Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 43
DIAM-DIAM
Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh memiliki watak
angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak menegur karena dia
segera dapat menduga bahwa tentu ada rahasia yang mungkin menyakitkan hati anak
itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai keluarga Cin-ling-pai. Di
samping itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu demikian saja bahwa
anak itu adalah putera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw itu sendiri
tidak pernah mau mengakui hal itu?
Bi Cu yang
merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat betapa kekasihnya
seperti orang yang tidak senang kalau disinggung soal keturunannya, padahal
selama ini Lie Ciauw Si demikian ramah dan baiknya, tiba-tiba segera berkata,
"Ahh,
apa sih artinya keturunan? Bagiku, meski Sin Liong itu putera raja atau anak
pengemis sekali pun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau
kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya,
bukan?"
Oleh karena
ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai dengan
wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi kagum
dan tersenyum, juga seketika mengusir suasana yang tidak enak yang ditimbulkan
oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturunan itu tadi.
"Ha-ha-ha-ha,
memang tepat sekali ucapan nona Bhe. Ucapan itu sekaligus membuktikan bahwa
cintanya terhadapmu sungguh tidak terbatas, Liong-te! Biarlah aku mengucapkan
selamat kepada kalian berdua!"
Tentu saja
Sin Liong dan Bi Cu menerima ucapan selamat dengan minum arak ini dengan hati
girang dan balas menghormat. Sin Liong adalah seorang pemuda yang jujur dan
tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya Ciauw
Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si demikian akrab,
melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti
seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak
menentang kelaliman kaisar, maka dia pun kena dibujuk.
Dia sanggup
untuk membantu Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlaksananya pemilihan
bengcu itu, dan diam-diam dia pun tidak memiliki maksud untuk ikut memasuki
pemilihan itu. Dia hanya ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan
membiarkan kakak angkatnya itu menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago
nomor satu di dunia. Dia sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin
disebut apa-apa.
Mereka
berempat kemudian makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Secara
diam-diam Sin Liong merasa heran, mengapa pangeran itu tidak mengajak para
pembantu lainnya untuk turut pula berpesta. Dan dia pun masih bingung apa yang
akan dilakukannya apa bila dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan
Hek-hiat Mo-li berada di situ.
Melihat
tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan alisnya berkerut, Pangeran Ceng
Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat menduga karena melihat adik
angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian nampak termenung dan muram
wajahnya.
"Liong-te
setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu sudah
mengerti sekarang bahwa kita menghadapi sebuah perjuangan yang sangat penting,
yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat serta kerja sama yang erat. Oleh
karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, di
mana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk
menentang kelaliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih
dulu."
Sin Liong
memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang mencorong tajam.
"Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?"
"Liong-te,
aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang saja,
agaknya akan timbul perkelahian bila mana engkau bertemu dengan suci Kim Hong
Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena
aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku
sendiri, Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua.
Namun, dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tak akan menimbulkan
keributan di sini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh
yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan
kedudukan kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah
engkau maksudku, Liong-te?"
Diam-diam
Sin Liong terkejut. Pangeran ini sungguh sangat cerdik dan berpemandangan tajam
sehingga bisa tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikirkannya. Dia lalu
mengangguk dan berkata. "Aku berjanji tidak akan membikin ribut, Houw-ko.
Akan tetapi dengan syarat bahwa mereka pun tak boleh mengganggu aku dan Bi Cu
seujung rambut pun."
Pangeran itu
tersenyum dan diam-diam dia pun kagum. Kini Sin Liong benar-benar telah menjadi
seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anak-anak lagi.
Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu merupakan
saingan paling berat baginya ini.
"Baik,
akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja tiba
dan tentu lelah, kami persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar
kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami."
Mendadak
wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata, "Houw-ko, kami
berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui. Akan
tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tidak mungkin kami tinggal
sekamar!"
"Aku
akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!" Bi Cu juga cepat
berkata, mukanya merah sekali dan dia menunduk.
"Akan
tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untukku yang tidak
berjauhan dari kamar Bi Cu." Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin
menjaga dan melindungi kekasihnya itu, akan tetapi hal ini sudah dimengerti
oleh semua orang.
"Baik,
baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa engkau
adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah," pangeran
itu berkata sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong sangat takut
terhadap wanita, dan sampai kini pun, walau pun sudah sama-sama saling
mencinta, tetap saja dia tidak mau melakukan "pelanggaran". Tentu
saja bagi Ceng Han Houw, hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan
dan hijau.
Pangeran itu
memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat mata, maka dia
lalu mengajak Ciauw Si masuk, Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi ke sebuah
taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawat baik,
berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ.
Setelah
mereka berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tidak dapat
menahan lagi kerinduan hati masing-masing maka mereka pun saling rangkul dan
saling berciuman sampai hampir kehabisan napas. Dan akhirnya, gelora hati yang
rindu itu agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku
panjang, dekat kolam ikan di dalam taman itu.
"Sin
Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku belum
mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri."
"Ihh!"
Sin Liong terkejut dan merasa ngeri. "Jangan sekali-kali engkau melakukan
hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa,
dalam keadaan apa pun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di
jurang itu? Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah
engkau di sini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?"
"Memang
betul, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong! Jangankan
baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga sekali pun,
tanpa engkau di sampingku, lebih baik aku berada di dalam jurang seperti dulu
itu asal bersamamu."
Sin Liong
merasa terharu sekali lantas memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan mereka
saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra. "Kita tak akan
berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa aku pun tidak akan mau
hidup tanpa engkau di dekatku."
Bi Cu
menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada
kekasihnya. Sampai lama mereka duduk diam seperti itu, sama sekali tanpa
berkata-kata karena kata-kata sudah tak ada artinya lagi dalam keadaan seperti
itu. Kata-kata bahkan dapat membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang
terasa sekali sampai di sanubari dalam keadaan hening tetapi sadar sepenuhnya
akan kehadiran masing-masing itu.
Akhirnya Bi
Cu berbisik, "Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita berada di
sini. Bagaimana pun baiknya pangeran ini, akan tetapi jelas bahwa dia hendak
menggunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku."
"Akan
tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan..."
"Enci
Ciauw Si? Ahh, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknya pun merasa tidak enak
dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh..."
"Bukan
memberontak, Bi Cu, melainkan berjuang melawan kelaliman kaisar..."
"Itu
kan alasannya! Betapa pun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin
Liong. Perlu apa kita turut campur dengan segala macam gerakan itu? Lebih baik
mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!"
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali..."
"Tapi
Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... ehhh, kau tahu, pangeran
sendiri memujimu di hadapanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya engkaulah
yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!"
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Apa dayaku jika menghadapi penjagaan ribuan orang
pasukan? Kau tahu, sekarang Lembah Naga sudah terkurung oleh ribuan orang
pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat
yang dulu menjadi tempatku bermain-main pada saat aku masih kecil. Akan tetapi
membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak,
aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di
sini dahulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si
bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan
Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa
sesat, apa lagi memberontak terhadap kerajaan begitu saja dengan niat
memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau." Dia berhenti sebentar,
kemudian melanjutkan, "Biar pun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk
membantu, akan tetapi hanya membantu melakukan penjagaan dan dalam menghimpun
orang-orang kang-ouw serta melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk
memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan."
Kedua orang
muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam
dunia ini. Tiap pemberontakan, tiap pembaharuan, tiap gerakan untuk
menumbangkan yang lama kemudian menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja
didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan
diberontak itu.
Dan yang
memberontak, yang baru ini, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk.
Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan
bisa berhasil tanpa adanya bantuan rakyat. Rakyat harus diberi janji-janji
muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan
mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak.
Semua ini
hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan
dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksudnya
tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk
kemenangan lantas sama sekali melupakan atau memang sengaja tidak mau ingat
lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat
untuk membantu gerakan mereka itu.
Dan hal
seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian harus
menghadapi lagi golongan baru yang hendak menumbangkannya, dengan janji-janji
yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang
berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau
terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyat pun selalu menurut
saja dan dapat saja dimakan oleh propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk
yang tak kunjung terpenuhi itu!
Kapankah di
dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan cinta
kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau
mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan
pribadi? Kapankah segala semboyan dan anjuran mengenai hal-hal yang baik itu
bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan
sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para
pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat
melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para
pemimpinnya?
Pemimpin
sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya
merupakan pendidikan langsung bagi sang anak. Sebaliknya apa gunanya seorang
ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri
melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini
atau pun itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup
ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan
kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.
Demikianlah,
diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tak senang tinggal di Lembah Naga sebagai
tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa khawatir, akan
tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan orang pasukan.
Dan kecuali mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, secara diam-diam Sin
Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan diri
menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih.
Bahkan dia
telah mendengar dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri bahwa
wanita gagah itu menikah dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga,
bahkan tidak disaksikan orang lain karena mereka menikah diam-diam di kuil!
***************
Menerima
kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan perasaan tidak enak kepada
seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan atau
balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali karena di
dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh Pangeran
Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan memandangnya
sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang pangeran!
Dan memang
demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke mana pun juga di seluruh daerah itu, akan
tetapi tentu saja kalau sendirian. Apa bila dia mengajak Bi Cu, maka mendadak
saja penjagaan lalu diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah dia
bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai sandera!
Betapa pun
juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan dan
menunjukkan tempat-tempat di mana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia
juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan di mana dulu dia dipelihara oleh monyet
betina besar.
Dia sempat
bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu saja tidak ada
seekor pun monyet yang mengenalnya. Padahal dulu, hampir semua monyet di hutan
itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya.
Akan tetapi
dia pun cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tak mungkinlah baginya untuk
melarikan diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak
buah pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan
lagi yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tidak mau dia
menempuhnya karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya.
Karena tidak
mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut melakukan
penjagaan. Waktu pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan lagi
dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan perondaan
di sekeliling lembah yang sangat sunyi itu, kadang-kadang dia membayangkan apa
yang akan terjadi di lembah itu.
Sudah
beberapa kali dia mengajak Bi Cu mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah
makam sederhana, kemudian di situ dia bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu
dia menceritakan terus terang semua riwayat mengenai ibunya yang sebelah
tangannya buntung, tentang dirinya yang sesungguhnya adalah putera ibunya yang
bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun Houw.
"Aku
tidak tahu apakah yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu.
Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir akibat hubungan antara ibu kandungku
dengan Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri
paman Kui Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita
Yap In Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya
sampai sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada
yang mengetahuinya. Biar pun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi
agaknya... aku hanyalah anak gelap..."
Bi Cu
merangkul kemudian mencium muka yang muram itu. "Sin Liong, baik engkau
anak terang, anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah
bilang, aku tidak peduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak
jembel, anak malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram
seperti ini!" Tentu saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi
cerah kembali.
Sudah
beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak Bi Cu
untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu dia pun baru saja
kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Dia pun ingin sekali tahu apa
yang sebenarnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia
Bun Houw.
Sayang
ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. Dan agaknya pendekar
Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya kepada siapa
pun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu! Dan dia pun tidak
sudi bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya. Dia tidak
mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi ayah kandungnya
itu atau pun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya!
Terhadap Bi
Cu, apa pun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemmm, kalau pendekar itu mau
mengakuinya sebagai putera, baik. Jika tidak mau, dia pun tidak butuh menjadi
anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu terhadapnya.
Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak mempedulikan dia
itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang ayah kandungnya
itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta dirinya, bukan
keturunannya.
Senja telah
mendatang dan biar pun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari yang mulai
bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, namun pandang matanya yang
tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya sesuatu yang tidak beres ketika
dia memasuki sebuah hutan kecil di luar Lembah Naga menuju pulang itu.
Biasanya, di situ tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan
sambil bersembunyi.
Tadi saat
pergi menuju ke makam ibunya, dia masih tersenyum melihat gerakan-gerakan
mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan bersembunyi itu hanya berguna
untuk menjaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau yang masuk itu orang pandai,
tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan mereka, pikirnya.
Akan tetapi
sekarang, tidak ada gerakan sedikit pun juga. Suasana di tepi hutan itu sunyi
bukan main, sunyi dan mati! Timbil kecurigaannya karena biasanya, setiap tempat
selalu dijaga siang dan malam secara bergilir. Penjagaan yang merupakan sebuah
hutan di tepi Lembah Naga merupakan jalan masuk ke lembah itu tidak terjaga? Ke
manakah perginya semua penjaga di situ yang jumlahnya belasan orang itu?
Sebagai
orang yang oleh pangeran dipercaya untuk melakukan perondaan dan menjaga
keamanan lembah itu, Sin Liong merasa berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan
dan kalau perlu menegur komandan penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah
sekali.
Dengan
gerakan ringan sekali Sin Liong lalu meloncat ke arah sebatang pohon tinggi dan
dari puncak pohon itu dia lantas meneliti ke bawah, untuk melihat ke mana
perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba saja dia menahan seruan heran ketika
melihat tubuh beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak
seperti orang tidur nyenyak, ataukah sudah tewas?
Cepat dia
meloncat turun dan lari ke tempat itu. Ternyata nampak belasan orang penjaga
yang biasanya menjaga di bagian itu rebah malang-melintang, sama sekali bukan
tertidur nyenyak atau mati, melainkan tidak sadar dalam keadaan tertotok semua!
Ada musuh
yang menyelundup masuk! Musuh yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai saja
yang berani merobohkan para penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh
mereka! Sin Liong tidak mau membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat
masuk ke dalam hutan kecil itu dan kembali tak lama kemudian dia sudah
memeriksa keadaan sekeliling dengan meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang
tinggi.
Akhirnya dia
melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan. Agaknya dua orang
itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya kedua orang itu sedang menunggu
malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk menyelundup ke
Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat sekali dia lalu
menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan tetapi cepat bukan
main.
Mereka itu
adalah seorang pria dan seorang wanita. Kini keduanya sedang duduk bersila di
atas rumput, dan tampaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong mendekati
dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu dari
belakang kelihatan belum tua benar.
Akan tetapi,
tanpa menoleh tiba-tiba saja wanita itu telah menggerakkan tangan kirinya ke
belakang dan nampak sinar hijau menyambar ke arah rumpun semak-semak di
belakang mana Sin Liong mengintai! Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum),
senjata rahasia yang amat berbahaya!
Sin Liong
mengenal bahaya, maka dia pun meloncat berdiri dan mengelak ketika sinar hijau
itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk bersila itu
tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil membentak,
"Robohlah!"
Akan tetapi
tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan walau pun dia merasa
terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia lalu
menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Dukkk!"
"Iihhhh...!"
Wanita itu agak terhuyung sambil mengeluarkan seruan tertahan, karena dia
merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu menangkis, bahkan
tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung.
Mendadak Sin
Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping. Tahulah dia
bahwa ada orang pandai yang menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka
sambil memutar kakinya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang
karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali.
"Dessss...!"
Dan
akibatnya, keduanya terpental ke belakang dan keduanya sama-sama terkejut. Apa
lagi ketika mereka saling mengenal. Sin Liong memandang terbelalak kepada pria
gagah perkasa yang ternyata bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri, Cia Bun
Houw! Maka sekarang dia teringat bahwa wanita itu adalah Yap In Hong, yaitu ibu
tirinya, isteri ayah kandungnya!
Pada fihak
Cia Bun Houw, dia pun mengenal pemuda ini dan alisnya berkerut, mukanya berubah
merah karena dia teringat betapa pemuda yang pernah dikasihi oleh mendiang
ayahnya itu, bahkan yang sudah mewarisi semua ilmu dari ayahnya, ternyata
merupakan pemuda yang tidak berbudi, yang telah menghalangi dia dan isterinya
membunuh musuh besar mereka, Kim Hong Liu-nio. Dan sekarang, pemuda ini agaknya
malah membantu Pangeran Ceng Han Houw!
"Engkau...?!"
Cia Bun Houw membentak.
Mendengar
ini, Yap In Hong juga menunda serangan lanjutannya. Dia memandang dan sekarang
pun dia teringat kepada Sin Liong.
"Ehh,
kiranya setan cilik ini berada di sini?" Dia pun membentak marah.
Sin Liong
menghadapi mereka dan memandang tajam. Dia khawatir sekali melihat ayah
kandungnya berkeliaran di situ. Akan tetapi dia pun merasa tak senang melihat
ibu tirinya, apa lagi setelah mendengar dia disebut setan cilik!
"Harap
ji-wi segera pergi dari sini!" katanya kemudian. "Di sini amat
berbahaya."
Cia Bun Houw
sudah merasa penasaran sekali. "Dan engkau sendiri?"
"Aku...
adalah penjaga di sini, maka aku tahu betapa bahayanya tempat ini."
"Bocah
lancang!" Cia Bun Houw membentak marah. "Apakah kau kira, kalau
engkau yang berjaga, aku lalu merasa takut padamu?"
"Bocah
setan ini memang perlu dihajar!" Yap In Hong berseru karena dia pun merasa
betapa anak ini amat buruk wataknya, tidak mengenal budi yang sudah dilimpahkan
oleh ketua Cin-ling-pai, yaitu mendiang ayah mertuanya. Sepatutnya Sin Liong
ingat budi dan membantu Cin-ling-pai, bukan malah membantu pangeran pemberontak
itu!
Sin Liong
juga marah, merasa direndahkan, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya
menggerak-gerakkan kedua tangannya. "Pergilah... pergilah...!"
"Engkau
yang pergi ke neraka, bocah murtad!" Cia Bun Houw membentak dan dia sudah
menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Liong.
Akan tetapi,
dengan sigap dan cepatnya Sin Liong mengelak, lalu memutar tubuhnya dan
tahu-tahu dia pun sudah menyerang, bukan kepada ayah kandungnya, melainkan
kepada Yap In Hong, dengan pukulan tangan kiri yang cepat dan dahsyat.
Namun Yap In
Hong adalah seorang wanita pendekar sakti yang berilmu tinggi, maka dengan
cepat dia dapat menangkis pukulan itu. Lalu terjadilah perkelahian yang seru
dan membuat suami isteri pendekar sakti itu terheran-heran tiada habisnya.
Pemuda itu
ternyata mampu menghadapi pengeroyokan mereka! Bahkan sama sekali tak pernah
terdesak, dan membalas setiap serangan dengan serangan balasan yang tidak kalah
dahsyat dan ampuhnya! Bahkan pemuda itu juga dapat mainkan Thai-kek Sin-kun
dengan amat baiknya, dan menangkis tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang dengan
tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang pula yang tidak kalah kuatnya!
Bahkan
ketika kedua orang suami isteri yang amat lihal itu mendesaknya dengan gerakan
cepat, Sin Liong sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan menurut ajaran mendiang
Kok Beng Lama dan juga mengerahkan Thi-khi I-beng untuk menyedot tenaga dua
orang pengeroyoknya! Dua orang suami isteri itu berkali-kali mengeluarkan
seruan kaget sekali. Mereka teringat akan kehebatan Kok Beng Lama dan Cia Keng
Hong, karena kehebatan kedua orang kakek sakti itu seolah-olah telah pindah ke
dalam diri anak ini!
Tentu saja
Sin Liong harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada di dalam tubuhnya dan
mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya untuk menghadapi pengeroyokan
dua orang yang demikian saktinya. Hanya dia belum mau mempergunakan ilmu-ilmu
yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena bagaimana pun juga,
dia hanya membela diri dan membalas serangan dengan ilmu-ilmu yang didapatnya
dari Kok Beng Lama serta Cia Keng Hong sehingga boleh dibilang bahwa pemuda ini
menghidapi dua orang lawannya dengan ilmu-ilmu yang sama!
Maka mereka
itu seolah-olah hanya berlatih saja, sungguh pun sebenarnya, sama sekali bukan
demikian karena suami isteri yang merasa penasaran itu mendesak dengan hebat.
Apa lagi setelah lewat lima puluh jurus kedua orang suami isteri yang lihai itu
sama sekali belum mampu merobohkan Sin Liong!
Mereka
berdua adalah pendekar-pendekar besar sehingga biar pun kelihatannya mereka
mengeroyok Sin Liong dengan dahsyat, namun mereka selalu mengendalikan serangan
mereka sehingga kalau saja Sin Liong sampai terkena pukulan, tentu saja bukan
pukulan mematikan.
Diam-diam
Sin Liong juga merasa kagum bukan kepalang. Ayah kandungnya ini memang hebat,
dan ibu tirinya pun hebat. Melawan mereka satu lawan satu saja kiranya amat
sulit baginya untuk mendapat kemenangan, apa lagi harus melayani dua sekaligus.
Entahlah kalau dia mempergunakan ilmunya Hok-mo Cap-sha-ciang.
Akan tetapi
dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menggunakan ilmu ini kepada mereka,
sungguh pun di dalam gerakannya itu sudah dibantu oleh kemajuan yang didapat
ketika dia mempelajari ilmu peninggalan Bu Beng Hud-couw itu.
Tiba-tiba
terdengar suara gaduh dan muncullah puluhan orang prajurit yang dipimpin oleh
seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek,
yaitu orang pertama dari Lam-hai Sam-lo! Mereka adalah pasukan penjaga dari
sekitar hutan itu yang tertarik oleh perkelahian itu dan segera memasuki hutan
dipimpin oleh kakek itu.
Melihat hal
ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut. Mereka datang untuk menyelidiki
Lembah Naga, sesuai dengan perintah dari Pangeran Hung Chih. Akan tetapi kini
mereka sudah ketahuan.
Menghadapi
Sin Liong seorang saja sudah cukup berat, apa lagi kalau muncul puluhan orang
penjaga. Mereka tidak takut, akan tetapi maklum pula bahwa tidak mungkin mereka
berdua saja harus melawan ribuan pasukan yang berada di daerah itu.
Maka Cia Bun
Houw mengeluarkan suara melengking nyaring yang menjadi isyarat bagi isterinya
untuk melarikan diri. Suara lengkingan dahsyat itu amat luar biasa, mengandung
tenaga khikang kuat sehingga beberapa orang pengawal terguling roboh.
Melihat
kedua orang itu melarikan diri, Sin Liong tidak mengejar dan membiarkan pasukan
pengawal mengejar mereka, yakin bahwa tak mungkin pasukan pengawal itu akan
mampu menyusul suami isteri pendekar yang sakti itu. Sementara itu,
Hai-liong-ong Phang Tek yang juga tahu akan kelihaian suami isteri itu sehingga
merasa jeri untuk pergi mengejar sendirian saja, lantas tersenyum kepada Sin
Liong dan menjura sambil berkata, suaranya ramah.
"Senang
sekali dapat bertemu dan bekerja sama dengan taihiap."
Sin Liong
tidak menjadi bangga dan senang mendengar disebut taihiap itu, yang dia tahu
dilakukan oleh kakek ini untuk menghormatinya karena kakek ini tentu sudah tahu
bahwa dia dianggap adik angkat atau bahkan keluarga pangeran. Dia tidak tahu
bahwa memang kakek ini merasa kagum bukan main melihat dia mampu menandingi
pengeroyokan dua orang suami isteri yang terkenal sebagai pendekar-pendekar
terbesar di masa itu. Tanpa menjawab, Sin Liong hanya mengangguk kemudian
memutar tubuhnya dan pergi dari situ untuk kembali ke kamarnya di Istana Lembah
Naga.
Bi Cu telah
menyambutnya. Dara ini tidak mau makan malam sebelum Sin Liong pulang dan
begitu kekasihnya datang, dia menyambut dengan teguran, "Sin Liong, ke
mana saja engkau sampai malam begini? Hatiku merasa gelisah selalu."
Sin Liong
lalu menceritakan pertemuannya dengan suami isteri pendekar itu, betapa dia
bertempur melawan mereka sehingga kemudian pasukan datang dan kedua suami
isteri itu melarikan diri.
"Ahh,
ayah kandungmu dan ibu tirimu?" Bi Cu bertanya kaget sekali.
Sin Liong
mengangguk dan alisnya berkerut, hatinya gelisah. Tidak disangkanya dia akan
bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai di tempat itu. Tanpa banyak cakap dia lalu
makan malam bersama Bi Cu. Baru saja selesai makan malam, Pangeran Ceng Han
Houw dan Lie Ciauw Si mengunjungi mereka.
"Liong-te,
aku mendengar dari pasukan penjaga bahwa senja tadi ayah kandungmu dan ibu
tirimu muncul..."
"Harap
engkau tidak menyebut-nyebut mengenai ayah kandung dan ibu tiri, Houw-ko!"
Sin Liong menegur, merasa tidak senang orang bicara seperti itu. Namun kalau Bi
Cu yang menyebutnya, hal itu lain lagi!
"Ahh,
baiklah. Dan memang sikapmu tadi membuktikan bahwa engkau tidak menganggap
mereka ayah dan ibu tiri, Liong-te. Suami isteri perkasa, pasangan pendekar
yang paling hebat pada masa ini sudah memberi kehormatan kepadaku dan muncul di
sini. Mengapa engkau menerima dan menyambut mereka dengan kepalan, Liong-te?
Bukankah engkau tahu bahwa kita membutuhkan tenaga mereka? Mengapa engkau tidak
menerima mereka secara baik-baik dan mempersilakan mereka masuk sebagai
tamu-tamu agung? Engkau tahu, mereka itu adalah paman dan bibi isteriku,
berarti paman dan bibiku sendiri. Kenapa engkau malah menyambut mereka sebagai
musuh?"
Sin Liong
merasa bingung dengan sikap pangeran ini. Kata-katanya penuh teguran dan
penyesalan, akan tetapi pandang mata pangeran itu membayangkan hati yang
gembira! Dia sudah mengenal baik sinar mata pangeran itu, maka dia tahu bahwa
kalau pangeran itu benar-benar sedang marah, tidak seperti itulah sinar
matanya. Dan memang benarlah.
Han Houw
merasa sangat kecewa mendengar keluarga Cin-ling-pai yang diharapkannya untuk
dapat menjadi sekutunya itu datang sebagai musuh, akan tetapi di samping itu
dia pun gembira melihat bukti kenyataan bahwa Sin Liong benar-benar hendak
membelanya dan setia padanya sehingga pemuda ini tidak segan-segan untuk
melawan ayah kandung sendiri untuk menjaga keamanan di situ! Tentu saja dia
tidak tahu bahwa perkelahian itu bukan disebabkan oleh hal itu, tetapi karena
Sin Liong didesak dan diserang oleh mereka.
Juga Lie
Ciauw Si segera berkata, suaranya halus akan tetapi mengandung teguran dan
penyesalan, "Liong-te, kenapa engkau tidak memberitahukan mereka bahwa aku
berada di sini dan bahwa aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan paman Bun
Houw dan bibi In Hong? Ahhh, aku sudah mengutus orang untuk menyampaikan surat
kepada keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai, tapi begitu paman dan bibi muncul,
engkau malah menyerang mereka."
Sin Liong
tahu benar bahwa apa yang keluar dari mulut kakak misannya ini memang jujur dan
sebenarnya, berbeda dengan ucapan pangeran yang tentunya mengandung hal-hal
tersembunyi yang tidak dipercayanya. Karena itu diam-diam dia merasa lega bahwa
ayah kandungnya itu telah pergi dari Lembah Naga dan berarti lolos dari ancaman
bahaya yang dia tidak dapat membayangkan bagaimana.
"Maafkan,
Houw-ko dan lihiap." Dia tetap tidak mau menyebut piauw-ci kepada Lie
Ciauw Si, melainkan menyebut lihiap karena kalau dia menyebut piauw-ci, sama
artinya bahwa dia menerima Cin-ling-pai sebagai keluarganya. Padahal, dia tidak
akan mengemis akan hal itu. "Akan tetapi ketika aku melihat betapa mereka
berdua merobohkan belasan orang penjaga dengan totokan, aku menjadi sangat
curiga lantas menyerang mereka. Terjadilah perkelahian, kemudian muncul
Hai-liong-ong Phang Tek bersama pasukan penjaga, dan mereka melarikan
diri."
"Sudahlah,"
pangeran menarik napas panjang seperti orang menyesal, padahal hatinya terasa
lega karena betapa pun juga, dia agak jeri terhadap suami isteri itu.
"Semua itu terjadi karena salah sangka. Kelak kalau mereka muncul dalam
pertemuan rapat besar orang-orang kang-ouw, tentu akan dapat kita terangkan
duduknya perkara dan aku akan mohon maaf kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap
In Hong!" Pangeran itu menyebut kedua nama ini dengan paman dan bibi,
suaranya demikian sungguh-sungguh dan mesra seolah-olah dia memang sudah
menerima suami isteri itu menjadi keluarganya.
Hal ini
menggirangkan hati Ciauw Si, akan tetapi malah menimbulkan curiga di dalam hati
Sin Liong. Pemuda ini tahu bahwa sang pangeran menganggap suami isteri itu
sebagai saingan besar untuk memperebutkan julukan jagoan nomor satu di dunia!
Aku harus
waspada, pikir Sin Liong. Bukan waspada menjaga keamanan Lembah Naga, melainkan
waspada mengamati gerak-gerik pangeran itu untuk menjaga keselamatan Bi Cu dan
dirinya sendiri, dan kalau mungkin keselamatan Ciauw Si!
Bagaimanakah
suami isteri pendekar itu tiba-tiba dapat muncul di Lembah Naga? Seperti telah
kita ketahui, Cia Bun Houw dan isterinya, Yap In Hong, bersama dengan Lie Seng
pergi ke kota raja dan mereka bertiga berhasil melarikan Sun Eng dari dalam
tahanan di ista卢na Pageran Ceng Han Houw.
Akan tetapi,
Sun Eng tidak dapat ditolong dan akhirnya meninggal dunia, sedangkan Lie Seng
yang merasa sangat berduka itu akhirnya lalu mengikuti seorang hwesio tua untuk
mengasingkan diri dari dunia ramai dan masuk menjadi seorang hwesio yang tidak
lagi mencampuri urusan duniawi!
Cia Bun Houw
dan Yap In Hong lalu kembali ke kota raja dan berhasil menemui Pangeran Hung
Chih, dan mereka pun menerima berita baik sekali, yaitu bahwa mereka sekeluarga
Cin-ling-pai sudah dibebaskan dari pada tuduhan memberontak dan tidak menjadi
buruan pemerintah lagi.
Dengan
girang mereka lalu menyampaikan berita ini kepada kedua orang kakak mereka,
yaitu suami isteri Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang masih bersembunyi di
selatan. Mereka berdua kemudian menitipkan putera mereka dalam asuhan suami
isteri yang lebih tua itu karena mereka telah berjanji pada Pangeran Hung Chih
untuk membantu pangeran itu menghadapi usaha pemberontakan Ceng Han Houw.
Demikianlah,
kedatangan mereka ke utara itu adalah dalam rangka tugas ini, yaitu untuk
melakukan penyelidikan mengenai kegiatan pangeran peranakan Mongol itu. Tak
mereka sangka, mereka telah dipergoki oleh Sin Liong!
Sesudah
berhasil melarikan diri keluar dari Lembah Naga, suami isteri ini lalu mengirim
laporan mengenai Lembah Naga yang kini terjaga oleh ribuan orang pasukan Mongol
dan bangsa-bangsa utara lainnya itu secara panjang lebar, kemudian mengutus
salah seorang di antara para penyelidik untuk membawa laporan itu ke sebelah
dalam Tembok Besar.
Sementara
itu, mereka berdua masih terus menanti di luar Lembah Naga untuk mengikuti
perkembangan usaha Pangeran Ceng Han Houw mengadakan pertemuan besar dengan
tokoh-tokoh kang-ouw. Sering kali mereka membicarakan tentang Sin Liong.
"Bocah
setan itu benar-benar lihai sekali," kata Yap In Hong. "Sungguh luar
biasa bocah seperti itu bisa memiliki semua ilmu-ilmu Cin-ling-pai sedemikian
sempurnanya. Dia telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu Kok Beng
Lama!"
"Dan
juga kepandaian mendiang ayah!" kata Bun Houw sambil menarik napas panjang.
"Sebagai putera tunggal ayah aku sendiri tidak mewarisi Thi-khi I-beng,
demikian juga enci Giok Keng sebagai puteri tunggalnya pun tidak. Yang mewarisi
hanya kakanda Yap Kun Liong seorang. Akan tetapi siapa kira, bocah setan itu
sekarang mewarisinya, dan dapat mempergunakannya dengan mahir sekali!"
"Dia
telah menggabungkan ilmu-ilmu dua orang guru besar secara hebat. Tentu dia akan
merupakan lawan yang tangguh sekali!"
"Memang
benar. Sungguh aku tidak mengerti mengapa suhu Kok Beng Lama dan ayahku
menurunkan semua ilmu mereka kepada bocah tak berbudi itu sehingga kini semua
ilmu kita digunakan untuk melawan kita sendiri dan membela pangeran
pemberontak. Sungguh penasaran sekali. Kalau saja mendiang ayah dan mendiang
suhu Kok Beng Lama dapat melihat hal ini, tentu mereka berdua akan merasa
menyesal sekali."
"Sudahlah,
kita tidak perlu gelisah dan khawatir. Bagaimana pun juga, dia masih sangat
muda dan belum berpengalaman. Mungkin saja dia kena terbujuk oleh pangeran itu,
siapa tahu? Kita belum melihat benar bagaimana isi hati anak yang aneh dan
keras hati itu. Agaknya tidak mungkin kalau kedua orang tua yang bijaksana itu
sampai salah mengenal orang. Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya
di Lembah Naga."
Cia Bun Houw
menyetujui pendapat isterinya ini dan mereka menanti sambil memasang matadengan
waspada, menanti perkembangan dan datangnya hari pertemuan para tokoh kang-ouw
di Lembah Naga yang undangannya sudah disebar oleh kaki tangan Pangeran Ceng
Han Houw beberapa bulan sebelumnya.
Semua tokoh
kang-ouw yang merasa berkepandaian diundang, tanpa menentukan siapa orangnya.
Dalam undangan yang disebar itu dikemukakan bahwa di dalam pertemuan itu akan
dipilih seorang bengcu yang akan memimpin seluruh dunia kang-ouw sebagai jago
nomor satu di dunia ini!
Suami isteri
ini maklum bahwa tentu semua tokoh kang-ouw akan tertarik oleh undangan
istimewa ini dan Lembah Naga akan menjadi ramai bukan main. Akan tetapi mereka
pun tahu bahwa akan terjadi keramaian lainnya yang sama sekali tak akan terduga-duga
oleh Pangeran Ceng Han Houw si pemberontak itu. Kini mereka menanti saat
penentuan itu dengan tenang dan waspada.
***************
SUDAH
terlampau lama kita meninggalkan keadaan Tee Beng Sin si pemuda gemuk yang
gagah perkasa itu. Sesudah kita mengetahui bahwa yang memiliki she (nama
keturunan) Tee adalah ibu kandungnya yang kini telah menjadi nikouw, sedangkan
ayah kandungnya sesungguhnya adalah Kui Hok Boan, maka nama lengkapnya tentu
saja bukan Tee Beng Sin melainkan Kui Beng Sin! Bagi Beng Sin hal ini merupakan
kenyataan pahit karena sesungguhnya dia mulai merasa tidak suka terhadap orang
yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu!
Sesudah dia
bertemu dengan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang nikouw dalam kuil dan
tidak mau mengakui lagi sebagai Tee Cui Hwa dan mengatakan bahwa Tee Cui Hwa
telah mati dan bahwa dia adalah Thian Sin Nikouw, dengan hati perih sekali
ibunya menceritakan tentang riwayat ayah kandungnya yang busuk! Akan tetapi ada
juga sedikit hiburan di dalam hatinya, yaitu bahwa ibunya itu melalui kata-kata
Thian Sin Nikouw, telah menyetujui perjodohannya dengan puteri Ciok-piauwsu
yang baik budi dan gagah itu.
Dia tidak
lagi mengharapkan ayah kandungnya yang sudah ditinggalkannya. Dia tidak lagi
dapat mengharapkan perjodohan dengan salah seorang di antara dua puteri kembar
ayah kandungnya itu, karena Lan dan Lin ternyata adalah adik-adik tirinya
sendiri, satu ayah berlainan ibu! Maka dengan besar hati dia pergi meninggalkan
ibunya dan berangkatlah pemuda gemuk yang berwatak gembira ini menuju ke
Su-couw di Ho-nan, di mana dia tahu keluarga Ciok, terutama sekali Ciok Siu Lan
dara yang manis itu, sudah menantinya dengan penuh harapan.
Apa yang
dibayangkannya itu memang benar. Ketika dia tiba di rumah calon mertuanya itu,
dia disambut dengan gembira dan amat meriah. Siu Lan, dara itu, tidak
mengeluarkan sepatah kata pun, akan tetapi wajah yang manis itu menjadi cerah
bukan main, sepasang matanya yang bening itu berkaca-kaca, basah dan
berkilauan, mulutnya yang mungil itu mengulum senyum dan setelah mengerling dan
tersenyum malu-malu kepada Beng Sin, memberi hormat, dia lantas melarikan diri
dengan langkah-langkah kecil ke dalam rumah, membanting dirinya di atas
pembaringan dalam kamarnya dan... menangis karena girang!
Ciok-piauwsu
dan isterinya, calon ayah dan ibu mertua Beng Sin, menyambut pemuda itu dengan
girang, dan mereka lalu mendengarkan dengan wajah serius pada saat Beng Sin
menceritakan segala yang sudah dialaminya. Pemuda ini merasa bahwa apa bila dia
mau menjadi keluarga mereka ini, dia harus menceritakan segala keadaannya.
Tentu saja dia tidak mau menceritakan keburukan ayah kandung sendiri.
Dan yang
mula-mula sekali dikatakannya adalah, "Saya telah membunuh kakak tiri saya
sendiri..."
Tentu saja
pengakuan ini mengejutkan Ciok-piauwsu serta isterinya. Akan tetapi setelah
Beng Sin menceritakan segalanya, tentang perbuatan Siong Bu yang mencelakakan
Lan Lan dan Lin Lin, juga tentang pertempuran yang terjadi di antara mereka
karena marah, kemudian tentang kematian Siong Bu dalam perkelahian itu,
Ciok-piauwsu menarik napas panjang dan berkata,
"Engkau
tak bersalah dalam hal itu. Tewas dalam perkelahian memperebutkan kebenaran
adalah sudah jamak."
Besar
hatinya mendengar pendapat calon ayah mertuanya ini, Beng Sin lalu menceritakan
segala-galanya. Betapa ayah dan ibunya sudah berpisah, dan ibunya kini menjadi
nikouw dan tak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Betapa dia sendiri menjadi
bentrok dengan ayahnya karena peristiwa kematian kakak tirinya itu, maka dia
sendiri tidak ingin kembali kepada ayah kandungnya. Betapa ibunya, sebagai
seorang nikouw, merestui perjodohan yang diusulkan oleh keluarga Ciok.
Semua itu
didengarkan oleh suami isteri dengan penuh kesungguhan hati dan juga rasa
kagum. Pemuda calon menantunya ini benar-benar seorang yang sangat jujur, tidak
mau menutupi segala keburukan keluarganya sendiri. Masih jauh lebih baik
memiliki seorang mantu yang jujur seperti ini dari pada kalau menyembunyikan
dan merahasiakan segala kebusukan keluarganya. Dengan bersikap jujur seperti
itu, Beng Sin sudah membuktikan bahwa dia tidaklah busuk seperti kakak tirinya
atau ayah kandungnya sendiri!
"Saya
sendiri sungguh mati tak pernah dapat mengerti kenapa ayah kandung dan kakak
tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, mau menyerahkan
mereka kepada pangeran keparat itu!" Akhirnya Beng Sin berkata sambil
mengepal tinjunya. "Apa bila saya berkepandaian, tentu akan saya tolong
Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti
pangeran itu?"
"Tenangkan
hatimu, Beng Sin," kata calon ayah mertuanya. "Kini kedua orang
adikmu itu telah selamat."
"Ehhh?
Bagaimana... ehh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?" Biar pun agak
malu-malu, dia tak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan
hati Ciok-piauwsu.
"Mereka
telah diselamatkan oleh kakak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian
menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah
Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok yang menganggap mereka seperti anak
sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka."
Muka yang
gemuk itu memandang dengan mulut melongo, merasa terheran-heran akan tetapi
juga girang sekali mendengar bahwa Lan Lan dan Lin Lin selamat.
"Ahh,
tentu Sin Liong yang menyelamatkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka
berada di kota ini? Bersama ayah?" Pertanyaan terakhir ini bernada tak
senang.
"Benar,
dan mereka kini sudah membeli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi
ayahmu beserta adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat
berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh kebetulan
sekali dan mudah untuk mengesahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan."
Akan tetapi
wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia menggeleng kepala.
"Saya tidak akan mengunjungi ayah..."
Suami isteri
itu saling pandang, kemudian Ciok-piauwsu pun berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh,
"Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengecewakan hati kami dengan
melesetnya pandangan kami tentang dirimu. Kami sudah memandangmu sebagai
seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi serta bijaksana. Akan tetapi, semua
itu akan menjadi tak ada gunanya bila sekarang engkau hendak bersikap murtad
dan kejam terhadap ayah kandung sendiri."
"Akan
tetapi, gak-hu..., hanya saya yang tahu betapa jahatnya dia... betapa
kejamnya... ahh, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa
malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiri pun ingin diserahkan kepada
pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk
disembelih..."
"Cukup,
Beng Sin!" Tiba-tiba Ciok-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas.
"Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apa lagi kalau
orang itu adalah ayah kandungmu. Betapa pun banyaknya penyelewengan yang pernah
dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan
tak mau memaafkannya? Dia sekarang... ahhh, sakit parah..."
"Ahhh...?"
Beng Sin terkejut.
"Benar,
Beng Sin," sambung ibu mertuanya. "Ayahmu itu sedang menderita
penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar hati
orang tua itu terhibur. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung
melihat ayah mereka sakit."
Mendengar
betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan kedua orang gadis kembar itu menjadi
bingung, timbul rasa kasihan di dalam hati Beng Sin. Betapa pun juga, ayah
kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak
budi kebaikan kepadanya. Dan dia sangat menyayang dua orang dara kembar itu,
bahkan dia pernah jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta
wanita, sungguh pun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak
terhadap seorang adiknya.
"Baik,
saya akan pergi mengunjungi mereka."
Giranglah
hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah
tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin
menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga
Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja yang
mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di
rumah ini.
Kui Lan dan
Kui Lin menggunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan
perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada
ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok, untuk dijalankan
hingga modal itu dapat menghasilkan keuntungan sehingga tak akan habis dimakan
menganggur begitu saja.
Ketika Kui
Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi
girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin
sambil menangis.
"Sin-ko...!"
Kui Lan terisak.
"Sin-ko,
kenapa baru sekarang kau muncul?" Kui Lin juga menangis.
Beng Sin
tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara
kembar yang amat disayangnya ini. "Lan-moi... Lin-moi... terima kasih
kepada Thian bahwa kalian dalam selamat...," katanya berulang-ulang.
Dia terharu
sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya,
sedarah dengan dia, seayah!
"Kami
diselamatkan oleh Liong-koko," kata Kui Lan.
"Dan
Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini," sambung Kui
Lin.
Sukar bagi
mulut Beng Sin untuk bertanya mengenai ayahnya. Ahhh, sudah tahukah dua orang
dara kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah
dengarkah mereka mengenai kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus
dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata,
"Lan-moi
dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko..."
Dua orang
dara itu mengangguk dan mengusap air mata, "Kami sudah mendengar semua itu
dari Liong-koko, Sin-ko," kata Kui Lan.
"Bukan
salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian karena
engkau membela kami... ahh, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan
dari... dari ayah..."
"Kami
berdua sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga
mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah...
dia... dia..." Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis.
Dari
kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, maka
akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah kedua orang dara
kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang
telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang
lelaki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang sudah
menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman
Sin Liong itu, juga ternyata adalah ayah mereka sendiri.
Beng Sin
mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang
adiknya ini pun sudah tahu segala hal mengenai ayah mereka. "Bagaimana...
ayah...?" tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima
kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. "Aku
mendengar dari keluarga Ciok bahwa dia sakit payah?"
Kui Lan
hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, "tubuhnya tidak
apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi..."
"Tetapi
bagaimana?" Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar,
dia hampir merasa dapat mengerti.
"Pikirannya...
batinnya terpukul hebat dan dia... dia..."
"Seperti
anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam keadaan duka dan sesal.
Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko," Kui Lan menyambung.
Beng Sin
lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam
dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya.
Terharu
bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua
itu. Kui Hok Boan yang dahulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan
pakaian yang selalu rapi itu kini bagaikan seorang jembel tua saja. Pakaiannya
kusut, rambutnya kusut, tubuhnya kurus kering, matanya sayu dan walau pun kamar
itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas
lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia
bangkit duduk dan melebarkan matanya.
"Ayah,
ini Sin-ko datang menjenguk," kata Kui Lan.
"Ayah,
ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?" Kui Lin mengingatkan.
"Beng
Sin... Beng Sin... anakku...," kata orang tua itu lirih seperti berbisik.
Beng Sin tak
dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan orang
tua itu sambil menitikkan air mata. "Ayah...!" Dia tidak mampu bicara
apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah?
"Beng
Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak
membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku sudah membunuh
ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku telah membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li,
seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian sudah mati di
tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh..."
dan orang tua itu pun menangis seperti anak kecil!
Beng Sin
terkejut dan memandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin,
diajaknya bangun dan mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan
kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu
masih terus terdengar.
"Dia
selalu begitu...," kata Kui Lin berbisik. "Jika ditanggapi malah
semakin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur."
Beng Sin
menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia
harus menderita batin seperti itu..."
"Itukah
hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?" kata Kui
Lin meragu.
"Betapa
pun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita semua. Ayah kita pernah melakukan
kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita supaya kita tidak
sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat," kata Kui Lan.
Memang tiga
orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan segala
perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka.
Akan tetapi sesudah menyaksikan keadaan ayah mereka yang sedemikian
mengenaskan, lebih menyedihkan dari pada mati sendiri, hidup akan tetapi
menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa
iba.
Apakah
artinya segala penyesalan setelah terlambat? Dan apakah gunanya penyesalan?
Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang sadar
kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar menjadi
hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita
karena perbuatan dirinya sendiri?
Betapa
seringnya kita menyesal, tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita
lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu
berada di dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja
dibuai bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka
tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya.
Orang yang
batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenangan. Sesudah
kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak
menyenangkan, barulah dia merasa menyesal! Coba andai kata tidak ada akibat yang
mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan
itu? Tentu saja tidak!
Sama halnya
dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, lantas kepedasan dan
menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi di lain saat dia sudah makan
sambal lagi!
Demikian
pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat
melalui mulut kepada Tuhan. Namun begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan
yang sama, maka perbuatan itu akan diulang untuk kemudian menyesal dan bertobat
kembali. Bila kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan
sehari-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini?
Bukan
penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan
dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan
inilah yang kemudian menimbulkan kebijaksanaan serta kecerdasan, yang akan
meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan bila tidak ada penyelewengan dan
kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat.
Kalau pun
kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa
yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan
perbuatan tidak benar itu dan selesai sampai di sana saja. Tidak ada
penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang
lampau sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat
demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi
sekarang. Karena itu hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini!
Yang teramat
penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu?
Tidak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan hanyalah benarnya
sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran
sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apa
pun yang kita lakukan, apa bila didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu!
Dan cinta kasih tak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin
senang, ingin baik dan sebagainya.
Melihat
keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya supaya pernikahan
diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal
keadaannya. Karena pada waktu itu, ketika mendengar laporan anak-anaknya
tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!
***************
Beberapa
hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba,
daerah di Lembah Naga sudah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak
partai-partai persilatan yang mengutus rombongan anak murid untuk datang
berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di
dunia, namun untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan
menjadi bengcu.
Tentu saja
para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang
tepat, dan tentu saja mereka pun boleh turun tangan jika untuk membela nama
partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau
golongan bersih tentu sudah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari
permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan
perkembangan pemilihan bengcu itu.
Selain
tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam mau pun putih, maka
nampak bendera-bendera yang dibawa oleh rombongan anak murid dari partai
persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga
tidak ketinggalan mengutus rombongannya. Di samping empat partai besar ini,
masih terdapat pula banyak partai-partai kecil.
Di antara
banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat
orang pendekar atau dua pasangan suami isteri yang berpakaian sederhana, akan
tetapi apa bila para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu
orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasangan suami isteri ini adalah Yap
Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong.
Cia Bun Houw
dan Yap In Hong terkejut bukan kepalang ketika mereka bertemu dengan
kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima
surat dari Lie Ciauw Si bahwa kini dara itu sudah menikah dengan Pangeran Ceng
Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga!
Karena
pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami pun
terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat
Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan
bahwa dia dengan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian sajalah
yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain.
"Aihh,
mengapa anak-anakku begitu bodoh...," keluh Cia Giok Keng, keluhan yang
sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan
nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih
jodoh.
Juga Cia Bun
Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat
oleh pangeran pemberontak murid dari Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong
seorang yang tidak mengeluarkan kata-kata, akan tetapi di dalam hatinya
pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa
artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng
mau pun Lie Ciauw Si.
"Lalu
apa yang harus kita lakukan, enci Keng?" Cia Bun Houw bertanya kepada
enci-nya, "Kita datang ke Lembah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk
menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, namun ternyata
pangeran itu sudah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai
isterinya!"
Memang amat
sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi
dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang
kini mulai nampak tua dalam usianya yang lima puluh tahun itu, berkata lantang,
"Biar
anak sendiri sekali pun, kalau salah harus kita tentang, dan biar bukan orang
sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!"
Yap Kun
Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia lalu
berkata dengan suara yang halus, "Kita lihat saja bagaimana keadaannya
nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh hanya
menuruti dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh
karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang
setepat-tepatnya. Menyalahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan
hati sendiri sering kali menyesatkan."
Tiga orang
pendekar lainnya mengangguk dan secara diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang
teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu dilanda
kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda oleh bahaya
perpecahan akibat pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati
sendiri.
Yap Kun
Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan
seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah pula merasakan betapa sampai
bertahun-tahun mereka harus pergi meninggalkan keluarga Cin-ling-pai akibat
pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu.
Kemudian,
terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh
ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justru
apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang terhebat di antara
semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih orang yang justru merupakan
musuh keluarga Cin-ling-pai sebagai jodohnya, dan bahkan kini menjadi musuh
kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan
kemungkinan seperti ini.
Lembah Naga
menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian indah dan
bersenjata lengkap memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai
ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw
yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw itu diam-diam
terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya
oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari
seribu orang!
Dan ketika
mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu sudah dihias dengan
meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang sangat luas
dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi,
sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong.
Pangeran
Ceng Han Houw memang amat cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya
siapa-siapa yang datang menghadiri rapat itu, karena itu dia pun sengaja
menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana
dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka
di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan.
Apa lagi dia
pun mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi
buronan pemerintah itu juga datang! Apa bila dia sendiri yang maju menyambut,
tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan
dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa
Ciauw Si menjadi isterinya.
Dan
tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang
pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap
mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di
antara banyak tamu lantas memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga
tidak terlalu menyolok.
Ketika empat
orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka
mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya
Pangeran Ceng Han Houw atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak.
Memang
mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Han Houw, Lie
Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan
pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong
Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah
dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong
dan Bi Cu.
Wajah Ciauw
Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu
kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya.
"Aku...
aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku,"
katanya "Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk saja sehingga aku dapat
menghadapnya di sini?"
Ceng Han
Houw menggelengkan kepala. "Kurasa hal itu kurang bijaksana, Si-moi. Ingat
bahwa beliau pada saat ini menjadi tamu agung di antara orang-orang kang-ouw,
maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu
akan menjadi bahan percakapan para tamu lain. Biarlah urusan pribadi dapat kita
selesaikan kemudian, Si-moi. Yang paling penting sekarang kita harus
menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang sebelumnya telah kita rundingkan
bersama. Kita berdua, dan ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut
tamu." Pangeran itu sejenak memandang isterinya yang sudah berpakaian
indah. "Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te.
Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai
pembantu-pembantuku yang paling dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi
aku keluar. Harap kau tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang
baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi
orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih
aman kalau berada di sini saja."
Bi Cu tidak
menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia sudah
menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu,
lantas mengangguk.
"Memang
sebaiknya engkau menunggu di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai
terjadi keributan, tetapi kuharap saja tidak demikian," katanya sambil
melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum.
Mendengar
ucapan ini, Bi Cu mengangguk. "Baiklah, sungguh pun aku akan merasa jauh
lebih aman apa bila berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi aku pun tidak mau
menjadi pengganggu kalian."
Sesudah
berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya.
Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih
baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, dari pada harus menghadapi peristiwa
besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apa bila
perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus
melindungi kekasihnya itu.
Dengan
jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si lalu berjalan keluar
mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, malah senyumnya tak
pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, ada pun
Sin Liong berjalan di sebelah kirinya.
Semua tamu
mengangkat kepala memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari
seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan keluar
menyambut para tamu yang terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka
lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh
kagum.
Pangeran
Ceng Han Houw kelihatan gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya yang serba
indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel
bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi
kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah.
Dia berjalan
tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan
yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikit pun dia tidak kelihatan canggung
atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah
perkasa.
Lie Ciauw Si
nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah sekali.
Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan dia pun melangkah dengan sikap tenang
dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan
agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya.
Betapa pun
juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu
terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang.
Cia Giok
Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan
sapu tangan pada saat melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping
sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidaklah keliru.
Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi, apa bila dia mengingat bahwa
pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar
Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk.
Tiba-tiba
dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia
bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu, maka dia menarik napas
panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanya pun
berhenti mengalir.
Empat orang
pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong juga berjalan di
samping kiri sang pangeran. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun
Liong yang biasanya tak mudah marah dan memiliki pandangan yang luas itu pun
mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa
diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw.
Bukankah
anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng
Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan
di dalam tubuh anak yang berbakat ini terdapat batin yang rendah?
Dia bergidik
melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, bahkan lebih tajam dari
pada sinar mata sang pangeran sendiri, ada pun wajah pemuda itu membayangkan
keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini dimiliki
seorang yang dapat diperalat sedemikian mudahnya oleh pemberontak ini?
Dari tempat
duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran bersama dua orang
pendampingnya itu, karena memang tempat itu lebih tinggi. Sesudah pangeran
bersama Ciauw Si dan Sin Liong mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di
kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang
lebih satu meter lebih tinggi dari pada tempat duduk para tamu.
Dari tempat
duduknya pangeran menyapu seluruh tamu dengan sinar matanya dan dia dapat
melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak
melihat mereka, sungguh pun hatinya merasa gembira sekali. Kalau saja dia mampu
membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat.
Selain itu, andai kata tidak berhasil sekali pun, dia akan dapat membuktikan
bahwa dia lebih lihai dari pada mereka sehingga julukan jago nomor satu di
dunia patut dia miliki!
Akan tetapi,
Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya
di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pandang matanya
agar jangan sampai bentrok dengan pandang mata ibu kandungnya. Sebaliknya,
dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan
dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandang
padanya dengan marah.
Dia pun
mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan
melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu,
pikirnya.
Kini semua
tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga
ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh,
bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang
dan juga gembira.
Ruangan itu
selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga
dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias
kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas
berwarna dan lampu-lampu teng bermacam-macam bentuk dan warna. Kain-kain sutera
warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari
kayu yang terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di
sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup.
Ketika para
pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para
tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak
yang terukir indah, maka mulailah mereka minum arak sehingga ruangan itu penuh
bau arak yang sedap.
Setelah
melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu
bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu kelihatan tegak lurus dan
nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur
dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib,
"Silakan
cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!"
Sebetulnya
tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah memandang ke arah
pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana menjadi sunyi
sekali, semua mata kini ditujukan kepada orang yang sudah berani mengundang
seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu.
Biasanya
pertemuan orang kang-ouw hanya dihadiri oleh golongan mereka sendiri. Andai
kata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemuan hendak membicarakan keadaan
masyarakat, atau juga membicarakan soal persilatan, tentu yang diundang oleh
partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan
bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya,
golongan sesat pun kalau mengadakan pertemuan tentu tidak akan mengundang
golongan bersih yang mereka anggap sebagai orang-orang sombong dan selalu
menentang mereka.
Akan tetapi
sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendek kata,
dunia persilatan tanpa membedakan antara yang mana pun juga! Tentu saja hal ini
amat menarik, apa lagi ketika di dalam undangan itu disebutkan pula bahwa
pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia!
Mereka sudah
mendengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang telah menundukkan tidak
sedikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan sudah berani menantang ketua
Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa
pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa!
"Cu-wi
yang mulia," terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan
secara perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan
itu karena dia telah mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga pidato itu
sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khikang-nya yang mengagumkan semua
orang,
"Kami
mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti yang telah kami sebutkan
di dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk
mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang
akan memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata? Tentu cu-wi sudah mendengar
akan tindakan-tindakan pemerintah yang kurang bijaksana! Semua orang tahu
belaka betapa kaisar telah berlaku lalim, dengan menjatuhkan tuduhan memberontak
terhadap orang-orang gagah perkasa! Juga akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi
yang bijaksana sudah ditangkapi, dan banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah
di selatan yang telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu,
kita orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus bertindak, menghimpun
kekuatan untuk menentang kelaliman ini. Dan hal ini baru dapat dilaksanakan
dengan baik apa bila kita mempunyai seorang bengcu yang bijaksana dan tangguh!
Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang
mempunyai ilmu kepandaian silat paling tinggi, merupakan seorang yang paling
lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut sebagai jago silat nomor satu
di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!"
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring berseru, "Kami tidak setuju...!"
Dan seorang
pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah
tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari
kursinya sambil mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu
saja amat terkejut lantas menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di
antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai.
Pangeran
Ceng Han Houw ikut memandang dan tersenyum tenang. "Setiap orang tamu
berhak untuk berbicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan
diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!"
Dengan sinar
mata berapi-api, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada
pangeran yang masih berdiri tenang, sedikit pun tak nampak gentar oleh wibawa
pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang.
"Saya
bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai kami. Atas nama
Siauw-lim-pai saya menyatakan tak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh
pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tentu saja tidak dapat disamakan dengan
memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat,
karena itu dia harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya
terhadap rakyat, bukannya diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih
kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat."
Terdengar
suara tawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan menyambut ucapan
lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum
lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang
kembali.
"Harap
Ciu-enghiong suka melanjutkan," katanya tenang.
"Kami
fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan
keadaan negara, apa lagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu
namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang
bijaksana yang tentu akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijaksanaan
dengan musyawarah apa bila terjadi kesalah pahaman, bukan sekali-kali menuntun
kita semua dalam pemberontakan terhadap pemerintah." Sesudah berkata
demikian, pemuda gagah itu berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian
berkata kembali. "Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju."
Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling
bicara sendiri.
"Cu-wi
harap tenang!" tiba-tiba saja terdengar suara pangeran itu yang mengatasi
semua suara berisik....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment