Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 19
SEMENJAK
pagi para tokoh datang membanjiri tempat itu. Wakil-wakil dari partai
persilatan, wakil-wakil dari perkumpulan dan golongan, juga perorangan, semua
memenuhi tempat itu dan keadaan seperti pesta karena rombongan-rombongan itu
membawa bendera dan tanda perkumpulan masing-masing. Juga terdapat suasana
kegembiraan karena dalam kesempatan inilah mereka dapat saling bertemu dan
berkumpul, dan di antaranya banyak terdapat teman-teman lama yang tentu saja
menjadi gembira karena dapat saling jumpa.
Di antara
para wakil-wakil dari partai persilatan besar, terdapat seorang pemuda berusia
kurang lebih delapan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, berkulit agak
kecoklatan, gagah sekali sikapnya akan tetapi tarikan dagunya membayangkan
ketinggian hati seorang jago muda yang memandang diri sendiri terlampau tinggi
dan seolah-olah tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih lihai dari pada
dia! Ketika dia memperkenalkan diri, semua orang memandang padanya dengan agak
segan oleh karena pemuda itu memperkenalkan diri sebagai wakil dari
Cin-ling-pai!
"Ahh,
taihiap adalah wakil dari Cin-ling-pai? Silakan taihiap duduk di tempat
kehormatan!" Demikianlah para penyambut dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang
berkata dengan hormat dan sebutan ‘sicu’ berubah menjadi ‘taihiap’.
Dengan
angkuhnya pemuda itu lantas duduk di ‘tempat kehormatan’ yang sesungguhnya
hanyalah bangku-bangku kayu biasa, hanya saja diletakkan di belakang panggung
dan di tempat yang agak tinggi.
Sin Liong
yang berada pula di situ, yang menyelinap di antara para tamu yang sangat
banyak dan tidak seorang pun memperhatikan pemuda tanggung berpakaian sederhana
ini, merasa tertarik sekali ketika mendengar bahwa pemuda gagah perkasa itu
adalah wakil Cin-ling-pai. Dia cepat menyusup di antara orang banyak dan duduk
tidak jauh dari pemuda tampan gagah itu. Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda
ini, padahal baru tiga tahun dia meninggalkan Cin-ling-san.
Sin Liong
kini telah berusia enam belas tahun, dan sudah tiga tahun dia berada di tempat
tinggal Ouwyang Bu Sek. Hari itu dia diutus oleh suheng-nya untuk mewakili
suheng-nya yang sudah tua dan malas pergi ke tempat pertemuan itu. Karena dia
hanya seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun yang tidak menarik
perhatian, maka fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang tidak menyambutnya dan dia pun
menyusup di antara banyak tamu. Tentulah dia hanya dianggap seorang pengikut
dari sekian banyaknya rombongan yang datang.
Tentu saja
Sin Liong tidak mengenal pemuda yang gagah itu. Pemuda itu bernama Kwee Siang
Lee. Dia adalah putera dari seorang tokoh Cin-ling-pai yang terkenal pula.
Ayahnya adalah Kwee Tiong, seorang anak murid Cin-ling-pai yang telah memiliki
tingkat lumayan, ada pun ibunya adalah seorang wanita dari Tibet bernama
Yalima, puteri seorang kepala dusun di Tibet yang melarikan diri untuk mencari
Cia Bun Houw yang menjadi kekasihnya, akan tetapi kemudian karena Cia Bun Houw
tidak lagi mencintanya, lantas mendapatkan penggantinya dalam diri Kwee Tiong,
sehingga akhirnya mereka berdua pun menikah di Cin-ling-san.
Kwee Siang
Lee, pemuda yang berusia delapan belas tahun itu merupakan anak tunggal suami
isteri ini, dan sejak kecil tentu saja Kwee Siang Lee telah digembleng oleh
ayahnya dengan ilmu-ilmu yang khas dari Cin-ling-pai. Sebenarnya pemuda ini
sama sekali bukan seorang wakil Cin-ling-pai yang diutus oleh perkumpulan itu.
Seperti
sudah kita ketahui, semenjak kematian Cia Keng Hong sebagai ketua dan pendiri
Cin-ling-pai, perkumpulan ini seolah-olah telah bubar dan hanya menyisakan
bekas-bekas anggotanya saja yang tinggal di sekitar Pegunungan Cin-ling-san,
atau bahkan banyak pula yang sudah pergi ke tempat lain yang jauh.
Pada saat
itu Kwee Siang Lee sedang melakukan perjalanan merantau dan ketika dia tiba di
daerah itu, dia mendengar akan pertemuan yang diadakan untuk melakukan
pemilihan bengcu. Sebagai seorang pemuda yang masih berdarah panas dan
menganggap bahwa perkumpulan Cin-ling-pai adalah perkumpulan terbesar dan bahwa
kepandaiannya sudah boleh diandalkan untuk menjadi wakil perkumpulan
kebanggaannya itu, maka dia hendak mengangkat nama Cin-ling-pai dan mewakili
perkumpulan itu secara pribadi!
Setelah
matahari naik tinggi, tempat itu sudah penuh dengan para pendatang. Tempat
kehormatan yang berada di dekat panggung itu pun telah penuh dengan para tokoh
besar di dunia persilatan bagian selatan. Tidak lama kemudian, fihak
penyelenggara pertemuan itu, yaitu dua orang ketua dari Sin-ciang
Tiat-thouw-pang, maju ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru.
Mereka berdua itu adalah Sin-ciang Gu Kok Ban yang tinggi kurus sebagai ketua
pertama dan Tiat-thouw Tong Siok yang tinggi besar sebagai ketua ke dua atau
wakil ketua dari perkumpulan itu.
Sesudah
menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada hadirin semua, dengan suara
lantang Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata, "Seperti cu-wi (anda sekalian)
ketahui, bengcu kita yang lalu adalah seorang tua yang kurang tegas dan kini
sudah meninggal dunia, maka perlulah bagi kita untuk mengangkat seorang bengcu
yang baru. Setelah kita semua berkumpul, maka sebaiknya sekarang kita
mengajukan calon masing-masing untuk pemilihan bengcu baru. Hendaknya cu-wi
memilih seorang yang benar-benar cakap, berkepandaian tinggi, berwibawa dan
berani untuk diajukan sebagai calon. Pertama-tama, kami dari perkumpulan
Sin-ciang Tiat-thouw-pang hendak mengajukan calon kami, yaitu Tiat-thouw Tong
Siok, wakil ketua dari perkumpulan kami sendiri!"
Orang tinggi
besar berusia empat puluh tahun itu kini menjura ke empat penjuru, disambut
tepuk sorak para anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang memenuhi tempat itu dan
tentu saja mereka ini menjagoi calon mereka.
Sin Liong
memandang penuh perhatian. Wakil ketua dari perkumpulan itu bertubuh tinggi
besar, mukanya penuh bopeng, dan kepalanya yang botak itu mengkilap agak
kebiruan. Melihat julukannya, Tiat-thouw (Kepala Besi) dapat diduga bahwa
kepala yang botak itu tentu ampuh sekali.
"Para
calon dipersilakan naik untuk memperkenalkan diri," berkata pula Sin-ciang
Gu Kok Ban yang memberi isyarat kepada Tong Siok untuk kembali ke tempat duduknya
di fihak tuan rumah. Gu Kok Ban sendiri, yaitu seorang kakek berusia empat
puluh lima tahun yang tinggi kurus dan bermuka pucat, masih berdiri di situ
menanti datangnya calon-calon untuk diperkenalkan.
Tidak banyak
tokoh yang berani muncul di atas panggung. Pemilihan bengcu bukanlah hal yang
remeh dan hanya orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi sajalah yang patut
menjadi bengcu. Kepandaian dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah
terkenal sekali, maka majunya wakil ketua itu sebagai calon sudah merupakan hal
yang membuat jeri para calon lain karena mereka merasa tak akan mampu untuk
menandingi kepandaian Tiat-thouw Tong Siok!
Tetapi tentu
saja ada pula beberapa golongan yang merasa penasaran dan menginginkan tokoh
dari golongan masing-masing yang menjadi bengcu. Mereka segera mengajukan tokoh
yang mereka pilih sebagai calon.
Pertama-tama
yang melayang ke atas panggung dengan gaya yang kasar adalah seorang kakek yang
pakaiannya penuh tambalan. Dari pakaiannya jelas dapat dikenal bahwa dia adalah
seorang pengemis tua yang memegang sebatang tongkat butut. Mukanya selalu
tertawa-tawa penuh kepercayaan pada diri sendiri. Kakek ini adalah seorang
tokoh yang sangat terkenal di selatan dan semua orang, termasuk Sin-ciang
Tiat-thouw-pang sendiri menjadi tercengang karena mereka tak menyangka bahwa
kakek tokoh pengemis ini juga akan muncul menjadi calon bengcu!
Padahal
biasanya, kaum pengemis itu seperti ‘tahu diri’ sehingga tidak pernah ada yang
mencalonkan diri sebagai bengcu, sungguh pun pada setiap pemilihan mereka hadir
dan mereka juga ikut menentukan pilihan. Akan tetapi baru sekarang ini mereka
mengajukan seorang calon yang keluar dari golongan mereka sendiri.
Kakek ini
adalah Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) yang biar pun tidak
secara resmi menjadi ‘raja pengemis’ namun sudah diakui sebagai datuk yang
ditaati oleh semua perkumpulan pengemis di daerah selatan.
Hadirnya
Lam-thian Kai-ong sebagai calon bengcu benar-benar mencengangkan, seakan
merupakan tanda bahwa kini fihak pengemis juga sudah mulai menaruh perhatian
kepada kedudukan dan pengaruh, dan hal ini ada hubungannya dengan kemelut yang
terjadi di kota raja sebagai akibat dari penggantian kaisar.
Setelah
Lam-thian Kai-ong diperkenalkan kepada hadirin sebagai calon ke dua, banyak
tokoh yang tadinya berniat memasuki pemilihan ini diam-diam mengundurkan diri.
Setelah orang-orang lihai seperti Tiat-thouw Tong Siok dan Lam-thian Kai-ong
maju, maka siapa yang akan berani menandingi mereka? Dari pada kalah dan
mendapat malu, lebih baik siang-siang mengundurkan diri! Karena itu, sekarang
yang berani muncul menjadi wakil golongan masing-masing hanya tinggal lima
orang saja!
Calon
pertama adalah Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang
menjadi tuan rumah. Calon kedua adalah Lam-thian Kai-ong, pengemis tua yang
mewakili golongan pengemis dan gelandangan. Ke tiga adalah seorang tosu renta
bermuka putih yang bermata tajam dan bersikap angkuh. Tosu ini bernama Kim Lok
Cinjin, wakil ketua Pek-lian-kauw bersama belasan orang tokoh perkumpulan itu.
Calon ke
empat adalah seorang guru silat yang terkenal sekali dari kota Amoi, memiliki
kepandaian tinggi dan menerima murid-murid dengan bayaran mahal. Guru silat ini
dipilih oleh golongan tukang pukul, guru silat, dan para piauwsu. Dia bernama
Ouw Bian, dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, berusia sekitar lima puluh tahun,
tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar.
Ada pun
calon ke lima yang dicalonkan oleh para maling tunggal dan dunia pelacuran,
adalah seorang maling tunggal yang sangat terkenal di wilayah selatan. Dia
seorang pria berusia empat puluh lima tahun dan berwajah tampan. Tubuhnya
sedang saja, akan tetapi pakaiannya selalu indah seperti pakaian seorang
hartawan. Namanya adalah Bouw Song Khi.
Orang ini
selain terkenal sebagai seorang maling tunggal yang lihai dan ditakuti, juga
dia terkenal sebagai seorang hidung belang yang biasa keluyuran di
tempat-tempat pelacuran dan selain itu juga dia dikenal sebagai seorang yang
suka mengganggu wanita, seorang jai-hwat-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang
cabul, sungguh pun dia tidak pernah mau melakukan kejahatan-kejahatan itu di
daerahnya sendiri, melainkan memilih daerah di luar kekuasaannya sehingga
namanya disegani dan dihormati. Itulah sebabnya mengapa dia sampai dapat
terpilih menjadi seorang calon bengcu.
Lima calon
ini saja sudah terhitung cukup banyak, karena andai kata pada saat itu muncul
orang-orang seperti Lam-hai Sam-lo, agaknya beberapa orang di antara mereka
akan mundur lagi! Para gerombolan yang termasuk golongan bajak sudah merasa
tidak puas dan heran mengapa datuk-datuk mereka itu tidak muncul.
Melihat
tidak ada orang lainnya yang maju sebagai calon, Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai
ketua penyelenggara pemilihan bengcu lantas berseru nyaring kepada semua yang
hadir. "Apakah tidak ada lagi saudara-saudara yang hendak mengajukan calon
bengcu kecuali lima orang ini saja?"
Memang
pemilihan sekali ini agak sepi. Pemilihan bengcu pada beberapa tahun yang lalu
diikuti oleh belasan orang calon! Hal ini disebabkan calon yang maju adalah
orang-orang yang sangat terkenal sehingga para calon yang merasa tidak mungkin
dapat menandingi calon-calon yang terkenal ini telah lebih dulu mundur untuk
menghindarkan diri mendapat malu, kalah dalam perebutan itu. Lima orang yang
tinggal ini adalah tokoh-tokoh yang biar pun sudah saling mengenal namun belum
pernah menguji kepandaian masing-masing, maka mereka berani untuk maju.
Tiba-tiba
semua orang dikejutkan oleh suara yang nyaring. "Aku maju sebagai seorang
calon!"
Yang membuat
semua orang terkejut kemudian memandang heran adalah karena mereka melihat bahwa
yang berseru nyaring itu adalah seorang pemuda remaja yang tadi sudah mengaku
sebagai utusan atau wakil dari Cin-ling-pai! Sekarang semua mata memandang
kepada Kwee Siang Lee dengan penuh perhatian.
Pemuda itu
memang gagah dan tampan, sepasang matanya yang lebar dan bukan seperti
kebanyakan orang itu sangat tajam, menentang semua orang dengan penuh
keberanian. Memang pemuda ini memiliki mata seperti mata ibunya, wanita Tibet
itu.
Pemuda ini
memang mengesankan sekali. Usianya baru delapan belas tahun, wajahnya bersih
tampan dengan rambut hitam lebat yang disisir rapi lalu digelung ke atas
dibungkus dengan kain berwarna merah. Bajunya berwarna biru, diikat dengan
sabuk sutera kuning, dan celananya berwarna putih bersih.
Walau pun
pakaiannya tidak dapat disebut mewah, bahkan terbuat dari bahan sederhana,
namun karena bersih dan yang memakainya seorang pemuda remaja yang tampan, maka
kelihatan amat pantas dan rapi. Tubuhnya sedang saja, tetapi padat dan
membayangkan tenaga muda yang kuat.
Semua orang
yang hadir merasa terkejut dan heran karena mereka semua mendengar bahwa
Cin-ling-pai adalah sebuah partai yang besar dan termasuk partai dari golongan
pendekar, partai bersih yang biasanya menjadi lawan dari golongan sesat atau
golongan hitam. Apa bila Cin-ling-pai hanya mengirim utusan sebagai peninjau
saja, seperti partai-partai lain yang juga mengirim utusan seperti
partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain itu, maka hal ini tak
mengherankan. Akan tetapi bagaimana Cin-ling-pai mengirim seorang wakil yang
mencalonkan diri menjadi bengcu?
Namun karena
pemuda yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai itu sudah mengajukan diri
sebagai calon bengcu, maka ketua Sin-ciang Toat-thouw-pang menjadi bingung
juga. Dia tentu saja tidak berani menolak, apa lagi ketika para wakil golongan
bersih yang lain bertepuk tangan dan mengangguk-angguk tanda setuju. Tentu saja
mereka ini merasa suka sekali kalau bengcu terjatuh ke tangan seorang
Cin-ling-pai yang terkenal menjadi pusat para pendekar.
Semenjak
tadi Sin Liong memang sudah memperhatikan Kwee Siang Lee yang mengaku sebagai
wakil Cin-ling-pai. Kini, ketika melihat pemuda tampan itu bahkan mengajukan
diri sebagai wakil yang mencalonkan diri sebagai bengcu, tentu saja Sin Liong
menjadi makin terheran-heran.
Kehadirannya
di tempat itu hanya karena dorongan suheng-nya Ouwyang Bu Sek yang menyuruh dia
menghadiri pemilihan bengcu hanya untuk melihat dan mencari pengalaman saja.
Kini, mendengar pemuda tampan itu mewakili Cin-ling-pai mengajukan diri sebagai
calon bengcu, tentu saja dia amat tertarik karena dia menjunjung tinggi nama
Cin-ling-pai sebagai partai dari kongkong-nya (kakeknya).
Selagi ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu meragu dan tidak berani menolak, akan tetapi juga
belum menerima Kwee Siang Lee sebagai calon bengcu yang ke enam, tiba-tiba saja
terdengar bentakan nyaring, "Tidak pantas...!"
Dan nampak
bayangan orang meloncat ke atas panggung, langsung berdiri menghadapi Sin-ciang
Gu Kok Ban ketua perkumpulan tuan rumah.
Semua orang
memandang. Kiranya yang meloncat ke atas panggung itu adalah Kim Lok Cinjin,
wakil ketua Pek-lian-kauw yang tadi telah diangkat menjadi salah seorang di
antara calon-calon bengcu.
Kim Lok
Cinjin ini adalah sute dari Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw di selatan. Dan
sejak dulu, Pek-lian-kauw memang membenci Cin-ling-pai yang dianggap menjadi
musuh mereka. Oleh karena itu, Kim Lok Cinjin juga membenci Cin-ling-pai
sehingga begitu tadi melihat Cin-ling-pai diwakili seorang pemuda remaja yang
mengajukan diri sebagai calon bengcu, hatinya sudah terasa panas dan dia cepat
meloncat ke atas panggung sambil mencela.
Melihat tosu
ini, Sin-ciang Gu Kok Ban menjura kemudian bertanya, “Apakah yang totiang
maksudkan?”
"Pangcu,
kami menolak keras jika bocah itu menjadi calon bengcu mewakili
Cin-ling-pai!" bentaknya dengan nada keras dan menghina. "Semua calon
bengcu yang berada di sini adalah orang-orang terhormat, yang menjadi calon
karena diangkat oleh golongan masing-masing sebagai orang pilihan. Akan tetapi,
siapakah yang mengangkat wakil Cin-ling-pai ini? Huh, siapakah yang tidak
mendengar Cin-ling-pai itu perkumpulan macam apa? Mana mungkin ada kerja sama
antara Cin-ling-pai dengan kita? Lihat saja buktinya. Cin-ling-pai mengirim
wakilnya yang hanya seorang, itu pun masih seorang bocah ingusan pula, dan
sekarang bocah itu malah mengajukan diri sebagai calon bengcu! Bocah ingusan
seperti itu menjadi bengcu? Ha-ha-ha, bisa ditertawakan oleh cucu-cucu kita!
Coba cu-wi (anda sekalian) pikir baik-baik, bukankah perbuatan Cin-ling-pai itu
berarti memandang rendah dan menghina jagoan-jagoan selatan? Apa Cin-ling-pai
mengira bahwa pemilihan bengcu di antara kita ini hanya permainan kanak-kanak
belaka yang boleh dimasuki oleh bocah ingusan itu?"
"Tosu
sombong...!" terdengar teriakan nyaring.
Semua orang
melihat pemuda Cin-ling-pai yang tampan itu tiba-tiba saja meloncat tinggi
sekali dan tubuhnya lalu membuat poksai (salto) berjungkir balik tiga kali
dengan gaya yang indah sekali, baru dia turun ke atas panggung tanpa
menimbulkan suara tanda bahwa pemuda ini memiliki ginkang yang sudah lumayan
tingkatnya. Ketika Kwee Siang Lee meloncat, banyak orang bertepuk tangan
memuji.
Sin Liong
mengerutkan kedua alisnya. Dia mengerti pula bahwa loncatan dengan gaya jungkir
balik seperti itu memerlukan latihan dan juga membutuhkan tenaga ginkang yang
lumayan, akan tetapi dengan memamerkan kepandaian seperti itu di hadapan
demikian banyaknya orang pandai sungguh merupakan suatu kebodohan dan
menandakan bahwa pemuda Cin-ling-pai itu benar-benar berwatak angkuh, sombong
dan tolol! Akan tetapi dia hanya melihat saja dan mencurahkan penuh perhatian
untuk melihat perkembangannya.
Kwee Siang Lee
sudah berdiri di depan tosu Pek-lian-kauw yang memandangnya dengan mulut
mencibir, ada pun ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang telah turun dari atas
panggung. Ketua perkumpulan ini memang cerdik juga.
Dia tahu
siapa adanya tosu itu dan tosu itu tentu saja akan merupakan saingan berat bagi
sute-nya yang dia calonkan menjadi bengcu. Kalau sekarang tokoh Pek-lian-kauw
ini ribut dengan wakil Cin-ling-pai yang ternyata memiliki ginkang yang boleh
juga itu, hal ini akan merupakan sebuah keuntungan besar baginya. Dua orang
calon bengcu yang datang dari perkumpulan besar sudah hendak ribut dan
bermusuhan sebelum pemilihan dilakukan, hal itu baik sekali bagi fihaknya,
setidaknya akan mengurangi seorang saingan, fihak yang kalah.
Maka dia pun
diam saja bahkan segera menyingkir untuk memberi ‘kesempatan’ kepada kedua
fihak agar keributan itu makin berkobar. Dan semua orang yang hadir di situ
adalah kaum sesat yang paling senang menyaksikan perkelahian dan pertumpahan
darah, maka kini terdengar suara-suara yang memihak keduanya, bagaikan para
penonton adu ayam yang hendak bertaruhan!
"Tosu
bau, siapa tidak mengenal nama Pek-lian-kauw di mana engkau tadi diperkenalkan
sebagai wakil ketuanya? Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang biasa menipu
rakyat, memeras, membohongi dengan agama palsu, dan memikat perempuan-perempuan
untuk diperkosa! Dan kau masih berani menghina Cin-ling-pai? Jangan kira bahwa
aku, biar pun hanya seorang anggota muda Cin-ling-pai, takut
menghadapimu!" Ucapan yang dilakukan dengan sikap gagah dan dengan suara
lantang itu disambut tepuk tangan dari mereka yang memihak pemuda ini.
Kim Lok
Cinjin tertawa mengejek. "He-heh-heh, bocah ingusan! Baru memiliki
kepandaian ginkang macam itu saja sombongnya sudah demikian hebat sampai
memuakkan perutku! Padahal ginkang seperti itu hanya patut untuk dipamerkan di
dalam permainan komidi di pasar saja, untuk menarik perhatian orang supaya
menderma. Kami tadi bicara menurut aturan, bukan seperti engkau yang hanya
pandai menyombongkan diri saja. Bila engkau ingin menjadi calon bengcu,
siapakah yang mencalonkanmu? Kalau tidak ada, siapakah percaya bahwa engkau ini
orang Cin-ling-pai? Jangan-jangan engkau ini bocah sinting hanya mengaku-aku
saja wakil Cin-ling-pai! Hayo jawab, siapa yang mencalonkan engkau sebagai wakil
Cin-ling-pai?"
Tiba-tiba
terdengar suara melengking, "Aku yang mencalonkan dia!"
Tentu saja
semua orang menengok ke bawah panggung, ke arah penonton dan melihat seorang
anak laki-laki berusia enam belas tahun mengacungkan jari telunjuknya. Bahkan
wakil ketua Pek-lian-kauw dan Kwee Siang Lee yang berada di atas panggung juga
ikut menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Siang Lee memandang dengan
perasaan terheran-heran karena dia sama sekali tidak mengenal pemuda remaja
yang berpakaian sederhana itu.
"Aku
mencalonkan dia sebagai wakil Cin-ling-pai untuk menjadi calon bengcu!
Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan yang maha besar, maka cukuplah dengan
mengutus anggota mudanya. Karena dia sudah ada yang mengangkatnya sebagai
calon, maka dia sudah memenuhi syarat dan dia harus diterima menjadi seorang
calon bengcu!" kata Sin Liong dan karena memang anak ini memiliki hawa
sinkang yang luar biasa kuatnya di dalam pusarnya, ketika dia berteriak
suaranya melengking nyaring sekali.
Mereka yang
berfihak kepada Kwee Siang Lee lalu menyambut dengan sorakan gembira. Akan
tetapi Kim Lok Cinjin mengangkat kedua tangan ke atas dan suaranya terdengar
melengking tinggi mengatasi sorakan itu,
"Kesaksian
itu lebih tidak pantas lagi! Lihatlah, siapa yang mengangkat bocah ini sebagai
calon bengcu? Benar-benar kita semua sedang dihina orang! Yang diajukan adalah
bocah ingusan, akan tetapi yang mengajukan malah bocah yang masih
menetek!" Mereka yang pro kakek ini tertawa dan bersorak mengejek.
"Pendeknya,
bocah ingusan ini terlebih dulu harus membuktikan bahwa benar-benar dia adalah
wakil Cin-ling-pai dan buktinya hanyalah kalau dia dapat memperlihatkan
ilmu-ilmu asli dari Cin-ling-pai. Kalau mellhat usianya, andai kata benar dia
murid Cin-ling-pai, tentu kepandaiannya masih terlalu rendah dan mentah, maka
biarlah kami akan mengajukan jago tingkat empat saja untuk mengujinya. Kita
semua dapat melihat apakah benar-benar dia mempunyai ilmu Cin-ling-pai dan
sanggup mengalahkan jago tingkat ke empat dari Pek-lian-pai!"
Mendengar
ini, Siang Lee menjadi marah bukan main. Wajahnya yang tampan menjadi merah
sekali dan dia sudah ingin menerjang kakek Pek-lian-pai itu. Akan tetapi pada
saat itu, Kim Lok Cinjin sudah melompat turun dan sebagai gantinya dari tempat
kehormatan tadi melompatlah seorang kakek yang berpakaian sebagai petani, kakek
yang usianya sudah enam puluh tahun, namun gerakannya masih gesit, sepasang
matanya liar.
Memang
Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang anggotanya terdiri dari banyak macam
orang, terutama sekali para petani dan penduduk dusun. Pek-lian-kauw (Agama
Teratai Putih) adalah perkumpulan yang selain menyebar luaskan agama campuran
dari Buddha dan Tao dicampur dengan mistik dan sihir, juga mengandung cita-cita
untuk menguasai kerajaan demi berkembangnya agama mereka. Agar maksud itu
tercapai, Pek-lian-kauw selalu menyusup ke dusun-dusun dan mempengaruhi rakyat
kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau tokoh ke empat ini berpakaian
sebagai seorang petani.
"Orang
muda, coba perlihatkan jurus-jurus Cin-ling-pai kepadaku," kata kakek
petani itu. Tubuhnya yang kurus itu sudah memasang kuda-kuda dan sikapnya
memandang rendah. Tokoh ke empat dari Pek-lian-kauw sudah terhitung seorang
pandai kerena ilmu silatnya sudah mencapai tingkat pelatih bagi para anggota
muda, yaitu pelatih dasar-dasar ilmu silat Pek-lian-kauw.
Siang Lee
yang berwatak keras dan memang dia seorang pemuda berdarah panas sudah tidak
dapat menahan kemarahannya lagi, juga tak dapat mengeluarkan kata-kata karena
marahnya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia lantas membentak nyaring dan dia
sudah menyerang kakek itu dengan pukulan yang amat keras.
Cin-ling-pai
bukanlah sebuah partai sembarangan, melainkan sebuah partai perkumpulan yang
dipimpin oleh seorang pendekar sakti, yaitu Cia Keng Hong. Seperti kita ketahui
dari cerita Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), Cia Keng Hong telah menguasai
banyak ilmu silat tinggi yang hebat dan sukar dicari bandingnya di dunia
persilatan.
Sesudah
mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai, pendekar sakti ini kemudian menciptakan
ilmu silat khusus untuk perkumpulannya, yang diambilnya dari ilmu-ilmu silat
yang sudah dikuasainya dan para anak murid Cin-ling-pai digembleng dengan ilmu
yang khas ini. Ilmu silat itu dinamakan Cin-ling Kun-hoat dan terdiri dari ilmu
silat yang dapat dimainkan baik dengan tangan kosong mau pun dengan senjata apa
saja.
Hanya para
anggota Cap-it Ho-han yang merupakan sebelas orang murid utama sajalah yang
diberi pelajaran ilmu-ilmu hebat seperti Siang-bhok Kiam-sut dan sebagian
Thai-kek Sin-kun, akan tetapi murid-murid lainnya hanya digembleng dengan
Cin-ling Kun-hoat saja yang sudah merupakan ilmu silat lengkap dan amat
tangguh.
Siang Lee
juga sudah mempelajari Cin-ling Kun-hoat sampai tingkatan yang cukup tinggi
sehingga dia merupakan seorang ahli dalam mainkan ilmu silat itu dengan pedang
mau pun dengan tangan kosong. Karena itu, begitu menyerang dia lantas
menggunakan jurus Cin-ling Kun-hoat yang ampuh.
Tangan
kanannya dikepal menyerang dengan jotosan ke arah muka lawan ada pun tangan
kirinya dengan jari-jari terbuka dan miring membacok ke arah ulu hati.
Sesungguhnya, serangan tangan kiri inilah yang merupakan inti jurus serangan
ini, sedangkan yang kanan walau pun dilakukan dengan kuat sebenarnya bertugas
sebagai pancingan dan menutupi serangan inti itu.
"Dukkk!"
Kakek itu
menangkis jotosan tangan kanan, dan terkejutlah dia ketika merasa ada angin
dahsyat menyambar disusul bacokan tangan miring sebelah kiri.
"Plakkk!"
Kembali dia
berhasil menangkis, namun dia terhuyung ke belakang dan dadanya terasa sesak.
"Hehhhh...!"
Dia membuang napas dan dengan marah kakek itu lalu menubruk ke depan dengan
jurus Singa Mengejar Mustika.
Tubrukan itu
berbahaya sekali karena kakek itu menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya
untuk menyerang, setelah meloncat, kedua tangannya mencengkeram dan kedua
kakinya menginjak dengan pengerahan tenaga.
Namun, Siang
Lee menggunakan ginkang-nya dan tubuhnya telah mencelat ke belakang lalu
dilanjutkan dengan loncatan ke samping sehingga tubrukan kakek itu yang
dilanjutkan pula dengan tendangan kaki kiri tidak mengenai sasaran.
Para
penonton tertarik sekali hingga suasana di sekeliling panggung menjadi riuh
dengan suara penonton. Tentu saja hanya semua anak buah Pek-lian-kauw saja yang
menjagoi kakek petani itu, sedangkan para penonton selebihnya tidak berfihak,
melainkan menjagoi karena penafsiran masing-masing akan kekuatan dua orang yang
sedang bertanding itu.
Dan mulailah
mereka itu mengadakan taruhan. Akan tetapi karena gerakan Siang Lee amat sigap
dan cepat, sedangkan sikap pemuda itu pun angkuh dan angker, maka lebih banyak
yang menjagoi pemuda ini.
Kalau di
bawah panggung orang ramai bertaruhan, di atas panggung terjadi perkelahian
yang semakin lama semakin seru. Kakek itu makin merasa penasaran sekali. Dia
adalah seorang tokoh tingkat ke empat dari Pek-lian-kauw, dia dianggap sebagai
tokoh besar dan juga pelatih yang amat pandai oleh ratusan orang anggota
Pek-lian-kauw, terlebih pula, melihat lawan yang baru belasan tahun usianya itu
sedangkan dia sudah berusia enam puluh tahun, tentu saja dia merasa menang
segala-galanya, baik tenaga, ilmu silat, mau pun pengalaman. Maka sesudah
pertandingan berlangsung hampir lima puluh jurus dan dia belum mampu
mengalahkan pemuda itu, dia merasa penasaran bukan main.
Pada lain
pihak, Siang Lee yang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri juga merasa
penasaran sekali. Karena keduanya sudah marah, maka sekarang perkelahian itu
bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan menjadi perkelahian mati-matian
untuk mencari kemenangan, kalau perlu dengan merobohkan dan membunuh lawan!
Tiba-tiba
saja kakek itu mengeluarkan suara menggereng laksana harimau dan dia sudah
menubruk lagi, serangannya sekali ini adalah serangan nekat untuk mengadu
nyawa. Dia tak peduli lagi dengan segi penjagaan diri, melainkan mengerahkan
seluruh kemampuan dan perhatian untuk menyerang dalam nafsunya untuk
menjatuhkan lawan dan mendapat kemenangan. Tentu saja sikap seperti ini tidak
benar sama sekali bagi seorang ahli silat yang menghadapi lawan pandai, yang
seharusnya membagi kekuatan untuk menjaga diri, tidak semua dikerahkan untuk
menyerang dan membiarkan diri terbuka.
Siang Lee
terkejut juga menyaksikan serangan nekat itu. Memang hebat sekali serangan itu
dan dia pun tahu bahwa kalau dia menangkis berarti keras lawan keras dan karena
dia tahu pula bahwa tenaganya hanya seimbang dengan tenaga lawan, maka hal itu
sangat berbahaya dan bisa membuat dia terluka, baik menang mau pun kalah dalam
adu tenaga itu.
Maka, dengan
kecepatan kilat menggunakan ginkang-nya yang diandalkan, dia melempar diri ke
samping hingga berhasil lolos melalui bawah lengan kiri lawan, akan tetapi
sambil mengelak itu pemuda ini masih sempat mengayun tangan menyerang ke bawah
pangkal lengan kiri itu.
"Dukkk!"
Tubuh kakek
itu terpelanting, lambungnya kena ditonjok dan dia roboh, meringis sambil
memegangi lambungnya yang kena pukul.
Pada saat
itu terdengar gerengan keras dan seorang kakek yang seperti raksasa telah
muncul di atas panggung. Kakek ini menyeramkan sekali, selain tubuhnya tinggi
besar dan otot-ototnya menonjol pada seluruh bagian tubuhnya, juga mukanya
bengis, alisnya tebal, matanya lebar, kumis dan jenggotnya pendek namun lebat
dan kaku seperti kawat. Bajunya berlengan pendek sampai di pundaknya,
memperlihatkan sepasang lengan yang besar berotot, di kedua pergelangan
tangannya nampak masing-masing seekor ular kecil melingkar seperti gelang.
Dua ekor
ular itu sebenarnya adalah ular-ular asli, hanya saja ular yang sudah mati lalu
diberi obat sehingga menjadi kaku dan keras. Di punggungnya nampak tersembul
gagang golok besar, gagangnya berbentuk kepala harimau dan dandanan seperti itu
menambah seram keadaan raksasa yang usianya sekitar lima puluh tahun ini.
"Sute,
minggirlah engkau!" bentaknya dengan suara kasar dan parau kepada kakek
petani yang telah kena dipukul oleh Siang Lee tadi. Kakek petani itu meringis,
mengangguk dan kembali ke tempatnya di mana dia lalu diberi sebutir obat oleh
Kim Lok Cinjin yang segera ditelannya.
"Bocah
sombong dari Cin-ling-pai! Engkau sudah mengalahkan sute-ku, marilah engkau
bermain-main sebentar denganku! Apa bila engkau takut, biarlah aku mengampuni
orang Cin-ling-pai, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat
kepadaku sembilan kali sambil minta ampun, kemudian menggelundung pergi dari
tempat ini!" Suara kakek raksasa ini lantang dan ketika dia bicara,
matanya melotot dan perutnya bergerak-gerak, kedua lengannya yang diayun-ayun
itu mengeluarkan suara berkerotokan!
Melihat ini,
Sin Liong terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa kalau pemuda murid
Cin-ling-pai itu tetap memaksa diri maju, maka dia akan celaka di tangan
raksasa itu. Dia melihat betapa selain raksasa itu mempunyai kepandaian yang
jauh lebih tinggi dari pada kakek petani tadi dan juga pemuda itu, raksasa ini
memiliki sifat kejam dan besar sekali kemungkinan si pemuda akan terbunuh kalau
dia berani melawan. Dan dia tahu pula bahwa dari sinar matanya, pemuda itu
tentu malu untuk mundur, apa lagi kini pemuda itu sudah membusungkan dada,
sangat bangga karena kemenangannya tadi, kemenangan yang amat tipis.
"Hemm...
siapa takut..."
"Haii,
nanti dulu! Penasaran ini! Melanggar peraturan dan merusak tata susila
pemilihan bengcu!"
Teriakan ini
nyaring sekali dan semua orang memandang, lalu terdengar suara tertawa di
sana-sini ketika mereka melihat betapa yang berteriak itu ternyata adalah
pemuda remaja yang tadi mengangkat Siang Lee sebagai calon bengcu, dan kini
pemuda remaja itu telah memanjat tiang penyangga panggung untuk naik ke atas.
Hal ini membuat orang merasa geli.
Mereka semua
adalah ahli-ahli silat dan untuk naik ke atas panggung yang hanya kurang lebih
dua meter tingginya itu, tentunya mereka akan menggunakan kepandaian meloncat.
Akan tetapi pemuda remaja itu agaknya tidak pandai meloncat tinggi, maka dia
memanjat seperti seekor monyet.
Akan tetapi
karena teriakan itu nyaring sekali, Siang Lee tidak melanjutkan kata-katanya,
dan si kakek raksasa juga ikut menoleh, memandang ke arah Sin Liong yang kini
sudah muncul kepalanya dan dengan susah payah kakinya mengait pinggir panggung,
berdiri di depan Siang Lee untuk menghalangi pemuda itu berhadapan dengan kakek
raksasa.
"Cu-wi
(tuan-tuan sekalian) yang mulia adalah orang-orang gagah yang tentu mengenal
peraturan!" Demikian Sin Liong mulai berteriak sambil memandang ke empat
penjuru dan menggerak-gerakkan dua lengannya yang dikembangkan seperti gaya
seorang ahli pidato di hadapan rapat umum. "Saudara ini adalah seorang di
antara para calon bengcu yang mewakili Cin-ling-pai. Tadi ada fihak yang
meragukan dan ingin mengujinya apakah dia benar-benar tokoh Cin-ling-pai dan cu-wi
sudah melihat sendiri bahwa dia keluar sebagai pemenang. Jelas bahwa dia adalah
seorang tokoh Cin-ling-pai dan sebagai calon bengcu tentu saja tidak boleh
bertanding dulu. Hal ini merugikannya karena kalau calon-calon lain masih segar
bugar, dia tentu menjadi lelah. Apa bila ada fihak yang hendak menantang
Cin-ling-pai di sini, jangan ditujukan kepada calon bengcu, biarlah aku yang
akan mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi fihak yang menantang
Cin-ling-pai!"
Setelah
berkata demikian, dengan cepat Sin Liong menghadapi Siang Lee dan
mengedip-ngedipkan matanya, lalu berkata dengan sikap hormat, "Taihiap,
harap taihiap sudi duduk saja di tempat kehormatan, menanti sampai dimulainya
sayembara perebutan kedudukan bengcu. Ada pun badut-badut yang hendak mengacau,
biarlah serahkan saja kepadaku."
Jelas bahwa
sikap dan kata-kata Sin Liong ini amat mengangkatnya tinggi sekali, maka tentu
saja Siang Lee tidak hendak membantah. Dengan sikap bangga dan angkuh dia lalu
mengangguk kepada Sin Liong, sikapnya persis seperti kaum atasan memandang
kepada bawahannya dan dia masih berkata,
"Kau
hati-hatilah!" lalu Siang Lee berlenggang menuju ke tempat duduknya
semula. Tentu saja diam-diam Sin Liong merasa geli menyaksikan sikap pemuda
yang kosong itu.
Sementara
itu, selagi semua penonton terheran-heran menyaksikan pemuda remaja yang naik
ke panggung saja harus memanjat itu tapi kini hendak mewakili pemuda
Cin-ling-pai menghadapi tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, kakek raksasa tadi juga
bengong hingga sejenak tak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi setelah melihat
Kwee Siang Lee, calon lawannya yang tadi telah mengalahkan sute-nya itu mundur,
dia menjadi marah sekali.
"He,
bocah ingusan! Apakah kau sudah gila? Mau apa engkau naik ke sini dan menyuruh
lawanku mundur? Kalau dia tidak berani, dia harus berlutut dulu dan minta
ampun...!"
Sin Liong
menggerakkan tangan kanannya mencela. "Eihh! Siapa bilang dia tidak
berani? Kedudukannya masih terlampau tinggi untuk melawanmu. Bukankah dia calon
bengcu? Masih ada aku di sini, kenapa dia harus turun tangan sendiri?"
Kakek itu
terbelalak. "Kau...?! Kau maksudkan bahwa kau berani melawan aku?
Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa geli karena merasa lucu, dan banyak orang
yang hadir ikut pula tertawa.
"Kakek
harimau, engkau menggereng seperti harimau dan mukamu juga seperti harimau,
jangan tertawa dahulu. Ketahuilah bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan
besar yang namanya setinggi langit. Pendirinya, pendekar sakti Cia Keng Hong
adalah seorang pendekar sakti yang tanpa tanding, kepandaiannya sudah mencapai
langit. Ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tak ada keduanya di dunia ini. Dan aku
mendapat berkah, pernah aku belajar sedikit ilmu dari Cin-ling-pai, oleh karena
itu, kalau ada yang menghina dan memandang rendah Cin-ling-pai, biarlah aku mewakili
Cin-ling-pai untuk membuka mata orang yang menghina itu!"
Kakek itu
tidak marah, bahkan tertawa semakin keras karena dia menganggap bocah di
depannya itu seperti badut sedang berlagak saja. "Ehh, anak lucu, siapakah
namamu?"
Melihat
kakek itu bertanya sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dua
tangan bertolak pinggang dan dadanya dibusungkan, Sin Liong lalu meniru dengan
berdiri tegak, kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, lalu
berkata lantang.
"Ahh,
kakek yang tidak lucu, siapakah namamu?"
Bagi
orang-orang yang pernah mengenal Sin Liong semenjak kecil sampai dia berada di
Cin-ling-pai ikut kakeknya, tentu akan terheran-heran kenapa terjadi perubahan
demikian besar pada diri anak ini. Semenjak masih kecil sampai dia berada di
Cin-ling-pai, anak ini berwatak pendiam dan serius, wajahnya lebih sering muram
dari pada cerah dan dia tidak pandai berkelakar.
Akan tetapi,
semenjak dia menjadi sute dari Ouwyang Bu Sek, terjadi perubahan pada wataknya yang
pendiam itu. Ouwyang Bu Sek adalah seorang kakek yang pandai bicara, jenaka dan
lucu, maka selain ilmu kepandaiannya, juga sifatnya ini agaknya menurun pula
kepada Sin Liong. Akan tetapi, karena pada dasarnya Sin Liong pendiam, maka
sifat itu hanya sewaktu-waktu saja timbul padanya, terutama ketika menghadapi
saat berbahaya, dan sifat ini timbul sebagian besar sebagai siasat.
Tentu saja
sikap ini memancing suara ketawa geli dari banyak hadirin sampai ada yang
terkekeh-kekeh, terutama sekali bagi mereka yang memang merasa tidak suka
terhadap Pek-lian-kauw. Melihat kakek yang wajahnya menyeramkan itu
dipermainkan dan diejek oleh seorang bocah ingusan yang baru berusia belasan
tahun, benar-benar merupakan penglihatan yang lucu dan tentu saja memuaskan hati
mereka yang anti Pek-lian-kauw.
Kakek itu
terbelalak. Dia adalah seorang tokoh besar Pek-lian-kauw. Bahkan orang-orang
kang-ouw yang pandai pun tidak berani sembarangan terhadap dia, bahkan banyak
pula yang takut. Akan tetapi kenapa anak ini demikian beraninya? Akan tetapi
kakek raksasa itu mempunyai dua dugaan. Pertama, tentu saja anak ini sama
sekali buta akan keadaan di dunia kang-ouw, dan karena tidak mengenal siapa dia
maka berani bersikap seperti itu, dan yang ke dua, boleh jadi anak ini agak miring
otaknya maka berani bersikap demikian gila-gilaan!
"Engkau
malah berani balas bertanya sebelum menjawab?!" bentaknya.
"Tentu
saja! Engkau adalah fihak yang mencari perkara, ada pun aku hanyalah fihak yang
melayanimu, maka boleh dibilang engkau ini tamunya dan aku ini tuan rumahnya.
Maka, tidakkah sudah sepatutnya kalau tuan rumah lebih dulu mengetahui nama si
tamu baru memperkenalkan diri? Betul tidak, cu-wi yang mulia?" Dia menoleh
ke bawah panggung.
"Betul...!
Betul…!"
Tentu saja
mereka yang menonton pertunjukan lucu itu menyetujui. Di dalam keadaan seperti
itu, pada saat Sin Liong mendapatkan simpati karena kelucuan dan keberaniannya
mempermainkan seorang tokoh besar yang ditakuti, tentu saja apa pun yang
dikatakan anak itu akan disetujui mereka.
Sin Liong
kini menghadapi lagi kakek raksasa sambil tersenyum lebar. "Nah, kakek
yang tidak lucu, kalau aku saja yang bicara tentu engkau tidak percaya, akan
tetapi pendapat semua orang gagah yang terhormat itu, apakah engkau berani
untuk melanggarnya? Nah, jawablah dulu, siapakah namamu!"
Kulit muka
yang kasar dan agak hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena kakek itu sudah
marah sekali dan mukanya menjadi kemerahan, matanya melotot dan anehnya, bila
mana kakek ini sedang marah terjadilah hal yang lucu di luar kesadarannya
sendiri, yaitu cuping hidungnya yang kiri bergerak-gerak kembang kempis dengan
keras sehingga kumisnya sebelah kiri juga ikut pula bergerak-gerak, persis
seperti kumis kelinci! Melihat hal ini, Sin Liong merasa geli sekali dan dia
pun terkekeh-kekeh.
Kakek
raksasa itu menjadi makin marah. "Anak bedebah! Mengapa engkau
tertawa?"
"Heh-heh-ha-ha-ha,
engkau lucu sekali! Aku menarik kembali omonganku tadi, kalau tadi aku
menyebutmu kakek yang tidak lucu, sekarang aku menamakan engkau kakek yang
lucu. Nah, kakek yang lucu, siapakah sih namamu? Jangan jual mahal, ah!"
Kembali
banyak orang tertawa dan kakek itu kembali mendongkol. "Bocah sial! Kau
kira aku ini orang apa maka kau berani main gila seperti ini? Dengar baik-baik
agar terbawa mampus olehmu. Aku adalah tokoh tingkat ke tiga di Pek-lian-kauw,
dan julukanku adalah Kiu-bwee-houw, namaku... ahhh, bocah macam engkau tidak
pantas mengenal namaku. Biarlah arwahmu nanti ingat selalu bahwa engkau mampus
di tangan Kiu-bwee-houw!"
Bukan tidak
ada sebabnya kenapa kakek yang berjuluk Kiu-bwee-houw (Harimau Berekor
Sembilan) ini tidak mau memperkenalkan namanya kepada Sin Liong. Melihat anak
itu amat lincah dalam bicara, pandai mempermainkan orang dan kelihatan nakal
dan kurang ajar, maka kakek ini sengaja menyembunyikan namanya karena khawatir
kalau namanya diperkenalkan, maka nama itu akan menjadi bulan-bulan dan
olok-olok anak itu. Namanya adalah Toa Bhi dan dia she Bhe. Nama itu dapat pula
diartikan Si Hidung Besar!
"Pantas...
pantas...!" Sin Liong mengangguk-angguk. "Wajahmu seperti harimau,
lagakmu seperti harimau, gerakanmu seperti harimau hendak menubruk, dan gagang
golokmu pun ukiran kepala harimau. Pantas julukanmu Harimau Ekor Sembilan, akan
tetapi aku sama sekali tidak melihat ekormu! Apakah benar-benar ekormu itu ada
sembilan? Cobalah kau perlihatkan kepadaku, kakek lucu!"
Tentu saja
ucapan ini segera disambut oleh ketawa riuh rendah oleh para penonton dan
Kiu-bwee-houw menjadi makin gemas. "Bocah yang sudah bosan hidup! Hayo
lekas kau katakan siapa namamu agar kelak aku dapat memberitahukan kepada
Cin-ling-pai bahwa engkau telah mampus di tanganku!"
"Uuuhhhh,
tidak gampang, sobat. Namaku adalah Sin Liong!"
Kwee Siang
Lee yang sejak tadi memperhatikan anak itu, diam-diam terkejut bukan main. Dia
belum pernah bertemu dan berkenalan dengan Sin Liong, akan tetapi tentu saja
dia pernah mendengar nama Sin Liong, nama anak yang katanya merupakan murid
baru dan murid terakhir dari sucouw-nya, yaitu Cia Keng Hong!
Pernah dia mendengar
betapa seorang anak kecil aneh diambil murid oleh sucouw-nya itu, dan kabarnya
anak itu dilarikan penjahat sakti pada saat peti mati sucouw-nya sedang
dihormati dalam upacara berkabung oleh keluarga sucouw-nya. Jadi dia inikah
anak yang menjadi murid terakhir dari sucouw-nya itu? Diam-diam dia terkejut
bukan main.
Anak yang
usianya paling banyak enam belas tahun ini ternyata masih terhitung paman kakek
gurunya! Karena kakeknya, mendiang Kwee Kin Ta, salah seorang di antara Cap-it
Ho-han, adalah murid dari Cia Keng Hong, dan bocah yang menjadi murid bungsu
dari Cia Keng Hong ini terhitung sute dari kakeknya sendiri.
Keringat
dingin keluar dari seluruh tubuh pemuda ini. Dia tadi telah bersikap
keterlaluan! Dia telah dengan lancang mengangkat diri sendiri menjadi wakil
Cin-ling-pai! Bahkan lebih dari itu, dia telah lancang dan berani mencalonkan
dirinya menjadi calon bengcu sebagai wakil Cin-ling-pai pula! Padahal di situ
ada pemuda ini yang masih terhitung susiok-kong atau paman kakek guru darinya!
"Sin
Liong? Heiii, bocah sombong! Engkau ini tokoh tingkat berapakah dari
Cin-ling-pai? Dengan nyali sebesar ini, agaknya engkau tentu seorang tokoh yang
penting juga!" Kakek itu memancing untuk kelak memperolok Cin-ling-pai
bila mana dia sudah merobohkan, ah, bahkan membunuh bocah yang telah memanaskan
perutnya itu.
"Tokoh
tingkat berapa? Wah, orang macam aku ini di Cin-ling-pai dapat kau temui
losinan banyaknya, sulit dihitung, dan belum masuk hitungan kelas sama sekali!
Aku sepatutnya hanya menjadi jongos atau tukang sapu saja di sana!"
Makin
mengkal rasa hati kakek raksasa itu. Dengan kata-kata itu, kembali bocah itu
yang kelihatan meremehkan diri, sebetulnya menyeret dia ke tempat rendah,
karena bukankah bocah itu seakan mengatakan bahwa dia hanya patut bertanding
melawan jongos atau tukang sapu dari Cin-ling-pai saja? Kalau dia belum
terlanjur maju, tentu dia tak akan sudi untuk melayani seorang kacung
Cin-ling-pai!
Akan tetapi
karena mereka sudah berhadapan, tak ada jalan lain baginya untuk menebus
penghinaan dan rasa malu itu dengan merobohkan atau pun membunuh anak ini
secepat mungkin. Dia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan memang
gerengannya itu dilakukan dengan pengerahan khikang, suara yang keluar dari
dalam perut dan dapat menggetarkan jantung para pendengarnya, terutama sekali
Sin Liong yang berdiri tepat di depannya. Apa bila anak ini tidak mempunyai
kepandaian, tentu dia akan menjadi pucat, menggigil atau lumpuh seketika, mirip
seperti pengaruh gerengan harimau tulen terhadap manusia.
Akan tetapi,
murid kakek sakti Ouwyang Bu Sek ini tentu saja cepat-cepat mengerahkan
sinkang-nya sehingga gerengan itu baginya tidak lebih berbahaya dari pada bunyi
suara kucing saja. Dia tersenyum mengejek.
"Wah,
julukanmu macan, gerenganmu seperti macan pula. Seekor macan muda dan kuat
memang berbahaya, akan tetapi macan tua ompong macam engkau ini tidak
menakutkan melainkan menggelikan. Aku berani bertaruh bahwa menghadapi seekor
domba muda saja engkau tidak akan mampu merobohkannya. Eh, orang tua, percaya
tidak engkau?"
Ditanya
demikian, seperti orang tua latah raksasa itu menjawab, "Tidak
percaya!" Akan tetapi dia segera sadar bahwa dia telah melayani
pembicaraan anak itu maka dengan marah dia membentak, "Bersiaplah untuk
mampus!"
"Mampus
ya mampus, akan tetapi aku ingin melihat apakah macan ompong ini mampu membunuh
seekor domba. Biar aku yang menjadi dombanya."
"Biar
engkau berubah menjadi anjing, kau akan tetap mampus di tanganku, bocah
setan!"
"Ehhh,
kau menantang anjing? Ingat, anjing lebih kuat dari pada domba, lho! Kau tidak
menyesal nanti kalau dikalahkan aniing? Biar aku menjadi anjing dulu!"
Dan seketika
itu juga Sin Liong menjatuhkan diri merangkak-rangkak dengan empat kaki seperti
seekor anjing. Selagi semua orang masih merasa terheran-heran, mendadak anak
itu mengeluarkan gonggongan keras dan menyalak-nyalak, suaranya persis seekor
anjing tulen! Orang-orang tertawa dan memuji karena andai kata tidak melihat
anak itu, tentu mereka mengira bahwa memang anjing tulen yang menyalak-nyalak
itu.
Hal ini
sebenarnya tidaklah mengherankan. Karena semenjak bayi dipelihara oleh
monyet-monyet liar, maka penangkapan dari pendengaran Sin Liong lebih peka dari
pada manusia biasa sehingga dia lebih dapat menangkap ‘inti’ dari suara
binatang-binatang hutan. Yang ditirunya itu adalah suara yang memang dikenalnya
benar, suara anjing hutan, maka dia dapat mengeluarkan bunyi yang persis dengan
suara anjing tulen.
Saat melihat
pemuda remaja itu merangkak-rangkak, menyalak-nyalak dan menggoyang-goyang
pinggul yang tidak ada ekornya, meledaklah suara ketawa mereka yang hadir dan
disuguhi tontonan lucu ini. Hanya orang-orang dari Pek-lian-kauw yang tidak
bisa tertawa karena mereka itu ikut merasa gemas dan marah ketika melihat
betapa tokoh ke tiga dari Pek-lian-kauw itu dipermainkan oleh seorang bocah!
"Mampuslah!"
Tiba-tiba tubuh tinggi besar itu menubruk.
Tubrukan ini
bukan tubrukan ngawur belaka yang didorong oleh nafsu amarah, melainkan
tubrukan yang telah diperhitungkan masak-masak, yang hendak ditangkap ialah
tengkuk dan pinggul Sin Liong. Sekali tertangkap, tentu tubuh anak itu akan
dibantingnya sampai tulang-tulangnya remuk.
Akan tetapi,
seperti gerakan seekor anjing tulen, Sin Liong meloncat dengan tekanan kaki dan
tangannya sehingga tubrukan itu pun luput! Hal ini amat mengejutkan hati para
tokoh Pek-lian-kauw.
Mereka tahu
bahwa Kui-bwee-houw tadi telah mempergunakan jurus Harimau Menerkam Domba yang
sangat dahsyat, dan tubrukan pertama itu disusul dengan cengkeraman ke mana pun
lawan yang diserang itu mengelak. Akan tetapi, seperti seekor anjing, anak itu
benar-benar telah melompat cepat ke samping kemudian cepat pula memutar
sehingga si raksasa sama sekali tidak mampu melanjutkan serangannya dan
gagallah jurus pertama dari serangannya itu.
Terpaksa dia
membalik sambil memutar dan mengayun kaki kirinya. Itulah jurus Harimau Memutar
Tubuh yang mirip dengan ilmu para tokoh kaipang (perkumpulan pengemis), yaitu
ilmu yang sangat diandalkan oleh mereka dan yang dinamakan Ilmu Silat Mengusir
Anjing.
"Huk-huk-huk!"
Sin Liong menyalak-nyalak. Melihat sambaran kaki itu, dia menggerakkan kepala
dan kaki depan ke samping, kemudian dia menggigit ke arah betis yang lewat di
depan mukanya.
"Brettt...!”
“Aughh...!"
Kakek itu mengguncang kakinya yang tergigit dan semua orang bersorak-sorai
melihat pemuda cilik itu betul-betul menggigit betis lawan, persis seperti
seekor anjing.
Celana si
raksasa itu robek dan sesudah kaki yang tergigit diguncang-guncang, terpaksa
Sin Liong melepaskan gigitannya.
"Monyet
cilik, akan kubunuh kau!" Kiu-bwee-houw berteriak, mukanya merah dan kedua
matanya terbelalak liar.
Akan tetapi
sebelum kakek ini menyerang kembali, Sin Liong segera membuat gerakan meloncat
ke atas dan berdiri dengan sikap seperti seekor monyet!
"Aha,
kebetulan sekali, engkau menyuruh aku menjadi monyet? Baiklah, dan marilah kita
lihat apakah macan ompong mampu mengalahkan monyet!"
Pemuda itu
langsung mengeluarkan suara aneh, suara monyet tulen. Dan cara dia berdiri
dengan kedua pundak diangkat, mukanya dengan mulut agak meringis, kedua
tangannya, memang mirip, bahkan persis monyet. Dan hal ini tentu saja lebih
tidak aneh lagi karena Sin Liong sudah tahu benar bagaimana gerak-gerik seekor
monyet. Bahkan sebelum dia bertemu dengan ibu kandungnya, dahulu dia adalah
seekor monyet cilik.
Melihat
lagak ini, kembali suasana di bawah panggung menjadi riuh rendah karena lagak
Sin Liong benar-benar lucu dan menarik hati. Juga dalam hati mereka timbul rasa
kagum bukan main. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak becus
(mampu) bersilat, akan tetapi sudah berani melawan seorang tokoh besar seperti
Kiu-bwee-thouw. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat
itu.
Kembali
Kiu-bwee-houw menggereng lantas menyerang. Kepalan tangan kanannya yang sebesar
kepala Sin Liong itu menyambar deras, meluncur ke depan bagai peluru meriam,
mengarah ke kepala Sin Liong. Bagi pandangan Sin Liong yang kelihatan hanya
bulatan besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak
menjadi gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan
kuda-kuda ilmu silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itu pun
hanya mengenal angin saja.
"Aihh...
macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu sudah ompong
semua, cakar kukumu telah puntul!" Sin Liong mengejek dan raksasa itu
semakin marah.
Diserangnya
Sin Liong secara bertubi-tubi, namun semua gerakan serangan itu sia-sia belaka
karena ‘manusia monyet’ itu dengan amat mudahnya berloncatan ke sana-sini,
mengelak ke sana-sini. Sorak-sorai penonton menyambut pertandingan itu,
pertandingan yang amat menarik di mana kakek raksasa itu sama sekali tak pernah
dapat menangkap atau memukul anak kecil yang kini bergerak-gerak persis monyet,
mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula.
Dapat
dimengerti bahwa andai kata Sin Liong belum mempunyai demikian banyak ilmu,
pertama-tama ilmu-ilmu silat tinggi yang diturunkan atau diwariskan oleh Cia
Keng Hong kepadanya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh kakek
Ouwyang Bu Sek, dan kalau dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya meniru
monyet, sudah pasti dalam satu dua jurus saja dia akan celaka! Adalah karena
pemuda ini telah mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan
lawannya yang dalam tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak
yang luar biasa ini.
Tingkah yang
lucu dan gerakan yang amat luar biasa gesitnya dari Sin Liong membuat
pertandingan itu nampak ramai dan juga lucu. Ada kalanya ujung jari-jari tangan
kakek itu hampir saja menyentuh tubuh Sin Liong, tapi pemuda itu sudah dapat
menghindarkannya dengan cepat dan dengan gerakan aneh.
Tak terasa
lagi lima puluh jurus telah lewat dan meski pun Sin Liong belum pernah balas
menyerang, hanya pertama kali tadi dia menggigit robek celana lawan, akan
tetapi kakek raksasa itu pun belum pernah mampu menyentuh ujung baju pemuda
yang perkasa yang lihai ini....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment