Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 22
NAMA Raja
Sabutai sangat terkenal di seluruh Tiongkok dan di luar tembok besar. Bagi para
suku bangsa pengembara, nama ini dikenal sebagai seorang raja besar yang pernah
menaklukkan hampir seluruh bangsa pengembara, menyusun kekuatan yang amat besar
terdiri dari suku-suku bangsa yang dipersatukan.
Bagi
kerajaan di Tiongkok, nama Raja Sabutai juga tak kalah terkenalnya. Siapakah
yang tidak mengenal raja liar yang dulu pernah menawan mendiang Kaisar Ceng
Tung bahkan kemudian pernah menyerbu masuk ke selatan, melewati tembok besar,
bahkan jauh ke selatan dan pernah menjebolkan pertahanan kota raja? Walau pun
akhirnya pasukan liar yang dipimpin Raja Sabutai itu berhasil dipukul mundur,
namun namanya masih ditakuti dan banyak orang merasa seram dan ngeri apa bila
mengingat akan keganasan pasukan Raja Sabutai ketika menyerbu ke selatan.
Bukan hanya
terkenal di kalangan suku bangsa pengembara di luar tembok besar serta terkenal
di sebelah dalam tembok besar sebagai raja liar yang ganas dan kuat, namun nama
Sabutai ini bahkan terkenal pula di dalam dunia persilatan, di kalangan
kang-ouw, terutama sekali di wilayah utara, karena selain Sabutai merupakan
seorang raja, dia juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang lihai sekali,
yang kepandaiannya sejajar dengan tingkat para datuk persilatan, karena raja
itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko.
Bahkan di
waktu mudanya, Sabutai pernah pula menggegerkan dunia persilatan dengan
mengalahkan banyak tokoh kang-ouw terkenal sehingga namanya menjadi amat
terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi di samping itu semua, dia pun terkenal
sebagai seorang raja yang royal terhadap tokoh-tokoh dunia kang-ouw dan dapat
menghargai orang-orang kang-ouw sehingga diam-diam dia disuka dan dihormati,
terutama sekali oleh golongan hitam atau kaum sesat.
Inilah
sebabnya maka ketika terdengar berita bahwa Raja Sabutai mengundang seluruh
orang kang-ouw yang berilmu tinggi untuk memasuki pemilihan guru silat untuk
mengajar kepada pangeran putera raja itu, banyak orang pandai meninggalkan
sarang atau tempat pertapaan mereka untuk pergi ke utara, keluar dari tembok
besar. Mereka yang mengejar kedudukan, kemuliaan dan harta, tentu saja
mengandung niat untuk memasuki pemilihan jagoan agar dapat dipilih menjadi guru
silat.
Akan tetapi
kebanyakan di antara mereka hanya datang ke tempat jauh itu karena tertarik dan
hendak menonton. Setiap ada kesempatan di mana orang-orang yang berilmu tinggi
datang dan saling bertemu, pasti dunia kang-ouw akan menjadi gempar sehingga
banyak orang datang hanya untuk berkenalan, nonton adu silat, dan meluaskan
pengetahuan dan pengalaman.
Maka, pada
waktu hari pemilihan guru silat itu sudah makin mendekat, setiap hari tampak
banyak orang menyeberangi tembok besar menuju ke utara, dan mereka ini tentu
saja hanyalah orang-orang kang-ouw yang ingin mengunjungi tempat pemilihan guru
silat itu, yaitu di Lembah Naga. Jika bukan orang kang-ouw yang memiliki
kepandaian dan sudah biasa melakukan perjalanan jauh yang sukar, tentu tidak
berani melakukan perjalanan yang selain jauh juga melalui daerah-daerah
berbahaya itu.
Sebagian
besar dari para tokoh kang-ouw itu adalah orang-orang daerah utara, karena
tokoh-tokoh kang-ouw daerah selatan, terutama sekali yang bukan tergolong
sesat, tentu saja tidak sudi untuk membantu orang asing, apa lagi bekerja
kepada Raja Sabutai yang merupakan musuh rakyat dan negara. Kalau ada juga di
antara mereka yang ikut datang, semata-mata mereka itu hanya tertarik dan ingin
nonton adu kepandaian tingkat tinggi.
Ceng Han
Houw dan Sin Liong melakukan perjalanan cepat dan mereka jarang berhenti,
bahkan tidak pernah pula Han Houw bersenang-senang seperti yang dilakukannya
ketika dia berada di rumah pembesar Gu, karena waktunya sudah amat mendesak dan
dia pun merasa khawatir kalau-kalau dia akan datang terlambat. Maka dia bersama
Sin Liong membalapkan kuda, dan setiap berhenti di sebuah kota hanya untuk
meminta ganti kuda kepada pembesar setempat yang melayani pangeran ini dengan
segala kehormatan.
Ketika
mereka sudah melewati tembok besar, Sin Liong mulai mengenal daerah liar yang
mendebarkan hatinya. Teringatlah dia akan perjalanannya pada saat keluar dari
Lembah Naga, dibawa oleh Kim Hong Liu-nio sebagai tawanan, bersama dengan Han
Houw ini, sampai dia dirampas oleh Tok-ong Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang,
dan mulailah dia dengan perjalanannya ke selatan sampai akhirnya dia menjadi
murid Ouwyang Bu Sek, atau lebih tepat lagi, menjadi sute dari kakek aneh itu
karena dia bersama kakek itu menjadi murid dari guru mereka yang belum pernah
dikenal oleh Sin Liong, yaitu kakek manusia dewa yang hanya baru dikenal
namanya dari suheng-nya itu, yakni Bu Beng Hud-couw yang katanya bermukim di
puncak Himalaya sebagai orang suci atau dewa!
Apa lagi
ketika dia tiba di Rawa Bangkai, di sebelah selatan Lembah Naga, teringatlah
dia akan semua pengalamannya pada waktu kecil karena daerah ini amat
dikenalnya. Akan tetapi kini sejak dari Rawa Bangkai sudah nampak
penjaga-penjaga, yaitu prajurit-prajurit dari pasukan Raja Sabutai, yang
menjaga dengan tertib dan gagah, selain menjaga tapal batas itu, juga sekalian
sebagai penghormatan terhadap para tamu yang hendak datang berkunjung berkenaan
dengan adanya sayembara pemilihan guru silat. Karena itu tidak seperti
biasanya, kini para penjaga itu berpakaian seragam baru yang gagah berkilauan,
dengan tombak di tangan, dan bendera-bendera tanda kebesaran Raja Sabutai
berkibar di mana-mana.
Ketika para
penjaga itu melihat datangnya Ceng Han Houw yang mereka kenal sebagai Pangeran
Oguthai, mereka menyambut dengan gembira sekali. Sambil memberi hormat mereka
berseru, "Hidup Pangeran Oguthai!"
Wajah para
prajurit yang tadinya kaku dan gelap, seketika menjadi terang penuh seri dan
senyum, bahkan beberapa orang lalu cepat-cepat menunggang kuda untuk mengabarkan
kedatangan pangeran ini ke Lembah Naga. Oguthai atau Ceng Han Houw tersenyum
dan melambai ke kanan kiri menerima sambutan dan penghormatan anak buah
ayahnya, dan ketika ada beberapa orang perwira tinggi besar yang gagah
menyambut, diam-diam Sin Liong merasa kagum akan keagungan kakak angkatnya itu.
Pada waktu
para perwira tua muda itu mengerumuni Han Houw, memberi hormat dan menyambutnya
dengan berbagai cara, bicara dengan ramainya dalam bahasa utara yang dimengerti
pula oleh Sin Liong karena anak ini sejak lahir berada di daerah ini, tiba-tiba
Han Houw berkata lantang,
"Heiii...
para perwira..., kalian beri hormat kepada Liong Sin Liong ini! Dia ini adalah
adik angkatku!"
Semua
perwira mengangkat alis dan membelalakkan mata, terkejut mendengar ini lantas
mereka tergesa-gesa memberi hormat kepada Sin Liong sambil memohon maaf karena
mereka tidak tahu bahwa Liong-kongcu ini adalah adik angkat dari Pangeran
Oguthai! Dihormati secara berlebihan itu, Sin Liong juga merasa kikuk bukan
main dan membalas penghormatan mereka, dipandang oleh Han Houw yang tertawa
bergelak karena melihat kekikukan Sin Liong.
Ketika
melihat banyaknya orang kang-ouw berbagai suku bangsa berbondong datang ke
tempat itu, Sin Liong lalu menarik tangan Han Houw, diajak ke pinggir agar
pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, kemudian dia berkata,
"Harap
kau maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat ikut bersamamu ke
Lembah Naga."
Han Houw
memandang heran. "Ehh, kenapa begitu, Liong-te? Jauh-jauh kau sudah ikut
bersamaku ke sini, dan sekarang sesudah hampir memasuki Lembah Naga, engkau
tidak mau melanjutkan? Kenapa sih?"
Sukar bagi
Sin Liong untuk berbicara terus terang. Tentu saja selama ini dia tidak pernah
dapat melupakan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio telah
membunuh ibu kandungnya, Kim Hong Liu-nio pernah menyiksanya dan nyaris
membunuhnya, juga Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li sudah menyebabkan kematian
kongkong-nya, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, kakeknya yang amat
dihormat dan disayangnya itu.
Sekarang,
biar pun dia telah menjadi adik angkat Han Houw, biar pun kakak angkatnya itu
adalah murid Hek-hiat Mo-li dan sute dari Kim Hong Liu-nio, bagaimana mungkin
dia bisa bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu tanpa menyerang mereka?
Memang dia sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerang dua orang itu di
hadapan Han Houw melainkan mencari kesempatan bertemu dengan mereka di luar
tahu Han Houw agar dia boleh membuat perhitungan tanpa menyinggung perasaan
kakak angkatnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus
bicara terus terang kepada Han Houw.
"Maaf,
Houw-ko, akan tetapi aku tidak suka ramai-ramai, aku tidak suka dikenal sebagai
adik angkatmu lalu dihormati secara berlebihan. Selain itu, aku tidak suka
dengan segala peraturan dan peradatan, aku akan merasa canggung dan kikuk bila
berhadapan dengan ayahmu, seorang raja. Maka biarlah aku ikut bersama para
penonton, dan aku... aku ingin sekali pergi mengunjungi hutan-hutan dan
penghuni hutan, bekas teman-temanku. Aku ingin bebas dan sendirian di daerah
ini, Houw-ko."
Han Houw
mengangguk-angguk. Dia maklum akan perasaan adiknya itu. Dia juga telah
mendengar bahwa ketika masih bayi, anak ini diasuh oleh monyet-monyet hutan,
maka kalau kini dia merasa rindu akan hutan dan isinya, dia dapat memakluminya.
Pula, kalau ayahnya mendengar bahwa dia mengambil seorang anak biasa sebagai
adik angkatnya, tentu akan timbul banyak pertanyaan dan hatinya akan kecewa dan
merasa tidak enak kalau ayahnya tidak menyetujui pengangkatan saudara itu.
"Baiklah,
Liong-te. Akan tetapi jangan lupa untuk menemui aku, karena sesudah selesai
menyaksikan pemilihan, aku pun harus kembali lagi ke selatan, ke kota raja
menghadap kakanda kaisar, melaporkan perjalananku ke selatan. Dan kita akan
melakukan perjalanan bersama lagi ke selatan, menyeberang tembok besar."
Girang
sekali hati Sin Liong mendengar jawaban ini. Kakak angkatnya ini memang sangat bijaksana!
"Terima
kasih, Houw-ko. Nah, aku pergi dulu."
"Eh,
kenapa engkau tidak membawa kudamu? Bawalah, agar engkau tidak terlalu
capai."
Sin Liong
tersenyum, dan makin berat hatinya untuk menyinggung hati kakak angkatnya ini
yang sering sudah memperlihatkan rasa sayang kepadanya. Dia mengangguk, lalu
meloncat naik ke atas punggung kuda dan melarikan kudanya, setelah dua kali
menoleh ke arah Han Houw yang memandangnya sambil tersenyum.
Sin Liong
membalapkan kudanya memasuki hutan. Dia mengambil jalan simpangan, jalan
melalui hutan-hutan dan padang-padang rumput yang sudah dikenalnya benar,
menuju ke suatu tempat di daerah Lembah Naga, yaitu tanah kuburan yang biasanya
dipakai untuk memakamkan seorang di antara para pembantu ayah angkatnya bila
ada yang meninggal dunia.
Dia ingin
mencari kuburan ibu kandungnya! Dan karena ibu kandungnya tewas di tangan Kim
Hong Liu-nio, maka tentu saja dia tidak dapat berterus terang kepada Han Houw.
Pula, dia khawatir kalau sampai bertemu dengan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat
Mo-li, dia tidak akan kuat menekan kemarahan hatinya.
Tidak sukar
baginya untuk menemukan makam ibunya, karena di antara beberapa buah makam yang
tak banyak jumlahnya itu dia melihat makam di mana terdapat batu nisannya yang
bertuliskan huruf-hurut ukiran yang cukup indah karena ditulis oleh Kui Hok
Boan yang pandai menulis. Di situ terukir nama Liong Si Kwi atau nyonya Kui Hok
Boan!
Sin Liong
yang telah mengikat kudanya pada sebatang pohon, sekarang berdiri di depan
makam itu, sebuah makam yang terlantar dan tidak terpelihara karena siapa yang
akan memeliharanya setelah keluarga Kui diharuskan pergi dari Lembah Naga? Kini
makam itu penuh dengan rumput tebal dan tanaman liar.
Hingga lama
Sin Liong berdiri termenung memandangi rumput-rumput tebal itu, kemudian
terbayanglah wajah ibu kandungnya yang selalu bersikap lembut kepadanya. Sama
sekali dia tidak merasa berduka, tidak merasa terharu, hanya merasa marah
sekali, marah dan dendam kepada Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!
Akan tetapi
dia juga merasa tidak enak sekali kepada Ceng Han Houw yang begitu baik
padanya, bahkan yang sudah pernah menyelamatkan dia dan mengorbankan nyawa anak
buahnya sendiri, yaitu Hek-liong-ong untuk menyelamatkannya. Memang betul Kim
Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li hutang nyawa ibu kandungnya dan kakeknya
kepadanya, akan tetapi dia pun hutang budi kepada Han Houw dan tidak semestinya
kalau dia menyakitkan hati Han Houw. Oleh karena itu, dia harus bersabar, dia
harus menanti kesempatan dapat bertemu berdua atau bertiga saja dengan dua
orang musuh besarnya itu, di luar tahu Han Houw!
"Ibu...!"
Dia berbisik. Sin Liong kemudian mempergunakan kedua tangannya untuk
membersihkan tempat itu, mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar yang tumbuh
di atas makam sampai makam itu kelihatan bersih.
Setelah
membersihkan makam ibunya dan berlutut di depan makam, Sin Liong kemudian
bangkit dan meninggalkan makam, meloncat ke atas punggung kudanya dan memasuki
hutan di mana dahulu dijadikan tempatnya bermain bersama para monyet besar.
Begitu memasuki hutan, Sin Liong merasa gembira sekali. Ingin dia melepaskan
pakaiannya dan berloncatan dari pohon ke pohon seperti dahulu!
Dan dia
merasa malu sendiri duduk di atas punggung kuda besar yang sudah berkeringat
itu. Dia meloncat turun, menurunkan pelana dan buntalan pakaian, melepaskan
kendali dan membiarkan kuda itu bebas, lalu menepuk pinggul kuda itu.
"Nah,
kau boleh bebas bermain-main di sini!" katanya.
Kuda itu lari
congklang dan lenyap di sebuah tikungan, di antara pohon-pohon. Sin Liong
tertawa, lalu dia meloncat ke atas sebuah pohon besar, menaruh pelana, kendali
serta buntalan di atas pohon, di antara cabang-cabang yang tinggi, kemudian dia
berloncatan dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, mencari-cari
teman-temannya!
Akan tetapi
Sin Liong merasa kecewa. Ketika dia bertemu dengan segerombolan monyet, mereka
itu memekik dan memperlihatkan taring, bahkan mereka lalu melarikan diri ketika
didekatinya. Mereka tidak mengenainya lagi!
Ahh, tentu
saja, pikirnya. Pada waktu dia masih bermain-main dengan mereka, dia adalah
seorang anak kecil dan kini dia sudah menjadi seorang pemuda, dan monyet-monyet
itu sesudah terlalu sering mendapat gangguan dari orang-orang dewasa, dari para
pemburu, maka tentu saja mereka menganggap setiap orang manusia dewasa
merupakan musuh mereka.
Bagaimana
pun juga, Sin Liong merasa senang sekali berada di dalam hutan-hutan yang amat
dikenalnya itu. Dia merasa seolah-olah menemukan dunianya kembali, sebab itu
dia merasa enggan untuk meninggalkannya lagi. Oleh karena itu, seakan-akan dia
telah lupa akan waktu, pemuda itu telah berkeliaran di dalam hutan-hutan itu
selama tiga hari tiga malam!
Dia tentu
masih akan terus berkeliaran di dalam hutan itu, entah untuk berapa lamanya,
makan buah-buahan dan memanggang daging binatang-binatang hutan, tidur di
puncak pohon-pohon besar, kalau saja pada pagi hari ke empat itu sesudah
matahari naik tinggi dia tidak mendengar suara hiruk-pikuk dari jauh di sebelah
utara ketika dia sedang duduk di antara daun-daun di atas pohon.
Sin Liong
terkejut dan segera dia memperhatikan suara itu. Maka tahulah dia bahwa itu
adalah suara banyak orang yang bersorak-sorak gembira, seolah-olah sedang
menonton sesuatu yang menyenangkan sekali. Teringatlah dia akan sayembara
pemilihan guru silat yang diadakan oleh raja di situ, ayah dari Ceng Han Houw!
Baru dia teringat bahwa telah tiga hari tiga malam dia berada di dalam
hutan-hutan itu, dan bahwa kedatangannya di daerah itu adalah karena terbawa
oleh pangeran itu.
Sin Liong
meloncat turun dari atas pohon, membereskan pakaian dan rambutnya, lantas dia
berjalan cepat keluar dari hutan menuju ke arah suara yang terdengar dari jauh
itu. Tak lama kemudian tibalah dia di Lembah Naga dan dari jauh saja sudah
nampak olehnya sebuah panggung besar dan kokoh kuat dibangun di depan Istana
Lembah Naga dan di atas panggung itu nampak dua orang sedang bertanding dengan
hebat dan serunya.
Di depan
istana itu nampak banyak kursi dan di sana duduk seorang laki-laki tinggi besar
berpakaian indah dan mewah, mukanya penuh cambang bauk, muka yang gagah perkasa
dan melihat Han Houw duduk di dekatnya bersama seorang wanita cantik jelita
berusia kurang lebih empat puluh tahun, maka Sin Liong dapat menduga bahwa
tentulah laki-laki gagah yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu adalah
ayah Han Houw, raja di daerah itu yang bernama Sabutai.
Di
sekeliling raja ini duduk banyak sekali orang, jumlahnya tidak kurang dari tiga
puluh orang, dan di luar panggung terdapat banyak penonton yang terdiri dari
berbagai macam suku bangsa. Akan tetapi banyak pula terdapat orang-orang Han
yang aneh-aneh, ada yang berpakaian seperti hwesio yang kepalanya gundul,
seperti saikong, seperti tosu dan seperti pertapa, dan banyak pula yang
pakaiannya jembel seperti pengemis, seperti para ahli dan guru-guru silat dan
lain-lain.
Mereka
inilah yang bersorak-sorak, karena mereka ini adalah yang orang-orang kang-ouw
yang paling suka menonton orang mengadu kepandaian silat, sedangkan pada saat
itu, dua orang yang bertanding di atas panggung memiliki kepandaian tinggi yang
seimbang sehingga pertandingan itu amat seru dan menegangkan.
Kini Sin
Liong sudah tiba di bawah panggung, menyelinap di antara para penonton yang
berjubelan itu, menjaga supaya jangan terlalu dekat dengan tempat duduk raja dan
Han Houw agar jangan sampai pangeran itu melihatnya. Kini mulailah dia
memperhatikan dua orang yang sedang bertanding di atas panggung itu. Seorang
pendeta Lama bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang bertanding melawan
seorang laki-laki setengah umur yang pakaiannya seperti seorang tosu.
Pendeta Lama
itu, seperti biasa para pendeta Lama dari Tibet, berkepala gundul dan memakai
jubah lebar berwarna kuning. Ilmu silatnya bersifat keras dan mengandalkan
tenaga yang kuat, gerakan kedua tangannya yang memukul demikian dahsyat
sehingga mengeluarkan angin yang bersiutan, dan gerakan tubuhnya juga gesit dan
bertenaga kuat sehingga jubah kuning itu berkibar-kibar seperti layar perahu
mendapat angin.
Gerakan
kakinya memiliki gaya yang gagah, seperti kaki rajawali yang sedang bertanding,
ada kalanya berlompatan tetapi kadang-kadang kaki itu melakukan
tendangan-tendangan dahsyat, langkahnya lebar-lebar dan sering kali pendeta
Lama itu berdiri di atas ujung jari jemari kakinya hingga tubuhnya yang sudah
jangkung itu menjadi makin tinggi. Diam-diam Sin Liong mengagumi gaya ilmu
silat Pendeta Lama itu, karena memang gagah sekali dan sungguh sesuai dengan
tubuhnya yang tinggi besar.
Akan tetapi
lawannya, tosu yang tubuhnya sedang itu, juga amat lihai. Dia memiliki gaya
yang berlawanan dengan pendeta Lama itu. Melihat betapa lawannya banyak
menyerang dari atas, mengandalkan jangkungnya dan lengannya yang panjang, tosu
itu banyak main di bawah, seperti seekor ular yang menghadapi serangan
rajawali.
Dua kakinya
melangkah gesit dan cepat bukan main, tubuhnya menyelinap ke sana sini
menghindarkan semua serangan lawan, dan mendadak dia membalas serangan-serangan
itu dari bawah dengan sama kuatnya, sungguh pun gerakannya lebih halus dan
pukulan-pukulannya kelihatan tidak bertenaga, namun Sin Liong maklum bahwa tosu
itu adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki pukulan mengandung tenaga dalam
yang berbahaya.
Karena sifat
ilmu silat kedua orang itu amat berlawanan, maka pertandingan itu kelihatan
seru dan menarik bukan main. Yang amat menambah ketegangan adalah sikap
sebagian penonton, yaitu kelompok tosu dan kelompok hwesio atau pendeta Lama
yang agaknya saling bertentangan, menjagoi teman masing-masing yang sedang
bertanding itu. Bahkan antara para tosu dan para pendeta berkepala gundul itu
sudah saling pandang dengan mendelik dan saling mengamangkan tinju dengan sikap
menantang!
Tentu saja
sikap dua rombongan hwesio dan tosu yang saling bertentangan ini menambah
tegang suasana. Dan sekarang tahulah Sin Liong bahwa memang terdapat persaingan
atau permusuhan antara para hwesio atau para pendeta Lama itu dan para tosu.
Sin Liong
tidak tahu bahwa memang terjadi persaingan hebat antara dua golongan ini. Pada
waktu itu, Raja Sabutai merupakan kekuatan yang mulai menonjol di utara, bahkan
raja ini pernah berhasil menyerang ke selatan, mempunyai tentara yang cukup
kuat dan pengaruhnya makin besar di daerah utara itu. Oleh karena itu maka dua
golongan ini mulai mengincar daerah ini untuk menjadi ladang penyebaran
pelajaran agama masing-masing.
Memang amat
mengherankan sekali bagi orang yang mau melihat kenyataan, akan tetapi tidak
dapat disangkal bahwa hal ini seperti ini, yaitu persaingan antara agama masih
saja terjadi di mana-mana, di mana para penyebar agama saling merebutkan daerah
untuk menyebar pelajaran agama masing-masing. Padahal inti pelajaran dari semua
agama itu sendiri adalah sejalan, yaitu menjauhi kekerasan, menjauhi
permusuhan, menghilangkan kebencian dan memupuk cinta kasih antara manusia!
Memang pada
akhirnya, bukan agamanya yang menentukan, tetapi manusianya! Seperti juga
segala sesuatu di dunia ini, baik itu benda-benda yang nampak mau pun yang
tidak nampak, seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu silat mau pun ilmu
surat, semua itu hanya merupakan alat bagi manusia dan baik buruknya semua itu
tergantung kepada si manusia sendiri!
Tidak
mungkin memupuk cinta kasih melalui kebencian, memupuk perdamaian melalui
peperangan, memupuk kebaikan melalui kejahatan. Di dalam cara terkandung tujuan
dan bukanlah tujuan menghalalkan segala cara. Cara yang jahat dan buruk tentu
saja akan menghasilkan akhir yang jahat dan buruk pula, seperti juga pohon yang
buruk tidak akan mungkin menghasilkan buah yang baik.
Akan tetapi
sayang sekali, kita, atau rombongan tosu, dan Lama yang berada di sekitar
panggung liu-tai itu, hanya mementingkan buahnya, hanya mementingkan akhir
tujuan, sama sekali lupa akan pohonnya, lupa akan caranya, lupa akan tindakan
mereka pada saat itu.
Pada waktu
itu, memang banyak terdapat golongan-golongan agama yang sedang sibuk meluaskan
pengaruh masing-masing. Tentu saja golongan-golongan ini hanya terdiri dari
orang-orang yang hanya mengaku beragama, akan tetapi sebetulnya mereka itu
adalah orang-orang yang ingin mengejar kesenangan melalui agama. Orang yang
benar-benar beragama tidak mungkin mengejar sesuatu, tak mungkin mencari
kesenangan untuk diri sendiri apa lagi kalau dalam mengejar kesenangan itu
harus mencelakakan orang lain.
Oleh karena
persaingan itu, maka ketika Raja Sabutai mengadakan sayembara memilih guru
untuk puteranya, golongan-golongan agama yang ingin meluaskan pengaruhnya ini
melihat terbukanya kesempatan baik untuk menanamkan pengaruh mereka ke daerah
ini, maka mereka lalu berdatangan dan mengajukan jagoan masing-masing untuk
merebutkan kedudukan itu.
Tentu saja
sebagai orang-orang beragama mereka itu tak lagi mementingkan kedudukan atau
harta, tetapi ingin memperlebar atau memperluas pengaruh untuk mengembangkan
agama masing-masing melalui kedudukan sebagai guru dari putera Raja Sabutai.
Dan bertemunya seorang pendeta Agama To dan pendeta Agama Buddha Lama di
panggung lui-tai itu merupakan pertemuan antara dua golongan musuh lama yang
selama ratusan tahun memang sudah saling mengejek dan saling menyalahkan ajaran
masing-masing. Tentu saja masih banyak golongan agama lain yang saling bersaing
pada masa itu, akan tetapi yang merupakan musuh bebuyutan adalah Agama To-kauw
den Hud-kauw.
Sin Liong
yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang-orang sakti dan memiliki dasar
ilmu-ilmu silat tinggi, langsung melihat bahwa pertandingan antara kedua orang
itu bukan hanya adu ilmu belaka, melainkan pertandingan yang dikuasai nafsu
ingin menang, bila perlu dengan membunuh lawan, karena dia melihat betapa kedua
fihak mengeluarkan serangan-serangan maut dengan pengerahan tenaga yang tidak
dibatasi lagi.
Maka dia
merasa tak senang dan tidak tertarik lagi, karena yang ditontonnya itu bukanlah
pibu untuk mengadu kepandaian, melainkan orang berkelahi dengan hati dipenuhi dendam
den kemarahan! Oleh karena itu, tidak seperti semua orang lain yang terus
mencurahkan perhatian ke atas panggung, dengan hati tegang dan gembira seperti
biasa orang-orang kang-ouw yang suka sekali akan adu silat bahkan makin keras
dan seru makin baik bagi mereka, Sin Liong mulai mengalihkan perhatiannya dan
pandang matanya menyapu ke kanan kiri di antara para penonton yang terdiri dari
bermacam-macam orang itu.
Mendadak
perhatian Sin Liong tertarik dengan sikap seorang laki-laki yang dianggapnya aneh.
Semua orang mencurahkan perhatian mereka ke atas panggung, kecuali sebagian
para tosu dan hwesio yang saling ejek dan saling ancam, akan tetapi dia melihat
seorang laki-laki yang sikapnya amat mencurigakan.
Laki-laki
ini memakai baju hitam, pakaiannya seperti seorang ahli silat, ringkas dan
kedua matanya mengerling ke kanan kiri dengan tajam, seperti mata orang yang
mempunyai niat buruk dan takut ketahuan orang. Laki-laki itu berusia sekitar
enam puluh tahun, jenggot serta kumisnya pendek dan kaku, tubuhnya tegap dan
dia berdiri sedikit membungkuk di antara penonton, kemudian dengan gerakan
gesit dia menyelinap pergi.
Sin Liong
terus memperhatikan orang itu sebab dia sempat melihat betapa orang itu telah
mengeluarkan sebatang anak panah. Ujung anak panah itu mengeluarkan sinar
kehijauan tanda bahwa anak panah itu ujungnya mengandung racun!
Bagi seorang
kang-ouw, membawa senjata bukanlah hal yang aneh, dan andai kata sikap orang
ini tidak mencurigakan hati Sin Liong, pemuda ini pun tentu akan menganggap hal
itu wajar saja. Akan tetapi orang itu mengusik kecurigaan hatinya, maka
diam-diam dia selalu membayangi orang itu dengan pandang matanya, bahkan
kakinya mulai bergerak pula menyelinap di antara penonton pada saat dia melihat
orang itu semakin mendekati panggung di mana duduk Han Houw dan keluarga raja.
Jantungnya
berdebar tegang ketika dia melihat laki-laki itu menggerakkan tangan dan sinar
hijau menyambar ke depan ke arah Ceng Han Houw!
"Houw-ko,
awas...!" Sin Liong cepat berseru nyaring sekali, mengatasi kegaduhan
suara pertandingan di atas panggung dan para penonton.
Teriakannya
itu menyadarkan Han Houw yang cepat bangkit berdiri, kemudian dengan tangkasnya
pemuda bangsawan itu menggerakkan tangannya sambil miringkan tubuh, berhasil
menangkap anak panah yang menyambar ke arahnya tadi.
Sin Liong
meloncat ke atas, melemparkan orang yang tadi dia tangkap dan dia pegang
tengkuknya tanpa orang itu mampu meloloskan diri atau melawan. Orang itu
terbanting ke atas panggung di depan Han Houw.
"Dia
inilah yang tadi melepas anak panah. Awas, anak panah itu beracun,
Houw-ko!" kata Sin Liong.
Karena
adanya keributan ini, otomatis dua orang yang sedang bertanding itu berhenti
dan meloncat ke belakang, dan kini semua orang mengarahkan pandang mata mereka
ke panggung tempat raja dan keluarga serta pembantu-pembantunya duduk.
"Ha-ha-ha,
Liong-te, benarkah begitu? Jika begitu biar dia yang makan racunnya
sendiri!" Han Houw menggerakkan tangannya dan anak panah itu segera
meluncur secepat kilat, menancap ke pundak kanan orang berbaju hitam itu.
"Aughhhh...!"
Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya berkelojotan, karena racun itu adalah
racun Jeng-hwa-tok (Racun Kembang Hijau) yang amat ampuh dan kalau saja dia
belum mempergunakan obat penawar, tentu dia tewas seketika. Betapa pun juga,
racun itu masih mendatangkan rasa nyeri yang hebat.
"Hayo
katakan, siapa engkau dan mengapa engkau menyerangku secara menggelap?"
Han Houw membentak.
"Huh,
kalau melihat anak panah beracun hijau, siapa lagi orang ini kalau bukan
anggota Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)?" Raja Sabutai berkata
sambil mengelus-elus jenggotnya, girang melihat bahwa puteranya sudah
sedemikian lihainya sehingga mampu menangkap anak panah yang dilepaskan untuk
menyerangnya.
"Jeng-hwa-pang...?"
Semua orang kang-ouw sangat terkejut mendengar ini dan mereka memandang penuh
perhatian.
Melihat
bahwa Raja Sabutai yang terkenal lihai itu telah dapat mengenalnya, maka orang
berbaju hitam itu mengangguk dan berkata, sikapnya masih keras dan tidak
mengandung rasa hormat atau takut,
"Benar,
aku adalah anggota Jeng-hwa-pang dan kedatanganku ke sini tak ada urusannya
dengan pemilihan guru silat, tiada hubungannya pula dengan kerajaan di sini.
Aku datang untuk membalas dendam terhadap wanita iblis Kim Hong Liu-nio, akan
tetapi karena aku tidak melihatnya di sini, maka aku tujukan panahku kepada dia
yang menjadi sute dari wanita iblis itu!" sambil menahan rasa nyerinya
laki-laki itu menuding ke arah Ceng Han Houw.
"Ahhh,
kiranya masih ada lagi orang Jeng-hwa-pang yang masih hidup selain ketuanya?
Ehh, orang yang bosan hidup. Mana dia Tok-ong Cak Song Kam, ketua
Jeng-hwa-pang? Mengapa dia tidak datang sendiri memperlihatkan kebodohannya,
akan tetapi mengutus orang tidak ada gunanya macam engkau?" Ceng Han Houw
berseru sambil tersenyum mengejek.
"Aku
sudah gagal oleh bocah setan itu!" Laki-laki berbaju hitam itu melotot ke
arah Sin Liong yang masih berdiri di tepi. "Mau bunuh boleh bunuh, siapa
takut mampus? Suheng Gak Song Kam pada suatu hari tentu akan membunuh engkau
dan suci-mu, kau tunggu saja!"
"Heh-heh-heh,
anjing dari mana ini menggonggong terus-menerus?" Tiba-tiba muncullah
seorang nenek yang amat mengerikan.
Entah dari
mana munculnya nenek ini dan semua orang memandang kepada nenek yang sudah
berdiri di atas panggung itu sambil terkekeh mentertawakan orang Jeng-hwa-pang
itu sambil menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang sekali dan agak
melengkung.
Nenek ini
sudah tua sekali, tentu usianya sudah ada seratus tahun, punggungnya sudah
bongkok dan tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering. Kedua tangannya seperti
cakar burung dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya yang
amat tua itu penuh kerut-merut, mulutnya seperti tidak ada bibirnya, hanya
berupa garis melintang yang penuh keriput. Matanya juga hampir tidak nampak
karena sangat dalam dan gelap sehingga orang tidak tahu apakah di rongga yang
dalam itu ada bola matanya ataukah tidak.
Kalau orang
bertemu dengan nenek ini di tempat sunyi apa lagi di waktu malam, dia tentu
akan lari lintang-pukang karena seram dan menganggapnya siluman atau iblis.
Akan tetapi di antara para tokoh kang-ouw ada yang mengenal nenek itu, dan
tentu saja Sin Liong juga mengenalnya karena itulah seorang di antara dua musuh
besarnya. Nenek itu adalah Hek-hiat Mo-li!
"Subo
baru datang? Silakan duduk!" Raja Sabutai segera berkata saat melihat
nenek itu.
Akan tetapi
nenek itu tak menjawab, bahkan berkata lagi sambil terkekeh geli,
"Heh-heh, anjing, kenapa tidak menggonggong lagi? Apakah racun
Jeng-hwa-tok itu kurang manjur? Nah, kau coba rasakan racunku ini!"
Tiba-tiba
saja Hek-hiat Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kuku jari tangan
kirinya sudah menggores muka orang itu tanpa dapat dielakkannya, sedangkan
tongkat butut itu tahu-tahu telah pindah ke tangan kanan.
Si baju
hitam dari Jeng-hwa-pang itu sudah menderita hebat bukan main akibat pengaruh
racun Jeng-hwa-tok di ujung anak panah yang menancap di pundaknya, akan tetapi
rasa nyeri karena racun itu kalau dibandingkan dengan apa yang dideritanya saat
ini, sungguh tidak ada artinya.
Dia merasa
betapa tiba-tiba saja pipinya yang kena gores kuku itu menjadi gatal, rasa
gatal yang makin menghebat, yang menggerogotinya dari kulit pipi terus masuk ke
dalam, ke tulang-tulang pipi terus menjalar sampai ke seluruh muka dan kepala,
seolah-olah ada ribuan semut menggerogoti daging-daging serta tulang-tulangnya.
Rasanya gatal, pedih, ngilu dan sukar diceritakan bagaimana tepatnya karena
seolah-olah segala macam rasa nyeri yang menimbulkan penderitaan berkumpul di
situ.
Kiranya tak
ada orang yang akan mampu menahan rasa nyeri seperti ini, rasa nyeri yang
terlalu hebat namun tidak membuat dia pingsan, akan tetapi juga demikian luar
biasanya sehingga tidak tertahankan lagi untuk tidak berteriak, bergulingan,
mencakar-cakar muka sendiri dan orang Jeng-hwa-pang itu menjadi seperti gila!
Mukanya telah habis dicakarnya sendiri, kulit mukanya pecah-pecah berdarah
sehingga muka itu berubah merah seperti dicat, hidungnya remuk dicakar dan
dicabiknya, bahkan kemudian, dalam usahanya untuk melenyapkan rasa gatal dan
nyeri luar biasa itu, dia mempergunakan jari-jari tangannya untuk mencokel
keluar kedua matanya!
Akhirnya,
dengan suara pekik terakhir yang sungguh mengerikan, orang yang mukanya sudah
tak karuan macamnya itu jatuh berkelojotan di atas panggung, lalu kaki
tangannya merentang dan menegang, kaku dan mati!
Menyaksikan
peristiwa yang sangat mengerikan ini, sang permaisuri, yaitu Puteri Khamila ibu
Ceng Han Houw membuang muka dan Raja Sabutai segera memberi isyarat kepada para
dayang dan pengawal untuk mengantar sang permaisuri memasuki Istana Lembah
Naga. Juga semua orang yang hadir merasa ngeri bukan kepalang. Belum pernah
mereka menyaksikan kekejaman seperti yang diperlihatkan oleh nenek tua renta
itu.
Sin Liong
sendiri diam-diam merasa menyesal bukan main. Meski pun si baju hitam tadi
adalah seorang Jeng-hwa-pang dan utusan ketua Jeng-hwa-pang yang pernah
menyiksa dan nyaris membunuhnya, juga walau pun orang tadi berusaha untuk
membunuh kakak angkatnya, akan tetapi akhirnya orang itu tewas di bawah siksaan
Hek-hiat Mo-li musuh besarnya. Jadi dialah yang sudah membantu musuh besarnya
dan kematian orang itu di bawah siksaan keji itu sebagian adalah menjadi
tanggung jawabnya.
Atas
perintah raja, beberapa orang pengawal cepat turun tangan menyingkirkan mayat
yang sudah tidak karuan mukanya itu dari atas panggung. Sementara itu, Hek-hiat
Mo-li sudah berkata lantang kepada Raja Sabutai, suaranya masih nyaring
sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ.
"Sri
baginda, apa artinya ini? Saya mendengar bahwa sri baginda tengah mengumpulkan
orang-orang tidak berguna ini untuk memilih seorang guru di antara mereka, guru
yang akan melatih ilmu silat kepada putera paduka. Benarkah itu?"
Memang Raja
Sabutai tidak memberi tahu akan sayembara itu kepada gurunya, Hek-hiat Mo-li.
Nenek itu sudah tua, sudah setengah pikun dan wataknya aneh luar biasa, bahkan
untuk mengajar Han Houw saja selama itu oleh nenek ini diserahkan kepada Kim
Hong Liu-nio dan nenek itu tidak pernah melatih sendiri. Karena itu, Raja
Sabutai menganggap bahwa nenek itu telah terlalu tua dan tidak tepat lagi untuk
mengajarkan limu kepada Han Houw, maka tanpa memberi tahu dia mengadakan
sayembara ini.
Dia sengaja
tidak memberi tahu karena takut kalau gurunya itu akan merasa tersinggung.
Siapa sangka, nenek yang dianggapnya pikun itu tiba-tiba saja muncul di
tengah-tengah panggung dan memperlihatkan kekejaman dan juga kelihaiannya di
depan semua orang dan kini malah menegurnya di depan banyak orang dan menyebut
para tamu kang-ouw itu sebagai orang tak berguna!
"Harap
subo memaklumi," katanya lirih karena dia merasa tidak senang untuk
berdebat dengan gurunya di depan banyak orang. "Memang aku mengadakan
sayembara memilih guru untuk mendidik Pangeran Oguthai, karena aku tidak ingin
merepotkan kepada subo yang sepatutnya beristirahat dan tidak diganggu."
"Jadi
paduka menganggap saya sudah terlalu tua untuk menjadi guru pangeran? Hemm,
saya mengerti bahwa memang paduka berhak mencarikan guru yang lebih pandai dari
pada saya, akan tetapi hendak saya lihat apakah di antara tikus-tikus ini ada
yang mampu menandingi saya. Hehh, kalian dua orang tosu dan Lama yang tadi
bertanding! Apakah kalian berdua berani maju bersama untuk menandingi
aku?" Nenek itu menantang dan menudingkan tongkat bututnya kepada tosu dan
pendeta Lama yang tadi bertanding seru dan belum ada ketentuan menang kalahnya
kemudian berhenti karena munculnya orang Jeng-hwa-pang.
Ditantang di
hadapan begitu banyak orang, dua orang yang masih merasa penasaran itu tentu
saja menjadi marah. Mereka merasa dihina oleh nenek kejam itu. Karena mereka
tidak mau saling mengalah dan disangka takut, maka bagaikan berlomba keduanya
telah meloncat naik lagi ke atas panggung dari kanan kiri, menghadapi nenek tua
renta yang berdiri terbongkok-bongkok itu.
Mereka
berdua tentu saja tidak berniat mengeroyok nenek itu, karena mereka adalah dua
orang saingan yang sedang memperebutkan kedudukan guru pangeran. Namun karena
nenek itu menyebut mereka berdua, maka mereka berloncatan naik untuk
menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal takut.
"He-he-he,
betapa lucunya!" Hek-hiat Mo-li tertawa, memandang kepada mereka dengan
sikap merendahkan. "Orang-orang semacam kalian ini hendak menjadi guru
pangeran? Huh-huh, kebisaan apakah yang kalian miliki? Coba kalian tahan
ini!"
Dan tiba-tiba
tubuh yang bongkok dan kelihatan kurus kering dan lemah sekali itu sudah
bergerak, tongkatnya merupakan sinar hitam menyambar ke kanan kiri dan dalam
waktu yang singkat sekali Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan totokan
dengan tongkatnya, masing-masing tiga kali ke arah tosu dan Lama itu!
Tosu dan
pendeta Lama itu terkejut bukan main karena totokan tongkat itu mendatangkan
hawa panas menyengat dan biar pun sudah tua renta, ternyata nenek itu memiliki
gerakan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, juga cepat sekali, maka mereka
pun cepat-cepat menghindarkan diri. Tosu itu mempergunakan kelincahannya untuk
mengelak, sedangkan pendeta Lama itu menggunakan kekuatannya untuk menangkis.
"Aduhhhh...!"
"Akhhhhh...!"
Tosu itu
terhuyung karena meski pun sudah amat cepat dia mengelak, pundaknya tetap saja
keserempet tongkat, sedangkan Lama itu pun terhuyung karena ketika lengannya
menangkis, ada hawa panas yang amat hebat menerjangnya dari lengan lalu
menjalar ke pundak.
"He-he-he,
hanya begini saja jagoan-jagoan yang hendak menjadi guru pangeran?" ejek
nenek itu dan kini dia menyerang lagi dengan hebatnya.
Memang
tingkat kepandaian nenek ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang
itu, maka meski pun mereka berdua berusaha sedapat mungkin untuk mengelak, akan
tetapi lewat dua puluh jurus saja keduanya roboh terlempar ke bawah panggung
dalam keadaan tewas. Tosu itu tertusuk ulu hatinya oleh ujung tongkat, ada pun
Lama itu kena ditampar pelipisnya oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li yang mengandung
tenaga sinkang yang ampuh sekali.
Gegerlah
keadaan di tempat itu! Tidak ada yang mengira bahwa kini malah muncul guru dari
Raja Sabutai sendiri yang menyebar maut di antara mereka yang hendak memasuki
sayembara pemilihan guru!
Orang-orang
kang-ouw itu menjadi penasaran, terlebih lagi rombongan tosu dan pendeta Lama.
Mereka semuanya telah memandang ke atas panggung, akan tetapi pasukan Raja
Sabutai telah menjaga dengan rapi dan teratur, menjaga kalau-kalau terjadi
keributan dan pengeroyokan.
Akan tetapi
nenek keriput itu masih tetap tenang-tenang saja sambil tersenyum-senyum
mengerikan. Mulut ompong keriput itu tersenyum, akan tetapi bukan seperti
senyum lagi jadinya.
"Hayo,
masih ada lagi yang ingin menjadi guru pangeran? Naiklah, siapa yang sanggup
melangkahi mayatku, baru boleh menjadi guru pangeran!" tantangnya.
Semua orang
kang-ouw saling pandang dengan alis berkerut. Di antara mereka yang tadinya
datang untuk mencoba-coba, tentu saja kini mundur teratur. Siapa orangnya yang
mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjadi guru, biar pun guru seorang
pangeran? Apa lagi kalau harus bertanding mati-matian melawan nenek yang
mengerikan dan yang lihai seperti iblis itu.
Mereka
merasa penasaran sekali. Raja Sabutai mengumumkan pemilihan guru silat, lalu
jauh-jauh mereka datang dari balik tembok besar, menempuh bahaya dan kelelahan,
akan tetapi setelah sampai di sini mereka hanya dihadapkan kepada Hek-hiat
Mo-li, datuk yang sudah amat terkenal tinggi ilmunya itu. Kalau mereka tahu
akan begini jadinya, tentu saja mereka tak sudi menempuh jarak sejauh itu hanya
untuk dihina! Maka, sambil bersungut-sungut mereka memandang Raja Sabutai, biar
pun mulut mereka tak berani menyatakan sesuatu, namun pandang mata mereka
mengandung protes.
"He-he-he-ha-ha,
hayo, siapa yang berani lagi melawan Hek-hiat Mo-li? Majulah, majulah kalian
pengecut-pengecut yang mengejar kedudukan, majulah!" Hek-hiat Mo-li
seperti gila menantang-nantang, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, dan
tertawa-tawa di atas panggung sambil mengayun-ayunkan tongkatnya dan berputaran
seperti anak kecil yang kegirangan dan merasa bangga sekali.
Raja Sabutai
mengerutkan alisnya dan telah bangkit berdiri untuk menegur subo-nya dan
mencegah nenek itu bersikap seperti itu, akan tetapi Han Houw yang melihat
kemarahan ayahnya sudah berkata, "Ayah, biarkanlah. Aku pun tidak ingin
mencari guru baru karena aku sudah memperoleh seorang guru yang hebat. Biarkan
subo supaya dia tidak marah-marah."
Sementara
itu, pada saat melihat sikap nenek itu, di antara para tamu ada sebagian yang
merasa jeri akan tetapi sebagian lagi merasa muak, maka berturut-turut pergilah
mereka meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi! Melihat ini, Hek-hiat Mo-li
terkekeh dan terus menantang-nantang,
"He-heh-heh,
pengecut-pengecut hina. Siapa berani melawanku? Heh-heh, agaknya tidak ada
seorang pun yang berani melawan Hek-hiat Mo-li!"
Rombongan
tosu dan rombongan Lama telah mengangkat jenazah kawan masing-masing dan siap
pergi pula dari tempat yang mulai kosong itu, sama sekali tidak mempedulikan
ulah nenek gila di atas panggung.
"Hayo,
siapa yang berani, siapa berani melawan Hek-hiat Mo-li! Apakah tak seorang pun
di dunia ini yang berani melawanku?"
"Aku
yang berani! Aku berani melawanmu!"
Semua orang
yang masih belum meninggalkan tempat itu terkejut bukan main dan cepat
memandang ke arah panggung di mana seorang pemuda telah berdiri tegak
menghadapi nenek gila itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!
Semenjak
tadi pemuda ini sudah terbakar hatinya melihat musuh besarnya itu, lebih lagi
menyaksikan kekejamannya. Kemudian, pada saat melihat kesombongannya
menantang-nantang semua orang itu, dia tidak tahan lagi dan di luar
kesadarannya dia telah meloncat ke hadapan nenek itu dari menyambut
tantangannya.
Bukan hanya
para sisa tamu yang memandang dengan hati terkejut dan heran, juga Raja
Sabutai, keluarga beserta panglima-panglimanya terkejut sekali dan memandang
dengan mata terbelalak ke arah pemuda tanggung yang begitu berani mati
menyambut tantangan Hek-hiat Mo-li yang sedang keranjingan itu.
"Liong-te,
jangan...!" Han Houw juga terkejut sekali lantas berteriak, akan tetapi
terlambat karena pada saat itu pula nenek Hek-hiat Mo-li sudah melakukan
serangan maut setelah sesaat dia terbelalak kaget dan heran.
"Heh-heh,
mampuslah, bocah!" bentaknya.
Tongkatnya
sudah menyambar, disusul tamparan tangan kirinya. Dua serangan ini hebat
sekali, keduanya mengandung hawa panas dari pukulan Hwi-tok-ciang (Tangan Racun
Api) dan bahkan lebih hebat dari pada ketika nenek tadi menyerang tosu dan
Lama. Hal ini adalah karena nenek itu marah sekali ditantang oleh seorang
bocah, suatu hal yang dianggap sangat merendahkan dan menghinanya di hadapan
orang banyak. Sebab itu dia menyerang hebat, dengan maksud untuk menghancurkan
kepala dan memecahkan dada bocah yang lancang dan berani menghinanya itu.
"Krekk...!
Plakk...!"
Pertemuan
dua pasang tangan dan lengan itu akibatnya cukup mengejutkan. Keduanya
terdorong ke belakang, bahkan nenek itu terhuyung dan tongkat bututnya patah
menjadi dua potong! Pada waktu itu, Han Houw sudah meloncat dan menghadang di
depan Sin Liong sambil berkata kepada Hek-hiat Mo-li yang masih terbelalak
memandang kepada tongkatnya yang patah.
"Subo...
tahan... jangan serang dia, dia adalah adik angkatku sendiri!"
Hek-hiat
Mo-li tercengang. Dia merasa bagaikan mimpi. Ada bocah yang masih ingusan bukan
saja sudah berani dan kuat menahan pukulan-pukulannya, bahkan mematahkan
tongkatnya lantas membuatnya terdorong mundur dan terhuyung. Dadanya terasa
sesak tanda bahwa lawan itu memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya!
"Adik
angkatmu...? Heh, adik angkat macam apa ini...!" Dia mengomel, akan tetapi
nenek itu meloncat jauh dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata,
entah pergi ke mana.
"Maaf,
Houw-ko, kesombongannya membuat aku lupa diri...," Sin Liong berkata
kepada Han Houw, tidak peduli dengan pandang mata pangeran itu yang penuh
kekaguman dan keheranan.
"Oguthai,
siapakah dia itu?" Mendadak terdengar suara keras dan ternyata Raja Sabutai
telah berdiri di belakang pangeran itu.
"Ayah,
ini adalah Liong Sin Liong, adik angkatku."
"Adik
angkat? Dia... dia hebat sekali..." Raja Sabutai memandang penuh keheranan
dan kekaguman.
Sebagai
murid tersayang dari Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko, tentu saja dia
mengenal pukulan subo-nya tadi. Melihat betapa pemuda tanggung ini tidak hanya
kuat bertahan terhadap pukulan itu, bahkan dapat menangkis hingga tongkat
subo-nya patah dan subo-nya terdorong mundur, dia betul-betul merasa amat takjub.
Dan kini mendengar bahwa bocah luar biasa ini adalah adik angkat dari
puteranya, dia makin terheran-heran.
"Memang
hebat dia, ayah. Dia adik angkatku dan juga suheng-ku."
"Hee?
Bagaimana ini?" Raja itu bertanya heran.
"Kami
sudah mengangkat saudara, dan karena dia lebih muda, maka dia adalah adik
angkatku, akan tetapi karena aku akan belajar kepada gurunya, seperti kukatakan
tadi bahwa aku telah mendapatkan seorang guru, maka dia pun terhitung
suheng-ku."
"Ahh,
begus sekali!" raja itu berseru girang. Melihat kelihaian pemuda tanggung
itu yang sudah kuat melawan subo-nya, dia percaya bahwa guru yang didapatkan
oleh puteranya itu tentu seorang yang sakti luar biasa. "Siapakah gurumu
itu?"
"Aku
belum diterima menjadi muridnya, akan tetapi aku ingin berguru kepadanya, ayah.
Namanya adalah Bu Beng Hud-couw..."
"Ahh...?!"
Raja Sabutai terbelalak kemudian memandang kepada puteranya seperti orang
melihat setan di tengah hari. "Bu Beng Hud-couw? Akan tetapi itu... itu
adalah nama tokoh dalam dongeng..."
"Akan
tetapi buktinya, Liong-te sudah memperoleh ilmu yang hebat, bukan?" bantah
Han Houw.
"Orang
muda, benarkah..., benarkah engkau murid tokoh dongeng Bu Beng Hud-couw?"
Raja Sabutai bertanya, suaranya mengandung ketidakpercayaan.
Sin Liong
menjura. "Begitulah menurut keterangan suheng Ouwyang Bu Sek, sri baginda.
Akan tetapi terus terang saja, saya sendiri belum pernah jumpa dengan
suhu." Kemudian dia menoleh kepada Han Houw lantas berkata, "Houw-ko,
maafkan aku, apa bila engkau masih banyak urusan di sini, aku hendak kembali
dulu ke selatan."
"Ah,
kenapa begitu tergesa-gesa, Liong-te? Aku mau minta bantuanmu," kata Han
Houw sambil memegang lengan adik angkatnya.
"Bantuan
apakah itu, Houw-ko?"
"Engkau
tentu tahu bahwa selama ketua Jeng-hwa-pang masih berkeliaran maka nyawa dan
keselamatanku terancam. Karena itu aku sendiri akan mencarinya dan harap engkau
suka membantuku."
"Hemmm...
kalau begitu baiklah," kata Sin Liong yang tidak mampu menolak karena dia
juga tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang adalah seorang manusia keji, tidak kalah
kejinya dibandingkan dengan Hek-hiat Mo-li atau Kim Hong Liu-nio, dan bahwa
kegagalan utusan tadi tentu membuat ketua Jeng-hwa-pang itu penasaran dan akan
turun tangan sendiri.
Terpaksa
malam itu Sin Liong bermalam di Istana Lembah Naga, membiarkan Han Houw bertemu
dengan ayah bundanya dan menceritakan segala pengalamannya. Raja Sabutai, dan
terutama sekali permaisurinya, Ratu Khamila, merasa girang dan bangga bukan
main mendengar bahwa Ceng Han Houw kini secara resmi sudah menjadi pangeran
Kerajaan Beng-tiauw, menjadi saudara yang terkasih dari kaisar yang baru, yaitu
Kaisar Ceng Hwa. Bahkan putera mereka itu menjadi utusan pribadi kaisar untuk
mengadakan pemeriksaan ke daerah selatan dengan kekuasaan penuh!
Akan tetapi,
lebih girang lagi hati Raja Sabutai setelah mendengar bahwa putera mereka akan
dapat berguru kepada seorang tokoh dongeng yang memiliki kepandaian demikian
hebatnya, terbukti dari kelihaian Sin Liong yang masih begitu muda.
Dua hari
kemudian, berangkatlah Han Houw dan Sin Liong meninggalkan Lembah Naga untuk
pergi mencari Tok-ong Gak Song Kam, ketua dari Jeng-hwa-pang. Pada saat Raja
Sabutai hendak memberi pengawal sepasukan tentara, Han Houw segera menolak dan
mengatakan bahwa dia, dengan bantuan Sin Liong, sudah cukup kuat untuk
menghadapi Jeng-hwa-pang. Dia hanya memilih dua ekor kuda yang amat baik untuk
mereka berdua, kemudian setelah membawa bekal secukupnya, berangkatlah dua
orang muda ini menuju ke selatan kembali karena Han Houw tahu bahwa
Jeng-hwa-pang selalu bersarang di daerah perbatasan tembok besar.
Lega rasa
hati Sin Liong telah dapat meninggalkan tempat yang banyak menimbulkan kenangan
sedih itu. Akan tetapi diam-diam dia masih merasa penasaran bahwa dia belum
sempat menjumpai Hek-hiat Mo-li sendirian saja untuk dilawan sebagai musuhnya
yang telah menyebabkan tewasnya Cia Keng Hong, kakek dan gurunya yang
disayangnya itu.
Dan dia pun
masih penasaran tidak melihat adanya Kim Hong Liu-nio, wanita iblis yang
menjadi musuh besarnya pula, pembunuh dari ibu kandungnya. Di dalam hati dia
berjanji bahwa kalau dia sudah dapat memisahkan diri dari Han Houw, maka dia
akan kembali dan mencari kedua orang musuh besar itu.
***************
Di sebuah
rumah besar yang sederhana di kota Leng-kok, terdapat suatu perayaan pesta
pernikahan yang cukup sederhana, namun sangat meriah karena banyaknya tamu yang
berdatangan. Tidaklah mengherankan kalau yang datang banyak terdiri dari
orang-orang kang-ouw, bahkan wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar,
karena yang punya kerja adalah seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di
seluruh dunia kang-ouw, seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia
persilatan. Pendekar itu bukan lain adalah Yap Kun Liong.
Walau pun
pendekar ini tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan
kepandaian silatnya yang amat tinggi kalau keadaaan tidak memaksanya, namun
setiap orang mengenal belaka siapa adanya pendekar sakti Yap Kun Liong. Di
dalam cerita Petualang Asmara dan Dewi Maut, kita sudah cukup lama berkenalan
dengan Yap Kun Liong, mengikuti riwayat hidupnya yang penuh suka duka seperti
juga riwayat hidup setiap manusia!
Akhirnya,
dengan berkah serta restu dari mendiang Cia Keng Hong, pendekar ini berani
menempuh hidup berdua bersama wanita yang dikasihinya, yaitu puteri ketua
Cin-ling-pai itu, Cia Giok Keng. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling
mencinta, dua orang yang keadaannya tidak jauh bedanya.
Yap Kun
Liong adalah seorang duda yang sudah ditinggal mati oleh isterinya, sedangkan
Cia Giok Keng adalah seorang janda pula, ditinggal mati suaminya dan keadaan
kematian isteri dan suami mereka pun sama, yaitu dibunuh orang. Biar pun Yap
Kun Liong tidak mendapatkan anak dari isterinya yang terbunuh itu, yaitu Pek
Hong Ing, akan tetapi dia mempunyai seorang puteri dari wanita lain sebelum dia
menikah dengan Pek Hong Ing, yaitu Yap Mei Lan yang lahir dari ibunya yang
bernama Liem Hwi Sian. Ada pun Cia Giok Keng ditinggal mati oleh suaminya
dengan dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Lie Seng, sedangkan yang ke
dua adalah Lie Ciauw Si.
Pesta
pernikahan siapakah yang dirayakan di rumah pendekar Yap Kun Liong itu? Pesta
pernikahan yang sesungguhnya telah ditunda sampai tiga tahun berhubung dengan
masa perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu pernikahan antara Yap
Mei Lan dan Souw Kwi Beng!
Antara dua
orang muda yang sudah cukup dewasa ini, bahkan sudah terlampau dewasa, timbul
perasaan saling cinta yang mendalam dan Souw Kwi Eng, yaitu janda Tio Sun, yang
menyampaikan permohonan saudara kembarnya itu untuk meminang Yap Mei Lan kepada
Yap Kun Liong. Karena memang sudah ada kontak di antara kedua orang itu, Yap
Kun Liong langsung menerimanya dengan baik, akan tetapi pesta pernikahan itu
terpaksa harus diundur sampai selesai masa perkabungan atas kematian kakek Cia
Keng Hong, yaitu selama tiga tahun.
Sepasang
pengantin itu memang sudah agak kasep. Umur Souw Kwi Beng sudah tiga puluh tiga
tahun, sedangkan umur Yap Mei Lan sudah dua puluh sembilan tahun! Akan tetapi,
cinta tidak mengenal usia, dan bahkan dalam usia sedemikian itu keduanya sudah
cukup matang, sudah hilang sifat kekanak-kanakan mereka lagi.
Pendekar Yap
Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun dia masih nampak gagah dan
tampan dalam pakaiannya yang baru ketika dia kelihatan menyambut para tamu
dengan wajah berseri gembira. Hati siapa yang tak akan gembira menghadapi pesta
pernikahan puterinya, untuk pertama kali?
Dalam
keadaan seperti itu, seorang pria akan merasakan sesuatu yang istimewa, yang
memberi tahu kepadanya bahwa dia sudah memasuki lapisan usia yang tertentu, yaitu
mulai mempunyai mantu dan besar kemungkinan dalam waktu satu atau dua tahun dia
akan menjadi kakek, mempunyai cucu! Melihat pria ini menyambut tamu dengan
senyum ramah dan sikap lembut, tentu tidak akan ada yang menduga bahwa dia
adalah seorang pendekar yang sukar dicari bandingnya di waktu itu!
Di
sampingnya, nampak seorang wanita cantik sekali juga menyambut para tamu dengan
ramah. Wanita ini adalah isteri pendekar itu, Cia Giok Keng, yang sesungguhnya
sudah berusia lima puluh satu tahun, akan tetapi sulit dipercaya bila dia sudah
berusia setengah abad lebih sebab melihat wajahnya yang cantik dan bentuk
tubuhnya yang masih ramping padat, orang akan menyangka bahwa usianya tentu
jauh kurang dari empat puluh tahun.
Walau pun
Yap Mei Lan hanya anak tirinya, namun nyonya yang pada waktu mudanya merupakan
seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu ini menganggap Mei Lan
sebagai seorang anak sendiri. Memang terjadi perubahan besar sekali setelah Cia
Giok Keng menjadi isteri Yap Kun Liong.
Suami isteri
ini amat terkenal. Sang suami adalah pendekar besar di masa itu sedangkan sang
isteri juga seorang pendekar wanita, puteri dari kakek Cia Keng Hong, yakni
ketua Cin-ling-pai yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Maka, para tamu yang
menerima penyambutan mereka semua tersenyum ramah, menghaturkan selamat dan
memandang kagum kepada pasangan ini.
Di antara
para penyambut, yang sibuk membantu fihak tuan rumah yang punya kerja, nampak
terutama sekali Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Suami isteri yang berbahagia ini,
yang sesungguhnya baru beberapa tahun saja menjadi suami isteri dalam arti yang
sesungguhnya, tak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan Cia
Giok Keng.
Pada waktu
itu, Cia Bun Houw sudah berusia tiga puluh enam tahun dan Yap In Hong berusia
tiga puluh lima tahun dan keduanya merupakan adik-adik kandung dari tuan dan
nyonya rumah. Cia Bun Houw adalah adik kandung Cia Giok Keng, sedangkan Yap In
Hong adalah adik kandung Yap Kun Liong!
Dalam hal
kepandaian silat, kedua orang suami isteri ini bahkan tidak kalah dibandingkan
dengan Yap Kun Liong dan isterinya! Apa lagi setelah pasangan suami isteri ini
berhasil menggabungkan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka sudah mencapai tingkat
yang sangat hebat dalam tenaga sakti peninggalan dari Kok Beng Lama itu. Para
tokoh kang-ouw yang datang juga memandang kepada suami isteri muda itu dengan
sinar mata kagum.
Selain Cia
Bun Houw dan isterinya, masih terdapat pula Souw Kwi Eng, janda Tio Sun yang
merupakan adik kembar dari mempelai pria, serta Lie Seng, yaitu putera Cia Giok
Keng yang masih sute dari mempelai wanita. Sebagai murid mendiang Kok Beng
Lama, tentu saja Lie Seng juga merupakan seorang pemuda yang amat lihai,
seperti suci-nya yang kini duduk sebagai mempelai wanita.
Pendeknya,
yang punya kerja dan yang menikah merupakan keluarga pendekar-pendekar yang
memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi, tergolong pendekar-pendekar kelas
satu! Maka tidaklah mengherankan apa bila pesta perayaan itu walau pun
sederhana namun menjadi amat meriah dengan hadirnya tokoh-tokoh kang-ouw yang
kenamaan dan bahkan wakil-wakil dari partai-partai persilatan yang besar.
Hanya ada
satu hal yang merupakan ganjalan di dalam hati keluarga itu, terutama dalam
hati Cia Giok Keng, yaitu tidak hadirnya Lie Ciauw Si. Seperti telah
diceritakan di bagian depan dara ini meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi
menyusul pamannya, Cia Bun Houw yang kepergiannya mendukakan hati kongkong-nya.
Dan semenjak dara itu pergi, sampai sekian lamanya belum juga kembali dan tidak
diketahui ke mana perginya. Inilah yang merupakan ganjalan di hati keluarga
itu.
Para tamu
mulai memenuhi ruangan tamu yang dihiasi dengan bunga-bunga, kertas dan kain
beraneka warna, sebagian besar yang diutamakan adalah warna merah, sedangkan meja-meja
mulai penuh dikelilingi tamu yang semua memperlihatkan senyum dan wajah
berseri-seri seperti yang biasa nampak dalam suatu pesta pernikahan. Suasana
gembira mempengaruhi semua orang dan hampir semua tamu membicarakan keluarga
tuan rumah dan memuji ketampanan mempelai pria yang berdarah campuran barat
itu.
Sekarang
tamu yang berdatangan mulai berkurang dan ruangan itu sudah hampir penuh.
Tiba-tiba Souw Kwi Eng yang sedang sibuk mengurus dan mengepalai para pelayan
itu menahan seruannya, dan matanya yang bersinar tajam dan agak kebiruan itu
terbelalak memandang ke depan, ke arah seorang tamu tua yang masuk diiringkan
dua orang lagi, dan wajah nyonya muda ini menjadi marah, matanya berkilat-kilat
tanda bahwa hatinya menjadi panas dan marah sekali.
Melihat
keadaan nyonya janda ini, Lie Seng cepat memandang dan terkejutlah dia ketika
mengenal siapa orangnya yang datang itu. Pantas nyonya janda Tio Sun itu
kelihatan marah karena yang muncul sebagai tamu dan diiringkan oleh dua orang
pembantunya itu, bukan lain adalah seorang kakek yang berpakaian
tambal-tambalan akan tetapi semua tambalannya terbuat dari kain baru, kakek
yang usianya enam puluh tahun lebih, bertubuh pendek kurus dan mukanya sempit
kaya muka tikus, kakek yang bukan lain adalah Hwa-i Sin-kai, ketua dari Hwa-i
Kaipang! Kakek yang dituduh sebagai pembunuh suami nyonya janda ini!
Alanglah
beraninya Hwa-i Sin-kai datang ke sini, pikir Lie Seng yang juga memandang
penuh perhatian ke arah ketua Hwa-i Kaipang yang diikuti oleh dua orang kakek
tokoh Hwa-i Kaipang tingkat dua itu.
"Bedebah...
kubunuh dia...," desis Souw Kwi Eng, akan tetapi Lie Seng cepat menyentuh
lengan janda muda ini.
"Enci...
harap tenang dan sabarlah," bisiknya pelan. "Serahkan saja kepada ibu
dan ayah sebagai tuan rumah, tidak baik kalau kita membikin kacau pada hari
baik ini. Ingat, hari ini adalah hari pernikahan saudaramu, yaitu suami dari
suci-ku."
Souw Kwi Eng
mengangguk dan menggunakan punggung lengan baju untuk menghapus dua titik air
mata dengan cepat, kemudian cepat menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, sungguh
pun perhatiannya tak pernah lepas dari kakek pengemis yang disambut oleh Yap
Kun Liong dan isterinya.
Yap Kun
Liong dan Cia Giok Keng menyambut dengan wajah berseri dan bibir tersenyum
ramah seperti ketika menyambut para tamu lainnya, akan tetapi mereka saling
bertukar pandang dengan cepat dan sebagai suami isteri yang saling mencinta,
yang seolah-olah mempunyai hubungan yang lebih mesra dan lebih dekat
dibandingkan pandang mata dan kata-kata biasa, mereka pun telah saling
mengerti.
Keduanya
merasa heran akan kunjungan ketua perkumpulan pengemis ini. Mereka telah
mendengar penuturan Cia Bun Houw, bahkan penuturan mantu mereka mengenai ketua
pengemis ini yang disangka adalah pembunuh dari Tio Sun. Mengapa sekarang kakek
ini berani datang?
Akan tetapi
Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan juga tajam
pandangannya. Melihat pandang mata dan sikap pengemis tua itu, Yap Kung Liong
segera mengerti bahwa kedatangan kakek ini bukan semata-mata untuk menghadiri
pesta perayaan, melainkan mengandung maksud lain yang mendalam. Oleh karena
itu, ketika menerima ucapan selamat, dia berbisik,
"Apakah
pangcu mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada kami secara rahasia?"
Kakek
pengemis itu tersenyum dan memandang kagum. "Ah, Yap-taihiap memang hebat,
saya akan senang sekali kalau dapat terpenuhi keinginan saya itu."
"Silakan,
pangcu, silakan...!" Yap Kun Liong kemudian mendahului tamunya itu,
bersama isterinya memasuki ruangan dalam.
Dengan
isyarat matanya Yap Kun Liong menyuruh isterinya serta Yap In Hong adiknya
untuk mewakilinya menyambut para tamu, kemudian dia bersama tamunya itu
memasuki ruangan dalam. Tak lama kemudian muncul pula Souw Kwi Eng, Lie Seng,
dan Cia Bun How. Dua orang kakek pengemis tingkat dua sudah dipersilakan duduk
di ruangan tamu, karena kalau mereka dibiarkan ikut masuk, akan terlalu menarik
perhatian orang.
Melihat
wajah Souw Kwi Eng yang merah serta matanya yang memandang dengan sinar mata
penuh kebencian kepadanya, ketua Hwa-i Kaipang langsung menjura dan berkata
kepada nyonya janda muda itu, "Percayalah, nyonya muda, kegelisahan dan
kedukaanku tidak lebih kecil dari pada yang kau derita. Kedatanganku ini untuk
menceritakan keadaan yang sebenarnya."
"Duduklah,
pangcu, mari kita bicara dengan terbuka," kata Yap Kun Liong mempersilakan
semua orang duduk.
"Saya
tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk, dan
maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini
supaya tidak menarik perhatian orang. Nah, sekarang harap taihiap sekalian suka
mendengarkan penuturanku baik-baik."
Hwa-i
Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara Hwa-i
Kaipang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio. "Seorang anggota
kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita iblis
itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus
membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan
kami lalu minta pertanggungan jawabnya karena telah membunuh seorang anggota
kami tanpa sebab. Tetapi wanita iblis itu tidak mempertanggung jawabkan, bahkan
merobohkan beberapa orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara
kami dengan Kim Hong Liu-nio."
Kemudian dia
menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya, dan betapa
ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul Panglima
Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya.
"Oleh
karena wanita itu bersembunyi di dalam gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa
menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang supaya saya
suka datang ke gedung itu pada waktu malam yang ditentukan untuk bertanding.
Tentu saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada
malam hari itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang
langsung menyerang saya. Kemudian, dan sungguh di luar dugaan saya, muncul pula
Tio Sun taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah
orang yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah hingga terjadi
perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan di dalam pertandingan itu, entah
bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apa
lagi ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan
penjaga-penjaga, maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan kenapa
Tio-taihiap tewas dalam perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa
menjatuhkannya."
"Seorang
gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!" Tiba-tiba Souw Kwi
Eng berseru. "Sudah jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan
melawanmu, padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun
kepadanya. Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan."
"Tenanglah,
dan biarkan pangcu menjelaskan dahulu. Bagaimana selanjutnya, pangcu?"
tanya Yap Kun Liong.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment