Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 34
SEMENTARA
itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga
terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Kini mereka telah berhasil membebaskan
diri dari pengejaran, dan sekarang sedang berjalan biasa karena In Hong masih
terlampau lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.
"Sungguh
aku tidak mengerti anak itu!" kata Bun Houw sambil menggelengkan
kepalanya. "Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami,
tapi kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung
kita."
Yap Kun
Liong menarik napas panjang. "Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia
telah dapat memainkan Thai-kek Sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan
tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang digunakannya ketika menangkis
pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te."
"Dia
memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri
tidak akan mampu menandingi kekuatannya!"
Kata-kata
Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu
bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan pada jaman itu sukarlah
mencari tokoh kang-ouw yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang
pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja
mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun
Houw berbicara dengan serius.
"Betapa
pun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong.
Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan
dan sebentar menjadi kawan," kata Yap In Hong.
Empat orang
ini lalu berangkat menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan
suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dulu menjadi
tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan
Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena di antara
mereka terdapat Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari
Cia Bun Houw dan Yap In Hong.
Biar pun
sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan di dalam
hati empat orang pendekar ini, tetapi diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap
pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena
bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar
mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus kembali lari dari
tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih
mengerahkan pasukan untuk mengejar mereka?
Sin Liong
dianggap sebagai anak yang selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di
lubuk hatinya, Bun Houw masih saja berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah
maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka, sungguh pun kini di dalam sikap dan
perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak
merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak
menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan,
namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada
anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat
seorang lawan yang amat berbahaya.
***************
Seperti
sudah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah,
yaitu Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, atas bantuan Sin Liong telah
berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek hingga diangkat
menjadi sute-nya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru
besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulis kitab-kitab pelajaran ilmu
silat tinggi itu.
Dengan
sangat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan
kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan
jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek
mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung
pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mukjijat. Berkat otaknya yang cerdas,
sebentar saja Han Houw sudah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini
dia tekun sekali bersemedhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam
sebuah goa besar yang kosong.
Sesudah Han
Houw mulai melatih diri dengan isi kitab-kitab itu, maka Ouwyang Bu Sek sendiri
tak mampu lagi membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing
teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu
lagi. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat
sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu
bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak
mampu memberi petunjuk lagi.
"Suheng,"
pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal dengan isi seluruh kitab
yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab asli itu,
"aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana
aku dapat bertemu dengan beliau? Apakah suheng mengetahui di mana beliau
tinggal sehingga aku pun dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?"
Ouwyang Bu
Sek, si kakek cebol yang mempunyai tubuh seperti kanak-kanak akan tetapi
kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit. "He-he-heh-heh,
sute, engkau ini lucu bukan main! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal
yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati lebih dulu untuk dapat
mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!"
Tentu saja
hati pangeran itu sebal sekali mendengar ucapan ini. Kebenciannya terhadap sang
suheng itu masih menebal, apa lagi karena sikap suheng-nya yang sama sekali tak
menghargai atau menghormatinya itu membuat dia bertambah benci.
Semua orang
selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biar pun Sin Liong tidak
menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak
seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena
maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek dan karena kecerdikannya saja, maka Han
Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suheng-nya ini.
"Akan
tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau? Andai
kata kita memang tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, tetapi aku
ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau."
"Heh-heh-heh,
orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau? Hanya orang
setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau."
"Harap
suheng sudi memberikan petunjuk, dan aku akan berusaha untuk memungkinkan
perjumpaanku dengan beliau."
"Guru
kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita apa bila memang kita
mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin
bertemu dengan suhu?"
"Supaya
hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu mengenai
pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu."
"Hemm...
tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu
salah-salah engkau bisa gila atau mampus!"
Akan tetapi
Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan
memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali
tidak membuat dia jeri, tidak membuat dia mundur. "Aku akan menghadapi
bahaya itu apa bila suheng sudi memberi petunjuk."
"Heh-heh,
kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?"
Kalau saja
dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han
Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata.
"Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga tidak menyalahkan
suheng."
Kini kakek
itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sute-nya, lalu
berkata, "Bila mana engkau sampai bisa berjumpa dengan suhu, hal itu
sungguh sangat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri
tidak pernah bertemu dengan suhu."
Mendengar
ini tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main, maka makin besar
keinginan hatinya untuk bisa bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng
Hud-couw itu. "Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng apa bila aku
sampai dapat bertemu dengan suhu."
"Dengarkan
baik-baik, sute. Untuk dapat berjumpa dengan suhu, pertama-tama engkau harus
mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu.
Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga
ratus tahun atau lebih. Rambutnya serta jenggotnya sudah putih semua, panjang
sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba
putih dan amat sederhana, kakinya selalu telanjang, juga beliau selalu memegang
sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin
bertemu, engkau harus bersemedhilah menurut petunjuk di dalam kitab itu, akan
tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah
namanya terus menerus hingga beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di
dalam goa, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak
bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi,
sute." Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sute-nya.
Ceng Han
Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki goa kecil
dimana dia biasa berlatih semedhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya,
meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman dimana dia
masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada
suhu-nya karena suheng-nya sama sekali tidak mampu memberi petunjuk kepadanya
dalam latihan praktek.
Dia membuat
api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersemedhi menurut petunjuk
kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua
tangannya seperti menyembah di depan dada.
Karena sudah
biasa berlatih semedhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang
dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw telah tenggelam dan pikirannya sudah
dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, lalu bibirnya
berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang.
Suara
bisikan menyebut nama ini perlahan sekali sehingga hampir tidak terdengar di
luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini
terdengar aneh dan bergulung-gulung, seakan-akan merupakan sesuatu yang sambung
menyambung lantas membubung ke atas, berupa tangga yang menuju ke tempat yang
tak pernah dikenalnya.
Suara yang
berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin
lama semakin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersemedhi
seperti itu. Dia tak merasakan apa-apa lagi, tak mendengar apa-apa lagi kecuali
suaranya yang terus menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah
bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah
darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersemedhi sudah satu jam, satu
hari ataukah sudah sebulan!
Tiba-tiba
saja tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya
karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya,
atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih,
kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di
dalam otaknya berdasarkan penuturan Ouwyang Bu Sek!
Kakek tua
renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu
kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suheng-nya. Dalam kagetnya, Han
Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan
dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus.
"Suhu,
teecu mohon petunjuk...!" Ia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek
latihannya yang mengalami kesukaran.
Kakek yang
seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang
mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang
kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke
atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan
lenyap membuyar seperti asap tertiup angin.
Han Houw
terkejut dan gelagapan seperti orang yang baru bangun dari tidur dan mimpi.
Matanya mencari-cari namun kakek itu tidak kelihatan lagi, padahal tadi kakek
itu berdiri jelas di depannya.
Dia menegok
ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana
terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia
meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan
kenyataan bahwa kini dia dapat mengerti hal-hal itu dengan jelasnya!
Keadaan
seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukan dongeng kosong belaka. Kiranya
setiap orang pun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia
memang percaya penuh dan tekun.
Orang yang
mengosongkan pikiran dengan jalan mengulang-ulang kata-kata yang terus
diucapkan dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau
terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat
kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri hingga
dirinya dalam keadaan kosong sungguh pun kekosongan yang dipaksakan. Di dalam
keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan
dipercayanya, tidak mengherankan bila betul-betul muncul di depannya, merupakan
bayangan yang bukan lain adalah pantulan dari dalam batinnya sendiri.
Orang yang
memuja Sang Buddha mungkin saja dapat berjumpa dengan bayangan yang sebenarnya
merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena
pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran dalam batin.
Bayangan apa pun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan
mau pun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari
dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini
amat jelas dan mudah dimengerti.
Seseorang
yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang
pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau pun
dari khayalnya sendiri tentang setan. Begitu pula seseorang yang mengaku pernah
bertemu dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah
orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang
sudah pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan
sebagainya lagi. Tapi kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu
yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan
ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!
Sesudah
merasa berjumpa dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran
yang sedang dilatihnya. Hal ini pun tidaklah aneh karena pikiran yang kosong
memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam
keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang
tadinya dianggap sukar dimengerti itu, sekarang amat jelas dan mudah baginya.
Tentu saja
dia menghubungkan ini dengan kemunculan bayangan suhu-nya yang secara gaib telah
membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa bayangan Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya
itu belum tentu sama dengan bayangan yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena
batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera
masing-masing.
Keinginan
akan sesuatu, betapa pun sesuatu itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi,
sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari
pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan
tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan mau pun
keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir
bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik.
Keinginan
berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan
pengasingan diri yang amat picik. Semenjak kecil hingga tua kita selalu
diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanya obyek dari
keinginan-keinginan itu, ketika masih muda tentu keinginannya tertuju pada
benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, lalu setelah tua dan bosan
dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada
tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk
menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa.
Namun, pada
hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin
terjamin! Dan selama batin masih dipenuhi keinginan ini, padahal keinginan ini
hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nyata maka kita akan
terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam
khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan khayal kita sendiri
belaka dan kita tak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni!
Seorang tua
akan mengatakan, "Aku tak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin
ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak membutuhkan apa-apa
lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sesungguhnya pada dasarnya,
keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan
keinginan itu saja.
Kalau dahulu
yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, kini yang
dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan sesuatu yang lebih
tinggi. Hasilnya pun akan sama saja!
Pada waktu
mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik,
permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis,
sekarang pun dia akan tetap berjumpa dengan semua itu! Karena yang dikejar
adalah bayangannya sendiri!
Oleh karena
itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri
sendiri masing-masing, yaitu: Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam
keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau
benda-benda yang tidak atau belum ada?
Segala
sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak
melihat semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau
benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran
dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk di pegunungan yang
tidak dapat melihat keindahan pada pegunungan karena dia gandrung akan bayangan
keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat
keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan
pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak
dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah
jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya
karena dia membayangkan kelezatan buah apel!
Kita hidup
dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak tampak lagi,
tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu
mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka,
dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu kemudian hidup dalam saat
ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?
Semenjak
pengalamannya yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw lalu berlatih
amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu memanggil datangnya
sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena
ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan
saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab
yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu.
Dan memang
hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu
silat tinggi yang amat aneh, tapi dengan latihan-latihan siulian dan menghimpun
tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat dari pada sebelum dia tekun
belajar di dalam goa itu!
Berbedalah
pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya
dia mengambil keputusan untuk keluar dari goa tempat pertapaannya itu, dengan
wajah yang agak pucat akibat banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata
yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan
dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya,
karena dia ingin menemui suheng-nya Ouwyang Bu Sek.
Namun sunyi
sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Goa-goa yang banyak berjajar di
tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah
besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati.
Han Houw
menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang
menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam goa yang gelap, maka matanya
tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi
silau.
Dengan mata
setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan
suheng-nya. Han Houw merasa jengkel sekali. Mendadak dia menggerakkan tubuhnya
ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah
dilatihnya di dalam goa.
"Cuiiittt...!"
Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri
terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.
"Byarrrr...!"
Batu besar
yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang
ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak,
namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya.
Dia lalu
bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya
hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, namun muncul
pula angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan
beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan
pecah terkena hantaman kedua tangannya yang menggunakan tenaga dahsyat itu.
Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.
"Desss...!"
Sebongkah
batu sebesar kerbau bunting ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar
hingga jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang. Sampai
lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras
sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini
disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh
gangguan manusia itu.
Han Houw
merasa gembira dan bangga bukan main. Dia lalu mempergunakan ilmunya
meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam semedhi
menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab, dan tubuhnya lalu melesat dengan
cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang
tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu,
dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke
bawah.
Dia merasa
seolah-olah dirinya telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang
berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan
berlutut di hadapan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan
nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh
dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan
hitam mau pun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu!
Bangga bukan
main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang
beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang ilmu kepandaiannya
jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan
keunggulannya, dan dia akan menghadapi setiap orang yang dianggap terpandai di
dunia ini!
Mendadak dia
tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit,
kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.
"Ha-ha-ha-ha!
Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkau pun tidak akan mampu menandingiku!
Ha-ha-ha-ha!" Suara tawanya mengandung kekuatan khikang yang amat hebat
sehingga bergema di bawah puncak.
Pada saat
itu wajah yang tampan ini nampak mengerikan sekali, yang agak pucat dengan
sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah
memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu
bergerak-gerak tertiup angin.
Tiba-tiba
saja wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang
tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut
dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu!
Tiga buah
kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang
dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung di dalam tiga buah kitab itu.
Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab
aslinya. Dan ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan
suheng-nya! Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab
itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas
kitab-kitab itu, dan menghancurkannya supaya tidak ada orang lain yang akan
dapat mengetahui rahasia dari ilmu-ilmunya.
Teringat
ini, dia lalu mengambil kitab-kitab terjemahan yang tadi dibawanya lari ke
puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicengkeramnya dengan
kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu
robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin sesudah Han
Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andai
kata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya.
Setelah
mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa
puas, Han Houw lantas melompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang
cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak di mana
suheng-nya tinggal.
"Suheng...!"
Han Houw berteriak. Suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh
gema suara di empat penjuru.
"Suheng
Ouwyang Bu Sek...!" Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang
udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.
Tidak lama
kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun
suara itu terdengar dekat sekali, "Aku datang, sute...!"
Han Houw
merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menunggu
sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tidak lama kemudian,
berbarengan dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di
hadapan Han Houw.
Ouwyang Bu
Sek sejenak memandang sute-nya, dan melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam
dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah
dapat melihat adanya tenaga mukjijat di dalam diri sute-nya ini. Maka sambil tersenyum
menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas
mulutnya, dia bertanya,
"Bagaimana,
sute? Engkau sudah berhasil...?"
Han Houw
adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suheng-nya ini bukan
seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin
dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia
menarik napas panjang dan berkata,
"Dengan
petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa
bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam
kitab aslinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Aku
harap suheng suka memperlihatkan kitab aslinya sekali lagi kepadaku untuk dapat
kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng."
Kakek itu
terkekeh girang. "Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku
telah melihat perubahan besar pada dirimu, sute. Akan tetapi apa bila memang
ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat,
hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan..."
"Aku
tidak mau membuat engkau lelah, suheng. Biarlah aku yang mengambilnya sendiri,
katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu."
"Oho-ho,
kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapa pun tidak boleh, sute, dan pula
terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut..."
Han Houw
tidak mau membantah lagi dan dia mempergunakan kekuatan batinnya untuk menekan
kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tak
nampak perubahan sesuatu.
Namun Han
Houw terlalu memandang rendah kepada suheng-nya itu. Sedikit kilatan sinar
matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk menaruh curiga terhadap sute-nya ini.
Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari
terus, cepat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang
kecil telanjang itu.
Han Houw
mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia
dapat mengikuti suheng-nya itu dengan sangat mudahnya, berloncatan dari batu ke
batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah goa yang berada di lereng. Di
depan goa besar sekali, kakek itu berhenti dan berkata,
"Di
dalam goa inilah kusembunyikan kitab-kitab itu."
"Biar
aku yang mengambilnya, suheng!"
"Ihhh,
jangan! Berbahaya sekali. Kau tunggu di sini, biar aku yang mengambilnya."
Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam goa.
Han Houw
menanti di luar goa sambil menahan senyum. Peduli amat dia, malah sangat
kebetulan kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya.
Tak lama
kemudian tampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam.
Akan tetapi ketika dari tempat gelap kakek itu memandang wajah sute-nya dan
melihat sinar mata sute-nya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak
terkejut.
Pada saat
itu pula terdengarlah suara orang dari jauh, "Ouwyang locianpwe, kami
datang memenuhi undangan!"
"Celaka,
ada orang datang! Kita tunda dahulu urusan kita ini!" kata kakek itu dan
bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam goa yang gelap.
Dengan cepat
Han Houw membalikkan tubuhnya memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi
orang yang datang belum nampak olehnya. Ia merasa ada angin menyambar dari
dalam goa dan cepat dia menoleh. Kiranya suheng-nya telah berada di sampingnya.
"Dua
orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka
lebih dulu!" kata Ouwyang Bu Sek.
Mendengar
disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia
teringat akan Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang
ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia
pergi untuk menemui suheng-nya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa
banyak cakap dia mengikuti suheng-nya, kembali menuju ke puncak, yaitu ke
tempat pertapaan suheng-nya di mana banyak terdapat goa-goa itu.
Mereka tidak
perlu menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari
tempat itu, "Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang
Tiat-thouw-pang sudah menghadap!"
Ouwyang Bu
Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, "Aku telah menunggu di sini, harap
ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!"
Dari bawah
puncak tampaklah bayangan dua orang berlari naik dan dari gerakan mereka saja
mudah diketahui bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan dan
setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah
Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua orang pimpinan dari
perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping.
Ketika dua
orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu
Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi
hormat kepada pangeran yang telah dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang
ini pun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa bagaimana pun
baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka
telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan ole karena melindungi dan
menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.
Saat melihat
dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di
hadapannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh
kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata,
"Kalau
suheng ada urusan dengan mereka, silakan."
Sejak tadi
Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu,
kemudian dia membentak, "Kalian berdua berdirilah!"
Dua orang
ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok
Ban berkata, "Semalam locianpwe sudah mengundang kami berdua untuk datang
ke sini, nah, kami sudah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah
locianpwe memanggil kami?"
Suara
Ouwyang Bu Sek terdengar bengis pada saat dia membentak, "Ji-wi pangcu
adalah orang-orang gagah dan sudah semenjak dulu Sin-ciang Tiat-thouw-pang
terkenal sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan
tidak membohong!"
Dua orang
setengah tua yang gagah perkasa itu saling memandang, kemudian Tiat-thouw Tong
Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan muka bopeng, menggerakkan
sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab
dengan suaranya yang besar,
"Ouwyang
locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami
membohong, apa lagi bersikap tidak jujur!"
"Bagus,
bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia
Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?"
Seketika
pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan
sejenak mereka tidak mampu menjawab.
"Kami...
kami tidak tahu..." Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.
"Ha-ha-ha-ha,
sudah berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan
kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, semenjak kapankah
Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?" kata
kakek itu dengan nada mengejek.
Dua orang
itu terkejut lantas keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han Houw.
Pangeran muda itu pun memandang kepada mereka dengan sinar matanya yang
demikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang
keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan lagi ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek,
melainkan kepada sang pangeran itu.
"Tidak,
mereka bukan pemberontak atau buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang
gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!"
"Hemmm,
dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" kakek
itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan.
Kini
Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, "Ouwyang locianpwe, kami bersahabat
dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan
menentukan? Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?"
Mata yang
lebar itu makin terbelalak. "Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat
dengan orang-orang Cin-ling-pai?" Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya dan
kini suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman.
Sin-ciang Gu
Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia segera
memperoleh akal, maka dengan wajah tenang dia lalu menjawab, "Ouwyang
locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai
sahabat-sahabat baik sejak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie
Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu,
nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Sesudah kami menerima
budi Lie-lihiap yang pernah menyelamatkan kami, tentu saja kami menganggap
keluarganya sebagai sahabat-sahabat kami." Ucapan ini tentu saja ditujukan
kepada Pangeran Ceng Han Houw.
Ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga bahwa ada hubungan cinta
kasih mesra di antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si, maka dia sengaja
menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran, Dan benar saja,
sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada
wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si.
Akan tetapi
Ouwyang Bu Sek langsung membanting kakinya yang telanjang. "Kalian telah
bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Namun sebaliknya, aku
memusuhi orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku!
Dan karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi
musuhku!"
"Ouwyang
locianpwe..."
"Hayo
cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?"
"Kami
tidak tahu, locianpwe, malah andai kata kami tahu juga, kami takkan mengatakan
kepada siapa pun juga. Kami bukanlah semacam kaum pengkhianat yang suka
membikin celaka orang-orang gagah, apa lagi kami telah berhutang budi. Lebih
baik mati dari pada mengkhianati mereka!" jawab Gu Kok Ban dengan sikap
gagah.
Kakek yang
cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. "Setan! Kalau begitu
kalian sudah bosan hidup!" Kakek itu melangkah maju dengan sikap
mengancam.
Dua orang
ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk membela
diri. Biar pun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek Ouwyang
Bu Sek yang mereka tahu sangat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak mau
mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos
siang-kiam dari sarung pedangnya, lalu melintangkan sepasang pedang itu di
depan dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya
dengan sikap gagah.
"Bagus,
ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka membunuh
orang yang sama sekali tidak melawan!" Kakek cebol itu tertawa dan
tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang ke depan.
Tiat-thouw
Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang segera
dihantamkannya ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya ini mendatangkan
angin dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keras pun
pasti akan hancur bila mana tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan
gajah itu. Namun, kakek cebol itu sama sekali tak mengelak atau menangkis dan
agaknya memang sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar
den botak kelimis.
"Takkkk!"
Toya besi
itu terpental, seakan-akan mengenai bola baja yang jauh lebih keras dari pada
toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong
dan dua buah giginya di bagian atas.
Tong Siok
kaget dan juga penasaran, toyanya diputar lebih cepat dan mengirim serangan
bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengarlah suara bak-bik-buk seperti orang
memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke tubuh
Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman toya
selalu membuat toya itu sendiri terpental!
"He-he-he,
terima kasih untuk pijatan-pijatan itu, memang tubuhku beberapa hari ini agak
pegal-pegal minta dipijati!" Ouwyang Bu Sek berkata.
Pada waktu
toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban langsung menerjang dengan
siang-kiamnya. Nampak cahaya berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke
arah leher dan pinggang.
"Ehh...
ohhh... pedangmu bisa merusak pakaianku!" Ouwyang Bu Sek berseru.
Tiba-tiba
tubuhnya mencelat ke atas sehingga terbebas dari guntingan sepasang pedang itu,
kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang
ludah.
"Cuhh!
Cuhhh!" Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali.
Biar pun
Sin-ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan
bajunya berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam
air ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar
sepasang pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya.
Terjadilah
perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua orang ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama mereka
sudah amat terkenal di dunia kang-ouw dan keduanya pun merupakan orang-orang
pandai yang ditakuti karena memang mereka sudah memiliki tingkat kepandaian
yang tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu
Sek!
Biar pun
keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol
itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan
tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang kala berloncatan seperti kera
menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana sini, kemudian
meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua
orang lawannya itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka
langsung terpental ada pun setiap tamparan harus mereka elakkan karena tak
mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!
Sesudah
lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek,
tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, "Nah,
cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang
mempertahankan diri! Kini bersiaplah untuk mampus!"
Tiba-tiba
saja tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan
main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka.
"Plakkk!"
"Suuuttt...!
Cring-cringgg!" Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula
dengan sepasang siang-kiam itu!
Dengan lagak
seperti anak kecil sedang main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua
pedang itu. Terdengar bunyi nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat
potong lalu dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Ada pun toya besi itu dia
belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular,
kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol
itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat.
"Heh-heh-heh,
kalian masih tetap belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang
Cin-ling-pai itu?" tanya Si Cebol yang amat lihai ini.
Dua orang
ketua itu saling pandang, kemudian terdengarlah Gu Kok Ban berkata dengan tarikan
napas panjang.
"Kami
sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!"
"Kami
lebih baik mati dari pada mengkhianati mereka!" sambung Tong Siok.
Biar pun
mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap
untuk membela diri sampai napas terakhir.
"Hemm,
tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini
kalian belum menjadi bangkai? Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua
minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!" Ouwyang Bu Sek
sudah mengepal dua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.
"Tidak
ada pilihan lain bagi kami!" kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.
"Keparat,
kalau begitu mampuslah!"
Kembali
tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan kepalang. Gu Kok Ban dan Tong Siok
telah siap-siap untuk membela diri secara mati-matian, akan tetapi tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah,
malah terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah
menghadang.
"Suheng,
jangan bunuh mereka!" teriak pemuda ini sambil bertolak pinggang dan
berdiri di antara mereka menghadapi kakek cebol itu.
Sejenak
Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sute-nya itu. Sute-nya itu telah
berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke
belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah
diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk bisa
menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri
urusannya!
"Sute!
Biar pun engkau seorang pangeran, tetapi engkau tidak boleh mencampuri urusan
pribadiku!" bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sute-nya
yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.
"Bukan
urusan pribadimu lagi, suheng!" Han Houw menjawab dengan tenang dan tegas,
sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan cahaya aneh
yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. "Aku
adalah seorang pangeran, karena itu tak mungkin aku membiarkan saja rakyatku
dibunuh oleh siapa pun, termasuk engkau!"
"Eh,
sute...!" Ouwyang Bu Sek hampir tak percaya sute-nya akan berani
menentangnya, kemudian dia melanjutkan, "Ingatlah, justru karena engkau
pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, yaitu orang-orang
Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara,
pemberontak-pemberontak buronan!"
"Diam!
Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan
nasehatmu!"
"Sute!
Bagaimana engkau berani bicara seperti itu terhadap aku? Aku suheng-mu, juga
aku pembimbingmu..."
"Engkau
seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!"
bentak Han Houw.
Kini
marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu,
apa lagi yang menghinanya itu adalah sute-nya, bahkan seperti juga muridnya
sendiri!
"Keparat,
engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang pernah kau pelajari
dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat
mempergunakan ilmu-ilmu itu!" bentak Ouwyang Bu Sek dan bagaikan seekor
katak melompat, dia sudah menyerang Han Houw.
Hebat bukan
main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu
langsung menyambar hawa pukulan yang sangat dahsyat dan angin pukulan berputar
menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak pula daun pohon yang rontok, ada
pun dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus cepat-cepat
mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat
mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw
seakan-akan menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi
serangan langsung dari kakek yang sakti itu.
Han Houw
terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sesudah dia
berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan
kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan
ginkang-nya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi pagar hawa pukulan itu
menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke
depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan.
"Dessss...!"
Pertemuan
dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting ada pun tubuh
Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya!
Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat segera melompat bangun kembali,
lalu dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek itu.
Ouwyang Bu
Sek juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain dapat
menahan serangannya, bahkan sudah bisa membuat tubuhnya terpelanting, tanda
bahwa pemuda itu sudah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya!
Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti juga Sin Liong,
mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main.
Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai
belajar sudah berani menentangnya!
Kemarahan
membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali bagaikan udang direbus, dan kedua
matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah
menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap
segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar
marah sehingga sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.
"Sekarang
aku akan membunuhmu!" bentaknya dan suaranya yang sedikit parau saking
marahnya itu mengandung getaran dahsyat hingga membuat dua orang ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil.
Dua orang
ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di situ seperti patung, tidak kuasa
untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga
mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute
kakek sakti itu, dan sekarang bahkan berani pula menentang suheng-nya. Mereka
merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang
Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan
sute, berarti merupakan urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja
mereka tak berani lancang mencampuri, apa lagi sekarang mereka pun tahu bahwa
kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, maka dalam
beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, oleh karena itu bantuan
mereka pun takkan banyak gunanya. Maka, mereka kini hanya berdiri memandang
saja dengan hati penuh ketegangan.
Dapat
dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu
sudah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan
gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar
gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih tetap berdiri dengan sikap
tenang. Mereka terbelalak dan membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan
remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi
dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.
"Blarrrrr...!"
Debu
mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak
oleh dua orang ketua itu bahwa batu besar itu sudah hancur berantakan, akan
tetapi sang pangeran masih tetap berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman
batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan
batu!
Hampir saja
kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa
pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali mereka
tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu
Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!
Kini Ouwyang
Bu Sek menjadi makin marah. Banyak batu-batu dilontarkan dan ditendang ke arah
sute-nya, akan tetapi dengan sikap sangat tenang Han Houw memapaki semua
serangan batu-batu besar itu, baik dengan tendangan atau pun hantaman dua
tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang
terlempar kembali ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang
menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan
pukulan-pukulan beruntun dari kedua tangannya yang pendek namun yang
mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan.
Han Houw
juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan
langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali sebab dia hanya
menggunakan ujung-ujung jari kakinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat
bagaikan seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, tetapi selalu dapat membawa
tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan dia pun lalu membalas
dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan
dilengkungkan.
"Bukk!
Bukk!"
Dua kali
kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai
lambung dan pukulan kedua mengenai dada. Akan tetapi kakek itu agaknya sama
sekali tidak merasakan pukulan itu, padahal Han Houw telah mengerahkan
tenaganya memukul tadi! Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia
tahu bahwa suheng-nya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan
dapat diandalkan.
Ouwyang Bu
Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia
menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat ketika melihat pukulannya
seperti tak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak,
maka pundaknya kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat
dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan kepalang, hingga menyusup ke
tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki
kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya.
Han Houw
memainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang
dimainkan dengan sepasang kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit
terangkat, dan karena kitab-kitab itu masih belum memiliki nama, maka Han Houw
memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti
Menalukkan Naga), sebab dia menganggap dirinya lebih lihai dari pada naga!
Dialah
Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga
Sakti, maka dia pun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja
dengan maksud supaya ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua
dia memperoleh ilmu bersemedhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga
sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan
dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat
Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.
Dengan ilmu
Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suheng-nya itu selama lima puluh
jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini dia selalu
dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi semua pukulannya
yang mengenai tubuh lawan tidak mampu membuat lawannya roboh, bahkan agaknya
kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena dia tahu
bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih kalah jauh dan sekali dia terkena
pukulan yang tepat, dia akan roboh!
Maka
dicarinyalah akal, dan pemuda bangsawan yang cerdik ini mendadak meloncat jauh
ke belakang sambil berseru, "Tua bangka, kalau engkau berani hayo kau
kejar aku!"
Ouwyang Bu
Sek sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh jurus dia
tidak mampu merobohkan sute-nya ini! Sungguh sebuah hal yang mengejutkan dan
memalukan sekali, apa lagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua
Sin-ciang Tiat-thouw-pang! Rusaklah nama besarnya, apa lagi kalau didengar oleh
Lam-hai Sam-lo yang menjadi musuh lamanya, tentulah dia akan ditertawakan
karena ketololannya, yaitu selain menerima sute yang durhaka, juga kini malah
tidak mampu mengalahkan sute-nya sendiri itu!
Maka, begitu
pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan
pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali hingga sebentar saja mereka
telah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke puncak bukit di
sebelah barat....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment