Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 37
DIAM-DIAM,
disamping kekaguman mereka, juga terdapat perasaan iri hati yang sangat besar.
Pemuda sederhana ini sungguh beruntung, sudah menjadi cucu ketua Cin-ling-pai
yang ternama kemudian menjadi keluarga yang dianggap pemberontak, masih diaku
adik oleh Pangeran Ceng Han Houw yang memiliki kedudukan demikian tingginya!
"Eh,
mulai apa lagi, Liong-te? Kita datang ke sini untuk menguji ilmu kepandaian
masing-masing, bukan? Hayo mulailah agar semua saudara kang-ouw ini tahu siapa
di antara kita yang patut dijuluki Pendekar Lembah Naga!"
Sin Liong
terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa Han Houw akan berbuat seperti itu,
sengaja mengumpulkan orang kang-ouw dan mendesaknya agar saling mengadu ilmu
kepandaian. Tentu saja dalam hatinya dia merasa penasaran dan menolak keras.
"Houw-ko!
Engkau tahu benar bahwa aku datang ke sini atas undanganmu untuk bicara tentang
dua orang adikku, sama sekali bukan untuk mengadu ilmu kepandaian!"
"Akan
tetapi aku ingin sekali mengadu kepandaian denganmu, Liong-te. Urusan dua orang
adikmu itu boleh nanti kita bicarakan. Sekarang, kau tandingilah aku, biar
semua orang tahu siapa di antara kita yang lebih unggul!"
"Tidak,
Hauw-ko, aku tidak akan mau mengadu ilmu silat, apa lagi terhadap engkau yang
menjadi kakak angkatku sendiri. Harap engkau tidak memaksaku, Houw-ko!"
"Liong-te!
Apakah engkau hendak membikin malu padaku? Masa adik angkatku seorang pengecut
dan mau menjadi buah tertawaan orang-orang lain? Hayo mulailah, cepat kau
serang aku dengan ilmu silatmu yang tinggi!"
"Tidak,
Houw-ko. Aku datang untuk minta engkau membebaskan Lan-moi dan Lin-moi."
"Aku
akan membebaskan mereka, bukankah aku sudah memberi janjiku? Akan tetapi kita
bertanding dulu."
"Maaf,
aku tidak dapat, Houw-ko."
"Kalau
aku memaksamu?"
"Apa
maksudmu?"
"Kalau
aku menyerangmu?"
"Aku
tak percaya bahwa seorang gagah seperti engkau akan menyerang orang lain yang
tak mau melawan!" kata Sin Liong dengan tenang karena dia merasa yakin
bahwa kakak angkatnya ini tidak mau bersikap curang seperti itu.
"Kalau
engkau tetap tidak mau, berarti engkau menghinaku dan aku akan menghajarmu
dengan cambuk ini!" Han Houw mengangkat cambuknya ke atas, lalu memutarnya
di atas kepala dan menggerakkan pergelangan tangannya yang mengandung tenaga
sangat kuat itu.
"Tar-tar-tarrr…!"
Tiga kali
cambuk itu meledak di udara. Suaranya sedemikian nyaring hingga mengejutkan
semua orang, juga nampak asap mengepul dari ujung cambuk itu! Akan tetapi Sin
Liong tetap tenang saja.
"Kalau
Houw-ko menganggap aku bersalah dan hendak menghukum, silakan. Akan tetapi aku
sama sekali bukan bermaksud menghinamu," Sin Liong berkata.
Dia adalah
seorang pemuda yang tenang dan juga cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia kena
dipancing kemudian menjadi marah sehingga terjadi adu tenaga yang sebenarnya
tiada bedanya dengan perkelahian, maka makin jauhlah harapan untuk menolong Lan
Lan dan Lin Lin. Dua orang adiknya itu berada di tangan Han Houw, maka sebelum
mereka itu bebas, dia terpaksa harus mengalah dalam segala hal.
"Liong-te,
kau sungguh-sungguh terlalu hingga membuatku marah! Hendak kulihat apakah benar
engkau tidak akan mau menyerangku kalau kupaksa!" katanya.
Kembali dia
menggerakkan cambuknya keatas, kemudian cambuk itu meluncur kebawah
mengeluarkan bunyi amat nyaring.
"Tar-tar-tarrr…!"
Tiga kali cambuk itu menyambar, pertama ke arah mata kiri Sin Liong, kemudian
ke arah leher dan ke tiga ke arah pundak.
Sin Liong
tetkejut. Kiranya pangeran itu bukan hanya menggertak saja dan benar-benar
menyerangnya. Akan tetapi Sin Liong tetap tidak melawan, dia hanya mengangkat
tangan menangkis sambaran ke arah mata dan leher, kemudian membiarkan cambuk
mengenai pundaknya. Baju pundaknya robek oleh lecutan ujung cambuk yang
menggigit bagaikan patuk ular itu, akan tetapi karena Sin Liong mengerahkan
sinkang, kulitnya tidak terluka, bahkan lecet pun tidak.
Cambuk itu
terus meledak-ledak dan menyambar-nyambar, mengikuti gerak tangan Han Houw yang
hendak memancing kemarahan Sin Liong agar supaya pemuda itu membalas
serangannya. Namun Sin Liong sama sekali tak pernah membalas, juga tidak
mengelak, hanya melindungi bagian-bagian tubuh lemah. Bajunya robek-robek, di
pundak, di lengan, di paha, namun dia tidak pernah menderita nyeri dan tubuhnya
tidak ada yang lecet.
Diam-diam
Han Houw merasa terkejut dan kagum, juga penasaran sekali akan keteguhan batin
adik angkatnya itu yang terus mandah saja dicambuki sehingga akhirnya dia
merasa jengah dan malu sendiri! Pada lain fihak, Sin Liong diam saja dan di
dalam hatinya dia sengaja tidak mau melawan, pertama sekali untuk melindungi
keselamatan Lan Lan dan Lin Lin, dan kedua kalinya karena dia pernah berhutang
budi kepada kakak angkatnya ini, maka biarlah dia menerima cambukan yang hanya
merusak pakaian itu.
"Sin
Liong, apakah engkau demikian pengecut sehingga menerima cambukan-cambukan
tanpa berani membalas sama sekali? Apakah engkau takut padaku? Hayo katakan
bahwa engkau takut kepadaku!" Han Houw membentak marah dan penasaran bukan
main sebab semua mata orang kang-ouw memandang peristiwa itu dengan penuh
perhatian dan dari pandang mata mereka itu dia tahu bahwa para tokoh kang-ouw
itu tidak dapat menyetujui perbuatannya yang menyerang dan mencambuki orang
yang tidak mau melawan.
Sin Liong
memeluk dada dengan kedua lengannya. Wajahnya tetap tenang dan sepasang matanya
mencorong. Ia pun menggelengkan kepalanya. "Tidak, Houw-ko, aku tidak
takut kepadamu, akan tetapi aku tidak mau melawan karena memang aku tak ingin
bertanding dengan kakak angkatku. Aku hanya ingin menuntut supaya engkau suka
membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."
"Jadi
engkau tidak mau menandingi ilmu silatku?"
"Tidak,
Houw-ko."
"Jadi
dengan demikian engkau juga tidak mengakui bahwa aku adalah Pendekar Lembah
Naga, dan jagoan nomor satu di kota raja?"
"Hemm,
engkau boleh saja memakai julukan Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di
kota raja atau di dunia. Aku tidak peduli, Houw-ko. Aku hanya minta agar engkau
suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."
Pangeran itu
tersenyum. Girang juga hatinya sebab pengakuan ini sudah cukup dan telah
didengar oleh semua orang kang-ouw. Betapa pun juga, dia harus dapat memperlihatkan
kekuasaannya terhadap pemuda yang dia tahu amat lihai ini.
"Kau
ingin Lan Lan dan Lin Lin bebas? Baik, akan kubebaskan mereka, namun engkau
harus berlutut dan memberi hormat tiga kali kepadaku!"
Sin Liong
terkejut. Ini penghinaan namanya! Apa lagi hal itu harus dilakukan di hadapan
banyak orang kang-ouw, sungguh merupakan hinaan yang cukup berat. Hampir saja
dia marah dan memang inilah yang dikehendaki oleh Han Houw.
Akan tetapi
Sin Liong langsung teringat akan hal ini, dan dia tahu bahwa pangeran itu
memang memancing-mancing kemarahannya dan dia harus ingat pula akan keselamatan
Lan Lan dan Lin Lin yang sudah dijanjikan kebebasan mereka oleh pangeran ini.
Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan
pangeran itu, lalu memberi hormat tiga kali!
Melihat ini,
diam-diam Han Houw makin kagum dan juga khawatir. Pemuda ini sungguh-sungguh
memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan ketenangan yang amat kuat hingga
mampu menahan segala penghinaan dan amat sulit dipancing. Menghadapi lawan
seperti ini betul-betul amat berbahaya! Karena itu dia lalu sengaja tertawa
bergelak, memegangi cambuknya dan berdiri dengan angkuhnya.
"Ha-ha-ha-ha,
cu-wi sekalian sudah melihat dan mendengarnya. Bocah ini telah mengakui saya
sebagai jagoan nomor satu di kota raja! Dan karena kami sudah tahu betul bahwa
kepandaiannya amat tinggi, maka pengakuannya itu mengokohkan kedudukanku
sebagai Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja yang kelak akan
menjadi jagoan nomor satu di dunia sesudah kami mempunyai kesempatan untuk
mencoba dan merobohkan semua pendekar-pendekar besar seperti Yap Kun Liong, Cia
Bun Houw dan lain-lain."
Tiba-tiba
saja terdengar suara beberapa orang tertawa. Seorang gendut pendek dengan
kepala bulat tanpa leher karena kepalanya seperti menempel di atas pundak tanpa
leher, yang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuh, terkekeh lalu
berkata,
"Heh-heh-heh,
pemuda ini paduka katakan amat lihai? Kalau menurut pendapat kami, dia ini
tidak lain hanya seorang bocah yang penakut dan pengecut, mana dapat dimasukkan
di dalam kelompok orang-orang besar di dunia kang-ouw? Kalau paduka memang
sudah kami ketahui kelihaiannya, akan tetapi bocah ini...?"
"Ha-ha-ha,
seperti jembel!"
"Lihat
wajahnya sudah pucat begitu, mana ada tenaga dia?"
Tujuh orang
jagoan yang berada di belakang Sin Liong itu tertawa-tawa dan mengejek,
sedangkan tokoh-tokoh lain hanya turut tertawa saja. Mereka mentertawakan Sin
Liong, namun hal ini juga merupakan protes halus bahwa pangeran itu mengangkat
diri sendiri setelah menundukkan seorang bocah seperti itu yang mereka anggap
pengecut dan tidak punya harga diri sebagai sebrang gagah di dunia kang-ouw.
Semenjak
tadi Sin Liong telah menahan diri. Api kemarahan terhadap semua penghinaan Han
Houw telah berkobar di dadanya dan hanya karena ingin menyelamatkan dua orang
adiknya itu saja, maka dia selalu bertahan diri dan menerima semua itu dengan
tenang. Namun kini terdengar kata-kata menghina dan suara ketawa menghina dari
orang-orang di belakangnya, tentu saja dia tidak mau menerima penghinaan ini
dari orang-orang lain.
Dengan
tenang namun sepasang matanya makin tajam mencorong dia lalu membalikkan tubuh
dalam keadaan masih berlutut. Dipandangnya tujuh orang yang masih tertawa-tawa
sambil menuding-nuding kepadanya, lalu tiba-tiba saja Sin Liong mengeluarkan
bentakan nyaring, tubuhnya bergerak ke depan dengan kedua tangan
digerak-gerakkan.
Tujuh orang
itu terkejut dan mereka sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki
kepandaian tinggi tentu saja tahu bahwa mereka diserang dengan pukulan yang
mengandung sinkang kuat maka mereka cepat bergerak untuk menangkis atau
mengelak. Akan tetapi sungguh aneh sekali, tetap saja hawa pukulan yang amat
kuat itu menembus semua tangkisan dan terus mengejar meski pun ada yang telah
mengelak dan akibatnya, berturut-turut tujuh orang itu terjengkang dan
terpental, terbanting keras dan tak bergerak lagi karena mereka semua telah
roboh pingsan!
Seketika
keadaan menjadi lengang, semua mata terbelalak memandang pada tujuh orang itu
dengan terkejut, kemudian memandang Sin Liong dengan muka pucat, penuh kagum,
heran dan jeri.
Perlahan-lahan
Sin Liong bangkit menghadapi mereka semua. Perlahan-lahan kepalanya bergerak
memandangi mereka semua dengan sepasang mata bagai mata naga sehingga mereka
yang bernyali kecil bergidik saat melihat sinar mata ini dan otomatis kaki
mereka melangkah mundur. Kemudian terdengar suara pemuda itu, tenang namun
terdengar oleh semua telinga, suara yang keluar satu-satu.
"Aku
tidak mau melawan pangeran adalah urusanku sendiri! Akan tetapi kalau di antara
kalian ada yang mau mengujiku… silakan maju!"
Suasana
menjadi sunyi sekali setelah Sin Liong mengeluarkan kata-kata ini, semua orang
kelihatan jeri. Melihat ini Han Houw mengerutkan alisnya. Sekumpulan manusia
apakah yang diundang oleh para utusannya ini? Tokoh-tokoh kang-ouw kota raja
dan sekitarnya ataukah hanya sekumpulan gentong kosong tempat nasi belaka?
"Sin
Liong sudah mengajukan tantangan terhadap cu-wi sekalian. Apakah benar-benar di
antara cu-wi tidak ada satu orang pun yang berani menandinginya? Cu-wi yang
terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw tidak berani menghadapi pemuda remaja
ini? Betapa amat menggelikan dan memalukan!" Han Houw benar-benar merasa
penasaran sekali, karena biar pun Sin Liong tidak mau melayaninya, namun dia
ingin melihat gerakan-gerakan Sin Liong kalau menghadapi lawan tangguh sehingga
dia sendiri dapat menilainya.
"Maaf,
pangeran. Sesungguhnya bukan kami takut, akan tetapi kami merasa sungkan dan
segan karena bukankah sicu yang muda ini adalah adik angkat paduka
sendiri?" tanya seorang di antara mereka, yang bermuka hitam dan bertubuh
tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang ahli silat, pakaian yang ringkas,
dan sepatunya memakai lapis baja.
"Hemmmm,
apakah kalau begitu kalian juga mengakui keunggulanku karena aku seorang
pangeran? Itu penghinaan namanya!" bentak Han Houw.
"Tentu
tidak, pangeran," kata Si Muka Hitam. "Hamba Twa-to Hek-houw (Macan
Hitam Bergolok Besar) sudah mengenal semua tokoh kang-ouw, dan hamba tahu benar
siapa adanya paduka dan sampai di mana kelihaian paduka. Hamba tahu bahwa
paduka adalah masih sute dari Kim Hong Liu-nio penyelamat kaisar, dan bahwa
paduka sudah memiliki nama besar di utara. Akan tetapi sicu muda ini... betapa
pun juga dia adalah adik angkat paduka, maka kami..."
"Tidak
perlu sungkan! Dunia kang-ouw tak mengenal kedudukan dan pangkat, melainkan
mengenal kekerasan kepalan dan kelihaian kaki tangan. Apa bila ada yang berani,
hayo maju dan lawanlah dia, aku tidak akan menganggap dia sebagai adik atau apa
pun juga. Kalah menang dan mati hidup dalam sebuah pibu tidak ada dosanya!"
"Kalau
begitu, maafkan, biarkan hamba yang mencoba kelihaiannya!" Twa-to Hek-houw
berseru.
Dia sudah
meloncat ke depan, tangan kanannya bergerak dan dari punggungnya dia telah
mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Golok itu sangat
besar dan berat, namun dia dapat menggerakkannya seperti sebuah benda yang
ringan saja.
Sambil
tertawa lebar, Si Muka Hitam itu berkata, "Orang muda, marilah kita
main-main sebentar dan kau boleh keluarkan senjatamu!"
Macan Hitam
ini memang licik. Dia tadi sudah melihat betapa dengan tangan kosong Sin Liong
mengalahkan tujuh orang dengan satu kali gebrakan saja. Maka dia dapat menduga
bahwa pemuda itu adalah seorang ahli silat tangan kosong yang amat lihai, dan
memiliki tenaga sinkang yang kuat. Maka dia tidak mau sembrono, menghadapinya
dengan tangan kosong, melainkan mengandalkan goloknya yang telah mengangkat
namanya itu.
Sin Liong
merasa sebal sekali. Semua rasa mendongkol dan amarahnya terhadap Han Houw
sekarang semuanya ditujukan kepada orang-orang yang memandang rendah dan
meremehkan serta menghinanya. Dia melangkah maju dan berkata,
"Untuk
melawanmu tak perlu aku bersenjata. Majulah!" tantangnya.
Memang Si
Muka Hitam itu sudah merasa jeri, maka kini giranglah hatinya mendengar jawaban
Sin Liong yang tentu juga didengar oleh semua orang. Dia tidak akan tercela
kalau menyerang pemuda ini dengan goloknya karena bukankah pemuda itu sendiri
yang menantangnya? Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring dia telah menyerang
dengan senjata tajam itu. Terdengar suara mengaung ketika golok itu menyambar.
Sin Liong
kelihatan tak bergerak, hanya sedikit miringkan badan sambil menggeser kaki,
dan ketika golok itu menyambar lewat dekat sekali dengan telinganya, tangannya
segera menyambar seperti kilat dari samping, dengan tangan terbuka dan miring
dia menghantam ke arah punggung golok.
"Krekkk!"
Golok itu
patah menjadi dua, sedangkan orang itu kena ditampar hingga tubuhnya roboh
terpelanting dengan tulang pundak patah! Si Macam Hitam itu mengaduh-aduh dan
cepat ditarik mundur oleh teman-temannya!
Melihat betapa
Twa-to Hek-houw yang sebenarnya bukan tokoh sembarangan melainkan seorang jago
silat yang amat disegani di kota raja itu roboh hanya dalam segebrakan saja
menghadapi pemuda itu, barulah semua tokoh yang berada di situ terkejut dan
tahu benar sekarang bahwa pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu
benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi dan hebat.
"Hayo,
siapa lagi yang hendak maju? Siapa yang tidak mau maju boleh pergi karena kami
bukanlah tontonan!" Sin Liong berkata, suaranya kereng dan sepasang
matanya menyapu dengan sinar mata yang mencorong.
Di antara
para tokoh kang-ouw itu tentu saja banyak terdapat orang pandai, akan tetapi
mereka ini adalah orang-orang yang segan untuk mencampuri urusan pangeran dan
adik angkatnya itu. Tanpa ada alasannya, tentu saja bagi orang-orang kang-ouw
itu tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pangeran karena hal ini amatlah
berbahaya.
Karena itu,
mendengar ucapan Sin Liong, mereka yang benar-benar tokoh kang-ouw dan bukan
penjilat-penjilat pangeran, langsung meninggalkan tempat itu. Perbuatan ini
diturut oleh yang lainnya sehingga akhirnya tempat itu menjadi sunyi, hanya
Pangeran Ceng Han Houw dan Sin Liong saja masih berada di situ.
"Nah,
kini kuharap engkau suka memenuhi janjimu, Houw-ko. Di mana adanya Lan-moi dan
Lin-moi? Aku minta agar mereka segera kau bebaskan."
Diam-diam
Han Houw merasa mendongkol dan kurang puas. Meski pun di depan banyak orang
kang-ouw dia sudah memperlihatkan kekuasaannya, dan adik angkatnya ini sama
sekali tidak membalas penghinaannya, namun ternyata Sin Liong dapat
memperlihatkan sikap gagah yang tentu menimbulkan kesan dalam hati para orang
kang-ouw itu.
Akan tetapi
dia tersenyum dan mengangguk, lalu menuding dengan cambuknya ke arah utara,
"Sebentar lagi mereka datang."
Benar saja,
terdengar suara kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama kemudian muncullah
sebuah kereta indah yang ditarik oleh dua ekor kuda. Kereta yang dikendarai
oleh prajurit pengawal itu berhenti di situ, lantas seorang pengawal lain yang
tadi berdiri di belakang kereta cepat melompat turun dan membukakan pintu
kereta. Dua orang gadis turun dari kereta itu dan girang bukan main rasa hati
Sin Liong mengenal dua orang dara kembar itu dengan pakaian indah turun dari
kereta. Mereka itu bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin!
Dua orang
dara ini turun dari kereta dengan wajah berseri dan begitu melihat Han Houw
berada di situ, mereka lalu cepat berlutut di depan pangeran itu! Tentu saja
melihat hal ini, Sin Liong mengerutkan alisnya!
"Kami menghaturkan
terima kasih bahwa paduka telah memegang janji," kata Kui Lan.
"Terima
kasih bahwa kami benar-benar sudah ditemukan dengan Liong-koko," sambung
pula Kui Lin.
Pangeran
Ceng Han Houw hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Tetapi Sin Liong
yang mengenal senyum itu, senyum yang mempunyai daya pikat dan daya tarik yang
banyak menjatuhkan hati wanita, dan dia tahu pula orang macam apa adanya kakak
angkatnya yang amat tampan ini, pemikat dan pemuda mata keranjang yang tentu
akan merusak hati wanita-wanita yang jatuh hati kepadanya, sudah cepat
melangkah maju dan memegang tangan dua orang adiknya.
"Lan-moi
dan Lin-moi, hayo kita pergi sekarang dari sini!" Dan dia lalu menarik
mereka bangkit.
"Akan
tetapi, Liong-ko... pangeran telah memberi kereta itu kepada kami...," Kui
Lan coba membantah karena merasa tidak enak kalau harus meninggalkan kereta
pemberian itu begitu saja!
"Sudahlah,
marilah kita pergi... ayahmu menanti-nanti kalian," kata pula Sin Liong
lalu dia menarik dua orang adik tirinya itu cepat-cepat pergi meninggalkan
tempat itu tanpa pamit lagi kepada Han Houw yang hanya memandang sambil
tersenyum lebar.
Setelah
ketiga orang itu lenyap di balik pohon-pohon, sang pangeran lalu masuk ke dalam
kereta dan memerintahkan orang-orangnya agar membawanya pulang kembali ke
istana. Seorang pengawal menunggangi kuda pangeran itu dan mengawal di belakang
kereta yang dijalankan dengan cepat menuju ke utara.
***************
"Kami
melarikan diri ke selatan, tadinya hendak mencarimu, Liong-koko, akan tetapi tidak
berhasil. Kami terlunta-lunta dan hampir saja celaka, tapi ditolong oleh
Ciang-piauwsu di Su-couw."
Dan
selanjutnya Kui Lin menceritakan mengenai keadaan mereka selama berbulan-bulan
tinggal di Su-couw, sampai kemudian muncullah Kwan Siong Bu secara tidak
disangka di Su-couw dan mengajak mereka pulang ke dusun Pek-jun.
"Tidak
disangka, Kwan Siong Bu itu seorang manusia yang berhati keji," Kui Lin
berkata dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengingat betapa dahulu dia
merasa tertarik kepada kakak misan ini yang disangka mencintainya.
"Ternyata
dia telah menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw dan dia menyerahkan kita
kepada pangeran itu!" Sekarang Kui Lan yang bercerita tentang pengalaman
mereka sehingga mereka terjatuh ke tangan Pangeran Ceng Han Houw dan mengalami
siksaan tidak diberi makan minum dan betapa mereka dibujuk-bujuk oleh sang
pangeran supaya suka menjadi selir-selirnya.
Sin Liong
mengepal tinjunya. "Hemm, memang sejak dahulu Siong Bu mempunyai watak
yang kurang baik! Akan tetapi pangeran itu... sesudah apa yang dia lakukan
terhadap kalian, mengapa tadi kulihat kalian bersikap demikian hormat dan
bahkan berterima kasih kepadanya?" Ucapan terakhir ini terdengar penuh
rasa penasaran.
Pangeran itu
telah bersikap buruk, tidak saja terhadap dirinya, bahkan telah menyiksa dua
orang adiknya ini, menawan mereka, membuat mereka kelaparan bahkan digoda
secara hebat agar mereka itu menderita dan mau menyerahkan diri, akan tetapi
dua orang dara ini malah menghormatinya dan berterima kasih!
"Ah,
engkau tidak tahu, Liong-ko! Pangeran itu ternyata baik sekali dan semua
perlakuan yang dia perbuat di istana terhadap kami itu hanyalah ujian
belaka!" Kui Lin berseru.
"Hemm...
ujian bagaimana maksudmu?"
"Begini,
Liong-ko," Kui Lan berkata. "Baru kemarin pangeran itu membebaskan
kami dari belenggu, bahkan dia membawa obat untuk mengobati luka-luka kecil di
kaki dan tangan kami akibat belenggu itu, juga membawakan makanan dan minuman,
lalu dia minta maaf kepada kami, menyatakan bahwa semua itu hanya merupakan
ujian belaka darinya untuk mengetahui watak dan sifat kami. Katanya, sebagai
adik-adikmu kami berdua seharusnya merupakan dua orang wanita yang gagah dan
tidak mudah menyerah terhadap bujukan mau pun siksaan, maka dia sengaja menguji
kami dan kami lulus! Dia menyatakan rasa kekagumannya dan memberi kami pakaian,
lalu mengantar kami dengan kereta..."
"Sudahlah,
kalian tidak tahu betapa jahat sesungguhnya dia itu! Yang penting, kalian telah
terbebas, maka kita harus cepat pulang, ayah kalian amat membutuhkan kalian
berdua..."
"Ayah?
Ahh, dia hendak menjerumuskan kami!" kata Kui Lan.
"Apa
yang terjadi dengan ayah?" tanya Kui Lin.
"Terjadi
banyak sekali hal dalam keluarga kalian semenjak kalian berdua ditangkap oleh
pangeran. Banyak sekali hal! Pertama-tama, harap kalian tidak kaget, menurut
apa yang kudengar dari ayahmu, Siong Bu dan Beng Sin adalah saudara-saudara
tiri kalian, seayah berlainan ibu."
"Ahhh!"
"Ihh...?"
"Dan
sekarang Siong Bu telah tewas, terbunuh oleh Beng Sin sendiri."
Dua orang
dara itu melongo, mata mereka terbelalak memandang Sin Liong.
"Dan...
dan... ayah kalian sakit berat... aku tak dapat menceritakan, lebih baik kalian
lihat sendiri."
Betapa pun
juga, tentu saja dua orang dara kembar itu menjadi terkejut bukan kepalang
ketika mendengar bahwa ayah mereka sakit berat. Memang perbuatan ayah mereka
amat menyakitkan hati mereka, akan tetapi betapa pun juga rasa kasihan dan
sayang di dalam hati mereka terhadap ayah kandung masih ada, maka kini mereka
segera mempercepat jalan mereka, setengah berlari-lari menuju ke dusun Pek-jun.
Jika di
waktu malamnya rumah kosong itu nampak menyeramkan sekali, kini pada waktu
siang tempat itu nampak amat menyedihkan. Melihat keadaan rumah mereka, begitu
tiba di halaman Lan Lan dan Lin Lin tertegun, lalu mereka berlari-lari memasuki
rumah kosong itu. Mereka semakin terkejut dan merasa khawatir sekali ketika
melihat bahwa keadaan di dalam rumah itu pun sama saja, kosong tanpa ada
secuwil pun perabot rumah yang dulu amat mewah dan lengkap!
"Apa
yang telah terjadi?" teriak Kui Lan.
"Di
mana ayah?" Kui Lin berseru.
Tiba-tiba
mereka terkejut mendengar suara tangis orang. Cepat mereka berlari ke kamar
ayah mereka, mendorong pintu dan seketika keduanya berdiri dengan muka pucat
sekali, memandang kepada ayah mereka yang berpakaian seperti jembel dan sedang
menangis tersedu-sedu di atas lantai kamar yang kosong itu.
"Ayaaahhh...!"
Jerit ini keluar berbareng dari dua mulut dara kembar itu dan mereka lalu
menubruk ayah mereka.
Kui Hok Boan
mengangkat muka dan sesudah melihat kedua orang anaknya, tangisnya makin
menghebat. Dia merangkul dua orang anaknya itu sambil menangis. "Ya
Tuhan... Lan Lan dan Lin Lin... kalian… hidup kembali...? Ahh... ampun...
ampunkan ayahmu ini... ampunkan ayahmu ini...!" Dan orang tua itu kemudian
terkulai lemas dan roboh pingsan, pertama karena selama beberapa lama ini
tubuhnya memang tak terawat, dan keduanya karena batinnya terguncang melihat
dua orang puterinya.
Sin Liong
lalu membantu Hok Boan dengan pengerahan sinkang sehingga orang tua itu siuman
kembali. Agaknya pertemuan dengan kedua orang puterinya membuat dia waras
kembali, maka menangislah orang tua ini.
Lan Lan dan
Lin Lin kemudian mencari keterangan dari para tetangga, maka berceritalah para
tetangga bahwa sesudah menguburkan jenazah Siong Bu, Kui Hok Boan menjadi
berubah ingatannya. Dia membagi-bagikan seluruh barangnya kepada para tetangga
dan siapa saja yang mau sampai rumah itu kosong sama sekali. Kini, para
tetangga yang baik hati mengembalikan barang-barang yang pernah diterimanya
dari Kui Hok Boan.
Akan tetapi,
atas usul Sin Liong, kedua orang dara itu hanya menerima kembali barang-barang
berharga dan uang, dan meninggalkan atau memberikan semua perabot-perabot rumah
kepada para tetangga, kemudian pemuda itu mengajak mereka berunding.
"Sebaiknya,
kalian jangan tetap tinggal di tempat ini," katanya. "Karena aku
masih belum yakin benar bahwa Ceng Han Houw akan memegang janji dan tidak akan
mengganggu kalian. Sebaiknya kalian membawa ayah kalian pergi mengungsi dari
tempat ini."
"Ke
mana kami harus pergi...?" Kui Lan bertanya khawatir.
"Menurut
penuturan kalian tadi, Ciang-piauwsu di Su-couw itu adalah orang yang sangat
baik," kata Sin Liong. "Bagaimana kalau kalian membawa ayah ke sana?
Dengan uang dan benda-benda berharga yang kalian bawa, ayah kalian mempunyai
modal yang cukup besar untuk memulai dengan kehidupan baru di sana."
Setelah
dibujuk oleh Sin Liong, akhirnya dua orang adik kembar itu setuju dan mereka
lalu membawa ayah mereka yang kini keadaannya seperti seorang manusia tanpa
semangat itu untuk melarikan diri ke selatan. Sin Liong merasa tidak tega
terhadap dua orang adik tirinya itu, maka dia pun lalu mengawal sampai mereka
tiba di Su-couw.
Dan tepat
seperti dugaan Sin Liong, Ciang-piauwsu menerima dua orang dara kembar itu
dengan riang gembira. Dia beserta isterinya memang sudah menganggap Lan Lan dan
Lin Lin sebagai anak mereka sendiri, maka tentu saja mereka menerima dua orang
dara kembar itu dengan gembira, bahkan keluarga Ciang-piauwsu ini juga menerima
Kui Hok Boan sebagai saudara angkat.
Sesudah melihat
betapa dua orang adik tirinya memperoleh tempat yang aman, Sin Liong lalu
berpamit dan mulailah dia pergi mencari Bi Cu. Ke manakah Sin Liong harus
mencari Bi Cu? Apa yang terjadi dengan dara itu semenjak dia berpisah dari Sin
Liong?
Seperti yang
sudah kita ketahui, Bi Cu tadinya tertawan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan
hanya sesudah Sin Liong memberikan janjinya untuk membawa pangeran itu kepada
suheng-nya sehingga pangeran itu akhirnya diterima menjadi murid Bu Beng
Hud-couw, maka Bi Cu dibebaskan oleh sang pangeran. Tentu saja secara diam-diam
pangeran ini meninggalkan pesan kepada orang-orangnya agar terus mengamat-amati
dara itu karena betapa pun juga, Bi Cu adalah murid mendiang Hwa-i Kaipang, dan
karenanya dianggap sebagai musuh pemerintah pula.
Semenjak
berpisah dari Sin Liong, Bi Cu merasa betapa hidupnya menjadi berbeda sama
sekali. Bila tadinya sebagai Kim-gan Yan-cu, pemimpin para pengemis muda, biasa
hidup lincah dan gembira, kini dia merasa betapa hidupnya sunyi dan tidak ada
kegembiraan lagi.
Dia tidak
berani kembali ke kota raja setelah dia dianggap sebagai pemberontak pula. Kini
dia terlunta-lunta, mencoba untuk mencari-cari Sin Liong, berkelana dengan hati
duka ke barat dan ke selatan. Semenjak berpisah dari Sin Liong, terasa lagi
kesengsaran yang menindih hatinya semenjak dia masih kecil, bahkan kini semakin
parah kedukaan melukai hatinya.
Semenjak
kecil, Bi Cu amat merindukan kasih sayang orang tuanya. Sejak kecil dia telah
kematian ibu kandungnya, kemudian oleh ayah kandungnya dia diberikan kepada
orang lain! Setelah dia agak besar mulai mengerti, hal ini lalu mencabik-cabik
perasaan hatinya, kedukaan yang pertama kali terasa olehnya. Dia merasa
dikesampingkan, bahkan merasa dibuang, merasa sangat diremehkan oleh orang yang
menjadi ayah kandungnya sendiri, satu-satunya orang tuanya setelah ibu
kandungnya meninggal!
Ayah
kandungnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi darah dagingnya, sudah
menyingkirkannya karena hendak menikah dengan wanita lain setelah ibunya
meninggal! Hatinya terasa amat perih, bukan karena ayahnya menikah dengan
wanita lain, melainkan karena dia merasa telah dibuang oleh ayahnya!
Kadang-kadang,
dia merasa penasaran, dia merasa kesepian dan marah, sehingga ada kalanya
timbul perasaan benci terhadap ayah kandungnya. Di dalam keadaan seperti itu,
kadang-kadang dia merasa betapa dunia ini merupakan tempat yang gelap pekat,
sempit dan tidak menyenangkan.
Kehidupannya
mulai terhibur karena kebaikan Na-piauwsu, akan tetapi kemudian piauwsu ini
tewas oleh musuh-musuhnya di depan matanya. Dia merasa seolah-olah dunia
kiamat. Satu-satunya pengganti orang tuanya, Na-piauwsu yang demikian baik
kepadanya, sudah tewas dalam keadaan menyedihkan, ada pun putera piauwsu itu,
Na Tiong Pek, agaknya hendak memaksa hasrat hatinya, hendak memperisterinya di
luar kehendak hatinya.
Dalam
keadaan seperti itu dia terlunta-lunta hingga akhirnya dia memperoleh
penerangan jiwa lagi ketika dia menjadi murid Hwa-i Sin-kai, ketua Hwa-i
Kaipang yang juga amat baik kepadanya dan kemudian dia masih dapat hidup
gembira ketika gurunya ini meninggal dunia dan dia memimpin para pengemis muda.
Akan tetapi, sedikit cahaya terang ini pun padam dan dia menjadi buronan
pemerintah!
Namun,
hidupnya mengalami perubahan besar, kegembiraan mulai memenuhi batinnya setelah
dia bertemu dengan Sin Liong, dan ternyata kebahagiaan bersama Sin Liong ini
pun direnggut orang dari tangannya! Dia kini terpisah dari pemuda itu, dan
kembali dia hidup terlunta-lunta, seorang diri saja di dunia ini, kesepian, dan
kekeringan! Mau rasanya dia mati saja dari pada hidup dalam penderitaan batin
tiada hentinya itu.
Dia haus
akan cinta kasih, dan sikap Sin Liong membayangkan cinta kasih yang dapat
memenuhi hatinya, sebagai pengganti cinta kasih ayah bundanya. Namun, kini dia
tidak tahu apakah Sin Liong masih hidup dan dapat menyelamatkan diri dari
tangan pangeran yang amat dibencinya itu.
Bi Cu
menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon besar dan tanpa tertahankan lagi dia
menangis. Air matanya bercucuran tak dapat ditahannya, namun dia pun tidak
berusaha menahannya. Dia merasa amat lelah, lelah lahir batin.
Kakinya
lelah karena sehari penuh dia berjalan kaki, seluruh tubuh lelah karena sehari
itu tidak pernah ada makanan memasuki perutnya dan dia pun tidak ada nafsu
makan sama sekali. Batinnya juga lelah, karena digerogoti kesepian dan
kerinduan akan kasih sayang. Pada saat itu dia merasa betapa sia-sia hidupnya,
betapa kosong tak ada artinya sama sekali.
Bi Cu
menangis mengguguk. Air matanya bercucuran, ujung hidungnya menjadi merah dan
dia tersedu-sedu. Iba diri semakin menggerogoti hatinya, iba diri yang datang
dari pikiran membayangkan kesengsaraan yang dideritanya, menciptakan tangan
maut yang mencengkeram hatinya dan meremas-remas hatinya sehingga berdarah!
Bukan hanya
Bi Cu yang mendambakan cinta kasih, merindukan supaya kasih sayang dilimpahkan
kepadanya. Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua menghendaki agar
semua orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan cinta
kasih!
Dari manakah
datangnya kehausan ini? Mengapa kita dahaga akan cinta kasih orang lain
terhadap diri kita.
Kita tidak
pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting dari pada segala
keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan: apakah KITA suka atau mencinta kepada
SEMUA orang? Sesungguhnya di sinilah letak sumber dari pada segalanya.
Tanpa adanya
cinta kasih di dalam batin kita sendiri terhadap semua orang dan segala
sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta kasih lain orang! Akan tetapi apa
bila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak akan kehausan lagi. Karena
batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu dahaga akan cinta kasih
terhadap diri kita, laksana sumur kering merindukan air. Apa bila sumur itu
penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya yang
berlimpah-limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA!
Sungguh
sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih di dalam diri kita
terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita selalu
mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada maka
kita merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya.
Kita baru
dapat bicara tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih dari
pada kebencian, iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada di
dalam batin, jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan bila
semua itu sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa kita
tidak MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan kita TAK
MENGHARAPKAN APA-APA LAGI!
Hati yang
penuh cinta kasih tidak mengharapkan apa-apa lagi, bagai cawan yang penuh
anggur tidak menghendaki apa-apa lagi. Tidak ada lagi rasa khawatir, tidak ada
lagi rasa takut tidak akan dicinta orang, tidak ada lagi rasa takut akan
dibenci orang. Yang takut tidak dicinta, yang takut dibenci, adalah si aku,
yaitu pikiran yang mengaung-ngaungkan si aku, yang memupuk iba diri. Akan
tetapi, kalau hati penuh dengan cinta kasih, tidak ada lagi si aku yang ingin
ini dan itu.
Bi Cu masih
menangis sesenggukan. Tangisnya mulai mereda, hanya tinggal isak-isak pelepas
ganjalan hati. Suka mau pun duka selalu ada batasnya. Permainan pikiran selalu
terbatas. Penghamburan tenaga sakti berupa senang dan susah mendatangkan
kelelahan dan biasanya orang akan merasa lelah dan lemah sesudah penumpahan
rasa duka mau pun suka ini.
Demikian
pula dengan Bi Cu. Sesudah air matanya dikuras, seolah-olah hendak mencuci
bersih hal-hal yang mengganjal hatinya, dia merasa lelah dan dia rebah di atas
rumput, berbantal sepasang lengannya, merenung dan melamun menatap langit.
Dengan pesona yang aneh matanya mengamati dan mengikuti gerakan awan-awan putih
berarak di langit biru, seperti sekumpulan domba-domba yang bulunya tebal dan
lunak.
Pada waktu
ada segumpal awan memanjang dan khayalnya membentuk gumpalan awan itu sebagai
seorang anak laki-laki penggembala domba-domba itu, teringatlah dia kembali
kepada Sin Liong dan dia mengeluh lirih. Dia tidak tahu betapa dalam waktu
beberapa menit tadi dia mengamati awan berarak, pikirannya kosong sama sekali,
maka semua duka lenyap tanpa bekas dan pada waktu itulah dia berada dalam
keadaan kosong dan bersih! Namun, begitu pikirannya teringat kembali, bekerja
kembali, dia pun dilontarkan kembali ke dunia penuh pertentangan antara suka
dan duka ini.
Bentuk itu
mengingatkan dia kepada Sin Liong dan dia termenung. Semenjak dia bertemu
kembali dengan Sin Liong, dia merasakan sesuatu yang hanya dapat dirasakan
olehnya sendiri saja. Dia tidak tahu apakah adanya perasaan itu. Cinta
kasihkah? Atau apa? Yang jelas, dia selalu terbayang-bayang kepada Sin Liong,
wajahnya, gerak-geriknya, bahkan pakaiannya, dan suaranya seperti selalu
bergema di dalam telinganya. Dan semua ini menimbulkan kerinduan yang amat
sangat, kerinduan terhadap Sin Liong.
Dia tahu
bahwa Sin Liong telah mengorbankan diri untuknya, dia tahu bahwa pemuda itu
telah menolongnya bebas dari tangan pangeran yang dibencinya itu. Akan tetapi
dia tidak tahu apakah adanya urusan antara Sin Liong dan pangeran itu.
Teringat
akan pengorbanan pemuda itu, dia menjadi semakin rindu padanya. Terbayang
betapa gembiranya pada waktu dia melakukan perjalanan di samping Sin Liong,
bahkan teringat betapa mesranya ketika mereka bersama-sama menghadapi maut,
ketika mereka hanyut dalam arus air dan menghadapi maut di ujung anak-anak
panah yang dilepas oleh para prajurit.
Bayangan Sin
Liong ini mendatangkan keharuan, kerinduan, tetapi juga membangkitkan
semangatnya kembali. Aku harus mencarinya, aku harus bisa menemukannya,
demikian pikiran yang mendatangkan semangat itu. Aku tidak boleh mati sebelum
bertemu kembali dengan Sin Liong!
Dara itu pun
bangkit berdiri dan memandang ke depan. Di atas lereng bukit yang berdiri di
depan nampak genteng-genteng rumah dusun. Dia harus mencapai dusun itu sebelum
gelap menyelubungi bumi. Perutnya sangat lapar dan di mana ada genteng rumah,
tentu ada manusia dan di mana ada orang tentu ada makanan. Dia pun lalu berlari
ke depan, menuju ke dusun di lereng bukit itu.
Sampai
berbulan lamanya Bi Cu berkelana ke barat, berputar-putar kemudian ke selatan.
Di setiap tempat yang dilaluinya, dia selalu mencari keterangan tentang Sin
Liong, akan tetapi agaknya orang di dunia ini tidak ada yang mengenal nama Sin
Liong dan dia tidak pernah menemukan jejaknya.
Bi Cu sama
sekali tidak tahu betapa ketika dia memasuki dusun itu dan langsung menuju ke
sebuah kedai makanan, ada beberapa pasang mata memandangnya dengan penuh
perhatian. Beberapa pasang mata ini makin lama makin bertambah banyak dan
belasan orang itu terus mengintainya dari jauh. Bahkan mereka selalu
membayanginya ketika dia sehabis makan mondok di rumah sekeluarga petani yang
ramah.
Malam itu Bi
Cu tidur dengan nyenyaknya. Setelah perutnya diisi, dia merasa tenaganya pulih
kembali dan dia mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi mulai kembali dengan
pencariannya. Dia akan mencari Sin Liong sampai jumpa, biar ke ujung dunia
sekali pun!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bi Cu sudah sarapan di warung makanan dan
karena dia hendak pergi melintasi bukit-bukit di depan, maka dia memesan roti
kering untuk bekal di jalan, kalau-kalau hari itu dia tidak akan bertemu dengan
dusun. Kemudian Bi Cu berangkat meninggalkan dusun itu, sama sekali tidak tahu
betapa tak lama setelah dia pergi, ada lima belas orang prajurit menunggang
kuda membalapkan kuda keluar dari dusun itu dan melakukan pengejaran kepadanya.
Bi Cu masih
belum sadar akan datangnya bahaya ketika dia mendengar derap kaki kuda dari
sebelah belakangnya. Dia hanya menduga ada serombongan orang berkuda hendak
lewat, maka dia cepat minggir ke tepi jalan lalu menundukkan mukanya supaya
jangan terlihat oleh rombongan itu.
Dia sudah
sering kali mengalami hal-hal yang tidak enak jika memperlihatkan muka dan
berjumpa dengan kaum lelaki di tempat sunyi. Hanya karena mengandalkan
kepandaian silatnya maka selama ini dia dapat menghindarkan segala bencana yang
mungkin datang dari pria-pria hidung belang atau mata keranjang.
Akan tetapi
ketika rombongan berkuda itu lewat, dia amat terkejut melihat bahwa mereka itu
berpakaian seragam, dan baru dia tahu akan bahaya pada saat mereka
berturut-turut berloncatan turun dari atas kuda dan telah mengepungnya dengan
wajah bengis! Tahulah dia bahwa para prajurit ini telah mengenalnya dan tentu
hendak menangkapnya!
Seorang di
antara mereka yang mengenakan pakaian komandan, sambil tersenyum lebar
melangkah maju. Pria ini usianya lebih dari tiga puluh tahun, kumisnya tebal
dan matanya lebar. Sambil tersenyum mengejek komandan itu berkata.
"Kim-gan Yan-cu, susah payah kami mencari-carimu, kiranya engkau berada di
sini. Ha-ha, engkau hendak lari ke mana sekarang?"
Disebut nama
julukannya, timbullah semangat dalam diri Bi Cu. Ketika dia masih menjadi
pemimpin para pengemis, hidupnya penuh petualangan dan dia tak pernah merasa
takut terhadap apa pun juga. Berkelahi merupakan ‘pekerjaan’ sehari-hari, maka
kini begitu dia disebut Kim-gan Yan-cu, semangatnya segera terbangun dan biar
pun dia dikepung oleh lima belas orang prajurit, dia bersikap tenang saja dan
memanggul buntalan terisi pakaian dan bekal roti kering.
"Hemm,
kalian adalah prajurit-prajurit kerajaan, apakah tidak malu mengganggu seorang
wanita di tengah jalan sunyi dalam hutan? Kalian mau apakah?"
"Ha-ha-ha-ha,
tidak perlu kau berpura-pura lagi, Kim-gan Yan-cu. Engkau adalah seorang
pemberontak, dan kami adalah prajurit-prajurit kerajaan maka kalau kami bertemu
dengan seorang pemberontak, lantas mau apa? Tentu saja hendak menangkap dan
meringkusmu untuk kami bawa ke kota raja dan dijebloskan ke dalam
penjara!" kata komandan itu.
"Biarkan
aku menangkapnya!"
"Aku
saja!"
"Aku
saja!"
Di antara
empat belas orang prajurit itu beramai-ramai hendak berebut. Mereka tentu saja
tak berani bertindak lebih sebelum memperoleh ijin dari komandan mereka. Pula
mereka tahu bahwa dara ini pernah berurusan langsung dengan Pangeran Ceng Han
Houw, maka tentu saja mereka tidak berani mencoba untuk melakukan hal yang
berlebihan. Tapi, jika diperbolehkan menangkap, setidaknya mereka mendapatkan
kesempatan untuk sekedar merangkul, meraba dan mencolek tubuh dara remaja yang
sedang mekarnya ini!
Melihat
kegairahan anak buahnya, komandan itu tersenyum lebar. "Kalian semua boleh
maju dan coba tangkap dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka. Ingat, dia
itu seorang buronan yang amat penting dan beliau sudah memesan khusus kepadaku
agar berusaha menangkapnya tanpa mengganggunya!"
Empat belas
orang prajurit itu bersorak dan tiba-tiba mereka itu saling bergerak berlomba
untuk lebih dulu meraba tubuh Bi Cu yang memang mulai dewasa seperti buah
meranum atau bunga sedang terbuka kuncupnya. Seorang prajurit bertubuh tinggi
kurus menubruk dari depan. Akan tetapi Bi Cu sudah menggerakkan kakinya.
"Dukkk!”
“Waaahhh…!"
Orang itu terjengkang karena perutnya kena ditendang ujung sepatu Bi Cu. Orang
ke dua dari kiri juga disambar tendangan, tepat mengenai lututnya sehingga
orang itu jatuh berlutut.
"Wah,
A-piauw, begitu hebatkah engkau tergila-gila padanya sampai berlutut?"
komandan itu mengejek anak buahnya ini.
Maka
terjadilah perkelahian yang ribut bukan main dan Bi Cu mengamuk dengan
pukulan-pukulan, tamparan dan tendangan-tendangan. Akan tetapi para
pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang bertubuh kuat dan karena jumlahnya
banyak, dia kewalahan juga.
Tiba-tiba,
saat dia menghadapi lawan yang mendesak dari depan, seorang prajurit berhasil
menubruk dan menyikapnya dari belakang dan kedua tangan dengan jari-jari yang
panjang itu mencengkeram ke arah dadanya! Bi Cu menjerit lirih.
"Heh-heh,
lihat, aku berhasil menangkapnya!" seru prajurit itu sambil tertawa-tawa.
"Ngekkk!"
Tiba-tiba dia meringis, kemudian kedua tangannya yang nakal itu terlepas dari
pegangannya karena hidungnya pecah dan berdarah ketika dihantam oleh siku kanan
Bi Cu.
"Desss...!”
“Auuuughh...!"
Sekarang dia terhuyung lalu roboh terjengkang, kedua tangan memegangi bawah
pusarnya karena tadi dengan kemarahan meluap-luap Bi Cu sudah menyepakkan
kakinya ke belakang, seperti seekor kuda betina yang diganggu dari belakang.
Tumit sepatu
dengan tepat mengenai anggota tubuh di bawah pusar sehingga laki-laki itu
langsung mengaduh-aduh bagaikan seekor babi disembelih. Hanya mereka yang
pernah merasakannya sajalah yang mampu menggambarkan betapa nyeri, kiut-miut
rasanya jika bagian itu kena tendang!
Bi Cu sudah
marah sekali. Sekarang dia bukan sekedar membela diri, melainkan balas
menyerang untuk membunuh! Dia seperti seekor harimau betina yang sudah tersudut
dan menjadi buas dan liar! Kedua tangannya menampar dengan pengerahan seluruh
tenaga, dan ketika ada seorang prajurit menjerit kesakitan dan sebuah biji
matanya copot kena ditusuk jari tangan Bi Cu, kaget dan marahlah komandan
pasukan kecil itu.
"Robohkan
dia!" bentaknya.
Kini para
prajurit yang juga marah setelah melihat betapa seorang teman mereka cedera
demikian parah, lalu mendesak maju dan mulai menyerang dengan pukulan-pukulan
dan tendangan-tendangan, tak seperti tadi yang hanya sekedar ingin menangkap
dan meraba saja!
Dan mulailah
Bi Cu merasa kewalahan! Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai tubuhnya,
membuat dia terhuyung-huyung. Namun dia sama sekali tidak mau menyerah, bahkan
mengamuk seperti seekor harimau memukul, mencakar, kalau perlu menggigit!
"Hantam
perempuan liar ini! Baru kita ringkus!" bentak lagi komandan yang juga
pernah kebagian tendangan kaki Bi Cu yang mengenai betisnya hingga menimbulkan
kenyerian yang cukup membuat dia menjadi semakin marah.
Para
prajurit itu yang seperti sekumpulan srigala mengeroyok seekor harimau betina,
kini menubruk dari empat jurusan, menampar, menjambak sehingga akhirnya
robohlah Bi Cu karena kakinya kena ditangkap dan ditarik. Begitu dia roboh,
para prajurit itu bersorak dan mereka berlomba untuk menubruk dan meringkus Bi
Cu.
"Siancai...!
Anjing-anjing pemerintah lalim kembali menghina rakyat…!" Suara ini
tiba-tiba saja terdengar, disusul teriakan dua orang prajurit yang terpelanting
ke kanan kiri dengan kepala pecah karena ada tongkat butut yang menyambar dan
menghantam kepala dua orang itu secara cepat sekali.
Tongkat itu
berada di tangan seorang kakek renta yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun
lebih, berpakaian jubah pendeta berwarna putih kumal dan rambutnya yang sudah
putih semua itu digelung ke atas, seperti seorang tosu yang baru saja keluar
dari tempat pertapaannya.
Melihat
robohnya dua orang teman mereka yang tewas dengan kepala pecah itu, semua
prajurit terkejut bukan main dan mereka segera mengurung pertapa itu,
meninggalkan Bi Cu yang masih rebah. Bi Cu bangkit duduk, mengelus-elus kaki
kirinya yang terasa nyeri sekali terkena tendangan keras dari si komandan,
lantas dengan heran dia memandang kepada kakek yang tak dikenalnya itu.
"Pertapa
jahat!" komandan itu membentak dan menundingkan telunjuknya ke arah muka
kakek itu. "Berani engkau membunuh dua orang prajurit kerajaan?"
"Huh,
siapa yang tidak berani? Kalau bisa aku akan membunuh seluruh prajurit kerajaan
yang lalim dan menindas rakyat!" jawab pendeta itu.
"Kakek
pemberontak!" Komandan itu berteriak lalu dia memberi aba-aba.
"Tangkap atau bunuh dia!"
Komandan itu
sendiri kini mencabut pedangnya, dan semua anak buahnya juga mencabut golok
masing-masing. Ketika mereka mengeroyok Bi Cu tadi, tidak seorang pun di antara
mereka yang menggunakan senjata, karena memang mereka hendak menangkap Bi Cu
hidup-hidup, pula mereka agak memandang ringan terhadap dara muda remaja itu.
Akan tetapi sekarang, melihat betapa kakek itu sudah membunuh dua orang kawan
mereka, tentu saja mereka menjadi marah dan sinar kejam dalam mata semua
prajurit itu.
"Ha-ha-ha,
marilah kuantar nyawa kalian ke neraka!" Kakek itu tertawa dan si komandan
sudah menerjang dengan pedangnya, diikuti oleh anak buahnya.
Tiba-tiba
terdengar suara angin bercuitan dan tongkat itu lenyap berubah menjadi cahaya
bergulung-gulung yang menyambar semua prajurit yang sudah menyerang.
Terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan disusul robohnya para prajurit
itu seorang demi seorang! Golok-golok beterbangan dan akhirnya, dalam waktu
yang sangat singkat, seluruh prajurit termasuk komandannya telah roboh dan
tewas sebab semua roboh dengan kepala pecah!
Melihat ini,
diam-diam Bi Cu terkejut dan juga merasa ngeri sekali. Dia hanya duduk dan
terbelalak memandang kepada kakek yang kini sedang berdiri tegak dengan tongkat
butut di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang dan kakek itu tertawa
menyeramkan.
Betapa pun,
karena mengingat bahwa kakek yang amat kejam dan menyeramkan ini telah
menyelamatkanya, Bi Cu lalu bangkit dan dengan terpincang-pincang menghampiri
kakek itu sambil berkata, "Terima kasih atas pertolongan locianpwe."
Kakek itu
sudah berhenti tertawa, lalu membersihkan ujung tongkatnya yang berlumuran
darah itu pada baju yang menutupi tubuh salah seorang di antara para korbannya
yang terdekat. Kemudian dia menunduk dan memandang kepada dara remaja itu,
berkata lirih,
"Anak
yang baik, kau angkatlah mukamu dan pandang aku."
Biar pun
merasa seram, Bi Cu mengangkat muka memandang. Kakek itu sudah tua, akan tetapi
mulutnya yang selalu tersenyum itu membayangkan ketampanan, terutama sekali
sepasang matanya mencorong menakutkan.
Bi Cu
terkejut dan ingin mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia tidak sanggup!
Sinar matanya seperti melekat atau tertangkap oleh sinar mata kakek itu,
membuat dia tidak mampu menggerakkan mata untuk mengalihkan pandangan!
Kakek itu
mengangguk-angguk, kelihatan puas. "Bagus, engkau seorang perawan remaja
yang cantik manis, berdarah bersih serta bertulang baik. Engkau patut menjadi
muridku. Siapakah namamu?"
Dengan suara
gemetar yang seakan-akan keluar di luar kehendaknya, Bi Cu menjawab, "Nama
saya adalah Bhe Bi Cu..."
"Bagus!
Nah Bi Cu, mulai sekarang engkau kuambil sebagai muridku."
Di dalam
batinnya Bi Cu menolak, akan tetapi anehnya, dia tak kuasa untuk menolaknya!
Dia sudah ditolong, diselamatkan nyawanya, bagaimana mungkin dia menolak
kehendak kakek sakti ini yang hendak mengangkatnya sebagai murid? Selain dia
tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, juga dia tidak akan berani! Dan yang
lebih aneh lagi, bagaikan digerakkan oleh tenaga yang tidak nampak, dia lalu
memberi hormat dan berkata,
"Suhu...!"
Bi Cu merasa heran sendiri mengapa dia melakukan hal ini.
"Ha-ha-ha-ha,
bagus sekali, Bi Cu. Engkau akan hidup senang menjadi murid Kim Hwa Cinjin!
Hayo, kau ikutlah bersamaku."
Kakek itu
tertawa girang dan Bi Cu lalu bangkit berdiri dengan taat. Dia sudah terlanjur
mengangkat kakek ini sebagai guru, kakek yang namanya Kim Hwa Cinjin! Tentu
saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek ini adalah seorang tokoh
besar, ketua dari perkumpulan Pek-lian-kauw di selatan!
Pek-lian-kauw
adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu tidaklah
mengherankan bila Kim Hwa Cinjin membunuh semua prajurit kerajaan itu,
semata-mata bukan untuk menyelamatkan Bi Cu. Dan Bi Cu juga sama sekali tidak
tahu bahwa Kim Hwa Cinjin dahulu di waktu mudanya adalah seorang penjahat cabul
yang sangat ditakuti semua wanita.
Lebih lagi
dia tidak pernah mimpi bahwa biar pun pada lahirnya dia diambil murid, namun
istilah mengambil murid dari ketua Pek-lian-kauw ini mengandung maksud lain
yang lebih buruk lagi, bahkan maksud yang sangat keji terhadap diri Bi Cu.
Tanpa disadarinya, dara remaja ini sudah terjatuh ke dalam tangan ketua
Pek-lian-kauw yang telah menggunakan kekuatan sihirnya, membuat dara itu tunduk
dan kehilangan kekuatan dan kemauan untuk menolak ketika diambil sebagai murid.
SEPERTI
telah kita kenal di bagian depan cerita ini, juga dalam cerita Dewi Maut,
dahulunya Kim Hwa Cinjin adalah seorang jai-hwa-cat. Dan kini, setelah usianya
menjadi amat lanjut, kecabulannya berubah dan kini dia mencari kenikmatan
dengan cara menonton kecabulan berlangsung, bukan melakukannya sendiri.
Tokoh ini
sudah biasa menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para muridnya yang
dianggap berjasa, lalu diam-diam dia mengintai bagaimana para muridnya itu
menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi
Cu sebagai seorang dara remaja yang cantik manis dan bertulang baik, dia
tertarik sekali.
Kalau dara
seperti ini menjadi muridnya dan dihadiahkan kepada para murid terbaik, kelak
kalau sampai dara ini melahirkan keturunan, maka keturunan itu tentu dapat
diharapkan menjadi anggota Pek-lian-kauw yang sangat hebat! Inilah yang
terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid.
Baik itu
dinamakan kecabulan, kemaksiatan, yang menjurus pada perbuatan kejahatan, mau
pun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus kepada persaingan
dan perebutan kedudukan sampai kepada perang, atau kepada pengejaran terhadap
apa yang dianggap murni dan agung, seperti daya upaya untuk menjadi orang baik,
orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu mempunyai dasar dan
sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri sendiri!
Mengejar dan
memperebutkan uang, kedudukan, wanita, nama besar, kehormatan dan sebagainya
itu memang dapat mendatangkan kesenangan! Begitu pula, orang mengejar kedamaian
baik di alam fana mau pun baka karena mengganggap bahwa kedamaian itu
menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misalnya
kebahagiaan.
Karena
menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan mendatangkan kebahagiaan, maka
terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua tindakan itu selalu didasari
oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih! Kita seakan lupa bahwa segala
sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan konflik dan
pertentangan.
Pamrih
adalah pementingan diri pribadi, dan pementingan diri pribadi ini yang sering
kali menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri atau konflik dengan
orang lain. Orang yang mengejar-ngejar uang akan menyamakan dirinya dengan uang
itu dan uang dianggap lebih penting dari pada apa saja. Demikian halnya dengan
pengejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi yang terpenting bukan si
kedudukan, si kehormatan, si bangsa, si keluarga, si uang, melainkan si aku!
Maka
terjadilah demikian: Yang dibela mati-matian adalah kedudukanku, kehormatanku,
bangsaku, keluargaku, agamaku dan seterusnya yang berpusat pada si aku. Uang
orang lain, kehormatan orang lain, bangsa orang lain, agama orang lain, sama
sekali tak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya
pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan?
Apakah kita
dapat hidup tanpa pamrih ini, tanpa adanya si aku yang mendorong segala
perbuatan kita menjadi tindakan pementingan si aku? Hanya kalau sudah begini,
maka uang, kedudukan, kehormatan, keluarga, bangsa, agama dan lain-lain
memiliki arti dan nilai yang sama sekali berbeda!
Orang
semacam Kim Hwa Cinjin semenjak kecil telah menjadi budak dari nafsu-nafsunya
sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat berbentuk
seribu satu macam, tercipta dari keadaan lingkungan, tradisi, pendidikan,
kebiasaan dan sebagainya.
Sampai
berusia setua itu, Kim Hwa Cinjin masih saja diperhamba oleh akunya yang selalu
mendambakan kesenangan. Sifat kesenangannya sama saja, hanya bentuknya berubah
menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-pengejaran kesenangan ini maka
timbullah segala macam maksiat, kejahatan dan kekacauan di dunia ini!
Bi Cu yang
berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke tempat
jagal. Dia menurut saja ketika diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu
itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang membuat
dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata,
"Suhu...!"
"Eh,
ada apakah, Bi Cu yang manis?" Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada
dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu.
"Teecu...
teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin
Liong..."
"Sin
Liong? Siapa itu?"
"Dia...
dia seorang sahabatku yang amat baik..."
"Hemm,
engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut semua
perintahku."
"Tapi,
suhu..."
"Agaknya
engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kau lihatlah ini!" Kim
Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting.
Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, lalu dengan
tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat
permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.
"Hiaaaattt...!"
Kim Hwa
Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun
menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu
tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar.
"Blaaarrr...!"
Batu besar itu pecah berkeping-keping.
"Dan
kau lihat pukulan api dari tanganku ini!" katanya pula menghampiri
sebatang pohon.
Dengan
tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengarlah suara keras
seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu saja Bi
Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu
bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum
rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh
takluk dan kagum.
"Nah,
apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu?"
"Tentu
saja, suhu, teecu ingin sekali."
"Kalau
begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku."
"Baik
suhu, teecu akan taat."
Girang bukan
main hati Kim Hwa Cinjin dan dia langsung mengajak dara itu melanjutkan
perjalanan menulu sarang Pek-lian-kauw. Sebulan lagi Pek-lian-kauw akan
mengadakan pesta ulang tahunnya, dan di dalam pesta itulah dia akan
menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa.
Sambil terus
melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum,
mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi
dara ini! Bi Cu tidak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor
domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya!
***************
Sin Liong
mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia sudah menemukan jejak
Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang
petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya
mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam
rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi
bahwa tentu dara itu Bi Cu.
Yang
meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia,
mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki
bukit itu. Biar pun dia sudah ketinggalan hampir satu bulan, akan tetapi kini
dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih
lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu.
Akan tetapi,
timbul kekhawatiran di dalam hatinya pada waktu dia mendengar keterangan dari
seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah
pegunungan itu termasuk pula wilayah yang secara diam-diam dikuasai oleh perkumpulan
Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan.
Mendengar
disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa amat khawatir. Bi Cu telah tiba di
wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya
bagi dara itu apa bila melewati daerah ini. Maka timbullah kecurigaannya dan
dia harus lebih dahulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau di sana tidak
terdapat Bi Cu, baru dia akan pergi meninggalkan tempat itu sebab ia sendiri
tak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak
bertemu dengan fihak mereka, pikirnya.
Setelah tiba
di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang
merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai
terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran bukan main.
Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik
seakan-akan di sana diadakan pesta, di mana orang bergembira ria? Melihat
betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya
menuju ke perkampungan di dekat puncak itu.
Setelah
melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia sampai di padang rumput yang penuh
dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lututnya dan Sin
Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang
rumput itu.
Tiba-tiba
kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di
dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, terdengar suara berdesir dan bercuitan
dari bawah. Sin Liong terkejut bukan main, maklum bahwa ada penyerangan gelap
dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di
udara sampai tiga kali.
Benar saja,
dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kiri dan kanan.
Agaknya ketika tali halus tadi tersangkut di kakinya, secara otomatis alat
rahasia sudah menggerakkan empat batang tombak itu! Sin Liong lalu melompat
turun kembali ke depan, kurang lebih empat meter dari tempat di mana kakinya
tersangkut tali penggerak alat yang melucurkan tombak-tombak itu.
"Blussss...!"
Begitu kedua
kakinya menginjak tanah di bawah rerumputan, tiba-tiba dia berseru keras karena
ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Ternyata di bawah itu adalah
lubang yang ditutupi rumput, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena
tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya
terjeblos. Dia cepat melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi
tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah!
Kalau orang
hanya memiliki kepandaian ginkang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat
lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah meluncur turun dan di bawah
nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang
sudah siap mencaplok dan menggigitnya.
Sin Liong
memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan
waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan ginkang-nya dan ketika dekat dengan
ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas dua ujung tombak sambil
mengerahkan sinkang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus
sepatunya itu tak mampu melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat
ke atas, keluar lagi dari sumur itu!
Dia tiba di
luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada memandang ke
sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorang pun manusia, tanda bahwa
dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian
baiknya hingga amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia
melangkah terus, sekarang dengan hati-hati supaya tidak sampai terjeblos ke
dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia
cepat meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu.
Akhirnya dia
keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan sampailah dia di sebuah taman
penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari
perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar, berasal dari
pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok
putih, dan tak nampak seorang pun di luar tembok.
"Syet-syet-syetttt...!"
Tiba-tiba
nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah
menyambar dari atas, menancap di atas tanah di hadapan Sin Liong, merupakan
pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong
mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar.
"Hemmm,
beginikah cara Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan
perangkap-perangkap dan anak panah?" tanyanya dengan suara yang melengking
nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh.
Hening
sejenak sesudah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar
suitan-suitan tanda rahasia, dan tidak lama lagi banyak bayangan orang melayang
turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah
pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang turun
berturut-turut tampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon
sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu
Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh
perhatian dan kecurigaan.
"Sicu
datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami
yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu
datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara mereka, pendeta yang
pertama melayang turun tadi.
Sin Liong
mengangkat tangan menjura kepada mereka, lantas menjawab dengan tenang,
"Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di
daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya
amat tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin
Pek-lian-kauw, sedikit pun saya tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang
tidak bersahabat," jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan
fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw juga tidak melakukan
sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada
mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri.
Tiba-tiba
melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan
orang baru ini kemudian berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan
ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu
bukan musuh dan bermaksud baik, boleh saja diterima sebagai tamu, sebab pada
hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya.
Pendeta
pembicara itu kemudian tersenyum. "Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami
menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam
dan berkenalan dengan para pimpinan kami."
Perkumpulan
Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang selalu menentang pemerintah, oleh karena
itu kalau merayakan ulang tahun tidak pernah mengundang umum karena mereka
selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau
kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Dan undangan itu pun baru
akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai
beberapa hari lamanya. Pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka
belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun
perkumpulan mereka tanpa ada seorang pun tamu dari luar.
Akan tetapi
seluruh anggota, juga termasuk yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu,
pada hari itu sudah hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaan
pun tidak begitu ketat seperti biasanya hingga Sin Liong sampai dapat memasuki
pekarangan itu dan baru setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggota
Pek-lian-kauw. Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam
perkampungan yang cukup luas.
Semua rumah
di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah hingga suasana di sana
cukup meriah. Di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana para anggota
bagian musik sedang memeriahkan suasana dengan permainan musik dan nyanyian
serta tarian.
Munculnya
pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan, akan tetapi
karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pemuda itu disambut sebagai
tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk, terus masuk ke
dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cinjin sendiri bersama para tokoh
Pek-lian-kauw dan para murid terkasih. Semua orang lalu memandang kepada pemuda
yang melangkah masuk dengan tenang itu.
Kim Hwa
Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu
dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan serta sikap kakek yang
memiliki sepasang mata tajam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam
dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang menyambutnya
dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw, maka dia lalu berhenti di hadapan
Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata,
"Harap
kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu."
Pada waktu
masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia
tidak melihat adanya Bi Cu di sana, maka dia merasa agak lega dan dia pun
bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw.
Kim Hwa
Cinjin mengangguk-angguk. "Hemm, dari pelaporan anak buah kami mendengar
bahwa engkau mempunyai kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami
merasa kagum bahwa seorang pemuda seperti sicu sudah dapat memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama
sicu?"
"Nama
saya Sin Liong," jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan),
dan ternyata ketua Pek-lian-kauw itu pun tidak bertanya tentang hal itu tanda
bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanyalah untuk membalas
sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia
sebagai orang penting!
"Saya
kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya merasa tertarik dan
memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk."
Kim Hwa
Cinjin hanya mengangguk. Mendadak terdengar suara merdu di sebelah kanan kakek
itu, "Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat,
bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?"
Sin Liong cepat
memandang dan ternyata yang bicara ini adalah salah seorang di antara
sekelompok wanita-wanita muda yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu
berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah
cantik dan dari sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang
pandai ilmu silat.
Memang
mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang
berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih
dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihiasi
burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan. Di antara para murid
wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan
senyumnya amat manis.
Ketika Sin
Liong memandang kepadanya, wanita itu pun menatapnya dengan sinar mata yang
demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong langsung menundukkan
mukanya kembali.
"Ha-ha-ha-ha,
Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun maka biarlah kuturuti permintaanmu sebagai
hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah,
kau layanilah sicu ini!"
Sin Liong
menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang
dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik
itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk
di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ,
dia pun tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya.
Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak,
diatur di atas meja di depan Sin Liong.
Pada waktu
wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata yang
menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari sapu
tangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa semakin kikuk, akan tetapi juga tidak
berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan
dia makan minum. Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di
hadapannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak bila sudah kosong,
menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.
Padahal di
situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justru murid
wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani
wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini
agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.
Oleh karena
Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh
arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh
wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin
Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil
mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.
"Ini
adalah perayaan ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun
kami menggunakan tempat ini sebagai pusat dan tak pernah mengalami gangguan.
Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena
kehadiranmu..."
Sin Liong
hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang
mempesona dan membuat dirinya lengah. Pada waktu itu para wanita yang menari
sudah mengundurkan diri, lantas suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan
lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong
terbelalak.
Dua orang
wanita muda itu mengenakan pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka,
dan kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Sesudah
mereka menjatuhkan diri berlutut di hadapan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin
meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja!
Kini kedua
orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor
yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat
saja karena cahaya itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk
lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid
Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik hingga
suasana penuh dengan pesona dan gairah!
Mendadak Sin
Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang
terletak di atas meja. Dia terkejut saat melihat betapa yang mengelus tangannya
itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik
tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa
agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar
matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat.
Dari tempat
duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba saja dia mengangkat
kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong lalu mulutnya
berkemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki.
Tiba-tiba saja dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh,
memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka.
Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh.
Tiba-tiba
dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan,
seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia
terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang
bergerak-gerak itu dan mendadak dia merasa tubuhnya lemas serta matanya
mengantuk. Rasa kantuk itu tak tertahankan lagi olehnya. Kepalanya terasa
berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu
memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai
bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya
semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!
Pemuda itu
sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk di mana
Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun
mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula Kim Hwa Cinjin
memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong.
Pada saat Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih,
memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin
menyetujuinya.
Sin Liong mulai
dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki. Biar pun
ketika itu Sin Liong sudah terpengaruh arak, namun melihat gadis itu berusaha
untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak.
Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka
diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya.
Sin Liong
yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu
sihir, maka dengan bantuan suara musik serta penglihatan indah dari tari obor
oleh dua orang murid wanita itu, cahaya obor yang menyilaukan, akhirnya dia
berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat
menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat mempergunakan jari-jari tangannya
menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.
Sin Liong
membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang
berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang
memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia
memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia
terkejut dan heran.
Cepat dia
membuka mata dan terbelalak memandang pada kedua lengannya yang sudah
terbelenggu. Dua lengannya itu terikat di bagian pergelangan tangan. Suara
tertawa kecil membuat dia semakin sadar dan sekarang dia memandang wanita yang
duduk di pinggir pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan.
Kini dia
sudah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah
kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw
Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan
tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya!
Sin Liong
lalu menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua
kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara
seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biar pun pemuda itu telah
ditotoknya, tetap saja dia masih merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki
dan tangan pemuda itu.
"Apa...
apa artinya ini...?" Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari
bantal.
"Hik-hik...!"
Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini
agaknya sudah setengah mabok.
Diam-diam
Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya
heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia
mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya
mengantuk, diam-diam dia lalu mengutuk. Dia sudah disihir! Tidak ragu-ragu lagi
dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan
tidak waspada dia telah kena disihir.
"Artinya,
orang ganteng... bahwa engkau sedang berada di kamarku dan kita... kita akan
bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!"
Diam-diam
Sin Liong merasakan betapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka
dia segera mengerahkan sinkang melancarkan kembali jalan darahnya. Dia masih
belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali
kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka
dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata, "Mengapa aku dibelenggu kaki
tanganku?"
"Aku
khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah,
belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya amat harum, kau ciumlah,
hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu belenggumu itu akan kulepaskan.
Sekarang, kau minumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak
istimewa, kau minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita
bersenang-senang..."
Cawan arak
itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang
aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak ini pun tidak wajar, bukan sembarang
arak, karena itu tentu saja dia tidak mau minum.
"Nanti
dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebenarnya... aku
sedang mencari seseorang... saudaraku..." Sin Liong membohong. Yang
dicarinya adalah seorang gadis, jika dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan
kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.
"Hemm,
saudaramu? Siapakah saudaramu dan mengapa kau mencarinya di sini?" tanya
wanita yang mukanya sudah merah karena setengah mabuk itu dan tangan kirinya
masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.
"Saudaraku
seorang gadis bernama Bi Cu..." Sin Liong berhenti berbicara karena
melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh
gairah dan setengah terpejam itu mendadak agak terbelalak. Jantungnya berdebar
dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.
Tentu saja
Ciauw Ki mengetahui tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati
kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhu-nya dipilih sebagai
kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Apa bila tidak ada Bi
Cu, tentu dialah yang akan diperebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati
itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhu-nya ketika dia melihat Sin
Liong!
"Aihhh...
kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu kini
sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling
gagah dan tampan! Akan tetapi engkau pun tidak kalah mujurnya karena engkau
mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!"
Tiba-tiba
saja Sin Liong menggunakan sinkang-nya hingga semua ikatan tangan kakinya
putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu sudah bangkit duduk
itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan
kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan
itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan
buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu birahi itu
kini terbelalak ketakutan.
"Hemm,
kuhancurkan mulutmu jika engkau tidak mengaku terus terang!" desis Sin
Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu
terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.
"Aa...
aku... ahhhhh..." Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih
didekap oleh jari tangan Sin Liong.
Tiba-tiba
Ciauw Ki menggunakan tangan yang memegang cawan arak untuk menghantam ke arah
muka Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, dia pun terkulai lemas
dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada
mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.
"Hayo
katakan, di mana Bi Cu?"
Dengan suara
lemah, Ciauw Ki berkata, "Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati!
Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang
suheng-ku...!"
"Plakkk!"
Tangan Sin
Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi
di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang karena
tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya kelak bahkan menjadi buruk.
Cepat Sin
Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan saja dia telah
berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan
meriah, maka sangat mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di
mana Bi Cu disembunyikan.
Dia tidak
perlu terus memaksa Ciauw Ki agar supaya mengaku sebab wanita itu agaknya
merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tak akan mau membuka rahasia perkumpulan,
biar diancam atau disiksa sekali pun. Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa
orang, maka dia lalu mengambil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar
wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh
selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.
Dia
mengintai dari genteng, sambil melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak
terdapat di perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang
menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama
seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggota-anggota yang
menjadi hamba-hamba nafsu birahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia
melihat para anggota Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing
dalam keadaan mabuk.
Tiba-tiba
dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu bukan main
ringannya, maka dia langsung mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan
itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan
kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar
lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis yang membuat Sin
Liong bergidik.
Melihat
kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke
atas genteng lalu dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang
sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw
itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia
berseru keras sesudah melihat apa yang ada di dalam kamar itu!
Kamar itu
besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar, mengelilingi sebuah
meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai tercium olehnya dari
atas genteng, duduk tiga orang lelaki yang hampir telanjang bulat, hanya
mengenakan cawat saja! Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira.
Salah satu
di antara ketiga orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumisnya
tebal pendek dan jenggotnya terpelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar
tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan rata-rata
wajah mereka dapat dikatakan tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas
seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw.
Akan tetapi
bukan ketiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang
nampak di atas sebuah pembaringan yang ada di tengah kamar itu. Di atas
pembaringan itu rebah seorang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung
tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Sedangkan
pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu
kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak.
Dapat
dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Sin Liong ketika melihat wanita ini karena
dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua
tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata
naga yang marah!
"Sayang
dia terpaksa dibius," kata si kumis tebal. "Kalau tidak dia tentu
akan menolak dan melawan mati-matian!"
"Aku
lebih senang apa bila dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini,
mirip mayat!" cela orang ke dua sambil menenggak araknya.
"Dan
aku lebih senang kalau dia itu mau menyerahkan diri dengan manis dan suka rela.
Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"
"Seorang
dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang,
ah, betapa pun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton
dulu, aku akan menjadi orang pertama..."
"Ah,
jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu
yang..."
"Tidak,
aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!"
Si kumis
tebal tertawa. "Ha-ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah
kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita
undi saja!"
"Atau
kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"
Mendengar
percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu
belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum
terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi.
Saat tiga
orang tosu itu sedang main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak
mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas
kamar dan juga di luar rumah. Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin
Liong menerjang genteng sampai bobol lantas tubuhnya melayang ke dalam kamar
laksana seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedangkan suara
ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak
orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam!
Semua orang
yang berada di kamar itu terkejut. Demikian pula dengan Kim Hwa Cinjin yang
sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan nafsu birahi itu menjadi
terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, dan yang
telah ditundukkannya dengan ilmu sihir lalu diserahkan kepada Ciauw Ki untuk
dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di
kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih
kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar.
Perhatiannya
terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar situ lebih berbahaya, maka
tanpa mempedulikan keadaan di dalam kamar itu, karena dia memandang rendah
kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat
menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar.
Dia terkejut
sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari
pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Anggota-anggota Pek-lian-kauw
yang tadinya masih berpesta-pora, kini menghadapi serbuan pasukan pemerintah
dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat
terpaksa harus melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang
dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar
dan lupa memakai pakaiannya!
Sementara
itu, dengan ringan sekali Sin Liong telah melayang turun ke dalam kamar. Dia
pun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus
dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan
Pek-lian-kauw, karena apa bila sampai dia dikepung oleh semua tokoh beserta
anggota Pek-lian-kauw, akan sulitlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apa
lagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu
bergerak sendiri.
Ketiga orang
tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu juga terkejut
bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan
yang siang tadi sudah ditawan kemudian diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah
mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biar pun mereka dalam
keadaan hampir telanjang seperti itu.
Melihat
gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh
besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua
Pek-lian-kauw. Maka dia pun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan
beberapa jurus San-in Kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te
Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang.
Tiga orang
tosu itu cepat menangkis tetapi seorang demi seorang berteriak kaget sekali,
dan tubuh mereka terlempar lalu menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak
tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar
dan pusing akibat terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini
digunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu.
Tanpa
mempedulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis,
dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas
genteng, kemudian dengan cepat dia pun meloncat ke tempat yang agak sunyi di
belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang
berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang telah terjadi,
siapa yang sedang bertempur itu, dan dia pun tidak peduli. Yang paling penting
adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan
itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya.
Maka larilah
dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat yang gelap. Beberapa kali dia
berpapasan dengan anggota Pek-lian-kauw atau anggota pasukan penyerbu sehingga
terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.
Tiba-tiba
terdengar suara yang sangat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas
langit. "Liong-te... di mana engkau...?!"
Sin Liong
terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar pada siang hari
yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka,
pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah
yang agaknya telah dipimpin sendiri oleh Ceng Han Houw. Pangeran ini malah jauh
lebih lihai dan berbahaya dari pada semua orang Pek-lian-kauw.
Maka Sin
Liong mempercepat larinya, berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari
perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang
amat gelap, cukup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi dia pun
tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali.
Maka dia
mencari tempat yang bersih lantas dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah
berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan
tetapi dara yang sudah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman
sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang
yang tertidur nyenyak sekali.
Sin Liong
yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan
yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar
dan mencarinya, tak berani membuat api unggun sehingga untuk melindungi tubuh
Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia
lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu. Kemudian dia
memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sinkang sehingga hawa hangat memasuki
tubuh dara itu, melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menusuk tulang.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang
memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga
belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh
keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan
maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang
remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.
Tiba-tiba
saja dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di
antara mereka yang berkumis tebal membentak, "Pemuda iblis, mau lari ke
mana engkau?!"
Sin Liong
kaget sekali dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka
yang tadi malam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena
dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw
yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin
akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia
lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.
Tiga orang
tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Sesudah beberapa lamanya berlari,
Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya
tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia pun cepat menurunkan tubuh Bi Cu
ke atas rumput, kemudian dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.
Tiga orang
tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau pada waktu Sin
Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat
melakukan perlawanan yang gigih adalah disebabkan mereka bertiga berada dalam
keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap.
Melihat
pemuda itu sudah menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan
menjadi kekasih mereka bertiga sebab oleh suhu mereka telah diberikan kepada
mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Semalam, setelah
mengenakan pakaian, mereka lalu melakukan pengejaran, tanpa mempedulikan
kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda
itu lenyap di dalam hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan.
Karena keadaan sangat gelap, maka mereka menunggu dan pada pagi hari itu, benar
saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon
korban mereka....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment