menyeberangi rawa
dengan bantuan seorang gagah. Akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka,
timbul rasa khawatir karena rahasia harta karun itu telah diketahui orang luar.
Maka secara keji dia kemudian membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu
di tengah rawa!
Mendengar
ini, Hui Song lalu memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Kini mereka sudah
tiba di tepi rawa. Sebuah rawa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak
mungkin dilewati tanpa menggunakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu
dilakukan oleh burung atau binatang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan
air lumpur yang ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup
di atas lumpur, sementara dia tidak melihat perahu atau alat lain untuk
menyeberang.
"Bagaimana
cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?" tanyanya.
Siang Hwa
tersenyum. "Terlihat aman dan tenang, bukan? Akan tetapi ketahuilah,
taihiap, di bawah permukaan air berlumpur yang terlihat tenang itu bersembunyi
banyak binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Binatang yang
mengintai dari bawah dan siap untuk menerkam serta menyerang siapa saja yang
berani melintas di permukaan rawa."
"Binatang
apakah itu?"
"Lihat,
mereka akan kupancing keluar!" kata Siang Hwa.
Kemudian ia
mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan
menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa. Tidak lama kemudian
air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang
seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang
seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk
menyerang.
Moncong itu
mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, sangat lebarnya, penuh dengan gigi yang
tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Gerakan ini lantas memancing
datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di
seluruh permukaan rawa itu nampak banyak sekali moncong atau ekor tersembul
keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.
"Ahh,
sungguh berbahaya sekali!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin
mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini?
"Lalu bagaimana kita akan dapat menyeberang?"
Siang Hwa
tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak
dapat menggunakan perahu. Selain akan sukar sekali meluncur, juga sekali
terpukul ekor binatang itu maka perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita
menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu dan mendayung, tentu bambu
itu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung
bambu, mengusir serta menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat
dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Jika seorang diri saja akan
amat berbahaya, karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri
di atas bambu sambil mengatur keseimbangan badan pula, maka akan sukarlah untuk
menyelamatkan diri."
Gadis itu
lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di
balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka kemudian menggotong sebatang
bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu
ini sudah tua dan kering, kuat dan ulet sekali.
Siang Hwa
juga telah menyiapkan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung
ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya malah seluruhnya terbuat dari
besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa
sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk
menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.
"Hemm,
kiranya engkau sudah mempersiapkan segalanya, nona," kata Hui Song kagum.
"Sudah
kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun
sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan berhasil, dengan
bantuan darimu. Mari kita menyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan
engkau di ujung belakang, taihiap."
"Baiklah!"
kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga pada saat batang
bambu itu diturunkan di atas permukaan air berlumpur.
Siang Hwa
meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui
Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di
atas air berlumpur. Batang bambu itu bergoyang-goyang dan cenderung untuk
berputar sehingga orang yang tidak memiliki ginkang yang tinggi dan pandai
mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke
dalam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini telah nampak
moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!
"Jangan
sembarangan memukul mereka, taihiap. Apa bila ada yang mencoba menyerang, baru
kita pukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus
langsung menewaskannya, kalau tidak maka dia akan mengamuk dan berbahayalah
kita. Sesudah seekor itu kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini
meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri
sehingga air lumpur akan berguncang hebat."
Hui Song
mengangguk-angguk, matanya tidak berani berkedip memandang ke sekitarnya
kemudian dia pun menggerakkan dayungnya dan membantu Siang Hwa yang telah mulai
mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur
dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara rumpun
alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.
Baru belasan
meter bambu mereka meluncur, sesudah banyak pasang mata di belakang
moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, maka mulailah
serangan itu datang. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung
bambu. Melihat bahaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan
hantaman keras.
"Prakkk!"
Maka
pecahlah kepala binatang itu lantas dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan
melemparkan bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di
mana bangkai itu jatuh sekarang tiba-tiba penuh dengan binatang yang segera
mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang dalam sekejap saja sudah
dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Secara
diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang
dijadikan rebutan seperti itu!
"Cepat
dayung!" Siang Hwa berteriak.
Mereka mendayung
dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti
mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan
cepat lantas memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk
dapat mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunakan dayung untuk
menangkis ekor itu.
Buaya itu
nampak kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia lantas
menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya maka
pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang sudah dilakukan oleh Siang Hwa tadi,
dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari
bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.
Akan tetapi,
agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa kedua orang penunggang bambu itu
telah mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua
berbareng menghampiri dan tampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak
sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.
“Dayung
cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang
yang mendekati bambu.
Kembali
mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sinkang dan karena tenaga Hui Song
memang besar sekali, maka dayungnya membuat bambu itu meluncur dengan amat
lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah
dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah
karena tidak mendapat makanan lagi.
Binatang ini
agaknya memiliki watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama
secara rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tak mempedulikan darah
kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan
lahapnya!
Melihat
ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di
tengah dan saling melindungi!"
Mereka
berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi serbuan
binatang-binatang buas itu. "Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai
mereka ke sana-sini untuk mencerai-beraikan mereka!" Kembali gadis itu
berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar.
Diam-diam
Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya
sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walau pun dia tentu akan
mendapat akal untuk menyelamatkan dirinya.
Sekarang
binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri, dan kedua orang muda itu
menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Berulang kali terdengar suara
nyaring pecahnya kepala binatang itu disusul terlemparnya bangkai-bangkai
mereka ke kanan kiri. Bangkai-bangkai itu langsung menjadi rebutan, akan tetapi
karena yang menyerbu amat banyaknya, walau pun sebagian ada yang memperebutkan
bangkai kawan sendiri, namun yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat
banyak.
Hui Song
merasa tidak leluasa apa bila menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya
dengan berdiri di atas bambu sambil menyambut setiap binatang yang berani
menyerang paling dekat. Maka dia cepat meloncat dari atas bambu, menghantam
seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, kembali
menghantam dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat
membagi-bagi pukulan dengan lebih baik.
Sebentar
saja belasan ekor buaya telah pecah kepalanya, kemudian terjadilah perebutan
bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa
terkejut dan juga amat kagum. Meski pun dia tahu bahwa pendekar itu lihai
sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat
itu.
"Mari,
taihiap, sekarang ada kesempatan untuk melarikan diri!" katanya sesudah
kini para binatang itu sibuk saling serang sendiri memperebutkan
bangkai-bangkai yang banyak itu.
Mereka lalu
mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu.
Bambu meluncur cepat dan biar pun ada beberapa ekor binatang yang memburu,
namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu
itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.
"Hayaa...
berbahaya juga...!" kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya
dengan sapu tangan.
Siang Hwa
juga menyusuti keringatriya sambil memandang kagum. "Akan tetapi engkau
hebat, taihiap. Sungguh hebat dan membuatku kagum sekali. Memang sangat
berbahaya tadi, dan sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah
riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"
"Ahhh,
sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali.
Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"
"Tinggal
satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar dan biar pun sudah
dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa ini, tetap saja aku tidak
mampu mengatasi kesukaran terakhir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Akhirnya
tibalah mereka di depan sebuah goa kecil yang tertutup batu bundar yang besar.
"Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu
menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, sungguh pun
aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami tak berhasil
menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada goa di belakangnya."
Hui Song
tertarik sekali dan memandang batu besar bulat itu. Batu itu memang besar, akan
tetapi karena bentuknya bulat, kalau orang mempunyai tenaga sinkang yang sudah
cukup kuat, rasanya tentu akan dapat mendorongnya hingga menggelinding atau
tergeser dari tempat semula. Gadis ini cukup lihai dan kuat, apa lagi dibantu
seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak berhasil mendorong batu
bulat ini ke samping?
Dia tidak
boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dengan tenaga gabungan dua orang
itu tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasianya. Dia harus
berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Sebab itu mulailah dia meneliti dan
mendekati batu itu, meraba sana-sini sambil memeriksa ke sekelilingnya.
Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biar pun tidak melekat
dan menjadi satu dengan mulut goa, akan tetapi ditahan oleh sesuatu yang membuat
batu itu sukar dilepaskan dari mulut goa. Tentu ada alat rahasianya.
"Taihiap,
marilah kita mencoba untuk menyatukan sinkang kemudian mendorong batu ini agar
tergeser dan membuka pintu goa," kata gadis itu.
Akan tetapi
Hui Song menggelengkan kepalanya. "Nona, kurasa akan percuma saja kalau
mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat
dia tidak mungkin dipecahkan dan meski pun garis tengahnya ada dua meter,
mestinya dapat didorong atau digeser. Apa bila tidak dapat digeser, itu berarti
bahwa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan
batu ini agar tidak dapat pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan
lebih mudah kita laksanakan."
“Bagaimana,
taihiap?" gadis itu memandang penuh harapan.
"Kekuatan
manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu
ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak
bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan
berat jenisnya."
Pada mulanya
Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah
di sebelah batu besar, dia mengerti dan segera membantu penggalian itu. Karena
mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja
mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam.
Tiba-tiba
saja Hui Song berteriak sambil mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu
bergerak! Tak lama kemudian batu itu pun menggelinding masuk ke dalam lubang
galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu goa itu!
"Awas,
jangan masuk dahulu secara sembrono!" Hui Song memperingatkan dan betapa
pun ingin hati Siang Hwa, dia cukup waspada dan mentaati peringatan ini.
Terdengar
suara keras dan mendadak dari dalam lubang goa itu menyambar tujuh batang anak
panah menghitam yang telah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar,
debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik
melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.
"Aihh,
sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.
Hui Song
mempergunakan tenaga sinkang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan dua
telapak tangannya ke arah lubang goa mengusir sisa debu dan juga untuk menahan
kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.
Mereka
berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat
rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani
membuka batu dan memasuki goa itu. Ternyata tepat seperti dugaan Hui Song, di
belakang batu itu terdapat sambungan besi yang terkait pada kaitan baja yang
ditanam di lantai goa. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu mendorong batu
itu dari luar.
Sesudah batu
itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan
berat batu sehingga patah. Akan tetapi begitu goa terbuka dan batu tergeser,
otomatis berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu
meluncur keluar dan kantong terisi debu beracun pun jatuh pecah berhamburan.
Semuanya itu digerakkan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.
Setelah
meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala dengan kagum. "Sungguh
hebat sekali kepandaian orang yang memasangkan alat rahasia ini." Akan
tetapi Siang Hwa tak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.
"Taihiap,
mari kita masuk. Menurut peta, harta karun itu tersimpan dalam jarak dua puluh
satu langkah dari pintu ini dan tersembunyi di dalam dinding goa sebelah kiri.
Biar kuukur jarak itu!" Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang
Hwa segera melangkah sambil menghitung dari pintu goa. Setelah dua puluh satu
langkah dia berhenti.
"Tentu
di sini tempatnya," katanya sambil berjongkok dan memeriksa dinding
sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.
"Ihh...
apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.
"Awas...!"
Hui Song berseru. Cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk
ditariknya ke belakang sambil tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam
yang tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.
"Trakkk!"
Benda itu
ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak
ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang
mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah
kerangka manusia lengkap dari dinding itu.
Tadi Siang
Hwa meraba-raba dinding itu, kemudian menemukan besi kaitan yang segera
ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut
tombak yang langsung meluncur!
Hui Song
menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin
yang tadi sudah mereka bawa sebagai bekal. Di bawah penerangan cahaya
lilin-lilin yang lumayan terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang
menutup dinding tadi terdapat sebuah peti besar berwarna hitam.
"Itulah
harta karunnya!" Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak seperti anak
kecil. Hui Song tersenyum karena pemuda ini pun dapat merasakan gejolak hatinya
yang ikut bergembira. Usaha mereka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak
sia-sia.
"Hati-hati,
nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan
peti itu perlahan-lahan." Hui Song lebih dahulu mencoba dengan
mencokel-cokel peti itu menggunakan sepotong batu, bahkan Siang Hwa lalu
menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi
sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang
ukurannya lebih dari setengah meter persegi.
"Mengapa
begini ringan?" Hui Song berkata.
"Kita
buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.
Peti itu
dapat dibuka dengan mudah dan mereka pun bersikap hati-hati ketika membuka
tutup peti. Tidak terjadi sesuatu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke
dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis
ditiup angin, segera lenyaplah semua kegembiraan yang tadi memenuhi hati,
terganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.
"Peti
kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah dia dapat mengeluarkan
suara.
"Mungkin
bukan ini, mungkin di tempat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.
"Tidak,
tidak! Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gambaran peti di
dalam peta Ciang-tosu... Yang dimaksudkan sama seperti apa yang diceritakan
suhu-nya. Tapi... sudah kosong. Ahh, inilah sebabnya mengapa ada kerangka
manusia ini, dan pasti ada orang yang mendahului kita. Di dalam peta tidak
pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"
"Didahului
orang? Akan tetapi siapa yang bisa mendahuluimu, nona? Bagaimana pula dia dapat
masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas? Dan
siapa pula kerangka manusia ini? Marilah kita selidiki!" Hui Song dan
Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena keadaan pada bagian dalam goa itu
sudah mulai remang-remang, melakukan pemeriksaan dengan hati kecewa dan tegang.
Hui Song
ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang yang mendahului
mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya bagaimana orang itu
dapat memasuki goa itu. Ataukah justru orang itu yang memasang semua alat
rahasia di dalam goa itu? Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia
itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa
tombak meluncur tadi? Tidak, kalau benar ada yang mendahului, tentu orang itu
mengambil jalan lain yang tidak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut
goa!
Akhirnya
usahanya berhasil. Dia menemukan sebuah lubang di lantai goa sebelah kanan, dan
ketika dia menyingkirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata
menuju ke bawah dan menembus keluar goa, melalui bawah batu! Mengertilah dia
kini dan dia berseru kagum.
"Ahh,
orang itu memasuki goa dengan jalan membuat lubang terowongan di bawah batu.
Sungguh cerdik sekali!" katanya.
"Kerangka
ini adalah kerangka seorang Mongol, dan pembunuhnya atau orang yang telah
mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan perkumpulan rahasia
Harimau Terbang di Mongol!"
"Apa...?
Begaimana engkau bisa tahu, nona?" Hui Song mendekati gadis itu yang
sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.
"Aku
pernah mempelajari ciri-ciri khas orang Mongol asli berdasarkan tulang pipi dan
dagu dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan
lencana ini tadi kudapatkan dalam genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini
terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya berhasil dirampasnya
dari leher lawan yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggota Harimau
Terbang, sebuah perkumpulan rahasia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mongol
yang diukir di atasnya."
Hui Song
melihat lencana itu dan dia pun merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa.
Kiranya selain lihai, gadis ini juga mempunyai pengetahuan yang luas.
"Jadi kalau begitu kesimpulannya..."
"Seorang
atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta
karun ini, dan telah mendahului kita, mungkin juga telah belasan bulan melihat betapa
mayat ini sudah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki goa
dengan jalan membuat lubang terowongan kecil itu. Kemudian agaknya terjadi
perebutan di sini, lantas orang ini tewas sedangkan dia hanya berhasil merampas
lencana yang agaknya dipakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan
itu. Orang itu, atau lebih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta
karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah
tombak untuk menyerang orang yang datang kemudian membuka tempat penyimpanan
peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"
Hui Song
mengangguk-angguk. Perkiraan yang tepat sekali karena dia sendiri pun tidak
dapat menerka lain. "Dugaanmu agaknya tepat sekali, nona. Memang hanya
seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di belakang batu
penutup goa itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu,
sedangkan mayat serta tombak tadi memang diletakkan kemudian, dan tentunya oleh
si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang bagaimana?"
Tiba-tiba
Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan
terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan
lihai seperti Siang Hwa dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu.
Akan tetapi
dia segera teringat bahwa bagaimana pun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita,
dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu
sungguh merupakan pukulan batin yang sangat hebat! Dia sendiri yang sama sekali
tidak memiliki kepentingan dengan harta itu, yang hanya terlibat secara
kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apa lagi
Siang Hwa!
Gadis ini
telah lama menyelidiki tempat ini, telah berkali-kali gagal, bahkan sudah
banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan. Kini, setelah berhasil
menemukan tempat dan peti harta pusaka itu, setelah harapan sudah memuncak di
ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama
sekali! Dia merasa iba, tetapi segera teringat bahwa harta pusaka itu
diperebutkan hanyalah demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan
diri pribadi.
“Sudahlah,
nona. Kiranya tak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka
untuk menghalangi pusaka itu jatuh ke tangan pemberontak. Dan seperti dugaanmu
tadi, agaknya yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat
yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan
pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah
orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"
Siang Hwa
memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah sinar lilin.
"Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran
ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"
Hui Song
mengerutkan alisnya. "Untuk apa, nona? Aku... aku mempunyai urusan
lain..."
Dia teringat
akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya. Tentu saja dia tidak berani
berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para
datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, walaupun dia menganggap Siang Hwa
juga seorang di antara para orang gagah yang menetang pemberontakan.
"Taihiap,
bukankah kita satu haluan, yaitu hendak menentang para pemberontak? Nah, usaha
mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling hebat bagi mereka, selain
mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat mereka pergunakan untuk membiayai
pemberontakan, juga kita bisa menggunakan harta itu bagi keperluan gerakan
menentang mereka."
Ucapan gadis
itu meyakinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya. Sekarang timbul
kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang di antara
pimpinan para patriot yang hendak membela negara!
"Nona
Gui, aku harus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..." Dia memancing
sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak
menunjukkan sesuatu, hanya sepasang mata itu yang berkilat penuh penyelidikan
mengamati wajah Hui Song.
"Cia-taihiap,
sudah terlampau lama aku sibuk dengan tugasku untuk mencari harta karun
sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di
luar. Tentu di sana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"
Hui Song
mengangguk. "Para pendekar akan mengadakan pertemuan di sana, kalau aku
harus membantumu maka aku khawatir akan terlambat."
"Ahh,
kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan datang sebagai
wakil dan utusan Cin-ling-pai?"
Betapa
inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia segera teringat
akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka dia pun tidak menjawab
secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.
"Baiklah,
kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami. Sekarang
kita harus keluar dari tempat ini sebelum malam tiba, taihiap."
Akan tetapi,
melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan terus berjalan
menuju ke sebelah dalam goa, Hui Song bertanya, "Ehh, jalan ke mana,
nona?"
"Taihiap,
menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, goa ini berupa terowongan yang menuju ke
belakang bukit. Seperti yang kau lihat, di depan sana ada sinar terang, berarti
di sana juga ada lubang mulut goa di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan
ke sana, dan melihat keadaan di situ. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat
yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu di sana, walau pun harapan ini
tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini,
tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan goa ini,
bukan?"
Hui Song
mengangguk kemudian mengikuti gadis itu. Sesudah maju belasan meter dan
membelok, benar saja nampak mulut goa sehingga kini mereka tidak perlu lagi
memakai lilin karena cahaya terang memasuki goa dari pintu atau mulut goa itu.
Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak terang.
Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam goa gelap, hanya
diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar
goa itu.
Dan
pemandangan di depan goa itu sungguh indah, juga amat mengerikan. Depan goa itu
merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima
belas meter, akan tetapi selanjutnya tak ada apa-apa lagi, merupakan jurang
yang amat curam! Sungguh mengerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya
kabut.
Tidak ada
jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang
yang amat dalam. Di depan tampak puncak bukit batu karang menonjol, jaraknya
dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter,
akan tetapi nampak menganga mengerikan dan kelihatan lebih jauh dari
kenyataannya karena adanya jurang yang sangat curam itu.
"Ini
merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona,
pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui
terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil
menjenguk ke bawah dari tebing jurang itu.
Sampai lama
tidak terdengar suara jawaban. Hui Song menengok sambil memutar tubuh dan
langsung terbelalak memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu,
Siang Hwa, Ciang-tosu serta Ciong-hwesio yang sudah berdiri menghadang di depan
mulut goa dengan wajah beringas! Ada senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa
yang biasanya bersikap manis dan halus itu.
"Cia
Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus
keluar dari sini!"
"Nona,
apa artinya ini?" Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun tetap
waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini sudah membohonginya, buktinya
kini dua orang kakek yang katanya tidak sanggup melewati jembatan batu-batu
pedang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.
"Artinya,
engkau harus mampus di sini untuk menebus semua dosamu. Pertama, engkau berani
menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak
bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau
sebagai orang luar sudah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia
ini serta untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjunlah ke dalam
jurang itu."
“Tetapi...
bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut
melainkan karena penasaran dan heran.
"Ha-ha-ha!"
kakek gendut yang disebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan?
Ha-ha-ha...!"
"Nona,
apa artinya semua ini?" Hui Song membentak kepada Siang Hwa, merasa cukup
dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tidak lepas dari sikap
mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangan mereka.
"Orang
tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerka
semua hal ini? Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah
murid Pangeran Toan Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun itu.
Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan
Kang-thouw Lo-mo..."
Mata Hui
Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri sebab merasa menyesal
sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama dua orang kakek
itu, lalu mengingat-ingat lagi dan akhirnya mengangguk-angguk.
"Kiranya
dua orang dari Cap-sha-kui...? Bagus, ternyata kalian bertiga adalah komplotan
busuk itu sendiri!"
"Cia
Hui Song, lebih baik engkau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka
kami yang memaksamu?" Siang Hwa menghunus pedang tipisnya.
Hui-to
Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, ada pun kakek gendut
Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung pada
pinggangnya. Kiranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai
senjata oleh si gendut ini!
Hui Song
tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dan ketabahannya. Lebih baik
menghadapi lawan secara berterang begini dari pada menghadapi mereka yang
disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya.
"Perempuan
hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dulu aku
terjebak karena tak mengira bahwa engkau adalah seorang iblis betina. Sekarang
jangan harap kecuranganmu itu akan dapat mengulangi lagi!"
"Manusia
sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu,
lantas tiba-tiba cahaya kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak. Dua
batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan
kecepatan bagai kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama
julukannya Hui-to (Pisau Terbang).
Akan tetapi
sekali ini Hui Song sudah bersiap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa
yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya dan juga curang
sekali. Maka begitu melihat ada dua sinar berkelebat, dengan tenang dia
menggerakkan tangannya dan dengan sentilan jari tangannya, dua batang pisau itu
runtuh ke atas tanah kemudian menancap sampai hanya nampak gagangnya saja! Tosu
itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.....
Siang Hwa
yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan
pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Hui
Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tempat itu memang sempit,
dia pun mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya yang hampir saja
mengenai lutut lawan.
Gadis itu
terpaksa meloncat ke belakang dan menyerang lagi, sekali ini dibantu oleh dua
orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang
pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itu pun ternyata lihai
sekali, maka dia pun bergerak dengan hati-hati.
Namun di
belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang
yang kepandaiannya tinggi serta bersenjata, maka betapa pun lihainya, dia
tersudut dan terancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena
ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu
agaknya memang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.
Tiba-tiba
saja Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kirinya telah
mengeluarkan sapu tangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui
Song telah siap pula menghadapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk obat bius itu
buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah
racun itu lenyap.
Pada saat
itu kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba,
ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi
sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil
menyampok dua batang pisau itu.
Ketika itu
Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah perut, ada pun si
gendut menghantam dari samping ke arah kepalanya menggunakan guci arak itu! Hui
Song meloncat dan hendak menangkap hantaman guci arak, akan tetapi tiba-tiba
saja pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.
"Brettttt...!"
Ujung pedang
itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah
sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka yang cukup
dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biar pun mengeluarkan darah tetapi
bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.
"Iblis-iblis
busuk yang curang!" Mendadak terdengar bentakan nyaring dan dari dalam goa
itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya. Begitu
tiba di luar mulut goa, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw
Lo-mo sambil tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Hui-to Cin-jin!
Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium
ujung sepatu.
Si gendut
cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggangnya terserempet tendangan yang
membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu
menghindarkan diri.
"Sui
Cin...!" Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis
yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang
membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dia masih
belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan
yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.
Sui Cin
loncat mendekat lantas mereka pun saling melindungi. "Song-ko, jangan
khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... ehh, mana
mereka?"
Ternyata
Siang Hwa serta dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut goa. Hui Song
terkejut. "Mari kita kejar...!"
Akan tetapi
tiba-tiba saja terdengar suara keras, kemudian ada pintu besi yang bergerak
menutup mulut goa itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun
pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Memang ternyata Siang Hwa amat
cerdiknya. Melihat datangnya seorang gadis yang sangat lihai membantu Hui Song,
dia merasa khawatir dan cepat dia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke
dalam goa lalu menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.
Hui Song
dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamatan dia dan Sui
Cin, maka dia pun cepat menerjang daun pintu itu.
"Brungggg...!"
Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui
Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.
"Song-ko,
kita dapat lari melalui tebing di depan itu!" Sui Cin berkata sambil
menunjuk ke arah puncak bukit yang merupakan tebing di depan, di seberang
jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat
ke sana."
Hui Song
memandang dan menggelengkan kepala. "Terlalu berbahaya..."
Dia sendiri
merasa sanggup untuk meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin?
Terlampau berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya, sedangkan meloncati jarak itu
sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.
Sui Cin
sudah lama mengenal Hui Song, maka dia mengerti apa yang berada dalam batin
pemuda itu. "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke
sana...!"
Pada saat
itu pula terdengar suara tawa Siang Hwa dari balik daun pintu baja.
"Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat
turun ke dalam jurang saja karena mau tidak mau kalian harus
melakukannya!"
Tiba-tiba
pintu baja itu terbuka sedikit lalu meluncurlah pisau-pisau terbang,
jarum-jarum dan batu-batu yang dilemparkan oleh tiga orang itu! Karena mereka
adalah orang-orang yang lihai sekali, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat
dan berbahaya pula, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas
dari Hui-to Cin-jin.
Sibuk juga
Hui Song dan Sui Cin mengelak serta memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu
dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa.
Maka besarlah hatinya. Agaknya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng
oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin sudah memperoleh kemajuan pesat, terutama di dalam
ilmu ginkang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu
menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia
dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertutup
kembali dari dalam!
"Memang
tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang tebal.
"Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk
mencelakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, makin sukarlah kita untuk
menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Menerjang pintu pun
akan percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana,
Cin-moi?"
"Tentu
saja sanggup, biar aku melompat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir
lagi."
"Jangan,
Cin-moi, jangan…! Biar aku yang melompat lebih dahulu sehingga engkau dapat
memperoleh tempat pendaratan yang aman di sana."
"Baiklah,
Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di bagian kanan kulihat ada banyak lekukan pada
dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."
"Baik,
Cin-moi."
"Berhati-hatilah."
Hui Song
mengambil ancang-ancang, kemudian berlari dan meloncat sambil mengerahkan
ginkang-nya, menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tubuhnya
meluncur seperti seekor burung saja dan tepat tiba pada dinding di mana
terdapat banyak lekukan, agak ke bawah. Dengan cekatan tangannya lalu
mencengkeram lekukan batu dan kedua kakinya hinggap pada lekukan batu pula.
Sekarang dia sudah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada
Sui Cin, lalu berseru,
"Cin-moi,
sekarang kau meloncatlah. Di sebelah kananku ini banyak lekukan, jadi sangat
baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!"
Dia sudah
siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak
mencapai sasaran. Betapa pun juga, dia masih belum tahu sampai di mana
kemampuan ginkang gadis itu.
"Baik,
Song-ko, aku meloncat!"
Gadis itu
meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pada waktu itu Hui
Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut goa yang mendadak
terbuka dan melihat betapa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar
kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.
"Cin-moi,
awas...!" teriaknya, akan tetapi terlambat.
Gadis itu
tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa dia akan diserang dari
belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.
"Bukkk...!"
Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.
"Oughhh...!"
Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai.
Untung
baginya bahwa loncatannya tadi sangat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke
arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu
bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Dara itu tidak pingsan, akan
tetapi terlihat lemas dan pandang matanya nanar, dan agaknya timpukan yang
mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.
"Jangan
takut, tenang saja... aku menolongmu...!" Hui Song menghibur dengan kata-kata
lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan.
Tepat pada
saat itu pula dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada
beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak
mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga
sinkang, disalurkannya ke punggung. Empat batang pisau mengenai tengkuk serta
punggungnya, akan tetapi semuanya runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama
sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sinkang yang
amat kuat.
Dia lalu
menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan
saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah
payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi sambil
memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga
terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.
Hui Song
duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Dara itu masih sadar,
akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu kelihatan kosong dan tubuhnya
lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka
sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan
darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu
perlahan-lahan.
Dia dapat
menduga bahwa otak di dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu
sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada
kerusakan di dalam susunan syaraf otak.
Dengan
sinkang-nya yang disalurkan ke dalam telapak tangannya, dia membantu gadis itu
untuk menyembuhkan luka di dalam kepala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam
kepala itu agaknya terasa amat nyaman karena tak lama kemudian, keluhan-keluhan
kecil dan rintihan yang tadinya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama
kemudian gadis itu pun tertidur pulas.
Hui Song
membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak menghalangi darah yang
mengalir ke otak, kemudian dia menjaga tubuh yang lemah itu tertidur pulas
terlentang di depannya. Dia tidak berani membuat api unggun karena khawatir
kalau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan
curang, dan Sui Cin sedang dalam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia
membuat api unggun dan ketiga orang itu dapat mencarinya.
Karena
maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tak dapat mengerahkan sinkang
melawan hawa dingin, dia cepat menanggalkan jubah dan bajunya, menyelimuti
tubuh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.
Malam itu
udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawa di sana dingin sekali akan tetapi
dengan kekuatan sinkang-nya, Hui Song mampu bertahan terhadap hawa dingin itu.
Dia duduk di dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah gadis itu, wajah
yang selama ini selalu terbayang olehnya, bahkan sampai terbawa ke dalam mimpi.
"Sui
Cin... ahh, Cin-moi... tak pernah kusangka bahwa begitu kita berjumpa, engkau
telah menyelamatkan nyawaku...," bisiknya dengan perasaan hati penuh haru.
Dia tahu
bahwa tadi, pada waktu dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di
tepi tebing, apa bila tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia
akan terjengkang dan tewas! Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik
yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggapnya sebagai
seorang pendekar yang sedang bergerak menentang para datuk yang hendak
memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang
orang melainkan murid Raja Iblis!
Dan dua
orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua
orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang
Siang Hwa, dara murid Raja Iblis itu, tengah mencari harta karun itu untuk
digunakan membiayai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya.
Dan semua
yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak
digunakan untuk mencari harta karun dan setelah harta karun itu lenyap
didahului orang, dirinya dianggap tidak berguna lagi sehingga tentu saja akan
dibunuh.
Hui Song
mengepal tinju dan tersenyum dingin. "Bagaimana pun, bagus sekali bahwa
aku sudah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan supaya
harta pusaka itu jangan sampai jatuh ke tangan para pemberontak!"
Untunglah
bahwa pencuri harta pusaka itu telah meninggalkan jejak berupa tanda lencana
perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiri harus pergi keluar Tembok
Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar, namun sebelum itu dia
akan dapat menyelidiki mengenai harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan
tetapi sekarang ini, yang terpenting adalah menolong Sui Cin. Dia hanya
mengharap gadis ini tidak terluka terlalu parah.
Pada
keesokan harinya, setelah matahari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat
dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, langsung
menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan
dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.
"Cin-moi...!"
Panggilnya lirih sambil mendekat.
Sui Cin
membuka mata, bangkit duduk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, dia lalu
mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan, menyerang dengan
tendangan ke arah dada pemuda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat.
Andai kata
Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biar pun gerakan gadis
itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan
Sui Cin itu sama sekali tak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran,
dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu
masih saja dapat menyambar pundaknya.
"Bukkk...!"
Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat datang kembali dan
mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.
"Heiii...!"
Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak.
Akan tetapi
betapa pun dia berteriak mencegah, gadis itu laksana sedang kesetanan dan
menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa menggunakan
kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena
serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.
"Cin-moi,
ingatlah... Cin-moi...!"
"Engkau
jahat, kejam, curang...!" Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus.
Semakin lama
Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah
terkena pukulan atau tendangan, biar pun tidak mengakibatkan luka parah karena
dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sinkang, namun terasa nyeri dan beberapa
kali dia jatuh bangun.
"Cin-moi,
aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena
kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal
kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tak salah lagi, tentu
hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini
Sui Cin seperti lupa kepadanya.
Akan tetapi
Sui Cin agaknya tidak peduli, bahkan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia
mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya,
kadang-kadang bagaikan berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat
menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi
Lo-jin selama tiga tahun.
Makin lama
makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat
dan kalau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan
terkena pukulan telak yang akibatnya akan sangat berbahaya. Maka, untuk menahan
gelombang serangan Sui Cin, terpaksa Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap
dan pukulan atau sambaran tangannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin
menangkis, tubuh gadis ini terhuyung.
"Sui
Cin, ingatlah...!" Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan.
Akan tetapi
gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan sangat serunya. Kini Hui
Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin sudah
kehilangan ingatan maka percuma sajalah jika dibujuk atau diingatkan dengan
omongan. Dia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tak berdaya, baru dia
akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.
Dia lantas
membalas sehingga terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat
cepat berkat ilmu ginkang bimbingan Wu-yi Lo-jin, sedangkan Hui Song sendiri
memiliki gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sinkang yang membuat
gadis itu agak kewalahan.
Tiba-tiba
saja Sui Cin terhuyung ke belakang dan memegangi kepala dengan tangan kiri. Hui
Song segera menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan
kini kelihatan memejamkan kedua matanya sambil mengeluh.
"Aihh...
kepalaku... pening...!"
"Cin-moi,
engkau kenapakah...? Sudah ingat lagikah engkau...?" Hui Song menghampiri
dan hendak memegang tangan gadis itu.
Akan tetapi
Sui Cin merenggutkan tangannya lantas menampar. Untung Hui Song dapat cepat
meloncat ke belakang sehingga tamparan yang sangat berbahaya itu luput. Sui Cin
memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi gadis
ini mengeluh kembali, memegang kepalanya lalu dia meloncat jauh dan lari
meninggalkan tempat itu.
"Cin-moi,
tunggu...!" Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi,
walau pun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau
menoleh, apa lagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapa
pun Hui Song mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia
tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh
kemajuan pesat dalam ilmu ginkang, namun jika dibandingkan dengan Sui Cin yang
telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari
tentu saja dia masih kalah jauh.
"Cin-moi...!"
teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh
meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat.
Dia mengejar
terus, tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia telah kehilangan
jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke
sana-sini, namun hasilnya nihil hingga akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri
duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan
mukanya.
"Sui
Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?"
Teringat
kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu
meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Soal
keselamatan diri gadis itu dia tak begitu mengkhawatirkan karena biar pun
berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu sekarang merupakan
seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiri pun tadi sampai hampir
kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tak ada orang akan dapat sembarangan saja
mencelakakan gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan
jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.
Akan tetapi
dia bingung ke mana harus mencarinya, sedangkan ada dua macam tugas penting
yang harus dilaksanakannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk
mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Dan kedua, dia
harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol.
Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau harta karun itu sampai
terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin
berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka.
Sebab itu
secara untung-untungan dia pun kemudian melakukan pencarian ke arah utara,
sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya.
Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, tapi di sepanjang perjalanan bertanya-tanya
dan menyelidiki kalau-kalau ada orang melihat Sui Cin lewat di situ.
***************
Bagaimana
Sui Cin tiba-tiba muncul di depan Goa Iblis Neraka dan membantu Hui Song yang
terdesak tiga orang lawannya dan berada dalam bahaya? Seperti telah kita
ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah dia
bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk,
malah sempat pula membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu. Gadis ini
kemudian diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu.
Seperti juga
halnya Hui Song yang dibawa pergi lantas digembleng ilmu oleh Siang-kiang
Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus
pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan
dengan para pendekar yang bersiap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh
Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka.
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan
tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu dan kabarnya mereka pergi untuk
mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke
utara.
Dalam
perjalanannya itu secara kebetulan saja dia tiba di dusun Lok-cun, beberapa
hari sebelum Hui Song tiba di situ. Pada waktu dia lewat di depan kuil kosong,
dia melihat ada dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat.
Sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja dia menjadi tertarik. Waktu itu
sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.
"Mengapa
kalian berlari-lari ketakutan? Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang
dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu.
Dua orang
itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik
berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Namun dengan sekali
meloncat Sui Cin sudah berdiri menghadang mereka sambil mengembangkan kedua
lengannya.
"Nanti
dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"
Dua orang
itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu
seorang di antara mereka berkata, "Nona... kami... kami dikejar
setan..."
Sui Cin
memandang ke belakang mereka dan diam-diam dia merasa ngeri. Kalau hanya
penjahat saja, tentu dia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan?
Ahhh, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.
"Mana
setannya? Di mana?" tanyanya.
“Di... di
kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki
kuil itu, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa
seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan
kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan
kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.
"Hayo
kita pergi, siapa tahu dia ini..."
Keduanya
segera lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri.
Sialan, dia malah disangka setan!
Akan tetapi
sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada
setan? Bagaimana pun juga, dia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan
orang begitu saja tentang setan.
Selama
hidupnya dia belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga
belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang
yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan
hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.
Bagaimana
pun juga, dia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika dia
menghampiri kuil tua itu. Cuaca telah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak
lebih menyeramkan.
Sui Cin
bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang
dusun itu melihat bayangan, berarti paling tidak tentu ada orang di sekitar
atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang
dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki
kepandaian tinggi.
Dia harus
berhati-hati dan tidak sembrono. Andai kata ada orang pandai di situ, dia masih
belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan dia merasa betapa tidak
patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.
Dengan
hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu ginkang-nya yang hebat sehingga
seperti seekor burung saja tubuhnya berkelebat dan melayang ke atas
pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tak mengeluarkan
bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biar pun memiliki
kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan kedatangan
pendekar wanita ini.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment