Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 20
TIBA-TIBA
ada angin menyambar ke depan. Angin ini kuat sekali dan memaksa Sin Liong yang
mengenal pukulan ampuh cepat berjungkir balik, membuat poksai (salto) di udara
sampai lima kali lalu turun dan memandang. Kiranya di tepi panggung sudah
berdiri Kim Lok Cinjin, kakek muka putih yang matanya kini makin beringas
nampaknya.
"Bocah
kurang ajar, engkau sudah menipu kami! Engkau pasti bukan orang Cin-ling-pai,
melainkan dari golongan lain. Melihat gerakan-gerakanmu yang liar, engkau sama
sekali bukan murid Cin-ling-pai. Mengapa engkau berani membela
Cin-ling-pai?" bentak Kim Lok Cinjin, sedangkan Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi
nampak menghapus peluh dari muka dan lehernya, menggunakan ujung bajunya. Dia
merasa lelah sekali.
"Sudah
kukatakan tadi bahwa aku pernah mempelajari ilmu yang tidak ada bandingnya di
dunia ini, ilmu dari Cin-ling-pai, akan tetapi aku bukan tokoh bukan pula
murid. Aku hanya membela tokoh muda Cin-ling-pai tadi... ehh, mana dia?"
Sin Liong
mencari-cari dengan pandang mata namun ternyata tempat duduk Kwee Siang Lee
telah kosong! Kemudian ada seorang tamu menerangkan bahwa tidak lama setelah
pertarungan di atas panggung dimulai, pemuda tampan dari Cin-ling-pai itu
segera pergi secara diam-diam.
Sin Liong
menarik napas panjang, napas yang melegakan dadanya. Dia memang sangat
mengkhawatirkan keselamatan pemuda lancang itu dan sesudah kini pemuda itu
pergi, hatinya gembira dan enak. Dia tersenyum kepada Kim Lok Cinjin, lalu
berkata,
"Aku
memang tidak menggunakan jurus-jurus agung dan ampuh dari Cin-ling-pai tadi,
dan sekarang, melihat betapa saudara Kwee Siang Lee tokoh Cin-ling-pai sudah
pergi tanpa pamit, agaknya enggan turun tangan menghadapi lawan-lawan yang
terlalu rendah tingkat kepandaiannya, maka aku pun tidak lagi membelanya, dan
karena di sini Cin-ling-pai tidak mempunyai wakil, maka aku pun tidak lagi
membela Cin-ling-pai atau membela siapa pun juga. Dan hendaknya kalian ketahui
bahwa kalau aku tadi tidak mau menggunakan jurus Cin-ling-pai adalah karena
sekali aku mengeluarkan jurus dari Cin-ling-pai, maka dalam satu jurus saja
macan ompong itu tentu roboh."
Terdengar
seruan kaget dari semua penonton. Bahkan para tokoh besar yang duduk di
panggung kehormatan mengerutkan kening. Anak ini boleh jadi lihai dan
menyembunyikan kepandaian hebat, akan tetapi terlampau sembrono dan terlalu
sombonglah kalau berani mengatakan bahwa dengan satu jurus dari Cin-ling-pai,
orang semacam Kiu-bwee-houw akan dapat dirobohkan!
"Bocah
bermulut besar! Kalau benar dengan satu jurus dari Cin-ling-pai engkau mampu
merobohkan murud pertamaku, Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi itu, biarlah pinto
memberi hormat kepadamu!" teriak Kim Lok Cinjin marah dan kakek ini lalu
mundur dan duduk kembali ke atas kursi kehormatan.
"Hemm,
kakek lucu, beranikah engkau menyambut satu jurus seranganku menggunakan ilmu
Cin-ling-pai?" Tiba-tiba Sin Liong menantang kepada Kiu-bwee-houw.
Tentu saja
semua orang tertawa lagi, akan tetapi suara ketawa mereka terkendalikan oleh
perasaan sangsi dan khawatir karena siapa pun orangnya tak akan percaya bahwa
bocah yang kelihatan tidak pandai limu silat, yang agaknya hanya memiliki
kecepatan gerakan seperti monyet, dan tidak mempunyai tenaga besar, buktinya
tadi tidak pernah menyerang dan tidak pernah menangkis, akan dapat merobohkan
kakek raksasa itu dalam satu jurus saja! Jurus apa gerangan yang demikian
hebat?
"Anak
iblis! Tadi suhu telah berjanji kalau aku roboh dalam satu jurus olehmu, beliau
akan memberi hormat kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau ternyata engkau tidak
berhasil merobohkan aku dalam satu jurus?" Kiu-bwee-houw bertanya.
"Kalau
tidak bisa pun tidak mengapa, dan aku yang akan memberi hormat kepada gurumu
dan kepadamu. Boleh saja, kan?"
"Seenak
perutmu sendiri! Kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus,
engkau harus menjilati sepatu guruku sampai bersih, kemudian melanjutkan
pertempuran ini sampai seorang di antara kita roboh."
Hebat bukan
main syarat itu, penghinaan yang sangat besar. Namun dengan sikap enak saja Sin
Liong mengangguk.
"Boleh,
itu sudah adil sekali! Sekarang aku ingin engkau memilih, satu jurus dari ilmu
yang manakah dari Cin-ling-pai yang harus kugunakan untuk merobohkan engkau?
Ilmu-ilmu Cin-ling-pai amat banyak, ampuh dan luar biasa. Pilih saja yang mana.
Apa mau San-in Kun-hoat, Siang-bhok Kiam-sut yang bisa dimainkan dengan pedang
atau tangan, atau Thai-kek Sin-kun? Masih ada lagi ilmu-ilmu simpanan dari
pendekar sakti Cia Keng Hong, di antaranya Sin-kun Hok-houw (Pukulan Sakti
Menaklukkan Harimau), masih ada pula yang disebut Ta-houw-ciang (Tangan Pemukul
Harimau) dan masih banyak lagi pukulan-pukulan yang sengaja diciptakan untuk
mengalahkan segala macam harimau, termasuk harimau tua yang ompong."
Jelaslah
bahwa ilmu-ilmu yang terakhir itu adalah isapan jempol saja dari Sin Liong,
yang sengaja menggunakan nama harimau untuk mengejek lawannya. Akan tetapi,
disebutnya banyak ilmu itu, membuat Kiu-bwee-houw diam-diam merasa kaget.
Jangan-jangan anak ini memang benar ahli silat kelas satu! Dia merasa jerih
juga mendengar nama ilmu-ilmu yang mengancam harimau itu. Maka dia memilih nama
ilmu yang kedengarannya tidak begitu seram, yaitu Ilmu Silat San-in Kun-hoat
(Silat Awan Gunung).
"Aku
pernah mendengar bahwa di antara semua ilmu silat dari Cin-ling-pai, yang
paling hebat adalah ilmu Thi-khi I-beng dan San-in Kun-hoat. Nah, kau
pergunakan dua ilmu itu untuk merobohkan aku dalam satu jurus!" Kakek ini
tersenyum lebar mengejek.
Dia sudah
mendengar bahwa di dunia ini, hanya dua orang yang menguasai ilmu Thi-khi
I-beng (Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), yaitu mendiang Cia Keng Hong dan
Yap Kun Liong. Bahkan kabarnya, putera dari pendekar Cia Keng Hong itu sendiri
tidak diberi pelajaran Thi-khi I-beng, apa lagi bocah ingusan ini! Kakek ini
merasa dirinya cerdik menyebut nama ilmu itu, dan dia pun tidak gentar
menghadapi Ilmu San-in Kun-hoat, ilmu yang namanya saja lemah lembut itu, apa
lagi kalau hanya dipergunakan satu jurus saja.
Akan tetapi
Sin Liong menjadi girang sekali. Ilmu San-in Kun-hoat adalah ilmu yang amat
halus dan hebat, apa lagi sesudah dia digembleng oleh Ouwyang Bu Sek, ilmu
silat ini telah dilatihnya secara luar biasa. Dan tentang Thi-khi I-beng,
kecuali kakeknya tidak ada orang lain tahu bahwa dia sudah menguasai sepenuhnya
ilmu itu, bahkan tidak kalah kuat dibandingkan dengan kakeknya sendiri!
"Bagus,
kau bersiaplah. Dalam satu jurus aku akan membanting tubuhmu yang gemuk itu ke
atas papan panggung!" bentaknya.
Kakek
raksasa itu menyeringai, lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang
dan dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya pada kaki dan tangannya, siap
untuk menangkis atau mengelak dari jurus serangan yang akan dipergunakan oleh
Sin Liong. Dia merasa yakin bahwa dia mampu mengelak, dan kalau gerakannya
kurang cepat, dia boleh mengandalkan dua tangannya untuk menangkis dan
pengerahan tenaga sekuatnya itu tentu akan membuat bocah ini terpental.
Demikianlah pikirannya dan dia merasa yakin sekali akan kemenangannya.
"Cu-wi
yang terhormat, harap suka menjadi saksi. Aku akan mempergunakan satu jurus
saja dari ilmu silat sakti San-in Kun-hoat, yaitu jurus yang disebut Pek-in
Tui-san (Awan Putih Mendorong Gunung). Dengan tangan kiri aku akan menyerang ke
arah kepalanya, kemudian disusul dengan cengkeraman tangan kananku untuk
mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas lantai, aku menjadi awan putih
dan dia menjadi gunungnya. Nah, harap suka melihat baik-baik!"
Tentu saja
ucapan ini mengandung kesombongan besar sekali. Semua orang terkejut sekali.
Bagaimana bocah ini berani bersikap sedemikian sombong dan sembrono? Belum
diberitahukan saja tentang jurus itu, agaknya tidak mungkin dia akan berhasil
merobohkan Kiu-bwee-houw, apa lagi setelah jurus itu dia perkenalkan, tentu
mudah bagi lawan untuk menghadapinya. Benar-benar seorang bocah tolol yang
besar mulut.
Kiu-bwee-houw
juga merasa geli. "Ha-ha-ha-ha! Keluarkanlah jurus kentut busukmu!"
Dia mengejek.
"Sambutlah
gerakan pertama jurus mautku!"
Sin Liong
mengerahkan tenaga sinkang, tangan kirinya sudah melayang ke arah kepala atau
kedua mata lawan. Karena pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan sinkang
yang amat kuat, pula dilakukan cepat sekali, maka terkejutlah Kiu-bwee-houw dan
dia tidak berani main-main lagi.
Cepat dia
menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan ditangkapnya pergelangan tangan
Sin Liong dengan kelima jari tangannya yang panjang dan kuat. Sekali tangkap,
lengan anak itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi dan Kiu-bwee-houw sudah
mulai tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha...
huahhhh...!" Suara ketawa berubah menjadi kekagetan setengah mati ketika
dia merasa, betapa hawa sinkang yang dipergunakan tangan kanannya untuk
menangkap pergelangan tangan kiri pemuda remaja itu kini melekat pada
pergelangan tangan itu dan hawa sinkang-nya membanjir keluar, disedot oleh
pergelangan tangan lawan!
"Thi...
Thi-khi I-beng...!" Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur.
Makin dia
mengerahkan sinkang untuk melepaskan tangannya, makin hebat pula tenaga
sinkang-nya membanjir keluar. Sedemikian cepat dan kuatnya hawa murni itu
keluar dari tubuhnya disedot oleh lawan hingga sebentar saja mukanya menjadi
pucat dan tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga.
"Kini
gerakan ke dua dari jurus mautku!" teriak pula Sin Liong dan dengan tangan
kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh
raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Thi-khi I-beng, lalu dibantingnya
tubuh itu ke atas papan panggung.
"Brukkk!"
Papan
panggung lantas jebol dan tubuh kakek raksasa itu amblas ke dalamnya sampai
sepinggang! Tentu saja kejadian ini sama sekali tidak pernah diduga oleh semua
orang sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang menegangkan.
Semua orang
seperti menahan napas menyaksikan peristiwa yang sangat aneh ini dan tidak ada
seorang pun yang tidak meragukan apa yang mereka lihat. Akan tetapi ketika
mereka melihat Kiu-bwee-houw meronta-ronta dan keluar dari dalam lubang papan
sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh sorak-sorai dan tepuk
tangan mereka.
Pada saat
itu nampaklah sesosok bayangan putih berkelebat dan Kim Lok Cinjin menarik
Kiu-bwee-houw dibawanya melayang ke tempat duduknya, setelah diperiksa dan
ternyata tidak terluka apa-apa, wakil ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan ini
segera melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Sin Liong.
Mereka
berdiri berhadapan, untuk beberapa saat lamanya Kim Lok Cinjin memandang dengan
penuh perhatian, mukanya yang putih itu agak merah dan matanya yang beringas
menjadi makin galak. Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa muridnya
telah dipermainkan oleh seorang pemuda setengah kanak-kanak, bukan hanya
dipermainkan, bahkan dihina sekali karena dirobohkan dalam satu jurus saja. Dia
tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian lihainya sehingga mampu merobohkan
muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau
memang muridnya yang tidak hati-hati.
Tadi Sin
Liong penuh semangat ketika naik ke atas panggung karena dia melihat betapa
keselamatan Kwee Siang Lee, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Cin-ling-pai
itu, terancam bahaya. Kini, melihat betapa Siang Lee telah pergi tanpa pamit,
maka dia kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung.
Dia hanya
mewakili suheng-nya untuk menonton dan menerima pesan dari suheng-nya supaya
ikut menjaga tertib dan adilnya pemilihan calon bengcu itu tanpa mengajukan
diri sebagai calon bengcu. Demikianlah, melihat bahwa tak ada lagi yang harus
dilindunginya, Sin Liong mendapatkan kembali ketenangan dan watak aslinya yang
pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia menjura dan suaranya halus
penuh hormat ketika dia berkata, "Harap maafkan saya."
Akan tetapi
Kim Lok Cinjin sudah marah sekali. "Bocah sombong, kalau memang engkau
mewakili Cin-ling-pai hendak menghina Pek-lian-kauw, hayo maju dan kau lawan
pinto!"
Kembali Sin
Liong menjura, "Saya tidak tahu apa-apa mengenai permusuhan di antara
Cin-ling-pai dan Pek-lian-kauw, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap
locianpwe tidak mendesak dan saya hendak menjadi penonton saja." Setelah
berkata demikian, Sin Liong sudah meloncat turun dari atas panggung.
Semakin
marahlah Kim Lok Cinjin. Dia adalah wakil ketua Pek-lian-kauw di selatan dan
Kiu-bwee-houw adalah muridnya yang pertama, yang amat diandalkan oleh
Pek-lian-kauw sebagai tokoh ke tiga, yaitu setelah ketua dan dia sebagai wakil
ketua. Mana dia dapat menghabiskan urusan itu begitu saja setelah Pek-lian-kauw
mengalami penghinaan hebat dari bocah Cin-ling-pai?
"Bocah
hina, hayo kau cepat naik ke sini!" bentaknya dan kakek bermuka putih
pucat itu menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Sin Liong yang sudah
meloncat turun dari atas panggung.
"Syuuuuttt...!"
Angin
pukulan yang sangat dahsyat langsung menyambar ke arah punggung Sin Liong.
Itulah pukulan jarak jauh yang hanya mengandalkan angin pukulan saja, akan
tetapi amat berbahaya melebihi pukulan tangan langsung.
"Hemmm,
harap jangan terlalu mendesak, locianpwe!" Sin Liong mengibaskan tangannya
dan pukulan itu dapat ditangkisnya!
Tentu saja
wakil ketua Pek-lian-kauw itu terkejut dan makin marah. Akan tetapi sebelum dia
menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat naik ke atas panggung
dan mereka itu ternyata adalah Sin-ciang Gu Kok Ban, dan Tiat-thouw Tong Siok,
dua oang pimpinan dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berdua sudah menjura
kepada wakil ketua Pek-lian-kauw dan berkatalah Sin-ciang Gu Kok Ban.
"Harap
totiang suka bersabar. Totiang sebagai calon bengcu tidak semestinya bertanding
sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya jika bertanding dengan
seorang di antara penonton. Kecuali kalau pemuda remaja itu diangkat menjadi
calon pula, maka nanti totiang akan dapat berhadapan dengan dia secara
sah."
"Betul!
Kami mencalonkan dia menjadi bengcu!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari
para wakil peninjau rombongan Kun-lun-pai.
Suara ini
segera disusul pula oleh para wakil dari golongan-golongan bersih, dari
Siauw-lim-pai serta dari beberapa orang kang-ouw yang tadinya hanya datang
sebagai penonton saja. Melihat kelihaian bocah ini, apa lagi mendengar bahwa
bocah itu murid Cin-ling-pai, mereka ini merasa suka dan setuju kalau Sin Liong
menjadi bengcu yang berarti bahwa golongan sesat atau dunia hitam dapat
dikendalikan.
Akan tetapi
Sin Liong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas.
"Saya tidak ingin menjadi bengcu, saya hanya ingin menjadi penonton
saja!"
Sin-ciang Gu
Kok Ban kemudian berkata lantang, "Kalau orang tidak mau menjadi calon
bengcu, pun tidak dapat dipaksa. Harap totiang suka mundur dulu dan sebaiknya
urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri sesudah urusan
pemilihan bengcu selesai. Setelah urusan beres, jika totiang menghendaki apa
pun, biar dia bersayap mana bisa meloloskan diri dari totiang."
Kim Lok
Cinjin mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia menoleh
ke arah Sin Liong, memandang tajam lantas berkata, "Engkau tunggulah
saja!" Lalu dia kembali ke tempat duduk semula.
Kini
dimulailah sayembara pemilihan bengcu dan ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang
segera mengadakan undian untuk menentukan siapa yang harus maju lebih dahulu
untuk saling berhadapan. Ketika undian dibuka, ternyata yang mendapatkan nomor
satu dan nomor dua adalah Lam-thian Kai-ong dan Ouw-kauwsu, yang menurut
peraturan harus lebih dulu bertanding untuk menentukan kemenangan di antara
keduanya agar si pemenang dapat maju ke babak berikutnya.
Dua orang
jago itu kini sudah meloncat ke atas panggung dengan gaya masing-masing,
disambut sorak-sorai oleh para penonton dan para rombongan yang memihak.
Lam-thian
Kai-ong, kakek berusia enam puluhan tahun itu memegang tongkat butut. Dia
bertubuh tinggi kurus, bibirnya tersenyum-senyum, dan di dunia kang-ouw bagian
selatan, nama Lam-thian Kai-ong ini sudah sangat terkenal karena dia diakuinya
sebagai Kai-ong (Raja Pengemis). Hanya jarang ada tokoh yang mengetahui sampai
di mana tingkat ilmu kepandaiannya, karena sebagai golongan pengemis dan
gelandangan, Lam-thian Kai-ong ini tentu saja biasanya mengundurkan diri di
tempat sunyi sehingga jarang sekali bentrok dengan fihak lain.
Memang, di
dunia kang-ouw, golongan pengemis ini agak dijauhi oleh golongan-golongan lain
karena agaknya menurut perhitungan mereka, apa untungnya berselisih dengan para
pengemis? Tak ada apa-apa yang diperebutkan dan karena kehidupan para
gelandangan itu amat sengsara, maka tentu membuat mereka menjadi orang-orang
nekat yang sukar dilawan! Hanya ada kabar angin saja yang dibawa oleh para
jembel itu yang mengatakan bahwa Raja Pengemis itu memiliki kesaktian yang luar
biasa.
Ada pun
orang ke dua, Ouw Bian atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, amat
terkenal di antara para guru silat, para tukang pukul, dan para piauwsu
(pengawal barang kiriman) sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan
paling disegani di kota Amoi. Tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan dari
gerak-geriknya sudah cukup menunjukkan bahwa guru silat ini memiliki tenaga
yang besar.
Meski pun
dia tidak memegang senjata seperti calon lawannya yang memegang tongkat, tapi
orang dapat melihat bahwa ikat pinggangnya terbuat dari baja sehingga
menimbulkan dugaan bahwa agaknya benda itulah yang merupakan senjata
Ouw-kauwsu. Dan dugaan ini memang benar. Ikat pinggang itu dapat dimainkan
seperti senjata pian yang lihai.
"Kai-ong,
apakah begitu maju engkau hendak mempergunakan tongkatmu?" Ouw-kauwsu
bertanya.
Raja
Pengemis itu tersenyum. "Tidak, Ouw-kauwsu, aku cukup mengerti akan
peraturan. Pertandingan diadakan dua kali, bukan? Pertama dengan tangan kosong
dan bila selama seratus jurus dengan tangan kosong ini masih belum ada yang
menang atau pun kalah, maka barulah kedua calon boleh menggunakan senjata
masing-masing. Benarkah begitu, pangcu?" tanyanya sambil menoleh ke arah
Sin-ciang Gu Kok Ban.
Ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu mengangguk. "Tapi hanya senjata di tangan, bukan
senjata rahasia! Penggunaan senjata rahasia tidak diperkenankan, kecuali kalau
kedua calon saling menyetujui."
"Ha-ha-ha,
tongkat bututku ini sudah cukup untuk mengusir segala macam anjing, perlu apa
menggunakan senjata rahasia? Nah, aku sudah siap, kauwsu yang baik."
Sambil
berkata demikian, kakek pengemis itu melontarkan tongkat bututnya yang segera
meluncur seperti anak panah dan menancap di ujung papan panggung, menggetar dan
mengeluarkan bunyi. Tenaga lontaran ini saja sudah membuktikan betapa lihainya
kakek itu sehingga tongkat bambunya dapat menancap pada papan kayu yang keras
itu seperti sebatang anak panah saja.
Ouw Bian
juga maklum akan kelihaian lawan pertamanya ini, karena itu dia sudah siap
memasang kuda-kuda dengan dua lengan disilangkan, jari-jari tangannya dibuka
hingga membentuk cakar harimau. Kauwsu ini memang sangat terkenal dengan ilmu
silat gaya pesisir timur yang mengutamakan cengkeraman dan tangkapan, diselingi
dengan totokan jari tangan yang amat lihai.
Agaknya
Lam-thian Kai-ong juga sudah mengenal ilmu itu. Maka, dengan tenang dia pun
memasang kuda-kuda dengan sikap lembut untuk mengimbangi permainan lawan yang
hendak mempergunakan serangan berdasarkan kekuatan jari tangan dan kecepatan.
"Lihat
serangan!" Ouw Bian mulai menyerang, dua tangannya bergerak hampir
berbareng, yang kiri mencakar ke arah kedua mata lawan sedangkan yang kanan
menyusul dengan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama sebagai serangan
pembukaan ini cukup mengandung maut!
"Bagus!"
Kai-ong berteriak dan dia memutar tubuhnya ke kanan, membalik dan sesudah
menghindarkan cakaran pada kedua matanya dan berhasil menangkis cengkeraman
pada pusar, lalu dibarengi dengan kaki kirinya yang panjang itu meluncur dan
menendang ke arah lutut lawan. Kakek jembel ini memang ahli sekali dalam
mainkan kaki, baik untuk melangkah secara teratur dan mudah mengelakkan
serangan lawan mau pun untuk balas menyerang dengan tendangan kilat.
"Hemmm...!"
"Dukkk!"
Dengan
tangan kanan dimiringkan, Ouw Bian berhasil menangkis tendangan itu lalu balas
mencengkeram ke arah leher yang dapat pula dielakkan oleh Lam-thian Kai-ong.
Kiranya kedua orang ini begitu bergebrak telah saling mempergunakan kecepatan
untuk mencari kemenangan.
Pertandingan
berjalan semakin cepat sehingga akhirnya pandang mata mereka yang ilmu
kepandaiannya kurang tinggi menjadi kabur dan tidak dapat lagi mengikuti
gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu saking cepatnya gerakan mereka.
Yang nampak hanya bayangan tubuh kedua orang itu berkelebatan dan kadang-kadang
ruwet menjadi satu!
Hanya para
tokoh yang berkepandaian tinggi, terutama mereka yang duduk sebagai calon
bengcu, yang masih bisa mengikuti gerakan mereka dan tahulah mereka ini bahwa
kalau dibuat perbandingan, maka Lam-thian Kai-ong masih menang sedikit dalam
hal kecepatan gerakan.
Ouw-kauwsu
juga maklum akan hal ini, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan keras
dan gerakan sepasang cakar tangannya menjadi semakin kuat. Kiranya dia hendak
mengatasi kekurangannya dalam ilmu ginkang (meringankan tubuh) dengan
kekuatannya yang ternyata memang menang sedikit dibandingkan dengan lawannya.
Sekarang
terjadilah serang-menyerang yang makin sengit. Semua serangan Ouw-kauwsu
kebanyakan dielakkan dengan gesit oleh lawan, dan sebaliknya serangan balasan
Kai-ong sengaja ditangkis oleh kauwsu itu dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Para anak
buah berbagai rombongan yang menonton menjadi gembira bukan main dan segera
terjadi pemisahan menjadi dua kelompok yang mendorong jagoan masing-masing
dengan sorakan dan anjuran. Bahkan banyak di antara mereka, terutama anak buah
yang menganggap Ouw-kauwsu sebagai jagoannya, yaitu mereka yang tergolong
tukang pukul dan tukang judi, sudah mulai ramai mengadakan taruhan.
Sungguh
mengherankan sekali karena dari fihak rombongan pengemis banyak pula yang
menanggapi dan melayani taruhan dalam jumlah uang yang cukup besar itu.
Ternyata di antara pengemis-pengemis itu banyak pula yang mempunyai simpanan
uang besar!
Tak terasa
lagi, lima puluh jurus telah terlewat dan kedua orang yang sedang bertanding
itu belum juga mampu merobohkan lawan. Kalau pun ada pukulan atau tendangan
yang mengenai tubuh lawan, tapi kenanya tidak telak dan tidak cukup kuat untuk
merobohkan lawan, padahal, di dalam pertandingan ini, yang berlaku dan yang
dianggap kalah adalah kalau lawan roboh di atas papan atau terlempar keluar
panggung.
Sebenarnya,
kedua fihak sudah merasa penasaran sekali sehingga tangan mereka sudah
gatal-gatal untuk mencabut senjata dan mengandalkan keahlian mereka dengan
senjata itu untuk merebut kemenangan. Akan tetapi karena mereka pun tahu bahwa
pertandingan mereka belum lewat seratus jurus, maka mereka kini terus saling
serang dengan semakin seru.
Tiba-tiba
terdengar bentakan menggeledek dibarengi berkelebatnya bayangan orang tinggi
besar ke atas panggung, "Kalian berdua menggelindinglah!"
Dan sungguh
luar biasa, dua orang kakek lihai yang sedang saling serang itu mendadak
terdorong dan terlempar ke kanan kiri dan terjatuh keluar panggung!
Semua orang
memandang dan ternyata yang berdiri di atas panggung itu adalah seorang kakek
berusia enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam bopeng dan tanpa
daging seperti tengkorak. Tentu saja mereka semua langsung mengenal, terutama
sekali para bajak karena mereka sudah bersorak riuh rendah menyambut munculnya
orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini!
Kakek itu
bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Tiga Kakek Laut
Selatan yang amat lihai. Dalam satu gebrakan saja dia mampu melempar dua orang
lihai yang sedang bertanding tadi dari atas panggung, ini sudah membuktikan
betapa lihainya raksasa muka tengkorak ini. Dan dia ini baru orang ke tiga!
Belum yang ke dua dan yang pertama.
Oleh karena
calon bengcu sudah roboh dua orang, maka kini tinggal tiga orang lagi, yaitu
Tiat-thouw Tong Siok sendiri sebagai tuan rumah, kemudian Kim Lok Cinjin wakil
ketua Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi Si Maling Sakti. Hati tiga orang
ini agak gentar karena memang mereka pernah mendengar akan kehebatan ilmu dari
Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena belum pernah bentrok sehingga belum mengukur
tenaga mereka, tiga orang sakti ini pun merasa penasaran.
Sebagai
ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi penyelenggara dan juga tuan
rumah, Sin-ciang Gu Kok Ban cepat-cepat meloncat naik ke atas panggung dan
menjura kepada Hek-liong-ong Cu Bi Kun.
"Kiranya
Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang datang. Kenapa lo-enghiong melanggar peraturan
pibu untuk memilih calon bengcu? Apa bila lo-enghiong berminat memasuki
sayembara, mengapa tadi tidak mendaftarkan diri?" Demikian dia menegur
dengan halus.
"Sekarang
pun kami mendaftarkan diri juga belum terlambat!" terdengar suara halus
dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah berada di atas
panggung pula.
Semua orang
mengenal mereka ini, karena yang pertama adalah Hai-liong-ong Phang Tek, yaitu
kakek enam puluh lima tahun yang tinggi besar menyeramkan, wajahnya penuh
brewok seperti Panglima Thio Hwi di jaman Sam-kok. Ada pun orang ke dua adalah
adik kandungnya, Kim-liong-ong Phang Sun, yang usianya enam puluh tahun dan
tubuhnya berbeda sekali dengan kakaknya karena dia ini bertubuh pendek kecil
berkepala gundul lonjong dan dia tidak pernah pakai baju dan sepatu.
Melihat
munculnya ketiga orang kakek sakti itu, hati Sin-ciang Gu Kok Ban menjadi makin
gentar. Akan tetapi dia tetap menyambut dengan hormat. "Kiranya Lam-hai
Sam-lo yang terhormat sudah hadir selengkapnya. Tentu saja locianpwe boleh
mendaftarkan sebagai calon. Siapakah di antara locianpwe yang hendak memasuki
sayembara?"
"Kami
bertiga!"
"Tapi...
tapi... setiap rombongan hanya diperbolehkan mengajukan seorang calon..."
"Ahh,
aturan mana itu? Sin-ciang Gu-pangcu, engkau dan semua yang hadir tahu belaka
bahwa semenjak pemilihan beberapa tahun yang lalu, sebenarnya kamilah yang
berhak menjadi bengcu. Akan tetapi gara-gara pengacauan dari Ouwyang Bu Sek,
maka terjadi keributan dan kami mengundurkan diri. Sekarang, dalam pemilihan
kali ini, kami tak mau gagal lagi. Bila tadi kami agak terlambat adalah karena
kami memang menanti munculnya setan cebol itu. Dia tidak berani muncul, maka kami
segera datang dan kalau masih ada calon-calon lain, silakan naik dan asal dapat
mengalahkan kami seorang demi seorang, baru dia atau mereka dapat diangkat
menjadi calon."
Sunyi senyap
suasana di tempat itu setelah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini bicara.
Sin-ciang Gu Kok Ban mengerutkan alisnya. Munculnya Lam-hai Sam-lo dengan
sikapnya itu melanggar peraturan dan sebagai fihak yang menyelenggarakan
sayembara, Sin-ciang Tiat-thouw-pang tentu akan kehilangan muka.
Lagi pula
dia mengenal siapa adanya Lam-hai Sam-lo ini, yang termasuk penjilat-penjilat
pemerintah yang hendak mengejar kekuasaan dan kedudukan di daerah selatan. Apa
bila Lam-hai Sam-lo yang menjadi Beng-cu, tentu para anggota liok-lim dan
kang-ouw akan tergencet.
Dengan muka
merah ketua ini lantas menghadap tiga orang kakek itu dan dengan suara lantang
berkata, "Tadinya ada lima orang calon, akan tetapi setelah dua di antara
mereka sam-wi robohkan, tinggal tiga orang lagi, yaitu sute Tiat-thouw Tong
Siok, Kim Lok Cinjin dari Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi."
"Kim
Lok Cinjin?" Tiba-tiba saja Hai-liong-ong Phang Tek berseru sambil memutar
tubuh memandang ke arah tosu Pek-lian-kauw yang duduk di panggung kehormatan.
"Benarkah hal itu? Sedangkan suheng-nya, Kim Hwa Cinjin sendiri selalu
mendukung kami sebagai calon bengcu!"
Pek-lian-kauw
juga terkenal sebagai perkumpulan yang anti pemerintah pada waktu itu, dan
dalam hal ini, Pek-lian-kauw lebih condong kepada Sin-ciang Tiat-thouw-pang
yang juga anti pemerintah. Wakil Pek-lian-kauw ini maklum pula bahwa Lam-hai
Sam-lo adalah orang-orang yang berusaha untuk mendekati pemerintah dan mencari
kedudukan dengan menjilat-jilat, maka dia pun enggan untuk mundur, meski pun
dia tahu betapa suheng-nya sendiri merasa jeri kepada tiga orang kakek sakti
itu.
"Siancai...
tidak disangka bahwa Lam-hai Sam-lo datang juga! Pinto telah terlanjur masuk
sebagai calon bengcu, sebelum gagal dalam ujian mana mungkin mundur
kembali?"
Akan tetapi
kata-kata itu disambut cepat oleh suara yang halus ramah, suara Sin-to Bouw Khi
"Seekor harimau pun akan mundur kalau melihat munculnya singa, maka
biarlah aku yang bodoh menarik diriku sebagai calon bengcu dan aku kini menjadi
pendukung saja dari seorang di antara Lam-hai Sam-lo untuk menjadi bengcu!"
Sikap ini
pun dapat dimengerti karena Si Maling Sakti ini memang pernah ditolong oleh
Lam-hai Sam-lo, yaitu ketika beberapa tahun yang lampau dia tertangkap oleh
kepungan penjaga keamanan kota Amoi yang dipimpin oleh seorang pendekar, dan
Lam-hai Sam-lo yang akhirnya menghubungi pembesar sehingga dapat
mengeluarkannya dari tahanan. Di samping itu dia pun maklum bahwa kepandaiannya
masih jauh dari pada cukup untuk mengalahkan tiga orang kakek sakti itu.
"Terima
kasih atas pengertianmu, Sinto!" berkata Hai-liong-ong Phang Tek yang
kembali menghadapi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, "Apakah masih ada
calon-calon yang lain, ataukan hanya kalian berdua saja?"
"Karena
yang terhormat Sin-to Bouw Song Khi mengundurkan diri, maka yang tinggal hanya
dua orang yaitu sute Tong Siok dan Kim Lok Cinjin," jawab Sin-ciang Gu Kok
Ban dengan suara kering tanda bahwa dia marah sekali.
"Ha-ha-ha,
bagus sekali! Ji-wi suheng turunlah, biarlah mereka berhadapan dengan
aku!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun di tinggi besar muka tengkorak. Dua
orang saudaranya itu mengangguk dan dengan ringannya mereka berdua meloncat
turun dari atas panggung, berdiri di samping panggung dengan lagak angkuh.
Terdengar
bentakan nyaring dan Kim Lok Cinjin sudah berada di atas panggung lantas
menjura kepada Sin-ciang Gu Kok Ban. "Karena Tong-sicu sebagai wakil dari
Sin-ciang Tiat-thouw-pang merupakan tuan rumah, biarlah pinto yang lebih dulu
maju."
Kim Lok
Cinjin adalah tokoh Pek-lian-kauw yang wataknya pemarah dan tadi baru saja dia
mengalami penghinaan ketika muridnya dipermainkan oleh seorang bocah. Oleh
karena dia sedang marah, maka munculnya Lam-hai Sam-lo yang tak disukanya itu
menambah kemarahannya. Dia maklum bahwa kepandaian ketiga orang kakek itu luar
biasa sekali, namun mengingat bahwa mereka itu adalah antek-antek pemerintah
yang dibencinya, dan mengingat pula bahwa dia harus mempertahankan nama besar
Pek-lian-kauw, maka dia menjadi nekat hendak melawan.
"Sudah
lama pinto mendengar akan nama besar Lam-hai Sam-lo, maka kini berhadapan
dengan seorang di antara mereka, benar-benar merupakan kehormatan besar bagi
pinto untuk mohon sedikit petunjuk," katanya sambil menjura kepada si muka
tengkorak itu.
"Ha-ha-ha-ha,
engkau terlalu merendah, totiang. Aku telah mendengar bahwa tingkat ilmu
kepandaianmu hanya sedikit di bawah tingkat Kim Hwa Cinjin, maka engkau tentu
sangat lihai. Marilah kita main-main sebentar!" kata orang ke tiga dari
Lam-hai Sam-lo.
Dua orang
jago tua itu sudah memasang kuda-kuda. Sebagai seorang tokoh besar dari
Pek-lian-kauw, Kim Lok Cinjin segera memasang kuda-kuda Pek-lian (Teratai
Putih), ada pun lawannya yang menjadi pewaris dari mendiang Lam-hai Sin-ni juga
telah memasang kuda-kuda dengan dua tangan membentuk cakar naga, karena Ilmu
Liong-jiauw-kun (Ilmu Silat Cakar Naga) merupakan ilmu andalan Lam-hai Sam-lo.
Mereka
bergerak sebentar saling mengelilingi dan melihat betapa tokoh Pek-lian-kauw
itu mengambil kedudukan bertahan, suatu sikap yang berhati-hati dalam pertandingan,
maka sambil mengeluarkan gerengan nyaring Hek-liong-ong Cu Bi Kun sudah mulai
membuka serangan. Kedua lengannya bergerak seperti sepasang kaki depan naga,
menyambar ke arah lawan dari kanan kiri dan atas bawah dengan kecepatan bagai
kilat dan mengandung tenaga yang sampai mengeluarkan bunyi saking kuatnya.
Namun wakil
Pek-lian-kauw itu sudah waspada, cepat menggunakan keringanan tubuhnya bergerak
ke belakang, mengelak sambil mengibaskan kedua tangannya keluar dan ke kiri
kanan untuk menangkis kedua tangan lawan yang mengejarnya.
"Plak!
Plak! Plak! Plak!"
Empat kali
mereka saling mengadu pergelangan tangan dan akibatnya, kedua pundak Kim Lok
Cinjin tergetar sedikit, tanda bahwa dalam adu tenaga sinkang ini, dia masih
kalah kuat setingkat. Namun, Kim Lok Cinjin tidak menjadi gentar dan secepat
kilat kedua kakinya mengirim tendangan berantai, yaitu semacam Ilmu Tendangan
Siauw-cu-tui yang dilakukan secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian
saling susul sehingga sangat berbahaya bagi lawan karena setiap tendangan
mengarah bagian yang berbahaya dan mematikan.
Menghadapi
tendangan seperti itu, terpaksa Hek-liong-ong cepat mengelak mundur dan
akhirnya dia menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram dan menangkap kaki
yang menyambar-nyambar itu. Hal ini menghentikan serangan wakil ketua
Pek-lian-kauw karena tentu saja dia tidak mau membiarkan kakinya kena
dicengkeram hancur.
Pertandingan
berlangsung makin seru dan sampai lewat lima puluh jurus belum juga ada yang
nampak akan memperoleh kemenangan. Sebenarnya, kalau dibuat perbandingan,
tingkat kepandaian orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo masih jauh lebih tinggi,
akan tetapi oleh karena wakil ketua Pek-lian-kauw itu bersilat dengan hati-hati
sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya, maka
sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan dan belum terkalahkan.
Hal ini
membuat Hek-liong-ong Cu Bi Kun menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya dia
memandang rendah lawannya dan ternyata sampai sekian lamanya dia belum mampu
merebut kemenangan, bahkan melukai lawan pun belum.
Tiba-tiba
saja dia mengeluarkan teriakan nyaring dan nampaklah sinar menyilaukan mata
berkelebat, disusul dengan muncratnya darah dan teriakan wakil ketua dari
Pek-lian-kauw yang terhuyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang
terobek oleh golok di tangan Hek-liong-ong.
Ternyata
dengan kecepatan kilat Cu Bi Kun tadi sudah mencabut dan mempergunakan goloknya
untuk menyerang dan karena memang keahliannya adalah main golok besar itu, maka
Kim Lok Cinjin tak sempat mengelak sehingga pundaknya terkena bacokan golok dan
terluka cukup parah.
"Memandang
muka Kim Hwa Cinjin, biarlah totiang boleh mundur!" kata Cu Bi Kun sambil
melintangkan goloknya di depan dada dengan sikap angkuh.
Dengan mata
mendelik karena penasaran, akan tetapi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun,
wakil ketua Pek-lian-kauw itu meloncat turun dari atas panggung, lalu pergi
dari situ sambil memegangi pundaknya, diikuti oleh semua anggota Pek-lian-kauw
yang berada di situ.
"Tidak
adil ! Sebelum seratus jurus telah mempergunakan senjata, itu namanya
curang!" Tiba-tiba Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar,
berkepala botak dan mukanya bopeng itu meloncat ke atas panggung, toya besi di
tangannya dan matanya mendelik memandang ke arah Hek-liong-ong.
"Hemm,
apa maksudmu?" bentak Hek-liong-ong marah.
"Sebagai
seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata sebelum
pertandingan tangan kosong melewati seratus jurus sangatlah tercela.
Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di
antara musuh!" tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu
dengan marah.
"Hemm,
Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau juga tentu tahu
bahwa ilmu silat sangatlah luasnya, baik dengan tangan kosong mau pun dengan
senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu
silat pasti ada bahaya terluka atau pun terbunuh. Sekarang, calon terakhir
tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan
diri sebelum terlambat."
"Hek-liong-ong
Cu Bi Kun, omonganmu ini benar-benar keterlaluan!" Tiat-thouw Tong Siok
membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu.
"Sute,
sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita tak perlu
turut campur!" Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia
mengkhawatirkan keselamatan sute-nya.
Akan tetapi
Tiat-thouw Tok Siok adalah orang yang berhati keras. Dia telah dihina orang di
depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja?
"Biarlah,
suheng. Ini sudah bukan masalah perebutan kedudukan bengcu lagi, melainkan
urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Tadi Kim Lok Cinjin
sudah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku mendiamkannya
saja? Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah tanggunganku pribadi.
Mari, Hek-liong-ong, mari kita membuat perhitungan sebagai akibat kecurangan
dan penghinaanmu tadi!"
Sambil
berkata demikian, Tong Siok segera menggerakkan toya besinya dan dia sudah
menyerang dengan ganasnya ke arah Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang cepat menyambut
serangan itu dengan tertawa besar.
Tingkat
kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah kalau dibandingkan dengan
tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu
saja tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apa lagi dia. Baru lewat belasan jurus
saja sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok
sehingga orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak
saja tanpa sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar Hek-liong-ong
mengeluarkan suara tawa penuh kebanggaan.
Dia memang
sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya, dan dia pun bukan orang bodoh maka
dia tidak ingin mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia
bertiga kakak-kakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat,
tentu saja dia tidak boleh sembarangan membunuh.
"Pergilah!"
Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali ke arah toya
yang melintang itu.
"Trang...
krekkk!" Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong!
"Ha-ha-ha,
aku maafkan engkau. Turunlah!" kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan lagak
sombong sekali.
Tiat-thouw
Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu dia
berteriak nyaring, "Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!"
Setelah
berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu seperti
seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah ilmunya
yang sudah membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam
serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang
kokoh pun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu.
"Sute...!"
Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak, namun sudah terlambat karena sute-nya itu sudah
menyerang dengan cepat.
"Ha-ha-ha!"
Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut untuk menerima
serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya.
"Dukkk...!"
Dengan
hebatnya kepala botak itu menumbuk perut hingga tubuh Hek-liong-ong tergetar,
akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena mendadak kepala itu sudah menancap
ke dalam perut, seperti disedotnya.
"Slupppp...!"
Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung!
Ketika
merasa betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat maka dia
cepat menggerakkan dua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi,
dengan mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga
sekarang tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta!
"Locianpwe,
harap menaruh kasihan terhadap sute!" teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang
mengkhawatirkan keselamatan sute-nya.
"Hemmm,
dia menghendaki nyawaku, mana bisa begitu mudah?" Tiba-tiba Hek-liong-ong
memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok.
"Krekk!
Krekk!" terdengar suara dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya
dan menjadi lemas!
Pada saat
itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua orang yang
sudah merasa tegang menyaksikan kejadian yang mengerikan di atas panggung itu
menjadi makin tegang pada waktu mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung
itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran
pemilihan bengcu itu.
Dengan
langkah-langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang kepalanya masih
menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong Siok secara
main-main sambil berkata dengan lantang. "Ehh, kenapa main-main dengan
perut orang?"
"Plakk!"
Terdengar
suara begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, dan tubuh Hek-liong-ong
menggigil.....!
Tadinya,
Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan terasa sangat panas, namun
tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus kepala lantas
menyerang perut sehingga Hek-liong-ong kaget bukan kepalang, maklum bahwa
pemuda remaja itu sedang main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah
dicabutnya lagi dari punggungnya.
Akan tetapi,
Sin Liong mendorong lagi pinggul Tong Siok maka akibatnya, Hek-liong-ong
mengeluarkan seruan keras, jepitan perutnya pada kepala itu terlepas dan dia
terhuyung lalu roboh pingsan di atas panggung, goloknya tidak tercabut.
"Terima
kasih...!" Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun dari
atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suheng-nya.
Pada saat
itu juga Hai-liong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah
melayang naik ke atas panggung. Mereka berdua menghadang Sin Liong dari depan
dan belakang.
Hai-liong-ong
Phang Tek cepat memeriksa sute-nya dan merasa lega bahwa sute-nya itu hanya
terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa mengalami luka
parah, maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah bangkit kembali.
"Siapakah
engkau, bocah setan?" bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin
Liong dengan sikap mengancam.
"Hemm,
Lam-hai Sam-lo memang amat jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak
merebut kedudukan bengcu juga secara curang," kata Sin Liong dengan marah.
"Ahhh,
bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu?" Hai-liong-ong
Phang Tek berteriak, lalu menoleh ke kanan kiri, kemudian menantang,
"Keluarlah kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!"
Sin Liong
tersenyum, "Suheng telah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya pemilihan
ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo."
"Keparat!"
Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan bagaikan kilat ke arah
kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama
dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki ginkang yang luar biasa. Selain cepat, juga
tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua
tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong!
Kini Sin
Liong tak berani main-main lagi seperti saat dia menghadapi tokoh Pek-lian-kauw
tadi, karena dia pun maklum alangkah lihainya ketiga orang kakek pertama dari
Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya.
Menghadapi
serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk
menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah
menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng sepenuhnya.
"Plakk...!"
"Iihhhhh...!"
Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika
tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat lantas
sinkang-nya membanjir keluar keluar.
Pengalaman
seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan
adik-adiknya menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah
ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari serta menyelidiki
hal itu penuh keheranan.
Sekarang dia
cepat menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil
jalan darah pada dada Sin Liong sehingga anak itu merasa tergetar seluruh
tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil menarik jari
tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi I-beng!
"Bocah
setan! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong?" Mendadak orang
pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan
mata melotot penuh kebencian.
Sin Liong
terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah sekali karena kakeknya dimaki
keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak
dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua
tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek, ada
pun tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung
Kim-liong-ong Phang Sun.
Serangannya
terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan,
seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda remaja
ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang
hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun terakhir sudah digembleng oleh
Ouwyang Bu Sek yang menjadi suheng-nya dan mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib
dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia dewa Bu Beng
Hud-couw dari Himalaya.
Maka selama
ini, tanpa diketahui orang, Sin Liong sudah mencapai tingkat tinggi sekali,
tingkat di mana kekerasan dan kekasaran sudah tak nampak lagi dan tenaga yang
besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, walau pun dia hanya
menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sebenarnya gerakannya itu
mengandung hawa pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa oleh dua orang kakek itu
angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring!
"Aihhhh!"
"Ohhhh...!"
Dua orang
kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka terhuyung oleh
dorongan hawa pukulan ajaib itu. Maka marahlah mereka dan cepat mereka balas
menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena
Hai-liong-ong Phang Tek telah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala
Sin Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan
beracun. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan
pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan itu sudah
mengandung hawa yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin
Liong.
Sin Liong
mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat
membebaskan mereka dari pengaruh sedotan tenaga Thi-khi I-beng, yaitu dengan
jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka dia pun tak mau lagi
mempergunakan Thi-khi I-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan
itu.
"Manusia-manusia
curang!" bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulan-pukulan itu.
Dia kemudian
membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya yang membuat
gerakan memutar itu menerbitkan angin atau hawa pukulan yang melingkar dan hawa
ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu sehingga
kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran angin yang
kuat!
Hai-liong-ong
Phang Tek kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke belakang diikuti
oleh adiknya, dan kini Hek-liong-ong Cu Bi Kun juga telah pulih kembali
tenaganya, lalu dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut
mengurung.
"Bocah
setan, hayo cepat katakan, apa hubunganmu dengan Cia Keng Heng?!" bentak
Hai-liong-ong Phang Tek.
Sin Liong
yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah mereka
dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan
kepalanya lantas menjawab lantang. "Pendekar sakti Cia Keng Hong adalah
orang yang kujunjung tinggi, sangat kuhormati dan namanya akan kubela sampai
akhir jaman dengan taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada
harganya untuk menyebut namanya!"
Tentu saja
anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini kelihatan amat
benci kepada Cia Keng Hong dan dia tidak tahu pula apa hubungan mereka ini
dengan kakeknya.
Seperti
telah diceritakan dalam rangkaian cerita Pedang Kayu Harum, pendekar sakti Cia
Keng Hong berjodoh dengan seorang wanita gagah bernama Sie Biauw Eng, dan
wanita itu di waktu masih gadis adalah puteri datuk kaum sesat di selatan,
yaitu Lam-hai Sin-ni! Karena Lam-hai Sam-lo itu adalah pewaris ilmu-ilmu dari
mendiang Lam-hai Sin-ni, maka dengan sendirinya mereka menganggap Sie Biauw Eng
sebagai suci (kakak seperguruan) mereka dan tentu saja mereka membenci pendekar
Cia Keng Hong yang dianggap telah menarik dan menyelewengkan suci mereka
sehingga suci itu meninggalkan dunia hitam.
Akan tetapi,
ketika mendengar betapa lihainya Cia Keng Hong yang telah menjadi ketua
Cin-ling-pai, apa lagi ilmunya yang disebut Thi-khi I-beng, juga karena merasa
sungkan memusuhi suami suci mereka, sebegitu jauh Lam-hai Sam-lo tidak pernah
mencari atau memusuhi Cia Keng Hong yang mereka benci.
Akan tetapi
kini, melihat pemuda remaja yang mahir ilmu seperti Thi-khi I-beng itu, tentu
saja mereka teringat akan musuh besar mereka dan membentak. Kini, mendengar
betapa anak ini benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang
kakek itu tanpa malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata
masing-masing, dan mengepung serta mengeroyok Sin Liong dengan
serangan-serangan maut yang amat dahsyat.
Harus diakui
bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang telah mewarisi
ilmu-ilmu yang demikian hebatnya seperti yang diwarisi oleh Sin Liong. Apa lagi
dia telah secara langsung mengoper tenaga sinkang milik Kok Beng Lama dan
secara langsung pula dilatih oleh kakeknya, Cia Keng Hong, kemudian sudah
mempelajari isi kitab-kitab ajaib dari Himalaya di bawah petunjuk suheng-nya,
Ouwyang Bu Sek.
Akan tetapi,
usianya masih terlalu muda, baru enam belas tahun dan biar pun di dalam
tubuhnya sudah mengeram tenaga yang amat hebat, namun dia belum dapat menguasai
tenaga itu sepenuhnya dan juga harus diakui bahwa dia masih kurang matang dalam
hal latihan.
Padahal,
ketiga orang kakek yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk dari selatan yang
usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang memang mempunyai ilmu kepandaian
tinggi dan banyak sekali pengalaman dalam pertempuran besar.
Maka, walau
pun dengan gerakannya yang aneh Sin Liong mampu sekaligus menangkis tiga
serangan lawan itu sehingga ketiga orang kakek itu terhuyung ke belakang dengan
kaget seperti disambar halilintar, namun tetap saja Sin Liong juga terpelanting
dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak cepat berpegang
pada pinggiran papan panggung lantas meloncat naik ke atas, berjungkir-balik
beberapa kali dan kembali berdiri dengan tegak, sudah dikepung pula oleh tiga
orang kakek itu.
Lam-hai
Sam-lo berdiri dengan mata terbelalak, wajah mereka agak pucat dan terdapat
rasa ngeri dan takjub pada pandang mata mereka. Belum pernah selama hidup
mereka yang menjelajahi dunia selatan mereka bertemu dengan lawan seperti
pemuda remaja ini!
Hai-liong-ong
Phang Tek yang merupakan orang pertama yang paling lihai, tadi melihat betapa
hantaman tongkatnya pada leher anak remaja itu membalik, kemudian tongkatnya
itu terpental menghantam dirinya sendiri sebelum tongkat itu menyentuh leher
lawan. Dia pun maklum bahwa entah secara bagaimana, anak ini telah memiliki
sinkang yang sukar dipercaya kehebatannya, yang dapat bergerak otomatis
melindungi tubuh dan membuat tongkatnya membalik tadi. Maka dia bersikap lebih
hati-hati dan mengurung bersama dua orang adiknya.
Sementara
itu, kini keadaan menjadi geger karena semua orang yang berada di situ baru
tahu, seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa pemuda remaja yang kelihatan
tolol tadi sesungguhnya adalah seorang manusia luar biasa sehingga Lam-hai
Sam-lo sendiri terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya!
Sin-ciang Gu
Kok Ban yang segera menolong sute-nya dan menyambung pergelangan tangannya yang
patah-patah serta memberinya obat, kini hanya menonton dengan penuh takjub. Dia
tadi pun tidak berdaya menyaksikan keadaan sute-nya, dan dia tahu bahwa pemuda
remaja yang luar biasa itu sudah menyelamatkan nyawa sute-nya. Akan tetapi,
melihat pemuda itu dikeroyok oleh Lam-hai Sam-lo, tentu saja dia tak berani
mencampuri, sungguh pun di dalam hatinya dia mengharap pemuda remaja itu dapat
lolos.
Pertandingan
di atas panggung itu benar-benar hebat bukan kepalang dan semua orang menonton
dengan jantung berdebar penuh ketegangan karena mereka tahu bahwa tiga orang
kakek itu sekarang sama sekali tidak main-main, melainkan berusaha keras untuk
membunuh pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu.
Yang hadir
di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini rata-rata
memang tidak suka kepada Cin-ling-pai yang dianggap sebagai perkumpulan fihak
lawan. Akan tetapi sikap pemuda remaja itu tadi menarik rasa suka di hati
mereka sehingga biar pun mereka tidak memihak secara terang-terangan, juga
seperti Sin-ciang Gu Kok Ban, mereka itu kebanyakan mengharapkan kemenangan di
fihak pemuda remaja itu, sesuatu hal yang agaknya tidak mungkin sama sekali.
Sementara
itu, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil dari Kong-thong-pai,
Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain saling pandang, dan mereka juga
menonton dengan hati penuh takjub. Mereka tidak berani turun tangan mencampuri
karena selain tiga orang Lam-hai Sam-lo itu merupakan tokoh-tokoh terkenal,
juga pertandingan itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dengan
pemuda remaja luar biasa yang mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu.
Tadinya,
orang-orang gagah, seperti para wakil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, memang
sudah bersiap-siap untuk menolong pemuda itu karena sebagai orang-orang yang
berjiwa pendekar, tentu saja mereka tidak akan membiarkan seorang pemuda remaja
dikeroyok oleh tiga orang datuk hitam secara curang itu. Akan tetapi ketika
menyaksikan gerakan-gerakan Sin Liong, mereka melongo dan memandang dengan mata
terbelalak, maklum bahwa pemuda remaja itu adalah seorang yang memiliki
kepandaian luar biasa sekali dan sama sekali tidak pantas apa bila dibantu oleh
mereka yang hanya memiliki kepandaian terbatas dan masih rendah dibandingkan
dengan kepandaian pemuda itu atau tiga orang pengeroyoknya.
"Hyaaaaattt...
aihhh!" Seruan yang keluar dari kerongkongan Kim-liong-ong Phang Sun ini
hebat bukan main.
Orangnya sih
kecil pendek saja, akan tetapi ternyata ketika dia mengeluarkan pekik itu,
terdengar lengking yang lantang besar dan amat nyaring memekakkan telinga dan
papan panggung seolah-olah tergetar oleh lengkingannya. Orang ke dua dari
Lam-hai Sam-lo ini telah menerjang dengan cara meloncat tinggi, kemudian dari
atas dia melayang turun dan menyambar ke arah Sin Liong seperti seekor naga
terbang. Dua tangannya diputar-putar secara aneh, yang kiri mengeluarkan
pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan yang kanan mendorong dengan
tenaga dahsyat ke arah kepala Sin Liong.
Biar pun Sin
Liong selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti dengan
ilmu-ilmu pilihan yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya mempelajari
teori-teori dan latihan-latihan belaka, belum pernah dia mempergunakan
ilmu-ilmu itu untuk menghadapi bahaya serangan lawan. Maka sekali ini, dia
sungguh-sungguh diuji serta dituntut untuk membuktikan sampai di mana
kemampuannya selama dia dilatih secara tekun dan tidak mengenal lelah itu.
Memang anak
ini semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan alam, sering kali hidup dalam
keadaan liar dan menghadapi tantangan-tantangan alam yang mengerikan, maka dia
mempunyai keberanian hebat dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, biar pun
kini menghadapi serangan demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau
gugup, bahkan dapat mempergunakan otaknya dengan baik, mengikuti gerak otomatis
yang timbul dari kewaspadaannya.
"Hemmm...!"
Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari pusar dan
sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan khikang yang menggetarkan
dari teriakan Kim-liong-ong, kemudian tangannya mengebut ke atas, disusul
totokan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya.
"Aihhhh...!"
Kim-liong-ong menjerit karena terkejut bukan main.
Kebutan
tangan anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri, ada pun
tangannya yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh
lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu masih saja terus meluncur ke arah
pergelangan kakinya secara aneh. Selama hidupnya dia belum pernah menyaksikan
jurus seperti itu dan biar pun dia hendak merubah gerakannya, namun terlambat
sebab totokan itu meluncur terus, agaknya tak akan dapat dielakkannya lagi.
"Celaka!"
teriaknya. Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu tadi ternyata telah mencoba
mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib yang dipelajarinya dari kitab-kitab
lama di bawah bimbingan suheng-nya, yaitu Ouwyang Bu Sek.
Dari
kitab-kitab yang menurut Ouwyang Bu Sek merupakan pemberian seorang manusia
dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, Sin Liong telah dapat meringkas semua
ilmu itu menjadi semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ouwyang Bu
Sek diberi nama Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis), yang
berupa tiga belas rangkaian gerakan-gerakan yang bisa berkembang secara luas
sekali dan demikian aneh lika-likunya, penuh rahasia mukjijat sehingga Ouwyang
Bu Sek sendiri pun tidak sanggup mempelajarinya!
Melihat
adiknya menjadi pucat dan tubuhnya melayang turun dalam keadaan terancam oleh
totokan anak itu, Hai-liong-ong Phang Tek bergerak cepat dan berteriak keras
sambil mengayunkan tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu
yang terus mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, Hek-liong-ong
Cu Bi Kun yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh pemuda itu,
sudah mengayun golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Sin Liong
dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
"Wuutttt...!
Singggg...!" Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat sekali, lenyap
bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata.
"Krekkk...!
Takkk...!"
"Ahhhh...!"
"Heiii...!"
Kim-liong-ong
dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari mala petaka, akan tetapi tubuh
Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong terdorong ke belakang, muka mereka pucat
sekali. Hai-liong-ong memandang tongkat di tangannya yang sekarang telah patah
menjadi dua potong, sedangkan Hek-liong-ong juga memandang kepada golok di
tangannya dengan dua mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok
yang amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda
remaja itu namun terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu!
Kiranya, totokan
jari telunjuk Sin Liong yang mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, yaitu
tenaga yang dia peroleh dari pengoperan Kok Beng Lama secara luar biasa, telah
berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok Hek-liong-ong mengenai
lengannya, lengan itu telah penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga
golok itu terpental dan membalik. Tenaga Thian-te Sin-ciang dari Kok Beng Lama
memang merupakan tenaga sinkang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat
tubuh menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam.
Tiga orang
Lam-hai Sam-lo itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang kepada
Sin Liong yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka sekarang
merasa gentar sekali.
Pada saat
itu pula terdengar bunyi terompet dan tambur, disusul suara nyaring,
"Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang pangeran...!"
Semua orang
terkejut dan menengok. Mereka menjadi makin kaget ketika melihat bahwa tempat
itu telah dikurung oleh ratusan orang tentara yang berpakaian seragam, indah
dan berwibawa, dan nampak beberapa orang komandan memimpin pasukan dan banyak
pula bendera-bendera, tanda bahwa yang datang adalah seorang yang berpangkat
besar.
Beberapa
orang penunggang kuda mendekatkan kuda mereka ke panggung dan di antara mereka
terdapat seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah, berusia kurang lebih
delapan belas tahun, menunggang seekor kuda yang terbesar dan terbaik.
Pemuda ini
gagah sekali, pakaiannya sangat indah gemerlapan dan sepasang matanya seperti
mata harimau, tajam dan bersinar-sinar. Bajunya terhias sulaman benang emas
gemerlapan dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias bulu burung dewata
amat indahnya, menambah tampan dan gagah wajahnya.
Dengan sikap
seorang ahli, dia memegang kendali kudanya yang terus meringkik-ringkik.
Mulutnya tersenyum dan matanya menyapu ke sana-sini, akhirnya sepasang mata
yang tajam itu memandang ke atas panggung di mana Sin Liong masih berhadapan
dengan Lam-hai Sam-lo.
"Sam-lo,
apa yang kalian lakukan? Apa yang telah terjadi?" Tiba-tiba pemuda tampan
itu bertanya.
Tiba-tiba
terkejut dan kagumlah semua orang karena pemuda tampan itu melayang dari atas
kudanya seperti terbang saja, dengan gaya yang amat indah telah meloncat naik
ke atas panggung. Meloncat bukanlah ilmu yang luar biasa, akan tetapi kalau
orang duduk di atas kuda dan tahu-tahu melayang ke atas, hal itu benar-benar
hebat bukan main. Maka di sana-sini terdengarlah tepuk tangan memuji karena
orang-orang merasa gembira sekali melihat betapa hari ini muncul banyak orang
muda yang sangat hebat.
Akan tetapi
keheranan demi keheranan menimpa orang-orang itu ketika tiba-tiba mereka
melihat Lam-hai Sam-lo menjatuhkan diri berlutut di hadapan pemuda tampan itu
dengan sikap sangat menghormat! Dan terkejutlah mereka ketika mendengar suara
Hai-liong-ong Phang Tek berkata,
"Mohon
paduka sudi mengampuni hamba, pangeran. Pemilihan bengcu ternyata sudah
mendapat gangguan dari pemuda ini."
Ributlah
keadaan di sana ketika mendengar betapa Hai-liong-ong menyebut pemuda itu Pangeran.
Mendengar ini, tiba-tiba komandan pasukan berseru dengan suara lantang.
"Paduka
yang mulia Pangeran Ceng telah hadir, hendaknya semua orang cepat memberi
hormat!"
Pada waktu
mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran, berarti saudara dari
kaisar, tentu saja semua orang menjadi terkejut dan cepat mereka semua
menjatuhkan diri bertutut di tempat masing-masing, menghadap ke atas panggung
di mana pangeran itu masih berdiri. Juga para hwesio Siauw-lim-pai, para tosu
Kun-lun-pai, cepat memberi hormat menurut caranya masing-masing seperti kebiasaan
mereka menghormati seorang pangeran agung.
Pangeran itu
tersenyum dan berdiri mengangkat dada, memandang ke sekeliling dengan bangga,
melihat semua orang berlutut dan bersujud kepadanya. Tetapi dia mengerutkan
alisnya ketika melihat ada seorang yang sama sekali tidak berlutut kepadanya,
dan orang ini adalah seorang pemuda remaja yang berdiri di sudut panggung itu!
Pemuda yang oleh Hai-liong-ong dikatakan mengganggu pemilihan bengcu tadi!...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment