Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 21
KETIKA pada
pagi hari itu dia berjalan seorang diri di luar Tembok Besar di wilayah yang
dahulu pernah dikuasai oleh Jeng-hwa-pang, tempat itu masih nampak sunyi.
Pemuda ini tidak tahu bahwa dia datang terlalu pagi. Waktu yang ditentukan oleh
para pendekar untuk mengadakan pertemuan di tempat itu masih satu bulan lagi.
Namun
akhirnya dia tiba juga di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang tembok-temboknya
masih kokoh kuat akan tetapi kini hanya merupakan sebuah dusun kecil yang
dihuni oleh orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan sebagai pemburu dan juga
menjadi tempat persinggahan bagi para pedagang atau mereka yang sering berlalu
lalang melalui Tembok Besar.
Hatinya agak
tegang dan berdebar karena dia merasa gembira. Biar pun dahulu dia selalu
bergaul dengan para datuk sesat, akan tetapi dia selalu menentang
perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik dan dia merasa tidak pernah suka
bergaul dengan mereka.
Akan tetapi
kini dia datang ke tempat itu sebagai seorang pendekar yang akan menghadiri
pertemuan antara kaum pendekar! Hatinya terasa gembira sekali sebab dia akan
bertemu dan berkenalan dengan orang-orang gagah yang menurut gurunya hendak
berkumpul di tempat ini dan di antara mereka terdapat orang-orang sakti yang
berilmu tinggi. Sungguh merupakan pertemuan yang akan membuka matanya dan
menambah pengalaman serta meluaskan pengetahuannya.
Ketika dia
tiba di tempat itu, pertama-tama dia melihat serombongan orang gagah terdiri
dari tujuh orang, lima pria dan dua wanita. Usia mereka antara dua puluh lima hingga
tiga puluh lima tahun dan sikap mereka kelihatan gagah sekali dengan pedang di
punggung mereka. Karena dari sikap mereka saja Ci Kang sudah dapat menduga
bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang datang untuk menghadiri pertemuan
pula, maka dia pun menghampiri mereka.
Mereka
bertujuh sedang duduk di bawah pohon, di luar bekas benteng itu dan tujuh ekor
kuda yang baik ditambatkan di batang pohon itu. Di atas sebuah di antara
sela-sela kuda, dia melihat berkibarnya sebuah bendera kecil berwarna kuning
yang bertuliskan tiga buah huruf Hoa-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Bunga) dan
ada gambar sepasang pedang melintang.
Ci Kang
belum pernah mendengar tentang nama perkumpulan itu, akan tetapi dia dapat
menduga bahwa tentu ini adalah nama sebuah perkumpulan pendekar pedang yang
amat tangguh. Dia semakin gembira dan cepat menjura kepada mereka dengan sikap
hormat dan wajah ramah.
"Selamat
bertemu, cu-wi-enghiong (para pendekar sekalian)! Cu-wi tentu tokoh-tokoh dari
Hoa-kiam-pang yang terkenal."
Seorang di
antara mereka, seorang laki-laki jangkung yang kurus dan paling tua di antara
mereka, agaknya menjadi pemimpin rombongan, bersama yang lain kemudian membalas
penghormatan itu dan si jangkung kurus menjawab,
"Selamat
berjumpa, sobat. Kami hanyalah murid-murid Hoa-kiam-pang yang diutus oleh para
pemimpin kami untuk melihat-lihat keadaan. Selamat berkenalan! Dan bolehkah
kami mengenal siapa adanya sobat yang gagah ini?"
Ci Kang
tersenyum ramah. "Saya bernama Siangkoan Ci Kang dan saya diutus oleh suhu
untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang akan diadakan di tempat ini.
Bukankah cu-wi juga datang untuk keperluan itu?"
Si jangkung
kurus menatap tajam. "Pertemuan itu akan diadakan satu bulan lagi. Engkau
datang terlalu pagi, sobat. Kami sendiri datang hanya untuk melihat-lihat
keadaan, apakah tempat ini aman untuk pertemuan itu dan selain kami, ada pula
belasan orang sahabat dari berbagai perkumpulan pendekar yang juga datang untuk
melihat keadaan."
"Benarkah?
Ahh, saya ingin sekali belajar kenal dengan para pendekar itu."
"Sekarang
mereka berkumpul di sebelah dalam bekas benteng, di sebuah kedai arak kecil
yang dibuka oleh penduduk tempat ini. Mari kita ke sana, saudara Siangkoan Ci
Kang, nanti kita perkenalkan."
Tujuh orang
itu mengajak Siangkoan Ci Kang memasuki bekas benteng Jeng-hwa-pang dan pada
saat mereka menghampiri sebuah kedai arak, beberapa orang yang nampaknya
gagah-gagah dan yang duduk minum arak di kedai itu memandang penuh perhatian.
"Cu-wi-enghiong!"
kata murid Hoa-kiam-pang yang jangkung kurus itu memperkenalkan, "Ini
seorang pendatang baru, seorang pendekar muda bernama Siangkoan Ci
Kang...!"
"Dia
adalah tokoh sesat!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan seorang pemuda
tampan gagah meloncat keluar kedai lantas menghadapi Ci Kang dengan mata
mencorong penuh kemarahan.
Ci Kang
terkejut lantas memandang. Dia tidak lupa. Pemuda ini adalah seorang di antara
para pendekar yang dulu membela Jenderal Ciang di dalam perayaan pasta ulang
tahun Ang-kauwsu di kota Pao-fan! Dulu pemuda ini selalu bersama Ceng Sui Cin,
gadis cantik gagah puteri Pendekar Sadis itu. Ahh, benar. Pemuda ini adalah
putera ketua Cin-ling-pai seperti yang diketahuihya dari para tokoh
Cap-sha-kui!
Tentu saja
seruan yang dikeluarkan oleh Hui Song ini mengejutkan semua pendekar yang
berkumpul di sana. Seperti kita ketahui, Hui Song tidak dapat kembali ke
San-hai-koan yang sudah diduduki oleh pemberontak. Maka dia pun pergi ke
benteng Jeng-hwa-pang di mana dia bertemu dengan beberapa orang pendekar,
lantas dia bercerita tentang gerakan para pemberontak kepada mereka. Ketika
tujuh orang murid Hoa-kiam-pang itu muncul bersama Ci Kang, dia segera mengenal
pemuda berbaju kulit harimau ini dan tentu saja dia menjadi marah.
"Dia
ini tokoh pemberontak sesat, tentu datang untuk memata-matai kita!" seru
Hui Song lagi sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
Ci Kang
menjura dengan sikap hormat dan gagah, akan tetapi juga tenang, sungguh pun
ucapan putera ketua Cin-ling-pai itu seperti pedang menusuk jantung.
"Maaf, saya datang sebagai utusan suhu yang berjuluk Ciu-sian Lo-kai,
harap cu-wi tidak salah sangka."
Nama
Ciu-sian Lo-kai tidak terkenal di dunia kang-ouw karena memang kakek ini,
seperti juga kakek-kakek sakti lain yang baru bermunculan setelah dunia
kang-ouw dikacau oleh Cap-sha-kui dan terutama sekali karena munculnya Raja dan
Ratu Iblis. Oleh karena itu, nama ini tidak mendatangkan kesan di hati pendekar
muda yang berkumpul di situ.
Akan tetapi
Hui Song juga bukan seorang pemuda sembrono dan dia mau yakin dahulu apakah
benar pemuda ini yang beberapa tahun yang lampau pernah dilihatnya membantu
Cap-sha-kui lolos dari kepungan.
"Hemm,
namamu Siangkoan Ci Kang, engkau putera tunggal dari datuk sesat Siangkoan
Lo-jin Si Iblis Buta, bukan?"
"Benar,
akan tetapi saya tidak pernah mencampuri semua perbuatan jahat dunia
sesat," jawab Ci Kang dengan jujur dan gagah.
"Hemm,
bukankah engkau pernah beberapa kali mempergunakan anak panah membantu para
tokoh Cap-sha-kui lolos dari tangkapan?" Hui Song mendesak lagi.
Siangkoan Ci
Kang terlalu jujur dan gagah untuk menyangkal. Dia lalu mengangguk.
"Benar..."
"Nah,
mau bicara apa lagi? Engkau mata-mata kaum sesat, terimalah ini!"
Hui Song
menerjang sambil mengirim tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat
dahsyat. Tamparannya itu mendatangkan angin bersiut menyambar ke arah muka
Siangkoan Ci Kang. Pemuda ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membantah
dan melihat betapa serangan Hui Song sedemikian hebatnya, dia pun menggerakkan
lengan menangkis.
"Dukkk...!"
Keduanya
mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan dua lengan itu membuat kedua orang
pemuda itu terdorong ke belakang seolah-olah bertemu dengan gelombang tenaga
yang amat kuat. Mereka saling tatap dan tahulah mereka bahwa keduanya menemukan
lawan yang amat tangguh.
Sementara
itu, semua pendekar yang berada di sana sudah mengenal Hui Song sebagai putera
ketua Cin-ling-pai yang berkepandaian tinggi, jadi tentu saja mereka lebih
percaya kepada Hui Song. Apa lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu sudah
mengaku sebagai putera Si Iblis Buta. Hal ini saja sudah cukup membuat mereka
semua memusuhinya, dan serentak mereka lalu mencabut senjata dan menerjang
maju.
Dihujani
dengan senjata, Ci Kang cepat berloncatan dengan amat gesitnya mengelak ke sana
sini. Dia tahu bahwa percuma saja membantah dan berbicara untuk membersihkan
dirinya, tetapi tidak baik kalau sampai dia bentrok dengan para pendekar ini.
Maka sambil mengeluh panjang dia lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat
itu.
"Aku
datang hendak membantu kalian menentang kejahatan, sayang kalian tak
percaya!" teriaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sekali
meninggalkan benteng itu.
Hui Song
tidak melakukan pengejaran, juga para pendekar itu pun tidak karena mereka
sudah maklum betapa lihainya putera Si Iblis Buta itu. Hui Song sendiri tentu
saja dapat mengimbangi kecepatan gerakan Ci Kang dan dapat melakukan pengejaran
jika dia mau, akan tetapi dia lantas teringat bahwa bagaimana pun juga
Siangkoan Ci Kang itu pernah menyelamatkan Sui Cin dan biarlah kini dia berlaku
murah untuk membalas budi Ci Kang terhadap gadis pujaan hatinya itu.
Ci Kang
berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus
pergi ke mana. Dia sudah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri
pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lo-kai di
situ, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian
akan kebersihan dirinya.
Ia tidak
menyalahkan Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai itu, melainkan hanya merasa
mendongkol sekali. Bagaimana pun juga, memang pemuda Cin-ling-pai itu pernah
melihat dia dan ayahnya membantu dan menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui.
Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan
dapat menanggung dirinya agar dipercaya oleh para pendekar hanyalah gurunya,
Ciu-sian Lo-kai yang belum nampak berada di tempat itu.
Hatinya
murung sekali dan ketika memasuki sebuah desa kecil di mana terdapat sebuah
kedai arak, dia pun memasuki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu
besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri
dari crang-orang miskin atau pemburu-pemburu.
Agaknya
kedai ini belum terlampau lama dibuka orang dan agaknya dibuka untuk menjadi
pemberhentian orang-orang yang sedang melakukan perjalanan dan lewat di tempat
itu. Bagaimana pun juga, bau arak yang sedap itu menarik perhatian Ci Kang dan
dia yang diganggu rasa mendongkol perlu beristirahat untuk menenangkan hatinya.
Ci Kang
mengambil tempat duduk pada kursi yang kasar buatannya, menghadapi sebuah meja
yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan
membungkuk-bungkuk penuh senyum menjilat pelayan itu menyapanya.
"Selamat
siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"
"Bawakan
aku seguci besar arak!" kata Ci Kang.
Sesudah
menjadi murid Ciu-sian Lo-kai, pemuda ini mewarisi kebiasaan gurunya, senang
minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walau pun banyaknya arak
dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan
tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!
"Seguci
besar...? Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"
"Tidak,
aku hanya seorang diri..."
"Tapi,
arak seguci besar cukup untuk sepuluh orang..."
"Jangan
cerewet! Bawalah arak itu dan aku akan membayarnya!" bentak Ci Kang marah.
Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan.
Pelayan itu
pergi dengan tubuh membungkuk-bungkuk, dan Ci Kang mendengar pelayan itu
berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang mengejutkan
hatinya. Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan oleh orang-orang dari
golongan hitam! Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati
karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar.
Ci Kang
melirik sambil lalu dan dia dapat melihat bahwa pelayan itu berbisik-bisik
dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah
hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan
dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan tadi
mereka menggunakan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam.
Ci Kang
duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam
membuat hatinya makin kesal. Keadaan dirinya membuat dia merasa mendongkol dan
juga murung dan sedih.
Dia
dilahirkan di tengah keluarga sesat, sungguh pun mendiang ayahnya dahulu
bukanlah orang jahat. Dia dibesarkan di antara para datuk sesat. Dia tidak
menyukai cara hidup demikian sehingga dia menentang ayahnya sendiri, malah
hampir dibunuh ayahnya akibat tidak menuruti kehendak ayahnya.
Dia tak
dapat hidup dan dimusuhi di dunia golongan kotor. Kemudian, setelah digembleng
selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai dan dia mulai kehidupan baru, di antara
golongan bersih, dia pun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan
merasa murung?
Pada saat
itu muncul tiga orang berpakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka bertiga
kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudahlah diketahui bahwa
mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian.
Begitu melihat mereka, pemilik atau kuasa kedai yang bertubuh gendut dan
bermuka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.
"Ehh,
kalian bertiga ada keperluan apakah?" tegur pemilik kedai dengan ramah.
"Maaf,
twako, kami datang mengganggu lagi...," kata seorang di antara mereka.
"Kalian
butuh apa lagi? Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung
beras untuk dibagi-bagikan di antara kalian penduduk dusun ini? Apakah beras
itu sudah habis?"
"Belum,
twako, dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkan kepada
kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kami pun bukan orang-orang
yang hanya mengandalkan hidup dari minta-minta saja. Kami ingin bercocok tanam,
akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai alat-alatnya. Jika
twako sudi menolong kami untuk sekali ini hingga kami dapat mengerjakan tanah,
selanjutnya tentu kami akan mampu mencukupi diri sendiri..."
Si gendut
itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan ini dicukur dan kini
mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu
yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedai itu, seakan-akan dia
ingin agar semua percakapan itu dapat didengarkan oleh mereka. Dan memang,
percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang ikut
memperhatikan.
"Baik,
kami akan membantu dan membelikan alat-alat pertanian untuk kalian. Kini kalian
pulanglah dulu, dan malam nanti saja akan kita rundingkan kembali kalau kedaiku
sedang sepi."
"Baik,
twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong
kami." Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian
pergi dengan wajah berseri-seri.
Dari
percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah
diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati.
Akan tetapi sikap ini justru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu
jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi kenapa kini
mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin? Benar-benar
suatu keadaan yang sangat aneh dan tidak sewajarnya!
Ketika
pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua orang pelayan
diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini
membungkuk-bungkuk dengan ramah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang
wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata,
"Harap
sicu sudi memaafkan bahwa pelayan kami agak terlambat karena gangguan para
petani tadi. Kasihan sekali mereka itu, memang perlu dibantu dan
dibimbing."
Jelas bagi
Ci Kang bahwa si gendut kuasa kedai ini memang sengaja hendak memancing
percakapan dengan dia. Dia tidak bisa menduga apa maunya, akan tetapi karena
hatinya sedang kesal, maka dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak
mengacuhkan dan segera menyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci
tanpa cawan atau mangkok lagi. Dia mau minum sepuasnya, walau pun dia bukan
seorang pecandu arak, akan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk
mengusir kekesalan hatinya!
Mengingat
betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan hampir saja dikeroyok,
hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Kini dia menjadi orang setengah
matang, kepalang tanggung, masuk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang
mereka, tapi masuk golongan putih dimusuhi pula karena tidak dipercaya.
"Sialan!
Manusia tiada guna!" gerutunya dalam hati sambil menenggak lagi araknya.
Melihat
pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian mirip seperti seorang
pemburu dengan jubah kulit harimau, dan juga melihat caranya minum arak, semua
orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga
bahwa pemuda ini tentulah seorang yang gagah perkasa.
"Saya
berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal." Kembali terdengar suara si
gendut.
Ci Kang
merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di
dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tanpa menjawab atau
berkata sesuatu. Kalau melihat kerut di antara alisnya, sepatutnya si gendut
itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. Akan tetapi agaknya
dia tidaklah secerdik itu.
"Tentu
tidak salah lagi bahwa sicu adalah seorang di antara para pendekar yang hendak
mengadakan pertemuan, bukan? Sicu, kapankah pertemuan itu diadakan dan di mana?
Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiapan dagangan saya. Pada hari
itu tentu akan banyak para pendekar lewat di sini dan..."
"Plakk!"
Tangan Ci
Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gendut ternyata memiliki
gerakan cepat untuk ukurannya dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu
langsung mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia dapat
menghindarkannya lagi.
"Aduhh...!"
Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.
"Ehh,
kenapa kau memukul orang...?" Dua orang pelayan cepat-cepat menghampiri
untuk melerai.
Akan tetapi,
tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kaki Ci Kang cepat bergerak
menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itu
pun terpelanting roboh.
Kini si
gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng bagaikan harimau, dia pun
menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang ke arah
kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya
hingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.
"Wuuuttt...!"
Serangan si
gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan hal ini membuktikan bahwa dugaan
Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak
yang ramah dan murah hati, namun ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup
lihai. Akan tetapi mendadak Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis,
menyambut kedua lengan itu, dan...
"Krekkk...!"
Terdengar
suara dan lengan kanan si gendut itu pun patah. Sebelum si gendut sempat
menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut itu
mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang lalu mencengkeram rambut
orang itu dan menekan kepala itu ke bawah.
Dua orang
pelayan yang tadi dirobohkan, menjadi terkejut bukan kepalang melihat kepala mereka
sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya mampu
memandang penuh kekbawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai
itu hanya bisa berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka
ketakutan.
Tiba-tiba
saja seorang di antara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya,
menggebrak meja dan bangkit berdiri. Orang ini adalah seorang pemuda berusia
kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana tetapi bersih dan
gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan semenjak tadi dia duduk menghadapi
hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba
putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan dari pada seorang ahli
silat.
Akan tetapi
ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas
kemudian menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda
berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih
saja menjambak rambut si gendut yang hanya bisa mengeluh panjang pendek. Dengan
tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan
telunjuknya ke arah muka Ci Kang.
"Manusia
sombong dan kasar! Berani kau menghina orang dengan mengandalkan sedikit
kepandaian?"
Sepasang
alis hitam tebal yang mirip sayap burung garuda terbentang itu bergerak-gerak,
ada pun sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang
menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih ini tentu kawan golongan hitam
yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai ini, pikirnya.
"Habis,
kau mau apa?" Dia pun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih
itu.
Pemuda baju
putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa. "Hayo lepaskan paman
itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan
melupakan kesombonganmu!"
Ci Kang
adalah seorang yang sejak kecil dididik dalam kekerasan. Dasar wataknya jujur
dan keras, dan karena semenjak kecil hidup di tengah golongan sesat, dia sudah
terbiasa dengan sikap dan perbuatan keras dan kasar.
Akan tetapi
dia selalu menentang kejahatan, dan sesudah digembleng selama beberapa tahun
oleh Ciu-sian Lo-kai, dia kini sudah dapat mengatasi kekerasan hatinya. Dia
selalu bersikap mengalah dansabar, sesuai dengan pelajaran yang diterimanya
dari kakek Dewa Arak itu. Akan tetapi penolakan dan penentangan para pendekar
kepada dirinya membuat hatinya kesal dan murung sehingga dia menjadi mudah
marah.
Sekarang,
melihat sikap pemuda baju putih yang menentangnya, pemuda baju putih yang
dianggapnya tentulah kawan dari gerombolan penjahat yang membuka kedai arak
ini, dia pun tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Gerombolan penjahat ini
harus dihajarnya, demikian dia mengambil keputusan.
"Kau
mau membelanya? Nih, terimalah!" Dengan gerakan tangannya yang kuat, Ci
Kang bangkit dan melontarkan tubuh gendut yang dicengkeram rambutnya itu ke
depan.
Tubuh gendut
itu terlempar melayang ke arah pemuda baju putih! Apa bila mengenai dan
menubruk pemuda baju putih itu, tentu dia akan ikut terpelanting pula.
Akan tetapi,
pemuda baju putih itu dengan sikap tenang menyambut tubuh itu dengan dua
tangannya dan dia sudah berhasil menangkap tubuh itu pada lengan dan pundaknya,
lalu menurunkan tubuh gendut itu sehingga tidak sampai jatuh terbanting. Ketika
dia kembali memandang, ternyata Ci Kang sudah duduk lagi menghadapi meja dan
mengangkat guci arak, menuangkan isinya ke mulut menggunakan tangan kiri,
sedangkan lengan kanannya terletak di atas meja.
"Engkau
sungguh manusia sombong yang patut dihajar!" Si baju putih itu dengan
cepat melangkah maju lantas menggerakkan tangannya menotok ke arah leher Ci
Kang yang sedang minum araknya.
Mendadak Ci
Kang menurunkan gucinya dan tanpa bangkit dari kursinya, dia kemudian
menggerakkan tangan kanannya ke atas untuk menangkis tangan lawannya.
Gerakannya cepat mengandung tenaga amat kuat sebab dia memang telah mengerahkan
sinkang-nya untuk menangkis dengan harapan sekali tangkis akan dapat
mengalahkan lawan, paling tidak mematahkan tulang lengan lawan.
"Dukkk...!"
Benturan dua
lengan itu membuat keduanya berbareng mengeluarkan teriakan tertahan saking
kagetnya. Tubuh pemuda berbaju putih itu terdorong ke belakang sampai empat
langkah, sedangkan sebaliknya, biar pun tubuh Ci Kang tidak terlempar karena
dia tengah duduk, namun kursi yang didudukinya pecah berantakan!
Kini Ci Kang
sudah meloncat bangun dan alisnya berkerut semakin dalam. Kecurigaannya makin
kuat. Orang ini tentu seorang tokoh sesat walau pun belum pernah dia
melihatnya. Seorang tokoh muda yang entah datang dari mana, namun agaknya
diam-diam menjadi pelindung gerombolan penjahat yang menyamar menjadi pengusaha
kedai arak.
Teringatlah
dia betapa si gendut tadi telah berusaha memancingnya agar dia suka bicara
tentang pertemuan para pendekar dan kini dia pun menduga bahwa tentu tokoh
sesat ini bertugas menyelidiki pertemuan itu!
"Bagus,
kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian juga. Sayang, kepandaian itu
kau pergunakan untuk kejahatan!" Setelah berkata demikian, Ci Kang
melompat ke depan dan menyerang dengan pukulan tangannya yang kuat.
Orang
berbaju putih itu sudah mengenal kekuatan tangan lawan, maka dia pun bersikap
hati-hati sekali. Dengan mudah dia mengelak dari serangan Ci Kang kemudian
membalas dengan tendangan.
Terjadilah
perkelahian yang amat hebat di dalam restoran itu antara Ci Kang dan pemuda
baju putih. Dan para tamu cepat meninggalkan meja masing-masing, pergi menjauh
akan tetapi tetap menonton perkelahian itu. Dari sikap mereka, hampir semua
berpihak kepada pemuda baju putih!
"Pemburu
dari mana dia?" terdengar orang bertanya-tanya.
"Entah,
dia baru datang, akan tetapi dia jahat sekali!"
"Dia
telah memukuli Cou-twako, pengurus kedai yang baik hati!"
"Tentu
dia penjahat!"
Demikianlah
percakapan antara mereka yang sedang menonton perkelahian itu. Ci Kang menjadi
semakin heran mendengar semuanya ini. Kenapa semua orang menganggapnya jahat?
Akan tetapi dia tidak peduli karena dia maklum bahwa tentu semua orang sudah
tertipu oleh sikap para penjahat yang menyamar menjadi pemilik kedai arak ini.
Hanya dia yang tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang golongan hitam. Maka
dia pun merasa penasaran sekali.
Pemuda baju
putih ini hebat bukan main! Bukan hanya dalam kegesitan dan tenaga saja si baju
putih ini bisa menandinginya, juga dalam ilmu silat agaknya pemuda ini dapat pula
mengimbanginya. Gerakannya demikian kuat dan tenang, dan semua serangannya
dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik.
Ci Kang yang
sedang murung itu masih dapat menenangkan hatinya dan menahan hawa amarahnya,
dan ini adalah berkat gemblengan dari Ciu-sian Lo-kai selama ini. Sebelum
menjadi murid Si Dewa Arak, mungkin saja tadi dia telah membunuh para pengurus
kedai itu, dan mungkin kini dia akan mengeluarkan serangan-serangan maut untuk
membunuh pemuda baju putih yang disangkanya tentu juga seorang tokoh sesat yang
membela para penjahat yang menyamar menjadi pengurus kedai.
"Manusia
jahat! Terimalah ini...!" Mendadak si baju putih itu membalas dengan
serangan yang amat mengejutkan hati Ci Kang.
Pemuda itu
menyerangnya dengan pukulan aneh, dengan dua tangan disilangkan lantas
didorongkan sambil merendahkan tubuhnya. Tetapi dari kedua tangannya itu
menyambar hawa pukulan panas yang amat dahsyat, yang menyambar deras kepadanya
bagai badai mengamuk!
Tahulah Ci
Kang bahwa pemuda itu ternyata memiliki pukulan sakti yang amat berbahaya dan
kini telah menyerangnya dengan ganas sekali. Maka dia pun langsung mengerahkan
sinkang-nya dan mendorongkan kedua tangannya dengan telapakan terbuka ke depan.
Kembali dua
tenaga raksasa saling membentur dan sekali ini sebelum dua pasang tangan
bertemu, terlebih dahulu hawa pukulan itulah yang saling beradu. Dan sekali
ini, Ci Kang merasakan betapa tubuhnya tergetar hebat oleh hawa panas itu dan
meski pun dia tidak sampai terhuyung ke belakang, namun pasangan kuda-kuda
kakinya tergeser.
Terkejutlah
dia. Tak disangkanya sama sekali bahwa lawannya sehebat itu. Dan dia yang sudah
memiliki banyak pengalaman tentang ilmu-ilmu kaum sesat, tidak dapat mengenal
ilmu pukulan apa yang baru saja digunakan pemuda baju putih ini. Maka mulailah
timbul keraguannya.
Jangan-jangan
pemuda baju putih ini bukan seorang tokoh sesat, tapi seorang pendekar yang
juga sudah tertipu oleh para pengurus kedai dan menganggap para pengurus kedai
itu orang baik-baik dan dermawan, dan mengira bahwa dialah yang jahat!
Pemuda baju
putih itu agaknya juga terkejut saat melihat betapa pukulannya yang ampuh tadi
sanggup ditahan oleh Ci Kang dan hanya membuat pemuda berpakaian pemburu itu
bergeser sedikit saja kakinya.
"Seorang
pemuda yang berilmu tinggi, akan tetapi mempergunakannya untuk kekejaman dan
kejahatan! Orang macam engkau ini harus dibasmi agar tidak menyebar kekejaman
lagi!" Pemuda baju putih itu berseru marah.
Kini dia
menyerang semakin hebat, dengan gerakan-gerakan aneh yang setiap gerakan
mengandung daya serang mematikan! Ci Kang terkejut mendengar ucapan itu, lebih
lagi melihat serangan bertubi-tubi yang sangat hebatnya dan mendengar pula
kata-kata para penonton yang jelas berpihak kepada si pemuda baju putih.
Agaknya semua orang sudah menganggap dialah yang jahat!
Cepat dia
mengelak beberapa kali, lantas meloncat ke belakang sambil berteriak,
"Kalian semua seperti orang buta saja! Tidak tahukah kalian siapa enam
orang pengurus kedai ini? Mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, kaum
sesat atau penjahat-penjahat yang menyamar! Mereka hanya berpura-pura saja
dermawan, akan tetapi mereka adalah penjahat-penjahat keji yang memusuhi para
pendekar!"
Pemuda
berbaju putih itu agaknya tidak percaya, bahkan semakin marah. "Sudah
busuk perbuatannya, busuk pula mulutnya melontarkan fitnah keji!" Dan dia
pun menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan.
"Wuuuttt...!
Dukkk!"
Kembali Ci
Kang menangkis dan keduanya tergetar hingga terpaksa melangkah mundur beberapa
tindak.
"Sobat,
engkau masih belum percaya? Lihat, ke manakah mereka itu? Mereka sudah lari
setelah aku membuka kedok mereka!" Ci Kang berseru dan pemuda baju putih
itu cepat menengok tetapi dia juga tidak melihat seorang pun di antara enam
pengurus kedai tadi.
"Kebakaran...!
Kebakaran...!"
"Pembunuhan...!
Rampok...! Rampok...!"
Di luar
kedai terdengar suara gaduh dan tiba-tiba saja di bagian belakang kedai itu pun
dimakan api. Asap telah masuk ke dalam ruangan itu dan semua orang sudah
cerai-berai dalam keadaan panik dan sebentar saja yang tertinggal di dalam kedai
hanyalah Ci Kang dan si pemuda baju putih. Akan tetapi keduanya segera sadar
bahwa di luar tentu terjadi hal-hal yang membutuhkan pertolongan mereka, maka
bagaikan orang sedang berlomba, kedua orang muda itu cepat-cepat meloncat
keluar kedai.
Memang
keadaan di dusun kecil itu sangat kacau balau. Kebakaran-kebakaran terjadi di
sana-sini dan orang-orang berlarian simpang siur dengan panik. Ci Kang melihat
betapa keenam orang pengurus kedai tadi, bersama belasan orang lainnya yang
jelas terdiri dari golongan sesat, sedang membakari rumah dan merampoki
barang-barang yang mereka angkut keluar.
Tentu saja
Ci Kang menjadi marah bukan main. Akan tetapi dia sudah keduluan pemuda baju
putih yang telah meloncat dan menerjang orang-orang yang membakar rumah-rumah
dan merampoki barang-barang itu. Di beberapa tempat terdapat mayat
bergelimpangan, agaknya mayat dari mereka yang hendak melawan keganasan para
perampok.
Ci Kang
menerjang segerombolan orang yang sedang melakukan pembakaran rumah. Empat
orang penjahat yang bertubuh tinggi besar serta berwajah kejam mengeroyoknya
dengan senjata golok mereka. Akan tetapi dengan mudah Ci Kang menyambut
serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat empat orang itu
kocar-kacir dan jatuh bangun.
Mereka
merasa penasaran dan hendak melawan terus, akan tetapi hanya dalam beberapa
gebrakan saja Ci Kang membuat mereka tidak berdaya, mematahkan tulang lengan
atau kaki mereka dan akhirnya empat orang penjahat itu lari tunggang-langgang,
yang patah tulang kakinya menyeret kaki itu terpincang-pincang.
Ci Kang
tidak mengejar mereka. Gurunya, Si Dewa Arak, selalu menekankan kepadanya
alangkah tidak baiknya melakukan pembunuhan-pembunuhan. Bahkan sedapat mungkin
jangan melakukan kekerasan, kata gurunya itu. Andai kata terpaksa harus
menggunakan kekerasan terhadap penjahat, cukup kalau menundukkan dan sekedar
memberi hukuman saja supaya mereka tidak berani melanjutkan kejahatan mereka,
akan tetapi sama sekali tidak boleh dibunuh.
Ajaran Si
Dewa Arak ini sungguh berlawanan sekali dengan kebiasaan hidup di kalangan kaum
sesat, akan tetapi Ci Kang menerimanya dengan hati senang dan patuh karena hal
ini memang cocok sekali dengan pendiriannya sendiri yang tidak suka dengan
kejahatan dan kekerasan karena dia telah muak hidup di lingkungan yang penuh
dengan kekerasan.
Tiba-tiba
saja Ci Kang dikejutkan oleh suara teriakan-teriakan yang mengerikan. Dia cepat
menoleh dan wajahnya berubah merah. Dia melihat pemuda baju putih itu mengamuk
dan sepak terjangnya menggiriskan sekali.
Sudah ada
tujuh atau delapan orang penjahat, termasuk si gendut dari kedai arak dan anak
buahnya, berserakan menjadi mayat. Pemuda itu menurunkan tangan mautnya dan tak
memberi ampun kepada para penjahat. Kini masih ada beberapa orang penjahat yang
mengeroyoknya, akan tetapi Ci Kang maklum bahwa mereka semua itu tentu akan
tewas di tangan si pemuda baju putih kalau dia tidak mencegahnya.
Cepat ia
meloncat dan ketika tangan pemuda baju putih itu menyambar dengan serangan maut
kepada seorang penjahat yang goloknya sudah terlempar, dia segera menubruk dan
menangkis.
"Dukkk...!"
Untuk ke
sekian kalinya, kembali dua lengan yang mengandung tenaga sangat kuat itu
saling beradu, menggetarkan tubuh kedua pihak. Pemuda baju putih itu
mengerutkan alis dan matanya memandang terbelalak kepada Ci Kang.
"Gilakah
kau?" bentak pemuda itu kepada Ci Kang. "Tadi engkau menyerang mereka
dan aku yang tidak mengenal siapa mereka membela mereka. Sekarang, setelah
mengetahui bahwa mereka ini adalah penjahat-penjahat terkutuk dan hendak
membasmi mereka, kau malah muncul melindungi mereka!" Pemuda baju putih
itu benar-benar terkejut, heran dan penasaran melihat tingkah Ci Kang yang
dianggapnya aneh sekali itu.
"Sobat,
engkau memang gagah perkasa, akan tetapi terlalu kejam! Memang telah menjadi
kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, akan tetapi bukan
membunuh!"
Pemuda itu
mengerutkan alisnya. "Kau peduli apa?"
Dia pun
sudah menerjang lagi ke depan, merobohkan seorang penjahat dengan tamparan tangan
kirinya yang amat ampuh. Sekali terkena tamparan itu, golok yang menangkisnya
terlempar dan orang itu tidak mampu menghindarkan dirinya lagi, dadanya kena
dihantam kemudian terdengar tulang-tulang iga yang patah-patah dan orang itu
menjerit lalu roboh berkelojotan.
"Kau
kejam...!" Ci Kang menghardik dan ketika orang baju putih itu hendak
mengejar para penjahat yang menjadi gentar dan melarikan diri, Ci Kang sudah
menghadangnya.
"Kau
kini hendak membela mereka? Gila dan biar kubasmi sekalian!" Orang berbaju
putih itu membentak dan menyerang Ci Kang.
Tentu saja
Ci Kang cepat mengelak dan untuk mencegah orang itu menyebar maut lebih banyak
lagi, dia pun membalas dan kini mereka kembali berkelahi dengan amat serunya.
Kerena kini masing-masing telah yakin akan kelihaian lawan, maka mereka pun
berkelahi lebih seru dan lebih hebat dari pada tadi, karena masing-masing
mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang paling hebat.
Kini para
penjahat sudah lari semua dan juga para penghuni dusun sudah semenjak tadi
melarikan diri. Sebagian besar dari rumah-rumah dusun itu terbakar. Namun, dua
orang muda itu agaknya lupa dengan keadaan sekeliling karena mereka itu asyik
berkelahi dan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatian, mempergunakan
seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga kalau tidak mau kalah! Dan
kepandaian keduanya memang hebat, setingkat dan seimbang.
Entah berapa
lama lagi perkelahian itu akan berlangsung sampai ada yang kalah. Hampir
seratus jurus sudah berlalu tetapi keduanya masih terus saling hantam dengan
gigihnya. Tiba-tiba terdengar suara jerit minta tolong. Suara wanita yang
ketakutan!
Mendengar
suara ini, seketika kedua orang muda itu melupakan perkelahian mereka dan
meloncat lalu berlari ke arah suara itu seperti orang berlomba. Jerit tangis
itu kini semakin jelas, keluar dari sebuah rumah yang bagian belakangnya sudah
terbakar.
"Tolong...!
Toloonggg... ahh, tolonglah aku...!" Demikianlah suara itu terdengar dari
dalam rumah yang sedang terbakar.
"Brakkkkk...!"
Dua tempat
pada dinding rumah itu jebol ketika si pemuda baju putih dan Ci Kang secara
berbareng menerjang tembok. Keduanya berlari memasuki rumah itu dan melihat
seorang gadis yang kedua tangannya terbelenggu pada tiang rumah sedang
meronta-ronta akibat ketakutan melihat api mulai membakar dinding kamar itu!
Seorang
gadis yang cantik sekali, berpakaian sederhana tetapi justru pakaian sederhana
itulah yang membuat kecantikannya makin menonjol. Karena kedua lengannya
ditelikung ke belakang dan dia terus meronta-ronta, maka lekuk lengkung dan
tonjolan-tonjolan pada tubuhnya nampak jelas dan amat menggairahkan! Melihat
munculnya dua orang muda itu, sepasang mata yang jeli itu terbelalak ketakutan,
akan tetapi agaknya dia dapat menduga bahwa mereka adalah orang orang yang
hendak menolongnya, bukan orang-orang jahat yang menyerang dusun itu.
"Ahh,
tolonglah saya...!" Dia memohon.
Pada saat
itu, dinding di bagian belakang kamar itu yang mulai terbakar, runtuh ke bawah
dan mengancam gadis itu yang tentu akan tertimpa runtuhan dinding tembok! Dua
orang muda yang gagah perkasa itu bergerak cepat sekali. Pemuda baju putih
sudah meloncat dan sekali sambar dia sudah merenggut putus tali yang mengikat
gadis itu dengan tiang, lantas meloncat sambil memondong tubuh itu, sedangkan
Ci Kang meloncat menggempur dinding yang runtuh itu dengan kedua tangannya.
"Braaakkkk...!"
Runtuhan
dinding itu pecah berantakan dan dia pun cepat meloncat keluar menyusul. Di
luar rumah yang terbakar itu dia melihat pemuda baju putih sudah menutunkan
gadis tadi yang kini berdiri kebingungan dan masih menangis. Ketika Ci Kang
tiba pula di situ, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang
pemuda itu sambil menangis.
"Sudahlah,
jangan menangis dan ceritakan apa yang sudah terjadi," kata Ci Kang sambil
memandang kepada pemuda baju putih yang berdiri tenang dan menghadapi gadis itu
dengan pandang mata penuh selidik.
Gadis itu
menyusut air matanya. Usianya tidak sangat muda lagi, kurang lebih dua puluh
lima tahun. Akan tetapi usia ini bagi seorang wanita merupakan usia yang sedang
masak-masaknya, seperti setangkai bunga sedang mekarnya. Pakaiannya sederhana
akan tetapi rapi, wajahnya cantik dan terutama sekali mulutnya manis sekali.
"Saya
menghaturkan terima kasih kepada ji-wi taihiap... yang telah menyelamatkan
nyawa saya yang tidak berharga..."
"Sudahlah,"
kata pemuda baju putih. "Tak perlu bicara tentang itu. Yang penting
sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka kau bisa berada di dalam rumah
terbakar itu dalam keadaan terbelenggu."
Pada waktu
itu dusun kecil yang terbakar ini sudah ditinggalkan orang dan agaknya hanya
mereka bertiga saja yang masih berada di situ, kecuali mayat-mayat yang
menggeletak di sana-sini, korban kekejaman para perampok.
"Saya
bernama Ji Hwa dan tinggal bersama ayah serta ibu di luar dusun, di lereng
bukit sana itu... saya berada di sini karena sedang mengunjungi paman dan bibi
saya, pemilik rumah ini. Ketika tadi para penjahat datang, paman melawan dan
bibi entah lari ke mana, dan saya... perampok ganas itu menawan saya, hendak
dibawa pergi. Tapi ketika paman melawan, perampok itu mengikat saya di tiang
tadi dan dia lalu berkelahi dengan paman di luar rumah... selanjutnya... saya
tidak tahu apa yang terjadi, rumah terbakar dan saya ketakutan sekali..."
Dia menengok
ke kiri di mana terdapat mayat-mayat bergelimpangan, membuat gadis itu bergidik
ngeri.
"Siapakah
pemimpin perampok-perampok itu, nona?" Ci Kang bertanya. "Apakah
engkau mengenal para pengurus kedai arak itu?" Dia menunjuk ke arah kedai
arak yang sudah habis terbakar.
Gadis itu
menggeleng kepala dan kelihatan ketakutan. "Saya tidak tahu... akan
tetapi... saya merasa yakin bahwa ayah saya tahu tentang semua itu. Pernah dia
berkata kepada saya bahwa dusun ini sedang terancam kekuasaan para
penjahat..."
"Hemm,
kalau begitu mari kuantar kau pulang, nona. Aku ingin bicara dengan
ayahmu," kata Ci Kang.
"Aku
pun ingin bertemu dengan ayahmu, nona," kata pula pemuda baju putih itu.
Ci Kang
memandang pemuda itu sambil tersenyum mengejek. "Agaknya dalam segala hal
engkau tidak mau kalah, sobat. Perlu apa engkau ikut pula dengan kami?"
Pemuda itu
tersenyum pahit. "Aku belum tahu benar siapa engkau dan orang macam apa
adanya dirimu. Melihat engkau pergi berdua dengan seorang gadis yang tak
berdaya ini, sungguh hatiku merasa tidak enak. Aku baru lega apa bila melihat
dia sudah berkumpul kembali dengan orang tuanya."
"Sialan!"
Ci Kang membentak. "Engkau masih belum percaya kepadaku? Nah, mari kita
saling mengenal. Namaku Ci Kang."
"She-mu?"
tanya pemuda itu, ingin tahu nama keluarga Ci Kang.
"Tidak
perlu kuperkenalkan." Ci Kang memang tak ingin memperkenalkan nama
keluarga ayahnya yang terkenal sebagai Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta.
"Namaku
Sun," kata pemuda baju putih itu, juga tidak mau menyebutkan she-nya
melihat betapa Ci Kang menyembunyikan shenya pula.
Pemuda ini
sesungguhnya she Cia. Ya, dia adalah Cia Sun, putera dari Cia Han Tiong yang
tinggal di Lembah Naga! Seperti sudah kita ketahui, pemuda ini merasa penasaran
sekali akan sikap ayahnya. Ibunya tewas di tangan musuh, namun ayahnya
mengampuni musuh-musuh itu.
Dalam
keadaan penasaran serta penuh duka dan dendam ini, dia berjumpa dan diambil
murid oleh Go-bi San-jin lantas digembleng selama tiga tahun. Oleh gurunya ini,
di dalam batinnya ditanam jiwa kependekaran yang tegas dan keras supaya
menentang kejahatan. Gemblengan ini, ditambah pula oleh rasa dendam akibat
kematian ibunya, membuat Cia Sun menjadi seorang pendekar yang tidak mau
mengampuni orang-orang jahat, dan dia menganggap adalah tugas dan kewajibannya
untuk menentang kejahatan dan membasmi para penjahat, membunuh mereka tanpa
mengenal ampun lagi!
Seperti juga
Ci Kang yang disuruh gurunya, Ciu-sian Lo-kai, untuk pergi ke bekas benteng
Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan dengan para
pendekar, juga Cia Sun sudah diutus oleh Go-bi San-jin untuk pergi ke tempat
itu pula. Munculnya Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui serta
para datuk kaum sesat membuat orang-orang sakti dan para pendekar berusaha
menentangnya sehingga mereka hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng
Jeng-hwa-pang.
Sesudah
memperkenalkan nama masing-masing tanpa menyebut nama keturunan, kedua orang
muda itu lalu mengawal gadis yang bernama Ji Hwa itu pulang. Mereka keluar dari
dusun kecil yang sudah sunyi itu dan menuju ke utara di mana terdapat sebuah
bukit yang penuh dengan pohon-pohon rindang.
"Jauhkah
rumah ayahmu dari sini, nona?" tanya Cia Sun yang masih belum percaya
betul kepada gadis ini dan selalu tidak meninggalkan kewaspadaannya.
"Tidak
jauh, di lereng bukit itu, taihiap. Akan tetapi harap jangan menyebut nona
padaku, namaku Hwa dan biasa disebut Hwa Hwa saja."
Cia Sun
mengerutkan alis dan tidak menjawab. Gadis ini baru saja mengalami peristiwa
yang amat menakutkan dan mengejutkan, baru saja terlepas dari maut dan nyaris
terbakar hidup-hidup dalam rumah tadi. Akan tetapi sekarang sudah bicara sambil
senyum-senyum dan kerling mata gadis ini membuat hatinya terasa tidak enak.
Meski pun sampai saat itu Cia Sun belum pernah bergaul rapat dengan wanita,
namun dia mengenal kerling yang tajam memikat, kerling yang membayangkan
kegenitan yang disembunyikan, sikap yang agaknya tidak wajar dan berpura-pura.
Rumah itu
besar dan kuno sekali, terletak di lereng bukit. Rumah yang besar dan kuno,
terpencil sendiri dan dari jauh tidak nampak karena tersembunyi di balik
pohon-pohon dan semak-semak belukar. Karena kuno, besar dan sudah rusak tak
terpelihara, bangunan itu nampak menyeramkan, pantasnya hanya dihuni oleh
setan-setan dan iblis-iblis saja.
"Di
sinikah engkau dan orang tuamu tinggal?" tanya Ci Kang ketika mereka tiba
di depan rumah. "Bekerja apakah orang tuamu?" Ternyata seperti Cia
Sun, dia pun mulai merasa heran dan curiga melihat betapa gadis itu bersama
orang tuanya tinggal di tempat yang seram seperti ini.
Gadis yang
minta disebut Hwa Hwa itu tersenyum memandang Ci Kang. "Kalau melihat
pakaian taihiap, agaknya pekerjaan ayah tidak asing bagi taihiap. Dia seorang
pemburu dan karena itu kami memilih tempat di bukit dekat hutan-hutan
ini." Dengan sikap ramah dan lincah gadis itu mempersilakan dua orang
pemuda itu untuk memasuki gedung kuno. "Marilah, harap ji-wi taihiap sudi
masuk dan menemui ayah dan ibu yang berada di dalam. Saya merasa yakin bahwa
ayah akan dapat bercerita banyak tentang penjahat-penjahat yang tadi mengacau
dusun."
Cia Sun dan
Ci Kang saling pandang sejenak. Biar pun mereka masih merasa penasaran dan ada
rasa tidak suka satu kepada yang lain, akan tetapi kini mereka berada di dalam
sebuah perahu yang sama. Maka, walau pun hanya sedikit, terdapat suatu kepentingan
bersama di antara mereka dan sesudah saling pandang, tahulah mereka bahwa
masing-masing tidak akan mau kalah dan merasa malu kalau mundur.
Mereka lalu
mengikuti gadis itu memasuki bangunan dan ternyata memang bangunan itu kuno dan
tak terawat. Banyak bagian-bagian yang telah rusak, akan tetapi sebagian besar
masih kokoh kuat karena memang bangunan kuno itu kuat buatannya.
"Mari
silakan, ji-wi taihiap. Saya kira ayah dengan ibu sedang bersemedhi di dalam
kamar semedhi," kata gadis itu sambil mengajak mereka menuju ke sebuah
ruang yang pintunya kecil.
Mendengar
ini, kembali Cia Sun dan Ci Kang melirik. Kalau mereka sedang bersemedhi, tentu
orang tua gadis ini termasuk orang-orang yang pandai ilmu silat, atau kalau
tidak tentu orang-orang yang sangat saleh.
Mereka
melewati pintu kecil itu, lantas memasuki sebuah ruangan yang bentuknya aneh.
Kamar itu tidak berjendela dan bentuknya bundar. Lantainya tertutup permadani
tipis yang sudah lapuk dan tidak terdapat perabot rumah, akan tetapi keadaannya
cukup bersih.
Di dekat
dinding nampak seorang kakek dan seorang nenek sedang duduk bersila dalam
keadaan bersemedhi. Begitu melihat keadaan dua orang kakek dan nenek ini, dua
orang pemuda itu merasa heran dan terkejut sekali!
Pakaian
kakek itu serba polos putih kuning, seluruh rambutnya putih riap-riapan,
jenggot dan kumisnya pendek terpelihara baik-baik, tubuhnya cukup jangkung dan
wajahnya aneh menyeramkan. Wajah itu memang bagus bentuknya, membayangkan
ketampanan, akan tetapi wajah itu terlihat begitu dingin, kulitnya agak
kehijauan dan matanya terpejam. Sulit ditaksir berapa usianya, akan tetapi
tentu sudah enam puluh tahun lebih.
Ada pun
nenek itu juga memiliki keadaan yang sama, baik pakaiannya yang sederhana
kedodoran mau pun rambutnya yang juga sudah putih semua dan riap-riapan.
Rambutnya masih lebih panjang ketimbang rambut kakek itu, dan bentuk atau raut
wajah wanita ini pun menunjukkan bekas kecantikan, hanya nampak begitu dingin
seperti topeng.
"Silakan
duduk, ji-wi taihiap dan maaf, di sini tidak ada bangku atau kursi, terpaksa
kita duduk di atas lantai," kata Hwa Hwa dengan ramahnya.
Cia Sun dan
Ci Kang yang sudah terlanjur masuk, lalu duduk di atas lantai berbabut itu,
bersila dengan sikap hormat karena mereka berdua meragu orang-orang macam
apakah adanya kakek dan nenek ini. Yang jelas, bukan orang-orang sembarangan
saja, demikian mereka berpikir.
Setelah dua
orang pemuda itu duduk, Hwa Hwa lalu keluar dari dalam kamar itu. Sampai di
ambang pintu dia menoleh dan berkata sambil tersenyum,
"Maafkan,
saya akan mempersiapkan minuman untuk ji-wi..."
Sebelum dua
orang muda itu menolak, pintu yang sempit itu tiba-tiba sudah ditutup dari luar
oleh Hwa Hwa dan baru nampak oleh dua orang muda itu bahwa pintu itu terbuat
dari pada besi yang kokoh kuat! Akan tetapi karena di dalam ruangan itu masih
terdapat kakek dan nenek tadi, Cia Sun dan Ci Kang bersikap tenang saja dan
sekarang mereka berdua memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh
perhatian.
Tiba-tiba kakek
dan nenek itu membuka matanya, maka terkejutlah dua orang pendekar muda itu
melihat betapa dua pasang mata itu amat tajam, mencorong seperti bukan mata
manusia biasa! Mata kakek dan nenek itu mencorong dan kehijauan! Terkejutlah
Cia Sun dan Ci Kang, tahu bahwa mereka berdua ternyata bukan orang sembarangan,
melainkan orang-orang yang memiliki tenaga sinkang amat kuat, kalau tidak
demikian, tak mungkin mereka memiliki sinar mata seperti itu.
Akan tetapi
keduanya tetap tenang saja dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya, tentu
saja dengan penuh kewaspadaan karena kini mereka mulai dapat menduga bahwa
sikap gadis yang bernama Hwa Hwa tadi hanya pura-pura saja.
Tiba-tiba
saja terdengar suara kakek itu yang berbicara seolah-olah tanpa menggerakkan
bibir. "Berlutut...!"
Dua orang
pemuda itu terkejut dan heran, akan tetapi biar pun mereka menduga bahwa kakek
itu menyuruh mereka berlutut, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan
perintah itu. Mereka hanya menatap tajam, menentang dua pasang mata hijau yang
mencorong itu. Sekarang nenek itulah yang bicara, suaranya lirih akan tetapi
mendesis dan menusuk jantung.
"Kalau
murid kami sudah membawa kalian ke sini, tentu kalian bukan orang-orang biasa
sehingga ada harganya untuk menjadi pembantu-pembantu kami. Nah, orang-orang
muda, berilah hormat kepada Ong-ya!"
Dua orang
muda itu kini terkejut bukan main. Mereka berdua sudah mendengar dari guru
masing-masing tentang Raja dan Ratu Iblis yang menganggap dirinya raja dan
ratu, dan betapa semua tokoh sesat yang takluk kepada mereka menyebut Raja
Iblis itu Ong-ya karena memang dia dahulunya seorang pangeran bernama Toan Jit
Ong.
Kini Cia Sun
dan Ci Kang memandang penuh perhatian. Mereka pun baru sadar bahwa mereka
sebenarnya berhadapan dengan Raja dan Ratu Iblis yang amat ditakuti itu, yang
kini kabarnya sedang menggerakkan para datuk kaum sesat termasuk Cap-sha-kui
untuk menguasai dunia! Bahkan karena adanya gerakan mereka inilah maka para
pendekar dan orang-orang sakti hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng
Jeng-hwa-pang untuk merencanakan langkah-langkah untuk menentang gerakan
berbahaya itu.
Dan kini,
tanpa mereka sangka-sangka, mereka telah dipancing oleh seorang gadis cantik
yang ternyata murid iblis-iblis ini, dan telah berhadapan dengan mereka, berada
di sebuah ruangan tertutup!
"Apakah
ji-wi yang berjuluk Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang bertanya dengan hati
tabah, suaranya sedikit pun tidak gentar.
Nenek itu
mengeluarkan suara seperti orang tertawa, walau pun mulutnya tidak tertawa.
"Kalau kalian sudah tahu, cepat memberi hormat!" katanya.
Akan tetapi,
seperti dikomando saja, Cia Sun dan Ci Kang telah meloncat berdiri. Mereka
berdua sudah banyak mendengar mengenai suami isteri iblis ini, dan mereka tahu
bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk menentang dua orang ini. Mereka sama
sekali tidak merasa takut, walau pun mereka telah mendengar betapa lihainya
kakek dan nenek ini.
"Inilah
penghormatanku!" kata Cia Sun yang sudah menyerang kakek yang duduk
bersila itu.
"Dan
ini bagianku!" bentak Ci Kang, secepat kilat dia pun menyerang ke arah si
nenek.
Serangan dua
orang muda itu hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat karena mereka
berdua yang maklum dengan kelihaian kakek dan nenek itu sudah mengerahkan
sinkang dan menyerang sekuat tenaga. Kakek dan nenek itu mendengus dan mengulur
tangan menyambut. Mereka hanya mendorong tangan mereka ke depan dan segumpal
uap menyambar dan menyambut serangan Cia Sun dan Ci Kang.
"Bresss...!"
Tubuh dua
orang muda itu terdorong ke belakang dan tanpa dapat mereka cegah lagi,
keduanya terbanting pada dinding di belakang lalu terguling ke atas lantai!
Pada saat
itu, lantai tertutup babut itu terbuka dan tentu saja dua orang pemuda yang
baru saja terguling, cepat meloncat ke depan. Hanya bagian di mana kakek dan
nenek itu duduk saja yang tidak terjeblos sehingga jalan satu-satunya yang ada
hanyalah mencoba untuk menyerang lagi kakek dan nenek yang masih duduk bersila
di atas lantai, di bagian yang tidak terbuka.
"Desss...!"
Sekarang
empat pasang tangan itu beradu langsung secara dahsyat sekali dan akibatnya,
kakek serta nenek itu mengeluarkan seruan kaget bukan main. Benturan tangan
mereka dengan tangan kedua pemuda itu membuat tubuh mereka tergetar dan
terguncang hebat! Akan tetapi karena mereka duduk di atas lantai, sedangkan
tubuh Cia Sun dan Ci Kang melayang, tentu saja kedua orang pemuda itu yang
tidak mempunyai landasan, terdorong mundur dan tanpa bisa dihindarkan lagi
tubuh mereka terjatuh ke dalam lubang di bawah mereka.
Mereka
menggunakan ginkang sehingga tak sampai terbanting, juga mereka tiba di dasar
lubang itu dengan kaki lebih dahulu, dalam keadaan berdiri. Akan tetapi
tiba-tiba tempat di mana mereka terjatuh itu menjadi gelap gulita karena lantai
dari kamar di atas tadi telah tertutup kembali!
Tiba-tiba
saja terdengar suara mendesis-desis dan tercium bau harum yang menyengat
hidung.
"Asap
beracun...!" Cia Sun berseru.
Keduanya
segera menahan napas sambil meraba-raba mencari jalan keluar. Akan tetapi kamar
di mana mereka tersekap itu ternyata terbuat dari besi baja dan tidak ada
pintunya! Mereka lalu meloncat ke atas dan menghantam ke arah lantai kamar atas
yang sekarang menjadi langit-langit bagi mereka itu.
"Bress...!
Bress...!"
Akan tetapi
lantai itu terlampau kuat dan tubuh mereka terlempar lagi ke bawah. Mereka
seperti dua ekor tikus memasuki perangkap dan kini kamar itu mulai penuh dengan
asap wangi beracun. Mereka menahan napas sekuat mungkin, akan tetapi tentu saja
kekuatan ini ada batasnya. Betapa pun saktinya kedua orang muda itu, jantung
mereka harus terus berdenyut dan untuk ini, jantung membutuhkan hawa murni
melalui pernapasan.
Akhirnya Cia
Sun dan Ci Kang tak kuat bertahan lagi dan mereka pun terpaksa menyedot asap
itu. Tubuh mereka lalu terguling dan mereka pingsan oleh asap pembius. Sebelum
mereka kehilangen kesadaran, mereka mendengar suara ketawa merdu, suara dari
Hwa Hwa yang sebetulnya adalah Gui Siang Hwa, murid terkasih dari Raja Iblis
atau Pangeran Toan Jit Ong.
Ketika Cia
Sun dan Ci Kang siuman kembali, mereka telah saling berpisah. Cia Sun yang
mulai siuman mendapatkan dirinya sedang tergeletak di atas pembaringan sebuah
kamar dalam keadaan terbelenggu dan tertotok jalan darahnya! Dia lalu berusaha
membebaskan jalan darahnya, namun usaha ini terpaksa dihentikannya karena ada
langkah kaki orang memasuki kamar. Kiranya yang masuk adalah gadis cantik yang sudah
menjebaknya itu! Tentu saja Cia Sun menjadi marah sekali dan memandang dengan
mata melotot.
"Hemm,
perempuan hina! Kiranya engkau adalah seorang penjahat betina yang sengaja
menjebak kami! Engkau tentu kaki tangan perampok yang mengacau di dusun itu!"
Cia Sun membentak.
Siang Hwa
tersenyum manis dan menghampiri, kemudian duduk di tepi pembaringan dan
membelai pundak yang kelihatan karena baju pada bagian pundak Cia Sun robek
ketika dia meloncat dan mendobrak lantai atas. Cia Sun merasa betapa seluruh
bulu tubuhnya meremang pada saat jari-jari tangan yang berkulit halus itu
menelusuri pundaknya dengan belaian sayang. Dia lalu menggerakkan pundaknya
untuk menolak, akan tetapi karena dia berada dalam keadaan tertotok, pundaknya
hanya bergerak sedikit saja, membuat Siang Hwa tertawa geli.
"Hi-hik-hik,
pemuda yang gagah dan tampan. Sun-koko, dugaanmu itu terbalik. Bukan aku yang
menjadi kaki tangan mereka, tetapi mereka adalah kaki tanganku, para
pembantuku. Sun-koko, tahukah engkau mengapa suhu dan subo tidak langsung saja
membunuhmu? Akulah yang memintakan ampun. Nyaris aku dibunuh karena mintakan
ampun untukmu, koko. Akan tetapi, aku menangis dan meratap minta agar engkau
tidak dibunuh..."
"Hemm,
apa maksudmu?" tanya Cia Sun, merasa heran mendengar bahwa murid kedua
iblis itu mintakan ampun untuknya.
Tiba-tiba
Siang Hwa merangkul leher pemuda yang masih rebah terlentang karena belum dapat
bangun itu. Tentu saja Cia Sun terkejut bukan main, akan tetapi dia tidak mampu
meronta atau mengelak, apa lagi memukul. Kedua tangannya ditelikung ke
belakang, juga kedua kakinya terikat dan selain itu, kaki tangannya lumpuh oleh
totokan.
"Sun-koko,
apakah engkau tidak bisa menebak? Aku cinta padamu...! Aku cinta padamu, karena
itu mati-matian aku mempertahankan nyawamu. Apa bila engkau mau membalas
cintaku, maka kita akan hidup bahagia dan menjadi pembantu-pembantu suhu yang
amat dipercaya. Ahh, koko, marilah kau hidup bahagia bersamaku..."
Siang Hwa
mendekatkan mukanya dan siap untuk mencium dengan sikap yang sangat memikat.
Bau harum semerbak keluar dari rambut dan leher gadis itu, akan tetapi hal ini
sama sekali bukan membuat Cia Sun terpikat atau terangsang, sebaliknya
mengingatkan dia akan bau harum asap beracun yang membuat dia dan Ci Kang
terbius.
"Ci Kang...
di mana dia?"
Gadis itu
tersenyum manis. Karena mukanya sangat dekat, Cia Sun dapat melihat rongga
mulut yang merah, lidah yang meruncing merah dan deretan gigi yang putih
bersih. Mulut yang penuh daya pikat, akan tetapi yang mendatangkan rasa jijik
dan marah kepadanya karena maklum bahwa di balik kecantikan ini tersembunyi
kejahatan yang mengerikan.
"Sun-koko,
temanmu itu sudah dibunuh, dan kalau tidak ada aku, engkau tentu dibunuh pula.
Karena itu marilah kita mengecap kebahagiaan, mari kita menikmati hidup
berdua..." Gadis itu kini menunduk dan mencium bibir Cia Sun. Akan tetapi
dia lantas terkejut dan mengeluh. "Aihh...!" Dia merasa betapa bibir
itu kaku dan dingin, betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas perasaan
cintanya, bahkan pemuda itu kini memandang marah.
"Iblis
betina, perempuan tidak tahu malu, jahanam busuk! Jangan harap aku akan dapat
terbujuk olehmu. Bujuk rayumu tiada gunanya dan kalau mau membunuh aku,
bunuhlah! Lebih baik seribu kali mati dari pada harus tunduk kepada ular betina
seperti kamu ini!"
Siang Hwa
melepaskan rangkulannya dan memandang dengan alis berkerut. Pandangan matanya
membayangkan kekecewaan besar. "Sun-koko, kau pikirlah baik-baik... engkau
masih muda, gagah perkasa, apakah harus mati konyol begitu saja? Sun-koko, aku
cinta padamu dan aku dapat membahagiakanmu..."
"Sudahlah!
Sampai mati pun aku tidak mungkin dapat berbaik dengan iblis-iblis berwajah
manusia macam engkau dan Raja Iblis! Kalau aku tidak dijatuhkan dengan
kelicikan dan kecurangan, apa bila aku bebas, pertama-tama yang akan kulakukan
adalah mencekikmu sampai mampus baru kucari kakek dan nenek iblis untuk
kubunuh! Jadi tak perlu engkau membujuk rayu seperti itu. Bunuh saja kalau mau
bunuh!"
Tiba-tiba
saja terdengar suara lirih, terdengar dari jauh akan tetapi jelas sekali.
"Nah, apa kubilang, Siang Hwa. Bocah dari Lembah Naga itu mana mau diajak
kerja sama? Bunuh saja, akan tetapi siksa dulu!"
Itulah suara
Ratu Iblis yang agaknya secara diam-diam mengikuti usaha muridnya yang sedang
membujuk Cia Sun agar suka menjadi pembantu mereka dengan menggunakan
kecantikan gadis itu.
"Baik,
subo," kata Siang Hwa dengan suara gemas dan kini pandang matanya kepada
Cia Sun berubah kelam, "Akan kusiksa mereka, kubikin mereka mati
tenggelam, mati secara perlahan-lahan!"
Setelah
berkata demikian, kedua tangan gadis yang tadi membelai-belai Cia Sun dengan
penuh kelembutan dan kasih sayang, sekarang mencengkeram pundak pemuda itu dan
menariknya turun dari pembaringan, lalu menyeretnya keluar kamar itu.
Cia Sun yang
tidak berdaya itu melihat bahwa dirinya diseret keluar dari dalam bangunan
induk menuju ke bangunan belakang yang berada di tempat yang agak tinggi. Akan
tetapi setelah gadis itu menyeretnya naik dan memasuki bangunan itu, ternyata
di bagian dalam bangunan itu terdapat sebuah anak tangga yang menurun.
Kemudian,
setibanya di sebuah kamar sempit, Siang Hwa melepaskan cengkeramannya dan
dengan pengerahan tenaga dia memutar sebuah roda besi di sudut. Terdengar suara
berkerotokan dan dua buah batu besar persegi empat yang berada di atas lantai
bergerak terbuka ke kanan kiri, memperlihatkan sebuah lubang.
"Nah,
mampuslah kau di situ!" kata Siang Hwa sambil menendang tubuh Cia Sun yang
tak mampu melawan.
Tubuh pemuda
itu terlempar masuk ke dalam sebuah kolam atau sumur yang sempit. Dia hanya
mengangkat kepala supaya tidak sampai terbanting menimpa dasar sumur. Untung
bahwa yang menimpa dasar itu adalah pinggulnya lebih dulu.
"Bukkk!"
Rasanya agak
nyeri akan tetapi dia tidak terluka. Ternyata sumur itu tidak terlalu dalam,
kurang lebih hanya dua meter dan kejatuhannya itu disusul dengan menutupnya
kembali dua buah batu persegi yang mengeluarkan suara gaduh.
"Ahh,
kau juga?" Tiba-tiba terdengar suara teguran.
Cia Sun
terkejut dan cepat menengok. Matanya sudah agak terbiasa dengan keremangan
tempat itu dan dia melihat bahwa Ci Kang sudah berada di tempat itu pula, duduk
di sudut bersandarkan dinding batu! Cia Sun tidak mempedulikan orang ini.
Bagaimana pun juga, dia masih merasa mendongkol dan penasaran.
Harus
diakuinya bahwa rasa bersaing dengan pemuda inilah yang memaksa dia mengikuti
Siang Hwa. Andai kata tidak ada perasaan itu, mungkin dia akan menolak ajakan
Siang Hwa. Dia bangkit berdiri dan dengan kedua tangannya yang masih ditelikung
ke belakang, dia kemudian meraba-raba dinding melakukan penyelidikan, dengan
kedua kaki yang juga terbelenggu itu meloncat-loncat.
"Sobat,
tiada gunanya kau mencari jalan keluar. Sudah semenjak tadi aku menyelidiki dan
ternyata semua dinding ini terbuat dari besi kuat, dan lantai ini batu-batu
gunung. Jalan keluar satu-satunya hanyalah batu penutup lubang di atas itu,
akan tetapi sudah kucoba pula dan kuatnya bukan main."
Cia Sun
menghentikan usahanya dan duduk di sudut, memandang pemuda di depannya itu.
Agaknya Ci Kang telah kehilangan bajunya karena hanya tubuh bagian bawah
sajalah yang tertutup celana. Tubuhnya yang kokoh kuat dengan otot yang
melingkar-lingkar itu nampak besar dan menyeramkan. Dia sendiri masih untung,
pikir Cia Sun, bajunya hanya robek saja, akan tetapi orang itu malah setengah
telanjang!
"Kenapa
mereka ingin membunuhmu juga?" akhirnya Ci Kang bertanya.
Cia Sun
mengerutkan alisnya. "Karena mereka mengenalku."
"Hemm,
lalu kenapa engkau tidak tinggal di atas saja, hidup bahagia dengan perempuan
cabul itu dan menjadi pembantu Raja dan Ratu Iblis?" Ci Kang mengejek.
"Aha,
ternyata engkau juga sudah dibujuk rayu oleh perempuan itu!" Cia Sun
mengejek. "Agaknya lebih parah, sampai baju atasmu ditanggalkan. Mengapa
engkau tidak memilih hidup enak di sana? Dan mengapa mereka juga ingin
membunuhmu?"
"Karena
mereka pun mengenalku, mengenal keadaanku."
"Mengenal
ayahmu?" Cia Sun mendesak.
Ci Kang
mengangguk dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram. "Mereka... telah membunuh
ayahku! Dan untuk itu aku harus tetap hidup, aku harus hidup untuk membuktikan
kepada mendiang ayah bahwa aku bukan seperti mereka!" kata Ci Kang dengan
suara gemetar penuh perasaan.
Cia Sun
menjadi tertarik. "Sobat, kita senasib. Agaknya nasib yang mempertemukan
kita dimulai dari kesalah pahaman. Dan ternyata akulah yang salah. Aku tertipu
oleh penjahat-penjahat yang menyamar menjadi para pengurus kedai itu. Sobat,
aku she Cia. Namaku Cia Sun dan ayahku tinggal di Lembah Naga, itulah yang
menyebabkan mereka hendak membunuhku. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?"
"Aku
she Siangkoan, ayahku... ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin..."
"Ahhhh...!"
Cia Sun terkejut bukan kepalang sampai memandang dengan mata terbelalak.
"Maksudmu... maksudmu... yang dijuluki Iblis Buta...?"
Ci Kang
mengangguk dan menarik napas panjang. "Benar, ayahku dijuluki Iblis Buta
dan memang ayahku buta..."
"Tapi...
tapi... bukankah ayahmu memimpin para penjahat, malah para datuk Cap-sha-kui
juga menjadi sekutunya? Kenapa engkau dimusuhi Raja dan Ratu Iblis?"
"Ayah
mereka bunuh akibat menentang mereka, baru kuketahui tadi setelah aku menolak
perempuan hina itu dan menghinanya."
"Hemmm,
jadi karena ayahmu dibunuh maka kini engkau memusuhi mereka? Akan tetapi
mengapa di kedai arak itu engkau memusuhi pula para penjahat yang
menyamar?" Kini tahulah Cia Sun mengapa pemuda ini mengenal penjahat yang
menyamar sedangkan dia sama sekali tidak mengenal mereka. Ternyata pemuda ini
adalah putera seorang datuk penjahat!
"Sejak
lama aku berpisah dari ayahku karena aku tidak cocok dengan cara hidupnya. Aku
menentang kejahatan dan karenanya aku dibenci golongan sesat, akan tetapi
golongan bersih juga menghina dan menentangku karena aku putera Siangkoan
Lo-jin..."
"Apabila
ada pendekar menentangmu karena engkau putera Siongkoan Lo-jin, maka dia itu
sembrono, Ci Kang. Orang ditentang karena perbuatannya yang jahat, bukan karena
keturunannya!"
Ci Kang
mengangkat mukanya. Di dalam keadaan remang-remang itu sepasang matanya
mencorong ketika memandang wajah Cia Sun penuh selidik. "Orang she Cia,
benarkah semua omonganmu itu? Baru saja aku dikecewakan oleh para pendekar di
bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ketika aku tiba di sana dan dikenal sebagai putera
ayah, aku nyaris saja celaka karena dikeroyok mereka."
"Ah,
mereka itu sembrono. Jadi itukah sebabnya kenapa engkau murung dan mengamuk di
kedai arak itu ketika engkau melihat bahwa mereka itu adalah penjahat-penjahat
yang menyamar?"
Ci Kang
mengangguk dan secara diam-diam timbul rasa sukanya kepada Cia Sun, walau pun
masih ada rasa tidak puas karena dia belum mampu mengalahkan pemuda gagah
perkasa ini.
Mendadak
terdengar suara mengejek, suara ketawa Siang Hwa. "Hi-hi-hik, kalian ini
dua orang laki-laki yang tak tahu diri, berlagak alim dan gagah. Rasakan kini
pembalasanku. Kalian akan mampus sebagai dua ekor tikus tenggelam,
hi-hik!" Tiba-tiba terdengar suara gemercik air, lantas dari atas, dari
celah-celah batu yang menutupi lubang itu turunlah air dengan derasnya!
"Kita
harus bisa keluar dari sini!" kata Cia Sun yang segera mencoba untuk
mengerahkan tenaga agar ikatan kaki tangannya bisa dipatahkan. Akan tetapi
totokan pada jalan darah di tubuhnya masih menguasainya dan dia tidak mempunyai
tenaga otot yang cukup besar untuk dapat melawan kuatnya tali pengikat itu.
Ci Kang juga
berusaha. Dia sendiri pun baru saja dapat membebaskan totokannya karena memang
dia lebih dahulu dilempar ke dalam lubang ini setelah dengan mati-matian Siang
Hwa mencoba merayunya tanpa hasil! Kini ia mengerahkan tenaga sehingga putuslah
tali yang membelenggu kaki tangannya!
Dia lalu
bangkit berdiri dan berusaha mendorong batu yang menutupi lubang dengan dua
tangannya. Otot-otot perut, dada, pundak serta kedua lengannya menggembung
besar, akan tetapi ternyata batu penutup itu demikian kuatnya sehingga semua
usahanya untuk membukanya dari bawah sia-sia belaka!
Apa lagi
batu penutup itu terlampau tinggi sehingga dia tidak dapat mengerahkan seluruh
tenaga. Andai kata agak rendah tentu tenaganya akan lebih besar. Sementara itu,
dengan cepat air mulai menggenangi lubang itu, dan Cia Sun melihat betapa air
sudah mencapai setinggi paha dan terus naik dengan cepatnya.
"Ci
Kang, cepat kau lepaskan tali pengikat tanganku agar aku dapat
membantumu!" kata Cia Sun sambil menoleh kepada Ci Kang yang ketika itu
masih berusaha sekuat tenaga untuk membuka batu penutup lubang.
Akan tetapi
Ci Kang tidak menjawab, menengok pun tidak, seolah-olah tak peduli kepada Cia
Sun dan masih terus berusaha menggunakan tenaganya untuk mendorong membuka batu
penutup lubang jebakan itu ke atas. Namun, agaknya batu itu terlalu berat
baginya dan air terus naik dengan cepatnya. Dua pendekar muda itu terancam maut
dan keadaan mereka amat gawat!
***************
Seperti
telah kita ketahui, sudah beberapa pekan lamanya Raja dan Ratu Iblis berada di
daerah utara. Daerah ini sama sekali bukan merupakan daerah asing bagi mereka.
Sama sekali tidak. Bahkan pada waktu Raja Iblis masih menjadi Pangeran Toan Jit
Ong, dalam pelariannya dari kota raja, dia bersembunyi di utara.
Gedung itu
adalah sebuah istana kuno yang dulu dipergunakan kaisar untuk melepaskan lelah
dan bermalam jika mengadakan perjalanan ke utara, yang amat jarang terjadi. Dan
kaisar yang masih teringat akan pertalian kekeluargaan dengan Pangeran Toan Jit
Ong, diam-diam mengutus orang untuk menyerahkan istana kuno itu kepada Pangeran
Toan Jit Ong. Maka pangeran pelarian itu pun tinggal di dalam istana tua itu.
Di samping
kokoh kuat, istana itu juga mempunyai beberapa tempat untuk tahanan sebab para
pengawal kaisar selalu bersiap terhadap mereka yang menentang kaisar, mata-mata
musuh atau pun pengacau-pengacau. Tempat-tempat ini oleh Pangeran Toan Jit Ong
lalu diperbaiki dan disempurnakan sehingga menjadi tempat-tempat jebakan yang
berbahaya.
Pada saat
dia meninggalkan kota raja sebagai buronan, Toan Jit Ong sudah berusia tiga
puluh tahun lebih, memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Dan ketika dia
merantau ke utara dan tinggal di dalam istana kuno itu, dia lalu memperdalam
ilmu-ilmunya dengan menghubungi para pertapa dan orang-orang pandai. Pangeran
ini pintar sekali mengambil hati orang-orang pandai sehingga dia berhasil
mengumpulkan ilmu-ilmu kesaktian yang aneh-aneh.
Di dalam
perantauan inilah dia bertemu dengan seorang gadis puteri seorang pertapa di
Pegunungan Go-bi-san, gadis she Thio yang kini menjadi Ratu Iblis. Selain
cantik gadis itu juga memiliki kepandaian tinggi dan setelah mereka menjadi
suami isteri, mereka lalu mengadakan perjalanan ke seluruh negeri. Dengan
kepandaian mereka yang amat tinggi, mereka mencoba dan menandingi semua datuk
sesat dan tak ada seorang pun di antara para datuk itu yang mampu
mengalahkannya!
Nama Raja
dan Ratu Iblis, demikian mereka dijuluki oleh para datuk sesat, menjadi amat
terkenal dan ditakuti di kalangan kaum sesat. Akan tetapi pangeran ini tinggi
hati dan tidak mau merendahkan dirinya untuk bergaul dengan kalangan sesat
walau pun dia membenci pemerintah dan kaum pendekar pula. Dia dan isterinya
hidup terasing, hanya bertapa dan memperdalam ilmu kepandaian mereka selama
dalam perantauan mereka sampai jauh ke barat.
Dalam usia
setengah tua, Raja dan Ratu Iblis ini baru kembali ke istana di utara itu dan
tinggal di sana. Mungkin karena kini merasakan ketenteraman hati setelah tidak
merantau lagi, Ratu Iblis yang setengah tua itu mengandung! Hal ini
menggirangkan hati Raja Iblis yang kini hidup bagaikan raja kecil di tempat
sunyi, dilayani belasan orang taklukan yang juga rata-rata berkepandaian
tinggi.
Akan tetapi
dasar watak Pangeran Toan Jit Ong yang aneh dan jahat seperti iblis, bahkan
mendekati kegilaan. Dia mengatakan kepada isterinya bahwa dia ingin anak
laki-laki.
"Awas
kalau engkau melahirkan anak perempuan," katanya mengancam, "akan
kubunuh anak itu, atau kalau tidak, akan kuambil dia sebagai selirku!"
Biar pun dia
sendiri sudah biasa melakukan hal-hal yang menyeramkan dan juga memiliki dasar
watak yang liar dan jahat, namun hati wanita itu khawatir sekali mendengar
ucapan suaminya. Dan dia tahu benar bahwa suaminya itu bukan hanya mengancam
kosong belaka, akan tetapi tentu akan melaksanakan apa yang diancamkannya. Kalau
dia gagal melahirkan seorang putera, kalau yang terlahir itu seorang anak
perempuan, tentu akan dibunuh suaminya atau lebih menyakitkan hati lagi, kelak
akan menjadi selir suaminya!
Akan tetapi
Ratu Iblis bukanlah seorang bodoh. Sebaliknya, dia cerdik sekali dan dalam
keadaan terancam itu, jauh hari sebelumnya dia telah mengatur siasat dan
merencanakan penyelamatan bayinya andai kata bayinya itu terlahir perempuan.
Dia sudah memperoleh seorang pembantu yang akan melaksanakan segala rencananya
itu andai kata bayinya terlahir perempuan.
Saat yang
dinanti-nantikan itu pun tibalah. Dan untung bagi Ratu Iblis, kelahiran itu
terjadi pada tengah malam sehingga sangat memudahkan pelaksanaan siasatnya.
Siasat yang amat keji karena pembantunya itu langsung menyingkirkan bayinya
yang ternyata terlahir perempuan dan menaruhkan seorang bayi lain, juga bayi
perempuan yang diperolehnya dari dalam dusun yang berdekatan. Menculik bayi itu
dan menukarnya dengan bayi yang baru dilahirkan oleh Ratu Iblis! Dan ketika
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Raja Iblis datang menjenguk, dia hanya
mendapatkan seorang bayi perempuan yang sudah mati!
"Dia
lahir perempuan dan... mati?" tanyanya.
"Ya,
aku membunuhnya. Lebih baik mati di tanganku dari pada di tanganmu," jawab
Ratu Iblis sederhana.
Beberapa
hari kemudian, sesudah kesehatan Ratu Iblis pulih kembali, pada suatu malam
secara aneh pembantu itu pun tewas. Tentu saja yang membunuhnya adalah Ratu Iblis
yang merasa khawatir kalau-kalau rahasianya terbongkar. Setelah dia menyelidiki
di mana adanya anak yang ditukarkan itu, dia lalu membunuh si pembantu sehingga
rahasia itu hanya diketahui oleh dirinya sendiri saja.
Demikian
besarlah 'aku'-nya Ratu Iblis yang selalu mementingkan diri sendiri saja. Demi
menyelamatkan nyawa bayinya, dia tidak segan-segan untuk membunuh lain bayi
secara kejam sekali! Akan tetapi, penyakit seperti yang mencengkeram batin Ratu
Iblis ini pun agaknya diderita oleh kita semua pada umumnya.
KeAKUan yang
amat kuat selalu mencengkeram batin kita masing-masing sehingga demi
kepentingan sang aku, kita tidak segan-segan melakukan apa saja, bila perlu
merugikan orang lain. Kalau dengan mati-matian, dengan mempertaruhkan nyawa,
orang membela negara, agama, keluarga, harta atau apa pun juga, maka yang
dibela dan dipentingkan itu sesungguhnya adalah AKU-nya.
Negara-Ku
yang kubela, agama-Ku yang kubela, keluarga-Ku, harta-Ku dan selanjutnya. Bukan
negara yang penting, bukan agamanya dan sebagainya, tetapi AKU-nya. Negara
orang lain? Masa bodoh bila mau dijajah orang lain! Masa bodoh bila mau dihina,
asal jangan agama-Ku. Demikian selanjutnya, yang menunjukkan bahwa semua itu
hanyalah merupakan perluasan dari pada si AKU belaka. Si AKU yang penting.
Milik-KU!
Demikian
pula dengan Ratu Iblis itu. Dia melindungi bayi, bukan bayi pada umumnya,
melainkan bayi-NYA, dengan cara membunuh bayi lain! Demikian pula terjadi di
seluruh dunia. Untuk membela agama-NYA, orang rela menyerang agama lain. Untuk
membela bangsa-NYA, orang rela membunuhi bangsa lain. Untuk membela
keluarga-NYA, orang rela menghancurkan keluarga lain.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment