Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 16
Sin Liong
rebah terlentang tanpa mampu bergerak dan ketika wanita itu menotoknya dan
membebaskan dirinya, dia pun bangkit duduk dan memandang kepada wanita itu
dengan mulut tersenyum dan mata berseri, lalu dia mengelus-elus bagian tubuhnya
yang terasa nyeri karena luka-luka bekas pukulan lawan dalam perkelahian tadi.
Melihat anak
itu tersenyum kepadanya, Kim Hong Liu-nio mengerutkan alisnya. Senyum anak itu
demikian terbuka dan sekiranya dia tidak begitu benci terhadap anak ini sebagai
putera musuh besarnya, tentu dia tidak ingin mencelakai seorang anak laki-laki
seperti ini. Dan sepasang matanya demikian tajam.
"Uhh...!"
Kim Hong Liu-nio mengusap peluh di dahinya dan diam-diam dia memaki dirinya
sendiri mengapa tiba-tiba saja dia merasa begitu lemah.
Dia tidak
tahu bahwa setelah dia menjadi korban asmara, setelah dia jatuh cinta terjadi
perubahan dalam dirinya dan dia sebenarnya mendambakan kehidupan yang damai dan
tenteram, jauh dari kekerasan, penuh dengan cinta kasih dan kebahagiaan. Ada
sesuatu yang mendorong hatinya untuk hidup akur dan damai dengan siapa pun juga,
mengajak senyum dan bergembira kepada siapa pun juga.
"Kenapa
kau pringas-pringis seperti itu?" bentaknya marah.
Senyum di
bibir Sin Liong melebar. "Bibi yang baik, engkau telah menyelamatkan nyawa
Tiong Pek dan terutama Bi Cu, karena itu aku merasa girang sekali dan berterima
kasih kepadamu. Ternyata engkau bukanlah iblis betina seperti yang selama ini
kukira, akan tetapi orang yang gagah perkasa dan baik, yang kadang-kadang
berpura-pura jahat dan kejam."
"Hemm,
apa maksudmu? Siapa itu Tiong Pek dan Bi Cu?" bentak Kim Hong Liu-nio.
"Tiong
Pek dan Bi Cu adalah dua orang anak yang telah kau selamatkan nyawanya tadi,
bibi yang baik..."
"Aku
bukan bibimu!" bentak wanita itu marah.
"Tentu
saja bukan, akan tetapi... ahh, agaknya engkau tidak suka kusebut bibi?
Baiklah, kusebut kau enci juga boleh!"
"Huh,
kau anak ceriwis!" bentaknya lagi dan Sin Liong ini diam saja.
Sampai lama
mereka berdua tidak berkata-kata, dan wanita itu duduk di atas batu besar,
matanya memandang jauh seperti orang melamun. Sin Liong juga memandang ke sana
sini. Keadaan amat sunyi dan tiba-tiba Sin Liong melihat betapa tempat itu
penuh dengan burung-burung gagak. Ada yang beterbangan di atas dan ada pula
yang hinggap di atas pohon, di atas batu-batu. Bulu mereka yang hitam itu
mengkilap tertimpa sinar matahari pagi. Hari itu masih belum siang benar, akan
tetapi panas matahari telah menyengat. Dia ternyata telah dilarikan selama
semalam suntuk oleh wanita itu, wanita yang luar biasa.
"Luar
biasa...!" tanpa disadarinya, kata-kata ini keluar dari mulutnya.
Ucapan itu
agaknya menyadarkan Kim Hong Liu-nio dari lamunannya. Dia sendiri tidak tahu
mengapa akhir-akhir ini dia banyak melamun. Dia terkejut dan menoleh.
"Apa
katamu?!" bentaknya.
Sin Liong
juga terkejut karena dia sendiri tidak sadar bahwa jalan pikirannya keluar dari
mulutnya. "Ehh, apa...? Oh, aku hanya ingin tahu apa yang akan kau lakukan
terhadapku, enci? Mengapa kau mengajak aku ke tempat yang sunyi ini?"
Mendadak
terdengar bunyi burung gagak. Seekor berbunyi, yang lain lalu menjawab dan
mereka berkaok-kaok saling bersahutan. Sin Liong merasa seram. Memang bunyi
burung gagak selalu menimbulkan rasa seram dalam hatinya, mengingatkan dia akan
kematian.
Kematian?
Ibunya sudah mati! Ibu kandungnya sudah mati dibunuh oleh wanita ini! Dan
tiba-tiba saja Sin Liong meloncat dengan penuh kemarahan, langsung saja dia
menyerang Kim Hong Liu-nio dengan jurus ilmu silat yang selama ini
dipelajarinya dari Na Ceng Han!
Pada waktu
Sin Liong menyerang, wanita itu masih duduk di atas batu dan dia hanya
memandang saja ketika Sin Liong menyerangnya. Sesudah anak itu tiba dekat, kaki
Kim Hong Liu-nio baru bergerak.
"Bukkkk!"
Tubuh Sin Liong terlempar dan terbanting dengan keras sekali.
Sin Liong
memang sudah menderita luka-luka, dan tubuhnya masih lelah dan sakit-sakit,
maka bantingan itu membuat dia seketika merasa pening. Akan tetapi dia sudah
bangkit lagi, kemudian dengan hati terbakar kemarahan karena mengingat betapa wanita
ini telah membunuh ibu kandungnya yang tercinta, dia menerjang lagi dengan
nekat.
"Iblis
betina, kau telah membunuh ibuku!" bentaknya.
Sekali ini,
Kim Hong Liu-nio menggerakkan tangannya menotok.
"Brukkk!"
untuk kedua kalinya tubuh Sin Liong roboh, bahkan sekali ini dia tidak mampu
bergerak lagi.
"Aku
memang telah membunuh ibumu, dan aku akan segera membunuh ayahmu juga!"
Kim Hong Liu-nio menghardik, kini kebenciannya timbul karena dia pun seperti
Sin Liong sudah teringat bahwa anak ini adalah putera dari musuh besarnya.
Walau pun
tubuhnya sudah lumpuh tak mampu bergerak, namun Sin Liong masih dapat bicara.
Dengan suara mengejek dia berkata, "Huh, manusia macam engkau ini
beraninya hanya menghina yang lemah. Jika kau bertemu dengan ayah kandungku,
dalam sepuluh jurus saja engkau tentu akan mampus!"
Sin Liong
memang sengaja mengeluarkan kata-kata ini untuk mengejek dan menghina,
satu-satunya hal yang mampu dilakukannya untuk melampiaskan kemarahan dan sakit
hatinya. Akan tetapi ucapan itu diterima girang oleh Kim Hong Liu-nio.
"Ah,
jadi ayahmu berada di sini? Lekas katakan, di mana dia? Kalau kau memberi tahu
di mana adanya Cia Bun How, aku akan mengampuni nyawamu!"
Sin Liong
adalah seorang anak yang luar biasa sekali. Wataknya amat keras dan dia tak
pernah mengenal takut. Kalau orang bersikap baik dan halus kepadanya, maka dia
akan menjadi lunak dan tunduk. Akan tetapi kalau ada orang bersikap keras
kepadanya, meski dia diancam maut, biar dia disiksa, dia tidak akan sudi
tunduk. Maka, mendengar ucapan itu, matanya yang bersinar tajam itu memandang
dengan mendelik, sementara mulutnya tersenyum mengejek.
"Aku
tidak sudi mengatakannya!" Padahal, tentu saja dia sendiri pun tidak tahu
di mana adanya ayah kandungnya itu. Akan tetapi dia memang sengaja ingin
membikin panas hati wanita pembunuh ibunya ini.
Dan memang
Kim Hong Liu-nio menjadi marah sekali. Kini dia yakin bahwa anak itu tentu tahu
di mana adanya Cia Bun Houw, dan dia telah mengambil keputusan untuk memaksa
anak ini memberi tahu di mana adanya musuh besarnya itu.
"Katakan
di mana adanya Cia Bun Houw!" kembali dia membentak sambil mencengkeram
tengkuk Sin Liong.
"Tidak
sudi!" anak itu balas membentak.
"Hemm,
kau agaknya ingin kusiksa sampai setengah mati!"
"Huh,
apa artinya siksaanmu? Dahulu pun kau meracuni tubuhku, dan aku tidak
takut!"
Ucapan ini
mengingatkan Kim Hong Liu-nio, maka cepat dia memeriksa tubuh anak itu, meraba
pergelangan tangannya dan dadanya. Mata wanita itu terbelalak heran. Anak itu
sudah bebas sama sekali dari Hui-tok-san!
"Siapa
yang mengobatimu? Ayahmu itu?"
Sin Liong
yang diangkat ke atas sehingga mukanya berdekatan dengan muka wanita itu,
tersenyum mengejek. "Kau tidak akan dapat mengetahui!"
"Bressss...!"
Kim Hong Liu-nio langsung membanting sehingga untuk ketiga kalinya tubuh Sin
Liong terbanting ke atas tanah.
"Hayo
katakan, di mana ayahmu itu! Di mana Cia Bun Houw!" kembali dia
berteriak-teriak penuh kemarahan.
Sin Liong
merasa kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit tanpa dia mampu bergerak. Akan
tetapi nyalinya tidak pernah berkurang besarnya. Dia memandang wanita itu
lantas berkata, "Hemmm, kau ternyata lebih curang dari pada seekor ular,
lebih ganas dari pada seekor srigala dan lebih jahat dari pada ketua
Jeng-hwa-pang atau iblis sekali pun!"
"Hayo
katakan di mana ayahmu!"
"Tidak
sudi! Kau mau apa?"
"Keparat,
hendak kulihat apakah engkau masih tetap akan membandel!" Dengan marah Kim
Hong Liu-nio, menyambar tubuh Sin Liong, yang dibawanya kepada sebatang pohon
dan dia menggunakan akar pohon untuk mengikatnya pada batang pohon itu, diikat
dari kaki sampai ke leher. Sesudah itu, dia lalu membebaskan totokan di tubuh
anak itu agar Sin Liong merasakan sepenuhnya siksaan itu.
"Kau
mau bunuh sekali pun jangan harap aku akan sudi mengaku kepada orang jahat
macam engkau!" Sin Liong memanaskan hati wanita itu.
"Aku
tidak akan membunuhmu. Kau lihat burung-burung itu? Nah, merekalah yang akan
membunuhmu perlahan-lahan, mencabik-cabik dagingmu sekerat demi sekerat. Aku
tidak akan pergi jauh, dan kalau kau berteriak memanggilku apa bila engkau
sudah mengubah sikap kepala batumu itu, tentu aku akan mendengarmu!"
Setelah
berkata demikian, Kim Hong Liu-nio tersenyum, senyum yang manis sekali, akan
tetapi senyum yang membuat Sin Liong bergidik karena anak ini sudah mulai
mengenal musuhnya yang dapat melakukan hal yang teramat keji. Dengan sekali
berkelebat saja, wanita itu sudah lenyap dari situ, meninggalkan Sin Liong
terikat di batang pohon dengan muka menghadap ke matahari yang sudah mulai naik
agak tinggi dan sinarnya yang terik itu sepenuhnya menimpa muka dan tubuh Sin
Liong.
"Gaooookkk...!"
Seekor
burung gagak hitam melayang turun dan hinggap di atas batu di mana tadi Kim
Hong Liu-nio duduk. Burung itu memandang ke arah Sin Liong, kepalanya
dimiringkan ke kanan kiri seperti hendak memandang lebih teliti atau mendengarkan
sesuatu. Tidak lama kemudian nampak bayangan hitam menyambar turun dari atas
dan seekor burung gagak lain telah hinggap di atas tanah, di depan Sin Liong.
Anak itu
memandang tajam, heran melihat burung-burung itu berani mendekatinya dan dia belum
mengerti apa maksudnya Kim Hong Liu-nio meninggalkannya terikat di situ. Dia
tidak tahu bahwa burung-burung ini adalah burung-burung pemakan bangkai yang
sudah kelaparan karena sudah lama tidak makan, dan betapa mereka itu sudah
tidak sabar menanti adanya bangkai yang boleh mereka makan.
Agaknya
burung-burung lain tertarik oleh dua ekor burung yang berkaok-kaok di dekat Sin
Liong itu karena kini banyak burung melayang turun dan mengurung tempat di mana
Sin Liong diikat pada batang pohon itu. Sin Liong masih belum tahu akan
datangnya bahaya mengerikan mengancamnya, bahkan dia memandang tanpa
bergerak-gerak.
Inilah
salahnya! Kalau saja dia bergerak atau mengeluarkan suara, tentu burung-burung
itu akan menjadi takut.
Tiba-tiba
seekor burung gagak terbang dan hinggap di atas pundak kiri Sin Liong. Anak ini
barulah merasa terkejut, apa lagi karena kuku-kuku jari kaki burung yang
mencengkeram pundaknya itu menembus baju melukai kulitnya.
"Hehhhhh....!"
Dia membentak dan burung itu terbang dengan kaget, akan tetapi segera hinggap
di atas tanah karena melihat anak itu tidak dapat bergerak.
Keringat
dingin mulai membasahi dahi dan leher Sin Liong. Kini dia memandang dengan
kedua mata terbelalak kepada burung-burung yang bergerak-gerak di depannya dan
bagi pandang matanya, burung-burung itu seperti sudah berubah menjadi
iblis-iblis hitam yang menakutkan.
Kembali ada
dua ekor burung terbang atau meloncat dan mereka ini menerkam. Sin Liong
membentak lagi dan dua ekor burung itu terbang turun, hanya untuk mengulang
kembali perbuatan mereka. Sin Liong membentak-bentak lagi, akan tetapi dua ekor
burung yang hinggap di pundak dan lengannya tidak mau pergi, bahkan sekarang
dua ekor burung itu mulai mematuk-matuk ke arah mata Sin Liong!
Anak itu
terkejut dan merasa ngeri, cepat dia memejamkan mata, akan tetapi tak mampu
mengelak karena lehernya tercekik kalau dia menggerakkan kepalanya. Dia
mendengus-dengus dan agaknya suaranya inilah yang membuat kedua ekor burung itu
meragu dan tidak mematuknya, hanya sayap mereka yang bergerak-gerak dan
mengibas-ngibas, ada pun paruh mereka itu mengeluarkan bunyi berkaok yang
terdengar nyaring sekali di dekat telinga Sin Liong!
Sin Liong
sama sekali tidak berani membuka mata dan hanya mendengus-dengus sambil
menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk mengusir burung-burung itu.
Namun dua ekor burung gagak itu tidak mau pergi, sungguh pun mereka juga belum
menyerang sebab mereka masih meragu dan agaknya hendak menanti hingga calon
mangsa mereka itu sama sekali tidak mampu bergerak.
Sin Liong
merasa ngeri bukan main. Baru sekarang dia merasakan kengerian yang seolah
mencekiknya, lebih mengerikan dari pada ketika dia dilempar ke dalam sumur ular
oleh ketua Jeng-hwa-pang. Hampir saja dia berteriak minta tolong, akan tetapi bila
dia teringat pada wanita yang membunuh ibunya itu, dia tidak jadi berteriak
bahkan dia mengatupkan mulutnya dan mengambil keputusan untuk tidak sudi
berteriak sampai mati. Lebih baik mati dicabik-cabik burung-burung ini dari
pada dia berteriak, mengaku kalah dan tunduk kepada iblis betina itu, demikian
tekad hatinya.
Matahari
naik makin tinggi. Sinarnya makin panas dan hampir Sin Liong tidak kuat untuk
menahannya lagi. Anak ini merasa bahwa kalau sampai dia pingsan dan tidak
bergerak, tentu burung-burung ini akan menyerangnya. Karena itu, biar pun
panasnya membuat dia hampir tidak kuat bertahan, kepalanya pening dan matanya
yang dipejamkan itu melihat warna merah, lehernya laksana dicekik oleh
kehausan, namun dia mempertahankan diri sekuatnya. Dia merasa tubuhnya kering
sama sekali, diperas habis airnya yang menguap menjadi peluh.
Dari jauh
Kim Hong Liu-nio mengintai. Wanita ini merasa kagum bukan kepalang. Kembali
timbul rasa sayangnya kepada anak itu di balik kebenciannya. Anak itu
benar-benar hebat sekali! Selama ini, hanya kepada sute-nya sajalah dia kagum
dan menganggap sute-nya seorang anak laki-laki yang paling hebat.
Akan tetapi,
melihat sikap Sin Liong, dia benar-benar merasa heran dan kagum dan harus
mengakui bahwa anak itu benar-benar luar biasa, lebih hebat dari pada sute-nya.
Akan tetapi, rasa sayang ini diusirnya dengan ingatan bahwa anak itu adalah
putera Cia Bun Houw, musuhnya yang terbesar.
"Gaoookkkkk...!"
Kembali burung yang hinggap di pundak kanan anak itu mengeluarkan bunyi tak
sabar lagi.
Kim Hong
Liu-nio melihat betapa burung itu menggerakkan paruhnya, mematuk ke arah mata
kanan yang terpejam itu. Akan tetapi, pada saat itu pula ada debu mengebul dari
sebelah kanan anak itu dan ketika dia memandang, ternyata tiga ekor burung yang
tadi hinggap pada kedua pundak dan lengan, kini telah jatuh dan mati di dekat
kaki Sin Liong yang masih memejamkan matanya!
Kim Hong
Liu-nio terkejut bukan main, dan cepat-cepat dia meloncat keluar dari tempat
sembunyinya dan langsung dia meloncat dan berlari ke tempat itu. Juga Sin Liong
yang merasa betapa di pundaknya tidak ada lagi burung yang mencengkeramnya,
membuka mata dan terheranlah dia melihat bangkai tiga ekor burung di lekat
kakinya.
Akan tetapi
pandang matanya langsung berkunang karena ketika dia membuka mata, dia melihat
wanita itu datang berlari-lari. Habislah harapannya dan dia memejamkan matanya
kembali. Akan tetapi, Sin Liong terkejut dan merasa heran ketika mendengar
suara Kim Hong Liu-nio membentak marah.
"Iblis
dari mana yang berani bermain gila dengan Kim Hong Liu-nio?"
Mendengar
ini Sin Liong cepat membuka matanya. Dengan menggoyangkan kepala dia mengusir
kepeningannya serta bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya itu.
Akhirnya dia melihat seorang kakek tua berjalan perlahan menuju ke tempat itu.
Seperti juga
Kim Hong Liu-nio, Sin Liong membuka matanya lebar-lebar dan memandang kakek
yang mendatangi itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sin Liong masih
tidak tahu bagaimana burung-burung itu mati secara aneh. Tadinya dia menyangka
bahwa Kim Hong Liu-nio yang membunuh binatang-binatang rakus itu, akan tetapi
melihat munculnya kakek ini, dia meragu dan hatinya tertarik sekali.
Sebaliknya,
Kim Hong Liu-nio juga memandang penuh selidik dan hatinya menduga-duga.
Benarkah kakek ini yang membunuhi tiga ekor burung gagak secara aneh itu? Dia
masih belum tahu bagaimana burung-burung itu mati.
Melihat
adanya debu mengebul, tentu orang telah menggunakan pukulan jarak jauh. Akan
tetapi, burung-burung itu hinggap di tubuh Sin Liong dan memukul mati
burung-burung itu dengan hawa pukulan jarak jauh tanpa mengenai anak itu
sendiri, sungguh merupakan ilmu yang luar biasa. Dia masih meragu dan memandang
tajam penuh selidik.
Kakek itu
sudah tua sekali, paling sedikitnya tentu sudah tujuh puluh lima tahun usianya.
Rambutnya yang halus dan terpelihara rapi dan bersih, sudah putih semua dan
digelung ke atas dengan rapi, diikat dengan kain kuning yang bersih. Pakaiannya
sederhana sekali, seperti pakaian petani, akan tetapi pakaiannya juga bersih.
Wajah itu
dihias kumis dan jenggot yang halus dan sudah putih pula. Namun, wajah kakek
ini masih kelihatan sehat dan segar kemerahan, keriput di pipinya hampir tidak
kelihatan. Wajah manis budi dan sabar, akan tetapi cahaya matanya membayangkan
wibawa dan kekerasan hati seorang pendekar! Kakek ini berpakaian polos, agaknya
tidak membawa senjata apa pun.
Setelah tiba
di tempat itu, kakek yang mendatangi dengan langkah ringan dan perlahan,
sejenak memandang kepada Sin Liong, kemudian dia menoleh dan memandang kepada
wanita cantik itu. Kim Hong Liu-nio merasa betapa jantungnya berdebar tegang
ketika melihat sepasang mata tua itu menyambar ke arahnya dengan ketajaman
pandang yang menyeramkan. Lalu terdengar suara kakek itu, halus dan lembut akan
tetapi mengandung teguran dan wibawa.
"Mengganggu
orang yang tidak mampu melawan merupakan perbuatan yang pengecut, apa lagi bila
menyiksa seorang bocah yang tak dapat melawan, itu merupakan perbuatan keji.
Bagaimanakah seorang wanita muda dan cantik seperti engkau ini dapat melakukan
perbuatan keji dan pengecut?"
Kim Hong
Liu-nio adalah seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi dan dia
tidak pernah mengenal takut. Biar pun dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu
seorang yang pandai, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa jeri
dan kini mendengar kakek itu mencelanya, tentu saja dia menjadi marah sekali.
"Kakek
yang lancang tangan dan lancang mulut! Apakah orang setua engkau ini masih
belum tahu bahwa mencampuri urusan orang lain adalah perbuatan hina yang tidak
akan dilakukan oleh seorang kang-ouw?"
"Menyelamatkan
siapa pun dari perbuatan keji bukanlah berarti mencampuri urusan orang lain,
melainkan sudah menjadi tugas setiap manusia yang waras. Bahkan andai kata anak
yang akan kau siksa ini adalah anak kandungmu sekali pun, pasti aku akan turun
tangan menyelamatkannya dan mencegah perbuatanmu yang keji itu."
Tentu saja
Kim Hong Liu-nio menjadi semakin marah. Pertama karena kakek itu barusan
mengatakan anak itu anak kandungnya! Padahal dia adalah seorang perawan. Dan ke
dua, dengan terang-terangan kakek itu menyatakan akan menentangnya!
"Tua
bangka yang bosan hidup!" bentaknya marah, mulutnya tersenyum, tanda bahwa
kemarahannya telah mencapai puncaknya dan dia sudah siap untuk membunuh. Dengan
tenang dia lalu mengenakan sarung tangannya.
"Apakah
engkau belum mendengar siapa aku? Tentu engkau tidak mengenal Kim Hong Liu-nio
maka engkau berani bersikap seperti ini."
"Hemmm,
tentu saja aku tahu siapa engkau. Engkau adalah seorang wanita yang sudah
berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi akan tetapi gurumu adalah seorang
yang jahat sehingga tidak mendidik batinmu. Ilmu tinggi yang jatuh ke tangan
seorang yang kejam, hanya akan mendatangkan bencana di dunia ini."
"Keparat,
terimalah ini!" Kim Hong Liu-nio yang sudah marah itu tak dapat bertahan
lagi dan sudah mencelat ke depan dengan kecepatan kilat dan melakukan serangan
pukulan dengan kedua tangannya.
Pukulan maut
yang datangnya sangat cepat sambil mengeluarkan suara angin bercuitan
mengerikan. Karena menduga bahwa lawannya lihai, begitu menyerang Kim Hong
Liu-nio telah mengerahkan sinkang-nya sehingga pukulan itu merupakan pukulan
maut yang sulit dilawan!
Akan tetapi
kakek itu malah membalikkan tubuhnya, kemudian dengan kedua tangannya dia
membuka ikatan tangan yang membelenggu Sin Liong! Melihat ini, Kim Hong Liu-nio
menahan pukulannya dan alisnya berkerut. Demikian hebatkah kakek ini sehingga
tidak memandang sebelah mata terhadap serangannya?
Ketika dia
melihat bahwa kakek ini sudah membebaskan ikatan Sin Liong yang segera jatuh
terduduk dengan lemas dan anak itu menggosok-gosok kedua pergelangan tangan dan
terengah-engah, Kim Hong Liu-nio membentak keras dan sekarang dia benar-benar
menyerang ke arah kakek itu dengan pukulan maut yang mengarah pelipis dan ulu
hati kakek itu.
Diam-diam
kakek itu tersenyum. Ternyata dugaannya tadi sudah keliru. Wanita ini tidak
memiliki watak curang, buktinya serangan pertama tadi ditundanya pada saat dia
sedang membuka ikatan anak itu. Akan tetapi dugaannya bahwa wanita ini memiliki
ilmu tinggi adalah benar karena melihat serangan itu saja tahulah dia bahwa
wanita ini benar-benar lihai sekali. Untuk mencoba kekuatan wanita itu, maka
dia sengaja menggerakkan kedua tangannya menangkis. Dua kali dua pasang tangan
bertemu.
"Dukkk!
Plakkk!"
Kim Hong
Liu-nio terkejut bukan main. Tubuhnya lantas terdorong mundur oleh
tangkisan-tangkisan itu! Pada lain fihak, kakek itu semakin kagum karena
ternyata bahwa serangan wanita ini mampu membuat kedua lengannya tergetar!
Maklum bahwa
dia kalah kuat dalam hal sinkang oleh kakek aneh yang tak dikenalnya ini, Kim
Hong Liu-nio menjadi penasaran dan marah. Dia mengeluarkan suara melengking
panjang dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang dengan gerakan cepat bukan main
yang membuat dia seperti lenyap berubah menjadi bayang-bayang yang luar biasa
cepatnya. Kaki tangannya menyerang bertubi-tubi ke arah bagian tubuh berbahaya
dari kakek itu, setiap serangan merupakan serangan maut!
Sementara
itu, kakek yang ternyata amat luar biasa kepandaiannya itu, dengan alis putih
berkerut memperhatikan gerakan lawan dan diam-diam dia pun merasa
terheran-heran karena dia tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh wanita
itu. Padahal, dia hampir mengenal semua dasar ilmu silat tinggi dari seluruh
partai-partai besar! Akan tetapi, dia pun selalu mengimbangi kecepatan wanita
itu dan selalu dapat menghindarkan diri atau menangkis.
Kembali Kim
Hong Liu-nio terkejut bukan kepalang. Kakek petani ini ternyata amat hebat!
Bukan saja sanggup menandingi sinkang-nya, bahkan tidak terdesak oleh
ginkang-nya! Diam-diam dia lalu mencabut tiga batang hio dan dengan kuku jari
tangannya menyentik batu api, maka muncratlah batu api membakar ujung tiga
batang hio itu.
Hio-hio ini
sebetulnya dia sediakan untuk membunuh musuh-musuh gurunya, seperti yang telah
dilakukannya kepada beberapa orang yang sudah berhasil dibunuhnya. Akan tetapi
menghadapi seorang lawan tangguh seperti kakek ini, dia akan mempergunakannya
juga karena senjata hio itu merupakan senjata istimewa pula.
Kakek itu
hanya memandang sambil mengelak ke sana-sini pada waktu wanita itu sambil
menyerang mengeluarkan dan menyalakan tiga batang hio. Dia tidak tahu apa
artinya dan tertarik sekali, menduga bahwa agaknya wanita ini adalah seorang
ahli ilmu hitam yang hendak mempergunakan ilmu sihirnya. Dia tidak takut,
melainkan tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana wanita itu hendak
menggunakan sihir atas dirinya!
Akan tetapi,
tiba-tiba saja wanita itu mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan kakek itu
melihat sinar-sinar keemasan kecil menyambar ke arah tiga jalan darah pada
tubuhnya! Tahulah dia bahwa hio-hio menyala itu sama sekali bukan dipergunakan
untuk main sulap atau sihir, melainkan untuk dipergunakan sebagai senjata
rahasia yang menyerangnya!
Kakek itu
mengeluarkan seruan panjang, tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat ke atas dan
ketika dia melayang turun kembali, tiga batang hio menyala itu sudah
disambarnya dan berada di tangannya. Sekali dia melempar, tiga batang hio itu
menancap di atas tanah dan asapnya bergulung-gulung kecil ke atas!
Kim Hong
Liu-nio terkejut, juga semakin penasaran dan marah. Tiba-tiba dia bergerak,
tubuhnya didahului oleh sinar merah dan ternyata wanita ini telah menyerang
lagi dengan menggunakan sabuk merahnya. Dengan gerakan seperti seekor ular
hidup, ujung sabuk merah itu secara bertubi sudah menotok ke arah tujuh jalan
darah kematian di sebelah depan tubuh kakek itu!
"Hemm,
sungguh keji...!" kakek itu mencela dan cepat dia menggunakan telapak
kanan untuk menangkap ujung sabuk merah.
Akan tetapi,
begitu melihat lawan hendak menangkap ujung sabuknya, Kim Hong Liu-nio
menggerakkan tangan dan kini ujung sabuk itu meluncur dan menotok ke arah
telapak tangan itu secara langsung, untuk menotok jalan darah antara ibu jari
dan telunjuk tangan kanan yang terbuka itu.
Akan tetapi,
kakek itu agaknya tidak tahu akan serangan ini dan tetap saja membuka tangan
hendak menangkap ujung sabuk itu. Kim Hong Liu-nio menjadi girang sekali dan
menambah tenaganya ketika ujung sabuk bertemu dengan telapak tangan lawan.
"Plakkk...!"
Ujung sabuk itu tepat mengenai telapak tangan dan melekat di situ.
Tiba-tiba
wajah cantik itu berubah pucat, matanya terbelalak lebar memandang kepada kakek
itu ketika Kim Hong Liu-nio merasa betapa tenaga sinkang-nya memberobot keluar
dari tangannya yang ujungnya menempel pada telapak tangan kakek itu.
"Thi-khi
I-beng...!" Dia berteriak kaget lantas membuat gerakan tiba-tiba menarik
sabuk merahnya.
"Pratttt...!"
Sabuk merah itu terputus di tengah-tengah!
"Ahhh...!"
Kakek itu berseru kagum sekali.
Kim Hong
Liu-nio masih memandang terbelalak. Dia mengenal Thi-khi I-beng seperti yang
pernah diceritakan oleh subo-nya. Thi-khi I-beng adalah ilmu yang aneh, sesuai
dengan namanya yang memiliki arti Curi Hawa Pindahkan Nyawa, ilmu itu dapat
menyedot hawa sinkang lawan sampai habis! Untung dia sudah mempelajari ilmu
untuk melepaskan diri dari sedotan Thi-khi I-beng yang ampuh itu!
"Siapakah
engkau...?" Kim Hong Liu-nio bertanya, suaranya membayangkan kejerian hati
menghadapi kakek yang hebat itu.
Kakek itu
melemparkan sabuk merah yang putus itu ke atas tanah. Ia pun menarik napas
panjang, lalu berkata dengan suara lirih dan seperti orang membaca sajak, "Namaku
tidak lebih terkenal dibandingkan sebatang pedang, akan tetapi pedangku adalah
pedang kayu yang tidak keras, juga tidak berbau darah kering melainkan harum
semerbak. Ah, sampai terpaksa aku mempergunakan Thi-khi I-beng, menandakan
bahwa kepandaianmu hebat sekali, nona."
Kim Hong
Liu-nio makin terkejut dan hatinya makin gentar. Dalam kata-kata perkenalan
dari kakek itu terkandung kata-kata pedang kayu dan harum. Pedang Kayu Harum,
Siang-bhok-kiam! Dia cepat membuat gerakan membungkuk.
"Sudah
kuduga...," bisiknya, "kiranya... maafkan saya..." Dan tanpa
bicara apa-apa lagi, Kim Hong Liu-nio membalikkan tubuhnya dan melarikan diri
dengan cepat seperti terbang.
"Nona,
tunggu dulu...!" Kakek itu berseru, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menjawab
tanpa menoleh.
"Lain
kali kita akan saling bertemu berjumpa kembali!"
Cia Keng
Hong, atau ketua dari Cin-ling-pai, pendekar sakti yang amat terkenal dengan
pedang kayu harumnya itu, memandang dan tidak mengejar. Dia merasa kagum sekali
karena setelah puluhan tahun tidak bertemu lawan, baru sekarang dia bertemu
tanding seorang wanita yang masih muda akan tetapi juga memiliki kepandaian
yang tinggi sekali, bahkan dia tidak mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan
oleh wanita itu!
Para pembaca
dari cerita Siang-bhok-kiam, lalu cerita Petualangan Asmara, dan Dewi Maut,
tentu tidak asing lagi dengan pendekar sakti Cia Keng Hong ini. Dia adalah
seorang pendekar sakti yang namanya sangat terkenal di kalangan kang-ouw,
sebagai ketua dari Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san, di mana dia hidup
dengan isterinya yang tercinta seorang bekas pendekar wanita yang lihai pula.
Di dalam
cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Cia Keng Hong telah meninggalkan
keramaian dunia kang-ouw dan dia yang sudah tua hidup tentram di puncak
Pegunungan Cin-ling-san sampai cerita ini terjadi. Pada waktu sekarang, Cia
Keng Hong, dalam usia yang sudah tujuh puluh tahun lebih, pendekar sakti ini
merasa betapa hidupnya penuh dengan duka.
Isterinya,
satu-satunya manusia di dunia ini yang paling dicintanya, telah meninggal dunia
dua tahun yang lalu, meninggal dunia dalam usia yang sudah cukup tinggi, kurang
lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi sayangnya meninggal dalam keadaan duka
pula karena kematiannya tidak ditunggui oleh puteranya yang terkasih, yaitu Cia
Bun Houw.
Diam-diam di
dalam hati pendekar sakti ini timbul penyesalan besar. Dia tidak dapat
menyalahkan Bun Houw yang sampai sepuluh tahun lebih lamanya belum pernah
pulang itu. Dia sendirilah yang menyebabkannya. Dia yang seolah-olah mengusir
puteranya itu karena puteranya itu nekat hendak hidup sebagai suami isteri
bersama Yap In Hong, adik dari pendekar Yap Kun Liong. Dia melarang dan tidak
setuju, akan tetapi Bun Houw nekat sehingga puteranya itu lalu pergi bersama In
Hong dan sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya.
Setelah
isterinya meninggal dunia, maka satu-satunya hiburan bagi Cia Keng Hong adalah
cucunya yang semenjak kecil sudah digemblengnya di Pegunungan Cin-ling-san itu.
Cucu perempuan ini bukan lain Lie Ciaw Si, puteri dari Cia Giok Keng dan
mendiang Lie Kong Tek.
Dengan tekun
pendekar sakti itu menurunkan kepandaiannya kepada cucunya ini, dan walau pun
Ciauw Si tidak memiliki bakat yang terlalu menonjol, akan tetapi dara ini telah
mewarisi banyak ilmu tinggi kakeknya sehingga dia sekarang menjadi seorang dara
yang hebat juga dan jarang ada yang akan mampu menandinginya.
Betapa pun
juga, setelah neneknya meninggal, dara yang kini berusia dua puluh tahun itu
sering kali melihat kakeknya termenung di dalam duka, bahkan sering kali
kakeknya itu seperti seorang pikun turun gunung dan merantau di kaki Pegunungan
Cin-ling-san, lupa makan lupa tidur dan baru pulang kalau sudah disusul dan
dibujuknya.
Kemudian
Ciauw Si mendengar dari penuturan ibunya yang masih tinggal di Sin-yang, di
rumah mendiang suaminya, mengenai pamannya, adik ibunya, yaitu Cia Bun Houw dan
bahwa kedukaan kakeknya itu disebabkan oleh kepergian Bun Houw yang hingga kini
tak pernah ada beritanya itu. Mendengar ini, Ciauw Si yang mencinta kakeknya
itu merasa sangat kasihan. Maka, pada suatu pagi pergilah dia meninggalkan
Cin-ling-san sesudah meninggalkan surat untuk kakeknya, yang memberi tahu bahwa
dia pergi untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw!
Akan tetapi,
kejadian ini sama sekali tidak menggirangkan hati kakek pendekar itu. Malah
sebaliknya. Dia merasa prihatin dan khawatir. Meski pun cucunya itu sudah
mempunyai kepandaian tinggi, namun cucunya adalah seorang wanita muda dan
kurang pengalaman, padahal dia tahu betul betapa bahayanya merantau di dunia
kang-ouw seorang diri bagi seorang wanita muda. Kekhawatiran ini membuat
hatinya tidak tenang, maka kakek ini pun lalu turun gunun untuk mencari
cucunya!
Demikianlah
keadaan singkat dari kakek pendekar Cia Keng Hong yang usianya sudah tujuh
puluh lima tahun itu. Dalam perantauannya mencari cucunya itulah secara
kebetulan dia melihat Sin Liong yang sedang tersiksa oleh Kim Hong Liu-nio dan
dia segera turun tangan menolongnya.
Biasanya,
kakek yang tengah merantau ini menyembunyikan diri dan kepandaiannya, dan kalau
sekarang dia memperlihatkan kepandaiannya, adalah karena dia terpaksa sekali
oleh kelihaian Kim Hong Liu-nio. Kakek itu merasa amat kagum menyaksikan sikap
anak yang disiksa itu, maka diam-diam dia memperhatikan, bahkan ketika dia
membebaskan belenggu itu jari-jari tangannya mengusap dan dia memperoleh
kenyataan bahwa anak itu benar-benar memiliki tulang yang baik sekali.
Sekarang
kakek itu menghampiri Sin Liong yang sudah bangkit berdiri dengan bibir yang
pecah-pecah. Biar pun anak itu lebih patut dikatakan setengah hidup dan dalam keadaan
payah sekali, namun anak itu sudah bangkit berdiri dan memandang kepada kakek
itu dengan mata merah, mata yang tadi disiksa oleh panasnya matahari.
Setelah
kakek itu datang mendekat, tiba-tiba Sin Liong tak dapat bertahan lagi. Dia pun
terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat disambar oleh tangan kakek itu.
Sin Liong roboh pingsan, hal yang ditahan-tahannya sejak tadi.
Sin Liong
mengecap-ngecap bibirnya yang basah. Dia membuka mata dan melihat bahwa dia
sedang rebah di bawah pohon yang teduh sedangkan kakek itu membasahi mukanya
dan memberi minum air jernih yang dingin dan nikmat sekali terasa olehnya.
Cepat dia bangkit duduk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Sin Liong
maklum bahwa tanpa adanya kakek ini, dia tentu sudah mati dalam keadaan
mengerikan, dagingnya dirobek-robek oleh burung-burung gagak pemakan bangkai!
Biar pun tadi kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang, namun dia masih
dapat menyaksikan betapa kakek yang sederhana ini ternyata mampu menandingi Kim
Hong Liu-nio, bahkan wanita iblis itu melarikan diri! Maka Sin Liong yang
cerdik mengerti bahwa kakek tua renta ini adalah seorang manusia sakti yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Saya
menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan locianpwe."
Cia Keng
Hong mengurut jenggotnya yang putih sambil memandang pada bocah itu penuh
perhatian. Ketika dia merawat Sin Liong dari pingsannya tadi, kembali dia
meraba-raba dan makin yakin dia akan bakat yang terpedam dalam diri anak ini.
"Anak
yang baik, siapakah namamu?"
"Nama
saya Sin Liong..."
Tercengang
juga hati kakek itu mendengar nama yang gagah itu. Nama anak ini berarti Naga
Sakti!
"Engkau
she apakah, Sin Liong?"
Sin Liong
tahu bahwa dia adalah she Cia. Akan tetapi dia tak mau membawa-bawa nama
ayahnya yang belum pernah dijumpainya itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia
menjawab, "Locianpwe, semenjak kecil saya tidak tahu apakah she saya. Saya
hanya bernama Sin Liong, tanpa she."
Cia Keng
Hong tercengang, alisnya berkerut. "Kalau begitu, siapakah ayah
bundamu?"
Sin Liong
menggeleng kepalanya. "Saya hidup sebatang kara, tidak mempunyai ayah dan
bunda. Saya bekerja sebagai pelayan dari Na-piauwsu yang tinggal di Kun-ting.
Akan tetapi beberapa hari yang lalu Na-piauwsu serumah dibunuh orang-orang yang
menjadi musuhnya. Lalu muncul wanita iblis itu yang berbalik membunuhi semua
orang yang telah membasmi keluarga Na-piauwsu, akan tetapi wanita itu lalu
membawa saya ke sini."
Kakek itu
mengelus jenggotnya yang putih dan alis matanya tetap berkerut. Benar-benar
aneh cerita anak ini. "Dan mengapa kau dibawanya ke sini dan akan
disiksanya sampai mati? Apakah dia memaksamu untuk menceritakan sesuatu?"
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Saya sendiri tidak tahu, locianpwe."
Cia Keng
Hong adalah seorang kakek bijaksana. Dia sudah mengenal seorang anak yang luar
biasa dan dia menduga bahwa tentu ada rahasia di balik diri anak ini dan bahwa
anak ini sengaja tidak mau menceritakan tentang dirinya. Maka dia pun tidak mau
mendesak. Hatinya merasa kasihan sekali dan entah mengapa, dia merasa amat
tertarik kepada Sin Liong, merasa seolah-olah wajah anak ini tidak asing
baginya.
"Sin
Liong, setelah keluarga Na itu dibasmi orang, lalu sekarang engkau akan tinggal
di mana?" tanyanya.
Sin Liong
tidak mampu menjawab, akan tetapi akhirnya dia berkata, "Locianpwe, dunia
begini luas, saya tidak merasa khawatir untuk tidak kebagian tempat tinggal.
Bukankah di mana pun bisa ditinggali, misalnya di hutan ini sekali pun?"
Cia Keng
Hong terharu. Anak ini masih wajar, masih polos dan murni, belum dikotori oleh
kebudayaan dunia di mana setiap orang manusia bergulat untuk memperoleh
kemuliaan dan kesenangan, kalau perlu dengan jalan mendorong dan menginjak
orang lain. Anak ini agaknya belum membutuhkan apa-apa!
"Sin
Liong, apakah engkau suka belajar ilmu silat?"
Sejenak
wajah anak itu berseri gembira. "Tentu saja, locianpwe."
"Bagus!
Kalau begitu marilah kau turut bersamaku dan aku akan mengajarkan ilmu silat
kepadamu."
Sin Liong
memang telah merasa kagum dan suka sekali kepada kakek ini. Pelindungnya,
Na-piauwsu telah tewas, maka tidak ada tempat lain baginya dan kakek ini
ternyata jauh lebih lihai dari pada Na-piauwsu, bahkan agaknya lebih lihai atau
setidaknya pun tidak kalah oleh Kim Hong Liu-nio! Maka dia segera berlutut
lagi.
"Terima
kasih atas kebaikan locianpwe."
Cia Keng
Hong membangunkan anak itu dengan wajah berseri-seri. Semenjak dia pergi
menyusul dan mencari cucunya, baru sekarang dia merasa girang. "Bangunlah
dan mari kita berangkat sekarang juga, Sin Liong. Aku tidak ingin terjadi
banyak keributan, namun kalau wanita itu kembali lagi, tentu akan terjadi
keributan."
Berangkatlah
mereka meninggalkan tempat itu dan Cia Keng Hong mengambil keputusan untuk kembali
ke Cin-ling-san dengan jalan memutar karena dia masih ingin mendengar-dengar
dan mencari jejak cucunya yang pergi meninggalkan Cin-ling-san tanpa pamit itu.
Hati Cia
Keng Hong makin merasa suka kepada Sin Liong. Di sepanjang perjalanan, anak ini
memperlihatkan sikap yang pendiam, tidak cerewet, tidak pernah mengeluh, kuat
dan tahan uji, juga amat cerdik.
Pernah dia
mencobanya dengan mengajaknya berjalan semalam suntuk. Akan tetapi Sin Liong
tidak pernah mengeluh, sungguh pun ketika berjalan semalam suntuk itu beberapa
kali dia terhuyung dan kedua kakinya membengkak. Dan pada waktu diajak berpuasa
itu pendengaran telinga kakek pendekar yang amat tajam itu dapat menangkap
bunyi perut anak itu berkeruyuk berkali-kali, namun dia tetap tidak mengeluh.
Pada suatu
hari, tibalah kakek dan anak tanggung ini di sebuah batu karang. Pada waktu
mereka sampai di kaki bukit, dari jauh saja keduanya sudah melihat serombongan
orang berjalan terhuyung-huyung dan mereka semua itu terluka seperti
serombongan pasukan kecil yang baru saja pulang dari medan pertempuran dengan
menderita kekalahan.
Cia Keng
Hong yang tidak ingin mencampuri urusan orang lain, lalu menggandeng tangan Sin
Liong hendak diajak mengambil jalan lain karena sekelebatan pandang saja dia
tahu bahwa orang-orang itu adalah orang-orang kang-ouw atau orang-orang yang
mempunyai kepandaian silat dan yang sudah luka-luka karena pertempuran.
Orang-orang seperti itu tentulah orang-orang yang selalu mengandalkan
kepandaian sendiri dan senang mencari permusuhan atau suka mencari kekerasan,
maka dia hendak menjauhkan Sin Liong dari mereka.
"Locianpwe...!"
"Ahhh,
agaknya Thian yang menuntun ciangbunjin (ketua) dari Cin-ling-pai ke sini untuk
menolong kami...!"
Tiba-tiba
belasan orang itu semua menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cia Keng Hong!
Tentu saja kakek ini menjadi kaget dan tahulah dia bahwa mereka itu telah
mengenalnya sehingga tak mungkin dia menyingkir lagi. Karena itu dia pun
memandang kepada mereka penuh perhatian.
Akhirnya dia
pun teringat bahwa dia mengenal beberapa orang di antara mereka sebagai
pendekar-pendekar yang gagah dan bukanlah kaum kasar, melainkan
pendekar-pendekar yang suka menolong orang. Maka dengan sikap halus dia pun
mendekati dan bertanya kepada mereka,
"Cu-wi
sicu (sekalian orang gagah) mengapa menderita luka-luka? Apakah yang sudah
terjadi?"
Seorang
laki-laki berusia lima puluh tahun yang pundaknya terluka, bajunya robek hingga
kulit pundak itu terlihat biru dan lumpuh sebelah lengannya, segera menjawab,
"Di puncak bukit ini terdapat seorang gila yang merampas kambing, kuda,
sapi, anjing dan binatang apa saja milik penduduk dusun-dusun di sekitar bukit
ini untuk dibunuh lantas diganyang mentah-mentah! Orang-orang dusun yang datang
kepadanya semua dilukai. Kami yang mendengar ini lalu pergi untuk mengusirnya,
namun ternyata orang gila itu lihai dan jahat sekali sehingga kami semua pun
kalah dan terluka. Oleh karena itu, demi kepentingan para penghuni dusun-dusun
di sekitar tempat ini, kami mohon kebijaksanaan dan keadilan locianpwe untuk
mengusir orang gila itu dari daerah ini."
Setelah
bercerita, dengan amat tergesa-gesa kakek itu bersama teman-temannya segera
bangkit berdiri dan menjura, kemudian pergi meninggalkan tempat itu dengan
terhuyung dan terpincang-pincang, seolah-olah mereka masih merasa jeri dan
khawatir kalau-kalau orang gila itu mengejar mereka!
Cia Keng
Hong mengerutkan kedua alisnya. Dia tidak tertarik untuk mengurusi orang gila!
Berapa banyak sih binatang yang sanggup dimakan habis oleh seorang manusia,
betapa gila pun dia? Dan biasanya, seorang gila tidak akan mengganggu orang
lain kalau tidak lebih dulu diganggu!
Mungkin
anak-anak penggembala ternak itu yang lebih dulu mengganggu si gila sehingga
menjadi marah-marah. Kalau para pendekar itu tidak mendatangi si gila di atas
bukit, jelas bahwa si gila itu tidak akan melukai mereka pula. Dia tidak boleh
hanya mendengarkan laporan sefihak lalu membela mereka.
"Sin
Liong, mari kita pergi..." Dia menoleh dan pandang mata kakek itu
mencari-cari.
Sin Liong
tidak ada lagi di tempat itu. Tadi anak itu masih berada di belakangnya dan
ikut mendengarkan, akan tetapi ternyata secara diam-diam anak itu telah pergi!
"Sin
Liong...!" Dia berseru memanggil, walau pun seruannya itu tidak keras,
akan tetapi karena digerakkan oleh khikang maka gemanya terdengar hingga ke
tempat jauh, bahkan terdengar sampai ke puncak bukit batu karang itu!
Sunyi saja
tidak ada jawaban dari Sin Liong, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
tertawa. "Ha-ha-ha-ha!"
Cia Keng
Hong terkejut bukan main. Itu bukanlah suara ketawa biasa, melainkan suara
ketawa yang juga mengandung khikang sangat kuatnya dan suara itu datang dari
atas puncak bukit itu. Dia menjadi khawatir sehingga pendekar sakti yang sudah
tua ini cepat mendaki bukit menuju ke puncak. Setelah tiba di puncak, dia
melihat hal yang membuat mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak.
Di atas
puncak itu, di atas batu-batu besar yang permukaannya halus dan dikelilingi
oleh puncak-puncak batu karang lainnya yang menjulang tinggi, dia melihat Sin
Liong duduk bersila, berhadapan dengan seorang kakek tua renta tinggi besar yang
kepalanya gundul, kakek yang membuat pendekar sakti ini memandang bengong
karena dia mengenal baik kakek itu yang bukan lain adalah Kok Beng Lama!
Para pembaca
cerita Petualang Asmara dan cerita Dewi Maut tentu mengenal baik siapa adanya
kakek gundul ini. Kok Beng Lama adalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang
memiliki kesaktian hebat, dan dia pernah menjadi kepala dari para pendeta Lama
Jubah Merah di Tibet. Akan tetapi, sejak puterinya yang bernama Pek Hong Ing,
yang menjadi isteri dari pendekar Yap Kun Liong, tewas dibunuh orang, Kok Beng
Lama merasa begitu marah dan dukanya sampai dia menjadi tidak waras, otaknya
menjadi agak miring!
Kemudian dia
dapat sembuh, bahkan dia lalu mewariskan ilmu-ilmunya kepada Lie Seng, cucu
dari ketua Cin-ling-pai itu, dan Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong, yang
masih terhitung cucu tirinya sendiri karena Yap Mei Lan bukanlah anak Pek Hong
Ing, melainkan anak yang lahir dari hubungan gelap antara Yap Kun Liong dan Lim
Hwi Sian.
Akan tetapi,
ketika Lie Seng dan Yap Mei Lan, kedua orang muridnya yang terakhir itu sudah
tamat belajar dan meninggalkan dia, Kok Beng Lama merasa kesepian dan kumat
lagi gilanya, maka dia kemudian merantau seperti orang gila dan akhirnya pada
hari itu dia berada di atas bukit batu karang, menimbulkan geger dan sampai dia
bertemu dengan Cia Keng Hong dan Sin Liong!
Cia Keng
Hong memandang bengong pada waktu melihat kakek gundul itu duduk bersila
berhadapan dengan Sin Liong sambil tertawa-tawa dan kedua orang itu ternyata
sedang bercakap-cakap dengan asyiknya!
"Kakek
yang baik, kenapa kau lukai orang-orang itu?" terdengar Sin Liong
bertanya.
Kok Beng
Lama meraba-raba kepala dan pundak Sin Liong sambil tertawa. "Ha-ha-ha-ha,
mereka itu jahat! Mereka itu hendak menghina seorang tua seperti aku. Mereka
datang dengan senjata di tangan. Ha-ha-ha-ha, untung mereka bertemu dengan aku
yang masih mau mengampuni mereka. Manusia memang jahat dan palsu, tidak seperti
binatang yang wajar dan lebih baik."
"Memang
binatang lebih baik, kakek," jawab Sin Liong yang teringat akan
monyet-monyet besar yang menjadi teman-temannya.
"Ha-ha-ha,
bagus, bagus! Engkau binatang cilik yang baik sekali."
"Dan
engkau seperti monyet tua yang pernah merawatku."
"Hu-huh-huh,
memang aku monyet. Monyet gundul. Dan kau... ehhh, siapa namamu?"
"Sin
Liong."
"Bagus!
Engkau seekor naga. Bukan ular, naga lain lagi. Kalau ular sih seperti manusia,
kadang-kadang licik dan curang. Kalau naga tidak, kau naga cilik yang
menyenangkan. Semua orang takut padaku, tapi kau tidak, naga cilik."
"Aku
kasihan kepadamu, kek."
"Kenapa
kasihan? Heiii, hayo katakan, kenapa kau kasihan, naga cilik?"
"Karena
semua orang menghinamu, mengatakan kau gila."
"Memang
aku gila! Apakah kau tidak gila?"
"Aku...
aku..." Sin Liong menjadi bingung, tetapi dia benar-benar merasa kasihan
kepada kakek yang seperti dia ini, yang hidup sebatang kara, maka dia hendak
menyenangkan hatinya. "Aku juga gila."
"Ha-ha-ha,
bagus, bagus! Kita berdua orang-orang gila! Persetan dengan mereka yang
menganggap diri sendiri tidak gila!"
Kakek itu
bangkit berdiri, kedua tangannya yang berlengan panjang menyambar tubuh Sin
Liong kemudian melontar-lontarkan tubuh anak itu ke atas sampai tinggi sekali!
Sin Liong maklum akan kesaktian kakek itu, karena itu dia pun tidak mau
mengeluh, juga tidak mau memperlihatkan rasa takut.
Cia Keng
Hong khawatir kalau-kalau kakek gila itu akan mencelakai Sin Liong, maka sekali
tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat tinggi dan menyambar tubuh Sin Liong
ketika untuk ke sekian kalinya dilontarkan ke atas Kok Beng Lama! Setelah
menurunkan Sin Liong yang berdiri di belakangnya, Cia Keng Hong kini berdiri
berhadapan dengan Kok Beng Lama dan ketua Cin-ling-pai itu menjura dengan
hormat.
"Sahabat
baik Kok Beng Lama, apakah selama ini engkau baik-baik saja?" Cia Keng
Hong berkata.
Kakek gundul
itu memandang dengan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan dia amat terkejut
dan tercengang, lalu menjura dengan kaku dan berkata, "Aih... kiranya...
Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Silakan duduk."
Kakek gundul
ini pun lalu duduk bersila di atas batu, dan melihat ini, tentu saja Cia Keng
Hong juga duduk bersila, berhadapan dengan kakek Lama dari Tibet itu.
Sin Liong
berdiri dan kini dia memandang bengong kepada kakek sakti yang selama ini
membawanya melakukan perjalanan itu. Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai? Dia
teringat akan pesan ibu kandungnya, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai ini
adalah kakeknya, ayah dari Cia Bun Houw, ayahnya, ayah kandungnya! Jadi kakek
yang telah menolongnya dari tangan iblis betina Kim Hong Liu-nio ini, yang kemudian
membawanya, adalah kakeknya sendiri!
Tiba-tiba
Sin Liong yang berdiri bengong itu terkejut ketika melihat perubahan pada wajah
si kakek gundul. Matanya menjadi merah dan mulutnya yang bersembunyi di balik
kumis dan jenggot putih itu menyeringai. Agaknya kakek gundul itu kumat lagi
gilanya! Cia Keng Hong juga melihat ini, maka dia cepat-cepat bertanya,
suaranya tetap halus,
"Kok
Beng Lama, di manakah cucuku Lie Seng dan Yap Mei Lan? Mengapa aku tidak
melihat mereka?"
Sungguh tak
disangka sama sekali oleh Cia Keng Hong bahwa pertanyaannya itu malah merupakan
minyak bakar disiramkan kepada api kegilaan yang mulai bernyala di dalam otak
Kok Beng Lama itu. Kegilaan kakek gundul ini menjadi kumat sesudah dua orang
muridnya itu pergi karena dia merasa kesepian dan rindu, dan sekarang kata-kata
ketua Cin-ling-pai itu justru mengingatkan dia pada dua orang yang dicintanya
itu! Maka makin merahlah mata itu, makin melotot dan sekarang ditujukan kepada
Cia Keng Hong dengan penuh kebencian. Tiba-tiba kakek gundul itu tertawa
bergelak.
"Ha-ha-ha,
Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai! Anakku tercinta mati karena puterimu, dan
aku masih saja mendidik puteramu mendidik cucumu! Wah, sekarang cucumu juga
pergi meninggalkan aku! Aku menderita sengsara dan berduka karena kau, maka kau
harus bertanggung jawab sekarang! Ha-ha-ha, aku paling suka mengadu ilmu dan di
dunia ini siapa yang dapat menandingi aku kecuali ketua Cin-ling-pai? Hayo, Cia
Keng Hong, hari ini kita membuat perhitungan terakhir, ha-ha-ha!"
Cia Keng Hong
terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya, kakek gundul ini
sudah gila. Tentu saja dia langsung menolak dan mengangkat kedua tangan ke
atas, menggoyang-goyangnya. "Jangan, Kok Beng Lama, jangan! Di antara kita
tidak terdapat permusuhan, bahkan terikat persahabatan dan persaudaraan yang
kekal, bukan?"
"Ha-ha-ha,
justru aku ingin mati dalam tangan seorang yang ternama seperti kau, bukan di
tangan segala macam anjing busuk seperti belasan orang tadi. Hayo, lekas
sambutlah seranganku ini, Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai!"
Sesudah
berkata demikian, tiba-tiba kakek gundul itu sambil tertawa lalu menggerakkan
kedua tangannya ke depan dan angin pukulan yang amat hebatnya menyambar dahsyat
ke depan, menyerang ke arah Cia Keng Hong! Kakek ketua Cin-ling-pai ini memang
telah mengangkat kedua tangan ketika menggoyang-goyang tangan untuk menolak
tantangan tadi. Melihat serangan yang dapat mencabut nyawanya itu, dia terkejut
sekali dan cepat dia pun mendorongkan kedua lengannya ke depan untuk menyambut.
Hebat sekali
pertemuan dua tenaga sakti itu. Jarak antara tangan kedua orang kakek ini masih
ada setengah meter, namun tenaga yang bertemu antara kedua pasang tangan itu
sedemikian dahsyatnya sehingga segala sesuatu di sekitar tempat itu bagaikan
tergetar hebat.
Bahkan Sin
Liong sendiri sampai terpental lantas bergulingan ke belakang. Akan tetapi,
anak ini sudah cepat bangkit kembali dan berdiri menonton dengan mata
terbelalak. Kalau tadinya dia merasa suka kepada Kok Beng Lama dan diam-diam
mengasihani kakek itu, kini dia berfihak kepada kakeknya itu.
Dia merasa
khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi, akan tetapi
dia dapat menduga bahwa antara kedua orang kakek yang duduk bersila dan
meluruskan kedua lengan itu pasti sedang terjadi pertandingan yang amat aneh
dan hebat.
Dia melihat
betapa wajah Kok Beng Lama kelihatan gembira dan mulutnya menyeringai seperti
hendak mentertawakan ketua Cin-ling-pai itu, sebaliknya Cia Keng Hong kelihatan
prihatin sekali. Dia tahu bahwa kakek gundul itulah yang tadi memaksa kakeknya
untuk bertanding.
"Jangan
berkelahi...!" Sin Liong berseru.
Akan tetapi
dua orang kakek itu sama sekali tak mempedulikannya. Kok Beng Lama yang sedang
dilanda kegembiraan besar karena dia dapat mengadakan pertandingan melawan
seorang yang amat lihai itu tentu saja sudah melupakan Sin Liong, sebaliknya,
meski pun Cia Keng Hong mendengar seruan Sin Liong, akan tetapi dia tak dapat
berbuat apa-apa.
Tidak
mungkin dia menghentikan perlawanannya, karena hal itu berarti bahwa dia akan
tewas. Juga amat membahayakan dirinya bila membagi perhatian kepada Sin Liong.
Dia merasa betapa tenaga sakti kakek gundul itu makin lama makin kuat
menghimpitnya dan sudah beberapa kali mencoba untuk mendesak tenaga
perlawanannya. Oleh karena itu, Cia Keng Hong lalu cepat mengerahkan tenaga
mukjijat Thi-khi I-beng!
"Ha-ha-ha,
Thi-khi I-beng, ya? Bagus, aku memang ingin merasakan kehebatannya!" Kok
Beng Lama berseru sambil tertawa.
Tentu saja
hal ini sangat mengejutkan hati Cia Keng Hong karena pendekar ini maklum betapa
berbahayanya bagi Kok Beng Lama yang berani bicara dalam keadaan mengadu tenaga
seperti itu. Ternyata kakek gundul itu sudah tidak lagi memperhitungkan bahaya.
"Kok
Beng lama, perlu apa kita bertanding? Hentikanlah!" serunya.
Akan tetapi
jawaban kakek gundul itu hanya suara tertawanya dan desakan tenaga yang lebih
kuat lagi. Terpaksa Cia Keng Hong juga mengerahkan tenaganya dan tidak berani
bicara lagi karena yang dibadapinya adalah bahaya maut, bukan main-main.
"Hentikan!
Jangan berkelahi!" Sin Liong kini melangkah menghampiri kedua orang kakek
yang sedang mengadu tenaga sakti itu.
Melihat ini,
Cia Keng Hong merasa khawatir sekali, akan tetapi karena tenaga lawan amat kuat
mendesak maka dia pun tak berani membagi perhatian dan diam saja, mencurahkan
perhatian dan tenaganya untuk mempertahankan dan melindungi dirinya sendiri.
Karena
berkali-kali dia berteriak tanpa dipedulikan orang, juga melihat betapa
sekarang dari kepala dua orang kakek itu mengepul uap putih, Sin Liong menjadi
makin khawatir dan dengan nekat dia lalu meloncat ke tengah-tengah antara kedua
orang kakek itu untuk memisahkan mereka!
Hampir saja
Cia Keng Hong berteriak saking kagetnya karena apa yang dilakukan oleh anak itu
benar-benar amat berbahaya. Akan tetapi dia sendiri tidak mampu menolongnya,
karena sedikit saja dia mengurangi tenaganya, maka dia akan celaka, apa lagi
menarik tenaganya yang mempertahankan diri itu. Keadaannya seperti orang yang
menggunakan kedua tangan menahan gencetan benda yang amat berat, apa bila
tenaganya berkurang sedikit saja tentu benda itu akan menggencetnya sampai hancur.
Sin Liong
sendiri kaget setengah mati karena begitu dia meloncat masuk, tiba-tiba saja
tubuhnya bagaikan disedot oleh tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga dia
tertarik dan tiba-tiba saja dia sudah jatuh terduduk di tengah antara kedua
orang kakek itu, duduknya menghadapi Cia Keng Hong dan membelakangi Kok Beng
Lama. Tubuh anak itu tergetar hebat seperti terkena aliran tenaga yang luar
biasa.
Ketika
melihat betapa kedua telapak tangan yang lebar dari Kok Beng Lama menyentuh
punggung anak itu, Cia Keng Hong yang tadinya agak menarik sepasang tangannya
saat Sin Liong meloncat masuk, kini cepat-cepat dia mengulurkan tangannya
menempel pada pundak anak itu. Dia segera merasa betapa tenaga amat dahsyat
dari Kok Beng Lama menyerangnya melalui anak itu, maka dia pun seperti
mempertahankan dan mengimbangi kekuatan itu sehingga tenaga keduanya kini
saling bertanding melalui tubuh Sin Liong.
Sin Liong
merasa tersiksa bukan main. Dia sukar untuk bernapas, dan hawa panas dingin
bergantian menyerang tubuhnya yang kadang terdorong ke belakang atau ke depan
oleh dua tenaga dahsyat yang saling dorong di depan dan belakangnya itu.
Dia tidak
ingin membantu siapa pun, karena dia kasihan kepada kakek gundul yang gila,
akan tetapi dia juga tentu saja bersimpati kepada kakeknya itu. Selain itu,
andai kata dia ingin membantu sekali pun, bagaimana mungkin dia bisa membantu?
Dia hanya melerai, akan tetapi siapa kira, dia malah terseret dan terhimpit tak
dapat terlepas lagi.
Sama sekali
dia tidak sadar bahwa tanpa diketahuinya, dia sudah membantu Kok Beng Lama
karena dia duduk berhadapan dengan kakeknya itu! Biar pun Sin Liong tidak mau
membantu, akan tetapi di dalam tubuhnya terdapat hawa mukjijat yang timbul
karena dia pernah keracunan Hui-tok-san yang kemudian dibikin punah oleh
racun-racun ular hingga timbul semacam tenaga mukjijat di dalam tubuhnya.
Tenaga
inilah yang serentak bangkit dan melakukan perlawanan ketika tubuhnya dialiri
dua tenaga dahsyat itu, dan karena dia duduk menghadap Cia Keng Hong, maka
tentu saja perhatiannya ditujukan ke depan dan otomatis tenaga mukjijat di
dalam tubuhnya itu juga meluncur ke depan! Tanpa disadarinya sendiri, tenaga
ini membantu Kok Beng Lama dan menyerang Cia Keng Hong!
Ketika ketua
Cin-ling-pai merasa betapa ada tenaga yang amat kuat, seolah-olah tenaga kakek
gundul itu menjadi bertambah besar, menyerangnya dan mendorongnya sehingga dia
mendoyong ke belakang, dia menjadi terkejut sekali dan cepat dia lalu
mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng untuk menyedot.
Kini giliran
Kok Beng Lama yang merasa terkejut ketika tiba-tiba tenaganya yang sangat kuat
itu membanjir keluar tanpa mampu diremnya lagi. Cepat dia mengubah tenaganya,
mempertahankan dan kini berubahlah sifat pertandingan itu. Kalau tadi kedua
orang sakti itu mengerahkan sinkang untuk saling mendorong dan mengadu kekuatan
untuk saling merobohkan, sekarang Cia Keng Hong menggunakan Thi-khi I-beng
menyedot sedangkan pendeta Lama itu mempertahankan!
Kembali Sin
Liong yang menjadi sasaran utama dan yang paling hebat menderita! Anak ini
merasa betapa tubuhnya kadang-kadang seperti kosong dan kering tersedot, lalu
terisi kembali oleh tenaga dari Kok Beng Lama, seakan-akan dia sebentar mati
sebentar hidup kembali, wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dia mengeluh
panjang pendek, akan tetapi untuk melepaskan diri dia tidak sanggup, biar pun
dia telah beberapa kali berusaha untuk bergerak dan keluar dari dalam himpitan
itu.
Melihat hal
ini, maklumlah Cia Keng Hong bahwa anak ini terancam bahaya maut. Akan tetapi,
kakek sakti ini pun memperoleh kenyataan yang amat luar biasa, yaitu bahwa anak
itu sama sekali tidaklah asing dengan tenaga sakti! Tahulah dia bahwa tadi
tenaga Kok Beng Lama menjadi berlipat ganda karena memperoleh tambahan tenaga
dari anak ini!
Tahulah
kakek ini bahwa Sin Liong betul-betul merupakan anak luar biasa, yang mungkin
karena sesuatu hal yang tidak disadarinya sendiri oleh anak itu, telah
mempunyai sinkang yang aneh. Kalau saja dia dapat mempergunakan sinkang anak
itu untuk membantunya, tentu Kok Beng Lama akan kalah dan anak ini akan
selamat.
Keselamatan
anak inilah yang penting baginya, anak ini masih kecil, masih berhak untuk
hidup lebih lama lagi. Sedangkan dia dan Kok Beng Lama adalah dua orang kakek
tua renta yang hanya tinggal menghitung hari saja, yang tinggal menanti
kematian yang tentu tidak akan lama lagi karena mereka sudah tua. Pikiran untuk
menyelamatkan anak inilah yang membuat Cia Keng Hong kemudian berbisik-bisik,
membuka rahasia pelajaran untuk mengerahkan tenaga sakti di dalam tubuh,
membangkitkan tenaga dahsyat dengan Ilmu Thi-khi I-beng!
Sin Liong
sudah hampir pingsan, berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Akan tetapi
dia adalah seorang anak yang luar biasa, memiliki daya tahan yang besar berkat
penderitaan yang terlalu sering dialaminya semenjak dia masih bayi, dan karena
pernah hidup bersama monyet-monyet yang perasaannya tajam sekali dan peka
terhadap segala sesuatu yang terjadi, memiliki naluri halus dan dekat dengan
alam, maka walau pun dia dalam keadaan tersiksa, dia dapat mencurahkan
perhatian terhadap bisikan-bisikan kakek sakti yang sesungguhnya adalah
kakeknya sendiri itu.
Mula-mula
pening juga kepala Sin Liong mendengarkan kakek itu menyebut-nyebut hiat-to
(jalan darah) yang bermacam-macam itu. Dia tidak tahu di mana adanya
koan-goan-hiat, ci-kiong-hiat, thian-ti-hiat dan lain-lain. Akan tetapi ketika
dengan teliti dan sabar Cia Keng Hong memberi penjelasan, maka perlahan-lahan
anak itu mulai mengerti dan mulailah dia mengatur pernapasan menurutkan
petunjuk kakek itu, menahan napas dan menggerakkan hawa dari pusarnya.
Memang Sin
Liong memiliki bakat yang amat hebat, dan juga Cia Keng Hong memang hendak
menolongnya dan sudah mengambil keputusan untuk mewariskan Thi-khi I-beng
kepada anak ini, maka perlahan-lahan muncullah tenaga sedot dari dalam tubuh
anak itu yang makin lama makin kuat!
"Oohhhh...!"
Kok Beng Lama terkejut sekali ketika pertahanannya mulai jebol dan tenaga
sinkang-nya perlahan-lahan mulai mengalir keluar melalui kedua telapak
tangannya yang masih menempel di punggung Sin Liong!
Akan tetapi,
karena bocah itu belum dapat menguasai Thi-khi I-beng secara sempurna, meski
pun tubuhnya sudah dapat mengeluarkan daya sedot, akan tetapi dia belum dapat
mengalirkan sinkang-nya yang memasuki tubuhnya itu keluar melalui kedua tangan
Cia Keng Hong, melainkan berkumpul dengan hawa pusarnya dan berputar-putar di
seluruh tubuhnya, makin lama makin cepat putaran itu sehingga menimbulkan daya
sedot yang makin kuat!
Terjadilah
hal yang sangat aneh. Cia Keng Hong juga mengeluh karena kini dia merasa betapa
tenaga sinkang-nya sendiri pun tersedot masuk ke dalam tubuh Sin Liong melalui
kedua tangannya!
Ternyata dia
sudah mempergunakan seluruh tenaga untuk saling tarik dengan tenaga Kok Beng
Lama, maka ketika muncul tenaga baru ke tiga dari Sin Liong yang juga memiliki
daya sedot, dia sendiri tak berani membagi tenaga untuk bertahan sebab membagi
tenaga berarti mengurangi tenaga melawan Kok Beng Lama dan hal itu amatlah
berbahaya.
Oleh karena
itu, kakek ketua Cin-ling-pai ini terpaksa membiarkan tenaganya pelan-pelan
keluar dan mengalir masuk ke dalam tubuh anak yang baru saja diajari ilmu
Thi-khi I-beng itu! Sama halnya dengan senjata makan tuan!
Akan tetapi,
yang keadaannya paling hebat adalah Kok Beng Lama. Sekarang tenaga sinkang-nya
keluar seperti membanjir memasuki tubuh Sin Liong, tidak dapat dibendung atau
ditahannya lagi.
Cia Keng
Hong tidak sadar akan hal ini. Kalau dia tahu tentu dia tidak perlu membiarkan
tenaganya sendiri juga turut tersedot. Maka dia hanya memejamkan mata,
membiarkan tenaganya sedikit demi sedikit tersedot, sedangkan dia tetap
melanjutkan perlawanannya terhadap Kok Beng Lama.
Kalau dua
orang kakek itu terkejut oleh kenyataan betapa sinkang mereka terus tersedot,
adalah Sin Liong yang paling repot dan paling menderita. Dia merasa betapa
tubuhnya seperti sebuah balon karet yang ditiup terus melampaui takaran, dia
merasa seolah-olah tubuhnya menggembung besar dan penuh, matanya berkunang dan
melihat warna merah kuning, napasnya sesak dan setiap kali membuka mata, dia
melihat dunia seperti kiamat, seperti kebakaran!
Maka dia
cepat memejamkan matanya kembali dan diam-diam dia menyesal mengapa dia tadi
mempelajari ilmu setan yang diajarkan oleh kakek itu. Untuk menghilangkan ilmu
itu sudah tidak mungkin lagi karena tanpa disadarinya sendiri hawa di tubuhnya
sudah terus berputar-putar dan terus dibanjiri tenaga dari belakang dan dari
depan!
"Auhh...
sudah... sudah...!" Berkali-kali Sin Liong mengeluh.
Akan tetapi
kedua orang kakek itu tidak mampu berbuat apa pun. Kok Beng Lama yang merasa
amat terkejut itu melihat bahwa dia sudah terlambat untuk melepaskan diri,
kedua tangannya sudah melekat dan tenaganya sudah terus membanjir keluar! Dia
menyangka bahwa itulah kehebatan dari tenaga dalam Cia Keng Hong.
"Cia
Keng Hong... kau... kejam...!" Dia mengeluh dan terpaksa hanya melihat
saja betapa tenaganya semakin lama semakin habis, seolah-olah tubuhnya yang tua
itu mulai dihisap kering, laksana seekor laba-laba menghisap kering semua
cairan dari tubuh seekor lalat yang telah tertawan dalam sarangnya.
Akan tetapi,
Cia Keng Hong sendiri pun tidak tahu akan hal ini. Disangkanya bahwa Kok Beng
Lama sudah mengetahui rahasia Thi-khi I-beng dan kini dia bahkan mulai merasa
betapa dia terancam maut di tangan kakek gundul itu.
Maka dia
terus saja mempertahankan! Jika saja tidak terjadi kesalah fahaman ini, kiranya
kedua orang kakek itu masing-masing akan dapat menghentikan sinkang mereka yang
diarahkan keluar, dan dapat terbebas dari sedotan hawa aneh yang berputaran di
dalam tubuh anak itu.
"Ouhhh...
Cia Keng Hong... selamatkan anak ini...!" itulah keluhan terakhir dari Kok
Beng Lama yang pada saat-saat terakhir telah waras kembali ingatannya dan dia
masih dapat meninggalkan pesan agar menyelamatkan bocah yang tadi
memperlihatkan sikap ramah kepadanya. Setelah berkata demikian, pendeta Lama
ini menarik napas panjang sekali lalu tubuhnya menjadi lunglai kehabisan
tenaga.
Setelah
pendeta Lama itu kehabisan tenaga, barulah Cia Keng Hong terkejut bukan main.
Barulah dia tahu bahwa sejak tadi, tenaganya sendiri pun tersedot ke dalam
tubuh anak itu, sama sekali bukan untuk menahan serangan Kok Beng Lama! Dan
pendeta Lama itu agaknya juga kehabisan tenaga bukan untuk bertanding
dengannya, namun habis akibat tersedot oleh anak itu.
"Aihhhh...!"
Ketua Cin-ling-pai itu mengerahkan tenaganya yang tinggal setengahnya itu,
membuat gerakan menarik sehingga kedua tangannya dapat terlepas dari kedua
pundak Sin Liong.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment