Wednesday, September 5, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Lembah Naga Jilid 42



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo    
     Serial Pendekar Lembah Naga
                Jilid 42


PARA hwesio itu tentu saja sibuk menyambut kedatangan pangeran dengan hormat sekali. Liang Sim Hwesio, ketua kuil itu menerima kedua orang tamu agungnya di dalam kamar tamu dan ketika sang pangeran menjelaskan maksud kedatangannya dengan gadis cantik itu, sejenak sang hwesio tertegun. Sungguh permintaan yang sangat aneh dari pangeran itu untuk menikah di saat itu juga, tanpa perayaan dan tanpa saksi, hanya cukup dengan sembahyang saja.

"Dapatkah losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah secara resmi di kuil ini?" tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan mendesak.

"Tentu, tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati, bahkan pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!" serunya sambil tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Siapakah tidak akan merasa girang kalau diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang terhormat dan mulia?

Tiba-tiba saja Ciauw Si yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya, suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya pada saat menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi seorang gadis ini,

"Losuhu... apakah... pernikahan seperti ini sudah sah...?"

Hwesio tua itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya memandang wajah Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan sinar mata sang pangeran, dia pun cepat merangkap kedua tangannya depan dada.

"Omitohud...! Tidak ada yang lebih sah dari pada peneguhan dan pemberkatan di dalam kuil, disaksikan oleh para dewa dan malaikat dengan sumpah di depan meja sembahyang kepada Thian sendiri, siocia!"

Maka lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata, "Terima kasih, losuhu."

Mereka tidak usah menunggu lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu dipersiapkan dan tidak lama kemudian dua orang muda itu sudah berlutut di depan meja sembahyang dengan penuh khidmat.

Ketika mereka sedang bersembahyang itu, Ciauw Si teringat akan keluarganya dan tanpa dapat ditahannya lagi menangislah pengantin wanita ini! Bagaimana pun juga, dia merasa sedih sekali karena menikah tanpa dikelilingi sanak keluarganya, bahkan tidak memakai pakaian pengantin dan tidak disaksikan oleh seorang pun kerabat.

Dia memang sudah mengambil keputusan nekat. Biar pun bangkitnya gairah nafsu karena rayuan dan belaian kekasihnya itu merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping itu juga ada kenyataan-kenyataan lainnya yang mendorong Ciauw Si menyerah kepada kekasihnya dengan sekedar upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu. Dia teringat akan peristiwa yang menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu saling mencinta dengan Sun Eng, akan tetapi ibu kandungnya beserta keluarga Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi peristiwa yang amat menyedihkan.

Sejak semula dia membela kakaknya dan secara diam-diam dia tidak setuju dengan sikap orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si menganggap bahwa kehadiran keluarganya di dalam pernikahannya sekarang ini pun hanyalah merupakan soal ke dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran!

Dan dia tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjinah, melainkan bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil, di depan para dewa, di depan Thian! Maka, halangan bahwa dia belum memberi tahukan kepada ibunya serta para keluarganya merupakan halangan yang tipis sekali, ditipiskan oleh peristiwa kakak kandungnya itu!

Apa lagi karena dia pun merasa sangsi apakah keluarganya akan menyetujui perjodohan antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw yang dikenal oleh keluarganya sebagai murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong kenekatannya. Andai kata keluarganya tak setuju, seperti juga ketika tidak menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah menikah dengan sah di dalam kuil itu!

Oleh karena semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu, maka sesudah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya pulang ke istana. Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang pasrah.

Sepasang pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan mereka serta membuat mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam saja itu lantas menjadi berlarut-larut sehingga sampai tiga hari tiga malam mereka tidak pernah keluar meninggalkan kamar!

Baru pada hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan keluarganya, dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya. Perpisahan yang berat dan mesra. Seakan-akan pangeran itu tidak mau melepaskan isterinya dari dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya. Akan tetapi akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan seekor kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal dan pada pagi hari itu, dengan diantar oleh pandangan mata yang mencinta dari Pangeran Ceng Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari kota raja.

Sedikit pun Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di istana pangeran itu, di mana dia menikmati bulan madu selama tiga hari tiga malam itu, terjadi peristiwa yang sangat mengerikan atas diri Sun Eng! Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sudah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang istana.

Dan setelah Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya terasa bimbang. Dia merasa girang bahwa dia sudah berhasil menjalankan siasatnya, menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga Cin-ling-pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya.

Akan tetapi, di samping kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia benar-benar jatuh cinta! Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan bahwa dia sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggap wanita ini sebagai isteri, bukan sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka.

Maka timbullah kekhawatiran dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia sudah bermain dengan api yang amat berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri. Di satu fihak dia sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak memperalat gadis itu demi keuntungan diri sendiri.


                ***************


 "Bi Cu...! Bi Cu, apamukah yang sakit...?" Berkali-kali Sin Liong bertanya ketika dara itu siuman dan mengeluh lirih. Dia meraba dahi yang panas sekali itu. Bi Cu berbisik-bisik, mengigau tidak karuan, gelisah dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang hendak meronta.

"Bi Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!" Sin Liong membasahi kepala dara itu dengan air.

Bukan main gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang terus mengigau dan tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun hingga sehari semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir.

Hutan itu kecil akan tetapi liar, tidak ada goa atau tempat berlindung yang baik untuk Bi Cu. Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong lalu membunuh beberapa ekor ayam hutan dan kelinci, kemudian dia memanggang dagingnya dan diberikan kepada Bi Cu.

Akan tetapi selama sehari semalam itu, jangankan makan, bahkan diajak bicara pun Bi Cu tidak dapat menjawab, keadaannya setengah sadar. Dia sendiri pun sama sekali tidak dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap mata pun, terus-menerus menjaga Bi Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang panas itu dengan air.

Pada keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sungguh pun tubuhnya masih panas sekali.

"Sin Liong...!" rintihnya.

Sin Liong girang bukan main. Diusapnya pipi yang basah oleh air mata itu, disingkapnya rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah yang pucat itu.

"Bi Cu, engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau pasti akan sembuh kembali."

Bi Cu agak terengah, bibirnya yang pucat mengering itu lalu berkata lemah, "Aku... aku haus..."

Sin Liong cepat mengambil air yang sudah disediakannya lantas memberi minum dara itu dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuknya seperti cawan. Sesudah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk.

"Berapa lama aku sakit...?" bisiknya.

"Engkau dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tetapi engkau akan sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena kita berada di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya akan makan panggang daging kelinci, Bi Cu."

Bi Cu mengangguk. Sekarang pikirannya sudah terang dan diam-diam dia merasa terharu melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas nampak betapa pemuda itu lelah sekali.

Biar pun sekarang Bi Cu telah sadar, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit, kepalanya terasa pening sekali dan pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah beristirahat!

Jadi sampai lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur, dan makan sedikit, sama sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau Bi Cu juga makan. Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah di tempat sunyi itu. Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam menjelang pagi, kembali turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong berusaha melindungi badan Bi Cu dari siraman hujan.

Dengan hati penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu sangat kedinginan. Bi Cu bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Sin Liong. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun seperti dituangkan dari atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah kuyup!

Tidak ada tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api unggun yang dibuat Sin Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk mengumpulkan kayu kering yang sedapat mungkin ditutupinya dengan daun-daun.

Tubuh Bi Cu menggigil di dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sinkang-nya sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Hal ini banyak menolong walau pun pakaian mereka basah semua. Melihat sepasang sepatu Bi Cu yang telah pecah-pecah dan rusak akibat dipakai mendaki tebing tempo hari, kini basah kuyup dan bahkan menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar biasa dinginnya, Sin Liong berkata,

"Sebaiknya sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan saja."

Bi Cu yang menyembunyikan mukanya di dada Sin Liong hanya mengangguk, maka Sin Liong cepat melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia merasa betapa tubuh yang dirangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah. Makin eratlah dia mendekap, dengan hati penuh kasih sayang.

Ternyata hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong segera membuat api menggunakan kayu-kayu kering yang tadi telah ditutupinya dengan daun-daunan. Untung masih terdapat kayu-kayu yang kering di tumpukan bawah, maka dapat juga dia berhasil menyalakan api unggun yang mula-mula mengepulkan asap. Akan tetapi makin lama, api unggun itu semakin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk di dekat api unggun sambil memeluk tubuh Bi Cu.

"Engkau tentu dingin sekali, Bi Cu...," katanya penuh iba sambil merangkul dara itu.

Bi Cu menyandarkan kepalanya pada pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah pundak dan lengan pemuda itu, kemudian berkata lemah dengan suara gemetar karena kedinginan, "Engkau pun basah kuyup dan kedinginan..."

"Tidak, aku sehat, engkaulah yang tengah sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh sakit lagi. Ahh, baru saja engkau hampir sembuh tapi kembali disiram hujan lebat...," Sin Liong berkata khawatir.

Melihat kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu, apa lagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali peristiwa yang terjadi di bawah tebing pada waktu mereka menyambut hujan dengan bahagia sekali dan mereka telah berpelukan serta berciuman dalam keadaan hampir tidak sadar!

"Sin Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu sudah mati dalam keadaan terlantar..." Suaranya mengandung isak.

Sin Liong menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara air hujan yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes pada wajah yang pucat itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih erat.

"Tentu saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini..."

"Dan aku... aku pun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi selamanya, Sin Liong..."

Sin Liong memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi kedua matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya, lantas berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu. "Tahukah engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang tadi kau katakan itulah yang kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku terus menerus membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi Cu..."

Mereka tidak berkata-kata lagi. Memang tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Dengan berdiam diri itu terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan kehadiran masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, namun juga di dalam batin masing-masing. Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan, merasa seolah-olah mereka berdua telah bersatu dalam batin, seperti orang yang memiliki dan membutuhkan anggota tubuhnya sendiri. Takkan terpisahkan lagi, senasib sependeritaan. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan dan berdekapan dalam keadaan kedinginan itu.

Akhirnya terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada dekat leher Sin Liong, "Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati...?"

"Ya, ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ahh, aku khawatir sekali."

"Aku tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong. Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta padamu Sin Liong."

Tanpa diucapkan sekali pun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong. Dia lalu mencium mata kiri dara itu. "Aku pun cinta padamu, Bi Cu."

Mereka tidak bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah kata-kata terakhir di dunia ini dan sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi yang lebih patut dibicarakan!

Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan keburukan, sudah melampaui segala yang dapat diperbandingkan, melampaui penilaian dan perbandingan itu sendiri!

Cinta-mencinta membawa kita ke dalam suatu keadaan di mana tak ada lagi baik buruk, susah senang, dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa saja nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah, di sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka cita, yang berbeda dengan kesenangan.

Kesenangan memiliki sebab, mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita adalah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa ada sebab tertentu. Keadaan ini membuat kita dipenuhi dengan cahaya cinta kasih, penuh dengan kebajikan, dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan peri kemanusiaan.

Cinta adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sebenar-benarnya manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu.

Sayang, biar pun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti itu, namun nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu.

Bahkan celakanya, nafsu-nafsu menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta kasih yang suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sebetulnya hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan kita sekarang ini.

Cinta yang kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanya sejenis pemalsuan untuk menutupi keinginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk memperoleh kepuasan melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita sendiri. Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah kita pakai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja.

Cinta semacam ini tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan benci yang dianggap sebagai kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang.

Hari itu cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah kehujanan seperti itu, keadaan Bi Cu bukannya menjadi semakin buruk, bahkan dia menjadi sembuh sama sekali! Hanya tubuhnya masih agak lemah, namun dia sudah sembuh. Tidak panas lagi, tidak pusing lagi.

Hujankah yang menyembuhkannya? Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata dari mulut mereka, dalam pengakuan cinta mereka? Entahlah. Akan tetapi yang jelas, Sin Liong merasa girang bukan main.

"Bi Cu, engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup..."

"Hari ini agaknya cuaca akan panas, Sin Liong. Aku dapat saja melepaskan pakaian dan menjemurnya. Akan tetapi..." Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar, "engkau harus menjauh, tidak boleh mendekat!"

Sin Liong tertawa. Sekarang Bi Cu benar-benar telah sembuh. Dia sudah mulai bertingkah bengal lagi! Kedua mata yang indah itu sudah bersinar-sinar kembali, kini penuh dengan kelincahan dan kejenakaan.

"Ha-ha, kau kira aku ini tukang intip? Aku pun akan pergi memeriksa keadaan sekeliling hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun."

"Kalau ada dusun kau mau apa?"

"Mencarikan pakaian untukmu, dan sepasang sepatu."

"Kau ada uang?"

Sin Liong menggelengkan kepalanya.

"Habis bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu?"

Muka Sin Liong menjadi merah. Baru saja sembuh dara ini sudah pandai mendesaknya dengan omongan dan membuatnya tersudut!

"Aku... aku akan minta!"

"Uhhh, seperti aku tidak tahu saja. Hendak minta kepada orang dusun yang miskin dan yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka?"

"Barang kali di dusun ada yang kaya, ada tuan tanahnya..."

"Dan kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan mau memberimu? Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau hendak mencuri pakaian dan sepatu untukku!"

Sin Liong tersenyum dan terpaksa mengangguk. "Atau kita pakai saja istilah pinjam dari orang kaya di dusun?"

"Tidak, lebih baik kau beli saja, atau tukar dengan ini!" Bi Cu melepaskan seuntai kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong.

Sin Liong memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet bermata emas itu. "Ah, bukankah ini lambang dari julukanmu dahulu? Dahulu julukanmu adalah Kim-gan Yan-cu (Burung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!"

Bi Cu tersenyum. "Justru karena kalung itulah maka para pengemis di kota raja menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai."

"Ahh, kukira julukan itu karena, matamu..."

"Mataku bagaimana?"

"Matamu indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas..." Sin Liong mendekat dan merangkul, mencium mata itu.

"Ihhh, engkau perayu!" Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pemuda itu lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan tangannya.

Bi Cu berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang bukan main. Kemudian dara ini pun pergi ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk membersihkan diri, dan mencuci pakaian kemudian menjemur pakaiannya.

Ternyata dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh sekali dari hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang sepatu untuk Bi Cu, akan tetapi semuanya itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung saja, ada pun mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya. Rantai kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-barang itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru itu.

Matahari telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata Bi Cu telah memakai pakaiannya yang telah dicuci dan sudah kering, dan dara itu ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan.

"Ahh, engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan untuk kita? Biar aku yang..."

"Hemmm, walau pun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku berhasil juga mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin Liong!"

Bi Cu girang sekali, kemudian mematut-matut diri dengan pakaian itu sesudah kaus kaki dan sepatunya dia pakai dan ternyata pas ukurannya.

"Semua itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku merasa sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaian pun aku merasa tidak rela!"

Sin Liong mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan kembali kepada pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak.

"Kau simpan sajalah, Sin Liong."

Wajah pemuda itu langsung berseri. "Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak mengajukan permintaan kepadamu!" Melihat dara itu sudah sehat benar bukan main lega rasa hati Sin Liong.

"Aku akan mencoba pakaian ini!" kata Bi Cu sambil berlari kecil dan menghilang ke balik semak-semak.

Sin Liong tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak, lalu mencium benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian memasukkan mainan kalung itu ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering ketika dibawanya berlari cepat tadi.

"Wah, engkau memang hebat! Pas sekali ukuran pakaian ini, seperti juga sepatunya!" Bi Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok.

Muka itu masih agak pucat, rambut yang agak basah itu masih kusut karena di situ tidak ada sisir, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis sekali dan kelihatan segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi hari.

"Kau... kau cantik sekali dengan pakaian itu, Bi Cu!" kata Sin Liong sambil bangkit berdiri.

Bi Cu meruncingkan mulutnya. "Ihhh..., engkau sekarang menjadi perayu benar! Jangan-jangan engkau akan ketularan penyakit kakak angkatmu itu, Sin Liong!"

Sin Liong menyambar lengannya dan di lain saat mereka sudah saling berangkulan.

"Bi Cu, engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang akan selalu kurayu dan kupuji."

Sejenak Bi Cu menyandarkan kepalanya pada dada kekasihnya seperti tadi malam ketika mereka kehujanan. "Sin Liong, jangan kau tinggalkan aku lagi. Jangan sampai kita saling berpisah, apa pun yang akan terjadi. Mau kau berjanji?"

"Tentu saja, Bi Cu."

"Biar pun engkau akan dipaksa oleh siapa pun juga?"

Sin Liong mengangguk.

"Kita akan selalu berdampingan, baik dalam keadaan hidup atau pun mati?"

Sin Liong memegang kedua pundak dara itu, membalikkan tubuhnya sehingga mereka kini saling tatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati masing-masing. Namun, pancaran sinar mata dua orang insan ini penuh kemesraan dan cinta kasih, sungguh terasa oleh keduanya. Sin Liong perlahan-lahan mencium dahi dara itu, gerakan yang lembut dan halus, seperti mencium benda keramat.

"Perlukah aku bersumpah, Bi Cu?"

Bi Cu merangkul leher Sin Liong. Sejenak dia merangkul ketat, terasa oleh Sin Liong betapa dadanya bertemu dengan dada Bi Cu dalam kemesraan yang mendalam, terasa oleh mereka detak jantung masing-masing saling berlomba. Kemudian Bi Cu melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dan aneh, wajahnya berubah merah.

Sin Liong memandang dan terpesona. Wajah yang tadinya pucat itu kini mulai menjadi kemerahan dan karenanya menjadi semakin manis dan menarik. Sinar mata itu semakin berseri penuh cahaya indah. Mata emas!

"Sin Liong, aku tidak butuh kata-kata sumpah. Kata-kata hanyalah kosong, dan aku lebih percaya kepada sinar matamu. Aku percaya kepadamu." Lalu dia tersenyum dan suasana penuh hikmat itu pun membuyarlah. "Heii, sudah sejak tadi daging itu matang. Mari kita makan!"

Hati Sin Liong makin gembira. Bi Cu benar-benar nampak sudah sembuh. Maka, sehabis makan, mulai terasalah olehnya betapa tubuhnya amat letih, betapa matanya mengantuk sekali. Setelah semua kegelisahan batinnya hilang, barulah tubuhnya menuntut dan baru dia sadar akan keadaan jasmaninya. Maka dia lalu duduk melenggut bersandarkan batang pohon.

Sejak tadi Bi Cu maklum akan keadaan Sin Liong itu. Maka diam-diam dia memilih tempat yang sejuk di bawah pohon besar, kemudian mengumpulkan rumput kering dan mengatur sebuah tempat tidur di tempat itu, menggulung pakaian lamanya sebagai bantal, baru dia mendekati Sin Liong dan menyentuh lengannya. Sin Liong membuka matanya yang amat mengantuk.

"Sin Liong, kau tidurlah dulu. Kau perlu beristirahat. Aku tidak perlu dijaga lagi. Nah, kau tidurlah!" Bi Cu menarik tangannya sehingga terpaksa pemuda itu bangkit berdiri lantas membiarkan dirinya digandeng ke bawah pohon yang sejuk dan teduh itu.

Melihat tempat tidur yang terbuat dari rumput kering dengan bantal gulungan pakaian itu, Sin Liong tersenyum dan semakin beratlah rasa kantuknya. Dia lalu merebahkan diri dan sebentar saja sudah pulas, membawa wajah Bi Cu yang tersenyum memandangnya itu ke dalam tidurnya.

Sungguh enak Sin Liong tidur, nyenyak tanpa mimpi. Sejenak matahari condong jauh ke barat, baru dia terbangun. Dia menggeliat dengan enak, mengejap-ngejapkan matanya, lalu menoleh ke kanan kiri. Tidak nampak Bi Cu di situ.

Dia lalu bangkit duduk dan kembali mencari-cari dengan pandang matanya. Dia melihat cuaca yang menunjukkan bahwa waktu itu telah hampir senja. Tentu Bi Cu sedang pergi mandi ke anak sungai, pikirnya. Dia menanti, bangkit berdiri dan berjalan-jalan hilir mudik melemaskan kedua kakinya. Akan tetapi sunyi saja di sekitar situ dan telalu lama baginya menanti munculnya kekasihnya itu.

"Bi Cu...!" Dia memanggil ke arah anak sungai. Karena dia mengerahkan tenaga khikang, maka dia percaya bahwa panggilannya itu tentu akan terdengar oleh Bi Cu kalau dara itu sedang mandi di sana. Akan tetapi tidak ada jawaban!

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dara itu suka bergurau dan menggoda orang. Maka dia segera berindap-indap menuju ke anak sungai. Apa bila dia melihat Bi Cu sedang mandi telanjang tentu dia akan pergi lagi. Kalau Bi Cu berpakaian maka dia akan menggodanya kembali. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi sungai, di situ pun tidak nampak Bi Cu, maka dia mulai bimbang.

"Bi Cu...!" Kembali dia memanggil, kini lebih nyaring. Tetap saja tidak terdengar jawaban.

Dia mencari-cari, sekarang dengan gerakan cepat, berlarian dan berloncatan ke sana-sini. Kemudian dia kembali ke bawah pohon-pohon di mana biasanya mereka berada, di dekat api unggun. Dan nampaklah surat itu olehnya.

Sebuah sampul surat di dekat perapian yang sudah menjadi abu. Dia yakin benar bahwa sampul itu adalah benda asing dan tidak mungkin berada di tempat itu kemarin. Tentu ada yang menaruhnya, dan agaknya Bi Cu juga tidak mungkin bisa memiliki sepotong sampul surat itu! Tentu orang lain yang menaruhnya! Dan Bi Cu tidak ada!

Jantungnya berdebar dan wajahnya menjadi sedikit pucat, secara cepat dia menyambar sampul itu. Sampul kuning yang halus dan berbau harum! Dibukanya sampul itu lantas dikeluarkannya sepotong surat yang bertuliskan coretan huruf-huruf halus, tulisan wanita!

Cia Sin Liong!

Kalau kau menghendaki dara itu kembali dalam keadaan sehat, kami persilakan engkau menyusul ke Lembah Naga dan menghadap Pangeran Oguthai!

Surat itu tidak ditanda tangani. Akan tetapi isinya cukup jelas bagi Sin Liong. Pangeran Oguthai? Siapa lagi kalau bukan Ceng Han Houw? Jelaslah kini, Bi Cu telah diculik orang ketika dia sedang tidur!

Dia mengepal kedua tinjunya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Pangeran Ceng Han Houw yang melakukan ini! Bukan pangeran itu sendiri yang datang, melainkan utusannya. Dan dia dapat menduga siapa orangnya. Agaknya Kim Hong Liu-nio, melihat bahwa surat itu ditulis tangan wanita dan bau harum pada surat itu.

Akan tetapi bagaimana utusan Han Houw dapat mengetahui dia dan Bi Cu berada di situ? Padahal selama berhari-hari ini, ketika Bi Cu sedang menderita sakit, tidak ada seorang pun berada di sekeliling tempat sunyi itu? Ah, tentu ketika dia pergi ke dusun mencarikan pakaian dan sepatu pagi tadi! Begitu pikiran ini memasuki benaknya, tubuhnya langsung mencelat dan berkelebat, kemudian dia berlari secepat angin menuju ke dusun yang tadi didatanginya.

Bagaikan orang terbang saja Sin Liong mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk berlari cepat ke dusun itu dan memang hebat sekali dia. Sebelum malam tiba, dia sudah sampai di dusun itu, memakan waktu kurang dari setengahnya ketika mula-mula dia datang untuk mencarikan pakaian dan sepatu Bi Cu!

Dan mulailah dia bertanya-tanya di seluruh dusun itu apakah ada yang melihat seorang wanita cantik yang pakaian dan gelungannya bagaikan puteri istana datang ke dusun itu. Akhirnya, ada seorang petani tua yang menceritakan bahwa memang kemarin dia melihat dua orang wanita di luar dusun, seorang wanita cantik seperti yang digambarkan oleh Sin Liong, dan yang ke dua adalah seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan.

"Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!" Sin Liong berkata penuh geram.

Cepat dia berlari meninggalkan dusun itu. Dia mengepal kedua tangannya, lalu berhenti berlari ketika tiba di hutan, mengacung-acungkan kepalan tangannya ke atas dan berkata penuh kemarahan, "Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio! Hek-hiat Mo-li! Aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kalian mengganggu Bi Cu-ku!"

Kemudian dia lari lagi ke utara. Dia harus cepat-cepat menyusul Bi Cu ke Lembah Naga, jauh di utara, di luar Tembok Besar.


                ***************

Pangeran Ceng Han Houw merasa gelisah juga ketika melihat perkembangan yang terjadi di kota raja semenjak peristiwa lenyapnya surat rahasia dari Raja Sabutai kepadanya itu. Yang paling merisaukan hatinya adalah berita mengenai gerakan pasukan-pasukan yang kabarnya diatur sendiri oleh Pangeran Hung Chih.

Pasukan-pasukan yang kuat kabarnya dikerahkan ke perbatasan utara untuk berjaga-jaga di sepanjang Tembok Besar. Walau pun tidak dijelaskan untuk menghadapi siapa, kecuali penjagaan yang memang selalu diadakan meski pun tidak seketat sekarang, akan tetapi tentu saja Ceng Han Houw sudah dapat menduga bahwa pasukan itu memang khusus dipersiapkan untuk menghadapi pasukan Raja Sabutai, ayahnya di utara!

Selain itu, juga di selatan Pangeran Hung Chih mengerahkan pasukan untuk mengadakan pembersihan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang bersikap anti pemerintah, terutama sekali perkumpulan Pek-lian-kauw dibasmi oleh pasukan itu. Padahal, akhir-akhir ini, Pek-lian-kauw mulai menyatakan diri akan membantu gerakan Ceng Han Houw apa bila sewaktu-waktu pangeran ini hendak menumbangkan kekuasaan kaisar! Bukan itu saja, bahkan ada belasan orang pembesar di kota raja sendiri yang diam-diam anti kaisar dan memang merupakan sahabat-sahabat baik Ceng Han Houw ditangkapi dan dimasukkan tahanan!

Tentu saja Han Houw merasa benar bahwa semua itu merupakan langkah-langkah yang diambil kaisar untuk menentangnya. Dan ini tidak lain tentu hasil dari pengkhianatan Sun Eng yang sudah mencuri surat rahasia itu! Suasana menjadi terasa panas sekali bagi kaki pangeran peranakan Mongol ini. Dia maklum bahwa lambat-laun kaisar tentu tidak akan merasa sungkan lagi untuk menyuruh orang menangkapnya!

Mengertilah Ceng Han Houw bahwa dia harus bertindak cepat. Dia pun segera mengutus anak buahnya yang setia untuk mempercepat dilaksanakannya pertemuan besar di dunia kang-ouw untuk memilih apa yang dinamakan bengcu (pemimpin rakyat) dan memilih pula Jago Nomor Satu yang pantas menjadi bengcu.

Dia mengundang semua tokoh kang-ouw serta partai-partai persilatan besar untuk datang mengunjungi pemilihan bengcu seluruh Tiongkok itu, dan tempat pemilihan itu ditentukan di daerah bebas. Agar jangan dilarang pemerintah, demikian penjelasannya. Dan tempat itu adalah Lembah Naga di utara, di luar Tembok Besar.

Ketika dia mendengar bahwa suci-nya, Kim Hong Liu-nio, dan subo-nya, Hek-hiat Mo-li, juga sudah kembali dari selatan karena mereka tidak perlu lagi mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai yang sudah memperoleh kebebasan dari kaisar itu, juga mendengar betapa suci-nya menawan Bi Cu dan mempergunakan dara itu sebagai umpan untuk memancing Sin Liong ke utara, hatinya menjadi besar dan girang sekali.

"Bawa dia ke utara, ke Lembah Naga, suci," katanya kepada wanita itu. "Perlakukan dia baik-baik sebagai tamu. Aku mengharapkan untuk dapat menggunakan tenaga Sin Liong yang amat kita butuhkan itu. Kita harus dapat menyenangkan hatinya."

Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li lalu kembali ke utara membawa Bi Cu sebagai tawanan yang diperlakukan dengan sangat hormat dan baik. Bi Cu tidak menderita badan, bahkan dia dibawa ke utara dalam sebuah kereta. Para pasukan penjaga tentu saja tidak ada yang berani mengganggu Kim Hong Liu-nio yang dulu pernah dikenal sebagai wanita gagah penyelamat kaisar itu.

Akan tetapi sudah tentu saja Bi Cu menderita batin yang hebat, sering kali menangis dan mengamuk ingin kembali kepada Sin Liong. Kim Hong Liu-nio terpaksa menghiburnya dan mengatakan bahwa sudah pasti Sin Liong akan menyusul ke Lembah Naga, karena Sin Liong merupakan adik angkat Pangeran Ceng Han Houw yang sekarang membutuhkan bantuan adik angkatnya itu.

Dan selagi Ceng Han Houw sendiri bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja, muncullah Ciauw Si! Tentu saja sang pangeran merasa girang bukan main. Suami isteri yang telah disahkan oleh kuil ini saling berpelukan dengan penuh rindu. Akan tetapi Ciaw Si segera mendengar akan keadaan pangeran yang dianggap sebagai suaminya itu, maka dia pun merasa prihatin sekali.

"Kaisar sudah dihasut oleh Pangeran Hung Chih!" demikian Pangeran Ceng Han Houw berkata. "Aku semakin dibenci saja oleh kaisar. Dan bagaimana dengan perjalananmu ke selatan, Si-moi?"

Mereka bercakap-cakap sambil berpelukan di atas pembaringan, melepaskan kerinduan hati mereka sebagai pengantin baru.

"Aku tak berhasil menemukan ibuku dan keluarga ibuku, pangeran. Akan tetapi ada berita baik yang kudengar di sepanjang jalan bahwa mereka telah dibebaskan oleh kaisar!"

"Ahh, masa engkau tidak mengerti. Si-moi? Bukan kaisar yang membebaskan, melainkan akulah yang mengirim berita itu ke seluruh pembesar, dengan memakai nama kaisar! Apa bila hal ini sampai diketahui oleh kaisar, tentu aku akan ditangkap sebab dituduh sebagai pembantu pemberontak..."

"Ahhhh...!" Ciauw Si terkejut sekali dan memeluk suaminya.

"Jangan kau khawatir, Si-moi, isteriku, kekasihku. Aku tidak akan mudah ditangkap begitu saja. Sungguh senang sekali aku melihat engkau datang, Si-moi, sebab memang aku pun sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja."

"Engkau... engkau mau pergi ke manakah, pangeran?"

"Pulang ke utara, ke kerajaan orang tuaku, Dan aku akan melanjutkan rencanaku semula, aku akan mengadakan pertemuan kaum kang-ouw yang terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Semua tokoh kang-ouw berikut partai-partai persilatan terbesar kuundang untuk mengadakan pertemuan, untuk memilih bengcu dan memilih jagoan nomor satu di dunia. Dan aku akan menghimpun mereka itu agar membantuku untuk menghadapi kaisar."

"Tapi... tapi itu pemberontakan, pangeran!" Ciauw Si berkata kaget.

Ceng Han Houw merangkul dan cepat menutup mulut yang hendak memprotes itu dengan ciuman-ciuman mesra sehingga sejenak Ciauw Si tenggelam ke dalam kemesraan yang memabukkan. Beberapa lamanya mereka tidak bicara, hanya tenggelam dalam dekapan mereka. Akhirnya, setelah dengan terengah-engah mereka melepaskan ciuman, pangeran itu berbisik dekat telinga Ciauw Si,

"Engkau adalah isteriku, bukan?"

Ciauw Si mengangguk sambil memejamkan matanya.

"Dan engkau tentu akan membelaku sampai bagaimana pun juga, bukan?"

"Dengan taruhan nyawaku..."

"Isteriku sayang, kalau melawan kekejaman kaisar lalim bukan pemberontakan namanya! Melainkan perjuangan! Ingatlah betapa keluargamu sendiri pernah menjadi korban kaisar lalim, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pahlawan dituduh pemberontak dan menjadi orang-orang buruan yang direndahkan sekali! Apakah melawan kaisar lalim semacam itu disebut pemberontakan? Apakah usaha untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman kelaliman itu bukan merupakan tugas orang-orang yang menjunjung kegagahan seperti kita pula?" Pandai sekali Ceng Han Houw membujuk sambil merayu dan sambil bermain cinta, menumpahkan segala kemesraan dalam bermain cinta kepada Ciauw Si sehingga akhirnya wanita ini kehilangan kesadaran sama sekali, dan tunduk kepada suaminya yang dicintanya.

Pada keesokan harinya, Pangeran Ceng Han Houw yang hendak meneliti keadaan itu dengan berani pergi menghadap kaisar kemudian mohon ijin untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya di utara. Kaisar menerimanya dengan singkat, kemudian dengan dingin pula memberi persetujuannya kepada pangeran itu untuk pergi ke utara.

Memang sebaiknya kalau pangeran berdarah Mongol yang berbahaya ini pergi saja dan tidak usah kembali untuk selamanya, demikian pikir kaisar. Sesuai dengan siasat kaisar agar pemberontakan atau rencana pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw itu dapat dipadamkan tanpa terjadinya perang saudara, maka pangeran ini pun dengan mudah saja dapat melalui penjagaan di utara, dengan berkendaraan kereta bersama Ciauw Si beserta sepasukan pengawalnya yang setia.

Ciauw Si maklum bahwa dia bertindak ceroboh. Tanpa berunding dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya, dia sekarang bergabung dengan Pangeran Ceng Han Houw ke utara. Dia maklum pula bahwa banyak terdapat bahaya di balik tindakannya ini, namun dia sudah mabuk akan limpahan kasih sayang pangeran yang membuatnya tergila-gila itu maka dia seakan-akan melakukan tindakan itu dengan mata sengaja dipejamkan! Demi cintanya dia rela menghadapi apa pun juga asalkan dia tidak akan terpisah dari samping pangeran yang telah menjadi suaminya itu.

Kesenangan, terutama sekali kesenangan yang diperoleh dari pemuasan gejolak birahi, memang dapat membutakan mata, melumpuhkan kewaspadaan batin dan menyuramkan kesadaran. Betapa banyaknya tercatat di dalam sejarah bagaimana orang-orang besar, orang-orang gagah perkasa yang kokoh kuat batinnya, yang tidak tergoyah oleh godaan penawaran harta dan kedudukan mulia, tetapi akhirnya runtuh dan jatuh, hancur seluruh pertahanannya yang kokoh kuat, karena dilanda oleh godaan berupa kesenangan dan pemuasan birahi ini! Raja-raja besar terguling dari singgasana mereka, pendeta-pendeta suci runtuh dari kesuciannya, wanita-wanita setia gugur dari kesetiaannya, semua hanya dikarenakan godaan kesenangan ini!

Akan tetapi, mereka yang terseret oleh segala macam kesenangan, juga kesenangan yang timbul dari kenikmatan pemuasan birahi, adalah orang-orang yang berada di dalam keadaan tidak sadar! Orang-orang yang setiap saat sadar serta waspada akan dirinya sendiri, akan selalu melihat kenyataan sedalam-dalamnya hingga tak mudah tergelincir.

Orang yang berada di dalam keadaan tidak sadar itu dimabuk oleh bayangan-bayangan kesenangan sehingga baginya yang kelihatan hanyalah bayangan atau gambaran akan kesenangan itu saja, maka dia mau terjun dengan nekat ke dalam kesenangan itu tanpa melihat bahwa di balik segala macam kesenangan itu telah menanti rangkaian yang tak terpisahkan dari kesenangan itu sendiri, yaitu ketakutan dan kedukaan.

Sebaliknya, orang yang selalu waspada tentu akan melihat kenyataan itu, akan melihat kedukaan dan kesengsaraan yang sembunyi di balik sinar menyilaukan dari kesenangan, sehingga dia akan bertindak bijaksana dan cerdas, tidak memasuki kesenangan dengan mata terpejam dan secara membuta saja!

Hal ini dapat dilihat jelas kalau kita menghadapi makanan lezat. Orang yang tidak pernah waspada terhadap dirinya sendiri, begitu melihat makanan, yang nampak olehnya hanya kelezatannya saja dan makanlah dia sepuas-puasnya, dan setelah perutnya sakit atau timbul akibat buruk dari makanan enak yang terlalu banyak itu, baru dia akan mengeluh panjang pendek dan menyalahkan si makanan lezat!

Sebaliknya, orang yang setiap saat waspada akan dirinya sendiri dan akan apa saja yang dihadapinya, melihat juga kelezatan itu akan tetapi di samping itu dia akan melihat pula akibat-akibat buruk yang menjadi rangkaian kelezatan itu sehingga tindakannya menjadi bijaksana, dia tidak terlalu gembul melainkan makan dengan hati-hati. Dan andai kata dia sampai terkena sakit perut sekali pun dia tidak akan menyalahkan siapa-siapa, melainkan melihat jelas bahwa kesalahan itu adalah kesalahannya sendiri! Jelas sekali bedanya, bukan?

Ini bukan berarti bahwa penulis menganjurkan supaya kita menolak kesenangan! Sama sekali tidak menganjurkan apa-apa, juga tidak mencela apa-apa. Hanya ingin mengajak para pembaca untuk mempelajari apa dan bagaimana kesenangan itu, dan selanjutnya terserah!

Ada macam-macam penangkapan dalam mempelajari sesuatu. Ada bermacam-macam pengertian. Mengerti arti kata-katanya saja, seperti biasa orang mengerti dan menikmati filsafat muluk-muluk lantas merasakan kesenangan dalam membicarakannya. Ini adalah pengertian yang tidak ada arti dan manfaatnya bagi kehidupan, karena pengertian makna kata-katanya saja hanya dipergunakan sebagai bahan perdebatan untuk memperebutkan kemenangan dan kebenaran kosong, seperti kosongnya kata-kata itu.

Ada pula pengertian teoritis dan pengertian intelek yang diakui oleh batin, namun hanya sampai di situ saja, tidak disertai penghayatannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada pula pengertian mendalam, mengerti yang disertai kesadaran dan kewaspadaan, pengertian ini menciptakan tindakan sendiri yang timbul dari kecerdasan! Untuk memperoleh pengertian yang terakhir inilah kita belajar! Pengertian yang tidak terpisah dari pada tindakan. Bukan mengerti lalu bertindak untuk mencapai sesuatu. Melainkan mengerti kemudian bertindak melepaskan yang palsu, bukan untuk mencari keuntungan dari pelepasan itu, melainkan karena mengerti bahwa itu palsu.

"Si-moi, aku benar-benar merasa bahagia sekali bahwa engkau dapat ikut bersamaku ke utara. Alangkah akan sedih hatiku andai kata engkau belum kembali dan aku terpaksa harus melakukan perjalanan sendiri."

Ciauw Si menatap wajah tampan itu dan tersenyum, "Engkau adalah suamiku, pangeran. Ke mana pun engkau pergi, aku akan ikut. Akan tetapi, apa bila boleh aku bertanya, ke manakah kita sekarang ini hendak menuju?"

"Ke Istana Lembah Naga, isteriku. Untuk sementara ini, kita akan tinggal di istana itu. Dan di sana pula, di Lembah Naga, akan diadakan pertemuan antara seluruh orang gagah di dunia kang-ouw itu, di mana aku akan membuktikan bahwa aku tak akan mengecewakan kalau mereka mau mengangkatku menjadi bengcu dan Jago Nomor Satu di Dunia."

Ciauw Si mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, suamiku. Kurasa amat tidak bijaksana kalau hendak mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai, akan tetapi tidak ada di antara mereka yang berani mengangkat diri menjadi yang paling pandai. Pangeran, yakin benarkah engkau bahwa ilmu kepandaianmu sudah setinggi itu sehingga tidak akan ada yang dapat menandingimu?"

Ceng Han Houw tersenyum bangga. "Si-moi, tentu saja engkau meragu. Namun jangan engkau mengira bahwa kepandaianku sama dengan tingkatku ketika kita saling bertemu untuk pertama kali itu. Aku sudah mewarisi kepandaian dari guruku, Bu Beng Hud-couw, dan kiranya tidak mungkin aku dapat dikalahkan!"

"Hemm, mudah-mudahan begitu," kata Ciauw Si, akan tetapi alisnya masih berkerut tanda bahwa dia merasa bimbang.

Han Houw maklum akan isi hati Ciauw Si. Dia lalu menyuruh kusir kereta menghentikan kereta itu. Kini mereka berada di lereng sebuah bukit. Pasukan pengawal berhenti dan menoleh heran, komandan pasukan lalu mendekatkan kudanya dengan kereta, memberi hormat dan bertanya,

"Ada perintah apakah, pangeran?"

"Berhenti dulu, beristirahat di sini sebentar!" kata Pangeran Ceng Han Houw dan dia lalu mengajak Ciauw Si untuk turun dari kereta, kemudian menggandeng tangan isterinya itu menjauhi kereta, ke tempat yang sunyi di padang rumput dekat puncak bukit itu.

"Si-moi, aku sengaja berhenti di sini untuk memperlihatkan kepadamu agar engkau tidak bimbang ragu lagi."

"Maksudmu, pangeran?"

"Engkau sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, karena engkau dibimbing sendiri oleh mendiang kakekmu, pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai, bukan?"

"Ahh, aku hanya mempelajari sedikit sekali dibandingkan dengan kepandaian mendiang kongkong."

"Betapa pun juga, engkau adalah seorang pendekar wanita yang jarang tandingannya, dan termasuk orang yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi di waktu ini. Oleh karena itu, kepandaianmu cukup untuk menguji sampai di mana tingkat kepandaianku yang kau ragukan itu, isteriku. Nah, sekarang engkau boleh mencoba untuk menggunakan seluruh kepandaian silatmu untuk menyerangku. Mari kita lihat, sampai berapa lama aku berhasil mencabut tusuk kondemu itu."

Wajah Ciauw Si berseri-seri. Sebagai seorang wanita gagah, tentu saja dia paling senang bicara tentang ilmu silat, apa lagi mencobanya.

"Ehh, untuk mencabut tusuk kondeku bukan hal yang mudah saja, pangeran! Itu melebihi sulitnya merobohkan aku! Sebab untuk merobohkan aku banyak bagian tubuh yang dapat diserang dan sebaliknya, kalau saja aku mencurahkan perhatian dan pertahanan menjaga tusuk kondeku, mana mungkin engkau dapat mengambilnya?"

Suaminya tertawa. "Itulah sebabnya maka aku sengaja hendak menguji diri sendiri. Kalau aku tidak dapat mengambilnya, anggap saja kepandaianku masih kurang jauh sekali dan aku pun tidak akan berani mencalonkan diri menjadi jago nomor satu di dunia."

Ciauw Si mengerutkan alisnya yang bagus. Tentu saja dia tidak akan tega membiarkan suami yang tercinta ini gagal. Akan tetapi, bila dibiarkan berhasil dan kemudian suaminya menghadapi jagoan-jagoan lihai, tentu akan berbahaya juga. Karena itu dia menjadi serba salah.

"Ciauw Si, jangan kau ragu-ragu dan jangan memandang rendah terhadap suamimu ini. Ketahuilah bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini tak akan kalah oleh bekas subo-ku, Hek-hiat Mo-li sendiri, bahkan aku berani berkata bahwa tingkatku tidak lebih rendah dari pada tingkat kepandaian mendiang kongkong-mu!"

"Baiklah," Ciauw Si berkata. "Akan tetapi, pangeran, jika sampai lima puluh jurus engkau tidak mampu mengambil tusuk kondeku dari kepalaku, apa lagi kalau sampai aku dapat menyentuh bagian tubuhmu yang berbahaya, berjanjilah bahwa engkau tidak akan turut memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia. Bagaimana?"

"Baik, Si-moi," jawab pangeran itu sambil tersenyum, penuh kepercayaan terhadap dirinya sendiri. "Nah, kau mulailah!"

"Bersiaplah, pangeran. Lihat serangan!"

Ciauw Si mulai melakukan penyerangan dan dia bergerak cepat, menyerang ke bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja penyerangan itu tanpa disertai tenaga sinkang, hanya dilakukan cepat saja karena tujuannya hanyalah untuk sekedar menyentuh bagian tubuh berbahaya untuk mendapatkan kemenangan.

Ceng Han Houw yang melihat gerakan cepat sekali ini segera mengelak dan menangkis, kemudian membalas dengan sambaran tangan ke arah kepala yang dapat dielakkan pula oleh Ciauw Si.

Mula-mula, wanita lihai ini sengaja mengeluarkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang sangat hebat, yang hanya terdiri dari delapan jurus pilihan. Jurus-jurus ini dipergunakannya untuk menyerang dan mendesak suaminya, dan selama dia bertualang, jarang ada lawan yang mampu mempertahankan diri kalau dia menyerangnya dengan ilmu silat yang ampuh ini. Akan tetapi pangeran itu ternyata hebat bukan main.

Gerakan-gerakannya aneh dan lincah lembut, dan setiap serangannya, sampai kedelapan jurus dari San-in Kun-hoat itu digunakannya semua, selalu dapat dielakkan dan ditangkis dengan mudah saja! Bahkan tidak hanya demikian, akan tetapi gerakan sepasang tangan suaminya itu sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali hampir saja gelung rambutnya dapat disentuhnya!

Ciauw Si merasa terkejut dan juga kagum sekali. Pangeran yang menjadi suaminya itu ternyata tidak membual, dan memang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga ilmunya San-in Kun-hoat yang merupakan ilmu keturunan dari Cin-ling-pai itu sama sekali tidak berdaya terhadapnya.

Karena itu kini Ciauw Si tidak lagi mencurahkan kepandaian untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri, mempertahankan agar jangan sampai tusuk kondenya dapat dirampas oleh suaminya. Maka dia merubah gerakannya dan kini dia bersilat dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang gerakannya tenang dan mantap, tidak terlampau cepat akan tetapi mengandung daya tahan yang sekuat tembok benteng!

"Bagus! Ini tentu Thai-kek Sin-kun yang amat terkenal itu!" kata Ceng Han Houw dan dia mempercepat gerakannya untuk merampas tusuk konde dari gelung rambut isterinya.

Akan tetapi ke mana pun dia bergerak, selalu dia menghadapi pertahanan yang kuat. Apa lagi memang Ciauw Si telah memusatkan pertahanannya kepada kepala sehingga semua sambaran tangan pangeran itu dapat ditangkisnya!

Tiga puluh jurus telah lewat dan tahulah Ceng Han Houw betapa kuatnya daya tahan dari ilmu silat isterinya itu dan kalau terus dilanjutkan, jangankan hanya lima puluh jurus, biar pun sampai seratus jurus kiranya akan sulitlah baginya untuk merampas tusuk konde itu. Dan dia mengerti bahwa isterinya akan mati-matian mempertahankan untuk memperoleh kemenangan, karena isterinya itu agaknya khawatir kalau-kalau dia memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia, mengkhawatirkan keselamatannya, tentu.

"Isteriku, kau hati-hatilah. Sebelum sepuluh jurus tentu tusuk konde itu sudah akan dapat kurampas!" katanya.

Ciauw Si hanya tersenyum dan menganggap suaminya itu berkelakar atau menyombong saja. Sudah tiga puluh jurus dan belum mampu merampasnya, mana mungkin sekarang dalam sepuluh jurus akan dapat mengambil tusuk konde itu?


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Tiba-tiba Ceng Han Houw mengeluarkan pekik nyaring lantas gerakannya berubah sama sekali. Sekarang setiap gerakannya mendatang angin berdesir, membuat pakaian Ciauw Si berkibar-kibar seperti dilanda angin besar. Wanita ini kagum dan terkejut, akan tetapi dia tetap mencurahkan semua daya tahan untuk melindungi kepalanya.


Tiba-tiba saja tubuh pangeran itu berjungkir balik dan dia sudah memainkan Ilmu Hok-te Sin-kun yang luar biasa, yang didapatnya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu. Ciauw Si terkejut dan bingung sekali ketika yang menyerang ke arah kepalanya bukan dua tangan, melainkan dua buah kaki bersepatu! Akan tetapi dia tetap menangkis gerakan kaki itu.

Tapi tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas. Kiranya jari tangan pangeran itu telah menotok punggungnya dari bawah! Dan sebelum Ciauw Si roboh, pangeran itu sudah berdiri lagi, dengan kecepatan kilat tangan kirinya menangkap kedua tangan Ciauw Si yang dalam beberapa detik menjadi seperti lumpuh itu, tangan kanannya menyambar ke arah tusuk konde dan pada detik berikutnya Ciauw Si sudah mampu bergerak kembali, akan tetapi tusuk kondenya telah terampas!

"Empat puluh jurus...!" Ceng Han Houw tersenyum sambil mengacungkan tusuk konde itu ke atas.

Ciauw Si tersenyum dan merangkul pinggang suaminya, memandang penuh kagum. "Ah, tidak kusangka engkau sehebat ini, pangeran! Akan tetapi... betapa pun lihai ilmu silatmu, lihai dan aneh dan hal itu harus kuakui, akan tetapi... bila mana engkau bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, apakah ilmu silatmu itu akan dapat menandinginya?"

Ceng Han Houw mencium isterinya lantas menusukkan kembali tusuk konde itu ke gelung rambut isterinya, mematutnya, kemudian dia tersenyum sambil berkata. "Kita tadi sudah saling menguji ilmu silat dan kelihaian gerakan. Kini, mari engkau menguji tenaga sinkang yang kuperoleh dari pelajaran-pelajaran rahasia itu, juga ilmu ginkang-ku. Sebagai cucu mendiang ketua Cin-ling-pai, tentu tenaga sinkang-mu sudah sangat kuat, bukan? Nah, coba kau serang aku dengan tenaga sinkang-mu, Si-moi, tidak seperti tadi, engkau hanya mengandalkan kecepatan gerak saja."

Ciauw Si menggelengkan kepala. "Main-main dengan tenaga sinkang untuk saling serang adalah amat berbahaya."

"Maksudku bukan saling serang, sayang, melainkan hanya mengukur kekuatan sinkang masing-masing."

"Baiklah kalau begitu, biar kita mengukur sinkang dengan mempermainkan sehelai daun," Ciauw Si berkata gembira dan wanita ini lalu mengambil sehelai daun kering. "Kita lihat berapa tinggi kita masing-masing dapat menahan daun ini!"

Dia melemparkan daun itu ke atas dan cepat menggerakkan tangan yang terbuka ke atas, seperti orang menyangga. Daun yang dilempar ke atas itu tentu saja melayang-layang ke bawah, akan tetapi begitu Ciauw Si menggerakkan tangan... daun itu langsung tertahan, bahkan naik lagi ke atas!

Wanita muda itu terus menggerak-gerakkan dua tangannya yang tergetar, penuh tenaga sinkang. Sehelai daun kering itu terus naik sampai setinggi tiga meter dan bergerak-gerak laksana seekor kupu-kupu, setiap mau melayang turun seperti tertahan oleh tiupan angin dari bawah!

Sesudah melihat bahwa daun itu tidak naik lebih tinggi lagi, Pangeran Ceng Han Houw berseru, "Bagus sekali, Si-moi. Sinkang-mu cukup hebat! Biar kunaikkan lagi daun itu!"

Dia pun lantas menggerakkan sebelah tangan, yaitu tangan kirinya ke arah daun itu dan seperti disambar angin yang amat kuat, tiba-tiba daun itu meluncur naik ke atas! Melihat ini, Ciauw Si terkejut dan kagum bukan main, maka dia lalu menurunkan kedua tangannya dan melangkah mundur, mengusap keringatnya yang membasahi dahi dan leher.

Dia melihat betapa hanya dengan tangan kiri saja pangeran itu mampu membuat daun itu naik dan naik terus. Hampir dia tidak dapat percaya ketika daun itu terus melayang naik setiap kali pangeran itu menggerakkan tangan kirinya hingga akhirnya daun itu melayang-layang setinggi belasan meter! Benar-benar merupakan demonstrasi tenaga sinkang yang selamanya belum pernah dilihatnya!

Kini dia mulai percaya bahwa pangeran yang sudah menjadi suaminya itu tidak membual pada saat mengatakan bahwa dia tidak kalah lihai dibandingkan dengan mendiang ketua Cin-ling-pai! Sukar diukur lagi betapa kuatnya sinkang pangeran itu yang dapat membuat daun melayang-layang sampai belasan meter tingginya itu.

Tiba-tiba pangeran itu menyusulkan tangan kanannya. Kini kedua tangan dengan telapak tangan di atas itu bergerak-gerak, dan tiba-tiba bergerak ke bawah. Daun yang ringan itu pun tiba-tiba saja meluncur ke bawah bagaikan sepotong batu yang berat. Setelah dekat, pangeran itu mengebutkan tangannya dan... daun itu lenyap lalu berhamburanlah tepung halus. Ternyata daun itu telah dipukul dengan pukulan jarak jauh hingga hancur menjadi seperti tepung!

Ceng Han Houw menoleh kepada Ciauw Si sambil tersenyum bangga. "Nah, bagaimana pendapatmu, Si-moi?"

Ciauw Si merangkul dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. "Engkau hebat sekali, pangeran, engkau sungguh hebat bukan main...," katanya.

"Nah, dalam hal ilmu silat dan sinkang agaknya engkau sudah mulai percaya kepadaku. Kini akan kuperlihatkan ginkang yang sudah kupelajari. Kau boleh menyerangku secepat mungkin dan aku tak akan menangkis, tapi menggunakan ginkang untuk menghindarkan semua seranganmu. Kau boleh mempergunakan pedangmu!"

Akan tetapi Ciauw Si tentu saja tidak mau mencabut pedangnya, melainkan mengambil sebatang ranting pohon.

"Biar aku menggunakan ini saja," katanya dan mulailah dia menyerang dengan gerakan secepat mungkin.

Maka terjadilah keanehan ini. Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan ilmu langkah Pat-kwa-po akan tetapi karena dia telah mempunyai ginkang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw, maka gerakan-gerakan yang sangat aneh itu membuat tubuhnya seakan-akan naik sepatu roda, bergeser ke sana ke mari dengan cepat bukan main dan ke mana pun ranting itu menyambar tubuhnya seperti telah lebih dulu terdorong oleh angin gerakan ranting itu, dan selalu dapat menghindarkan dengan lebih cepat lagi! Sampai puluhan jurus Ciauw Si menyerang, akan tetapi selalu mengenai tempat kosong. Akhirnya dia membuang ranting itu dan merangkul suaminya penuh kebanggaan.

Sambil bergandeng tangan mereka kembali ke tempat para pasukan pengawal menanti, lalu mereka memasuki kereta. Pangeran itu memerintahkan agar pasukan bergerak lagi, dan mereka pun melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga.

Di sepanjang perjalanan, sepasang pengantin baru itu tiada henti-hentinya bermain cinta, mencurahkan semua perasaan rindu mereka dengan penuh kemesraan. Ciauw Si makin tergila-gila kepada Pangeran Ceng Han Houw, sebaliknya sang pangeran itu pun semakin mendalam rasa cintanya terhadap wanita ini, sama sekali berbeda dengan perasaannya terhadap semua selir yang pernah menghiburnya.

Diam-diam dia sudah mengambil keputusan bahwa Ciauw Si adalah calon permaisurinya, dan kalau memang isterinya ini menghendaki, selamanya dia tidak akan mengambil selir pun tidak mengapa! Seorang Ciauw Si saja sudah cukup baginya, sudah mewakili seluruh wanita di dunia ini.


                  ***************


Beberapa pekan kemudian, di luar Tembok Besar, sesudah melalui padang tandus penuh pasir, Sin Liong mulai mendaki pegunungan yang menghadang panjang di depan. Mulailah dia bertemu dengan pohon-pohon di hutan setelah berhari-hari dia melalui dataran tandus mengering itu.

Tujuannya hanya satu. Mencari dan menemukan kembali Bi Cu. Rintangan apa pun akan diterjangnya dan dia ingin cepat-cepat sampai di Lembah Naga untuk menemui Pangeran Ceng Han Houw seperti tersebut dalam surat yang ditinggalkan oleh penculik Bi Cu yang diduganya tentulah Kim Hong Liu-nio orangnya. Oleh karena dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga, maka dia melakukan perjalanan cepat dan tidak mau tertunda di tengah jalan.

Dalam waktu beberapa pekan saja tubuh Sin Liong sudah menjadi kurus karena kurang makan dan kurang tidur. Sukar baginya untuk dapat tidur nyenyak mau pun makan enak karena dia selalu teringat kepada Bi Cu dan setiap kali teringat kepada kekasihnya itu, timbullah kegelisahan hebat dalam hatinya.

Dia ingin cepat-cepat sampai di Lembah Naga untuk segera melihat bagaimana keadaan kekasihnya itu. Tidak dapat dia bayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai ada orang berani mengganggu Bi Cu! Ngeri dia memikirkan kemungkinan ini.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa begitu dia muncul di luar Tembok Besar, jejaknya telah diketahui. Semenjak berada di Lembah Naga, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw telah mempersiapkan segala sesuatu, bahkan sudah memasang mata-mata di setiap tempat dari luar tembok sampai ke Lembah Naga sehingga dia akan tahu lebih dulu siapa yang akan datang dari selatan ke Lembah Naga. Meski pun pertemuan besar dunia kang-ouw belum dimulai, akan tetapi dia telah memasang orang-orangnya untuk mengamati dengan teliti. Oleh karena itu, maka kedatangan Sin Liong telah lebih dulu diketahuinya.

Selama berada di Lembah Naga, untuk meyakinkan hatinya, Ceng Han Houw juga telah menguji kepandaiannya sendiri. Suci-nya, Kim Hong Liu-nio hanya dapat bertahan sampai tiga puluh jurus saja melawan dia! Sedangkan bekas subo-nya, yaitu Hek-hiat Mo-li, juga akhirnya menyerah setelah menghadapinya sampai seratus jurus! Maka yakinlah dia akan kekuatannya.

Sesudah Ceng Han Houw mendengar berita kedatangan Sin Liong, dia cepat menyuruh Hek-hiat Mo-li untuk menghadang. "Harap subo suka mencoba dan menguji kepandaian pemuda itu agar aku dapat mengukur sampai di mana kelihaian calon pembantu utamaku itu!" Ceng Han Houw berkata dengan girang, "Suci, harap kau perkuat penjagaan pada sekeliling istana untuk menjaga segala kemungkinan. Bocah yang menjadi adik angkatku itu memang orang aneh. Mungkin saja dia akan melakukan hal-hal yang sama sekali tidak pernah kita bayangkan sebelumnya."

Bi Cu sudah berada di dalam istana itu. Dia diperlakukan dengan baik, bagaikan seorang tamu agung, akan tetapi tetap saja dara ini merasa sengsara dan kalau saja di situ tidak ada Ciauw Si, tentu dia sudah mengamuk dan nekat mempertaruhkan nyawanya.

Ciauw Si terus menghiburnya dan berusaha menyadarkan bahwa pangeran tidaklah jahat, bahwa pangeran adalah kakak angkat Sin Liong dan pangeran berusaha agar Sin Liong suka membantunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw.

"Percayalah kepadaku, Bi Cu. Engkau tahu bahwa aku adalah cucu ketua Cin-ling-pai yang sejak dahulu merupakan keluarga pendekar dan pahlawan, oleh kaisar lalim dituduh pemberontak lantas dikejar-kejar sebagai orang pelarian! Dan untung ada Pangeran Ceng Han Houw yang membebaskan mereka, dan kini pangeran yang sudah menjadi suamiku itu ingin mengajak orang-orang gagah dunia kang-ouw untuk bangkit melawan kelaliman kaisar." Demikian antara lain Ciauw Si membujuk.

Akhirnya, terutama melihat kehadiran wanita perkasa itu di sana, Bi Cu dapat menahan sabar dan menanti kedatangan Sin Liong yang katanya sudah diundang datang ke tempat itu. Betapa pun juga, dia merasa gelisah sekali, amat rindu kepada Sin Liong dan takut kalau-kalau pemuda kekasihnya itu mengalami kecelakaan.

Demikianlah, pada waktu Sin Liong memasuki hutan pertama setelah berhari-hari melalui padang tandus, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di hadapannya sudah berdiri seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan. Sin Liong terkejut bukan main, akan tetapi juga marah ketika mengenal nenek itu.

"Hek-hiat Mo-li nenek iblis terkutuk!" bentaknya marah, karena pada saat itu dia bukan hanya teringat akan Bi Cu yang dia pikir tentu diculik oleh nenek ini bersama Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga teringat betapa kematian kongkong-nya yang amat disayang dan dihormatinya, yaitu mendiang ketua Cin-ling-pai, Cia Keng Hong, disebabkan oleh nenek ini dan murid perempuannya itu.

Hek-hiat Mo-li mengedip-ngedipkan matanya yang tinggal sebelah kanan saja itu, bibirnya sebetulnya tersenyum akan tetapi karena sudah peyot dan tak bergigi maka nampaknya malah cemberut!

"Bocah lancang, ke sinilah kalau ingin mampus!"

Sin Liong sedang dalam keadaan gelisah dan duka, oleh karena itu kenekatannya sudah memuncak. Dan kini, bertemu dengan orang yang dianggap satu di antara musuh-musuh besarnya ini, dia tidak mau banyak cakap lagi. Dia lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan terus menubruk sambil melakukan serangan yang hebat, cepat laksana kilat menyambar dan dahsyat seperti halilintar meledak di atas kepala lawan.

Hek-hiat Mo-li juga berteriak nyaring dan menangkis dengan lengan kirinya yang memakai gelang, sedangkan tangan kanannya yang dibuka membentuk cakar telah menyambar ke arah dada Sin Liong, bagaikan cakar elang yang hendak merobek dada mencengkeram keluar jantung lawan.

Sin Liong maklum akan kelihaian lawan, maka sambil cepat mengelak mundur, kemudian dia balas menyerang dengan sepenuh tenaganya. Akan tetapi nenek itu tidak menangkis, malainkan tiba-tiba menjatuhkan diri di depan kaki Sin Liong. Selagi pemuda ini merasa heran, dia sudah mencelat dari bawah dan mencengkeram ke arah bawah pusar!

Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main. Tak disangkanya nenek itu memiliki akal curang seperti itu dan gerakannya cepat sekali, maka dia pun segera meloncat dan membalikkan tubuhnya untuk mengelak.

Namun nenek itu sudah melayang dan mengejarnya dengan tubrukan dari belakangnya. Mengerikan sekali gerakan nenek yang sakti ini dan meski pun Sin Liong sudah memutar tubuh menangkis, tetapi tetap saja tangan kanan nenek itu sudah menempel pada pundak kirinya. Bukan sembarang menempel, melainkan mencengkeram dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Otomatis tubuh Sin Liong mengerahkan sinkang dan Ilmu Thi-khi I-beng bergerak langsung dari dalam pusar ke pundak.

"Ihh! Thi-khi I-beng!" Nenek itu berseru.

Maka seketika tenaga sinkang-nya berhenti mengalir dan dengan gerakan cepat dia dapat melepaskan tangannya dari pundak pemuda itu yang mempunyai daya menyedot yang hebat sekali. Kembali nenek itu menyerang dengan dahsyat, menggunakan cengkeraman kedua tangannya yang seperti cakar garuda itu, dan yang diserangnya adalah bagian-bagian berbahaya yang kiranya tidak dapat dilindungi oleh Thi-khi I-beng.

Sekarang Sin Liong telah bersikap hati-hati sekali, maklum akan kelihaian lawan. Dengan gerakan Thai-kek Sin-kun dia dapat mempertahankan dirinya dengan baik, bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga amat kuat karena dia juga telah membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang didapatnya dari mendiang Kok Beng Lama.

Tenaga sinkang dari Sin Liong memang kuat bukan kepalang, karena dia telah menerima pengoperan tenaga ini dari mendiang Kok Beng Lama. Tenaganya sendiri yang ditambah tenaga kakek sakti itu telah dimatangkannya pula ketika dia mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, karena itu pada saat ini tingkat kekuatan yang ada pada diri pemuda ini setidaknya tidak kalah kuat dibandingkan dengan tenaga Kok Beng Lama ketika masih hidup!

Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main melihat kenyataan betapa dalam hal adu tenaga, dia tidak sanggup menandingi pemuda itu dan kedua tangannya selalu terpental kalau bertemu dengan lengan pemuda itu.

Akan tetapi, pada lain fihak, Sin Liong juga terkejut ketika tiap kali dia berhasil menampar atau memukul. Baik tamparan mau pun pukulannya yang mengenai sasaran dengan tepat itu membalik seperti mengenai tubuh dari karet yang amat kuat.

Ternyata nenek itu memiliki kekebalan yang sangat luar biasa! Setiap kali dipukul, bukan hanya tangannya sendiri yang terpental, bahkan nenek itu masih terkekeh mentertawakan dia!

Sin Liong menjadi semakin marah dan merasa penasaran. Dia harus mengalahkan dan merobohkan nenek itu lebih dulu sebelum dia dapat mengharapkan untuk menyelamatkan Bi Cu. Maka dia lalu mengeluarkan pekik yang dahsyat dan tiba-tiba gerakannya berubah sehingga nenek itu terkejut sekali.

Hek-hiat Mo-li melihat betapa begitu mengeluarkan pekik dahsyat, pemuda itu kelihatan penuh wibawa, kedua matanya mencorong laksana mata malaikat dan tubuhnya tergetar dan nampak seolah-olah bertambah besar, kemudian gerakan pemuda itu kelihatan aneh sekali. Tiba-tiba pemuda itu menyerangnya dengan gerakan yang aneh, kedua lengannya bergerak, yang kanan menghantam ke arah langit ada pun yang kiri menghantam ke arah bumi! Itulah salah satu jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-cow!

Selagi Hek-hiat Mo-li terkejut dan heran, juga bingung menyaksikan serangan aneh yang sama sekali tidak ditujukan kepadanya itu, mendadak ada angin menyambar dari depan. Angin itu berpusing karena datang dari arah atas dan dari bawah, yang diakibatkan oleh gerakan membalik dari kedua tangan pemuda itu dan dia merasa seperti digulungkan oleh pusingan angin pukulan itu!

Hek-hiat Mo-li terkejut bukan kepalang, cepat dia berusaha untuk meloncat mundur dan menangkis, akan tetapi dia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan biar pun dia berhasil menangkis kedua tangan lawan, tetap saja tubuhnya terpental jauh! Bukan main kagetnya Hek-hiat Mo-li.

Biar pun tubuhnya kebal dan dia tidak terluka, namun karena terbanting dan bergulingan, tubuhnya yang sudah tua itu terasa sakit-sakit dan pandang matanya yang tinggal sebuah itu pun berkunang, kepalanya agak pening! Tahulah dia bahwa pemuda ini benar-benar lihai luar biasa. Baru kurang lebih lima puluh jurus saja dia sudah dibikin terguling-guling seperti itu.

Dia tidak takut, akan tetapi dia enggan untuk dijatuh bangunkan seperti itu, hal yang amat memalukan bagi seorang tokoh yang tua dan berkedudukan tinggi seperti dia. Apa lagi, tugasnya memang hanya menguji, maka dia merasa sudah cukup lantas berloncatanlah nenek itu ke belakang lalu melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan Sin Liong.

Sin Liong tidak mengejar. Memang nenek itu harus dibunuhnya untuk membalas kematian kongkong-nya, akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah menemukan kembali dan menolong Bi Cu hingga selamat. Baru kemudian dia akan mencari musuh-musuhnya. Para musuhnya adalah Hek-hiat Mo-li yang harus dibunuhnya untuk membalas kematian kongkong-nya, dan juga Kim Hong Liu-nio pembunuh dari ibu kandungnya. Tapi sekarang, yang paling perlu adalah menolong Bi Cu.

Maka Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya dengan secepatnya menuju ke Lembah Naga. Apa bila tidak ada halangan, dua hari lagi dia akan tiba di Lembah Naga. Maka dia lalu melakukan perjalanan secepatnya dan walau pun dia tidak bernafsu, akan tetapi dia memaksa diri untuk makan buah-buahan dan daging ayam hutan yang ditangkap serta dipanggangnya karena dia maklum bahwa dia akan menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh dan bahwa dia membutuhkan banyak tenaga untuk menolong Bi Cu. Oleh karena itu dia harus menjaga kesehatan tubuhnya, harus makan agar jangan sampai tubuhnya lemas ketika dia membutuhkan tenaganya nanti.

Dua hari kemudian tibalah dia di perbatasan Lembah Naga. Dia tiba di luar Rawa Bangkai yang kini telah berubah keadaannya. Melihat hutan-hutan dan bukit-bukit di sekitar tempat itu, diam-diam Sin Liong merasa terharu.

Inilah tempatnya! Di sinilah dia terlahir dan dibesarkan. Semua tempat itu, bahkan semua pohon besar di sana itu, kelihatan amat indah dan amat dikenalnya, seperti para sahahat lama yang sekarang sedang mengelu-elukan kedatangannya kembali dengan melambai-lambaikan ranting-ranting dan daun-daunnya yang tertiup angin.

Teringat dia akan gerombolan kera besar kecil yang dahulu menjadi sahabat-sahabatnya, bahkan keluarganya karena dia adalah anak pungut seekor kera besar. Teringat semua itu, naik sedu-sedan dari dadanya lalu berhenti di tenggorokan, membuat dia memandang termenung ke arah hutan, dan timbul hasratnya ingin memasuki hutan itu untuk mencari sahabat-sahabatnya itu. Dia merasa betapa amat kerasan dia berada di sekeliling tempat ini, seakan-akan seorang perantau yang sudah lama pergi dan kini kembali ke kampung halamannya, mengingatkan dia akan semua bayangan kehidupannya di waktu dahulu.

Namun bayangan Bi Cu tiba-tiba membuyarkan semua itu. Keharuan serta kegembiraan yang dirasakan tadi sudah lenyap, terganti pula oleh kekhawatiran akan keselamatan Bi Cu. Teringat akan ini, cepat dia berlari lagi ke depan memasuki hutan kecil di luar Lembah Naga.

Akan tetapi, kembali dia harus berhenti dan memandang ke depan. Akan tetapi sekali ini bukan berhenti untuk memandang penuh pesona kepada tempat yang sangat dikenalnya itu, melainkan untuk memandang dengan sinar mata mencorong dan berapi kepada orang pemuda tampan dan mewah pakaiannya yang berdiri menghadangnya sambil tersenyum manis itu. Ceng Han Houw!

Akan tetapi, Sin Liong tidak terpengaruh dengan senyum manis itu. Kemarahannya sudah menyesak di dada dan begitu bertemu, dia lantas berkata dengan suara kaku dan penuh kemarahan, "Houw-ko, bila sekali ini engkau tidak membebaskan Bi Cu, biarlah aku akan mati-matian mengadu nyawa denganmu!" Lalu dengan sikap mengancam dia mendekati pangeran itu.

Han Houw tersenyum, hatinya amat senang mendengar betapa pemuda perkasa itu masih menyebutnya Houw-ko! Dia tadi sudah mendengar pelaporan dari Hek-hiat Mo-li yang mengatakan bahwa pemuda itu memang lihai dan patut menjadi pembantu utama sang pangeran! Nenek itu tidak menceritakan betapa dia sudah dibikin roboh hingga terguling-guling oleh pemuda itu.

Bahkan pada waktu ditanya oleh sang pangeran bagaimana pendapatnya tentang tingkat kepandaiannya dan tingkat kepandaian Sin Liong, Hek-hiat Moli menjawab bahwa sang pangeran masih lebih unggul, sungguh pun tak banyak selisihnya! Berita ini membuat Han Houw girang sekali dan makin besarlah keinginan untuk dapat menarik Sin Liong sebagai sekutu dan pembantunya.

Maka cepat dia menyambut, dan semakin gembiralah hatinya mendengar betapa dalam kemarahannya, Sin Liong masih menyebutnya Houw-ko, tanda bahwa pemuda itu masih tidak melupakannya bahwa mereka berdua pernah mengangkat saudara.

Ceng Han Houw membelalakkan sepasang matanya dan memperlihatkan sikap terheran-heran, kemudian mendekati dan membuka kedua lengannya sambil berkata, "Aihh-aihh...! Mengapa engkau menduga-duga yang demikian buruknya terhadap diriku, Liong-te? Kita adalah kakak beradik angkat, sudah seperti kakak dan adik kandung saja dan kita sudah banyak saling bantu, mana mungkin aku ingin menyusahkanmu?"

Sin Liong teringat akan peristiwa ketika dia dan Bi Cu terjatuh ke dalam jurang, maka dia berkata dengan suara dingin, "Hemm, tidak perlu membujuk lagi, pangeran! Engkau tidak hanya menyusahkan aku berkali-kali, akan tetapi bahkan nyaris membunuhku baru-baru ini. Aku datang bukan untuk mendengarkan ucapan manis dan bujukan palsu, melainkan untuk menuntut agar engkau membebaskan Bi Cu." Kembali terdengar ancaman di dalam suara ini dan kini Sin Liong tidak lagi menyebut Houw-ko, melainkan pangeran, karena hatinya sudah panas dan marah sekali.

Pangeran Ceng Han Houw tersenyum, "Ahh, engkau salah mengerti, Sin Liong. Peristiwa yang lalu terjadi karena salah pengertian. Engkau begitu keras hati. Akan tetapi kalau kau menganggap aku bersalah, maka biarlah aku minta maaf. Tahukah engkau betapa aku menangisimu ketika engkau terjun ke dalam jurang itu? Dan aku sengaja menyuruh bekas suci dan subo-ku untuk mencarimu sampai dapat! Lalu, untuk menebus semua kesalah fahaman itu..."

"Engkau menyuruh menculik Bi Cu dan memancingku datang ke sini!" Sin Liong berseru dengan penuh kemarahan.

Ceng Han Houw mengangkat kedua tangannya ke atas. "Tenang dan sabarlah, Liong-te. Aku bersumpah. Bi Cu dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, sekarang dia menjadi tamuku yang terhormat. Dengarlah baik-baik terlebih dahulu. Memang aku menyuruh suci untuk membawa nona Bi Cu ke sini, memang dengan maksud agar engkau menyusul ke sini. Akan tetapi bukannya dengan maksud buruk, sama sekali tidak, Liong-te. Melainkan karena aku membutuhkan bantuanmu dan tidak ada jalan lain untuk membujukmu..."

"Hemmm, engkau memang curang. Selalu mempergunakan sandera untuk memaksaku. Akan tetapi kali ini jangan harap engkau dapat memaksaku melakukan sesuatu, Houw-ko. Bukan engkau lagi yang mengajukan syarat, melainkan aku! Syaratku, bebaskanlah Bi Cu baik-baik kemudian biarkan kami pergi, jika tidak, aku pasti akan mengadu nyawa untuk menyelamatkannya, dengan taruhan selembar nyawaku!"

"Ahhh, engkau memang gagah perkasa sekali, Liong-te. Dan aku juga tahu, aku sudah mendengar dari nona Bhe Bi Cu betapa engkau dan dia telah saling jatuh cinta. Aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Akan tetapi aku sekarang bukanlah Pangeran Ceng Han Houw yang kemarin-kemarin, Liong-te. Aku telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar yang lalim, dan aku telah menjadi kakak iparmu sendiri!"

"Apa...?! Apa maksudmu...?" Sin Liong tentu saja terkejut dan merasa heran bukan main mendengar ucapan itu. Dia menatap tajam penuh selidik karena hatinya bertanya-tanya, permainan apa lagi yang dilakukan oleh pangeran yang curang dan licik ini.

Ceng Han Houw tertawa. "Adikku, engkau bukan hanya adik angkatku, akan tetapi juga adik iparku. Ketahuilah bahwa sekarang aku sudah menjadi cucu mantu dari mendiang kongkong-mu, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."

"Ahhh...?" Tentu saja Sin Liong sama sekali tidak percaya dan menganggap pangeran ini hendak menipu dan membohonginya.

"Tentu engkau tidak percaya, namun sebentar lagi engkau akan bertemu sendiri dengan piauwci-mu itu. Dengar baik-baik, Sin Liong, aku sekarang sudah menjadi suami dari Lie Ciauw Si. Engkau tentu mengenal nama itu, bukan?"

Diam-diam Sin Liong terkejut bukan main, lantas teringatlah dia akan pertemuan antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si pada waktu dia sedang mengantar pangeran itu untuk mencari Ouwyang Bu Sek.

Pada waktu itu, Sin Liong dan pangeran itu melihat Lie Ciauw Si yang tengah membela ketua-ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang sedang dihajar oleh dua orang bengcu, yaitu dua orang dari Lam-hai Sam-lo. Ketika itu pun dia melihat hubungan antara kedua orang itu akrab sekali, akan tetapi sungguh tidak pernah disangkanya bahwa mereka akhirnya menjadi suami isteri!

Dia tahu siapa adanya Lie Ciauw Si. Pada saat dia ikut kongkong-nya di Cin-ling-san, dia juga sudah mendengar tentang keluarga Cin-ling-san itu, atau yang sesungguhnya adalah keluarganya. Kakeknya, mendiang Cia Keng Hong, memiliki dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Cia Giok Keng yang sudah janda dan kini menjadi isteri pendekar sakti Yap Kun Liong. Dari suaminya yang pertama, she Lie, Cia Giok Keng memiliki dua orang anak, yaitu Lie Seng dan Lie Ciauw Si. Sedangkan putera ketua Cin-ling-pai yang ke dua adalah Cia Bun Houw atau ayah kandungnya sendiri!

Memang benarlah bahwa Lie Ciauw Si itu masih piauwci-nya sendiri, dan kalau memang piauwci-nya itu kini menikah dengan pangeran ini, maka hal itu berarti bahwa pangeran ini bukan hanya kakak angkatnya, melainkan juga kakak iparnya sendiri! Betapa pun juga, Sin Liong masih belum mau percaya. Bukankah pangeran ini selalu memusuhi keluarga Cin-ling-pai? Bagaimana mungkin menjadi suami piauwci-nya? Andai kata betul demikian, tentu pangeran ini menggunakan akal dan kelicikannya untuk menipu piauwci-nya itu!

Melihat Sin Liong yang mengerutkan alis seperti orang termenung kemudian memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, pangeran itu dapat pula menduga apa yang diragukan oleh adik angkatnya itu, maka dia lalu berkata,

"Liong-te, engkau tidak tahu apa yang sudah terjadi. Telah terjadi perubahan besar pada diriku dan kehidupanku. Pada waktu aku dan Si-moi saling berjumpa, seperti engkau juga mengetahui, yaitu di pusat Sin-ciang Tiat-thouw-pang, kami saling jatuh cinta. Semenjak itu, aku bersimpati dengan keluarga Cin-ling-pai. Engkau pun tahu bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai selama ini adalah bekas subo dan suci-ku, sedangkan aku sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai. Ketika aku jatuh cinta kepada Si-moi, maka aku segera mengusahakan kebebasan keluarga itu dari tuduhan pemberontak dan pelarian. Nah, karena perbuatanku itu, maka kaisar menaruh curiga dan benci kepadaku, apa lagi akibat ada hasutan Pangeran Hun Chih yang ingin mencari kedudukan. Sahabat-sahabatku ditangkapi oleh kaisar yang lalim. Oleh karena itu, aku lalu melarikan diri dari kota raja setelah aku menikah dengan Si-moi, dan kami telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar lalim!"

"Hemm, memberontak?" Sin Liong bertanya, masih tertarik oleh cerita pangeran itu.

"Ahhh, engkau tentu dapat membedakan antara memberontak dan menentang kelaliman, Liong-te. Aku bukan memberontak untuk merebut kedudukan, namun hendak menentang kelaliman yang menyengsarakan rakyat. Dan aku berbesar hati karena isteriku, Lie Ciauw Si, berdiri di sampingku dan siap membantuku, dan demikian pula kelak seluruh keluarga Cin-ling-pai akan membantuku bila saatnya telah tiba. Ketahuilah, Liong-te, aku sekarang sedang berusaha untuk mengadakan pertemuan di Lembah Naga dengan seluruh tokoh kang-ouw dan ahli-ahli silat, berikut partai-partai persilatan di seluruh dunia. Aku hendak mengadakan pemilihan bengcu dan jago nomor satu di dunia. Sesudah itu, aku hendak menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw kemudian kita akan mengadakan gerakan orang gagah sedunia untuk menentang kelaliman kaisar. Nah, karena itulah maka aku menyuruh mengajak nona Bhe Bi Cu ke sini, Liong-te, dengan harapan engkau juga akan suka ikut membantu pergerakan kami ini."

Sin Liong merasa terheran-heran dan terkejut sekali, akan tetapi dia belum sepenuhnya dapat mempercayai apa yang diucapkan oleh pangeran itu, yang terdengar terlalu aneh baginya.

"Aku tidak peduli mengenai itu semua, Houw-ko. Aku hanya menghendaki Bi Cu selamat dan kami dibiarkan pergi tanpa gangguan. Aku akan berterima kasih kepadamu, Houw-ko, kalau engkau dan siapa pun tidak mengganggu selembar rambut Bi Cu."

Diam-diam Han Houw girang bahwa selama ini dia memperlakukan Bi Cu dengan baik. Memang hal ini sudah diduganya. Orang seperti Sin Liong ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, akan tetapi harus dengan kehalusan budi untuk menundukkannya.

"Liong-te, tentu engkau belum percaya apa bila belum melihatnya sendiri. Marilah, adikku, mari kita menemui piauwci-mu dan kekasihmu itu. Mereka sedang menanti kita di Istana Lembah Naga."

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan, Sin Liong lalu mengikuti Han Houw. Akan tetapi baru beberapa langkah, pangeran itu lantas bertepuk tangan dan muncullah pasukan-pasukan terpendam dari semua penjuru!

Melihat ini, Sin Liong terkejut bukan main. Kiranya tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang prajurit yang bersenjata lengkap. Dia bersikap tenang dan waspada, akan tetapi pangeran itu hanya minta disediakan dua ekor kuda. Dua ekor kuda terbaik dikeluarkan dan berangkatlah dua orang muda ini naik kuda ke Istana Lembah Naga.

"Lihat, adikku, bukankah kita sekarang kembali seperti dulu lagi, ketika kita mengadakan perjalanan bersama?"

Sin Liong tidak menjawab. Memang kenangan itu manis dan membayangkan kebaikan-kebaikan pangeran terhadapnya, akan tetapi juga membuat dia merasa sebal mengingat akan tingkah pangeran ini setiap kali bertemu wanita muda dan cantik, dan diam-diam dia mengkhawatirkan keadaan Lie Ciauw Si, cucu kongkong-nya itu. Mengapa wanita cantik yang gagah perkasa itu mau menyerahkan diri kepada seorang pria macam pangeran ini, pikirnya heran.

Di sepanjang perjalanan menuju ke Lembah Naga yang sangat dikenalnya itu, Sin Liong mendapat kenyataan betapa tempat itu terjaga dengan sangat ketatnya, penuh dengan pasukan, baik yang nampak menjaga di kanan kiri jalan mau pun yang menjaga sambil bersembunyi-sembunyi di balik pohon, di dalam semak-semak.

Diam-diam Sin Liong terkejut sekali, dan maklumlah dia bahwa kalau dia tidak bersama pangeran itu, maka agaknya tak akan mudah baginya untuk dapat menyelundup ke dalam daerah itu. Dan kenyataan ini pun agak melegakan hatinya, karena seandainya pangeran itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya, perlu apa dia akan disambut dan diajak masuk ke Istana Lembah Naga?

Akan tetapi ketika dia dan pangeran itu tiba di depan Istana Lembah Naga yang sangat dikenalnya walau pun kini keadaan jauh berbeda dengan dahulu pada waktu dia tinggal di situ, kini menjadi sebuah istana yang megah dan indah, dia melihat dua orang wanita berdiri di depan istana itu menyambut. Dan seorang di antara mereka adalah Bi Cu!

Seketika lenyaplah semua kekhawatirannya. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan di lain saat dia sudah berlari ke depan. Demikian juga Bi Cu sudah berlari cepat ke depan menyambut.

"Sin Liong...!"

"Bi Cu...!"

Di lain detik mereka berdua sudah saling berangkulan dan berpelukan dengan ketat.

"Sin Liong... ahh, Sin Liong...!" Bi Cu terisak di dada pemuda itu yang merangkul dan mendekapnya dengan hati penuh asa girang dan bahagia.

Jika saja tidak ingat bahwa di situ berdiri Lie Ciauw Si yang memandang dengan terharu, dan berdiri pula Ceng Han Houw yang tersenyum lebar dan menghampiri isterinya, juga beberapa orang dayang, pengawal dan pelayan, tentu dia dan Bi Cu sudah berciuman. Akan tetapi hanya pandang mata mereka saja yang saling berciuman dan menyatakan kebahagiaan mereka serta kerinduan hati masing-masing.

Sin Liong tidak perlu bertanya lagi akan keadaan Bi Cu. Dara itu nampak amat sehat, dan pakaiannya rapi, rambutnya pun rapi, meski pun wajahnya agak pucat dan sinar matanya menunjukkan bahwa dara itu banyak berduka. Hal itu lumrah, karena tentu Bi Cu selalu memikirkan dia, seperti juga dia yang tidak pernah dapat melupakan Bi Cu dan selalu mengkhawatirkan keselamatannya.

"Mari kita ke dalam dan bicara di dalam, Liong-te dan nona Che Bi Cu. Marilah, Si-moi."

Mereka berempat lalu memasuki istana itu, Sin Liong bergandengan tangan dengan Bi Cu yang agaknya tidak mau lagi melepaskan tangannya. Setelah mereka masuk di ruangan dalam dan pangeran itu mempersilakan mereka duduk, Sin Liong cepat menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara terharu,

"Ternyata ucapanmu terbukti benar, Houw-ko, sebab itu terimalah ucapan terima kasihku. Aku sungguh bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Bi Cu berada dalam keadaan baik dan tidak terganggu."

"Siapakah hendak membohongimu. Liong-te? Apa lagi setelah aku menjadi kakak iparmu pula. Si-moi, Liong-te, kalian berdua adalah saudara-saudara misan, keduanya merupakan cucu ketua Cin-ling-pai, mengapa tidak saling tegur?"

Karena tidak mungkin lagi menyembunyikan dirinya, Sin Liong segera menjura dengan hormat kepada Ciauw Si dan berkata merendah, "Mana mungkin aku yang rendah berani mengaku adik misan Lie-lihiap?"

Ciauw Si memandang tajam. Ketika dia tadi mendengar dari suaminya bahwa Sin Liong sesungguhnya adalah anak kandung pamannya, Cia Bun Houw, dia tidak percaya dan merasa ragu-ragu. Kalau benar pamannya itu mempunyai seorang putera, mengapa tidak ada seorang pun di antara keluarga mereka yang tahu? Pula, anak ini katanya pernah ikut kongkong-nya di Cin-ling-pai, bahkan katanya berkenan menerima ilmu-ilmu lengkap dari kongkong-nya itu, termasuk Thi-khi I-beng! Akan tetapi kalau sudah begitu, kenapa masih juga belum ada yang tahu?

"Sin Liong, tidak perlu kiranya merendah atau merasa tinggi. Sebaiknya kalau berterus terang saja seperti kenyataannya. Aku sudah mendengar dari pangeran bahwa engkau adalah putera kandung paman Cia Bun Houw. Sungguh hal ini aku tidak mengerti sama sekali dan tidak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang tahu pula. Bagai manakah sesungguhnya? Kalau engkau putera paman Cia Bun Houw, lalu siapakah ibu kandungmu dan bagaimana sampai tak seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang tahu?"

Sin Liong tahu bahwa semua ucapan itu dikeluarkan oleh wanita perkasa itu dengan hati jujur dan tanpa prasangka buruk, namun dia mendengarnya dengan hati merasa tertusuk. Dia menundukkan mukanya kemudian berkata lirih, "Sesungguhnya rahasia ini tidak akan kuceritakan kepada siapa pun juga, hanya tanpa kusengaja telah bocor hingga diketahui orang. Maafkan aku, lihiap, aku tidak bisa menceritakan duduknya perkara, karena hal ini merupakan rahasia pribadi dari pendekar Cia Bun Houw." Dia menyebut nama ini dengan keras, menandakan bahwa hatinya amat marah kepada pendekar itu. "Maka, jika sampai urusan ini dibicarakan sehingga rahasia ini dibongkar, biarlah yang membongkarnya dan membicarakannya yang bersangkutan sendiri!"

Lie Ciauw Si dapat memaklumi keadaan Sin Liong yang agaknya diliputi rahasia yang tak menyenangkan, "Akan tetapi, engkau sudah pernah dididik oleh mendiang kongkong. Apa bila engkau putera kandung paman Bun Houw, berarti kongkong Cia Keng Hong adalah kongkong-mu pula, bahkan engkau merupakan keturunan langsung! Engkau she Cia dan engkau laki-laki pula! Kenapa engkau pun tidak mau mengaku kepada kakekmu sendiri?"

Disebutnya nama kakek itu membuat Sin Liong merasa berduka. Dia pun menarik napas panjang dan berkata, "Beliau yang sudah berada di tempat baka tentu sudi mengampuni aku. Aku memang sengaja tak ingin menonjolkan diri sebagai keturunan Cin-ling-pai yang terkenal sebagai keluarga yang gagah perkasa! Sedangkan aku ini orang apakah? Hanya orang yang tidak diakui! Haruskah aku mendesak-desak untuk membonceng ketenaran nama besar Cin-ling-pai?".....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12