Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 18
SUI CIN
melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya dia dapat melihat
tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam kuil itu! Dia tersenyum. Bukan setan
bukan iblis, tapi seorang gadis cantik bersama dua orang kakek yang sedang
bercakap-cakap dengan suara perlahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang
amat buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.
"Dua
orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.
"Ha-ha-ha,
seperti biasa, orang-orang dusun itu percaya tahyul. Mereka menyangka kami
adalah setan lantas lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil
tertawa.
"Bagus!
Biarkan mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini ada hantunya. Kita tidak
ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Malam ini aku lelah
sekali, besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Goa Iblis Neraka."
"Kurasa
percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka?
Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan namun tetap gagal. Apakah tidak
lebih baik jika kita melapor saja kepada Ong-ya?"
Gadis itu
menggelengkan kepalanya. "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan sukar
mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa
kutinggalkan begitu saja sebelum berhasil? Besok pagi-pagi kita harus mencoba
lagi, kalau gagal, biar aku akan mencari bantuan lagi."
Agaknya dua
orang kakek itu adalah pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka
kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu,
sedangkan si gadis cantik memasuki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar
tidurnya di dalam kuil itu.
Yang tengah
diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk
Siang-tok Sian-li beserta dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si kakek
kurus dan Kang-thouw Lo-mo si kakek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui.
Dia tak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini dapat
menduga bahwa tiga orang yang berada di dalam kuil itu tentulah orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi.
Percakapan
mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali tentang Goa Iblis Neraka itu.
Ingin sekali dia tahu siapa adanya mereka dan tempat macam apakah goa itu.
Karena dia ingin sekali tahu, maka malam itu dia kembali ke penginapan namun
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah bersembunyi di balik pohon
dekat kuil.
Pagi-pagi
sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat keluar dan berlari cepat
meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang
benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi
dalam hal ilmu berlari cepat, dia adalah ahlinya maka tanpa kesukaran sama
sekali dia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.
Ketika tiga
orang yang dibayangi itu sampai di Goa Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik
sekali. Dia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu
pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu besar yang menutupi goa di
sebelah dalam.
Dari
percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka
itu sedang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu
saja hatinya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa
mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak meneari
bantuan.
Ketika
mereka pergi, Sui Cin tetap tinggal di situ dan dia sendiri pun kemudian
melakukan penyelidikan. Akan tetapi dia sendiri juga tidak mampu membuka batu
besar penutup goa, dan karena dia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di
mana letaknya yang tepat, dia pun lalu menanti kembalinya gadis cantik yang
akan membawa pembantu-pembantu itu.
Dia mulai
curiga setelah mendengar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan
melihat sikap gadis yang genit. Biar pun belum merasa yakin benar karena belum
ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang
baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat
perkembangan lebih jauh dan dia tinggal di dalam goa itu seorang diri sampai
beberapa hari lamanya.
Akhirnya,
pada suatu hari dia melihat munculnya ketiga orang itu, sekali ini ditemani
oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat dia bersembunyi di dalam pohon di
atas goa dan melihat pemuda gagah itu, hampir dia berteriak saking girang dan
kagetnya. Tentu saja dia mengenal Hui Song!
Akan tetapi
karena masih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, dia menahan diri dan
merasa heran sekali bagaimana Hui Song dapat bergaul dengan mereka dalam
keadaan yang demikian akrab. Apa lagi melihat sikap gadis cantik itu yang
demikian memikat dan dalam sikap serta gerak-geriknya nampak jelas sekali bahwa
gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui
Cin.
Dia
membayangi terus dan terheran-heran ketika melihat betapa kini Hui Song bersama
gadis itu menyeberangi jembatan batu pedang sedangkan kedua orang kakek itu
berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal dia
pernah melihat dua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini
bersama si gadis cantik, dan biar pun dengan agak sukar, tapi dua orang itu
mampu menyeberangi. Mengapa kini mereka berpura-pura tidak dapat menyeberang?
Dia merasa
makin curiga, apa lagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan
Hui Song sudah lenyap bersama gadis itu, kedua orang kakek ini lalu berindap-indap
menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan
dia pun mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini, maka dia
pun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke begian dalam.
Demikianlah,
keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu serta rahasia di dalam Goa
Iblis Neraka sudah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga,
Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena pada saat itu Hui Song
memang amat terancam bahaya. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk
melarikan diri, Sui Cin terkena lontaran batu Kang-thouw Lo-mo yang
mengakibatkan bagian dalam kepalanya terguncang sehingga dia kehilangan
ingatannya!
Ketika dia
siuman, dia lupa segala dan melihat Hui Song, dia lalu menyerangnya. Hal ini
adalah karena yang masuk ke dalam ingatannya pada saat terakhir adalah
orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai orang
pertama pada saat dia siuman, dia pun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat
maka diserangnya pemuda itu mati-matian. Akan tetapi pemuda itu ternyata
merupakan lawan yang sangat kuat dan dia merasa kepalanya pusing maka dia pun
melarikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bu-eng Hui-teng yang membuat
pemuda itu tidak mampu mengejarnya.
Sui Cin
sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa dia tadi bertemu
dengan seorang lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang sangat lihai, yang
sudah menyambitkan benda keras sehingga mengenal kepalanya sebab kepala itu masih
terasa sakit, dan yang tidak dapat dia kalahkan tadi.
Dia hanya
tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepalanya pening, apa lagi dia
tidak mampu mengalahkan, maka akan sangat berbahayalah kalau sampai pria itu
dapat mengejarnya. Maka Sui Cin lalu mengerahkan tenaganya dan berlari dengan
cepat sekali.
Wusssss...!
Sehari
lamanya dia berlari terus, hanya kadang-kadang lambat dan mengaso apa bila dia
sudah merasa lelah sekali. Setelah malam tiba, baru dia berhenti dan
beristirahat di dalam sebuah hutan. Gadis ini sudah lupa sama sekali dengan
masa lalunya. Bahkan namanya sendiri pun dia lupa! Dia juga tidak mempunyai
apa-apa lagi karena semua pakaiannya tertinggal di tempat persembunyian di
dekat Goa Iblis Neraka.
Malam itu
dia menangkap seekor kelinci dan setelah memanggang dagingnya lalu makan daging
panggang. Dia lalu duduk melamun di depan api unggun, mengerahkan pikirannya
untuk mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak tahu apa-apa. Yang
diketahuinya hanyalah bahwa dia sedang dikejar-kejar oleh seorang lawan yang
tangguh, dan bahwa dia harus pergi ke utara, jauh melewati Tembok Besar.
Entah
bagaimana, mungkin karena urusan menghadapi pemberontakan para datuk sesat itu
sangat terkesan di dalam batinnya, maka hal inilah yang teringat olehnya, yaitu
bahwa dia harus pergi ke utara, keluar Tembok Besar!
Biar pun
sudah kehilangan ingatannya tentang masa lalu, namun Sui Cin tidak kehilangan
semangat dan kelincahannya. Dia tetap kelihatan segar dan wajahnya selalu
berseri-seri, melakukan perjalanan dengap cepat, terus menuju ke utara. Sama
sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa dia tengah menderita luka dan guncangan
yang membuat dia kehilangan ingatannya. Hanya kalau sedang duduk seorang diri
sambil melamun dan mencoba untuk mengingat-ingat keadaan dirinya, siapa dirinya
dan bagaimana asal usulnya, dia nampak bengong dan bingung.
Karena dia
tidak sadar betul ke mana dia harus pergi, sesudah melewati Tembok Besar, Sui
Cin memasuki daerah Mongol tanpa dia ketahui di mana dia berada dan ke mana dia
harus pergi. Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya
ini. Akan tetapi dia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang
Mongol, dia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka!
Setelah
rombongan itu pergi dia melamun. Untuk apa dia datang ke tempat asing ini? Dia
hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa dia harus pergi keluar
Tembok Besar, akan tetapi ke mana dan untuk apa dia tidak tahu!
Dia
mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Apa bila selama itu
dia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa dia berada di tempat ini, dia
akan kembali ke selatan, ke daerah di mana bahasa orang-orangnya dapat dia
mengerti artinya.
Pada suatu
hari, dalam keadaan kesepian, dia melihat satu rombongan orang Mongol lagi dan
sekali ini di antara mereka terdapat beberapa orang wanita Mongol yang memakai
pakaian wanita Han. Sui Cin segera teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya
sudah kotor dan banyak yang robek-robek.
Hanya
beberapa kali saja, di tempat sunyi di mana tidak terdapat orang lain, dia
mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat,
karena tidak memiliki pakaian cadangan. Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi,
bahkan sudah robek-robek.
Ia bukan
seorang gadis pesolek, bahkan biasanya ia pun memakai pakaian seadanya dan
seenaknya saja, bahkan kadang kala nampak nyentrik. Meski pun Sui Cin adalah
seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih
suka berpakaian sederhana.
Dalam
keadaan kehilangan ingatan ini pun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil
memang suka akan kebersihan sehingga meski pun pakaiannya buruk dan lama, akan
tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya
sehingga tidak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali.
Karena
itulah ketika melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan
bersih itu, dia menjadi kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama
sekali tidak ada apa-apanya, apa lagi uang untuk membeli pakaian.
Dengan hati
amat kepingin akan tetapi tak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk
mencoba-coba minta, diam-diam Sui Cin mengikuti rombongan yang terdiri dari
belasan orang itu. Mereka membawa dua buah kereta untuk para wanita dan
anak-anak, ada pun para prianya berjalan sambil berjaga-jaga.
Malam itu,
ketika rombongan berhenti dan bermalam pada sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan
pada esok harinya, keluarga itu ribut-ribut karena sudah kehilangan dua stel
pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas!
Dan pada
pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah
berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan
mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan sekarang masih ada satu stel yang
dibuntalnya dengan pakaian lamanya.
Hanya satu
hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat
berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan ia pun
tak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka ia
pun lalu melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.
Pada
keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri sambil menimbang-nimbang apakah
tidak sebaiknya kalau dia kembali ke selatan, tiba-tiba dia melihat seorang
nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan. Nenek itu berjongkok sambil
menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah.
Nenek itu
jelek sekali. Mukanya penuh dengan keriput dan terlihat buruk, tubuhnya kurus,
punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya
jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, dia mencium bau yang tidak enak.
Akan tetapi, biar pun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan
dia terus menghampiri.
Yang
membuatnya bergembira adalah karena dia dapat mengerti kata-kata tangisan atau
keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walau pun
agak kaku, namun dia dapat mengerti dengan jelas.
"Aduhhh,
anakku yang baik... ahhh, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali
meninggalkan aku seorang diri... hu-hu-hu-huhh... ke mana aku harus mencari
pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh? Hu-hu-huuhhh...!"
Dalam
keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya
demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu bagaikan orang gila. Mana ada orang
yang menangisi kematian seekor ular besar? Akan tetapi, karena sesudah
berhari-hari baru kini dia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, maka
hatinya gembira sekali dan dia merasa kasihan kepada nenek ini.
Memang bukan
hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orang pun, kalau berada
di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, di antara
bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali apa bila
berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidak-tidaknya sebahasa! Seakan-akan
bertemu dengan seorang saudara di antara orang-orang asing.
"Nenek
yang baik, mengapa engkau begini bersedih? Engkau sedang kematian binatang
peliharaanmu? Mengapa ular ini bisa mati, nek?"
Nenek itu
menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot
lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis padanya, dengan
sikap menghibur.
Nenek ini
seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati.
Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya,
bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya
ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!
"Siapa
kau...?" Nenek itu tiba-tiba bertanya, seakan-akan merasa heran ada orang
yang menegurnya, apa lagi di dalam bahasa Han, lantas matanya terbelalak dan
mengeluarkan sinar berkilat. "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng
itu...!" nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah dia berdiri,
bongkoknya nampak sekali.
Sui Cin juga
bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri. "Nenek
yang baik, engkau mengenalku? Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng? Sebenarnya,
nek, aku sudah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kau beri tahu
siapa diriku ini, nek..."
Nenek itu
tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih, ada pun mata yang lebar itu berkilauan
membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja
Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu dia akan kaget setengah mati
berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu
Kiu-bwe Coa-li (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang di antara Cap-sha-kui yang
kejam dan lihai! Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak
melupakan Sui Cin, maka dia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat
sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.
"Ah,
bagaimana engkau bisa lupa akan dirimu sendiri, nona?" tanyanya, sikapnya
terlihat ramah sehingga wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu menakutkan
lagi.
"Entahlah,
nek, aku lupa segalanya. Seingatku ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu
yang dilontarkan oleh seorang musuhku kepadaku dan mengenai belakang kepalaku.
Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang
diriku. Bahkan engkau yang ternyata sudah mengenal aku pun sama sekali aku
tidak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek? Tolonglah bantu aku agar kembali
ingatanku. Siapakah aku ini?"
"Anak
baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"
Sui Cin
menggelengkan kepalanya. "Aku pun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia
adalah seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan
melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya
itu!" Sui Cin lalu mengepal tinju dengan gemas.
"He-he-heh-heh,
anak baik, engkau bukan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku
sendiri."
Sui Cin
terbelalak, terkejut, heran dan sekaligus girang. "Aih, benarkah itu, nek?
Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"
"Engkau
benar-benar tidak ingat kepadaku? Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda
ini?" Kui-bwe Coa-li mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan
yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang biasa saja
kemudian menggeleng kepalanya.
"Tidak,
nek, aku tidak mengenal cambuk itu."
Dan legalah
hati Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis ini memang benar-benar telah kehilangan
ingatannya dan tidak ingat lagi akan segala hal yang dikenalnya pada masa lalu.
Bagus, pikirnya, memudahkan dia untuk melumpuhkan gadis ini!
"Namamu...
Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan dulu
engkau pernah ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun. Mendiang
ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki
orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coa-li." Nenek itu
memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan
diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya.
Akan tetapi
Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan dua alis
berkerut, "Bi... Ceng Bi Hwa... ahh, aku sama sekali tidak ingat lagi
namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..." Kemudian dia memberi hormat
pada nenek itu. "Terimalah hormat dariku, nek."
Kiu-bwe
Coa-li mengangguk-angguk sambil terkekeh girang. "Bagus, bagus... jangan
kau khawatir, cucuku. Sesudah engkau bertemu dengan nenekmu ini, kujamin engkau
segera akan menemukan kembali ingatanmu, heh-heh."
"Aih,
benarkah, nek? Benarkah engkau hendak mengobatiku? Ah, aku akan girang sekali
kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."
"Tentu
saja! Bukankah engkau ini cucu keponakanku yang tersayang? Jangan khawatir,
dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu.
Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki dulu bagaimana keadaan
orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah
engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan
kepadamu?"
Sui Cin
mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Aku lupa bahwa engkau yang
mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu.
Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi
gerakan otomatis kaki dan tanganku sehingga aku bergerak tanpa mengingat lagi.
Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."
"Hemm...
aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya bila kucoba untuk membuktikan kebenaran
omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba menyerangmu
dengan cambukku. Sesudah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai
sembuh, cucuku tersayang."
Nenek itu
menggerakkan cambuknya ke atas, dan terdengar bunyi meledak-ledak ketika
sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagai
sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.
"Tar-tarr-tarrrr...!"
Sui Cin
terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini. Tidak disangkanya bahwa nenek
yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi
kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang
dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu
benar-benar amat berbahaya.
Sembilan
ekor ujung cambuk itu bergerak laksana ular-ular hidup dan masing-masing kini
menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja
dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya
itu berkelebat dan lenyap!
Maka kagelah
Kiu-bwe Coa-li. Seingatnya, gadis yang dia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis
ini, walau pun memang lihai, akan tetapi tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis
yang berada di depannya ini mempunyai ginkang yang mentakjubkan! Dia menjadi
penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.
"He-heh-heh,
bagus, engkau masih memiliki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, kini aku akan
menyerang sungguh-sungguh!"
Dan cambuk
itu lalu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu
menyerang dengan amat hebatnya. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang
sembilan itu mematuk-matuk dan menotok-notok, mencari jalan darah di tubuh Sui
Cin.
Secara
otomatis gadis ini menggerakkan tubuhnya. Dengan ginkang yang baru-baru ini
dipelajarinya dari Wu-yi Lo-jin, tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang
yang cepat sekali menyambar-nyambar di antara gulungan sinar-sinar hitam dari
cambuk nenek itu. Tentu saja dia tidak membalas kerena dia menganggap bahwa
nenek itu hanya sekedar menguji apakah dia tidak melupakan ilmu silatnya yang
menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!
Tentu saja
niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coa-li tidaklah demikian. Ia hanya
ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis ini. Jika mungkin, tentu lebih
mudah baginya membunuh gadis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja
dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam
keadaan hilang ingatan, dia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus
untuk menjerat dan melumpuhkannya.
Nenek itu
terkejut melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkelebatan
mengelak dari sambaran cambuknya,. Tidak dikiranya gadis itu kini sedemikian
hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat
dibandingkan dulu. Maka ia pun maklum bahwa dengan cambuknya, ia tidak akan
mampu membunuh gadis ini, dan ia pun lalu melompat ke belakang menghentikan
serangannya.
"Bagus,
bagus... heh-heh, engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku
akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, supaya ingatanmu
sehat kembali."
Hati Sui Cin
merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa
nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya. "Terima kasih,
nek."
Nenek itu
lalu duduk bersila di atas tanah. Sui Cin juga berjongkok di depannya, melihat
nenek itu mengeluarkan satu guci arak, sebuah cawan dan sebuah botol kecil dari
balik jubah yang lebar itu. Dia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya
setengah cawan, lantas menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam
cawan yang berisi arak setengahnya itu. Sambil terkekeh dia lalu mengocok arak
itu sehingga bubukan hijau bercampur ke dalam arak.
"Nah,
ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa mengantuk lalu
tertidur dan sesudah engkau bangun dari tidur, ingatanmu akan pulih
kembali," katanya sambil menyodorkan minuman itu.
Sui Cin menerimanya
dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu
menempel di bibirnya, dia tidak jadi minum dan memandang nenek itu dengan alis
berkerut.
"Ehh,
ada apakah, cucuku? Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."
"Akan
tetapi, nek. Aku tidak tahu apa isi obat ini, hanya perasaanku melarang aku
untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"
"Heh-heh-heh,
tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sendok merah! Memang
obat itu racun, racun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh,
Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang
dulu menimang-nimangmu di waktu engkau masih kecil, kepada orang yang telah
mengajarkan semua ilmu itu kepadamu? Apa kau sangka aku akan meracunimu?
Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk
mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"
Merah wajah
Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah
minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek
ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia
ragu-ragu?
Ia
mendekatkan lagi cawan itu, sambil memejamkan mata ia pun menuangkan arak itu
ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh
bau amis itu! Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas yang
berputaran di dalam perutnya.
Itulah hawa
sinkang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut
itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi racun itu sudah terlanjur bekerja dan
Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.
"Heh-heh-heh,
engkau sudah mulai mengantuk, bukan? Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti
engkau pasti sudah sembuh sama sekali. Kini tidurlah, cucuku yang baik,
tidurlah." Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu
merebahkan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu
bersenandung, seperti sedang menina bobokkan cucunya!
Suara itu
aneh sekali dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk yang tidak
tertahankan lagi, maka dia pun tertidurlah.
Sui Cin
tidak tahu berapa lama dia tertidur pulas, akan tetapi ketika dia tersadar
kembali, matahari sudah naik tinggi dan dia berada dalam keadaan terikat pada
sebatang pohon! Tentu saja dia terkejut sekali sehingga otomatis dia mencoba
untuk meronta. Akan tetapi usahanya sia-sia belaka karena dia mendapat
kenyataan yang sangat mengejutkan, yaitu bahwa kaki tangannya lemas tidak
bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah dia bahwa dia telah tertipu!
"Nenek
iblis jahanam!" Dia memaki.
Terdengar
suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur
pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Sekarang nenek
itu menyeringai dan berdiri di hadapan Sui Cin, mengebut-ngebutkan bajunya yang
terkena tanah.
"He-heh-heh,
nona yang tolol, he-heh-heh!" Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya.
Sebagai
salah seorang di antara Cap-sha-kui, nenek ini memang memiliki hati yang kejam
sekali dan kepuasan hatinya adalah kalau dia dapat menyiksa korbannya. Maka,
sesudah kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keadaan tak
berdaya, tentu saja hatinya girang bukan main.
"Nenek
iblis, kiranya engkau telah menipuku! Jika memang engkau gagah, hayo lepaskan
aku dan kita bertanding sampai mati!" Sui Cin berteriak memaki.
"Heh-heh-heh,
andai kata kulepaskan juga, engkau tak akan mampu bertahan lebih dari satu dua
jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coa-li, musuh
besarmu, ha-ha-ha!"
Diam-diam
Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya telah berakibat demikian hebat
sampai musuh lamanya tidak dia kenal dan akibatnya dia mudah terjebak.
"Jadi
kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."
"Heh-heh-heh,
namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, heh-heh-heh, dan sekarang
jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi
perlahan-lahan... ha-ha-ha! Ehh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"
"Ular...?"
Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.
"Ya,
ular... heh-heh, engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coa-li, Ratu Ular!"
Dan nenek
itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan
suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tak lama kemudian, terbelalak
mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, bagaikan
tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan juga suara
mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coa-li.
Ular-ular
itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak lantas
terdengar suara mereka mendesis-desis. Lidah mereka itu keluar masuk dan kini
mereka semua sudah berkumpul mengelilingi tempat itu.
"Bagus,
bagus, heh-heh-heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."
Sui Cin
bergidik. Teringat dia akan nenek itu yang menangisi kematian seekor ular yang
juga disebut anaknya. Nenek ini gila atau lebih dari itu, jahat dan keji
bagaikan iblis. Kini nenek itu membuat suara dengan mulutnya, suara mendesis
dibarengi ledakan pecutnya hingga beberapa ekor ular yang besar mengembangkan
lehernya. Itulah ular-ular sendok yang sangat berbahaya karena amat kuat.
Sekali saja digigit oleh ular seperti ini, dalam waktu beberapa jam saja, kalau
tidak memperoleh obat penawarnya yang ampuh, orang itu tentu akan mati!
Sui Cin yang
kehilangan ingatannya itu tidak mengenal ular seperti itu, akan tetapi ia tahu
bahwa ular-ular ini tentu sangat berbahaya. Tiga ekor ular sendok yang paling
besar lalu berjoget di depannya, dengan lidah merah menjilat-jilat keluar, mata
yang tak berkedip itu memandang kepadanya, kepalanya berlenggang-lenggok
laksana sedang menggoda dan hendak mempermainkan Sui Cin.
"Heh-heh-heh,
mereka bertiga ini yang kupilih untuk menggerogoti dagingmu, sedikit demi
sedikit, ha-ha-ha!" kata nenek itu dan makin gencar cambuknya berbunyi,
semakin lincah pula tiga ekor ular itu menari-nari di depan Sui Cin, makin lama
semakin mendekati gadis yang terikat kaki tangan dan pinggangnya pada batang
pohon itu.
Sui Cin
memandang tak berkedip kepada tiga ekor ular ini, menahan hatinya agar jangan
sampai dia menjerit kengerian. Sementara itu, puluhan ekor ular lainnya yang
mengurung tempat itu ikut pula bergerak-gerak seperti menari, akan tetapi tidak
ada di antara mereka yang berani mendekati tiga ekor ular sendok itu.
"Heh-heh-heh,
Ceng Sui Cin, engkau baru tahu bahwa aku ini adalah ratu ular, ya? Aku dapat
memerintah ular-ular ini menurut sekehendakku. Namun pertama-tama, aku hendak
memerintahkan mereka itu menyusup ke dalam pekaianmu, menelusuri seluruh
tubuhmu hingga kau hampir mati akibat geli dan ngeri. Kemudian aku akan
memerintahkan mereka untuk merobek-robek semua pakaianmu sampai kau
bertelanjang bulat. Nah, sesudah itu mulailah pesta untuk mereka. Gigit
sana-sini, betis, paha, lengan dan bagian-bagian yang tidak berbahaya,
menjilati darah dari luka-luka itu. Kemudian mukamu, pipimu yang halus itu,
hidungmu yang mancung, bibirmu yang merah, akan digerogoti perlahan-perlahan.
Engkau takkan mudah mati, akan kusiksa dulu sampai puas, sebagai hukuman
ayahmu, Si Pendekar Sadis, ha-ha-ha!"
Cambuknya
meledak-ledak, lantas tiga ekor ular itu mulai kelihatan beringas. Akan tetapi
tiba-tiba saja terdengar suara suling yang ditiup dengan indah dan kuatnya, dan
suara itu lalu menyelinap di antara ledakan-ledakan cambuk dan akibatnya
sungguh aneh.
Ular-ular
yang mengelilingi tempat itu nampak gelisah dan ketakutan, lalu perlahan-lahan
mereka meninggalkan tempat itu! Kini yang masih bertahan hanya tinggal tiga
ekor ular sendok itu saja, menari-nari di depan Sui Cin. Akan tetapi suara
suling terdengar semakin kuat dan tiga ekor ular itu kelihatan ragu-ragu dan
bingung, kacau akibat suara ledakan-ledakan cambuk yang kini bercampur dengan
suara suling yang agaknya lebih terasa dan lebih mempengaruhi mereka!
"Eh,
keparat jahanam kurang ajar!" Nenek Kiu-bwe Coa-li memaki dan menoleh.
Matanya terbelalak marah saat dia melihat seorang pemuda datang sambil meniup
suling, sikapnya tenang dan gagah.
Sui Cin juga
melihat datangnya pemuda ini dan ia pun merasa girang karena ia mengerti bahwa
suara suling pemuda itu telah mengusir ular-ular yang tadinya mengurung tempat
itu, dan kini suara suling itu membuat ketiga ekor ular itu menjadi bimbang dan
bingung, seperti kehilangan pegangan. Dia dapat menduga bahwa suara suling itu
menghancurkan pengaruh nenek iblis terhadap ular-ularnya dan timbullah
harapannya biar pun dia sendiri masih lemas dan tak mampu meloloskan diri dari
belenggu. Pemuda yang mampu meniup suling seperti itu tentu memiliki kepandaian
tinggi, dia menduga.
Sementara
itu, Kiu-bwe Coa-li yang menengok dan telah memandang pemuda itu, segera
mengenalnya dan wajahnya agak berubah, kemarahannya memuncak. "Kau...!
Keparat, kau putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga itu?"
Nenek itu
menggerakkan cambuknya dan mengeluarkan suara mendesis. Karena semua ularnya
sudah pergi terusir oleh suara suling tadi, kini tinggal tiga ekor ular sendok
yang hendak dikerahkan untuk menyerang pemuda itu.
Akan tetapi,
dengan tenang pemuda itu melangkah maju pada saat tiga ekor ular sendok
menerjangnya dengan semburan-semburan uap hitam dari mulut mereka. Tiba-tiba
saja, pemuda yang bukan lain adalah Cia Sun itu, meniup sulingnya dengan kuat.
Terdengarlah suara melengking yang membuat Sui Cin sendiri terpaksa harus
berusaha mematikan rasa menulikan telinga karena suara melengking itu sangat
tinggi dan dahsyat, menusuk telinga menikam jantung.
Akan tetapi
agaknya suara itu memang sengaja ditujukan hanya untuk menyerang atau menyambut
tiga ekor ular itu. Mendengar suara ini, tiga ekor ular yang sudah mengangkat
kepala tinggi-tinggi itu tiba-tiba saja terkulai kemudian berkelojotan seperti
dalam keadaan kesakitan hebat.
Cia Sun
melangkah maju dan tiga kali kakinya menginjak, pecahlah kepala tiga ekor ular
itu. Tubuh mereka masih berkelojotan, akan tetapi karena kepala mereka sudah
hancur terinjak kaki yang kuat itu, maka mereka berkelojotan dalam keadaan
sekarat!
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Kiu-bwe Coa-li melihat tiga ekor ular andalannya
itu mati. Sambil mengeluarkan suara melengking dia lantas menerjang ke depan,
cambuknya meledak-ledak di atas kepalanya sedangkan tangan kirinya yang berkuku
panjang itu pun dipergunakan untuk menyerang dengan cakaran-cakaran dan
cengkeraman-cengkeraman maut karena kuku-kuku panjang tangan kiri itu
mengandung racun.
Akan tetapi,
dengan amat tenangnya, Cia Sun mengelak mundur dua langkah kemudian sekali tangan
kirinya bergerak mendorong ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar bagaikan
hawa berapi, panas dan kuat. Kiu-bwe Coa-li menyambut dengan cambuk dan tangan
kirinya, namun akibatnya dia langsung terpental ke belakang!
"Ehhh...!"
Nenek itu berseru kaget bukan main.
Apa bila
tadi dia dikejutkan oleh kecepatan gerakan Sui Cin, kini dia dikejutkan pula
oleh kekuatan sinkang yang menyambar keluar dari tangan kiri pemuda ini. Ia
pernah melawan pemuda ini, bahkan dengan bantuan ular-ularnya dia pernah hampir
merobohkan Cia Sun beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, pada waktu itu, biar
pun pemuda ini sudah amat lihai, tenaga sinkang-nya tidaklah sehebat sekarang
ini.
Tentu saja
nenek ini tidak tahu bahwa Cia Sun tiga tahun yang lalu tidak dapat disamakan
dengan Cia Sun sekarang. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diajak pergi
oleh seorang kakek sakti yang hanya memperkenalkan diri sebagai Go-bi San-jin
dan di antara puncak-puncak Pegunungan Go-bi-san yang sunyi, pemuda ini sudah
digembleng dengan hebat. Setelah oleh gurunya yang baru itu dia dinyatakan
sudah cukup menerima ilmu, gurunya menyuruhnya pergi ke bekas benteng
Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar, tidak begitu jauh dari Lembah Naga, untuk
menghadiri pertemuan para pendekar.
"Dunia
telah berubah," demikian Go-bi San-jin yang gendut itu berkata, "para
datuk sesat, seperti iblis-iblis, keluar dari neraka dan siap mengacau dunia.
Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka itu dan para pendekar telah
bersepakat untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Pergilah ke sana. Akan
tetapi jangan lupa, engkau mempunyai semacam tugas lain. Kalau engkau bertemu
dengan seorang murid dari Ciu-sian Lo-kai, nah, dia itu lawanmu. Bukan musuh,
melainkan lawan dan antara aku dan Ciu-sian Lo-kai telah saling berjanji untuk
mengadu murid kami masing-masing. Engkau tidak boleh kalah karena hal itu akan
membuatku malu."
Tugas
pertama diterima dengan gembira oleh Cia Sun, akan tetapi tugas yang kedua ini
sebetulnya tidak berkenan di dalam hatinya. Bagaimana dia harus melawan dan
berkelahi dengan seseorang yang tidak dikenalnya, tanpa sebab, bahkan bukan
musuh, melainkan hanya karena perjanjian antara guru mereka untuk saling
mengadu murid-murid mereka? Seperti ayam aduan atau jangkerik saja.
Akan tetapi
perintah guru tak mungkin diabaikan dan dia pun menyanggupi. Demikianlah,
pemuda dari Lembah Naga ini meninggalkan gurunya dan di dalam perjalanan menuju
ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, di daerah Mongol ini, secara kebetulan saja dia
melihat ada seorang gadis yang akan dikorbankan kepada ular-ular berbisa oleh
seorang nenek mengerikan.
Cia Sun
langsung mengenali nenek itu sebagai Kiu-bwe Coa-li, salah seorang di antara
Cap-sha-kui, akan tetapi hampir saja dia berteriak ketika dia mengenal pula Sui
Cin! Dara yang dibelenggu dan sedang menghadapi ancaman mengerikan dari
ular-ular sendok itu adalah Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang selama ini tidak
pernah dia lupakan.
Akan tetapi
Cia Sun adalah seorang pemuda yang tenang. Melihat keadaan Sui Cin, dia tidak
tergesa-gesa bertindak sembrono untuk menyelematkannya dengan jalan kekerasan
begitu saja. Dia tahu betapa lihainya nenek itu dan tiga ekor ular sendok itu
sudah siap mematuk, apa-lagi tempat itu dikelilingi oleh puluhan ekor ular.
Karena itu,
sambil bersembunyi dia kemudian meniup sulingnya yang selalu dibawanya, dan
mengerahkan khikang untuk mengusir ular-ular itu. Barulah dia muncul dan dia
masih terus menggunakan sulingnya untuk mengalihkan perhatian tiga ekor ular
sendok itu dari Sui Cin kepada dirinya. Kemudian, sesudah ular-ular itu
menyerangnya, barulah dia turun tangan membunuh binatang-binatang itu.
Melihat
betapa nenek iblis itu menyerangnya secara ganas, Cia Sun tak mau tinggal diam
menahan diri begitu saja. Nenek ini adalah seorang di antara Cap-sha-kui,
datuk-datuk sesat yang amat jahat dan karenanya haruslah dibasmi. Dulu dia
pernah hampir celaka diserang nenek ini bersama pengeroyokan ular-ularnya dan
pada waktu itu untung muncul Sui Cin yang membantunya. Kini Sui Cin yang
menjadi korban kejahatan nenek itu, dan untung dia yang tanpa disengaja tiba di
tempat itu sehingga dapat menyelamatkan Sui Cin.
Yang membuat
dia terheran-heran adalah melihat Sui Cin kelihatan begitu lemah, tidak mampu
membebaskan diri dari belenggu yang tidak begitu kuat itu. Apa yang telah
terjadi dengan gadis itu? Dan mengapa Sui Cin memandangnya dengan sinar mata
keheranan seperti itu, sama sekali tak nampak bahwa gadis itu mengenalnya?
Apakah Sui Cin telah pangling kepadanya?
Sesudah
mengelak dari sambaran cambuk ekor sembilan, Cia Sun lalu membalas dengan
serangan tamparan tangan kirinya, disusul dengan totokan suling yang tadi
digunakannya untuk mengusir ular. Nenek itu mengelak kemudian menggerakkan lagi
cambuknya yang mengeluarkan suara meledak-ledak. Terjadilah perkelahian yang
seru, serang-menyerang dengan dahsyatnya.
Akan tetapi
segera nenek itu mendapatkan kenyataan pahit bahwa lawannya ini luar biasa
kuatnya, terlampau tangguh bagi dirinya. Semua serangannya gagal, bukan hanya
gagal, akan tetapi setiap kali terjadi benturan tenaga, dia tentu terdorong dan
terhuyung. Hatinya mulai terasa jeri. Akan tetapi Cia Sun yang telah mengambil
keputusan untuk membunuh nenek jahat ini, mendesak terus dengan
pukulan-pukulannya yang ampuh.
Pada suatu
saat nenek itu terdesak dan terhuyung ke belakang. Dengan gerakan aneh tangan
kanan Cia Sun menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dengan sebuah
cengkeraman maut yang dahsyat. Nenek itu terkejut, segera menggerakkan
cambuknya menangkis dan langsung melibat lengan kanan lawan, kemudian kepalanya
bergerak dan rambutnya yang riap-riapan itu menyambar ke arah leher Cia Sun
hendak menotok jalan darah maut.
Pemuda itu
tidak menjadi gugup. Tangan kirinya menyambar untuk menangkap bulu-bulu cambuk,
kemudian kaki kiri Cia Sun melayang ke depan dan mengirim tendangan yang
mengarah leher lawan. Hebat sekali tendangan ini dan dilakukan pada saat kedua
tangan mereka tidak bebas. Kiu-bwe Coa-li terkejut sekali dan cepat mengelak
dengan miringkan kepala, akan tetapi tetap saja ujung sepatu kaki Cia Sun
mengenai pundaknya.
"Dukkk...!"
Tubuh nenek
itu terpelanting dan ujung bulu cambuknya rontok karena sebagian putus oleh
cengkeraman tangan Cia Sun, sedangkan rambut kepalanya juga banyak yang jebol.
Ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan serangah susulan, akan tetapi pemuda
itu tidak mau mendesak lawan yang telah roboh, hanya bersiap-siap melanjutkan
perkelahian itu.
Kiu-bwe
Coa-li tidak terluka berat, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dilanjutkan,
tentu akhirnya dia akan kalah karena pemuda itu sungguh lihai bukan main. Ia
khawatir bahwa jika ia melarikan diri, pemuda itu tentu akan mengejarnya, maka
ia pun mempergunakan akal. Sambil menudingkan cambuknya yang sudah bodol itu ke
arah Sui Cin yang masih terbelenggu, ia pun berkata,
"Kau
membelanya? Biarlah dia mampus sekarang juga!" Dari tengah gagang
cambuknya meluncur jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat di gagang
cambuk.
Cia Sun
terkejut bukan kepalang. Tangannya cepat membuat gerakan memukul ke arah depan
gadis itu hingga jarum-jarum halus beracun itu pun runtuh semua! Kiu-bwe Coa-li
makin kaget saja. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya dan hatinya menjadi
semakin gentar. Kini cambuknya menuding ke arah pemuda itu dan kembali ada
belasan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun.
"Nenek
iblis yang jahat!" Cia Sun membentak dan begitu ia mengebutkan lengan
bajunya, maka jarum-jarum itu bukan hanya runtuh, namun membalik ke arah nenek
itu! Kiu-bwe Coa-li mengebutkan cambuknya dan jarum-jarum itu pun runtuh.
"Heh-heh-heh,
orang muda, kau boleh juga. Akan tetapi temanmu itu jangan harap akan dapat
hidup lagi, ia telah keracunan. Lihat, wajahnya sudah mulai kehilangan
cahayanya!"
Cia Sun
terkejut lantas menoleh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiu-bwe Coa-li untuk
meloncat dan melarikan diri. Cia Sun tidak mau mengejar karena dia
mengkhawatirkan keadaan Sui Cin. Dia tahu bahwa nenek itu tidak membohong.
Keadaan Sui
Cin memang nampaknya tidak wajar. Gadis yang dahulu dikenalnya sebagai seorang
pendekar wanita yang hebat, puteri tunggal Pendekar Sadis, kini demikian lemah
dan tidak berdaya sehingga terbelenggu seperti itu pun tidak mampu membebaskan
diri. Tentu gadis itu sudah terluka, atau keracunan seperti yang dikatakan
nenek itu. Dia pun cepat meloncat dekat dan melepaskan ikatan kaki tangan dan
pinggang gadis itu.
Semenjak
tadi Sui Cin menjadi saksi perkelahian itu dan dia pun merasa kagum kepada
pemuda berpakaian serba putih sederhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu
yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap
kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,
"Terima
kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."
Cia Sun
membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Adik Sui Cin, mengapa engkau
begini sungkan? Di antara kita mana ada sebutan pertolongan?"
Sui Cin
memandang dengan mata terbelalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini
sekarang menjadi semakin cantik menarik.
"Saudara
yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"
Kini Cia Sun
yang melongo. "Cin-moi... lupakah engkau kepadaku? Aku Cia Sun..."
Akan tetapi
gadis itu memandang bingung. "Cia Sun...? Aku... aku tidak mengenal nama
itu..."
"Ehh...?
Bagaimana ini? Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"
Sui Cin
menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu... aku tidak
tahu..."
Cia Sun
merasa amat khawatir dan memandang tajam. "Apa maksudmu? Apakah engkau
hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"
"Aku
tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."
"Apa
pula ini? Bagaimana engkau tidak yakin akan nama sendiri?"
"Aku
tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa
itu pun kudengar dari nenek itu..."
"Engkau
adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku
adalah Cia Sun, dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu? Antara ayahmu
dengan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman
Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"
Dengan sedih
Sui Cin menggeleng kepala. "Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku
lupa siapa sesungguhnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu
pada kepalaku, dan aku dikejar-kejar oleh seorang musuh lihai. Kemudian aku
bertemu dengan nenek itu, namun dia sudah menipuku, memberi minum ramuan yang
katanya obat untuk mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu
adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan dia
mengaku bernama Kiu-bwe Coa-li, katanya dia adalah musuh besarku..."
"Tentu
saja! Dia adalah seorang di antara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah
engkau?"
"Aku
tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."
"Aihh,
Cin-moi. Beberapa tahun yang lalu aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini,
dan engkaulah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"
Sui Cin
menggelengkan kepala. "Aku lupa segalanya... kepalaku pening, ahhh... batu
itu menghantam kepalaku amat kerasnya..." Dara itu duduk kembali dan
memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi dia
mengeluh. Tenaganya hilang. "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap...
ini tentu akibat racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."
"Cin-moi,
kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu,
entah kenapa, mungkin seperti yang kau ingat itu, terkena lemparan batu hingga
otakmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan
hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan nenek iblis yang
curang itu lalu menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan,
kemudian meracunimu. Engkau sedang menderita keracunan, Cin-moi. Inilah yang
harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..." Cia Sun lalu duduk
bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan
memandang dengan sinar mata meragu.
"Adikku
yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"
"Aku
tidak kenal denganmu..."
"Cin-moi,
dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi
mengenal aku, bahkan namamu sendiri pun engkau lupa, juga siapa orang tuamu.
Akan tetapi, biar pun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau
tetap tidak percaya padaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian
membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"
Boleh jadi
Sui Cin sedang kehilangan ingatannya tentang masa lalu, akan tetapi dia tidak
kehilangan kegagahan dan keadilannya. Dia mengangguk. "Baiklah, aku yang
salah. Lalu, apa yang hendak kau lakukan dalam usahamu mengobatiku?"
"Aku
tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, maka tentu
saja aku pun tak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan
pengerahan sinkang, barang kali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau paling
tidak aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan
nyawamu."
Kembali Sui
Cin mengangguk. "Baiklah, saudara..."
"Cin-moi,
dulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun...," kata
pemuda itu dengan halus.
"Baiklah,
Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kasih." Gadis
itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya lantas menempelkan
kedua telapak tangannya di punggung gadis itu.
Segera Sui
Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui dua telapak
tangan yang menempel punggung itu dan dia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu
sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di
telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua
matanya.
***************
Kiu-bwe
Coa-li lari sambil memaki-maki. "Keparat! Anjing monyet tikus
sialan!"
Dia merasa
betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu dengan puteri
Pendekar Sadis, malah dia sudah berhasil meringkus tanpa banyak susah dan
selagi dia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuhnya,
tiba-tiba muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah
Naga!
Dan nyaris
dia celaka, mungkin tewas di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan
berkat kecerdikannya dia mampu lolos dari ancaman maut, walau pun cambuk ekor
sembilan dan rambutnya rontok dan bodol!
"Sialan...!"
gerutunya. Mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru
memilih hari baik!
Memang
menggelikan sekali ulah nenek iblis itu. Akan tetapi, apa bila kita mau membuka
mata dan melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bahwa kenyataan
hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan sikap nenek
Kiu-bwe Coa-li itu.
Sejak kecil
kita pun sudah terbiasa untuk menggantungkan diri kepada nasib! Dan setiap ada
peristiwa merugikan menimpa diri kita, kita lantas menyalahkan kepada nasib.
Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan sebagainya kita lontarkan sebagai
ungkapan kekecewaan hati. Marilah kita sama membuka mata dan mengamati
kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan kita sehari-hari?
Kita selalu
mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua kesalahan keluar diri kita dan
mencari-cari alasan dari luar, lalu, apa bila tidak menemukan lain orang atau
barang sebagai penyebab datangnya kegagalan atau kerugian, kita akan
melontarkan sebabnya kepada nasib!
Seorang yang
gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan gurunya yang
dikatakan tidak adil, menyalahkan sistem pelajarannya, menyalahkan teman-teman
dan apa bila tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang lain lalu melontarkannya
kepada nasib. Nasib buruk katanya!
Seorang yang
gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari alasan
di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan sangat buruk, licin dan
sebagainya, menyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak memenuhi syarat
dan sebagainya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan kesehatannya dan
akhirnya juga melontarkannya kepada nasib!
Seorang yang
dagangannya tidak laku dan gagal di dalam usahanya akan selalu mencari
kesalahan pada tempatnya berjualan, para pembelinya, atau juga kepada nasib.
Seorang pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca
orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakannya tolol dan bodoh tidak
mengenal karangan yang bermutu dan yang baik, atau juga melontarkannya kepada
nasib.
Bukankah
semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan yang tak lucu
dan konyol? Bukankah sikap seperti itu merupakan sebuah kebodohan dan menjadi
penghalang besar dari pada kemajuan diri pribadi? Jika saja mereka itu mau
menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan itu dalam diri sendiri, pasti
akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan semua itu. Sebabnya terletak dalam
diri sendiri!
Segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini berputar pada sebuah sumber yang terdapat di
dalam diri sendiri. Dan sikap mau mencari segala sebab pada diri sendiri adalah
sebuah kebijaksanaan yang sangat besar dan sangat berguna bagi kehidupan
manusia, karena dengan cara begini, kita masing-masing akan dapat melihat dan
menemukan kesalahan-kesalahan serta kekurangan-kekurangan pada diri kita
sendiri dan hanya bila kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan pada diri
sendiri inilah maka baru akan bisa dilakukan perbaikan-perbaikan dan
pembetulan-pembetulan. Nasib berada di dalam telapak tangan kita sendiri karena
segala sebab dan semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.
Bukan hanya
kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogyanya ditelusuri dari dalam diri
sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi marah, kita
membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri sedemikian tingginya.
"Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah aku? Aku selalu baik,
selalu ramah, selalu memberi, tetapi mengapa dia benci kepadaku? Dasar dia
orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh pikiran yang selalu
mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.
Dengan cara
membiarkan pikiran berceloteh macam itu maka kita akan mandeg, bahkan mundur,
dan kita tak akan mampu melihat kenyataan, melihat kesalahan sendiri dan kita
hanya akan menambah kebencian di antara manusia. Akan tetapi, bila mana kita
selalu waspada terhadap diri sendiri, mengamati diri sendiri tanpa menilai,
tanpa mencela atau memuji, akan nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi
kita kenapa ada orang yang membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini,
pengamatan ini, sekaligus akan menimbulkan kesadaran yang kemudian melahirkan
tindakan nyata pula, mendatangkan keberanian untuk merubah kesalahan sendiri.
Kiu-bwe
Coa-li bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Akan tetapi
semua kegagalan yang menimpa dirinya tak lain merupakan buah yang dipetik dari
pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan amat
cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan
perlahan dari depan.
Orang itu
menyerongkan langkah, memiringkan tubuh hingga tabrakan terhindar. Kiu-bwe
Coa-li hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di
sampingnya dan baru dia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang
lain. Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apa lagi ketika
dia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengan dirinya
itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih.
Nenek ini
pun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek
Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek
itu. Kalau Kiu-bwe Coa-li berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini
menunjukkan bahwa di waktu mudanya dia tentu seorang wanita yang amat cantik
jelita. Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan
asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya
yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han,
bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya.
Rambutnya
yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan
diikat dengan kain lebar. Telinganya yang lebar memakai anting-anting gelang
yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar
seperti tasbeh.
Jubahnya berwarna
putih bersih dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah. Tangannya
memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih mirip rambutnya. Nenek ini
nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus laksana wanita bangsawan.
Mulutnya tersenyum dan membayangkan kebesaran hati ketika dia memandang kepada
Kiu-bwe Coa-li.
Sejenak
Kiu-bwe Coa-li mempergunakan sepasang matanya yang sedikit juling itu untuk
memandang dan hatinya menjadi semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu
sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan
anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!
"Perempuan
tak tahu malu!" bentaknya sambil menggoyang-goyangkan cambuknya. "Di
mana kau taruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"
Nenek
berjubah putih-putih itu tersenyum. "Sobat, jangan marah-marah dulu dan
ingatlah baik-baik, siapakah yang hendak menubruk tadi? Engkau berjalan
setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku
kurang cepat menyingkir tentu telah kau tabrak."
Suaranya
halus dan dari suara serta kata-katanya jelas bahwa dia adalah seorang wanita
Mongol yang pandai pula berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia
terpelajar, karena ia menggunakan bahasa yang halus, lebih halus dari pada
kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coa-li, seorang nenek berbangsa Han
asli.
Kata-kata
yang halus serta sikap yang tenang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coa-li,
karena ia merasa seolah-olah diejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka
nenek itu sambil membentak, "Perempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup!
Buka mata dan telingamu baik-baik. Engkau sedang berhadapan dengan Kiu-bwe
Coa-li dan jika engkau tidak lekas berlutut minta ampun, maka cambukku akan
mencabut nyawamu!"
"Ck-ck-ck..."
Nenek itu menggelengkan kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti
gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya tetap saja tersenyum.
"Kiranya Kiu-bwe Coa-li, salah seorang dari Cap-sha-kui yang namanya
menggelapkan angkasa di selatan? Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coa-li, aku sudah
tua, nyawaku ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak
pergi meninggalkan badan, siapa yang bisa menangguhkannya? Akan tetapi jangan
harap dapat memaksaku berlutut sebab aku tidak mempunyai kesalahan apa pun
kepadamu."
"Keparat!
Berani engkau membantah dan menantangku? Apakah kau bosan hidup?"
Pada saat
itu pula terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coa-li
terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan
berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu kemudian memandang
kepadanya dan menggereng marah, dua matanya mencorong dan bibir atasnya
mendesis-desis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat.
Diam-diam
Kiu-bwe Coa-li merasa ngeri dan jeri juga. Biar pun dia lihai, akan tetapi
untuk menghadapi seekor harimau yang begitu besarnya, dia maklum betapa besar
bahayanya melawan binatang seperti ini.
"Houw-cu...
diamlah dan jangan ribut," kata nenek itu dengan suara membujuk. Harimau
itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.
"Huh,
biar pun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!"
Kiu-bwe Coa-li menantang.
Nenek itu
tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan
cahaya mencorong, seperti mata binatang peliharaannya. "Kiu-bwe Coa-li,
mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup
sampai usia tua. Aku bukanlah orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak
suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman
dan gertak-gertak kosong belaka!"
"Akan
tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!" ejek Kiu-bwe
Coa-li.
Dia masih
merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampak buas
sekali itu. Jika hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi
harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.
"Begitukah?
Aku tidak minta perlindungan Houw-cu, dia hanya marah karena hidungnya dapat
mencium bau busuk. Eh, Houw-cu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan
kejam ini tidak menjadi ketakutan."
Seperti
seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu lalu pergi
setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coa-li sambil menggereng seperti
merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan
tidak terdengar lagi suaranya.
"Nah,
dia sudah pergi, Kiu-bwe Coa-li. Sekarang engkau mau apa?"
"Mau
membunuhmu!" bentak Kiu-bwe Coa-li marah.
Nenek ini
langsung melakukan serangan dengan cambuknya. Cambuk itu mengeluarkan suara
ledakan-ledakan dan meski pun sudah ada dua ekornya yang putus pada waktu dia
menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh ekor yang kini
menyambar dan melakukan totokan-totokan yang dahsyat.
"Hemmm...!"
Nenek jubah putih itu berseru kaget ketika menyaksikan kehebatan gerakan
serangan Kiu-bwe Coa-li dan ia pun melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan
putih di tangannya.
"Pratt-pratt-prattt...!"
Beberapa
kali cambuk itu bertemu dengan kebutan hingga membuat nenek berjubah putih itu
terhuyung ke belakang.
"Heh-heh-heh,
kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!" Kiu-bwe Coa-li
mengejek dan kembali menyerang lagi. Dia sama sekali tidak memandang sebelah
mata kepada nenek itu sehingga bertanya nama pun tidak.
Demikianlah
watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah
kesalahannya. Andai kata dia tadi bertanya dan dia tahu dengan siapa dia sedang
berhadapan, tentu dia akan bersikap hati-hati dan mungkin dia akan pergi tanpa
berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi dia terlalu sombong dan
pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun.
Didesak oleh
serangan-serangan yang sangat dahsyat ini, nenek jubah putih itu mengelak
sambil berloncatan dan anehnya, dia sama sekali tidak pernah membalas. Akan
tetapi dia pun terkejut memperoleh kenyataan betapa hebat dan berbahayanya
serangan-serangan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li itu, maka begitu melompat
ke belakang dia langsung menudingkan kebutannya sambil berkata halus,
"Kiu-bwe
Coa-li, membenci orang lain beranti membenci diri sendiri. Engkau menyerang
orang lain sama saja dengan menyerang diri sendiri!"
Kiu-bwe
Coa-li tidak peduli sungguh pun kata-kata nenek itu seperti menembus ke dalam
dadanya. Dengan ganas dia menubruk dengan cambuknya.
"Tar-tarr-tarrr...!"
Cambuk
meledak-ledak, lantas menerjang ke arah nenek itu. Akan tetapi entah kekuatan
apa yang terdapat dalam kebutan berbulu putih, tiba-tiba saja cambuk itu
membalik dan memukul muka Kiu-bwe Coa-li sendiri!
"Ihhhhh...!"
Kiu-bwe Coa-li berteriak keras dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja
tiga ekor cambuk itu mengenai muka dan lehernya sehingga nampaklah jalur-jalur
merah berdarah di muka dan lehernya. Dia terbelalak, akan tetapi tidak menjadi
takut, bahkan merasa semakin marah.
"Kubunuh
kau... kau harus mampus!" Ia berteriak marah sekali dan kembali ia
meloncat ke depan.
Nenek itu
mengacungkan kebutannya ke atas, lantas membanting kebutan itu ke bawah. Dan
aneh sekali, mendadak tubuh Kiu-bwe Coa-li yang sedang meloncat itu tiba-tiba
saja terbanting ke bawah oleh tenaga yang tidak nampak.
"Brukkk...!"
Kiu-uwe
Coa-li terbelalak dan menjadi semakin marah karena bantingan itu sama sekali
tidak melukainya, biar pun membuat napasnya agak sesak dan jalannya menjadi
pincang. Pada waktu dia mengangkat mukanya, nenek itu sedang berjalan pergi
sambil membawa kebutannya, seolah-olah tak mau mempedulikannya lagi!
Kemarahannya pun memuncak. Dilihatnya nenek itu menuruni sebuah lereng yang
curam.
"Tunggu,
ke mana engkau hendak lari, keparat?" Dia mengejar dan menuruni lereng
yang diapit-apit jurang yang curam itu.
Nenek
berjubah putih itu lantas menengok. "Kiu-bwe Coa-li, aku melihat ada awan
hitam yang mempengaruhimu. Mundurlah sebelum terlambat!" Ucapannya itu
halus dan bernada serius. Namun orang macam Kiu-bwe Coa-li mana mau mengalah
dan mundur sebelum kalah?
Setelah
mengejar sampai jarak empat meter, tiba-tiba saja Kiu-bwe Coa-li menggerakkan
cambuknya lantas meluncurlah belasan jarum halus menyerang ke arah tubuh
belakang nenek itu. Akan tetapi nenek itu lalu membalikkan tubuhnya dan kembali
mengacungkan kebutannya, dan anehnya, belasan batang jarum halus yang sedang
meluncur itu tiba-tiba saja membalik ke arah Kiu-bwe Coa-li sendiri!
Mata nenek
buruk itu terbelalak, terkejut bukan main karena kembalinya belasan batang
jarumnya itu amat cepatnya, lebih cepat dari pada ketika dia pakai menyerang.
Dia tidak mau kalau senjatanya makan tuan. Untuk menangkis tidak sempat lagi saking
cepatnya jarum-jarum itu meluncur, maka dia pun langsung meloncat ke kiri untuk
mengelak dan... terdengarlah jeritan menyayat hati ketika tubuhnya meluncur ke
bawah, ke dalam jurang yang amat curam!
Dalam
kemarahannya tadi, nenek ini sudah menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan
sehingga lupa bahwa di kanan kiri tempat itu terdapat jurang-jurang yang curam
sehingga ketika dia mengelak dan melompat ke kiri, dia telah melompat ke dalam
jurang.
Jeritan itu
berhenti dan nenek berjubah putih menjenguk dari tepi jurang, memandang ke
bawah. Masih nampak olehnya tubuh Kiu-bwe Coa-li yang dari atas nampak kecil
seperti boneka menggelinding ke bawah, terlempar-lempar saat menimpa batu-batu
dan akhirnya terbanting ke dasar jurang dan diam tak bergerak lagi.
"Ck-ck-ckk...!"
Nenek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu bertepuk tangan.
Tepukan
tangan itu terdengar amat nyaring dan agaknya merupakan isyarat bagi harimau
peliharaannya karena kini muncullah harimau besar itu, berlari-lari mendatangi.
Nenek itu lalu naik ke punggung harimau, menggerakkan kebutannya dan harimau
itu pun berlari ke arah dari mana Kiu-bwe Coa-li tadi datang.
Tak lama
kemudian tibalah nenek dan harimaunya itu di tempat di mana Cia Sun sedang
berusaha untuk mengobati Sui Cin. Dari jauh nenek itu sudah melihat mereka dan
ia pun menyuruh harimaunya berhenti. Ia mengintai dan sampai lama dia mengamati
dua orang muda itu. Berulang kali dia menarik napas panjang dan menggumam
seorang diri. "Ahh, agaknya anak perempuan itu keracunan dan tentu
perbuatan Kiu-bwe Coa-li itu. Kasihan, aku melihat cahaya gelap menyelubungi
wajahnya."
Nenek ini
bukan orang sembarangan. Kalau tadi Kiu-bwe Coa-li tidak begitu sombong dan mau
bertanya nama, agaknya ia belum tentu akan tewas, mati konyol karena terjatuh
ke dalam jurang karena nama nenek itu tentu akan membuatnya merasa jeri dan
tidak berani sembarangan menyerang. Nenek itu terkenal sekali di daerah utara,
di luar Tembok Besar dan bahkan seluruh penduduk Mongol dan Mancu amat takut
kepadanya.
Di Mongol,
ia dikenal sebagai seorang dukun wanita yang terkenal sakti dan ampuh. Apa
lagi, selain menjadi dukun yang diakui mempunyai banyak macam ilmu yang
aneh-aneh, juga ia merupakan keturunan dari Yelu Ce-tai, seorang arif bijaksana
yang dahulu menjadi penasehat Raja Jenghis Khan!
Biar pun
sudah lama Kerajaan Goan, yaitu penjajah Mongol, terjatuh dan sisa-sisa orang
Mongol kembali ke utara di luar Tembok Besar, namun nama keluarga Yelu Ce-tai
masih dikenal orang. Bahkan ratusan tahun kemudian, sebagai keturunan keluarga
Yelu, nenek itu masih dihormati oleh orang-orang Mongol, apa lagi karena dia
memang seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu
sihirnya.
Bahkan para
kepala suku yang banyak terdapat di daerah itu semua menghormatinya. Ia menjadi
tempat bertanya nasehat para pimpinan suku, dan bahkan pertikaian-pertikaian
yang timbul di antara mereka sering kali baru dapat didamaikan kalau Yelu Kim,
demikian nama nenek itu, sudah turun tangan melerai. Di kalangan orang Mongol
yang masih amat percaya dengan hal-hal mukjijat dan ketahyulan, nenek itu
dikabarkan sakti seperti dewa, dapat menghidupkan orang mati dan mematikan
orang hidup!
Sebetulnya,
dahulu Yelu Ce-tai adalah seorang bangsawan Khitan akan tetapi ahli dalam
kebudayaan bangsa pribumi Han sehingga dia pun dianggap sebagai seorang
berbangsa pribumi. Keturunannya banyak yang menikah campuran sehingga darah
Yelu Kim adalah darah campuran, bahkan ada pula darah Bangsa India di barat.
Itulah sebabnya mengapa wajahnya memiliki kecantikan yang asing dan aneh.
Namanya
terkenal sekali, bahkan tokoh-tokoh besar di pedalaman yang sering menjelajah
ke utara, pernah mendengar akan kehebatan nama ini. Maka sayanglah bahwa
Kiu-bwe Coa-li tidak menanyakan namanya sehingga nenek iblis itu harus tewas
tanpa mengetahui bahwa lawannya adalah orang yang paling terkenal di Mongol.
Sebagai
seorang yang dihormati, Yelu Kim yang berdarah bangsawan itu bersikap agung dan
ramah, akan tetapi di balik kehalusan sikapnya itu tersembunyi kekuatan yang
amat menakutkan. Memang nenek ini ada kalanya memiliki sikap yang aneh dan
mengejutkan orang, kadang-kadang dia murah hati sekali dan mudah mengampuni,
tetapi ada kalanya dia bersikap amat keras hati dan amat kejam. Padahal, pada
dasarnya Yelu Kim bukanlah orang yang berwatak kejam, namun orang yang
bijaksana dan adil, dan pandangannya sedemikian jauh sehingga banyak orang
tidak mengerti dan menganggap dia kejam.
Nenek yang
sudah beberapa kali menikah ini tidak pernah mengecap kebahagiaan hidup
keluarganya, dan dia tidak pernah mempunyai anak sehingga kini hidup kesepian
dalam usia tua. Dan sebagai seorang janda tua yang hidup kesepan, dia suka
dengan binatang peliharaannya. Akan tetapi jika para janda itu suka memelihara
kucing atau anjing, maka nenek ini memelihara seekor harimau yang amat besar
dan menakutkan.
Harimau ini
bukan hanya menjadi binatang peliharaan dan kesayangan, malah dapat juga
menjadi binatang tunggangan dan binatang yang menjaga serta melindungi
keselamatan Yelu Kim. Melihat binatang ini saja membuat orang yang tadinya
berniat buruk terhadap Yelu Kim harus berpikir panjang lebih dulu karena
harimau itu nampak amat menyayang dan setia kepada majikannya. Demikianlah
sedikit kisah tentang nenek aneh itu yang kini mengintai Cia Sun dan Sui Cin
yang sedang duduk bersila.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment