Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 19
SUI CIN yang
merasa betapa ada hawa yang panas menjalar ke dalam tubuhnya merasa nyaman
sekali dan hampir saja tertidur. Sebaliknya Cia Sun dengan pengerahan sinkang
berusaha untuk membangkitkan kembali tenaga gadis itu yang kini seakan-akan
menjadi lumpuh. Akan tetapi dia tidak pernah menemui perlawanan sehingga hal
ini menandakan bahwa Sui Cin belum juga menemukan kembali kekuatannya. Sinkang
atau hawa sakti dalam tubuh gadis itu belum bangkit.
Telah lewat
tiga jam lamanya semenjak Cia Sun mencoba untuk mengobati gadis itu dan
terpaksa dia berhenti dahulu untuk menyimpan tenaganya sendiri. Dia melepaskan
kedua tangannya dan Sui Cin pun sadar dari keadaan seperti tidur itu.
Mereka lalu
duduk beristirahat, berhadapan di atas rumput tebal, saling menatap. Melihat
betapa sepasang mata gadis itu memandang kepadanya penuh pertanyaan, Cia Sun
pun menarik napas panjang.
"Cin-moi,
kita harus mengaso dahulu. Sungguh heran, aku belum menemui perlawanan, agaknya
sinkang di dalam tubuhmu sama sekali tidak bangkit. Entah pengaruh racun apa
yang dipergunakan Kiu-bwe Coa-li sehingga bisa melumpuhkan kekuatan dalam
tubuhmu seperti ini."
Gadis itu
memandang wajah yang gagah dan nampaknya sedih itu, dan hatinya terharu. Dia
tidak mengenal pemuda ini, atau lebih tepat lagi, dia sudah lupa lagi siapa
adanya pemuda ini, namun menurut penuturan pemuda ini, di antara mereka
terdapat hubungan dekat dan bahwa pemuda itu adalah putera dari ketua
Pek-liong-pang di Lembah Naga, seorang pendekar!
Dan melihat
sepak terjangnya tadi, memang pemuda ini adalah seorang pendekar yang
mengagumkan, tidak hanya telah menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan
nenek iblis Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi juga bersikap sopan dan mengagumkan
ketika berusaha mengobatinya dengan pengerahan sinkang. Seorang pemuda yang
hebat, dan sinar mata pemuda itu kalau ditujukan kepadanya membuat jantungnya
tergetar karena jelas terasa dan nampak olehnya betapa pemuda ini jatuh cinta
kepadanya, atau mungkin juga sudah sejak dahulu mencintanya.
"Sudahlah,
Sun-twako, biarkan saja. Tidak perlu engkau menghambur-hamburkan tenaga untuk
mencoba mengobatiku. Aku tidak menderita rasa nyeri, hanya lemas dan tak dapat
membangkitkan tenaga sinkangku..."
"Akan
tetapi, engkau tentu sangat menderita. Engkau sakit, mukamu pucat dan matamu
layu, Cin-moi, bagaimana pun juga, aku harus berusaha mengobatimu sampai
sembuh. Setidaknya aku akan mencarikan obat, mencarikan seorang ahli untukmu."
Pada saat
itu, Cia Sun meloncat berdiri dan memandang ke arah pohon-pohon di mana kini
telah berdiri seorang nenek yang memegang sebuah kebutan putih. Karena baru
saja dia berkelahi melawan seorang nenek iblis, maka munculnya nenek ini tentu
saja segera mendatangkan kecurigaan besar dan mengingat bahwa Sui Cin masih
tidak berdaya, dia pun cepat lari menghampiri nenek itu dengan pandang mata
penuh curiga.
Nenek itu
adalah Yelu Kim dan kini tiba-tiba saja sikap nenek ini berubah sama sekali.
Pandang matanya nampak jahat dan kejam, senyumnya pun penuh ejekan. "Orang
muda, kaukah yang tadi bertanding dengan Kiu-bwe Coa-li?"
Cia Sun
mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "Benar sekali, dan sesudah nenek
iblis itu melarikan diri sekarang muncul engkau. Siapakah kau ini, nek, dan ada
hubungan apa engkau dengan Kiu-bwe Coa-li?"
Senyum
mengejek di mulut nenek itu melebar dan pandang matanya nampak heran dan tidak
percaya. "Engkau yang semuda ini mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li?"
"Apa
bila nenek iblis itu tidak melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tewas di
tanganku. Seorang manusia berwatak iblis seperti dia memang sudah sepatutnya
dibasmi dari muka bumi. Dan engkau, siapakah engkau, dan apa maksudmu muncul di
sini?"
"Aku
tidak percaya bahwa engkau mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li, dan aku datang
untuk mencoba apakah kepandaianmu benar-benar sehebat itu." Berkata
demikian, nenek itu langsung saja menubruk ke depan sambil mengelebatkan
kebutannya. Ujung kebutan yang menjadi kaku meluncur dan menotok ke arah tiga
jalan darah pada dada, leher dan pundak Cia Sun secara bertubi-tubi.
"Hemm,
kiranya engkau sebangsa nenek iblis itu!" bentak Cia Sun yang cepat
mengelak dan dia pun membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang ampuh.
Melihat
tamparan yang mengandung hawa pukulan yang sangat dahsyat ini, nenek Yelu Kim
terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa memang pemuda ini lihai sekali.
Tidaklah mengherankan kalau Kiu-bwe Coa-li sampai melarikan diri dalam keadaan
marah-marah sehingga hampir menubruknya. Ia pun menggunakan kelincahan gerakan
tubuhnya untuk berloncatan dan mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan
cambuknya.
Beberapa
kali nenek itu mengelebatkan kebutannya dan beberapa kali pula Cia Sun harus
kehilangan lawannya. Pemuda ini terkejut sekali, apa lagi ketika melihat nenek
itu sudah berada dalam jarak empat lima tombak di sebelah depan. Dia mengejar
lantas berkelahi lagi, akan tetapi nenek itu sering kali berkelebatan lenyap
sehingga tanpa diketahuinya, Cia Sun sudah terpancing meninggalkan tempat di
mana Sui Cin duduk bengong tadi.
Gadis ini
merasa gelisah karena dia tidak dapat membantu Cia Sun menghadapi nenek yang
nampaknya juga lihai sekali itu. Makin gelisah rasa hati Sui Cin melihat betapa
kini Cia Sun yang masih berkelahi melawan nenek aneh itu, sudah lenyap di
sebuah tikungan, terhalang oleh pohon-pohon. Dia cepat melangkahkan kaki untuk
mengejar karena walau pun dia sendiri tak berdaya, tidak mampu membantu karena
tenaganya belum pulih, kaki tangannya masih terasa lemas, akan tetapi dia harus
menyaksikan bagaimana kelanjutan dan akhir dari perkelahian itu.
Tiba-tiba
terdengar suara gerengan dan tahu-tahu muncullah seekor harimau yang sangat
besar, yang melompat keluar dari balik semak-semak belukar. Harimau itu
demikian besar dan nampak garang sekali sehingga Sui Cin berdiri terpukau
dengan mata terbelalak dan muka pucat. Apa bila dia berada dalam keadaan biasa,
tentu dia akan mampu melawan binatang ini mengandalkan kepandaiannya. Akan
tetapi dalam keadaan kehilangan tenaga itu, mana mungkin ia mampu menyelamatkan
diri?
Ia mencoba
untuk membalikkan tubuh dan lari, akan tetapi tiba-tiba harimau itu menubruk
dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Sui Cin menjadi panik sekali. Rasa
ngeri mencekam hatinya dan dia berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang
berada di samping kirinya. Dia berhasil naik dahan pohon, akan tetapi harimau
itu mengaum dan menubruk pohon. Pohon yang batangnya sebesar paha manusia itu
roboh, membawa Sui Cin roboh bersama ke bawah!
"Ahhhh...!"
Demikian ngeri rasa hati gadis yang biasanya amat gagah perkasa ini dan dia pun
jatuh pingsan.
Sementara
itu, sesudah mendengar auman-auman harimau itu, nenek pemegang kebutan
tersenyum dan berkata, "Orang muda, cukuplah kita bermain-main. Ilmu
silatmu memang hebat sekali, membuat aku kagum bukan main. Nah, selamat
tinggal!" Dia menggerakkan kebutannya dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap
dari hadapan Cia Sun.
Pemuda ini
tercengang, mencari ke sana sini dengan pandangan matanya, akan tetapi sia-sia
belaka, dia tidak dapat melihat kembali nenek itu. Maka dia pun cepat kembali
ke tempat tadi sebab dia pun sempat mendengar suara auman-auman harimau tadi
sehingga amat mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.
Ketika tiba
di tempat tadi, di mana dia meninggalkan Sui Cin untuk melawan nenek itu, dia
terkejut bukan main. Sui Cin tidak ada lagi di situ.
"Cin-moi...!"
Dia berseru memanggil, mengharap kalau-kalau gadis itu bersembunyi ketika
mendengar suara auman harimau. Tapi panggilannya yang dilakukan dengan
pengerahan khikang itu hanya bergema dari jauh, tidak ada jawaban sama sekali.
"Cin-moi,
di mana kau...?" Dia berteriak lagi dan mulai mencari ke sana sini dengan
hati khawatir. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan bayangan atau pun jejak gadis
itu.
Akhirnya dia
menghentikan usahanya mencari lantas duduk termenung di atas sebongkah batu
besar, alisnya berkerut. Timbul kecurigaannya kepada nenek tadi. Nenek tadi
adalah seorang yang amat pandai dan biar pun ilmu silatnya tidak begitu hebat,
juga tenaganya tidak terlalu kuat baginya, namun nenek itu mempunyai ilmu yang
luar biasa, yaitu pandai menghilang. Ataukah itu hanya semacam ilmu sihir saja?
Dan nenek
itu seperti sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Kemudian setelah
terdengar auman harimau, nenek itu pun langsung menghilang! Kini dia teringat
bahwa agaknya nenek itu memang sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin.
Jelas bahwa ada hubungan antara hilangnya gadis itu dengan si nenek aneh.
Cia Sun
mengepal tinju kemudian bangkit berdiri. Sinar matanya tajam dan keras.
"Nenek siluman, sampai di mana pun juga, aku akan mengejarmu!"
Dia pun
pergi meninggalkan tempat itu, memulai tugasnya untuk menyelidiki dan mencari
Sui Cin dengan jalan mencari menek itu karena dia merasa yakin bahwa Sui Cin
tentu diculik oleh nenek itu, mungkin dilakukan oleh pembantu-pembantunya.
***************
Daerah
pegunungan itu penuh dengan batu-batu karang yang besar-besar, seperti barisan
bukit-bukit kecil atau jajaran bangunan-bangunan kuno yang bentuknya aneh-aneh.
Dan di daerah ini banyak terdapat goa-goa alam yang besar dan bentuknya juga
aneh-aneh. Di atas sebuah di antara bukit-bukit batu itu, terdapat sebuah goa
yang amat besar.
Pintu goa
ini luas, besar dan tinggi, juga amat bersih, tanda bahwa goa itu dirawat
dengan baik. Lantainya amat rata dan halus, dan dari luar goa sudah nampak
bahwa di sebelah dalam goa itu memang dijadikan tempat tinggal manusia, nampak
tirai-tirai kain di balik pintu.
Nenek itu
duduk bersila di atas sebuah tikar yang terbentang di ruangan depan goa. Dia
adalah nenek Yelu Kim. Pakaiannya tetap bersih dan rapi dan wajahnya berseri.
Tangan kaanannya membawa kebutan bulu putih dan di hadapannya terdapat sebuah
guci yang mengkilap dan indah, entah terisi apa karena tertutup.
Terdengar
auman harimau dari depan goa. Untuk mencapai goa itu orang harus mendaki dari
bawah. Nenek itu memandang ke bawah dan mengucapkan kata-kata dalam Bahasa
Mongol untuk menyuruh harimau peliharannya itu agar mendaki naik dan membawa
gadis yang diseretnya itu.
Harimau
besar itu mendaki naik, menyeret tubuh Sui Cin dengan menggigit punggung baju
gadis itu. Gadis itu masih dalam keadaan pingsan dan agaknya tidak sukar bagi
harimau itu untuk menyeret tubuh Sui Cin menaiki anak tangga menuju mulut goa
di mana nenek itu menanti dengan wajah berseri.
"Letakkan
dia di sini, Houw-cu," kata nenek itu sambil menudingkan kebutannya.
Harimau itu
membawa Sui Cin ke hadapan si nenek, lantas melepaskannya di atas lantai. Tubuh
Sui Cin rebah terlentang.
"Nah, kini
kau boleh pergi mengaso, Houw-cu," kata pula nenek Yelu Kim dan harimau
itu mengeluarkan suara mengaum panjang lalu berlari pergi menuruni anak tangga.
Nenek itu
membuka baju atas Sui Cin kemudian melakukan pemeriksaan, meraba sana sini,
mengetuk sana sini dan akhirnya ia menutupkan lagi baju gadis itu dan
mengangguk-angguk.
"Sungguh
keji sekali Kiu-bwe Coa-li, meracuni seorang anak perempuan dengan racun ular
bunga kuning, racun yang melumpuhkan kaki tangannya."
Kemudian,
dengan gerakan ringan nenek itu mengangkat tubuh Sui Cin, dipondongnya tubuh
itu dan dibawanya masuk ke dalam goa. Ternyata goa itu amat lebar dan di
sebelah dalamnya terdapat sebuah kamar tidur dan sebuah ruangan yang sangat
luas. Nenek itu merebahkan tubuh Sui Cin di atas pembaringan kayu yang berada
di sudut ruangan luas itu. Kemudian dia membuat api di tungku dan mulai memasak
obat.
Sebelum obat
itu siap, Sui Cin sadar dari pingsannya. Dia mengeluh dan seketika teringat
akan harimau itu, maka dia segera bangkit duduk dan matanya terbelalak
memandang ke kanan kiri. Tidak dilihatnya ada harimau di sana sehingga
melegakan hatinya. Akan tetapi ketika ia melihat nenek yang sedang memasak
obat, ia cepat turun dari pembaringan dan alisnya berkerut. Tentu saja ia
mengenal nenek yang tadi berkelahi melawan Cia Sun itu.
"Nenek
iblis! Apa yang sudah kau lakukan terhadap Sun-twako?" bentaknya marah,
akan tetapi perasaannya menjadi gentar ketika dia mencoba mengerahkan tenaga,
masih saja tidak dapat membangkitkan tenaganya.
Yelu Kim
masih duduk berjongkok di depan tungku api, menoleh lantas tersenyum.
"Ahh, engkau telah sadar, nona? Aku dan Houw-cu sudah banyak mengejutkan
hatimu, bukan? Lupakanlah itu, karena aku berniat baik terhadap dirimu."
"Hemmm,
siapa yang mau percaya omongan seorang nenek iblis sepertimu? Di mana Sun-twako
dan mau apa engkau membawaku ke tempat ini?"
Nenek itu
tersenyum dan sebelum menjawab, ia mengambil tempat obat dari atas api lalu
menuangkan air obat yang berwarna coklat serta mengebulkan uap panas itu ke
dalam sebuah mangkok. Bau sedap harum mencapai hidung Sui Cin, bau masakan
obat.
"Aku
tidak menyalahkan engkau kalau terjadi salah pengertian. Dengarlah, nona, aku
Yelu Kim jangan kau samakan dengan Kiu-bwe Coa-li."
"Kalau
tidak sama, mengapa engkau menyerang Sun-twako?"
"Memang
aku sengaja memancing dia meninggalkanmu agar mudah bagi Houw-cu untuk
membawamu ke sini."
Mata Sui Cin
terbelalak. "Apa? Harimau itu adalah binatang peliharaanmu dan dia kau
suruh datang menculikku?"
Nenek itu
masih tersenyum dan mengangguk. "Aku tidak berniat jahat, anakku yang
baik."
Sui Cin
mendengus marah. "Tidak berniat jahat tetapi menyuruh harimaumu
mengejutkan hatiku dan menculikku, dan engkau sendiri menyerang serta memancing
Sun-twako agar meninggalkan aku? Bagus, kau kira ada orang yang mau percaya
omonganmu ini?"
"Terserah
padamu, nona. Akan tetapi, kalau aku berniat buruk, apakah kau kira kau masih
hidup sekarang ini, dan juga temanmu itu masih hidup?"
"Di
mana Sun-toako?"
"Aku
meninggalkan dia. Dia terlampau kuat dan aku tidak dapat bertahan lebih lama
lagi. Setelah engkau dibawa harimauku, aku pun pergi meninggalkannya."
"Tetapi...
tetapi apa artinya semua ini dan apa kehendakmu melakukan hal itu terhadap
kami?"
"Sabarlah
dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Terserah kepadamu apakah engkau akan
percaya kepadaku atau tidak, akan tetapi sesungguhnya aku tidak mempunyai niat
buruk terhadap dirimu atau terhadap temanmu yang gagah perkasa itu. Namaku Yelu
Kim dan di daerah Mongol ini aku dihormati orang, bahkan dianggap sebagai orang
tua yang patut dimintai nasehat oleh para kepala suku."
Nenek itu
mulai bercerita dan ia merasa heran melihat betapa gadis ini sama sekali tidak
kaget saat mendengar namanya. Timbul keinginan hatinya mengenal siapa adanya
gadis ini dan apakah ia salah pilih, mengira gadis ini adalah seorang yang
memiliki kepandaian silat tinggi dan kelak boleh diandalkan.
"Nona,
engkau sendiri siapakah, siapa namamu dan siapa pula gurumu, mengapa engkau
sampai berada di daerah ini dan keracunan?"
Melihat
sikap orang yang begitu ramah dan halus, maka berkuranglah kecurigaan Sui Cin.
Bagaimana pun juga, dari sikap serta bicaranya, sukarlah menyamakan nenek ini
dengan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li. Dia lalu menarik napas panjang. Bagaimana
pun juga, dalam keadaan kehilangan tenaga ini dia tidak akan mampu menjaga diri
dan keselamatannya berada di tangan nenek ini, maka sebaiknyalah kalau dia
bersikap halus mengimbangi sikap nenek itu.
"Ahh,
aku menjadi bingung kalau ditanya begitu, nek. Ketahuilah, aku sudah lupa sama
sekali tentang keadaan diriku atau riwayatku. Karena aku kehilangan ingatan
inilah maka Kiu-bwe Coa-li dapat menipuku, memberiku minum racun itu yang
melumpuhkan kaki dan tanganku. Sampai sekarang aku tidak ingat lagi siapa
adanya diriku, apa lagi nama orang tua atau guruku, bahkan aku sendiri tidak
tahu untuk apa aku berada di daerah ini..."
Mendengar
ucapan itu dan melihat sikap yang sedih dari Sui Cin, nenek itu terkejut dan
tertarik sekali. Ia memandang tajam penuh selidik. "Apa? Engkau kehilangan
ingatanmu? Bagaimana bisa terjadi demikian dan kapan terjadinya?"
"Bagaimana
aku tahu, nek? Yang aku ingat hanyalah bahwa kepalaku terpukul batu yang
dilontarkan seorang musuh yang lihai. Aku lupa segala tapi ada dorongan di
dalam hatiku untuk pergi keluar Tembok Besar dan di sinilah aku. Aku bertemu
dengan Kiu-bwe Coa-li yang sejak dahulu menjadi musuh besarku. Akan tetapi aku
tidak mengenalnya dan baru aku tahu sesudah dia memberi minum racun dan aku
terjatuh ke dalam tangannya, aku ditawan dan dia mengaku bahwa dia adalah musuh
besarku. Hampir aku tewas olehnya, akan tetapi untung muncul Cia Sun yang
menolongku. Menurut Sun-twako, antara aku dan dia masih ada hubungan dekat,
akan tetapi aku pun sudah tidak ingat lagi siapa dia. Dia berusaha mengobatiku
dari pengaruh racun yang melumpuhkan, kemudian engkau muncul..."
Nenek itu
tertarik sekali dan mengangguk-angguk. "Ah, jika begitu, selain
menyembuhkan engkau dari keracunan, aku pun harus berusaha membangkitkan
kembali ingatanmu itu, nona."
Sui Cin
memandang tajam. "Tetapi mengapa, nek? Mengapa engkau hendak menolongku
dengan cara seperti itu? Kenapa memisahkan aku dari Sun-twako dan menyuruh
harimau peliharaanmu itu untuk membawaku ke sini?"
"Nona,
di tengah jalan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan tanpa sebab apa pun iblis
itu menyerangku. Akan tetapi akhirnya dia tewas oleh ulahnya sendiri, terjatuh
ke dalam jurang. Lalu ketika aku melanjutkan perjalanan, aku melihat engkau
sedang diobati oleh pemuda itu. Aku dapat menduga bahwa engkau tentu terluka
oleh Kiu-bwe Coa-li. Aku merasa kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu, akan
tetapi aku juga dapat menduga bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat tinggi,
dan agaknya hanya engkaulah yang akan mampu membantuku menyelesaikan sebuah
persoalan. Akan tetapi aku tidak mau kalau pemuda itu mencampurinya, maka aku
lalu menggunakan akal untuk memancingnya agar pergi meninggalkanmu dan aku
menyuruh Houw-cu untuk membawamu ke sini."
Sui Cin
mengerutkan alisnya. Tahulah ia kini bahwa nenek ini hendak menolongnya, akan
tetapi juga hendak minta bantuannya. Pertolongan yang bersyarat, pikirnya.
"Nenek
yang baik, hendaknya engkau ketahui lebih dahulu bahwa kalau minta bantuanku
untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi dan biarlah aku tidak menerima
pengobatan darimu!"
Nenek itu
tertawa. "Nona, sekali lagi kukatakan bahwa jangan engkau menyamakan aku
dengan mendiang Kiu-bwe Coa-li."
"Sungguh
aneh sekali. Engkau yang dapat mengalahkan bahkan membunuh seorang iblis
seperti Kiu-bwe Coa-li, masih mengharapkan bantuanku. Apakah yang dapat aku
lakukan untuk seorang sakti seperti engkau?"
"Sudahlah,
tidak perlu engkau membuang banyak tenaga. Mari kuobati engkau lebih dulu, baru
nanti kuceritakan apa yang harus kau lakukan untukku. Mari, kau minumlah obat
ini maka racun ular itu akan menjadi tawar dan kelumpuhanmu akan lenyap,
tenagamu akan pulih kembali."
"Tapi...
tapi engkau belum menceritakan syaratmu...," Sui Cin meragu.
"Tidak
usah. Biar kusembuhkan dulu engkau, baru kemudian kuceritakan dan andai kata
engkau menganggap syarat itu terlalu berat atau tidak berkenan di hatimu,
engkau boleh tidak usah melakukannya. Nah, sekarang kau tahu bahwa aku tidak
memiliki niat buruk. Minumlah dan engkau akan sembuh."
Sui Cin yang
tahu bahwa kalau dia tidak minum obat itu, keselamatannya tentu terancam maut,
maka dia pun lalu nekat. Memang benar ucapan nenek ini, kalau nenek ini berniat
buruk dan hendak membunuhnya, apa sukarnya? Apa perlunya nenek ini bersusah
payah membawanya ke sini dan memberinya obat kalau maksudnya buruk?
Dia lantas
menerima mangkok itu dan minum isinya. Cairan berwarna coklat itu rasanya
tidaklah seburuk rupanya. Baunya sedap dan rasanya agak manis, maka tanpa
ragu-ragu lagi diminumnya obat itu sampai habis.
Tiba-tiba
saja Sui Cin merasa betapa dalam perutnya bergerak-gerak kemudian terdengar
suara berkeruyukan seperti perut yang lapar sekali. Ia terkejut dan memandang nenek
itu dengan tajam. Akan tetapi nenek Yelu Kim tersenyum.
"Nona,
kau duduklah bersila dan cobalah perlahan-lahan menghimpun tenagamu. Jangan
tergesa-gesa, apa bila pintu pusar sumber tian-tian telah terbuka,
perlahan-lahan salurkan tenagamu supaya tidak merusak jaringan syaraf yang
penting. Nah, mulailah. Lebih baik pejamkan matamu."
Sui Cin
menurut dan ia pun bersila. Makin lama makin keras gerakan dalam perutnya dan
perlahan-lahan dia merasa betapa hawa panas bangkit dari pusarnya serta ada
kekuatan yang naik. Dia lalu menguasai tenaga itu dan perlahan-lahan
menyalurkannya ke seluruh tubuh, perlahan-lahan dan hati-hati sampai dia merasa
biasa kembali dengan tenaga sakti yang tadi seperti tenggelam itu.
Tak lama
kemudian dia merasa segar dan sehat kembali dan dibukanya kedua matanya. Nenek
Yelu Kim berdiri memandang kepadanya dengan senyum ramah. Maka lenyaplah
keraguan dari hati Sui Cin dan dia pun cepat bangkit dan memberi hormat kepada
wanita itu, malu kepada diri sendiri mengingat betapa ia tadi bersikap kasar
dalam keraguannya.
"Harap
locianpwe sudi memaafkan kekasaranku tadi dan terima kasih atas pertolongan
locianpwe."
Nenek itu
tersenyum. "Nanti dulu, aku ingin melihat apakah aku tidak salah menilai
orang. Nona, sambutlah seranganku ini!" Dan kebutan di tangannya bergerak
menyambar, ujung kebutan melakukan totokan kilat ke arah pundak Sui Cin.
Gadis ini
terkejut namun otomatis dia bergerak mengelak dan setelah dia mengerti bahwa
nenek itu hendak mengujinya, maka dia pun lantas bergerak lincah menghadapi
serangan kebutan bertubi-tubi itu, bahkan berani menangkis menggunakan tenaga
sinkang-nya.
"Plakkk...!"
Tangkisannya
itu membuat Yelu Kim terhuyung ke belakang dan nenek ini menjadi makin girang.
Dia lalu mempercepat gerakan kebutannya, akan tetapi segera dia merasa pusing
sesudah Sui Cin menggunakan ginkang-nya yang istimewa.
Nenek ini
dapat menghilang dengan bantuan sihirnya, akan tetapi sekarang dia menjadi
bingung ketika menghadapi kecepatan Sui Cin, karena kadang-kadang bayangan
gadis itu seperti lenyap dan tahu-tahu telah berada di samping atau
belakangnya. Ia melompat mundur dan memandang kagum.
"Cukup,
cukup! Aihh, girang hatiku karena aku sama sekali tidak kecewa. Engkau bahkan
melampaui semua harapan dan dugaanku, nona."
"Ah,
locianpwe terlalu memuji. Sekarang harap locianpwe ceritakan, bantuan apakah
yang dapat kulakukan untukmu!"
Nenek itu kembali
tersenyum. "Nanti dulu, nona, jangan tergesa-gesa. Urusan itu penting
sekali, namun aku tidak mau bantuan orang untuk mewakiliku tanpa kukenal benar
siapa adanya orang itu. Karena itu, biarlah aku akan mencoba untuk menyembuhkan
dulu luka di dalam kepalamu yang membuatmu kehilangan ingatan itu."
Sepasang
mata Sui Cin terbelalak dan wajahnya berseri saking gembiranya. "Locianpwe
dapat menyembuhkan aku dan mengembalikan ingatanku yang hilang?" tanyanya
penuh harapan.
Nenek itu
mengangguk. "Mudah-mudahan demikian supaya tak percuma sebutan semua
rakyat Mongol yang menyebut aku Dewi Penyelamat. Marilah masuk ke dalam kamarku
dan aku akan memulai dengan pengobatan itu, nona. Akan tetapi engkau harus
percaya penuh kepadaku dan bersabar karena mengobati bagian kepala harus sangat
hati-hati dan teliti."
Demikianlah,
nenek Yelu Kim yang ternyata memiliki ilmu pengobatan yang sangat tinggi itu
memeriksa kepala Sui Cin dan mulai memberi pengobatan dengan urutan-urutan pada
jalan darah dan juga memberi obat minum yang rasanya amat pahit. Namun Sui Cin
yang sudah menaruh kepercayaan penuh kepada nenek yang amat ramah itu mentaati
semua petunjuknya dengan sabar.
Kemudian dia
juga melihat betapa nenek ini dibantu oleh beberapa orang pelayan wanita Mongol
yang datang setiap kali tenaga mereka diperlukan dan agaknya mereka itu tinggal
di luar goa yang hanya ditempati nenek Yelu Kim seorang diri saja. Juga ia
melihat betapa harimau besar yang dulu pernah mengejutkannya itu kiranya adalah
seekor binatang yang amat jinak apa bila berada di dekat nenek Yelu Kim. Bahkan
dia sendiri mulai bersababat dengan binatang itu yang agaknya sekarang telah
mengerti bahwa dia bukanlah seorang musuh melainkan seorang kawan baik.
***************
Hui Song
memasuki kota kecil yang menjadi benteng terakhir dari pasukan pemerintah di
daerah utara. Benteng itu berada di dekat Tembok Besar, di sebelah selatan
tembok dan penduduknya cukup banyak karena kota San-hai-koan ini benar-benar
merupakan kota dekat laut dan gunung. Penghuninya sebagian besar adalah
orang-orang Han utara, akan tetapi banyak juga terdapat orang-orang Mongol dan
Mancu, yaitu para pedagang yang datang dari luar Tembok Besar, karena kota
benteng ini merupakan pertahanan terakhir dari pemerintah Kerajaan Beng.
Pada waktu
itu, kekuasaan Kerajaan Beng meliputi daerah yang cukup luas. Ke selatan sampai
lautan dan propinsi paling selatan adalah Kiang-si dan Yun-nan, ke barat hanya
sampai Se-cuan dan Shen-si saja dan ke utara hanya sampai batas Tembok Besar.
Tentu saja luasnya wilayah ini merupakan warisan atau rampasan dari kekuasaan
Kerajaan Goan atau penjajah Mongol yang memang berambisi untuk memperluas
wilayah.
San-hai-koan
merupakan kota penghubung antara Tiongkok dengan daerah Mongol dan Mancu, dan
menjadi satu di antara benteng-benteng terakhir di utara, juga merupakan
benteng terakhir dan terkuat di daerah timur laut. Karena itu, benteng ini
diperkuat dengan pasukan yang cukup besar, dipimpin oleh seorang gubernur yang
dibantu oleh seorang panglima perang.
Karena
letaknya di tepi lautan, di tepi teluk besar Po-hai, maka sebagian besar dari
pada penghuninya adalah para pelaut dan nelayan yang sudah biasa bekerja keras,
di samping banyak pula yang menjadi pedagang karena ramainya lalu lalang di
daerah perbatasan ini. Kotanya cukup besar, banyak terdapat rumah makan serta
rumah penginapan. Akan tetapi penjagaan kota itu sangat ketat dan para penjaga
keamanan selalu mengadakan pemeriksaan untuk mencegah terjadinya kerusuhan di
kota benteng itu.
Ketika Hui
Song memasuki kota itu, dia melihat banyak orang, kesemuanya pria, menuju ke
satu jurusan. Dia sedang melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap diri Sui
Cin, maka melihat ramainya orang pergi ke jurusan tengah kota, dia pun segera
menyusup di antara banyak orang sambil bertanya-tanya. Siapa tahu dia akan
bertemu dengan Sui Cin di pusat keramaian, karena dia tahu bahwa Sui Cin suka
sekali menyamar sebagai pria.
Dia
tersenyum geli bila mana teringat tentang hal itu. Betapa bodohnya dia dahulu,
kena dipermainkan gadis itu yang menyamar sebagai laki-laki dan dia sama sekali
tidak tahu bahwa 鈥榩emuda jembel鈥? yang lucu dan jenaka itu adalah Sui
Cin! Akan tetapi sekarang, biar gadis itu akan menyamar seribu kali, dia pasti
akan dapat mengenalnya.
"Sobat,
ada peristiwa apakah maka orang-orang begini banyak berbondong-bondong ke suatu
arah? Ke manakah kalian hendak pergi?" tanyanya kepada seorang laki-laki
brewok yang wajahnya membayangkan keramahan.
Orang itu
memandang kepada Hui Song dan memicingkan matanya. "Hemmm, agaknya engkau
baru datang dari selatan, ya?"
"Benar,"
Hui Song menjawab terus terang, "aku sedang melancong."
Si brewok
itu menggeleng kepala. "Aihh, melancong dalam waktu begini, sungguh sangat
berbahaya."
"Ehh,
ada apakah?"
"Negara
sedang tidak aman. Didesas-desuskan orang bahwa akan ada pemberontakan besar.
Karena itu, sejak sepekan ini Kok-taijin dan Ji-ciangkun mengadakan sayembara
penerimaan perwira-perwira baru, juga para prajurit cadangan untuk menjaga
kalau-kalau benteng ini diserang musuh."
"Ahh,
begitukah? Sayembara apakah itu?"
"Tentu
saja semacam pibu (adu kepandaian silat). Setiap orang yang bisa mengalahkan
pengujinya, akan langsung diterima. Akan tetapi jangan harap untuk dapat
mengalahkan penguji untuk penerimaan calon perwira itu. Kalau hendak masuk
menjadi prajurit, boleh saja karena pengujinya tidak begitu berat. Akan tetapi
penguji para calon perwira itu, wah, luar biasa sekali. Raksasa itu tidak
terkalahkan sehingga belum ada seorang pun yang lulus ujian dalam sepekan ini!
Dan hari ini kami semua ingin melihat apakah masih ada orang yang berani
menghadapi raksasa itu."
Hati Hui
Song tertarik sekali dan dia pun ikut bersama rombongan orang yang berduyun
menuju ke alun-alun, semacam lapangan rumput yang luas dan yang berada di
tengah kota. Kota itu memang merupakan kota tentara, dikurung oleh tembok
benteng yang tinggi dan kokoh kuat, dan di dalamnya terdapat pula
lapangan-lapangan untuk latihan berbaris dan olah raga bagi para prajurit.
Ternyata di
tempat itu sudah terdapat banyak orang. Mereka berdiri mengepung sebuah
panggung yang tingginya setombak dan di belakang panggung itu ada sebuah
bangunan kecil di mana duduk seorang pembesar sipil serta seorang pembesar
militer yang dijaga oleh belasan orang pengawal yang bersenjata tombak dan
golok. Dan di atas panggung berdiri seorang laki-laki yang tinggi besar.
Hui Song
dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki tenaga yang sangat besar. Dia
sendiri mungkin hanya setinggi leher orang itu dan tubuhnya tidak ada setengahnya
kalau dibandingkan dengan tubuh raksasa itu. Kepalanya gundul, akan tetapi
alisnya tebal dan hitam, kepala itu besar, dengan sepasang telinga yang lebar,
mulut, hidung dan matanya juga besar.
Tubuhnya
yang hanya memakai cawat menutupi pinggul dan selangkangnya itu, kelihatan
menyeramkan. Di bagian dada, lengan, paha dan betis ditumbuhi rambut yang
panjang-panjang seperti monyet. Selain cawat itu, betisnya diikat dengan
semacam tali hitam dan sepatunya berwarna abu-abu. Perutnya besar gendut,
tetapi penuh kekuatan dan nampak keras. Lengan serta kakinya juga penuh dengan
tonjolan dan gembungan otot-otot yang kekar. Pundaknya seperti pundak sapi
jantan.
Pendek kata,
raksasa ini cukup menakutkan bagi siapa pun yang harus menghadapinya sebagai
lawan. Melihat bentuk wajahnya, Hui Song dapat menduga bahwa raksasa itu tentu
bukan Bangsa Han, melainkan suku Mongol atau Mancu. Dan melihat dandanannya
yang hanya mengenakan cawat, dia pun dapat menduga bahwa orang itu tentu ahli
silat yang amat kuat.
Seorang
pengawal yang agaknya bertugas sebagai tukang bicara, dengan suara lantang
berkata sambil berdiri di sudut panggung, "Saudara-saudara sekalian! Bagi
mereka yang masih belum mengenalnya, kami perkenalkan penguji calon perwira
yang diajukan oleh Ji-ciangkun, dan inilah dia jagoan kami, ahli gulat yang
bernama Moghul!"
Pegulat
raksasa itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi hormat ke empat
penjuru, disambut tepuk sorak para penonton yang kagum kepadanya karena selama
ini belum ada seorang pun mengalahkannya. Akan tetapi banyak juga di antara
penonton yang memandangnya penuh kebencian.
"Biarkan
aku maju menghadapinya, paman," kata seorang lelaki berusia tiga puluh
tahun yang berbaju hitam dan nampaknya gagah. Hui Song memperhatikan percakapan
antara orang ini dan seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berada
di tempat itu pula, tidak jauh darinya.
"Ah,
sudahlah, Bian-ji, jangan mencari penyakit. Engkau tidak tahu, selama beberapa
hari ini sudah ada belasan orang-orang gagah yang naik melawannya, hanya untuk
menjadi bulan-bulan dan permainannya, kemudian dilempar ke bawah panggung dalam
keadaan menyedihkan, paling sedikit tentu tulang lengan atau kaki mereka
patah-patah. Dia amat lihai, kuat dan kebal," kata yang tua.
"Akan
tetapi aku tidak takut, paman. Bukankah telah bertahun-tahun aku mempelajari
ilmu silat?" bantah yang muda.
"Ahh,
apa kau kira belasan orang muda yang maju pada hari-hari yang lalu itu pun
bukan ahli-ahli silat? Percuma saja! Begitu tertangkap oleh tangan raksasa itu,
mereka itu satu demi satu tidak mampu berkutik, lalu dibanting, ditekuk dan
dipatah-patahkan tulangnya."
"Saudara-saudara
sekalian," kembali tukang bicara itu berteriak nyaring, "Sampai hari
ini belum ada seorang pun calon perwira yang lulus! Apakah benar di kota kita
ini tidak ada orang gagah? Kami hanya membutuhkan lima sampai sepuluh orang
saja. Dan tidak perlu mengalahkan Moghul, asal mampu bertahan melawan dia
sampai habis terbakarnya satu batang hio saja sudah dianggap lulus. Kami pun
tahu bahwa tidak ada orang yang akan mampu menandingi dan mengalahkan Moghul,
si manusia gajah!"
Ucapan itu
benar-benar merupakan tantangan. Dengan mengatakan pertanyaan apakah di kota
San-hai-koan tidak ada orang gagah, pertanyaan yang sengaja dikeluarkan oleh si
pembicara tadi, maka si pembicara membangkitkan amarah dan penasaran di dalam
hati orang-orang yang merasa mempunyai kepandaian.
"Paman,
aku hendak mencoba...!" Pemuda baju hitam tadi segera melangkah maju dan
mendekati panggung.
"A-bian...
jangan...!" pamannya mencegah, akan tetapi si baju hitam itu sudah
meloncat naik ke atas panggung.
Gerakannya
cukup cekatan ketika meloncat, dan para penonton menyambut penantang pertama
ini dengan sorakan dan tepuk tangan memberi semangat. Si baju hitam itu lantas
menghampiri bawah panggung tempat duduk dua orang pembesar dan memberi hormat.
"Hamba
Kui Bian mohon perkenan paduka untuk mencoba kebodohan hamba."
Ji-ciangkun
memberi isyarat dengan tangannya. "Majulah dan mudah-mudahan engkau dapat
lulus."
Seorang
pengawal telah siap dengan sebatang hio dan dinyalakannya ujung hio itu. Asap
mengepul dan hio itu ditancapkan pada tempat hio yang ditaruh di sudut depan
panggung yang luas tempat bertanding itu. Si baju hitam lantas bangkit dan
menghampiri raksasa. Moghul yang sudah siap dengan kedua tangan bertolak
pinggang dan mulut menyeringai, lagaknya memandang rendah sekali.
Kini si baju
hitam itu menghadapi Moghul dan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah.
Akan tetapi raksasa itu hanya memandang saja dan menyeringai, dan melihat si
baju hitam diam saja, dia pun berkata dengan bahasa Han yang kaku,
"Majulah, hio telah menyala."
Si baju
hitam tiba-tiba berteriak, "Lihat serangan!" dan dia pun menggerakkan
tubuhnya yang meluncur ke depan.
Ternyata dia
menggunakan tendangan dengan tubuh seperti terbang dan kedua kakinya itu
meluncur ke arah dada si raksasa Mongol. Agaknya Moghul tidak menyangka akan
diserang seperti ini, maka dia terkejut sekali dan tidak mampu mengelak atau
menangkis.
"Blukk...!"
Sepasang
kaki itu menghantam dada telanjang itu dengan amat kuatnya dan akibatnya, tubuh
yang besar itu terjengkang ke atas papan panggung, menimbulkan suara berdebuk
nyaring. Sementara itu, si baju hitam sudah berjungkir balik dan tubuhnya sudah
berdiri kembali ke atas papan dengan tegak.
Sorak-sorai
menyambut jatuhnya si raksasa ini dan Hui Song melihat betapa pembesar sipil
yang duduk di atas panggung itu mengangguk-angguk sambil tersenyum girang dan
mengelus jenggotnya. Agaknya pembesar ini amat girang melihat bahwa akhirnya
muncul juga seorang gagah yang dapat merobohkan si raksasa hanya dalam satu
serangan saja. Sementara itu, Ji-ciangkun mengerutkan alisnya, agaknya tidak
senang melihat jatuhnya jagoannya.
Memang tubuh
raksasa Moghul itu kebal. Kiranya tendangan yang amat keras dan sudah membuat
tubuhnya terjengkang itu sama sekali tidak melukainya. Sebelum lawan sempat
menyerang lagi, dia sudah meloncat bangun dan gerakannya ini sungguh
mengherankan. Sukar dapat dipercaya seorang yang segendut dia dapat bergerak
demikian cepatnya.
Dengan
amarah meluap Moghul balas menyerang. Dia mementang sepasang lengannya bagai
seorang jago gulat atau seperti seekor beruang yang hendak menerkam, kemudian
menerjang ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan dan kiri ingin
menangkap kedua pundak lawan.
Akan tetapi
si baju hitam itu cukup gesit. Dengan gerakan yang cepat dia menyelinap di
antara kedua tangan itu dan meloncat ke samping, lantas kembali melayang sambil
dua kakinya menerjang dengan tendangan terbang seperti tadi, akan tetapi sekali
ini dari sisi kanan Moghul. Raksasa ini agaknya kini tahu akan kelihaian lawan,
terutama tendangan terbang yang berbahaya itu. Maka dia pun lalu menangkis
dengan lengan kanannya yang besar.
"Bresss...!"
Dan kembali
raksasa itu terguling. Walau pun dia mampu menangkis, akan tetapi tenaga
tendangan kedua kaki yang dibantu berat badan yang melayang itu agaknya tidak
mampu ditahannya sehingga untuk kedua kalinya dia roboh terpelanting. Agaknya
si baju hitam itu sudah lama mengamati gerakan si raksasa Moghul sehingga tahu
bagaimana cara untuk mengalahkannya, karena itu dia mempergunakan
tendangan-tendangan terbang itu untuk menyerang secara tiba-tiba dan dengan
kekuatan yang amat besar.
Kali ini si
raksasa Mongol itu agak terlambat bangun dan agaknya kesempatan ini hendak
dipergunakan oleh si baju hitam untuk mencari kemenangan. Dia pun sudah
meloncat ke depan untuk mengirim tendangan beruntun. Akan tetapi, tiba-tiba
saja Moghul mengulur tangan dan dengan kecepatan kilat, jari-jari tangannya
yang besar itu sudah menangkap kaki kiri lawan!
Si baju
hitam mengeluarkan seruan kaget, kakinya terasa nyeri seperti dijepit jepitan
baja dan ketika Moghul yang masih mencengkeram kakinya itu meloncat bangun,
tubuh si baju hitam hampir terbanting dan kakinya terangkat pula ke atas. Akan
tetapi, selagi Moghul menyeringai girang ketika melihat akalnya yang pura-pura
terlambat bangun tadi ternyata berhasil, tiba-tiba saja si baju hitam
mengeluarkan bentakan keras lantas kaki kanannya menyambar ke atas, ke arah
muka lawan.
Moghul
terkejut. Kalau hanya tubuhnya yang ditendang, dia mampu menerimanya dengan
lindungan kekebalannya. Akan tetapi sekarang yang diserang adalah wajahnya, di
mana terdapat bagian-bagian yang tak mungkin bisa dibuat kebal seperti mata dan
hidung. Dan tendangan itu cepat bukan main datangnya, lagi pula tidak
terduga-duga.
"Desss...!"
Cengkeraman
tangan pada kaki kiri si baju hitam itu terlepas lantas Moghul terhuyung ke
belakang, sepasang tangannya menutupi mukanya. Hidungnya mengeluarkan darah
yang cukup banyak. Kembali terdengar sorak-sorai menyambut kemenangan si baju
hitam ini dan juga Kok-taijin tersenyum girang, akan tetapi Ji-ciangkun
menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut.
Akan tetapi
Moghul belum kalah karena dia hanya menderita luka ringan saja, berdarah pada
hidungnya. Dia menekan batang hidungnya dan darah itu pun berhenti mengalir.
Kini matanya agak kemerahan dan mulutnya membayangkan kemarahan besar.
Dan hio yang
bernyala itu pun belum padam, baru terbakar separuhnya. Dengan demikian berarti
bahwa si baju hitam belum menang. Menurut peraturannya, jika dia dapat bertahan
sampai hio itu habis terbakar, atau jika dia dapat merobohkan Moghul sampai si
raksasa itu mengaku kalah, barulah calon perwira itu dinyatakan menang.
Kini Moghul
menerjang maju dengan kedua lengan bergerak mencengkeram dari atas ke bawah.
Melihat serangan yang ganas ini, si baju hitam kembali menyambutnya dengan
tendangan. Agaknya si baju hitam itu tak memiliki akal lain kecuali hendak
mengalahkan lawannya dengan tendangan-tendangannya yang memang ampuh. Dia tidak
tahu bahwa selain kebal dan bertenaga besar, Moghul juga memiliki kecerdikan.
Begitu
melihat lawan menyambutnya dengan tendangan, Moghul juga ikut menggerakkan
kakinya ke depan dan menerima tendangan kaki kanan lawan itu dengan kaki
kanannya sendiri. Dua batang kaki menyambar, sebatang terlampau kecil
dibandingkan dengan kaki Moghul.
"Bresss...!"
Dua batang
kaki itu bertemu dan kini tubuh si baju hitam yang terpelanting keras, lantas
terguling-guling di atas papan panggung. Semua penonton terdiam, sedangkan
Kok-taijin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song mengerutkan alisnya, bukan karena
kekalahan si baju hitam, melainkan akibat dia melihat betapa si raksasa itu
curang. Mungkin hanya dia yang tahu, juga tentunya si baju hitam, bahwa di
sebelah dalam kain yang dilibat-libatkan di betis raksasa itu, yang diikat
dengan tali-temali, tersembunyi perisai baja!
Tentu saja
kaki si baju hitam yang terdiri dari kulit daging dan tulang, terasa nyeri
bukan kepalang bertemu dengan kaki besar yang dilindungi baja ini. Ketika si
baju hitam dapat bangkit berdiri, dia agak terpincang. Akan tetapi dia masih
belum mau menerima kalah dan sudah menyerang lagi dengan layangan kedua kaki
meluncur ke depan. Agaknya dia tetap hendak mengalahkan lawan dengan tendangan
terbang seperti tadi.
Si raksasa
menyeringai. Sekarang dia berdiri dengan kedua kaki terkangkang lebar, tubuh
direndahkan, dan kedua tangannya yang besar itu melindungi mukanya. Tubuhnya
kokoh kuat seperti batu karang dan memang kali ini dia sudah siap-siap
menghadapi tendangan terbang yang lihai itu. Dia tidak memandang rendah lagi
tendangan itu dan mengerahkan tenaga untuk memasang kuda-kuda yang kokoh kuat.
Kedua kaki si baju hitam itu datang menyambar dengan tumbukan keras mengenai
dada yang bidang dari Moghul.
"Bresss...!"
Kali ini
tubuh Moghul hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi sebaliknya tubuh si baju
hitam terlempar ke belakang lantas terbanting keras. Dan sebelum si baju hitam
sempat melompat bangun, tahu-tahu Moghul sudah melangkah lebar menghampirinya
dan begitu tubuh si baju hitam bangkit, Moghul lalu mengirim tendangan! Agaknya
raksasa ini masih marah sebab tadi beberapa kali menjadi bulan-bulan tendangan
yang membuatnya roboh, maka kini dia hendak membalas dengan tendangan pula.
Melihat
tendangan yang menyambar ke arah perutnya, si baju hitam yang tidak sempat
mengelak itu terpaksa menggunakan lengan tangan menangkis keras.
"Dukkk...!"
Si baju
hitam mengeluh kesakitan dan terguling. Tulang lengan yang menangkis itu patah
begitu bertemu dengan sepatu besar si raksasa. Hui Song yang mendengarkan
dengan seksama ketika terjadi pertemuan antara lengan dan sepatu itu, mengerti
bahwa sepatu itu pada bagian dalamnya juga berlapis baja!
Kini Moghul
mendesak terus dengan tendangan-tendangannya. Si baju hitam yang sudah patah
tulang lengannya, terhuyung-huyung dan sebuah tendangan yang keras mengenai
lututnya, membuat dia terpelanting. Moghul cepat menghampirinya, lantas
menggunakan kedua kakinya bergantian menginjak kedua kaki si baju hitam.
Si baju
hitam berteriak kesakitan dan ternyata tulang kedua kakinya itu sudah
retak-retak akibat diinjak oleh Moghul. Sambil tertawa-tawa Moghul sekali lagi
menendang dan tubuh yang sudah terkulai itu terlempar ke bawah panggung,
menimpa para penonton yang kini terdiam dan terbelalak ngeri menyaksikan betapa
Moghul menyiksa korbannya. Ada pula beberapa orang yang menang bertaruh
langsung bersorak girang memuji dan menyambut kemenangan raksasa Moghul.
Memang di
antara para penonton banyak pula yang mengadakan pertaruhan dalam setiap
pertandingan dan sekarang orang-orang yang bertaruh memegang Moghul berani
melipat gandakan taruhannya dengan satu berbanding tiga! Agaknya mereka sudah
merasa yakin benar bahwa tidak ada yang akan mampu lulus jika harus berhadapan
dengan Moghul!
Setelah si
baju hitam itu kalah dan diusung pergi oleh pamannya, muncul pula beberapa
orang pemuda berturut-turut, mencoba peruntungan mereka. Akan tetapi, mereka
itu satu demi satu dirobohkan oleh Moghul dengan tulang kaki atau tangan
patah-patah. Agaknya si raksasa itu semakin lama semakin kuat saja sehingga
berturut-turut, bersama si baju hitam, sudah ada lima orang calon yang dirobohkan
dan terpaksa digotong pergi dalam keadaan pingsan dan tulangnya patah-patah.
Keadaan
menjadi sunyi dan semua penonton mengerutkan alisnya, kecuali mereka yang
menang bertaruh. Si tukang bicara sudah kembali berteriak-teriak melakukan
tugasnya, menantang dan menganjurkan orang-orang gagah untuk maju.
"Saudara-saudara
yang gagah perkasa, silakan, siapa mau maju lagi? Benarkah tidak ada seorang
pun yang mampu bertahan menandingi Moghul sampai habis terbakarnya satu batang
hio saja? Apakah kalian tidak malu kalau dikatakan bahwa di San-hai-koan tidak
ada seorang pun yang dapat disebut gagah? Ingatlah, yang masuk menjadi perwira
akan memperoleh pangkat tinggi dan gaji besar, juga mempunyai tugas amat mulia,
membela negara dari gangguan para pemberontak!" Demikianlah si tukang
bicara itu membujuk, menantang dan memanaskan hati para penonton.
Akan tetapi
mereka yang merasa memiliki kepandaian silat agaknya telah menjadi gentar.
Melihat betapa lima orang yang gagah-gagah kalah dan menderita siksaan
mengerikan, mereka merasa bahwa mereka tidak akan sanggup menandingi raksasa
itu. Maka, para penonton hanya mampu saling pandang dengan perasaan mendongkol,
penasaran, juga kecewa dan menyesal.
Sekarang
perasaan mereka semua hanya ingin melihat si raksasa Moghul itu dikalahkan.
Sayembara memasuki ketentaraan itu sudah berubah menjadi semacam pibu atau adu
kepandaian untuk mengalahkan raksasa yang kini nampaknya semakin sombong itu.
Sekarang
Moghul berdiri di tengah-tengah panggung sambil bertolak pinggang. Tubuhnya
yang telanjang berkilauan karena keringat. Dia terbelalak memandang ke empat
penjuru dan mulutnya menyeringai lebar. "Ha-ha-ha, apakah tidak ada lagi
yang maju? Aku belum lelah, belum keluar keringat!"
Tentu saja
ucapan ini hanya dipergunakan untuk menyombongkan diri saja. Kemudian dia
menggerak-gerakkan kaki tangannya hingga terdengar suara berkerotokan dan
nampak betapa otot-ototnya mengembang, membayangkan kekuatan yang dahsyat.
Sejak tadi
Hui Song hanya menonton saja dan pemuda ini merasa heran. Dia tahu bahwa
raksasa itu memang amat hebat dan sukar dikalahkan. Mengapakah pembesar
setempat mengadakan syarat yang begitu beratnya untuk menjadi seorang calon
perwira? Jelaslah bahwa di antara para ahli silat biasa saja, jarang ada yang
dapat bertahan sampai habis terbakarnya sebatang hio apa bila menandingi
seorang jago gulat yang demikian kuatnya seperti Moghul, apa lagi raksasa itu
telah berlaku curang, menyembunyikan besi di dalam sepatu dan pembalut kakinya.
Pembesar
setempat itu seakan-akan bahkan hendak menghalangi masuknya orang-orang pandai
ke dalam ketentaraan. Dan dia tadi melihat betapa setiap kali ada peserta yang
unggul, walau pun Kok-taijin nampak gembira, si panglima itu nampak tidak
senang dan bahkan khawatir. Mengapa begini? Bukankah justru si panglima itu
yang membutuhkan perwira-perwira baru untuk membantunya?
Juga dia
yang memilih Moghul sebagai penguji. Bukankah dengan demikian, Ji-ciangkun itu
malah hendak mencegah masuknya orang-orang gagah menjadi perwira baru? Semua
ini, ditambah pula oleh sikap Moghul yang sombong, dan melihat betapa para
penonton menjadi penasaran, mendorong Hui Song untuk meloncat ke atas panggung.
Dia harus
menyelidiki semua ini. Pula, kalau dia sudah memperoleh kedudukan, biar pun
hanya untuk sementara, dia akan lebih mudah menggunakan pasukan untuk mencari
Sui Cin. Selain itu, dia pun dapat membantu dengan pasukannya kalau para
pemberontak itu bergerak dari utara seperti yang disangkanya.
Begitu
muncul seorang pemuda yang melihat tubuhnya hanya sedang-sedang saja serta
tidak ada apa-apanya yang istimewa, Moghul tertawa girang dan matanya
bersinar-sinar laksana seekor kucing melihat seekor tikus yang akan bisa
dipermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi para penonton telah bersorak-sorai
lagi menyambut kehadiran Hui Song, biar pun sorak-sorai itu hanya untuk
melepaskan ganjalan hati yang menjadi penasaran sebab si pembicara tadi
mengatakan bahwa tidak ada orang gagah lagi di San-hai-koan. Padahal di lubuk
hati mereka timbul kekhawatiran baru akan melihat pemuda tampan ini nanti juga
dilemparkan ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, luka-luka atau tulang
kaki dan tangannya patah-patah.
Hui Song
menghampiri panggung di mana dua orang pembesar itu duduk, lalu memberi hormat
sambil berkata dengan suara nyaring, "Saya Cia Hui Song mohon ijin
memasuki sayembara."
Kok-taijin
mengangguk-angguk, ada pun Ji-ciangkun melambaikan tangan berkata, "Baik,
majulah dan lawanlah Moghul dengan sungguh-sungguh."
Hui Song
memberi hormat lagi, lalu dia bangkit dan menghampiri Moghul. Dia tadi sudah
melihat betapa jago gulat ini mempergunakan keuntungan karena lawannya
mengenakan pakaian. Sekali raksasa ini dapat menangkap dan mencengkeram baju
lawan, tentu akan celakalah lawan itu. Dengan gerakan-gerakan ilmu gulatnya,
lawan yang sudah ditangkap bajunya akan bisa diangkat atau dibanting. Sedangkan
tubuh si raksasa ini sendiri dalam keadaan telanjang dan berkeringat sehingga
licin.
Teringat
akan ini, dia tidak mau dirugikan oleh pakaiannya. Setidaknya, karena Moghul
mempergunakan ilmu gulat dan cengkeraman, dia khawatir kalau pakaiannya akan
robek. Maka sambil tersenyum Hui Song berkata,
"Moghul,
tunggu dulu. Engkau telanjang badan, maka tidak adil jika aku memakai baju ini.
Tunggu aku akan melepaskan pakaian ini dahulu." Dan dia pun menanggalkan
jubah dan baju atasnya, kini hanya memakai sebuah celana saja. Dia melangkah ke
tepi panggung dan menghadap penonton.
"Di
antara cu-wi sekalian, apakah ada yang kebetulan membawa minyak atau gajih?
Bila ada, maukah membantuku dan memberi sedikit?" tanya Hui Song kepada
mereka.
Para
penonton menjadi heran sekali, akan tetapi memang kebetulan ada yang membawa
karena memang tadi dia berbelanja dan datang ke tempat itu mampir dari
berbelanja. Dia menghampiri dekat panggung dan menyerahkan sebotol minyak. Hui
Song mengoleskan sedikit pada kedua telapak tangannya, dan dia lalu menggosok
seluruh tubuh bagian atas yang telanjang itu dengan minyak.
Tentu saja
para penonton saling pandang dan menjadi terheran-heran, akan tetapi melihat
ini, Moghul terkejut dan diam-diam dia memandang pemuda itu dengan penuh
perhatian. Setelah menitipkan bajunya kepada seorang penonton yang terdekat,
Hui Song kemudian menghadapi Moghul, sementara sebatang hio dibakar oleh
seorang petugas.
"Apakah
engkau seorang jago gulat?" Moghul bertanya kepada Hui Song setelah pemuda
itu berdiri di depannya.
Hui Song
menggelengkan kepala. "Bukan, akan tetapi melihat tubuhmu berminyak, maka
aku pun melumuri tubuhku dengan minyak," katanya dengan sikap tolol.
"Orang
muda, engkau sudah menanggalkan baju dan melumuri tubuhmu dengan minyak, apakah
kau akan menghadapi aku bertanding gulat? Ataukah dengan ilmu silat?"
"Dengan
apa saja asal aku dapat mengalahkanmu dan dapat diterima menjadi perwira,"
jawab Hui Song seenaknya.
"Kau
pandai gulat?" tanya Moghul. Hui Song menggelengkan kepala.
"Pandai
silat?" Kembali Hui Song menggelengkan kepala.
Mendengar
percakapan ini, semua penonton terbelalak. Sudah gilakah pemuda ini? Tidak bisa
gulat atau pun silat, akan tetapi berani naik ke panggung melawan Moghul!
Apakah pemuda ini mencari mati?
Moghul
sendiri tertawa bergelak, kepalanya ditarik ke belakang, wajahnya bordongak dan
perutnya sampai bergelombang ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha, bocah nakal,
lebih baik kau pulang saja dan minum susu ibumu sebelum terlambat,
ha-ha-ha!"
Para
penonton juga merasa ngeri membayangkan pemuda yang lemah ini akan disiksa
habis-habisan, maka di antara mereka ada yang berteriak-teriak minta supaya Hui
Song cepat-cepat turun saja dari atas panggung.
Akan tetapi
Hui Song bersikap tenang. Dia bahkan menghampiri tempat hio yang sudah
ditancapi sebatang hio bernyala, kemudian dia menggunakan dua jari menjepit
ujung hio itu sehingga apinya padam.
"Hei,
apa yang kau lakukan itu?" Si petugas yang tadi membakar hio menegur.
"Terlalu
cepat kalau dibiarkan terbakar. Kalau begini kan bisa lama bermain-main dengan
gajah bengkak itu? Biarlah kami berdua main-main sampai seorang di antara kami
roboh tak mampu melawan lagi!" jawab Hui Song dengan sikap yang masih
tenang.
Mendengar
ucapan ini, semua orang menjadi terkejut dan semakin terheran. Pemuda ini
benar-benar telah gila! Kalau tidak, mana mungkin berani bersikap seperti itu,
menantang si raksasa untuk bertanding sampai seorang di antara mereka
menggeletak tidak mampu melawan lagi? Seolah-olah dia akan mampu bertahan
sekian lamanya!
Akan tetapi,
sikap Hui Song ini membuat Moghul menjadi marah. Dia merasa ditantang dan
bahkan dipandang rendah oleh pemuda hijau itu.
"Majulah
dan akan kupatahkan seluruh tulang-tulang dalam tubuhmu!" bentaknya sambil
melangkah lebar menghampiri Hui Song yang telah kembali ke tengah panggung. "Engkau
ini tikus kecil berani banyak lagak!"
Hui Song
tersenyum jenaka. "Dan engkau ini babi kebiri terlampau banyak
berkaok-kaok, cobalah tangkap aku kalau bisa!"
Para
penonton mulai tertawa melihat betapa pemuda ingusan itu berani mempermainkan
si raksasa dan memakinya babi kebiri. Moghul memandang marah, dua matanya
menjadi semakin lebar dan alisnya bangkit berdiri, kemudian tanpa banyak cakap
lagi dia segera menubruk ke depan, sepasang tangannya mencengkeram hendak
menangkap tubuh Hui Song, seperti seekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi,
dengan gaya yang lucu namun cepat, Hui Song sudah menyelinap dan menyeluruk ke
bawah lengan si raksasa sambil berseru,
"Sayang
luput!"
Kemudian,
karena dia tadi menyelinap melalui bawah lengan lawan, kini tubuhnya berada di
belakang lawan dan sekali dia mengayun kaki kiri, sepatunya telah menendang
pinggul yang besar dan berdaging tebal itu. Tentu saja dia tak mengerahkan
tenaga sinkang-nya karena dia ingin mempermainkan raksasa yang berhati kejam
ini.
"Bukkk...!"
Pinggul itu
kena ditendang dan sungguh pun Moghul tidak roboh dan tendangan itu tidak
mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi suaranya yang nyaring itu terdengar semua
orang sehingga mulailah para penonton bersorak gembira. Walau pun gerakan
pemuda itu tidak memperlihatkan gerak silat atau gerak gulat yang mahir, namun
buktinya pemuda itu telah berhasil menendang pinggul Moghul. Ini saja sudah
hebat!
Moghul
memutar tubuhnya, membalik dan mukanya merah bukan main, matanya melotot saking
marahnya. Dia menyerbu dan hendak menangkap, akan tetapi kembali Hui Song
mengelak. Moghul mengejarnya dan kini raksasa itu mempergunakan kakinya yang
besar untuk menyerang dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi.
Hemm, pikir
Hui Song, kiranya pegulat ini pun mahir ilmu tendangan yang cukup lihai, apa
lagi kalau diingat bahwa di balik sepatu dan pembalut kakinya itu tersembunyi
baja yang keras dan kuat. Dia mengelak dengan sembarangan saja, sengaja
bersikap bodoh untuk memancing si raksasa agar bersikap lengah.
Beberapa
kali tendangan itu hanya lewat saja, dan ketika tendangan kaki kanan raksasa
itu menyambar, dia cepat merendahkan tubuhnya dan begitu kaki itu lewat, dia
mengulur tangannya, menangkap bawah kaki itu dan langsung mendorongnya ke atas.
Oleh karena Hui Song hanya menambah tenaga luncuran kaki itu sendiri, maka
Moghul tidak mampu mempertahankan diri. Akibat kakinya terus terangkat ke atas,
otomatis tubuhnya segera terjengkang dengan keras.
"Brukkk...!"
Papan lantai
panggung itu tergetar hebat, dan untung tidak ambrol tertimpa tubuh yang besar
dan berat itu.
"Waah,
hati-hati, babi kebiri. Perutmu bisa pecah kalau kau banting-banting
begitu!" Hui Song mengejek dan kembali terdengar sorak-sorai yang amat
hebat.
Kini
mulailah timbul harapan di dalam hati penonton. Boleh jadi pemuda itu tidak
mampu silat, tidak mampu gulat, akan tetapi jelas amat pemberani dan cerdik,
dan sudah terbukti bahwa dalam beberapa gebrakan saja sudah mampu menendang
pinggul si raksasa dan kini malah membuatnya terjengkang dan terbanting keras.
Namun Moghul
tak segera bangkit, sengaja memancing supaya pemuda itu melanjutkan serangannya
untuk ditangkapnya, seperti yang dilakukannya terhadap si baju hitam tadi. Akan
tetapi Hui Song tidak menyerang lagi, melainkan hanya pringas-pringis mengejek.
"Heh-heh-heh,
apakah perutmu terasa mulas dan kau tidak mampu bangun berdiri? Nah, baiklah.
Mari kubantu, babi!" Hui Song mengulurkan tangannya seperti hendak
membantu raksasa itu bangun.
Tentu saja
para penonton menjadi panik, bahkan ada pula yang berteriak-teriak agar Hui
Song berhati-hati. Memang pemuda itu nampaknya terlalu sembrono dengan
memberikan tangannya seperti itu. Sekali tangannya tertangkap, tentu pemuda itu
akan celaka, akan dipatah-patahkan tulangnya, bahkan mungkin saja akan dibunuh
sebab raksasa itu sudah amat marah padanya. Akan tetapi Hui Song pura-pura tak
mendengar cegahan-cegahan itu dan tetap mengulur tangan kepada Moghul.
Raksasa itu
benar-benar menyambar tangan Hui Song yang diulurkan, dan jari-jari yang
panjang besar itu berhasil menangkap pergelangan tangan Hui Song dengan kuat.
Akan tetapi tiba-tiba Hui Song menarik lengannya dan cekalan itu pun terlepas.
Tangan itu licin seperti belut sehingga terlepas tanpa mampu dipertahankan oleh
Moghul.
Hui Song
tersenyum sambil memandang kepada orang yang memberi minyak kepadanya tadi,
lalu menjura. "Terima kasih atas minyaknya, lenganku jadi licin,
hi-hik!"
Kembali
orang-orang bersorak-sorai dan Hui Song pun kembali menyerahkan lengan yang
satu lagi kepada Moghul. Ketika secara otomatis Moghul mengulurkan tangannya
hendak menangkap, Hui Song menarik kembali tangannya, seperti menggoda seorang
anak kecil saja.
Sorak-sorai
makin keras, orang-orang tertawa dan merasa geli menyaksikan pertunjukan yang
lucu itu. Seperti bukan melihat pibu yang menyeramkan saja melainkan menonton
panggung lawak yang lucu.
Dapat
dibayangkan betapa kemarahan Moghul semakin menjadi-jadi. "Kupatahkan
semua tulangmu, kuhancurkan kepalamu...!" katanya berkali-kali dengan
suara mendesis.
"Silakan,
kalau kau mampu menangkap aku," Hui Song mengejek.
Moghul yang
sudah marah sekali itu tak menjawab, melainkan kembali menubruk dengan cepat sambil
mengeluarkan suara gerengan seperti seekor beruang marah. Namun Hui Song
mengelak dan sambil tersenyum mengejek pemuda ini tidak membalas, melainkan
terus mengelak sampai raksasa itu terengah-engah kecapaian.
Semua
penonton tertawa-tawa melihat tingkah Hui Song yang mempermainkan Moghul. Namun
bagi Moghul agaknya tidak ada kata kalah dalam benaknya. Dia sudah terbiasa
selalu menang, sehingga kini, menghadapi seorang lawan yang demikian licin
bagai belut sehingga semua serbuan serta terkamannya hanya selalu mengenai
tempat kosong, dia pun merasa penasaran dan belum sadar bahwa sesungguhnya dia
sedang menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai dari pada dia.
"Hohhhh...!"
Kembali raksasa itu menubruk dari samping, dan untuk ke sekian kalinya Hui Song
mengelak dan menyelinap di bawah lengan kanannya.
Raksasa yang
sudah lelah itu terhuyung ke depan karena terdorong tenaga tubrukannya sendiri.
Ketika dia membalik, tiba-tiba dia melihat lawannya yang bertubuh amat kecil
jika dibandingkan dengan tubuh raksasa itu, menerjang ke depan. Hui Song
meloncat sambil menggunakan jari-jari tangan kirinya hendak mencengkeram muka
raksasa itu.
"Awas,
kucokel keluar matamu!"
Moghul
terkejut sekali dan tentu saja dia terpengaruh ucapan itu, memperhatikan tangan
kiri lawan yang menyerangnya dan siap melindungi matanya dengan kedua tangan
sambil mencari kesempatan untuk menangkap tangan kiri itu. Sejak tadi dia sudah
mengancam dalam hatinya bahwa sekali dia dapat menangkap pemuda itu, maka akan
diangkat dan dibantingnya, akan dipatah-patahkan semua tulang tubuhnya!
Akan tetapi
dia sama sekali tidak tahu bahwa serangan Hui Song itu hanyalah merupakan
gertakan saja, karena yang bekerja ternyata adalah tangan kanannya yang
beberapa kali menepuk ke arah perut gendut itu dengan keras.
"Plak!
Plak! Pungg...!" Akan tetapi tamparan-tamparan tangannya itu membalik dan
perut yang ditamparnya mengeluarkan suara seperti sebuah tambur besar dipukul.
"Wah,
gentong ini kosong!" Hui Song masih mengeluarkan suara ejekan keras
sehingga para penonton semakin geli tertawa.
Akan tetapi
suara tawa mereka terhenti seketika karena pada saat itu pula Moghul sudah
berhasil menangkap lengan kiri Hui Song dengan tangan kanannya. Lalu dengan
gerakan seorang jago gulat yang mahir, tangan kirinya menyusul dan sudah
menangkap pundak pemuda itu, dan secepat kilat tahu-tahu tubuh Hui Song sudah
diangkat ke atas kepala.
Semua orang
memandang pucat, sementara itu Moghul menyeringai, mengeluarkan suara
ha-ha-huh-huh seperti orang terengah-engah saking girangnya. Dia hendak
membanting lawannya itu ke atas lantai panggung dan sudah mengerahkan tenaga
agar bantingannya dapat dilakukan sekuatnya. Akan tetapi tiba-tiba saja dia
memekik kesakitan dan kedua lengannya menjadi lemas.
Kiranya Hui
Song menggunakan jari-jari tangannya, biar pun pergelangan tangan itu telah
ditangkap, untuk mencengkeram dan mencabuti bulu-bulu panjang pada dada dan
lengan raksasa itu, dan berbareng dengan itu ujung sepatunya telah menotok
jalan darah di dekat punggung lawan, membuat Moghul kehilangan tenaga untuk
beberapa detik lamanya.
Ini sudah
cukup bagi Hui Song untuk meronta dan melepaskan diri dari pegangan kedua
tangan lawannya. Dia menggeliatkan tubuhnya yang sudah dilumuri minyak tadi
sehingga terlepas lantas meloncat ke belakang sambil berkata,
"Heh-heh-heh, tubuhku licin, berkat minyak!"
Kembali
penonton tertawa dengan hati lega. Biar pun sampai kini pemuda itu belum juga
memperlihatkan ilmu silat atau ilmu gulat, namun semua gerakannya yang
nampaknya ngawur itu ternyata telah membuat si raksasa tidak berdaya!
Lumpuhnya
kedua tangan Moghul tidak lama dan tentu saja raksasa ini menjadi semakin
penasaran dan marah. Apa lagi melihat betapa pemuda itu sekarang sudah berdiri
sambil bertolak pinggang dengan kedua kaki terpentang lebar dan berkata
kepadanya, "Hei, babi bengkak, coba sekarang engkau mengangkat dan
membantingku kalau mampu!"
Tantangan
ini mendatangkan rasa heran dan khawatir kepada semua penonton, kecuali
beberapa orang di antara mereka yang bermata tajam dan sudah dapat menduga
bahwa pemuda itu tentulah seorang pendekar yang lihai dan tinggi ilmu
kepandaiannya.
Akan tetapi
yang merasa girang adalah Moghul. Tadi dia penasaran dan kecewa karena sungguh
tidak dikiranya bahwa pemuda yang sudah berada dalam cengkeramannya dan tinggal
banting saja itu dapat lolos. Kini dia ditantang, tentu saja dia merasa girang.
Sekali ini, kalau aku dapat menangkapnya, tak mungkin dia akan dapat lolos,
pikirnya.
Dengan
langkah lebar dia lalu menghampiri dan tadinya mengira bahwa pemuda itu tentu
hanya mempermainkannya dan akan mengelak bila ditangkap. Akan tetapi ternyata
tidak! Saat dua tangannya yang besar itu menangkap pinggang Hui Song dan dia
mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya, ternyata tubuh kecil itu tidak
bergeming dan tidak mampu diangkatnya! Tubuh yang kecil itu, yang agaknya akan
dapat diangkat oleh Moghul walau pun hanya dengan satu tangan saja, kini terasa
berat sekali, atau seolah-olah kedua kaki pemuda itu sudah berakar pada lantai
panggung.
Moghul tidak
percaya dan semakin penasaran. Dikerahkannya kekuatannya sehingga urat serta
otot pada kedua lengan dan dadanya menggembung kemudian dicobanya lagi untuk
mengangkat tubuh Hui Song. Namun tetap saja tak terangkat olehnya. Kedua
tangannya pindah ke pundak, lalu ke pinggang lagi, dan tetap saja tidak
terangkat.
Tiba-tiba
Hui Song merendahkan tubuh, menggunakan dua tangannya untuk menyangga paha dan
perut si raksasa, mengerahkan sinkang-nya dan sambil mengeluarkan lengking
suara yang nyaring, dia meluruskan tubuh dan Moghul sudah terangkat ke atas
olehnya! Tentu saja perbuatannya ini disambut sorak-sorai gemuruh, bahkan
Ji-ciangkun terbelalak dan mukanya berubah menjadi agak pucat, sementara
Kok-taijin bertepuk tangan saking gembiranya.
"Brukkkk...!"
Tubuh tinggi
besar itu dilempar oleh Hui Song, bukan dibanting namun hanya dilempar. Akan
tetapi akibatnya, bagian papan lantai panggung di ujung depan yang tertimpa
tubuh raksasa itu langsung ambrol!
Di bawah
suara ketawa dan sorak-sorai para penonton. Moghul merangkak ke luar lagi dari
lantai papan panggung yang ambrol dan kini mukanya menjadi hitam, matanya merah
sekali dan ada hawa pembunuhan membayangi wajahnya ketika dia melangkah maju
lagi menghampiri Hui Song. Karena kini tak ada lagi hio yang terbakar, maka
orang tidak tahu lagi berapa lama batas pertandingan itu dan agaknya Moghul
juga belum mau menerima kalah.
"Eh-eh,
engkau masih juga belum mau mengaku kalah?" Hui Song bertanya mengejek.
Raksasa itu
tak menjawab, melainkan menubruk dengan dahsyat dan penuh kemarahan. Akan
tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena tubuh pemuda di depannya itu lenyap.
Semua penonton dapat melihat betapa pemuda itu mengelak tubrukan lawan sambil
meloncat ke atas, tinggi sekali melampaui kepala Moghul dan ketika tubuhnya
berjungkir balik dengan indahnya seperti seekor burung walet di udara, tubuh
itu menukik turun dan tahu-tahu Hui Song telah hinggap di atas kedua pundak
raksasa itu sambil tertawa-tawa!
Sejenak
Moghul kebingungan, akan tetapi melihat dua batang kaki Hui Song bergantung di
depan dadanya, dia cepat menangkap kedua kaki itu. Akan tetapi tiba-tiba kedua
kaki itu membalik dan menjepit lehernya dan kini tubuh atas Hui Song bergantung
di belakang punggungnya dalam keadaan menelungkup.
"Wah,
wah, celaka, kain cawatmu bau sekali, babi bengkak!" Hui Song berseru.
Dan dengan
kedua kaki masih menjepit leher, dia menggunakan kedua tangannya untuk
menangkap ujung kain cawat di belakang pinggul Moghul lantas membukanya. Tentu
saja nampaklah kedua bukit pinggul raksasa itu yang berkulit halus dan lebih
putih dari pada bagian tubuh lainnya. Melihat ini, semua penonton lantas
tertawa bergelak karena dengan ditariknya cawat itu, nampaklah semua tubuh
bagian bawah raksasa itu dari belakang!
Kini Moghul
sama sekali tidak ingat untuk melakukan serangan lagi karena dua kaki yang
menjepit lehernya itu membuat dia merasa sulit sekali bernapas. Dua kaki itu
sedemikian kuatnya laksana jepitan baja yang dikalungkan di lehernya saja.
Dengan susah payah dia mencoba untuk melepaskan jepitan kedua kaki itu, namun
sia-sia saja dan tiba-tiba Hui Song yang bergantungan di belakang tubuhnya itu
menggunakan kedua tangannya untuk menotok belakang lutut Moghul.
Raksasa itu
mengeluh keras dan kedua kakinya tertekuk. Hui Song melepaskan jepitan kakinya
dan meloncat turun kemudian dia berdiri mengejek di depan Moghul. Raksasa ini
merasa betapa kedua kakinya nyeri sekali akibat totokan pada belakang lutut
tadi, akan tetapi kemarahan membuat dia mata gelap. Dia cepat bangkit berdiri
dan kini menyerang dengan pukulan tangannya yang dikepalkan, tidak menggunakan
ilmu gulat lagi.
Agaknya Hui
Song sudah merasa cukup mempermainkannya, maka dia pun menyambut pukulan lengan
kanan ini dengan tangkisan tangan kirinya, dengan jari-jari yang terbuka dan
tangan dimiringkan seperti golok membacok ke arah lengan kanan lawan.
"Krekkk...!"
Moghul
memekik dan lengan kanannya menjadi lumpuh karena tulang lengan itu sudah
patah! Tapi dasar manusia yang keras kepala, dia masih menyerang terus dengan
tangan kirinya.
Kembali Hui
Song menangkis dan kini lengan kiri itu pun patah lengannya. Pemuda itu
teringat betapa raksasa ini telah menyiksa banyak orang dengan mematahkan
tulang kaki dan tangan mereka, maka dia pun segera melakukan tendangan susulan
dua kali yang mematahkan tulang kedua kaki raksasa itu. Moghul roboh dan tak
dapat bangkit kembali karena kedua kaki dan tangannya sudah tidak dapat
digerakkan, tulangnya sudah patah-patah......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment