Wednesday, September 5, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Lembah Naga Jilid 44



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
     Serial Pendekar Lembah Naga
                Jilid 44


SEMUA orang memandang dan suasana menjadi tenang kembali. Ceng Han Houw masih tersenyum ramah, kemudian dia segera menyambung kata-katanya, "Terima kasih atas sambutan Cui Khai Sun enghiong wakil dari Siauw-lim-pai. Memang setiap orang atau golongan boleh saja mempunyai pendapat masing-masing. Akan tetapi kita berkumpul di sini bukan untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing. Kita berkumpul untuk melakukan pemilihan bengcu! Dan apa yang akan diperbuat oleh bengcu yang kita pilih kemudian, itu adalah urusan bengcu itu, dan setuju atau tidak setuju di antara kita boleh diajukan kepada bengcu. Mengatur apa yang akan dan tidak akan dilakukan oleh seorang bengcu, sedangkan bengcu itu sendiri belum dipilih, merupakan hal yang sia-sia saja, bukan? Kita akan memilih bengcu berdasarkan suara. Namun karena kita adalah orang-orang yang semenjak kecil belajar silat, maka pertemuan ini tidak akan lengkap bila tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, tentulah akan meriah dan menarik sekali apa bila kita mengadakan pemilihan jagoan nomor satu di dunia. Siapa pun boleh mengajukan diri sebagai calon dan aku sendiri sebagai fihak tuan rumah juga mengajukan diri, bersama jago pilihan kami, yaitu adik angkatku sendiri yang bernama Cia Sin Liong!"

Sin Liong kaget bukan main. Pertama dia terkejut karena namanya disebut-sebut sebagai calon jago pilihan pangeran dan sebagai adik angkat, ke dua dia terkejut karena she-nya disebut sebagai she Cia. Rahasianya telah dibongkar oleh pangeran itu di tempat itu, di mana hadir pula keluarga Cin-ling-pai, bahkan hadir pula di situ ayah kandungnya!

"Houw-ko," bisiknya. "Aku tidak dapat menerima ini!"

Sin Liong segera bangkit berdiri dan di antara para tamu ada yang bertepuk dan bersorak menyambut jago muda pilihan pangeran ini, akan tetapi Sin Liong segera berseru nyaring, "Cu-wi, maafkan. Akan tetapi aku tidak berniat menjadi jago apa pun, tidak ingin ikut-ikut memperebutkan pilihan jago silat. Pangeran hanya berkelakar saja!" Dan dia pun duduk kembali.

Ceng Han Houw tertawa dan berkata lagi dengan lantang, "Cu-wi, lihat betapa sederhana dan pemalunya adik angkatku ini. Akan tetapi mengenai ilmu silat... kiranya aku sendiri masih harus banyak belajar dari dia! Apa bila dia tidak mau menjadi calon jagoan, tidak mengapalah, akan tetapi aku mengangkat dia menjadi penguji! Calon-calon yang hendak memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia harus sanggup melawan dan menandingi kepandaian adik angkatku ini lebih dulu!"

Kembali semua orang bertepuk tangan dan bersorak.

"Houw-ko, aku tidak mau!" Sin Liong berbisik.

Han Houw mundur dan mendekati Sin Liong, menghardik dalam bisikan pula.

"Liong-te, mengapa engkau hendak mengacau aku? Ingat, Bi Cu berada di tanganku, dia kusuruh jaga subo dan suci. Engkau harus membantuku kalau tidak..."

Lie Ciauw Si mendengar bisikan-bisikan ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan Sin Liong sudah menjadi terkejut setengah mati mendengar ucapan itu. Tak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu pangeran ini masih hendak bersikap curang dan ternyata bahwa dia sengaja dipisahkan dari Bi Cu agar pangeran itu dapat menguasai Bi Cu untuk memaksanya!

Akan tetapi ia melihat betapa amat berbahayanya paksaan yang dilakukan oleh pangeran itu. Dia tidak mungkin mau memenuhi permintaan gila itu, dan lebih baik dia dan Bi Cu mati dari pada dia harus membantu pangeran dengan rencana gilanya.

"Aku tidak sudi!" katanya dan dia pun sudah meloncat lantas pergi dari situ, menuju ke dalam untuk mencari Bi Cu.

Para tamu yang sedang berbisik itu hanya melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Hal ini menambah kuat pernyataan sang pangeran tadi betapa pemuda perkasa itu wataknya sederhana dan amat pemalu. Agaknya saking malunya pemuda itu telah melarikan diri ke dalam maka mereka pun makin keras tertawa dan bersorak.

Sementara itu, Ciauw Si berbisik kepada suaminya, "Apa yang sudah kau lakukan ini, pangeran?"

"Sstt, Si-moi, tanpa siasat tidak mungkin kita akan berhasil." Pangeran itu berbisik kembali dan dia sudah mengangkat tangan memberi tanda agar para tamu tidak berisik.

"Cu-wi yang mulia! Adik angkatku itu memang pemalu sekali. Akan tetapi jangan cu-wi khawatir. Setiap orang boleh mengajukan diri sebagai calon dan selain adik angkatku itu, aku masih memiliki seorang penguji lain, yaitu isteriku sendiri! Jangan cu-wi memandang rendah kepada isteriku yang tercinta ini, karena kepandaian silatnya tidak berselisih jauh dari kepandaianku sendiri. Nah, siapa saja yang dapat menandingi isteri saya dalam lima puluh jurus, maka dia berhak menjadi calon jago nomor satu di dunia! Inilah isteri saya, Lie Ciauw Si!"

Di bawah tepuk tangan dan sorak-sorai, terpaksa Ciauw Si bangkit berdiri dan menjura ke arah penonton yang menjadi makin riuh bertepuk tangan memuji karena memang Ciauw Si nampak cantik jelita dan menarik sekali. Wajah Ciauw Si agak pucat, apa lagi ketika dia bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api, sepasang mata milik ibu kandungnya! Dia menjadi lemas dan cepat duduk kembali ke kursinya. Betapa pun juga, dia harus membela suaminya yang tercinta, pikirnya sambil mengepal tinju kirinya.

Sementara itu, keluarga Cin-ling-pai, yaitu empat orang pendekar itu, semenjak tadi telah berbisik-bisik saling bicara dengan serius dan juga penuh keheranan.

"Pangeran gila, kenapa dia menyebut she Sin Liong sebagai she Cia?" kata Bun Houw dengan marah. "Apa dia sengaja hendak menghina keluarga Cia kami?"

"Mungkin dia hendak memancing supaya kita turun tangan membantah," Cia Giok Keng berbisik. "Akan tetapi dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Ciauw Si."

Mereka berempat merasa bingung dan tidak mengerti, apa lagi ketika melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Apakah yang sedang terjadi? Permainan apakah yang dilakukan oleh Pangeran itu?

Ketika pangeran itu mengangkat Ciauw Si yang diperkenalkan sebagai isterinya sebagai penguji, Giok Keng dengan gemas memandang kepada puterinya yang menerima pujian para tamu itu, lantas dia berbisik dengan suara mendesis, "Biar aku maju sebagai calon menghadapinya!"

"Ahh, jangan begitu, enci Keng!" adiknya mencela.

"Ingat, kita menghadapi banyak orang, jangan menimbulkan keributan yang hanya akan mendatangkan aib bagi nama keluarga," kata Yap Kun Liong menyabarkan isterinya.

Para tamu menjadi semakin berisik ketika mereka melihat seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bermuka merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya kasar, meloncat dengan gerakan yang cukup lincah ke depan lalu hinggap di tengah-tengah ruangan yang tinggi itu, tersenyum dan memberi hormat ke arah pangeran.

Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya yang tinggi besar itu membayangkan kekuatan dahsyat, sikap dan pakaiannya yang kasar itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang petualang di dunia kang-ouw. Wajahnya lebar dan matanya, hidungnya serta mulutnya juga serba besar.

"Pangeran, saya Loa Khi berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi) sama sekali tidak berani mengajukan diri sebagai calon jago nomor satu di dunia, akan tetapi saya mempunyai semacam penyakit, yaitu di mana terdapat pertandingan pibu, tangan saya menjadi gatal-gatal. Biarlah saya memelopori para enghiong di sini agar pertemuan ini menjadi lebih gembira." Sambil berkata demikian, matanya yang lebar itu melirik ke arah Ciauw Si.

Mengertilah Pangeran Ceng Han Houw bahwa yang mendorong laki-laki kasar ini untuk maju adalah karena pengujinya adalah isterinya yang cantik jelita. Atau kasarnya, pria itu ingin bersilat menandingi Ciauw Si yang cantik! Akan tetapi Han Houw hanya tersenyum dan dia berkata kepada isterinya dengan suara halus.

"Isteriku, harap kau suka melayani Loa-enghiong."

Sebenarnya di dalam hatinya Ciauw Si merasa mendongkol sekali. Dia harus melayani segala macam orang kasar seperti itu! Akan tetapi karena dia maklum bahwa suaminya itu sedang berusaha untuk menentang kelaliman kaisar, dan karena betapa pun juga dia harus membela suaminya yang tercinta, maka dia tak berkata sesuatu melainkan bangkit berdiri dan menghampiri orang yang berjuluk Lutung Merah Berlengan Besi itu.

Jantung di dalam dada yang bidang itu terguncang dan berdebar-debar penuh kegirangan. Loa Khi adalah seorang kang-ouw golongan sesat dan merupakan seorang yang kasar, gila akan kecantikan wanita. Tadi dari jauh dia melihat betapa cantiknya isteri pangeran itu, dan kini sesudah berhadapan, dia terpesona. Belum pernah rasanya dia berhadapan dengan wanita secantik ini!

Sungguh kali ini tidak rugi, pikirnya. Dapat bersentuhan lengan dan tangan dengan wanita seperti ini benar-benar merupakan hal yang sangat menyenangkan, apa lagi kalau diingat bahwa wanita ini bukanlah sembarangan wanita, melainkan isteri seorang pangeran dan tentu saja merupakan seorang puteri bangsawan simpanan! Maka dia pun menyeringai dan mematut-matut diri agar kelihatan tampan dan gagah.

"Orang she Loa, kau mulailah!" Ciauw Si berkata, membuyarkan lamunannya itu.

"Ehh... ohh... mana saya berani mendahului?" kata Loa Khi yang meringis seperti seekor lutung asli.

Berbicara demikian, selain meringis Loa Khi juga memainkan matanya yang bundar besar sambil menggerak-gerakkan alisnya. Melihat lagak ini hati Ciauw Si menjadi sangat muak dan panas, dan kalau dia tidak mengingat bahwa suaminya sedang berusaha mengambil hati dunia kang-ouw, tentu dia sudah menjatuhkan tangan maut menyerang orang ini.

"Hemm, kalau begitu sambutlah seranganku!" kata Ciauw Si. Dia memberi kesempatan kepada orang itu untuk memasang kuda-kuda.

Memang Loa Khi dengan mulut masih menyeringai sudah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah. Kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk rendah dan kedua lengan disilangkan, tangannya dibuka membentuk cakar naga, tubuh atasnya tegak lurus dan matanya mengerling ke arah lawan yang berada di samping kanan.

Semua tamu menyambut pasangan kuda-kuda ini dengan berbagai macam sikap. Mereka yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi memandang dengan senyum mengejek, karena mereka segera tahu bahwa kuda-kuda seperti itu hanya indah dipandang saja akan tetapi sesungguhnya tidak memiliki inti yang kuat. Sebaliknya, mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, merasa amat kagum karena memang Loa Khi kelihatan gagah dan kokoh kuat dengan kuda-kudanya itu.

Ciauw Si yang sudah tidak sabar lagi melihat lagak orang, mengeluarkan seruan lembut lantas mulai menyerang dengan kedua tangannya, menyambar dari kanan kiri, yang kiri menampar ke arah pelipis lawan sedangkan yang kanan menotok ke arah lambung. Dua serangan ini sebenarnya hanya merupakan pancingan belaka karena pendekar wanita itu tak mau sembarangan mengeluarkan ilmunya yang tinggi hanya untuk menghadapi orang seperti laki-laki sombong ini.

Melihat serangan yang cukup cepat dan dahsyat ini, Loa Khi cepat menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Memang yang mendorong dia maju adalah supaya dia dapat menyentuh tubuh atau memegang lengan wanita cantik itu, maka melihat serangan lawan, dia berusaha secepatnya untuk menangkap pergelangan tangan lawan dan akan memegangnya dengan kuat dan mesra!

Namun Ciauw Si tentu saja maklum akan hal ini dan dia pun tidak sudi membiarkan kedua lengannya dipegang. Dengan cepat dia sudah menarik kembali kedua tangannya dan kini kaki kirinya yang bergerak menendang dengan cepat. Akan tetapi, sambil tersenyum lebar lawannya menggerakkan tangan ke bawah dengan maksud menangkis atau jika mungkin menangkap kaki yang mungil itu! Sedangkan tangan kiri Loa Khi sudah menyelonong ke depan, ke arah dada Ciauw Si!

"Hemmm...!" Ciauw Si mendengus marah.

Tiba-tiba saja tubuhnya bergerak cepat, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Itulah pukulan sakti yang merupakan jurus ke tiga dari Ilmu San-in Kun-hoat, ilmu ampuh dari Cin-ling-pai! Angin pukulan dahsyat langsung menyambar ke depan. Loa Khi terkejut bukan kepalang dan cepat dia berusaha menangkis sambil mengerahkan tenaga kepada kedua kakinya dan tubuhnya untuk menjaga diri.

"Desss...!"

Betapa pun kuatnya dia menangkis, tetap saja kedua tangan Ciauw Si dapat menerobos di antara lengan lawan yang menangkis dan terus menghantam dada. Untung bagi Loa Khi bahwa Ciauw Si masih ingat bahwa dia hanya bertugas menguji kepandaian lawan, maka dia tidak menggunakan seluruh tenaga sinkang-nya. Akan tetapi biar pun demikian, tetap saja tubuh Loa Khi yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Dia terengah-engah, merasa dadanya sesak dan sukar bernapas!

Karena Loa Khi tidak datang bersama teman-teman sehingga tidak memiliki rombongan, maka tidak ada yang menolongnya dan Han Houw memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya. Dua orang pengawal cepat maju membantu Loa Khi berdiri dan membawa orang yang masih terengah-engah itu ke tempat duduknya yang agak di belakang. Loa Khi tidak berani banyak cakap lagi dan membiarkan dirinya dituntun kembali ke kursinya, mukanya pucat sekali. Dia telah dirobohkan kurang dari lima jurus!

Berisiklah para tamu melihat kehebatan Ciauw Si. Mereka yang tadinya berminat untuk memasuki pemilihan jagoan itu, menjadi kecil nyalinya dan langsung mengurungkan niat hati mereka. Tentu saja tidak demikian dengan mereka yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi.

Seorang tosu sudah mengeluarkan seruan lantas tubuhnya melayang ke tengah ruangan itu. Tosu ini tinggi kurus, mukanya pucat laksana orang berpenyakitan, jubahnya kuning dan matanya sipit seperti orang mengantuk. Sesudah dia menjura ke arah pangeran, dia melangkah maju tiga langkah dan terkejutlah pangeran itu melihat betapa di atas lantai itu nampak jejak kaki tosu itu sedalam dua senti! Tahulah dia bahwa tosu ini amat lihai dan telah mendemonstrasikan kelihaiannya dengan mengerahkan tenaga pada kedua kakinya yang melesak ke dalam lantai ketika dia melangkah perlahan-lahan.

Jika tadi Han Houw menyebutkan nama isterinya, dan juga memperkenalkannya sebagai pembantunya untuk menguji para calon jagoan, maksudnya hanya untuk memperlihatkan kepada para tokoh kang-ouw, khususnya kepada keluarga Cin-ling-pai bahwa di samping Lie Ciauw Si sudah menjadi isterinya, juga membantunya untuk menghimpun tenaga dan menentang kaisar lalim!

Tetapi tentu saja bukan maksud hati Han Houw untuk membiarkan isterinya menghadapi semua orang yang hendak mencoba kepandaian. Dia hanya mengajukan isterinya untuk menghadapi kalau-kalau ada di antara tokoh Cin-ling-pai yang maju, maka kini melihat kelihaian tosu itu, tentu saja Han Houw merasa khawatir dan tidak membiarkan isterinya menghadapi bahaya.

Setelah menjura dan memperlihatkan tenaganya melalui injakan kaki yang meninggalkan jejak dalam di atas batu, tosu itu lalu berkata kepada Ceng Han Houw, suaranya seperti suara ular mendesis namun dapat terdengar satu-satu sampai di bagian luar tempat itu,

"Pangeran, harap maafkan kelancangan pinto. Sebenarnya pinto datang bukan sekali-kali untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau pun jagoan nomor satu, melainkan karena telah lama pinto mendengar nama besar pangeran sebagai seorang ahli silat yang pandai maka pinto ingin sekali menguji kebodohan sendiri untuk membuktikan sampai di mana kelihaian pangeran."

Ini merupakan tantangan langsung! Semua orang kang-ouw memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua maklum bahwa ucapan itu merupakan tantangan yang tentu didasari urusan pribadi antara tosu itu dan Pangeran Ceng Han Houw!

Han Houw sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ramah ketika dia berkata halus dan lantang, "Dalam menghadapi urusan besar ini, kami terpaksa harus melupakan urusan pribadi. Akan tetapi jika totiang ingin saling menguji kepandaian dengan aku, dapat saja totiang memasuki pemilihan jago menurut yang telah ditentukan. Akan tetapi lebih dulu hendaknya totiang memperkenalkan diri."

"Pinto bernama Ciu Hek Lam dan banyak orang menyebut pinto dengan julukan yang amat buruk, yaitu Tok-ciang Sian-jin (Manusia Dewa Bertangan Racun). Tentu pangeran belum mengenal nama pinto, akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa mendiang Gak Song Kam ketua Jeng-hwa-pang adalah sute dari pinto."

Mendengar ini, sebagaian besar di antara para tokoh kang-ouw terkejut. Memang nama tosu ini tidak terkenal dan hanya beberapa orang saja di antara mereka yang banyak melakukan perjalanan ke utara melewati Tembok Besar mengenal namanya, akan tetapi nama Jeng-hwa-pang tentu saja sudah dikenal mereka. Kiranya tosu yang lihai ini adalah saudara tua dari mendiang ketua Jeng-hwa-pang, maka tentu saja ilmu kepandaiannya amat tinggi.

Diam-diam Ceng Han Houw mengerti sekarang, Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang itu tewas di tangan dia dan Sin Liong, maka agaknya tosu ini datang dengan maksud untuk membalas dendam atas kematian ketua Jeng-hwa-pang itu! Dia sama sekali tidak merasa takut menghadapi tosu ini, akan tetapi untuk menjaga kewibawaannya, dia tak mau begitu saja terjun ke dalam urusan pribadi di tempat itu, apa lagi karena dia sedang menghadapi urusan besar.

"Ahhh, ternyata totiang ingin menguji kepandaianku. Baiklah, akan tetapi kita tidak boleh melanggar peraturan. Cu-wi yang mulia, kami sekarang menunjuk bengcu dari selatan, yaitu locianpwe Hai-liong-ong Phang Tek beserta Kim-liong-ong Phang Sun untuk menjadi penguji. Siapa dapat mengalahkan mereka berdua berarti cukup berharga untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia!"

Mendengar ini, Phang Tek dan Phang Sun segera melangkah maju. Sementara itu, Han Houw sendiri bangkit dari kursinya, menghampiri Ciauw Si yang masih berdiri memandang ke arah ibunya seperti orang terpesona, kemudian menggandeng tangan Ciauw Si untuk kembali ke tempat duduknya. Dengan sikap mesra Han Houw berbisik,

"Terima kasih atas bantuanmu, Si-moi."

Mendengar kedua orang ini, tahulah tosu itu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang pandai. Dia pernah mendengar tentang Lam-hai Sam-lo yang kabarnya kini tinggal dua orang kakak beradik ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, melainkan malah merasa mendongkol karena pangeran itu ternyata tidak mau langsung menghadapinya melainkan menyuruh kedua orang ini dengan alasan untuk mengujinya! Hal ini dianggapnya sebagai tanda bahwa pangeran itu jeri kepadanya, maka dia pun menghadapi dua orang kakek itu dan memandang dengan sinar mata tajam dari kedua matanya yang sipit.

"Pinto pernah mendengar mengenai nama besar Lam-hai Sam-lo," katanya dengan nada suara mengejek, "Pangeran sudah memerintahkan kalian untuk maju, apakah ji-wi (kalian berdua) hendak maju berbareng dan mengeroyok pinto?"

Ucapan ini biar pun hanya merupakan sebuah pertanyaan, namun bernada mengejek dan merendahkan, maka kedua orang datuk dari selatan itu tentu saja menjadi marah sekali. Mereka tadi maju hanya untuk memperkenalkan diri kepada para tamu sesudah nama mereka disebut-sebut oleh pangeran, bukan sekali-kali hendak mengeroyok tosu itu.

Kim-liong-ong Phang Sun, kakek berkepala gundul lonjong yang bertubuh kecil pendek seperti kanak-kanak, yang hanya memakai celana tanpa baju dan kakinya pun telanjang, sudah meloncat ke depan. Dengan lengan kiri yang dihias gelang emas tebal dia berkata, suaranya sungguh mengejutkan, karena lantang besar tidak seperti bentuk tubuhnya.

"Tosu bulukan! Takabur sekali ucapanmu! Menghadapi seorang tosu bulukan semacam engkau, cucuku pun akan berani. Sayang aku tidak pernah punya cucu! Maka biarlah aku mencoba, hendak kulihat apakah kepandaianmu seluas mulutmu! Twako, mundurlah, biar aku yang menghajar manusia sombong ini!"

Hai-liong-ong Phang Tek mengerutkan alisnya, lantas mundur sambil berkata, "Hati-hati, jangan pandang rendah dia." Hai-liong-ong yang tahu akan kemarahan adiknya merasa khawatir karena ketika menghadapi seorang lawan tangguh seperti tosu ini, kemarahan merupakan hal yang amat merugikan dan mengurangi kewaspadaan.

Sekarang dua orang itu sudah saling berhadapan. Keduanya sama kurusnya, hanya yang seorang tinggi dan yang lainnya pendek kecil. Semua orang kang-ouw yang hadir di situ memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang karena mereka semua mengenal siapa adanya Kim-liong-ong, sedangkan tosu tua itu tidak begitu dikenal karena memang jarang muncul di dunia kang-ouw.

Oleh karena yang hadir di dalam pertemuan besar ini merupakan tokoh-tokoh campuran, banyak pula yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat, maka di antara mereka ini sudah ramai mengadakan pertaruhan! Dan rata-rata menurut anggapan mereka, Kim-liong-ong menduduki tempat unggul, bahkan ada yang mempertaruhkan uang sebesar dua kali lipat menjagoi kakek pendek kecil itu.

Tok-ciang Sian-jin memandang dengan alis berkerut kepada calon lawannya, kemudian berkata, suaranya halus dan penuh penyesalan, "Kim-liong-ong, engkau adalah seorang tokoh jauh di selatan sana, sedangkan pinto selamanya berada di utara. Kiranya sampai kita dua orang tua mati oleh usia pun kita tak akan dapat saling berjumpa, apa lagi harus saling berkelahi seperti lawan. Oleh karena itu, pinto menyesal sekali harus berhadapan denganmu, sebab sebenarnya kedatangan pinto ini hanya ingin menghadapi pangeran..."

"Cukup, Tok-ciang Sian-jin. Apa bila engkau takut, masih belum terlambat bagimu untuk cepat-cepat mengundurkan diri!" Kim-liong-ong yang bersama Hai-liong-ong kakaknya itu memang sudah lama menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw, sudah memotong dengan suara lantang dan sikap merendahkan.

Marahlah tosu itu. Kini mukanya menjadi merah dan tidak pucat seperti biasanya, dan biar pun matanya masih sipit, akan tetapi tidak seperti orang mengantuk lagi.

"Engkau hendak menjadi perisai bagi pangeran? Bagus, majulah, orang sombong!" bentak tosu itu dan dia pun sudah menggerakkan jari-jari tangannya sehingga terdengar bunyi berkeretakan pada buku-buku jari tangannya dan kedua tangan itu kini nampak kehijauan.

Kiranya kakek ini memang memiliki ilmu yang amat mengerikan, dan kalau sudah begitu, sepasang tangannya merupakan benda-benda yang lebih berbahaya dari pada sepasang senjata tajam, karena kedua tangan itu dari jari-jari tangan sampai ke siku yang berwarna kehijauan, mengandung hawa beracun yang amat berbahaya bagi lawan. Itulah sebabnya mengapa dia berani menerima julukan Tok-ciang (Si Tangan Racun).

Akan tetapi, Kim-liong-ong Phang Sun menyeringai melihat ini. Dia sendiri adalah seorang ahli tentang racun, maka biar pun dia tahu betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan lawan itu, namun dia tidak menjadi gentar.

"Kedua tanganmu itu hanya baik untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bagiku tidak ada harganya sama sekali, seperti dua batang gagang sapu butut!" dia mengejek.

Tok-ciang Sian-jin menjadi semakin marah. Memang cerdik Kim-liong-ong ini. Pada saat menerima peringatan dari kakaknya tadi, dia pun sadar akan kemarahan yang membakar hatinya, maka dia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan untuk membakar hati lawan. Dia berhasil, karena kini tosu itu menjadi semakin marah dan dengan gerengan dahsyat dia sudah maju menyerang lawan yang bertubuh pendek kecil itu. Kini keadaannya menjadi terbalik, bukan Kim-liong-ong yang dicekik kemarahan, melainkan lawannya.

Tok-ciang Sian-jin menyerang dengan kedua tangan terbuka, sepuluh jari-jari tangannya mencengkeram dari kanan kiri dan sebelum serangan itu sampai, hawa pukulannya yang mengandung hawa beracun itu sudah menyambar lebih dahulu dengan dahsyatnya. Akan tetapi, mendadak nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek kecil itu lenyap dari depannya, tubrukan dan cengkeramannya mengenai tempat kosong dan begitu merasa ada angin menyambar dari kanan, tosu itu cepat membalik dan menangkis.

Kiranya, Kim-liong-ong telah mempergunakan kecepatan gerakannya dan mengandalkan tubuhnya yang kecil dan gesit itu untuk menyelinap ketika tadi lawannya menyerang, dan cepat memberi pukulan balasan dari arah kanan.

"Dukkk!"

Lengan Tok-ciang Sian-jin bertemu dengan gelang emas tebal yang melingkar di lengan kiri Phang Sun dan akibatnya, tubuh Tok-ciang Sin-jin terdorong ke belakang dan agak terhuyung.

Terkejutlah tosu ini dan maklumlah dia bahwa kakek kecil pendek gundul telanjang ini mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya! Karena itu dia pun cepat menerjang lagi dengan memperlipat gandakan kecepatan gerakannya. Maka terjadilah perkelahian yang seru dan sangat dahsyat.

Kim-liong-ong Phang Sun sudah mengeluarkan sebuah bungkusan sambil berloncatan ke sana-sini, lalu membalurkan bubuk putih ke atas lengannya. Itulah bubuk penolak racun. Sesudah ini, dia dapat menangkis dan mengadu lengan dengan lawannya, tidak seperti tadi yang menggunakan gelang emas untuk melindungi lengannya dari hawa racun yang keluar dari lengan lawan.

Memang tak percuma kalau Kim-liong-ong menjadi tokoh nomor dua dari Lam-hai Sam-lo yang ditakuti oleh semua tokoh di dunia selatan. Ilmu kepandaiannya memang sangat hebat, gerakannya aneh dan cepat, dan biar pun kaki tangannya kecil-kecil, tetapi setiap gerakan kaki dan tangan itu mengandung hawa pukulan yang kuat, sehingga bahkan tosu itu sendiri sampai beberapa kali terhuyung kalau mereka terpaksa mengadu tenaga.

Banyak di antara mereka yang bertaruh dan menjagoi Kim-liong-ong menjadi kecele. Ada yang bertaruh bahwa dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus tosu itu tentu akan kalah. Akan tetapi ternyata tosu itu hebat bukan main! Dia bisa mengimbangi semua kelincahan Kim-liong-ong dan sesudah bertanding selama lima puluh jurus, ternyata kakek itu sama sekali tidak kalah, bahkan terdesak pun tidak, sungguh pun dia sendiri juga tidak mampu mendesak kakek kecil itu.

Setelah perkelahian itu berlangsung kurang lebih enam puluh jurus, mendadak Tok-ciang Sian-jin meloncat mundur dan keluar dari lapangan pertandingan lalu membalikkan tubuh menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang sejak tadi terus menonton dengan penuh perhatian, menjura dan berkata, "Sekarang pinto mengharapkan agar pangeran sendiri..."

Baru sampai di situ dia berbicara, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari belakang, memukul ke arah lambungnya! Bukan main kagetnya Tok-ciang Sian-jin. Cepat-cepat dia membalik untuk mengelak dan menangkis.

"Plakkk! Desss...!"

Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh, dari mulutnya keluar darah segar karena biar pun dia berhasil menangkis pukulan Kim-liong-ong, akan tetapi tangkisannya kurang tepat dan pukulan kakek pendek kecil itu masih meleset sehingga mengenai punggungnya.

Tosu itu bangkit duduk lantas memejamkan mata untuk mengumpulkan hawa murni dan menahan dadanya yang terguncang hebat. Walau pun dia tidak sampai terluka separah kalau pukulan itu mengenai lambung, namun dia sampai muntah darah dan tentu saja dia tidak mungkin depat melanjutkan pertempuran.

"Sungguh curang!" Cui Kai Sun membentak dengan suara lantang. Pemuda gagah murid Siauw-lim-pai ini menegur marah sekali.

Kim-liong-ong hanya tersenyum mengejek ke arah pemuda itu. Melihat betapa di antara para orang kang-ouw yang hadir itu banyak yang memperlihatkan muka tak senang, Ceng Han Houw cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang halus namun berwibawa dan terdengar sampai jauh di luar.

"Cu-wi, hendaknya cu-wi bersikap adil! Tidak ada kecurangan terjadi di sini!"

"Siapa bilang tidak curang? Bukan aku hendak membela Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi kami semua tadi melihat tosu itu sedang bicara dengan pangeran ketika Kim-liong-ong menyerangnya dari belakang secara curang sekali!" Ciu Kai Sun berteriak lagi dan banyak tokoh kang-ouw, terutama sekali yang berasal dari golongan bersih, mengangguk untuk menyatakan persetujuan mereka dengan ucapan pemuda gagah itu.

Akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Itu adalah kesalahan tosu itu sendiri, pertandingan belum selesai dan..."

"Aku menghitung sendiri bahwa tosu itu telah dapat melayani Kim-liong-ong sampai lima puluh jurus!" Terdengar suara orang lain membenarkan.

Sekarang Ceng Han Houw tersenyum semakin lebar dan dia mengangkat kedua tangan ke atas untuk minta para tamu diam. Setelah mereka semua itu tidak berisik lagi, dia lalu berkata, suaranya jelas dan halus,

"Cu-wi sekalian yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw tentunya tahu bahwa syarat untuk menjadi orang kang-ouw bukan hanya tergantung kepada kepandaian silat saja, melainkan juga membutuhkan kecerdikan dan ketelitian! Memang betul bahwa kami tadi berjanji kepada siapa yang bisa menandingi isteri saya selama lima puluh jurus maka dia berhak untuk menjadi calon jagoan. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang berjanji tentang lima puluh jurus itu terhadap dua orang pembantu kami, yaitu Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. Karena tidak ada perjanjian maka pibu melawan mereka pun tidak terbatas jumlah jurusnya. Tadi dalam keadaan belum ada yang kalah atau pun menang, Tok-ciang Sian-jin menghentikan pibu secara sepihak tanpa memberi tahu kepada Kim-liong-ong, maka kalau dia sampai terpukul, baik dari belakang mau pun dari depan, bawah atau dari atas, hal itu adalah kesalahannya sendiri karena dia telah ceroboh dan lengah. Bukankah demikian, cu-wi?"

Ucapan yang dilakukan dengan suara halus dan penuh wibawa itu diikuti oleh kesunyian yang lengang karena semua tamu saling pandang dan mereka semua mau tak mau harus membenarkan pembelaan pangeran itu. Memang tadi pangeran itu berjanji tentang ujian selama lima puluh jurus dalam menghadapi isteri pangeran itu, dan terhadap dua orang pembantunya itu dia tidak berjanji apa-apa. Oleh karena itu, kekalahan Tok-ciang Sian-jin merupakan kekalahan mutlak, walau pun kekalahan itu adalah akibat dari kelengahannya, bukan akibat dari kalah tinggi ilmunya dibanding dengan Kim-liong-ong Phang Sun.

"Pinto yang bodoh... pinto kena ditipu orang... pinto mengaku kalah." Tiba-tiba tosu itu bangkit berdiri, dengan muka pucat dan mata bersinar memandang kepada pangeran itu, menjura lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu sambil mengusap darah dari ujung bibirnya.

Semua tamu hanya mengikuti langkah tosu itu dengan pandang mata dan sekarang tidak ada lagi yang mau mencampuri karena orang yang bersangkutan sendiri sudah mengakui kebodohannya dan mengaku kalah!

Karena ada yang merasa penasaran, berturut-turut terdapat beberapa orang tokoh yang belum mengenal betul kepandaian Lam-hai Sam-lo, maju memasuki ujian calon jagoan nomor satu di dunia. Namun, satu demi satu mereka itu dikalahkan oleh Kim-liong-ong atau Hai-liong-ong yang maju bergantian. Bagi mereka yang sudah tahu akan kelihaian Lam-hai Sam-lo, siang-siang sudah kuncup nyalinya dan tidak berani maju.

Sesudah tujuh orang calon semua kalah, kini agaknya tidak ada lagi yang berani maju. Melihat ini, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa amat penasaran. Tak mungkin di antara tokoh kang-ouw tidak ada yang mampu mengalahkan Lam-hai Sam-lo, pikirnya. Apa lagi di situ terdapat tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang belum bertindak sesuatu.

"Siapa lagi yang akan maju mencoba kemampuannya?" Hai-liong-ong Phang Tek berkata dengan suaranya yang lantang. Akan tetapi para tamu hanya saling pandang dan agaknya tidak ada lagi yang berani maju.

Pangeran Ceng Han Houw bangkit berdiri. "Cu-wi, kenapa cu-wi merasa sungkan? Saya percaya bahwa di antara cu-wi masih banyak orang pandai! Ataukah hanya demikian saja kepandaian para tokoh kang-ouw? Sungguh di luar dugaan kami kalau di dunia kang-ouw ini tidak ada tokoh yang mampu menandingi Lam-hai Sam-lo!"

Ucapan itu halus, tetapi juga bernada mengejek dan membakar. Semenjak tadi wajah Cia Giok Keng sudah merah sekali dan dia sudah hendak bangkit berdiri. Akan tetapi adiknya, Cia Bun Houw, memegang lengannya dan berbisik, "Enci, Lam-hai Sam-lo itu terlalu lihai bagimu."

"Biar!" Cia Giok Keng, wanita berusia setengah abad yang nampak cantik dan gagah itu, menjawab dengan bisikan mendesis hingga membuat beberapa orang tamu yang duduk dekat menengok.

"Aku tidak takut. Kalau kalah pun, biar aku mati di depan mata anak durhaka itu!" Jelaslah bahwa sumber kemarahan wanita ini adalah melihat puterinya, selain telah menjadi isteri pangeran itu tanpa minta ijin dulu darinya, juga melihat puterinya itu membantu pangeran yang hendak memberontak itu.

"Enci, tindakan itu kurang bijaksana. Apakah engkau ingin semua orang kang-ouw tahu akan pertentangan antara engkau dengan puterimu sendiri? Biarkan aku saja yang maju, mereka itu bukan lawanmu, melainkan lawanku!"

Sebelum Cia Giok Keng dapat membantah, disetujui oleh isterinya, yaitu Yap In Hong dan juga Yap Kun Liong yang maklum bahwa dua orang kakek dari selatan Lam-hai Sam-lo itu memang lihai sekali, sekali bergerak Cia Bun Houw sudah meloncat ke depan.

Semua tamu terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia melayang di atas kepala mereka, dari tempat duduk paling belakang dan melayang menuju ke depan, ke tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun dengan lagak sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah ruangan dan berdiri, mereka melihat seorang laki-laki yang amat tampan dan gagah perkasa, dengan pakaian sederhana akan tetapi memiliki wibawa besar dan sepasang matanya menyapu ke arah pangeran.

Banyak di antara para tokoh kang-ouw mengenalnya dan di samping keheranan mereka, terdengar sorak-sorai menyambut pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal pendekar sakti Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang tersohor itu? Akan tetapi, banyak pula alis yang dikerutkan dengan heran dan menduga-duga.

Isteri pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini tokoh Cin-ling-pai ini maju! Apa artinya ini? Akan tetapi mereka semua maklum bahwa kalau pendekar sakti ini maju untuk bertanding, maka di tempat itu akan terjadilah pertandingan yang amat hebat dan mereka semua merasa beruntung untuk dapat menyaksikannya.

Seketika wajah Lie Ciauw Si menjadi pucat ketika dia melihat pamannya sudah maju ke tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang nampak gagah penuh wibawa itu.

Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum gembira. Sekarang saat yang dia nanti-nantikannya sudah tiba. Memang untuk inilah dia mengadakan pertemuan besar itu. Selain untuk menghimpun orang-orang pandai, juga hendak menonjolkan dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw, dia juga hendak memancing datangnya keluarga Cin-ling-pai.

Apa bila dia dapat menarik mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si sudah menjadi isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik mereka dan mempengaruhi mereka, maka dia akan dapat mengalahkan mereka satu demi satu sehingga dengan demikian dunia kang-ouw akan melihat bahwa dialah jago nomor satu di dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang sangat terkenal itu pun tidak ada yang mampu menandinginya!

Maka, melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah maju, dia memandang dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan dahulu dua orang pembantunya itu menguji sampai di mana kehebatan pendekar sakti ini, apakah memang sehebat apa yang dikabarkan orang.

Ketika pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam penuh wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir masih tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar tajam mencorong dan penuh wibawa itu saling pandang, seolah-olah mereka berdua saling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu.

Suasana menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan mencekam hati. Hanya Lie Ciauw Si yang nampak bergerak, kepalanya saja, kadang kala diangkat memandang pamannya, kadang-kadang menunduk kembali, sementara kedua tangannya meremas-remas ujung bajunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan.

Akan tetapi suasana yang mencekam itu kemudian dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sebenarnya dia sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu.

"Enghiong dari manakah yang kini maju? Apakah hendak mengajukan diri sebagai calon jagoan? Harap suka memperkenalkan diri."

Setelah mendengar teguran ini, Bun Houw baru membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kim-liong-ong yang ternyata sudah berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak Bun Houw menatap mereka berdua dengan sikap kereng, kemudian terdengarlah suara yang lantang dan jelas.

"Aku bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!" Baru saja dia berkata sampai di sini, lalu terdengar suara berbisik di antara para tamu, yaitu mereka yang baru sekarang melihat pendekar ini sungguh pun semua telah mendengar nama besarnya, apa lagi nama besar Cin-ling-pai, yang akhir-akhir ini menjadi semakin terkenal sesudah ada berita bahwa keluarga Cin-ling-pai dituduh sebagai pemberontak, malah menjadi pelarian-pelarian pemerintah.

Setelah suara berbisik itu mereda, Bun Houw baru melanjutkan kata-katanya, "Kami dari Cin-ling-pai tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di dunia ini. Karena itu, kedatanganku di sini pun sama sekali bukan hendak memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi aku datang justru untuk menguji sampai di mana kehebatan orang yang berani menyebut dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"

Langsung terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka menganggap Bun Houw sebagai wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum sesat yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi mencari harta benda, kedudukan, atau nama besar.

Mendengar ucapan yang penuh wibawa ini, juga melihat sikap pendekar itu yang kereng, dan melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu lantas mengerutkan alis dan mereka pun menjadi bingung. Tetapi Kim-liong-ong yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang,

"Cia Bun Houw, ucapanmu tadi sungguh menyimpang dari pada maksud dari pertemuan besar yang diadakan oleh pangeran ini. Sekarang dengan siapa engkau akan bertanding, sedangkan jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa?"

Cia Bun Houw yang tadi pun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan kakek kecil pendek ini lalu menjawab, "Dengan siapa saja yang merasa dirinya jagoan tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo dikenal sebagai datuk-datuk selatan, akan tetapi hari ini aku melihat betapa salah seorang di antaranya hanyalah seorang tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh berlaku licik dan curang sesuka hatinya!"

Ucapan ini terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena segera terdengar suara tawa menyambut ucapan yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-liong-ong tadi. Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi marah bukan main. Nama besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini!

Kini Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, "Orang muda she Cia yang sombong! Ucapanmu itu terlampau besar dan engkau menantang Lam-hai Sam-lo. Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, maka dengan demikian engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang terhormat, dan..."

"Cukup!" Bun Houw membentak demikian nyaringnya hingga mengejutkan semua orang karena di dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang sangat hebat, terbawa khikang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan itu mendatangkan getaran dahsyat. "Dalam urusan ini tiada hubungannya dengan keluarga! Aku datang bukan untuk membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai Sam-lo berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani, menggelindinglah pergi dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan semuanya ini!" Sambil berkata demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah Pangeran Ceng Han Houw.

"Paman...!" Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah itu membuka mulut, akan tetapi suaranya tadi hanya merupakan bisikan sebab lengannya keburu disentuh oleh suaminya yang masih tersenyum-senyum saja.

"Tenang, Si-moi dan mari kita lihat perkembangannya," bisiknya kembali.

Sementara itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah sekali. "Cia Bun How, benarkah tadi engkau menantang kami berdua untuk maju bersama melawanmu? Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!" kata Phang Tek yang marah bukan main, akan tetapi mengingat akan nama besar Lam-hai Sam-lo, dia merasa tidak enak hati dan malu apa bila harus menghadapi orang muda ini dengan pengeroyokan mereka berdua.

"Lam-hai Sam-lo, mengapa banyak cerewet? Jangankan kini tinggal kalian berdua, meski masih lengkap tiga orang pun aku tidak akan gentar melawan kalian. Majulah!" Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka ini, kini sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua kaki terpentang lebar, tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang matanya mencorong laksana mata seekor naga, tanda bahwa ketika itu tenaga sinkang-nya telah naik dari pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap untuk dipergunakan dalam setiap gerakan.

Dua orang kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw, juga mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini masih terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri? Maka Phang Tek lalu menghadap ke arah pangeran dan berkata,

"Harap paduka maafkan kami berdua yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam keadaan seperti ini."

Ceng Han Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap nampak berseri, lantas berkata tenang, "Seorang yang sakti dan gagah perkasa seperti Cia-taihiap sudah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak memperlihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan menguji kepandaian, kenapa kalian berdua masih ragu-ragu lagi?"

Diam-diam Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang masih begitu muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai demikian jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!

Mulailah dia mengerti mengapa keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk terhadap pangeran itu. Kiranya pangeran itu, biar pun masih muda, selain memiliki wajah yang amat tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang mengagumkan dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi pula!

Dan wajah pucat dari Ciauw Si agak berseri ketika dia mendengar ucapan suaminya itu. Diam-diam dia melirik ke arah ibunya dan dapat melihat ibunya itu berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong. Tentu saja dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami ibunya itu.

Sedangkan bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya dengan penuh perhatian karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang menghadapi lawan yang amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak maju bersama mengeroyok suaminya.

Sementara itu, dua orang kakek itu menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang telah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang akan menjadi calon lawan majikan mereka.

"Kalau begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap." Sesudah mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak berani menyebut lainnya. "Kami akan maju bersama menghadapimu."

"Tak perlu banyak cakap, maju dan mulailah!" jawab Bun Houw tak sabar lagi.

Dua orang kakek itu cepat memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun Houw dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali tak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka.

Akhirnya kedua orang kakek itu mengambil sudut yang dianggap paling menguntungkan, yaitu di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan Phang Sun di sebelah kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar mata, keduanya mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!

"Wuuut... wuuuttt... plak-plak plak-plak!"

Dengan gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri itu, dengan menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga dia sudah berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang kakek itu agak terhuyung!

Kembali Bun Houw berdiri tegak ada pun kedua orang lawannya kini berada di depan dan belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak sebab pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa tergetar hebat.

Hal itu tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sudah dilatih sampai pada puncaknya! Dan kini, meski pun Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak menjadi gentar, bahkan sama sekali tak menggerakkan kepalanya sebab ketajaman pendengarannya bisa menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-olah dia dapat melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi kekuatannya pada mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti segala gerak-gerik dua orang lawannya.

Kembali dua orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka demikian dahsyatnya, semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong Phang Tek itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih cepat dibandingkan gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek!

Bagaikan seekor singa Phang Tek menyerang dengan dua tangan dibentuk seperti cakar dan kedua lengannya itu bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sebenarnya orang pertama dari Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga Liong-jiauw-kun dan Liong-jiauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya, meski pun gerakannya tidak seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek Kim-liong-ong Phang Sun itu memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga setiap pukulannya mendatangkan angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan bunyi bercuitan!

Tingkat kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang Tek lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa benar oleh Bun Houw maka dia pun tidak berani memandang rendah sehingga untuk menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan Thai-kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya.

Ilmu silat ini memang merupakan ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan mempunyai daya tahan yang sangat kuat sehingga dengan ilmu ini dia seakan-akan dapat menahan serangan seribu orang lawan! Apa lagi pada waktu itu tingkat kepandaian Bun Houw sedang berada pada puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya dan dia amat terlatih.

Maka, dengan langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke sana-sini atau menambahnya dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh itu.

Pertandingan itu sudah lewat lima puluh jurus, namun kedua orang pengeroyok itu sama sekali belum pernah mampu menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak karena kagum. Yap Kun Liong memandang dengan sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang dengan alis berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian tingginya sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan tingkat tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah.

Sedangkan Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik ketiga orang yang bertanding itu dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu bahwa suaminya tak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan andai kata suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi tentu suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau setidaknya seorang di antara mereka.

Lie Ciauw Si yang biar pun amat lihai tapi juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang dengan bingung. Dia tidak tahu harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah pamannya yang bertindak atas nama Cin-ling-pai, sedangkan kedua orang pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu suaminya yang menggantikan dia. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan apa bila dia yang masih menjadi penguji dan harus berhadapan dengan pamannya yang sakti itu!

Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah berseri dan beberapa kali dia mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap gerak-gerik Cia Bun Houw yang memang merupakan seorang pendekar yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa dua orang pembantunya itu tidak akan dapat menang.

Karena itu mulailah dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Mengapa adik angkatnya itu tidak kembali ke situ? Kalau saja ada Sin Liong, sebelum dia sendiri harus berhadapan dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk paman isterinya itu, dia akan menyuruh Sin Liong mewakilinya untuk menguji pendekar dari Cin-ling-pai itu!

Meski pun dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera kandung dari pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum ada hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar ini dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu.

Seandainya di antara ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, maka dia dapat pula mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang tak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang pembantu yang boleh diharapkan. Oleh karena itu, maka melihat dua orang pembantunya itu agaknya terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat kepada Sin Liong dan mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu.

Ke manakah perginya Sin Liong? Apa yang terjadi dengan dia? Mari kita mengikuti Sin Liong yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu.

Sesudah Sin Liong mendengar bisikan pangeran yang hendak memaksa membantunya dan bahwa Bi Cu berada dalam pengawasan serta kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, maka tahulah Sin Liong bahwa kakak angkatnya itu kembali berbuat curang. Tahulah dia bahwa Bi Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa dia harus membantu pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu Pangeran itu agar berhasil menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi bengcu untuk menghimpun tenaga

Hek-hiat Mo-li mengeluarkan gerengan laksana seekor binatang marah dan dia langsung menubruk dari samping, menghantamkan tongkat bututnya ke arah belakang kepala Sin Liong sambil tangan kirinya mencengkeram ke arah dada.

Sin Liong yang pada waktu itu sedang tertegun karena melihat betapa dia telah berhasil membunuh wanita yang menjadi musuh besarnya, yang telah membunuh ibu kandungnya itu, segera berbalik ketika merasa ada sambaran angin serangan dahsyat itu. Dari angin pukulan itu tahulah Sin Liong bahwa nenek ini sudah marah sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaganya, agaknya hendak mengadu nyawa dengan dia karena marah melihat muridnya yang terkasih itu tewas.

"Hemm, engkau pun harus mampus untuk pergi menghadap arwah kongkong!" bentaknya dan dia pun cepat menangkis dan balas menyerang.

Karena sekali ini Sin Liong tidak mau memberi hati lagi, begitu balas menyerang dia pun telah memilih jurus-jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang merupakan ilmu simpanan dan yang belum dikenal oleh orang lain sehingga betapa pun nenek itu hendak mengelak dan menangkis, tetap saja pukulan aneh itu mengenai dadanya.

"Desss...!"

Tubuh nenek itu terlempar lagi ke belakang dan menghantam dinding, gudang itu seperti tergetar saking kerasnya tubuh nenek itu menumbuk dinding. Akan tetapi, sungguh pun pukulan tadi hebat sekali, namun Hek-hiat Mo-li tetap merangkak bangun maju lagi dan memekik-mekik seperti orang gila sambil menyerang dengan tongkatnya, agaknya sedikit pun tidak merasakan pukulan dahsyat itu!

Sin Liong merasa terkejut bukan kepalang. Pukulannya tadi hebat sekali, dan dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang pada tangannya. Namun ternyata nenek tua itu mempunyai kekebalan yang luar biasa sekali, agaknya kekebalan yang sudah melindungi seluruh tubuh bagian dalam sehingga pukulan yang demikian ampuhnya pun tidak dapat melukai luar mau pun dalam!

Ketika tadi Sin Liong merobohkan Kim Hong Liu-nio sesudah melakukan serangan hebat yang langsung membuat guru dan murid itu terdesak hebat, pendekar wanita Yap In Hong memandang dengan mata terbelalak! Dia merasa heran, terkejut, dan kagum bukan main.

Dia sudah mengenal betul siapa adanya Hek-hiat Mo-li dan betapa lihainya nenek iblis itu, dan dia pun tahu bahwa murid nenek itu pun lihai bukan main. Akan tetapi, dikeroyok dua oleh guru dan murid itu, Sin Liong sama sekali tidak kelihatan repot, bahkan dalam waktu singkat saja sudah berhasil menewaskan Kim Hong Liu-nio secara demikian luar biasa, menggunakan hio-hio (dupa biting) yang bernyala yang merupakan senjata rahasia dari lawan itu.

Kini tubuh Kim Hong Liu-nio terlentang tak bernyawa lagi, akan tetapi dua batang hio yang menancap pada dada dan dahi itu masih mengeluarkan asap harum! Dan melihat betapa dalam gebrakan selanjutnya Hek-hiat Mo-li sudah kena dihantam sedemikian kerasnya, benar-benar membuat Yap In Hong kagum bukan main!

Dia sendiri pernah melawan nenek ini dan biar pun akhirnya dia berhasil menang, namun harus melalui pertandingan yang amat lama, amat melelahkan dan amat berbahaya. Dan kini, dalam perkelahian yang belum lama, Sin Liong telah mampu membuat tubuh nenek itu terlempar dua kali!

Akan tetapi, melihat wajah pemuda itu terkejut, dia lantas mengerti sebabnya. Dia sudah mengenal kekebalan nenek itu yang dahulu pernah membuat dia repot dan bingung juga, maka dia pun lalu cepat berkata, "Sin Liong, kau hantam kedua telapak kakinya!"

Mendengar ini, mengertilah Sin Liong bahwa nenek itu memiliki kelemahan pada telapak kakinya. Dan memang benarlah demikian. Di dalam cerita Dewi Maut, pendekar wanita Yap In Hong pernah bertanding mati-matian dengan nenek ini dan seandainya dia tidak dapat menemukan rahasia kelemahan nenek ini, yaitu pada kedua kakinya, belum tentu dia dapat keluar sebagai pemenang. Kini dia membuka rahasia kelemahan itu kepada Sin Liong.

MENDENGAR ini, girang hati Sin Liong. Tadi dia sudah kaget sekali menyaksikan kehebatan ilmu kekebalan nenek ini dan walau pun hal itu tidak membuat dia merasa gentar, akan tetapi setidaknya membuat dia menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana caranya dia akan bisa mengalahkan orang yang tubuhnya kebal seperti itu. Kini, mendengar petunjuk dari Yap In Hong, dia girang sekali dan cepat dia menghantamkan kedua tangannya ke arah kedua kaki nenek itu dengan pengerahan tenaga sinkang-nya.

Akan tetapi, betapa terkejutnya hati Yap In Hong dan juga Sin Liong sendiri ketika nenek itu hanya mengelakkan sebelah kaki saja, lantas sambil terkekeh-kekeh dia menyambut hantaman Sin Liong dengan kaki lainnya! Justru dengan telapak kakinya yang dianggap tempat lemah itu.

"Dukkk!"

Kembali tubuh nenek itu terlempar ke belakang, akan tetapi Sin Liong terkejut bukan main karena tangannya bertemu dengan benda yang amat keras, yang agaknya tersembunyi di dalam sepatu yang tebal itu. Ternyata nenek itu sudah melindungi bagian tubuhnya yang lemah itu, yaitu dua telapak kakinya, dengan logam, mungkin baja murni yang amat kuat dan tebal dan melindungi kedua telapak kaki itu dengan disembunyikan di dalam sepatu. Pantas saja sepatu nenek itu amat tebal!

"He-he-he, Yap In Hong, kau kira masih akan dapat mengalahkan aku dengan memukul telapak kakiku? Heh-heh!" Nenek itu tertawa girang sekali dan dia sudah menerjang lagi ke arah Sin Liong dengan lebih dahsyat!


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Sin Liong menjadi marah. Dia menyambut terjangan nenek itu dengan kedua tangannya, tangan kirinya menangkis tongkat dan terus menangkap tongkat itu, sedang tangan kanan menangkis pukulan tangan kiri lawan dan terus dia mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga tongkat dan tangan nenek itu tersedot dan melekat.


"Heh-heh, siapa takut Thi-khi I-beng?" Nenek itu berseru sambil menggerakkan tubuhnya meliuk seperti ular, dan tiba-tiba saja tongkat serta tangannya dapat terlepas dari sedotan karena nenek itu segera menarik kembali sinkang-nya, kemudian secepat kilat nenek itu telah menggerakkan tongkatnya dari jarak yang sedemikian dekatnya untuk menotok jalan darah maut di leher Sin Liong, di bawah telinga kiri!

"Tukk! Prakkk!"

Nenek itu terkejut bukan main. Totokannya tadi tepat sekali mengenai sasaran. Biasanya, totokan seperti itu tidak mungkin dapat dilindungi oleh kekebalan, maka dia sudah girang sekali karena mengira bahwa totokannya tentu akan merobohkan pemuda itu.

Dia tidak tahu bahwa dengan latihannya menurut isi kitab-kitab Bu Beng Hud-couw yang aneh, pemuda itu telah dapat membalikkan jalan darahnya sehingga ketika ujung tongkat itu mengenai jalan darah, yang ditotoknya hanyalah urat yang pada saat itu berhenti tidak mengalirkan darah karena darahnya berpindah mengalir melalui tempat lain! Dan ketika itu pula, dengan tangannya Sin Liong menampar ke arah tongkat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tongkat itu patah-patah.

Kini Sin Liong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, memainkan San-in Kun-hoat dengan kedua tangannya, gerakannya lembut seperti awan gunung, akan tetapi ilmu silat yang dipelajarinya dari ketua Cin-ling-pai ini hebat sekali sehingga biar pun amat lembut, jari-jemari tangannya mengancam ke arah mata nenek itu, bagian yang tentu saja tidak mungkin dilindungi oleh kekebalannya yang amat kuat itu.

"Ihhh...!" Nenek itu mengelak dan menggunakan dua tangan untuk melindungi mukanya.

Memang inilah yang dikehendaki oleh Sin Liong. Begitu kedua lengan nenek itu bergerak melindungi matanya, gerakan sekilat ini sedikit banyak mengurangi kewaspadaan nenek itu karena matanya terhalang lengan dan nenek itu terlalu mengandalkan kekebalannya sehingga tidak melindungi tubuh lain.

Kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong untuk melakukan gerakan cepat mencengkeram dengan kedua tangannya, menangkap leher serta baju pada bagian dada nenek itu, dan sebelum Hek-hiat Mo-li tahu apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, mendadak Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan sekuat tenaga dia melemparkan tubuh nenek itu ke arah api yang sedang berkobar!

"Hiaaattt...!" Bentakan ini disusul lemparan kedua tangan dan tubuh nenek itu melayang cepat ke arah api!

"Brakkk!"

Pilar kayu di mana tadi Bi Cu dibelenggu dan yang kini sudah berkobar-kobar itu segera patah-patah tertimpa tubuh Hek-hiat Mo-li, disusul oleh pekik dahsyat nenek itu karena pakaiannya terjilat api dan mulailah dia terbakar oleh api yang mulai bernyala di pakaian dan rambutnya! Nenek itu meloncat ke sana-sini, akhirnya bergulingan dan menjerit-jerit. Namun api makin membesar hingga akhirnya dia berkelojotan dan Sin Liong membuang muka. Sesudah nenek itu tidak bersuara lagi, Sin Liong cepat menghampiri Bi Cu.

"Sin Liong...!" Kebetulan Bi Cu siuman dan mereka saling tubruk dan saling berangkulan, dipandang oleh Yap In Hong yang menahan senyumnya.

Sin Liong lalu menggandeng tangan kekasihnya, diajaknya berlutut di hadapan pendekar wanita itu. "Yap-lihiap sudah menyelamatkan nyawa Bi Cu, kami berdua berterima kasih sekali dan kami tidak akan melupakan budi kebaikan lihiap," kata Sin Liong dengan suara terharu.

Yap In Hong tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda yang sedang berlutut di hadapannya itu. Baru kini dia tahu bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali, dan mulailah dia mengerti mengapa pemuda ini dahulu mencegah dia dan suaminya ketika hendak membunuh Kim Hong Liu-nio. Ternyata pemuda ini hendak membunuh sendiri wanita jahat itu, dan tentu ada alasannya yang amat kuat.

"Sudahlah, Sin Liong, di dalam keadaan seperti ini, tidak perlu sungkan-sungkan. Engkau terus teranglah sekarang, apakah engkau benar-benar hendak membantu pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw?"

Sin Liong mengangkat muka memandang, dan wanita perkasa itu terkejut menyaksikan sinar mata yang mencorong seperti mata naga itu!

"Tidak, lihiap. Bahkan aku akan membantu untuk menghancurkan usahanya yang busuk itu!"

"Bagus, kalau begitu lekas kita keluar. Tempat ini mulai terbakar dan aku tidak tahu bagai mana jadinya dengan pertandingan di luar." Yap In Hong lalu cepat meloncat keluar.

Sin Liong yang menggandeng tangan Bi Cu bangkit bersama dara itu dan mereka saling pandang. Ketika Bi Cu melihat tubuh Kim Hong Liu-nio sudah menjadi mayat dan hio-hio itu masih mengepulkan asap harum, sedangkan tubuh nenek itu menjadi semakin hitam karena terbakar, dia pun mengeluh dan merangkul Sin Liong, menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya. Teringatlah dia betapa kalau dia tidak tertolong, tentu dia akan mati secara mengerikan seperti nenek itu pula.

"Semuanya telah berlalu... tenanglah," Sin Liong berkata sambil mendekap dan mengelus rambut kekasihnya, lalu mengajaknya keluar dari tempat itu, menuju ke luar, ke tempat pertemuan dengan jalan memutar, tidak lewat dalam istana, melainkan lewat taman bunga di samping istana.

Mereka melihat betapa Yap In Hong sudah berjalan cepat menuju ke ruangan depan itu. Mereka lalu ikut melangkah perlahan-lahan menuju keluar di mana agaknya masih terjadi keributan-keributan.

Kiranya pertandingan antara Cia Bun Houw yang dikeroyok dua oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun berjalan amat seru dan mati-matian. Pada saat Yap In Hong tadi meninggalkan suaminya untuk melakukan penyelidikan ke belakang istana, dia melihat bahwa suaminya sudah mendesak dua orang lawan itu, maka setelah berunding dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, dia meninggalkan tempat itu, menyelinap ke belakang tanpa diketahui orang lain dan di gudang itu dia sempat menyaksikan Sin Liong menewaskan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Bahkan dia sempat menyelamatkan Bi Cu yang terancam maut.

Karena ternyata di belakang istana itu tidak terdapat gerakan apa-apa, dan karena girang bahwa Sin Liong ternyata berpihak kepada Cin-ling-pai dan menentang pangeran, maka wanita perkasa itu lalu cepat kembali ke situ. Akan tetapi ternyata, sungguh pun dia tidak menggunakan waktu yang terlalu lama meninggalkan tempat itu, setelah kini dia kembali, pertandingan itu sudah berubah menjadi lebih menegangkan dan mati-matian karena dua orang yang mengeroyok suaminya itu sesudah terdesak hebat lalu mengeluarkan senjata masing-masing.

Phang Tek sudah mempergunakan senjata tongkatnya yang hanya sepanjang sebatang pedang, kemudian memainkan tongkat itu seperti sebatang pedang dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw-kiam yang ganas. Juga adiknya, Phang Sun, telah mempergunakan sebatang pisau belati yang berwarna hitam dan mengetuarkan bau amis. Memang belati di tangan Kim-liong-ong Phang Sun ini mengandung racun yang amat jahat, sekali gores pada kulit saja sudah cukup untuk mengirim lawan ke lubang kubur!

Akan tetapi ketika melihat dua orang lawannya yang telah terdesak itu kini menggunakan senjata, Bun Houw tidak berkata apa-apa. Dia maklum bahwa memang dua orang lawan itu bukan sekadar menguji kepandaiannya, melainkan jika mungkin akan membunuhnya, maka dia pun lalu mencabut sebatang pedang.

Semua orang menjadi silau melihat sekilat sinar emas yang kemudian bergulung-gulung. Kiranya itu adalah Hong-cu-kiam, sebatang pedang tipis yang bisa digulung atau dipakai sebagai sabuk, pedang yang pernah menggemparkan kolong langit di tangan pendekar ini.

Dengan pedang di tangan, pendekar ini tentu saja seperti seekor harimau tumbuh sayap. Dua orang kakek dari selatan itu kecele, karena begitu mereka bermain senjata, melawan pedang pemuda itu sungguh merupakan hal yang amat berbahaya.

Belum lagi lima puluh jurus mereka bertanding, Hai-liong-ong Phang Tek telah kehilangan tongkatnya yang patah menjadi dua dan kulit lengan kiri Kim-liong-ong Phang Sun terobek sehingga mengeluarkan darah. Keduanya terkurung hebat oleh gulungan cahaya pedang dan kalau Bun Houw hendak menurunkan tangan kejam, tentu mereka dalam saat-saat berikutnya akan roboh!

Pada saat itu, Pangeran Ceng Han Houw bangkit dan melangkah maju sambil berseru, "Tahan senjata...!"

Mendengar ini, sebagai seorang tamu yang tahu aturan, Bun Houw menahan pedangnya dan lenyaplah sinar gemilang dari pedang itu. Kini pendekar itu berdiri tegak menghadapi pangeran, pedangnya sudah masuk kembali ke sekeliling pinggangnya, dililitkan laksana sebatang sabuk! Hanya sedikit peluh di leher pendekar itu yang menunjukkan bahwa dia sudah mengeluarkan banyak tenaga menghadapi dua orang lawan tangguh tadi, ada pun dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo itu berdiri di pinggiran sambil terengah-engah dan seluruh muka, leher dan baju mereka basah oleh keringat!

Pangeran Ceng Han Houw sudah melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat dan ramah kepada Cia Bun Houw. "Paman Cia Bun Houw sungguh gagah perkasa dan amat mengagumkan..."

"Maaf, pangeran, selamanya saya tidak pernah merasa mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran. Bicaralah yang benar!" Cia Bun Houw memotong dengan suara ketus penuh teguran. Tentu saja ucapan ini merupakan tamparan hebat, tetapi Ceng Han Houw masih tersenyum dengan ramahnya.

"Mungkin saja seorang enghiong gagah perkasa seperti Cia-tahiap tak mau menganggap saya sebagai keponakan, akan tetapi adalah merupakan kenyataan bahwa isteri saya, Lie Ciauw Si, ialah keponakanmu. Taihiap telah menundukkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo, dengan demikian berarti sudah memenuhi syarat secukupnya untuk menjadi jago nomor satu di dunia, kecuali bila ada yang akan menandingi taihiap. Dengan kepandaian taihiap yang tinggi, maka kami mengharapkan agar taihiap akan sudi membantu agar kita semua dapat bangkit dan menentang kelaliman kaisar..."

"Cukup, pangeran! Aku bukan seorang pemberontak!"

"Justru itulah, Cia-taihiap. Taihiap beserta semua anggota keluarga Cin-ling-pai bukanlah pemberontak dan tidak pernah memberontak, akan tetapi apa yang telah terjadi? Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa semuanya sudah dituduh pemberontak oleh kaisar yang tidak mengenal budi, bahkan telah menjadi orang-orang buruan pemerintah. Bukankah hal itu membikin orang menjadi penasaran?"

"Kami sekarang sudah dibebaskan, dan aku tidak mau bicara tentang itu!" Cia Bun Houw berkata dengan ketus.

Pada saat itu pula Lie Ciauw Si sudah bangkit kemudian berkata, "Paman Cia Bun Houw, hendaknya paman mengetahui bahwa yang sudah membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan pemberontak adalah Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi suamiku inilah! Dia bermaksud baik, dia hendak menghimpun kekuatan orang-orang gagah, kaum patriot untuk menentang penindasan..."

"Lie Ciauw Si!" Tiba-tiba terdengar suara Cia Giok Keng yang nyaring, membuat semua orang menengok ke belakang, "Aku malu sekali melihat kau menjadi kaki tangan gerakan pemberontak! Aku malu mendengar kata-katamu yang membelanya! Aku malu melihat engkau merendahkan diri menjadi isterinya!"

Seketika wajah Ciauw Si menjadi pucat dan dia memandang ke arah ibunya yang sudah bangkit berdiri dari kursinya itu dengan sinar mata sedih. "Ibu... dia... dia seorang suami yang baik..."

Cia Giok Keng yang marah sekali itu hendak bangkit meninggalkan tempat duduknya dan menghampiri ke tengah ruangan, akan tetapi lengan tangannya dipegang oleh Yap Kun Liong lantas suaminya ini membujuknya sehingga akhirnya dia duduk kembali, menutupi mukanya dan menangis!

Sementara itu, Cia Bun Houw berkata kepada Pangeran Ceng Han Houw, "Pangeran kita bicara seperti laki-laki ataukah engkau hendak menggunakan wanita untuk membelamu?"

Han Houw tersenyum, memegang tangan Ciauw Si dan membujuknya lalu menuntunnya sehingga akhirnya Ciauw Si kembali duduk di atas kursinya dan menundukkan mukanya, menyembunyikan air matanya yang menetes keluar. Kemudian pangeran itu kembali maju menghampiri Bun Houw sehingga mereka berdiri berhadapan dan saling memandang.

Pangeran itu tahu bahwa bujukannya yang dibantu isterinya tidak akan berhasil, maka kini dia ingin mengambil jalan lain yang akan menguntungkan dia, yaitu hendak merobohkan orang-orang Cin-ling-pai di depan semua orang kang-ouw agar mereka semua tahu bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Kemenangannya atas semua pendekar-pendekar Cin-ling-pai tentu akan membuat para tokoh kang-ouw lainnya menjadi tunduk sehingga pengaruhnya tentu akan menjadi lebih besar sehingga mudah baginya untuk menguasai mereka.

Sesudah kedua orang ini saling pandang dengan sinar mata tajam, akhirnya Han Houw berkata, suaranya lantang karena dimaksudkan agar semua orang dapat mendengarnya, "Cia-taihiap, kami telah bermaksud baik dan mengingat akan pertalian kekeluargaan, akan tetapi taihiap menolaknya. Sekarang, pendekar sakti Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah maju ke sini dan mengalahkan dua orang yang menjadi penguji. Taihiap adalah seorang calon jagoan nomor satu di dunia."

"Aku tidak ingin menjadi jagoan, hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian orang yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia, tidak peduli siapa adanya dia itu!"

Ceng Han Houw tersenyum, kemudian dia memandang ke sekeliling. "Cu-wi tentu sudah mendengarnya. Pendekar Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang amat lihai pada waktu ini, dan aku mendengar kabar bahwa ilmu kepandaiannya bahkan telah melampaui tingkat mendiang ayahnya, yaitu ketua sekaligus pendiri dari Cin-ling-pai! Oleh karena itu, kemunculannya ini dapat diartikan mewakili seluruh Cin-ling-pai dan dia sudah lulus ujian dan mengalahkan kedua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo. Oleh karena itu, kalau ada di antara para locianpwe dan enghiong yang merasa pantas untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia, harap suka maju untuk menghadapi Cia-taihiap!"

Memang pangeran ini cerdik sekali. Dia ingin mengadukan semua orang gagah di sana, dan nanti pemenang terakhir barulah akan dihadapinya. Dengan cara ini di samping tidak terlampau melelahkan baginya, juga dia dapat sekali pukul merobohkan orang terpandai dan otomatis menjadi jagoan nomor satu di dunia!

Secara diam-diam Bun Houw juga mendongkol sekali mendengar ini, akan tetapi karena pangeran itu adalah tuan rumah, maka tentu saja dia berhak untuk bicara kepada semua tamunya bahkan berhak pula untuk mengeluarkan peraturan. Maka dia pun diam saja. Dia yakin bahwa di antara para orang gagah dari golongan bersih tidak akan ada seorang pun yang sudi untuk memperebutkan julukan yang sombong itu dan tidak akan ada yang mau menentangnya sebab mereka semua melihat bahwa dia maju untuk menentang pangeran pemberontak itu.

Maka, dia hanya ingin tahu tokoh golongan hitam yang mana yang akan maju. Dia akan menghadapi mereka semua, karena memang tugasnya bersama keluarga Cin-ling-pai ini hendak membantu Pangeran Hung Chih untuk menumpas persekutuan hitam yang akan memberontak terhadap pemerintah di bawah pimpinan pangeran muda ini.

Akan tetapi, ternyata dari golongan hitam pun tak ada yang berani maju! Setelah mereka semua tadi menyaksikan betapa Bun Houw mampu merobohkan dua orang dari Lam-hai Sam-lo, para tokoh hitam menjadi gentar sekali dan tidak ada seorang pun yang berani lancang maju menghadapi pendekar Cin-ling-pai yang selain kelihaiannya sudah terkenal sekali itu, bahkan sudah mereka saksikan sendiri betapa hebat sepak terjangnya ketika mengalahkan Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong tadi.

Maka mereka ingin sekali melihat sang pangeran itu sendiri yang menghadapi pendekar Cia Bun Houw. Mereka tahu bahwa pangeran muda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah mengalahkan banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan, bahkan sudah berani pula menantang tokoh-tokoh Siaw-lim-pai! Karena itu, menurut pendapat mereka, hanya pangeran itulah yang patut untuk menghadapi pendekar Cin-ling-pai itu.

"Pangeran saja yang maju!" tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara mereka.

Seruan ini seperti menyinggung semua perasaan para tamu golongan hitam maka tempat itu lalu menjadi bising dan semua orang menyatakan agar pangeran yang mau menandingi pendekar Cin-ling-pal itu! Selain mereka menganggap bahwa pangeran muda ini lawannya, juga mereka semua ingin menyaksikan pertandingan yang tentu akan berlangsung amat hebatnya itu.

Diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa kecewa. Mengapa tidak ada lagi jagoan yang berani maju? Apakah orang-orang yang akan dihimpunnya dan dijadikan pembantu-pembantunya itu hanya terdiri dari orang-orang yang begitu penakut?

Melihat ini, Hai-liong-ong Phang Tek lalu berkata, "Harap paduka pangeran sendiri yang maju menghadapi Cia-taihiap karena agaknya tidak ada lagi yang sanggup."

Memang kakek ini pun ingin melihat sang pangeran merobohkan pendekar yang sudah membikin dia dan adiknya kewalahan sehingga mendapatkan malu itu, dan dia yang telah tahu akan kelihaian pangeran ini, merasa yakin bahwa pangeran muda itu akan sanggup merobohkan lawan tangguh ini.

Ceng Han Houw tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas sehingga suara bising itu pun berhenti. Kemudian terdengar suaranya lantang dan halus, "Pendekar Cia Bun Houw adalah paman dari isteriku, maka bagaimana pun juga kami masih terhitung keluarga dekat dan tentu saja tidak sepatutnya kalau aku sebagai mantu keponakan maju melawannya. Tetapi, seperti kita semua ketahui, dalam ilmu silat tidak boleh memandang hubungan apa pun, dan untuk menentukan siapa yang lebih lihai tiada jalan lain kecuali mengadu kepandaian silat. Dan sudah jelas bahwa Cia-taihiap merupakan calon tunggal, maka biarlah saya akan melayaninya untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul. Tentu saja saya mengharapkan kelonggaran hati Cia-taihiap dengan memandang muka isteriku!" Kalimat terakhir ini ditujukan kepada Cia Bun Houw.

Bun Houw memandang tajam, kemudian berkata, "Kalau engkau berhasrat untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, nah, majulah pangeran. Aku ingin mengukur sampai di mana kelihaian jagoan nomor satu di dunia!"

Dua orang itu telah saling berhadapan dan siap untuk saling serang. Semua mata tertuju ke arah mereka dan semua hati merasa tegang karena mereka semua maklum bahwa sekali ini tentu akan terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat. Bahkan Yap In Hong yang baru saja datang dan duduk di kursinya kini memandang dengan jantung berdebar tegang, lalu berbisik-bisik dengan kakaknya, Yap Kun Liong untuk mengatur siasat yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Bagaimana pun juga, Yap In Hong tidak pernah menganggap pertandingan itu sebagai pibu, karena itu dia pun siap membantu suaminya andai kata suaminya terancam bahaya.

Juga Sin Liong yang sudah tiba di luar ruangan itu bersama Bi Cu, menyelinap di antara penonton, pada bagian paling belakang sehingga tidak nampak jelas dari dalam, sambil memegang tangan Bi Cu mereka berdua menonton dengan hati tegang pula. Tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda dan dara yang baru datang ini, karena semua orang mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang pria yang saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago dalam medan laga.

Pangeran yang mengenakan pakaian indah, dengan mantel berikut topi bulu itu nampak gagah dan tampan sekali, bulu burung yang menghias topinya berwarna merah biru dan kuning emas. Senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya dan dia sedikit pun tidak memperlihatkan wajah gentar, berseri-seri dan sikapnya menunjukkan bahwa dia percaya penuh akan keunggulannya.

Pendekar Cia Bun Houw yang berdiri di hadapannya merupakan seorang laki-laki gagah yang berpakaian dan bersikap sederhana dan kereng, sepasang matanya tajam penuh wibawa dan dia menanti serangan lawan dengan tenang.

"Pangeran...!"

Ketegangan itu melunak dan Pangeran Ceng Han Houw menoleh, memandang kepada isterinya yang tadi memanggilnya dengan suara halus dan menggetar. Dilihatnya wanita cantik itu memandang kepadanya dan sepasang mata yang indah itu agak kemerahan dan basah.

"Pangeran, ingatlah bahwa dia adalah pamanku..." kata Ciauw Si.

Hati wanita ini merasa bingung dan tegang bukan main. Dia tahu benar betapa lihainya suaminya. Dia sudah menguji sendiri kehebatan suaminya itu dan dia bahkan mempunyai keyakinan bahwa pamannya itu sekali pun tidak akan dapat mengalahkan Pangeran Ceng Han Houw, maka kekhawatirannya tertuju kepada pamannya sehingga dia merasa perlu untuk mengingatkan suaminya yang berarti minta suaminya supaya jangan menurunkan tangan keras terhadap adik ibunya itu.

Ceng Han Houw tersenyum bangga. Perkataan isterinya itu, walau pun hanya diucapkan perlahan, namun karena suasana sedang tegang dan sangat sunyi, ucapan itu terdengar oleh semua orang dan ucapan isterinya itu saja sudah mengangkatnya tinggi-tinggi di atas pendekar sakti yang akan menjadi lawannya. Isterinya minta agar dia mau berlaku murah kepada pendekar itu, berarti bahwa isterinya menyatakan kepada semua orang bahwa dia lebih unggul dari pada pendekar Cin-ling-pai itu!

"Jangan khawatir isteriku, ini hanya sebuah pibu, bukan perkelahian, tentu saja aku tidak akan berani kurang ajar apa lagi menyakiti paman sendiri!" jawab Ceng Han Houw sambil tersenyum lebar.

Bukan main panasnya rasa hati Bun Houw mendengar ucapan pangeran itu. Dia merasa direndahkan, dipandang ringan sekali di hadapan para tokoh kang-ouw. "Pangeran, luka atau mati sudah jamak terjadi dalam pibu. Nah, kau sambutlah ini!"

Karena tidak ingin membiarkan pangeran itu bisa berlagak lebih lanjut, Bun Houw sudah mengirim serangan dengan pukulan tangan kirinya yang ditamparkan ke arah leher lawan, tamparan yang terlihat sembarangan dan ringan saja akan tetapi sesungguhnya tamparan itu merupakan serangan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh.

"Harap Cia-taihiap jangan bersikap sungkan lagi," kata sang pangeran yang menghadapi serangan itu masih sempat bicara, sambil mengelak dengan amat mudahnya, seolah-olah dengan ucapannya itu dia menegur pendekar Cin-ling-pai itu bahwa serangannya terlalu lemah dan terlalu sungkan!

Tentu saja Cia Bun Houw dapat merasakan sindiran ini, sebab itu dia pun kemudian mulai menggerakkan tubuhnya dengan cepat, mengerahkan sinkang pada sepasang tangannya dan pendekar ini pun menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini bukan sekadar omong kosong atau sombong belaka, melainkan benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi, maka begitu bergerak, Bun Houw sudah menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang ampuh itu.

Kedua lengannya mengandung tenaga dari Ilmu Thian-te Sin-ciang yang sangat dahsyat dan kuat. Setiap gerakannya mendatangkan angin pukulan yang amat mantap sehingga setiap kali dielakkan lawan, jari-jari tangannya seolah-olah tergetar ketika pukulan ditahan, seperti ujung pedang saja!

Girang sekali rasa hati Han Houw. Inilah yang selalu dia nanti-nantikan, yaitu menandingi seorang pendekar yang telah mencapai puncak ketenarannya kemudian mengalahkannya! Kemenangan seperti ini akan jauh lebih menyenangkan dan nikmat dari pada melawan tokoh-tokoh biasa saja.

Dan kalau saja dia dapat mengalahkan pendekar dari Cin-ling-pai ini di depan penyaksian demikian banyaknya orang kang-ouw, sekali ini namanya tentu akan meningkat tinggi dan selain dia berhak menggunakan gelar Thian-te Te-it Tai-hiap (Pendekar Sakti Nomor Satu di Kolong Langit), juga dengan sendirinya dia akan menduduki kursi Bengcu (Pemimpin Rakyat) sehingga akan mudah menghimpun dan mengerahkan tenaga orang-orang dunia kang-ouw untuk niatnya menentang kaisar!

Dialah yang patut menjadi kaisar, bukan Kaisar Ceng Hwa yang sekarang ini, bukan pula Pangeran Hung Chih. Dialah yang paling tepat untuk menjadi kaisar! Dia merasa yakin akan dapat mengalahkan pendekar Cin-ling-pai ini, sungguh pun dia maklum bahwa untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Dua orang pria yang berilmu tinggi itu kini bertanding dengan serunya. Mata semua tamu ditujukan untuk mengikuti pertandingan itu, dengan pandang mata penuh ketegangan dan kekaguman dan hampir tak pernah ada yang berkedip, seolah-olah merasa sayang untuk melewatkan sedikit gerakan tanpa mereka ikuti dengan seksama.

Memang mereka berdua itu hebat sekali. Setiap pukulan mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang ampuh, dapat menghancurkan batu karang. Akan tetapi, setiap serangan dapat dihindarkan masing-masing dengan cara indah pula, jika tidak mengelak dengan gerakan cepat dan tepat, tentu ditangkisnya dan setiap kali kedua lengan mereka saling bertemu, semua orang dapat merasakan pertemuan dua tenaga dahsyat.

"Dukk! Dukk! Dukk!"

Suara keras dari bertemunya dua lengan itu seolah-olah menggetarkan sekeliling tempat itu, dan seolah-olah terasa oleh mereka yang menonton sehingga makin lama suasana menjadi makin menegangkan, apa lagi karena nampaknya kedua fihak sama kuatnya dan setiap kali mereka beradu tenaga, keduanya tergetar tapi dapat saling mempertahankan sehingga tidak sampai terhuyung.

Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan oleh kaki tangan Bun Houw adalah ilmu yang amat tinggi dan memiliki dasar yang amat kuat, apa lagi dimainkan oleh Bun Houw tanpa kesalahan sedikit pun dan didorong pula dengan tenaga sinkang dari Thian-te Sin-ciang, maka amatlah sukarnya menandingi gerakan Bun Houw seperti itu.

Walau pun masih muda, Ceng Han Houw maklum akan lihainya lawan, maka biar pun sikapnya seperti memandang ringan dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya, akan tetapi sebenarnya dia berhati-hati sekali. Dia menggerakkan tubuhnya dan bersilat dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menaklukkan Naga), yaitu satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw.

Akan tetapi, untuk menghadapi langkah-langkah dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang amat indah dan ampuh itu, dia pun harus mempergunakan langkah-langkah Pat-kwa-po yang juga amat rapi sehingga dia mampu menghindarkan diri dari setiap kurungan yang diciptakan oleh desakan serangan bertubi-tubi dari lawannya. Bahkan pangeran ini mampu pula untuk membalas sehingga mereka berdua bertanding dengan amat rapi dan serunya, masing-masing tidak mau mengalah.

Walau pun mereka berdua tidak memperlihatkan kemarahan atau mengeluarkan seruan-seruan yang mengejutkan, namun, dari gerakan mereka berdua, para tokoh kang-ouw yang menjadi penonton itu maklum bahwa kedua orang itu tak lagi melakukan pibu biasa sekedar untuk mengukur kepandaian masing-masing, melainkan berkelahi dengan sangat hebatnya, setiap serangan merupakan tangan maut yang haus darah, dan setiap jurus yang dipergunakan sudah diperhitungkan masak-masak sehingga merupakan jurus yang ampuh.

Diam-diam Yap In Hong dan Yap Kun Liong, dua orang pendekar yang sudah tinggi sekali tingkat kepandaiannya, tak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Cia Bun Houw, menjadi terkejut bukan main menyaksikan kelihaian pangeran itu. Beberapa kali pendekar sakti Yap Kun Liong memuji dalam hatinya melihat betapa pangeran itu dapat menghadapi desakan-desakan yang amat berbahaya dari adik iparnya itu.

Terlebih lagi ilmu langkah sakti Pat-kwa-po yang dimainkan oleh pangeran itu, sehingga langkah-langkah kakinya teratur rapi dan dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri terhadap setiap desakan, mengingatkan dia akan ilmunya sendiri, yaitu Pat-hong Sin-kun yang langkah-langkahnya juga berdasarkan rahasia Pat-kwa (Delapan Segi). Diam-diam dia harus mengakui bahwa menghadapi pangeran itu bukanlah hal yang ringan, dan dia sendiri pun tak berani memastikan bahwa dia akan menang kalau menghadapi pangeran muda yang telah menjadi suami dari anak tirinya itu.

Yap In Hong juga merasa khawatir, karena dia pun dapat merasakan bahwa menghadapi pangeran itu, dia sendiri tidak akan mampu menang, dan suaminya agaknya tentu harus menggunakan seluruh kepandaian dan waktu yang tidak singkat untuk dapat mengatasi pangeran yang biar pun masih muda namun sudah amat hebat itu. Teringatlah dia akan Sin Liong dan dia membandingkan pangeran ini dengan Sin Liong.

Diam-diam dia merasa heran dan kagum bagaimana orang-orang yang masih muda itu telah memiliki kepandaian sehebat itu. Mereka sudah saling serang selama seratus jurus dan belum ada seorang pun di antara mereka yang menang atau kalah, bahkan belum ada yang nampak terdesak. Diam-diam Yap In Hong mengerutkan alisnya.

Ilmu silat tangan kosong dari pangeran itu memang kuat bukan main. Kenapa suaminya tidak mengajaknya bertanding mempergunakan senjata saja? Mungkin kalau bersenjata, suaminya akan dapat lebih unggul, karena ilmu pedang suaminya amat hebat.

Dan memang demikian pula pendapat Bun Houw. Akan tetapi, lawannya hanya seorang pemuda, dan tuan rumah pula, dan dia seorang tokoh Cin-ling-pai, bagaimana mungkin dia sudi menggunakan senjata apa bila lawannya itu hanya bertangan kosong saja? Jika sebelum bertanding tangan kosong selesai lantas menantang mengadu senjata, maka hal itu sama artinya dengan merasa kewalahan dalam pertandingan tangan kosong itu!

Dia merasa serba salah dan diam-diam dia pun kagum bukan main karena mengertilah pendekar ini bahwa tingkat kepandaian pangeran muda itu sungguh-sungguh luar biasa, bahkan masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian mendiang Pek-hiat Mo-ko mau pun Hek-hiat Mo-li sendiri. Selama hidupnya, baru sekarang inilah Cia Bun Houw merasa bertemu tanding yang amat kuatnya.

"Hehhh!" Cia Bun Houw membentak dan dia mengirim tamparan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang sambil mengerahkan seluruh tenaga. Kedua tangannya menyambar dari kanan dan kiri, mengirim tamparan-tamparan yang sampai mengeluarkan suara bercuitan saking cepat dan kuatnya.

Melihat ini, Ceng Han Houw melangkah mundur dua tindak. Ketika lawannya mengejar dengan langkah ke depan sambil melanjutkan tamparan-tamparan itu, ia telah menangkis dengan membuang lengan dari dalam keluar, ke kanan kiri.

"Dukk! Dukk!"

Untuk ke sekian kalinya, tubuh keduanya tergetar hebat karena sekali ini masing-masing mengerahkan seluruh tenaga mereka hingga getaran itu terasa sekali sampai ke jantung mereka. Keduanya terkejut karena keadaan mereka sungguh sangat berbahaya. Kurang kuat sedikit saja tentu jantung mereka akan terguncang sehingga setidaknya mereka akan mengalami luka dalam yang hebat. Baiknya bagi mereka bahwa tingkat kekuatan sinkang mereka berimbang sehingga keduanya mengalami getaran seperti itu.

Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut bukan main. Sekarang dia baru percaya bahwa tokoh Cin-ling-pai ini memang hebat sekali. Pantas saja dahulu Pek-hiat Mo-ko, suami Hek-hiat Mo-li, sampai tewas di tangan pendekar ini. Mulailah dia merasa khawatir. Baru pendekar ini saja sudah begini lihainya, apa lagi kalau sampai keluarga Cin-ling-pai maju semuanya!

Padahal, menurut pendengarannya, isteri pendekar ini, yaitu Yap In Hong, memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan suaminya, dan bahwa Yap Kun Liong, ayah tiri dari Ciauw Si, juga memiliki ilmu yang malah lebih matang dan lebih banyak macam ragamnya dibandingkan dengan pendekar Cia Bun Houw ini.

Semua itu telah didengarnya dari penuturan isterinya. Dan dia harus dapat mengalahkan pendekar ini lebih dahulu sebelum menghadapi yang lain-lain, kalau memang mereka itu nanti akan maju pula.

Mendadak pangeran muda itu mengeluarkan teriakan lantang dan terkejutlah Bun Houw ketika melihat betapa lawannya itu mendadak berjungkir balik, dengan kepala di bawah menjadi kaki dan kedua kakinya di atas, lalu kaki serta tangan itu melakukan serangan-serangan dari atas dan bawah secara tangkas sekali dan yang lebih hebat dari pada itu, serangan-serangan dari kaki dan tangan itu mengandung tenaga yang lebih dahsyat dari pada tadi ketika pemuda bangsawan itu masih berdiri di atas kedua kakinya!

Memang itulah hebatnya ilmu simpanan dari Pangeran Ceng Han Houw. Ilmu inilah yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yang bernama Hok-mo Sin-kun dan memang dia telah melatih diri dengan semedhi atau siulian yang juga dilakukan dengan berjungkir balik sehingga dia memperoleh sinkang yang lebih kuat dari pada kalau dia berdiri di atas kedua kakinya!

Bun Houw cepat menangkis dan mengelak, dan kembali dia terkejut bukan main karena selain tangkisan itu membuat lengannya terpental ketika bertemu dengan kaki lawan, juga dari bawah kedua tangan lawannya mengirim pukulan-pukulan dahsyat yang berbahaya sekali sehingga dia terpaksa melompat dan berjungkir balik ke belakang!

Kesempatan itu dipergunakan oleh Ceng Han Houw untuk membentak nyaring sekali dan tubuhnya sudah melesat ke depan, tahu-tahu dia sudah membalikkan tubuhnya lagi dan dia mendesak Bun Houw yang masih belum hilang kagetnya. Kini dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, pangeran itu menusuk ke arah kedua mata lawan, ada pun kaki kanannya diangkat, menggunakan lutut untuk menghantam perut. Ketika Bun Houw yang terdesak itu mengelak ke belakang, tangan kiri pangeran itu menghantam ke arah muka.

"Hiaaattt...!" Pangeran itu mendesak dan bermaksud merobohkan Cia Bun Houw.

"Ehhh...!" Bun Houw cepat melempar tubuh ke belakang dan kembali dia berjungkir balik sampai berturut-turut tiga kali.

Gerakannya ini hebat sekali dan dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut. Para tokoh kang-ouw yang menonton pertandingan itu juga ikut merasa terkejut. Sungguh pun gerakan pendekar Cin-ling-pai itu sangat indah dan cepat, dan sudah membuat pendekar itu berhasil menghindarkan diri, tapi harus diakui bahwa tadi pendekar itu terdesak hebat dan nyaris celaka!

Ceng Han Houw merasa penasaran karena serangannya yang hampir berhasil tadi pada saat terakhir gagal. Sebelum dia dapat menggunakan ilmunya yang aneh lagi, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

"Ceng Han Houw, akulah lawanmu!"

Nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan pangeran itu telah berdiri seorang pemuda remaja yang bukan lain adalah Sin Liong! Semua orang sangat terkejut, baik dari golongan hitam mau pun golongan bersih memandang heran.

Bukankah Sin Liong ini adalah pemuda yang tadi diperkenalkan oleh pangeran itu sebagai adik angkatnya, bahkan diakui sebagai pembantu utamanya? Kenapa sekarang pemuda itu malah muncul dan menantang pangeran itu?

Peristiwa ini memang amat mengejutkan dan mengherankan. Bun Houw sendiri sampai terkejut dan terheran, sehingga dia pun hanya berdiri di pinggir dan tidak dapat berkata apa pun. Dia masih terkejut oleh serangan-serangan aneh dan hebat dari pangeran itu tadi, dan kini melihat munculnya Sin Liong secara tiba-tiba yang menantang pangeran itu, sungguh membuat dia termangu dan tidak mengerti harus berbuat atau berkata apa.

Semua tamu yang menjadi bengong memandang dengan hati semakin tegang. Lie Ciaw Si sampai bangkit dari tempat duduknya dan memandang khawatir, akan tetapi matanya bertemu dengan sinar mata ibunya sehingga kembali dia duduk serba salah. Yap In Hong tersenyum dan Yap Kun Liong juga tersenyum. Pendekar ini sudah mendengar penuturan singkat dari adiknya tentang sepak-terjang Sin Liong di belakang istana, dan diam-diam dia merasa kagum sekali.

Tadi ketika dia menyaksikan serangan pangeran itu yang aneh, dengan cara membalik tubuh, dia tidak merasa heran. Memang dia tahu bahwa di antara kaum sesat banyak terdapat ilmu-ilmu yang aneh dan sifatnya sesat pula, akan tetapi sebagian besar dari ilmu-ilmu hitam itu hanya kelihatannya saja menggiriskan, akan tetapi sesungguhnya tidak mengandung dasar yang kuat. Maka terkejutlah dia ketika ilmu yang dipergunakan oleh pangeran itu tadi telah membuat Bun Houw terdesak hebat dan nyaris kena dipukul. Maka legalah hatinya melihat adik iparnya itu mampu membebaskan diri.

Dia tadi melihat betapa adik kandungnya sudah bangkit dari tempat duduknya, siap untuk menolong suaminya yang terdesak, bahkan dia sendiri pun telah siap untuk turun tangan. Kini, melihat munculnya Sin Liong, dia menjadi ingin sekali melihat apakah pemuda yang telah dipilih oleh ketua Cin-ling-pai sebagai pewaris Thi-khi I-beng ini benar-benar sehebat seperti yang tadi dia dengar dari adiknya. Diam-diam dia menyangsikan cerita adiknya.

Dia membandingkan keadaan Sin Liong dengan keadaannya sendiri. Mungkinkah bocah itu mampu mengumpulkan ilmu-ilmu sehebat itu, melebihi In Hong, dia sendiri, atau Bun Houw? Rasanya tidak mungkin!

Bukankah bocah itu hanya mewarisi ilmu-ilmu yang sesungguhnya merupakan ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai dan dari Kok Beng Lama? Jadi, sama sekali tak ada bedanya dengan kepandaian Bun Houw!

Dan tak mungkin pemuda ini dapat memainkan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai atau pemberian mendiang Kok Beng Lama lebih baik dari pada permainan Bun Houw. Andai kata ada perbedaannya karena bocah itu kabarnya diwarisi Ilmu Thi-khi I-beng oleh mendiang Cia Keng Hong, maka kelebihan itu pun sebetulnya tidak banyak artinya.

Dia sendiri pun ahli Thi-khi I-beng, akan tetapi dia tidak berani menyatakan bahwa dia lebih lihai dari pada Bun Houw dan dia sendiri masih sangsi apakah dapat mengalahkan pangeran itu. Dan latihan dari Sin Liong tentu sekali belum matang.

Biar pun demikian, ada harapan di dalam hati pendekar Yap Kun Liong ini bahwa siapa tahu, mungkin saja Sin Liong menemukan sesuatu yang hebat, yang melebihi dia atau Bun Houw. Buktinya, bukankah menurut cerita In Hong, pemuda itu mampu merobohkan serta mengalahkan pengeroyokan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio? Dan bukankah pangeran itu pun seorang yang masih sangat muda namun telah menemukan ilmu yang aneh dan amat hebat.....?

Orang yang paling terkejut dan merasa penasaran adalah pangeran itu sendiri. Melihat munculnya Sin Liong yang datang-datang menantangnya, dia terkejut bukan main. Cepat matanya mencari-cari keluar dan dia dapat melihat Bi Cu berdiri di luar dalam keadaan sehat dan selamat. Seketika jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa tidak enak.

Apa yang telah terjadi dengan suci dan subo-nya? Mereka itu bertugas menjaga Bi Cu, akan tetapi kenapa kini Bi Cu telah keluar dan muncul pula Sin Liong? Jantungnya makin berdebar khawatir ketika dia menduga bahwa jangan-jangan suci-nya dan subo-nya telah dirobohkan oleh Sin Liong!

Melihat pangeran itu memandang ke arah Bi Cu, lalu seperti orang mencari-cari dengan matanya, Sin Liong berkata. "Tidak perlu kau cari lagi dua iblis betina itu, mereka sudah melayang ke neraka!"

Wajah Han Houw berubah menjadi pucat, akan tetapi kemudian menatap wajah Sin Liong dengan kebencian yang besar. Memang semenjak dahulu dia sangat membenci pemuda ini, membencinya karena timbul dari perasaan iri hati!

Sejak Sin Liong masih kecil, pada waktu menjadi tawanan kim Hong Liu-nio, dia melihat pemuda yang masih anak-anak itu demikian berani dan amat gagahnya, hal ini membuat dia kagum sekali, akan tetapi sekaligus juga mendatangkan rasa iri yang pertama kalinya. Kemudian, sesudah dia mendengar bahwa bocah yang berwatak gagah itu adalah putera seorang pendekar besar, cucu ketua Cin-ling-pai, irinya menjadi makin besar.

Di samping rasa iri ini memang ada rasa suka sehingga dia mengambil Sin Liong sebagai saudara angkat. Akan tetapi semua sifat-sifat baik dari Sin Liong bahkan menjadi siksaan baginya hingga membuat perasaan iri hati itu makin menjadi-jadi. Melihat Sin Liong begitu kuat terhadap wanita, tidak mudah tunduk kepada nafsu, membuat dia melihat betapa dia sendiri amat lemah terhadap wanita dan hal ini pun menimbulkan iri pula.

Kemudian, melihat kepandaian Sin Liong yang melebihi dia, iri hatinya makin memuncak sehingga beberapa kali dia sudah hendak membunuh pemuda itu. Kebenciannya sangat mendalam, dan sekarang, melihat Sin Liong berani membangkang terhadap dia, tak mau menjadi pembantunya, bahkan menentang dan membunuh suci-nya dan subo-nya, maka kebencian yang meracuni hati Ceng Han Houw membuat dia memandang dengan muka beringas.

Akan tetapi, dasar dia cerdik bukan main, maka dia dapat menekan perasaannya itu dan tiba-tiba saja pangeran itu tertawa. Semua orang terkejut melihat wajah beringas itu, dan terheran-heran mendengar betapa pangeran yang nampak amat marah itu tiba-tiba malah tertawa.

"Ha-ha-ha-ha-ha, Cia Sin Liong! Akhirnya engkau sendiri yang membuka rahasiamu! Jadi engkau hendak membela ayahmu yang sudah hampir kalah?"

Ucapan ini tentu saja mengejutkan hati semua keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali Cia Bun Houw. Sedangkan Ciauw Si mengerutkan alisnya dan dia merasa heran menyaksikan perubahan sikap suaminya seperti itu.

"Pangeran Ceng Han Houw! Tak perlu kau banyak cakap lagi, marilah kita mulai. Akulah lawanmu, bukan untuk memperebutkan sebutan jagoan atau apa pun, melainkan untuk memperebutkan kebenaran, untuk membereskan semua perhitungan di antara kita yang sudah bertumpuk-tumpuk selama ini! Hayo kalau memang engkau seorang jantan, dan jangan selalu menggunakan kecurangan yang licik!"

"Hei, Liong-te, lupakah engkau bahwa engkau sudah mengangkat sumpah menjadi adik angkatku?"

"Cukup! Sumpah itu berkali-kali kau langgar sendiri, bahkan beberapa kali engkau hendak mencelakakan aku, dan berkali-kali mengganggu Bi Cu. Kita bukan saudara angkat lagi, melainkan musuh-musuh besar!"

"Hemmm, bukankah engkau masih saudara misan langsung dari isteriku? Isteriku adalah puteri pendekar wanita Cia Giok Keng keturunan langsung dari locianpwe Cia Keng Hong, sedangkan engkau juga keturunan langsung dari beliau karena engkau putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw...?"

"Tutup mulutmu yang kotor!" tiba-tiba terdengar pendekar sakti Cia Bun Houw membentak dari pinggiran. Pendekar ini marah sekali mendengar ucapan terakhir yang mengatakan bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya itu.

Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, memang dirahasiakan, hemm, seluruh dunia kang-ouw menyangka bahwa para pendekar Cin-ling-pai adalah orang-orang gagah sejati yang suci murni. Akan tetapi..."

"Pangeran...!" Tiba-tiba Lie Ciauw Si berseru dan pangeran itu menoleh kepada isterinya.

"Si-moi, sungguh aku tidak berdaya. Lihat, mereka semua memusuhi aku, maka terpaksa aku pun harus membela diri dan membalas. Aku dikeroyok oleh mereka semua, keluarga Cin-ling-pai yang gagah dan suci ini, apakah engkau tidak hendak membelaku dan juga hendak berfihak dengan mereka mengeroyokku sekalian?"

Melihat sinar mata penuh duka dan kemarahan dari suaminya, Ciauw Si menunduk, baru sekarang dia melihat betapa suaminya memang memiliki watak yang curang dan licik, apa lagi ketika dia melihat betapa Bi Cu ditawan untuk memaksa Sin Liong, dan kini betapa suaminya itu hendak membongkar rahasia pamannya.

Akan tetapi, betapa pun juga, dia mencinta suaminya itu! Baik atau buruk pria itu adalah suaminya, satu-satunya pria di dunia ini yang telah memilikinya lahir batin, memiliki tubuh dan cintanya. Mana mungkin dia akan menentang orang yang dicintainya?

Apa bila suaminya itu hendak memberontak, hendak melakukan hal-hal yang jahat, tentu saja dia tidak akan mau membantunya. Namun, apa pun yang dilakukan oleh suaminya itu, dia menilainya bukan sebagai kejahatan, melainkan hanya sebagai kelemahan batin suaminya yang ingin mencapai kedudukan tertinggi. Maka kini, melihat betapa suaminya menentang keluarganya sendiri, dia pun diam saja, hanya merasa betapa hatinya tertekan dan terasa sengsara sekali.

"Ceng Han How, manusia pengecut, hayo majulah untuk menentukan siapa di antara kita yang akan mati dan siapa yang boleh hidup terus!" Sin Liong sudah menantang lagi.

Han Houw tersenyum. "Sin Liong, aku telah cukup mengenalmu, baik lahir mau pun batin. Aku tahu bahwa engkau tidak akan menyerang seseorang yang tidak mau melawan, dan sebelum aku habis bicara, aku tidak akan melawanmu dan boleh saja engkau memukul mampus padaku!" Kemudian pangeran ini memandang sekeliling dan suaranya meninggi sehingga terdengar oleh semua orang, "Cu-wi telah menyaksikan sendiri bagaimana sifat dan watak orang-orang Cin-ling-pai. Sudah terang bahwa cucu wanita ketua Cin-ling-pai telah dengan suka rela menjadi isteriku yang tercinta, akan tetapi keluarga yang agung itu tidak mau menerima kenyataan ini, seakan-akan mereka merasa sebagai keluarga yang terlalu bersih, terlalu tinggi dan terlampau agung untuk menerima aku sebagai anggota keluarga mereka! Padahal, siapakah yang tidak tahu akan segala rahasia busuk mereka? Mengenai petualangan-petualangan cinta keturunan mereka? Dan yang terakhir, mereka malah merahasiakan adanya seorang keturunan gelap, seorang anak haram yang terlahir di antara mereka. Inilah anak itu, Cia Sin Liong, yang terlahir dari seorang ibu yang amat sengsara karena setelah mengandung dia, wanita itu tidak dinikah dan ditinggalkan begitu saja oleh seorang pria yang mengaku sebagai pendekar gagah perkasa dan suci, Cia Bun Houw!"

"Keparat jahanam!" Cia Bun Houw tidak mampu menahan kemarahannya lagi . "Buktikan tuduhanmu itu, kalau tidak... aku bersumpah untuk menghancurkan mulut busukmu!"

Sekarang Pangeran Ceng Han Houw sudah tidak tersenyum lagi, namun memandang ke arah Cia Bun Houw dengan sinar mata menantang. "Cia Bun Houw, engkau masih juga hendak berlagak sebagai seorang yang bersih dan gagah? Tidak perlu aku banyak bicara, kalau engkau hendak melihat bukti dari perbuatanmu yang rendah dan hina itu, tanyalah Cia Sin Liong ini sendiri! Tanyakan apakah dia bukan anak kandungmu!"

Karena dia masih merasa bersih dan melihat tidak mungkinnya dia mempunyai seorang anak seperti pemuda ini, maka Cia Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan pemuda itu juga sedang memandang padanya, hendak melihat apa yang menjadi reaksi dari ayah kandungnya itu mendengar kata-kata serangan Han Houw.

Mereka saling berpandangan dengan sinar tajam dan penuh selidik, dan akhirnya, dengan suara penuh penasaran Bun Houw bertanya, suaranya seperti membentak nyaring, "Sin Liong, benarkah bahwa engkau adalah anak kandungku?"

Sin Liong menelan ludahnya. Sesungguhnya, tidak ada keinginan di dalam hatinya untuk mengakui pendekar ini sebagai ayahnya, dia tidak sudi untuk ikut membonceng ketenaran nama keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, kekerasan hatinya itu sebagian besar terdorong oleh kenyataan bahwa ayah kandungnya itu telah meninggalkan ibunya dan telah menikah dengan seorang wanita lain....























Terima kasih telah membaca Serial ini.




No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12