Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Harta Karun Jenghis Khan
Jilid 03
TIBA-TIBA
semua orang menengok ketika melihat masuknya seorang laki-laki tinggi besar
yang berjalan agak sempoyongan. Jelas bahwa lelaki tinggi besar ini sudah agak
mabok, maka sungguh mengherankan sekali, kenapa orang yang sudah agak mabok,
yang berarti sudah terlalu banyak minum arak, sekarang memasuki restoran?
Seorang pelayan segera menyambutnya.
"Tuan
hendak makan? Silakan, di sudut belakang masih ada meja kosong." Walau pun
di ruangan depan juga masih tersisa beberapa buah meja yang kosong, akan tetapi
pelayan yang cerdik ini sengaja memilihkan di sudut belakang agar orang tinggi
besar yang sudah agak mabok dan kelihatannya kasar ini tidak mengganggu
tamu-tamu lainnya.
Si tinggi
besar yang usianya hampir empat puluh tahun itu melotot. Mukanya kasar dan
kumis serta jenggotnya tidak terpelihara, pakaiannya juga kumal akan tetapi
keseluruhan tubuhnya membayangkan kekuatan dan kekasaran. "Apa katamu? Di
belakang? Tidak. Aku ingin duduk di meja ini!" Sambil berkata demikian,
dia menunjuk ke arah meja yang sudah ditempati nona manis yang sedang makan
itu.
Pelayan itu
terkejut. "Harap tuan tidak membikin ribut, meja ini sudah ditempati oleh
nona ini, apakah tuan tidak melihatnya?"
"Peduli
apa? Yang dipakai hanya separuh meja juga tak ada, masih banyak bagian yang
kosong! Dia hanya sendirian, ada pun meja ini untuk delapan orang! Masa mau
diborong sendiri? Pula, tidak baik membiarkan wanita muda dan cantik seperti
dia ini duduk makan sendirian saja! Boleh kan aku duduk di sini menemanimu,
manis?"
Gadis itu
berhenti makan, memandang dengan alis berkerut. "Hemmm, siapakah engkau?
Tidak kenalkah engkau siapa aku maka berani kurang ajar?" gadis itu
bertanya.
Si tinggi
besar tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, karena belum kenal maka sekarang
kita berkenalan! Aku Can Hoa, orang-orang menyebutku Hai-pa-cu (Macan Tutul
Laut), di kota Yen-tai namaku terkenal sekali. Nona siapakah?" Dan si
tinggi besar ini mau duduk begitu saja di atas bangku dekat nona itu.
"Pergilah
dan jangan ganggu aku!" Nona itu berseru dan tangannya menampar ke arah
muka orang itu.
"Plakkk!"
Si tinggi
besar itu menangkis dan akibatnya, nona cantik itu hampir saja terjatuh dari
atas bangkunya! Kiranya si tinggi besar itu menggunakan tenaga keras.
"Ha-ha-ha-ha,
nona manis, jangan terlalu galak Hai-pa-cu tidak biasa menghadapi wanita galak
karena biasanya semua wanita jinak kepadaku, ha-ha-ha-ha!" Hai-pa-cu Can
Hoa itu tertawa bergelak.
Nona itu
terkejut akan tetapi tidak kelihatan takut, bahkan ia menjadi marah dan
meloncat turun dari atas bangkunya, alisnya terangkat dan sepasang matanya
mengeluarkan sinar berapi.
"Bangsat
kurang ajar! Berani engkau mengganggu orang di tempat ini?" teriaknya dan
ia pun sudah siap untuk menyerang si tinggi besar itu.
Dari
gerak-geriknya, Thian Sin dan Kim Hong maklum bahwa gadis itu pun bukan orang
sembarangan dan belum tentu kalah kalau hanya oleh penjahat kasar itu saja.
Kalau tadi nona itu hampir terjatuh dari atas bangkunya ketika si penjahat
menangkis, adalah karena nona itu tidak menyangka bahwa si penjahat akan
menangkis dengan pengerahan tenaga besar.
Akan tetapi
sebelum gadis itu bergerak, mendadak terdengar suara nyaring, "Maaf, nona.
Saya kira sungguh tidak layak mempergunakan sebatang tongkat gading untuk
memukul seekor anjing kudisan. Hanya akan mengotori tongkat indah itu
saja."
Gadis itu
memutar tubuh menengok ke kanan dan ternyata yang berbicara itu adalah si
sastrawan muda yang sejak tadi makan seorang diri. Kini pemuda itu sudah
bangkit dan meninggalkan mejanya, melangkah menghampiri nona muda yang cantik
manis itu, lantas menjura dengan sikap sopan sekali.
Gadis itu
memandang heran karena dia tidak pernah mengenal pemuda itu. Pula, dia pun
tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. "Apa maksudmu?" tanyanya
ragu.
Pemuda itu
tersenyum sehingga nampak betapa tampannya wajah itu, sepasang matanya
bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Maksudku, nona. tidak sepatutnya jika
menggunakan tangan nona untuk menghajar anjing ini. Biarkan aku yang mewakilimu
untuk menghajar dia agar dia tahu sopan santun sedikit!"
Tanpa
menanti jawaban nona itu, si sastrawan muda segera membalik dan menghadapi
penjahat tinggi besar yang kini kelihatan agak ragu-ragu melihat ada orang
berani campur tangan.
"Hai,
kamu Hai-ci-cu (Tikus Laut), apakah kamu tidak pernah sekolah?"
Pertanyaan
itu terdengar begitu wajar dan akrab sehingga si tinggi besar terbawa hanyut
dan otomatis dia pun menggelengkan kepala. "Tidak..." Akan tetapi dia
pun segera sadar dan mukanya menjadi merah, lalu mengepal tinju.
"Bocah
lancang! Mau apa engkau mencampuri urusanku?" Ia pun melangkah maju sambil
mengamangkan tinjunya yang besarnya hampir sama dengan besar kepala pemuda itu.
"Apa kau ingin kepalamu pecah?"
Pemuda itu
dengan lagak lucu meraba-raba kepalanya. "Kepala pecah? Wah, jangan ahh,
kepala cuma satu dipecah, lalu ke mana aku harus mencari gantinya?"
"Pemuda
gila, pergilah, jangan sampai aku marah!" Hai-pa-cu Can Hoa membentak lagi
sambil mengamangkan tinjunya ke depan hidung pemuda itu. Si pemuda
mengernyitkan hidungnya, lalu menggunakan dua jari tangannya untuk menutup
lubang hidungnya sambil mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Huh,
tanganmu bau! Tentu engkau tidak pernah mencuci tangan dan tak pernah
mandi!" katanya.
Karena
hidungnya sedang dijepit jari, maka suaranya menjadi lucu dan bindeng, membuat
beberapa orang yang berada di situ tak dapat menahan ketawa mereka. Biar pun
semua tamu maklum bahwa si tinggi besar itu adalah seorang penjahat, akan
tetapi karena tidak ada yang mengenalnya, maka kesannya tak begitu menakutkan.
Apa lagi mereka semua rata-rata mengenal siapa adanya gadis manis yang diganggu
itu maka tentu saja mereka semua berpihak kepada si nona dan semua orang
menganggap bahwa si tinggi besar itu sungguh mencari penyakit. Munculnya pemuda
sastrawan yang juga tidak dikenal orang itu mendatangkan kegembiraan dan
keinginan tahu.
Si Macan
Tutul Laut menjadi marah bukan main. Tadi dia sudah dimaki Tikus Laut, dan
sekarang dikatakan tangannya bau dan dia tidak pernah mandi. Mukanya yang
berkulit kasar hitam itu menjadi semakin hitam.
"Bangsat
bermulut lancang! Engkau benar-benar sudah bosan hidup!" Setelah berteriak
demikian, si tinggi besar ini sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang
panjang itu bergerak ke depan mengirim serangan.
Memang
serangannya itu cukup dahsyat, yang kanan menghantam ke arah kepala lawan
sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah dada. Semua serangan ini dilakukan
dengan pengerahan tenaga yang besar sehingga membawa angin pukulan yang cukup
kuat.
Akan tetapi,
pemuda yang nampaknya lemah dan lucu itu sama sekali tidak merasa takut atau
gentar, juga tidak nampak gugup sedikit pun juga. Menghadapi serangan seperti
itu, dengan tenang saja dia melangkah mundur sambil menarik kepalanya ke
belakang dan kedua tangan lawan yang menyerangnya itu hanya mampu mendekati
saja akan tetapi sama sekali tidak sampai mengenai tubuhnya! Dan dia pun masih
sempat menengok ke arah nona manis itu sambil tersenyum dan mengedipkan
matanya, seakan-akan memberi isyarat, bahkan dia pun sempat berkata,
"Mari
kita semua lihat, siapa yang bosan hidup. Anjing kudisan semacam dia ini berani
mengganggu seorang siocia terhormat di tempat umum, sungguh dialah sebenarnya
yang bosan hidup!"
Dia masih
juga berkata-kata ketika serangan ke dua datang dengan hebatnya. Sekali ini,
karena si tinggi besar sudah dapat menduga bahwa pemuda yang kelihatannya lemah
itu sebenarnya bukan lawan yang boleh dipandang ringan, telah mengirim serangan
dengan lebih dahsyat lagi, terdorong oleh rasa marahnya. Dan nona itu pun
memandang dengan bingung.
Thian Sin
dan Kim Hong yang sejak tadi duduk tenang sambil memperhatikan, melihat betapa
nona itu nampak bingung melihat ada orang membantunya. Tentu saja hal ini tidak
terlepas dari pandang mata mereka yang tajam dan mereka merasa alangkah anehnya
sikap nona itu. Seolah-olah nona manis itu tidak menghendaki bantuan pemuda
tampan itu.
Sementara
itu, serangan yang ke dua itu pun dielakkan dengan amat mudahnya oleh si pemuda
yang masih tersenyum-senyum. "Hati-hati, jangan kau membuat rusak perabot
rumah makan ini, karena engkau harus menggantinya nanti!" Pemuda itu masih
sempat memperingatkan kepada penyerangnya yang menjadi semakin marah.
Sesudah
empat lima kali menyerang namun gagal dan selalu mengenai tempat kosong,
akhirnya si tinggi besar itu mencabut senjatanya dari pinggangnya, yaitu
sepotong rantai baja yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang atau
sabuk. Rantai ini besar dan berat, terbuat dari pada baja, seperti rantai yang
biasa dipergunakan oleh tukang perahu.
Sepasang
matanya yang besar melotot dan kemerahan, mulutnya cemberut, sedangkan
hidungnya kembang kempis pada waktu si tinggi besar itu melangkah maju
menghampiri pemuda yang mengganggunya.
"Wah,
apakah engkau tukang perahu? Ataukah biasa menjagal kerbau dan rantai itu biasa
kau pakai untuk mengikat kerbau yang hendak kau sembelih? Hati-hati, rantai itu
berat, jangan main-main, bisa-bisa menimpa kepalamu sendiri hingga
benjol!" Pemuda itu terus memperolok dan semua orang yang kini sudah mulai
percaya bahwa pemuda itu adalah seorang yang mempunyai kepandaian lihai
tertawa, bahkan ada pula yang berteriak agar si pemuda menghajar orang kasar
yang telah menghina gadis itu.
Si gadis itu
sendiri tidak lagi duduk menghadapi mejanya, melainkan mundur-mundur dan
mendekati meja Thian Sin dan Kim Hong. Ketika Thian Sin memandang dan gadis itu
pun kebetulan memandang kepadanya, sepasang mata Thian Sin bertemu dengan
sepasang mata yang bening dan jeli, yang mengeluarkan sinar lain dari pada
tadi.
Apa bila
tadi sepasang mata di dalam cermin itu seperti menantang dan merangsang, kini
sepasang mata itu seperti mengirim suatu permohonan, yaitu agar Thian Sin
membantu dirinya. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin! Akan tetapi karena
penjahat kasar itu sudah dihadapi oleh si pemuda sastrawan dan dia mulai
percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengatasinya, maka Thian Sin tidak bergerak
dari tempat duduknya.
Kim Hong
juga diam-diam merasa kagum terhadap pemuda sastrawan itu. Tak diduganya bahwa
pemuda sastrawan yang tadi bersajak dengan lucu, selain memiliki watak gagah
berani membela wanita yang diganggu orang, juga ternyata mempunyai kepandaian
yang mengagumkan.
Cara pemuda
itu mengelak, tanpa gerakan silat, seperti gerakan biasa saja, akan tetapi
sedikit pun serangan-serangan si tinggi besar tak pernah mampu menyentuhnya,
menjadi bukti bahwa pemuda itu memang mempunyai ilmu silat yang sudah mendarah
daging dan tinggi sehingga setiap gerakannya otomatis mengandung gerakan silat.
Juga pemuda itu mempunyai keberanian yang besar, terbukti saat melihat lawannya
mengeluarkan senjata rantai baja yang berbahaya itu, dia masih dapat
menghadapinya dengan olok-olok, sedikit pun tidak merasa gentar.
Padahal,
Thian Sin dan Kim Hong dapat melihat bahwa penjahat itu bukan hanya kasar dan
bertenaga besar, melainkan juga memiliki kepandaian yang tidak rendah dan sama
sekali tidak boleh dipandang ringan. Melihat gerakan orang kasar itu, Thian Sin
dan Kim Hong dapat mengukur bahwa kepandaian si kasar ini sedikitnya tidak
kalah oleh tingkat kepandaian seorang di antara Siang-to Ngo-houw! Jadi dia
bukan penjahat sembarangan saja, melainkan seorang penjahat yang sudah boleh
dianggap sebagai tokoh dalam dunia kaum sesat.
Dugaan
Pendekar Sadis dan kekasihnya ini memang tidak keliru. Memang Hai-pa-cu Can Hoa
sudah terkenal sekali di kota Yen-tai dan sekitarnya. Tentu saja dia tidak
dikenal di kota raja dan dia belum cukup besar untuk berani beraksi di kota
raja, di mana banyak terdapat penjahat besar dan orang-orang pandai.
Maka,
sungguh merupakan suatu keanehan kalau sekarang penjahat ini berani beraksi di
kota raja, apa lagi mengganggu seorang nona cantik yang sudah dikenal banyak
orang di tempat umum. Seolah-olah penjahat dari Yen-tai itu memang sengaja
mencari perkara!
"Wirrr...
siuuuuttt...!"
Rantai baja
yang panjangnya ada satu setengah meter itu menyambar ganas dari atas ke bawah,
ke arah kepala si pemuda sastrawan.
"Uhhhh...
luput!" Pada detik-detik terakhir pemuda itu meloncat ke kiri sehingga
rantai itu menyambar tempat kosong.
Sebelum
rantai itu menyentuh lantai, tangan yang kuat itu menyendalnya hingga rantai
itu segera membalik dan kini dari bawah menyambar ke samping, ke arah kedua
kaki lawan. Gerakan ini saja menunjukkan bahwa Hai-pa-cu memang sudah mahir
sekali memainkan rantainya, dan juga tenaganya besar bukan main sehingga rantai
itu seolah-olah hidup di tangannya.
"Eeiiittttt...
tidak kena lagi!" Si pemuda mengejek sambil meloncat ke atas, membiarkan
rantai itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Akan tetapi baru saja
kakinya turun, rantai itu sudah menyambar lagi, kini dari atas ke bawah lagi,
dengan gerakan menyerong ke kiri.
"Heiiittt....,
luput lagi, sayang!" Lagi-lagi si pemuda mengelak dengan gerakan cepat
bukan main, gerakannya seperti kacau balau, laksana monyet menari saja.
Akan tetapi
di dalam pandangan Thian Sin dan Kim Hong, mereka melihat kematangan gerak yang
amat mengagumkan sehingga mereka menduga bahwa pemuda itu agaknya adalah
seorang ahli silat tinggi, tentu seorang pendekar yang menyamar. Maka tentu
saja keduanya merasa tertarik sekali.
"Wuuuttt...!
Prakkk...!"
Sambaran
rantai yang luput mengenai tubuh si sastrawan muda untuk ke sekian kalinya,
kini menimpa meja. Pecahlah meja itu dan mangkok piring pun pecah berhamburan.
"Wah-wah-wah,
apa kukata? Engkau memecahkan meja dan mangkok yang tadi kupakai. Engkau harus
menggantinya! Sialan, jangan-jangan aku yang disuruh mengganti. Engkau pantas
dihajar!"
Hai-pa-cu
menjadi semakin marah dan sekarang dia sudah menubruk kembali, rantainya
menyambar dengan membuat gulungan sinar melengkung lebar dari samping. Si
pemuda menyambutnya dengan tangan.
"Plakkk!"
Dan ujung rantai itu membelit lengan si pemuda.
Wajah si
tinggi besar itu menyeringai kegirangan dan mengira bahwa sekarang dia dapat
membalas. Ditariknya rantai itu dengan pengerahan tenaga agar pemuda itu
terbawa dan terpelanting. Namun, ternyata tubuh pemuda itu sama sekali tidak
bergerak, seolah-olah seorang anak kecil menarik batu karang saja!
Dan pemuda
itu pun tersenyum-senyum, lalu tiba-tiba saja kakinya bergerak menendang,
mula-mula kaki kiri lantas disusul kaki kanan. Tendangan pertama mengenai
pergelangan tangan si tinggi besar yang memegang gagang rantai. Tidak keras,
namun karena ujung sepatunya dengan tepat mengenai jalan darah, Hai-pa-cu
langsung mengeluarkan seruan kaget, lengannya seperti lumpuh sehingga tangannya
tidak mampu lagi mempertahankan rantainya yang terampas.
Sebelum dia
tahu apa yang sudah terjadi, tendangan ke dua datang. Kiranya pemuda itu
menggunakan tendangan Soan-hong-twi, yaitu semacam tendangan berantai yang
dapat dilakukan terus-menerus secara bergantian oleh kedua kaki.
"Desss...!"
Tendangan
itu sangat keras dan tepat bersarang di dada Hai-pa-cu. Agaknya sekali ini si
pemuda telah mengerahkan tenaga sinkang-nya karena tubuh lawan yang tinggi
besar itu terlempar keras ke arah... meja Thian Sin dan Kim Hong!
Kalau tubuh
tinggi besar yang terlempar itu terbanting dengan kerasnya ke atas meja, tentu
meja itu akan remuk dan akan menimpa masakan-masakan di dalam mangkok yang
tentu akan membuat kuah masakan memercik ke muka dan pakaian Thian Sin dan Kim
Hong. Mereka tentu saja tidak menghendaki hal ini terjadi, maka keduanya sudah
bangkit berdiri dan mengulur lengan. Dengan berbareng tangan mereka menerima
tubuh itu dan mendorongnya kembali ke arah si pemuda sastrawan!
Melihat ini,
pemuda sasterawan itu berseru kagum. "Bagus sekali!"
Memang
gerakan Thian Sin dan Kim Hong itu amat hebat dan hal ini hanya dapat dilihat
oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dapat mendorong kembali tubuh
yang sedang melayang deras itu membutuhkan tenaga sinkang yang lembut dan kuat.
Bukan melawan tenaga luncuran tubuh yang melayang itu, akan tetapi memutarnya
sedemikian rupa sehingga tenaga luncuran itu tidak patah justru ditambah oleh
tenaga mereka berdua sehingga si tinggi besar itu kini melayang ke arah si
sastrawan muda dengan lebih cepat dari pada tadi!
Hal ini
memang disengaja oleh Thian Sin dan Kim Hong. Mereka tahu bahwa pemuda itu
sudah mengenal mereka, atau setidaknya sudah maklum akan kepandaian mereka,
maka tadi si pemuda sengaja melontarkan Hai-pa-cu ke arah mereka. Tentu dengan
niat untuk menguji, maka kini mereka pun ingin menguji pemuda sastrawan yang
aneh itu.
Akan tetapi,
agaknya pemuda sastrawan itu tidak berani menyambut lontaran yang kuat itu
dengan tenaga sinkang, melainkan dia miringkan tubuhnya dan mencengkeram leher
baju si tinggi besar itu, kemudian dengan bentakan nyaring dia langsung
melemparkan tubuh itu ke arah pintu rumah makan sambil berseru,
"Pergilah!"
Tubuh
Hai-pa-cu terbanting keluar rumah makan diiringi sorakan dan ejekan banyak
orang. Si tinggi besar yang tadi bersikap sombong dan mengaku sebagai jagoan
dari Yen-tai itu tidak berani banyak lagak lagi. Tanpa menoleh dia pun
merangkak bangkit dan segera melarikan diri dengan terhuyung-huyung
meninggalkan tempat itu.
Pemuda sastrawan
itu kini menghampiri si gadis manis yang masih berdiri di dekat meja Thian Sin,
menjura dengan senyum ramah. "Jangan khawatir, nona. Anjing itu telah
kuusir dan persilakan nona melanjutkan menikmati hidangan nona."
Gadis itu
yang tadinya sedang memandang kepada Thian Sin, kini menoleh dan terpaksa
menghadapi pemuda itu, mengangguk dan tanpa berkata apa pun lantas kembali
duduk menghadapi mejanya.
Tentu saja
pemuda sastrawan itu melongo menghadapi sikap yang dingin ini. Bukankah dia
telah menolongnya dan mengusir laki-laki yang kasar tadi? Akan tetapi gadis itu
sama sekali tidak memperlihatkan terima kasih, bahkan ramah sedikit pun tidak!
Dan pada saat itu, kepala pelayan sudah datang dan menghampirinya, menjura sambil
berkata dengan suara lirih dan hati-hati.
"Maaf,
kongcu. Meja dan perabot makan itu..."
Pemuda itu
agaknya masih merasa mendongkol oleh sikap si gadis yang tidak mengenal budi,
maka kini dia menoleh memandang meja yang pecah-pecah serta perabot makan yang
hancur, lalu mengangkat pundaknya. "Kau tadi melihat sendiri, yang
membikin rusak adalah anjing besar itu. Apakah aku yang harus
menggantinya?"
"Tapi...
maaf, orang tadi sudah pergi dan dia berkelahi di sini dengan kongcu...,"
Biar pun merasa segan, namun kepala pelayan itu terpaksa menuntut karena dia
pun takut untuk mempertanggung jawabkan kerusakan dan kerugian itu kepada
majikannya.
Dan apa yang
dilakukannya itu, yaitu menuntut kepada si pemuda sastrawan, juga bukan
merupakan hal yang tidak benar karena bukankah perkelahian itu terjadi antara
si tinggi besar dan si pemuda sastrawan? Dan karena si tinggi besar sudah
pergi, siapa lagi kalau bukan pemuda itu yang harus menggantinya? Apa lagi
pemuda itu tidak kelihatan sebagai seorang miskin.
"Sudahlah,
lopek. Masukkan semua kerugian itu ke dalam perhitunganku. Aku yang akan
membayar ganti ruginya." Tiba-tiba gadis itu berkata, tanpa mengangkat
muka dan terus melanjutkan makan seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Pemuda
sastrawan itu tersenyum dan mendekati meja nona itu. "Ahh, sebenarnya
tidak perlu begitu, nona. Biarlah aku saja yang mengganti semua kerugian."
"Biarlah,
karena aku yang menjadi gara-gara semua itu, sungguh pun aku sama sekali tidak
pernah minta atau mengharapkan bantuan darimu." Jawaban ini sungguh dingin
dan anehnya, kembali nona itu melirik ke arah Thian Sin sehingga Kim Hong yang
sejak tadi melihat ini, mengerutkan alisnya.
Pasti ada
apa-apanya sikap gadis ini terhadap Thian Sin, pikirnya. Bagi Kim Hong, tidak
heranlah melihat gadis-gadis tertarik kepada kekasihnya yang memang amat tampan
dan ganteng, namun mengapa gadis ini begitu memperhatikan Thian Sin, padahal,
bukankah yang telah membantunya adalah pemuda sastrawan itu dan pemuda itu pun
sama sekali tidak dapat dibilang buruk, bahkan tampan dan menarik sekali!
Hemm... pasti ada kutang di balik baju.
Akan tetapi,
pemuda itu tidak nampak bingung atau kecewa mendengar ucapan itu. "Aku
mengerti, nona. Aku tahu bahwa tanpa bantuanku sekali pun, anjing itu sama
sekali tidak akan mampu mengganggumu. Hanya kupikir, tidak sepantasnya kalau
nona sendiri yang turun tangan menghajar orang kasar macam dia. Padahal, andai
kata tidak ada aku sekali pun di hadapan nona, terutama dengan hadirnya dua
orang pendekar yang berilmu tinggi seperti kedua orang yang duduk di sebelah
kiri itu, penjahat kecil semacam Hai-pa-cu itu akan mampu berbuat apakah?"
Berkata demikian, pemuda itu menoleh kepada Thian Sin dan Kim Hong, lalu
menjura ke arah mereka. Gadis itu pun menoleh, kemudian dia pun tersenyum manis
kepada Thian Sin.
"Aku
pun tahu dan merasa kagum sekali kepada mereka," lanjut pemuda itu.
Mendengar
ini, Kim Hong tertawa dan berkata, "Ehh, sobat sastrawan yang hebat,
setelah mejamu remuk, mengapa engkau tidak makan bersama kami sekalian belajar
kenal?"
Thian Sin
juga cepat bangkit dan menjura kepada gadis itu. "Agaknya kita semua
saling mengagumi, bagaimana jika kita berempat makan semeja dan minta
disediakan hidangan baru yang segar? Sudikah nona...?"
Tidak
seperli ketika menghadapi pemuda sastrawan tadi, kini gadis ini tersenyum manis
dan berkata, "Terima kasih, aku pun ingin sekali berkenalan dengan
ji-wi..." Lalu gadis tu memanggil pelayan, menyuruh pelayan membersihkan
meja baru dan mereka berempat pun lalu duduk di satu meja.
"Ha-ha-ha-ha,
sungguh baik sekali nasibku hari ini. Perkenalkanlah, aku she Bu bernama Kok
Siang seorang pelancong dari Thian-cin. Sungguh berbahagia sekali hatiku karena
dapat berkenalan dengan tiga orang yang lihai dan amat mengagumkan."
Sambil berkata begini, pemuda itu bangkit dan menjura kepada mereka bertiga,
satu demi satu, sikapnya akrab, ramah dan kocak sekali sehingga Kim Hong
tersenyum dan merasa semakin suka kepada sastrawan yang berwatak lembut, tidak
pemarah dan selalu gembira ini.
"Aku
she Bouw, bernama In Bwee." kata gadis itu, lebih ditujukan kepada Thian
Sin dari pada kepada dua orang yang lain karena ketika memperkenalkan dirinya,
matanya tidak pernah melepaskan wajah Thian Sin.
"Nama
yang amat indah!" kata Bu Kok Siang, sastrawan muda yang usianya kurang
lebih dua puluh tiga tahun itu. "Dan aku pun pernah mendengar bahwa di
kota raja ada seorang hartawan besar. Nama Bouw-wan-gwe (Hartawan Bouw) sudah
sangat terkenal, bukan hanya karena kaya raya melainkan juga karena
dermawan..."
"Ahhh,
itu hanya berita yang dilebih-lebihkan. Bouw-wan-gwe adalah ayahku, dan jangan
terlalu memuji...," kata Bouw In Bwee dan sekali ini mau tidak mau
dipandangnya Kok Siang sambil tersenyum simpul.
"Aha,
ternyata puteri Bouw-wan-gwe! Wah, dibandingkan dengan harta kekayaan orang
tuamu, aku tidak lebih hanya seorang jembel saja, siocia!" kata pula Kok
Siang.
"Hemm,
saudara Bu terlalu merendahkan diri," tegur Kim Hong tersenyum.
"Eh,
eh, sampai lupa. Ji-wi (kalian berdua) belum memperkenalkan diri," kata
Kok Siang, dan sepasang pendekar itu melihat sinar aneh berkilat dari kedua
mata pemuda itu, sinar kecerdasan sehingga mereka dapat menduga bahwa di balik
sikap yang acuh tak acuh itu sebenarnya tersembunyi perhatian yang besar.
"Namaku
Ceng Thian Sin dan dia adalah Toan Kim Hong." kata Thian Sin sambil lalu,
tapi dia memperhatikan kalau-kalau kedua orang itu mengenal namanya. Akan
tetapi gadis itu tidak kelihatan terkejut, dan pemuda itu pun hanya mengerutkan
alisnya.
"Ceng
Thian Sin...? Serasa pernah aku mendengar nama ini, seperti tidak asing bagiku,
akan tetapi... baru sekarang aku berjumpa dengan taihiap..."
"Ahh,
buang saja taihiap itu, engkau sendiri pun berkepandaian hebat, saudara
Bu."
"Tidak
ada sekuku hitam Ceng-taihiap dan juga Toan-lihiap... ahh, nama Toan Kim Hong
sungguh indah sekali!"
Kim Hong
tersenyum dan menatap wajah ganteng itu. "Hik-hik, agaknya saudara Bu Kok
Siang ini selain pintar bersajak, pintar ilmu silat, juga memiliki kepandaian
untuk merayu dan memuji-muji nama wanita. Sungguh mempunyai banyak macam
kepandaian!"
Ucapan ini
sebenarnya dapat dianggap sebagai tamparan, akan tetapi karena Kim Hong
mengatakannya dengan nada sungguh-sungguh, bukan mengejek, dan sambil tersenyum
manis, maka pemuda itu pun tertawa gembira.
Mereka
segera makan minum sambil bercakap-cakap gembira. Thian Sin dan Kim Hong
mendengar bahwa In Bwee selain menjadi puteri seorang hartawan yang kaya, juga
sejak kecil dia mempelajari ilmu silat hingga mencapai tingkat yang cukup
tinggi sehingga andai kata tadi Kok Siang tidak turun tangan, dia sendiri pun
akan sanggup menghajar penjahat kasar itu.
Karena
selain sebagai seorang gadis kaya, juga dia merupakan seorang gadis ahli silat,
maka tidaklah mengherankan kalau In Bwee suka melakukan perjalanan seorang
diri, dan malam itu memasuki restoran tanpa teman lagi, seperti biasanya
seorang gadis kang-ouw yang bebas.
Ada pun Bu
Kok Siang, menurut pengakuannya adalah seorang perantau yang bertempat tinggal
di kota Thian-cin dan kebetulan sedang melancong ke kota raja. Baru tiga hari
dia berada di kota raja. Semua nampaknya kebetulan saja, akan tetapi diam-diam
pasangan pendekar ini menduga dengan penuh keyakinan bahwa kedua orang muda
yang menjadi teman baru itu sama sekali bukan secara kebetulan saja bertemu
dengan mereka. Malah kemunculan Hai-pa-cu tadi pun bukan tidak mungkin sudah
direncanakan terlebih dahulu.
Akan tetapi,
tentu saja mereka tidak mau menyinggung soal ini. Semakin cerdik keadaan lawan,
makin menariklah permainan itu! Mereka sendiri mengaku sebagai dua orang yang
melancong kota raja, datang dari utara tanpa memberi tahu mengenai hubungan
mereka berdua. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka adalah teman-teman baik
saja.
Mereka lalu
berpisah sebagai kawan-kawan baru setelah saling berjanji akan berkunjung ke
rumah Bouw In Bwee yang mengundang mereka. Akan tetapi yang terutama mendapat
perhatian dan undangan khusus dari In Bwee adalah Thian Sin.
"Tidak
salah lagi, mereka berdua itu tentu ada hubungannya dengan urusan ini,"
demikian kata Thian Sin setelah mereka tiba di kamar hotel mereka.
"Aku
pun berpendapat begitu. Dan gadis itu memiliki she Bouw, sungguh kebetulan
sekali she-nya sama dengan she dari kepala penjahat besar di kota raja yang
pernah kita dengar dari Liong-kut-pian Ban Lok itu."
"Kau
maksudkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng?"
Kim Hong
mengangguk. "Sikapnya sungguh mencurigakan sekali dan... dan... dia selalu
memperhatikan engkau, juga kelihatan selalu hendak memikat..."
"Ehhh,
kau cemburu?" Tentu saja sejak tadi Thian Sin sudah dapat mengetahui
betapa In Bwee selalu memikatnya dan betapa Kim Hong melihat hal ini dengan perasaan
cemburu yang disembunyikan.
"Siapa
cemburu? Sastrawan itu pun ganteng dan menarik sekali!" jawab Kim Hong.
Thian Sin
maklum bahwa kekasihnya itu sengaja menyebut-nyebut nama Kok Siang untuk
membalasnya.
"Pemuda
itu pun patut diperhatikan, dia tidak kalah menarik dan mencurigakan dari pada
In Bwee. Karena itu, aku ingin agar engkau mencari dan menyelidikinya."
"Dan
engkau sendiri akan menyelidiki In Bwee?"
"Tepat!
Kita membagi tugas dan kurasa dari mereka itulah kita akan mengetahui tentang
rahasia peta yang hilang."
"Hemm,
tugas yang manis dan menyenangkan bagimu, ya?"
"Kim
Hong, keadaan kita sama saja."
"Maksudmu?"
"Aku
bisa tertarik kepada In Bwee yang manis, akan tetapi engkau pun bisa saja
tertarik kepada Kok Siang yang ganteng. Bukan engkau saja yang bisa cemburu,
aku pun bisa."
"Jadi..."
"Nah,
kita uji diri serta batin sendiri. Sedikit main-main, apa salahnya? Dan yang
paling penting adalah kita bukan mengejar asmara, namun mengejar rahasia peta.
Ingat!" Thian Sin tersenyum.
Kim Hong
membalas pandang mata itu, dan tersenyum pula. Keduanya pun mengerti, lalu
saling rangkul dan keduanya roboh di atas pembaringan sambil tertawa-tawa dan
mereka segera tenggelam di dalam lautan kemesraan dan pencurahan kasih sayang
mereka satu sama lain.
***************
Gadis yang
sedang membaca kitab seorang diri di pondak mungil di tengah taman bunga itu
sungguh nampak cantik manis di bawah sinar lampu merah. Dan pondok yang terbuka
jendelanya itu dipenuhi dengan keharuman bunga-bunga mawar yang sedang mekar
dan juga bunga-bunga lain yang memenuhi taman.
Tidak ada
seorang pun pelayan yang menemani Bouw In Bwee. Memang In Bwee ingin
bersendirian membaca kitab dan dia telah mengusir semua pelayan dari pondok di
taman bunga keluarganya yang kaya raya. Bulan di luar pondok amat cemerlang
karena malam itu memang menjelang bulan purnama yang akan muncul dua malam
lagi. Bulan sudah nampak bundar dan cerah.
Tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di dalam pondok itu sudah berdiri
seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
Sekali pria itu mengebutkan lengan bajunya, maka padamlah lampu yang terletak
agak jauh, terletak di atas meja! Hal ini membuktikan betapa hebatnya tenaga
sinkang dari pria itu. Keadaan dalam pondok mendadak menjadi gelap
remang-remang karena kini hanya mendapatkan sedikit penerangan dari cahaya
bulan.
Akan tetapi In
Bwee tidak nampak terkejut. Memang semenjak tadi dia telah menanti. Dia hanya
bangkit berdiri, menoleh ke arah pria itu.
"Paman...,"
katanya lirih sebagai sambutan.
"In
Bwee, bagaimana hasilnya?"
"Aku
telah berhasil menghubungi mereka, paman. Akan tetapi aku harus bertindak
secara hati-hati sekali. Mereka berdua mempunyai ilmu yang amat tinggi, dan
mengingat bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis, hatiku sungguh tidak tenang
sekali."
"Hemmm...,
sudah kukatakan bahwa engkau tak perlu mengandalkan ilmu silatmu. Untuk
menghadapinya dalam hal itu, serahkan saja kepadaku kelak. Yang penting engkau
harus dapat memikatnya, menarik perhatiannya sehingga dia dapat menceritakan
dengan terus terang tentang kunci emas itu. Bagaimana hasilnya malam kemarin
itu?"
"Sebetulnya,
dengan bantuan Hai-pa-cu telah kuatur seperti yang paman kehendaki. Akan tetapi
sialan benar, ada yang campur tangan dan sama sekali di luar rencana kita.
Muncul seorang sastrawan muda dari Thian-cin bernama Bu Kok Siang yang memiliki
kepandaian tinggi juga. Melihat gerakannya ketika dia mengalahkan Hai-pa-cu,
tentu kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkatku."
"Hemm...
jadi engkau gagal karena ulah sastrawan jahil itu?"
"Gagal
sama sekali sih tidak, sebab aku berhasil berkenalan dengan mereka, juga dengan
sastrawan itu tentu saja, dan aku sudah menjadi kenalan mereka, malah sudah
kuundang dia untuk datang ke sini..."
"Bagus,
kau atur saja dan jangan engkau main-main, In Bwee. Jika berhasil, maka selain
akan mewarisi ilmu-ilmu simpananku, engkau juga akan memperoleh sebagian dari
harta pusaka Jenghis Khan itu. Akan tetapi kalau engkau menolak dan
mengkhianatiku, awas kau, aku tidak akan mengampunimu lagi. Ayah bundamu akan
mendengar semuanya!"
"Paman..."
Gadis itu terisak.
"Jangan
khawatir, aku tidak akan sekejam itu, engkau adalah keponakanku sendiri. Akan
tetapi engkau harus mentaati perintahku, hanya sekali ini. Mengerti?"
"Baik,
paman."
"Nah,
aku pergi dulu. Lakukan secepat mungkin dan harus berhasil!" Tiba-tiba
orang tinggi besar itu berkelebat dan lenyap dari situ seperti setan saja.
In Bwee
menyalakan lampu dengan jari-jari tangan gemetar. Wajahnya masih agak pucat dan
jantungnya berdebar tegang. Setelah lampu menyala, barulah hatinya tenang, akan
tetapi pikirannya mengenang keadaan dirinya dan tanpa dapat ditahan lagi gadis
itu pun menangis sambil meletakkan kepala di atas kedua lengannya di atas meja.
Entah berapa lamanya dia terhanyut dalam kedukaan ini, dia tidak ingat lagi.
"Nona
In Bwee... kenapa kau menangis...?"
In Bwee
terkejut bukan main dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat keluar
dari kamar pondok itu lantas dia berhadapan dengan seorang pemuda yang tadi
berdiri di luar jendela, pemuda yang bersikap tenang dan bukan lain adalah Bu
Kok Siang!
"Ahh,
kiranya engkau..." In Bwee berkata dengan hati lega ketika melihat siapa
orangnya yang barusan menegurnya tadi. Akan tetapi segera dia teringat akan
kedatangan orang pertama tadi, maka sambil berusaha menatap wajah di bawah
sinar bulan yang sayu itu, dia pun bertanya, "Sudah lamakah engkau tiba di
sini?"
Kok Siang
mengangguk. "Lama juga, aku tadi berlindung di balik rumpun bunga di
sana."
"Ahh...!
Jadi... jadi kau tadi melihat...?"
Pemuda itu
mengangguk.
"Ahh...!"
In Bwee menjadi terkejut sekali dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi
mukanya.
Sentuhan
tangan pemuda pada pundaknya itu halus sekali, sama sekali tak mengandung
kekurang ajaran dan suara itu tergetar penuh perasaan. "In Bwee... nona...
tenangkanlah hatimu. Aku tidak sengaja melihat semua itu tadi, tapi...
percayalah aku tak akan pernah mengatakannya kepada siapa pun juga. Aku
bersumpah! Dan kau jangan khawatir, aku... aku siap untuk melindungimu dari
ancaman apa pun juga, dengan taruhan nyawaku!"
Gadis itu
menurunkan kedua tangannya dan sampai lama dia memandang wajah pemuda itu,
memandang dengan penuh keheranan dan keraguan. Kemudian dia berkata,
"Marilah kita bicara di dalam. Di sini bisa terlihat orang lain."
Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, In Bwee memasuki pondok itu diikuti oleh Kok
Siang. Kemudian, sesudah menutupkan daun jendela, In Bwee bersikap agak tenang
dan mencoba untuk menahan getaran suaranya yang masih terguncang.
"Bu-kongcu...
ehh, saudara Kok Siang, kau duduklah."
Mereka duduk
berhadapan dan kembali di bawah penerangan lampu kini mereka saling pandang dan
sinar mata mereka bertaut sampai lama sekali. Gadis itu lalu menunduk dan
menarik napas panjang.
"Jawab
pertanyaan-pertanyaanku. Pertama, kenapa malam-malam begini engkau datang ke
sini, bukan berkunjung sebagai tamu namun datang seperti ini, melalui taman
seperti pencuri?"
Pertanyaan
itu tak mengandung kemarahan, akan tetapi tatapan mata itu demikian tajam
seakan-akan gadis itu hendak menjenguk isi hati pemuda itu. Kok Siang yang
biasanya berjenaka itu, sekarang nampak serius.
"Entahlah...
aku tidak dapat tidur... siang tadi aku ingin mengunjungimu akan tetapi selalu
teringat akan perbedaan keadaan antara kita, membuat aku ragu-ragu. Tapi malam
ini... aku begitu gelisah dan ingin sekali berjumpa denganmu, atau setidaknya
melihatmu, atau paling tidak melihat rumahmu dan... di sinilah aku. Ketika
lewat di rumahmu, aku semakin ingin melihatmu, maka dengan lancang aku telah
meloncati tembok lalu ke taman ini dan sungguh kebetulan sekali aku melihatmu
dan tadi..."
"Cukup.
Kini pertanyaan ke dua. Apakah kau tadi mengenal orang itu?"
Pemuda itu
menggeleng. "Terlalu gelap untuk dapat melihatnya dan gerakannya demikian
cepat, seperti setan menghilang saja. Akan tetapi dia itu pamanmu, bukan?"
Kedua tangan
gadis itu mencengkeram lengan pemuda itu, bukan serangan, melainkan cengkeraman
karena terkejut. "Kau... kau tahu...?"
Kok Siang
menggelengkan kepala. "Aku tadi lapat-lapat mendengar engkau menyebut dia
paman, dan... aku... aku tidak sengaja mendengar ancamannya yang terakhir tadi,
yaitu kata-kata ini: Nah, aku pergi, lakukan secepat mungkin dan harus
berhasil."
"Ahhh...!"
Entah apa artinya keluhan ini, mungkin juga perasaan lega karena pemuda itu
tidak mengetahui semuanya, atau juga khawatir. Kok Siang tidak dapat menyelami
hati gadis ini. Akan tetapi In Bwee melepaskan cengkeraman tangannya, lalu duduk
kembali.
"Sekarang,
jawablah sejujurnya, ahh, jangan sembunyikan rahasia, jawablah sejujurnya...
kenapa engkau bersikap seperti ini kepadaku? Mengapa engkau tadi mengatakan
bahwa engkau hendak melindungi aku dari ancaman apa pun juga, dengan taruhan
nyawamu?" Sekali ini, dengan terang-terangan In Bwee memandang wajah
pemuda itu, sinar matanya seperti hendak menembus dan mengetahui isi hati
pemuda itu.
Berdebar
rasa jantung Kok Siang. Beberapa kali dia menelan ludah sebelum menjawab,
kemudian dia pun berkata, suaranya lirih dan tergetar penuh perasaan,
"Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa apa yang hendak kukatakan ini adalah yang
sejujurnya. Nona... ehhh, Bwee-moi, terus terang saja, selama hidupku belum
pernah aku jatuh cinta. Akan tetapi sejak aku bertemu denganmu di restoran itu,
melihat sikapmu menghadapi penjahat, aku sudah jatuh hati kepadamu dan aku
telah mengambil keputusan bahwa engkaulah wanita satu-satunya yang kuingin agar
menjadi jodohku. Akan tetapi... mendengar bahwa engkau adalah puteri seorang
hartawan besar, timbul keraguanku karena aku tidak ingin dianggap pengejar
harta dan hendak mengawini hartamu. Aku... aku cinta padamu, Bwee-moi. Nah,
terus terang saja kukatakan ini, dari pada kusimpan-simpan hingga menjadi racun
hatiku. Ketika melihat engkau menangis begitu sedih tadi... aku merasa bahwa
akulah orangnya yang harus melindungimu dengan taruhan nyawaku."
"Ahh,
tidak... tidak...!" Dan tiba-tiba In Bwee menutupi mukanya dan menangis
lagi!
"Bwee-moi,
jangan salah sangka. Aku sungguh tidak menginginkan hartamu. Aku sendiri
bukanlah orang yang terlampau miskin, walau pun tidak sekaya ayahmu. Akan
tetapi aku mempunyai cinta dan biar pun baru satu kali kita saling berjumpa,
akan tetapi aku sudah yakin bahwa aku cinta padamu dan... aku bersedia menjadi
jodohmu walau pun engkau tidak membawa harta secuwil pun."
Akan tetapi
ucapan itu bahkan membuat In Bwee menangis semakin sedih.
"Bwee-moi,
maafkan aku... ampunkanlah kalau aku menyinggung perasaanmu..."
In Bwee
menggelengkan kepala. "Biarkan aku menangis... biarkan aku
menangis..." dan dia pun mengguguk.
Kok Siang
diam saja, hanya memandang dengan hati terharu dan dia tahu bahwa gadis itu
bukan tersinggung melainkan sedang berduka, dan agaknya baru sekarang mendapat
kesempatan untuk menumpahkan semua kedukaan hatinya melalui air matanya.
Setelah
tangisnya mereda, akhirnya gadis itu mengangkat muka dan memandang kepada
pemuda itu dengan wajah pucat dan mata merah. Sampai lama ia memandang,
kemudian berkata lirih, "Aku percaya... sudah kurasakan sejak kemarin
malam. Akan tetapi, aku... aku sungguh tidak berharga untuk menjadi isterimu
atau isteri siapa pun juga." Kembali ia menangis.
Kok Siang
terkejut dan cepat memegang tangan yang tergetar itu. "Ah, moi-moi...
kenapa engkau bicara seperti itu? Engkau seribu kali lebih berharga dari pada
aku!"
"Engkau
tidak mengerti... ahh, baiklah, dengarkan akan kuceritakan kepadamu. Duduklah
yang tenang, dan dengarkan ceritaku. Mala petaka itu terjadi tiga tahun yang
lalu...! Kau tahu, semenjak kecil aku berlatih silat, dibimbing oleh pamanku
yang ilmu silatnya amat tinggi. Aku berlatih bersama beberapa orang murid
pamanku. Sesudah aku dewasa, tiga tahun yang lalu, aku berusia delapan belas
tahun... dan keadaan pamanku itu, walau pun dia lihai tetapi... ahhh, dia bukan
orang baik-baik... dia bergaul dengan orang-orang jahat, bahkan menjadi
pemimpin mereka... begitu pula murid-muridnya... dan... ahh, aku terpikat oleh
seorang suheng-ku... sampai... sampai pada suatu hari, dalam mabokku akibat
kami minum arak, agaknya sudah disengaja oleh suheng-ku itu, aku... aku
menyerahkan diriku padanya..." Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi
merah sekali. Kemudian dia mengepal tinjunya dan mengangkat muka. "Nah,
kini telah kau dengar baik-baik? Apakah engkau masih berani mengaku cinta
padaku?"
Pengakuan
itu bagaikan halilintar menyambar kepala pemuda itu. Dia menjadi nanar dan
wajahnya pucat, matanya menjadi sayu dan merenung kosong. Akan tetapi, dia
segera menggoyang kepalanya dan juga mengepal tinju.
"Bwee-moi,
aku cinta padamu sekarang! Yang kucinta adalah engkau sekarang ini, bukan
engkau dahulu-dahulu dan bukan pula keperawananmu! Nah, sudah dengarkah
engkau?"
Ucapan yang
keras itu mengejutkan In Bwee, juga mengherankannya. "Tapi...
tapi..."
"Lanjutkan
ceritamu!"
"Aku
merasa menyesal sekali akan peristiwa itu dan aku... aku lalu membunuh
suheng-ku itu! Aku tahu bahwa dia sengaja memikat dan melolohku dengan arak
keras, dan akhirnya aku juga tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya dan
bahwa dia pun hanya mau mempermainkan aku. Paman, yaitu suhu kami sudah tahu
akan hal itu. Dia membantuku, merahasiakan hal itu. Kalau dia memberi tahu
kepada ayah, tentu ayah akan marah sekali dan mungkin aku akan diusir, tidak
akan menjadi ahli warisnya karena ayahku tidak suka anak perempuan. Nah,
kemudian paman membantuku, menyimpan rahasia itu akan tetapi sebaliknya aku
juga harus membantunya."
"Membantunya?
Membantu apa?"
"Macam-macam,
pokoknya yang mendatangkan uang. Malah aku sering disuruh mencuri barang-barang
berharga milik ayah dan ibu untuknya, dan aku disuruh pula melakukan kejahatan
bersama murid-murid dan anak buahnya..."
"Ahhh...!"
"Aku
terpaksa... aku takut kalau sampai ayah dan ibu tahu bahwa aku sudah bukan
gadis lagi... aku bahkan terus menerus menolak kalau mau dikawinkan... ahh,
betapa aku telah menderita hebat... bukan hanya karena keadaanku ini, akan
tetapi juga akibat penekanan paman..." Gadis itu menangis lagi, dan kini
tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu melangkah maju, lantas memegang tangannya.
"Bwee-moi,
pandanglah aku baik-baik. Nah, apakah sekarang engkau percaya bahwa aku cinta
padamu? Mencinta dengan murni dan tulus, bukan hanya mencinta keperawananmu
atau harta bendamu?"
Mereka
saling pandang dan gadis itu mengangguk.
"Dengarkan
baik-baik kalau engkau percaya dan engkau dapat membalas atau menerima cintaku.
Engkau sudah bertindak keliru. Semestinya, engkau berterus terang kepada ayah
bundamu dan menghadapi segala akibatnya. Dengan membiarkan dirimu diperalat
oleh orang lain, maka berarti engkau semakin dalam terperosok. Sekarang, kau
ceritakanlah semuanya kepadaku..."
"Tidak...
aku tidak berani... engkau tidak tahu betapa lihainya pamanku," gadis itu
berkata dengan muka pucat dan mata liar memandang ke kanan kiri. "Engkau
pergilah, Siang-ko, pergilah dulu... dan biarkan aku berpikir dengan matang...
kedatanganmu terlalu tiba-tiba. Besok... besok atau lusa kita bertemu lagi, di
sini... malam-malam begini... sekarang kau pergilah..."
Kok Siang
menghela napas, tidak berani memaksa. "Baiklah, akan tetapi ingatlah
selalu bahwa di dunia ini ada Bu Kok Siang yang akan melindungimu dengan
taruhan nyawa, yang akan tetap mencintamu dan tidak mempedulikan riwayatmu yang
sudah lalu. Nah, selamat tinggal, sampai jumpa besok atau lusa malam."
"Baik,
Siang-ko... kalau engkau melihat lampu merah di pondok ini, jendelanya terbuka,
berarti aku menantimu di sini..."
Pemuda itu
mengangguk, menggenggam kedua tangan itu, kemudian dia meloncat keluar dan
lenyap dalam kegelapan malam. In Bwee memandang ke arah lenyapnya pemuda itu
dengan mata sayu, kemudian termenung-menung dan akhirnya ia pun kembali
menangis sendirian, menahan isaknya supaya tidak menimbulkan suara. Peristiwa
yang baru saja terjadi itu terlalu hebat baginya. Dan ia sama sekali tidak tahu
bahwa ada bayangan yang mendekatinya, kemudian terdengar suara orang di balik
jendela.
"Hemmm...,
diam-diam engkau telah punya pacar, ya? Baik, selesaikan tugasmu sampai
berhasil dan engkau akan menikah dengan pacarmu itu, aku yang akan membujuk
orang tuamu agar setuju. Akan tetapi kalau engkau mengkhianatiku, pacarmu itu
akan kubunuh dan rahasiamu akan kuumumkan tidak hanya kepada ayah bundamu, akan
tetapi kepada semua orang!"
"Paman...!"
In Bwee berseru kaget sekali akan tetapi bayangan itu telah cepat berkelebat
dan akhirnya lenyap.
In Bwee
hanya dapat merenung dengan wajah pucat. Kemunculan guru atau pamannya yang
lihai itu seketika langsung membuyarkan harapan serta khayalnya yang baru
timbul bersama munculnya pemuda sastrawan itu. Sedikit harapan itu bagaikan
awan tipis yang tersapu badai.
***************
"Bu-kongcu...!
Tunggu sebentar...!"
Bu Kok Siang
yang sedang berjalan seorang diri pada pagi hari itu tentu saja mendengar
teriakan suara wanita ini, maka ia pun cepat berhenti melangkah lalu menoleh.
Wajahnya segera berseri dan bibirnya tersenyum ketika dia melihat siapakah
gerangan wanita yang memanggilnya itu. Ternyata yang memanggilnya tadi adalah
wanita cantik yang waktu itu telah dikenalnya di dalam rumah makan, yang
bernama Toan Kim Hong!
Setelah
wanita itu tiba di depannya, Kok Siang cepat mengangkat kedua tangan memberi
hormat sambil berkata, "Ahh, kusangka siapa, tak tahunya nona Toan. Dan
harap jangan menyebutku kongcu (tuan muda), membuat aku menjadi malu
saja."
"Selamat
pagi, Bu... twako! Biar kusebut twako, biar pun mungkin aku lebih tua. Engkau
tahu, wanita selalu ingin dianggap lebih muda," kata Kim Hong tersenyum.
Kok Siang
tertawa. "Dan memang kelihatannya engkau jauh lebih muda dari pada aku,
nona. Sepagi ini engkau hendak ke manakah? Dan mengapa nona sendirian saja?
Mana saudara Ceng Thian Sin yang gagah perkasa itu?"
"Dia
tinggal di kamarnya di hotel. Aku memang sengaja keluar hendak mencarimu."
Pemuda itu
mengangkat dua alisnya dan memandang heran. "Lihiap... ehh, nona mencari
aku? Ya nasib mujur! Sungguh beruntung sekali. Ada keperluan apakah
gerangan...?"
Kim Hong
tertawa, manis sekali. "Kita sudah saling berkenalan, apakah kalau tidak
ada urusan penting tidak boleh mencari dan mengunjungi? Tadi aku lewat di depan
hotelmu tapi engkau tidak ada, lalu kulihat engkau berjalan sendirian, seperti
orang tergesa-gesa, maka kupanggil. Apakah aku mengganggumu? Kalau begitu
biarlah aku pulang lagi saja."
"Ehh,
ehhh... nanti dulu. Tentu saja aku girang dapat bertemu denganmu, nona. Aku pun
belum sempat mengunjungi rumah penginapan kalian, dan kebetulan dapat berjumpa
di sini. Nah, ke mana kita pergi sekarang untuk merayakan pertemuan ini?"
"Aku
ingin bercakap-cakap denganmu, Bu-twako."
"Kalau
begitu, mari kita pergi ke taman umum di tepi sungai, di sana indah dan sepi.
Tidak enak bercakap-cakap di tepi jalan seperti ini."
Mereka lalu
berjalan bersama menuju ke taman yang luas itu. Kota raja terkenal dengan
taman-tamannya yang indah, akan tetapi hanya beberapa buah saja yang terbuka
untuk umum, di antaranya taman di tepi sungai yang dikunjungi oleh dua orang
muda itu.
Banyak orang
yang bertemu dengan mereka di jalanan memandang pasangan ini dengan rasa kagum
karena memang pasangan ini cocok sekali. Yang wanita cantik jelita, yang pria
juga tampan dan ganteng. Dan keduanya tidak merasa canggung berjalan bersama,
seolah-olah mereka memang telah menjadi sababat baik sejak dahulu.
Pada
sepanjang perjalanan menuju ke taman bunga itu, Kim Hong mendapat kenyataan
bahwa pemuda itu telah hafal akan keadaan kota raja, dapat menunjukkan
tempat-tempat penting kepadanya, seperti seorang penunjuk jalan yang pandai dan
ramah.
Pagi itu
taman di pinggir sungai masih sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang sedang
berkunjung dan berjalan-jalan di dalam taman, dan mereka itu tentu para
pendatang dari luar kota. Ada pula yang pesiar naik perahu di pinggir sungai.
Kim Hong dan Kok Siang memilih tempat duduk di tepi kolam ikan emas, di atas
sebuah bangku panjang di mana mereka duduk berdampingan.
"Nah,
sekarang kita berada di tempat sepi, berdua saja. Apakah yang hendak kau
katakan kepadaku, nona?"
"Bu-twako,
bukan aku yang ingin mengatakan sesuatu kepadamu, akan tetapi engkaulah yang
sebaiknya mengatakan dengan terus terang kepadaku mengenai dirimu...,"
kata Kim Hong sambil menatap wajah tampan itu dengan tajam dan penuh selidik.
Pemuda itu
mengerutkan alisnya. "Maksudmu?"
Kim Hong
memutar tubuhnya sehingga sepenuhnya menghadapi pemuda itu dan pandang matanya
mencorong, mengejutkan hati pemuda itu. "Bu-twako, kiranya engkau tidak
perlu bersandiwara lagi. Kemunculanmu di restoran itu tentu bukan sebuah hal
yang kebetulan saja. Engkau membawa suatu rahasia dan engkau tentu telah
mengenal kami, setidaknya engkau mengetahui sesuatu tentang kami. Benarkah
itu?"
Hening
sejenak. Pemuda itu masih mengerutkan kedua alisnya dan kini pandang matanya
juga serius, berkilat dan penuh semangat, tak lagi disembunyikan di balik
kejenakaan dan kegembiraannya.
"Mengapa
engkau dapat menduga seperti itu, nona? Adakah sesuatu yang mencurigakan dalam
tindak tandukku selama ini?" Dia memancing karena masih meragukan
kata-kata Kim Hong tadi yang dianggapnya hanya dugaan-dugaan belaka.
Kim Hong
tersenyum, senyuman yang mengandung ejekan. "Kau kira kami begitu bodoh?
Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi, tetapi engkau
bersikap bodoh dan berkelakar. Kemudian secara sengaja engkau melemparkan
Hai-pa-cu Can Hoa yang kau robohkan di restoran itu kepada kami. Ya, kami tahu
bahwa dengan sengaja engkau melemparnya kepada kami, dan tentu saja ini berarti
bahwa engkau hendak menguji kami dan berarti pula bahwa engkau sudah tahu atau
menduga sesuatu mengenai kami. Nah, kuminta engkau bicara blak-blakan saja,
kecuali kalau engkau hendak menganggap kami sebagai musuh."
Sejenak
pemuda itu memandang kagum, lalu menarik napas panjang. "Aihh, sungguh aku
sudah bertindak ceroboh sekali, tidak tahu menghadapi gunung Thai-san yang
menjulang tinggi, tidak tahu bahwa nona amatlah cerdas dan pandai. Tentu
sikapku waktu itu sudah memancing tawa dalam hati kalian. Maafkanlah. Terus
terang saja aku mengetahui pada waktu kalian menghadapi Siang-to Ngo-houw, dan
biar pun aku tidak mendengar sendiri percakapan antara kalian dengan mereka,
akan tetapi aku dapat menduga kenapa kalian dicari oleh mereka itu. Tentu
karena urusan... peta rahasia dan kunci emas, bukan?"
Kim Hong
tidak terkejut, melainkan tersenyum. Memang dia dan Thian Sin telah menduga
bahwa pemuda ini tentu ada kaitannya dengan urusan itu. "Bagus, ternyata
engkau pun tersangkut. Tidak tahu engkau berdiri di pihak manakah?"
katanya sambil melirik tajam.
Kok Siang
menggelengkan kepala. "Tidak berdiri di pihak mana pun, melainkan di
pihakku sendiri. Aku hendak menyelidiki siapa yang telah membunuh
pamanku."
"Pamanmu?"
"Ya,
Louw siucai adalah pamanku."
"Ahhh...!"
"Engkau
tentu pernah mendengarnya."
Kim Hong
mengangguk. "Sastrawan yang sudah membantu keluarga Ciang mengartikan peta
kuno itu?"
"Benar,
dia adalah pamanku. Paman membantu mereka menterjemahkan peta kuno dan beberapa
hari kemudian dia terbunuh. Tentu pembunuhnya menghendaki agar dia tidak
membocorkan rahasia tentang peta itu."
"Hemm,
mungkin saja Su Tong Hak, paman Ciang Kim Su yang kurasa bukan merupakan orang
baik-baik itu." kata Kim Hong.
"Aku
pun tadinya menduga demikian. Akan tetapi aku ingin tahu secara pasti agar
tidak salah tangan. Aku harus membalas kematian pamanku itu. Dia amat
mencintaku dan dia sudah seperti ayahku sendiri. Aku sudah tidak mempunyai ayah
bunda dan paman Louw itu kakak dari mendiang ibuku, bagiku merupakan pengganti
orang tua. Dan dia dibunuh orang tanpa dosa!" Pemuda itu mengerutkan alis
dan mengepal tinju.
Kim Hong
merasa kasihan. "Jangan khawatir, Bu-twako, aku... kami akan membantumu.
Kami pun sedang menyelidiki mereka, yaitu mereka yang merampas peta kuno itu.
Kami adalah utusan dari petani Ciang Gun atau mendiang petani itu karena dia
pun dibunuh orang. Kami sedang menyelidiki perkara ini. Menurut keterangan Su
Tong Hak, Ciang Kim Su juga lenyap. Kami merasa curiga. Tentu ada permainan
kotor dalam urusan ini dan dia pun bilang bahwa peta yang mereka bagi dua itu,
yang berada di tangannya, juga dicuri orang. Kami sedang menyelidiki, di tangan
siapa gerangan peta itu."
"Hemm,
dan sekarang kunci emas itu berada di tangan kalian, bukan? Aku sudah tahu
bahwa rahasia itu meliputi peta dan kunci emas."
"Ya,
dan kami hendak mempergunakan kunci emas itu untuk menjadi umpan memancing
datangnya ikan yang menguasai peta."
"Dan
lihat, kurasa ada ikan-ikan yang datang!" tiba-tiba pemuda itu berkata
sambil melirik ke arah kiri.
Kim Hong
juga melirik ke kiri dan memang benar ada sekelompok orang, sepuluh orang
jumlahnya, mendatangi taman itu namun mereka itu nampaknya bukan seperti
pelancong biasa.
"Hemm,
agaknya benar, mereka tentu anak buah yang dikirim ke sini," kata Kim
Hong.
"Jangan
khawatir, aku akan membereskan mereka kalau mereka berani mengganggumu!"
Kok Siang berkata sambil bangkit berdiri.
Akan tetapi
Kim Hong segera memegang lengannya dan menariknya agar duduk kembali.
"Jangan, Bu-toako. Kalau mereka bergerak, tentu mereka itu berniat untuk
menyerangku, ingin menangkap atau merampas kunci. Mereka datang untuk aku, sama
sekali tidak ada hubungannya dengan engkau. Kau duduk sajalah dan biar aku
menghajar mereka."
Ketika
sepuluh orang itu tiba di sana, Kim Hong masih saling berpegang tangan dengan
Kok Siang dengan maksud mencegah pemuda ini menghadapi orang-orang yang nampak
kasar dan kuat-kuat itu. Salah seorang di antara mereka, yang rambutnya
riap-riapan dan matanya agak juling, yang nampaknya sebagai pemimpin dari sepuluh
orang itu, tertawa. Perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang.
"Ha-ha-ha,
kiranya si manis ini mempunyai pacar di mana-mana, sering berganti pacar!
Kawan-kawan, sekali ini kita tidak boleh gagal. Tangkap si manis ini dan bunuh
saja pacar barunya!"
Kim Hong
adalah seorang dara yang selama beberapa tahun pernah menyamar sebagai Lam-sin,
hal ini berarti bahwa ia pun pernah berkecimpung di dunia sesat, kaum penjahat,
maka ucapan itu sebetulnya tidak aneh atau asing baginya. Ia sudah terbiasa
mendengar kata-kata kasar. Ucapan kasar tidak akan membuat dia menjadi marah.
Akan tetapi,
tuduhan bahwa dia berganti-ganti pacar, bahwa Kok Siang adalah pacarnya yang
baru, langsung membuat kedua pipinya berubah merah. Hanya biasanya, Kim Hong
tak pernah memperlihatkan perasaan hatinya. Tidak ada seorang pun di dunia ini,
kecuali Thian Sin tentunya, yang dapat menduga isi hatinya. Maka, walau pun
pada saat itu dia sedang marah, namun wajahnya tetap berseri dan senyumnya
bertambah manis.
Sepuluh
orang itu telah mengepung bangku di mana Kim Hong dan Kok Siang tadi duduk dan
dari gerakan kaki mereka tahulah Kim Hong bahwa biar pun orang-orang ini nampak
kasar, akan tetapi mereka adalah ahli-ahli silat pilihan! Terutama sekali si
mata juling itu ternyata mempunyai kepandaian yang tinggi, dengan gerakan yang
demikian ringan tanda bahwa ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang tinggi.
Maka
diam-diam dia pun terkejut sekali. Melihat gerakan si mata juling ini, agaknya
akan merupakan lawan yang berat dan amat berbahaya bagi Kok Siang, maka dia pun
segera mengambil keputusan untuk menandingi sendiri pemimpin gerombolan ini.
Maka, sebelum gerombolan itu menyerbu dan membahayakan Kok Siang, dia langsung
melangkah maju dan mendekati pemimpin gerombolan itu sambil menudingkan
telunjuknya ke arah hidung orang.
"Ehh,
mata juling gendut yang bermulut busuk! Kalau engkau beserta anjing-anjingmu
ini mampu menangkapku, biar aku berjanji akan memberi ciuman sepuluh kali
kepadamu!"
Mendengar
ucapan ini, si mata juling beserta teman-temannya tertawa. "Ha-ha-ha, nona
manis, sungguhkah itu? Memberi ciuman dengan suka rela? Ha-ha-ha!"
"Tentu
saja, aku tidak pernah berbohong!" jawab Kim Hong dan mendengar ini, Kok
Siang mengerutkan alisnya. Kenapa wanita cantik dan gagah perkasa ini mau
melayani segala macam orang kasar seperti mereka?
Akal Kim
Hong ini berhasil. Tadinya, kepala gerombolan yang sudah mendengar betapa
pemuda sastrawan itu pernah mengalahkan Hai-pa-cu, bermaksud untuk terlebih
dahulu mengeroyok dan membunuh si pemuda, baru kemudian, menawan gadis itu
seperti yang sudah diperintahkan kepadanya. Akan tetapi, mendengar ucapan Kim
Hong dan melihat betapa manisnya gadis itu tersenyum kepadanya, dengan janji
yang demikian mesra, dia pun tak mampu menahan gejolak hatinya lagi. Bagaimana
pun juga, dia percaya kepada kepandaiannya sendiri dan juga kepada kekuatan
anak buahnya yang sebenarnya adalah beberapa orang sute-nya dan murid-muridnya.
"Ha-ha-ha,
bagus sekali! Nona manis, engkau agaknya belum pernah mendengar nama Tiat-ciang
Lui Cai Ko, maka berani menantangku. Bersiaplah engkau untuk menciumku
sepuasnya, ha-ha-ha!" Setelah tertawa bergelak, dia memberi isyarat kepada
dua orang sute-nya untuk membantunya, sedangkan kepada tujuh orang muridnya ia
berkata tegas, "Bunuh kutu buku itu!"
Tujuh orang
kasar itu adalah murid-murid pilihan dari Tiat-ciang Lui Cai Ko. Mendengar
perintah suhu mereka, tujuh orang ini lalu mencabut pedang masing-masing dan
dengan gerakan gagah mereka melintangkan pedang di depan dada, lalu memasang kuda-kuda
yang nampak kokoh kuat.
Kuda-kuda
mereka berbagai macam, ada yang memasang kuda-kuda dengan kedudukan kaki
Jao-pian-se, Tu-li-se, Kung-se biasa atau Su-se, dengan kedudukan pedang yang
bermacam-macam pula. Ada yang dilintangkan di depan dada, ada yang diangkat ke
atas kepala, ada yang menuding ke bumi dan ada pula yang menjulang ke langit.
Akan tetapi, rata-rata mereka itu memiliki kuda-kuda yang indah dan kuat, tanda
bahwa mereka telah memiliki ilmu pedang yang bukan sembarangan.
Melihat ini,
diam-diam Kok Siang terkejut sekali. Dia pernah mendengar nama Tiat-ciang
(Tangan Besi) Lui Cai Ko itu, yaitu seorang begal atau perampok tunggal yang
pernah membuat nama besar di sebelah utara kota raja. Maka dia pun sangat
mengkhawatirkan keadaan Kim Hong dan karena dia dapat melihat dari gerakan para
pengepungnya yang tujuh orang itu bahwa mereka adalah orang-orang yang
merupakan lawan tangguh, maka Kok Siang tidak berani bersikap ceroboh.
Maka dia
segera mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu Im-yang Siang-pit (Sepasang
Tangkai Pena Im Yang), yang kiri terbuat dari pada perak sedangkan yang kanan
terbuat dari pada emas. Dan sepasang pit ini memang benar-benar dapat juga
digunakan untuk menulis di samping sebagai senjata.
Melihat
betapa pemuda itu mengeluarkan senjata sepasang pit itu, tiba-tiba seorang di
antara para pengepung itu berseru, "Kiranya engkau adalah Im-yang
Siang-pit Bu Siucai!"
Memang,
sebetulnya nama pemuda sastrawan itu telah banyak dikenal di dalam dunia
kang-ouw. Yang membuat dia terkenal, pertama adalah gurunya dan yang ke dua
adalah sepasang senjatanya itu. Gurunya adalah datuk kaum sesat di utara, yaitu
Pak-san-kui, biar pun pemuda ini tidak menerima datuk itu sebagai guru
langsung.
Pak-san-kui
tertarik melihat bakat pemuda ini dan menurunkan beberapa macam ilmunya yang
tinggi, sedangkan Bu Kok Siang juga hanya tertarik akan ilmu silat yang tinggi
dari datuk itu, tetapi dia tidak senang melihat cara hidup gurunya sehingga
sesudah menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, terutama ilmu Im-yang
Siang-pit itu, dia pun melepaskan diri dan tak pernah lagi mau berdekatan atau
mencampuri urusan suhu-nya yang terkenal sebagai seorang datuk sesat.
Dan di dunia
kang-ouw, pemuda yang sudah memiliki titel siucai ini, yang menerima ilmu silat
tinggi dari seorang datuk sesat sakti, mempergunakan senjatanya untuk menentang
kejahatan itu sendiri. Maka nama julukannya adalah sepasang senjatanya itu yang
lebih dikenal orang dari pada wajahnya. Apa bila dia tidak mengeluarkan senjatanya
itu, jarang ada yang mengenal mukanya.
"Hemm,
bagus kalian mengenal senjataku. Lui Cat Ko adalah seorang perampok tunggal
yang jahat, maka anak buahnya tentulah bukan manusia baik-baik pula!" kata
Kok Siang sambil memasang kuda-kuda dan mengangkat pit emas di atas kepalanya,
menunjuk ke langit, sedangkan pit perak dipegang ke bawah, menuding ke bumi.
Inilah kuda-kuda yang dinamakannya Seng-thian Jip-te (Naik ke Langit Masuk ke
Tanah), pembukaan dari pada ilmu silat Im-yang Siang-pit.
Tujuh orang
murid utama dari Tiat-ciang Lui Cai Ko itu menjadi marah mendengar ucapan ini,
lantas dengan dahsyat mereka pun mulai menerjang dengan pedang mereka. Setiap
gerakan mereka cukup dahsyat karena selain terkenal mempunyai sepasang tangan
yang kuat dan keras seperti besi sehingga dia berjuluk Tiat-ciang, memang
Tiat-ciang Lui Cat Ko, juga merupakan seorang ahli silat pedang yang tangguh.
Melihat
datangnya serangan yang bertubi-tubi itu, yang membawa kilatan sinar pedang
yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar ganas, Kok Siang cepat menggerakkan
tubuhnya dan sekarang pemuda sastrawan ini baru memperlihatkan kepandaiannya.
Gerakannya
cepat bukan main dan ternyata sepasang senjatanya itu mengandung tenaga yang
berlawanan. Sepasang senjatanya diputar melindungi tubuhnya dan tiap kali
pedang lawan bertemu dengan kim-pit (Pit emas) maka terdengar suara nyaring dan
pedang itu tentu terpental keras, sebaliknya kalau bertemu dengan gin-pit (Pit
perak) tidak terdengar suara, namun tenaga si pemegang pedang seperti lenyap,
seakan-akan pedang mereka bertemu benda lunak atau seperti membacok atau
menusuk air saja.
Di samping
melindungi tubuh, sepasang pit itu juga mengirim serangan balasan berupa
totokan-totokan ke arah jalan darah yang tak kalah dahsyatnya, membuat tujuh
orang itu berputaran saling melindungi teman sendiri. Dan terjadilah
pertandingan keroyokan yang amat seru, namun sedikit juga pemuda sastrawan yang
dikeroyok tujuh itu tidak nampak kewalahan!
Di lain
pihak, Kim Hong yang dihadapi oleh Tiat-ciang Lui Cai Ko dan dua orang sute-nya
itu, menarik napas lega. Jika si juling yang diduganya paling lihai ini telah
menghadapinya dan tidak ikut mengeroyok, maka dia tidak begitu mengkhawatirkan
keadaan pemuda itu.
Terlebih
lagi sesudah dia melihat cara Kok Siang memutar sepasang pitnya, membuat dia
merasa yakin bahwa pemuda itu akan mampu mengatasi para pengeroyoknya, walau
pun tujuh orang pengeroyok itu juga tidak boleh dipandang ringan sama sekali.
Setelah dia tak lagi mengkhawatirkan pemuda keponakan mendiang Louw-siucai itu,
dengan tersenyum tenang Kim Hong menghadapi tiga orang calon lawannya.
Tak seperti
tujuh orang yang bertugas membunuh Kok Siang, si juling bersama dua orang
sute-nya itu tidak mengeluarkan senjata. Mereka bertugas untuk menawan nona ini
hidup-hidup, dan hal ini pun diketahui baik-baik oleh Kim Hong. Memang para
penjahat itu tidak membutuhkan dirinya, melainkan kunci emas, oleh karena itu
tentu saja mereka tak akan membunuhnya sebelum mereka menemukan kunci emas itu!
Tiat-ciang
Lui Cai Ko juga telah mendengar bahwa nona ini pandai ilmu silat dan biar pun
dia tidak merasa takut, akan tetapi dia juga tidak berani memandang rendah.
Maka dia pun lalu menubruk ke depan sambil menampar dengan tangan kirinya,
sedangkan tangan kanannya sudah mencengkeram ke arah pundak nona itu. Tamparan
tangan kirinya itu antep bukan main karena jagoan ini agaknya memang sudah
mengerahkan tenaga dan mempergunakan tenaga sakti Tiat-ciang-kang (Tenaga
Tangan Besi) untuk menggertak.
Telapak tangan
orang she Lui ini nampak hitam kehijauan. Selama belasan tahun ini dia melatih
kedua tangannya itu, setiap hari mempergunakan telapak tangan untuk memukuli
bubuk besi dan pada malam harinya merendam kedua tangan itu ke dalam adonan
bubuk besi dengan racun yang membuat tangan itu selain kuat, juga beracun dan
berbahaya sekali bagi lawan.
Demikian
kuat dan kerasnya telapak tangan Lui Cai Ko ini sehingga kedua telapak tangan
itu tidak hanya dapat memukul hancur batu karang seperti sepasang palu besi
yang kuat, akan tetapi juga mampu menangkis senjata tajam tanpa khawatir
terluka! Itulah sebabnya maka dia terkenal dengan julukan Tiat-ciang (Si Tangan
Besi).
"Wuuuttt...!
Plakk!"
Kim Hong
mengelak dengan mudah dan membiarkan tamparan itu lewat, kemudian ketika
cengkeraman tangan kanan itu sudah mendekati pundaknya, tangan kirinya
menyambar dari bawah, bukan menangkis namun menampar dengan tangannya ke arah
sambungan siku tangan kanan itu. Walau pun tamparan itu tidak dilakukan dengan
sepenuh tenaga, namun sambungan siku bagian bawah yang seperti hanya diusap itu
tiba-tiba saja terasa nyeri dan lengan kanan itu seperti menjadi lumpuh
seketika!
Tentu saja
Lui Cai Ko tak dapat melanjutkan cengkeramannya, bahkan lalu mengeluarkan
seruan kaget dan cepat melompat ke belakang dengan mata terbelalak. Tak
disangkanya bahwa wanita itu sedemikian hebatnya, hanya dalam satu gebrakan
saja membuat lengan kanannya terasa lumpuh! Hanya orang yang berilmu sangat
tinggi sajalah yang demikian tenangnya menghadapi cengkeraman mautnya, bukan
mengelak atau menangkis untuk menghadapinya, tetapi mendahului menyerang siku
sehingga lengan itu menjadi lumpuh dan tentu saja serangan cengkeraman itu pun
gagal.
Kim Hong
hanya berdiri tenang sambil tersenyum. Ia maklum akan kelihaian Tiat-ciang Lui
Cai Ko ini, akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar, yakin benar akan
kelebihannya dibandingkan dengan tiga orang pengeroyoknya itu. Dua orang sute
dari Si Tangan Besi segera menyerang dari kanan kiri, bukan menyerang untuk
merobohkan, melainkan untuk membuat nona itu tidak berdaya dan dapat ditawan.
Mereka pun, seperti suheng mereka, mendapat perintah untuk menawan si nona
cantik ini.
Namun Kim
Hong dapat menghindarkan diri dari tubrukan kanan kiri itu dengan
langkah-langkah ajaibnya. Dengan enak saja kedua kakinya bergeser, melangkah
mundur maju dan tubrukan-tubrukan mereka itu semua hanya mengenai tempat kosong
saja walau pun tadinya nampak seolah-olah akan berhasil.
Kok Siang
juga mengamuk dan sepasang pit-nya menyambar-nyambar seperti sepasang naga.
Lewat tiga puluh jurus saja, dua orang di antara para pengeroyoknya sudah roboh
tertotok sehingga lima orang sisa pengeroyoknya menjadi agak gentar. Di lain
pihak, Kim Hong mempermainkan tiga orang pengeroyoknya dengan langkah-langkah
ajaibnya yang membuat Tiat-ciang Lui Cai Ko beserta dua orang sute-nya
kewalahan dan juga semakin penasaran.
Mereka lalu
menubruk dan mencoba untuk menangkap, akan tetapi jangankan orangnya, ujung
baju gadis itu pun tak pernah dapat tersentuh oleh tangan mereka. Hal ini
membuat mereka menjadi penasaran dan marah sehingga kini mereka tidak hanya
menubruk dan mencoba untuk menangkap saja, tetapi juga mulai menyerang dengan
sungguh-sungguh untuk morobohkan nona yang amat lincah itu.
Betapa pun
juga, makin ganas mereka bergerak, semakin cepat pula nona itu mengelak,
sehingga pandang mata mereka seperti kabur dan kadang-kadang mereka tidak tahu
ke mana nona itu mengelak atau bergerak.
"Duk-duk-duk-dukk...!"
Empat kali
Lui Cai Ko terpaksa menangkis sambil mundur akibat terdesak hebat. Padahal,
sejak menampar sikunya tadi, baru sekaranglah Kim Hong membalas serangan tiga
orang lawannya yang bertubi-tubi sampai tiga puluh jurus itu! Tetapi sekali
membalas, Kim Hong sudah dapat mendesak Si Tangan Besi dengan empat kali
tamparan berturut-turut. Setiap tamparan mengandung tenaga sinkang yang membuat
tubuh si gendut yang rambutnya riap-riapan itu terhuyung-huyung.
Melihat ini
dua orang sute-nya cepat menubruk dari kanan kiri membantu, akan tetapi Kim
Hong menunggu sampai keduanya menyerang dekat, lalu tiba-tiba tubuhnya meloncat
ke atas dan kedua kakinya terpentang ke kanan kiri. Itulah tendangan yang
istimewa sekali, yang sekaligus menghantam dada kedua orang yang menyerang dari
kanan dan kiri itu, mendahului serangan mereka dengan tangan yang belum sampai!
"Desss!
Desss!"
Tubuh kedua
orang itu terlempar ke kanan kiri. Mereka menyeringai karena dada mereka terasa
sesak sekali dan napas mereka seperti berhenti. Sambil memegangi dada mereka
bangkit dan mata mereka menjadi merah.
Juga Lui Cai
Ko marah sekali. Tak disangkanya bahwa dia, jagoan yang terkenal, dibantu oleh
dua orang sute-nya, bukan hanya tidak sanggup menawan gadis ini, bahkan mereka
bertiga sudah mengalami malu karena terpukul dan tertendang oleh gadis itu.
Akan tetapi, ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada Lui Cai Ko yang membuat
dia masih ingat akan perintah yang diberikan kepadanya.
Dia tetap
tidak berani melanggar perintah itu hanya karena perasaan pribadi yang marah
dan penasaran. Dia tidak berani mempergunakan senjata untuk menyerang, tidak
berani melukai apa lagi sampai membunuh wanita ini karena hal itu berarti
melawan perintah dan dia merasa ngeri untuk mempertanggung jawabkan hal itu.
Maka, walau pun dia merasa marah serta mendongkol sekali, terpaksa dia lalu
membuka mulut dan terdengarlah suara suitan panjang dan nyaring keluar dari
mulut si gendut ini.
Kim Hong
terkejut dan menduga-duga apa maksud tanda rahasia itu. Memanggil kawan? Dia
tentu merasa kewalahan dan memanggil kawannya, pikir Kim Hong. Mungkinkah kini
ia memperoleh kesempatan untuk berhadapan dengan kepala penjahat yang
mendalangi ini semua dan yang menguasai peta? Jantungnya berdebar tegang dan
dia pun menanti saja.
Ia
mengerling ke arah Kok Siang dan melihat bahwa lawan pemuda itu kini tinggal
empat orang lagi karena yang tiga sudah roboh oleh pena sastrawan yang lihai
itu. Empat orang itu pun kini bergerak mundur sambil tetap mengepung sesudah
mendengar guru mereka mengeluarkan suara bersuit tadi.
Tidak lama
kemudian muncullah banyak orang yang langsung mengepung tempat itu dan Kim Hong
benar-benar merasa heran dan terkejut begitu melihat bahwa yang mengepung
tempat itu adalah pasukan pemerintah! Pasukan itu dipimpin oleh seorang perwira
yang berpakaian indah dan gagah, berusia empat puluh lima tahun dan bertubuh
tinggi besar. Cepat Kim Hong meloncat mendekati Kok Siang yang juga memandang
dengan heran.
"Berhenti
semua dan lepas senjata!" Bentak perwira itu dengan suara yang agaknya
telah terbiasa mengeluarkan aba-aba atau perintah yang harus ditaati.
"Yang berani bergerak dianggap pemberontak dan akan dihukum! Kalian berdua
telah menimbulkan perkelahian dan kekacauan di tempat umum, semua harus
menyerah dan ikut bersama kami ke kantor untuk dibawa ke pengadilan!"
Kim Hong dan
Kok Siang saling pandang. Tiba-tiba saja Kok Siang berbisik halus sekali
sehingga hanya gadis itulah yang mungkin dapat mendengarnya, "Aku tahu di
mana peta yang asli."
Kim Hong
terkejut sekali. Otaknya bekerja dengan cepat. Dia tidak meragukan kebenaran
omongan pemuda ini dan tentu karena melihat bahaya maka pemuda sastrawan ini
cepat membuka rahasia itu, atau karena sudah percaya penuh kepadanya.
Bagaimana
pemuda ini dapat mengetahui di mana adanya peta yang asli? Kalau begitu, yang
kini menguasai peta tentu hanya menguasai peta palsu! Bagaimana mungkin terjadi
demikian? Bukankah Ciang Kim Su dan pamannya, Su Tong Hak, telah membagi peta
itu menjadi dua bagian dan peta yang dibawa Ciang Kim Su itu adalah peta yang
asli? Apa yang sesungguhnya telah terjadi?
Pikirannya
yang amat cerdas segera mencari sebab-sebab dan dugaan-dugaan. Tentu ada
hubungannya dengan mendiang Louw siucai! Di antara semua orang, yang pertama
kali mengetahui akan rahasia peta itu adalah Liuw Siucai. Bahkan dialah orang
pertama yang sudah dapat mengetahui akan isi peta sebenarnya, karena dialah
yang menterjemahkan peta itu!
Akan tetapi,
bagaimana siucai itu dapat menguasai peta aslinya? Apa yang sudah terjadi? Dia
tidak sempat untuk bertanya, karena di sana terdapat banyak orang dan pasukan
itu sudah mengepung ketat. Ketika dia melihat pasukan mengepungnya, timbul
kemarahan di dalam hatinya. Akan tetapi Kok Siang bersikap lain.
"Ciangkun,
kami berdua tak bersalah. Kami berdua sedang duduk bercakap-cakap di sini lalu
gerombolan ini datang menyerang kami, agaknya mereka hendak merampok
kami!" katanya membela diri.
"Bohong!
Mana buktinya kami merampok?" Lui Cai Ko membentak marah.
"Cukup,
tidak perlu cekcok!" Perwira itu menegur. "Aku tidak peduli siapa di
antara kalian yang bersalah. Yang sudah jelas, kalian berkelahi di sini dan hal
ini berarti mendatangkan kekacauan. Kalian semua harus menyerah untuk kami bawa
ke pengadilan!"
Kim Hong
mengerutkan alisnya hendak membantah, akan tetapi Kok Siang lalu berkata,
sikapnya halus menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang terpelajar.
"Baik, ciangkun. Kami percaya bahwa pengadilan tentu akan menyelidiki
kemudian memberikan keputusan yang seadil-adilnya. Mari, adik Hong, kita ikut
ke kantor pengadilan."
Kim Hong
cukup cerdik untuk mengerti kenapa pemuda itu bersikap mengalah. Kok Siang
adalah penduduk Thian-cin yang telah dikenal, maka sangatlah berbahaya baginya
kalau sampai dia dianggap melawan pasukan dan memberontak. Berbeda dengan Kim
Hong yang belum dikenal, apa lagi mengingat bahwa tempat tinggal wanita ini
juga jarang ada yang mengetahuinya.
Untuk
membiarkan Kok Siang ditangkap sendiri dan dia melarikan diri, Kim Hong merasa
tidak tega. Apa lagi setelah ia tahu bahwa pemuda itu tahu di mana peta yang
asli, maka pemuda itu menjadi amat penting baginya. Dia harus melindungi pemuda
ini agar jangan sampai peta yang asli terjatuh pula ke tangan penjahat. Maka
dia pun mengangguk dan menyetujui.
Sepuluh
anggota gerombolan itu bersama Kim Hong dan Kok Siang lantas digiring oleh
pasukan menuju ke kantor kejaksaan. Sepuluh orang itu langsung dimasukkan ke
dalam kamar tahanan besar, sedangkan Kim Hong dan Kok Siang dibawa ke bagian
belakang di mana terdapat beberapa buah kamar tahanan.
"Kalian
berdua harus tinggal di dalam kamar tahanan ini dulu sambil menanti datangnya
pembesar yang akan membuka sidang pengadilan," perwira itu berkata sambil
membuka daun pintu kamar tahanan. Tentu saja Kim Hong merasa marah dan
mengerutkan alisnya.
"Kami
bukan penjahat, kenapa mesti dijebloskan dalam kamar tahanan?"
Akan tetapi,
kembali Kok Siang yang berkata dengan sikap tenang dan suara halus. "Jika
memang demikian peraturannya, kita tidak perlu membantah. Pula, kita sama
sekali tidak bersalah, takut apa? Biarlah kita menunggu di sini." Dan
pemuda itu pun lalu memasuki kamar tahanan.
Melihat
sikap pemuda ini, terpaksa Kim Hong mengalah. Kemudian, sambil cemberut dan
mukanya merah saking marahnya, dia pun terpaksa turut masuk. Pintu kamar sel
yang terbuat dari pada besi itu lalu dikunci dari luar, ada pun perwira itu
bersama pasukannya masih berjaga di situ....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment