Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 23
KAKEK
pengemis itu menarik napas panjang, lalu melanjutkan. "Telah puluhan tahun
saya malang melintang di dunia kang-ouw, meski pun menjadi pengemis namun belum
pernah melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga saya belum pernah
menghadapi urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya
dituduh sudah membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Memang betul saya telah
membunuh banyak orang, akan tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang
terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya merasa penasaran, apa lagi setelah tempat
kami diserbu oleh sepasang suami isteri yang sekarang menjadi pengantin, oleh
janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang lihai ini. Mulailah saya
melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua rahasia itu."
"Apa yang
sesungguhnya terjadi?" Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.
"Semuanya
adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi di
dalam gedung Lee-ciangkun, malah dia juga menjadi kekasih gelapnya. Celakanya,
selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa terhadap
kaisar sehingga dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya
peroleh dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan
menyogok pelayan-pelayan dan prajurit-prajurit pengawal, saya bisa memperoleh
keterangan yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan
wanita iblis itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap
dan memang hal itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang
ingin membunuh Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar
kelihatannya saya yang menjadi pembunuhnya."
"Tidak
masuk akal," Souw Kwi Eng membantah. "Suamiku tidak pernah mengenal
wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?"
"Harap
nyonya muda berlaku tenang dan sabar," pengemis tua itu berkata,
"tadinya saya pun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya
selidiki, saya teringat pula bahwa wanita itu ke mana pun dia pergi selalu membawa
salib kayu yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga,
keluarga Cia, Yap dan Tio. Dan dia pun pernah mengaku bahwa pada waktu dia
membunuh anggota kami yang she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukanlah Hwa-i
Kaipang, melainkan she Tio itulah. Jadi anggota kami pun dibunuh karena she
Tio. Jelas bahwa itulah sebab pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal
ini dibantu oleh Lee-ciangkun yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap
bersamaan waktunya dengan kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong
Liu-nio."
"Ahh,
keteranganmu ini memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!" Bun
Houw berkata sambil mengepal tinjunya. "Kiranya nenek tua bangka itu juga
memasukan nama Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu
dimaksudkan adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena
memang tiga she itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko
di Lembah Naga! Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka
tentu saja dia sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan
untuk melaksanakan hal itu dia sudah dibantu oleh Lee-ciangkun, bahkan kemudian
melemparkan kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk
mengadu domba!"
Semua orang
mengangguk-angguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. "Aku harus
membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan
tetapi juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe..."
"Tidak,
aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan gurunya!"
kata Bun Houw marah.
"Dan
pembesar Lee yang sangat curang dan pengecut itu pun harus diberi hukuman yang
setimpal!" kata pula Lie Seng.
"Pembesar
Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar maka akan
sulitlah untuk mengganggunya," kata Hwa-i Sin-kai. "Bila kita
menyerang rumahnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus
memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee
Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal..."
"Ah,
adik dari Panglima Lee Cin?" Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu
saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan ke Lembah
Naga belasan tahun yang lalu itu.
"Lebih
baik lagi kalau begitu," Yap Kun Liong berkata, "biar nanti kutemui
Panglima Lee Cin yang kita kenal sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur,
dan kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong
Liu-nio keluar."
"Akan
tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku sendiri
pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi iblis
semacam Kim Hong Liu-nio dan gurunya." kata Bun Houw dan Yap Kun Liong
mengangguk menyetujui karena dia pun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong
yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.
Tiba-tiba
saja terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak
sekali orang, bahkan terdengar pula derap kaki kuda yang banyak sekali dan
suara bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini
menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong
menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan den
kekhawatiran.
"Ada
pasukan pemerintah datang untuk menangkap kita!" berkata Cia Giok Keng kepada
suaminya.
"Ahh,
apa sebabnya?"
"Entah,
akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita berdua, Bun
How, dan In Hong!" jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.
"Kita
serbu saja dan usir mereka!" kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya
memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.
Mendadak
terdengar suara lantang di luar, "Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw
dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut
bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!"
Yap Kun
Liong mengerahkan khikang-nya dan berseru dari dalam ruangan itu. "Apakah
alasannya kami hendak ditangkap?"
Suaranya
mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan pesta.
Suasana
menjadi sunyi sekali sesudah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua tamu
yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan dengan
penuh perhatian. Semua mata memandang keluar, hampir semua pandang mata
membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu.
Kemudian
terdengar suara nyaring menjawab, sungguh pun getaran dan gemanya tidak sekuat
suara Yap Kun Liong tadi, namun suara ini pun cukup nyaring melengking karena
didorong oleh tenaga khikang yang kuat.
"Kami
membawa perintah dari Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In
Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh telah bersekutu dengan para
pemberotak Hwa-i Kaipang dan Pek-lian-kauw. Karena itu menyerahlah kalian
berempat dengan baik-baik sebelum kami serbu!"
"Keparat!"
Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar.
Kakek ini
marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kaipang dituduh sebagai pemberontak,
disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa
tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir
sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup,
namun mereka tidak pernah memberontak.
Kini, ketika
mendengar ada pasukan hendak menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu
dengan Hwa-i Kaipang yang dicap sebagai pemberontak, tahulah dia bahwa tentu
perkumpulannya di kota raja sudah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah.
Dia pun dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio
dan Lee-ciangkun. Karena itu, kemarahannya meluap dan dia telah berlari keluar
lantas mengamuk, merobohkan beberapa orang prajurit dengan tongkatnya yang
digerakkannya secara lihai bukan main.
Maka
gegerlah para prajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian
tambal-tambalan itu adalah ketua Hwa-i Kaipang dan dia adalah seorang tokoh
yang terkenal memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Maka ketika kakek ini
mengamuk, dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang lebih kena disambar
tongkatnya yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu.
Akan tetapi,
komandan pasukan segera memberi aba-aba dan kakek ini pun dikeroyok oleh banyak
sekali prajurit. Juga sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki
kepandaian silat lumayan sudah bergerak pula ikut mengepung.
Bagaikan
seekor jangkerik yang dikeroyok ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk.
Makin banyak lagi prajurit roboh akibat amukan tongkatnya, akan tetapi kini
para prajurit menggunakan senjata panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai
melepaskan anak panah.
Dihujani
serangan tombak dan anak panah, walau pun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat
menangkis runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itu
pun berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap
menembus kulit dagingnya.
Kalau saja
dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk melarikan diri
mempergunakan ginkang-nya. Akan tetapi agaknya dia sudah terlampau marah.
Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam terhadap Kim Hong Liu-nio karena
perbuatan wanita itu beserta Lee Siang telah menempatkan dia dalam kedudukan
tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia dan Yap,
bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan dia sendiri
selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga pendekar itu.
Sekarang,
sesudah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio dan Lee Siang, sesudah
dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar itu, tiba-tiba muncul
pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan menuduh bahwa Hwa-i
Kaipang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini tak ingin
untuk lari menyelamatkan diri, malah mendorongnya untuk mengamuk dan membasmi
pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.
Akhirnya
kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan lebih dari
empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan tetapi untuk
itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya!
Para tamu
tidak ada yang berani turut mencampuri, apa lagi mendengar bahwa pasukan itu
datang untuk menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah
Hwa-i Sin-kai yang dicap pemberontak oleh pemerintah! Urusan pemberontakan
bukan urusan kecil dan mereka tidak berani tersangkut.
Sesudah
Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan berteriak lagi dengan suara
nyaring, "Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah,
terpaksa kami akan menyerbu!"
Yap Kun
Liong bersama keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat
tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, malah dia
lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah
turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun
berwibawa,
"Siapakah
yang memimpin pasukan ini?"
"Saya
Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini."
"Harap
Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!"
kata pula Yap Kun Liong.
Seorang
perwira maju, lantas mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera
kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, lalu komandan yang
bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung kain bertuliskan perintah
penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kaisar. Setelah melihat semua itu,
Yap Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar
mengutus pasukan itu untuk menangkap dia berempat.
"Baiklah,
kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja untuk minta
keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan mengganggu
pernikahan anakku," kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.
"Kami
setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat, dan
bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!" jawab Ma-ciangkun.
"Ayah...!"
Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan ayahnya.
"Mengapa begitu? Apa sukarnya melawan pasukan ini?" isaknya.
"Ssttt,
jangan, anakku. Kalian lanjutkan pernikahan ini dan jangan membikin rusak pesta
pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami
tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan
membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian."
Sambil
menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk
mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong
membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka berempat dinaikkan ke atas
kereta kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.
Yap Mei Lan
menangis terisak-isak, sementara itu Souw Kwi Beng memandang isterinya dengan
muka pucat. Lie Seng mendekati suci-nya, menghibur dan berbisik. "Harap
suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta
ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan menjaga dan
menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci,
yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan
taruhan nyawaku."
Yap Mei Lan
menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan dan juga
adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, "Sute, terima kasih dan
hati-hatilah."
Lie Seng
mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihu-nya (kakak ipar) yang juga
memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan rumah itu
melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu saja
suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan
sangat gelisah, merasa terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap
dengan tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang para
penjahat dan pemberontak.
Karena
suasananya sudah tidak menyenangkan dan menegangkan, maka akhirnya para tamu
minta diri dan pesta itu pun bubar sebelum waktunya. Pengantin pria lalu
membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota tempat tinggal Souw Kwi Beng,
di pantai Lautan Po-hai di timur.
Pada
sepanjang perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak
ingat bahwa dia adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan
suami lantas melakukan perjalanan, tentu dia sudah pergi menyusul ayahnya yang
tertawan. Kwi Beng berusaha menghiburnya dan orang muda ini memang sudah
menyuruh beberapa orang untuk memata-matai keadaan keempat orang yang tertawan
itu, sekalian membantu Lie Seng dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau
para tawanan sudah tiba di kota raja.
Sesungguhnya,
apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan untuk
menangkap empat orang itu? Untuk mengetahui rahasia ini, maka sebaiknya kita
mengikuti dulu perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan
orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.
Telah
diceritakan di bagian depan bahwa biar pun sejak muda Kim Hong Liu-nio dididik
oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita yang
berhati dingin dan kejam, namun betapa pun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah
seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari
nafsu-nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.
Maka ketika
dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan sudah
berpengalaman, juga pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan
kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun.
Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi
dia belum bisa menyerahkan dirinya karena ancaman subo-nya, Hek-hiat Mo-li
bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya
membasmi musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat
Mo-li dan ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri.
Sesudah
mendengar sumpah itu, Panglima Lee Siang lalu membantu Kim Hong Liu-nio untuk
membasmi musuh-musuh itu dan seperti sudah kita ketahui, musuh pertama yang
menjadi korban adalah Tio Sun! Semakin mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio
kepada Panglima Lee Siang dan boleh dibilang hampir setiap hari dan setiap
malam dia selalu berpacaran dengan panglima itu, walau pun dia masih belum
berani menyerahkan dirinya karena masih banyak musuh yang belum dibasmi, yaitu
Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!
Lee Siang
atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun dan sekali
ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang cantik
jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini
terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannya
saat mereka saling berpelukan dan berciuman.
Oleh karena
itu, mana mungkin dia mampu menunggu sampai semua musuh wanita itu habis? Akan
berapa lamakah hingga wanita itu selesai membunuh semua musuhnya yang terdiri
pendekar-pendekar sakti yang ilmunya amat tinggi itu?
Maka, Lee
Siang tidak dapat bertahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-rayuan yang
membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang pun dapat meruntuhkan
pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin itu. Dengan
birahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak kunjung
padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing.
Dan setelah
keesokan harinya cahaya matahari yang menerobos masuk melalui kaca di atas
jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan,
tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia
mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi
tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi
lalat pada dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya
lagi karena tahi lalat buatan dari subo-nya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat
seperti yang dikatakan oleh subo-nya dahulu bahwa kalau dia menyerahkan diri
kepada seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!
Lee Siang
masih tidur dengan senyum di bibirnya. Dia merasa puas dan gembira sekali.
Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri kepadanya dan
tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang penuh gairah,
hangat dan luar biasa.
Tiba-tiba
Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan ketika
dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di sisi pembaringan,
tubuhnya hanya dibalut oleh selimut dan wanita itu menodongkan sebatang pedang
yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang terasa
nyeri oleh runcingnya pedang!
"Hong-moi!
Apa... apa artinya ini...?" tanyanya dengan dua mata terbelalak, memandang
wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut, akan tetapi
bahkan menonjolkan kecantikannya.
"Bersiaplah
untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Sekarang kita berdua harus mati,
dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri dari pada mati di tangan orang
lain!"
Bukan main
kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melawan dan
mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini.
"Akan
tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta kepadamu, aku cinta kepadamu dengan
seluruh jiwa ragaku, mengapa... mengapa kau hendak membunuhku, sayang? Lupakah
engkau akan cinta kasih kita semalam...?"
Wanita itu
mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.
"Aku
tahu... dan engkau pun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan tetapi
justru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati bersama agar
kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka."
"Tapi...
tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?" Lee Siang berteriak
ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit sehingga
mengeluarkan darah.
"Kau
lihat daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?"
Lee Siang
memandang dan memang benar. Tahi lalat yang tadinya berada di dagu wanita itu,
yang menambah kemanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini sudah
lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu mengenai sumpahnya kepada subo-nya,
dan tentang tanda perawan yang dibuat subo-nya, yaitu tahi lalat itu yang kini
lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!
Sebenarnya
Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu
akhirnya menyerahkan diri. Maka dia kemudian berkata,
"Hong-moi,
kekasihku, sayangku, kau dengarkan aku. Aku punya akal untuk menghadapi
subo-mu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak membunuhku, nah, tusuklah
ini... aku terlalu cinta padamu, aku tak ingin melihat engkau menderita,
sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku, aku... minta... sukalah agar
engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa mati..."
Lee Siang
membuka selimut yang menutupi tubuhnya, dan membiarkan tubuhnya yang telanjang
itu terbuka sama sekali malah dia mengembangkan kedua lengan dengan sikap
merayu.
"Ahhh...!"
Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya terlepas dan
dia menubruk, merangkul lantas menciumi pria yang dicintanya itu, satu-satunya
pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. "Ahh,
Lee-ko... Lee-ko... bagai mana aku dapat membunuhmu...?"
Lee Siang
balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas dari
cengkeraman maut.
"Adindaku
yang terkasih, dengarlah. Bukankah dulu engkau pernah menceritakan bahwa
subo-mu itu sudah tua renta dan sudah pikun? Walau pun ilmu kepandaiannya
setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang awas seperti
yang kau katakan, apa sukarnya untuk mengelabui pandang matanya? Buat saja tahi
lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik kecil di dagumu
yang manis? Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apa lagi kalau engkau
jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan, mengapa kita
harus mengambil jalan pendek? Bukankah kita berdua berhak menikmati hidup,
berhak menikmati cinta kasih kita?" Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh
hatinya dan nafsu birahinya sudah berkobar lagi.
Melihat ini,
Kim Hong Liu-nio memeluknya, "Ah engkau cerdik, koko, dan aku... aku yang
bodoh... ahh, dadamu sampai terluka, berdarah..." Dia lalu mengecup darah
di dada itu, menjilati luka kecil pada dada kekasihnya. Mereka berpelukan dan
tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.
Setelah
terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi penuh
semangat kembali. Setiap waktu dia menuntut pernyataan kasih sayang dari Lee
Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga hingga akhirnya tibalah saatnya
Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara.
Wanita itu
harus pergi ke utara berkunjung kepada subo-nya dan suheng-nya yang akan
mengadakan sayembara pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Pada saat
hendak berangkat, Kim Hong Liu-nio kembali menyatakan kekhawatiran hatinya
tentang tahi talat yang hilang itu.
Akan tetapi
Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai pengganti lahi
lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu mencium dagu yang
manis itu. "Ahhh, tidak ada bedanya seujung rambut pun, Hong-moi. Jangan khawatir,
apa lagi subo-mu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku sendiri tidak
dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Berangkatlah, sayang, dan
ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh rindu."
Kim Hong
Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang ketika dia
berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang, kehidupan ini
sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan kelembutan, bahkan
selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya orang-orang she Tio,
Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup selama-lamanya di dalam
kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia kiamat!
Dan memang
benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorang pun yang tahu akan kepalsuan
tahi lalat pada dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu bertemu
dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan nenek ini
berkata,
"Bagus,
tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama ini baru Tio Sun saja yang
berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong. Bilakah aku akan dapat
mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok
Keng?"
"Harap
subo suka bersabar, teecu tak pernah berhenti berusaha," kata Kim Hong Liu-nio.
Pada saat
itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari musuh-musuh itu,
dan dia pun tidak peduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu dengan perintah
subo-nya. Setelah memberi hormat kepada subo-nya dengan berlutut dan memberi
hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan berjalan perlahan
untuk duduk di sudut.
Dia tidak
tahu betapa Raja Sabutai terus memandang dirinya penuh perhatian, terutama
sekali memandang ke arah pinggulnya yang menonjol dan bergoyang-goyang pada
waktu dia melangkah tadi. Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu juga
Raja Sabutai menemui Hek-hiat Mo-li dan berbicara empat mata dengan guru itu,
pembicaraan yang membuat Hek-hiat Mo-li marah bukan main.
Kiranya,
pandang mata Raja Sabutai yang sangat tajam, yang sudah banyak pengalaman
memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, telah
dapat menduga bahwa kini sumoi-nya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat
bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li
memanggil Kim Hong Liu-nio dengan wajah bengis.
"Kim
Hong, lekas kau cuci titik hitam di dagumu itu!" bentak sang guru.
Seketika
wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi dia
mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.
"Apa
maksud subo? Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?"
"Hemm,
kau masih hendak mengelabui gurumu, ya? Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan
engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?"
Maklumlah kini
Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah dengan cara
bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu dan bahwa
dia bukan perawan lagi, bahkan dia sudah melanggar sumpahnya. Maka dia hanya
berlutut, dan menangis!
"Keparat,
berani engkau mengelabui gurumu sendiri? Hayo ceritakan, mengapa engkau
melanggar sumpahmu?"
Dengan
terisak-isak Kim Hong Liu-nio lalu mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta
dengan Panglima Lee Siang. "Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu
dikeroyok oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kaipang, dan teecu bersama dia saling
mencinta subo, dan... dan... teecu sudah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula
yang membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan..."
"Perempuan
hina!" Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim Hong
Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali
rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio
bahwa dia akan mati di tangan subo-nya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani
melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan
bayangan Lee Siang di depan matanya.
Hek-hiat
Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya sambil
berkata, "Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!"
"Subo,
tahan dulu!" Mendadak terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai
yang memasuki ruangan itu.
Nenek itu
menoleh dan memandang Sabutai dengan wajah makin berkerut menyeramkan.
"Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!"
Raja Sabutai
tersenyum. "Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak mampu menahan
gelora nafsunya? Memang sumoi sudah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih ada
kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan untuk
dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil,
biarlah dosanya diampuni dan biarkan dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan
tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh dia pun belum terlambat."
Hek-hiat
Mo-li mengomel. "Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah ini
bukan perawan lagi, tentu aku sudah kena dikelabui, maka biarlah aku setuju
usulmu, sri baginda. Nah, kau telah dengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau
tangkap empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru
aku akan mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!"
Kim Hong
Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit untuk
melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika diadakan pemilihan guru
silat di Lembah Naga, Kim Hong Liu-nio tidak hadir, dan itu pula sebabnya
kenapa Hek-hiat Mo-li marah-marah saat Sabutai mengadakan pemilihan guru silat
untuk pangeran. Amarahnya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat
dia menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu.
***************
Ketika Kim
Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya itu, dia
segera menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak
diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian
betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subo-nya dan suheng-nya
itu memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap
empat orang pendekar itu.
"Ahh,
betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu? Lee-koko,
lebih baik kau membunuhku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu, dari pada di
tangan subo atau suheng!" wanita itu menangis dalam rangkulan Lee Siang.
Tentu saja
hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga mencinta wanita ini
dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.
"Jangan
khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk menangkap empat
orang itu," katanya.
Panglima
muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia mendapat akal yang sangat nekat
dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat perintah
penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu pula.
Kemudian dia mulai mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang
pembantunya dengan hadiah besar agar supaya pergi membawa pasukan dan
menggunakan perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap
In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng.
Perwira yang
menjadi pembantunya itu adalah perwira Ma Kit Su. Seperti telah diketahui,
Ma-ciangkun ini berhasil baik di dalam tugasnya, selain membunuh Hwa-i Sin-kai
dengan keroyokan, juga berhasil menangkap keempat orang pendekar itu yang
menyerahkan diri karena di samping tidak ingin memberontak terhadap perintah
kaisar, juga mereka tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei Lan dan
Souw Kwi Beng.
Memang, bila
orang sudah tergila-gila maka apa pun sanggup dilakukannya. Baik dia itu
seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya
seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala
hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan
kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu.
Demikian
pula dengan halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tak pernah bermimpi
bahwa dia pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekatnya.
Kalau bukan untuk Kim Hong Liu-nio, sampai mati pun kiranya dia tidak akan
berani main-main seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya,
terlebih lagi berani mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri
pendekar seperti Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.
Dia tahu
bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas. Apa lagi
peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang
merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan
oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dunia kang-ouw akan
menjadi geger karena peristiwa ini, dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang.
Akan tetapi,
kalau orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia
kiamat pun tidak akan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan
wanita yang amat dicintanya, biar apa pun terjadi, dia tidak takut bahkan mati
pun bukan apa-apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya
itu.
Dan memang
peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu yang hadir
dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat kediaman
masing-masing, segera menyebar luaskan berita tentang penangkapan itu sehingga
seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar.
Bila yang
ditangkap itu seorang atau beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan
kekacauan dan kejahatan, hal itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada
yang merasa heran. Akan tetapi apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh
sebaliknya, kaisar menangkap keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw!
Alangkah aneh dan janggalnya berita ini.
Banyak di
antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali dan mereka sudah
mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi peristiwa aneh
itu. Tapi tentu saja banyak pula para tokoh liok-lim dan kaum sesat yang
bersorak gembira karena pembasmian terhadap setiap orang pendekar penegak
keadilan dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi
mereka.
***************
Akan tetapi
ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai menyusun siasat.
Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa para pendekar
yang terkenal setia kepada pemerintah itu akan menyerah setelah melihat 'surat
perintah' kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang sangat
kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan
memperkuat pengawalan itu.
Dia maklum
bahwa penawanan empat orang pendekar itu tentu menimbulkan kegemparan dan untuk
menjaga agar keempat tawanan itu jangan sampai terlepas atau dibebaskan orang,
maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia mengumpulkan jagoan-jagoan di
kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk membantu dalam pengawalan itu.
Ini pula sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan
empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan.
Apa lagi
setelah pada suatu malam terdapat rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak
mempergunakan kekerasan untuk membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan
hebat, lalu mendengar teriakan pendekar Yap Kun Liong sendiri yang meminta
kepada kawan-kawan di dunia kang-ouw supaya jangan melawan pemerintah. Karena
dia yakin akan diadakan pengadilan yang adil di kota raja, maka tidak ada lagi
kaum kang-ouw yang berani menggunakan kekerasan untuk mencoba membebaskan empat
orang itu.
Pada suatu
senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini memasuki
kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja dan
rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa
tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat
itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi
sahabat baik dari Lee Siang.
Kereta
kerangkeng itu dimasukkan ke dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga
ketat oleh selosin prajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari
baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu pun dirantai,
sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya
masih dijaga oleh selosin prajurit pilihan!
"Hemm,
kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas, ingin
aku mematahkan semuanya ini dan mengamuk!" Cia Giok Keng berkata, muncul
kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.
"Tenanglah,
kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan ke pengadilan, aku yakin kita akan
segera dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat dari pada
bebas menggunakan kekerasan."
"Aku
heran sekali, kenapa kaisar menyuruh tangkap kita berempat?" Bun Houw
berkata.
"Ini
tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk lolos
dan mengamuk. Sungguh pun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan
sewenang-wenang, haruslah ditentang!" kata Yap In Hong.
"Hong-moi,
simpan kembali kemarahanmu itu," kata Kun Liong kepada adiknya.
"Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andai kata
difitnah sekali pun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu
orang. Apa bila kita mempergunakan kekerasan, hal itu justru akan memperkuat
bukti bahwa kita memang suka memberontak. Maka sabarlah, mungkin dalam dua hari
lagi kita sampai di kota raja dan akan menerima keputusan. Bila kemudian
ternyata bahwa kaisar bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum
terlambat bagi kita untuk memberontak."
Mereka
berempat lalu duduk diam, melakukan semedhi seperti biasa sehingga mereka tidak
merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara yang
mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat para
penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang
bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling
tindih.
Mereka
saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong mengeluarkan
suara lirih, "Ssssttt...!"
Kun Liong
mendengar sesuatu yang juga sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tidak lama
kemudian, nampak berkelebat bayangan merah lantas dengan gerakan yang sangat
ringan melayanglah sesosok tubuh wanita yang berpakaian serba merah lalu turun
di luar ruangan itu.
Seorang
wanita muda yang cantik manis, berpakaian serba merah, pedangnya tergantung di
punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah bersih, wajahnya
yang cantik itu dirias rapi. Seorang wanita muda cantik manis yang pesolek, dan
senyum pada bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan yang panas!
Selagi Kun
Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak mereka kenal
itu, mendadak Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah ketika mereka
melihat wanita itu.
"Mau
apa kau ke sini?!" Bun Houw membentak.
"Pergilah
kau!" In Hong juga membentak.
Suara kedua
orang suami isteri ini jelas membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun
Liong dan isterinya merasa makin heran lagi.
Tiba-tiba
wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil menangis.
"Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teccu? Suhu dan subo
kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo."
"Tidak.
Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!" bentak In Hong.
"Bila
suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biarlah teecu membujuk Ciong-taijin,
pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik dengannya dan
teecu pasti dapat mempengaruhinya..."
"Sudahlah,
kami sudah bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!"
kata Bun Houw.
"Suhu,
demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu...,"
gadis itu memohon.
"Diam!
Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!" In Hong berseru marah sekali,
mengepal tinjunya sehingga Kun Liong merasa khawatir kalau-kalau adiknya itu
akan mematahkan rantai dan membobolkan kerangkeng.
"Pergilah,
kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu," kata Bun Houw.
"Suhu...
subo..." wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata merah dan
bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian meloncat
dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.
Bun Houw dan
In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa
gadis itu sudah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan lain
berkelebat, gerakannya jauh lebih cepat dari pada gadis tadi dan tahu-tahu Lie
Seng telah berada di luar ruangan itu.
"Seng-ji...!"
Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.
"Ohh,
ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan? Hatiku khawatir sekali melihat
wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua penjaga
pingsan. Tadinya kusangka dia memiliki niat jahat atau mungkin juga hendak
menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia? Kulihat dia
pergi lagi sambil menangis."
"Tidak
ada apa-apa, jangan khawatirkan kami." kata Bun Houw kepada Lie Seng,
agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.
Yap Kun
Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin penjaga baru
datang dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, "Seng-ji, kau
tinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan
lakukanlah itu terus, akan tetapi hati-hatilah, jangan sampai ketahuan oleh fihak
pengawal dan jangan melakukan apa pun sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak
menghendaki kekerasan."
"Benar
kata ayahmu itu, Seng-ji. Kau pergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami
berempat sanggup menjaga diri." kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya
gembira dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.
"Jangan
khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi selalu
berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka
suguhkan. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini."
Setelah
meninggalkan pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak
cepat karena para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak
dan menguap seperti orang baru bangun tidur.
"Bun
Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?" Cia
Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya
mengenai gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar
oleh adiknya itu.
"Aku
pun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya,
Hong-moi?" kata Yap Kun Liong kepada adiknya. "Siapakah dia?"
Bun Houw dan
In Hong saling pandang dan di dalam pandangan mata ini terjalin saling
pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai
jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya,
"Sesungguhnya,
kami berdua tadinya hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, tetapi
siapa sangka malam ini dia muncul, maka tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan
rahasia ini setelah diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baik, akan
kuceritakan semua tentang dia."
Pendekar ini
mulai bercerita, dengan suara bisik-bisik supaya jangan terdengar oleh para
penjaga yang mulai sadar, hanya dapat terdengar oleh mereka berempat saja.
Beginilah ceritanya.
***************
Seperti
telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan Yap In
Hong terpaksa pergi meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena
ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka
sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka pun siap
meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam
belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk
mengambil seorang anak perempuan bernama Sun Eng.
Dalam cerita
Dewi Maut dikisahkan bahwa dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar
keluarganya, Bun Houw pernah bersahabat dengan seorang bekas penjahat yang
telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama Sun Bian Ek, kepala
Hok-pokoan di Kiang-shi.
Sun Bian Ek
ini sengaja mengganti namanya karena dia menjadi orang buruan, berganti nama
menjadi Liok Sun dan berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun
Bian Ek ini suka kepada Bun Houw, bahkan dalam penyelidikannya terhadap
musuh-musuhnya, akhirnya Kiam-mo Liok Sun sampai tewas di tangan para musuh Bun
Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini meninggalkan pesan kepada
Bun Houw supaya suka memelihara dan mendidik puteri satu-satunya yang berada di
Kiang-shi dan bernama Sun Eng.
Demikianlah,
setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw tidak
melupakan janjinya lantas bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang
janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi untuk menemui anak perempuan yang
pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik
manis.
Kemudian,
sesudah merantau sampai jauh dan memilih-milih tempat, akhirnya Bun Houw dan In
Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang, yakni sebuah
kota yang cukup ramai tidak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja menjauhkan
diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka seolah-olah
mengubur diri jauh di timur.
Sun Eng menjadi
murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih amat muda,
mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri dan secara bergantian mereka
berdua mendidik serta memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis itu.
Semenjak kecil Sun Eng mempunyai watak yang periang dan lincah jenaka, sehingga
keriangan anak itu menjadi sinar yang menerangi kehidupan sepasang kekasih yang
merasa sangat prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali, mereka
terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan
sedemikian rupa hingga Sun Eng menjadi manja sekali.
Makin besar
Sun Eng menjadi makin cantik, akan tetapi dalam kelincahannya terkandung
sifat-sifat pesolek dan genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan Bun Houw.
Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka membiarkan
saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng mulai
berkenalan dengan anak-anak tetangga.
Setelah
lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang
cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling matanya amat
tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi
karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan oleh suhu dan
subo-nya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Setelah
berusia tujuh belas tahun, nampak gejala-gejala tidak baik yang mulai terasa
oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai kecondongan hati
kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya apa bila sedang
dilatihnya silat, semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini berdaya
upaya memikatnya dengan berbagai cara.
Bahkan
ketika sedang berlatih silat di hadapannya, sering Sun Eng sengaja menonjolkan
bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan, seperti bagian dadanya atau pinggulnya,
sedemikian rupa untuk menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak
tahu dan menghibur hatinya sendiri serta memaki-maki diri sendiri sebagai mata
keranjang dan tak tahu malu, menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti
adik sendiri itu sedemikian rupa!
Setelah
dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subo-nya ini tidak ada
hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subo-nya yang mengaku suami
isteri ini tidur sekamar, apa lagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan
bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan
subo-nya tidak pernah menjenguk keluarga mereka hingga akhirnya subo-nya
menceritakan kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang
dipercaya, mengenai perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.
"Kami
sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya sebelum
mendapat restu orang tua," subo-nya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban
pertanyaan mengapa suhu dan subo-nya belum juga mempunyai keturunan!
Maka tahulah
Sun Eng bahwa suhu-nya masih perjaka dan subo-nya masih perawan. Dia makin
tertarik dan merasa kasihan kepada suhu-nya. Memang dia amat kagum dan cinta
kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi semakin berani
kepada gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari
padanya.
Watak Sun
Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar cerita-cerita
cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak mempedulikan susila sehingga
dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan cinta birahi.
Pada suatu
malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti biasa, Sun
Eng yang sudah tidak mampu menahan gelora hatinya yang dihantui oleh bayangan pikirannya
sendiri mengenai adegan-adegan mesra seperti yang pernah didengarnya dari
penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar gurunya itu.
"Seorang
pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak pernah
tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar bukan main, seperti air terbendung
dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh, seperti
air bah yang menjebol bendungannya!" berkata seorang di antara wanita
tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa
penuh arti saat Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, "Sayang, dia begitu
tampan dan gagah, sayang kalau seorang pria seperti dia tersia-sia."
Malam itu
Sun Eng gelisah di atas pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang di
telinganya dan dia lalu membayangkan, betapa akan mesranya jika gurunya
memeluk, menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama
tergila-gila pada gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang
amat hebat itu.
Betapa kaget
rasa hati Bun Houw saat dia merasakan sesuatu yang lembut menindihnya, dua
lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah menempel pada
wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya yang terlatih
segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan hendak menyerang,
akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu, yang
kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu birahi, adalah wajah cantik manis dari
Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa.
"Suhu...
ahhh, suhu... aku cinta padamu..." Bisikan di antara napas terengah-engah
ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya
terheran-heran menjadi marah bukan main.
Bun Houw
sudah menggerakkan tangan, akan tetapi kesadarannya masih membuat dia dapat
merubah pukulan itu menjadi dorongan sehingga tubuh dara itu terlempar dari
atas tubuhnya, bahkan kemudian terbanting ke bawah pembaringan. Bun Houw sudah
bangkit duduk.
Akan tetapi
Sun Eng tidak menjadi takut, malah kini dara itu cepat membuka pakaiannya,
memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan.
"Suhu...
suhu... lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini
kepadamu..." Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya
yang masih muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh
nafsu birahi.
Bun Houw
memejamkan mata dan seperti orang kehilangan dirinya sendiri, dia tenggelam dan
terseret, kedua lengannya memeluk pinggang ramping itu, jari-jari tangannya
bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan dia pun balas mencium bibir yang
menantang itu.
Tetapi,
tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan,
kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan
iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan
melayani muridnya itu, biar pun peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia
mendorong tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar
menabrak pintu kamarnya!
Bun Houw
sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu terdengar
suara In Hong dari luar, "Houw-ko, ada apakah?"
Secepat
kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya lantas meloncat keluar dari jendela.
Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu,
"Subo,
teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu menyangka maling maka
teecu hendak memberi tahu kepada suhu, tetapi celakanya, dalam kagetnya suhu
malah mengira teecu malingnya!"
Cia Bun Houw
menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar kencang penuh
ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In
Hong akan menjadi curiga.
"Ahh,
aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka aku segera menyerang. Untung
Eng-ji dapat mengelak," katanya.
"Sun
Eng, berhati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa
seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan ilmu silat sudah mendarah
daging di dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan
dalam keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan
tiba-tiba."
"Maaf,
subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing..."
"Hemm,
betapa pun, harus kuselidiki sendiri," kata In Hong yang cepat melayang
naik ke atas genteng dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain dia
lalu turun kembali dan memasuki kamarnya. Sedikit pun dia tidak menaruh curiga
atas terjadinya peritiwa itu.
Akan tetapi
tentu saja Bun Houw tak dapat tidur memikirkan keanehan dari muridnya itu. Dia
melihat bahaya yang sangat besar mengancam dirinya dan dia tidak tahu apa yang
harus dilakukannya.
Akan tetapi,
melihat betapa suhu-nya tidak membuka rahasianya terhadap subo-nya, hal ini
diterima salah oleh Sun Eng yang mengira bahwa suhu-nya melindungi dan bahwa
diam-diam suhu-nya itu menanggapi pencurahan cintanya, maka dia bukannya mundur
malah sikapnya menjadi makin mendesak. Sikapnya bukan hanya makin berani,
bahkan di depan subo-nya, dia tidak dapat menyembunyikan kerling matanya yang
penuh daya pikat dan penuh kasih mesra terhadap suhu-nya.
Tentu saja
Bun Houw merasakan ini dan dia menjadi semakin gelisah dan tidak enak, apa lagi
setelah dia melihat bahwa isterinya mulai memandang kepadanya dengan sinar mata
aneh penuh curiga yang makin lama menjadi kecurigaan yang mengandung cemburu!
Cemburu
adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh dan amat
kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang menyangka, bahkan berpendapat
bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tak terpisahkan dari cinta!
Betulkah perkiraan atau pendapat demikian itu?
Apa bila
kita menanggapi dengan perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi
pertentangan pendapat yang ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya, pula
tidak ada gunanya. Sebaliknya kalau kita masing-masing menghadapi perasaan
cemburu itu sendiri apa bila dia timbul, lalu mengamatinya dengan penuh
kewaspadaan sehingga kita dapat menyelidikinya, mempelajarinya kemudian
mengerti dengan sepenuhnya tentang susunan cemburu, bagaimana munculnya, apa
sebabnya dan apa pula akibatnya.
Karena hanya
pengertian yang mendalam, yang timbul dari pengamatan yang waspada ini sajalah
yang akan menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun
cemburu. Dengan memandang kepada diri sendiri, maka kita bersama dapat
melakukan penyelidikan apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya
menjadi semacam pengetahuan teoritis yang hampa. Pengetahuan teoritis seperti
itu tak akan melenyapkan cemburu.
Kita semua,
tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah akibat dari
perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa sengsara,
nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang menjadi marah,
kemudian dicengkeram kebencian hingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan.
Oleh karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat dari cemburu, dan tentu
saja sebaiknya bila kita tidak pernah lagi disentuh oleh racun cemburu ini.
Dari manakah
timbulnya cemburu? Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab dari cinta! Cemburu
mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu amatlah tidak tepat
kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih! Bukanlah cinta kasih bila
akhirnya mendatangkan kedukaan dan kebencian!
Cemburu
muncul KARENA KITA TAKUT KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN KESENANGAN KEPADA KITA!
Cemburu baru timbul kalau kita merasa adanya bahaya bahwa sesuatu yang kita
anggap milik kita yang kita sayangi, baik itu merupakan benda, sahabat atau
pacar atau suami atau isteri, akan terpisah dari kita dan menjadi milik orang
lain. Jadi cemburu datang karena kita ingin mempertahankan sesuatu atau sesuatu
yang mendatangkan kesenangan kepada kita, dan yang ingin kita monopoli atau
miliki sendiri saja itu.
Cemburu
adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU diganggu, karena
milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau khawatir
milikKU diambil oleh orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang ingin
senang sendiri, dan barang atau pun orang yang kita cinta itu menjadi sumber
atau alat dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber atau alat itu
diambil orang lain, kita lalu menjadi sedih, marah atau cemburu karenanya.
Cinta kasih
tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan berarti aku ingin
senang, aku ingin mengusai, justru aku ingin senang dan aku ingin menguasai ini
meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat dipaksakan, cinta kasih tidak
mungkin dapat diikat.
Kalau kita
merasa sayang kepada sebuah benda, tentu kita akan merawatnya baik-baik,
menjaganya dengan hati-hati agar tidak rusak atau pecah, bukan? Dan kita
melakukan semua itu karena benda tadi mendatangkan rasa senang kepada kita.
Demikian pula kepada seorang pacar. Rasa senang itulah yang membuat kita
menjaganya, supaya dia tidak sampai dipisahkan dari kita, karena hal itu
berarti bahwa kita kehilangan itu!
Padahal,
kalau bisa dinamakan keinginan, kiranya satu-satunya keinginan dari seorang
yang mencinta adalah ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia! Akan
tetapi pengejaran kesenangan membuat kita berpendapat bahwa orang yang kita
cinta itu HANYA BISA BERBAHAGIA kalau menjadi milik kita! Betapa picik pendapat
seperti ini, bukan?
Demikianlah,
Yap In Hong mulai dicengkeram perasaan cemburu ketika dia melihat sikap
muridnya yang terlampau manis terhadap Bun Houw. Sebagai seorang wanita yang
keras hati, In Hong tidak pernah dapat menyimpan rasa penasaran, setiap
ganjalan hati tentu akan dikeluarkan melalui perbuatan dan kata-kata.
Oleh karena
itu, setelah melihat jelas sikap muridnya yang ditangkapnya dengan ketajaman
naluri kewanitaannya, pada suatu malam setelah beberapa hari lewat semenjak
peristiwa malam itu, In Hong menemui Bun Houw dan dengan suara dingin dan sikap
tegas dia berkata, "Houw-ko, sekarang ceritakanlah apa artinya sikap Sun
Eng yang demikian manis dan memikat kepadamu!"
Bukan main
kagetnya hati Bun Houw mendengar ini. Saking kagetnya karena hal yang
mengganjal hatinya selama beberapa hari ini secara tiba-tiba disentuh oleh
kekasihnya, dia menjawab dengan gagap. "Apa... apa yang kau maksudkan, Hong-moi...?"
"Houw-ko,
bukankah sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita? Engkau pun tahu akan
sikap aneh dari Sun Eng kepadamu, sikap manis memikat yang tidak wajar. Apa
artinya itu?"
Kini Bun
Houw sudah dapat menenangkan hatinya lagi, maka dia sudah siap dan setelah
menarik napas panjang dia lalu berkata, "Aahhh, hal ini menggangguku dalam
beberapa hari ini, Hong-moi, membuatku sukar tidur nyenyak dan merasa gelisah
karena aku selalu meragu apakah hal ini akan kuceritakan kepadamu secara terus
terang atau tidak. Aku tadinya khawatir kalau-kalau engkau akan marah besar
kemudian melakukan hal-hal yang mencelakakan kalau aku berterus terang. Akan
tetapi melihat sikap anak itu yang makin menjadi-jadi, yang tentu menimbulkan
kecurigaanmu, sebaiknya aku berterus terang saja. Hanya sebelumnya, harap
engkau bersabar hati, Hong-moi, dan jangan bertindak keras, karena kasihan anak
itu yang selain menjadi murid, juga seperti adik kita sendiri."
Biar pun
alisnya berkerut tanda kemarahan, In Hong mengangguk karena dia sudah dapat
menduga bahwa tentu murid itu telah jatuh cinta kepada kekasihnya ini. Maka dia
dapat mendengarkan dengan sabar ketika Bun Houw menceritakan semua yang terjadi
pada beberapa malam yang lalu, pada saat Sun Eng memasuki kamarnya dan memperlihatkan
sikap yang sangat tidak patut, merayunya. Tentu saja dia tidak menyebut-nyebut
tentang betapa dia hampir terseret oleh rayuan Sun Eng, betapa dia bahkan sudah
membalas pelukan dan ciuman dara remaja itu.
Memang,
pekerjaan yang paling sukar di dunia ini bagi manusia adalah membuka rahasia
kekotoran dirinya sendiri! Semua manusia ingin dan berdaya upaya sekuat tenaga
untuk menutupi kekotoran dirinya, akan tetapi di samping itu pun, berdaya upaya
sekuat tenaga untuk membuka dan mengungkap semua rahasia kekotoran orang lain!
Hanya dengan pengamatan waspada saja maka akan timbul kesadaran dan pengertian
akan kepalsuan yang menyesatkan ini.
Wajah In
Hong menjadi merah, sinar matanya berkilat penuh api kemarahan ketika dia
mendengarkan penuturan kekasihnya sampai selesai. "Hemmm, bocah itu
sungguh tidak tahu diri dan tak tahu malu!" gumamnya.
"Memang
dia telah melakukan hal yang tidak sopan sama sekali, Hong-moi. Akan tetapi
kasihanilah dia, dia itu masih kanak-kanak dan perlu bimbingan dan nasehat
kita. Kukira sebaiknya kalau dia mengerti bahwa engkau sudah tahu akan
perbuatannya itu agar dia menjadi takut. Bagaimana kalau kita panggil dia
kemudian kita bersama menasehatinya dan memarahinya agar dia sadar kembali dari
kesesatannya itu?"
In Hong
menarik napas panjang untuk menekan kepanasan hatinya, lalu dia mengangguk.
"Kurasa sebaiknya demikian. Kalau dipikir mendalam, memang kita pun
bersalah, koko. Kita bertanggung jawab. Ketika dia kita bawa, dia adalah seorang
anak perempuan yang belum tahu apa-apa dan masih bersih. Kalau dia sekarang
ternoda oleh pikiran penuh gejolak nafsu itu, adalah karena dia terlalu banyak
bergaul dengan orang-orang luar yang menghambakan diri kepada nafsu. Dan ini
tentu saja tidak terlepas dari tanggung jawab kita yang agaknya kurang keras
terhadap Sun Eng."
Bun Houw
mengangguk. "Engkau benar, Hong-moi. Dan mudah-mudahan saja kita belum
terlambat untuk mendidiknya kembali ke jalan benar supaya kelak di alam baka
aku tidak usah merasa malu terhadap Kiam-mo Sun Bian Ek."
Maka
dipanggillah Sun Eng. Ketika dara itu melihat wajah suhu dan subo-nya, wajahnya
menjadi agak pucat. Dari sinar mata kedua orang gurunya yang seperti pengganti
orang tuanya sendiri itu, tahulah dia bahwa sudah terjadi hal yang sangat
penting dan dia dapat meraba apa adanya hal penting itu. Karena itu, sesudah
memberi hormat, dia lalu duduk dan menundukkan mukanya.
Sejenak
lamanya kedua orang pendekar itu menatap wajah yang menunduk itu, kemudian
terdengar In Hong berkata, suaranya angker dan penuh wibawa, dingin akan tetapi
juga mengandung rasa sayang,
"Sun
Eng, engkau adalah murid kami, dan juga seperti keluarga kami sendiri, oleh
karena itu, mengingat bahwa engkau kini sudah mulai dewasa, kukira sebaiknya kalau
kita bicara dari hati ke hati secara terbuka."
Ucapan ini
membuat Sun Eng makin gelisah dan tegang karena dia masih belum dapat meraba ke
mana dia hendak dibawa oleh subo-nya dalam percakapan ini, karena itu dia hanya
mengangguk, dan menjawab, "Baik, subo."
"Sun
Eng, aku sudah tahu akan perbuatanmu terhadap suhu-mu beberapa malam yang
lalu."
"Aihh...!"
Sun Eng mengangkat mukanya yang berubah merah dan memandang kepada wajah Bun
Houw.
Pendekar ini
mengangguk. "Aku menceritakan hal itu kepada subo-mu, Sun Eng, demi
kebaikan kita bersama dan supaya engkau mengerti benar betapa tidak benar dan
tidak patut adanya sikap dan tindakanmu itu."
Sun Eng
mengeluh kecil dan menunduk kembali.
"Eng-ji,
engkau tentu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa sikapmu terhadap
suhu-mu, terutama tindakanmu malam itu, sungguh amat tidak patut dan tersesat
sekali. Suhu-mu adalah gurumu yang sekaligus menjadi pengganti ayahmu, atau
seorang kakak yang membimbingmu. Bagaimana mungkin engkau merubah pandanganmu
dari ketaatan dan kehormatan sebagai seorang murid kepada guru, menjadi cinta
birahi seorang wanita terhadap pria? Kau tahu bahwa suhu-mu adalah seorang
pendekar yang tentu tidak akan mau terperosok ke dalam perbuatan hina seperti
itu! Lagi pula, engkau adalah seorang dara remaja, bagaimana engkau hendak
merendahkan diri sedemikian rupa? Di manakah kesopananmu? Apakah engkau sudah
tidak mempunyai rasa malu lagi?" Suara In Hong meninggi terbawa oleh
perasaan marahnya.
"Dan
engkau harus tahu bahwa sikap dan perbuatanmu itu merupakan suatu hal yang
paling menyakitkan dan menghancurkan hatiku, Eng-ji. Engkau kuanggap sebagai
adik sendiri, atau anak sendiri, dan sekarang engkau melakukan hal seperti itu
kepadaku! Ah, hal itu dapat lebih mencelakakan dari pada kalau engkau
menyerangku dengan pedang di tangan!" Bun Houw menambahkan.
Kepala itu
terangkat dan menjadi pucat sekali, air matanya bercucuran kemudian dengan
terisak-isak Sun Eng berkata. "Harap suhu dan subo mengampunkan teecu,
atau kalau suhu dan subo menjadi marah dan hendak menghukum teecu, biar teecu
dibunuh sekali pun teecu tidak akan merasa penasaran. Teecu tidak sadar bahwa
perbuatan teecu itu menghancurkan hati suhu dan menyedihkan hati subo.
Sebetulnya teecu kasihan kepada suhu, kasihan mendengar riwayat suhu dan subo,
dan teecu... teecu hanya bermaksud ingin menghibur hati suhu..."
"Hemm,
menghibur dengan jalan menyerahkan diri seperti itu?" In Hong berkata.
"Ampunkan,
subo... teecu pikir... jangankan hanya menyerahkan diri... jangankan hanya
mengorbankan badan... walau menyerahkan nyawa berkorban jiwa pun teecu rela
untuk membalas budi kebaikan suhu dan subo..."
In Hong dan
Bun Houw saling pandang, kemudian memandang pula kepada Sun Eng yang sudah
menunduk dan menangis lagi.
"Sudahlah,
kami hanya ingin agar engkau mengerti bahwa perbuatanmu itu tidak pantas kau
lakukan dan agar mulai detik ini engkau merubah pandanganmu terhadap suhu-mu,
menjadi seperti dulu lagi, ketika engkau masih kecil, pandangan seorang murid
terhadap gurunya dan agar perasaan yang bukan-bukan itu kau enyahkan dari
hatimu. Mengerti?"
Sun Eng
mengangguk berkali-kali dan bibirnya menggumam di antara isaknya,
"...teccu salah... teecu salah..."
Melihat
murid itu, Bun Houw merasa kasihan sekali. "Sun Eng, sadarlah bahwa aku
dan subo-mu menyayangmu sebagai guru-guru terhadap murid, atau sebagai kakak
terhadap adik, maka jangan engkau menafsirkan secara keliru dan sesat. Yang
sudah lalu biarlah lalu dan kita lupakan bersama, mulai detik ini engkau harus
kembali ke jalan benar."
Demikianlah,
sepasang pendekar itu mengampuni murid mereka. Akan tetapi semenjak hari itu,
terdapat suatu kerenggangan dan kecanggungan antara murid dan kedua orang
gurunya itu, suatu celah dan batas yang membuat guru dan muridnya itu tidak
dapat sedekat dan seakrab dahulu lagi. Pandang mata antara mereka terselubung,
dan senyum mereka dibuat-buat.
Agaknya
peristiwa itu telah menimbulkan luka yang cukup mendalam, baik bagi si murid
mau pun bagi dua orang gurunya. Dan karena kerenggangan ini, maka Sun Eng makin
mendekatkan diri dan bergantung kepada teman-temannya, kepada para tetangganya.
Di dalam
hati Bun Houw dan In Hong juga timbul semacam kehambaran dan kehampaan terhadap
murid mereka, membuat mereka bersikap tak begitu mempedulikan lagi. Bahkan
ketika mereka melihat dan mendengar betapa Sun Eng sering bergaul dengan
pemuda-pemuda yang suka berkeliaran dengan pakaian-pakaian indah, pemuda-pemuda
hartawan dan bangsawan yang pekerjaannya setiap hari hanya mengincar
gadis-gadis cantik untuk dijadikan teman, sepasang pendekar ini yang tadinya
kadang-kadang masih menegur dan menasehati, akhirnya juga diam saja. Tentu saja
hal ini bukan berarti bahwa kini mereka membenci Sun Eng, melainkan karena
tidak ingin dianggap terlalu mengekang oleh gadis yang bukan keluarga mereka
itu.
Beberapa
bulan kemudian sepasang pendekar ini merasa terkejut sekali ketika menerima
serombongan tamu yang ternyata adalah utusan dari keluarga Auw, seorang
pembesar yang kaya raya di kota itu. Utusan ini datang untuk meminang Sun Eng,
untuk menjadi jodoh Auw-kongcu, putera tunggal pembesar Auw itu.
Auw-kongcu
adalah seorang pemuda yang sudah sangat terkenal sebagai pemuda mata keranjang
di kota itu, berandalan dan terkenal pengganggu wanita-wanita di daerah itu,
mengandalkan ketampanannya, hartanya dan kedudukan orang tuanya. Oleh karena
itu, ketika mendengar bahwa murid mereka dilamar oleh pemuda yang tersohor
buruk watak ini, tentu saja Bun Houw beserta Yap In Hong menjadi marah dan
serta merta menolak pinangan itu.
Apa lagi In
Hong! Kurang lebih dua tahun yang lalu pendekar wanita ini pernah menghajar
Auw-kongcu, bahkan kalau saja tidak dicegah oleh Bun Houw tentu telah
membunuhnya karena Auw-kongcu berani main gila kepadanya, berani mengeluarkan
kata-kata yang tak sopan dan hendak menggodanya di depan kuil pada waktu dia
melakukan sembahyang seorang diri. Dan kini pemuda kurang ajar itu telah
mengirim utusan melamar Sun Eng! Maka, tidaklah mengherankan apa bila pendekar
wanita yang berwatak keras ini seketika mengusir utusan-utusan itu dengan
jawaban sejelas-jelasnya bahwa mereka menolak pinangan itu.
Para utusan
itu lalu pergi dengan ketakutan, akan tetapi Bun Houw dan In Hong melihat
betapa wajah murid mereka membayangkan kemarahan dan ketidak senangan hatinya
oleh penolakan itu.
"Eng-ji,
yang meminangmu itu adalah seorang pemuda yang namanya tersohor jahat dan busuk
di kota ini, karena itu kami menolaknya dengan keras," kata In Hong.
"Terserah
suhu dan subo," jawab dara itu dengan singkat kemudian meninggalkan kedua
gurunya, jelas nampak bahwa dia merasa tidak senang.
Bun Houw
menarik napas panjang. "Aihh, untunglah dia bukan adik atau anak kita,
kalau demikian halnya, tentu benar-benar mengesalkan hatiku bukan main."
"Betapa
pun juga, dia adalah murid kita maka sudah sepatutnya kita jaga agar jangan
memperoleh suami yang brengsek," kata In Hong.
Peristiwa
penolakan pinangan Aw-kongcu itu agaknya makin merenggangkan hubungan antara
kedua orang guru dengan muridnya itu. Atau lebih tepat lagi, Sun Eng kini makin
menjauhkan diri, dan kalau berada di hadapan kedua orang gurunya, dia selalu
cemberut. Bahkan kini, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang ilmu silat
kepada mereka, lebih banyak pergi ke tetangga dari pada berlatih silat, setelah
selesai membantu subo-nya di dapur.
Bahkan
beberapa hari kemudian sepasang pendekar itu melihat perubahan besar pada diri
murid mereka. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya banyak melamun. Hal ini
mencurigakan hati In Hong dan pendekar wanita ini membisiki kekasihnya bahwa
mereka harus lebih memperhatikan Sun Eng.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment