Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 09
DIAM-DIAM
Kim Hong Liu-nio merasa curiga dan ragu-ragu. Kalau benar anak Cia Bun Houw,
sungguh mengherankan mengapa bisa berada di Lembah Naga? Bukankah anak ini
katanya menjadi anak angkat Kui Hok Boan? Akan tetapi melihat sikapnya, anak
ini jelas bukan anak sembarangan, dan memang ada pantasnya kalau menjadi anak
seorang yang luar biasa.
Membunuh
anak ini memang mudah, akan tetapi hatinya akan selalu merasa penasaran, dan
memang seperti dikatakan anak ini tadi, membunuh anak ini sama sekali bukan hal
yang dapat dibanggakan, bahkan akan menodai nama besarnya sebagai seorang gagah
perkasa.
Tangan
kirinya sudah diangkat, bersiap untuk mengeluarkan tamparan maut, akan tetapi
tangan itu turun kembali. Bohwat (kehabisan akal) juga dia menghadapi anak yang
luar biasa ini. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu, lalu dia
mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan anak ini sampai dia yakin betul
sebelum dia turun tangan.
"Ehh,
anak setan! Kalau benar engkau putera Cia Bun Houw seperti yang kau akui itu,
katakan siapa ibumu!"
Kim Hong
Liu-nio mendengar bahwa musuh besar utama gurunya itu, yaitu musuh utama yang
bernama Cia Bun Houw itu, berjodoh dengan seorang pendekar wanita sakti yang
menjadi musuh besar gurunya pula, yaitu yang bernama Yap In Hong. Akan tetapi
dia tidak tahu apakah mereka itu lantas menjadi suami isteri ataukah tidak
karena kabarnya mereka itu belum pernah menikah, atau belum pernah pernikahan
di antara mereka itu dirayakan karena pernikahan mereka itu tidak direstui oleh
ayah pendekar Cia Bun Houw itu.
Akan tetapi
jawaban Sin Liong benar-benar mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Dengan suara
lantang anak itu berkata, "Aku tidak tahu siapa nama ibuku, akan tetapi
ibu kandungku itu sudah meninggal dunia dan dia juga seorang pendekar wanita
yang sakti karena dahulu dia adalah murid mendiang Hek I Siankouw."
"Ahhhh...!"
Sekali ini Kim Hong Liu-nio berseru kaget lantas memandang kepada Si Kwi dengan
mata terbelalak lebar. Kali ini wanita yang biasanya bersikap dingin dan angkuh
itu tak mampu menyembunyikan perasaan herannya sehingga dia memandang bengong
kepada Si Kwi seperti seorang yang tolol.
Si Kwi
menundukkan mukanya dan seperti kepada diri sendiri dia berbisik-bisik tanpa
ada suara keluar dari mulutnya. Kim Hong Liu-nio masih tetap menatap wajah Si
Kwi, dan tanpa mengalihkan pandang matanya, dia lalu bertanya akan tetapi
ditujukan kepada Sin Liong.
"Anak
setan, kau bohong! Bagaimana kau tahu akan semua itu? Siapa yang memberi tahu
kepadamu?"
"Kau
berani bilang bohong? Yang memberi tahu kepadaku adalah ibu angkatku sendiri!
Jangan menuduh yang bukan-bukan, kalau kau takut terhadap ayahku, katakanlah
saja terus terang!"
Kini wanita
itu melangkah maju menghadapi Si Kwi dan terdengar suaranya aneh sekali,
agaknya seperti orang terheran-heran, "Liong Si Kwi, benarkah itu?"
Si Kwi
menundukkan mukanya dan muka itu kini menjadi merah sekali. Dengan suara lirih
dia berkata, "Benar... ibu kandungnya... sudah mati..."
Mendadak
terdengar suara ketawa nyaring sekali dan Hok Boan bersama anak-anaknya yang
berada di situ terkejut bukan main. Wanita itu kini tertawa, suara ketawanya
aneh, merdu dan nyaring akan tetapi mendekati suara tangis! Wanita itu agaknya
geli bukan main, tertawa-tawa sampai ada beberapa butir air mata membasahi pipinya
dan dia masih tertawa seperti orang terisak ketika dia menggunakan ujung sabuk
merah menghapus air matanya!
"Hi-hi-hik,
Liong Si Kwi, kau kira rahasia busuk bisa ditutupi selamanya? Jadi, pada waktu
engkau berjinah dengan Cia Bun Houw dahulu itu, sampai tangan kirimu dibuntungi
oleh gurumu sebagai hukuman, ternyata hasilnya adalah bocah ini? Ahh, kiranya
engkau telah melahirkan keturunan Cia Bun Houw!"
"Ehhh...?"
Kui Hok Boan terkejut bukan kepalang. Dia sama sekali tak pernah mendengar
rahasia itu dari isterinya, maka dia pun memandang kepada isterinya dengan
kedua mata terbelalak.
Liong Si Kwi
merasa bahwa dia tidak perlu menyangkal pula karena rahasia itu kini telah
terbuka oleh pengakuan Sin Liong tadi. Pengakuan anak itu tentu tidak akan
membuka rahasianya kalau didengar orang lain. Akan tetapi wanita ini adalah
utusan Raja Sabutai, tentu saja telah mendengar akan semua peristiwa yang
dialaminya belasan tahun yang lalu di Lembah Naga, ketika Pek-hiat Mo-ko dan
Hek-hiat Mo-li menawan pendekar sakti Cia Bun Houw.
Mukanya
menjadi merah dan karena sudah kepalang bahwa rahasianya sudah diketahui orang,
dia lalu berkata, "Benar, anak ini adalah anak kandungku dari pendekar
sakti Cia Bun Houw!"
"Ibuuu...!"
Sin Liong berseru.
Akan tetapi
pada saat itu pula nampak segulung sinar merah berkelebat dan Sin Liong
terguling roboh ketika dia hendak lari kepada ibunya, karena dia sudah
terdorong oleh sambaran ujung sabuk yang menyentuh pundaknya. Agaknya wanita
itu tidak bermaksud membunuhnya, maka sentuhan ujung sabuk merah itu hanya
membuat anak itu terguling. Kemudian terlihat asap mengepul dan ternyata wanita
itu telah menyalakan sebatang hio (dupa biting) dan mengangkat kayu salib ke
atas kepalanya.
"Liong
Si Kwi, karena engkau sudah melahirkan anak keturunan Cia Bun Houw, maka engkau
terhitung keluarga dari Cia Bun Houw, maka bersiaplah engkau untuk menebus
dendam guruku, Hek-hiat Mo-li dengan nyawamu!"
"Tidak...!
Jangan...!" Kui Hok Boan berteriak dan menerjang ke depan, akan tetapi
kembali sinar merah berkelebat dan saterawan itu terpelanting.
Si Kwi
maklum bahwa percuma saja bila mencoba untuk menyelamatkan dirinya dengan
kata-kata terhadap wanita iblis ini, juga melarikan diri pun tidak akan ada
gunanya, maka karena dia masih memegang pedangnya, dia langsung berteriak
nyaring dan tiba-tiba saja tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak
menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada wanita yang menyeramkan itu.
"Bagus,
dengan begini engkau patut mati sebagai keluarga Cia!" kata Kim Hong
Liu-nio dengan suara girang sekali karena memang dia akan merasa terhina dan
kecewa kalau membunuhi musuh-musuh gurunya tanpa perlawanan, seperti yang
dikatakan oleh anak setan tadi. Kalau musuhnya melawan, berarti dia membunuh
musuh yang dapat melawan, bukan sebagai srigala yang menggerogoti bangkai!
"Cringgg...!"
Kembali pedang itu ditangkis oleh lengan kirinya yang memakai gelang.
"Ihhhhh...!"
Si Kwi menjerit.
Pada saat
tertangkis oleh gelang di lengan wanita itu, dia merasa pergelangan targannya
tertotok oleh ujung biting, nyeri sekali rasanya dan tanpa dapat dicegahnya
lagi, jari-jari tangannya yang seperti lumpuh sesaat itu melepaskan gagang
pedangnya yang segera jatuh berdenting ke atas lantai!
Terdengar
wanita itu tertawa. Akan tetapi Si Kwi sudah cepat menggerakkan tangannya, maka
terdengar suara angin bersiutan dan sinar-sinar kecil hitam menyambar mengarah
ke tujuh jalan darah di depan tubuh wanita itu. Itulah Hek-tok-ting (Paku Hitam
Beracun), senjata rahasia yang ampuh dari Liong Si Kwi. Setiap paku merupakan
ancaman maut dan tujuh batang paku itu menyambar dengan kecepatan yang hebat
bukan main karena dilepaskan dari jarak yang hanya tiga meter jauhnya!
"Hemmm...!"
Wanita cantik itu benar-benar hebat bukan main. Dia tidak kelihatan gugup sama
sekali, bahkan memandang rendah.
Tangan kiri
yang memegang sebatang hio itu tidak bergerak, akan tetapi tangan kanan yang
memegang kayu salib bergerak cepat ke atas kemudian menyambar ke bawah. Dan
ternyata bahwa paku-paku itu semua menancap di atas papan kayu berbentuk salib
itu, dan hebatnya, semua paku-paku itu menancap pada bagian ujung kayu yang
bertuliskan huruf Cia!
Wanita itu
bukan hanya mampu menangkis semua paku, akan tetapi lebih dari pada itu, dia
dapat membuat semua paku itu menancap di tempat yang sama, yaitu di ujung yang
ditulisi huruf Cia, seolah-olah menjadi tanda bahwa calon korbannya itu adalah
keluarga marga atau she Cia!
Bukan main
terkejutnya hati Si Kwi. Dia tadi mendengar bahwa wanita ini adalah murid
Hek-hiat Mo-li, akan tetapi dia yang pernah menyaksikan kesaktian Hek-hiat
Mo-li, kini harus mengakui bahwa wanita iblis ini agaknya malah lebih lihai
dari pada gurunya.
Akan tetapi
dia telah nekat. Rahasianya telah dibuka dan tentu hal itu akan berpengaruh
pada hubungan antara dia dan suaminya. Selain itu, dia harus mencoba untuk
membela Sin Liong, anak kandungnya sendiri. Di samping itu, kini ketika
terancam bahaya maut dalam mempertahankan nama Cia Bun Houw, pria pertama yang
pernah merebut kasih sayangnya, dia teringat akan pendekar itu dan hatinya
dipenuhi oleh perasaan mesra dan bangga karena dia diperbolehkan membela nama
pendekar sakti itu sebagai keluarganya!
Maka, dengan
teriakan nyaring dia cepat menubruk ke depan, menggunakan tangannya untuk
mencengkeram ke arah kepala lawan, sedangkan tangan kirinya yang buntung itu
dipergunakannya untuk menotok ke arah ulu hati!
"Robohlah
engkau, ibu dari anak keturunan Cia Bun Houw!" Tiba-tiba Kim Hong Liu-nio
membentak dan sinar api kecil meluncur ke depan ketika tubuhnya mencelat
mundur.
Itu adalah
sinar api dupa biting yang masih bernyala dan yang kini melesat ke depan,
mcluncur seperti anak panah cepatnya. Si Kwi pernah menyaksikan wanita ini
membunuh orang dengan sebatang hio, maka dia terkejut sekali dan berusaha
mengelak, namun dia kurang cepat karena dia tadi sedang dalam keadaan
menyerang.
"Cusss...!"
Dupa biting itu menyambar dahinya dan tepat sekali menusuk di antara kedua
alisnya sampai semua gagang hio itu lenyap!
Si Kwi
mengeluarkan jeritan lirih lantas tubuhnya terjengkang, roboh terlentang dan
tewas seketika dengan hio masih menancap di dahinya. Hio itu masih membara,
mengeluarkan asap ke atas, seakan-akan nyawa wanita itu melayang melewati asap
yang keluar dari dahinya itu!
Kui Hok Boan
terbelalak pucat dan terdengar jerit-jerit memilukan dari Lan Lan dan Lin Lin
yang menubruk ibu mereka sambil menangis. Terdengar suara gerengan liar bagai
seekor monyet marah dan Sin Liong sudah meloncat, loncatan yang dilakukan
menurutkan naluri anak itu sebagai binatang, yang diperolehnya dalam pergaulan
dengan para monyet, dan dia sudah menubruk ke arah Kim Hong Liu-nio!
Wanita ini
sedang memandang mayat lawannya dengan senyum penuh kepuasan ketika Sin Liong
menubruk. Tentu saja dia tahu akan serangan anak itu, karena itu dia sudah
menggerakkan tangan kirinya untuk memapaki kepala anak itu dengan tamparannya.
Akan tetapi
dia segera teringat akan maki-makian dan tantangan anak itu tadi, maka dia
menahan tangannya karena merasa malu kalau harus membunuh seorang bocah yang
sudah berani menantangnya seperti itu. Karena dia menahan tangannya dan karena
dia memandang rendah kepada Sin Liong, maka Sin Liong berhasil menubruknya dari
arah belakang.
Seperti
seekor monyet marah atau seekor harimau kelaparan, Sin Liong mencengkeram
dengan kedua tangannya. Tanpa disadarinya, dua tangan itu memeluk Kim Hong
Liu-nio dan kedua tangan itu yang mencengkeram sekenanya sudah mencengkeram
buah dada wanita itu! Kemudian Sin Liong membuka mulutnya dan menggigit
tengkuk!
"Ihhhhh...!"
Kini Hong Liu-nio menjerit, bukan karena gigitan pada tengkuknya, melainkan
karena cengkeraman pada kedua buah dadanya itu.
Tiba-tiba
dia merasa seluruh tubuhnya menggigil, jantungnya berdebar keras, kepalanya
menjadi pening! Patut diketahui bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita
berusia tiga puluh tahun yang masih perawan, yang selama hidupnya belum pernah
bersentuhan dengan pria walau pun sudah sering dia mimpi akan hal itu.
Kini, merasa
betapa tubuhnya dipeluk dan dadanya diraba tangan seorang laki-laki, biar pun
laki-laki yang masih anak-anak, dia seperti kemasukan getaran halilintar,
tubuhnya menjadi panas dingin dan tanpa terasa lagi dia menjerit. Akan tetapi,
hanya sebentar saja dia dikuasai perasaan aneh itu. Sekali wanita sakti ini
menggoyang tubuhnya, Sin Liong terlempar dan terbanting keras ke dinding
ruangan itu. Sin Liong roboh dan pingsan!
Kui Hok Boan
kini bangkit, kemudian dengan terpincang-pincang dia berdiri menghadang di
hadapan anak-anak itu, khawatir kalau-kalau semua anak-anaknya akan dibunuh
pula oleh wanita iblis itu.
Akan tetapi
Kim Hong Liu-nio tersenyum dan menggeleng kepala. Kemudian menyimpan kembali
kayu salib yang telah dicoretnya satu kali di bawah nama Cia, memasangnya di
punggung dan dia lalu memandang kepada Kui Hok Boan.
"Jangan
khawatir, karena engkau benar-benar tidak tahu-menahu tentang keluarga Cia,
maka biarlah kau dan anak-anakmu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga
Cia kuampuni. Akan tetapi anak itu akan kubawa, dia keturunan musuh
besarku!" Kim Hong Liu-nio menuding ke arah tubuh Sin Liong yang masih
pingsan.
Kui Hok Boan
adalah seorang yang pada dasarnya memang mempunyai watak pengecut, yaitu bila
sudah terancam bahaya maut barulah sifatnya ini menonjol. Tadinya, dia masih
berwatak gagah melindungi isterinya dan melindungi pula Sin Liong, akan tetapi
sekarang semua kegagahannya itu luntur dan lenyap, dan dia telah berubah
menjadi seorang yang rendah diri.
"Terima
kasih atas pengampunan kouwnio...," katanya lirih sambil menundukkan muka.
"Sekarang
dengarlah, Kui Hok Boan. Aku diutus oleh Sri Baginda Sabutai untuk memberi tahu
kepadamu bahwa sebelum enam bulan, engkau harus sudah meninggalkan Istana
Lembah Naga ini, dan semua penghuni dusun-dusun yang berada di sekitar tempat
ini pun semua harus pergi. Kalau sudah lewat enam bulan dan masih ada orang
yang berada di sekitar sini, jangan salahkan kami kalau kami akan membunuhnya.
Mengertikah kau?"
Kui Hok Boan
terkejut sekali dan cepat dia mengangguk-angguk. "Baik... baik... akan
saya taati..."
Melihat
betapa Kui Hok Boan yang tadi gagah seperti harimau kini menjadi jinak seperti
domba, padahal mayat isterinya masih hangat rebah di hadapannya, Kim Hong
Lim-nio mengeluarkan suara mengejek, "Huh!"
Kemudian dia
membalikkan tubuhnya, menyambar lengan Sin Liong yang diseretnya dan dibawanya
keluar dari ruangan itu, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang lagi.
"Sin
Liong...!" tiba-tiba Lin Lin menjerit dan bangkit berdiri, hendak lari
mengejar agaknya.
"Lin
Lin...!" Hok Boan membentak dan cepat dia menyambar lengan anaknya.
Kim Hong
Liu-nio berhenti melangkah ketika sampai di pintu, menoleh dan melihat betapa
empat orang anak-anak itu memandang ke arah Sin Liong sambil menangis. Karena
itu berkatalah dia, "Orang she Kui, empat orang anak itu jauh lebih baik
dari pada engkau!" Lalu sekali berkelebat lenyaplah bayangan wanita itu
dari situ.
Maka
terdengarlah tangis dan ratap di dalam ruangan itu, dan tak lama kemudian, ratap
tangis itu semakin riuh ketika para pelayan melihat bahwa nyonya majikan mereka
telah tewas. Istana Lembah Naga diliputi suasana berkabung. Lan Lan dan Lin Lin
menangis tiada hentinya, dan Kui Hok Boan termenung dengan penuh penyesalan.
Baru
terhadap Si Kwi dia benar-benar pernah mencinta dan setelah menikah dengan Si
Kwi, sifatnya yang mata keranjang menjadi reda. Akan tetapi kini Si Kwi telah
tewas dan meninggalkan dia seorang diri bersama empat orang anak!
Akan tetapi,
kemudian dia teringat bahwa biar pun dia harus pindah dari Lembah Naga, dan dia
memang bermaksud kembali ke selatan, akan tetapi dia telah menemukan harta
karun dan kini sudah menjadi seorang yang kaya raya, maka dia tidak merasa
khawatir. Hanya sedikit kebimbangan yang mengganggu hatinya. Di selatan dia
mempunyai banyak musuh!
Jeng-hwa-pang
sekarang jauh berbeda dengan Jeng-hwa-pang belasan tahun yang lalu pada saat
perkumpulan itu dipimpin oleh Jeng-hwa Sian-jin. Dahulu, perkumpulan itu tidak
sehebat sekarang ini, setelah Jeng-hwa Sian-jin meninggal dan perkumpulan itu
dipimpin dan dibangun kembali oleh muridnya. Kalau Jeng-hwa Sian-jin sebagai
bekas tokoh-tokoh Pek-lian-kauw selain berilmu silat tinggi juga ahli dalam
ilmu sihir, maka muridnya ini yang menuruni kepandalan ilmu silatnya tanpa
menuruni ilmu sihirnya, ternyata mempunyai keahlian lain yang malah melebihi
mendiang gurunya, yaitu dalam hal ilmu tentang racun.
Jeng-hwa-pang
sendiri mendapatkan namanya dari julukan Jeng-hwa Sian-jin, dan kakek itu
dijuluki Jeng-hwa Sian-jin sebab dia telah menemukan kembang hijau yang hanya
bisa ditemukan orang di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Himalaya.
Kembang hijau ini mengandung racun yang amat hebat, sehingga boleh dibilang rajanya
kembang-kembang beracun.
Akan tetapi,
kalau Jeng-hwa Sian-jin mempergunakan khasiat kembang mukjijat itu untuk
melatih dan memperdalam ilmu sihirnya, sebaliknya muridnya itu menggunakan
kembang hijau itu untuk memperdalam ilmu tentang racun-racun! Dan kini
terkenallah perkumpulan Jeng-hwa-pang sebagai perkumpulan orang-orang yang ahli
dalam menggunakan racun sehingga tentu saja amat ditakuti oleh golongan lain.
Akan tetapi,
sesudah Kaisar Ceng Tung mendapatkan kembali tahta kerajaannya yang tadinya diserahkan
kepada adiknya pada waktu dia menjadi tawanan Raja Sabutai, kaisar ini telah
mengerahkan orang-orang pandai, mempergunakan tangan besi untuk menekan serta
mengendalikan perkumpulan-perkumpulan golongan hitam yang suka menimbulkan
kekacauan. Sebab itu, Jeng-hwa-pang yang termasuk sebagai perkumpulan yang
diawasi dan dibatasi gerakannya kemudian mengungsi ke luar tembok besar dan
untuk sementara mendirikan sarang di dekat tembok besar di utara.
Ketua
Jeng-hwa-pang bernama Gak Song Kam dan karena keahliannya bermain racun, dia
dikenal orang sebagai Tok-ong (Raja Racun)! Nama julukannya sebagai Tok-ong ini
sama terkenalnya dengan nama Jeng-hwa-pang yang tersohor.
Dulu, saat
Jeng-hwa-pang masih dipimpin oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, perkumpulan ini
lebih condong mempelajari ilmu-ilmu sihir yang keji dan cabul. Lalu Jeng-hwa
Sian-jin ketemu batunya ketika sedang melaksanakan praktek keji dan cabul itu
muncul seorang kakek sakti yang membuatnya tewas dan anak buahnya menyerah dan
bertobat. Kakek sakti itu bukan lain adalah Bun Hoat Tosu.
Untuk
sementara perkumpulan itu benar-benar telah bubar. Akan tetapi setelah Gak Song
Kam berhasil memperdalam ilmu-ilmunya di Pegunungan Himalaya dan mempelajari
ilmu mengenai racun dari seorang pertapa di sebuah puncak pegunungan itu, dia
kemudian mengumpulkan lagi bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang lalu dia membangun
kembali perkumpulan itu. Akan tetapi, tindakan tangan besi oleh Kaisar Ceng
Tung membuat dia terpaksa membawa para anggotanya yang jumlahnya ada sekitar
seratus orang itu untuk sementara waktu mengungsi ke perbatasan di utara, dekat
tembok besar.
Jeng-hwa-pangcu
she Gak ini telah menikah dengan seorang wanita she Tio, akan tetapi dia tidak
mempunyai keturunan. Saat mengungsi ke utara, isterinya membawa beberapa orang
sanak keluarganya yang juga she Tio dan mereka lalu ikut hidup senang sebagai
keluarga isteri ketua perkumpulan besar, bahkan beberapa di antaranya ada pula
yang akhirnya menjadi anggota Jeng-hwa-pang.
Oleh
ketuanya, semua anggota Jeng-hwa-pang diberi pelajaran mengenai racun sehingga
selain pandai ilmu silat, mereka juga pandai mempergunakan racun untuk
mengalahkan lawan. Mungkin karena mengandalkan kepandaian sendiri dan
mengandalkan nama besar perkumpulan mereka, setelah pindah ke perbatasan di
utara, dalam beberapa tahun saja Jeng-hwa-pang sudah dikenal serta ditakuti,
malang melintang di perbatasan itu karena mereka merasa terlepas dari jangkauan
tangan besi kaisar.
Namun, pada
suatu hari terjadilah mala petaka menimpa keluarga ketua Jeng-hwa-pang, yaitu
pada suatu malam ketika ketua Jeng-hwa-pang dan beberapa orang pembantunya
sedang pergi menangkap beberapa ekor ular gurun pasir, muncullah seorang wanita
yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio dan wanita ini secara kejam sudah membunuh
isteri ketua Jeng-hwa-pang dan juga sembilan orang keluarga wanita itu,
kesemuanya she Tio! Tentu saja Jeng-hwa-pang menjadi geger, apa lagi ketika
para anak buah Jeng-hwa-pang yang mengeroyok dibuat kocar-kacir oleh wanita
yang amat lihai itu.
Saat Gak
Song Kam pulang dan mendapatkan isterinya beserta sembilan orang keluarga
isterinya tewas semua dengan cara kematian yang aneh, yaitu dahi atau bagian
tubuh lain yang mematikan tertancap dengan sebatang hio yang membara, tentu
saja dia menjadi marah sekali.
Akan tetapi
kemudian tersiar berita bahwa wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu sudah
merajalela, membunuh-bunuhi semua orang she Tio, Yap, dan Cia yang dapat
ditemukan di daerah itu, yang tentunya tidak banyak karena yang dicari adalah
orang-orang Han, sedangkan daerah itu lebih banyak didiami oleh orang-orang
suku bangsa lain.
Tentu saja
Gak Song Kam merasa sakit hati lalu berusaha untuk mencari wanita itu. Dia
merasa amat menyesal kenapa dia pergi mengajak lima orang pembantunya yang
pandai sehingga saat wanita itu datang membunuh isterinya, Jeng-hwa-pang sedang
kosong dari semua tokoh yang terpandai. Dia percaya bahwa kalau dia berada di
situ, tentu Kim Hong Liu-nio tidak akan begitu mudah membunuh orang, apa lagi
membunuh isterinya!
Akan tetapi,
betapa kaget rasa hati Gak Song Kam ketika dia menyebar anak buahnya untuk
mencari dan menyelidiki wanita itu, dia mendengar kabar bahwa wanita itu adalah
seorang tokoh terkenal di utara, bahkan masih saudara seperguruan Raja Sabutai!
Lemas rasa tubuh ketua Jeng-hwa-pang itu mendengar ini.
Tidak
mungkin baginya untuk menyerbu istana Raja Sabutai yang dilindungi ribuan orang
pasukan itu dengan seratus orang anak buahnya! Akan tetapi, kematian isterinya
harus dibalas! Oleh karena itu, Gak Song Kam ini selalu mencari kesempatan
untuk menantang Kim Hong Liu-nio, menantangnya secara pribadi, bukan sebagai
keluarga Raja Sabutai! Tantangan yang lajim dilakukan oleh orang-orang di dunia
persilatan dan tak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan atau perkumpulan.
Demikianlah,
kesempatan itu tiba ketika Kim Hong Liu-nio melakukan perjalanan menuju Lembah
Naga bersama sute-nya, yaitu Ceng Han Houw, hanya dikawal oleh tujuh belas
prajurit pengawal. Kesempatan ini tidak disia-siakan dan cepat Gak Song Kam menyuruh
seorang di antara pembantu-pembantunya yang pandai untuk mengirim surat
tantangan kepada wanita itu. Dan seperti sudah diceritakan di bagian depan,
pembantu itu berhasil mengirim surat tantangan istimewa itu yang merupakan
senjata-senjata maut berbahaya bagi penerimanya, namun yang dapat diterima
dengan baik oleh Kim Hong Liu-nio.
Setelah
mendengar berita dari pembantunya bahwa surat tantangannya sudah diterima oleh
wanita itu yang akan datang bersama seorang sute-nya dengan kereta indah yang
dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, Jeng-hwa-pang menjadi sibuk
mempersiapkan penyambutan terhadap musuh istimewa itu.
Sementara
itu, Kim Hong Liu-nio yang menyeret tubuh Sin Liong telah tiba di dalam hutan
di luar Lembah Naga, di mana Ceng Han Houw sedang menanti dengan tidak sabar di
dalam keretanya sambil meniup seruling. Han Houw amat suka meniup seruling.
Ketika
melihat suci-nya datang sambil menyeret tubuh seorang anak laki-laki, Han Houw
menyimpan sulingnya lantas memandang heran. Apa lagi ketika dia melihat anak
laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya itu telah membuka
mata, telah siuman akan tetapi sedikit pun anak itu tidak mengeluarkan kata
keluhan, bahkan memandang dengan mata melotot, dia menjadi makin
terheran-heran.
Dia melihat
suci-nya melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah dan memandang penuh
kebencian. Sin Liong terguling, akan tetapi segera merangkak dan bangkit
berdiri. Kedua kakinya menggigil, tanda bahwa dia lelah dan menahan nyeri akan
tetapi matanya melotot dan sikapnya angkuh!
"Ehhh,
suci. Siapakah bocah ini?" tanyanya heran melihat betapa suci-nya yang
biasanya tenang itu kini kelihatan marah-marah dan mendongkol.
"Bocah
setan dia! Anak iblis dari neraka!" Kim Hong Liu-nio memaki sambil
memandang dengan mata mendelik kepada Sin Liong. Anak itu juga balas
memandangnya dengan melotot lebar.
"Wah,
anak setan dan iblis?" Han Houw bertanya, matanya terbelalak kemudian dia
pun memandang Sin Liong dari atas sampai ke bawah. "Kulihat tidak ada
apa-apanya, kenapa disebut anak setan dan iblis?"
"Dia
adalah anak dari Cia Bun Houw, musuh besar dari subo, musuh yang paling besar
dari subo!" kata Kim Hong Liu-nio.
"Musuh
yang paling besar dan paling ditakuti!" Tiba-tiba Sin Liong berkata. Dia
sangat mendongkol, dia tidak akan dapat mampu membalas semua siksaan, akan
tetapi biarlah dia membalas dengan kata-kata menghina agar menyakiti hati
wanita ini!
"Ahh,
begitukah? Mengapa anaknya hanya begini saja?" Han Houw bertanya penuh
rasa heran. Kalau ayahnya menjadi musuh utama yang kabarnya memiliki kepandaian
hebat, tentu anaknya pun hebat. "Ehh, kenapa kau bilang bahwa suci takut
kepada ayahmu?" tanya Han Houw yang mulai tertarik akan sikap bandel dan
sama sekali tidak takut dari anak itu.
Sepasang
mata Sin Liong memandang anak laki-laki yang berpakaian sangat mewah itu dan
kembali Han Houw terkejut. Mata anak ini seperti mata harimau saja, pikirnya.
Maka hatinya makin tertarik.
"Sudah
jelas takut! Beraninya hanya mengganggu aku, anak ayah yang masih kecil, tidak
berani langsung berhadapan dengan ayahku!"
Han Houw
tersenyum. "Dan apakah kau tidak takut kepada suci?"
"Aku?
Takut? Huh, paling-paling dia bisa membunuhku, akan tetapi dia pasti tidak akan
lolos dari tangan ayahku. Anak harimau bisa saja dibunuh oleh sekumpulan
srigala, akan tetapi anak harimau tidak akan merasa takut."
"Wah,
wah, sombongnya! Kau menganggap dirimu adalah anak harimau dan kami berdua kau
namakan srigala? Wah, bukankah srigala itu anjing hutan? Celaka, suci, dia
berani memaki kita anjing hutan!"
"Itulah!
Dia memang anak setan!" Kim Hong Liu-nio mengomel.
"Kenapa
dia tidak dibunuh saja agar mulutnya tidak banyak mengoceh lagi?"
"Hemm,
sute. Jika kita membunuh dia, maka makiannya itu terbukti, kita menjadi seperti
srigala membunuh seekor anak harimau seperti yang dikatakannya itu."
"Ehh,
maksudmu...?"
"Dia
lemah akan tetapi penuh keberanian, karena itu kita berarti hanya membunuh dan
mengganggu anak-anak lemah saja."
Han Houw
menggangguk-angguk, kini dia menoleh dan memandang kepada Sin Liong dengan
pandang mata baru, penuh rasa kagum. Bocah ini luar biasa, pikirnya.
"Ehh,
siapa namamu?" dia bertanya, agak tersenyum dan suaranya ramah.
Diam-diam
Sin Liong juga mengagumi anak laki-laki ini. Demikian tampan dan gagah,
pikirnya, dan sekecil itu telah menjadi sute dari wanita iblis ini!
"Namaku
Sin Liong... ehh, Cia Sin Liong!" tambahnya, menekankan nama keturunan
itu.
"Sin
Liong? Naga sakti? Hemm, namamu sama sombongnya dengan sikapmu."
"Aku
tidak sombong, hanya paling benci kalau dikatakan takut. Aku tidak takut apa
pun. Dan kau siapa? Benarkah kau masih sute dari Kim Hong Liu-nio ini?"
Ceng Han
Houw mengangguk. Hatinya senang. Baru sekarang ada bocah yang bicara kepadanya
dengan sikap biasa, seperti dua orang yang sama derajatnya, seperti teman.
Biasanya, semua orang yang berbicara kepadanya, terlebih lagi anak-anak, tentu
nampak takut-takut dan bahkan dengan berlutut, memandang wajahnya pun tidak
berani!
"Namaku
Han Houw, aku she Ceng."
"Ceng
Han Houw? Namamu juga gagah sekali. Dan apakah kau juga pandai silat seperti
suci-mu ini?"
Melihat dua
orang anak itu berbicara seperti dua orang sahabat saja, Kim Hong Liu-nio
menjadi tidak senang. "Anak cerewet! Kau kira engkau ini siapa? Tawanan,
tahu? Sute, jangan layani dia!"
Akan tetapi
Han Houw sudah seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru, merasa
sayang untuk melepaskan begitu saja. "Eh, Sin Liong, kau betul-betul tidak
takut kepada kami?"
"Tidak,
seujung rambut pun tidak. Paling-paling kalian akan dapat membunuhku."
"Kau
tidak takut mati?"
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Apa kau takut?" dia balas bertanya.
Han Houw
terbelalak, berpikir sejenak lalu mengangguk. "Aku takut dan agak ngeri
juga."
"Apa
kau pernah tahu bagaimana mati itu?"
"Tentu
saja belum!"
"Kalau
begitu, bagaimana bisa takut?"
Han Houw
tercengang, bingung, lalu menjawab ragu, "Entahlah. Eh, kalau kau tidak
takut kepada kami apakah kau berani bertanding melawan aku?"
Sin Liong
memandang Han Houw dari atas sampai ke bawah. Anak itu tentu lebih tua dua
tahun dari pada dia, lebih tinggi dan tegap. Dan mengingat bahwa anak ini
adalah sute dari Kim Hong Liu-nio, maka tentu ilmu silatnya juga hebat.
"Aku
tidak ada urusan apa-apa dengan engkau, mengapa mesti bertanding?"
"Kau
takut?"
"Takut
sih tidak."
"Kalau
begitu kau berani."
"Tentu
saja berani, akan tetapi, aku tidak mau. Tidak ada persoalannya, mengapa harus
berkelahi?"
"Ha-ha-ha,
itu hanya alasan. Kau tentu takut kalah."
"Mengapa
takut kalah? Tentu saja aku kalah olehmu, akan tetapi aku tidak takut."
Dan melihat sinar mata penuh ejekan itu, Sin Liong melanjutkan. "Kalau ada
alasannya yang kuat, tentu aku akan menerima tantanganmu."
Kim Hong
Liu-nio yang sejak tadi memang merasa mendongkol dan kini sedang duduk di atas
batu dekat kereta sambil mendengarkan, tiba-tiba berbicara dalam Bahasa Mongol
kepada Han Houw. Sin Liong tidak mengerti artinya, akan tetapi kemudian Han
Houw lalu menghampirinya dan berkata,
"Ahh,
kiranya engkau ini anak monyet! Engkau anak gelap, anak haram!"
"Bohong!
Keparat kau!" Sin Liong membentak marah.
"Kalau
benar kau bukan anak monyet dan anak haram, kau tentu akan berani melawan
aku!"
"Ceng
Han Houw, biar mati pun aku tidak takut padamu!" kata Sin Liong dan anak
yang sudah marah sekali ini lalu menyerang dengan ganas!
Han Houw
tertawa, dengan mudah saja dia mengelak ke samping lantas sekali kakinya
bergerak, kaki Sin Liong sudah ditendangnya dari samping sehingga membuat Sin
Liong terpelanting roboh. Akan tetapi, tanpa mempedulikan rasa nyeri akibat
terbanting itu, Sin Liong sudah meloncat bangun lagi dan menyerang kembali.
Sin Liong
menggunakan jurus ilmu silat akan tetapi bagi Han Houw tentu saja gerakannya
itu masih amat kaku dan lemah dan kembali sambil mengelak Han Houw menggerakkan
tangannya, menampar pundak Sin Liong hingga membuat anak itu terbanting lebih
keras lagi! Namun berkali-kali Sin Liong bangun dan terus menyerang.
"Kau
tidak mau mengaku kalah? Hayo mengaku kalah!" berkali-kali Han Houw
mendesak.
Akan tetapi
Sin Liong sama sekali tak mempedulikannya dan ia terus menyerang dengan
membabi-buta, walau pun kulit tubuhnya sudah lecet-lecet dan luka-luka di
punggungnya yang dicambuki oleh ayah angkatnya itu terasa nyeri dan berdarah
lagi.
Tadi oleh
suci-nya, Han Houw diberi tahu dalam Bahasa Mongol bagaimana caranya bisa
membangkitkan kemarahan dan perlawanan anak aneh itu. Dan benar saja, sesudah
dia memaki anak monyet dan anak haram, Sin Liong melawannya mati-matian. Dan
kini, Han Houw kewalahan melihat kenekatan bocah itu, yang sungguh pun sudah
dibuatnya jatuh bangun, namun sama sekali tidak pernah mau menyerah dan mengaku
kalah.
Sebetulnya
dia merasa kagum dan suka kepada anak ini dan tak ingin melukainya secara
hebat, apa lagi membunuhnya. Maka, melihat kenekatan Sin Liong, mendadak Han
Houw menggunakan jari telunjuknya menotok yang tepat mengenai pundak kanan,
yaitu jalan darah Kian-keng-hiat, dan seketika Sin Liong pun roboh dengan lemas
karena tubuhnya menjadi lumpuh seketika!
Dengan sapu
tangan Han Houw menghapus keringat pada dahinya. "Wuiiihhh, bocah ini
benar-benar bernyali harimau!" katanya. "Suci, untuk apakah engkau
menawan harimau cilik ini?"
"Untuk
memaksa ayah kandungnya muncul dan menghadapiku."
"Hemm,
untuk semacam sandera?"
"Begitulah."
"Wah,
hal itu akan repot sekali. Dia buas dan ganas seperti harimau, tentu hanya akan
menyusahkan saja sepanjang perjalanan," kata Han Houw. "Dan anak
seperti ini, apa bila memperoleh kesempatan sedikit saja, tentu akan melarikan
diri, suci."
Kim Hong
Liu-nio tersenyum dan mengeluarkan sebatang jarum putih terbuat dari pada
perak. "Aku mempunyai cara untuk memaksanya agar jangan meninggalkan kita,
jangan melarikan diri."
Dari saku
bajunya Kim Hong Liu-nio mengeluarkan sebuah bungkusan terbuat dari kertas,
lalu membukanya dan nampaklah bubuk berwarna kuning. Dia mengoleskan ujung
jarum perak di bubukan kuning itu dan seketika ujung jarum itu berubah menjadi
biru kehitaman, tanda bahwa bubukan itu mengandung racun. Kemudian Kim Hong
Liu-nio menghampiri tubuh Sin Liong yang masih rebah terlentang.
Anak ini
tidak mampu bergerak karena tubuhnya bagaikan lumpuh, akan tetapi matanya masih
memandang dengan mendelik penuh kemarahan, sama sekali tidak terlihat takut.
"Biarlah
dia melarikan diri kalau bisa. Andai kata bisa pun, dia akhirnya akan mencari
aku karena nyawanya berada di tanganku," kata Kim Hong Liu-nio dengan
tersenyum.
Han Houw
membelalakkan matanya. "Suci hendak mempergunakan Hui-tok-san (Bubuk Racun
Api)?"
Kim Hong
Liu-nio hanya tersenyum, lalu menghampiri Sin Liong. Dengan gerakan cepat dia
menusukkan jarum perak yang ujungnya biru menghitam itu ke arah betis kaki
kanan Sin Liong. Sin Liong merasa betis kanannya nyeri, akan tetapi dia tidak
mengeluh, hanya memejamkan matanya. Betisnya terasa panas sekali seperti
digigit ribuan ekor semut, dan dia harus menggigit bibirnya untuk menahan
perasaan yang amat menyiksa ini, rasa panas gatal tanpa dapat menggaruknya!
Han Houw
lalu menotok pundaknya, membebaskan totokannya tadi, dan Sin Liong cepat meraba
betis kanannya, hendak menggaruk.
"Jangan
garuk! Begitu kau garuk, kau akan mati konyol!" Kim Hong Liu-nio berseru.
Sin Liong
terkejut dan tidak jadi meraba betisnya. Dia tidak takut mati, tetapi dia belum
mau mati konyol. Masih banyak hal yang harus dia lakukan di dunia ini, pertama
mencari ayahnya dan ke dua, sekali waktu membalas kepada iblis betina ini. Maka
dia tidak mau membunuh diri secara konyol.
"Hui-tok-san
telah berada di jalan darahmu." Kim Hong Liu-nio berkata dengan suaranya
yang merdu dan halus, lalu bibirnya tersenyum. Akan tetapi kini Sin Liong mulai
mengenal senyum seperti itu, senyum yang menyembunyikan kekejaman laksana
iblis, "racun itu berhenti di betismu dan tidak akan berbahaya kalau tidak
kau garuk. Apa bila kau garuk, maka racun itu akan berjalan cepat karena
panasnya akibat garukan, dan makin cepat dia bergerak naik, semakin cepat pula dia
mencapai jantung dan mencabut nyawamu. Kalau kau diamkan saja, dalam waktu enam
bulan barulah racun itu akan sampai di jantungmu dan mencabut nyawamu. Dan
dalam waktu enam bulan itu, tentu aku sudah akan dapat berhadapan dengan ayah
kandungmu!"
Han Houw bertepuk
tangan memuji, "Wah kau hebat, suci! Dengan demikian, dia tidak akan
berani melarikan diri. Bukankah hanya engkau yang mempunyai obat penawarnya,
suci?"
Kim Hong
Liu-nio mengangguk. "Mari kita berangkat ke Jeng-hwa-pang, sute!"
Wanita itu lalu mencengkeram tengkuk Sin Liong dan membawanya masuk ke dalam
kereta, diikuti oleh Han Houw!
"Biarkan
dia duduk bersamaku, suci. Dia dapat menjadi teman seperjalananku."
Sin Liong
lalu didudukkan di atas bangku kereta, bersanding dengan Han Houw yang memandanginya
penuh perhatian. Sin Liong duduk seperti seorang raja, tegak dan tidak mau
melirik ke sana-sini, mulutnya cemberut dan dia seolah-olah tidak peduli sama
sekali kepada dua orang yang berada di dalam kereta bersamanya itu.
Kim Hong
Liu-nio bersuit dan muncullah tujuh belas orang pengawal itu. Dia mengeluarkan
aba-aba dalam Bahasa Mongol dan bergeraklah kereta itu, ditarik oleh empat ekor
kuda besar, berangkat menuju ke selatan, dikawal oleh para pengawal yang
menunggang kuda.
Diam-diam
Sin Liong merasa kagum dan heran juga. Mulailah dia melirik ke arah Han Houw
yang duduk di sebelah kirinya. Dia menduga-duga siapa adanya pemuda ini yang
ternyata amat lihai ilmu silatnya, jauh lebih lihai dari pada Siong Bu atau
Beng Sin. Dia mendengarkan wanita cantik itu berkata-kata kepada anak laki-laki
ini, berbicara dalam bahasa yang tak dimengertinya. Dia tidak tahu bahwa Kim
Hong Liu-nio sedang bercerita kepada Han Houw tentang dirinya.
Akhirnya
percakapan mereka berhenti dan Han Houw menyentuh lengannya. Sin Liong menoleh.
Dua pasang mata yang bersinar-sinar sama tajam saling bertemu. Han Houw
tersenyum dan berkata,
"Kau
memang hebat, adik kecil. Ayahmu patut dipuji."
"Dan
kalian memang jahat, kekejaman kalian patut dicela!" jawab Sin Liong,
memandang berani.
Han Houw
tertawa. "Ha-ha-ha-ha, belum pernah selama hidupku bertemu dengan bocah
seperti engkau ini. Namamu Cia Sin Liong? Ehh, Sin Liong, setelah kita saling
bertanding dan kini duduk sekereta, tentu engkau mau menjadi sahabatku
bukan?"
"Persahabatan
bukan hanya omong kosong belaka, tetapi ditentukan oleh perbuatan dan
perbuatanmu dan suci-mu terhadap diriku sama sekali tidak bersahabat!"
Jawab pula Sin Liong.
Dia masih
marah sekali dan tentu saja dia marah karena dia juga maklum bahwa di dalam
tubuhnya sudah mengeram racun jahat yang akan menewaskannya dalam waktu enam
bulan, racun yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh wanita itu.
Perbuatannya itu demikian kejam dan anak ini bicara tentang persahabatan!
Akan tetapi,
Han Houw yang tadi mendengar dari suci-nya tentang keadaan Sin Liong, tidak
menjadi marah oleh jawaban itu. Dia amat tertarik lalu berkata, "Engkau
sejak kecil dipelihara oleh monyet-monyet besar? Betapa aneh, hebat, dan
pengalamanmu itu luar biasa sekali. Ingin aku mengalami hal seperti yang sudah
kau alami itu, Sin Liong. Dan engkau putera kandung Cia Bun Houw, pendekar yang
kabarnya amat sakti itu. Bukan main! Aku ingin menjadi sahabatmu!"
Akan tetapi
Sin Liong tidak mau menjawab lagi, bahkan membuang muka memandang ke luar
jendela kereta, melihat betapa kereta dijalankan cepat melintasi padang rumput
yang agak tandus dan dari kejauhan, di depan nampak dinding yang amat panjang
naik turun gunung, berbelok-belok seperti ular atau naga besar.
Itulah
agaknya Tembok Besar yang terkenal sebagai dongeng, yang pernah diceritakan
kepadanya oleh Siong Bu dan Beng Sing, dua orang anak yang pernah menyeberangi
tembok besar yang amat panjang itu.
***************
Matahari
sudah mulai condong ke barat ketika rombongan itu memasuki sebuah hutan di
lereng bukit. Tembok besar nampak jelas dari bawah, akan tetapi ketika mereka
sudah memasuki hutan, tembok panjang yang seperti naga itu lenyap tertutup oleh
pohon-pohon yang memenuhi hutan dan yang tumbuh secara liar. Mendadak kereta
itu berhenti dan pasukan pengawal cepat menggerakkan kuda mereka masing-masing,
mengurung kereta untuk melindungi.
"Mengapa
berhenti?" Han Houw bertanya.
"Apa
yang terjadi?" Kim Hong Liu-nio juga bertanya, nada suaranya tidak sabar.
Seorang
pengawal mendekatkan kudanya dengan jendela kereta lantas memberi laporan dalam
Bahasa Mongol secara singkat.
"Hemmm,
bagus! Mereka mencari mati di tempat ini? Sute, kau berdiam saja di sini dan
lihat saja suci-mu menghajar mereka!" kata Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba
tubuhnya telah melesat keluar dari dalam kereta.
Han Houw
membuka tirai-tirai kereta dan dari dalam kereta, dia bersama Sin Liong dapat
melihat apa yang terjadi di depan. Kiranya perjalanan rombongan itu telah
dihadang oleh serombongan orang yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh
orang, yang kini semua berdiri seperti patung mengurung kereta itu. Mereka
bergerak tanpa mengeluarkan suara, dan tubuh mereka hanya bergeser secara
teratur sehingga tahu-tahu tempat di mana kereta itu berhenti telah dikepung
dalam jarak kurang lebih lima meter.
Para
pengepung itu memakai pakaian seragam hijau muda dengan gambar bunga yang
bentuknya aneh, berwarna hijau tua di dada baju masing-masing. Karena pakaian
yang berwarna serba hijau ini, maka pandangan mata menjadi kabur karena warna
pakaian mereka itu sama dengan warna di sekeliling tempat itu, warna daun dan
semak-semak. Dan karena mereka mengurung dengan berdiri tegak dan sama sekali
tidak bergerak atau mengeluarkan suara, maka keadaan menjadi makin menyeramkan.
Akan tetapi
Sin Liong melihat betapa Han Houw bersikap tenang saja, bahkan senyumnya
mengandung ejekan dan memandang rendah sekali. Diam-diam dia merasa kagum
sekali terhadap ketabahan pemuda cilik yang tampan dan berpakaiah mewah ini.
Sementara
itu, tujuh belas orang pengawal telah berbaris rapi mengurung kereta dengan
membelakanginya, siap melindungi kereta itu dengan taruhan nyawa mereka. Tujuh
belas orang pengawal yang berpakaian seragam ini pun kelihatan gagah dan
tenang. Semua ini membuat hati Sin Liong menduga-duga siapa adanya anak ini
sesungguhnya.
"Han
Houw, sebetulnya siapakah engkau ini? Apakah engkau anak bangsawan
Mongol?" Akhirnya Sin Liong bertanya karena tidak dapat menahan lagi
keinginan tahunya.
Han Houw
menoleh kepadanya lalu tersenyum. Dia sudah dipesan oleh ayah bundanya, juga
suci-nya, supaya dia tidak mengaku sebagai putera Raja Sabutai, agar melakukan
perjalanan dengan menyamar, karena jika dia dikenal sebagai putera Raja
Sabutai, tentu keadaannya akan menjadi berbahaya sekali. Banyak kepala suku
bangsa yang tentu saja akan mengincarnya, karena Sabutai memiliki banyak sekali
musuh di antara suku-suku bangsa di utara. Kini, mendengar pertanyaan Sin
Liong, Han Houw hanya tersenyum dan menjawab,
"Kelak
engkau akan mengetahui sendiri, Sin Liong."
Sin Liong
memang berwatak keras dan angkuh. Mendengar jawaban ini dia tidak sudi mendesak
lagi, bahkan kini dia mengalihkan perhatiannya memandang ke luar jendela, ke
arah Kim Hong Liu-nio yang telah berhadapan dengan para pimpinan gerombolan
itu.
Kini wanita
itu telah berdiri tegak menghadapi enam orang pimpinan gerombolan dengan sikap
tenang dan mulut tersenyum-senyum yang menyembunyikan kemarahan di hatinya
akibat gangguan dan hadangan gerombolan itu. Tadi pimpinan pengawal sudah
memberi laporan kepadanya bahwa gerombolan orang-orang Jeng-hwa-pang telah
menghadang di tengah perjalanan sehingga membuatnya menjadi marah sekali.
Setelah Kim
Hong Liu-nio melompat turun dan melihat sekeliling, benar saja dia mengenal
bahwa mereka itu adalah pasukan Jeng-hwa-pang! Tentu saja dia merasa marah sekali
sehingga cepat dia menghampiri enam orang yang dia duga tentulah merupakan
pimpinan Jeng-hwa-pang.
Pada waktu
dia pernah mengacau di Jeng-hwa-pang, membunuh-bunuhi orang-orang she Tio
termasuk isteri ketua Jeng-hwa-pang, dia tak sempat bertemu dengan para
pimpinan Jeng-hwa-pang yang kabarnya sedang pergi menangkapi ular-ular merah.
Akan tetapi dia mendengar bahwa pimpinan Jeng-hwa-pang terdiri dari ketuanya
yang dibantu oleh lima orang tokoh Jeng-hwa-pang yang berkepandaian tinggi.
Maka kini, ketika melihat ada enam orang berdiri tegak dengan sikap angkuh,
mudah saja bagi Kim Hong Liu-nio untuk menduga bahwa tentu mereka itulah para
pimpinan Jeng-hwa-pang.
"Jeng-hwa-pang
mengundang kami untuk datang ke sarangnya, akan tetapi sekarang di dalam hutan menghadang
seperti kelakuan para perampok berwatak rendah!" Kim Hong Liu-nio berseru
dengan suaranya yang nyaring. "Jeng-hwa-pang mengundang orang untuk
mengadu kepandaian atau hendak melakukan pengeroyokan seperti pengecut-pengecut
hina?"
Enam orang
itu mengerutkan alis mereka dan memandang marah. Tak mereka sangka wanita
secantik itu ternyata mempunyai lidah yang sangat tajam. Pria berusia lima
puluh tahun yang wajahnya merah dan bertubuh tegap gagah, yaitu Jeng-hwa-pangcu
sendiri melangkah maju kemudian menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah
muka Kim Hong Liu-nio.
"Kim
Hong Liu-nio, baru sekarang kita ada kesempatan untuk saling bertemu! Engkau
dan tujuh belas orang pengawalmu itu tak ada artinya. Engkau telah dikurung
oleh anak buah kami yang berjumlah tujuh puluh lima orang! Kekuasaan ada padaku
dan kelemahan ada padamu, maka tidak perlu lagi kau bersikap sombong. Kamilah
yang menentukan apakah akan membasmi kalian satu demi satu ataukah sekaligus!
Dan..."
"Tunggu
dulu!" Kim Hong Li-nio menghentikan ucapan lawannya itu dengan mengangkat
tangan ke atas. Tangan yang diangkat ke atas ini merupakan isyarat bagi para
anggota pasukan pengawalnya dan mereka itu cepat menurunkan busur dan anak
panah dan siap dengan senjata itu di tangan mereka.
"Agaknya
engkau adalah Jeng-hwa-pangcu Gak Song Kam! Ehh, orang she Gak, apakah engkau
tidak melihat keadaan pasukan pengawal itu?"
Gak Song Kam
dan lima orang pembantunya memandang dan melihat tujuh belas orang pengawal itu
memegang busur dan anak panah, mereka tertawa, diikuti pula oleh puluhan orang
anak buah mereka yang menyeringai. Akan tetapi tidak ada suara ketawa keluar
dari mulut mereka sehingga Sin Liong bergidik. Sungguh menyeramkan melihat
puluhan orang itu menyeringai sehingga nampak gigi mereka akan tetapi sama
sekali tidak ada suara yang keluar!
"Ha-ha-ha,
Kim Hong Liu-nio, sungguh lucu sekali melihat gertakanmu ini! Apa sih artinya
tujuh belas orang pengawalmu yang memegang busur dan anak panah itu? Apakah kau
kira kami ini hanyalah kijang-kijang dan kelinci-kelinci yang lemah sehingga
mudah saja ditakut-takuti dan ditodong dengan anak panah seperti itu?
Ha-ha-ha!"
"Jeng-hwa-pangcu,
kalian bukan hanya kijang-kijang dan kelinci-kelinci lemah, akan tetapi malah
adalah sekumpulan babi hutan yang tolol. Lihatlah baik-baik!"
Kim Hong
Liu-nio segera memberi isyarat dengan jari tangannya ke atas, ibu jari tangan
kanannya diacungkan ke atas dan tujuh belas orang pengawal itu lalu menarik
busur, dan para anggota Jeng-hwa-pang sudah siap untuk menangkis atau mengelak.
Akan tetapi
tiba-tiba saja anak panah itu dihadapkan ke atas dan begitu tali busur dilepas
meluncurlah tujuh belas batang anak panah. Sesudah tiba di atas, anak-anak
panah itu mengeluarkan ledakan kemudian nampaklah sinar merah bernyala di
angkasa. Kiranya anak-anak panah itu adalah anak panah berapi yang dipergunakan
untuk mengirim berita!
Orang-orang
Jeng-hwa-pang merasa terkejut, heran dan tidak mengerti. Akan tetapi tak lama
kemudian mereka dikejutkan oleh suara bergemuruh dari empat penjuru. Kemudian,
terdengarlah derap kaki kuda yang banyak sekali disertai sorak-sorai dari
banyak sekali orang. Dan tampaklah oleh mereka karena hutan itu berada pada
lereng bukit yang agak tinggi, betapa dari empat penjuru berdatangan
pasukan-pasukan yang masing-masing tak kurang dari tiga ratus orang jumlahnya!
Gak Song Kam
dan para pembantunya saling pandang dan muka Gak Song Kam yang biasanya
berwarna merah itu kini berubah menjadi pucat. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio
tertawa dan kini terdengar suara berbisik ketika pasukan-pasukan itu mulai
mendekat dan mengurung hutan itu, siap untuk menyerbu jika ada tanda dari Kim Hong
Liu-nio.
Tempat itu
termasuk daerah kekuasaan Raja Sabutai, maka semua suku bangsa yang berada di
sekitar tempat itu tentu saja merupakan bawahan-bawahan raja ini, dan begitu
melihat tanda bahaya yang dilepas melalui anak panah tadi, lantas berbondong-bondong
mereka datang dari segenap jurusan ke hutan itu.
"Orang
she Gak, apakah kau masih mau bicara tentang siapa yang mengurung dan siapa
yang dikurung, siapa yang kuat dan siapa yang lemah, dan siapa pula yang
menentukan? Pengawalku memang hanya tujuh belas orang, tapi anak buahmu hanya
berjumlah tujuh puluh lima orang sedangkan pasukanku yang telah datang saja
sudah lebih dari seribu orang, belum lagi yang sedang datang dari tempat yang
agak jauh. Engkau mau bicara apa sekarang?"
Hati Gak
Song Kam menjadi gentar. Memang maksudnya hendak menghadapi wanita ini sebagai
musuh pribadi dan dia memang tidak berani membawa-bawa nama Raja Sabutai yang
dia tahu memiliki pasukan-pasukan yang amat kuat dan tidak mungkin dilawan oleh
anak buahnya itu.
Tadinya,
pada waktu melihat musuh besarnya itu hanya dikawal oleh tujuh belas orang
pengawal, maka begitu mendengar berita ini, dia cepat mengumpulkan anak buahnya
dan melakukan penghadangan jalan sebab dia bermaksud membalas dendam dan
membasmi semua orang di tengah hutan agar kalau Raja Sabutai mendengar tentang
pembasmian itu, dia tidak akan menyangka bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang vang
melakukannya.
Kalau Kim
Hong Liu-nio tiba di sarang Jeng-hwa-pang, tentu saja Jeng-hwa-pang tidak
memungkiri lagi dan berarti akan menanam bibit permusuhan dengan Raja Sabutai
dan hal itu amatlah berbahaya. Akan tetapi, siapa kira wanita ini benar-benar
amat cerdik dan tidak dapat ditundukkan dengan hanya mengandalkan banyak anak
buah karena ternyata di belakang wanita itu berdiri pasukan yang ribuan orang
jumlahnya. Maka terpaksa Gak Song Kam tersenyum-senyum masam untuk menutupi
rasa gentar dan kecewanya.
"Hemm,
kiranya Kim Hong Liu-nio yang mengaku gagah perkasa itu hanya mengandalkan
pasukan besar untuk menghadapi lawan!"
"Cihh!
Orang she Gak, sebaiknya engkau menelan kembali ludahmu itu! Engkaulah yang
mengandalkan jumlah banyak! Sekarang cepatlah katakan, engkau mengundang aku ke
Jeng-hwa-pang kemudian menghadang di tengah jalan ini, engkau mempunyai niat
curang apakah?"
Gak Song Kam
berdehem untuk menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian dia menjawab
pertanyaan itu dengan pertanyaan pula, "Kim Hong Liu-nio, benarkah engkau
yang telah membunuh isteriku dan sembilan orang keluarga isteriku beberapa
bulan yang lalu?"
Kim Hong
Liu-nio mengangguk, lantas menurunkan papan salib dari punggungnya sambil
memperlihatkan tulisan tiga huruf di atas papan itu. "Bukan salahku,
pangcu, akan tetapi salahnya isterimu dan salahmu sendiri. Kenapa isterimu she
Tio? Kenapa pula engkau menikah dengan seorang she Tio dan di rumahmu tinggal
sembilan orang she Tio itu?"
Tentu saja
jawaban ini amat bo-ceng-li (kurang ajar) dan mau menang sendiri saja. Muka Gak
Song Kam menjadi semakin merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi
melihat keadaan yang tak menguntungkan, dia tidak berani terlalu memperlihatkan
kemarahannya.
"Kim
Hong Liu-nio! Engkau pasti tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat peraturan
bahwa siapa hutang uang bayar uang, hutang budi bayar budi, dan hutang nyawa
bayar nyawa," berkata orang she Gak itu dengan suara penuh ancaman dan
tangan kanannya meraba gagang pedang di pinggangnya.
Wanita itu
tersenyum mengejek. "Hemm, kau maksudkan bahwa aku sudah membunuh isterimu
dan keluarganya, sekarang engkau hendak membunuhku?"
"Itu
sudah merupakan kepantasan!" jawab ketua Jeng-hwa-pang.
Kim Hong
Liu-nio mengangguk-angguk. "Memang pantas! Seorang suami tentunya harus
membalas kematian isterinya, atau mengikuti isterinya ke alam baka. Soalnya,
engkau mampu membunuh aku ataukah sebaliknya. Dan apakah kau masih ingin
mengandalkan pengeroyokan untuk membunuhku, pangcu?"
Diejek
demikian, makin marahlah Gak Song Kam. Kalau dia tidak ingat bahwa tempat itu
sudah dikurung oleh seribu lebih pasukan, tentu dia akan menggerakkan anak
buahnya untuk membunuh iblis betina ini.
"Ataukah
engkau akan bersikap pengecut dan curang, mempergunakan racun-racunmu?"
kembali wanita itu mengejek.
"Apakah
engkau takut?" ketua Jeng-hwa-pang itu berkesempatan balas mengejek.
Wanita itu
tersenyum, manis sekali sehingga diam-diam Gak Song Kam merasa heran dan juga
sayang mengapa wanita secantik itu berhati kejam seperti iblis dan juga harus
dibunuhnya untuk membalas kematian isterinya dan sembilan orang keluarga
isterinya.
"Racun-racunmu
itu hanya permainan kanak-kanak, siapa takut? Akan tetapi bila engkau akan
menggunakan pengeroyokan anak buahmu, terpaksa aku pun akan menggerakkan
pasukanku."
Tiba-tiba
lima orang pembantu utama Gak Song Kam bergerak maju ke depan. Seorang di
antara mereka berkata, "Tidak ada pengeroyokan! Pangcu kami mengundang
untuk pibu. Kami berlima adalah pembantu-pembantu utamanya dan kami berlima
sudah biasa maju bersama. Biarlah kami mengawali pertandingan ini dan menjadi
jago-jago fihak pangcu. Silakan kouwnio mengeluarkan jago kouwnio untuk
menandingi kami!"
Kim Hong
Liu-nio masih tersenyum dan memandang lima orang laki-laki itu. Usia mereka itu
kurang lebih empat puluh sampai lima puluh tahun, semua bertubuh tegap dan
terlihat kuat, berpakaian ringkas dan mereka berlima memegang lima macam
senjata pula. Ada yang memegang pedang, golok, tombak, toya dan ruyung.
Dia sudah
mendengar laporan dari para penyelidiknya bahwa lima orang pembantu dari
Jeng-hwa-pang ini lihai sekali, apa lagi kalau mereka maju bersama karena
kelimanya merupakan ahli dalam barisan Ngo-heng-tin. Dia sendiri banyak
mempelajari ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan, akan tetapi dia
belum mengenal Ngo-heng-tin, maka hatinya tertarik sekali.
"Hemm,
jadi kalian berlima adalah pembantu-pembantu Jeng-hwa-pangcu yang terkenal
dengan ilmu Ngo-heng-tin? Kabarnya kalian adalah perampok-perampok dari
Heng-san, benarkah?"
Wajah lima
orang itu menjadi merah sekali. Memang mereka dahulunya sebelum menjadi tokoh
Jeng-hwa-pang, adalah lima orang perampok di Heng-san yang terkenal. Sesudah
mereka dikalahkan dan ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, mereka lalu menggabung
dan karena mereka itu lihai, maka sekarang mereka menjadi pembantu-pembantu
utama dari Jeng-hwa-pangcu. Kini, disinggung masa lalu mereka, tentu saja
mereka menjadi sangat malu dan marah.
"Kami
adalah Heng-san Ngo-houw, dan kami sudah siap membela pangcu kami, silakan
kouwnio mengeluarkan jago kouwnio."
"Suci,
biarlah aku menghadapi mereka!" Tiba-tiba terdengar Han Houw berteriak dan
dia sudah meloncat keluar dari dalam kereta dan lari menghampiri tempat itu.
Melihat ini, Sin Liong merasa tertarik dan dia pun meloncat keluar dan
mengikuti Han Houw.
Kim Hong
Liu-nio mengerutkan alisnya. Sute-nya ini paling suka bertanding silat! Memang
sudah pandai sute-nya ini, sudah banyak menguasai ilmu-ilmu silat tinggi karena
memang mempunyai bakat yang amat hebat, akan tetapi sute-nya yang baru berusia
empat belas tahun ini tentu saja masih belum memiliki pengalaman bertempur dan
juga belum dapat dikatakan matang ilmu-ilmunya, sedangkan dia sudah dapat
menaksir bahwa lima orang ini merupakan jago-jago yang sudah kawakan dan
berbahaya.
"Lebih
baik jangan sute. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya."
"Biarlah,
suci. Aku tidak takut."
"Dan
aku akan membantu Han Houw!" tiba-tiba Sin Liong ikut berkata.
Kim Hong
Liu-nio terkejut dan cepat menoleh, memandang Sin Liong sambil mengerutkan
alisnya. Anak ini benar-benar lancang dan kurang ajar, menyebut sang pangeran
dengan namanya begitu saja! Dan berlagak hendak membantu segala.
"Minggirlah
engkau!" bentaknya kepada Sin Liong. Kemudian dia menghadapi lima orang
Hengsan Ngo-houw sambil berkata, "Kalian maju berbareng dengan berlima,
sebaliknya sute-ku berani menghadapi kalian. Bagaimana kalau aku dan sute-ku
maju bersama, jadi dua lawan lima? Aku ingin melatih sute-ku dan kalian
merupakan lawan latihan yang baik sebelum aku membunuh kalian."
Tentu saja
lima orang itu menjadi semakin marah karena ucapan itu jelas mengandung
pandangan rendah sekali terhadap mereka.
"Majulah!"
bentak orang tertua di antara mereka, "Majulah kalian berdua, mau ditambah
beberapa orang lagi pun tidak mengapa!"
"Suci,
menurut suci, di antara mereka berlima ini, pemegang senjata mana yang paling
berbahaya?" Han Houw bertanya, sikapnya tenang.
"Kelima
batang senjata itu mempunyai keistimewaan masing-masing, sute, seperti juga
sute sudah ketahui dan pelajari. Akan tetapi, kalau sute menghadapinya dengan
pedang, tentu saja masing-masing memiliki kelemahan sendiri. Engkau tentu masih
ingat bahwa ketika melawan pemegang senjata panjang harus merapat, sebaliknya
menghadapi lawan bersenjata pendek harus merenggang."
"Tapi,
senjata mereka ini lima macam, ada yang pendek ada yang panjang kalau mereka
maju bersama..."
"Itulah
lihainya Ngo-heng-tin, harap sute berhati-hati dan mengerahkan ginkang..."
Lima orang
itu sudah tidak sabar lagi. Mereka dijadikan bahan pelajaran ilmu silat! Maka
mereka segera bergerak mengurung wanita dan anak laki-laki itu, kemudian
terdengarlah mereka berseru hampir berbareng, "Lihat senjata!"
Dan mulailah
lima orang itu menggerakkan senjata masing-masing melakukan serangan!
"Cring-cringg-cringgg...!"
Nampak sinar
terang berkelebatan dan ternyata Han Houw sudah mencabut pedang dan menangkis
tiga batang senjata lawan yang menyambar, sedangkan dua batang senjata lain
sudah dikebut oleh ujung sabuk merah Kim Hong Liu-nio! Akan tetapi, lima orang
itu sudah menyerang lagi lebih hebat dan gerakan mereka benar-benar amat luar
biasa.
"Jangan
tangkis, elakkan, pergunakan ginkang dan lindungi diri dengan sinar
pedang!" terdengar Kim Hong Liu-nio berseru dan dua orang ini segera
berkelebatan dengan cepat sekali di antara sambaran lima batang senjata itu.
Han Houw
mengerti bahwa suci-nya menyuruh dia mengelak untuk dapat memperhatikan cara
lima orang lawan itu melakukan penyerangan dengan tersusun dalam Ngo-heng-tin.
Dan memang demikianlah, Kim Hong Liu-nio diam-diam mempelajari gerakan lima
orang itu dan dengan cepat dia sudah dapat menangkap inti dari kerja sama lima
orang itu.
Ternyata
memang ada unsur ngo-heng pada setiap gerakan-gerakan mereka yang saling
membantu dan saling melindungi, seperti juga sifat dari lima zat pokok yaitu
api, air, kayu, logam, dan tanah. Ilmu berdasarkan ngo-heng ini memang hebat
bukan main, dan setelah saling melindungi maka menjadi amat kuat.
Akan tetapi
segera Kim Hong Liu-nio melihat bahwa dasar dari tingkat ilmu yang dimiliki
oleh lima orang itu belum begitu kuat. Dan inilah kelemahan mereka. Andai kata
mereka itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai dasar ilmu yang kuat, maka
Ngo-heng-tin ini benar-benar amat sukar ditundukkan. Setelah melihat kelemahan
lawan, maka Kim Hong Liu-nio tersenyum dan berkata kepada sute-nya,
"Sute,
kau sekarang boleh serang mereka yang memegang pedang dan golok! Gunakan
gerakan Lian-cu Siang-kiam (Tikaman Ganda Berantai)!"
Han Houw
mentaati perintah suci-nya dan cepat pedangnya membuat gerakan berganda,
melakukan serangan bertubi-tubi kepada pemegang pedang dan pemegang golok tanpa
mempedulikan yang lain. Berdasarkan silat Ngo-heng-tin, ketiga orang lainnya
tentu saja telah menggerakan senjata secara otomatis melindungi kedua orang
itu.
Akan tetapi
tampaklah sinar merah panjang berkelebatan dan sinar yang dibuat dari sabuk
merah Kim Hong Liu-nio ini sudah membentuk benteng yang menghadang ketiga orang
lainnya sehingga mereka terpisah dari si pemegang golok! Kini terpaksa kedua
orang ini menghadapi serangan pedang Han Houw, dan mereka terkejut bukan main
menyaksikan sinar pedang yang berkeredepan dan amat cepat itu.
Mereka kini
terdesak dan menangkis kalang-kabut, dan lebih kaget lagi hati mereka waktu
mereka menangkis, pedang dan golok mereka menjadi patah ujungnya, tidak kuat
beradu dengan pedang pusaka di tangan Han Houw. Apa lagi karena anak itu memang
sudah mengerahkan sinkang yang istimewa, yang dikuasainya di bawah gemblengan
Hek-hiat Mo-li sendiri!
Sin Liong
menonton dengan mata terbelalak penuh kagum. Bukan main, pikirnya. Kiranya Ceng
Han Houw benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat. Pandang
matanya sampai kabur menyaksikan anak itu mengamuk dikeroyok oleh dua orang
yang memegang pedang dan golok itu, sedangkan tiga orang lainnya ditahan oleh
sinar merah dari Kim Hong Liu-nio, membuat mereka bertiga bergerak bingung
karena ujung sinar merah itu kini berubah banyak sekali dan terus melakukan
totokan-totokan ke jalan-jalan darah maut mereka!
Tiba-tiba
terdengar teriakan nyaring dan si pemegang golok roboh terguling, dari lehernya
mengucur darah karena tenggorokannya telah tertembus oleh ujung pedang Han Houw!
Dan kini si pemegang pedang dengan muka pucat berusaha untuk mempertahankan
diri sambil memutar pedangnya yang telah buntung!
Semua ini
tidak terlepas dari pandang mata Gak Song Kam. Menyaksikan semua itu, ketua
Jeng-hwa-pang ini terkejut bukan main. Dia sendiri, sesudah mengerahkan seluruh
kepandaiannya, baru mampu mengimbangi Ngo-heng-tin. Dan kini, Ngo-heng-tin
menjadi kocar-kacir hanya menghadapi seorang bocah yang dibantu oleh wanita
cantik itu, bahkan seorang di antara mereka telah roboh dan tewas, sedangkan
yang empat orang lagi dia tahu tentu hanya tinggal menanti waktu saja.
Melihat
gerakan sabuk merah milik Kim Hong Liu-nio, dia tahu bahwa kalau saja wanita
itu menghendaki, tentu sudah sejak tadi tiga orang temannya itu dapat
dirobohkan, akan tetapi agaknya wanita itu betul-betul hendak melatih sute-nya
dan membiarkan sute-nya merobohkan lima orang itu dan dia hanya membantu, hanya
untuk mencegah tiga orang itu mengeroyok.
Dan melihat
ini semua, tanpa bertanding pun tahulah ketua Jeng-hwa-pang ini bahwa dia
sendiri bukanlah lawan Kim Hong Liu-nio dan usahanya membalas dendam akan
sia-sia belaka, bahkan dia hanya akan menyerahkan nyawanya saja. Maka timbullah
akal yang curang di dalam benak Gak Song Kam.
Sejak tadi
dia melirik ke arah Sin Liong. Dia tidak tahu siapa anak itu, akan tetapi
melihat gerak-geriknya, anak itu tidaklah selihai anak laki-laki yang memegang
pedang itu, akan tetapi karena datang bersama Kim Hong Liu-nio, tentu anak itu
pun merupakan seorang anggota keluarga atau anggota rombongan. Maka diam-diam
dia lantas memberi isyarat kepada para anak buahnya. Semua anggota
Jeng-hwa-pang adalah orang-orang yang telah bersumpah setia kepada
Jeng-hwa-pang, maka begitu melihat isyarat itu, mereka lalu bergerak dan
mencabut senjata, menyerang Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw!
Kim Hong
Liu-nio terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring
untuk memberi aba-aba kepada pasukan yang telah mengurung tempat itu, kemudian
dia sendiri sudah mencabut pedangnya dan mengamuk sambil melindungi Han Houw.
Ketika dia mencari-cari dengan pandangan matanya di antara pengeroyokan
anak-anak buah Jeng-hwa-pang, dia tidak lagi melihat Gak Song Kam.
Ke mana
perginya ketua Jeng-hwa-pang ini? Sesudah melihat anak buahnya menyerbu, orang
yang cerdik ini lalu meloncat dan menyelinap di antara anak buahnya, bukan
untuk mundur dan melarikan diri, melainkan untuk menghampiri kereta yang telah
ditinggalkan oleh tujuh belas orang pengawal itu.
Para
pengawal yang melihat betapa anak buah Jeng-hwa-pang sudah turun tangan ikut
mengeroyok, tentu saja segera menggerakkan senjata dan menghadapi mereka dengan
sengit. Kesempatan ini lantas digunakan oleh Gak Song Kam untuk menyerang ke
depan dan menangkap Sin Liong.
"Eh,
kau mau apa?" Sin Liong membentak dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap
saja pundaknya telah kena dicengkeram oleh ketua Jeng-hwa-pang itu.
"Diam
kau! Kau ikut saja bersamaku!" bentak Gak Song Kam sambil mengangkat tubuh
Sin Liong, mengempitnya dan mencengkeram tengkuknya, lalu ketua Jeng-hwa-pang
ini melarikan diri.
Setiap kali
bertemu dengan pasukan yang mulai berdatangan, dia mengancam, "Biarkan aku
lewat, kalau tidak, kubunuh lebih dulu anak ini!"
Para anggota
pasukan tidak mengenal Sin Liong, akan tetapi karena pengawal yang tadi melihat
Sin Liong naik kereta bersama sang pangeran, cepat berseru agar Gak Song Kam
yang telah menawan anak itu tidak diganggu! Demikianlah, maka Gak Song Kam
berhasil melarikan diri sambil mengempit tubuh Sin Liong.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja terdengar suara Kim Hong Liu-nio yang nyaring. "Tahan dia
itu! Tangkap ketua Jeng-hwa-pang yang curang itu!"
Ternyata,
sesudah melihat lenyapnya Gak Song Kam, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan
main. Sambil melindungi Han Houw, cepat dia merobohkan empat orang Heng-san
Ngo-houw, kemudian dia mengajak Han Houw mundur dan membiarkan tujuh belas
orang pengawal menghadapi para anak buah Jeng-hwa-pang, karena sekarang pasukan
sudah bergerak maju dan tentu puluhan orang Jeng-hwa-pang itu akan dibasmi
habis. Bersama Han Houw dia lalu mencari-cari Gak Song Kam dan akhirnya dia
melihat orang itu yang melarikan diri sambil mengempit tuhuh Sin Liong.
"Celaka,
suci. Dia melarikan Sin long!"
Seruan Han
Houw ini mengejutkan Kim Hong Liu-nio. Kalau Han Houw pada waktu itu
mengkhawatirkan keselamatan Sin Liong yang terjatuh ke tangan ketua Jeng-hwa-pang,
sebaliknya Kim Hong Liu-nio sangat khawatir kalau-kalau dia kehilangan Sin
Liong yang akan dijadikan sandera untuk menemukan musuh besarnya, ayah kandung
anak itu, dan menundukkannya.
Jadi
kekhawatiran kedua orang ini mempunyai dasar yang jauh berbeda. Diam-diam Han
Houw mengagumi dan merasa suka sekali terhadap Sin Liong yang dianggapnya jauh
berbeda dari pada anak-anak biasa, apa lagi sikap Sin Liong terhadap dirinya
yang tidak menjilat-jilat seperti anak-anak lain, benar-benar menimbulkan kesan
di hatinya dan dia merasa suka bersahabat dengan anak itu.
Melihat Gak
Song Kam melarikan Sin Liong, Kim Hong Liu-nio lalu berteriak menyuruh pasukan
yang berada di belakang untuk menahan orang, itu. Akan tetapi pada saat itu,
Gak Song Kam telah berhasil keluar dari kepungan dan kini mendengar seruan Kim
Hong Liu-nio, kurang lebih tiga puluh orang prajurit anggota pasukan kecil yang
berada paling belakang, segera membalikkan tubuhnya dan mereka berlari-lari
mengejar!
Melihat tiga
puluh orang lebih mengejarnya dan melepaskan anak panah, Gak Song Kam cepat
menggerakkan tangan kanannya dan tangan itu sudah menyebar bubuk berwarna hitam
di belakangnya. Bubuk itu tertiup angin lalu berserakan di sepanjang jalan dan
juga terbawa angin sehingga tersebar sampai jauh.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment