Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 28
GADIS yang
baru berusia dua belas tahun itu mengangkat mukanya dan kini nampak mukanya
agak pucat dan kedua matanya basah. Akan tetapi suaranya cukup tegas ketika
terdengar dia berkata, "Susiok sekalian agaknya hanya mengingat keluarga
sepihak saja, mengingat akan pesan dari suhu, yaitu ayah dari suheng. Agaknya
sama sekali susiok sekalian tidak pernah mau mengingat keluargaku, tak
mengingat orang tuaku sendiri sehingga aku diharuskan untuk memutuskan sendiri
tentang perjodohanku."
Louw Kiat
Hui terkejut sekali. Kembali dia saling berpandangan dengan teman-temannya,
kemudian dia berkata dengan suara lembut, "Ahh, Bi Cu, janganlah engkau
beranggapan seperti itu. Andai kata kami tahu bahwa engkau masih mempunyai
orang tua, sudah tentu kami tidak akan berani lancang dan tentu kami akan minta
pendapat orang tuamu. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa ibumu telah tiada,
sedangkan ayahmu..."
"Ayah
dibunuh orang dan hingga sekarang aku belum tahu di mana kuburnya! Pantaskah
aku sebagai anak tunggalnya kini memutuskan sendiri perjodohanku tanpa
mempedulikan keadaan ayah? Tidak, susiok, sebelum aku tahu siapa pembunuh ayah,
dan sebelum aku dapat bersembahyang di depan makam ayah kandungku, maka tidak
mungkin aku bisa memutuskan tentang ikatan jodoh ini." Setelah berkata
demikian, sambil menangis Bi Cu bangkit berdiri kemudian berlari memasuki
kamarnya di mana dia langsung membanting dirinya menelungkup dan menangis di
atas pembaringan.
"Sudahlah,
susiok. Bi Cu memang benar, dan kita kurang memperhatikan hal itu. Biarlah
pertunangan resmi diundurkan dulu, bagaimana pun juga kami toh sudah dapat
dibilang bertunangan, biar pun belum resmi. Dan sebaiknya kalau susiok sekalian
mencoba untuk menyelidiki tentang kematian ayah kandung sumoi di utara,"
kata Tiong Pek yang merasa terharu juga melihat sikap Bi Cu yang dicintanya.
Akan tetapi,
para piauwsu yang sibuk dengan pekerjaan itu, mana memiliki kesempatan untuk
dapat menyelidiki tentang kematian ayah Bi Cu jauh di utara, di luar tembok
besar? Memang mereka ini sekali-kali pernah juga mengawal barang atau orang
sampai keluar tembok besar, akan tetapi tidak sejauh tempat yang pernah menjadi
tempat tinggal Bhe Coan, ayah kandung dari Bhe Bi Cu itu. Dan kalau mendiang
Na-piauwsu sendiri pernah menyelidiki ke sana dan tidak berhasil mengetahui
siapa pembunuh Bhe Coan, apa pula yang bisa mereka lakukan?
Sesudah
terjadi peristiwa itu, Bi Cu merasa semakin gelisah dan tidak kerasan berada di
rumah Tiong Pek. Dia merasa betapa dia sudah berhutang budi terhadap keluarga
Na, betapa pemuda itu memang sangat baik kepadanya. Inilah yang menyebabkan dia
makin gelisah. Tiong Pek amat baik kepadanya dan dia tidak ingin menghancurkan
hati pemuda itu, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat membalas cinta Tiong
Pek.
Setiap hari
Bi Cu termenung duka, apa lagi setelah lewat berbulan-bulan, belum juga ada
berita tentang hasil usaha Louw Kiat Hui beserta para paman lainnya yang
mencari atau menyelidiki tentang pembunuh ayahnya. Sementara itu, sikap Tiong
Pek makin hari makin mendesak dan semakin mesra, pandangan mata pemuda itu
seperti hendak menembus hatinya dan senyum yang merayu itu mendatangkan rasa
iba dalam hatinya.
Akhirnya Bi
Cu tidak kuat menahan lagi dan pada suatu malam, dengan bekal beberapa potong
pakaian, maka larilah dia meninggalkan rumah Tiong Pek untuk pergi ke utara dan
melakukan penyelidikan sendiri!
Pada
keesokan harinya, Tiong Pek bersama para tokoh Ui-eng Piauwkiok menjadi geger
melihat kepergian Bi Cu yang tak meninggalkan pesan apa pun. Mereka menjadi
bingung dan segera melakukan pengejaran ke utara karena mereka dapat menduga
bahwa tentu dara cilik itu nekat pergi ke utara untuk menyelidiki tentang
pembunuh ayah kandungnya.
Dugaan semua
tokoh Ui-eng Piauwkiok itu ternyata tepat. Setelah melakukan pengejaran selama
sehari penuh, akhirnya pada malam harinya Louw Kiat Hui beserta empat orang
temannya, juga bersama Tiong Pek sendiri, telah dapat menyusul Bi Cu yang
beristirahat di rumah seorang petani di dusun sebelah selatan kota raja. Mudah
saja mencari jejak seorang gadis kecil yang melakukan perjalanan seorang diri
pada waktu itu. Bi Cu terkejut dan menangis ketika lima orang pamannya itu
bersama Tiong Pek muncul.
"Marilah
kita pulang ke Kun-ting, Bi Cu," Louw Kiat Hui berkata dengan sikap halus
tanpa banyak kata-kata teguran.
"Tidak,
aku tidak mau...!" Bi Cu menangis. "Aku hendak pergi mencari pembunuh
ayah. Tinggalkan aku sendiri!"
Tiong Pek
menghampiri Bi Cu kemudian memegangi tangannya. "Sumoi, kenapa engkau
hendak meninggalkan aku? Apakah kesalahanku kepadamu?"
"Tidak,
suheng, engkau tak bersalah, kalian semua tidak bersalah. Akulah yang bersalah,
akan tetapi... biarkan aku pergi, biarkan aku mencari sendiri pembunuh ayahku,
jangan memaksa aku kembali ke Kun-ting."
Louw Kiat
Hui memandang gadis yang menangis terisak-isak itu. "Bi Cu, engkau harus
ikut kami kembali ke Kun-ting dan marilah di sana kita bicara."
Mendengar
ucapan Louw Kiat Hui agak mendesak karena orang tinggi besar ini memang sudah
tidak sabar lagi melihat Bi Cu menangis dan memang diam-diam dia pun merasa
amat penasaran dan marah melihat gadis kecil itu nekat melarikan diri tanpa
pamit, Bi Cu mengangkat mukanya memandang.
"Louw-susiok,
mengapa susiok hendak memaksa aku kembali ke sana? Aku tidak mau kembali!
Apakah susiok demikian jahat...?"
Louw Kiat
Hui memandang tajam kepada murid keponakan itu. "Bi Cu!" Sekarang
suaranya terdengar tegas dan menunjukkan kemarahan, "Omongan apa yang kau
keluarkan ini? Kalau kami membiarkan engkau pergi, melakukan perjalanan
berbahaya seorang diri sehingga akhirnya engkau mendapat celaka, maka barulah
kami benar-benar jahat! Sebaliknya, kalau engkau memaksa hendak pergi minggat
begitu saja meninggalkan rumah di mana engkau dibesarkan dan dirawat penuh
kasih sayang, maka engkau adalah seorang anak yang tak mengenal budi dan
jahat!"
Bi Cu adalah
seorang anak yang wataknya pendiam dan keras. Mendengar ucapan itu dia lalu
membantah, "Dan kalau aku akan dipaksa menikah hanya untuk membalas budi,
apa itu namanya, paman?"
Sejenak Louw
Kiat Hui terperanjat, akan tetapi dia lalu berkata, kembali suaranya halus,
"Sudahlah. Mari kita semua pulang dulu ke Kun-ting dan segala sesuatu bisa
dibicarakan dengan tenang di sana."
Louw Kiat
Hui lalu mengeluarkan uang dan membayar secukupnya kepada pemilik rumah dusun
itu yang telah mau menampung Bi Cu, kemudian dengan memaksa dia mengajak Bi Cu
untuk kembali ke Kun-ting malam itu juga! Tindakan Louw Kiat Hui ini dilakukan
dengan penuh kesadaran bahwa dia telah melakukan hal yang benar.
Dia harus
melindungi keselamatan Bi Cu, kalau perlu dengan paksaan. Dia tahu bahwa kalau
dia membiarkan Bi Cu melanjutkan perjalanan seorang diri, sudah pasti gadis
kecil ini akan mengalami mala petaka di tengah jalan. Ilmu silat yang dikuasai
gadis itu masih terlampau rendah untuk dapat dipakai menjaga diri.
Karena
lelah, maka akhirnya di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah kuil. Kuil
itu adalah kuil milik seorang tosu yang merawat kuil bersama beberapa orang
muridnya. Dengan ramah tosu-tosu itu menerima kedatangan Louw Kiat Hui yang
terkenal sebagai seorang piauwsu yang budiman, dan mereka semua mendapatkan
kamar.
Untuk
mencegah gadis itu nekat melarikan diri lagi, maka Louw Kiat Hui sendiri
bersama empat orang pembantunya menjaga di luar, tidur bergiliran, sedangkan
Tiong Pek yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di atas sebuah pembaringan di
kamar sebelah.
Malam itu
sunyi sekali. Semua penghuni dusun di mana kuil itu berdiri sudah tidur karena
waktu itu menjelang tengah malam. Para tosu dan sebagian dari para piauwsu juga
sudah tidur nyenyak. Hanya Louw Kiat Hui sendiri bersama seorang piauwsu lain
yang bergilir melakukan penjagaan masih duduk di depan kamar Bi Cu. Di sebelah
dalam kamar itu, Bi Cu sendiri juga tidak dapat tidur, masih menangis perlahan
karena merasa tidak berdaya. Dia diharuskan kembali lagi ke rumah itu!
Tiba-tiba
kesunyian malam itu terganggu oleh suara batuk-batuk kecil, kemudian disusul
menyambarnya sebuah batu kecil yang dengan tepat mengenai lampu yang tergantung
di luar kamar Bi Cu. Tentu saja tempat itu seketika menjadi gelap dan Louw Kiat
Hui cepat meloncat berdiri, diikuti oleh piauwsu lainnya.
"Siapa
di situ?" bentak Louw Kiat Hui yang sudah mencabut pedangnya, lalu dia
meloncat ke arah suara batuk tadi.
Akan tetapi
pada saat itu dia merasa ada angin menyambar dan ada orang berkelebat di
dekatnya. Nampak bayangan remang-remang karena cuaca yang gelap dan yang hanya
mendapat penerangan dari lampu yang tergantung agak jauh dari situ. Akan tetapi
dapat dibayangkan alangkah kaget hati orang she Louw ini ketika melihat betapa
bayangan itu telah mendorong daun pintu dan memasuki kamar Bi Cu!
"Heiii...
tahan...!" Dia meloncat ke kamar, akan tetapi cepat menghindar ketika dari
dalam kamar itu meloncat bayangan tadi, kini sudah mengempit tubuh Bi Cu!
"Lepaskan
dia!" bentak piauwsu yang lain sambil menubruk dengan goloknya.
"Plakk!
Tranggg...!" Piauwsu itu roboh dan goloknya terlempar.
"Berhenti!
Siapa engkau berani menculik orang?!" teriak Louw Kiat Hui sambil
mengejar.
Bayangan itu
membalik dan Louw Kiat Hui yang tidak dapat melihat jelas muka orang itu karena
cuaca yang terlampau gelap, sudah mendorong dengan tangan kirinya. Dia tidak
berani lancang mempergunakan pedangnya. Akan tetapi bayangan itu tidak
mengelak, melainkan menangkis dorongan itu dengan satu gerakan sembarangan.
"Plakkk!"
"Ahhhh...!"
Louw Kiat Hui terhuyung dan merasa betapa tangkisan itu membuat lengan kirinya
seperti lumpuh rasanya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka
dia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, membabatkan pedang ke arah kedua kaki
lawan, dilanjutkan dengan tusukan ke arah lambung.
Akan tetapi
dengan lincah dan mudahnya bayangan itu mengelak terus hingga lima jurus.
Kemudian dia membentak dan sebatang tongkat menangkis pedang itu sedemikian
kuat hingga pedang terlepas dari tangan Kiat Hui dan sebelum piauwsu ini mampu
mengelak, dia sudah roboh tertotok.
Para piauwsu
lainnya terbangun akibat suara gaduh. Akan tetapi selagi mereka hendak
mengeroyok, bayangan itu sudah meloncat ke atas dan lenyap ditelan kegelapan
malam sambil membawa pergi tubuh Bi Cu!
Gegerlah
para piauwsu. Setelah Louw Kiat Hui dibebaskan totokannya, dia bersama para
piauwsu lainnya mengejar dan mencari-cari, tapi mereka tidak berhasil menemukan
jejak bayangan tadi. Mereka menanyakan kepada para tosu, namun para tosu yang
lemah itu pun tidak dapat memberi keterangan.
Louw Kiat
Hui dengan teman-temannya lalu mencari terus, sampai beberapa hari mereka
mencari di sekitar tempat itu, akan tetapi jangankan menemukan jejak orang itu,
bahkan keterangan tentang orang itu pun tak bisa mereka dapatkan. Mereka tidak
tahu siapakah bayangan yang sedemikian lihainya, bayangan yang mempergunakan
tongkat!
Louw Kiat
Hui menghibur Tiong Pek yang merasa berduka dan khawatir sekali. Mereka
terpaksa lalu kembali ke Kun-ting dengan tangan kosong dan meski pun para
piauwsu itu masih selalu mencari-cari, namun mereka tidak pernah berhasil dan
Bi Cu tetap lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Siapakah
yang menculik Bi Cu? Mari kita ikuti pengalaman dara cilik ini semenjak malam
dia lenyap dari kuil itu. Pada saat itu, Bi Cu masih menangis perlahan ketika
tiba-tiba dia mendengar suara gaduh lantas pintu kamarnya jebol. Dia hanya
melihat bayangan orang menyerbu masuk dan sebelum dia tahu apa yang sudah
terjadi, bayangan orang itu telah meloncat ke depan pembaringannya dan berkata,
"Mari
kau ikut bersamaku melarikan diri dari mereka, anak yang baik."
Bayangan itu
lalu menyambar tubuhnya dan Bi Cu tak mampu bergerak lagi. Dia merasa bingung
harus berbuat apa, menyerah atau melawan. Apa bila menyerah, dia belum tahu
siapa adanya orang ini, kalau melawan, dia merasa tertarik oleh kata-kata yang
sifatnya hendak menolongnya membebaskan diri dari Tiong Pek dan para piauwsu
itu. Lebih lagi ketika orang yang membawanya itu kemudian bertanding, dia
merasa makin bingung dan khawatir.
Namun ketika
dia dibawa pergi dengan berloncatan demikian cepatnya ke atas genteng, maka
tahulah Bi Cu bahwa pembawanya adalah seorang yang berilmu tinggi. Apa lagi
kini dia sempat melihat orang itu, seorang kakek tua yang berpakaian aneh,
bajunya penuh tambalan layaknya baju pengemis, namun tambalan-tambalan itu
berkembang-kembang, tubuhnya pendek kurus dan mukanya seperti tikus!
Sesudah
terbebas dari pengejaran para piauwsu, kakek itu menurunkan tubuh Bi Cu dan
memegang tangannya, menggandengnya dan mengajaknya berjalan kaki menuju ke kota
raja.
"Nah,
engkau kini sudah terbebas dari mereka, anak baik. Aku melihatmu dibawa mereka
dan engkau menangis di sepanjang jalan, maka aku segera tahu bahwa engkau tak
suka mereka bawa dan ingin bebas. Siapakah namamu dan mengapa engkau mereka
paksa untuk ikut dengan mereka?"
Mendengar
keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya. "Aku hendak
mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarangku, oleh karena itu
aku berduka dan menangis, kek." Dia menutup penuturannya.
Kakek itu
tersenyum. "Ha-ha-ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan
tetapi engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian
saja pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh
pembunuh ayahmu? Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dahulu dariku,
kemudian setelah pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?"
Bi Cu tadi
sudah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan segera
menjatuhkan diri berlutut. "Terima kasih atas perhatian suhu terhadap diri
teecu!" katanya.
Kakek itu
tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun. "Ketahuilah, bahwa gurumu
ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin seluruh pengemis Hwa-i
Kaipang untuk daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau boleh menjadi muridku,
akan tetapi Hwa-i Kaipang memiliki suatu peraturan yang melarang menerima
anggota wanita. Oleh karena itu, biar pun engkau ini muridku, namun engkau
tidak boleh menjadi anggota perkumpulan Hwa-i Kaipang. Mengertikah engkau, Bi
Cu?"
"Teecu
mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!"
Hwa-i
Sin-kai tertawa lagi. "Dan mulai saat ini juga engkau tidak boleh
memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng Piauwkiok itu tentu akan
mencarimu. Maka kalau sampai ada orang yang mengenal namamu, tentu akan mudah
bagi mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok
dengan mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadi pun
untuk menolongmu, aku terpaksa harus menggunakan kecepatan agar tidak sampai
dikenal oleh mereka."
"Kalau
tidak memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?"
"Sudah
kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas bagimu,
maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan
mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan
sesudah menjadi muridku engkau kelak tentunya akan memiliki kegesitan, maka
biarlah engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet). Jadi mulai sekarang
kalau kau terpaksa memperkenalkan nama, maka pakailah nama Kim-gan
Yan-cu."
Mulai saat
itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan di sebelah
utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan di situ dia digembleng ilmu oleh
kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu pula dia dikenal di antara para
anggota Hwa-i Kaipang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka.
Biar pun Bi
Cu tidak menjadi anggota Hwa-i Kaipang, akan tetapi dia dikenal oleh semua
anggota dan disuka oleh para anggota muda, apa lagi karena dia dikagumi sebagai
murid sang ketua dan memang Bi Cu amat berbakat sehingga ilmu silatnya maju
secara pesat. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat
pendiam Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan
cerdas sekali.
Demikianlah
riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan didengarkan dengan
penuh perhatian oleh pemuda remaja itu.
***************
"Menurut
ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggota perkumpulan pengemis itu,
akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda di
pasar itu, Bi Cu?" Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita.
"Karena
terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kaipang bubar!"
"Ehhh?!
Bubar? Mengapa?"
"Karena
dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas."
"Suhu-mu,
kakek pangcu yang lihai itu tewas? Siapa yang membunuhnya?"
"Dikeroyok
oleh pasukan pemerintah. Saat itu suhu sedang menghadiri pesta pernikahan
keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri tidak tahu,
pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan itu oleh
pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw
bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan."
"Ahhh...?"
Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan atas diri
ayah kandungnya itu.
"Akan
tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi dan
kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sangat sewenang-wenang, masa
suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kaipang
bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin
para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggota
Hwa-i Kaipang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka
ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami
menolongmu mati-matian."
Sin Liong
menarik napas panjang. Ternyata dara remaja ini pun mengalami hal-hal yang
sangat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia
tersenyum memandang wajah yang manis itu. "Aih, kiranya engkau sekarang
telah menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi!"
"Tidak
berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah menerima
latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau
dibandingkan dengan dulu pada waktu kita masih sama-sama belajar kepada
Na-piauwsu, tentu saja aku telah mendapatkan kemajuan yang sangat pesat. Akan
tetapi sesudah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa
kepandaianku masih belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku
lebih dahulu, barulah aku akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah."
"Aku
akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku, kemudian
aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat, aku datang dari Lembah Naga
sehingga aku mengenal daerah di utara."
Bi Cu
tersenyum. "Dan aku pun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi
musuh besarmu."
Sin Liong
mengangguk. "Memang sebaiknya kalau kita saling bantu. Bersama-sama kita
mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua adalah orang-orang
yatim piatu, maka memang sudah selayaknya saling bantu."
"Engkau
baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu."
"Dan
aku pun juga girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun di mana
tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap."
Mereka
kemudian mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di
depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun
itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai
di sini Bi Cu termangu-mangu.
"Sin
Liong, kau masuklah saja dulu," bisiknya. "Aku merasa malu, karena
kalau kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka..."
"Ahh,
mereka tidak akan tahu..."
"Kau
masuklah dahulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk, baru
engkau panggil aku. Kau boleh beri tahukan dulu kepada mereka tentang
kehadiranku..."
Akhirnya Sin
Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan bertemu dengan
keluarga Kui, maka tidak enaklah jika datang-datang dia membawa teman. Lebih
baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu tidak
keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andai kata mereka
berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiri pun tidak akan mau tinggal di situ!
"Baik,
kau tunggu di sini sebentar," katanya dan dia lalu melangkah masuk.
Pekarangan
rumah itu sunyi saja, bahkan pada serambi depan juga kelihatan sunyi tidak
terlihat adanya seorang pun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggota
keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang
tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lantas mengambil jalan memutar, melewati
samping rumah di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.
Selagi dia
jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan dan
membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang
tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dengan keluarga itu,
terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba saja terdengar
bentakan-bentakan halus dan nyaring lantas dari ujung tikungan dinding rumah
itu berloncatan keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah,
yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara remaja kembar ini
masing-masing memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah
menyerang Sin Liong dengan ganasnya!
Diserang
secara mendadak itu Sin Liong tidak menjadi gugup, dan dengan beberapa kali
melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan
pedang itu.
"Ehh...
ohhh... nanti dulu...!" serunya.
"Maling
hina, engkau sudah bosan hidup!" bentak salah seorang di antara sepasang
dara kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan
pedangnya ke arah dada Sin Liong!
"Dia
tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!" bentak dara ke
dua lalu dia pun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah
kedua kaki Sin Liong!
"Eittttt...
tahan dulu...!" Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke
belakang dengan menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan
ujung pedang itu berhenti di depan hidungnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin
menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Sungguh pun
gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, akan
tetapi tentu saja gerakan ini dengan mudah dapat membebaskan dia dari serangan
yang tiba-tiba itu.
"Lan
Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!" teriaknya ketika melihat mereka menyerang
kembali sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari,
namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua.
Mendengar
disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, kedua orang dara kembar itu
menjadi semakin marah. "Kurang ajar kau!" bentak mereka hampir
berbareng dan kini pedang mereka digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak
ke arah Sin Liong.
Diam-diam
Sin Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia
mendapat kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan juga mengandung tenaga
sinkang yang lumayan. Maka dia pun tak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena
dia ingin menguji lebih jauh sampai di mana tingkat kepandaian dua orang adik
kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, akan tetapi
tak pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekali
pun.
Mendadak
nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat cepat ke
tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang ranting kayu sebesar lengan.
Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu.
"Trakk!
Trakkk!"
Dua batang
pedang itu terpukul mundur. Ternyata tangkisan ranting kayu yang digetarkan
hebat itu membuat kedua orang dara kembar ini terkejut karena mereka merasa
betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka nyeri!
"Jangan
takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!" bentak Bi Cu.
Dua orang
dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada Sin
Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak, "Sin Liong...?"
"Lan-moi
dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri? Aku adalah Sin Liong...,"
kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu.
Dua orang
gadis itu terbelalak, lantas melemparkan pedang dan mereka langsung berlari
menghampiri pemuda itu. "Liong koko...!"
Lan Lan dan
Lin Lin merangkul dengan wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia
merangkul dua orang dara kembar itu dengan penuh kasih sayang.
"Lan-moi
dan Lin-moi, kalian sudah menjadi dua orang dara yang amat manis dan cantik
jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!"
Akan tetapi
dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang kepada Bi Cu
yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu pada tangannya
yang tadi digunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang mempunyai
kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu Tongkat
Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari mendiang
Hwa-i Sin-kai.
"Liong-ko,
siapakah dia?" tanya Lan Lan.
Sin Liong
baru teringat kepada Bi Cu, maka cepat-cepat dia memperkenalkan. "Bi Cu,
inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah
Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoi-ku."
"Ahhh...!"
Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum ramah
kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara
kembar itu tersenyum demikian manisnya.
"Liong-ko,
engkau mengagetkan orang saja!" Lan Lan menegur, "Mengapa tidak
langsung masuk dari pintu depan?"
Sin Liong
tersenyum. "Aku memang ingin membikin kalian terkejut. Bagaimana keadaan
kalian sekeluarga?"
"Ayah
pasti akan girang sekali mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di
dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!" kata Lin Lin yang
mendahului mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil
berteriak-teriak.
"Ayah.
Liong-koko telah pulang...!"
Sin Liong
hanya tersenyum penuh keharuan pada saat dia menggandeng tangan Lan Lan
mengikuti Lin Lin, ada pun Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira
melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan
diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biar pun seperti juga dia,
Sin Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai
adik-adik tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak
mempunyai siapa-siapa.
Kui Hok Boan
tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba di
rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini
sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, sejak mereka pindah dari Lembah
Naga, dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani
di dusun itu.
Seperti yang
telah diceritakan di bagian depan, semenjak kematian isterinya, yaitu Liong Si
Kwi ibu kandung Sin Liong, Kui Hok Boan yang tampan dan selalu berpakaian
seperti sasterawan ini segera meninggalkan Lembah Naga karena memang hal ini
diharuskan oleh Raja Sabutai. Ketika meninggalkan Lembah Naga, Kui Hok Boan
membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang diperolehnya di Istana Lembah
Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun dekat kota
raja itu dan memiliki sawah yang luas sekali.
Dia hidup
dengan tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu
Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin. Selama ini dia mengambil beberapa orang selir,
akan tetapi tidak pernah menikah kembali, dan di antara selir-selirnya tidak
ada seorang pun yang memiliki anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin
Liong yang dianggapnya dan diharapkannya telah meninggal dunia.
Maka, tentu
saja dia amat tercengang ketika mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan
kedatangan Sin Liong. Betapa pun juga, Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik.
Dia dapat menekan perasaan tidak senangnya dan dengan muka berseri dan senyum
lebar dia keluar menyambut kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat
ketika dia melihat Bi Cu ikut masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong.
Akan tetapi
sepasang matanya membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini
tergolong seorang laki-laki yang matanya berkilat dan berminyak apa bila
memandang wanita! Sebagai seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan
setiap hari berada di pasar, tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para
laki-laki yang memandang dirinya.
Sejenak Kui
Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu masing-masing
sudah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus dari
biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui Hok
Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa
kini anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang amat tampan dan
membawa sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Karena itu dia bersikap hati-hati
sekali dan sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri.
"Ahh,
anak Sin Liong, ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini?" tegurnya
ramah.
"Saya
merantau sampai jauh, paman, hingga akhirnya saya tinggal di kota raja, bekerja
sebagai pelayan rumah makan," jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap
tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok
Boan agaknya juga tidak peduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin
Liong dengan penuh perhatian.
"Ahh,
bagus sekali kalau begitu! Dan sekarang engkau datang ke sini, apakah hanya
ingin berkunjung ataukah ada keperluan yang lain? Dan siapakah nona ini?"
Dia memandang kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki
ini berkilat, membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya.
"Saya
datang hendak meminta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui," Sin
Liong berkata, "Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan
pemerintah."
Berubah
wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut sekali
dan juga terheran-heran. "Duduklah kalian berdua, dan ceritakanlah
semuanya kepadaku, Sin Liong."
Sin Liong
dan Bi Cu duduk saling berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan
dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.
Karena
memang mengharapkan perlindungan di dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu
dengan singkat akan tetapi jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut
tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tak menyinggung
tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan sudah
mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya sebab Kim Hong Liu-nio
adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, maka dia
tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu.
"Ketika
saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba saja muncul iblis betina
musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai
pemberontak. Saya lalu melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung
ada nona Bhe Bi Cu ini yang telah menolong saya dan menyembunyikan saya
sehingga pasukan itu tidak menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk
melarikan diri ke sini dengan harapan paman akan suka menolong kami dan memberi
perlindungan di sini sampai keadaan menjadi aman."
Diam-diam
Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin Liong itu.
Baru mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan
pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam
hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa Sin Liong sekarang dianggap
pemberontak sehingga dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah.
Tentu saja
dia merasa gentar, takut kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar sehingga
sampai ke situ, apa lagi kalau sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong
tinggal di rumahnya, tentulah dia akan dituduh sebagai orang yang melindungi
pemberontak dan akan menerima hukuman berat! Akan tetapi di wajahnya tidak
kelihatan tanda sesuatu.
"Ayah,
kita harus melindungi Liong-koko!" tiba-tiba Lan Lan berkata.
"Betul,
ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu di sini!"
sambung Lin Lin.
Kui Hok Boan
memandang kedua orang puterinya itu dan dia semakin merasa tidak enak untuk
menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai perasaan
apa pun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya, hanya anak
tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan saudara seibu
dan sekandung, biar pun berlainan ayah.
"Hemm,
tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya kita
harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu mengejar
ke sini."
"Kita
akan lawan bersama!" teriak Lan Lan. "Apa lagi di sini ada enci Bi
Cu. Ayah, enci Bi Cu ini lihai bukan main, tadi kami salah sangka menyerang
Liong-koko, akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis
pedang kami!"
Bi Cu
tersenyum dan dia tak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu yang
dianggapnya sangat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah serta
gerak-geriknya sehingga biar pun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja
tidak mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang
mana Lin Lin.
Akan tetapi,
tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan kedua adiknya itu karena
dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah pada leher kirinya, dan yang
sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan, sedangkan Lin Lin lebih
pendiam.
Mendengar
ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan semakin tertarik kepada Bi Cu, maka dia
memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari kedua matanya
tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk.
"Ahh,
kiranya nona mempunyai kepandaian silat yang tinggi? Kalau boleh saya bertanya,
siapakah nama guru nona?" Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh
lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu.
Bi Cu hanya
memandang sebentar lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena dia merasa
ragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah
tirinya, dan ketidak terus terangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia
lalu cepat menerangkan,
"Paman
Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai."
"Ahhhh...!"
Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya nama ini.
Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kaipang yang tersohor di
kota raja dan sekelilingnya itu? Apa lagi sesudah perkumpulan itu dianggap
pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah!
"Hwa-i
Kaipangcu...? Bukankah... bukankah perkumpulan itu...?" Dia tidak
melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam.
Bi Cu yang
merasa bahwa sekarang dia tak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong
menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong
memang tak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak
berlindung di sini? Maka dia mengangguk.
"Benar,
paman. Guruku adalah mendiang ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang yang dituduh
pemberontak pula. Akan tetapi semuanya itu hanyalah fitnah, Hwa-i Kaipang yang
sudah dimusuhi dan kini terpaksa dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan
aku pun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hwa-i Kaipang, bahkan bukan
menjadi anggotanya biar pun aku menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua
perkumpulan itu."
Selama Bi Cu
bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang ini sudah
dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan memandang
kagum. "Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu kepandaian
nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua, biarlah
untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi di sini, akan tetapi kuharap
kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa kalau
pasukan pemerintah menemukan kalian di sini, berarti keluarga kami akan binasa."
"Baiklah,
paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman menolong kami.
Kami pun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga kami dapat
melanjutkan perjalanan kami menuju ke utara."
"Apa?
Engkau hendak ke sana...? Ke Lembah Naga...?" Hok Boan bertanya kaget.
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun
Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san..." Sin Liong berhenti dan
memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu yang
menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu
terkejut dan heran bukan kepalang mendengar disebutnya nama dusun itu.
"Pek-hwa-cung...?"
Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang jauh.
"Benar,
paman, dan Bi Cu ingin menanyakan sesuatu kepada paman, mengingat bahwa paman
sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara."
Ucapan ini
memberi kesempatan kepada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya yang berdebar
akibat kaget mendengar nama dusun yang mendatangkan kembali kenang-kenangan
hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia tersenyum kembali dengan sikap
tenang, menoleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu dengan sikap ramah, lalu
bertanya, suaranya biasa lagi.
"Nona,
apakah yang hendak kau tanyakan padaku? Memang banyak juga aku mengenal
tempat-tempat di sana, dan dusun Pek-hwa-cung tidak asing bagiku."
Berdebar
jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia akan
berhasil memperoleh keterangan tentang ayahnya dari orang ini.
"Paman
Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Kami hanya ingin mengetahui
apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah
tinggal di dusun Pek-hwa-cung sana?"
Kembali Kui
Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, akan tetapi kini dia sudah siap
menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan meski
pun dia hampir terlonjak saking kagetnya. Sin Liong yang sejak tadi mengawasi
ayah tirinya itu, diam-diam merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekan-tekan
itu, namun dia diam saja.
"Bhe
Coan...?" Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya
sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang sangat
dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.
"Ya,
Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!" Bi Cu yang
sedang dilanda ketegangan serta harapan itu tidak mendengar getaran suara itu
dan cepat-cepat melengkapi keterangannya sambil memandang kepada wajah Hok Boan
penuh perhatian dan pengharapan.
"Ahh,
Bhe Coan...? Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang itu? Tentu saja aku
mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia..."
Wajah Bi Cu
gembira bukan main. "Memang dia sudah meninggal dunia, paman Kui. Aku tahu
bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya kepada
paman..."
"Ayahmu...?
Ahh, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?" Hampir saja Kui Hok
Boan kelepasan bicara.
Memang
dahulu dia pernah mendengar dari Bhe Coan bahwa ahli pembuat pedang itu
mempunyai seorang anak perempuan yang dititipkannya pada seorang sahabat
baiknya ketika dia menikah dengan janda yang bernama Leng Ci. Menurut penuturan
mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu ialah seorang piauwsu she Na yang tinggal di
kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning. Tentu saja dia tidak tahu bahwa
Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak angkat atau muridnya, telah
pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia
tidak tahu pula mala petaka yang menimpa keluarga Na itu.
"Benar,
paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang hendak
kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman mengenalnya,
tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia." Sepasang mata
yang jernih itu memandang dengan penuh perhatian dan juga penuh harapan kepada
Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batinnya.
Segera
terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan, belasan
tahun yang lalu itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini,
Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia tiga puluh
tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya halus, datang
bertamu ke rumah ahli pembuat pedang atau pandai besi yang terkenal itu untuk
memesan sebatang pedang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe Coan yang jujur
tertarik dan mempersilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan tinggal di rumahnya
selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya.
Dalam
kesempatan ini, Kui Hok Boan yang terkenal mata keranjang itu tentu saja tidak
dapat melewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja.
Dirayunya isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka
lalu mengadakan hubungan perjinahan di dalam rumah Bhe Coan sendiri!
Akhirnya,
sesudah pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjinah
di dalam kamarnya itu. Dengan kemarahan meluap-luap Bhe Coan menusukkan pedang yang
baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan.
Hok Boan
mengelak dan pedang itu menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan
mempergunakan kepandaiannya untuk membunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapa
pun dia meninggalkan dua jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri!
"Bagaimana,
paman Kui? Apakah paman dapat menceritakan kepadaku tentang kematian ayahku
itu?" Bi Cu mengulangi pertanyaannya pada waktu dia melihat tuan rumah
duduk termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi.
"Ohh?
Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia. Sudah
lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang kepadanya,
kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang..." Kui Hok Boan
segera bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah
dalam.
Melihat
sikap tuan rumah yang seolah-olah tergesa-gesa itu, diam-diam Sin Liong merasa
heran sekali. Dia melihat seakan-akan ayah tirinya menjadi gugup dan bingung
pada saat ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu!
Sementara
itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui Hok Boan
cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka, pikirnya,
siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang dibunuhnya
itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justru bertanya kepadanya tentang kematian
ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak dan rahasia itu sampai
terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu akan selalu berusaha
untuk membalas kematian ayahnya.
Dia
menduga-duga sampai berapa jauh dara itu mengetahui tentang kematian ayahnya.
Sementara itu, otaknya bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat
untuk menyelamatkan dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak
disenanginya.
Di lain saat
Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari tangannya
yang memang cekatan dan pandai menulis itu kemudian bergerak cepat
menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya
rapat-rapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan
mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari
saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian
setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.
"Sediakan
makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan ke kamar tamu!"
perintahnya kepada pelayan wanita yang segera datang memenuhi panggilannya.
"Dan coba panggil dulu kedua orang nona ke sini!"
Pelayan itu
cepat-cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan di mana Lan Lan dan Lin Lin
sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.
"Ehhh,
Lan-moi, di mana adanya Siong Bu dan Beng Sin? Mengapa aku tidak melihat
mereka?" tanya Sin Liong.
"Mereka
disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru akan
pulang," jawab yang ditanya.
Pada saat
itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada dua orang
puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa agak heran, akan tetapi mereka
segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar
ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke dalam untuk mengambil guci
arak dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh
majikannya.
"Ayah
memanggil kami?" tanya Lan Lan.
"Ya,
ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada komandan
Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepat-cepat dan
kembali cepat."
"Tapi,
ayah, di sini ada Liong-koko. Mengapa ayah tidak menyuruh seorang pelayan saja,
atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?" Lan Lan membantah.
"Urusan
ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan
membantah!" bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. "Kalian
naik kuda saja agar cepat!"
"Biar
aku sendiri yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci
Bi Cu," kata Lin Lin.
"Tidak!
Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua, jangan
kalian khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku
masih ingin bicara banyak dengan mereka."
Dua orang
gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam, lebih
pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah dan jenaka, akan tetapi
karena pendiam ini dia lebih cerdas.
"Ayah,
Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang ayah
mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana. Apakah
ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?"
Kui Hok Boan
memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk. "Engkau cerdas
sekali, Lin Lin. Memang benar sekali dugaanmu itu. Kalian tahu, mereka berdua
itu harus bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan
mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti
biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa
hari ini aku hendak berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga
dengan demikian, sebelum lewat satu bulan dia tentu tidak akan datang ke sini.
Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!"
Mendengar
ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian
dan segera berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda
pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam
almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kamar, kembali ke ruangan tamu di mana
Sin Liong dan Bi Cu menanti tuan rumah yang pergi begitu lama, dan juga Lan Lan
dan Lin Lin yang tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi dengan jelas
mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.
"Sin
Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di
sini," bisik Bi Cu.
"Ssttt,
kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan
kahwatir, andai kata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, tapi jelas
bahwa kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku."
Mendengar
jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena dia pun dapat melihat sendiri betapa
sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah. Mereka segera diam pada
saat mendengar langkah kaki, kemudian muncullah Kui Hok Boan dengan wajah
berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah.
"Maaf,
karena ada keperluan lain, maka terpaksa agak lama aku meninggalkan kalian di
sini," katanya.
"Paman,
di manakah adik Lan dan Lin?" Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi
derap kaki dua ekor kuda tadi.
"Ahh,
mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin," jawab Hok
Boan yang memang sudah siap-siap menghadapi pertanyaan itu. Sin Liong menjadi
girang dan hilanglah kecurigaannya.
"Nona
Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali
itulah aku berjumpa dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang
ini," Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu.
Dara remaja
ini segera menerima pedang, lalu menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang
amat baik. Tiba-tiba saja keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara
ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya,
merasa seakan-akan dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak
pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu dahulu pernah digunakan oleh ayah
kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu
tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat
mengusai guncangan batinnya kembali, lalu mengembalikan pedang itu kepada
pemiliknya.
Pada saat
itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka
balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka
yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah
ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada enci-nya agar berhenti.
"Ada
apakah?" Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua
ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.
"Enci
Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak," kata si adik yang biasanya pendiam
itu.
"Aih,
jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi.
Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tak pernah terjadi sesuatu.
Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andai kata ada yang berani
mengganggu kita, kita pun tak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan
menghajar siapa yang berani mengganggu kita!" Lan Lan menepuk pedang yang
tergantung di pinggangnya.
Lin Lin
menggeleng kepala. "Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatirkan diri
kita, enci, melainkan diri Liong-koko."
Lan Lan
membelalakkan mata dengan heran. "Ehh, apa maksudmu, Lin Lin?"
"Surat
yang kau bawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan kini berada di
dalam rumah kita. Namun sekarang ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun.
Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan."
"Kau
mencurigai ayah?"
"Aku
tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah hal tidak baik, akan tetapi aku pun
tahu betapa ayah tidak suka kepada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah.
Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir sekali,
enci."
Lan Lan juga
menjadi bimbang. Diambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku
bajunya dan ditimang-timangnya. "Habis, bagaimana?" tanyanya bingung.
"Kita
buka dan baca dulu isinya!"
"Ahhh...!"
Lan Lan meragu. "Surat ini bersampul dan tertutup rapat..."
"Aku
sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan
perekat ini." Lin Lin lalu mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak
dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan telah merencanakan untuk
membuka surat ayahnya itu kemudian membaca isinya.
"Engkau
benar, adikku. Sungguh pun perbuatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita
harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat."
Mereka
berdua segera turun dari punggung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul
surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama
pula mereka membaca isi surat dalam sampul.
Kwan-ciangkun
yang terhormat
Harap segera
membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin Liong dan Bhe
Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!
Hormat saya.
yang setia kepada negara, Kui Hok Boan
Wajah kedua
orang dara kembar itu menjadi pucat seketika. "Celaka, kiranya dugaanmu
benar sekali, Lin-moi!" seru Lan Lan dengan gemas. "Ayah sudah
mengkhianati mereka! Ahhh, sungguh celaka!"
Lin Lin juga
menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata,
"Kita harus menggunakan akal, enci."
"Bagalmana
akalnya? Ahh, betapa jahatnya ayah...!"
"Ssst,
jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu terdorong oleh
rasa setia kepada negara, atau juga karena rasa tidak sukanya terhadap
Liong-koko. Betapa pun juga, kita harus menolong Liong-ko."
"Engkau
benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini,
tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itu pun bukan berarti sudah
menolong Liong-ko terbebas dari ancaman bahaya."
"Kita
harus cerdik, enci Lan. Surat itu tetap harus kita sampaikan kepada alamatnya,
akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau sendiri
saja yang melanjutkan perjalanan ke kota raja dan menyampaikan surat ini kepada
Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu
kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan
itu datang."
"Bagus!
Akan tetapi bagaimana jika ayah curiga kemudian marah melihat engkau pulang
sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?"
"Jangan
khawatir, hal itu dapat kuatur. Lagi pula, setelah tiba di rumah, tentu malam
telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri
harap melakukan perjalanan lambat saja, semakin lambat semakin baik, enci Lan.
Atau, dapat pula engkau menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan
alasan bahwa malam-malam tidak enak datang berkunjung ke rumah Kwan-ciangkun.
Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat menyelamatkan
diri."
Lan Lan
merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. "Engkau hebat! Nah, kita
berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing."
"Surat
itu harus direkat kembali lebih dulu, enci," kata Lin Lin.
Mereka
berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan
sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lantas meloncat ke atas punggung
kuda masing-masing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan terus
melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan
menjalankan kudanya lambat-lambat, akan tetapi Lin Lin membalap.
Di sepanjang
perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biar pun ada kemungkinan ayahnya melakukan
pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti
kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, akan
tetapi perbuatan itu kejam dan jahat. Betapa pun juga, Sin Liong adalah putera
ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah.
Kenapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasat penangkapan
terhadap Sin Liong itu?
Lagi pula,
siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak? Itu hanya tuduhan
keji, fitnah keji. Tanpa terasa lagi sepasang mata Lan Lan menjadi basah karena
hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam
dan jahat.
Kenyataan
ini membuat dia semakin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya
betapa ibu kandungnya adalah seorang wanita yang gagah perkasa. Dan hal ini
membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu sehingga membuat hatinya
semakin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya.
"Kim
Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku pasti akan memenggal batang
lehermu!" teriaknya.
Dia lalu
mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi
terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan
ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap
ayahnya yang amat kejam terhadap Sin Liong....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment