Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 44
SEMUA orang
memandang dan suasana menjadi tenang kembali. Ceng Han Houw masih tersenyum
ramah, kemudian dia segera menyambung kata-katanya, "Terima kasih atas
sambutan Cui Khai Sun enghiong wakil dari Siauw-lim-pai. Memang setiap orang
atau golongan boleh saja mempunyai pendapat masing-masing. Akan tetapi kita
berkumpul di sini bukan untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing.
Kita berkumpul untuk melakukan pemilihan bengcu! Dan apa yang akan diperbuat
oleh bengcu yang kita pilih kemudian, itu adalah urusan bengcu itu, dan setuju
atau tidak setuju di antara kita boleh diajukan kepada bengcu. Mengatur apa
yang akan dan tidak akan dilakukan oleh seorang bengcu, sedangkan bengcu itu
sendiri belum dipilih, merupakan hal yang sia-sia saja, bukan? Kita akan
memilih bengcu berdasarkan suara. Namun karena kita adalah orang-orang yang
semenjak kecil belajar silat, maka pertemuan ini tidak akan lengkap bila tidak
diadakan pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, tentulah akan meriah dan
menarik sekali apa bila kita mengadakan pemilihan jagoan nomor satu di dunia.
Siapa pun boleh mengajukan diri sebagai calon dan aku sendiri sebagai fihak
tuan rumah juga mengajukan diri, bersama jago pilihan kami, yaitu adik angkatku
sendiri yang bernama Cia Sin Liong!"
Sin Liong
kaget bukan main. Pertama dia terkejut karena namanya disebut-sebut sebagai
calon jago pilihan pangeran dan sebagai adik angkat, ke dua dia terkejut karena
she-nya disebut sebagai she Cia. Rahasianya telah dibongkar oleh pangeran itu
di tempat itu, di mana hadir pula keluarga Cin-ling-pai, bahkan hadir pula di
situ ayah kandungnya!
"Houw-ko,"
bisiknya. "Aku tidak dapat menerima ini!"
Sin Liong
segera bangkit berdiri dan di antara para tamu ada yang bertepuk dan bersorak
menyambut jago muda pilihan pangeran ini, akan tetapi Sin Liong segera berseru
nyaring, "Cu-wi, maafkan. Akan tetapi aku tidak berniat menjadi jago apa
pun, tidak ingin ikut-ikut memperebutkan pilihan jago silat. Pangeran hanya
berkelakar saja!" Dan dia pun duduk kembali.
Ceng Han Houw
tertawa dan berkata lagi dengan lantang, "Cu-wi, lihat betapa sederhana
dan pemalunya adik angkatku ini. Akan tetapi mengenai ilmu silat... kiranya aku
sendiri masih harus banyak belajar dari dia! Apa bila dia tidak mau menjadi
calon jagoan, tidak mengapalah, akan tetapi aku mengangkat dia menjadi penguji!
Calon-calon yang hendak memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia harus
sanggup melawan dan menandingi kepandaian adik angkatku ini lebih dulu!"
Kembali
semua orang bertepuk tangan dan bersorak.
"Houw-ko,
aku tidak mau!" Sin Liong berbisik.
Han Houw
mundur dan mendekati Sin Liong, menghardik dalam bisikan pula.
"Liong-te,
mengapa engkau hendak mengacau aku? Ingat, Bi Cu berada di tanganku, dia
kusuruh jaga subo dan suci. Engkau harus membantuku kalau tidak..."
Lie Ciauw Si
mendengar bisikan-bisikan ini dan dia memandang dengan mata terbelalak.
Sedangkan Sin Liong sudah menjadi terkejut setengah mati mendengar ucapan itu.
Tak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu pangeran ini masih hendak
bersikap curang dan ternyata bahwa dia sengaja dipisahkan dari Bi Cu agar
pangeran itu dapat menguasai Bi Cu untuk memaksanya!
Akan tetapi
ia melihat betapa amat berbahayanya paksaan yang dilakukan oleh pangeran itu.
Dia tidak mungkin mau memenuhi permintaan gila itu, dan lebih baik dia dan Bi
Cu mati dari pada dia harus membantu pangeran dengan rencana gilanya.
"Aku
tidak sudi!" katanya dan dia pun sudah meloncat lantas pergi dari situ,
menuju ke dalam untuk mencari Bi Cu.
Para tamu
yang sedang berbisik itu hanya melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Hal
ini menambah kuat pernyataan sang pangeran tadi betapa pemuda perkasa itu
wataknya sederhana dan amat pemalu. Agaknya saking malunya pemuda itu telah
melarikan diri ke dalam maka mereka pun makin keras tertawa dan bersorak.
Sementara
itu, Ciauw Si berbisik kepada suaminya, "Apa yang sudah kau lakukan ini,
pangeran?"
"Sstt,
Si-moi, tanpa siasat tidak mungkin kita akan berhasil." Pangeran itu
berbisik kembali dan dia sudah mengangkat tangan memberi tanda agar para tamu
tidak berisik.
"Cu-wi
yang mulia! Adik angkatku itu memang pemalu sekali. Akan tetapi jangan cu-wi khawatir.
Setiap orang boleh mengajukan diri sebagai calon dan selain adik angkatku itu,
aku masih memiliki seorang penguji lain, yaitu isteriku sendiri! Jangan cu-wi
memandang rendah kepada isteriku yang tercinta ini, karena kepandaian silatnya
tidak berselisih jauh dari kepandaianku sendiri. Nah, siapa saja yang dapat
menandingi isteri saya dalam lima puluh jurus, maka dia berhak menjadi calon
jago nomor satu di dunia! Inilah isteri saya, Lie Ciauw Si!"
Di bawah
tepuk tangan dan sorak-sorai, terpaksa Ciauw Si bangkit berdiri dan menjura ke
arah penonton yang menjadi makin riuh bertepuk tangan memuji karena memang
Ciauw Si nampak cantik jelita dan menarik sekali. Wajah Ciauw Si agak pucat,
apa lagi ketika dia bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api,
sepasang mata milik ibu kandungnya! Dia menjadi lemas dan cepat duduk kembali
ke kursinya. Betapa pun juga, dia harus membela suaminya yang tercinta,
pikirnya sambil mengepal tinju kirinya.
Sementara
itu, keluarga Cin-ling-pai, yaitu empat orang pendekar itu, semenjak tadi telah
berbisik-bisik saling bicara dengan serius dan juga penuh keheranan.
"Pangeran
gila, kenapa dia menyebut she Sin Liong sebagai she Cia?" kata Bun Houw
dengan marah. "Apa dia sengaja hendak menghina keluarga Cia kami?"
"Mungkin
dia hendak memancing supaya kita turun tangan membantah," Cia Giok Keng
berbisik. "Akan tetapi dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Ciauw
Si."
Mereka
berempat merasa bingung dan tidak mengerti, apa lagi ketika melihat Sin Liong
melarikan diri ke dalam. Apakah yang sedang terjadi? Permainan apakah yang
dilakukan oleh Pangeran itu?
Ketika
pangeran itu mengangkat Ciauw Si yang diperkenalkan sebagai isterinya sebagai
penguji, Giok Keng dengan gemas memandang kepada puterinya yang menerima pujian
para tamu itu, lantas dia berbisik dengan suara mendesis, "Biar aku maju
sebagai calon menghadapinya!"
"Ahh,
jangan begitu, enci Keng!" adiknya mencela.
"Ingat,
kita menghadapi banyak orang, jangan menimbulkan keributan yang hanya akan
mendatangkan aib bagi nama keluarga," kata Yap Kun Liong menyabarkan
isterinya.
Para tamu
menjadi semakin berisik ketika mereka melihat seorang laki-laki yang bertubuh
tinggi besar dan bermuka merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya kasar,
meloncat dengan gerakan yang cukup lincah ke depan lalu hinggap di
tengah-tengah ruangan yang tinggi itu, tersenyum dan memberi hormat ke arah
pangeran.
Orang ini
adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya yang tinggi besar
itu membayangkan kekuatan dahsyat, sikap dan pakaiannya yang kasar itu
menunjukkan bahwa dia adalah seorang petualang di dunia kang-ouw. Wajahnya
lebar dan matanya, hidungnya serta mulutnya juga serba besar.
"Pangeran,
saya Loa Khi berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi) sama sekali
tidak berani mengajukan diri sebagai calon jago nomor satu di dunia, akan
tetapi saya mempunyai semacam penyakit, yaitu di mana terdapat pertandingan
pibu, tangan saya menjadi gatal-gatal. Biarlah saya memelopori para enghiong di
sini agar pertemuan ini menjadi lebih gembira." Sambil berkata demikian,
matanya yang lebar itu melirik ke arah Ciauw Si.
Mengertilah
Pangeran Ceng Han Houw bahwa yang mendorong laki-laki kasar ini untuk maju
adalah karena pengujinya adalah isterinya yang cantik jelita. Atau kasarnya,
pria itu ingin bersilat menandingi Ciauw Si yang cantik! Akan tetapi Han Houw
hanya tersenyum dan dia berkata kepada isterinya dengan suara halus.
"Isteriku,
harap kau suka melayani Loa-enghiong."
Sebenarnya
di dalam hatinya Ciauw Si merasa mendongkol sekali. Dia harus melayani segala
macam orang kasar seperti itu! Akan tetapi karena dia maklum bahwa suaminya itu
sedang berusaha untuk menentang kelaliman kaisar, dan karena betapa pun juga
dia harus membela suaminya yang tercinta, maka dia tak berkata sesuatu
melainkan bangkit berdiri dan menghampiri orang yang berjuluk Lutung Merah
Berlengan Besi itu.
Jantung di
dalam dada yang bidang itu terguncang dan berdebar-debar penuh kegirangan. Loa
Khi adalah seorang kang-ouw golongan sesat dan merupakan seorang yang kasar,
gila akan kecantikan wanita. Tadi dari jauh dia melihat betapa cantiknya isteri
pangeran itu, dan kini sesudah berhadapan, dia terpesona. Belum pernah rasanya
dia berhadapan dengan wanita secantik ini!
Sungguh kali
ini tidak rugi, pikirnya. Dapat bersentuhan lengan dan tangan dengan wanita
seperti ini benar-benar merupakan hal yang sangat menyenangkan, apa lagi kalau
diingat bahwa wanita ini bukanlah sembarangan wanita, melainkan isteri seorang
pangeran dan tentu saja merupakan seorang puteri bangsawan simpanan! Maka dia
pun menyeringai dan mematut-matut diri agar kelihatan tampan dan gagah.
"Orang
she Loa, kau mulailah!" Ciauw Si berkata, membuyarkan lamunannya itu.
"Ehh...
ohh... mana saya berani mendahului?" kata Loa Khi yang meringis seperti
seekor lutung asli.
Berbicara
demikian, selain meringis Loa Khi juga memainkan matanya yang bundar besar
sambil menggerak-gerakkan alisnya. Melihat lagak ini hati Ciauw Si menjadi
sangat muak dan panas, dan kalau dia tidak mengingat bahwa suaminya sedang
berusaha mengambil hati dunia kang-ouw, tentu dia sudah menjatuhkan tangan maut
menyerang orang ini.
"Hemm,
kalau begitu sambutlah seranganku!" kata Ciauw Si. Dia memberi kesempatan
kepada orang itu untuk memasang kuda-kuda.
Memang Loa
Khi dengan mulut masih menyeringai sudah memasang kuda-kuda dengan gaya yang
gagah. Kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk rendah dan kedua
lengan disilangkan, tangannya dibuka membentuk cakar naga, tubuh atasnya tegak
lurus dan matanya mengerling ke arah lawan yang berada di samping kanan.
Semua tamu
menyambut pasangan kuda-kuda ini dengan berbagai macam sikap. Mereka yang
mempunyai ilmu kepandaian tinggi memandang dengan senyum mengejek, karena mereka
segera tahu bahwa kuda-kuda seperti itu hanya indah dipandang saja akan tetapi
sesungguhnya tidak memiliki inti yang kuat. Sebaliknya, mereka yang belum
begitu tinggi tingkatnya, merasa amat kagum karena memang Loa Khi kelihatan
gagah dan kokoh kuat dengan kuda-kudanya itu.
Ciauw Si
yang sudah tidak sabar lagi melihat lagak orang, mengeluarkan seruan lembut
lantas mulai menyerang dengan kedua tangannya, menyambar dari kanan kiri, yang
kiri menampar ke arah pelipis lawan sedangkan yang kanan menotok ke arah
lambung. Dua serangan ini sebenarnya hanya merupakan pancingan belaka karena
pendekar wanita itu tak mau sembarangan mengeluarkan ilmunya yang tinggi hanya
untuk menghadapi orang seperti laki-laki sombong ini.
Melihat
serangan yang cukup cepat dan dahsyat ini, Loa Khi cepat menggerakkan kedua
tangannya untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Memang yang mendorong dia
maju adalah supaya dia dapat menyentuh tubuh atau memegang lengan wanita cantik
itu, maka melihat serangan lawan, dia berusaha secepatnya untuk menangkap
pergelangan tangan lawan dan akan memegangnya dengan kuat dan mesra!
Namun Ciauw
Si tentu saja maklum akan hal ini dan dia pun tidak sudi membiarkan kedua
lengannya dipegang. Dengan cepat dia sudah menarik kembali kedua tangannya dan
kini kaki kirinya yang bergerak menendang dengan cepat. Akan tetapi, sambil
tersenyum lebar lawannya menggerakkan tangan ke bawah dengan maksud menangkis
atau jika mungkin menangkap kaki yang mungil itu! Sedangkan tangan kiri Loa Khi
sudah menyelonong ke depan, ke arah dada Ciauw Si!
"Hemmm...!"
Ciauw Si mendengus marah.
Tiba-tiba
saja tubuhnya bergerak cepat, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan.
Itulah pukulan sakti yang merupakan jurus ke tiga dari Ilmu San-in Kun-hoat,
ilmu ampuh dari Cin-ling-pai! Angin pukulan dahsyat langsung menyambar ke
depan. Loa Khi terkejut bukan kepalang dan cepat dia berusaha menangkis sambil
mengerahkan tenaga kepada kedua kakinya dan tubuhnya untuk menjaga diri.
"Desss...!"
Betapa pun
kuatnya dia menangkis, tetap saja kedua tangan Ciauw Si dapat menerobos di
antara lengan lawan yang menangkis dan terus menghantam dada. Untung bagi Loa
Khi bahwa Ciauw Si masih ingat bahwa dia hanya bertugas menguji kepandaian
lawan, maka dia tidak menggunakan seluruh tenaga sinkang-nya. Akan tetapi biar
pun demikian, tetap saja tubuh Loa Khi yang tinggi besar itu terjengkang dan
terbanting ke atas lantai. Dia terengah-engah, merasa dadanya sesak dan sukar
bernapas!
Karena Loa
Khi tidak datang bersama teman-teman sehingga tidak memiliki rombongan, maka
tidak ada yang menolongnya dan Han Houw memberi isyarat kepada
pengawal-pengawalnya. Dua orang pengawal cepat maju membantu Loa Khi berdiri
dan membawa orang yang masih terengah-engah itu ke tempat duduknya yang agak di
belakang. Loa Khi tidak berani banyak cakap lagi dan membiarkan dirinya
dituntun kembali ke kursinya, mukanya pucat sekali. Dia telah dirobohkan kurang
dari lima jurus!
Berisiklah
para tamu melihat kehebatan Ciauw Si. Mereka yang tadinya berminat untuk
memasuki pemilihan jagoan itu, menjadi kecil nyalinya dan langsung mengurungkan
niat hati mereka. Tentu saja tidak demikian dengan mereka yang mempunyai ilmu
kepandaian tinggi.
Seorang tosu
sudah mengeluarkan seruan lantas tubuhnya melayang ke tengah ruangan itu. Tosu
ini tinggi kurus, mukanya pucat laksana orang berpenyakitan, jubahnya kuning
dan matanya sipit seperti orang mengantuk. Sesudah dia menjura ke arah
pangeran, dia melangkah maju tiga langkah dan terkejutlah pangeran itu melihat
betapa di atas lantai itu nampak jejak kaki tosu itu sedalam dua senti! Tahulah
dia bahwa tosu ini amat lihai dan telah mendemonstrasikan kelihaiannya dengan
mengerahkan tenaga pada kedua kakinya yang melesak ke dalam lantai ketika dia
melangkah perlahan-lahan.
Jika tadi
Han Houw menyebutkan nama isterinya, dan juga memperkenalkannya sebagai
pembantunya untuk menguji para calon jagoan, maksudnya hanya untuk
memperlihatkan kepada para tokoh kang-ouw, khususnya kepada keluarga
Cin-ling-pai bahwa di samping Lie Ciauw Si sudah menjadi isterinya, juga
membantunya untuk menghimpun tenaga dan menentang kaisar lalim!
Tetapi tentu
saja bukan maksud hati Han Houw untuk membiarkan isterinya menghadapi semua
orang yang hendak mencoba kepandaian. Dia hanya mengajukan isterinya untuk
menghadapi kalau-kalau ada di antara tokoh Cin-ling-pai yang maju, maka kini
melihat kelihaian tosu itu, tentu saja Han Houw merasa khawatir dan tidak
membiarkan isterinya menghadapi bahaya.
Setelah
menjura dan memperlihatkan tenaganya melalui injakan kaki yang meninggalkan
jejak dalam di atas batu, tosu itu lalu berkata kepada Ceng Han Houw, suaranya
seperti suara ular mendesis namun dapat terdengar satu-satu sampai di bagian
luar tempat itu,
"Pangeran,
harap maafkan kelancangan pinto. Sebenarnya pinto datang bukan sekali-kali
untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau pun jagoan nomor satu, melainkan
karena telah lama pinto mendengar nama besar pangeran sebagai seorang ahli
silat yang pandai maka pinto ingin sekali menguji kebodohan sendiri untuk
membuktikan sampai di mana kelihaian pangeran."
Ini
merupakan tantangan langsung! Semua orang kang-ouw memandang dengan penuh
perhatian karena mereka semua maklum bahwa ucapan itu merupakan tantangan yang
tentu didasari urusan pribadi antara tosu itu dan Pangeran Ceng Han Houw!
Han Houw
sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ramah ketika
dia berkata halus dan lantang, "Dalam menghadapi urusan besar ini, kami
terpaksa harus melupakan urusan pribadi. Akan tetapi jika totiang ingin saling
menguji kepandaian dengan aku, dapat saja totiang memasuki pemilihan jago menurut
yang telah ditentukan. Akan tetapi lebih dulu hendaknya totiang memperkenalkan
diri."
"Pinto
bernama Ciu Hek Lam dan banyak orang menyebut pinto dengan julukan yang amat
buruk, yaitu Tok-ciang Sian-jin (Manusia Dewa Bertangan Racun). Tentu pangeran belum
mengenal nama pinto, akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa mendiang Gak
Song Kam ketua Jeng-hwa-pang adalah sute dari pinto."
Mendengar
ini, sebagaian besar di antara para tokoh kang-ouw terkejut. Memang nama tosu
ini tidak terkenal dan hanya beberapa orang saja di antara mereka yang banyak
melakukan perjalanan ke utara melewati Tembok Besar mengenal namanya, akan
tetapi nama Jeng-hwa-pang tentu saja sudah dikenal mereka. Kiranya tosu yang
lihai ini adalah saudara tua dari mendiang ketua Jeng-hwa-pang, maka tentu saja
ilmu kepandaiannya amat tinggi.
Diam-diam
Ceng Han Houw mengerti sekarang, Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang itu tewas di
tangan dia dan Sin Liong, maka agaknya tosu ini datang dengan maksud untuk
membalas dendam atas kematian ketua Jeng-hwa-pang itu! Dia sama sekali tidak
merasa takut menghadapi tosu ini, akan tetapi untuk menjaga kewibawaannya, dia
tak mau begitu saja terjun ke dalam urusan pribadi di tempat itu, apa lagi
karena dia sedang menghadapi urusan besar.
"Ahhh,
ternyata totiang ingin menguji kepandaianku. Baiklah, akan tetapi kita tidak
boleh melanggar peraturan. Cu-wi yang mulia, kami sekarang menunjuk bengcu dari
selatan, yaitu locianpwe Hai-liong-ong Phang Tek beserta Kim-liong-ong Phang
Sun untuk menjadi penguji. Siapa dapat mengalahkan mereka berdua berarti cukup
berharga untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia!"
Mendengar
ini, Phang Tek dan Phang Sun segera melangkah maju. Sementara itu, Han Houw
sendiri bangkit dari kursinya, menghampiri Ciauw Si yang masih berdiri
memandang ke arah ibunya seperti orang terpesona, kemudian menggandeng tangan
Ciauw Si untuk kembali ke tempat duduknya. Dengan sikap mesra Han Houw
berbisik,
"Terima
kasih atas bantuanmu, Si-moi."
Mendengar
kedua orang ini, tahulah tosu itu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang
pandai. Dia pernah mendengar tentang Lam-hai Sam-lo yang kabarnya kini tinggal
dua orang kakak beradik ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, melainkan
malah merasa mendongkol karena pangeran itu ternyata tidak mau langsung
menghadapinya melainkan menyuruh kedua orang ini dengan alasan untuk
mengujinya! Hal ini dianggapnya sebagai tanda bahwa pangeran itu jeri
kepadanya, maka dia pun menghadapi dua orang kakek itu dan memandang dengan
sinar mata tajam dari kedua matanya yang sipit.
"Pinto
pernah mendengar mengenai nama besar Lam-hai Sam-lo," katanya dengan nada
suara mengejek, "Pangeran sudah memerintahkan kalian untuk maju, apakah
ji-wi (kalian berdua) hendak maju berbareng dan mengeroyok pinto?"
Ucapan ini
biar pun hanya merupakan sebuah pertanyaan, namun bernada mengejek dan
merendahkan, maka kedua orang datuk dari selatan itu tentu saja menjadi marah
sekali. Mereka tadi maju hanya untuk memperkenalkan diri kepada para tamu
sesudah nama mereka disebut-sebut oleh pangeran, bukan sekali-kali hendak
mengeroyok tosu itu.
Kim-liong-ong
Phang Sun, kakek berkepala gundul lonjong yang bertubuh kecil pendek seperti
kanak-kanak, yang hanya memakai celana tanpa baju dan kakinya pun telanjang,
sudah meloncat ke depan. Dengan lengan kiri yang dihias gelang emas tebal dia
berkata, suaranya sungguh mengejutkan, karena lantang besar tidak seperti
bentuk tubuhnya.
"Tosu
bulukan! Takabur sekali ucapanmu! Menghadapi seorang tosu bulukan semacam
engkau, cucuku pun akan berani. Sayang aku tidak pernah punya cucu! Maka
biarlah aku mencoba, hendak kulihat apakah kepandaianmu seluas mulutmu! Twako,
mundurlah, biar aku yang menghajar manusia sombong ini!"
Hai-liong-ong
Phang Tek mengerutkan alisnya, lantas mundur sambil berkata, "Hati-hati,
jangan pandang rendah dia." Hai-liong-ong yang tahu akan kemarahan adiknya
merasa khawatir karena ketika menghadapi seorang lawan tangguh seperti tosu
ini, kemarahan merupakan hal yang amat merugikan dan mengurangi kewaspadaan.
Sekarang dua
orang itu sudah saling berhadapan. Keduanya sama kurusnya, hanya yang seorang
tinggi dan yang lainnya pendek kecil. Semua orang kang-ouw yang hadir di situ
memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang karena mereka semua mengenal
siapa adanya Kim-liong-ong, sedangkan tosu tua itu tidak begitu dikenal karena
memang jarang muncul di dunia kang-ouw.
Oleh karena
yang hadir di dalam pertemuan besar ini merupakan tokoh-tokoh campuran, banyak
pula yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat, maka di antara mereka ini sudah
ramai mengadakan pertaruhan! Dan rata-rata menurut anggapan mereka,
Kim-liong-ong menduduki tempat unggul, bahkan ada yang mempertaruhkan uang
sebesar dua kali lipat menjagoi kakek pendek kecil itu.
Tok-ciang
Sian-jin memandang dengan alis berkerut kepada calon lawannya, kemudian
berkata, suaranya halus dan penuh penyesalan, "Kim-liong-ong, engkau
adalah seorang tokoh jauh di selatan sana, sedangkan pinto selamanya berada di
utara. Kiranya sampai kita dua orang tua mati oleh usia pun kita tak akan dapat
saling berjumpa, apa lagi harus saling berkelahi seperti lawan. Oleh karena
itu, pinto menyesal sekali harus berhadapan denganmu, sebab sebenarnya
kedatangan pinto ini hanya ingin menghadapi pangeran..."
"Cukup,
Tok-ciang Sian-jin. Apa bila engkau takut, masih belum terlambat bagimu untuk
cepat-cepat mengundurkan diri!" Kim-liong-ong yang bersama Hai-liong-ong
kakaknya itu memang sudah lama menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw,
sudah memotong dengan suara lantang dan sikap merendahkan.
Marahlah
tosu itu. Kini mukanya menjadi merah dan tidak pucat seperti biasanya, dan biar
pun matanya masih sipit, akan tetapi tidak seperti orang mengantuk lagi.
"Engkau
hendak menjadi perisai bagi pangeran? Bagus, majulah, orang sombong!"
bentak tosu itu dan dia pun sudah menggerakkan jari-jari tangannya sehingga
terdengar bunyi berkeretakan pada buku-buku jari tangannya dan kedua tangan itu
kini nampak kehijauan.
Kiranya
kakek ini memang memiliki ilmu yang amat mengerikan, dan kalau sudah begitu,
sepasang tangannya merupakan benda-benda yang lebih berbahaya dari pada
sepasang senjata tajam, karena kedua tangan itu dari jari-jari tangan sampai ke
siku yang berwarna kehijauan, mengandung hawa beracun yang amat berbahaya bagi
lawan. Itulah sebabnya mengapa dia berani menerima julukan Tok-ciang (Si Tangan
Racun).
Akan tetapi,
Kim-liong-ong Phang Sun menyeringai melihat ini. Dia sendiri adalah seorang
ahli tentang racun, maka biar pun dia tahu betapa hebat dan berbahayanya kedua
tangan lawan itu, namun dia tidak menjadi gentar.
"Kedua
tanganmu itu hanya baik untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bagiku tidak ada
harganya sama sekali, seperti dua batang gagang sapu butut!" dia mengejek.
Tok-ciang
Sian-jin menjadi semakin marah. Memang cerdik Kim-liong-ong ini. Pada saat
menerima peringatan dari kakaknya tadi, dia pun sadar akan kemarahan yang
membakar hatinya, maka dia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan untuk membakar
hati lawan. Dia berhasil, karena kini tosu itu menjadi semakin marah dan dengan
gerengan dahsyat dia sudah maju menyerang lawan yang bertubuh pendek kecil itu.
Kini keadaannya menjadi terbalik, bukan Kim-liong-ong yang dicekik kemarahan,
melainkan lawannya.
Tok-ciang
Sian-jin menyerang dengan kedua tangan terbuka, sepuluh jari-jari tangannya
mencengkeram dari kanan kiri dan sebelum serangan itu sampai, hawa pukulannya
yang mengandung hawa beracun itu sudah menyambar lebih dahulu dengan
dahsyatnya. Akan tetapi, mendadak nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu
kakek kecil itu lenyap dari depannya, tubrukan dan cengkeramannya mengenai
tempat kosong dan begitu merasa ada angin menyambar dari kanan, tosu itu cepat
membalik dan menangkis.
Kiranya,
Kim-liong-ong telah mempergunakan kecepatan gerakannya dan mengandalkan
tubuhnya yang kecil dan gesit itu untuk menyelinap ketika tadi lawannya
menyerang, dan cepat memberi pukulan balasan dari arah kanan.
"Dukkk!"
Lengan
Tok-ciang Sian-jin bertemu dengan gelang emas tebal yang melingkar di lengan
kiri Phang Sun dan akibatnya, tubuh Tok-ciang Sin-jin terdorong ke belakang dan
agak terhuyung.
Terkejutlah
tosu ini dan maklumlah dia bahwa kakek kecil pendek gundul telanjang ini
mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya! Karena itu dia pun cepat
menerjang lagi dengan memperlipat gandakan kecepatan gerakannya. Maka
terjadilah perkelahian yang seru dan sangat dahsyat.
Kim-liong-ong
Phang Sun sudah mengeluarkan sebuah bungkusan sambil berloncatan ke sana-sini,
lalu membalurkan bubuk putih ke atas lengannya. Itulah bubuk penolak racun.
Sesudah ini, dia dapat menangkis dan mengadu lengan dengan lawannya, tidak
seperti tadi yang menggunakan gelang emas untuk melindungi lengannya dari hawa
racun yang keluar dari lengan lawan.
Memang tak
percuma kalau Kim-liong-ong menjadi tokoh nomor dua dari Lam-hai Sam-lo yang
ditakuti oleh semua tokoh di dunia selatan. Ilmu kepandaiannya memang sangat
hebat, gerakannya aneh dan cepat, dan biar pun kaki tangannya kecil-kecil,
tetapi setiap gerakan kaki dan tangan itu mengandung hawa pukulan yang kuat,
sehingga bahkan tosu itu sendiri sampai beberapa kali terhuyung kalau mereka
terpaksa mengadu tenaga.
Banyak di
antara mereka yang bertaruh dan menjagoi Kim-liong-ong menjadi kecele. Ada yang
bertaruh bahwa dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus tosu itu tentu akan
kalah. Akan tetapi ternyata tosu itu hebat bukan main! Dia bisa mengimbangi
semua kelincahan Kim-liong-ong dan sesudah bertanding selama lima puluh jurus,
ternyata kakek itu sama sekali tidak kalah, bahkan terdesak pun tidak, sungguh
pun dia sendiri juga tidak mampu mendesak kakek kecil itu.
Setelah
perkelahian itu berlangsung kurang lebih enam puluh jurus, mendadak Tok-ciang
Sian-jin meloncat mundur dan keluar dari lapangan pertandingan lalu membalikkan
tubuh menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang sejak tadi terus menonton dengan
penuh perhatian, menjura dan berkata, "Sekarang pinto mengharapkan agar
pangeran sendiri..."
Baru sampai
di situ dia berbicara, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari belakang,
memukul ke arah lambungnya! Bukan main kagetnya Tok-ciang Sian-jin. Cepat-cepat
dia membalik untuk mengelak dan menangkis.
"Plakkk!
Desss...!"
Tubuh tosu
itu terpelanting dan roboh, dari mulutnya keluar darah segar karena biar pun
dia berhasil menangkis pukulan Kim-liong-ong, akan tetapi tangkisannya kurang
tepat dan pukulan kakek pendek kecil itu masih meleset sehingga mengenai
punggungnya.
Tosu itu
bangkit duduk lantas memejamkan mata untuk mengumpulkan hawa murni dan menahan
dadanya yang terguncang hebat. Walau pun dia tidak sampai terluka separah kalau
pukulan itu mengenai lambung, namun dia sampai muntah darah dan tentu saja dia
tidak mungkin depat melanjutkan pertempuran.
"Sungguh
curang!" Cui Kai Sun membentak dengan suara lantang. Pemuda gagah murid
Siauw-lim-pai ini menegur marah sekali.
Kim-liong-ong
hanya tersenyum mengejek ke arah pemuda itu. Melihat betapa di antara para
orang kang-ouw yang hadir itu banyak yang memperlihatkan muka tak senang, Ceng
Han Houw cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang halus namun
berwibawa dan terdengar sampai jauh di luar.
"Cu-wi,
hendaknya cu-wi bersikap adil! Tidak ada kecurangan terjadi di sini!"
"Siapa
bilang tidak curang? Bukan aku hendak membela Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi
kami semua tadi melihat tosu itu sedang bicara dengan pangeran ketika
Kim-liong-ong menyerangnya dari belakang secara curang sekali!" Ciu Kai
Sun berteriak lagi dan banyak tokoh kang-ouw, terutama sekali yang berasal dari
golongan bersih, mengangguk untuk menyatakan persetujuan mereka dengan ucapan
pemuda gagah itu.
Akan tetapi
Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Itu adalah kesalahan tosu itu sendiri,
pertandingan belum selesai dan..."
"Aku
menghitung sendiri bahwa tosu itu telah dapat melayani Kim-liong-ong sampai
lima puluh jurus!" Terdengar suara orang lain membenarkan.
Sekarang
Ceng Han Houw tersenyum semakin lebar dan dia mengangkat kedua tangan ke atas
untuk minta para tamu diam. Setelah mereka semua itu tidak berisik lagi, dia
lalu berkata, suaranya jelas dan halus,
"Cu-wi
sekalian yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw tentunya tahu bahwa
syarat untuk menjadi orang kang-ouw bukan hanya tergantung kepada kepandaian
silat saja, melainkan juga membutuhkan kecerdikan dan ketelitian! Memang betul
bahwa kami tadi berjanji kepada siapa yang bisa menandingi isteri saya selama
lima puluh jurus maka dia berhak untuk menjadi calon jagoan. Akan tetapi, tidak
ada seorang pun yang berjanji tentang lima puluh jurus itu terhadap dua orang
pembantu kami, yaitu Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. Karena tidak ada
perjanjian maka pibu melawan mereka pun tidak terbatas jumlah jurusnya. Tadi
dalam keadaan belum ada yang kalah atau pun menang, Tok-ciang Sian-jin
menghentikan pibu secara sepihak tanpa memberi tahu kepada Kim-liong-ong, maka
kalau dia sampai terpukul, baik dari belakang mau pun dari depan, bawah atau
dari atas, hal itu adalah kesalahannya sendiri karena dia telah ceroboh dan
lengah. Bukankah demikian, cu-wi?"
Ucapan yang
dilakukan dengan suara halus dan penuh wibawa itu diikuti oleh kesunyian yang
lengang karena semua tamu saling pandang dan mereka semua mau tak mau harus
membenarkan pembelaan pangeran itu. Memang tadi pangeran itu berjanji tentang
ujian selama lima puluh jurus dalam menghadapi isteri pangeran itu, dan
terhadap dua orang pembantunya itu dia tidak berjanji apa-apa. Oleh karena itu,
kekalahan Tok-ciang Sian-jin merupakan kekalahan mutlak, walau pun kekalahan
itu adalah akibat dari kelengahannya, bukan akibat dari kalah tinggi ilmunya
dibanding dengan Kim-liong-ong Phang Sun.
"Pinto
yang bodoh... pinto kena ditipu orang... pinto mengaku kalah." Tiba-tiba
tosu itu bangkit berdiri, dengan muka pucat dan mata bersinar memandang kepada
pangeran itu, menjura lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu
sambil mengusap darah dari ujung bibirnya.
Semua tamu
hanya mengikuti langkah tosu itu dengan pandang mata dan sekarang tidak ada lagi
yang mau mencampuri karena orang yang bersangkutan sendiri sudah mengakui
kebodohannya dan mengaku kalah!
Karena ada
yang merasa penasaran, berturut-turut terdapat beberapa orang tokoh yang belum
mengenal betul kepandaian Lam-hai Sam-lo, maju memasuki ujian calon jagoan
nomor satu di dunia. Namun, satu demi satu mereka itu dikalahkan oleh
Kim-liong-ong atau Hai-liong-ong yang maju bergantian. Bagi mereka yang sudah
tahu akan kelihaian Lam-hai Sam-lo, siang-siang sudah kuncup nyalinya dan tidak
berani maju.
Sesudah
tujuh orang calon semua kalah, kini agaknya tidak ada lagi yang berani maju.
Melihat ini, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa amat penasaran. Tak
mungkin di antara tokoh kang-ouw tidak ada yang mampu mengalahkan Lam-hai
Sam-lo, pikirnya. Apa lagi di situ terdapat tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang belum
bertindak sesuatu.
"Siapa
lagi yang akan maju mencoba kemampuannya?" Hai-liong-ong Phang Tek berkata
dengan suaranya yang lantang. Akan tetapi para tamu hanya saling pandang dan
agaknya tidak ada lagi yang berani maju.
Pangeran
Ceng Han Houw bangkit berdiri. "Cu-wi, kenapa cu-wi merasa sungkan? Saya
percaya bahwa di antara cu-wi masih banyak orang pandai! Ataukah hanya demikian
saja kepandaian para tokoh kang-ouw? Sungguh di luar dugaan kami kalau di dunia
kang-ouw ini tidak ada tokoh yang mampu menandingi Lam-hai Sam-lo!"
Ucapan itu
halus, tetapi juga bernada mengejek dan membakar. Semenjak tadi wajah Cia Giok
Keng sudah merah sekali dan dia sudah hendak bangkit berdiri. Akan tetapi
adiknya, Cia Bun Houw, memegang lengannya dan berbisik, "Enci, Lam-hai
Sam-lo itu terlalu lihai bagimu."
"Biar!"
Cia Giok Keng, wanita berusia setengah abad yang nampak cantik dan gagah itu,
menjawab dengan bisikan mendesis hingga membuat beberapa orang tamu yang duduk
dekat menengok.
"Aku
tidak takut. Kalau kalah pun, biar aku mati di depan mata anak durhaka
itu!" Jelaslah bahwa sumber kemarahan wanita ini adalah melihat puterinya,
selain telah menjadi isteri pangeran itu tanpa minta ijin dulu darinya, juga
melihat puterinya itu membantu pangeran yang hendak memberontak itu.
"Enci,
tindakan itu kurang bijaksana. Apakah engkau ingin semua orang kang-ouw tahu
akan pertentangan antara engkau dengan puterimu sendiri? Biarkan aku saja yang
maju, mereka itu bukan lawanmu, melainkan lawanku!"
Sebelum Cia
Giok Keng dapat membantah, disetujui oleh isterinya, yaitu Yap In Hong dan juga
Yap Kun Liong yang maklum bahwa dua orang kakek dari selatan Lam-hai Sam-lo itu
memang lihai sekali, sekali bergerak Cia Bun Houw sudah meloncat ke depan.
Semua tamu
terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia melayang di atas kepala
mereka, dari tempat duduk paling belakang dan melayang menuju ke depan, ke
tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun dengan lagak
sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah ruangan dan
berdiri, mereka melihat seorang laki-laki yang amat tampan dan gagah perkasa,
dengan pakaian sederhana akan tetapi memiliki wibawa besar dan sepasang matanya
menyapu ke arah pangeran.
Banyak di
antara para tokoh kang-ouw mengenalnya dan di samping keheranan mereka,
terdengar sorak-sorai menyambut pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal
pendekar sakti Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang tersohor itu? Akan
tetapi, banyak pula alis yang dikerutkan dengan heran dan menduga-duga.
Isteri
pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini tokoh Cin-ling-pai ini
maju! Apa artinya ini? Akan tetapi mereka semua maklum bahwa kalau pendekar
sakti ini maju untuk bertanding, maka di tempat itu akan terjadilah
pertandingan yang amat hebat dan mereka semua merasa beruntung untuk dapat menyaksikannya.
Seketika
wajah Lie Ciauw Si menjadi pucat ketika dia melihat pamannya sudah maju ke
tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang
nampak gagah penuh wibawa itu.
Sementara
itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum gembira. Sekarang saat yang dia
nanti-nantikannya sudah tiba. Memang untuk inilah dia mengadakan pertemuan
besar itu. Selain untuk menghimpun orang-orang pandai, juga hendak menonjolkan
dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw, dia juga hendak
memancing datangnya keluarga Cin-ling-pai.
Apa bila dia
dapat menarik mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si
sudah menjadi isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena
kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik
mereka dan mempengaruhi mereka, maka dia akan dapat mengalahkan mereka satu
demi satu sehingga dengan demikian dunia kang-ouw akan melihat bahwa dialah
jago nomor satu di dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang sangat terkenal itu
pun tidak ada yang mampu menandinginya!
Maka,
melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah maju, dia memandang dengan
sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan dahulu dua orang
pembantunya itu menguji sampai di mana kehebatan pendekar sakti ini, apakah
memang sehebat apa yang dikabarkan orang.
Ketika
pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua
tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam penuh
wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir masih
tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar
tajam mencorong dan penuh wibawa itu saling pandang, seolah-olah mereka berdua
saling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu.
Suasana
menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan mencekam hati. Hanya Lie Ciauw Si
yang nampak bergerak, kepalanya saja, kadang kala diangkat memandang pamannya,
kadang-kadang menunduk kembali, sementara kedua tangannya meremas-remas ujung
bajunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan.
Akan tetapi
suasana yang mencekam itu kemudian dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang
Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sebenarnya dia
sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu.
"Enghiong
dari manakah yang kini maju? Apakah hendak mengajukan diri sebagai calon
jagoan? Harap suka memperkenalkan diri."
Setelah
mendengar teguran ini, Bun Houw baru membalikkan tubuhnya dan menghadapi
Kim-liong-ong yang ternyata sudah berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak
Bun Houw menatap mereka berdua dengan sikap kereng, kemudian terdengarlah suara
yang lantang dan jelas.
"Aku
bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!" Baru saja dia
berkata sampai di sini, lalu terdengar suara berbisik di antara para tamu,
yaitu mereka yang baru sekarang melihat pendekar ini sungguh pun semua telah
mendengar nama besarnya, apa lagi nama besar Cin-ling-pai, yang akhir-akhir ini
menjadi semakin terkenal sesudah ada berita bahwa keluarga Cin-ling-pai dituduh
sebagai pemberontak, malah menjadi pelarian-pelarian pemerintah.
Setelah
suara berbisik itu mereda, Bun Houw baru melanjutkan kata-katanya, "Kami
dari Cin-ling-pai tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di dunia
ini. Karena itu, kedatanganku di sini pun sama sekali bukan hendak
memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi
aku datang justru untuk menguji sampai di mana kehebatan orang yang berani
menyebut dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"
Langsung
terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang
bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena
ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka menganggap Bun Houw sebagai
wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum sesat
yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi
mencari harta benda, kedudukan, atau nama besar.
Mendengar
ucapan yang penuh wibawa ini, juga melihat sikap pendekar itu yang kereng, dan
melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu
lantas mengerutkan alis dan mereka pun menjadi bingung. Tetapi Kim-liong-ong
yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang,
"Cia
Bun Houw, ucapanmu tadi sungguh menyimpang dari pada maksud dari pertemuan
besar yang diadakan oleh pangeran ini. Sekarang dengan siapa engkau akan
bertanding, sedangkan jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa?"
Cia Bun Houw
yang tadi pun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan kakek kecil
pendek ini lalu menjawab, "Dengan siapa saja yang merasa dirinya jagoan
tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo dikenal sebagai datuk-datuk selatan, akan
tetapi hari ini aku melihat betapa salah seorang di antaranya hanyalah seorang
tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa
hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh
berlaku licik dan curang sesuka hatinya!"
Ucapan ini
terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena segera terdengar suara tawa menyambut
ucapan yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-liong-ong tadi.
Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi marah bukan main. Nama
besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini!
Kini
Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, "Orang muda she
Cia yang sombong! Ucapanmu itu terlampau besar dan engkau menantang Lam-hai
Sam-lo. Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, maka
dengan demikian engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang
terhormat, dan..."
"Cukup!"
Bun Houw membentak demikian nyaringnya hingga mengejutkan semua orang karena di
dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang sangat
hebat, terbawa khikang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan itu
mendatangkan getaran dahsyat. "Dalam urusan ini tiada hubungannya dengan
keluarga! Aku datang bukan untuk membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai
Sam-lo berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani,
menggelindinglah pergi dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan
semuanya ini!" Sambil berkata demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah
Pangeran Ceng Han Houw.
"Paman...!"
Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah itu membuka mulut, akan tetapi suaranya
tadi hanya merupakan bisikan sebab lengannya keburu disentuh oleh suaminya yang
masih tersenyum-senyum saja.
"Tenang,
Si-moi dan mari kita lihat perkembangannya," bisiknya kembali.
Sementara
itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah
sekali. "Cia Bun How, benarkah tadi engkau menantang kami berdua untuk
maju bersama melawanmu? Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!"
kata Phang Tek yang marah bukan main, akan tetapi mengingat akan nama besar
Lam-hai Sam-lo, dia merasa tidak enak hati dan malu apa bila harus menghadapi
orang muda ini dengan pengeroyokan mereka berdua.
"Lam-hai
Sam-lo, mengapa banyak cerewet? Jangankan kini tinggal kalian berdua, meski
masih lengkap tiga orang pun aku tidak akan gentar melawan kalian.
Majulah!" Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi
hajaran kepada mereka ini, kini sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua
kaki terpentang lebar, tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang
matanya mencorong laksana mata seekor naga, tanda bahwa ketika itu tenaga
sinkang-nya telah naik dari pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap
untuk dipergunakan dalam setiap gerakan.
Dua orang
kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw, juga
mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini masih
terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri? Maka Phang Tek lalu
menghadap ke arah pangeran dan berkata,
"Harap
paduka maafkan kami berdua yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam
keadaan seperti ini."
Ceng Han
Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap nampak
berseri, lantas berkata tenang, "Seorang yang sakti dan gagah perkasa
seperti Cia-taihiap sudah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak
memperlihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih
sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan
menguji kepandaian, kenapa kalian berdua masih ragu-ragu lagi?"
Diam-diam
Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang masih begitu
muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai demikian
jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang sama sekali
tidak boleh dipandang ringan!
Mulailah dia
mengerti mengapa keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk
terhadap pangeran itu. Kiranya pangeran itu, biar pun masih muda, selain
memiliki wajah yang amat tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang
mengagumkan dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi pula!
Dan wajah
pucat dari Ciauw Si agak berseri ketika dia mendengar ucapan suaminya itu.
Diam-diam dia melirik ke arah ibunya dan dapat melihat ibunya itu
berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong. Tentu saja dia tidak
tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami ibunya itu.
Sedangkan
bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya dengan penuh perhatian
karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang menghadapi lawan yang
amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak maju bersama
mengeroyok suaminya.
Sementara
itu, dua orang kakek itu menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran
memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang
telah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang
akan menjadi calon lawan majikan mereka.
"Kalau
begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap." Sesudah
mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak berani
menyebut lainnya. "Kami akan maju bersama menghadapimu."
"Tak
perlu banyak cakap, maju dan mulailah!" jawab Bun Houw tak sabar lagi.
Dua orang
kakek itu cepat memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun Houw
dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang
tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali
tak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka.
Akhirnya
kedua orang kakek itu mengambil sudut yang dianggap paling menguntungkan, yaitu
di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan Phang Sun di sebelah
kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar mata, keduanya
mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!
"Wuuut...
wuuuttt... plak-plak plak-plak!"
Dengan
gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri itu, dengan
menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga dia sudah
berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang kakek itu
agak terhuyung!
Kembali Bun
Houw berdiri tegak ada pun kedua orang lawannya kini berada di depan dan
belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak sebab
pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa
tergetar hebat.
Hal itu
tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah mempergunakan tenaga Thian-te
Sin-ciang yang sudah dilatih sampai pada puncaknya! Dan kini, meski pun
Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak menjadi gentar,
bahkan sama sekali tak menggerakkan kepalanya sebab ketajaman pendengarannya
bisa menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-olah dia dapat
melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi kekuatannya pada
mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti segala
gerak-gerik dua orang lawannya.
Kembali dua
orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan
bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka demikian
dahsyatnya, semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong
Phang Tek itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih
cepat dibandingkan gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek!
Bagaikan
seekor singa Phang Tek menyerang dengan dua tangan dibentuk seperti cakar dan
kedua lengannya itu bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sebenarnya
orang pertama dari Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga
Liong-jiauw-kun dan Liong-jiauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya,
meski pun gerakannya tidak seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek
Kim-liong-ong Phang Sun itu memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat sehingga
setiap pukulannya mendatangkan angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan
bunyi bercuitan!
Tingkat
kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang Tek
lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa benar
oleh Bun Houw maka dia pun tidak berani memandang rendah sehingga untuk
menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan
Thai-kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya.
Ilmu silat
ini memang merupakan ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan
mempunyai daya tahan yang sangat kuat sehingga dengan ilmu ini dia seakan-akan
dapat menahan serangan seribu orang lawan! Apa lagi pada waktu itu tingkat
kepandaian Bun Houw sedang berada pada puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya
dan dia amat terlatih.
Maka, dengan
langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke
sana-sini atau menambahnya dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan
serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh
itu.
Pertandingan
itu sudah lewat lima puluh jurus, namun kedua orang pengeroyok itu sama sekali
belum pernah mampu menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke arah
pertempuran dengan mata terbelalak karena kagum. Yap Kun Liong memandang dengan
sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang dengan alis
berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian tingginya
sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan tingkat
tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah.
Sedangkan
Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik ketiga orang yang bertanding itu
dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu bahwa suaminya
tak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan andai kata
suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi tentu
suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau setidaknya seorang
di antara mereka.
Lie Ciauw Si
yang biar pun amat lihai tapi juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang
dengan bingung. Dia tidak tahu harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah
pamannya yang bertindak atas nama Cin-ling-pai, sedangkan kedua orang
pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu suaminya yang menggantikan dia. Dia
tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan apa bila dia yang masih
menjadi penguji dan harus berhadapan dengan pamannya yang sakti itu!
Sedangkan
Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah berseri dan beberapa kali dia
mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap gerak-gerik Cia Bun Houw yang
memang merupakan seorang pendekar yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi,
diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa dua orang
pembantunya itu tidak akan dapat menang.
Karena itu
mulailah dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Mengapa adik
angkatnya itu tidak kembali ke situ? Kalau saja ada Sin Liong, sebelum dia
sendiri harus berhadapan dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk
paman isterinya itu, dia akan menyuruh Sin Liong mewakilinya untuk menguji
pendekar dari Cin-ling-pai itu!
Meski pun
dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera kandung dari
pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum ada
hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka
hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar
ini dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu.
Seandainya
di antara ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, maka dia
dapat pula mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu
kepandaian yang tak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang
pembantu yang boleh diharapkan. Oleh karena itu, maka melihat dua orang
pembantunya itu agaknya terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat
kepada Sin Liong dan mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu.
Ke manakah
perginya Sin Liong? Apa yang terjadi dengan dia? Mari kita mengikuti Sin Liong
yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu.
Sesudah Sin
Liong mendengar bisikan pangeran yang hendak memaksa membantunya dan bahwa Bi
Cu berada dalam pengawasan serta kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio,
maka tahulah Sin Liong bahwa kakak angkatnya itu kembali berbuat curang.
Tahulah dia bahwa Bi Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa
dia harus membantu pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu
Pangeran itu agar berhasil menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi
bengcu untuk menghimpun tenaga
Hek-hiat
Mo-li mengeluarkan gerengan laksana seekor binatang marah dan dia langsung
menubruk dari samping, menghantamkan tongkat bututnya ke arah belakang kepala
Sin Liong sambil tangan kirinya mencengkeram ke arah dada.
Sin Liong
yang pada waktu itu sedang tertegun karena melihat betapa dia telah berhasil
membunuh wanita yang menjadi musuh besarnya, yang telah membunuh ibu kandungnya
itu, segera berbalik ketika merasa ada sambaran angin serangan dahsyat itu.
Dari angin pukulan itu tahulah Sin Liong bahwa nenek ini sudah marah sekali dan
telah mengerahkan seluruh tenaganya, agaknya hendak mengadu nyawa dengan dia
karena marah melihat muridnya yang terkasih itu tewas.
"Hemm,
engkau pun harus mampus untuk pergi menghadap arwah kongkong!" bentaknya
dan dia pun cepat menangkis dan balas menyerang.
Karena
sekali ini Sin Liong tidak mau memberi hati lagi, begitu balas menyerang dia
pun telah memilih jurus-jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang merupakan ilmu
simpanan dan yang belum dikenal oleh orang lain sehingga betapa pun nenek itu
hendak mengelak dan menangkis, tetap saja pukulan aneh itu mengenai dadanya.
"Desss...!"
Tubuh nenek
itu terlempar lagi ke belakang dan menghantam dinding, gudang itu seperti
tergetar saking kerasnya tubuh nenek itu menumbuk dinding. Akan tetapi, sungguh
pun pukulan tadi hebat sekali, namun Hek-hiat Mo-li tetap merangkak bangun maju
lagi dan memekik-mekik seperti orang gila sambil menyerang dengan tongkatnya,
agaknya sedikit pun tidak merasakan pukulan dahsyat itu!
Sin Liong
merasa terkejut bukan kepalang. Pukulannya tadi hebat sekali, dan dia sudah
mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang pada tangannya. Namun ternyata nenek tua
itu mempunyai kekebalan yang luar biasa sekali, agaknya kekebalan yang sudah
melindungi seluruh tubuh bagian dalam sehingga pukulan yang demikian ampuhnya
pun tidak dapat melukai luar mau pun dalam!
Ketika tadi
Sin Liong merobohkan Kim Hong Liu-nio sesudah melakukan serangan hebat yang
langsung membuat guru dan murid itu terdesak hebat, pendekar wanita Yap In Hong
memandang dengan mata terbelalak! Dia merasa heran, terkejut, dan kagum bukan
main.
Dia sudah
mengenal betul siapa adanya Hek-hiat Mo-li dan betapa lihainya nenek iblis itu,
dan dia pun tahu bahwa murid nenek itu pun lihai bukan main. Akan tetapi,
dikeroyok dua oleh guru dan murid itu, Sin Liong sama sekali tidak kelihatan
repot, bahkan dalam waktu singkat saja sudah berhasil menewaskan Kim Hong
Liu-nio secara demikian luar biasa, menggunakan hio-hio (dupa biting) yang
bernyala yang merupakan senjata rahasia dari lawan itu.
Kini tubuh
Kim Hong Liu-nio terlentang tak bernyawa lagi, akan tetapi dua batang hio yang
menancap pada dada dan dahi itu masih mengeluarkan asap harum! Dan melihat
betapa dalam gebrakan selanjutnya Hek-hiat Mo-li sudah kena dihantam sedemikian
kerasnya, benar-benar membuat Yap In Hong kagum bukan main!
Dia sendiri
pernah melawan nenek ini dan biar pun akhirnya dia berhasil menang, namun harus
melalui pertandingan yang amat lama, amat melelahkan dan amat berbahaya. Dan
kini, dalam perkelahian yang belum lama, Sin Liong telah mampu membuat tubuh
nenek itu terlempar dua kali!
Akan tetapi,
melihat wajah pemuda itu terkejut, dia lantas mengerti sebabnya. Dia sudah
mengenal kekebalan nenek itu yang dahulu pernah membuat dia repot dan bingung
juga, maka dia pun lalu cepat berkata, "Sin Liong, kau hantam kedua
telapak kakinya!"
Mendengar
ini, mengertilah Sin Liong bahwa nenek itu memiliki kelemahan pada telapak
kakinya. Dan memang benarlah demikian. Di dalam cerita Dewi Maut, pendekar
wanita Yap In Hong pernah bertanding mati-matian dengan nenek ini dan
seandainya dia tidak dapat menemukan rahasia kelemahan nenek ini, yaitu pada
kedua kakinya, belum tentu dia dapat keluar sebagai pemenang. Kini dia membuka
rahasia kelemahan itu kepada Sin Liong.
MENDENGAR
ini, girang hati Sin Liong. Tadi dia sudah kaget sekali menyaksikan kehebatan
ilmu kekebalan nenek ini dan walau pun hal itu tidak membuat dia merasa gentar,
akan tetapi setidaknya membuat dia menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana
caranya dia akan bisa mengalahkan orang yang tubuhnya kebal seperti itu. Kini,
mendengar petunjuk dari Yap In Hong, dia girang sekali dan cepat dia
menghantamkan kedua tangannya ke arah kedua kaki nenek itu dengan pengerahan
tenaga sinkang-nya.
Akan tetapi,
betapa terkejutnya hati Yap In Hong dan juga Sin Liong sendiri ketika nenek itu
hanya mengelakkan sebelah kaki saja, lantas sambil terkekeh-kekeh dia menyambut
hantaman Sin Liong dengan kaki lainnya! Justru dengan telapak kakinya yang
dianggap tempat lemah itu.
"Dukkk!"
Kembali
tubuh nenek itu terlempar ke belakang, akan tetapi Sin Liong terkejut bukan
main karena tangannya bertemu dengan benda yang amat keras, yang agaknya
tersembunyi di dalam sepatu yang tebal itu. Ternyata nenek itu sudah melindungi
bagian tubuhnya yang lemah itu, yaitu dua telapak kakinya, dengan logam,
mungkin baja murni yang amat kuat dan tebal dan melindungi kedua telapak kaki
itu dengan disembunyikan di dalam sepatu. Pantas saja sepatu nenek itu amat
tebal!
"He-he-he,
Yap In Hong, kau kira masih akan dapat mengalahkan aku dengan memukul telapak
kakiku? Heh-heh!" Nenek itu tertawa girang sekali dan dia sudah menerjang
lagi ke arah Sin Liong dengan lebih dahsyat!
Sin Liong
menjadi marah. Dia menyambut terjangan nenek itu dengan kedua tangannya, tangan
kirinya menangkis tongkat dan terus menangkap tongkat itu, sedang tangan kanan
menangkis pukulan tangan kiri lawan dan terus dia mengerahkan Thi-khi I-beng
sehingga tongkat dan tangan nenek itu tersedot dan melekat.
"Heh-heh,
siapa takut Thi-khi I-beng?" Nenek itu berseru sambil menggerakkan
tubuhnya meliuk seperti ular, dan tiba-tiba saja tongkat serta tangannya dapat
terlepas dari sedotan karena nenek itu segera menarik kembali sinkang-nya,
kemudian secepat kilat nenek itu telah menggerakkan tongkatnya dari jarak yang
sedemikian dekatnya untuk menotok jalan darah maut di leher Sin Liong, di bawah
telinga kiri!
"Tukk!
Prakkk!"
Nenek itu
terkejut bukan main. Totokannya tadi tepat sekali mengenai sasaran. Biasanya,
totokan seperti itu tidak mungkin dapat dilindungi oleh kekebalan, maka dia
sudah girang sekali karena mengira bahwa totokannya tentu akan merobohkan
pemuda itu.
Dia tidak
tahu bahwa dengan latihannya menurut isi kitab-kitab Bu Beng Hud-couw yang
aneh, pemuda itu telah dapat membalikkan jalan darahnya sehingga ketika ujung
tongkat itu mengenai jalan darah, yang ditotoknya hanyalah urat yang pada saat
itu berhenti tidak mengalirkan darah karena darahnya berpindah mengalir melalui
tempat lain! Dan ketika itu pula, dengan tangannya Sin Liong menampar ke arah
tongkat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tongkat itu patah-patah.
Kini Sin
Liong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, memainkan San-in Kun-hoat dengan
kedua tangannya, gerakannya lembut seperti awan gunung, akan tetapi ilmu silat
yang dipelajarinya dari ketua Cin-ling-pai ini hebat sekali sehingga biar pun
amat lembut, jari-jemari tangannya mengancam ke arah mata nenek itu, bagian
yang tentu saja tidak mungkin dilindungi oleh kekebalannya yang amat kuat itu.
"Ihhh...!"
Nenek itu mengelak dan menggunakan dua tangan untuk melindungi mukanya.
Memang
inilah yang dikehendaki oleh Sin Liong. Begitu kedua lengan nenek itu bergerak
melindungi matanya, gerakan sekilat ini sedikit banyak mengurangi kewaspadaan
nenek itu karena matanya terhalang lengan dan nenek itu terlalu mengandalkan
kekebalannya sehingga tidak melindungi tubuh lain.
Kesempatan
ini digunakan oleh Sin Liong untuk melakukan gerakan cepat mencengkeram dengan
kedua tangannya, menangkap leher serta baju pada bagian dada nenek itu, dan
sebelum Hek-hiat Mo-li tahu apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, mendadak
Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan sekuat tenaga dia melemparkan
tubuh nenek itu ke arah api yang sedang berkobar!
"Hiaaattt...!"
Bentakan ini disusul lemparan kedua tangan dan tubuh nenek itu melayang cepat
ke arah api!
"Brakkk!"
Pilar kayu
di mana tadi Bi Cu dibelenggu dan yang kini sudah berkobar-kobar itu segera
patah-patah tertimpa tubuh Hek-hiat Mo-li, disusul oleh pekik dahsyat nenek itu
karena pakaiannya terjilat api dan mulailah dia terbakar oleh api yang mulai
bernyala di pakaian dan rambutnya! Nenek itu meloncat ke sana-sini, akhirnya
bergulingan dan menjerit-jerit. Namun api makin membesar hingga akhirnya dia
berkelojotan dan Sin Liong membuang muka. Sesudah nenek itu tidak bersuara
lagi, Sin Liong cepat menghampiri Bi Cu.
"Sin
Liong...!" Kebetulan Bi Cu siuman dan mereka saling tubruk dan saling
berangkulan, dipandang oleh Yap In Hong yang menahan senyumnya.
Sin Liong
lalu menggandeng tangan kekasihnya, diajaknya berlutut di hadapan pendekar
wanita itu. "Yap-lihiap sudah menyelamatkan nyawa Bi Cu, kami berdua
berterima kasih sekali dan kami tidak akan melupakan budi kebaikan
lihiap," kata Sin Liong dengan suara terharu.
Yap In Hong
tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda yang sedang berlutut di hadapannya
itu. Baru kini dia tahu bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian yang
hebat sekali, dan mulailah dia mengerti mengapa pemuda ini dahulu mencegah dia
dan suaminya ketika hendak membunuh Kim Hong Liu-nio. Ternyata pemuda ini
hendak membunuh sendiri wanita jahat itu, dan tentu ada alasannya yang amat
kuat.
"Sudahlah,
Sin Liong, di dalam keadaan seperti ini, tidak perlu sungkan-sungkan. Engkau
terus teranglah sekarang, apakah engkau benar-benar hendak membantu
pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw?"
Sin Liong
mengangkat muka memandang, dan wanita perkasa itu terkejut menyaksikan sinar
mata yang mencorong seperti mata naga itu!
"Tidak,
lihiap. Bahkan aku akan membantu untuk menghancurkan usahanya yang busuk
itu!"
"Bagus,
kalau begitu lekas kita keluar. Tempat ini mulai terbakar dan aku tidak tahu
bagai mana jadinya dengan pertandingan di luar." Yap In Hong lalu cepat
meloncat keluar.
Sin Liong
yang menggandeng tangan Bi Cu bangkit bersama dara itu dan mereka saling
pandang. Ketika Bi Cu melihat tubuh Kim Hong Liu-nio sudah menjadi mayat dan
hio-hio itu masih mengepulkan asap harum, sedangkan tubuh nenek itu menjadi
semakin hitam karena terbakar, dia pun mengeluh dan merangkul Sin Liong,
menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya. Teringatlah dia betapa kalau dia
tidak tertolong, tentu dia akan mati secara mengerikan seperti nenek itu pula.
"Semuanya
telah berlalu... tenanglah," Sin Liong berkata sambil mendekap dan
mengelus rambut kekasihnya, lalu mengajaknya keluar dari tempat itu, menuju ke
luar, ke tempat pertemuan dengan jalan memutar, tidak lewat dalam istana,
melainkan lewat taman bunga di samping istana.
Mereka
melihat betapa Yap In Hong sudah berjalan cepat menuju ke ruangan depan itu.
Mereka lalu ikut melangkah perlahan-lahan menuju keluar di mana agaknya masih
terjadi keributan-keributan.
Kiranya
pertandingan antara Cia Bun Houw yang dikeroyok dua oleh Hai-liong-ong Phang
Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun berjalan amat seru dan mati-matian. Pada saat
Yap In Hong tadi meninggalkan suaminya untuk melakukan penyelidikan ke belakang
istana, dia melihat bahwa suaminya sudah mendesak dua orang lawan itu, maka
setelah berunding dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, dia meninggalkan
tempat itu, menyelinap ke belakang tanpa diketahui orang lain dan di gudang itu
dia sempat menyaksikan Sin Liong menewaskan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong
Liu-nio. Bahkan dia sempat menyelamatkan Bi Cu yang terancam maut.
Karena
ternyata di belakang istana itu tidak terdapat gerakan apa-apa, dan karena
girang bahwa Sin Liong ternyata berpihak kepada Cin-ling-pai dan menentang pangeran,
maka wanita perkasa itu lalu cepat kembali ke situ. Akan tetapi ternyata,
sungguh pun dia tidak menggunakan waktu yang terlalu lama meninggalkan tempat
itu, setelah kini dia kembali, pertandingan itu sudah berubah menjadi lebih
menegangkan dan mati-matian karena dua orang yang mengeroyok suaminya itu
sesudah terdesak hebat lalu mengeluarkan senjata masing-masing.
Phang Tek
sudah mempergunakan senjata tongkatnya yang hanya sepanjang sebatang pedang,
kemudian memainkan tongkat itu seperti sebatang pedang dengan Ilmu Pedang
Liong-jiauw-kiam yang ganas. Juga adiknya, Phang Sun, telah mempergunakan
sebatang pisau belati yang berwarna hitam dan mengetuarkan bau amis. Memang
belati di tangan Kim-liong-ong Phang Sun ini mengandung racun yang amat jahat, sekali
gores pada kulit saja sudah cukup untuk mengirim lawan ke lubang kubur!
Akan tetapi
ketika melihat dua orang lawannya yang telah terdesak itu kini menggunakan
senjata, Bun Houw tidak berkata apa-apa. Dia maklum bahwa memang dua orang
lawan itu bukan sekadar menguji kepandaiannya, melainkan jika mungkin akan
membunuhnya, maka dia pun lalu mencabut sebatang pedang.
Semua orang
menjadi silau melihat sekilat sinar emas yang kemudian bergulung-gulung.
Kiranya itu adalah Hong-cu-kiam, sebatang pedang tipis yang bisa digulung atau
dipakai sebagai sabuk, pedang yang pernah menggemparkan kolong langit di tangan
pendekar ini.
Dengan
pedang di tangan, pendekar ini tentu saja seperti seekor harimau tumbuh sayap.
Dua orang kakek dari selatan itu kecele, karena begitu mereka bermain senjata,
melawan pedang pemuda itu sungguh merupakan hal yang amat berbahaya.
Belum lagi
lima puluh jurus mereka bertanding, Hai-liong-ong Phang Tek telah kehilangan
tongkatnya yang patah menjadi dua dan kulit lengan kiri Kim-liong-ong Phang Sun
terobek sehingga mengeluarkan darah. Keduanya terkurung hebat oleh gulungan
cahaya pedang dan kalau Bun Houw hendak menurunkan tangan kejam, tentu mereka
dalam saat-saat berikutnya akan roboh!
Pada saat
itu, Pangeran Ceng Han Houw bangkit dan melangkah maju sambil berseru,
"Tahan senjata...!"
Mendengar
ini, sebagai seorang tamu yang tahu aturan, Bun Houw menahan pedangnya dan
lenyaplah sinar gemilang dari pedang itu. Kini pendekar itu berdiri tegak
menghadapi pangeran, pedangnya sudah masuk kembali ke sekeliling pinggangnya,
dililitkan laksana sebatang sabuk! Hanya sedikit peluh di leher pendekar itu
yang menunjukkan bahwa dia sudah mengeluarkan banyak tenaga menghadapi dua
orang lawan tangguh tadi, ada pun dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo itu
berdiri di pinggiran sambil terengah-engah dan seluruh muka, leher dan baju
mereka basah oleh keringat!
Pangeran
Ceng Han Houw sudah melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat dan ramah
kepada Cia Bun Houw. "Paman Cia Bun Houw sungguh gagah perkasa dan amat
mengagumkan..."
"Maaf,
pangeran, selamanya saya tidak pernah merasa mempunyai seorang keponakan
seperti Pangeran. Bicaralah yang benar!" Cia Bun Houw memotong dengan
suara ketus penuh teguran. Tentu saja ucapan ini merupakan tamparan hebat,
tetapi Ceng Han Houw masih tersenyum dengan ramahnya.
"Mungkin
saja seorang enghiong gagah perkasa seperti Cia-tahiap tak mau menganggap saya
sebagai keponakan, akan tetapi adalah merupakan kenyataan bahwa isteri saya,
Lie Ciauw Si, ialah keponakanmu. Taihiap telah menundukkan dua orang kakek dari
Lam-hai Sam-lo, dengan demikian berarti sudah memenuhi syarat secukupnya untuk
menjadi jago nomor satu di dunia, kecuali bila ada yang akan menandingi
taihiap. Dengan kepandaian taihiap yang tinggi, maka kami mengharapkan agar
taihiap akan sudi membantu agar kita semua dapat bangkit dan menentang
kelaliman kaisar..."
"Cukup,
pangeran! Aku bukan seorang pemberontak!"
"Justru
itulah, Cia-taihiap. Taihiap beserta semua anggota keluarga Cin-ling-pai
bukanlah pemberontak dan tidak pernah memberontak, akan tetapi apa yang telah
terjadi? Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai yang
gagah perkasa semuanya sudah dituduh pemberontak oleh kaisar yang tidak
mengenal budi, bahkan telah menjadi orang-orang buruan pemerintah. Bukankah hal
itu membikin orang menjadi penasaran?"
"Kami
sekarang sudah dibebaskan, dan aku tidak mau bicara tentang itu!" Cia Bun
Houw berkata dengan ketus.
Pada saat
itu pula Lie Ciauw Si sudah bangkit kemudian berkata, "Paman Cia Bun Houw,
hendaknya paman mengetahui bahwa yang sudah membebaskan keluarga Cin-ling-pai
dari tuduhan pemberontak adalah Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi
suamiku inilah! Dia bermaksud baik, dia hendak menghimpun kekuatan orang-orang
gagah, kaum patriot untuk menentang penindasan..."
"Lie
Ciauw Si!" Tiba-tiba terdengar suara Cia Giok Keng yang nyaring, membuat
semua orang menengok ke belakang, "Aku malu sekali melihat kau menjadi
kaki tangan gerakan pemberontak! Aku malu mendengar kata-katamu yang
membelanya! Aku malu melihat engkau merendahkan diri menjadi isterinya!"
Seketika
wajah Ciauw Si menjadi pucat dan dia memandang ke arah ibunya yang sudah
bangkit berdiri dari kursinya itu dengan sinar mata sedih. "Ibu... dia...
dia seorang suami yang baik..."
Cia Giok
Keng yang marah sekali itu hendak bangkit meninggalkan tempat duduknya dan
menghampiri ke tengah ruangan, akan tetapi lengan tangannya dipegang oleh Yap
Kun Liong lantas suaminya ini membujuknya sehingga akhirnya dia duduk kembali,
menutupi mukanya dan menangis!
Sementara
itu, Cia Bun Houw berkata kepada Pangeran Ceng Han Houw, "Pangeran kita
bicara seperti laki-laki ataukah engkau hendak menggunakan wanita untuk
membelamu?"
Han Houw
tersenyum, memegang tangan Ciauw Si dan membujuknya lalu menuntunnya sehingga
akhirnya Ciauw Si kembali duduk di atas kursinya dan menundukkan mukanya,
menyembunyikan air matanya yang menetes keluar. Kemudian pangeran itu kembali
maju menghampiri Bun Houw sehingga mereka berdiri berhadapan dan saling
memandang.
Pangeran itu
tahu bahwa bujukannya yang dibantu isterinya tidak akan berhasil, maka kini dia
ingin mengambil jalan lain yang akan menguntungkan dia, yaitu hendak merobohkan
orang-orang Cin-ling-pai di depan semua orang kang-ouw agar mereka semua tahu
bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Kemenangannya atas semua
pendekar-pendekar Cin-ling-pai tentu akan membuat para tokoh kang-ouw lainnya
menjadi tunduk sehingga pengaruhnya tentu akan menjadi lebih besar sehingga
mudah baginya untuk menguasai mereka.
Sesudah
kedua orang ini saling pandang dengan sinar mata tajam, akhirnya Han Houw
berkata, suaranya lantang karena dimaksudkan agar semua orang dapat
mendengarnya, "Cia-taihiap, kami telah bermaksud baik dan mengingat akan
pertalian kekeluargaan, akan tetapi taihiap menolaknya. Sekarang, pendekar
sakti Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah maju ke sini dan mengalahkan dua
orang yang menjadi penguji. Taihiap adalah seorang calon jagoan nomor satu di
dunia."
"Aku
tidak ingin menjadi jagoan, hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian
orang yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia, tidak peduli
siapa adanya dia itu!"
Ceng Han
Houw tersenyum, kemudian dia memandang ke sekeliling. "Cu-wi tentu sudah
mendengarnya. Pendekar Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang amat lihai
pada waktu ini, dan aku mendengar kabar bahwa ilmu kepandaiannya bahkan telah
melampaui tingkat mendiang ayahnya, yaitu ketua sekaligus pendiri dari
Cin-ling-pai! Oleh karena itu, kemunculannya ini dapat diartikan mewakili seluruh
Cin-ling-pai dan dia sudah lulus ujian dan mengalahkan kedua orang kakek dari
Lam-hai Sam-lo. Oleh karena itu, kalau ada di antara para locianpwe dan
enghiong yang merasa pantas untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia, harap
suka maju untuk menghadapi Cia-taihiap!"
Memang
pangeran ini cerdik sekali. Dia ingin mengadukan semua orang gagah di sana, dan
nanti pemenang terakhir barulah akan dihadapinya. Dengan cara ini di samping
tidak terlampau melelahkan baginya, juga dia dapat sekali pukul merobohkan
orang terpandai dan otomatis menjadi jagoan nomor satu di dunia!
Secara
diam-diam Bun Houw juga mendongkol sekali mendengar ini, akan tetapi karena
pangeran itu adalah tuan rumah, maka tentu saja dia berhak untuk bicara kepada
semua tamunya bahkan berhak pula untuk mengeluarkan peraturan. Maka dia pun
diam saja. Dia yakin bahwa di antara para orang gagah dari golongan bersih
tidak akan ada seorang pun yang sudi untuk memperebutkan julukan yang sombong
itu dan tidak akan ada yang mau menentangnya sebab mereka semua melihat bahwa
dia maju untuk menentang pangeran pemberontak itu.
Maka, dia
hanya ingin tahu tokoh golongan hitam yang mana yang akan maju. Dia akan
menghadapi mereka semua, karena memang tugasnya bersama keluarga Cin-ling-pai
ini hendak membantu Pangeran Hung Chih untuk menumpas persekutuan hitam yang
akan memberontak terhadap pemerintah di bawah pimpinan pangeran muda ini.
Akan tetapi,
ternyata dari golongan hitam pun tak ada yang berani maju! Setelah mereka semua
tadi menyaksikan betapa Bun Houw mampu merobohkan dua orang dari Lam-hai
Sam-lo, para tokoh hitam menjadi gentar sekali dan tidak ada seorang pun yang
berani lancang maju menghadapi pendekar Cin-ling-pai yang selain kelihaiannya
sudah terkenal sekali itu, bahkan sudah mereka saksikan sendiri betapa hebat
sepak terjangnya ketika mengalahkan Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong tadi.
Maka mereka
ingin sekali melihat sang pangeran itu sendiri yang menghadapi pendekar Cia Bun
Houw. Mereka tahu bahwa pangeran muda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
sudah mengalahkan banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan, bahkan sudah
berani pula menantang tokoh-tokoh Siaw-lim-pai! Karena itu, menurut pendapat
mereka, hanya pangeran itulah yang patut untuk menghadapi pendekar Cin-ling-pai
itu.
"Pangeran
saja yang maju!" tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara mereka.
Seruan ini
seperti menyinggung semua perasaan para tamu golongan hitam maka tempat itu
lalu menjadi bising dan semua orang menyatakan agar pangeran yang mau
menandingi pendekar Cin-ling-pal itu! Selain mereka menganggap bahwa pangeran
muda ini lawannya, juga mereka semua ingin menyaksikan pertandingan yang tentu
akan berlangsung amat hebatnya itu.
Diam-diam
Pangeran Ceng Han Houw merasa kecewa. Mengapa tidak ada lagi jagoan yang berani
maju? Apakah orang-orang yang akan dihimpunnya dan dijadikan
pembantu-pembantunya itu hanya terdiri dari orang-orang yang begitu penakut?
Melihat ini,
Hai-liong-ong Phang Tek lalu berkata, "Harap paduka pangeran sendiri yang
maju menghadapi Cia-taihiap karena agaknya tidak ada lagi yang sanggup."
Memang kakek
ini pun ingin melihat sang pangeran merobohkan pendekar yang sudah membikin dia
dan adiknya kewalahan sehingga mendapatkan malu itu, dan dia yang telah tahu
akan kelihaian pangeran ini, merasa yakin bahwa pangeran muda itu akan sanggup
merobohkan lawan tangguh ini.
Ceng Han
Houw tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas sehingga suara bising
itu pun berhenti. Kemudian terdengar suaranya lantang dan halus, "Pendekar
Cia Bun Houw adalah paman dari isteriku, maka bagaimana pun juga kami masih
terhitung keluarga dekat dan tentu saja tidak sepatutnya kalau aku sebagai
mantu keponakan maju melawannya. Tetapi, seperti kita semua ketahui, dalam ilmu
silat tidak boleh memandang hubungan apa pun, dan untuk menentukan siapa yang
lebih lihai tiada jalan lain kecuali mengadu kepandaian silat. Dan sudah jelas
bahwa Cia-taihiap merupakan calon tunggal, maka biarlah saya akan melayaninya
untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul. Tentu saja saya
mengharapkan kelonggaran hati Cia-taihiap dengan memandang muka isteriku!"
Kalimat terakhir ini ditujukan kepada Cia Bun Houw.
Bun Houw
memandang tajam, kemudian berkata, "Kalau engkau berhasrat untuk menjadi
jagoan nomor satu di dunia, nah, majulah pangeran. Aku ingin mengukur sampai di
mana kelihaian jagoan nomor satu di dunia!"
Dua orang
itu telah saling berhadapan dan siap untuk saling serang. Semua mata tertuju ke
arah mereka dan semua hati merasa tegang karena mereka semua maklum bahwa
sekali ini tentu akan terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat. Bahkan Yap
In Hong yang baru saja datang dan duduk di kursinya kini memandang dengan
jantung berdebar tegang, lalu berbisik-bisik dengan kakaknya, Yap Kun Liong
untuk mengatur siasat yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Bagaimana pun
juga, Yap In Hong tidak pernah menganggap pertandingan itu sebagai pibu, karena
itu dia pun siap membantu suaminya andai kata suaminya terancam bahaya.
Juga Sin
Liong yang sudah tiba di luar ruangan itu bersama Bi Cu, menyelinap di antara
penonton, pada bagian paling belakang sehingga tidak nampak jelas dari dalam,
sambil memegang tangan Bi Cu mereka berdua menonton dengan hati tegang pula.
Tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda dan dara yang baru datang ini,
karena semua orang mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang pria yang
saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago dalam medan laga.
Pangeran
yang mengenakan pakaian indah, dengan mantel berikut topi bulu itu nampak gagah
dan tampan sekali, bulu burung yang menghias topinya berwarna merah biru dan
kuning emas. Senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya dan dia sedikit pun tidak
memperlihatkan wajah gentar, berseri-seri dan sikapnya menunjukkan bahwa dia
percaya penuh akan keunggulannya.
Pendekar Cia
Bun Houw yang berdiri di hadapannya merupakan seorang laki-laki gagah yang
berpakaian dan bersikap sederhana dan kereng, sepasang matanya tajam penuh
wibawa dan dia menanti serangan lawan dengan tenang.
"Pangeran...!"
Ketegangan
itu melunak dan Pangeran Ceng Han Houw menoleh, memandang kepada isterinya yang
tadi memanggilnya dengan suara halus dan menggetar. Dilihatnya wanita cantik
itu memandang kepadanya dan sepasang mata yang indah itu agak kemerahan dan
basah.
"Pangeran,
ingatlah bahwa dia adalah pamanku..." kata Ciauw Si.
Hati wanita
ini merasa bingung dan tegang bukan main. Dia tahu benar betapa lihainya
suaminya. Dia sudah menguji sendiri kehebatan suaminya itu dan dia bahkan
mempunyai keyakinan bahwa pamannya itu sekali pun tidak akan dapat mengalahkan
Pangeran Ceng Han Houw, maka kekhawatirannya tertuju kepada pamannya sehingga
dia merasa perlu untuk mengingatkan suaminya yang berarti minta suaminya supaya
jangan menurunkan tangan keras terhadap adik ibunya itu.
Ceng Han
Houw tersenyum bangga. Perkataan isterinya itu, walau pun hanya diucapkan
perlahan, namun karena suasana sedang tegang dan sangat sunyi, ucapan itu
terdengar oleh semua orang dan ucapan isterinya itu saja sudah mengangkatnya
tinggi-tinggi di atas pendekar sakti yang akan menjadi lawannya. Isterinya
minta agar dia mau berlaku murah kepada pendekar itu, berarti bahwa isterinya
menyatakan kepada semua orang bahwa dia lebih unggul dari pada pendekar
Cin-ling-pai itu!
"Jangan
khawatir isteriku, ini hanya sebuah pibu, bukan perkelahian, tentu saja aku
tidak akan berani kurang ajar apa lagi menyakiti paman sendiri!" jawab
Ceng Han Houw sambil tersenyum lebar.
Bukan main
panasnya rasa hati Bun Houw mendengar ucapan pangeran itu. Dia merasa
direndahkan, dipandang ringan sekali di hadapan para tokoh kang-ouw.
"Pangeran, luka atau mati sudah jamak terjadi dalam pibu. Nah, kau
sambutlah ini!"
Karena tidak
ingin membiarkan pangeran itu bisa berlagak lebih lanjut, Bun Houw sudah
mengirim serangan dengan pukulan tangan kirinya yang ditamparkan ke arah leher
lawan, tamparan yang terlihat sembarangan dan ringan saja akan tetapi
sesungguhnya tamparan itu merupakan serangan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat
ampuh.
"Harap
Cia-taihiap jangan bersikap sungkan lagi," kata sang pangeran yang
menghadapi serangan itu masih sempat bicara, sambil mengelak dengan amat
mudahnya, seolah-olah dengan ucapannya itu dia menegur pendekar Cin-ling-pai
itu bahwa serangannya terlalu lemah dan terlalu sungkan!
Tentu saja
Cia Bun Houw dapat merasakan sindiran ini, sebab itu dia pun kemudian mulai
menggerakkan tubuhnya dengan cepat, mengerahkan sinkang pada sepasang tangannya
dan pendekar ini pun menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia dapat menduga
bahwa pangeran ini bukan sekadar omong kosong atau sombong belaka, melainkan
benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi, maka begitu bergerak, Bun Houw
sudah menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang ampuh itu.
Kedua
lengannya mengandung tenaga dari Ilmu Thian-te Sin-ciang yang sangat dahsyat
dan kuat. Setiap gerakannya mendatangkan angin pukulan yang amat mantap
sehingga setiap kali dielakkan lawan, jari-jari tangannya seolah-olah tergetar
ketika pukulan ditahan, seperti ujung pedang saja!
Girang
sekali rasa hati Han Houw. Inilah yang selalu dia nanti-nantikan, yaitu
menandingi seorang pendekar yang telah mencapai puncak ketenarannya kemudian
mengalahkannya! Kemenangan seperti ini akan jauh lebih menyenangkan dan nikmat
dari pada melawan tokoh-tokoh biasa saja.
Dan kalau
saja dia dapat mengalahkan pendekar dari Cin-ling-pai ini di depan penyaksian
demikian banyaknya orang kang-ouw, sekali ini namanya tentu akan meningkat
tinggi dan selain dia berhak menggunakan gelar Thian-te Te-it Tai-hiap
(Pendekar Sakti Nomor Satu di Kolong Langit), juga dengan sendirinya dia akan
menduduki kursi Bengcu (Pemimpin Rakyat) sehingga akan mudah menghimpun dan
mengerahkan tenaga orang-orang dunia kang-ouw untuk niatnya menentang kaisar!
Dialah yang
patut menjadi kaisar, bukan Kaisar Ceng Hwa yang sekarang ini, bukan pula
Pangeran Hung Chih. Dialah yang paling tepat untuk menjadi kaisar! Dia merasa
yakin akan dapat mengalahkan pendekar Cin-ling-pai ini, sungguh pun dia maklum
bahwa untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Dua orang
pria yang berilmu tinggi itu kini bertanding dengan serunya. Mata semua tamu
ditujukan untuk mengikuti pertandingan itu, dengan pandang mata penuh
ketegangan dan kekaguman dan hampir tak pernah ada yang berkedip, seolah-olah
merasa sayang untuk melewatkan sedikit gerakan tanpa mereka ikuti dengan
seksama.
Memang
mereka berdua itu hebat sekali. Setiap pukulan mendatangkan angin keras dan
merupakan pukulan yang ampuh, dapat menghancurkan batu karang. Akan tetapi,
setiap serangan dapat dihindarkan masing-masing dengan cara indah pula, jika
tidak mengelak dengan gerakan cepat dan tepat, tentu ditangkisnya dan setiap
kali kedua lengan mereka saling bertemu, semua orang dapat merasakan pertemuan
dua tenaga dahsyat.
"Dukk!
Dukk! Dukk!"
Suara keras
dari bertemunya dua lengan itu seolah-olah menggetarkan sekeliling tempat itu,
dan seolah-olah terasa oleh mereka yang menonton sehingga makin lama suasana
menjadi makin menegangkan, apa lagi karena nampaknya kedua fihak sama kuatnya
dan setiap kali mereka beradu tenaga, keduanya tergetar tapi dapat saling
mempertahankan sehingga tidak sampai terhuyung.
Ilmu Silat
Thai-kek Sin-kun yang dimainkan oleh kaki tangan Bun Houw adalah ilmu yang amat
tinggi dan memiliki dasar yang amat kuat, apa lagi dimainkan oleh Bun Houw
tanpa kesalahan sedikit pun dan didorong pula dengan tenaga sinkang dari
Thian-te Sin-ciang, maka amatlah sukarnya menandingi gerakan Bun Houw seperti
itu.
Walau pun
masih muda, Ceng Han Houw maklum akan lihainya lawan, maka biar pun sikapnya
seperti memandang ringan dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya, akan
tetapi sebenarnya dia berhati-hati sekali. Dia menggerakkan tubuhnya dan
bersilat dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menaklukkan
Naga), yaitu satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu
Beng Hud-couw.
Akan tetapi,
untuk menghadapi langkah-langkah dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang amat
indah dan ampuh itu, dia pun harus mempergunakan langkah-langkah Pat-kwa-po
yang juga amat rapi sehingga dia mampu menghindarkan diri dari setiap kurungan
yang diciptakan oleh desakan serangan bertubi-tubi dari lawannya. Bahkan
pangeran ini mampu pula untuk membalas sehingga mereka berdua bertanding dengan
amat rapi dan serunya, masing-masing tidak mau mengalah.
Walau pun
mereka berdua tidak memperlihatkan kemarahan atau mengeluarkan seruan-seruan
yang mengejutkan, namun, dari gerakan mereka berdua, para tokoh kang-ouw yang
menjadi penonton itu maklum bahwa kedua orang itu tak lagi melakukan pibu biasa
sekedar untuk mengukur kepandaian masing-masing, melainkan berkelahi dengan
sangat hebatnya, setiap serangan merupakan tangan maut yang haus darah, dan
setiap jurus yang dipergunakan sudah diperhitungkan masak-masak sehingga
merupakan jurus yang ampuh.
Diam-diam
Yap In Hong dan Yap Kun Liong, dua orang pendekar yang sudah tinggi sekali
tingkat kepandaiannya, tak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Cia Bun
Houw, menjadi terkejut bukan main menyaksikan kelihaian pangeran itu. Beberapa
kali pendekar sakti Yap Kun Liong memuji dalam hatinya melihat betapa pangeran
itu dapat menghadapi desakan-desakan yang amat berbahaya dari adik iparnya itu.
Terlebih
lagi ilmu langkah sakti Pat-kwa-po yang dimainkan oleh pangeran itu, sehingga
langkah-langkah kakinya teratur rapi dan dapat dipergunakan untuk menyelamatkan
diri terhadap setiap desakan, mengingatkan dia akan ilmunya sendiri, yaitu
Pat-hong Sin-kun yang langkah-langkahnya juga berdasarkan rahasia Pat-kwa
(Delapan Segi). Diam-diam dia harus mengakui bahwa menghadapi pangeran itu
bukanlah hal yang ringan, dan dia sendiri pun tak berani memastikan bahwa dia
akan menang kalau menghadapi pangeran muda yang telah menjadi suami dari anak
tirinya itu.
Yap In Hong
juga merasa khawatir, karena dia pun dapat merasakan bahwa menghadapi pangeran
itu, dia sendiri tidak akan mampu menang, dan suaminya agaknya tentu harus
menggunakan seluruh kepandaian dan waktu yang tidak singkat untuk dapat
mengatasi pangeran yang biar pun masih muda namun sudah amat hebat itu.
Teringatlah dia akan Sin Liong dan dia membandingkan pangeran ini dengan Sin
Liong.
Diam-diam
dia merasa heran dan kagum bagaimana orang-orang yang masih muda itu telah
memiliki kepandaian sehebat itu. Mereka sudah saling serang selama seratus
jurus dan belum ada seorang pun di antara mereka yang menang atau kalah, bahkan
belum ada yang nampak terdesak. Diam-diam Yap In Hong mengerutkan alisnya.
Ilmu silat
tangan kosong dari pangeran itu memang kuat bukan main. Kenapa suaminya tidak
mengajaknya bertanding mempergunakan senjata saja? Mungkin kalau bersenjata,
suaminya akan dapat lebih unggul, karena ilmu pedang suaminya amat hebat.
Dan memang
demikian pula pendapat Bun Houw. Akan tetapi, lawannya hanya seorang pemuda,
dan tuan rumah pula, dan dia seorang tokoh Cin-ling-pai, bagaimana mungkin dia
sudi menggunakan senjata apa bila lawannya itu hanya bertangan kosong saja?
Jika sebelum bertanding tangan kosong selesai lantas menantang mengadu senjata,
maka hal itu sama artinya dengan merasa kewalahan dalam pertandingan tangan
kosong itu!
Dia merasa
serba salah dan diam-diam dia pun kagum bukan main karena mengertilah pendekar
ini bahwa tingkat kepandaian pangeran muda itu sungguh-sungguh luar biasa, bahkan
masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian mendiang Pek-hiat Mo-ko mau pun
Hek-hiat Mo-li sendiri. Selama hidupnya, baru sekarang inilah Cia Bun Houw
merasa bertemu tanding yang amat kuatnya.
"Hehhh!"
Cia Bun Houw membentak dan dia mengirim tamparan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang
sambil mengerahkan seluruh tenaga. Kedua tangannya menyambar dari kanan dan
kiri, mengirim tamparan-tamparan yang sampai mengeluarkan suara bercuitan
saking cepat dan kuatnya.
Melihat ini,
Ceng Han Houw melangkah mundur dua tindak. Ketika lawannya mengejar dengan
langkah ke depan sambil melanjutkan tamparan-tamparan itu, ia telah menangkis
dengan membuang lengan dari dalam keluar, ke kanan kiri.
"Dukk!
Dukk!"
Untuk ke
sekian kalinya, tubuh keduanya tergetar hebat karena sekali ini masing-masing
mengerahkan seluruh tenaga mereka hingga getaran itu terasa sekali sampai ke
jantung mereka. Keduanya terkejut karena keadaan mereka sungguh sangat
berbahaya. Kurang kuat sedikit saja tentu jantung mereka akan terguncang sehingga
setidaknya mereka akan mengalami luka dalam yang hebat. Baiknya bagi mereka
bahwa tingkat kekuatan sinkang mereka berimbang sehingga keduanya mengalami
getaran seperti itu.
Pangeran
Ceng Han Houw juga terkejut bukan main. Sekarang dia baru percaya bahwa tokoh
Cin-ling-pai ini memang hebat sekali. Pantas saja dahulu Pek-hiat Mo-ko, suami
Hek-hiat Mo-li, sampai tewas di tangan pendekar ini. Mulailah dia merasa
khawatir. Baru pendekar ini saja sudah begini lihainya, apa lagi kalau sampai
keluarga Cin-ling-pai maju semuanya!
Padahal,
menurut pendengarannya, isteri pendekar ini, yaitu Yap In Hong, memiliki ilmu
kepandaian yang setingkat dengan suaminya, dan bahwa Yap Kun Liong, ayah tiri
dari Ciauw Si, juga memiliki ilmu yang malah lebih matang dan lebih banyak
macam ragamnya dibandingkan dengan pendekar Cia Bun Houw ini.
Semua itu
telah didengarnya dari penuturan isterinya. Dan dia harus dapat mengalahkan
pendekar ini lebih dahulu sebelum menghadapi yang lain-lain, kalau memang
mereka itu nanti akan maju pula.
Mendadak
pangeran muda itu mengeluarkan teriakan lantang dan terkejutlah Bun Houw ketika
melihat betapa lawannya itu mendadak berjungkir balik, dengan kepala di bawah
menjadi kaki dan kedua kakinya di atas, lalu kaki serta tangan itu melakukan serangan-serangan
dari atas dan bawah secara tangkas sekali dan yang lebih hebat dari pada itu,
serangan-serangan dari kaki dan tangan itu mengandung tenaga yang lebih dahsyat
dari pada tadi ketika pemuda bangsawan itu masih berdiri di atas kedua kakinya!
Memang
itulah hebatnya ilmu simpanan dari Pangeran Ceng Han Houw. Ilmu inilah yang
didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yang bernama Hok-mo Sin-kun dan memang
dia telah melatih diri dengan semedhi atau siulian yang juga dilakukan dengan
berjungkir balik sehingga dia memperoleh sinkang yang lebih kuat dari pada
kalau dia berdiri di atas kedua kakinya!
Bun Houw
cepat menangkis dan mengelak, dan kembali dia terkejut bukan main karena selain
tangkisan itu membuat lengannya terpental ketika bertemu dengan kaki lawan,
juga dari bawah kedua tangan lawannya mengirim pukulan-pukulan dahsyat yang
berbahaya sekali sehingga dia terpaksa melompat dan berjungkir balik ke
belakang!
Kesempatan
itu dipergunakan oleh Ceng Han Houw untuk membentak nyaring sekali dan tubuhnya
sudah melesat ke depan, tahu-tahu dia sudah membalikkan tubuhnya lagi dan dia
mendesak Bun Houw yang masih belum hilang kagetnya. Kini dengan jari telunjuk
dan jari tengah tangan kanannya, pangeran itu menusuk ke arah kedua mata lawan,
ada pun kaki kanannya diangkat, menggunakan lutut untuk menghantam perut.
Ketika Bun Houw yang terdesak itu mengelak ke belakang, tangan kiri pangeran
itu menghantam ke arah muka.
"Hiaaattt...!"
Pangeran itu mendesak dan bermaksud merobohkan Cia Bun Houw.
"Ehhh...!"
Bun Houw cepat melempar tubuh ke belakang dan kembali dia berjungkir balik
sampai berturut-turut tiga kali.
Gerakannya
ini hebat sekali dan dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut. Para
tokoh kang-ouw yang menonton pertandingan itu juga ikut merasa terkejut.
Sungguh pun gerakan pendekar Cin-ling-pai itu sangat indah dan cepat, dan sudah
membuat pendekar itu berhasil menghindarkan diri, tapi harus diakui bahwa tadi
pendekar itu terdesak hebat dan nyaris celaka!
Ceng Han
Houw merasa penasaran karena serangannya yang hampir berhasil tadi pada saat
terakhir gagal. Sebelum dia dapat menggunakan ilmunya yang aneh lagi, tiba-tiba
terdengar bentakan keras,
"Ceng
Han Houw, akulah lawanmu!"
Nampak
bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan pangeran itu telah berdiri seorang
pemuda remaja yang bukan lain adalah Sin Liong! Semua orang sangat terkejut,
baik dari golongan hitam mau pun golongan bersih memandang heran.
Bukankah Sin
Liong ini adalah pemuda yang tadi diperkenalkan oleh pangeran itu sebagai adik
angkatnya, bahkan diakui sebagai pembantu utamanya? Kenapa sekarang pemuda itu
malah muncul dan menantang pangeran itu?
Peristiwa
ini memang amat mengejutkan dan mengherankan. Bun Houw sendiri sampai terkejut
dan terheran, sehingga dia pun hanya berdiri di pinggir dan tidak dapat berkata
apa pun. Dia masih terkejut oleh serangan-serangan aneh dan hebat dari pangeran
itu tadi, dan kini melihat munculnya Sin Liong secara tiba-tiba yang menantang
pangeran itu, sungguh membuat dia termangu dan tidak mengerti harus berbuat
atau berkata apa.
Semua tamu
yang menjadi bengong memandang dengan hati semakin tegang. Lie Ciaw Si sampai
bangkit dari tempat duduknya dan memandang khawatir, akan tetapi matanya
bertemu dengan sinar mata ibunya sehingga kembali dia duduk serba salah. Yap In
Hong tersenyum dan Yap Kun Liong juga tersenyum. Pendekar ini sudah mendengar
penuturan singkat dari adiknya tentang sepak-terjang Sin Liong di belakang
istana, dan diam-diam dia merasa kagum sekali.
Tadi ketika
dia menyaksikan serangan pangeran itu yang aneh, dengan cara membalik tubuh,
dia tidak merasa heran. Memang dia tahu bahwa di antara kaum sesat banyak
terdapat ilmu-ilmu yang aneh dan sifatnya sesat pula, akan tetapi sebagian
besar dari ilmu-ilmu hitam itu hanya kelihatannya saja menggiriskan, akan
tetapi sesungguhnya tidak mengandung dasar yang kuat. Maka terkejutlah dia
ketika ilmu yang dipergunakan oleh pangeran itu tadi telah membuat Bun Houw
terdesak hebat dan nyaris kena dipukul. Maka legalah hatinya melihat adik
iparnya itu mampu membebaskan diri.
Dia tadi
melihat betapa adik kandungnya sudah bangkit dari tempat duduknya, siap untuk
menolong suaminya yang terdesak, bahkan dia sendiri pun telah siap untuk turun
tangan. Kini, melihat munculnya Sin Liong, dia menjadi ingin sekali melihat
apakah pemuda yang telah dipilih oleh ketua Cin-ling-pai sebagai pewaris
Thi-khi I-beng ini benar-benar sehebat seperti yang tadi dia dengar dari adiknya.
Diam-diam dia menyangsikan cerita adiknya.
Dia
membandingkan keadaan Sin Liong dengan keadaannya sendiri. Mungkinkah bocah itu
mampu mengumpulkan ilmu-ilmu sehebat itu, melebihi In Hong, dia sendiri, atau
Bun Houw? Rasanya tidak mungkin!
Bukankah bocah
itu hanya mewarisi ilmu-ilmu yang sesungguhnya merupakan ilmu-ilmu dari
keluarga Cin-ling-pai dan dari Kok Beng Lama? Jadi, sama sekali tak ada bedanya
dengan kepandaian Bun Houw!
Dan tak
mungkin pemuda ini dapat memainkan ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai atau pemberian
mendiang Kok Beng Lama lebih baik dari pada permainan Bun Houw. Andai kata ada
perbedaannya karena bocah itu kabarnya diwarisi Ilmu Thi-khi I-beng oleh
mendiang Cia Keng Hong, maka kelebihan itu pun sebetulnya tidak banyak artinya.
Dia sendiri
pun ahli Thi-khi I-beng, akan tetapi dia tidak berani menyatakan bahwa dia
lebih lihai dari pada Bun Houw dan dia sendiri masih sangsi apakah dapat
mengalahkan pangeran itu. Dan latihan dari Sin Liong tentu sekali belum matang.
Biar pun
demikian, ada harapan di dalam hati pendekar Yap Kun Liong ini bahwa siapa
tahu, mungkin saja Sin Liong menemukan sesuatu yang hebat, yang melebihi dia
atau Bun Houw. Buktinya, bukankah menurut cerita In Hong, pemuda itu mampu
merobohkan serta mengalahkan pengeroyokan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio?
Dan bukankah pangeran itu pun seorang yang masih sangat muda namun telah
menemukan ilmu yang aneh dan amat hebat.....?
Orang yang
paling terkejut dan merasa penasaran adalah pangeran itu sendiri. Melihat
munculnya Sin Liong yang datang-datang menantangnya, dia terkejut bukan main.
Cepat matanya mencari-cari keluar dan dia dapat melihat Bi Cu berdiri di luar
dalam keadaan sehat dan selamat. Seketika jantungnya berdebar tegang dan
hatinya merasa tidak enak.
Apa yang
telah terjadi dengan suci dan subo-nya? Mereka itu bertugas menjaga Bi Cu, akan
tetapi kenapa kini Bi Cu telah keluar dan muncul pula Sin Liong? Jantungnya
makin berdebar khawatir ketika dia menduga bahwa jangan-jangan suci-nya dan
subo-nya telah dirobohkan oleh Sin Liong!
Melihat
pangeran itu memandang ke arah Bi Cu, lalu seperti orang mencari-cari dengan
matanya, Sin Liong berkata. "Tidak perlu kau cari lagi dua iblis betina
itu, mereka sudah melayang ke neraka!"
Wajah Han
Houw berubah menjadi pucat, akan tetapi kemudian menatap wajah Sin Liong dengan
kebencian yang besar. Memang semenjak dahulu dia sangat membenci pemuda ini,
membencinya karena timbul dari perasaan iri hati!
Sejak Sin
Liong masih kecil, pada waktu menjadi tawanan kim Hong Liu-nio, dia melihat
pemuda yang masih anak-anak itu demikian berani dan amat gagahnya, hal ini
membuat dia kagum sekali, akan tetapi sekaligus juga mendatangkan rasa iri yang
pertama kalinya. Kemudian, sesudah dia mendengar bahwa bocah yang berwatak
gagah itu adalah putera seorang pendekar besar, cucu ketua Cin-ling-pai, irinya
menjadi makin besar.
Di samping
rasa iri ini memang ada rasa suka sehingga dia mengambil Sin Liong sebagai
saudara angkat. Akan tetapi semua sifat-sifat baik dari Sin Liong bahkan
menjadi siksaan baginya hingga membuat perasaan iri hati itu makin
menjadi-jadi. Melihat Sin Liong begitu kuat terhadap wanita, tidak mudah tunduk
kepada nafsu, membuat dia melihat betapa dia sendiri amat lemah terhadap wanita
dan hal ini pun menimbulkan iri pula.
Kemudian,
melihat kepandaian Sin Liong yang melebihi dia, iri hatinya makin memuncak
sehingga beberapa kali dia sudah hendak membunuh pemuda itu. Kebenciannya
sangat mendalam, dan sekarang, melihat Sin Liong berani membangkang terhadap
dia, tak mau menjadi pembantunya, bahkan menentang dan membunuh suci-nya dan
subo-nya, maka kebencian yang meracuni hati Ceng Han Houw membuat dia memandang
dengan muka beringas.
Akan tetapi,
dasar dia cerdik bukan main, maka dia dapat menekan perasaannya itu dan
tiba-tiba saja pangeran itu tertawa. Semua orang terkejut melihat wajah
beringas itu, dan terheran-heran mendengar betapa pangeran yang nampak amat
marah itu tiba-tiba malah tertawa.
"Ha-ha-ha-ha-ha,
Cia Sin Liong! Akhirnya engkau sendiri yang membuka rahasiamu! Jadi engkau
hendak membela ayahmu yang sudah hampir kalah?"
Ucapan ini
tentu saja mengejutkan hati semua keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali Cia
Bun Houw. Sedangkan Ciauw Si mengerutkan alisnya dan dia merasa heran
menyaksikan perubahan sikap suaminya seperti itu.
"Pangeran
Ceng Han Houw! Tak perlu kau banyak cakap lagi, marilah kita mulai. Akulah
lawanmu, bukan untuk memperebutkan sebutan jagoan atau apa pun, melainkan untuk
memperebutkan kebenaran, untuk membereskan semua perhitungan di antara kita
yang sudah bertumpuk-tumpuk selama ini! Hayo kalau memang engkau seorang
jantan, dan jangan selalu menggunakan kecurangan yang licik!"
"Hei,
Liong-te, lupakah engkau bahwa engkau sudah mengangkat sumpah menjadi adik
angkatku?"
"Cukup!
Sumpah itu berkali-kali kau langgar sendiri, bahkan beberapa kali engkau hendak
mencelakakan aku, dan berkali-kali mengganggu Bi Cu. Kita bukan saudara angkat
lagi, melainkan musuh-musuh besar!"
"Hemmm,
bukankah engkau masih saudara misan langsung dari isteriku? Isteriku adalah
puteri pendekar wanita Cia Giok Keng keturunan langsung dari locianpwe Cia Keng
Hong, sedangkan engkau juga keturunan langsung dari beliau karena engkau putera
kandung dari pendekar Cia Bun Houw...?"
"Tutup
mulutmu yang kotor!" tiba-tiba terdengar pendekar sakti Cia Bun Houw
membentak dari pinggiran. Pendekar ini marah sekali mendengar ucapan terakhir
yang mengatakan bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya itu.
Pangeran itu
tertawa. "Ha-ha-ha, memang dirahasiakan, hemm, seluruh dunia kang-ouw
menyangka bahwa para pendekar Cin-ling-pai adalah orang-orang gagah sejati yang
suci murni. Akan tetapi..."
"Pangeran...!"
Tiba-tiba Lie Ciauw Si berseru dan pangeran itu menoleh kepada isterinya.
"Si-moi,
sungguh aku tidak berdaya. Lihat, mereka semua memusuhi aku, maka terpaksa aku
pun harus membela diri dan membalas. Aku dikeroyok oleh mereka semua, keluarga
Cin-ling-pai yang gagah dan suci ini, apakah engkau tidak hendak membelaku dan
juga hendak berfihak dengan mereka mengeroyokku sekalian?"
Melihat
sinar mata penuh duka dan kemarahan dari suaminya, Ciauw Si menunduk, baru
sekarang dia melihat betapa suaminya memang memiliki watak yang curang dan
licik, apa lagi ketika dia melihat betapa Bi Cu ditawan untuk memaksa Sin
Liong, dan kini betapa suaminya itu hendak membongkar rahasia pamannya.
Akan tetapi,
betapa pun juga, dia mencinta suaminya itu! Baik atau buruk pria itu adalah
suaminya, satu-satunya pria di dunia ini yang telah memilikinya lahir batin,
memiliki tubuh dan cintanya. Mana mungkin dia akan menentang orang yang
dicintainya?
Apa bila
suaminya itu hendak memberontak, hendak melakukan hal-hal yang jahat, tentu
saja dia tidak akan mau membantunya. Namun, apa pun yang dilakukan oleh
suaminya itu, dia menilainya bukan sebagai kejahatan, melainkan hanya sebagai
kelemahan batin suaminya yang ingin mencapai kedudukan tertinggi. Maka kini,
melihat betapa suaminya menentang keluarganya sendiri, dia pun diam saja, hanya
merasa betapa hatinya tertekan dan terasa sengsara sekali.
"Ceng
Han How, manusia pengecut, hayo majulah untuk menentukan siapa di antara kita
yang akan mati dan siapa yang boleh hidup terus!" Sin Liong sudah
menantang lagi.
Han Houw
tersenyum. "Sin Liong, aku telah cukup mengenalmu, baik lahir mau pun
batin. Aku tahu bahwa engkau tidak akan menyerang seseorang yang tidak mau
melawan, dan sebelum aku habis bicara, aku tidak akan melawanmu dan boleh saja
engkau memukul mampus padaku!" Kemudian pangeran ini memandang sekeliling
dan suaranya meninggi sehingga terdengar oleh semua orang, "Cu-wi telah
menyaksikan sendiri bagaimana sifat dan watak orang-orang Cin-ling-pai. Sudah
terang bahwa cucu wanita ketua Cin-ling-pai telah dengan suka rela menjadi isteriku
yang tercinta, akan tetapi keluarga yang agung itu tidak mau menerima kenyataan
ini, seakan-akan mereka merasa sebagai keluarga yang terlalu bersih, terlalu
tinggi dan terlampau agung untuk menerima aku sebagai anggota keluarga mereka!
Padahal, siapakah yang tidak tahu akan segala rahasia busuk mereka? Mengenai
petualangan-petualangan cinta keturunan mereka? Dan yang terakhir, mereka malah
merahasiakan adanya seorang keturunan gelap, seorang anak haram yang terlahir
di antara mereka. Inilah anak itu, Cia Sin Liong, yang terlahir dari seorang
ibu yang amat sengsara karena setelah mengandung dia, wanita itu tidak dinikah
dan ditinggalkan begitu saja oleh seorang pria yang mengaku sebagai pendekar
gagah perkasa dan suci, Cia Bun Houw!"
"Keparat
jahanam!" Cia Bun Houw tidak mampu menahan kemarahannya lagi .
"Buktikan tuduhanmu itu, kalau tidak... aku bersumpah untuk menghancurkan
mulut busukmu!"
Sekarang
Pangeran Ceng Han Houw sudah tidak tersenyum lagi, namun memandang ke arah Cia
Bun Houw dengan sinar mata menantang. "Cia Bun Houw, engkau masih juga
hendak berlagak sebagai seorang yang bersih dan gagah? Tidak perlu aku banyak
bicara, kalau engkau hendak melihat bukti dari perbuatanmu yang rendah dan hina
itu, tanyalah Cia Sin Liong ini sendiri! Tanyakan apakah dia bukan anak
kandungmu!"
Karena dia
masih merasa bersih dan melihat tidak mungkinnya dia mempunyai seorang anak
seperti pemuda ini, maka Cia Bun Houw memandang kepada Sin Liong dan pemuda itu
juga sedang memandang padanya, hendak melihat apa yang menjadi reaksi dari ayah
kandungnya itu mendengar kata-kata serangan Han Houw.
Mereka
saling berpandangan dengan sinar tajam dan penuh selidik, dan akhirnya, dengan
suara penuh penasaran Bun Houw bertanya, suaranya seperti membentak nyaring,
"Sin Liong, benarkah bahwa engkau adalah anak kandungku?"
Sin Liong
menelan ludahnya. Sesungguhnya, tidak ada keinginan di dalam hatinya untuk
mengakui pendekar ini sebagai ayahnya, dia tidak sudi untuk ikut membonceng
ketenaran nama keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, kekerasan hatinya itu
sebagian besar terdorong oleh kenyataan bahwa ayah kandungnya itu telah
meninggalkan ibunya dan telah menikah dengan seorang wanita lain....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment