Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 42
PARA hwesio
itu tentu saja sibuk menyambut kedatangan pangeran dengan hormat sekali. Liang
Sim Hwesio, ketua kuil itu menerima kedua orang tamu agungnya di dalam kamar
tamu dan ketika sang pangeran menjelaskan maksud kedatangannya dengan gadis
cantik itu, sejenak sang hwesio tertegun. Sungguh permintaan yang sangat aneh
dari pangeran itu untuk menikah di saat itu juga, tanpa perayaan dan tanpa
saksi, hanya cukup dengan sembahyang saja.
"Dapatkah
losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah secara resmi
di kuil ini?" tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan
mendesak.
"Tentu,
tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati, bahkan
pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!" serunya sambil
tersenyum lebar dan wajahnya berseri. Siapakah tidak akan merasa girang kalau
diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang
terhormat dan mulia?
Tiba-tiba
saja Ciauw Si yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi
kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya,
suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya
pada saat menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi
seorang gadis ini,
"Losuhu...
apakah... pernikahan seperti ini sudah sah...?"
Hwesio tua
itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya memandang wajah
Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan sinar mata
sang pangeran, dia pun cepat merangkap kedua tangannya depan dada.
"Omitohud...!
Tidak ada yang lebih sah dari pada peneguhan dan pemberkatan di dalam kuil,
disaksikan oleh para dewa dan malaikat dengan sumpah di depan meja sembahyang
kepada Thian sendiri, siocia!"
Maka
lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara
mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata, "Terima kasih,
losuhu."
Mereka tidak
usah menunggu lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu
dipersiapkan dan tidak lama kemudian dua orang muda itu sudah berlutut di depan
meja sembahyang dengan penuh khidmat.
Ketika
mereka sedang bersembahyang itu, Ciauw Si teringat akan keluarganya dan tanpa
dapat ditahannya lagi menangislah pengantin wanita ini! Bagaimana pun juga, dia
merasa sedih sekali karena menikah tanpa dikelilingi sanak keluarganya, bahkan
tidak memakai pakaian pengantin dan tidak disaksikan oleh seorang pun kerabat.
Dia memang
sudah mengambil keputusan nekat. Biar pun bangkitnya gairah nafsu karena rayuan
dan belaian kekasihnya itu merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping
itu juga ada kenyataan-kenyataan lainnya yang mendorong Ciauw Si menyerah
kepada kekasihnya dengan sekedar upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu. Dia
teringat akan peristiwa yang menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu
saling mencinta dengan Sun Eng, akan tetapi ibu kandungnya beserta keluarga
Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi peristiwa yang amat menyedihkan.
Sejak semula
dia membela kakaknya dan secara diam-diam dia tidak setuju dengan sikap
orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang
muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si menganggap bahwa kehadiran
keluarganya di dalam pernikahannya sekarang ini pun hanyalah merupakan soal ke
dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran!
Dan dia
tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjinah,
melainkan bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil,
di depan para dewa, di depan Thian! Maka, halangan bahwa dia belum memberi
tahukan kepada ibunya serta para keluarganya merupakan halangan yang tipis
sekali, ditipiskan oleh peristiwa kakak kandungnya itu!
Apa lagi
karena dia pun merasa sangsi apakah keluarganya akan menyetujui perjodohan
antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw yang dikenal oleh keluarganya sebagai
murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong
kenekatannya. Andai kata keluarganya tak setuju, seperti juga ketika tidak
menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah menikah dengan sah di
dalam kuil itu!
Oleh karena
semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu, maka
sesudah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami
isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya pulang ke istana.
Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela
membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan
dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang
pasrah.
Sepasang
pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan mereka serta membuat
mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam saja itu lantas
menjadi berlarut-larut sehingga sampai tiga hari tiga malam mereka tidak pernah
keluar meninggalkan kamar!
Baru pada
hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan keluarganya,
dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya. Perpisahan yang
berat dan mesra. Seakan-akan pangeran itu tidak mau melepaskan isterinya dari
dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya. Akan tetapi
akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan seekor
kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal dan pada
pagi hari itu, dengan diantar oleh pandangan mata yang mencinta dari Pangeran
Ceng Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari
kota raja.
Sedikit pun
Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di istana
pangeran itu, di mana dia menikmati bulan madu selama tiga hari tiga malam itu,
terjadi peristiwa yang sangat mengerikan atas diri Sun Eng! Dia sama sekali
tidak tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan
Yap In Hong, sudah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang
istana.
Dan setelah
Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya terasa
bimbang. Dia merasa girang bahwa dia sudah berhasil menjalankan siasatnya,
menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga
Cin-ling-pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya.
Akan tetapi,
di samping kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia benar-benar
jatuh cinta! Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan
bahwa dia sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggap wanita ini
sebagai isteri, bukan sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka.
Maka
timbullah kekhawatiran dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia sudah bermain
dengan api yang amat berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri.
Di satu fihak dia sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak
memperalat gadis itu demi keuntungan diri sendiri.
***************
"Bi
Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!" Sin Liong membasahi kepala dara itu
dengan air.
Bukan main
gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang terus mengigau dan
tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun hingga sehari
semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir.
Hutan itu
kecil akan tetapi liar, tidak ada goa atau tempat berlindung yang baik untuk Bi
Cu. Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak
sungai yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong lalu membunuh
beberapa ekor ayam hutan dan kelinci, kemudian dia memanggang dagingnya dan
diberikan kepada Bi Cu.
Akan tetapi
selama sehari semalam itu, jangankan makan, bahkan diajak bicara pun Bi Cu
tidak dapat menjawab, keadaannya setengah sadar. Dia sendiri pun sama sekali
tidak dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap mata pun, terus-menerus
menjaga Bi Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang
panas itu dengan air.
Pada
keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sungguh
pun tubuhnya masih panas sekali.
"Sin
Liong...!" rintihnya.
Sin Liong
girang bukan main. Diusapnya pipi yang basah oleh air mata itu, disingkapnya
rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah yang pucat itu.
"Bi Cu,
engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau pasti akan
sembuh kembali."
Bi Cu agak
terengah, bibirnya yang pucat mengering itu lalu berkata lemah, "Aku...
aku haus..."
Sin Liong
cepat mengambil air yang sudah disediakannya lantas memberi minum dara itu
dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuknya seperti
cawan. Sesudah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu
rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk.
"Berapa
lama aku sakit...?" bisiknya.
"Engkau
dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tetapi engkau akan
sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena kita berada
di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya akan makan
panggang daging kelinci, Bi Cu."
Bi Cu
mengangguk. Sekarang pikirannya sudah terang dan diam-diam dia merasa terharu
melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas nampak betapa
pemuda itu lelah sekali.
Biar pun
sekarang Bi Cu telah sadar, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih
kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari
dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit, kepalanya terasa pening
sekali dan pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat
malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah
beristirahat!
Jadi sampai
lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur, dan makan sedikit, sama
sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau Bi Cu juga makan.
Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah di tempat sunyi
itu. Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam menjelang pagi, kembali
turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong berusaha melindungi
badan Bi Cu dari siraman hujan.
Dengan hati
penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu sangat kedinginan. Bi Cu
bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh
Sin Liong. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun seperti dituangkan dari
atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah
kuyup!
Tidak ada
tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api unggun yang dibuat Sin
Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk mengumpulkan kayu kering
yang sedapat mungkin ditutupinya dengan daun-daun.
Tubuh Bi Cu
menggigil di dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sin卢kang-nya sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Hal ini banyak
menolong walau pun pakaian mereka basah semua. Melihat sepasang sepatu Bi Cu
yang telah pecah-pecah dan rusak akibat dipakai mendaki tebing tempo hari, kini
basah kuyup dan bahkan menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar
biasa dinginnya, Sin Liong berkata,
"Sebaiknya
sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan saja."
Bi Cu yang
menyembunyikan mukanya di dada Sin Liong hanya mengangguk, maka Sin Liong cepat
melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia merasa betapa
tubuh yang dirangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah. Makin eratlah dia
mendekap, dengan hati penuh kasih sayang.
Ternyata
hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong segera membuat api
menggunakan kayu-kayu kering yang tadi telah ditutupinya dengan daun-daunan.
Untung masih terdapat kayu-kayu yang kering di tumpukan bawah, maka dapat juga
dia berhasil menyalakan api unggun yang mula-mula mengepulkan asap. Akan tetapi
makin lama, api unggun itu semakin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk
di dekat api unggun sambil memeluk tubuh Bi Cu.
"Engkau
tentu dingin sekali, Bi Cu...," katanya penuh iba sambil merangkul dara
itu.
Bi Cu
menyandarkan kepalanya pada pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah
pundak dan lengan pemuda itu, kemudian berkata lemah dengan suara gemetar
karena kedinginan, "Engkau pun basah kuyup dan kedinginan..."
"Tidak,
aku sehat, engkaulah yang tengah sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh sakit
lagi. Ahh, baru saja engkau hampir sembuh tapi kembali disiram hujan
lebat...," Sin Liong berkata khawatir.
Melihat
kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu, apa
lagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali peristiwa
yang terjadi di bawah tebing pada waktu mereka menyambut hujan dengan bahagia
sekali dan mereka telah berpelukan serta berciuman dalam keadaan hampir tidak
sadar!
"Sin
Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu
sudah mati dalam keadaan terlantar..." Suaranya mengandung isak.
Sin Liong
menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara air hujan
yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes pada wajah yang pucat
itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih erat.
"Tentu
saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini..."
"Dan
aku... aku pun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi
selamanya, Sin Liong..."
Sin Liong
memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi kedua
matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya, lantas
berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu. "Tahukah
engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang tadi kau katakan itulah yang
kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku terus
menerus membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi
Cu..."
Mereka tidak
berkata-kata lagi. Memang tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Dengan
berdiam diri itu terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan kehadiran
masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, namun juga di dalam batin
masing-masing. Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan,
merasa seolah-olah mereka berdua telah bersatu dalam batin, seperti orang yang
memiliki dan membutuhkan anggota tubuhnya sendiri. Takkan terpisahkan lagi,
senasib sependeritaan. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan dan
berdekapan dalam keadaan kedinginan itu.
Akhirnya
terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada dekat leher
Sin Liong, "Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati...?"
"Ya,
ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ahh, aku khawatir sekali."
"Aku
tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong.
Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta
padamu Sin Liong."
Tanpa
diucapkan sekali pun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong. Dia
lalu mencium mata kiri dara itu. "Aku pun cinta padamu, Bi Cu."
Mereka tidak
bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah kata-kata
terakhir di dunia ini dan sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi yang lebih patut
dibicarakan!
Cinta memang
maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan keburukan, sudah melampaui
segala yang dapat diperbandingkan, melampaui penilaian dan perbandingan itu
sendiri!
Cinta-mencinta
membawa kita ke dalam suatu keadaan di mana tak ada lagi baik buruk, susah
senang, dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa
saja nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah, di
sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada
lagi kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka
cita, yang berbeda dengan kesenangan.
Kesenangan
memiliki sebab, mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka
cita adalah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa ada sebab tertentu.
Keadaan ini membuat kita dipenuhi dengan cahaya cinta kasih, penuh dengan
kebajikan, dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan peri kemanusiaan.
Cinta adalah
kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sebenar-benarnya manusia,
dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu.
Sayang, biar
pun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti itu, namun
nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari batin kita.
Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin sudah penuh
lagi dengan segala kotoran nafsu.
Bahkan
celakanya, nafsu-nafsu menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta
kasih yang suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang
sebetulnya hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan
diri sendiri belaka, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan
kita sekarang ini.
Cinta yang
kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanya sejenis pemalsuan untuk
menutupi keinginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk memperoleh kepuasan
melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita
sendiri. Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah
kita pakai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja.
Cinta
semacam ini tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan benci yang dianggap
sebagai kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta
kasih bebas dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang.
Hari itu
cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah kehujanan
seperti itu, keadaan Bi Cu bukannya menjadi semakin buruk, bahkan dia menjadi
sembuh sama sekali! Hanya tubuhnya masih agak lemah, namun dia sudah sembuh.
Tidak panas lagi, tidak pusing lagi.
Hujankah
yang menyembuhkannya? Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata
dari mulut mereka, dalam pengakuan cinta mereka? Entahlah. Akan tetapi yang
jelas, Sin Liong merasa girang bukan main.
"Bi Cu,
engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup..."
"Hari
ini agaknya cuaca akan panas, Sin Liong. Aku dapat saja melepaskan pakaian dan
menjemurnya. Akan tetapi..." Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar,
"engkau harus menjauh, tidak boleh mendekat!"
Sin Liong
tertawa. Sekarang Bi Cu benar-benar telah sembuh. Dia sudah mulai bertingkah
bengal lagi! Kedua mata yang indah itu sudah bersinar-sinar kembali, kini penuh
dengan kelincahan dan kejenakaan.
"Ha-ha,
kau kira aku ini tukang intip? Aku pun akan pergi memeriksa keadaan sekeliling
hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun."
"Kalau
ada dusun kau mau apa?"
"Mencarikan
pakaian untukmu, dan sepasang sepatu."
"Kau
ada uang?"
Sin Liong
menggelengkan kepalanya.
"Habis
bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu?"
Muka Sin
Liong menjadi merah. Baru saja sembuh dara ini sudah pandai mendesaknya dengan
omongan dan membuatnya tersudut!
"Aku...
aku akan minta!"
"Uhhh,
seperti aku tidak tahu saja. Hendak minta kepada orang dusun yang miskin dan
yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka?"
"Barang
kali di dusun ada yang kaya, ada tuan tanahnya..."
"Dan
kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan mau
memberimu? Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau hendak mencuri
pakaian dan sepatu untukku!"
Sin Liong
tersenyum dan terpaksa mengangguk. "Atau kita pakai saja istilah pinjam
dari orang kaya di dusun?"
"Tidak,
lebih baik kau beli saja, atau tukar dengan ini!" Bi Cu melepaskan seuntai
kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong.
Sin Liong
memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet bermata emas itu.
"Ah, bukankah ini lambang dari julukanmu dahulu? Dahulu julukanmu adalah
Kim-gan Yan-cu (Burung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!"
Bi Cu
tersenyum. "Justru karena kalung itulah maka para pengemis di kota raja
menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai."
"Ahh,
kukira julukan itu karena, matamu..."
"Mataku
bagaimana?"
"Matamu
indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas..." Sin Liong mendekat dan
merangkul, mencium mata itu.
"Ihhh,
engkau perayu!" Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pemuda itu
lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan
tangannya.
Bi Cu
berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang bukan main. Kemudian dara
ini pun pergi ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk membersihkan diri,
dan mencuci pakaian kemudian menjemur pakaiannya.
Ternyata
dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh sekali dari
hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang sepatu untuk
Bi Cu, akan tetapi semuanya itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung saja, ada
pun mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya. Rantai
kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-barang
itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru itu.
Matahari
telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata Bi Cu
telah memakai pakaiannya yang telah dicuci dan sudah kering, dan dara itu
ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan.
"Ahh,
engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan un卢tuk kita? Biar aku yang..."
"Hemmm,
walau pun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku berhasil juga
mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin
Liong!"
Bi Cu girang
sekali, kemudian mematut-matut diri dengan pakaian itu sesudah kaus kaki dan
sepatunya dia pakai dan ternyata pas ukurannya.
"Semua
itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku merasa
sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaian pun aku
merasa tidak rela!"
Sin Liong
mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan kembali kepada
pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak.
"Kau
simpan sajalah, Sin Liong."
Wajah pemuda
itu langsung berseri. "Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak
mengajukan permintaan kepadamu!" Melihat dara itu sudah sehat benar bukan
main lega rasa hati Sin Liong.
"Aku
akan mencoba pakaian ini!" kata Bi Cu sambil berlari kecil dan menghilang
ke balik semak-semak.
Sin Liong
tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak, lalu mencium
benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian memasukkan mainan
kalung itu ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering
ketika dibawanya berlari cepat tadi.
"Wah,
engkau memang hebat! Pas sekali ukuran pakaian ini, seperti juga
sepatunya!" Bi Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok.
Muka itu
masih agak pucat, rambut yang agak basah itu masih kusut karena di situ tidak
ada sisir, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis
sekali dan kelihatan segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi
hari.
"Kau...
kau cantik sekali dengan pakaian itu, Bi Cu!" kata Sin Liong sambil
bangkit berdiri.
Bi Cu
meruncingkan mulutnya. "Ihhh..., engkau sekarang menjadi perayu benar!
Jangan-jangan engkau akan ketularan penyakit kakak angkatmu itu, Sin
Liong!"
Sin Liong menyambar
lengannya dan di lain saat mereka sudah saling berangkulan.
"Bi Cu,
engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang akan selalu kurayu dan
kupuji."
Sejenak Bi
Cu menyandarkan kepalanya pada dada kekasihnya seperti tadi malam ketika mereka
kehujanan. "Sin Liong, jangan kau tinggalkan aku lagi. Jangan sampai kita
saling berpisah, apa pun yang akan terjadi. Mau kau berjanji?"
"Tentu
saja, Bi Cu."
"Biar
pun engkau akan dipaksa oleh siapa pun juga?"
Sin Liong
mengangguk.
"Kita
akan selalu berdampingan, baik dalam keadaan hidup atau pun mati?"
Sin Liong
memegang kedua pundak dara itu, membalikkan tubuhnya sehingga mereka kini
saling tatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak
menjenguk isi hati masing-masing. Namun, pancaran sinar mata dua orang insan
ini penuh kemesraan dan cinta kasih, sungguh terasa oleh keduanya. Sin Liong
perlahan-lahan mencium dahi dara itu, gerakan yang lembut dan halus, seperti
mencium benda keramat.
"Perlukah
aku bersumpah, Bi Cu?"
Bi Cu merangkul
leher Sin Liong. Sejenak dia merangkul ketat, terasa oleh Sin Liong betapa
dadanya bertemu dengan dada Bi Cu dalam kemesraan yang mendalam, terasa oleh
mereka detak jantung masing-masing saling berlomba. Kemudian Bi Cu melepaskan
rangkulannya, melangkah mundur dan aneh, wajahnya berubah merah.
Sin Liong
memandang dan terpesona. Wajah yang tadinya pucat itu kini mulai menjadi
kemerahan dan karenanya menjadi semakin manis dan menarik. Sinar mata itu
semakin berseri penuh cahaya indah. Mata emas!
"Sin Liong,
aku tidak butuh kata-kata sumpah. Kata-kata hanyalah kosong, dan aku lebih
percaya kepada sinar matamu. Aku percaya kepadamu." Lalu dia tersenyum dan
suasana penuh hikmat itu pun membuyarlah. "Heii, sudah sejak tadi daging
itu matang. Mari kita makan!"
Hati Sin
Liong makin gembira. Bi Cu benar-benar nampak sudah sembuh. Maka, sehabis
makan, mulai terasalah olehnya betapa tubuhnya amat letih, betapa matanya
mengantuk sekali. Setelah semua kegelisahan batinnya hilang, barulah tubuhnya
menuntut dan baru dia sadar akan keadaan jasmaninya. Maka dia lalu duduk
melenggut bersandarkan batang pohon.
Sejak tadi
Bi Cu maklum akan keadaan Sin Liong itu. Maka diam-diam dia memilih tempat yang
sejuk di bawah pohon besar, kemudian mengumpulkan rumput kering dan mengatur
sebuah tempat tidur di tempat itu, menggulung pakaian lamanya sebagai bantal,
baru dia mendekati Sin Liong dan menyentuh lengannya. Sin Liong membuka matanya
yang amat mengantuk.
"Sin
Liong, kau tidurlah dulu. Kau perlu beristirahat. Aku tidak perlu dijaga lagi.
Nah, kau tidurlah!" Bi Cu menarik tangannya sehingga terpaksa pemuda itu
bangkit berdiri lantas membiarkan dirinya digandeng ke bawah pohon yang sejuk
dan teduh itu.
Melihat
tempat tidur yang terbuat dari rumput kering dengan bantal gulungan pakaian
itu, Sin Liong tersenyum dan semakin beratlah rasa kantuknya. Dia lalu
merebahkan diri dan sebentar saja sudah pulas, membawa wajah Bi Cu yang
tersenyum memandangnya itu ke dalam tidurnya.
Sungguh enak
Sin Liong tidur, nyenyak tanpa mimpi. Sejenak matahari condong jauh ke barat,
baru dia terbangun. Dia menggeliat dengan enak, mengejap-ngejapkan matanya,
lalu menoleh ke kanan kiri. Tidak nampak Bi Cu di situ.
Dia lalu
bangkit duduk dan kembali mencari-cari dengan pandang matanya. Dia melihat cuaca
yang menunjukkan bahwa waktu itu telah hampir senja. Tentu Bi Cu sedang pergi
mandi ke anak sungai, pikirnya. Dia menanti, bangkit berdiri dan berjalan-jalan
hilir mudik melemaskan kedua kakinya. Akan tetapi sunyi saja di sekitar situ
dan telalu lama baginya menanti munculnya kekasihnya itu.
"Bi
Cu...!" Dia memanggil ke arah anak sungai. Karena dia mengerahkan tenaga
khikang, maka dia percaya bahwa panggilannya itu tentu akan terdengar oleh Bi
Cu kalau dara itu sedang mandi di sana. Akan tetapi tidak ada jawaban!
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Dara itu suka bergurau dan menggoda orang. Maka dia segera
berindap-indap menuju ke anak sungai. Apa bila dia melihat Bi Cu sedang mandi
telanjang tentu dia akan pergi lagi. Kalau Bi Cu berpakaian maka dia akan menggodanya
kembali. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi sungai, di situ pun tidak nampak
Bi Cu, maka dia mulai bimbang.
"Bi
Cu...!" Kembali dia memanggil, kini lebih nyaring. Tetap saja tidak
terdengar jawaban.
Dia
mencari-cari, sekarang dengan gerakan cepat, berlarian dan berloncatan ke
sana-sini. Kemudian dia kembali ke bawah pohon-pohon di mana biasanya mereka
berada, di dekat api unggun. Dan nampaklah surat itu olehnya.
Sebuah
sampul surat di dekat perapian yang sudah menjadi abu. Dia yakin benar bahwa
sampul itu adalah benda asing dan tidak mungkin berada di tempat itu kemarin.
Tentu ada yang menaruhnya, dan agaknya Bi Cu juga tidak mungkin bisa memiliki
sepotong sampul surat itu! Tentu orang lain yang menaruhnya! Dan Bi Cu tidak
ada!
Jantungnya
berdebar dan wajahnya menjadi sedikit pucat, secara cepat dia menyambar sampul
itu. Sampul kuning yang halus dan berbau harum! Dibukanya sampul itu lantas
dikeluarkannya sepotong surat yang bertuliskan coretan huruf-huruf halus,
tulisan wanita!
Cia Sin
Liong!
Kalau kau
menghendaki dara itu kembali dalam keadaan sehat, kami persilakan engkau
menyusul ke Lembah Naga dan menghadap Pangeran Oguthai!
Surat itu
tidak ditanda tangani. Akan tetapi isinya cukup jelas bagi Sin Liong. Pangeran
Oguthai? Siapa lagi kalau bukan Ceng Han Houw? Jelaslah kini, Bi Cu telah
diculik orang ketika dia sedang tidur!
Dia mengepal
kedua tinjunya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Pangeran Ceng Han Houw yang
melakukan ini! Bukan pangeran itu sendiri yang datang, melainkan utusannya. Dan
dia dapat menduga siapa orangnya. Agaknya Kim Hong Liu-nio, melihat bahwa surat
itu ditulis tangan wanita dan bau harum pada surat itu.
Akan tetapi
bagaimana utusan Han Houw dapat mengetahui dia dan Bi Cu berada di situ?
Padahal selama berhari-hari ini, ketika Bi Cu sedang menderita sakit, tidak ada
seorang pun berada di sekeliling tempat sunyi itu? Ah, tentu ketika dia pergi
ke dusun mencarikan pakaian dan sepatu pagi tadi! Begitu pikiran ini memasuki
benaknya, tubuhnya langsung mencelat dan berkelebat, kemudian dia berlari
secepat angin menuju ke dusun yang tadi didatanginya.
Bagaikan
orang terbang saja Sin Liong mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk
berlari cepat ke dusun itu dan memang hebat sekali dia. Sebelum malam tiba, dia
sudah sampai di dusun itu, memakan waktu kurang dari setengahnya ketika
mula-mula dia datang untuk mencarikan pakaian dan sepatu Bi Cu!
Dan mulailah
dia bertanya-tanya di seluruh dusun itu apakah ada yang melihat seorang wanita
cantik yang pakaian dan gelungannya bagaikan puteri istana datang ke dusun itu.
Akhirnya, ada seorang petani tua yang menceritakan bahwa memang kemarin dia
melihat dua orang wanita di luar dusun, seorang wanita cantik seperti yang
digambarkan oleh Sin Liong, dan yang ke dua adalah seorang nenek bermuka hitam
yang menyeramkan.
"Kim
Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!" Sin Liong berkata penuh geram.
Cepat dia
berlari meninggalkan dusun itu. Dia mengepal kedua tangannya, lalu berhenti
berlari ketika tiba di hutan, mengacung-acungkan kepalan tangannya ke atas dan
berkata penuh kemarahan, "Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio! Hek-hiat Mo-li!
Aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kalian mengganggu
Bi Cu-ku!"
Kemudian dia
lari lagi ke utara. Dia harus cepat-cepat menyusul Bi Cu ke Lembah Naga, jauh
di utara, di luar Tembok Besar.
***************
Pangeran
Ceng Han Houw merasa gelisah juga ketika melihat perkembangan yang terjadi di
kota raja semenjak peristiwa lenyapnya surat rahasia dari Raja Sabutai
kepadanya itu. Yang paling merisaukan hatinya adalah berita mengenai gerakan
pasukan-pasukan yang kabarnya diatur sendiri oleh Pangeran Hung Chih.
Pasukan-pasukan
yang kuat kabarnya dikerahkan ke perbatasan utara untuk berjaga-jaga di
sepanjang Tembok Besar. Walau pun tidak dijelaskan untuk menghadapi siapa,
kecuali penjagaan yang memang selalu diadakan meski pun tidak seketat sekarang,
akan tetapi tentu saja Ceng Han Houw sudah dapat menduga bahwa pasukan itu
memang khusus dipersiapkan untuk menghadapi pasukan Raja Sabutai, ayahnya di
utara!
Selain itu,
juga di selatan Pangeran Hung Chih mengerahkan pasukan untuk mengadakan
pembersihan terhadap perkumpulan-perkumpulan yang bersikap anti pemerintah,
terutama sekali perkumpulan Pek-lian-kauw dibasmi oleh pasukan itu. Padahal,
akhir-akhir ini, Pek-lian-kauw mulai menyatakan diri akan membantu gerakan Ceng
Han Houw apa bila sewaktu-waktu pangeran ini hendak menumbangkan kekuasaan
kaisar! Bukan itu saja, bahkan ada belasan orang pembesar di kota raja sendiri
yang diam-diam anti kaisar dan memang merupakan sahabat-sahabat baik Ceng Han
Houw ditangkapi dan dimasukkan tahanan!
Tentu saja
Han Houw merasa benar bahwa semua itu merupakan langkah-langkah yang diambil
kaisar untuk menentangnya. Dan ini tidak lain tentu hasil dari pengkhianatan
Sun Eng yang sudah mencuri surat rahasia itu! Suasana menjadi terasa panas
sekali bagi kaki pangeran peranakan Mongol ini. Dia maklum bahwa lambat-laun
kaisar tentu tidak akan merasa sungkan lagi untuk menyuruh orang menangkapnya!
Mengertilah
Ceng Han Houw bahwa dia harus bertindak cepat. Dia pun segera mengutus anak
buahnya yang setia untuk mempercepat dilaksanakannya pertemuan besar di dunia
kang-ouw untuk memilih apa yang dinamakan bengcu (pemimpin rakyat) dan memilih
pula Jago Nomor Satu yang pantas menjadi bengcu.
Dia
mengundang semua tokoh kang-ouw serta partai-partai persilatan besar untuk
datang mengunjungi pemilihan bengcu seluruh Tiongkok itu, dan tempat pemilihan
itu ditentukan di daerah bebas. Agar jangan dilarang pemerintah, demikian
penjelasannya. Dan tempat itu adalah Lembah Naga di utara, di luar Tembok
Besar.
Ketika dia
mendengar bahwa suci-nya, Kim Hong Liu-nio, dan subo-nya, Hek-hiat Mo-li, juga
sudah kembali dari selatan karena mereka tidak perlu lagi mengejar-ngejar
keluarga Cin-ling-pai yang sudah memperoleh kebebasan dari kaisar itu, juga
mendengar betapa suci-nya menawan Bi Cu dan mempergunakan dara itu sebagai
umpan untuk memancing Sin Liong ke utara, hatinya menjadi besar dan girang
sekali.
"Bawa
dia ke utara, ke Lembah Naga, suci," katanya kepada wanita itu.
"Perlakukan dia baik-baik sebagai tamu. Aku mengharapkan untuk dapat
menggunakan tenaga Sin Liong yang amat kita butuhkan itu. Kita harus dapat
menyenangkan hatinya."
Kim Hong
Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li lalu kembali ke utara membawa Bi Cu sebagai
tawanan yang diperlakukan dengan sangat hormat dan baik. Bi Cu tidak menderita
badan, bahkan dia dibawa ke utara dalam sebuah kereta. Para pasukan penjaga
tentu saja tidak ada yang berani mengganggu Kim Hong Liu-nio yang dulu pernah
dikenal sebagai wanita gagah penyelamat kaisar itu.
Akan tetapi
sudah tentu saja Bi Cu menderita batin yang hebat, sering kali menangis dan
mengamuk ingin kembali kepada Sin Liong. Kim Hong Liu-nio terpaksa menghiburnya
dan mengatakan bahwa sudah pasti Sin Liong akan menyusul ke Lembah Naga, karena
Sin Liong merupakan adik angkat Pangeran Ceng Han Houw yang sekarang
membutuhkan bantuan adik angkatnya itu.
Dan selagi
Ceng Han Houw sendiri bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja, muncullah
Ciauw Si! Tentu saja sang pangeran merasa girang bukan main. Suami isteri yang
telah disahkan oleh kuil ini saling berpelukan dengan penuh rindu. Akan tetapi
Ciaw Si segera mendengar akan keadaan pangeran yang dianggap sebagai suaminya
itu, maka dia pun merasa prihatin sekali.
"Kaisar
sudah dihasut oleh Pangeran Hung Chih!" demikian Pangeran Ceng Han Houw
berkata. "Aku semakin dibenci saja oleh kaisar. Dan bagaimana dengan
perjalananmu ke selatan, Si-moi?"
Mereka
bercakap-cakap sambil berpelukan di atas pembaringan, melepaskan kerinduan hati
mereka sebagai pengantin baru.
"Aku
tak berhasil menemukan ibuku dan keluarga ibuku, pangeran. Akan tetapi ada
berita baik yang kudengar di sepanjang jalan bahwa mereka telah di卢bebaskan oleh kaisar!"
"Ahh,
masa engkau tidak mengerti. Si-moi? Bukan kaisar yang membebaskan, melainkan
akulah yang mengirim berita itu ke seluruh pembesar, dengan memakai nama
kaisar! Apa bila hal ini sampai diketahui oleh kaisar, tentu aku akan ditangkap
sebab dituduh sebagai pembantu pemberontak..."
"Ahhhh...!"
Ciauw Si terkejut sekali dan memeluk suaminya.
"Jangan
kau khawatir, Si-moi, isteriku, kekasihku. Aku tidak akan mudah ditangkap
begitu saja. Sungguh senang sekali aku melihat engkau datang, Si-moi, sebab
memang aku pun sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kota raja."
"Engkau...
engkau mau pergi ke manakah, pangeran?"
"Pulang
ke utara, ke kerajaan orang tuaku, Dan aku akan melanjutkan rencanaku semula,
aku akan mengadakan pertemuan kaum kang-ouw yang terbesar yang pernah ada dalam
sejarah. Semua tokoh kang-ouw berikut partai-partai persilatan terbesar
kuundang untuk mengadakan pertemuan, untuk memilih bengcu dan memilih jagoan
nomor satu di dunia. Dan aku akan menghimpun mereka itu agar membantuku untuk
menghadapi kaisar."
"Tapi...
tapi itu pemberontakan, pangeran!" Ciauw Si berkata kaget.
Ceng Han
Houw merangkul dan cepat menutup mulut yang hendak memprotes itu dengan
ciuman-ciuman mesra sehingga sejenak Ciauw Si tenggelam ke dalam kemesraan yang
memabukkan. Beberapa lamanya mereka tidak bicara, hanya tenggelam dalam dekapan
mereka. Akhirnya, setelah dengan terengah-engah mereka melepaskan ciuman,
pangeran itu berbisik dekat telinga Ciauw Si,
"Engkau
adalah isteriku, bukan?"
Ciauw Si
mengangguk sambil memejamkan matanya.
"Dan
engkau tentu akan membelaku sampai bagaimana pun juga, bukan?"
"Dengan
taruhan nyawaku..."
"Isteriku
sayang, kalau melawan kekejaman kaisar lalim bukan pemberontakan namanya!
Melainkan perjuangan! Ingatlah betapa keluargamu sendiri pernah menjadi korban
kaisar lalim, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pahlawan dituduh pemberontak
dan menjadi orang-orang buruan yang direndahkan sekali! Apakah melawan kaisar
lalim semacam itu disebut pemberontakan? Apakah usaha untuk membebaskan rakyat
dari cengkeraman kelaliman itu bukan merupakan tugas orang-orang yang menjunjung
kegagahan seperti kita pula?" Pandai sekali Ceng Han Houw membujuk sambil
merayu dan sambil bermain cinta, menumpahkan segala kemesraan dalam bermain
cinta kepada Ciauw Si sehingga akhirnya wanita ini kehilangan kesadaran sama
sekali, dan tunduk kepada suaminya yang dicintanya.
Pada
keesokan harinya, Pangeran Ceng Han Houw yang hendak meneliti keadaan itu
dengan berani pergi menghadap kaisar kemudian mohon ijin untuk pergi
mengunjungi ibu kandungnya di utara. Kaisar menerimanya dengan singkat,
kemudian dengan dingin pula memberi persetujuannya kepada pangeran itu untuk
pergi ke utara.
Memang
sebaiknya kalau pangeran berdarah Mongol yang berbahaya ini pergi saja dan
tidak usah kembali untuk selamanya, demikian pikir kaisar. Sesuai dengan siasat
kaisar agar pemberontakan atau rencana pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw itu
dapat dipadamkan tanpa terjadinya perang saudara, maka pangeran ini pun dengan
mudah saja dapat melalui penjagaan di utara, dengan berkendaraan kereta bersama
Ciauw Si beserta sepasukan pengawalnya yang setia.
Ciauw Si
maklum bahwa dia bertindak ceroboh. Tanpa berunding dengan keluarganya, dengan
ibu kandungnya, dia sekarang bergabung dengan Pangeran Ceng Han Houw ke utara.
Dia maklum pula bahwa banyak terdapat bahaya di balik tindakannya ini, namun
dia sudah mabuk akan limpahan kasih sayang pangeran yang membuatnya
tergila-gila itu maka dia seakan-akan melakukan tindakan itu dengan mata
sengaja dipejamkan! Demi cintanya dia rela menghadapi apa pun juga asalkan dia
tidak akan terpisah dari samping pangeran yang telah menjadi suaminya itu.
Kesenangan,
terutama sekali kesenangan yang diperoleh dari pemuasan gejolak birahi, memang
dapat membutakan mata, melumpuhkan kewaspadaan batin dan menyuramkan kesadaran.
Betapa banyaknya tercatat di dalam sejarah bagaimana orang-orang besar,
orang-orang gagah perkasa yang kokoh kuat batinnya, yang tidak tergoyah oleh
godaan penawaran harta dan kedudukan mulia, tetapi akhirnya runtuh dan jatuh,
hancur seluruh pertahanannya yang kokoh kuat, karena dilanda oleh godaan berupa
kesenangan dan pemuasan birahi ini! Raja-raja besar terguling dari singgasana
mereka, pendeta-pendeta suci runtuh dari kesuciannya, wanita-wanita setia gugur
dari kesetiaannya, semua hanya dikarenakan godaan kesenangan ini!
Akan tetapi,
mereka yang terseret oleh segala macam kesenangan, juga kesenangan yang timbul
dari kenikmatan pemuasan birahi, adalah orang-orang yang berada di dalam
keadaan tidak sadar! Orang-orang yang setiap saat sadar serta waspada akan
dirinya sendiri, akan selalu melihat kenyataan sedalam-dalamnya hingga tak
mudah tergelincir.
Orang yang
berada di dalam keadaan tidak sadar itu dimabuk oleh bayangan-bayangan
kesenangan sehingga baginya yang kelihatan hanyalah bayangan atau gambaran akan
kesenangan itu saja, maka dia mau terjun dengan nekat ke dalam kesenangan itu
tanpa melihat bahwa di balik segala macam kesenangan itu telah menanti rangkaian
yang tak terpisahkan dari kesenangan itu sendiri, yaitu ketakutan dan kedukaan.
Sebaliknya,
orang yang selalu waspada tentu akan melihat kenyataan itu, akan melihat
kedukaan dan kesengsaraan yang sembunyi di balik sinar menyilaukan dari
kesenangan, sehingga dia akan bertindak bijaksana dan cerdas, tidak memasuki
kesenangan dengan mata terpejam dan secara membuta saja!
Hal ini
dapat dilihat jelas kalau kita menghadapi makanan lezat. Orang yang tidak
pernah waspada terhadap dirinya sendiri, begitu melihat makanan, yang nampak
olehnya hanya kelezatannya saja dan makanlah dia sepuas-puasnya, dan setelah
perutnya sakit atau timbul akibat buruk dari makanan enak yang terlalu banyak
itu, baru dia akan mengeluh panjang pendek dan menyalahkan si makanan lezat!
Sebaliknya,
orang yang setiap saat waspada akan dirinya sendiri dan akan apa saja yang
dihadapinya, melihat juga kelezatan itu akan tetapi di samping itu dia akan
melihat pula akibat-akibat buruk yang menjadi rangkaian kelezatan itu sehingga
tindakannya menjadi bijaksana, dia tidak terlalu gembul melainkan makan dengan
hati-hati. Dan andai kata dia sampai terkena sakit perut sekali pun dia tidak
akan menyalahkan siapa-siapa, melainkan melihat jelas bahwa kesalahan itu
adalah kesalahannya sendiri! Jelas sekali bedanya, bukan?
Ini bukan
berarti bahwa penulis menganjurkan supaya kita menolak kesenangan! Sama sekali
tidak menganjurkan apa-apa, juga tidak mencela apa-apa. Hanya ingin mengajak
para pembaca untuk mempelajari apa dan bagaimana kesenangan itu, dan
selanjutnya terserah!
Ada
macam-macam penangkapan dalam mempelajari sesuatu. Ada bermacam-macam
pengertian. Mengerti arti kata-katanya saja, seperti biasa orang mengerti dan
menikmati filsafat muluk-muluk lantas merasakan kesenangan dalam
membicarakannya. Ini adalah pengertian yang tidak ada arti dan manfaatnya bagi
kehidupan, karena pengertian makna kata-katanya saja hanya dipergunakan sebagai
bahan perdebatan untuk memperebutkan kemenangan dan kebenaran kosong, seperti
kosongnya kata-kata itu.
Ada pula
pengertian teoritis dan pengertian intelek yang diakui oleh batin, namun hanya
sampai di situ saja, tidak disertai penghayatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ada pula pengertian mendalam, mengerti yang disertai kesadaran dan kewaspadaan,
pengertian ini menciptakan tindakan sendiri yang timbul dari kecerdasan! Untuk
memperoleh pengertian yang terakhir inilah kita belajar! Pengertian yang tidak
terpisah dari pada tindakan. Bukan mengerti lalu bertindak untuk mencapai
sesuatu. Melainkan mengerti kemudian bertindak melepaskan yang palsu, bukan
untuk mencari keuntungan dari pelepasan itu, melainkan karena mengerti bahwa
itu palsu.
"Si-moi,
aku benar-benar merasa bahagia sekali bahwa engkau dapat ikut bersamaku ke
utara. Alangkah akan sedih hatiku andai kata engkau belum kembali dan aku
terpaksa harus melakukan perjalanan sendiri."
Ciauw Si
menatap wajah tampan itu dan tersenyum, "Engkau adalah suamiku, pangeran.
Ke mana pun engkau pergi, aku akan ikut. Akan tetapi, apa bila boleh aku
bertanya, ke manakah kita sekarang ini hendak menuju?"
"Ke
Istana Lembah Naga, isteriku. Untuk sementara ini, kita akan tinggal di istana
itu. Dan di sana pula, di Lembah Naga, akan diadakan pertemuan antara seluruh
orang gagah di dunia kang-ouw itu, di mana aku akan membuktikan bahwa aku tak
akan mengecewakan kalau mereka mau mengangkatku menjadi bengcu dan Jago Nomor
Satu di Dunia."
Ciauw Si
mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, suamiku. Kurasa amat tidak bijaksana
kalau hendak mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia. Di dunia ini
terdapat banyak sekali orang pandai, akan tetapi tidak ada di antara mereka
yang berani mengangkat diri menjadi yang paling pandai. Pangeran, yakin
benarkah engkau bahwa ilmu kepandaianmu sudah setinggi itu sehingga tidak akan
ada yang dapat menandingimu?"
Ceng Han
Houw tersenyum bangga. "Si-moi, tentu saja engkau meragu. Namun jangan
engkau mengira bahwa kepandaianku sama dengan tingkatku ketika kita saling
bertemu untuk pertama kali itu. Aku sudah mewarisi kepandaian dari guruku, Bu
Beng Hud-couw, dan kiranya tidak mungkin aku dapat dikalahkan!"
"Hemm,
mudah-mudahan begitu," kata Ciauw Si, akan tetapi alisnya masih berkerut
tanda bahwa dia merasa bimbang.
Han Houw
maklum akan isi hati Ciauw Si. Dia lalu menyuruh kusir kereta menghentikan
kereta itu. Kini mereka berada di lereng sebuah bukit. Pasukan pengawal
berhenti dan menoleh heran, komandan pasukan lalu mendekatkan kudanya dengan
kereta, memberi hormat dan bertanya,
"Ada
perintah apakah, pangeran?"
"Berhenti
dulu, beristirahat di sini sebentar!" kata Pangeran Ceng Han Houw dan dia
lalu mengajak Ciauw Si untuk turun dari kereta, kemudian menggandeng tangan
isterinya itu menjauhi kereta, ke tempat yang sunyi di padang rumput dekat
puncak bukit itu.
"Si-moi,
aku sengaja berhenti di sini untuk memperlihatkan kepadamu agar engkau tidak
bimbang ragu lagi."
"Maksudmu,
pangeran?"
"Engkau
sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, karena engkau dibimbing sendiri
oleh mendiang kakekmu, pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai,
bukan?"
"Ahh,
aku hanya mempelajari sedikit sekali dibandingkan dengan kepandaian mendiang
kongkong."
"Betapa
pun juga, engkau adalah seorang pendekar wanita yang jarang tandingannya, dan
termasuk orang yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi di waktu ini. Oleh
karena itu, kepandaianmu cukup untuk menguji sampai di mana tingkat
kepandaianku yang kau ragukan itu, isteriku. Nah, sekarang engkau boleh mencoba
untuk menggunakan seluruh kepandaian silatmu untuk menyerangku. Mari kita
lihat, sampai berapa lama aku berhasil mencabut tusuk kondemu itu."
Wajah Ciauw
Si berseri-seri. Sebagai seorang wanita gagah, tentu saja dia paling senang
bicara tentang ilmu silat, apa lagi mencobanya.
"Ehh,
untuk mencabut tusuk kondeku bukan hal yang mudah saja, pangeran! Itu melebihi
sulitnya merobohkan aku! Sebab untuk merobohkan aku banyak bagian tubuh yang
dapat diserang dan sebaliknya, kalau saja aku mencurahkan perhatian dan
pertahanan menjaga tusuk kondeku, mana mungkin engkau dapat mengambilnya?"
Suaminya
tertawa. "Itulah sebabnya maka aku sengaja hendak menguji diri sendiri.
Kalau aku tidak dapat mengambilnya, anggap saja kepandaianku masih kurang jauh
sekali dan aku pun tidak akan berani mencalonkan diri menjadi jago nomor satu
di dunia."
Ciauw Si
mengerutkan alisnya yang bagus. Tentu saja dia tidak akan tega membiarkan suami
yang tercinta ini gagal. Akan tetapi, bila dibiarkan berhasil dan kemudian
suaminya menghadapi jagoan-jagoan lihai, tentu akan berbahaya juga. Karena itu
dia menjadi serba salah.
"Ciauw
Si, jangan kau ragu-ragu dan jangan memandang rendah terhadap suamimu ini.
Ketahuilah bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini tak akan kalah oleh bekas
subo-ku, Hek-hiat Mo-li sendiri, bahkan aku berani berkata bahwa tingkatku
tidak lebih rendah dari pada tingkat kepandaian mendiang kongkong-mu!"
"Baiklah,"
Ciauw Si berkata. "Akan tetapi, pangeran, jika sampai lima puluh jurus
engkau tidak mampu mengambil tusuk kondeku dari kepalaku, apa lagi kalau sampai
aku dapat menyentuh bagian tubuhmu yang berbahaya, berjanjilah bahwa engkau
tidak akan turut memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia. Bagaimana?"
"Baik,
Si-moi," jawab pangeran itu sambil tersenyum, penuh kepercayaan terhadap
dirinya sendiri. "Nah, kau mulailah!"
"Bersiaplah,
pangeran. Lihat serangan!"
Ciauw Si
mulai melakukan penyerangan dan dia bergerak cepat, menyerang ke bagian tubuh
yang berbahaya. Tentu saja penyerangan itu tanpa disertai tenaga sinkang, hanya
dilakukan cepat saja karena tujuannya hanyalah untuk sekedar menyentuh bagian
tubuh berbahaya untuk mendapatkan kemenangan.
Ceng Han
Houw yang melihat gerakan cepat sekali ini segera mengelak dan menangkis,
kemudian membalas dengan sambaran tangan ke arah kepala yang dapat dielakkan
pula oleh Ciauw Si.
Mula-mula,
wanita lihai ini sengaja mengeluarkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang sangat
hebat, yang hanya terdiri dari delapan jurus pilihan. Jurus-jurus ini
dipergunakannya untuk menyerang dan mendesak suaminya, dan selama dia
bertualang, jarang ada lawan yang mampu mempertahankan diri kalau dia
menyerangnya dengan ilmu silat yang ampuh ini. Akan tetapi pangeran itu
ternyata hebat bukan main.
Gerakan-gerakannya
aneh dan lincah lembut, dan setiap serangannya, sampai kedelapan jurus dari
San-in Kun-hoat itu digunakannya semua, selalu dapat dielakkan dan ditangkis
dengan mudah saja! Bahkan tidak hanya demikian, akan tetapi gerakan sepasang
tangan suaminya itu sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali hampir saja
gelung rambutnya dapat disentuhnya!
Ciauw Si
merasa terkejut dan juga kagum sekali. Pangeran yang menjadi suaminya itu
ternyata tidak membual, dan memang sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat
hebat sehingga ilmunya San-in Kun-hoat yang merupakan ilmu keturunan dari
Cin-ling-pai itu sama sekali tidak berdaya terhadapnya.
Karena itu
kini Ciauw Si tidak lagi mencurahkan kepandaian untuk menyerang, melainkan
untuk mempertahankan diri, mempertahankan agar jangan sampai tusuk kondenya
dapat dirampas oleh suaminya. Maka dia merubah gerakannya dan kini dia bersilat
dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang gerakannya tenang dan mantap, tidak
terlampau cepat akan tetapi mengandung daya tahan yang sekuat tembok benteng!
"Bagus!
Ini tentu Thai-kek Sin-kun yang amat terkenal itu!" kata Ceng Han Houw dan
dia mempercepat gerakannya untuk merampas tusuk konde dari gelung rambut
isterinya.
Akan tetapi
ke mana pun dia bergerak, selalu dia menghadapi pertahanan yang kuat. Apa lagi
memang Ciauw Si telah memusatkan pertahanannya kepada kepala sehingga semua
sambaran tangan pangeran itu dapat ditangkisnya!
Tiga puluh
jurus telah lewat dan tahulah Ceng Han Houw betapa kuatnya daya tahan dari ilmu
silat isterinya itu dan kalau terus dilanjutkan, jangankan hanya lima puluh
jurus, biar pun sampai seratus jurus kiranya akan sulitlah baginya untuk
merampas tusuk konde itu. Dan dia mengerti bahwa isterinya akan mati-matian
mempertahankan untuk memperoleh kemenangan, karena isterinya itu agaknya
khawatir kalau-kalau dia memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia,
mengkhawatirkan keselamatannya, tentu.
"Isteriku,
kau hati-hatilah. Sebelum sepuluh jurus tentu tusuk konde itu sudah akan dapat
kurampas!" katanya.
Ciauw Si
hanya tersenyum dan menganggap suaminya itu berkelakar atau menyombong saja.
Sudah tiga puluh jurus dan belum mampu merampasnya, mana mungkin sekarang dalam
sepuluh jurus akan dapat mengambil tusuk konde itu?
Tiba-tiba
Ceng Han Houw mengeluarkan pekik nyaring lantas gerakannya berubah sama sekali.
Sekarang setiap gerakannya mendatang angin berdesir, membuat pakaian Ciauw Si
berkibar-kibar seperti dilanda angin besar. Wanita ini kagum dan terkejut, akan
tetapi dia tetap mencurahkan semua daya tahan untuk melindungi kepalanya.
Tiba-tiba
saja tubuh pangeran itu berjungkir balik dan dia sudah memainkan Ilmu Hok-te
Sin-kun yang luar biasa, yang didapatnya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu.
Ciauw Si terkejut dan bingung sekali ketika yang menyerang ke arah kepalanya
bukan dua tangan, melainkan dua buah kaki bersepatu! Akan tetapi dia tetap
menangkis gerakan kaki itu.
Tapi
tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas. Kiranya jari tangan pangeran itu telah
menotok punggungnya dari bawah! Dan sebelum Ciauw Si roboh, pangeran itu sudah
berdiri lagi, dengan kecepatan kilat tangan kirinya menangkap kedua tangan
Ciauw Si yang dalam beberapa detik menjadi seperti lumpuh itu, tangan kanannya
menyambar ke arah tusuk konde dan pada detik berikutnya Ciauw Si sudah mampu
bergerak kembali, akan tetapi tusuk kondenya telah terampas!
"Empat
puluh jurus...!" Ceng Han Houw tersenyum sambil mengacungkan tusuk konde
itu ke atas.
Ciauw Si
tersenyum dan merangkul pinggang suaminya, memandang penuh kagum. "Ah,
tidak kusangka engkau sehebat ini, pangeran! Akan tetapi... betapa pun lihai
ilmu silatmu, lihai dan aneh dan hal itu harus kuakui, akan tetapi... bila mana
engkau bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, apakah
ilmu silatmu itu akan dapat menandinginya?"
Ceng Han
Houw mencium isterinya lantas menusukkan kembali tusuk konde itu ke gelung
rambut isterinya, mematutnya, kemudian dia tersenyum sambil berkata. "Kita
tadi sudah saling menguji ilmu silat dan kelihaian gerakan. Kini, mari engkau
menguji tenaga sinkang yang kuperoleh dari pelajaran-pelajaran rahasia itu,
juga ilmu ginkang-ku. Sebagai cucu mendiang ketua Cin-ling-pai, tentu tenaga
sinkang-mu sudah sangat kuat, bukan? Nah, coba kau serang aku dengan tenaga
sinkang-mu, Si-moi, tidak seperti tadi, engkau hanya mengandalkan kecepatan
gerak saja."
Ciauw Si
menggelengkan kepala. "Main-main dengan tenaga sinkang untuk saling serang
adalah amat berbahaya."
"Maksudku
bukan saling serang, sayang, melainkan hanya mengukur kekuatan sinkang
masing-masing."
"Baiklah
kalau begitu, biar kita mengukur sinkang dengan mempermainkan sehelai
daun," Ciauw Si berkata gembira dan wanita ini lalu mengambil sehelai daun
kering. "Kita lihat berapa tinggi kita masing-masing dapat menahan daun
ini!"
Dia
melemparkan daun itu ke atas dan cepat menggerakkan tangan yang terbuka ke
atas, seperti orang menyangga. Daun yang dilempar ke atas itu tentu saja
melayang-layang ke bawah, akan tetapi begitu Ciauw Si menggerakkan tangan...
daun itu langsung tertahan, bahkan naik lagi ke atas!
Wanita muda
itu terus menggerak-gerakkan dua tangannya yang tergetar, penuh tenaga sinkang.
Sehelai daun kering itu terus naik sampai setinggi tiga meter dan
bergerak-gerak laksana seekor kupu-kupu, setiap mau melayang turun seperti
tertahan oleh tiupan angin dari bawah!
Sesudah
melihat bahwa daun itu tidak naik lebih tinggi lagi, Pangeran Ceng Han Houw
berseru, "Bagus sekali, Si-moi. Sinkang-mu cukup hebat! Biar kunaikkan
lagi daun itu!"
Dia pun
lantas menggerakkan sebelah tangan, yaitu tangan kirinya ke arah daun itu dan
seperti disambar angin yang amat kuat, tiba-tiba daun itu meluncur naik ke
atas! Melihat ini, Ciauw Si terkejut dan kagum bukan main, maka dia lalu
menurunkan kedua tangannya dan melangkah mundur, mengusap keringatnya yang
membasahi dahi dan leher.
Dia melihat
betapa hanya dengan tangan kiri saja pangeran itu mampu membuat daun itu naik
dan naik terus. Hampir dia tidak dapat percaya ketika daun itu terus melayang
naik setiap kali pangeran itu menggerakkan tangan kirinya hingga akhirnya daun
itu melayang-layang setinggi belasan meter! Benar-benar merupakan demonstrasi
tenaga sinkang yang selamanya belum pernah dilihatnya!
Kini dia
mulai percaya bahwa pangeran yang sudah menjadi suaminya itu tidak membual pada
saat mengatakan bahwa dia tidak kalah lihai dibandingkan dengan mendiang ketua
Cin-ling-pai! Sukar di卢ukur lagi betapa kuatnya sinkang
pangeran itu yang dapat membuat daun melayang-layang sampai belasan meter
tingginya itu.
Tiba-tiba
pangeran itu menyusulkan tangan kanannya. Kini kedua tangan dengan telapak
tangan di atas itu bergerak-gerak, dan tiba-tiba bergerak ke bawah. Daun yang
ringan itu pun tiba-tiba saja meluncur ke bawah bagaikan sepotong batu yang
berat. Setelah dekat, pangeran itu mengebutkan tangannya dan... daun itu lenyap
lalu berhamburanlah tepung halus. Ternyata daun itu telah dipukul dengan
pukulan jarak jauh hingga hancur menjadi seperti tepung!
Ceng Han
Houw menoleh kepada Ciauw Si sambil tersenyum bangga. "Nah, bagaimana
pendapatmu, Si-moi?"
Ciauw Si
merangkul dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. "Engkau hebat sekali,
pangeran, engkau sungguh hebat bukan main...," katanya.
"Nah,
dalam hal ilmu silat dan sinkang agaknya engkau sudah mulai percaya kepadaku.
Kini akan kuperlihatkan ginkang yang sudah kupelajari. Kau boleh menyerangku
secepat mungkin dan aku tak akan menangkis, tapi menggunakan ginkang untuk
menghindarkan semua seranganmu. Kau boleh mempergunakan pedangmu!"
Akan tetapi
Ciauw Si tentu saja tidak mau mencabut pedangnya, melainkan mengambil sebatang
ranting pohon.
"Biar
aku menggunakan ini saja," katanya dan mulailah dia menyerang dengan
gerakan secepat mungkin.
Maka
terjadilah keanehan ini. Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan ilmu langkah
Pat-kwa-po akan tetapi karena dia telah mempunyai ginkang yang dipelajarinya
dari kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw, maka gerakan-gerakan yang sangat aneh
itu membuat tubuhnya seakan-akan naik sepatu roda, bergeser ke sana ke mari
dengan cepat bukan main dan ke mana pun ranting itu menyambar tubuhnya seperti
telah lebih dulu terdorong oleh angin gerakan ranting itu, dan selalu dapat
menghindarkan dengan lebih cepat lagi! Sampai puluhan jurus Ciauw Si menyerang,
akan tetapi selalu mengenai tempat kosong. Akhirnya dia membuang ranting itu
dan merangkul suaminya penuh kebanggaan.
Sambil
bergandeng tangan mereka kembali ke tempat para pasukan pengawal menanti, lalu
mereka memasuki kereta. Pangeran itu memerintahkan agar pasukan bergerak lagi,
dan mereka pun melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga.
Di sepanjang
perjalanan, sepasang pengantin baru itu tiada henti-hentinya bermain cinta,
mencurahkan semua perasaan rindu mereka dengan penuh kemesraan. Ciauw Si makin
tergila-gila kepada Pangeran Ceng Han Houw, sebaliknya sang pangeran itu pun
semakin mendalam rasa cintanya terhadap wanita ini, sama sekali berbeda dengan
perasaannya terhadap semua selir yang pernah menghiburnya.
Diam-diam
dia sudah mengambil keputusan bahwa Ciauw Si adalah calon permaisurinya, dan
kalau memang isterinya ini menghendaki, selamanya dia tidak akan mengambil
selir pun tidak mengapa! Seorang Ciauw Si saja sudah cukup baginya, sudah
mewakili seluruh wanita di dunia ini.
***************
Beberapa
pekan kemudian, di luar Tembok Besar, sesudah melalui padang tandus penuh
pasir, Sin Liong mulai mendaki pegunungan yang menghadang panjang di depan.
Mulailah dia bertemu dengan pohon-pohon di hutan setelah berhari-hari dia
melalui dataran tandus mengering itu.
Tujuannya
hanya satu. Mencari dan menemukan kembali Bi Cu. Rintangan apa pun akan
diterjangnya dan dia ingin cepat-cepat sampai di Lembah Naga untuk menemui
Pangeran Ceng Han Houw seperti tersebut dalam surat yang ditinggalkan oleh
penculik Bi Cu yang diduganya tentulah Kim Hong Liu-nio orangnya. Oleh karena
dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga, maka dia melakukan perjalanan cepat
dan tidak mau tertunda di tengah jalan.
Dalam waktu
beberapa pekan saja tubuh Sin Liong sudah menjadi kurus karena kurang makan dan
kurang tidur. Sukar baginya untuk dapat tidur nyenyak mau pun makan enak karena
dia selalu teringat kepada Bi Cu dan setiap kali teringat kepada kekasihnya
itu, timbullah kegelisahan hebat dalam hatinya.
Dia ingin
cepat-cepat sampai di Lembah Naga untuk segera melihat bagaimana keadaan
kekasihnya itu. Tidak dapat dia bayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai
ada orang berani mengganggu Bi Cu! Ngeri dia memikirkan kemungkinan ini.
Dia sama
sekali tidak tahu bahwa begitu dia muncul di luar Tembok Besar, jejaknya telah
diketahui. Semenjak berada di Lembah Naga, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw
telah mempersiapkan segala sesuatu, bahkan sudah memasang mata-mata di setiap
tempat dari luar tembok sampai ke Lembah Naga sehingga dia akan tahu lebih dulu
siapa yang akan datang dari selatan ke Lembah Naga. Meski pun pertemuan besar
dunia kang-ouw belum dimulai, akan tetapi dia telah memasang orang-orangnya
untuk mengamati dengan teliti. Oleh karena itu, maka kedatangan Sin Liong telah
lebih dulu diketahuinya.
Selama
berada di Lembah Naga, untuk meyakinkan hatinya, Ceng Han Houw juga telah
menguji kepandaiannya sendiri. Suci-nya, Kim Hong Liu-nio hanya dapat bertahan
sampai tiga puluh jurus saja melawan dia! Sedangkan bekas subo-nya, yaitu
Hek-hiat Mo-li, juga akhirnya menyerah setelah menghadapinya sampai seratus
jurus! Maka yakinlah dia akan kekuatannya.
Sesudah Ceng
Han Houw mendengar berita kedatangan Sin Liong, dia cepat menyuruh Hek-hiat
Mo-li untuk menghadang. "Harap subo suka mencoba dan menguji kepandaian
pemuda itu agar aku dapat mengukur sampai di mana kelihaian calon pembantu
utamaku itu!" Ceng Han Houw berkata dengan girang, "Suci, harap kau
perkuat penjagaan pada sekeliling istana untuk menjaga segala kemungkinan.
Bocah yang menjadi adik angkatku itu memang orang aneh. Mungkin saja dia akan
melakukan hal-hal yang sama sekali tidak pernah kita bayangkan
sebelumnya."
Bi Cu sudah
berada di dalam istana itu. Dia diperlakukan dengan baik, bagaikan seorang tamu
agung, akan tetapi tetap saja dara ini merasa sengsara dan kalau saja di situ
tidak ada Ciauw Si, tentu dia sudah mengamuk dan nekat mempertaruhkan nyawanya.
Ciauw Si
terus menghiburnya dan berusaha menyadarkan bahwa pangeran tidaklah jahat,
bahwa pangeran adalah kakak angkat Sin Liong dan pangeran berusaha agar Sin
Liong suka membantunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw.
"Percayalah
kepadaku, Bi Cu. Engkau tahu bahwa aku adalah cucu ketua Cin-ling-pai yang
sejak dahulu merupakan keluarga pendekar dan pahlawan, oleh kaisar lalim
dituduh pemberontak lantas dikejar-kejar sebagai orang pelarian! Dan untung ada
Pangeran Ceng Han Houw yang membebaskan mereka, dan kini pangeran yang sudah
menjadi suamiku itu ingin mengajak orang-orang gagah dunia kang-ouw untuk
bangkit melawan kelaliman kaisar." Demikian antara lain Ciauw Si membujuk.
Akhirnya,
terutama melihat kehadiran wanita perkasa itu di sana, Bi Cu dapat menahan
sabar dan menanti kedatangan Sin Liong yang katanya sudah diundang datang ke
tempat itu. Betapa pun juga, dia merasa gelisah sekali, amat rindu kepada Sin
Liong dan takut kalau-kalau pemuda kekasihnya itu mengalami kecelakaan.
Demikianlah,
pada waktu Sin Liong memasuki hutan pertama setelah berhari-hari melalui padang
tandus, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di hadapannya sudah berdiri
seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan. Sin Liong terkejut bukan main,
akan tetapi juga marah ketika mengenal nenek itu.
"Hek-hiat
Mo-li nenek iblis terkutuk!" bentaknya marah, karena pada saat itu dia
bukan hanya teringat akan Bi Cu yang dia pikir tentu diculik oleh nenek ini
bersama Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga teringat betapa kematian
kongkong-nya yang amat disayang dan dihormatinya, yaitu mendiang ketua
Cin-ling-pai, Cia Keng Hong, disebabkan oleh nenek ini dan murid perempuannya
itu.
Hek-hiat
Mo-li mengedip-ngedipkan matanya yang tinggal sebelah kanan saja itu, bibirnya
sebetulnya tersenyum akan tetapi karena sudah peyot dan tak bergigi maka
nampaknya malah cemberut!
"Bocah
lancang, ke sinilah kalau ingin mampus!"
Sin Liong
sedang dalam keadaan gelisah dan duka, oleh karena itu kenekatannya sudah
memuncak. Dan kini, bertemu dengan orang yang dianggap satu di antara
musuh-musuh besarnya ini, dia tidak mau banyak cakap lagi. Dia lalu
mengeluarkan pekik dahsyat dan terus menubruk sambil melakukan serangan yang
hebat, cepat laksana kilat menyambar dan dahsyat seperti halilintar meledak di
atas kepala lawan.
Hek-hiat
Mo-li juga berteriak nyaring dan menangkis dengan lengan kirinya yang memakai
gelang, sedangkan tangan kanannya yang dibuka membentuk cakar telah menyambar
ke arah dada Sin Liong, bagaikan cakar elang yang hendak merobek dada
mencengkeram keluar jantung lawan.
Sin Liong
maklum akan kelihaian lawan, maka sambil cepat mengelak mundur, kemudian dia
balas menyerang dengan sepenuh tenaganya. Akan tetapi nenek itu tidak
menangkis, malainkan tiba-tiba menjatuhkan diri di depan kaki Sin Liong. Selagi
pemuda ini merasa heran, dia sudah mencelat dari bawah dan mencengkeram ke arah
bawah pusar!
Tentu saja
Sin Liong terkejut bukan main. Tak disangkanya nenek itu memiliki akal curang
seperti itu dan gerakannya cepat sekali, maka dia pun segera meloncat dan
membalikkan tubuhnya untuk mengelak.
Namun nenek
itu sudah melayang dan mengejarnya dengan tubrukan dari belakangnya. Mengerikan
sekali gerakan nenek yang sakti ini dan meski pun Sin Liong sudah memutar tubuh
menangkis, tetapi tetap saja tangan kanan nenek itu sudah menempel pada pundak
kirinya. Bukan sembarang menempel, melainkan mencengkeram dengan kekuatan yang
luar biasa dahsyatnya. Otomatis tubuh Sin Liong mengerahkan sinkang dan Ilmu
Thi-khi I-beng bergerak langsung dari dalam pusar ke pundak.
"Ihh!
Thi-khi I-beng!" Nenek itu berseru.
Maka
seketika tenaga sinkang-nya berhenti mengalir dan dengan gerakan cepat dia
dapat melepaskan tangannya dari pundak pemuda itu yang mempunyai daya menyedot
yang hebat sekali. Kembali nenek itu menyerang dengan dahsyat, menggunakan
cengkeraman kedua tangannya yang seperti cakar garuda itu, dan yang diserangnya
adalah bagian-bagian berbahaya yang kiranya tidak dapat dilindungi oleh Thi-khi
I-beng.
Sekarang Sin
Liong telah bersikap hati-hati sekali, maklum akan kelihaian lawan. Dengan
gerakan Thai-kek Sin-kun dia dapat mempertahankan dirinya dengan baik, bukan
hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan tamparan-tamparan
yang mengandung tenaga amat kuat karena dia juga telah membalas dengan
pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang didapatnya dari mendiang Kok Beng Lama.
Tenaga
sinkang dari Sin Liong memang kuat bukan kepalang, karena dia telah menerima
pengoperan tenaga ini dari mendiang Kok Beng Lama. Tenaganya sendiri yang
ditambah tenaga kakek sakti itu telah dimatangkannya pula ketika dia
mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, karena itu pada saat ini tingkat
kekuatan yang ada pada diri pemuda ini setidaknya tidak kalah kuat dibandingkan
dengan tenaga Kok Beng Lama ketika masih hidup!
Oleh karena
itu, tidak mengherankan apa bila Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main melihat
kenyataan betapa dalam hal adu tenaga, dia tidak sanggup menandingi pemuda itu
dan kedua tangannya selalu terpental kalau bertemu dengan lengan pemuda itu.
Akan tetapi,
pada lain fihak, Sin Liong juga terkejut ketika tiap kali dia berhasil menampar
atau memukul. Baik tamparan mau pun pukulannya yang mengenai sasaran dengan
tepat itu membalik seperti mengenai tubuh dari karet yang amat kuat.
Ternyata
nenek itu memiliki kekebalan yang sangat luar biasa! Setiap kali dipukul, bukan
hanya tangannya sendiri yang terpental, bahkan nenek itu masih terkekeh
mentertawakan dia!
Sin Liong
menjadi semakin marah dan merasa penasaran. Dia harus mengalahkan dan
merobohkan nenek itu lebih dulu sebelum dia dapat mengharapkan untuk
menyelamatkan Bi Cu. Maka dia lalu mengeluarkan pekik yang dahsyat dan
tiba-tiba gerakannya berubah sehingga nenek itu terkejut sekali.
Hek-hiat
Mo-li melihat betapa begitu mengeluarkan pekik dahsyat, pemuda itu kelihatan
penuh wibawa, kedua matanya mencorong laksana mata malaikat dan tubuhnya
tergetar dan nampak seolah-olah bertambah besar, kemudian gerakan pemuda itu
kelihatan aneh sekali. Tiba-tiba pemuda itu menyerangnya dengan gerakan yang aneh,
kedua lengannya bergerak, yang kanan menghantam ke arah langit ada pun yang
kiri menghantam ke arah bumi! Itulah salah satu jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang
yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-cow!
Selagi
Hek-hiat Mo-li terkejut dan heran, juga bingung menyaksikan serangan aneh yang
sama sekali tidak ditujukan kepadanya itu, mendadak ada angin menyambar dari
depan. Angin itu berpusing karena datang dari arah atas dan dari bawah, yang
diakibatkan oleh gerakan membalik dari kedua tangan pemuda itu dan dia merasa
seperti digulungkan oleh pusingan angin pukulan itu!
Hek-hiat
Mo-li terkejut bukan kepalang, cepat dia berusaha untuk meloncat mundur dan
menangkis, akan tetapi dia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan biar
pun dia berhasil menangkis kedua tangan lawan, tetap saja tubuhnya terpental
jauh! Bukan main kagetnya Hek-hiat Mo-li.
Biar pun
tubuhnya kebal dan dia tidak terluka, namun karena terbanting dan bergulingan,
tubuhnya yang sudah tua itu terasa sakit-sakit dan pandang matanya yang tinggal
sebuah itu pun berkunang, kepalanya agak pening! Tahulah dia bahwa pemuda ini
benar-benar lihai luar biasa. Baru kurang lebih lima puluh jurus saja dia sudah
dibikin terguling-guling seperti itu.
Dia tidak
takut, akan tetapi dia enggan untuk dijatuh bangunkan seperti itu, hal yang
amat memalukan bagi seorang tokoh yang tua dan berkedudukan tinggi seperti dia.
Apa lagi, tugasnya memang hanya menguji, maka dia merasa sudah cukup lantas
berloncatanlah nenek itu ke belakang lalu melarikan diri dengan secepatnya
meninggalkan Sin Liong.
Sin Liong
tidak mengejar. Memang nenek itu harus dibunuhnya untuk membalas kematian
kongkong-nya, akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah menemukan
kembali dan menolong Bi Cu hingga selamat. Baru kemudian dia akan mencari
musuh-musuhnya. Para musuhnya adalah Hek-hiat Mo-li yang harus dibunuhnya untuk
membalas kematian kongkong-nya, dan juga Kim Hong Liu-nio pembunuh dari ibu
kandungnya. Tapi sekarang, yang paling perlu adalah menolong Bi Cu.
Maka Sin
Liong lalu melanjutkan perjalanannya dengan secepatnya menuju ke Lembah Naga.
Apa bila tidak ada halangan, dua hari lagi dia akan tiba di Lembah Naga. Maka
dia lalu melakukan perjalanan secepatnya dan walau pun dia tidak bernafsu, akan
tetapi dia memaksa diri untuk makan buah-buahan dan daging ayam hutan yang
ditangkap serta dipanggangnya karena dia maklum bahwa dia akan menghadapi
lawan-lawan yang amat tangguh dan bahwa dia membutuhkan banyak tenaga untuk
menolong Bi Cu. Oleh karena itu dia harus menjaga kesehatan tubuhnya, harus
makan agar jangan sampai tubuhnya lemas ketika dia membutuhkan tenaganya nanti.
Dua hari
kemudian tibalah dia di perbatasan Lembah Naga. Dia tiba di luar Rawa Bangkai
yang kini telah berubah keadaannya. Melihat hutan-hutan dan bukit-bukit di
sekitar tempat itu, diam-diam Sin Liong merasa terharu.
Inilah
tempatnya! Di sinilah dia terlahir dan dibesarkan. Semua tempat itu, bahkan
semua pohon besar di sana itu, kelihatan amat indah dan amat dikenalnya,
seperti para sahahat lama yang sekarang sedang mengelu-elukan kedatangannya
kembali dengan melambai-lambaikan ranting-ranting dan daun-daunnya yang tertiup
angin.
Teringat dia
akan gerombolan kera besar kecil yang dahulu menjadi sahabat-sahabatnya, bahkan
keluarganya karena dia adalah anak pungut seekor kera besar. Teringat semua
itu, naik sedu-sedan dari dadanya lalu berhenti di tenggorokan, membuat dia
memandang termenung ke arah hutan, dan timbul hasratnya ingin memasuki hutan
itu untuk mencari sahabat-sahabatnya itu. Dia merasa betapa amat kerasan dia
berada di sekeliling tempat ini, seakan-akan seorang perantau yang sudah lama
pergi dan kini kembali ke kampung halamannya, mengingatkan dia akan semua
bayangan kehidupannya di waktu dahulu.
Namun
bayangan Bi Cu tiba-tiba membuyarkan semua itu. Keharuan serta kegembiraan yang
dirasakan tadi sudah lenyap, terganti pula oleh kekhawatiran akan keselamatan
Bi Cu. Teringat akan ini, cepat dia berlari lagi ke depan memasuki hutan kecil
di luar Lembah Naga.
Akan tetapi,
kembali dia harus berhenti dan memandang ke depan. Akan tetapi sekali ini bukan
berhenti untuk memandang penuh pesona kepada tempat yang sangat dikenalnya itu,
melainkan untuk memandang dengan sinar mata mencorong dan berapi kepada orang
pemuda tampan dan mewah pakaiannya yang berdiri menghadangnya sambil tersenyum
manis itu. Ceng Han Houw!
Akan tetapi,
Sin Liong tidak terpengaruh dengan senyum manis itu. Kemarahannya sudah
menyesak di dada dan begitu bertemu, dia lantas berkata dengan suara kaku dan
penuh kemarahan, "Houw-ko, bila sekali ini engkau tidak membebaskan Bi Cu,
biarlah aku akan mati-matian mengadu nyawa denganmu!" Lalu dengan sikap
mengancam dia mendekati pangeran itu.
Han Houw
tersenyum, hatinya amat senang mendengar betapa pemuda perkasa itu masih
menyebutnya Houw-ko! Dia tadi sudah mendengar pelaporan dari Hek-hiat Mo-li
yang mengatakan bahwa pemuda itu memang lihai dan patut menjadi pembantu utama
sang pangeran! Nenek itu tidak menceritakan betapa dia sudah dibikin roboh
hingga terguling-guling oleh pemuda itu.
Bahkan pada
waktu ditanya oleh sang pangeran bagaimana pendapatnya tentang tingkat
kepandaiannya dan tingkat kepandaian Sin Liong, Hek-hiat Moli menjawab bahwa
sang pangeran masih lebih unggul, sungguh pun tak banyak selisihnya! Berita ini
membuat Han Houw girang sekali dan makin besarlah keinginan untuk dapat menarik
Sin Liong sebagai sekutu dan pembantunya.
Maka cepat
dia menyambut, dan semakin gembiralah hatinya mendengar betapa dalam
kemarahannya, Sin Liong masih menyebutnya Houw-ko, tanda bahwa pemuda itu masih
tidak melupakannya bahwa mereka berdua pernah mengangkat saudara.
Ceng Han
Houw membelalakkan sepasang matanya dan memperlihatkan sikap terheran-heran,
kemudian mendekati dan membuka kedua lengannya sambil berkata,
"Aihh-aihh...! Mengapa engkau menduga-duga yang demikian buruknya terhadap
diriku, Liong-te? Kita adalah kakak beradik angkat, sudah seperti kakak dan
adik kandung saja dan kita sudah banyak saling bantu, mana mungkin aku ingin
menyusahkanmu?"
Sin Liong
teringat akan peristiwa ketika dia dan Bi Cu terjatuh ke dalam jurang, maka dia
berkata dengan suara dingin, "Hemm, tidak perlu membujuk lagi, pangeran!
Engkau tidak hanya menyusahkan aku berkali-kali, akan tetapi bahkan nyaris
membunuhku baru-baru ini. Aku datang bukan untuk mendengarkan ucapan manis dan
bujukan palsu, melainkan untuk menuntut agar engkau membebaskan Bi Cu."
Kembali terdengar ancaman di dalam suara ini dan kini Sin Liong tidak lagi
menyebut Houw-ko, melainkan pangeran, karena hatinya sudah panas dan marah
sekali.
Pangeran
Ceng Han Houw tersenyum, "Ahh, engkau salah mengerti, Sin Liong. Peristiwa
yang lalu terjadi karena salah pengertian. Engkau begitu keras hati. Akan
tetapi kalau kau menganggap aku bersalah, maka biarlah aku minta maaf. Tahukah
engkau betapa aku menangisimu ketika engkau terjun ke dalam jurang itu? Dan aku
sengaja menyuruh bekas suci dan subo-ku untuk mencarimu sampai dapat! Lalu,
untuk menebus semua kesalah fahaman itu..."
"Engkau
menyuruh menculik Bi Cu dan memancingku datang ke sini!" Sin Liong berseru
dengan penuh kemarahan.
Ceng Han
Houw mengangkat kedua tangannya ke atas. "Tenang dan sabarlah, Liong-te.
Aku bersumpah. Bi Cu dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, sekarang dia
menjadi tamuku yang terhormat. Dengarlah baik-baik terlebih dahulu. Memang aku
menyuruh suci untuk membawa nona Bi Cu ke sini, memang dengan maksud agar
engkau menyusul ke sini. Akan tetapi bukannya dengan maksud buruk, sama sekali
tidak, Liong-te. Melainkan karena aku membutuhkan bantuanmu dan tidak ada jalan
lain untuk membujukmu..."
"Hemmm,
engkau memang curang. Selalu mempergunakan sandera untuk memaksaku. Akan tetapi
kali ini jangan harap engkau dapat memaksaku melakukan sesuatu, Houw-ko. Bukan
engkau lagi yang mengajukan syarat, melainkan aku! Syaratku, bebaskanlah Bi Cu
baik-baik kemudian biarkan kami pergi, jika tidak, aku pasti akan mengadu nyawa
untuk menyelamatkannya, dengan taruhan selembar nyawaku!"
"Ahhh,
engkau memang gagah perkasa sekali, Liong-te. Dan aku juga tahu, aku sudah
mendengar dari nona Bhe Bi Cu betapa engkau dan dia telah saling jatuh cinta.
Aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Akan tetapi aku sekarang bukanlah
Pangeran Ceng Han Houw yang kemarin-kemarin, Liong-te. Aku telah mengambil
keputusan untuk menentang kaisar yang lalim, dan aku telah menjadi kakak iparmu
sendiri!"
"Apa...?!
Apa maksudmu...?" Sin Liong tentu saja terkejut dan merasa heran bukan
main mendengar ucapan itu. Dia menatap tajam penuh selidik karena hatinya
bertanya-tanya, permainan apa lagi yang dilakukan oleh pangeran yang curang dan
licik ini.
Ceng Han
Houw tertawa. "Adikku, engkau bukan hanya adik angkatku, akan tetapi juga
adik iparku. Ketahuilah bahwa sekarang aku sudah menjadi cucu mantu dari
mendiang kongkong-mu, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."
"Ahhh...?"
Tentu saja Sin Liong sama sekali tidak percaya dan menganggap pangeran ini
hendak menipu dan membohonginya.
"Tentu
engkau tidak percaya, namun sebentar lagi engkau akan bertemu sendiri dengan
piauwci-mu itu. Dengar baik-baik, Sin Liong, aku sekarang sudah menjadi suami
dari Lie Ciauw Si. Engkau tentu mengenal nama itu, bukan?"
Diam-diam
Sin Liong terkejut bukan main, lantas teringatlah dia akan pertemuan antara
pangeran itu dengan Lie Ciauw Si pada waktu dia sedang mengantar pangeran itu
untuk mencari Ouwyang Bu Sek.
Pada waktu
itu, Sin Liong dan pangeran itu melihat Lie Ciauw Si yang tengah membela
ketua-ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang sedang dihajar oleh dua orang
bengcu, yaitu dua orang dari Lam-hai Sam-lo. Ketika itu pun dia melihat
hubungan antara kedua orang itu akrab sekali, akan tetapi sungguh tidak pernah
disangkanya bahwa mereka akhirnya menjadi suami isteri!
Dia tahu
siapa adanya Lie Ciauw Si. Pada saat dia ikut kongkong-nya di Cin-ling-san, dia
juga sudah mendengar tentang keluarga Cin-ling-san itu, atau yang sesungguhnya
adalah keluarganya. Kakeknya, mendiang Cia Keng Hong, memiliki dua orang anak,
yaitu yang pertama adalah Cia Giok Keng yang sudah janda dan kini menjadi
isteri pendekar sakti Yap Kun Liong. Dari suaminya yang pertama, she Lie, Cia
Giok Keng memiliki dua orang anak, yaitu Lie Seng dan Lie Ciauw Si. Sedangkan
putera ketua Cin-ling-pai yang ke dua adalah Cia Bun Houw atau ayah kandungnya
sendiri!
Memang
benarlah bahwa Lie Ciauw Si itu masih piauwci-nya sendiri, dan kalau memang
piauwci-nya itu kini menikah dengan pangeran ini, maka hal itu berarti bahwa
pangeran ini bukan hanya kakak angkatnya, melainkan juga kakak iparnya sendiri!
Betapa pun juga, Sin Liong masih belum mau percaya. Bukankah pangeran ini
selalu memusuhi keluarga Cin-ling-pai? Bagaimana mungkin menjadi suami
piauwci-nya? Andai kata betul demikian, tentu pangeran ini menggunakan akal dan
kelicikannya untuk menipu piauwci-nya itu!
Melihat Sin
Liong yang mengerutkan alis seperti orang termenung kemudian memandang
kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, pangeran itu dapat pula menduga apa
yang diragukan oleh adik angkatnya itu, maka dia lalu berkata,
"Liong-te,
engkau tidak tahu apa yang sudah terjadi. Telah terjadi perubahan besar pada
diriku dan kehidupanku. Pada waktu aku dan Si-moi saling berjumpa, seperti
engkau juga mengetahui, yaitu di pusat Sin-ciang Tiat-thouw-pang, kami saling
jatuh cinta. Semenjak itu, aku bersimpati dengan keluarga Cin-ling-pai. Engkau
pun tahu bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai selama ini adalah bekas subo
dan suci-ku, sedangkan aku sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai.
Ketika aku jatuh cinta kepada Si-moi, maka aku segera mengusahakan kebebasan
keluarga itu dari tuduhan pemberontak dan pelarian. Nah, karena perbuatanku
itu, maka kaisar menaruh curiga dan benci kepadaku, apa lagi akibat ada hasutan
Pangeran Hun Chih yang ingin mencari kedudukan. Sahabat-sahabatku ditangkapi
oleh kaisar yang lalim. Oleh karena itu, aku lalu melarikan diri dari kota raja
setelah aku menikah dengan Si-moi, dan kami telah mengambil keputusan untuk
menentang kaisar lalim!"
"Hemm, memberontak?"
Sin Liong bertanya, masih tertarik oleh cerita pangeran itu.
"Ahhh,
engkau tentu dapat membedakan antara memberontak dan menentang kelaliman,
Liong-te. Aku bukan memberontak untuk merebut kedudukan, namun hendak menentang
kelaliman yang menyengsarakan rakyat. Dan aku berbesar hati karena isteriku,
Lie Ciauw Si, berdiri di sampingku dan siap membantuku, dan demikian pula kelak
seluruh keluarga Cin-ling-pai akan membantuku bila saatnya telah tiba.
Ketahuilah, Liong-te, aku sekarang sedang berusaha untuk mengadakan pertemuan
di Lembah Naga dengan seluruh tokoh kang-ouw dan ahli-ahli silat, berikut
partai-partai persilatan di seluruh dunia. Aku hendak mengadakan pemilihan
bengcu dan jago nomor satu di dunia. Sesudah itu, aku hendak menghimpun seluruh
kekuatan kang-ouw kemudian kita akan mengadakan gerakan orang gagah sedunia
untuk menentang kelaliman kaisar. Nah, karena itulah maka aku menyuruh mengajak
nona Bhe Bi Cu ke sini, Liong-te, dengan harapan engkau juga akan suka ikut
membantu pergerakan kami ini."
Sin Liong
merasa terheran-heran dan terkejut sekali, akan tetapi dia belum sepenuhnya
dapat mempercayai apa yang diucapkan oleh pangeran itu, yang terdengar terlalu
aneh baginya.
"Aku
tidak peduli mengenai itu semua, Houw-ko. Aku hanya menghendaki Bi Cu selamat
dan kami dibiarkan pergi tanpa gangguan. Aku akan berterima kasih kepadamu,
Houw-ko, kalau engkau dan siapa pun tidak mengganggu selembar rambut Bi
Cu."
Diam-diam
Han Houw girang bahwa selama ini dia memperlakukan Bi Cu dengan baik. Memang
hal ini sudah diduganya. Orang seperti Sin Liong ini tidak boleh dihadapi
dengan kekerasan, akan tetapi harus dengan kehalusan budi untuk menundukkannya.
"Liong-te,
tentu engkau belum percaya apa bila belum melihatnya sendiri. Marilah, adikku,
mari kita menemui piauwci-mu dan kekasihmu itu. Mereka sedang menanti kita di
Istana Lembah Naga."
Dengan
jantung berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan, Sin Liong lalu mengikuti
Han Houw. Akan tetapi baru beberapa langkah, pangeran itu lantas bertepuk
tangan dan muncullah pasukan-pasukan terpendam dari semua penjuru!
Melihat ini,
Sin Liong terkejut bukan main. Kiranya tempat itu telah dikurung oleh ratusan
orang prajurit yang bersenjata lengkap. Dia bersikap tenang dan waspada, akan
tetapi pangeran itu hanya minta disediakan dua ekor kuda. Dua ekor kuda terbaik
dikeluarkan dan berangkatlah dua orang muda ini naik kuda ke Istana Lembah
Naga.
"Lihat,
adikku, bukankah kita sekarang kembali seperti dulu lagi, ketika kita
mengadakan perjalanan bersama?"
Sin Liong
tidak menjawab. Memang kenangan itu manis dan membayangkan kebaikan-kebaikan
pangeran terhadapnya, akan tetapi juga membuat dia merasa sebal mengingat akan
tingkah pangeran ini setiap kali bertemu wanita muda dan cantik, dan diam-diam
dia mengkhawatirkan keadaan Lie Ciauw Si, cucu kongkong-nya itu. Mengapa wanita
cantik yang gagah perkasa itu mau menyerahkan diri kepada seorang pria macam
pangeran ini, pikirnya heran.
Di sepanjang
perjalanan menuju ke Lembah Naga yang sangat dikenalnya itu, Sin Liong mendapat
kenyataan betapa tempat itu terjaga dengan sangat ketatnya, penuh dengan
pasukan, baik yang nampak menjaga di kanan kiri jalan mau pun yang menjaga
sambil bersembunyi-sembunyi di balik pohon, di dalam semak-semak.
Diam-diam
Sin Liong terkejut sekali, dan maklumlah dia bahwa kalau dia tidak bersama
pangeran itu, maka agaknya tak akan mudah baginya untuk dapat menyelundup ke
dalam daerah itu. Dan kenyataan ini pun agak melegakan hatinya, karena
seandainya pangeran itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya, perlu apa dia
akan disambut dan diajak masuk ke Istana Lembah Naga?
Akan tetapi
ketika dia dan pangeran itu tiba di depan Istana Lembah Naga yang sangat
dikenalnya walau pun kini keadaan jauh berbeda dengan dahulu pada waktu dia
tinggal di situ, kini menjadi sebuah istana yang megah dan indah, dia melihat
dua orang wanita berdiri di depan istana itu menyambut. Dan seorang di antara
mereka adalah Bi Cu!
Seketika
lenyaplah semua kekhawatirannya. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan di
lain saat dia sudah berlari ke depan. Demikian juga Bi Cu sudah berlari cepat
ke depan menyambut.
"Sin
Liong...!"
"Bi
Cu...!"
Di lain
detik mereka berdua sudah saling berangkulan dan berpelukan dengan ketat.
"Sin
Liong... ahh, Sin Liong...!" Bi Cu terisak di dada pemuda itu yang
merangkul dan mendekapnya dengan hati penuh asa girang dan bahagia.
Jika saja
tidak ingat bahwa di situ berdiri Lie Ciauw Si yang memandang dengan terharu,
dan berdiri pula Ceng Han Houw yang tersenyum lebar dan menghampiri isterinya,
juga beberapa orang dayang, pengawal dan pelayan, tentu dia dan Bi Cu sudah
berciuman. Akan tetapi hanya pandang mata mereka saja yang saling berciuman dan
menyatakan kebahagiaan mereka serta kerinduan hati masing-masing.
Sin Liong
tidak perlu bertanya lagi akan keadaan Bi Cu. Dara itu nampak amat sehat, dan
pakaiannya rapi, rambutnya pun rapi, meski pun wajahnya agak pucat dan sinar
matanya menunjukkan bahwa dara itu banyak berduka. Hal itu lumrah, karena tentu
Bi Cu selalu memikirkan dia, seperti juga dia yang tidak pernah dapat melupakan
Bi Cu dan selalu mengkhawatirkan keselamatannya.
"Mari
kita ke dalam dan bicara di dalam, Liong-te dan nona Che Bi Cu. Marilah,
Si-moi."
Mereka
berempat lalu memasuki istana itu, Sin Liong bergandengan tangan dengan Bi Cu
yang agaknya tidak mau lagi melepaskan tangannya. Setelah mereka masuk di
ruangan dalam dan pangeran itu mempersilakan mereka duduk, Sin Liong cepat
menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara terharu,
"Ternyata
ucapanmu terbukti benar, Houw-ko, sebab itu terimalah ucapan terima kasihku.
Aku sungguh bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Bi Cu berada dalam
keadaan baik dan tidak terganggu."
"Siapakah
hendak membohongimu. Liong-te? Apa lagi setelah aku menjadi kakak iparmu pula.
Si-moi, Liong-te, kalian berdua adalah saudara-saudara misan, keduanya
merupakan cucu ketua Cin-ling-pai, mengapa tidak saling tegur?"
Karena tidak
mungkin lagi menyembunyikan dirinya, Sin Liong segera menjura dengan hormat
kepada Ciauw Si dan berkata merendah, "Mana mungkin aku yang rendah berani
mengaku adik misan Lie-lihiap?"
Ciauw Si
memandang tajam. Ketika dia tadi mendengar dari suaminya bahwa Sin Liong
sesungguhnya adalah anak kandung pamannya, Cia Bun Houw, dia tidak percaya dan
merasa ragu-ragu. Kalau benar pamannya itu mempunyai seorang putera, mengapa
tidak ada seorang pun di antara keluarga mereka yang tahu? Pula, anak ini
katanya pernah ikut kongkong-nya di Cin-ling-pai, bahkan katanya berkenan
menerima ilmu-ilmu lengkap dari kongkong-nya itu, termasuk Thi-khi I-beng! Akan
tetapi kalau sudah begitu, kenapa masih juga belum ada yang tahu?
"Sin
Liong, tidak perlu kiranya merendah atau merasa tinggi. Sebaiknya kalau
berterus terang saja seperti kenyataannya. Aku sudah mendengar dari pangeran
bahwa engkau adalah putera kandung paman Cia Bun Houw. Sungguh hal ini aku
tidak mengerti sama sekali dan tidak ada seorang pun di antara keluarga
Cin-ling-pai yang tahu pula. Bagai manakah sesungguhnya? Kalau engkau putera paman
Cia Bun Houw, lalu siapakah ibu kandungmu dan bagaimana sampai tak seorang pun
di antara keluarga Cin-ling-pai yang tahu?"
Sin Liong
tahu bahwa semua ucapan itu dikeluarkan oleh wanita perkasa itu dengan hati
jujur dan tanpa prasangka buruk, namun dia mendengarnya dengan hati merasa
tertusuk. Dia menundukkan mukanya kemudian berkata lirih, "Sesungguhnya
rahasia ini tidak akan kuceritakan kepada siapa pun juga, hanya tanpa kusengaja
telah bocor hingga diketahui orang. Maafkan aku, lihiap, aku tidak bisa
menceritakan duduknya perkara, karena hal ini merupakan rahasia pribadi dari
pendekar Cia Bun Houw." Dia menyebut nama ini dengan keras, menandakan
bahwa hatinya amat marah kepada pendekar itu. "Maka, jika sampai urusan
ini dibicarakan sehingga rahasia ini dibongkar, biarlah yang membongkarnya dan
membicarakannya yang bersangkutan sendiri!"
Lie Ciauw Si
dapat memaklumi keadaan Sin Liong yang agaknya diliputi rahasia yang tak
menyenangkan, "Akan tetapi, engkau sudah pernah dididik oleh mendiang
kongkong. Apa bila engkau putera kandung paman Bun Houw, berarti kongkong Cia
Keng Hong adalah kongkong-mu pula, bahkan engkau merupakan keturunan langsung!
Engkau she Cia dan engkau laki-laki pula! Kenapa engkau pun tidak mau mengaku
kepada kakekmu sendiri?"
Disebutnya
nama kakek itu membuat Sin Liong merasa berduka. Dia pun menarik napas panjang
dan berkata, "Beliau yang sudah berada di tempat baka tentu sudi
mengampuni aku. Aku memang sengaja tak ingin menonjolkan diri sebagai keturunan
Cin-ling-pai yang terkenal sebagai keluarga yang gagah perkasa! Sedangkan aku
ini orang apakah? Hanya orang yang tidak diakui! Haruskah aku mendesak-desak
untuk membonceng ketenaran nama besar Cin-ling-pai?".....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment