Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 12
KINI Bi Cu
memandang kepada paman dan bibinya, lalu menatap wajah pamannya untuk mendengar
mengenai satu-satunya orang yang menjadi keluarga terdekat baginya akan tetapi
yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu karena dia masih bayi pada
saat berpisah dari ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika
melahirkan dia.
Na-piauwsu
menarik napas panjang dan menatap kepada Bi Cu dengan penuh perasaan kasihan.
Dia mencinta anak ini seperti anaknya sendiri, begitu pula isterinya mencinta
Bi Cu seperti anak sendiri. Biar pun Bi Cu tak pernah berdekatan dengan ayah
kandungnya sehingga tentu saja tak ada pertalian rasa kasih sayang, akan tetapi
untuk menceritakan tentang kematian ayah kandung anak itu dia merasa ragu-ragu
dan tak enak juga. Betapa pun, dia tidak boleh merahasiakan hal itu dan harus
dia ceritakan kepada Bi Cu.
"Ahh,
berita yang kubawa mengenai saudara Bhe Coan amatlah buruknya...," kembali
dia menarik napas panjang "...sudah lama terjadinya, sudah bertahun-tahun
yang lalu, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu...bahkan belum lama setelah Bi
Cu berada di sini..."
"Apa
yang terjadi dengan dia?" tanya Na-hujin dengan wajah berubah dan dia
memandang kepada Bi Cu yang hanya mendengarkan dengan alis berkerut.
"Kurang
lebih sepuluh tahun yang lalu, saudara Bhe Coan telah dibunuh orang..."
"Ahhhh...!"
Nyonya Na menjerit.
Melihat Bi
Cu memandang suaminya dengan wajah yang tiba-tiba menjadi pucat sekali, nyonya
ini lalu merangkul Bi Cu dan menangislah nyonya Na karena dia merasa kasihan sekali
terhadap Bi Cu. Akan tetapi, Bi Cu sendiri tidak menangis, dia hanya memandang
dengan muka pucat kepada Na Ceng Han! Anak ini sama sekali tidak merasa
berduka!
Hal ini
tidaklah aneh. Dia tak pernah melihat wajah ayah kandungnya, hanya tahu bahwa dia
mempunyai seorang ayah kandung. Karena tidak pernah bertemu, tentu saja tidak
ada ikatan di dalam hatinya, tidak ada dia merasa kehilangan ketika mendengar
bahwa ayah kandungnya meninggal dunia. Memang ada perasaan nyeri mendengar ayah
kandungnya dibunuh orang, akan tetapi duka sama sekali tidak dirasakannya.
"Paman,
siapakah yang membunuh ayahku?" tanyanya dengan suara lirih.
Na Ceng Han
menarik napas panjang. "Dia tewas bersama isterinya, yaitu ibu tirimu, di
dalam kamar. Begitulah menurut cerita para tetangganya. Akan tetapi tidak ada
seorang pun yang melihat pembunuhnya, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh
Bhe Coan beserta isterinya. Bahkan sebelum aku datang ke sana, selama beberapa
tahun ini para pendekar yang datang ke sana untuk memesan pedang, yang juga
telah mengenal baik ayahmu, merasa penasaran dan juga menyelidiki, akan tetapi
sampai sekarang agaknya tidak ada orang yang dapat menemukan siapa pembunuh Bhe
Coan dan isterinya itu."
Bi Cu
melepaskan rangkulan bibinya. "Aku... aku mau mengaso ke kamarku...,"
katanya.
Paman dan
bibinya mengangguk dan memandang kepada anak yang pergi dengan kepala tunduk
itu dengan hati kasihan. Mereka merasa kasihan sekali dan merasa makin sayang
kepada Bi Cu.
"Kasihan
dia...," nyonya itu terisak.
"Baiknya
dia tidak sampai terpukul oleh berita ini," kata Na Ceng Han.
"Sebaiknya
dia kita jadikan anak kita saja..."
Isterinya menggeleng
dan berkata lirih, "Lebih baik begini saja. Bukankah kita juga sudah
memperlakukan dia tiada bedanya dengan anak sendiri? Biarlah dia menyebut kita
paman dan bibi, karena aku... aku mempunyai niat... dia dan Tiong Pek..."
Wajah Na
Ceng Han berseri-seri. "Ahh, begitukah? Baik sekali pikiran itu, dan aku
setuju sepenuhnya!"
Suami isteri
itu membayangkan betapa akan bahagia mereka kalau Bi Cu kelak menjadi isteri
Tiong Pek. Tidak akan keliru lagi pilihan ini karena merekalah yang mendidik Bi
Cu semenjak kecil! Dan mereka berdua membayangkan betapa mereka akan sayang
sekali kepada cucu yang terlahir dari Bi Cu dan Tiong Pek!
Sementara
itu, Sin Liong mengagumi mainan-mainan yang dimiliki oleh Tiong Pek. Anak ini
memang amat ramah setelah berkenalan, bahkan Tiong Pek lalu memamerkan ilmu
silatnya yang dia latih bersama Bi Cu di bawah pimpinan ayahnya sendiri.
"Kau
tahu, Sin Liong. Kepandaian kami adalah kepandaian warisan. Ilmu silat keluarga
Na sangat terkenal di daerah ini dan ayah sudah turun-temurun menjadi piauwsu.
Kelak aku pun ingin menjadi seorang piauwsu yang baik. Semenjak kakek masih
hidup nama Ui-eng Piauwkiok telah terkenal!"
Sin Liong
memandang kagum ketika melihat Tiong Pek bersilat dengan sangat cekatan. Dia
melihat betapa Tiong Pek sungguh tak kalah bila dibandingkan dengan Siong Bu
atau Beng Sin. Bahkan Tiong Pek yang hendak memamerkan kepandaiannya kepada
sahabat barunya ini dapat pula mainkan bermacam-macam senjata! Terutama pedang
dapat dia mainkan dengan indah karena memang senjata utama dari keluarga Na
adalah sebatang pedang.
"Sin
Liong, kau tinggallah saja di sini! Kau menjadi murid ayah sehingga kita bisa
berlatih bersama-sama!"
Sin Liong
hanya tersenyum.
"Ehh,
mana sumoi?"
"Siapakah
sumoi-mu?"
"Tadi
engkau telah melihatnya. Bi Cu adalah sumoi-ku. Murid ayah hanya dua orang, aku
sendiri dan Bi Cu."
"Akan
tetapi bukankah dia itu keponakan ayahmu?"
"Hanya
keponakan luar belaka, bukan keluarga Na. Dia adalah puteri dari paman Bhe
Coan. Ibu kandungnya, adik ayahku, meninggal ketika melahirkan dia. Ayahnya
kawin lagi maka semenjak bayi dia dirawat oleh ayah dan ibuku. Mari kita cari
dia. Dia juga harus memperlihatkan ilmu silatnya kepadamu. Wah, dia juga lihai
sekali. Dalam hal kecepatan, aku tidak pernah dapat menandinginya!"
Tiong Pek
lalu mengajak Sin Liong mencari Bi Cu. Akan tetapi anak itu tidak berada di
dalam kamarnya. Pada saat mereka mencari ke dalam taman, ternyata Bi Cu
menangis di atas bangku yang terpencil di dekat empang ikan. Melihat ini, Tiong
Pek terkejut bukan main.
"Sumoi
tidak pernah kulihat menangis! Ada apakah?" Dia segera berlari-lari
menghampiri sumoi-nya, diikuti oleh Sin Liong dari belakang.
Di dalam
hatinya, Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap Bi Cu. Dia sudah mendengar
dari Na-piauwsu bahwa ayah kandung Bi Cu yang bernama Bhe Coan itu sudah
dibunuh orang. Agaknya tentu anak yang sudah tidak beribu lagi itu sudah
mendengar mengenai kematian ayahnya. Kini Bi Cu sudah tidak lagi mempunyai ayah
dan ibu!
Setelah sampai
di hadapan Bi Cu yang menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya,
Tiong Pek cepat duduk di samping sumoi-nya, memegang lengan sumoi-nya dan
berkata dengan sikap cemas, "Sumoi, ada apakah? Kenapa kau menangis?"
Melihat
sikap ini Sin Liong berdiri agak jauh dan memandang saja. Dia kini tahu bahwa
Tiong Pek adalah seorang anak yang baik dan jelas nampak bahwa Tiong Pek sayang
sekali kepada sumoi-nya itu. Hal ini memang tidaklah aneh. Semenjak mereka
berdua masih anak-anak yang kecil, keduanya telah bermain bersama-sama sehingga
tentu saja timbul rasa sayang di dalam hati masing-masing.
Bi Cu
mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Tiong Pek yang memandang
kepadanya penuh kegelisahan itu, tangisnya makin mengguguk!
"Sumoi,
katakanlah, apa yang terjadi? Mengapa kau menangis?" tanya Tiong Pek makin
gugup dan gelisah.
"Suheng...
ibu... ibuku sudah mati semenjak melahirkan aku... dan sekarang... sekarang
ayahku..."
"Ayahmu
kenapa?"
"Ayahku
telah mati pula dibunuh orang sepuluh tahun yang lalu..." Dan anak
perempuan itu menangis makin sedih.
"Ahhh!"
Tiong Pek bangkit berdiri, mengepal tinju, matanya berapi-api, akan tetapi dia
lalu duduk kembali. "Siapa bilang? Ayah?"
Dara cilik itu
mengangguk.
"Siapa
yang membunuhnya?"
"Paman...
paman juga tidak tahu, tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayahku sepuluh
tahun yang lalu..."
"Sudahlah,
sumoi, jangan berduka. Hal itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, akan
tetapi percayalah, kelak aku yang akan membantumu mencari siapa pembunuh ayahmu
itu!" Tiong Pek bicara penuh semangat sehingga terhibur juga hati Bi Cu.
Ketika dilihatnya bahwa Sin Liong juga berada di situ, tangisnya segera
terhenti karena dia merasa malu untuk menangis di depan anak yang baru datang
ini.
Ketika
dibujuk oleh keluarga Na, dan melihat betapa keluarga itu amat baik kepadanya,
akhirnya Sin Liong menerima juga untuk tinggal di situ dan mempelajari ilmu
silat dari Na Ceng Han.
Na-piauwsu
maklum bahwa di dalam diri Sin Liong terdapat rahasia yang luar biasa, dan
bahwa anak ini tentu bukan anak sembarangan, maka dia tidak berani menjadi guru
anak itu. Dalam bujukannya yang meyakinkan hati Sin Liong sehingga anak itu mau
menerima tawarannya, dia berkata,
"Sin
Liong, ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekaii orang-orang yang sangat
pandai akan tetapi juga sangat jahat. Oleh karena itu, mengandalkan perantauan
seorang diri di dunia ramai ini seharusnya membawa bekal sedikit ilmu untuk
melindungi diri sendiri dari mara bahaya. Aku tidak berani menjadi gurumu, akan
tetapi berilah kesempatan padaku untuk membalas budimu dengan menurunkan
sedikit ilmu pembelaan diri kepadamu. Kau mempelajari ilmu dan mengenal keadaan
dunia kang-ouw, sehingga satu atau dua tahun kemudian engkau boleh melanjutkan
perantauanmu tanpa meninggalkan rasa khawatir di dalam hati kami."
Demikianlah,
mulai hari itu, Sin Liong tinggal di rumah Na-piauwsu dan setiap hari anak ini
dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han. Diam-diam Na Ceng Han terkejut karena
ternyata olehnya bahwa anak ini telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi
yang aneh. Tentu saja dia tidak tahu bahwa memang ibu kandung anak ini sudah
mengajarkan dasar ilmu silat tinggi, dan ibu anak ini adalah murid terkasih
mendiang Hek I Siankouw, karena itu tidak mengherankan kalau Sin Liong telah
mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi!
Karena tidak
memperoleh banyak kesempatan untuk mempelajari ilmu silat pada saat dia tinggal
di Istana Lembah Naga, maka ketika dilatih ilmu silat oleh Na Ceng Han,
gerakan-gerakannya sangat kaku sehingga Tiong Pek dan Bi Cu yang menonton
kadang-kadang tertawa. Akan tetapi mereka bukanlah mentertawakan untuk
mengejek, hanya karena hati mereka terasa geli melihat gerakan yang kaku itu.
Betapa pun,
ketika mereka mengadakan latihan bersama, segera nampak jelas oleh Na Ceng Han
betapa dalam hal kecepatan, Sin Liong memiliki kecepatan yang wajar dan luar
biasa sekali, kecepatan yang diperoleh dari kehidupannya bersama para monyet
sehingga Bi Cu yang memiliki bakat baik sekali untuk ilmu ginkang sehingga
tidak dapat ditandingi oleh suheng-nya itu pun masih kalah cepat dibandingkan
dengan Sin Liong yang sudah sejak kecil mengandalkan tenaga untuk melindungi
diri di hutan, dengan berayun-ayun, bahkan masih mengatasi Tiong Pek.
Dengan
demikian, kalau anak ini sudah dilatih ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu,
sudah pasti bahwa dia akan lebih cepat dari Bi Cu dan lebih kuat dari Tiong
Pek, berarti lebih lihai dari pada mereka!
Pergaulannya
dengan Tiong Pek dan Bi Cu akrab sekali karena dalam pergaulan itu tidak ada
sesuatu yang menghalangi seperti pergaulannya dengan anak-anak di Istana Lembah
Naga. Dan ternyata bahwa Na Ceng Han dan isterinya benar-benar merupakan suami
isteri yang berbudi dan ramah sehingga Sin Liong merasa suka sekali kepada
keluarga ini dan betah tinggal di rumah mereka.
Dia bahkan
kadang-kadang ikut dengan rombongan piauwsu mengawal barang. Hal ini memang
atas anjuran Na Ceng Han yang ingin agar anak ini dapat memiliki pandangan luas
dan pengalaman sebagai bekal niatnya untuk merantau. Dia dapat menduga bahwa
tentu ada sesuatu yang mendorong anak ini untuk merantau, akan tetapi dia tahu
bahwa membujuk anak itu untuk mengaku akan percuma belaka, karena itu dia pun
tidak pernah bertanya.
Sin Liong
berlatih rajin. Dia tidak memanggil suheng atau sumoi kepada Tiong Pek dan Bi
Cu, dan juga sebaliknya dua orang anak itu tidak menyebutnya saudara
seperguruan. Hal ini memang kehendak dari Na-piauwsu yang tidak berani menerima
anak ajaib itu sebagai muridnya. Dia tidak mau mengikat Sin Liong, dan tentu
saja kalau anak itu sendiri yang mengangkat dia sebagai guru, maka dia tentu
akan menerimanya.
Akan tetapi
karena dia tidak tahu betul siapa adanya anak itu, maka dia pun tidak berani
mengambil anak itu menjadi muridnya. Dan ternyata agaknya Sin Liong juga tidak
mau terikat, maka anak itu pun diam saja, tetap memanggil paman Na kepada
piauwsu itu, walau pun dia berlatih silat dengan amat tekun sehingga dua orang
anak itu pun terseret dan ikut pula menjadi tekun. Hal ini amat menggirangkan
hati Na-piauwsu.
***************
Istana
kaisar sedang dalam keadaan prihatin karena Kaisar Ceng Tung sedang menderita
sakit keras. Tidak nampak senyum pada wajah semua orang yang berada di istana,
dari penjaga sampai pelayan dalam istana, dari pengawal sampai para panglima
yang keluar masuk untuk menjenguk keadaan kaisar.
Semua ahli
pengobatan istana dikerahkan, bahkan juga didatangkan ahli-ahli pengobatan dari
luar, tidak ketinggalan pula para ahli mengusir setan untuk membuat persembahan
dan memasang benda-benda yang dinamakan HU yang dianggap sebagai tumbal atau
jimat penolak bahaya! Akan tetapi, penyakit yang diderita oleh kaisar tidak
menjadi makin ringan, bahkan makin hari makin berat saja.
Pada suatu
hari, ketika kota raja mulai sibuk dengan arus manusia yang berlalu-lalang dan
kesibukan para pedagang yang mulai dengan perlombaan mereka mencari untung hari
itu, nampak dua orang yang mau tak mau menarik perhatian banyak orang dari
pintu gerbang sebelah utara kota raja. Di antara banyak pintu gerbang kota
raja, pintu gerbang sebelah utara merupakan pintu yang terbesar dan dijaga
paling kuat.
Dua orang
ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Ceng Han How, putera dari Raja
Sabutai yang memasuki kota raja bersama dengan Kim Hong Liu-nio. Tentu saja
banyak orang tertarik melihat seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian
mewah, tata rambutnya seperti seorang puteri, akan tetapi langkahnya begitu
tegap dan tenang seperti langkah seorang ahli silat yang biasa melakukan
perantauan. Dan keadaan Ceng Han Houw juga menarik perhatian orang karena
pemuda ini bertubuh tinggi tegap, tampan dan halus gerak-geriknya sedangkan
sepasang matanya memiliki sinar yang tajam penuh wibawa.
Akan tetapi
karena banyaknya bermacam-macam orang memasuki kota raja, keadaaan mereka itu
tidak menimbulkan kecurigaan, terlebih lagi karena Kim Hong Liu-nio bersikap
hati-hati sekali sesudah memasuki daerah kota raja yang diketahuinya terdapat
banyak orang pandai itu. Dia tak lagi menonjolkan papan kayu salib yang
bertuliskan nama-nama marga musuh besar gurunya seperti biasa, bahkan dia pun
lebih banyak berdiam dan tidak melayani pandang mata banyak pria yang
memandangnya dengan penuh kagum.
Ceng Han
Houw tiada henti-hentinya mengagumi keadaan kota raja. Wajahnya berseri,
matanya bersinar-sinar pada saat dia menyaksikan jalan-jalan raya yang rata dan
bersih, rumah-rumah besar serta istana-istana yang indah dan megah.
Dia pun
merasa sekali betapa suci-nya mendadak menjadi alim dan pendiam semenjak memasuki
wilayah kota raja, padahal sebelum itu, semenjak di penyeberangan Tembok Besar,
ketika melalui dusun dan kota, sudah belasan orang menjadi korban suci-nya itu
yang tidak mau mengampuni setiap orang yang kebetulan memiliki nama keturunan
atau marga Cia, Yap dan Tio.
Tentu saja
perbuatannya itu amat menggemparkan dan sebentar saja nama Kim Hong Liu-nio
dikenal orang sebagai nama yang amat ditakuti seperti iblis. Akan tetapi,
setelah tiba di perbatasan kota raja, Ceng Han Houw melihat betapa suci-nya itu
tidak pernah lagi bertanya-tanya kepada orang, apakah di situ ada orang-orang
yang memiliki tiga macam nama marga itu.
"Suci,
benarkah banyak orang lihai di sini?" bisiknya kepada suci-nya pada waktu
mereka sedang berjalan di sepanjang jalan raya di kota raja. Pertanyaan itu
diajukannya dengan menggunakan bahasa Mongol.
"Ssttt,
jangan bicara yang bukan-bukan, sute," wanita itu menjawab dalam bahasa
Han. "Bericaralah dengan bahasa Han supaya kita tidak menarik perhatian
orang, dan mari kita langsung saja pergi ke istana."
Sejak dia
berusia sepuluh tahun, Han Houw sudah mendengar dari ibunya bahwa kaisar yang
maha besar di selatan itu adalah ayah kandungnya! Rahasia ini dibuka oleh
ibunya karena dia dianggap sudah cukup besar untuk dapat menyimpan rahasia dan
diam-diam Han Houw mempunyai rasa bangga yang amat besar.
Ayahnya
sendiri adalah seorang raja di utara, akan tetapi bila dibandingkan dengan
kaisar, maka kedudukan ayahnya itu sama sekali tidak ada artinya. Ayahnya hanya
menguasai tanah-tanah yang masih liar, dan mempunyai pasukan yang banyaknya
hanyalah ribuan orang, sedangkan menurut buku-buku yang dibacanya, kaisar di
selatan adalah seorang yang amat berkuasa, menguasai daerah yang tak terukur
luasnya dan orang-orang serta pasukan yang tak terhitung banyaknya. Bahkan
banyak sekali raja-raja kecil yang tunduk kepada kekuasaan kaisar. Dan orang
ini adalah ayah kandungnya!
Maka
mendengar ucapan suci-nya, dia mengerutkan alisnya sambil memandang kepada
pakaiannya. Pakaian yang dikenakannya memang cukup baik, namun sudah agak kotor
berdebu akibat perjalanan terakhir memasuki kota raja. Dan dia tidak ingin
menghadap ayahnya yang amat berkuasa itu dalam pakaian kotor! "Aku harus
berganti pakaian lebih dulu, suci."
Pada waktu
dia hendak berangkat, ibunya sendiri yang memesan kepadanya agar kalau
menghadap kaisar dia mengenakan pakaian terbaik yang telah sengaja dipersiapkan
oleh ibunya, dan bahkan ibunya mengajarkannya pula bagaimana dia harus bersopan
santun di dalam istana sebagai seorang pangeran putera kaisar!
Kim Hong
Liu-nio menoleh dan memandang wajah sute-nya. Tidak biasanya sute-nya ini
membantah kata-katanya, karena sute-nya menganggap dia seperti guru juga. Meski
pun sute-nya ini murid dari Hek-hiat Mo-li juga, akan tetapi selama ini dialah
yang lebih banyak membimbing sute-nya ini dalam berlatih ilmu silat.
Han Houw
tahu bahwa suci-nya memandang kepadanya, maka dia berkata, "Untuk pergi
menghadap kaisar, aku harus mengenakan pakaian bersih, begitu pesan ibu
kepadaku."
Kim Hong
Liu-nio mengangguk. Dia tahu bahwa bagaimana pun juga, sute-nya ini adalah
seorang junjungannya yang harus ditaatinya, karena itu dalam hal-hal tertentu,
dia sama sekali tidak boleh dan tidak berani membantah.
"Kalau
begitu, terlebih dahulu kita mencari sebuah rumah penginapan," katanya
singkat. Mereka lalu pergi mencari rumah penginapan dan tentu saja amat mudah
mencari rumah penginapan di kota raja yang besar dan ramai itu.
Setelah tiba
di rumah penginapan dan memesan dua buah kamar besar, Kim Hong Liu-nio
mempersilakan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw untuk mandi kemudian bertukar
pakaian sedangkan dia sendiri juga membersihkan diri dan menukar pakaian yang
bersih. Setelah selesai, Han Houw mengajak wanita itu untuk makan dulu.
"Siapa
tahu, di istana kita harus menanti sampai lama," kata Han Houw.
"Menurut cerita ibu, di istana kita harus sopan dan sama sekali tidak
boleh bergerak, berkata atau berbuat apa saja sebelum diperintah. Kalau di sana
kita harus menunggu lama dan perutku lapar tanpa berani minta makan atau pergi
mencari makan, wah, bisa kelaparan aku! Mari kita makan dulu sekenyangnya, baru
kita pergi menghadap ke istana, suci. Dan menurut ibu, kabarnya di kota raja
ini kita bisa makan apa pun juga! Bahkan segala macam daging pun bisa pesan.
Kata ayah di sini orang-orangnya pandai sekali memasak, seperti dewa, bisa
menyulap daging-daging ular, buaya, harimau, biruang, dan lain-lain menjadi
masakan-masakan sedap. Bahkan kalau mau memesan daging paha burung hong, atau
lidah naga laut, kabarnya bisa juga."
Kim Hong
Liu-nio tersenyum mendengar omongan sute-nya itu, dan begitu dia tersenyum,
lenyaplah sifat dingin menyeramkan dari wanita ini. Sebenarnya Kim Hong Liu-nio
adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan manis sekali, apa lagi kalau
tersenyum seperti itu, karena selain dia memiliki bentuk bibir yang indah, juga
giginya putih dan rapi.
"Sute,
di jaman sekarang ini, mana ada segala macam burung hong, naga atau pun kilin?
Itu hanya pandainya para pemilik restoran saja. Yang dimaksudkan dengan paha
burung hong bukan lain adalah paha burung dara, dan lidah naga adalah lidah
ular tertentu yang memang lezat dimasak, kalau yang masaknya pandai. Harimau
itu paling-paling daging kucing, dan biruang itu tak salah lagi tentu daging
anjing. Tidak salah bahwa memang di sini banyak terdapat ahli masak yang pandai
dan memang segala macam daging itu yang enak apanya sih? Tanpa bumbu, mana bisa
enak? Yang enak adalah bumbunya!"
Mereka
segera pergi ke sebuah restoran yang besar dan banyak tamunya. Karena Han Houw
ingin melihat keadaan di luar restoran di mana terdapat arus lalu lintas yang
cukup ramai, maka dia memilih tempat duduk paling pinggir, di sebelah luar
menghadapi pintu dan jendela terbuka. Selain di sini tidak begitu panas karena
jauh dari api dapur dan juga memperoleh hawa langsung dari luar yang terbuka,
juga dia dapat melihat-lihat keadaan di luar restoran.
Benar saja,
pada saat mereka membaca menu masakan, terdapat istilah-istilah masakan yang
amat hebat dan muluk-muluk seperti sop jantung harimau, jari kaki biruang masak
kecap, goreng otak kilin, ca jamur dewa, dan sebagainya sehingga Han Houw
tertawa geli membacanya.
Sebagai
seorang pangeran tentu saja dia berwatak royal dan dia memesan hampir semua
masakan yang namanya aneh-aneh itu sehingga lebih dari dua belas macam masakan!
Tentu saja pelayan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa hanya dua
orang saja memesan masakan sedemikian banyaknya, yang cukup banyak untuk
dimakan oleh enam orang!
"Ramai
sekali di sini!" kata Han Houw ketika suci-nya menuliskan pesanan di atas
kertas.
Pelayan yang
melayani mereka itu membungkuk-bungkuk. Dari pakaian dua orang tamu ini saja
dia bisa menduga bahwa mereka ini tentulah keluarga bangsawan atau hartawan
dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja, maka dia bersikap
menghormat.
"Biasanya
jauh lebih ramai lagi, kongcu. Sebetulnya, biasanya pada bulan seperti ini
tentu ada pesta di lapangan belakang pasar, di kuil besar dan di jembatan
kuning. Akan tetapi semenjak sri baginda kaisar yang mulia menderita sakit,
semua pesta untuk sementara dibatalkan..."
"Sri
baginda kaisar sakit...?" Han Houw bertanya, terkejut.
"Ehh,
kongcu belum tahu? Seluruh penduduk kota raja berprihatin karena sakit beliau
itu agak berat..." Pelayan lalu menerima catatan pesanan dan tidak berani
lagi lebih banyak membicarakan kaisar yang pada masa itu masih dianggap sebagai
seorang manusia yang setingkat dengan utusan atau wakil Tuhan sehingga tidak
boleh banyak disebut-sebut!
Han Houw
saling berpandangan dengan suci-nya. Kaisar sakit?
"Ahh,
kalau begitu kita terpaksa menunda sampai beberapa hari, sampai beliau sembuh,
sute. Kalau beliau sakit, mana mungkin kita diperbolehkan menghadap?"
bisik Kim Hong Liu-nio kepada sute-nya.
Han Houw
hanya mengangguk, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Memang ibunya
sudah mendengar berita bahwa kaisar sakit, akan tetapi tidak disangkanya bahwa
penyakitnya berat sehingga sampai sekarang pun masih sakit sehingga semua
penghuni kota raja pun sampai berprihatin dan segala macam pesta ditiadakan!
Berita itu
mengurangi kegembiraan Han Houw, sungguh pun dia masih dapat menikmati hidangan
masakan yang memang betul-betul lezat dan yang belum pernah dirasakannya itu.
Ketika mereka sedang asyik makan minum, tiba-tiba pandang mata Han Houw
tertarik oleh tiga orang kakek pengemis yang berpakaian menyolok sekali.
Tiga orang
kakek itu usianya tentu kurang lebih lima puluh tahun, namun tubuh mereka masih
tegap dan sehat kuat. Yang menyolok adalah pakaian mereka, karena ketiga orang
kakek pengemis itu memakai pakaian tambal-tambalan yang terbuat dari
macam-macam kain berkembang yang beraneka warna, sehingga dari jauh mereka itu
tampak seperti tiga orang yang aneh sekali, pakaian mereka dari baju sampai ke
celana semua berkembang-kembang dan bertotol-totol dengan warna-warna menyolok.
Mereka itu
dapat dikenal sebagai pengemis-pengemis karena mereka memegang tongkat dan
tempat makanan dari kayu, dan sepatu mereka berlubang-lubang, juga pakaian yang
aneh itu walau pun warnanya menyolok sekali akan tetapi tambal-tambalan! Di
punggung mereka nampak tumpukan buntalan, entah buntalan apa, warnanya kuning.
"Suci,
orang-orang apakah mereka bertiga itu?" tanya Han Houw sambil menunjuk
dengan gerakan dagunya.
Kim Hong
Liu-nio yang duduknya saling berhadapan dengan Han Houw, kini menoleh dan
sejenak matanya menyambar sambil memandang kepada tiga orang kakek yang
berjalan mendatangi itu dengan tajam dan penuh perhatian. Diam-diam dia
terkejut juga melihat cara tiga orang kakek itu melangkahkan kaki mereka.
Begitu ringan dan penuh tenaga! Jelaslah bahwa mereka itu bukan orang-orang
sembarangan dan pakaian mereka itu jelas pula merupakan tanda golongan mereka!
Dia
mengingat-ingat. Apakah mereka itu yang disebut-sebut sebagai orang-orang Hwa-i
Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) yang menurut cerita amat berkuasa
di daerah kota raja ini? Agaknya tidak salah lagi. Akan tetapi melihat lima
tumpuk buntalan kuning di punggung tiga orang kakek itu, Kim Hong Liu-nio
memandang tak acuh karena dia tahu bahwa mereka itu hanyalah tokoh-tokoh
tingkat rendahan saja, tingkat lima!
"Sute,
jangan pedulikan mereka. Agaknya mereka adalah tokoh-tokoh kaipang,"
bisiknya kepada sute-nya.
"Haii,
Sam-wi Lo-sin-kai (Tiga Orang Pengemis Tua Sakti)! Sam-wi hendak ke
manakah?" tiba-tiba terdengar teriakan orang yang duduk di dalam restoran
itu, yaitu seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tegap
dan sedang menghadapi meja penuh dengan masakan bersama tiga orang lainnya yang
juga memandang gembira melihat tiga orang pengemis itu.
"Ahh,
kiranya Yu-kamsu (guru silat Yu) dari Cin-an dan tiga orang saudara dari
Sin-houw Piauwkiok!" kata seorang di antara tiga kakek pengemis itu sambil
berhenti melangkah di depan restoran, di luar jendela di mana empat orang itu
duduk.
"Mari
silakan duduk makan minum bersama kami!" kata pula guru silat she Yu itu
dengan sikap ramah dan gembira, menandakan bahwa mereka itu adalah kawan-kawan
baiknya.
"Terima
kasih, Yu-kauwsu, kami masih harus menyelesaikan urusan penting. Nanti saja
kalau urusan kami sudah selesai, kami tergesa-gesa!"
"Ha-ha-ha-ha,
kalau begitu biarlah dari sini saja aku menyuguhkan masakan dan arak!"
Sesudah berkata demikian, sambil tertawa-tawa Yu-kauwsu bersama tiga orang
piauwsu yang menjadi temannya itu melempar-lemparkan mangkok yang penuh masakan
dan juga seguci arak ke luar jendela, ke arah tiga orang pengemis tua itu!
Han Houw
memandang penuh perhatian dan diam-diam juga kagum. Tiga orang kakek itu, benar
seperti yang sudah diduga suci-nya, adalah tokoh-tokoh yang berkepandalan
tinggi. Masing-masing sudah menangkap dua buah mangkok masakan yang terbang ke
arah mereka, dan kakek pertama bahkan mampu menerima guci arak dengan sundulan
kepalanya sehingga guci itu berdiri tegak di atas kepalanya. Semua ini mereka
lakukan dengan cekatan dan tidak ada arak atau kuah masakan yang tumpah.
Sambil
tertawa-tawa mereka makan masakan itu dari mangkok begitu saja tanpa sumpit,
kemudian mereka melempar-lemparkan mangkok kosong itu ke dalam jendela.
Mangkok-mangkok itu berputaran dan kemudian hinggap di atas meja di depan
kauwsu itu tanpa menimbulkan banyak suara bising, dan tidak pecah! Begitu pula
guci arak setelah araknya mereka teguk bergantian sampai habis.
Tiga orang
kakek pengemis itu kelihatan gembira sekali karena banyak orang menonton
demonstrasi mereka dengan penuh kagum. Nama Hwa-i Kaipang memang sudah amat
terkenal dan di mana pun mereka berada, tentu akan terjadi sesuatu yang menarik
karena mereka itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi.
"Wah,
terima kasih, Yu-kauwsu dan sam-wi piauwsu. Dengan suguhan itu, kami tak perlu
lagi minta sumbangan dari para tamu restoran ini, kecuali terhadap seorang tamu
yang datang dari tempat jauh." Mereka mengusap-usap perut mereka, kemudian
melangkah maju menghampiri meja Han Houw!
Pangeran
dari utara ini, biar pun masih muda, namun dia telah memiliki kepandaian
tinggi, maka pertunjukan tadi biar pun membuatnya kagum, akan tetapi
dianggapnya bukanlah ilmu yang aneh. Sedangkan Kim Hong Liu-nio sama sekali
tidak mempedulikan mereka, dan ketika tiga orang pengemis itu tiba-tiba
berhenti melangkah di depan jendela mereka dan mereka bertiga memandang
kepadanya dengan mata tidak pernah berkedip, dengan sinar mata yang tajam dan
mengandung kemarahan, Kim Hong Liu-nio masih mengambil sikap tidak peduli!
"Toanio,
kasihanilah kami tiga orang pengemis tua...," kata yang seorang.
"Kami
bertiga mohon dermaan dari toanio...," sambung yang ke dua.
"Semoga
Thian memberkahi kebaikan toanio...," sambung pula yang ke tiga.
Melihat
suci-nya bersikap acuh tak acuh, Han Houw cepat mengeluarkan tiga keping uang
perak dan menyerahkan tiga keping uang itu kepada mereka sambil berkata,
"Ini sedikit sumbangan dari kami, harap diterima dengan senang."
Tiga orang
kakek pengemis itu menerima tiga keping uang perak itu, masing-masing satu
keping, akan tetapi mata mereka mendelik dan salah seorang di antara mereka
berkata, "Kongcu menganggap kami ini orang apa maka memberi sumbangan uang
perak?" Dan tiba-tiba mereka melemparkan tiga keping uang perak itu di
atas meja depan Han How.
"Cep!
Cep! Cepp!" Tiga keping uang perak itu menancap ke dalam papan meja sampai
hampir rata dengan permukaan meja.
Ketiga orang
pengemis tua itu mengira bahwa tentu pemuda cilik yang tanpa disengaja telah
menghina tiga orang tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kaipang akan menjadi
terkejut, setidak-tidaknya tentu akan pucat mukanya karena lontaran uang perak
itu saja sudah menunjukkan kehebatan mereka. Akan tetapi, ketiga orang kakek
pengemis itu saling lirik ketika melihat pemuda yang berpakaian mewah itu sama
sekali tidak terkejut, bahkan lalu tersenyum!
"Ahh,
kiranya sam-wi tidak membutuhkan uang perak lagi. Terpaksa kusimpan
kembali!" Setelah berkata demikian, Han Houw menggerakkan tangan kanannya
ke arah tiga keping uang perak yang menancap dan berjajar di atas meja itu,
menjepit tiga keping uang perak itu di antara jari-jari tangannya, mengerahkan
sinkang lantas dengan enak saja dia sudah mencabut keluar tiga uang perak itu
kemudian mengantonginya! Pemuda itu kemudian melanjutkan makan tanpa
mempedulikan lagi kepada mereka!
"Waspadalah,
sute. Di kota raja ini banyak sekali srigala bertopeng domba, dan di depan
restoran ini terlalu banyak lalat hijau! Sungguh menjijikkan!" kata Kim
Hong Liu-nio.
Merahlah
wajah tiga orang kakek itu. Tadi mereka kaget bukan main menyaksikan betapa
anak laki-laki itu sedemikian mudahnya mencabut uang perak dari atas meja.
Maklumlah mereka bahwa anak laki-laki itu lihai sekali. Maka kini mereka tidak
mau berpura-pura lagi, dan yang tertua di antara mereka segera berkata,
"Toanio,
kami mohon sumbangan untuk menyembahyangi arwah dari seorang pengemis she Tio
di kota Huai-lai sebelah utara yang mati beberapa hari yang lalu. Perkabungan
dengan sebatang hio saja masih belum mencukupi!"
Diam-diam
Kim Hong Liu-nio terkejut sekali. Ahh, kiranya pengemis yang dibunuhnya di kota
Huai-lai itu juga merupakan anggota Hwa-i Kaipang? Akan tetapi kenapa
pakaiannya tidak berkembang?
Dia tidak
tahu bahwa Hwa-i Kaipang merupakan perkumpulan pengemis yang amat besar
kekuasaannya sehingga seluruh pengemis, baik yang berkelompok di dalam
perkumpulan lain mau pun yang tidak memasuki perkumpulan, semuanya menganggap
Hwa-i Kaipang sebagai induk perkumpulan yang bisa mereka andalkan untuk membela
kaum pengemis, dan sebaliknya Hwa-i Kaipang juga menganggap seluruh pengemis
dari mana pun juga sebagai 'umat' mereka!
Itulah
sebabnya pada saat pengemis she Tio yang kebetulan berjumpa dengan Kim Hong
Liu-nio di Huai-lai dan dibunuh oleh wanita ini, maka hal itu terdengar oleh
para anggota Hwa-i Kaipang sehingga tiga orang pengemis tokoh Hwa-i Kaipang
tingkat lima itu segera melakukan pengejaran dan pengintaian sampai ke kota
raja.
Kim Hong
Liu-nio segera maklum bahwa tidak mungkin lagi dia dapat menghindarkan diri
dari bentrokan. Akan tetapi dia pun tidak ingin mendapat gangguan, dan tidak
ingin pula mengikat tali permusuhan dengan Hwa-i Kaipang, maka dia mengambil
keputusan untuk menghajar tiga orang kakek pengemis ini tanpa membunuh mereka,
hanya ingin sekedar memperingatkan mereka supaya tidak main-main dengan dia.
Diambilnya
sekeping uang emas dari dalam saku bajunya, karena dia bermaksud hendak
menyumbang sekeping uang emas, sebuah sumbangan yang luar biasa besarnya, untuk
membuat para pengemis puas dan tidak mengganggunya lagi.
"Pengemis
itu sial karena dia memiliki she Tio," katanya. "Akan tetapi jika
kalian hendak berkabung, biarlah aku menyumbang ini!" Dia lalu melemparkan
sekeping uang emas tadi ke arah pengemis tertua.
Pengemis itu
menyambar kepingan uang emas itu dengan tangannya, lalu dipandangnya uang emas
di atas telapak tangannya sambil menyeringai, "He-heh-heh, selembar nyawa
dibeli dengan sekeping uang emas! Betapa murahnya engkau menghargai selembar
jiwa pengemis, toanio. Tidak, tidak cukup!"
Dan pengemis
itu mengepalkan tangan, mengerahkan tenaga lalu mengembalikan uang itu dengan
melemparkannya ke atas meja di hadapan Kim Hong Liu-nio. Terdengar suara
berdencing dan kepingan uang emas itu kini telah menjadi gepeng!
Kim Hong
Liu-nio mengerutkan kedua alisnya. "Tidak cukup? Apa yang kalian
kehendaki, orang-orang yang tamak?" tanyanya, mulai kehilangan
kesabarannya.
"Jiwa
seorang pengemis memang tidak ada harganya, akan tetapi kiranya sangat pantas
untuk ditukar dengan sebatang jari tangan pembunuhnya. Serahkan jari telunjuk
atau jari tengahmu dan kami akan pergi tanpa banyak tingkah lagi."
Tentu saja
Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main. Disambarnya uang emas itu dan dia
berkata, "Sekali bicara tidak biasa menarik kembali, sekali menyerahkan
sumbangan tidak akan diambil kembali. Terimalah sumbangan ini kemudian
pergilah!" Dan wanita itu melontarkan kepingan emas kepada si pengemis tua
yang cepat menyambutnya karena lontaran itu kuat sekali.
"Crottt...!"
"Ihhh...!"
Pengemis tua itu segera menyeringai kesakitan ketika telapak tangannya yang
menyambut kepingan emas itu ditembusi oleh kepingan emas yang kini telah gepeng
itu sehingga menembus ke punggung tangannya! Darah mengalir dari telapak dan
punggung tangan, sedangkan kepingan uang emas itu terjatuh ke atas tanah!
Dapat
dibayangkan betapa nyerinya tangan yang ditembusi benda seperti itu, akan
tetapi pengemis tua itu menahan rasa nyerinya lantas memandang kepada Kim Hong
Liu-nio dengan melotot. Dua orang pengemis yang lainnya menjadi terkejut dan
marah. Mereka lalu menggerakkan tongkat mereka hendak menyerang ke dalam.
Akan tetapi,
Kim Hong Liu-nio yang setelah melontarkan uang emas tadi lalu mengambil tim
ikan emas dan makan ikan itu dengan enaknya, ketika melihat dua orang pengemis
lainnya mulai menggerakkan tongkat, dia telah menoleh dan mulutnya menghardik,
"Tidak lekas pergi?!"
Ketika dia
membentak itu, dari mulutnya yang kecil meluncur beberapa batang duri ikan emas
yang menyambar dengan luar biasa cepatnya ke arah dua orang pengemis yang
sedang menggerakkan tongkatnya itu.
Dua orang
kakek itu kaget bukan main, dan cepat berusaha untuk mengelak. Akan tetapi,
jarak antara mereka dan wanita itu terlalu dekat, dan duri-duri itu merupakan
benda ringan yang bergerak cepat bukan main tanpa suara, maka yang nampak hanya
sinar berkelebat dan tahu-tahu mereka berdua merasakan wajah mereka sakit bukan
main seperti ditusuk jarum, terutama di tepi mata mereka.
Saat mereka
meraba, ternyata bahwa beberapa batang duri ikan telah menancap sampai dalam di
bawah bola mata, di pipi dan di hidung mereka sehingga terasa nyeri dan tidak
dapat dicabut karena sudah masuk semua! Kedua orang kakek itu menggunakan
tangan kiri menutupi mata mereka dan darah mulai menetes keluar dari beberapa
tempat pada wajah mereka yang terkena duri ikan.
Melihat hal
ini, kakek yang tangannya ditembus uang emas itu maklum bahwa wanita itu
terlampau lihai bagi mereka. Sejenak dia memandang tajam, kemudian menghela
napas, memungut uang emas yang menembus lengannya tadi, memasukkannya di dalam
saku, kemudian membalikkan tubuh dan menyentuh tangan seorang temannya dengan
tongkat.
Teman ini
memegang tongkat itu, lalu dia juga menyentuh teman di belakangnya dengan
tongkat. Kakek ke tiga juga memegang tongkat itu dan dengan saling tuntun
karena yang dua orang tidak dapat membuka mata, mereka meninggalkan tempat itu
dengan berjalan terseok-seok seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan
mereka.
Tidak banyak
orang menyaksikan peristiwa aneh dan hebat ini. Akan tetapi, guru silat dan
tiga orang piauwsu yang tadi menyapa kakek-kakek pengemis itu dapat melihat
karena selain kebetulan mereka juga duduk di luar, juga mereka sejak tadi
memperhatikan tiga orang kakek itu dan agaknya mereka adalah orang-orang yang
pandai ilmu silat maka mereka dapat menyaksikan semua itu.
Setelah tiga
orang kakek pengemis itu tak nampak lagi, laki-laki yang berpakaian seperti
guru silat itu cepat bangkit dan menghampiri meja Han Houw dan Kim Hong
Liu-nio. Sute dan suci ini bersiap-siap akan tetapi bersikap tenang-tenang
saja.
"Lihiap,
kepandaian lihiap sungguh sangat tinggi. Akan tetapi sebaiknya lihiap
cepat-cepat meninggalkan tempat ini karena mereka tadi merupakan tokoh-tokoh ke
lima dari Hwa-i Kaipang dan sesudah peristiwa tadi, tentu tokoh-tokoh yang jauh
lebih tinggi tingkatnya akan datang. Jumlah mereka banyak sekali, mereka
berpengaruh besar dan dipimpin oleh orang-orang yang amat pandai, maka bila
lihiap tak segera pergi, tentu akan menghadapi bencana!"
Kim Hong
Liu-nio adalah seorang wanita yang berhati keras, pemberani, dan tidak biasa
dinasehati orang. Mendengar kata-kata orang itu, dia lalu mengangkat muka
memandang. Orang itu terkejut bukan main menyaksikan wajah cantik itu dingin
bukan main dan kedua mata wanita itu seperti ujung dua batang pedang yang
hendak menusuknya, sehingga dia mundur selangkah.
"Kami
datang atau pergi sesuka hati kami, tidak ada setan pun yang boleh memaksa atau
mencegah kami!"
"Ahhh,
maaf...!" Guru silat itu menjadi merah mukanya.
"Kulihat
tadi engkau adalah sahabat-sahabat dari tiga orang kakek pengemis itu, kenapa
sekarang tiba-tiba saja memberi nasehat kepada kami?" tanya Kim Hong
Liu-nio dengan suara yang nadanya menegur atau sebagai alasan akan sikapnya
yang ketus tadi.
"Ah,
lihiap tidak tahu rupanya. Siapakah yang tak akan bersikap bersahabat dengan
para tokoh Hwa-i Kaipang? Tadi menyaksikan kelihaian lihiap, maka saya merasa
khawatir dan lancang bicara, akan tetapi saya telah cukup banyak berbicara dan
maafkan kalau saya lancang menasehati lihiap."
Guru silat
itu lalu menjura dan kembali ke mejanya. Tak lama kemudian empat orang yang
tidak terdengar bicara lagi itu meninggalkan restoran, agaknya mereka berempat
merasa jeri setelah tadi guru silat itu menasehati Kim Hong Liu-nio.
Wanita
cantik ini tak mempedulikan mereka. Wataknya memang aneh dan hatinya keras dan
dingin sekali, karena itu sikap guru silat tadi pun tak membuatnya merasa
menyesal sama sekali. Dia beserta sute-nya melanjutkan makan minum seenaknya
hingga mereka selesai.
"Sute,
kau lihat betapa banyak bahaya di kota raja dan betapa banyaknya orang pandai.
Oleh karena itu, lebih baik kita sekarang juga pergi menghadap ke istana."
"Akan
tetapi, suci, mana bisa... kalau kaisar sedang menderita sakit..."
"Kurasa
malah lebih baik lagi, kita dapat menggunakan alasan untuk menengok. Biar pun
kaisar, tetap saja beliau seorang manusia dan menengok orang yang sedang sakit
adalah perbuatan yang layak, tentu lebih mudah bagi kita untuk memasuki
istana."
Han Houw
tidak membantah lagi dan mereka lalu meninggalkan restoran, berkemas lalu
berangkatlah mereka menuju ke istana kaisar yang tentu saja dapat mudah mereka
cari di kota raja itu.
Gentar juga
rasa hati Kim Hong Liu-nio melihat keagungan dan kemegahan istana yang dikurung
pagar tembok, dijaga ketat oleh pasukan pengawal yang sangat kuat. Dari balik
pintu gerbang sudah nampak bangunan istana yang amat besar, megah dan indah,
yang membayangkan keindahan, keagungan dan kekuasaan besar itu.
Bukan hanya
di pintu gerbang istana itu saja yang penuh dengan pasukan penjaga yang bersenjata
lengkap dan melakukan penjagaan ketat, namun juga nampak berkilauannya senjata
dan pakaian penjaga yang melakukan penjagaan di atas tembok, dan Kim Hong
Liu-nio maklum bahwa makin ke dalam tentu istana itu makin dijaga dengan ketat
oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi.
Oleh karena
itu, hanya orang gila sajalah kiranya yang akan berani memasuki istana itu
tanpa ijin. Betapa pun pandainya seseorang, kiranya tak mungkin akan dapat
menembus penjagaan-penjagaan yang amat ketat itu, apa lagi kalau diingat bahwa
di sebelah dalam lingkungan tembok istana itu tentu terdapat pengawal-pengawal
yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya.
Ketika para
penjaga melihat ada seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung, keduanya
berpakaian mewah serta indah berhenti di pintu gerbang, tentu saja mereka
menaruh perhatian dan sebentar saja suci dan sute itu telah dikurung oleh para
penjaga! Pada waktu dengan sikap tenang dan suara halus Kim Hong Liu-nio
menyatakan bahwa mereka hendak menghadap kaisar, tentu saja para penjaga itu
menjadi curiga sekali dan juga terheran-heran sehingga keinginan itu ditolak
dengan keras.
"Ahhh,
apakah dikira mudah saja hendak pergi menghadap kaisar?" kata kepala
penjaga sambil memandang wajah cantik itu dengan tajam dan penuh selidik.
"Jangankan
selagi sri baginda menderita kaisar sakit dan tak boleh diganggu sama sekali,
sedangkan andai kata beliau sedang sehat sekali pun, tak akan mudah memasuki
istana menghadap beliau begitu saja tanpa tanda-tanda khusus untuk itu."
"Kami
adalah utusan dari utara, dari Sri Baginda Raja Sabutai!" berkata Kim Hong
Liu-nio yang mulai merasa tidak sabar.
Semua
penjaga tertegun. Tentu saja mereka telah mendengar nama Raja Sabutai di utara
yang pernah menggegerkan kota raja dengan penyerbuan-penyerbuannya itu. Akan
tetapi tentu saja mereka pun tidak percaya bahwa raja besar yang ditakuti atau
pernah ditakuti itu mengirim utusan berupa seorang wanita cantik dan seorang
pemuda tanggung!
"Toanio,
tentu saja engkau boleh mengaku utusan dari mana pun, akan tetapi apa
tanda-tandanya dan bagaimana kami bisa tahu bahwa kalian adalah utusan raja?
Apakah kalian memiliki kenalan seorang pembesar di kota raja? Hanya dengan
perantaraan pembesar yang memang mempunyai kekuasaan saja kami dapat
mempercaya."
"Suci,
perlihatkan benda pemberian ibu itu," mendadak Han Houw berkata dalam
bahasa Mongol kepada suci-nya. Dia pun merasa terhina dan tak senang. Katanya
kaisar adalah ayah kandungnya, jadi dia adalah seorang pangeran, namun kini
penjaga-penjaga biasa saja melarangnya untuk memasuki istana ayah kandungnya!
Kim Hong
Liu-nio mengerutkan kedua alisnya. "Harap kalian suka memanggil komandan
pengawal agar kami dapat bicara dengan dia sendiri!"
Pada waktu
itu kaisar sedang sakit, semua penjaga mengalami suasana yang sunyi dan
tertekan karena mereka tidak diperkenankan untuk bergembira seperti biasa.
Suasana ini sangat menegangkan dan mencekam hati, membuat mereka menjadi muram
dan mudah bercuriga.
Akan tetapi
melihat pakaian wanita dan pemuda tanggung itu, mereka menduga bahwa dua orang
ini tentu bukan orang kang-ouw yang hendak menyelundup sebagai mata-mata atau
hendak melakukan sesuatu yang tak baik terhadap kaisar. Betapa pun juga, mereka
tidak kehilangan kewaspadaan dan setelah sekarang wanita cantik itu minta
dihadapkan kepada komandan, salah seorang di antara mereka segera lari ke
sebelah dalam untuk melaporkan kepada komandan jaga yang berada di dalam
kantor.
Komandan
jaga itu adalah seorang perwira gemuk pendek dan amat galak, akan tetapi di
samping kegalakannya ini, dia juga mempunyai watak mata keranjang. Ketika
mendengar laporan bahwa ada seorang wanita cantik yang minta untuk menghadap
kaisar, maka dia langsung menghampiri cermin, mengurut kumisnya lalu
membereskan pakaiannya, baru kemudian bergegas keluar menuju ke pintu gerbang
di mana dua orang tamu itu masih dikepung oleh anak buahnya.
Cuping
hidung perwira gemuk itu kembang-kempis ketika dia melihat bahwa wanita yang
datang dan hendak bertemu dengan dia benar-benar adalah seorang wanita yang
cantik manis sekali! Dia menyeringai, kemudian dengan suaranya yang sudah biasa
menghardik dan membentak bawahannya dia berkata,
"Minggir
semua! Biarlah aku memeriksanya!"
Para anak
buah pasukan penjaga lalu minggir dan mundur menjauh. Perwira gendut itu
menghampiri Kim Hong Liu-nio, matanya yang berminyak itu mengamati wajah wanita
itu, kemudian sinar matanya meraba-raba dari atas ke bawah seperti hendak
menggerayangi wajah dan tubuh yang padat di balik pakaian yang mewah itu.
Menyaksikan
sikap ini saja, diam-diam Kim Hong Liu-nio telah merasa mendongkol bukan main.
Akan tetapi dia segera maklum bahwa di tempat ini dia harus sanggup menahan
kesabarannya dan tidak boleh menimbulkan keributan. Maka dia segera berkata,
"Ciangkun, kami berdua adalah utusan dari utara, dari Raja Sabutai untuk
menghadap sri baginda kaisar."
Perwira itu
agaknya baru sadar bahwa wanita itu baru saja mengajak dia bicara. Tadi dia
memandang seperti orang terpesona karena memang dia tertarik sekali oleh
kecantikan wanita itu.
"Apa?
Ahh, menghadap sri baginda kaisar? Mana bisa, beliau sedang sakit dan..."
"Justru
karena mendengar beliau sedang sakit maka Sri Baginda Raja Sabutai mengutus
kami untuk menengok dan melihat keadaan sri baginda kaisar," jawab Kim
Hong Liu-nio cepat-cepat.
Perwira itu
berpikir sejenak, lalu dia berkata, "Hal ini tidak dapat dilakukan secara
begitu mudah dan sembarangan. Akan saya laporkan dulu ke dalam, kepada kepala
pengawal dan sementara itu kalian harus menunggu di dalam kantorku untuk
pemeriksaan. Kalian harus diperiksa."
"Diperiksa?"
Kim Hong Liu-nio bertanya.
"Ya,
diperiksa kalau-kalau kalian membawa senjata. Aku sendiri yang harus memeriksa,
karena setiap orang yang ingin memasuki istana tanpa ada surat ijin atau surat
perintah resmi, harus dicurigai dan diperiksa."
"Akan
tetapi, aku tidak membawa senjata dan dia ini... tentu saja dia membawa pedang
karena dia adalah seorang pangeran, dia putera Sri Baginda Raja Sabutai!"
Agaknya
perwira itu tidak percaya dengan keterangan ini, akan tetapi karena pikirannya
sudah membayangkan betapa dia akan 'memeriksa' atau menggeledah tubuh wanita
ini untuk mencari senjata, padahal tentu saja maksudnya supaya memperoleh kesempatan
untuk menggerayangi tubuhnya dengan kedua tangannya dan kalau mungkin, siapa
tahu, membujuk wanita itu agar suka melayaninya di kamar kantornya, maka dia
tidak begitu menaruh perhatian.
"Pangeran
atau bukan, harus diperiksa dulu. Marilah, nona, mari ikut bersamaku ke dalam
kantorku untuk digeledah, baru aku akan melaporkan ke dalam untuk melihat
keputusan apakah kalian bisa diperkenankan masuk ataukah tidak." Sambil
berkata demikian, tanpa ragu-ragu lagi perwira itu lalu mengulurkan tangan
hendak menggandeng tangan yang kecil halus berkulit putih itu.
Akan tetapi
dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang selama
hidupnya belum pernah bermesraan dengan pria, belum pernah disentuh oleh pria,
maka melihat dia mengulurkan tangan hendak menggandeng, hampir saja tangannya
bergerak membunuh perwira itu dengan sekali pukul. Untung bahwa dia masih
teringat dan cepat dia menarik tangannya sehingga pegangan perwita itu luput
dan Kim Hong Liu-nio cepat melangkah mundur sambil mengerutkan alisnya.
"Ciangkun,
kami adalah orang-orang terhormat yang tidak selayaknya digeledah. Kalau memang
engkau hendak melaporkan keadaan kami ke dalam istana, silakan, kami akan
menunggu di sini!" kata Kim Hong Liu-nio dengan suara tegas.
"Hemm,
tidak bisa! Kalian harus kugeledah. Mari, kalian ikutlah aku memasuki
kantorku."
Melihat
sikap keras ini, Kim Hong Liu-nio menjadi semakin marah. "Kalau kami tidak
sudi digeledah?"
"Hemm,
kalau begitu kalian harus ditahan!"
"Bagus!
Dengan tuduhan apa pula?"
"Tuduhan
bahwa kalian mungkin sekali mata-mata musuh!"
Hampir saja
Kini Hong Liu-nio tidak dapat menahan lagi kesabarannya, akan tetapi pada saat
itu pula muncul seorang laki-laki berpakaian panglima yang datang dari dalam
istana dengan langkah kaki tergesa-gesa. Panglima ini adalah seorang laki-laki
berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian sebagai panglima yang gagah,
sikapnya gagah dan berwajah jantan. Kedua matanya yang lebar itu berpandangan
tajam dan jujur, tubuhnya tinggi besar tegap dan kelihatan jelas bahwa dia
memiliki tenaga yang besar. Seorang panglima yang benar-benar gagah perkasa,
perutnya kecil, dadanya bidang, tidak seperti kebanyakan panglima yang perutnya
besar-besar.
Semua orang,
juga termasuk perwira pendek gemuk, cepat bersiap dan memberi hormat kepada
panglima yang baru keluar ini. Panglima itu membalas penghormatan mereka dan
ketika dia melihat wanita cantik berpakaian indah dan seorang pemuda tanggung
berdiri di situ, dia lantas tercengang. Apa lagi ketika dia menatap wajah Han
Houw, dia kelihatan terkejut dan cepat dia bertanya, "Apakah yang terjadi
di sini? Siapakah adanya nona dan orang muda ini?"
Si perwira
tadi cepat-cepat menjawab, "Mereka ini adalah orang-orang mencurigakan
yang katanya hendak mohon menghadap sri baginda kaisar."
Panglima itu
kelihatan kaget dan sekarang kembali dia memandang dua orang itu penuh
perhatian, sambil dia bertanya kepada perwira gendut. "Dan kau sudah
melaporkannya ke kantor pengawal di dalam?"
"Be...
belum..."
"Kenapa
belum?!" panglima itu menghardik.
"Karena...
karena... saya curiga dan hendak menggeledah mereka dulu..."
Panglima itu
tampak marah. Dia pernah mendengar dan sudah tahu praktek-praktek kotor yang
dilaksanakan oleh para penjaga pintu gerbang, gangguan-gangguan terhadap wanita
cantik, uang-uang sogokan bagi mereka yang ingin masuk, dan sebagainya. Akan
tetapi sebelum dia memperlihatkan kemarahannya kepada perwira gendut itu, Kim
Hong Liu-nio yang melihat sikap panglima ini segera melangkah maju.
"Ciangkun,
kami berdua datang dari utara, saya adalah utusan dari Sri Baginda
Sabutai..."
"Ahhh...!"
Panglima itu terkejut sekali.
"Dan
dia ini adalah pangeran dari kerajaan kami."
Makin
kagetlah panglima itu dan cepat dia menjura. "Maafkan kami dan maafkan
sikap para penjaga kami," dia mengerling penuh kemarahan kepada perwira
gendut yang cepat melangkah mundur dengan sikap jeri. "Akan tetapi,
hendaknya nona dapat memahami peraturan kami bahwa yang hendak memasuki istana
harus memiliki tanda pengenal diri yang sah. Nona sebagai utusan tentu saja
membawa tanda kuasa atau surat perintah dari Raja Sabutai sebagai utusan
beliau."
"Ciangkun,
kami berdua hanya membawa ini, yang memberikan adalah sang permaisuri dari
kerajaan kami sendiri."
Kim Hong
Liu-nio mengeluarkan kotak kecil dan membuka tutupnya dengan sikap hormat.
Ketika panglima itu melihat sebuah kalung di dalamnya serta sesampul surat, dia
makin terkejut. Tentu saja dia mengenal benda pusaka kerajaan itu, kalung
kaisar yang tak ada ke duanya! Dan pembawa atau pemegang benda pusaka ini
berarti sudah mendapatkan kekuasaan dari sri baginda kaisar sendiri!
Maka dia
cepat-cepat memberi hormat, kemudian untuk kedua kalinya dia melirik penuh
kemarahan kepada perwira gendut yang menjadi pucat mukanya.
"Saya
panglima pengawal Lee Siang menghaturkan selamat datang dan memohon maaf
sebesarnya atas penyambutan yang tidak layak ini karena kami tidak tahu
sebelumnya akan kedatangan paduka. Silakan masuk bersama saya untuk melapor
kepada pengawal dalam istana."
Kim Hong
Liu-nio tersenyum dan Ceng Han Houw juga bernapas lega. Dengan muka manis
wanita itu menghaturkan terima kasih kepada panglima yang gagah itu, kemudian
bersama sute-nya dia melangkah masuk diiringkan oleh panglima itu.
Panglima itu
bukan orang sembarangan, melainkan seorang kepercayaan kaisar karena dia
bersama kakaknya yang bernama Lee Cin, semenjak muda sudah menjadi panglima
pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas). Dalam usia empat puluh tahun
itu, Panglima Lee Siang telah menjadi duda, kematian isterinya tanpa
meninggalkan seorang pun anak keturunan. Dan biar pun isterinya telah meninggal
lima tahun yang lalu, sampai sekarang dia belum juga mau beristeri lagi.
Kim Hong
Liu-nio melihat betapa penjagaan amat ketat, makin ke dalam istana, semakin
hebat dan kuatlah penjagaannya sehingga sepasukan besar musuh pun tentu akan
sukar menembus istana yang dijaga kuat ini. Dia tidak tahu bahwa hal ini
berbeda dari biasanya.
Dia tidak
tahu pula bahwa di dalam istana terjadi ketegangan-ketegangan, bukan hanya
karena kaisar menderita penyakit yang cukup berat, akan tetapi terutama sekali
karena adanya desas-desus bahwa akan timbul pemberontakan di dalam istana!
Karena itulah, maka para panglima pengawal, juga termasuk Lee Siang dan
kakaknya, Lee Cin, selalu kelihatan sibuk mengatur penjagaan untuk mencegah
terlaksananya desas-desus tentang pemberotakan itu.
Panglima Lee
Siang mengajak mereka berhenti sebentar di ruangan dalam yang luas, di mana
berkumpul beberapa orang berpakaian panglima yang sudah berusia tua, dan ada
pula yang berpakaian sebagai pembesar sipil. Akan tetapi semuanya menunjukkan
bahwa mereka itu adalah pembesar-pembesar tinggi.
Kim Hong
Liu-nio dan Han Houw hanya berdiri di tempat agak jauh ketika mereka melihat
betapa Panglima Lee Siang bercakap-cakap lirih dengan mereka itu,
memperlihatkan isi kotak kecil dan mereka itu pun kelihatan terkejut dan
tegang. Mereka semua memandang kepada Han Houw dan akhirnya Panglima Lee Siang
mengajak mereka berdua untuk melanjutkan lagi perjalanan melewati lorong-lorong
dan ruangan-ruangan indah, agaknya telah memperoleh persetujuan para pembesar
itu.
Ceng Han
Houw menjadi kagum bukan main melihat kemewahan dan keindahan di dalam istana
ini. Bukan main besarnya istana itu, dan di setiap ruangan terdapat
perabot-perabot ruangan yang sangat indah dan megah. Pada setiap ruangan atau
lorong tentu terdapat pengawal-pengawal yang berjaga dengan berdiri tegak dan
sikap waspada, dan di sana sini terdapat pula dayang-dayang istana yang
cantik-cantik, sutera-sutera beraneka warna bergantungan di mana-mana dan tak
nampak sedikit pun debu di dalam ruangan-ruangan itu.
Akhirnya
tibalah mereka di depan sebuah kamar besar dan kembali di depan kamar ini
terdapat sepasukan pengawal yang sangat gagah karena pakaian mereka semua
terdiri dari baju bersulam benang emas. Inilah pasukan Kim-i-wi yang sangat
terkenal, pasukan pengawal pribadi kaisar yang terdiri dari orang-orang yang
gagah perkasa.
Pada saat
melihat dua orang ini dikawal oleh panglima mereka sendiri, para pengawal itu
cepat memberi hormat dan memberi jalan. Dua orang dayang cantik membukakan
pintu dan Panglima Lee mengawal dua orang tamu itu memasuki kamar.
Kamar itu
indah sekali dan sangat luas. Kaisar nampak rebah terlentang dengan bantal
tinggi mengganjal kepala dan punggungnya, wajahnya pucat akan tetapi sikapnya
tenang. Banyak orang berlutut di atas lantai menghadap ke pembaringan sri
baginda, terdapat beberapa orang laki-laki tua berpakaian sipil, ada juga yang
berpakaian panglima, dan ada pula seorang laki-laki muda berpakaian mewah.
Pemuda ini
adalah Pangeran Ceng Su Liat, salah seorang di antara pangeran-pangeran yang
ada di kerajaan itu. Juga di dalam kamar besar ini ada sembilan orang pengawal
yang selalu memegang tombak di tangan, siap untuk melindungi kaisar bila mana
terjadi sesuatu. Dayang-dayang cantik dan muda berkumpul di sudut, siap
melaksanakan segala perintah kaisar.
Suasana
dalam ruangan itu sunyi dan agaknya semua orang tidak berani bergerak karena
kaisar sedang beristirahat. Akan tetapi kaisar tidak tidur karena ketika
melihat masuknya Kim Hong Liu-nio bersama Ceng Han Houw yang dikawal oleh
Panglima Lee Siang, sri baginda kaisar mengangkat muka memandang.
Begitu
memasuki pintu, Lee Siang langsung mengajak dua orang itu berlutut, kemudian
menggeser kaki mendekat ke pembaringan. Akan tetapi sejak tadi, perhatian
kaisar telah tercurah kepada Han Houw yang beberapa kali mengangkat muka dan
memandang, akan tetapi begitu bertemu dengan pandangan kaisar, dia segera
menunduk kembali. Keadaan yang sangat angker di dalam kamar itu membuat jantung
berdebar tegang juga. Segala sesuatu di dalam kamar itu penuh wibawa yang
menakutkan!
"Mohon
beribu ampun dari paduka sri baginda kaisar atas kelancangan hamba mengawal
masuk dua orang utusan dari Sri Baginda Sabutai yang mohon menghadap,"
Panglima Lee Siang berkata dengan suara halus agar tidak mengejutkan kaisar.
Akan tetapi
kaisar yang semenjak tadi memperhatikan Han Houw, menjadi tertarik sekali
mendengar disebutnya nama Sabutai, dan kaisar segera miringkan tubuhnya
menghadapi Han Houw yang masih berlutut.
"Utusan
Sabutai...?"
Kim Hong
Liu-nio cepat memberi hormat lalu mengeluarkan kotak itu, mengangkatnya tinggi
di atas kepala sambil berkata dengan kepala menunduk. "Hamba Kim Hong
Liu-nio diutus oleh yang mulia Permasuri Khamila agar menghaturkan isi kotak
ini kepada paduka yang mulia sri baginda kaisar!"
"Kha...
Khamila...?" Kaisar terbelalak dan wajahnya berseri sejenak, lalu dia
mengangguk kepada panglima pengawal lain yang sudah berusia enam puluh tahun
dan yang berlutut di dekat pembaringan.
Panglima ini
adalah panglima pengawal Lee Cin yang setia. Panglima ini lalu melangkah
menghampiri Kim Hong Liu-nio, menerima kotak itu lantas membukanya untuk
meneliti bahwa isinya tidak mengandung sesuatu yang membahayakan kaisar.
Sesudah melihat bahwa kalung dan sampul surat itu tidak mengadung sesuatu dan
yang mencurigakan, dia baru menyerahkan kotak yang sudah dibukanya itu kepada
kaisar. Kaisar mengambil kalung dan sampul surat itu.
Kaisar Ceng
Tung yang oleh dua orang dayang dibantu duduk sambil bersandar dengan bantal
pada punggungnya, sejenak memandang kalung itu. Wajahnya termenung karena
memang kaisar ini terkenang akan Khamila, permaisuri Sabutai yang menjadi
kekasihnya, wanita yang sesungguhnya berkenan merampas hatinya dan amat
dicintanya. Dia teringat bahwa dia telah memberikan kalung itu kepada Khamila
pada waktu mereka harus saling berpisah.
Dibelainya
kalung itu di antara jari-jemari tangannya, kalung yang dia percaya selama ini
tentu telah tergantung di leher yang panjang, berkulit putih halus dan amat
dikenalnya itu. Kemudian kaisar teringat bahwa dia tidak berada seorang diri di
dalam kamar itu, maka kalung itu pun digenggamnya erat-erat dan dia lalu
membuka sampul surat dan dibacanya huruf-huruf tulisan Khamila!
Sri Baginda
Kaisar Ceng Tung pujaan hamba!
Perkenankanlah
hamba untuk memperkenalkan anak Ceng Han Houw kepada paduka, dan sudilah paduka
memberkahi anak yang haus akan doa restu serta kasih sayang ayahandanya itu.
Hamba yang
rendah, Khamila
Kaisar Ceng
Tung memejamkan matanya dan surat itu terlepas dari jari-jari tangannya,
melayang turun ke atas dadanya. Untuk sejenak terbayang wajah yang cantik
jelita dan lembut, terngiang-ngiang di telinganya suara yang merdu halus itu.
Kemudian dia kembali membuka mata dan menoleh. Sepasang mata kaisar itu agak
basah saat dia memandang kepada Han Houw.
"Namamu
Han Houw...?" tanyanya.
Ceng Han
Houw terkejut, cepat dia memberi hormat sampai dahinya membentur lantai.
"Kau
angkat mukamu dan pandang padaku!" kata kaisar dengan halus.
Han Houw
mengangkat mukanya memandang dan dia melihat wajah seorang yang amat tampan dan
pucat, yang memandang kepadanya dengan penuh perasaan haru.
"Majulah
ke sini!" perintah kaisar.
Ceng Han
Houw merasa takut, akan tetapi dari belakangnya, suci-nya segera berbisik,
"Majulah...!"
Dia lalu
menggeser kakinya maju menghampiri pembaringan. Kaisar lalu menggerakkan
tangannya, menyentuh kepala anak laki-laki yang usianya sudah hampir dewasa
itu, lalu dia mengambil kalung pusaka kerajaan itu dan mengalungkan ke leher
Han Houw. Semua orang terkejut melihat ini, karena kalung itu adalah benda yang
biasanya hanya dipakai oleh para pangeran sebagai tanda bahwa dia adalah
keturunan darah keluarga kaisar!
"Ketahuilah
kalian semua yang hadir di sini. Ini adalah Ceng Han Houw, Pangeran Ceng Han
Houw, seorang puteraku! Ibunya adalah puteri yang mulia dari utara, hendaknya
dia diperlakukan sebagai seorang pangeran, sebagai puteraku!"
Semua orang
menyatakan setuju dan memberi hormat dengan berlutut. Pada waktu itu, dari
pintu muncul pula seorang pemuda dan ketika Kim Hong Liu-nio menoleh, dia
terkejut bukan kepalang. Pemuda yang baru muncul ini bagaikan pinang dibelah
dua saja apa bila dibandingkan dengan sute-nya. Wajah mereka begitu mirip!
"Pangeran
mahkota datang menghadap sri baginda!" seorang dayang memberi tahukan
dengan suara halus.
Kaisar
mengangkat muka dan Panglima Lee Siang lalu menarik tangan Han Houw agar mundur
dan bersama Kim Hong Liu-nio berlutut di pinggir untuk memberi jalan kepada
pangeran mahkota yang baru tiba. Pangeran muda ini bukan lain adalah Pangeran
Ceng Hwa, yaitu pangeran yang telah dipilih untuk menjadi pangeran mahkota,
calon pengganti kaisar! Tentu saja semua orang menghormat calon kaisar ini.
Dengan sikap
tenang Pangeran Ceng Hwa melangkah maju menghampiri pembaringan ayahnya setelah
dia melempar kerling ke kanan kiri dan tersenyum kepada semua orang yang amat
dikenalnya dengan baik sebagai orang-orang yang dekat dengan ayahnya itu. Hanya
dia agak heran ketika melihat Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, akan tetapi dia
tidak menyatakan keheranannya dan langsung menghampiri pembaringan ayahnya,
lalu duduk di tepi pembaringan.
"Semoga
Thian senantiasa memberkahi ayahanda kaisar dengan kebahagiaan dan usia panjang
hingga selaksa tahun," kata pangeran itu dengan ucapan yang
sungguh-sungguh dan penuh hormat, ucapan yang menjadi kebiasaan atau kesopanan
di dalam istana.
Kaisar
tersenyum mendengar kata-kata ini dan dengan tangannya dia menyentuh pundak
puteranya yang disayangnya itu seolah-olah menjadi pengganti rasa terima
kasihnya.
"Bagaimanakah
keadaan paduka? Semoga sudah lebih baik," kata sang pangeran.
"Aku
gembira hari ini!" sang kaisar berkata. "Lihat, dia itu adalah
saudaramu! Dia adalah Ceng Han Houw, ibunya adalah seorang puteri di
utara!"
Ceng Hwa
bangkit berdiri dan memandang. Pada saat itu, Han Houw juga mengangkat muka
memandang sehingga kini semua orang dapat melihat betapa miripnya dua orang
pangeran ini! Agaknya sri baginda sendiri melihat kemiripan ini, maka dia
tersenyum lebar dan berseru dengan girang,
"Betapa
miripnya kalian! Ahhh... sungguh mirip seperti kembar...!" Agaknya
kegembiraan itu sedemikian besarnya sehingga tidak dapat tertahan oleh jantung
yang telah lemah itu. Sri baginda kaisar terguling dan dari keadaan duduk itu
dia terguling.
Cepat
Pangeran Mahkota Ceng Hwa merangkul ayahnya dan pada saat itu pula terjadilah
hal-hal luar biasa yang mengejutkan semua orang. Pada saat kaisar terguling dan
dipeluk oleh Pangeran Ceng Hwa itu, melompatlah seorang yang berpakaian
panglima, berusia lima puluh tahun, dengan muka penuh brewok. Panglima itu
berseru, "Sekarang...!"
Dan dengan
pedang yang sudah dicabutnya dia segera menubruk ke depan, menyerang Pangeran
Mahkota Ceng Hwa dengan tusukan pedangnya dari belakang! Semua orang
terperanjat dan saking kagetnya sampai tidak mampu berbuat sesuatu. Akan tetapi
pada saat itu, Ceng Han Houw sudah berteriak nyaring dan tubuhnya langsung
mencelat ke depan, menerjang kepada panglima yang menyerang pangeran mahkota
itu!
Dengan
tangkisan nekat, Han Houw mengejutkan panglima tua itu sehingga pedangnya
menyeleweng dan melukai lengan kiri Han Houw lalu terus meluncur dan melukai
pundak kanan pangeran mahkota! Dan pada saat itu pula, Kim Hong Liu-nio telah
bergerak dan nampaklah sinar merah meluncur dan menyerang panglima itu ketika
dia menggerakkan sabuk merahnya!
Pada saat
itu pula tujuh di antara sembilan orang pengawal pribadi kaisar telah bergerak,
tombak mereka berkelebatan dan mereka mulai menyerang ke arah pangeran mahkota
dan kaisar yang masih berpelukan di atas pembaringan!
Akan tetapi
Han Houw sudah menerjang dan menyambut mereka dengan pedangnya dan pemuda cilik
ini mengamuk dengan hebatnya, sedangkan di fihak lain Kim Hong Liu-nio sudah
mendesak sang panglima pemberontak dengan sabuk merahnya.
Barulah para
panglima beserta pembesar yang berada di sana menjadi geger dan sadar bahwa
telah terjadi pemberontakan. Ternyata pemberontakan yang didesas-desuskan itu,
yang kemudian hendak dicegah dengan penjagaan ketat, tidak datang dari luar,
melainkan dari dalam, bahkan komplotan pemberontak itu telah berkumpul di dalam
kamar kaisar!
Panglima Lee
Cin dan Lee Siang cepat bergerak pula membantu Han Houw menghadapi tujuh orang
pengawal pemberontak. Dengan adanya Kim Hong Liu-nio di situ, bersama juga Han
Houw yang biar pun lengan kirinya sudah terluka namun masih mengamuk dan
sebentar saja dia sudah merobohkan dua orang pengawal pemberontak, maka
akhirnya pemberontak itu dapat dihancurkan sebelum menjalar keluar.
Dengan sabuk
suteranya, Kim Hong Liu-nio berhasil menotok leher dan sepasang lengan panglima
pemberontak sehingga panglima itu roboh pingsan sedangkan Han Houw yang dibantu
oleh dua orang Panglima Lee telah dapat menewaskan tujuh orang pengawal itu.
"Jangan
bunuh panglima khianat itu!" kata Panglima Lee Siang kepada Kim Hong
Liu-nio maka wanita ini pun tidak bergerak untuk membunuhnya.
Dia tahu
bahwa tentu panglima pemberontak ini akan dipaksa mengaku siapa penggerak
pemberontakan. Akan tetapi, mendadak terdengar jerit mengerikan dan orang muda
yang sejak tadi sudah berada di situ, yaitu Pangeran Ceng Su Kiat, sudah roboh
dengan dada tertusuk pedang pendek yang dipegang oleh tangan kanannya. Kiranya
pangeran ini telah membunuh diri di situ setelah melihat betapa usaha
pemberontakan itu gagal!
Semua mayat
dan panglima yang tertawan itu sudah dibawa keluar dengan cepat, lantas tempat
itu dibersihkan. Akan tetapi sri baginda kaisar minta dipindahkan ke kamar
lain, mengajak pangeran mahkota yang sudah diobati pundaknya, Han Houw yang
juga telah dibalut lengannya, dan ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, Panglima
Lee Siang beserta para panglima lain.
Di dalam
kamar ini sri baginda kaisar dan pangeran mahkota menyatakan kekaguman dan
terima kasih mereka kepada Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio, karena harus
diakui bahwa kalau tadi tidak ada mereka, keadaan pangeran dan kaisar sungguh
bisa terancam bahaya maut. Apa lagi Pangeran Ceng Hwa, dia tahu betul bahwa
serangan tiba-tiba dari panglima tadi tentu akan menewaskannya kalau di sana
tidak ada Han Houw yang cepat menangkis dengan mengorbankan lengannya sendiri
sehingga terluka itu.
Panglima
pemberontak yang tentu saja dijatuhi hukuman mati itu, sebelum tewas sudah
mengakui bahwa pemberontakan itu diatur oleh Pangeran Ceng Su Liat.
Sesungguhnya bukan merupakan pemberontakan umum yang besar-besaran, namun hanya
merupakan niat untuk membunuh pangeran mahkota supaya Pangeran Ceng Su Liat
memperoleh kesempatan untuk menggantikan pangeran mahkota kalau pangeran ini
tewas.
Maka tadi
ketika melihat sri baginda kaisar terguling karena serangan jantung, panglima
pengkhianat itu menyangka bahwa sri baginda telah meninggal dunia, maka dia
melihat kesempatan bagus sekali untuk turun tangan, sesuai dengan perintah
Pangeran Ceng Su Liat yang menjanjikan pengampunan bahkan kedudukan tinggi apa
bila usaha itu berhasil!
Tentu saja
Ceng Han Houw serta Kim Hong Liu-nio menjadi orang-orang yang berjasa besar di
dalam istana kaisar! Mereka menjadi orang-orang terhormat yang dikagumi, dan
karena Ceng Han Houw sudah diumumkan oleh kaisar sendiri sebagai pangeran, maka
tentu saja di mana-mana dia diterima dengan terhormat.
Ada pun Kim
Hong Liu-nio yang dikenal sebagai pengasuh sekaligus pengawalnya, juga dikagumi
orang karena di samping cantik jelita dan bersikap agung pendiam, juga semua
orang kagum bahwa wanita cantik ini mampu menundukkan seorang yang telah
demikian terkenal sebagai seorang panglima yang pandai ilmu silat seperti
Panglima Boan yang membantu pemberontakan atau pengkhianatan Pangeran Ceng Su
Liat itu.
Akan tetapi,
peristiwa di dalam kamar kaisar itu membuat penyakit yang diderita kaisar
menjadi makin berat. Perbuatan puteranya sendiri yang hampir saja membunuh
pangeran mahkota dan dia sendiri, mendatangkan kedukaan yang sangat hebat
sehingga sesudah menderita serangan jantung berkali-kali, akhirnya sebulan
kemudian Kaisar Ceng Tung meninggal dunia!
Seluruh
istana berkabung, bahkan seluruh rakyat diharuskan untuk berkabung. Sesudah
ikut hadir dalam pemakaman kaisar dan turut pula berkabung, Han Houw yang merasa
kehilangan ayah kandungnya kemudian merasa bahwa tidak ada perlunya lagi
baginya untuk lebih lama tinggal di istana Kerajaan Beng.
Juga
suci-nya membujuk kepadanya untuk segera berpamit dan kembali ke utara, karena
suci-nya selalu merasa tidak enak hati bila teringat akan ancaman orang-orang
kang-ouw kepadanya, seperti yang telah terjadi sebelum mereka memasuki istana,
yaitu pada saat mereka bertemu dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang.
Han Houw
lalu menghadap Pangeran Ceng Hwa untuk mohon diri pulang ke utara. akan tetapi
Pangeran Ceng Hwa menahannya. Pangeran ini merasa suka sekali kepada Han Houw,
yang biar pun hanya seorang pangeran kelahiran utara, di daerah setengah liar
itu, tapi ternyata tak mengecewakan menjadi seorang Pangeran Beng, karena
selain pandai ilmu silat, juga pangeran muda ini cukup luas pengetahuannya yang
didapatkannya dari kitab-kitab yang dia pelajari di utara. Pangeran Ceng Hwa
menahan Han Houw agar suka tinggal di kota raja hingga hari penobatannya
sebagai kaisar pengganti ayah mereka yang telah meninggal dunia.
"Sebaiknya
biar Kim Hong Liu-nio kembali lebih dulu ke utara untuk memberi laporan dan
menyampaikan undangan kami kepada Raja Sabutal untuk menghadiri hari penobatan
kami sebagai kaisar." demikian Pangeran Ceng Hwa berkata.
Akhirnya
diputuskan bahwa Kim Hong Liu-nio akan kembali dulu ke utara dan Ceng Han Houw
untuk sementara tinggal di istana. Kim Hong Liu-nio tidak merasa keberatan
karena keamanan sute-nya itu tentu saja akan terjamin selama berada di dalam
istana Kerajaan Beng. Maka berpamitlah dia dan berangkatlah wanita perkasa yang
cantik jelita itu keluar dari istana, di mana dia telah hidup terhormat sampai
lebih dari satu bulan lamanya.
Kita
tinggalkan dulu keadaan Ceng Han Houw yang masih tinggal di istana, dan Kim
Hong Liu-nio yang melakukan perjalanan kembali ke utara, dan mari kita menengok
keadaan Sin Liong untuk memperlancar jalannya cerita.
Seperti kita
ketahui, Sin Liong kini tinggal di rumah Na-piauwsu, yaitu Na Ceng Han yang
gagah perkasa dan ramah sekali itu. Pada waktu itu, tanpa terasa lagi, Sin
Liong sudah hampir satu tahun tinggal di dalam rumah keluarga Na. Setiap hari
dia berlatih ilmu silat dari Na Ceng Han, bersama-sama dengan Na Tiong Pek dan
Bhe Bi Cu. Dia bersahabat akrab sekali dengan dua orang yang disebut sumoi dan
suheng itu. Usia Sin Liong kini sudah empat belas tahun, sebaya dengan Tiong
Pek, sedangkan Bi Cu telah berusia dua belas tahun.
Bi Cu memang
manis sekali. Biar pun usianya baru dua belas tahun, namun jelas nampak sudah
bahwa dia merupakan seorang dara yang sangat manis. Dan Sin Liong juga dapat
melihat betapa Tiong Pek selalu bersikap manis kepada Bi Cu, agak berlebihan
malah, membuktikan bahwa pemuda tanggung itu agaknya amat menyukai dan mencinta
sumoi mereka! Bahkan kadang kala nampak Tiong Pek bermanis-manis muka, membujuk
rayu, sehingga kalau melihat hal ini, Sin Liong cepat menjauhkan diri karena
dia merasa malu sendiri.
Diakuinya
bahwa Tiong Pek amat ramah dan baik, akan tetapi dia melihat bahwa sikap Tiong
Pek kepada Bi Cu agaknya terlalu mendesak dan selalu mencoba untuk mengambil
hati anak perempuan itu. Dan dia melihat betapa Bi Cu selalu bersikap hormat
dan manis kepada Tiong Pek, bahkan demikianlah sikap Bi Cu kepada seisi rumah
keluarga Na. Hal ini dapat dimengerti oleh Sin Liong karena tentu dara kecil
itu merasa betapa dia adalah seorang yang menumpang hidup di dalam rumah
keluarga Na!
Diam-diam
Sin Liong merasa kasihan kepada anak perempuan ini karena merasa betapa mereka
berdua mempunyai nasib yang hampir mirip. Memang benar bahwa dia tidak seperti
Bi Cu, hanya ditinggal mati ibu dan masih mempunyai seorang ayah, akan tetapi
dia tidak tahu di mana ayahnya berada dan selamanya belum pernah bertemu dengan
ayahnya, sehingga dibandingkan dengan Bi Cu yang kematian ayahnya, agaknya
tidaklah begitu banyak bedanya.
Pada suatu
hari, Sin Liong yang sudah selesai melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah
itu, ingin sekali berlatih silat dan dia lalu mencari-cari dua orang suheng dan
sumoi-nya itu. Rumah itu nampak kosong karena keluarga wanita sibuk di
belakang, di dapur, ada pun Na-piauwsu sedang pergi ke luar kota untuk mengawal
sendiri barang kiriman yang penting. Maka rumah itu kelihatan sunyi.
Sin Liong
merasa heran kenapa suheng dan sumoi-nya itu tidak nampak. Padahal, tadi mereka
masih kelihatan di ruangan depan. Dia tidak berani memanggil-manggil, karena
takut menimbulkan bising dan mengganggu seorang bibi keluarga yang tidur di
kamarnya karena bibi tua ini sedang tidak enak badan. Maka dia terus mencari
dan akhirnya dia pergi mencari ke kamar Bi Cu.
Ketika dia
tiba di luar kamar itu, dia mendengar sesuatu di dalam kamar. Dia mendekati
pintu kamar dan mendengarkan.
"Jangan...
suheng...," terdengar Bi Cu berkata lirih sambil menahan tangis.
"Sumoi,
mengapa engkau tidak mau bersikap manis kepadaku? Kurang baik apakah aku
kepadamu? Kurang banyakkah budi yang dilimpahkan oleh kami sekeluarga
kepadamu?"
Terdengar Bi
Cu terisak. "Aku berterima kasih... uh-uhhh... aku berterima kasih kepada
kalian... tapi... tapi..."
"Aku
tak akan mengganggumu, aku tak ingin menyakitimu, aku hanya ingin engkau tahu
bahwa aku suka sekali kepadamu, sumoi..."
Sin Liong
tidak dapat menahan lagi ketegangan hatinya dan dia mendorong pintu kamar itu
dengan keras. Dia melihat Tiong Pek sedang memegangi kedua tangan Bi Cu dan
hendak memaksa untuk merangkul dara cilik itu, sedangkan Bi Cu terlihat menolak
halus. Mereka bersitegang sampai Bi Cu jatuh berlutut di atas lantai dan Tiong
Pek berusaha untuk mendekatkan mukanya, untuk mencium wajah yang manis akan
tetapi agak pucat ketakutan itu.
"Tiong
Pek!" Sin Liong membentak dan mencengkeram baju pundak Tiong Pek sambil
menariknya ke belakang.
Memang Sin
Liong tidak pernah menyebut suheng dan sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, karena
memang dia tidak dianggap sebagai murid oleh Na Ceng Han, sungguh pun dia
dilatih ilmu silat dan dia selalu berlatih bersama dengan dua orang anak itu.
Mereka bertiga itu seperti teman-teman baik, bukan seperti kakak beradik
seperguruan.
Tiong Pek
terkejut sekali dan segera menengok dengan alis berkerut. Dia melepaskan kedua
lengan tangan Bi Cu yang tadi dipegangnya, kemudian dia menggerakkan tangan
kanannya menangkis ke belakang.
"Dukkk!"
Tangan itu
menyampok tangan Sin Liong yang mencengkeram baju pundaknya sehingga terlepas
dan bajunya robek. Tiong Pek meloncat bangun dan berdiri dengan muka merah
menandakan bahwa dia marah bukan main. Akan tetapi Sin Liong juga sudah
menentang pandang matanya dengan bengis.
"Sin
Liong!" Tiong Pek berseru marah sekali. "Engkau berani lancang
mencampuri urusan orang lain? Sungguh tidak tahu malu engkau hendak menghalangi
cinta orang? Apakah engkau merasa iri hati?"
Diserang
dengan kata-kata seperti itu, tiba-tiba saja muka Sin Liong menjadi merah dan
dia menjadi bingung. "Akan tetapi kau... kau..." Sukar baginya untuk
melanjutkan karena hatinya masih menilai-nilai apakah artinya perbuatan yang
dilakukan Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi.
"Aku
cinta kepada Bi Cu sumoi, kau mau apa? Aku siap untuk bertanding melawan siapa
pun juga untuk memperebutkan sumoi! Hayo, apakah kau hendak memperebutkan sumoi
dengan aku?" Pemuda tanggung itu mengepal tinju dan siap untuk berkelahi!
Sin Liong
menjadi semakin bingung. Kalau tadi dia bersikap kasar terhadap Tiong Pek
adalah akibat dia melihat seolah-olah Tiong Pek hendak melakukan pemaksaan
terhadap Bi Cu, akan tetapi sekarang dia menjadi bingung ketika ditantang dan
ditanya apakah dia hendak memperebutkan Bi Cu dengan pemuda itu!
"Ahh,
siapa yang akan memperebutkan siapa?" katanya masih bingung.
Akan tetapi
dia dapat menekan dan menenangkan perasaannya, lalu memandang kepada Tiong Pek
dengan sikap lebih tenang, sungguh pun kemarahannya belum mereda karena dia
melihat Bi Cu sekarang berdiri dengan kepala menunduk dan masih kadang-kadang
menahan isak.
"Tiong
Pek, Bi Cu bukanlah sebuah benda yang boleh diperebutkan oleh siapa pun juga.
Dalam hal rasa suka... hal itu Bi Cu berhak menentukan sendiri, jangan kau
memaksa-maksanya seperti itu."
"Bi Cu
juga cinta kepadaku! Kau mau apa?" Tiong Pek yang masih marah itu
menyerang lagi dengan kata-katanya yang penuh tantangan.
Dia memang
marah bukan main karena merasa terganggu. Kalau Sin Liong tidak datang
mengganggu, tentu dia sudah berhasil mencium Bi Cu, suatu hal yang sudah sering
kali direnungkan dan diimpikan itu!
Mendengar
ucapan ini, Sin Liong memandang kepada Bi Cu penuh keraguan. Benarkah itu?
Kalau Bi Cu benar mencinta Tiong Pek, mengapa tadi bersikap seperti menentang?
Dan apa gerangan yang hendak dilakukah oleh Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi? Sin
Liong sudah berusia empat belas tahun, atau hampir, akan tetapi dia belum tahu
benar tentang cinta kasih antara pria dengan wanita. Melihat Bi Cu menunduk dan
kini mukanya tidak sepucat tadi, bahkan menjadi agak kemerahan, dia lalu
melangkah menghampiri.
"Bi Cu,
apakah Tiong Pek... ehh, hendak berlaku jahat kepadamu?" Dia tidak tahu
bagai mana harus menanyakan urusan tadi.
Bi Cu
mengangkat muka dan ketika dia bertemu pandang dengan Sin Liong, dia cepat
menunduk kembali, jari-jemari tangannya bermain dengan ujung rambutnya yang
panjang terurai, lalu kepalanya digelengkannya sebagai jawaban pertanyaan Sin
Liong tadi.
"Dan
kau... kau... cinta kepada Tiong Pek?"
Muka Bi Cu
menjadi merah sekali dan kepalanya makin menunduk. Sekali ini dia sama sekali
tidak mau menjawab.
"Bagaimana,
Bi Cu? Jawablah, apakah benar kau cinta kepada Tiong Pek?" Sin Liong
mendesak.
Dara cilik
itu mengangkat muka dengan gugup, memandang kepada Sin Liong sebentar, lalu
memandang kepada Tiong Pek, dan menunduk kembali tanpa menjawab, hanya ada dua
titik air matanya yang turun mengalir di sepanjang kedua pipinya yang merah.
Melihat ini,
kembali timbul rasa kasihan di dalam hati Sin Liong dan teringatlah dia akan
percakapan yang didengarnya tadi. Dia kembali menghadapi Tiong Pek kemudian
berkata dengan alis berkerut,
"Tiong
Pek, sungguh tidak patut sekali kalau engkau hendak mempergunakan kekerasan.
Apakah engkau ingin menjadi penjahat hina? Aku tadi mendengar engkau membujuk
dan juga melihat engkau menggunakan kekerasan. Engkau menonjolkan jasa-jasa
serta budi keluargamu yang kau limpahkan kepada Bi Cu. Apakah itu kebaikan
namanya kalau kau tonjolkan dan kalau engkau minta imbalan dari pertolongan
yang kalian berikan kepada Bi Cu?"
"Sin
Liong, kau ini siapa berani bermulut selancang ini?" Tiong Pek marah
sekali dan dia segera menerjang dengan pukulan ke arah mulut Sin Liong. Akan
tetapi Sin Liong cepat mengelak dan ketika Tiong Pek menerjang lagi, dia
menangkis kemudian bersiap untuk melawan.
Akan tetapi,
sambil menangis Bi Cu cepat melerai dengan melompat ke tengah-tengah antara
mereka, "Jangan berkelahi... ahh, harap jangan berkelahi...!"
Tentu saja
Sin Liong cepat meloncat mundur, dan Tiong Pek juga tidak mendesak setelah
melihat Bi Cu menangis sambil melerai itu. Kedua orang pemuda tanggung itu
sekarang memandang kepada Bi Cu yang menangis sesenggukan di tengah-tengah
antara mereka, menutupi muka dengan kedua tangannya. Mereka berdua menjadi
bingung.
"Sumoi,
jangan menangis, sumoi. Maafkanlah kalau aku bersalah...," akhirnya
terdengar Tiong Pek berkata halus. "Aku tadi hanya ingin menciummu...
jahatkah perbuatan itu... padahal aku hanya ingin membuktikan cintaku...?"
Mendengar
kata-kata itu, diam-diam Sin Liong menjadi jengah sekaligus terheran-heran
bagaimana Tiong Pek berani bicara terang-terangan seperti itu!
Bi Cu
menahan isaknya dan tangisnya agar mereda, kemudian terdengarlah kata-katanya
lirih di antara isaknya, "Aku tidak tahu... aku tidak tahu apa itu cinta!
Aku... aku suka kepada suheng karena suheng baik sekali, dan seluruh keluarga
suheng baik kepadaku, menganggap aku seperti keluarga sendiri. Aku telah berhutang
budi besar sekali kepada suheng sekeluarga, akan tetapi... aku tidak tahu
tentang cinta, dan aku tidak tahu... jahat atau tidak di... dicium, akan tetapi
aku takut sekali..."
Diam-diam
Sin Liong tersenyum. Biar pun usia mereka berdua ini sebaya dengan dia, Bi Cu
berusia dua belas tahun dan Tiong Pek empat belas tahun, namun mereka berdua
ini seperti anak-anak yang masih kecil saja! Anak-anak kecil yang ingin masuk
ke permainan orang-orang dewasa!
"Tiong
Pek, apa bila engkau tahu bahwa Bi Cu takut, kenapa kau hendak memaksanya?
Kalau engkau memang kasihan dan suka kepadanya, tidak mungkin engkau main paksa
membikin dia takut dan menangis..."
Tiong Pek
menarik napas panjang, kini dia melihat bahwa dia telah benar-benar membuat Bi
Cu berduka, takut dan malu. Seakan-akan baru sekarang dia merasa sadar, sesudah
gairah aneh yang membuat seluruh tubuhnya panas, membuat dia ingin sekali
mencium Bi Cu itu kini mendingin dan lenyap. Baru dia tahu bahwa dia memang
bersalah.
"Maafkan
aku, Bi Cu. Kau benar, Sin Liong, aku memang layak dipukul karena aku telah
membikin sumoi ketakutan dan menangis. Sumoi, sekali lagi, kau maafkanlah
aku."
Bi Cu
menghapus air matanya. Kini barulah dia dapat memandang suheng-nya itu dengan
senyum yang tampak mulai berkembang mengusir kedukaannya. "Tidak kenapa,
suheng, kita lupakan saja hal tadi."
"Seorang
yang dapat menyadari kesalahannya sendiri barulah patut disebut orang gagah,
Tiong Pek," kata Sin Liong.
"Ahh,
benarkah itu?" Tiong Pek berkata girang, sekarang wajahnya berseri dan
matanya bersinar-sinar penuh kenakalan.
"Akan
tetapi jangan hal itu membuat engkau keenakan dan setiap kali ingin menjadi
orang gagah lalu melakukan kesalahan lebih dulu untuk kemudian disadari!"
sambung Sin Liong. Tiong Pek tertawa, Bi Cu juga tertawa dan mereka berdamai
kembali. Lenyaplah semua dendam dan kemarahan.
"Eh,
kalau kalian berdua benar-benar sudah memaafkan aku, harus kalian buktikan
dulu!" tiba-tiba Tiong Pek berkata.
"Buktikan
bagaimana?" Sin Liong menuntut dan memandang tajam. Jangan-jangan bocah
nakal ini minta bukti aneh-aneh, seperti cium dari Bi Cu misalnya! Kalau begitu
dia tentu tidak akan ragu-ragu untuk menjotosnya!
"Buktinya
adalah bahwa kalian tak akan mengatakan sesuatu tentang urusan tadi kepada
ayah."
"Kau
tahu bahwa aku tidak akan berkata apa-apa kepada paman, suheng," kata Bi
Cu cepat.
"Akan
tetapi aku hanya mau berjanji tidak akan menyampaikan kepada paman Na asal
engkau pun berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesat tadi!" kata Sin
Liong. "Sesat? Ahhh, memang salah akan tetapi jangan namakan itu sesat,
Sin Liong. Baiklah, dengarkan kalian. Aku berjanji tidak akan mencoba untuk
mencium Bi Cu kecuali kalau memang sumoi Bi Cu mau kucium!"
Tentu saja
mendengar janji yang seperti itu, seketika wajah Bi Cu kembali menjadi merah
sekali.
"Dasar
engkau setan!" Sin Liong menegur sambil tertawa dan Tiong Pek juga
tertawa. Bi Cu terpaksa ikut pula tertawa dan ketiga orang anak itu kemudian
memasuki lian-bu-thia (ruangan berlatih sliat) di mana mereka berlatih silat
dengan tekunnya.
***************
Wanita
cantik itu melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa menuju ke pintu gerbang
kota raja sebelah utara. Para penjaga di pintu gerbang itu segera berdiri
dengan sikap menghormat ketika wanita itu berjalan keluar dari pintu gerbang.
Bahkan komandan jaga yang bertubuh tinggi besar itu memberi hormat dan berkata,
"Selamat jalan, lihiap!"
Wanita itu
bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Semenjak terjadi peristiwa pemberontakan di
dalam istana yang bermaksud membunuh pangeran mahkota dan kaisar, dan usaha
jahat itu digagalkan oleh Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw, maka wanita ini
menjadi seorang tokoh yang terkenal di kota raja, terutama di lingkungan istana
dan di antara para pengawal. Oleh karena itu, ketika dia keluar dari pintu
gerbang, semua penjaga memberi hormat, bahkan komandan jaga menghaturkan
selamat jalan.
Seperti kita
ketahui, Kim Hong Liu-nio terpaksa berangkat pulang ke utara seorang diri saja,
meninggalkan sute-nya di istana karena Pangeran Mahkota Ceng Hwa, calon kaisar,
atau juga saudara tiri dari Han Houw, menahan pemuda tanggung itu untuk tidak
lebih dahulu meninggalkan istana sampai hari penobatannya sebagai kaisar. Maka
Kim Hong Liu-nio pulang seorang diri untuk melaporkan semua peristiwa yang
dialami oleh sute-nya itu kepada Raja Sabutai dan Permaisuri Khamila, dan di
samping itu juga menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada Raja Sabutai
untuk menghadiri hari penobatannya sebagai kaisar pengganti ayahnya.
Hati Kim
Hong Liu-nio lega karena sute-nya itu berada dalam keadaan aman, maka dia
melakukan perjalanan cepat sekali, tak mempedulikan orang-orang yang
memandangnya dengan heran. Siapa orangnya tidak akan terheran-heran melihat
seorang wanita cantik berjalan sedemikian cepatnya seperti terbang saja?
Sebentar saja dia sudah keluar dari pintu gerbang itu diikuti oleh pandang mata
semua penjaga sampai bayangannya lenyap.
Akan tetapi
ketika dia tiba di padang rumput di sebelah utara pintu gerbang utara kota raja
itu, tiba-tiba saja dia memandang ke depan dengan alis berkerut karena jauh di
depannya dia melihat banyak orang sedang berdiri menghadangnya dan dari jauh
saja dapat dilihat pakaian mereka yang berkembang-kembang dan tangan mereka
yang memegang tongkat dengan punggung memanggul buntalan-buntalan kuning.
Orang-orang Hwa-i Kaipang!
Setelah agak
dekat Kim Hong Liu-nio melihat bahwa di antara mereka terdapat beberapa orang
yang memanggul buntalan sedikit saja. Ada dua orang yang memanggul tiga buah
buntalan kuning, bahkan ada seorang yang memanggul dua buntalan saja, berarti
bahwa di antara mereka itu ada dua orang tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tiga dan
bahkan ada seorang tokoh tingkat dua!
Jantung Kim
Hong Liu-nio berdebar tegang. Dia maklum bahwa yang menghadangnya adalah
tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tinggi! Dan selain tiga orang tokoh yang
tinggi tingkatnya itu, dia melihat tokoh-tokoh tingkat empat dan lima yang
jumlahnya ada tujuh belas orang!
Akan tetapi,
Kim Hong Liu-nio adalah murid terkasih dari Hek-hiat Mo-li, dan dia sama sekali
tidak pernah mengenal arti takut. Dengan sikap tenang penuh kewaspadaan dia
berjalan terus dengan cepat tanpa mengurangi pengerahan ginkang-nya, maka
sebentar saja dia sudah berhadapan dengan belasan orang yang sengaja menghadang
memenuhi jalan itu. Terpaksa Kim Hong Liu-nio berhenti dan memandang mereka
dengan sinar mata mengejek, tak mempedulikan pandang mata belasan orang itu
yang ditujukan kepadanya dengan penuh kemarahan.
Yang menjadi
perhatian Kim Hong Liu-nio adalah tiga orang kakek di depan itu, yaitu dua
orang tokoh tingkat tiga dan seorang yang bertingkat dua, karena dia tidak
memandang sebelah mata kepada mereka yang bertingkat empat dan lima.
"Perlahan
dulu, nona!" kata pengemis baju kembang yang memanggul dua buah buntalan
kuning di punggungnya.
Pengemis ini
usianya tentu mendekati enam puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti cecak
mati saking kurusnya sehingga tubuh yang tingginya biasa saja itu kelihatan
lebih jangkung. Pakaiannya sederhana akan tetapi bersih dan berpakaian
tambal-tambalan dari kain-kain berkembang dan berwarna itu nampak lucu karena
banyak merahnya, mungkin menjadi tanda bahwa pemakainya memang mempunyai
kesukaan akan warna merah.
"Hemmm,
kulihat kalian ini tentulah tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang," jawab Kim Hong
Liu-nio sambil mengerling ke arah tiga orang kakek pengemis yang pernah
dikalahkannya tempo hari, yaitu mereka yang bertingkat lima. "Apakah
orang-orang Hwa-i Kaipang yang sangat tersohor itu kini sudah berubah menjadi
segerombolan perampok yang suka menghadang orang lewat di jalan raya?"
Kakek kurus
kering itu tersenyum lebar. Biar pun dia marah sekali, akan tetapi kakek ini
dapat menguasai kemarahannya dan menghadapi wanita yang dia dengar sangat lihai
itu dengan tenang. "Andai kata kami menjadi perampok sekali pun, kami tak
akan merampok nyawa orang yang tidak berdosa seperti yang telah kau lakukan
pada seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai."
Kim Hong
Liu-nio sudah tahu mengapa para pengemis itu menghadangnya, maka dengan jujur
dan penuh keberanian dia berkata, "Memang aku telah membunuh pengemis she
Tio itu."
Mendengar
jawaban yang berani itu, para pengemis kelihatan makin marah dan terdengar
mereka ramai-ramai mengeluarkan suara sehingga keadaan menjadi bising. Akan
tetapi Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak mempedulikan mereka.
"Kenapa?"
bentak tokoh kedua Hwa-i Kaipang. Kakek ini memiliki julukan Lo-thian Sin-kai
(Pengemis Sakti Pengacau Langit). "Setiap orang akan merasa kasihan kepada
seorang pengemis yang hidup serba kekurangan, akan tetapi mengapa engkau malah
membunuh pengemis tidak berdosa itu?"
"Karena
dia she Tio! Baik dia pengemis mau pun seorang raja, karena dia she Tio, maka
berjumpa dengan aku dia harus mati! Dia yang she Tio atau yang she Cia dan yang
she Yap!" kata Kim Hong Liu-nio dan tahu-tahu dia telah mengeluarkan papan
kayu sallb yang bertuliskan nama keluarga Tio, Yap, dan Cia itu.
"Apa?!"
Lo-thian Sin-kai terbelalak. "Kau hendak membunuh semua orang yang
memiliki tiga macam she itu? Jadi engkau membunuh pengemis she Tio itu tanpa
ada permusuhan pribadi sama sekali?"
"Kenal
pun tidak aku kepadanya, hanya aku mendengar dia she Tio maka dia harus
mati."
"Iblis
betina keji!" Terdengar bentakan marah.
Dua orang
tokoh Hwa-i Kaipang tingkat tiga yang sejak tadi hanya mendengarkan saja,
agaknya sudah tidak mampu menahan kemarahan mereka dan kini mereka berdua sudah
menerjang maju, menggerakkan tongkat mereka dari kanan dan kiri menyerang Kim
Hong Liu-nio. Yang memaki itu adalah kakek pengemis yang punggungnya agak
bongkok.
"Hutang
nyawa bayar nyawa!" bentak kakek pengemis kedua yang mukanya hitam sekali,
agaknya hitam karena bekas penyakit karena melihat leher serta tangannya,
sebetulnya dia berkulit putih.
Kakek
bongkok dan kakek muka hitam ini berusia kurang lebih lima puluhan tahun dan
mereka merupakan tokoh-tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kaipang, maka tentu saja
mereka mempunyai kepandaian silat yang tinggi. Yang punggungnya bongkok itu
terkenal dengan julukan Tiat-ciang Sin-kai (Pengemis Sakti Tangan Besi),
sedangkan yang bermuka hitam berjuluk Hek-bin Mo-kai (Pengemis Iblis Muka
Hitam). Mereka berdua pun maklum betapa lihainya wanita itu karena sudah
mendengar dari tiga orang pengemis tingkat lima, maka mereka maju berbareng dan
serentak telah menyerang dengan senjata tongkat mereka.
Melihat cara
menyambarnya tongkat-tongkat itu, maklumlah Kim Hong Liu-nio bahwa dia
menghadapi lawan yang cukup tangguh dan cepat dia menggerakkan tubuhnya
mengelak ke belakang. Dua sinar hitam dari tongkat itu menyambar dahsyat di
dekat tubuhnya.
"Wuuut...!
Wuuutt...!"
Sebelum
menyentuh tanah, ujung-ujung tongkat itu telah ditahan oleh para pemegangnya
dan kelihatan ujung tongkat itu menggetar hebat.
"Wiirrrrrrr...!"
Ujung
tongkat sampai mengeluarkan suara saking kerasnya sambaran itu dan kini ditahan
oleh dua orang kakek pengemis itu. Kemudian tongkat itu menyambar lagi dan Kim
Hong Liu-nio sudah didesak dan dihujani serangan bertubi-tubi yang kesemuanya
mengandung tenaga kuat sekali.
"Hemm,
kalian mencari penyakit!" bentak wanita itu.
Begitu dua
tangannya bergerak, tampak sinar merah yang panjang bergulung-gulung dan
ternyata wanita ini dengan tenang namun cepat bukan main sudah menggerakkan
sabuk merahnya dan sambil mengelak dia telah balas menyerang!
"Wirrrrr...
syuuuuttt...!"
"Plakkk!"
Sabuk merah
itu hebat bukan main, menyambar dahsyat menyilaukan mata dan hampir saja leher
Hek-bin Mo-kai kena totok. Untung dia dapat menangkis dengan cepat dan kini
tongkatnya terlibat ujung sabuk merah yang bergerak seperti ular itu. Pada saat
Hek-bin Mo-kai bersitegang untuk melepaskan tongkat dari libatan sabuk,
Tiat-ciang Sin-kai sudah menghantamkan tongkatnya dari samping ke arah kepala
wanita itu.
"Cringgg...!"
Tiat-ciang
Sin-kai terkejut bukan main. Tongkatnya yang menghantam kepala itu ditangkis
oleh lengan kecil halus yang bergelang kerincing. Tapi anehnya, lengan kecil
dan gelang-gelang emas kecil itu tidak saja mampu menangkis tongkatnya, malah
dia sendiri sampai terhuyung ke belakang saking kuatnya tangkisan itu! Dengan
marah dia cepat mengatur keseimbangan tubuhnya lantas menubruk lagi, kini
tongkatnya menusuk ke arah lambung dari sebelah kanan wanita itu.
Pada saat
itu, ujung sabuk merah masih melibat ujung tongkat di tangan Hek-bin Mo-kai dan
agaknya Kim Hong Liu-nio tidak akan dapat menghindarkan diri dari tusukan
tongkat kakek pengemis bongkok. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio
mengeluarkan bentakan nyaring dan bentakan ini disusul teriakan keras Hek-bin
Mo-kai yang tak dapat menguasai tongkatnya lagi. Bagai ditarik tenaga gajah, tongkatnya
yang terlibat itu terbetot sehingga dia tidak mampu mempertahankan ketika
tongkatnya itu bergerak ke kiri.
"Takkkkk...!"
Keras bukan
main pertemuan antara tongkat Hek-bin Mo-kai itu yang menangkis tongkat
Tiat-ciang Sin-kai yang menusuk tadi sehingga keduanya merasa betapa telapak
tangan mereka nyeri dan senjata mereka itu hampir saja terlepas dari tangan.
Keduanya memang memiliki tenaga yang seimbang dan tadi mereka sudah
mempergunakan seluruh tenaga, yang seorang ingin menarik kembali tongkatnya ada
pun yang ke dua sedang menyerang.
"Wuuuttt...!"
Baru saja kedua tongkat itu bertemu tiba-tiba sinar merah menyambar dan
tahu-tahu ujung sabuk telah melibat kedua batang tongkat itu dengan eratnya!
"Iblis
jahat...!" Tiat-ciang Sin-kai berseru marah dan dia menerjang maju dengan
tangan kanannya, mengirim pukulan yang sangat dahsyat. Kakek bongkok ini
berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) maka tentu saja dia memiliki tangan
gemblengan yang amat hebat, kuat seperti besi dan ketika dia melancarkan pukulan
itu tangannya berubah agak kehitaman!
Akan tetapi,
melihat datangnya pukulan itu, Kim Hong Liu-nio sama sekali tak mengelak,
bahkan dia segera mengangkat tangan kirinya menerima pukulan itu dengan
tangkisan, gerakannya seenaknya saja seolah-olah dia tidak tahu bahwa pukulan
itu adalah pukulan ampuh, bukan sembarang pukulan. Melihat ini, giranglah kakek
pengemis bongkok itu. Remuk tulang tanganmu sekarang, pikirnya girang, dan dia
mengerahkan seluruh tenaga Tiat-ciang-kang ke dalam tangannya itu.
"Dessss...!"
Hebat sekali
pertemuan ke dua tangan itu kemudian terdengar Tiat-ciang Sin-kai berteriak
kesakitan dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Dia melepaskan tongkatnya yang
masih terlibat menjadi satu dengan tongkat Hek-bin Mo-kai dan pada saat yang
sama, Kim Hong Liu-nio membetot sabuknya dengan kuat dan ketika Hek-bin Mo-kai
mempertahankan, dia tiba-tiba melepaskan libatan sabuknya sehingga si muka
hitam ini pun terhuyung seperti temannya!
Tiat-ciang
Sin-kai menyeringai karena tangan kanannya terasa nyeri bukan main, seperti
patah-patah rasa tulang-tulang tangannya. Dia tidak tahu bahwa wanita cantik
itu tadi telah melindungi tangannya yang kecil berkulit halus itu dengan sarung
tangannya yang istimewa, yaitu sarung tangan halus dengan warna sama dengan
kulitnya. Sarung tangan ini dapat dipakai untuk menyambut senjata tajam, apa
lagi hanya pukulan tangan kosong, biar pun tangan itu sama kerasnya dengan
besi!
"Wanita
kejam, engkau boleh juga!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus dan si
kakek kurus kering, Lo-thian Sin-kai, tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang,
telah menerjang dan menyerang Kim Hong Liu-nio dengan tongkatnya.
Terdengar
suara berdesir-desir dan kini tongkat yang digerakkan secara istimewa itu telah
membentuk lingkaran-lingkaran yang lima buah banyaknya. Itulah Ilmu Tongkat
Ngo-lian Pang-hoat yang sangat hebat! Lima lingkaran sinar tongkat itu
bergerak-gerak, lantas dari setiap lingkaran menyambar-nyambar ujung tongkat
yang mengeluarkan suara berdesing tanda bahwa tongkat yang terlihat seperti
kayu itu ternyata menyembunyikan benda logam keras di dalamnya dan tenaga yang
dipergunakan untuk menggerakkan tongkat itu amat kuatnya!
"Hemm!
Kalian benar-benar hendak memusuhi aku? Majulah!" bentak Kim Hong Liu-nio.
Dia sama sekali tidak merasa jeri menghadapi ilmu tongkat lawan ini, bahkan dia
merasa gembira sekali.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment