Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Harta Karun Jenghis Khan
Jilid 04
MELIHAT
wajah perwira itu yang kelihatan girang sekali, diam-diam Kim Hong merasa tidak
enak. Ia merasa bagai seekor harimau yang dijebak ke dalam kerangkeng. Akan
tetapi ia sama sekali tidak merasa khawatir. Bagaimana pun juga, dia terjatuh
ke tangan petugas pemerintah, bukan tangan penjahat. Dan kalau dia mengbendaki,
apa sih sukarnya untuk membongkar pintu kamar itu dan meloloskan dirinya?
Pikiran ini
membuatnya menjadi tenang, akan tetapi karena perwira bersama para anak buahnya
masih berada di luar kamar, dia tidak dapat bicara dengan leluasa kepada Kok
Siang Sesungguhnya, ingin sekali dia mengajukan banyak pertanyaan mengenai peta
itu dan rahasianya. Karena hal itu tidak mungkin dilakukan pada waktu itu, Kim
Hong lantas duduk bersila di tengah ruangan yang tidak berapa luas itu untuk
mengumpulkan tenaga dan menenangkan hatinya yang diliputi rasa penasaran dan
kemarahan itu.
Sedangkan
Kok Siang sendiri juga duduk di sudut kamar itu dengan tenang-tenang saja.
Urusan perkelahian adalah urusan kecil dan para pembesar pengadilan tentu akan
lebih percaya kepada keterangannya dari pada keterangan orang semacam Lui Cai
Ko yang kasar. Paling tidak, dia lebih pandai bicara, lebih sopan dan sebagai
seorang terpelajar, tentu dia akan memperoleh perhatian dan penghormatan dari
para petugas pengadilan.
Tidak dapat
disangkal lagi bahwa Bu Kok Siang adalah seorang pemuda pilihan, pandai dalam
ilmu silat, juga ahli sastera serta mempunyai pengetahuan yang cukup luas. Akan
tetapi, bagaimana pun juga, dia masih muda dan belum mengenal benar akan
kepalsuan manusia seperti keadaan yang sesungguhnya.
Kebenaran
dan keadilan selalu menjadi lemah dan goyah di mana terdapat kekuasaan yang
jauh lebih hebat, yaitu ketamakan akan uang! Uang berarti kesenangan. Di bagian
dunia mana pun, manusia benar-benar telah dicengkeram serta dikuasai oleh uang
atau lebih luas lagi, dikuasai oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan. Dan
kesenangan ini, harus diakui, hanya bisa dicapai kalau orang mempunyai uang.
Untuk
memperoleh uang sebagai sarana utama agar dapat hidup senang ini, maka orang
tidak segan-segan melakukan apa saja! Dari yang paling licin sampai yang paling
keji dan kejam. Orang tidak segan-segan untuk berpura-pura, untuk merendahkan
diri sedemikian rupa, untuk menipu, untuk menyiksa kalau perlu membunuh,
menjadi penjahat-penjahat, wanita menjual diri menjadi pelacur, pendeknya
segala kemaksiatan itu terdorong oleh keinginan mendapatkan uang sebanyaknya.
Uang membuat apa saja dapat terjadi, yang nampaknya tidak mungkin sekali pun!
Kok Siang
tidak atau belum sadar bahwa karena kekuasaan uang, dia akan menghadapi hal-hal
yang nampaknya tidak mungkin terjadi. Dia tidak pernah menduga bahwa seorang
pembesar tinggi dapat saja melakukan hal-hal yang lebih rendah dari pada
pencuri atau perampok, karena kehausan akan uang.
Kedudukan
disalah gunakan, kekuasaan menjadi alat untuk mencari uang sebanyaknya,
martabat terlupa, hati nurani tiada bisikan murni lagi, prikemanusiaan menipis,
semua ini terjadi apa bila manusia telah dikuasai oleh pengejaran kesenangan
melalui pengumpulan uang. Halal atau tidak sudah tidak diperhitungkan lagi.
Dan hal ini
kemudian menjadi suatu kebiasaan dan bila sudah menjadi kebiasaan, ahlak makin
menipis sehingga keburukannya tidak terasa atau teringat lagi. Orang yang untuk
pertama kali melakukan pencurian tentu akan merasa adanya penyesalan dalam
hatinya, penyesalan yang datang karena kesadaran bahwa apa yang dilakukannya
itu adalah tidak baik atau tidak benar. Akan tetapi kalau dia sudah terbiasa
dengan perbuatan mencuri, maka penyesalan itu akan semakin menipis dan akhirnya
lenyap sama sekali. Demikian pula dengan segala macam kemaksiatan lainnya.
Bu Kok Siang
masih tebal kepercayaannya akan kebenaran dan keadilan. Dia tidak tahu bahwa
pengaruh kesenangan melalui penumpukan uang sudah menjalar sampai ke mana pun,
sampai ke dalam kantor-kantor para pembesar, bahkan sampai ke dalam istana. Dan
kantor kejaksaan itu pun tak terluput, kantor pengadilan pun telah digerayangi
oleh setan ini sehingga yang namanya keadilan pun dikemudikan oleh uang!
Selagi kedua
orang muda itu tenggelam ke dalam keheningan masing-masing, mendadak terdengar
suara keras dan lantai di dalam kamar tahanan itu pun terbuka ke bawah! Hal ini
terjadi sedemikian cepat dan tiba-tiba sehingga mengejutkan Kim Hong dan Kok
Siang karena mendadak tubuh mereka kehilangan tempat berpijak sehingga
terjeblos ke bawah.
Akan tetapi,
mereka adalah dua orang yang terlatih baik dan sudah menguasai ilmu silat
sehingga gerakan ilmu itu sudah mendarah daging dalam tubuh mereka. Terutama
sekali Kim Hong yang memiliki ginkang tinggi. Begitu tubuhnya terjeblos ke
bawah, dia langsung mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuh yang telah meluncur
ke bawah itu tiba-tiba saja telah membuat gerakan dengan kaki yang mengenjot
atau menendang ke bawah, ada pun kedua tangannya bergerak seperti sayap dan
tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas!
Kok Siang
juga telah berhasil meloncat ke atas, akan tetapi ginkang-nya tak sehebat Kim
Hong sehingga tubuhnya kembali meluncur ke bawah karena dia tidak bisa
berpegangan pada apa pun. Berbeda dengan Kim Hong yang mampu membuat gerakan
menyamping sehingga tubuhnya yang mencelat ke atas itu bisa meluncur ke arah
pintu besi. Kim Hong mengerahkan tenaga sinkang-nya dan sambil meluncur ke arah
pintu, dia menggerakkan kaki tangannya untuk menerjang pintu dan
membobolkannya.
Akan tetapi
ia melihat seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh hitam tinggi
besar, mendadak muncul di luar daun pintu berjeruji itu dan kakek itu pun
mendorongkan dua tangannya menyambut terjangan Kim Hong. Dari dorongan kedua
tangan ini segera menyambar hawa pukulan dahsyat sekali yang amat mengejutkan
pendekar wanita itu. Ia mengenal tenaga yang amat kuat, maka Kim Hong lalu
mengerahkan seluruh tenaganya pula.
"Brakkkkk...!"
Pintu besi
yang kokoh kuat itu tidak sanggup menahan himpitan dua tenaga raksasa dari
dalam dan luar kamar, pecah dan patah-patah berantakan. Akan tetapi, tubuh Kim
Hong yang tertahan oleh tenaga kakek itu pun terdorong ke belakang dan tentu
saja sekarang meluncur ke bawah tanpa dapat dicegah pula.
Sebaliknya,
kakek itu sendiri pun terdorong mundur sampai empat langkah. Agaknya dia
terkejut bukan main, mengeluarkan seruan aneh, mukanya pucat dan matanya
terbelalak. Dia tidak mengira bahwa gadis muda itu sedemikian lihainya.
Sementara
itu, tubuh Kim Hong yang meluncur ke bawah itu tiba-tiba sudah diterima oleh
sepasang lengan yang kuat. Karena di tempat itu amat gelap, maka Kim Hong tidak
dapat melihat siapa yang menerimanya dengan pondongan sepasang lengan itu, akan
tetapi dia merasa jantungnya berdebar keras dan mukanya terasa panas ketika
mendengar suara yang dikenalnya,
"Hong-moi,
engkau tidak apa-apa?"
Kiranya yang
menerima tubuhnya itu adalah Kok Siang! Tentu saja ia merasa malu dan cepat
meloncat turun. "Aku tidak apa-apa, dan engkau?"
"Untung
bahwa lantai yang menjadi dasar tempat ini agak lunak sehingga aku tak sampai
terluka. Tadi ketika melihat ada tubuh meluncur dari atas, aku merasa khawatir
sehingga menangkapmu. Maafkan aku, adik Hong."
Betapa sopan
pemuda ini, pikir Kim Hong. Dia mengerti bahwa pemuda itu sama sekali tidak
mempunyai bayangan pikiran kotor saat menerima tubuhnya. Dan sekarang, melihat
dia tidak apa-apa dan sesungguhnya tidak perlu ditangkap dalam pondongan,
pemuda itu minta maaf. Bagaimana mungkin dia bisa marah terhadap pemuda seperti
ini?
"Tidak
apa-apa dan terima kasih, Bu-twako. Kita berada di mana? Kita harus dapat
keluar dari tempat ini. Tak kusangka bahwa kita telah terjebak."
"Tadi
sudah kuperiksa dengan teliti, akan tetapi baru sebentar karena kulihat engkau
jatuh ke bawah. Agaknya tempat ini buntu, merupakan lubang seperti sumur. Sama
sekali tidak ada jalan keluar dari sini kecuali melalui atas."
"Belum
tentu. Mari kita periksa lagi dengan meraba-raba."
Mereka pun
mulai meraba-raba pada sepanjang dinding yang bentuknya bundar seperti sumur
itu.
"Apakah
yang telah terjadi? Bukankah kita dimasukkan kamar tahanan kantor kejaksaan?
Mengapa kita terjebak seperti ini? Mungkinkah di kantor pemerintah ada tempat
jebakan seperti ini?" Sambil memeriksa dinding, Kok Siang mengomel karena
dia sungguh merasa penasaran dan terheran-heran.
"Ahh,
twako. Di mana pun juga, apa pun juga kedudukannya, manusia tetap merupakan
makhluk yang palsu dan kejam. Sebenarnya aku sudah tidak setuju untuk
menyerahkan diri. Kurasa penangkapan itu memang sudah diatur sebelumnya. Tentu
ada hubungannya antara Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan perwira itu. Dan kulihat
tadi kakek yang menyambut pukulanku ke arah pintu, hemmm... sungguh dia seorang
lihai, seorang lawan tangguh."
"Siapa
dia?"
"Aku
belum pernah mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduganya. Mungkin dia itulah
yang menjadi dalang dan biang keladi ini semua, yang menjadi raja
penjahatnya."
"Siapa?"
Pemuda itu berhenti meraba-raba karena memang sekeliling dinding ruangan itu
tanah padas belaka.
"Kalau
tidak salah tentu yang bernama Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng."
"Ahhh...!"
"Kau
mengenal dia?"
"Mengenal
orangnya sih belum, akan tetapi siapa yang tak pernah mendengar namanya? Pat-pi
Mo-ko adalah nama seorang datuk kaum sesat yang baru. Semenjak empat orang
datuk kaum sesat itu lenyap, boleh dibilang dia inilah yang dikenal sebagai
datuk. Engkau tentu pernah mendengar nama-nama keempat datuk kaum sesat, bukan?
Pertama adalah See-thian-ong datuk dunia barat yang kabarnya telah tewas oleh
Pendekar Sadis. Ke dua adalah Pak-san-kui Siongkoan Tiang yang kabarnya juga
tewas di tangan Pendekar itu. Ke tiga adalah Tung-hai-sian datuk timur yang kini
sudah melepaskan kedudukannya dan mencuci tangan, hidup sebagai seorang
saudagar yang tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw lagi. Ke empat
adalah Lam-sin datuk selatan yang lenyap tanpa ada yang tahu ke mana perginya.
Nah, setelah keempat orang datuk kaum sesat itu lenyap, lantas muncullah Pat-pi
Mo-ko ini!"
Tentu saja
apa yang diceritakan oleh Kok Siang itu diketahui dengan baik oleh Kim Hong
karena dia sendirilah yang dulu menyamar sebagai seorang nenek yang berjuluk
Lam-sin. Dengan sendirinya dia tidak tertarilk oleh cerita itu, akan tetapi dia
sangat memperhatikan nama Pat-pi Mo-ko.
"Jadi
Pat-pi Mo-ko ini mengangkat diri menjadi pengganti para datuk itu?"
"Bukan
mengangkat diri menjadi datuk, namun semua penjahat di seluruh empat penjuru takut
dan menganggap dia sebagai datuk mereka karena ilmunya yang sangat hebat dan
kekejamannya terhadap siapa saja yang tak mau tunduk kepadanya. Akan tetapi,
selalu dia bekerja secara rahasia, bahkan para anak buahnya sendiri tidak
pernah berhubungan langsung dengannya dan siapa saja yang ingin mengetahui
rahasianya tentu dibunuhnya. Apa lagi membuka rahasianya. Dia orang aneh dan
hanya dugaan orang saja dia berada di kota raja sebagai sarangnya, karena dia
sering mengirim perintah dari kota raja. Kalau saja benar dia yang berdiri di
belakang urusan harta karun Jenghis Khan ini..." Kok Siang berhenti
seolah-olah merasa terlanjur bicara.
Keadaan di
sumur itu amat gelap, mereka hanya dapat saling melihat bayangan masing-masing.
Akan tetapi suara ini cukup bagi Kim Hong yang segera mendesak.
"Harta
karun Jenghis Khan? Peta dari dusun itu?"
"Ya,
jika benar dia yang memimpin semua itu, celakalah. Agaknya hanya Pendekar Sadis
saja yang akan sanggup menghadapinya dan kabarnya, dia tidak pernah muncul
karena jeri terhadap Pendekar Sadis yang sudah membunuh See-thian-ong dan
Pak-san-kui. Dia sendiri kabarnya adalah seorang sute dari mendiang
See-thian-ong. Kalau saja Pendekar Sadis dapat muncul... ahh... aku... sungguh
mengagumi kegagahan pendekar itu."
Kim Hong
diam saja. Ia pun memikirkan Thian Sin. Di sini ia terjebak bersama Kok Siang!
Apa dayanya? Dan apakah Thian Sin akan bisa menemukan mereka sebelum terlambat?
Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan tempat itu segera penuh dengan asap!
"Celaka,
asap beracun!" seru Kok Siang sambil mendekap hidung dan mulutnya.
"Ahhh,
terlambat...!" Kim Hong juga berseru, melanjutkan lamunannya tentang Thian
Sin tadi.
"Cepat
tiarap dan rapatkan muka ke lantai!"
Mereka
cepat-cepat bertiarap. Akan tetapi usaha ini hanya dapat menolong sejenak saja
dan memperpanjang siksaan mereka karena akhirnya tempat itu penuh dengan asap
dan setelah hawa udara di atas tanah itu habis, maka asap pun tersedot oleh
mereka. Mereka terbatuk-batuk dan akhirnya keduanya roboh pingsan.
***************
Thian Sin
yang berada sendirian di dalam kamar hotelnya, tersenyum simpul mendengar
jejak-jejak kaki halus di atas genteng kamarnya. Kim Hong telah pergi
menyelidik tentang pemuda sastrawan yang mencurigakan itu dan dia juga sudah
pergi menyelidiki ke rumah gedung tempat tinggal Bouw Wan-gwe (Hartawan Bouw)
di mana tinggal Bouw In Bwee yang cantik jelita. Akan tetapi dia gagal untuk
dapat berjumpa dengan gadis itu karena agaknya gadis itu tinggal di dalam
kamarnya bersama beberapa orang pelayan dan dia tidak berani memaksa masuk ke
dalam kamar.
Dia hanya
menyelidiki keadaan gadis dan keluarganya dengan mencari keterangan di luar dan
dia mendengar bahwa Bouw Siocia terkenal sebagai seorang gadis kaya raya yang
berhati mulia, suka menolong orang dan di samping itu juga gadis ini dikenal
mempunyai kepandaian silat tinggi sehingga semua orang mengagumi dan
menghormatinya. Agaknya tidak ada yang mencurigakan pada diri gadis ini.
Maka, dia
segera kembali ke kamar hotel, dengan keputusan untuk mengunjungi gadis itu
secara berterang pada keesokan harinya, kalau bisa bersama dengan Kim Hong,
sebagai sahabat-sahabat baru.
Namun pada
malam hari ini, menjelang tengah malam, dia mendengar jejak kaki di atas
genteng kamarnya itu. Bukan Kim Hong, pikirnya. Kalau Kim Hong yang datang,
bahkan dia sendiri pun tidak akan dapat mendengar jejak kakinya, kecuali kalau
dia sedang dalam semedhi dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dalam keadaan
seperti itu, jarum jatuh pun akan terdengar olehnya. Namun dalam keadaan biasa,
sukarlah dicari orangnya yang akan mampu mendengar telapak kaki Kim Hong yang
memiliki ginkang hampir sempurna itu. Bukan, ini tentu orang lain. Ginkang-nya
belum sehebat Kim Hong, akan tetapi sudah cukup lumayan, bukan penjahat biasa.
Siapa lagi kalau bukan utusan para penjahat itu?
Dengan
pendengarannya yang tajam, Thian Sin mengikuti gerak gerik orang yang datang
itu tanpa bergerak dari atas pembaringannya di mana dia sedang duduk bersila.
Karena dia kini memusatkan perhatiannya, maka dengan jelas dia dapat mengikuti
gerakan orang itu.
Beberapa
lamanya orang itu mendekam di atas genteng, membuka genteng mengintai ke dalam,
lalu berlari di atas genteng, melompat turun dan menghampiri jendela kamarnya.
Thian Sin tersenyum geli. Seorang penjahat yang masih hijau, pikirnya.
Akan tetapi,
senyumnya segera lenyap dari mukanya ketika tiba-tiba dia mendengar suara
berbisik dari luar jendela itu. "Taihiap... jangan kaget, aku yang
datang..."
Suara Bouw
In Bwee! Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangkanya dan jantung
pemuda itu berdebar kencang. Mau apa gadis itu malam-malam datang
mengunjunginya dan dalam keadaan yang demikian mencurigakan? Apakah ini
merupakan perangkap dan tipu muslihat pula dari pihak lawan?
Dia harus
selalu berhati-hati. Pihak lawan agaknya tak akan pernah berhenti dalam usaha
mereka untuk memperoleh kunci emas itu. Dan siapa tahu gadis jelita ini pun
merupakan salah seorang di antara mereka, walau pun menurut penyelidikannya
siang tadi, agaknya tidak mungkinlah bila seorang gadis seperti In Bwee menjadi
kaki tangan penjahat! Akan tetapi, siapa tahu?
Sebelum
Thian Sin sempat menjawab, daun pintu telah didorong dari luar sehingga jebol,
kemudian gadis itu dengan pakaian serba hitam yang ringkas dan ketat, yang
membuat tubuhnya kelihatan demikian menggairahkan dengan lekuk lengkung
sempurna, meloncat masuk dengan ringannya lalu cepat-cepat menutupkan kembali
daun pintu itu.
"Ahh,
nona Bouw In Bwee...! Kenapa masuk seperti itu dan menutupkan daun
jendela?" tegur Thian Sin sambil tersenyum dan melompat turun.
In Bwee
membalikkan tubuhnya dan sejenak mereka bertukar pandang. Di bawah cahaya lilin
tunggal itu, wajah yang halus manis itu nampak kemerahan.
"Habis,
apakah aku harus berkunjung secara terang-terangan dan biar terlihat oleh orang
lain? Betapa janggalnya seorang gadis berkunjung di tengah malam melalui pintu
depan begitu saja!"
"Lalu...
tentu ada hal penting sekali maka gadis itu datang berkunjung pada tengah malam
melalui atas genteng dan membongkar jendela!" kata pula Thlan Sin, masih
tersenyum.
Wajah gadis
itu menjadi semakin merah seperti terbakar api lilin dan mukanya menunduk, akan
tetapi segera diangkatnya kembali dan dengan mata berseri ia memandang pemuda
itu. "Apakah engkau menyesal atas kedatanganku, taihiap? Jika begitu,
biarlah aku pergi saja..." Dan dia membuat gerakan hendak membuka daun
jendela.
Akan tetapi
Thian Sin bukan anak kecil. Sudah beberapa kali dia bergaul dengan wanita dan
dia sudah mengenal benar kemanjaan dan kepura-puraan dalam sikap wanita seperti
yang diperlihatkan gadis itu. Dia pun memegang tangan gadis itu.
"Tunggu
dulu, nona. Siapa bilang aku menyesal? Aku merasa gembira sekali, seolah-olah
kejatuhan bulan dan aku merasa terhormat sekali!"
In Bwee
membalik lagi. Tangan kirinya yang kecil lembut itu masih dipegang oleh Thian
Sin. Tangan itu menggelepar hangat, terasa oleh Thian Sin seperti seekor burung
pipit di dalam genggamannya. Lalu In Bwee menarik perlahan tangannya, dan
sambil tersenyum simpul dia bertanya,
"Beginikah
menerima tamu? Tidak disuruh duduk? Betapa sopannya..."
Thian Sin
tertawa. "Aihh, maaf. Silakan duduk, nona."
In Bwee lalu
duduk di atas kursi, sedangkan Thian Sin duduk pula di atas pembaringan.
Sejenak mereka kembali berpandangan dan gadis itu tersenyum manis.
"Kau
bilang tadi girang seperti kejatuhan bulan? Jika benar kejatuhan bulan,
mungkinkah masih dapat bergirang hati? Aku pernah membaca dalam kitab kuno
bahwa bulan hanya indah dan kecil nampak dari sini. Padahal merupakan sebuah
dunia yang besar!"
Thian Sin
tersenyum. "Bukan begitu maksudku. Akan tetapi bulan demikian indahnya dan
wajahmu juga indah dan manis seperti bulan..."
"Ihhhh...!
Engkau perayu benar, Ceng Taihiap!" In Bwee melempar senyum dan kerling
tajam memikat.
Thian Sin
menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik senyum dan kerling itu.
Kalau benar gadis ini merupakan kaki tangan penjahat, tentu mudah diterka.
Senyum dan kerling itu merupakan daya pikat, untuk memikat dirinya. Pihak lawan
yang agaknya telah kewalahan untuk menundukkannya melalui kekerasan, tentu
mungkin saja menggunakan kecantikan seorang gadis seperti In Bwee ini untuk
menjatuhkannya.
Akan tetapi,
mungkinkah In Bwee menjadi kaki tangan penjahat? Ia adalah puteri seorang
hartawan besar, pandai silat dan hidupnya terhormat, juga terkenal sebagai
seorang gadis gagah perkasa yang budiman. Mana mungkin menjadi kaki tangan
penjahat?
"Nona,
katakanlah terus terang saja, apa maksud kedatangan nona mengunjungiku pada
tengah malam seperti ini? Sungguh mati, aku merasa heran sekali dan ingin
tahu."
Gadis itu
tersenyum lagi, lebih manis, dan dia memandang langsung dengan sinar mata
tajam, seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu.
"Ceng Taihiap, coba katakan padaku, apa yang sepatutnya menyebabkan
seorang gadis seperti aku ini malam-malam datang mengunjungi seorang pendekar
sepertimu?" Sungguh merupakan jawaban yang sekaligus merupakan pertanyaan
yang jelas menantang!
Diam-diam
Thian Sin merasa semakin tegang dan terheran. Apakah gadis ini merupakan
seorang petualang asmara? Ini lebih besar kemungkinannya, mengingat ia seorang
gadis kaya dan lihai. Apa lagi kalau bukan seorang petualang cinta? Namun,
pikirannya masih terikat akan urusan peta dan kunci emasnya, maka dia pun
mencoba dan memancing.
"Hemmm,
apa bila gadis itu selihai engkau, nona Bouw, maka besar kemungkinan kalau
kunjunganmu ini untuk membalas dendam kepadaku."
In Bwee
menggeleng kepala keras-keras. "Tidak ada urusan apa-apa antara engkau dan
aku yang boleh membuat aku sakit hati. Lagi pula, kalau aku hendak membalas
dendam, apakah caranya mengunjungi seperti ini, dalam keadaan akrab? Tentu
semenjak tadi-tadi aku sudah mencoba untuk menyerangmu, baik dari atas genteng,
dari luar jendela, atau sekarang. Bukan mengajakmu bercakap-cakap secara santai
begini."
"Kemungkinan
ke dua adalah bahwa kunjunganmu ini mengandung maksud tertentu..."
"Tentu
saja, yang kutanyakan adalah apakah kira-kira maksud itu?"
"Mungkin
saja untuk menyelidiki aku." Thian Sin memandang wajah itu dengan tajam
saat mengucapkan kata-kata pancingan ini.
"Menyelidikimu?"
Biar pun cahaya lilin itu tidak cukup terang, akan tetapi Thian Sin yang
memandang penuh perhatian itu dapat melihat adanya perubahan pada wajah yang
cantik itu. "Menyelidiki apanya?"
"Hemm...
misalnya... menyelidiki tentang kunci emas..."
Sekarang
gadis itu benar-benar terkejut. "Kunci... kunci emas...? Apa... apa
maksudmu, taihiap?"
Thian Sin
tertawa. "Maksudku adalah seperti yang kau maksudkan."
"Ahh,
harap jangan mengada-ada, taihiap. Aku datang sebetulnya..."
Melihat
keraguan gadis itu Thian Sin mendesak. "Sebetulnya bagaimana?"
"Karena
aku... kagum sekali padamu. Semenjak kita bertemu di restoran itu, aku merasa
amat kagum dan..."
"Ya?
Bagaimana?"
"Aku...
aku ingin mempererat persahabatanku denganmu."
"Begitukah?
Sungguh beruntung sekali aku! Tentu saja kuterima dengan tangan dan hati
terbuka!"
Gadis itu
mengangkat muka. Wajahnya yang tersorot cahaya lilin kemerahan itu sunggub
cantik manis. "Dengan hati terbuka? Kulihat hatimu sudah tertutup penuh oleh
enci Kim Hong..."
Thian Sin
tersenyum. Ternyata benar saja, gadis cantik manis yang kaya raya ini adalah
seorang petualang asmara! Mungkin juga hendak memikatnya. Kita sama-sama lihat
saja, pikirnya. Siapa yang terpikat nanti!
"Ha-ha,
In Bwee yang manis, dalam hatiku masih terbuka ruang yang lebar untuk seorang
gadis seperti engkau!" Dan dia pun meraih dan menangkap pergelangan tangan
gadis itu, lalu ditariknya ke arah dirinya.
"Ihh,
mau apa kau?!" Gadis itu berseru dan kedua tangannya langsung mengirim
pukulan bertubi-tubi ke arah muka, leher dan dada Thian Sin. Serangan yang
sungguh-sungguh, bukan main-main dan dilakukan pada jarak sangat dekat. Namun,
tentu saja serangan itu tidak terlalu berbahaya bagi Thian Sin.
"Plak-plak-plak-plak!"
Empat kali
pukulan gadis itu dapat ditangkis dengan mudah oleh Thian Sin dan tangkisan
terakhir disertai tangkapan pada kedua pergelangan tangan itu sehingga In Bwee
hanya dapat meronta-ronta tanpa dapat memukul lagi.
"Lepaskan
aku...! Lepaskan aku..." serunya dengan suara lirih karena dia pun tidak
ingin membangunkan para tamu di kamar-kamar lain.
Akan tetapi
Thian Sin belum mau melepaskan pegangan kedua tangannya. "Benar-benar
hebat. Tengah malam engkau datang memasuki kamarku, kemudian merayu dan bahkan
sekarang hendak membunuhku. Nona Bouw In Bwee, sebenarnya apa sih yang engkau
kehendaki dariku?"
"Lepaskan
aku...! Kau... laki-laki kurang ajar!" In Bwee masih meronta-ronta, akan
tetapi pegangan kedua tangan pemuda itu sungguh kuat bukan main.
"Kau
dengar baik-baik, nona manis. Aku Ceng Thian Sin selama hidupku belum pernah
memakai kekerasan untuk memaksa seorang wanita mencintaku. Aku bukannya seorang
jai-hwa-cat, aku bukan pula seorang hidung belang. Aku hanya akan mendekati
wanita kalau wanita itu pun menghendakiku. Maka, jangan khawatir, nona. Ingat,
yang datang ke kamarku malam-malam adalah engkau." Sesudah berkata begini,
Thian Sin menarik nona itu mendekat, lantas memegang kedua pergelangan tangan
yang kecil itu dengan jari-jari tangan kanannya, dan dengan tangan kirinya yang
kini bebas itu dia menjambak rambut In Bwee, menarik mukanya mendekat lalu
mencium bibir itu.
"Uhh...
uhhh...!" In Bwee meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, ciuman itu
semakin kuat hingga akhirnya tubuhnya terkulai lemas, dia menyerah dan terisak.
Ketika Thian Sin melepaskannya, dia pun langsung jatuh terkulai di atas
pembaringan.
"Itu
tadi adalah hukumanmu karena engkau sudah datang di sini pada tengah malam dan
mencoba merayuku, lantas menyerangku tanpa memberi tahukan sebab-sebabnya.
Sudah selayaknya kalau engkau dipukul, akan tetapi aku tidak tega. Nah, ciuman
itu tadi adalah hukumannya sebagai pengganti pukulan. Sekarang, bicaralah atau
keluarlah!"
In Bwee yang
menerima tugas dari suhu-nya untuk merayu dan menjatuhkan pemuda ini, dengan
menggunakan kecantikannya, kini sadar bahwa usaha yang dilakukannya secara
terpaksa itu sudah gagal sama sekali. Ketika tadi kedua lengannya ditangkap
tanpa dia mampu melepaskan diri, lalu ketika dia dicium, hatinya sudah jatuh
terhadap kegagahan pria ini. Seorang pria yang luar biasa!
Kini dia
mengangkat tubuhnya, duduk dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah
dan berlinang air mata. Dia lalu teringat akan keadaan dirinya, akan tekanan
yang dilakukan oleh pamannya atau gurunya dan tiba-tiba dia pun menangis
sesenggukan.
"Hemm,
masih belum terlambat bagimu untuk bisa memperbaiki semua kesalahan, nona.
Jangan menangis, aku paling tidak tahan jika melihat wanita cantik
menangis." Thian Sin berkata halus sambil meraba pundak yang
bergoyang-goyang itu.
Mendengar
ucapan halus ini, tangis In Bwee makin menjadi dan dia pun merangkul dan menangis
di atas dada Thian Sin, menangis sampai mengguguk.
Thian Sin
mengerti bahwa tangis ini bukanlah air mata buaya, bukan tangis buatan untuk
menundukkan hatinya, akan tetapi tangis yang timbul dari hati duka dan
menyesal. Maka dia pun merasa kasihan, lantas merangkul dan menggunakan
tangannya untuk mengelus rambut kepala yang agak kusut itu.
Sentuhan
tangannya, rabaan dan elusan tangan yang lembut itu sama sekali tidak
mengandung gelora birahi, melainkan rasa iba yang tulus dan hal ini terasa oleh
In Bwee yang menjadi makin terharu.
"Maafkan
aku... ahhh, Ceng-taihiap, maafkan aku..." Demikian dia berbisik-bisik di
antara isaknya.
Thian Sin
mendekap tubuh itu, dipeluknya dengan erat, diciumnya rambut yang harum itu
lantas dia pun berkata. "Menangislah sepuasmu, kemudian kalau engkau suka,
ceritakan padaku apa artinya semua ini, In Bwee."
Dara itu tak
menjawab, menghabiskan isaknya di atas dada pemuda itu, membasahi baju Thian
Sin dengan air matanya dan air hidungnya. Sesudah hatinya yang tadinya terhimpit
itu terasa lapang, seakan-akan himpitannya terbawa keluar oleh air mata, maka
dia pun mulai bicara.
"Taihiap,
aku tahu bahwa engkau adalah Pendekar Sadis."
Tentu saja
kalimat pertama ini sangat mengejutkan Thian Sin, sungguh pun tidak terlalu mengherankan
karena memang sebagai Pendekar Sadis dia pernah menggegerkan kota raja sehingga
sedikit banyak tentu ada juga yang mengenalnya. Dia hanya terkejut oleh
pernyataan tiba-tiba ini karena tadinya dia tidak pernah menyangka bahwa gadis
ini telah mengenalnya pula. Karena kagetnya, dia segera memegang kedua pundak
gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat memandang wajahnya.
Wajah itu
masih pucat dan basah, juga matanya agak kemerahan dan memandang sayu.
"Taihiap, anak buah suhu mengenalmu dan aku diberi tahu oleh
suhu-ku..."
"Suhu-mu...?"
Kini Thian Sin mulai mengerti. Keluarga gadis itu tak ada sangkut pautnya
dengan rahasia harta karun Jenghis Khan, akan tetapi di sana ada suhu-nya!
"Ya,
suhu-ku... juga pamanku..."
"Ahh,
sekarang aku mengerti! Tentu dia itu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, bukan?"
Gadis cantik
itu menarik napas panjang lantas mengangguk. "Taihiap, aku bertugas untuk
menundukkanmu dengan rayuan, aku terpaksa... akan tetapi... mana mungkin hal
itu aku lakukan terhadapmu yang telah kukagumi sejak kita pertama kali
bertemu?"
Thian Sin
menarik tubuh itu dan kembali memeluknya, diam-diam dia tersenyum senang.
"Nona... ehh, In Bwee, adik yang manis, di antara kita telah terasa adanya
suatu ikatan persahabatan yang akrab. Mana mungkin kita saling menundukkan?
Engkau sudah tahu bahwa dulu memang aku pernah berjuluk Pendekar Sadis, julukan
yang sebetulnya amat kubenci. Dan tentu engkau tahu pula bahwa aku datang ke
sini sebagai wakil keluarga Ciang yang malang itu, untuk menemukan kembali peta
harta karun Jenghis Khan yang dirampas dari tangan Ciang Kim Su. Nah, engkau
sudah tahu tentang semua keadaanku, maka sebagai sahabat, sudah adil kalau aku
pun dapat mengetahui latar belakang semua perbuatanmu ini."
Sampai lama
In Bwee berdiam diri di dalam pelukan Thian Sin hingga akhirnya pemuda itu
mengangkat mukanya dan mencium bibir itu. Ciuman yang halus dan mesra, bukan
paksaan seperti tadi dan sekali ini, terdengar In Bwee mengeluh dan memejamkan
kedua matanya, merasa seperti dihanyutkan dan tenggelam ke dalam kemesraan.
Setelah Thian Sin melepaskan ciumannya, In Bwee menarik napas panjang kemudian
menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.
"Taihiap...
betapa mudahnya bagiku untuk jatuh cinta pada seorang pria seperti engkau. Akan
tetapi aku tahu bahwa engkau dan enci Kim Hong saling mencinta, hidup sebagai
suami isteri..."
"Hemm,
pamanmu itu agaknya menyebar banyak mata-mata."
"Benar,
aku tahu dan aku merasa iri sekali kepada enci Kim Hong. Betapa bahagianya mempunyai
seorang suami atau kekasih sepertimu, taihiap. Aku... aku hanyalah seorang
wanita yang malang, yang ternoda dan terhimpit..."
"Ceritakanlah,
aku siap untuk membantumu."
"Semenjak
kecil aku dilatih ilmu silat oleh pamanku yang mempunyai kepandaian tinggi.
Engkau sudah mengenal namanya, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Dia
benar-benar sangat sakti, taihiap, harap engkau berhati-hati menghadapi dia.
Ahh, betapa aku sudah mengkhianati guru dan pamanku dan aku tak akan dibiarkan
hidup kalau dia mengetahui hal ini."
"Jangan
khawatir, aku akan melindungi dan membelamu, adik In Bwee. Teruskan dahulu
ceritamu."
"Aku
sendiri tidak tahu benar tentang rahasia harta karun Jenghis Khan. Aku tidak
pernah mencampuri urusan guruku, karena aku tidak suka akan cara hidupnya yang
bergelimang dengan kejahatan dan dia selalu bergaul dengan para tokoh jahat.
Ayahku sendiri juga membencinya, bahkan tidak mengakui lagi sebagai adiknya.
Yang kutahu dari penuturan suhu hanyalah bahwa dia telah menguasai sebuah peta,
akan tetapi tanpa adanya kunci emas, maka peta itu tak ada gunanya. Dan menurut
suhu kunci emas itu ada pada kalian, yaitu padamu dan enci Kim Hong. Maka aku
lalu diperintah oleh suhu untuk menyelidiki dirimu, untuk menundukkanmu dengan
rayuan, bahkan bila perlu mengorbankan diri dan kehormatan asalkan aku bisa
mendapatkan kunci emas itu, atau paling tidak keterangan darimu mengenai kunci
emas itu. Nah, sudah kuceritakan semua! Lega hatiku sekarang, akan tetapi
sekaligus juga khawatir, karena pengakuan ini mungkin merupakan keputusan mati
bagiku..." Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak memandang ke arah
pintu dan jendela, seolah-olah dia merasa takut kalau-kalau ceritanya tadi
dicuri dengar orang lain.
"Jangan
takut, tidak ada orang yang mendengarkan, kecuali aku. Kalau ada orang yang
mendekat, aku tentu mengetahuinya," kata Thin Sin yang mengerti akan isi
hati gadis itu. "Akan tetapi, Bwee-moi, sungguh aku merasa heran sekali.
Kalau engkau memang tidak suka akan semua perbuatan dan watak suhu-mu, mengapa
engkau mau saja diperintah olehnya! Kenapa engkau tidak menjauhinya saja?"
Ditanya
demikian, kembali In Bwee menangis, air matanya mengalir keluar namun cepat
dihapusnya dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah, "Aku terpaksa,
terhimpit... aku... aku pernah menyeleweng, pada waktu aku berusia delapan
belas tahun, aku sudah menyerahkan diri, ternoda oleh seorang suheng-ku, murid
suhu juga. Semua murid suhu adalah orang-orang dunia hitam! Suhu mengetahui hal
ini, sedangkan murid itu tidak mau bertanggung jawab, lalu suhu menggunakan
rahasia itu untuk menekanku. Jika aku tidak menurut, bukan saja dia hendak
membuka rahasiaku itu agar diketahui oleh ayah, ibu dan oleh umum, akan tetapi
dia mengancam pula untuk membunuh ayah, ibu dan keluargaku. Aku terpaksa,
taihiap... aku terpaksa dan... aku takut..."
Thian Sin
masih merangkul dan memeluknya. Diam-diam dia pun merasa kasihan kepada gadis
ini. Seorang gadis yang lemah sehingga di dalam hidupnya sudah tersandung dan
terjatuh. Betapa sukar dan beratnya menjadi wanita, pikirnya.
Kehormatan
seorang wanita diukur dari keperawanannya. Sekali saja dia lemah sehingga
tergelincir, maka hal itu merupakan malapetaka yang akan merubah jalan
hidupnya, akan mempengaruhi sepanjang hidupnya. Rasa takut akan selalu
membayanginya, takut kalau aib yang menimpa dirinya ketahuan.
Noda yang
satu kali itu seolah-olah merupakan noda yang melekat kuat lahir batinnya,
tidak dapat terhapus lagi sampai orangnya mati! Seolah-olah, tidak ada
kejahatan di dunia ini yang lebih hebat dari pada seorang gadis kehilangan
keperawanannya! Gadis seperti itu, seperti In Bwee itu, tidak akan diampuni,
akan dikutuk, selalu dicaci, dihina dan tidak ada seorang pun laki-laki agaknya
yang akan mau mengambilnya sebagai isteri! Seorang gadis yang kehilangan
keperawanannya seolah-olah merupakan manusia yang paling kotor di dunia ini!
Thian Sin
menarik napas panjang. Persoalan ini pernah dia bicarakan dengan Kim Hong dan
mereka sependapat. Tentu saja, seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya
begitu saja kepada seorang pria tanpa melewati sebuah pernikahan yang sudah
menjadi hukum dan kebiasaan umum, merupakan perbuatan yang bodoh, hanya
terdorong oleh nafsu dan kelemahan.
Akan tetapi,
hal ini bukan berarti bahwa selama hidup dia tidak dapat sembuh dan sama sekali
tidak adil kalau dijadikan semacam noda kotor yang menjijikkan sehingga para
pria akan menolaknya sebagai barang hina! Apa lagi bagi Kim Hong yang dulu
menyerahkan keperawanannya pada Thian Sin tanpa syarat apa pun, karena ikatan
sumpah dan karena memang cinta. Anggapan yang sudah merupakan pendapat umum
tentang hal itu sangat ditentangnya.
Kim Hong
sudah banyak memperbincangkan hal ini dengan Thian Sin, bahkan berdebat.
Upacara dan pesta pernikahan adalah suatu hal untuk umum, akan tetapi hubungan
sex dan cinta adalah urusan pribadi dua orang yang bersangkutan. Orang yang
benar-benar mencinta, tidak mungkin akan mau mencelakakan orang yang dicintanya
itu. Apa bila ada seorang pemuda mencinta seorang dara, benar-benar
mencintanya, bukan sekedar suka hanya karena dorongan nafsu, tentu pemuda itu
akan selalu menjaga supaya orang yang dicintanya itu tidak sampai mengalami
bencana, apa lagi kalau bencana itu terjadi karena ulahnya.
Pandangan
umum dan tradisi memutuskan bahwa hubungan sex di luar nikah merupakan suatu
perbuatan yang buruk dan hina maka pelanggarnya, khususnya kaum wanita, akan
dipandang rendah dan menderita aib. Karena sudah mengerti akan hal itu, pemuda
yang mencinta pacarnya, benar-benar mencintainya, tentu tidak akan mau membujuk
pacarnya untuk melakukan hubungan sex di luar nikah. Bila dia tetap
melakukannya, berarti bahwa cintanya itu adalah cinta birahi belaka!
Untuk
memuaskan hasrat birahinya, dia lupa bahwa pacarnya, yang katanya merupakan
satu-satunya wanita yang dicintanya, terancam mala petaka hebat bila terjatuh
oleh bujuk rayunya. Dan banyak terjadi kenyataan bahwa setelah nafsu sexnya
terpuaskan, pemuda itu baru melihat bahwa sesungguhnya dia tidak mencinta
wanita itu, seolah-olah seorang kehausan yang setelah minum air sepuasnya lalu
tidak lagi menginginkan air.
Akan tetapi,
dengan Thian Sin dan Kim Hong soalnya berbeda lagi. Mereka berdua hidup sebagai
suami isteri walau pun belum disahkan dengan upacara serta pesta pernikahan,
bukan sekedar dorongan sex semata. Ada pertalian cinta yang amat mendalam di
antara mereka dan hanya karena pandangan keduanya yang ingin bebas dan
memberontak dari pada segala peraturan yang dianggap merupakan ikatan yang
memuakkan maka mereka tidak peduli tentang upacara dan pesta pernikahan.
"Aku
memang pengecut..." Akhirnya gadis itu mengeluh lalu perlahan melepaskan
diri dari rangkulan Thian Sin, "dan aku... aku memang lemah terhadap
rayuan pria. Aku tak berani menentang pamanku yang sesat itu dan aku... aku
begini mudah jatuh hati kepadamu, padahal... padahal aku telah jatuh cinta
kepada seorang lain...! Ah, Bu Kok Siang, betapa kelirunya engkau jatuh cinta
kepada seorang gadis seperti aku..." Dan gadis itu menutupi muka dengan
kedua tangan, nampaknya menyesal sekali.
Thian Sin
memegang kedua lengan gadis itu, tidak lagi bersikap mesra. "Maafkan aku,
In Bwee, bukan maksudku merayumu. Ah, kita ini memang hanya manusia-manusia
lemah. Berdekatan dengan seorang seperti engkau ini, hati siapa takkan
tertarik? Engkau saling mencinta dengan sastrawan itu? Bagus, dia seorang
pemuda yang hebat. Dan memang sepantasnya bila seorang gadis seperti engkau ini
tak usah takut-takut untuk menentang kelaliman dan kejahatan. Mati pun tak akan
penasaran bila kita berada di atas kebenaran, In Bwee. Dan aku pun akan
melindungimu dari ancaman iblis yang menjadi pamanmu itu. Sekarang katakan, di
mana aku bisa bertemu dengan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng itu?"
"Biar
pun namanya amat terkenal di kota raja, namun tidak ada yang tahu di mana
tempat tinggalnya. Bahkan para pendekar pun tidak mampu menemukan tempatnya
itu."
"Tapi
engkau tahu tempatnya?"
Gadis itu
mengangguk. Lalu dia mengangkat mukanya memandang wajah Thian Sin yang amat
tampan dan menarik itu. "Ceng-taihiap, begitu inginkah engkau dan enci Kim
Hong memperoleh pusaka harta karun Jenghis Khan itu? Jika cuma uang yang kalian
butuhkan, kiranya aku akan dapat membantu..."
Thian Sin
tersenyum. "Maksudmu?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang
cantik itu.
"Pamanku
itu amat lihai, taihiap. Bukan hanya dia amat lihai, akan tetapi dia pun
memiliki banyak kaki tangan yang pandai. Boleh dibilang semua tokoh sesat di
kota raja adalah kaki tangannya, atau setidaknya tunduk kepadanya. Selain itu,
juga di belakangnya ada pasukan pemerintah yang mendukung dan siap membantunya.
Maka, kalau hanya untuk uang, amat berbahaya jika taihiap menentangnya. Lebih
baik taihiap berikan kunci emas itu kepadanya, dan saya akan suka membantu
taihiap, kalau memang uang yang..."
"Hushh...
kau pikir kami adalah orang-orang yang haus akan harta, In Bwee? Tidak, kami
tidak butuh uang. Akan tetapi kami adalah petualang-petualang yang selalu
tertarik akan hal-hal yang berbahaya serta mengandung rahasia. Kami melihat
betapa seorang petani tua dibunuh, juga isterinya, bahkan betapa putera petani
itu pun agaknya sudah dibunuh orang pula. Kami melihat kejahatan dan
kesewenang-wenangan terjadi di hadapan mata kami, tak mungkin kami
mendiamkannya saja. Pula, kami ingin juga menemukan pemuda petani itu dan
kepada dialah kami akan menyerahkan semua harta karun itu, sebab dialah
satu-satunya orang yang berhak memperolehnya."
Mendengar
ini, gadis itu mengangguk-angguk sambil menarik napas panjang. "Selama ini
nama Pendekar Sadis selalu membuat aku merasa seram dan takut, akan tetapi
setelah bertemu orangnya, ternyata taihiap adalah seorang pendekar yang berhati
mulia, budiman dan sama sekali tidak menyeramkan, bahkan amat menarik.
Bagaimana pun juga, hatiku khawatir sekali kalau membayangkan betapa taihiap
akan berhadapan dengan pamanku dan semua kaki tangannya."
"Jangan
khawatir dan engkau tidak perlu ikut-ikut, In Bwee. Katakan saja di mana tempat
persembunyian pamarmu yang sesat itu."
In Bwee
kembali menoleh ke luar jendela, seolah-olah takut kalau-kalau kata-katanya itu
akan terdengar orang lain. Kemudian, dengan suara lirih dan agak gemetar,
seolah-olah ia membukakan suatu rahasia yang amat besar, ia berkata.
"Pamanku itu bersembunyi... di gedung jaksa..."
"Ehh...?"
Thian Sin terbelalak, merasa heran bukan kepalang. "Di rumah jaksa?
Bukankah jaksa itu seorang pembesar yang bertugas memberantas serta menuntut
para penjahat? Bukankah jaksa itu tugasnya melindungi rakyat dari
kesewenang-wenangan dan himpitan orang-orang jahat?"
In Bwee tersenyum
pahit. "Ceng-taihiap, agaknya biar pun engkau seorang pendekar yang sudah
banyak bertualang, akan tetapi engkau masih belum tahu benar akan keadaan di
kota raja ini. Di sini para petugas dan penjaga keamanan itu sama sekali tidak
melindungi rakyat, melainkan melindungi orang yang mampu memberi kesenangan
kepada mereka, terutama sekali yang mampu memberi uang. Mereka itu tak ada
bedanya dengan tukang-tukang pukul bayaran, hanya bedanya mereka itu
mengandalkan pakaian seragam dan kedudukan. Di sini, uang bisa membeli apa
saja, taihiap. Uang bisa membeli kehormatan, bisa membeli kebenaran, bisa
membeli keadilan."
"Hemm,
kau hendak mengatakan bahwa keadilan dan kebenaran dapat diperjual belikan di
kota raja ini? Dan apakah jaksa itu pun telah dibeli oleh Pat-pi Mo-ko dengan
sogokan harta?"
"Tidak
dengan harta. Paman adalah seorang yang tak dapat dikatakan kaya. Segala harta
yang diperolehnya juga dihamburkan seperti pasir. Bahkan dia banyak minta
kepadaku. Akan tetapi, semenjak dahulu paman menjadi sahabat baik jaksa
Phang-taijin. Aku sendiri tidak tahu bagaimana paman dapat mempengaruhi dan
menundukkan Phang-taijin seperti itu, akan tetapi persembunyiannya di sana pun
hanya aku yang mengetahui, di samping tentu saja kaki tangannya yang telah
dipercayanya benar."
"Seperti
Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko itu?"
Gadis itu
mengangguk. "Akan tetapi harap engkau jangan memandang rendah, taihiap.
Mungkin mereka itu tidak merupakan lawan tangguh bagimu, akan tetapi suhu
itu..."
Thian Sin
mengusap dagu yang halus itu. "Jangan khawatir, kami akan bertindak dengan
amat hati-hati dan terima kasih atas segala keteranganmu. Tanpa bantuanmu itu,
agaknya kami akan sukar untuk mencari pamanmu itu."
"Akan
tetapi aku... suhu tentu akan marah bukan main dan mungkin akan menjatuhkan
hukuman karena aku telah gagal merayumu..."
"Siapa
bilang gagal? Ahh, belum percayakah engkau bahwa aku sudah hampir jatuh hati
kepadamu, In Bwee? Engkau begini manis, jelita dan menawan hati. Kalau saja engkau
tadi tidak mengatakan bahwa engkau saling mencinta dengan Bu Kok Siang,
hemmm... agaknya sekarang juga aku masih akan mau untuk bercinta denganmu. Akan
tetapi, tidak! Engkau seorang gadis baik dan engkau tentu akan menjadi seorang
isteri yang baik sekali dari Bu Kok Siang."
In Bwee
bangkit dan memandang dengan wajah berseri-seri. "Memang, dia sangat cinta
kepadaku, taihiap. Dia sudah kuberi tahu mengenai keadaanku, akan tetapi,
seperti juga engkau, dia tidak menghinaku, bahkan dia kasihan kepadaku. Biarlah
kalau suhu hendak membunuhku, terserah! Aku telah bertemu dengan Bu Kok Siang
yang amat mencintaku, dengan engkau yang begini baik kepadaku, maka kalau
sekarang suhu membunuhku pun aku tidak akan penasaran lagi."
"Hushh,
siapa yang bicara tentang mati? Engkau akan hidup seratus tahun lagi, In Bwee.
Tentang suhu-mu, jangan khawatir. Kalau dia menuntut hasil rayuanmu, nah, kau
berikan ini kepadanya."
Kemudian
Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya, lantas
memberikannya kepada In Bwee. Gadis ini terbelalak memandang kunci emas itu,
lalu dia menatap wajah Pendekar Sadis.
"Taihiap,
bukankah taihiap tadi mengatakan bahwa taihiap harus mendapatkan harta karun
itu dan menyerahkan kepada yang berhak?"
Thian Sin
tersenyum dan di dalam hatinya dia tahu bahwa gadis ini benar-benar sudah
berubah, telah berpihak padanya dan secara diam-diam mulai menentang dan
memusuhi guru atau pamannya. Dia pun bangkit berdiri dan memegang kedua lengan
gadis itu.
"Bwee,
adikku yang manis, jangan kau khawatir. Serahkan saja kunci emas ini, karena
kunci ini akan menyelamatkanmu dari kecurigaan dan ancamannya. Kunci ini pun
tidak akan ada gunanya bagi Pat-pi Mo-ko. Percayalah engkau padaku..."
"Hemm,
kunci palsu?" bisik gadis itu.
Thian Sin
tersenyum. "Engkau jauh lebih cerdas dari pada para kaki tangan Pat-pi
Mo-ko. Nah, kau kembalilah dan tenangkan hatimu."
Berserilah
wajah In Bwee. Memang, dengan membawa kunci emas itu, baik asli atau pun palsu,
akan menolongnya kerena itu merupakan bukti bahwa dirinya telah menyelesaikan
tugasnya dengan baik sehingga suhu-nya tidak memiliki alasan untuk marah
kepadanya. Andai kata kunci emas itu palsu sekali pun, hal itu bukanlah
kesalahannya, karena mana dia tahu kalau kunci itu palsu?
Dia akan
selamat, akan dapat berjumpa kembali dengan Bu Kok Siang dengan selamat dan
siapa tahu, hubungannya dengan Kok Siang akan tumbuh dengan baik dan akhirnya
ia masih akan dapat menjadi isteri orang yang mencintanya dan tidak memandang rendah
kepadanya.
"Terima
kasih, taihiap, terima kasih...," katanya dan sejenak In Bwee membiarkan
dirinya dipeluk dan mukanya terdekap di dada yang bidang itu.
Ia merasa
betapa aman dan tenteramnya berada di dalam pelukan pria ini, akan tetapi ia
segera teringat akan Kok Siang dan teringat pula kepada Kim Hong, maka
dilepaskannya pelukannya dan ia pun lalu keluar dari kamar itu, melalui
jendela.
Setelah
melihat bahwa gadis itu pergi jauh dan tidak ada gerakan lain yang menunjukkan
bahwa ada orang yang membayangi dan mengancam In Bwee, Thian Sin menutupkan
kembali jendela dan pintu kamarnya, lalu merebahkan diri terlentang di atas
pembaringan kamarnya, tersenyum-senyum puas. Dia mengepal tinju.

Dia sudah
berhasil memperoleh rahasia Pat-pi Mo-ko, di mana sembunyinya iblis itu dan
tentu iblis itu yang telah menguasai peta rahasia yang harus dirampasnya
kembali. Juga tentu iblis ini yang tahu di mana adanya Ciang Kim Su atau apa
yang telah terjadi dengan pemuda petani itu. Hatinya terasa girang maka sambil
menanti sampai kembalinya Kim Hong, dia pun dapat tidur pulas.
***************
Akan tetapi
Kim Hong yang ditunggu-tunggu oleh Thian Sin itu tidak juga kunjung datang! Di
samping kegelisahan hatinya, tentu saja Thian Sin merasa heran sekali.
Kekasihnya itu sedang melakukan penyelidikan atas diri Bu Kok Siang, sudah
sejak kemarin, akan tetapi mengapa sehari semalam telah lewat dan Kim Hong
belum juga pulang?
Dia tidak
merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong jatuh cinta pada sastrawan itu. Cemburu
tidak pernah menyelinap di dalam hatinya seperti juga Kim Hong tak pernah
menunjukkan rasa cemburu terhadap dirinya, walau pun gadis itu sering
menyinggung tentang sifatnya yang mata keranjang!
Perasaan
cemburu hanya meracuni cinta! Cinta kasih membutuhkan kepercayaan yang mutlak,
cinta kasih artinya memberi kebebasan kepada orang yang dicinta. Cinta kasih
antara dua orang, pria dan wanita, adalah cinta kasih kedua pihak, yang
dirasakan oleh kedua pihak itu sendiri.
Tak mungkin
ada unsur pemaksaan di sini. Yang ada hanyalah mencinta atau tidak! Bila
mencinta, dengan sendirinya tidak ada penyelewengan, sebaliknya kalau tidak
mencinta, tak akan mungkin dipaksakan, karena itu hanya akan menjadi cinta
palsu dan pura-pura belaka.
Kegelisahan
di dalam hati Thian Sin adalah karena mengingat bahwa dia dan kekasihnya
menghadapi komplotan yang lihai, orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh sesat
yang berbahaya. Siapa tahu, sastrawan muda itu pun termasuk komplotan jahat,
sungguh pun In Bwee telah menyatakan saling mencinta dengan sastrawan muda itu.
Tentu saja
dia percaya penuh kepada kekasihnya. Tidak sembarang orang akan mampu
menandingi Kim Hong. Akan tetapi, menghadapi orang-orang dari dunia sesat
sangatlah berbahaya dan tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian tinggi saja.
Kaum sesat itu sangat berbahaya dengan kelicikan serta kecurangan mereka, penuh
tipu muslihat yang berbahaya.
Akan tetapi
dia tidak tahu ke mana Kim Hong menyelidiki pemuda sastrawan itu. Pula, kalau
dia menyusul, tentu Kim Hong akan menjadi marah dan akan mengira bahwa dia
tidak percaya kepada Kim Hong, bahkan mungkin akan dikira cemburu! Maka, walau
pun hatinya gelisah, Thian Sin terpaksa menanti sampai sehari lagi.
Dan malam
hari itu, In Bwee kembali datang ke kamarnya melalui jendela! Akan tetapi,
begitu melihat bahwa yang masuk adalah gadis itu, dan dia segera menyalakan lilin
lalu memandang pada wajah yang cantik itu, maklumlah dia bahwa tentu telah
terjadi sesuatu yang hebat. Wajah itu amat pucat dan ada bekas-bekas menangis
pada mata yang indah namun agak merah itu.
"Ada
apakah, In Bwee?" tanya Thian Sin.
"Celaka,
taihiap... celaka, kau tolonglah dia...," In Bwee berkata dengan suara
setengah meratap.
Melihat
gadis yang nampak amat gelisah dan kedua kakinya gemetaran itu, Thian Sin lalu
memegang tangannya dan menariknya ke sebuah kursi, dengan halus menyuruh gadis itu
untuk duduk. "Tenangkanlah hatimu, In Bwee, dan ceritakan apa yang telah
terjadi."
"Mereka...
mereka ditawan... ohhh... aku khawatir sekali..."
"Tenanglah.
Begitukah sikap seorang gagah? Tenanglah dan bicara yang jelas!"
Sikap Thian
Sin itu ada pengaruhnya dan sesudah memandang wajah yang tenang itu, In Bwee
akhirnya berhasil menguasai keguncangan hatinya. "Ceng-taihiap, kemarin
mereka telah tertawan. Enci Kim Hong dan Bu-koko... ehh, maksudku Bu Kok
Siang."
"Tertangkap
oleh Pat-pi Mo-ko maksudmu?"
Gadis itu
mengangguk, menarik napas panjang, lantas menunduk. "Mereka dikeroyok di
taman ketika mereka sedang bercakap-cakap. Mereka kemudian mengamuk akan tetapi
akhirnya datang pasukan penjaga keamanan..."
"Hemm,
pasukan yang dikerahkan jaksa Phang?"
"Benar.
Mereka menyerah saat melihat pasukan pemerintah, mengira akan diadili dengan
sebagaimana mestinya. Akan tetapi mereka kemudian dibawa ke tempat tahanan
jaksa di mana terdapat kamar jebakan. Mereka lantas terjebak, kemudian dibius
hingga tertawan, dan kini berada dalam kekuasaan suhu..."
Thian Sin
mengerutkan alisnya. "Cepat beri tahukan aku di mana tempat tahanan itu
dan bagaimana keadaan di sana."
In Bwee
segera memberi tahukan tempat itu, akan tetapi dia pun tidak tahu benar tentang
seluk beluk tempat itu karena belum pernah ke sana. Namun hal itu tidak ada
artinya bagi Thian Sin. Baginya, yang terpenting tahu di mana kekasihnya itu
ditawan.
"Pulanglah,
aku akan cepat menolong mereka. Jangan khawatir," katanya.
Dan gadis
itu pun lalu pergi meninggalkan rumah penginapan untuk kembali ke rumahnya
sendiri dengan hati gelisah. Akan tetapi baru saja tiba tak jauh dari rumahnya,
dia terkejut ketika melihat ada sesosok tubuh tinggi besar menghadangnya di tengah
jalan. Ternyata sosok itu adalah gurunya, atau juga pamannya yang amat
ditakutinya itu!
"Paman..."
"Hemm,
apa maksudmu mengunjungi Pendekar Sadis?" suara pamannya penuh dengan
kemarahan dan kecurigaan.
"Aku..."
In Bwee merasa takut sekali, akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan anjuran
Thian Sin agar jangan takut menghadapi siapa pun juga asalkan berada dalam
kebenaran. Maka ia pun mengeraskan hatinya, memandang wajah pamannya itu dan
berkata lantang,
"Paman,
aku dengan Bu Kok Siang saling mencinta. Maka, melihat dia kau tawan, hatiku
menjadi sangat gelisah sehingga aku pergi mengunjungi Pendekar Sadis itu untuk
minta agar dia suka menolong dan membebaskan Bu Kok Siang."
Kakek itu
memandang tajam. "Hanya untuk itu saja?"
"Habis
untuk apa lagi? Bukankah saya telah mendapatkan kunci emas itu dan telah saya
serahkan kepada paman? Saya tak akan berani mengkhianati paman, akan tetapi
melihat Bu Kok Siang ditawan, saya merasa khawatir dan untuk dia... saya rela
mengorbankan nyawa sekali pun."
Sejenak
kakek itu diam, lalu mendadak tangannya bergerak dan sebelum keponakan atau
juga muridnya itu dapat menghindarkan diri, kakek itu telah menotoknya, lalu
menyambar tubuhnya dan dibawanya pergi dengan cepat. Kejadian itu tidak dilihat
oleh siapa pun juga karena terjadi di tempat sunyi dan gelap.
"Kalau
begitu, engkau harus ikut denganku. Siapa tahu ada gunanya nanti."
***************
Sementara
itu, Kim Hong bersama Kok Siang juga telah mengalami keadaan yang tidak
menyenangkan. Seperti kita ketahui, dua orang muda itu terjebak di dalam kamar
bawah tanah dan kemudian roboh pingsan oleh asap pembius yang tidak mungkin
dapat mereka elakkan. Pada waktu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka
telah terbelenggu di atas dua dipan yang terdapat dalam sebuah kamar yang luas.
Agaknya dipan itu bukan dipan yang biasa dipakai untuk tidur, namun dipan yang
khusus dibuat untuk menyiksa orang!
Dan
teringatlah mereka bahwa mereka kini terjatuh ke dalam tangan petugas
pemerintah yang entah mengapa telah menjebak dan menangkap mereka. Dipan itu
terbuat dari pada besi, ditanam di dalam lantai dan kuat sekali. Dan dipan itu
diperlengkapi dengan kalung-kalung baja untuk membelenggu kaki serta tangan,
juga ada alat putaran untuk menyiksa orang, menarik kedua kaki, menjepit
jari-jari kaki atau tangan, bahkan terdapat pula alat pemanas untuk dibakar
yang berada di bawah dipan.
Begitu
siuman, Kim Hong segera teringat keadaannya dan sekali pandang, maka tahulah
dia bahwa dia sungguh tidak dapat berdaya. Selain gelang baja yang membelenggu
kaki tangannya itu terlampau kuat, juga dia mendapatkan kenyataan bahwa
tubuhnya berada di bawah pengaruh totokan. Andai kata pengaruh totokan itu
telah hilang sekali pun. belum tentu dia akan mampu membebaskan diri dari
belenggu kaki tangannya.
Dia melirik
ke kiri dan melihat betapa Kok Siang juga sudah siuman, bahkan pemuda itu
menoleh ke kanan, memandang padanya kemudian tersenyum lebar! Tersenyum dalam
keadaan seperti itu, sungguh hal yang luar biasa! Diam-diam Kim Hong merasa
heran dan juga kagum.
"Engkau
masih bisa tersenyum?" tanyanya.
"Kenapa
tidak?" jawab pemuda itu dan senyumnya melebar. "Hadapilah segala sesuatu
dalam hidup ini dengan senyum! Kematian pun akan terasa ringan kalau dihadapi
dengan senyum. Sama-sama menggerakkan mulut, dan sama-sama tidak akan mampu
merubah keadaan, mengapa tidak memilih senyum di antara pilihan senyum dan
tangis? Ha-ha-ha, kalau dipikir lucu juga, ya?"
Diam-diam
kekaguman Kim Hong terhadap pemuda ini melonjak. Seorang pemuda yang hebat,
pikirnya. Seorang pemuda yang ahli sastra, mempunyai ilmu silat yang tak
rendah, juga mempunyai keberanian yang mengagumkan, hampir menyamai Thian Sin,
dan patut dijadikan seorang sahabat baik. Dan di samping itu, masih menyimpan
rahasia peta yang amat menarik itu!
"Apanya
yang lucu?" tanyanya untuk menanggapi sikap gembira yang mengagumkan
hatinya itu.
"Masa
tidak lucu? Kita dikeroyok para penjahat di taman, lalu pasukan pemerintah
datang untuk menangkap semua orang yang berkelahi, termasuk kita. Tapi, pasukan
pemerintah malah menjebak kita dan menawan kita dengan cara-cara kaum penjahat,
menggunakan jebakan dan obat bius. Dan kini kita sudah dibelenggu di sini,
bagaikan penjahat-penjahat besar! Sungguh lucu dan aneh. Sebenarnya, siapakah
yang jahat? Para pengeroyok itu, pasukan pemerintah, ataukah kita?"
"Tentu
saja kita!" Kim Hong menjawab sambil tersenyum. "Buktinya kita yang
dibelenggu dan ditelikung seperti babi akan disembelih di sini!"
"Ha-ha-ha,
seperti babi akan disembelih? Kurang tepat penggambaranmu itu, nona. Kita
terlampau kurus jika disamakan dengan babi, tidak berdaging dan penyembelihnya
hanya akan menemukan kulit dan tulang belaka!"
Tiba-tiba
pintu ruangan itu terbuka dan masuklah beberapa orang pria ke dalam kamar yang
luas itu. Kalau tadinya Kim Hong dan Kok Siang menduga bahwa mereka berada di
tangan pasukan dan yang memasuki ruangan itu tentulah komandan, maka mereka pun
kecelik. Ternyata yang masuk itu adalah delapan orang yang berpakaian biasa
saja, biar pun kebanyakan dari mereka besikap kereng dan menyeramkan.
Kim Hong
memandang penuh perhatian dan ia pun tahu siapakah mereka itu. Ada empat orang
pria berusia empat puluh tahun yang segera dikenalnya sebagai sisa dari
Siang-to Ngo-houw, lima jagoan yang telah kehilangan seorang anggotanya akibat
tewas oleh anak panah yang sengaja dilepaskan untuk membungkam mulut orang itu,
kemungkinan besar oleh kepala mereka sendiri.
Kemudian Kim
Hong mengenal Hai-pa-cu Can Hoa yang pernah membikin ribut di rumah makan
kemudian dihajar oleh Kok Bu Siang itu. Juga Jiat-ciang Lui Cai Ko yang
perutnya gendut, matanya juling dan rambutnya riap-riapan nampak pula di antara
mereka.
Kim Hong
tidak merasa heran pula melihat munculnya Su Tong Hak di antara mereka dan kini
orang itu memperlihatkan air mukanya yang sebenarnya, tanpa kedok manis seperti
ketika dia dan Thian Sin mengunjunginya. Pedagang ini sekarang kelihatan sekali
betapa mukanya penuh dengan nafsu, mulutnya menyeringai, matanya berkilat penuh
kecerdikan hingga tahulah Kim Hong bahwa selama ini paman dari Ciang Kim Su ini
memang sudah bersekongkol dengan para penjahat.
Ada pun
orang yang ke delapan, yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, berusia lima
puluh tahun lebih, mudah saja diduganya. Siapa lagi orang ini kalau bukan
Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, pikir Kim Hong. Dari gerak-gerik dan pandang
matanya, Kim Hong dapat menduga bahwa orang ini mempunyai kepandaian tinggi dan
mungkin orang ini pula yang membuatnya gagal mendobrak pintu ketika dia
terjeblos ke dalam kamar rahasia itu, yang memiliki hawa pukulan amat kuat.
Sementara
itu, Kok Siang juga memandang mereka penuh perhatian. Dia merasa sangat
terkejut saat melihat bahwa yang menjebaknya bukanlah pasukan pemerintah,
melainkan orang-orang jahat itu. Dan pemuda yang cerdik ini pun segera tahu
bahwa tentu jaksa itu sudah bersekutu dengan para penjahat ini. Akan tetapi dia
berpura-pura bodoh dan begitu melihat mereka masuk, dia pun berteriak-teriak.
"Heiii!
Apa-apaan ini? Sungguh penasaran! Kami tidak berdosa, mengapa ditangkap? Di
mana adanya keadilan? Dan siapa kalian ini? Mengapa bukan komandan pasukan yang
datang? Kami menuntut keadilan!"
Hai-pa-cu
Can Hoa yang bertubuh tinggi besar, yang kumis jenggotnya malang melintang tak
terpelihara itu telah melangkah maju mendekati Kok Siang, tangan kirinya yang
besar itu bergerak menampar.
"Plakk!
Plakk!"
Dua kali
wajah Kok Siang ditampar dengan keras. Karena Kok Siang sendiri juga masih
terpengaruh oleh totokan hingga dia tidak mampu mengerahkan sinkang, maka tentu
saja tamparan itu harus diterimanya dengan mandah sehingga pipi kanannya
menjadi merah membengkak.
"Wah,
bukankah engkau ini bajingan yang pernah mengacau di rumah makan? Ha-ha-ha,
sobat, kiranya engkau pun seorang pengecut, beraninya hanya sesudah aku
terjebak dan dibelenggu. Coba lepaskan belenggu ini, maka aku akan membuat
engkau tidak sanggup bangun kembali!"
"Siucai
sombong!" Kembali tangan kanan Can Hoa bergerak menampar dua kali.
"Plakk!
Plakk!"
"Cukuplah!"
kata kakek hitam tinggi besar yang sejak masuk tadi memandang kepada Kim Hong,
sehingga Hai-pa-cu Can Hoa segera menghentikan tamparannya.
Kakek hitam
itu lalu menghampiri Kok Siang yang kini kedua pipinya telah menjadi merah dan
agak membengkak akibat tamparan-tamparan Hai-pa-cu Can Hoa tadi. Sejenak mata
yang lebar dan tajam itu seperti hendak menembus dada Kok Siang, kemudian
terdengar kakek itu berkata, suaranya dalam dan tenang, namun penuh wibawa.
"Apa
engkau yang dikenal sebagai Im-yang Siang-pit Bu Siucai dari Thian-cin?"
Seperti juga
Kim Hong, pemuda ini telah dapat menduga siapa adanya kakek hitam tinggi besar
ini. Dia belum pernah berjumpa dengan kakek ini, akan tetapi nama besarnya
telah lama didengarnya dan bahkan belum lama ini dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko
Bouw Kim Seng adalah paman dari gadis yang dicintanya, yaitu Bouw In Bwee!
Jadi inilah
orangnya yang sudah menindas kekasihnya itu. Dan dia hampir merasa yakin bahwa
orang ini pulalah, atau setidaknya juga para kaki tangannya yang telah membunuh
pamannya sendiri, yaitu Louw siucai! Akan tetapi dia segera menekan perasaannya
dan ketika dia ditanya, dia pun mengangguk.
"Benar,"
jawabnya. "Kawan-kawanku menyebutku Im-yang Siang-pit Bu Siucai, dan aku
datang dari Thian-cin. Tidak tahu siapakah engkau! Dan bagaimana kami yang
tadinya menjadi tangkapan pasukan pemerintah, kini bisa terjatuh ke tangan
kalian?"
"Tutup
mulutmu yang lancang itu dan jawab saja semua pertanyaan!" bentak
Hai-pa-cu dengan sikap galak.
Jagoan dari
kota Yen-tai ini memang merasa sakit hati terhadap Kok Siang yang pernah
menghajar dan mempermainkannya, membuatnya malu di restoran tempo hari. Kalau
dia tidak takut kepada Pat-pi Mo-ko, tentu dia akan menghajar habis-habisan
malah mungkin membunuh pemuda yang amat dibencinya itu.
"Bu
Siucai," kata pula Pat-pi Mo-ko, suaranya tenang akan tetapi mengandung
nada yang penuh ancaman. "Tahukah engkau siapa aku?"
Kok Siang
menggelengkan kepala. "Tidak, aku tak tahu. Yang kukenal hanyalah penjahat
kecil yang pernah mengacau di rumah makan ini, dan juga si juling itu yang
mengeroyok kami di taman. Yang lain-lain, aku tidak tahu..."
"Engkau
berhadapan dengan Pat-pi Mo-ko!" kata kakek hitam itu, dan matanya
berkilat ketika dia melihat pemuda yang terbelenggu itu nampak terkejut.
"Ahhh...!
Tapi... tapi mengapa aku ditangkap? Dan bukankah yang menangkapku adalah
pasukan pemerintah?" Kok Siang berpura-pura bodoh.
"Itu
bukan urusanmu. Yang jelas, engkau sudah berani menentangku dan siapa pun yang
berani menentangku di dunia ini, tentu dia sudah bosan hidup. Bu Siucai, namamu
amat terkenal di Thian-cin sebagai seorang gagah yang tidak pernah lancang
tangan. Sekarang engkau muncul di kota raja, apakah kehendakmu?" Sepsang
mata itu memandang tajam penuh selidik.
Kok Siang
bukan seorang yang bodoh. Dia telah menduga bahwa Louw siucai, pamannya itu,
tentu terbunuh oleh iblis-iblis ini, maka jika dia mengaku bahwa dia adalah
keponakan Louw siucai yang hendak mencari pembunuh pamannya, sama saja dengan
membunuh diri.
"Apa
yang hendak kulakukan di kota raja? Tentu saja melancong, apa lagi?"
"Hemm,
kalau engkau tidak bergulang-gulung dengan nona ini, mungkin aku masih dapat
percaya omonganmu." Pat-pi Mo-ko menuding ke arah Kim Hong.
"Ahh,
nona ini? Kami berkenalan secara kebetulan saja, di rumah makan. Tentu jagoan
Yen-tai itu sudah menceritakan kepadamu. Pat-pi Mo-ko, namamu terkenal sebagai
orang besar, maka harap kau suka membebaskan kami yang tidak bersalah apa-apa.
Terutama nona ini. Bagaimana kalau dunia kang-ouw mendengar bahwa Pat-pi Mo-ko
yang besar itu menawan seorang nona muda dengan cara menjebaknya dan
bersekongkol dengan pasukan pemerintah?"
"Tutup
mulutmu! Apakah kau sudah bosan hidup?" Hai-pa-cu Can Hoa membentak dan
mendekat, akan tetapi Kok Siang hanya tersenyum saja. Ia tadi memang sengaja
hendak menggerakkan harga diri Pat-pi Mo-ko, memanaskan hatinya.
Akan tetapi
kakek iblis hitam itu pun sangat cerdik dan tidak mudah dibakar hatinya. Dia
lalu menghampiri Kim Hong, dan Kok Siang mengikuti gerakan kakek itu dengan
jantung berdebar tegang dan khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya
sendiri, akan tetapi dia tahu benar betapa berbahayanya bagi seorang gadis
cantik seperti Kim Hong bila terjatuh ke tangan orang-orang macam ini. Ada
bahaya penghinaaan yang lebih hebat dari pada kematian bagi gadis itu.
Akan tetapi,
dia yang tentu saja tak akan mampu melindungi Kim Hong dengan kekuatan badannya
yang sudah tak berdaya, merasa yakin bahwa ia akan mampu menyelamatkan Kim Hong
dalam saat terakhir, karena dia masih memegang kunci rahasia yang sangat
penting, yaitu peta yang asli! Dengan ini dia akan dapat menebus diri Kim Hong,
kalau perlu.
"Nona,
engkau bernama Toan Kim Hong yang menjadi sahabat serta kekasih Pendekar Sadis,
bukan? Hemm, kasihan Pendekar Sadis, tidak tahu bahwa kekasihnya suka main gila
dengan setiap orang pemuda ganteng seperti Bu Siucai di luaran!" Pat-pi
Mo-ko lalu tersenyum menyeringai, agaknya merasa amat girang ketika mendapat
kenyataan bahwa kekasih Pendekar Sadis mempermainkan pendekar itu.
Hal ini saja
sudah dapat menimbulkan dugaan di dalam hati Kim Hong dan Kok Siang bahwa
penjahat ini agaknya membenci Thian Sin. Akan tetapi, tanpa diketahui oleh
siapa pun juga, diam-diam Kok Siang terkejut setengah mati mendengar disebutnya
Pendekar Sadis.
Dia pun
merasa seperti pernah mendengar nama Ceng Thian Sin ketika mereka saling
berkenalan di rumah makan, akan tetapi sama sekali dia tidak pernah menduga
bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis yang pernah menggegerkan seluruh kota
raja! Akan tetapi, dia dapat menyembunyikan keheranannya dan pura-pura tidak
terpengaruh sama sekali oleh sebutan itu.
Akan tetapi,
Kim Hong sama sekali tidak mau memberi jawaban dan hanya memandang dengan
senyum mengejek, dan pandang matanya menghina sekali. Melihat ini Tiat-ciang
Lui Cai Ko yang bermata juling itu mendekat.
"Twako,
biarlah kusiksa dulu gadis ini supaya mau bersikap lunak dan mau menjawab
pertanyaanmu!" Agaknya sudah gatal-gatal rasa tangan penjahat ini untuk
menyiksa Kim Hong. Jari-jari tangannya sudah terbuka dan bersiap mencengkeram.
Akan tetapi Pat-pi Mo-ko tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Sabarlah,
Cai Ko. Belum tiba waktunya untuk itu." Dan kepala penjahat ini menghadapi
Kim Hong lagi. "Nona, meski pun engkau tidak mengaku, kami sudah tahu
bahwa engkau dan Pendekar Sadis datang sebagai utusan mendiang petani Ciang
Gun, membawa kunci emas dan engkau tahu tentang rahasia harta karun Jenghis
Khan itu. Marilah kita bicara secara terbuka saja karena kita sudah sama-sama
tahu tentang hal itu. Kami juga telah menggeledah dan tidak temukan kunci emas
di tubuhmu atau pakaianmu. Nah, katakan. Di manakah adanya kunci emas itu?
Apakah dibawa oleh Pendekar Sadis?"
Diam-diam
Kim Hong merasa sangat mendongkol. Ternyata dalam keadaan pingsan tadi tubuhnya
sudah digeledah, tentu saja digerayangi tangan-tangan yang kotor dan kurang
ajar itu. Untung tidak terjadi sesuatu dengan dirinya.
Hal ini
tentu saja karena kepala penjahat ini masih membutuhkan keterangan-keterangan
darinya, masih melihat manfaat pada dirinya. Akan tetapi bila sampai sekarang
dia masih selamat, hal itu hanya soal waktu saja. Kalau ia sudah tidak
dibutuhkan lagi, tentu ia akan dilempar kepada orang-orang kasar itu, untuk
disiksa, diperkosa dan dipermainkan, bagai segumpal daging dilempar kepada
anjing-anjing kelaparan. Atau mungkin Pat-pi Mo-ko ini sendiri yang akan
mempeloporinya, melihat sinar matanya yang juga penuh mengandung nafsu ketika
memandangnya itu.
Akan tetapi,
dia sengaja tidak mau membuka mulut dan otaknya dikerjakan. Apa perlunya dia
menjawab? Iblis ini tahu bahwa kunci emas masih berada di tangan Pendekar
Sadis, jadi iblis itu tidak akan mampu berbuat sesuatu dan agaknya tidak akan
mengganggunya secara sangguh-sungguh sebelum kunci itu didapatnya. Mungkin ia
akan dijadikan umpan untuk memancing datang Pendekar Sadis.
Hampir saja
Kim Hong tersenyum. Tanpa perlu dipancing sekali pun, Thian Sin pasti akan
datang untuk menolongnya. Hal ini dia yakin benar. Akan tetapi dia pun merasa
khawatir karena sekali ini mereka menghadapi penjahat-penjahat yang selain
kejam, juga kuat dan curang sekali. Dia sendiri sudah bertindak sangat
berhati-hati dan kalau saja di taman itu tak ada pasukan pemerintah yang turun
tangan, belum tentu pula dia akan begitu lengah sehingga dapat ditangkap begitu
saja!
Melihat
gadis itu tinggal diam saja, Pat-pi Mo-ko tersenyum. Kalau lain orang, tentu
sudah marah bukan main. Akan tetapi iblis ini bukan penjahat sembarangan dan
karena itu dia dijadikan semacam raja tanpa mahkota oleh para penjahat lainnya
di kota raja. Dia cerdik sekali.
"Nona,
apa gunanya nona bersikap diam dan membisu? Meski pun Pendekar Sadis terus
memegang kunci emas, apa gunanya jika dia tidak memiliki peta rahasia itu! Dan
petanya berada di tangan kami! Kini engkau sudah berada di dalam kekuasaan
kami. Pendekar Sadis akhirnya tentu akan menyerahkan kunci itu kalau memang dia
sayang kepadamu."
Kim Hong
hanya tersenyum mengejek saja, memandang dengan sinar mata menghina, bahkan
lalu membuang muka. Sikapnya sungguh memandang rendah sekali.
Pat-pi Mo-ko
kemudian bangkit berdiri, mukanya agak merah walau pun dia masih belum
menunjukkan kekecewaan serta kemarahannya. "Baiklah, mari kita lihat siapa
yang lebih keras hati di antara kita. Kami sudah menyaksikan bahwa engkau
bermain cinta dengan sastrawan ganteng ini di taman. Nah, karena dia ini tidak
ada gunanya bagi kami, maka biarlah engkau melihat ia tersiksa dan mampus di
depan matamu. Hendak kulihat, apakah engkau akan tega melihat kekasih barumu
ini tersiksa sampai mati dan tetap bersikeras menutup mulut?"
Kim Hong
yang membuang muka tadi sudah memandang ke arah Kok Siang. Dilihatnya pemuda
itu berkedip memberi isyarat agar jangan mau tunduk, akan tetapi diam-diam hati
Kim Hong merasa khawatir. Pemuda itu merupakan orang yang amat penting,
terpenting malah karena pemuda itu menguasai peta asli atau mengetahui tempat
peta asli itu.
Tentu saja pemuda
itu sekali-kali tidak boleh tewas begitu saja. Betapa pun juga, dia tidak mau
tunduk oleh gertakan dan hendak dilihatnya dulu apakah benar iblis ini seorang
yang memenuhi kata-katanya, bukan hanya penjahat besar mulut yang suka main
gertak saja. Hal ini pun perlu baginya untuk mengenal watak dan sifat Pat-pi
Mo-ko yang merupakan seorang lawan tangguh dan licik sekali.
Dan Pat-pi
Mo-ko agaknya pun bukan orang yang suka banyak cakap. Tanpa menoleh kepada Kim
Hong untuk melihat apa reaksi dari kata-katanya terhadap gadis itu, dia pun
sudah memberi isyarat kepada para pembantunya.
Hai-pa-cu
Can Hoa segera melangkah maju dan mulutnya menyeringai puas sekali. Inilah yang
dinanti-nantinya. Kebenciannya terhadap sastrawan muda itu kini akan
terpuaskan, dendamnya akan terbalas.
"Heh-heh-heh,
semalam aku memang sudah mimpi melihat engkau terbakar hangus. Aku tak mau
memulai dengan siksaan-siksaan kecil, melainkan langsung saja membakarmu. Ehh,
kutu buku busuk, pernahkah engkau dipanggang hidup-hidup?"
Kok Siang
tentu saja tahu apa yang sedang dihadapinya. Akan tetapi dia adalah seorang
pendekar sejati yang tidak takut menghadapi apa pun juga. Karena itu, dia pun
tersenyum ketika melihat wajah yang menyeringai itu, lalu menjawab dengan suara
lantang.
"Memang
aku pernah melihat, akan tetapi engkaulah yang dipanggang dalam api neraka,
sehingga si Macan Tutul Laut berubah menjadi bangkai macan hangus,
ha-ha-ha!"
"Keparat!"
bentak Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut) Can Hoa dan dengan tangan membentuk cakar
dia hendak menyerang pemuda yang terbelenggu di atas dipan besi itu.
"Can
Hoa!" terdengar Pat-pi Mo-ko membentak.
Dan jagoan
dari Yen-tai itu tidak melanjutkan serangannya, akan tetapi menarik sebuah pipa
besi mononjol di bawah dipan. Terdengar suara berkerotokan dan dari dalam
lubang rahasia muncullah sebuah panci baja terisi minyak yang sudah bernyala,
minyak bernyala itu berada tepat di bawah dipan dan sebentar saja Kok Siang
sudah merasa betapa dipan yang ditidurinya berubah menjadi hangat, lalu panas,
makin lama semakin panas.
Hanya dalam
waktu beberapa menit saja, seluruh tubuhnya sudah menjadi basah, peluh
membasahi pakaiannya dan uap terus mengepul dari dipan itu. Akan tetapi, tak
terdengar sedikit pun keluhan dari mulut pemuda itu. Dia hanya memejamkan kedua
matanya dan karena dia tidak mampu mengerahkan sinkang, maka dia pun hanya
menyerahkan nasib kepada Tuhan saja.
Akan tetapi,
hawa panas itu ternyata menolongnya karena dia merasa betapa pengaruh totokan
itu kini telah pudar dan bebas. Maka dia pun mengumpulkan tenaga sinkang dan
mengerahkan hawa di tubuhnya untuk melawan rasa panas sehingga keadannya
tidaklah sehebat tadi, penderitaannya berkurang, walau pun kalau dilanjutkan,
akhirnya dia tentu akan terbakar hangus.
Tiba-tiba
terdengar suara Kim Hung lantang, akan tetapi nadanya masih mencemoohkan dan
memandang rendah sekali. "Huh, biar kau membakar dia, biar kau cincang
dia, apa hubungannya dengan kami? Tapi kalau dia kalian bunuh, aku akan
menganggap dia mati karena aku, maka kalian berhutang nyawa kepadaku!"
Mendengar
ini, Pat-pi Mo-ko memberi isyarat maka dengan kecewa sekali Hai-pa-cu Can Hoa
menyingkirkan panci minyak bernyala itu dengan menarik pipa besi. Panci bersama
api bernyala itu lenyap ke dalam lubang rahasia.
Dan Kok
Siang malah semakin tersiksa lagi. Setelah tadi mengerahkan sinkang melawan
panas yang luar biasa, kini dia pun menggigil sesudah tiba-tiba saja api itu
disingkirkan! Kim Hong melihat hal ini, akan tetapi tahu bahwa pemuda itu telah
terhindar dari bencana. Diam-diam dicatatnya di dalam hati tentang perbuatan
Hai-pa-cu Can Hoa ini.
Pat-pi Mo-ko
menghampiri Kim Hong. "Aku tak ingin menanam kebencian dalam hatimu, nona.
Nah, marilah kita bicara dengan baik. Benarkah engkau dan Pendekar Sadis telah
menemukan kunci emas itu? Hanya kunci emas saja? Tidak bersama petanya?"
Kim Hong
teringat akan pemberi tahuan Kok Siang tentang peta palsu dan diam-diam ia pun
tertawa di dalam hati, mentertawakan iblis ini. Pertanyaan tentang peta yang
diajukan oleh iblis ini bahkan telah membuktikan kebenaran omongan Kok Siang
dan agaknya iblis ini sudah tahu pula bahwa yang dikuasainya itu hanyalah peta
palsu belaka!
Su Tong Hak
yang agaknya juga menaruh perhatian kepada seluruh peristiwa itu, tiba-tiba
saja ikut berbicara. "Nona, sebaiknya jika kalian bekerja sama dengan
Bouw-sicu. Kalian akan dapat ikut menikmati hasilnya. Apa bila menentang, maka
berarti kalian hanya akan membuang nyawa dengan sia-sia dan tidakkah sayang
sekali seorang muda seperti nona mati konyol?"
"Ha-ha-ha,
ucapan berbau busuk!" terdengar suara Kok Siang.
Semua orang
menoleh karena terkejut. Pemuda yang baru saja tersiksa itu sudah dapat tertawa
dan mengejek lagi! "Mati muda dalam kebenaran adalah matinya seorang
gagah, akan tetapi matinya seorang jahat dalam kehinaan sama dengan matinya
seekor babi!"
Kim Hong
juga memandang kepada pedagang itu dan langsung membentak. "Su Thong Hak!
Engkau pengkhianat tak tahu malu, sudah mencelakakan keluarga kakakmu sendiri
hingga Ciang Gun beserta isterinya terbunuh, juga keponakanmu Ciang Kim Su
terbunuh. Sekarang masih berani membuka mulut di hadapanku?"
Bentakan dan
ejekan Kim Hong dan Kok Siang sungguh mengejutkan hati orang she Su ini, apa
lagi bentakan Kim Hong yang mengingatkan dia akan perbuatannya yang kejam itu.
"Tidak... tidak...!" Dia menggeleng kepala. "Aku tidak membunuh
mereka... dan Kim Su tidak mati..."
"Diam!"
Pat-pi Mo-ko membentak dan orang itu surut ke belakang dengan mata terbelalak
dan muka pucat. Tentu saja Kim Hong mencatat semua ini di dalam hatinya.
"Nah,
nona Toan, kami bemaksud baik dan berniat untuk kerja sama dengan engkau dan
Pendekar Sadis. Maka, harap kau ceriterakan semua yang kalian ketahui tentang
rahasia harta pusaka ini."
Kim Hong
maklum bahwa baginya tak ada jalan lain lagi kecuali menceritakannya, karena
menceritakan hal itu pun tidak ada salahnya. Akan tetapi dia tetap bersikap
angkuh.
"Hemm,
Pat-pi Mo-ko, engkau tentu telah mengerti bahwa dunia kita berlainan, kita
saling berselisih jalan, engkau berkecimpung dalam dunia sesat dan kami
bukanlah orang-orang yang suka mengejar harta dengan kejahatan. Mana mungkin
kita dapat bekerja sama?"
Si tinggi
besar itu menarik napas panjang, lantas berkata dengan suara bersungguh hati.
"Nona Toan, engkau tentunya maklum bahwa di dunia ini tak ada orang mau
menempuh jalan sesat yang penuh dengan bahaya bila tidak terpaksa. Jika kita
berhasil memperoleh harta karun Jenghis Khan dan bagianku lebih dari cukup,
untuk apa lagi aku mengambil jalan sesat? Aku akan mencuci tangan lalu hidup
makmur dan tenteram dengan harta itu."
"Hemmm,
hal itu masih harus dibuktikan. Akan tetapi, engkau bicara tentang kerja sama.
Apakah begini caramu dalam bekerja sama, Pat-pi Mo-ko? Yang diajak kerja sama
harus terlentang di dipan penyiksaan dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh
tertotok?"
"Maafkan
aku, nona. Engkau adalah seorang yang lihai maka dalam keadaan bebas akan
mendatangkan banyak repot bagi kami. Aku harus yakin dulu bahwa engkau
benar-benar mau bekerja sama, dan setelah aku yakin barulah kita akan bicara
seperti antara sahabat dan rekan yang bekerja sama. Nah, sekarang ceritakanlah
dulu. Ceritamu akan menjadi pertimbangan apakah benar engkau mau bekerja sama
denganku."
Sungguh
seorang penjahat yang matang dan cerdik sekali. Seorang lawan yang tangguh dan
berbahaya, pikir Kim Hong.
"Baiklah.
Dengarkan. Kami berdua tidak sengaja mencampuri urusan harta karun Jenghis Khan
ini. Di An-keng kami melihat kakek Ciang Gun dikejar-kejar dan diserang anak
buah Liong-kut-pian Ban Lok. Kami lalu turun tangan, akan tetapi tidak berhasil
menyelamatkan kakek petani itu walau pun kami dapat membunuh Liong-kut-pian dan
dari kakek itu kami menerima kunci emas, dan kami juga ditugaskan untuk mencari
puteranya, Ciang Kim Su, membantunya untuk mencari harta karun yang menjadi
haknya. Sampai di sini, kami lalu mendengar dari orang she Su ini bahwa peta
itu dibagi dua antara dia dan Kim Su dan bahwa peta bagiannya hilang dan Kim Su
pun lenyap entah ke mana. Nah, selanjutnya tentu engkau sudah tahu sampai aku
terjebak olehmu sekarang ini."
Pat-pi Mo-ko
mengerutkan sepasang alisnya yang tebal. "Dan kakek Ciang Gun itu tidak
memberikan sebuah peta lain kepada kalian berdua?" tanyanya sambil menatap
tajam.
Kim Hong
maklum apa artinya pertanyaan ini. Kembali dia mendapat bukti kebenaran dari
pemberi tahuan Kok Siang mengenai peta yang tulen. Penjahat ini bukan hanya
mencari kunci emas, melainkan juga peta aslinya! Dia menggelengkan kepala dan
berkata,
"Kami
justru sedang mencari peta itu yang katanya hilang dan kami merasa yakin bahwa
engkaulah yang menguasai peta itu, bukan?"
Pat-pi Mo-ko
mengangguk. "Memang benar."
"Akan
tetapi peta itu tiada gunanya jika engkau tidak memiliki kunci emasnya,
bukankah begitu?" Kim Hong memancing karena kiranya tidak perlu
disembunyikan lagi kenyataan bahwa mereka saling memperebutkan peta dan kunci
emas.
Kakek itu
merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda. "Sudah ada padaku."
Kim Hong
terkejut, bahkan Kok Siang mengeluarkan seruan heran melihat bahwa benda di
tangan kakek itu adalah sebuah kunci emas! Kim Hong segera mengenal kunci emas
palsu yang biasanya dibawa oleh Thian Sin! Tentu saja jantungnya langsung
berdebar tegang. Bagaimana mungkin kunci emas itu, kunci emas yang palsu, dapat
dikuasai oleh kakek ini.
"Dari
mana engkau memperoleh kunci emas itu?"
Kakek itu
tersenyum. "Tak perlu kau tahu, pokoknya kunci emasnya kini sudah berada
di tanganku."
Hening
sejenak dan dengan pandangan matanya yang tajam Kim Hong menatap wajah orang.
Ia dapat melihat bahwa di dalam mata kakek ini tidak ada sinar tanda kebanggaan
atau kemenangan, maka hatinya pun terasa lega.
Entah
bagaimana kunci itu dapat diambilnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa Thian
Sin dalam keadaan selamat. Kalau kakek ini mampu merobohkan atau membunuh Thian
Sin, tentu kakek ini akan merasa bangga sekali, akan membual di depannya atau
paling tidak akan nampak di dalam sinar matanya.
"Hemm,
Pat-pi Mo-ko, peta sudah ada padamu, juga kunci emasnya sudah ada padamu. Lalu
kenapa pula engkau masih mengganggu dan menjebakku? Apa artinya perbuatanmu
yang curang ini?"
Kakek hitam
tinggi besar itu nampak kecewa dan penasaran sekali. Dia menjatuhkan diri duduk
di atas bangku di dekat dipan di mana Kim Hong terbelenggu, dan sambil menatap
tajam wajah Kim Hong dia menggelengkan kepalanya.
"Peta
yang dibagi dua antara Ciang Kim Su dengan Su Tong Hak itu adalah peta palsu!
Tempat itu sudah kuselidiki menurut peta dan aku tidak dapat menemukan
apa-apa."
"Ha-ha-ha-ha!"
Terdengar Kok Siang tertawa bergelak dan diam-diam Kim Hong merasa kaget dan
khawatir sekali. Apakah pemuda itu tidak bisa melihat suasana sehingga berani
tertawa, mentertawakan iblis yang sedang dilanda kekecewaan dan penasaran itu?
Benar saja,
Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng segera menoleh ke arah pemada itu. Mukanya yang
hitam itu menjadi semakin hitam karena marah, matanya mengeluarkan cahaya kilat
dan Kim Hong tak akan merasa heran kalau iblis itu segera turun tangan membunuh
Kok Siang.
"Orang
she Bu, kenapa kau tertawa?" Suara iblis itu terdengar tenang saja, akan
tetapi di balik ketenangan itu jelas terbayang kemarahan besar.
Kok Siang
yang telah terbebas dari totokan oleh hawa panas tadi, masih saja tertawa geli,
kemudian berkata. "Siapa yang tidak akan tertawa mendengar kelucuan itu?
Harta karun Jenghis Khan sudah mengorbankan banyak nyawa, tenaga serta pikiran,
namun ternyata hanya merupakan lelucon dari Jenghis Khan! Ha-ha-ha-ha, raja itu
memang sangat hebat, pandai, kuat, gagah, keras, kejam sekaligus juga seorang
pelawak besar!"
Pat-pi Mo-ko
bangkit dari tempat duduknya. Dan ketika itu pula, Kim Hong yang melihat bahwa
kemarahan iblis itu mungkin saja akan berarti tewasnya Kok Siang yang sudah
mengeluarkan ejekan bukan pada saat yang tepat itu, segera berkata,
"Hemmm,
Pat-pi Mo-ko, engkau yang sudah menjadi seorang tokoh kawakan dalam dunia
kang-ouw, ternyata mudah saja ditipu orang. Kiranya tidak sulit untuk
menyelidiki di mana adanya peta yang tulen."
Ucapan Kim
Hong ini seperti sinar terang di antara kegelapan yang menyelubungi pikiran
Pat-pi Mo-ko, juga membuat semua orang yang hadir di sana langsung memandang ke
arahnya. Tak ketinggalan Kok Siang menoleh dan memandang kepada Kim Hong dengan
alis berkerut dan pandang mata kaget.
Pat-pi Mo-ko
sudah sering mendengar tentang kelihaian dan kecerdikan Pendekar Sadis. Dan
karena wanita cantik ini adalah sahabat dan juga kekasih Pendekar Sadis, maka
tentu bukan merupakan seorang wanita sembarangan. Timbullah harapan di dalim
hatinya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment