Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 10
KETIKA tiga
puluh orang lebih itu tiba di tempat itu tiba-tiba saja mereka itu menjerit dan
robohlah tiga puluh lebih orang itu, berkelojotan di atas tanah sambil dua
tangan mereka mencekik leher sendiri. Mereka sudah terkena hawa beracun dari
bubuk hitam yang tadi ditaburkan oleh ketua Jeng-hwa-pang itu!
Melihat ini,
pasukan lain dari sebelah kiri bergerak maju untuk menghadang, tetapi pada saat
itu pula Gak Song Kam telah melempar-lemparkan beberapa benda-benda kecil, dan
terdengarlah suara ledakan lalu nampak asap kehitaman mengepul memenuhi jalan.
"Jangan
kejar! Kembali...!" Kim Hong Liu-nio berseru.
Akan tetapi
terlambat, karena belasan orang prajurit telah tiba di tempat itu dan kembali
terdengar jerit-jerit mengerikan lalu mereka itu terguling roboh. Asap beracun
itu seketika membunuh mereka dan muka mereka berubah menjadi kehijauan!
"Keparat!"
Kim Hong Liu-nio kini meninggalkan Han Houw. "Sute, jangan ikut
mengejar!" teriaknya kemudian tubuhnya melesat.
Ketika
sampai di tempat di mana disebar racun, dia mengerahkan sinkang-nya menahan
napas, lalu meloncat bagaikan seekor burung terbang melampaui tempat itu dan
tiba di sebelah sana yang aman. Akan tetapi, karena pada waktu itu senja telah
datang dan di sebelah depan merupakan hutan yang amat gelap, dia tidak lagi
melihat bayangan ketua Jeng-hwa-pang.
Kim Hong
Liu-nio berdiri termangu-mangu. Dia adalah seorang yang sakti dan jangankan
baru menghadapi seorang seperti Gak Song Kam saja, biar ada lima orang Gak Song
Kam dia tak akan takut menandinginya. Akan tetapi, Gak Song Kam adalah seorang
ahli racun, dan kini orang yang curang itu sudah berada di dalam hutan gelap.
Menghadapi seorang curang seperti ketua Jeng-hwa-pang itu, di tempat gelap dan
orang itu ahli racun, benar-benar merupakan bahaya besar dan Kim Hong Liu-nio
bukanlah seorang bodoh.
Memang dia
kehilangan Sin Liong, akan tetapi dalam waktu enam bulan anak itu akan mati
juga. Lagi pula, untuk mencari Cia Bun Houw tanpa bantuan Sin Liong pun dia
masih sanggup. Maka sesudah mengepal tinju memandang ke arah hutan gelap dan di
dalam hatinya berjanji untuk kelak membunuh Gak Song Kam, dia kemudian
membalikkan tubuh kembali kepada sute-nya yang telah menantinya di dalam
kereta.
Ternyata
bahwa tujuh puluh lebih anggota Jeng-hwa-pang, tidak ada seorang pun yang dapat
lolos. Semua terbunuh oleh pasukannya, akan tetapi fihak pasukan juga
kehilangan banyak orang. Hampir dua ratus orang anggota pasukan tewas
dikarenakan orang-orang Jeng-hwa-pang tadi juga menggunakan racun-racun yang
menjatuhkan banyak lawan.
Setelah
memesan agar para komandan pasukan mengurus anak buah yang telah tewas, Kim
Hong Liu-nio lalu memilih dua ekor kuda terbaik, kemudian bersama Han Houw dia
melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda, menuju ke selatan, ke tembok besar.
Wanita ini
mulai dengan perjalanannya yang jauh dan penuh bahaya, menuju ke Kerajaan Beng,
selain untuk memenuhi perintah permaisuri, yaitu mengusahakan agar Han Houw
dapat berjumpa dengan kaisar, juga untuk mencari musuh-musuh besar gurunya,
yaitu Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun.
Sementara
itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki hutan lebat.
Anak ini berusaha meronta, tetapi cengkeraman tangan Gak Song Kam amat kuat.
Seorang dewasa yang bertenaga besar pun tidak akan dapat berkutik kalau
dicengkeram oleh orang she Gak ini, apa lagi seorang anak kecil seperti Sin
Liong.
Malam sudah
tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah pada
punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu melemparkan
Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri segera menjatuhkan diri di atas
rumput, lalu kakek yang bertubuh tinggi tegap dan kelihatan gagah perkasa itu
menangis! Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang
keluar dari kerongkongannya. Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua
tangan, bagai seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya.
Semua ini
dapat dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang, karena ada sinar bulan yang
cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari wajah
kakek yang sedang menangis itu.
Watak anak
itu memang aneh bukan main. Hatinya keras dan dia akan menentang segala ketidak
adilan dengan penuh keberanian, dan dia tabah sekali menghadapi ancaman apa pun
juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu, mudah
menaruh iba terhadap orang lain. Maka, begitu melihat kakek itu menangis
demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan juga kasihan, lupa bahwa kakek
ini telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan.
"Paman,
kenapa engkau menangis begitu sedihnya?" tanpa tertahankan lagi dia
bertanya, suaranya penuh keprihatinan.
Mendengat
pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis semakin keras lagi, seakan-akan
pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa
dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang
sudah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim
Hong Liu-nio dan mendadak tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah
Sin Liong dan membentak,
"Bocah
setan! Mereka sudah membasmi semua anak buahku dan keluargaku. Baik, biar pun
aku belum sanggup membalas kepada iblis betina itu, setidaknya aku sudah dapat
memuaskan dendamku kepadamu!" Dia lalu meloncat, menyambar kedua kaki Sin
Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang lebih dalam dari hutan itu.
Tentu saja
Sin Liong tersiksa sekali. Tubuhnya lecet-lecet dan babak belur akibat terkena
duri-duri saat dia diseret dan dia sama sekali tak mampu bergerak karena
tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu berhenti di sebuah lereng bukit
dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat sebuah lubang yang dalamnya ada dua
meter, seperti sebuah sumur.
"Ha-ha-ha,
akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan! Sekarang ini
bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis betina itu ke
tempat ini!" Bagaikan orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan karena
ketika tertawa itu dia mengangkat mukanya, maka cahaya bulan persis menimpa
mukanya, membuat wajah itu kelihatan kejam dan seperti muka setan!
"Paman,
apa yang akan kau lakukan terhadapku?" Sin Liong bertanya karena dia
merasa tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini
menyiksanya?
"Ha-ha-ha-ha,
kau ingin tahu? Ingin melihat? Nah, kau lihatlah!" Dia menyambar tubuh Sin
Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah,
kemudian dia menggantung tubuh itu di sumur.
Dengan
kepalanya yang tergantung itu, Sin Liong dapat melihat lubang sumur yang gelap
menghitam, akan tetapi masih nampak olehnya beberapa ekor ular merah bergerak-gerak
di dasar lubang sumur itu!
"Ha-ha-ha,
sudah kau lihat? Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan di sini, kami
pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di dunia ini,
dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!" Sesudah berkata demikian,
kembali Gak Song Kam melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di dekat lubang
sumur yang mengerikan itu.
Melihat
ular-ular itu, Sin Liong lantas bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular
itu, dan teringatlah dia akan cerita ibunya bahwa pada waktu kecil pun dia
pernah digigit ular dan hampir mati. Teringat akan hal itu, dengan sendirinya
dia segera teringat akan ibunya dan terbayanglah di depan matanya betapa
ibunya, yang selama ini dianggapnya sebagai ibu angkatnya akan tetapi kemudian
ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah tewas.
"Ibuuuu...!"
Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis!
Tangisnya
sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh hingga saat ini, dia selalu
berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan
kesedihannya. Kini, ketika teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya,
tiba-tiba dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis
tersedu-sedu. Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya
lumpuh tertotok.
"Ha-ha-ha-ha...!"
Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang sedang berduka
melihat musuhnya tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong menangis
karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya!
"Ibuu...
ahhh, ibuuu... hu-hu-huuuh...!"
"Ha-ha-ha-haahhh...!"
Suara tangis
dan tawa itu berselang-seling seperti saling berlomba, dan makin Sin Liong
mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara tawa Gak
Song Kam yang merasa sangat terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh
besar atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini.
"Ha-ha-ha,
sekarang menangislah engkau, menangis terus hingga arwahmu akan menjadi setan
yang menangis. Ha-ha-ha!"
Gak Song Kam
menepuk punggung Sin Liong membebaskan totokannya sehingga anak itu kini dapat
bergerak lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu
melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam lubang sumur!
"Bukkk!"
Tubuh Sin
Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek. Sin Liong terguling-guling sampai
tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang, pakaiannya berlepotan
tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang terlentang itu melihat
kepala berikut wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di atas lubang sumur.
Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa.
Tiba-tiba
hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar suara
mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia
meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya
digigit dari bawah.
"Aduhhh...!"
Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa cesss seperti
terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang menyusup hingga
ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat.
Saking
nyerinya, ketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu,
tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari
kakinya dan panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi ketika dia
mencengkeram, tubuh ular yang membelit kakinya itu ternyata lemas dan ketika
dia renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati!
"Cesss...!
Aduhhh!"
Kini
tiba-tiba saja pahanya tergigit sesuatu lalu rasa dingin menyusup tulang
membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang sudah melempar bangkai ular
merah itu kembali menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan sungguh
aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas, walau pun
bangkai ular itu masih hangat dan tubuh ular itu masih berkelojotan sedikit.
Di bawah
sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering itu, dia melihat
ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu. Akan tetapi kembali ada ular
yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum Sin Liong menangkap ular ini, ada
lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya.
Rasa dingin
yang teramat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh, kedua
tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama,
juga tiga ekor ular merah itu langsung mati begitu menggigit tubuhnya. Sin
Liong merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil.
Dia tidak
lagi mempedulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati
pemandangan remang-remang di bawah sumur, di mana dia hanya melihat anak itu
jatuh bangun dan mengaduh-aduh. Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang
dikeroyok oleh lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu.
Dia membuka
mata lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar
yang juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya
sepaha manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya
perlahan-lahan ditelan oleh ular besar ini.
Kalau saja
Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut setengah mati
melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu menggigit
tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja.
Seperti
sudah kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu
racun yang sangat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit.
Racun ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah
yang sama jahat dan berbahaya, justru memiliki sifat yang sebaliknya. Racun
ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat
dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar
saja manusia itu tentu akan mati.
Akan tetapi,
darah Sin Liong sudah diracuni oleh Hui-tok-san. Maka, begitu ular-ular itu
menggigit, mereka bertemu dengan lawan hebat sehingga ular-ular itu mati
seketika, tak kuat menghadapi hawa panas yang menyerang dari dalam tubuh Sin
Liong.
Kini Sin
Liong yang tersiksa hebat sekali. Biar pun lima ekor ular merah itu sudah mati,
akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat dan
menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya terasa sakit,
sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin bagaikan
membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti
ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, Sin Liong mengeluh
dan jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak
mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur.
Memang
agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang
menguasai tubuhnya itu justru mengandung sifat yang berlawanan, dan keduanya
adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini.
Kalau saja
racun ular merah yang telah memasuki tubuhnya itu lebih banyak atau kurang
sedikit saja, maka nyawanya takkan tertolong lagi! Akan tetapi yang memasuki
tubuhnya justru tepat sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga
perimbangan yang tepat ini membuat dua macam racun itu saling serang dan
akhirnya keduanya mati sendiri atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau
luntur sehingga tanpa disadari oleh anak itu kini Sin Liong terbebas dari
ancaman maut.
Racun
Hui-tok-san yang oleh Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang
akan membunuhnya dalam waktu enam bulan, kini sudah buyar dan punah. Sebaliknya,
racun lima ekor ular merah itu pun kehilangan dayanya karena punah oleh
Hui-tok-san!
Namun, rasa
nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara racun ular-ular merah
dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam keadaan setengah
sadar Sin Liong bergulingan sambil mengeluh. Dan pada saat itu pula
terdengarlah suara mendesis-desis. Seekor ular besar yang panjangnya ada tiga
meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu
lantas bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan!
Tubuh anak
itu memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar
bersama monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah kedua macam racun itu mulai
kehilangan kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia pun mulai
sadar.
Sin Liong
sudah bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia
membuka matanya dan pada saat itu dia melihat dua cahaya kecil mencorong, yaitu
mata dari seekor ular besar yang telah berada di depannya, kepalanya tergantung
ke bawah, lidahnya menjilat-jilat keluar!
Sin Liong
terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena tubuhnya tersiksa oleh
rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong keluar nalurinya dan
tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi namun pekik
seekor kera muda yang sedang marah.
Kemudian,
terdorong oleh naluri liar ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular
besar itu, melainkan sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher
ular itu! Ular itu mendesis lantas membuka mulut, akan tetapi dengan seluruh
kekuatan Sin Liong mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya,
membelit-belit pinggang dan leher Sin Liong.
Anak ini
tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling, tubuhnya terbelit-belit ular
itu dan terasa betapa lehernya tercekik. Karena merasa marah, Sin Liong lalu
menggereng, membuka mulut dan menggigit leher ular itu. Digerogotinya leher
ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan disertai kemarahan, dan dia segera
merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia tidak peduli
dan menggigit terus, menggigit terus!
Ular itu
besar dan kuat sekali. Seorang laki-laki dewasa sekali pun tidak akan mungkin
dapat melawan tenaga lilitannya, apa lagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak
berlaku nekat dan menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah
dililit oleh ular itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan
dan meronta, membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang
leher atau punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu.
Ketika
mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak Song
Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira.
Dalam diri
setiap orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu
rangsangan yang menimbulkan ketegangan yang nikmat bila mana menyaksikan suatu
siksaan atau kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain makhluk.
Nafsu yang mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka
sekali nonton adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik
antar manusia mau pun antar makhluk hidup.
Nafsu yang
dikenal dengan sebutan sadisme ini menguasai orang-orang yang batinnya lemah,
orang-orang yang menonjolkan iba diri sehingga dia akan merasa senang melihat
orang lain atau makhluk lain lebih menderita dari pada dirinya sendiri. Nafsu
inilah yang menimbulkan segala macam perbuatan keji dan kejam di antara
manusia.
Gak Song Kam
yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri anak di dalam
lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan kakek ini tak ingin kehilangan
kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya sangat menegangkan namun
menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu
kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan
menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton.
Namun,
selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri menutupi sinar
obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar pekik-pekik
seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang. Bekas ketua Jeng-hwa-pang itu
terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari lubang
sumur, melainkan dari arah belakangnya.
Cepat dia
membalikkan tubuh memandang sambil mengangkat obornya, dan hampir dia sendiri
berteriak saking kagetnya. Tempat itu penuh dengan monyet-monyet besar yang
menyeringai marah, memperlihatkan gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang
tajam dan liar!
Sebetulnya,
yang datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet
besar saja. Akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang
keluar dari kerongkongan rombongan monyet itu saling bersahut, berloncatan dari
segala penjuru, sedangkan hati Gak Song Kam sedang terkejut bukan main, maka
dia merasa seolah-olah yang muncul ada ratusan ekor monyet!
Dalam
keadaan biasa, tentu saja orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi ini tidak
takut menghadapi rombongan monyet-monyet itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak
Song Kam adalah seorang pelarian yang baru saja meloloskan diri dari ancaman
maut, maka melihat munculnya ratusan ekor monyet besar itu, seketika timbul
dugaannya bahwa hal ini tentulah merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita
iblis itu. Maka, tanpa berpikir dua kali, dia segera membuang obornya dan
melarikan diri dari tempat itu dengan cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu
muncul!
***************
Sin Liong
tidak tahu lagi betapa pada saat itu, beberapa ekor monyet besar berloncatan,
masuk ke dalam lubang sumur dan seekor monyet betina besar menggereng,
merenggut ular yang melilit tubuhnya itu dengan penuh kemarahan, kemudian
menggigit kepala ular itu. Beberapa ekor monyet membantu dan akhirnya tubuh
ular itu mereka robek-robek.
Kemudian,
monyet betina besar itu mengeluarkan suara menguik-nguik seperti menangis
melihat tubuh Sin Liong yang terlentang pingsan, dipondongnya tubuh itu dan
dibawanya merayap naik bersama teman-temannya. Tidak lama kemudian, belasan
ekor monyet itu menghilang di antara daun-daun pepohonan. Mula-mula pohon-pohon
di sekitar tempat itu berkerosakan, dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang, akan
tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi dan rombongan monyet itu telah
pergi jauh.
Tidak sampai
sepuluh hari lamanya, Sin Liong sudah sembuh kembali dari luka-lukanya. Dia
dirawat oleh monyet betina yang menjadi induknya pada waktu dia masih bayi, dan
beberapa hari kemudian, dia telah dapat bergerak bebas dengan para monyet,
berkejaran di pohon-pohon, mencari buah-buahan dan hidup bersama mereka dengan
bebas.
Sin Liong
sama sekali tak merasa canggung hidup di antara binatang-binatang ini, bahkan
dia merasa mendapatkan kembali dunianya yang amat dicintanya. Begitu bebas,
begitu wajar, begitu sehat! Selama beberapa hari saja hidup di antara kawanan
monyet itu, di dalam hutan lebat, dia telah melupakan semua kedukaannya, lupa
dengan kematian ibu kandungnya, lupa akan orang-orang yang tadinya dianggap
musuh besarnya, lupa akan dendamnya dan dia benar-benar hidup dengan wajar dan
bahagia.
Tidak pernah
ada persoalan atau masalah yang timbul dari pikiran, yang ada hanyalah
soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh lelah, panasnya matahari,
dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul dari alam, dan segala
masalah yang secara langsung dihadapinya dan langsung diatasinya pula. Tidak
ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan masyarakat
manusia, yang berisi kecewa, dendam, iri, benci, dan sebagainya yang kesemuanya
menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup.
Tidak dapat
disangkal pula bahwa manusia adalah makluk yang paling pandai di antara semua
makluk hidup dan telah memperoleh kemajuan yang amat hebat dalam masalah
kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah. Kemajuan-kenajuan pesat yang
mentakjubkan telah dicapai oleh manusia dengan segala keajaiban tehnik.
Akan tetapi,
sungguh sayang, kemajuan jasmaniah ini tidak disertai kemajuan rohaniah,
kemajuan lahiriah tidak diimbangi dengan kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya
malah! Justru kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini
seakan-akan menjadi penghambat kemajuan batiniah, bahkan sudah membuat manusia
mundur dalam bidang rohani.
Bila mana
kita membandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu manusia masih menggunakan
gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia mempergunakan kendaraan-kendaraan
bermesin yang hebat-hebat, bahkan bisa terbang dengan kecepatan melebihi suara,
jelaslah bahwa manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat di bidang
kebendaan di banding lahiriah. Akan tetapi, kalau kita bandingkan pula keadaan
batiniah manusia ketika masih berkendaraan gerobak dengan batin manusia
sekarang, jelas pula nampak bahwa di bidang ini kita mengalami kemunduran
hebat!
Kejahatan
makin merajalela. Permusuhan di antara manusia makin menghebat. Perang makin
mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai seluruh negara di bagian dunia mana
pun juga. Mengapa demikian? Apakah justru kemajuan lahiriah itu yang menyeret
manusia mundur dalam bidang batiniah? Apakah kemajuan di bidang kebendaan itu
telah mendatangkan kebahagiaan kepada manusia?
Kita dapat
membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas: Tidak! Kemajuan di bidang
kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tak
semestinya maju dalam bidang kebendaan. Sama sekali tidak! Namun kita tidak
pernah mau meneliti dan menyelidiki tentang kehidupan batiniah kita. Kita
terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang semuanya ditujukan kepada pencapaian
kesenangan yang sebesar dan sebanyak mungkin!
Kita lupa
bahwa makin dikejar, kesenangan itu semakin mencengkeram kita, semakin membuat
kita haus. Nafsu tak pernah dapat dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus
menyeret kita supaya mendapatkan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan
justru pengejaran kesenangan ini yang akhirnya menjerumuskan kita ke dalam
segala bentuk kejahatan!
Seluruh
kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu, yaitu
ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke dalam soal-soal
yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar dari kita memasuki
suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok kebatinan, hanyalah
terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah!
Marilah kita
membuka mata meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua usaha
kerohanian kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung? Hasrat ingin
menjadi orang baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang semuanya hanya
merupakan bentuk terselubung dari hasrat INGIN SENANG.
Dan selama
masih terdapat pamrih ingin senang, berarti semua tindakan yang berpamrih
mementingkan diri sendiri sudah pasti akan mendatangkan konflik. Karena itu
muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu, keluargaKu, kelompokKu, TuhanKu, dan
selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan kepada kesenanganKu, oleh karena
itu bila kesenanganku sampai diganggu, aku menjadi marah, benci, dan siap untuk
membunuh atau dibunuh!
PERANG!
INGIN SENANG! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak
kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di goa-goa, atau mengasingkan
diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa menjauhi
kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya juga masih
MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan kesenangan yang kita anggap
lebih luhur!
Segala macam
bentuk pencarian, segala bentuk daya upaya, pada hakekatnya terdorong oleh rasa
ingin senang itu, bukan? Baik kesenangan itu kita tingkat-tingkatkan sebagai
kesenangan rendah, sedang atau tinggi atau luhur, tetap saja pada dasarnya kita
ingin senang! Dan selama ada KEINGINAN untuk senang, maka sudah pasti timbul
konflik, timbul pertentangan, sebab keinginan yang dihalangi akan menimbulkan
kemarahan dan kebencian, keinginan yang tak tercapai akan menimbulkan
kekecewaan dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tak akan
mendatangkan kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja yang
kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi.
Kesenangan
bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk senang! Kita
mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu, dapat menikmati apa
yang kita namakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat menikmati keindahan
setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau burung, hidung kita bisa
menikmati keharuman bunga, mulut kita bisa menikmati asin, manis, gurih, dan
sebagainya lagi.
Anugerah
sudah berlimpah! Akan tetapi, segala kesenangan yang sesungguhnya bukan
kesenangan, melainkan kebahagiaan hidup ini, akan berubah menjadi kesenangan
yang ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh sebanyak dan sebesar mungkin,
selama kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke dalam ingatan kita!
Maka
lahirlah keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran kesenangan! Semua ini
dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau mengamati diri sendiri
setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya mengamati saja penuh
pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati diri sendiri.
Sin Liong
mengalami kebahagiaan karena hidup di antara para monyet itu, dia hidup saat
demi saat, tidak lagi dibuai oleh pikiran yang mengingat-ingat dan mengenangkan
segala hal yang telah lalu mau pun yang akan datang. Kalau lapar mencari
makanan dan makan. Kalau lelah beristirahat, bila mengantuk tidur, kalau
kepanasan atau kehujanan berteduh, habis perkara! Yang ada hanyalah
tantangan-tantangan hidup yang muncul seketika dan ditanggulangi seketika pula.
Tidak ada pikiran mengkhawatirkan masa depan dan tidak ada pikiran menyesali
masa lalu.
Memang amat
mengherankan kalau pada suatu pagi orang melihat seorang anak laki-laki yang
tampan berkejar-kejaran dengan sekelompok monyet, berayun-ayun dan berloncatan
tinggi sekali di puncak-puncak pohon dengan amat cekatan, ikut pula
mengeluarkan suara teriakan-teriakan seperti monyet dan kadang-kadang melayang
dari dahan yang tinggi ke dahan yang lebih rendah dengan luncuran tubuh yang
menimbulkan rasa ngeri.
Kini
tubuhnya sudah sembuh sama sekali dari pengaruh racun, sungguh pun hal ini sama
sekali tak disadarinya. Sin Liong tidak tahu bahwa racun Hui-tok-san yang
dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh Kim Hong Liu-nio itu kini telah lenyap dan
musnah oleh racun gigitan ular-ular merah dan bahwa dia telah bebas dari
ancaman maut. Namun, Sin Liong sudah tidak mempedulikan lagi akan hal itu. Pagi
hari itu dia sedang berloncatan dengan penuh kegembiraan, menuju ke bagian
hutan di mana terdapat pohon-pohon yang berbuah.
Tiba-tiba
terdengar pekik ketakutan dari seekor monyet, jauh di depan. Suara itu demikian
mengejutkan bagi kawanan monyet itu dan juga bagi Sin Liong sehingga mereka
semua seketika berhenti bergerak membuat semua dahan-dahan pohon yang tadinya
bergoyang-goyang, mendadak berhenti sama sekali, suara mereka yang tadinya
ramai dan gembira itu pun berhenti. Suasana menjadi sunyi dan para monyet itu
kelihatan ketakutan, bahkan ada yang menggigil dan memeluk dahan pohon seperti
ingin berlindung.
Kembali
terdengar pekik dahsyat itu, dan para monyet makin ketakutan. Akan tetapi Sin
Liong tiba-tiba mengeluarkan pekik dari kerongkongannya dan dia telah meloncat
dengan gerakan cepat sekali, berloncatan dari pohon ke pohon sambil
memekik-mekik. Melihat ini, timbul kembali keberanian para monyet itu dan
mereka pun bergerak cepat mengejar Sin Liong sambil memekik-mekik.
Biar pun
semua binatang, termasuk monyet, tidak pandai berbicara seperti manusia yang
sudah mengembangkan ilmu bercakap-cakap sehingga menjadi sangat luas dan
lengkap, sehingga setiap benda telah diberi nama atau kata tertentu, namun
binatang-binatang itu pun memiliki cara saling berhubungan melalui suara. Oleh
karena itu, setiap suara yang dikeluarkan oleh binatang apa pun, sudah tentu
mempunyai maksud tertentu bagi jenis mereka.
Begitu pula
dengan suara-suara pekik monyet, suara itu memiliki makna-makna tertentu dan
karena sejak kecil sering kali bergaul dengan monyet-monyet, maka Sin Liong
dapat menangkap makna dari suara-suara monyet itu. Pada saat mereka tadi
mendengar pekik mengerikan dari seekor monyet, mereka maklum bahwa ada seekor
monyet yang berada dalam ketakutan hebat, sedang menghadapi bahaya besar, lalu
pekik-pekik selanjutnya memberi tahu kepada mereka bahwa monyet itu tengah
berhadapan dengan musuh besar mereka yang amat ganas dan berbahaya, yaitu
harimau!
Harimau
merupakan raja hutan yang sangat ditakuti oleh para monyet itu, karena sudah
sering kali harimau menerkam dan membunuh seekor di antara mereka. Kalau mereka
sedang bergerombol dalam jumlah banyak, harimau-harimau itu tidak berani
menyerang. Akan tetapi begitu ada monyet yang terpencil sendirian, apa bila
bertemu harimau, tentu akan menjadi korban dan mangsanya. Maka, begitu
mendengar pekik itu, tentu saja para monyet tadi menjadi ketakutan.
Akan tetapi,
tentu saja Sin Liong berbeda dengan mereka. Anak ini sudah terlalu sering
ditolong dan dlselamatkan oleh monyet-monyet itu, dan sebagai manusia yang
memiliki daya ingatan kuat, tentu saja hal-hal ini membuat dia merasa berhutang
budi dan timbul kesetia kawanan besar di dalam hati anak manusia ini.
Sebab itu,
begitu rasa kaget dan ngerinya mereda, dia teringat bahwa ada seekor monyet
terancam bahaya, maka dia melupakan segala rasa takutnya dan cepat lari menuju
ke tempat itu. Dan para monyet itu agaknya baru sadar bahwa mereka berjumlah
banyak dan tidak usah takut menghadapi musuh besar itu, maka mereka pun cepat
mengejar dan mengikuti Sin Liong.
Sin Liong
sudah meloncat turun dan benar saja, di depan terdapat seekor monyet besar yang
sedang diserang oleh harimau. Monyet itu sudah luka-luka, akan tetapi dia
melawan dengan nekat, berloncatan ke sana-sini dan berusaha untuk balas
menggigit.
Melihat ini,
Sin Liong marah sekali, dia mengeluarkan suara gerengan keras dan meloncat ke
depan, lantas menerjang harimau itu dengan penuh keberanian, menggunakan
kakinya menendang ke arah perut harimau dan tangannya menyambar ke arah ekor
harimau yang panjang.
"Bukkk!"
Walau pun
tendangan itu cukup keras, namun mengenai perut harimau seperti mengenai
sekarung beras saja. Kaki anak itu membalik, tetapi Sin Liong sudah berhasil
memegang ekor binatang itu dan membetotnya.
Harimau itu
meraung, melepaskan monyet yang tadi sudah diterkamnya, lalu membalik, berusaha
untuk mencakar manusia cilik yang memegangi ekornya. Akan tetapi Sin Liong
cukup cerdik, dia memegangi ekor harimau itu dengan kedua tangan sekuat tenaga,
tidak mau melepaskannya dan kadang-kadang kakinya menendang-nendang sekenanya,
yang mengenai pantat dan kedua kaki belakang harimau yang menjadi makin marah.
Harimau itu meraung-raung, menggereng-gereng, namun Sin Liong juga
memekik-mekik nyaring.
Suara yang
hiruk-pikuk itu agaknya sudah menarik perhatian harimau lainnya. Dari balik
semak-semak muncul seekor harimau lain yang menggereng dan dengan loncatan
tinggi, harimau ke dua ini menubruk dan menerkam Sin Liong dari belakang!
"Aughhhhh...!"
Sin Liong berteriak kaget sekali, kedua pundaknya kena dicakar, bajunya robek
dan kulitnya pecah-pecah.
Akan tetapi
dengan sigap dia segera membalikkan tubuhnya, lantas menyusup ke bawah sehingga
terlepas dari terkaman itu. Sin Liong sudah menerjangnya dengan
tendangan-tendangan dan pukulan secara membabi-buta. Akan tetapi, tentu saja
tendangan serta pukulannya tidak dapat merobohkan harimau yang buas dan kuat
itu. Kembali Sin Liong menjadi korban cakaran-cakaran kuku harimau sehingga
bajunya makin robek-robek tidak karuan, berikut kulitnya sehingga pakaiannya
mulai berlumuran darah.
Baiknya,
pada saat itu, rombongan monyet telah tiba dan mereka berloncatan turun. Kini
jumlah mereka bertambah banyak karena tadi monyet-monyet lain yang sedang
berada di lain tempat mendengar suara-suara itu dan mereka pun berdatangan.
Melihat di bawah ada dua ekor harimau yang sedang menyerang Sin Liong dan
seekor monyet lain yang sudah luka-luka parah, mereka mengeluarkan suara
gerengan dan berloncatan turun, lalu mulailah terjadi pengeroyokan terhadap dua
ekor harimau itu.
Kedua ekor
binatang buas ini sudah menjadi ketakutan melihat munculnya begitu banyak
monyet, maka ketika mereka diterkam dan dikeroyok, mereka meraung-raung,
mencakar ke sana-sini, menggigit sana-sini, namun akhirnya kedua ekor binatang
buas itu terpaksa melarikan diri sambil menggeram marah karena musuh terlampau
banyak bagi mereka yang memang sudah merasa ketakutan.
Sin Liong
duduk dengan lemas. Seperti beberapa ekor monyet lainnya, dia pun menderita
luka-luka dan pakaiannya robek-robek. Dengan bantuan induk monyet besar, dapat
juga dia memanjat pohon dan beristirahat di atas pohon, dirawat lagi oleh induk
monyet besar dengan penuh kasih sayang, ada pun monyet-monyet lain yang
luka-luka dapat merawat diri sendiri.
Demikianlah,
untuk ke sekian kalinya, kembali Sin Liong hidup di antara monyet-monyet.
Karena dia sudah pernah digembleng ilmu silat oleh ibunya, maka kini dia dapat
menilai gerakan-gerakan para monyet itu yang amat cekatan dan gesit, dan
mulailah dia dapat mengambil intisari dari gerakan-gerakan itu untuk dipakai
berlatih ilmu silat yang pernah dipelajarinya.
Mungkin
karena anak ini dibesarkan dalam asuhan monyet, bahkan dihidupkan oleh air susu
monyet, maka Sin Liong lebih dapat menangkap naluri monyet-monyet itu sehingga
tanpa disadarinya sendiri, dia telah menciptakan ilmu silat monyet yang lebih
mendekati aslinya dari pada ilmu silat monyet yang sudah ada dalam
partai-partai persilatan besar. Dia bisa bergerak dengan kecepatan laksana
monyet asli, cara mengelak, cara meloncat, ketajaman pandang mata dan telinga,
kecekatan kaki tangan.
Dan yang
lebih dari semua itu, dia kini hidup bebas dan berbahagia karena dia tidak lagi
mengenal persoalan-persoalan yang selalu memenuhi kehidupan manusia.
Satu-satunya urusan baginya, seperti monyet-monyet yang lainnya, hanyalah
menjaga dan memelihara diri, tubuh yang dimilikinya itu, dari ancaman luar, dan
di dalam hubungan antara mereka dia memperoleh kebahagiaan.
Kini dia
tidak hanya dapat mengerti, bahkan dapat merasakan mengapa seluruh binatang di
dalam hutan, bila sudah bergerombol, menjadi demikian gembiranya, mengapa
burung-burung berkicau indah di pagi hari, kupu-kupu beterbangan berkejaran di
antara bunga-bunga, kijang dan kelinci berloncat-loncatan lucu. Mereka semua
itu dapat bergembira, dapat hidup berbahagia, karena selain tubuh mereka sehat
dan terasa enak, juga mereka tidak pernah dibebani pikiran yang menimbulkan
kekhawatiran, penyesalan, kebencian, iri hati, pengejaran bayangan kesenangan
dan sebagainya lagi.
***************
Kita
tinggalkan dulu Sin Liong dalam dunianya yang menyenangkan itu, dan marilah
kita tengok keadaan para penghuni Istana Lembah Naga. Seperti kita ketahui,
keluarga Kui Hok Boan mengalami mala petaka besar pada waktu isteri dari orang
she Kui ini tewas di tangan Kim Hong Liu-nio secara mengerikan.
Sungguh pun
hatinya merasa cemburu dan marah sesudah mendengar kenyataan bahwa isterinya
dulu pernah bermain cinta dengan pendekar Cia Bun Houw sehingga kemudian
melahirkan Sin Liong yang disangkanya benar ditemukan oleh isterinya itu, namun
hati orang she Kui ini berduka sekali oleh kematian Liong Si Kwi. Dia sudah
jatuh cinta kepada isterinya yang tangan kirinya buntung itu.
Sebelum dia
menikah dengan Si Kwi, Hok Boan adalah seorang petualang asmara yang belum
pernah jatuh cinta. Semua perbuatannya terhadap wanita mana pun hanya didorong
oleh nafsu birahi belaka. Oleh karena itu banyak wanita yang dia tinggalkan
begitu saja setelah dia merasa puas kemudian menjadi bosan, dan di antara para
wanita itu terdapat dua orang wanita yang akhirnya melahirkan keturunannya,
yaitu dua orang anak laki-laki yang dibawanya ke Lembah Naga dan diakuinya
sebagai keponakan.
Dia belum
pernah jatuh cinta dan hanya ketika dia bertemu dengan Liong Si Kwi maka dia
benar-benar jatuh cinta. Setelah dia menikah dengan Si Kwi dan mempunyai dua
anak perempuan kembar itu, dia merasa betapa hidupnya sudah aman tenteram dan
makmur. Keadaan ini menjinakkan sifat binalnya sehingga dia bisa hidup sebagai
seorang laki-laki terhormat, sebagai seorang suami dan seorang ayah baik-baik.
Akan tetapi,
siapa menduga akan datangnya mala petaka sehebat itu! Isterinya tewas di dalam
tangan Kim Hong Liu-nio, seorang iblis betina yang amat lihai dan sampai bagai
mana pun dia takkan mungkin melawannya. Kini dia kehilangan isteri yang
dicintanya dan kembali dia hidup sebatang kara, bahkan kini dibebani dengan
empat orang anak tanpa ibu!
Kedukaan
akibat kehilangan isterinya itu agaknya tak akan menjadi terlalu berat bagi Hok
Boan yang tentu akan dapat menghibur hatinya dan menghilangkan kesepiannya
dengan mencari wanita lain yang dapat melayaninya. Apa lagi sekarang dia
merupakan seorang yang kaya dan terhormat, maka kiranya akan banyak gadis
baik-baik yang cukup cantik untuk menjadi isterinya dengan senang hati.
Akan tetapi
yang membuat Hok Boan bingung adalah perintah yang datang dari raja liar
Sabutai melalui utusannya yang mengerikan, Kim Hong Liu-nio, bahwa dalam waktu
enam bulan dia harus pergi meninggalkan Lembah Naga! Inilah yang membuatnya
menjadi agak bingung.
Tentu saja
dia dapat mengungsi ke selatan dengan membawa empat orang anaknya dan hartanya.
Akan tetapi dia tahu bahwa di selatan terdapat banyak musuh-musuhnya dan tentu
kehidupannya akan berubah sama sekali, akan lenyap pula semua ketenteraman
hidup yang selama ini dinikmatinya di dalam Lembah Naga.
Ikatan
selalu menimbulkan duka. Kita hidup terbelenggu ketat oleh ikatan-ikatan hingga
merupakan hal yang teramat sukar untuk dapat bebas. Kita terikat dan menyamakan
diri atau menyatukan diri dengah isteri atau suami kita, dengan keluarga kita,
kekayaan kita, kesenangan-kesenangan kita, nama kita, negara kita dan
sebagainya. Dan sudah pasti bahwa kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah dari
semua itu, timbullah duka.
Bagaimana
terjadinya ikatan itu? Kenapa kita suka sekali untuk mengikatkan diri secara
sadar mau pun tidak kepada semua itu?
Ikatan
timbul apa bila kita menikmati suatu kesenangan dan menyimpan kesenangan itu di
dalam ingatan, kemudian ingin seterusnya memiliki kesenangan itu. Kita
mengalami kesenangan dalam hubungan dengan suami atau dengan isteri, dengan
keluarga, dengan kekayaan dan sebagainya sehingga kita ingin memiliki mereka
itu untuk selamanya, tidak mau terpisah lagi.
Padahal,
tiada yang kekal di dunia ini dan perpisahan pasti tiba, sehingga timbullah
rasa takut, kekhawatiran akan kehilangan, kemudian timbullah duka kalau
kehilangan. Timbul pula rasa takut akan kematian, yaitu perpisahan terakhir di
mana kita harus melepaskan semua yang telah mengikut kita itu!
Dapatkah
kita hidup dengan mempunyai segala sesuatu secara lahiriah saja akan tetapi
tidak memiliki sesuatu secara batiniah? Punyaku, suara lahiriah. Akan tetapi
batin tidak memiliki apa-apa, bebas dan memberi kepada yang menjadi punya kita
itu, tidak terikat. Bukan berarti acuh tak acuh, sebaliknya malah. Cinta kasih
akan menjadi kotor dan palsu kalau disertai ikatan memiliki ini, karena ikatan
ini timbul dari kesenangan yang kita dapat dari orang atau barang yang kita
cinta itu!
Ikatan
berarti bahwa kita hanya ingin memperalat yang kita cinta itu demi kesenangan
kita sendiri. Ikatan timbul dari pengejaran kesenangan dan seperti kita ketahui
bersama, pengejaran kesenangan menimbulkan konflik, permusuhan, kekecewaan,
kebosanan kebencian dan sebagainya. Kalau sudah tidak ada lagi keinginan
mengejar kesenangan, maka baru ada kemungkinan batin bebas dari ikatan! Dan
kalau batin bebas dari ikatan, baru nampak sinar cinta kasih yang sejati.
Kui Hok Boan
mulai berkemas, mengumpulkan semua harta bendanya yang sekiranya dapat
dibawanya. Dia pun mulai memberi tahu kepada semua penghuni di sekitar daerah
Lembah Naga akan perintah pengosongan tempat itu dalam waktu enam bulan dari
Raja Sabutai.
Para petani
menjadi bingung, akan tetapi mereka tidak segelisah Hok Boan. Mereka, para
petani itu, adalah orang-orang miskin yang hidup sederhana. Kesederhanaan hidup
telah membentuk watak mereka menjadi sederhana pula, keinginan mereka pun
sederhana.
Mereka sudah
biasa hidup serba kekurangan, maka perintah untuk pergi meninggalkan daerah
Lembah Naga itu tidak terlalu menggelisahkan hati mereka. Tanpa tergesa-gesa,
mulailah para penghuni itu mencari-cari tempat lain untuk pindah. Yang
terpenting bagi mereka hanyalah tanah-tanah yang subur karena di mana ada tanah
subur, mereka tidak khawatir untuk hidup. Dan tanah subur memang tidak banyak
di utara, akan tetapi juga ada hal yang menguntungkan, yaitu bahwa tanah-tanah
di utara itu masih belum dikuasai oleh pemilik-pemilik perorangan, masih
merupakan tanah liar tak bertuan, sungguh pun merupakan daerah kekuasaan Raja
Sabutai.
Pada sore
hari itu, selagi Kui Hok Boan bercakap-cakap dengan beberapa orang tetangga
yang datang untuk membicarakan mengenai perintah pengosongan Lembah Naga, empat
orang anak itu berada di dalam taman. Mereka itu, Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu
dan Beng Sin, juga bercakap-cakap akan tetapi yang mereka bicarakan adalah
urusan kematian ibu kandung dua orang anak kembar itu dan terculiknya Sin
Liong.
"Aku
bersumpah bahwa kelak akan membunuh wanita iblis itu!" Lan Lan berkata
sambil mengepal tinjunya.
"Aku
juga!" Lin Lin berkata sambil menghapus air matanya karena kematian ibunya
selalu memancing keluarnya air matanya kalau teringat olehnya.
Hening
sejenak. Lan Lan dan Lin Lin menahan isak, sedangkan dua orang anak laki-laki
yang melihat keadaan mereka itu pun ikut merasa berduka. Akhirnya Siong Bu
berkata, "Jangan khawatir, Lan-moi dan Lin-moi, kelak aku pasti akan
membantu kalian. Aku akan memperdalam ilmu silatku dan kelak aku akan
menghadapi iblis betina itu!" kata Siong Bu penuh semangat.
"Kasihan
sekali Sin Liong," Beng Sin berkata pula. "Entah bagaimana nasibnya
di tangan iblis itu."
Disebutnya
nama Sin Liong membuat empat orang anak itu kembali termenung. Tidak mereka
sangka bahwa Sin Liong ternyata adalah anak kandung dari ibu Lan Lan dan Lin
Lin! Jadi anak monyet itu adalah saudara tiri kedua orang anak perempuan ini,
saudara tiri seibu!
Siong Bu
yang dulu sering kali memusuhi Sin Liong akibat iri hati, menarik napas panjang
dan dia berkata, "Sin Liong benar-benar seorang yang gagah berani. Aku
kagum sekali kepadanya."
"Dan
dia adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menurut cerita bibi
merupakan pendekar nomor satu saat ini di dalam dunia!" kata Beng Sin.
Kembali
mereka diam dan tiba-tiba mereka berempat menengok ke kiri karena mendengar
suara langkah kaki. Mereka terkejut sekali melihat seorang kakek tinggi besar
sudah berdiri di situ, entah dari mana datangnya.
Kakek ini
tubuhnya tinggi besar, kelihatan kuat sekali, pakaiannya sederhana, sepatunya
juga tua berdebu, kain penutup kepalanya berwarna hitam, mukanya dipenuhi
cambang bauk sehingga kelihatan gagah dan menyeramkan. Akan tetapi, suara
laki-laki itu lembut ketika dia memandang kepada empat orang anak itu dan
bertanya,
"Apakah
di antara kalian ada yang mempunyai ayah bernama Kui Hok Boan?"
Siong Bu
hendak mencegah, akan tetapi sudah terlambat, karena Lan Lan dan Lin Lin sudah
menjawab, hampir berbareng, "Kui Hok Boan adalah ayah kami berdua!"
Kini Siong
Bu cepat bertanya, "Siapakah lopek ini dan kalau ingin bertemu dengan
paman Kui Hok Boan, silakan masuk melalui pintu depan. Saya akan memberi
tahukan kepada paman bahwa lopek datang..."
"Heiii...!"
Beng Sin berseru kaget ketika tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak dan sepasang
langannya yang besar itu sudah menyambar ke depan dan tahu-tahu tubuh Lan Lan
dan Lin Lin telah ditangkapnya.
"Kalian
ikut bersamaku!" katanya kepada dua orang anak perempuan yang menjadi
kaget setengah mati dan tidak keburu mengelak itu.
"Lepaskan
mereka!" Siong Bu membentak dan menyerang kakek itu.
Kakek yang
mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu mendengus, kakinya yang besar dan
panjang melayang ke depan, menyambut serangan Siong Bu. Anak ini terkejut,
berusaha untuk mengelak, tetapi dia kalah cepat dan tubuhnya sudah terkena
tendangan sehingga terlempar ke belakang dan terbanting keras!
"Kau
jahat...!" Beng Sin berseru kemudian juga menyerbu, akan tetapi tendangan
ke dua membuat tubuhnya yang gendut itu terguling-guling.
"Lepaskan
aku...!"
"Ayah,
tolonggg...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit keras sekali.
Kakek itu
terkejut dan cepat melepaskan mereka, menotok jalan darah mereka membuat kedua
orang anak itu tidak mampu bergerak lagi, kemudian menyambar tubuh mereka,
mengempit di kedua lengannya dan membawanya lari cepat sekali.
Melihat ini,
Siong Bu dan Beng Sin berteriak-teriak sambil berusaha mengejar.
"Paman...! Tolong cepat...! Lan-moi dan Lin-moi diculik orang...!"
Demikian mereka berteriak-teriak.
Kui Hok Boan
yang sedang berada di dalam bersama beberapa orang penduduk dusun yang menjadi
tamunya, menjadi terkejut bukan main mendengar teriakan-teriakan ini. Dia cepat
menyambar pedangnya dan melompat ke dalam taman.
"Apa
yang terjadi? Mana Lan Lan dan Lin Lin?" teriaknya saat melihat kedua
orang anak laki-laki itu menangis.
"Dilarikan
orang... ke sana..." Siong Bu menjawab.
"Seorang
kakek brewok... dia menculik mereka..." Beng Sin juga berkata dan mukanya
yang bulat itu mewek-mewek.
Hok Boan
tidak membuang waktu lagi, cepat dia lari keluar dari dalam taman, melakukan
pengejaran. Akan tetapi dia sudah tidak melihat bayangan orang itu lagi. Sampai
cuaca menjadi gelap, dia tetap tak berhasil menemukan jejak orang yang menculik
kedua orang anaknya, maka tentu saja hatinya menjadi gelisah bukan main.
Dia lalu
cepat kembali ke Lembah Naga, mengumpulkan semua anak-anak buahnya dan bersama
anak buahnya, kembali dia memasuki hutan, mencari-cari anaknya yang diculik
orang. Dua puluh orang lebih itu membawa obor di tangan, diangkat tinggi-tinggi
sambil berteriak-teriak memanggil-manggil nama Lan Lan dan Lin Lin.
Akan tetapi
sampai semalam suntuk mereka mencari, mereka tidak berhasil menemukan jejak
penculik yang melarikan dua orang anak perempuan itu. Tentu saja hati Hok Boan
menjadi gelisah bukan main dan dia terus mencari.
Siapakah
sesungguhnya kakek gagah yang menculik dua orang anak perempuan itu? Dia adalah
seorang guru silat yang bernama Ciam Lok yang tinggal di kota Ceng-tek sebelah
utara kota raja. Nama Ciam Lok sebagai guru silat sudah terkenal juga di daerah
itu dan Ciam-kauwsu ini dipercaya oleh para pembesar untuk mendidik anak mereka
dengan ilmu silat. Sebagai seorang tokoh di dunia persilatan, tentu saja
Ciam-kauwsu terkenal pula di antara orang-orang kang-ouw, bahkan pergaulannya
luas sekali, baik dengan fihak orang kang-ouw mau pun liok-lim, kaum golongan
sesat mau pun golongan bersih.
Tidaklah
aneh Ciam-kauwsu menjadi kenalan baik dari Kui Hok Boan ketika Hok Boan
merantau dan sampai di kota Ceng-tek. Ciam-kauwsu suka terhadap orang muda yang
di samping lihai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal kesusasteraan itu.
Memang Hok
Boan merupakan seorang pemuda yang pandai bergaul dan pandai pula mengambil
hati. Karena dia memang memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu silat, maka
Ciam-kauwsu amat suka bercakap-cakap dengan dia sehingga lambat laun pemuda itu
menjadi sahabat baiknya. Sering kali Hok Boan bermalam di rumah guru silat itu
dan tidak asing pula dengan keluarga Ciam-kauwsu.
Ciam-kauwsu
mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ciam Sui Nio, seorang gadis yang
cukup manis dan tentu saja kemanisan wajah gadis ini tidak terlepas begitu saja
dari pandang mata Hok Boan yang mata keranjang itu. Dan Hok Boan dengan sangat
mudah menundukkan hati gadis itu seperti dia sudah menundukkan hati ayah dan
ibu gadis itu. Tidak aneh lagi kalau akhirnya terjadi hubungan cinta antara dia
dengan Sui Nio dan hal ini tidak ditentang oleh keluarga Ciam karena memang
Ciam-kauwsu menaruh harapan menarik Hok Boan sebagai mantunya.
Akan tetapi,
keluarga ini tidak tahu bahwa pemuda yang menarik hati mereka itu adalah
seorang pemuda bengal, seorang pria yang memandang semua wanita sebagai bahan
untuk menyenangkan hatinya belaka. Bujuk rayu dan pikatan Hok Boan mengena,
maka akhirnya gadis itu lupa diri dan jatuh ke dalam pelukannya, mau saja
diperbuat apa pun oleh pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Dan hasilnya
sungguh luar biasa bagi keluarga Ciam. Beberapa bulan kemudian, Sui Nio mengandung
dan Hok Boan pergi tanpa diketahui lagi jejaknya! Tentu saja keluarga Ciam
menjadi geger.
Ciam-kauwsu
cepat mencari Hok Boan, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui ke mana
perginya pemuda petualang asmara itu. Sampai tiga hari lamanya Ciam-kauwsu
pergi mencari pemuda itu tanpa hasil dan ketika dia pulang, dapat dibayangkan
betapa kaget hatinya melihat betapa puterinya itu telah tewas karena
menggantung diri! Puterinya telah menebus aib yang menimpa keluarga Ciam itu
dengan nyawanya!
Ciam-kauwsu
berduka sekali dan di dalam hatinya tumbuh dendam yang hebat terhadap Hok Boan.
Dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, meski pun belum tentu dia kalah oleh
pemuda she Kui itu, namun juga tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya.
Akan tetapi,
Ciam-kauwsu tetap selalu melakukan penyelidikan untuk dapat menemukan tempat
persembunyian pemuda itu dan akan ditantangnya untuk mengadu nyawa. Tetapi,
pemuda itu lenyap seperti ditelan bumi dan tidak meninggalkan jejak sama
sekali.
Sesudah dia
hampir lupa dengan dendamnya karena sudah belasan tahun tidak pernah mendengar
berita tentang Hok Boan, dan menganggap bahwa pemuda itu tentu sudah mati,
tiba-tiba saja dia mendengar berita bahwa musuh besarnya itu sekarang telah
hidup makmur di Lembah Naga, di luar Tembok Besar, sebagai seorang yang kaya
raya, juga memiliki istana kuno, mempunyai isteri cantik dan mempunyai pula
anak. Dendam yang hampir padam itu menyala kembali. Luka di hati yang sudah
mulai sembuh oleh waktu itu berdarah kembali dan akhirnya Ciam Lok berangkat
meninggalkan rumahnya, menuju ke utara, ke Lembah Naga.
Demikianlah,
ketika dia melihat anak-anak di taman, kemudian mendengar bahwa dua orang gadis
cilik kembar itu adalah anak-anak dari musuh besarnya, timbul akalnya untuk
membalas dengan cara yang sama, yaitu dia hendak menculik anak-anak dari Hok
Boan itu agar musuhnya itu dapat merasakan penderitaan hati seorang ayah yang
kehilangan anaknya. Diculiknya dua orang anak itu dan dibawanya lari memasuki
hutan.
Ciam-kauwsu
mendengar akan pengejaran terhadap dirinya. Dia tengah berada di daerah
kekuasaan musuh. Dia adalah seorang yang cerdik. Dia tahu kalau dia melawan
dengan kekerasan, dan kalau hanya menghadapi Hok Boan seorang, belum tentu dia
kalah. Akan tetapi kalau dia dikeroyok, belum tentu dia menang, bahkan mungkin
sukar baginya untuk meloloskan diri dan dia tidak akan berhasil membalas
dendam.
Oleh karena
itu dia cepat menyelinap dan tidak melanjutkan larinya ke selatan, melainkan
membelok ke timur lalu memasuki hutan yang lebih besar untuk menghindarkan diri
dari musuhnya yang mengejar ke selatan. Dia ingin membalas dendam terhadap
musuhnya dengan cara yang sama, yaitu memisahkan orang itu dari anak-anaknya!
Semalaman
itu Ciam-kauwsu menghentikan larinya, hanya bersembunyi di dalam hutan. Dia
melihat dari jauh betapa banyak sekali orang membawa obor dan mencari-cari. Dia
menyumbat mulut dua orang anak itu dengan sapu tangan dan menotok tubuh mereka
sehingga mereka berdua tidak mampu bergerak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali dia sudah melanjutkan larinya sambil mengempit tubuh dua orang anak
perempuan itu terus ke timur.
Tubuhnya
sudah terasa lelah akan tetapi hatinya lega karena dia tidak lagi melihat ada
orang yang mengejarnya. Akan tetapi, pada saat dia melewati daerah yang penuh
dengan pohon-pohon tinggi, tiba-tiba saja terdengar pekik dahsyat dari atas
pohon.
Ketika dia
menoleh, saat itu pula ada bayangan menyambar dari atas pohon, bayangan seorang
anak laki-laki kecil yang pakaiannya compang-camping, rambutnya yang panjang
dikelabang secara kasar. Anak ini meloncat seperti seekor kera saja cepat dan
sigapnya, dari atas dahan pohon dan langsung menerkam punggung Ciam-kauwsu!
"Ehhhh...!"
Ciam-kauwsu
yang sedang berlari sambil mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu tidak
sempat mengelak lagi dan tahu-tahu anak laki-laki itu telah menerkam
punggungnya dan memiting leher guru silat itu dengan lengan kanan, kemudian dia
menggigit tengkuk Ciam-kauwsu! Siapakah anak laki-laki yang liar itu? Dia bukan
lain adalah Sin Liong!.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment