Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 18
KITA
tinggalkan keluarga yang masih berkabung dan yang sebentar saja sudah melupakan
Sin Liong yang diam-diam tidak mereka sukai itu, dan mari kita mengikuti
pengalaman Sin Liong yang dilarikan oleh kakek cebol yang amat sakti itu.
Ouwyang Bu
Sek tertawa-tawa dengan hati puas. Ia telah memperlihatkan kepada semua
keluarga musuhnya, dan juga kepada para tamu yang terdiri dari orang-orang
kang-ouw, bahwa keluarga Ouwyang bukanlah keluarga yang lemah, bahwa keluarga
Ouwyang tidak melupakan penghinaan yang ditimpakan orang kepadanya dan hari ini
keluarga Ouwyang telah membalas sakit hati keluarga itu dengan menculik cucu
dari ketua Cin-ling-pai!
Akan tetapi
terjadi keanehan dalam perasaan hatinya terhadap Sin Liong. Dia tadi sudah
terkejut dan kagum sekali pada saat bocah ini menyerangnya. Seorang bocah yang
belum dewasa, paling banyak empat belas tahun usianya, sudah memiliki tenaga
yang demikian dahsyat. Cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong ini memang tidak
memalukan menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali kelihaiannya
itu.
Dan yang
lebih mengagumkannya lagi adalah sikap anak ini. Sama sekali tidak mengeluh!
Sama sekali tidak ketakutan, apa lagi menangis! Setiap kali dia melirik dan
memandang wajah anak yang dipanggulnya itu, dia melihat sepasang mata yang
mencorong bagaikan mata naga, dan wajah yang sedikit pun tidak kelihatan takut
atau khawatir!
Ouwyang Bu
Sek melarikan diri dengan cepat sekali dan tidak pernah berhenti. Dia hanya
berhenti untuk menotok lagi tubuh Sin Liong bila mana merasa betapa anak itu
telah mulai dapat bergerak, sehinga anak itu terus menerus dalam keadaan
lumpuh.
Sesudah hari
mulai gelap, baru kakek itu melempar tubuh Sin Liong ke atas tanah yang
berumput. Mereka tiba di sebuah hutan yang sunyi. Sejenak kakek cebol itu
memandang kepada Sin Liong yang rebah terlentang. Anak itu pun memandangnya
dengan sinar mata berapi-api.
"Ha-ha-ha,
kenapa engkau melotot kepadaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya, tertawa untuk
menutupi kemendongkolan hatinya.
Ia ingin
melihat cucu dari musuhnya ini menderita, menangis, atau setidaknya mengeluh.
Hal itu amat baik baginya. Dia sudah mengorbankan waktu puluhan tahun lamanya
untuk dapat membalas dendam kepada Cia Keng Hong, tetapi setelah dia memiliki
kepandaian, ternyata musuh besar itu telah mati. Tentu saja dia amat kecewa,
dan kalau dia melihat cucu musuhnya ini menderita, hal itu tentu akan
memperingan kekecewaannya.
"Kakek
cebol, engkau adalah seorang manusia yang berhati iblis, jahat dan kejam. Tentu
saja semua orang akan memandang kepadamu dengan penuh kebencian!"
Wajah kakek
itu menjadi merah. Dia belum pernah melakukan hal yang kejam, kecuali tentu
saja kalau menghadapi musuhnya! Apa lagi jahat, dia malah menentang kejahatan!
Maka ucapan itu tentu saja membuat dia marah.
"Bocah
bandel, lancang mulut! Kau mau memamerkan keberanianmu kepadaku, ya? Kau
sombong bukan main, mentang-mentang menjadi cucu Cia Keng Hong kau boleh
bersikap kepala batu, ya? Merasa gagah dan tidak takut mati, ya?"
"Aku
memang tidak takut mati. Hayo kau bunuhlah aku, kakek tua bangka yang berhati
curang dan pengecut besar, beraninya hanya kepada anak kecil!"
Kakek itu
makin marah dan penasaran. Anak ini akan tahu rasa, pikirnya. Dia dihadapkan
pada suatu tantangan lain sekarang. Dia harus melihat anak ini ketakutan,
menangis dan minta ampun. Baru akan dilepaskannya anak ini.
"Wah,
kau benar-benar tidak mengenal takut? Mari kita sama-sama melihatnya! Jika aku
tidak bisa membikin kau menjerit-jerit minta ampun, menangis ketakutan, jangan
panggil aku Ouwyang Bu Sek!" Setelah berkata demikian, dia menyambar tubuh
Sin Liong dan menyeretnya memasuki hutan itu lebih dalam lagi.
Setelah hari
menjadi gelap, kakek itu sudah berada di puncak sebuah bukit yang penuh dengan
padang rumput dan alang-alang yang liar dan amat luas. Sambil terkekeh senang
kakek itu lalu membuat salib dari dua batang balok besar, lalu mengikat tangan
dan kaki Sin Long pada kayu salib itu.
"Kau
tidak mengenal takut? Benar-benar kau tidak mau minta ampun kepadaku?"
Sejenak Sin
Liong memandang wajah kakek yang tingginya hanya sampai di dadanya itu, lalu
tiba-tiba dia meludah, "Cuhh! Dari pada minta ampun kepadamu, lebih baik
aku mati seribu kali!"
Ouwyang Bu
Sek berjingkrak dan berloncatan saking marahnya. Kedua tangannya sudah
gatal-gatal hendak menghantam anak itu dan dengan sekali hantam saja tentu Sin
Liong akan mati.
"Begitu,
ya? Nah, kau boleh mati seribu kali, selaksa kali!" teriak kakek itu
dengan marah dan dia lalu meninggalkan Sin Liong yang terbelenggu di atas kayu
salib dengan kedua lengan terpentang itu.
Malam itu
bulan hanya muncul seperempat bagian saja. Cuaca remang-remang sangat
menyeramkan, apa lagi ditambah dengan suara angin yang menggerakkan ujung
rumpun ilalang dan yang mengeluarkan bunyi mengerikan, seolah-olah semua
siluman, setan dan iblis sedang berkeliaran di tempat itu.
Malam
semakin larut dan di langit terdapat banyak awan berarak. Sin Liong menengadah
dan memandang ke atas. Awan-awan itu membentuk makhluk-makhluk aneh dan berarak
perlahan-lahan menuju bulan. Kalau awan-awan itu melintasi bulan, maka cuaca
menjadi gelap remang-remang dan nampak betapa bayangan bulan sepotong itu
bagaikan berlari cepat di antara awan-awan yang sebentar-sebentar merubah
bentuknya. Indahnya bukan main!
Sin Liong
hampir lupa bahwa dia sedang terbelenggu dan berada dalam keadaan tertotok lumpuh.
Bahkan ada rasa gembira di dalam hatinya ketika menyaksikan keindahan langit
itu! Dan rasa gembira ini bukan hanya karena melihat pemandangan indah itu,
melainkan juga oleh perasaan bahwa dia sudah berkorban untuk kongkong-nya! Dia
tidak percuma menjadi cucu kakeknya yang gagah perkasa itu, dia telah membela
nama kakeknya dan biar pun dia akan mati karenanya, dia merasa puas.
Akan tetapi
kalau dia teringat kepada ayah kandungnya dan semua keluarga kakeknya, dia
merasa marah dan benci. Jelas bahwa ayah kandungnya itu benci kepadanya. Dia
dilarikan musuh, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang
mempedulikannya. Dia juga tidak butuh dengan pertolongan mereka! Keangkuhan dan
perasaan tinggi hati ini memenuhi benak dan hati Sin Liong. Tidak, dia tidak
membutuhkan mereka!
Tiba-tiba
saja terdengar suara aneh di antara suara desir angin yang menggerakkan ujung
rumpun ilalang di sekelilingnya,. Suara melengking nyaring yang makin lama
makin keras, yang datangnya dari arah kanan. Sin Liong tak mampu bergerak
karena terbelenggu dan juga tertotok, akan tetapi dia dapat melirik dan
tiba-tiba matanya terbelalak.
Ia merasa
tengkuknya dingin sekali dan seolah-olah semua bulu tubuhnya bangkit berdiri
karena merasa seram. Sin Liong bukan seorang penakut, akan tetapi apa yang
dilihatnya membuat dia terkejut dan ngeri. Dia melihat sesosok tubuh tanpa
kepala yang berloncat-loncatan di sebelah kanannya dan mengeluarkan suara
melengking nyaring memekakkan telinga. Setan! Iblis! Tak salah lagi. Mana
mungkin ada makhluk lain seperti ini?
Akan tetapi,
Sin Liong adalah seorang anak yang memiliki kekuatan luar biasa, dia tabah dan
sebentar saja rasa kaget serta ngerinya sudah mereda, bahkan kini dia memandang
dengan penuh perhatian karena amat tertarik. Dia melihat betapa makhluk itu
berkerudung kain putih, tanpa kepala, akan tetapi kedua kakinya kecil
bersepatu, karena itu tiba-tiba dia tersenyum.
"Kakek
cebol tolol! Kau kira aku takut dengan permainanmu ini?"
Mendengar
ucapan itu, makhluk aneh itu mengeluarkan seruan kecewa, kemudian sekali
berkelebat makhluk itu telah lenyap dan suasana menjadi sunyi kembali.
Sin Liong
menengadah dan melanjutkan lamunannya. Kakek itu sengaja ingin
menakut-nakutinya, pikirnya. Hemmm, dia ingin sekali melihat aku ketakutan dan
mengeluh, lantas minta-minta ampun. Engkau takkan berhasil! Biar sampai mati
sekali pun aku tidak akan memperlihatkan rasa takut di depanmu.
Demikianlah
watak Sin Liong, makin dia ditekan, makin melawan pula dia. Makin dihimpit,
maka makin keras dia menentang. Dia seperti baja keras yang tidak tunduk
menghadapi tempaan yang mengandalkan kekerasan.
Mendadak
dari sebelah kirinya terdengar suara seperti orang menangis dan merintih. Sin
Liong mengerling ke kiri dan dia pun melihat bayangan sebuah kerangka manusia
dengan tengkorak yang menakutkan bergerak-gerak. Kini Sin Liong sudah bebas
dari rasa takut. Dia memandang penuh perhatian dan pandang matanya yang amat
tajam itu bisa melihat tali-tali halus di antara kerangka itu yang
menggerak-gerakkan kaki tangan kerangka itu, maka dia kembali tertawa.
"Ha-ha-ha,
kakek tolol. Kau kira aku anak kecil yang mudah kau takut-takuti begitu saja?
Membuang-buang waktu saja. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut
padamu?"
Kerangka
manusia itu kembali lenyap, dan Sin Liong melanjutkan renungannya.
Memang,
perasaan takut hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh pikiran kita
sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita kenal.
Kita hanya takut akan sesuatu yang sudah kita kenal, baik kita kenal melalui
pengalaman kita sendiri, mau pun melalui pengalaman lain orang yang kita dengar
atau baca dalam buku.
Orang yang
takut terhadap setan tentu pernah mengenal setan itu, baik melalui cerita orang
atau pun dongeng dalam buku. Dia membayangkan setan itu dalam benaknya dan
membayangkan betapa akan ngerinya apa bila dia bertemu setan itu. Maka
terpantullah bayangan-bayangan setan yang menakutkannya ketika dia berada
seorang diri di tempat sunyi, dan terjadilah rasa takut.
Orang yang
tidak pernah mendengar tentang setan takkan mungkin takut kepada setan. Orang
yang tidak pernah mendengar tentang siksa neraka tentu tak akan takut terhadap
neraka. Dan selanjutnya lagi.
Jadi rasa
takut timbul dari kenangan masa lalu yang dihubungkan dengan kemungkinan masa
depan. Kita pernah membaca tentang setan sehingga terbentuk bayangan setan
dalam benak kita. Lalu kita merasa khawatir kalau-kalau kita akan diganggu
setan, dan timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan sesuatu pada masa lampau,
perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita khawatir kalau-kalau di masa
depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu, maka timbullah rasa takut.
Jelaslah
bahwa rasa takut timbul kalau kita membayang-bayangkan sesuatu yang tidak enak
bagi kita! Dan segala yang dibayangkan itu pastilah sesuatu yang belum atau
yang tidak ada! Yang merasa takut akan wabah tentulah dia yang belum terkena
penyakit itu, dia membayangkan betapa bahaya dan ngerinya kalau terkena
penyakit wabah itu, maka takutlah dia. Bagaimana kalau dia sudah benar-benar
terkena penyakit itu? Tentu saja hilang pula rasa takut terhadap penyakit itu,
akan tetapi rasa takut yang berikutnya yaitu takut kalau-kalau akan mati! Dan
demikian selanjutnya.
Dengan
membuka mata memandang semua ini, maka timbullah pengertian bahwa yang
menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan hal yang
lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang mendatang, yang
kita sangka mungkin akan terjadi menimpa diri kita.
Oleh karena
itu kalau kita terbebas dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan masa
lalu dan kepercayaan dan ketahyulan yang termasuk hal-hal masa lampau, apakah
masih ada rasa takut di dalam batin kita? Kalau kita tidak mengenangkan
soal-soal yang berhubungan dengan setan umpamanya, maka kiranya andai kata pada
suatu waktu ada setan yang muncul di hadapan kita, tanpa kenangan masa lalu
tentang setan, kita akan memandang dan timbullah keinginan tahu untuk
menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat seekor kupu-kupu yang aneh
dan belum pernah kita lihat! Hidup penuh dengan rasa takut, kekhawatiran,
hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua itu, tidak mungkinkah
bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali?
Akhirnya Sin
Liong tak dapat menahan kelelahan dan kantuknya. Dia dapat tidur pulas dengan
kedua lengan bergantung pada kayu salib itu!
Memang luar
biasa anak ini, pikir Ouwyang Bu Sek sambil berdiri bertolak pinggang di depan
anak itu, memandangi anak yang tidur pulas sambil bergantung pada kayu salib.
Anak itu tidur pulas, mendengkur halus dan wajahnya tenang dan cerah, bahkan
bibirnya agak tersenyum seolah-olah anak itu sedang mimpi indah!
Rasa kagum
dan heran membuat hati tua itu semakin penasaran karena dia ingat bahwa anak
ini adalah cucu dari musuh besarnya.
"Ingin
kulihat apakah dia masih dapat bersikap setabah itu kalau benar-benar
menghadapi ancaman bahaya maut yang sangat mengerikan," katanya penasaran
dan kakek cebol itu lalu berkelebat pergi.
Salak dan
gonggongan anjing yang riuh rendah membangunkan Sin Liong. Dia membuka kedua
matanya dan menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya matahari telah naik
tinggi. Dia cepat memandang ke bawah dan melihat ada empat ekor anjing
menyalak-nyalak dan menggonggong-gonggong di sekelilingnya. Bukan anjing,
pikirnya, namun srigala! Srigala-srigala yang liar dan buas!
Kedua
matanya terbelalak dan otaknya segera bekerja untuk mencari akal. Dia terancam
bahaya! Srigala-srigala itu meraung-raung, dan lidah mereka terjulur keluar,
lidah yang basah dan air liurnya berpercikan ke mana-mana, tanda bahwa mereka
itu sudah sangat lapar dan ingin menikmati daging manusia muda itu!
"Ha-ha-ha,
anak bandel. Kalau tidak minta ampun kepadaku, empat ekor srigala itu akan
mencabik-cabik kulit berikut dagingmu, mengganyangmu hidup-hidup!"
Tiba-tiba terdengar suara kakek cebol di sebelah kanannya.
Kehadiran
kakek ini seketika mengusir semua kekhawatiran dalam hati Sin Liong, terganti
dengan keangkuhan dan kekerasan hati yang luar biasa. Maka dia tersenyum.
"Anjing-anjingmu ini tidaklah sekejam engkau, kakek iblis. Biar pun kau
tambah dengan engkau sendiri yang menyalak-nyalak, aku tidak merasa takut sama
sekali!"
"Bocah
setan!" Kakek itu berkelebat pergi dengan hati kecewa.
Dari jauh
dia mengintai karena dia tidak percaya kalau anak itu benar-benar sedemikian
tabahnya sehingga sanggup menghadapi kematian yang amat mengerikan dengan sikap
begitu tenang saja. Lihat kalau dia sudah digigit srigala, pikirnya.
Sin Liong
kembali memandang kepada empat ekor srigala yang mengelilinginya sambil terus
menyalak-nyalak itu. Naluri kebinatangannya timbul seketika dan dia pun
langsung menyeringai, memperlihatkan gigi seekor monyet muda dan mengeluarkan
gerengan dari kerongkongannya. Srigala-srigala itu terkejut dan mundur, akan
tetapi melihat orang muda itu tidak bergerak menyerang, mereka berani lagi dan
mulai mengelilingi lebih dekat.
Aku harus
dapat membebaskan diri, pikir Sin Liong. Dia lalu memejamkan kedua matanya
sambil mengingat-ingat pelajaran yang dia terima dari kakek Cia Keng Hong. Dia
sudah menguasal Thi-khi I-beng, dan dia sudah menghafalkan semua bagian jalan
darah pada tubuh. Kini dia tertotok oleh kakek cebol itu, dan dia merasa betapa
jalan darah utama di punggungnya yang dibikin lumpuh sehingga kaki tangannya
tidak mampu bergerak.
Dia memutar
otak mengingat-ingat jurus Thai-kek Sin-kun, lantas dengan tenaga sinkang dari
pusar, mulailah dia menyalurkan tenaga itu menurut pelajaran Ilmu Thai-kek
Sin-kun yang telah dia hafal di luar kepala. Semua pelajaran yang telah
diterimanya dari kakeknya adalah teorinya belaka yang sudah dihafalnya
baik-baik dan kini dalam keadaan terhimpit bahaya maut, Sin Liong mulai
menyalurkan hawa dari pusar itu sesuai dengan pelajaran itu.
Mula-mula
hawa itu macet di sana-sini karena dia berada dalam keadaan tertotok, hawa
murni di dalam tubuhnya seperti air mengalir yang berhenti di tempat-tempat
saluran yang tersumbat. Akan tetapi, hawa itu berkumpul dan menjadi makin kuat
di setiap sumbatan, bagaikan air yang kelihatan lembut tetapi mengandung
kekuatan dahsyat, satu demi satu sumbatan itu jebol dan hawa murni seperti air
itu mengalir terus, makin lama makin kuat membobolkan sumbatan-sumbatan akibat
totokan itu dan jalan darahnya pun mulai lancar kembali.
Perlahan-lahan
Sin Liong berhasil membebaskan diri dari totokan yang amat luar biasa dari
kakek itu! Hal ini saja sudah merupakan sesuatu yang amat hebat dan tentu akan
membuat kakek itu terheran-heran dan terkejut sekali karena jarang ada tokoh
persilatan di dunia kang-ouw yang akan mampu membebaskan totokannya dalam waktu
sesingkat itu, apa lagi hanya seorang anak-anak!
Akan tetapi,
pada saat itu pula empat ekor anjing srigala tadi telah mulai menerjangnya!
Dengan suara gerengan menyeramkan, mereka menubruk dan ada yang menggigit kaki
Sin Liong, ada yang mencakar dadanya sehingga bajunya robek dan kakinya
berdarah.
Dari jauh,
Ouwyang Bu Sek memandang penuh perhatian dan bersiap untuk turun tangan
membunuh empat ekor srigala itu begitu dia mendengar anak itu menjerit,
menangis atau mengeluh. Akan tetapi anak itu sama sekali tidak mengeluarkan
suara keluhan! Bahkan sebaliknya, gigitan srigala pada kakinya itu dibarengi
gonggong dan gerengan binatang-binatang itu membangkitkan hawa murni dari dalam
pusar Sin Liong.
Dia
terbelalak dan dari dadanya, melalui kerongkongannya, terdengar suara lengking
yang menyeramkan dan pada saat itu pula putuslah semua tali yang mengikat
tubuhnya! Itulah tenaga sinkang yang diwarisinya dari Kok Beng Lama, tumbuh
sepenuhnya dan bangkit serentak sehingga hanya dengan sedikit gerakan saja
tali-tali itu pun putuslah! Dan kini Sin Liong mengamuk!
Srigala yang
masih menggigit kakinya itu langsung terlempar ke atas pada saat Sin Liong
menggerakkan kakinya. Tangan kirinya dikepal dan memukul muka anjing yang
menggigit dadanya.
"Prakkk!"
Tubuh anjing
srigala itu terbanting dan kepalanya pecah, dengan rintihan aneh srigala itu
menggerak-gerakkan tubuh, berkelojotan dan mati! Anjing yang terlempar tadi
terbanting ke atas tanah, akan tetapi dia sudah menerjang lagi bersama dua ekor
temannya.
Sin Liong
mengeluarkan suara gerengan seperti seekor monyet, disambarnya ekor srigala
yang terdekat, kemudian diangkatnya dan dia membanting tubuh srigala itu.
"Krakkk!"
terdengar suara dan kepala srigala itu pecah berantakan karena menimpa batu!
Dua ekor
lagi menubruk dan menggigit Sin Liong, akan tetapi kini tubuh anak itu sudah
menjadi kebal dan keras sehingga gigitan itu sama sekali tidak merobek
kulitnya, hanya merobek bajunya. Sin Liong mempergunakan kedua tangannya, yang
kiri mencekik leher srigala ke tiga sedangkan yang kanan kembali memukul kepala
srigala ke empat.
Pukulannya
itu pun membuat pecah kepala srigala, dan saking marahnya, Sin Liong lalu
menggunakan mulutnya menggigit leher srigala yang dicengkeramnya dengan tangan
kiri. Demikian kuat dia menggigit sehingga robeklah leher srigala itu yang
sia-sia saja meronta karena cengkeraman tangan Sin Liong telah membuat
jari-jari tangannya menembus kulit srigala! Setelah puas merobek-robek leher
srigala, dia mengangkat tubuh srigala itu dan membantingnya.
"Nguikk!"
Srigala terakhir itu berkelojotan dan mati pula.
Dari tempat
sembunyinya, Ouwyang Bu Sek terbelalak dan melongo, bagai melihat setan di
tengah hari. Akan tetapi, dia melihat anak itu terhuyung, mengeluh sambil
memegangi kepalanya, lalu terhuyung ke depan dan hampir roboh.
Melihat ini,
kakek cebol itu lalu melompat dan mulutnya berkata, "Ah, anak luar
biasa...!" Dan tepat ketika Sin Liong terguling, dia sudah tiba di situ
dan dia menyambut tubuh anak itu sehingga tidak sampai terbanting.
"Anak
luar biasa... anak baik... anak ajaib...!" Ouwyang Bu Sek berkali-kali
mengeluarkan pujian ini ketika dia memeriksa tubuh Sin Liong dan melihat bahwa
pada tubuh itu hanya terdapat sedikit luka-luka, dan di dalam tubuh itu
mengandung hawa sinkang yang luar biasa sekali, yang tarik-menarik secara kuat
sehingga anak itu sendiri sampai tidak kuat menahan dan menjadi pingsan. Dia
segera mendukung anak itu dan dibawanya lari cepat meninggalkan tempat itu.
Ouwyang Bu
Sek adalah seorang manusia yang berwatak aneh. Tadinya dia memang tak berniat
untuk menculik Sin Liong. Hanya setelah menduga bahwa anak itu adalah cucu
musuh besarnya yang sudah mati, juga melihat betapa di Cin-ling-san terdapat
banyak sekali orang sakti yang takkan sanggup dilawannya kalau dikeroyok, maka
dia menawan anak itu untuk dipergunakan sebagai perisai agar dia dapat
meloloskan diri.
Kemudian,
dia pun tak mempunyai niat untuk membunuh atau menyiksa anak itu. Hanya melihat
kebandelan dan kekerasan hati Sin Liong, dia menjadi penasaran, merasa seperti
ditantang dan dia kemudian menakut-nakuti anak itu untuk mematahkan
kebandelannya.
Namun,
melihat betapa Sin Liong bahkan dapat membebaskan diri dan membunuh empat ekor
srigala, dia merasa terkejut, terheran-heran dan juga kagum sekali. Timbul rasa
suka di dalam hatinya, maka dengan rasa sayang dia lantas membawa pergi Sin
Liong untuk dirawat.
Sebelum dia
mengambil keputusan dan memberanikan diri pergi ke Cin-ling-san mencari ketua
Cin-ling-pai untuk membalaskan sakit hati atas kematian pamannya, Ouwyang Bu
Sek yang baru turun dari Gunung Himalaya itu berada di selatan sampai selama
hampir tiga tahun. Karena kepandaiannya memang tinggi sekali, maka sebentar
saja dia sudah dikenal oleh semua tokoh kang-ouw di dunia selatan, bahkan dia
diakui sebagai seorang di antara datuk-datuk dunia persilatan dan disegani
orang.
Akan tetapi
kakek ini memang seorang yang sangat aneh, dia selalu menjauhkan diri dan tidak
mau menerima murid. Akan tetapi hampir semua tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw
mengenal kakek cebol ini, dan setiap ada pertemuan-pertemuan penting, pesta-pesta
dan sebagainya, tentu kakek cebol ini menerima undangan dan menjadi tamu
kehormatan.
Sepak
terjang Ouwyang Bu Sek memang aneh dan kadang kala mencengangkan orang di dunia
kang-ouw. Kakek ini agaknya sudah tidak mau mengenal lagi rasa sungkan dan
tidak mau mempedulikan segala peraturan dan sopan santun, akan tetapi ketika
terjadi pemilihan bengcu di daerah selatan, kakek ini sempat menghebohkan dunia
kang-ouw.
Pada waktu
itu, dua tahun yang lalu, di daerah selatan diadakan pemilihan bengcu, yaitu
seorang yang dianggap cukup pandai, berwibawa dan cakap untuk menjadi kepala
atau pemimpin dari apa yang dinamakan golongan hitam wilayah selatan. Dan yang
memiliki harapan besar untuk terpilih sebagai bengcu dan wakil-wakilnya adalah
tiga orang tokoh besar di selatan yang dikenal sebagai Lam-hai Sam-lo (Tiga
Datuk Laut Selatan).
Mereka
bertiga ini di samping terkenal sebagai tokoh-tokoh tua di selatan, juga
terkenal mempunyai kepandaian tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang sangat
luas, terutama sekali karena seluruh bajak laut di laut selatan merupakan anak
buah mereka atau paling tidak mengakui mereka sebagai datuk para bajak laut.
Akan tetapi,
kesempatan baik dan harapan tiga orang datuk ini hancur akibat munculnya
Ouwyang Bu Sek dalam persidangan pemilihan bengcu itu, dengan membongkar
rahasia tiga orang kakek itu yang oleh Ouwyang Bu Sek dinyatakan tidak patut
menjadi bengcu karena mereka bertiga adalah orang-orang berjiwa cabul dan suka
mengeram dara-dara muda untuk perbuatan-perbuatan cabul!
Semua
hadirin tercengang menyaksikan keberanian Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena
Ouwyang Bu Sek mengajukan hal itu sebagai fakta-fakta dengan mengajukan pula
bukti dan saksi, maka tiga orang datuk itu tidak mampu menyangkal lagi, hanya
dengan marah menyatakan bahwa urusan dalam kamar adalah urusan pribadi yang
tidak ada sangkut-pautnya dengan pemilihan bengcu.
Bagaimana
pun juga, pembongkaran rahasia oleh Ouwyang Bu Sek itu tentu saja sudah
menjatuhkan nama mereka dan banyak pemilih yang menarik kembali suara mereka
sehingga akhirnya pemilihan bengcu jatuh pada orang lain.
Tentu saja
tiga orang datuk ini menaruh dendam yang amat mendalam kepada Ouwyang Bu Sek.
Mereka tidak berani menyatakan permusuhan itu secara berterang, karena hal itu
akan membuat mereka makin jatuh dalam mata para tokoh kang-ouw yang memandang
tinggi kepada Ouwyang Bu Sek.
Bagi dunia
kang-ouw di daerah selatan perbuatan Ouwyang Bu Sek membongkar rahasia
kecabulan tiga orang Lam-hai Sam-lo itu bukan dianggap sebagai penyerangan pribadi,
melainkan sebagai tindakan bijaksana demi pemilihan bengcu yang tepat. Dan
memang sesungguhnya Ouwyang Bu Sek tidak memusuhi Sam-lo itu, hanya karena dia
seorang yang aneh dan tidak mau memakai banyak peraturan dan sopan santun maka
dia berani membongkar rahasia kecabulan mereka di depan umum, bukan dengan niat
menghina atau mendatangkan aib, melainkan untuk melihat bahwa bengcu yang
dipilih benar-henar tepat.
Kalau tiga
orang datuk itu mendendam kepada Ouwyang Bu Sek, sebaliknya kakek cebol ini
sama sekali tidak memusuhi mereka, bahkan dia sudah lupa lagi bahwa dia pernah
menghalangi mereka untuk menjadi bengcu. Akan tetapi, kenapa Ouwyang Bu Sek
selalu menyembunyikan diri dalam sebuah pondok sunyi di puncak Bukit
Tai-yun-san di Propinsi Kwan-tung di selatan? Apa bila dia tidak merasa
bermusuhan dengan Lam-hai Sam-lo, mengapa dia harus bersikap seperti orang yang
mengasingkan diri atau menyembunyikan diri?
Memang kakek
aneh ini menyimpan suatu rahasia besar dan memang dia selalu merasa takut akan
sesuatu. Rahasia itu adalah bahwa kepergiannya dari Pegunungan Himalaya adalah
sebagai seorang pelarian!
Dari sebuah
kuil yang amat tua di Pegunungan Himalaya, kuil yang disebut Kuil Sanggar Dewa,
di mana hampir semua pendeta dan pertapa dari seluruh dunia singgah ke tempat
suci itu untuk berdoa, dia melarikan sebuah peti hitam yang berisi
pusaka-pusaka yang sudah ratusan tahun usianya, pusaka-pusaka yang merupakan
kitab-kitab kuno yang tak pernah dibuka orang, karena selain tulisan-tulisan
dalam kitab-kitab itu amat sukar dibaca, juga kitab-kitab itu dianggap sebagai
benda keramat dan tak boleh sembarangan disentuh tangan. Para pendeta dan
pertapa mempunyai kepercayaan bahwa kitab-kitab itu adalah peninggalan dari
Sang Buddha, oleh karena itu dianggap sebagai benda keramat.
Inilah
sebabnya mengapa Ouwyang Bu Sek kini melarikan diri jauh ke selatan dan jarang
mencamputi urusan dunia kang-ouw walau pun namanya dikenal sebagai seorang
datuk yang disegani. Di luar tahunya siapa pun, dia menyimpan kitab-kitab kuno
itu dan dengan penuh ketekunan dia mempelajarinya, mencoba untuk memecahkan
rahasia tulisan kuno dalam kitab-kitab itu.
Demikianlah
sedikit catatan tentang keadaan kakek cebol yang luar biasa itu, yang tanpa
direncanakan lebih dulu telah menawan Sin Liong dan kemudian karena merasa suka
dan kagum, dia lalu membawa Sin Liong yang pingsan untuk pulang ke tempat
tinggalnya di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san, di mana dia
merawat dan mengobati Sin Liong yang menderita luka dalam.
Pada saat
Sin Liong siuman dari pingsannya dan merasa betapa tubuhnya dipondong dan
dilarikan dengan sangat cepatnya oleh si kakek cebol, dia merasa amat heran.
Kemudian teringatlah dia betapa dia telah disiksa oleh kakek ini, bahkan
diberikan kepada srigala-srigala untuk dikeroyok, maka dia cepat meronta.
"Eh,
ehh, kau sudah sadar...?" Ouwyang Bu Sek yang merasa betapa tubuh yang
sedang dipanggul dan dipondongnya itu meronta, lalu berhenti berlari dan
menurunkan tubuh Sin Liong.
Pemuda kecil
itu turun dan terhuyung-huyung, kepalanya terasa pening sekali. Tentu dia sudah
jatuh kalau tidak cepat dipegang tangannya oleh kakek cebol itu.
"Heh,
hati-hatilah, engkau masih lemah, tidak boleh mengerahkan tenaga dulu biar pun
sudah tidak berbahaya lagi."
Sin Liong mengerutkan
alisnya dan menatap wajah kakek cebol itu, memandang dengan sinar mata penuh
perhatian. Teringat dia betapa dia dikeroyok srigala-srigala dan setelah
berhasil membunuh binatang-binatang itu, dia roboh pingsan.
Dia
memandang ke sekeliling dan mendapatkan dirinya berada di lereng sebuah gunung.
Dia merasa kepalanya masih pening dan dadanya masih terasa nyeri. Mendengar
ucapan kakek itu dia bertanya, "Apakah engkau telah menolongku dan
mengobatiku?"
Kakek itu
terkekeh dan mengangguk. "Kalau tidak begitu dan aku meninggalkan engkau
di sana, apa kau kira masih hidup saat ini?"
Sepasang
mata Sin Liong memandang dengan sinar mata mencorong, membuat kakek itu semakin
kagum sekali. "Kau menawanku, menyiksaku, kenapa lalu menolongku? Apa
kehendakmu?"
Bukan main,
pikir Ouwyang Bu Sek. Bocah ini memang luar biasa sekali, sikapnya penuh
wibawa. Benar-benar seorang bocah yang memiliki dasar dan bakat hebat sekali.
Akan tetapi dia pun berwatak aneh dan biasanya dia pun tidak mau tunduk kepada
siapa pun juga.
"Aku
memang mau begitu."
"Aku
tidak membutuhkan pertolonganmu."
"Aku
pun tidak perlu engkau minta tolong, aku memang mau menolong."
"Engkau
memusuhi keluarga Cin-ling-pai."
"Huh,
apa kau kira engkau disuka oleh mereka? Engkau agaknya amat berbakti kepada
kongkong-mu, akan tetapi jelas engkau tidak disuka oleh keluarga
Cin-ling-pai."
"Buktinya?"
"Mereka
itu tentu sudah mengejarku kalau memang mereka sayang kepadamu. Mereka tidak
mengejar, berarti mereka tidak menghiraukan nasibmu."
Sin Liong
menundukkan mukanya, menarik napas panjang dan perasaan hatinya terasa sakit.
Memang benar, mereka itu, termasuk ayah kandungnya, sama sekali tak berusaha
menolongnya, padahal dia sudah membela peti mati kakeknya, ketika hendak
diganggu oleh kakek cebol ini. Hatinya menjadi panas.
"Betul
juga, mereka tidak suka kepadaku," katanya.
Kakek itu
memandang wajah yang menunduk itu dengan mata terbelalak heran. Anak ini makin
aneh saja dalam pandang matanya. "Siapakah ayahmu? Apakah ayah bundamu
tidak berada di sana dan ikut berkabung?"
Sin Liong
mengangkat mukanya yang menjadi agak pucat dan memandang kepada kakek yang
wajahnya lucu itu. "Aku tidak punya ayah bunda, tidak punya keluarga,
tidak punya siapa-siapa di dunia ini!"
"Ehh?
Dan kau bilang engkau cucu dari mendiang Cia Keng Hong?"
Sin Liong
menggelengkan kepalanya. "Dia pernah menolongku dan kusebut kongkong...
beliau satu-satunya orang yang baik kepadaku..."
"Tapi
beliau sudah meninggal, dan yang lain-lain itu tidak suka kepadamu? Ah,
kebetulan sekali!"
"Apa
kebetulan?"
"Kau
sebatang kara, aku sebatang kara, aku suka kepadamu dan..."
"Dan
aku tidak suka padamu!"
"Kenapa?"
"Kau
jahat! Kau mengganggu peti jenazah kongkong."
"Dia
yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku terlambat datang karena
dia telah mati, maka sedikit mengganggu peti jenazahnya untuk melepaskan rasa
dongkol di hatiku, apa salahnya?"
"Kau
jahat, engkau menyiksaku, hampir membunuh."
"Anak
bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel hingga membikin hatiku
penasaran."
"Lalu
kau mau apa sekarang?" tanya Sin Liong.
"Mau
apa? Aku mau mengajakmu ke tempatku di puncak Tai-yun-san, tinggal bersamaku di
sana, menjadi muridku, menjadi anakku... he-he, kita memiliki sifat-sifat yang
cocok!"
"Tidak,
aku mau pergi saja!"
"Kembali
ke Cin-ling-san di mana semua orang tidak suka padamu?"
"Tidak,
aku tidak sudi ke Cin-ling-san. Aku akan pergi ke mana saja!"
"Kalau
tidak karuan yang kau tuju, mengapa tidak bersamaku saja ke selatan? Aku akan
mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu."
Sin Liong
memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada suara
mengejek sekali, "Engkau? Mengajarku? Huh, apa sih kepandaianmu, baru
menghadapi orang-orang Cin-ling-pai saja engkau lari terkencing-kencing!"
"Aku?
Lari? Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa Ouwyang Bu Sek! Kalau aku sudah
berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah seratus
orang lagi, semua takkan mampu melawanku. Sekarang pun, jika mereka maju satu
demi satu, apa kau kira aku akan kalah?"
"Cin-ling-pai
adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kongkong merupakan orang yang
luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kongkong, sekarang mana bisa
aku merendahkan diri menjadi muridmu? Kepandaianmu sampai di mana saja aku
belum tahu."
Kakek itu
mencak-mencak saking marahnya. Kemudian dia meloncat ke depan, tangan kanannya
menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, sedangkan tangan kirinya
menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu.
"Plakk!
Plakk!"
Sin Liong
hanya mendengar suara itu, akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak
bergoyang! Anak ini hampir tidak kuat menahan ketawanya. Dia lalu memandang
dengan senyum mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya.
"Uhh,
hanya sebegitu saja kepandaianmu? Lalat pun tidak akan mati kau tampar, dan kau
bilang mau mengambil aku sebagai murid?"
"Eh,
apakah engkau buta? Bocah bodoh, lihatlah baik-baik!" Kakek itu lalu
menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu.
Sin Liong
terbelalak memandang dengan kaget sebab batu itu ternyata telah hancur lebur
dan batang pohon itu tumbang. Dua pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak
berakibat apa-apa tadi ternyata sudah meremukkan batu serta mematahkan bagian
dalam pohon, akan tetapi permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah.
Dia tidak
dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol ini,
akan tetapi dia tahu bahwa kakek ini benar-benar lihai sekali. Kalau dia dapat
terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Pula, biar
pun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kongkong-nya, akan tetapi
yang dia pelajari baru teorinya saja, karena kongkong-nya agaknya sudah dapat
menduga bahwa tak lama lagi dia akan meninggal dunia, karena itu semua ilmunya
diturunkan kepada Sin Liong secara tergesa-gesa.
"Bagaimana?
Kau masih memandang rendah padaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya ketika melihat
anak itu bengong saja.
"Aku...
aku suka belajar silat kepadamu, locianpwe, akan tetapi aku tidak tahu apakah
aku mau menjadi muridmu...?"
Mendengar
anak itu kini menyebutnya locianpwe, Ouwyang Bu Sek tersenyum dan dia pun
berkata, "Aku pun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum
pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dahulu, seperti orang
hendak membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kita pun saling
coba, kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid."
Sin Liong
tidak dapat menolak lagi. Memang dia tak ingin kembali ke Cin-ling-san setelah
kongkong-nya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi? Keluarga Na Ceng Han
telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Na Tiong Pek
dan Bhe Bi Cu.
Dulu, ketika
dia meninggalkan utara, dia masih mempunyai tujuan, yaitu hendak mencari ayah
kandungnya di Cin-ling-san. Kini, sesudah melihat ayah kandungnya memiliki
isteri lain dan tidak suka kepadanya meski pun belum tahu bahwa dia adalah
puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai tujuan.
"Baik,
saya mau ikut locianpwe," katanya.
Ouwyang Bu
Sek girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Sin Liong lalu dibawanya
berlari lagi seperti terbang cepatnya. Dan karena kakek cebol ini ingin
memamerkan ilmu kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya
kepadanya itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Sin Liong terpaksa
memejamkan mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas tanah,
kadang-kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum
kepada kakek yang benar-benar amat sakti ini.
Perjalanan
itu memakan waktu cukup lama, sampai hampir satu bulan barulah mereka tiba di
puncak Pegunungan Tai-yun-san di selatan itu. Di sepanjang perjalanan, tiap
hari Sin Liong dibantu memulihkan kesehatannya oleh Ouwyang Bu Sek, yang
menempelkan telapak tangan di dada anak itu dan menyalurkan sinkang-nya
mengobati luka di dalam dada Sin Liong.
Beberapa
kali kakek ini terheran-heran dan merasa takjub ketika dia merasakan sinkang
yang benar luar biasa sekali, yang terkandung dalam tubuh anak itu. Dia tidak
tahu bahwa anak itu telah mewarisi sinkang dari Kok Beng Lama, dan hanya
menduga bahwa anak ini memang memiliki bakat yang amat hebat.
Setelah
mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san yang amat sepi, melihat pondok
sederhana dan kebun luas di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal kakek
itu, Sin Liong merasa suka sekali. Tempat itu amat indah, hawanya sejuk dan
kesunyian tempat itu yang penuh dengan hutan mengingatkan Sin Liong akan Lembah
Naga di mana dia terlahir.
Sin Liong
mulai dengan hidup baru yang penuh keheningan dan ketenteraman di tempat sunyi
itu, setiap hari hanya mengurus kebun sayur dan mempelajari ilmu silat yang
mulai diajarkan oleh Ouwyang Bu Sek kepadanya. Akan tetapi di samping
mempelajari ilmu silat yang aneh dari kakek itu, diam-diam Sin Liong mulai pula
melatih diri dengan teori-teori ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari
mendiang kongkong-nya.
Tiga bulan
telah lewat dengan aman dan damai di pondok sunyi puncak Bukit Tai-yun-san itu.
Akan tetapi pada suatu malam terang bulan, terjadilah hal yang sangat
mengejutkan hati Sin Liong dan yang seketika mengusir ketenteraman hidup yang
telah tiga bulan itu.
Pada waktu
itu, bulan purnama menciptakan pemandangan yang sangat indah dan hawa yang amat
sejuk sehingga Sin Liong merasa sayang untuk meninggalkan semuanya itu, maka
dia tidak mau memasuki kamarnya yang sederhana, melainkan duduk di belakang
pondok, di atas batu besar dalam keadaan setengah bersemedhi atau merenung.
Tiba-tiba
anak itu dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dan ketika dia mendengar
bahwa di antara suara itu terdapat suara Ouwyang Bu Sek, dia cepat meloncat
turun dan berindap-indap menuju ke depan pondok dari mana suara-suara itu
datang. Dia kemudian terheran-heran melihat tiga orang kakek berdiri berhadapan
dengan Ouwyang Bu Sek di depan pondok itu, di bawah sinar bulan purnama. Sikap
tiga orang kakek itu sangat kaku dan marah, sebaliknya Ouwyang Bu Sek tersenyum
ramah.
"Ha-ha-ha-ha,
ternyata Lam-hai Sam-lo, tiga iblis penghuni laut selatan yang kini datang
berkunjung. Ha-ha-ha-ha, selamat datang, tiga orang sahabat baik. Agaknya sinar
bulan purnama yang mendorong kalian bertiga berkunjung ke pondokku yang
buruk!" Ouwyang Bu Sek menyambut mereka sambil tertawa-tawa.
Sin Liong
memperhatikan ketiga orang kakek yang kelihatan marah itu. Orang pertama ialah
seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka
menyeramkan, seperti muka Panglima Tio Hui di jaman Sam Kok, penuh cambang bauk
yang membuatnya tampak gagah. Kakek ini dijuluki Hai-liong-ong (Raja Naga Laut)
Phang Tek. Kakek ini orangnya pendiam, serius dan ilmu pedangnya amat disegani
oleh seluruh dunia kang-ouw di selatan.
Hai-liong-ong
Phang Tek inilah yang mewarisi kepandaian dari mendiang Lam-hai Sin-ni, seorang
di antara datuk-datuk dunia hitam pada waktu puluhan tahun yang lalu. Karena
dia tidak pandai berbicara, maka dia menyerahkan kesempatan kepada adik
kandungnya untuk menjadi wakil pembicara dari Lam-hai Sam-lo (Tiga Kakek Laut
Selatan) di dalam segala macam pertemuan.
Adiknya itu
bernama Phang Sun, berjuluk Kim-liong-ong (Raja Naga Emas), berusia enam puluh
tahun akan tetapi sungguh tak patut dia menjadi adik kandung Hai-liong-ong
Phang Tek. Kalau kakaknya itu merupakan seorang laki-laki yang tinggi besar dan
gagah sekali, sebaliknya Phang Sun ini tubuhnya pendek kecil seperti orang
berpenyakitan, kepalanya pun kecil lonjong tidak ditumbuhi rambut tapi matanya
tajam sekali.
Dia
kelihatan aneh, lebih mirip setan dari pada manusia karena di samping bentuk
kepala gundul lonjong dan tubuhnya yang aneh itu, juga dia mempunyai kebisaan
janggal, yaitu tidak pernah memakai baju dan sepatu. Tubuh atasnya dibiarkan
telanjang, hanya tubuh bawah tertutup celana panjang sampai ke bawah betis,
kemudian kedua kakinya itu pun telanjang. Pada lengan kirinya yang kecil pendek
itu nampak sebuah gelang emas tebal.
Akan tetapi,
biar pun kakek ini kelihatan aneh dan ringkih, namun sesungguhnya dia lihai
bukan main, tak kalah lihai dibandingkan dengan kakaknya. Dia memiliki tenaga
sinkang yang luar biasa, di samping kecerdikannya dan juga dia terkenal
mempunyai kepandaian tentang racun-racun jahat.
Orang ke
tiga dari Lam-hai Sam-lo juga memiliki wajah yang mengerikan. Bentuk tubuh dan
pakaiannya biasa saja, akan tetapi wajahnya amat buruk mengerikan, dengan
hidung pesek sekali, melesak ke dalam dan mulut lebar dengan gigi tidak karuan
susunannya, membuat wajahnya itu nampak seperti tengkorak. Akan tetapi, kakek
yang usianya juga sudah enam puluh tahun ini memiliki tenaga kasar yang amat kuat,
sekuat gajah dan ilmu silatnya juga tinggi sehingga bila dibandingkan dengan
kedua orang rekannya, dia hanya kalah sedikit saja. Namanya Hek-liong-ong (Raja
Naga Hitam) Cu Bi Kun.
"Ouwyang
Bu Sek, kami bertiga datang bukan untuk beramah-tamah atau pun mengobrol
denganmu!" kata Kim-liong-ong Phang Sun si kecil pendek dengan suaranya
yang lantang dan besar, sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya.
"Aihhh...
habis mau apa? Sayang aku tidak punya arak wangi dan hidangan sedap maka tidak
dapat menyuguhkan apa-apa."
"Ouwyang
Bu Sek, bersiaplah engkau. Kami bertiga datang untuk membuat perhitungan
denganmu. Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita dengan mengadu
kepandaian," kata pula Phang Sun.
"Wah-wah,
ini namanya mengkhianati alam yang begini indah! Tadinya kusangka kalian hanya
ketularan penyakit umum dari manusia yang tidak dapat menikmati keadaan dan
keindahan sehingga orang-orang di tepi laut tidak dapat menikmati lagi
keindahan lautan dan pergi mencari keindahan di pegunungan, sebaliknya orang
pegunungan sudah bosan dengan keindahan di pegunungan lalu pergi mencari
keindahan di tepi laut. Kiranya kalian datang untuk menantangku berkelahi
mati-matian, hendak mengotori pemandangan yang demikian indahnya. Dan kalian
ingin menyelesaikan perhitungan, padahal aku tak merasa mempunyai hubungan
apa-apa kepada kalian."
"Ouwyang
Bu Sek, tidak perlu kau berpanjang lidah! Dua tahun yang lalu engkau sudah
menjatuhkan fitnah atas diri kami pada saat diadakan pemilihan bengcu. Apakah
engkau masih hendak menyangkal hal itu?" bentak Kim-liong-ong marah, ada
pun Hek-liong-ong sudah mengepal tinjunya, dan Hai-long-ong sudah
memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah.
Kembali
kakek cebol itu tertawa, kelihatannya tenang-tenang saja melihat betapa mereka
itu marah-marah. "Aihh-aihh, jadi ternyata hal itukah yang kalian
maksudkan? Aku tidak merasa menjatuhkan fitnah. Kawan-kawan, tahukah kalian apa
artinya fitnah itu? Fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti
nyata, itulah fitnah. Akan tetapi, aku telah membongkar rahasia kecabulan
kalian bertiga dengan bukti-bukti, itu sama sekali bukan fitnah namanya!"
Wajah tiga
orang kakek itu menjadi marah sekali dan kemarahan mereka makin berkobar.
"Kau mencampuri urusan pribadi orang lain!" bentak Hai-liong-ong
Phang Tek.
"Kau
menghina kami di depan orang banyak!" bentak pula Hek-liong-ong Cu Bi Kun.
"Ouwyang
Bu Sek, tidak perlu banyak cakap. Kami datang untuk membalas penghinaan yang
kau lemparkan ke atas kepala kami. Hayo kau lawan kami, kalau tidak berani,
lekas berlutut minta ampun, barang kali kami masih hendak mempertimbangkan
hukumanmu!" Kim-liong-ong Phang Sun berkata.
"Ha-ha-ha,
aku tidak berani? Lam-hai Sam-lo, kalau aku melawan, apamukah yang kalian
andalkan untuk dapat menang?"
Mendengar
ucapan ini, Hek-liong-ong sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi.
Sebagai seorang datuk yang amat terkenal, biar pun tadi dia sudah meraba-raba
gagang goloknya, akan tetapi dia tidak mau sembarangan mengeluarkan senjata.
Kepandaiannya terlalu tinggi untuk secara sembrono menggunakan senjata, karena
kaki tangannya saja sudah merupakan senjata-senjata maut yang ampuh.
Maka, sambil
menggereng marah dia sudah menubruk maju dan karena kakek raksasa muka hitam
ini memang kuat bukan main, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah
sebagai landasan untuk menubruk, bumi seperti tergetar dan gerakannya didahului
angin yang kuat.
"Wuuuttt...!
Bresss...!"
Debu
mengepul tinggi ketika kakek raksasa ini menubruk, akan tetapi yang ditubruknya
telah lenyap sehingga dia menangkap angin belaka. Begitu cepatnya gerakan
Ouwyang Bu Sek, sehingga elakannya itu sampai tidak kelihatan oleh lawannya
yang menyerang. Akan tetapi tentu saja nampak oleh Hai-liong-ong Phang Tek yang
juga memiliki ginkang istimewa.
Maka, begitu
melihat tubrukan temannya itu luput dan melihat pula betapa kakek cebol itu
mempergunakan ginkang-nya yang hebat, dia pun langsung berseru keras dan
tubuhnya menyambar ke depan seperti kilat cepatnya, lalu kedua tangannya sudah
menampar dari kanan kiri dengan gerakan melingkar sehingga gerakan kedua tangan
ini sudah menutup semua jalan keluar!
"Bagus!"
Ouwyang Bu Sek memuji sebab memang serangan orang pertama dari Lam-hai Sam-lo
itu hebat bukan main. Dia tidak lagi melihat jalan keluar untuk mengelak
sehingga otomatis dia harus memapaki dua tamparan dari kanan kiri itu dengan
tangkisan kedua lengannya yang pendek.
"Dukkk!
Dukkk!"
Hebat sekali
benturan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Hai-liong-ong Phang
Tek terdorong ke belakang sedangkan kakek cebol itu menertawakannya! Jelas
bahwa kakek cebol itu lebih kuat dalam mengadu tenaga sinkang tadi.
"Hemmm...!"
Suara ini keluar dari mulut Kim-liong-ong yang sudah menggerakkan tangan
menyerang. Sekali ini Ouwyang Bu Sek merasa terkejut karena sambaran angin
dahsyat yang keluar dari tangan kakek kurus pendek ini ternyata amat kuatnya
hingga terdengar suara mencicit nyaring.
"Bagus!"
Dia memuji lagi dan cepat dia pun mendorongkan tangannya menyambut.
"Plakkk!"
Dua telapak
tangan kanan bertemu dan saling melekat, dari dalam dua telapak tangan itu
meluncur tenaga sinkang yang sangat kuat dan kini mereka saling mendorong.
Meski pun Kim-liong-ong Phang Sun nampak terdorong ke belakang, akan tetapi dia
masih mampu mempertahankan sehingga Ouwyang Bu Sek maklum bahwa orang ke tiga
dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki sinkang yang terkuat di antara mereka bertiga.
Dan tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan aneh ketika merasa betapa telapak
tangannya gatal-gatal.
"Ih,
kau iblis beracun!" bentaknya dan Ouwyang Bu Sek yang maklum bahwa selain
amat kuat sinkang-nya, juga Kim-liong-ong ini ternyata memiliki tangan beracun,
mengerahkan tenaganya dan tubuh lawannya itu terpental, telapak tangan mereka
terlepas dari lekatan lawan.
Namun, Hai-liong-ong
dan Hek-liong-ong sudah menyerang lagi dari kanan kiri, membuat Ouwyang Bu Sek
kewalahan juga. Kakek cebol ini masih dapat tertawa-tawa ketika dia menyambut
serangan mereka dan gerakannya aneh dan lincah, tubuhnya yang kecil itu
menerobos ke sana-sini di antara sambaran tangan dan kaki tiga orang lawannya
yang lihai.
Namun, walau
pun kakek cebol itu masih tertawa-tawa, sebenarnya dia repot bukan main
menghadapi pengeroyokan Lam-hai Sam-lo. Tiga orang kakek ini bukan sembarangan
orang melainkan datuk-datuk selatan yang lihai sekali, selain memiliki sinkang
yang amat kuat juga mereka memiliki ilmu-ilmu silat yang aneh. Kalau mereka
bertiga belum juga mengeluarkan senjata, hal ini adalah karena selain si cebol
juga bertangan kosong, juga mereka merasa berada di fihak yang mendesak dan
menang.
Andai kata
mereka itu maju seorang demi seorang, agaknya mereka masih tidak akan mampu
menandingi Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi dengan maju bersama, mereka dapat saling
melindungi dan tentu saja keadaan mereka menjadi tiga kali lipat kuatnya
sehingga membuat Ouwyang Bu Sek repot sekali. Kakek cebol ini hanya mampu
mempertahankan diri, mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak ke
sana-sini, dan kadang-kadang mengandalkan sinkang-nya untuk menangkis. Akan
tetapi dia sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk balas menyerang.
Betapa pun
juga, setelah dia berhasil mempertahankan diri lebih dari seratus jurus, ketika
agak terlambat gerakannya, Ouwyang Bu Sek segera kena dihantam oleh telapak
tangan Kim-liong-ong pada pundaknya.
"Desss...!"
Biar pun
Ouwyang Bu Sek sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga tubuhnya kebal dan
hantaman itu tidak sampai melukainya, namun tubuhnya terpelanting dan
bergulingan di atas tanah.
Pada saat
itu pula terdengar suara gerengan seperti seekor binatang buas yang marah dan
nampaklah sesosok bayangan yang berkelebat dengan cepatnya menubruk ke arah
Kim-liong-ong Phang Sun yang baru saja menghantam Ouwyang Bu Sek. Bayangan ini
bukan lain adalah Sin Liong.
Pemuda ini
tadi hanya menonton karena dia maklum betapa lihainya ketiga orang lawan kakek
cebol itu. Akan tetapi melihat kakek cebol itu terpukul roboh, dia segera
meloncat dan menerjang kakek kecil aneh itu, dan langsung menyerang dengan
pukulan-pukulan keras dan totokan-totokan satu jari tangan kirinya. Pemuda ini
memang memiliki sinkang luar biasa, maka tentu saja serangan-serangannya
mendatangkan angin yang dahsyat, membuat Kim-liong-ong terkejut dan cepat
mengelak.
Ouwyang Bu
Sek tertawa girang dan dia telah meloncat bangun lagi. Sekarang kakek ini
kembali mendesak dan melawan pengeroyokan Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong
sambil tertawa-tawa. Mendengar kakek cebol itu tertawa-tawa, hati Sin Liong
merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa kakek cebol itu tidak mengalami
luka parah, maka dia dapat mencurahkan perhatiannya menghadapi kakek kecil yang
aneh itu.
Kim-liong-ong
Phang Sun kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh mereka itu hanya
seorang pemuda cilik dan biar pun dia tahu bahwa pemuda ini memiliki tenaga
sakti yang besar dan ilmu silat yang aneh dan tinggi, namun gerakan pemuda ini
masih mentah. Maka pada saat dia melihat Sin Liong mendesak dan menghantam, dia
sengaja mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis lengan pemuda itu dan
mematahkannya.
"Plakk...!"
"Ihhhh...!"
Kim-liong-ong berteriak kaget bukan main karena tangannya bertemu dengan lengan
seorang pemuda kecil dan tangan itu melekat, kemudian mendadak dia merasa
betapa tenaga sinkang yang dipergunakan untuk menangkis tadi kini memberobot
keluar, membanjir meninggalkan tubuhnya melalui tangan, disedot oleh lengan
bocah itu! Dia lalu berusaha untuk menarik kembali tangannya dengan mengerahkan
sinkang, akan tetapi celakanya, makin dia mengerahkan sinkang, makin banyak
tenaganya membanjir keluar!
Melihat
wajah temannya yang matanya terbelalak dan mukanya pucat itu, Hek-liong-ong
terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin
memiliki ilmu luar biasa, maka dia pun menerjang sambil menghantamkan kepalan
tangannya ke arah Sin Liong.
Pada waktu
itu, Sin Liong sudah memiliki kewaspadaan dan kegesitan seorang ahli silat
tinggi. Kepekaan tubuhnya mulai bangkit setelah dia menerima latihan dari
Ouwyang Bu Sek, maka menghadapi hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang
amat kuat itu, dia tidak menjadi bingung. Dengan miringkan sedikit tubuhnya,
dia dapat menghindarkan pukulan langsung, kemudian lengannya menangkis.
"Plakkk!"
Dan kini
tangan Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) itu pun menempel pada lengannya dan
tidak dapat ditarik kembali karena tenaganya membanjir keluar seperti yang
dialami oleh Kim-liong-ong Phang Sun.
Akan tetapi,
kedua orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari dunia kang-ouw dan mereka telah
memiliki kepandaian yang amat hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat menduga
bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga sedot yang luar biasa, dan mereka saling
pandang kemudian Kim-liong-ong berkata, "Sute, kita kerahkan tenaga
bersama. Satu-dua-tiga...!"
Akan tetapi
celaka, semakin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik tangan
mereka, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar, seperti air yang terjun
ke dalam samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali. Dan pada saat
itu, Ouwyang Bu Sek menotok ke arah pundak Sin Liong sambil membentak,
"Lepaskan!"
Sin Liong
terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan tenaga menyedot itu pun sudah disimpannya
kembali sehingga dua orang yang tadi melekat padanya terlempar beberapa meter
ke belakang karena mereka sudah dilontarkan oleh Ouwyang Bu Sek.
Hai-liong-ong
Phang Tek terkejut bukan main, mengira bahwa kepandaian Ouwyang Bu Sek memang
hebat bukan kepalang. Melihat kedua orang kawannya sudah terluka dan
dirobohkan, dia lalu menjura.
"Lain
kali kita bertemu kembali," katanya dan dia kemudian menyambar tubuh dua
orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat dia sudah menghilang dari
tempat itu.
Sejenak
Ouwyang Bu Sek berdiri tegak dan memandang ke arah menghilangnya Lam-hai
Sam-lo, kemudian dia menoleh dan menghadapi Sin Liong yang masih berdiri. Dia
segera merangkul Sin Liong dan... menangis! Kakek itu menangis seperti anak
kecil kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak bercampur
sesenggukan hingga Sin Liong menjadi bingung sekali.
"Locianpwe,
kenapa kau menangis? Kenapa...?" tanyanya berkali-kali.
Dia
membiarkan saja kakek itu merangkulnya sambil menangis dan dia merasa betapa
pundak kirinya di mana kakek itu bersandar telah menjadi basah oleh air mata.
Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya, lalu
menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main.
Akhirnya
dapat juga dia bicara. "Ahhh, tak kusangka bahwa malam ini Ouwyang Bu Sek
sudah diselamatkan oleh seorang anak-anak..."
Sin Liong
memandang dengan heran, dan tidak menjawab.
"Dan
mengingat betapa aku telah menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama
berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak
mempedulikan dia dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tahu-tahu malam ini dia
menyelamatkan nyawaku, hati siapa tak akan terharu?"
Mendengar
ini, Sin Liong baru mengerti dan dia merasa heran dan juga geli. Kakek yang
luar biasa lihainya ini seperti anak kecil saja. "Locianpwe, memang nama
saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh locianpwe."
Kakek itu
melompat dan berjingkrak. "Tidak, siapa bilang tidak berharga? Engkau adalah
in-kong (tuan penolong) bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu?"
"Nama
saya Sin Liong..."
"Hebat!
Naga Sakti? Memang hebat dan tepat sekali. Cia Sin Liong!"
Sin Liong
terkejut. "Saya... saya... bukan she Cia!"
"Habis
she apa?"
"Saya...
saya tidak tahu, locianpwe."
"Justru
karena tidak tahu itu maka engkau she Cia, seperti kongkong-mu..."
"Akan
tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kongkong..."
"Kalau
bukan kongkong-mu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi Thi-khi I-beng? Yang
kau gunakan tadi adalah Thi-khi I-beng, bukan? Hayo kau coba terima ini!"
Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Sin
Liong.
Bukan main
kagetnya Sin Liong melihat pukulan yang sangat cepat dan kuat ini. Otomatis dia
menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan otomatis pula dia mengerahkan
tenaga Thi-khi I-beng yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia 'minum'
tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu.
"Plakk!"
Telapak
tangan kakek itu bertemu dengan lengan Sin Liong dan seketika itu pula tenaga
sinkang-nya tersedot! Akan tetapi, kakek cebol itu cepat-cepat melepaskan
sinkang-nya dan ternyata daya lekat itu pun lenyap.
Memang
demikianlah keistimewaan Thi-khi I-beng. Kalau yang menyerang pemilik Thi-khi
I-beng itu tidak menggunakan tenaga sinkang, maka dia tidak akan melekat dan
tersedot. Akan tetapi begitu tenaga sinkang tersedot, sulitlah untuk
membebaskan diri, karena baik menyerang mau pun berusaha menarik tangan tentu
harus dilakukan dengan pengerahan tenaga yang akan makin hebat tersedot saja.
Ouwyang Bu
Sek yang telah bertahun-tahun lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang
Cia Keng Hong, sudah mendengar akan keistimewaan Ilmu Thi-khi I-beng yang
dimiliki pendekar Cin-ling-pai itu, maka dia sudah mempelajari kelemahannya dan
sudah tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari Thi-khi I-beng.
Selain melepaskan diri dengan menyimpan sinkang-nya, juga dia dapat menotok
bagian yang menyedot itu sehingga urat-urat syaraf di bagian itu tergetar dan
saat itu dia dapat menarik anggota tubuhnya yang melekat.
"Memalukan!
Memalukan sekali!" Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang kepada Sin
Liong.
"Apa
yang memalukan, locianpwe?"
"Kau!"
"Saya...?"
"Ya,
engkau yang memalukan. Pertama-tama, engkau menyebutku locianpwe. Mulai saat
ini sebutan itu harus kau buang jauh-jauh dari benak dan mulutmu. Awas, kalau
sekali lagi menyebut, engkau akan menjadi musuhku karena berarti engkau
menghinaku, tahu?"
"Eh?
Ini... ini... locian..." Sin Liong menghentikan sebutan itu. "Lalu
saya harus menyebut apa?"
"Aku
adalah suheng-mu, mau sebut apa lagi?"
"Suheng...?"
Sin Liong
memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini suheng-nya? Dengan
perhitungan bagaimanakah tahu-tahu kakek ini menjadi suheng-nya?
"Ya,
sute, aku adalah suheng-mu. Kita sama-sama menjadi murid dari Bu Beng Hud-couw
di Himalaya!"
"Siapakah
Bu Beng Hud-couw (Dewa Tanpa Nama) itu?"
"Nanti
kujelaskan. Sekarang, hal ke dua yang memalukan. Yaitu, engkau sudah menjadi
pencuri yang menjemukan bila menggunakan Thi-khi I-beng untuk menyedot dan
mencuri tenaga sinkang lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali."
"Tapi,
lo... eh, ssuu... heng..." Sulit sekali bagi Sin Liong untuk menyebut
suheng kepada kakek itu, akan tetapi dia takut kalau-kalau benar kakek aneh itu
akan memusuhinya jika dia berani menyebut locianpwe lagi. "Aku tak
bermaksud mencuri tenaga orang. Memang begitulah sifat Thi-khi I-beng, menyedot
tenaga lawan yang menyerang. Adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia
menyerang..."
"Alasan
dicari-cari! Mendiang Cia Keng Hong sendiri tentu tidak sudi menggunakan ilmu
itu untuk mencuri sinkang orang. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri dari
terluka oleh pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sinkang. Mulai sekarang,
engkau tidak boleh menggunakannya untuk menyedot tenaga orang. Huh, seperti
perempuan cabul saja!"
Sin Liong
melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu dan mengapa dia
dimaki seperti perempuan cabul segala! Akan tetapi dia tidak membantah, dan
tidak menjawab.
"Aku
adalah suheng-mu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau cepat ikut bersamaku
untuk melakukan upacara pengangkatan guru terhadap guru kita Bu Beng Hud-couw
di Himalaya!"
Sin Liong tidak
membantah pula dan dia kemudian mengikuti kakek itu, bukan memasuki pondok
melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa amat
terheran-heran. Betulkah kakek ini memiliki seorang guru yang tinggal di tempat
terpisah?
Di bawah
penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan berdampingan menuruni
puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Sin Liong lebih tua
karena kakek itu hanya setinggi pundaknya!
Ketika tiba
di lereng yang penuh dengan batu-batu karang dan goa-goa kecil, kakek itu
berhenti, sejenak dia berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri penuh
perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali
mereka berdua, dia lalu mengajak Sin Liong menghampiri sebuah batu sebesar
gajah. Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan
ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah goa kecil yang lebarnya hanya
satu meter, goa kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga
agaknya dalam sekali.
Kakek itu
merangkak masuk dan tidak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sebuah
peti hitam yang bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah meter.
Dengan penuh khidmat dia meletakkan peti hitam itu di atas sebuah batu,
kemudian dia menjatuhkan diri di depan peti itu.
"Sute,
cepat kau berlutut memberi hormat," dia berbisik.
Sin Liong
merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, akan tetapi dia sama sekali
tidak membantah dan cepat dia pun berlutut di samping kakek itu, menghadapi peti
hitam. Kakek itu memberi hormat dengan berlutut dan bersoja tiga kali, kemudian
terdengar dia berkata,
"Suhu,
sekarang teecu membawa sute datang menghadap suhu, maka perkenankanlah teecu
memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian suhu kepada sute."
Setelah berkata
demikian, kakek itu lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari sakunya.
"Cepat kau tiru perbuatanku, melumuri muka, leher dan tangan, semua bagian
tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini."
Sin Liong
terheran-heran, akan tetapi dia tidak membantah dan dia pun meniru kakek itu
membedaki semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian. Hampir saja dia tertawa
melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang
hendak berlagak di atas panggung. Akan tetapi dia teringat bahwa tentu wajahnya
sendiri pun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa.
Kakek itu
sekali lagi memeriksa. Setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak
dari anak itu memang telah tertutup bubuk putih, dia lalu memberi hormat lagi
dan kedua tangannya membuka tutup peti.
"Kriyeeettt...!"
Peti hitam
terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara mendesis nyaring dan nampak
berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar keluar. Kiranya sinar emas itu
adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang menyambar keluar, lehernya
menggembung dan dari mulutnya keluar uap hitam, lidahnya yang merah keluar
masuk dan sepasang matanya seperti menyala!
"Kim-coa-ko
(saudara ular emas), kami berdua sudah mendapat perkenan suhu untuk memeriksa
kitab, harap kau tenang saja."
Aneh sekali.
ular yang 'berdiri' dengan penuh sikap mengancam itu lalu turun kembali dan
melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab-kitab yang sudah
kuning saking tuanya.
"Lihatlah,
sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh suhu
Bu Beng Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlampau tua untuk mempelajarinya,
hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku
tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahanku
atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu sehingga engkaulah yang akan
dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini."
Sin Liong
memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang Bu Sek
mengambil kitab paling atas kemudian membalik-balik lembarannya. Di dalam kitab
itu terdapat tulisan-tulisan yang sangat sukar dibaca, karena sebagian besar
merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Namun kitab itu juga
mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat.
"Aku
sudah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan
kini aku sudah kehabisan waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk
apa sih mempelajari ilmu-ilmu baru? Maka aku mewariskan semua ini kepadamu,
sute. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab
ini."
Setelah
kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke dalam goa,
Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat semula,
yaitu menutupi goa rahasia itu.
"Lo...
suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?" tanyanya.
"Ha-ha-ha,
itu adalah akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular
itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan walau pun
orang memiliki kepandaian tinggi sekali pun, sekali kena digigitnya, bahayalah
nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak."
"Dan
siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?"
"Sstt,
kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!" kata kakek itu dan tiba-tiba
dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar goa di hadapan batu,
dan kakek itu berkata, "Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih
kepada suhu dan mohon suhu sudi untuk membimbing sute agar bisa mempelajari
ilmu-ilmu dari suhu dengan lancar dan berhasil."
Sin Liong
hanya meniru saja saat suheng-nya yang aneh itu berlutut dan memberi hormat.
Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega hatinya.
"Ahhh,
suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute."
Sin Liong
menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi kecuali mereka
berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhu-nya merasa senang dan
lain-lain?
"Di
manakah suhu, suheng? Aku tidak melihatnya."
"He-heh-heh,
mana bisa begitu mudah, sute? Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak kau tentu
akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia."
"Suheng,
harap kau sudi menceritakan kepadaku mengenai suhu itu." Sin Liong merasa
tertarik sekali.
Kakek itu
menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga duduk di
hadapannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa penasaran dan
heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng Hud-couw dan
yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka.
"Guru
kita, yaitu yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang telah
mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi," dengan suara
yang sungguh-sungguh kakek itu mulai bercerita. "Selama lebih dari tiga
ratus tahun beliau tinggal di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan
Himalaya..."
"Tiga
ratus tahun? Sampai sekarang?"
Kakek itu
mengangguk. "Ya, sampai sekarang."
Sepasang
mata Sin Liong terbelalak. "Tidak mati?"
Kakek itu
tersenyum. "Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan
hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Namun dia masih hidup, sute, bertempat
tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak
sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah mempunyai tingkat
seperti aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Apa bila sudah ada kontak, biar
di sini pun aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu
dapat datang ke mana pun dalam sekejap mata."
"Bagaimana
caranya?"
"Melalul
alam pikiran, melalui getaran perasaan."
Sin Liong
makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah. Dia masih
terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan orang-orang
tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu.
Memang,
betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan
mengejar-ngejar hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia, pendeknya
yang lain dari pada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia
ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, ajaib, yang tidak
lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta.
Kita tidak
lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini sudah terdapat
keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan
kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak melihat lagi keindahan
dan keajaiban yang terjadi pada waktu kita bernapas, pada waktu jantung kita
berdenyut, pada saat rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu
seluruh anggota tubuh kita hidup.
Kita tidak
lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung
dalam cahaya matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga,
warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga,
keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita!
Kita sudah
buta akan semuanya itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam
kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru
dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan
untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.
Apa yang
diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan mungkin saja terjadi.
Apa pun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terwujud, sungguh pun
wujud itu bukan berupa kenyataan tapi hanya merupakan gambaran angan-angan
belaka, merupakan pemantulan dari pada khayal kita sendiri.
Bukan bohong
kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang
dilihatnya itu tentulah berupa suatu wujud atau rupa yang telah diangankan
sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau
penuturan orang lain.
Bukan hal
aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa
atau nabi, akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang
memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah
pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula
penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam
batinnya. Hal ini sangatlah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong
belaka.
Oleh karena
itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat
bertemu dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu,
biar pun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula
kalau dia dapat bercakap-cakap dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali
kita dapat bercakap-cakap di dalam batin kita pula, seolah-olah ada dua, bahkan
lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan?
Betapa pun
juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya
kitab-kitab yang dahulu dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dari dalam kuil tua di
Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang sangat tinggi. Mulailah
Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek.
Dan memang
Sin Liong mempunyai bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia memiliki
dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan
mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong.
***************
Kota
Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat
ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang
itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh
liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah
lereng di luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak
tokoh karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang
"bengcu" baru.
Kota
Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat
ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang
itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh
liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul.
Pada hari
itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping terlihat ramai sekali, padahal
tempat ini biasanya amat sunyi. Di sana banyak tokoh yang sedang berkumpul
karena pada hari itu mereka akan mengadakan pemilihan seorang Bengcu baru.
Seorang bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga
keutuhan para tokoh kang-ouw, liok-lim, dan seluruh partai yang banyak terdapat
di selatan.
Pada jaman
itu, para tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat adalah golongan hina
atau rendah. Tapi sebaliknya, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang
gagah berani yang hidup dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini,
hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri!
Betapa pun
juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa dan
pandai, maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka tentu
akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya seorang
bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri bisa berlarut-larut
dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu, maka segala
dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik dan cepat yaitu urusan yang
timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan
dan senasib.
Pemilihan
bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-ciang
Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu.
Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka
perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat,
sungai mau pun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan
baik dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini
membuka bandar-bandar judi serta tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar,
maka selain perkumpulan ini terkenal dan kuat sekali, juga berhasil
mengumpulkan kekayaan yang lumayan besarnya.
Dari namanya
saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan orang-orang yang
memiliki kepandaian sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw (kepala besi),
pendek kata, orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan. Dan kali ini Sin-ciang
Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan membiayainya
sebab perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa
kedudukan mereka terancam oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap
suka menjilat pada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa, maka bengcu yang
dipilih kelak tentu akan melindungi mereka.
Tempat yang
dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah di
puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi oleh pohon-pohon, yang tanahnya
tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput
di puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari
papan-papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat.
Karena
pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan
pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka tidak ada yang menjadi
tuan rumah dan perkumpulan itu pun tak menyediakan meja kursi. Para tokoh
kang-ouw yang datang mengambil tempat duduk di sekitar lapangan itu, ada yang
duduk di atas batu dan akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong
berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang
bersila dalam semedhi dengan sikap yang lebih hendak menjual tampang dari pada
bersemedhi benar-benar, ada pula yang nongkrong di atas pohon.
Bermacam-macam
sikap orang-orang liok-lim yang kasar-kasar ini, tidak jarang pula yang
sikapnya aneh-aneh. Dan lucunya, seperti yang sering dapat kita saksikan sampai
hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja
dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan
untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang lain!
Betapa kita
ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu
mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan,
ingin lain dari pada yang lain sehingga muncullah sikap bermacam-macam.
Ada pula di
antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat saja, bertubuh kurus
kering akibat kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu orang akan merasa segan
karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana yang menjauhkan diri dari
segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa
dia sama sekali tidaklah sederhana!
Kesederhanaan
cawat dan tubuh kurus itu tak lain dan tak bukan hanya merupakan suatu
kesengajaan yang memang di pasang untuk menarik perhatian belaka. Kesederhanaan
yang berteriak lantang, "lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku!
Hebat, bukan?"
Karena pada
waktu itu keadaan kerajaan sedang dalam kemelut, pergantian kaisar tua yang
meninggal oleh kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan itu terasa
pula sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang diadakan
untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian yang amat besar, tak hanya oleh
golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh golongan
pendekar.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment