Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 21
PEMUDA itu
adalah Sin Liong yang memang tidak berlutut, hanya berdiri dan memangku kedua
tangan dan memandang semua itu seperti orang yang sedang nonton pertunjukan
wayang.
Pangeran itu
mengangkat kedua tangan ke atas lantas terdengar suaranya yang lantang,
"Aku sudah menerima penghormatan kalian. Cukup dan kalian diperbolehkan
bangkit lagi. Ehh, Sam-lo, mengapa pemilihan bengcu menjadi ribut seperti ini?
Apakah kalian kalah dalam memperebutkan kedudukan bengcu?"
"Ampun,
pangeran. Sebenarnya hamba bertiga sudah berhasil memenangkan kedudukan bengcu,
akan tetapi anak ini... datang mengacau...!" Hai-liong-ong memandang
kepada Sin Liong yang masih berdiri tegak.
Pangeran
muda itu memutar tubuhnya menghadapi Sin Liong, lantas sinar matanya yang tajam
itu menyambar-nyambar, menyapu Sin Liong dari atas sampai ke bawah bagaikan
orang yang kurang percaya.
"Dia
ini? Bocah ini mampu mengacaukan kalian bertiga?" Mulutnya
tersenyum-senyum, manis dan tampan, sikapnya juga halus sekali akan tetapi
sinar matanya tajam seperti pedang. "Tadi kulihat dia berani menghadapi
kalian bertiga. Bukan main! Ingin sekali aku mencobanya!"
Pangeran
muda itu melangkah menghampiri Sin Liong yang tetap bersikap tenang-tenang saja
dan tiba-tiba pangeran itu membuka mulutnya. Dari dalam mulut itu menyambar
sinar putih seperti perak dan itu adalah jarum-jarum halus yang menyambar ke
arah jalan darah di tubuh bagian depan dari Sin Liong, dari muka sampai ke
pusar!
Melihat
betapa jarum-jarum itu hanya tampak sebagai sinar-sinar putih berkeredepan saja
dan semua mengarah jalan-jalan darah yang sangat berbahaya, maka dapat
dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan gelap yang tiba-tiba dan
dilakukan dari jarak dekat ini.
Hwesio dari
Siauw-lim-pai dan tosu dari Kun-lun-pai menahan napas sambil mengeluarkan
keringat dingin karena mereka merasa yakin bahwa pemuda remaja itu, bagaimana
pun lihainya, tentu akan sulit meloloskan diri dari serangan hebat oleh
pangeran yang ternyata memiliki kepandaian tinggi pula itu.
Akan tetapi,
semenjak melihat munculnya pangeran yang tampan ini, Sin Liong telah siap siaga
dan waspada. Ia mengenal siapa pangeran ini, maka begitu pangeran itu membuka
mulut kemudian meniupkan segenggam jarum-jarum putih dari mulutnya, Sin Liong
sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan dengan kedua tangannya dia lalu
membuat gerakan mencengkeram ke depan sehingga jarum-jarum itu telah dapat
ditangkap dalam genggaman kedua tangannya!
"Ceng
Han Houw, engkau selalu kejam dan curang!" katanya, kemudian dengan gerakan
sembarangan dia melempar jarum-jarum halus itu ke atas papan panggung sambil
terus memandang tajam wajah yang tampan itu.
"Ehhh...?!"
Pangeran itu yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, terkejut bukan hanya karena
melihat Sin Liong mampu menggagalkan serangan jarum-jarumnya, tetapi karena
mendengar teguran Sin Liong. "Kau... siapakah kau…?" Kemudian pada
wajahnya yang tampan itu nampak berseri gembira, ketika dia mengenal Sin Liong.
"Ahhh...!
Sin Liong... engkau Sin Liong! Kiranya engkaukah ini? Bukan main, kau hebat
sekali!" Pangeran Ceng Han Houw tertawa merdu dan halus lalu berkata
kepada Lam-hai Sam-lo yang sudah siap untuk mengeroyok Sin Liong lagi,
"Sam-lo, dia adalah sahabatku sendiri! Dia bocah luar biasa, raja
monyet..., ha-ha-ha-ha! Tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini!"
Dengan sikap ramah dan bersahabat Ceng Han Houw lalu merangkul pundak Sin
Liong!
Sebetulnya,
tidak ada sedikit pun juga perasaan di dalam hati Sin Liong untuk bersahabat
atau berbaik dengan Ceng Han Houw yang ternyata sudah menjadi pangeran ini.
Akan tetapi karena sikap Han Houw betul-betul amat ramah kepadanya dan sama
sekali tidak mengandung niat membujuk atau curang, maka tentu saja dia pun
merasa tak enak untuk menolak rangkulan mesra bersahabat itu. Akan tetapi, karena
Sin Liong adalah seorang yang jujur dan terbuka, sesuai dengan watak bawaannya
sebagai anak yang diasuh oleh monyet di alam terbuka, dia lalu berkata.
"Ceng
Han Houw, aku tidak mengerti bagaimana engkau bisa menganggap aku sebagai
sahabatmu."
"Eh?
Kau lupa lagikah? Ketika engkau berada di dalam kereta bersamaku itu, bukankah
aku katakan bahwa aku suka kepadamu, aku kagum akan keberanian dan kegagahanmu,
dan aku suka bersahabat denganmu?"
Sin Liong
ingat akan ucapan itu. "Akan tetapi, suci-mu berdaya upaya dengan keras
untuk membunuhku!"
"Ah,
suci adalah suci dan aku adalah aku. Aku dan suci tidak sama, bukan? Kami
adalah dua orang dengan dua selera dan dua pendapat, dan aku adalah pangeran,
adik kaisar! Kau tunggu dulu, Sin Liong, aku ingin banyak bicara denganmu,
tetapi biar kuselesaikan dulu urusan di sini!" Ceng Han Houw lalu
mengangkat kedua tangannya ke atas dan dia sudah menghadap ke empat penjuru,
suaranya terdengar lantang,
"Aku,
Pangeran Ceng Han Houw, menyatakan bahwa urusan pemilihan bengcu selesai sampai
di sini dan biar Lam-hai Sam-lo yang diangkat menjadi bengcu di selatan. Kalian
semua orang-orang gagah segolongan harap tidak saling bermusuhan, bersatu padu
dan tunduk terhadap pimpinan. Pemerintah tentu akan menganggap kalian sebagai
golongan baik-baik, dan segala urusan bisa diselesaikan oleh bengcu. Siapa yang
berani membuat kekacauan, bukan hanya dianggap memberontak terhadap golongan
kang-ouw di selatan, akan tetapi juga dianggap pemberontak dan pengacau oleh
pemerintah, dan karena itu akan dibasmi!"
Biar pun
ucapan itu halus, akan tetapi sikap pangeran ini ramah dan berwibawa, maka
semua orang yang berada di situ lalu menjatuhkan diri berlutut tanda bahwa
mereka akan mentaati perintah ini! Apa lagi pasukan yang mengawal pangeran itu
kelihatan siap dan penuh wibawa untuk bertindak begitu ada perintah dari atasan
mereka.
Sungguh pun
di antara para tokoh kang-ouw dan liok-lim banyak yang tidak suka kepada
pemerintah, namun tentu saja rasa tidak suka itu hanya dipendam di dalam hati
saja dan tak ada yang berani menentang pemerintah secara terang-terangan karena
hal itu berarti bunuh diri.
"Sam-lo,
sekarang aku akan pergi bersama saudara Sin Liong ini. Aku tak perlu pengawal
lagi dan kalau aku memerlukannya, dapat kuminta kepada para pembesar di mana
saja. Sediakan seekor kuda lain yang baik untuk saudaraku Sin Liong!"
Komandan
pasukan yang sangat bersemangat untuk mengambil hati pangeran itu segera
menyerahkan kudanya sendiri, seekor kuda yang biar pun tidak sehebat kuda tunggangan
pangeran itu, namun merupakan kuda terbaik di antara kuda pasukan yang berada
di situ.
"Pakailah
kuda itu, Sin Liong, dan marilah kita pergi. Aku hendak mengajakmu melakukan
perjalanan dan bercakap-cakap!" kata Pangeran Ceng Han Houw.
Sin Liong
sendiri yang merasa bahwa dia tidak mempunyai banyak sahabat di tempat itu,
tidak membantah, segera dia meloncat ke atas kuda besar itu dan menjalankan
kudanya mengikuti sang pangeran yang sudah lebih dulu membedal kudanya pergi
meninggalkan tempat itu, bukan memasuki kota Yen-ping, bahkan meninggalkan kota
menuju ke utara.
"Sin
Liong, mari kita berpacu, kau boleh mengejarku kalau mampu!" Han Houw
berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi, dan pangeran
itu kemudian menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu,
langsung membalapkan kudanya yang besar dan gagah.
Melihat
kegembiraan itu, Sin Liong tersenyum dan dia pun cepat membalapkan kudanya
mengejar. Melihat ini, Han Houw tertawa gembira dan kedua orang muda ini pun
berpacu dengan cepatnya. Akan tetapi karena betapa pun juga kuda tunggangan Sin
Liong tidak sebaik kuda tunggangan pangeran itu, Sin Liong akhirnya tertinggal
jauh hingga akhirnya kuda pangeran itu lenyap di tikungan luar hutan.
Ketika
akhirnya Sin Liong dapat melihat lagi pangeran itu, dia melihat kuda besar itu
telah berhenti di tepi hutan dan Han Houw duduk di atas kuda berhadapan dengan
tujuh orang yang mengepungnya dengan bentuk setengah lingkaran. Sin Liong
membedal kudanya dan ketika dia sudah datang dekat, dia terkejut mengenal bahwa
tujuh orang itu adalah orang-orang dari Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh
Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi, raksasa sombong yang pernah dihajarnya di atas
panggung tadi.
Pada saat
itu, Kiu-bwee-houw berteriak keras dan tujuh orang itu sudah bergerak dengan
senjata masing-masing, menyerang Han Houw yang tetap duduk di atas kudanya
dengan sikap angkuh. Karena Sin Liong merasa tidak ada hubungan dengan pangeran
itu, dan juga pada dasarnya dia tidak dapat dibilang suka kepada pangeran itu,
maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju tempat itu sambil memandang
penuh perhatian. Dia tahu betul bahwa pangeran yang tampan dan gagah itu
bukanlah seorang muda yang demikian mudah untuk diganggu begitu saja oleh
gerombolan itu, maka dia pun sama sekali tidak khawatir kalau pangeran itu akan
celaka.
"Bunuh
pembesar lalim!"
"Basmi
penindas rakyat!"
Tujuh orang
itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi semakin ribut dan mencari-cari
orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja pangeran itu telah lenyap, sedang
kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak serta menjauhi mereka.
Akan tetapi pangeran itu tidak berada lagi di tempat itu, padahal tadi mereka
sudah mengepung dan mulai menyerang.
Dari tempat
agak jauh, Sin Liong memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan
ginkang yang indah dari Han Houw yang tadi digunakannya ketika kudanya
meringkik-ringkik itu. Dia telah meloncat ke atas dan tentu saja lenyap karena
dia telah menyusup ke dalam pohon yang tinggi di atas mereka!
Sin Liong
tak dapat menahan tawanya saat dia melihat betapa tujuh orang itu celingukan ke
sana-sini mencari-cari, dan mendadak Han Houw tertawa berkata, "Hei,
kalian semua orang-orang dari Pek-lian-kauw, lekas bersembahyang lebih dulu
untuk menyembahyangi arwah kalian sendiri yang sebentar lagi akan
melayang!"
Kiu-bwee-houw
serta teman-temannya terkejut, dan ketika mereka melihat bahwa orang yang
mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk meloncat
naik pohon. Akan tetapi pada saat itu, Han Houw telah melayang turun dengan
gaya yang indah dan pemuda bangsawan ini telah berdiri di atas tanah sambil
menghadapi mereka dengan senyum mengejek.
"Hayo
kalian cepat berlomba, siapa yang lebih dulu bisa merobohkan aku!" Dia
mengejek dan tujuh orang itu yang merasa sangat penasaran kini menerjang dengan
cepat, seperti sungguh-sungguh berlomba untuk merobohkan sang pangeran.
Sin Liong
menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran itu
bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan dan indahnya
namun sedemikian cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat menyelinap ke
sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua serangan
tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya.
Sin Liong
mengerti bahwa pangeran itu menggunakan langkah-langkah sakti yang sangat lihai
dan memang dugaannya benar. Ceng Han Houw telah menggunakan Ilmu Langkah
Pat-kwa-po dan dengan langkah-langkah ini, jangankan baru dikeroyok oleh tujuh
orang anggota Pek-lian-kauw saja, walau pun dikeroyok oleh lebih banyak lawan
yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi pun jangan harap akan sanggup menangkap
atau menyerang pemuda bangsawan itu dengan mudah!
"Ha-ha-ha,
Sin Liong, kau lihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!" kata
pangeran itu dan tiba-tiba dia merubah gerakannya kalau tadi dia hanya
melangkah ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak
menampar ke kanan kiri dan terdengarlah jerita-jeritan mengerikan disusul
robohnya tujuh orang berturut-turut.
Tujuh orang
Pek-lian-kauw itu roboh dan tak dapat bergerak kembali karena mereka telah
tewas oleh tamparan-tamparan Ceng Han Houw yang amat lihai! Ngeri juga rasa
hati Sin Liong menyaksikan betapa pangeran itu membunuh mereka demikian
mudahnya dan alisnya berkerut. Betapa kejamnya pemuda bangsawan itu!
"Salah
kalian sendiri kalau tadi tidak mau bersembahyang bagi arwah kalian sehingga
kini arwah kalian menjadi setan-setan berkeliaran!" kata Ceng Han Houw
sambil menghampiri kudanya dan dengan tenang saja dia meloncat ke atas kudanya,
lalu menghampiri Sin Liong seolah-olah tidak pernah ada terjadi apa pun.
Wajah Sin
Liong masih membayangkan kengerian dan sepasang alisnya masih berkerut. Dia
menyambut kedatangan pangeran itu dengan kata-kata yang mengandung teguran.
"Kau... kau membunuh mereka?"
Mendengar
suara yang mengandung teguran itu Han Houw memandang dan tersenyum.
"Mengapa tidak? Apa kau lebih menghendaki kalau mereka itu berhasil
membunuh aku?"
Wajah Sin
Liong berubah agak merah dan dia cemberut. "Tentu saja tidak. Akan tetapi
perlukah mereka semua itu dibunuh begitu saja?"
Pangeran itu
tertawa dan memegang tangan Sin Liong sebentar, lalu melepaskannya lagi.
"Engkau berwatak lembut sekali, Sin Liong, sungguh tidak sesuai dengan
kegagahanmu. Hidup memang demikianlah, bergelimang dengan kekerasan, apa lagi
hidup seperti aku ini, seorang pangeran yang selalu diincar musuh yang akan
senang sekali kalau berhasil membunuhku. Persoalannya hanyalah mereka atau aku,
Sin Liong, akan tetapi dalam hal kematian, tentu saja aku memilih lebih baik
mereka yang mati dari pada aku. Apa artinya tujuh orang pemberontak itu? Ha-ha,
kalau engkau melihat betapa aku pernah sekaligus membunuh dua ratus orang lebih
anggota pemberontak yang merencanakan pembunuhan terhadap kaisar. Aku kurung
mereka di dalam kuil dan kubakar kuil itu. Tidak ada seorang pun yang
lolos!"
"Betapa
kejam!"
Pangeran itu
tertawa. "Engkau belum mengerti benar apa itu yang kau namakan kejam.
Kalau saja sri baginda terjatuh ke tangan mereka, atau jika aku tadi tak mampu
melawan dan aku terjatuh ke tangan mereka, tentu engkau akan turun tangan
menolongku, tentu engkau akan mengatakan mereka yang kejam. Sin Liong, aku
bernama Han Houw, dan aku seperti seekor harimau yang dikeroyok oleh tujuh ekor
anjing srigala. Anjing-anjing itu mati olehku, maka engkau menganggap sang
harimau kejam, akan tetapi andai kata sang harimau yang habis dikeroyok dan
dagingnya digerogoti oleh kawanan srigala itu, tentu engkau akan menganggap
anjing-anjing itu yang kejam. Ha-ha, engkau sungguh masih bodoh dan kurang
pengalaman!"
Sin Liong
tidak mampu menjawab. Dia membayangkan betapa pangeran ini seorang yang lemah
dan tadi diancam oleh tujuh orang Pek-lian-kauw itu. Apakah dia akan turun
tangan menolong? Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada pangeran yang
tampan dan memang gagah dan pemberani ini, mungkin saja ada rasa suka di
hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa pangeran ini
merupakan sute dari Kim Hong Liu-nio yang selalu memusuhinya.
"Mereka
memang jahat dan menyerangmu, akan tetapi perlukah dibunuh? Mengalahkan mereka tanpa
membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu," dia mencoba untuk
membantah.
"Ha-ha-ha,
melepaskan mereka supaya mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih banyak dan
kembali menghadangku di tempat lain? Itu bodoh sekali Sin Liong! Sudahlah, mari
kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya bicara
mengenai para pemberontak itu? Pek-lian-kauw memang merupakan gerombolan
pemberontak, dan karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke selatan dan
mendukung Lam-hai Sam-lo menjadi bengcu di selatan."
Mereka
menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan pergi meninggalkan hutan itu. Sin
Liong agak heran mendengarkan pengakuan itu.
"Ahh,
kiranya Lam-hai Sam-lo adalah orang-orangnya pemerintah?"
Han Houw
tertawa. "Bukan sekasar itu, Sin Liong. Mereka tetap saja merupakan tokoh
kang-ouw, akan tetapi mereka termasuk orang-orang yang tidak menentang
pemerintah. Tentu saja fihak pemerintah menghendaki agar bengcu dipegang oleh
orang yang tidak menentang pemerintah seperti Pek-lian-kauw. Dan untuk
keperluan itu maka sri baginda mengutus aku pergi ke selatan."
"Ahh...
jadi engkau adalah utusan sri baginda kaisar?"
Han Houw
tersenyum dan mengangguk. "Tidak resmi benar. Aku sekalian hendak pesiar.
Sesudah mendengar bahwa hanya Lam-hai Sam-lo yang boleh dipercaya, aku kemudian
menghubungi mereka dan akulah yang menjagokan mereka supaya memasuki pemilihan
bengcu itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan."
Sin Liong
mengangguk-angguk. "Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan
itu?"
"Ha-ha-ha-ha,
kau cerdik!" Han Houw menepuk pundak temannya karena pemuda remaja itu
menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya. "Aku
jemu dengan semua itu, Sin Liong. Ke mana pun aku pergi, orang
menyembah-nyembahku sebagai pangeran dan sebagai utusan kaisar. Maka ketika aku
bertemu dengan engkau yang menyebut namaku begitu saja, yang tidak berlutut
kepadaku, barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu
sekarang hebat! Benarkah seperti yang kudengar tadi bahwa engkau mewakili tokoh
yang bernama Ouwyang Bu Sek dan yang menjadi musuh Lam-hai Sam-lo? Apakah
engkau berambisi menjadi bengcu?"
“Ah, sama
sekali tidak. Juga suheng-ku Ouwyang Bu Sek sama sekali tidak ingin menjadi
bengcu, hanya kami ingin melihat agar pemilihan bengcu terjadi dengan jujur dan
bersih.”
“Ha-ha-ha,
engkau sungguh lucu. Mana ada perebutan kedudukan yang bersih di dunia ini? Kau
masih harus belajar banyak, Sin Liong. Sekarang, setelah kita bertemu, mari
kita bergembira. Aku sudah melepaskan diri dari segala ikatan upacara itu,
sekarang aku ingin mengadakan perjalanan ke utara secara bebas bersamamu. Kita
masih muda, Sin Liong, mari kita mencari pengalaman. Perjalanan dari sini ke
utara tentu amat menggembirakan, penuh dengan bahaya, penuh pengalaman yang
aneh-aneh dan akan kita hadapi berdua. Bagaimana?”
Sin Liong
merasa tertarik sekali. Dia memang telah mendapat perkenan dari suheng-nya
untuk berkelana meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman, karena semua ilmu
dari kitab-kitab lama itu telah habis dipelajarinya, bahkan semua kitab itu
oleh suheng-nya telah dibakar, sesuai dengan ‘perintah halus’ yang diterima
melalui getaran dari apa yang disebut Bu Beng Hud-couw.
Dia sendiri
pun belum tahu ke mana dia harus pergi merantau, karena setelah kakeknya
meninggal dunia, dan ayah kandungnya ternyata telah mempunyai seorang isteri
dan dia sama sekali tidak mau bertemu dengan ayahnya itu atau mengaku sebagai
puteranya, dia tidak mempunyai tujuan.
“Apakah
engkau sudah lupa akan Lembah Naga? Apakah tak ingin kembali ke sana, tidak
rindu kepada tempat indah itu?” tiba-tiba terdengar suara halus pangeran itu.
Mata Sin
Liong bersinar-sinar. “Lembah Naga…!” katanya dengan perlahan dan di depan
matanya membayang semua kehidupannya pada waktu dia masih kecil, di lembah yang
tentu saja tak pernah dapat dilupakannya itu.
“Ya,
bukankah engkau berasal dari Lembah Naga? Namamu Sin Liong, hemmm…, naga sakti.
Engkau naga sakti dari Lembah Naga!” Pangeran itu tertawa gembira.
Hampir Sin
Liong terseret oleh kegembiraan ini karena betapa pun juga, ada rasa rindu di
dalam hatinya terhadap tempat itu, kepada monyet-monyet di dalam hutan, kepada
ibu kandungnya. Akan tetapi, baik ibu kandungnya mau pun biang monyet yang
merawatnya, telah mati semua, dan juga keluarga Kui Hok Boan, ayah tirinya,
tentu sudah tidak berada di sana lagi. Hal ini membuatnya lemas kembali,
kehilangan gairah.
“Mau apa aku
ke tempat itu?” katanya lirih, sementara matanya memandang jauh dengan kosong.
“Mau apa?
Tentu melihat tempat-tempat lama. Tidakkah engkau rindu akan tempat lama pada
waktu engkau bermain-main dahulu? Eh, Sin Liong, mari kau ikut bersamaku, aku
akan pergi ke Lembah Naga di mana akan diadakan keramaian untuk memilih guru.
Ayah mengundang seluruh orang sakti di dunia ini untuk dipilih menjadi guruku,
di Lembah Naga.”
“Ehhh…?” Sin
Liong terkejut.
“Tidak
tahukah engkau bahwa Lembah Naga telah dibangun oleh ayah…”
“Ayahmu?
Siapakah dia?”
“Raja
Sabutai…”
“Bukankah
engkau adalah pangeran adik kaisar…?” Sin Liong menjadi bingung.
Han Houw
mengangguk. “Aku memang adik Kaisar Ceng Hwa, aku adalah anak kandung mendiang
Kaisar Ceng Tung!” katanya gagah. “Akan tetapi semenjak kecil aku dititipkan
pada ayah angkatku, yaitu Raja Sabutai yang gagah perkasa. Dan tahun depan,
setelah ditunda bertahun-tahun, aku harus menghadiri pemilihan guru sebagai
orang paling sakti di dunia ini yang diangkat oleh ayah angkatku itu sebagai
guruku. Ayah angkatku, Raja Sabutai, ingin agar aku menjadi orang yang paling
gagah di dunia ini.”
“Hemmm…,
kulihat kepandaianmu sudah hebat, Han Houw. Dengan mudah saja engkau membunuh
tujuh orang Pek-lian-kauw tadi.”
“Ahh, masih
belum seberapa, Sin Liong. Ayah angkatku menghendaki agar aku menjadi orang
yang paling pandai di dunia ini sehingga kelak aku akan dapat mengalahkan orang
yang paling dibenci oleh ayah…”
“Siapa orang
itu?”
“Cia Keng
Hong…!”
“Ahhh…!”
“Sayang
ketua Cin-ling-pai itu sudah meninggal dunia, akan tetapi masih ada puteranya
yang bernama Cia Bun Houw, yang kabarnya lebih lihai lagi dari pada Cia Keng
Hong. Nah, aku harus belajar ilmu setinggi-tingginya untuk pada suatu hari aku
mengalahkan Cia Bun Houw.”
“Mengapa
ayahmu, Raja Sabutai begitu membencinya?”
"Karena
Cia Keng Hong itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga karena subo sendiri
sudah menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena subo telah berkali-kali
kalah oleh Cia Keng Hong, bahkan beberapa tahun yang lampau ini, sebelum Cia
Keng Hong meninggal dunia, subo Hek-hiat Mo-li yang dibantu dengan Kim Hong
Liu-nio juga tidak mampu mengalahkannya. Memang pendekar itu sangat hebat. Aku
merasa kagum sekali mendengar betapa subo dan suci masih kalah dan karena kagum
inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu saat aku harus
mampu mengalahkan putera Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw itu, dan untuk
itu, tahun depan ayah hendak mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan
diangkat menjadi guruku."
Sin Liong
termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang telah meninggal dunia, dan
memusuhi ayah kandungnya! Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya berada
di depannya…!
Akan tetapi
Sin Liong mengusir perasaan tidak enak di hatinya. Dia tidak mempedulikan lagi
ayah kandungnya. Ayah kandungnya itu bukanlah manusia baik-baik. Buktinya sudah
membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya dan ingin sekali dia mengunjungi
kuburan ibu kandungnya.
"Baik,
aku ikut bersamamu ke Lembah Naga!" Tiba-tiba dia berkata.
"Bagus,
dengan begitu baru engkau seorang sababatku yang baik!"
"Maaf,
aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti aku menjadi sahabatmu,
pangeran," jawab Sin Liong dengan suara dingin.
"Ehh?
Mengapa tiba-tiba menyebut pangeran? Aihh, apakah engkau pun akan ketularan
penyakit umum dan bersikap hormat kepadaku? Akan memuakkan sekali kalau begitu,
Sin Liong. Engkau lebih muda dariku, maka selanjutnya cukup kalau engkau
menyebutku twako saja, dan aku akan menyebutmu Liong-te. Kita patut menjadi
kakak beradik, bukan, walau pun hanya kakak beradik angkat saja."
Melihat
sikap yang amat ramah dan mesra itu, mau tidak mau Sin Liong harus mengakui
bahwa pangeran ini sangat baik kepadanya dan menarik hatinya, membuat dia
merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata,
"Baiklah, Houw-ko."
Wajah yang
tampan itu berseri gembira dan diam-diam Sin Liong harus mengaku betapa gagah
dan tampannya pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan tajam, dan
raut muka itu demikian gagahnya. Sayang bahwa seorang pria segagah dan setampan
ini dapat memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti membunuh semut
saja.
"Liong-te,
mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!" katanya sambil menuding
ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ.
"Ke
benteng? Mau apa pergi ke benteng?" tanyanya heran.
Han Houw
tertawa. "Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan di
sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan
binatang-binatang lainnya. Senang sekali berburu di sana, Liong-te. Kita
berburu di sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan,
daging kijang dan mungkin kita bisa mendapatkan kulit harimau, baru kita
melanjutkan perjalanan ke utara. Senang, bukan?"
Sin Liong
tersenyum dan segera bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini
agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk.
"Baiklah."
Keduanya
lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mula-mula para penjaga dengan penuh
curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Akan tetapi
sesudah Ceng Han Houw mengeluarkan kim-pai, yaitu lencana terbuat dari pada
emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan kaisar, komandan itu
menjatuhkan diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat.
Akan tetapi Han
Houw yang tidak suka atau sudah sangat bosan dengan segala macam penghormatan
itu, dengan singkat menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur
yang baik berikut anak-anak panah yang baik pula. Tentu saja permintaan ini
cepat dipenuhi.
Tak lama
kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya, Han Houw bersama Sin
Liong cepat membalapkan kuda meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti
pandang mata para anak buah pasukan yang masih merasa terheran-heran seperti
dalam mimpi karena tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang
pangeran yang datang berkunjung!
***************
"Mengapa,
berhenti, Houw-ko?" Akhirnya dia bertanya.
"Liong-te,
seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak kau gantungkan di
punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan," kata pangeran
itu sambil tersenyum.
Sin Liong
juga tersenyum. "Ahh, biarlah engkau yang akan menggunakan busur dan anak
panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah
memanah..."
"Ahhh,
benarkah? Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa engkau tidak
dapat menggunakan anak panah?"
Sin Liong
menggeleng kepala. "Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan
perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan?
Tidak akan habis dan sia-sia saja."
"Aihh,
tanpa busur dan anak panah, mana mungkin kau akan dapat merasakan nikmatnya
panggang hati harimau dan merasakan kaki beruang? Apa lagi, anak panah bukan
hanya senjata untuk berburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang
yang ampuh dan yang harus dipelajari oleh setiap laki-laki yang gagah. Namun
dengan kepandaian seperti yang kau miliki, engkau akan dapat menguasainya
dengan mudah. Mari kuajari sebentar! Kau ambil busurmu, lantas perhatikan ini.
Begini caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang
busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak
panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikit pun tidak boleh bergoyang.
Pandangan mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran.
Lihat, aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung
yang tak berdaun!"
Pangeran itu
membidikkan busur dan panahnya, menarik tali kemudian terdengar suara menjepret
disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Sungguh tepat
bidikan itu dan secara diam-diam Sin Liong kagum sekali sebab pangeran itu
benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka dia pun mulai belajar memanah
dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw tadi, dengan tenaga yang
dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba
beberapa kali saja.
Akan tetapi
ketika senja sudah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk mencari bahan
makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan seekor kijang
muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepaskan oleh Han Houw dari jauh
itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja, di bawah
penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu memanggang
daging serta hati kijang.
Harus diakui
oleh Sin Liong bahwa bau daging panggang yang masih segar itu sedap bukan main,
apa lagi karena perutnya memang telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan
bersama Han Houw sangatlah menggembirakan. Mereka makan panggang daging kijang
yang lunak dan gurih sampai kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir
berupa anak sungai jernih di dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang
bersih dan enak, di bawah sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk
tempat istirahat melewatkan malam.
Pada waktu
mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan diterangi
api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran ini banyak
bertanya tentang diri Sin Liong. Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak suka
banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat-singkat
saja dan bersifat mengelak. Ketika ditanya mengenai orang tuanya, Sin Liong
menjawab bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya
dirawat oleh monyet-monyet.
"Ahhh,
jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau
adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng
Hong?"
Sin Liong
menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik. "Kalau engkau menyangka
demikian, kenapa engkau mengajak aku untuk bersahabat? Bukankah engkau memusuhi
mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw? Kalau memang engkau menganggap aku ini
keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku?"
Pangeran itu
menarik napas panjang. "Ahh, engkau belum mengenal aku, adik yang baik!
Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia, Yap
dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw karena
pendekar Cia Keng Hong telah meninggal, akan tetapi aku tak menaruh rasa benci
kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang sudah
banyak melepas budi kepadaku. Dan andai kata engkau benar putera Cia Bun Houw,
hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu, apa
lagi aku sangat suka dan tertarik kepadamu..."
"Aku
bukan anaknya!" Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah
marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu.
Pangeran itu
memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah Sin Liong
yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada Sin Liong
karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-anak lain.
Anak ini liar dan berwatak luar biasa.
Sudah tahu
bahwa dia adalah seorang pangeran, adik kaisar, tetapi anak ini sama sekali
tidak memperlihatkan sikap hormat, apa lagi menjilat. Hal ini saja sudah
mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam hatinya. Dan anak ini kelihatan benci
dan marah ketika diingatkan bahwa dia putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu
pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain tentu akan merasa bangga sekali. Dan
penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut kepadanya. Bocah ini sungguh
menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya dengan sinar mata berseri.
"Sudahlah,
kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau juga she
Cia?" Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya.
"Aku
tidak punya she!" jawaban ini seketika, timbul dari hati panas.
Kembali Han
Houw tersenyum. "Baiklah, aku hanya akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si
Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari
mana engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu
menghadapi Lam-hai Sam-lo?"
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan bahwa dia sudah
digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena dengan
begitu sama saja dengan mengaku bahwa dia adalah putera dari Cia Bun Houw. Dia
tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi
dengan berani, sungguh pun dia tidak ingin bermusuhan dengan pangeran yang luar
biasa dan sangat disukanya ini. Akan tetapi dia amat segan untuk mengaku putera
pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang
pria yang kejam, yang sudah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya.
"Aku
hanya belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek,"
jawabnya pendek.
"Ha,
sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia adalah
seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak muncul
sendiri sehingga aku tidak sempat berjumpa kemudian berkenalan dengan dia.
Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan dengan kakek aneh itu,
Liong-te?"
Sin Liong
menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri
pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu
padaku." Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan
bahwa mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing sebab kakek itu
ingin memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup.
"Sayang
sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Ehh, sungguh luar
biasa anehnya!" Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya.
"Apanya
yang luar biasa aneh?"
"Engkau!
Kenapa kau menjadi sute-nya? Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya? Bukan
main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau menjadi
sute-nya! Siapakah guru kalian kalau begitu?"
Sin Liong
menjadi bingung dan dia menggeleng kepala. "Houw-ko, aku minta kepadamu,
harap engkau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku sendiri
selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu itu! Aku
belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu Sek, jadi
sebenarnya dialah guruku, akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan
berkeras mengatakan bahwa aku adalah sute-nya. Jadi, aku sendiri belum pernah
melihat guru kami..."
"Bukan
main...!" Pangeran itu memandang dengan dua mata terbelalak, akan tetapi
sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali.
"Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal
yang luar biasa aneh pula, Liong-te. Kau membuat aku merasa iri saja!
Kehidupanku amat membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan subo-ku yang katanya
memiliki kepandaian setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang
nenek yang pikun. Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku
tidak memiliki niat yang buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat
tertarik, katakanlah siapa nama gurumu yang luar biasa itu. Sesudah kau beri
tahu, aku tidak akan banyak bertanya lagi tentang itu, adik yang baik."
Sin Liong
merasa tak enak hati untuk menolak dan dia pun tidak ingin mengecewakan hati
pangeran yang sangat baik terhadapnya ini. Pula, suheng-nya tidak pernah
melarang dia menyebutkan nama guru mereka itu, hanya yang tidak boleh
dibicarakan adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu.
"Kuberi
tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko. Nama
guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya
berada di Himalaya."
Sepasang
mata yang lebar dan amat indah bentuknya itu terbelalak. "Gurumu... gurumu
seorang dewa...? Bu Beng Hud-couw...? Tentu seorang dewa dan bagaimana
suheng-mu mengadakan hubungan dengan seorang dewa?"
"Ahh,
aku sendiri selamanya belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia
mengadakan hubungan lewat getaran..."
"Getaran?
Bagaimana maksudmu?"
"Entahlah,
Houw-ko, aku sendiri pun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya sudah tiga
ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya dan setiap
saat bisa dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku sendiri belum
pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang aku banyak
bicara tentang suhu."
Mata Han
Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum.
"Aihhh...!" Akhirnya dia menarik napas panjang. "Betapa
beruntungnya engkau, Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ahh, kalau saja
aku dapat berguru kepadanya."
Pangeran itu
tak banyak bicara lagi, hanya termenung memandang ke dalam api unggun,
membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak
mempedulikan lagi sahabatnya itu dan dia telah merebahkan diri di atas rumput,
terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya. Karena tubuhnya sangat lelah dan
perutnya kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas.
Biar pun Sin
Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu tinggi dan
pemuda ini di luar kesadarannya sendiri sudah mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu
yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru berusia
enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan dangkal.
Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga apa pun,
dan dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini oleh karena
melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu.
Dapat
dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu
tiba-tiba dia merasa tubuhnya amat nyeri dan seketika dia terbangun. Begitu
matanya terbuka, dia melihat bahwa malam sudah berganti pagi, akan tetapi yang
sangat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam
keadaan tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh!
Tahulah dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara
hebat sekali!
Pangeran itu
duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang serta anak panah di atas
busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri seorang
kakek yang langsung dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-liong-ong
Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa bermuka buruk
seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara
perebutan bengcu kemarin.
Ketika Sin
Liong membuka matanya, dia melihat betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang
pangeran.
"Harap
paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tak mampu bergerak, pangeran.
Kalau dia dapat bergerak, sukarlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia sudah
mewarisi Thi-khi I-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba percaya
bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang hamba
yakin sekarang tentu sudah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek."
"Hemm,
tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku. Jelaskan,
kitab-kitab apa yang kau maksudkan itu dan kenapa engkau berkeras hendak
membunuh dia?"
"Dalam
pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan kepada paduka
tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba
bertiga dan biar pun tahun ini dia tidak muncul, tetapi ada pemuda ini yang
menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sute-nya. Kabarnya kitab-kitab pusaka yang
dicuri oleh Ouwyang Bu Sek itu adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat,
ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat
tinggi."
"Hemm...,
Bu Beng Hud-couw?" Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah
wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada
pemuda remaja itu.
"Benar,
pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dahulu, baru kita
mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu kelak
hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan
kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang
sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya
sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat
menguasainya terlalu lama..."
Han Houw
tersenyum dan kini cahaya matahari pagi menerobos celah-celah daun pohon,
menimpa ke wajah pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan
jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong, kemudian sambil tersenyum dia
berkata kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan
kemarahan.
"Sin
Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini? Nyawamu berada di dalam tanganku!"
Sin Liong
mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu seluruh
perhatiannya lahir batin tercurah pada jalan darahnya dan pernapasannya. Dari
mendiang kakeknya, dia telah menerima pelajaran tentang Thai-kek Sin-kun dan di
dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang sangat rahasia, yaitu
penguasaan jalan darah melalui pernapasan.
Karena
sulitnya ilmu ini, maka dia pun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di
luar kepala saja dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya. Kini, dalam
keadaan tertotok jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan
ilmu itu dan secara diam-diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya,
kemudian mengatur pernapasan dan perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya
itu menyusup ke dalam jalan darah dan membantu jalan darah yang terhenti karena
totokan untuk membebaskannya.
Oleh karena
itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja dan
karena tidak terlalu memperhatikannya, maka dia pun menjawab sambil lalu dan
suaranya masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum
terjadinya pengkhianatan ini.
"Houw-ko,
aku memang tahu bahwa engkau amat kejam dan curang. Aku adalah seorang gagah,
tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan gagah dari pada
hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau."
"Bocah
setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran? Kurang ajar, engkau
layak mampus seratus kali!" Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan
mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong.
Pada waktu
itu Sin Liong sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan
napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat
serangan ini, dia hanya membelalakkan mata sambil menanti maut dengan mata
terbuka. Harapannya habis ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak
panah di busur yang dipegang oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali,
mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan.
"Crotttt...!"
Karena
dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke
punggung, namun bukan pada tubuh Sin Liong! Sepasang mata Hek-liong-ong
terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan
teriakan karena terkejut, nyeri dan juga heran.
"Oughhhhh...
pangeran... mengapa...?" Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas dari
tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang
sudah menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan
tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus
jantungnya.
Rasa kaget
dan heran yang sangat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan
darah yang terhenti.
"Plong...!"
Dan Sin
Liong pun dapat bergerak lagi. Dia bangkit duduk dan memandang pangeran itu
sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan sepotong yang keluar dari mulut
Hek-liong-ong sebelum tewas tadi, "Mengapa engkau lakukan itu? Mengapa kau
membunuh dia?"
Sekarang
pangeran itu memandang dengan mata terbelalak. "Liong-te, kau... kau...
dapat bergerak? Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu?"
Sin Liong
mengangguk. "Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi,
Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh
dia yang menjadi pembantumu?"
Pangeran itu
menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong dan menyentuh
dengan kakinya.
"Menjemukan
dia ini! Dan engkau tadi mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan
curang namun hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau
terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan,
belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya."
"Houw-ko,
aku tahu bahwa engkau tadi telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula
kenapa Hek-liong-ong membenciku sehingga hendak membunuhku. Akan tetapi sungguh
aku tidak mengerti kenapa engkau membunuhnya. Bukankah Lam-hai Sam-lo merupakan
pembantu-pembantumu, pembantu pemerintah?"
"Dia
ini layak mampus, Liong-te. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama,
pada waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan juga mengejutkan aku. Itu saja
sudah cukup baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau
adalah seorang sababatku. Perbuatannya itu berarti dia tidak mengindahkan aku
dan lancang, merupakan dosa yang tak berampun. Dan ke tiga, dia tak boleh
membunuhmu, karena selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga
adalah calon saudara seperguruanku."
"Ehh...?!"
Sin Liong berseru heran.
"Lupakah
kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid dewa yang bermukim di Himalaya itu,
Liong-te? Sudahlah, kematian orang ini tak perlu diributkan lagi, dia mati
sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan kuanggap menentang kepada atasan.
Mari kita lanjutkan perjalanan."
Mereka lalu
naik ke atas punggung kuda masing-masing. "Houw-ko, aku berhutang nyawa
kepadamu."
"Ahh,
jangan berlebihan, Sin Liong. Engkau sudah berhasil membebaskan totokan maka
tanpa kubantu pun, belum tentu Hek-liong-ong mampu membunuhmu."
Sin Liong
tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia tahu benar
bahwa tanpa bantuan pangeran itu, dia tentu telah tewas oleh golok
Hek-liong-ong yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri
dari totokan.
Pangeran itu
bersikap seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat. Membunuh
Hek-liong-ong itu baginya seolah-olah merupakan hal biasa saja dan diam-diam
Sin Liong merasa semakin menyesal mengapa pangeran yang telah menarik hatinya
bahkan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin
terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya.
Sin Liong
juga melihat betapa Han Houw amat suka berburu. Sampai tiga hari lamanya dia
terpaksa menemani pangeran itu berburu di dalam hutan yang memang dihuni oleh
banyak sekali binatang liar itu. Tetapi dia sendiri tidak ikut menggunakan anak
panahnya.
Sin Liong
terlalu mencinta kehidupan di dalam hutan untuk merusaknya begitu saja. Dia
sangat berduka melihat betapa Han Houw menyebar maut di antara
binatang-binatang yang sama sekali tidak berdosa, membunuhnya, merobohkannya
dengan anak panah lalu meninggalkan bangkainya begitu saja!
Melihat
Hek-liong-ong tewas kemudian mayatnya ditinggalkan begitu saja, dia tak merasa
terlampau menyesal karena memang orang itu hanya akan menyebar kejahatan dengan
mengandalkan kepandaian. Akan tetapi saat melihat binatang-binatang hutan yang
sama sekali tidak bersalah itu dibunuh begitu saja, benar-benar dia merasa
betapa hatinya perih dan menyesal.
Memang
demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi serta pikirannya
yang membuat manusia menganggap bahwa dia adalah makhluk teragung, terpandai
dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan kekejaman-kekejaman yang luar
biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman yang takkan pernah dilakukan oleh makhluk
lainnya. Kekejaman yang sudah merupakan semacam ‘kebudayaan’ atau yang sering
kali disebut ‘olah raga’ sehingga sudah menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap
sopan dan baik, menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala makhluk.
Manusia
memburu dan mengejar makhluk-makhluk lain, binatang-binatang dalam hutan,
membunuh mereka, kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya
lebih condong kepada kebutuhan selera dari pada kebutuhan perut, namun lebih
sering lagi membunuh binatang-binatang itu hanya untuk kesenangan belaka,
setelah binatang-binatang itu dibunuh, bangkainya ditinggalkan begitu saja!
Manusia
menikmati kesenangan dari membunuh! Dan membunuh semacam ini, karena
kebudayaan, atau karena kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh
dianggap kesenian, kebudayaan, olah raga!
Dan bukan
manusia-manusia pedusunan atau pegunungan yang menganggap demikian, yang
memiliki kebudayaan macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung
memang banyak pula yang memburu binatang, namun mereka melakukan hal itu bukan
untuk kesenangan membunuh, melainkan sebagai nafkah hidup.
Yang
menganggap pembunuhan sebagai sebuah kebudayaan justru adalah orang-orang
terpelajar, manusia-manusia kota yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang
bicara muluk-muluk mengenai kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan
kenyataan ini bagi mereka yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal
keadaan diri sendiri lahir batin!
Selama tiga
hari ini, Sin Liong melihat betapa pangeran yang tampan itu bergembira ria,
mengejar harimau, kijang, atau binatang apa pun yang ditemuinya, dan selama
tiga hari ini pula, belasan ekor binatang sudah menemui ajalnya, mati lantas
dibiarkan bangkainya membusuk dan dimakan binatang-binatang lain. Memang ada di
antara korban-korban itu yang dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua,
akan tetapi hanya sedikit dan tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya
binatang yang tewas.
Pada suatu
hari, tibalah dua orang muda itu di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang ramai di
tepi Sungai Yang-ce di tapal batas sebelah utara dari Propinsi Kiang-si.
Seperti biasa apa bila mereka sampai di kota atau pedusunan, Han Houw lalu
mengajak Sin Liong langsung menuju ke gedung kepala daerah di mana dia lalu mengeluarkan
kim-painya dan setelah orang mengenal kim-pai itu, segera Han Houw
disembah-sembah dan disambut dengan segala kehormatan. Sin Liong yang
dikenalkan oleh Han Houw sebagai adik angkatnya, tentu saja juga menerima
penyambutan yang amat ramah dan terhomat sehingga kadang kala pemuda remaja ini
merasa canggung dan sungkan.
Pakaian-pakaian
indah disediakan oleh Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang itu untuk Han
Houw dan Sin Liong. Tentu saja untuk Han Houw disediakan pakaian yang pantas
untuk dikenakan oleh seorang pangeran, sedangkan untuk Sin Liong disediakan
pakaian yang biasanya hanya dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan atau hartawan!
Melihat
sikap Sin Liong yang kikuk, Han Houw tertawa dan dengan setengah memaksa dia
berkata, "Liong-te, engkau adalah sahabatku yang baik, maka sudah
sepatutnya kalau engkau menerima penghormatan dari siapa pun juga. Pakaianmu
sudah kotor, hayo kau pakai pakaian baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama
itu, sebagai sahabat baikmu tentu aku akan turut merasa malu, apa lagi engkau
bukan hanya sahabat, melainkan adik angkatku!"
"Adik
angkat? Apa maksudmu, Houw-ko?" tanya Sin Liong ketika mereka berada di
dalam kamar mewah yang disediakan oleh Gu-taijin untuk mereka.
"Engkau
adalah adik angkatku, Liong-te, tidak maukah engkau menjadi adikku? Aku ingin
mengangkat engkau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan purnama,
kita akan melakukan sembahyang sebagai pengangkatan saudara."
"Ahhh...!"
Sin Liong melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya.
Han Houw
adalah seorang pangeran, adik dari kaisar! Dan nanti malam, di bawah sinar
bulan purnama, pangeran ini hendak mengangkat dia sebagai adik, padahal dia
hanyalah seorang anak tanpa keluarga, bahkan anak yang dirawat oleh monyet!
"Apakah
engkau menolak, Liong-te?" pertanyaan itu diucapkan dengan suara
sedemikian halusnya sehingga Sin Liong tidak berani untuk membantah.
"Aku...
merasa terhormat sekali... akan tetapi, pantaskah aku menjadi adik angkatmu,
Houw-ko...?" katanya gagap.
Han Houw
merangkulnya dan tertawa. "Pantas? Ha-ha-ha, engkau adalah Naga Sakti dari
Lembah Naga, mempunyai adik seperti engkau merupakan kebanggaan bagiku,
Liong-te! Mari, Gu-taijin telah mempersiapkan segala peralatan sembahyang itu
di taman."
Dan benar
saja, pada waktu mereka memasuki taman, di sana telah diatur sebuah meja
sembahyang yang lengkap serta mewah, dan lilin-lilin merah bernyala dengan
meriahnya. Ternyata pangeran itu sudah memesan kepada Gu-taijin dan sudah
mengatur segala-galanya, tanda bahwa pangeran itu sudah yakin bahwa Sin Liong
tidak akan menolak!
Sin Liong
merasa kikuk sekali. Apa lagi karena selain Gu-taijin sendiri dan nyonya Gu, di
situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian amat indah, bersama
dengan lima orang dara lainnya yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi yang
kesemuanya cantik manis, melayani mereka berdua dengan penuh penghormatan!
Sin Liong
merasa heran sekali mengapa Gu-siocia (nona Gu) puteri pembesar itu yang
usianya kurang lebih enam belas tahun dan cantik sekali itu melayani Han Houw
dengan manis budi dan dengan senyum dan kerling mata manis memikat. Dia juga
merasa kagum betapa Han Houw bersikap biasa saja dan tidak kikuk sama sekali
terhadap pelayanan Gu-siocia serta lima orang pelayan cantik itu, padahal dia
sendiri merasa canggung dan gugup, bahkan Sin Liong merasa betapa kedua kakinya
agak gemetar menghadapi enam nona cantik itu. Bau harum dari rambut dan pakaian
mereka membuat jantung Sin Liong berdegup tegang.
Sebelum
sembahyangan dimulai, pangeran itu mendekatkan mulutnya di samping telinga Sin
Liong kemudian bertanya, "Liong-te, kau akan memakai she apakah dalam
upacara pengangkatan saudara ini?"
Sin Liong
menjadi bingung. Tadinya dia sudah mengambil keputusan untuk menggunakan nama
Sin Liong saja, tanpa she. Akan tetapi dalam upacara resmi itu terpaksa dia
harus menggunakan she dan dia tak sudi menggunakan she ayah kandungnya yang
dibencinya.
"She
Liong...," jawabnya berbisik pula.
Pangeran itu
mengangkat alisnya lalu mengangguk. "She ibumu...?"
Sin Liong
mengangguk. Ibu kandungnya adalah Liong Si Kwi, dan karena Cia Bun Houw ayah
kandungnya agaknya tidak lagi mau mengakui ibunya dan dia, mengapa dia tidak
memakai she ibunya saja?
Ketika
mereka berdua mulai sembahyang dan berlutut di depan meja sembahyang, Sin Liong
hanya menirukan kata-kata Han Houw.
"Diterangi
sinar bulan purnama, disaksikan oleh bumi dan langit, kami berdua, Ceng Han
Houw dan Liong Sin Liong, bersumpah saling mengangkat saudara satu sama lain
dan seterusnya kami berdua akan saling membela dan saling membantu sebagai
kakak dan adik. Semoga Thian memberkahi kami berdua."
Setelah
selesai sembahyang, Sin Liong yang merasa terharu segera bangkit dan bersoja
(mengangkat kedua tangan di depan dada) kepada Han Houw sambil berkata.
"Twako, harap suka menerima penghormatan adikmu."
Han Houw
balas mengangkat kedua tangannya, lalu merangkul pundak Sin Liong dengan wajah
berseri. "Puas dan gembira sekali hatiku, Liong-te!"
"Kionghi...,
kionghi...! Hamba menghaturkan selamat kepada paduka, pangeran!" Gu-taijin
berseru gembira dan isterinya serta puterinya juga cepat mengucapkan selamat
kepada Han Houw.
"Kionghi...(selamat),
Liong-kongcu!"
Pembesar itu
memberi selamat kepada Sin Liong, yang diikuti pula oleh isterinya serta
puterinya. Menerima penghormatan dan ucapan selamat dari Gu-siocia, wajah Sin
Liong berubah merah sekali sehingga Han Houw tertawa bergelak karena geli.
Untuk
menyambut kedatangan tamu agung itu sekaligus untuk merayakan pengangkatan
saudara, maka malam itu Gu-taijin mengadakan pesta bagi Han Houw dan Sin Liong.
Dua orang pemuda itu diajak makan minum oleh Gu-taijin, isterinya serta
puterinya, dilayani oleh gadis-gadis cantik. Juga di dalam pesta ini Sin Liong
melihat sikap Gu-siocia sangat manis terhadap sang pangeran, dan betapa ayah
serta ibu dara itu agaknya memang sengaja mendorong-dorong puteri mereka untuk
bermanis-manis dengan Han Houw.
Yang membuat
dia merasa sangat jengah dan malu adalah sikap Han Houw yang sama sekali tidak
kikuk bahkan secara terang-terangan pemuda tampan itu telah bermain mata dengan
Gu-siocia, dan di depan ayah bunda dara itu, Han Houw tidak segan-segan untuk
memuji kecantikan Gu-siocia, bahkan kalau ada kesempatan, tangan Han Houw
secara tidak tahu malu meraba lengan yang halus dari nona itu, dan beberapa
kali jari tangan pangeran itu malah mengusap dan mencubit pinggul beberapa
orang gadis pelayan yang kebetulan berada dekat dengannya sehingga gadis itu
menjadi tersipu-sipu akan tetapi tidak marah bahkan tersenyum manis dan
melempar kerling genit sekali!
Sin Liong
memejamkan mata lantas menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali
menyaksikan kenakalan pangeran itu. Tadinya dia menyangka bahwa mungkin
pengaruh arak yang telah membuat Han Houw bersikap seperti itu. Akan tetapi
dari percakapannya, tahulah dia bahwa memang Han Houw adalah seorang pemuda
yang genit dan senang menggoda wanita!
Akhirnya Sin
Liong tidak mampu menahan lagi dan dengan dalih mengantuk dia berpamit untuk
mengundurkan diri.
"Ahhh,
engkau sudah mengantuk, Liong-te? Nanti dulu sebentar, kita melihat kepandaian
Gu-siocia menari. Bukankah engkau pandai menari, siocia? Maukah menarikan
beberapa tarian untuk kami?"
Ayah dan ibu
gadis itu turut membujuk dan karena agaknya memang sudah dipersiapkan
sebelumnya, lima orang dara pelayan yang cantik itu sudah mengeluarkan
alat-alat musik pipa, yangkim dan sebagainya untuk mengiringi nona mereka
menari. Dan dengan sikap malu-malu buatan sehingga dia kelihatan lebih cantik
menarik seperti jinak-jinak merpati, Gu-siocia mulai menari.
Di antara
para pelayan itu ada yang memukul musik sambil menyanyi maka nona rumah menari
makin bersemangat dan Sin Liong harus mengakui bahwa nona itu pandai sekali
menari. Melihat betapa pinggang yang ramping itu terayun-ayun bagaikan tangkai
pohon yang-liu tertiup angin, betapa ringan kedua kaki kecil itu menari-nari,
jantungnya berdebar dan beberapa kali dia harus membuang muka agar jangan sampai
terpesona dan menjadi bengong seperti Han Houw!
Sesudah nona
itu selesai menari, Han Houw langsung bertepuk tangan memuji. "Bagus
sekali... tarianmu hebat, nona, seperti bidadari dari kahyangan...!"
"Pangeran
terlalu memuji..." kata nona itu dengan sikap malu-malu, suaranya merdu
mirip nyanyian, dan sambil membungkuk nona itu menyembunyikan muka di balik
ujung-ujung lengan bajunya yang terbuat dari sutera halus. Sikapnya amat
menarik dan lemah gemulai membangkitkan birahi.
"Houw-ko,
maafkan, aku ingin beristirahat...," kata Sin Liong.
Han Houw
tertawa lalu bangkit berdiri. "Ah, adikku ini tidak biasa menghadiri
pesta-pesta, maka merasa lelah dan ingin mengaso. Terima kasih atas segala
kebaikanmu, Gu-taijin."
"A-bwee,
antarkan pangeran beserta Liong-kongcu ke kamar mereka!" perintah sang
ayah kepada anaknya.
Dengan sikap
manis sekali Gu-siocia bersama lima orang dara pelayan itu mengantarkan Han
Houw dan Sin Liong. Sesudah meninggalkan ruangan itu dan melalui lorong menuju
ke kamar tamu, tanpa ragu-ragu lagi Han Houw merangkul pinggang Gu-siocia yang
amat ramping itu. Gu-siocia hanya terdengar menahan jerit dan tawa lirih, ada
pun Sin Liong mempercepat langkah dengan hati tidak karuan rasanya.
Akan tetapi,
ketika Sin Liong memasuki ke kamarnya yang terpisah dari kamar pangeran itu,
sebelah menyebelah, Han Houw mengikutinya bersama Gu-siocia yang masih terus
dirangkul pinggangnya dan lima orang dara pelayan cantik itu.
"Liong-te,
kau pilihlah. Siapa di antara mereka yang kau pilih untuk menemanimu?" Han
Houw bertanya sambil tersenyum.
Wajah Sin
Liong seketika menjadi berubah dan dua matanya terbelalak. "A... apa...?
Apa maksudmu...?" tanyanya gagap.
Lima orang
pelayan wanita itu tersenyum genit, ada pun Gu-siocia hanya menundukkan muka
dengan malu-malu sebab tangan pangeran yang merangkul pinggangnya itu dengan
nakal meraba ke atas.
"Liong-te,
mereka ini memang disuruh menemani kita. Hayo kau pilih yang mana? Malam ini
aku gembira sekali dan biarlah engkau kubiarkan memilih dulu. Apakah kau ingin
agar Gu-siocia menemanimu malam ini? Nah, kau ambillah dia...!" Pangeran
itu mendorong tubuh Gu-siocia ke depan.
Dara itu
menjerit kecil dan tentu akan menabrak Sin Liong kalau saja pemuda remaja ini
tidak cepat menangkap pinggangnya. Akan tetapi pinggang ramping itu cepat
dilepaskan kembali dan wajah Sin Liong menjadi agak pucat.
"Aku...
aku... tidak..."
"Jangan
malu-malu, Liong-te..."
"Pangeran,
Liong-kongcu tidak mau hamba temani, biar hamba menemani paduka saja..."
Gu-siocia berkata dan kembali mendekati pangeran itu.
"Bagaimana,
Liong-te?"
Kini Sin
Liong sudah dapat mengembalikan ketenangannya dan dia berkata dengan suara
tegas, "Houw-ko, selamanya aku belum pernah berdekatan dengan wanita dan
tidak akan melakukannya malam ini. Aku ingin beristirahat, harap Houw-ko suka
meninggalkan aku sendirian saja di kamarku. Nona-nona semua harap keluar dari
sini."
"Ha-ha-ha...!
Kau... kau masih perjaka tulen, Liong-te? Ha-ha-ha-ha, betapa engkau telah
menyia-nyiakan hidupmu." Pangeran itu tertawa-tawa.
Akan tetapi
Sin Liong tidak mempedulikannya, lantas dengan sikap sungguh-sungguh dia
menggiring mereka keluar dari dalam kamar. Sin Liong cepat menutupkan daun
pintu dan dia bersandar pada daun pintu itu dengan dada bergelombang.
Suara tawa
Han Houw masih terdengar olehnya. Dia merasa bingung, tidak dapat menilai sikap
Han Houw, kata-katanya dan sikapnya itu. Urusan dengan wanita merupakan suatu
hal yang asing sama sekali baginya. Biar pun dia berada dalam asuhan Ouwyang Bu
Sek dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa, akan tetapi kakek itu sama
sekali tak pernah bicara tentang tata susila.
Betapa pun
juga, ketika dia masih dekat dengan ibu kandungnya, kemudian sesudah dia ikut
Na-piauwsu, sudah banyak dia mendengar tentang pelajaran tata susila, bahkan
dia pernah mendapat kesempatan untuk membaca kitab-kitab kuno mengenai sopan
santun dan kehidupan, maka dia dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh
Gu-siocia dengan Pangeran Ceng Han Houw itu merupakan perbuatan yang tidak
senonoh dan melanggar batas-batas susila!
Biar pun dia
sadar bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah
mudanya yang dibangkitkan oleh bayangan-bayangan membuat dadanya berdebar-debar
dan darahnya bergejolak! Makin ditekan perasaan yang menggelora itu, makin
hebatlah menyerangnya sehingga Sin Liong tidak dapat tidur.
Dengan
gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas pembaringan, telinganya seakan
mendengar suara halus dan tawa yang menimbulkan gairah hatinya, suara
wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi. Di matanya selalu terbayang
wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum yang memikat tadi, bahkan
kini dia seperti mendengar suara ketawa Han Houw diselingi suara cekikian dari
wanita-wanita itu.
Semua ini
makin mengganggu hatinya hingga akhirnya Sin Liong tidak kuat bertahan lagi
dalam kamarnya, lalu diam-diam dia keluar melalui jendela dan membiarkan angin
malam menyejukkan tubuhnya, sungguh pun hatinya masih juga panas dan berdebar.
Dicobanya untuk bersemedhi di tengah taman indah yang sunyi dan remang-remang
itu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka, makin diusir bayangan-bayangan wanita
itu, makin jelas nampak kecantikan mereka dan jelas terdengar suara halus
mereka membujuk rayu.
Dari mana
datangnya gelora nafsu birahi dan bagaimana terjadinya? Mengapa demikian
sukarnya untuk diusir kalau datang mencengkeram batin sehingga amat
menggelisahkan orang, mendorong-dorong orang untuk melaksanakan hasrat yang
mencari pemuasan itu?
Nafsu
birahi, seperti nafsu apa pun juga yang bisa meliputi batin, datang dari
pikiran kita sendiri, datang dari ingatan atau kenangan. Memang ada naluri
jasmaniah yang bergerak sesuai dengan kewajaran, yang menggerakkan atau
menyentuh birahi demi kepentingan perkembangan dan pembiakan, mendekatkan
jantan dan betina, pria dengan wanita satu sama lain berikut daya tarik
masing-masing.
Akan tetapi,
hasrat yang timbul dari daya tarik jasmaniah ini sungguh tidak sama dengan
nafsu birahi yang menggerogoti batin dari sebelah dalam, karena nafsu birahi
ini, seperti nafsu-nafsu lain, digerakkan oleh pikiran. Pikiran mencatat
sebagai ingatan hal-hal yang dianggap atau dirasakan sebagai hal yang
menyenangkan, yang menimbulkan nikmat, dan ingatan ini yang menghidupkan lagi
pengalaman atau pengalaman orang lain yang dikenal itu, yang dianggap nikmat
dan menyenangkan sehingga selalu timbul keinginan untuk mengulang, atau ikut
mengalami, merasakan sendiri hal yang dibayangkan sebagai hal nikmat
menyenangkan itu.
Pikiran
menciptakan si aku yang ingin menikmati, ingin selalu mengulangi kesenangan dan
menjauhkan penderitaan. Nafsu birahi tak mungkin timbul tanpa adanya pikiran
yang membayang-bayangkan hal yang dianggap nikmat menyenangkan itu. Jadi,
pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang, membayangkan, merupakan pupuk yang
menyuburkan nafsu birahi.
Tentu saja
tidak mungkin untuk menghalau nafsu yang timbul dengan paksaan, dengan kemauan
atau dengan pelarian. Memang mungkin berhasil, akan tetapi hasil ini hanya
sementara saja dan nafsu itu akan timbul kembali sewaktu-waktu, kemudian akan
kita usir, datang lagi, usir lagi maka kita terseret ke dalam konflik yang
terus menerus antara kedatangan nafsu dan pengusirannya.
Apa bila
nafsu birahi datang menyerang biasanya kita hanya melakukan satu di antara dua
hal. Pertama, tunduk dan bertekuk lutut menyerah lalu membiarkan diri dibawa ke
mana pun, dibuai nafsu yang menuntut pemuasan, maka terjadilah perjinahan,
permainan cinta dengan cara apa pun juga demi pelampiasan nafsu kita yang pada
tingkat terakhir hanya akan mendatangkan penyesalan dan kekecewaan belaka.
Ke dua,
sesudah kita maklum bahwa pemuasannya hanya mendatangkan penyesalan, atau
setelah kita yakin dari pelajaran bahwa nafsu itu tidak baik dan sebagainya,
kita lalu menolaknya, kita melarikan diri dari padanya, atau kita berusaha
sedapat mungkin untuk mengusirnya. Yang pertama akan membuat kita menjadi
manusia hamba nafsu yang akhirnya membuat kita menjadi orang yang lemah lahir
batin, sedangkan yang ke dua akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari
konflik yang terus menerus.
Mengapa kita
tidak pernah menghadapi nafsu seperti apa adanya, memandangnya, dan mengamati
nafsu itu yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri, yang bukan lain adalah
kita sendiri? Mengapa kita tidak mempelajari diri sendiri, apa yang terjadi
dalam benak kita, di dalam hati dan perasaan kita, yang berhubungan dengan
nafsu itu? Mengapa kita hendak melarikan diri?
Pelarian
diri tidak mungkin sama sekali, karena betapa mungkin kita lari dari nafsu,
yang sesungguhnya adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri
sendiri? Siapa yang hendak lari itu? Siapa yang hendak mengusir nafsu itu? Yang
mengusir adalah kita sendiri, yang diusir juga kita sendiri, betapa mungkin?
Pikiran hendak mengusir akibat dari pikiran sendiri!
Kenapa kita
tidak pernah mencurahkan perhatian terhadap nafsu ketika ia timbul, hanya
memandangnya dengan penuh kewaspadaan serta kesadaran, tanpa pamrih sedikit pun
untuk mengusir atau untuk melarikan dari padanya, tanpa menolak atau pun
menerima kehadirannya, melainkan memandang saja dengan penuh perhatian dan
kewaspadaan? Pengamatan inilah yang akan menciptakan kewaspadaan dan
pengertian! Pengamatan tanpa pamrih ini yang akan menimbulkan perubahan, bahkan
melenyapkan nafsu tanpa ada yang mengusirnya!
Demikian
pula dengan halnya Sin Liong. Seperti juga orang lain, seperti kebanyakan di
antara kita, dia ingin melarikan diri dari nafsu yang mencekamnya, ingin
mengusir nafsu itu karena dia menganggap bahwa nafsu yang menguasainya itu
tidak baik, melanggar tata susila dan sebagainya. Memang akhirnya dia berhasil,
akan tetapi dia merasa lelah lahir batin ketika lewat tengah malam dia kembali
ke kamarnya, dengan badan dan batin lemas, seolah-olah dia habis berkelahi
melawan musuh yang amat kuat.
Dia melempar
tubuhnya ke atas pembaringan dan memang dia dapat juga tertidur pulas, namun di
dalam tidurnya itu sang nafsu birahi masih terus melanjutkan sepak terjangnya
dalam bentuk impian!
Sin Liong
bermimpi dan dalam mimpi itu dia bertemu dengan Gu-siocia, yang membujuk rayu
dia, dan berbeda dengan kenyataannya di sore tadi, dalam mimpi itu dia
menyambut dara itu dengan gembira, segera memeluk dan menciuminya. Dalam
keasyikan bercinta, kesenangan bermain cinta seperti yang belum pernah
dirasakan sebelumnya, tapi hanya dibayangkannya saja itu, tiba-tiba
kesadarannya melawan lagi dan Sin Liong terbangun. Tubuhnya penuh keringat dan
celananya menjadi basah!
Mimpi adalah
kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang hari tadi,
kemarin atau beberapa tahun yang lampau. Keadaan sehari-hari yang menggores
kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita dan batin
yang memerlukan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang padat itu, mencari
penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi.
Sin Liong
duduk terengah-engah, tubuhnya terasa lelah kehabisan tenaga, akan tetapi dia
merasa lega, seolah-olah persoalan yang menekan hatinya kini telah selesai dan
beres. Setelah membersihkan diri, dia lalu tidur lagi dan sekali ini tidurnya
pulas tanpa gangguan apa pun, termasuk celana basah.
***************
Pada
keesokan harinya, Han Houw muncul dengan wajah berseri dan kedua lengannya
memeluk pinggang ramping dua orang di antara lima pelayan wanita yang sejak
kemarin melayaninya. Tidak nampak Gu-siocia di antara mereka.
Sesudah
melihat Sin Liong keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapi karena pagi tadi
Sin Liong sudah bangun dan mandi kemudian bertukar pakaian, pangeran itu
mencium mulut kedua orang itu bergantian, ciuman yang membuat Sin Liong
berpaling membuang muka.
"Ha-ha-ha,
kalian manis sekali dan akan kuingat kalian. Sekali waktu aku akan menyuruh
utusan menjemput kalian menjadi selir-selirku. Nah, pergilah, sampaikan kepada
Gu-taijin bahwa kami akan berangkat pagi ini, agar disediakan dua ekor kuda
yang terbaik." Sambil tertawa pangeran itu mendorong dua orang dara
pelayan yang tersenyum dengan muka berseri itu dan mereka pergi dari situ
sambil berlari kecil, seperti dua ekor kupu-kupu yang indah beterbangan di atas
bunga-bunga.
"Ha-ha,
pilihanku tepat, Liong-te. Mereka berdua itu adalah gadis-gadis yang mulus dan
manis, menyenangkan sekali. Kalau sudah ada kesempatan, tentulah aku akan
mengirim utusan untuk menjemput mereka." Kemudian pangeran itu menatap ke
wajah Sin Liong dengan alis berkerut. "Liong-te, kenapa kau begitu bodoh?
Benarkah katamu malam tadi bahwa engkau belum pernah berdekatan dengan
wanita?"
Sin Liong
menggelengkan kepala dan cepat dia berkata untuk mengalihkan percakapan dari
dirinya. "Dan yang lain-lain... Gu-siocia itu, ke mana? Kenapa dia tidak
bersamamu, Houw-ko?"
Pangeran itu
tertawa. "Aku bukan orang bodoh, Liong-te, dan aku paling benci kepada
wanita yang palsu."
"Maksudmu?"
"Nona
Gu itu sengaja hendak menyerahkan dirinya dalam pamrihnya untuk menjadi selir
seorang pangeran, bahkan orang tuanya juga ikut mendorongnya. Aku tidak sudi
dijebak seperti itu. Kalau dua orang dara pelayan itu lain lagi, mereka
menyerahkan diri karena memang suka padaku. Sudahlah, engkau tentu tidak
mengerti. Mari kita siap-siap untuk berangkat. Nah, itu Gu-taijin datang
sendiri!"
Pembesar itu
memberi hormat kepada Han Houw, akan tetapi biar pun sikapnya masih tetap
ramah-tamah dan sopan santun, Sin Liong melihat adanya kekecewaan membayang
pada wajah pembesar ini. Dia tidak tahu benar apakah kekecewaan itu ada
hubungannya dengan penolakan Han Houw terhadap puterinya!
Tidak lama
kemudian, dua orang pemuda itu melanjutkan perjalanan, menunggang dua ekor kuda
baru pilihan, keluar kota dan melanjutkan perjalanan ke utara.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment