Saturday, September 22, 2018

Cerita Silat Serial Asmara Berdarah Jilid 25



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Asmara Berdarah

                   Jilid 25


KEADAAN Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu sedang rebah terlentang di atas sebuah pembaringan, hanya memakai sepatu dan celananya saja. Tubuh atasnya telanjang, tapi tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.

“Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?” tanya kepala suku itu dengan khawatir.

Sui Cin tersenyum. “Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya.”

Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan suara ragu-ragu. “Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?”

Sui Cin tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk.

“Ahhh...!” Seru Moghu Khali dengan takjub.

Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali dia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang tadi telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini.

“Sungguh beruntung hari ini aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona,” katanya sambil memberi hormat.

Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.

“Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya.”

“Baiklah, silakan nona,” Moghu Khali memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu.

Kepada pelayan yang dapat pula berbahasa Han biar pun tidak lancar itu, Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu. Sesudah semua ini tersedia, dia pun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamar menjadi segar.

Sui Cin memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah, tanpa disadarinya dia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah dia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam.

Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, lalu dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati dia menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan sesudah mulut terbuka, perlahan-lahan dia menuangkan arak obat itu ke dalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.

Sesudah semua arak obat di dalam cawan itu pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sinkang untuk menyedot racun. Lambat laun dia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga dia hampir tidak tahan.

Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sinkang-nya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada di Ci Kang itu menjadi basah dan ketika dia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah. Kiranya darah sudah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan dia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sinkang-nya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang kini mulai bekerja dengan cepatnya.

“Uhhhh...!” Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak-gerak dan pemuda ini mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu.

Sepasang mata itu kini perlahan-lahan terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas. Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandangan matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi. Apa lagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu.

Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri pada dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu!

Dan sekarang gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari sepasang telapak tangan itu dia pun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dia pun lantas teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.

“Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?” tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali.

“Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!”

Sui Cin melepaskan sepasang tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua telapak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin lalu mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan dia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.

“Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada di sini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?” Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali dia tidak pernah bermimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.

“Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah dahulu engkau pernah pula menolongku? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali sudah berhasil. Racun jarum itu sungguh berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu.”

“Engkau benar-benar lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih mempunyai keahlian mengobati luka beracun.”

“Ahh, tak perlu kau memuji,” kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan mempergunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang. “Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya jarum-jarumku sendiri.”

Pemuda itu terkejut sekali. “Kau...? Jadi engkaukah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka sama sekali. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di sini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!”

“Aku sendiri pun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Dahulul aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Pada waktu melihat engkau juga menjadi jagoon, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu.”

“Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona.”

“Sudahlah, pujianmu bahkan membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkaulah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka.”

Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka. “Ahhh, semua ini adalah gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini.” Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.

“Ahh, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?” Sui Cin bertanya heran.

Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran kenapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja.

“Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lo-jin, dan celakanya lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu bahkan membuat ayahku marah sehingga menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk turut menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku lalu berkeliaran sampai di sini dan bersahabat dengan kepala suku Khin hingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam lagi. Apa bila kuingat keadaanku, lebih baik kalau jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah kematian terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis...!”

“Sudahlah, Ci Kang. Tidak perlu menyesali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apa lagi bagaimana pun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, berani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang sekali bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis...”

“Apa...?” Sepasang mata Ci Kang terbelalak. “Kematian ayahku karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?”

Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya meninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walau pun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi sudah meninggalkan kesan baik di dalam hatinya dalam pertemuan yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang tadi diceritakan Ci Kang bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai dimusuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.

“Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lantas diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam dia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas.”

“Ayah!” Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal. “Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka, malah mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga...!” Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya lalu terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan sekarang mukanya menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.

“Ehh, Ci Kang, engkau kenapakah...?”

Sui Cin bertanya kaget setelah tadi dia terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.

“Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing...”

Tiba-tiba saja Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang bila tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh dari obat penawar tadi, pikirnya.

“Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu.” Ia memasang bantal pada punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak.

Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang telah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.

“Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali,” katanya.

Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena kedua tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.

“Ahh, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang.” Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.

“Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali...,” kata Ci Kang yang merasa sungkan.

“Aihh, engkau sedang sakit, sudahlah, jangan banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu. Makanlah ini.” kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayur-mayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih.

Ci Kang sedang menderita sakit, ada pun Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang memiliki ilmu tinggi dan biasanya sangat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela ada sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela.

Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah! Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam sangat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang! Begitu mesra nampaknya.

Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia juga tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut.

Akan tetapi, justru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?

Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti oleh warna kemerahan. Akan tetapi, semakin banyak pemuda itu menelan nasi dan obat, mukanya menjadi makin merah pula dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah baru sekarang dia mengenal gadis itu!

Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, secara diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pemuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah?

Dan yang sangat menggelisahkan hatinya adalah pandangan mata Ci Kang itu. Pandang mata itu seperti merayap-rayap dan seakan-akan terasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam dia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang.

Hui Song yang diam-diam mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja.

Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lam-nong secara diam-diam sudah pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim, akan tetapi juga tidak berani menentang dengan terang-terangan. Lam-nong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga.

Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya sudah mencuri serta melarikan harta pusaka di Goa Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim.

Akan tetapi dia tak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia pun melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterangan tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat menjadi jagoan orang-orang Khin. Hal ini sehubungan dengan tugas yang telah diberikan gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan.

Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu, lantas melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, sedang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian mesra yang membuat perutnya terasa panas.

Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya makin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip. Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu sudah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan.

Sui Cin lalu meraba dahi Ci Kang dengan telapak tangan kirinya. Terkejutlah dia merasa betapa dahi itu panas sekali dan kulit tubuh pemuda itu mulai dari kepala sampai ke dada nampak merah!

Semenjak tadi Ci Kang sendiri gelisah bukan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali dengan cepat, namun bersama kembalinya tenaganya, datang pula suatu perasaan yang sangat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama semakin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin.

Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang terus mempertahankan diri, tidak mau tunduk kepada rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan birahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat.

Pada waktu Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar yang disiramkan kepada nafsu birahi yang sedang bernyala sehingga menjadi makin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.

“Nona...!” serunya.

Tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu birahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali.

Sejenak Sui Cin terbelalak dan tak dapat bergerak saking kagetnya, akan tetapi ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, lehernya, membuat dia tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci Kang itu kuat sekali sehingga terjadilah pergulatan. Karena keduanya menggunakan tenaga, maka terdengarlah suara.

“Brettt...!” Kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek! Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan dia pun menciumi bagian itu seperti orang gila.

“Lepaskan...! Ah, lepaskan...!” Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar suara keras disusul jebolnya tirai serta papan di atas jendela ketika Hui Song menerjang masuk.

Sui Cin telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang lalu ia meloncat turun dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu. Ci Kang sendiri terkejut mendengar suara gaduh itu dan dia pun meloncat turun kemudian berdiri dalam keadaan siap siaga.

Pada saat itu pula Hui Song meloncat sambil menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi dan menyerang Ci Kang. Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song memaki.

“Jahanam busuk, kuhancurkan kepalamu!”

Melihat datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan dahsyat itu, Ci Kang cepat-cepat melemparkan selimut yang masih menempel di tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.

Hui Song yang sudah marah sekali terus menerjang kembali dengan hebatnya. Ketika dia melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biar pun hatinya terasa panas, namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Namun ketika dia melihat Ci Kang tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, lalu menciumi gadis itu dan melihat Sui Cin meronta-ronta, darah di dalam tubuh Hui Song mendidih.

Dia menyambar sepotong kayu dari dekatnya dan menerjang ke dalam kamar, langsung saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuat kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!

“Hyaatttttt...!” Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih kebingungan karena semua peristiwa yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadi pun pada waktu dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukannya dengan keadaan perang di dalam batinnya, satu pihak didorong oleh nafsu birahi yang berkobar, tetapi di pihak lain batinnya menentang keras.

Ketika Hui Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Betapa pun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sinkang dan dia tahu betapa bahayanya jika sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang mengandung tenaga sinkang amat kuatnya itu.

“Ihhhhh...!” Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis, karena sungguh berbahaya sekali apa bila mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan yang sempit ini.

“Dukkk...!” Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu.

Ci Kang merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itu pun pecah berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi digunakan hanya karena dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal menggunakan kedua tangannya malah lebih dahsyat dan lebih berbahaya dari pada tongkat yang mati itu.

Ci Kang yang merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia bersalah, tidak berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat, kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek.

Ci Kang merasa jantungnya bagai ditusuk melihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa hal tadi memang benar-benar sudah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang sangat memalukan. Bahkan sekarang pun darahnya tersirap dan mukanya terasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya menerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.

“Nona, maafkan aku...!” katanya dengan suara gemetar lantas tubuhnya melayang keluar dari dalam kamar itu.

“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau? Dosamu harus kau tebus dengan nyawamu!” Hui Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam kamar itu.

Sui Cin yang semenjak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar lantas dia pun turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan merapatkan bagian baju yang terobek tadi.

Akan tetapi, pada waktu mereka tiba di luar, ternyata oleh mereka bahwa Ci Kang sudah tak nampak lagi bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari kesalahannya, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia sudah melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimuti tempat itu.

“Jahanam, jangan lari kau!” Hui Song membentak dan mencari-cari, akan tetapi dia tidak tahu ke jurusan mana Ci Kang melarikan diri dan pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut karena suara gaduh mereka tadi sudah menarik perhatian para penjaga dan kini banyak pengawal Bangsa Khin mulai berdatangan.

“Song-ko, mari kita pergi dari sini!” Sui Cin berkata. Dia telah mengikat baju yang robek dengan sapu tangan. “Tak perlu dicari lagi!”

Suara Sui Cin ini membuat jantung Hui Song berdebar keras saking girangnya. Sui Cin telah mengenalnya! Hal ini berarti bahwa gadis itu telah memperoleh kembali ingatannya! Akan tetapi di samping rasa girangnya, dia masih merasa terbakar oleh kemarahan.

“Tidak, aku harus mencarinya sampai dapat dan membunuhnya!” bentaknya marah.

Sui Cin mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak marah kepada Ci Kang, tapi hanya merasa heran. Tak biasanya Ci Kang bersikap seperti tadi. Dia tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar, apa lagi berani melakukan hal seperti tadi. Bukankah dahulu Ci Kang bahkan pernah mati-matian menentang Sim Thian Bu ketika saudara seperguruannya itu hendak memperkosanya?

Akan tetapi, kenapa secara tiba-tiba saja Ci Kang melakukan hal itu? Dan sikap itu timbul sesudah pemuda itu makan nasi dengan akar obat. Mula-mula mukanya menjadi merah, juga matanya, lantas tubuhnya panas sekali. Apakah tidak ada apa-apa di balik itu? Kini, melihat Hui Song marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang tanpa dipertimbangkan lebih dahulu persoalannya, dia pun merasa tidak senang.

"Kalau begitu kau carilah sendiri!" Dan Sui Cin lalu membalikkan tubuhnya dan melompat pergi.

"Cin-moi...!" Hui Song gelagapan melihat gadis itu melarikan diri dan dia cepat mengejar, takut kehilangan bayangan Sui Cin dalam kegelapan malam itu.

Sui Cin tidak menjawab malah terus melarikan diri. Mereka berkejaran dan meninggalkan perkemahan itu, melalui padang pasir yang halus dan sunyi. Bintang-bintang bertaburan di langit, merupakan kumpulan titik-titik terang yang membuat cuaca remang-remang, sejuk dan indah.

Akhirnya, di sebuah lapangan yang penuh batu-batu gunung, Sui Cin berhenti dan duduk. Hui Song menyusulnya, kemudian pemuda ini berdiri di hadapan gadis itu. Sampai lama mereka saling berpandangan tanpa berkata-kata, masing-masing mengatur pernapasan yang agak memburu karena berlari cepat tadi.

"Cin-moi... ahh, engkau telah sembuh dan mendapatkan ingatanmu kembali! Girang sekali hatiku. Dan jahanam itu! Siangkoan Ci Kang, sekali waktu aku akan membunuhnya! Akan tetapi kenapa engkau malah merawatnya, padahal bukankah siang tadi engkau pula yang merobohkannya? Engkau maju sebagai penunggang harimau itu, bukan? Cin-moi, kenapa engkau berada di daerah ini, bahkan lebih aneh lagi, mengapa engkau menjadi jagoan yang membantu nenek iblis itu?"

Dihujani pertanyaan bertubi-tubi itu, Sui Cin diam saja. Sesudah Hui Song selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya, barulah dara ini menjawab, "Song-ko, ceritaku panjang sekali. Kuharap engkau yang lebih dahulu bercerita kepadaku sejak kita berpisah dan mengapa pula engkau dapat berkeliaran di tempat ini?"

Batin Sui Cin masih terguncang karena peristiwa dengan Ci Kang tadi, maka dia belum sempat memperoleh kembali kegembiraannya dan sekarang bersikap serius. Hal ini pun dipengaruhi oleh sikap Hui Song yang agaknya sangat membenci Ci Kang, padahal dia sendiri, walau pun sikap Ci Kang tadi amat mengejutkan dan membuatnya sangat marah, masih belum merasa bahwa dia membenci pemuda putera datuk sesat itu.

Melihat sikap serius gadis itu, Hui Song juga bersikap tenang dan dia pun mencari tempat duduk di depan Sui Cin. Sejenak mereka saling berpandangan lagi dan keduanya merasa seolah-olah mereka tak pernah berpisah, apa lagi saling berpisah hingga tiga tahun lebih.

"Aaihh, alangkah cepatnya waktu berkelebat," akhirnya Hui Song berkata. "Ingatkah kau bahwa kita telah saling berpisah selama tiga tahun lebih? Akan tetapi, ketika berhadapan denganmu seperti sekarang ini, aku merasa seolah-olah kita tidak pernah saling berpisah, atau baru kemarin saja."

Sui Cin mengangguk karena memang demikian pula perasaan hatinya. "Song-ko, terlebih dahulu ceritakanlah segala pengalamanmu. Aku ingin sekali tahu mengapa engkau dapat bekerja sama dengan murid Raja Iblis di Goa Iblis Neraka itu, dan bagaimana sekarang engkau tiba-tiba berada di daerah ini pula."

"Ceritaku juga panjang, akan tetapi baiklah akan kupersingkat saja. Tiga tahun lebih yang lalu, kita saling berpisah. Engkau diajak pergi oleh locianpwe Wu-yi Lo-jin, sedangkan aku pergi mengikuti Siang-kiang Lo-jin untuk mempelajari ilmu. Nah, selama tiga tahun itu aku belajar ilmu dari suhu Siang-kiang Lo-jin. Sesudah tiga tahun, suhu menyuruh aku untuk menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng milik Jeng-hwa-pang sehubungan dengan tekad para pendekar untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Di dalam perjalanan itu aku bertemu dengan iblis betina itu. Dia menipuku, mengaku sebagai pejuang yang menentang Raja Iblis, karena itu aku membantunya mencari harta karun yang tersembunyi di dalam Goa Iblis Neraka itu. Akan tetapi harta itu lebih dahulu sudah diambil orang lain yang meninggalkan lencana Harimau Terbang di daerah utara. Dan aku terjebak, tentu telah tewas kalau tidak ada engkau yang muncul menolongku. Akan tetapi, engkau sendiri malah tertimpa bencana saat menolongku, kepalamu terluka oleh pukulan batu musuh sehingga engkau kehilangan ingatan, bahkan kemudian menyerangku. Nah, pertemuan yang hanya sebentar itu pun berakhir dan kita saling berpisah kembali. Aku lalu pergi menyelidiki ke utara dan aku sempat terlibat dalam pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan." Hui Song lalu menceritakan pengalamannya dt kota benteng itu.

"Nah, karena tak mungkin lagi menyelamatkan San-hai-koan, aku pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, bertemu dengan suhu yang menyuruhku melakukan penyelidikan kepada para suku bangsa di sini. Aku bertemu dan berkenalan dengan Lam-nong, kepala suku Mancu Timur, lantas ikut bersama rombongannya ke tempat pertemuan para suku untuk memilih pimpinan. Aku ingin menyelidiki Yelu Kim yang kabarnya adalah ketua Harimau Terbang, menyelidiki tentang harta karun dan juga tentang pergerakan para suku di sini, kemudian aku melihat engkau! Melihat pula Ci Kang, jahanam busuk itu..."

"Sekarang dengarkanlah pengalamanku," Sui Cin memotong cepat ketika mendengar Hui Song mulai hendak memaki-maki Ci Kang lagi. "Seperti juga engkau, aku mengikuti suhu Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun untuk menerima gemblengan ilmu. Lantas aku pun disuruh oleh suhu untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Di tengah jalan aku melihat kuil tempat tinggal murid Raja Iblis itu dan kaki tangannya. Aku merasa curiga dan menyelidiki mereka. Aku mendengar percakapan mereka tentang harta pusaka di Goa Iblis Neraka, maka aku melakukan penyelidikan ke situ. Aku lalu melihat engkau bersama iblis-iblis itu dan selanjutnya engkau tahu. Aku terluka, kehilangan ingatan. Dalam keadaan seperti itu, aku hampir celaka oleh Kiu-bwe Coa-li. Untung ada saudara Cia Sun yang menolongku. Akan tetapi, pada saat itu juga muncul nenek Yelu Kim yang lalu mengobati aku sampai sembuh sama sekali dari racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li, juga sembuh sama sekali dari kehilangan ingatan. Karena budinya ini, aku lalu diangkat menjadi muridnya dan menjadi pembantunya. Aku berjanji membantunya memperoleh kedudukan pimpinan dalam pemilihan jago dan aku berhasil."

"Akan tetapi, kenapa setelah engkau merobohkan Ci Kang, engkau lalu..."

Sui Cin menggerakkan tangan dengan kesal. "Dengarkanlah dulu! Engkau tahu bahwa Ci Kang pernah menyelamatkan aku dan pertandingan antara kami itu bukan urusan pribadi. Dan aku telah merobohkannya dengan menggunakan jarum merah beracun. Aku merasa sangat menyesal karena kalau tidak kuobati, mungkin dia akan celaka. Aku akan merasa menyesal bukan main kalau sampai dia mati dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadi kami itu. Maka aku lalu mengobatinya. Sungguh tidak kusangka sama sekali dia... dia akan melakukan hal itu..."

"Dasar orang jahat, anak seorang datuk sesat seperti Iblis Buta, mana bisa baik?"

"Aku tidak yakin, Song-ko, perbuatannya itu seperti tidak sewajarnya..."

"Ah, dia itu putera datuk sesat, tentu seorang yang jiwanya sudah kotor. Kalau dahulu dia menolongmu, bukan karena kebaikan hatinya, akan tetapi karena dia tidak ingin engkau diganggu orang lain itulah!"

"Sudahlah, Song-ko, aku tak mau membicarakan soal itu lagi. Anehnya, aku sendiri tidak mendendam atas peristiwa itu dan masih ragu-ragu, akan tetapi mengapa engkau malah ribut-ribut?"

"Kenapa tidak, Cin-moi? Melihat engkau hendak dipaksa, hatiku sudah terbakar dan tentu aku sudah menghancurkan kepalanya kalau saja dia tidak lari. Siapa yang tidak cemburu melihat itu...?"

"Cemburu...?"

"Cin-moi, masih haruskah kujelaskan lagi? Perlukah kuulangi lagi? Sui Cin, sejak dahulu sampai sekarang aku tetap mencintamu tetapi sampai saat ini pun engkau belum pernah memberi jawaban yang pasti. Sui Cin, aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku dan aku hampir merasa yakin bahwa cintaku tidak bertepuk tangan sebelah, bahwa engkau pun cinta padaku. Cin-moi, jawablah..." Sekarang sikap Hui Song yang biasanya gembira jenaka itu berubah menjadi serius, bahkan di dalam suaranya terdengar nada memelas dan memohon.

Hingga lama sekali Sui Cin menatap wajah pemuda itu. Hatinya diliputi kebimbangan yang membuat dia bingung sehingga sejenak tidak mampu menjawab. Harus diakuinya bahwa dia merasa amat suka, mungkin mencinta kepada pemuda ini.

Hui Song adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, budiman, dan mempunyai watak yang cocok dengannya, riang jenaka dan gembira. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa ayah ibunya tidak suka kepada orang tua pemuda ini, dan dia pun belum tahu apakah orang tua pemuda ini, ketua Cin-ling-pai, suka pula kepada ayah bundanya. Apa lagi baik dia sendiri mau pun Hui Song adalah anak-anak tunggal!

"Cin-moi..."

"Song-ko, maafkan aku. Bagaimana mungkin kita bicara tentang hal itu kalau kita berdua masih sibuk dengan urusan perjuangan yang amat penting? Raja Iblis bersama sekutunya telah menduduki San-hai-koan, dan kekuatan mereka makin membahayakan keselamatan negara. Lebih baik kita selesaikan tugas-tugas kita lebih dulu. Setelah urusan ini selesai, barulah kita sempat berpikir tentang urusan pribadi. Kalau saatnya tiba, sudah sepatutnya kalau orang-orang tua kita yang berunding mengenai hal itu, bukan kita sendiri. Bukankah begitu, Song-ko?"

Wajah Hui Song berubah merah. Dia seperti menerima teguran sehingga merasa tidak enak sendiri. Orang-orang gagah sedunia sedang sibuk bersiap-siap menanggulangi para datuk yang hendak memberontak, dan dia sendiri ribut-ribut bicara tentang cinta!

"Ahh, maafkan aku, Cin-moi. Bukan maksudku hendak melupakan perjuangan, hanya aku ingin sekali tahu dan merasa pasti tentang cinta kita. Ahh… sudahlah, engkau benar. Biar nasib kita saja yang menentukan kelak. Kalau sudah selesai perjuangan, kita akan bicara lagi dan aku tentu akan minta orang tuaku pergi kepada orang tuamu untuk meminang. Nah, sekarang marilah kita bicara tentang perjuangan. Bagaimana pendapatmu tentang usaha kita untuk menentang Raja Iblis dan kaki tangannya?"

"Aku tidak tahu, Song-ko. Aku menjadi bingung setelah mendengar bahwa Raja Ibils dan para datuk sudah bergabung dengan pasukan pemberontak di San-hai-koan dan bahkan sudah menduduki kota benteng itu. Dengan demikian tentu tidak mungkin bagi kita untuk menentang pasukan besar secara begitu saja. Kurasa akan lebih besar hasilnya apa bila aku melanjutkan perjuangan di sini, membantu nenek Yelu Kim yang akan menggerakkan para suku utara untuk menghantam pasukan pemberontak. Dengan demikian berarti aku secara tidak langsung menentang kekuasaan Raja Iblis, melawan pasukan pemberontak dengan mengandalkan pasukan suku utara."

"Tetapi para kepala suku itu pun bermaksud memberontak dan menyerang ke selatan!" Hui Song berseru.

"Itu adalah soal nanti. Kini yang terpenting adalah menentang para pemberontak, bukan? Apa bila pemberontak sudah dapat dihancurkan dan kalau para suku utara masih hendak melanjutkan gerakan mereka menyerang ke selatan, masih belum terlambat bagiku untuk meninggalkan mereka. Dengan adanya gerakan dari para suku di utara yang menyerang mereka, disertai pasukan pemerintah yang menyerang dari selatan, berarti Raja Iblis dan sekutunya akan tergencet dari utara dan selatan."

Hui Song mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat kebenaran pendapatmu tadi, Cin-moi. Baiklah, kini aku akan pergi menghadiri pertemuan para pendekar untuk melihat apa yang akan dibicarakan dan keputusan apa yang akan diambil."

"Song-ko, kalau bertemu dengan suhu, ceritakan keadaanku dan rencanaku menghadapi para pemberontak."

Mereka lalu berpisah. Sui Cin kembali ke perkemahan nenek Yelu Kim sedangkan Hui Song pergi menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Betapa pun gembira hatinya telah dapat bertemu kembali dengan Sui Cin dan melihat gadis itu telah sehat kembali, namun ada sedikit kekecewaan di dalam hati Hui Song mendengar jawaban Sui Cin mengenai cintanya, jawaban yang sama sekali masih belum meyakinkan hatinya bahwa dara itu pun mencintanya.

Cinta asmara memang lebih banyak mendatangkan rasa kekecewaan dan sengsara di dalam hati. Asmara selalu menuntut balasan! Asmara selalu mengandung cemburu, dan asmara yang tidak dibalas merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan.

Asmara adalah nafsu birahi yang menciptakan ikatan. Tapi asmara amat mengasyikkan, membuai batin setiap orang manusia sehingga manusia seperti dengan rela menentang semua kesengsaraan itu demi mencicipi madu asmara, walau pun sedikit.

Hal ini adalah manusiawi, karena semenjak lahir nafsu birahi terbawa oleh badan. Yang lebih penting adalah menyadarinya, mengenalnya sebagai satu di antara sifat-sifat badan sehingga kita tak sampai terseret dan menjadi hambanya, terikat kuat sehingga akhirnya menjadi permainan nafsu.


                  ***************


Pemuda itu menangis seorang diri! Nampaknya amat lucu, akan tetapi juga mengharukan melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar, yang gagah perkasa seperti Siangkoan Ci Kang itu menangis!

Akan tetapi, tangis tak terlepas dari pada kehidupan setiap orang manusia, karena hidup ini memang merupakan tempat bagi tawa dan tangis untuk silih berganti mengisi batin manusia. Tangis merupakan alat pelepas semua ganjalan dalam batin, pelepas semua kedukaan dan kekecewaan. Orang yang tidak bisa menangis, yang tidak memiliki tangis sebagai pelepasan duka, tentu kesehatannya akan terganggu.

Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda yang semenjak kecil hidup dalam lingkungan yang keras dan boleh dibilang tidak pernah mengenal tangis. Semenjak kecil hampir tidak pernah dia menangis. Segala derita batin diterimanya dengan gigitan bibir. Namun, hal itu bukan berarti dia tidak pernah menangis di dalam batinnya. Hanya karena kerasnya hati maka tangis tidak sampai tersalur keluar dari mulut.

Akan tetapi sekarang, menghadapi pengalaman yang bertubi-tubi yang amat menyakitkan hatinya, sesudah berada seorang diri di tempat yang sunyi itu, Ci Kang tidak kuasa lagi membendung air matanya lantas dia pun menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan menutupi muka dengan kedua tangannya!

Dan begitu air matanya mengucur, bagaikan air yang sudah lama terbendung dan sudah terlalu penuh, tangisnya pun menjadi-jadi. Terbayanglah segala pengalaman yang sangat menyedihkan dan mengecewakan hatinya dan dia pun membiarkan semua rasa duka itu mengalir keluar melalui air matanya.

Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan iba diri ini timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati.

Pikiran mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan hal ini kemudian menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seakan-akan berubah menjadi tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri hingga air mata pun bercucuran keluar. Jika sudah begitu, maka kesadaran akan kenyataan pun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itu pun membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling menderita di dalam dunia ini.

Dengan demikian, maka nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul akibat pikiran yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tak menyenangkan. Andai kata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua yang telah terjadi itu, adakah duka?

Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan mempelajari dan mengamati diri sendiri. Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan masa depan.

Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini tentu bersebab. Akan tetapi pikiran kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan membuat kita sering kali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab dari pada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi.

Mungkinkah bagi kita manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita tak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya lagi sebagai sesuatu yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang?

Terikat kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut. Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Betapa indahnya, betapa bahagianya! Bukan berarti tak peduli, bukan berarti masa bodoh, melainkan justru waspada karena bukankah hidup adalah SEKARANG INI? Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu sudah lewat, sudah mati. Masa depan hanya khayal, belum ada.

Ketika menangis amat sedihnya itu, pikiran Ci Kang penuh dengan kenangan-kenangan yang mengecewakan hatinya. Teringat dia akan semua nasibnya, sejak dia dimusuhi oleh ayahnya sendiri sehingga hampir saja dia dibunuh oleh ayahnya. Betapa senangnya dia menentang kejahatan yang dilakukan oleh ayahnya bersama teman-teman ayahnya, akan tetapi hal ini membuat dia dibenci oleh golongan sesat.

Kemudian, dalam usahanya menjadi orang baik, lalu menggabungkan diri dalam golongan pendekar, dia tidak dipercaya, bahkan dimusuhi oleh para pendekar, dianggap sebagai putera datuk sesat yang tentu jahat pula. Dan berita tentang kematian ayahnya di tangan Raja Iblis, sungguh pun dia merasa bangga bahwa pada saat terakhir hidupnya, ayahnya menentang raja datuk sesat itu, bahkan mengorbankan nyawanya, akan tetapi tetap saja kenangan akan ayah kandungnya yang tak pernah akrab dengannya itu menghancurkan perasaannya pula.

Kemudian sekali, pengalaman yang baru-baru ini dialami bersama Sui Cin! Dia tahu betul bahwa semenjak pertemuannya pertama dengan gadis pendekar itu, ketika dia menolong Sui Cin dari ancaman tangan kotor Sim Thian Bu, dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali, bahkan dalam pertemuannya tadi, ketika dia diobati gadis itu, dia merasakan benar betapa sejak dahulu dia telah jatuh cinta kepada nona itu!

Dan teringatlah dia akan ulahnya terhadap Sui Cin. Gadis itu mengobatinya, merawatnya, menyuapkan nasi ke mulutnya! Bukan main kenyataan ini! Akan tetapi apa yang sudah dilakukannya tadi? Dia sudah membalas kebaikan hati gadis itu dengan perbuatan yang tak senonoh! Dia telah menghina gadis itu! Makin dibayangkan perbuatannya tadi, makin hancurlah hatinya dan dia merintih-rintih.

"Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan tadi...?" Dia mengeluh dan menjatuhkan dirinya di atas tanah, rebah menelungkup sambil menangis!

Batin yang kemasukan satu di antara perasaan girang, susah, takut dan sebagainya akan kehilangan kepekaannya dan biar pun Ci Kang seorang pemuda terlatih yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, namun dalam keadaan menangis dan tenggelam di dalam lautan kedukaan itu dia menjadi lengah. Sama sekali dia tidak tahu ketika ada bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang amat cepat dan ringan.

Bayangan itu tahu-tahu telah berada dekat sekali dengan Ci Kang. Ketika sekali tangan kanannya bergerak, tubuh Ci Kang mengejang lalu lemas dan tidak mampu bergerak lagi, karena jalan darahnya telah tertotok secara amat lihai!

"Hi-hik-hik, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku, manusia sombong!" Bayangan yang ternyata seorang wanita itu tertawa mengejek, kemudian menggunakan kaki kirinya untuk membalikkan tubuh Ci Kang yang sudah lemas itu sehingga terlentang.

Ci Kang yang tiba-tiba saja merasa tubuhnya lemas dan lumpuh memandang wanita itu. Seorang wanita cantik, bajunya kembang-kembang, perawakannya ramping, pakaiannya sederhana dengan hiasan rambut setangkai kembang. Akan tetapi alis Ci Kang berkerut melihat wanita muda yang cantik ini karena dia mengenalnya sebagai seorang iblis betina yang amat lihai dan berbahaya, juga amat kejam. Gadis ini bukan lain adalah Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi), murid Raja Iblis!

Tahulah Ci Kang bahwa dia sedang berada dalam ancaman bahaya maut. Iblis ini tentu tidak akan mau melepaskan dirinya, dan dia merasa heran mengapa totokan tadi bukan merupakan serangan maut, karena kalau hal itu dilakukan, tentu kini dia sudah tewas.

Kemudian teringat olehnya akan watak cabul wanita ini yang dulu pernah membujuk rayu padanya. Teringat akan ini, dia maklum bahwa tentu sekarang pun, sebelum membunuh dirinya, wanita cabul ini akan mengulangi lagi usaha dan bujuk rayunya. Dia merasa sebal dan merasa lebih baik mati saja, apa lagi hatinya sedang berduka seperti itu. Memang kematian lebih baik baginya, sebagai hukuman atas perbuatannya terhadap Sui Cin tadi.

"Iblis betina, engkau sudah merobohkan aku dengan curang seperti seorang pengecut. Nah, tidak perlu lagi engkau mengulangi perbuatanmu yang hina dan tak tahu malu, tidak perlu lagi engkau merayuku. Kalau engkau memang gagah, bebaskan aku kemudian kita bertanding sampai mati, atau kalau memang engkau seorang pengecut hina seperti yang kuduga, lekas bunuh saja aku!" katanya sambil memandang dengan mata melotot penuh tantangan.

Akan tetapi, Siang Hwa yang dimaki-maki itu hanya tersenyum mengejek, sama sekali tidak memperlihatkan sikap marah. Dengan lagak genit dia menggunakan telunjuk tangan kirinya mengelus dagu Ci Kang. "Ehm, tampan! Jangan dikira bahwa hanya engkau saja laki-laki tampan di dunia ini. Kalau engkau menolak melayaniku, masih ratusan orang pria tampan yang siap untuk menyenangkan hatiku. Dan tentang membunuhmu, tentu saja aku akan membunuhmu, akan tetapi jangan mengira engkau akan mati dengan nyaman. Hi-hik, tidak, tampan, karena engkau menyakitkan hatiku dengan penolakanmu, engkau akan mati perlahan-lahan dan dengan sengsara sekali. Aku akan menyayat-nyayat semua kulit badanmu sampai penuh darah, lantas kutinggalkan engkau di sini dalam keadaan seperti itu biar engkau dikeroyok semut dan dipatuk burung-burung sampai engkau mati dengan siksaan hebat. Nah, menarik sekali, bukan?"

Akan tetapi, sebaliknya Ci Kang juga tak nampak gentar sama sekali. Dia sudah bertekad untuk menghadapi kematian dengan tabah. "Perempuan iblis busuk, pengecut jahanam, tak perlu banyak mengeluarkan omongan busuk lagi, bunuhlah kalau mau bunuh, dengan cara apa pun juga, aku tidak takut mati!" Dan Ci Kang lalu memejamkan mata seperti orang yang merasa muak dan hendak tidur, tidak lagi mau mempedulikan gadis itu.

Sesungguhnya perbuatan ini dilakukan untuk menyembunyikan rasa sesal dan malunya. Dia memaki-maki wanita iblis ini sebagai wanita yang hina dan busuk, wanita yang cabul. Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Apa yang sudah dilakukannya terhadap Sui Cin hampir tidak ada bedanya dengan kecabulan yang dilakukan wanita ini. Memaksakan hasrat dan gejolak birahi kepada orang lain.

Gui Siang Hwa telah mengenal watak seorang pendekar muda seperti Ci Kang yang amat keras hati ini. Dia tahu bahwa percuma saja membujuk pemuda ini, baik untuk menjadi kekasihnya atau menjadi pembantu gurunya.

Dan orang yang tidak mau bekerja sama berarti musuh, apa lagi orang yang mempunyai kelihaian seperti pemuda ini. Sungguh bisa berbahaya sekali. Maka, jalan terbaik adalah membunuhnya!

Ia kemudian mencabut pedangnya dan siap untuk melaksanakan ancamannya tadi, yaitu merobek-robek kulit tubuh pemuda itu dan membiarkannya tergolek di situ dalam keadaan lumpuh dan penuh luka supaya dia mati perlahan-lahan kehabisan darah dan dikeroyok binatang-binatang kecil yang tentu akan tertarik oleh bau darah.

"Hi-hik, lebih dulu aku akan membikin putus otot-otot kaki tanganmu agar sesudah bebas dari totokan engkau tidak akan mampu bergerak lagi!" kata Gui Siang Hwa.

Pedangnya diangkat ke atas, lalu berkelebat ke arah lutut kiri Ci Kang.

Akan tetapi, tiba-tiba pedang itu berhenti di udara, tertahan oleh sesuatu yang amat kuat. Siang Hwa terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa pedangnya itu telah terlibat oleh bulu-bulu panjang sebuah kebutan berwarna putih yang gagangnya dipegang oleh seorang gadis remaja yang berdiri sambil memandang kepadanya dengan sepasang mata berapi penuh teguran!

Gadis ini paling banyak delapan belas tahun usianya. Wajahnya agak pucat, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar mencorong! Pakaiannya amat sederhana, rambutnya pun dibiarkan riap-riapan ke belakang.

"Engkau orang jahat!" Gadis ini menegur Siang Hwa dengan suara halus. "Engkau mau membunuh orang begitu saja, orang yang sudah tidak sanggup melawan sama sekali. Sungguh jahat!"

Akan tetapi Siang Hwa marah bukan main. Gadis muda ini cukup cantik dan mengingat bahwa Ci Kang selalu menolaknya, kemudian muncul gadis ini yang membela Ci Kang, mudah diduga bahwa gadis ini tentulah merupakan kekasih Ci Kang. Dia merasa betapa libatan bulu kebutan itu mengendur, maka ia pun lalu menarik pedangnya dan menghadapi gadis itu dengan senyum mengejek. Tentu saja dia memandang rendah gadis bertampang pucat seperti orang berpenyakitan ini.

"Hi-hik, engkau hendak menemaninya mampus? Baik, akan kukirim engkau lebih dulu ke neraka!" Berkata demikian, pedangnya menyambar ganas ke arah leher gadis itu.

Akan tetapi Siang Hwa kecelik kalau mengira bahwa pedangnya akan mudah merobohkan lawan hanya dengan sekali serang saja. Dia tadi mengeluarkan jurus yang penuh tipuan, pedangnya meluncur menusuk ke arah tenggorokan, akan tetapi sebenarnya pedang itu hanya menggertak saja karena secara tiba-tiba pedang yang meluncur itu berubah arah dan membacok ke bawah, ke arah perut!

Hebatnya, gadis bermuka pucat itu agaknya sudah mengenal gerak serangan ini, karena dia sama sekali tidak melindungi lehernya, melainkan menangkis ke depan dada dengan gagang kebutannya sehingga secara tepat sekali dia menggagalkan serangannya ke arah perut.

"Tranggg...!"

Dan Siang Hwa mundur dua langkah dengan kaget karena tangkisan gagang kebutan itu membuat lengannya tergetar, juga gerakan menangkis tadi amat dikenalnya. Dengan penasaran Siang Hwa lantas menyerang lagi sambil memutar pedangnya dengan amat cepat. Dia menerima pelajaran ilmu pedang dari Raja dan Ratu Iblis, tentu saja ilmu pedangnya sangat ganas dan berbahaya. Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ganas ke arah lawan.

Akan tetapi, keheranan hati Siang Hwa semakin menjadi-jadi ketika lawannya itu mampu mengelak atau menangkis, menghindarkan semua serangannya dengan amat mudah dan seolah-olah semua gerakan serangannya itu telah diduga lebih dahulu. Dia terkejut bukan main saat lawannya membalas dengan serangan ujung kebutan sehingga terpaksa Siang Hwa harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mempertahankan diri karena serangan balasan lawannya itu benar-benar sangat hebat. Ujung kebutan itu terus menyambar-nyambar dan setiap helai bulu kebutan seperti hidup, kadang-kadang berubah kaku seperti kawat-kawat baja tapi kadang-kadang lemas sekali dan dapat menyerang ke arah jalan darah.

Ci Kang tidak merasa heran melihat betapa dara muda yang baru saja datang ini mampu menandingi Siang Hwa. Begitu membuka matanya memandang, dia langsung mengenali gadis itu yang bukan lain adalah Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis yang tinggal di dalam goa bawah tanah itu.....

KEMUNCULAN gadis muda yang membelanya ini menimbulkan harapan baginya bahwa dia akan tertolong dari ancaman maut, biar pun hal ini tidak mendatangkan kegirangan besar dalam hatinya. Pada saat itu, bagi Ci Kang mati dan hidup tiada bedanya, bahkan dia tak akan menyesal kalau tewas karena hal ini hanya akan membebaskan dirinya dari pada kedukaan dan penyesalan.

Perkelahian itu berlangsung dengan serunya dan lima puluh jurus telah berlalu. Kini tiada keraguan lagi di dalam hati Siang Hwa bahwa lawannya sudah mengenal semua gerakan silatnya, namun dia pun mengenal gerakan yang serupa dengan ilmu silat yang diajarkan kepadanya oleh suhu dan subo-nya.

Malang baginya, gerakan kebutan itu asing baginya sehingga baberapa kali dia kebobolan dan hampir saja celaka ketika ujung kebutan menyambar. Untung dia amat gesit sehingga hanya keserempet saja dan belum terkena serangan yang telak. Bagaimana pun juga hal ini mengecutkan hatinya, maka Siang Hwa mulai terdesak hebat oleh Hui Cu.

Untung bagi Siang Hwa, sejak kecil Hui Cu hidup menyendiri di dalam goa di bawah tanah sehingga dia berwatak bersih, belum terseret ke dalam lembah kekejaman dan kejahatan oleh kehidupan orang tuanya. Oleh karena itu, walau pun dia telah mempelajari ilmu-ilmu silat dari ibunya, bahkan menguasai ilmu kebutan yang merupakan ilmu rahasia dan yang hanya dipelajari olehnya sendiri, namun tiada sedikit pun keinginan di dalam hatinya untuk mencelakakan orang lain.

Perasaan inilah yang membuat dia menentang mati-matian ketika ibunya pernah hendak membunuh Cia Sun dan Ci Kang. Dan sekarang dia menentang Siang Hwa yang hendak membunuh Ci Kang.

"Hyaaaattt...!"

Tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan bentakan aneh seperti sering dilatihnya ketika dia berlatih silat di dalam goa bawah tanah, dan ujung kebutannya membuat gulungan cahaya yang membuat pandangan mata Siang Hwa kabur. Sebelum Siang Hwa dapat menghindarkan dirinya baik-baik, pundak kirinya telah disambar ujung kebutan dan dia berteriak kesakitan lantas meloncat ke belakang. Pundaknya terasa nyeri bukan main dan kalau saja dia tidak melindungi dirinya dengan tenaga sinkang, tentu dia sudah roboh.

Dengan muka agak pucat Siang Hwa memandang gadis itu lalu telunjuknya menuding ke arah muka yang putih agak pucat itu. "Kau... dari mana engkau mencuri ilmu perguruan kami...!"

Yang ditanya hanya tersenyum saja dan wajahnya tak lagi nampak menyeramkan akibat kepucatan wajahnya, karena sesudah tersenyum, wajah itu menjadi manis sekali. "Aihhh, agaknya engkaulah murid ibuku. Engkau amat lihai dengan pedangmu itu, sayang engkau jahat, mau membunuh orang! Ibu pernah bercerita mengenai seorang muridnya bernama Gui Siang Hwa. Engkaukah itu?"

Gui Siang Hwa menjadi semakin terkejut. Puteri subo-nya? Belum pernah dia mendengar subo-nya mempunyai seorang puteri. Memang subo-nya pernah melahirkan seorang anak perempuan akan tetapi anak itu telah mati!

"Kau... kau... puteri subo...?" Ia memandang terbelalak seperti melihat setan. Mungkinkah anak yang mati dapat hidup kembali?

Tiba-tiba Hui Cu teringat akan pesan ibunya agar tidak memperkenalkan diri kepada siapa pun juga, maka dia pun berkata dengan tak sabar lagi, "Sudahlah, engkau cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu orang lain. Pergilah!" Dia melangkah maju dan mengancam dengan kebutannya untuk mengusir Siang Hwa.


cerita silat online karya kho ping hoo


Pada saat itu pula ada angin menyambar kuat, lantas tiba-tiba muncullah seorang nenek berpakaian putih dengan rambut putih riap-riapan dan wajah pucat kehijauan. Ci Kang mengenal nenek ini sebagai Ratu Iblis dan diam-diam dia pun merasa menyesal mengapa dia masih dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, ingin dia melawan Ratu Iblis ini dengan muridnya yang jahat.


"Hui Cu, apa yang sedang kau lakukan ini?" bentak nenek itu kepada puterinya dan ketika dia melihat Siang Hwa, wajah nenek itu lalu berubah, alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Siang Hwa, apa yang kau kerjakan di sini?"

Nenek ini sejenak merasa bingung dan kaget melihat betapa anaknya yang kehadirannya dirahasiakan itu ternyata telah bentrok dengan muridnya dan jika hal ini sampai ketahuan oleh suaminya tentu akan terjadi kegegeran. Suaminya tentu akan menuntut agar Hui Cu dibunuh mati atau diberikan kepadanya untuk menjadi selirnya!

"Subo, teecu berhasil merobohkan Siangkoan Ci Kang dan hendak membunuhnya, akan tetapi lalu muncul... ehhh, adik ini yang menentang teecu," kata Siang Hwa membela diri karena dia tahu bahwa subo-nya sedang marah sekali.

Nenek itu membalikkan tubuhnya memandang pada tubuh Ci Kang, lalu kepada puterinya dengan sikap marah. Sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Hui Cu sudah meloncat dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah tiba di dekat Ci Kang dan dia bersikap melindungi.

"Ibu, kenapa engkau dan juga muridmu itu berkeras hendak membunuh orang yang tidak bersalah?"

"Hui Cu, pergilah dan biarkan Siang Hwa membunuhnya!" bentak Ratu Iblis.

"Tidak! Siapa pun tak boleh membunuhnya! Aku akan menentang siapa saja yang hendak membunuhnya!" berkata Hui Cu dengan sikap gagah lalu dia melintangkan kebutannya di depan dada. "Siang Hwa, kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, aku yang akan lebih dulu merobohkanmu. Kalau engkau jahat, aku pun terpaksa akan tega melukaimu!"

Tentu saja Siang Hwa tidak berani sembarangan bergerak. Dia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, apa lagi setelah kini tahu bahwa gadis itu ternyata adalah puteri subo-nya. Mana dia berani menyerang atau menentangnya?

"Kalau aku yang membunuhnya?" bentak pula nenek itu.

"Aku tetap akan melindunginya dan agaknya ibu harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat membunuhnya!"

Nenek itu nampak terkejut dan sepasang matanya yang mencorong itu terbelalak. "Apa?! Kau... kau cinta pemuda itu?"

"Aku tidak tahu apa maksudmu, ibu. Aku tidak tahu apa artinya cinta, akan tetapi aku suka kepadanya karena dia orang yang baik dan aku tidak suka melihat dia dibunuh. Aku akan menentang setiap pembunuhan tanpa sebab."

Melihat kenekatan puterinya, nenek itu sejenak nampak bingung dan kehabisan akal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi baginya, mati hidupnya seorang pemuda seperti Siangkoan Ci Kang tidaklah begitu penting. Yang merupakan urusan besar adalah pertemuan antara anaknya dengan Siang Hwa. Maka dia menoleh ke arah Siang Hwa dan berkata dengan suara penuh mengandung ancaman,

"Siang Hwa, berjanjilah untuk menutup mulutmu dan tidak bicara kepada siapa pun juga tentang Hui Cu, terutama sekali kepada suhu-mu. Kalau hal ini sampai bocor, engkaulah satu-satunya orang yang tahu maka engkau akan kubunuh!"

Mendengar suara subo-nya dan melihat sikap yang mengancam itu, Siang Hwa menjadi pucat dan dia pun mengangguk sambil berkata lirih, "Baik subo... teecu berjanji tak akan bicara dengan siapa juga mengenai... sumoi."

"Nah, Hui Cu, Siang Hwa, mari kita pergi!" kata pula nenek itu.

Hui Cu memandang kepada Ci Kang, dan kemudian dengan ragu-ragu kepada ibunya. "Ibu... dan... suci sungguh tidak akan membunuh dia?"

"Tidak, mari kita pergi," kata pula nenek itu mendesak.

"Pergilah dahulu, ibu dan suci, nanti aku menyusul," kata pula Hui Cu yang masih belum percaya benar bahwa ibunya dan suci-nya itu benar-benar akan membebaskan Ci Kang dan tidak mengganggunya.

"Mau apa kau?!" ibunya membentak.

"Aku mau bercakap-cakap dulu sebentar dengan dia," jawab gadis itu menunjuk kepada Ci Kang.

Nenek itu mendengus marah, akan tetapi dia segera meninggalkan tempat itu. Siang Hwa tersenyum mengejek.

"Sumoi yang manis, agaknya engkau sudah tergila-gila kepada pemuda ini, ya? Memang dia tampan dan gagah, akan tetapi hati-hatilah, dia jahat dan curang tak dapat dipercaya. Jangan-jangan engkau akan celaka olehnya. Bila engkau ingin agar dia dapat melayanimu sepuas hatimu, engkau berilah dia minum ini." Wanita itu lalu mengeluarkan sebungkus bubukan merah dan memberikannya kepada Hui Cu.

Akan tetapi Hui Cu menolak, menggelengkan kepala dengan alis berkerut. "Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, akan tetapi dia tidak jahat dan curang seperti engkau. Pergilah cepat!" bentaknya marah.

Gui Siang Hwa hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking lirih dan ini adalah tanda panggilan dari subo-nya. Maka, sambil tersenyum mengejek Siang Hwa mengangkat pundak dan pergi meninggalkan sumoi-nya.

Hui Cu berjongkok dan melihat betapa pemuda itu tak mampu bergerak karena totokan, ia cepat menepuk lalu mengurut punggung dan kedua pundak Ci Kang. Akhirnya berhasillah dia membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan dan Ci Kang segera bangkit duduk sambil mengatur pernapasan.

"Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suci tadi." Hui Cu mengomel sambil duduk di depan Ci Kang.

Pemuda ini menatap wajah yang manis itu dan merasa kagum. Gadis ini sungguh masih bersih dan polos, batinnya belum tercemar oleh kekotoran yang mengelilingi keluarganya.

"Suci-mu itu jahat sekali, Hui Cu. Dan kalau tadi aku tidak tertotok, tentu akan kuserang dan kurobohkan suci-mu itu."

Gadis itu memandang dengan alis berkerut, agaknya bingung dan tak mengerti. "Kenapa akan kau lakukan hal itu?"

"Karena dia jahat dan berbahaya bagi orang lain, dan ibumu juga."

"Engkau akan menyerang dan membunuh ibuku pula?"

"Kalau mungkin, biar pun ibumu lihai sekali. Mereka itu jahat bukan main, mereka adalah datuk-datuk sesat, bahkan ibumu dijuluki Ratu Iblis. Mereka semua hanya menyebarkan perbuatan jahat dan kejam dan merupakan ancaman bagi keselamatan orang-orang lain yang tidak berdosa dan mengotorkan bumi."

"Engkau... benci kepada mereka?"

Mendengar pertanyaan ini, Ci Kang termenung sambil mengamati batinnya sendiri. Tidak, dia tidak benci siapa pun. Apa yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai tentang cinta, benci dan dendam sudah mendalam di dalam batinnya dan dia tidak merasa membenci siapa pun juga. Akan tetapi dia merasa harus menentang orang-orang semacam Ratu Iblis dan Siang Hwa karena mereka itu jahat dan berbahaya bagi manusia pada umumnya, seperti juga dia menentang ayahnya sendiri yang sama sekali tidak dibencinya.

"Tidak, Hui Cu. Aku tak membenci mereka, akan tetapi yang kutentang adalah kejahatan mereka demi menyelamatkan orang-orang dari ancaman kejahatan mereka."

Gadis itu menggeleng-geleng kepala. "Aku menjadi bingung dan tidak mengerti, Ci Kang. Akan tetapi, tadi aku melihat engkau seorang diri menangis demikian sedihnya. Kemudian muncul suci yang menotokmu dengan curang. Ci Kang, kenapa engkau menangis begitu menyedihkan? Apakah yang menyusahkan hatimu?"

Ci Kang merasa terharu sekali. Terhadap seorang gadis yang sejujur dan sebersih ini, dia merasa mendapatkan seorang sahabat sehingga dia tidak perlu merasa malu atau harus menyembunyikan rahasia hatinya. Bahkan Hui Cu dapat merupakan satu-satunya orang kepada siapa dia boleh mencurahkan semua kepedihan hatinya saat itu.

"Hui Cu, aku memang berduka sekali karena aku mencinta seorang gadis tetapi tidak ada harapan bagiku untuk berjodoh dengannya."

Gadis itu mengerutkan alisnya seperti hendak mengerahkan otaknya untuk menangkap arti ucapan Ci Kang. "Engkau cinta padanya? Apakah cinta itu?"

Ci Kang tersenyum. Tidak mengherankan kalau gadis ini demikian hijau, karena semenjak kecil selalu berada seorang diri saja di dalam goa bawah tanah.

"Cinta adalah perasaan seorang pria terhadap wanita, Hui Cu, dan orang yang mencinta mengharapkan untuk bisa hidup bersama dengan wanita yang dicintanya. Aku jatuh cinta kepada seorang gadis akan tetapi tidak ada harapan bagiku untuk dapat berjodoh dan hidup bersamanya."

"Kenapa, Ci Kang? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik. Apakah dia tidak suka kepadamu?"

"Aku tidak tahu..." Dia lantas teringat betapa Sui Cin menyuapkan makanan ke mulutnya, betapa gadis itu mengobati dan merawatnya. "Mungkin dia suka padaku... akan tetapi aku sudah melakukan kesalahan besar terhadap dirinya... dan pula, dia adalah puteri seorang pendekar besar, sedangkan aku..."

"Engkau kenapa?"

"Aku sebaliknya adalah anak seorang datuk sesat yang amat jahat!" kata Ci Kang dengan gemas dan suaranya mengandung penuh penyesalan.

Ucapan ini amat menarik hati Hui Cu. Gadis itu memegang lengan Ci Kang dan menatap tajam wajah pemuda itu. "Apa? Orang tuamu itu jahat? Sejahat... orang tuaku?"

Ci Kang mengangguk. "Ayah dan ibumu berjuluk Raja dan Ratu Iblis dan kini menjadi raja para datuk sesat. Sebelum itu, yang menjadi raja datuk-datuk sesat adalah ayahku yang berjuluk Iblis Buta."

"Ahh... kenapa mereka itu jahat? Aku tidak suka perbuatan jahat, dan engkau pun tidak suka. Kenapa mereka begitu, Ci Kang?"

Pertanyaan yang sederhana ini tidak mampu terjawab oleh Ci Kang. "Aku tidak tahu, Hui Cu. Akan tetapi aku girang bahwa engkau tidak suka kejahatan seperti mereka. Kita ini senasib, sama-sama menjadi anak orang-orang jahat. Dan ayahku kini telah tiada..."

"Akan tetapi kalau dia buta, berarti tidak dapat melihat, kenapa jahat? Dan dia tentu lihai sekali, karena engkau pun amat lihai."

"Dia lihai, akan tetapi masih kalah oleh ayah ibumu. Ayahku tewas di tangan ibumu."

"Ihhhh...! Dan kau... kau adalah puteranya, karena itu engkau membenci ibu dan hendak membalas..."

"Tidak! Engkau keliru, Hui Cu. Kalau aku menentang ibumu, itu hanya karena ibumu jahat. Ayahku mati karena akibat perbuatannya sendiri, akibat kejahatannya sendiri. Aku tidak mendendam kepada siapa pun juga."

Gadis itu terdiam. "Aku bingung dan tidak mengerti mengenai semua ini, Ci Kang. Akan tetapi, mendengar bahwa engkau pun anak seorang datuk sesat seperti aku, aku semakin suka padamu. Ehh, Ci Kang, di manakah kawanmu itu?"

"Kawanku? Kau maksudkan Cia Sun?"

"Benar! Cia Sun, yang bersamamu masuk ke dalam goa bawah tanah itu. Di manakah dia sekarang dan mengapa tidak bersamamu? Aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan dia."

Mendengar kegairahan dalam suara gadis itu, Ci Kang menatap wajahnya dengan penuh selidik. Akan tetapi wajah dan pandangan mata yang berseri itu tidak berubah dan tetap polos terbuka.

"Hui Cu, kau... kau cinta pada Cia Sun?"

"Cinta? Ahh, kau tadi bilang bahwa cinta berarti ingin selamanya hidup bersama orang yang dicinta. Aku tidak tahu, apakah aku ingin hidup selamanya dengan Cia Sun, akan tetapi, aku suka sekali kepadanya dan semenjak bertemu dengannya, aku selalu teringat kepadanya."

"Hemm, kalau tidur engkau sering kali mimpi bertemu dengannya?"

"Benar..."

"Kalau engkau sedang duduk seorang diri, wajahnya sering terbayang olehmu, suaranya seperti kau dengar kembali, setiap gerak-geriknya amat menyenangkan hatimu?"

"Wah, benar! Benar sekali! Ehh, bagaimana engkau bisa tahu?"

Ci Kang tersenyum pahit. Tentu saja dia tahu benar, karena seperti itulah keadaan dan perasaannya terhadap Sui Cin selama ini! Puteri Raja dan Ratu Iblis ini sudah jatuh cinta kepada Cia Sun! Kenyataan ini membuat hatinya semakin pedih.

Dia, putera datuk sesat jatuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis yang terkenal. Dan kini, puteri Raja Iblis yang sangat jahat itu jatuh cinta kepada putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga yang juga terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang dihormati orang! Mana mungkin terjadi?

"Ci Kang, kenapa engkau bengong saja? Kau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana engkau dapat mengetahui apa yang kualami selama ini, dan di mana pula adanya Cia Sun?"

"Hui Cu, aku tahu apa yang kau alami karena aku sendiri pun mengalami hal yang sama terhadap bayangan gadis yang kucinta. Dan Cia Sun... ah, engkau belum tahu siapa dia. Dia bukan orang sembarangan saja, dia adalah putera dari pendekar besar Cia Han Tiong, ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga."

"Lembah Naga? Aku pernah mendengar nama tempat itu dari ibu, tidak begitu jauh dari sini! Jadi dia berada di sana?"

"Entahlah, kukira begitu."

"Kalau begitu, aku akan pergi mencarinya! Aku akan mencari Cia Sun, aku tidak senang tinggal bersama ibuku!" Gadis itu bangkit berdiri.

"Nanti dulu, Hui Cu!" Ci Kang juga melompat dan memegang lengan gadis itu.

"Kenapa kau menahanku? Ada apa?"

Ci Kang merasa kasihan terhadap gadis ini dan tidak ingin melihat gadis ini mengalami patah hati dan penghinaan di Lembah Naga. "Dengarkan dahulu baik-baik. Ingat bahwa engkau adalah puteri Raja dan Ratu Iblis, sedangkan Cia Sun adalah putera pendekar..."

Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu menyambar angin dahsyat sekali dan tahu-tahu di situ muncul seorang kakek yang rambutnya riap-riapan putih, pakaiannya juga serba putih dan sepasang matanya mencorong mengerikan, ada pun mukanya pucat kehijauan. Melihat kakek ini, terkejutlah Ci Kang karena dia mengenal kakek ini sebagai Raja Iblis sendiri!

"Aku mendengar tadi ada puteri Raja dan Ratu Iblis. Siapa puteri itu?" terdengar suara kakek aneh itu, suaranya seperti terdengar dari lain tempat yang jauh, dan bibirnya tidak nampak bergerak.

Hui Cu yang juga kaget melihat munculnya seorang kakek aneh, kini memandang kakek itu dengan mata terbelalak. "Engkau kakek aneh dan lucu, bicara tanpa menggerakkan bibir! Akulah puteri Raja dan Ratu Iblis!"

Ci Kang terkejut sekali dan tidak sempat menahan gadis itu mengeluarkan kata-kata yang demikian beraninya. Berhadapan dengan iblis ini tak perlu banyak cakap, pikirnya, karena tak mungkin iblis itu akan mau melepasnya seperti yang dilakukan oleh Ratu Iblis karena bujukan puterinya tadi.

Maka tanpa banyak cakap lagi dia pun cepat menerjang maju dengan pukulan tangannya yang ampuh. Karena dia maklum bahwa lawannya ini amat sakti, maka begitu menerjang dia langsung mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya kemudian mengirim pukulan yang mengandung tenaga dahsyat.

"Wuuuttt...! Dukkk...!"

Tubuh Ci Kang terjengkang ke belakang dan dia tentu akan terbanting keras kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan berloncatan ke belakang. Dia dapat berdiri lagi dengan tegak dan merasa betapa lengan kanannya yang tertangkis oleh lengan kakek itu terasa nyeri dan panas.

"Jangan pukul kawanku!" Hui Cu membentak dan dia pun langsung menyerang kakek itu dengan kebutannya. Dia marah melihat betapa Ci Kang terjengkang dan hampir roboh.

Kakek itu mengeluarkan suara menggereng aneh dan begitu jari-jari tangannya bergerak, bulu kebutan itu berhenti dan menempel di telapak tangannya, sedangkan tangan kirinya diulur untuk mencengkeram ubun-ubun kepala Hui Cu. Jelas bahwa dia bermaksud akan membunuh puterinya itu dengan sekali serangan.

"Iblis keji! Kau hendak membunuh anakmu sendiri?" Ci Kang membentak, lantas dengan nekat dia menerjang dari samping, memukul ke arah tengkuk kakek itu dan tangan kirinya menangkis tangan kakek yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hui Cu.

"Dukk! Dukkk!"

Kembali lengan mereka beradu dan Ci Kang terjengkang, akan tetapi Hui Cu selamat dan dapat menarik kembali kebutannya. Gadis ini memandang kakek itu dengan kedua mata terbelalak ketika dia mendengar bentakan Ci Kang tadi.

"Apa?! Dia... dia ini ayahku?" teriaknya.

"Benar, dia adalah Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong, ayah kandungmu. Pangeran Toan Jit Ong, gadis ini adalah Toan Hui Cu, puterimu sendiri. Jangan ganggu dia, akulah lawanmu dan mari kita bertanding sampai mati!" Ci Kang menantang dengan sikap gagah dan dia sudah memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi mati-matian melawan raja kaum sesat ini.

Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, bahkan tidak memperhatikan dia. Sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada Hui Cu, mengamatinya dari pucuk rambut sampai ke kaki.

"Ia harus mati, tapi sayang, dia gagah dan cantik. Engkau harus melahirkan anak laki-laki dariku!"

Dan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tangannya sudah meluncur ke depan. Lengan itu dapat mulur panjang dan tangan itu hendak menangkap pinggang Hui Cu. Gadis ini terkejut dan menjerit, kebutannya digerakkan menotok ke arah pergelangan tangan lawan.

"Tukkk!"

Bagaimana pun saktinya, Raja Iblis itu terkejut karena pergelangan tangan yang tertotok ujung kebutan itu seperti dipatuk ular sehingga terasa kesemutan. Mengertilah dia bahwa isterinya telah melatih anak ini dan mungkin anak ini telah mewarisi ilmu kebutan rahasia dari mendiang gurunya yang belum sempat dipelajarinya, dan ilmu kebutan ini lebih lihai dari pada ilmu menggunakan rambut dari isterinya. Maka terpaksa dia menarik kembali lengannya.

"Iblis keji!" Ci Kang menyerangnya dari samping dengan totokan ke arah lambung kiri Raja Iblis.

Totokan ini amat hebat dan saking cepatnya, tidak dapat ditangkis lagi sehingga terpaksa pula Raja Iblis itu menggerakkan tubuh ke belakang untuk mengelak. Diam-diam dia pun terkejut. Pemuda ini cukup lihai, mungkin lebih lihai dari pada semua pembantunya. Dan anak perempuan itu pun memiliki ilmu kebutan yang hebat.

Tiba-tiba dia melompat ke belakang dan mengangkat kedua tangan. Kakek ini memang memiliki wibawa yang kuat karena dua orang muda itu segera berhenti dan memandang.

"Siapa namamu?" tanyanya kepada Ci Kang.

"Aku Siangkoan Ci Kang," jawab pemuda itu dengan tabah.

"Bagus! Kau putera Siangkoan Lo-jin?"

"Benar!"

"Hemm, kau datang untuk membalas kematian ayahmu?"

"Tidak, aku datang untuk menentang kejahatanmu!"

"Siangkoan Ci Kang, apakah engkau cinta kepada puteriku ini? Engkau jadilah suaminya dan kalian menjadi pembantu-pembantuku yang setia. Bagaimana?"

Sungguh luar biasa sekali watak iblis ini! Baru saja menyerang dan hendak membunuh, sekarang tiba-tiba menawarkan hal yang sebaliknya. Ini menunjukkan betapa cerdiknya Raja Iblis. Dia segera dapat mengubah pendirian begitu melihat segi keuntungannya.

"Persetan dengan engkau!" bentak Ci Kang.

Usul Raja Iblis itu tentang perjodohannya dengan Hui Cu tentu saja bukan merupakan hal yang buruk, akan tetapi menjadi pembantu iblis itu benar-benar merupakan tawaran yang dianggapnya amat menghina. "Lebih baik mati dari pada menjadi antekmu!"

Dan pemuda itu sudah menyerang lagi. Raja Iblis mengelak dengan mudah lantas balas menendang dengan kecepatan kilat. Akan tetapi Ci Kang juga dapat menghindarkan diri dan langsung menyerang kembali dengan bertubi-tubi.

"Kalau begitu engkau akan mampus dan ia menjadi isteriku!" Raja Iblis berloncatan sambil berkata demikian, kemudian membalas.

Terjadilah serang-menyerang dengan hebat dan lewat beberapa jurus, kembali tangannya yang ampuh itu ketika ditangkis Ci Kang membuat pemuda itu terhuyung ke belakang.

"Mampuslah!" Raja Iblis meloncat dan mengirim pukulan susulan terhadap pemuda yang sedang terhuyung itu.

Akan tetapi Hui Cu menerjang dari samping dengan kebutannya yang menyambar dan beruntun mematuk ke arah jalan darah di pelipis, leher serta pundak! Terpaksa Raja Iblis mengurungkan pukulannya terhadap Ci Kang dan mengelak dari sambaran ujung kebutan yang cukup lihai itu. Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh Ci Kang untuk memperbaiki kedudukannya, lalu dia pun membantu Hui Cu menyerang lagi.

Raja Iblis menjadi marah sekali. Selama ini hampir tidak pernah ada orang yang berani menentangnya, namun kini, seorang pemuda, hanya putera mendiang Iblis Buta, berani menentangnya. Dan yang lebih menggemaskan lagi anak perempuan itu, anaknya sendiri, membantu si pemuda!

Ia mengeluarkan suara lengkingan nyaring berkali-kali dan kedua tangannya kini bergerak dengan dorongan-dorongan yang mengeluarkan hawa panas dan menerbitkan angin kuat. Nampak uap putih setiap kali dia mendorongkan kedua tangannya.

Dan dua orang muda itu pun segera terdesak hebat. Hanya dengan pengerahkan sinkang sekuatnya saja keduanya tak sampai terlempar oleh hawa dorongan yang begitu kuatnya. Walau pun demikian, Ci Kang maklum bahwa tidak lama lagi dia dan Hui Cu tentu akan roboh. Raja Iblis ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat.

Karena merasa bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah jauh dibandingkan kakek itu, Ci Kang segera teringat akan ilmu yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai kepadanya, yaitu ilmu silat menggunakan tongkat atau benda apa saja yang berbentuk tongkat. Dia melompat ke kiri dan menyambar patah sebatang cabang pohon yang besarnya selengan, kemudian dia pun menggunakan senjata ini.

Ilmu tongkat bambu merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Ciu-sian Lo-kai. Karena itu, begitu Ci Kang mainkan tongkat ini, dia dapat menggempur desakan-desakan lawan dan dibantu oleh Hui Cu, kini dia mampu membalas, bekerja sama dengan kebutan gadis itu yang juga ampuh sekali.

Menghadapi keadaan yang berbalik ini, Raja Iblis menjadi semakin marah dan mendadak dia pun mengeluarkan gerengan keras dan ketika kedua tangannya bergerak menyilang menyambut tongkat di tangan Ci Kang, terdengarlah suara keras. Tongkat itu hancur dan tubuh Ci Kang terjengkang!

Dengan mengeluarkan suara gerengan seperti tertawa, kakek itu cepat menubruk ke arah Ci Kang yang masih terlentang. Pemuda ini menyambutnya dengan satu tendangan, akan tetapi kakek itu berhasil menangkis tendangan ini dan segera menjatuhkan diri berlutut, kedua tangannya dihunjamkan dengan jari-jari terbuka ke arah kepala Ci Kang.

Pemuda ini merasa betapa ada hawa pukulan dahsyat menyambar, maka maklumlah dia bahwa dia sedang terancam maut karena sekali jari-jari tangan itu mengenai kepalanya, tentu kepalanya akan hancur berantakan. Jalan satu-satunya baginya hanya menangkis. Dia mengangkat kedua tangannya dan berhasil menangkap dua lengan tangan lawan.

Terjadilah adu tenaga yang mengerikan. Kakek itu berusaha melanjutkan terkaman kedua tangannya, ada pun Ci Kang yang berada di bawah berusaha mempertahankan. Mereka bersitegang dan sepasang lengan Ci Kang mulai menggigil, mukanya pucat dan penuh keringat, tanda bahwa dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan berada di tepi maut. Agaknya sebentar lagi dia tidak akan kuat bertahan sehingga kakek itu dapat melanjutkan pukulan mautnya.

Melihat keadaan Ci Kang yang terancam maut seperti itu, tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan teriakan keras dan dia pun cepat menggerakkan kebutannya. Ujung kebutannya berubah menjadi dua gumpal yang ujungnya meruncing seperti pedang, lantas dua batang pedang dari bulu-bulu halus yang kini menjadi kaku keras itu menusuk ke arah sepasang mata Raja Iblis! Tusukan ini cepat dan hebat sekali dan agaknya gadis itu sudah lupa bahwa dia bisa menewaskan atau setidaknya membutakan mata ayah kandungnya.

Menghadapi serangan mendadak yang amat berbahaya ini, Raja Iblis terkejut sekali dan terpaksa dia cepat menarik kembali kedua tangan yang tadi menekan ke bawah, dan kaki kanannya menyambar ke depan menyambut serangan gadis itu.

"Desss...!"

Tubuh Hui Cu terpental dan biar pun dia sudah melindungi dirinya dengan sinkang, tidak urung tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan. Akan tetapi, perbuatannya itu menyelamatkan Ci Kang yang segera meloncat bangun dan menjauhkan diri karena dia harus mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.

Hui Cu juga sudah melompat bangun dan kedua orang muda itu sudah bersiap lagi. Kini wajah mereka pucat dan kedua kaki agak gemetar karena kecapaian.

Raja Iblis tersenyum mengejek. Kedua orang itu tentu akan dapat dirobohkannya dalam serangan berikutnya. Dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya, saling bersilang dan setiap kali dua lengan itu bergesekan, tentu nampak uap putih mengepul. Memang hebat sekali ilmu kakek ini kalau dia sudah mengeluarkan tenaga sakti seperti itu.

Ci Kang memandang khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Memang sejak tadi dia telah menghadapi kematian dengan tenang. Akan tetapi dia mengkhawatirkan Hui Cu. Gadis itu tadi sudah menyelamatkan nyawanya. Dia tahu bahwa tanpa bantuan Hui Cu tadi, dia sudah tewas.

Dan kini, dia merasa tidak kuat untuk dapat melindungi gadis itu dari ayah kandungnya yang jahat seperti iblis itu. Namun betapa pun juga, dia akan melawan dan melindungi Hui Cu sampai napas terakhir.

Karena adanya niat hendak melindungi ini, perlahan-lahan Ci Kang menghampiri Hui Cu sambil matanya terus memandang ke arah Raja Iblis yang berdiri dalam jarak lima meter dari mereka. Setelah dekat, dia menyentuh lengan gadis itu.

"Jangan takut, Hui Cu, aku akan membelamu sampai mati."

Hui Cu tersenyum duka. "Kita berdua akan mati, Ci Kang. Akan tetapi aku gembira dapat mati bersama seorang sahabat sepertimu. Mari kita lawan dia."

"Yang berat adalah tenaga dorongannya, mari kita satukan tenaga untuk menyambutnya," bisik Ci Kang. Gadis itu mengangguk, kemudian menyelipkan kebutan pada pinggangnya, dan bersama Ci Kang dia lalu melangkah maju berdampingan.

Melihat dua orang muda itu nekat maju bersama, Raja Iblis kembali tersenyum mengejek. Dia tahu akan siasat pemuda itu hendak menyatukan tenaga. Akan tetapi dia tadi sudah mengukur sampai di mana tenaga mereka dan dia tidak menjadi gentar. Bahkan sengaja dia maju lagi menyerang dengan kedua tangannya didorongkon ke depan, kedua telapak tangannya menghadap kepada dua orang lawan itu. Begitu kedua tangannya mendorong, nampak uap putih dan angin menyambar dahsyat.

Ci Kang dan Hui Cu yang sudah maklum akan kehebatan tenaga dorongan itu langsung menyambut dengan kedua tangan didorongkan pula. Sekarang mereka bergerak dengan berbareng, menyatukan tenaga sinkang menyambut dengan kuatnya.

"Desss...!"

Hebat bukan main ketika tiga pasang tangan itu bertemu dan akibatnya tubuh Raja Iblis undur dua langkah, akan tetapi tubuh Ci Kang dan Hui Cu terjengkang kemudian roboh terbanting! Mereka kalah tenaga dan kini mereka berdua merasa betapa napas mereka menjadi sesak.

Terpaksa mereka cepat-cepat mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk mencegah dada yang terguncang hebat itu agar jangan sampai terluka. Kesempatan baik terbuka bagi Raja Iblis dan sambil tersenyum lebar dia melangkah maju, siap-siap untuk mengirim pukulan maut!

"Sungguh tidak tahu malu tua bangka menghina orang-orang muda!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan suatu hawa tenaga yang sangat kuat mendorong dan menyambut Raja Iblis.

Kakek ini terkejut dan mengerahkan tenaga, menggunakan tangannya mengibas dan dua tenaga sakti saling bentur membuat keduanya terkejut karena masing-masing mendapat kenyataan betapa kuatnya lawan yang dihadapi!

Raja Iblis cepat memandang dan alisnya pun berkerut. Yang muncul di depannya adalah seorang laki-laki yang usianya paling banyak lima puluh tahun. Perawakannya gagah dan wajahnya masih kelihatan tampan menarik, pakaiannya serba indah sehingga membuat dia nampak semakin anggun. Wajah itu tersenyum ramah akan tetapi sepasang matanya mencorong penuh kekuatan.

Di samping kiri pria ini berdiri seorang wanita yang usianya sebaya, cantik sekali, dengan pakaian yang juga mewah, bersih dan baru, rambutnya dihias batu permata. Akan tetapi, berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang tersenyum ramah, wanita cantik ini nampak anggun dan angkuh, serius dengan sepasang matanya menatap wajah Raja Iblis seperti hendak menegur.

Raja Iblis belum pernah mengenal mereka, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah dua orang dari golongan pendekar yang mempunyai kepandaian tinggi, maka dia tidak memandang rendah dan bersikap waspada dan hati-hati.

Biasanya, apa bila ada Ratu Iblis di sampingnya, dia tidak pernah mau bicara sendiri dan bahkan jarang dia turun tangan sendiri. Kini, karena dia seorang diri saja, dia terpaksa bicara dan bertindak sendiri.

Dia teringat bahwa di antara para datuk di dunia persilatan, banyak yang sudah pernah ditaklukkannya, bahkan mereka bersumpah tidak akan melawannya kalau dia memegang Tongkat Suci Sakti. Kini berhadapan dengan dua orang itu, bahkan dia sudah mengukur tenaga pria itu yang ternyata sangat kuat, dia hendak mengambil cara yang lebih mudah.

Kalau dua orang ini memiliki hubungan dengan para tokoh yang pernah ditundukkannya, tentu mereka tidak akan berani pula menentang dia yang memegang Tongkat Suci Sakti. Cepat dia mengeluarkan sebatang tongkat dari balik jubahnya, lantas sambil mengangkat tongkat itu ke atas kepala, dia berkata, suaranya bergema seperti datang dari jauh dan amat berwibawa.

"Lihat Tongkat Suci Sakti dan berlututlah kalian sebelum aku menyatakan kalian berdosa dan harus menerima hukumanku!"

Pria dan wanita itu memandang dengan heran, lalu saling pandang dan pria itu tertawa.

"Ha-ha-ha-ha! Yang suci dan sakti bagi orang jahat belum tentu suci bagi kami! Aku orang she Ceng belum pernah melihat tongkat butut itu!"

"Tua bangka, jangan membadut di hadapan kami. Pergilah dan jangan ganggu dua orang muda ini sebelum aku turun tangan menghajarmu!" kata si wanita dengan suara galak dan sepasang matanya mencorong penuh ancaman.

Raja iblis menjadi marah sekali. Tongkat Suci Sakti itu mereka hina! Padahal, bila melihat tongkat itu saja banyak tokoh persilatan gemetar dan berlutut.

"Bagus, kalau begitu kalian adalah calon-calon bangkai!" Raja Iblis menyerbu ke depan, menggunakan tongkat itu dan secepat kilat tongkat itu sudah melakukan dua kali pukulan ke arah pria dan wanita itu secara bertubi-tubi, bahkan diikuti oleh cengkeraman tangan kirinya yang tidak kalah berbahaya.

Pria dan wanita itu pun bukan orang sembarangan. Dengan sekali gerakan saja mereka sudah maklum akan kelihaian kakek yang mukanya seperti kedok mayat itu, dan mereka paham akan bahayanya tongkat yang disebut Tongkat Suci Sakti itu. Karena itu keduanya cepat mengelak dengan gerakan yang indah dan cepat sehingga semua serangan kakek itu mengenai tempat kosong.

Wanita itu meloncat untuk menghindar dan pada waktu dia membalikkan tubuhnya, kedua tangannya telah memegang sepasang pedang berwarna hitam dan ketika dicabut, tampak dua sinar hitam bergulung-gulung.

"Awas, tongkatnya itu beracun!" kata si wanita kepada pria yang hanya tersenyum saja.

"Orangnya busuk, bagaimana tongkatnya tidak akan beracun?" Pria itu malah mengejek.

Raja Iblis menjadi semakin marah. Tongkatnya menyambar ganas ke arah kepala wanita itu. Wanita setengah tua yang cantik itu bersikap tenang. Sepasang pedang hitamnya lalu membuat gerakan menangkis dan menggunting, menyambut tongkat.

"Trakkk!"

Tongkat itu terjepit oleh sepasang pedang hitam. Pada saat itu pula tangan kiri Raja Iblis melayang, menampar kepala lawan.

"Singgg...!"

Pedang kanan melesat dari tongkat lalu menyambut tangan! Raja Iblis kaget, tak mengira wanita itu mempunyai gerakan sedemikian cepat dan lihainya. Dia tidak berani mengadu lengannya dengan pedang hitam, menarik tangan dan langsung tangan itu mendorong ke depan. Serangkum hawa panas dan kuat sekali menyambar.

"Ihh!" Wanita itu berseru kaget dan cepat meloncat ke belakang. Ketika Raja Iblis hendak mendesak terus, suami wanita itu sudah menghadapinya dan menghalanginya mendesak isterinya.

"Hemmm, engkau lihai juga," kata pria itu. Sungguh jarang terdapat orang yang mampu mengejutkan isterinya dalam satu gebrakan saja. "Siapakah engkau?"

Akan tetapi Raja Iblis tidak menjawab melainkan menubruk dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan totokan ke arah dahi di antara dua mata lawan. Pria itu cepat mengelak dengan kepala ditundukkan dan pada saat tongkat itu melanjutkan gerakannya menyambar ke arah tengkuknya, dia cepat mengangkat tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi kulit lengannya kalau-kalau benar tongkat itu mengandung racun seperti yang tadi diperingatkan oleh isterinya. Di dalam hal racun, isterinya memang jauh lebih ahli dari pada dia. Akan tetapi dia tidak takut terhadap racun.

"Plakkk!"

Dan kembali keduanya terkejut. Pria itu merasa betapa lengannya tergetar dan dia tahu pula bahwa tongkat itu memang dilumuri atau direndam dengan racun. Sebaliknya Raja Iblis merasa tangannya yang memegang tongkat bertemu dengan tenaga yang dahsyat sekali.

Jarang dia bertemu tanding yang tenaganya sehebat ini. Apa lagi melihat betapa lawan itu sama sekali tak terpengaruh oleh racun pada tongkatnya. Semenjak tongkatnya terampas oleh kelicikan Sui Cin dahulu itu, dia merendam tongkat saktinya dengan racun yang amat jahat agar siapa pun yang akan merampas tongkatnya menjadi keracunan, dan juga setelah direndam racun, tongkat itu selain merupakan benda pusaka untuk menundukkan tokoh-tokoh dunia persilatan, juga dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Akan tetapi lawan ini sedemikian lihainya sehingga sinkang-nya mampu menolak hawa beracun yang amat kuat dari tongkatnya.

Maklum akan kehebatan lawan, begitu tongkatnya tertangkis, secara tiba-tiba dan cepat sekali Raja Iblis menggerakkan tangan kirinya dan sebelum pria itu dapat mengelak atau menangkis, tangan kirinya telah menghantam punggung lawan. Tamparan telapak tangan kiri Raja Iblis ini hebat dan cepat sekali, sama sekali tidak tersangka-sangka dan agaknya pria itu pun tidak sempat pula mengelak.

"Plakkk...!"

Tiba-tiba saja sepasang mata Raja iblis terbelalak. Nampak dia berusaha menarik kembali tangan kirinya, akan tetapi tangannya itu sudah melekat pada punggung lawan. Sekarang baru dia tahu bahwa lawannya memang sengaja tidak mengelak dan memang menerima tamparannya tadi.

"Thi-khi I-beng...!" Raja Iblis berseru lantas secepat kilat tongkatnya menyambar ke arah mata lawan.

Pria itu terpaksa mundur dan Raja Iblis segera menyimpan tenaga saktinya. Agaknya dia tahu pula bagaimana cara menghadapi Ilmu Thi-khi I-beng. Setelah Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya, tangannya yang tadi melekat di punggung lawan terlepas dengan mudah kemudian dia pun meloncat jauh ke belakang.

"Kau... Pendekar Sadis?" tanyanya, lalu menoleh ke arah wanita cantik.

"Dan kau... yang dulu berjuluk Lam-sin, kau puteri Pangeran Toan Su Ong?"

Kini tahulah pria dan wanita itu dengan siapa mereka berhadapan dan keduanya nampak terkejut bukan main.

"Aha! Ternyata engkau yang terkenal dengan julukan Raja Iblis yang tersohor itu?" kata Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis.

Isterinya, Toan Kim Hong, turut berkata, "Inikah Pangeran Toan Jit Ong yang kabarnya memberontak terhadap pemerintah itu?"

"Hemm, kalau engkau puteri Toan Su Ong, berarti engkau adalah keponakanku sendiri! Keponakan dan mantu keponakan. Tidak lekas memberi hormat kepada pamanmu?"

"Biar paman, biar siapa pun, kalau jahat adalah musuh kami!" Toan Kim Hong berkata dengan suara garang.

Raja Iblis Toan Jit Ong adalah seorang yang amat cerdik. Dia tidak takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis dan isterinya, akan tetapi dia pun tahu bahwa tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan suami isteri perkasa ini.

Apa lagi ada Siangkoan Ci Kang di situ dan pemuda ini pun tidak dapat dipandang ringan. Belum lagi puterinya sendiri yang malah membantu musuh! Jika dia tetap nekat melawan mereka berempat lalu kalah atau mati sekali pun tidak takut, akan tetapi namanya akan jatuh dan lagi pula, bagaimana dengan rencana besarnya?

Raja Iblis menarik napas panjang. "Sudahlah, mengingat hubungan darah antara kita, biar aku memandang arwah kakanda Toan Su Ong untuk mengampuni kalian berdua. Inilah anakku. Kemarilah, nak. Mereka ini adalah enci-mu sendiri serta kakak iparmu." Dengan lagak kebapakan dia menghampiri Hui Cu seperti hendak memperkenalkan mereka.

Melihat sikap kakek yang menjadi ayah kandungnya itu, Hui Cu yang masih hijau itu tentu saja menjadi lengah. Dengan amat mudahnya Raja Iblis dapat menangkap lengan kanan anaknya dan tiba-tiba kakek itu sudah menotoknya dan memanggulnya, lantas meloncat jauh dan melarikan diri. Melihat ini, Ci Kang meloncat dan hendak mengejar.

"Lepaskan dia!" bentaknya marah. Akan tetapi, suami isteri pendekar dari Pulau Teratai Merah itu tahu-tahu telah menghadangnya.

"Mengejar dia sama dengan bunuh diri!" kata Pendekar Sadis.

"Gadis itu dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, jadi mencampurinya adalah suatu kebodohan!" kata pula Toan Kim Hong.

Ci Kang lantas maklum bahwa suami isteri ini mencegahnya untuk melakukan pengejaran dengan maksud hendak menghindarkan dirinya dari bahaya maut dan dia pun sadar akan kebodohannya. Lagi pula Raja Iblis itu telah cepat menghilang dan dia sendiri tidak begitu mengenal daerah ini maka melakukan pengejaran selain tidak mungkin, juga benar-benar sama dengan membunuh diri. Baru menghadapi Raja Iblis seorang diri saja dia sudah kalah, apa lagi kalau raja sesat itu muncul bersama kaki tangannya.

Akan tetapi, bagaimana pun juga tak mungkin dia dapat mendiamkan saja Hui Cu dibawa ayahnya. Gadis itu seperti berada dalam cengkeraman harimau. Lebih celaka lagi, seperti berada di dalam cengkeraman iblis. Harimau tidak akan membunuh anaknya sendiri, akan tetapi Raja Iblis itu hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, atau akan dibunuhnya.

Sekarang setelah Raja Iblis pergi, Ci Kang dapat mencurahkan perhatiannya pada suami isteri itu. Dia memandang kepada mereka dan merasa jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Jadi inikah yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu? Ayah dan ibu Sui Cin, gadis yang dicintanya.

Dan mereka ini demikian gagah perkasa, demikian anggun dan berpakaian sangat indah. Sepasang pendekar yang berilmu tinggi, yang mampu membuat datuk sesat seperti Raja Iblis melarikan diri. Sepasang pendekar perkasa yang agaknya kaya raya pula.

Sedangkan dia? Dia hanya seorang yatim piatu, dan lebih lagi, anak seorang datuk sesat yang buta. Dibandingkan dengan Sui Cin dan keluarganya, dia tidak lebih pantas menjadi seorang pelayan atau pegawai mereka saja.

Akan tetapi dia cepat teringat bahwa kemunculan dua orang ini tadi telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Apa bila tidak ada mereka ini, tentu dia sudah tewas di tangan Raja Iblis, maka dia pun cepat menjura dengan sikap menghormat.

"Ji-wi locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya. Saya menghaturkan terima kasih."

Suami isteri itu memandang dengan wajah berseri. Mereka merasa suka kepada pemuda gagah yang berani melawan Raja Iblis dan membela gadis itu. Mereka menduga bahwa tentu pemuda ini kekasih gadis itu, atau setidaknya mencinta gadis itu dan mungkin Raja Iblis tidak merestui hubungan mereka. Akan tetapi semua itu bukan urusan mereka.

"Orang muda, engkau gagah dan agaknya tidak akan mudah dapat dirobohkan oleh Raja Iblis itu. Tidak perlu berterima kasih karena kebetulan saja kita berjumpa di sini dan setiap orang gagah memang wajib menentang iblis jahat semacam Raja Iblis itu. Nah, selamat berpisah," kata Ceng Thian Sin dengan suara ramah. Bersama isterinya dia membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan perjalanan mereka.

Kepergian Sui Cin yang amat lama itu menggelisahkan hati suami isteri ini dan mereka sering kali melakukan perjalanan untuk mencari puteri mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin pulang ke Pulau Teratai Merah, ia tidak bertemu dengan ayah bundanya yang sedang pergi mencarinya. Ia meninggalkan surat dan melanjutkan perjalanannya ke utara, sesuai dengan perintah gurunya.

Tak lama kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya yang kembali ke pulau itu, menemukan surat puteri mereka. Tentu saja keduanya merasa khawatir sekali mendengar betapa Sui Cin melibatkan diri dalam urusan menentang pemberontakan di utara, hendak menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Karena mengkhawatirkan puteri mereka, suami isteri ini berangkat lagi melakukan pengejaran ke utara.

"Ji-wi, harap perlahan dulu!"

Mendengar suara pemuda itu menahan mereka, Ceng Thian Sin serta isterinya berhenti melangkah lalu menengok dengan heran.

"Ada apakah, orang muda?" Pendekar Sadis bertanya.

"Apa bila tadi saya tidak salah mendengar, locianpwe berjuluk Pendekar Sadis. Apakah locianpwe bernama Ceng Thian Sin dan ji-wi merupakan ayah bunda dari nona Ceng Sui Cin?"

"Benar, apakah engkau mengenal anakku itu?" Toan Kim Hong berseru dengan wajah berseri dan suaranya mengandung kegembiraan.

Selama ini mereka berdua telah mencari hingga ke mana-mana akan tetapi belum pernah mendengar tentang puterinya dan tidak dapat menemukan jejaknya. Dan sekarang, tanpa disangkanya dia mendengar orang bertanya tentang Sui Cin!

"Saya mengenal nona Ceng dengan baik," jawab Ci Kang perlahan.

Ceng Thian Sin segera memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah mendengar bahwa pemuda ini mengenal Sui Cin dan agaknya merupakan sumber berita di mana adanya puterinya itu, tiba-tiba saja pemuda itu menjadi penting baginya.

"Orang muda, sungguh Thian sudah menuntun kami berdua untuk bertemu denganmu di sini. Siapakah namamu, orang muda?"

"Nama saya Siangkoan Ci Kang."

"Siangkoan...? Jarang mendengar tokoh dengan she Siangkoan di dunia persilatan," kata Pendekar Sadis.

"Bukankah ada seorang datuk yang juga memiliki she Siangkoan, yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi?" tiba-tiba Toan Kim Hong berkata.

"Ahh, maksudmu Siangkoan Lo-jin? Mana ada hubungannya dengan..."

"Maaf, locianpwe. Siangkoan Lo-jin adalah mendiang ayah saya."

"Ahhhh...!" Suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mendengar tentang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi, juga amat kejam. Dan mereka juga mendengar berita di dunia kang-ouw selama mereka mencari Sui Cin bahwa Iblis Buta sudah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis yang kini merampas kedudukan pemimpin para datuk kaum sesat.

Sebab itu mereka pun kini menduga bahwa tentu pemuda ini memusuhi Raja Iblis karena mendendam atas kematian ayahnya. Akan tetapi kenapa pemuda ini membela puteri Raja Iblis? Namun mereka tidak ingin tahu lebih banyak karena hal itu bukan urusan mereka.

"Orang muda, engkau tadi mengatakan mengenal baik anak kami. Di manakah kini anak kami Sui Cin itu?" Pendekar Sadis bertanya tidak sabar.

"Menurut pengetahuan saya, nona Ceng Sui Cin kini berada bersama para pimpinan suku bangsa di utara ini. Dia telah membantu nenek Yelu Kim yang berhasil meraih kedudukan pemimpin para suku bangsa. Kalau ji-wi dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim yang kini menjadi pemimpin besar para kepala suku bangsa di utara, tentu ji-wi akan dapat bertemu pula dengan nona Ceng."

"Apa? Anakku membantu pemimpin para kepala suku liar?" Toan Kim Hong bertanya, matanya terbelalak.

"Orang muda, di mana adanya rombongan nenek Yelu Kim itu sekarang?" Ceng Thian Sin bertanya.

"Tidak begitu jauh dari sini, locianpwe. Di balik bukit tandus di barat itu. Kalau tidak salah, para kepala suku masih berada di sana bersama rombongan masing-masing."

"Terima kasih, orang muda. Kami akan mencarinya sekarang juga."

Thian Sin serta isterinya kemudian mengangguk dan meninggalkan Ci Kang yang hanya menjura dengan hormat kepada mereka. Dia tidak berani bicara banyak tentang Su Cin, tentang hubungannya dengan gadis itu.

Setelah pasangan suami isteri itu pergi, pemuda itu lalu berdiri termangu-mangu, merasa nelangsa dan kesepian, merasa betapa semakin jauhnya dirinya dari Sui Cin, gadis yang dicintanya itu. Akan tetapi, dia segera teringat kepada Hui Cu dan bangkit semangatnya.

Saat ini, yang paling penting adalah menolong Hui Cu dari cengkeraman iblis, dari tangan ayahnya sendiri. Maka dia pun cepat pergi dari situ untuk mencari jejak Hui Cu, atau lebih tepat lagi, jejak Raja Iblis.


                  ***************


Pertemuan yang dinanti-nantikan dengan hati tegang oleh para pendekar itu pun tibalah. Pada malam bulan purnama, dan mengambil tempat di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang sudah rusak dan keadaannya menyeramkan karena tidak pernah ditinggali manusia.

Pada malam itu, tak kurang dari seratus orang pendekar dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu. Tentu saja tidak semua aliran mengirim wakilnya karena tidak semua pendekar berjiwa patriot. Bahkan banyak sekali para pendekar di dunia kang-ouw yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan mau pun pemberontakan. Mereka lebih suka bekerja secara bebas, menghadapi kejahatan perorangan dan tidak suka terikat di dalam suatu kelompok.

Akan tetapi yang hadir pada malam hari itu sudah mewakili sebagian besar dari semua perguruan silat serta cabang persilatan. Hal ini adalah karena sebagian besar dari para pendekar merasa perlu untuk menghadiri pertemuan.

Pemberontakan yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pemberontakan dari golongan yang tidak puas terhadap golongan lain yang berkuasa, bukan hanya sekedar perebutan kedudukan belaka. Akan tetapi yang memberontak adalah golongan sesat yang menjadi musuh besar mereka di sepanjang masa.

Raja Iblis sendiri, dibantu oleh Cap-sha-kui, telah mengumpulkan para datuk sesat untuk merampas kedudukan dan menggulingkan pemerintah. Jika sampai mereka berhasil, jika sampai pemerintah dipegang oleh kaum sesat, berarti dunia para pendekar akan hancur! Jadi, pemberontakan kaum sesat itu bukan hanya mengancam para penguasa yang kini menduduki kekuasaan, melainkan juga mengancam kehidupan para pendekar sendiri.

Di pekarangan bangunan-bangunan rusak yang sangat luas itu, yang kini menjadi padang rumput akibat tak terpelihara, para pendekar berkumpul dan membentuk sebuah lingkaran lebar, dan di dalam lingkaran itu dinyalakan api unggun besar. Mereka bekerja bergotong-royong tanpa adanya suatu pimpinan karena memang mereka itu datang untuk berunding, mendengar berita dari mulut ke mulut, dan di antara mereka tidak ada golongan pimpinan.

Hanya dengan sendirinya mereka semua menganggap para locianpwe yang hadir sebagai pimpinan, bukan hanya karena usia mereka yang lebih tua saja, akan tetapi juga karena kedudukan mereka dalam tingkat kepandaian. Dan di antara para tokoh tua dari berbagai cabang persilatan seperti dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai yang kini hadir, terdapat pula empat orang tokoh tua yang dianggap sebagai tokoh-tokoh bertingkat tinggi oleh mereka, walau pun sebagian dari para pendekar tidak pernah mengenal mereka.....























Terima kasih telah membaca Serial ini.


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12