Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Asmara Berdarah
Jilid 12
KETIKA Hui
Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti
orang bersemedhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu
dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja
sudah dapat diketahui bahwa kakek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang
gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang
berseri-seri lucu itu.
"Heh-heh-heh-heh!"
Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini
sepasang pendekar muda yang hendak mencari penculik pengantin wanita?
Heh-heh!"
Tentu saja
Hui Song dan Sui Cin terkejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja
bertanya seperti itu. Hui Song hanya dapat mengangguk ada pun Sui Cin melangkah
maju dan dialah yang menjawab,
"Benar,
kek. Engkau ini kakek pendek lucu, bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari
penculik pengantin?"
Sejenak
kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya
semakin berseri "Heh-heh, nona manis, apa sukarnya? Kalian berlari-larian
mendaki bukit dengan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti dua orang
pendekar, berkeliaran ke sini mau apa lagi kalau bukan mencari penculik
pengantin? Heh-heh-heh."
Kini Hui
Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi,
maka dia bersikap hormat dan menjura. "Maaf jika kami menggangumu,
locianpwe. Kami berdua bukanlah pendekar, akan tetapi benar dugaan locianpwe
tadi bahwa kami berdua sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik
orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."
"Membantu
apa?" kakek itu memotong.
"Hi-hi-hik,
engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apakah engkau tahu
di mana adanya pengantin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau
bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.
Anehnya,
ketika menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai
kelihatan lebih senang dan dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Nona
manis, engkau sungguh menyenangkan hati. Tentu saja aku tahu di mana adanya
pengantin wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculik dia!"
"Uhhh...!
Heiiiittt...!" Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung
seperti itu sehingga dia pun telah meloncat ke belakang sambil memasang
kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya
sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak
menyerang.
Melihat ini,
kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia pun
tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut. "Hua-ha-ha, orang muda,
apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"
Wajah Hui
Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan
periang, juga suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya
dan sebaliknya malah digoda dan menjadi bahan ejekan orang.
Akan tetapi
Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu,
segera mencela. "Wah, siapa yang percaya omonganmu, kek? Engkau tentu
hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu
melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual
dan aku tidak percaya kentut itu!"
Kakek itu
bangkit berdiri dan begitu melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke
dadanya, Sui Cin merasa semakin geli. "Wah, kau ini anak kecil beruban
ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.
"Kentut!
Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang
kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan,
sedang engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau pula
yang kentut berbau busuk!"
Mendengar
omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin lantas terkekeh dan
terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi.
"Ehh,
nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat
sendiri, itulah mempelai wanita yang sudah kuculik dari rumah lurah Coa. Hei,
anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan
penari monyet ini!"
Sui Cin dan
Hui Song memandang ke dalam goa dan mereka pun terbelalak heran ketika melihat
munculnya seorang dara manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang
bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga menunjukkan bekas-bekas cambukan.
Sui Cin yang
tadinya menyangka kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah
mempelai wanita yang dikabarkan hilang diculik orang itu? Dan kakek ini adalah
penculiknya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda
dusun atau petani itu?
"Eh,
enci, benarkah engkau puteri lurah Coa yang akan menjadi pergantin lalu diculik
oleh kakek ini? Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.
Gadis itu
memang benar Coa Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama
Lo Seng. Mendengar pertanyaan Sui Cin, dia lantas mengangguk.
"Aku
adalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan memang
aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku,"
katanya dengan tabah dan sikap menentang. Memang kini dia akan menentang siapa
saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.
"Suamimu?
Calon suamimu? Bagaimana pula ini? Kalau engkau mau dikawinkan dengan pemuda
ini, kenapa engkau diculik ke sini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin
berkata bingung.
"Aku
bukan akan dikawinkan dengan dia!" kata Lan Kim. "Aku hendak dikawinkan
menjadi isteri ke lima seorang pembesar di Sin-yang, tetapi aku tidak mau. Dia
ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."
"Ahhh,
jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan jari telunjuknya kepada Lo
Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kau kawini sendiri? Sungguh berani
dan..."
"Hushh,
penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" sekarang kakek katai turut
bicara. "Dengarkan terlebih dahulu penuturan pengantin wanita dan jangan
cerewet dulu seperti perempuan!"
"Wah,
kek, jangan begitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak
tak senang karena Hui Song dipermainkan oleh kakek itu.
"Aku
tidak peduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi
kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."
Lan Kim
mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang
jahat dan agaknya terjadi kesalah pahaman mengenai penculikannya, maka dia pun
maju melangkah lagi sambil menggandeng tangan kekasihnya. "Harap ji-wi
suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Semenjak dulu antara
aku dan Lo Seng ini terjalin hubungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi
suami isteri. Apa lagi orang tuaku juga sudah setuju untuk mengambil Lo Seng
sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama
beberapa tahun. Namun pada suatu hari datanglah pinangan pembesar di kota
Sin-yang terhadap diriku. Ayah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung
menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lantas dipecat, bahkan dicambuki. Nah,
dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncullah locianpwe ini
membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di goa
ini."
Kini
terdengar Lo Seng bercerita. "Aku sudah hampir putus asa dan mengambil
keputusan hendak membunuh diri saja dari pada melihat kekasihku menikah dengan
orang lain dan aku sendiri kehilangan pekerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul
locianpwe ini menyelamatkan aku dan sesudah aku bercerita tentang keadaanku,
locianpwe ini lalu membawaku ke sini, menyuruh aku menunggu di dalam goa ini
dan tidak lama kemudian dia sudah kembali membawa Lan Kim. Kini kami berdua
sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti
keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."
Hui Song dan
Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Ternyata kakek katai itu
sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budiman.
"Ahhh,
ternyata engkau benar-benar seorang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin
gembira dan Hui Song segera menjura.
"Harap
locianpwe maafkan kalau tadi kami telah menyangka buruk."
"Heh-heh-heh,
orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah takabur dan ingin
berlagak seperti pendekar-pendekar jagoan. Orang-orang muda, andai kata aku
benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa
yang akan kalian lakukan?"
"Tentu
saja akan menentangnya!" kata Hui Song.
"Kau
akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada orang tuanya,
kek," sambung Sui Cin.
"Bagus,
kalau begitu kalian majulah, hendak kulihat sampai di mana kelihaian
kalian."
"Tapi
locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.
"Hemm,
andai kata aku penjahat, apakah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan
anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian.
Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tak ingin diganggu!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu melangkah maju dan begitu
tangannya bergerak, tangan itu sudah menampar ke arah dada Hui Song.
"Eeiiitttt...!"
Hui Song segera mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang
luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu
cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini mempergunakan tangan
menangkis totokan.
"Dukkk!"
Tubuh Hui
Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi dia
hanya mempergunakan sebagian sinkang-nya, khawatir akan melukai kakek tua renta
itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung-huyung dan lengannya tergetar hebat.
Kiranya kakek ini memiliki sinkang yang hebat.
Akan tetapi,
sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat
bukan main. Tubuh yang kecil itu berkelebat seperti terbang saja dan tahu-tahu
dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.
"Lihat
seranganku!" Mendadak terdengar Sui Cin membentak dari samping dan dia
sudah menggerakkan tangan kirinya menotok ke arah iga bawah ketiak dari lengan
kakek yang mencengkeram itu.
Totokan ini
amat hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatalkan
cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis
sekalian menangkap pergelangan tangan gadis itu. Namun Sui Cin sudah menarik
pulang tangan kirinya dan sekarang tangan kanannya menampar dan dari telapak
tangan itu keluarlah uap putih tipis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih),
sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu di antara ilmu-ilmu ampuh yang pernah
diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.
"Ehh...!"
Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu
dia berkelebat, Sui Cin menjadi bengong karena orang yang baru diserangnya
tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya, dan
sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya. Sui Cin merasa
adanya angin menyambar ini, maka dia pun mempergunakan ginkang-nya lantas
tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak.
Akan tetapi,
pada saat itu pula Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, telah
menerjang ke depan tepat pada saat Sui Cin diserang sehingga andai kata Sui Cin
tidak menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak sekali pun, maka serangan
kakek itu akan dapat digagalkannya karena kini Hui Song juga tak sungkan-sungkan
lagi. Begitu menyerang, pemuda ini sudah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun
dan mengerahkan tenaga sakti Thian-te Sinkang!
Kembali
kakek itu terkejut. Agaknya dia pun tidak menyangka bahwa dua orang muda itu
benar-benar merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar
muda tulen! Apa lagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua
orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang
amat tinggi mutunya.
"Nantl
dulu, tahan dulu...!" Tiba-tiba saja kakek itu berhenti dan tahu-tahu
tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.
"Kek,
kami belum kalah, kenapa berhenti?" Sui Cin yang sudah merasa gembira
dengan pertandingan itu, mencela.
Bagaimana
pun juga, di dalam hatinya gadis ini merasa benar bahwa kakek itu bukanlah
orang jahat dan pertandingan itu hanya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia
bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan selalu
gembira.
"Heh-heh-heh,
aku pun belum kalah. Aku hanya minta berhenti sebentar untuk berbicara. Agaknya
kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, maka pantas saja kalian begitu
takabur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian
melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum mampu
mengalahkan kalian, anggap saja aku kalah dan aku akan menyebut kalian suhu dan
subo!"
Sui Cin
tertawa geli. "Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku
tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik,
aku setuju!"
Diam-diam
Hui Song merasa sangat terkejut. Begini takaburkah kakek ini? Dia tahu akan
kemampuan diri sendiri dan dia pun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis puteri
Pendekar Sadis itu. Menandingi mereka satu lawan satu saja jarang dapat
ditemukan orangnya, dan kakek ini menantang mereka berdua maju mengeroyok dan
bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja
hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.
"Baik,
locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau ternyata kami
berdua yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"
"Ha-ha-ha,
orang muda yang berhati-hati, tentu engkau telah menduga buruk lagi padaku, ya?
Dengarlah, kalau aku kalah, aku akan menyebut kalian suhu dan subo, namun kalau
sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, maka kalian harus membantuku
menolong pengantin ini."
"Menolong
dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.
"Kita
harus menggagalkan pernikahan itu dan juga menghajar pembesar mata keranjang
itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang
kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."
Tentu saja
Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu saja
taruhannya? Tanpa bertaruh sekali pun, bukankah mereka berdua sekarang juga
sedang berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena
menyangka diculik penjahat?
"Baik,
baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.
"Nah,
bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru, lalu tubuhnya bergerak
secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut
Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin. Gerakannya selain
aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan sehingga
mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.
Hui Song
adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihainya bukan
main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin sanggup
mengalahkan dia dan Sui Cin, apa lagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh
daya hanya untuk melindungi diri? Jika mereka membagi perhatian untuk
menyerang, mungkin mereka akan terlengah sehingga dapat dikalahkan.
"Cin-moi,
pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"
Gadis itu
pun cerdik dan dia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga
pemuda itu, dia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian
untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu
tiada ubahnya dua buah benteng baja yang sangat kuat dan tidak ada bagian lemah
yang akan dapat ditembus!
Sejenak
kakek itu terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa
jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai
macam serangan yang aneh-aneh. Tetapi semua serangannya ternyata kandas dan
tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek
Sin-kun itu.
"Wah,
hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang amat hebat...!" Berkali-kali kakek
itu berseru dengan suara mengeluh ketika ke mana pun juga dia menyerang, dia
selalu gagal karena yang diserang itu pasti berhasil mengelak atau menangkis.
Padahal dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi!
Dia
termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek. "Hik-hik, kakek lucu,
bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah lewat dua belas jurus, tinggal
delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"
"He-heh-heh,
siapa hendak mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk
mengalahkan kalian!" Tanpa menanti jawaban lagi, tiba-tiba saja kakek itu
mengeluarkan suara melengking nyaring.
Dua orang
muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khikang yang amat
kuat, yang masuk melalui telinga lantas dengan tajam menusuk jantung. Cepat
mereka memasang kuda-kuda sambil mengerahkan sinkang melindungi tubuh bagian
dalam dari serangan suara penuh khikang ini. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh
kakek itu melesat dan lenyap, kini yang tampak hanyalah bayangan berkelebatan
mengitari mereka, makin lama semakin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas
bayangannya, menjadi kabur!
Inilah
berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang
ternyata mempergunakan ginkang yang sukar dipercaya apa bila tidak melihat
sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, tentu
mereka tidak akan percaya kalau ada ginkang sehebat itu. Maka mereka pun
bersikap waspada, tak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi
kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.
Benar saja!
Dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda
itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yang sangat kuat, mereka berdua mampu
menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran, lantas menyerang lagi sampai
empat jurus, akan tetapi semua serangannya gagal.
"Hi-hik,
tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat
menahan kegembiraan hatinya mengejek.
Tiba-tiba
bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih lalu terciumlah bau arak
wangi. Kiranya sambil berputaran semakin cepat tadi kakek itu sudah menyerang
dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari
berputar-putar itu.
Sui Cin dan
Hui Song terkejut bukan kepalang. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka
laksana jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan
yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka,
akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas
kehilangan tenaga dan betapa pun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka
tertekuk sehingga keduanya roboh berlutut!
"Hoa-ha-ha-ha,
tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tidak perlu
berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan
berlebihan ini, ha-ha-ha!"
Sui Cin dan
Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak
parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan
sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu
selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat
mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cin cemberut.
"Kakek
buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"
"Ha-ha-ha,
anak manis, di dalam pertandingan memang diperlukan akal dan siasat. Siapa
kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian telah kalah, maka sekarang
kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari ini. Sore hari
nanti pengantin wanita she Coa ini akan dijemput kemudian dibawa ke Sin-yang,
yaitu ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama
kalian?"
"Saya
bernama Cia Hui Song, locian-pwe."
"Namaku
Ceng Sui Cin."
"Hemm,
she Cia mengingatkan aku kepada Cin-ling-pai dan she Ceng...? Apakah bocah
nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"
Karena
maklum bahwa kakek ini tentu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah
muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek
katai ini, Hui Song merasa tak perlu menyembunyikan diri. "Pendekar Sadis
adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya,
locianpwe."
Kakek itu
membelalakkan matanya, mengelus-elus jenggot panjangnya dan tertawa-tawa.
"Hua-ha-ha, pantas, pantas...! Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa
hanya untuk mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja, aku tadi
harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus. Kalau bukan kalian,
ha-ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song,
kini kalian dengar baik-baik rencanaku untuk menolong gadis itu dan menghajar
pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa
itu pulang ke rumahnya karena di situ telah disiapkan segala sesuatu untuk
mengantar pengantin wanita ke Sin-yang sore nanti."
"Ehh,
bagaimana ini? Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin sedangkan engkau hendak
mencegah terjadinya hal itu, kek?" tanya Sui Cin yang tetap menyebut 'kakek'
dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.
"Ingat,
kalian sudah kalah dan berjanji akan mentaati semua perintakku untuk menolong
pengantin."
"Baiklah,
kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.
Kakek itu
tertawa, agaknya gembira dapat menggoda Sui Cin. "Engkau mengantar gadis
Coa itu kembali karena engkau tadi telah berjanji untuk mencarinya. Katakan
saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil
merampasnya kembali, dan katakan pula bahwa engkau akan mengawal sendiri
pengantin ini menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah
perjalanan. Mengerti?"
"Wah,
kakek buruk, agaknya engkau sengaja ingin mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku
gagal merampas kembali pengantin yang kau culik!" Sui Cin mengomel.
"Dan
apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan
itu. "Sudahlah, Cin-moi, kita mentaati saja karena sudah kalah. Lagi pula
kita pun tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat. Andai kata demikian, tentu
kita tidak akan menurut begitu saja."
"Heh-heh,
putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk.
Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang sangat tepat. Engkau akan kudandani,
ingat, engkau harus taat kepadaku. Heiii, orang muda, kau bawa ke sini pakaian
pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.
Lo Seng
mengambil sebuah bungkusan di sudut goa kemudian menyerahkannya kepada si kakek
yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pengantin
berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang disangka
lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hui Song terbelalak dan mukanya berubah
merah.
"Locianpwe,
apa maksudmu?"
Akan tetapi
kakek itu telah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar
dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi 'Bahagia' itu.
"Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai
pakaian ini. Engkau harus menyamar sebagai pengantin wanita, menggantikannya
kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."
"Wah...!
Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.
"Hik-hik!
Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati
perintahnya." Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu
memaksa Hui Song memakai jubah pengantin di luar pakaiannya sendiri.
Karena
pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnya pun sedang saja, maka
pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apa
lagi sesudah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin
melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya.
Apa lagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka
yang ketololan, dia pun menjadi semakin geli.
"Wajahmu
cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita
yang halus putih," kakek itu berkata, lantas mengeluarkan bedak dan
menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa
berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, hanya pasrah tanpa berani
membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya tertawa gembira.
"Wah,
sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, jadi harus
dicukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.
"Wah,
jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.
Melihat ini,
Sui Cin cepat turun tangan. "Kakek nakal, biarkan aku saja yang mendandani
Song-twako, ditanggung akan kelihatan lebih cantik menarik dari pada kalau
engkau yang merusak mukanya."
Sui Cin
memang ahli dalam melakukan penyamaran dan sesudah dia turun tangan, maka wajah
Hui Song memang kelihatan cantik, walau pun tentu saja alisnya masih terlalu
tebal dan juga tubuhnya sangat kaku. Kakek itu lalu menjelaskan siasatnya.
Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin, dan selanjutnya mereka akan
bergerak menukar pengantin lantas memberi hajaran kepada pembesar itu.
Sementara itu pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam goa.
Maka
berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Coa Lan
Kim tidak merasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin, sebab gadis
itu telah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan
melepaskannya dari cengkeraman pembesar di Sin-yang agar dia dapat hidup
bersama Lo Seng.
Lurah Coa
dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan
gayanya yang sangat menarik, Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh
gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi dia berhasil merampasnya
kembali.
"Lanjutkanlah
upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke kota
Sin-yang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di
tengah perjalanan."
Tentu saja
keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan dijamu seperti
seorang tamu agung yang sangat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberi
tahukan bahwa sekarang kawannya masih menyelidik gerombolan itu, membayangi
mereka ketika mereka melarikan diri.
Lan Kim lalu
didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya
merasa lega dan senang. Walau pun pakaian pengantin yang dikenakan nona
pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang
hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.
Setelah
saatnya tiba maka muncullah jemputan dari Sin-yang, utusan pengantin pria yang
mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul.
Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sin-yang dan Lan Kim hanya menjadi
isteri ke lima?
Kedudukannya
terlampau tinggi untuk merendahkan diri turun ke dusun menjemput sendiri calon
isteri kelimanya. Para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa
terhormat sekali, apa lagi para utusan itu datang membawa hadiah-hadiah yang luar
biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu.
Setelah
lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu baru saja terjadi
gangguan dari gerombolan penjahat, dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar
wanita yang akan mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itu pun merasa
gembira. Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar
wanita secantik itu?
Berangkatlah
rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu
pengantin dan para keluarga wanita lainnya. Tangis para keluarga wanita
mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tradisi yang
tidak mungkin dapat ditinggalkan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang
sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang
terdengar pada peristiwa perkabungan.
Memang
menyedihkan kalau kita benar-benar mau membuka mata dengan waspada dan melihat
betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi kehidupan kita. Tawa kita,
tangis kita, kebanyakan merupakan perbuatan yang palsu dan pura-pura untuk
menutupi atau menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari batin kita.
Dengan dalih
demi sopan santun, demi tata susila dan lain sebagainya, banyak hati yang
sedang berduka memaksa mulutnya supaya tersenyum atau sebaliknya, batin yang
tidak sedang prihatin memaksa mata supaya menangis. Bahkan setiap hari kita
selalu seperti terpaksa untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, bersikap atau pun
berbuat yang berlawanan dengan batin!
Tidak adanya
persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, antara batin, ucapan dan
perbuatan, merupakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi dalam diri kita.
Semua itu bahkan seperti sudah menjadi suatu keharusan, suatu kebiasaan bagi
kita.
Dapat kita
selidiki pada diri sendiri. Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita
bersikap manis, tersenyum, menangis, benarkah semuanya itu sesuai dengan suara
hati kita? Ataukah hanya pura-pura saja, sekedar memenuhi syarat umum supaya
dianggap sopan, beradab dan sebagainya? Mengapa harus begini? Tidak dapatkah
kita bersikap wajar dan selalu ada keserasian antara batin, ucapan dan
perbuatan?
***************
Rombongan
pengantin itu hanya melewati sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun
Lok-cun dan kota Sin-yang juga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih
dua jam saja. Sebab itu para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama
sekali tidak merasa khawatir, bahkan agak geli melihat betapa keluarga
pengantin wanita sudah menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal
pengantin.
Sudah
bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan oleh perampok atau penjahat lain
di hutan itu. Tadi pun ketika mereka berangkat ke dusun membawa barang-barang
hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tak terjadi gangguan. Lagi pula,
siapa yang berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan? Mencari mati saja
namanya!
Ketika
mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut dan senja mendatang, membuat cuaca
di dalam hutan itu menjadi remang-remang karena cahaya matahari yang sudah
condong ke barat itu terhalang daun pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak
berjalan, tiba-tiba saja dari samping kiri terdengar teriakan yang amat
nyaring, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.
"Berhenti
dan serahkan nona pengantin!"
Mendengar
ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan orang itu
mendadak menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan
memberanikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang
kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai sudah ditunjuk sebagai pengawal
serta pelindung nona pengantin.
Sui Cin juga
memperlihatkan sikap gugup. "Kalian semua bertahan di sini, biar aku yang
menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!" Berkata
demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu lantas
mendorongnya sendiri sambil berlari keluar dari hutan.
Tiba-tiba
muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang remaja, akan
tetapi dia memakai kedok lebar yang menutupi seluruh wajahnya, hanya memperlihatkan
sepasang mata yang bersinar mencorong dari balik lubang-lubang kedok kayu itu.
Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti
anak-anak ini berkata,
"Hayo
tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian di sini kalau ingin selamat!"
Jika tadi
semua orang itu merasa takut, kini mereka malah tersenyum mengejek. Kiranya
yang menghadang mereka hanyalah seorang anak kecil saja, yang ingin
menakut-nakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka semua dianggap sebagai
serombongan anak-anak penakut saja.
"Heh,
bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?" bentak kepala rombongan.
"Hayo buka kedokmu dan cepat berlutut minta ampun karena telah mengejutkan
hati kami!"
"Heh-heh-heh,
rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut
delapan kali dan menyebut aku kong-couw!"
Tentu saja
rombongan itu menjadi marah. Seorang di antara mereka melangkah maju dan
mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang
ini tinggi besar dan tangannya pun lebar, ketika menampar seperti kipas saja
mendatangkan angin.
"Plakkk!"
Sungguh aneh
sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat
mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh
dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit
seperti tadi bertemu dengan tongkat baja saja. Melihat ini, semua orang menjadi
marah dan dengan senjata di tangan mereka serentak menerjang.
"Heh-heh,
kalian harus berlutut semua, berlutut semua!" Orang berkedok itu
tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul
teriakan-teriakan lantas belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut
karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh.
Akan tetapi
ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah
lenyap dari situ, entah ke mana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu
lagi, buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak
terluka dan kini dapat berdiri lagi.
Tentu saja
pengalaman aneh ini membuat mereka merasa amat ketakutan. Belum pernah selama
hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa
menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan untuk
menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona
pengantin itu.
Ketika
mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti
bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Maka giranglah hati mereka
karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali
pengantin wanita ternyata tidak terganggu.
Sui Cin
pura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan
cepat menyongsong mereka dengan pertanyaan heran, "Ehh, mengapa kalian
berlari-lari seperti orang ketakutan?"
Dengan suara
mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lantas
menceritakan betapa mereka telah diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil
seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja diam-diam Sui Cin merasa
geli karena dia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.
"Kalau
begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan
itu melakukan pengejaran," katanya.
Rombongan
itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu
mendorong joli pengantin yang merupakan gerobak kecil beroda itu. Saking tegang
hati mereka, para pendorong gerobak itu tak menyadari bahwa joli atau gerobak
yang mereka dorong itu jauh lebih berat dari pada tadi.
Ketika
rombongan yang menjemput nona pengantin sampai di gedung Su-tikoan, ternyata
rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di
rumah nona pengantin. Dan memang hal itu tidak mengherankan.
Menikahi
seorang wanita untuk menjadi isteri ke lima, apa lagi kalau wanita itu hanyalah
seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan
secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu
kesenian atau hiburan pribadi saja, maka di sana tidak terdapat pesta
penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar
itu.
Apa lagi
ketika para penjemput itu dengan bermacam-macam gaya menceritakan tentang
pencegatan orang aneh yang sangat lihai, Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir
lantas tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja
bersama jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar
pengantin!
Hanya empat
orang yang memanggul joli dorong itu, dengan dikawal oleh Sui Cin. Ketika
Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang turut bersama rombongan itu
adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia
mengijinkan pengawal cantik ini ikut masuk pula.
Hati pembesar
bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia
sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh
lebih cantik dari pada gadis desa yang telah diangkatnya menjadi isteri kelima,
maka tentu saja matanya sudah melirak-lirik dan mulutnya tersenyum-senyum
ceriwis. Apa lagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita
itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya.
Pembesar
yang usianya telah enam puluh tahun ini memang terkenal mata keranjang dan
agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita besi dibeli dengan harta dan
kedudukan. Baginya, wanita tentu akan tunduk dan mau kalau dipameri harta dan
kedudukan tinggi, walau pun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar
menghitam dan perut gendut seperti perut babi.
Maka, ketika
joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi
calon isterinya yang ke lima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi.
Joli lantas diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar
atas isyarat pembesar itu. Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik
dengan suara ketawa ditahan yang genit turut pula memasuki kamar dan mereka ini
segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.
"Nona
tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk,
nona," kata pembesar itu.
Tanpa banyak
pura-pura lagi Sui Cin lalu duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai
semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh semua pelayan
keluar dari dalam kamar.
"Tinggalkan
kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil," kata pembesar
gendut itu.
Sambil
cekikikan para pelayan itu kemudian berlarian keluar. Tentu saja pembesar yang
mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan
yang muda-muda dan cantik-cantik itu di samping bertugas sebagai pelayan,
kadang kala juga memperoleh giliran menemaninya di dalam kamar. Karena itulah
maka mereka bersikap genit dan berani.
Sesudah
semua pelayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup dari luar, pembesar itu
cengar-cengir mendekati Sui Cin. Kali ini dia memperhatikan wajah wanita gagah
ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum
pernah dia memperoleh seorang wanita secantik ini, apa lagi kalau wanita ini
mempunyai kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya
sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia
dan menyenangkan!
"Nona,
siapakah namamu?"
Sui Cin
mengerutkan alisnya, akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya.
Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak.
Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya
dan belum juga melihat calon isteri yang masih dibiarkan di dalam joli, sudah
main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya?
Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang!
Akan tetapi dia pura-pura tersenyum manis dan melirik manja.
"Taijin,
nona pengantin sedang menanti dalam joli."
"Ehh...?
Ohh... ya, aku lupa..."
"Biarlah
saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."
"Ehh,
jargan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin.
Aihh, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari
kita makan minum!" katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli
yang tertutup itu. Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli,
Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar
dari tempatnya.
"Ini...
ini... bukan gadis anak lurah itu...! Ehh, siapa engaku, berani mati
mempermainkan aku?" Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang
berdiri di hadapannya dalam pakaian pengantin wanita!
Hui Song
yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang itu kini berlenggak-lenggok
genit menirukan lagak seorang perempuan, tentu saja dengan gayanya yang lucu
dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam. "Hayaa... mengapa
pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku pada malam pertama ini?
Aihhh..., kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu yang tercinta.
Mari peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."
Pembesar itu
langsung menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar
laksana suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap
merayu.
"Hiiihh...!"
Su-tikoan terbelalak ngeri sambil mundur-mundur ketakutan bercampur marah.
"Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku?
Pengawal...!"
Akan tetapi
suara tikoan itu langsung terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song sudah
menotoknya, tepat pada jalan darah di leher sehingga membuat tikoan itu tak
mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song
menendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan.
Dengan muka
ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin,
mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi wajahnya menjadi semakin pucat
ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Maka tahulah dia sekarang
bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentunya sekutu gadis
itu! Dan jantungnya hampir berhenti saking takutnya ketika dia melihat Hui Song
menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang
pemuda yang tampan dan gagah.
"Tua
bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, maka aku akan
membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Hui Song menepuk leher Su-tikoan
hingga dia mampu lagi bicara.
"Ampunkan
aku... kalian ini mau apa? Mengapa menyamar pengantin dan... dan di mana
pengantinku...?"
"Keparat!
Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang
menjadi isteri ke lima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami.
Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, supaya tidak
terjatuh ke tangan serigala tua semacam engkau. Nah, cepat keluarkan uang
saratus tail emas untuk bekal pengantin dan berjanji selamanya tidak akan
melakukan paksaan mempergunakan harta dan kekuasaan!"
Tubuh
pembesar itu menggigil. "Baik... baik...," katanya.
Akan tetapi
dari pandangan matanya yang berkilat itu tahulah Hui Song bahwa orang ini
merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Sui Cin juga
dapat menduga hal ini, maka gadis itu pun segera menghardik.
"Engkau
adalah seorang pejabat tinggi, seorang pembesar yang seharusnya merupakan
pelindung rakyat dan menjadi teladan bagi rakyat. Akan tetapi engkau lupa bahwa
engkau pun seorang manusia biasa, seorang di antara rakyat. Setelah memegang
jabatan tinggi, engkau lupa diri dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga
engkau sering berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak
gadis itu, mempergunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu.
Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami
masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin
rakyat sejati."
Pembesar itu
menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.
"Hayo
cepat keluarkan seratus tail emas!" bentak Hui Song.
"Baik...
baik...!" Kakek gendut itu cepat menghampiri sebuah lemari yang berada di
sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup.
Tiba-tiba saja pembesar itu membuka daun jendela kemudian berteriak,
"Pengawal...! Toloonggg...!"
"Keparat!"
Hui Song berseru sambil tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah
pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.
"Brukkk...!"
Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka
berlumuran darah karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.
"Cepat,
ambil uangnya!" kata Hui Song.
Sui Cin
menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya
tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak.
Sui Cin cepat mengambil emas dan perak itu, lantas membungkusnya dengan kain
sutera yang banyak terdapat di dalam lemari.
Pada saat
itu pula terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sedang berjaga-jaga
di pintu tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar
suara orang berkelahi.
"Cin-moi,
cepat kita keluar!" teriaknya dan mereka pun berloncatan keluar setelah
Sui Cin menyimpan uang rampasan itu.
Kiranya di
ruangan dalam yang menuju ke kamar itu sudah terjadi perkelahian yang seru.
Kakek katai itu sambil tertawa-tawa sedang dikepung dan dikeroyok oleh dua
puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka.
Walau pun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek
katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh.
Enak saja
dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan.
Beberapa buah senjata bahkan beradu dengan sepasang lengan yang pendek dan
kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai
orang, apa lagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing yang
mempermainkan segerombolan tikus.
Melihat
kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru. "Kakek, jangan main-main,
mari kita pergi!"
"Heh-heh-heh,
kalian telah selesai?" Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para
pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka
keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang.
Gegerlah
gedung pembesar Su itu, apa lagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam
mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga
dari hidung yang rusak itu mengalir darah yang melumuri seluruh mukanya.
Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri,
mengira bahwa pembesar itu tentu sudah terluka parah pada mukanya. Akan tetapi,
sesudah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya saja yang remuk.
Walau pun
demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena
hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tapi tidak dapat pulih kembali,
menjadi hidung yang melesak sehingga membuat mukanya buruk menakutkan. Dan
pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia
hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan
gadis Coa itu.
Juga lurah
Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh
sekali, ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan
membina rumah tangga yang berbahagia, dengan modal uang emas dan perak yang
diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam
lemari Su-tikoan.
Sesudah
melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin serta kakek itu berlari
kembali ke dalam hutan di mana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Seperti
bisa kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin
menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan
oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua.
Mereka berdua langsung menjatuhkan diri dan berlutut di depan tiga orang penyelamat
mereka itu, dan akhirnya mereka berdua dinasehatkan untuk pergi jauh ke
propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan.
Setelah dua
sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, senang hatiku
bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."
"Ahh,
engkau terlampau merendahkan diri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja,
biar tanpa bantuan kami pun engkau tentu akan sanggup membereskannya
sendiri." Sui Cin mencela.
"Heh-heh-heh,
belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wanita seperti Hui Song
ini? Ha-ha-ha, setidaknya aku dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian dua
orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Locianpwe
telah mengenal kami berdua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama
locianpwe yang mulia."
"Benar,
engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."
"Namaku?
Ha-ha, apa sih artinya nama? Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak
menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, sekarang perutku kosong
dan lapar bukan main!"
"Jangan
khawatir, kek. Aku akan memasakkan makanan untukmu, namun engkau harus
memperkenalkan nama," kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkusan
kecil dari buntalan pakaiannya. Bungkusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu
masakan.
"Kau
bisa masak?"
Mendengar
pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit
berdiri kemudian bertolak pinggang. "Jangan memandang rendah orang sebelum
engkau mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual? Ibuku
telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang
pasti akan membuat lidahmu menari-nari!"
"Ibumu?
Aihh..., bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lam-sin?
Ha-ha-ha, jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya
melompong. Jangan-jangan kalau engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan
pahit!" Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, bocah sombong, tentang
masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wu-yi Lo-jin (Kakek dari
Gunung Wu-yi)!"
"Hemm,
dan siapa itu Kakek Gunung Wu-yi?"
"Siapa
lagi kalau bukan ini orangnya!" Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri
dengan jari telunjuknya. "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak
Gunung Wu-yi, dan sekarang aku menjadi seorang kakek, maka apa lagi namaku
kalau bukan Wu-yi Lo-jin? Ha-ha-ha!"
"Huhh,
ternyata engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun
muda, mana bisa memasak? Mari kita bertaruh. Kalau masakanku kalah olehmu, biar
aku mengangkatmu sebagai guru memasak. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak,
engkau harus memberi hadiah kepadaku."
"Ha-ha-ha-ha!"
Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira
sekali. "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau
pandai memasak ataukah hanya membual saja. Jika benar-benar masakanmu lebih
enak dari pada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan
kuberikan padamu!"
"Benarkah
itu? Apa saja yang kuminta akan kau berikan? Song-twako ini menjadi saksi
hidup!"
"Tentu
saja, selamanya aku tidak pernah bohong."
"Ahh, batal
saja, aku tidak jadi masak." kata Sui Cin. "Orang seperti engkau ini
banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."
"Akal
begaimana?" Kakek yang mengaku bernama Wu-yi Lo-jin itu mendesak.
"Bagaimana
pun enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan
kalah!"
"Ahh,
tidak mungkin. Perutku lapar begini, bila mana ada masakan enak, mana tega aku
mengatakan tidak enak? Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak
tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."
"Baik,
aku akan mencari bahan masakan!" Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan
sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar goa.
Kakek itu
mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka
itu berubah serius. "Hui Song, ginkang gadis itu hebat bukan main. Kabarnya
ibunya yang mempunyai ginkang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara
itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya
denganmu."
Wajah Hui
Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa
bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya? Andai kata menang,
apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya memiliki satu-satunya pakaian
mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu?
Tak lama
kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor
ayam hutan serta seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati
masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa
gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap
menjadi masakan yang lezat olehnya. Biar pun dia belum pernah makan daging
kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itu tentu dapat memasak daging
binatang itu menjadi santapan yang nikmat.
"Kakek,
pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala
dan kaki burung Hong? Dan juga, panggang daging burung Hong muda?" Sui Cin
bertanya kepada kakek itu sambil melempar rebung, ayam hutan dan kadal yang
sudah mati itu ke atas lantai. Tanpa diperintah lagi Hui Song segera mencari
kayu bakar lantas membuat api unggun.
Kakek itu
memandang terbelalak sesudah mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak
mampu menjawab hanya menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menelan ludah dan
bertanya, "Anak baik, bagaimana mungkin engkau akan memasak daging
binatang-binatang suci itu? Mana naganya dan burung Hong-nya?"
Sui Cin
tersenyum, lalu mengambil bangkai ayam dan kadal. "Inilah burung Hong dan
ini naganya!"
"Kadal
itu? Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"
Sui Cin
cemberut dan melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata
dengan nada suara ngambek, "Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih
baik aku tidak jadi masak!"
"Wah,
jangan begitu, aku sudah lapar sekali!" kata si kakek terkejut.
"Biar
kau kelaparan, siapa peduli?"
"Aih,
anak baik, jangan marah dulu. Masaklah, masaklah apa saja, hendak kulihat
apakah engkau benar-benar pandai masak."
"Baik,
akan tetapi engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang saat ini
kuperlukan."
"Boleh,
boleh! Apa saja?"
Sui Cin
menghitung-hitung dengan jarinya sambil mengerutkan kedua alisnya.
"Pertama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin,
dua jari jahe, kulit jeruk serta bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat,
kek, aku pun ingin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari
cepat yang hebat."
"Tunggu
sebentar!" Suaranya masih bergema namun kakek itu sudah lenyap dari situ!
Sui Cin
melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.
"Song-ko,
dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"
"Cin-moi,
kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu? Kalau engkau menang
seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kau minta darinya?"
Sui Cin
tertawa. "Song-twako, ke mana larinya kecerdikanmu dan kenapa sejak
bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu? Aku
dapat minta diajari ginkang-nya itu!"
Hui Song
mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.
"Kenapa
engkau nampak tidak gembira, twako? Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan
gembira?"
"Entahlah,
Cin-moi, akan tetapi... sejak dia muncul" aku seperti merasa tak enak
hati..."
Pemuda ini
merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu
terhadap kakek tua renta itu! Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek
itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri
maklum bahwa Wu-yi Lo-jin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan
sedikit juga baginya untuk merasa cemburu.
Pemuda ini
tidak sadar bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati
melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walau
pun orang lain itu adalah seorang kakek tua renta! Dan hatinya merasa lebih tidak
enak lagi mendengar bahwa Sui Cin akan minta diajari ginkang oleh kakek yang
sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dirinya akan
tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia khawatir bahwa kalau sampai terjadi
demikian, gadis itu akan memandang rendah kepadanya.
Terdengar
suara kakek itu. "Hah-hah, sudah dapat semua yang kau butuhkan!"
Dan
tiba-tiba saja dia sudah berdiri di situ, membawa sebuah panci yang terisi air
penuh. Juga dia membawa semua bumbu-bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh
sangat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci
terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih
penuh sampai ke bibir panci.
Dengan
girang Sui Cin menerima semua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah
dara itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song. Ada pun Wu-yi Lo-jin
sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut goa, memejamkan mata dan sebentar
saja telah terdengar suara mendengkur!
Dari
pernapasannya, kedua orang muda yang juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi itu
merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka
kagum. Orang yang dapat tidur pulas secara seketika hanyalah orang yang
batinnya sudah amat kuat, yang begitu mengosongkan batin segera tenggelam dalam
kepulasan. Kepandaian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam
latihannya dalam ilmu semedhi.
Sui Cin
memang seorang dara yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya
telah mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang dara ini
gemar memasak sehingga selama dalam perantauan, dia selalu mempelajari ilmu ini
dan terus memperdalamnya. Tiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya di
dalam sebuah restoran, dia tentu segera menghubungi kokinya dan dia tak
segan-segan mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya.
Dengan
mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya dia
pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, biar
pun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Dia tahu betul
bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot
menjadi lunak, melenyapkan rasa pahit pada beberapa macam sayur, bahkan membebaskan
daging atau sayur dari pengaruh racun.
Dengan
dibantu Hui Song yang memandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, maka
tak lama kemudian terciumlah bau sedap ketika masakan-masakan itu matang. Dan
sungguh luar biasa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu
tiba-tiba saja mengeluarkan suara!
"Wah,
harumnya...! Sedap... sedap...!"
Dia langsung
saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tadinya tidak
pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang lantas menghampiri
Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.
"Nah,
sudah matang, kek. Cobalah masakanku ini dan aku menantangmu apakah engkau
berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak dari pada masakanku!"
Wu-yi Lo-jin
segera duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari
dalam jubahnya yang kedodoran itu dia mengeluarkan sebuah mangkok yang masih
baru dan mengkilap serta sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang
mahal! Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu.
Tidak lama
kemudian nampak dia mengunyah makanan dengan mata meram-melek, jelas sekali
nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tidak
pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merasa lapar,
maka melihat orang makan dengan sedemikian lahap dan enaknya, tentu saja
seleranya timbul. Sui Cin juga memandang sambil tersenyum girang.
"Bagaimana,
kek? Bagaimana pendapatmu? Bukankah masakanku enak sekali?" Sui Cin
bertanya tak sabar lagi sesudah kedua macam masakan itu habis lenyap ke dalam
perut kakek katai itu.
Sambil
mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menunggu
sampai dia menelan makanan itu baru menjawab, "Lumayan, akan tetapi aku
belum yakin benar jika masakanmu lebih enak dari pada masakanku. Mana... masih
ada lagikah?" Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin.
Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.
"Hi-hi-hik,
kakek curang, kau kira aku tidak tahu isi hatimu? Kau kira aku dapat kau bodohi
begitu saja? Kalau tidak lezat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan
engkau sikat semua sampai habis sehingga engkau lupa akan sopan santun, makan
sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih,
dan engkau masih tidak malu untuk menyangkal bahwa masakanku sangat
lezat?"
Ditegur
begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia pun menoleh kepada Hui Song, lalu
terkekeh. "He-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada lagi? Jangan
kau bohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang belum kau
hidangkan!" Kakek itu mengusap bibirnya dengan sapu tangan sutera,
kemudian membuka tutup guci arak dan minum arak dengan suara menggelogok.
Sui Cin
tersenyum. "Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"
"Sudah,
kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"
"Nanti
dulu, kek. Kalau engkau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa
saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak
malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"
"He-heh-heh,
anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kau
minta setelah araknya habis kuminum nanti!"
"Aku
tidak butuh guci arakmu, kek!"
"Apa...?!"
Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini?
Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai
harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke
dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan sebagai
senjata, ampuhnya bukan main!"
"Biar
pun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."
"Hemm,
lalu apa yang kau minta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini?
Ataukah pakaianku? Aihh..., kurasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas
sandang panganku!"
"Bukan!
Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan ginkang kepadaku sampai aku dapat
bergerak secepat engkau, kek!"
Kini
sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh
sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau
percakapan mereka terdengar orang lain.
"Ahh,
tidak bisa... tidak bisa...!"
"Nah,
ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sesudah menelan habis
semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa dengan janji. Baru begitu saja
sudah hendak mengingkari janji, apa lagi kalau janji-janji penting!"
"Wahh...
berabe... sstttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik,
"Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh
menyebut guru kepadaku."
"Aku
tidak peduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu ginkang-mu."
"Baik,
baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan
ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."
"Kami
sendiri pun belum makan, kek."
"Biarlah,
Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti
kering," kata Hui Song, lalu mulai mengeluarkan roti kering dari
buntalannya.
Sui Cin pun
terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan
lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikit
pun kepada dua orang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa
lapar.
Setelah
semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu tampak
amat kekenyangan, menutup gucinya dan menggantung kembali guci itu di
punggungnya, mengusap bibir dengan sapu tangannya yang indah. Mukanya merah
segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.
"Kalian
anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi
sekutu yang baik sekali."
"Wu-yi
Lo-jin, kau telah berjanji akan mengajarkan ginkang kepadaku." Sui Cin
masih saja memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan
ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa yang dapat membayangkan apa yang
akan dilakukan oleh kakek aneh ini.
Kakek itu
mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan dan ke kiri. Hal ini sangat
mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.
"Kek,
kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu.
Siapa yang kau takuti?"
"Ssttt...
mari kita keluar dari goa dan akan kuceritakan semua kepada kalian," kata
kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan goa itu.
Sui Cin yang takut kakek itu kabur segera mengejar, diikuti pula oleh Hui Song.
Ternyata Wu-yi Lo-jin sudah duduk di atas batu depan goa, sedang menanti
mereka.
"Nah,
di sini kita bicara agar tidak ada orang yang ikut mendengarkan tanpa kita
ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang amat
hebat, mau apa tua bangka seperti aku ini keluar ke dunia ramai? Tentu kalian
tidak pernah mendengar apa lagi melihat aku yang hanya tinggal menanti
datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wu-yi-san. Akan tetapi,
seperti kukatakan tadi, telah terjadi sesuatu yang sangat hebat, yang mengancam
kehidupan dan keselamatan manusia. Maka, bagaimana pun juga, terpaksa aku harus
keluar dari tempat partapaanku hingga akhirnya di sini aku bertemu dengan
kalian."
Hui Song dan
Sui Cin terkejut bukan main. Keduanya saling pandang, kemudian kembali
memandang kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini? Mereka tidak
mengerti apa yang baru saja dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap
menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.
"Apakah
yang sudah terjadi, kek? Siapa yang mengancam kehidupan dan keselamatan
manusia?"
Kakek itu
memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang. "Kalau diingat memang
memalukan sekali. Terjadinya sudah puluhan tahun yang lalu. Kami, sekelompok
delapan jagoan yang dulu menjadi datuk-datuk dunia persilatan, sebelum
kemunculan datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian
sebagai datuk timur, Pak-san-kui sebagai datuk utara dan Lam-sin sebagai datuk
selatan, kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Pada waktu itu
usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan
Raja dan Ratu Iblis itu!"
Kembali
kakek katai itu kelihatan gelisah dan memandang ke kanan kiri. Kalau seorang
sakti seperti Wu-yi Lo-jin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini
mendatangkan rasa seram di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh
ke kanan kiri.
"Siapakah
mereka itu, kek?" Sui Cin bertanya lirih.
"Raja
Iblis itu seorang pangeran asli yang melarikan diri dari istana. Dia bersama
isterinya lalu terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan
yang menjadi datuk mereka kalahkan secara mutlak, termasuk juga aku. Kepandaian
mereka memang hebat bukan main, mirip iblis-iblis saja mereka itu. Kami delapan
orang datuk lalu bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul
lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk kami
kepada mereka. Dengan tanda itu, selama hidup kami tidak akan berani melawan
mereka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut
sumpah kami. Juga murid-murid kami secara otomatis terikat oleh sumpah itu.
Kami semua terpaksa setuju karena itulah jalan satu-satunya untuk menebus nyawa
kami yang sudah berada di tangan mereka."
Bukan main
dahsyatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Peristiwa itu
tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua mereka masih
kecil, akan tetapi kenapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang
tua mereka? Agaknya semua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan
dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang dalam dunia
persilatan terdapat banyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka
menyembunyikan diri.
"Jadi
selama puluhan tahun ini locianpwe selalu bersembunyi dan bertapa?" tanya
Hui Song, tertegun.
"Benar,
aku tak pernah melihat dunia ramai lagi, bahkan jarang bertemu dengan manusia.
Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak
Wu-yi-san."
"Akan
tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."
"Itulah!
Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu
iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, mereka pun turut
bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah amat
hebat itu. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu akan mengundurkan diri
sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan hal ini berbahaya
sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga mereka merasa benci kepada
semua pendekar. Jadi tentu dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi kalau
mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, aku pun lalu meninggalkan
pertapaanku. Biarlah, jika perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku
yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhirku, aku harus berusaha membendung
kejahatan yang akan mereka lakukan."
"Sudah
berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"
"Sudah
tiga bulan. Selama ini aku menyelidiki jejak mereka, lalu mendengar berita yang
amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun
datuk-datuk golongan sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan
tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"
"Wahhh...
gawat...!" Sui Cin berseru. "Di mana mereka itu, kek?"
"Gerakan
mereka seperti iblis, mana dapat diketahui di mana mereka berada? Akan tetapi
aku telah mendengar bahwa para datuk itu, juga termasuk Cap-sha-kui, pada akhir
bulan depan akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng
Pegunungan Ta-pie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada di sini dan
kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh
girang hatiku sebab kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar
sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah
aku tidak dapat menerimamu sebagai murid walau pun aku akan mengajarkan ginkang
kepadamu, Sui Cin. Apa bila aku menerimamu sebagai murid, berarti engkau akan
terikat pula oleh sumpah kami kepada kedua iblis itu."
"Kalau
memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap
membantumu, locianpwe," kata Hui Song dengan sikap gagah.
"Benar,
aku pun siap membantumu, kek. Sudah sepatutnya bila iblis-iblis itu dihadapi
dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apa lagi kalau sampai dapat memperalat
Cap-sha-kui yang jahat."
Wu-yi Lo-jin
tersenyum geli. "Meski pun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua
orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-anak ayam
mencoba untuk menantang serigala! Namun semangat kalian itulah yang kita
perlukan. Bagaimana pun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan.
Kalau kalian memang sudah siap membantu, marilah kita pergi untuk melakukan penyelidikan.
Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri,
harus selalu menurut petunjukku."
Maka
berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Ta-pie-san, mencari sumber air
Sungai Huai di mana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk
sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.....
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment