Wednesday, September 5, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Lembah Naga Jilid 37



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
     Serial Pendekar Lembah Naga
                Jilid 37


DIAM-DIAM, disamping kekaguman mereka, juga terdapat perasaan iri hati yang sangat besar. Pemuda sederhana ini sungguh beruntung, sudah menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang ternama kemudian menjadi keluarga yang dianggap pemberontak, masih diaku adik oleh Pangeran Ceng Han Houw yang memiliki kedudukan demikian tingginya!

"Eh, mulai apa lagi, Liong-te? Kita datang ke sini untuk menguji ilmu kepandaian masing-masing, bukan? Hayo mulailah agar semua saudara kang-ouw ini tahu siapa di antara kita yang patut dijuluki Pendekar Lembah Naga!"

Sin Liong terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa Han Houw akan berbuat seperti itu, sengaja mengumpulkan orang kang-ouw dan mendesaknya agar saling mengadu ilmu kepandaian. Tentu saja dalam hatinya dia merasa penasaran dan menolak keras.

"Houw-ko! Engkau tahu benar bahwa aku datang ke sini atas undanganmu untuk bicara tentang dua orang adikku, sama sekali bukan untuk mengadu ilmu kepandaian!"

"Akan tetapi aku ingin sekali mengadu kepandaian denganmu, Liong-te. Urusan dua orang adikmu itu boleh nanti kita bicarakan. Sekarang, kau tandingilah aku, biar semua orang tahu siapa di antara kita yang lebih unggul!"

"Tidak, Hauw-ko, aku tidak akan mau mengadu ilmu silat, apa lagi terhadap engkau yang menjadi kakak angkatku sendiri. Harap engkau tidak memaksaku, Houw-ko!"

"Liong-te! Apakah engkau hendak membikin malu padaku? Masa adik angkatku seorang pengecut dan mau menjadi buah tertawaan orang-orang lain? Hayo mulailah, cepat kau serang aku dengan ilmu silatmu yang tinggi!"

"Tidak, Houw-ko. Aku datang untuk minta engkau membebaskan Lan-moi dan Lin-moi."

"Aku akan membebaskan mereka, bukankah aku sudah memberi janjiku? Akan tetapi kita bertanding dulu."

"Maaf, aku tidak dapat, Houw-ko."

"Kalau aku memaksamu?"

"Apa maksudmu?"

"Kalau aku menyerangmu?"

"Aku tak percaya bahwa seorang gagah seperti engkau akan menyerang orang lain yang tak mau melawan!" kata Sin Liong dengan tenang karena dia merasa yakin bahwa kakak angkatnya ini tidak mau bersikap curang seperti itu.

"Kalau engkau tetap tidak mau, berarti engkau menghinaku dan aku akan menghajarmu dengan cambuk ini!" Han Houw mengangkat cambuknya ke atas, lalu memutarnya di atas kepala dan menggerakkan pergelangan tangannya yang mengandung tenaga sangat kuat itu.

"Tar-tar-tarrr…!"

Tiga kali cambuk itu meledak di udara. Suaranya sedemikian nyaring hingga mengejutkan semua orang, juga nampak asap mengepul dari ujung cambuk itu! Akan tetapi Sin Liong tetap tenang saja.

"Kalau Houw-ko menganggap aku bersalah dan hendak menghukum, silakan. Akan tetapi aku sama sekali bukan bermaksud menghinamu," Sin Liong berkata.

Dia adalah seorang pemuda yang tenang dan juga cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia kena dipancing kemudian menjadi marah sehingga terjadi adu tenaga yang sebenarnya tiada bedanya dengan perkelahian, maka makin jauhlah harapan untuk menolong Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang adiknya itu berada di tangan Han Houw, maka sebelum mereka itu bebas, dia terpaksa harus mengalah dalam segala hal.

"Liong-te, kau sungguh-sungguh terlalu hingga membuatku marah! Hendak kulihat apakah benar engkau tidak akan mau menyerangku kalau kupaksa!" katanya.

Kembali dia menggerakkan cambuknya keatas, kemudian cambuk itu meluncur kebawah mengeluarkan bunyi amat nyaring.

"Tar-tar-tarrr…!" Tiga kali cambuk itu menyambar, pertama ke arah mata kiri Sin Liong, kemudian ke arah leher dan ke tiga ke arah pundak.

Sin Liong tetkejut. Kiranya pangeran itu bukan hanya menggertak saja dan benar-benar menyerangnya. Akan tetapi Sin Liong tetap tidak melawan, dia hanya mengangkat tangan menangkis sambaran ke arah mata dan leher, kemudian membiarkan cambuk mengenai pundaknya. Baju pundaknya robek oleh lecutan ujung cambuk yang menggigit bagaikan patuk ular itu, akan tetapi karena Sin Liong mengerahkan sinkang, kulitnya tidak terluka, bahkan lecet pun tidak.

Cambuk itu terus meledak-ledak dan menyambar-nyambar, mengikuti gerak tangan Han Houw yang hendak memancing kemarahan Sin Liong agar supaya pemuda itu membalas serangannya. Namun Sin Liong sama sekali tak pernah membalas, juga tidak mengelak, hanya melindungi bagian-bagian tubuh lemah. Bajunya robek-robek, di pundak, di lengan, di paha, namun dia tidak pernah menderita nyeri dan tubuhnya tidak ada yang lecet.

Diam-diam Han Houw merasa terkejut dan kagum, juga penasaran sekali akan keteguhan batin adik angkatnya itu yang terus mandah saja dicambuki sehingga akhirnya dia merasa jengah dan malu sendiri! Pada lain fihak, Sin Liong diam saja dan di dalam hatinya dia sengaja tidak mau melawan, pertama sekali untuk melindungi keselamatan Lan Lan dan Lin Lin, dan kedua kalinya karena dia pernah berhutang budi kepada kakak angkatnya ini, maka biarlah dia menerima cambukan yang hanya merusak pakaian itu.

"Sin Liong, apakah engkau demikian pengecut sehingga menerima cambukan-cambukan tanpa berani membalas sama sekali? Apakah engkau takut padaku? Hayo katakan bahwa engkau takut kepadaku!" Han Houw membentak marah dan penasaran bukan main sebab semua mata orang kang-ouw memandang peristiwa itu dengan penuh perhatian dan dari pandang mata mereka itu dia tahu bahwa para tokoh kang-ouw itu tidak dapat menyetujui perbuatannya yang menyerang dan mencambuki orang yang tidak mau melawan.

Sin Liong memeluk dada dengan kedua lengannya. Wajahnya tetap tenang dan sepasang matanya mencorong. Ia pun menggelengkan kepalanya. "Tidak, Houw-ko, aku tidak takut kepadamu, akan tetapi aku tidak mau melawan karena memang aku tak ingin bertanding dengan kakak angkatku. Aku hanya ingin menuntut supaya engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."

"Jadi engkau tidak mau menandingi ilmu silatku?"

"Tidak, Houw-ko."

"Jadi dengan demikian engkau juga tidak mengakui bahwa aku adalah Pendekar Lembah Naga, dan jagoan nomor satu di kota raja?"

"Hemm, engkau boleh saja memakai julukan Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja atau di dunia. Aku tidak peduli, Houw-ko. Aku hanya minta agar engkau suka membebaskan Lan-moi dan Lin-moi, lain tidak."

Pangeran itu tersenyum. Girang juga hatinya sebab pengakuan ini sudah cukup dan telah didengar oleh semua orang kang-ouw. Betapa pun juga, dia harus dapat memperlihatkan kekuasaannya terhadap pemuda yang dia tahu amat lihai ini.

"Kau ingin Lan Lan dan Lin Lin bebas? Baik, akan kubebaskan mereka, namun engkau harus berlutut dan memberi hormat tiga kali kepadaku!"

Sin Liong terkejut. Ini penghinaan namanya! Apa lagi hal itu harus dilakukan di hadapan banyak orang kang-ouw, sungguh merupakan hinaan yang cukup berat. Hampir saja dia marah dan memang inilah yang dikehendaki oleh Han Houw.

Akan tetapi Sin Liong langsung teringat akan hal ini, dan dia tahu bahwa pangeran itu memang memancing-mancing kemarahannya dan dia harus ingat pula akan keselamatan Lan Lan dan Lin Lin yang sudah dijanjikan kebebasan mereka oleh pangeran ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu, lalu memberi hormat tiga kali!

Melihat ini, diam-diam Han Houw makin kagum dan juga khawatir. Pemuda ini sungguh-sungguh memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan ketenangan yang amat kuat hingga mampu menahan segala penghinaan dan amat sulit dipancing. Menghadapi lawan seperti ini betul-betul amat berbahaya! Karena itu dia lalu sengaja tertawa bergelak, memegangi cambuknya dan berdiri dengan angkuhnya.

"Ha-ha-ha-ha, cu-wi sekalian sudah melihat dan mendengarnya. Bocah ini telah mengakui saya sebagai jagoan nomor satu di kota raja! Dan karena kami sudah tahu betul bahwa kepandaiannya amat tinggi, maka pengakuannya itu mengokohkan kedudukanku sebagai Pendekar Lembah Naga dan jagoan nomor satu di kota raja yang kelak akan menjadi jagoan nomor satu di dunia sesudah kami mempunyai kesempatan untuk mencoba dan merobohkan semua pendekar-pendekar besar seperti Yap Kun Liong, Cia Bun Houw dan lain-lain."

Tiba-tiba saja terdengar suara beberapa orang tertawa. Seorang gendut pendek dengan kepala bulat tanpa leher karena kepalanya seperti menempel di atas pundak tanpa leher, yang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuh, terkekeh lalu berkata,

"Heh-heh-heh, pemuda ini paduka katakan amat lihai? Kalau menurut pendapat kami, dia ini tidak lain hanya seorang bocah yang penakut dan pengecut, mana dapat dimasukkan di dalam kelompok orang-orang besar di dunia kang-ouw? Kalau paduka memang sudah kami ketahui kelihaiannya, akan tetapi bocah ini...?"

"Ha-ha-ha, seperti jembel!"

"Lihat wajahnya sudah pucat begitu, mana ada tenaga dia?"

Tujuh orang jagoan yang berada di belakang Sin Liong itu tertawa-tawa dan mengejek, sedangkan tokoh-tokoh lain hanya turut tertawa saja. Mereka mentertawakan Sin Liong, namun hal ini juga merupakan protes halus bahwa pangeran itu mengangkat diri sendiri setelah menundukkan seorang bocah seperti itu yang mereka anggap pengecut dan tidak punya harga diri sebagai sebrang gagah di dunia kang-ouw.

Semenjak tadi Sin Liong telah menahan diri. Api kemarahan terhadap semua penghinaan Han Houw telah berkobar di dadanya dan hanya karena ingin menyelamatkan dua orang adiknya itu saja, maka dia selalu bertahan diri dan menerima semua itu dengan tenang. Namun kini terdengar kata-kata menghina dan suara ketawa menghina dari orang-orang di belakangnya, tentu saja dia tidak mau menerima penghinaan ini dari orang-orang lain.

Dengan tenang namun sepasang matanya makin tajam mencorong dia lalu membalikkan tubuh dalam keadaan masih berlutut. Dipandangnya tujuh orang yang masih tertawa-tawa sambil menuding-nuding kepadanya, lalu tiba-tiba saja Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring, tubuhnya bergerak ke depan dengan kedua tangan digerak-gerakkan.

Tujuh orang itu terkejut dan mereka sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian tinggi tentu saja tahu bahwa mereka diserang dengan pukulan yang mengandung sinkang kuat maka mereka cepat bergerak untuk menangkis atau mengelak. Akan tetapi sungguh aneh sekali, tetap saja hawa pukulan yang amat kuat itu menembus semua tangkisan dan terus mengejar meski pun ada yang telah mengelak dan akibatnya, berturut-turut tujuh orang itu terjengkang dan terpental, terbanting keras dan tak bergerak lagi karena mereka semua telah roboh pingsan!

Seketika keadaan menjadi lengang, semua mata terbelalak memandang pada tujuh orang itu dengan terkejut, kemudian memandang Sin Liong dengan muka pucat, penuh kagum, heran dan jeri.

Perlahan-lahan Sin Liong bangkit menghadapi mereka semua. Perlahan-lahan kepalanya bergerak memandangi mereka semua dengan sepasang mata bagai mata naga sehingga mereka yang bernyali kecil bergidik saat melihat sinar mata ini dan otomatis kaki mereka melangkah mundur. Kemudian terdengar suara pemuda itu, tenang namun terdengar oleh semua telinga, suara yang keluar satu-satu.

"Aku tidak mau melawan pangeran adalah urusanku sendiri! Akan tetapi kalau di antara kalian ada yang mau mengujiku… silakan maju!"

Suasana menjadi sunyi sekali setelah Sin Liong mengeluarkan kata-kata ini, semua orang kelihatan jeri. Melihat ini Han Houw mengerutkan alisnya. Sekumpulan manusia apakah yang diundang oleh para utusannya ini? Tokoh-tokoh kang-ouw kota raja dan sekitarnya ataukah hanya sekumpulan gentong kosong tempat nasi belaka?

"Sin Liong sudah mengajukan tantangan terhadap cu-wi sekalian. Apakah benar-benar di antara cu-wi tidak ada satu orang pun yang berani menandinginya? Cu-wi yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw tidak berani menghadapi pemuda remaja ini? Betapa amat menggelikan dan memalukan!" Han Houw benar-benar merasa penasaran sekali, karena biar pun Sin Liong tidak mau melayaninya, namun dia ingin melihat gerakan-gerakan Sin Liong kalau menghadapi lawan tangguh sehingga dia sendiri dapat menilainya.

"Maaf, pangeran. Sesungguhnya bukan kami takut, akan tetapi kami merasa sungkan dan segan karena bukankah sicu yang muda ini adalah adik angkat paduka sendiri?" tanya seorang di antara mereka, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang ahli silat, pakaian yang ringkas, dan sepatunya memakai lapis baja.

"Hemmmm, apakah kalau begitu kalian juga mengakui keunggulanku karena aku seorang pangeran? Itu penghinaan namanya!" bentak Han Houw.

"Tentu tidak, pangeran," kata Si Muka Hitam. "Hamba Twa-to Hek-houw (Macan Hitam Bergolok Besar) sudah mengenal semua tokoh kang-ouw, dan hamba tahu benar siapa adanya paduka dan sampai di mana kelihaian paduka. Hamba tahu bahwa paduka adalah masih sute dari Kim Hong Liu-nio penyelamat kaisar, dan bahwa paduka sudah memiliki nama besar di utara. Akan tetapi sicu muda ini... betapa pun juga dia adalah adik angkat paduka, maka kami..."

"Tidak perlu sungkan! Dunia kang-ouw tak mengenal kedudukan dan pangkat, melainkan mengenal kekerasan kepalan dan kelihaian kaki tangan. Apa bila ada yang berani, hayo maju dan lawanlah dia, aku tidak akan menganggap dia sebagai adik atau apa pun juga. Kalah menang dan mati hidup dalam sebuah pibu tidak ada dosanya!"

"Kalau begitu, maafkan, biarkan hamba yang mencoba kelihaiannya!" Twa-to Hek-houw berseru.

Dia sudah meloncat ke depan, tangan kanannya bergerak dan dari punggungnya dia telah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Golok itu sangat besar dan berat, namun dia dapat menggerakkannya seperti sebuah benda yang ringan saja.

Sambil tertawa lebar, Si Muka Hitam itu berkata, "Orang muda, marilah kita main-main sebentar dan kau boleh keluarkan senjatamu!"

Macan Hitam ini memang licik. Dia tadi sudah melihat betapa dengan tangan kosong Sin Liong mengalahkan tujuh orang dengan satu kali gebrakan saja. Maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu adalah seorang ahli silat tangan kosong yang amat lihai, dan memiliki tenaga sinkang yang kuat. Maka dia tidak mau sembrono, menghadapinya dengan tangan kosong, melainkan mengandalkan goloknya yang telah mengangkat namanya itu.

Sin Liong merasa sebal sekali. Semua rasa mendongkol dan amarahnya terhadap Han Houw sekarang semuanya ditujukan kepada orang-orang yang memandang rendah dan meremehkan serta menghinanya. Dia melangkah maju dan berkata,

"Untuk melawanmu tak perlu aku bersenjata. Majulah!" tantangnya.

Memang Si Muka Hitam itu sudah merasa jeri, maka kini giranglah hatinya mendengar jawaban Sin Liong yang tentu juga didengar oleh semua orang. Dia tidak akan tercela kalau menyerang pemuda ini dengan goloknya karena bukankah pemuda itu sendiri yang menantangnya? Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring dia telah menyerang dengan senjata tajam itu. Terdengar suara mengaung ketika golok itu menyambar.

Sin Liong kelihatan tak bergerak, hanya sedikit miringkan badan sambil menggeser kaki, dan ketika golok itu menyambar lewat dekat sekali dengan telinganya, tangannya segera menyambar seperti kilat dari samping, dengan tangan terbuka dan miring dia menghantam ke arah punggung golok.

"Krekkk!"

Golok itu patah menjadi dua, sedangkan orang itu kena ditampar hingga tubuhnya roboh terpelanting dengan tulang pundak patah! Si Macam Hitam itu mengaduh-aduh dan cepat ditarik mundur oleh teman-temannya!

Melihat betapa Twa-to Hek-houw yang sebenarnya bukan tokoh sembarangan melainkan seorang jago silat yang amat disegani di kota raja itu roboh hanya dalam segebrakan saja menghadapi pemuda itu, barulah semua tokoh yang berada di situ terkejut dan tahu benar sekarang bahwa pemuda yang menjadi adik angkat pangeran itu benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi dan hebat.

"Hayo, siapa lagi yang hendak maju? Siapa yang tidak mau maju boleh pergi karena kami bukanlah tontonan!" Sin Liong berkata, suaranya kereng dan sepasang matanya menyapu dengan sinar mata yang mencorong.

Di antara para tokoh kang-ouw itu tentu saja banyak terdapat orang pandai, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang segan untuk mencampuri urusan pangeran dan adik angkatnya itu. Tanpa ada alasannya, tentu saja bagi orang-orang kang-ouw itu tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pangeran karena hal ini amatlah berbahaya.

Karena itu, mendengar ucapan Sin Liong, mereka yang benar-benar tokoh kang-ouw dan bukan penjilat-penjilat pangeran, langsung meninggalkan tempat itu. Perbuatan ini diturut oleh yang lainnya sehingga akhirnya tempat itu menjadi sunyi, hanya Pangeran Ceng Han Houw dan Sin Liong saja masih berada di situ.

"Nah, kini kuharap engkau suka memenuhi janjimu, Houw-ko. Di mana adanya Lan-moi dan Lin-moi? Aku minta agar mereka segera kau bebaskan."

Diam-diam Han Houw merasa mendongkol dan kurang puas. Meski pun di depan banyak orang kang-ouw dia sudah memperlihatkan kekuasaannya, dan adik angkatnya ini sama sekali tidak membalas penghinaannya, namun ternyata Sin Liong dapat memperlihatkan sikap gagah yang tentu menimbulkan kesan dalam hati para orang kang-ouw itu.

Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk, lalu menuding dengan cambuknya ke arah utara, "Sebentar lagi mereka datang."

Benar saja, terdengar suara kaki kuda dan roda kereta, dan tak lama kemudian muncullah sebuah kereta indah yang ditarik oleh dua ekor kuda. Kereta yang dikendarai oleh prajurit pengawal itu berhenti di situ, lantas seorang pengawal lain yang tadi berdiri di belakang kereta cepat melompat turun dan membukakan pintu kereta. Dua orang gadis turun dari kereta itu dan girang bukan main rasa hati Sin Liong mengenal dua orang dara kembar itu dengan pakaian indah turun dari kereta. Mereka itu bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin!

Dua orang dara ini turun dari kereta dengan wajah berseri dan begitu melihat Han Houw berada di situ, mereka lalu cepat berlutut di depan pangeran itu! Tentu saja melihat hal ini, Sin Liong mengerutkan alisnya!

"Kami menghaturkan terima kasih bahwa paduka telah memegang janji," kata Kui Lan.

"Terima kasih bahwa kami benar-benar sudah ditemukan dengan Liong-koko," sambung pula Kui Lin.

Pangeran Ceng Han Houw hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Tetapi Sin Liong yang mengenal senyum itu, senyum yang mempunyai daya pikat dan daya tarik yang banyak menjatuhkan hati wanita, dan dia tahu pula orang macam apa adanya kakak angkatnya yang amat tampan ini, pemikat dan pemuda mata keranjang yang tentu akan merusak hati wanita-wanita yang jatuh hati kepadanya, sudah cepat melangkah maju dan memegang tangan dua orang adiknya.

"Lan-moi dan Lin-moi, hayo kita pergi sekarang dari sini!" Dan dia lalu menarik mereka bangkit.

"Akan tetapi, Liong-ko... pangeran telah memberi kereta itu kepada kami...," Kui Lan coba membantah karena merasa tidak enak kalau harus meninggalkan kereta pemberian itu begitu saja!

"Sudahlah, marilah kita pergi... ayahmu menanti-nanti kalian," kata pula Sin Liong lalu dia menarik dua orang adik tirinya itu cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi kepada Han Houw yang hanya memandang sambil tersenyum lebar.

Setelah ketiga orang itu lenyap di balik pohon-pohon, sang pangeran lalu masuk ke dalam kereta dan memerintahkan orang-orangnya agar membawanya pulang kembali ke istana. Seorang pengawal menunggangi kuda pangeran itu dan mengawal di belakang kereta yang dijalankan dengan cepat menuju ke utara.


                ***************


 Sementara itu, sambil berjalan menuju ke dusun tempat tinggal keluarga Kui, Sin Liong bertanya apa yang telah terjadi dengan kedua orang dara kembar itu. Mereka itu secara bergilir lalu bercerita tentang pengalaman mereka. Betapa mereka berdua melarikan diri ketika ayahnya menerima pinangan pangeran dan hendak dijadikan selir pangeran itu.

"Kami melarikan diri ke selatan, tadinya hendak mencarimu, Liong-koko, akan tetapi tidak berhasil. Kami terlunta-lunta dan hampir saja celaka, tapi ditolong oleh Ciang-piauwsu di Su-couw."

Dan selanjutnya Kui Lin menceritakan mengenai keadaan mereka selama berbulan-bulan tinggal di Su-couw, sampai kemudian muncullah Kwan Siong Bu secara tidak disangka di Su-couw dan mengajak mereka pulang ke dusun Pek-jun.

"Tidak disangka, Kwan Siong Bu itu seorang manusia yang berhati keji," Kui Lin berkata dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengingat betapa dahulu dia merasa tertarik kepada kakak misan ini yang disangka mencintainya.

"Ternyata dia telah menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw dan dia menyerahkan kita kepada pangeran itu!" Sekarang Kui Lan yang bercerita tentang pengalaman mereka sehingga mereka terjatuh ke tangan Pangeran Ceng Han Houw dan mengalami siksaan tidak diberi makan minum dan betapa mereka dibujuk-bujuk oleh sang pangeran supaya suka menjadi selir-selirnya.

Sin Liong mengepal tinjunya. "Hemm, memang sejak dahulu Siong Bu mempunyai watak yang kurang baik! Akan tetapi pangeran itu... sesudah apa yang dia lakukan terhadap kalian, mengapa tadi kulihat kalian bersikap demikian hormat dan bahkan berterima kasih kepadanya?" Ucapan terakhir ini terdengar penuh rasa penasaran.

Pangeran itu telah bersikap buruk, tidak saja terhadap dirinya, bahkan telah menyiksa dua orang adiknya ini, menawan mereka, membuat mereka kelaparan bahkan digoda secara hebat agar mereka itu menderita dan mau menyerahkan diri, akan tetapi dua orang dara ini malah menghormatinya dan berterima kasih!

"Ah, engkau tidak tahu, Liong-ko! Pangeran itu ternyata baik sekali dan semua perlakuan yang dia perbuat di istana terhadap kami itu hanyalah ujian belaka!" Kui Lin berseru.

"Hemm... ujian bagaimana maksudmu?"

"Begini, Liong-ko," Kui Lan berkata. "Baru kemarin pangeran itu membebaskan kami dari belenggu, bahkan dia membawa obat untuk mengobati luka-luka kecil di kaki dan tangan kami akibat belenggu itu, juga membawakan makanan dan minuman, lalu dia minta maaf kepada kami, menyatakan bahwa semua itu hanya merupakan ujian belaka darinya untuk mengetahui watak dan sifat kami. Katanya, sebagai adik-adikmu kami berdua seharusnya merupakan dua orang wanita yang gagah dan tidak mudah menyerah terhadap bujukan mau pun siksaan, maka dia sengaja menguji kami dan kami lulus! Dia menyatakan rasa kekagumannya dan memberi kami pakaian, lalu mengantar kami dengan kereta..."

"Sudahlah, kalian tidak tahu betapa jahat sesungguhnya dia itu! Yang penting, kalian telah terbebas, maka kita harus cepat pulang, ayah kalian amat membutuhkan kalian berdua..."

"Ayah? Ahh, dia hendak menjerumuskan kami!" kata Kui Lan.

"Apa yang terjadi dengan ayah?" tanya Kui Lin.

"Terjadi banyak sekali hal dalam keluarga kalian semenjak kalian berdua ditangkap oleh pangeran. Banyak sekali hal! Pertama-tama, harap kalian tidak kaget, menurut apa yang kudengar dari ayahmu, Siong Bu dan Beng Sin adalah saudara-saudara tiri kalian, seayah berlainan ibu."

"Ahhh!"

"Ihh...?"

"Dan sekarang Siong Bu telah tewas, terbunuh oleh Beng Sin sendiri."

Dua orang dara itu melongo, mata mereka terbelalak memandang Sin Liong.

"Dan... dan... ayah kalian sakit berat... aku tak dapat menceritakan, lebih baik kalian lihat sendiri."

Betapa pun juga, tentu saja dua orang dara kembar itu menjadi terkejut bukan kepalang ketika mendengar bahwa ayah mereka sakit berat. Memang perbuatan ayah mereka amat menyakitkan hati mereka, akan tetapi betapa pun juga rasa kasihan dan sayang di dalam hati mereka terhadap ayah kandung masih ada, maka kini mereka segera mempercepat jalan mereka, setengah berlari-lari menuju ke dusun Pek-jun.

Jika di waktu malamnya rumah kosong itu nampak menyeramkan sekali, kini pada waktu siang tempat itu nampak amat menyedihkan. Melihat keadaan rumah mereka, begitu tiba di halaman Lan Lan dan Lin Lin tertegun, lalu mereka berlari-lari memasuki rumah kosong itu. Mereka semakin terkejut dan merasa khawatir sekali ketika melihat bahwa keadaan di dalam rumah itu pun sama saja, kosong tanpa ada secuwil pun perabot rumah yang dulu amat mewah dan lengkap!

"Apa yang telah terjadi?" teriak Kui Lan.

"Di mana ayah?" Kui Lin berseru.

Tiba-tiba mereka terkejut mendengar suara tangis orang. Cepat mereka berlari ke kamar ayah mereka, mendorong pintu dan seketika keduanya berdiri dengan muka pucat sekali, memandang kepada ayah mereka yang berpakaian seperti jembel dan sedang menangis tersedu-sedu di atas lantai kamar yang kosong itu.

"Ayaaahhh...!" Jerit ini keluar berbareng dari dua mulut dara kembar itu dan mereka lalu menubruk ayah mereka.

Kui Hok Boan mengangkat muka dan sesudah melihat kedua orang anaknya, tangisnya makin menghebat. Dia merangkul dua orang anaknya itu sambil menangis. "Ya Tuhan... Lan Lan dan Lin Lin... kalian… hidup kembali...? Ahh... ampun... ampunkan ayahmu ini... ampunkan ayahmu ini...!" Dan orang tua itu kemudian terkulai lemas dan roboh pingsan, pertama karena selama beberapa lama ini tubuhnya memang tak terawat, dan keduanya karena batinnya terguncang melihat dua orang puterinya.

Sin Liong lalu membantu Hok Boan dengan pengerahan sinkang sehingga orang tua itu siuman kembali. Agaknya pertemuan dengan kedua orang puterinya membuat dia waras kembali, maka menangislah orang tua ini.

Lan Lan dan Lin Lin kemudian mencari keterangan dari para tetangga, maka berceritalah para tetangga bahwa sesudah menguburkan jenazah Siong Bu, Kui Hok Boan menjadi berubah ingatannya. Dia membagi-bagikan seluruh barangnya kepada para tetangga dan siapa saja yang mau sampai rumah itu kosong sama sekali. Kini, para tetangga yang baik hati mengembalikan barang-barang yang pernah diterimanya dari Kui Hok Boan.

Akan tetapi, atas usul Sin Liong, kedua orang dara itu hanya menerima kembali barang-barang berharga dan uang, dan meninggalkan atau memberikan semua perabot-perabot rumah kepada para tetangga, kemudian pemuda itu mengajak mereka berunding.

"Sebaiknya, kalian jangan tetap tinggal di tempat ini," katanya. "Karena aku masih belum yakin benar bahwa Ceng Han Houw akan memegang janji dan tidak akan mengganggu kalian. Sebaiknya kalian membawa ayah kalian pergi mengungsi dari tempat ini."

"Ke mana kami harus pergi...?" Kui Lan bertanya khawatir.

"Menurut penuturan kalian tadi, Ciang-piauwsu di Su-couw itu adalah orang yang sangat baik," kata Sin Liong. "Bagaimana kalau kalian membawa ayah ke sana? Dengan uang dan benda-benda berharga yang kalian bawa, ayah kalian mempunyai modal yang cukup besar untuk memulai dengan kehidupan baru di sana."

Setelah dibujuk oleh Sin Liong, akhirnya dua orang adik kembar itu setuju dan mereka lalu membawa ayah mereka yang kini keadaannya seperti seorang manusia tanpa semangat itu untuk melarikan diri ke selatan. Sin Liong merasa tidak tega terhadap dua orang adik tirinya itu, maka dia pun lalu mengawal sampai mereka tiba di Su-couw.

Dan tepat seperti dugaan Sin Liong, Ciang-piauwsu menerima dua orang dara kembar itu dengan riang gembira. Dia beserta isterinya memang sudah menganggap Lan Lan dan Lin Lin sebagai anak mereka sendiri, maka tentu saja mereka menerima dua orang dara kembar itu dengan gembira, bahkan keluarga Ciang-piauwsu ini juga menerima Kui Hok Boan sebagai saudara angkat.

Sesudah melihat betapa dua orang adik tirinya memperoleh tempat yang aman, Sin Liong lalu berpamit dan mulailah dia pergi mencari Bi Cu. Ke manakah Sin Liong harus mencari Bi Cu? Apa yang terjadi dengan dara itu semenjak dia berpisah dari Sin Liong?

Seperti yang sudah kita ketahui, Bi Cu tadinya tertawan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya sesudah Sin Liong memberikan janjinya untuk membawa pangeran itu kepada suheng-nya sehingga pangeran itu akhirnya diterima menjadi murid Bu Beng Hud-couw, maka Bi Cu dibebaskan oleh sang pangeran. Tentu saja secara diam-diam pangeran ini meninggalkan pesan kepada orang-orangnya agar terus mengamat-amati dara itu karena betapa pun juga, Bi Cu adalah murid mendiang Hwa-i Kaipang, dan karenanya dianggap sebagai musuh pemerintah pula.

Semenjak berpisah dari Sin Liong, Bi Cu merasa betapa hidupnya menjadi berbeda sama sekali. Bila tadinya sebagai Kim-gan Yan-cu, pemimpin para pengemis muda, biasa hidup lincah dan gembira, kini dia merasa betapa hidupnya sunyi dan tidak ada kegembiraan lagi.

Dia tidak berani kembali ke kota raja setelah dia dianggap sebagai pemberontak pula. Kini dia terlunta-lunta, mencoba untuk mencari-cari Sin Liong, berkelana dengan hati duka ke barat dan ke selatan. Semenjak berpisah dari Sin Liong, terasa lagi kesengsaran yang menindih hatinya semenjak dia masih kecil, bahkan kini semakin parah kedukaan melukai hatinya.

Semenjak kecil, Bi Cu amat merindukan kasih sayang orang tuanya. Sejak kecil dia telah kematian ibu kandungnya, kemudian oleh ayah kandungnya dia diberikan kepada orang lain! Setelah dia agak besar mulai mengerti, hal ini lalu mencabik-cabik perasaan hatinya, kedukaan yang pertama kali terasa olehnya. Dia merasa dikesampingkan, bahkan merasa dibuang, merasa sangat diremehkan oleh orang yang menjadi ayah kandungnya sendiri, satu-satunya orang tuanya setelah ibu kandungnya meninggal!

Ayah kandungnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi darah dagingnya, sudah menyingkirkannya karena hendak menikah dengan wanita lain setelah ibunya meninggal! Hatinya terasa amat perih, bukan karena ayahnya menikah dengan wanita lain, melainkan karena dia merasa telah dibuang oleh ayahnya!

Kadang-kadang, dia merasa penasaran, dia merasa kesepian dan marah, sehingga ada kalanya timbul perasaan benci terhadap ayah kandungnya. Di dalam keadaan seperti itu, kadang-kadang dia merasa betapa dunia ini merupakan tempat yang gelap pekat, sempit dan tidak menyenangkan.

Kehidupannya mulai terhibur karena kebaikan Na-piauwsu, akan tetapi kemudian piauwsu ini tewas oleh musuh-musuhnya di depan matanya. Dia merasa seolah-olah dunia kiamat. Satu-satunya pengganti orang tuanya, Na-piauwsu yang demikian baik kepadanya, sudah tewas dalam keadaan menyedihkan, ada pun putera piauwsu itu, Na Tiong Pek, agaknya hendak memaksa hasrat hatinya, hendak memperisterinya di luar kehendak hatinya.

Dalam keadaan seperti itu dia terlunta-lunta hingga akhirnya dia memperoleh penerangan jiwa lagi ketika dia menjadi murid Hwa-i Sin-kai, ketua Hwa-i Kaipang yang juga amat baik kepadanya dan kemudian dia masih dapat hidup gembira ketika gurunya ini meninggal dunia dan dia memimpin para pengemis muda. Akan tetapi, sedikit cahaya terang ini pun padam dan dia menjadi buronan pemerintah!

Namun, hidupnya mengalami perubahan besar, kegembiraan mulai memenuhi batinnya setelah dia bertemu dengan Sin Liong, dan ternyata kebahagiaan bersama Sin Liong ini pun direnggut orang dari tangannya! Dia kini terpisah dari pemuda itu, dan kembali dia hidup terlunta-lunta, seorang diri saja di dunia ini, kesepian, dan kekeringan! Mau rasanya dia mati saja dari pada hidup dalam penderitaan batin tiada hentinya itu.

Dia haus akan cinta kasih, dan sikap Sin Liong membayangkan cinta kasih yang dapat memenuhi hatinya, sebagai pengganti cinta kasih ayah bundanya. Namun, kini dia tidak tahu apakah Sin Liong masih hidup dan dapat menyelamatkan diri dari tangan pangeran yang amat dibencinya itu.

Bi Cu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon besar dan tanpa tertahankan lagi dia menangis. Air matanya bercucuran tak dapat ditahannya, namun dia pun tidak berusaha menahannya. Dia merasa amat lelah, lelah lahir batin.

Kakinya lelah karena sehari penuh dia berjalan kaki, seluruh tubuh lelah karena sehari itu tidak pernah ada makanan memasuki perutnya dan dia pun tidak ada nafsu makan sama sekali. Batinnya juga lelah, karena digerogoti kesepian dan kerinduan akan kasih sayang. Pada saat itu dia merasa betapa sia-sia hidupnya, betapa kosong tak ada artinya sama sekali.

Bi Cu menangis mengguguk. Air matanya bercucuran, ujung hidungnya menjadi merah dan dia tersedu-sedu. Iba diri semakin menggerogoti hatinya, iba diri yang datang dari pikiran membayangkan kesengsaraan yang dideritanya, menciptakan tangan maut yang mencengkeram hatinya dan meremas-remas hatinya sehingga berdarah!

Bukan hanya Bi Cu yang mendambakan cinta kasih, merindukan supaya kasih sayang dilimpahkan kepadanya. Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua menghendaki agar semua orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan cinta kasih!

Dari manakah datangnya kehausan ini? Mengapa kita dahaga akan cinta kasih orang lain terhadap diri kita.

Kita tidak pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting dari pada segala keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan: apakah KITA suka atau mencinta kepada SEMUA orang? Sesungguhnya di sinilah letak sumber dari pada segalanya.

Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin kita sendiri terhadap semua orang dan segala sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta kasih lain orang! Akan tetapi apa bila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak akan kehausan lagi. Karena batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu dahaga akan cinta kasih terhadap diri kita, laksana sumur kering merindukan air. Apa bila sumur itu penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya yang berlimpah-limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA!

Sungguh sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih di dalam diri kita terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita selalu mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada maka kita merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya.

Kita baru dapat bicara tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih dari pada kebencian, iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada di dalam batin, jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan bila semua itu sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa kita tidak MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan kita TAK MENGHARAPKAN APA-APA LAGI!

Hati yang penuh cinta kasih tidak mengharapkan apa-apa lagi, bagai cawan yang penuh anggur tidak menghendaki apa-apa lagi. Tidak ada lagi rasa khawatir, tidak ada lagi rasa takut tidak akan dicinta orang, tidak ada lagi rasa takut akan dibenci orang. Yang takut tidak dicinta, yang takut dibenci, adalah si aku, yaitu pikiran yang mengaung-ngaungkan si aku, yang memupuk iba diri. Akan tetapi, kalau hati penuh dengan cinta kasih, tidak ada lagi si aku yang ingin ini dan itu.

Bi Cu masih menangis sesenggukan. Tangisnya mulai mereda, hanya tinggal isak-isak pelepas ganjalan hati. Suka mau pun duka selalu ada batasnya. Permainan pikiran selalu terbatas. Penghamburan tenaga sakti berupa senang dan susah mendatangkan kelelahan dan biasanya orang akan merasa lelah dan lemah sesudah penumpahan rasa duka mau pun suka ini.

Demikian pula dengan Bi Cu. Sesudah air matanya dikuras, seolah-olah hendak mencuci bersih hal-hal yang mengganjal hatinya, dia merasa lelah dan dia rebah di atas rumput, berbantal sepasang lengannya, merenung dan melamun menatap langit. Dengan pesona yang aneh matanya mengamati dan mengikuti gerakan awan-awan putih berarak di langit biru, seperti sekumpulan domba-domba yang bulunya tebal dan lunak.

Pada waktu ada segumpal awan memanjang dan khayalnya membentuk gumpalan awan itu sebagai seorang anak laki-laki penggembala domba-domba itu, teringatlah dia kembali kepada Sin Liong dan dia mengeluh lirih. Dia tidak tahu betapa dalam waktu beberapa menit tadi dia mengamati awan berarak, pikirannya kosong sama sekali, maka semua duka lenyap tanpa bekas dan pada waktu itulah dia berada dalam keadaan kosong dan bersih! Namun, begitu pikirannya teringat kembali, bekerja kembali, dia pun dilontarkan kembali ke dunia penuh pertentangan antara suka dan duka ini.

Bentuk itu mengingatkan dia kepada Sin Liong dan dia termenung. Semenjak dia bertemu kembali dengan Sin Liong, dia merasakan sesuatu yang hanya dapat dirasakan olehnya sendiri saja. Dia tidak tahu apakah adanya perasaan itu. Cinta kasihkah? Atau apa? Yang jelas, dia selalu terbayang-bayang kepada Sin Liong, wajahnya, gerak-geriknya, bahkan pakaiannya, dan suaranya seperti selalu bergema di dalam telinganya. Dan semua ini menimbulkan kerinduan yang amat sangat, kerinduan terhadap Sin Liong.

Dia tahu bahwa Sin Liong telah mengorbankan diri untuknya, dia tahu bahwa pemuda itu telah menolongnya bebas dari tangan pangeran yang dibencinya itu. Akan tetapi dia tidak tahu apakah adanya urusan antara Sin Liong dan pangeran itu.

Teringat akan pengorbanan pemuda itu, dia menjadi semakin rindu padanya. Terbayang betapa gembiranya pada waktu dia melakukan perjalanan di samping Sin Liong, bahkan teringat betapa mesranya ketika mereka bersama-sama menghadapi maut, ketika mereka hanyut dalam arus air dan menghadapi maut di ujung anak-anak panah yang dilepas oleh para prajurit.

Bayangan Sin Liong ini mendatangkan keharuan, kerinduan, tetapi juga membangkitkan semangatnya kembali. Aku harus mencarinya, aku harus bisa menemukannya, demikian pikiran yang mendatangkan semangat itu. Aku tidak boleh mati sebelum bertemu kembali dengan Sin Liong!

Dara itu pun bangkit berdiri dan memandang ke depan. Di atas lereng bukit yang berdiri di depan nampak genteng-genteng rumah dusun. Dia harus mencapai dusun itu sebelum gelap menyelubungi bumi. Perutnya sangat lapar dan di mana ada genteng rumah, tentu ada manusia dan di mana ada orang tentu ada makanan. Dia pun lalu berlari ke depan, menuju ke dusun di lereng bukit itu.

Sampai berbulan lamanya Bi Cu berkelana ke barat, berputar-putar kemudian ke selatan. Di setiap tempat yang dilaluinya, dia selalu mencari keterangan tentang Sin Liong, akan tetapi agaknya orang di dunia ini tidak ada yang mengenal nama Sin Liong dan dia tidak pernah menemukan jejaknya.

Bi Cu sama sekali tidak tahu betapa ketika dia memasuki dusun itu dan langsung menuju ke sebuah kedai makanan, ada beberapa pasang mata memandangnya dengan penuh perhatian. Beberapa pasang mata ini makin lama makin bertambah banyak dan belasan orang itu terus mengintainya dari jauh. Bahkan mereka selalu membayanginya ketika dia sehabis makan mondok di rumah sekeluarga petani yang ramah.

Malam itu Bi Cu tidur dengan nyenyaknya. Setelah perutnya diisi, dia merasa tenaganya pulih kembali dan dia mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi mulai kembali dengan pencariannya. Dia akan mencari Sin Liong sampai jumpa, biar ke ujung dunia sekali pun!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bi Cu sudah sarapan di warung makanan dan karena dia hendak pergi melintasi bukit-bukit di depan, maka dia memesan roti kering untuk bekal di jalan, kalau-kalau hari itu dia tidak akan bertemu dengan dusun. Kemudian Bi Cu berangkat meninggalkan dusun itu, sama sekali tidak tahu betapa tak lama setelah dia pergi, ada lima belas orang prajurit menunggang kuda membalapkan kuda keluar dari dusun itu dan melakukan pengejaran kepadanya.

Bi Cu masih belum sadar akan datangnya bahaya ketika dia mendengar derap kaki kuda dari sebelah belakangnya. Dia hanya menduga ada serombongan orang berkuda hendak lewat, maka dia cepat minggir ke tepi jalan lalu menundukkan mukanya supaya jangan terlihat oleh rombongan itu.

Dia sudah sering kali mengalami hal-hal yang tidak enak jika memperlihatkan muka dan berjumpa dengan kaum lelaki di tempat sunyi. Hanya karena mengandalkan kepandaian silatnya maka selama ini dia dapat menghindarkan segala bencana yang mungkin datang dari pria-pria hidung belang atau mata keranjang.

Akan tetapi ketika rombongan berkuda itu lewat, dia amat terkejut melihat bahwa mereka itu berpakaian seragam, dan baru dia tahu akan bahaya pada saat mereka berturut-turut berloncatan turun dari atas kuda dan telah mengepungnya dengan wajah bengis! Tahulah dia bahwa para prajurit ini telah mengenalnya dan tentu hendak menangkapnya!

Seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian komandan, sambil tersenyum lebar melangkah maju. Pria ini usianya lebih dari tiga puluh tahun, kumisnya tebal dan matanya lebar. Sambil tersenyum mengejek komandan itu berkata. "Kim-gan Yan-cu, susah payah kami mencari-carimu, kiranya engkau berada di sini. Ha-ha, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

Disebut nama julukannya, timbullah semangat dalam diri Bi Cu. Ketika dia masih menjadi pemimpin para pengemis, hidupnya penuh petualangan dan dia tak pernah merasa takut terhadap apa pun juga. Berkelahi merupakan ‘pekerjaan’ sehari-hari, maka kini begitu dia disebut Kim-gan Yan-cu, semangatnya segera terbangun dan biar pun dia dikepung oleh lima belas orang prajurit, dia bersikap tenang saja dan memanggul buntalan terisi pakaian dan bekal roti kering.

"Hemm, kalian adalah prajurit-prajurit kerajaan, apakah tidak malu mengganggu seorang wanita di tengah jalan sunyi dalam hutan? Kalian mau apakah?"

"Ha-ha-ha-ha, tidak perlu kau berpura-pura lagi, Kim-gan Yan-cu. Engkau adalah seorang pemberontak, dan kami adalah prajurit-prajurit kerajaan maka kalau kami bertemu dengan seorang pemberontak, lantas mau apa? Tentu saja hendak menangkap dan meringkusmu untuk kami bawa ke kota raja dan dijebloskan ke dalam penjara!" kata komandan itu.

"Biarkan aku menangkapnya!"

"Aku saja!"

"Aku saja!"

Di antara empat belas orang prajurit itu beramai-ramai hendak berebut. Mereka tentu saja tak berani bertindak lebih sebelum memperoleh ijin dari komandan mereka. Pula mereka tahu bahwa dara ini pernah berurusan langsung dengan Pangeran Ceng Han Houw, maka tentu saja mereka tidak berani mencoba untuk melakukan hal yang berlebihan. Tapi, jika diperbolehkan menangkap, setidaknya mereka mendapatkan kesempatan untuk sekedar merangkul, meraba dan mencolek tubuh dara remaja yang sedang mekarnya ini!

Melihat kegairahan anak buahnya, komandan itu tersenyum lebar. "Kalian semua boleh maju dan coba tangkap dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka. Ingat, dia itu seorang buronan yang amat penting dan beliau sudah memesan khusus kepadaku agar berusaha menangkapnya tanpa mengganggunya!"

Empat belas orang prajurit itu bersorak dan tiba-tiba mereka itu saling bergerak berlomba untuk lebih dulu meraba tubuh Bi Cu yang memang mulai dewasa seperti buah meranum atau bunga sedang terbuka kuncupnya. Seorang prajurit bertubuh tinggi kurus menubruk dari depan. Akan tetapi Bi Cu sudah menggerakkan kakinya.

"Dukkk!”

“Waaahhh…!" Orang itu terjengkang karena perutnya kena ditendang ujung sepatu Bi Cu. Orang ke dua dari kiri juga disambar tendangan, tepat mengenai lututnya sehingga orang itu jatuh berlutut.

"Wah, A-piauw, begitu hebatkah engkau tergila-gila padanya sampai berlutut?" komandan itu mengejek anak buahnya ini.

Maka terjadilah perkelahian yang ribut bukan main dan Bi Cu mengamuk dengan pukulan-pukulan, tamparan dan tendangan-tendangan. Akan tetapi para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang bertubuh kuat dan karena jumlahnya banyak, dia kewalahan juga.

Tiba-tiba, saat dia menghadapi lawan yang mendesak dari depan, seorang prajurit berhasil menubruk dan menyikapnya dari belakang dan kedua tangan dengan jari-jari yang panjang itu mencengkeram ke arah dadanya! Bi Cu menjerit lirih.

"Heh-heh, lihat, aku berhasil menangkapnya!" seru prajurit itu sambil tertawa-tawa.

"Ngekkk!" Tiba-tiba dia meringis, kemudian kedua tangannya yang nakal itu terlepas dari pegangannya karena hidungnya pecah dan berdarah ketika dihantam oleh siku kanan Bi Cu.

"Desss...!”

“Auuuughh...!" Sekarang dia terhuyung lalu roboh terjengkang, kedua tangan memegangi bawah pusarnya karena tadi dengan kemarahan meluap-luap Bi Cu sudah menyepakkan kakinya ke belakang, seperti seekor kuda betina yang diganggu dari belakang.

Tumit sepatu dengan tepat mengenai anggota tubuh di bawah pusar sehingga laki-laki itu langsung mengaduh-aduh bagaikan seekor babi disembelih. Hanya mereka yang pernah merasakannya sajalah yang mampu menggambarkan betapa nyeri, kiut-miut rasanya jika bagian itu kena tendang!

Bi Cu sudah marah sekali. Sekarang dia bukan sekedar membela diri, melainkan balas menyerang untuk membunuh! Dia seperti seekor harimau betina yang sudah tersudut dan menjadi buas dan liar! Kedua tangannya menampar dengan pengerahan seluruh tenaga, dan ketika ada seorang prajurit menjerit kesakitan dan sebuah biji matanya copot kena ditusuk jari tangan Bi Cu, kaget dan marahlah komandan pasukan kecil itu.

"Robohkan dia!" bentaknya.

Kini para prajurit yang juga marah setelah melihat betapa seorang teman mereka cedera demikian parah, lalu mendesak maju dan mulai menyerang dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, tak seperti tadi yang hanya sekedar ingin menangkap dan meraba saja!

Dan mulailah Bi Cu merasa kewalahan! Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai tubuhnya, membuat dia terhuyung-huyung. Namun dia sama sekali tidak mau menyerah, bahkan mengamuk seperti seekor harimau memukul, mencakar, kalau perlu menggigit!

"Hantam perempuan liar ini! Baru kita ringkus!" bentak lagi komandan yang juga pernah kebagian tendangan kaki Bi Cu yang mengenai betisnya hingga menimbulkan kenyerian yang cukup membuat dia menjadi semakin marah.

Para prajurit itu yang seperti sekumpulan srigala mengeroyok seekor harimau betina, kini menubruk dari empat jurusan, menampar, menjambak sehingga akhirnya robohlah Bi Cu karena kakinya kena ditangkap dan ditarik. Begitu dia roboh, para prajurit itu bersorak dan mereka berlomba untuk menubruk dan meringkus Bi Cu.

"Siancai...! Anjing-anjing pemerintah lalim kembali menghina rakyat…!" Suara ini tiba-tiba saja terdengar, disusul teriakan dua orang prajurit yang terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pecah karena ada tongkat butut yang menyambar dan menghantam kepala dua orang itu secara cepat sekali.

Tongkat itu berada di tangan seorang kakek renta yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, berpakaian jubah pendeta berwarna putih kumal dan rambutnya yang sudah putih semua itu digelung ke atas, seperti seorang tosu yang baru saja keluar dari tempat pertapaannya.

Melihat robohnya dua orang teman mereka yang tewas dengan kepala pecah itu, semua prajurit terkejut bukan main dan mereka segera mengurung pertapa itu, meninggalkan Bi Cu yang masih rebah. Bi Cu bangkit duduk, mengelus-elus kaki kirinya yang terasa nyeri sekali terkena tendangan keras dari si komandan, lantas dengan heran dia memandang kepada kakek yang tak dikenalnya itu.

"Pertapa jahat!" komandan itu membentak dan menundingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Berani engkau membunuh dua orang prajurit kerajaan?"

"Huh, siapa yang tidak berani? Kalau bisa aku akan membunuh seluruh prajurit kerajaan yang lalim dan menindas rakyat!" jawab pendeta itu.

"Kakek pemberontak!" Komandan itu berteriak lalu dia memberi aba-aba. "Tangkap atau bunuh dia!"

Komandan itu sendiri kini mencabut pedangnya, dan semua anak buahnya juga mencabut golok masing-masing. Ketika mereka mengeroyok Bi Cu tadi, tidak seorang pun di antara mereka yang menggunakan senjata, karena memang mereka hendak menangkap Bi Cu hidup-hidup, pula mereka agak memandang ringan terhadap dara muda remaja itu. Akan tetapi sekarang, melihat betapa kakek itu sudah membunuh dua orang kawan mereka, tentu saja mereka menjadi marah dan sinar kejam dalam mata semua prajurit itu.

"Ha-ha-ha, marilah kuantar nyawa kalian ke neraka!" Kakek itu tertawa dan si komandan sudah menerjang dengan pedangnya, diikuti oleh anak buahnya.

Tiba-tiba terdengar suara angin bercuitan dan tongkat itu lenyap berubah menjadi cahaya bergulung-gulung yang menyambar semua prajurit yang sudah menyerang. Terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan disusul robohnya para prajurit itu seorang demi seorang! Golok-golok beterbangan dan akhirnya, dalam waktu yang sangat singkat, seluruh prajurit termasuk komandannya telah roboh dan tewas sebab semua roboh dengan kepala pecah!

Melihat ini, diam-diam Bi Cu terkejut dan juga merasa ngeri sekali. Dia hanya duduk dan terbelalak memandang kepada kakek yang kini sedang berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang dan kakek itu tertawa menyeramkan.

Betapa pun, karena mengingat bahwa kakek yang amat kejam dan menyeramkan ini telah menyelamatkanya, Bi Cu lalu bangkit dan dengan terpincang-pincang menghampiri kakek itu sambil berkata, "Terima kasih atas pertolongan locianpwe."

Kakek itu sudah berhenti tertawa, lalu membersihkan ujung tongkatnya yang berlumuran darah itu pada baju yang menutupi tubuh salah seorang di antara para korbannya yang terdekat. Kemudian dia menunduk dan memandang kepada dara remaja itu, berkata lirih,

"Anak yang baik, kau angkatlah mukamu dan pandang aku."

Biar pun merasa seram, Bi Cu mengangkat muka memandang. Kakek itu sudah tua, akan tetapi mulutnya yang selalu tersenyum itu membayangkan ketampanan, terutama sekali sepasang matanya mencorong menakutkan.

Bi Cu terkejut dan ingin mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia tidak sanggup! Sinar matanya seperti melekat atau tertangkap oleh sinar mata kakek itu, membuat dia tidak mampu menggerakkan mata untuk mengalihkan pandangan!

Kakek itu mengangguk-angguk, kelihatan puas. "Bagus, engkau seorang perawan remaja yang cantik manis, berdarah bersih serta bertulang baik. Engkau patut menjadi muridku. Siapakah namamu?"

Dengan suara gemetar yang seakan-akan keluar di luar kehendaknya, Bi Cu menjawab, "Nama saya adalah Bhe Bi Cu..."

"Bagus! Nah Bi Cu, mulai sekarang engkau kuambil sebagai muridku."

Di dalam batinnya Bi Cu menolak, akan tetapi anehnya, dia tak kuasa untuk menolaknya! Dia sudah ditolong, diselamatkan nyawanya, bagaimana mungkin dia menolak kehendak kakek sakti ini yang hendak mengangkatnya sebagai murid? Selain dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, juga dia tidak akan berani! Dan yang lebih aneh lagi, bagaikan digerakkan oleh tenaga yang tidak nampak, dia lalu memberi hormat dan berkata,

"Suhu...!" Bi Cu merasa heran sendiri mengapa dia melakukan hal ini.

"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali, Bi Cu. Engkau akan hidup senang menjadi murid Kim Hwa Cinjin! Hayo, kau ikutlah bersamaku."

Kakek itu tertawa girang dan Bi Cu lalu bangkit berdiri dengan taat. Dia sudah terlanjur mengangkat kakek ini sebagai guru, kakek yang namanya Kim Hwa Cinjin! Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar, ketua dari perkumpulan Pek-lian-kauw di selatan!

Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu tidaklah mengherankan bila Kim Hwa Cinjin membunuh semua prajurit kerajaan itu, semata-mata bukan untuk menyelamatkan Bi Cu. Dan Bi Cu juga sama sekali tidak tahu bahwa Kim Hwa Cinjin dahulu di waktu mudanya adalah seorang penjahat cabul yang sangat ditakuti semua wanita.

Lebih lagi dia tidak pernah mimpi bahwa biar pun pada lahirnya dia diambil murid, namun istilah mengambil murid dari ketua Pek-lian-kauw ini mengandung maksud lain yang lebih buruk lagi, bahkan maksud yang sangat keji terhadap diri Bi Cu. Tanpa disadarinya, dara remaja ini sudah terjatuh ke dalam tangan ketua Pek-lian-kauw yang telah menggunakan kekuatan sihirnya, membuat dara itu tunduk dan kehilangan kekuatan dan kemauan untuk menolak ketika diambil sebagai murid.

SEPERTI telah kita kenal di bagian depan cerita ini, juga dalam cerita Dewi Maut, dahulunya Kim Hwa Cinjin adalah seorang jai-hwa-cat. Dan kini, setelah usianya menjadi amat lanjut, kecabulannya berubah dan kini dia mencari kenikmatan dengan cara menonton kecabulan berlangsung, bukan melakukannya sendiri.

Tokoh ini sudah biasa menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para muridnya yang dianggap berjasa, lalu diam-diam dia mengintai bagaimana para muridnya itu menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi Cu sebagai seorang dara remaja yang cantik manis dan bertulang baik, dia tertarik sekali.


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Kalau dara seperti ini menjadi muridnya dan dihadiahkan kepada para murid terbaik, kelak kalau sampai dara ini melahirkan keturunan, maka keturunan itu tentu dapat diharapkan menjadi anggota Pek-lian-kauw yang sangat hebat! Inilah yang terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid.


Baik itu dinamakan kecabulan, kemaksiatan, yang menjurus pada perbuatan kejahatan, mau pun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus kepada persaingan dan perebutan kedudukan sampai kepada perang, atau kepada pengejaran terhadap apa yang dianggap murni dan agung, seperti daya upaya untuk menjadi orang baik, orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu mempunyai dasar dan sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri sendiri!

Mengejar dan memperebutkan uang, kedudukan, wanita, nama besar, kehormatan dan sebagainya itu memang dapat mendatangkan kesenangan! Begitu pula, orang mengejar kedamaian baik di alam fana mau pun baka karena mengganggap bahwa kedamaian itu menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misalnya kebahagiaan.

Karena menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan mendatangkan kebahagiaan, maka terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua tindakan itu selalu didasari oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih! Kita seakan lupa bahwa segala sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan konflik dan pertentangan.

Pamrih adalah pementingan diri pribadi, dan pementingan diri pribadi ini yang sering kali menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri atau konflik dengan orang lain. Orang yang mengejar-ngejar uang akan menyamakan dirinya dengan uang itu dan uang dianggap lebih penting dari pada apa saja. Demikian halnya dengan pengejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi yang terpenting bukan si kedudukan, si kehormatan, si bangsa, si keluarga, si uang, melainkan si aku!

Maka terjadilah demikian: Yang dibela mati-matian adalah kedudukanku, kehormatanku, bangsaku, keluargaku, agamaku dan seterusnya yang berpusat pada si aku. Uang orang lain, kehormatan orang lain, bangsa orang lain, agama orang lain, sama sekali tak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan?

Apakah kita dapat hidup tanpa pamrih ini, tanpa adanya si aku yang mendorong segala perbuatan kita menjadi tindakan pementingan si aku? Hanya kalau sudah begini, maka uang, kedudukan, kehormatan, keluarga, bangsa, agama dan lain-lain memiliki arti dan nilai yang sama sekali berbeda!

Orang semacam Kim Hwa Cinjin semenjak kecil telah menjadi budak dari nafsu-nafsunya sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat berbentuk seribu satu macam, tercipta dari keadaan lingkungan, tradisi, pendidikan, kebiasaan dan sebagainya.

Sampai berusia setua itu, Kim Hwa Cinjin masih saja diperhamba oleh akunya yang selalu mendambakan kesenangan. Sifat kesenangannya sama saja, hanya bentuknya berubah menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-pengejaran kesenangan ini maka timbullah segala macam maksiat, kejahatan dan kekacauan di dunia ini!

Bi Cu yang berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke tempat jagal. Dia menurut saja ketika diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang membuat dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata,

"Suhu...!"

"Eh, ada apakah, Bi Cu yang manis?" Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu.

"Teecu... teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin Liong..."

"Sin Liong? Siapa itu?"

"Dia... dia seorang sahabatku yang amat baik..."

"Hemm, engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut semua perintahku."

"Tapi, suhu..."

"Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kau lihatlah ini!" Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting. Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, lalu dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.

"Hiaaaattt...!"

Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar.

"Blaaarrr...!" Batu besar itu pecah berkeping-keping.

"Dan kau lihat pukulan api dari tanganku ini!" katanya pula menghampiri sebatang pohon.

Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengarlah suara keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh takluk dan kagum.

"Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu?"

"Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali."

"Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku."

"Baik suhu, teecu akan taat."

Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia langsung mengajak dara itu melanjutkan perjalanan menulu sarang Pek-lian-kauw. Sebulan lagi Pek-lian-kauw akan mengadakan pesta ulang tahunnya, dan di dalam pesta itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa.

Sambil terus melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu tidak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya!


                  ***************


 Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia sudah menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu dara itu Bi Cu.

Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki bukit itu. Biar pun dia sudah ketinggalan hampir satu bulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu.

Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya pada waktu dia mendengar keterangan dari seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah pegunungan itu termasuk pula wilayah yang secara diam-diam dikuasai oleh perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan.

Mendengar disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa amat khawatir. Bi Cu telah tiba di wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara itu apa bila melewati daerah ini. Maka timbullah kecurigaannya dan dia harus lebih dahulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau di sana tidak terdapat Bi Cu, baru dia akan pergi meninggalkan tempat itu sebab ia sendiri tak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka, pikirnya.

Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran bukan main. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seakan-akan di sana diadakan pesta, di mana orang bergembira ria? Melihat betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan di dekat puncak itu.

Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia sampai di padang rumput yang penuh dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lututnya dan Sin Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput itu.

Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, terdengar suara berdesir dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut bukan main, maklum bahwa ada penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di udara sampai tiga kali.

Benar saja, dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kiri dan kanan. Agaknya ketika tali halus tadi tersangkut di kakinya, secara otomatis alat rahasia sudah menggerakkan empat batang tombak itu! Sin Liong lalu melompat turun kembali ke depan, kurang lebih empat meter dari tempat di mana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang melucurkan tombak-tombak itu.

"Blussss...!"

Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rerumputan, tiba-tiba dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Ternyata di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumput, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya terjeblos. Dia cepat melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah!

Kalau orang hanya memiliki kepandaian ginkang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah meluncur turun dan di bawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang sudah siap mencaplok dan menggigitnya.

Sin Liong memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan ginkang-nya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas dua ujung tombak sambil mengerahkan sinkang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tak mampu melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu!

Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorang pun manusia, tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian baiknya hingga amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia melangkah terus, sekarang dengan hati-hati supaya tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia cepat meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu.

Akhirnya dia keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan sampailah dia di sebuah taman penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar, berasal dari pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan tak nampak seorang pun di luar tembok.

"Syet-syet-syetttt...!"

Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di hadapan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar.

"Hemmm, beginikah cara Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan perangkap-perangkap dan anak panah?" tanyanya dengan suara yang melengking nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh.

Hening sejenak sesudah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tidak lama lagi banyak bayangan orang melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang turun berturut-turut tampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh perhatian dan kecurigaan.

"Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara mereka, pendeta yang pertama melayang turun tadi.

Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lantas menjawab dengan tenang, "Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya amat tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikit pun saya tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat," jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw juga tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri.

Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan orang baru ini kemudian berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu bukan musuh dan bermaksud baik, boleh saja diterima sebagai tamu, sebab pada hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya.

Pendeta pembicara itu kemudian tersenyum. "Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam dan berkenalan dengan para pimpinan kami."

Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang selalu menentang pemerintah, oleh karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak pernah mengundang umum karena mereka selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Dan undangan itu pun baru akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa hari lamanya. Pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka tanpa ada seorang pun tamu dari luar.

Akan tetapi seluruh anggota, juga termasuk yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, pada hari itu sudah hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaan pun tidak begitu ketat seperti biasanya hingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggota Pek-lian-kauw. Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup luas.

Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah hingga suasana di sana cukup meriah. Di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana para anggota bagian musik sedang memeriahkan suasana dengan permainan musik dan nyanyian serta tarian.

Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan, akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pemuda itu disambut sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk, terus masuk ke dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cinjin sendiri bersama para tokoh Pek-lian-kauw dan para murid terkasih. Semua orang lalu memandang kepada pemuda yang melangkah masuk dengan tenang itu.

Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan serta sikap kakek yang memiliki sepasang mata tajam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang menyambutnya dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw, maka dia lalu berhenti di hadapan Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata,

"Harap kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu."

Pada waktu masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu di sana, maka dia merasa agak lega dan dia pun bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw.

Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk. "Hemm, dari pelaporan anak buah kami mendengar bahwa engkau mempunyai kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami merasa kagum bahwa seorang pemuda seperti sicu sudah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?"

"Nama saya Sin Liong," jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan), dan ternyata ketua Pek-lian-kauw itu pun tidak bertanya tentang hal itu tanda bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanyalah untuk membalas sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang penting!

"Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya merasa tertarik dan memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk."

Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Mendadak terdengar suara merdu di sebelah kanan kakek itu, "Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?"

Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah salah seorang di antara sekelompok wanita-wanita muda yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah cantik dan dari sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.

Memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihiasi burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan. Di antara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan senyumnya amat manis.

Ketika Sin Liong memandang kepadanya, wanita itu pun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong langsung menundukkan mukanya kembali.

"Ha-ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun maka biarlah kuturuti permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah, kau layanilah sicu ini!"

Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ, dia pun tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya. Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong.

Pada waktu wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata yang menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari sapu tangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa semakin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum. Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di hadapannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak bila sudah kosong, menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.

Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.

Oleh karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.

"Ini adalah perayaan ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami menggunakan tempat ini sebagai pusat dan tak pernah mengalami gangguan. Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena kehadiranmu..."

Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang mempesona dan membuat dirinya lengah. Pada waktu itu para wanita yang menari sudah mengundurkan diri, lantas suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak.

Dua orang wanita muda itu mengenakan pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka, dan kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Sesudah mereka menjatuhkan diri berlutut di hadapan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja!

Kini kedua orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat saja karena cahaya itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik hingga suasana penuh dengan pesona dan gairah!

Mendadak Sin Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut saat melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat.

Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba saja dia mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong lalu mulutnya berkemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki. Tiba-tiba saja dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka. Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh.

Tiba-tiba dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan mendadak dia merasa tubuhnya lemas serta matanya mengantuk. Rasa kantuk itu tak tertahankan lagi olehnya. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!

Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk di mana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong. Pada saat Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih, memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin menyetujuinya.

Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki. Biar pun ketika itu Sin Liong sudah terpengaruh arak, namun melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya.

Sin Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik serta penglihatan indah dari tari obor oleh dua orang murid wanita itu, cahaya obor yang menyilaukan, akhirnya dia berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat mempergunakan jari-jari tangannya menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.

Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut dan heran.

Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang pada kedua lengannya yang sudah terbelenggu. Dua lengannya itu terikat di bagian pergelangan tangan. Suara tertawa kecil membuat dia semakin sadar dan sekarang dia memandang wanita yang duduk di pinggir pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan.

Kini dia sudah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya!

Sin Liong lalu menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biar pun pemuda itu telah ditotoknya, tetap saja dia masih merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.

"Apa... apa artinya ini...?" Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari bantal.

"Hik-hik...!" Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini agaknya sudah setengah mabok.

Diam-diam Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia lalu mengutuk. Dia sudah disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.

"Artinya, orang ganteng... bahwa engkau sedang berada di kamarku dan kita... kita akan bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!"

Diam-diam Sin Liong merasakan betapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka dia segera mengerahkan sinkang melancarkan kembali jalan darahnya. Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata, "Mengapa aku dibelenggu kaki tanganku?"

"Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya amat harum, kau ciumlah, hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu belenggumu itu akan kulepaskan. Sekarang, kau minumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa, kau minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-senang..."

Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak ini pun tidak wajar, bukan sembarang arak, karena itu tentu saja dia tidak mau minum.

"Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebenarnya... aku sedang mencari seseorang... saudaraku..." Sin Liong membohong. Yang dicarinya adalah seorang gadis, jika dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.

"Hemm, saudaramu? Siapakah saudaramu dan mengapa kau mencarinya di sini?" tanya wanita yang mukanya sudah merah karena setengah mabuk itu dan tangan kirinya masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.

"Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu..." Sin Liong berhenti berbicara karena melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh gairah dan setengah terpejam itu mendadak agak terbelalak. Jantungnya berdebar dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.

Tentu saja Ciauw Ki mengetahui tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhu-nya dipilih sebagai kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Apa bila tidak ada Bi Cu, tentu dialah yang akan diperebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhu-nya ketika dia melihat Sin Liong!

"Aihhh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu kini sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling gagah dan tampan! Akan tetapi engkau pun tidak kalah mujurnya karena engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!"

Tiba-tiba saja Sin Liong menggunakan sinkang-nya hingga semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu sudah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu birahi itu kini terbelalak ketakutan.

"Hemm, kuhancurkan mulutmu jika engkau tidak mengaku terus terang!" desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.

"Aa... aku... ahhhhh..." Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih didekap oleh jari tangan Sin Liong.

Tiba-tiba Ciauw Ki menggunakan tangan yang memegang cawan arak untuk menghantam ke arah muka Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, dia pun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.

"Hayo katakan, di mana Bi Cu?"

Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata, "Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang suheng-ku...!"

"Plakkk!"

Tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang karena tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya kelak bahkan menjadi buruk.

Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan saja dia telah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan meriah, maka sangat mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di mana Bi Cu disembunyikan.

Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki agar supaya mengaku sebab wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tak akan mau membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekali pun. Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia lalu mengambil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.

Dia mengintai dari genteng, sambil melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggota-anggota yang menjadi hamba-hamba nafsu birahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggota Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk.

Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu bukan main ringannya, maka dia langsung mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis yang membuat Sin Liong bergidik.

Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng lalu dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras sesudah melihat apa yang ada di dalam kamar itu!

Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar, mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai tercium olehnya dari atas genteng, duduk tiga orang lelaki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja! Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira.

Salah satu di antara ketiga orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya terpelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan rata-rata wajah mereka dapat dikatakan tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw.

Akan tetapi bukan ketiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pembaringan yang ada di tengah kamar itu. Di atas pembaringan itu rebah seorang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Sedangkan pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak.

Dapat dibayangkan alangkah terkejut rasa hati Sin Liong ketika melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!

"Sayang dia terpaksa dibius," kata si kumis tebal. "Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!"

"Aku lebih senang apa bila dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!" cela orang ke dua sambil menenggak araknya.

"Dan aku lebih senang kalau dia itu mau menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"

"Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapa pun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama..."

"Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang..."

"Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!"

Si kumis tebal tertawa. "Ha-ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!"

"Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"

Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi.

Saat tiga orang tosu itu sedang main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar rumah. Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng sampai bobol lantas tubuhnya melayang ke dalam kamar laksana seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedangkan suara ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam!

Semua orang yang berada di kamar itu terkejut. Demikian pula dengan Kim Hwa Cinjin yang sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan nafsu birahi itu menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, dan yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir lalu diserahkan kepada Ciauw Ki untuk dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar.

Perhatiannya terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar situ lebih berbahaya, maka tanpa mempedulikan keadaan di dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar.

Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Anggota-anggota Pek-lian-kauw yang tadinya masih berpesta-pora, kini menghadapi serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat terpaksa harus melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!

Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong telah melayang turun ke dalam kamar. Dia pun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, karena apa bila sampai dia dikepung oleh semua tokoh beserta anggota Pek-lian-kauw, akan sulitlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apa lagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri.

Ketiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan yang siang tadi sudah ditawan kemudian diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biar pun mereka dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.

Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua Pek-lian-kauw. Maka dia pun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan beberapa jurus San-in Kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang.

Tiga orang tosu itu cepat menangkis tetapi seorang demi seorang berteriak kaget sekali, dan tubuh mereka terlempar lalu menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing akibat terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu.

Tanpa mempedulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis, dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat dia pun meloncat ke tempat yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan dia pun tidak peduli. Yang paling penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya.

Maka larilah dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat yang gelap. Beberapa kali dia berpapasan dengan anggota Pek-lian-kauw atau anggota pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara yang sangat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas langit. "Liong-te... di mana engkau...?!"

Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar pada siang hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka, pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang agaknya telah dipimpin sendiri oleh Ceng Han Houw. Pangeran ini malah jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada semua orang Pek-lian-kauw.

Maka Sin Liong mempercepat larinya, berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, cukup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali.

Maka dia mencari tempat yang bersih lantas dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang sudah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tertidur nyenyak sekali.

Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar dan mencarinya, tak berani membuat api unggun sehingga untuk melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu. Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sinkang sehingga hawa hangat memasuki tubuh dara itu, melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menusuk tulang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.

Tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di antara mereka yang berkumis tebal membentak, "Pemuda iblis, mau lari ke mana engkau?!"

Sin Liong kaget sekali dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka yang tadi malam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.

Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Sesudah beberapa lamanya berlari, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia pun cepat menurunkan tubuh Bi Cu ke atas rumput, kemudian dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.

Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau pada waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah disebabkan mereka bertiga berada dalam keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap.

Melihat pemuda itu sudah menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan menjadi kekasih mereka bertiga sebab oleh suhu mereka telah diberikan kepada mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Semalam, setelah mengenakan pakaian, mereka lalu melakukan pengejaran, tanpa mempedulikan kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap di dalam hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan sangat gelap, maka mereka menunggu dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka....























Terima kasih telah membaca Serial ini.



No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12