Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 36
BEGITU
bertemu, Ciok-piauwsu cepat memberi hormat dan berkata, "Ciang-twako, di
mana adanya dua orang anak angkatmu itu? Bila tidak salah, mereka itu adalah
adik-adik piauw dari Tee-sicu ini yang mencari-carinya!"
Mendengar
ucapan itu, Ciang Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu
memandang kepada pemuda gendut itu sejenak, kemudian tanpa menjawab pertanyaan
pembantunya itu dia lalu bertanya kepada Beng Sin, "Apakah engkau mengenal
seorang pemuda bernama Kwan Siong Bu?"
"Tentu
saja!" Beng Sin menjawab. "Dia adalah kakak misanku pula, dan juga
masih kakak misan dari kedua orang adik Lan dan Lin, sepasang gadis kembar yang
saya cari itu!"
Piauwsu
berusia lima puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk, lantas kembali menarik
napas panjang. "Harap kalian suka duduk dan mendengarkan ceritaku. Namun
agaknya kedatanganmu terlambat, orang muda."
Tentu saja
Beng Sin kaget sekali. Dia lalu cepat duduk bersama Ciok-piauwsu kemudian
dengan hati tegang dia bertanya, "Terlambat bagaimana, lo-enghiong?"
"Baru
tiga hari yang lalu datang seorang pemuda yang bernama Kwan Siong Bu itu, dan
ternyata kedua orang anak angkatku itu mengenalnya sebagai kakak misan.
Kemudian mereka berpamit karena dua orang anak angkatku itu terpaksa harus
pulang ke dusun Pek-jun di utara bersama piauw-ko (kakak misan) mereka. Walau
pun dengan hati sangat berat, tentu saja aku tidak berhak untuk melarang
mereka."
Wajah Beng
Sin berseri-seri. "Ahh, saya girang mendengar hal ini, lo-enghiong.
Syukurlah kalau kedua piauw-moi telah pulang bersama Kwan-twako. Dan sebagai
kakak misannya saya mengucapkan beribu terima kasih kepada lo-enghiong yang
telah menolong mereka, bahkan bersikap baik kepada mereka, menampung dan
memelihara mereka selama ini!" Beng Sin lalu bangkit berdiri dan memberi
hormat. Tuan rumah itu balas menghormat.
"Hemmm,
engkau sungguh baik sekali sicu, jauh lebih baik dari pada kakak misanmu itu
yang kelihatan angkuh. Sebaiknya kalau sicu cepat menyusul mereka, karena
hatiku akan merasa lebih tenang kalau sicu sendiri yang mengantar mereka
pulang."
Beng Sin
bergegas pamit dan kembali bersama Ciok-piauwsu. Dia langsung mengemasi
pakaiannya kemudian berangkat hari itu juga setelah berjanji kepada
Ciok-piauwsu untuk membicarakan hal usul perjodohan itu kepada pamannya. Juga
di dalam kesempatan ini Beng Sin berpamit kepada nyonya Ciok dan kepada Siu Lan
yang nampak berduka, akan tetapi dia melihat betapa dara ini makin cantik saja.
Dengan
menunggang kuda pemberian Ciok-piauwsu, Beng Sin lalu melakukan perjalanan
cepat menuju pulang ke utara. Di sepanjang jalan dia mencari keterangan dan
mendapat petunjuk bahwa memang benar dua orang gadis kembar itu ditemani oleh
Kwan Siong Bu melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata mereka melakukan
perjalanan cepat berkuda pula sehingga dia yang sudah tertinggal selama tiga
hari itu sukar untuk dapat menyusul mereka.
Sesudah
melakukan perjalanan cepat, akhirnya Beng Sin tiba juga di pekarangan rumah
pamannya di dusun Pek-jung. Dia melompat turun dari kudanya yang bermandi
keringat, membiarkan seorang pelayan merawat kuda itu, dan dia sendiri segera
berlari memasuki rumah pamannya.
Rumah itu
sunyi saja! Hanya ada pelayan-pelayan yang memandang kepadanya dengan kaget
karena tuan muda yang baru datang ini kelihatan tergesa-gesa dan begitu tegang.
"Di
mana tuan besar? Di mana kedua orang siocia?" Berkali-kali dia bertanya
dan para pelayan hanya menggelengkan kepala.
Beng Sin
tidak sabar lagi dan berlari mencari ke seluruh kamar di rumah itu. Akhirnya
dia pun melihat Siong Bu seorang diri di dalam lian-bu-thia (ruangan belajar
silat) yang luas, agaknya habis berlatih silat karena pedang telanjang masih di
tangannya dan mukanya berkeringat. Dia sedang mengusap peluhnya, dan segera
tersenyum lebar ketika melihat masuknya Beng Sin.
"Ha, kau
baru datang Sin-te (adik Sin)? Ha-ha-ha, aku lebih berhasil menemukan Lan-moi
dan Lin-moi dan membawa mereka pulang tiga hari yang lalu. Kau tahu di mana
mereka itu? Ha, betapa bodohnya kita, mencari ke timur dan ke barat, padahal
mereka itu pergi..."
"Aku
sudah tahu, Bu-ko. Aku baru saja datang dari Su-couw, bahkan aku lebih dulu
tiba di Su-couw dari pada engkau, hanya tidak kebetulan... ah, sudahlah. Engkau
telah berhasil menemukan mereka dan membawanya kembali ke sini, itu yang
penting. Tetapi di mana mereka sekarang? Dan di mana paman?"
Kembali
Siong Bu tertawa dan pemuda ini nampak girang bukan main. "Duduklah,
Sin-te, duduklah di sini. Kita bernasib baik sekarang! Ahhh, kita akan bisa
menjadi orang-orang penting di istana! Pendeknya, kita dapat menjadi pembesar
tanpa melalui ujian apa pun, dan Pangeran Ceng Han Houw tentu akan menolong
kita. Paman juga gembira bukan main, dan kemarin paman sendiri pergi ke kota
raja untuk menemui pangeran!"
Berubah
wajah Beng Sin, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar tegang. "Apa...?
Apa maksudmu, Bu-ko? Di mana Lan-moi dan Lin-moi?"
Melihat ini,
Siong Bu memandang dengan heran. "Tentu saja mereka berada di istana
Pangeran Ceng Han Houw! Masa engkau masih harus bertanya lagi, Sin-te? Kita
disuruh mencari untuk membawa mereka pulang dan untuk diserahkan kepada
pangeran, karena kalau tidak, sudah tentu kita sekeluarga akan celaka. Dan
begitu berhasil, aku kebetulan bertemu pangeran sebelum tiba di rumah, maka
tentu saja menjadi lebih mudah bagiku untuk menyerahkan mereka kepada pangeran
dan beliau girang sekali, bahkan langsung membawa mereka berdua ke istana dan
menjanjikan kepadaku bahwa keluarga kita akan memperoleh kedudukan tinggi!
Bukan hanya kemuliaan di istana atau di kota raja, Sin-te, bahkan lebih lagi!
Diam-diam pangeran telah menjanjikan sesuatu yang lebih hebat lagi!"
Pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum dan wajahnya berseri tanda bahwa
dia merasa gembira sekali.
Diam-diam
Beng Sin merasa terkejut, marah akan tetapi juga heran bukan main. Dia tahu
bahwa kakak misannya ini mencinta Kui Lan, akan tetapi kenapa sekarang begitu
girang menyerahkan dara yang dicintanya itu kepada pangeran? Dia masih berusaha
menahan kemarahannya, dan dengan suara dingin dia bertanya, "Hemmm,
sesuatu apakah yang dijanjikannya itu?"
Dalam
kegembiraannya, Siong Bu tidak mendengar betapa suara adik misannya itu dingin
sekali dan sinar mata yang biasanya jenaka itu berapi-api. Maka sambil tersenyum
dia menjawab, "Ahh, hal ini hanya kuberi tahukan kepadamu, Sin-te, tentu
paman tidak kuberi tahu karena ini merupakan rahasia kita berdua. Apa yang
dijanjikan oleh pangeran itu? Beliau berkata bahwa kelak, kalau dia tidak
membutuhkan lagi dia akan menghadiahkan Lan-moi dan Lin-moi kepadaku! Ha-ha-ha,
tentu saja Lin-moi akan kuserahkan kepadamu, Sin-te!"
"Plakkk!"
"Hei,
gilakah engkau?!" Siong Bu meloncat kebelakang, segera melintangkan
pedangnya dan menggosok-gosok pipinya yang tadi ditampar oleh Beng Sin dengan
keras sekali itu. Ujung bibirnya berdarah. Dia dapat ditampar karena sama
sekali dia tidak pernah mengira bahwa adik misan yang sejak kecil takut dan
taat kepadanya itu tiba-tiba menyerangnya seperti itu.
"Bu-ko,
sungguh hatimu busuk dan kotor sekali!" Beng Sin membentak marah.
Memang
semenjak kecil dia mengenal Siong Bu sebagai orang yang nakal, disangkanya
bahwa Siong Bu yang sangat mencinta Kui Lan itu akan melindungi dara itu. Siapa
kira, dengan keji sekali Siong Bu bahkan menyerahkan kedua orang dara kembar
itu kepada pangeran dan merasa gembira akan memperoleh hadiah kedudukan, bahkan
begitu tidak tahu malu untuk bergirang hati oleh janji pangeran bahwa kelak apa
bila pangeran sudah bosan, dara kembar itu akan dihadiahkan kepadanya!
Memang sejak
kecil dia takut dan menurut kepada Siong Bu karena memang dia merasa kalah.
Akan tetapi sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa, apa lagi demi membela
Kui Lan dan terutama sekali Kui Lin yang dicintanya, dia tidak akan takut
melawan Siong Bu. Apa lagi Siong Bu, siapa pun akan dilawannya demi untuk
membela dara kembar itu.
"Sin-te,
apakah engkau sudah gila? Engkau berani menamparku?" Siong Bu memandang
marah.
"Bu-ko,
hatimu busuk! Kusangka engkau menyayang Lan-moi dan Lin-moi, kukira engkau
mencari mereka untuk melindungi, akan tetapi siapa sangka, engkau malah
menyerahkan mereka kepada pangeran, seperti mendorong masuk dua ekor domba ke
kandang srigala! Engkau layak ditampar, bahkan patut dibunuh karena engkau
jahat!"
"Keparat!
Jadi engkau bukan hanya berani menentangku, bahkan engkau hendak menjadi
pemberotak menentang pangeran? Jahanam busuk, aku harus membunuhmu!" Siong
Bu membentak sambil memegang sarung pedang dengan tangan kiri dan pedang di
tangan kanannya digerakkan di depan mukanya.
"Hemm,
boleh kau coba! Akulah yang akan menamatkan riwayatmu karena engkau busuk dan
hina, dan aku harus membalaskan penghinaan yang kau timpakan atas diri Lan-moi
dan Lin-moi!"
"Beng
Sin, tutup mulutmu yang kotor! Kubunuh engkau!" bentak Siong Bu makin
marah.
Beng Sin
melintangkan golok di depan dada, tangan kirinya memegang punggung golok besar
itu dan dengan tenang berseru, "Majulah, manusia busuk!"
Pada saat
itu, terdengar teriakan dari pintu. "Tahan! Jangan berkelahi!"
Suara itu
adalah suara Kui Hok Boan yang muncul di pintu dan terkejut melihat dua orang
pemuda itu saling berhadapan dengan senjata di tangan, dan kelihatannya bukan
seperti sedang berlatih silat seperti biasa karena wajah mereka tegang dan
kelihatan marah.
Akan tetapi,
begitu melihat munculnya pamannya yang dianggapnya tentu cocok dengan dia
mengenai urusan Lan Lan dan Lin Lin, Siong Bu sudah menubruk maju dan berkata,
"Paman, bocah ini hendak memberontak!" Lantas pedangnya sudah
menyambar-nyambar ganas.
Beng Sin
cepat mengelak sambil menangkis dengan penuh kewaspadaan karena dia pun maklum
betapa kakak misan atau juga suheng-nya ini pandai sekali bermain pedang.
"Jangan
berkelahi!" bentak pula Kui Hok Boan.
Akan tetapi
dua orang muda itu sudah begitu marah, dan terutama sekali Beng Sin sudah
membenci sekali karena tahu betapa dua orang dara itu seakan-akan disuguhkan
begitu saja oleh Siong Bu kepada pangeran itu dan dia dapat membayangkan betapa
sengsara dan sedihnya hati dua orang dara kembar itu dan bahwa keadaan mereka
sukar ditolong lagi karena kini sudah berada dalam cengkeraman pangeran itu.
Maka segala kedukaan, penyesalan serta kemarahannya dia timpakan kepada Siong
Bu yang dianggap sebagai biang keladinya.
Siong Bu
yang merasa bahwa pamannya tentu membenarkannya juga menyerang dengan ganas
sekali dan meski pun pamannya sudah berteriak agar mereka jangan berkelahi, dia
masih terus menyerang dan tidak mau mengalah, apa lagi karena di fihak Beng Sin
juga sudah terus menyerangnya dengan nekat.
Kui Hok Boan
sendiri sejenak termangu-mangu, tak tahu harus berbuat apa. Dia baru saja
kembali dari kota raja dan berjumpa dengan Pangeran Ceng Han How, diterima
sebagai tamu terhormat dan diberi janji-janji muluk oleh sang pangeran. Akan
tetapi, dia tak dapat bertemu dengan dua orang anaknya. Meski pun dia sudah
memohon kepada pangeran itu untuk bertemu dengan kedua orang anaknya, akan
tetapi Pangeran Ceng Han Houw tidak mengijinkannya dan hanya berkata bahwa dua
orang puterinya itu telah berada di bagian keputren dan tidak bisa sembarangan
begitu saja keluar dari istana.
"Harap
engkau tidak khawatir, mereka akan baik-baik saja, hidup di dalam kemuliaan dan
kemewahan," Ceng Han Houw berkata sambil tersenyum, lalu Kui Hok Boan
dipersilakan untuk bermalam di dalam istana.
Walau pun
dia memperoleh kamar yang sangat mewah dan indah, namun Kui Hok Boan merasa
gelisah. Sebagai seorang ayah, betapa pun juga dia mengkhawatirkan keadaan dua
orang puteri yang dicintanya.
Sejak Lan
Lan dan Lin Lin minggat, selama berbulan-bulan lamanya dia berduka sekali dan
sesudah kini kedua orang puterinya itu ditemukan oleh Siong Bu, dia belum
sempat bertemu karena mereka telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw
oleh Siong Bu. Dia merasa rindu sekali dan ingin melihat wajah dua orang
puterinya, akan tetapi tidak ada kesempatan baginya.
Diam-diam
dia mulai menyesal. Walau pun dia akan mendapatkan hadiah dan mendapat
kedudukan, apa artinya kalau dia tidak dapat lagi bertemu dengan mereka dan
melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka itu benar-benar hidup
berbahagia?
Karena itu,
biar pun dia mendapat pelayanan sebagai tamu agung, Kui Hok Boan merasa tidak
betah tinggal di istana dan pada keesokan harinya dia sudah berpamit dan pulang
ke rumahnya di dusun Pek-jun. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua
orang keponakan itu sedang saling berhadapan kemudian berkelahi mati-matian.
Hatinya terlalu pedih, terlalu risau untuk dapat bertindak cepat sehingga dia
hanya bisa berteriak-teriak melarang mereka berkelahi, seolah-olah tidak tahu
harus berbuat apa lagi, bahkan sama sekali tidak turun tangan melerai mereka.
Tiba-tiba
Kui Hok Boan terbelalak kaget melihat Beng Sin menjatuhkan diri bergulingan di
lantai. Itulah jurus-jurus Trenggiling asli dari Go-bi-pai yang tak sempat dia
pelajari! Heran bukan main hatinya. Dari mana Beng Sin dapat mainkan
jurus-jurus yang berbahaya dan lihai ini?
Juga Siong
Bu terkejut bukan main. Beberapa kali pedangnya masih mampu melindungi
tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba tangannya yang memegang pedang kena tendangan
dari bawah sehingga pedangnya terlepas dan pada saat itu pula golok Beng Sin
menyambar.
"Cappp!"
"Ughhh!"
Siong Bu menjerit dan darah bercucuran dari perutnya yang robek.
"Heiiiii...!"
Kui Hok Boan juga berseru dan meloncat ke depan, menendang tangan Beng Sin yang
memegang golok.
Beng Sin
yang berdiri terbelalak memandang kepada kakak misannya yang roboh sambil
mendekap perut yang terobek itu, tidak mengelak dan goloknya terlepas ketika
tangannya ditendang oleh pamannya.
"Siong
Bu...!" Kui Hok Boan menubruk pemuda yang berkelojotan itu.
Siong Bu
merintih-rintih, kedua tangan mendekap perut menahan isi perutnya yang mau
keluar. "Paman... aduhhh... mati aku, paman..." Dia merintih dan
menangis.
"Siong
Bu... ahh, Siong Bu, anakku...! Ah, Beng Sin, apa yang kau lakukan ini? Apa
yang telah kalian lakukan ini?"
Hok Boan
menjerit-jerit dan memukul-mukul tanah dengan tangan kanan, ada pun tangan
kirinya merangkul leher Siong Bu. "Kalian adalah saudara-saudara seayah,
kalian adalah anak-anakku sendiri berlainan ibu, tetapi sekarang kalian saling
serang, saling bunuh! Ya Tuhan...!"
Beng Sin
terbelalak dan wajahnya menjadi pucat sekali. Dia pun berlutut dan memandang
ayahnya dengan bingung.
"Paman...
ayahku... bagaimana ini...?" dia tergagap.
"Siong
Bu, ibumu adalah mendiang Kwan Siang Li, dia seorang janda... dan akulah ayah
kandungmu... dan kau Beng Sin, ibumu yang kini menjadi nikouw bernama Tee Cui
Hwa, dan akulah ayah kandungmu pula... namun sekarang kau... membunuh saudara
tirimu, seayah...!" Kui Hok Boan tak dapat menahan diri lagi, menangis
terisak-isak karena Siong Bu mulai lemas dan kepala pemuda itu terkulai.
Beng Sin
memegang tangan yang makin lemas itu. "Bu-ko, maafkan aku... aku tidak
tahu, bahwa... kita... kita masih seayah...," katanya seperti berbisik.
Perlahan-lahan
Siong Bu membuka matanya, bibirnya tersenyum. Agaknya sekarang rasa nyeri telah
meninggalkannya. "Aku... aku... yang salah...!" Dia memejamkan
matanya dan napasnya putus!
Kui Hok Boan
menangis dan menjambak-jambak rambutnya. Sekarang Beng Sin bangkit berdiri,
memandang kepada ayahnya itu dengan sepasang mata berapi-api. Sesudah kini dia
mendengar bahwa paman atau juga gurunya ini ternyata adalah ayah kandungnya
sendiri, hatinya merasa makin sedih dan menyesal.
Ayah macam
apa yang dimilikinya ini? Anak-anak sendiri, dia dan Siong Bu tak diakuinya
sebagai anak, dirahasiakan! Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin, dara kembar yang
menjadi puteri kandungnya sendiri, juga secara keji telah diserahkan kepada
Pangeran Ceng Han Houw. Dan dia teringat pula betapa penakut dan pengecut sikap
ayahnya ini saat muncul musuh-musuh yang tangguh, yaitu Kim Hong Liu-nio dan
Pangeran Ceng Han Houw.
Kini,
mengingat akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, melihat pula akibatnya yang membuat
dia sampai membunuh Siong Bu yang ternyata malah saudaranya sendiri, yaitu
saudara seayah, Beng Sin merasa menyesal hingga semua penyesalan itu
ditimpakannya kepada ayahnya yang kini terisak-isak di tempat itu seperti
seorang anak kecil yang tidak diberi permen!
"Kau...
kau manusia busuk, manusia tak berperasaan, engkau telah menjual puteri sendiri
kepada pangeran! Engkau adalah manusia terkutuk!" Setelah berkata
demikian, Beng Sin memungut goloknya kemudian berlari meninggalkan tempat itu,
tak mempedulikan suara ayahnya yang berteriak-teriak memanggilnya.
"Beng
Sin...! Beng Sin anakku, kembalilah...!"
Hok Boan
bangkit berdiri, hendak lari mengejar, akan tetapi teringat kepada Siong Bu,
lalu kembali dan menjatuhkan diri berlutut lagi, lalu menangis, meratapi nasibnya
yang buruk. Dua orang puterinya diambil pangeran, Siong Bu tewas, dan Beng Sin
melarikan diri! Dia ditinggal seorang diri saja di dunia ini!
Para pelayan
yang mendengar ribut-ribut kemudian datang ke lian-bu-thia itu terkejut dan
segera mundur kembali dengan ngeri melihat majikan mereka meratapi mayat tuan
muda yang mandi darah!
Betapa
sebagian besar dari kita ini sering kali bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita
selalu menyesali nasib dan menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk
kepada sang nasib. Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka mata
untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari segala nasib
berada di dalam diri kita sendiri? Kitalah sumber segala penyakit itu, kitalah
sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru dapat nampak
kalau kita memandang diri sendiri setiap waktu tanpa membenarkan atau
menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa pamrih!
Segala
peristiwa yang terjadi merupakan rangkaian yang sambung-menyambung seperti lingkaran
setan, dan semua pendapat serta penilaian adalah hasil pekerjaan dari pikiran
kita sendiri. Pikiran menciptakan sang aku yang selalu ingin senang, ingin
benar, ingin baik, ingin enak!
Kita
membenci seseorang. Mengapa? Demikian pikiran bekerja. Karena orang itu jahat,
karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahir mau pun batin.
Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan aku, maka aku
membencinya.
Kebencian
ini adalah buatan pikiran yang menilai atas dasar untung rugi bagi sang aku,
dan kebencian ini menerbitkan serangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki
orang itu atau memukulnya dan sebagainya, pendeknya agar dapat melampiaskan
dendam dan kebencian kita terhadap orang itu.
Apakah
perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi? Tidak sama sekali tentunya,
bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat lainnya yang
berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya kita merasa menyesal karena kita ingat,
baik melalui orang lain atau pun diri sendiri bahwa kebencian merupakan hal
yang tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita terhadap diri sendiri.
Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan
penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan
kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang
pula dengan penilaian pikiran.
Ada kalanya
pikiran menganggap bahwa kebencian ini tidak baik dan harus disingkirkan,
dilenyapkan. Di lain saat pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri,
menganggap bahwa kebencian kita itu sudah tepat dan betul karena memang orang
itu jahat dan layak dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang,
yang menilai ini, juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai
ini tidak ada bedanya dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang
menilai kebencian baik atau buruk ini pun adalah sang kebencian itu sendiri,
tiada bedanya dengan si pikiran itulah.
Dengan
demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini dan menjadi itu, akan tetapi
kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih terjadi dalam lingkungan
pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan selalu tetap ada, bahkan makin
diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran sendiri yang
menilai-nilai.
Dapatkah kita
memandang tanpa penilaian? Baik memandang kepada orang yang kita lalu nilai
sebagai jahat itu, mau pun memandang kepada kebencian kita yang kita nilai pula
sebagai benar atau salah itu? Kalau kita dapat memandang tanpa ada sesuatu yang
memandang, tanpa ada sesuatu yang menilai, melainkan memandang dengan penuh
kewaspadaan dan kesadaran, tanpa ada yang waspada atau sadar, karena apa bila
ada berarti akan timbul pula penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya
kebencian itu akan kehilangan tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena
tidak ada lagi pemupukan.
Kita sadar
bahwa ada kebencian di dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai, tidak
membenarkan atau menyalahkan, kita memandang saja! Kita dalam hal ini, adalah
sang pikiran itu, dan kebencian merupakan sang pikiran itu pula. Biarkan
pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau
menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan.
Kui Hok Boan
terguncang batinnya akibat semua peristiwa itu, terhimpit oleh penyesalan,
kedukaan, ketakutan dan akhirnya semua pelayan melihat orang yang dianggap
pandai, baik dalam kesusasteraan mau pun dalam ilmu silat, juga kaya raya ini,
menangis sambil tertawa, menjambak-jambak rambutnya sendiri dan bersikap
seperti orang yang otaknya miring atau gila!
***************
Dengan muka
merah karena marah, Beng Sin terus berlari meninggalkan dusun itu dan di
sepanjang perjalanan banyak hal memenuhi pikirannya. Kui Lin ternyata adalah
adiknya sendiri, adik tiri seayah! Dia merasa sangat heran mengapa Kui Hok
Boan, paman yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu terus merahasiakan
bahwa dia dan Siong Bu adalah anak-anak kandungnya sendiri.
Tentu ada
rahasia di balik semuanya ini! Dan dia harus dapat mengetahui rahasia itu. Dia
harus dapat bertemu dengan ibu kandungnya. Bukankah ibu kandungnya sudah
menjadi nikouw? Pernah Kui Hok Boan yang ketika itu sebagai pamannya, menjawab
pertanyaan tentang ibunya, yaitu bahwa ibunya kini telah menjadi nikouw di
Kelenteng Kwan-im-bio di tepi Sungai Fen-ho di kaki Pegunungan Lu-liang-san, di
luar sebuah dusun yang bernama Kwan-si-men. Dia akan mencari ibunya, untuk
bertanya tentang riwayat ibunya agar tahu siapa sebetulnya Kui Hok Boan yang
mengaku sebagai ayah kandungnya itu! Dan setelah itu, barang kali, dia akan
pergi ke selatan, mencari keluarga Ciok yang telah berlaku baik kepadanya dan
yang mengusulkan perjodohan antara dia dan Ciok Siu Lan.
Pemuda
gendut yang pergi tanpa membawa pakaian, hanya membawa goloknya dan sisa bekal
uang yang masih ada padanya, kini melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan
Lu-liang-san yang terletak di barat daya. Perjalanan yang sangat sukar, melalui
daerah-daerah yang liar, pegunungan dan hutan-hutan lebat, namun pemuda yang
sudah merasa bahwa sekarang dia hidup seorang diri itu dengan tabah menempuh
segala kesukaran itu, mengandalkan golok besarnya, melanjutkan perjalanannya
tanpa mengenal lelah.
Sesudah
melakukan perjalanan selama berpekan-pekan, akhirnya dia tiba juga di daerah
kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pegunungan itu nampak dengan puncak-puncaknya
yang menjulang tinggi menembus awan, nampak seperti raksasa tidur yang sangat
angker dan menyeramkan.
Senja itu
indah sekali. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik puncak Lu-liang-san,
akan tetapi cahayanya masih membakar langit di barat, menciptakan warna-warna
yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena indahnya. Ada warna merah yang
aneh, merah bercampur kuning dan biru, dan di bagian agak ke utara nampak awan
bergumpal-gumpal dengan bentuk-bentuk yang beraneka macam, bentuk-bentuk yang
bukan main anehnya dan yang tak mungkin ada yang sama. Awan-awan itu bergerak
perlahan dan setiap saat berubah bentuk, akan tetapi di sisi agak ke selatan
nampak lautan hitam dari awan yang kokoh dan tak pernah bergerak nampaknya,
seolah-olah selamanya tak akan berubah.
Puncak
gunung mulai kelihatan kehitaman, sementara pohon-pohon juga kelihatan mulai
tenang seolah siap untuk mengundurkan diri ke dalam kegelapan malam di mana
mereka akan beristirahat dalam kegelapan dan kesunyian. Melihat keadaan di sekeillingnya
pada saat itu, yang menciptakan ketenangan dan keheningan, sejenak Beng Sin
lupa akan diri sendiri, lupa bahwa dia ada, dan merasa betapa dia sudah dilebur
menjadi satu dengan segala yang nampak itu.
Akan tetapi,
begitu pikirannya masuk memecahkan keheningan itu, lenyaplah keheningan dan
datanglah iba diri karena dia merasa betapa dia hidup seorang diri dan betapa
dia terpencil dan sunyi seperti sebatang pohon pek di kejauhan yang tumbuh
terpencil di tepi sebuah jurang. Maka datanglah kedukaan.
Tak lama
kemudian, ketika kegelapan mulai menyelubungi bumi, pemuda itu sudah duduk
bersandar pada sebatang pohon. Di dekatnya bernyala api unggun dan ia pun
termenung memandang api yang bergerak-gerak, satu-satunya yang nampak hidup
pada waktu itu, dengan lidah-lidah api merah kekuningan yang seperti
menari-nari dengan gembira. Akan tetapi, api yang indah bercahaya itu pun
akhirnya akan padam dan lenyap, yang tinggal hanyalah abu dan asap yang
kemudian pun akan menghilang tanpa bekas.
Pada
keesokan harinya, Beng Sin mulai mencari keterangan. Akan tetapi para petani
dan penghuni gunung yang ditemuinya, tidak seorang pun di antara mereka yang
mengenal nama dusun Kwan-si-men atau Kuil Kwan-im-bio. Mereka hanya tahu di
mana letaknya Sungai Fen-ho dan akhirnya Beng Sin mencari sungai ini. Setelah
bertemu dengan sungai ini, dia mulai menyusuri sungai itu karena dia yakin
bahwa dengan cara ini akhirnya dia akan bertemu dengan dusun yang dimaksudkan
karena bukankah dusun itu terletak di tepi Sungai Fen-ho, di kaki Pegunungan
Lu-liang-san?
Perhitungannya
itu ternyata tepat karena beberapa hari kemudian, dari seorang nelayan, dia
mendengar bahwa dusun Kwan-si-men terletak di depan, hanya tinggal belasan li
lagi jauhnya dan bahwa memang di luar dusun itu terdapat sebuah kuil, yaitu
kuil di mana Dewi Kwan Im dipuja sehingga dinamakan Kwan-im-bio. Mendengar ini,
berdebar rasa jantung dalam dada Beng Sin dan dia mempercepat langkahnya menuju
ke dusun itu.
Kuil itu
kecil saja, merupakan beberapa buah bangunan kecil dengan bangunan pusat di
depan yang digunakan sebagai tempat sembahyang. Halamannya cukup luas dan
melihat halaman yang bersih itu menunjukkan bahwa kuil itu terurus dengan baik
dan setiap hari halaman itu tentu disapu. Dari jauh sudah terdengar suara ketukan
kayu yang mengiringi suara wanita berdoa. Sesudah dekat orang akan melihat asap
hio mengepul, dan makin dekat lagi orang akan mencium bau harum dupa.
Walau pun
para pengurus Kwan-im-bio adalah wanita-wanita yang sudah menjadi nikouw, namun
pengunjungnya tidak terbatas golongan wanita saja. Oleh karena itu, munculnya
Beng Sin di kuil itu tidak membuat heran para nikouw yang melayani para
pengunjung yang hendak bersembahyang. Hanya keadaan pakaian serta sikap pemuda
itulah yang mendatangkan rasa heran.
Biasanya,
para pengunjung kuil itu hanyalah terdiri dari orang-orang dusun, petani-petani
yang minta berkah supaya hasil sawah ladang mereka baik, dan para nelayan yang
juga minta berkah supaya hasil penangkapan ikan mereka baik. Ada juga orang
kota yang kadang-kadang datang, yaitu mereka yang mendengar berita dari bibir
ke bibir bahwa kuil itu terkenal murah hati dan suka memenuhi atau mengabulkan
doa-doa dan permintaan mereka yang datang bersembayang.
Akan tetapi
pemuda ini selain jelas bukan petani atau pemuda nelayan, melainkan orang kota
yang agaknya datang dari jauh bila melihat pakaiannya yang agak kotor, dan
dapat diduga bahwa pemuda ini adalah seorang ahli silat kalau melihat golok
besar mengerikan yang tergantung di punggungnya.
Para nikouw
itu merupakan orang-orang yang hidup dengan bersih, yang menjauhi segala macam
kekerasan, apa lagi yang mereka puja adalah Dewi Kwan Im yang juga terkenal
sebagai Dewi Welas Asih, maka tentu saja mereka merasa ngeri melihat seorang
pemuda gendut yang membawa-bawa golok besar yang berkilauan saking tajamnya
itu!
Seorang
nikouw tua cepat maju menghampiri dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan
jari-jari terbuka dan dimiringkan. "Omitohud..., agaknya sicu memiliki
kepentingan sehingga jauh-jauh datang mengunjungi kuil kami. Apakah sicu hendak
bersembahyang kepada Hud-couw?"
Beng Sin
cepat memberi hormat dan berkata sejujurnya, "Maaf kalau saya mengganggu,
akan tetapi kedatangan saya ini bukan untuk bersembahyang, melainkan hendak
mencari seorang nikouw..."
Wajah halus
nikouw itu kelihatan meragu dan pandang matanya penuh selidik, kemudian dia
menarik napas panjang dan berkata, "Harap sicu maafkan. Para nikouw di
sini adalah orang-orang yang sudah mengundurkan diri dari dunia ramai, berarti
sudah tidak memiliki keluarga dan handai-taulan lagi, seluruh hidupnya telah
diserahkan untuk mengabdi pada Kwan Im Hud-couw dan kepada peri kemanusiaan,
tidak terikat lagi oleh ikatan keluarga atau sahabat."
"Saya tahu,
akan tetapi yang saya cari adalah... ibu kandung saya sendiri yang menjadi
nikouw di sini..."
Kembali
nikouw tua itu menarik napas panjang. "Yang dimaksud keluarga juga
termasuk anak, sicu, sebab itu semua nikouw yang berada di sini sudah tak ada ikatan
lagi dengan dunia, tidak ada ikatan dengan keluarga, termasuk anak. Karena itu,
apa bila sicu bukan bermaksud untuk bersembahyang, pinni mohon agar sicu suka
meninggalkan kuil ini dan harap jangan mengganggu ketenteraman kehidupan para
nikouw."
Beng Sin
mengerutkan alisnya. Dia sudah melakukan perjalanan jauh dan susah payah akan
tetapi setelah tiba di tempat yang dicarinya, dia disuruh pergi begitu saja
tanpa diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya, bahkan untuk sekedar
mendapat keterangan apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati!
"Hemm,
beginikah yang dinamakan peri kemanusiaan dan mengabdi peri kemanusiaan?"
Dia berkata penasaran. "Agaknya para pendeta hanya mementingkan diri para
pendeta sendiri, akan tetapi sama sekali tak mau mempedulikan perasaan hati
orang-orang biasa! Apakah suthai tidak merasakan betapa rindu hati seorang anak
kepada ibu kandungnya? Apakah suthai hendak membiarkan seorang anak menjadi
kecewa dan berduka karena dia tidak diperbolehkan berjumpa dengan ibu kandungnya
yang selamanya belum pernah dikenalnya karena sejak kecil telah dipisahkan?
Bukankah itu merupakan perbuatan yang amat kejam, bertentang dengan sifat welas
asih dari Kwan Im Hud-couw sendiri?"
Nikouw tua
itu menarik napas panjang. "Ahhh, sicu tidak tahu tentang belas kasih!
Belas kasih adalah cinta kasih, dan cinta kasih tidak lagi membeda-bedakan
antara anak atau orang lain, tidak lagi mementingkan diri pribagi, tidak ada
lagi iba diri. Kami para nikouw memandang semua orang seperti anak sendiri, seperti
diri sendiri, dan pemisah-misahan antara anak dan orang lain itu hanya
mendatangkan ikatan belaka dan mengembalikan kami kepada asal semula, yaitu
dunia yang penuh dengan ikatan-ikatan. Harap sicu dapat memaklumi keadaan kami
dan sudilah sicu pergi meninggalkan kami, dan tak pernah lagi menganggap bahwa
ada ibu kandung di tempat ini. Tempat ini tak ada bedanya dengan tanah kuburan
dan yang tinggal hanya namanya saja. Cukuplah, sicu, semoga Hud-couw
memberkahimu." Setelah berkata demikian, nikouw itu menjura lantas pergi
meninggalkan Beng Sin yang masih berdiri termangu-mangu di tempat itu.
Akhirnya dia
tahu bahwa berdebat pun tidak akan ada gunanya, dan untuk memaksa pun selain
dia tidak berani dan tidak mau, juga apa hasilnya? Dia tak akan dapat mengetahui
yang mana ibu kandungnya. Dia tidak mungkin dapat berjumpa dengan ibu
kandungnya kecuali kalau ibu itu sendiri yang memperkenalkan diri.
Dengan kedua
kaki lemas Beng Sin keluar dari kuil itu dan akhirnya dia menjatuhkan diri di
bawah pohon tak jauh dari kuil. Baru sekarang terasa olehnya betapa seluruh
tubuhnya lemas dan lelah sekali.
Tadinya dia
masih penuh semangat dan bayangan kegembiraan berjumpa dengan ibu kandungnya
membuat dia lupa akan segala kesengsaraan perjalanan jauh itu. Akan tetapi setelah
sekarang dia kehilangan harapan dan semangat, maka lemaslah dia dan terasalah
semua kelelahannya. Mengingat akan semua itu, kalau saja dia tidak memiliki
kekerasan hati ingin rasanya dia menangis!
Selagi dia
duduk dengan muka pucat dan berulang kali menarik napas panjang, hatinya penuh
kekecewaan dan kedukaan, tiba-tiba saja terdengar suara halus menegurnya,
"Sicu,
bukankah engkau she Tee bernama Beng Sin?"
Beng Sin
terkejut dan melompat berdiri, lantas membalikkan tubuhnya. Dilihatnya seorang
nikouw yang agak gemuk berdiri di depannya, seorang nikouw yang usianya kurang
lebih tiga puluh lima lebih, masih kelihatan muda karena wajahnya terang dan
bibirnya selalu mengandung senyuman biar pun sepasang matanya lembut sekali.
Sejenak
mereka berdua berdiri berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian.
Jantung Beng Sin berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia ragu-ragu dan
dengan lirih dia bertanya sambil menjura.
"Benar
sekali, bagaimana suthai mengetahuinya?"
"Tentu
saja aku tahu, karena wajahmu dan tubuhmu persis sekali, seperti kembar saja
kalau dibandingkan dengan pamanmu yang tiada," jawab nikouw itu.
Beng Sin
menatap wajah nikouw itu, melihat betapa bibir serta pelupuk mata nikouw itu
gemetar, biar pun pandang matanya tetap lunak dan lembut.
"Suthai...
siapakah...?"
"Pinni
Thian Sin Nikouw, seorang anggota kuil ini..."
"Suthai...
suthai mengenal Tee Cu Hwa yang saya cari-cari...?" Beng Sin bertanya dan
sepasang matanya menatap tajam.
Nikouw itu
mengangguk dan matanya berkejap dua kali, alisnya agak berkerut "Tee Cui
Hwa telah mati, tidak ada lagi di dunia ini... apa yang kau kehendaki?"
Beng Sin
tidak terkejut mendengar ini, akan tetapi dia menatap wajah itu semakin tajam,
wajah yang mendatangkan rasa aneh di dalam hatinya, seolah-olah dia selama
hidupnya pernah mengenal wajah ini.
"Saya...
saya hanya ingin mengetahui apakah benar saya adalah anak kandung dari Kui Hok
Boan, dan agaknya hanya ibu kandung saya yang dapat menceritakannya kepada
saya. Maka saya harap ibu... saya harap suthai sudi membebaskan saya dari
keraguan dan kegelisahan, sudi menceritakan kepada saya tentang riwayat ibu
kandung saya dan juga ayah kandung saya!"
Sepasang
mata itu terpejam rapat-rapat seolah-olah hendak mencegah mengalirnya air mata
dan menekan perasaan haru yang menghimpit, akan tetapi ketika kedua mata itu
dibuka, biar pun tidak ada air mata mengalir tetap saja kedua mata itu basah.
"Betul,
Kui Hok Boan adalah ayah kandungmu. Akan tetapi apakah sicu perlu mengetahui
riwayat yang tidak baik itu? Perlukah segala kekotoran dibongkar kembali?
Sungguh tidak ada manfaatnya bagimu, sicu."
"Tidak,
saya harus mengetahuinya! Lebih tidak baik lagi kalau kekotoran itu
dirahasiakan dan ditutup-tutupi karena saya sudah mencium baunya yang busuk!
Demi Tuhan, demi segala dewa, demi Kwan Im Pouwsat, harap suthai suka menaruh
kasihan kepada saya, seorang yang ayah bundanya masih hidup dan segar-bugar,
akan tetapi merasa seakan telah menjadi yatim piatu, karena baik ayahnya mau
pun ibunya sudah lama sekali tidak mempedulikan lagi kepada saya!"
"Sicu!
Jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu," Nikouw itu menunduk, dan
dengan halus dia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua titik air
mata yang turun dari sepasang matanya. "Sicu tidak tahu betapa mendiang
Tee Cui Hwa menderita dengan hebat, menderita lahir batin, jauh lebih hebat
dari pada perasaan yang sicu derita sekarang ini."
"Tetapi
sebagai anak kandung ibu dan ayah, saya berhak sepenuhnya untuk mengetahui
riwayat mereka, suthai!" Beng Sin mendesak.
"Baiklah,
baiklah, mari kita masuk ke ruangan tamu di kuil, nanti pinni ceritakan semua
kepadamu, sicu." Setelah berkata demikian, nikouw itu kemudian berjalan
menuju ke kuil dengan kepala tunduk, diikuti oleh Beng Sin dari belakang.
Nikouw yang
mengaku bernama Thian Sin Nikouw itu memasuki ruangan tamu kuil dari pintu
samping, kemudian ia duduk sambil mempersilakan pemuda itu duduk di depannya.
Sejenak mereka yang duduk saling berhadapan itu saling pandang dan akhirnya
nikouw itu menarik napas panjang.
"Omitohud...
sama sekali bukan maksud pinni untuk membongkar kebusukan orang, akan tetapi
memang benar seperti ucapan sicu tadi, sebagai putera mereka, sicu berhak untuk
mendengar dan mengetahui kesemuanya itu." Dia berhenti sejenak, memejamkan
mata seolah-olah sedang berdoa mohon pengampunan kepada Dewi Kwan Im Pouwsat
yang dipujanya atas kelancangannya membongkar kebusukan orang. Kemudian dia
membuka matanya yang menjadi jernih dan tenang, lalu mulailah dia bercerita
dengan suara datar dan halus tanpa disertai ketegangan atau keharuan hati,
seolah-olah hanya mulutnya saja yang bergerak akan tetapi hatinya tidak ikut
bicara.
Belasan
tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lampau, gadis Tee Cui Hwa yang
ketika itu berusia tujuh belas tahun hidup berdua saja dengan Tee Kang, yaitu
kakaknya yang berusia dua puluh lima tahun. Kakak beradik ini sudah yatim
piatu. Mereka hanya hidup berdua saja dari hasil pekerjaan Tee Kang sebagai
seorang penjaga keamanan di sebuah rumah judi yang besar.
Tee Kang
adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan mempunyai kepandaian silat
lumayan, maka dia dapat bekerja sebagai penjaga keamanan rumah perjudian itu.
Biar pun hidup sederhana, namun kakak beradik ini tidak kekurangan dan mereka
hidup saling menyayangi karena mereka hanya berdua saja di dunia ini.
Pada suatu
hari, Tee Kang pulang membawa seorang tamu. Tamu ini adalah sahabatnya yang
bernama Kui Hok Boan, seorang pemuda yang tampan dan menarik sekali, pandai
dalam ilmu sastera dan ilmu silat, akan tetapi pemuda ini juga menjadi langganan
setia dari rumah perjudian itu sehingga kenal dengan Tee Kang.
Tee Kang
yang diam-diam hendak mencarikan jodoh untuk adik perempuannya, tertarik
melihat teman ini dan dia membayangkan betapa akan bahagianya adiknya dan dia
kalau Kui Hok Boan yang disebut Kui-siucai ini dapat berjodoh dengan Cui Hwa!
Setelah Kui
Hok Boan bertemu dengan Cui Hwa, pemuda tampan ini langsung tertarik, bukan
oleh kecantikan Cui Hwa karena sebenarnya gadis itu bukan tergolong gadis yang
terlalu cantik sungguh pun wajahnya bersih dan tubuhnya montok. Akan tetapi
memang Kui-siucai adalah seorang pemuda mata keranjang dan hidung belang, hanya
saja semua watak ini tertutup oleh sikapnya yang halus sebagai sasterawan
sehingga Tee Kang bisa terkelabui dan mengira bahwa pemuda itu adalah seorang
yang baik budi!
Melihat
seorang gadis bagi Kui Hok Boan tiada bedanya dengan melihat seonggok daging
segar bagi seekor srigala yang kelaparan, maka tentu saja dia diam-diam sudah
mengilar! Hubungannya dengan Tee Kang menjadi semakin erat sehingga akhirnya
kadang-kadang Kui Hok Boan sampai bermalam di rumah kakak beradik itu.
Pada suatu
sore, ketika Tee Kang pulang dari tempat kerjanya, dia terkejut sekali melihat
adiknya menangis di dalam kamarnya. Pada saat ditanya, Tee Cui Hwa mengaku bahwa
siang tadi, ketika Tee Kang sedang bekerja, Kui Hok Boan datang lantas
memaksanya menuruti kehendaknya. Dia menolak, karena mereka belum menikah, akan
tetapi Kui Hok Boan memaksa dan dengan kejam telah memperkosanya!
Mendengar
ini, Tee Kang menjadi marah bukan main. Memang betul dia ingin sekali agar
adiknya ini menjadi isteri Kui Hok Boan, namun tidak dengan cara dipaksa dan
diperkosa! Karena itu dia cepat pergi lagi mencari Kui Hok Boan dan sesudah
bertemu, dia minta pertanggungan jawab Kui Hok Boan untuk segera mengawini
adiknya.
Namun Kui
Hok Boan menolak, bahkan menantangnya. Tee Kang menjadi marah sekali dan mereka
lalu berkelahi. Akan tetapi akhirnya Tee Kang roboh dan tewas di tangan Kui Hok
Boan yang lebih lihai.
Nikouw itu
menghentikan ceritanya dan memejamkan kedua matanya. "Demikianlah, sicu,
pamanmu itu tewas di tangan pria yang jahat itu..."
"Dan
ibuku? Apa jadinya dengan ibuku?" Beng Sin mendesak, mukanya menjadi merah
karena diam-diam dia marah sekali kepada Kui Hok Boan.
"Dia
telah kehilangan satu-satunya orang yang bisa dijadikan pelindungnya,
satu-satunya keluarganya di dunia ini. Orang she Kui itu lalu datang lagi dan
memaksanya ikut pergi, memperkosanya dan mempermainkan sesuka hati sampai dia
mengandung, lalu ditinggal pergi..."
"Keparat
jahanam Kui Hok Boan!" Beng Sin berseru sambil mengepal tinjunya.
"Omitohud...
semoga Pouwsat menerangi batinmu, sicu. Engkau tidak boleh memaki dan mengutuk
orang yang menjadi ayah kandungmu sendiri."
"Lalu
bagaimana dengan ibuku, suthai?"
"Ia
melahirkan engkau, sicu... kemudian setelah menitipkan atau memberikanmu kepada
sebuah keluarga dusun yang baik hati, dia lalu masuk menjadi nikouw..."
"Dan
orang bernama Kui Hok Boan itu kemudian mengambilku dan mengakuinya sebagai
keponakannya!"
Nikouw itu
mengangguk. "Pinni mendengar bahwa sicu telah diambilnya dan tadinya hati
pinni ikut merasa gembira karena agaknya ayah kandung itu masih ingat kepada
anaknya sendiri..."
"Tetapi
dia tetap jahat! Dan ibu... ibuku adalah engkau, suthai...! Ibu...!" Beng
Sin lantas menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki nikouw itu.
Nikouw itu
bangkit berdiri, memejamkan mata sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
"Tidak...! Ibumu, Tee Cui Hwa telah mati bagimu dan bagi dunia, sicu.
Pinni adalah Thian Sin Nikouw..."
"Ibu...
tidak kasihankah engkau kepadaku, anakmu?" Beng Sin meratap, masih
berlutut.
"Pinni
kasihan kepadamu seperti kepada semua orang yang menderita, sicu. Pouwsat tak
pernah memilih-milih orang dalam belas kasihan beliau! Ibumu telah mati dan
pinni adalah seorang nikouw..."
Nikouw itu
menyentuh kedua pundak Beng Sin, sejenak kedua tangannya menyentuh mesra dan
jari-jari tangan itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian seperti ada tenaga
baru yang menghilangkan getaran itu, lalu dia membangkitkan Beng Sin.
"Bangkitlah
dan jangan menuruti hati yang lemah, sicu."
Beng Sin
bangkit berdiri, memandang kepada nikouw itu dengan mata basah. "Baiklah,
suthai, akan tetapi tentu suthai sudi untuk menggantikan kedudukan ibuku dan
memberi kepastian dan pendapat suthai tentang perjodohanku."
"Perjodohan?
Sicu hendak menikah? Ahh, baik sekali itu, tentu saja pinni merasa sangat
bersyukur dan akan pinni doakan selalu kepada Pouwsat supaya hidupmu penuh
dengan kebahagiaan, sicu, tidak seperti kehidupan ibumu dahulu!"
Beng Sin
lalu menceritakan mengenai usul yang diajukan keluarga Ciok kepadanya, dan
menceritakan pula semua peristiwa yang terjadi di dalam keluarga Kui Hok Bean,
betapa dia hendak membela dua orang gadis kembar yang ternyata masih merupakan
adik-adik tirinya sendiri seayah itu, dan juga betapa dalam perkelahian dia
telah membunuh kakak tirinya.
Nikouw itu
mendengarkan dengan alis berkerut. Kemudian dia berkata setelah pemuda itu
menghabiskan ceritanya, "Sicu, biar pinni mewakili ibumu dan menasehatimu.
Sebaiknya engkau jangan kembali lagi kepada ayah kandungmu yang ternyata hingga
kini pun masih belum juga insaf dari kesesatannya itu. Sebaiknya, mulai saat
ini sicu tidak mendekatinya supaya tidak timbul segala urusan yang tidak baik
dan pergilah engkau kepada keluarga Ciok itu, terimalah usul mereka untuk
menjodohkan sicu dengan gadis she Ciok itu. Pinni akan selalu berdoa untuk
keselamatan dan kebahagiaanmu, sicu. Nah, sekarang terpaksa pinni mempersilakan
sicu pergi."
Beng Sin
merasa girang sekali mendengar betapa nikouw ini, yang dia yakin adalah ibu
kandungnya, telah menyetujui perjodohannya, dia merasa girang dan terharu
sekali, maka dia lalu kembali menjatuhkan diri berlutut,
"Ibu...
suthai... terima kasih atas segala nasehatmu... kelak pada suatu hari... aku
akan mengajak isteriku untuk datang menghadap ibu...!"
Sejenak
nikouw itu berdiri seperti patung, kedua matanya menjadi basah dan cepat-cepat
dia mengusapnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia tersenyum.
"Bangkitlah,
Beng Sin! Pouwsat akan selalu melindungimu, nak. Dan selamat jalan, doa restuku
selalu menyertaimu!" Dan dia lalu membalikkan tubuh, mengucapkan doa
sambil pergi dari ruangan tamu itu.
Beng Sin
juga bangkit berdiri lalu melangkah keluar dari kuil, hatinya kini terasa
lapang. Dia dapat memaklumi akan sikap ibu kandungnya. Dia pun dapat
membayangkan betapa sengsara ibu kandungnya pada saat diperkosa oleh Kui Hok
Boan, dipermainkan bahkan dipisahkan dari kakak kandungnya yang terbunuh,
kemudian, sesudah mengandung lalu ditinggalkan oleh pria yang jahat itu. Dan
pria itu adalah ayah kandungnya sendiri!
Apakah
sesungguhnya yang terjadi pada diri Kui Lan dan Kui Lin, dua orang dara kembar
puteri dari Kui Hok Boan itu? Seperti telah kita ketahui, dua orang dara kembar
diam-diam melarikan diri karena tidak sudi dijadikan selir pangeran seperti
yang sudah dijanjikan oleh ayah mereka kepada Pangeran Ceng Han Houw. Mereka
pergi menuju selatan, tidak tahu pasti harus pergi ke mana, pokoknya
meninggalkan ayah mereka yang membuat mereka merasa penasaran itu.
Hampir
mereka tak percaya betapa ayah mereka itu seolah-olah hendak menjual mereka
kepada pangeran yang sombong itu! Sulit bagi mereka dapat menerima kenyataan
betapa ayah mereka itu mempuhyai watak yang demikian pengecut dan palsu! Begitu
kejam dan jahatnya pula sudah membius Sin Liong dan Bi Cu untuk menyerahkan
mereka kepada pangeran yang mengejar-ngejar Sin Liong! Padahal, Sin Liong
adalah saudara mereka, anak ibu kandung mereka pula!
Dapat
dibayangkan betapa sengsaranya keadaan dua orang gadis remaja yang selama
hidupnya belum pernah melakukan perjalanan sejauh itu, tanpa tujuan pasti pula.
Untung sejak kecil mereka telah mempelajari ilmu silat sehingga mereka memiliki
tubuh yang kuat dan tahan menderita, di samping ini mereka membawa semua
perhiasan mereka sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal untuk keperluan
makan dan lain-lain di sepanjang perjalanan.
Kurang lebih
empat bulan kemudian, pada suatu senja Lan Lan dan Lin Lin sampai di tepi
Sungai Hoang-ho. Saat melihat sebuah perahu besar, mereka segera berseru
memanggil tukang perahu untuk ikut menyeberang. Mereka sama sekali tidak tahu
bahwa perahu itu adalah milik bajak sungai! Maka ketika mereka ikut di dalam
perahu itu dan perahu sudah bergerak ke tengah, mereka berdua langsung dikurung
bajak!
Terjadilah
perkelahian seru dan andai kata pada saat itu tidak sedang lewat perahu yang
ditumpangi oleh Ciang Lok atau Ciang-piauwsu, ketua dari Hek-eng Piauwkiok,
maka sulit dibayangkan bagaimana nasib sepasang dara kembar itu. Ciang-piauwsu
menyelamatkan mereka dan karena para bajak itu takut dan segan terhadap piauwsu
ini, maka mereka pun melepaskan Lan Lan dan Lin Lin.
Ciang-piauwsu
yang merasa kagum kepada kedua orang dara kembar itu, juga karena dia sendiri
tidak mempunyai anak, ketika mendengar bahwa dua orang dara itu terlunta-lunta
tanpa keluarga, segera mengajak mereka ke Su-couw dan mereka berdua itu
kemudian dianggapnya anak sendiri. Isterinya pun suka sekali kepada Lan Lan dan
Lin Lin.
Seperti
telah diceritakan, dua bulan sesudah mereka itu tinggal di rumah Ciang-piauwsu,
pada suatu hari muncullah Kwan Siong Bu yang dapat menemukan jejak mereka
setelah pemuda ini juga dihadang bajak sungai, menundukkan bajak dan mendengar
keterangan dari bajak bahwa dua orang dara kembar itu pergi ikut Ciang-piauwsu
di kota Su-couw.
Kedatangan
Siong Bu disambut oleh Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira. Apa lagi ketika dua
orang gadis itu mendengar dari cerita Siong Bu bahwa ayah mereka sudah berubah
pendirian, menyuruh Siong Bu mencari dan mengajak mereka pulang. Siong Bu
bercerita bahwa ayah mereka merasa menyesal dan kini hendak mengajak dua orang
puterinya itu untuk pindah secara diam-diam agar jauh dari jangkauan Pangeran
Ceng Han Houw.
Lan Lan dan
Lin Lin girang sekali, dan mereka berhasil terbujuk lantas ikut pergi bersama
Siong Bu. Tentu saja pemuda yang cerdik ini telah membohong. Dia tahu bahwa
kalau dia berterus terang, dua orang dara itu tidak akan mau ikut pulang, dan
dia pun tidak mungkin dapat memaksa mereka.
Setelah
berhasil membujuk dua orang dara kembar itu, mereka bertiga lalu diberi tiga
ekor kuda yang baik oleh Ciang-piauwsu, kemudian berangkatlah mereka meninggalkan
kota Su-couw menuju ke kota raja, diantar dengan pandang mata duka oleh Ciang
Lok dan isterinya yang merasa seperti kehilangan anak sendiri.
Sesudah tiba
di kota sebelah selatan kota raja, mereka bertiga bermalam dalam sebuah rumah
penginapan. Lan Lan bersama Lin Lin menggunakan sebuah kamar dan Siong Bu
berada di kamar lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siong Bu untuk pergi
keluar dan kebetulan sekali dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw baru
tiba dari selatan dan sedang berada di kota itu. Maka cepat-cepat dia menemui
pangeran ini dan memberi tahu mengenai kedua orang dara kembar yang baru saja
dapat digiringnya kembali untuk diserahkan kepada sang pangeran!
Pada waktu
itu, memang Han Houw baru saja kembali dari selatan. Tadinya dia merasa heran
dan tak mengenal pemuda yang mohon menghadap padanya di gedung pembesar
setempat, akan tetapi ketika Siong Bu memperkenalkan diri sebagai keponakan Kui
Hok Boan, dia segera teringat. Alis tebal pangeran ini berkerut karena dia
ternyata sudah lupa lagi bahwa dia mempunyai urusan dengan keluarga Kui itu.
"Hemm,
Kwan Siong Bu, sekarang aku ingat, engkau adalah keponakan orang she Kui itu.
Dan ada perlu apakah engkau mengganggu waktuku?"
Melihat
sikap angkuh disertai ucapan yang mengandung nada tidak senang ini, Siong Bu
menjadi ketakutan. Dia segera memberi hormat sambil berkata, "Harap paduka
maafkan kalau hamba mengganggu, kedatangan hamba ini adalah untuk menyerahkan
dua orang adik misan hamba yaitu Lan-moi dan Lin-moi, dua orang dara kembar
itu."
"Dua
orang gadis kembar? Ahh...! Benar! Mereka yang manis-manis itu!" Wajah
pangeran itu berseri sehingga hati Siong Bu seketika itu merasa lega. "Di
mana mereka? Apakah sudah kau bawa ke sini?"
"Itulah
sebabnya hamba memberanikan diri menghadap paduka, pangeran. Apa bila tidak
paduka sendiri yang turun tangan, akan sukarlah bagi hamba untuk dapat
menghaturkan mereka kepada paduka."
Kemudian
dengan singkat tapi jelas Siong Bu lalu menceritakan kepada Han Houw akan semua
yang telah terjadi, yaitu bahwa dua orang adik misannya itu sudah melarikan
diri dan betapa dengan susah payah akhirnya dia dapat menemukan mereka dan
membujuk mereka sampai tiba di kota ini.
"Hamba
sudah berhasil membujuk mereka sampai ke sini, dan kalau paduka tidak segera menguasai
mereka, kalau sampai mereka lari lagi, maka akan sukarlah untuk menangkap
mereka kembali. Mereka adalah dua orang dara yang berhati keras, pangeran.
Hamba kini menyerahkan mereka kepada paduka dengan penuh kerelaan hati."
Wajah yang
berseri itu nampak semakin gembira, akan tetapi suaranya yang terdengar secara
tiba-tiba itu mengejutkan Siong Bu. "Kwan Siong Bu, apa maksudmu begini
baik engkau hendak menyerahkan dua orang adik misanmu kepadaku?"
Akan tetapi
Siong Bu cepat dapat menguasai kekagetan hatinya. "Tidak ada maksud hati
lainnya kecuali hendak berbakti kepada paduka, pangeran. Hamba hanya
mengharapkan kemurahan hati paduka untuk keluarga kami."
Han Houw
mengangguk-angguk, maklum bahwa dia berhadapan dengan pemuda yang gila
kedudukan dan pahala! Akan tetapi, pemuda semacam ini memang sangat berguna
bagi orang-orang besar seperti dia, karena pemuda atau orang yang gila akan
kedudukan akan dapat mudah menjadi hamba-hamba yang setia.
"Bagus,
mari antar aku kepada mereka!"
Dengan
girang Siong Bu lalu mengantar Han Houw ke rumah penginapan di mana dua orang
adik misannya sedang tidur. Ketika kereta yang membawa pangeran dan Siong Bu
tiba di depan rumah penginapan, kemudian melihat pangeran itu turun, semua
orang yang berada di depan langsung berlutut menghaturkan hormat karena mereka
mengenal siapa adanya pemuda tampan yang berpakaian indah itu.
Siong Bu
langsung membawa sang pangeran sampai ke depan pintu kamar dua orang dara
kembar itu, kemudian dia mengetuk pintu. "Lan-moi! Lin-moi!"
Sesudah
beberapa kali mengetuk, terdengar jawaban Lin Lin dari dalam. Dua orang dara
itu telah melakukan perjalanan jauh sehingga mereka lelah sekali, maka tadi telah
tertidur nyenyak. Mereka kini terkejut mendengar ketukan pada pintu kamar
mereka.
"Siapa
di luar?" tanya Lin Lin.
"Aku,
Lin-moi. Bukalah pintu kamarnya, aku mau bicara, penting sekali!" kata
Siong Bu mendesak dan Han Houw sudah tersenyum gembira ketika mendengar suara
gadis yang merdu dari dalam kamar itu.
"Tunggu
sebentar, Bu-ko!" terdengar Lin Lin berkata.
Dua orang
dara ini terkejut dan menduga tentu ada bahaya, maka mereka cepat turun dari
tempat tidur kemudian tergesa-gesa mengenakan pakaian mereka, pakaian ringkas
dan memakai sepatu, siap untuk segera pergi kalau keadaan memaksa. Setelah
selesai, barulah Lin Lin dan Lan Lan menghampiri pintu kamar dan membukanya.
"Lan-moi
dan Lin-moi, ini pangeran sudah datang menyambut kalian berdua!" kata
Siong Bu sambil moloncat ke belakang, membiarkan Han Houw memasuki pintu kamar
itu.
Dua orang
dara itu terkejut bukan main hingga mereka mundur kembali ke dalam kamar dengan
mata terbelalak dan muka pucat sekali, menatap wajah pangeran yang tampan dan
tersenyum-senyum itu. Han Houw melangkah masuk dengan gayanya.
"Selamat
malam dan selamat berjumpa kembali, dua orang nona kembar yang manis. Ah, kini
kalian nampak semakin manis saja. Keretaku sudah menunggu di luar, marilah
kalian kuantar pulang..."
"Pu...
pulang...?" Kui Lan bertanya, penuh harap. Benarkah pangeran hendak
mengantar mereka pulang ke dusun Pek-jun?
"Ha-ha-ha,
tentu saja. Pulang ke istanaku, sayang. Kita akan bersenang-senang, pesta
menyambut kedatangan kalian berdua, nona-nona manis."
"Tidak
sudi!" Mendadak Kui Lin membentak dan dia sudah mencabut pedangnya,
diikuti pula oleh Lan Lan.
Seperti dua
ekor singa betina, dua orang dara kembar ini dengan pedang di tangan sudah
menghadapi sang pangeran, sedikit pun tak merasa gentar bahkan mereka memandang
penuh kebencian.
Melihat
sikap mereka ini, Han Houw menjadi semakin gembira dan kagum! Belum pernah ada
wanita berani atau mau menolak cintanya, akan tetapi kedua orang dara kembar
ini menentangnya dengan penuh kegagahan. Baginya, hal ini merupakan permainkan
baru!
"Ha-ha-ha,
kalian masih sama gagahnya seperti dulu. Bahkan lebih gagah! Akan tetapi, enam
bulan yang lalu kalian bukan lawanku, apalagi sekarang setelah aku menjadi
jagoan nomor satu di dunia! Ha-ha-ha, kalian boleh menyerangku sesuka hati
kalian, nona-nona manis!"
"Hemm,
kedudukanmu saja tinggi, engkau seorang pangeran, akan tetapi watakmu amat
rendah, engkau hendak memaksa gadis-gadis yang tidak sudi menjadi
permainanmu!"
"Lebih
baik mati!" Lin Lin membentak.
Dia sudah
menerjang maju dan menyerang dengan pedangnya, diikuti oleh Lan Lan. Dua orang
dara itu menggerakkan pedang mereka dengan ganas dan kini gerakan mereka memang
lebih hebat dari pada enam bulan yang lampau. Hal ini adalah karena mereka
selama dua bulan sudah menerima pelajaran ilmu pedang dari Ciang Lok, ketua
Hek-eng Piauwkiok. Akan tetapi tentu saja berhadapan dengan Han Houw, mereka
itu tidak ada artinya.
Han Houw
hanya tersenyum-senyum saja menghadapi serangan mereka, namun begitu kedua
tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dua orang dara itu melongo dan memandang
pedang mereka yang telah pindah ke dalam kedua tangan Han Houw! Kiranya
pangeran yang amat lihai itu tadi telah memapaki serangan mereka dengan dorongan
kedua tangan yang mendatangkan hawa pukulan amat kuat, membuat tangan mereka
yang memegang pedang tertahan, kemudian dalam satu detik itu juga, tangan kanan
dan kiri dari pangeran itu telah berhasil merebut pedang!
Akan tetapi
hanya sejenak saja dua orang dara kembar itu tertegun, karena di lain saat
mereka telah menyerbu lagi dengan nekat, menggunakan kepalan tangan mereka!
Terdengar
suara bak-bik-buk ketika empat buah kepalan kecil itu menghujankan pukulan ke
tubuh Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja, bahkan lalu
berkata, "Lain kali kalau memijiti tubuhku bukan begini caranya,
sayang!"
Tentu saja
dua orang dara itu terkejut dan makin marah. Kini mereka menyerang ke arah
kedua mata pangeran itu! Han Houw melangkah mundur dan dua kali tangannya
bergerak sehingga dua orang dara itu terkulai lemas karena sudah kena
ditotoknya.
"Kwan
Siong Bu! Bawa mereka ini ke dalam kereta!" perintah Han Houw.
Siong Bu
cepat masuk dan dia melihat betapa kedua orang piauw-moinya itu sudah rebah di
atas lantai dengan lemah lunglai. Dia lalu memanggul tubuh dua orang adik
misannya itu dan membawa mereka ke dalam kereta. Pangeran Ceng Han Houw
mengikutinya dari belakang dan setelah mereka masuk ke dalam, kereta lalu
dijalankan menuju ke istana di mana Han Houw tinggal kalau dia berada di kota
raja.
Semua orang
yang melihat peristiwa ini hanya tertawa dan menganggapnya lucu sekali bahwa
pangeran ini mengambil dua orang dara yang bersikap demikian aneh dan berani
menentang, juga berita tentang kebolehan pangeran itu menundukkan dua orang
gadis itu segera tersiar di mana-mana dan orang-orang memuji kelihaian pangeran
itu.
Setibanya di
istana, Han Houw kemudian menjanjikan kedudukan kepada Siong Bu, dan pemuda
yang sejak tadi dalam kereta tak berani menatap wajah dua orang piauw-moinya
yang memandangnya penuh kebencian itu, menjadi girang bukan kepalang. Apa lagi
saat pangeran itu mengatakan bahwa kelak apa bila dia sudah bosan, dia akan
menyerahkan kembali dua orang gadis itu kepada Siong Bu!
Dan seperti
telah diceritakan pada bagian depan, Siong Bu lalu bertemu dengan Beng Sin,
kemudian terjadi perkelahian yang mengakibatkan tewasnya Siong Bu sehingga
pemuda ini tidak sempat menikmati semua yang telah dijanjikan oleh pangeran
kepadanya.
Sementara
itu, walau pun sudah tertawan, kedua orang dara kembar itu tetap menolak dengan
keras segala bujuk rayu Pangeran Ceng Han Houw! Mereka sudah bertekad lebih
baik mati dari pada harus menuruti kehendak pangeran itu, yaitu menyerahkan
diri secara suka rela kepadanya.
"Hemm,
kalian benar-benar dua orang dara yang keras hati dan keras kepala!" Han
Houw berkata sambil memandang dua orang dara yang masih lemas tertotok dan
rebah di atas pembaringan kamamya itu. "Kalian telah memperoleh derajat
tinggi menjadi pilihanku, dan kalian berani menolak? Hemmm, apa bila sekarang
juga aku memperkosa kalian, apakah kalian dapat mengelak?"
Walau pun
masih dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak, Kui Lan yang
memandang dengan penuh kebencian itu berkata, "Manusia rendah! Apa kau
kira kelak kami berdua tidak akan mampu bunuh diri? Kami telah tertawan, mau
bunuh, mau apakan terserah, akan tetapi untuk menyerah dengan suka rela, jangan
harap!"
Ceng Han
Houw adalah seorang pemuda yang angkuh dan terlalu percaya terhadap diri
sendiri. Dia anggap dirinya terlalu tinggi. Sebagai seorang putera tunggal Raja
Sabutai, kemudian sebagai putera Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kemudian
diakui sebagai adik Kaisar Ceng Hwa yang amat menyayanginya, Han Houw menganggap
dirinya seperti seorang pria yang tidak akan mungkin ditolak oleh wanita!
Semenjak
masih di utara dahulu, wanita mana pun akan berlutut dan menyerahkan diri
kepadanya dengan suka rela serta penuh kepasrahan, bahkan penuh gairah. Dia
sangat membanggakan dirinya sendiri, kedudukannya, ketampanannya, kepandaiannya
dan pada akhir-akhir ini kepandaian silatnya. Setiap orang wanita, tidak peduli
siapa pun, tentu akan berlutut dan siap melayaninya dengan gembira sekali
begitu dia mengejapkan mata untuk memberi isyarat, demikianlah anggapannya
selalu.
Karena itu
dapat dibayangkan betapa marah dan penasaran, juga terhina dan tersinggung
keangkuhannya ketika dia menghadapi dua orang dara kembar yang berani
menolaknya ini! Padahal dua orang dara kembar itu hanyalah puteri seorang
manusia rendah macam Kui Hok Boan! Terlebih lagi kedua orang dara kembar itu
bukanlah wanita-wanita secantik bidadari, sungguh pun mereka itu amat manis.
Dan mereka berani menampik dia! Hal ini benar-benar amat menyakitkan hati Ceng
Han Houw.
Entah sudah
berapa banyak perempuan, baik perawan, janda mau pun isteri orang, yang dengan
suka rela jatuh ke dalam pelukannya kemudian melayaninya dengan senang hati.
Ketika dia baru berada di istana Kerajaan Beng, pernah ada seorang wanita,
yaitu puteri seorang pembesar di kota raja yang menggerakkan birahinya,
bersikap agak jual mahal ?
pula terhadap dirinya. Dia merayunya dan sesudah dia berhasil menundukkan
wanita itu, yang kemudian berbalik malah sangat mencintanya, untuk
memperlihatkan kekuasaannya terhadap wanita, dia menyuruh wanita cantik ini
untuk menjilati sepatunya dan mengemis cintanya! Demikian sombong watak Han
Houw yang terdorong oleh kebanggaannya akan diri sendiri.
Dan sekarang
dua orang dara kembar itu menampiknya, bahkan berani pula memaki dan
mengutuknya. Kebanggaannya, yang sudah dibangunnya semacam benteng awan itu
kini hancur oleh penolakan dua orang dara ini!
Dia tak sudi
untuk melakukan perkosaan kepada wanita, karena perkosaan membuktikan bahwa
wanita itu tidak mau kepadanya! Dan ini jelas merupakan pengakuannya bahwa dia
kalah oleh wanita itu, bahwa wanita itu tidak mau tunduk kepadanya. Maka, dia
tidak sudi memperkosa, dia masih belum putus asa. Dengan uring-uringan pangeran
ini lantas keluar dari kamar itu, memerintahkan dua orang wanita pembujuk agar
memasuki kamar itu untuk membujuk agar dua orang dara kembar itu suka
melayaninya dengan suka rela.
Akan tetapi,
begitu kedua orang dara kembar itu terbebas dari totokan sesudah dengan
sendirinya jalan darahnya mengalir lancar, mereka mengamuk sehingga dua orang
wanita tukang bujuk yang sedang membujuk-bujuk mereka, menggambarkan alangkah
enak dan senangnya menjadi selir-selir pangeran itu, lari sambil mengaduh-aduh,
keluar dari kamar itu dengan mulut berdarah dan beberapa buah gigi mereka
copot!
Kini
marahlah Han Houw. Dia sendiri memasuki kamar itu dan ketika Lan Lan dan Lin
Lin menyambutnya dengan serangan nekat, kembali dengan mudah dia merobohkan
mereka dengan totokan. Han Houw lalu memanggil pengawal yang segera datang
berlari-lari. Dua orang pengawal itu bersikap hormat dan menanti perintah.
"Belenggu
kaki tangan mereka, akan tetapi perlakukan mereka dengan halus, kemudian
masukkan mereka ke dalam kamar tahanan di belakang!" perintahnya.
Dua orang
pengawal itu cepat mengambil tali sutera dan membelenggu kaki tangan dua orang
gadis yang lumpuh tertotok itu, kemudian dengan hati-hati mereka memanggul dua
orang gadis itu keluar kamar. Mereka adalah pengawal-pengawal yang taat karena
takut terhadap pangeran itu dan karena maklum bahwa dua orang gadis cantik ini
adalah calon selir-selir pangeran, tentu saja mereka tak berani bersikap kasar
dan kurang ajar. Kepala pengawal yang dipanggil segera menghadap.
"Jaga
mereka baik-baik jangan sampai lolos. Akan tetapi jangan ada yang bersikap
kasar, biarkan mereka berdua sendiri saja di kamar tahanan dan jangan beri
makan atau minum sampai mereka minta. Kalau mereka minta makan atau minum,
jangan beri akan tetapi beri tahu padaku!"
Kepala
pengawal memberi hormat dan menyatakan baik, kemudian pergi meninggalkan Han
Houw yang masih panas hatinya. Sungguh dua orang dara kembar itu membuat dia
sangat kecewa dan marah sekali, juga amat tersinggung hatinya. Dua orang bocah
dusun itu berani menampiknya!
Setiap
malam, dengan sengaja Han Houw selalu makan minum di dalam kamar tahanan itu
untuk menyiksa dua orang dara yang tentu saja kelaparan itu! Dia sengaja
melakukan ini tanpa berbicara apa-apa, hanya makan dan minum dengan lahapnya.
Maksudnya agar kedua orang gadis itu tidak kuat bertahan lagi kemudian
bertobat, tunduk dan menyerah kepadanya karena kehausan dan kelaparan memaksa
mereka.
Namun, sejak
malam pertama, Lan Lan dan Lin Lin selalu memandang kepada pemuda yang makan
minum itu sama sekali bukan dengan mata penuh keinginan untuk makan dan minum
itu, melainkan sebaliknya pandang mata mereka itu penuh dengan kebencian!
Mereka berdua sudah saling bermufakat untuk mempertahankan diri sampai mati,
selagi masih hidup tidak akan menyerahkan diri kepada pangeran yang hanya
tampan wajahnya namun buruk sekali wataknya itu.
Dan andai
kata mereka akhirnya diperkosa di luar kehendak mereka, mereka juga sudah
bermufakat untuk membunuh diri begitu terbuka kesempatan! Pendek kata, jangan
harap pangeran itu akan dapat membuat mereka menyerahkan diri secara suka rela!
Penyerahan
diri seorang wanita memang terdorong atau didasari bermacam pamrih! Akan tetapi
selama didasari pamrih, penyerahan diri itu adalah kotor dan rendah. Ada wanita
menyerahkan diri kepada seorang pria karena menginginkan harta kekayaan, atau
karena menginginkan kedudukan tinggi, ada pula yang menyerahkan diri kepada
seorang lelaki karena dorongan nafsu birahi semata. Hubungan badan dengan dasar
seperti ini adalah kotor. Hanya kalau ada cinta kasih, maka segala perbuatan,
termasuk hubungan badan antara wanita dan pria, adalah indah, wajar dan benar.
Han Houw
adalah seorang pemuda yang mempunyai segala-galanya dalam keduniawian.
Berkedudukan tinggi, kaya raya, tampan, masih muda, serta memiliki kepandaian
tinggi, baik dalam hal bun (sastera) dan bu (silat). Akan tetapi semua itu tak
ada artinya, bahkan hanya mendatangkan kerusakan dan kekacauan belaka, baik
kepada diri sendiri mau pun kepada orang lain, selama dia tidak memiliki batin
yang bersih.
Batinnya
kotor oleh nafsu-nafsu keinginan yang berupa nafsu ingin menang sendiri! Ingin
tinggi sendiri, nafsu birahi dan sebagainya. Dia begitu sombong hingga dia
menganggap semua wanita pasti akan bertekuk lutut di hadapannya, bahwa semua
wanita pasti akan dengan senang dan suka rela menyerahkan diri kepadanya kalau
dia menghendakinya!
Sungguh
suatu pandangan yang sesat karena keangkuhan! Sekali ini dia kecelik, karena
sampai tiga hari tiga malam, biar pun setiap malam dia menggoda dengan makan
minum di hadapan dua orang dara kembar itu, Lan Lan dan Lin Lin tetap saja
tidak mau tunduk, tidak pernah minta-minta air atau makan, biar pun tubuh
mereka sudah mulai lemas dan setengah pingsan setelah lewat tiga hari tiga
malam!
***************
Setelah dia
mencegah terbunuhnya Kim Hong Liu-nio di tangan ayah kandungnya, yaitu Cia Bun
Houw yang mendesak wanita iblis itu bersama isterinya, Sin Liong lalu pergi dan
diam-diam mengikuti jejak Kim Hong Liu-nio. Hatinya merasa lega sekali bahwa
dia telah mencegah Kim Hong Liu-nio tewas di tangan ayah kandungnya dan ibu
tirinya! Pertama, berarti dia sudah membalas budi Kim Hong Liu-nio ketika iblis
betina itu menyelamatkan dia, Bi Cu, dan Tiong Pek pada waktu keluarga Na Ceng
Han diserbu musuh. Ke dua, dia tidak ingin wanita iblis itu terbunuh oleh orang
lain kecuali dengan tangannya sendiri untuk membalas kematian ibu kandungnya.
Dan yang ke tiga, dia telah berhasil memperlihatkan kepada ayah kandungnya
serta isteri ayah kandungnya itu bahwa dia bukanlah seorang bocah yang lemah!
Akan tetapi,
ketika dilihatnya jejak Kim Hong Liu-nio akhirnya menuju ke utara, dia dapat
menduga bahwa iblis betina itu tentu hendak kembali keluar tembok besar, maka
dia tidak melanjutkan pengejarannya. Dia harus menemukan dulu Bi Cu karena dia
amat khawatir dengan keselamatan dara itu. Bi Cu adalah seorang dara sebatang
kara. Hidup sendirian tidak ada yang melindunginya. Maka dia tidak mungkin
membiarkan Bi Cu hidup terlantar seperti itu.
Kalau dia
ingat akan semua yang telah dialaminya bersama Bi Cu, hatinya tidak tega dan
tidak dapat membiarkan dara itu hanyut dibawa nasibnya sendiri. Tidak, dia
harus dapat menemukan Bi Cu, dia harus melindungi dara itu. Ada sesuatu yang
mendorongnya untuk melindungi dara itu. Maka, ketika melihat Kim Hong Liu-nio
ke utara, dia lalu kembali ke kota raja. Dia tidak akan ke utara lebih dulu
kalau tidak bersama Bi Cu, karena bukankah dara itu hendak menyelidiki kematian
ayahnya? Akan tetapi dia tidak tahu ke mana harus mencari Bi Cu.
Setibanya di
kota raja, Sin Liong segera menghubungi para pengemis di pasar kemudian
bertanya-tanya mengenai Bi Cu yang di antara mereka terkenal dengan sebutan
Kim-gan Yan-cu. Namun, para pengemis muda itu hanya menggeleng kepala dengan
sikap duka. Mereka semua sangat mencinta Kim-gan Yan-cu dan sesudah pemimpin
wanita ini tidak ada, maka kehidupan mereka pun kocar-kacir dan cerai-berai,
tak ada lagi pengatur siasat yang pandai.
Karena tidak
berhasil mendapatkan keterangan tentang dara itu di kota raja, akhirnya Sin
Liong lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke dusun Pek-jun. Dia hendak
bertanya kalau-kalau Lan Lan atau Lin Lin atau siapa saja dari keluarga Kui itu
mengetahui tentang Bi Cu. Selain itu, dia kini juga hendak secara langsung
menegur Kui Hok Boan, dan kalau perlu memberi hajaran kepada orang yang hatinya
kejam ini.
Sin Liong
tiba di dusun itu pada waktu senja. Dia sengaja menunggu sampai malam tiba,
barulah dengan hati-hati dia menghampiri rumah yang nampak sunyi itu. Sungguh
sangat mengherankan hatinya, rumah itu sunyi bukan main dan biar pun malam
sudah tiba, akan tetapi tak nampak ada lampu penerangan di rumah itu. Apakah
keluarga Kui telah pindah, pikirnya.
Dia terus
memasuki pekarangan hingga akhirnya tiba di halaman rumah itu. Ahh, ternyata
rumah itu kosong. Tidak ada sepotong pun perabot rumah di halaman depan. Dia
terus masuk karena pintu depan terbuka, akan tetapi di dalam yang gelap itu pun
kosong saja, tidak ada sepotong pun perabot rumah. Tentu sudah pindah. Dia
terlambat datang.
Akan tetapi
pada waktu Sin Liong hendak keluar, dia mendengar suara orang menangis di
sebelah dalam rumah yang gelap kosong itu. Hampir saja Sin Liong lari, bulu
tengkuk itu bangkit berdiri karena seramnya. Rumah kosong gelap tetapi ada
suara orang menangis! Tentu setan, pikirnya.
Akan tetapi,
penggemblengan dirinya semenjak kecil membuat Sin Liong menjadi seorang
pemberani. Walau pun permainan pikiran yang membayangkan hal yang ngeri-ngeri
dan bukan-bukan itu mendatangkan rasa takut, namun dia nekat memasuki rumah
kosong itu.
Sungguh pun
hatinya kebat-kebit, akan tetapi seluruh panca inderanya waspada dan siap
menghadapi apa pun juga. Berindap-indap dia menghampiri suara tangis itu dan
ternyata suara itu datang dari sebuah kamar. Dari luar kamar itu sudah terlihat
cahaya penerangan kecil keluar dari kamar itu.
Bukan setan,
pikirnya. Jika setan apakah perlu membuat api penerangan? Bukan, bukan setan,
melainkan manusia yang sedang dirundung susah hati. Dengan hati-hati Sin Liong
mendekati pintu kamar itu.
"Huuu-hu-huuu...
anak-anakku... anak-anakku... kalian di mana saja...? Hu-huuu, kenapa aku
kalian tinggal sendirian?" Orang itu menangis terguguk dengan amat
menyedihkan.
Tergerak
hati Sin Liong oleh rasa iba dan tangannya sudah menyentuh daun pintu hendak
membukanya, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena suara menangis
itu kini berubah sama sekali, menjadi tertawa terbahak-bahak!
"Ha-ha-ha-ha!
Kalian hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, aku suka dia, dia manis cantik,
hemmm... Tee Kang, kau hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup!
Aku suka pada Cui Hwa, dia manis, ha-ha-ha...! Aku memang suka wanita cantik,
siapa peduli? Siang Li, kau janda manis dan pandai merayu... ha-ha, dan kau pun
hebat sekali, Liong Si Kwi! Sayang tanganmu buntung, namun kau memang pandai
bercinta, ha-ha-ha! Ehh, Bhe Coan, kau hendak menghalangi aku bermain cinta
dengan isterimu? Ahhh, kau memang bosan hidup, harus kubunuh kau agar binimu
dapat menemaniku setiap malam, ha-ha-ha...!"
Wajah Sin
Liong berubah pucat mendengar ini semua. Hampir dia tidak percaya kepada
telinganya sendiri. Itulah suara Kui Hok Boan! Jelas, apa lagi dia telah
menyebut-nyebut nama ibunya segala. Dan nama Bhe Coan, ayah dari Bi Cu! Karena
tidak percaya kepada telinganya sendiri, Sin Liong segera membuka pintu untuk
melihat dengan mata sendiri. Dan apa yang dilihatnya membuat dia terbelalak
seperti melihat setan!
Di situ, di
dalam kamar kosong itu, yang sama sekali tidak ada perabotnya, Kui Hok Boan
duduk di atas lantai, di atas sehelai tikar butut dan pakaian orang ini pun
butut laksana pakaian pengemis. Wajahnya kotor tidak terpelihara, matanya liar
dan merah, mata orang gila! D! sudut kamar itu terdapat sebatang lilin
bernyala.
"Paman
Kui...!" Sin Liong berseru memanggil.
Kui Hok Boan
yang sudah gila itu menengok, memandang kepadanya lalu tertawa lagi, tertawa
bergelak, lalu berkata, "Ha-ha, kau mau mengambil Lan Lan dan Lin Lin?
Ha-ha, kini mereka telah menjadi kekasih-kekasih pangeran, dan aku menjadi
mertua pangeran! Ha-ha-ha, aku adalah mertua pangeran, dan kau harus berlutut
menyembahku!" Kui Hok Boan tertawa-tawa lagi.
Sin Liong
memandang dengan muka pucat bukan main. Pamannya ini, suami mendiang ibu
kandungnya, telah menjadi orang gila! Betapa pun penasaran dan marahnya
terhadap orang ini atas semua kecurangan dan kejahatannya, kini melihat dia
menjadi orang gila dengan pakaian seperti jembel itu, terharu dan kasihan juga
rasa hati Sin Liong.
"Paman
Kui, ini aku, Sin Liong...!"
Orang yang
sedang tertawa-tawa itu tiba-tiba saja memandang. Sin Liong melihat betapa
sepasang mata yang liar itu kemerahan di bawah sinar api lilin, dan mulut yang
sedang menyeringai itu berbusa. Sungguh mengerikan keadaan orang ini, pikirnya.
"Sin
Liong? Kau... kau setan cilik, engkau layak mampus!"
Tiba-tiba
saja Kui Hok Boan menubruk seperti seekor harimau kelaparan dan gerakannya
kacau-balau, caranya menyerang seperti binatang buas dan agaknya dia sudah lupa
akan ilmu silatnya! Tentu saja Sin Liong tidak mau melayaninya, dan dengan
mudah mengelak sehingga tubrukan orang gila itu mengenai dinding, membuatnya
terguling lantas kembali Kui Hok Boan menangis sambil menjambak-jambak
rambutnya sendiri.
"Siong
Bu... anakku... kenapa kau mati meninggalkan aku? Siong Bu, anakku... hu-huu!
Beng Sin, engkau anakku, kenapa kau membunuh saudaramu sendiri...? Hu-hu-hu...
kau minggat ke mana, anakku? Lan Lan dan Lin Lin... bila mana engkau sudah
resmi menjadi permaisuri kelak, jangan lupa beri sebuah mahkota untukku,
ha-ha-ha!"
Mendengar
semua ucapan ini, diam-diam Sin Liong terkejut bukan main. Siong Bu mati? Dan
Beng Sin yang membunuhnya? Tetapi... kenapa pamannya ini menyebut mereka itu
anak-anaknya? Dan Lan Lan berdua Lin Lin ke mana?
"Paman
Kui!" bentaknya keras. "Di mana Lan-moi dan Lin-moi?"
Dibentak
dengan keras begitu, Kui Hok Boan menjawab dengan cepat pula, "Di mana
lagi kalau tidak di kamar Ceng Han Houw? Ha-ha-ha-ha, mereka itu, anak-anakku
yang cantik manis, pantas menjadi selir-selir pangeran..."
Sin Liong
sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah berkelebat cepat meninggalkan
rumah itu, kemudian dia langsung pergi menuju ke kota raja. Lan Lan dan Lin Lin
tentu telah ditangkap oleh Ceng Han Houw, pikirnya. Entah bagaimana caranya
karena dia tak pernah mendengar tentang hal itu semenjak dia melarikan diri
bersama Bi Cu. Bagaimana pun juga, dia harus mencari Ceng Han Houw, dia harus
menyelamatkan kedua orang adik tirinya itu dari mala petaka!
Dengan cepat
karena dia menggunakan ginkang-nya, Sin Liong menuju ke kota raja dan malam itu
juga dia mengunjungi istana Pangeran Ceng Han Houw! Para prajurit pengawal
tentu saja mengenal Sin Liong yang mereka tahu adalah adik angkat dari sang
pangeran, saling pandang dengan bingung dan ragu melihat kunjungan yang
dilakukan pada waktu tengah malam ini! Akan tetapi dengan sikap hormat mereka
lalu mempersilakan Sin Liong untuk menanti di ruangan tamu, dan mereka kemudian
mengabarkan tentang kedatangan pemuda ini kepada pengawal yang bertugas di
dalam.
Akan tetapi
karena sang pangeran telah berada di dalam kamar dan mungkin sudah tidur, tak
ada seorang pun di antara para pengawal dan pelayan yang berani mengganggunya.
Maka pengawal itu langsung kembali keluar menemui Sin Liong dan mengatakan
bahwa sang pangeran telah berada di dalam kamarnya dan tidak ada yang berani
mengganggu untuk membangunkannya dan memberi laporan.
"Antarkan
aku ke kamarnya, biar aku sendiri yang memberitahukan kedatanganku!" kata
Sin Liong yang tidak ingin menunda lagi pertemuannya dengan kakak angkat itu.
"Akan
tetapi... kongcu..."
"Sudahlah!"
Sin Liong berseru tidak sabar. "Aku mempunyai urusan yang sangat penting
untuk kusampaikan kepadanya! Biarlah nanti aku yang membangunkannya dan kalau
dia marah, akulah yang bertanggung jawab, bukan kalian!"
Melihat
sikap ini, para pengawal merasa sangat khawatir. Akan tetapi karena Sin Liong
sudah berkata demikian dan mereka memang tahu bahwa pemuda ini adalah adik
angkat sang pangeran, akhirnya mereka mengantarkan Sin Liong sampai ke depan
kamar Ceng Han Houw.
Tanpa
ragu-ragu, terdorong oleh panasnya hati dan kekhawatirannya akan nasib Lan Lan
dan Lin Lin, Sin Liong segera mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu
terukir indah itu, lalu disusul suaranya yang lantang karena dia mengerahkan
khikang supaya suaranya menembus ke dalam kamar di balik daun pintu itu.
"Houw-ko...!
Ini aku Sin Liong datang menghadap dan ingin bicara dengan Houw-ko...!"
Semua
pengawal secara diam-diam gemetar ketakutan karena mereka menduga bahwa tentu
sang pangeran akan menjadi marah sekali akibat tidurnya diganggu seperti itu.
Akan tetapi
tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam, seruan girang!
"Liong-te...!"
Daun pintu
segera terbuka kemudian muncullah sang pangeran dengan rambut kusut dan pakaian
dalam setengah terbuka. Pada saat melihat para pengawal, pangeran itu segera
menggerakkan tangan dan mengusir mereka pergi.
"Liong-te,
kau baru datang? Masuklah, masuklah saja!"
Sin Liong
mengangguk dan memasuki pintu kamar itu. Dia melihat ada dua orang wanita
cantik dengan pakaian dalam tidak karuan bangkit dan bergerak di balik kelambu
tempat tidur. Sedetik jantungnya berdebar, akan tetapi sesudah dia melihat
bahwa mereka itu bukan Lan Lan dan Lin Lin, maka legalah rasa hatinya dan dia
cepat membuang muka agar jangan melihat kulit putih membayang keluar dari
pakaian dalam mereka itu.
"Kalian
keluarlah...!" kata Han Houw dengan suara lembut dan mulut tersenyum.
Dua orang
wanita muda itu cepat-cepat mengenakan pakaian dan keluar dari kamar itu
meninggalkan bau harum semerbak yang keluar dari minyak wangi yang mereka
pakai.
Sesudah dua
orang selir itu keluar dan daun pintu kamar itu tertutup kembali, Han Houw
tertawa gembira dan dia mengamati Sin Liong mulai dari kepala sampai ke kaki,
seperti menaksir-naksir dengan pandang matanya.
"Ha-ha-ha,
girang sekali bertemu dengan adikku yang gagah perkasa! Engkau memang hebat,
adikku, dan setengah tahun yang lalu, memang engkau pantas disebut Pendekar
Lembah Naga! Akan tetapi sekarang... ha-ha, sekarang ada aku di sini, Liong-te!
Dan aku pun sudah menerima petunjuk-petunjuk langsung dari suhu kita, yaitu Bu
Beng Hud-couw sendiri! Aku telah mewarisi ilmu-ilmu yang malah lebih tinggi
dari pada ilmu silat yang pernah kau pelajari."
Diam-diam
Sin Liong terkejut dan heran. Dia sendiri, biar pun menguasai ilmu-ilmu dari Bu
Beng Hud-couw, tapi dia mempelajari kitab-kitab itu hanya di bawah petunjuk
Ouwyang Bu Sek, dan selamanya dia belum pernah bertemu dengan manusia dewa yang
disebut Bu Beng Hud-couw itu, bahkan dalam mimpi pun belum pernah. Akan tetapi
pangeran ini mengatakan menerima bimbingan langsung! Membualkah dia?
"Jika
begitu, aku mengucapkan selamat untukmu, Houw-ko!" katanya dengan wajar
sebab betapa pun juga, dia merasa girang bahwa kakak angkatnya ini dapat
mencapai apa yang telah diinginkannya.
Han Houw
tertawa. "Akan tetapi aku belum merasa puas apa bila belum membuktikan
apakah ilmu-ilmuku dapat mengatasi ilmu-ilmumu, Liong-te. Betapa pun juga, biar
engkau adalah adik angkatku, akan tetapi engkau lebih dahulu mewarisi ilmu dari
suhu Bu Beng Hud-couw sehingga menurut tingkat, engkau adalah suheng-ku! Hanya
kalau kita sudah saling mengukur kepandaian, barulah dapat ditentukan siapa
yang lebih unggul dan patut menjadi suheng. Maka, aku ingin sekali mengadu ilmu
melawanmu, Liong-te!"
Sin Liong
terkejut dan cepat dia menggelengkan kepalanya. Dia tahu alangkah hausnya
pangeran ini akan kemenangan. "Tidak, biarlah tanpa diuji pun aku
menyerahkan gelar suheng itu kepadamu, Houw-ko. Kedatanganku ini hanya untuk
bertemu denganmu dan bertanya tentang Lan-moi dan Lin-moi." Dia menatap
tajam wajah pangeran yang masih tersenyum itu. "Houw-ko, di manakah
Lan-moi dan Lin-moi sekarang? Aku tahu bahwa mereka telah kau tawan. Dengan
mengingat akan hubungan antara kita, kuharap engkau suka membebaskan mereka.
Biarkan aku membawa mereka pergi Houw-ko."
Han Houw
mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang, akan tetapi dia segera menutupi
ketidak senangan itu dengan senyuman lebar. Memang hatinya tidak senang sekali
begitu Sin Liong menyebut nama dua orang dara itu. Dia diingatkan kembali akan
kekalahannya menghadapi dua orang dara kembar itu! Sampai sekarang, kedua orang
dara kembar itu masih belum sudi menyerahkan kehormatan mereka, tidak sudi
menerima cintanya.
Untuk
menghilangkan rasa kesal, kecewa dan marahnya, dia menenggelamkan diri dalam
pelukan selir-selir lainnya, namun tetap saja dia masih tidak puas dan merasa
penasaran. Kini, Sin Liong muncul dan minta agar dua orang dara itu dibebaskan!
Hal ini menambah kekesalan dan kemarahan hatinya, namun pangeran yang pandai
menguasai perasaan ini tersenyum lebar dengan ramahnya.
"Mengapa
engkau bertekad benar untuk minta aku membebaskan mereka, Liong-te?"
"Houw-ko!
Tentu engkau pun tahu bahwa Lan-moi dan Lin-moi adalah saudara-saudaraku
sekandung, seibu! Oleh karena aku adalah adik angkatmu, maka tentu saja mereka
itu pun bukan merupakan orang-orang lain bagimu. Mengapa engkau memilih mereka
kalau di dunia ini masih banyak gadis lain yang akan suka menjadi
selir-selirmu? Harap engkau suka bebaskan mereka, Houw-ko, demi hubungan
persaudaraan kita!"
"Hemmm...
bebaskan sih mudah, Liong-te. Akan tetapi hal itu harus kupikirkan baik-baik.
Karena itu, kau pergilah dan tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali, tunggulah
aku di tengah hutan di sebelah selatan kota raja. Aku akan menemuimu di sana
untuk membicarakan pembebasan Lan Lan dan Lin Lin."
"Tapi,
Houw-ko..."
Melihat
sepasang mata adik angkatnya itu mencorong, Han Houw terkejut. Bukan main
pemuda ini, pikirnya, pastilah merupakan lawan berbahaya. "Liong-te,
apakah engkau tak percaya lagi kepadaku? Kalau aku bilang tiga hari kita
bicara, maka hal itu akan terjadi, dan jangan khawatir, aku yang menjamin
keselamatan dua orang adik kembarmu itu."
Lega hati
Sin Liong. Dia tahu benar bahwa betapa pun kejamnya kadang-kadang kakak
angkatnya ini, namun satu hal adalah pasti, yaitu bahwa pangeran ini tidak akan
pernah menjilat ludahnya sendiri, tidak akan pernah mengingkari janji. Maka dia
lalu mengangguk dan berkata, "Tiga hari lagi, pagi-pagi aku menantimu di
hutan itu, Houw-ko."
Dengan cepat
dia lalu melangkah keluar kamar itu dan langsung keluar dari istana. Para
pengawal cepat memberi hormat dengan tubuh tegak kepada pemuda yang menjadi
adik angkat pangeran itu.
Sin Liong
sama sekali tidak sadar bahwa Han Houw memberi waktu tiga hari itu adalah untuk
membuat persiapan untuk mengadu kepandaian dengan Sin Liong. Pada keesokan
harinya, Han Houw sudah mengutus orang-orangnya untuk menyebar berita di
kalangan tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya bahwa pada tiga hari
mendatang, pada pagi hari, di hutan sebelah selatan kota raja akan diadakan
pertandingan adu ilmu antara tokoh-tokoh kang-ouw terbesar untuk menentukan
siapa yang patut digelari jagoan nomor satu di kota raja!
Sekarang Han
Houw tak mau bertindak tergesa-gesa memperebutkan gelar jagoan nomor satu di
dunia, melainkan hendak bertindak dari pusat, dari kota raja terlebih dahulu
baru kemudian nama dan gelarnya diperluas sampai ke seluruh dunia kang-ouw.
Boleh jadi Sin Liong belum mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, akan tetapi
dia tahu betul bahwa pemuda itu adalah lawan tangguh dan tidak sembarang orang
kang-ouw akan sanggup mengalahkannya! Karena itulah dia ingin semua orang
kang-ouw melihat dia mengajak Sin Liong mengadu ilmu.
Itulah
sebabnya ketika pada tiga hari berikutnya pagi-pagi sekali Sin Liong pergi ke
dalam hutan yang dimaksudkan oleh Han Houw, dia tidak hanya melihat pangeran
itu berdiri dengan angkuhnya pada suatu tempat terbuka dalam hutan itu, akan
tetapi juga terdapat banyak sekali orang-orang yang semuanya merupakan
tokoh-tokoh kang-ouw di kota raja dan sekitarnya.
Pangeran
Ceng Houw berdiri dengan sikap angkuh sekali, pakaiannya indah dan bajunya
ditutup dengan jubah kulit, sepatunya mengkilap baru, kepalanya memakai topi
bulu yang baru pula, dengan bulu burung berwarna biru di atas. Tangan kirinya
bertolak pinggang dan tangannya memegang sebatang cambuk kuda. Kuda itu
sendiri, seekor kuda pilihan yang amat besar dan baik, berdiri tidak jauh di
belakangnya.
Pada saat
Sin Liong datang, pangeran itu sedang bercakap-cakap dan didengarkan oleh
banyak tokoh kang-ouw. Pangeran itu agaknya menceritakan mengenai Sin Liong,
karena pemuda ini masih dapat menangkap beberapa kata-kata dalam kalimat
terakhir.
"...dia
putera dari pendekar besar Cia Bun Houw..." akan tetapi pangeran itu
langsung menghentikan kata-katanya ketika melihat Sin Liong datang.
Sin Liong
mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang mendengar pangeran itu membuka
rahasianya di hadapan orang banyak! Akan tetapi hal itu sudah dilakukannya,
maka dia pun tidak banyak bicara lagi, melainkan segera menghampiri Han Houw
dan memandang dengan sinar mata tajam mencorong.
"Aha,
Liong-te, engkau sungguh gagah dan memenuhi janji! Nah, mari kita lekas memulai
saja, Liong-te!"
"Mulai
apa, Houw-ko?" kata Sin Liong.
Para orang
kang-ouw yang mendengarkan percakapan itu diam-diam merasa heran sekali akan
cara bicara kedua orang itu. Pemuda sederhana itu bicara terhadap sang pangeran
dengan sikap begitu seenaknya tanpa hormat seperti bicara terhadap kakaknya
sendiri saja!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment