Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 27
JANTUNG di
dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat
bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang
sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak
mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan
restoran!
"Tuan-tuan
muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah? Dan minum apa?" dia
bertanya dengan sikap hormat dan seperti biasa bila dia melayani para tamu
lainnya.
Empat pasang
mata memandangnya hingga Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.
"Ehh,
aku pernah melihatmu!" Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil
memandang kepada Sin Liong.
Sin Liong
terkejut. Dia langsung memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya
bahasa selatan dalam kata-katanya. "Ah, kongcu tentu keliru mengenal
orang. Atau barang kali kongcu pernah makan di sini, tentu saja pernah melihat
saya."
"Aku
belum pernah makan di sini, baru sekali ini," kata Beng Sin.
"Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari
restoran ini!"
"Sin-ko,
aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas,"
kata Lan Lan.
"Aku
juga," sambung Lin Lin.
"Ha-ha,
engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk
berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau
memaksa kami masuk restoran untuk makan!" Siong Bu mencela sambil tertawa.
"Wah,
Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat urusan makan. Makan
merupakan kebutuhan hidup yang pokok, ada pun berbelanja ke pasar hanya
merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, barulah belanja, dan dapat
berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah
begitu?"
Lan Lan dan
Lin Lin tertawa. "Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko,
engkau tak akan menang!"
Sin Liong
melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati
berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masa anak-kanak ketika dia
masih berada di samping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata
mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah,
masih seperti dahulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!
Dia lalu
menyampaikan pesanan mereka ke dapur, namun diam-diam dia merasa heran mengapa
empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari
kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan semenjak kapan mereka pindah
dari utara? Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan
tetapi karena dia masih ingin menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan
hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara.
Akan tetapi,
sesudah keempat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan
sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh
lantas terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang
lengannya.
"Ehh,
kau kenapa, A-sin?" tanyanya. Akan tetapi melihat wajah A-sin menjadi
pucat sekali serta tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil
pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya.
A-sin segera
jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat
majikannya hendak menyuruh orang memanggil tabib, Sin Liong siuman kembali
lantas berkata lemah,
"Tidak
usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin saja... asal saya dibolehkan
rebah mengaso, tentu akan segera sembuh..."
Majikannya
tentu saja membolehkan dia mengaso di dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong
tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena
restoran amat sibuknya pada waktu itu.
Kesempatan
ini digunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya menggunakan ilmunya untuk membikin
dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia
meloloskan diri tanpa diketahui siapa pun melalui genteng rumah! Tak lama
kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi
yang sedang berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain,
dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa
bekal uang cukup banyak.
Seperti
biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang
dusun yang hendak berbelanja, di pasar itu pun terdapat banyak kaum pencopet!
Mereka ini pun berpesta karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong
tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak
uang.
Ketika Sin
Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, dia pun melihat beberapa orang
jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia sudah mengenal mereka itu sebagai
pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta
sisa-sisa makanan.
Dia selalu
merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai
orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan
kepada belas kasihan orang. Kadang kala Sin Liong bergidik membayangkan bila
dirinya sampai harus terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka
timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan
sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah
menanti di pintu belakang.
Kini Sin
Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan!
Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama
sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat
memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet!
Sin Liong
melihat betapa para pengemis yang menjadi langganan restoran di mana dia
bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat
lincah! Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas
kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu!
Walau pun
gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat serta
tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan
jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong
betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk 'mengerjakan' Beng
Sin beserta tiga orang temannya!
Gadis itu
membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Lalu, dengan langkah ringan
dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba dekat rombongan Beng Sin,
tiba-tiba gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung
lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!
"Ehh,
ehhh... hati-hatilah, nona..."
Beng Sin
yang gemuk itu ternyata dapat bergerak sangat cepat dan dia sudah berhasil
menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguh pun
keranjang sayurnya terlempar hingga sayurannya berantakan. Beberapa orang
pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang telah berhamburan dan
untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.
Sin Liong
terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama
beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa
buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang
mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan
gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar sudah berhasil
menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin!
Sin Liong
melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau
kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya lalu dalam
sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya! Dengan jelas Sin
Liong dapat melihat hal ini, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan
menangkap para pencopet itu.
Akan tetapi
ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata yang
bening dan bersinar-sinar, seakan-akan sepasang mata itu bicara kepadanya,
mohon agar dia jangan ikut mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat
bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang
menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak.
Apalagi
karena dia pun tidak ingin memperkenalkan diri kepada empat orang muda itu.
Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap
di antara orang banyak di dalam pasar bersama teman-temannya dan tidak lama
kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa
kehilangan.
"Keparat!
Berani benar mengganggu kami?" Beng Sin mencak-mencak sambil mengepal
tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak
tahu kepada siapa dia harus marah-marah.
Akhirnya
empat orang muda itu pergi meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal
mereka. Mereka tidak tahu bahwa semenjak tadi Sin Liong membayangi mereka
sampai mereka tiba di sebuah dusun yang terletak tidak jauh dari kota raja, di
sebelah barat kota raja.
Setelah
mengetahui dimana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di dusun
itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa
Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, mempunyai
banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!
Setelah
merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin Liong
lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat
membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.
Beberapa
hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok piring
di bagian belakang restoran itu dan membuangi sisa makanan ke dalam keranjang
sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang.
"Heh,
bung A-sin, kenapa kau buangi sisa makanan itu? Berikan kepada kami...!"
Mendengar
suara ini, Sin Liong segera menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda
berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasa mereka gunakan
untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali ini, tak
seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisa-sisa
makanan ke dalam keranjang sampah sehingga ketiga orang pengemis muda itu
tertegun dan memandang heran.
"Bung
A-sin, kenapa kau buang?" Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini
merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada
mereka.
Sin Liong
mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, "Perlu apa
kalian mencari sisa makanan? Bukankah sekarang kalian mampu membeli
masakan-masakan yang mahal?"
Tiga orang
pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya,
"Ehh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kami tidak mengerti."
"Hemmm,
perlukah kalian berpura-pura lagi? Atau apakah kalian begitu royal membuang
hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis
lagi?"
Tiga orang
itu mengerutkan alis. "Saudara A-sin, apa maksudmu?"
Kini Sin
Liong menjadi makin marah dan membentak. "Sudahlah! Kau kira tidak ada
yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar? Tak tahu
malu!"
Tiga orang
itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa
berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga
diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan
pada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi
melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya
kini berubah menjadi sebal dan tak senang.
Keadaan
lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang
menimbulkan perasaan iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang
tidak patut dikasihani!
Malam hari
itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun.
Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun!
Selama itu dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini
merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya,
yaitu Kim Hong Liu-nio!
Selama ini
dia sudah menyelidiki dan mendengar cerita di antara para tamu restoran. Dia
tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai,
merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang
kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh
ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan
mencari ke dalam istana!
Tiba-tiba
saja Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu
menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan
dan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan
suara yang terdengar olehnya.
Sekali tiup,
lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar
dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat
akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik
bayangan orang yang berada di atas genteng.
Ketika
cahaya bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut.
Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di
pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi
pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini? Apakah di samping mencopet, gadis
ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling?
Akan tetapi,
gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia merasa kagum juga
menyaksikan gerakan yang cepat dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah
mempelajari ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia melihat gadis remaja itu
ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.
Sin Liong
juga menoleh karena pada waktu itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara
serak, lalu nampak seorang lelaki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah
makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain
adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut.
Selain ahli
masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai
seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong
yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.
Akan tetapi
Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu mendadak bangkit berdiri,
kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja
ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan bersiap untuk menolong si gendut
karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut!
Akan tetapi,
dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanyalah untuk
menotok saja, bukan untuk mencelakai. Maka dia pun diam saja, hanya mengamati
dari balik pohon, dia baru akan turun tangan kalau gadis aneh itu berniat
jahat.
"Uhhhh...!"
A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi
sebelum roboh, gadis itu telah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan
suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu
sekali.
"Hemm...
aku adalah setan penunggu kebun ini...!" hardiknya dengan suara menggeram.
Sin Liong
yang mendengarkan ini, menjadi geli sekali. Apa maunya dara itu bermain-main
seperti itu? Apakah gadis itu miring otaknya? Dan dia semakin geli melihat
tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan.
"Ampun...
ampunkan saya... Pek-kong...!" A-tong mengeluh. Di dalam keadaan setengah
mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!
"Hemm...
aku dapat ampunkan engkau, akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin
pelayan itu?"
Diam-diam
Sin Liong semakin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu
mencari dia!
"Ehh...
A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun..."
"Plakk!"
Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh.
Sin Liong
makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking
takutnya, A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan pada lain saat dia
sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan
rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah
tidur pulas!
Dengan
menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadi
dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum
juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk
dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis ini pun ahli dalam ilmu
membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar!
Hening
sejenak setelah daun jendela itu terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit
meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja saat menyentuh
tanah, seperti lompatan seekor kucing!
Gadis ini
mau apa sesudah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya? Agaknya
tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti saat
memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa? Jantung dalam
dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat
sinar api.
Gadis itu
menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba saja, dengan gerakan cukup cepat,
gadis itu sudah melompat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap
untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi terhadap A-tong! Akan tetapi
dia diam saja, pura-pura tidur.
"Heh,
A-sin bangun kau!" terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari
tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya!
Sin Liong
pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika pundaknya
dicengkeram makin kuat.
"Diam,
jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!" bentak gadis
itu.
"Ehh...
ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu laki-laki, akan tetapi... kenapa ada
Giam-lo-ong wanita...?" Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran,
terbelalak memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur sehingga
kelihatan manis, nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah.
"Kau
ngaco-belo apa? Siapa Giam-lo-ong?" Gadis itu juga menjadi heran dan
membentak lirih.
"Kau
bukan Giam-lo-ong? Mengapa mau mencabut nyawaku?" Sin Liong bersikap
ketolol-tololan.
"Huh,
ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kau lihat baik-baik ini!" Setelah berkata
demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat ada sebuah sapu
dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lantas mengambil dan dengan sekali
tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itu pun patah kemudian
dilemparkannya ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan.
"Ehh,
ehh... apa dosanya sapu itu? Mengapa kau patahkan gagangnya? Wah, celaka, kau
bikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!"
Gadis itu
kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin takut pemuda
tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah mengomel karena
gagang sapunya patah!
"Goblok!
Kau bernama A-sin?"
"Benar,
dan kau siapa, kenapa masuk kamarku? Apa kau babu baru di sini?"
"Cerewet!
Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti? Dan kau harus taat padaku, kalau
tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!"
"Wahhh...
kau galak... mengerikan..." Sin Liong bangkit duduk dan meraba lehernya.
"Nah,
kau takut padaku, bukan?"
Sin Liong
menggelengkan kepala.
"Apa?!"
Gadis itu mengerutkan alisnya dan menarik muka seram, akan tetapi akibatnya
menjadi tambah manis dan jauh dari pada mengerikan. "Kau tidak takut
padaku?"
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Kenapa mesti takut?"
"Karena
aku menakutkan!"
"Tidak,
kau tidak menakutkan sama sekali..."
"Aku
ingin kau takut!"
"Wah,
kau ini aneh. Ehh, nona cilik..."
"Aku
tidak cilik lagi!"
"Baiklah,
nona gede, dengarkan. Apa kau suka menggigit?"
"Ehhh?
Menggigit...? Wah, kau mau kurang ajar, ya? Porno, ya?"
"Lhoh!
Mengapa kurang ajar? Aku tanya apakah kau suka menggigit maka kau ingin aku
takut padamu. Kau tidak suka menggigit, bukan?"
"Gila
kau! Aku anak perempuan masa menggigit, menggigit apamu?" dengan hati
jengkel gadis itu membentak.
"Ya
menggigit apaku, boleh kau pilih, akan tetapi aku tidak takut padamu. Habis,
kau tidak menakutkan, sih!"
Gadis itu
kini menyambar paku yang menancap di dinding, paku yang dipergunakan oleh Sin
Liong untuk menggantungkan pakaiannya. Dicabutnya paku itu dengan jari
tangannya, lalu di depan mata Sin Liong, dia menggunakan jari-jari tangannya
untuk menekuk-nekuk paku itu! Sin Liong memandang dan membelalakkan matanya
penuh keheranan.
Dengan puas
dan bangga, dan sedikit membusungkan dadanya yang masih belum terlalu besar
itu, gadis itu mendengus, "Huh, sekarang kau sudah takut padaku? Lihat
kekuatan tanganku!"
"Ehh,
apakah kau main sulap? Wah, kalau kau bermain sulap seperti itu besok siang di
depan restoran, tentu banyak orang suka membayar..."
"Sulap
hidungmu!" Gadis itu makin marah. Kiranya tolol benar orang yang namanya
A-sin ini!
Sin Liong
yang sudah bangkit duduk itu pun pura-pura marah. "Dengar kau, nona
cilik... ehh, gede! Mau apa kau memasuki kamarku? Masa anak perempuan masuk
kamar anak laki-laki! Cih, tak tahu malu!"
"Dengarkan
aku, bocah tolol! Bukalah telinga keledaimu lebar-lebar! Aku adalah pimpinan
anak-anak miskin di kota raja dan kalau kau banyak membantah, sekali tampar
saja aku akan bisa membikin nyawamu melayang! Sore tadi engkau telah menghina
anak buahku, mengatakan mereka mencopet! Awas, jika kau berani berkata kepada
siapa pun tentang itu, kalau sampai ada anak buahku yang ditangkap polisi, aku
akan datang lagi dan akan kupatahkan batang lehermu. Atau akan kubuat kepalamu
seperti ini..."
"Crokkk...!"
Gadis itu
menggunakan tiga jari tangannya menusuk meja dan... papan kayu meja itu tembus
berlubang oleh tiga jari yang kecil mungil itu!
Sin Liong
pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya, di dalam hatinya dia memang kagum
juga, bukan hanya kagum akan kelihaian gadis ini, melainkan akan keberaniannya
dan juga sikapnya yang membela kawan.
"Nah,
kau mengerti? Jangan bilang siapa pun juga atau aku akan kembali!"
"Siapakah
namamu, nona?"
Gadis yang
sudah hendak pergi itu membalik kembali dan memandang dengan sepasang matanya
yang bening dan tajam, "Mau apa kau tanya-tanya namaku segala?"
"Lhoh,
nona sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengenal nona. Bukankah kita
sudah saling mengenal jadi sudah sepatutnya aku mengenal namamu?"
Diam-diam
gadis itu merasa amat jengkel akan tetapi juga geli menyaksikan ketololan ini.
Betapa pun juga, dia merasa kagum akan keberanian bocah tolol yang wajahnya
tampan ini!
"Semua
anak miskin di kota ini mengenal Kim-gan Yan-cu!" Setelah berkata
demikian, dia meloncat keluar dari jendela dan keadaan di situ menjadi sunyi
kembali.
Sin Liong
masih duduk termenung di atas pembaringannya. "Kim-gan Yan-cu (Walet Mata
Emas)?"
Dan dia
makin geli. Anak perempuan itu hebat! Sayang semuda itu sudah menjadi kepala
jembel, kepala copet dan agaknya menjadi jagoan penjahat! Semalaman dia tidak
dapat tidur kembali. Wajah anak perempuan itu terus terbayang olehnya dan dia
merasa seperti telah mengenal gadis itu semenjak lama sekali. Wajah itu tidak
asing sama sekali! Sinar mata itu!
Sin Liong
masih mengantuk karena kurang tidur ketika pada keesokan harinya dia sudah
harus bekerja lagi melayani tamu-tamu yang datang untuk sarapan pagi. Tiba-tiba
muncul beberapa orang prajurit berkuda yang berhenti di depan restoran dan
dengan suara galak memerintahkan majikan restoran supaya bersiap-siap melayani
seorang pembesar yang ingin sarapan di restoran itu.
Majikan
restoran menjadi sangat gugup dan segera mengerahkan semua anak buahnya untuk
membersihkan meja-meja dan siap melayani pembesar dengan para pengikutnya, yang
menurut para prajurit pengawal yang datang terlebih dulu adalah seorang
pembesar dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja.
Majikan
restoran menyuruh para pembantunya untuk cepat-cepat bertukar pakaian bersih
sedangkan dia sendiri pun sibuk keluar masuk untuk mempersiapkan segala
sesuatunya. Kunjungan seorang pembesar pada sebuah rumah makan merupakan
peristiwa besar dan sangat menegangkan bagi pemiliknya, karena peristiwa itu
dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan, yang baik mau pun yang buruk!
Tak lama
kemudian, sebuah kereta berhenti di depan rumah makan dan turunlah seorang
lelaki berpakaian pembesar dari kereta itu, kemudian dengan iringan para
pembantu dan pengawalnya, rombongan itu memasuki restoran, disambut dengan
penuh penghormatan oleh majikan restoran, sedangkan para pelayan, juga termasuk
Sin Liong, hanya berdiri di kanan kiri dengan tubuh membungkuk penuh sikap
hormat.
"Ehh,
Liong-kongcu... kenapa berada di sini...?"
Sin Liong
terlonjak kaget mendengar ini dan cepat dia mengangkat mukanya.
Kiranya
pembesar yang memasuki restoran dan diiringi banyak pembantu dan pengawal itu
bukan lain adalah Gu-taijin, pembesar dari kota Ku-kiang? Tentu saja pembesar
Gu ini masih mengenalnya, karena dia pernah bermalam di rumah gedung pembesar
ini, bahkan di rumah pembesar inilah dia mengangkat saudara dengan Han How!
"Siapa...
ehh, paduka... salah lihat...," dia berkata gagap.
Akan tetapi
Gu-taijin yang telah mengenalnya, tertawa. "Aihh, Liong-kongcu harap
jangan main-main! Biar pun kongcu menyamar, tetap saja saya akan mengenalmu.
Kalau tidak, tentu pangeran akan marah terhadap saya. Kongcu adalah tuan muda
Liong Sin Liong, kenapa berada di sini dan apakah yang saya lihat ini? Apakah
kongcu sedang menyamar sebagai pelayan...? Ha-ha-ha...!"
"Bukan...
bukan...! Hamba adalah A-sin... pelayan restoran ini..."
"Ha-ha-ha,
saya sudah tahu akan kesenangan pangeran untuk merantau dan menyamar seperti
rakyat biasa. Kongcu sebagai adik angkatnya tentu mempunyai kesukaan yang sama.
Akan tetapi saya tetap mengenali Liong-kongcu. Marilah, beri kesempatan kepada
saya untuk menghormati kongcu dengan tiga cawan arak. Dan saya hendak memohon
pertolongan kongcu..." Pembesar itu mendekatkan mulutnya. "Mengenai
puteriku..."
"Tidak...
bukan... aku bukan..." Sin Liong bingung bukan kepalang, apa lagi ketika
melihat majikannya menjadi pucat dan memandang kepadanya dengan mata
terbelalak.
Baru pagi
tadi A-tong, pembantu tukang masak bercerita bahwa ada setan penjaga kebun
menangkapnya dan setan itu bertanya tentang A-sin. Hal itu tentu saja
ditertawakan dan orang-orang menganggap A-tong bermimpi, sedangkan A-sin yang
mendengar itu hanya tertawa saja.
Dan
sekarang, seorang pembesar yang berpakaian indah datang-datang memberi hormat
kepada A-sin seakan-akan pelayan itu adalah seorang pemuda bangsawan yang
sangat tinggi kedudukannya. Apa lagi pembesar itu juga menyebut-nyebut
pangeran!
"Ah?
Liong-kongcu menyimpan rahasia? Kalau begitu biarlah kita bicara di dalam
saja... "
"Harap
taijin sudi memaafkan hamba, akan tetapi hamba... hamba A-sin... pelayan, bukan
orang lain... "
"Hemmm,
benarkah itu?!" Tiba-tiba terdengar bentakan wanita. "Akulah yang
akan dapat memaksa harimau keluar dari kulit domba!"
Bukan main
kagetnya hati Sin Liong ketika dia mendengar suara wanita ini karena wanita itu
bukan lain adalah seorang wanita cantik yang sudah amat dikenalnya. Seorang
wanita cantik jelita dengan pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung ke atas
seperti model gelung rambut seorang puteri istana, wajahnya manis akan tetapi
kelihatan angkuh dan dingin, matanya bersinar kejam, lengan kirinya penuh
dengan gelang-gelang emas dan di punggungnya tergantung kayu salib, ada pun di
pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Kim Hong Liu-nio!
Melihat
musuh besar yang dicari-carinya ini tahu-tahu berdiri di depannya, tentu saja
Sin Liong menjadi terkejut bukan main, gembira dan juga gugup karena dia berada
di dalam restoran, di tempat ramai sehingga amat berbahaya baginya bila dia
bertanding melawan musuh besarnya ini karena wanita ini merupakan seorang tokoh
kepercayaan istana!
Akan tetapi,
menghadapi Kim Hong Liu-nio dia tidak mungkin dapat menyangkal keadaan dirinya
lagi, dan juga hal itu akan sia-sia karena pada saat itu, Kim Hong Liu-nio
sudah menggerakkan tangan kirinya dan dua batang hio (dupa biting) langsung
meluncur seperti anak panah, menyambar ke arah kedua matanya! Kiranya wanita
itu bukan hanya ingin membuka rahasia, melainkan juga ingin membunuhnya secara
keji.
Dan dugaan
ini memang benar. Begitu melihat Sin Liong, kemarahan Kim Hong Liu-nio bangkit
karena dia ingat bahwa anak ini mengaku keturunan Cia Bun Houw. Sakit hatinya
karena kematian kekasihnya, Panglima Lee Siang, membuat dia langsung menurunkan
tangan kejam, menyerang sepasang mata Sin Liong dengan senjata rahasia hionya
yang telah banyak merobohkan korban manusia itu.
Diserang
sehebat itu, tentu saja Sin Liong tidak dapat menyembunyikan kepandaiannya
lagi. Dia melihat jelas dua batang hio yang sedang menyambarnya itu, maka dia
cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan menggunakan tenaga sinkang
dia berhasil memukul patah dua batang hio itu.
Dia tidak
mungkin mengelak karena kalau hal ini dilakukan, maka dua batang hio itu tentu
akan menelan korban, yaitu mengenai orang-orang yang berada di sebelah
belakangnya. Maka terpaksa dia memperlihatkan kehebatannya dan kedua batang hio
itu ditangkisnya runtuh.
Hal ini
sangat mengejutkan Kim Hong Liu-nio karena dia tahu benar bahwa jarang ada
tokoh di dunia kang-ouw ini yang berani menangkis sambaran hionya, dan kalau
ada yang berani mencobanya pun tentu akan celaka, karena hionya itu didorong
oleh tenaga sakti yang amat kuat sehingga jika ditangkis akan bisa melesat dan
melanjutkan serangannya. Akan tetapi, dua batang hionya itu patah dan runtuh
begitu bertemu dengan tangan Sin Liong!
Marahlah Kim
Hong Liu-nio. Dia tahu bahwa Sin Liong pernah digembleng oleh kakek Cia Keng
Hong, maka dia pun tidak heran kalau anak ini telah mewarisi ilmu yang hebat
dari ketua Cin-ling-pai itu. Hal ini mendorongnya untuk segera membunuhnya,
karena kalau tidak, kelak akan menambah deretan musuhnya yang berilmu tinggi.
"Hyaaaaattt...!"
Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara melengking tinggi hingga membuat semua
orang terkejut, bahkan ada beberapa orang yang terguling roboh karena jantung
mereka tergetar dan kedua kaki mereka terasa lumpuh ketika mereka mendengar
suara melengking tinggi itu.
Terasa angin
menyambar ketika wanita itu sudah menerjang ke depan dan mengirimkan pukulan
maut dengan tangan kirinya yang bergelang kerincing, dengan tangan terbuka
menghantam ke arah dada Sin Liong. Sebelum tangan itu tiba, terlebih dulu sudah
terasa angin pukulan dahsyat yang berhawa panas datang menyambar.
"Ehhhh...!"
Sin Liong terkejut, maklum akan kehebatan pukulan itu. Maka dia pun cepat
mengangkat tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka didorongkannya tangan
itu ke depan menyambut pukulan lawan.
"Plakkk!"
Kedua
telapak tangan bertemu dan seketika tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar hebat dan
tenaga sinkang-nya memberobot keluar tersedot melalui telapak tangan pemuda remaja
itu.
"Eiiihhhhh...!"
Kim Hong Liu-nio menjerit dan tangan kanannya cepat menyambar dengan totokan ke
arah kedua mata Sin Liong!
Wanita ini
telah mengenal Thi-khi I-beng maka dia merasa ngeri dan cepat mengeluarkan
serangan yang dapat menolong dirinya dari ilmu sedot yang hebat itu. Ketika Sin
Liong menggerakkan tangan kanan menangkis, maka wanita itu secepat kilat
menarik tangan kirinya yang tersedot melekat pada tangan lawan sambil
mengerahkan sinkang-nya dan terlepaslah tangannya. Dia menjadi marah bukan
main.
"Tarrrrr...!"
Sabuk sutera
merahnya telah menyerang, meluncur ke arah leher Sin Liong. Akan tetapi Sin
Liong maklum pula bahwa dia berada dalam bahaya sesudah kini semua orang tahu
keadaan dirinya yang sebenarnya. Karena itu dia cepat mengerahkan tenaga lemas
untuk menangkis sabuk.
"Pratttt...!"
Ujung sabuk
merah itu membelenggu pergelangan tangannya. Akan tetapi Sin Liong lalu
mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang, mengebutkan tenaga itu dengan telapak
tangannya ke arah muka lawan.
"Ihhhhh...!"
Kim Hong Liu-nio kembali menjerit.
Dia cepat
mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terdorong angin pukulan Thian-te
Sin-ciang yang ampuh hingga dia terhuyung, sedangkan pergelangan tangan lawan
yang terbelit sabuk sudah terlepas pula. Kesempatan selagi lawannya terhuyung
ini digunakan oleh Sin Liong untuk meloncat keluar restoran dan menyelinap di
antara penonton yang memenuhi tempat itu karena tertarik oleh kedatangan
pembesar, kemudian oleh keributan yang terjadi di restoran itu.
"Tangkap
dia! Dia itu putera pemberontak Cia Bun Houw...!" Kim Hong Liu-nio
berteriak sambil mengejar. Akan tetapi dia terhalang oleh banyak orang, dan
melihat para pasukan melakukan pengejaran, wanita ini dengan cemberut lalu
masuk kembali ke dalam restoran di mana dia disambut oleh Gu-taijin yang masih
terheran-heran.
Sementara
itu, melihat dirinya dikejar-kejar oleh pasukan yang makin lama makin banyak
jumlahnya, Sin Liong terus melarikan diri. Dia menjadi bingung. Apa bila dia
dikabarkan sebagai anak pemberontak yang melarikan diri, tentu sukar baginya
untuk keluar dari kota raja ini. Tentu pintu-pintu gerbang yang kuat itu telah
terjaga dengan ketat, dan ke mana pun dia bersembunyi, tentulah dia akan terus
dicari oleh para prajurit.
Mana mungkin
dia mampu melawan pasukan yang banyak jumlahnya? Dan dia pun tidak mempunyai
ingatan untuk melawan pemerintah. Dalam gugupnya dia segera membelok lantas
masuk ke dalam pasar ketika arah berlarinya melewati tempat ini. Dari belakang
terdengar hiruk-pikuk para prajurit yang mengejarnya.
Pasar itu
menjadi geger ketika para prajurit memasukinya dan orang-orang berlarian ke
mana-mana ketika mendengar betapa para prajurit itu sedang mengejar-ngejar
seorang pemberontak! Makin ribut dan terkejutlah orang-orang itu ketika
mendengar bahwa yang dikejar-kejar dan dianggap seorang sebagai pemberontak
yang buron itu adalah seorang pelayan rumah makan bernama A-sin!
Saat Sin
Liong tengah kebingungan, berdiri di antara orang-orang pasar yang menyelinap
ke sana-sini itu, tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang pengemis muda yang
lantas berbisik, "A-sin... cepat, kau ikut aku...!"
Melihat
bahwa pemuda pengemis itu adalah seorang di antara langganannya, Sin Liong yang
sedang kebingungan itu mengangguk dan cepat dia mengikuti pengemis muda itu
menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik itu. Dia dibawa ke bagian
belakang pasar, di tempat pengumpulan sampah dan di sana dia melihat empat
orang pengemis muda lainnya bersama seorang gadis.
Melihat
gadis ini, jantungnya berdebar tegang karena dia segera mengenal yang semalam
memasuki kamarnya! Gadis itu tetap memakai baju biru, entah baju yang semalam
entah memang bajunya semua berwarna biru, akan tetapi sepasang matanya tetap
bening dan bersinar tajam, pantas kalau dijuluki Walet Mata Emas! Melihat dia,
gadis itu tersenyum mengejek.
"Aihh,
kiranya si pelayan restoran yang tolol ini seorang pelarian pemberontak?"
"Aku...
aku bukan..."
"Ahhh,
sikapmu yang tolol itu hanya kedok belaka. Lekas kau sembunyi ke sini, itu para
prajurit sudah datang!" Gadis itu dengan cekatan sudah menyambar tangan
Sin Liong dan mendorong pemuda itu ke tempat sampah, kemudian dia bersama
teman-temannya lalu menimbuni tubuh Sin Liong yang duduk di atas tanah itu
dengan sampah!
Baunya bukan
main, maka terpaksa Sin Liong mengerahkan tenaganya supaya jangan muntah-muntah
dan juga agar jangan sesak napas. Dia tidak dapat melihat keluar, akan tetapi
dia dapat mendengar suara para prajurit yang tiba di situ.
"He!
Apakah kalian melihat pemberontak yang lari ke sini?" terdengar bentakan
nyaring.
"He!
He! Engkau berbicara dengan orang atau setan? Begitukah pendidikan sopan santun
yang kau terima selama kau menjadi prajurit, menyapa orang hanya dengan he-he
saja?" tiba-tiba terdengar suara gadis itu marah.
"Apa...?!
Kalian ini sekumpulan pengemis...!" suara pertama menghardik.
"Ahh,
jangan ceroboh, Ciong-ko, dia ini adalah Kim-gan Yan-cu...!" terdengar
suara orang ke dua, agaknya seorang prajurit lain yang mengenal gadis itu.
"Ahhh...
maafkan aku, nona. Aku tidak tahu...," kata suara pertama.
Terdengar
gadis yang berjuluk Walet Mata Emas itu mengomel. "Hmm, setelah mengenal
orang baru bersikap sopan, itu namanya sopan yang palsu. Biar pun kami orang
miskin, apakah para prajurit berhak untuk memandang rendah dan menghina kami?
Kalau tidak mampu bertanya dengan sopan, kami pun tidak mampu menjawab!"
"Kim-gan
Yan-cu, maafkan kawan kami ini. Dia prajurit baru, pindahan dari luar kota
raja. Kami sedang bingung dan sibuk, mengejar-ngejar seorang buronan, seorang
pemberontak yang amat berbahaya. Biasanya engkau dan kawan-kawanmu tidak pernah
mengganggu, bahkan sering kali membantu kami mengamankan daerah-daerah. Maka
kini kami mohon bantuanmu dan kawan-kawanmu untuk mencari buronan itu. Dia
seorang muda, namanya A-sin, tadinya bekerja sebagai pelayan restoran."
"Hemm,
kami tidak melihat dia sekarang."
"Kalau
kalian melihatnya, harap suka membantu kami menangkapnya, dan harap kalian
menyuruh kawan-kawan kalian yang banyak untuk ikut mencarinya."
"Baik,
baik...!"
Tak lama
berselang para prajurit itu sudah pergi, kemudian Sin Liong disuruh keluar dari
tumpukan sampah. Dia merasa heran bukan main. Ternyata para prajurit itu tidak
hanya mengenal gadis ini, bahkan kelihatan takut dan sangat menghormatinya!
Maka dia pun cepat menjura.
"Terima
kasih atas pertolongan kalian..."
"Pertolongan
apa? Kau masih terancam bahaya. Hayo kerjakan dia!" perintah gadis itu.
Empat orang
pengemis muda itu lalu beramai-ramai mengenakan pakaian butut kepada Sin Liong
kemudian dengan arang dan lumpur mereka menyulap wajah Sin Liong menjadi wajah
yang kotor, wajah seorang pengemis yang terlantar. Sin Liong tak sempat menolak
karena dia tahu bahwa mereka itu bermaksud baik terhadap dirinya.
"Nah,
kau diam saja, pura-pura sakit dan kelaparan. Jangan mengeluarkan suara,
kecuali rintihan dan keluhan kalau bertemu dengan prajurit," kata gadis
itu.
Sin Liong
yang masih sangat keheranan itu hanya mengangguk. Dia benar-benar merasa
canggung sekali berhadapan dengan gadis yang ternyata amat berwibawa ini dan
merasa makin canggung lagi ketika empat orang itu menggotongnya, seperti
menggotong seekor kerbau yang akan disembelih! Dan gadis itu berjalan di depan!
Beberapa
kali mereka bertemu dengan pasukan dan seperti yang dipesankan oleh gadis itu,
setiap kali ada pasukan berhenti dan memandang kepadanya, dia mengeluh.
"Ini
ada seorang pengemis kelaparan dari luar daerah. Mengotori kota raja saja, dan
kami hendak mengirim dia kembali ke tempatnya, biarlah kalau sampai mati pun
dia mati di tempatnya sendiri, tidak di kota raja!" demikian gadis itu
menerangkan setiap kali ada pertanyaan dari para prajurit yang masih sibuk
mencari-cari Sin Liong itu.
Akhirnya,
dengan mudah para pengemis muda itu menggotong Sin Liong keluar dari pintu
gerbang selatan. Agaknya mereka itu sangat dipercaya oleh para penjaga pintu
gerbang, apa lagi keterangan gadis lincah itu agaknya tidak pernah diragukan
orang.
Sesudah
keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan dan para pengemis yang
menggotong tubuh Sin Liong itu sudah tiba jauh dan tidak nampak lagi oleh para
penjaga, Sin Liong lalu diturunkan.
"Nah,
sekarang kita harus berlari cepat. Hayo ikut dengan kami, A-sin!" kata
gadis baju biru itu. Sin Liong hanya mengangguk saja, lantas dia ikut berlari
bersama gadis itu dan empat orang pengemis muda, menuju ke sebuah hutan kecil
di lereng bukit yang nampak dari situ.
Ternyata di
tengah hutan itu terdapat sebuah kuil rusak yang kosong dan ke tempat inilah
mereka menuju. Agaknya gadis itu dan kawan-kawannya sudah biasa di tempat ini
karena mereka langsung masuk dan membersihkan sebuah ruangan yang masih belum
begitu bobrok dan dapat dipergunakan untuk tempat bersembunyi yang teduh dan
terlindung dari panas atau hujan.
Memang
demikianlah, tempat-tempat seperti kuil kosong, kolong-kolong jembatan,
emper-emperan toko merupakan tempat-tempat yang tidak asing bagi kaum
gelandangan seperti mereka itu, yang tidak mempunyai rumah atau keluarga.
Setelah
membersihkan ruang itu dengan dibantu oleh empat orang pengemis muda yang
agaknya menjadi anak buah gadis itu, mereka lalu berunding.
"Kalian
harus cepat kembali ke kota raja dan menyelidiki keadaan. Apa bila ada bahaya
mengancam, lekas beri tahu kami di sini. Aku terpaksa harus melindungi si lemah
ini!" kata gadis berbaju biru itu kepada empat orang anak buahnya yang
menyatakan setuju. Mereka segera berangkat meninggalkan Sin Liong berdua gadis
itu.
Diam-diam Sin
Liong merasa kagum menyaksikan kesigapan dara itu, kecerdikannya, wibawanya,
dan juga kesederhanaannya. Gadis itu tentu paling banyak lima belas atau enam
belas tahun usianya, akan tetapi sudah dapat memimpin pengemis-pengemis muda
yang kelihatan begitu taat kepadanya!
Setelah
empat orang pengemis muda itu pergi, gadis baju biru itu keluar dari dalam
kuil. Tanpa diperintah, Sin Liong lalu mengikutinya dan ketika gadis itu duduk
di atas sebuah bangku batu rendah yang berada di belakang kuil rusak, Sin Liong
hanya berdiri sambil memandang, sinar matanya masih membayangkan rasa kekaguman
dan juga keheranan karena kembali ada perasaan mengganggunya bahwa dia pernah
bertemu dengan gadis ini!
Wajah gadis
ini tidak asing baginya! Akan tetapi biar pun dia payah mengingat-ingat, dia
merasa belum pernah berkenalan dengan seorang gadis pengemis, apa lagi pemimpin
pengemis!
Tiba-tiba
saja gadis itu menoleh dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu
pandang, melekat sebentar. Gadis itu cemberut. "Ada apa engkau memandangku
seperti itu? Engkau berani mengandung pikiran kurang sopan? Kugampar mukamu
nanti!"
Sin Liong
menjadi gugup dan mukanya menjadi merah, seperti sudah dipukul saja. Dia cepat
menundukkan mukanya dan tidak berani memandang. Terdengar gadis itu tertawa
kecil.
"Hik-hik,
aku hanya main-main. Mengapa kau begini pemalu? Ehhh, A-sin, sungguh tidak
kusangka bahwa engkau ternyata bukan sembarang orang, melainkan seorang penting
yang menyembunyikan diri dan menyamar sebagai pelayan! Hebat! Semuda ini engkau
sudah dijadikan buruan pemerintah. Wah, engkau pasti orang penting yang
menyamar. Siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau dikejar-kejar prajurit
kerajaan?"
Sin Liong
tidak ingin diketahui sebabnya dia dikejar-kejar para prajurit. Dia dikejar
prajurit karena hasutan Kim Hong Liu-nio bahwa dia adalah putera pemberontak
Cia Bun Houw dan dia sama sekali tidak suka mengaku sebagai putera pendekar
itu. Akan tetapi, para pengemis muda pembantu gadis itu pergi menyelidiki ke
kota raja. Mereka itu tentu akan mendengar pula bahwa dia menjadi buronan
karena dia putera pendekar Cia Bun Houw. Setelah berpikir sejenak dia menemukan
akal.
"Ahhh,
aku adalah orang biasa dan bekerja sebagai pelayan untuk mencari sesuap nasi.
Akan tetapi sungguh sial, mungkin karena persamaan wajah, aku dituduh sebagai
anak pemberontak dan dikejar-kejar. Kalau tidak ada engkau yang menolongku,
tentu aku telah ditangkap dan dihukum mati."
Gadis itu
bangkit berdiri menghadapi Sin Liong, kemudian dengan penuh selidik sepasang
matanya yang jeli itu mengamati Sin Liong, dari rambut sampai ke kaki, kemudian
dia cemberut, menggelengkan kepalanya.
"Tidak,
engkau bukan seorang pelayan restoran biasa! Engkau tidak setolol seperti yang
ingin kau perlihatkan. Aku lebih percaya kalau engkau benar-benar seorang
penting yang menyamar pelayan dari pada seorang pelayan tulen dari dusun yang
buta huruf dan tolol. Dan... wajahmu ini tidak asing bagiku! Benar, aku merasa
pasti sudah pernah melihatmu. Hayo, kau mengaku sajalah!"
Sin Liong
terkejut dan dia kembali memandang. Mereka berpandangan dan makin terasa oleh
mereka bahwa mereka memang pernah saling berjumpa, dan betapa wajah itu tidak
asing sama sekali. Sekarang, setelah tidak berada dalam keadaan tegang, mereka
dapat memperhatikan wajah masing-masing. Akan tetapi tetap saja Sin Liong tidak
ingat pernah berkenalan dengan seorang gadis pemimpin pengemis, sebaliknya
gadis itu agaknya juga tidak ingat pernah bertemu dengan seorang pelayan atau
buronan pemberontak.
"Nona,
siapakah namamu?" akhirnya Sin Liong bertanya karena dia merasa yakin bila
dia mengetahui nama gadis ini tentu dia akan teringat.
Kembali
sinar mata gadis itu memperlihatkan perasaan tak senang sekaligus juga curiga.
"Mau apa kau tanya-tanya nama orang?" bentaknya curiga, menduga bahwa
pemuda ini, seperti pemuda-pemuda lain berwatak ceriwis.
Galak betul
bocah ini, pikir Sin Liong. Akan tetapi karena gadis ini telah menolongnya, dia
tetap bersikap sabar. "Terus terang saja, nona, aku pun merasa seperti
pernah bertemu denganmu. Apa bila aku mengetahui namamu, mungkin saja aku akan
teringat lagi dan kenal padamu."
"Hemm,
engkau sudah mendengar bahwa namaku dikenal sebagai Kim-gan Yan-cu!" kata
nona itu dan mendengar nama julukan ini, mau tidak mau Sin Liong memperhatikan
mata gadis itu dan memang pantaslah kalau gadis itu dijuluki Kim-gan (Si Walet
Emas) karena sepasang mata itu memang amat indahnya!
"Aku
tidak mengenal julukan itu."
"Hemmm,
kalau tidak mengenal sudah saja!" Gadis itu mendengus marah karena hatinya
merasa tidak senang mendengar ada orang yang tidak mengenal nama
besarnya..."
Ketika
mendengus marah itu, dia menggerakkan kepalanya sehingga rambut yang dikucir
menjadi dua itu berpindah ke depan pundak dan gerakan itu membuat lehernya
tersibak. Nampak kulit tengkuk leher yang amat mulus, akan tetapi bukan
kemulusan kulit itu yang membuat Sin Liong terbelalak, melainkan setitik tahi
lalat di kulit tengkuk yang putih mulus itu. Tahi lalat itu!
Sekarang dia
teringat dan matanya terbelalak memandang kepada gadis itu. Tahi lalat itu
membuat sepasang mata yang tajam dan jeli, hidung kecil mancung dan mulut
dengan sepasang bibir mungil itu menjadi sama sekali tidak asing lagi baginya.
"Bi
Cu...!" suara ini hanya terdengar sebagai bisikan saja keluar dari mulut
Sin Liong yang masih menatap wajah itu tanpa berkedip.
Kini gadis
itu yang kelihatan kaget bukan main. Selama ini tidak ada seorang pun yang
mengenal namanya, dan dia hanya memperkenalkan nama dengan julukannya itu.
"Ehhh,
bagaimana kau bisa mengenal namaku? Kau... kau siapa...?!" bentaknya,
heran, kaget dan curiga.
Mendengar
ini, yakinlah hati Sin Liong dan tiba-tiba dia merasa terharu sekali. Ia
teringat akan mala petaka yang menimpa keluarga Na yang amat baik kepadanya
itu.
"Bi Cu,
lupakah engkau kepadaku? Aku Sin Liong...!"
Sepasang
mata itu terbelalak lebar, amat indahnya. "Sin Liong...? Ahh, tentu
saja...! Akan tetapi siapa sangka engkau menjadi pelayan restoran bahkan
seorang buronan pasukan pemerintah pula?" Gadis itu juga teringat akan
masa lalu, maka menjadi terharu dan juga gembira sekali. "Sin Liong...!"
Mereka
saling berpegang tangan, lalu keduanya berloncatan menari-nari dengan gembira
laksana dua orang anak kecil bermain-main. Kegembiraan meluap di dalam hati
mereka karena mereka berdua sama sekali tidak pernah menyangka akan dapat
saling berjumpa sesudah mala petaka itu menimpa mereka di dalam rumah keluarga
Na Ceng Han atau Na-piauwsu.
Akhirnya
keduanya ingat bahwa mereka sudah bersikap seperti anak kecil. Dengan muka
berubah merah Bi Cu melepaskan pegangan tangannya, lantas terengah-engah duduk
di atas bangku batu tadi. Wajahnya berseri dan merah sekali, akan tetapi
matanya basah air mata.
"Aihh...
siapa kira aku dapat bertemu denganmu lagi, Sin Liong," katanya dan dia
terhenti karena lehernya seperti tercekik oleh rasa haru.
Sin Liong
tersenyum. Bukan main gembira rasa hatinya, Bi Cu yang dahulu seorang anak
perempuan pendiam itu kini sudah menjadi seorang gadis remaja yang lincah,
cantik dan cerdik. Teringat akan waktu lampau, dia tertawa dan menudingkan
telunjuk kirinya ke arah gadis itu.
"Dan siapa
sangka akan dapat bertemu engkau yang kini sudah menjadi ratu pengemis? Engkau
dahulu begitu pendiam dan pemalu dan sekarang..."
Kegembiraan
Sin Liong menular kepada Bi Cu yang kini memang berwatak lincah itu. Dia
membuat gerakan lucu dan bersungut-sungut, tangan kirinya terbentang. "Dan
sekarang kau hendak mengatakan bahwa aku cerewet dan tak tahu malu?"
"Ihh,
tentu saja tidak!" Sin Liong tersenyum. "Engkau kini menjadi seorang
gadis cerdas, lincah dan berani, sungguh mengagumkan sekali, Bi Cu! Sungguh
mati, mana mungkin aku bisa mengenalmu lagi?"
"Tapi
toh engkau tadi mengenalku lebih dulu!"
"Atas
bantuan tahi lalatmu."
"Eh?"
Bi Cu meloncat bangun dan berdiri menghadapi Sin Liong, menatap wajah pemuda
itu dengan tajam. "Tahi lalat?"
"Ya,
tahi lalat di tengkukmu. Tadi tampak pada waktu engkau memindahkan kuncirmu ke
depan. Engkau mempunyai sebuah tahi lalat kecil di tengkuk, apakah engkau tidak
dapat melihatnya?"
"Hik-hik,
tolol engkau. Apa kau kira aku sudah menjadi siluman yang mempunyai mata di
belakang kepala? Mana bisa melihat tahi lalat di tengkuk sendiri!"
Sin Liong
juga tertawa. "Akan tetapi, sejak dahulu engkau sudah mempunyai tahi lalat
itu, apakah kau lupa betapa tahi lalatmu itu dijadikan bahan godaan oleh...
Tiong Pek?"
"Ohhh...!"
Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Bi Cu dan dia duduk kembali di
atas bangku, termenung!
Tanpa
ragu-ragu Sin Liong juga duduk di atas bangku itu sesudah Bi Cu menggeser ke
pinggir. Mereka duduk berdampingan, seperti dulu pada waktu mereka baru berusia
dua belas tahun. Sin Liong maklum bahwa tentu gadis ini mengalami banyak sekali
hal luar biasa, maka dia sampai menjadi seorang pemimpin kaum jembel di pasar
kota raja itu.
"Bi Cu,
bagaimana engkau dapat berada di sini dan menjadi pemimpin para pengemis muda
itu? Bukankah dahulu engkau masih bersama Tiong Pek dan tinggal di
Kun-ting?"
Bi Cu
bertopang dagu, mukanya masih muram dan bibirnya cemberut, seolah-olah saat itu
dia terkenang akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya, kemudian dia
melirik ke arah muka Sin Liong dan bertanya, "Dan engkau sendiri, sesudah
dulu dibawa pergi oleh wanita itu, bagaimana tahu-tahu dapat muncul di kota
raja sebagai pelayan restoran yang kemudian dikejar-kejar oleh pasukan
pemerintah?"
Sin Liong
tersenyum dan memandang kagum. "Ahh, engkau benar-benar sudah berubah
banyak sekali, Bi Cu. Engkau dulu pemalu dan pendiam, kini engkau demikian
lincah dan pandai berbicara. Belum menjawab pertanyaan orang, engkau sudah
menyerang kembali dengan pertanyaanmu."
"Sudah
sepatutnya dan selayaknya seorang pria mengalah terhadap wanita, bukan? Nah,
kau ceritakan pengalamanmu."
"Seperti
yang engkau ketahui, ketika keluarga paman Na diserbu penjahat dan engkau
bersama aku dan Tiong Pek melawan para penjahat, muncul wanita iblis itu dan
aku lalu dibawanya pergi..."
"Wanita
iblis? Apakah kau maksudkan wanita cantik gagah perkasa yang sudah berhasil
membunuh semua penjahat keji yang telah menewaskan suhu sekeluarganya itu?
Kenapa kau menyebut wanita gagah itu iblis?"
"Engkau
tidak tahu saja, Bi Cu. Memang dia, entah mengapa, telah membunuh
penjahat-penjahat yang membasmi keluarga paman Na itu, dan memang agaknya ada
kegagahan tersembunyi dalam dirinya, akan tetapi wanita itu adalah seorang
manusia iblis yang amat kejam sekali. Namanya Kim Hong Liu-nio, ahh, engkau
tidak tahu betapa kejamnya. Aku nyaris tewas disiksa olehnya, untung aku
dapat... ehhh, membebaskan diri, ditolong oleh seorang kakek."
Sin Liong
tak ingin menceritakan tentang kakek Cia Keng Hong yang sebenarnya adalah
kakeknya sendiri itu, juga dia tak ingin menceritakan bahwa dia telah
mempelajari banyak ilmu yang tinggi. Dia ingin dikenal oleh Bi Cu sebagai Sin
Liong yang dahulu pada saat mereka bersama-sama belajar di bawah bimbingan
Na-piauwsu yang baik hati.
"Nona...
nona Kim-gan Yan-cu...!"
Sin Liong
dan Bi Cu segera menengok dan mereka melihat dua orang pengemis muda yang tadi
membantu, kini datang dengan muka pucat dan penuh keringat, napas mereka
terengah-engah. Semua pengemis muda yang menjadi anak-anak buah Bi Cu memang
diharuskan menyebut nona oleh gadis itu. Melihat keadaan dua orang pembantunya
yang dia tahu tidak mudah ketakutan itu, Bi Cu maklum bahwa tentu terjadi
hal-hal yang hebat.
"Hemm,
A-sam dan A-khun, ada apakah?" tanyanya dengan alis berkerut sambil
bangkit berdiri. Sin Liong sudah berdiri, memandang penuh perhatian.
A-khun
memandang kepada Sin Liong dengan mata terbelalak, sedangkan A-sam setelah
menoleh ke arah Sin Liong berkata, "Nona, kita sudah tertipu... dia... dia
ini benar-benar orang yang menyamar..., kabarnya dia... dia ini seorang yang
berkedudukan tinggi, masih saudara dengan seorang pangeran, akan tetapi juga
kabarnya dia dicari-cari karena dia keluarga pemberontak... wah, benar-benar
celaka, nona, sekarang ada pasukan kerajaan sedang menuju ke sini untuk
menangkap dia, dan juga untuk menangkap nona sendiri...!"
"Biar
mereka menangkap aku!" Sin Liong berkata penasaran. "Akan tetapi
kenapa mereka hendak menangkap Kim-gan Yan-cu?"
"Ya,
mengapa mereka bendak menangkap aku, A-sam?"
"Karena
mereka sudah mengetahui bahwa nona telah menolong dia melarikan diri. Cepat,
nona, itu sudah terdengar bunyi derap kuda mereka!"
Benar saja
dari jauh terdengar derap kaki kuda memasuki hutan. Sin Liong tidak merasa
gentar, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, sementara itu, A-sam
serta A-khun sudah menyelinap dan melarikan diri di antara semak-semak belukar.
"Bi Cu,
cepat mari ikut aku pergi!"
Dia lalu
menggandeng tangan gadis itu dan mengajak lari. Bi Cu yang biasanya menjadi
pemimpin, sekarang menurut saja karena dia masih terlampau kaget dan bingung.
Dikejar pasukan pemerintah bukan merupakan hal yang remeh, pikirnya.
"Ke
mana kita akan pergi, Sin Liong?"
Mereka sudah
tiba di luar hutan bagian belakang atau bagian selatan dan derap kaki kuda kini
tidak terdengar lagi. Agaknya pasukan yang mengejar mereka itu sedang
mencari-cari dan berkeliaran di dalam hutan karena memang hutan belukar itu
tidak memungkinkan mereka melarikan kuda cepat-cepat tanpa mengetahui pasti ke
arah mana mereka harus mengejar.
"Bi Cu,
aku menyesal sekali bahwa engkau terseret oleh kesialanku. Akan tetapi, aku
sudah mempunyai tempat yang baik sekali untuk melarikan diri. Mari kau ikut
bersamaku ke dalam dusun di mana tinggal keluarga Kui...!"
"Siapa
itu keluarga Kui?" Bi Cu bertanya sambil terus melangkah mengikuti Sin
Liong. Mereka tidak lari lagi, hanya berjalan cepat menyusup-nyusup di antara
batu-batu besar, pohon-pohon dan semak-semak.
"Sin
Liong, engkau ini aneh sekali. Benarkah engkau menjadi saudara seorang
pangeran? Dan benarkah engkau keluarga pemberontak?" Di tengah perjalanan
itu Bi Cu bertanya, suaranya penuh keheranan.
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu Gu-taijin yang mengabar-ngabarkan
keadaan dirinya sebagai saudara Pangeran Ceng Han Houw, dan tentu Kim Hong
Liu-nio yang mengabarkan bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw! Dia
tetap tidak ingin bercerita mengenai Cia Bun Houw kepada siapa pun juga, apa
lagi kepada Bi Cu, hanya kenyataan tentang hubungannya dengan Han Houw tentu
tidak mungkin lagi untuk dirahasiakannya.
"Baik,
kuceritakan semuanya kepadamu, Bi Cu. Pertama-tama tentang keluarga Kui yang
akan kita datangi dan dimana kita akan berlindung dan bersembunyi. Dia... Kui
Hok Boan itu adalah ayah tiriku..."
"Ahhhh...!"
Bi Cu menoleh dan memandang wajah Sin Liong dengan tertarik. Selama Sin Liong
berada dan tinggal di rumah gurunya atau paman Na Ceng Han, belum pernah anak
ini menceritakan keadaan keluarganya yang dirahasiakan. "Dan ibumu masih
ada...?"
Sin Liong
menggeleng kepala. "Ibu telah meninggal dunia. Beberapa hari yang lalu aku
melihat keluarga Kui di kota raja, bahkan melihat mereka berbelanja di pasar
kemudian melihat betapa engkau dan kawan-kawanmu mengganggu mereka dan mencopet
barang-barang mereka..."
"Ahh,
kau maksudkan... pemuda gendut itu?"
"Dia
itu keponakan dari Kiu Hok Boan. Dua orang gadis..."
"Dua
gadis kembar yang cantik manis itu?"
"Ya,
mereka adalah saudara-saudara tiriku."
Bi Cu
mengangguk-angguk, kemudian dia kelihatan meragu. "Kalau si gendut dan
yang lain-lainnya itu mengenali aku, tentu mereka curiga dan mana bisa aku
tinggal di tempat orang yang pernah kuganggu?"
"Tidak,
Bi Cu. Mereka tidak mungkin mengenalmu. Pula, ada hal lain yang sangat perlu
bagimu. Kui Hok Boan pernah tinggal lama di utara, dan mungkin dia pernah
mendengar tentang ayahmu yang tinggal di utara."
"Ahh...!
Bagus sekali kalau begitu, Sin Liong. Sekarang ceritakan tentang pangeran itu."
Dengan
hati-hati Sin Liong menceritakan tentang Ceng Han Houw, betapa dia bertemu
dengan pangeran ini kemudian sang pangeran suka kepadanya sehingga
mengangkatnya sebagai saudara. Akan tetapi dia tetap tidak menuturkan tentang
kepandaiannya, bahkan tidak menyinggung mengenai kelihaian Ceng Han Houw. Meski
pun demikian, Bi Cu tidak mendesak lebih lanjut karena dara ini sudah merasa
terlalu heran mendengar betapa Sin Liong menjadi saudara angkat seorang
pangeran!
"Sungguh
hebat pengalamanmu, Sin Liong. Akan tetapi engkau yang menjadi saudara angkat
pangeran, mengapa lalu tinggal di restoran sebagai pelayan?"
"Aku
tidak suka akan cara hidup mewah pangeran itu, disanjung-sanjung dan dihormati
orang, dijilat-jilat secara berlebihan. Aku lebih suka menjadi orang biasa,
bebas berbuat apa pun tanpa diperhatikan orang."
"Lalu
apa sebabnya engkau yang menjadi saudara angkat pangeran dituduh pemberontak
dan dikejar-kejar pasukan? Bukankah engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah
saudara angkat pangeran dan pasukan itu tidak akan berani mengganggumu?"
Sin Liong
menarik napas panjang. Bi Cu terlampau cerdik untuk menerima ceritanya yang
tidak lengkap itu. Kalau dia tidak hati-hati, dia tentu akan terpaksa membuka
rahasianya bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan
tetapi, dia pun amat cerdik dan langsung dia mengambil keputusan untuk membuka
sedikit rahasia pribadinya untuk tetap menutupi rahasia lain.
"Ahh,
semua itu adalah gara-gara wanita iblis itu, Bi Cu."
"Ehh?
Kau maksudkan... wanita cantik yang berjuluk Kim Hong Liu-nio itu?"
"Benar."
"Oya,
kau pernah diculiknya dan kau bilang nyaris tewas disiksanya, tentu ada apa-apa
antara dia dan engkau."
"Memang
benar, dan karena itu pula aku berada di kota raja, menyamar sebagai pelayan
rumah makan. Aku memang sedang menyelidikinya. Siapa kira dia telah melihat aku
lebih dulu dan mengabarkan bahwa aku adalah pemberontak maka aku dikejar-kejar
pasukan."
"Mau
apa engkau menyelidiki wanita itu?"
"Karena
dia musuh besarku. Dialah yang telah membunuh ibu kandungku."
"Ahh...!"
Bi Cu sampai menghentikan langkahnya saking kagetnya.
Sebelum
mendengar hal ini, dia selalu mengenangkan wanita yang telah membunuh para
penyerbu dan para pembunuh keluarga Na itu dengan hati penuh kagum dan dia
selalu menganggap wanita itu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan
budiman, biar pun dia tidak mengerti mengapa pendekar wanita itu melarikan Sin
Liong. Sekarang, dia mendengar bahwa wanita itu dianggap iblis oleh Sin Liong
dan ternyata wanita itulah yang telah membunuh ibu kandung Sin Liong! Pemuda
itu terpaksa berhenti pula. Sampai lama mereka hanya saling pandang.
"Dan
ayah kandungmu, Sin Liong?"
Pemuda itu
menggelengkan kepala. "Sudah mati!"
"Kasihan
engkau, sudah yatim piatu."
"Sama
dengan engkau, Bi Cu."
"Dan
engkau menyelidiki wanita itu untuk apa?"
"Untuk
apa? Apa bila kelak engkau mengetahui siapa pembunuh ayahmu, apa yang akan kau
lakukan, Bi Cu?"
"Membunuhnya!"
"Demikian
juga aku."
"Tapi,
wanita itu demikian lihainya! Apa kau mampu menandinginya?"
"Demi
membalas kematian ibuku, akan kucoba."
"Tapi...
apakah engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu silat?"
"Hanya
dari Na-piauwsu."
"Ahhh,
dengan kepandaianmu seperti itu, mana engkau sanggup menandingi wanita itu?
Akan tetapi, biar aku membantumu, Sin Liong!"
"Terima
kasih, agaknya engkau sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, Bi Cu."
"Cukup
lumayan, walau pun aku juga tidak berani memastikan apakah aku akan mampu menandingi
Kim Hong Liu-nio yang kelihatannya sangat lihai itu. Kini dengarlah ceritaku
tentang pengalaman semenjak kita saling berpisah, Sin Liong."
Dengan
sikapnya yang polos, gerak-gerik yang lincah dan sangat menarik bagi Sin Liong,
gerak bibir yang manis dan gerak mata yang menunjukkan kecerdikan, dara remaja
itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama kurang lebih lima tahun ini.
***************
Seperti
telah kita ketahui, kurang lebih lima tahun yang lalu keluarga Na Ceng Han di
kota Kun-ting telah diserbu oleh para musuhnya yaitu piauwsu dari Gin-to
Piauwkiok bernama Ciok Khun yang dibantu oleh Lu Seng Ok, tokoh Hwa-i Kaipang
yang murtad dan sudah diusir dari perkumpulan itu, dibantu oleh lima orang anak
buah Ciok Khun.
Penyerbuan
hebat ini mengakibatkan matinya Na Ceng Han dan isterinya serta beberapa orang
anggota Ui-eng Piauwkiok yang dipimpin oleh Na-piauwsu itu. Malah putera
tunggal Na-piauwsu, Na Tiong Pek, bersama Bhe Bi Cu dan Sin Liong nyaris tewas
pula oleh para penyerbu itu.
Akan tetapi
muncul Kim Hong Liu-nio yang timbul watak gagahnya saat melihat tiga orang
anak-anak bertanding mati-matian melawan para penyerbu itu sehingga wanita
sakti ini turun tangan membunuh Ciok Khun dan enam orang pembantunya, kemudian
Kim Hong Liu-nio mengenal Sin Liong dan menculiknya lalu membawanya pergi.
Gegerlah
kota Kun-ting dengan terjadinya peristiwa ini. Tiong Pek dan Bi Cu hanya dapat
menangisi jenazah Na-piauwsu dan isterinya, lalu muncul para anggota Ui-eng
Piauwkiok yang kemudian mengurus mayat-mayat itu. Ui-eng Piauwkiok berkabung
dan untung bagi Tiong Pek dan Bi Cu bahwa para anggota piauwkiok itu cukup
setia dan telah mengurus kedua jenazah itu sebaiknya sampai selesai dimakamkan.
Bahkan
setelah selesai acara pemakaman itu, para tokoh Ui-eng Piauwkiok yang menjadi
pembantu-pembantu utama dari mendiang Na Ceng Han segera mengadakan rapat dan
kemudian diambil keputusan untuk melanjutkan Ui-eng Piauwkiok yang telah
terkenal dan dipercaya oleh para pedagang. Sebagai pengganti Na Ceng Han
diangkat Na Tiong Pek.
Akan tetapi
karena anak itu baru berusia tiga belas tahun, dan ilmu kepandaiannya masih
jauh untuk dapat diandalkan menjadi piauwkiok, maka pengangkatan pemimpin ini
hanya untuk mempertahankan nama Na-piauwsu saja dan rumah keluarga Na itu tetap
dipakai sebagai pusat, namun yang memimpin adalah para pembantu-pembantu utama
mendiang Na-piauwsu itulah. Mereka bahkan melanjutkan pelajaran Na Tiong Pek
dan melatih ilmu silat kepada pemuda remaja ini.
Bi Cu tetap
tinggal di rumah Tiong Pek. Akan tetapi gadis cilik ini merasa kesepian dan
kehilangan sekali, dan merasa tak senang lagi tinggal di rumah besar itu. Apa
lagi ketika nampak gejala-gejala betapa Tiong Pek makin tergila-gila padanya.
Sudah beberapa kali pemuda ini menyatakan bahwa mereka adalah calon suami
isteri!
Pada suatu
senja, pada saat mereka berdua duduk di dalam taman bunga yang sedang
indah-indahnya karena semua bunga sedang mekar di tengah-tengah musim bunga
itu, kembali Tiong Pek menyatakan persoalan itu.
"Sumoi,
mari duduk dekat denganku di sini." Dia menepuk papan bangku di
sebelahnya.
Bi Cu
mengerutkan alisnya dan menjawab, "Di sini pun sama saja, suheng."
Dia sendiri duduk di atas bangku batu kecil tak jauh dari tempat duduk Tiong
Pek.
"Ke
sinilah, sumoi, aku mau bicara penting sekali."
"Di
sini pun aku sudah dapat mendengarmu, suheng. Mau bicara apakah?"
Diam-diam dara kecil ini merasa khawatir karena selama satu tahun sejak
tewasnya Na-piauwsu dan isterinya, sering kali dia harus menolak bila Tiong Pek
ingin memperlihatkan perasaannya dengan menyentuhnya atau memegang lengannya
atau mengeluarkan kata-kata manis merayu!
"Sumoi,
mengapa engkau selalu bersikap dingin dan malu-malu terhadap aku? Bukankah kita
ini sudah menjadi calon suami isteri? Kita tinggal menanti beberapa tahun lagi
sampai kita cukup dewasa dan kita akan menikah, menjadi suami isteri."
Bi Cu telah
bosan mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu. "Suheng, engkau selalu
membicarakan tentang itu. Sudah kukatakan bahwa aku masih terlalu kecil untuk
bicara soal pernikahan, usiaku baru dua belas tahun!"
"Akan
tetapi kita telah saling bertunangan!"
"Sejak
kapankah kita bertunangan?"
"Eh,
semua orang tahu belaka bahwa ayah dan ibuku menghendaki begitu. Semua paman di
Ui-eng Piauwkiok juga sudah mendengar sendiri pernyataan mendiang ayahku kepada
mereka, yaitu bahwa engkau telah dipilihnya untuk menjadi jodohku."
Bi Cu yang
biasanya pendiam itu menjadi khawatir dan bingung. Dia tahu bahwa dia telah
berhutang budi kepada keluarga Na, semenjak kecil dia sudah hidup di dalam
lingkungan keluarga itu, diperlakukan dengan baik sekali, seperti anggota
sendiri. Mendiang ayah dan ibu Tiong Pek sangat baik kepadanya, bahkan dia
harus mengakui pula bahwa Tiong Pek sendiri selalu bersikap manis dan baik
kepadanya.
Agaknya,
pengangkatan dirinya sebagai calon isteri Tiong Pek merupakan hal yang wajar,
bahkan sudah semestinya, dan tentu akan disetujui oleh semua tokoh Ui-eng
Piauwkiok dan mereka tentu menganggap bahwa nasibnya amat baik! Akan tetapi,
dia sendiri tidak merasa suka! Bukan dia tidak suka kepada Tiong Pek yang
sangat baik kepadanya, akan tetapi dia sama sekali belum memikirkan soal
pernikahan! Apa lagi kalau dia teringat pada ayah kandungnya yang kabarnya
dibunuh orang tanpa dia ketahui siapa pembunuhnya!
"Akan
tetapi, suheng, hal itu belum resmi, jadi tidak semestinya kalau kau mengatakan
bahwa kita telah bertunangan."
Sikap dari
Bi Cu ini mengecewakan hati Tiong Pek. Pemuda ini memang semenjak masa
kanak-kanak sudah merasa suka sekali kepada Bi Cu dan menjelang dewasa dia
makin mencinta sumoi-nya ini. Melihat sikap Bi Cu, dia merasa kecewa dan juga
khawatir, maka pada keesokan harinya dia lalu minta bantuan paman-pamannya.
"Seperti
para paman sekalian tentu mengetahui, mendiang ayah dan ibu telah mengambil
keputusan untuk menjodohkan aku dengan Bi Cu, dan karena mereka berdua meninggal
dunia tanpa sempat meninggalkan pesan, maka keinginan hati mereka itu bagiku
adalah pesan dan wasiat terakhir. Dan mengingat bahwa kami berdua sudah semakin
besar dan menjelang dewasa, maka aku minta kepada paman agar suka mengatur
sembahyangan dan meresmikan pertunangan kami di depan arwah ayah ibu agar
mereka dapat tenang di alam baka."
Para tokoh
Ui-eng Piauwkiok itu terdiri dari lima orang dan dipimpin oleh pembantu utama
mendiang Na-piauwsu yang bernama Louw Kiat Hui, seorang laki-laki tinggi besar
yang berwatak jujur dan bermata lebar. Louw Kiat Hui memang masih terhitung
sute sendiri dari mendiang Na Ceng Han, yaitu ketika mereka berdua berguru
kepada seorang guru silat kenamaan di daerah selatan. Jadi orang she Louw ini
masih terhitung susiok dari Tiong Pek. Mendengar kata-kata keponakannya ini,
Louw Kiat Hui mengangguk-angguk dengan hati girang.
"Memang
kami semua juga sudah mengetahui akan hal itu, Tiong Pek. Dan jika demikian
permintaanmu, memang sebaiknya pertunangan itu cepat-cepat diresmikan dan
dilakukan sembahyang besar-besaran dengan mengundang tamu-tamu sebagai
saksi."
"Terserah
kepada Louw-susiok untuk mengaturnya," jawab Tiong Pek dengan girang.
Louw Kiat
Hui adalah seorang gagah yang jujur dan berpemandangan luas. "Perjodohan
adalah pertalian hidup antara dua orang manusia," katanya dengan wajah
serius, "oleh karena itu, yang pertama kali tersangkut dan mempunyai
kepentingan adalah dua orang yang akan mengikatkan diri di dalam pertalian
perjodohan itulah. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil langkah-langkah
selanjutnya, sudah selayaknya bila kita mendengar dulu pendapat yang
bersangkutan, yaitu Bi Cu."
Bi Cu segera
dipanggil dan gadis kecil itu menghadap dengan hati menduga-duga, karena dia
melihat lima orang penting dari Ui-eng Piauwkiok itu memandang kepadanya dengan
wajah berseri dan bibir tersenyum, sedangkan Tiong Pek sudah lebih dulu berada
di situ.
"Ada
apakah Louw-susiok memanggilku?" tanyanya.
Bi Cu,
seperti juga Tiong Pek, kini dipimpin oleh Louw Kiat Hui dalam pelajaran ilmu
silat dan dia pun menyebut susiok kepada tokoh yang kini menggantikan kedudukan
mendiang Na-piauwsu memimpin perusahaan itu.
"Duduklah,
Bi Cu. Kita akan mengajakmu bicara tentang perjodohanmu dengan Tiong Pek
seperti telah berkali-kali dinyatakan oleh mendiang Na-suheng dan
isterinya."
Bi Cu
mengerling kepada Tiong Pek dan dia dapat menduga bahwa hal ini tentu sengaja
telah diatur oleh suheng-nya itu dalam usahanya untuk meresmikan pertunangan
mereka. Jantungnya berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, hatinya terasa
panas dan timbul semacam perlawanan, alisnya berkerut.
"Apakah
yang susiok maksudkan? Aku tidak mengerti," jawabnya lirih sambil
menunduk.
Kelima orang
pimpinan Ui-eng Piauwkiok itu tersenyum dan saling pandang. Menggelikan dan
juga mengharukan melihat seorang dara remaja menundukkan muka kemalu-maluan
kalau diajak bicara tentang perjodohan!
"Begini,
Bi Cu. Semenjak engkau dan Tiong Pek masih kecil, mendiang Na-suheng serta
isterinya sudah sering kali menyatakan bahwa kalian berdua akan saling
dijodohkan, akan tetapi sayang, sebelum niat itu dilaksanakan, mereka sudah
lebih dulu meninggalkan kita. Sekarang, karena kalian berdua sudah menjelang
dewasa, kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk melaksanakan cita-cita
mereka berdua itu, dan agar arwah mereka tenang di alam baka, maka kami
bermaksud hendak mengadakan sembahyangan untuk meresmikan pertunanganmu dengan
Tiong Pek, dengan disaksikan oleh sahabat-sahabat dan para undangan. Maka
sebelum itu, kami sengaja memanggilmu untuk memberi tahu dan mendengar
bagaimana pendapatmu tentang maksud kami itu, Bi Cu."
Gadis kecil
itu masih menundukkan mukanya dan semua orang memandang kepadanya, menyangka bahwa
seperti kebiasaan para gadis pada umumnya yang ditanya tentang pernikahan, dia
tentu akan menjawab "terserah kepada susiok", atau hanya mengangguk
tanpa kata, atau juga lari memasuki kamarnya. Semua itu akan menjadi tanda
bahwa Bi Cu sudah setuju!
Akan tetapi,
terkejut dan heranlah semua orang di situ pada saat mereka melihat Bi Cu
menggeleng kepalanya, mengangkat mukanya yang merah dan menjawab dengan suara
gemetar, "Tidak, susiok, aku masih terlampau kecil untuk bicara tentang
perjodohan. Aku belum memikirkan perjodohan dan tidak mau bicara tentang
itu." Dia lalu menundukkan mukanya kembali.
Louw Kiat
Hui saling pandang dengan teman-temannya, lantas mengerling kepada Tiong Pek
yang hanya duduk diam sambil menundukkan mukanya pula. Kemudian orang tinggi
besar ini memandang kepada Bi Cu yang menunduk itu dan berkata, suaranya
lantang dan mendesak.
"Bi Cu,
mengapa engkau menolak? Apakah engkau tidak setuju dijodohkan dengan Tiong Pek?
Apakah engkau hendak menentang pesan terakhir dari Na-suheng dan
isterinya?"
Di dalam
hatinya, Louw Kiat Hui merasa penasaran karena dia tahu benar betapa gadis ini
telah menerima budi berlimpah-limpah dari keluarga Na, dan bahwa Tiong Pek
adalah seorang pemuda cukup tampan, gagah dan berharta sehingga tidak pantaslah
jika gadis ini menolaknya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment