Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 11
SEPERTI yang
telah kita ketahui, anak ini terhindar dari bahaya maut, tertolong oleh induk
monyet besar yang menjadi pengasuhnya semenjak dia masih bayi bersama
gerombolan monyet-monyet itu. Pakaiannya sudah compang-camping, malah
pembungkus kepalanya sudah robek-robek sehingga dia membiarkan rambutnya
terurai dan kadang-kadang dia menguncir rambutnya supaya gerakannya menjadi
leluasa. Dia hidup seperti binatang liar, seperti kera-kera itu, akan tetapi
karena pikirannya menjadi bebas dan hening, dia bahkan mengalami hidup yang
amat berbahagia.
Pada pagi
hari itu, Sin Liong masih tidur lelap pada saat ada seekor monyet muda yang
mengguncang-guncang tubuhnya. Dia terbangun, menggeliat sambil menguap. Monyet
itu mengeluarkan suara mencicit dan menuding-nuding ke bawah.
Sin Liong
maklum bahwa tentu ada sesuatu yang aneh dan tidak beres, maka dia cepat
mengikuti monyet itu yang membawanya berloncatan dari dahan ke dahan. Akhirnya,
Sin Liong melihat laki-laki brewok yang mengempit dua orang anak perempuan itu.
Hampir saja dia berteriak karena dia mengenal dua orang anak perempuan itu yang
bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin!
Melihat dua
orang anak perempuan itu, seakan-akan Sin Liong terseret ke dalam dunia lain,
dunia lama yang sudah hampir dilupakannya dan dia tertegun sejenak. Hampir saja
dia lari pergi karena hatinya merasa enggan untuk kembali ke dunia lama itu.
Akan tetapi dia tidak mampu mengusir bayangan Lan Lan dan Lin Lin, dua orang
anak perempuan yang selalu bersikap manis kepadanya!
Akhirnya,
rasa kasihan kepada dua orang anak perempuan itulah yang menang dan dia segera
mengikuti laki-laki itu dari atas. Kemudian, sesudah memperhitungkannya dengan
tepat, melihat bahwa laki-laki itu tentu tidak mempunyai niat yang baik
terhadap Lan Lan dan Lin Lin yang nampaknya tidak mampu bergerak itu, dia lalu
melompat, menerkam punggung kakek itu, dan langsung menggigit tengkuknya!
"Ihhhh...!"
Kakek itu terkejut sekali.
Segera dia
membuang tubuh dua orang anak perempuan itu untuk melawan anak kecil yang liar
dan ganas ini. Tengkuknya terasa sakit juga digigit oleh anak itu. Tubuh Lan
Lan dan Lin Lin terlempar ke kanan kiri sampai bergulingan akan tetapi karena
terbanting itu, sumbatan mulut mereka terlepas dan tubuh mereka dapat bergerak
lagi karena ternyata pengaruh totokan itu telah habis.
Lin Lin lalu
merangkak mendekati kakaknya. Mereka menangis sambil mengurut-urut kaki dan
tangan sendiri yang terasa kaku, lantas memandang ke arah Sin Liong yang masih
menggigit tengkuk kakek itu. Tadinya, mereka tak mengenal anak yang menolong
mereka itu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru,
"Sin
Liong...!"
Maka
keduanya lupa akan keadaan diri sendiri yang masih belum dapat bergerak dengan
leluasa. Melihat Sin Liong masih terus merangkul kakek itu dari belakang dan
menggigit tengkuk, Lan Lin dan Lin Lin lalu meloncat bangun, terhuyung akan
tetapi mereka berdua dengan marah sudah menyerang kakek itu dengan
pukulan-pukulan tangan mereka yang kecil untuk membantu Sin Liong.
"Dukkk!
Dukkk!"
Dua orang
anak perempuan itu terlempar oleh tendangan-tendangan Ciam-kauwau yang tidak
berniat membunuh, kemudian dia menggoyang-goyangkan tubuhnya. Akan tetapi anak
laki-laki yang menggigit tengkuknya itu tidak terlepas, bahkan dari
kerongkongannya keluar suara gerengan monyet marah!
Diam-diam
Ciam-kauwsu bergidik juga. Bagaimana tiba-tiba muncul anak liar ini, pikirnya
dan tangannya cepat merenggut ke belakang, berhasil menjambak rambut Sin Liong
dan memegang lengan anak itu, lalu dia mengerahkan tenaganya. Tentu saja Sin
Liong kalah tenaga dan dia dapat diangkat lalu dibanting oleh kakek itu.
"Bresss…!"
Tubuh Sin
Liong bergulingan sehingga kepalanya menjadi pening. Akan tetapi dia cepat
bangun kembali, menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan, lalu
sambil mengeluarkan pekik dahsyat dia sudah menerjang lagi, kini dengan
pukulan-pukulan aneh seperti gerakan seekor monyet lincah!
"Anak
liar, pergilah!" Ciam-kauwsu menghantam dari samping, menampar ke arah
pundak anak itu dengan maksud merobohkannya dan menakutkannya.
"Wuuutttt…!"
Pukulan itu
luput karena dengan mudahnya dielakkan oleh anak itu! Ciam-kauwsu terkejut dan
penasaran, cepat dia maju lagi menyerang dengan tendangan kakinya. Kembali anak
itu mengelak dan tendangan itu luput, bahkan Sin Liong kini mulai mainkan limu
silat aneh yang dilatihnya selama ini dengan mengambil inti sari dari gerakan
monyet-monyet itu.
Gerakan-gerakan
monyet tentu saja tidak teratur, hanya menurutkan naluri, perasaan dan
ketajaman atau kepekaan tubuh sehingga membuat monyet-monyet itu mampu bergerak
dengan amat cekatan. Akan tetapi Sin Liong telah mengambil inti dari
gerakan-gerakan itu untuk dijadikan dasar dari gerakan silat, seperti yang dulu
pernah dia pelajari dari ibunya, maka gerakan Sin Liong bukan liar dan tak
teratur seperti gerakan monyet. Dia meloncat, mengelak sambil menyerang, dan
membalas dengan pukulan seperti pukulan manusia, mencakar seperti monyet, dan
juga menendang.
Kakek itu
menjadi semakin terheran-heran dan terkejut sesudah beberapa kali tamparan dan
tendangannya luput, bahkan anak itu dapat membalas dengan serangan yang aneh.
"Kau anak liar, pergilah jangan mencampuri urusanku!" bentaknya
berkali-kali.
Kakek Ciam
ini bukan seorang yang berhati kejam. Dia tidak ingin membunuh anak liar yang
tidak dikenalnya itu. Dan kalau dia berhati kejam, tentu sudah dibunuhnya dua
orang anak perempuan kembar yang menjadi anak musuh besarnya itu.
Tidak, dia
tidak tega membunuh orang apa lagi membunuh anak-anak. Dia hanya hendak
memisahkan kedua orang anak itu dari Kui Hok Boan, membalas dengan mendatangkan
kedukaan dan kehilangan kepada musuh besarnya itu.
Kalau dia
bertemu Hok Boan, mungkin saja dendamnya akan membuat dia sampai hati membunuh
musuh itu, kalau dia dapat tentu saja. Akan tetapi membunuh anak-anak yang
tidak bersalah apa-apa, sungguh tak dapat dia lakukan.
Kini
menghadapi serangan anak kecil yang gerakannya aneh, liar namun cekatan sekali
itu, Ciam-kauwsu menjadi marah akan tetapi dia mencoba membujuk anak ini agar
tidak mencampuri urusannya. Namun Sin Liong tentu saja sama sekali tidak ada
niat untuk mundur. Dia harus membela dan melindungi Lan Lan dan Lin Lin dengan
nyawanya!
Dua orang
anak perempuan itu amat baik terhadapnya, merupakan sahabat-sahabatnya yang
manis budi, bahkan tidak begitu saja sekarang. Kedua orang anak perempuan itu
adalah adik-adiknya sendiri! Adik seibu berlainan ayah!
"Grrrr...!"
Sin Liong menggereng dan menerjang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang
memberi isyarat memanggil kawan-kawannya!
Ciam-kauwsu
marah, dia membiarkan pundaknya dicengkeram oleh anak itu, kemudian membarengi
dengan tamparan dari samping.
"Brettt...!
Plakkk!"
Baju
Ciam-kauwsu di pundak robek oleh cengkeraman tangan Sin Liong, akan tetapi anak
itu kena ditampar pipinya sehingga terpelanting!
Kembali Sin
Liong kepalanya pening, akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan pada saat itu
terdengar gerengan-gerengan menyeramkan lantas belasan ekor monyet berloncatan
turun dari atas pohon, dipimpin oleh seekor biang monyet yang besar, yaitu
monyet betina tua yang memandang Sin Liong sebagai anaknya! Monyet betina
inilah yang mendahului teman-temannya menubruk kakek Ciam dengan ganasnya saat
melihat betapa ‘anaknya’ itu ditampar sampai terpelanting tadi.
"Ehhh...!"
Kakek Ciam terkejut bukan main melihat datangnya banyak monyet besar, apa lagi
ketika seekor induk monyet telah menyerangnya.
Dia maklum
bahwa terdapat keanehan pada diri anak liar itu, yang ternyata kini dibantu
oleh monyet-monyet besar dan dia segera melihat adanya bahaya. Maka cepat kakek
itu mencabut pedangnya, mengelak dari terkaman induk monyet sambil menusukkan
pedang dari samping.
"Crotttt...!"
Pedang itu
mengenai lambung induk monyet sampai tembus. Ketika pedang itu dicabut, darah segera
muncrat dan induk monyet itu terguling roboh sambil mengeluarkan suara yang
memilukan.
Melihat
betapa monyet betina yang sangat disayangnya itu roboh tertusuk pedang, Sin
Liong menggereng dan menyerang lagi, dibantu oleh monyet-monyet lain, sedangkan
Lan Lan dan Lin Lin menjadi ngeri melihat datangnya banyak monyet. Mereka
menjadi ngeri dan ketakutan, tidak berani ikut membantu melainkan mundur dan
saling peluk dengan tubuh menggigil di bawah pohon.
"Lan
Lan...!" Lin Lin...!"
Dua orang
anak perempuan itu terkejut dan wajah mereka pun berseri, air mata mereka
seketika mengalir turun. Itulah suara ayah mereka! Dan memang benar. Tak jauh
dari situ, Kui Hok Boan bersama belasan orang anak buahnya datang mencari
anak-anaknya itu, sesudah semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil. Suara Hok
Boan sampai menjadi parau karena semalam suntuk dia terus-menerus memanggil.
"Ayahhhh...!"
Lan Lan dan Lin Lin menjerit-jerit. "Ayah, cepat ke sinilah...!"
Kakek Ciam
terkejut bukan main. Tadinya timbul hati tidak tega untuk membunuhi semua
monyet itu, dan hatinya menjadi gelisah ketika mendengar suara dua orang anak
itu yang memanggil ayah mereka. Kalau Kui Hok Boan datang bersama
orang-orangnya sedang di sini masih ada monyet-monyet ini yang mengeroyoknya
dengan nekat dan buas, dia bisa celaka!
Ciam-kauwsu
mengeluh, karena usahanya untuk membalas dendam dengan menculik dan memisahkan
dua orang anak perempuan itu dari samping Hok Boan ternyata gagal. Dia lalu
mengeluh dan meloncat ke belakang, cepat dia melarikan diri sambil membawa
pedangnya, menyusup di antara semak-semak belukar!
Sin Liong
dan monyet-monyet lain mengejar, meninggalkan Lan Lan dan Lin Lin. Monyet
betina tua itu merintih dan melihat ini, Lan Lan dan Lin Lin cepat menghampiri
dan berlutut di dekat tubuh monyet betina itu dengan perasaan kasihan. Mereka
tadi melihat betapa monyet ini membantu Sin Liong sehingga terkena tusukan
pedang. Monyet itu bergerak perlahan-lahan dan merintih sambil memegangi
lambungnya yang tertembus pedang dan mengucurkan darah.
"Lan-ji!
Lin-ji!" Hok Boan berteriak dan meloncat ke tempat itu dengan pedang di
tangan. Melihat kedua orang anaknya berlutut dekat seekor monyet besar, dia
cepat menendang.
"Desss...!"
Tubuh monyet betina yang sudah terluka parah itu terlempar, terbanting dan
nyawanya pun melayang.
"Ayahhh...!
Kenapa kau menendang dia...?" Lan Lan menjerit.
"Ayah,
monyet itu tewas karena menolong kami...!" Lin Lin juga berteriak.
Hok Boan
yang masih marah karena kegelisahan yang hampir membuatnya gila selama semalam
itu terbelalak. "Apa...?! Apa maksudmu...?"
Akan tetapi
saking girangnya melihat ayah mereka telah datang, dua orang anak itu cepat
menubruk ayah mereka sambil menangis. Hok Boan memeluk kedua orang anaknya itu,
hatinya juga penuh rasa gembira yang amat besar.
"Lan-ji,
Lin-ji, ceritakan, apakah yang terjadi...?" tanyanya.
Pada saat
itu muncul pula Siong Bu, Beng Sin, dan beberapa anak buah Kui Hok Boan yang
ikut mencari sampai semalam suntuk dan dilanjutkan pagi ini. Siong Bu dan Beng
Sin juga merasa girang sekali melihat betapa dua orang sumoi mereka itu telah
ditemukan dalam keadaan selamat.
"Ayah,
kami diculik kakek brewok... sampai di sini... lalu muncul... Liong-ko (kakak
Liong) yang menyerang penculik itu...," kata Lan Lan yang semenjak
kematian ibunya dan tahu bahwa Sin Liong adalah putera ibunya, tidak ragu-ragu
lagi menyebut Sin Liong dengan sebutan koko (kakak).
"Liong-koko
kalah lalu dibantu oleh monyet-monyet, akan tetapi monyet tua itu, dia... dia
terkena tusukan pedang si penculik...," sambung Lin Lin.
"Sin
Liong...?" Hok Boan terkejut bukan main dan juga merasa girang mendengar
bahwa Sin Liong yang tadinya diculik oleh wanita iblis itu ternyata masih
hidup, bahkan sudah menolong kedua orang anaknya. Dan lebih terkejut lagi
hatinya ketika mendengar bahwa monyet itu yang ditendangnya tadi, ternyata
adalah seekor monyet yang telah membantu Sin Liong pula melawan penculik itu.
"Sekarang
di mana Sin Liong?" tanya Hok Boan berusaha menutupi rasa tak enak hatinya
karena dia sudah menendang monyet tua yang telah terluka tadi, monyet yang
ternyata telah menolong anak-anaknya.
"Tadi
dia mengejar si penculik brewok, agaknya bersama monyet-monyet itu," kata
Lan Lan.
"Itu
dia...!" tiba-tiba Beng Sin berseru sambil menuding.
Semua orang
menengok dan benar saja, tanpa ada yang melihat kedatangannya, kini tahu-tahu
Sin Liong sudah berada di sana, berlutut dan memeluki tubuh monyet betina yang
telah tewas itu.
"Sin
Liong...!" Siong Bu berseru.
"Sin
Liong...!" Hok Boan juga memanggil.
"Liong-koko...!"
Lan Lan dan Lin Lin berseru dan mereka semua menghampiri anak itu.
Kui Hok Boan
memandang penuh perhatian, secara diam-diam dia merasa kasihan juga terhadap
anak ini. Pakaiannya compang-camping, mukanya matang biru bekas pukulan
penculik, dan kini biar pun anak itu tidak menangis sesenggukan, akan tetapi ia
memeluk tubuh monyet itu, jari-jari tangannya mengusap serta membelai kepala
dan muka yang penuh bulu, matanya basah dengan air mata.
Siong Bu,
Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin berlutut di sekeliling Sin Liong. Lan Lan lalu
menyentuh lengan Sin Liong dan berkata lirih, "Liong-ko, dia sudah
mati..."
Tangan yang
mengusap-usap kepala monyet itu berhenti, dua titik air mata menggelinding
turun disusul oleh dua titik lagi, kemudian terdengar suaranya berkata lirih,
seperti bisikan kepada diri sendiri, "Dia... dia ibuku..."
Kui Hok Boan
yang sudah menghampiri tempat itu, terkejut mendengar kata-kata ini. "Sin
Liong, ibumu telah..." Dia tak melanjutkan kata-katanya karena dia
teringat akan isterinya yang tercinta itu, maka lehernya seperti dicekik
rasanya.
Sin Liong
menggangguk. "Saya mengerti, ibu kandung saya sudah tewas oleh iblis
betina itu, akan tetapi dia ini... dialah yang menyusui dan merawat saya pada
waktu saya masih kecil dulu..." Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya
untuk mengusap dua titik air matanya tadi.
"Ke
manakah larinya penculik itu, Sin Liong? Biar aku mengejar dan
menghajarnya!" Hok Boan teringat kepada penculik itu.
"Dia
telah pergi jauh tidak dapat dikejar lagi..., sekarang saya hendak mengubur
dia..."
Sin Liong
lalu menggunakan tangannya untuk membongkar batu-batu dan tanah, agaknya dengan
sepasang tangannya, tanpa minta bantuan siapa pun, anak ini hendak menggali
sebuah lubang di tanah untuk mengubur bangkai monyet itu!
Melihat ini,
Hok Boan cepat-cepat menyuruh anak buahnya untuk membantu Sin Liong, menggali
sebuah lubang dan dikuburkanlah bangkai monyet itu oleh Sin Liong. Sebelum
menurunkan bangkai monyet itu ke dalam lubang, Sin Liong mencium muka monyet
betina itu dan dengan menggigit bibir menahan tangis, anak ini lalu mengubur bangkai
itu dengan dibantu oleh empat orang anak lain, lubang itu lalu diuruk.
Kui Hok Boan
lalu mengajak Sin Liong pulang ke istana tua di Lembah Naga. Sin Liong menurut
tanpa banyak cakap. Di sepanjang jalan, Hok Boan hanya mendengarkan dua orang
anaknya menceritakan pengalaman mereka saat diculik, kemudian mendengarkan Lan
Lan dan Lin Lin yang dibantu pula oleh dua orang anak laki-laki itu, mendesak
dan bertanya kepada Sin Liong bagaimana dia dapat lolos dari tangan iblis
betina itu.
Hok Boan
sendiri tidak banyak bertanya karena hati orang ini masih diliputi rasa
menyesal dan duka atas terjadinya peristiwa yang susul menyusul ini, yang
menimpa dirinya dan keluarganya. Sama sekali dia tidak ingat lagi betapa tadi
dia sudah menendang monyet betina yang telah terluka itu!
Memang
begitulah watak seorang yang selalu mementingkan diri sendiri belaka. Yang
selalu diperhatikan hanya kepahitan-kepahitan yang menimpa dirinya, yang
diprihatinkan hanyalah kesusahan yang diderita oleh diri sendiri dan
keluarganya. Orang seperti ini sama sekali tidak pernah mau melihat penderitaan
orang lain, sehingga hatinya menjadi kejam.
Yang dicari
hanya hal-hal yang dapat menyenangkan diri sendiri dan keluarganya, maka dalam
mengusahakan kesenangan serta keselamatan bagi diri sendiri dan keluarganya,
dia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, kalau perlu menyusahkan orang
lain dengan perbuatan-perbuatannya yang kejam.
Akan tetapi,
jelaslah bahwa orang yang selalu mengejar kesenangan untuk diri sendiri itu
adalah orang yang hidupnya selalu kecewa dan sengsara. Karena orang demikian
itu selalu merasa kasihan kepada diri sendiri, selalu mengeluh, selalu
menganggap bahwa di dunia ini dia seoranglah yang paling celaka, paling
sengsara, paling patut dikasihani. Dengan demikian, apa bila sedikit saja
menghadapi halangan di dalam hidup, dia akan merasa sengsara sekali!
Orang
seperti itu patut dikasihani, oleh karena dia belum mengerti, belum sadar bahwa
sebetulnya dia telah dicengkeram oleh batinnya sendiri, oleh pikirannya
sendiri, dikuasai dan dipermainkan oleh nafsu-nafsunya sendiri yang timbul dari
permainan pikiran.
Sin Liong
tidak mau banyak bercerita. Ketika didesak-desak oleh empat orang anak itu, dia
hanya mengatakan bahwa ketika dia dibawa pergi oleh Kim Hong Liu-nio, di tengah
jalan wanita itu dihadang oleh orang-orang Jeng-hwa-pang.
Mendengar
disebutnya Jeng-hwa-pang, muka Kui Hok Boan langsung berubah sedangkan
jantungnya berdebar tegang dan takut.
"Jeng-hwa-pang...?"
katanya mengulang nama itu dengan suara agak gemetar. "Benarkah
Jeng-hwa-pang yang menghadangnya, Sin Liong?"
Dia mendekat
dan pertanyaannya itu terdengar lirih, seolah-olah dia merasa takut untuk
membicarakan perkumpulan itu dengan suara keras, dan beberapa kali menengok ke
kiri dan kanan dengan sikap jeri. Melihat ini, empat orang anak itu pun menjadi
gelisah.
"Saya
tidak tahu pasti, paman..."
"Sin
Liong, engkau adalah anak kandung istriku, maka berarti engkau adalah anakku
pula, sungguh pun anak tiri. Aku adalah ayahmu, tidak semestinya kau menyebut
paman," kata Hok Boan.
Sin Liong
menunduk dan tidak menjawab.
"Ayah,
siapakah perkumpulan Jeng-hwa-pang itu?" mendadak Lan Lan bertanya kepada
ayahnya. Kembali sasterawan itu kelihatan gelisah.
"Sudahlah,
nanti saja di rumah kuceritakan. Hayo kita cepat pulang!" Dia lalu
mengajak anak-anak itu dan para anak buahnya untuk mempercepat perjalanan
pulang ke Istana Lembah Naga.
Setelah
sampai di rumah, barulah Hok Boan kembali bertanya kepada Sin Liong tentang
Jeng-hwa-pang. Sebagai seorang yang sudah banyak merantau sebelum dia menetap
di Istana Lembah Naga, tentu saja dia sudah mendengar mengenai Jeng-hwa-pang,
sebuah perkumpulan yang sangat ditakuti orang karena perkumpulan itu merupakan
perkumpulan orang-orang yang luar biasa kejam dan pandai menggunakan segala
macam racun yang mengerikan.
Sin Liong
masih banyak berdiam diri dan tidak banyak bercerita. Dia hanya menceritakan
betapa di tengah jalan wanita iblis yang telah menculiknya itu dikeroyok oleh
orang-orang Jeng-hwa-pang, betapa dia kemudian dilarikan oleh ketua
Jeng-hwa-pang, meninggalkan anggota-anggotanya yang dihajar oleh iblis betina
itu.
"Jeng-hwa-pang
juga tidak mampu mengalahkan dia?" Hok Boan bertanya dengan muka berubah
pucat dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main lihainya wanita
itu...!"
Sin Liong
tidak mau menceritakan betapa sute dari wanita itu, yang masih kecil, hanya
berselisih satu atau dua tahun saja dengan dia, sudah mengalahkan
pembantu-pembantu utama dari ketua Jeng-hwa-pang! Jika diceritakannya, tentu
orang ini akan menjadi makin terheran-heran lagi, pikirnya.
Kini nampak
olehnya betapa kepandaian suami dari ibu kandungnya itu, juga kepandaian dari
mendiang ibunya, yang tadinya dianggap sangat hebat dan lihai, ternyata tidak
ada artinya sama sekali apa bila dibandingkan dengan kepandaian ketua
Jeng-hwa-pang, apa lagi kalau dibandingkan dengan kepandaian Kim Hong Liu-nio
dan sute-nya. Ternyata di luar Istana Lembah Naga ini terdapat banyak sekali
orang pandai!
Hal ini
membuat dia makin ingin untuk pergi, untuk mencari ayahnya, untuk menyaksikan
sendiri betapa lihai ayahnya yang oleh ibunya dianggap sebagai pendekar nomor
satu di dunia ini! Ingin sekali dia melihat ayahnya mengalahkan orang seperti
iblis betina Kim Hong Liu-nio itu.
"Lalu
apa yang terjadi denganmu saat engkau dilarikan ketua Jeng-hwa-pang,
Liong-ko?" tanya Lin Lin yang seperti anak-anak lainnya, tertarik bukan
main mendengar pengalaman Sin Liong yang amat menyeramkan itu.
"Aku
dilempar ke dalam lubang penuh ular..."
"Ihhh...!"
Lan Lan dan Lin Lin menjerit ngeri.
"Kau
dilempar ke dalam lubang ular dan kau tidak apa-apa?" tanya Beng Sin,
matanya yang lebar itu makin membesar, mulutnya melongo.
"Aku
digigit ular-ular itu, akan tetapi aku diselamatkan oleh..." Sampai di
sini, Sin Liong menunduk dan kembali dia harus menggunakan ujung lengan bajunya
yang robek-robek dan kotor untuk menghapus dua titik air matanya.
Lin Lin
dapat menduga. "Monyet betina itu yang menolongmu, Liong-ko?"
Sin Liong
mengangguk. "Dia dan teman-teman lain..., aku penuh luka lalu dirawat
sampai sembuh. Kemudian tadi aku melihat kalian dilarikan penculik itu..."
Sejak tadi
Siong Bu hanya mendengarkan saja, kini dia berkata, "Ahh, kau hebat
sekali, Sin Liong!" katanya penuh kagum dan juga mengandung iri karena
kini dalam pandang mata Lan Lan dan Lin Lin, tentu Sin Liong merupakan seorang
yang amat gagah perkasa dan hebat.
Betapa pun
hatinya tetap saja mengandung rasa tidak suka kepada anak itu, akan tetapi
karena anak itu sudah menyelamatkan Lan Lan dan Lin Lin, karena andai kata
tidak ada Sin Liong beserta monyet-monyet itu yang menyerang si penculik,
kiranya dia dan anak buahnya tidak akan mampu menyusul penculik itu, Hok Boan
lalu cepat memberi pakaian dan sepatu baru kepada Sin Liong dan bersikap manis
kepada anak ini.
Akan tetapi
Sin Liong sudah tidak memiliki semangat dan minat sama sekali untuk tinggal
lebih lama di istana itu. Setelah ibunya tidak ada, apa lagi setelah kini induk
monyet yang disayangnya itu pun tewas pula, tidak ada apa-apa lagi yang
menahannya di tempat itu. Benar bahwa dia akan merasa kehilangan kalau berpisah
dari Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi ikatan ini tidak cukup kuat untuk
menahannya.
Demikianlah,
pada suatu hari, pagi-pagi sekali, tanpa diketahui siapa pun juga, dan tanpa
membawa apa-apa kecuali pakaian yang menempel di tubuhnya, Sin Liong
meninggalkan Istana Lembah Naga. Dia tidak tahu betapa Siong Bu menaruh
perhatian padanya sejak Sin Liong kembali, dan anak ini melihat akan kepergian
Sin Liong maka dia cepat-cepat memberi tahu kepada pamannya!
Sin Liong
berjalan seorang diri melalui padang rumput, menuju ke dalam hutan di sebelah
selatan Lembah Naga. Selama ini belum pernah dia memasuki hutan sebelah selatan
itu, karena selama tinggal di situ, dia selalu hanya bermain-main di dalam
hutan-hutan yang dihuni oleh monyet-monyet yang menjadi teman-temannya, yaitu
hutan di timur dan utara. Dan biasanya, apa bila bermain-main ke selatan dia
hanya sampai Padang Bangkai yang kini telah menjadi pedusunan. Akan tetapi
karena kini dia mengambil keputusan untuk merantau jauh ke selatan, untuk
menyeberangi Tembok Besar dan mencari ayahnya yang kabarnya berada di selatan
sebagai seorang pendekar besar, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menuju ke selatan.
Akan tetapi
baru saja dia tiba di tepi hutan, mendadak terdengar suara orang memanggil
namanya. Dia menoleh dan dilihatnya Kui Hok Boan bersama Siong Bu berlari cepat
mengejarnya. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri tegak dengan sikap tenang. Siapa
pun juga tak boleh melarang dia pergi, pikirnya dan pikiran ini membuat anak
itu memandang dengan sinar mata penuh membayangkan kekerasan hatinya.
Tentu Siong
Bu, anak yang selalu jahat kepadanya itu yang memberi tahu pamannya, pikir Sin
Liong, maka ketika mereka berdua sudah tiba di hadapannya, langsung saja dia
menegur, "Siong Bu, perlu apa engkau memberitahukan paman tentang
kepergianku?"
Mendengar
teguran ini, Siong Bu bertolak pinggang dan berkata, "Sin Liong, kau
sungguh menyangka yang bukan-bukan. Aku memberi tahu paman demi kebaikanmu,
karena aku khawatir engkau akan mengalami bencana kembali kalau engkau
pergi!" Wajah Siong Bu memperlihatkan penasaran karena maksud baiknya
dianggap keliru oleh Sin Liong.
Sementara
itu, Kui Hok Boan mengerutkan alisnya dan berkata kepada Sin Liong, "Anak
baik, kenapa engkau hendak pergi lagi? Hendak kemanakah engkau? Ketahuilah
bahwa setelah ibumu tidak ada, akulah yang bertanggung jawab terhadap dirimu,
dan aku akan merasa menyesal sekali kalau terjadi sesuatu terhadap
dirimu."
Sin Liong
masih teringat akan semua perlakuan orang tua ini terhadap dirinya, maka kini
dengan sinar mata tajam penuh penasaran dia berkata kepada orang tua itu,
"Paman, apakah paman melarangku pergi untuk diajak kembali dan dihajar
seperti tempo hari?"
Mendengar
itu, wajah sasterawan itu berubah dan dia kelihatan berduka serta menyesal
sekali. Dia pun menarik napas panjang dan berkata, "Agaknya benar
kata-kata Siong Bu bahwa engkau terlalu keras hati dan terlalu penuh prasangka
kepada orang lain, Sin Liong. Memang aku pernah bersikap keras kepadamu, akan
tetapi hal itu ditujukan untuk kebaikanmu. Engkau terlalu liar, maka aku hanya
ingin menjinakkanmu agar engkau tidak sampai menyeleweng. Akan tetapi, yahhh...
katakanlah bahwa kami semua telah banyak bersalah kepadamu, banyak menduga
secara keliru. Biarlah di sini aku minta maaf akan segala kesalahan yang
sudah-sudah kepadamu, Sin Liong."
Orang tua
itu berkata dengan sungguh-sungguh karena dia pun teringat kepada isterinya,
teringat akan penderitaan isterinya dan betapa dia betul-betul merasa
kehilangan setelah isterinya meninggal dunia. Setidaknya, Sin Liong merupakan
anak kandung isterinya yang tercinta itu, maka dia ingin berbaik dengan anak
ini, demi kenangan terhadap isterinya.
"Liong-ji,
anakku... mari kita pulang, nak. Percayalah, aku sendiri yang akan menjagamu
supaya jangan ada lagi orang atau siapa saja yang akan menghinamu. Aku juga
akan mengajarkan ilmu silat kepadamu seperti juga kepada semua saudaramu."
Sin Liong
adalah seorang anak yang mempunyai watak aneh luar biasa, berbeda dengan
anak-anak lain. Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua,
bahkan karena tidak ingin rahasianya diketahui orang, mendiang ibunya juga
tidak menunjukkan kasih sayangnya kepadanya.
Oleh karena
haus akan kasih sayang orang tua serta orang lain itulah maka dia dapat bergaul
dengan mesra bersama monyet-monyet itu. Dan keadaan sekelilingnya kemudian
membentuk wataknya menjadi aneh.
Semua
kepahitan hidup telah dideritanya semenjak kecil, maka wataknya kadang-kadang
dapat menjadi keras, dan kadang-kadang menjadi amat perasa dan mudah terharu.
Kalau dia ditekan, dia akan melawan dan memberontak tanpa mengenal takut. Akan
tetapi kalau orang bersikap manis dan halus kepadanya, dia menjadi terharu
sekali.
Kini
menghadapi Kui Hok Boan yang bersikap manis kepadanya, lupalah dia akan segala
perbuatan orang tua itu yang sudah-sudah terhadap dirinya dan dia segera
menjatuhkan dirinya berlutut di depan sasterawan itu. Ia memejamkan mata untuk
menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja Sin Liong menangis!
Kalau dia
ditekan, betapa pun hebatnya derita yang dirasakannya, biar pun dia diancam
oleh siksaan dan kematian, dia tidak sudi mengeluh atau bersambat. Akan tetapi
begitu hatinya terharu, dia tidak sanggup mencegah tangisnya dan kini air
matanya yang sudah lama ditahan-tahannya itu bercucuran dan dia menangis
terisak!
"Sudahlah,
Sin Liong, jangan menangis," Kui Hok Boan berkata dengan sikap terharu,
sedangkan Siong Bu juga berdiri dengan bengong. Belum pernah dia melihat Sin
Liong menangis, bahkan ketika dihajar pun anak ini tidak pernah menangis! Dia
masih bertolak pinggang, akan tetapi lenyap semua penasaran dan dia kini
terheran-heran.
"Paman...
selama ini sayalah yang selalu menyusahkan hati paman saja. Harap paman sudi
memaafkan semua kesalahan saya. Kalau saya tinggal di istana, tidak lain saya
pasti akan mendatangkan lebih banyak onar dan penyesalan hati paman saja. Oleh
karena itu, saya sudah mengambil keputusan pasti untuk pergi mencari ayah
kandung saya, paman."
"Akan
tetapi, mana mungkin kau dapat mencarinya sampai jumpa, Sin Liong? Ke mana
engkau hendak mencarinya?"
"Menurut
penuturan ibu dahulu, ayah berada di selatan, di sebelah sana Tembok Besar,
maka saya akan menyusul ke sana, paman."
Diam-diam
Hok Boan kagum juga akan keberanian anak ini, dan akan kekerasan hatinya yang
luar biasa sehingga biar pun sudah ditegurnya, tetap saja sampai kini
menyebutnya dengan panggilan paman. Setelah diusir oleh Raja Sabutai, dia
sendiri merasa ngeri untuk pergi ke selatan, akan tetapi anak ini hendak
mencari ayahnya ke selatan walau pun dia belum tahu di mana adanya ayahnya itu.
Seolah-olah ‘selatan’ itu hanya dekat saja, asal sudah melampaui Tembok Besar
sudah sampai dan akan berjumpa dengan orang yang dicarinya.
"Sin
Liong, apa kau kira daerah selatan itu kecil saja dan mudah kau jelajahi?
Ketahuilah, bahwa daerah selatan, di sebelah dalam Tembok Besar itu sangatlah
luas, biar engkau menjelajahi sampai selama hidupmu belum akan dapat kau
datangi semua! Dan kau tidak tahu di mana kau hendak mencari? Marilah kau ikut
bersama kami pulang ke rumah, dan kelak aku akan membantumu mencari-cari
keterangan perihal ayah kandungmu itu."
"Tidak,
paman. Saya akan pergi sekarang juga mencari ayah sampai jumpa. Biar sampai
mati sekali pun, sebelum dapat jumpa saya tidak akan berhenti mencarinya!"
Kui Hok Boan
sudah tahu bahwa anak ini memiliki watak yang luar biasa kerasnya, tidak
mungkin ditentang karena andai kata dapat dibujuknya pulang juga, tentu pada
suatu hari akan pergi juga tanpa pamit. Tidak mungkin baginya untuk
terus-menerus menjaga anak ini dan mencegahnya pergi. Dia sendiri menghadapi
kesibukan harus pindah dari Istana Lembah Naga sebelum enam bulan.
"Kalau
memang kau tidak dapat kutahan, Sin Liong, aku pun tidak mampu menahan dan
mencegahmu. Siong Bu, cepat ambil pakaian yang baik-baik, buntal dan ambilkan
uang di dalam kamarku. Di laci meja terdapat sekantung uang perak, bawa ke
sini. Cepat!"
Siong Bu
cepat berlari kembali ke istana, sedangkan Kui Hok Boan lalu memberi nasehat
kepada Sin Liong supaya berhati-hati melakukan perjalanan ke selatan. "Di
sana banyak terdapat orang jahat yang amat pandai, Sin Liong. Lebih baik engkau
tidak secara terang-terangan mengaku diri sebagai putera pendekar Cia Bun Houw,
karena pengakuanmu itu hanya akan mendatangkan bencana dan bahaya. Dan juga
sebaiknya kau tidak menyebut namaku. Ketahuilah, seperti juga pendekar Cia Bun
Houw, aku pun mempunyai banyak musuh di selatan, maka menyebut namanya atau
namaku akan memancing bahaya kalau sampai terdengar oleh mereka yang memusuhi
ayah kandungmu atau aku."
Sin Liong
mendengarkan penuh perhatian tanpa bantahan di dalam hatinya karena sekali ini
dia merasa betapa orang tua itu memberi nasehat dengan setulusnya hati. Dan dia
pun dapat merasakan kebenaran ucapan itu, karena baru sekali saja dia mengaku
sebagai putera Cia Bun Houw, nyawanya hampir melayang dalam tangan Kim Hong
Liu-nio!
Tidak lama
kemudian datanglah Siong Bu berlari-lari dan anak ini membawa sebuntalan pakaian
beserta sekantung uang. Kui Hok Boan lalu menyerahkan buntalan pakaian dan
kantung uang itu kepada Sin Liong, sedangkan Siong Bu sendiri tadi membawa
pisaunya yang amat disayang, yaitu pisau belati berbentuk golok kecil yang amat
tajam dan selama ini dibanggakan.
"Aku
tidak dapat memberi apa-apa kecuali pisauku ini, Sin Liong."
Sin Liong
menerima buntalan, kantung uang dan pisau itu dengan terharu sekali.
"Akan
tetapi... engkau suka sekali kepada pisaumu ini, Siong Bu..."
Siong Bu
tersenyum. "Karena itulah maka kuberikan kepadamu, Sin Liong. Sebagai
tanda persahabatan, maukah kau menerimanya?"
"Terima
kasih... terima kasih...!" Dan semenjak saat dia menerima buntalan dan
pisau itu, maka lenyaplah seluruh rasa tidak senang di dalam hatinya terhadap
Kui Hok Boan dan Siong Bu, lenyaplah seluruh anggapan bahwa mereka itu jahat
kepadanya, bahkan kini berganti dengan anggapan bahwa mereka itu baik sekali
kepadanya!
Tidak aneh
apa yang dirasakan oleh hati Sin Liong itu. Demikianlah adanya kita semua ini!
Semenjak kecil kita sudah terbiasa untuk terombang-ambing di antara pendapat
yang menjadi hasil dari PENILAIAN. Kita memandang segala sesuatu dengan
penilaian, maka muncullah pendapat baik dan buruk, baik dan jahat, dan
sebagainya.
Segala macam
kebalikan-kebalikan di dunia mempermainkan kita, dan juga membentuk
pendapat-pendapat yang tidak lain hanya akan mendatangkan konflik saja dalam
batin. Penilailan ini selalu tentu didasari oleh pengukuran atau pertimbangan
yang merupakan kesibukan yang bersumber kepada kepentingan diri pribadi.
Kita
mengukur sesuatu, atau seseorang, dengan dasar menguntungkan atau merugikan
diri kita sendiri. Kalau menguntungkan lahir atau batin, kalau menyenangkan
hati, maka keluarlah pendapat kita bahwa orang itu adalah baik! Sebaliknya
kalau merugikan lahir atau batin, kalau tidak menyenangkan hati, maka pendapat
kita terhadap orang itu tentu buruk!
Jadi
jelaslah bahwa baik atau pun buruk itu hanya merupakan pendapat yang didasari
oleh kepentingan si aku yang selalu ingin memperoleh kesenangan! Dan sudah
jelas pula bahwa pendapat demikian adalah palsu dan tidak betul! Pendapat ini
hanya merupakan penilaian yang bertiraikan kepentingan pribadi kita, dan tentu
hanya akan mendatangkan pertentangan batin belaka.
Betapa pun
jahat seseorang menurut pendapat umum, apa bila dia itu baik kepada kita,
menyenangkan kita, maka kita akan menganggap dia itu baik! Sebaliknya, dunia
boleh menganggap seseorang itu amat baik, akan tetapi jika dia tidak baik
kepada kita, kalau dia tidak menyenangkan kita, maka tak mungkin kita
menganggapnya baik, dan kita pasti akan menganggap dia jahat! Begitulah
kenyataannya!
Maka,
dapatkah kita memandang segala sesuatu tanpa penilaian? Memandang segala
sesuatu, memandang orang lain, seperti apa adanya, seperti keadaan yang
sebenarnya tanpa menilai yang didasarkan menyenangkan kita atau tidak?
Karena hanya
dengan memandang sesuatu seperti itu sajalah yang membebaskan kita dari
penilaian, dan sesudah kita terbebas dari penilaian, maka kita bebas pula dari
rasa suka atau tidak suka. Seni memandang seperti ini merupakan seni tersendiri
yang hanya nampaknya saja sulit akan tetapi tidaklah sulit kalau kita memiliki
perhatian sepenuhnya dan bila mana kita sadar benar-benar bahwa sudah
semestinya terjadi perubahan dalam kehidupan kita yang lebih banyak sengsaranya
dari pada bahagianya ini.
Sin Liong
segera berpamit meninggalkan Kui Hok Boan dan Kwan Siong Bu yang masih memandang
kepada anak yang berjalan pergi itu dengan penuh kagum dan khawatir. Anak itu
masih terlalu kecil untuk menempuh hidup yang penuh bahaya di sebelah dalam
Tembok Besar.
Ketika Sin
Liong memasuki hutan di luar Tembok Besar, tiba-tiba dari jauh dia mendengar
suara pertempuran. Suara teriakan-teriakan orang yang berkelahi itu diseling
oleh suara berdencingnya senjata yang beradu.
Sin Liong
merasa sangat tertarik, namun dia cukup berhati-hati mengingat akan nasehat
pamannya supaya dia tidak suka mencampuri urusan orang-orang lain, apa lagi
urusan orang-orang kang-ouw. Betapa pun juga, karena hatinya tertarik sekali,
dia tidak mungkin pergi begitu saja tanpa menonton!
Memang pada
dasarnya, anak ini suka sekali menyaksikan kegagahan, dan paling suka melihat
orang mengadu kepandaian dengan ilmu silat. Karena itu dia lantas mengikatkan
buntalannya di pundak dan cepat dia meloncat ke atas, menyambar cabang pohon
paling rendah kemudian bagaikan seekor monyet saja dia memanjat dan berloncatan
naik dari cabang ke cabang, berayun-ayun dari satu pohon ke pohon yang lain
menuju ke tempat terjadinya perkelahian itu. Biar pun dia bersepatu, tapi dia
tidak kehilangan kegesitannya, biar pun tentu saja kakinya yang terbungkus
sepatu itu dirasakannya amat mengganggu gerakannya di atas pohon-pohon di
antara cabang-cabang dan daun-daun.
Akhirnya,
tibalah dia di tempat pertempuran itu dan dia duduk di atas cabang pohon.
Karena tepat seperti yang diduganya, pertempuran itu dilakukan oleh orang-orang
yang menggunakan golok dan pedang, dan dilakukan dengan gerakan silat yang
sangat cepat dan indah, maka hatinya menjadi tertarik sekali dan duduklah dia
di cabang pohon yang dekat agar dia dapat menonton dengan enak.
Saking
tertariknya, Sin Liong tidak melihat bahwa ada bayangan-bayangan lain di atas
pohon-pohon yang berayun-ayun dan mendekati tempat itu. Dia tidak sadar bahwa
ada beberapa ekor monyet besar yang mengenalnya dan monyet-monyet ini lalu
bersama kawan-kawan mereka datang mendekati anak itu.
Sin Liong
amat tertarik menonton pertempuran itu. Seorang laki-laki berusia kira-kira
lima puluh tahun, bertubuh tinggi agak kurus namun kelihatan gagah sekali,
wajahnya tampan membayangkan kegagahan dan keramahan, sedang mainkan pedangnya
dengan cepat untuk menahan pengeroyokan tiga orang laki-laki yang bertubuh
tinggi besar dan yang mengeroyoknya dengan menggunakan golok besar.
Tiga orang
tinggi besar itu mempunyai gerakan yang liar dan ganas sekali, golok mereka
menyerang dengan dahsyat dari tiga jurusan dan kedudukan mereka selalu
membentuk segi tiga ketika mengepung kakek berpedang itu. Tadinya Sin Liong
masih teringat akan nasehat pamannya sehingga tidak hendak mencampuri, hanya
ingin menonton saja.
Tetapi
tiba-tiba dia teringat bahwa tiga orang itu adalah anggota-anggota
Jeng-hwa-pang! Hal ini dapat dikenalinya bukan hanya karena pakaian mereka yang
tidak berlengan itu, akan tetapi juga karena dia mengenali seorang di antara
mereka yang berkumis pendek kaku tanpa jenggot.
Maka begitu
dia mengenal tiga orang itu sebagai orang-orang Jeng-hwa-pang, teringatlah dia
akan ketua Jeng-hwa-pang yang jahat bukan main, yang pernah menyiksanya dan
melemparkannya ke dalam lubang yang penuh ular. Karena itu seketika hatinya
sudah berfihak kepada kakek berpedang itu yang tidak dikenalnya akan tetapi
yang mempunyai wajah yang gagah dan menyenangkan hatinya.
Apa lagi
ketika dia melihat betapa kakek itu makin lama makin terdesak hebat, dia makin
berfihak kepada kakek itu. Dan penglihatannya memang tidak keliru.
Orang yang
berkumis pendek kaku itu memang seorang anggota Jeng-hwa-pang tingkat atas yang
pernah dilihatnya. Ternyata bahwa ada pula anggota Jeng-hwa-pang yang bisa
lolos dari tangan maut Kim Hong Liu-nio dan dua orang yang lain itu adalah
tokoh-tokoh Jeng-hwa-pang yang baru datang. Mereka tidak ikut dalam rombongan
Gak Song Kam, yaitu pangcu (ketua) dari Jeng-hwa-pang, dan mereka bertiga
memiliki kepandaian yang cukup tinggi karena mereka bertiga ini menerima
latihan langsung dari pangcu mereka sehingga tingkat mereka tidaklah lebih
rendah dari pada tingkat Heng-san Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu
pangcu dari Jeng-hwa-pang itu.
Ketika Sin
Liong melihat dengan lebih teliti, maka tahulah dia bahwa kakek berpedang itu
telah terluka di betis kirinya. Pantas saja gerakannya menjadi kaku dan tidak
leluasa. Biar pun demikian, tetap saja sejauh ini pedangnya dapat menangkis
tiga batang golok yang menyerangnya seperti hujan itu.
Sin Liong
tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Apa bila tidak dibantu, kakek gagah itu
akhirnya pasti akan roboh juga, pikirnya. Dia lupa akan keadaan dirinya sebagai
seorang anak-anak yang belum memiliki kepandaian berarti. Terdorong oleh rasa
penasaran dan kasihan kepada kakek itu, tiba-tiba Sin Liong meloncat turun dan
membentak nyaring.
"Tiga
orang mengeroyok satu orang, sungguh pengecut!" Dan dia pun sudah
menerjang maju, langsung menyerang ke arah dada dan perut seorang di antara
para pengeroyok itu seperti seekor kera marah!
Orang itu
terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang menerjangnya hanyalah seorang anak
kecil, dia tertawa mengejek, melompat ke kiri dan pedangnya menyambar ke arah
leher Sin Liong.
"Singggg...!"
Orang itu
sangat terkejut karena sambaran pedangnya luput! Boleh jadi Sin Liong belum
memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi jelas bahwa dia telah mempunyai
ketangkasan yang luar biasa, kegesitan seekor monyet, kecepatan yang wajar dan
yang hanya dapat dikuasai karena kebiasaan, bukan karena latihan. Juga dia
memiliki naluri perasaan yang tajamnya bukan main, maka hal inilah yang
menjadikan kelebihan dari Sin Liong dari pada orang-orang lain, dan membuat dia
dengan mudah mengelak dari sambaran golok itu.
Pada saat
itu pula, tidak kurang dari sepuluh ekor monyet-monyet besar telah berloncatan
turun dan dengan mengeluarkan gerengan dan suara riuh rendah, mereka ikut
menyerbu dan mengeroyok secara membabi buta dan ngawur. Mereka itu menyerang
empat orang itu, termasuk kakek berpedang. Hanya Sin Liong saja yang tidak
mereka keroyok! Tentu saja monyet-monyet itu tidak tahu siapa musuh Sin Liong
yang sebenarnya!
Melihat
munculnya bocah aneh itu dengan sekawanan monyet, tiga orang yang sejak tadi
belum juga mampu mengalahkan kakek yang gagah perkasa itu menjadi jeri. Mereka
lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi, terus melarikan diri secepatnya dari
tempat itu.
Melihat
betapa kini monyet-monyet itu hendak mengeroyok si kakek gagah, segera Sin
Liong mengeluarkan bunyi pekik monyet yang nyaring hingga monyet-monyet itu
segera mundur, hanya masih memandang ke arah kakek berpedang dengan mata marah
dan memperlihatkan taring. Kakek itu yang juga terkejut, dengan pedang di
tangan sekarang memandang kepada Sin Liong penuh keheranan.
Sin Liong
segera berkata, "Paman, setelah mereka pergi, harap paman juga cepat-cepat
meninggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang kembali."
Kakek itu
memandang dengan bengong. "Jadi kau... dan monyet-monyet itu... kalian
telah menolongku tadi?" tanyanya, masih bingung karena merasa heran
bagaimana dari dalam hutan tahu-tahu muncul seorang bocah tampan yang secara
berani mati membantunya bersama sekawanan monyet liar itu.
"Maafkan,
mereka itu tadi tidak tahu aturan, tidak mengenal mana kawan mana lawan.
Melihat paman dikeroyok, aku melupakan kebodohan sendiri dan membantu."
Laki-laki
itu semakin heran. Anak hutan yang berkawan dengan monyet-monyet ini pandai
membawa diri, sikapnya halus dan sopan pula! Sungguh ajaib!
"Anak
baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Engkau siapakah? Apakah kau tinggal
di sini?"
Sin Liong
menggeleng kepalanya. "Saya tidak mempunyai tempat tinggal, paman, tempat
tinggal saya di dalam hutan, di atas pohon-pohon bersama monyet-monyet
itu."
"Ahhh...!
Dan engkau membawa buntalan pakaian, agaknya hendak pergi?"
"Benar,
paman. Saya hendak pergi menyeberang Tembok Besar..."
"Kau?
Seorang diri pula? Anak baik, siapa namamu?"
"Nama
saya Sin Liong...," dia tidak mau menyebutken she-nya.
"Nama
keluargamu?" Kakek itu mendesak.
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu."
"Ayah
ibumu?"
"Tidak
ada..."
"Luar
biasa sekali! Sin Liong, ketahuilah bahwa aku adalah seorang piauwsu, bernama
Na Ceng Han, tinggal di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Aku datang
ke tempat ini dalam perjalanan menuju ke kaki Pegunungan Khing-an-san mencari
seorang sahabatku bernama Bhe Coan, seorang pandai besi. Akan tetapi ternyata
sahabatku itu telah tewas dibunuh orang! Maka aku hendak kembali dan setibanya
di hutan ini bertemu dengan tiga orang jahat yang tanpa sebab langsung
menyerangku tadi. Untunglah ada engkau yang sudah menolongku. Sin Liong, anak
baik yang aneh sekali. Jangan kau takut kepadaku, ceritakan saja terus terang,
siapakah orang tuamu dan ke mana engkau hendak pergi?"
Sin Liong
mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek itu. Na-piauwsu atau Na Ceng Han
terkejut bukan main. Anak itu memiliki sinar mata yang tajam luar biasa,
menyambar seperti kilat pada waktu memandang kepadanya! Memang Sin Liong merasa
tidak senang ketika didesak seperti itu.
"Paman
Na, di antara kita tidak ada urusan apa-apa. Setelah tiga orang itu pergi,
harap paman suka pergi saja."
"Jangan
marah, Sin Liong. Aku bertanya karena merasa heran sekali di tempat seperti ini
bertemu dengan seorang anak seperti engkau. Engkau mengaku tidak ada ayah
bunda, sebatang kara dan tidak punya tempat tinggal, akan tetapi pakaianmu baik
dan engkau membawa buntalan pakaian..."
"Saya
dapatkan dari orang-orang dusun yang memberi kepada saya," jawab Sin Liong
secara singkat.
"Benarkah
kau sebatang kara dan hendak ke selatan?"
"Paman,
saya tidak biasa membohong!"
"Bagus!
Kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku ke selatan, anak baik."
"Akan
tetapi, saya tidak mau terikat kepada paman..."
Tiba-tiba Na
Ceng Han tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau seorang anak berjiwa gagah,
akan tetapi agaknya belum tahu siapa orang yang boleh dipercaya dan siapa
tidak. Aku selamanya tidak mau mengikat orang, anakku. Marilah!"
Dia membalik
dan hendak berjalan, akan tetapi mengeluh dan hampir saja jatuh terguling kalau
Sin Liong tidak cepat menangkap tangan kakek itu.
"Paman,
engkau terluka!"
"Ah,
keparat itu...!" Na Ceng Han memaki dan cepat dia duduk di atas tanah dan
merobek celananya pada bagian betis kiri. Di sana nampak tanda membiru dan
lapat-lapat masih nampak ujung sebatang jarum yang menancap sampai dalam.
"Celaka!
Engkau telah terkena jarum rahasia yang beracun, paman!"
Sekali
pandang saja Na Ceng Han memang sudah menduga bahwa jarum yang mengenai
betisnya itu beracun, akan tetapi dia heran bagaimana anak itu bisa tahu. Tanpa
berkata apa-apa dia lalu mencabut pedangnya yang tadi telah disarungkan dan
hendak membuka kulit betis yang terluka itu dengan pedang.
"Paman,
pergunakan ini saja!" Sin Liong cepat mengeluarkan pisaunya, pemberian
Siong Bu karena menggunakan pedang yang panjang itu untuk membedah betis tentu
saja amat canggung.
"Terima
kasih, kau baik sekali!" kata Na Ceng Han dan dia menerima pisau yang baru
dan mengkilap tajam tanpa karat sedikit pun itu, lalu tanpa ragu-ragu lagi
kakek ini merobek kulit betis yang terluka dengan pisau itu.
Sin Liong
memandang dan diam-diam anak ini juga kagum sekali akan kegagahan kakek itu
yang berkejap pun tidak pada saat pisau itu ditusukkan ke dalam dagingnya
kemudian merobeknya, membukanya sampai darah menguncur keluar. Dan memang benar
dugaan Sin Liong, darah yang keluar itu berwarna agak kehijauan!
"Darahnya
harus disedot keluar, paman," kata pula Sin Liong dan karena agaknya tidak
mungkin bagi orang itu untuk menyedot sendiri betisnya, maka dia melanjutkan
dengan cepat, "Biar kulakukan itu, paman!"
Na Ceng Han
terkejut bukan kepalang dan hendak mencegah, akan tetapi anak itu telah
memegang betisnya dan tanpa ragu-ragu sudah menempelkan mulutnya pada betis
yang terluka lalu menyedotnya kuat-kuat. Sin Liong meludahkan darah yang
disedotnya, cepat menyedot lagi sampai berulang lima kali dan setelah darah
yang keluar berwarna merah, barulah dia berhenti menyedot.
Na Ceng Han
memegang pundak anak itu yang sedang membersihkan mulutnya dengan ujung lengan
bajunya. Dia terharu bukan main. Anak ini tak dikenalnya sama sekali, baru saja
bertemu, tetapi tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika secara nekat membantu
dia mengundurkan para perampok lihai itu. Dan sekarang dengan suka rela anak
ini telah menyedot racun dari luka pada betisnya! Bukan main anak ini! Kedua
mata orang tua itu menjadi basah karena hampir dia tidak percaya bahwa dia
bertemu dengan seorang anak seperti ini.
"Sin
Liong, apa yang kau lakukan ini takkan dapat kulupakan selama hidupku!"
katanya.
Akan tetapi
Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera menghampiri monyet-monyet besar
kemudian dengan suara memekik-mekik dia minta kepada para monyet itu untuk
mencarikan daun obat untuk luka Na Ceng Han.
Kembali Na
Ceng Han terbelalak memandang dan melihat para monyet itu berloncatan pergi dan
tak lama kemudian datang membawa semacam daun berwarna kecoklatan. Sin Liong
lalu mencuci daun-daun itu dengan air jernih yang mengalir tidak jauh dari
situ, lalu perlahan-lahan dia meremas-remas daun-daun itu sampai daun-daun itu
menjadi lunak dan mengeluarkan lendir.
Dengan
hati-hati dia lalu menutupkan daun-daun itu sampai lima enam tumpuk di atas
luka pada betis Na Ceng Han, kemudian membalut luka yang ditutupi daun-daun
obat itu dengan sehelai sapu tangan. Na Ceng Han merasa betapa luka yang
tadinya panas itu kini menjadi dingin sekali.
"Sin
Liong, sungguh engkau seorang anak ajaib sekali! Bagaimana kau bisa berhubungan
dengan monyet-monyet itu dan dapat memerintahkan mereka?" Na Ceng Han
bertanya dengan pandang mata penuh kagum.
"Tidak
ada yang aneh, paman. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan mereka dan tahu
cara hidup mereka, bahkan saya pernah menderita luka-luka akibat cakaran dan
gigitan harimau, dan mereka itulah yang mengobatiku, menjilati semua lukaku dan
menaruhkan daun obat ini."
"Bukan
main! Dan bagaimana kau tahu bahwa aku terkena jarum beracun? Memang tadi
ketika tiga orang lihai itu muncul, mereka menyerangku dengan jarum-jarum dan
agaknya ada sebatang yang mengenai betisku. Aku hanya merasa agak kaku di kaki
ini akan tetapi tidak sempat memeriksanya karena mereka sudah mengepung dan
menyerangku."
Sin Liong
tidak ingin menceritakan keadaan dirinya secara selengkapnya karena dengan
demikian dia harus mengaku siapa orang tuanya dan menceritakan pula mengenai
Istana Lembah Naga, maka dia hanya berkata,
"Saya
dapat menduganya setelah melihat luka itu, karena saya mengenal tiga orang
tadi, paman. Mereka itu adalah orang-orang dari Jeng-hwa-pang dan sudah tentu
saja mereka menggunakan racun dalam senjata rahasia mereka."
Akan tetapi
ucapannya itu bahkan amat mengejutkan Na Ceng Han sampai dia terlonjak dan
bangkit berdiri, tak merasakan kenyerian betisnya ketika dia berdiri saking
kagetnya. Bahkan wajahnya pun lantas berubah, persis seperti keadaan Kui Hok
Boan ketika untuk pertama kali mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang.
"Jeng-hwa-pang...?" Kakek ini bertanya, suaranya agak menggetar
karena ngeri dan jeri. "Mereka... mereka itu orang-orang Jeng-hwa-pang?
Ahh, Sin Liong, bagaimana kau bisa tahu?"
"Saya...
saya pernah melihat dan mendengar mereka dari atas pohon ketika mereka lewat
dan bercakap-cakap, paman."
"Kalau
benar demikian, mari kita cepat pergi dari sini, Sin Liong!"
Sin Liong
mengangguk dan pergilah dua orang itu menuju ke selatan. Walau pun agak
terpincang, akan tetapi Na Ceng Han tak lagi merasakan kakinya kaku seperti
tadi, maka mereka dapat melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa ke selatan.
Sebetulnya
kita tidak perlu khawatir sehingga harus tergesa-gesa, pikir Sin Liong, karena
Jeng-hwa-pang sudah dibasmi oleh Kim Hong Liu-nio, dan mungkin tiga orang tadi
hanya sisanya saja. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu, hanya diam-diam
dia merasa bersyukur bahwa dia dapat bertemu dengan kakek ini karena kalau dia
harus melakukan perjalanan seorang diri, mungkin dia akan sesat jalan dan akan
makan waktu lebih lama untuk melewati Tembok Besar. Sebaliknya Na Ceng Han
melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa dan dengan hati diliputi kekhawatiran
besar.
Seperti juga
orang-orang lain yang sudah banyak merantau dan banyak pengalamannya di dunia
kang-ouw, tentu saja Na Ceng Han sudah pernah mendengar nama perkumpulan
Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu, maka ketika mendengar tiga orang
penyerangnya tadi adalah orang-orang Jeng-hwa-pang, dia terkejut sekali dan
ingin cepat meninggalkan tempat itu karena takut kalau-kalau orang-orang
Jeng-hwa-pang akan mengejarnya.
Dia masih
merasa sangat heran dan tidak mengerti kenapa secara tiba-tiba orang-orang
Jeng-hwa-pang memusuhinya tanpa bertanya-tanya, padahal tadinya dia menyangka
tiga orang itu hanya perampok-perampok biasa saja. Pantas kepandaian mereka
begitu hebat! Dan diam-diam dia pun dapat menduga bahwa di dalam diri anak yang
berjalan dengan gagahnya di sampingnya itu tentu tersembunyi rahasia yang amat
hebat.
Tak mungkin
ada anak biasa saja seperti Sin Liong ini. Mengakunya hidup sebatang kara di
dalam hutan, akan tetapi memiliki pakaian yang cukup baik, mengenal tata susila
dan sopan santun seperti anak kota yang terpelajar, dan jelas memiliki
kepandaian silat yang aneh, keberanian luar biasa dan pandai memerintah
monyet-monyet. Yang paling aneh, anak ini mengenal orang-orang Jeng-hwa-pang
dan tahu tentang jarum-jarum beracun!
Diam-diam
hatinya girang juga bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini, apa lagi
sesudah mendapat kenyataan betapa selama melakukan perjalanan dari pagi sampai
sore ini anak itu tidak pernah mengeluh, meski pun keringatnya telah membasahi
seluruh badan dan napasnya agak memburu. Tidak minta minum, tidak mengeluh sama
sekali. Benar-benar anak ajaib!
Na Ceng Han
adalah seorang piauwsu yang cukup terkenal di kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei,
sebelah selatan kota raja. Dia bukan saja terkenal sebagai seorang yang pandai
ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali terkenal sebagai seorang piauwsu
(pengawal barang kiriman) yang amat jujur, setia dan boleh dipercaya.
Sudah
puluhan tahun Na-piauwsu ini bekerja sebagai piauwsu dan belum pernah barang
yang dikawalnya itu tidak sampai ke tempatnya dengan selamat. Dia melindungi
barang kiriman yang dipercayakan kepadanya dengan taruhan nyawanya.
Tetapi
penyebab utama yang membuat dia selalu berhasil dalam melaksanakan tugasnya
adalah karena hubungannya yang amat luas, baik dengan golongan para pendekar,
mau pun dengan golongan hitam. Dia tidak segan-segan untuk membagi hasil jerih
payahnya mengawal barang itu dengan fihak-fihak kaum sesat yang berkuasa di
sepanjang jalan sehingga fihak kaum sesat juga merasa segan mengingat
Na-piauwsu ini lihai dan banyak sekali sahabatnya di antara para pendekar
ternama, juga karena Na-piauwsu bersahabat baik dengan banyak tokoh kaum sesat.
Seperti
pernah diceriterakan di bagian depan, pandai besi ahli pembuat pedang Bhe Coan
yang tinggal di dusun di kaki Pegunungan Khing-an-san, juga termasuk seorang
sahabat baik Na Ceng Han. Sebelum Bhe Coan menikah dengan janda Leng Ci yang
genit, dia sudah kematian isterinya ketika melahirkan seorang anak perempuan.
Sesudah menikah dengan janda genit dan cantik itu, si janda membujuknya untuk
menyingkirkan anaknya, maka dia teringat kepada sahabatnya itu dan dia lalu
memberikan anaknya perempuan itu kepada Na Ceng Han.
Na-piauwsu
menerima anak itu dengan senang, bukan hanya karena Bhe Coan adalah seorang
sahabat baiknya, akan tetapi juga karena dia dan isterinya hanya mempunyai
seorang anak laki-laki saja dan mereka berdua memang ingin sekali mempunyai
seorang anak perempuan.
Pada hari
itu, pada saat pekerjaannya agak sepi, yang ada hanya barang-barang kiriman
yang tak begitu penting sehingga cukup diantar dan dikawal oleh para
pembantunya saja, Na-piauwsu teringat akan sahabat baiknya itu. Dia ingin
mengunjunginya, bukan hanya karena sudah merasa rindu dan ingin tahu bagaimana
keadaan sahabatnya yang dia tahu amat jujur dan agak bodoh, akan tetapi sangat
ahli dalam pembuatan pedang itu, akan tetapi juga untuk mengabarkan tentang
keadaan Bi Cu, yaitu puteri dari sahabatnya itu, dan untuk minta dibuatkan
sebatang pedang yang baik untuk Bi Cu!
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget dan dukanya ketika dia mendengar bahwa Bhe Coan
sahabatnya itu telah tewas bersama isteri barunya, tewas dibunuh orang tanpa
ada yang tahu siapa pembunuhnya! Bahkan dia mendengar dari para tetangga betapa
banyak orang gagah yang datang untuk memesan pedang, juga terkejut dan marah,
ingin tahu siapa pembunuhnya. Akan tetapi sampai sekian lamanya tak ada pula
yang pernah mengetahuinya karena memang tidak ada orang yang menyaksikan
pembunuhan atas diri suami isteri itu.
Demikianlah,
dalam perjalanan pulang dari tempat tinggal sahabatnya, tanpa
disangka-sangkanya Na Ceng Han bertemu dengan Sin Liong dan kini dia melakukan
perjalanan pulang bersama Sin Liong. Di tengah perjalanan, beberapa kali Na
Ceng Han memancing kepada anak itu untuk menceritakan riwayatnya.
Akan tetapi
Sin Liong lebih banyak tutup mulut dari pada berbicara dan bagaimana pun
didesak, tetap saja Sin Liong mengatakan bahwa namanya Sin Liong dan dia tidak
tahu siapa nama ayahnya dan siapa ibunya. Dia mengatakan bahwa semenjak kecil
dia hidup di antara monyet-monyet yang merawatnya.
"Akan
tetapi engkau memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya. Dari siapa engkau
mempelajari kepandaian itu, Sin Liong?" tanya Na Ceng Han ketika pada
suatu malam mereka berhenti melewatkan malam di Tembok Besar.
"Saya
hanya ikut-ikut latihan bersama anak-anak dusun, paman. Saya juga meniru-niru
gerakan monyet-monyet kalau berkelahi," jawab Sin Liong secara singkat.
Melihat anak itu memang sifatnya pendiam dan kelihatannya amat keras hati, Na
Ceng Han tidak mau mendesak lagi, sungguh pun keterangan itu tidak dipercaya
sepenuhnya.
"Maafkan
aku kalau aku cerewet, Sin Liong. Akan tetapi aku amat tertarik kepadamu, dan
sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan lagi harap kau suka jawab
sejujurnya. Engkau yang hidup di dalam hutan, tanpa sanak kadang tanpa
keluarga, kenapa engkau secara tiba-tiba saja hendak pergi ke selatan? Engkau
tahu akan sopan santun, agaknya engkau tahu pula baca tulis, siapakah yang
mengajarkan itu semua dan dari siapa kau tahu bahwa di sebelah sana Tembok
Besar terdapat dunia yang amat luas?"
"Ahh,
paman. Di dusun banyak juga orang yang pandai baca tulis dan saya juga
ikut-ikut belajar. Tentang maksudku berkunjung ke selatan Tembok Besar... ahh,
saya hanya ingin meluaskan pengetahuan, paman..." Sesudah berkata
demikian, Sin Liong menunduk dan jelas nampak dari wajahnya bahwa dia tidak
ingin banyak bicara tentang dirinya sendiri lagi.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah melanjutkan perjalanan mereka,
menyeberang Tembok Besar menuju ke selatan. Jantung Sin Liong berdebar-debar
penuh ketegangan ketika dia memasuki dusun pertama dari daerah selatan ini.
Alangkah jauh bedanya keadaan di selatan dengan di utara.
Di sini
mulai tampak padat dengan penduduk, dan ingatan bahwa dia makin dekat dengan
ayah kandungnya, membuat dia merasa tegang dan gembira. Dia tidak tahu atau
belum dapat membayangkan bahwa dunia selatan ini amat luasnya, lebih luas dari
pada langit yang dapat nampak olehnya, dan betapa mencari satu orang di antara
ratusan juta orang bukan merupakan hal yang mudah!
Akan tetapi
dia mempunyai sebuah keuntungan, yaitu bahwa yang dicarinya itu bukanlah orang
biasa, melainkan seorang pendekar yang namanya pernah menjulang tinggi sekali
di dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu. Bahkan pada waktu itu juga,
tidak ada seorang pun kang-ouw yang tidak mengenal nama Cin-ling-pai di mana
kakeknya, yaitu ayah dari Cia Bun Houw, menjadi ketuanya!
Melihat
kegembiraan anak itu, diam-diam Na Ceng Han merasa terharu sekali. Anak ini
sungguh patut dikasihani, pikirnya. Sesudah melakukan perjalanan selama
beberapa hari ini bersama Sin Liong, dia semakin terkesan dan tertarik oleh
anak ini yang benar-benar amat luar biasa. Pendiam, keras hati, tabah, sopan,
dan sangat cerdik. Apa lagi anak ini telah menolongnya, bahkan kini luka di
betisnya telah sembuh berkat perawatan Sin Liong yang membawa banyak daun obat
untuk mengganti obat di luka itu setiap hari.
Na Ceng Han
merasa berhutang budi kepada anak ini maka dia mengambil keputusan untuk
melakukan apa saja bagi anak ini. Dia lalu mengajak Sin Liong singgah di kota
raja, tak lain hanya untuk menyenangkan hati anak ini.
Dan Sin
Liong memang senang bukan main. Dia merasa takjub melihat gedung-gedung indah,
jembatan-jembatan besar yang indah, taman-taman yang seperti dalam dongeng saja
di kota raja! Tiada habisnya dia mengagumi segala apa yang dilihatnya dan dia
amat berterima kasih kepada Na Ceng Han.
Akhirnya
sampailah mereka di kota Kun-ting. Ternyata rumah Na-piauwau cukup besar,
merupakan sebuah gedung yang meski pun tidak amat mewah, akan tetapi cukup
bagus karena selama bekerja puluhan tahun sebagai piawsu, Na Ceng Han bisa
mengumpulkan kekayaan sekedarnya. Kantor piauwkiok-nya (perusahaan ekspedisi)
diberi nama Ui-eng Piauwkiok.
Nama Ui-eng
(Garuda Kuning) berasal dari nama julukan ayah dari Na Ceng Han yang kini sudah
meninggal dunia. Ayah dari Na Ceng Han juga seorang piauwsu dan karena ayahnya
itu suka sekali memakai pakaian kuning dan sepak terjangnya laksana seekor
garuda, maka dia mendapatkan julukan Garuda Kuning. Maka pada waktu ayahnya itu
membuka piauwkiok, julukan ini lalu dipakai.
Karena itu
terkenallah Ui-eng Piauwkiok sampai menurun kepada Na Ceng Han. Bendera
berlatar belakang merah dengan gambar seekor garuda kuning amat dikenal oleh
seluruh kaum liok-lim dan kalangan kang-ouw sehingga baru benderanya itu saja
yang berkibar di atas gerobak pengangkut burang yang dikawal oleh Ui-eng
Piauwkiok, sudah merupakan jaminan keamanan gerobak itu.
Kedatangan
Na Ceng Han disambut oleh isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh
lima tahun, bersikap lemah lembut dan ramah, lalu nampak seorang anak laki-laki
sebaya dengan Sin Liong. Anak ini adalah Na Tiong Pek, putera tunggal dari
keluarga Na. Dan di belakang Tiong Pek ini muncul seorang anak perempuan yang
manis sekali, yang mengingatkan Sin Liong kepada Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi
anak perempuan ini sifatnya lemah lembut dan pendiam, bahkan agak malu-malu
tidak seperti Lan Lan dan Lin Lin.
Anak
perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, memandang kepada Sin Liong
dengan mata terbuka lebar keheranan. Anak ini adalah Bi Cu, puteri dari Bhe
Coan yang sejak bayi dititipkan kepada Na Ceng Han. Bhe Bi Cu tidak diaku anak
oleh Na Ceng Han, maka masih memakai she Bhe, akan tetapi dalam kehidupan
sehari-hari, anak ini tidak dianggap orang lain oleh suami isteri Na, dianggap anak
sendiri, bahkan amat disayang oleh mereka. Betapa pun juga, Bhe Bi Cu selalu
‘tahu diri’, merasa dia bukanlah anak mereka dan hanya seorang yang menumpang
hidup! Inilah agaknya yang membuat Bi Cu selalu bersikap pendiam dan malu-malu.
Keluarga Na
menyambut kedatangan Na Ceng Han dengan penuh kegembiraan. Apa lagi setelah
piauwsu itu mengeluarkan oleh-olehnya. Kain sutera halus untuk isterinya,
hiasan rambut dari emas untuk Bi Cu, dan gendewa beserta anak panahnya yang
terukir dan dicat indah untuk Tiong Pek. Semua benda ini dibelinya di kota raja
dan hanya di kota raja sajalah ada yang menjual benda-benda seindah itu. Tentu
saja anak-anak dan isterinya itu gembira sekali dan barulah isterinya bertanya
siapa adanya anak laki-laki yang ikut bersama suaminya.
Sejak tadi
Sin Liong memandang pertemuan itu dengan hati perih dan penuh rasa iri di dalam
hatinya. Belum pernah dia mengalami pertemuan seperti itu, demikian asyik dan
mesra! Belum pernah dia merasakan betapa akan gembira hatinya ketika menyambut
pulangnya seorang ayah yang membawa oleh-oleh! Akan tetapi dia hanya menunduk
dan membiarkan ayah bersama keluarganya itu bertemu dan melepaskan rindu tanpa
berani mengganggu, bahkan dia mundur di sudut.
"Siapakah
anak itu?" tanya nyonya Na dan kini dua orang anak itu pun yang tadinya
bergembira dengan barang-barang mereka menoleh dan memandang kepada Sin Liong.
Karena semua
mata kini memandang kepadanya, Sin Liong yang tadinya menunduk kini malah
mengangkat mukanya dan membalas pandang mata mereka dengan tenang. Dia melihat
betapa wajah nyonya itu peramah sekali, betapa sepasang mata anak laki-laki itu
memandangnya penuh curiga dan anak perempuan yang manis itu memandang padanya
dengan sepasang mata terbuka lebar, agaknya terheran-heran.
Na Ceng Han
tertawa, kemudian menghampiri Sin Liong dan menaruh tangannya di atas pundak
anak itu dan berkatalah dia kepada keluarganya. "Anak ini bernama Sin
Liong dan ketahuilah, kalau tidak ada anak ini, aku sudah tidak akan berjumpa
lagi dengan kalian. Aku tentu telah tewas di utara sana tanpa ada yang
mengetahui."
"Ihhh...?"
Nyonya Na berseru dengan muka berubah pucat.
"Ahh...!"
Bi Cu juga berseru dan matanya makin terbelalak memandang kepada Sin Liong.
"Ayah,
apakah yang telah terjadi?" Tiong Pek juga berseru kaget.
Na Ceng Han
menarik napas panjang, lantas dengan halus mendorong Sin Liong maju menghampiri
keluarganya. "Marilah kuperkenalkan dulu. Sin Liong, dia ini adalah
bibimu, dan ini adalah anakku, Na Tiong Pek dan ini adalah keponakanku, Bhe Bi
Cu."
Sin Liong
yang sejak kecil sudah diajar sopan santun oleh ibunya, cepat memberi hormat
kepada nyonya itu sambil menyebut. "Bibi..."
Nyonya Na
segera mengulurkan tangan memegang pundak anak itu dan berkata, "Anak
baik, duduklah."
Kini mereka
semua duduk mengelilingi meja, dan mulailah Na Ceng Han menceritakan
pengalamannya ketika dia dihadang oleh tiga orang perampok lihai dan dia sudah
terluka kakinya, kemudian Sin Liong muncul bersama rombongan monyet dan
menyelamatkan dirinya dari bahaya maut.
"Dia
tidak hanya membantuku mengusir tiga orang itu, tetapi bersama teman-temannya,
rombongan kera itu, dia telah mengobati luka pada kakiku sampai sembuh!"
Na-piauwsu mengakhiri ceritanya tanpa menyebut-nyebut tentang kematian Bhe
Coan.
Nyonya
bersama kedua orang anak itu mendengarkan dengan mata terbuka lebar, penuh
perhatian dan penuh keheranan.
"Luar
biasa sekali...!" seru nyonya itu sambil memandang kepada Sin Liong.
"Seolah-olah Thian sendiri yang mengutus dia turun dari kahyangan untuk
menolongmu, suamiku!"
Na Ceng Han
tertawa. "Ha-ha-ha-ha, memang tadinya aku sendiri pun terheran-heran dan
mengira dia seorang dewa sebangsa Lo-cia! Akan tetapi dia seorang manusia biasa
yang ingin ke selatan, maka aku membawanya sampai ke sini."
"Muncul
bersama serombongan monyet?" Tiong Pek berseru heran sambil memandang
kepada Sin Liong. "Apakah... apakah dia mengenal monyet-monyet
itu...?"
"Ha-ha-ha,
mengenal mereka? Tiong Pek, sayang kau tidak melihat sendiri betapa dia ini
sudah memerintahkan monyet-monyet untuk mundur ketika mereka itu salah sangka
dan hendak mengeroyokku, kemudian betapa dia menyuruh monyet-monyet itu
mencarikan daun obat untuk mengobati luka di betisku!"
"Ahh...!
Benarkah itu? Kalau begitu engkau bisa bercakap-cakap dengan monyet!"
Tiong Pek bertanya kepada Sin Liong, sinar matanya penuh kekaguman dan Sin
Liong melihat betapa anak ini memiliki watak yang jujur. Maka dia mengangguk
tanpa menjawab.
"Bagus,
kau harus ajari aku bicara monyet!" Tiong Pek berseru sambil memegang
tangan Sin Liong. "Dan kau boleh memilih benda-benda mainanku, mana yang
kau suka boleh kau ambil!" Tiong Pek kemudian menarik tangan Sin Liong.
"Marilah. Sin Liong, mari kita bermain di belakang!"
Sin Liong
hanyut oleh kegembiraan anak itu. Anak ini berbeda dengan Siong Bu, dan biar
pun tidak selucu Beng Sin, akan tetapi anak ini jujur dan terbuka, tidak
seperti Beng Sin yang tidak berani terang-terangan bersikap manis kepadanya.
Akan tetapi dia tidak mau bersikap kurang hormat dan dia memandang kepada Na
Ceng Han.
Na-piauwsu
tersenyum dan mengangguk. "Kau bermainlah bersama Tiong Pek dulu, Sin
Liong, aku hendak bicara dengan bibimu dan dengan Bi Cu."
Maka
pergilah Sin Liong, setengah ditarik oleh Tiong Pek, menuju ke ruangan belakang
dari rumah yang besar itu. Bi Cu mengikuti mereka dengan pandang matanya.
Agaknya dia pun ingin bicara dengan Sin Liong, ingin bertanya mengenai
kehidupan anak itu yang sangat aneh, yang pandai memerintah monyet-monyet, dan
terutama sekali, yang datang dari utara, dari mana dia pun datang ketika masih
bayi.
Akan tetapi
sebagai seorang anak perempuan, dia tidak mau menyatakan keinginannya itu, apa
lagi dia tadi mendengar bahwa pamannya hendak berbicara dengan dia. Dia tahu
bahwa pamannya baru saja pergi ke utara untuk mengunjungi ayahnya, yang
kabarnya menjadi pandai besi, ahli pembuat pedang di utara sana, maka kini dia
ingin mendengar tentang ayahnya itu dari Na-piauwsu.
"Lalu
sudahkah kau berjumpa dengan Saudara Bhe Coan?" Na-hujin bertanya.
Hatinya
sudah merasa tidak enak karena kepergian suaminya ke utara itu adalah untuk
mengunjungi sahabat suaminya itu, akan tetapi semenjak tadi suaminya tak pernah
bicara tentang orang she Bhe yang menjadi ayah kandung Bi Cu itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment