Sunday, September 2, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Lembah Naga Jilid 17



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo    
     Serial Pendekar Lembah Naga
                Jilid 17


DIA meloncat berdiri dengan tubuh lemas dan bergoyang-goyang, mukanya pucat sekali karena hampir setengah dari tenaganya juga sudah amblas! Dia mengalami luka di dalam tubuhnya, biar pun tidak terlalu berbahaya tetapi membutuhkan waktu untuk memulihkan kesehatannya. Ketika dia memandang lagi, kini tubuh Kok Beng Lama yang masih duduk bersila ternyata telah tidak bernyawa lagi!

"Celaka...!" keluhnya. "Sin Liong, bangkitlah engkau!"

Sin Liong tadinya bersila, kedua matanya terpejam, mukanya merah sekali dan napasnya kadang-kadang berhenti, kadang kala terengah. Mendengar ucapan ini, dia menggerakkan kepalanya dan menengadah, membuka mata.

Terkejutlah Cia Keng Hong melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata seekor naga sakti dalam dongeng itu! Dan tiba-tiba saja tubuh anak itu meloncat dan tubuhnya mencelat ke atas dengan cepatnya.

"Aahhhhh... tolong, locianpwe...!"

Ternyata ketika meloncat bangun tadi, otomatis Sin Liong menggunakan tenaganya. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa pada saat itu tenaga sinkang-nya sudah amat kuat memenuhi tubuhnya sehingga begitu dia menggerakkan syaraf-syarafnya, tenaga ini bangkit bekerja dan akibatnya tubuhnya mencelat seperti kilat ke atas tanpa dapat diremnya lagi.

Tubuhnya meluncur deras ke arah sebuah puncak bukit batu karang dan untung baginya bahwa dia sudah biasa berloncatan dan memiliki kesigapan seekor monyet, maka walau pun dia terkejut sekali dan minta tolong, tapi kedua tangannya masih dapat menyambar ke depan dan dia dapat berpegang kepada ujung batu karang lalu berjungkir balik, tidak sampai terbanting pada batu karang.

Sin Liong berdiri di atas batu karang itu dengan mata terbelalak. Tubuhnya masih terasa menggelembung besar, hampir meledak rasanya, dan tubuhnya terasa demikian ringan seolah-olah hembusan angin pun akan bisa membuat tubuhnya melambung tinggi seperti sebuah balon karet penuh hawa!

Cia Keng Hong memandang ke atasan anak itu. Anak itu telah mengoper semua tenaga sinkang dari dalam tubuh Kok Beng Lama, yang telah tewas dalam keadaan bersila itu, bahkan, telah menyedot setengah dari tenaganya sendiri! Aneh sekali bagaimana anak itu masih dapat hidup!

"Turunlah, jangan meloncat, berjalan saja dengan hati-hati!" kata Cia Keng Hong.

Akan tetapi pada saat itu Sin Liong sudah merasa demikian tersiksa sehingga dia seperti tidak lagi mendengar suara kakek itu. Siksaan amat hebat dideritanya. Tubuhnya terasa panas semua seolah-olah dia dipanggang di atas api bernyala-nyala. Lebih tersiksa dari pada ketika dia teracun oleh Kim Hong Liu-nio yang menggunakan Hui-tok-san, bahkan lebih tersiksa dari pada ketika dia dijemur dan dikeroyok burung gagak.

Panas yang dirasakan sekarang adalah panas dari dalam, yang mendadak dapat berubah jadi dingin sampai seluruh tubuh terasa seperti ditusuki ribuan batang jarum. Isi perutnya bagaikan diremas-remas, kepalanya seperti hampir meledak, telinganya terngiang-ngiang, matanya pedas dan perih, pendeknya, seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit sampai hampir tak tertahankan lagi. Dan celakanya, itulah. Kalau dia tidak tahu, pingsan atau mati, dia akan terbebas dari siksaan. Celakanya dia pingsan tidak mati pun tidak dan semua derita itu dapat dirasakannya.

Dia memandang kepada kedua tangannya. Begitu dia memandang tangannya dan jalan pikirannya ditujukan kepada kedua tangan ini, maka otomatis tenaga sakti yang dahsyat mengalir ke arah kedua tangannya dan Sin Liong merasa betapa kedua tangannya itu tergetar hebat dan terasa panas-panas, gatal-gatal dan seolah-olah kedua tangan dengan sepuluh jarinya itu dibakar dalam api, digigiti semut-semut berbisa dan nyerinya bukan kepalang.

"Setan...!" Dia memaki, kemudian dengan kedua tangannya itu dia menghantam batu di sampingnya, kanan kiri.

"Pyarrrr! Pyarrrrr...!"

Sin Liong terbelalak memandang pecahan-pecahan batu yang berhamburan disambar oleh kedua tangannya itu. Sejenak dia memandangi kedua tangannya dengan mata terbelalak. Kepalanya menjadi pening dan otomatis kedua tangan itu memegang kepalanya.

Aku telah gila, pikirnya. Tak mungkin hanya dengan sekali tampar saja tangannya berhasil menghancurkan batu! Akan tetapi dia teringat betapa kedua tangannya yang tadinya terasa nyeri bukan main itu menjadi berkurang nyerinya ketika dipakai menghantam batu. Maka dia segera turun dari atas batu karang itu, lantas menggunakan kedua tangannya menghantam ke sana-sini, menghantami batu-batu besar yang berserakan di tempat itu.

Terdengar suara-suara keras dan batu-batu itu remuk dan pecah berhamburan setiap kali terkena hantaman kedua tangannya. Sin Liong merasa betapa kedua tangan itu makin lama makin enak, tidak nyeri-nyeri lagi seperti tadi, bahkan makin hebat dia mengamuk memukuli batu-batu itu, sesak napasnya berkurang dan pening kepalanya juga mereda.

Oleh adanya kenyataan ini, Sin Liong makin mengamuk, semakin hebat menggerakkan kedua tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk memukul dan menendang batu-batu di sekelilingnya. Anehnya, batu-batu itu hancur tetapi kaki tangannya tidak merasa nyeri. Dia sendiri keheranan, seperti melihat sulapan saja.

Akhirnya dia kelelahan dan duduk terengah-engah, tenaganya masih terus mendorongnya untuk bergerak, akan tetapi napasnya hampir putus dan di dalam dadanya terdapat hawa yang menggelora dan bergerak-gerak berputaran membuat dia seperti mau berpusing.

Tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu Cia Keng Hong telah berada di depannya.

"Kau diamlah, aku akan mencoba mengobatimu," kata kakek itu.

Dan dia lalu mengulurkan kedua tangannya menempel di kedua pundak Sin Liong sambil mengerahkan tenaga Ilmu Thi-ki-i-beng! Cia Keng Hong maklum apa yang terjadi pada anak ini. Anak ini penuh dengan hawa sakti yang kalau dibiarkan saja tentu semua isi dadanya akan hancur atau luka-luka, maka dia akan menyedot hawa murni dan kuat itu dengan Thi-khi I-beng.

"Ahhh...!" Cia Keng Hong terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya terlepas dari kedua pundak Sin Liong.

Baru saja kedua tangannya menempel tadi, bukan dia yang menyedot, bahkan lagi-lagi dialah yang tersedot! Dan dia kalah kuat! Celaka, tanpa disadarinya bocah ini mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa sekali dan satu kali diajari Thi-khi I-beng, tenaga sedotnya itu terus-menerus bekerja!

"Kau jangan melawan, matikan semua gerakan dan pusatkan pikiranmu, jangan melawan, kendurkan semua, jangan kau ingat lagi pelajaran yang kuajarkan kepadamu tadi!" kata Cia Keng Hong.

Sin Liong mengerti, maka dia mengangguk-angguk, masih terengah-engah. Kemudian dia merasa betapa tangan kakek itu kembali menempel di pundaknya dan dia mengosongkan pikirannya. Perlahan-lahan dia merasa betapa hawa yang mengamuk di dalam dadanya itu mulai berkurang. Dan memang dengan Thi-khi I-beng Cia Keng Hong mulai menyedot kelebihan hawa itu.

Akhirnya, setelah dia merasa betapa tenaganya sendiri pulih, kakek itu lalu menghentikan sedotan itu dan melepaskan kedua tangannya. Dia telah sembuh, dan anak itu kini hanya memiliki sinkang dari Kok Beng Lama yang telah diopernya tanpa disadarinya itu.

"Bagaimana rasanya tubuhmu?" tanya Cia Keng Hong.

Sin Liong mengangguk. "Sudah agak baik... tapi masih mau muntah..." Dia bangkit berdiri dan terhuyung.

"Sin Liong, tahukah engkau apa yang telah terjadi?"

Anak itu menggeleng kepalanya. "Saya melihat locianpwe melakukan pertandingan aneh dengan kakek gundul itu... ahhh, bagaimana dengan dia?"

"Mari kita turun dan lihat," kata Cia Keng Hong, lalu dengan hati-hati dia menggandeng tangan Sin Liong karena anak ini masih terhuyung-huyung dan jika dibiarkan turun sendiri dari puncak tentu akan terjatuh ke bawah. Setelah tiba di bawah, mereka melihat tubuh Kok Beng Lama masih duduk bersila.

Sin Liong melihat betapa wajah kakek gundul itu aneh sekali, sepasang matanya masih terbuka akan tetapi pandang matanya kosong. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang luar biasa pada tubuh tinggi besar yang duduk bersila itu, maka dia bertanya.

"Apakah dia tidak... apa-apa?"

Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Dia telah tewas..."

Sin Liong terbelalak dan otomatis kakinya bergerak, tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke arah kakek gundul itu dan begitu tangannya menyentuh pundak kakek itu, mayat itu langsung tergelimpang.

"Ahhh...!" Sin Liong membalikkan tubuhnya, memandang pada kakek sakti yang ternyata adalah kakeknya sendiri itu. "Locianpwe... telah... membunuhnya?"

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Bukan aku yang membunuhnya."

"Habis siapa? Mengapa dia mati?"

Kembali kakek itu menarik napas panjang. "Kami berdua tadi sedang mengadu sinkang, maksudku... dia memaksaku untuk melindungi diriku karena dia tadi menyerangku dengan sinkang. Lalu kau tiba-tiba masuk di antara kami hingga kau terseret. Engkau terancam bahaya maut, maka aku mengajarkan Thi-khi I-beng kepadamu. Dan tanpa kau sadari, juga tanpa kusadari, ternyata semua hawa sinkang di tubuhnya telah berpindah ke dalam tubuhmu, membuat dia tewas..."

Sin Liong menggigil dan kembali dia menoleh, memandang kepada tubuh yang telah tak bernyawa itu, dan tiba-tiba kedua matanya mengalirkan beberapa butir air mata. Kakek gila yang patut dikasihani. Dan dia yang membunuhnya!

"Locianpwe mengajarkan saya ilmu iblis untuk membunuhnya!"

Cia Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Dia sendiri yang salah... ahhh, dalam usia setua itu kambuh kembali penyakit gilanya... sungguh patut dikasihani..."

"Tetapi locianpwe mengajarkan Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa! Dan dia mati karena saya! Ahh, locianpwe telah mengajarkan saya menjadi pembunuh orang yang tak berdosa!"

"Tidak, Sin Liong. Aku mengajarkan Thi-khi I-beng padamu hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tadi terancam bahaya. Kok Beng Lama meninggal dunia akibat kesalahan dia sendiri dan memang dia sedang kumat gilanya, dan dia sudah tua. Engkau tidak membunuh, apa lagi karena hal itu terjadi di luar kesadaranmu, di luar pengetahuanmu."

"Tapi... tapi dia mati karena saya..." Sin Liong merasa menyesal bukan main.

Apa lagi sekarang tubuhnya masih juga terasa tidak karuan, masih sakit-sakit dan penuh dengan hawa yang bergerak-gerak mengerikan. Lebih-lebih sekarang, sesudah dia tahu bahwa yang terus bergerak-gerak di dalam tubuhnya itu adalah hawa sinkang dari kakek gundul itu yang telah berpindah ke dalam tubuhnya, dia merasa ngeri dan seram bukan main, seolah-olah nyawa kakek gundul itu telah memasuki jasmaninya!

"Sudahlah, Sin Liong. Dari pada engkau meributkan hal-hal yang sudah terjadi di luar kesadaranmu, lebih baik kau membantu aku menguburkan jenazah Kok Beng Lama. Kau tidak tahu siapa dia. Dia adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan. Kepandaiannya luar biasa sekali sehingga aku pun tadi hampir saja celaka dan kalah olehnya bila engkau tidak masuk di antara kami. Dan dia itu adalah guru dari putera saya sendiri, bahkan guru dari cucu saya sendiri, jadi dia bukanlah musuhku. Hal ini perlu kuberitahukan agar kau tidak salah duga, Sin Liong. Aku sama sekali tidak bermusuhan dengannya, apa lagi ingin membunuhnya!"

Sin Liong memandang dengan jantung berdebar. Kakek tua ini adalah ketua Cin-ling-pai, kakek ini adalah kongkong-nya sendiri! Dan kakek gundul tadi adalah guru dari putera kongkong-nya, berarti guru dari ayahnya, ayah kandungnya! Akan tetapi karena masih meragukan kebenaran hal luar biasa ini, dia lalu bertanya,

"Dia... dia itu guru putera locianpwe, siapakah putera locianpwe itu?"

Pertanyaan itu terdengar sepintas lalu saja, maka tidak menimbulkan kecurigaan dalam hati Cia Keng Hong yang menarik napas panjang lagi.

"Ahhh, puteraku itu bernama Cia Bun Houw..." Lalu kakek itu termenung karena sampai sekarang hatinya masih terluka oleh kepergian Bun Houw yang tiada kabar ceritanya itu.

Mendengar ini, maka yakinlah hati Sin Liong dan ingin dia memeluk kakeknya ini saking girangnya, akan tetapi dia cepat-cepat menahan perasaannya dan berkata, "Akan tetapi, bukankah locianpwe tadi bertanding secara aneh dengan dia?"

"Bukan bertanding, melainkan aku terpaksa membela diri karena dia menyerangku..."

"Kalau dia itu bukan musuh locianpwe, kenapa dia menyerang locianpwe?"

Kakek itu termenung. Memang ada sebabnya dan dia merasa tidak perlu menceritakan kepada anak ini mengenai sebab musababnya yang terlampau panjang. Di dalam kisah Dewi Maut diceritakan betapa puteri Kok Beng Lama tewas dan puteri ketua Cin-ling-pai ini yang tertuduh menjadi pembunuhnya sehingga pernah terjadi bentrok antara Kok Beng Lama dan Cin-ling-pai. Kemudian, biar pun ternyata bukan puteri Cin-ling-pai itu yang membunuh, namun kematian itu terjadi sebagai akibat dari percekcokan antara puteri Kok Beng Lama dan puteri ketua Cin-ling-pai.

Akan tetapi, hal itu telah diselesaikan oleh kedua fihak, dan hanya kalau Kok Beng Lama kambuh penyakit gilanya maka urusan itu timbul lagi di dalam hatinya. Cia Keng Hong tentu saja merasa tidak perlu menceritakan urusan itu kepada anak kecil yang ditolongnya itu.

"Dia bukan musuhku, akan tetapi dia itu mempunyai penyakit gila yang kadang-kadang kambuh. Dan sekarang dia sedang kambuh, maka tadi dia menyerangku. Sudahlah, Sin Liong, mari kita menggali kuburan untuk dia."

Melihat betapa Cia Keng Hong hanya menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu itu, Sin Liong lalu ikut-ikut dan... alangkah heran hatinya ketika dia mampu pula mempergunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu! Walau pun tidak secepat kakek itu dan dia amat canggung hingga beberapa kali kayu itu patah dan harus diganti, namun dia dapat mengerahkan tenaga melalui kayu itu dan menggali tanah yang keras!

Kagum sekali hati Sin Liong melihat betapa kakeknya itu meletakkan sebuah batu besar di depan kuburan itu sebagai batu nisan, kemudian menggunakan jari telunjuknya untuk menggores-gores permukaan batu yang halus dengan huruf-huruf indah yang berbunyi,

MAKAM KOK BENG LAMA.

Diam-diam dia kagum dan juga girang. Kakeknya ternyata adalah seorang yang luar biasa saktinya, juga seorang kakek yang berhati mulia!

Mereka melanjutkan perjalanan dan Cia Keng Hong melihat betapa anak itu diam saja, padahal tubuhnya masih penuh dengan hawa mukjijat itu. Anak ini benar-benar hebat, pikirnya. Anak lain tentu akan mengeluh, dan mungkin sekali mengamuk atau melakukan hal-hal aneh, apa lagi setelah diketahuinya bahwa ada tenaga hebat di dalam tubuhnya. Dia mengajak Sin Liong mengaso duduk bersila di depannya.

"Sin Liong, engkau tentu merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam dirimu, bukan?"

Anak itu segera mengangguk. "Di dalam seluruh tubuh saya terasa ada semacam hawa yang terus bergerak-gerak, locianpwe."

"Dan engkau sudah tahu bukan, apa artinya itu?"

"Locianpwe sudah memberi tahu bahwa tenaga sakti dari mendiang Kok Beng Lama telah pindah ke dalam tubuh saya."

"Benar, dan engkau telah pula mengetahui rahasia Thi-khi I-beng. Biar pun kuberikan ilmu itu dalam keadaan mendesak, akan tetapi berarti engkau sudah mewarisi ilmu itu dariku. Ketahuilah bahwa puteraku sendiri, Cia Bun Houw, tidak mewarisi ilmu ini. Satu-satunya orang yang pernah mempelajarinya adalah Yap Kun Liong. Oleh karena itu, engkau boleh dibilang adalah seorang muridku, Sin Liong."

Sin Liong menundukkan mukanya. "Terima kasih atas kebaikan locianpwe."

"Aku tidak memberi kebaikan apa-apa. Hanya saja engkau harus berjanji. Tak sembarang orang boleh memiliki Thi-khi I-beng, dan sekarang sesudah engkau terlanjur memilikinya, maka engkau harus mengucapkan janji. Kalau tidak, terpaksa aku akan mencabut ilmu itu dengan merusak jalan darahmu, hal ini terpaksa agar kelak engkau tidak mendatangkan malapetaka bagi manusia di dunia."

"Saya akan berjanji, locianpwe," jawab Sin Liong dengan alis berkerut.

Untung bahwa yang bicara itu adalah Cia Keng Hong, atau lebih tepat lagi untung bahwa Sin Liong tahu bahwa kakek ini adalah kongkong-nya, karena andai kata tidak demikian, dia lebih memilih mati dari pada ditekan!

"Kau harus bersumpah dan berjanji bahwa Thi-khi I-beng tak akan kau pergunakan untuk membunuh orang, kecuali dalam membela diri, dan juga kau harus berjanji bahwa engkau tak akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada siapa pun juga sebelum aku mati, dan kalau kelak terpaksa kau ajarkan kepada orang, maka engkau harus menyuruh dia bersumpah pula untuk mempergunakan demi kebaikan dan kebenaran."

Sin Liong mengucap janji dan sumpahnya sehingga agak terhibur jugalah hati kakek itu. Setelah Sin Liong mengucapkan janjinya, keadaan menjadi hening dan akhirnya terdengar kakek itu berkata,

"Dengan demikian, mulai sekarang engkau adalah muridku. Nah, sekarang perhatikan baik-baik dan dengarkan dengan penuh perhatian. Aku akan mengajarkan pertama-tama agar kau dapat menyimpan dan menyalurkan hawa yang amat dahsyat di dalam tubuhmu itu, karena kalau tidak, tubuhmu yang masih muda dan lemah tidak akan kuat bertahan dan engkau takkan dapat hidup lama."

Kakek itu lalu mengajarkan cara-cara menghimpun tenaga sakti itu, cara bersemedhi dan mengatur pernapasan. Selama semalam suntuk kakek itu menggembleng sehingga Sin Liong mengerti benar dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong masih duduk bersemedhi.

Dia sudah mulai merasakan betapa tubuhnya tidak begitu hebat lagi menderita kelebihan tenaga sakti itu, sungguh pun gerakannya masih kaku karena dia merasa kadang-kadang hawa itu hendak membawanya terbang ke angkasa, kadang-kadang pula mendatangkan berat yang hampir tak dapat terbawa oleh tubuhnya.

Melihat keadaan anak itu, Cia Keng Hong maklum bahwa bagaimana pun juga, anak ini memerlukan tempat istirahat untuk terus berlatih mengendalikan hawa sakti yang terlalu kuat untuk tubuhnya itu. Karena itu dia mengambil keputusan untuk cepat pulang saja ke Cin-ling-san, biar pun hatinya masih amat penasaran dan menyesal bahwa dia belum juga berhasil menemukan Lie Ciauw Si, cucunya yang pergi mencari Bun Houw itu. Dia sendiri pun perlu istirahat untuk memulihkan tenaga.


                 ***************


Saat mereka mulai mendaki puncak Cin-ling-san, hati Sin Liong dilanda kegembiraan dan juga keharuan. Kakeknya tidak banyak bercerita tentang Cin-ling-san, maka dia pun tidak tahu apakah ayah kandungnya berada di tempat itu, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, dan ketika dia tiba di daerah pegunungan ini, merasa betapa tempat ini adalah tempat ayah kandungnya, dia merasa gembira dan terharu. Maka dalam kegembiraannya itu dia berjalan sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan setiap keadaan di sekeliling pegunungan itu.

Dari lereng telah nampak bangunan di puncak Cin-ling-san, yaitu bangunan yang menjadi tempat atau pusat dari Cin-ling-pai. Akan tetapi pagi hari itu sunyi saja di daerah puncak. Memang kini Cin-ling-pai tidaklah seramai dahulu. Apa lagi semenjak isterinya meninggal, Cia Keng Hong lalu menyuruh semua anggota Cin-ling-pai supaya meninggalkan puncak dan para murid atau anggota Cin-ling-pai lalu tersebar di mana-mana, banyak yang masih tinggal di kaki Pegunungan Cin-ling-pai dan hidup sebagai petani-petani.

Cia Keng Hong tadinya hanya tinggal berdua saja bersama cucunya, yaitu Lie Ciauw Si, dilayani oleh dua orang pelayan wanita. Kakek ini serta cucunya sendiri turun tangan di kebun menanam sayur-mayur. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja para murid kadang-kadang naik ke puncak mengunjungi ketua mereka.

Ketika Cia Keng Hong dan Sin Liong mendaki puncak, di puncak sudah menanti empat orang. Dari jauh Sin Liong melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pria dan dua orang wanita yang menunggu kedatangannya kakek itu dengan wajah gembira, dan dia melihat betapa kakek itu mengeluarkan seruan tertahan kemudian dengan cepatnya tubuh kakek itu melesat ke atas puncak. Sin Liong juga berlari mengikutinya dan dia melihat betapa kakek itu kini berhadapan dengan mereka berempat, memandang dengan mata terbelalak kepada seorang di antara mereka, seorang laki-laki tampan yang berdiri dengan kepala agak tunduk.

"Kau...? Kau...!" Dan tiba-tiba Cia Keng Hong terhuyung dan jatuh terguling!

Pria tampan gagah berusia tiga puluh tahun lebih itu bukan lain adalah Cia Bun Houw dan wanita cantik jelita di sampingnya yang usianya satu dua tahun lebih muda itu adalah isterinya, Yap In Hong! Ada pun pria dan wanita lain yang berada di situ adalah Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Bun Houw, putera bungsu dari ketua Cin-ling-pai itu, pergi meninggalkan ayah bundanya pada saat Cia Keng Hong menentang puteranya yang hendak menikah dengan Yap In Hong, karena putera bungsunya itu telah ditunangkan dengan orang lain. Ayah dan anak ini bersikeras mempertahankan kehendak mereka sendiri sehingga akhirnya Bun Houw pergi bersama In Hong dan menjadi suami isteri tanpa perkenan orang tua! Kepergian Bun Houw inilah yang menghancurkan hati Cia Keng Hong dan isterinya, sampai isterinya meninggal dunia karena sejak kepergian pemuda itu, tidak pernah ada berita lagi.

Ketika Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai itu, mendengar bahwa puterinya Lie Ciauw Si yang ikut dengan kakeknya di Cin-ling-san untuk belajar silat dan menemani kakeknya, pergi meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi mencari pamannya, hatinya menjadi gelisah! Maka dia lalu pergi kepada pendekar Yap Kun Liong, pria yang sesungguhnya dicintanya itu, dan meminta pertolongan Yap Kun Liong untuk pergi mencari adiknya, Cia Bun Houw yang telah membuat orang tuanya berduka itu.

Pergilah pendekar Yap Kun Liong hingga akhirnya dia dapat menemukan Cia Bun Houw serta Yap In Hong yang ternyata mengasingkan diri dan tinggal jauh di sebelah selatan. Yap Kun Liong lalu membujuk Cia Bun Houw untuk pulang ke utara menengok ayahnya.

Bun Houw yang mendengar akan kematian ibunya dan kedukaan hati ayahnya, bersama isterinya lalu ikut dengan Kun Liong pergi ke utara. Mereka berhenti dahulu di Sin-yang, kemudian diantar pula oleh Cia Giok Keng, mereka semua pergi ke Cin-ling-san. Setelah sampai di puncak itu, mereka menemukan tempat itu kosong sehingga mereka menanti di situ selama dua hari.

Demikianlah, pada pagi hari itu mereka berempat menyambut kedatangan Cia Keng Hong yang pulang bersama seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Akan tetapi, Cia Keng Hong yang baru saja kehilangan tenaga dan masih terluka meski pun sudah mulai sembuh, luka di sebelah dalam sebagai akibat pertandingannya dengan Kok Beng Lama, begitu melihat Bun Houw, jantungnya tergetar hebat.

Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa gembira, rasa terharu, juga rasa marah dan mendongkol bercampur duka teringat akan isterinya, membuat dia tidak dapat menahan lagi dan dia jatuh terguling dan pingsan dalam rangkulan Cia Giok Keng yang tadi cepat menubruk dan menyambut tubuh ayahnya yang terguling.

Melihat ini, Sin Liong terbelalak dan marah bukan main. Dia tadi melihat betapa kakek itu memandang kepada lelaki gagah yang berbaju kuning dan menggerak-gerakkan tangan ke arah laki-laki itu, maka sudah tentu laki-laki itulah yang telah membuat kakeknya roboh dan mungkin mati itu. Kemarahan memenuhi hatinya dan Sin Liong sudah menerjang ke depan sambil berteriak,

"Kau manusia jahat...!"

Semua orang merasa terkejut, terutama sekali Cia Bun Houw sendiri yang melihat dirinya diserang oleh anak yang datang dengan ayahnya tadi. Hati empat pendekar yang berilmu tinggi itu lebih terkejut lagi saat melihat betapa tubuh anak laki-laki tanggung itu bergerak luar biasa cepatnya dengan gaya seperti seekor harimau menubruk, atau seperti seekor binatang buas lainnya, dan ketika tangan kirinya mencengkeram ke arah leher Bun Houw dan tangan kanannya memukul ke arah dada, ternyata gerakan anak itu mendatangkan hawa pukulan yang luar biasa kuatnya sehingga terdengar angin menyambar dahsyat!

"Ehhh...!" Cia Bun Houw mengelak cepat dan kaget sekali.

Bagi pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini, tentu saja serangan Sin Liong itu tidak merupakan bahaya, akan tetapi pendekar ini terkejut melihat betapa seorang anak kecil yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun ini bisa memiliki tenaga sinkang sedahsyat itu, juga kecepatan yang luar biasa walau pun gerakannya ketika menyerang lebih patut gerakan seekor binatang buas dari pada gerakan silat.

Akan tetapi, begitu serangannya luput, Sin Liong telah membalik dan kembali menyerang lebih dahsyat, menggunakan pukulan dengan pengerahan tenaga seperti yang diajarkan oleh kakeknya sehingga kini dia dapat mengerahkan tenaga yang terkumpul di pusarnya itu.

Tenaga dahsyat yang hangat dan hidup mengalir ke dalam lengan sampai ke ujung-ujung jarinya ketika dia memukul sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara bercuitan dan kembali Bun Houw amat terkejut karena angin pukulan dari anak itu benar-benar dahsyat, seperti pukulan seorang ahli sinkang yang amat kuat! Dengan hati penuh keheranan dan keinginan tahu, pendekar ini lantas menggerakkan lengannya menangkis, dengan maksud untuk mengukur sampai di mana kekuatan anak yang luar biasa ini.

"Dukkk!"

"ihhhhh...!" Kini Cia Bun Houw mengeluarkan teriakan.

Hati siapa yang tidak akan terkejut ketika dua lengan itu bertemu, selain dia merasakan kekuatan yang sangat dahsyat, yang tidak patut dimiliki oleh seorang bocah berusia dua belas atau tiga belas tahun, juga dia merasa betapa tenaga sinkang-nya tersedot ke luar! Itulah Thi-khi I-beng! Ataukah ada ilmu iblis lain yang juga bisa menyedot sinkang lawan?

Sebagai murid terkasih dari Kok Beng Lama, dengan hanya sekali mengerahkan tenaga membetot, tentu saja lengannya dapat terlepas dari lekatan lengan lawan yang memiliki daya sedot, dan dia memandang dengan mata terbelalak kepada anak itu.

Akan tetapi Sin Liong tak peduli orang terheran-heran. Dia tidak tahu sama sekali bahwa orang itu kagum dan terkejut melihat kehebatan tenaganya, dan dia merasa penasaran mengapa dia belum berhasil menghantam orang yang sudah membuat kakeknya sampai roboh pingsan itu.

"Orang jahat kau...!" Dia berteriak lagi dan kini kembali dia menubruk, dengan gerakan yang ganas.

Bun Houw kembali mengelak dan pada saat itu pula nampak bayangan berkelebat, lantas jari-jari tangan yang runcing mungil meluncur dan menotok pundak Sin Liong yang luput menyerang lawannya tadi.

"Dukkk!"

"iihhhh...!" Wanita cantik itu, Yap In Hong, terkejut bukan main.

Karena tadinya dia memandang rendah kepada seorang bocah yang disangkanya hanya liar dan ganas, dia tentu saja menotok tanpa menggunakan tenaga sakti, khawatir kalau sampai membunuh anak itu. Akan tetapi ketika jari tangannya bertemu pundak Sin Liong yang ketika itu sedang mengerahkan tenaga, In Hong merasa betapa tenaga kasarnya membalik dan jari-jari tangannya terasa nyeri bukan main!

Barulah dia tahu mengapa suaminya kelihatan terkejut dan terheran-heran, ragu-ragu, kini dia mengerti bahwa memang bocah ini luar biasa sekali, memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Maka dia pun menjadi marah dan kini tangannya kembali melayang, sekali ini mengandung tenaga sinkang yang kuat, bahkan dia mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh.

"Dessss...!"

Anak itu terpelanting dan roboh dengan tubuh lemas karena jalan darahnya tertotok. Akan tetapi, Sin Liong yang marah itu merasa betapa tenaga dan hawa aneh di dalam pusarnya bergolak, mendorong-dorong akan tetapi tidak mampu menembus jalan darah yang sudah tertotok. Dia sama sekali tidak menjadi jeri, bahkan matanya melotot memandang kepada Bun Houw dan In Hong yang menghampirinya, memandang penuh kebencian.

"Kalian tunggu saja...," desisnya, "jika locianpwe Cia Keng Hong sampai mati, maka aku bersumpah kelak aku akan membunuh kalian berdua manusia-manusia jahat!" Sepasang matanya mencorong seperti naga sakti. "Aku benci kalian! Aku benci kalian...!"

Melihat sinar mata yang penuh nafsu membunuh, seperti mata seekor harimau kelaparan yang marah, diam-diam In Hong bergidik. "Bocah setan ini perlu dihajar!" katanya dan dia sudah mengangkat tangannya untuk menampar.

"Tahan, jangan pukul dia!" Bun Houw berseru menahan isterinya yang lalu menurunkan kembali tangannya sambil menoleh kepada suaminya. Mengapa suaminya melarang dia memukul anak yang mengeluarkan ancaman mengerikan itu?

Melihat pandangan mata isterinya, Bun Houw cepat-cepat berkata, "Aku melihat dia tadi menggunakan Thi-khi I-beng."

Mendengar ini, In Hong terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka berdua segera menghampiri kakek Cia Keng Hong yang sudah mulai siuman.

"Ah, kau datang, kalian datang semua... ah, aku agak lelah..." Akhirnya kakek itu bangkit duduk.

"Ayah, engkau harus beristirahat dulu. Nanti saja kita bicara..." Cia Giok Keng kemudian merangkul dan memapah ayahnya, dibantu oleh Bun Houw. Namun kakek itu tidak mau dipondong dan dengan dipapah oleh kedua orang anaknya, dia melangkah tertatih-tatih memasuki pondoknya.

Cia Keng Hong jatuh sakit! Beberapa kali dia jatuh pingsan dan terserang demam. Bun Houw dan enci-nya yang memeriksa, mendapat kenyataan bahwa tenaga ayah mereka itu berkurang banyak sekali, menjadi lemah, dan di sebelah dalam tubuh ayah mereka itu mengalami guncangan hebat dan seperti orang baru sembuh dari luka parah di dalam tubuh. Akan tetapi mereka belum dapat bicara dengan ayah mereka dan dengan penuh ketelitian kedua orang anak itu merawat ayah mereka, dibantu oleh Yap In Hong serta kakaknya, Yap Kun Liong.

Seperti sudah diketahui jelas oleh para pembaca cerita Dewi Maut, isteri dari Cia Bun Houw, Yap In Hong, adalah adik kandung pendekar Yap Kun Liong. Dan semenjak Bun Houw dan isterinya ini meninggalkan orang tuanya, belasan tahun yang lalu, kakak dan adik ini pun tidak pernah saling jumpa, apa lagi karena Kun Liong juga selama ini hanya menyembunyikan diri saja di rumahnya, yaitu di Leng-kok.

Biar pun antara Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng terdapat perasaan cinta kasih yang mendalam, duda dan janda ini tidak melanjutkan hubungan itu dengan hubungan jasmani, melainkan hanya saling mencinta saja di dalam hati masing-masing.

Maka kini, pertemuan antara mereka semua tentu saja mendatangkan percakapan yang asyik, saling menuturkan keadaan mereka masing-masing. Hanya keadaan kakek ketua Cin-ling-pai itu yang menimbulkan prihatin dalam hati mereka, dan juga, anak aneh yang datang bersama ketua Cin-ling-pai itu tidak mau banyak membuka mulut, hanya berwajah muram dan ikut pula menjaga kakek yang sedang sakit itu.

Yap Kun Liong telah menasehatkan yang lain agar jangan sembarangan terhadap bocah ini, karena dia pun menduga bahwa tentu ada rahasia di balik kedatangan bocah ini, dan tentu ada hubungan erat antara bocah itu dan pendekar sakti Cia Keng Hong, apa lagi ketika dia mendengar bahwa anak itu agaknya pandai Thi-khi I-beng.

"Kita tunggu saja sampai Cia-locianpwe sudah sembuh kembali dan menceritakan siapa adanya anak itu," kata pendekar ini dan yang lain-lain merasa setuju.

Anak itu benar-benar sangat luar biasa. Kalau ditanya, hanya memandang dengan mata mendelik marah karena Sin Liong memang merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama terhadap Cia Bun Houw dan isterinya yang dianggapnya jahat karena sudah membuat kakeknya roboh pingsan dan sakit. Dia tidak tahu siapa mereka dan juga tidak ingin tahu, dan dia pun tidak suka memperkenalkan diri ketika ditanya.

Dia pun hendak menanti sampai kakek itu sembuh, baru dia akan mengambil keputusan apakah akan terus tinggal di situ ataukah akan pergi. Hanya terhadap Yap Kun Liong dia tidak begitu dingin dan ketus, karena pendekar yang usianya sudah empat puluh delapan tahun ini bersikap manis budi kepadanya. Bahkan hanya dari Yap Kun Liong saja dia mau menerima makanan.

Biar pun dia diberi sebuah kamar, akan tetapi dia tidak mau tidur di kamarnya, sebaliknya dia terus berada di kamar Cia Keng Hong dan di sana dia duduk bersila, bersemedhi seperti yang telah diajarkan oleh kakek itu kepadanya. Dan dia pun tidur dalam keadaan bersila. Melihat cara anak itu bersemedhi, makin yakinlah hati empat orang pendekar itu bahwa anak ini pasti memiliki hubungan yang erat dengan ketua Cin-ling-pai.

Ternyata guncangan batin ketika dia melihat wajah puteranya itulah yang membuat Cia Keng Hong jatuh sakit. Ketika dia mengadu ilmu melawan Kok Beng Lama, dia sudah merasa bahwa dia terluka di sebelah dalam tubuhnya, apa lagi sesudah sebagian tenaga sinkang-nya tersedot oleh kekuatan dahsyat yang mengeram di dalam tubuh Sin Liong.

Sungguh pun kemudian dia dapat menyedot kembali tenaga dari tubuh Sin Liong dengan menggunakan Ilmu Thi-khi I-beng dan dengan demikian selain menyelamatkan Sin Liong juga memulihkan kembali tenaganya, akan tetapi luka yang dideritanya belumlah sembuh sama sekali. Maka ketika menerima guncangan hebat dan mendadak dalam perjumpaan yang tak disangka-sangkanya dengan puteranya itu, dia lalu jatuh pingsan dan jantungnya yang sudah tua itu mengalami tekanan berat yang membuat dia jatuh sakit.

Setelah sepekan dirawat dengan penuh perhatian oleh putera dan puterinya, barulah Cia Keng Hong sembuh dari demam dan ingatannya kembali. Biar pun tubuhnya masih lemah namun dia sudah dapat bangun duduk dan bicara.

Ketika melihat Sin Liong sedang duduk bersila di sudut kamar, Cia Keng Hong tersenyum dan wajahnya berseri. Dia mengangguk-angguk dan berkata kepada Bun Houw dan Giok Keng, "Bantu aku keluar, aku ingin duduk di luar pondok, di tempat terbuka yang sejuk."

Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw lalu memapah ayah mereka itu, membawanya keluar. Di bawah sebatang pohon pek di depan pondok itu memang terdapat sebuah batu halus yang menjadi tempat duduk dan tempat semedhi kakek ini. Di sanalah dia duduk bersila dan empat orang pendekar itu pun duduk di atas tanah di depannya.

"Sin Liong, kau ke sinilah..." kata kakek itu kepada Sin Liong yang ikut pula keluar dengan sikap sungkan, karena dia merasa bahwa dia adalah seorang pendatang baru yang asing. Namun hatinya lega melihat bahwa ternyata empat orang itu bukanlah musuh kakeknya.

Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong cepat menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, lalu duduk bersila pula di depan batu besar yang diduduki kakek itu.

Sejenak keadaan di situ sunyi. Udara pagi itu cerah dan hangat oleh sinar matahari pagi. Angin gunung mendatangkan kesejukan di bawah pohon itu dan mereka semua seperti tenggelam dalam keheningan yang maha luas.

Cia Keng Hong memandang ke kanan dan kedua alisnya berkerut, hatinya diliputi penuh keharuan dan penyesalan. Melihat puteranya sekarang telah menjadi seorang pria yang matang, berusia tiga puluh tahun lebih, duduk bersila di dekat Yap In Hong yang memang cantik jelita dan gagah, dia pun melihat kesalahan yang telah dilakukannya belasan tahun yang lalu.

Sudah jelas bahwa puteranya itu saling mencinta dengan wanita itu, mengapa dia dahulu berkeras tidak menyetujui perjodohan mereka? Padahal, mereka itulah yang akan saling berjodoh, yang akan hidup berdua selamanya, juga mereka berdualah yang akan hidup bersama membagi suka duka bersama-sama. Perjodohan adalah urusan mereka berdua, dengan hak dan kewajiban mereka berdua sepenuhnya pula. Mengapa dia ikut campur tangan, mengapa dia hendak mengatur kehidupan kedua orang itu, ingin menyesuaikan mereka berdua untuk menyenangkan hatinya?

Alangkah bodohnya dia, dan alangkah bodohnya orang-orang tua yang ingin mencampuri urusan perjodohan anak-anak mereka! Memang dahulu dia mempunyai alasan kuat untuk menentang, mengingat betapa Yap In Hong sendiri pernah memutuskan pertunangannya dengan Bun Houw, dan ke dua betapa Bun Houw telah ditunangkan dengan gadis lain. Akan tetapi, segala macam alasan itu sesungguhnya hanyalah untuk mempertahankan pendiriannya atau kesenangan dirinya pribadi. Kini nampak jelas olehnya dan dia merasa menyesal sekali.

Dan pada saat dia menoleh ke kiri, dia melihat si duda, Yap Kun Liong duduk bersanding dengan puterinya, Cia Giok Keng yang sudah menjadi janda, maka hatinya pun tertusuk keharuan bercampur kekaguman. Dua orang itu benar-benar memiliki cinta kasih yang murni, cinta kasih yang sama sekali tidak dikotori oleh nafsu birahi. Betapa mereka saling mencinta, dia bisa merasakannya, tapi keduanya tetap bertahan dan hanya berhubungan sebagai dua orang sahabat yang saling mencinta. Benar-benar mengagumkan dan patut dipuji kedua orang itu!

Kemudian dia memandang ke depan, kepada Sin Liong. Bocah ini juga mengagumkan! Senanglah hati Cia Keng Hong karena biar pun sejak tadi tidak pernah ada yang bicara sepatah kata pun, namun dalam keadaan sehening dan seindah itu, memang kata-kata tidak banyak gunanya lagi.

"Sin Liong, setelah beberapa hari engkau berada di sini, apakah engkau sudah mengenal siapakah adanya mereka ini?" Dia menoleh ke kanan dan kiri.

Empat orang pendekar itu memandang kepada Sin Liong dan anak itu pun menoleh dan memandang kepada mereka dengan wajah yang masih muram. Dia menggeleng kepala.

"Saya belum mengenal mereka, locianpwe," jawabnya kemudian.

"Ahh! Engkau belum mengenal mereka? Kau lihatlah baik-baik, Sin Liong, yang duduk di sebelah kirimu itu adalah puteraku yang bernama Cia Bun Houw dan isterinya!" Kakek itu berhenti karena tiba-tiba Sin Liong menoleh ke kiri dan sepasang matanya mencorong aneh ketika dia memandang kepada Bun Houw.

Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu betapa kagetnya hati Sin Liong ketika mendengar perkenalan itu. Jadi lelaki gagah itu adalah ayah kandungnya! Dan beberapa hari yang lalu dia telah menyerang orang itu sebagai orang yang dibencinya! Kiranya ayah kandungnya, yang oleh mendiang ibu kandungnya dipuji-puji sebagai pendekar sakti itu.

Akan tetapi mengapa ayah kandungnya itu duduk di sana bersama wanita cantik yang diperkenalkan sebagai isteri ayahnya itu? Dan wanita itu telah turun tangan menotoknya! Sekarang dia memandang kepada Yap In Hong dengan pandang mata penuh kebencian. Ketika Bun Houw dan In Hong memandang Sin Liong, mereka melihat sinar mata anak itu dan keduanya terkejut sekali.

"Ihhh...!" In Hong mengeluarkan seruan lirih dan Bun Houw mengerutkan alisnya.

Cia Keng Hong juga merasa heran melihat sikap Sin Liong itu, maka dia bertanya. "Ada apakah Sin Liong?"

Sin Liong tidak menjawab, hanya memandang kepada Bun Houw dan In Hong dengan sinar mata aneh. Kini tanpa disadarinya, sepasang mata yang menyinarkan kebencian itu menjadi basah dan dua titik air mata mengalir keluar.

Melihat ini, Bun Houw langsung berkata, "Ayah, dia salah sangka terhadap kami berdua. Ketika ayah terkejut dan tidak sadarkan diri, dia langsung menyerangku, dan aku heran sekali melihat dia memiliki sinkang yang luar biasa, bahkan memiliki Thi-khi I-beng!"

Cia Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti. "Ahh, kiranya begitukah? Sin Liong, engkau salah duga. Dia bukanlah musuh, dia adalah puteraku. Hayo kau cepat minta maaf, biar pun kau melakukan hal itu tanpa kau sadari."

Sin Liong menunduk, lalu menghadap kakek itu dan berkata, "Maafkan saya, locianpwe."

Dia tidak minta maaf kepada Bun Houw, melainkan kepada kakeknya! Memang hati anak ini luar biasa kerasnya. Dia telah bertemu dengan ayah kandungnya, akan tetapi melihat kenyataan pahit betapa ayah kandungnya yang sudah meninggalkan ibu kandungnya dan bahkan menjadi suami dari wanita lain, mana mungkin hatinya tidak diliputi kekecewaan dan kebencian?

"Dan yang duduk di sebelah kiri itu adalah puteriku, Sin Liong. Namanya Cia Giok Keng. Sedangkan pria itu adalah Yap Kun Liong, kakak ipar dari puteraku Bun Houw, juga dia boleh dibilang muridku karena hanya dia seorang yang pernah mewarisi Thi-khi I-beng dariku, di samping engkau sendiri, sekarang engkau telah menjadi muridku, maka engkau adalah sute mereka, sute paling kecil." Kakek itu mengangguk-angguk senang. Hatinya gembira sekali, terutama karena dia dapat melihat puteranya kembali.

"Ayah, siapakah anak ini dan bagaimana asal mulanya sampai dia dapat memiliki sinkang sedemikian hebatnya, dan telah mewarisi Thi-khi I-beng pula?" tanya Bun Houw. Betapa pun juga, dia merasakan sinar mata benci dari anak itu, oleh karena itu, dia pun memiliki perasaan tidak senang terhadap Sin Liong!

"Memang aneh dia, dan banyak pula terjadi hal-hal aneh menimpanya. Pertama-tama, ketahuilah, Bun Houw, bahwa gurumu telah meninggal dunia."

"Ahhh...!" Bun Houw berseru kaget.

"Ihhh...!" In Hong juga berseru tertahan. Dia merasa sayang kepada kakek pendeta Lama itu.

"Hemm...!" Yap Kun Liong juga menahan seruannya karena dia pun merasa amat kagum kepada ayah mertuanya itu. Kok Beng Lama adalah ayah mertua pendekar ini, karena mendiang isterinya, Pek Hong In, adalah puteri tunggal dari pendeta Lama itu.

"Ayah, apakah yang telah terjadi? Bagaimana suhu sampai meninggal dunia? Apakah dia dibunuh musuh?"

Ayahnya menggelengkan kepala. "Dia memang sudah tua dan pikun, Bun Houw, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi Kok Beng Lama untuk meninggalkan dunia ini. Betapa pun juga, kematian itu terjadi karena kesalahannya sendiri."

Dengan singkat ketua Cin-ling-pai itu menceritakan mengenai pertemuannya dengan Kok Beng Lama, betapa Kok Beng Lama memaksanya untuk mengadu tenaga sinkang dan betapa Sin Liong yang mencoba untuk melerai itu tanpa disengaja malah mewarisi seluruh tenaga dari Kok Beng Lama, sungguh pun hal itu juga hampir saja menewaskannya, dan betapa dia terpaksa membuka rahasia Thi-khi I-beng kepada anak itu untuk menolongnya.

Empat orang pendekar itu mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman dan mereka kini memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata lain. Memang anak luar biasa, pikir mereka.

"Bagus, kalau begitu engkau adalah sute-ku, Sin Liong!" Bun Houw berseru dengan hati girang. "Engkau she apakah?"

Sejenak Sin Liong menatap wajah ayah kandungnya itu. Hampir saja dia menitikkan air matanya, dan ingin hatinya berteriak bahwa dia adalah putera pendekar itu. Akan tetapi, hatinya memang keras sekali. Melihat ayah kandungnya mempunyai seorang isteri dan meninggalkan ibu kandungnya, dia tidak mau memperkenalkan diri. Hatinya terasa nyeri, dia lupa bahwa ibu kandungnya juga mempunyai suami baru!

"Aku tidak mempunyai she," jawabnya sambil menunduk.

"Ehh, kenapa begitu aneh?" Giok Keng yang biar pun usianya sudah empat puluh tujuh tahun tetapi masih cantik dan juga hatinya masih keras itu berseru. "Lalu siapakah nama ayahmu?"

Sejenak Sin Liong memandang kepada puteri kakeknya yang sebenarnya adalah bibinya itu, lalu dia menunduk dan menjawab singkat, "Aku tidak mengenal siapa ayah bundaku."

Cia Keng Hong tersenyum. "Memang dia agak aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai kacung pada keluarga Na-piauwsu. Akan tetapi, untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga Na-piauwsu juga tidak mungkin karena keluarga Na itu dibunuh oleh musuh-musuhnya. Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kim Hong Liu-nio, seorang wanita yang benar-benar mempunyai kepandaian yang mengejutkan dan entah mengapa wanita iblis itu demikian bencinya kepada Sin Liong sehingga menyiksanya dan aku telah membebaskannya dari tangan wanita itu."

"Sin Liong, siapakah wanita itu?" tanya Yap Kun Liong yang merasa tertarik karena dia pun tidak mengenal tokoh kang-ouw bernama Kim Hong Liu-nio itu. Kalau ada seseorang tokoh sampai dipuji kepandaiannya oleh Cia Keng Hong, sudah pasti bahwa tokoh itu bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tidak boleh dibuat main-main.

Sin Liong memang tidak ingin menceritakan banyak-banyak tentang dirinya, akan tetapi karena semua orang memandang padanya dan sinar mata mereka menunjukkan bahwa mereka itu ingin sekali mendengar tentang Kim Hong Liu-nio, dia kemudian teringat akan tantangannya terhadap Kim Hong Liu-nio dan dengan lantang dia lalu berkata,

"Saya tidak mengenalnya. Pada waktu keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh, dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan membawa saya pergi ke hutan di mana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi, saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua orang yang she Cia, Yap dan Tio."

"Ehhh?"

"Ahhh?"

"Heiii...?!"

Seruan-seruan itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Mereka pun saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu. Sin Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu berhadapan dengan mereka.

"Sungguh aneh sekali! Mengapa justru she-she dari kita yang dimusuhinya?" tanya Cia Bun Houw sambil memandang Yap In Hong.

"Dan she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako?" tanya pula Yap In Hong.

"Ahhh, sekarang aku ingat...!" Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata. "Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal dasar ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga Tio Sun, teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar ilmu silat dua orang iblis tua itu!"

"Akan tetapi mereka itu sudah mati!" Yap In Hong berkata. "Pek-hiat Mo-ko telah tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku." Dia bicara kepada Bun Houw.

Bun Houw mengangguk-angguk. "Jika memang ada hubungannya dengan mereka, tentu ada hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas sudah mati, akan tetapi Hek-hiat Mo-li belum tewas biar pun terluka parah, akan tetapi dia diselamatkan dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia adalah murid dari Hek-hiat Mo-li yang masih selalu menaruh dendam terhadap kita." Bun Houw mengerutkan alisnya, dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan In Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan mati-matian.

Cia Keng Hong juga mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya. "Kiranya begitu... ilmunya lihai bukan main dan sesudah mempergunakan Thi-khi I-beng baru aku berhasil menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan mengenalku, lalu pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakangnya. Hemmm, musuh sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara, harap kalian suka berhati-hati," katanya sambil memandang kepada dua pasang pendekar itu.

Empat orang pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sama sekali sembuh dari luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara berdua saja dengan dua orang anaknya. Pada waktu dia bertanya mengapa puteranya itu belum mempunyai keturunan, dia mendengar pengakuan dari Bun Houw yang berbicara dengan nada suara duka, dan pengakuan puteranya itu sangat mengejutkannya dan membuatnya terharu sekali.

"Ayah, sebelum ayah memberi restu kepada kami berdua untuk menikah, mana mungkin kami berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"

Cia Keng Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. "Apa katamu?! Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri?"

Bun Houw mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih akan tetapi wajahnya agak pucat.

"Ayah, kami berdua saling mencinta, saling menghormat, maka bagaimana mungkin kami saling merendahkan dengan jalan melakukan hubungan jinah? Biar pun kami telah hidup bersama selama belasan tahun ini, akan tetapi selama ayah masih ada, tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan kami, mana mungkin kami berani melakukan hubungan yang akan menjadi perjinahan?"

Sepasang mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu gemetar dan hati pendekar itu rasanya seperti ditusuk pedang. Sekarang terbukalah matanya dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang menderita karena keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik.

"Houw-ji... kau maafkan aku... ahh, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras kepala... aku telah membuatmu hidup menderita, kau maafkanlah aku, anakku..."

Dua titik air mata membasahi mata pendekar sakti itu, sungguh hal yang luar biasa sekali, dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih oleh rasa sesal dan haru.

"Tidak, ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin susah hati ayah," jawab Bun Houw lirih.

"Aku yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ahhh, aku seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku bangga sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kau panggil In Hong ke sini!"

Bun Houw cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan In Hong. Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In Hong, memandang tajam dan berkata, "In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tidak tahu diri yang kukuh sehingga aku sudah membuat kalian berdua menderita. Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum aku mati, aku... aku... ingin sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian..."

"Gak-hu...!" In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut Ayah mertua dan menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata.

Keadaan tiga orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini muncul sinar yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun Houw dan In Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih sayang seperti biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegembiraan sekaligus juga perasaan malu-malu.

Bun Houw segera berlutut di samping isterinya dan berkata, "Kami menghaturkan terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah."

Ucapan itu malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, meski pun Bun Houw tidak bermaksud begitu. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini menggunakan kedua tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak memberi berkah.

"Ayahmu bersalah, ayahmu terlampau mementingkan perasaan dan keinginan hati sendiri sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama belasan tahun. Ahh, anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian berdua sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang sudah kulakukan ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita..."

Di samping mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu, menjodohkan mereka sehingga mereka berdua bisa menjadi suami isteri secara sah oleh persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang sebenarnya, juga pendekar sakti Cia Keng Hong kemudian mengadakan pertemuan bertiga saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong.

Juga kepada dua orang yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi 'lampu hijau'. Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan muka menunduk.

"Aku tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan kalian adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena itu, yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apa bila kalian berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri. Kalian berdua masih cukup muda untuk menikmati hidup, maka sudah selayaknyalah kalau saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku sudah menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian berdua."

Di depan kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa malu untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka pada waktu mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata ini pun dapat ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup bahagia.

Dua pasang pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong sampai kakek pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada beberapa orang anggota Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga terjadilah pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu Cia Giok Keng mengusulkan kepada ayahnya apakah tak sebaiknya jika Cin-ling-pai dibangun kembali dan memanggil para anggota yang kini tinggal terpisah-pisah.


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Kakek itu menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Keng-ji. Tidak ada gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Akan jauh lebih baik kalau kita menganggap dunia ini perkumpulan dan manusia adalah anggotanya! Dengan demikian, setiap orang manusia sebagai anggota perkumpulan besar itu akan selalu menjaga dunia, dan saling setia, saling mencinta antara manusia sebagai rekan hidup. Sebaliknya, kalau mendirikan perkumpulan-perkumpulan secara terpisah-pisah hanya akan mendatangkan lebih banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cin-ling-pai bubar saja, lebih baik begini...!"


Diam-diam Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah berubah sama sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan sehingga ayah mereka menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena hendak menjaga nama dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi lunak dan mempunyai pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi.

Dua pasang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari menjenguk makam ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi, Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu.

Setelah selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka saling bergandengan tangan menuju ke pinggir jurang yang ditumbuhi rumput hijau yang gemuk. Mereka tak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu duduk, saling berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang, kemudian Cia Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai berbicara, seolah-olah dia tidak dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu.

"Kun Liong, apa yang kau pikirkan?"

Kun Liong memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun itu masih tampak seperti dulu, seperti ketika masih gadis remaja, masih tetap cantik menarik.

"Giok Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan apa yang sedang kau pikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu."

Wajah yang memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi sedikit kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang. Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu, kata-kata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku karena sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati.

"Lalu, bagaimana pendapatmu sendiri?" tanya Giok Keng, pertanyaan yang hanya untuk memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena sebenarnya, tanpa bertanya pun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun Liong.

Mereka berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar dari pada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan supaya mereka berdua menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal dalam satu rumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka hadapi, dan juga bersama-sama menikmati kesenangan dan bersama-sama pula menanggung penderitaan, sungguh merupakan suatu hal yang amat menghibur dan membahagiakan hati.

"Kau tahu alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok?"

Giok Keng mengerutkan alisnya, berpikir sejenak kemudian berkata, "Sebetulnya, apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang? Di mana pun, asal kita berdua, apa bedanya?"

Yap Kun Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Engkau benar, aku meributkan soal-soal yang kecil saja. Jika memang engkau lebih suka tinggal di Sin-yang, aku pun tidak akan menolak tinggal di sana."

Melihat betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa tidak enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dulu, yang keras hati sehingga kekerasan hatinya itulah yang dulu menggagalkan perjodohannya dengan Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau mengakibatkan segala macam peristiwa hebat.

Teringat akan ini, dia cepat berkata lagi. "Tentang di mana kita tinggal, kita lihat saja nanti. Bagiku, ke mana pun kau pergi dan tinggal, di situ aku merasa betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi, hatiku merasa tidak enak mendengar akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw dan sampai kini belum pulang. Aku mempunyai keinginan untuk lebih dahulu pergi merantau mencari anakku itu sampai dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw Si sekarang telah menjadi anak-anak yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita ini, adalah bijaksana kalau aku lebih dulu memberitahukan kepada mereka. Mengertikah engkau?"

Kun Liong menggenggam tangan itu. Ia mengangguk. "Tepat sekali. Memang semestinya demikian, Giok Keng. Aku pun akan merasa tidak enak apa bila mereka tidak diberi tahu terlebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu itu. Dan bagaimana dengan puteramu?"

"Dia akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa sekarang memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi mencari Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh."

Demikianlah, pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit kepada kakek Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek tua itu langsung menyatakan persetujuannya. Dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong juga berpamit untuk kembali ke selatan.

Karena merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja, Cia Keng Hong sama sekali tidak menahan, bahkan diam-diam dia merasa gembira karena kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran kebahagiaan pada wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang pendekar itu berpamit kemudian pergi, dia mengikuti bayangan mereka berempat dengan pancaran sinar mata penuh kebahagiaan.

Sin Liong yang duduk bersila di dekatnya juga memandang dengan sinar mata sayu. Tak seorang pun di antara mereka tahu betapa anak ini menderita tekanan batin yang cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi tanpa menoleh sedikit pun padanya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak kandungnya!

Ingin dia berteriak, ingin dia mengaku akan keadaan dirinya sebelum ayahnya pergi, tapi anak ini tetap duduk bersila dan menggigit bibir untuk menahan dorongan hati yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan empat orang itu lenyap di sebuah tikungan.

"Ehh, kenapa kau menangis?"

Pertanyaan ini mengejutkan hati Sin Liong. Tanpa disadarinya, ketika melawan dorongan hatinya tadi, dia sudah menggigit bibirnya dan ada dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya.

"Menangis? Apakah saya menangis, locianpwe?" tanyanya sambil menggerakkan tangan mengusap dua titik air mata itu.

Kakek itu lalu tersenyum maklum. Tentu anak ini diam-diam merasa suka kepada kedua putera dan puterinya, dan kini merasa berduka melihat mereka pergi. Kasihan sekali anak ini. Hidup sebatang kara di dunia yang luas dan penuh dengan kekerasan dan kekejaman ini.

"Sin Liong, jangan khawatir. Sesudah engkau memiliki sinkang yang diwariskan oleh Kok Beng Lama kepadamu, sesudah engkau memiliki Thi-khi I-beng, dan dalam waktu dekat aku akan mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu, kelak engkau mampu menjaga diri sendiri dan dapat mengembara ke mana pun sebagai seorang pendekar, seperti kedua anakku itu."

Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera berlutut di depan kakeknya itu. Dia kagum kepada kakeknya ini, sangat menghormatnya, dan sangat sayang kepada kakeknya yang dianggap merupakan seorang manusia budiman yang amat baik kepadanya.

"Terima kasih, locianpwe, terima kasih..."

Diam-diam Cia Keng Hong merasa heran mengapa anak ini tidak pernah menyebut suhu kepadanya, akan tetapi karena dia sekarang tidak lagi mau mempedulikan tentang segala macam upacara dan sebutan, dan karena dia pun tahu bahwa Sin Liong adalah seorang anak yang aneh sekali, maka dia pun tidak pernah menegurnya. Baginya tak ada bedanya apakah dia akan disebut locianpwe ataukah suhu, sebab mata pendekar sakti yang tua ini mulai terbuka bahwa segala macam upacara dan sopan santun, segala macam sebutan itu hanyalah kosong belaka, seperti kosongnya semua kata-kata yang keluar dari mulut, yang hanya merupakan permainan dari hawa dan angin kosong belaka! Baginya, yang penting adalah tindakan, kenyataan, bukan segala macam sebutan dan omongan.

Pendekar sakti Cia Keng Hong memenuhi kata-katanya kepada Sin Liong. Mulai hari itu, semenjak kedua orang putera dan puterinya pergi, dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada Sin Liong. Ketika dia melatih cucunya, Lie Ciauw Si, dia juga melatih dengan tekun, akan tetapi sekarang, melihat keadaan diri Sin Liong, pendekar ini menjadi kagum dan gembira bukan main.

Cucunya perempuan itu hanya memiliki bakat biasa saja, karena itu Ciauw Si tidak begitu mudah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang sangat sukar dipelajari itu. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Sin Liong. Anak ini benar-benar sangat luar biasa sekali.

Segala macam pelajaran dasar ditelannya dengan mudah, bahkan ketika kakek itu mulai mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang rumit mudah saja bagi Sin Liong untuk menguasai semuanya. Seolah-olah sekali diberi pelajaran setiap teori ilmu silat baru, semua itu telah melekat di dalam benaknya dan tidak lupa lagi. Dan pada saat dia mulai melatih diri, juga di dalam gerakan-gerakannya terkandung bakat yang amat besar, gerakannya tidak kaku dan seakan-akan gaya ilmu silat itu memang sudah mendarah daging di dalam tubuhnya. Maka semua pelajaran dapat diterimanya dengan lancar.

Cia Keng Hong merasa betapa amat sukar baginya untuk dapat memulihkan tenaganya. Tubuhnya sudah sehat kembali, akan tetapi tenaganya tidak dapat pulih seperti sebelum dia bertanding melawan Kok Beng Lama. Dia menganggap bahwa hal ini karena usianya sudah sangat tua dan ini pula yang membuat dia tergesa-gesa menurunkan semua ilmu silat tinggi kepada Sin Liong.

"Pelajari dulu kauwkoat (teori silat) sampai kau hafal betul. Melatihnya boleh belakangan, Sin Liong." Demikianlah kakek itu berkata.

Dia lalu mengajarkan teori-teori dari ilmu-ilmu silat yang dahulu pernah menggemparkan dunia persilatan, seperti San-in Kun-hoat, Thai-kek Sin-kun, Siang-bhok Kiam-sut dan ada banyak lagi ilmu-ilmu silat yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Dan semua teori ilmu silat yang aneh-aneh itu sudah dicatat oleh ingatan dalam otak Sin Liong yang luar biasa cerdasnya.

Dalam waktu kurang lebih setahun lamanya, Sin Liong sudah berhasil menghafal semua teori ilmu silat yang banyak macamnya itu, dan selain hafal, juga dia telah diberi petunjuk oleh kakek itu bagaimana untuk melatih ilmu-ilmu itu seorang diri kelak.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Cin-ling-pai sekarang sama sekali tidak sama dengan Cin-ling-pai belasan tahun yang lalu, ketika Cin-ling-pai masih merupakan sebuah perkumpulan besar dengan para tokohnya yang terkenal sebagai Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-pai. Tapi semenjak Cap-it Ho-han tewas di tangan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa), maka Cin-ling-pai bagai kehilangan pamornya.

Apa lagi setelah Cia Keng Hong kehilangan puteranya dan kematian isterinya, kakek ini lalu membubarkan Cin-ling-pai sehingga semua murid atau anggota Cin-ling-pai menjadi tersebar ke mana-mana. Bagaimana pun juga, masih ada saja anak murid yang kadang-kadang naik ke Cin-ling-san untuk mengunjungi guru besar mereka itu.

Para anggota atau lebih tepat lagi bekas anggota Cin-ling-pai yang datang berkunjung, mengerti bahwa kini guru besar mereka mempunyai murid lagi, seorang pemuda aneh yang pendiam dan serius, yang jarang sekali bicara bahkan tidak menjawab sepenuhnya apa bila ditanya. Juga Cia Keng Hong yang mengerti akan keanehan anak itu, tidak mau banyak bicara mengenai Sin Liong, hanya samar-samar kakek ini mengatakan bahwa Sin Liong merupakan pewarisnya yang terakhir dan yang paling berbakat!

Pada suatu senja yang cerah dan indah, seperti biasa sejak dia pulang ke Cin-ling-san bersama Sin Liong, kakek Cia Keng Hong duduk bersemedhi seorang diri di dalam kebun di belakang pondoknya. Bersemedhi setiap matahari timbul dan matahari tenggelam telah merupakan pekerjaan sehari-hari kakek itu, dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak mau diganggu. Oleh karena itu, Sin Liong dan para anggota Cin-ling-pai tidak ada yang berani mendekati kakek itu kalau kakek Cia Keng Hong sedang berada di kebun.

Dan pada senja hari itu terdapat belasan orang bekas anggota Cin-ling-pai yang datang berkunjung. Mereka ini berkumpul di ruangan besar bercakap-cakap, karena Cin-ling-san sekarang merupakan suatu tempat bertemu dan berkumpul di antara mereka dan dalam pertemuan ini tentu saja banyak yang mereka bicarakan. Di antara mereka ada beberapa orang bekas anggota golongan tua yang memiliki kepandaian tinggi karena mereka dulu adalah tokoh-tokoh tingkat dua, yaitu murid-murid langsung dari mendiang Cap-it Ho-han, yaitu sebelas orang pendekar dari Cin-ling-pai itu.

Sin Liong sendiri yang juga maklum akan kebiasan kakeknya, tidak berani mengganggu dan dia berada di dalam kamarnya untuk melatih pernapasan seperti yang diajarkan oleh kakeknya. Kini, anak berusia empat belas tahun ini sudah dapat menguasai hawa sinkang yang amat kuat di tubuhnya itu, bahkan tahu cara memeliharanya dengan pengumpulan hawa murni dan mengatur pernapasan. Dia dapat pula menggerakkan hawa sinkang itu di seluruh tubuhnya sehingga biar pun semua ilmu silat tinggi itu belum dikuasainya, namun dengan tenaganya yang dahsyat dia sudah merupakan seorang pemuda tanggung yang amat tangguh.

Kakek Cia Keng Hong duduk bersila di atas batu bulat di kebunnya, di bawah sebatang pohon yang-liu yang daunnya bergerak-gerak lembut tertiup angin senja. Dia bersemedhi dengan tenang, kedua tangannya bersilang di depan dada. Kakek ini tenggelam di dalam semedhinya, dan biar pun kini kesehatannya sudah pulih kembali, namun tenaganya jauh berkurang dibandingkan dengan dahulu.

Dia pun sudah tak berminat lagi untuk lebih memperkuat tubuhnya, hanya memperdalam ketenangan batinnya, menghentikan segala macam gangguan pikiran. Kini tidak ada lagi kedukaan mengganggu batinnya. Dia sudah bertemu kembali dengan puteranya, bahkan telah memberi persetujuan kepada puteranya untuk berjodoh dan menikah dengan wanita yang dipilihnya sendiri. Ia pun telah memberi dorongan kepada puterinya untuk menikmati kehidupan bersama pria yang dicintanya.

Dan dia pun merasa lega bahwa dia bertemu dengan seorang anak luar biasa seperti Sin Liong sehingga dia dapat menurunkan semua kepandaiannya. Dalam diri Sin Liong dia melihat bakat yang ada pada dirinya sendiri, dan dibandingkan dengan puteranya, Bun Houw, bakat Sin Liong bahkan masih menang setingkat.

Maka hatinya sudah puas dan kakek ini merasa sudah siap untuk meninggalkan dunia ini dengan hati tenang dan tenteram. Kini tidak ada lagi duka dan persoalan yang mengikat batinnya, maka semedhinya demikian mendalam, membuat dia lupa segala.

Kakek yang telah bebas dari kekhawatiran itu tidak tahu bahwa pada saat dia tenggelam dalam semedhinya itu tiba-tiba saja muncul dua orang yang mendaki puncak dan dengan gerakan yang cepat sekali langsung memasuki taman di belakang pondoknya. Mereka adalah seorang wanita yang cantik sekali bersama seorang nenek bermuka hitam yang memegang sebatang tongkat. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li!

Seperti telah kita ketahui, wanita cantik jelita ini sudah berhasil menewaskan seorang di antara tiga tokoh utama yang menjadi musuh besar gurunya, yaitu Tio Sun. Maka sudah berkuranglah sumpahnya dan kini dia tidak perlu lagi mengejar-ngejar dan membunuhi orang-orang she Tio karena orang she Tio yang utama telah berhasil dibunuhnya.

Ketika dia sedang menyiksa Sin Liong yang diketahuinya sebagai putera Cia Bun Houw menurut pengakuan anak itu sendiri, dia bertemu dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan dia terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek tua itu. Memang sudah lama dia mendengar tentang ketua Cin-ling-pai itu dari gurunya, akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang tadinya terlampau mengandalkan kehebatan ilmu kepandaiannya sendiri, mula-mula memandang rendah.

Setelah dia bentrok dengan Cia Keng Hong, baru dia terkejut setengah mati dan merasa jeri, meninggalkan kakek itu dan cepat-cepat dia mencari gurunya yang memang sudah hendak turun tangan sendiri, meninggalkan utara, dan kini Hek-hiat Mo-li sudah berada tidak jauh dari tempat itu. Maka Kim Hong Liu-nio segera menceritakan kepada gurunya mengenai pertemuannya dengan pendekar tua Cia Keng Hong sambil menceritakan pula betapa lihainya pendekar tua itu.

Mendengar ini, Hek-hiat Mo-li lalu mengajak muridnya untuk melatih diri dan memperkuat diri sebelum mereka berdua turun tangan. Sampai beberapa bulan lamanya guru beserta muridnya ini melatih diri dan setelah merasa diri mereka benar-benar kuat, keduanya lalu pergi mendaki Bukit Cin-ling-san sehingga pada senja hari itu mereka memasuki kebun di mana pendekar tua Cia Keng Hong sedang duduk bersemedhi seorang diri.

Ketika Kim Hong Liu-nio yang berjalan di depan dengan langkah ringan sekali itu melihat betapa dari kepala kakek yang sedang duduk bersemedhi itu mengepul uap putih yang tebal, dia terkejut dan tertegun, merasa semakin jeri. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li.

Nenek ini merasa girang sekali melihat uap putih itu dan dia tahu bahwa saat itu musuh besarnya sedang dalam keadaan 'kosong', maka dengan mukanya yang hitam berubah beringas, nenek ini lalu meloncat dan menggerakkan tongkatnya ke arah punggung kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkang sepenuhnya. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi berani dan dia pun meloncat dan dengan tangan kanannya dia memukul pula ke arah tengkuk kakek itu.

"Blukk! Plakkk!"

Hampir berbareng hantaman tongkat dan tamparan tangan itu tepat mengenai punggung dan tengkuk Cia Keng Hong, akan tetapi dua orang penyerang gelap itu menjadi terkejut setengah mati. Tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li sudah patah menjadi dua potong, ada pun Kim Hong Liu-nio merasa betapa telapak tangan kanannya panas dan nyeri bukan main. Mereka terkejut dan meloncat mundur.

Pada saat menerima pukulan-pukulan tadi, Cia Keng Hong dalam keadaan semedhi yang amat mendalam, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang telah amat tinggi tingkatnya, apa lagi karena dia sudah menguasai Thi-khi I-beng dengan sempurna, maka tubuhnya dapat secara otomatis menjaga diri. Begitu pukulan-pukulan itu tiba, tenaga sinkang-nya sudah bergerak dan menolak sehingga mengejutkan kedua orang lawannya, akan tetapi sesungguhnya dia telah menderita luka-luka yang hebat di dalam tubuhnya!

Pukulan tongkat dan hantaman tangan guru dan murid tadi hebat bukan main dan takkan dapat ditahan oleh seorang ahli yang bagaimana kuat pun. Jangankan pukulan itu diterima oleh Cia Keng Hong dalam keadaan tidak sadar, bahkan andai kata diterimanya dalam keadaan sadar sekali pun, tentu dia akan terluka hebat.

Akan tetapi hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, maka mereka berdua terkejut bukan main. Kim Hong Liu-nio menjadi semakin jeri, akan tetapi Hek-hiat Mo-li yang sudah amat marah bertemu dengan seorang di antara musuh-musuh utamanya itu, kini sudah menerjang maju lagi dengan tongkatnya.

Tubuh Cia Keng Hong yang masih bersila tadi, kini melayang turun dari atas batu lantas dengan dorongan-dorongan kedua tangannya, dia membuat guru dan murid itu terhuyung ke belakang. Pendekar tua itu memaksa dirinya untuk menggunakan sinkang yang hebat, dan hal ini membuat luka-lukanya di dalam tubuh menjadi makin parah.

Dia maklum akan hal ini, akan tetapi dia tahu pula bahwa tanpa memamerkan kekuatan sinkang-nya dia tidak akan dapat membikin jeri dua orang lawan tangguh ini, dan untuk mengadu silat, dia merasa bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama dengan luka-luka hebat itu. Untuk menambah kekuatannya, Cia Keng Hong kemudian mengeluarkan suara melengking yang dahsyat dan kembali kedua tangannya mendorong ke arah dua orang lawannya sehingga guru dan murid itu kembali terhuyung ke belakang, meski pun mereka sudah mencoba untuk mempertahankan diri.

Suara melengking itu telah mengejutkan belasan orang anggota Cin-ling-pai yang sedang berkunjung dan berkumpul di dalam ruangan besar, juga terdengar pula oleh Sin Liong. Mereka semua menjadi terkejut sekali dan cepat-cepat mereka berlarian menuju ke kebun di belakang.

Begitu melihat betapa ketua Cin-ling-pai itu sedang bertanding dan dikeroyok oleh seorang wanita cantik dan seorang nenek tua bermuka hitam, mereka terkejut sekali dan tidak berani sembarangan turun tangan tanpa ada perintah dari guru besar itu. Akan tetapi, selagi belasan orang tokoh Cin-ling-pai itu tertegun dan meragu, tiba-tiba saja terdengar gerengan laksana suara seekor monyet besar atau seekor harimau marah dan sesosok bayangan berkelebat lantas bayangan itu langsung menerjang Kim Hong Liu-nio dengan terkaman dahsyat dan dengan pukulan kedua tangannya.

Sejak kecil Sin Liong sudah sering kali melihat orang-orang yang disayangnya dibunuh orang tanpa dia mampu membantu atau mencegah kejadian itu. Pertama-tama dia melihat ibu kandungnya dibunuh orang, juga biang monyet yang memellharanya dibunuh orang, kemudian melihat Na-piawsu dibunuh orang.

Sekarang, melihat kakek yang amat disayangnya itu diserang oleh dua orang ini, apa lagi mengenal bahwa seorang di antara mereka yang menyerang kakeknya adalah Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan hanya telah membunuh ibu kandungnya akan tetapi juga telah sering menyiksanya, dia menjadi marah sekali dan timbullah sifat liarnya. Dia menyerang laksana seekor binatang buas dan kemarahan yang hebat ini mendorong keluar semua tenaga sinkang yang mengeram di dalam tubuhnya.

Begitu melihat Sin Liong, wanita itu langsung mengenalnya dan tentu saja memandang rendah, bahkan menyambut terjangan Sin Liong itu dengan hantaman tangan kirinya.

"Desss...!"

"Ihhhh...!" Tubuh Kim Hong Liu-nio terlempar dan bergulingan, lalu dia meloncat bangun, mukanya agak pucat dan matanya terbelalak. Tak disangkanya betapa pertemuan tenaga dengan anak berusia empat belas tahun itu membuat dia terlempar, dan hampir saja dia celaka!

Melihat betapa anak itu berani turun tangan membantu guru besar mereka, para anggota Cin-ling-pai juga lalu menerjang maju. Sementara itu, nenek Hek-hiat Mo-li yang merasa sangat penasaran karena hantaman tongkatnya tadi tidak menewaskan Cia Keng Hong, kini membentak keras dan tubuhnya melayang ke depan, menyerang Cia Keng Hong.

Pendekar ini menanti sampai nenek itu datang dekat, kemudian dengan gerakan istimewa dia menangkis hantaman nenek itu, sambil membarengi dengan tamparan tangan kirinya. Itulah sebuah gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang tidak disangka-sangka oleh Hek-hiat Mo-li, maka tanpa dapat dicegah lagi pundaknya kena ditampar sehingga dia pun terlempar dan jatuh bergulingan seperti halnya Kim Hong Liu-nio tadi.

Namun baik nenek muka hitam ini mau pun Kim Hong Liu-nio, telah memiliki kekebalan yang luar biasa, kekebalan yang bukan hanya dapat menghadapi pukulan kosong bahkan mampu pula bertahan terhadap pukulan sakti dan pukulan senjata tajam! Kekebalan inilah yang dahulu membuat mendiang kakek Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sangat sukar dilawan. Pendekar Cia Bun Houw baru berhasil membunuh Pek-hiat Mo-ko dan Yap In Hong baru berhasil melukai Hek-hiat Mo-li setelah mereka berdua ini mengetahui rahasia kelemahan kakek dan nenek itu.

Cia Keng Hong sudah mendengar dari puteranya bahwa nenek ini memiliki kelemahan di telapak kakinya, akan tetapi karena dia sendiri sudah terluka hebat, maka tidaklah mudah baginya untuk menyerang tempat berbahaya lawannya ini. Apa lagi hantaman-hantaman yang dilakukannya tadi menggunakan sinkang pula sehingga keadaannya menjadi makin parah dan hampir saja dia tidak kuat berdiri lagi. Hanya dengan paksaan dan pengerahan tenaga terakhir dia masih mampu menghadapi lawan.

Kini para anggota Cin-ling-pai sudah mengeroyok nenek serta wanita cantik itu, dan Sin Liong yang terutama sekali menerjang dan mendesak Kim Hong Liu-nio yang dibencinya. Melihat betapa kakek Cia Keng Hong benar-benar lihai bukan main, bahkan kini ditambah pula oleh orang-orang Cin-ling-pai, nenek dan muridnya itu mulai merasa gentar. Mereka mengamuk dan ada empat orang anggota Cin-ling-pai yang roboh dan tewas, sedangkan Sin Liong yang baru menguasai teori-teori belaka dari ilmu-ilmu silat tinggi, tentu saja di dalam hal ilmu silat masih kalah jauh dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio sehingga berkali-kali dia kena dihantam sampai bergulingan.

Akan tetapi diam-diam Kim Hong Liu-nio bergidik karena bukan saja anak itu tidak sampai tewas atau terluka oleh hantamannya, bahkan sering kali tangannya segera melekat dan tenaganya tersedot oleh ilmu Thi-khi I-beng yang amat ditakutinya itu. Kalau saja dia tidak memperoleh latihan khusus dari gurunya untuk melepaskan diri terhadap ilmu mukjijat itu, tentu dia sudah kena ditempel dan disedot sampai tenaganya habis oleh anak ini!

Sesudah berhasil merobohkan empat orang, Hek-hiat Mo-li maklum bahwa dia bersama muridnya tak akan berhasil, bahkan kalau tokoh-tokoh lain seperti putera Cin-ling-pai itu, dan wanita perkasa Yap In Hong muncul, juga kakak wanita itu yang bernama Yap Kun Liong, tentu dia dan muridnya akan celaka.

"Mari kita pergi!" bentaknya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang jauh, pergi dari situ. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio juga meloncat pergi menyusul gurunya.

Sin Liong yang marah bukan main sudah bergerak hendak mengejar, juga para anggota Cin-ling-pai, akan tetapi terdengar suara lemah kakek itu mencegah,

"Jangan kejar...!"

Sampai lama Sin Liong beserta para anak buah Cin-ling-pai berdiri memandang ke arah lenyapnya dua orang musuh itu, baru kemudian para bekas anggota Cin-ling-pai itu sibuk merawat mereka yang luka dan tewas dalam pertempuran itu.

"Kongkong...!" Teriakan itu mengejutkan semua orang.

Mereka menengok dan melihat Sin Liong menangis di hadapan kakek yang telah duduk bersila kembali di atas batu itu. Semua bekas anggota Cin-ling-pai berlari menghampiri dan terkejut bukan main melihat bahwa guru besar mereka itu ternyata telah tak bernapas lagi! Kiranya setelah mencegah semua orang mengejar musuh-musuh yang amat lihai itu, Cia Keng Hong kembali duduk bersila dan kakek ini melepaskan napas terakhir sambil duduk bersila.

Pukulan-pukulan dua orang lawan yang amat lihai itu tadi telah mengguncangkan jantung dan melukai isi dada serta perutnya. Hanya karena semangatnya yang luar biasa saja kakek tua renta ini tadi masih mampu melawan, bahkan membikin jeri hati kedua orang musuhnya. Akan tetapi justru perlawanannya itu membutuhkan pengerahan tenaga dan dalam keadaan terluka hebat dia mengerahkan tenaga, maka hal ini tentu saja membuat luka-lukanya menjadi makin parah lalu mencabut nyawanya setelah dia duduk bersila.

Sin Liong yang pertama kali melihat keadaan kakek itu, menjerit dan dalam kedukaannya dia sampai lupa diri dan menyebut kakek itu 'kongkong' karena dia memang merasa amat sayang kepada kongkong-nya (kakeknya) itu. Melihat kakeknya mati, dia berteriak lalu menangis mengguguk seperti anak kecil. Belum pernah selamanya dia menangis seperti itu.

Akan tetapi hanya sebentar dia menangis. Sesudah berhenti menangis, dia hanya diam saja seperti patung ketika melihat para bekas anak buah Cin-ling-pai sambil menangis lalu mengangkat jenazah kongkong-nya bersama keempat orang anggota Cin-ling-pai lainnya yang juga tewas dalam pertempuran tadi, membawanya masuk ke dalam pondok.

Sampai semua jenazah dimasukkan peti dan dijajarkan di ruangan depan bersama peti jenazah bekas ketua Cin-ling-pai itu di depan dan empat buah peti jenazah para anggota itu di belakang, Sin Liong tidak pernah menangis lagi, juga tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata. Dia hanya duduk bersila di dekat peti jenazah kongkong-nya itu, tak pernah makan tak pernah tidur, hanya duduk bersila seperti sebuah arca.

Setiap kali terdengar orang menangis dan berkabung, yaitu para keluarga empat orang anggota Cin-ling-pai itu. Bekas anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong datang dan menangis. Berita secepatnya dikirim melalui dunia kang-ouw dan beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah Cia Bun Houw dengan Yap In Hong, lalu Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng yang datang bersama. Riuh rendah tangis mereka di depan peti mati.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng, datang ke Cin-ling-pai untuk mengabarkan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kaipang yang ternyata kenal baik dengan ketua Cin-ling-pai, kongkong dari Lie Seng. Namun, ketika mereka akhirnya tiba di Cin-ling-san, mereka hanya mendapatkan bahwa ketua Cin-ling-pai telah tewas.

Sesudah bertangis-tangisan dan berkabung, Bun Houw dengan isterinya bercakap-cakap dengan empat orang itu. Sesungguhnya, kalau saja tidak terjadi hal yang menyedihkan sehubungan dengan kematian kakek Cia Keng Hong, tentu pertemuan itu akan sangat menggembirakan. Yap Mei Lan adalah keponakan dari In Hong, ada pun Lie Seng adalah keponakan dari Bun Houw. Bahkan, Souw Kwi Eng pernah ditunangkan dengan Cia Bun Houw!

Akan tetapi, kini mereka semua sedang berkabung dalam kedukaan, maka tentu saja tak ada suasana gembira dalam pertemuan mereka. Hanya nampak In Hong yang merangkul keponakannya yang dia duga tentu sudah memiliki kepandaian hebat setelah digembleng oleh Kok Beng Lama itu.

Tiba-tiba Souw Kwi Eng menangis lagi, tetapi kini tangisnya tidak seperti ketika menangis di hadapan peti mati kakek Cia, bahkan dia menangis dengan penuh kedukaan sehingga mengejutkan Bun Houw dan In Hong. Yap In Hong yang tidak lagi cemburu kepada bekas tunangan suaminya ini karena dia sudah tahu bahwa wanita peranakan barat ini sudah menikah dengan Tio Sun, segera mendekatinya dan memegang pundaknya.

"Adik Kwi Eng, sudahlah, jangan engkau terlalu berduka...!" dia menghibur.

Kwi Eng mengangkat muka memandang, dan tiba-tiba dia merangkul leher In Hong dan tangisnya semakin mengguguk. Di antara tangisnya In Hong mendengar kata-kata yang membuatnya terbelalak dan terkejut sekali,

"...bagaimana... takkan berduka... kalau... kalau suamiku dibunuh orang...?"

Tentu saja bukan hanya In Hong yang amat terkejut mendengar ini, juga suaminya, Cia Bun Houw kaget bukan main. Mereka tadi melihat betapa nyonya muda yang cantik jelita ini memakai pakaian berkabung, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa nyonya muda ini karena sudah mendengar akan kematian kakek Cia yang amat dikaguminya, memang sengaja mengenakan pakaian berkabung. Siapa kira, nyonya muda ini berkabung karena kematian suaminya yang dibunuh orang!

"Siapa yang membunuh Tio-twako? Siapa?" Bun Houw berseru dengan penasaran sekali. Ayahnya baru saja dibunuh orang, dan kini dia mendengar bahwa Tio Sun dibunuh orang pula.

Dengan panjang lebar Souw Kwi Beng mewakili saudara kembarnya, menuturkan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kaipang dalam sebuah pertempuran gara-gara seorang wanita bernama Kim Hong Liu-nio.

"Iparku itu hanya hendak mendamaikan antara Panglima Lee Siang dengan ketua Hwa-i Kaipang," demikian dia menutup ceritanya, "akan tetapi siapa kira, ketua Hwa-i Kaipang mengira bahwa iparku itu membela wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu sehingga terjadi pertempuran dan iparku tewas..."

"Kim Hong Liu-nio...?" Bun Houw bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. "Kiranya wanita itu pula yang menjadi gara-gara?" Kini giliran empat orang itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng, dan Souw Kwi Beng yang mendengar betapa kakek Cia juga tewas oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li!

"Dan semuanya ini adalah gara-gara bocah itu!" tiba-tiba saja Bun Houw berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin Liong yang masih duduk seperti arca di dekat peti jenazah dengan muka pucat.

Mendengar kata-kata ayah kandungnya sambil menudingkan telunjuk kepadanya itu, Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Semua mata kini ditujukan kepadanya.

"Mendiang ayah bentrok dengan Kim Hong Liu-nio akibat menolong bocah itu!" Bun Houw berkata penuh penyesalan. "Dan bocah itu pula yang bercerita kepada kami bahwa Kim Hong Liu-nio memusuhi orang-orang she Tio, Yap dan Cia. Sebelum muncul bocah itu kita semua hidup tenteram dan tidak pernah terjadi permusuhan dengan siapa pun. Bocah ini benar-benar mendatangkan sial!"

Yap In Hong menyentuh lengan suaminya yang sedang dicekam kedukaan dan amarah itu, lalu dia menghampiri Sin Liong dan bertanya, "Sin Liong, menurut keterangan para anggota Cin-ling-pang nenek itu berwajah hitam. Engkau yang telah mengenal Kim Hong Liu-nio, tentunya engkau tahu pula siapa nenek yang datang bersama wanita itu. Apakah benar dia itu Hek-hiat Mo-li?"

Yap In Hong ini pernah bertanding dengan Hek-hiat Mo-li, bahkan berhasil melukai nenek yang kebal itu karena dia tahu di mana letak kelemahan nenek itu. Akan tetapi sebelum dia sempat membunuh nenek iblis itu, keburu datang Raja Sabutai yang menyelamatkan nenek yang juga menjadi guru raja itu. Kini dia bertanya kepada Sin Liong, selain untuk memperoleh keyakinan, juga untuk menghentikan suaminya memarahi anak itu.

Sin Liong tidak menjawab, bahkan tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yap In Hong itu. Sejak tadi dia mengalami tekanan batin, merasa berduka sekali, penasaran dan juga amat marah mendengar bahwa ayah kandungnya sendiri memaki dan menyalahkan dirinya. Dia hanya bersila sambil menundukkan mukanya, dua alisnya berkerut, bibirnya dikatupkan keras-keras.

"Kalau dia tidak bisa berbicara lagi, biar saja tidak usah ditanya!" Bun Houw yang masih merasa marah karena terdorong kedukaan dan penyesalan, kembali berkata. "Tidak perlu mendapatkan keterangan anak sial itu pun sudah jelas bahwa nenek muka hitam itu pasti Hek-hiat Mo-li orangnya. Dan perempuan itu tentu muridnya. Setelah selesai pemakaman jenazah ayah, aku akan mencarinya dan membunuh mereka!"

"Tidak perlu!" Tiba-tiba Sin Liong yang sejak tadi diam saja, kini membentak dengan suara yang amat lantang sehingga mengejutkan semua orang. Bagaikan sebuah gunung berapi yang sudah ditahan-tahan sekian lamanya dan kini meletus, Sin Liong bangkit berdiri, dua matanya mencorong seperti mata naga sakti, kedua tangannya dikepal dan dia berkata,

"Akulah yang akan membalaskan kematian kongkong! Akulah yang akan mencari kedua orang musuh besar itu kemudian membunuh mereka. Aku tidak mengharapkan bantuan para pendekar. Para pendekar yang hebat-hebat hanya namanya saja pendekar, duduk di tempat tinggi, mabok kemuliaan dan nama besar seolah-olah mereka adalah dewa-dewa di sorga, bukan manusia! Padahal, namanya saja pendekar-pendekar mulia, akan tetapi perbuatannya banyak yang rendah dan hina, di balik nama-nama besar itu tersembunyi perbuatan kotor!"

"Bocah lancang mulut...!" Bun Houw membentak akan tetapi isterinya menyentuh lengan kanannya.

"Ssttt...!" kata In Hong berbisik sambil memandang kepada Sin Liong dengan mata penuh kagum dan tertarik.

Bocah itu bukan sembarang bocah dan dia melihat sesuatu yang aneh pada mata bocah itu, dan dia merasa seolah-olah dia sudah mengenal anak ini, entah di mana dan kapan.

"Para pendekar merasa bahwa mereka itu orang-orang paling mulia, paling suci, paling terhormat dan paling tinggi, paling hebat! Tetapi semua itu hanya untuk menyembunyikan perbuatan-perbuatan mereka yang kotor dan tak bertanggung jawab! Biarlah aku seorang yang akan membalas dendam, aku yang akan mencari mereka berdua itu dengan taruhan nyawaku, jangan ada yang turut campur!"

Setelah mengeluarkan kata-kata sebagai peluapan rasa marah dan penasarannya itu, Sin Liong terisak sekali lalu duduk bersila lagi di dekat peti jenazah, menunduk dan apa pun yang akan dilakukan orang kepadanya, jangan harap dia akan mau membuka mulut lagi. Dia sudah menyampaikan isi hatinya yang penuh penasaran.

Ketika dia bicara, dia teringat akan ibu kandungnya yang ditinggalkan ayah kandungnya, maka dia bicara tentang perbuatan kotor para pendekar yang dikatakan tidak bertanggung jawab! Tentu saja dia tujukan ucapan itu kepada ayah kandungnya.

Dia memang menaruh dendam kepada Kim Hong Liu-nio, lebih dari pada mereka semua, karena wanita itu telah membunuh ibu kandungnya di depan matanya, dan membunuh pula kongkong-nya.

Semua orang bengong menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Sin Liong itu. Yap In Hong masih memegang lengan suaminya, mencegah suaminya marah-marah, karena amat tidak baik marah-marah di depan peti jenazah ayah mertuanya itu. Pada saat semua orang masih bengong memandang kepada Sin Liong, tiba-tiba terdengar jerit tertahan,

"Ayahhhh...!"

Dan berkelebatlah sesosok bayangan orang. Bayangan ini adalah Cia Giok Keng yang begitu tiba di situ langsung menjatuhkan diri berlutut di depan peti mati jenazah ayahnya, memeluki peti dan menangis tersedu-sedu, kemudian dia tentu akan terguling roboh kalau tidak cepat-cepat Yap Kun Liong menyambar tubuh yang pingsan itu.

Kembali terjadi hujan tangis di tempat itu sebab semua orang yang menyaksikan ini mulai menangis lagi. Sin Liong telah dilupakan orang yang kini tenggelam dalam kedukaan dan keharuan itu.

Ternyata Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong yang belum berhasil menemukan Lie Ciauw Si, mendengar berita tentang kematian kakek Cia dari suara di dunia kang-ouw. Mereka cepat-cepat kembali ke Cin-ling-san dan di sepanjang jalan Cia Giok Keng telah menangis sedih, dihibur oleh Yap Kun Liong. Maka begitu tiba di depan peti jenazah, wanita ini lalu menjerit dan menangis, kemudian roboh pingsan.

Suasana di situ diliputi keharuan dan kedukaan. Cia Giok Keng menangis tersedu-sedu ketika dia telah siuman kembali dan dia berangkulan dengan Cia Bun Houw. Dua orang inilah yang merasa paling terpukul dengan kematian ayah mereka, dan kini pendekar sakti Cia Bun Houw tak dapat lagi menahan tangisnya sesudah melihat enci-nya, apa lagi dia teringat betapa dia telah pernah marah dan meninggalkan ayahnya sampai belasan tahun sehingga kematian ibunya pun tidak diketahuinya.

Sekarang, baru saja dia pulang dan berbaik kembali dengan ayahnya, merasakan betapa ayahnya sebenarnya sangat mencintanya, baru saja berjumpa satu kali dengan ayahnya, kini ayahnya sudah mati dibunuh orang, atau setidaknya, meninggal akibat pertempuran melawan orang lain.

Dia mengerti bahwa sesungguhnya ayahnya tidaklah langsung dibunuh orang, melainkan bertempur melawan guru dan murid itu, bahkan menurut cerita para anggota Cin-ling-pai, ayahnya tidak kalah, malah membikin jeri musuh-musuh yang melarikan diri. Akan tetapi dia tahu bahwa ayahnya memang sudah sangat tua dan lemah, tenaganya telah banyak berkurang sehingga ketika menghadapi dua orang yang tangguh itu, ayahnya terluka dan tewas.

Pada saat itu, di antara para tamu yang mulai berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dalam peti, muncul orang laki-laki tua yang aneh sekali bentuk tubuhnya. Melihat wajahnya, jelaslah bahwa laki-laki ini sudah tua sekali, seorang kakek yang memang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah tua sekali.

Mukanya yang kurus itu penuh dengan keriput, matanya agak juling dan kepalanya gundul pelontos serta halus kulitnya, hanya ada sedikit rambut kering yang tumbuh di padang tandus, tumbuh di atas kepala, di tengah-tengah menutupi ubun-ubun. Kepalanya besar dan bulat, tetapi kurus, dengan dua buah daun telinga yang tebal dan lebar. Alisnya tebal, sudah bercampur uban, bengkak-bengkok di atas sepasang matanya yang juling.

Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sekali, agaknya memang tidak dapat ditutup secara baik sehingga balik bibirnya selalu nampak. Gigi bawahnya sudah habis dan gigi atasnya tinggal beberapa buah saja, berderet jarang. Kepala dan wajah itu biar pun sangat buruk dan menyeramkan, namun belumlah aneh kalau dibandingkan dengan bentuk tubuhnya dari leher ke bawah. Kakek yang kelihatan sudah tua sekali ini ternyata memiliki bentuk tubuh seperti kanak-kanak yang usianya baru sepuluh tahun! Tubuh itu kecil pendek, dengan dua tangan yang kecil dan dua kaki bersepatu yang kecil pula.

Siapakah adanya kakek yang aneh itu? Semua orang yang hadir di situ tidak ada yang mengenalnya. Padahal, kakek ini sesungguhnya adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, yang datang dari barat dan sudah lama merantau di dunia utara, di balik tembok besar. Kakek ini bernama Ouwyang Bu Sek!

Di dalam cerita Petualang Asmara, terdapat seorang tokoh yang merupakan datuk kaum sesat yang ditakuti orang dan yang berjuluk Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) dan datuk ini bernama Ouwyang Kok, seorang datuk dari utara. Datuk ini tewas di tangan Cia Keng Hong.

Kakek cebol aneh ini adalah seorang keponakan dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok itu. Dia masih muda pada waktu mendengar bahwa pamannya telah terbunuh oleh seorang pendekar bernama Cia Keng Hong. Akan tetapi karena putera tunggal pamannya itu yang bernama Ouwyang Bouw juga terbunuh oleh suci dari Pek Hong Ing (mendiang nyonya Yap Kun Liong), maka pamannya itu tidak mempunyai orang lain lagi kecuali dia untuk membalaskan kematiannya. Dia adalah keponakan pamannya itu dan akan kecewalah dia sebagai seorang keturunan keluarga Ouwyang, keluarga yang terkenal sebagai keluarga pandai, kalau dia tidak menuntut balas.

Akan tetapi, dia juga tahu betapa lihainya pendekar Cia Keng Hong, bahkan pendekar ini memiliki keluarga yang terdiri dari orang-orang lihai. Inilah yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek harus menahan diri hingga bertahun-tahun lamanya, bahkan hingga puluhan tahun lamanya karena dia harus memperdalam kepandaiannya lebih dulu.

Sampai puluhan tahun lamanya dia merantau ke barat dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari para pertapa aneh di Pegunungan Himalaya dan di Tibet. Baru sesudah dia merasa bahwa kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi dari pada tingkat mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, dia berani meninggalkan barat sebagai seorang kakek aneh dan pergi ke Cin-ling-san mencari musuh besar keluarga Ouwyang itu.

Akan tetapi, betapa menyesal, kecewa dan juga mendongkol rasa hatinya ketika dia tiba di puncak Cin-ling-san, dia menemukan musuh besarnya itu sudah berada di dalam peti mati!

Pada waktu itu, semua anggota keluarga dari bekas ketua Cin-ling-pai sedang berduka dan dibangkitkan kembali kedukaan serta keharuan mereka akibat kedatangan Cia Giok Keng. Mereka sedang bertangisan sehingga tidak ada yang memperhatikan kedatangan kakek cebol itu.

Akan tetapi Sin Liong yang sejak tadi memandang ke arah para keluarga yang sedang bertangisan itu, melihat kakek ini di antara para tamu dan dia merasa terkejut dan tertarik sekali. Keanehan bentuk tubuh kakek ini sungguh sangat menonjol di antara para tamu sehingga secara diam-diam dia memperhatikan ketika kakek itu seperti para tamu yang lain menghampiri peti dengan langkah-langkah yang pendek dan lucu.

Akan tetapi, tidak seperti para tamu lainnya yang memberi penghormatan kepada jenazah dengan hio menyala di tangan, tamu aneh ini hanya berdiri tegak di depan peti jenazah dan tiba-tiba dia mengeluarkan kata-kata yang cukup lantang.

"Cia Keng Hong, engkau sungguh seorang pengecut besar! Setelah susah payah puluhan tahun aku mempelajari ilmu dan sekarang datang berkunjung, engkau malah melarikan diri melalui kematian. Huh, kalau tidak merusak tubuhmu dalam peti, hatiku selamanya akan merasa penasaran!"

Mendengar ini, semua orang terkejut dan terutama sekali Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng sudah meloncat berdiri lantas menengok ke arah tamu aneh itu dengan sinar mata berapi karena marahnya. Akan tetapi, sebelum mereka berdua sempat bergerak, tiba-tiba saja terdengar suara gerengan aneh laksana seekor binatang buas yang marah, disusul teriakan,

"Jangan ganggu jenazah kakekku!"

Serangan yang dilakukan oleh Sin Liong menyusul teriakannya itu mengejutkan Ouwyang Bu Sek. Tidak disangkanya bahwa anak yang tadi bersila di dekat peti mati, tiba-tiba saja meloncat dan menerkamnya seperti seekor binatang buas.

Ouwyang Bu Sek melihat betapa anak itu memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa, pukulan dalam terkamannya itu mendatangkan angin berdesir menuju arahnya. Dia kaget, kagum dan juga girang menghadapi anak yang mengaku cucu dari musuh besarnya itu. Kalau tidak dapat membalas kepada Cia Keng Hong, kini dapat menangkap cucunya juga sudah baik, pikirnya.

Maka dia mendiamkan saja anak itu menyerangnya. Kemudian setelah terkaman datang dekat, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya menangkap pundak Sin Liong.

"Desss! Desss!"

Pukulan kedua tangan Sin Liong itu dengan tepat mengenai tubuh kakek cebol itu, akan tetapi alangkah kagetnya hati Sin Liong saat merasa betapa kedua pukulannya itu seperti dua buah batu dilemparkan ke dalam air. Tenaganya amblas dan pukulannya mengenai tubuh yang lunak dan yang membuat tenaga pukulannya buyar dan tahu-tahu pundaknya telah kena dipegang dan dicengkeram. Ketika Sin Liong hendak mengerahkan tenaga dari pusar, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh, semua jalan darahnya seperti tiba-tiba menjadi kacau dan dia tidak mengerahkan tenaga lagi!

"Jahanam, berani engkau mengacau di sini?!" Bun Houw sudah membentak dan sambil meloncat dia telah mengirim pukulan jarak jauh ke arah kakek cebol itu.

Melihat ada pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara mencicit seperti itu, Ouwyang Bu Sek terkejut dan kagum sekali. Hebat, pikirnya dan dia menggunakan tangan kirinya mengebit. Dua tenaga sakti bertemu di udara dan sungguh pun kakek cebol itu berhasil menangkis pukulan Bun Houw, namun dia terkejut karena tangan kirinya tergetar.

Pada saat itu terdengar bunyi lengking nyaring dan Yap In Hong sudah menyerang dari depan. Kembali kakek itu melihat tenaga dahsyat sekali seperti angin puyuh menerjang tubuhnya! Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya mengebut dan kembali pukulan In Hong yang dilakukan sambil menerjang ke depan itu dapat ditangkisnya, dan juga sekali ini Ouwyang Bu Sek terkejut karena wanita cantik itu memiliki tenaga yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan penyerang pertama.

"Orang tua, siapakah engkau dan mengapa engkau berani mengacau di sini?" Tiba-tiba terdengar bentakan halus.

Ouwyang Bu Sek semakin kaget karena tahu-tahu suara itu sudah berada di belakangnya dan sesudah dia membalik, dia melihat seorang laki-laki gagah berusia kurang dari lima puluh tahun yang gerakannya mendatangkan angin dahayat ketika orang itu mengulurkan tangan menepuk ke arah pundaknya.

Ternyata orang ini pun lihai bukan kepalang, dapat bergerak tanpa diketahuinya, bahkan gerakan tangannya itu sama sekali tidak mendatangkan angin atau suara ketika menuju ke pundak, tahu-tahu sudah dekat dan mengandung kekuatan dahsyat!

Cepat dia mengelak dan meloncat mundur. Ketika dia melihat mereka itu menghampirinya dari depan dengan langkah-langkah sangat ringan dan pandang mata penuh kemarahan, dia menjadi jeri juga. Bukan main, pikirnya. Keluarga Cia ini memang hebat!

Apa bila hanya melawan mereka satu demi satu, tentu saja dia tidak akan gentar. Akan tetapi kalau harus menghadapi pengeroyokan orang-orang yang mempunyai kepandaian seperti mereka, biar pun dia sudah memiliki kesaktian hebat, dia tahu bahwa akhirnya dia yang akan celaka.

"Ha-ha-ha! Berhenti kalian semua! Kalau tidak, serangan kalian akan mengenai tubuh anak ini!" Dia mengangkat tubuh Sin Liong dan mempergunakan tubuh itu sebagai perisai.

Melihat ini, Yap Kun Liong yang tadi merupakan penyerang terakhir, cepat berhenti dan demikian pula para pendekar itu berhenti melangkah. Mereka semua adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Sungguh pun mereka tidak senang kepada Sin Liong, akan tetapi mereka melihat betapa Sin Liong adalah orang yang pertama kali membela jenazah itu dan mungkin saja kakek cebol itu tadi telah berhasil merusak jenazah jika tidak dihalangi dan diserang oleh Sin Liong, maka kini mereka tidak berani turun tangan terhadap kakek itu yang sudah menawan Sin Liong.

Kakek cebol itu jelas mempunyai kepandaian tinggi, maka jika mereka nekat menyerang dan kakek itu mempergunakan tubuh Sin Liong sebagai senjata atau perisai, tentu anak itu yang akan kena pukulan.

"Ha-ha-ha-ha, dengarlah baik-baik, kalian keluarga dari Cia Keng Hong! Aku Ouwyang Bu Sek, mewakili keluarga Ouwyang dan kedatanganku tadinya ingin menagih hutang nyawa kepada Cia Keng Hong. Akan tetapi dia sudah mati dan dia menebus dosanya dengan menyerahkan cucunya ini kepadaku. Ha-ha, biarlah aku menerimanya dan hitung-hitung sudah lunas hutangnya kepada keluarga Ouwyang!" Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan semua orang terkejut karena kakek itu ternyata dapat bergerak cepat bukan main, loncatannya membawa tubuhnya melayang jauh dan dia lalu melarikan diri sambil membawa Sin Liong.

Yap Kun Liong mengerutkan alisnya. "Ouwyang...? Ahh, kiranya keluarga dari dia si jahat itu...!"

Semua orang mendekati pendekar ini.

"Siapakah yang kau maksudkan, Yap twako?" tanya Bun Houw.

"Dahulu ada musuh besar ayahmu yang bernama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat dari utara. Ouwyang Bu Sek tadi tentu masih keluarganya yang datang untuk membalas dendam," jawab Yap Kun Liong.

"Dan dia telah membawa pergi Sin Liong!" In Hong berkata dengan suara menyesal.

"Kita tidak mampu mencegahnya," kata pula Cia Giok Keng penasaran.

"Biarlah aku yang akan mengejarnya dan merampas kembali anak itu, ibu," kata Lie Seng dengan penuh semangat.

"Benar kata sute, biarlah aku membantunya. Kami tentu akan dapat merampas kembali anak itu, ayah!" kata Yap Mei Lan kepada ayahnya.

Yap Kun Liong menggeleng kepalanya dan mengerutkan alisnya. "Kukira tidak bijaksana itu. Merampas kembali anak itu dengan kekerasan bahkan mungkin akan membahayakan nyawa anak itu. Kurasa kakek cebol itu tidak akan membunuh anak itu, karena kalau dia berniat demikian, tentu tadi sudah dibunuhnya. Dia hanya ingin menggunakan Sin Liong tadi sebagai sandera supaya dia dapat lari dari sini dan mungkin dia hendak membalas dengan cara menculik anak itu supaya kita menjadi berduka. Dia tidak tahu bahwa anak itu bukan keluarga Cia, bukan cucu dari musuh besarnya."

Sekarang semua orang teringat betapa tadi Sin Liong berteriak supaya kakek itu jangan mengganggu jenazah kongkong-nya, jadi anak itu seolah-olah mengaku sebagai cucu Cia Keng Hong. Kakek cebol itu telah salah mengerti, mengira bahwa Sin Liong adalah cucu ketua Cin-ling-pai!

"Kalau begitu, biarkan sajalah," kata Bun Houw yang merasa tidak suka kepada anak itu. "Anak itu hanya mendatangkan sial belaka, bahkan urusan sampai berlarut-larut, keluarga kita terperosok ke dalam permusuhan pula, sampai-sampai ayah harus turun tangan dan menghadapi lawan, semua adalah gara-gara bocah itu. Biarlah, memang dia lebih pantas berdekatan dengan orang-orang macam kakek iblis tadi."

Semua orang tidak ada yang mau membantah, karena mereka pun tidak mengenal siapa sebenarnya Sin Liong, anak yang begitu disayang oleh mendiang Cia Keng Hong hingga ditarik sebagai muridnya. Mereka semua sama sekali tidak pernah menduga bahwa anak yang bernama Sin Liong itu oleh kakek Cia Keng Hong sudah dipilih untuk menjadi ahli warisnya dan telah diberi pelajaran dari seluruh ilmu yang dimilikinya, walau pun sebagian besar hanya baru dipelajari teorinya saja. Dan tentu saja mereka itu, terutama Bun Houw, tidak pernah mimpi bahwa anak itu adalah benar-benar cucu dari ayahnya, karena anak itu adalah anak kandungnya!


                  ***************























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12