Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 17
DIA meloncat
berdiri dengan tubuh lemas dan bergoyang-goyang, mukanya pucat sekali karena
hampir setengah dari tenaganya juga sudah amblas! Dia mengalami luka di dalam
tubuhnya, biar pun tidak terlalu berbahaya tetapi membutuhkan waktu untuk
memulihkan kesehatannya. Ketika dia memandang lagi, kini tubuh Kok Beng Lama
yang masih duduk bersila ternyata telah tidak bernyawa lagi!
"Celaka...!"
keluhnya. "Sin Liong, bangkitlah engkau!"
Sin Liong
tadinya bersila, kedua matanya terpejam, mukanya merah sekali dan napasnya
kadang-kadang berhenti, kadang kala terengah. Mendengar ucapan ini, dia
menggerakkan kepalanya dan menengadah, membuka mata.
Terkejutlah
Cia Keng Hong melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata seekor naga
sakti dalam dongeng itu! Dan tiba-tiba saja tubuh anak itu meloncat dan
tubuhnya mencelat ke atas dengan cepatnya.
"Aahhhhh...
tolong, locianpwe...!"
Ternyata
ketika meloncat bangun tadi, otomatis Sin Liong menggunakan tenaganya. Akan
tetapi dia tidak tahu bahwa pada saat itu tenaga sinkang-nya sudah amat kuat
memenuhi tubuhnya sehingga begitu dia menggerakkan syaraf-syarafnya, tenaga ini
bangkit bekerja dan akibatnya tubuhnya mencelat seperti kilat ke atas tanpa
dapat diremnya lagi.
Tubuhnya
meluncur deras ke arah sebuah puncak bukit batu karang dan untung baginya bahwa
dia sudah biasa berloncatan dan memiliki kesigapan seekor monyet, maka walau
pun dia terkejut sekali dan minta tolong, tapi kedua tangannya masih dapat
menyambar ke depan dan dia dapat berpegang kepada ujung batu karang lalu
berjungkir balik, tidak sampai terbanting pada batu karang.
Sin Liong
berdiri di atas batu karang itu dengan mata terbelalak. Tubuhnya masih terasa
menggelembung besar, hampir meledak rasanya, dan tubuhnya terasa demikian
ringan seolah-olah hembusan angin pun akan bisa membuat tubuhnya melambung
tinggi seperti sebuah balon karet penuh hawa!
Cia Keng
Hong memandang ke atasan anak itu. Anak itu telah mengoper semua tenaga sinkang
dari dalam tubuh Kok Beng Lama, yang telah tewas dalam keadaan bersila itu,
bahkan, telah menyedot setengah dari tenaganya sendiri! Aneh sekali bagaimana
anak itu masih dapat hidup!
"Turunlah,
jangan meloncat, berjalan saja dengan hati-hati!" kata Cia Keng Hong.
Akan tetapi
pada saat itu Sin Liong sudah merasa demikian tersiksa sehingga dia seperti
tidak lagi mendengar suara kakek itu. Siksaan amat hebat dideritanya. Tubuhnya
terasa panas semua seolah-olah dia dipanggang di atas api bernyala-nyala. Lebih
tersiksa dari pada ketika dia teracun oleh Kim Hong Liu-nio yang menggunakan
Hui-tok-san, bahkan lebih tersiksa dari pada ketika dia dijemur dan dikeroyok
burung gagak.
Panas yang
dirasakan sekarang adalah panas dari dalam, yang mendadak dapat berubah jadi
dingin sampai seluruh tubuh terasa seperti ditusuki ribuan batang jarum. Isi
perutnya bagaikan diremas-remas, kepalanya seperti hampir meledak, telinganya
terngiang-ngiang, matanya pedas dan perih, pendeknya, seluruh tubuhnya terasa
sakit-sakit sampai hampir tak tertahankan lagi. Dan celakanya, itulah. Kalau
dia tidak tahu, pingsan atau mati, dia akan terbebas dari siksaan. Celakanya
dia pingsan tidak mati pun tidak dan semua derita itu dapat dirasakannya.
Dia
memandang kepada kedua tangannya. Begitu dia memandang tangannya dan jalan
pikirannya ditujukan kepada kedua tangan ini, maka otomatis tenaga sakti yang
dahsyat mengalir ke arah kedua tangannya dan Sin Liong merasa betapa kedua tangannya
itu tergetar hebat dan terasa panas-panas, gatal-gatal dan seolah-olah kedua
tangan dengan sepuluh jarinya itu dibakar dalam api, digigiti semut-semut
berbisa dan nyerinya bukan kepalang.
"Setan...!"
Dia memaki, kemudian dengan kedua tangannya itu dia menghantam batu di
sampingnya, kanan kiri.
"Pyarrrr!
Pyarrrrr...!"
Sin Liong
terbelalak memandang pecahan-pecahan batu yang berhamburan disambar oleh kedua
tangannya itu. Sejenak dia memandangi kedua tangannya dengan mata terbelalak.
Kepalanya menjadi pening dan otomatis kedua tangan itu memegang kepalanya.
Aku telah
gila, pikirnya. Tak mungkin hanya dengan sekali tampar saja tangannya berhasil
menghancurkan batu! Akan tetapi dia teringat betapa kedua tangannya yang
tadinya terasa nyeri bukan main itu menjadi berkurang nyerinya ketika dipakai
menghantam batu. Maka dia segera turun dari atas batu karang itu, lantas
menggunakan kedua tangannya menghantam ke sana-sini, menghantami batu-batu
besar yang berserakan di tempat itu.
Terdengar
suara-suara keras dan batu-batu itu remuk dan pecah berhamburan setiap kali
terkena hantaman kedua tangannya. Sin Liong merasa betapa kedua tangan itu
makin lama makin enak, tidak nyeri-nyeri lagi seperti tadi, bahkan makin hebat
dia mengamuk memukuli batu-batu itu, sesak napasnya berkurang dan pening
kepalanya juga mereda.
Oleh adanya
kenyataan ini, Sin Liong makin mengamuk, semakin hebat menggerakkan kedua
tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk memukul dan menendang batu-batu di
sekelilingnya. Anehnya, batu-batu itu hancur tetapi kaki tangannya tidak merasa
nyeri. Dia sendiri keheranan, seperti melihat sulapan saja.
Akhirnya dia
kelelahan dan duduk terengah-engah, tenaganya masih terus mendorongnya untuk
bergerak, akan tetapi napasnya hampir putus dan di dalam dadanya terdapat hawa
yang menggelora dan bergerak-gerak berputaran membuat dia seperti mau
berpusing.
Tiba-tiba
dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu Cia Keng Hong telah
berada di depannya.
"Kau
diamlah, aku akan mencoba mengobatimu," kata kakek itu.
Dan dia lalu
mengulurkan kedua tangannya menempel di kedua pundak Sin Liong sambil
mengerahkan tenaga Ilmu Thi-ki-i-beng! Cia Keng Hong maklum apa yang terjadi
pada anak ini. Anak ini penuh dengan hawa sakti yang kalau dibiarkan saja tentu
semua isi dadanya akan hancur atau luka-luka, maka dia akan menyedot hawa murni
dan kuat itu dengan Thi-khi I-beng.
"Ahhh...!"
Cia Keng Hong terkejut dan cepat dia menggerakkan tangannya terlepas dari kedua
pundak Sin Liong.
Baru saja
kedua tangannya menempel tadi, bukan dia yang menyedot, bahkan lagi-lagi dialah
yang tersedot! Dan dia kalah kuat! Celaka, tanpa disadarinya bocah ini
mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa sekali dan satu kali diajari Thi-khi
I-beng, tenaga sedotnya itu terus-menerus bekerja!
"Kau
jangan melawan, matikan semua gerakan dan pusatkan pikiranmu, jangan melawan,
kendurkan semua, jangan kau ingat lagi pelajaran yang kuajarkan kepadamu
tadi!" kata Cia Keng Hong.
Sin Liong
mengerti, maka dia mengangguk-angguk, masih terengah-engah. Kemudian dia merasa
betapa tangan kakek itu kembali menempel di pundaknya dan dia mengosongkan
pikirannya. Perlahan-lahan dia merasa betapa hawa yang mengamuk di dalam
dadanya itu mulai berkurang. Dan memang dengan Thi-khi I-beng Cia Keng Hong
mulai menyedot kelebihan hawa itu.
Akhirnya,
setelah dia merasa betapa tenaganya sendiri pulih, kakek itu lalu menghentikan
sedotan itu dan melepaskan kedua tangannya. Dia telah sembuh, dan anak itu kini
hanya memiliki sinkang dari Kok Beng Lama yang telah diopernya tanpa
disadarinya itu.
"Bagaimana
rasanya tubuhmu?" tanya Cia Keng Hong.
Sin Liong
mengangguk. "Sudah agak baik... tapi masih mau muntah..." Dia bangkit
berdiri dan terhuyung.
"Sin
Liong, tahukah engkau apa yang telah terjadi?"
Anak itu
menggeleng kepalanya. "Saya melihat locianpwe melakukan pertandingan aneh
dengan kakek gundul itu... ahhh, bagaimana dengan dia?"
"Mari
kita turun dan lihat," kata Cia Keng Hong, lalu dengan hati-hati dia
menggandeng tangan Sin Liong karena anak ini masih terhuyung-huyung dan jika
dibiarkan turun sendiri dari puncak tentu akan terjatuh ke bawah. Setelah tiba
di bawah, mereka melihat tubuh Kok Beng Lama masih duduk bersila.
Sin Liong
melihat betapa wajah kakek gundul itu aneh sekali, sepasang matanya masih
terbuka akan tetapi pandang matanya kosong. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang
luar biasa pada tubuh tinggi besar yang duduk bersila itu, maka dia bertanya.
"Apakah
dia tidak... apa-apa?"
Cia Keng
Hong menarik napas panjang. "Dia telah tewas..."
Sin Liong
terbelalak dan otomatis kakinya bergerak, tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke
arah kakek gundul itu dan begitu tangannya menyentuh pundak kakek itu, mayat
itu langsung tergelimpang.
"Ahhh...!"
Sin Liong membalikkan tubuhnya, memandang pada kakek sakti yang ternyata adalah
kakeknya sendiri itu. "Locianpwe... telah... membunuhnya?"
Cia Keng
Hong menggeleng kepalanya. "Bukan aku yang membunuhnya."
"Habis
siapa? Mengapa dia mati?"
Kembali
kakek itu menarik napas panjang. "Kami berdua tadi sedang mengadu sinkang,
maksudku... dia memaksaku untuk melindungi diriku karena dia tadi menyerangku
dengan sinkang. Lalu kau tiba-tiba masuk di antara kami hingga kau terseret. Engkau
terancam bahaya maut, maka aku mengajarkan Thi-khi I-beng kepadamu. Dan tanpa
kau sadari, juga tanpa kusadari, ternyata semua hawa sinkang di tubuhnya telah
berpindah ke dalam tubuhmu, membuat dia tewas..."
Sin Liong
menggigil dan kembali dia menoleh, memandang kepada tubuh yang telah tak
bernyawa itu, dan tiba-tiba kedua matanya mengalirkan beberapa butir air mata.
Kakek gila yang patut dikasihani. Dan dia yang membunuhnya!
"Locianpwe
mengajarkan saya ilmu iblis untuk membunuhnya!"
Cia Keng Hong
menggelengkan kepalanya. "Dia sendiri yang salah... ahhh, dalam usia setua
itu kambuh kembali penyakit gilanya... sungguh patut dikasihani..."
"Tetapi
locianpwe mengajarkan Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa! Dan dia mati karena
saya! Ahh, locianpwe telah mengajarkan saya menjadi pembunuh orang yang tak
berdosa!"
"Tidak,
Sin Liong. Aku mengajarkan Thi-khi I-beng padamu hanya untuk menyelamatkan
nyawamu yang tadi terancam bahaya. Kok Beng Lama meninggal dunia akibat
kesalahan dia sendiri dan memang dia sedang kumat gilanya, dan dia sudah tua.
Engkau tidak membunuh, apa lagi karena hal itu terjadi di luar kesadaranmu, di
luar pengetahuanmu."
"Tapi...
tapi dia mati karena saya..." Sin Liong merasa menyesal bukan main.
Apa lagi
sekarang tubuhnya masih juga terasa tidak karuan, masih sakit-sakit dan penuh
dengan hawa yang bergerak-gerak mengerikan. Lebih-lebih sekarang, sesudah dia
tahu bahwa yang terus bergerak-gerak di dalam tubuhnya itu adalah hawa sinkang
dari kakek gundul itu yang telah berpindah ke dalam tubuhnya, dia merasa ngeri
dan seram bukan main, seolah-olah nyawa kakek gundul itu telah memasuki
jasmaninya!
"Sudahlah,
Sin Liong. Dari pada engkau meributkan hal-hal yang sudah terjadi di luar
kesadaranmu, lebih baik kau membantu aku menguburkan jenazah Kok Beng Lama. Kau
tidak tahu siapa dia. Dia adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan.
Kepandaiannya luar biasa sekali sehingga aku pun tadi hampir saja celaka dan
kalah olehnya bila engkau tidak masuk di antara kami. Dan dia itu adalah guru
dari putera saya sendiri, bahkan guru dari cucu saya sendiri, jadi dia bukanlah
musuhku. Hal ini perlu kuberitahukan agar kau tidak salah duga, Sin Liong. Aku
sama sekali tidak bermusuhan dengannya, apa lagi ingin membunuhnya!"
Sin Liong
memandang dengan jantung berdebar. Kakek tua ini adalah ketua Cin-ling-pai,
kakek ini adalah kongkong-nya sendiri! Dan kakek gundul tadi adalah guru dari
putera kongkong-nya, berarti guru dari ayahnya, ayah kandungnya! Akan tetapi
karena masih meragukan kebenaran hal luar biasa ini, dia lalu bertanya,
"Dia...
dia itu guru putera locianpwe, siapakah putera locianpwe itu?"
Pertanyaan
itu terdengar sepintas lalu saja, maka tidak menimbulkan kecurigaan dalam hati
Cia Keng Hong yang menarik napas panjang lagi.
"Ahhh,
puteraku itu bernama Cia Bun Houw..." Lalu kakek itu termenung karena
sampai sekarang hatinya masih terluka oleh kepergian Bun Houw yang tiada kabar
ceritanya itu.
Mendengar
ini, maka yakinlah hati Sin Liong dan ingin dia memeluk kakeknya ini saking
girangnya, akan tetapi dia cepat-cepat menahan perasaannya dan berkata,
"Akan tetapi, bukankah locianpwe tadi bertanding secara aneh dengan
dia?"
"Bukan
bertanding, melainkan aku terpaksa membela diri karena dia menyerangku..."
"Kalau
dia itu bukan musuh locianpwe, kenapa dia menyerang locianpwe?"
Kakek itu
termenung. Memang ada sebabnya dan dia merasa tidak perlu menceritakan kepada
anak ini mengenai sebab musababnya yang terlampau panjang. Di dalam kisah Dewi
Maut diceritakan betapa puteri Kok Beng Lama tewas dan puteri ketua
Cin-ling-pai ini yang tertuduh menjadi pembunuhnya sehingga pernah terjadi
bentrok antara Kok Beng Lama dan Cin-ling-pai. Kemudian, biar pun ternyata
bukan puteri Cin-ling-pai itu yang membunuh, namun kematian itu terjadi sebagai
akibat dari percekcokan antara puteri Kok Beng Lama dan puteri ketua
Cin-ling-pai.
Akan tetapi,
hal itu telah diselesaikan oleh kedua fihak, dan hanya kalau Kok Beng Lama
kambuh penyakit gilanya maka urusan itu timbul lagi di dalam hatinya. Cia Keng
Hong tentu saja merasa tidak perlu menceritakan urusan itu kepada anak kecil
yang ditolongnya itu.
"Dia
bukan musuhku, akan tetapi dia itu mempunyai penyakit gila yang kadang-kadang
kambuh. Dan sekarang dia sedang kambuh, maka tadi dia menyerangku. Sudahlah,
Sin Liong, mari kita menggali kuburan untuk dia."
Melihat
betapa Cia Keng Hong hanya menggunakan sebatang kayu untuk menggali tanah
berbatu itu, Sin Liong lalu ikut-ikut dan... alangkah heran hatinya ketika dia
mampu pula mempergunakan sebatang kayu untuk menggali tanah berbatu! Walau pun
tidak secepat kakek itu dan dia amat canggung hingga beberapa kali kayu itu
patah dan harus diganti, namun dia dapat mengerahkan tenaga melalui kayu itu
dan menggali tanah yang keras!
Kagum sekali
hati Sin Liong melihat betapa kakeknya itu meletakkan sebuah batu besar di
depan kuburan itu sebagai batu nisan, kemudian menggunakan jari telunjuknya
untuk menggores-gores permukaan batu yang halus dengan huruf-huruf indah yang
berbunyi,
MAKAM KOK
BENG LAMA.
Diam-diam
dia kagum dan juga girang. Kakeknya ternyata adalah seorang yang luar biasa
saktinya, juga seorang kakek yang berhati mulia!
Mereka
melanjutkan perjalanan dan Cia Keng Hong melihat betapa anak itu diam saja,
padahal tubuhnya masih penuh dengan hawa mukjijat itu. Anak ini benar-benar
hebat, pikirnya. Anak lain tentu akan mengeluh, dan mungkin sekali mengamuk
atau melakukan hal-hal aneh, apa lagi setelah diketahuinya bahwa ada tenaga
hebat di dalam tubuhnya. Dia mengajak Sin Liong mengaso duduk bersila di
depannya.
"Sin
Liong, engkau tentu merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam dirimu,
bukan?"
Anak itu
segera mengangguk. "Di dalam seluruh tubuh saya terasa ada semacam hawa
yang terus bergerak-gerak, locianpwe."
"Dan
engkau sudah tahu bukan, apa artinya itu?"
"Locianpwe
sudah memberi tahu bahwa tenaga sakti dari mendiang Kok Beng Lama telah pindah
ke dalam tubuh saya."
"Benar,
dan engkau telah pula mengetahui rahasia Thi-khi I-beng. Biar pun kuberikan
ilmu itu dalam keadaan mendesak, akan tetapi berarti engkau sudah mewarisi ilmu
itu dariku. Ketahuilah bahwa puteraku sendiri, Cia Bun Houw, tidak mewarisi
ilmu ini. Satu-satunya orang yang pernah mempelajarinya adalah Yap Kun Liong.
Oleh karena itu, engkau boleh dibilang adalah seorang muridku, Sin Liong."
Sin Liong
menundukkan mukanya. "Terima kasih atas kebaikan locianpwe."
"Aku
tidak memberi kebaikan apa-apa. Hanya saja engkau harus berjanji. Tak sembarang
orang boleh memiliki Thi-khi I-beng, dan sekarang sesudah engkau terlanjur
memilikinya, maka engkau harus mengucapkan janji. Kalau tidak, terpaksa aku
akan mencabut ilmu itu dengan merusak jalan darahmu, hal ini terpaksa agar
kelak engkau tidak mendatangkan malapetaka bagi manusia di dunia."
"Saya
akan berjanji, locianpwe," jawab Sin Liong dengan alis berkerut.
Untung bahwa
yang bicara itu adalah Cia Keng Hong, atau lebih tepat lagi untung bahwa Sin
Liong tahu bahwa kakek ini adalah kongkong-nya, karena andai kata tidak
demikian, dia lebih memilih mati dari pada ditekan!
"Kau
harus bersumpah dan berjanji bahwa Thi-khi I-beng tak akan kau pergunakan untuk
membunuh orang, kecuali dalam membela diri, dan juga kau harus berjanji bahwa
engkau tak akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada siapa pun juga sebelum aku
mati, dan kalau kelak terpaksa kau ajarkan kepada orang, maka engkau harus
menyuruh dia bersumpah pula untuk mempergunakan demi kebaikan dan
kebenaran."
Sin Liong
mengucap janji dan sumpahnya sehingga agak terhibur jugalah hati kakek itu.
Setelah Sin Liong mengucapkan janjinya, keadaan menjadi hening dan akhirnya
terdengar kakek itu berkata,
"Dengan
demikian, mulai sekarang engkau adalah muridku. Nah, sekarang perhatikan
baik-baik dan dengarkan dengan penuh perhatian. Aku akan mengajarkan
pertama-tama agar kau dapat menyimpan dan menyalurkan hawa yang amat dahsyat di
dalam tubuhmu itu, karena kalau tidak, tubuhmu yang masih muda dan lemah tidak
akan kuat bertahan dan engkau takkan dapat hidup lama."
Kakek itu
lalu mengajarkan cara-cara menghimpun tenaga sakti itu, cara bersemedhi dan
mengatur pernapasan. Selama semalam suntuk kakek itu menggembleng sehingga Sin
Liong mengerti benar dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong
masih duduk bersemedhi.
Dia sudah
mulai merasakan betapa tubuhnya tidak begitu hebat lagi menderita kelebihan
tenaga sakti itu, sungguh pun gerakannya masih kaku karena dia merasa
kadang-kadang hawa itu hendak membawanya terbang ke angkasa, kadang-kadang pula
mendatangkan berat yang hampir tak dapat terbawa oleh tubuhnya.
Melihat
keadaan anak itu, Cia Keng Hong maklum bahwa bagaimana pun juga, anak ini
memerlukan tempat istirahat untuk terus berlatih mengendalikan hawa sakti yang
terlalu kuat untuk tubuhnya itu. Karena itu dia mengambil keputusan untuk cepat
pulang saja ke Cin-ling-san, biar pun hatinya masih amat penasaran dan menyesal
bahwa dia belum juga berhasil menemukan Lie Ciauw Si, cucunya yang pergi
mencari Bun Houw itu. Dia sendiri pun perlu istirahat untuk memulihkan tenaga.
***************
Saat mereka
mulai mendaki puncak Cin-ling-san, hati Sin Liong dilanda kegembiraan dan juga
keharuan. Kakeknya tidak banyak bercerita tentang Cin-ling-san, maka dia pun
tidak tahu apakah ayah kandungnya berada di tempat itu, akan tetapi dia tidak
berani banyak bertanya, dan ketika dia tiba di daerah pegunungan ini, merasa
betapa tempat ini adalah tempat ayah kandungnya, dia merasa gembira dan
terharu. Maka dalam kegembiraannya itu dia berjalan sambil menoleh ke kanan
kiri, memperhatikan setiap keadaan di sekeliling pegunungan itu.
Dari lereng
telah nampak bangunan di puncak Cin-ling-san, yaitu bangunan yang menjadi
tempat atau pusat dari Cin-ling-pai. Akan tetapi pagi hari itu sunyi saja di
daerah puncak. Memang kini Cin-ling-pai tidaklah seramai dahulu. Apa lagi
semenjak isterinya meninggal, Cia Keng Hong lalu menyuruh semua anggota
Cin-ling-pai supaya meninggalkan puncak dan para murid atau anggota Cin-ling-pai
lalu tersebar di mana-mana, banyak yang masih tinggal di kaki Pegunungan
Cin-ling-pai dan hidup sebagai petani-petani.
Cia Keng
Hong tadinya hanya tinggal berdua saja bersama cucunya, yaitu Lie Ciauw Si,
dilayani oleh dua orang pelayan wanita. Kakek ini serta cucunya sendiri turun
tangan di kebun menanam sayur-mayur. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja para
murid kadang-kadang naik ke puncak mengunjungi ketua mereka.
Ketika Cia
Keng Hong dan Sin Liong mendaki puncak, di puncak sudah menanti empat orang.
Dari jauh Sin Liong melihat bahwa mereka itu adalah dua orang pria dan dua
orang wanita yang menunggu kedatangannya kakek itu dengan wajah gembira, dan
dia melihat betapa kakek itu mengeluarkan seruan tertahan kemudian dengan
cepatnya tubuh kakek itu melesat ke atas puncak. Sin Liong juga berlari
mengikutinya dan dia melihat betapa kakek itu kini berhadapan dengan mereka
berempat, memandang dengan mata terbelalak kepada seorang di antara mereka,
seorang laki-laki tampan yang berdiri dengan kepala agak tunduk.
"Kau...?
Kau...!" Dan tiba-tiba Cia Keng Hong terhuyung dan jatuh terguling!
Pria tampan
gagah berusia tiga puluh tahun lebih itu bukan lain adalah Cia Bun Houw dan
wanita cantik jelita di sampingnya yang usianya satu dua tahun lebih muda itu
adalah isterinya, Yap In Hong! Ada pun pria dan wanita lain yang berada di situ
adalah Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Dalam cerita
Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Bun Houw, putera bungsu dari ketua
Cin-ling-pai itu, pergi meninggalkan ayah bundanya pada saat Cia Keng Hong
menentang puteranya yang hendak menikah dengan Yap In Hong, karena putera
bungsunya itu telah ditunangkan dengan orang lain. Ayah dan anak ini bersikeras
mempertahankan kehendak mereka sendiri sehingga akhirnya Bun Houw pergi bersama
In Hong dan menjadi suami isteri tanpa perkenan orang tua! Kepergian Bun Houw
inilah yang menghancurkan hati Cia Keng Hong dan isterinya, sampai isterinya
meninggal dunia karena sejak kepergian pemuda itu, tidak pernah ada berita
lagi.
Ketika Cia
Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai itu, mendengar bahwa puterinya Lie Ciauw
Si yang ikut dengan kakeknya di Cin-ling-san untuk belajar silat dan menemani
kakeknya, pergi meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi mencari pamannya, hatinya
menjadi gelisah! Maka dia lalu pergi kepada pendekar Yap Kun Liong, pria yang
sesungguhnya dicintanya itu, dan meminta pertolongan Yap Kun Liong untuk pergi
mencari adiknya, Cia Bun Houw yang telah membuat orang tuanya berduka itu.
Pergilah
pendekar Yap Kun Liong hingga akhirnya dia dapat menemukan Cia Bun Houw serta
Yap In Hong yang ternyata mengasingkan diri dan tinggal jauh di sebelah
selatan. Yap Kun Liong lalu membujuk Cia Bun Houw untuk pulang ke utara
menengok ayahnya.
Bun Houw
yang mendengar akan kematian ibunya dan kedukaan hati ayahnya, bersama
isterinya lalu ikut dengan Kun Liong pergi ke utara. Mereka berhenti dahulu di
Sin-yang, kemudian diantar pula oleh Cia Giok Keng, mereka semua pergi ke
Cin-ling-san. Setelah sampai di puncak itu, mereka menemukan tempat itu kosong
sehingga mereka menanti di situ selama dua hari.
Demikianlah,
pada pagi hari itu mereka berempat menyambut kedatangan Cia Keng Hong yang
pulang bersama seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal. Akan tetapi, Cia
Keng Hong yang baru saja kehilangan tenaga dan masih terluka meski pun sudah
mulai sembuh, luka di sebelah dalam sebagai akibat pertandingannya dengan Kok
Beng Lama, begitu melihat Bun Houw, jantungnya tergetar hebat.
Berbagai
macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa gembira, rasa terharu, juga rasa
marah dan mendongkol bercampur duka teringat akan isterinya, membuat dia tidak
dapat menahan lagi dan dia jatuh terguling dan pingsan dalam rangkulan Cia Giok
Keng yang tadi cepat menubruk dan menyambut tubuh ayahnya yang terguling.
Melihat ini,
Sin Liong terbelalak dan marah bukan main. Dia tadi melihat betapa kakek itu
memandang kepada lelaki gagah yang berbaju kuning dan menggerak-gerakkan tangan
ke arah laki-laki itu, maka sudah tentu laki-laki itulah yang telah membuat
kakeknya roboh dan mungkin mati itu. Kemarahan memenuhi hatinya dan Sin Liong
sudah menerjang ke depan sambil berteriak,
"Kau
manusia jahat...!"
Semua orang
merasa terkejut, terutama sekali Cia Bun Houw sendiri yang melihat dirinya
diserang oleh anak yang datang dengan ayahnya tadi. Hati empat pendekar yang
berilmu tinggi itu lebih terkejut lagi saat melihat betapa tubuh anak laki-laki
tanggung itu bergerak luar biasa cepatnya dengan gaya seperti seekor harimau
menubruk, atau seperti seekor binatang buas lainnya, dan ketika tangan kirinya
mencengkeram ke arah leher Bun Houw dan tangan kanannya memukul ke arah dada,
ternyata gerakan anak itu mendatangkan hawa pukulan yang luar biasa kuatnya
sehingga terdengar angin menyambar dahsyat!
"Ehhh...!"
Cia Bun Houw mengelak cepat dan kaget sekali.
Bagi
pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini, tentu saja serangan Sin
Liong itu tidak merupakan bahaya, akan tetapi pendekar ini terkejut melihat
betapa seorang anak kecil yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun ini
bisa memiliki tenaga sinkang sedahsyat itu, juga kecepatan yang luar biasa
walau pun gerakannya ketika menyerang lebih patut gerakan seekor binatang buas
dari pada gerakan silat.
Akan tetapi,
begitu serangannya luput, Sin Liong telah membalik dan kembali menyerang lebih
dahsyat, menggunakan pukulan dengan pengerahan tenaga seperti yang diajarkan
oleh kakeknya sehingga kini dia dapat mengerahkan tenaga yang terkumpul di
pusarnya itu.
Tenaga
dahsyat yang hangat dan hidup mengalir ke dalam lengan sampai ke ujung-ujung
jarinya ketika dia memukul sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara bercuitan
dan kembali Bun Houw amat terkejut karena angin pukulan dari anak itu
benar-benar dahsyat, seperti pukulan seorang ahli sinkang yang amat kuat!
Dengan hati penuh keheranan dan keinginan tahu, pendekar ini lantas menggerakkan
lengannya menangkis, dengan maksud untuk mengukur sampai di mana kekuatan anak
yang luar biasa ini.
"Dukkk!"
"ihhhhh...!"
Kini Cia Bun Houw mengeluarkan teriakan.
Hati siapa
yang tidak akan terkejut ketika dua lengan itu bertemu, selain dia merasakan
kekuatan yang sangat dahsyat, yang tidak patut dimiliki oleh seorang bocah
berusia dua belas atau tiga belas tahun, juga dia merasa betapa tenaga
sinkang-nya tersedot ke luar! Itulah Thi-khi I-beng! Ataukah ada ilmu iblis
lain yang juga bisa menyedot sinkang lawan?
Sebagai
murid terkasih dari Kok Beng Lama, dengan hanya sekali mengerahkan tenaga
membetot, tentu saja lengannya dapat terlepas dari lekatan lengan lawan yang
memiliki daya sedot, dan dia memandang dengan mata terbelalak kepada anak itu.
Akan tetapi
Sin Liong tak peduli orang terheran-heran. Dia tidak tahu sama sekali bahwa
orang itu kagum dan terkejut melihat kehebatan tenaganya, dan dia merasa
penasaran mengapa dia belum berhasil menghantam orang yang sudah membuat
kakeknya sampai roboh pingsan itu.
"Orang
jahat kau...!" Dia berteriak lagi dan kini kembali dia menubruk, dengan
gerakan yang ganas.
Bun Houw
kembali mengelak dan pada saat itu pula nampak bayangan berkelebat, lantas
jari-jari tangan yang runcing mungil meluncur dan menotok pundak Sin Liong yang
luput menyerang lawannya tadi.
"Dukkk!"
"iihhhh...!"
Wanita cantik itu, Yap In Hong, terkejut bukan main.
Karena
tadinya dia memandang rendah kepada seorang bocah yang disangkanya hanya liar
dan ganas, dia tentu saja menotok tanpa menggunakan tenaga sakti, khawatir
kalau sampai membunuh anak itu. Akan tetapi ketika jari tangannya bertemu pundak
Sin Liong yang ketika itu sedang mengerahkan tenaga, In Hong merasa betapa
tenaga kasarnya membalik dan jari-jari tangannya terasa nyeri bukan main!
Barulah dia
tahu mengapa suaminya kelihatan terkejut dan terheran-heran, ragu-ragu, kini
dia mengerti bahwa memang bocah ini luar biasa sekali, memiliki tenaga sinkang
yang luar biasa kuatnya. Maka dia pun menjadi marah dan kini tangannya kembali
melayang, sekali ini mengandung tenaga sinkang yang kuat, bahkan dia
mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh.
"Dessss...!"
Anak itu
terpelanting dan roboh dengan tubuh lemas karena jalan darahnya tertotok. Akan
tetapi, Sin Liong yang marah itu merasa betapa tenaga dan hawa aneh di dalam
pusarnya bergolak, mendorong-dorong akan tetapi tidak mampu menembus jalan
darah yang sudah tertotok. Dia sama sekali tidak menjadi jeri, bahkan matanya
melotot memandang kepada Bun Houw dan In Hong yang menghampirinya, memandang
penuh kebencian.
"Kalian
tunggu saja...," desisnya, "jika locianpwe Cia Keng Hong sampai mati,
maka aku bersumpah kelak aku akan membunuh kalian berdua manusia-manusia
jahat!" Sepasang matanya mencorong seperti naga sakti. "Aku benci
kalian! Aku benci kalian...!"
Melihat
sinar mata yang penuh nafsu membunuh, seperti mata seekor harimau kelaparan
yang marah, diam-diam In Hong bergidik. "Bocah setan ini perlu
dihajar!" katanya dan dia sudah mengangkat tangannya untuk menampar.
"Tahan,
jangan pukul dia!" Bun Houw berseru menahan isterinya yang lalu menurunkan
kembali tangannya sambil menoleh kepada suaminya. Mengapa suaminya melarang dia
memukul anak yang mengeluarkan ancaman mengerikan itu?
Melihat
pandangan mata isterinya, Bun Houw cepat-cepat berkata, "Aku melihat dia
tadi menggunakan Thi-khi I-beng."
Mendengar
ini, In Hong terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka berdua segera
menghampiri kakek Cia Keng Hong yang sudah mulai siuman.
"Ah,
kau datang, kalian datang semua... ah, aku agak lelah..." Akhirnya kakek
itu bangkit duduk.
"Ayah,
engkau harus beristirahat dulu. Nanti saja kita bicara..." Cia Giok Keng
kemudian merangkul dan memapah ayahnya, dibantu oleh Bun Houw. Namun kakek itu
tidak mau dipondong dan dengan dipapah oleh kedua orang anaknya, dia melangkah
tertatih-tatih memasuki pondoknya.
Cia Keng
Hong jatuh sakit! Beberapa kali dia jatuh pingsan dan terserang demam. Bun Houw
dan enci-nya yang memeriksa, mendapat kenyataan bahwa tenaga ayah mereka itu
berkurang banyak sekali, menjadi lemah, dan di sebelah dalam tubuh ayah mereka
itu mengalami guncangan hebat dan seperti orang baru sembuh dari luka parah di
dalam tubuh. Akan tetapi mereka belum dapat bicara dengan ayah mereka dan
dengan penuh ketelitian kedua orang anak itu merawat ayah mereka, dibantu oleh
Yap In Hong serta kakaknya, Yap Kun Liong.
Seperti
sudah diketahui jelas oleh para pembaca cerita Dewi Maut, isteri dari Cia Bun
Houw, Yap In Hong, adalah adik kandung pendekar Yap Kun Liong. Dan semenjak Bun
Houw dan isterinya ini meninggalkan orang tuanya, belasan tahun yang lalu,
kakak dan adik ini pun tidak pernah saling jumpa, apa lagi karena Kun Liong
juga selama ini hanya menyembunyikan diri saja di rumahnya, yaitu di Leng-kok.
Biar pun
antara Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng terdapat perasaan cinta kasih yang
mendalam, duda dan janda ini tidak melanjutkan hubungan itu dengan hubungan
jasmani, melainkan hanya saling mencinta saja di dalam hati masing-masing.
Maka kini,
pertemuan antara mereka semua tentu saja mendatangkan percakapan yang asyik,
saling menuturkan keadaan mereka masing-masing. Hanya keadaan kakek ketua
Cin-ling-pai itu yang menimbulkan prihatin dalam hati mereka, dan juga, anak
aneh yang datang bersama ketua Cin-ling-pai itu tidak mau banyak membuka mulut,
hanya berwajah muram dan ikut pula menjaga kakek yang sedang sakit itu.
Yap Kun
Liong telah menasehatkan yang lain agar jangan sembarangan terhadap bocah ini,
karena dia pun menduga bahwa tentu ada rahasia di balik kedatangan bocah ini,
dan tentu ada hubungan erat antara bocah itu dan pendekar sakti Cia Keng Hong,
apa lagi ketika dia mendengar bahwa anak itu agaknya pandai Thi-khi I-beng.
"Kita
tunggu saja sampai Cia-locianpwe sudah sembuh kembali dan menceritakan siapa
adanya anak itu," kata pendekar ini dan yang lain-lain merasa setuju.
Anak itu
benar-benar sangat luar biasa. Kalau ditanya, hanya memandang dengan mata
mendelik marah karena Sin Liong memang merasa tidak suka kepada empat orang
ini, terutama terhadap Cia Bun Houw dan isterinya yang dianggapnya jahat karena
sudah membuat kakeknya roboh pingsan dan sakit. Dia tidak tahu siapa mereka dan
juga tidak ingin tahu, dan dia pun tidak suka memperkenalkan diri ketika
ditanya.
Dia pun
hendak menanti sampai kakek itu sembuh, baru dia akan mengambil keputusan
apakah akan terus tinggal di situ ataukah akan pergi. Hanya terhadap Yap Kun
Liong dia tidak begitu dingin dan ketus, karena pendekar yang usianya sudah
empat puluh delapan tahun ini bersikap manis budi kepadanya. Bahkan hanya dari
Yap Kun Liong saja dia mau menerima makanan.
Biar pun dia
diberi sebuah kamar, akan tetapi dia tidak mau tidur di kamarnya, sebaliknya
dia terus berada di kamar Cia Keng Hong dan di sana dia duduk bersila,
bersemedhi seperti yang telah diajarkan oleh kakek itu kepadanya. Dan dia pun
tidur dalam keadaan bersila. Melihat cara anak itu bersemedhi, makin yakinlah
hati empat orang pendekar itu bahwa anak ini pasti memiliki hubungan yang erat
dengan ketua Cin-ling-pai.
Ternyata
guncangan batin ketika dia melihat wajah puteranya itulah yang membuat Cia Keng
Hong jatuh sakit. Ketika dia mengadu ilmu melawan Kok Beng Lama, dia sudah
merasa bahwa dia terluka di sebelah dalam tubuhnya, apa lagi sesudah sebagian
tenaga sinkang-nya tersedot oleh kekuatan dahsyat yang mengeram di dalam tubuh
Sin Liong.
Sungguh pun
kemudian dia dapat menyedot kembali tenaga dari tubuh Sin Liong dengan
menggunakan Ilmu Thi-khi I-beng dan dengan demikian selain menyelamatkan Sin
Liong juga memulihkan kembali tenaganya, akan tetapi luka yang dideritanya
belumlah sembuh sama sekali. Maka ketika menerima guncangan hebat dan mendadak
dalam perjumpaan yang tak disangka-sangkanya dengan puteranya itu, dia lalu
jatuh pingsan dan jantungnya yang sudah tua itu mengalami tekanan berat yang
membuat dia jatuh sakit.
Setelah
sepekan dirawat dengan penuh perhatian oleh putera dan puterinya, barulah Cia
Keng Hong sembuh dari demam dan ingatannya kembali. Biar pun tubuhnya masih
lemah namun dia sudah dapat bangun duduk dan bicara.
Ketika
melihat Sin Liong sedang duduk bersila di sudut kamar, Cia Keng Hong tersenyum
dan wajahnya berseri. Dia mengangguk-angguk dan berkata kepada Bun Houw dan
Giok Keng, "Bantu aku keluar, aku ingin duduk di luar pondok, di tempat
terbuka yang sejuk."
Cia Giok
Keng dan Cia Bun Houw lalu memapah ayah mereka itu, membawanya keluar. Di bawah
sebatang pohon pek di depan pondok itu memang terdapat sebuah batu halus yang
menjadi tempat duduk dan tempat semedhi kakek ini. Di sanalah dia duduk bersila
dan empat orang pendekar itu pun duduk di atas tanah di depannya.
"Sin
Liong, kau ke sinilah..." kata kakek itu kepada Sin Liong yang ikut pula
keluar dengan sikap sungkan, karena dia merasa bahwa dia adalah seorang
pendatang baru yang asing. Namun hatinya lega melihat bahwa ternyata empat
orang itu bukanlah musuh kakeknya.
Mendengar
ucapan kakek itu, Sin Liong cepat menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut,
lalu duduk bersila pula di depan batu besar yang diduduki kakek itu.
Sejenak
keadaan di situ sunyi. Udara pagi itu cerah dan hangat oleh sinar matahari
pagi. Angin gunung mendatangkan kesejukan di bawah pohon itu dan mereka semua
seperti tenggelam dalam keheningan yang maha luas.
Cia Keng
Hong memandang ke kanan dan kedua alisnya berkerut, hatinya diliputi penuh
keharuan dan penyesalan. Melihat puteranya sekarang telah menjadi seorang pria
yang matang, berusia tiga puluh tahun lebih, duduk bersila di dekat Yap In Hong
yang memang cantik jelita dan gagah, dia pun melihat kesalahan yang telah
dilakukannya belasan tahun yang lalu.
Sudah jelas
bahwa puteranya itu saling mencinta dengan wanita itu, mengapa dia dahulu
berkeras tidak menyetujui perjodohan mereka? Padahal, mereka itulah yang akan
saling berjodoh, yang akan hidup berdua selamanya, juga mereka berdualah yang
akan hidup bersama membagi suka duka bersama-sama. Perjodohan adalah urusan
mereka berdua, dengan hak dan kewajiban mereka berdua sepenuhnya pula. Mengapa
dia ikut campur tangan, mengapa dia hendak mengatur kehidupan kedua orang itu,
ingin menyesuaikan mereka berdua untuk menyenangkan hatinya?
Alangkah
bodohnya dia, dan alangkah bodohnya orang-orang tua yang ingin mencampuri
urusan perjodohan anak-anak mereka! Memang dahulu dia mempunyai alasan kuat
untuk menentang, mengingat betapa Yap In Hong sendiri pernah memutuskan
pertunangannya dengan Bun Houw, dan ke dua betapa Bun Houw telah ditunangkan
dengan gadis lain. Akan tetapi, segala macam alasan itu sesungguhnya hanyalah
untuk mempertahankan pendiriannya atau kesenangan dirinya pribadi. Kini nampak
jelas olehnya dan dia merasa menyesal sekali.
Dan pada
saat dia menoleh ke kiri, dia melihat si duda, Yap Kun Liong duduk bersanding
dengan puterinya, Cia Giok Keng yang sudah menjadi janda, maka hatinya pun
tertusuk keharuan bercampur kekaguman. Dua orang itu benar-benar memiliki cinta
kasih yang murni, cinta kasih yang sama sekali tidak dikotori oleh nafsu
birahi. Betapa mereka saling mencinta, dia bisa merasakannya, tapi keduanya
tetap bertahan dan hanya berhubungan sebagai dua orang sahabat yang saling
mencinta. Benar-benar mengagumkan dan patut dipuji kedua orang itu!
Kemudian dia
memandang ke depan, kepada Sin Liong. Bocah ini juga mengagumkan! Senanglah
hati Cia Keng Hong karena biar pun sejak tadi tidak pernah ada yang bicara
sepatah kata pun, namun dalam keadaan sehening dan seindah itu, memang kata-kata
tidak banyak gunanya lagi.
"Sin
Liong, setelah beberapa hari engkau berada di sini, apakah engkau sudah
mengenal siapakah adanya mereka ini?" Dia menoleh ke kanan dan kiri.
Empat orang
pendekar itu memandang kepada Sin Liong dan anak itu pun menoleh dan memandang
kepada mereka dengan wajah yang masih muram. Dia menggeleng kepala.
"Saya
belum mengenal mereka, locianpwe," jawabnya kemudian.
"Ahh!
Engkau belum mengenal mereka? Kau lihatlah baik-baik, Sin Liong, yang duduk di
sebelah kirimu itu adalah puteraku yang bernama Cia Bun Houw dan
isterinya!" Kakek itu berhenti karena tiba-tiba Sin Liong menoleh ke kiri
dan sepasang matanya mencorong aneh ketika dia memandang kepada Bun Houw.
Tidak ada
seorang pun di antara mereka yang tahu betapa kagetnya hati Sin Liong ketika
mendengar perkenalan itu. Jadi lelaki gagah itu adalah ayah kandungnya! Dan
beberapa hari yang lalu dia telah menyerang orang itu sebagai orang yang
dibencinya! Kiranya ayah kandungnya, yang oleh mendiang ibu kandungnya dipuji-puji
sebagai pendekar sakti itu.
Akan tetapi
mengapa ayah kandungnya itu duduk di sana bersama wanita cantik yang
diperkenalkan sebagai isteri ayahnya itu? Dan wanita itu telah turun tangan
menotoknya! Sekarang dia memandang kepada Yap In Hong dengan pandang mata penuh
kebencian. Ketika Bun Houw dan In Hong memandang Sin Liong, mereka melihat
sinar mata anak itu dan keduanya terkejut sekali.
"Ihhh...!"
In Hong mengeluarkan seruan lirih dan Bun Houw mengerutkan alisnya.
Cia Keng
Hong juga merasa heran melihat sikap Sin Liong itu, maka dia bertanya.
"Ada apakah Sin Liong?"
Sin Liong
tidak menjawab, hanya memandang kepada Bun Houw dan In Hong dengan sinar mata
aneh. Kini tanpa disadarinya, sepasang mata yang menyinarkan kebencian itu
menjadi basah dan dua titik air mata mengalir keluar.
Melihat ini,
Bun Houw langsung berkata, "Ayah, dia salah sangka terhadap kami berdua.
Ketika ayah terkejut dan tidak sadarkan diri, dia langsung menyerangku, dan aku
heran sekali melihat dia memiliki sinkang yang luar biasa, bahkan memiliki
Thi-khi I-beng!"
Cia Keng
Hong tersenyum dan mengangguk-angguk mengerti. "Ahh, kiranya begitukah?
Sin Liong, engkau salah duga. Dia bukanlah musuh, dia adalah puteraku. Hayo kau
cepat minta maaf, biar pun kau melakukan hal itu tanpa kau sadari."
Sin Liong
menunduk, lalu menghadap kakek itu dan berkata, "Maafkan saya,
locianpwe."
Dia tidak
minta maaf kepada Bun Houw, melainkan kepada kakeknya! Memang hati anak ini
luar biasa kerasnya. Dia telah bertemu dengan ayah kandungnya, akan tetapi
melihat kenyataan pahit betapa ayah kandungnya yang sudah meninggalkan ibu
kandungnya dan bahkan menjadi suami dari wanita lain, mana mungkin hatinya
tidak diliputi kekecewaan dan kebencian?
"Dan
yang duduk di sebelah kiri itu adalah puteriku, Sin Liong. Namanya Cia Giok
Keng. Sedangkan pria itu adalah Yap Kun Liong, kakak ipar dari puteraku Bun
Houw, juga dia boleh dibilang muridku karena hanya dia seorang yang pernah
mewarisi Thi-khi I-beng dariku, di samping engkau sendiri, sekarang engkau
telah menjadi muridku, maka engkau adalah sute mereka, sute paling kecil."
Kakek itu mengangguk-angguk senang. Hatinya gembira sekali, terutama karena dia
dapat melihat puteranya kembali.
"Ayah,
siapakah anak ini dan bagaimana asal mulanya sampai dia dapat memiliki sinkang
sedemikian hebatnya, dan telah mewarisi Thi-khi I-beng pula?" tanya Bun
Houw. Betapa pun juga, dia merasakan sinar mata benci dari anak itu, oleh
karena itu, dia pun memiliki perasaan tidak senang terhadap Sin Liong!
"Memang
aneh dia, dan banyak pula terjadi hal-hal aneh menimpanya. Pertama-tama,
ketahuilah, Bun Houw, bahwa gurumu telah meninggal dunia."
"Ahhh...!"
Bun Houw berseru kaget.
"Ihhh...!"
In Hong juga berseru tertahan. Dia merasa sayang kepada kakek pendeta Lama itu.
"Hemm...!"
Yap Kun Liong juga menahan seruannya karena dia pun merasa amat kagum kepada
ayah mertuanya itu. Kok Beng Lama adalah ayah mertua pendekar ini, karena
mendiang isterinya, Pek Hong In, adalah puteri tunggal dari pendeta Lama itu.
"Ayah,
apakah yang telah terjadi? Bagaimana suhu sampai meninggal dunia? Apakah dia
dibunuh musuh?"
Ayahnya
menggelengkan kepala. "Dia memang sudah tua dan pikun, Bun Houw, dan
agaknya memang sudah tiba saatnya bagi Kok Beng Lama untuk meninggalkan dunia
ini. Betapa pun juga, kematian itu terjadi karena kesalahannya sendiri."
Dengan
singkat ketua Cin-ling-pai itu menceritakan mengenai pertemuannya dengan Kok
Beng Lama, betapa Kok Beng Lama memaksanya untuk mengadu tenaga sinkang dan
betapa Sin Liong yang mencoba untuk melerai itu tanpa disengaja malah mewarisi
seluruh tenaga dari Kok Beng Lama, sungguh pun hal itu juga hampir saja
menewaskannya, dan betapa dia terpaksa membuka rahasia Thi-khi I-beng kepada
anak itu untuk menolongnya.
Empat orang
pendekar itu mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman dan mereka kini
memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata lain. Memang anak luar biasa,
pikir mereka.
"Bagus,
kalau begitu engkau adalah sute-ku, Sin Liong!" Bun Houw berseru dengan
hati girang. "Engkau she apakah?"
Sejenak Sin
Liong menatap wajah ayah kandungnya itu. Hampir saja dia menitikkan air
matanya, dan ingin hatinya berteriak bahwa dia adalah putera pendekar itu. Akan
tetapi, hatinya memang keras sekali. Melihat ayah kandungnya mempunyai seorang
isteri dan meninggalkan ibu kandungnya, dia tidak mau memperkenalkan diri.
Hatinya terasa nyeri, dia lupa bahwa ibu kandungnya juga mempunyai suami baru!
"Aku
tidak mempunyai she," jawabnya sambil menunduk.
"Ehh,
kenapa begitu aneh?" Giok Keng yang biar pun usianya sudah empat puluh
tujuh tahun tetapi masih cantik dan juga hatinya masih keras itu berseru.
"Lalu siapakah nama ayahmu?"
Sejenak Sin
Liong memandang kepada puteri kakeknya yang sebenarnya adalah bibinya itu, lalu
dia menunduk dan menjawab singkat, "Aku tidak mengenal siapa ayah
bundaku."
Cia Keng
Hong tersenyum. "Memang dia agak aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya,
dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai kacung pada keluarga Na-piauwsu.
Akan tetapi, untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga
Na-piauwsu juga tidak mungkin karena keluarga Na itu dibunuh oleh
musuh-musuhnya. Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kim Hong
Liu-nio, seorang wanita yang benar-benar mempunyai kepandaian yang mengejutkan
dan entah mengapa wanita iblis itu demikian bencinya kepada Sin Liong sehingga
menyiksanya dan aku telah membebaskannya dari tangan wanita itu."
"Sin
Liong, siapakah wanita itu?" tanya Yap Kun Liong yang merasa tertarik
karena dia pun tidak mengenal tokoh kang-ouw bernama Kim Hong Liu-nio itu.
Kalau ada seseorang tokoh sampai dipuji kepandaiannya oleh Cia Keng Hong, sudah
pasti bahwa tokoh itu bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tidak boleh
dibuat main-main.
Sin Liong
memang tidak ingin menceritakan banyak-banyak tentang dirinya, akan tetapi
karena semua orang memandang padanya dan sinar mata mereka menunjukkan bahwa
mereka itu ingin sekali mendengar tentang Kim Hong Liu-nio, dia kemudian
teringat akan tantangannya terhadap Kim Hong Liu-nio dan dengan lantang dia
lalu berkata,
"Saya
tidak mengenalnya. Pada waktu keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh,
dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan
membawa saya pergi ke hutan di mana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi,
saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua
orang yang she Cia, Yap dan Tio."
"Ehhh?"
"Ahhh?"
"Heiii...?!"
Seruan-seruan
itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In
Hong. Mereka pun saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu. Sin
Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah
pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu
berhadapan dengan mereka.
"Sungguh
aneh sekali! Mengapa justru she-she dari kita yang dimusuhinya?" tanya Cia
Bun Houw sambil memandang Yap In Hong.
"Dan
she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako?" tanya pula Yap
In Hong.
"Ahhh,
sekarang aku ingat...!" Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata.
"Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal
dasar ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga
Tio Sun, teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar
ilmu silat dua orang iblis tua itu!"
"Akan
tetapi mereka itu sudah mati!" Yap In Hong berkata. "Pek-hiat Mo-ko
telah tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku." Dia bicara
kepada Bun Houw.
Bun Houw
mengangguk-angguk. "Jika memang ada hubungannya dengan mereka, tentu ada
hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas sudah mati, akan tetapi
Hek-hiat Mo-li belum tewas biar pun terluka parah, akan tetapi dia diselamatkan
dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia adalah murid dari Hek-hiat Mo-li
yang masih selalu menaruh dendam terhadap kita." Bun Houw mengerutkan
alisnya, dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan
In Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan
mati-matian.
Cia Keng
Hong juga mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya. "Kiranya begitu...
ilmunya lihai bukan main dan sesudah mempergunakan Thi-khi I-beng baru aku
berhasil menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan
mengenalku, lalu pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di
belakangnya. Hemmm, musuh sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara,
harap kalian suka berhati-hati," katanya sambil memandang kepada dua
pasang pendekar itu.
Empat orang
pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sama sekali sembuh dari
luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara
berdua saja dengan dua orang anaknya. Pada waktu dia bertanya mengapa puteranya
itu belum mempunyai keturunan, dia mendengar pengakuan dari Bun Houw yang
berbicara dengan nada suara duka, dan pengakuan puteranya itu sangat
mengejutkannya dan membuatnya terharu sekali.
"Ayah,
sebelum ayah memberi restu kepada kami berdua untuk menikah, mana mungkin kami
berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"
Cia Keng
Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak. "Apa katamu?!
Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri?"
Bun Houw
mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih akan
tetapi wajahnya agak pucat.
"Ayah,
kami berdua saling mencinta, saling menghormat, maka bagaimana mungkin kami
saling merendahkan dengan jalan melakukan hubungan jinah? Biar pun kami telah
hidup bersama selama belasan tahun ini, akan tetapi selama ayah masih ada,
tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan kami, mana mungkin kami berani
melakukan hubungan yang akan menjadi perjinahan?"
Sepasang
mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu gemetar dan
hati pendekar itu rasanya seperti ditusuk pedang. Sekarang terbukalah matanya
dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu mempertahankan
kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang menderita karena
keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik.
"Houw-ji...
kau maafkan aku... ahh, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras kepala... aku
telah membuatmu hidup menderita, kau maafkanlah aku, anakku..."
Dua titik
air mata membasahi mata pendekar sakti itu, sungguh hal yang luar biasa sekali,
dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih oleh rasa
sesal dan haru.
"Tidak,
ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin susah hati
ayah," jawab Bun Houw lirih.
"Aku
yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ahhh, aku
seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku
bangga sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kau
panggil In Hong ke sini!"
Bun Houw
cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan In Hong.
Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In Hong,
memandang tajam dan berkata, "In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tidak
tahu diri yang kukuh sehingga aku sudah membuat kalian berdua menderita.
Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini
aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian
suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum aku mati,
aku... aku... ingin sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian..."
"Gak-hu...!"
In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut Ayah mertua dan
menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata.
Keadaan tiga
orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini muncul sinar
yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun Houw dan In
Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih sayang seperti
biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegembiraan sekaligus juga
perasaan malu-malu.
Bun Houw
segera berlutut di samping isterinya dan berkata, "Kami menghaturkan
terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah."
Ucapan itu
malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, meski pun Bun Houw tidak bermaksud
begitu. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini menggunakan kedua
tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak memberi berkah.
"Ayahmu
bersalah, ayahmu terlampau mementingkan perasaan dan keinginan hati sendiri
sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama belasan tahun. Ahh,
anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian berdua
sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang sudah kulakukan
ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita..."
Di samping
mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu,
menjodohkan mereka sehingga mereka berdua bisa menjadi suami isteri secara sah oleh
persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang
sebenarnya, juga pendekar sakti Cia Keng Hong kemudian mengadakan pertemuan
bertiga saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong.
Juga kepada
dua orang yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi 'lampu
hijau'. Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang
didengarkan oleh kedua orang itu dengan muka menunduk.
"Aku
tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan kalian
adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena itu,
yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apa bila kalian
berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri.
Kalian berdua masih cukup muda untuk menikmati hidup, maka sudah selayaknyalah
kalau saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku
sudah menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian
berdua."
Di depan
kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa malu
untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka pada
waktu mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata ini pun dapat
ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan
hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup
bahagia.
Dua pasang
pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong sampai kakek
pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada beberapa orang
anggota Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga terjadilah
pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu Cia Giok Keng
mengusulkan kepada ayahnya apakah tak sebaiknya jika Cin-ling-pai dibangun kembali
dan memanggil para anggota yang kini tinggal terpisah-pisah.
Kakek itu
menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Keng-ji. Tidak ada
gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah
perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Akan jauh
lebih baik kalau kita menganggap dunia ini perkumpulan dan manusia adalah
anggotanya! Dengan demikian, setiap orang manusia sebagai anggota perkumpulan
besar itu akan selalu menjaga dunia, dan saling setia, saling mencinta antara
manusia sebagai rekan hidup. Sebaliknya, kalau mendirikan
perkumpulan-perkumpulan secara terpisah-pisah hanya akan mendatangkan lebih
banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cin-ling-pai bubar
saja, lebih baik begini...!"
Diam-diam
Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah berubah sama
sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan sehingga ayah
mereka menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena hendak menjaga nama
dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi lunak dan mempunyai
pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi.
Dua pasang
pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari menjenguk makam
ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi, Yap Kun Liong dan Cia Giok
Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu.
Setelah
selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka
saling bergandengan tangan menuju ke pinggir jurang yang ditumbuhi rumput hijau
yang gemuk. Mereka tak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jari-jari tangan
mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu duduk, saling
berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang, kemudian Cia
Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai berbicara, seolah-olah dia tidak
dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu.
"Kun
Liong, apa yang kau pikirkan?"
Kun Liong
memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah empat
puluh tujuh tahun itu masih tampak seperti dulu, seperti ketika masih gadis
remaja, masih tetap cantik menarik.
"Giok
Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan apa
yang sedang kau pikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu."
Wajah yang
memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi sedikit
kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang.
Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu,
kata-kata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku
karena sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati.
"Lalu,
bagaimana pendapatmu sendiri?" tanya Giok Keng, pertanyaan yang hanya
untuk memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena
sebenarnya, tanpa bertanya pun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun
Liong.
Mereka
berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar dari
pada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan supaya mereka berdua
menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal dalam satu
rumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka
hadapi, dan juga bersama-sama menikmati kesenangan dan bersama-sama pula
menanggung penderitaan, sungguh merupakan suatu hal yang amat menghibur dan
membahagiakan hati.
"Kau
tahu alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling
berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok?"
Giok Keng
mengerutkan alisnya, berpikir sejenak kemudian berkata, "Sebetulnya,
apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang? Di mana
pun, asal kita berdua, apa bedanya?"
Yap Kun
Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya. "Engkau benar, aku
meributkan soal-soal yang kecil saja. Jika memang engkau lebih suka tinggal di
Sin-yang, aku pun tidak akan menolak tinggal di sana."
Melihat
betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa tidak
enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dulu, yang keras hati
sehingga kekerasan hatinya itulah yang dulu menggagalkan perjodohannya dengan
Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau mengakibatkan
segala macam peristiwa hebat.
Teringat
akan ini, dia cepat berkata lagi. "Tentang di mana kita tinggal, kita
lihat saja nanti. Bagiku, ke mana pun kau pergi dan tinggal, di situ aku merasa
betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi, hatiku merasa tidak enak mendengar
akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw dan sampai kini belum pulang. Aku
mempunyai keinginan untuk lebih dahulu pergi merantau mencari anakku itu sampai
dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw Si sekarang telah menjadi anak-anak
yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita ini, adalah bijaksana kalau aku
lebih dulu memberitahukan kepada mereka. Mengertikah engkau?"
Kun Liong
menggenggam tangan itu. Ia mengangguk. "Tepat sekali. Memang semestinya
demikian, Giok Keng. Aku pun akan merasa tidak enak apa bila mereka tidak
diberi tahu terlebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu
itu. Dan bagaimana dengan puteramu?"
"Dia
akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa sekarang
memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi
mencari Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh."
Demikianlah,
pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit kepada kakek
Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek tua itu langsung menyatakan
persetujuannya. Dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong juga
berpamit untuk kembali ke selatan.
Karena
merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja, Cia
Keng Hong sama sekali tidak menahan, bahkan diam-diam dia merasa gembira karena
kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran kebahagiaan
pada wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang pendekar
itu berpamit kemudian pergi, dia mengikuti bayangan mereka berempat dengan
pancaran sinar mata penuh kebahagiaan.
Sin Liong
yang duduk bersila di dekatnya juga memandang dengan sinar mata sayu. Tak
seorang pun di antara mereka tahu betapa anak ini menderita tekanan batin yang
cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi tanpa menoleh sedikit pun padanya,
bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak kandungnya!
Ingin dia
berteriak, ingin dia mengaku akan keadaan dirinya sebelum ayahnya pergi, tapi
anak ini tetap duduk bersila dan menggigit bibir untuk menahan dorongan hati
yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan empat orang itu lenyap di
sebuah tikungan.
"Ehh,
kenapa kau menangis?"
Pertanyaan
ini mengejutkan hati Sin Liong. Tanpa disadarinya, ketika melawan dorongan
hatinya tadi, dia sudah menggigit bibirnya dan ada dua titik air mata meloncat
keluar ke atas pipinya.
"Menangis?
Apakah saya menangis, locianpwe?" tanyanya sambil menggerakkan tangan
mengusap dua titik air mata itu.
Kakek itu
lalu tersenyum maklum. Tentu anak ini diam-diam merasa suka kepada kedua putera
dan puterinya, dan kini merasa berduka melihat mereka pergi. Kasihan sekali
anak ini. Hidup sebatang kara di dunia yang luas dan penuh dengan kekerasan dan
kekejaman ini.
"Sin
Liong, jangan khawatir. Sesudah engkau memiliki sinkang yang diwariskan oleh
Kok Beng Lama kepadamu, sesudah engkau memiliki Thi-khi I-beng, dan dalam waktu
dekat aku akan mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu, kelak engkau mampu
menjaga diri sendiri dan dapat mengembara ke mana pun sebagai seorang pendekar,
seperti kedua anakku itu."
Sin Liong
tidak menjawab, melainkan segera berlutut di depan kakeknya itu. Dia kagum
kepada kakeknya ini, sangat menghormatnya, dan sangat sayang kepada kakeknya
yang dianggap merupakan seorang manusia budiman yang amat baik kepadanya.
"Terima
kasih, locianpwe, terima kasih..."
Diam-diam
Cia Keng Hong merasa heran mengapa anak ini tidak pernah menyebut suhu
kepadanya, akan tetapi karena dia sekarang tidak lagi mau mempedulikan tentang
segala macam upacara dan sebutan, dan karena dia pun tahu bahwa Sin Liong
adalah seorang anak yang aneh sekali, maka dia pun tidak pernah menegurnya.
Baginya tak ada bedanya apakah dia akan disebut locianpwe ataukah suhu, sebab
mata pendekar sakti yang tua ini mulai terbuka bahwa segala macam upacara dan
sopan santun, segala macam sebutan itu hanyalah kosong belaka, seperti
kosongnya semua kata-kata yang keluar dari mulut, yang hanya merupakan
permainan dari hawa dan angin kosong belaka! Baginya, yang penting adalah
tindakan, kenyataan, bukan segala macam sebutan dan omongan.
Pendekar
sakti Cia Keng Hong memenuhi kata-katanya kepada Sin Liong. Mulai hari itu,
semenjak kedua orang putera dan puterinya pergi, dia menurunkan ilmu-ilmunya
kepada Sin Liong. Ketika dia melatih cucunya, Lie Ciauw Si, dia juga melatih
dengan tekun, akan tetapi sekarang, melihat keadaan diri Sin Liong, pendekar
ini menjadi kagum dan gembira bukan main.
Cucunya
perempuan itu hanya memiliki bakat biasa saja, karena itu Ciauw Si tidak begitu
mudah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang sangat sukar dipelajari itu. Akan
tetapi tidak demikian halnya dengan Sin Liong. Anak ini benar-benar sangat luar
biasa sekali.
Segala macam
pelajaran dasar ditelannya dengan mudah, bahkan ketika kakek itu mulai
mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang rumit mudah saja bagi Sin Liong untuk
menguasai semuanya. Seolah-olah sekali diberi pelajaran setiap teori ilmu silat
baru, semua itu telah melekat di dalam benaknya dan tidak lupa lagi. Dan pada
saat dia mulai melatih diri, juga di dalam gerakan-gerakannya terkandung bakat
yang amat besar, gerakannya tidak kaku dan seakan-akan gaya ilmu silat itu
memang sudah mendarah daging di dalam tubuhnya. Maka semua pelajaran dapat
diterimanya dengan lancar.
Cia Keng
Hong merasa betapa amat sukar baginya untuk dapat memulihkan tenaganya.
Tubuhnya sudah sehat kembali, akan tetapi tenaganya tidak dapat pulih seperti
sebelum dia bertanding melawan Kok Beng Lama. Dia menganggap bahwa hal ini
karena usianya sudah sangat tua dan ini pula yang membuat dia tergesa-gesa
menurunkan semua ilmu silat tinggi kepada Sin Liong.
"Pelajari
dulu kauwkoat (teori silat) sampai kau hafal betul. Melatihnya boleh
belakangan, Sin Liong." Demikianlah kakek itu berkata.
Dia lalu
mengajarkan teori-teori dari ilmu-ilmu silat yang dahulu pernah menggemparkan
dunia persilatan, seperti San-in Kun-hoat, Thai-kek Sin-kun, Siang-bhok
Kiam-sut dan ada banyak lagi ilmu-ilmu silat yang sukar dicari bandingnya di
dunia persilatan. Dan semua teori ilmu silat yang aneh-aneh itu sudah dicatat
oleh ingatan dalam otak Sin Liong yang luar biasa cerdasnya.
Dalam waktu
kurang lebih setahun lamanya, Sin Liong sudah berhasil menghafal semua teori
ilmu silat yang banyak macamnya itu, dan selain hafal, juga dia telah diberi
petunjuk oleh kakek itu bagaimana untuk melatih ilmu-ilmu itu seorang diri
kelak.
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, Cin-ling-pai sekarang sama sekali tidak sama
dengan Cin-ling-pai belasan tahun yang lalu, ketika Cin-ling-pai masih
merupakan sebuah perkumpulan besar dengan para tokohnya yang terkenal sebagai
Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-pai. Tapi semenjak Cap-it Ho-han
tewas di tangan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima
Bayangan Dewa), maka Cin-ling-pai bagai kehilangan pamornya.
Apa lagi
setelah Cia Keng Hong kehilangan puteranya dan kematian isterinya, kakek ini
lalu membubarkan Cin-ling-pai sehingga semua murid atau anggota Cin-ling-pai
menjadi tersebar ke mana-mana. Bagaimana pun juga, masih ada saja anak murid
yang kadang-kadang naik ke Cin-ling-san untuk mengunjungi guru besar mereka
itu.
Para anggota
atau lebih tepat lagi bekas anggota Cin-ling-pai yang datang berkunjung,
mengerti bahwa kini guru besar mereka mempunyai murid lagi, seorang pemuda aneh
yang pendiam dan serius, yang jarang sekali bicara bahkan tidak menjawab
sepenuhnya apa bila ditanya. Juga Cia Keng Hong yang mengerti akan keanehan
anak itu, tidak mau banyak bicara mengenai Sin Liong, hanya samar-samar kakek
ini mengatakan bahwa Sin Liong merupakan pewarisnya yang terakhir dan yang
paling berbakat!
Pada suatu
senja yang cerah dan indah, seperti biasa sejak dia pulang ke Cin-ling-san
bersama Sin Liong, kakek Cia Keng Hong duduk bersemedhi seorang diri di dalam
kebun di belakang pondoknya. Bersemedhi setiap matahari timbul dan matahari
tenggelam telah merupakan pekerjaan sehari-hari kakek itu, dan dalam keadaan
seperti itu, dia tidak mau diganggu. Oleh karena itu, Sin Liong dan para
anggota Cin-ling-pai tidak ada yang berani mendekati kakek itu kalau kakek Cia
Keng Hong sedang berada di kebun.
Dan pada
senja hari itu terdapat belasan orang bekas anggota Cin-ling-pai yang datang
berkunjung. Mereka ini berkumpul di ruangan besar bercakap-cakap, karena
Cin-ling-san sekarang merupakan suatu tempat bertemu dan berkumpul di antara
mereka dan dalam pertemuan ini tentu saja banyak yang mereka bicarakan. Di
antara mereka ada beberapa orang bekas anggota golongan tua yang memiliki
kepandaian tinggi karena mereka dulu adalah tokoh-tokoh tingkat dua, yaitu
murid-murid langsung dari mendiang Cap-it Ho-han, yaitu sebelas orang pendekar
dari Cin-ling-pai itu.
Sin Liong
sendiri yang juga maklum akan kebiasan kakeknya, tidak berani mengganggu dan
dia berada di dalam kamarnya untuk melatih pernapasan seperti yang diajarkan
oleh kakeknya. Kini, anak berusia empat belas tahun ini sudah dapat menguasai
hawa sinkang yang amat kuat di tubuhnya itu, bahkan tahu cara memeliharanya
dengan pengumpulan hawa murni dan mengatur pernapasan. Dia dapat pula
menggerakkan hawa sinkang itu di seluruh tubuhnya sehingga biar pun semua ilmu
silat tinggi itu belum dikuasainya, namun dengan tenaganya yang dahsyat dia
sudah merupakan seorang pemuda tanggung yang amat tangguh.
Kakek Cia
Keng Hong duduk bersila di atas batu bulat di kebunnya, di bawah sebatang pohon
yang-liu yang daunnya bergerak-gerak lembut tertiup angin senja. Dia bersemedhi
dengan tenang, kedua tangannya bersilang di depan dada. Kakek ini tenggelam di
dalam semedhinya, dan biar pun kini kesehatannya sudah pulih kembali, namun
tenaganya jauh berkurang dibandingkan dengan dahulu.
Dia pun
sudah tak berminat lagi untuk lebih memperkuat tubuhnya, hanya memperdalam
ketenangan batinnya, menghentikan segala macam gangguan pikiran. Kini tidak ada
lagi kedukaan mengganggu batinnya. Dia sudah bertemu kembali dengan puteranya,
bahkan telah memberi persetujuan kepada puteranya untuk berjodoh dan menikah
dengan wanita yang dipilihnya sendiri. Ia pun telah memberi dorongan kepada
puterinya untuk menikmati kehidupan bersama pria yang dicintanya.
Dan dia pun
merasa lega bahwa dia bertemu dengan seorang anak luar biasa seperti Sin Liong
sehingga dia dapat menurunkan semua kepandaiannya. Dalam diri Sin Liong dia
melihat bakat yang ada pada dirinya sendiri, dan dibandingkan dengan puteranya,
Bun Houw, bakat Sin Liong bahkan masih menang setingkat.
Maka hatinya
sudah puas dan kakek ini merasa sudah siap untuk meninggalkan dunia ini dengan
hati tenang dan tenteram. Kini tidak ada lagi duka dan persoalan yang mengikat
batinnya, maka semedhinya demikian mendalam, membuat dia lupa segala.
Kakek yang
telah bebas dari kekhawatiran itu tidak tahu bahwa pada saat dia tenggelam
dalam semedhinya itu tiba-tiba saja muncul dua orang yang mendaki puncak dan
dengan gerakan yang cepat sekali langsung memasuki taman di belakang pondoknya.
Mereka adalah seorang wanita yang cantik sekali bersama seorang nenek bermuka
hitam yang memegang sebatang tongkat. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio dan
gurunya, Hek-hiat Mo-li!
Seperti
telah kita ketahui, wanita cantik jelita ini sudah berhasil menewaskan seorang
di antara tiga tokoh utama yang menjadi musuh besar gurunya, yaitu Tio Sun.
Maka sudah berkuranglah sumpahnya dan kini dia tidak perlu lagi mengejar-ngejar
dan membunuhi orang-orang she Tio karena orang she Tio yang utama telah
berhasil dibunuhnya.
Ketika dia
sedang menyiksa Sin Liong yang diketahuinya sebagai putera Cia Bun Houw menurut
pengakuan anak itu sendiri, dia bertemu dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan
dia terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek tua itu. Memang sudah lama
dia mendengar tentang ketua Cin-ling-pai itu dari gurunya, akan tetapi Kim Hong
Liu-nio yang tadinya terlampau mengandalkan kehebatan ilmu kepandaiannya
sendiri, mula-mula memandang rendah.
Setelah dia
bentrok dengan Cia Keng Hong, baru dia terkejut setengah mati dan merasa jeri,
meninggalkan kakek itu dan cepat-cepat dia mencari gurunya yang memang sudah
hendak turun tangan sendiri, meninggalkan utara, dan kini Hek-hiat Mo-li sudah
berada tidak jauh dari tempat itu. Maka Kim Hong Liu-nio segera menceritakan
kepada gurunya mengenai pertemuannya dengan pendekar tua Cia Keng Hong sambil
menceritakan pula betapa lihainya pendekar tua itu.
Mendengar
ini, Hek-hiat Mo-li lalu mengajak muridnya untuk melatih diri dan memperkuat
diri sebelum mereka berdua turun tangan. Sampai beberapa bulan lamanya guru
beserta muridnya ini melatih diri dan setelah merasa diri mereka benar-benar
kuat, keduanya lalu pergi mendaki Bukit Cin-ling-san sehingga pada senja hari
itu mereka memasuki kebun di mana pendekar tua Cia Keng Hong sedang duduk
bersemedhi seorang diri.
Ketika Kim
Hong Liu-nio yang berjalan di depan dengan langkah ringan sekali itu melihat
betapa dari kepala kakek yang sedang duduk bersemedhi itu mengepul uap putih
yang tebal, dia terkejut dan tertegun, merasa semakin jeri. Akan tetapi tidak
demikian dengan Hek-hiat Mo-li.
Nenek ini
merasa girang sekali melihat uap putih itu dan dia tahu bahwa saat itu musuh
besarnya sedang dalam keadaan 'kosong', maka dengan mukanya yang hitam berubah
beringas, nenek ini lalu meloncat dan menggerakkan tongkatnya ke arah punggung
kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkang sepenuhnya. Melihat ini, Kim Hong
Liu-nio menjadi berani dan dia pun meloncat dan dengan tangan kanannya dia
memukul pula ke arah tengkuk kakek itu.
"Blukk!
Plakkk!"
Hampir
berbareng hantaman tongkat dan tamparan tangan itu tepat mengenai punggung dan
tengkuk Cia Keng Hong, akan tetapi dua orang penyerang gelap itu menjadi
terkejut setengah mati. Tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li sudah patah menjadi
dua potong, ada pun Kim Hong Liu-nio merasa betapa telapak tangan kanannya
panas dan nyeri bukan main. Mereka terkejut dan meloncat mundur.
Pada saat
menerima pukulan-pukulan tadi, Cia Keng Hong dalam keadaan semedhi yang amat
mendalam, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang telah amat tinggi tingkatnya,
apa lagi karena dia sudah menguasai Thi-khi I-beng dengan sempurna, maka
tubuhnya dapat secara otomatis menjaga diri. Begitu pukulan-pukulan itu tiba,
tenaga sinkang-nya sudah bergerak dan menolak sehingga mengejutkan kedua orang
lawannya, akan tetapi sesungguhnya dia telah menderita luka-luka yang hebat di
dalam tubuhnya!
Pukulan
tongkat dan hantaman tangan guru dan murid tadi hebat bukan main dan takkan
dapat ditahan oleh seorang ahli yang bagaimana kuat pun. Jangankan pukulan itu
diterima oleh Cia Keng Hong dalam keadaan tidak sadar, bahkan andai kata
diterimanya dalam keadaan sadar sekali pun, tentu dia akan terluka hebat.
Akan tetapi
hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, maka
mereka berdua terkejut bukan main. Kim Hong Liu-nio menjadi semakin jeri, akan
tetapi Hek-hiat Mo-li yang sudah amat marah bertemu dengan seorang di antara
musuh-musuh utamanya itu, kini sudah menerjang maju lagi dengan tongkatnya.
Tubuh Cia
Keng Hong yang masih bersila tadi, kini melayang turun dari atas batu lantas
dengan dorongan-dorongan kedua tangannya, dia membuat guru dan murid itu
terhuyung ke belakang. Pendekar tua itu memaksa dirinya untuk menggunakan
sinkang yang hebat, dan hal ini membuat luka-lukanya di dalam tubuh menjadi makin
parah.
Dia maklum
akan hal ini, akan tetapi dia tahu pula bahwa tanpa memamerkan kekuatan
sinkang-nya dia tidak akan dapat membikin jeri dua orang lawan tangguh ini, dan
untuk mengadu silat, dia merasa bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama dengan
luka-luka hebat itu. Untuk menambah kekuatannya, Cia Keng Hong kemudian
mengeluarkan suara melengking yang dahsyat dan kembali kedua tangannya
mendorong ke arah dua orang lawannya sehingga guru dan murid itu kembali
terhuyung ke belakang, meski pun mereka sudah mencoba untuk mempertahankan
diri.
Suara
melengking itu telah mengejutkan belasan orang anggota Cin-ling-pai yang sedang
berkunjung dan berkumpul di dalam ruangan besar, juga terdengar pula oleh Sin
Liong. Mereka semua menjadi terkejut sekali dan cepat-cepat mereka berlarian
menuju ke kebun di belakang.
Begitu
melihat betapa ketua Cin-ling-pai itu sedang bertanding dan dikeroyok oleh
seorang wanita cantik dan seorang nenek tua bermuka hitam, mereka terkejut
sekali dan tidak berani sembarangan turun tangan tanpa ada perintah dari guru
besar itu. Akan tetapi, selagi belasan orang tokoh Cin-ling-pai itu tertegun
dan meragu, tiba-tiba saja terdengar gerengan laksana suara seekor monyet besar
atau seekor harimau marah dan sesosok bayangan berkelebat lantas bayangan itu
langsung menerjang Kim Hong Liu-nio dengan terkaman dahsyat dan dengan pukulan
kedua tangannya.
Sejak kecil
Sin Liong sudah sering kali melihat orang-orang yang disayangnya dibunuh orang
tanpa dia mampu membantu atau mencegah kejadian itu. Pertama-tama dia melihat
ibu kandungnya dibunuh orang, juga biang monyet yang memellharanya dibunuh
orang, kemudian melihat Na-piawsu dibunuh orang.
Sekarang,
melihat kakek yang amat disayangnya itu diserang oleh dua orang ini, apa lagi
mengenal bahwa seorang di antara mereka yang menyerang kakeknya adalah Kim Hong
Liu-nio, wanita yang bukan hanya telah membunuh ibu kandungnya akan tetapi juga
telah sering menyiksanya, dia menjadi marah sekali dan timbullah sifat liarnya.
Dia menyerang laksana seekor binatang buas dan kemarahan yang hebat ini
mendorong keluar semua tenaga sinkang yang mengeram di dalam tubuhnya.
Begitu
melihat Sin Liong, wanita itu langsung mengenalnya dan tentu saja memandang
rendah, bahkan menyambut terjangan Sin Liong itu dengan hantaman tangan
kirinya.
"Desss...!"
"Ihhhh...!"
Tubuh Kim Hong Liu-nio terlempar dan bergulingan, lalu dia meloncat bangun,
mukanya agak pucat dan matanya terbelalak. Tak disangkanya betapa pertemuan
tenaga dengan anak berusia empat belas tahun itu membuat dia terlempar, dan
hampir saja dia celaka!
Melihat
betapa anak itu berani turun tangan membantu guru besar mereka, para anggota
Cin-ling-pai juga lalu menerjang maju. Sementara itu, nenek Hek-hiat Mo-li yang
merasa sangat penasaran karena hantaman tongkatnya tadi tidak menewaskan Cia
Keng Hong, kini membentak keras dan tubuhnya melayang ke depan, menyerang Cia
Keng Hong.
Pendekar ini
menanti sampai nenek itu datang dekat, kemudian dengan gerakan istimewa dia
menangkis hantaman nenek itu, sambil membarengi dengan tamparan tangan kirinya.
Itulah sebuah gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang tidak
disangka-sangka oleh Hek-hiat Mo-li, maka tanpa dapat dicegah lagi pundaknya
kena ditampar sehingga dia pun terlempar dan jatuh bergulingan seperti halnya
Kim Hong Liu-nio tadi.
Namun baik
nenek muka hitam ini mau pun Kim Hong Liu-nio, telah memiliki kekebalan yang
luar biasa, kekebalan yang bukan hanya dapat menghadapi pukulan kosong bahkan
mampu pula bertahan terhadap pukulan sakti dan pukulan senjata tajam! Kekebalan
inilah yang dahulu membuat mendiang kakek Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li
sangat sukar dilawan. Pendekar Cia Bun Houw baru berhasil membunuh Pek-hiat
Mo-ko dan Yap In Hong baru berhasil melukai Hek-hiat Mo-li setelah mereka
berdua ini mengetahui rahasia kelemahan kakek dan nenek itu.
Cia Keng
Hong sudah mendengar dari puteranya bahwa nenek ini memiliki kelemahan di
telapak kakinya, akan tetapi karena dia sendiri sudah terluka hebat, maka
tidaklah mudah baginya untuk menyerang tempat berbahaya lawannya ini. Apa lagi
hantaman-hantaman yang dilakukannya tadi menggunakan sinkang pula sehingga
keadaannya menjadi makin parah dan hampir saja dia tidak kuat berdiri lagi.
Hanya dengan paksaan dan pengerahan tenaga terakhir dia masih mampu menghadapi
lawan.
Kini para
anggota Cin-ling-pai sudah mengeroyok nenek serta wanita cantik itu, dan Sin
Liong yang terutama sekali menerjang dan mendesak Kim Hong Liu-nio yang
dibencinya. Melihat betapa kakek Cia Keng Hong benar-benar lihai bukan main,
bahkan kini ditambah pula oleh orang-orang Cin-ling-pai, nenek dan muridnya itu
mulai merasa gentar. Mereka mengamuk dan ada empat orang anggota Cin-ling-pai
yang roboh dan tewas, sedangkan Sin Liong yang baru menguasai teori-teori
belaka dari ilmu-ilmu silat tinggi, tentu saja di dalam hal ilmu silat masih
kalah jauh dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio sehingga berkali-kali dia kena
dihantam sampai bergulingan.
Akan tetapi
diam-diam Kim Hong Liu-nio bergidik karena bukan saja anak itu tidak sampai
tewas atau terluka oleh hantamannya, bahkan sering kali tangannya segera
melekat dan tenaganya tersedot oleh ilmu Thi-khi I-beng yang amat ditakutinya
itu. Kalau saja dia tidak memperoleh latihan khusus dari gurunya untuk
melepaskan diri terhadap ilmu mukjijat itu, tentu dia sudah kena ditempel dan
disedot sampai tenaganya habis oleh anak ini!
Sesudah
berhasil merobohkan empat orang, Hek-hiat Mo-li maklum bahwa dia bersama
muridnya tak akan berhasil, bahkan kalau tokoh-tokoh lain seperti putera
Cin-ling-pai itu, dan wanita perkasa Yap In Hong muncul, juga kakak wanita itu
yang bernama Yap Kun Liong, tentu dia dan muridnya akan celaka.
"Mari
kita pergi!" bentaknya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang jauh,
pergi dari situ. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio juga meloncat pergi menyusul
gurunya.
Sin Liong
yang marah bukan main sudah bergerak hendak mengejar, juga para anggota
Cin-ling-pai, akan tetapi terdengar suara lemah kakek itu mencegah,
"Jangan
kejar...!"
Sampai lama
Sin Liong beserta para anak buah Cin-ling-pai berdiri memandang ke arah
lenyapnya dua orang musuh itu, baru kemudian para bekas anggota Cin-ling-pai
itu sibuk merawat mereka yang luka dan tewas dalam pertempuran itu.
"Kongkong...!"
Teriakan itu mengejutkan semua orang.
Mereka
menengok dan melihat Sin Liong menangis di hadapan kakek yang telah duduk
bersila kembali di atas batu itu. Semua bekas anggota Cin-ling-pai berlari
menghampiri dan terkejut bukan main melihat bahwa guru besar mereka itu
ternyata telah tak bernapas lagi! Kiranya setelah mencegah semua orang mengejar
musuh-musuh yang amat lihai itu, Cia Keng Hong kembali duduk bersila dan kakek
ini melepaskan napas terakhir sambil duduk bersila.
Pukulan-pukulan
dua orang lawan yang amat lihai itu tadi telah mengguncangkan jantung dan
melukai isi dada serta perutnya. Hanya karena semangatnya yang luar biasa saja
kakek tua renta ini tadi masih mampu melawan, bahkan membikin jeri hati kedua
orang musuhnya. Akan tetapi justru perlawanannya itu membutuhkan pengerahan
tenaga dan dalam keadaan terluka hebat dia mengerahkan tenaga, maka hal ini
tentu saja membuat luka-lukanya menjadi makin parah lalu mencabut nyawanya
setelah dia duduk bersila.
Sin Liong
yang pertama kali melihat keadaan kakek itu, menjerit dan dalam kedukaannya dia
sampai lupa diri dan menyebut kakek itu 'kongkong' karena dia memang merasa
amat sayang kepada kongkong-nya (kakeknya) itu. Melihat kakeknya mati, dia
berteriak lalu menangis mengguguk seperti anak kecil. Belum pernah selamanya
dia menangis seperti itu.
Akan tetapi
hanya sebentar dia menangis. Sesudah berhenti menangis, dia hanya diam saja
seperti patung ketika melihat para bekas anak buah Cin-ling-pai sambil menangis
lalu mengangkat jenazah kongkong-nya bersama keempat orang anggota Cin-ling-pai
lainnya yang juga tewas dalam pertempuran tadi, membawanya masuk ke dalam
pondok.
Sampai semua
jenazah dimasukkan peti dan dijajarkan di ruangan depan bersama peti jenazah
bekas ketua Cin-ling-pai itu di depan dan empat buah peti jenazah para anggota
itu di belakang, Sin Liong tidak pernah menangis lagi, juga tidak pernah
mengeluarkan sepatah pun kata. Dia hanya duduk bersila di dekat peti jenazah
kongkong-nya itu, tak pernah makan tak pernah tidur, hanya duduk bersila
seperti sebuah arca.
Setiap kali
terdengar orang menangis dan berkabung, yaitu para keluarga empat orang anggota
Cin-ling-pai itu. Bekas anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong datang dan
menangis. Berita secepatnya dikirim melalui dunia kang-ouw dan beberapa hari
kemudian berturut-turut datanglah Cia Bun Houw dengan Yap In Hong, lalu Yap Mei
Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng yang datang bersama. Riuh rendah
tangis mereka di depan peti mati.
Seperti telah
diceritakan di bagian depan, empat orang muda itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw
Kwi Eng dan Souw Kwi Beng, datang ke Cin-ling-pai untuk mengabarkan tentang
kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kaipang yang ternyata kenal baik dengan
ketua Cin-ling-pai, kongkong dari Lie Seng. Namun, ketika mereka akhirnya tiba
di Cin-ling-san, mereka hanya mendapatkan bahwa ketua Cin-ling-pai telah tewas.
Sesudah
bertangis-tangisan dan berkabung, Bun Houw dengan isterinya bercakap-cakap
dengan empat orang itu. Sesungguhnya, kalau saja tidak terjadi hal yang
menyedihkan sehubungan dengan kematian kakek Cia Keng Hong, tentu pertemuan itu
akan sangat menggembirakan. Yap Mei Lan adalah keponakan dari In Hong, ada pun
Lie Seng adalah keponakan dari Bun Houw. Bahkan, Souw Kwi Eng pernah
ditunangkan dengan Cia Bun Houw!
Akan tetapi,
kini mereka semua sedang berkabung dalam kedukaan, maka tentu saja tak ada
suasana gembira dalam pertemuan mereka. Hanya nampak In Hong yang merangkul
keponakannya yang dia duga tentu sudah memiliki kepandaian hebat setelah
digembleng oleh Kok Beng Lama itu.
Tiba-tiba
Souw Kwi Eng menangis lagi, tetapi kini tangisnya tidak seperti ketika menangis
di hadapan peti mati kakek Cia, bahkan dia menangis dengan penuh kedukaan
sehingga mengejutkan Bun Houw dan In Hong. Yap In Hong yang tidak lagi cemburu
kepada bekas tunangan suaminya ini karena dia sudah tahu bahwa wanita peranakan
barat ini sudah menikah dengan Tio Sun, segera mendekatinya dan memegang
pundaknya.
"Adik
Kwi Eng, sudahlah, jangan engkau terlalu berduka...!" dia menghibur.
Kwi Eng
mengangkat muka memandang, dan tiba-tiba dia merangkul leher In Hong dan
tangisnya semakin mengguguk. Di antara tangisnya In Hong mendengar kata-kata
yang membuatnya terbelalak dan terkejut sekali,
"...bagaimana...
takkan berduka... kalau... kalau suamiku dibunuh orang...?"
Tentu saja
bukan hanya In Hong yang amat terkejut mendengar ini, juga suaminya, Cia Bun
Houw kaget bukan main. Mereka tadi melihat betapa nyonya muda yang cantik
jelita ini memakai pakaian berkabung, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa
nyonya muda ini karena sudah mendengar akan kematian kakek Cia yang amat
dikaguminya, memang sengaja mengenakan pakaian berkabung. Siapa kira, nyonya
muda ini berkabung karena kematian suaminya yang dibunuh orang!
"Siapa
yang membunuh Tio-twako? Siapa?" Bun Houw berseru dengan penasaran sekali.
Ayahnya baru saja dibunuh orang, dan kini dia mendengar bahwa Tio Sun dibunuh
orang pula.
Dengan
panjang lebar Souw Kwi Beng mewakili saudara kembarnya, menuturkan tentang
kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kaipang dalam sebuah pertempuran
gara-gara seorang wanita bernama Kim Hong Liu-nio.
"Iparku
itu hanya hendak mendamaikan antara Panglima Lee Siang dengan ketua Hwa-i
Kaipang," demikian dia menutup ceritanya, "akan tetapi siapa kira,
ketua Hwa-i Kaipang mengira bahwa iparku itu membela wanita yang bernama Kim
Hong Liu-nio itu sehingga terjadi pertempuran dan iparku tewas..."
"Kim
Hong Liu-nio...?" Bun Houw bangkit berdiri dan mengepal tinjunya.
"Kiranya wanita itu pula yang menjadi gara-gara?" Kini giliran empat
orang itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng, dan Souw Kwi Beng yang mendengar
betapa kakek Cia juga tewas oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li!
"Dan
semuanya ini adalah gara-gara bocah itu!" tiba-tiba saja Bun Houw berkata
sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin Liong yang masih duduk seperti arca
di dekat peti jenazah dengan muka pucat.
Mendengar
kata-kata ayah kandungnya sambil menudingkan telunjuk kepadanya itu, Sin Liong
memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Semua mata kini
ditujukan kepadanya.
"Mendiang
ayah bentrok dengan Kim Hong Liu-nio akibat menolong bocah itu!" Bun Houw
berkata penuh penyesalan. "Dan bocah itu pula yang bercerita kepada kami
bahwa Kim Hong Liu-nio memusuhi orang-orang she Tio, Yap dan Cia. Sebelum
muncul bocah itu kita semua hidup tenteram dan tidak pernah terjadi permusuhan
dengan siapa pun. Bocah ini benar-benar mendatangkan sial!"
Yap In Hong
menyentuh lengan suaminya yang sedang dicekam kedukaan dan amarah itu, lalu dia
menghampiri Sin Liong dan bertanya, "Sin Liong, menurut keterangan para
anggota Cin-ling-pang nenek itu berwajah hitam. Engkau yang telah mengenal Kim
Hong Liu-nio, tentunya engkau tahu pula siapa nenek yang datang bersama wanita
itu. Apakah benar dia itu Hek-hiat Mo-li?"
Yap In Hong
ini pernah bertanding dengan Hek-hiat Mo-li, bahkan berhasil melukai nenek yang
kebal itu karena dia tahu di mana letak kelemahan nenek itu. Akan tetapi
sebelum dia sempat membunuh nenek iblis itu, keburu datang Raja Sabutai yang
menyelamatkan nenek yang juga menjadi guru raja itu. Kini dia bertanya kepada Sin
Liong, selain untuk memperoleh keyakinan, juga untuk menghentikan suaminya
memarahi anak itu.
Sin Liong
tidak menjawab, bahkan tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Yap In
Hong itu. Sejak tadi dia mengalami tekanan batin, merasa berduka sekali, penasaran
dan juga amat marah mendengar bahwa ayah kandungnya sendiri memaki dan
menyalahkan dirinya. Dia hanya bersila sambil menundukkan mukanya, dua alisnya
berkerut, bibirnya dikatupkan keras-keras.
"Kalau
dia tidak bisa berbicara lagi, biar saja tidak usah ditanya!" Bun Houw
yang masih merasa marah karena terdorong kedukaan dan penyesalan, kembali
berkata. "Tidak perlu mendapatkan keterangan anak sial itu pun sudah jelas
bahwa nenek muka hitam itu pasti Hek-hiat Mo-li orangnya. Dan perempuan itu
tentu muridnya. Setelah selesai pemakaman jenazah ayah, aku akan mencarinya dan
membunuh mereka!"
"Tidak
perlu!" Tiba-tiba Sin Liong yang sejak tadi diam saja, kini membentak
dengan suara yang amat lantang sehingga mengejutkan semua orang. Bagaikan
sebuah gunung berapi yang sudah ditahan-tahan sekian lamanya dan kini meletus,
Sin Liong bangkit berdiri, dua matanya mencorong seperti mata naga sakti, kedua
tangannya dikepal dan dia berkata,
"Akulah
yang akan membalaskan kematian kongkong! Akulah yang akan mencari kedua orang
musuh besar itu kemudian membunuh mereka. Aku tidak mengharapkan bantuan para
pendekar. Para pendekar yang hebat-hebat hanya namanya saja pendekar, duduk di
tempat tinggi, mabok kemuliaan dan nama besar seolah-olah mereka adalah
dewa-dewa di sorga, bukan manusia! Padahal, namanya saja pendekar-pendekar
mulia, akan tetapi perbuatannya banyak yang rendah dan hina, di balik nama-nama
besar itu tersembunyi perbuatan kotor!"
"Bocah
lancang mulut...!" Bun Houw membentak akan tetapi isterinya menyentuh
lengan kanannya.
"Ssttt...!"
kata In Hong berbisik sambil memandang kepada Sin Liong dengan mata penuh kagum
dan tertarik.
Bocah itu
bukan sembarang bocah dan dia melihat sesuatu yang aneh pada mata bocah itu,
dan dia merasa seolah-olah dia sudah mengenal anak ini, entah di mana dan
kapan.
"Para
pendekar merasa bahwa mereka itu orang-orang paling mulia, paling suci, paling
terhormat dan paling tinggi, paling hebat! Tetapi semua itu hanya untuk
menyembunyikan perbuatan-perbuatan mereka yang kotor dan tak bertanggung jawab!
Biarlah aku seorang yang akan membalas dendam, aku yang akan mencari mereka
berdua itu dengan taruhan nyawaku, jangan ada yang turut campur!"
Setelah
mengeluarkan kata-kata sebagai peluapan rasa marah dan penasarannya itu, Sin
Liong terisak sekali lalu duduk bersila lagi di dekat peti jenazah, menunduk
dan apa pun yang akan dilakukan orang kepadanya, jangan harap dia akan mau
membuka mulut lagi. Dia sudah menyampaikan isi hatinya yang penuh penasaran.
Ketika dia
bicara, dia teringat akan ibu kandungnya yang ditinggalkan ayah kandungnya,
maka dia bicara tentang perbuatan kotor para pendekar yang dikatakan tidak
bertanggung jawab! Tentu saja dia tujukan ucapan itu kepada ayah kandungnya.
Dia memang
menaruh dendam kepada Kim Hong Liu-nio, lebih dari pada mereka semua, karena
wanita itu telah membunuh ibu kandungnya di depan matanya, dan membunuh pula
kongkong-nya.
Semua orang
bengong menyaksikan sikap dan mendengar ucapan Sin Liong itu. Yap In Hong masih
memegang lengan suaminya, mencegah suaminya marah-marah, karena amat tidak baik
marah-marah di depan peti jenazah ayah mertuanya itu. Pada saat semua orang
masih bengong memandang kepada Sin Liong, tiba-tiba terdengar jerit tertahan,
"Ayahhhh...!"
Dan
berkelebatlah sesosok bayangan orang. Bayangan ini adalah Cia Giok Keng yang
begitu tiba di situ langsung menjatuhkan diri berlutut di depan peti mati
jenazah ayahnya, memeluki peti dan menangis tersedu-sedu, kemudian dia tentu
akan terguling roboh kalau tidak cepat-cepat Yap Kun Liong menyambar tubuh yang
pingsan itu.
Kembali
terjadi hujan tangis di tempat itu sebab semua orang yang menyaksikan ini mulai
menangis lagi. Sin Liong telah dilupakan orang yang kini tenggelam dalam
kedukaan dan keharuan itu.
Ternyata Cia
Giok Keng dan Yap Kun Liong yang belum berhasil menemukan Lie Ciauw Si,
mendengar berita tentang kematian kakek Cia dari suara di dunia kang-ouw.
Mereka cepat-cepat kembali ke Cin-ling-san dan di sepanjang jalan Cia Giok Keng
telah menangis sedih, dihibur oleh Yap Kun Liong. Maka begitu tiba di depan
peti jenazah, wanita ini lalu menjerit dan menangis, kemudian roboh pingsan.
Suasana di
situ diliputi keharuan dan kedukaan. Cia Giok Keng menangis tersedu-sedu ketika
dia telah siuman kembali dan dia berangkulan dengan Cia Bun Houw. Dua orang
inilah yang merasa paling terpukul dengan kematian ayah mereka, dan kini
pendekar sakti Cia Bun Houw tak dapat lagi menahan tangisnya sesudah melihat
enci-nya, apa lagi dia teringat betapa dia telah pernah marah dan meninggalkan
ayahnya sampai belasan tahun sehingga kematian ibunya pun tidak diketahuinya.
Sekarang,
baru saja dia pulang dan berbaik kembali dengan ayahnya, merasakan betapa
ayahnya sebenarnya sangat mencintanya, baru saja berjumpa satu kali dengan
ayahnya, kini ayahnya sudah mati dibunuh orang, atau setidaknya, meninggal
akibat pertempuran melawan orang lain.
Dia mengerti
bahwa sesungguhnya ayahnya tidaklah langsung dibunuh orang, melainkan bertempur
melawan guru dan murid itu, bahkan menurut cerita para anggota Cin-ling-pai,
ayahnya tidak kalah, malah membikin jeri musuh-musuh yang melarikan diri. Akan
tetapi dia tahu bahwa ayahnya memang sudah sangat tua dan lemah, tenaganya
telah banyak berkurang sehingga ketika menghadapi dua orang yang tangguh itu,
ayahnya terluka dan tewas.
Pada saat
itu, di antara para tamu yang mulai berdatangan untuk memberi penghormatan
terakhir kepada jenazah dalam peti, muncul orang laki-laki tua yang aneh sekali
bentuk tubuhnya. Melihat wajahnya, jelaslah bahwa laki-laki ini sudah tua
sekali, seorang kakek yang memang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi
tentu sudah tua sekali.
Mukanya yang
kurus itu penuh dengan keriput, matanya agak juling dan kepalanya gundul
pelontos serta halus kulitnya, hanya ada sedikit rambut kering yang tumbuh di
padang tandus, tumbuh di atas kepala, di tengah-tengah menutupi ubun-ubun.
Kepalanya besar dan bulat, tetapi kurus, dengan dua buah daun telinga yang
tebal dan lebar. Alisnya tebal, sudah bercampur uban, bengkak-bengkok di atas
sepasang matanya yang juling.
Hidungnya
pesek dan mulutnya lebar sekali, agaknya memang tidak dapat ditutup secara baik
sehingga balik bibirnya selalu nampak. Gigi bawahnya sudah habis dan gigi
atasnya tinggal beberapa buah saja, berderet jarang. Kepala dan wajah itu biar
pun sangat buruk dan menyeramkan, namun belumlah aneh kalau dibandingkan dengan
bentuk tubuhnya dari leher ke bawah. Kakek yang kelihatan sudah tua sekali ini
ternyata memiliki bentuk tubuh seperti kanak-kanak yang usianya baru sepuluh
tahun! Tubuh itu kecil pendek, dengan dua tangan yang kecil dan dua kaki
bersepatu yang kecil pula.
Siapakah
adanya kakek yang aneh itu? Semua orang yang hadir di situ tidak ada yang
mengenalnya. Padahal, kakek ini sesungguhnya adalah seorang yang memiliki
kesaktian hebat, yang datang dari barat dan sudah lama merantau di dunia utara,
di balik tembok besar. Kakek ini bernama Ouwyang Bu Sek!
Di dalam
cerita Petualang Asmara, terdapat seorang tokoh yang merupakan datuk kaum sesat
yang ditakuti orang dan yang berjuluk Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)
dan datuk ini bernama Ouwyang Kok, seorang datuk dari utara. Datuk ini tewas di
tangan Cia Keng Hong.
Kakek cebol
aneh ini adalah seorang keponakan dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok itu. Dia
masih muda pada waktu mendengar bahwa pamannya telah terbunuh oleh seorang
pendekar bernama Cia Keng Hong. Akan tetapi karena putera tunggal pamannya itu
yang bernama Ouwyang Bouw juga terbunuh oleh suci dari Pek Hong Ing (mendiang
nyonya Yap Kun Liong), maka pamannya itu tidak mempunyai orang lain lagi
kecuali dia untuk membalaskan kematiannya. Dia adalah keponakan pamannya itu
dan akan kecewalah dia sebagai seorang keturunan keluarga Ouwyang, keluarga
yang terkenal sebagai keluarga pandai, kalau dia tidak menuntut balas.
Akan tetapi,
dia juga tahu betapa lihainya pendekar Cia Keng Hong, bahkan pendekar ini memiliki
keluarga yang terdiri dari orang-orang lihai. Inilah yang menyebabkan Ouwyang
Bu Sek harus menahan diri hingga bertahun-tahun lamanya, bahkan hingga puluhan
tahun lamanya karena dia harus memperdalam kepandaiannya lebih dulu.
Sampai
puluhan tahun lamanya dia merantau ke barat dan mempelajari ilmu-ilmu yang
tinggi dari para pertapa aneh di Pegunungan Himalaya dan di Tibet. Baru sesudah
dia merasa bahwa kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi
dari pada tingkat mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, dia berani meninggalkan
barat sebagai seorang kakek aneh dan pergi ke Cin-ling-san mencari musuh besar
keluarga Ouwyang itu.
Akan tetapi,
betapa menyesal, kecewa dan juga mendongkol rasa hatinya ketika dia tiba di
puncak Cin-ling-san, dia menemukan musuh besarnya itu sudah berada di dalam
peti mati!
Pada waktu
itu, semua anggota keluarga dari bekas ketua Cin-ling-pai sedang berduka dan
dibangkitkan kembali kedukaan serta keharuan mereka akibat kedatangan Cia Giok
Keng. Mereka sedang bertangisan sehingga tidak ada yang memperhatikan
kedatangan kakek cebol itu.
Akan tetapi
Sin Liong yang sejak tadi memandang ke arah para keluarga yang sedang
bertangisan itu, melihat kakek ini di antara para tamu dan dia merasa terkejut
dan tertarik sekali. Keanehan bentuk tubuh kakek ini sungguh sangat menonjol di
antara para tamu sehingga secara diam-diam dia memperhatikan ketika kakek itu
seperti para tamu yang lain menghampiri peti dengan langkah-langkah yang pendek
dan lucu.
Akan tetapi,
tidak seperti para tamu lainnya yang memberi penghormatan kepada jenazah dengan
hio menyala di tangan, tamu aneh ini hanya berdiri tegak di depan peti jenazah
dan tiba-tiba dia mengeluarkan kata-kata yang cukup lantang.
"Cia
Keng Hong, engkau sungguh seorang pengecut besar! Setelah susah payah puluhan
tahun aku mempelajari ilmu dan sekarang datang berkunjung, engkau malah
melarikan diri melalui kematian. Huh, kalau tidak merusak tubuhmu dalam peti,
hatiku selamanya akan merasa penasaran!"
Mendengar
ini, semua orang terkejut dan terutama sekali Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng
sudah meloncat berdiri lantas menengok ke arah tamu aneh itu dengan sinar mata
berapi karena marahnya. Akan tetapi, sebelum mereka berdua sempat bergerak,
tiba-tiba saja terdengar suara gerengan aneh laksana seekor binatang buas yang
marah, disusul teriakan,
"Jangan
ganggu jenazah kakekku!"
Serangan
yang dilakukan oleh Sin Liong menyusul teriakannya itu mengejutkan Ouwyang Bu
Sek. Tidak disangkanya bahwa anak yang tadi bersila di dekat peti mati,
tiba-tiba saja meloncat dan menerkamnya seperti seekor binatang buas.
Ouwyang Bu
Sek melihat betapa anak itu memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa,
pukulan dalam terkamannya itu mendatangkan angin berdesir menuju arahnya. Dia
kaget, kagum dan juga girang menghadapi anak yang mengaku cucu dari musuh
besarnya itu. Kalau tidak dapat membalas kepada Cia Keng Hong, kini dapat
menangkap cucunya juga sudah baik, pikirnya.
Maka dia
mendiamkan saja anak itu menyerangnya. Kemudian setelah terkaman datang dekat,
tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya menangkap pundak Sin Liong.
"Desss!
Desss!"
Pukulan
kedua tangan Sin Liong itu dengan tepat mengenai tubuh kakek cebol itu, akan
tetapi alangkah kagetnya hati Sin Liong saat merasa betapa kedua pukulannya itu
seperti dua buah batu dilemparkan ke dalam air. Tenaganya amblas dan pukulannya
mengenai tubuh yang lunak dan yang membuat tenaga pukulannya buyar dan
tahu-tahu pundaknya telah kena dipegang dan dicengkeram. Ketika Sin Liong
hendak mengerahkan tenaga dari pusar, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan
dia tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh, semua jalan
darahnya seperti tiba-tiba menjadi kacau dan dia tidak mengerahkan tenaga lagi!
"Jahanam,
berani engkau mengacau di sini?!" Bun Houw sudah membentak dan sambil
meloncat dia telah mengirim pukulan jarak jauh ke arah kakek cebol itu.
Melihat ada
pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara mencicit seperti itu, Ouwyang Bu Sek
terkejut dan kagum sekali. Hebat, pikirnya dan dia menggunakan tangan kirinya
mengebit. Dua tenaga sakti bertemu di udara dan sungguh pun kakek cebol itu
berhasil menangkis pukulan Bun Houw, namun dia terkejut karena tangan kirinya
tergetar.
Pada saat
itu terdengar bunyi lengking nyaring dan Yap In Hong sudah menyerang dari
depan. Kembali kakek itu melihat tenaga dahsyat sekali seperti angin puyuh
menerjang tubuhnya! Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya mengebut dan kembali
pukulan In Hong yang dilakukan sambil menerjang ke depan itu dapat
ditangkisnya, dan juga sekali ini Ouwyang Bu Sek terkejut karena wanita cantik
itu memiliki tenaga yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan penyerang
pertama.
"Orang
tua, siapakah engkau dan mengapa engkau berani mengacau di sini?"
Tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Ouwyang Bu
Sek semakin kaget karena tahu-tahu suara itu sudah berada di belakangnya dan
sesudah dia membalik, dia melihat seorang laki-laki gagah berusia kurang dari
lima puluh tahun yang gerakannya mendatangkan angin dahayat ketika orang itu
mengulurkan tangan menepuk ke arah pundaknya.
Ternyata
orang ini pun lihai bukan kepalang, dapat bergerak tanpa diketahuinya, bahkan
gerakan tangannya itu sama sekali tidak mendatangkan angin atau suara ketika
menuju ke pundak, tahu-tahu sudah dekat dan mengandung kekuatan dahsyat!
Cepat dia
mengelak dan meloncat mundur. Ketika dia melihat mereka itu menghampirinya dari
depan dengan langkah-langkah sangat ringan dan pandang mata penuh kemarahan,
dia menjadi jeri juga. Bukan main, pikirnya. Keluarga Cia ini memang hebat!
Apa bila
hanya melawan mereka satu demi satu, tentu saja dia tidak akan gentar. Akan
tetapi kalau harus menghadapi pengeroyokan orang-orang yang mempunyai kepandaian
seperti mereka, biar pun dia sudah memiliki kesaktian hebat, dia tahu bahwa
akhirnya dia yang akan celaka.
"Ha-ha-ha!
Berhenti kalian semua! Kalau tidak, serangan kalian akan mengenai tubuh anak
ini!" Dia mengangkat tubuh Sin Liong dan mempergunakan tubuh itu sebagai
perisai.
Melihat ini,
Yap Kun Liong yang tadi merupakan penyerang terakhir, cepat berhenti dan
demikian pula para pendekar itu berhenti melangkah. Mereka semua adalah
orang-orang yang berjiwa pendekar. Sungguh pun mereka tidak senang kepada Sin
Liong, akan tetapi mereka melihat betapa Sin Liong adalah orang yang pertama
kali membela jenazah itu dan mungkin saja kakek cebol itu tadi telah berhasil
merusak jenazah jika tidak dihalangi dan diserang oleh Sin Liong, maka kini
mereka tidak berani turun tangan terhadap kakek itu yang sudah menawan Sin
Liong.
Kakek cebol
itu jelas mempunyai kepandaian tinggi, maka jika mereka nekat menyerang dan
kakek itu mempergunakan tubuh Sin Liong sebagai senjata atau perisai, tentu
anak itu yang akan kena pukulan.
"Ha-ha-ha-ha,
dengarlah baik-baik, kalian keluarga dari Cia Keng Hong! Aku Ouwyang Bu Sek,
mewakili keluarga Ouwyang dan kedatanganku tadinya ingin menagih hutang nyawa
kepada Cia Keng Hong. Akan tetapi dia sudah mati dan dia menebus dosanya dengan
menyerahkan cucunya ini kepadaku. Ha-ha, biarlah aku menerimanya dan
hitung-hitung sudah lunas hutangnya kepada keluarga Ouwyang!" Setelah
berkata demikian, kakek itu meloncat dan semua orang terkejut karena kakek itu
ternyata dapat bergerak cepat bukan main, loncatannya membawa tubuhnya melayang
jauh dan dia lalu melarikan diri sambil membawa Sin Liong.
Yap Kun
Liong mengerutkan alisnya. "Ouwyang...? Ahh, kiranya keluarga dari dia si
jahat itu...!"
Semua orang
mendekati pendekar ini.
"Siapakah
yang kau maksudkan, Yap twako?" tanya Bun Houw.
"Dahulu
ada musuh besar ayahmu yang bernama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, salah seorang
di antara datuk-datuk kaum sesat dari utara. Ouwyang Bu Sek tadi tentu masih
keluarganya yang datang untuk membalas dendam," jawab Yap Kun Liong.
"Dan
dia telah membawa pergi Sin Liong!" In Hong berkata dengan suara menyesal.
"Kita
tidak mampu mencegahnya," kata pula Cia Giok Keng penasaran.
"Biarlah
aku yang akan mengejarnya dan merampas kembali anak itu, ibu," kata Lie
Seng dengan penuh semangat.
"Benar
kata sute, biarlah aku membantunya. Kami tentu akan dapat merampas kembali anak
itu, ayah!" kata Yap Mei Lan kepada ayahnya.
Yap Kun
Liong menggeleng kepalanya dan mengerutkan alisnya. "Kukira tidak
bijaksana itu. Merampas kembali anak itu dengan kekerasan bahkan mungkin akan
membahayakan nyawa anak itu. Kurasa kakek cebol itu tidak akan membunuh anak
itu, karena kalau dia berniat demikian, tentu tadi sudah dibunuhnya. Dia hanya
ingin menggunakan Sin Liong tadi sebagai sandera supaya dia dapat lari dari
sini dan mungkin dia hendak membalas dengan cara menculik anak itu supaya kita
menjadi berduka. Dia tidak tahu bahwa anak itu bukan keluarga Cia, bukan cucu
dari musuh besarnya."
Sekarang
semua orang teringat betapa tadi Sin Liong berteriak supaya kakek itu jangan
mengganggu jenazah kongkong-nya, jadi anak itu seolah-olah mengaku sebagai cucu
Cia Keng Hong. Kakek cebol itu telah salah mengerti, mengira bahwa Sin Liong
adalah cucu ketua Cin-ling-pai!
"Kalau
begitu, biarkan sajalah," kata Bun Houw yang merasa tidak suka kepada anak
itu. "Anak itu hanya mendatangkan sial belaka, bahkan urusan sampai
berlarut-larut, keluarga kita terperosok ke dalam permusuhan pula,
sampai-sampai ayah harus turun tangan dan menghadapi lawan, semua adalah
gara-gara bocah itu. Biarlah, memang dia lebih pantas berdekatan dengan
orang-orang macam kakek iblis tadi."
Semua orang
tidak ada yang mau membantah, karena mereka pun tidak mengenal siapa sebenarnya
Sin Liong, anak yang begitu disayang oleh mendiang Cia Keng Hong hingga ditarik
sebagai muridnya. Mereka semua sama sekali tidak pernah menduga bahwa anak yang
bernama Sin Liong itu oleh kakek Cia Keng Hong sudah dipilih untuk menjadi ahli
warisnya dan telah diberi pelajaran dari seluruh ilmu yang dimilikinya, walau
pun sebagian besar hanya baru dipelajari teorinya saja. Dan tentu saja mereka
itu, terutama Bun Houw, tidak pernah mimpi bahwa anak itu adalah benar-benar
cucu dari ayahnya, karena anak itu adalah anak kandungnya!
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment