Wednesday, September 5, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Lembah Naga Jilid 43



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
     Serial Pendekar Lembah Naga
                Jilid 43


DIAM-DIAM Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh memiliki watak angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak menegur karena dia segera dapat menduga bahwa tentu ada rahasia yang mungkin menyakitkan hati anak itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai keluarga Cin-ling-pai. Di samping itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu demikian saja bahwa anak itu adalah putera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw itu sendiri tidak pernah mau mengakui hal itu?

Bi Cu yang merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat betapa kekasihnya seperti orang yang tidak senang kalau disinggung soal keturunannya, padahal selama ini Lie Ciauw Si demikian ramah dan baiknya, tiba-tiba segera berkata,

"Ahh, apa sih artinya keturunan? Bagiku, meski Sin Liong itu putera raja atau anak pengemis sekali pun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya, bukan?"

Oleh karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai dengan wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi kagum dan tersenyum, juga seketika mengusir suasana yang tidak enak yang ditimbulkan oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturunan itu tadi.

"Ha-ha-ha-ha, memang tepat sekali ucapan nona Bhe. Ucapan itu sekaligus membuktikan bahwa cintanya terhadapmu sungguh tidak terbatas, Liong-te! Biarlah aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua!"

Tentu saja Sin Liong dan Bi Cu menerima ucapan selamat dengan minum arak ini dengan hati girang dan balas menghormat. Sin Liong adalah seorang pemuda yang jujur dan tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya Ciauw Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si demikian akrab, melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak menentang kelaliman kaisar, maka dia pun kena dibujuk.

Dia sanggup untuk membantu Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlaksananya pemilihan bengcu itu, dan diam-diam dia pun tidak memiliki maksud untuk ikut memasuki pemilihan itu. Dia hanya ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan membiarkan kakak angkatnya itu menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago nomor satu di dunia. Dia sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin disebut apa-apa.

Mereka berempat kemudian makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Secara diam-diam Sin Liong merasa heran, mengapa pangeran itu tidak mengajak para pembantu lainnya untuk turut pula berpesta. Dan dia pun masih bingung apa yang akan dilakukannya apa bila dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li berada di situ.

Melihat tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan alisnya berkerut, Pangeran Ceng Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat menduga karena melihat adik angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian nampak termenung dan muram wajahnya.

"Liong-te setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu sudah mengerti sekarang bahwa kita menghadapi sebuah perjuangan yang sangat penting, yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat serta kerja sama yang erat. Oleh karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, di mana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk menentang kelaliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih dulu."

Sin Liong memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang mencorong tajam. "Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?"

"Liong-te, aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang saja, agaknya akan timbul perkelahian bila mana engkau bertemu dengan suci Kim Hong Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku sendiri, Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua. Namun, dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tak akan menimbulkan keributan di sini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan kedudukan kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah engkau maksudku, Liong-te?"

Diam-diam Sin Liong terkejut. Pangeran ini sungguh sangat cerdik dan berpemandangan tajam sehingga bisa tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikirkannya. Dia lalu mengangguk dan berkata. "Aku berjanji tidak akan membikin ribut, Houw-ko. Akan tetapi dengan syarat bahwa mereka pun tak boleh mengganggu aku dan Bi Cu seujung rambut pun."

Pangeran itu tersenyum dan diam-diam dia pun kagum. Kini Sin Liong benar-benar telah menjadi seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anak-anak lagi. Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu merupakan saingan paling berat baginya ini.

"Baik, akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja tiba dan tentu lelah, kami persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami."

Mendadak wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata, "Houw-ko, kami berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui. Akan tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tidak mungkin kami tinggal sekamar!"

"Aku akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!" Bi Cu juga cepat berkata, mukanya merah sekali dan dia menunduk.

"Akan tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untukku yang tidak berjauhan dari kamar Bi Cu." Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin menjaga dan melindungi kekasihnya itu, akan tetapi hal ini sudah dimengerti oleh semua orang.

"Baik, baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa engkau adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah," pangeran itu berkata sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong sangat takut terhadap wanita, dan sampai kini pun, walau pun sudah sama-sama saling mencinta, tetap saja dia tidak mau melakukan "pelanggaran". Tentu saja bagi Ceng Han Houw, hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan dan hijau.

Pangeran itu memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat mata, maka dia lalu mengajak Ciauw Si masuk, Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi ke sebuah taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawat baik, berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ.

Setelah mereka berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tidak dapat menahan lagi kerinduan hati masing-masing maka mereka pun saling rangkul dan saling berciuman sampai hampir kehabisan napas. Dan akhirnya, gelora hati yang rindu itu agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang, dekat kolam ikan di dalam taman itu.

"Sin Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku belum mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri."

"Ihh!" Sin Liong terkejut dan merasa ngeri. "Jangan sekali-kali engkau melakukan hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa, dalam keadaan apa pun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di jurang itu? Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah engkau di sini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?"

"Memang betul, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong! Jangankan baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga sekali pun, tanpa engkau di sampingku, lebih baik aku berada di dalam jurang seperti dulu itu asal bersamamu."

Sin Liong merasa terharu sekali lantas memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan mereka saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra. "Kita tak akan berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa aku pun tidak akan mau hidup tanpa engkau di dekatku."

Bi Cu menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Sampai lama mereka duduk diam seperti itu, sama sekali tanpa berkata-kata karena kata-kata sudah tak ada artinya lagi dalam keadaan seperti itu. Kata-kata bahkan dapat membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang terasa sekali sampai di sanubari dalam keadaan hening tetapi sadar sepenuhnya akan kehadiran masing-masing itu.

Akhirnya Bi Cu berbisik, "Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita berada di sini. Bagaimana pun baiknya pangeran ini, akan tetapi jelas bahwa dia hendak menggunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku."

"Akan tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan..."

"Enci Ciauw Si? Ahh, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknya pun merasa tidak enak dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh..."

"Bukan memberontak, Bi Cu, melainkan berjuang melawan kelaliman kaisar..."

"Itu kan alasannya! Betapa pun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin Liong. Perlu apa kita turut campur dengan segala macam gerakan itu? Lebih baik mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali..."

"Tapi Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... ehhh, kau tahu, pangeran sendiri memujimu di hadapanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya engkaulah yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Apa dayaku jika menghadapi penjagaan ribuan orang pasukan? Kau tahu, sekarang Lembah Naga sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang dulu menjadi tempatku bermain-main pada saat aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dahulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apa lagi memberontak terhadap kerajaan begitu saja dengan niat memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau." Dia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Biar pun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk membantu, akan tetapi hanya membantu melakukan penjagaan dan dalam menghimpun orang-orang kang-ouw serta melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan."

Kedua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam dunia ini. Tiap pemberontakan, tiap pembaharuan, tiap gerakan untuk menumbangkan yang lama kemudian menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan diberontak itu.

Dan yang memberontak, yang baru ini, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan bisa berhasil tanpa adanya bantuan rakyat. Rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak.

Semua ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksudnya tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan lantas sama sekali melupakan atau memang sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk membantu gerakan mereka itu.

Dan hal seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian harus menghadapi lagi golongan baru yang hendak menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyat pun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan oleh propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu!

Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankah segala semboyan dan anjuran mengenai hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya?

Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan langsung bagi sang anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau pun itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.

Demikianlah, diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tak senang tinggal di Lembah Naga sebagai tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa khawatir, akan tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan orang pasukan. Dan kecuali mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, secara diam-diam Sin Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan diri menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih.

Bahkan dia telah mendengar dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri bahwa wanita gagah itu menikah dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga, bahkan tidak disaksikan orang lain karena mereka menikah diam-diam di kuil!


                ***************


Menerima kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan perasaan tidak enak kepada seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan atau balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali karena di dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan memandangnya sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang pangeran!

Dan memang demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke mana pun juga di seluruh daerah itu, akan tetapi tentu saja kalau sendirian. Apa bila dia mengajak Bi Cu, maka mendadak saja penjagaan lalu diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah dia bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai sandera!

Betapa pun juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan dan menunjukkan tempat-tempat di mana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan di mana dulu dia dipelihara oleh monyet betina besar.

Dia sempat bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu saja tidak ada seekor pun monyet yang mengenalnya. Padahal dulu, hampir semua monyet di hutan itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya.

Akan tetapi dia pun cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tak mungkinlah baginya untuk melarikan diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak buah pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan lagi yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tidak mau dia menempuhnya karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya.

Karena tidak mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut melakukan penjagaan. Waktu pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan lagi dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan perondaan di sekeliling lembah yang sangat sunyi itu, kadang-kadang dia membayangkan apa yang akan terjadi di lembah itu.

Sudah beberapa kali dia mengajak Bi Cu mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah makam sederhana, kemudian di situ dia bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu dia menceritakan terus terang semua riwayat mengenai ibunya yang sebelah tangannya buntung, tentang dirinya yang sesungguhnya adalah putera ibunya yang bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun Houw.

"Aku tidak tahu apakah yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu. Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir akibat hubungan antara ibu kandungku dengan Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri paman Kui Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita Yap In Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya sampai sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahuinya. Biar pun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi agaknya... aku hanyalah anak gelap..."

Bi Cu merangkul kemudian mencium muka yang muram itu. "Sin Liong, baik engkau anak terang, anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah bilang, aku tidak peduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak jembel, anak malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram seperti ini!" Tentu saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi cerah kembali.

Sudah beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak Bi Cu untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu dia pun baru saja kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Dia pun ingin sekali tahu apa yang sebenarnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia Bun Houw.

Sayang ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. Dan agaknya pendekar Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu! Dan dia pun tidak sudi bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya. Dia tidak mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi ayah kandungnya itu atau pun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya!

Terhadap Bi Cu, apa pun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemmm, kalau pendekar itu mau mengakuinya sebagai putera, baik. Jika tidak mau, dia pun tidak butuh menjadi anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu terhadapnya. Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak mempedulikan dia itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang ayah kandungnya itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta dirinya, bukan keturunannya.

Senja telah mendatang dan biar pun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari yang mulai bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, namun pandang matanya yang tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya sesuatu yang tidak beres ketika dia memasuki sebuah hutan kecil di luar Lembah Naga menuju pulang itu. Biasanya, di situ tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi.

Tadi saat pergi menuju ke makam ibunya, dia masih tersenyum melihat gerakan-gerakan mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan bersembunyi itu hanya berguna untuk menjaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau yang masuk itu orang pandai, tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan mereka, pikirnya.

Akan tetapi sekarang, tidak ada gerakan sedikit pun juga. Suasana di tepi hutan itu sunyi bukan main, sunyi dan mati! Timbil kecurigaannya karena biasanya, setiap tempat selalu dijaga siang dan malam secara bergilir. Penjagaan yang merupakan sebuah hutan di tepi Lembah Naga merupakan jalan masuk ke lembah itu tidak terjaga? Ke manakah perginya semua penjaga di situ yang jumlahnya belasan orang itu?

Sebagai orang yang oleh pangeran dipercaya untuk melakukan perondaan dan menjaga keamanan lembah itu, Sin Liong merasa berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan kalau perlu menegur komandan penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah sekali.

Dengan gerakan ringan sekali Sin Liong lalu meloncat ke arah sebatang pohon tinggi dan dari puncak pohon itu dia lantas meneliti ke bawah, untuk melihat ke mana perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba saja dia menahan seruan heran ketika melihat tubuh beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak seperti orang tidur nyenyak, ataukah sudah tewas?

Cepat dia meloncat turun dan lari ke tempat itu. Ternyata nampak belasan orang penjaga yang biasanya menjaga di bagian itu rebah malang-melintang, sama sekali bukan tertidur nyenyak atau mati, melainkan tidak sadar dalam keadaan tertotok semua!

Ada musuh yang menyelundup masuk! Musuh yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai saja yang berani merobohkan para penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh mereka! Sin Liong tidak mau membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat masuk ke dalam hutan kecil itu dan kembali tak lama kemudian dia sudah memeriksa keadaan sekeliling dengan meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang tinggi.

Akhirnya dia melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan. Agaknya dua orang itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya kedua orang itu sedang menunggu malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk menyelundup ke Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat sekali dia lalu menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan tetapi cepat bukan main.

Mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Kini keduanya sedang duduk bersila di atas rumput, dan tampaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong mendekati dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu dari belakang kelihatan belum tua benar.

Akan tetapi, tanpa menoleh tiba-tiba saja wanita itu telah menggerakkan tangan kirinya ke belakang dan nampak sinar hijau menyambar ke arah rumpun semak-semak di belakang mana Sin Liong mengintai! Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum), senjata rahasia yang amat berbahaya!

Sin Liong mengenal bahaya, maka dia pun meloncat berdiri dan mengelak ketika sinar hijau itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil membentak,

"Robohlah!"

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan walau pun dia merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia lalu menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Dukkk!"

"Iihhhh...!" Wanita itu agak terhuyung sambil mengeluarkan seruan tertahan, karena dia merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu menangkis, bahkan tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung.

Mendadak Sin Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping. Tahulah dia bahwa ada orang pandai yang menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka sambil memutar kakinya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali.

"Dessss...!"

Dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang dan keduanya sama-sama terkejut. Apa lagi ketika mereka saling mengenal. Sin Liong memandang terbelalak kepada pria gagah perkasa yang ternyata bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri, Cia Bun Houw! Maka sekarang dia teringat bahwa wanita itu adalah Yap In Hong, yaitu ibu tirinya, isteri ayah kandungnya!

Pada fihak Cia Bun Houw, dia pun mengenal pemuda ini dan alisnya berkerut, mukanya berubah merah karena dia teringat betapa pemuda yang pernah dikasihi oleh mendiang ayahnya itu, bahkan yang sudah mewarisi semua ilmu dari ayahnya, ternyata merupakan pemuda yang tidak berbudi, yang telah menghalangi dia dan isterinya membunuh musuh besar mereka, Kim Hong Liu-nio. Dan sekarang, pemuda ini agaknya malah membantu Pangeran Ceng Han Houw!

"Engkau...?!" Cia Bun Houw membentak.

Mendengar ini, Yap In Hong juga menunda serangan lanjutannya. Dia memandang dan sekarang pun dia teringat kepada Sin Liong.

"Ehh, kiranya setan cilik ini berada di sini?" Dia pun membentak marah.

Sin Liong menghadapi mereka dan memandang tajam. Dia khawatir sekali melihat ayah kandungnya berkeliaran di situ. Akan tetapi dia pun merasa tak senang melihat ibu tirinya, apa lagi setelah mendengar dia disebut setan cilik!

"Harap ji-wi segera pergi dari sini!" katanya kemudian. "Di sini amat berbahaya."

Cia Bun Houw sudah merasa penasaran sekali. "Dan engkau sendiri?"

"Aku... adalah penjaga di sini, maka aku tahu betapa bahayanya tempat ini."

"Bocah lancang!" Cia Bun Houw membentak marah. "Apakah kau kira, kalau engkau yang berjaga, aku lalu merasa takut padamu?"

"Bocah setan ini memang perlu dihajar!" Yap In Hong berseru karena dia pun merasa betapa anak ini amat buruk wataknya, tidak mengenal budi yang sudah dilimpahkan oleh ketua Cin-ling-pai, yaitu mendiang ayah mertuanya. Sepatutnya Sin Liong ingat budi dan membantu Cin-ling-pai, bukan malah membantu pangeran pemberontak itu!

Sin Liong juga marah, merasa direndahkan, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya. "Pergilah... pergilah...!"

"Engkau yang pergi ke neraka, bocah murtad!" Cia Bun Houw membentak dan dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Liong.

Akan tetapi, dengan sigap dan cepatnya Sin Liong mengelak, lalu memutar tubuhnya dan tahu-tahu dia pun sudah menyerang, bukan kepada ayah kandungnya, melainkan kepada Yap In Hong, dengan pukulan tangan kiri yang cepat dan dahsyat.

Namun Yap In Hong adalah seorang wanita pendekar sakti yang berilmu tinggi, maka dengan cepat dia dapat menangkis pukulan itu. Lalu terjadilah perkelahian yang seru dan membuat suami isteri pendekar sakti itu terheran-heran tiada habisnya.

Pemuda itu ternyata mampu menghadapi pengeroyokan mereka! Bahkan sama sekali tak pernah terdesak, dan membalas setiap serangan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat dan ampuhnya! Bahkan pemuda itu juga dapat mainkan Thai-kek Sin-kun dengan amat baiknya, dan menangkis tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang dengan tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang pula yang tidak kalah kuatnya!

Bahkan ketika kedua orang suami isteri yang amat lihal itu mendesaknya dengan gerakan cepat, Sin Liong sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan menurut ajaran mendiang Kok Beng Lama dan juga mengerahkan Thi-khi I-beng untuk menyedot tenaga dua orang pengeroyoknya! Dua orang suami isteri itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget sekali. Mereka teringat akan kehebatan Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong, karena kehebatan kedua orang kakek sakti itu seolah-olah telah pindah ke dalam diri anak ini!

Tentu saja Sin Liong harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada di dalam tubuhnya dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang yang demikian saktinya. Hanya dia belum mau mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena bagaimana pun juga, dia hanya membela diri dan membalas serangan dengan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Kok Beng Lama serta Cia Keng Hong sehingga boleh dibilang bahwa pemuda ini menghidapi dua orang lawannya dengan ilmu-ilmu yang sama!

Maka mereka itu seolah-olah hanya berlatih saja, sungguh pun sebenarnya, sama sekali bukan demikian karena suami isteri yang merasa penasaran itu mendesak dengan hebat. Apa lagi setelah lewat lima puluh jurus kedua orang suami isteri yang lihai itu sama sekali belum mampu merobohkan Sin Liong!

Mereka berdua adalah pendekar-pendekar besar sehingga biar pun kelihatannya mereka mengeroyok Sin Liong dengan dahsyat, namun mereka selalu mengendalikan serangan mereka sehingga kalau saja Sin Liong sampai terkena pukulan, tentu saja bukan pukulan mematikan.

Diam-diam Sin Liong juga merasa kagum bukan kepalang. Ayah kandungnya ini memang hebat, dan ibu tirinya pun hebat. Melawan mereka satu lawan satu saja kiranya amat sulit baginya untuk mendapat kemenangan, apa lagi harus melayani dua sekaligus. Entahlah kalau dia mempergunakan ilmunya Hok-mo Cap-sha-ciang.

Akan tetapi dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menggunakan ilmu ini kepada mereka, sungguh pun di dalam gerakannya itu sudah dibantu oleh kemajuan yang didapat ketika dia mempelajari ilmu peninggalan Bu Beng Hud-couw itu.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncullah puluhan orang prajurit yang dipimpin oleh seorang kakek tinggi besar yang bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, yaitu orang pertama dari Lam-hai Sam-lo! Mereka adalah pasukan penjaga dari sekitar hutan itu yang tertarik oleh perkelahian itu dan segera memasuki hutan dipimpin oleh kakek itu.

Melihat hal ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut. Mereka datang untuk menyelidiki Lembah Naga, sesuai dengan perintah dari Pangeran Hung Chih. Akan tetapi kini mereka sudah ketahuan.

Menghadapi Sin Liong seorang saja sudah cukup berat, apa lagi kalau muncul puluhan orang penjaga. Mereka tidak takut, akan tetapi maklum pula bahwa tidak mungkin mereka berdua saja harus melawan ribuan pasukan yang berada di daerah itu.

Maka Cia Bun Houw mengeluarkan suara melengking nyaring yang menjadi isyarat bagi isterinya untuk melarikan diri. Suara lengkingan dahsyat itu amat luar biasa, mengandung tenaga khikang kuat sehingga beberapa orang pengawal terguling roboh.

Melihat kedua orang itu melarikan diri, Sin Liong tidak mengejar dan membiarkan pasukan pengawal mengejar mereka, yakin bahwa tak mungkin pasukan pengawal itu akan mampu menyusul suami isteri pendekar yang sakti itu. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang juga tahu akan kelihaian suami isteri itu sehingga merasa jeri untuk pergi mengejar sendirian saja, lantas tersenyum kepada Sin Liong dan menjura sambil berkata, suaranya ramah.

"Senang sekali dapat bertemu dan bekerja sama dengan taihiap."

Sin Liong tidak menjadi bangga dan senang mendengar disebut taihiap itu, yang dia tahu dilakukan oleh kakek ini untuk menghormatinya karena kakek ini tentu sudah tahu bahwa dia dianggap adik angkat atau bahkan keluarga pangeran. Dia tidak tahu bahwa memang kakek ini merasa kagum bukan main melihat dia mampu menandingi pengeroyokan dua orang suami isteri yang terkenal sebagai pendekar-pendekar terbesar di masa itu. Tanpa menjawab, Sin Liong hanya mengangguk kemudian memutar tubuhnya dan pergi dari situ untuk kembali ke kamarnya di Istana Lembah Naga.

Bi Cu telah menyambutnya. Dara ini tidak mau makan malam sebelum Sin Liong pulang dan begitu kekasihnya datang, dia menyambut dengan teguran, "Sin Liong, ke mana saja engkau sampai malam begini? Hatiku merasa gelisah selalu."

Sin Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan suami isteri pendekar itu, betapa dia bertempur melawan mereka sehingga kemudian pasukan datang dan kedua suami isteri itu melarikan diri.

"Ahh, ayah kandungmu dan ibu tirimu?" Bi Cu bertanya kaget sekali.

Sin Liong mengangguk dan alisnya berkerut, hatinya gelisah. Tidak disangkanya dia akan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai di tempat itu. Tanpa banyak cakap dia lalu makan malam bersama Bi Cu. Baru saja selesai makan malam, Pangeran Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mengunjungi mereka.

"Liong-te, aku mendengar dari pasukan penjaga bahwa senja tadi ayah kandungmu dan ibu tirimu muncul..."

"Harap engkau tidak menyebut-nyebut mengenai ayah kandung dan ibu tiri, Houw-ko!" Sin Liong menegur, merasa tidak senang orang bicara seperti itu. Namun kalau Bi Cu yang menyebutnya, hal itu lain lagi!

"Ahh, baiklah. Dan memang sikapmu tadi membuktikan bahwa engkau tidak menganggap mereka ayah dan ibu tiri, Liong-te. Suami isteri perkasa, pasangan pendekar yang paling hebat pada masa ini sudah memberi kehormatan kepadaku dan muncul di sini. Mengapa engkau menerima dan menyambut mereka dengan kepalan, Liong-te? Bukankah engkau tahu bahwa kita membutuhkan tenaga mereka? Mengapa engkau tidak menerima mereka secara baik-baik dan mempersilakan mereka masuk sebagai tamu-tamu agung? Engkau tahu, mereka itu adalah paman dan bibi isteriku, berarti paman dan bibiku sendiri. Kenapa engkau malah menyambut mereka sebagai musuh?"

Sin Liong merasa bingung dengan sikap pangeran ini. Kata-katanya penuh teguran dan penyesalan, akan tetapi pandang mata pangeran itu membayangkan hati yang gembira! Dia sudah mengenal baik sinar mata pangeran itu, maka dia tahu bahwa kalau pangeran itu benar-benar sedang marah, tidak seperti itulah sinar matanya. Dan memang benarlah.

Han Houw merasa sangat kecewa mendengar keluarga Cin-ling-pai yang diharapkannya untuk dapat menjadi sekutunya itu datang sebagai musuh, akan tetapi di samping itu dia pun gembira melihat bukti kenyataan bahwa Sin Liong benar-benar hendak membelanya dan setia padanya sehingga pemuda ini tidak segan-segan untuk melawan ayah kandung sendiri untuk menjaga keamanan di situ! Tentu saja dia tidak tahu bahwa perkelahian itu bukan disebabkan oleh hal itu, tetapi karena Sin Liong didesak dan diserang oleh mereka.

Juga Lie Ciauw Si segera berkata, suaranya halus akan tetapi mengandung teguran dan penyesalan, "Liong-te, kenapa engkau tidak memberitahukan mereka bahwa aku berada di sini dan bahwa aku ingin sekali bertemu dan bicara dengan paman Bun Houw dan bibi In Hong? Ahhh, aku sudah mengutus orang untuk menyampaikan surat kepada keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai, tapi begitu paman dan bibi muncul, engkau malah menyerang mereka."

Sin Liong tahu benar bahwa apa yang keluar dari mulut kakak misannya ini memang jujur dan sebenarnya, berbeda dengan ucapan pangeran yang tentunya mengandung hal-hal tersembunyi yang tidak dipercayanya. Karena itu diam-diam dia merasa lega bahwa ayah kandungnya itu telah pergi dari Lembah Naga dan berarti lolos dari ancaman bahaya yang dia tidak dapat membayangkan bagaimana.

"Maafkan, Houw-ko dan lihiap." Dia tetap tidak mau menyebut piauw-ci kepada Lie Ciauw Si, melainkan menyebut lihiap karena kalau dia menyebut piauw-ci, sama artinya bahwa dia menerima Cin-ling-pai sebagai keluarganya. Padahal, dia tidak akan mengemis akan hal itu. "Akan tetapi ketika aku melihat betapa mereka berdua merobohkan belasan orang penjaga dengan totokan, aku menjadi sangat curiga lantas menyerang mereka. Terjadilah perkelahian, kemudian muncul Hai-liong-ong Phang Tek bersama pasukan penjaga, dan mereka melarikan diri."

"Sudahlah," pangeran menarik napas panjang seperti orang menyesal, padahal hatinya terasa lega karena betapa pun juga, dia agak jeri terhadap suami isteri itu. "Semua itu terjadi karena salah sangka. Kelak kalau mereka muncul dalam pertemuan rapat besar orang-orang kang-ouw, tentu akan dapat kita terangkan duduknya perkara dan aku akan mohon maaf kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong!" Pangeran itu menyebut kedua nama ini dengan paman dan bibi, suaranya demikian sungguh-sungguh dan mesra seolah-olah dia memang sudah menerima suami isteri itu menjadi keluarganya.

Hal ini menggirangkan hati Ciauw Si, akan tetapi malah menimbulkan curiga di dalam hati Sin Liong. Pemuda ini tahu bahwa sang pangeran menganggap suami isteri itu sebagai saingan besar untuk memperebutkan julukan jagoan nomor satu di dunia!

Aku harus waspada, pikir Sin Liong. Bukan waspada menjaga keamanan Lembah Naga, melainkan waspada mengamati gerak-gerik pangeran itu untuk menjaga keselamatan Bi Cu dan dirinya sendiri, dan kalau mungkin keselamatan Ciauw Si!

Bagaimanakah suami isteri pendekar itu tiba-tiba dapat muncul di Lembah Naga? Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan isterinya, Yap In Hong, bersama dengan Lie Seng pergi ke kota raja dan mereka bertiga berhasil melarikan Sun Eng dari dalam tahanan di istana Pageran Ceng Han Houw.

Akan tetapi, Sun Eng tidak dapat ditolong dan akhirnya meninggal dunia, sedangkan Lie Seng yang merasa sangat berduka itu akhirnya lalu mengikuti seorang hwesio tua untuk mengasingkan diri dari dunia ramai dan masuk menjadi seorang hwesio yang tidak lagi mencampuri urusan duniawi!

Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu kembali ke kota raja dan berhasil menemui Pangeran Hung Chih, dan mereka pun menerima berita baik sekali, yaitu bahwa mereka sekeluarga Cin-ling-pai sudah dibebaskan dari pada tuduhan memberontak dan tidak menjadi buruan pemerintah lagi.

Dengan girang mereka lalu menyampaikan berita ini kepada kedua orang kakak mereka, yaitu suami isteri Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang masih bersembunyi di selatan. Mereka berdua kemudian menitipkan putera mereka dalam asuhan suami isteri yang lebih tua itu karena mereka telah berjanji pada Pangeran Hung Chih untuk membantu pangeran itu menghadapi usaha pemberontakan Ceng Han Houw.

Demikianlah, kedatangan mereka ke utara itu adalah dalam rangka tugas ini, yaitu untuk melakukan penyelidikan mengenai kegiatan pangeran peranakan Mongol itu. Tak mereka sangka, mereka telah dipergoki oleh Sin Liong!

Sesudah berhasil melarikan diri keluar dari Lembah Naga, suami isteri ini lalu mengirim laporan mengenai Lembah Naga yang kini terjaga oleh ribuan orang pasukan Mongol dan bangsa-bangsa utara lainnya itu secara panjang lebar, kemudian mengutus salah seorang di antara para penyelidik untuk membawa laporan itu ke sebelah dalam Tembok Besar.

Sementara itu, mereka berdua masih terus menanti di luar Lembah Naga untuk mengikuti perkembangan usaha Pangeran Ceng Han Houw mengadakan pertemuan besar dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sering kali mereka membicarakan tentang Sin Liong.

"Bocah setan itu benar-benar lihai sekali," kata Yap In Hong. "Sungguh luar biasa bocah seperti itu bisa memiliki semua ilmu-ilmu Cin-ling-pai sedemikian sempurnanya. Dia telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu Kok Beng Lama!"

"Dan juga kepandaian mendiang ayah!" kata Bun Houw sambil menarik napas panjang. "Sebagai putera tunggal ayah aku sendiri tidak mewarisi Thi-khi I-beng, demikian juga enci Giok Keng sebagai puteri tunggalnya pun tidak. Yang mewarisi hanya kakanda Yap Kun Liong seorang. Akan tetapi siapa kira, bocah setan itu sekarang mewarisinya, dan dapat mempergunakannya dengan mahir sekali!"

"Dia telah menggabungkan ilmu-ilmu dua orang guru besar secara hebat. Tentu dia akan merupakan lawan yang tangguh sekali!"

"Memang benar. Sungguh aku tidak mengerti mengapa suhu Kok Beng Lama dan ayahku menurunkan semua ilmu mereka kepada bocah tak berbudi itu sehingga kini semua ilmu kita digunakan untuk melawan kita sendiri dan membela pangeran pemberontak. Sungguh penasaran sekali. Kalau saja mendiang ayah dan mendiang suhu Kok Beng Lama dapat melihat hal ini, tentu mereka berdua akan merasa menyesal sekali."

"Sudahlah, kita tidak perlu gelisah dan khawatir. Bagaimana pun juga, dia masih sangat muda dan belum berpengalaman. Mungkin saja dia kena terbujuk oleh pangeran itu, siapa tahu? Kita belum melihat benar bagaimana isi hati anak yang aneh dan keras hati itu. Agaknya tidak mungkin kalau kedua orang tua yang bijaksana itu sampai salah mengenal orang. Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya di Lembah Naga."

Cia Bun Houw menyetujui pendapat isterinya ini dan mereka menanti sambil memasang matadengan waspada, menanti perkembangan dan datangnya hari pertemuan para tokoh kang-ouw di Lembah Naga yang undangannya sudah disebar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw beberapa bulan sebelumnya.

Semua tokoh kang-ouw yang merasa berkepandaian diundang, tanpa menentukan siapa orangnya. Dalam undangan yang disebar itu dikemukakan bahwa di dalam pertemuan itu akan dipilih seorang bengcu yang akan memimpin seluruh dunia kang-ouw sebagai jago nomor satu di dunia ini!

Suami isteri ini maklum bahwa tentu semua tokoh kang-ouw akan tertarik oleh undangan istimewa ini dan Lembah Naga akan menjadi ramai bukan main. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa akan terjadi keramaian lainnya yang sama sekali tak akan terduga-duga oleh Pangeran Ceng Han Houw si pemberontak itu. Kini mereka menanti saat penentuan itu dengan tenang dan waspada.


                 ***************

SUDAH terlampau lama kita meninggalkan keadaan Tee Beng Sin si pemuda gemuk yang gagah perkasa itu. Sesudah kita mengetahui bahwa yang memiliki she (nama keturunan) Tee adalah ibu kandungnya yang kini telah menjadi nikouw, sedangkan ayah kandungnya sesungguhnya adalah Kui Hok Boan, maka nama lengkapnya tentu saja bukan Tee Beng Sin melainkan Kui Beng Sin! Bagi Beng Sin hal ini merupakan kenyataan pahit karena sesungguhnya dia mulai merasa tidak suka terhadap orang yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu!

Sesudah dia bertemu dengan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang nikouw dalam kuil dan tidak mau mengakui lagi sebagai Tee Cui Hwa dan mengatakan bahwa Tee Cui Hwa telah mati dan bahwa dia adalah Thian Sin Nikouw, dengan hati perih sekali ibunya menceritakan tentang riwayat ayah kandungnya yang busuk! Akan tetapi ada juga sedikit hiburan di dalam hatinya, yaitu bahwa ibunya itu melalui kata-kata Thian Sin Nikouw, telah menyetujui perjodohannya dengan puteri Ciok-piauwsu yang baik budi dan gagah itu.

Dia tidak lagi mengharapkan ayah kandungnya yang sudah ditinggalkannya. Dia tidak lagi dapat mengharapkan perjodohan dengan salah seorang di antara dua puteri kembar ayah kandungnya itu, karena Lan dan Lin ternyata adalah adik-adik tirinya sendiri, satu ayah berlainan ibu! Maka dengan besar hati dia pergi meninggalkan ibunya dan berangkatlah pemuda gemuk yang berwatak gembira ini menuju ke Su-couw di Ho-nan, di mana dia tahu keluarga Ciok, terutama sekali Ciok Siu Lan dara yang manis itu, sudah menantinya dengan penuh harapan.

Apa yang dibayangkannya itu memang benar. Ketika dia tiba di rumah calon mertuanya itu, dia disambut dengan gembira dan amat meriah. Siu Lan, dara itu, tidak mengeluarkan sepatah kata pun, akan tetapi wajah yang manis itu menjadi cerah bukan main, sepasang matanya yang bening itu berkaca-kaca, basah dan berkilauan, mulutnya yang mungil itu mengulum senyum dan setelah mengerling dan tersenyum malu-malu kepada Beng Sin, memberi hormat, dia lantas melarikan diri dengan langkah-langkah kecil ke dalam rumah, membanting dirinya di atas pembaringan dalam kamarnya dan... menangis karena girang!

Ciok-piauwsu dan isterinya, calon ayah dan ibu mertua Beng Sin, menyambut pemuda itu dengan girang, dan mereka lalu mendengarkan dengan wajah serius pada saat Beng Sin menceritakan segala yang sudah dialaminya. Pemuda ini merasa bahwa apa bila dia mau menjadi keluarga mereka ini, dia harus menceritakan segala keadaannya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan keburukan ayah kandung sendiri.

Dan yang mula-mula sekali dikatakannya adalah, "Saya telah membunuh kakak tiri saya sendiri..."

Tentu saja pengakuan ini mengejutkan Ciok-piauwsu serta isterinya. Akan tetapi setelah Beng Sin menceritakan segalanya, tentang perbuatan Siong Bu yang mencelakakan Lan Lan dan Lin Lin, juga tentang pertempuran yang terjadi di antara mereka karena marah, kemudian tentang kematian Siong Bu dalam perkelahian itu, Ciok-piauwsu menarik napas panjang dan berkata,

"Engkau tak bersalah dalam hal itu. Tewas dalam perkelahian memperebutkan kebenaran adalah sudah jamak."

Besar hatinya mendengar pendapat calon ayah mertuanya ini, Beng Sin lalu menceritakan segala-galanya. Betapa ayah dan ibunya sudah berpisah, dan ibunya kini menjadi nikouw dan tak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Betapa dia sendiri menjadi bentrok dengan ayahnya karena peristiwa kematian kakak tirinya itu, maka dia sendiri tidak ingin kembali kepada ayah kandungnya. Betapa ibunya, sebagai seorang nikouw, merestui perjodohan yang diusulkan oleh keluarga Ciok.

Semua itu didengarkan oleh suami isteri dengan penuh kesungguhan hati dan juga rasa kagum. Pemuda calon menantunya ini benar-benar seorang yang sangat jujur, tidak mau menutupi segala keburukan keluarganya sendiri. Masih jauh lebih baik memiliki seorang mantu yang jujur seperti ini dari pada kalau menyembunyikan dan merahasiakan segala kebusukan keluarganya. Dengan bersikap jujur seperti itu, Beng Sin sudah membuktikan bahwa dia tidaklah busuk seperti kakak tirinya atau ayah kandungnya sendiri!

"Saya sendiri sungguh mati tak pernah dapat mengerti kenapa ayah kandung dan kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, mau menyerahkan mereka kepada pangeran keparat itu!" Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal tinjunya. "Apa bila saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu?"

"Tenangkan hatimu, Beng Sin," kata calon ayah mertuanya. "Kini kedua orang adikmu itu telah selamat."

"Ehhh? Bagaimana... ehh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?" Biar pun agak malu-malu, dia tak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati Ciok-piauwsu.

"Mereka telah diselamatkan oleh kakak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok yang menganggap mereka seperti anak sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka."

Muka yang gemuk itu memandang dengan mulut melongo, merasa terheran-heran akan tetapi juga girang sekali mendengar bahwa Lan Lan dan Lin Lin selamat.

"Ahh, tentu Sin Liong yang menyelamatkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka berada di kota ini? Bersama ayah?" Pertanyaan terakhir ini bernada tak senang.

"Benar, dan mereka kini sudah membeli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi ayahmu beserta adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh kebetulan sekali dan mudah untuk mengesahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan."

Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia menggeleng kepala. "Saya tidak akan mengunjungi ayah..."

Suami isteri itu saling pandang, kemudian Ciok-piauwsu pun berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, "Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengecewakan hati kami dengan melesetnya pandangan kami tentang dirimu. Kami sudah memandangmu sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi serta bijaksana. Akan tetapi, semua itu akan menjadi tak ada gunanya bila sekarang engkau hendak bersikap murtad dan kejam terhadap ayah kandung sendiri."

"Akan tetapi, gak-hu..., hanya saya yang tahu betapa jahatnya dia... betapa kejamnya... ahh, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiri pun ingin diserahkan kepada pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih..."

"Cukup, Beng Sin!" Tiba-tiba Ciok-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas. "Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apa lagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapa pun banyaknya penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tak mau memaafkannya? Dia sekarang... ahhh, sakit parah..."

"Ahhh...?" Beng Sin terkejut.

"Benar, Beng Sin," sambung ibu mertuanya. "Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar hati orang tua itu terhibur. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit."


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan kedua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan di dalam hati Beng Sin. Betapa pun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia sangat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan dia pernah jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguh pun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya.


"Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka."

Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini.

Kui Lan dan Kui Lin menggunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-eng Piauwkiok, untuk dijalankan hingga modal itu dapat menghasilkan keuntungan sehingga tak akan habis dimakan menganggur begitu saja.

Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis.

"Sin-ko...!" Kui Lan terisak.

"Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?" Kui Lin juga menangis.

Beng Sin tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang amat disayangnya ini. "Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat...," katanya berulang-ulang.

Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah!

"Kami diselamatkan oleh Liong-koko," kata Kui Lan.

"Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini," sambung Kui Lin.

Sukar bagi mulut Beng Sin untuk bertanya mengenai ayahnya. Ahhh, sudah tahukah dua orang dara kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah dengarkah mereka mengenai kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata,

"Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko..."

Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata, "Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko," kata Kui Lan.

"Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian karena engkau membela kami... ahh, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah..."

"Kami berdua sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia..." Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis.

Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, maka akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah kedua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang lelaki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang sudah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga ternyata adalah ayah mereka sendiri.

Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya ini pun sudah tahu segala hal mengenai ayah mereka. "Bagaimana... ayah...?" tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. "Aku mendengar dari keluarga Ciok bahwa dia sakit payah?"

Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, "tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi..."

"Tetapi bagaimana?" Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti.

"Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia..."

"Seperti anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam keadaan duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko," Kui Lan menyambung.

Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya.

Terharu bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dahulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini bagaikan seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tubuhnya kurus kering, matanya sayu dan walau pun kamar itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya.

"Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk," kata Kui Lan.

"Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?" Kui Lin mengingatkan.

"Beng Sin... Beng Sin... anakku...," kata orang tua itu lirih seperti berbisik.

Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan orang tua itu sambil menitikkan air mata. "Ayah...!" Dia tidak mampu bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah?

"Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku sudah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku telah membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian sudah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh..." dan orang tua itu pun menangis seperti anak kecil!

Beng Sin terkejut dan memandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun dan mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terus terdengar.

"Dia selalu begitu...," kata Kui Lin berbisik. "Jika ditanggapi malah semakin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur."

Beng Sin menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu..."

"Itukah hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?" kata Kui Lin meragu.

"Betapa pun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita semua. Ayah kita pernah melakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita supaya kita tidak sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat," kata Kui Lan.

Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi sesudah menyaksikan keadaan ayah mereka yang sedemikian mengenaskan, lebih menyedihkan dari pada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa iba.

Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Dan apakah gunanya penyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar menjadi hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita karena perbuatan dirinya sendiri?

Betapa seringnya kita menyesal, tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu berada di dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya.

Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenangan. Sesudah kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, barulah dia merasa menyesal! Coba andai kata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak!

Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, lantas kepedasan dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi di lain saat dia sudah makan sambal lagi!

Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Namun begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka perbuatan itu akan diulang untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Bila kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini?

Bukan penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang kemudian menimbulkan kebijaksanaan serta kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan bila tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat.

Kalau pun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan selesai sampai di sana saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lampau sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Karena itu hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini!

Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu? Tidak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan hanyalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apa pun yang kita lakukan, apa bila didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya.

Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya supaya pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, ketika mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!


               ***************


 Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah di Lembah Naga sudah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus rombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, namun untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu.

Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja mereka pun boleh turun tangan jika untuk membela nama partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau golongan bersih tentu sudah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu.

Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam mau pun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh rombongan anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga tidak ketinggalan mengutus rombongannya. Di samping empat partai besar ini, masih terdapat pula banyak partai-partai kecil.

Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau dua pasangan suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi apa bila para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasangan suami isteri ini adalah Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan kepalang ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa kini dara itu sudah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga!

Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami pun terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dengan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian sajalah yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain.

"Aihh, mengapa anak-anakku begitu bodoh...," keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh.

Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid dari Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata-kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng mau pun Lie Ciauw Si.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?" Cia Bun Houw bertanya kepada enci-nya, "Kita datang ke Lembah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, namun ternyata pangeran itu sudah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!"

Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya yang lima puluh tahun itu, berkata lantang,

"Biar anak sendiri sekali pun, kalau salah harus kita tentang, dan biar bukan orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!"

Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia lalu berkata dengan suara yang halus, "Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh hanya menuruti dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menyalahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan."

Tiga orang pendekar lainnya mengangguk dan secara diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda oleh bahaya perpecahan akibat pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati sendiri.

Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah pula merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka harus pergi meninggalkan keluarga Cin-ling-pai akibat pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu.

Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang terhebat di antara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih orang yang justru merupakan musuh keluarga Cin-ling-pai sebagai jodohnya, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan kemungkinan seperti ini.

Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian indah dan bersenjata lengkap memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang!

Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu sudah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang sangat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong.

Pangeran Ceng Han Houw memang amat cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang datang menghadiri rapat itu, karena itu dia pun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan.

Apa lagi dia pun mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itu juga datang! Apa bila dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya.

Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara banyak tamu lantas memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok.

Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak.

Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Han Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu.

Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya.

"Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku," katanya "Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk saja sehingga aku dapat menghadapnya di sini?"

Ceng Han Houw menggelengkan kepala. "Kurasa hal itu kurang bijaksana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini menjadi tamu agung di antara orang-orang kang-ouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lain. Biarlah urusan pribadi dapat kita selesaikan kemudian, Si-moi. Yang paling penting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang sebelumnya telah kita rundingkan bersama. Kita berdua, dan ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu." Pangeran itu sejenak memandang isterinya yang sudah berpakaian indah. "Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Harap kau tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja."

Bi Cu tidak menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia sudah menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu, lantas mengangguk.

"Memang sebaiknya engkau menunggu di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi keributan, tetapi kuharap saja tidak demikian," katanya sambil melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum.

Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk. "Baiklah, sungguh pun aku akan merasa jauh lebih aman apa bila berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi aku pun tidak mau menjadi pengganggu kalian."

Sesudah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, dari pada harus menghadapi peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apa bila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu.

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si lalu berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, malah senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, ada pun Sin Liong berjalan di sebelah kirinya.

Semua tamu mengangkat kepala memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan keluar menyambut para tamu yang terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum.

Pangeran Ceng Han Houw kelihatan gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah.

Dia berjalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikit pun dia tidak kelihatan canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa.

Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah sekali. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan dia pun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya.

Betapa pun juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang.

Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan sapu tangan pada saat melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidaklah keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi, apa bila dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk.

Tiba-tiba dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu, maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanya pun berhenti mengalir.

Empat orang pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong juga berjalan di samping kiri sang pangeran. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tak mudah marah dan memiliki pandangan yang luas itu pun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw.

Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang berbakat ini terdapat batin yang rendah?

Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, bahkan lebih tajam dari pada sinar mata sang pangeran sendiri, ada pun wajah pemuda itu membayangkan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini dimiliki seorang yang dapat diperalat sedemikian mudahnya oleh pemberontak ini?

Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran bersama dua orang pendampingnya itu, karena memang tempat itu lebih tinggi. Sesudah pangeran bersama Ciauw Si dan Sin Liong mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang lebih satu meter lebih tinggi dari pada tempat duduk para tamu.

Dari tempat duduknya pangeran menyapu seluruh tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat mereka, sungguh pun hatinya merasa gembira sekali. Kalau saja dia mampu membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain itu, andai kata tidak berhasil sekali pun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia lebih lihai dari pada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia miliki!

Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pandang matanya agar jangan sampai bentrok dengan pandang mata ibu kandungnya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandang padanya dengan marah.

Dia pun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu, pikirnya.

Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang dan juga gembira.

Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu teng bermacam-macam bentuk dan warna. Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari kayu yang terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup.

Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak yang terukir indah, maka mulailah mereka minum arak sehingga ruangan itu penuh bau arak yang sedap.

Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu kelihatan tegak lurus dan nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib,

"Silakan cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!"

Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah memandang ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana menjadi sunyi sekali, semua mata kini ditujukan kepada orang yang sudah berani mengundang seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu.

Biasanya pertemuan orang kang-ouw hanya dihadiri oleh golongan mereka sendiri. Andai kata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemuan hendak membicarakan keadaan masyarakat, atau juga membicarakan soal persilatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya, golongan sesat pun kalau mengadakan pertemuan tentu tidak akan mengundang golongan bersih yang mereka anggap sebagai orang-orang sombong dan selalu menentang mereka.

Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendek kata, dunia persilatan tanpa membedakan antara yang mana pun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apa lagi ketika di dalam undangan itu disebutkan pula bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia!

Mereka sudah mendengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang telah menundukkan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan sudah berani menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa!

"Cu-wi yang mulia," terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan secara perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena dia telah mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga pidato itu sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khikang-nya yang mengagumkan semua orang,

"Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti yang telah kami sebutkan di dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang akan memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata? Tentu cu-wi sudah mendengar akan tindakan-tindakan pemerintah yang kurang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa kaisar telah berlaku lalim, dengan menjatuhkan tuduhan memberontak terhadap orang-orang gagah perkasa! Juga akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana sudah ditangkapi, dan banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan yang telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus bertindak, menghimpun kekuatan untuk menentang kelaliman ini. Dan hal ini baru dapat dilaksanakan dengan baik apa bila kita mempunyai seorang bengcu yang bijaksana dan tangguh! Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang mempunyai ilmu kepandaian silat paling tinggi, merupakan seorang yang paling lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut sebagai jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!"

Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru, "Kami tidak setuju...!"

Dan seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari kursinya sambil mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja amat terkejut lantas menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai.

Pangeran Ceng Han Houw ikut memandang dan tersenyum tenang. "Setiap orang tamu berhak untuk berbicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!"

Dengan sinar mata berapi-api, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih berdiri tenang, sedikit pun tak nampak gentar oleh wibawa pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang.

"Saya bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai kami. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan tak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tentu saja tidak dapat disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat, karena itu dia harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukannya diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat."

Terdengar suara tawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan menyambut ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang kembali.

"Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan," katanya tenang.

"Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan keadaan negara, apa lagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang bijaksana yang tentu akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijaksanaan dengan musyawarah apa bila terjadi kesalah pahaman, bukan sekali-kali menuntun kita semua dalam pemberontakan terhadap pemerintah." Sesudah berkata demikian, pemuda gagah itu berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata kembali. "Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju." Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bicara sendiri.

"Cu-wi harap tenang!" tiba-tiba saja terdengar suara pangeran itu yang mengatasi semua suara berisik....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12