Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 20
Hui Song
kini membungkuk, menyambar sebuah lengan dan kaki, lalu mengangkat tubuh
raksasa itu ke atas, memutar-mutarnya cepat lalu melemparkannya ke bawah
panggung. Tubuh itu melayang dan jatuh terbanting ke atas tanah, di luar
kepungan para penonton! Sorak-sorai laksana meledak dan seperti akan
meruntuhkan panggung itu sendiri. Semua penonton mengangkat kedua tangan,
bahkan ada pula yang berjingkrak-jingkrak menari kegirangan.
Akan tetapi
semua penonton kini berdiam dan memandang dengan mata terbelalak penuh
keheranan dan kekhawatiran setelah melihat betapa Ji-ciangkun bersama belasan
orang pengawalnya sudah berdiri di atas panggung sambil mengurung pemuda yang
baru saja memperoleh kemenangan secara mutlak itu.
"Cepat
tangkap keparat ini!" bentak Ji-ciangkun kepada para prajuritnya yang
kelihatan ragu-ragu.
Tentu saja
Hui Song juga berdiri dengan mata terbelalak heran karena dia pun merasa
penasaran sekali. "Ciangkun, apa sebabnya aku akan ditangkap?"
bantahnya.
"Orang
muda, engkau masih belum mengakui kesalahan-kesalahanmu? Pertama, engkau sudah
memadamkan hio yang terbakar, dan kedua, engkau sudah melukai penguji yang
menjadi jagoan kami. Berarti engkau menyalahi peraturan dan tidak memandang
kepada kami, berani mempermainkan dan melukai orang kami, dan itu berarti bahwa
engkau telah memberontak, berani melawan pejabat tinggi!"
Akan tetapi
pada waktu itu Kok-taijin muncul pula, kemudian terdengar pembesar sipil ini
berkata, "Tidak, dia jangan ditangkap, ciangkun. Biarlah aku mengampunkan
kesalahan-kesalahannya dan aku akan mengambil dia menjadi seorang pengawal
pribadiku. Orang she Cia, maukah engkau menjadi seorang pengawal
pribadiku?"
Hui Song
merasa semakin heran. Agaknya terdapat pertentangan secara rahasia antara kedua
pejabat itu dan dia pun menjura kepada gubemur itu, "Saya bersedia,
taijin."
Ji-ciangkun
nampak marah, akan tetapi karena Kok-taijin merupakan wakil dari kerajaan yang
merupakan penguasa tertinggi di daerah itu, maka dia pun tidak berani menentang
secara terang-terangan sehingga dia pun memberi isyarat kepada para prajuritnya
untuk mundur dan meninggalkan panggung. Kok-taijin mengajak Hui Song
mengikutinya pulang ke dalam gedungnya dan pemilihan calon perwira itu pun
dibubarkan.
Setelah tiba
di dalam gedungnya, Kok-taijin mengajak Hui Song memasuki sebuah kamar untuk
berbicara empat mata. Pembesar yang berwibawa itu menyuruh Hui Song duduk di
atas kursi, berhadapan dengan dia terhalang sebuah meja kecil dan setelah dia
menyuruh seorang pelayan menghidangkan minuman serta menyuruh pelayan lain
mempersiapkan sebuah kamar untuk pengawal pribadi baru ini, dia lantas mengajak
Hui Song bercakap-cakap.
"Cia-sicu,
aku sudah terlalu banyak mengenal para pendekar gagah maka begitu engkau muncul
tadi, walau pun engkau bersikap ketolol-tololan, aku sudah dapat menduga bahwa
engkau tentu seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Dan timbul keheranan
dalam hatiku, karena terasa janggal dan anehlah jika seorang pendekar berilmu
seperti engkau ini hendak masuk menjadi seorang perwira. Sebetulnya, apakah
yang mendorongmu naik ke panggung dan melawan Moghul?"
Diam-diam
Hui Song memuji kecerdikan pembesar ini yang ternyata memiliki pandangan tajam
sekali. Dan dia pun tidak perlu lagi bersembunyi karena dia tahu bahwa pembesar
ini boleh dipercaya, tidak seperti Ji-ciangkun yang sikapnya mencurigakan itu.
"Harap
taijin suka memaafkan saya. Sesungguhnya ada dua hal yang mendorong saya untuk
memasuki sayembara itu. Pertama karena saya merasa jengkel melihat kekejaman
Moghul yang menyiksa para pengikut sayembara yang kalah, oleh karena itu saya
ingin membalaskan mereka itu dan menghukumnya. Kedua, saya merasa heran sekali
karena kalau pemerintah benar membutuhkan perwira-perwira baru, dengan
mengajukan Moghul sebagai penguji justru seolah-olah pemerintah daerah ingin
menghalangi adanya perwira-perwira baru. Sukarlah dicari orang yang akan mampu
mengalahkan raksasa itu. Maka saya ingin sekali menyelidiki kejanggalan
ini."
Pembesar ini
mengangguk-angguk. "Tepat seperti yang sudah kuduga, Cia-sicu. Karena
itulah maka aku turun tangan dan mengangkatmu menjadi pengawal pribadi.
Sebenarnya sudah lama aku merasa curiga terhadap gerak-gerik Ji-ciangkun yang
berubah semenjak beberapa bulan yang lampau ini. Dahulu dia pun merupakan
seorang panglima yang setia terhadap pemerintah, akan tetapi entah mengapa,
semenjak beberapa bulan ini terjadi perubahan pada sikapnya dan Moghul itu pun
pilihan dia. Dialah yang tadinya tidak setuju pada waktu aku mengusulkan untuk
menerima prajurit serta perwira baru karena adanya desas-desus pemberontakan.
Cia-sicu, aku yakin bahwa tentu engkau sudah mendengar pula tentang desas-desus
itu, bukan?"
Hui Song
mengangguk. "Itu bukan berita bohong, taijin. Memang ada datuk-datuk kaum
sesat yang sedang menghimpun tenaga untuk mengadakan pemberontakan, dan terus
terang saja, saya sampai ke daerah ini pun adalah untuk menyelidiki tentang hal
itu."
"Bagus
kalau begitu, sicu. Bagaimana kalau engkau tinggal di sini, pura-pura saja
menjadi pengawal pribadiku, akan tetapi tugas yang sebenarnya bagimu adalah
untuk menyelidiki Ji-ciangkun? Siapa tahu kalau dia mempunyai hubungan dengan
para tokoh yang hendak memberontak itu."
"Baik,
taijin. Saya masih memiliki waktu kira-kira sebulan untuk melakukan
penyelidikan di sini."
Demikianlah,
mulai hari itu Hui Song berpakaian pengawal dan menjadi pengawal pribadi
Kok-taijin. Tentu saja hal ini hanya untuk menyembunyikan tugasnya yang
sesungguhnya, yaitu menyelidiki Ji-ciangkun. Hanya dia sendiri beserta Gubernur
Kok yang tahu, bahkan keluarga gubernur itu sendiri pun tidak mengetahuinya.
Gubernur Kok
tinggal dengan seorang isterinya, beberapa orang selir dan hanya memiliki
seorang anak, yaitu seorang anak perempuan yang ketika itu baru berusia sepuluh
tahun. Sebagai seorang pengawal pribadi, Hui Song mengenal baik semua keluarga
Kok-taijin dan dengan pakaian pengawal, tidak begitu sukar baginya untuk
melakukan penyelidikan karena tidak akan dicurigai.
Pada suatu
malam, beberapa hari kemudian, dua bayangan yang amat gesit gerakannya
berlompatan memasuki benteng dengan melewati tembok benteng yang tinggi.
Anehnya, ketika para penjaga melihat dua orang ini, mereka diam saja, bahkan
ada perwira yang memberi hormat kepada mereka, kemudian perwira ini melapor
kepada Ji-ciangkun yang berada di sebelah dalam gedungnya.
"Ciangkun,
dua orang tamu yang ditunggu sudah datang," perwira itu melaporkan.
"Baik.
Persilakan mereka untuk menanti di dalam kamar tunggu dan suruh para pengawal
menjaga di luar. Juga jangan menerima tamu dari luar pada malam hari ini, aku
tidak mau diganggu."
Perwira itu
memberi hormat lantas keluar, menanti di pekarangan gedung atasannya itu. Tak
lama kemudian ada dua sosok bayangan berlompatan turun dan mereka itu ternyata
adalah seorang tosu tinggi kurus dan seorang hwesio gendut yang tidak lain
adalah Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui
yang bersama-sama Siang-to Sian-li Gui Siang Hwa murid Raja Iblis pernah
memikat Hui Song ke Goa Iblis Neraka tempo hari!
Sang perwira
menyambut mereka dengan hormat, lalu mempersilakan mereka menunggu Ji-ciangkun
di dalam ruangan tamu yang luas. Tiga orang ini memasuki pintu ruang tamu, sama
sekali tidak tahu bahwa salah seorang prajurit pengawal yang berdiri di situ
dengan tombak di tangan sama sekali bukanlah prajurit benteng itu, melainkan
Hui Song yang telah menyamar!
Dengan
bantuan Kok-taijin, tidak sukar bagi Hui Song untuk menyamar dengan pakaian
prajurit benteng kemudian menyelundup masuk untuk melakukan penyelidikan. Malam
itu, tanpa disangka-sangkanya dia melihat dua orang tamu dari Ji-ciangkun, yang
bukan lain adalah kenalan lamanya, yaitu Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo
yang pernah nyaris menewaskannya di Goa Iblis Neraka.
Terkejut,
heran dan juga giranglah hati Hui Song bahwa kecurigaannya pada Ji-ciangkun
ternyata sekarang terbukti kebenarannya. Jelaslah bahwa Ji-ciangkun tentu
bersekongkol dengan kaum sesat yang hendak memberontak, karena dua orang kakek
iblis itu adalah para pembantu Raja dan Ratu Iblis dan tentu kini menjadi
semacam utusan dari Raja Iblis untuk bersekongkol dengan Ji-ciangkun. Maka,
setelah keadaan sunyi dan dia mendapat kesempatan, Hui Song lalu melakukan
pengintaian ke dalam ruangan tamu.
Tidak salah
penglihatannya tadi, yang duduk di dalam ruangan itu adalah Hui-to Cin-jin,
Kang-thouw Lo-mo, bersama Ji-ciangkun dan Moghul! Agaknya orang Mongol jago
gulat itu memang kuat sekali. Meski pun tulang kedua kaki tangannya patah, akan
tetapi kini, dengan bantuan kursi roda, dia dapat turut menghadiri pertemuan
itu dengan kaki tangan dibalut kuat. Tentu dia menggunakan obat yang amat
manjur, pikir Hui Song kagum juga. Dia sudah mendengar betapa Bangsa Mongol
mempunyai obat-obat yang sangat mujarab untuk luka-luka atau patah tulang.
Dan kini
semakin mengertilah dia. Kiranya Moghul yang dijadikan jagoan penguji itu pun
merupakan salah seorang di antara tokoh persekutuan pemberontak itu! Dari percakapan
di antara empat orang itu, tahulah dia bahwa Moghul bukanlah orang biasa. Dia
mengaku sebagai keturunan para Raja Mongol yang dulu pernah memerintah di
Tiongkok dan kini dia berusaha untuk membangun kembali kekuasaan bangsanya yang
sudah jatuh.
Jadi di
tempat ini terdapat persekutuan antara tiga unsur. Yang pertama adalah seorang
panglima pemerintah sendiri yang berambisi untuk memberontak, yakni Panglima Ji
Sun Ki. Kedua adalah Moghul yang mewakili orang-orang Mongol yang menjadi anak
buahnya. Dan ketiga adalah rombongan kaum sesat yang diketuai Raja Iblis! Suatu
persekutuan yang amat berbahaya, pikir Hui Song yang mengintai dan mendengarkan
dengan hati-hati.
"Pemuda
itu...?" kata Kang-thouw Lo-mo sambil menenggak araknya saat dia mendengar
Ji-ciangkun bercerita tentang pemuda yang bisa mengalahkan Moghul dalam
sayembara pemilihan perwira baru. "Ahh, dialah orang she Cia, putera ketua
Cin-ling-pai itu! Pantas saja kalau saudara Moghul kalah karena dia memang
lihai bukan main."
"Dan
sekarang dia telah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin?" Hui-to Cin-jin
menyambung. "Wah, berbahaya sekali itu. Dia harus disingkirkan lebih
dahulu!"
Ji-ciangkun
mengerutkan alisnya. Dia terkejut bukan kepalang mendengar bahwa pemuda yang
sikapnya ketolol-tololan itu, yang sudah mengalahkan Moghul, ternyata bukan
orang sembarangan, melainkan seorang pendekar!
"Tidak
mudah begitu saja menyingkirkannya, bukan hanya karena dia lihai, akan tetapi
karena dia sudah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Kita harus bertindak
hati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan di dalam hati Kok-taijin
sebelum gerakan kita itu dilakukan. Jelaslah bahwa Kok-taijin tidak dapat
dibujuk dan dia akan menjadi penghalang terbesar. Maka, biarlah aku mengerahkan
orang-orangku untuk mengamati orang she Cia itu. Sama sekali aku tidak mengira
bahwa dia adalah seorang pendekar, maka aku tidak menaruh curiga."
Mendengar
ini, Hui Song merasa sudah cukup. Apa bila kini Ji-ciangkun sudah mengerti
siapa dirinya, tentu dia akan selalu diawasi sehingga hal itu membuat dia tak
akan leluasa bergerak. Maka secara hati-hati dia lalu meninggalkan tempat itu
dan malam itu juga dia menghadap Kok-taijin yang menjadi terkejut karena
pembesar ini tadinya sudah mengaso dan bahkan hampir tidur pulas ketika
dibangunkan.
"Cia-sicu,
ada apakah...?" tanyanya kaget.
"Taijin,
mari kita bicara di dalam. Ada hal penting sekali," jawab Hui Song. Mereka
lalu memasuki ruangan dalam dan di situ Hui Song menceritakan apa yang baru
saja dilihat serta didengarnya.
Diceritakannya
kepada pembesar itu bahwa Ji-ciangkun betul-betul bersekongkol dengan
orang-orang yang akan memberontak, betapa menurut pengakuannya sebetulnya
Moghul adalah keturunan Jenghis Khan dari Raja-raja Mongol yang hendak
membangkitkan lagi kekuasaan bangsanya, kemudian diceritakannya mengenai dua
orang tokoh Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu Raja Iblis yang memimpin
para datuk sesat yang hendak memberontak.
Mendengar
penuturan itu, Kok-taijin terkejut bukan main. Pembesar ini lalu mengerutkan
alisnya. "Ah, tak kusangka sudah sejauh itu! Dan biar pun di San-hai-koan
ini aku menjadi penguasa tertinggi, akan tetapi untuk menangkap Ji-ciangkun,
aku kekurangan kekuatan. Di sini aku hanya mempunyai pasukan pengawal dan
penjaga keamanan yang jumlahnya tidak ada seribu orang sedangkan Ji-ciangkun
menguasai pasukan yang beribu-ribu orang banyaknya. Kita harus bertindak
hati-hati dan tidak ada jalan bagiku kecuali melaporkan ke kota raja. Akan
tetapi hal itu membutuhkan waktu lama dan melaporkan kepada kaisar harus
disertai bukti-bukti sedangkan bukti itu belum ada. Maka, sicu, aku hendak
minta bantuanmu. Sampaikan suratku kepada komandan benteng Ceng-tek. Komandan
itu ialah seorang panglima yang setia dan jika dia menerima suratku, tentu dia
akan percaya dan dia akan mengirimkan pasukan yang besar ke sini untuk
membantuku. Tidak ada orang lain yang dapat kupercaya untuk melakukan tugas
ini, sicu. Berangkatlah malam ini juga."
Hui Song
tidak dapat menolak karena dia sendiri pun maklum akan gawatnya keadaan.
Agaknya pihak pemberontak itu akan menduduki San-hai-koan lebih dulu untuk
menjadi markas dan basis pemberontakan mereka. Maka, malam itu juga, dia diberi
seekor kuda yang paling baik, membawa surat dari Kok-taijin dan berangkatlah
dia meninggalkan kota San-hai-koan.
***************
Dugaan Hui
Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan yang sebenarnya.
Kedatangan Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo ke markas San-hai-koan itu di
samping untuk berunding di mana kedua orang kakek itu membongkar keadaan diri
Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblis untuk mengundang
Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis pada suatu tempat
tersembunyi tidak jauh dari San-hai-koan!
Setelah dia
memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, lantas memberi tahu kepada
mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan
gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya.
Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang
menghadap Raja Iblis.
Sebenarnya
tadinya Moghul juga diundang. Akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu
sedang dalam keadaan terluka dan tak dapat berjalan, maka yang berangkat
hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu.
Malam itu
terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti pada sebuah
lereng bukit. Dua orang kakek itu kemudian memberi isyarat kepada Ji-ciangkun
supaya menghentikan kuda masing-masing, lantas menambatkan kuda mereka itu pada
batang pohon.
"Dari
sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara,"
kata Hui-to Cin-jin berbisik.
"Lihat
saja isyarat tangan kami. Kalau berbicara sebelum ditanya, dapat mengakibatkan
bencana," kata pula Kang-thouw Lo-mo.
Mendengar
ucapan kedua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti orang yang sangat
takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan
Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis adalah seorang
pangeran yang bernama Toan Jit Ong dan bahwa tokoh ini mempunyai ilmu
kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan
wibawa melebihi kaisar sendiri!
Sesudah
mereka berjalan kurang lebih setengah jam lamanya, menyusup-nyusup melalui
semak-semak belukar, akhirnya mereka sampai di sebuah lereng terbuka dan dari
jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan
berjajar-jajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan
itu dan ketika Ji-ciangkun memandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara
menuding ke arah tanah kuburan itu.
"Di
sanakah...?" Ji-ciangkun berbisik.
"Sssstt!"
Hui-to Cin-jin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk
membenarkan. Mereka lalu maju lagi, berjalan perlahan-lahan menghampiri tanah
kuburan yang sudah nampak dari jauh itu.
Pada saat
mereka tiba di luar tanah pekuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang
lengan Ji-ciangkun dan memberi isyarat agar diam dan tak mengeluarkan suara,
mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu lalu ikut memandang dan matanya
terbelalak, wajahnya berubah pucat.
Memang amat
mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biar pun sinar
bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia dapat melihat
dengan jelas apa yang terjadi di tengah kuburan itu.
Di antara
kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tak terawat, nampak dua orang yang
sedang berlatih ilmu kesaktian yang sangat luar biasa. Seorang di antara mereka
adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan
riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa
sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin bagaikan
muka mayat.
Sepasang
matanya yang kehijauan mencorong laksana mata harimau. Pakaiannya yang berwarna
putih dan kuning itu longgar sehingga kedodoran. Usianya sukar ditaksir berapa
karena biar pun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng
itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam
puluh tahun lebih.
Dan orang
ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada
lima puluh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini
duduk bersila di atas tumpukan tengkorak itu. Baru duduk di atas tumpukan
tengkorak itu saja sudah merupakan hal yang sukar dilakukan, karena tengkorak
yang hanya bertumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh apa bila di puncaknya
diduduki orang. Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan tegak, bersila dan
matanya memandang tajam ke depan.
Di
hadapannya, terpisah kurang lebih tiga tombak, terdapat tumpukan tengkorak lain
mirip seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri
seorang wanita, akan tetapi berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus
ke atas!
Wanita ini
pun rambutnya putih riap-riapan. Pakaian serta wajahnya sama dengan yang pria,
mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku. Dan pakaiannya
juga longgar dan kedodoran sehingga karena dia berdiri jungkir balik di atas
tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang
berwarna putih.
"Sudah
slap?" terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari
pria yang duduk bersila itu.
"Siap,"
jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak
bergoyang.
"Mulai...!"
kata pula yang pria.
Dua orang
itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan
jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.
"Tarrrr...!"
Terdengar
suara ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak
nampak yang saling bertemu dan beradu di udara! Dan mereka berdua melakukan adu
tenaga ini berulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan
tetapi kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seolah-olah tenaga yang
bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.
"Jagalah
ini...!" Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.
"Tarr...!
Brukkkkk...!"
Tubuh wanita
itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak
kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah
berhamburan seperti diterjang tenaga yang luar biasa dahsyatnya!
"Tenagaku
masih kurang kuat...!" Wanita itu menarik napas sesudah dia turun dan
berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.
"Siapa
bilang? Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!"
Dia pun
melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan
tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas,
remuk menjadi debu!
Melihat
pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi
amat terkejut, ngeri dan juga gentar hatinya. Apa lagi ketika tiba-tiba dua
orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.
"Majulah
kalian!" Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya
yang berkuku runcing.
Hui-to
Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari
belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan
panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah sepasang
iblis itu, hanya menjura dengan hormat.
"Inikah
Ji-ciangkun dari San-hai-koan?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah
Ratu Iblis. Seperti biasa, dialah yang menjadi juru bicara suaminya, ada pun
Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong
kehijauan.
"Benar,
toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di San-hai-koan. Saya datang memenuhi
undangan Ong-ya melalui Cin-jin dan Lo-mo."
Raja Iblis
memberi isyarat kepada mereka semua untuk duduk di atas tanah, ada pun dia
sendiri duduk di atas tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas
tumpukan kecil tengkorak, sedangkan dua orang kakek pembantu mereka itu pun
masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk.
Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu,
maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.
"Ji-ciangkun,"
terdengar suara Raja Iblis. Jarang sekali dia bicara, akan tetapi agaknya
sekarang dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai
menyalakan api pemberontakan. "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita
kuasai?"
Agak lega
rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya
rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar.
"Semuanya
sudah saya persiapkan, Ong-ya. Sepuluh ribu prajurit yang tergabung dalam
pasukan di benteng San-hai-koan, sebagian besar dikuasai oleh para perwira
pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu
prajurit saja yang akan mudah diatasi. Akan tetapi Kok-taijin sulit diajak
berdamai dan tak mungkin mau bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya
tentangan dan halangan."
"Kekuatannya?"
tanya Raja Iblis itu tenang.
"Lumayan.
Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apa lagi
baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..."
Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Hui-to Cin-jin yang melihat
keraguannya menyambung.
"Ong-ya,
orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu sudah mengalahkan Moghul dan
dia bukan lain adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
Raja Iblis
mengerutkan kedua alisnya sambil mengelus jenggotnya yang pendek. "Hemm,
bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu,
dan juga menantunya, ketua Cin-ling-pai akan membantu pula apa bila waktunya
sudah tiba? Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"
"Hamba
tidak tahu, Ong-ya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada
orang-orang seperti ketua Cin-ling-pai itu. Apa lagi Bin Mo To yang sudah lama
mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk
Tung-hai-sian."
"Pemuda
itu harus dibunuh dulu, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi
penghalang itu harus dibunuh!" kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun.
Ji-ciangkun
mengerutkan alisnya. "Maaf, Ong-ya. Saya sudah menyuruh anak buah untuk
mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu sulit
membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi saya kira tidak bijaksana kalau
membunuh Kok-taijin, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."
"Mengapa?"
"Seperti
yang telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia
kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang,
tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan. Kalau sampai
terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya
tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam
benteng dan biar pun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian
banyak pasukan. Jauh lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng
jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa
Kok-taijin menakluk kepada kita."
"Caranya?
Dengan menawannya dan memaksanya?" Raja Iblis bertanya.
Ji-ciangkun
menggeleng kepala. "Biar pun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki
hati yang keras. Andai kata dia ditangkap dan disiksa sekali pun, jangan harap
dia akan mau menakluk. Akan tetapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu
anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu,
besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang
amat disayangnya."
"Bagus!
Lakukanlah hal itu, Ji-ciangkun. Ingat, kami tidak akan mau bergabung denganmu
sebelum kau berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Setelah berhasil, barulah
engkau secara resmi akan menjadi panglima besar seluruh pasukan kita dan kelak
engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."
Wajah
Ji-ciangkun berseri gembira, membayangkan kedudukan yang kelak diperolehnya
jika gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah bertemu
dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini. Setelah mengadakan perundingan
dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran
dalam pengambil alihan kekuasaan di San-hai-koan itu, Ji-ciangkun segera
kembali ke San-hai-koan, dikawal oleh dua orang kakek iblis.
***************
Sementara
itu, Hui Song yang keluar dari kota San-hai-koan dengan berkuda, ketika baru
meninggalkan benteng itu kurang lebih sejauh sepuluh li, dia mendengar suara
derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini bisa menduga bahwa derap kaki banyak
kuda itu tentulah pasukan dan ke mana lagi malam-malam begitu ada pasukan
membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya?
Dia sama
sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang
amat penting, dia tak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan
pasukan yang mengejarnya. Maka dia pun segera berhenti, mengumpulkan bekalnya
dan diikatnya buntalan itu pada punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu,
diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusan, bukan ke jurusan
Ceng-tek, melainkan ke timur.
Kuda itu
ketakutan dan berlari cepat. Dia masih mengejarnya dengan lemparan-lemparan
batu kecil sehingga kuda itu lari tunggang-langgang. Setelah itu, Hui Song
meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat.
Tak lama
kemudian muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada
seratus orang! Akan sulit juga bila dia harus melawan orang sedemikian
banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti,
memeriksa tanah dengan obor-obor lalu akhirnya mereka membelok ke kiri dan
mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu.
Setelah
pasukan itu membalapkan kuda ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari
atas pohon, lalu mempergunakan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat,
menuju ke Ceng-tek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan
pada besok malam baru dia akan tiba di Ceng-tek.
***************
Kota
Ceng-tek adalah kota yang cukup besar dan ramai. Kota ini merupakan semacam
benteng pertahanan pula atau merupakan pintu menuju ke kota raja Peking, karena
itu di kota ini terdapat benteng yang cukup besar dan kuat. Yang menjadi
komandan pasukan di Ceng-tek adalah seorang jenderal bernama Lui Siong Tek,
seorang laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa, berusia empat puluh lima
tahun.
Dia
menguasai selaksa pasukan tetap, namun dengan mudah dia akan melipat gandakan
pasukannya itu dengan pasukan-pasukan lain yang berada di sekeliling daerah
itu, yang berupa mata rantai pertahanan di utara di sebelah dalam Tembok Besar
untuk melindungi kota raja dari serbuan-serbuan yang mungkin datang dari
bangsa-bangsa liar di utara.
Sudah
menjadi kebiasaan bahwa seorang pembesar yang mempunyai kekuasaan penuh pada
suatu daerah, akan merasa yang paling berkuasa, seakan-akan menjadi raja kecil
di wilayah kekuasaannya. Pembesar itu akan lupa bahwa dia hanya seorang petugas
yang bekerja untuk atasan di kota raja. Dan seorang pembesar militer seperti
Lui-goanswe ini, pada waktu negara sedang aman dan tidak ada perang, akan
menjadi malas dan lengah, membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan-kesenangan
yang mudah saja didapatkan karena kekuasaan dan kekayaannya.
Demikian
pula dengan Lui Siong Tek. Karena wilayahnya dalam keadaan aman tenteram, dia
pun membiarkan dirinya hanyut dalam kesenangannya yang sudah memperbudaknya
sejak dia masih amat muda, yaitu bersenang-senang dengan wanita cantik.
Pada waktu
Hui Song tiba di Ceng-tek, sebelum dia mengunjungi pembesar itu, dia lebih
dahulu menyelidiki dan mencari keterangan perihal komandan yang menjadi
panglima di benteng kota itu. Dan dia mendengar bahwa komandan itu adalah
seorang yang gagah perkasa, yang pandai mengatur pasukan dan sudah amat
terkenal, namun juga memiliki kelemahan, yaitu suka mengumpulkan wanita-wanita
cantik dan mempunyai banyak selir yang tak terhitung banyaknya. Bahkan ada
kabar angin bahwa pembesar itu kini memiliki seorang selir baru dan setiap hari
bersenang-senang dengan selir barunya itu.
Sesudah
mendapat keterangan di mana adanya pembesar itu, malam itu juga Hui Song segera
memasuki benteng melalui tembok benteng yang tidak dijaga terlalu ketat. Kalau
pemimpinnya malas, anak buahnya pun tentu saja malas, dan kalau pemimpinnya
lengah, anak buahnya pun lengah, maka penjagaan di sekitar benteng itu pun
tidak ketat.
Para penjaga
hanya bergerombol di sekitar pintu gerbang, mengobrol atau bermain kartu
sehingga dengan mudahnya Hui Song dapat melompati tembok dan meloncat ke
sebelah dalam, menyelinap di antara bangunan-bangunan besar di dalam benteng
itu lalu dengan mudah saja dia bisa memasuki sebuah gedung terbesar di tengah
benteng. Itulah gedung tempat tinggal Lui-goanswe yang nampak sunyi saja, tanpa
penjagaan di sekitar gedung, dan agaknya semua penghuninya telah tidur.
Hui Song
cepat menyelinap masuk ke dalam gedung itu. Tidak lama kemudlan dia sudah
mengintai ke dalam sebuah ruangan yang terang di mana dia mendengar suara orang
bercakap-cakap. Ketika dia mengintai ke dalam, dia melihat seorang laki-laki
tinggi besar dan berwajah gagah, mukanya dihias jenggot dan kumis lebat,
berusia empat puluh tahun lebih, sedang makan minum dilayani oleh dua orang
pelayan wanita muda. Di depannya duduk pula seorang wanita cantik.
Saat melihat
wanita itu, jantung Hui Song segera berdebar keras. Dia kaget sekali karena dia
mengenal baik wanita cantik ini yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa, wanita
yang pernah memperdayainya dan nyaris membunuhnya, murid dari Raja Iblis itu!
Dan ternyata
bahwa pada waktu dia mengintai, mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba wanita
cantik itu bangkit berdiri dan berkata kepada dua orang pelayan wanita,
"Bersihkan meja!" lalu dia menggandeng tangan pria itu dan dengan sikap
manja menariknya bangkit dari kursinya.
Pria itu
hanya tersenyum dan Hui Song melihat bahwa keduanya hanya memakai pakaian tidur
yang tipis dan longgar saja. Hui Song merasa terheran-heran melihat hadirnya
gadis iblis itu di tempat itu. Karena dia tahu betapa lihainya Gui Siang Hwa,
cepat dia meloncat dan menyelinap ke dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan
ruangan itu karena dia melihat kamar itu terbuka daun pintunya dan kosong.
Kamar itu
adalah tempat yang paling baik untuk bersembunyi. Sebelum dia menghadap
Lui-goanswe, dia harus lebih dahulu menyelidiki apa artinya murid Raja Iblis
itu berada di tempat ini.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia mendengar suara langkah kaki
dan percakapan dua orang itu menuju ke kamar di mana dia sedang bersembunyi.
Celaka, pikirnya. Agaknya dia sudah salah masuk dan yang dimasukinya agaknya
malah kamar tidur mereka! Tidak ada waktu lagi untuk keluar dari situ, maka
jalan satu-satunya bagi Hui Song hanyalah bersembunyi dan dia pun cepat
menyusup ke bawah tempat tidur.
Tepat
seperti yang diduganya, langkah kaki itu menuju ke kamar dan dari bawah tempat
tidur, di bawah kain tilam tempat tidur itu, dia dapat melihat dua pasang kaki
memasuki kamar itu, lalu daun pintu ditutup dan sambil tertawa-tawa mereka
berdua langsung saja menuju ke tempat tidur! Tempat tidur itu berderit ketika
tertimpa pinggul wanita itu yang sudah merangkul sang pria dan ditariknya duduk
di sampingnya.
"Aihh,
manis, mengapa engkau begini tergesa-gesa? Baru saja kita habis makan...!"
pria yang bukan lain adalah Jenderal Lui Siong Tek itu berkata sambil tertawa
saat menerima cumbuan wanita cantik yang bertubuh menggiurkan itu.
"Hemm,
siapa sih yang kepingin? Apa kau kira aku tergesa-gesa mengajakmu tidur? Tak
tahu malu...!" Dengan sikap genit wanita itu mencela.
"Ha-ha-ha,
engkau menarikku dari meja makan, lalu kini menarik-narikku ke atas tempat
tidur, mau apa lagi kalau bukan..."
"Pikiranmu
memang penuh dengan urusan itu-itu saja!" Siang Hwa terkekeh manja dan
merangkul leher pria itu. "Aku tidak mau berbicara di hadapan para
pelayan, sebab itu aku tergesa-gesa mengajakmu masuk kamar. Bukan untuk itu,
melainkan untuk bicara."
"Bicara
apakah, Siang Hwa? Engkau minta apakah?"
"Lui-ciangkun,
benarkah... benarkah engkau cinta padaku...?"
Jenderal itu
merangkul dan menciumnya. "Aihhh, Siang Hwa, apakah engkau masih tidak
yakin akan cintaku? Semenjak kita berjumpa di hutan itu, ketika aku berburu dan
engkau berjalan sendirian, aku sudah menyangka engkau seorang bidadari dan aku
sudah jatuh cinta kepadamu."
"Ciangkun,
sudah satu pekan lebih aku berada di sini, melayanimu dengan sepenuh hati,
tetapi kenapa engkau belum juga mau memenuhi permintaanku, tidak mau
membalaskan dendam sakit hatiku?"
"Aaahh...
urusan itu...?" Tiba-tiba saja jenderal itu kehilangan kegembiraan dan
gairahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur.
Hui Song
cepat-cepat menyusup ke dalam kolong lagi, menarik kepalanya yang tadinya dia
keluarkan agar dia dapat mendengar dan melihat lebih jelas, karena setelah
jenderal itu duduk di tepi tempat tidur, dia akan dapat kelihatan kalau
menjulurkan kepalanya.
"Ciangkun,
sejak kita saling jumpa dan saling mencinta, tidak ada permintaan lebih dariku
kecuali yang satu itu. Lui-ciangkun, aku sudah menyerahkan segala-galanya
kepadamu, hanya untuk itu..."
Jenderal itu
mengerutkan alisnya dan kelihatan berduka. "Sayangku, mengapa justru itu
yang kau minta? Mintalah yang lain. Apa pun pasti akan kupenuhi, kecuali itu.
Aku adalah seorang panglima yang setia, yang semenjak jaman nenek moyangku
selalu menjunjung tinggi nama serta kehormatan, mana mungkin engkau memintaku
agar aku memberontak terhadap pemerintah?"
Hui Song
kaget bukan main mendengar ini. Ahh, dia mengerti sekarang. Tentu gadis iblis
ini sedang melakukan tugasnya, dan tugas itu adalah menggoda dan membujuk
panglima benteng Ceng-tek ini untuk bersekutu dengan para pemberontak!
Kiranya Raja
Iblis sudah mendengar akan kelemahan jenderal ini terhadap wanita cantik, maka
menyuruh muridnya sendiri yang selain lihai juga cantik manis itu untuk
menjebak sang jenderal dan kini Siang Hwa sedang menjalankan peranannya dengan
amat baik.
Mendengar
ucapan sang jenderal, Siang Hwa membujuk-bujuk lagi. "Ciangkun, di dalam
hidupku ini tiada hal lain lagi yang kuinginkan kecuali membalas dendam. Ayah
bundaku, saudara-saudaraku semuanya tewas oleh pemerintah, sekeluargaku
difitnah dan dihukum mati! Aku harus membalas dendam, dan satu-satunya jalan
hanya memberontak terhadap pemerintah! Ciangkun, engkau memegang kekuasaan atas
puluhan ribu tentara, betapa akan mudahnya kalau engkau mau memenuhi
permintaanku itu..."
"Hushhh...
diamlah dan jangan bicara lagi tentang hal itu, sayang. Mudah saja kau bicara
begitu. Apa bila bukan engkau yang bicara, tentu sudah kutangkap atau kubunuh
karena kata-katamu itu berarti pemberontakan. Dan mudah saja melawan
pemerintah, ya? Apa artinya bala tentara puluhan ribu kalau menghadapi bala
tentara pemerintah yang ratusan ribu? Sudahlah, jangan melamun yang bukan-bukan
dan anggap saja mala petaka yang menimpa keluargamu itu memang sudah menjadi
nasibmu yang ditentukan takdir."
"Ciangkun,
kiraku bukan aku saja yang mendendam terhadap pemerintah. Di dalam hal ini
engkau bisa mencari kawan-kawan, dan aku sanggup mencarikan teman-teman
sehaluan. Lui-ciangkun, aku... aku akan mencintamu sampai mati apa bila engkau
mau memenuhi permintaanku ini..." Dan wanita itu merangkul dan menciumi.
Akan tetapi tiba-tiba jenderal itu menghardik.
"Siang
Hwa, cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang hal itu! Kau dengar baik-baik,
aku adalah seorang panglima yang setia, kehormatan dan kesetiaanku lebih berat
dari pada dirimu, bahkan lebih berat dari pada nyawaku sendiri, mengerti?!"
Diam-diam
Hui Song merasa kagum juga kepada jenderal ini. Boleh jadi dia mempunyai
kelemahan terhadap wanita, mata keraniang dan menjadi hamba nafsu kelamin,
namun harus diakui bahwa dia adalah seorang laki-laki yang gagah dan teguh
pendiriannya.
"Bagus!
Begitukah, ciangkun? Setelah selama satu pekan ini kuserahkan segala-galanya
kepadamu, menyenangkan hatimu, menahan kemuakan hatiku sendiri, semua itu hanya
untuk sia-sia belaka? Jika begitu, ketahuilah bahwa aku adalah murid dari
Pangeran Toan Jit Ong yang akan memimpin pemberontakan, dan karena
penampikanmu, engkau tidak boleh hidup lebih lama lagi!"
Hui Song
terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari
dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jenderal itu memekik
keras dan tubuh yang tinggi besar itu lalu terguling roboh di atas lantai tanpa
nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pelipisnya!
Gui Siang
Hwa sudah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan tetapi gadis itu terkejut
setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur,
apa lagi ketika di bawah sinar lampu dia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.
"Kau...
kau... Cia Hui Song...!" Serunya dengan suara gemetar dan muka berubah
pucat.
"Perempuan
jahat!" Hui Song memaki marah karena melihat betapa dia muncul terlambat
sehingga jenderal itu tidak dapat ditolong lagi. Maka dia pun segera langsung
menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan
menangkapnya, apa lagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas
yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting.
Akan tetapi,
tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau
yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal
kelicikan serta kelihaian wanita itu, maka dia pun mengelak dengan lemparan
diri ke kiri. Kesempatan itu dipergunakan oleh Siang Hwa untuk melompat keluar
dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan masih mengenakan pakaian dalam
dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.
"Mau
lari ke mana kau?!" bentak Hui Song sambil mengejar.
Akan tetapi
suara ribut-ribut itu sudah memancing datangnya serombongan penjaga dan Hui
Song mendengar Siang Hwa berkata, "Tolong, pengawal...! Penjahat itu
membunuh Lui-ciangkun...!"
Karena para
pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya
dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song dengan senjata mereka!
"Perempuan
itulah pembunuhnya! Dia siluman jahat...!" Hui Song berseru.
Akan tetapi
mana mungkin para penjaga percaya kepadanya? Mereka tak mengenalnya,
sebaliknya, wanita itu sudah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka.
Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau
melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan
melanjutkan pengejarannya.
Akan tetapi,
serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak
Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song
membanting-banting kaki dan dia pun tidak mau melanjutkan pengejarannya.
Keadaan sudah sangat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimana pun juga,
Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada
wakil dari jenderal itu.
Dengan hati
tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para
penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan
berkata dengan suara nyaring,
"Sobat-sobat
harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan
dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi kebetulan sekali kedatanganku
tepat melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"
"Bohang!
Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."
"Tenang
dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Di mana adanya perempuan itu sekarang? Kalau
memang dia orang baik-baik, mengapa dia melarikan diri? Karena kalian
menghadangku, maka aku pun tak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah
dibunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh
pemberontak!"
Akan tetapi
para penjaga tidak mau percaya begitu saja walau pun ada di antara mereka yang
kemudian mencari-cari tetapi tidak dapat menemukan Siang Hwa. Di dalam gedung
Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.
"Sebaliknya
kalian bawa aku menghadap wakil Lui-ciangkun. Biar dia yang menentukan apakah
aku bersalah atau tidak!"
Usul ini
bisa diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring
masuk ke dalam benteng untuk dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil
dari Lui-ciangkun. Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah sangat
berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia
bisa menduga bahwa yang dibawa menghadap kepadanya adalah seorang pemuda yang
gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah,
sama sekali tidak terbayang watak yang jahat.
Dengan jujur
Hui Song membuat laporan di depan panglima itu. "Harap ciangkun maafkan
bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan
pribadi dari Kok-taijin di kota San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe.
Karena tak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung memasuki benteng
hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi saya melihat seorang wanita yang saya
kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Dia adalah murid Raja Iblis yang sedang menghimpun
para datuk sesat dan hendak memberontak, karena itu kehadirannya di Ceng-tek
tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saat saya melakukan
pengintaian di kamar Lui-goanswe, tanpa saya sangka-sangka iblis perempuan itu
membunuh Lui-goanswe saat rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu supaya
ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dia lalu pergi sambil membawa
gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga
salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga dia dibiarkan pergi
dan saya malah yang dikeroyok."
Dengan
tenang Bhe-ciangkun mendengarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa
ternyata wanita bernama Gui Siang Hwa itu memang telah lenyap dan wanita itu
pergi dalam keadaan setengah telanjang.
Bhe-ciangkun
menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat itu, wajahnya
berubah dan dia segera mengajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar
untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru
mereka tahu bahwa mereka tadi telah salah tangkap.
Sementara
itu, sesudah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun lantas
berkata, "Ahh, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan
pemberontak?"
Hui Song
mengangguk. "Malah dia dengan para pemberontak telah merencanakan untuk
membujuk Kok-taijin, akan tetapi tidak berhasil. Agaknya mereka hendak
menguasai kota San-hai-koan untuk dijadikan basis gerakan pemberontakan mereka.
Sebab itu Kok-taijin mengharapkan bantuan pasukan dari sini, ciangkun."
Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan betapa dia memasuki
sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.
"Hemm,
agaknya para tokoh pemberontak itu berusaha keras untuk mempengaruhi pula
Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan
kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya
sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan
mempersiapkan pasukan besar untuk sewaktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun
kalau ternyata dia benar-benar berani memberontak."
"Terima
kasih, ciangkun. Tugas saya di sini sudah selesai. Saya amat mengkhawatirkan
keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali ke sana secepatnya."
Demikianlah,
pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke kota San-hai-koan dan
Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan
anak panah yang memang diminta oleh Hui Song sekedar untuk penjagaan diri
karena dia maklum bahwa setelah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak
mungkin gadis itu lalu menyiapkan teman-temannya untuk menghadangnya bila dia
kembali ke San-hai-koan.
Kekhawatiran
Hui Song itu sama sekali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu,
Siang Hwa beserta kawan-kawannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih
penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini
terjadi di luar dugaan dan perhitungan Hui Song. Tidak disangkanya bahwa
Ji-ciangkun akan bergerak secepat itu untuk merampas dan menguasai benteng
untuk kaum pemberontak.
Pengambil
alihan benteng San-hai-koan dipercepat oleh para pemberontak karena hal ini ada
hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar
Lui-ciangkun di Ceng-tek itu. Setelah bertemu dengan Hui Song dia menyampaikan
berita ini secepatnya kepada gurunya, maka Raja Iblis segera minta kepada
Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga!
Raja Iblis
telah dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada
hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda yang
menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur
San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!
Karena
desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan
rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena
desakan Raja Iblis, sekarang mau tidak mau dia harus mempergunakan kekerasan.
Demikianlah,
pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung
Kok-taijin. Gubernur ini yang sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan,
segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar
gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.
Ji-ciangkun
masih hendak mempergunakan bujukan. Setelah gedung dikepung, lebih dulu dia
mengirimkan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur
menyerah saja dari pada harus diserbu dengan kekerasan. Namun Gubernur Kok
malah membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk
melindunginya.
Maka terjadilah
penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal
cepat melakukan perlawanan dengan gagah perkasa sehingga jatuhlah banyak korban
di antara kedua pihak. Sampai seharian lamanya gedung Kok-taijin masih dapat
dipertahankan oleh para pengawal meski pun jumlah mereka telah banyak berkurang
dan gedung itu masih tetap dikurung.
Dalam
keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang
lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara
pasukan Ji-ciangkun dengan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur
telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka dia pun membalapkan kudanya dan pada
saat dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau.
Hui Song
tidak peduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia
menerjang semua prajurit yang berani menghalanginya. Ketika para pengawal
Gubernur Kok mengenalnya, mereka lalu membukakan pintu dan membiarkan Hui Song
memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.
Sedih juga
hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan
berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah
gedung itu. Melihat perbandingan jumlah kedua pasukan, jelas bahwa tak mungkin
pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Dia cepat
menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya.
Keluarga gubernur itu telah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubernur
yang masih bersikap tenang dan tabah, walau pun wajahnya juga pucat sekali.
"Cia-sicu...!"
Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau
dapat datang juga? Bagaimana dengan tugasmu?"
Dengan
singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya, bahwa Bhe-ciangkun di
Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan
bahwa dia dan mereka yang berada di kota Ceng-tek sama sekali tidak menduga
bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak sedemikian cepatnya, sehingga tentu
saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.
Mendengar
ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi
dengan lemas. Para keluarga wanita semakin keras menangis ketika mendengar
bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.
"Diam!
Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat
dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata,
"Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku sendiri akan memimpin semua
pengawalku dan melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"
"Taijin,
saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari kota
San-hai-koan? Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri,
dibantu oleh pasukan pengawal."
Gubernur itu
menggelengkan kepalanya. "Hal itu tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin
menyelamatkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat? Dan
engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Lagi
pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri
ketakutan seperti anjing mau disembelih? Tidak, aku akan tetap bersama
keluargaku di sini, akan kuhadapi semuanya dengan tabah. Masih jauh lebih baik
aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir dari
pada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu,
sicu. Kau selamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubernur
itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.
Hui Song yang
baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal
wataknya yang gagah dan teguh, maka dia pun tahu bahwa berbantahan tidak akan
ada gunanya. Selain itu, dia pun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya
akan berhasil jika hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya sebab pihak
musuh terlalu banyak. Jika kereta yang membawa gubernur itu dihujani anak
panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka?
Berbeda
halnya bila hanya menyelamatkan satu orang saja, apa lagi yang bertubuh kecil
seperti anak perempuan ini. Dan dia pun tahu akan hati seorang ayah seperti
Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat dari pada dirinya
sendiri.
"Baik,
taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil
memegang tangan anak perempuan itu.
Anak itu tak
nampak ketakutan karena agaknya dia belum mengerti benar apa sebetulnya yang
sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya,
seperti sepasang sayap burung saja dan dia memakai pita merah. Dia tersenyum
saat tangannya digandeng Hui Song yang biar pun belum dikenalnya benar, akan
tetapi agaknya dia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya.
Akan tetapi,
ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangan itu, anak
itu menangis.
"Ayah...!
Ibu...! Aku ikut ayah dan ibu...!"
Ibunya
menangis, akan tetapi Kok-taijin memberi isyarat kepada Hui Song agar membawa
anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. Anak itu
meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.
"Diamlah,
adik yang manis, kita pergi keluar untuk menyelamatkanmu. Marilah!" Hui
Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas
punggung kudanya. "Adik yang manis, kau rangkullah leherku, akan kugendong
di belakangku. Jangan takut, aku akan menyelamatkanmu," katanya.
Dia pun
telah mengambil busur dan menyiapkan anak panahnya, lalu membedal kudanya
keluar. Para pengawal telah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan puteri
sang gubernur, maka mereka melindunginya dengan anak-anak panah yang mereka
luncurkan ke depan.
Pertempuran
sudah terjadi lagi dan sekarang Hui Song membalapkan kudanya di antara
pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan
dengan busurnya dan kadang-kadang dia pun melepas anak panah merobohkan
beberapa orang prajurit musuh yang berani menghadang. Ada kalanya pula dia
menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani
mendekat.
Kebakaran-kebakaran
terjadi ketika para prajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung.
Hui Song meloncati pagar-pagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada
beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia segera membalas dengan anak
panahnya, maka robohlah dua orang prajurit yang menyerangnya dari atas benteng.
Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena
siapa pun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda
pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya.
Walau pun
dengan susah payah, akhirnya Hui Song berhasil membawa anak perempuan itu
keluar dari pintu gerbang San-hai-koan. Legalah hatinya dan dia terus
membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan. Akan tetapi tiba-tiba ada
benda-benda berkilauan yang menyambarnya dengan kecepatan luar biasa.
Hui Song
terkejut sekali, dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari
atas punggung kudanya. Kuda itu ketakutan. Memang sejak tadi kuda itu sudah
panik di antara pertempuran yang terjadi di San-hai-koan. Maka, sesudah dia
terbebas dari beban penunggangnya, dia langsung membalap melarikan diri.
Setelah
meloncat turun dan menengok ke kanan, dari arah mana pisau-pisau terbang tadi
datang menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang
Hui-to Cin-jin sudah berdiri di sana, bersama Kang-thouw Lo-mo si gendut dan
tidak ketinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri di sana dan
memandang kepadanya dengan senyum mengejek.
"Hemm,
kembali si tampan gagah putera ketua Cin-ling-pai mencampuri urusan kita,"
kata Siang Hwa. Biar pun suaranya mengandung nada ejekan, akan tetapi sinar
matanya tidak bisa menyembunyikan perasaan kagum dan sukanya kepada pendekar
yang tampan dan gagah itu.
"Ha-ha-ha-ha,
sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!" Kang-thouw
Lo-mo tertawa. Hui-to Cin-jin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau
terbangnya tadi pun gagal, sekarang sudah mencabut sepasang belatinya dan siap
untuk menyerang dengan sikap mengancam.
Hui Lian
yang berada dalam gendongan Hui Song menjadi ketakutan dan menangis. Anak itu
mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.
"Hi-hi-hik,
kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pangasuh
anak-anak." Dan kini wanita itu mengeluarkan sebatang pedang yang tadi
terselip pada punggungnya dan suaranya menjadi kereng dan ganas ketika dia
berkata, "Tidak, sekali ini dia tidak boleh lolos. Pekerjaanku di kota
Ceng-tek hampir saja gagal karena campur tangannya."
Kang-thouw
Lo-mo juga sudah mengambil guci araknya dan membuka tutup guci, minum araknya
sambil menyeringai. Hui Song maklum bahwa dia kini menghadapi tiga orang musuh
besarnya yang pernah hampir menewaskannya di dalam Goa Iblis Neraka. Selain
maklum akan kelihaian dan kecurangan mereka, juga dia ingin sekali membalas
kelicikan mereka ketika di dalam goa dahulu itu.
Kali ini dia
harus dapat membasmi tiga orang iblis ini, karena kalau tidak, mereka bertiga
ini hanya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan saja di dalam dunia. Maka dia
segera menurunkan anak perempuan itu, melepaskannya di bawah sebatang pohon tak
jauh dari situ.
"Adik
yang baik, kau duduklah di sini dulu, dan jangan pergi ke mana pun,"
katanya.
Anak itu
berhenti menangis, kemudian duduk sambil memeluk batang pohon, seolah-olah
hendak mencari perlindungan pada sebatang pohon yang nampak kokoh kuat itu. Setelah
melepaskan anak itu, Hui Song merasa lega sekali. Dengan senyum di bibir, sikap
yang tenang dan tabah sekali, dia kemudian menghampiri tiga orang musuh yang
sudah siap mengeroyoknya itu.
"Hui-to
Cin-jin, Kang-thouw Lo-mo dan Gui Siang Hwa, kalian adalah tiga orang manusia
berhati iblis, jangan harap akan dapat melakukan kecurangan lagi padaku. Sekali
ini aku akan menghajar dan menghukum kalian yang sudah terlalu banyak melakukan
dosa!"
Pendekar ini
memang tak pernah membawa pedang dan sudah biasa menghadapi lawan yang tangguh
dengan tangan kosong saja. Bagi seorang pendekar seperti Hui Song yang sudah
mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bertangan kosong pun tidak
kurang berbahayanya dari pada kalau dia bersenjata dan setiap benda bisa saja
menjadi senjata baginya.
Melihat Hui
Song melangkah maju tanpa senjata, tiga orang lawan yang telah memegang senjata
andalan mereka masing-masing itu diam-diam merasa gentar juga. Orang yang sudah
berani maju bertangan kosong, apa lagi dengan sikap sedemikian tenangnya, tentu
memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Dan mereka pun sudah pernah menguji
kehebatan ilmu silat pemuda ini, maka kini mereka bertiga bersikap hati-hati
dan diam-diam mereka mempersiapkan senjata rahasia masing-masing.
Namun gerakan
mereka itu sudah diketahui oleh Hui Song. Apa lagi pemuda ini sudah mengenal
kecurangan mereka. Bila mana dia teringat kepada Sui Cin, gadis yang menjadi
pujaan hatinya, yang sekarang entah berada di mana, yang mengalami gegar otak
hingga kehilangan ingatannya, bahkan nyaris tewas saat terkena sambitan batu
yang dilontarkan oleh Kang-thouw Lo-mo, pemuda ini merasa sakit hati sekali.
Sekali ini dia harus mampu membalaskan penderitaan Sui Cin dan dia sendiri,
juga melenyapkan tiga orang manusia jahat ini dari permukaan bumi berarti akan
mengurangi terjadinya kejahatan yang timbul dari perbuatan mereka.
"Bocah
sombong, bersiaplah untuk mampus!" Tiba-tiba Hui-to Cin-jin menyerang
dengan kedua pisaunya.
Gerakannya
memang cepat dan lengannya yang panjang itu bergerak dari atas bawah dan kanan
kiri, ujung pisaunya yang runcing tajam menyambar-nyambar seperti patukan maut.
Tapi dengan lincahnya Hui Song mengelak dan menangkis hantaman Kang-thouw Lo-mo
yang sudah menyusul pula dengan serangan hantaman ciu-ouw di tangannya.
"Desss...!"
Tangkisan
Hui Song membuat tubuh gendut itu terhuyung dan pada saat itu pula nampak sinar
berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan Siang Hwa sudah menyambar ke arah
leher Hui Song.
"Mampuslah
kau!" bentak Siang Hwa.
Pedangnya
mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar lewat sebab dengan mudah saja Hui
Song dapat mengelak dengan cara merendahkan dirinya, sedangkan kaki kanan
pemuda itu segera meluncur ke kanan, menghantam ke arah perut gendut Kang-thouw
Lo-mo. Kakek ini terkejut dan menangkis dengan tangan kirinya yang dimiringkan
sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk...!"
Kembali kakek itu terhuyung.
Maka
terkejutlah kakek gendut ini. Dia adalah seorang tokoh Cap-sha-kui, yang
terkenal memiliki tenaga besar, akan tetapi hanya dalam beberapa gebrakan saja
sudah dua kali dia terhuyung karena terdorong oleh kekuatan besar sekali dalam
pertemuan tenaga itu.
Hal ini
tidaklah mengherankan. Hui Song sudah mewarisi tenaga sakti Thian-te Sin-ciang
dari ayahnya dan ketika dia digembleng selama tiga tahun oleh Dewa Kipas
Siang-kiang Lo-jin, tenaganya itu semakin bertambah kuat saja.
Terjadilah
perkelahian yang amat seru antara Hui Song dengan tiga orang pengeroyoknya.
Biar pun tiga orang lawannya menggunakan senjata, Hui Song sama sekali tidak
nampak terdesak. Dengan mudahnya dia dapat mengelak dari semua serangan, bahkan
kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kuatnya jika
dibandingkan dengan senjata lawan. Bahkan jari-jari tangan pemuda ini berani
menangkis pedang di tangan Siang Hwa, membuat gadis itu terpekik kagum dan
kaget karena jari-jari tangan pemuda itu kalau menangkis pedang, langsung
membuat pedangnya terpental dan mengeluarkan suara berdencing seolah-olah
pedangnya bertemu dengan baja.
Hui Song
sama sekali tidak terdesak, bahkan dia pun dapat membagi-bagi pukulan atau
tendangan sebagai balasan. Badan pemuda itu kadang-kadang dilindungi ilmu
kekebalan yang luar biasa kuatnya, yaitu ilmu kebal Tiat-po-san yang membuat
kulitnya tidak dapat ditembus oleh bacokan senjata tajam.
Oleh karena
ini, biar pun beberapa kali pisau atau pedang mengenai tubuhnya karena dia
memang tidak merasa perlu untuk menghindarkan diri, senjata-senjata tajam itu
bertemu dengan kulit dan membalik. Hanya baju pemuda itu saja yang robek oleh
senjata-senjata tajam itu.
Dan
permainan ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun yang mempunyai daya tahan sangat
kuat itu membingungkan tiga orang lawannya, membuat mereka sukar sekali mencari
tempat lowong, seolah-olah seluruh tubuh pemuda itu telah dilindungi oleh
bayangan lengan yang merupakan benteng yang kokoh kuat.
Hui-to
Cin-jin menjadi penasaran dan tidak sabar. Dia mengeluarkan pekik nyaring,
lantas ada tiga sinar berkelebat terbang ke arah Hui Song. Itulah tiga batang
pisau terbang yang dilepasnya kepada pemuda itu.
"Tring-tring-tringg...!"
Jari-jari
tangan Hui Song menyambut dengan sentilan-sentilan, lantas tiga batang pisau
terbang itu membalik ke arah pemlliknya! Nyaris saja leher Hui-to Cin-jin
terkena pisaunya sendiri kalau dia tidak cepat merendahkan tubuhnya.
Akan tetapi
pada saat dia merendahkan tubuh, tiba-tiba tubuh Hui Song telah berkelebat
datang dan sebuah tendangan kaki kiri pendekar muda itu tidak mampu dihindarkan
oleh si kakek yang berpakaian tosu itu, biar pun dia mencoba mengelak dengan
memiringkan tubuhnya.
"Desss...!"
Pinggulnya
disambar kaki Hui Song sehingga kakek ini terlempar dan terbanting jatuh. Dia
menyeringai karena merasa pinggulnya nyeri bukan main, dan ketika dia bangkit
bangun kemudian berjalan, langkahnya pun terpincang-pincang. Hanya kemarahan
dan rasa malu yang membuat dia nekat menyerang lagi dengan sepasang pisaunya.
Guci arak di
tangan si gendut Kang-thouw Lo-mo menyambar ke arah dada Hui Song. Pemuda ini
tidak ingin berkelahi terlalu lama karena kalau dia tidak segera merobohkan
mereka ini mungkin kawan-kawan mereka akan datang atau andai pun tidak, dia
akan berada dalam ancaman bahaya apa bila sampai ada pengejaran dari pasukan
anak buah Ji-ciangkun.
Maka,
melihat datangnya guci arak yang menyambar ke dadanya, dia cepat mengerahkan
tenaga Tiat-po-san melindungi dadanya. Pada waktu guci itu menghantam dadanya,
dia membarengi tamparan tangan kanannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke
arah perut gendut itu.
"Bunggg...!"
Terdengar perut itu berdengung ketika terkena hantaman dan tubuh si gendut itu
terjengkang dan terguling-guling sampai jauh.
Akan tetapi
bukan hanya kepala hwesio itu saja yang memiliki kekebalan, melainkan juga pada
perutnya. Perutnya itu kuat seperti bola karet yang penuh hawa, maka ketika
kena hantaman Thian-te Sin-ciang, isi perut itu sama sekali tidak terluka,
hanya tubuhnya saja yang terlempar, juga hanya terasa nyeri saja karena
babak-belur terguling-guling. Kakek berbaju hwesio ini segera bangkit dan
mukanya berubah merah karena malu dan marah. Dia tertatih-tatih maju lagi
mengayun-ayun guci araknya di atas kepala.
Sementara
itu, sesudah melihat betapa dua orang pembantunya sempat dirobohkan Hui Song,
Siang Hwa menjadi marah. Gerakan pedangnya semakin gencar dan dia menerjang ke
depan bagaikan kesetanan, lalu tiba-tiba saja tangan kirinya mengebutkan sapu
tangan merah yang mengandung racun pembius itu.
Akan tetapi
kali ini Hui Song sudah bersiap-siap. Dia menahan napas dan meniup ke arah debu
yang mengepul dari sapu tangan, maka buyarlah debu itu bahkan membalik ke arah
Siang Hwa sendiri.
"Keparat!"
Siang Hwa berteriak marah.
Pada saat
itu terdengar bentakan nyaring Hui-to Cin-jin, "Cia Hui Song, segera
hentikan perlawananmu atau anak ini akan kusembelih!"
Hui Song
terkejut bukan main. Dia cepat meloncat mundur dan ketika menengok ke arah
suara itu, mukanya berubah pucat. Kiranya Hui-to Cin-jin sudah menjambak rambut
anak perempuan itu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya yang memegang
pisau tajam berkilauan itu ditempelkan di leher anak kecil yang mulai menangis
ketakutan itu!
"Jahanam
busuk! Lepaskan anak itu dan mari kita bertanding sampai satu di antara kita
roboh tewas!" Hui Song membentak marah akan tetapi tosu itu menyeringai.
"Kau
menyerah atau anak ini kusembelih lebih dulu... aihhhh...!" Tiba-tiba tosu
itu menjerit dan terhuyung, dari lambungnya bercucuran darah segar dan dia pun
terguling roboh dan berkelojotan.
Ternyata
diam-diam muncul seorang pria yang menggunakan pedang menusuk lambung kakek
berpakaian tosu itu. Gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tosu itu tidak
sempat mengelak lagi dan kini dia menyelipkan pedangnya di sarung pedang,
kemudian menyambar tubuh Kok Hui Lian dengan lengan kanannya lalu dia melompat
pergi dari situ tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
"Ciang-suheng...!"
Hui Song berseru, kaget dan juga girang.
Dia mengenal
orang yang lengan kirinya buntung itu karena orang itu adalah Ciang Su Kiat,
bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kiri sendiri karena
dipersalahkan oleh ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi lelaki buntung sebelah
lengannya itu tidak menjawab, bahkan menoleh pun tidak, melainkan berlari makin
cepat. Larinya cepat sekali sehingga mengagetkan hati Hui Song yang dapat
menduga bahwa bekas suheng-nya itu kini sudah memiliki kepandaian tinggi.
Tentu saja
Kang-thouw Lo-mo dan Siang Hwa terkejut bukan main melihat betapa kawan mereka
tewas secara tak terduga-duga, hanya karena serangan satu kali saja dari orang
buntung tadi. Akan tetapi mendengar Hui Song menyebut suheng kepada orang itu,
tentu saja mereka terkejut dan gentar. Baru Hui Song sudah begini lihai, apa
lagi suheng-nya! Orang-orang yang berwatak kejam biasanya berjiwa pengecut.
Tanpa banyak kata lagi, dua orang itu lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan
lari!
Melihat ini,
Hui Song mengejar, "Keparat, kalian hendak lari ke mana?" bentaknya
dan dia pun mengerahkan ginkang-nya melakukan pengejaran.
Semenjak berlatih
di bawah bimbingan Si Dewa Kipas, ilmu meringankan tubuh pemuda ini memang
meningkat dengan sangat hebat. Belum lama dia mengejar, dia sudah dapat
menyusul Kang-thouw Lo-mo yang larinya tidak secepat Siang Hwa.
"Iblis
tua, engkau hendak lari ke mana?!" Hui Song membentak.
Karena
maklum bahwa lari pun tidak ada gunanya, Kang-thouw Lo-mo menjadi nekat. Dia
segera membalik sambil menghantamkan guci araknya ke arah muka Hui Song. Pemuda
yang sudah marah ini tidak mengelak, bahkan menggunakan tangan kanan yang
terbuka memapaki pukulan itu dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Prokkk...!"
Guci arak
itu pecah berantakan dan isinya, setengahnya masih berisi arak, berhamburan
memercik ke mana-mana sehingga terciumlah bau arak yang sangat menyengat
hidung. Melihat senjatanya yang sangat disayangnya itu pecah, Kang-thouw Lo-mo
marah bukan main. Dia cepat melangkah mundur dan menundukkan kepalanya,
tubuhnya direndahkan dan seperti seekor kerbau mengamuk, dia lantas lari ke
depan, menggunakan kepalanya yang botak itu untuk menyeruduk ke arah perut Hui
Song!
Hebat bukan
main serangan ini dan agaknya kakek yang sudah putus harapan dan nekat ini
mempergunakan senjatanya yang terakhir, yaitu kepalanya. Kepalanya memang telah
terlatih, dapat membentur pecah batu karang, kuat bukan main.
Hui Song
belum tahu sampai di mana kekuatan yang berada dalam kepala itu, maka dia pun
tidak mau sembrono menerima serudukan itu begitu saja. Dia cepat-cepat
miringkan tubuhnya dan ketika kepala botak itu meluncur lewat dekat perutnya,
dia menggerakkan tangan kanan, mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan tangan
kanannya itu seperti sebatang golok atau sebuah palu godam yang menyambar turun
dari atas, tepat ke arah tengkuk di belakang kepala botak besar itu.
"Ngekkk...!"
Tengkuk itu
besar dan kuat seperti tengkuk kerbau, akan tetapi kekuatan yang berada di
tangan Hui Song amat hebat. Maka sekali pukul saja kakek itu mengeluh dan
terpelanting roboh dengan dua matanya mendelik, nyawanya putus bersama dengan
patahnya tulang tengkuknya! Tewaslah Kang-thouw Lo-mo.
Hui Song
sejenak meragu. Siapakah yang harus dikejarnya? Siang Hwa ataukah bekas
suheng-nya? Siang Hwa sudah tidak nampak lagi dan dia tahu betapa lihainya
wanita itu. Kalau sampai wanita itu mendahuluinya mencapai guru-gurunya, maka
dia akan celaka. Bagaimana pun lihainya, dia masih ragu-ragu apakah dia akan
mampu menandingi Raja dan Ratu Iblis yang dia tahu sakti bukan main itu.
Dan dia pun
amat mengkhawatirkan keselamatan puteri gubernur, maka dia mengejar ke arah
larinya Ciang Su Kiat. Akan tetapi, ia pun kehilangan jejak bekas suheng-nya
ini dan akhirnya dia menghibur hatinya sendiri bahwa puteri gubernur itu tentu
selamat berada di tangan Ciang Su Kiat yang dia yakin memiliki jiwa pendekar
yang gagah perkasa.
Maka dia pun
lalu kembali ke San-hai-koan untuk melihat bagaimana perkembangan di kota
benteng itu. Akan tetapi, dia tidak dapat masuk. San-hai-koan sudah jatuh ke
tangan pasukan Ji-ciangkun yang memberontak! Dan pintu gerbangnya dijaga ketat.
Juga di atas tembok-tembok benteng terdapat barisan anak panah yang siap
menyerang siapa saja yang berani naik.
Apa gunanya
lagi memasuki San-hai-koan, pikirnya. Keluarga gubernur telah terbasmi dan dari
para pengungsi dia mendengar bahwa gubernur serta keluarganya telah tewas dalam
gedungnya yang telah terbakar habis. Sebagian dari pasukan pengawal menyerah
kepada pasukan Ji-ciangkun, ada pun pembersihan masih terus dilakukan. Siapa
pun juga yang mencurigakan ditangkap, dan yang condong memihak Kok-taijin
dibunuh.
Kekacauan
terjadi di kota San-hai-koan dan karena dia sudah dikenal sebagai pengawal
pribadi Kok-taijin, tentu saja Hui Song tidak begitu bodoh untuk memasuki kota
itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Ceng-tek dan mengabarkan
tentang jatuhnya benteng San-hai-koan ke tangan pemberontak itu kepada
Bhe-ciangkun yang sekarang menjadi komandan sementara di Ceng-tek menggantikan
kepalanya yang telah tewas.
Mendengar
tentang jatuhnya San-hai-koan itu, Bhe-ciangkun tidak berani sembarangan turun
tangan dan segera mengutus anak buahnya untuk cepat menunggang kuda ke kota
raja dan mengirimkan berita ke kota raja, menanti keputusan dan perintah
selanjutnya dari pusat pemerintahan mengenai pemberontakan Ji-ciangkun itu.
***************
Pemuda yang
berjalan seorang diri di luar Tembok Besar itu amatlah gagahnya. Usianya masih
muda, paling banyak dua puluh dua tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi tegap dan
wajahnya tenang serius sehingga dia nampak jauh lebih dewasa dari pada usianya
yang sebenarnya. Rambutnya yang hitam dan lebat itu dikuncir tebal dan panjang,
dikalungkan ke lehernya yang nampak kokoh kuat itu.
Pakaiannya
amat sederhana, terbuat dari kain kasar saja, namun bersih dan di sebelah
luarnya dia mengenakan jubah pendek terbuat dari kulit harimau. Dandanan
sederhana dan gagah ini memberi kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang
gagah, seorang pendekar muda atau setidaknya seorang pemburu, atau orang yang
sudah biasa hidup menghadapi kesukaran dan kekerasan. Sinar matanya tajam
mencorong dan di dalamnya membayangkan kekerasan hati, walau pun terdapat
kelembutan dan kejujuran, terutama pada bentuk dagu dan tarikan mulutnya.
Pemuda
tinggi tegap yang gagah perkasa ini adalah Siangkoan Ci Kang yang pada waktu
itu sudah berusia dua puluh satu tahun. Seperti sudah kita ketahui, pemuda ini
adalah putera tunggal dari mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Iblis Buta
yang merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Akan tetapi datuk
sesat ini tewas di tangan Ratu Iblis.
Dan
sebelumnya, seperti telah diceritakan pada bagian depan, Ci Kang melarikan diri
dari ayahnya setelah antara anak dan ayah ini terdapat bentrokan paham, bahkan
oleh para tokoh Cap-sha-kui pemuda itu dianggap musuh yang harus ditangkap atau
pun dibunuh. Kemudian pemuda ini bertemu dengan Ciu-sian Lo-kai, yaitu tokoh
sakti yang berpakaian pengemis itu, dan digembleng sebagai muridnya.
Di bawah
bimbingan Ciu-sian Lo-kai, bakat dan watak yang baik dan gagah pemuda ini terus
berkembang. Antara Ciu-sian Lo-kai dengan Go-bi San-jin telah diadakan
perjanjian dan perlombaan untuk mendidik murid, maka Dewa Arak telah menanamkan
pandangan hidup Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, kepada
muridnya itu.
Karena itu,
biar pun terlahir di kalangan sesat dan sejak kecil bergaul dengan datuk-datuk
sesat, melihat segala macam tindakan yang kejam, ganas dan curang, kini Ci Kang
dapat melihat dengan jelas betapa buruknya kehidupan di antara teman-teman
ayahnya itu.
Jiwa
kependekarannya semakin bangkit dan meski pun dia tetap ingin menentang segala
bentuk kejahatan, namun dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk
meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang sesat, dan bukannya mematahkannya
atau membunuhnya, sesuai dengan pesan-pesan Ciu-sian Lo-kai yang mentrapkan
pandangan hidup Cia Han Tiong kepada muridnya ini.
Sesudah
lewat tiga tahun, Ciu-sian Lo-kai lalu menyuruh muridnya untuk pergi ke Benteng
Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Gurunya ini telah memberi tahu kepadanya
bahwa di tempat itu hendak diadakan pertemuan para pendekar untuk membicarakan
mengenai kebangkitan para datuk kaum sesat yang akan mengadakan gerakan
pemberontakan dan pemuda itu ditugaskan oleh gurunya untuk ikut pula menentang
usaha para datuk sesat.
Maka
berangkatlah Ci Kang meninggalkan gurunya. Akan tetapi, bagaimana pun juga dia
teringat akan ayahnya yang sudah tua dan buta. Biar pun ayahnya menjadi seorang
datuk sesat, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang anak terhadap ayahnya
membuat Ci Kang lebih dahulu pergi mengunjungi ayahnya di Po-hai, Shen-si,
sebelum dia melakukan perjalanan keluar Tembok Besar di utara.
Akan tetapi
dia tidak bisa bertemu dengan ayahnya, bahkan dia mendengar berita bahwa
ayahnya telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis, datuk sesat baru yang kini
menguasai seluruh datuk sesat pada saat terjadi pertemuan antara para datuk di
lereng Pegunungan Tapie-san. Dia hanya menarik napas panjang, sadar bahwa
kematian ayahnya di tangan datuk sesat itu hanyalah akibat dari pada sikap dan
perbuatan ayahnya sendiri.
Dia akan
menentang para datuk sesat, terutama Raja Iblis, akan tetapi bukan disebabkan
dendam akibat kematian ayahnya, melainkan karena memang menjadi kewajiban
seorang pendekar untuk menentang kejahatan. Andai kata ayahnya masih hidup
sekali pun, tetap saja dia akan menentang kejahatan yang dilakukan ayahnya dan
anak buahnya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment