Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 25
KEADAAN Ci
Kang amat menyedihkan. Pemuda itu sedang rebah terlentang di atas sebuah
pembaringan, hanya memakai sepatu dan celananya saja. Tubuh atasnya telanjang,
tapi tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya
terpejam dan dia masih pingsan.
“Kami telah
mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli
pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu
mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?” tanya
kepala suku itu dengan khawatir.
Sui Cin
tersenyum. “Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya.”
Kepala Suku
Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan suara ragu-ragu.
“Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?”
Sui Cin
tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk.
“Ahhh...!”
Seru Moghu Khali dengan takjub.
Dia seorang
yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali dia tidak mengira bahwa
penunggang harimau yang tadi telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis
cantik jelita yang kelihatan lemah ini.
“Sungguh
beruntung hari ini aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian
tinggi seperti nona,” katanya sambil memberi hormat.
Sui Cin
merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan
tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.
“Sekarang
harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya.”
“Baiklah,
silakan nona,” Moghu Khali memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui
Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu.
Kepada
pelayan yang dapat pula berbahasa Han biar pun tidak lancar itu, Sui Cin minta
disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam
kamar itu. Sesudah semua ini tersedia, dia pun menyuruh pelayan wanita
meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu
kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamar menjadi
segar.
Sui Cin
memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya
menjadi merah, tanpa disadarinya dia melihat dan meraba dada yang bidang dan
kokoh kuat itu. Belum pernah dia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba
dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan
agak menghitam.
Dikeluarkannya
obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, lalu dicampurnya obat itu dengan secawan
arak. Dengan hati-hati dia menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda
itu dan sesudah mulut terbuka, perlahan-lahan dia menuangkan arak obat itu ke
dalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan
saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.
Sesudah
semua arak obat di dalam cawan itu pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu
menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya
ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sinkang untuk menyedot racun.
Lambat laun dia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin
panas sehingga dia hampir tidak tahan.
Akan tetapi
Sui Cin bertahan terus mengerahkan sinkang-nya sampai akhirnya ia merasa betapa
telapak tangannya yang menempel pada di Ci Kang itu menjadi basah dan ketika
dia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah. Kiranya darah sudah dapat
disedot dari luka-luka kecil itu dan dia tahu bahwa ini bukan hanya karena
tenaga sinkang-nya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar
racun yang kini mulai bekerja dengan cepatnya.
“Uhhhh...!”
Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak-gerak dan
pemuda ini mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak
tangannya dari dada pemuda itu.
Sepasang
mata itu kini perlahan-lahan terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan
tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandangan matanya bertemu dengan
wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak,
mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang
bermimpi. Apa lagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu.
Inilah
puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya,
dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri
pada dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik
hatinya itu!
Dan sekarang
gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar
dari sepasang telapak tangan itu dia pun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha
untuk menyembuhkannya! Dia pun lantas teringat bahwa dia roboh karena menjadi
korban serangan jarum halus yang harum dan merah.
“Kau... kau
nona Ceng... kau... mengobati aku...?” tanyanya dengan suara berbisik dan dia
merasa betapa tubuhnya lemah sekali.
“Diamlah,
jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!”
Sui Cin
melepaskan sepasang tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah
kehitaman pada kedua telapak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia
rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin lalu mencuci kedua tangannya. Obat dari
nenek itu telah bekerja dan dia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.
“Tapi...
mengapa... bagaimana engkau dapat berada di sini, nona? Dan mengapa engkau
bersusah payah mengobati orang macam aku?” Ada rasa haru menyelinap di dalam
hati Ci Kang. Sama sekali dia tidak pernah bermimpi bahwa seorang nona seperti
Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.
“Ci Kang,
apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah dahulu engkau pernah pula
menolongku? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan
aku gembira sekali sudah berhasil. Racun jarum itu sungguh berbahaya sekali dan
tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu.”
“Engkau
benar-benar lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih
mempunyai keahlian mengobati luka beracun.”
“Ahh, tak
perlu kau memuji,” kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan
mempergunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. “Aku
dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku
sendiri.”
Pemuda itu
terkejut sekali. “Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh,
sungguh tak kusangka sama sekali. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di
sini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!”
“Aku sendiri
pun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Dahulul aku pernah
diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di
dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Pada waktu melihat engkau juga menjadi
jagoon, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti
yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk
maju dan menghadapimu.”
“Dan aku
roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona.”
“Sudahlah,
pujianmu bahkan membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu
sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai
sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan
yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini,
tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi
jagoan-jagoan mereka.”
Ci Kang
menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan
merasa berduka. “Ahhh, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena
ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini,
bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini.” Suara Ci Kang
mengandung penuh penyesalan.
“Ahh, kenapa
engkau menyalahkan ayahmu?” Sui Cin bertanya heran.
Kembali
pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran kenapa tubuhnya
menjadi semakin lemas saja.
“Ayahku
dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, dan celakanya lagi dikenal sebagai Iblis
Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak
setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu
bahkan membuat ayahku marah sehingga menyebabkan aku terpaksa melarikan diri
dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para
pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu
tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang
untuk turut menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku
lalu berkeliaran sampai di sini dan bersahabat dengan kepala suku Khin hingga
akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang
jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk
lebih dalam lagi. Apa bila kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu
menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah kematian terhormat karena engkau
adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!”
“Sudahlah,
Ci Kang. Tidak perlu menyesali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah
kandung sendiri yang sudah tidak ada, apa lagi bagaimana pun juga ayahmu
meninggal dengan gagah perkasa, berani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang
sekali bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis...”
“Apa...?”
Sepasang mata Ci Kang terbelalak. “Kematian ayahku karena kecurangan Raja
Iblis? Apa maksudmu?”
Baru Sui Cin
mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya meninggal. Ia memandang
dengan hati kasihan. Walau pun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi sudah
meninggalkan kesan baik di dalam hatinya dalam pertemuan yang pertama, ketika
pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang tadi
diceritakan Ci Kang bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai dimusuhi, membuat
hatinya merasa semakin kasihan dan suka.
“Aku melihat
sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan
Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para
datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lantas diserang
oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak
mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam dia dibantu Raja Iblis yang
curang dan ayahmu tewas.”
“Ayah!” Ci
Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. “Akhirnya! Akhirnya engkau
juga menentang mereka, malah mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku
bangga, ayah, aku bangga...!” Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya
lalu terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan sekarang mukanya menjadi
pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.
“Ehh, Ci
Kang, engkau kenapakah...?”
Sui Cin
bertanya kaget setelah tadi dia terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira
mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda
itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu
kini menjadi layu kembali.
“Tidak
tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing...”
Tiba-tiba
saja Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat
berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang
bila tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh dari obat
penawar tadi, pikirnya.
“Jangan
khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk
menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu.” Ia memasang bantal pada punggung dan
kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak.
Lalu
sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang telah disediakan
oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok
nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit,
diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata
terpejam itu.
“Ci Kang,
obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali,”
katanya.
Ci Kang
membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima
mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena kedua tangannya
juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.
“Ahh, engkau
benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang.” Sui Cin lalu
menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.
“Sungguh
engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku
berterima kasih sekali...,” kata Ci Kang yang merasa sungkan.
“Aihh,
engkau sedang sakit, sudahlah, jangan banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu.
Makanlah ini.” kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan
sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima
kasih.
Ci Kang
sedang menderita sakit, ada pun Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatian
kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang memiliki ilmu tinggi dan biasanya
sangat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela ada
sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari
balik jendela.
Bayangan
orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu,
Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa
yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu,
gadis pujaan hati yang diam-diam sangat dicintanya, kini duduk di tepi
pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang! Begitu mesra nampaknya.
Hui Song
bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia juga tahu bahwa
Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup
berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau
ribut-ribut.
Akan tetapi,
justru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi
yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah
Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang
dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi
jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?
Hati Sui Cin
merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna
pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti oleh warna
kemerahan. Akan tetapi, semakin banyak pemuda itu menelan nasi dan obat,
mukanya menjadi makin merah pula dan pandang matanya yang juga kemerahan itu
kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah baru sekarang dia
mengenal gadis itu!
Sui Cin
masih terus menyuapkan makanan, secara diam-diam merasa heran dan juga agak
khawatir. Agaknya kesehatan pemuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi
kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan
dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah?
Dan yang
sangat menggelisahkan hatinya adalah pandangan mata Ci Kang itu. Pandang mata
itu seperti merayap-rayap dan seakan-akan terasa olehnya betapa pandang mata
itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya,
bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam dia bergidik dan jantungnya berdebar keras
dan tegang.
Hui Song
yang diam-diam mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar
kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini
bukan hanya kebetulan saja.
Rombongan
suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong secara diam-diam sudah
pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak
setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim, akan tetapi juga tidak berani
menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi
Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga.
Hui Song
masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan
Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya sudah mencuri serta melarikan harta
pusaka di Goa Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa
dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap
nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan
keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim.
Akan tetapi
dia tak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan
penyelidikan. Akhirnya dia pun melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa
Khin untuk mencari keterangan tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera
datuk sesat ini dapat menjadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini sehubungan
dengan tugas yang telah diberikan gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan
para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke
selatan.
Dan tanpa
disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu, lantas melihat Sui Cin sedang
merawat Ci Kang yang sakit, sedang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta
itu dengan sikap demikian mesra yang membuat perutnya terasa panas.
Sementara
itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan
napasnya makin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip.
Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu sudah hampir habis dan ia
meletakkan mangkok di atas pembaringan.
Sui Cin lalu
meraba dahi Ci Kang dengan telapak tangan kirinya. Terkejutlah dia merasa
betapa dahi itu panas sekali dan kulit tubuh pemuda itu mulai dari kepala sampai
ke dada nampak merah!
Semenjak
tadi Ci Kang sendiri gelisah bukan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat,
tenaganya pulih kembali dengan cepat, namun bersama kembalinya tenaganya,
datang pula suatu perasaan yang sangat aneh. Tubuhnya terasa panas dan
jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat
kuat, makin lama semakin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita
menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul
dan bemesraan dengan Sui Cin.
Namun,
dengan kekuatan batinnya Ci Kang terus mempertahankan diri, tidak mau tunduk
kepada rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan birahi yang
tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.
Pada waktu
Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar yang
disiramkan kepada nafsu birahi yang sedang bernyala sehingga menjadi makin
berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat
lagi.
“Nona...!”
serunya.
Tiba-tiba
saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan
ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu birahi. Karena
dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali.
Sejenak Sui
Cin terbelalak dan tak dapat bergerak saking kagetnya, akan tetapi
ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, lehernya, membuat dia
tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci
Kang itu kuat sekali sehingga terjadilah pergulatan. Karena keduanya
menggunakan tenaga, maka terdengarlah suara.
“Brettt...!”
Kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek!
Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan
dia pun menciumi bagian itu seperti orang gila.
“Lepaskan...!
Ah, lepaskan...!” Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar
suara keras disusul jebolnya tirai serta papan di atas jendela ketika Hui Song
menerjang masuk.
Sui Cin
telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang lalu ia meloncat turun
dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu. Ci Kang sendiri terkejut mendengar
suara gaduh itu dan dia pun meloncat turun kemudian berdiri dalam keadaan siap
siaga.
Pada saat
itu pula Hui Song meloncat sambil menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan
sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi dan menyerang Ci Kang.
Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song
memaki.
“Jahanam
busuk, kuhancurkan kepalamu!”
Melihat
datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan
dahsyat itu, Ci Kang cepat-cepat melemparkan selimut yang masih menempel di
tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.
Hui Song
yang sudah marah sekali terus menerjang kembali dengan hebatnya. Ketika dia
melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biar pun hatinya terasa panas,
namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Namun ketika dia melihat Ci Kang
tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, lalu menciumi gadis itu dan
melihat Sui Cin meronta-ronta, darah di dalam tubuh Hui Song mendidih.
Dia
menyambar sepotong kayu dari dekatnya dan menerjang ke dalam kamar, langsung
saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan
kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuat kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis
itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk
perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!
“Hyaatttttt...!”
Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih
berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih kebingungan karena semua peristiwa
yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadi
pun pada waktu dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukannya dengan
keadaan perang di dalam batinnya, satu pihak didorong oleh nafsu birahi yang
berkobar, tetapi di pihak lain batinnya menentang keras.
Ketika Hui
Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata
atau berbuat apa. Betapa pun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat
sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya
dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sinkang dan dia tahu betapa
bahayanya jika sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang mengandung tenaga
sinkang amat kuatnya itu.
“Ihhhhh...!”
Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis, karena sungguh
berbahaya sekali apa bila mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan
yang sempit ini.
“Dukkk...!”
Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu.
Ci Kang
merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itu pun pecah
berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi digunakan hanya karena
dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal menggunakan kedua tangannya
malah lebih dahsyat dan lebih berbahaya dari pada tongkat yang mati itu.
Ci Kang yang
merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia
bersalah, tidak berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui
Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat,
kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek.
Ci Kang
merasa jantungnya bagai ditusuk melihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa
hal tadi memang benar-benar sudah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan
sesuatu yang sangat memalukan. Bahkan sekarang pun darahnya tersirap dan
mukanya terasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada
gunanya menerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.
“Nona,
maafkan aku...!” katanya dengan suara gemetar lantas tubuhnya melayang keluar
dari dalam kamar itu.
“Jahanam
busuk, hendak lari ke mana kau? Dosamu harus kau tebus dengan nyawamu!” Hui
Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam
kamar itu.
Sui Cin yang
semenjak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat
mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar lantas dia pun
turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan
merapatkan bagian baju yang terobek tadi.
Akan tetapi,
pada waktu mereka tiba di luar, ternyata oleh mereka bahwa Ci Kang sudah tak
nampak lagi bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari
kesalahannya, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk
bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia sudah melarikan diri
menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimuti tempat itu.
“Jahanam,
jangan lari kau!” Hui Song membentak dan mencari-cari, akan tetapi dia tidak
tahu ke jurusan mana Ci Kang melarikan diri dan pada saat itu, terdengar suara
ribut-ribut karena suara gaduh mereka tadi sudah menarik perhatian para penjaga
dan kini banyak pengawal Bangsa Khin mulai berdatangan.
“Song-ko,
mari kita pergi dari sini!” Sui Cin berkata. Dia telah mengikat baju yang robek
dengan sapu tangan. “Tak perlu dicari lagi!”
Suara Sui
Cin ini membuat jantung Hui Song berdebar keras saking girangnya. Sui Cin telah
mengenalnya! Hal ini berarti bahwa gadis itu telah memperoleh kembali
ingatannya! Akan tetapi di samping rasa girangnya, dia masih merasa terbakar
oleh kemarahan.
“Tidak, aku
harus mencarinya sampai dapat dan membunuhnya!” bentaknya marah.
Sui Cin
mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak marah kepada Ci Kang, tapi hanya merasa
heran. Tak biasanya Ci Kang bersikap seperti tadi. Dia tidak pernah
memperlihatkan sikap kurang ajar, apa lagi berani melakukan hal seperti tadi.
Bukankah dahulu Ci Kang bahkan pernah mati-matian menentang Sim Thian Bu ketika
saudara seperguruannya itu hendak memperkosanya?
Akan tetapi,
kenapa secara tiba-tiba saja Ci Kang melakukan hal itu? Dan sikap itu timbul
sesudah pemuda itu makan nasi dengan akar obat. Mula-mula mukanya menjadi
merah, juga matanya, lantas tubuhnya panas sekali. Apakah tidak ada apa-apa di
balik itu? Kini, melihat Hui Song marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang tanpa
dipertimbangkan lebih dahulu persoalannya, dia pun merasa tidak senang.
"Kalau
begitu kau carilah sendiri!" Dan Sui Cin lalu membalikkan tubuhnya dan
melompat pergi.
"Cin-moi...!"
Hui Song gelagapan melihat gadis itu melarikan diri dan dia cepat mengejar,
takut kehilangan bayangan Sui Cin dalam kegelapan malam itu.
Sui Cin
tidak menjawab malah terus melarikan diri. Mereka berkejaran dan meninggalkan
perkemahan itu, melalui padang pasir yang halus dan sunyi. Bintang-bintang
bertaburan di langit, merupakan kumpulan titik-titik terang yang membuat cuaca
remang-remang, sejuk dan indah.
Akhirnya, di
sebuah lapangan yang penuh batu-batu gunung, Sui Cin berhenti dan duduk. Hui
Song menyusulnya, kemudian pemuda ini berdiri di hadapan gadis itu. Sampai lama
mereka saling berpandangan tanpa berkata-kata, masing-masing mengatur
pernapasan yang agak memburu karena berlari cepat tadi.
"Cin-moi...
ahh, engkau telah sembuh dan mendapatkan ingatanmu kembali! Girang sekali
hatiku. Dan jahanam itu! Siangkoan Ci Kang, sekali waktu aku akan membunuhnya!
Akan tetapi kenapa engkau malah merawatnya, padahal bukankah siang tadi engkau
pula yang merobohkannya? Engkau maju sebagai penunggang harimau itu, bukan?
Cin-moi, kenapa engkau berada di daerah ini, bahkan lebih aneh lagi, mengapa
engkau menjadi jagoan yang membantu nenek iblis itu?"
Dihujani
pertanyaan bertubi-tubi itu, Sui Cin diam saja. Sesudah Hui Song selesai dengan
pertanyaan-pertanyaannya, barulah dara ini menjawab, "Song-ko, ceritaku
panjang sekali. Kuharap engkau yang lebih dahulu bercerita kepadaku sejak kita
berpisah dan mengapa pula engkau dapat berkeliaran di tempat ini?"
Batin Sui
Cin masih terguncang karena peristiwa dengan Ci Kang tadi, maka dia belum
sempat memperoleh kembali kegembiraannya dan sekarang bersikap serius. Hal ini
pun dipengaruhi oleh sikap Hui Song yang agaknya sangat membenci Ci Kang,
padahal dia sendiri, walau pun sikap Ci Kang tadi amat mengejutkan dan
membuatnya sangat marah, masih belum merasa bahwa dia membenci pemuda putera
datuk sesat itu.
Melihat
sikap serius gadis itu, Hui Song juga bersikap tenang dan dia pun mencari
tempat duduk di depan Sui Cin. Sejenak mereka saling berpandangan lagi dan
keduanya merasa seolah-olah mereka tak pernah berpisah, apa lagi saling
berpisah hingga tiga tahun lebih.
"Aaihh,
alangkah cepatnya waktu berkelebat," akhirnya Hui Song berkata.
"Ingatkah kau bahwa kita telah saling berpisah selama tiga tahun lebih?
Akan tetapi, ketika berhadapan denganmu seperti sekarang ini, aku merasa
seolah-olah kita tidak pernah saling berpisah, atau baru kemarin saja."
Sui Cin
mengangguk karena memang demikian pula perasaan hatinya. "Song-ko,
terlebih dahulu ceritakanlah segala pengalamanmu. Aku ingin sekali tahu mengapa
engkau dapat bekerja sama dengan murid Raja Iblis di Goa Iblis Neraka itu, dan
bagaimana sekarang engkau tiba-tiba berada di daerah ini pula."
"Ceritaku
juga panjang, akan tetapi baiklah akan kupersingkat saja. Tiga tahun lebih yang
lalu, kita saling berpisah. Engkau diajak pergi oleh locianpwe Wu-yi Lo-jin,
sedangkan aku pergi mengikuti Siang-kiang Lo-jin untuk mempelajari ilmu. Nah,
selama tiga tahun itu aku belajar ilmu dari suhu Siang-kiang Lo-jin. Sesudah
tiga tahun, suhu menyuruh aku untuk menghadiri pertemuan para pendekar di bekas
benteng milik Jeng-hwa-pang sehubungan dengan tekad para pendekar untuk
menentang gerakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Di dalam perjalanan itu aku
bertemu dengan iblis betina itu. Dia menipuku, mengaku sebagai pejuang yang
menentang Raja Iblis, karena itu aku membantunya mencari harta karun yang
tersembunyi di dalam Goa Iblis Neraka itu. Akan tetapi harta itu lebih dahulu
sudah diambil orang lain yang meninggalkan lencana Harimau Terbang di daerah
utara. Dan aku terjebak, tentu telah tewas kalau tidak ada engkau yang muncul
menolongku. Akan tetapi, engkau sendiri malah tertimpa bencana saat menolongku,
kepalamu terluka oleh pukulan batu musuh sehingga engkau kehilangan ingatan,
bahkan kemudian menyerangku. Nah, pertemuan yang hanya sebentar itu pun
berakhir dan kita saling berpisah kembali. Aku lalu pergi menyelidiki ke utara
dan aku sempat terlibat dalam pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan."
Hui Song lalu menceritakan pengalamannya dt kota benteng itu.
"Nah,
karena tak mungkin lagi menyelamatkan San-hai-koan, aku pergi ke bekas benteng
Jeng-hwa-pang, bertemu dengan suhu yang menyuruhku melakukan penyelidikan
kepada para suku bangsa di sini. Aku bertemu dan berkenalan dengan Lam-nong,
kepala suku Mancu Timur, lantas ikut bersama rombongannya ke tempat pertemuan
para suku untuk memilih pimpinan. Aku ingin menyelidiki Yelu Kim yang kabarnya adalah
ketua Harimau Terbang, menyelidiki tentang harta karun dan juga tentang
pergerakan para suku di sini, kemudian aku melihat engkau! Melihat pula Ci
Kang, jahanam busuk itu..."
"Sekarang
dengarkanlah pengalamanku," Sui Cin memotong cepat ketika mendengar Hui
Song mulai hendak memaki-maki Ci Kang lagi. "Seperti juga engkau, aku
mengikuti suhu Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun untuk menerima gemblengan ilmu.
Lantas aku pun disuruh oleh suhu untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Di
tengah jalan aku melihat kuil tempat tinggal murid Raja Iblis itu dan kaki
tangannya. Aku merasa curiga dan menyelidiki mereka. Aku mendengar percakapan
mereka tentang harta pusaka di Goa Iblis Neraka, maka aku melakukan
penyelidikan ke situ. Aku lalu melihat engkau bersama iblis-iblis itu dan
selanjutnya engkau tahu. Aku terluka, kehilangan ingatan. Dalam keadaan seperti
itu, aku hampir celaka oleh Kiu-bwe Coa-li. Untung ada saudara Cia Sun yang
menolongku. Akan tetapi, pada saat itu juga muncul nenek Yelu Kim yang lalu mengobati
aku sampai sembuh sama sekali dari racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li,
juga sembuh sama sekali dari kehilangan ingatan. Karena budinya ini, aku lalu
diangkat menjadi muridnya dan menjadi pembantunya. Aku berjanji membantunya
memperoleh kedudukan pimpinan dalam pemilihan jago dan aku berhasil."
"Akan
tetapi, kenapa setelah engkau merobohkan Ci Kang, engkau lalu..."
Sui Cin
menggerakkan tangan dengan kesal. "Dengarkanlah dulu! Engkau tahu bahwa Ci
Kang pernah menyelamatkan aku dan pertandingan antara kami itu bukan urusan
pribadi. Dan aku telah merobohkannya dengan menggunakan jarum merah beracun.
Aku merasa sangat menyesal karena kalau tidak kuobati, mungkin dia akan celaka.
Aku akan merasa menyesal bukan main kalau sampai dia mati dalam pertandingan
yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadi kami itu. Maka aku lalu
mengobatinya. Sungguh tidak kusangka sama sekali dia... dia akan melakukan hal
itu..."
"Dasar
orang jahat, anak seorang datuk sesat seperti Iblis Buta, mana bisa baik?"
"Aku
tidak yakin, Song-ko, perbuatannya itu seperti tidak sewajarnya..."
"Ah,
dia itu putera datuk sesat, tentu seorang yang jiwanya sudah kotor. Kalau
dahulu dia menolongmu, bukan karena kebaikan hatinya, akan tetapi karena dia
tidak ingin engkau diganggu orang lain itulah!"
"Sudahlah,
Song-ko, aku tak mau membicarakan soal itu lagi. Anehnya, aku sendiri tidak
mendendam atas peristiwa itu dan masih ragu-ragu, akan tetapi mengapa engkau
malah ribut-ribut?"
"Kenapa
tidak, Cin-moi? Melihat engkau hendak dipaksa, hatiku sudah terbakar dan tentu
aku sudah menghancurkan kepalanya kalau saja dia tidak lari. Siapa yang tidak
cemburu melihat itu...?"
"Cemburu...?"
"Cin-moi,
masih haruskah kujelaskan lagi? Perlukah kuulangi lagi? Sui Cin, sejak dahulu
sampai sekarang aku tetap mencintamu tetapi sampai saat ini pun engkau belum
pernah memberi jawaban yang pasti. Sui Cin, aku cinta padamu dengan sepenuh
jiwa ragaku dan aku hampir merasa yakin bahwa cintaku tidak bertepuk tangan
sebelah, bahwa engkau pun cinta padaku. Cin-moi, jawablah..." Sekarang
sikap Hui Song yang biasanya gembira jenaka itu berubah menjadi serius, bahkan
di dalam suaranya terdengar nada memelas dan memohon.
Hingga lama
sekali Sui Cin menatap wajah pemuda itu. Hatinya diliputi kebimbangan yang
membuat dia bingung sehingga sejenak tidak mampu menjawab. Harus diakuinya
bahwa dia merasa amat suka, mungkin mencinta kepada pemuda ini.
Hui Song
adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, budiman, dan mempunyai watak yang
cocok dengannya, riang jenaka dan gembira. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa ayah
ibunya tidak suka kepada orang tua pemuda ini, dan dia pun belum tahu apakah
orang tua pemuda ini, ketua Cin-ling-pai, suka pula kepada ayah bundanya. Apa lagi
baik dia sendiri mau pun Hui Song adalah anak-anak tunggal!
"Cin-moi..."
"Song-ko,
maafkan aku. Bagaimana mungkin kita bicara tentang hal itu kalau kita berdua
masih sibuk dengan urusan perjuangan yang amat penting? Raja Iblis bersama
sekutunya telah menduduki San-hai-koan, dan kekuatan mereka makin membahayakan
keselamatan negara. Lebih baik kita selesaikan tugas-tugas kita lebih dulu.
Setelah urusan ini selesai, barulah kita sempat berpikir tentang urusan
pribadi. Kalau saatnya tiba, sudah sepatutnya kalau orang-orang tua kita yang
berunding mengenai hal itu, bukan kita sendiri. Bukankah begitu, Song-ko?"
Wajah Hui
Song berubah merah. Dia seperti menerima teguran sehingga merasa tidak enak
sendiri. Orang-orang gagah sedunia sedang sibuk bersiap-siap menanggulangi para
datuk yang hendak memberontak, dan dia sendiri ribut-ribut bicara tentang
cinta!
"Ahh,
maafkan aku, Cin-moi. Bukan maksudku hendak melupakan perjuangan, hanya aku
ingin sekali tahu dan merasa pasti tentang cinta kita. Ahh… sudahlah, engkau
benar. Biar nasib kita saja yang menentukan kelak. Kalau sudah selesai
perjuangan, kita akan bicara lagi dan aku tentu akan minta orang tuaku pergi
kepada orang tuamu untuk meminang. Nah, sekarang marilah kita bicara tentang
perjuangan. Bagaimana pendapatmu tentang usaha kita untuk menentang Raja Iblis
dan kaki tangannya?"
"Aku
tidak tahu, Song-ko. Aku menjadi bingung setelah mendengar bahwa Raja Ibils dan
para datuk sudah bergabung dengan pasukan pemberontak di San-hai-koan dan
bahkan sudah menduduki kota benteng itu. Dengan demikian tentu tidak mungkin
bagi kita untuk menentang pasukan besar secara begitu saja. Kurasa akan lebih
besar hasilnya apa bila aku melanjutkan perjuangan di sini, membantu nenek Yelu
Kim yang akan menggerakkan para suku utara untuk menghantam pasukan
pemberontak. Dengan demikian berarti aku secara tidak langsung menentang
kekuasaan Raja Iblis, melawan pasukan pemberontak dengan mengandalkan pasukan
suku utara."
"Tetapi
para kepala suku itu pun bermaksud memberontak dan menyerang ke selatan!"
Hui Song berseru.
"Itu
adalah soal nanti. Kini yang terpenting adalah menentang para pemberontak,
bukan? Apa bila pemberontak sudah dapat dihancurkan dan kalau para suku utara
masih hendak melanjutkan gerakan mereka menyerang ke selatan, masih belum
terlambat bagiku untuk meninggalkan mereka. Dengan adanya gerakan dari para
suku di utara yang menyerang mereka, disertai pasukan pemerintah yang menyerang
dari selatan, berarti Raja Iblis dan sekutunya akan tergencet dari utara dan
selatan."
Hui Song
mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat kebenaran pendapatmu tadi, Cin-moi.
Baiklah, kini aku akan pergi menghadiri pertemuan para pendekar untuk melihat
apa yang akan dibicarakan dan keputusan apa yang akan diambil."
"Song-ko,
kalau bertemu dengan suhu, ceritakan keadaanku dan rencanaku menghadapi para
pemberontak."
Mereka lalu
berpisah. Sui Cin kembali ke perkemahan nenek Yelu Kim sedangkan Hui Song pergi
menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Betapa pun gembira hatinya telah dapat
bertemu kembali dengan Sui Cin dan melihat gadis itu telah sehat kembali, namun
ada sedikit kekecewaan di dalam hati Hui Song mendengar jawaban Sui Cin
mengenai cintanya, jawaban yang sama sekali masih belum meyakinkan hatinya
bahwa dara itu pun mencintanya.
Cinta asmara
memang lebih banyak mendatangkan rasa kekecewaan dan sengsara di dalam hati.
Asmara selalu menuntut balasan! Asmara selalu mengandung cemburu, dan asmara
yang tidak dibalas merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan.
Asmara
adalah nafsu birahi yang menciptakan ikatan. Tapi asmara amat mengasyikkan,
membuai batin setiap orang manusia sehingga manusia seperti dengan rela
menentang semua kesengsaraan itu demi mencicipi madu asmara, walau pun sedikit.
Hal ini
adalah manusiawi, karena semenjak lahir nafsu birahi terbawa oleh badan. Yang
lebih penting adalah menyadarinya, mengenalnya sebagai satu di antara
sifat-sifat badan sehingga kita tak sampai terseret dan menjadi hambanya,
terikat kuat sehingga akhirnya menjadi permainan nafsu.
***************
Pemuda itu
menangis seorang diri! Nampaknya amat lucu, akan tetapi juga mengharukan
melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar, yang gagah perkasa seperti
Siangkoan Ci Kang itu menangis!
Akan tetapi,
tangis tak terlepas dari pada kehidupan setiap orang manusia, karena hidup ini
memang merupakan tempat bagi tawa dan tangis untuk silih berganti mengisi batin
manusia. Tangis merupakan alat pelepas semua ganjalan dalam batin, pelepas
semua kedukaan dan kekecewaan. Orang yang tidak bisa menangis, yang tidak
memiliki tangis sebagai pelepasan duka, tentu kesehatannya akan terganggu.
Siangkoan Ci
Kang adalah seorang pemuda yang semenjak kecil hidup dalam lingkungan yang
keras dan boleh dibilang tidak pernah mengenal tangis. Semenjak kecil hampir
tidak pernah dia menangis. Segala derita batin diterimanya dengan gigitan
bibir. Namun, hal itu bukan berarti dia tidak pernah menangis di dalam
batinnya. Hanya karena kerasnya hati maka tangis tidak sampai tersalur keluar
dari mulut.
Akan tetapi
sekarang, menghadapi pengalaman yang bertubi-tubi yang amat menyakitkan
hatinya, sesudah berada seorang diri di tempat yang sunyi itu, Ci Kang tidak
kuasa lagi membendung air matanya lantas dia pun menangis tersedu-sedu sambil
berlutut di atas tanah dan menutupi muka dengan kedua tangannya!
Dan begitu
air matanya mengucur, bagaikan air yang sudah lama terbendung dan sudah terlalu
penuh, tangisnya pun menjadi-jadi. Terbayanglah segala pengalaman yang sangat menyedihkan
dan mengecewakan hatinya dan dia pun membiarkan semua rasa duka itu mengalir
keluar melalui air matanya.
Tangis
timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan iba diri ini
timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang
mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua pengalaman
yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati.
Pikiran
mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan hal ini
kemudian menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal yang
mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seakan-akan berubah menjadi tangan yang
mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri hingga air mata pun bercucuran
keluar. Jika sudah begitu, maka kesadaran akan kenyataan pun menjadi kabur dan
pikiran yang menguasai perasaan itu pun membayangkan bahwa dirinya merupakan
orang yang paling sengsara, paling menderita di dalam dunia ini.
Dengan
demikian, maka nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul akibat pikiran yang
mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tak menyenangkan. Andai kata
pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua yang telah terjadi itu, adakah
duka?
Hal ini
hanya dapat kita ketahui dengan mempelajari dan mengamati diri sendiri. Tidak
akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak akan ada
rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan masa depan.
Segala
peristiwa yang terjadi di dunia ini tentu bersebab. Akan tetapi pikiran kita
yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan membuat kita
sering kali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab dari pada peristiwa
yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan perbuatan kita sendiri
sebelum peristiwa itu terjadi.
Mungkinkah
bagi kita manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang
menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita
tak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya lagi sebagai sesuatu yang
menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju kepada
saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada masa lalu
atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang?
Terikat
kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut.
Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Betapa indahnya, betapa bahagianya! Bukan
berarti tak peduli, bukan berarti masa bodoh, melainkan justru waspada karena
bukankah hidup adalah SEKARANG INI? Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup.
Masa lalu sudah lewat, sudah mati. Masa depan hanya khayal, belum ada.
Ketika
menangis amat sedihnya itu, pikiran Ci Kang penuh dengan kenangan-kenangan yang
mengecewakan hatinya. Teringat dia akan semua nasibnya, sejak dia dimusuhi oleh
ayahnya sendiri sehingga hampir saja dia dibunuh oleh ayahnya. Betapa senangnya
dia menentang kejahatan yang dilakukan oleh ayahnya bersama teman-teman
ayahnya, akan tetapi hal ini membuat dia dibenci oleh golongan sesat.
Kemudian,
dalam usahanya menjadi orang baik, lalu menggabungkan diri dalam golongan
pendekar, dia tidak dipercaya, bahkan dimusuhi oleh para pendekar, dianggap
sebagai putera datuk sesat yang tentu jahat pula. Dan berita tentang kematian
ayahnya di tangan Raja Iblis, sungguh pun dia merasa bangga bahwa pada saat
terakhir hidupnya, ayahnya menentang raja datuk sesat itu, bahkan mengorbankan
nyawanya, akan tetapi tetap saja kenangan akan ayah kandungnya yang tak pernah
akrab dengannya itu menghancurkan perasaannya pula.
Kemudian
sekali, pengalaman yang baru-baru ini dialami bersama Sui Cin! Dia tahu betul
bahwa semenjak pertemuannya pertama dengan gadis pendekar itu, ketika dia
menolong Sui Cin dari ancaman tangan kotor Sim Thian Bu, dia sudah merasa kagum
dan tertarik sekali, bahkan dalam pertemuannya tadi, ketika dia diobati gadis
itu, dia merasakan benar betapa sejak dahulu dia telah jatuh cinta kepada nona
itu!
Dan
teringatlah dia akan ulahnya terhadap Sui Cin. Gadis itu mengobatinya,
merawatnya, menyuapkan nasi ke mulutnya! Bukan main kenyataan ini! Akan tetapi
apa yang sudah dilakukannya tadi? Dia sudah membalas kebaikan hati gadis itu
dengan perbuatan yang tak senonoh! Dia telah menghina gadis itu! Makin
dibayangkan perbuatannya tadi, makin hancurlah hatinya dan dia merintih-rintih.
"Ya
Tuhan... apa yang telah kulakukan tadi...?" Dia mengeluh dan menjatuhkan
dirinya di atas tanah, rebah menelungkup sambil menangis!
Batin yang
kemasukan satu di antara perasaan girang, susah, takut dan sebagainya akan
kehilangan kepekaannya dan biar pun Ci Kang seorang pemuda terlatih yang
mempunyai ilmu kepandaian tinggi, namun dalam keadaan menangis dan tenggelam di
dalam lautan kedukaan itu dia menjadi lengah. Sama sekali dia tidak tahu ketika
ada bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang amat cepat dan ringan.
Bayangan itu
tahu-tahu telah berada dekat sekali dengan Ci Kang. Ketika sekali tangan
kanannya bergerak, tubuh Ci Kang mengejang lalu lemas dan tidak mampu bergerak
lagi, karena jalan darahnya telah tertotok secara amat lihai!
"Hi-hik-hik,
akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku, manusia sombong!" Bayangan yang
ternyata seorang wanita itu tertawa mengejek, kemudian menggunakan kaki kirinya
untuk membalikkan tubuh Ci Kang yang sudah lemas itu sehingga terlentang.
Ci Kang yang
tiba-tiba saja merasa tubuhnya lemas dan lumpuh memandang wanita itu. Seorang
wanita cantik, bajunya kembang-kembang, perawakannya ramping, pakaiannya
sederhana dengan hiasan rambut setangkai kembang. Akan tetapi alis Ci Kang
berkerut melihat wanita muda yang cantik ini karena dia mengenalnya sebagai
seorang iblis betina yang amat lihai dan berbahaya, juga amat kejam. Gadis ini
bukan lain adalah Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun
Wangi), murid Raja Iblis!
Tahulah Ci
Kang bahwa dia sedang berada dalam ancaman bahaya maut. Iblis ini tentu tidak
akan mau melepaskan dirinya, dan dia merasa heran mengapa totokan tadi bukan
merupakan serangan maut, karena kalau hal itu dilakukan, tentu kini dia sudah
tewas.
Kemudian
teringat olehnya akan watak cabul wanita ini yang dulu pernah membujuk rayu
padanya. Teringat akan ini, dia maklum bahwa tentu sekarang pun, sebelum
membunuh dirinya, wanita cabul ini akan mengulangi lagi usaha dan bujuk
rayunya. Dia merasa sebal dan merasa lebih baik mati saja, apa lagi hatinya
sedang berduka seperti itu. Memang kematian lebih baik baginya, sebagai hukuman
atas perbuatannya terhadap Sui Cin tadi.
"Iblis
betina, engkau sudah merobohkan aku dengan curang seperti seorang pengecut. Nah,
tidak perlu lagi engkau mengulangi perbuatanmu yang hina dan tak tahu malu,
tidak perlu lagi engkau merayuku. Kalau engkau memang gagah, bebaskan aku
kemudian kita bertanding sampai mati, atau kalau memang engkau seorang pengecut
hina seperti yang kuduga, lekas bunuh saja aku!" katanya sambil memandang
dengan mata melotot penuh tantangan.
Akan tetapi,
Siang Hwa yang dimaki-maki itu hanya tersenyum mengejek, sama sekali tidak
memperlihatkan sikap marah. Dengan lagak genit dia menggunakan telunjuk tangan
kirinya mengelus dagu Ci Kang. "Ehm, tampan! Jangan dikira bahwa hanya
engkau saja laki-laki tampan di dunia ini. Kalau engkau menolak melayaniku,
masih ratusan orang pria tampan yang siap untuk menyenangkan hatiku. Dan
tentang membunuhmu, tentu saja aku akan membunuhmu, akan tetapi jangan mengira
engkau akan mati dengan nyaman. Hi-hik, tidak, tampan, karena engkau
menyakitkan hatiku dengan penolakanmu, engkau akan mati perlahan-lahan dan
dengan sengsara sekali. Aku akan menyayat-nyayat semua kulit badanmu sampai
penuh darah, lantas kutinggalkan engkau di sini dalam keadaan seperti itu biar
engkau dikeroyok semut dan dipatuk burung-burung sampai engkau mati dengan
siksaan hebat. Nah, menarik sekali, bukan?"
Akan tetapi,
sebaliknya Ci Kang juga tak nampak gentar sama sekali. Dia sudah bertekad untuk
menghadapi kematian dengan tabah. "Perempuan iblis busuk, pengecut
jahanam, tak perlu banyak mengeluarkan omongan busuk lagi, bunuhlah kalau mau
bunuh, dengan cara apa pun juga, aku tidak takut mati!" Dan Ci Kang lalu
memejamkan mata seperti orang yang merasa muak dan hendak tidur, tidak lagi mau
mempedulikan gadis itu.
Sesungguhnya
perbuatan ini dilakukan untuk menyembunyikan rasa sesal dan malunya. Dia
memaki-maki wanita iblis ini sebagai wanita yang hina dan busuk, wanita yang
cabul. Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Apa yang sudah dilakukannya
terhadap Sui Cin hampir tidak ada bedanya dengan kecabulan yang dilakukan
wanita ini. Memaksakan hasrat dan gejolak birahi kepada orang lain.
Gui Siang
Hwa telah mengenal watak seorang pendekar muda seperti Ci Kang yang amat keras
hati ini. Dia tahu bahwa percuma saja membujuk pemuda ini, baik untuk menjadi
kekasihnya atau menjadi pembantu gurunya.
Dan orang
yang tidak mau bekerja sama berarti musuh, apa lagi orang yang mempunyai
kelihaian seperti pemuda ini. Sungguh bisa berbahaya sekali. Maka, jalan
terbaik adalah membunuhnya!
Ia kemudian
mencabut pedangnya dan siap untuk melaksanakan ancamannya tadi, yaitu
merobek-robek kulit tubuh pemuda itu dan membiarkannya tergolek di situ dalam
keadaan lumpuh dan penuh luka supaya dia mati perlahan-lahan kehabisan darah
dan dikeroyok binatang-binatang kecil yang tentu akan tertarik oleh bau darah.
"Hi-hik,
lebih dulu aku akan membikin putus otot-otot kaki tanganmu agar sesudah bebas
dari totokan engkau tidak akan mampu bergerak lagi!" kata Gui Siang Hwa.
Pedangnya
diangkat ke atas, lalu berkelebat ke arah lutut kiri Ci Kang.
Akan tetapi,
tiba-tiba pedang itu berhenti di udara, tertahan oleh sesuatu yang amat kuat.
Siang Hwa terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa
pedangnya itu telah terlibat oleh bulu-bulu panjang sebuah kebutan berwarna
putih yang gagangnya dipegang oleh seorang gadis remaja yang berdiri sambil
memandang kepadanya dengan sepasang mata berapi penuh teguran!
Gadis ini
paling banyak delapan belas tahun usianya. Wajahnya agak pucat, akan tetapi
sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar mencorong! Pakaiannya amat
sederhana, rambutnya pun dibiarkan riap-riapan ke belakang.
"Engkau
orang jahat!" Gadis ini menegur Siang Hwa dengan suara halus. "Engkau
mau membunuh orang begitu saja, orang yang sudah tidak sanggup melawan sama
sekali. Sungguh jahat!"
Akan tetapi
Siang Hwa marah bukan main. Gadis muda ini cukup cantik dan mengingat bahwa Ci
Kang selalu menolaknya, kemudian muncul gadis ini yang membela Ci Kang, mudah
diduga bahwa gadis ini tentulah merupakan kekasih Ci Kang. Dia merasa betapa
libatan bulu kebutan itu mengendur, maka ia pun lalu menarik pedangnya dan menghadapi
gadis itu dengan senyum mengejek. Tentu saja dia memandang rendah gadis
bertampang pucat seperti orang berpenyakitan ini.
"Hi-hik,
engkau hendak menemaninya mampus? Baik, akan kukirim engkau lebih dulu ke
neraka!" Berkata demikian, pedangnya menyambar ganas ke arah leher gadis
itu.
Akan tetapi
Siang Hwa kecelik kalau mengira bahwa pedangnya akan mudah merobohkan lawan
hanya dengan sekali serang saja. Dia tadi mengeluarkan jurus yang penuh tipuan,
pedangnya meluncur menusuk ke arah tenggorokan, akan tetapi sebenarnya pedang
itu hanya menggertak saja karena secara tiba-tiba pedang yang meluncur itu
berubah arah dan membacok ke bawah, ke arah perut!
Hebatnya,
gadis bermuka pucat itu agaknya sudah mengenal gerak serangan ini, karena dia
sama sekali tidak melindungi lehernya, melainkan menangkis ke depan dada dengan
gagang kebutannya sehingga secara tepat sekali dia menggagalkan serangannya ke
arah perut.
"Tranggg...!"
Dan Siang
Hwa mundur dua langkah dengan kaget karena tangkisan gagang kebutan itu membuat
lengannya tergetar, juga gerakan menangkis tadi amat dikenalnya. Dengan
penasaran Siang Hwa lantas menyerang lagi sambil memutar pedangnya dengan amat
cepat. Dia menerima pelajaran ilmu pedang dari Raja dan Ratu Iblis, tentu saja
ilmu pedangnya sangat ganas dan berbahaya. Pedangnya lenyap berubah menjadi
gulungan sinar yang menyambar-nyambar ganas ke arah lawan.
Akan tetapi,
keheranan hati Siang Hwa semakin menjadi-jadi ketika lawannya itu mampu
mengelak atau menangkis, menghindarkan semua serangannya dengan amat mudah dan
seolah-olah semua gerakan serangannya itu telah diduga lebih dahulu. Dia
terkejut bukan main saat lawannya membalas dengan serangan ujung kebutan
sehingga terpaksa Siang Hwa harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan
semua kepandaiannya untuk mempertahankan diri karena serangan balasan lawannya
itu benar-benar sangat hebat. Ujung kebutan itu terus menyambar-nyambar dan
setiap helai bulu kebutan seperti hidup, kadang-kadang berubah kaku seperti
kawat-kawat baja tapi kadang-kadang lemas sekali dan dapat menyerang ke arah
jalan darah.
Ci Kang
tidak merasa heran melihat betapa dara muda yang baru saja datang ini mampu
menandingi Siang Hwa. Begitu membuka matanya memandang, dia langsung mengenali
gadis itu yang bukan lain adalah Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis yang
tinggal di dalam goa bawah tanah itu.....
KEMUNCULAN
gadis muda yang membelanya ini menimbulkan harapan baginya bahwa dia akan
tertolong dari ancaman maut, biar pun hal ini tidak mendatangkan kegirangan
besar dalam hatinya. Pada saat itu, bagi Ci Kang mati dan hidup tiada bedanya,
bahkan dia tak akan menyesal kalau tewas karena hal ini hanya akan membebaskan
dirinya dari pada kedukaan dan penyesalan.
Perkelahian
itu berlangsung dengan serunya dan lima puluh jurus telah berlalu. Kini tiada
keraguan lagi di dalam hati Siang Hwa bahwa lawannya sudah mengenal semua
gerakan silatnya, namun dia pun mengenal gerakan yang serupa dengan ilmu silat
yang diajarkan kepadanya oleh suhu dan subo-nya.
Malang
baginya, gerakan kebutan itu asing baginya sehingga baberapa kali dia kebobolan
dan hampir saja celaka ketika ujung kebutan menyambar. Untung dia amat gesit
sehingga hanya keserempet saja dan belum terkena serangan yang telak. Bagaimana
pun juga hal ini mengecutkan hatinya, maka Siang Hwa mulai terdesak hebat oleh
Hui Cu.
Untung bagi
Siang Hwa, sejak kecil Hui Cu hidup menyendiri di dalam goa di bawah tanah
sehingga dia berwatak bersih, belum terseret ke dalam lembah kekejaman dan
kejahatan oleh kehidupan orang tuanya. Oleh karena itu, walau pun dia telah
mempelajari ilmu-ilmu silat dari ibunya, bahkan menguasai ilmu kebutan yang
merupakan ilmu rahasia dan yang hanya dipelajari olehnya sendiri, namun tiada
sedikit pun keinginan di dalam hatinya untuk mencelakakan orang lain.
Perasaan
inilah yang membuat dia menentang mati-matian ketika ibunya pernah hendak
membunuh Cia Sun dan Ci Kang. Dan sekarang dia menentang Siang Hwa yang hendak
membunuh Ci Kang.
"Hyaaaattt...!"
Tiba-tiba
Hui Cu mengeluarkan bentakan aneh seperti sering dilatihnya ketika dia berlatih
silat di dalam goa bawah tanah, dan ujung kebutannya membuat gulungan cahaya
yang membuat pandangan mata Siang Hwa kabur. Sebelum Siang Hwa dapat
menghindarkan dirinya baik-baik, pundak kirinya telah disambar ujung kebutan
dan dia berteriak kesakitan lantas meloncat ke belakang. Pundaknya terasa nyeri
bukan main dan kalau saja dia tidak melindungi dirinya dengan tenaga sinkang,
tentu dia sudah roboh.
Dengan muka
agak pucat Siang Hwa memandang gadis itu lalu telunjuknya menuding ke arah muka
yang putih agak pucat itu. "Kau... dari mana engkau mencuri ilmu perguruan
kami...!"
Yang ditanya
hanya tersenyum saja dan wajahnya tak lagi nampak menyeramkan akibat kepucatan
wajahnya, karena sesudah tersenyum, wajah itu menjadi manis sekali.
"Aihhh, agaknya engkaulah murid ibuku. Engkau amat lihai dengan pedangmu
itu, sayang engkau jahat, mau membunuh orang! Ibu pernah bercerita mengenai
seorang muridnya bernama Gui Siang Hwa. Engkaukah itu?"
Gui Siang
Hwa menjadi semakin terkejut. Puteri subo-nya? Belum pernah dia mendengar
subo-nya mempunyai seorang puteri. Memang subo-nya pernah melahirkan seorang
anak perempuan akan tetapi anak itu telah mati!
"Kau...
kau... puteri subo...?" Ia memandang terbelalak seperti melihat setan. Mungkinkah
anak yang mati dapat hidup kembali?
Tiba-tiba
Hui Cu teringat akan pesan ibunya agar tidak memperkenalkan diri kepada siapa
pun juga, maka dia pun berkata dengan tak sabar lagi, "Sudahlah, engkau
cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu orang lain. Pergilah!" Dia
melangkah maju dan mengancam dengan kebutannya untuk mengusir Siang Hwa.
Pada saat
itu pula ada angin menyambar kuat, lantas tiba-tiba muncullah seorang nenek
berpakaian putih dengan rambut putih riap-riapan dan wajah pucat kehijauan. Ci
Kang mengenal nenek ini sebagai Ratu Iblis dan diam-diam dia pun merasa
menyesal mengapa dia masih dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, ingin dia
melawan Ratu Iblis ini dengan muridnya yang jahat.
"Hui
Cu, apa yang sedang kau lakukan ini?" bentak nenek itu kepada puterinya
dan ketika dia melihat Siang Hwa, wajah nenek itu lalu berubah, alisnya
berkerut dan sinar matanya mencorong. "Siang Hwa, apa yang kau kerjakan di
sini?"
Nenek ini
sejenak merasa bingung dan kaget melihat betapa anaknya yang kehadirannya
dirahasiakan itu ternyata telah bentrok dengan muridnya dan jika hal ini sampai
ketahuan oleh suaminya tentu akan terjadi kegegeran. Suaminya tentu akan
menuntut agar Hui Cu dibunuh mati atau diberikan kepadanya untuk menjadi
selirnya!
"Subo,
teecu berhasil merobohkan Siangkoan Ci Kang dan hendak membunuhnya, akan tetapi
lalu muncul... ehhh, adik ini yang menentang teecu," kata Siang Hwa
membela diri karena dia tahu bahwa subo-nya sedang marah sekali.
Nenek itu
membalikkan tubuhnya memandang pada tubuh Ci Kang, lalu kepada puterinya dengan
sikap marah. Sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Hui Cu sudah meloncat dan
sekali berkelebat, tubuhnya sudah tiba di dekat Ci Kang dan dia bersikap
melindungi.
"Ibu,
kenapa engkau dan juga muridmu itu berkeras hendak membunuh orang yang tidak
bersalah?"
"Hui
Cu, pergilah dan biarkan Siang Hwa membunuhnya!" bentak Ratu Iblis.
"Tidak!
Siapa pun tak boleh membunuhnya! Aku akan menentang siapa saja yang hendak
membunuhnya!" berkata Hui Cu dengan sikap gagah lalu dia melintangkan
kebutannya di depan dada. "Siang Hwa, kalau engkau berkeras hendak
membunuhnya, aku yang akan lebih dulu merobohkanmu. Kalau engkau jahat, aku pun
terpaksa akan tega melukaimu!"
Tentu saja
Siang Hwa tidak berani sembarangan bergerak. Dia sudah tahu akan kelihaian
gadis itu, apa lagi setelah kini tahu bahwa gadis itu ternyata adalah puteri
subo-nya. Mana dia berani menyerang atau menentangnya?
"Kalau
aku yang membunuhnya?" bentak pula nenek itu.
"Aku
tetap akan melindunginya dan agaknya ibu harus membunuh aku lebih dulu sebelum
dapat membunuhnya!"
Nenek itu
nampak terkejut dan sepasang matanya yang mencorong itu terbelalak. "Apa?!
Kau... kau cinta pemuda itu?"
"Aku
tidak tahu apa maksudmu, ibu. Aku tidak tahu apa artinya cinta, akan tetapi aku
suka kepadanya karena dia orang yang baik dan aku tidak suka melihat dia
dibunuh. Aku akan menentang setiap pembunuhan tanpa sebab."
Melihat
kenekatan puterinya, nenek itu sejenak nampak bingung dan kehabisan akal. Dia
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi baginya, mati hidupnya seorang
pemuda seperti Siangkoan Ci Kang tidaklah begitu penting. Yang merupakan urusan
besar adalah pertemuan antara anaknya dengan Siang Hwa. Maka dia menoleh ke
arah Siang Hwa dan berkata dengan suara penuh mengandung ancaman,
"Siang
Hwa, berjanjilah untuk menutup mulutmu dan tidak bicara kepada siapa pun juga
tentang Hui Cu, terutama sekali kepada suhu-mu. Kalau hal ini sampai bocor,
engkaulah satu-satunya orang yang tahu maka engkau akan kubunuh!"
Mendengar
suara subo-nya dan melihat sikap yang mengancam itu, Siang Hwa menjadi pucat
dan dia pun mengangguk sambil berkata lirih, "Baik subo... teecu berjanji
tak akan bicara dengan siapa juga mengenai... sumoi."
"Nah,
Hui Cu, Siang Hwa, mari kita pergi!" kata pula nenek itu.
Hui Cu
memandang kepada Ci Kang, dan kemudian dengan ragu-ragu kepada ibunya.
"Ibu... dan... suci sungguh tidak akan membunuh dia?"
"Tidak,
mari kita pergi," kata pula nenek itu mendesak.
"Pergilah
dahulu, ibu dan suci, nanti aku menyusul," kata pula Hui Cu yang masih
belum percaya benar bahwa ibunya dan suci-nya itu benar-benar akan membebaskan
Ci Kang dan tidak mengganggunya.
"Mau
apa kau?!" ibunya membentak.
"Aku
mau bercakap-cakap dulu sebentar dengan dia," jawab gadis itu menunjuk
kepada Ci Kang.
Nenek itu
mendengus marah, akan tetapi dia segera meninggalkan tempat itu. Siang Hwa
tersenyum mengejek.
"Sumoi
yang manis, agaknya engkau sudah tergila-gila kepada pemuda ini, ya? Memang dia
tampan dan gagah, akan tetapi hati-hatilah, dia jahat dan curang tak dapat
dipercaya. Jangan-jangan engkau akan celaka olehnya. Bila engkau ingin agar dia
dapat melayanimu sepuas hatimu, engkau berilah dia minum ini." Wanita itu
lalu mengeluarkan sebungkus bubukan merah dan memberikannya kepada Hui Cu.
Akan tetapi
Hui Cu menolak, menggelengkan kepala dengan alis berkerut. "Aku tidak tahu
apa yang kau maksudkan, akan tetapi dia tidak jahat dan curang seperti engkau.
Pergilah cepat!" bentaknya marah.
Gui Siang
Hwa hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking lirih dan
ini adalah tanda panggilan dari subo-nya. Maka, sambil tersenyum mengejek Siang
Hwa mengangkat pundak dan pergi meninggalkan sumoi-nya.
Hui Cu
berjongkok dan melihat betapa pemuda itu tak mampu bergerak karena totokan, ia
cepat menepuk lalu mengurut punggung dan kedua pundak Ci Kang. Akhirnya
berhasillah dia membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan dan Ci Kang segera
bangkit duduk sambil mengatur pernapasan.
"Aku
benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suci tadi." Hui Cu
mengomel sambil duduk di depan Ci Kang.
Pemuda ini
menatap wajah yang manis itu dan merasa kagum. Gadis ini sungguh masih bersih
dan polos, batinnya belum tercemar oleh kekotoran yang mengelilingi
keluarganya.
"Suci-mu
itu jahat sekali, Hui Cu. Dan kalau tadi aku tidak tertotok, tentu akan
kuserang dan kurobohkan suci-mu itu."
Gadis itu
memandang dengan alis berkerut, agaknya bingung dan tak mengerti. "Kenapa
akan kau lakukan hal itu?"
"Karena
dia jahat dan berbahaya bagi orang lain, dan ibumu juga."
"Engkau
akan menyerang dan membunuh ibuku pula?"
"Kalau
mungkin, biar pun ibumu lihai sekali. Mereka itu jahat bukan main, mereka
adalah datuk-datuk sesat, bahkan ibumu dijuluki Ratu Iblis. Mereka semua hanya
menyebarkan perbuatan jahat dan kejam dan merupakan ancaman bagi keselamatan
orang-orang lain yang tidak berdosa dan mengotorkan bumi."
"Engkau...
benci kepada mereka?"
Mendengar
pertanyaan ini, Ci Kang termenung sambil mengamati batinnya sendiri. Tidak, dia
tidak benci siapa pun. Apa yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai tentang cinta,
benci dan dendam sudah mendalam di dalam batinnya dan dia tidak merasa membenci
siapa pun juga. Akan tetapi dia merasa harus menentang orang-orang semacam Ratu
Iblis dan Siang Hwa karena mereka itu jahat dan berbahaya bagi manusia pada
umumnya, seperti juga dia menentang ayahnya sendiri yang sama sekali tidak
dibencinya.
"Tidak,
Hui Cu. Aku tak membenci mereka, akan tetapi yang kutentang adalah kejahatan
mereka demi menyelamatkan orang-orang dari ancaman kejahatan mereka."
Gadis itu
menggeleng-geleng kepala. "Aku menjadi bingung dan tidak mengerti, Ci
Kang. Akan tetapi, tadi aku melihat engkau seorang diri menangis demikian
sedihnya. Kemudian muncul suci yang menotokmu dengan curang. Ci Kang, kenapa
engkau menangis begitu menyedihkan? Apakah yang menyusahkan hatimu?"
Ci Kang
merasa terharu sekali. Terhadap seorang gadis yang sejujur dan sebersih ini,
dia merasa mendapatkan seorang sahabat sehingga dia tidak perlu merasa malu
atau harus menyembunyikan rahasia hatinya. Bahkan Hui Cu dapat merupakan
satu-satunya orang kepada siapa dia boleh mencurahkan semua kepedihan hatinya
saat itu.
"Hui
Cu, aku memang berduka sekali karena aku mencinta seorang gadis tetapi tidak
ada harapan bagiku untuk berjodoh dengannya."
Gadis itu
mengerutkan alisnya seperti hendak mengerahkan otaknya untuk menangkap arti
ucapan Ci Kang. "Engkau cinta padanya? Apakah cinta itu?"
Ci Kang
tersenyum. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian hijau, karena semenjak
kecil selalu berada seorang diri saja di dalam goa bawah tanah.
"Cinta
adalah perasaan seorang pria terhadap wanita, Hui Cu, dan orang yang mencinta
mengharapkan untuk bisa hidup bersama dengan wanita yang dicintanya. Aku jatuh
cinta kepada seorang gadis akan tetapi tidak ada harapan bagiku untuk dapat
berjodoh dan hidup bersamanya."
"Kenapa,
Ci Kang? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik. Apakah dia tidak
suka kepadamu?"
"Aku
tidak tahu..." Dia lantas teringat betapa Sui Cin menyuapkan makanan ke
mulutnya, betapa gadis itu mengobati dan merawatnya. "Mungkin dia suka
padaku... akan tetapi aku sudah melakukan kesalahan besar terhadap dirinya...
dan pula, dia adalah puteri seorang pendekar besar, sedangkan aku..."
"Engkau
kenapa?"
"Aku
sebaliknya adalah anak seorang datuk sesat yang amat jahat!" kata Ci Kang
dengan gemas dan suaranya mengandung penuh penyesalan.
Ucapan ini
amat menarik hati Hui Cu. Gadis itu memegang lengan Ci Kang dan menatap tajam
wajah pemuda itu. "Apa? Orang tuamu itu jahat? Sejahat... orang
tuaku?"
Ci Kang
mengangguk. "Ayah dan ibumu berjuluk Raja dan Ratu Iblis dan kini menjadi
raja para datuk sesat. Sebelum itu, yang menjadi raja datuk-datuk sesat adalah
ayahku yang berjuluk Iblis Buta."
"Ahh...
kenapa mereka itu jahat? Aku tidak suka perbuatan jahat, dan engkau pun tidak
suka. Kenapa mereka begitu, Ci Kang?"
Pertanyaan
yang sederhana ini tidak mampu terjawab oleh Ci Kang. "Aku tidak tahu, Hui
Cu. Akan tetapi aku girang bahwa engkau tidak suka kejahatan seperti mereka.
Kita ini senasib, sama-sama menjadi anak orang-orang jahat. Dan ayahku kini
telah tiada..."
"Akan
tetapi kalau dia buta, berarti tidak dapat melihat, kenapa jahat? Dan dia tentu
lihai sekali, karena engkau pun amat lihai."
"Dia
lihai, akan tetapi masih kalah oleh ayah ibumu. Ayahku tewas di tangan
ibumu."
"Ihhhh...!
Dan kau... kau adalah puteranya, karena itu engkau membenci ibu dan hendak
membalas..."
"Tidak!
Engkau keliru, Hui Cu. Kalau aku menentang ibumu, itu hanya karena ibumu jahat.
Ayahku mati karena akibat perbuatannya sendiri, akibat kejahatannya sendiri.
Aku tidak mendendam kepada siapa pun juga."
Gadis itu
terdiam. "Aku bingung dan tidak mengerti mengenai semua ini, Ci Kang. Akan
tetapi, mendengar bahwa engkau pun anak seorang datuk sesat seperti aku, aku
semakin suka padamu. Ehh, Ci Kang, di manakah kawanmu itu?"
"Kawanku?
Kau maksudkan Cia Sun?"
"Benar!
Cia Sun, yang bersamamu masuk ke dalam goa bawah tanah itu. Di manakah dia
sekarang dan mengapa tidak bersamamu? Aku ingin sekali bertemu dan bicara
dengan dia."
Mendengar
kegairahan dalam suara gadis itu, Ci Kang menatap wajahnya dengan penuh
selidik. Akan tetapi wajah dan pandangan mata yang berseri itu tidak berubah
dan tetap polos terbuka.
"Hui
Cu, kau... kau cinta pada Cia Sun?"
"Cinta?
Ahh, kau tadi bilang bahwa cinta berarti ingin selamanya hidup bersama orang
yang dicinta. Aku tidak tahu, apakah aku ingin hidup selamanya dengan Cia Sun,
akan tetapi, aku suka sekali kepadanya dan semenjak bertemu dengannya, aku
selalu teringat kepadanya."
"Hemm,
kalau tidur engkau sering kali mimpi bertemu dengannya?"
"Benar..."
"Kalau
engkau sedang duduk seorang diri, wajahnya sering terbayang olehmu, suaranya
seperti kau dengar kembali, setiap gerak-geriknya amat menyenangkan
hatimu?"
"Wah,
benar! Benar sekali! Ehh, bagaimana engkau bisa tahu?"
Ci Kang
tersenyum pahit. Tentu saja dia tahu benar, karena seperti itulah keadaan dan
perasaannya terhadap Sui Cin selama ini! Puteri Raja dan Ratu Iblis ini sudah
jatuh cinta kepada Cia Sun! Kenyataan ini membuat hatinya semakin pedih.
Dia, putera
datuk sesat jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis yang terkenal. Dan kini,
puteri Raja Iblis yang sangat jahat itu jatuh cinta kepada putera ketua
Pek-liong-pang dari Lembah Naga yang juga terkenal sebagai seorang pendekar sakti
yang dihormati orang! Mana mungkin terjadi?
"Ci
Kang, kenapa engkau bengong saja? Kau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana
engkau dapat mengetahui apa yang kualami selama ini, dan di mana pula adanya
Cia Sun?"
"Hui
Cu, aku tahu apa yang kau alami karena aku sendiri pun mengalami hal yang sama
terhadap bayangan gadis yang kucinta. Dan Cia Sun... ah, engkau belum tahu
siapa dia. Dia bukan orang sembarangan saja, dia adalah putera dari pendekar
besar Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga."
"Lembah
Naga? Aku pernah mendengar nama tempat itu dari ibu, tidak begitu jauh dari
sini! Jadi dia berada di sana?"
"Entahlah,
kukira begitu."
"Kalau
begitu, aku akan pergi mencarinya! Aku akan mencari Cia Sun, aku tidak senang
tinggal bersama ibuku!" Gadis itu bangkit berdiri.
"Nanti
dulu, Hui Cu!" Ci Kang juga melompat dan memegang lengan gadis itu.
"Kenapa
kau menahanku? Ada apa?"
Ci Kang
merasa kasihan terhadap gadis ini dan tidak ingin melihat gadis ini mengalami
patah hati dan penghinaan di Lembah Naga. "Dengarkan dahulu baik-baik.
Ingat bahwa engkau adalah puteri Raja dan Ratu Iblis, sedangkan Cia Sun adalah
putera pendekar..."
Dia tidak
melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu menyambar angin dahsyat sekali
dan tahu-tahu di situ muncul seorang kakek yang rambutnya riap-riapan putih,
pakaiannya juga serba putih dan sepasang matanya mencorong mengerikan, ada pun
mukanya pucat kehijauan. Melihat kakek ini, terkejutlah Ci Kang karena dia
mengenal kakek ini sebagai Raja Iblis sendiri!
"Aku
mendengar tadi ada puteri Raja dan Ratu Iblis. Siapa puteri itu?"
terdengar suara kakek aneh itu, suaranya seperti terdengar dari lain tempat
yang jauh, dan bibirnya tidak nampak bergerak.
Hui Cu yang
juga kaget melihat munculnya seorang kakek aneh, kini memandang kakek itu
dengan mata terbelalak. "Engkau kakek aneh dan lucu, bicara tanpa
menggerakkan bibir! Akulah puteri Raja dan Ratu Iblis!"
Ci Kang
terkejut sekali dan tidak sempat menahan gadis itu mengeluarkan kata-kata yang
demikian beraninya. Berhadapan dengan iblis ini tak perlu banyak cakap,
pikirnya, karena tak mungkin iblis itu akan mau melepasnya seperti yang
dilakukan oleh Ratu Iblis karena bujukan puterinya tadi.
Maka tanpa
banyak cakap lagi dia pun cepat menerjang maju dengan pukulan tangannya yang
ampuh. Karena dia maklum bahwa lawannya ini amat sakti, maka begitu menerjang
dia langsung mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya kemudian mengirim pukulan
yang mengandung tenaga dahsyat.
"Wuuuttt...!
Dukkk...!"
Tubuh Ci
Kang terjengkang ke belakang dan dia tentu akan terbanting keras kalau saja dia
tidak cepat berjungkir balik dan berloncatan ke belakang. Dia dapat berdiri lagi
dengan tegak dan merasa betapa lengan kanannya yang tertangkis oleh lengan
kakek itu terasa nyeri dan panas.
"Jangan
pukul kawanku!" Hui Cu membentak dan dia pun langsung menyerang kakek itu
dengan kebutannya. Dia marah melihat betapa Ci Kang terjengkang dan hampir
roboh.
Kakek itu
mengeluarkan suara menggereng aneh dan begitu jari-jari tangannya bergerak,
bulu kebutan itu berhenti dan menempel di telapak tangannya, sedangkan tangan
kirinya diulur untuk mencengkeram ubun-ubun kepala Hui Cu. Jelas bahwa dia
bermaksud akan membunuh puterinya itu dengan sekali serangan.
"Iblis
keji! Kau hendak membunuh anakmu sendiri?" Ci Kang membentak, lantas
dengan nekat dia menerjang dari samping, memukul ke arah tengkuk kakek itu dan
tangan kirinya menangkis tangan kakek yang mencengkeram ke arah ubun-ubun
kepala Hui Cu.
"Dukk!
Dukkk!"
Kembali
lengan mereka beradu dan Ci Kang terjengkang, akan tetapi Hui Cu selamat dan
dapat menarik kembali kebutannya. Gadis ini memandang kakek itu dengan kedua
mata terbelalak ketika dia mendengar bentakan Ci Kang tadi.
"Apa?!
Dia... dia ini ayahku?" teriaknya.
"Benar,
dia adalah Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong, ayah kandungmu. Pangeran Toan
Jit Ong, gadis ini adalah Toan Hui Cu, puterimu sendiri. Jangan ganggu dia,
akulah lawanmu dan mari kita bertanding sampai mati!" Ci Kang menantang
dengan sikap gagah dan dia sudah memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi
mati-matian melawan raja kaum sesat ini.
Akan tetapi
kakek itu tidak menjawab, bahkan tidak memperhatikan dia. Sepasang mata yang
mencorong itu ditujukan kepada Hui Cu, mengamatinya dari pucuk rambut sampai ke
kaki.
"Ia
harus mati, tapi sayang, dia gagah dan cantik. Engkau harus melahirkan anak
laki-laki dariku!"
Dan
tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tangannya sudah
meluncur ke depan. Lengan itu dapat mulur panjang dan tangan itu hendak
menangkap pinggang Hui Cu. Gadis ini terkejut dan menjerit, kebutannya
digerakkan menotok ke arah pergelangan tangan lawan.
"Tukkk!"
Bagaimana
pun saktinya, Raja Iblis itu terkejut karena pergelangan tangan yang tertotok
ujung kebutan itu seperti dipatuk ular sehingga terasa kesemutan. Mengertilah
dia bahwa isterinya telah melatih anak ini dan mungkin anak ini telah mewarisi
ilmu kebutan rahasia dari mendiang gurunya yang belum sempat dipelajarinya, dan
ilmu kebutan ini lebih lihai dari pada ilmu menggunakan rambut dari isterinya.
Maka terpaksa dia menarik kembali lengannya.
"Iblis
keji!" Ci Kang menyerangnya dari samping dengan totokan ke arah lambung
kiri Raja Iblis.
Totokan ini
amat hebat dan saking cepatnya, tidak dapat ditangkis lagi sehingga terpaksa
pula Raja Iblis itu menggerakkan tubuh ke belakang untuk mengelak. Diam-diam
dia pun terkejut. Pemuda ini cukup lihai, mungkin lebih lihai dari pada semua
pembantunya. Dan anak perempuan itu pun memiliki ilmu kebutan yang hebat.
Tiba-tiba
dia melompat ke belakang dan mengangkat kedua tangan. Kakek ini memang memiliki
wibawa yang kuat karena dua orang muda itu segera berhenti dan memandang.
"Siapa
namamu?" tanyanya kepada Ci Kang.
"Aku
Siangkoan Ci Kang," jawab pemuda itu dengan tabah.
"Bagus!
Kau putera Siangkoan Lo-jin?"
"Benar!"
"Hemm,
kau datang untuk membalas kematian ayahmu?"
"Tidak,
aku datang untuk menentang kejahatanmu!"
"Siangkoan
Ci Kang, apakah engkau cinta kepada puteriku ini? Engkau jadilah suaminya dan
kalian menjadi pembantu-pembantuku yang setia. Bagaimana?"
Sungguh luar
biasa sekali watak iblis ini! Baru saja menyerang dan hendak membunuh, sekarang
tiba-tiba menawarkan hal yang sebaliknya. Ini menunjukkan betapa cerdiknya Raja
Iblis. Dia segera dapat mengubah pendirian begitu melihat segi keuntungannya.
"Persetan
dengan engkau!" bentak Ci Kang.
Usul Raja
Iblis itu tentang perjodohannya dengan Hui Cu tentu saja bukan merupakan hal
yang buruk, akan tetapi menjadi pembantu iblis itu benar-benar merupakan
tawaran yang dianggapnya amat menghina. "Lebih baik mati dari pada menjadi
antekmu!"
Dan pemuda
itu sudah menyerang lagi. Raja Iblis mengelak dengan mudah lantas balas
menendang dengan kecepatan kilat. Akan tetapi Ci Kang juga dapat menghindarkan
diri dan langsung menyerang kembali dengan bertubi-tubi.
"Kalau
begitu engkau akan mampus dan ia menjadi isteriku!" Raja Iblis berloncatan
sambil berkata demikian, kemudian membalas.
Terjadilah
serang-menyerang dengan hebat dan lewat beberapa jurus, kembali tangannya yang
ampuh itu ketika ditangkis Ci Kang membuat pemuda itu terhuyung ke belakang.
"Mampuslah!"
Raja Iblis meloncat dan mengirim pukulan susulan terhadap pemuda yang sedang
terhuyung itu.
Akan tetapi
Hui Cu menerjang dari samping dengan kebutannya yang menyambar dan beruntun
mematuk ke arah jalan darah di pelipis, leher serta pundak! Terpaksa Raja Iblis
mengurungkan pukulannya terhadap Ci Kang dan mengelak dari sambaran ujung
kebutan yang cukup lihai itu. Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh Ci Kang
untuk memperbaiki kedudukannya, lalu dia pun membantu Hui Cu menyerang lagi.
Raja Iblis
menjadi marah sekali. Selama ini hampir tidak pernah ada orang yang berani
menentangnya, namun kini, seorang pemuda, hanya putera mendiang Iblis Buta,
berani menentangnya. Dan yang lebih menggemaskan lagi anak perempuan itu,
anaknya sendiri, membantu si pemuda!
Ia
mengeluarkan suara lengkingan nyaring berkali-kali dan kedua tangannya kini
bergerak dengan dorongan-dorongan yang mengeluarkan hawa panas dan menerbitkan
angin kuat. Nampak uap putih setiap kali dia mendorongkan kedua tangannya.
Dan dua
orang muda itu pun segera terdesak hebat. Hanya dengan pengerahkan sinkang
sekuatnya saja keduanya tak sampai terlempar oleh hawa dorongan yang begitu
kuatnya. Walau pun demikian, Ci Kang maklum bahwa tidak lama lagi dia dan Hui
Cu tentu akan roboh. Raja Iblis ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat
dahsyat.
Karena
merasa bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah jauh dibandingkan kakek itu, Ci
Kang segera teringat akan ilmu yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai kepadanya,
yaitu ilmu silat menggunakan tongkat atau benda apa saja yang berbentuk
tongkat. Dia melompat ke kiri dan menyambar patah sebatang cabang pohon yang
besarnya selengan, kemudian dia pun menggunakan senjata ini.
Ilmu tongkat
bambu merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Ciu-sian Lo-kai.
Karena itu, begitu Ci Kang mainkan tongkat ini, dia dapat menggempur
desakan-desakan lawan dan dibantu oleh Hui Cu, kini dia mampu membalas, bekerja
sama dengan kebutan gadis itu yang juga ampuh sekali.
Menghadapi
keadaan yang berbalik ini, Raja Iblis menjadi semakin marah dan mendadak dia
pun mengeluarkan gerengan keras dan ketika kedua tangannya bergerak menyilang
menyambut tongkat di tangan Ci Kang, terdengarlah suara keras. Tongkat itu
hancur dan tubuh Ci Kang terjengkang!
Dengan
mengeluarkan suara gerengan seperti tertawa, kakek itu cepat menubruk ke arah
Ci Kang yang masih terlentang. Pemuda ini menyambutnya dengan satu tendangan,
akan tetapi kakek itu berhasil menangkis tendangan ini dan segera menjatuhkan
diri berlutut, kedua tangannya dihunjamkan dengan jari-jari terbuka ke arah
kepala Ci Kang.
Pemuda ini
merasa betapa ada hawa pukulan dahsyat menyambar, maka maklumlah dia bahwa dia
sedang terancam maut karena sekali jari-jari tangan itu mengenai kepalanya,
tentu kepalanya akan hancur berantakan. Jalan satu-satunya baginya hanya
menangkis. Dia mengangkat kedua tangannya dan berhasil menangkap dua lengan
tangan lawan.
Terjadilah
adu tenaga yang mengerikan. Kakek itu berusaha melanjutkan terkaman kedua
tangannya, ada pun Ci Kang yang berada di bawah berusaha mempertahankan. Mereka
bersitegang dan sepasang lengan Ci Kang mulai menggigil, mukanya pucat dan
penuh keringat, tanda bahwa dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan berada di
tepi maut. Agaknya sebentar lagi dia tidak akan kuat bertahan sehingga kakek
itu dapat melanjutkan pukulan mautnya.
Melihat
keadaan Ci Kang yang terancam maut seperti itu, tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan
teriakan keras dan dia pun cepat menggerakkan kebutannya. Ujung kebutannya
berubah menjadi dua gumpal yang ujungnya meruncing seperti pedang, lantas dua
batang pedang dari bulu-bulu halus yang kini menjadi kaku keras itu menusuk ke
arah sepasang mata Raja Iblis! Tusukan ini cepat dan hebat sekali dan agaknya
gadis itu sudah lupa bahwa dia bisa menewaskan atau setidaknya membutakan mata
ayah kandungnya.
Menghadapi
serangan mendadak yang amat berbahaya ini, Raja Iblis terkejut sekali dan
terpaksa dia cepat menarik kembali kedua tangan yang tadi menekan ke bawah, dan
kaki kanannya menyambar ke depan menyambut serangan gadis itu.
"Desss...!"
Tubuh Hui Cu
terpental dan biar pun dia sudah melindungi dirinya dengan sinkang, tidak urung
tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah
sampai bergulingan. Akan tetapi, perbuatannya itu menyelamatkan Ci Kang yang
segera meloncat bangun dan menjauhkan diri karena dia harus mengumpulkan hawa
murni untuk memulihkan tenaganya.
Hui Cu juga
sudah melompat bangun dan kedua orang muda itu sudah bersiap lagi. Kini wajah
mereka pucat dan kedua kaki agak gemetar karena kecapaian.
Raja Iblis
tersenyum mengejek. Kedua orang itu tentu akan dapat dirobohkannya dalam
serangan berikutnya. Dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya, saling
bersilang dan setiap kali dua lengan itu bergesekan, tentu nampak uap putih
mengepul. Memang hebat sekali ilmu kakek ini kalau dia sudah mengeluarkan
tenaga sakti seperti itu.
Ci Kang
memandang khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Memang sejak tadi
dia telah menghadapi kematian dengan tenang. Akan tetapi dia mengkhawatirkan
Hui Cu. Gadis itu tadi sudah menyelamatkan nyawanya. Dia tahu bahwa tanpa
bantuan Hui Cu tadi, dia sudah tewas.
Dan kini,
dia merasa tidak kuat untuk dapat melindungi gadis itu dari ayah kandungnya
yang jahat seperti iblis itu. Namun betapa pun juga, dia akan melawan dan
melindungi Hui Cu sampai napas terakhir.
Karena
adanya niat hendak melindungi ini, perlahan-lahan Ci Kang menghampiri Hui Cu
sambil matanya terus memandang ke arah Raja Iblis yang berdiri dalam jarak lima
meter dari mereka. Setelah dekat, dia menyentuh lengan gadis itu.
"Jangan
takut, Hui Cu, aku akan membelamu sampai mati."
Hui Cu
tersenyum duka. "Kita berdua akan mati, Ci Kang. Akan tetapi aku gembira
dapat mati bersama seorang sahabat sepertimu. Mari kita lawan dia."
"Yang
berat adalah tenaga dorongannya, mari kita satukan tenaga untuk
menyambutnya," bisik Ci Kang. Gadis itu mengangguk, kemudian menyelipkan
kebutan pada pinggangnya, dan bersama Ci Kang dia lalu melangkah maju
berdampingan.
Melihat dua
orang muda itu nekat maju bersama, Raja Iblis kembali tersenyum mengejek. Dia
tahu akan siasat pemuda itu hendak menyatukan tenaga. Akan tetapi dia tadi
sudah mengukur sampai di mana tenaga mereka dan dia tidak menjadi gentar.
Bahkan sengaja dia maju lagi menyerang dengan kedua tangannya didorongkon ke
depan, kedua telapak tangannya menghadap kepada dua orang lawan itu. Begitu
kedua tangannya mendorong, nampak uap putih dan angin menyambar dahsyat.
Ci Kang dan
Hui Cu yang sudah maklum akan kehebatan tenaga dorongan itu langsung menyambut
dengan kedua tangan didorongkan pula. Sekarang mereka bergerak dengan
berbareng, menyatukan tenaga sinkang menyambut dengan kuatnya.
"Desss...!"
Hebat bukan
main ketika tiga pasang tangan itu bertemu dan akibatnya tubuh Raja Iblis undur
dua langkah, akan tetapi tubuh Ci Kang dan Hui Cu terjengkang kemudian roboh
terbanting! Mereka kalah tenaga dan kini mereka berdua merasa betapa napas
mereka menjadi sesak.
Terpaksa
mereka cepat-cepat mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk
mencegah dada yang terguncang hebat itu agar jangan sampai terluka. Kesempatan
baik terbuka bagi Raja Iblis dan sambil tersenyum lebar dia melangkah maju,
siap-siap untuk mengirim pukulan maut!
"Sungguh
tidak tahu malu tua bangka menghina orang-orang muda!" Tiba-tiba terdengar
suara halus dan suatu hawa tenaga yang sangat kuat mendorong dan menyambut Raja
Iblis.
Kakek ini
terkejut dan mengerahkan tenaga, menggunakan tangannya mengibas dan dua tenaga
sakti saling bentur membuat keduanya terkejut karena masing-masing mendapat
kenyataan betapa kuatnya lawan yang dihadapi!
Raja Iblis
cepat memandang dan alisnya pun berkerut. Yang muncul di depannya adalah
seorang laki-laki yang usianya paling banyak lima puluh tahun. Perawakannya
gagah dan wajahnya masih kelihatan tampan menarik, pakaiannya serba indah
sehingga membuat dia nampak semakin anggun. Wajah itu tersenyum ramah akan
tetapi sepasang matanya mencorong penuh kekuatan.
Di samping
kiri pria ini berdiri seorang wanita yang usianya sebaya, cantik sekali, dengan
pakaian yang juga mewah, bersih dan baru, rambutnya dihias batu permata. Akan
tetapi, berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang tersenyum ramah, wanita
cantik ini nampak anggun dan angkuh, serius dengan sepasang matanya menatap
wajah Raja Iblis seperti hendak menegur.
Raja Iblis
belum pernah mengenal mereka, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kedua orang
ini tentulah dua orang dari golongan pendekar yang mempunyai kepandaian tinggi,
maka dia tidak memandang rendah dan bersikap waspada dan hati-hati.
Biasanya,
apa bila ada Ratu Iblis di sampingnya, dia tidak pernah mau bicara sendiri dan
bahkan jarang dia turun tangan sendiri. Kini, karena dia seorang diri saja, dia
terpaksa bicara dan bertindak sendiri.
Dia teringat
bahwa di antara para datuk di dunia persilatan, banyak yang sudah pernah
ditaklukkannya, bahkan mereka bersumpah tidak akan melawannya kalau dia
memegang Tongkat Suci Sakti. Kini berhadapan dengan dua orang itu, bahkan dia
sudah mengukur tenaga pria itu yang ternyata sangat kuat, dia hendak mengambil
cara yang lebih mudah.
Kalau dua
orang ini memiliki hubungan dengan para tokoh yang pernah ditundukkannya, tentu
mereka tidak akan berani pula menentang dia yang memegang Tongkat Suci Sakti.
Cepat dia mengeluarkan sebatang tongkat dari balik jubahnya, lantas sambil
mengangkat tongkat itu ke atas kepala, dia berkata, suaranya bergema seperti
datang dari jauh dan amat berwibawa.
"Lihat
Tongkat Suci Sakti dan berlututlah kalian sebelum aku menyatakan kalian berdosa
dan harus menerima hukumanku!"
Pria dan
wanita itu memandang dengan heran, lalu saling pandang dan pria itu tertawa.
"Ha-ha-ha-ha!
Yang suci dan sakti bagi orang jahat belum tentu suci bagi kami! Aku orang she
Ceng belum pernah melihat tongkat butut itu!"
"Tua
bangka, jangan membadut di hadapan kami. Pergilah dan jangan ganggu dua orang
muda ini sebelum aku turun tangan menghajarmu!" kata si wanita dengan
suara galak dan sepasang matanya mencorong penuh ancaman.
Raja iblis
menjadi marah sekali. Tongkat Suci Sakti itu mereka hina! Padahal, bila melihat
tongkat itu saja banyak tokoh persilatan gemetar dan berlutut.
"Bagus,
kalau begitu kalian adalah calon-calon bangkai!" Raja Iblis menyerbu ke
depan, menggunakan tongkat itu dan secepat kilat tongkat itu sudah melakukan
dua kali pukulan ke arah pria dan wanita itu secara bertubi-tubi, bahkan
diikuti oleh cengkeraman tangan kirinya yang tidak kalah berbahaya.
Pria dan
wanita itu pun bukan orang sembarangan. Dengan sekali gerakan saja mereka sudah
maklum akan kelihaian kakek yang mukanya seperti kedok mayat itu, dan mereka
paham akan bahayanya tongkat yang disebut Tongkat Suci Sakti itu. Karena itu
keduanya cepat mengelak dengan gerakan yang indah dan cepat sehingga semua
serangan kakek itu mengenai tempat kosong.
Wanita itu
meloncat untuk menghindar dan pada waktu dia membalikkan tubuhnya, kedua
tangannya telah memegang sepasang pedang berwarna hitam dan ketika dicabut,
tampak dua sinar hitam bergulung-gulung.
"Awas,
tongkatnya itu beracun!" kata si wanita kepada pria yang hanya tersenyum
saja.
"Orangnya
busuk, bagaimana tongkatnya tidak akan beracun?" Pria itu malah mengejek.
Raja Iblis
menjadi semakin marah. Tongkatnya menyambar ganas ke arah kepala wanita itu.
Wanita setengah tua yang cantik itu bersikap tenang. Sepasang pedang hitamnya
lalu membuat gerakan menangkis dan menggunting, menyambut tongkat.
"Trakkk!"
Tongkat itu
terjepit oleh sepasang pedang hitam. Pada saat itu pula tangan kiri Raja Iblis
melayang, menampar kepala lawan.
"Singgg...!"
Pedang kanan
melesat dari tongkat lalu menyambut tangan! Raja Iblis kaget, tak mengira
wanita itu mempunyai gerakan sedemikian cepat dan lihainya. Dia tidak berani
mengadu lengannya dengan pedang hitam, menarik tangan dan langsung tangan itu
mendorong ke depan. Serangkum hawa panas dan kuat sekali menyambar.
"Ihh!"
Wanita itu berseru kaget dan cepat meloncat ke belakang. Ketika Raja Iblis
hendak mendesak terus, suami wanita itu sudah menghadapinya dan menghalanginya
mendesak isterinya.
"Hemmm,
engkau lihai juga," kata pria itu. Sungguh jarang terdapat orang yang
mampu mengejutkan isterinya dalam satu gebrakan saja. "Siapakah
engkau?"
Akan tetapi
Raja Iblis tidak menjawab melainkan menubruk dengan serangan tongkatnya yang
menyambar dengan totokan ke arah dahi di antara dua mata lawan. Pria itu cepat
mengelak dengan kepala ditundukkan dan pada saat tongkat itu melanjutkan
gerakannya menyambar ke arah tengkuknya, dia cepat mengangkat tangan kirinya
menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi kulit lengannya
kalau-kalau benar tongkat itu mengandung racun seperti yang tadi diperingatkan
oleh isterinya. Di dalam hal racun, isterinya memang jauh lebih ahli dari pada
dia. Akan tetapi dia tidak takut terhadap racun.
"Plakkk!"
Dan kembali
keduanya terkejut. Pria itu merasa betapa lengannya tergetar dan dia tahu pula
bahwa tongkat itu memang dilumuri atau direndam dengan racun. Sebaliknya Raja
Iblis merasa tangannya yang memegang tongkat bertemu dengan tenaga yang dahsyat
sekali.
Jarang dia
bertemu tanding yang tenaganya sehebat ini. Apa lagi melihat betapa lawan itu
sama sekali tak terpengaruh oleh racun pada tongkatnya. Semenjak tongkatnya
terampas oleh kelicikan Sui Cin dahulu itu, dia merendam tongkat saktinya
dengan racun yang amat jahat agar siapa pun yang akan merampas tongkatnya
menjadi keracunan, dan juga setelah direndam racun, tongkat itu selain
merupakan benda pusaka untuk menundukkan tokoh-tokoh dunia persilatan, juga
dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Akan tetapi lawan ini sedemikian
lihainya sehingga sinkang-nya mampu menolak hawa beracun yang amat kuat dari
tongkatnya.
Maklum akan
kehebatan lawan, begitu tongkatnya tertangkis, secara tiba-tiba dan cepat
sekali Raja Iblis menggerakkan tangan kirinya dan sebelum pria itu dapat
mengelak atau menangkis, tangan kirinya telah menghantam punggung lawan.
Tamparan telapak tangan kiri Raja Iblis ini hebat dan cepat sekali, sama sekali
tidak tersangka-sangka dan agaknya pria itu pun tidak sempat pula mengelak.
"Plakkk...!"
Tiba-tiba
saja sepasang mata Raja iblis terbelalak. Nampak dia berusaha menarik kembali
tangan kirinya, akan tetapi tangannya itu sudah melekat pada punggung lawan.
Sekarang baru dia tahu bahwa lawannya memang sengaja tidak mengelak dan memang
menerima tamparannya tadi.
"Thi-khi
I-beng...!" Raja Iblis berseru lantas secepat kilat tongkatnya menyambar
ke arah mata lawan.
Pria itu
terpaksa mundur dan Raja Iblis segera menyimpan tenaga saktinya. Agaknya dia
tahu pula bagaimana cara menghadapi Ilmu Thi-khi I-beng. Setelah Raja Iblis
menyimpan tenaga saktinya, tangannya yang tadi melekat di punggung lawan
terlepas dengan mudah kemudian dia pun meloncat jauh ke belakang.
"Kau...
Pendekar Sadis?" tanyanya, lalu menoleh ke arah wanita cantik.
"Dan
kau... yang dulu berjuluk Lam-sin, kau puteri Pangeran Toan Su Ong?"
Kini tahulah
pria dan wanita itu dengan siapa mereka berhadapan dan keduanya nampak terkejut
bukan main.
"Aha!
Ternyata engkau yang terkenal dengan julukan Raja Iblis yang tersohor
itu?" kata Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis.
Isterinya,
Toan Kim Hong, turut berkata, "Inikah Pangeran Toan Jit Ong yang kabarnya
memberontak terhadap pemerintah itu?"
"Hemm,
kalau engkau puteri Toan Su Ong, berarti engkau adalah keponakanku sendiri!
Keponakan dan mantu keponakan. Tidak lekas memberi hormat kepada pamanmu?"
"Biar
paman, biar siapa pun, kalau jahat adalah musuh kami!" Toan Kim Hong
berkata dengan suara garang.
Raja Iblis
Toan Jit Ong adalah seorang yang amat cerdik. Dia tidak takut menghadapi dan
melawan Pendekar Sadis dan isterinya, akan tetapi dia pun tahu bahwa tidak akan
mudah baginya untuk mengalahkan suami isteri perkasa ini.
Apa lagi ada
Siangkoan Ci Kang di situ dan pemuda ini pun tidak dapat dipandang ringan.
Belum lagi puterinya sendiri yang malah membantu musuh! Jika dia tetap nekat
melawan mereka berempat lalu kalah atau mati sekali pun tidak takut, akan
tetapi namanya akan jatuh dan lagi pula, bagaimana dengan rencana besarnya?
Raja Iblis
menarik napas panjang. "Sudahlah, mengingat hubungan darah antara kita,
biar aku memandang arwah kakanda Toan Su Ong untuk mengampuni kalian berdua.
Inilah anakku. Kemarilah, nak. Mereka ini adalah enci-mu sendiri serta kakak
iparmu." Dengan lagak kebapakan dia menghampiri Hui Cu seperti hendak
memperkenalkan mereka.
Melihat
sikap kakek yang menjadi ayah kandungnya itu, Hui Cu yang masih hijau itu tentu
saja menjadi lengah. Dengan amat mudahnya Raja Iblis dapat menangkap lengan
kanan anaknya dan tiba-tiba kakek itu sudah menotoknya dan memanggulnya, lantas
meloncat jauh dan melarikan diri. Melihat ini, Ci Kang meloncat dan hendak
mengejar.
"Lepaskan
dia!" bentaknya marah. Akan tetapi, suami isteri pendekar dari Pulau
Teratai Merah itu tahu-tahu telah menghadangnya.
"Mengejar
dia sama dengan bunuh diri!" kata Pendekar Sadis.
"Gadis
itu dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, jadi mencampurinya adalah suatu
kebodohan!" kata pula Toan Kim Hong.
Ci Kang lantas
maklum bahwa suami isteri ini mencegahnya untuk melakukan pengejaran dengan
maksud hendak menghindarkan dirinya dari bahaya maut dan dia pun sadar akan
kebodohannya. Lagi pula Raja Iblis itu telah cepat menghilang dan dia sendiri
tidak begitu mengenal daerah ini maka melakukan pengejaran selain tidak
mungkin, juga benar-benar sama dengan membunuh diri. Baru menghadapi Raja Iblis
seorang diri saja dia sudah kalah, apa lagi kalau raja sesat itu muncul bersama
kaki tangannya.
Akan tetapi,
bagaimana pun juga tak mungkin dia dapat mendiamkan saja Hui Cu dibawa ayahnya.
Gadis itu seperti berada dalam cengkeraman harimau. Lebih celaka lagi, seperti
berada di dalam cengkeraman iblis. Harimau tidak akan membunuh anaknya sendiri,
akan tetapi Raja Iblis itu hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, atau akan
dibunuhnya.
Sekarang
setelah Raja Iblis pergi, Ci Kang dapat mencurahkan perhatiannya pada suami
isteri itu. Dia memandang kepada mereka dan merasa jantungnya berdebar-debar
penuh ketegangan. Jadi inikah yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu?
Ayah dan ibu Sui Cin, gadis yang dicintanya.
Dan mereka
ini demikian gagah perkasa, demikian anggun dan berpakaian sangat indah.
Sepasang pendekar yang berilmu tinggi, yang mampu membuat datuk sesat seperti
Raja Iblis melarikan diri. Sepasang pendekar perkasa yang agaknya kaya raya
pula.
Sedangkan dia?
Dia hanya seorang yatim piatu, dan lebih lagi, anak seorang datuk sesat yang
buta. Dibandingkan dengan Sui Cin dan keluarganya, dia tidak lebih pantas
menjadi seorang pelayan atau pegawai mereka saja.
Akan tetapi
dia cepat teringat bahwa kemunculan dua orang ini tadi telah menyelamatkan
nyawanya dari ancaman maut. Apa bila tidak ada mereka ini, tentu dia sudah
tewas di tangan Raja Iblis, maka dia pun cepat menjura dengan sikap menghormat.
"Ji-wi
locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya. Saya menghaturkan terima kasih."
Suami isteri
itu memandang dengan wajah berseri. Mereka merasa suka kepada pemuda gagah yang
berani melawan Raja Iblis dan membela gadis itu. Mereka menduga bahwa tentu
pemuda ini kekasih gadis itu, atau setidaknya mencinta gadis itu dan mungkin
Raja Iblis tidak merestui hubungan mereka. Akan tetapi semua itu bukan urusan
mereka.
"Orang
muda, engkau gagah dan agaknya tidak akan mudah dapat dirobohkan oleh Raja
Iblis itu. Tidak perlu berterima kasih karena kebetulan saja kita berjumpa di
sini dan setiap orang gagah memang wajib menentang iblis jahat semacam Raja
Iblis itu. Nah, selamat berpisah," kata Ceng Thian Sin dengan suara ramah.
Bersama isterinya dia membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan perjalanan
mereka.
Kepergian
Sui Cin yang amat lama itu menggelisahkan hati suami isteri ini dan mereka
sering kali melakukan perjalanan untuk mencari puteri mereka. Itulah sebabnya
ketika Sui Cin pulang ke Pulau Teratai Merah, ia tidak bertemu dengan ayah
bundanya yang sedang pergi mencarinya. Ia meninggalkan surat dan melanjutkan
perjalanannya ke utara, sesuai dengan perintah gurunya.
Tak lama
kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya yang kembali ke pulau itu, menemukan
surat puteri mereka. Tentu saja keduanya merasa khawatir sekali mendengar
betapa Sui Cin melibatkan diri dalam urusan menentang pemberontakan di utara,
hendak menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk
menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Karena
mengkhawatirkan puteri mereka, suami isteri ini berangkat lagi melakukan
pengejaran ke utara.
"Ji-wi,
harap perlahan dulu!"
Mendengar
suara pemuda itu menahan mereka, Ceng Thian Sin serta isterinya berhenti
melangkah lalu menengok dengan heran.
"Ada
apakah, orang muda?" Pendekar Sadis bertanya.
"Apa
bila tadi saya tidak salah mendengar, locianpwe berjuluk Pendekar Sadis. Apakah
locianpwe bernama Ceng Thian Sin dan ji-wi merupakan ayah bunda dari nona Ceng
Sui Cin?"
"Benar,
apakah engkau mengenal anakku itu?" Toan Kim Hong berseru dengan wajah
berseri dan suaranya mengandung kegembiraan.
Selama ini
mereka berdua telah mencari hingga ke mana-mana akan tetapi belum pernah
mendengar tentang puterinya dan tidak dapat menemukan jejaknya. Dan sekarang,
tanpa disangkanya dia mendengar orang bertanya tentang Sui Cin!
"Saya
mengenal nona Ceng dengan baik," jawab Ci Kang perlahan.
Ceng Thian
Sin segera memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah mendengar
bahwa pemuda ini mengenal Sui Cin dan agaknya merupakan sumber berita di mana
adanya puterinya itu, tiba-tiba saja pemuda itu menjadi penting baginya.
"Orang
muda, sungguh Thian sudah menuntun kami berdua untuk bertemu denganmu di sini.
Siapakah namamu, orang muda?"
"Nama
saya Siangkoan Ci Kang."
"Siangkoan...?
Jarang mendengar tokoh dengan she Siangkoan di dunia persilatan," kata
Pendekar Sadis.
"Bukankah
ada seorang datuk yang juga memiliki she Siangkoan, yang terkenal dengan ilmu
silatnya yang tinggi?" tiba-tiba Toan Kim Hong berkata.
"Ahh,
maksudmu Siangkoan Lo-jin? Mana ada hubungannya dengan..."
"Maaf,
locianpwe. Siangkoan Lo-jin adalah mendiang ayah saya."
"Ahhhh...!"
Suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mendengar tentang Siangkoan
Lo-jin atau Si Iblis Buta yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat yang
selain berilmu tinggi, juga amat kejam. Dan mereka juga mendengar berita di
dunia kang-ouw selama mereka mencari Sui Cin bahwa Iblis Buta sudah tewas di
tangan Raja dan Ratu Iblis yang kini merampas kedudukan pemimpin para datuk
kaum sesat.
Sebab itu
mereka pun kini menduga bahwa tentu pemuda ini memusuhi Raja Iblis karena
mendendam atas kematian ayahnya. Akan tetapi kenapa pemuda ini membela puteri
Raja Iblis? Namun mereka tidak ingin tahu lebih banyak karena hal itu bukan
urusan mereka.
"Orang
muda, engkau tadi mengatakan mengenal baik anak kami. Di manakah kini anak kami
Sui Cin itu?" Pendekar Sadis bertanya tidak sabar.
"Menurut
pengetahuan saya, nona Ceng Sui Cin kini berada bersama para pimpinan suku
bangsa di utara ini. Dia telah membantu nenek Yelu Kim yang berhasil meraih
kedudukan pemimpin para suku bangsa. Kalau ji-wi dapat bertemu dengan nenek
Yelu Kim yang kini menjadi pemimpin besar para kepala suku bangsa di utara,
tentu ji-wi akan dapat bertemu pula dengan nona Ceng."
"Apa?
Anakku membantu pemimpin para kepala suku liar?" Toan Kim Hong bertanya,
matanya terbelalak.
"Orang
muda, di mana adanya rombongan nenek Yelu Kim itu sekarang?" Ceng Thian
Sin bertanya.
"Tidak
begitu jauh dari sini, locianpwe. Di balik bukit tandus di barat itu. Kalau
tidak salah, para kepala suku masih berada di sana bersama rombongan masing-masing."
"Terima
kasih, orang muda. Kami akan mencarinya sekarang juga."
Thian Sin
serta isterinya kemudian mengangguk dan meninggalkan Ci Kang yang hanya menjura
dengan hormat kepada mereka. Dia tidak berani bicara banyak tentang Su Cin,
tentang hubungannya dengan gadis itu.
Setelah
pasangan suami isteri itu pergi, pemuda itu lalu berdiri termangu-mangu, merasa
nelangsa dan kesepian, merasa betapa semakin jauhnya dirinya dari Sui Cin,
gadis yang dicintanya itu. Akan tetapi, dia segera teringat kepada Hui Cu dan
bangkit semangatnya.
Saat ini,
yang paling penting adalah menolong Hui Cu dari cengkeraman iblis, dari tangan
ayahnya sendiri. Maka dia pun cepat pergi dari situ untuk mencari jejak Hui Cu,
atau lebih tepat lagi, jejak Raja Iblis.
***************
Pertemuan
yang dinanti-nantikan dengan hati tegang oleh para pendekar itu pun tibalah.
Pada malam bulan purnama, dan mengambil tempat di bekas benteng Jeng-hwa-pang
yang sudah rusak dan keadaannya menyeramkan karena tidak pernah ditinggali
manusia.
Pada malam
itu, tak kurang dari seratus orang pendekar dari berbagai aliran berkumpul di
tempat itu. Tentu saja tidak semua aliran mengirim wakilnya karena tidak semua
pendekar berjiwa patriot. Bahkan banyak sekali para pendekar di dunia kang-ouw
yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan mau pun
pemberontakan. Mereka lebih suka bekerja secara bebas, menghadapi kejahatan
perorangan dan tidak suka terikat di dalam suatu kelompok.
Akan tetapi
yang hadir pada malam hari itu sudah mewakili sebagian besar dari semua
perguruan silat serta cabang persilatan. Hal ini adalah karena sebagian besar
dari para pendekar merasa perlu untuk menghadiri pertemuan.
Pemberontakan
yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pemberontakan dari golongan yang
tidak puas terhadap golongan lain yang berkuasa, bukan hanya sekedar perebutan
kedudukan belaka. Akan tetapi yang memberontak adalah golongan sesat yang
menjadi musuh besar mereka di sepanjang masa.
Raja Iblis
sendiri, dibantu oleh Cap-sha-kui, telah mengumpulkan para datuk sesat untuk merampas
kedudukan dan menggulingkan pemerintah. Jika sampai mereka berhasil, jika
sampai pemerintah dipegang oleh kaum sesat, berarti dunia para pendekar akan
hancur! Jadi, pemberontakan kaum sesat itu bukan hanya mengancam para penguasa
yang kini menduduki kekuasaan, melainkan juga mengancam kehidupan para pendekar
sendiri.
Di
pekarangan bangunan-bangunan rusak yang sangat luas itu, yang kini menjadi
padang rumput akibat tak terpelihara, para pendekar berkumpul dan membentuk
sebuah lingkaran lebar, dan di dalam lingkaran itu dinyalakan api unggun besar.
Mereka bekerja bergotong-royong tanpa adanya suatu pimpinan karena memang
mereka itu datang untuk berunding, mendengar berita dari mulut ke mulut, dan di
antara mereka tidak ada golongan pimpinan.
Hanya dengan
sendirinya mereka semua menganggap para locianpwe yang hadir sebagai pimpinan,
bukan hanya karena usia mereka yang lebih tua saja, akan tetapi juga karena
kedudukan mereka dalam tingkat kepandaian. Dan di antara para tokoh tua dari
berbagai cabang persilatan seperti dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan
Kun-lun-pai yang kini hadir, terdapat pula empat orang tokoh tua yang dianggap
sebagai tokoh-tokoh bertingkat tinggi oleh mereka, walau pun sebagian dari para
pendekar tidak pernah mengenal mereka.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment