Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 35
Gu Kok Ban
dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka itu merasa
tertarik sekali. Tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan keduanya pun lalu
lari mengejar pula sebab mereka ingin sekali melihat bagaimana kesudahan dari
pertandingan yang amat seru dan hebat itu.
Ketika dua
orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam, mereka
melihat pangeran itu sudah bertanding lagi dengan sangat seru dan hebatnya
melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat
cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu sudah berdiri jungkir balik
dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan
gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang
menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek.
Itulah ilmu
silat aneh yang diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh
Han Houw. Dan memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan kepalang. Setelah dalam
keadaan jungkir balik seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki mau
pun tangan pangeran itu jauh lebih besar dari pada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek
sendiri merasa amat terkejut karena setiap kali tangannya bertemu dengan kaki
pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar hubat. Namun, biar dia lebih sering
menerima tendangan aneh dari kaki yang berada di atas itu, dengan mengandalkan
kekebalannya yang luar biasa, dia selalu dapat menahan diri sehingga tidak
sampai terluka, biar pun kini kekuatan aneh dari kedua kaki itu dapat
membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang terpelanting.
Perkelahian
itu seru bukan kepalang. Terdengar kakek tua renta itu telah terengah-engah
karena dia merasa lelah sekali. Betapa pun juga, dia harus mengakui bahwa
sute-nya ini mempunyai ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui
teorinya belaka, namun dia sama sekali tidak pernah ikut melatih ilmu itu
sehingga sekarang pada saat sute-nya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk
menyerangnya, dia menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua
membuat daya tahannya telah banyak berkurang, terutama sekali napasnya.
Dia sudah
mandi keringat dan napasnya memburu sedangkan sute-nya itu masih segar dan
serangan-serangannya semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu
kekebalannya, kakek itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa
kali pemuda ini terkena pukulannya sehingga pemuda itu pun menderita luka-luka
yang biar pun tidak berbahaya namun cukup membuat gerakannya semakin lemah.
Setiap
pukulan pemuda itu tidak mendatangkan bahaya bagi kakek cebol yang terlindung
kekebalan hebat itu, sebaliknya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw
menderita. Karena itu, apa bila dilanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan
harus mengakui keunggulan lawan.
Hal ini pun
diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke puncak
ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suheng-nya sehingga
mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana tadi dia
menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang sudah
mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek itu
lengah.
Sesudah di
tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus jurus lamanya,
barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu silat aneh
Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam dia mendesak
kakek itu mendekati jurang.
Sesudah
memperhitungkan dengan matang, tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan
seruan lengkingan panjang dan menggetarkan, sehingga dua orang ketua dari
Sin-ciang Tiat-touw-pang yang menonton sambil bersembunyi di balik batu
terkejut bukan main dan otomatis mereka cepat menutupi dua telinga dengan
telapak tangan sambil memandang dengan mata terbelalak.
Dan
tiba-tiba saja tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan
kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya
masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada
Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang.
"Blukkk!"
Kaki itu
mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang.
"Hukkkk...!
Crotttt...!"
Dari mulut
kakek yang terbuka itu menyembur darah segar. Kakek itu terkejut dan dengan
tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang pendek dan telanjang untuk
melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke belakang karena kakinya
menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan dan menyayat hati ketika
tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu.
Han Houw
cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke bawah. Dia masih sempat
melihat tubuh suheng-nya itu sudah terbanting ke dasar jurang, terguling-guling
makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Walau pun dari tempat yang tinggi itu
tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan lagi bahwa tubuh itu
tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu.
Han Houw
menarik napas lega. Baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit
sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam perkelahian yang
amat seru itu tadi.
"Pangeran,
kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!"
"Dan
hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi."
Han Houw
lantas membalikkan tubuhnya memandang. Dua orang ketua itu telah berlutut
menghadapnya dengan sikap sangat hormat dan memandang dengan penuh kekaguman.
Sejenak dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah
berhasil mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggap orang sebagai manusia sakti
sukar dicari tandingannya, malah Lam-hai Sam-lo sendiri pun pernah dikalahkan
oleh kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia
melangkah maju.
"Gu-pangcu
dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian."
Dua orang
ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang pangeran itu
dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak menduga, bahkan
hampir tidak dapat percaya betapa seorang pemuda bangsawan seperti ini sudah
berhasil mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu sehingga sanggup mengalahkan
seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek.
Setelah dua
orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, "Bagaimana kabarnya
dengan nona Lie Ciauw Si? Di manakah dia sekarang?"
Berserilah
wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi
antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik itu.
"Sudah
lama hamba tak berjumpa dengan Lie-lihiap, pangeran. Akan tetapi yang terakhir
hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk mencari dan
ingin menghadap paduka," kata Gu Kok Ban sambil tersenyum.
Senang hati
Han Houw mendengar kata-kata ini, kemudian dia bertanya, "Dan benarkah
seperti yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar
Cin-ling-pai bersembunyi di tempat kalian?"
Mendengar
pertanyaan ini, hati dua orang itu sangat terkejut. Akan tetapi ketika mereka
memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak
terlihat marah sehingga hati mereka menjadi besar kembali.
"Memang
benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena isteri
dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan, mereka itu
lalu pindah."
"Tidak
tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap
pemberontak-pemberontak yang menjadi buruan pemerintah?"
Gu Kok Ban
memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, namun kemudian dia menghadapi
pangeran itu sambil berkata cepat, "Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya
mereka itu bukanlah pemberontak, pangeran. Justru untuk inilah maka Lie-lihiap
pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijaksanaan paduka
untuk menolong empat orang pendekar itu supaya terbebas dari tuduhan
memberontak. Mereka itu hanya difitnah, sebab semua orang kang-ouw pun tahu
belaka betapa semenjak dulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar
sakti Cia Keng Hong, Cin-ling-pai merupakan suatu perkumpulan orang-orang gagah
yang selalu membantu pemerintah dalam membasmi para pemberontak."
Disebutnya
nama Lie Ciauw Si membuat wajah Han Houw kembali nampak berseri-seri sehingga
melegakan hati kedua orang itu. Kini dengan suara halus Han Houw bertanya,
"Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?"
Kembali Gu
Kok Ban memandang dengan hati khawatir. "Pangeran... seorang di antara
mereka adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap..."
Han Houw
mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. "Aku tahu, dan aku pun
bertanya untuk pergi menemui mereka secara baik-baik agar bisa mengusahakan
kebebasan untuk mereka..."
"Ahh,
terima kasih, pangeran...!" Mereka berdua berkata dengan girang sekali.
"Katakanlah,
di mana adanya mereka kini?"
"Tadinya
mereka meninggalkan tempat hamba untuk pindah ke dalam sebuah dusun di lereng
sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana,
sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu
terpaksa kembali melarikan diri lagi...," ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang
itu kelihatan berduka.
"Ke
mana mereka melarikan diri? Di mana mereka sekarang?"
"Tadinya
hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para penyelidik,
yaitu para anggota yang hamba suruh mencari keterangan, hamba..."
"Suheng...!"
Tiba-tiba saja terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara
memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya,
namun memandang kepada pangeran itu dengan keraguan yang mulai timbul.
Han Houw
mengerutkan alisnya, lantas menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya
mencorong mengeluarkan sinar berkilat.
"Ji-wi
pangcu! Apakah kalian masih tak percaya kepadaku? Aku telah membunuh suheng
sendiri karena dia memusuhi mereka! Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie
Ciauw Si!"
Dua orang
ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan keterangannya,
sekarang tak peduli lagi akan pandangan mata sute-nya yang masih merasa
khawatir itu. "Menurut keterangan dari para penyelidik, mereka melarikan
diri ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou..."
Tiba-tiba
sepasang mata Gu Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata
yang mencorong aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban
yang mencoba menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu.
"Desss...!"
Dadanya
terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya yang menyayat hati
bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah seperti yang
dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi.
Wajah Tong
Siok berubah menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya
yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan
telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, "Kau manusia iblis berhati
keji, ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Engkau
bukan hanya membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suheng-ku dan
hatimu palsu. Orang macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!"
Han Houw
tersenyum. "Engkaulah yang lebih dulu akan pergi ke neraka!" katanya
sambil melangkah maju hendak memukul.
Akan tetapi
Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat, karena itu dia sudah mendahului gerakan
pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu menerjang ke depan dengan
kepala lebih dahulu, seperti seekor lembu jantan yang marah menyerang harimau.
Serudukan
kepala ini tak boleh dipandang ringan, sebab ini merupakan serangan andalan
ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya adalah
Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat menghancurkan
batu!
Namun Han
Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak menjadi gentar,
bahkan tidak mengelak melainkan tetap berdiri tegak sambil tersenyum mengejek,
kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang
menyeruduk ke arah perutnya itu.
"Desss...!"
Terdengar
suara keras seperti benda keras pecah, kemudian tubuh Tiat-thouw Tong Siok itu
terlempar ke belakang dan langsung melayang turun ke dalam jurang dengan kepala
retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting di dasar jurang, dia sudah
tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting itu.
Sejenak
Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak merasa
menyesal telah membunuh tiga orang itu. Pertama, dia memang ingin membunuh
Ouwyang Bu Sek untuk menguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke
dua, dia harus membunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka
ini sudah menyaksikan betapa dia sudah membunuh suheng sendiri sehingga kelak
mereka dapat menyebar berita yang sangat tidak baik untuknya itu ke dunia
kang-ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak
setia kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan
pemerintah. Mereka itu patut dihukum!
Setelah
merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu sudah tewas dan
tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw baru membalikkan tubuhnya, meninggalkan
puncak bukit itu menuju ke goa di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam
tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke
tangan orang lain itu.
Goa yang
besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalamnya terdapat bahaya
yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani memasukinya. Tetapi dengan
kepandaiannya yang amat tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi melangkah
masuk kemudian dengan sangat hati-hati dia menggerakkan kedua kakinya,
perlahan-lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang
amat gelap. Apa bila suheng-nya dapat memasuki goa itu untuk mengambil peti
hitam, mengapa dia tidak?
Tiba-tiba
saja dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri, maka secepat kilat dia pun
menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri sambil
mengerahkan sinkang pada tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan
cekatan sudah menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri
dan mengeluarkan suara mendesir tadi! Kiranya dia sudah menginjak alat rahasia
yang dipasang sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri
menyerang siapa saja yang berani masuk goa dan menginjak jebakan yang tidak
nampak itu!
Han Houw
mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian dia
melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus
dari celah terbuka di atas goa. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti
hitam di sudut ruangan goa itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang sekali,
akan tetapi dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena
kegirangannya. Dengan waspada dia terus melangkah mendekati tempat peti itu
tergeletak.
Han Houw
kemudian menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu
mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu
dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa
peti itu ke luar goa.
Setelah tiba
di luar, di tempat yang terang, dia menurunkan peti dan melihat betapa kedua
telapak tangannya penuh hangus. Untung bahwa tadi dia telah melindungi kedua
telapak tangannya dengan hawa panas dari pengerahan sinkang-nya, apa bila tidak
tentu kedua telapak tangannya akan terkena racun jahat yang dioles-oleskan pada
peti itu. Kini racun itu menjadi hangus sebab hawa panas yang melindungi kedua
telapak tangannya. Setelah membersihkan kedua telapak tangannya, Han Houw lalu
membuka tutup peti itu.
"Sssssttt...!"
Nampak segaris
sinar merah menyambar dan seekor ular merah sudah meloncat keluar dan langsung
menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan
kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, lalu mengerahkan tenaga pada kedua
jari itu.
"Krekkk!"
Terdengar
suara dan tulang leher ular itu pun patah. Dia melemparkan bangkai ular yang
masih berkelojotan dan melingkar-lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang
baru saja dibukanya.
"Jahanam!"
Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong!
Dia merasa
tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam goa, mencari-cari. Namun goa
itu kosong tak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu membuat
obor dan memeriksa seluruh bagian dalam goa. Namun hasilnya nihil, tidak ada
apa pun di dalam goa itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai
berkeping-keping, namun juga selain ular merah yang kini telah mati, peti itu
tidak berisi apa-apa lagi.
"Ouwyang
Bu Sek tua bangka keparat!" Dia memaki-maki dan mencari-cari keluar masuk
semua goa di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah kitab kuno itu
ternyata telah hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat,
akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya
kitab-kitab itu?
Sampai sore
dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat beberapa belas
orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu Kok Ban dan
Tong Siok. Dari tempat yang tidak kelihatan oleh mereka, Han Houw mengintai dan
mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggota Sin-ciang
Tiat-thouw-pang.
Diam-diam
dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu tentu mengira bahwa dua
orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu Sek sehingga akibatnya
mereka bertiga tewas semua atau mati sampyuh. Lebih baik begitu saja, pikirnya
lantas diam-diam dia meninggalkan puncak pegunungan itu.
***************
Selain
sebagai tempat perkumpulan para tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu,
juga Siauw-lim-si mempunyai nama yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama
yang menghasilkan banyak sekali ahli-ahli silat yang pandai sehingga nama
Siauw-lim-pai (partai Siauw-lim) sangat terkenal di dunia kang-ouw sebagai
gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-lim-pai memiliki ilmu silat murni
yang amat kuat dan disegani.
Bahkan
menurut dongeng dari mulut ke mulut, kuil Siauw-lim-si merupakan sumber dan
asal dari segala ilmu silat, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta Agama
Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang mula-mula hanya ditujukan untuk
menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela
diri yang amat hebat.
Sumber ilmu
menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini kemudian berkembang sangat luas,
mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keadaan setempat dan tumbuhlah
bermacam-macam ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu. Namun, yang
dianggap paling asli sampai sekarang adalah ilmu silat yang diajarkan oleh
Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-dengungkan sebagai gudangnya
ahli silat yang paling kuat.
Memang patut
kalau Kuil Siauw-lim-si itu dikabarkan sebagai tempat orang-orang pandai.
Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana keramat dan
angker. Apa lagi karena sebagai pusat keagamaan di dalam kuil itu setiap hari
diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat hingga
dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasananya menjadi
semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia
bagi manusia.
Kuil besar
itu tidak pernah sunyi. Kalau bukan suara orang membaca doa atau membaca
ayat-ayat suci dari kitab, maka tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini suasana
di bagian kuilnya. Ada pun di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu
terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat!
Kompleks
kuil itu memang amat luas. Kuilnya sendiri berada di tengah depan merupakan
bangunan induk, akan tetapi di kanan kiri dan belakang kuil terdapat
bangunan-bangunan kecil lainnya yang menjadi tempat tinggal para hwesio beserta
para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang dari lima puluh orang pendeta dan
murid-murid Siauw-lim-pai yang setiap hari berada di tempat itu.
Sedangkan
murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah keluar dari tempat penggemblengan ini dan
tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang. Ada yang
menjadi ketua kuil-kuil kecil, ada yang menjadi pendeta-pendeta pengembara
untuk menyebarkan agama.
Ada pula
yang menjadi orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, piauwsu, buruh-buruh
kasar, petani atau nelayan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak
masuk menjadi hwesio sehingga tidak bertugas mengembangkan agama, melainkan
terikat oleh peraturan-peraturan Siauw-lim-pai yang mengharuskan para murid itu
agar supaya hidup sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi nama baik
Siauw-lim-pai dan dilarang keras menggunakan kepandaiannya yang didapatkan dari
Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan.
Memang pada
waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai menjadi penjahat.
Kalau sampai terdengar ada seorang murid Siauw-lim-pai menyeleweng, maka
perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih pandai untuk menangkap
dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang menyeleweng. Sedikitnya, setiap
murid yang menyeleweng tentu akan dikeluarkan dari perguruan itu, tidak diakui
sebagai murid lagi dan jika ketahuan menggunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk
melakukan kejahatan, tentu akan ditentang dan dimusuhi.
Karena
peraturan yang sangat keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh
kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya senantiasa bersih, bahkan di dalam
pergolakan-pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di
kota raja, fihak Siauw-lim-pai selalu menjauhkan diri dan tidak mau tersangkut.
Pagi hari
itu cerah sekali. Matahari bagai berseri di angkasa timur, melimpahkan cahaya
kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para hwesio
yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat pula merasakan
kecerahan pagi yang sehat itu.
Beberapa
orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas pekerjaan masing-masing di kuil, ada
yang membersihkan semua perabot dan alat sembahyang, ada pula yang membersihkan
lantai, menyapu halaman depan, pekarangan, atau menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan
yang mereka tanam di sekitar bangunan itu. Ada yang sibuk menimba air dari
sumber di bawah puncak lalu memikul air itu ke dalam kuil melalui pintu samping
supaya tidak membasahi lantai kuil, ada pula hwesio-hwesio tingkatan tua yang
sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang. Beberapa hwesio membaca kitab
dengan suara yang menggetar penuh penghambaan diri, tetapi ada pula yang sedang
bersemedhi di sebelah dalam, mengheningkan cipta, sama sekali tidak bergerak
seolah-olah sudah menjadi arca seperti yang banyak terdapat di dalam kuil.
Di samping
kegiatan yang tenang dan tenteram ini, terdengar pula suara murid-murid yang
sedang berlatih silat, bertelanjang dada membiarkan cahaya matahari memandikan
tubuh mereka karena sinar itu amat berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada
yang bergerak silat dengan pengerahan tenaga sehingga otot-otot di tubuh mereka
menggembung dan kelihatan kuat bukan main penuh kejantanan, ada pula yang
gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari dan agaknya sama sekali tidak
mengandung tenaga.
Memang
Siauw-lim-pai adalah gudang ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras
hingga yang sifatnya lunak, dan ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh
gerakan binatang-binatang buas.
Setiap pagi
para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di dalam taman itu, di mana
terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat di
bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat,
yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan
jurus-jurus yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat
senjata-senjata yang delapan belas macam banyaknya.
Pagi hari
itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang untuk
melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi mereka yang datang untuk
bersembahyang. Ada yang bermaksud hendak minta sesuatu, agar sesuatu yang
mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya ingin mempunyai anak, ingin
segera mendapat jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan
kenaikan pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya.
Ada pula
yang datang dengan wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan.
Banyak di antara mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu
disertai janji-janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai
permintaan mereka berhasil, maka mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya
melakukan sesuatu untuk menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!
Memang demikianlah
keadaan hidup kita semenjak jaman kuno dulu sampai pada jaman modern sekarang
ini! Segala macam hubungan kita dengan apa pun dan dengan siapa pun, selalu
didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi sinar cinta
kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli seperti itu.
Kita
bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita
baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar
dari pada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah
seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar
keuntungan ini pula!
Kita
menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik terhadap kita,
dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada
kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini.
Cahaya
matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapa pun juga, tanpa memilih
apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina!
Cahaya matahari itu juga mendatangkan panas terhadap siapa pun juga, mulai dari
raja sampai pengemis tanpa pandang bulu!
Tapi kita
kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang
tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik terhadap kita.
Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan
lahir atau batin kepada kita.
Di antara
para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang, terlihat seorang
pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia tidak berganti
pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang mahal dan
indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang berbulu itu
menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan.
Tidak
seperti para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong
saja dan dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang disertai sikap
yang agung, bahkan dia tidak pedulian terhadap orang-orang lain yang memasuki
halaman itu.
Pemuda ini
adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-si? Setelah
Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek beserta dua orang ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pulang ke kota
raja, kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apa lagi
dia sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang
dicintainya itu.
Akan tetapi,
di samping itu timbul keinginannya untuk mulai memperkenalkan diri kepada dunia
kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa tandingan di dunia ini! Dia
ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan hatinya belum puas kalau dia
tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu hingga akhirnya dunia akan
mengakui bahwa dialah juaranya!
Untuk
menguji diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, maka yang paling tepat
adalah mendatangi Siauw-lim-pai lantas menantang ketuanya untuk mengadu ilmu
silat! Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan mercu suar dalam dunia
persilatan, maka menjatuhkan Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal
hingga dunia persilatan akan geger karenanya. Jadi kedatangannya di pagi hari
ini, bersama dengan para tamu yang hendak bersembahyang ke kuil itu, adalah
hendak mencari dan menantang ketua Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu!
Melihat
keadaan pemuda ini lain dari pada para tamu yang sudah biasa bersembahyang,
tanpa membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pandang matanya,
seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat-cepat
menghampirinya dan memberi hormat sambil bertanya,
"Apakah
kongcu hendak bersembahyang ataukah ada keperluan lain?"
Han Houw
memandang wajah hwesio ini dan ketika melihat bahwa di wajah itu terdapat
ketenangan besar, maka dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah
saja namun ada ketenangan yang mengagumkun pada dirinya. Maka dia pun cepat
membalas penghormatan itu dan berkata,
"Saya
datang bukan untuk bersembahyang melainkan untuk minta bertemu dengan ketua
Siauw-lim-pai."
Hwesio yang
usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang datang
dengan maksud ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apa lagi yang datang
hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang terkenal.
Dia kemudian memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga,
"Kongcu,
tidak mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus terlebih
dulu mendaftarkan diri dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud
kedatangan kongcu."
Han Houw
mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang kala dia lupa bahwa tidak
semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh serta
memiliki kedudukan tinggi sehingga sikap orang yang kurang menghormatinya bisa
mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia membentak serta
memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang
berbahaya, bahwa kini dia sudah memasuki goa naga dan harimau, maka dia harus
bersikap hati-hati.
"Hwesio,
katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin bertemu dengan
ketua Siauw-lim-pai."
Biar pun
ucapan ini dikeluarkan dengan suara halus akan tetapi seketika wajah hwesio itu
menjadi pucat. Ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi tamu
itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan
tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini
benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya!
Kalau benar
pangeran, mengapa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah agak
kotor begitu? Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia tidak
tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan membungkuk
lantas berkata dengan suara ragu-ragu.
"Baiklah,
akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang tamu..."
Han Houw
mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk di atas
sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang segera bergegas pergi untuk
melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu.
Han Houw
memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah dan gagah, juga
lukisan-lukisan yang menghias dinding ruang tamu itu. Di istana kaisar dia
sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, akan tetapi baru sekarang dia
melihat lukisan dan tulisan serta suasana yang semuanya membayangkan kegagahan
dan juga kedamaian seperti dalam ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum.
Tidak
bohonglah suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah
gudangnya ilmu silat, sastera dan agama. Sekarang makin besar keinginan hatinya
untuk menundukkan ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan
ketua Siauw-lim-pai, namanya tentu akan menjulang tinggi sekali!
Akan tetapi
terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia tidak tahu
betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di sebelah dalam
kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai.
Pada waktu
itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang
kakek berusia enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak terlampau
mencampuri urusan dari kuil sebab dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan
jalan merantau, mendatangi kuil-kuil cabang Siauw-lim-si di seluruh negeri, di
samping untuk mengamati perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar
tidak ada anak murid Siauw-lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Untuk urusan
di kuil, baik itu mengenai agama mau pun mengenai pelajaran sastera, silat
serta hubungan dengan orang luar, diserahkan kepada tiga orang murid utamanya.
Yang pertama
adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-hud, dengan
muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk setengah
terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian Sun
Hwesio ini mewakili suhu-nya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain menjadi
ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama.
Yang ke dua
ialah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda
dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi
besar dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata
yang lebar menatap tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring,
wataknya jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar
ilmu silat kepada para murid.
Ada pun
hwesio ke tiga ialah Thian Bun Hwesio, berusia lima puluh tahun pula, bertubuh
tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-geriknya pun halus. Hwesio ini
mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang bertugas menerima tamu
serta berhubungan dengan orang luar.
Sebagai
murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian silat dari
tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki keistimewaan
masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini tentu saja
masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih rendah dari
pada mereka bertiga, namun bagi orang luar, tiap orang hwesio Siauw-lim-si,
mulai dari tukang membersihkan lantai sampai tukang kebun, rata-rata memiliki
ilmu silat yang tangguh.
Pada saat
hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang tadinya
dalam keadaan tenang seperti biasanya itu, menjadi panik. Siapa orangnya tidak
menjadi panik apa bila mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu
secara begitu tiba-tiba? Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi
kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat.
Maka para hwesio itu lalu melapor kepada Thian Bun Hwesio.
Hwesio tinggi
kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang
bersemedhi dan tak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak
suheng-nya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu
agung itu.
Han Houw
sudah hampir hilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya pintu
sebelah dalam itu terbuka lalu muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia
tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong menatap kepada
dua orang hwesio itu.
Thian Bun
Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan diam-diam mereka terkejut melihat
mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi
tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang mata yang mengeluarkan cahaya
mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga menduga-duga. Mungkinkah ada
seorang pangeran istana yang memiliki sinkang sedemikian kuatnya sehingga
kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya yang mencorong seperti mata
naga? Ataukah hanya kebetulan saja?
Dua orang hwesio
itu cepat memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, lalu dengan suara halus
dan muka ramah Thian Bun Hwesio kemudian berkata, "Harap paduka sudi
memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini,
maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng
sekalian amat terkejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang
mulia tanpa pengiring dan berita terlebih dahulu." Dalam kata-kata ini
terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu.
Han Houw
juga mengetahui akan keanehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini, akan
tetapi dia tidak peduli dan dia langsung bertanya, "Siapakah di antara
ji-wi locianpwe ini yang menjadi ketua Siauw-lim-pai? Aku hanya ingin bertemu
dan bicara kepadanya."
Dua orang
hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka Locianpwe, sebutan yang
biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda menghormat orang
yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka losuhu saja,
sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja semakin membingungkan sehingga
menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat? Melihat
kedua matanya yang mencorong dan mendengar sebutan itu, sangat boleh jadi.
Thian Bun
Hwesio menjura dengan penuh hormat. "Harap paduka sudi memaafkan kami,
pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini."
"Bukankah
ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio? Ke manakah beliau pergi?"
Tidak
mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru mereka.
Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui guru
mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang
pangeran? Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu.
"Suhu
Thian Khi Hwesio sedang mengadakan perjalanan ke selatan, akan tetapi setahu
kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh karena
itu, apa bila memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat mengurus hal
itu dengan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun Hwesio
dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang telah mendapat
wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-lim-pai.
Tidak tahu ada hal penting apakah seorang pangeran kerajaan seperti paduka
sampai datang mencari suhu?"
Ucapan yang
panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak peduli. Dengan nada
suara dingin dia berkata, "Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik Kaisar
Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak terserah. Akan tetapi
kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan
ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio."
Lega rasa
hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau ada
urusan dengan pemerintah dan ini tentu saja akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam
urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini
datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi
kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai!
Tentu itulah
kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan, bahkan
dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai.
Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya.
Pada saat
itu pula, seorang hwesio yang memang tadi sudah dipesan, datang membawa
cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan
ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri,
"Bila
mana paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng.
Andai kata suhu sedang ada di sini pun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan
kepada pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh
datang ke kuil Siauw-lim-si kami?"
Mendengar
ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini memandang kepada
mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang bertubuh tinggi
besar dan bersikap kereng dan pendiam itu. Kemudian dia mengajukan pertanyaan
yang membuat kedua orang hwesio itu terkejut, "Apakah ji-wi locianpwe yang
mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?"
Thian Bun
Hwesio hanya mengangguk.
"Ahhh,
kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara semua
murid Siauw-lim-pai?"
Thian Bun
Hwesio tersenyum. "Ahh, orang-orang yang lemah seperti kami ini mana
berani mengatakan memiliki kepandaian tinggi? Siauw-lim-pai amat luas dan
mempunyai ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri, maka sulit untuk
mengukur siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak
berani menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan
tetapi kalau hanya di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng
sekalian adalah murid-murid utamanya."
"Bagus
sekali! Jika begitu ji-wi locianpwe merupakan orang yang terpandai di sini
setelah ketua Siauw-lim-pai!" Han Houw berkata girang.
Kenyataan
ini menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai
sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah mampu menghadapi murid-murid utama
Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada
sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia!
Thian Bi
Hwesio juga menyangka bahwa pangeran ini tentu ingin belajar silat, maka kini
dialah yang bicara dengan suaranya yang nyaring, parau dan jujur,
"Pangeran, ketahuilah bahwa pinceng yang mewakili suhu di sini untuk
memimpin para murid belajar ilmu silat. Kalau paduka berniat hendak
belajar..."
Wajah Han
Houw berseri dan mulutnya tersenyum, lalu dia bangkit berdiri. "Bagus
sekali, Thian Bi Hwesio! Tadinya aku berniat belajar dari Thian Khi Hwesio
ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi karena beliau sedang berada di luar, maka
biarlah aku mempelajari beberapa jurus pukulan dari Ji-wi locianpwe. Marilah,
locianpwe!"
Menyaksikan
kegembiraan pemuda itu, dua prang hwesio itu tersenyum lebar. Pemuda ini begitu
penuh semangat untuk belajar! Dan seketika itu juga minta diajari, seolah-olah
ilmu silat itu adalah ilmu yang begitu didapat lalu seketika bisa! Akan tetapi
karena mereka pun menduga bahwa tentu pemuda bangsawan ini sedikit banyak sudah
mengenal ilmu silat, maka Thian Bi Hwesio lalu berkata.
"Baik,
marilah kita ke lian-bu-thia, pangeran."
Pada waktu
mereka memasuki ruangan belajar silat yang luas itu, di situ terdapat belasan
orang hwesio serta murid Siauw-lim-pai yang muda-muda sedang berlatih silat.
Ada yang sedang berlatih sendirian, berdua, ada pula yang sedang melatih
otot-otot mereka dengan mengangkat benda-benda berat dan sebagainya. Tubuh atas
mereka yang tidak berbaju itu mengkilap oleh keringat.
Melihat
datangnya kedua orang guru mereka bersama seorang pemuda tampan, mereka semua
segera memberi hormat dan berdiri di pinggir, menghentikan latihan mereka. Dari
hwesio penyambut tamu tadi sudah tersiar berita tentang datangnya tamu agung,
seorang pangeran, maka kini semua mata ditujukan kepada Han Houw dengan penuh
perhatian karena mereka semua dapat menduga bahwa agaknya pemuda inilah yang
disebut oleh hwesio penerima tamu tadi.
Melihat
lian-bu-thia yang lengkap dengan semua alat-alat berlatih silat berikut rak
senjata di mana terdapat semua bentuk senjata-senjata kaum persilatan dan
dinding-dinding yang dihias gambar-gambar tubuh manusia dengan keterangan
tentang letak otot-otot, tulang-tulang dan syaraf, Han Houw pun memandang
dengan kagum. Memang luas dan lengkap sekali lian-bu-thia ini, patut menjadi
tempat berlatih silat perkumpulan yang begitu besar dan ternama.
Dengan
tangannya, Thian Bi Hwesio memberi isyarat kepada para murid untuk duduk di
pinggir, maka mereka semua lalu duduk bersila di dekat dinding dengan rapi,
siap untuk melihat seperti sikap mereka bila hendak diberi kuliah tentang ilmu
silat oleh guru mereka. Juga Thian Bun Hwesio memandang sambil tersenyum.
Hwesio ini duduk di atas sebuah bangku pada sudut ruangan, ingin melihat bagaimana
suheng-nya akan memberi petunjuk kepada pangeran yang aneh ini.
Mereka
saling berdiri berhadapan, Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Bi Hwesio, murid ke
dua dari Thian Khi Hwesio. Pangeran yang bertubuh cukup jangkung tegap itu
tampak kecil berhadapan dengan hwesio berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar
seperti raksasa itu.
"Pangeran,
pernahkah paduka belajar ilmu silat?" tanyanya dengan suara nyaring akan
tetapi sikapnya hormat. Pangeran itu mengangguk.
"Untuk
dapat memberi petunjuk kepada paduka dalam ilmu silat, maka lebih dulu pinceng
harus melihat sampai di mana tingkat yang paduka miliki, apakah kedudukan kaki
pada pelajaran yang lalu sudah benar. Karena ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah
murni dan tidak boleh dikacaukan oleh dasar-dasar dari ilmu silat lain, barulah
ilmu itu bisa dilatih dengan sebaiknya. Oleh karena itu, pinceng harap paduka
suka memperlihatkan gerak ilmu silat yang sudah pernah paduka pelajari."
Han Houw
tersenyum, "Locianpwe, sangat tidak enaklah kalau bersilat sendirian saja
dan menjadi tontonan, karena ilmu silatku sangat buruk, sebaiknya kalau
locianpwe memberi pelajaran satu dua jurus kepadaku." Itulah merupakan
tantangan, biar pun nadanya minta diberi pelajaran.
Thian Bi
Hwesio masih tersenyum. "Kalau begitu, maka biarlah seorang murid pinceng
yang terbaik menemani paduka, dari gerakan paduka pun pinceng bisa menilai
tingkat..."
"Jangan,
locianpwe. Tadinya aku hendak minta pelajaran langsung dari Thian Khi Hwesio,
untuk minta beliau menguji kepandaianku, akan tetapi karena beliau sedang tidak
ada di sini, harap locianpwe saja yang menguji. Aku datang bukan untuk belajar
ilmu silat Siauw-lim-pai, melainkan untuk minta ketua Siauw-lim-pai menguji
ilmu silatku, locianpwe."
Kini barulah
Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio, juga para murid Siauw-lim-pai yang berada
di situ, terkejut bukan main. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini
bukan ingin belajar silat dari Siauw-lim-pai, melainkan hendak minta
Siauw-lim-pai menguji kepandaiannya, atau dengan lain kata, pemuda itu ingin
menguji kepandaian ketua Siauw-lim-pai!
"Ahhh,
harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang
harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak
bermata, karena itu kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan
menimbulkan penyesalan hebat!"
Han Houw
tertawa sambil bertolak pinggang. "Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap
aku sebagai seorang anak kecil yang takut terluka. Lagi pula, apakah locianpwe
mengira bahwa aku akan dapat mudah kau kalahkan begitu saja? Kalau aku
menganggap bahwa kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke
Siauw-lim-pai?"
Ucapan yang
mulai takabur ini mengejutkan semua orang hingga kedua alis dari Thian Bi
Hwesio berkerut. Dia telah salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini
kiranya seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlampau mengandalkan
kepandaian sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak
mengajak mengadu ilmu kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhu-nya! Gila
benar!
"Pangeran,"
katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu memandang tajam,
"hendaknya pangeran tidak mencari perkara dan pinceng minta agar paduka
suka menghentikan main-main ini. Kami fihak Siauw-lim-si tidak bersedia melayani
permintaan paduka untuk main-main dengan ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai
bukan dimaksudkan sebagai alat untuk memukul orang atau menyombongkan
diri!"
Han Houw
memandang hwesio itu sambil tersenyum mengejek. "Apakah dengan lain kata
locianpwe ingin menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku
untuk saling menguji kepandaian atau pibu?"
Tantangan
itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tak lebih dari tiga
puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, telah meloncat ke depan. Dia ini
merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya keras jujur seperti
gurunya. Matanya lebar bundar.
"Suhu,
biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran! Bila
sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan
suhu!"
Murid ini
agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu. Apa bila
gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau suhu-nya
sampai melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati?
Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak dapat menahan lebih lama
lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu.
"Baiklah,
kau berhati-hatilah, jangan sampai kesalahan pukul," Thian Bi Hwesio
berkata sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping
sute-nya. Di situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa amat
khawatir melihat seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan
keributan.
Hwesio
bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai dan
berkata, "Pangeran, hambalah yang akan mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk
menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!" Sambil berkata
demikian, hwesio ini telah memasang kuda-kuda dengan gagahnya.
Kedua
kakinya terpentang lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus,
dengan tubuh tegak serta mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan
ditekuk dengan jari-jari terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar.
Kuda-kuda ini gagah sekali karena memang hwesio itu sudah membuka gerakan
dengan kuda-kuda ilmu silat harimau. Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa
dan juga diam-diam marah karena Thian Bi Hwesio memandang rendah kepadanya itu,
hanya tersenyum.
"Hwesio,
percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau akan
roboh!" Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya
bergerak menampar sambil berkata, "Nah, kau terimalah ini!"
Semua orang
menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu sama
sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang sangat lemah dan
bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian
Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio!
Hwesio itu
tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini adalah seorang
pangeran, karena itu dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai
tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lantas mengelak
cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi berupa
gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua
jari ke arah jalan darah pada bawah lengan tangan Han Houw yang sedang
menampar. Dia ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan
demikian mengalahkannya tanpa melukai.
"Tukkk!"
Totokan itu
tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan tetapi hwesio itu
terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit yang kerasnya
seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar lagi ke arah
lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis dari
kanan dan kiri, dengan jalan menggunting!
Akan tetapi
dengan sikap tidak peduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan
lawan itu dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua
lengan hwesio itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke
depan karena tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Plakkk!"
Tengkuk
hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh kemudian kaki
Han Houw bergerak menendang hingga tubuh hwesio yang sudah lemas itu terlempar
ke arah Thian Bi Hwesio!
Hwesio
tinggi besar ini segera berdiri kemudian menerima tubuh muridnya. Dia langsung
memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa muridnya itu telah pingsan
tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu ternyata
seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol.
Dia pun tahu
bahwa muridnya, yang sebenarnya terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan
saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh.
Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sinkang pemuda itu, muridnya sama sekali
bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh.
"Sute,
waspadalah...," bisiknya kepada Thian Bun Hwesio dan dia sendiri dengan
sekali lompat sudah tiba di depan Han Houw.
"Ahh,
kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!" Thian Bi
Hwesio berkata. "Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari
perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan
kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk
menghina fihak lain?"
"Hemmm,
Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat dengan partai mana pun dan aku pun tidak
memiliki permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa
Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali
membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat
Siauw-lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Karena itu aku ingin sekali
mengadu ilmu dengan Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di
sini. Aku ingin melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai
di dunia persilatan! Bila locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani
menghadapiku, aku pun tak akan memaksa, akan tetapi kalau tidak berani,
Siauw-lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jagoan
nomor satu di dunia!"
Dua orang
hwesio tua itu sampai terbelalak mendengar ucapan yang bernada tinggi hati dan
sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani mengaku
sebagai jagoan nomor satu di dunia? Akibatnya akan sangat hebat dan tentu
seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya!
Dalam dunia
persilatan berlaku istilah bahwa setinggi-tingginya puncak Gunung Thai-san,
masih ada langit yang lebih tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau
jarang sekali ada orang yang demikian sombongnya hendak mengangkat dirinya
sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia, apa lagi oleh seorang pemuda
seperti ini!
Thian Bi
Hwesio adalah seorang hwesio yang jujur dan kasar, maka mendengar ucapan
bernada sombong itu wajahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot dia
lantas berkata, "Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat
pernyataan apa pun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apa
pun dan siapa pun. Kami telah menolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk
mencegah terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka
memaksa, kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut."
"Bagus,
itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita bermain-main
beberapa jurus agar dapat menentukan siapa di antara kita yang lebih
pandai!" Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat
kepandaian murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan
akan menggunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subo-nya melalui
suci-nya.
Melihat
bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio semakin berhati-hati. Kuda-kuda
itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk hampir
berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal yang
satu lagi terbuka.
"Silakan,
pangeran!" katanya sambil memasang kuda-kuda.
Hwesio yang
tidak berani memandang rendah ini sudah bergerak sambil memainkan Ilmu Silat
Lo-han-kun. Dia tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang
halus seperti Lo-han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga
tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan mengerikan pada saat dia
mengerahkan kedua lengan yang besar berotot itu.
Han Houw
girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, tetapi makin tangguh
lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk dikalahkan.
Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan, tanpa sungkan
lagi Han Houw segera menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib Pat-kwa-po,
kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah perut
lawan dari bawah!
"Hiaaattt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Aahhhh...!"
Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah dengan pengerahan
tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan mengadu lengan.
Akan tetapi,
biar pun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han Houw cepat menarik tangannya
dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah ajaib itu, sekarang dia
bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar.
"Wuuuuutttt...!"
"Ehhh...!"
Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini.
Sebagai
seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalaman, dia mengenal tamparan
yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw sudah mengerahkan tenaga dan
menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang
dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li.
Hwesio tinggi
besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya dan menyambut tamparan ini dengan
totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pangeran ini pun
cepat-cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada,
dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan
kepalang dan langkah-langkah kakinya sangat indah, juga sangat cepat dan tidak
terduga sebelumnya.
Akan tetapi
Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan jalan
mengebutkan ujung lengan baju, bahkan segera balas menyerang dengan
cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan
memutar.
Kini baru
tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri sebagai
pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat
Lo-han-kun yang dimainkan dengan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu
sama sekali tidak dapat mendesaknya! Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah
ajaib, langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat
membawa dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itu
pun mampu membalas dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan serta
totokan-totokan yang tak kalah hebatnya sehingga untuk dapat menyelamatkan diri
dari semua itu, agaknya Thian Bi Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua kepandaiannya!
Seratus
jurus sudah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini di samping
mempunyai tenaga yang sangat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna,
demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun untuk
dapat memasukkan serangannya! Biar pun dia sendiri selalu dapat menghindarkan
diri, namun sebaliknya dia pun tidak mampu mendesak lawannya!
Jelaslah
baginya bahwa selama dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari
subo-nya saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang sangat
tangguh ini. Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan
Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sinkang yang dipelajarinya
dalam goa menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat!
Beberapa
kali Thian Bi Hwesio berteriak kaget pada saat pemuda itu mulai melancarkan
pukulan aneh yang mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak
atau menangkis, mengerahkan tenaganya, akan tetapi pukulan ke tiga yang
datangnya sangat lambat, bahkan terlampau lambat itu, mendatangkan suara
bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan hwesio itu berseru kaget karena
tangannya yang menangkis terasa perih dan bajunya robek.
Dia cepat
melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah terluka seperti disayat
pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah mendesak lagi dengan kedua
tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara bercuitan dan ketika
Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis, dan juga mendorongkan sepasang
telapak tangannya ke depan, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya
terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lantas meloncat bangun di dekat
sute-nya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia
memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian
dalam tubuhnya.
Bukan main
kagetnya Thian Bun Hwesio melihat kakak seperguruannya dikalahkan oleh pemuda itu.
Sejak tadi, dia sudah menonton dengan mata terbelalak, makin lama makin kagum
dan heran pada pemuda bangsawan yang benar-benar amat lihai itu dan hampir dia
tidak percaya melihat betapa suheng-nya benar-benar kalah oleh pemuda itu! Dia
pun menjadi penasaran sekali.
Akan tetapi
sebagai seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, hwesio ini tak mau menuruti rasa
penasaran dalam hatinya dan tetap berdiri dengan sikap tenang. Sebagai seorang
kepala bagian pelajaran silat, tentu saja suheng-nya yang tadi baru saja kalah
itu lebih kuat dari padanya, akan tetapi Thian Bun Hwesio juga memiliki suatu
keistimewaan yang melebihi suheng-nya, yaitu dalam hal ilmu ginkang atau
meringankan tubuh.
Setelah
memperoleh kemenangan itu dengan amat mudah sesudah dia mempergunakan ilmu yang
dipelajarinya dari kitab rahasia Bu Beng Hud-couw, Han Houw tersenyum lebar dan
wajahnya berseri-seri. Hatinya merasa gembira bukan main bahwa dengan ilmunya
yang hebat itu, dia sudah merobohkan hwesio Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh
besar itu hanya dalam waktu tiga jurus saja! Padahal ilmu-ilmunya itu belum
dilatihnya dengan matang.
Makin
besarlah kepercayaannya kepada diri sendiri, akan tetapi juga makin tinggilah
dia memandang diri sendiri sehingga menimbulkan kesombongan. Perasaan sombong
serta tinggi hati ini yang membuat dia tertawa lalu memandang kepada Thian Bun
Hwesio dan timbul pula keinginannya untuk juga mengalahkan hwesio ini!
Dia merasa
belum puas kalau hanya mengalahkan seorang hwesio saja, apa lagi dia tadi telah
menggunakan waktu seratus jurus lebih karena tadinya dia menggunakan ilmu-ilmu
yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li. Kini dia ingin membuka mata semua
hwesio di situ bahwa dia mampu merobohkan guru-guru mereka dalam waktu kurang
dari sepuluh jurus saja dan dia merasa yakin akan dapat melakukan hal ini jika
dia langsung menggunakan ilmunya yang amat hebat dari Bu Beng Hud-couw. Maka
dia kini tertawa.
"Ha-ha-ha-ha,
locianpwe, kalau engkau mau maju, aku berani pastikan bahwa aku akan mampu
merobohkanmu dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!"
Mendengar
ini, hampir semua murid Siauw-lim-pai yang mendengarnya menjadi merah mukanya
dan mereka itu marah sekali. Thian Bi Hwesio, guru dan pelatih mereka sudah
kalah dalam pertandingan yang sewajarnya, namun hal ini bagi mereka tidak
menjadikan rasa penasaran karena mereka telah digembleng lahir batin dan maklum
bahwa menang kalah dalam adu silat adalah hal yang lumrah dan mereka pun tidak
berpendapat bahwa guru mereka merupakan orang tak terkalahkan dalam dunia
persilatan.
Akan tetapi,
ketika mendengar pemuda itu mengatakan akan merobohkan susiok (paman guru)
mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan ucapan yang
amat keterlaluan dan berlebihan! Mereka tahu akan kelihaian susiok mereka yang
dalam hal ilmu silat setingkat atau hanya berselisih sedikit saja dari pada
suhu mereka, bahkan mereka juga maklum bahwa susiok mereka ini memiliki
kelebihan dalam ginkang. Maka pernyataan pemuda bangsawan itu bahwa dia akan
merobohkannya dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan suatu
penghinaan yang keterlaluan.
"Pangeran,
harap pangeran menghentikan adu kepandaian yang tiada manfaatnya ini dan suka
duduk sebagai tamu terhormat atau paduka pergi saja meninggalkan tempat ini dan
tidak mengganggu kami." Dengan sikap amat sopan dan lemah lembut Thian Bun
Hwesio berkata sambil menjura dengan sikap hormat.
"Ha-ha-ha,
sudah kukatakan tadi bahwa aku hendak menguji sampai di mana kehebatan ilmu
silat dari Siauw-lim-pai, locianpwe. Kalau locianpwe tak mau melayaniku untuk
saling menyelami kepandaian masing-masing, aku pun tak dapat memaksa, hanya
saja kuharap locianpwe suka memberi pernyataan tertulis bahwa ilmu silatku
lebih tinggi dari pada ilmu silat Siauw-lim-pai!"
Berkerut
alis pendeta yang bersikap halus itu. Dia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Omitohud... apa akan jadinya kalau ada orang berkedudukan tinggi bersikap
seperti ini? Pangeran, pinceng tidak berwenang untuk memutuskan sesuatu
mengenai tindakan yang harus diambil oleh Siauw-lim-pai. Suhu kami sedang tidak
berada di sini, ada pun pinceng tidak berani membuat pernyataan seperti
itu."
"Jika
tidak berani, majulah supaya aku dapat mencoba tingginya ilmu silatmu, locianpwe,"
Mulutnya saja menyebut locianpwe atau orang tua yang gagah dan dihormati, akan
tetapi sikap pangeran itu benar-benar memandang ringan sekali. Hal ini terasa
oleh Thian Bun Hwesio dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi,
maka dia lalu menarik napas panjang.
"Agaknya
paduka tidak akan puas apa bila belum merobohkan pinceng. Nah, bersiaplah.
Pinceng hendak memperlihatkan kebodohan pinceng!"
Sesudah
berkata demikian, hwesio itu menekan kedua kakinya di atas tanah dan di lain
saat tubuhnya telah melayang naik ke atas, langsung menerjang dari atas ke arah
Han Houw.
"Uhhhh...!"
Pangeran itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa pendeta itu
memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya.
Akan tetapi,
dengan jalan merendahkan tubuhnya Han Houw sudah dapat menghindarkan diri dan
balas mengirim pukulan dari bawah. Terpaksa Thian Bun Hwesio mengelak dan
berjungkir balik lalu turun beberapa meter jauhnya dari pemuda itu, kemudian
dia sudah menerjang lagi dengan kecepatan luar biasa. Kedua lengan bajunya yang
panjang lebar itu berkibar dan menyambar-nyambar, merupakan dua buah senjata
yang menotok ke arah jalan-jalan darah yang penting dari tubuh Han Houw.
Namun,
dengan langkah-langkah Pat-kwa-po yang indah dan lihai itu Han Houw berhasil
menghindarkan diri dengan sangat mudahnya. Kemudian secara mendadak pemuda ini
berjungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas dan mulailah dia menyerang
dengan kaki tangannya. Itulah jurus-jurus dari Ilmu Hok-te Sin-kun yang amat
hebat itu.
Thian Bun
Hwesio mengeluarkan seruan kaget dan biar pun dia telah berusaha mengelak
secepatnya, namun serangan tangan dari bawah oleh pemuda itu tetap masih
mengenai pahanya. Padahal waktu itu Thian Bun Hwesio meloncat ke belakang, maka
loncatannya terdorong oleh pukulan itu menjadi keras sekali dan dia melayang
seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan dari pahanya nampak darah
membasahi celana!
"Omitohud...!"
Terdengar seruan halus dan tahu-tahu ada seorang hwesio tua lain yang menerima
tubuh Thian Bun Hwesio dengan sebelah tangannya, lalu menurunkan tubuh Thian
Bun Hwesio. Hwesio yang terluka pahanya itu cepat bersila dan memeriksa lukanya
yang terkena pukulan ampuh dari tangan pemuda yang mengandung hawa beracun itu.
Han Houw
memandang hwesio yang baru muncul itu dengan penuh perhatian. Hwesio itu
bertubuh gemuk, berwajah halus dan penuh kesabaran, akan tetapi sepasang mata
yang bersinar lembut itu kelihatan amat berwibawa, usianya beberapa tahun lebih
tua dari pada Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio. Hwesio ini melangkah maju
menghampirinya lalu menjura dengan penuh hormat, sikapnya halus sekali.
"Omitohud...!
Dari laporan beberapa anak murid, pinceng tadi mendengar bahwa paduka adalah
Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja. Perkenankanlah pinceng menghaturkan maaf
sebesarnya atas kekasaran dua orang sute pinceng terhadap paduka."
Han Houw
tersenyum. Kedua orang hwesio yang pertama tadi juga bersikap halus dan hormat
kepadanya, dan kini sikap amat halus dari hwesio ke tiga ini dianggapnya
sebagai sikap takut terhadapnya. Setelah berhasil mengalahkan dua orang hwesio
itu dia merasa makin bangga dan angkuh, memandang rendah kepada Siauw-lim-pai.
Setelah dia
mampu merobohkan dua orang itu, maka dia pikir bahwa untuk melawan guru mereka
pun dia tentu akan menang. Dia memandang hwesio tua yang menyebut sute kepada
kedua orang hwesio tadi, lalu bertanya.
"Siapakah
locianpwe?"
"Omitohud,
paduka masih begini muda dan memiliki kedudukan begitu tinggi akan tetapi
paduka sudah pandai bersikap, sebagai seorang gagah yang menghormati orang tua,
dan telah mempunyai tingkat kepandaian yang demikian tingginya! Pinceng adalah
Thian Sun Hwesio, murid tertua dari suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di
kuil ini. Oleh karena itu, pincenglah yang mewakili suhu menghaturkan maaf
sebesarnya kepada paduka."
"Hemmm,
Thian Sun Hwesio. Kedatanganku ini bukan untuk beramah-tamah, bukan pula untuk
menjadi tamu, bukan untuk mengacau atau pun mencari permusuhan. Akan tetapi,
sejak kecil aku amat suka mempelajari ilmu silat dan aku ingin sekali menguji
kepandaian semua tokoh persilatan, untuk melihat apakah aku telah patut menjadi
jagoan nomor satu di dunia! Aku tadinya hendak mencari Thian Khi Hwesio untuk
kuuji kepandaiannya, akan tetapi karena dia tidak ada, maka kuharap engkau
sebagai murid tertua suka mewakilinya untuk menguji kepandaian denganku."
"Omitohud,
mana pinceng berani begitu lancang? Pendeta-pendeta tua dan bodoh seperti
pinceng ini mana ada kepandaian untuk memukul orang? Pinceng hanya dapat
membaca liam-keng dan apa bila paduka minta petunjuk tentang peri kemanusiaan
dan kehidupan, maka bolehlah pinceng memberinya sebisa pinceng. Akan tetapi
ilmu silat? Pinceng tidak mengenal ilmu silat untuk memukul orang."
"Hemmm,
Thian Sun Hwesio, locianpwe seperti anda ini tidak perlu lagi menyembunyikan
kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa di samping ilmu keagamaan, para
pendeta di Siauw-lim-si merupakan ahli-ahli silat yang pandai? Aku telah
menguji kepandaian kedua orang sute-mu yang ternyata tidak seberapa tinggi,
maka kini aku minta locianpwe suka mewakili Thian Khi Hwesio untuk mengadu
kepandaian melawanku."
"Pinceng
tidak berani."
"Jika
tidak berani, harap locianpwe suka membuat pernyataan tertulis bahwa fihak
Siauw-lim-pai tidak dapat menandingi ilmu silatku!"
"Ahh,
untuk membuat itu pun pinceng mana berani? Sebaiknya kelak apa bila suhu telah
pulang saja paduka datang kembali dan bicara sendiri kepada suhu. Tentang
kepandaian silat, di dunia ini siapakah yang dapat menentukan atau
mengukur?"
"Thian
Sun Hwesio, bicaramu bercabang! Jika memang ada kepandaian, hayo keluarkan
untuk kutandingi!"
"Omitohud...
harap paduka pangeran jangan salah artikan. Memang pinceng tidak pernah
mempelajari ilmu untuk berkelahi, tetapi hanya pernah belajar sedikit ilmu
untuk menjaga kesehatan."
"Hemm,
kalau begitu coba locianpwe memperlihatkan ilmu untuk menjaga kesehatan
itu!" Han Houw mendesak dan menantang. Hwesio ini tentu merupakan tokoh
nomor satu di kuil ini sesudah ketuanya yang sedang pergi, maka hatinya belum
puas kalau dia belum mengalahkan hwesio ini.
Thian Sun
Hwesio tersenyum ramah, lalu dia menghampiri sebuah sapu yang bersandar di
sudut ruangan itu. "Beginilah pinceng menjaga kesehatan, yaitu dengan
pekerjaan yang bermanfaat, misalnya menyapu lantai." Sambil berkata
demikian, Thian Sun Hwesio lalu menggerakkan sapu tua itu dengan sekali ayun.
Han Houw
terkejut bukan main karena dia langsung merasakan adanya sambaran angin yang
berputar-putar hingga semua debu dan kotoran di dalam ruangan itu ikut
berputaran seperti terbawa angin puyuh, kemudian semua kotoran dan debu
terkumpul di suatu sudut ruangan itu. Dengan sekali ayun saja kakek itu sudah
dapat menyapu lantai ruangan itu sampai bersih, dan angin yang berputar-putar
keluar dari ayunan sapunya tadi saja sudah menunjukkan betapa kuatnya tenaga
sinkang dari Thian Sun Hwesio!
Hwesio ini
benar-benar tak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak dapat dibandingkan
dengan dua orang hwesio pertama tadi, dan dia harus berpikir sepuluh kali
terlebih dahulu untuk dapat memastikan bahwa dia akan menang melawan kakek ini!
"Bagus
sekali! Kekuatanmu demikian hebatnya, Thian Sun Hwesio, sekarang marilah kita
bertanding mengadu ilmu beberapa jurus!" tantangnya dan dia telah
melangkah maju lalu memasang kuda-kuda.
Akan tetapi
hwesio itu tersenyum dan menggelengkan kepala. "Omitohud, pinceng sudah
menyatakan bahwa pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat untuk berkelahi.
Karena itu biar pinceng dipukul mati pun pinceng tak berani melawan dengan
kekerasan. Pinceng hanya bisa menyapu lantai seperti tadi, tidak bisa
berkelahi," jawab pendeta itu.
Han Houw mengerutkan
alisnya. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi dia pun tahu bahwa amat tidak
baik kalau dia menyerang orang yang tidak akan mau melawan. Selain hal itu amat
tidak baik, terutama bagi namanya yang diharapkan akan bisa disebut jagoan
nomor satu di dunia, juga dia tidak sudi dan tidak tertarik. Maka dia pun
menarik napas panjang, dan untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya,
dia lalu menghampiri sapu yang sudah disandarkan di pojok tadi. Dipegangnya
gagang sapu yang terbuat dari kayu itu, ditimang-timangnya, kemudian
digerak-gerakkan seperti orang sedang menyapu, lalu diletakkannya kembali
menyandar dinding.
"Jelas
aku tak akan mampu menandingi kepandaianmu dalam menyapu lantai, Thian Sun
Hwesio! Maafkan aku!" Han Houw berkata sambil mengangguk, kemudian
membalikkan tubuhnya, pergi dari situ, diikuti oleh penghormatan Thian Sun
Hwesio yang menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada.
Sesudah Han
Houw pergi jauh, hwesio muda murid Thian Bi Hwesio yang tadi dikalahkan oleh
Han Houw berkata, "Omitohud... baiknya ada supek yang membuat dia jeri dan
pergi. Kepandaian supek hebat bukan main sehingga pemuda sombong itu mundur
tanpa berani mendesak!"
Thian Sun
Hwesio mengerutkan alisnya sambil menggelengkan kepalanya. "Pangeran itu
sungguh hebat luar biasa dan dunia kang-ouw tentu akan geger dengan
kemunculannya, bukan hanya karena ilmunya amat tinggi, akan tetapi terutama
sekali karena dia seorang pangeran. Kau kira dia takut? Kau periksa sapu itu
baik-baik."
Mendengar
kata-kata ini, hwesio yang bertubuh tinggi besar itu memandang heran, lantas
dihampirinya sapu yang tadi dipegang oleh Han Houw. Nampaknya sapu itu tak
apa-apa, akan tetapi begitu jari tangan pendeta itu menyentuhnya, sapu yang
tadi kelihatan masih utuh itu tiba-tiba hancur berantakan! Tentu saja hwesio
itu terkejut bukan main, kemudian mengeluarkan seruan kaget sambil melompat ke
belakang.
"Nah,
kalian lihat betapa lihai dan berbahayanya tangan pangeran itu. Pinceng sendiri
pun belum tentu akan mampu menandingi kekuatan sinkang-nya yang mengandung
keajaiban. Sute berdua apakah tadi mengenal gerakan-gerakannya, dan dari
golongan manakah ilmu silatnya?" tanya hwesio ini kepada dua orang
sute-nya.
Thian Bi
Hwesio dan Thian Bun Hwesio saling pandang, kemudian menggeleng kepala dengan
pandang mata terheran. "Gerakannya amat aneh dan selama hidup belum pernah
pinceng melihat dasar ilmu silat seperti itu," kata Thian Bi Hwesio.
"Terutama
gerakan-gerakannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu," sambung
Thian Bun Hwesio. "Seperti didasari gerakan yoga dari India, akan tetapi
tentu bercampur dengan ilmu kaum sesat."
Setelah
munculnya Han Houw yang seperti badai mengamuk mendatangkan kekalutan di dalam
kuil itu, suasananya menjadi sunyi dan tenteram setelah pemuda itu pergi dan
para hwesio melanjutkan tugas masing-masing, sungguh pun badai yang baru saja
mengamuk itu mendatangkan kesan di dalam hati mereka dan menimbulkan
kekhawatiran.
***************
Sementara
itu, Han Houw pergi dengan hati yang puas. Bagaimana pun juga, dia sudah
mengalahkan dua orang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, dan peristiwa ini saja
tentu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi di dunia kang-ouw! Dia lalu
melanjutkan perjalanannya ke utara, ke kota raja, akan tetapi di setiap kota
dia tentu berhenti, mencari tokoh-tokoh kang-ouw untuk diajak mengadu ilmu
silat!
Sudah banyak
tokoh-tokoh kang-ouw yang dirobohkannya, sebagian besar dikalahkannya dengan
ilmu silatnya yang memang sangat tinggi itu, akan tetapi ada pula sebagian
tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak berani melawan sungguh-sungguh sesudah
tahu bahwa pemuda yang sangat lihai itu adalah Pangeran Ceng Han Houw, adik
dari kaisar! Mereka lebih baik mengalah dari pada harus melukai atau
salah-salah dapat membunuh seorang pangeran karena hal ini akan menimbulkan
akibat yang amat hebat sekali!
Maka,
kemenangan demi kemenangan diraih oleh Han Houw yang menjadi makin angkuh dan
merasa bahwa sesungguhnya dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Dan tentu
saja, sepak terjangnya itu tersiar luas di dunia kang-ouw ketika berita bahwa
di dunia persilatan muncul seorang jago muda yang sangat lihai, yaitu Pangeran
Ceng Han Houw.
Bahkan
tersiar pula berita bahwa selain banyak orang kang-ouw di selatan yang sudah
kalah oleh pangeran ini, juga tokoh-tokoh Siauw-lim-pai roboh pula oleh jagoan
muda ini! Berita ini tentu saja disiarkan oleh Han Houw sendiri dan para tokoh
kang-ouw menjadi semakin ribut dan kagum.
***************
Pemuda itu
menghempaskan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah pohon besar yang teduh.
Dia mengeluh panjang, lalu mengambil sehelai sapu tangan lebar dan menyusuti
keringatnya di muka dan lehernya, membuka kancing bajunya bagian atas untuk
merogoh dada dengan sapu tangannya yang kini menjadi basah kuyup. Diperasnya
sapu tangan itu sehingga air keringat mengucur, kemudian diusapnya lagi mukanya
yang kemerahan. Dia mengeluh lagi.
Sinar matahari
amat teriknya di waktu siang hari itu, lewat tengah hari. Dan keteduhan di
bawah pohon besar itu sangat nyaman. Sehabis tertimpa panas matahari setengah
harian lalu duduk berteduh di tempat itu, di tepi hutan, benar-benar
menimbulkan rasa nyaman. Apa lagi ketika ada angin berhembus lembut, membuat
muka, leher dan dada yang kini terbuka sedikit itu tertiup angin, nikmatnya
bukan kepalang. Kulit yang tadinya gatal-gatal panas itu ditiup angin hingga
terasa sejuk nyaman dan pemuda itu pun menguap. Kedua matanya mulai letih dan
mengantuk.
"Aihh...
Lan-moi dan Lin-moi, benar-benar membikin sengsara orang...!" keluhnya.
Dia pun
merebahkan tubuhnya yang gemuk itu di atas rumput, berbantal lengan kiri, ada
pun lengan kanannya memegangi golok pada gagangnya, golok besar yang
diletakkannya di atas rumput di samping tubuhnya yang besar. Tak lama kemudian
dia pun mendengkur, sudah tertidur dengan nyenyaknya!
Pemuda itu
bukan lain adalah Tee Beng Sin, keponakan dari Kui Hok Boan yang tinggal di
dusun Pek-jun dekat kota raja. Pemuda bertubuh gendut berwajah lucu ini seperti
kita ketahui telah meninggalkan dusun Pek-jun bersama Kwan Siong Bu, seorang
keponakan lain dari Kui Hok Boan, untuk mencari jejak Lan Lan dan Lin Lin yang
melarikan diri akibat mereka hendak diberikan kepada Pangeran Ceng Han Houw.
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Beng Sin dan Siong
Bu bersimpang jalan dan mereka tidak diperkenankan pulang oleh Kui Hok Boan
sebelum menemukan dua orang gadis kembar yang minggat itu.
Sudah
berbulan-bulan, kurang lebih enam bulan lamanya, Beng Sin mencari-cari kedua
orang adik seperguruan atau adik misan itu, dan akhirnya dia memperoleh jejak
mereka di daerah ini. Dia mencari terus dan siang hari itu, saking lelah dan
sedihnya dia jatuh pulas di tepi hutan lebat!
Betapa hati
pemuda gendut ini tak akan berduka? Dia telah setengah tahun meninggalkan rumah
dan tidak berani pulang karena belum juga berhasil menemukan kembali Lan Lan
dan Lin Lin. Dia amat suka kepada dua orang gadis kembar itu, mencinta mereka
seperti adik-adik kandung sendiri, maka biar pun dia tidak dipesan oleh Kui Hok
Boan sekali pun, agaknya dia tidak mau pulang sebelum dapat bertemu dengan
mereka.
Kalau dia
membayangkan nasib kedua orang dara kembar itu, dia merasa kasihan sekali.
Secara diam-diam dia menyesalkan sikap dan tindakan pamannya yang begitu tega
untuk menyerahkan dua orang puterinya kepada pangeran tanpa persetujuan kedua
orang dara itu!
Memang
menurut pendapat umum, diambil selir oleh seorang pangeran merupakan suatu
kehormatan yang besar bagi seorang gadis, dan Beng Sin tentu saja terseret pula
oleh anggapan umum ini. Akan tetapi pemuda gendut ini tetap berpendirian bahwa
betapa baik pun nasib dua orang dara itu karena telah dipilih oleh pangeran,
namun karena urusan itu mengenai nasib kehidupan kedua orang dara itu, maka
tentu harus mendapat persetujuan dari mereka sendiri.
Saking
kesalnya dan juga saking lelahnya, Beng Sin tidur pulas di bawah pohon dengan
nyenyaknya sampai dia mendengkur! Tiba-tiba dia tersentak kaget dan sebagai
seorang pemuda yang semenjak kecil belajar silat, begitu terbangun dia segera
meloncat dengan golok di tangan dan waspada, celingukan ke kanan kiri. Sungguh
menyeramkan melihat pemuda yang gendut dan nampak tubuhnya kokoh kuat itu
berdiri tegak dengan sebatang golok yang besarnya bukan main itu di tangan
kanan, golok besar sekali yang berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Beng Sin
memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut. Biar pun dia tadi tidur pulas,
tak salah lagi, telinganya menangkap jeritan nyaring yang membuatnya tersentak
kaget. Akan tetapi kenapa keadaan di situ sunyi saja dan dia tidak melihat atau
mendengar apa-apa? Apakah dia mimpi? Tak mungkin.
"Tolongggg...
ohh, tolonggg...!"
Beng Sin
terperanjat, lalu meloncat dan lari ke arah suara itu, yaitu ke dalam hutan.
Dia harus membabat semak-semak belukar dengan goloknya, juga menyusup-nyusup
hingga mukanya terasa gatal-gatal karena melanggar ranting-ranting semak-semak.
Akan tetapi dia berlari terus dan akhirnya tibalah dia di tengah hutan.
Nampak
sebuah kereta tua yang ditarik oleh dua ekor kuda kurus di tengah hutan itu, di
atas jalan hutan yang kasar. Lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan
bersikap kasar sambil tertawa-tawa sedang menarik-narik seorang gadis cantik
ada pun seorang wanita setengah tua menangis dan berusaha mencegah lima orang
laki-laki itu.
"Keparat!"
Beng Sin membentak dan cepat dia meloncat ke dekat kereta itu.
Lima orang
lelaki kasar itu terkejut mendengar bentakan Beng Sin. Mereka menoleh dan
melihat munculnya seorang pemuda gendut yang memegang golok yang bukan kepalang
besarnya, mereka langsung melepaskan gadis itu dan mencabut senjata
masing-masing dengan sikap mengancam.
"Jangan
takut, nona, aku akan membasmi mereka!" kata Beng Sin dengan sikap gagah
dan dia mendekati gadis dengan ibunya itu yang dengan tubuh gemetar lalu
berlindung di belakangnya.
Lima orang
perampok kasar itu dipimpin oleh seorang pria setengah tua yang rambutnya
riap-riapan dan mukanya bercambang bauk, matanya lebar serta sikapnya
menakutkan sekali, membayangkan keganasan dan keliaran. Bajunya terbuat dari
kulit harimau yang memperlihatkan sebelah pundak dan sebagian dari dada
kanannya yang tegap. Tangan kanannya memegang sebuah penggada yang sangat besar,
besar dan berat, seimbang dengan besar dan beratnya golok di tangan Beng Sin.
Empat orang anak buahnya berdiri di belakangnya, masing-masing memegang senjata
mereka, ada yang memegang golok, ada pula yang memegang pedang atau tombak
pendek.
Dengan marah
Beng Sin bertolak pinggang dan melintangkan golok besarnya di depan tubuhnya.
"Hemmm, kalian para perampok laknat berani mengganggu wanita baik-baik di
siang hari, ya? Sekarang setelah bertemu dengan tuan mudamu, kalian tentu tak
dapat diberi ampun lagi!"
Kepala
perampok itu adalah seorang yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Pada saat dia
melihat tubuh Beng Sin yang gendut dan besar, bahkan lebih besar dari pada
tubuhnya sendiri, dan melihat pemuda itu memegang sebatang golok yang amat
besar dan agaknya tak kalah berat dibandingkan dengan penggadanya, dia
terbelalak dan kelihatannya agak jeri.
"Kawan...,"
katanya sambil mengedip-ngedipkan mata bagaikan memberi isyarat rahasia.
"Kita... kita bagi rata saja, dah! Berikan barang-barangnya kepada kami
dan kau boleh mendapatkan orangnya."
Sejenak Beng
Sin melongo, tidak mengerti. Akan tetapi segera dia mencak-mencak dan
membanting-banting kaki kanannya. Celaka, pikirnya. Tentu kepala perampok itu
mengira bahwa dia adalah sebangsa pencoleng! Ingin dia menghadapi cermin agar
dapat melihat wajahnya sendiri. Benarkah wajahnya seperti wajah pencoleng?
"Bangsat
keparat jahanam laknat bermulut busuk!" Dia memaki-maki saking jengkelnya.
Tangan kiri yang tadinya bertolak pinggang itu kini menuding ke hidungnya
sendiri. "Buka lebar-lebar mata bangsatmu! Kau kira aku ini orang apa? Aku
adalah seorang pendekar muda, tahu? Bagi-bagi nenek moyangmu itu! Hayo kalian
pergi, kalau tidak, golokku yang sudah haus darah penjahat ini yang akan
bicara!"
"Wah,
pendekarnya kok gendut amat...!" Terdengar seorang anak buah perampok
berkata lirih.
"Agaknya
kurang latihan, sikat saja, twako!" kata orang ke dua.
Didorong
oleh anak buahnya, kepala perampok itu segera mengeluarkan suara gerengan dan
penggada itu diputar-putar di atas kepala sampai mengeluarkan suara
berdesir-desir.
"Taihiap,
hati-hati...!" bisik gadis itu.
Beng Sin
yang tadinya merasa gentar juga melihat penggada yang besar itu, tiba-tiba saja
membusungkan dadanya yang memang sudah besar dan lebar itu. Dia disebut Taihiap.
Dia pendekar besar! Ha! Untuk sebutan itu ingin rasanya dia menari-nari dan
bermain silat mendemonstrasikan kemahirannya memainkan golok besarnya! Maka
timbul keberanian dan kegagahannya, dan dia lalu menggerakkan golok sehingga
nampak sinar berkelebat.
"Kalian
mau melawan? Bosan, hidup, ya? Nah, sambut ini!" Dia lalu membacokkan
golok besarnya itu ke depan.
Kepala
rampok yang lebih biasa menaklukkan korban dengan gertakan dari pada tindakan
ini, cepat menangkis. Biasanya, orang sudah bertekuk lutut minta ampun kalau
dia sudah memutar penggadanya, akan tetapi pemuda gendut ini tidak takut!
"Tranggg...!"
Penggada itu
terpental kemudian terlepas dari pegangan si kepala perampok! Beng Sin
tersenyum-senyum, biar pun senyumnya menjadi agak kecut karena dia harus
menahan rasa nyeri pada lengannya yang menjadi kesemutan karena getaran
pertemuan senjata tadi.
"Nah,
ambil senjatamu, jahanam!" katanya dengan lagak gagah, sambil bertolak
pinggang lagi.
Tentu saja
peristiwa ini mengagetkan semua perampok itu. Kepala perampok itu memiliki
tenaga besar sekali. Penggada itu sekali gempur dapat menghancurkan batu karang
dan dapat menumbangkan sebatang pohon sekali hantam. Akan tetapi ketika bertemu
dengan golok pemuda gendut itu, ruyung atau penggadanya itu terlepas dan
lengannya terasa lumpuh! Tentu saja nyalinya terbang seketika dan dia
menggeleng-geleng kepalanya, lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti oleh
empat orang anak buahnya.
Memang
mereka itu hanyalah perampok-perampok kasar yang biasanya mengandalkan gertakan
saja, sama sekali tidak mempunyai kepandaian berarti. Betapa pun juga, kalau
mereka itu bukan pengecut dan mengeroyok Beng Sin, tentu pemuda ini akan repot
juga!
Bukan main
lega hati Beng Sin. Dia pun tertawa sambil mengamang-amangkan goloknya ke atas.
"Tikus-tikus busuk! Kalau lain kali bertemu denganku, jangan harap golokku
akan mengampuni kalian!"
Gadis itu
bersama ibunya lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Beng Sin.
"Taihiap,
terima kasih atas pertolonganmu...," gadis yang manis itu berkata, juga
ibunya menghaturkan terima kasih.
Beng Sin
menjadi sibuk juga. Dengan tangan kirinya dia lalu menyentuh pundak gadis itu
untuk membangunkannya, akan tetapi begitu jari tangannya menyentuh kulit daging
yang hangat lunak, dia menggigil dan menariknya kembali.
"Maaf...
ehh, nona dan bibi... harap bangkit dan mari kuantar kalian..."
Ibu dan anak
gadisnya itu lalu bangkit dan celingukan.
"Apa
yang kalian cari?" tanya Beng Sin ketika melihat mereka celingukan seperti
itu.
"Kusir
kami... tadi ketika perampok-perampok muncul, dia lari entah ke mana..."
Beng Sin
kemudian berteriak nyaring, "Heiii! Kusir kereta! Keluarlah, perampok
telah pergi semua!"
Tak lama kemudian
terdengar suara menjawab dan si kusir yang bertubuh kurus tinggi itu muncul
dengan tubuh gemetar, muka pucat. Beng Sin merasa geli sekali, apa lagi melihat
betapa celana kusir itu basah. Entah basah terkena air ketika bersembunyi,
entah basah ngompol saking takutnya.
"Hayo
lekas naik dan antar nona dan bibi ini pulang. Aku akan mengawal mereka!"
kata Beng Sin dengan gagah.
Gadis dan
ibunya itu lalu masuk ke dalam kereta dan Beng Sin juga masuk ke dalamnya,
duduk berhadapan dengan gadis dan ibunya itu. Kusir kereta segera menjalankan
kuda dan kereta itu pun membalap keluar dari dalam hutan secepatnya.
Di sepanjang
perjalanan ini, ibu si gadis yang kini menjadi malu-malu dan bahkan jarang
berani menatap wajah pemuda gendut yang dengan gagah perkasa sudah menolongnya
itu, menceritakan siapa adanya mereka.
Kiranya
suami wanita itu adalah seorang piauwsu, yaitu pengawal barang-barang kiriman
atau orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Ciok-piauwsu ini bekerja pada
sebuah piauwkiok (perusahaan pengawalan) yang bernama Hek-eng Piauwkiok di kota
Su-couw di Ho-nan.
"Kami
ibu dan anak baru saja pulang dari menengok keluarga ke dusun, taihiap.
Biasanya perjalanan ke dusun lewat hutan ini aman saja, namun tak nyana hari
ini kami mengalami gangguan penjahat. Untung tadi ada taihiap yang menolong
kami. Karena biasanya aman, maka suami saya tidak mengantar."
"Kalau
ayah ikut mengawal, penjahat-penjahat itu tentu sudah dibunuhnya!" kata
gadis itu yang oleh ibunya diperkenalkan dengan nama Ciok Sui Lan.
"Eh...
nona Ciok adalah puteri seorang piauwsu yang pandai, kenapa tadi tidak melawan
penjahat-pejahat itu?" tanya Beng Sin.
Nona itu
menunduk, tersenyum dan mengerling wajah pemuda gendut itu, membuat hati Beng
Sin berdebar tidak karuan!
"Ayah
melarangku belajar silat, katanya tidak pantas bagi seorang wanita...,"
jawab gadis itu malu-malu.
"Dan
memang betul, aku sendiri pun melarangnya, taihiap. Lebih baik bila seorang
wanita mempelajari ilmu-ilmu yang halus, menulis, membuat sajak, menjahit,
menari, bernyanyi dan memasak. Lebih berguna kalau kelak menjadi isteri
orang."
"Ihhh,
ibu...!" Siu Lan berkata sambil menunduk, mukanya menjadi merah sekali.
"Tentu...
tentu ilmu silat paman Ciok lihai sekali," Beng Sin berkata dan dia pun
merasa sungkan dan tidak enak pada waktu ibu itu menyebut-nyebut tentang wanita
menjadi isteri orang!
Wanita itu
menarik napas panjang. "Semenjak muda, suamiku paling senang dengan ilmu
silat. Dia seorang kasar, taihiap, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia cukup
terkenal dan di Hek-eng Piauwkiok dia menjadi piauwsu yang diandalkan oleh
majikan piauwkiok."
Ketika
mereka sampai di rumah keluarga Ciok yang cukup besar, mereka disambut oleh
seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah dan bermata tajam. Dia ini
bukan lain adalah Ciok-piauwsu sendiri. Betapa kaget hati piauwsu ini ketika
mendengar penuturan isteri dan puterinya bahwa kereta mereka dihadang oleh
perampok dan bahwa puterinya hampir saja celaka kalau tidak ditolong oleh
pemuda gendut yang terus mengawal mereka sampai tiba di rumah.
"Ahhh,
sicu muncul seperti dituntun tangan Thian! Betapa besar rasa terima kasih kami
kepadamu, sicu!" Piauwsu itu cepat memberi hormat kepada pemuda itu.
Beng Sin
cepat-cepat membalas dengan menjura. "Aih, lo-enghiong, aku telah
mendengar bahwa engkau juga seorang ahli silat yang pandai. Antara kita sesama
orang yang suka menentang kejahatan, bantu-membantu adalah wajar. Mana bisa
bicara tentang budi?"
Piauwsu itu
merasa amat kagum dan tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang berwatak
gagah dan jujur. Beng Sin lalu dipersilakan masuk dan mereka pun berkenalan.
Ketika Beng Sin minta diri dan berpamit, piauwsu itu dan isterinya
menahan-nahannya.
"Tee-sicu
sudah menyelamatkan keluargaku, berarti sudah menjadi seperti keluarga atau
sahabat baik kami sendiri, mengapa begitu tergesa-gesa? Sicu akan mengecewakan
hati kami sekeluarga apa bila tidak mau tinggal di sini untuk beberapa hari
lamanya, sekedar memberi kesempatan kepada kami untuk menyatakan terima kasih
kami," Ciok-piauwsu berkata.
Oleh karena
dibujuk-bujuk, akhirnya Beng Sin merasa tidak enak juga hingga akhirnya dia
menyetujui. Pada sore harinya, ketika Beng Sin dan tuan rumah bercakap-cakap di
kebun belakang, Ciok-piauwsu bertanya dari mana pemuda itu mempelajari ilmu
silat dan dari golongan apa.
"Saya
belajar dari paman saya sendiri, lo-enghiong. Saya sudah yatim piatu, ayah saya
telah tiada dan ibu saya sudah masuk menjadi nikouw dan tidak berurusan lagi
dengan dunia, dan sejak kecil saya dirawat dan dididik oleh paman saya yang
bernama Kui Hok Boan. Karena paman saya pernah menjadi murid Go-bi-pai, maka
saya kira ilmu silat yang diajarkan kepada saya tentu dari aliran
Go-bi-pai."
Wajah
Ciok-piauwsu berseri. "Ahhh, kalau begitu kita adalah orang sendiri!"
Dia berseru girang. "Ketahuilah, sicu. Aku sendiri pun adalah seorang
murid Go-bi-pai!"
"Kalau
begitu, lo-enghiong mengenal paman saya?"
Piauwsu itu
menggeleng kepala. "Murid Go-bi-pai ribuan orang banyaknya dan berpencar
di mana-mana. Menurut penuturanmu, pamanmu datang dari utara ada pun aku
tinggal di selatan, biar pun antara kami memiliki sumber ilmu silat yang sama,
tetapi tentu diajarkan oleh guru-guru yang berbeda. Sicu, kalau boleh, aku
ingin melihat ilmu silatmu. Harap kau perlihatkan ilmu golokmu, barang kali saja
kita dapat saling memberi petunjuk karena ilmu kita satu aliran."
Dengan
girang Beng Sin lalu bersilat. Goloknya yang besar dan berat itu diputar sampai
mengeluarkan suara berdesing sehingga nampak gulungan sinar yang besar
menyambar-nyambar. Setelah selesai, piauwsu itu mengangguk-angguk.
"Ilmu
golokmu sudah cukup baik, akan tetapi sayang..."
"Bagaimana,
lo-enghiong?"
"Masih
banyak kekurangannya karena agaknya tercampur dengan ilmu dari sumber lain
sehingga agak lemah, terutama sekali di bagian penyerangan. Ilmu golok
Go-bi-pai yang asli banyak menggunakan penyerangan dari bawah yang amat lihai
dan berbahaya bagi lawan. Coba kau lihat, akan tetapi golokmu terlampau berat
untukku, sicu, maka biarlah aku memakai golok biasa dan kau lihatlah baik-baik."
Ciok-piauwsu
lalu bersilat dengan sebatang golok biasa dan gerakannya memang dikenal oleh
Beng Sin sebagai ilmu golok Go-bi-pai, akan tetapi terdapat perbedaan-perbedaan
dan terutama sekali sesudah kakek setengah tua itu bersilat semakin cepat,
gerakannya berbeda dan sekarang dia melihat berkali-kali piauwsu itu
bergulingan kemudian goloknya menyambar-nyambar dari bawah dengan amat
cepatnya.
Melihat ini,
Beng Sin kagum sekali. Ternyata benar ucapan Siu Lan dan ibunya bahwa piauwsu
ini memang benar mempunyai ilmu silat yang tinggi sehingga kalau piauwsu ini
mengawal anak isterinya, tentu lima orang perampok itu akan ketemu batunya!
"Lo-enghiong,
saya mohon petunjuk!" Beng Sin berkata setelah piauwsu itu menghentikan
permainan silatnya.
Ciok-piauwsu
berdiri sambil tertawa dan mengangguk-angguk, "Boleh, boleh... akan tetapi
untuk itu sicu harus tinggal di sini selama beberapa hari."
Tentu saja
Beng Sin setuju dan menghaturkan terima kasih. Mulai hari itu pemuda gendut ini
menerima petunjuk-petunjuk dalam ilmu golok Go-bi-pai dari Ciok-piauwsu. Bila
dibuat perbandingan, belum tentu Kui Hok Boan kalah oleh Ciok-piauwsu, akan
tetapi dalam ilmu golok Go-bi-pai, memang ilmu yang dimiliki Kui Hok Boan kalah
murni.
Kui Hok Boan
adalah murid Go-bi-pai, murid mendiang Kauw Kong Hwesio, akan tetapi dia pun
telah memperdalam ilmu silatnya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain sehingga ilmu
golok yang diajarkannya kepada Beng Sin sudah tidak asli lagi. Sebaliknya,
Ciok-piauwsu adalah murid Go-bi-pai yang tidak mencampurkan ilmu golok itu
dengan ilmu lainnya, dan selain itu, memang dia paling suka dengan senjata ini
sehingga dalam hal memainkan golok dia lebih mahir.
Selama
kurang lebih sepuluh hari Beng Sin tinggal di situ, dan setiap hari dengan
tekun menerima petunjuk-petunjuk sehingga kepandaiannya dalam hal memainkan
golok dalam ilmu golok Go-bi-pai menjadi lebih matang, bahkan dia kini mampu
melakukan jurus-jurus bergulingan yang sangat lihai itu. Akan tetapi di samping
itu, juga hubungannya dengan keluarga itu menjadi semakin akrab.
Pada hari ke
sebelas, pada saat Beng Sin bermohon diri dari tuan rumah, Ciok-piauwsu
mengajaknya duduk bercakap-cakap di ruang belakang. Piauwsu yang selama
beberapa hari ini sangat memperhatikan Beng Sin dan merasa suka kepada pemuda
gendut yang ramah dan jujur ini, berkata, "Tee-sicu, ada sesuatu hal yang
ingin saya tanyakan kepada sicu, harap sicu tidak menjadi kecil hati."
"Ahhh,
lo-enghiong sudah begitu baik kepada saya, seperti seorang guru saya, mengapa
masih begitu sungkan? Kalau ada sesuatu, tanyakanlah saja tanpa
ragu-ragu."
"Begini,
sicu. Hal ini sudah saya bicarakan dengan isteri dan puteri kami, dan kami
ingin sekali tahu apakah sicu sudah berkeluarga? Maksud saya, apakah sudah
menikah?"
Pertanyaan
ini membuat Beng Sin yang jujur terbelalak heran, akan tetapi cepat-cepat dia
menggelengkan kepala.
"Dan
sudah bertunangan ataukah belum?"
"Belum,
lo-enghiong... akan tetapi kenapa...?"
"Bagus!
Ketahuilah, sicu, setelah berkenalan dengan sicu, apa lagi mengingat betapa
sicu telah menyelamatkan puteri kami dari bahaya, maka kami mengambil keputusan
hendak menyerahkan puteri kami kepada sicu, yaitu kami ingin mengikatkan
perjodohan di antara puteri kami dengan sicu... harapan kami agar sicu tidak
menolak maksud baik kami ini."
Tentu saja
Beng Sin menjadi kaget dan bingung bukan main, tidak tahu harus menjawab
bagaimana. Mukanya yang gemuk menjadi kemerahan sebab memang sesungguhnya dia
sama sekali belum berpikir tentang perjodohan, sungguh pun diam-diam dia merasa
telah jatuh cinta? kepada
Lin Lin, adik misannya itu.
"Ini...
ini... saya belum pernah berpikir tentang perjodohan, lo-enghiong, dan pula...
tentu saya harus bertanya dahulu kepada paman saya sebelum memberi keputusan...,"
katanya gagap.
Piauwsu itu
tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sikap pemuda ini jelas menunjukkan bahwa
pemuda ini masih hijau dan polos, masih seorang perjaka tulen sehingga hatinya
menjadi semakin suka.
"Tentu
saja, sicu. Sewaktu-waktu aku akan pergi mendatangi pamanmu itu untuk minta
persetujuannya. Dalam waktu dekat aku akan mengunjungi dusun Pek-jun untuk
bicara dengan pamanmu kalau saja engkau sendiri sudah setuju. Kecuali kalau
sicu menolak karena anak kami memang buruk rupa dan bodoh..."
"Ahh,
tidak, tidak demikian, lo-enghiong. Puterimu adalah seorang gadis yang cantik
dan baik... akan tetapi harap lo-enghiong tidak tergesa-gesa sebab terus terang
saja, keluarga kami sedang mengalami persoalan yang menyedihkan. Paman saya
sedang dalam duka karena kehilangan kedua orang puterinya, bahkan saya sekarang
ini pun sedang dalam tugas untuk mencari jejak kedua orang adik misan saya itu.
Sudah setengah tahun saya meninggalkan rumah dan belum juga berhasil. Saya
sudah menemukan jejak mereka ke daerah ini, akan tetapi belum juga berhasil
menemukan kedua orang adik misan saya itu."
"Ahh!"
Ciok-piauwsu nampak terkejut, "Kalau saya boleh tahu, apakah yang terjadi,
sicu? Siapa tahu saya dapat membantumu."
Dengan
singkat Beng Sin menceritakan peristiwa yang menimpa diri dua piauw-moinya
(adik perempuan misan) itu. Dia sudah percaya kepada piauwsu ini yang telah
dianggap sebagai guru sendiri. Tentu saja dia tidak bercerita terlalu banyak,
hanya menceritakan bahwa dua orang gadis kembar itu melarikan diri akibat tidak
mau dijadikan selir pangeran dan sekarang dia harus mencari mereka sampai
dapat.
Mendengar
cerita ini, Ciok-piauwsu menjadi terheran-heran. "Diangkat selir oleh
pangeran adik kaisar? Itu merupakan kehormatan yang amat tinggi! Kenapa mereka
melarikan diri... ehh, tadi kau bilang mereka itu adalah saudara kembar? Ahh,
betapa kebetulan sekali!" Tiba-tiba piauwsu itu berkata dengan wajah
berseri-seri. "Aku... aku tahu di mana adanya mereka! Ahh, kenapa tidak
sejak dulu engkau menceritakan padaku, sicu? Mari, mari kau ikut aku!"
Bukan main
kagetnya Beng Sin mendengar ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa piauwsu
ini justru tahu tentang Lan Lan dan Lin Lin!
"Benarkan
engkau tahu, lo-enghiong? Di mana mereka?"
"Agaknya
tidak salah lagi! Majikanku, yaitu ketua atau pemilik Hek-eng Piauwkiok sudah
memungut sepasang gadis yatim piatu sebagai anak-anak angkatnya! Agaknya mereka
itulah adik-adikmu itu! Tidak salah lagi. Mereka pun pandai ilmu silat. Majikanku
melihat mereka ketika mereka dibajak di Sungai Huang-ho dan majikanku menolong
mereka, lalu membawa mereka pulang dan mereka diambil anak angkat!"
Bergegas
mereka lalu pergi ke rumah ketua Hek-eng Piauwkiok yang bernama Ciang Lok,
yaitu seorang piauwsu kawakan yang tidak memiliki keturunan dan yang pada
beberapa bulan yang lalu telah mengangkat dua orang gadis kembar menjadi
anak-anak angkatnya. Setelah tiba di situ, mereka disambut oleh Ciang Lok
sendiri....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment