Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 29
MALAM itu
Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan
harinya, sesudah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan
Kwan yang telah dikenalnya sebab komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Telah
beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, bahkan sering
pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka.
Kwan-ciangkun
sendiri yang menyambut kedatangannya, dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu
dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat
kerjanya.
"Ehh,
nona Kui Lin..."
"Aku
Kui Lan, ciangkun."
"Ahh,
ha-ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum
mampu membedakan di antara kalian berdua." Komandan yang bertubuh tinggi
besar itu tertawa. "Dengan siapa nona datang? Dan bagaimana kabar
ayahmu?"
"Aku
datang sendirian saja, ciangkun. Aku disuruh oleh ayah untuk mengantarkan
sebuah surat untuk Kwan-ciangkun."
"Ahh,
agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam
nona."
"Terima
kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena
banyak pekerjaan menanti di rumah."
"Kalau
begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barang kali membutuhkan balasan."
Komandan itu
lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, cepat membaca surat itu. Wajahnya
berubah, matanya terbelalak lantas dia memandang kepada Kui Lan dengan mata
bersinar-sinar. "Ahh, ternyata urusan yang sangat penting sekali! Aku
harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan
sekali dia berada di kota raja..."
"Kwan-ciangkun,
kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja."
"Baik,
baik... tidak perlu balasan, hanya katakan saja kepada ayahmu bahwa aku sudah menerima
suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!" Perwira itu nampak gugup
dan tergesa-gesa.
Lan Lan juga
tidak mau ambil pusing lagi siapa yang dimaksudkan ‘dia’ oleh perwira itu. Dia
memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu, kembali ke hotelnya dan
tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju
ke dusun tempat tinggalnya.
Kwan-ciangkun
itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pengawal istana. Dia
bersahabat dengan sasterawan she Kui yang merupakan orang terkaya di dusunnya,
dan di samping itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang
hartawan yang mempunyai ilmu silat tinggi. Persahabatan di antara kedua orang
itu mendatangkan keuntungan timbal balik.
Bagi
Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di
samping dia pun mendapatkan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat mau pun
ilmu surat sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, malah dalam ilmu
silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu.
Di fihak Kui
Hok Boan, tentu saja dia merasa amat bangga mempunyai seorang sahabat yang
menjadi komandan pasukan pengawal di istana karena selain hal ini mendatangkan
kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang ‘dalam’ apa
bila terjadi sesuatu atau apa bila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang
berkuasa.
Maka, begitu
menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun percaya sepenuhnya dan dia
merasa girang sekali karena dengan menangkap pemberontak buronan itu, atau
lebih tepat lagi putera dari pemberontak terkenal Cia Bun Houw, berarti dia
akan membuat jasa yang besar.
Segera dia
berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja
dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim
Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang
tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti
Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong.
Pemilik
rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin
Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah
mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.
Pasukan
besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani
pula oleh Kim Hong Liu-nio, langsung berangkat melakukan pengejaran ke dusun
kecil itu dengan menunggang kuda. Orang-orang pada sepanjang perjalanan
memandang dengan takut-takut dan hati heran melihat pasukan yang bersenjata
lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada
sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan
dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, tiap kali ada pasukan
melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan.
***************
Apakah yang
terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui? Seperti sudah kita
ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk
menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong
dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan
mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.
Selagi
mereka bercakap-cakap itu, muncullah pelayan wanita yang membawa hidangan.
Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk.
"Ahh,
harap paman tidak usah repot-repot," kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok
Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.
"Sama
sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan,
aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe."
Melihat
kedua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu
bangkit berdiri dan berkata, "Harap kalian berdua makan yang enak, aku
akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya,
yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang
tidak keras."
Dengan ramah
Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, lantas dia mengangguk dan
meninggalkan dua orang muda remaja itu. Sesudah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin
Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah
lapar, mereka berdua lalu mulai makan.
"Kau
suka minum arak?" tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan
ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggelengkan kepalanya.
"Kami
kaum pengemis, mana biasa minum arak?" kata Bi Cu sambil tersenyum.
"Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat
untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas supaya memperlancar
jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum."
Sin Liong
meletakkan kembali guci arak itu ke atas meja. "Aku sendiri juga tidak
begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat
seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar."
Mereka lalu
makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam
guci. Selagi makan minum, dengan diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah
pintu yang menembus ke dalam. Walau pun matanya tidak dapat menembus daun
pintu, tapi pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan
sinkang-nya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu.
Mula-mula
dia menduga bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani
mereka, akan tetapi makin lama dia semakin merasa curiga. Kalau dia pelayan,
mengapa bersembunyi di balik pintu? Dan orang itu mempunyai kepandaian tinggi,
saat mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan sesudah kini
bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali
pernapasannya. Suara pernapasan ini sudah cukup bagi pendengaran Sin Liong
untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang sedang bersembunyi, agaknya
mengintai dan mendengarkan.
Akan tetapi
ia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang. Bi Cu
yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas
meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan
sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Ternyata orang yang
bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri!
Orang ini
masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya jelas nampak
kecewa. "Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?"
Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.
"Terima
kasih, aku sudah makan cukup," Bi Cu berkata, sedangkan Sin Liong masih
terus melanjutkan makannya.
Kui Hok Boan
duduk. "Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit? Dan ini... ah, kenapa
arak dalam guci masih penuh? Apakah kalian tidak mau minum arak yang
kusuguhkan?"
"Terima
kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak," Sin Liong menjawab sambil
meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.
"Ahh,
bila terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tak baik untuk kesehatan.
Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan sangat baik bagi kesehatan.
Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau
banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan
antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan? Nona, engkau
adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi.
Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan
hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!" Kui Hok
Boan menuangkan arak ke dalam cawan di hadapan dara remaja itu.
Bi Cu merasa
bingung akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk menolak. Menolak berarti
tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.
"Aku
tidak biasa minum arak, paman, tapi jika hanya secawan saja bolehlah,"
jawabnya. Ia kemudian mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan sedikit
demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itu pun habis dan Kui Hok Boan
tertawa gembira.
"Secawan
tadi adalah untuk selamat datang, kini secawan arak penghormatanku kepada
mendiang suhu-mu belum kau minum." Dia menuangkan lagi secawan.
Bi Cu
tersenyum. "Ahh, paman terlampau mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum
secawan lagi kalau paman berjanji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini
tadi saja sudah membuat perut terasa panas."
"Baik,
cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe."
Bi Cu
menerima secawan arak itu dan meminumnya lagi. Sin Liong memandang penuh
perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega sesudah dara
remaja itu menghabiskan dua cawan arak tanpa ada terjadi sesuatu yang
mencurigakan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu sekarang mulai
menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.
"Dan
kini untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang
sungguh menggembirakan ini, aku ingin memberikan selamat kepadamu dengan tiga
cawan arak, harap kau suka menerimanya!"
Kui Hok Boan
segera menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa
ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia
merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sinkang
Thi-khi I-beng, Dengan hawa Thi-khi I-beng yang amat kuat dia dapat menekan dan
menguasai hawa asing di dalam perutnya itu sehingga hawa itu tak sampai
menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak
diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri.
Tak lama
kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia menutupi mulut
dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.
"Ahh,
nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah
dipersiapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong,
engkau pun agaknya perlu mengaso."
Sebetulnya
Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu
dia pun berpura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti
Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu.
Sungguh
tidak wajar jika Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih
segar-bugar. Sekarang dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga
terpaksa dia memegangi tangannya.
Begitu
sampai di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah
kamar untuknya, Bi Cu langsung berlari masuk dan menjatuhkan diri di atas
pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa.
"Ahh,
kasihan, dia sudah sangat lelah," katanya sambil menutupkan daun pintunya.
"Kau pun tentu amat lelah, Sin Liong."
Sin Liong
mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu tadi. "Aku mengaso
juga, paman," katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah
kamar Bi Cu.
Dia
mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong
cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di
dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui
arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya. Setelah semua hawa asing
itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum
yang aneh.
Diam-diam
dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain
curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi? Melihat keadaan Bi Cu,
sudah jelas tentulah demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas
pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi I-beng.
Dia segera
menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, lalu menempelkan
telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan.
Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu maka tahulah dia bahwa
gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan dia pun lalu duduk
bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di
sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.
Kurang lebih
satu jam kemudian dia mendengar ada suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara
bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak mampu menangkap kata-kata
mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu
bahwa yang berbicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang
tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah
laki-laki yang masih muda.
Akan tetapi
sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan
terdengarlah bunyi langkah seorang di antara mereka menjauh. Hanya seorang saja
yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok
Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong
terguncang dan dia pun makin bercuriga. Apakah artinya semua ini?
Sin Liong
tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak
terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba saja seluruh urat syaraf
pada tubuhnya menegang.
Terdengar
suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di
belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudian, langkah orang ini berhenti
di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak
dibuka orang dari luar!
Sin Liong
tetap diam saja, menunggu sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang
membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat
dan berkelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, dia pun meloncat dan
sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang
kecil halus!
"Siapa
kau...?"
"Sssttt...
Liong-ko, aku Lin Lin...!" bisik orang itu yang menyeringai karena
lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.
"Ehh,
adik Lin...? Mengapa kau...?"
"Ssttt,
jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari
sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... segera akan datang pasukan
dari kota raja untuk menangkap kalian...!" suara itu terisak dan
ditahannya.
"Hemm,
dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami
berada di sini?" Sin Liong berbisik dan masih memegang lengan adik tirinya
itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.
"...ayah..."
Sin Liong
melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya dalam
kegelapan remang-remang itu. "Dan kalian disuruh ke kota raja untuk
melaporkan kehadiran kami...?" Dia berhenti sebentar masih tidak mau
percaya. "Mengapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?"
Lin Lin
menjadi tak sabar atas sikap Sin Liong yang tak mau cepat-cepat pergi melarikan
diri itu. "Dengar, Liong-ko," bisiknya sambil mendekat. "Kami
disuruh antar surat kepada Kwan-ciangkun di kota raja. Karena curiga, kami
membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak
berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan
aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi
Cu pergi sebelum terlambat!"
"Bi
Cu... ahh, kami pun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat
bius..."
"Ahhh...
aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku..." Lin Lin tak melanjutkan
kata-katanya.
Sin Liong
merangkulnya kemudian mencium pipinya. "Lin Lin, kalian baik sekali, aku
cinta kepadamu dan kepada Lan-moi..." Dia melepaskan rangkulannya.
"Sekarang juga aku akan pergi, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya." Dia
lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.
"Liong-ko...!"
Lin Lin berbisik.
Sin Liong
menoleh."Kau... harap kau maafkan ayahku...!"
"Hemmm...!"
Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.
"Demi
aku, demi enci Lan...!"
Hening
sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang. "Baiklah,
Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu
malam ini."
"Nanti
dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat
penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk
melakukan penjagaan. Biarlah kupancing mereka agar melepaskan perhatian dari
kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap,
nah, kau baru boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang."
"Baik,
Lin-moi, dan terima kasih."
"Akan
tetapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu?
Bagaimana jika engkau dikejar-kejar kemudian tertawan?" Suara Lin Lin
terdengar penuh kegelisahan.
"Serahkan
saja kepadaku...!" Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin
Lin.
Dara itu
kemudian menyelinap melalui jalan memutar, ada pun Sin Liong berindap-indap
mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak
dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, maka dia mendekam di tempat
gelap, mendengarkan.
Tak lama
kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia
tahu tentu seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.
"Heiii,
Lin-moi... engkau sudah pulang? Mana Lan-moi?"
"Aku...
aku pulang lebih dulu, tadi perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan
seorang diri..." terdengar suara Lin Lin menjawab. "Mengapa engkau
belum tidur, Sin-ko? Mana ayah?"
"Ayah
sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga..."
"Lin-moi,
mengapa engkau pulang malam-malam? Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota
raja?" terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bahwa
laki-laki ini tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin.
Betapa
inginnya untuk keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan keadaan
dirinya yang terancam, apa lagi Bi Cu yang mungkin masih tertidur nyenyak
karena obat bius, dia menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap,
cepat dia menyelinap menghampiri jendela kamar Bi Cu.
Mudah saja
baginya membuka daun jendela itu tanpa mengeluarkan suara dan dia cepat
meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang gelap seperti keadaan kamarnya tadi,
tapi matanya yang amat tajam dapat melihat Bi Cu rebah miring di atas
pembaringan dengan pakaian masih lengkap seperti ketika makan minum tadi.
Dia
menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak sekali. Dia
mengguncangnya beberapa kali, akan tetapi Bi Cu bagaikan dalam keadaan pingsan
saja, sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lantas memanggul
tubuh Bi Cu pada pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke
luar dari dalam kamar melalui jendela!
Sin Liong
mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua orang muda
serta para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan, kemudian
dengan kepandaiannya yang tinggi dia lalu meloncat ke atas genteng tanpa
menimbulkan sedikit pun suara, lantas berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu
yang masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu.
Karena dia
sudah tahu bahwa pasukan kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia
melarikan diri menuju ke barat di mana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus
pergi bersama Bi Cu ke utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melewati kota
raja, maka dia cepat mengambil jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja
di mana terdapat banyak pegunungan liar, kemudian baru ke utara.
Walau pun
Sin Liong telah mempunyai ilmu kepandaian yang sangat tinggi dan dia dapat
mempergunakan ginkang-nya untuk berlari cepat sekali, tapi malam itu amat gelap
hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apa lagi dia harus
memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja
dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat. Bagaimana pun juga,
karena pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorang
pun dalam rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah
terbang dari sarangnya!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya dan
segera dia pergi menuju ke kamar dua orang tamu itu. Hatinya lega melihat
betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua
kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula
menjaga di situ!
"Ehh,
engkau sudah pulang? Mana Lan Lan?"
"Ayah,
aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan terpaksa
aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan perjalanan
ke kota raja."
"Hemm,
dan sekarang bagaimana sakit perutmu?" ayah ini bertanya sambil memandang
wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena semalam suntuk
Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah. "Mengapa engkau
tidak tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit?"
"Sekarang
perutku sudah sembuh, ayah, dan aku memang turut berjaga bersama Bu-ko dan
Sin-ko."
Ayah itu
termenung sambil mengerutkan alisnya. "Mengapa Lan Lan belum juga pulang?
Apa bila dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang
bersama pasukan..."
"Mungkin
enci Lan merasa lelah dan bermalam di kota raja, ayah," kata Lin Lin dan
Hok Boan mengangguk.
Akan tetapi
tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya pengiriman pasukan dari
kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di sini. Kalau pasukan
sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia merasa lega. Makin
diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia.
Tentu saja
dia tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua
orang muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapa pun
juga dia merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka semakin cepat
perkara ini selesai, semakin baiklah. Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri
kamar Sin Liong lalu mengetuk daun pintu kamar itu.
“Tuk-tuk-tukk…!”
"Liong-ji...!
Sin Liong...! Sin Liong...!"
Tidak ada
jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil menyeringai, lalu
berkata kepada para penjaga itu, "Dia masih tidur nyenyak!"
Kembali dia
mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu, akan tetapi
hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik kamar yang tertutup pintunya
itu.
"Biarkan
mereka tidur, kalian jaga di sini dan jangan lengah sampai pasukan
datang," kata Kui Hok Boan dengan hati lega. "Lin Lin, kau agak
pucat, hayo kau mengaso ke kamarmu sana. Atau sebaiknya kau makan pagi dulu,
baru mengaso."
"Aku
ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti jika sudah lelah, aku baru akan pergi
mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan."
Kui Hok Boan
mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapa pun juga, dua
orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau perlu, sebelum pasukan datang,
dan mereka itu hendak melarikan diri, dia dapat menggunakan kekerasan untuk
menahan atau menangkap mereka, biar pun kalau bisa, jangan dia yang melakukan
penangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar jangan terlampau
kentara dia memusuhi mereka itu.
Matahari
telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul dengan
muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat-cepat menyambut kedatangan puterinya ini
dan langsung bertanya,
"Bagaimana?"
Lin Lin juga
sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri berdampingan di depan
ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan dengan sinar mata
mengandung kemarahan.
"Ayah
sungguh keterlaluan!" tiba-tiba Lan Lan berkata.
"Bagaimana
ayah sampai bisa bertindak sekejam itu?" kata pula Lin Lin yang kini
berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi
ketika baru pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah
mereka.
"Eh,
ehh, mengapa kalian ini? Apa maksud kalian?" Kui Hok Boan membentak, pura-pura
tidak mengerti.
"Ayah
mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa maksud
ayah?" kata Lin Lin.
"Ahhh...
bukankah kalian sudah kuberi tahu? Supaya Kwan-ciangkun tidak datang ke sini
dan..."
"Ayah
tidak perlu membohongi kami!" teriak Lan Lan marah. "Ayah melaporkan
kehadiran Liong-koko kemudian menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke
sini untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!"
Kui Hok Boan
menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk. "Ah, kiranya
Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan? Hal itu lebih baik lagi.
Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi
pemberontak-pemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga
memberontak merupakan perbuatan yang sangat berdosa. Kita sebagai rakyat yang
baik harus menentang pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong
dengan Bi Cu merupakan keturunan dan murid pemberontak, juga menjadi buronan
pemerintah, sudah seharusnya kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap."
"Ayah
sungguh kejam! Betapa pun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara seibu,
sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!" Lan Lan
berseru.
"Kami
tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!" Lin
Lin menyambung.
"Lan
dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian berdua
tidak usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku
tidak memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirimkan surat
kepada Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun sudah memberi tahu kepadamu,
Lan Lan, maka engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini..."
"Kami
tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!" potong Lan Lan dengan
berani.
"Dan
aku telah membebaskan Liong-ko!" sambung Lin Lin.
Mendengar
ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua orang
puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke tempat
dua orang tamu itu tidur. Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut melihat
Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu, dan lebih
terkejut lagi ketika melihat Hok Boan mendobrak pintu kamar Sin Liong.
"Krakkkk!"
Pintu itu
jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok Boan berlari ke
kamar Bi Cu, cepat dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata kamar itu pun
telah kosong.
"Keparat...!"
Kui Hok Bean menyumpah-nyumpah, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi
dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya. "Hayo kalian
katakan, apa artinya semua ini!" bentaknya marah.
Akan tetapi
kedua orang dara itu menentang pandang mata ayah mereka dengan berani, kemudian
Lan Lan berkata lantang, "Kami tidak ingin melihat ayah melakukan
perbuatan yang khianat dan kejam, maka kemarin kami berdua lalu berpisah,
membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku
menyampaikan surat kepada Kwan-ciangkun..."
"Dan
aku cepat kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat
pergi melarikan enci Bi Cu!" sambung Lin Lin.
Kemarahan
Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya itu.
"Keparat! Kalian berdua anak-anak durhaka!" bentaknya lantas
tangannya bergerak cepat menampar ke depan dua kali.
"Plak!
Plak!"
Tubuh Lan
Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak oleh
tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.
"Ayah
boleh membunuh kami!" teriak Lan Lan sambil bangun kembali.
"Lebih
baik mati dari pada menjadi pengkhianat kejam!" teriak Pula Lin Lin.
"Jahanam,
kalian berani melawan ayah sendiri? Kalian sudah bosan hidup?" Kemarahan
Kui Hok Boan membuat dia mata gelap.
Dia telah
melangkah maju lagi, siap untuk menghajar. Akan tetapi pada saat itu pula dua
orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut di depan Hok Boan. Yang seorang
adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan berpakaian rapi, sedangkan pemuda
yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah ramah dan bertubuh gendut.
"Harap
paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia menerima hukuman
mewakili mereka..." kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan
gerak-gerik dan suara yang lucu sungguh pun dia tidak bermaksud untuk melucu.
"Saya
juga mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir,
sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari
jauh!" Kwan Siong Bu penuh semangat.
Tiba-tiba
saja terdengar suara tawa, kemudian disusul kata-kata nyaring, "Wah,
sungguh mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan
gagah perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!"
Semua orang
terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika mereka semua
melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ, padahal mereka
tadi tidak mendengar suara apa pun. Dari mana datangnya kedua orang ini, dan
bagaimana mereka bisa masuk tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Yang seorang
adalah pemuda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat indah dan
mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas. Pemuda
inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikapnya amat berwibawa dan angkuh.
Orang ke dua
adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita. Pakaiannya mewah, kedua
lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang tergantung di pinggang
kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu salib.
Kui Hok Boan
terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Kim
Hong Liu-nio, ada pun pemuda tampan gagah itu adalah Pangeran Ceng Han Houw!
Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mungkin mereka dapat
melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu?
Maka, dengan
kemarahan yang meluap-luap kedua orang dara kembar ini mengeluarkan teriakan
nyaring dan bagaikan menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah
meloncat ke depan sambil mencabut pedang mereka, kemudian serentak mereka
menyerang Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan
ganas karena terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.
"Lan
dan Lin, jangan...!" Kui Hok Boan berseru kaget.
Akan tetapi
kedua orang anak perempuan itu tidak mempedulikan seruan ayah mereka. Bahkan
mereka makin gemas saat mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa
dahulu pun ayah mereka ini sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk
membalaskan kematian ibu kandung mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus
biar pun serangan pertama mereka tadi dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh
Kim Hong Liu-nio.
"Iblis
betina keji!" bentak Lan Lan.
"Kau
harus menebus kematian ibu!" bentak Lin Lin.
"Ha-ha-ha,
bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!" Ceng Han Houw
tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang
suci-nya.
"Hemm,
pergilah kalian!" bentak Kim Hong Liu-nio.
Dua
tangannya bergerak cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis
dua kali ke arah pedang sehingga dua batang pedang itu terlepas dari pegangan
pemiliknya lantas terpental jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan
kanan membuat dua orang dara kembar itu terpelanting ke kanan kiri!
"Berani
kau merobohkan mereka?!" bentak Kwan Siong Bu marah.
"Engkau
wanita kejam!" bentak pula Tee Beng Sin.
Dua orang
pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin. Siong Bu
telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok besar di
tangannya.
"Siong
Bu! Beng Sin! Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan.
Dua orang
pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur, tidak
jadi melanjutkan serangan mereka. Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit
kembali dan biar pun mereka sudah tidak memegang senjata, mereka masih nekat,
maju menerjang dan menyerang dengan tangan kosong.
"Lan
dan Lin, jangan kurang ajar kalian!" kembali Kui Hok Boan membentak.
Akan tetapi
kedua orang dara kembar itu sama sekali tidak mempedulikannya, melainkan terus
menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.
"Heiiittt!!"
Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya itu.
"Hiaaaaattt!"
Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat tenaga.
"Hemm,
kalian menjemukan!" bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki
miringkan tubuhnya.
"Plak!
Plak!"
Dua kali
tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak kedua orang lawan itu.
Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak mampu bergerak lagi.
"Kalian
ini bocah-bocah lancang berani menyerangku? Nah, bersiaplah untuk mati!"
"Kouwnio...
harap ampunkan mereka...!" Kui Hok Boan meratap!
Lelaki ini
memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan
dia tak akan mampu untuk menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan
hanya meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.
Kim Hong
Liu-nio menoleh sambil tersenyum mengejek, "Orang she Kui, engkau hendak
membela mereka? Majulah!"
"Tidak...
tidak... harap kouwnio ampunkan kami..."
Akan tetapi
Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kembar itu tidak
mempedulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke atas
dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.
"Plakk!"
Sebuah tangan menangkis tamparannya.
"Aihh,
suci, jangan bunuh mereka! Mereka ini amat menarik, sayang kalau dibunuh. Wah,
sungguh manis dan serupa benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana
adik, dan andai kata diberi tahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku
akan minta kepada Sin Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku."
Aneh sekali,
Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh dua orang dara kembar
itu setelah dicegah oleh sute-nya. Dan pada saat itu terdengar derap kaki
banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu.
"Hee,
Kui-sicu, di mana buronan-buronan itu?" begitu memasuki ruangan,
Kwan-ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan. "Ah, kiranya paduka telah
mendahului ke sini, pangeran?" Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw,
kemudian memberi hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata,
"Dengan adanya lihiap dan pangeran di sini sebetulnya tak perlu lagi
mengerahkan pasukan menangkap dua orang buronan pemberontak kecil,
ha-ha-ha!"
Ketika
melihat munculnya sahabatnya ini, maka legalah hati Kui Hok Boan. "Wah,
celaka, Kwan-ciangkun, tadi malam kedua orang itu telah berhasil meloloskan
diri dan melarikan diri!"
"Ahhh...?!"
Kwan-ciangkun berseru kaget.
"Ha-ha-ha,
berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!" kata
Han Houw.
"Orang
she Kui, ke mana larinya mereka?"
Pertanyaan
yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat Kui Hok
Boan gelagapan. "Mereka dan saya kemarin berbicara tentang Lembah Naga,
sudah pasti mereka itu lari menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa
bahwa mereka pasti melarikan diri ke utara."
"Jika
lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!" bantah
Kwan-ciangkun.
"Hemm,
mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Mengapa engkau begitu bodoh?
Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, ke mana kiranya kedua orang buronan itu
lari, Kwan-ciangkun?" Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu.
Perwira she
Kwan itu kelihatan bingung, mukanya berubah merah dan sikapnya gugup. "Menurut
penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan tetapi kalau
ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... ehh, mereka itu
tidak lari ke utara, pangeran."
"Ha-ha-ha,
jawabanmu itu bodoh sekali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bahwa Sin Liong sangat
cerdik. Coba bayangkan seandainya engkau menjadi dia. Engkau tahu bahwa dari
utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh dua adik tiri yang
manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana yang
akan kau ambil? Melarikan diri ke utara sudah pasti tak mungkin melalui
selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena engkau tahu bahwa
pasukan tentu akan melakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kau ambil?
Bila melalui timur berarti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan
melalui barat berarti melalui daerah pegunungan dan hutan-hutan."
Wajah
Kwan-ciangkun berseri. "Ahh, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke
barat!"
Pangeran
Ceng Han Houw juga tertawa mengejek. "Kalau begitu, mengapa engkau tidak
lekas mengejarnya?"
Perwira itu
memberi hormat. "Terima kasih, pangeran!" lalu dia mengeluarkan
aba-aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke
arah barat.
Kim Hong
Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu berkata dengan suara
dingin, "Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan dirimu, dahulu
dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya."
"Akan
tetapi, kouwnio, saya sudah berusaha untuk menghubungi Kwan-ciangkun supaya
menangkap mereka...," Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.
"Dan
siapa yang memberi tahu mereka sehingga lolos? Dua orang puterimu ini, bukan?
Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang pada mereka, maka
engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!" Wajah Kui Hok Boan
semakin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!"
Orang she
Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-sia saja,
kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia tidak
melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apa lagi sesudah melihat betapa
Kwan-ciangkun tadi sangat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran ini.
Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan dua
orang itu!
"Ampunkan
hamba... ampunkan hamba..." ratapnya.
Lan Lan dan
Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang tadi terlempar,
tiba-tiba melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan.
"Jangan
membunuh ayah kami!" bentak Lan Lan.
"Kalau
kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!" bentak Lin
Lin.
Dua orang
dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan, wajah mereka yang
cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian untuk melindungi ayah
mereka.
Melihat
betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat namun sebaliknya dua
orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah
merah, Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji.
"Ha-ha-ha,
sungguh mengherankan sekali seekor ular tanah yang merayap dapat memiliki dua
orang anak seperti sepasang naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, alangkah
cantiknya. Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"
Sambil
tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara kembar itu,
memandang mereka penuh kagum. "Nona berdua sungguh manis dan gagah sekali,
benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian?"
"Akan
kami bela sampai mati!" Lan Lan menjawab tegas sambil memandang pangeran
itu dengan mata bersinar penuh ketekadan.
"Hemm,
kalian hebat! Dari pada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian ikut
bersamaku menjadi kekasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian?"
"Tidak
sudi!" bentak Lin Lin marah.
"Lebih
baik kami mati!" teriak pula Lan Lan.
Han Houw
menoleh kepada suci-nya yang memandang dengan wajah dingin saja. "Lihat,
suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, seperti bunga
belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi
sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!" Kemudian pangeran ini
kembali menghadapi Lan Lan dan Lin Lin. "Engkau belum tahu aku siapa, maka
biarlah kita saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh
ayah kalian, kalian boleh membelanya!"
Dengan
tertawanya yang memikat Han Houw lalu menggertak hendak memukul Kui Hok Boan.
Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin langsung menerjangnya dan menyerang dengan
pedang mereka, bukan hanya untuk mencegah pangeran itu mengganggu ayah mereka
melainkan juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu.
Akan tetapi,
dengan sangat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang pedang itu
sambil tertawa-tawa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah dan
mereka sudah nekat hendak mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini sudah
merasa sakit bukan main, bukan hanya sakit karena melihat penghinaan-penghinaan
dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka
anggap sangat pengecut dan memalukan itu.
Melihat
ayahnya berlutut sambil meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan
rasa jijik dan malu, maka mereka nekat maju menentang dua orang itu biar pun
mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu,
mempunyai kepandaian yang sangat lihai. Kini, melihat pangeran itu bermaksud kurang
ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerangnya dengan nekat dan
mati-matian, sambil mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka.
Akan tetapi
mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat hebat pula!
Betapa pun mereka menyerang dengan ganasnya, namun tak pernah ujung pedang
mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncatan ke sana-sini
sambil tersenyum girang seperti seekor harimau yang mempermainkan dua ekor
kelinci sebelum diterkamnya!
"Ha-ha-ha,
cukuplah, kalian berdua benar-benar memiliki semangat berkobar-kobar, kelak
akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!" kata pangeran itu.
Akan tetapi
ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati sepasang dara kembar
itu, maka sambil berseru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada
pangeran itu dengan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua tangan pangeran itu
bergerak mendahului.
"Tukk!
Tukk!"
Jari tangan
kanan kiri sudah berhasil menotok pundak kiri dua orang dara itu dan di lain
saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga Lan
Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi.
Ketika Lan
Lan dan Lin Lin hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka
sudah lumpuh tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lantas
melangkah maju dan mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan
dan Lin Lin hanya mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap
saja pipi mereka kena dicium!
"Lepaskan
mereka!" Siong Bu meloncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.
"Siong
Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan yang
masih berlutut.
Dua orang
muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak jadi bergerak, malah mundur
kembali. Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak kanan Lan Lan dan Lin
Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan tubuh lemas!
"Ha-ha-ha,
menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan engkau, akan tetapi
engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan menyerahkan kedua orang
puterimu ini kepadaku. Antarkan saja ke istana dan cari aku, Pangeran Ceng Han
Houw. Mengertikah engkau?"
Kui Hok Boan
yang masih berlutut itu mengangguk-angguk. "Hamba mengerti dan hamba
menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!" Dan memang orang
she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri
pangeran, maka tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!
"Suci,
hayo kita cepat mengejar Sin Liong!" Han Houw berkata dan sekali
berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok
Boan, lalu berkelebat pula dan lenyap!
Kui Hok
Boan, Siong Bu dan Beng Sin melongo keheranan dan bergidik melihat kelihaian
dua orang yang seperti iblis itu. Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang
puterinya dan membebaskan totokan atas diri mereka. Setelah dua orang puterinya
itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan mengelus jenggotnya memandang kepada mereka.
"Bagus sekali
nasib kita, terutama sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan
seorang pangeran."
Lan Lan dan
Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan sepasang mata terbelalak,
seolah-olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya
bersikap serendah itu. Mereka mengeluh dan berlari memasuki rumah sambil
menangis!
Kui Hok Boan
menyangka bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau mendengar
tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia mengikuti mereka
dengan suara ketawa puas.
"Paman,
sebaiknya paman membawa Lan-moi beserta Lin-moi dan cepat pergi dari
sini!" tiba-tiba Kwan Siong Bu berkata.
Kui Hok Boan
menghentikan tawanya dan memandang heran. "Ehh, kenapa?"
"Bu-ko
benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan kedua adik
sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi
korban!"
"Eh,
ehh, apakah kalian sudah menjadi gila? Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi isteri
atau setidaknya selir-selir seorang pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan
besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah dalam istana, dan aku... aku akan
disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui
kedua anak kembarku itu!"
Siong Bu dan
Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat. "Akan tetapi,
paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!"
Siong Bu berseru.
"Dan
mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!" sambung Beng
Sin.
Kui Hok Boan
memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut. "Hal ini bukan urusan
kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku,
kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian sangka kalian akan
dapat menang melawan pangeran dan suci-nya itu? Mereka adalah orang-orang
sakti, selain sakti juga berkedudukan tinggi di istana! Menjadi musuh pangeran
jelas celaka, sama saja dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertuanya,
hemmm, bahkan derajat kalian sendiri akan ikut terangkat! Pergilah!"
Dua orang
pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan yang masih
berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam dia
sekeluarga berubah menjadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya!
Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja!
Akan tetapi,
bayangan-bayangan muluk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya berubah
menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat kedua orang puterinya tidak
berada di dalam kamar mereka. Kamar itu sudah kosong dan dua orang puterinya
telah lolos dan pergi meninggalkan rumah dengan membawa beberapa potong pakaian
serta uang bekal, tanpa meninggalkan surat atau jejak.
Lan Lan dan
Lin Lin sudah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan
sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tak sudi diserahkan oleh
ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat
dan mencari Sin Liong karena dari pada ikut dengan ayah mereka yang berwatak
pengecut, pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama
kakak tiri mereka!
Tentu saja
Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik bagaikan kebakaran jenggot! Bukan saja
dia sudah kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga
kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya
dari pihak pangeran itu dan suci-nya bila mana sampai dia tidak dapat menemukan
kembali dua orang puteri mereka.
"Siong
Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu melarikan diri?
Hayo kalian pergi mencari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum
berhasil menemukan mereka!" bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda
itu.
Kwan Siong
Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat mencari dua
dara kembar itu dan supaya lebih cepat bisa berhasil, mereka lalu berpencar,
Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui Hok Boan
seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram
membayangkan kedukaan, kekecewaan dan kekhawatiran.
Setiap
keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan pertentangan,
kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sendiri ini dapat
saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih halus
atau lebih mulia, seperti demi kebahagiaan anak, demi kemajuan golongan, demi
partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan ‘demi
aku’ yang berarti pengejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!
Di mana
terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA cinta
kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena demi
untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah
disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu. Dan siapa pun juga orangnya,
yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti
akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan,
kebencian, yang kesemuanya itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang
kesengsaraan.
Seperti juga
Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan alasan
bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir pangeran,
tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-olah kebahagiaan
kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan bila dua orang puterinya
itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa! Inikah yang
dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya?
Betapa
banyaknya orang tua yang baik disadarinya mau pun tidak, bertindak seperti Kui
Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri! Orang tua
seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih berpengalaman,
lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut
dia, dan kalau anaknya menurut tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan
alasan demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak
dia lantas menjadi marah dan membenci anaknya!
Inikah cinta
kasih? Yang setiap saat berubah menjadi benci bila keinginannya dibantah?
Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa turut
berbahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan turut berduka
kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara? Cinta yang menuntut
kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu
memuaskan diri sendiri belaka.
Orang bisa
saja, dan semua ini adalah karena lihainya sang pikiran, lihainya sang aku,
menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang
muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal,
orang yang merasa telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan kesenangan
melalui pengorbanan itu, yang menimbulkan bangga diri merasa suci, dan
sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan, yang
dikejar. Dan semua bentuk kesenangan, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang
tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan.
Orang tua
yang bijaksana tak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak
akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan diri
sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan, kebanggaan,
atau kesenangan bagi diri sendiri. Tidak mengekang, bukanlah berarti acuh tak
acuh, bukan berarti tidak peduli kepada si anak. Sebaliknya malah.
Cinta kasih
selalu diikuti perhatian yang menyeluruh! Perhatian terhadap si anak, bukan
terhadap keinginan diri sendiri! Kalau di sini ada keinginan, maka satu-satunya
keinginan hanyalah melihat anaknya menjadi seorang manusia yang bahagia, benar
dan bajik, di samping pelajaran-pelajaran yang menjadi syarat dalam kehidupan
di dunia ramai.
Sungguh
patut disayangkan betapa hampir saja sebagian orang tua hanya ingin melihat
anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya,
berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-orang lain, dan
sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam
kesemuanya itu.
***************
"Eh, di
manakah aku...?" Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa
dirinya berada di dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta.
Sin Liong
melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam sudah berganti pagi biar
pun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah menciptakan sinar
kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.
"Di
mana kita...? Dan mengapa engkau memondongku ke tempat ini, Sin Liong?"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh
tuntutan.
"Ahh,
engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari memondongmu
sampai ke sini akibat dikejar-kejar orang!" Sin Liong pura-pura mengomel
dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.
"Semalam
suntuk dikejar-kejar orang? Dan aku terus kau pondong? Aihhh, sungguh luar
biasa sekali! Kenapa aku tidak terbangun? Padahal biasanya, walau pun aku
sedang tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja sudah cukup untuk
membangunkan aku, apa lagi sampai dipondong dan dibawa lari semalaman suntuk!
Aneh sekali!" Dara remaja itu memijit-mijit pelipisnya. "Dan aku
masih merasa pening..."
"Tidak
aneh karena engkau telah menjadi korban minuman yang mengandung obat
bius."
"Aku?
Dibius? Ahh, Sin Liong, apakah yang sudah terjadi? Bukankah kita tadinya
menjadi tamu dari ayah tirimu... ahh, kini ingat aku! Apakah kau maksudkan arak
itu mengandung obat bius?" Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar
demikian tajam seolah-olah dapat menembus dada Sin Liong.
Sin Liong
menarik napas panjang, teringat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan juga
pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia melarikan
diri, dua hal ini selalu terbayang di dalam ingatannya, membuat dia
terheran-heran dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya akan tetapi
puteri-puteri ayah tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah
hal itu akan membuat dia menangis atau tertawa!
"Bi Cu,
dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat bius,
sebab itu setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak
semalam suntuk hingga engkau bahkan tak merasa bahwa engkau kubawa lari
sepanjang malam."
"Akan
tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak
terbius?"
Gadis ini
terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat menyembunyikan
kepandaiannya? Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam!
"Ah,
aku pun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama
menuju ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu
bahwa di dalam perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku
tahu gejalanya ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum
obat bius, maka aku cepat menelan pil penawar racun yang kebetulan hanya
tinggal sebuah dan selama ini kusimpan dalam saku baju. Pil itu menawarkan
racun obat bius itu sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi
Cu."
"Ahh,
engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan seperti
itu lebih baik kalau engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku
yang terbius, melainkan engkau."
"Ehh?
Kenapa begitu?"
"Kalau
engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat melindungimu apa
bila ada bahaya mengancam? Dalam keadaan semacam itu yang lebih kuat
berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam."
Sin Liong
tersenyum. "Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu."
"Sudahlah,
buktinya engkau juga berhasil menyelamatkan diri kita, hanya kasihan, engkau
harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu."
Sin Liong
memijit-mijit lengannya. "Seperti hampir patah rasanya!"
Akan tetapi
sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondongnya
semalam itu, biar pun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan
hal itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.
"Akan
tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong? Padahal dia begitu
baik dan ramah..." Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat
kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak
menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi
tubuhnya, sinar mata cabul!
Kembali Sin
Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sukar dalam
pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong. "Bi Cu, Kui
Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan
pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja,
memberi tahukan mengenai adanya kita di rumahnya."
"Ahhh,
sungguh jahat!" teriak Bi Cu. "Sungguh sikap manisnya itu hanya
sebagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau
kemudian bisa mengetahui pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan
membawa aku yang masih terbius nyenyak?" Gadis itu memandang penuh
perhatian pada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu.
"Kalau
tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan oleh pasukan
kerajaan, Bi Cu. Tadi malam, tanpa diketahui orang lain Lin-moi memasuki
kamarku lewat jendela lantas dia menceritakan semuanya. Dia bersama Lan-moi
disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka untuk seorang perwira di kota raja.
Karena merasa curiga mereka berdua membuka surat itu di tengah jalan maka
tahulah mereka bahwa surat itu berisi pemberi tahuan bahwa kita berada di rumah
mereka. Karena tidak berani membangkang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota
raja, akan tetapi surat itu baru akan diserahkan pagi hari tadi, sedangkan
Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, setelah mendengar
penuturan Lin-moi itu, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu
kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang menarik perhatian para penjaga
sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar."
"Hebat
sekali! Adik-adik tirimu itu sungguh manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka
kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi
sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?"
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Aku sendiri pun tak mengerti, semalam suntuk dua
hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku."
"Aihhh,
aku tahu! Tentu saja begitu..." Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya
berseri-seri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu
teka-teki yang sulit.
"Apa
yang kau tahu? Bagaimana?"
"Tentu
saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya seorang yang
jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, tetapi
mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka
mereka demikian baik."
Sin Liong
mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang
sebab ucapan Bi Cu itu sekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan
baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.
"Sin
Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang
curang dan jahat itu!" tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.
Diam-diam
Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandaian Bi
Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.
"Mana
mungkin itu, Bi Cu? Sekarang pun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun
itu, bahkan setelah menerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke
sini."
"Ohh!
Kalau begitu, bagaimana baiknya? Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke
mana?"
"Aku
sengaja mengambil jalan pegunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku
berlari menuju ke barat dan setelah sampai di sini, kita menyusuri pegunungan
ini membelok ke utara. Kita akan pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal
mendiang ayahmu untuk menyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja."
"Baik,
dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong," Bi Cu memegang lengan pemuda
itu. "Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu
itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!"
"Wah,
kalau bisa jangan terjadi hal itu. Sebagai seorang laki-laki yang digendong
seorang wanita, aku pasti akan ditertawakan orang,." Sin Liong menjawab.
"Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita
memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan."
Demikianlah,
pemuda dan pemudi remaja ini lalu melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar
hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar
yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari.
Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan
mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka.
Kadang-kadang
mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun mereka diterima dengan
ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur
dan penuh peri kemanusiaan itu. Akan tetapi Sin Liong dan Bi Cu yang masih
hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa
justru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkan jejak yang sangat jelas! Para
pemburu mereka tentu akan mudah mencari keterangan tentang mereka di
dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan
kepada siapa pun juga tentang mereka berdua!
Mereka telah
melakukan perjalanan beberapa hari lamanya dan mereka sudah melewati batas
Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari
itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan
karena pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir!
Tidak nampak satu pun perahu di sekitar tempat itu, maka dua orang muda itu
berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.
"Wah,
mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?" Bi Cu mengomel dan
bersungut-sungut.
"Aihh,
Bi Cu, engkau sungguh tidak adil apa bila menyalahkan sungai ini. Sudah beratus
tahun, mungkin ribuan tahun lamanya, sungai ini tentu sudah berada di sini dan
mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang muncul di sini. Mengapa kau
menyalahkan dia yang tidak berdosa? Lebih tepat menyalahkan kita yang mengambil
jalan sampai di sini."
Bi Cu
semakin cemberut. "Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri
sendiri pun apa gunanya? Sekarang ini bagaimana? Menyeberang sungai ini tanpa
perahu, sungguh tidak mungkin!"
"Heran
mengapa tidak ada perahu di sini?" Sin Liong menoleh ke kanan kiri.
"Tidak
heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu
di tempat berbahaya begini? Ikan-ikan pun tentu pada sembunyi, dan tidak ada
pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu sudah
ditarik ke darat oleh para nelayan agar jangan diseret pergi oleh air
bah."
"Wah-wah,
agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan."
"Tentu
saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan
aku malah pernah membantu mereka mencari ikan."
"Kalau
begitu engkau tentu pandai berenang?"
"Tentu
saja!"
"Wah,
engkau ini gadis si segala bisa!"
"Apa
engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?"
Tentu saja
Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di
dalam hutan pun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil di dalam hutan yang
cukup dalam. Akan tetapi dia menggelengkan kepala dan merenungi sungai itu, seperti
hendak mengukur dan menaksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi
sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.
"Bi Cu,
apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini?"
"Hanya
orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia tentu
akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tak akan mampu menyeberanginya, Sin
Liong. Lebih baik kita mencari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai, tentu
akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu."
Sin Liong
setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang menuju ke
timur itu. Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah perkampungan
nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu nelayan itu
mereka ungsikan sampai jauh ke daratan supaya jangan terseret oleh banjir, dan
setiap perahu itu dicancang pada sebatang pohon.
Giranglah
hati mereka berdua melihat ini, lantas dengan wajah berseri mereka berlari-lari
menghampiri sebuah rumah yang berada pada barisan pertama. Sin Liong
menghampiri daun pintu rumah itu dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba
saja karena serentak muncullah banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan
tentara kerajaan! Melihat ini, Bi Cu mengeluarkan jerit tertahan.
"Ha,
inilah mereka, buronan-buronan itu!" teriak seorang anggota pasukan.
"Tangkap
mereka!" bentak seorang perwira.
"Bi Cu,
lari...!" Sin Liong berseru, cepat menggandeng tangan gadis itu dan
melarikan diri menjauhi dusun.
Hanya
sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang lebih
kuat dari pada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk
menyelamatkan diri mereka berdua.
"Lekas...
ke sungai...! Tak mungkin lari...!" katanya dan memang kini terdengar
derap kaki kuda yang ditunggangi para anggota pasukan itu. Kini Bi Cu yang
berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai.
Setelah tiba
di tepi sungai Sin Liong berkata, "Tapi... tapi... mana mungkin kita
berenang di air yang deras itu...?"
"Kita
terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo
cepat!" Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air
sungai!
Gelagapan
juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu menggerakkan kaki
tangan melawan arus sambil berusaha menarik pundak baju Sin Liong. Akan tetapi
pada saat itu pula beberapa orang tentara telah meloncat turun dari atas
punggung kuda mereka, memegang busur berikut anak panah, lalu mereka menyerang
dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.
Melihat ini,
Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan setiap anak
panah yang datang menyambar tepat ke arah mereka, bisa diruntuhkannya dengan
gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk bukan
main. Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.
"Ahh...
ehhh... kau jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku pasti
akan menyelamatkanmu, Sin Liong...!" Bi Cu berkata dengan terengah-engah
dan menarik Sin Liong makin ke tengah.
Arus air
sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sin Liong merasakan hal ini dan dia
terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar dari pada bahaya
yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja pada waktu ditarik oleh Bi
Cu? Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya? Apa bila
dia tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu untuk melarikan diri
dan serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya. Namun, kini
sudah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu.
"Menyelamlah...
kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!" baru sekarang Bi Cu
melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai.
Bi Cu
berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam, dan Sin Liong tetap meronta untuk
menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu amat
kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat hingga
bergulingan dan gelagapan!
Sin Liong
timbul kembali dan bisa melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai.
Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah untuk melakukan serangan, karena
pemuda itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri
Kim Hong Liu-nio!
"Sin
Liong... ah... hauppp...!" Bi Cu meraih-raih sehingga akhirnya mereka
dapat saling berpegangan lagi.
"Jangan
pergunakan anak panah, tapi tangkap mereka hidup-hidup!" terdengar Han
Houw berseru. Kemudian dia berteriak pula, "Liong-te, mengapa kau membunuh
diri? Aku akan menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu.
Kau tangkaplah tali ini!" Han Houw segera melontarkan sehelai tali panjang
dan tali itu meluncur cepat sekali, ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong.
"Tidak...
jangan pegang tali itu... mereka akan membunuhmu...!" Bi Cu membantah sambil
merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu memegang ujung tali.
Karena ini,
ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga terpaksa Han Houw menariknya
kembali, menggulungnya dan kembali dia memutar-mutar tali di atas kepalanya.
"Liong-te,
kau tangkap ujung tali, jangan khawatir, aku akan melindungimu!"
Tali itu
dilemparkan dengan sangat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong yang
cepat menangkapnya.
"Jangan,
Sin Liong...!"
"Tidak
apa-apa, Bi Cu. Dia adalah kakak angkatku, lebih baik kita di darat dari pada
mati konyol di air. Di darat, setidaknya kita bisa membela diri." Kemudian
ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras
ini, "Apakah engkau takut menghadapi mereka di darat?"
"Aku?!
Takut?!" Bi Cu membentak. "Hayo kita mendarat!"
Sin Liong
saling berpegang tangan dengan Bi Cu, ada pun tangannya yang sebelah lagi
memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya. Kini tali itu ditarik
oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu
masih terbanting-banting dan terguling-guling.
Sesudah
mereka tiba dalam jarak sekitar tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw
mengeluarkan seruan keras dan membetot tali itu sekuat tenaga. Karena tali itu
melibat lengan Sin Liong, maka pemuda ini tertarik dan melayang ke atas bersama
Bi Cu yang saling berpegang tangan dengan dia!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment