Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 38
Setelah
merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu saja,
timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan tadi
malam hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, sebab itu,
orang-orang seperti ini patut dihajar, bahkan patut dibunuh!
Melihat
mereka bertiga menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk
tamparan yang dia tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali
tidak mau mengelak dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan
kepala agar mukanya jangan sampai terkena pukulan.
"Plak!
Plak! Plak!"
Pukulan atau
tamparan tiga orang tosu itu semuanya mengenai dada, pundak, dan leher. Akan
tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika tangan mereka seperti
mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka ketika tangan mereka
itu melekat tanpa dapat ditarik kembali lantas sinkang mereka membanjir keluar
melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu.
Mereka
meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, maka makin hebat lagi tenaga
rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak
memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru
tergagap-gagap,
"Thi...
khi... i... beng...!"
Mereka pernah
mendengar dari guru mereka mengenai ilmu yang mukjijat ini, akan tetapi belum
pernah melihat sendiri ilmu yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng
itu. Akan tetapi kini, merasakan betapa tenaga sinkang mereka memberobot keluar
tanpa dapat dicegah, mereka teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan
setengah mati. Makin lemaslah mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena
kehabisan tenaga.
Tiba-tiba
timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang,
pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat akan tetapi kejahatan mereka itu
belum merupakan alasan yang kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong
alias malaikat pencabut nyawa! Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang
tosu Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka
patah-patah tulangnya.
Untuk
menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sinkang mereka dengan jalan
mempergunakan ilmu Thi-khi I-beng kemudian menampar remuk tulang-tulang kedua
pundak mereka. Dengan demikian, meski pun kesehatan ketiga orang itu akan dapat
pulih lagi, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi ahli-ahli silat
yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapa daksa dan lenyap kekuatan
mereka.
"Sin
Liong..."
Pemuda itu
cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak, maka cepat dia
menghampiri dan berlutut di dekatnya. "Bi Cu, kau sudah siuman...?"
teriaknya. "Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat yang sedang
mengejar kita!" Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.
"Ihhh...!"
Bi Cu menjerit dan tangan kanannya menampar.
"Plakkk!"
Pipi kiri
Sin Liong kena ditampar dengan keras karena memang pemuda itu selain sama
sekali tidak menyangka-nyangka, juga tidak mau menangkis. Dia terbelalak memandang
dengan heran dan menyangka bahwa obat bius semalam masih mempengaruhi otak dara
ini sehingga melakukan tamparan dalam keadaan masih belum sadar benar!
"Manusia
cabul kau! Mata keranjang kau! Ceriwis kau!"
Mendengar
caci-maki Bi Cu dan melihat betapa Bi Cu dengan susah payah menggunakan dua
telapak tangan untuk menutupi bagian-bagian depan tubuhnya kemudian cepat-cepat
membalikkan tubuh membelakanginya, tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian
dara itu memperlihatkan dua buah bukit pinggul yang indah bentuknya, yang dapat
kelihatan melalui pakaian dalam yang tipis itu, mengertilah Sin Liong dan
mukanya berubah merah sekali.
"Bi Cu,
jangan salah mengerti," katanya lirih sambil menunduk, tidak berani
terlalu lama memandang dua bukit menonjol beserta garis punggung itu,
"ketahuilah bahwa ketika aku melarikanmu dari Pek-lian-kauw, engkau sudah
berada dalam keadaan seperti sekarang ini sementara aku tak mempunyai banyak
waktu untuk mencari pakaian untukmu karena keadaan amat berbahaya dan semalam
di dalam hutan ini... tak mungkin mencari pakaian untukmu dan sekarang..."
"Ihh,
cerewet amat sih! Yang mereka pakai itu apa lagi kalau bukan pakaian!"
bentak Bi Cu.
Sin Liong
menoleh ke arah telunjuk yang menuding itu dan hampir dia menampar kepala
sendiri. Mengapa dia sebodoh itu? Sin Liong tertawa lalu menghampiri seorang di
antara tiga tosu tadi yang paling kecil tubuhnya, kemudian dengan paksa dia
lalu menanggalkan pakaian luar tosu ini yang sudah tak mampu bergerak lagi dan
hanya dapat menyeringai menahan nyeri ketika baju dan celana luarnya dilucuti
karena kedua pundak yang hancur itu membuat dia tidak mampu menggerakkan
tangan.
"Nah,
pakailah ini, Bi Cu."
Bi Cu tidak
banyak cakap lagi, segera menyambar pakaian itu kemudian lari ke belakang
batang pohon besar untuk memakai jubah serta celana yang masih kebesaran
untuknya itu. Diam-diam Sin Liong menahan ketawa. Tinggal merangkapkan jubah
dan celana itu di luar pakaian dalamnya saja, kenapa harus bersembunyi di balik
pohon segala?
Tak lama
kemudian Sin Liong melihat Bi Cu muncul dari balik pepohonan dan kembali dia
harus menahan ketawanya karena memang Bi Cu nampak lucu sekali dalam pakaian
tosu yang kebesaran itu. Biar pun dia sudah menahan-nahan ketawanya, tetap saja
mulutnya bergerak-gerak meruncing dan hal ini nampak oleh dara itu.
"Ehh,
ehh, kenapa kau mecuca-mecucu seperti itu? Kau mentertawakan aku, ya?"
"Ti...
tidak, hanya... kau lucu sekali dalam pakaian itu, Bi Cu."
"Buatmu
lucu, buatku sama sekali tidak lucu! Ehh, Sin Liong, apa sih yang terjadi
dengan diriku? Yang teringat olehku hanya bahwa aku ikut bersama Kim Hwa Cinjin
dan diambil murid olehnya."
"Engkau
telah terjebak ke dalam perangkap yang berbahaya, Bi Cu. Pek-lian-kauw adalah
perkumpulan pemberontak, jahat dan cabul. Aku mendapatkan dirimu pingsan akibat
obat bius, dan hampir saja engkau dinodai oleh tiga orang keji itu!" Sin
Liong menuding ke arah tiga orang tosu yang masih rebah di atas tanah, salah
seorang di antara mereka hanya memakai cawat saja karena pakaiannya telah
dilucuti.
Muka Bi Cu
menjadi merah sekali dan matanya terbelalak, membayangkan kemarahan.
"Apa?! Bukankah mereka itu murid-murid Kim Hwa Cinjin...?"
"Benar,
dan agaknya engkau diambil murid dengan maksud yang amat kotor dan keji."
"Keparat!
Kalau begitu mereka ini patut dibunuh!" Bi Cu melangkah maju, akan tetapi
Sin Liong cepat memegang tangannya.
"Sudahlah,
Bi Cu. Mereka sudah terhukum dan mereka selanjutnya tak akan mampu lagi
mengganggu wanita. Mari kita cepat pergi karena masih banyak musuh yang
mengejar, bahkan ada pasukan pemerintah..."
Mendengar
ini, wajah Bi Cu sudah berubah pucat dan dia cepat memegang tangan Sin Liong.
"Pasukan? Wah, ke mana kita harus lari?"
"Mari
kau ikut denganku!" Sin Liong menggandeng tangannya kemudian mengajaknya
lari menyusup ke dalam hutan yang lebih gelap.
Mereka
berlari terus, akan tetapi tiba-tiba dari depan terdengar suara hiruk-pikuk
banyak orang sehingga terpaksa dia mengambil jurusan lain dan terus melarikan
diri, makin lama semakin jauh ke dalam hutan lebat yang sama sekali tidak
dikenalnya.
Pada senja
hari itu, terpaksa mereka berhenti di bawah pohon yang lebat di tengah hutan
karena semenjak tadi Bi Cu sudah mengomel dan mengeluh saja karena lapar dan
lelah. Sehari itu mereka berlari-larian terus tanpa berkesempatan makan, bahkan
tidak sempat bercakap-cakap karena lelah.
Sekarang
tanpa berkata apa-apa lagi Bi Cu sudah menjatuhkan diri ke bawah pohon itu,
bersandar pada batang pohon melepaskan lelah dengan mata terpejam. Kasihan
sekali rasa hati Sin Liong melihat dara ini, maka dia pun lalu duduk di atas
tanah di depannya.
Dara itu
diam saja, hanya bersandar dengan wajah pucat dan mata terpejam, kelihatan amat
lelah dan menderita. Kerutan alisnya membuat Sin Liong ragu-ragu untuk
bertanya, karena kerutan itu membayangkan bahwa Bi Cu kembali sedang ngambek.
Agaknya Bi
Cu merasakan pula keheningan ini. Dia membuka kedua matanya, bertemu pandang
dengan Sin Liong, menarik napas panjang, bibirnya bergerak-gerak namun tidak
mengeluarkan suara sampai akhirnya sepasang mata yang jeli itu terpejam
kembali.
Sin Liong
menelan ludah, memberanikan hatinya. Suasana itu sangat mencekam hatinya,
karena biasanya, ketika berdua dengan Bi Cu amatlah gembira karena kelincahan
serta kejenakaan dara itu, dan sekarang dara itu demikian pendiam dan dingin.
"Bi
Cu... sudah lama aku mencarimu..."
Bi Cu
merapatkan pelupuk matanya. Ada sedu sedan naik dari dadanya. Ingin sekali dia
memaki, ingin dia menjerit, mencela mengapa baru sekarang Sin Liong muncul,
padahal dia sudah mencarinya sejak mereka berpisah, betapa dia amat merindukan
kehadiran Sin Liong, betapa dia amat membutuhkan Sin Liong untuk menemaninya,
untuk membantu dirinya kalau menghadapi bahaya. Dan sekarang, baru sekarang
pemuda itu muncul, dan dalam keadaan hatinya penasaran itu tiba-tiba pemuda itu
menyatakan bahwa telah lama mencarinya. Akan tetapi dia menahan kegemasannya,
dan dengan suara datar dingin dia bertanya tanpa membuka matanya,
"Mau
apa kau mencariku?"
Sin Liong
mengangkat muka memandang wajah yang menunduk dan mata yang terpejam itu, dia
merasa heran bukan main. Bukankah selama dia mencari Bi Cu, di mana-mana dia
menemukan keterangan bahwa dara itu pun sedang mencari-carinya? Mengapa dara
itu kini kelihatan marah dan berduka?
"Bi Cu,
tentu saja aku mencarimu. Sejak kita berpisah, aku tak pernah melupakanmu, Bi
Cu. Aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu, mengingat betapa engkau hidup
sebatang kara di dunia ini, aku menjelajah sampai jauh dan akhirnya baru aku
dapat keterangan tentang engkau beberapa hari yang lalu dan..."
Tiba-tiba
Sin Liong menghentikan kata-katanya. Dia bengong memandang dara itu yang
ternyata kini telah menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di balik kedua
tangan dan dari celah-celah jari tangannya menetes air matanya. Sekarang Bi Cu
telah menangis terisak-isak dan sesenggukan seperti anak kecil!
"Ehh,
kau kenapa Bi Cu...?"
Bi Cu
mencoba mengangkat mukanya. Matanya masih terpejam dan basah oleh air mata yang
bercucuran, lalu dengan susah payah dia berkata di antara isaknya,
"Mengapa
kau... kau tidak membiarkan aku mati saja...? Kenapa engkau menolongku...?
Hu-hu-huk, aku memang anak... celaka... kenapa kau pedulikan aku? Kau orang
kejam...! Kau telah memaksaku pergi... kau kira aku takut bahaya dan takut
mati? Kau menyuruh aku pergi... hu-huukk... aku lalu terlunta-lunta,
mati-matian mencarimu... hu-huuuhh... dan sekarang kau masih... pura-pura
mencariku...?"
Sin Liong
merasa kasihan sekali dan dia mendekat, menyentuh pundak dara itu. "Bi Cu,
ketahuilah bahwa dulu itu aku menyuruhmu pergi karena engkau terancam bahaya
hebat. Kau masih belum tahu alangkah jahatnya pangeran itu. Aku melakukan semua
itu hanya demi keselamatanmu, Bi Cu."
"Kenapa...?
Kenapa engkau pedulikan keselamatanku...?"
"Entahlah.
Mungkin karena engkau sebatang kara, seperti juga aku. Dan aku... senang sekali
berada di dekatmu, melakukan perjalanan bersamamu, Bi Cu."
Bi Cu makin
mengguguk dan kini dia merangkul, menangis di pundak Sin Liong. Pemuda itu
menjadi terharu, tak dapat menahan kedua matanya menjadi basah dan dia mengusap
rambut kepala dara itu. "Sudahlah, Bi Cu, jangan menangis. Bukankah kita
sudah saling jumpa dengan selamat?"
"Sin
Liong, jangan... jangan tinggalkan aku lagi..."
"Tidak!
Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."
Isak tangis
itu mereda dan mereka masih saling rangkul. Pada saat itu tidak ada sedikit pun
perasaan cinta asmara di dalam batin mereka, yang ada hanyalah perasaan saling
membutuhkan dan saling menyukai bagaikan kakak dan adik, atau bagaikan dua
orang sahabat yang senasib sependeritaan saja.
"Kau
akan mengantarku ke utara untuk mencari musuhku...?"
Sin Liong
terkejut dan teringatlah dia akan ocehan yang keluar dari mulut Kui Hok Boan
ketika orang itu menjadi miring otaknya. Mendengar ucapan yang keluar dari
orang yang terserang tekanan batin sehingga hampir gila itu, mudah diduga bahwa
pembunuh ayah kandung Bi Cu tentulah Kui Hok Boan! Akan tetapi bagaimana dia
dapat berterus terang kepada Bi Cu tentang hal ini?
Kalau Bi Cu
tahu tentang hal itu, tentu dara ini akan berusaha membalaskan kematian
ayahnya, dan kalau itu terjadi, dia sendiri yang akan menjadi bingung.
Mungkinkah dia membiarkan orang lain atau Bi Cu sekali pun membunuh Kui Hok
Boan lantas dengan demikian akan menyusahkan hati kedua orang adik tirinya, Kui
Lan dan Kui Lin yang disayangnya? Sin Liong menjadi bingung akan tetapi dengan
suara lirih dia menjawab,
"Ya,
tentu saja..."
Kembali
hening dan Bi Cu masih bersandar pada pundak Sin Liong. Tangisnya terhenti dan
tiba-tiba saja terdengar suara lirih, suara berkeruyuk yang hanya dapat
didengar oleh mereka berdua saja.
Suara lirih
ini seperti suara gaib yang sama sekali melenyapkan kedukaan dan keharuan hati
mereka, yang dalam seketika memulihkan watak Bi Cu yang sebenarnya. Tiba-tiba
saja dara yang tadi menangis sesenggukan sedemikian sedihnya, kini tertawa
begitu geli dan gembira, bebas lepas dan dia telah melangkah mundur sambil
menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Sin Liong.
Pemuda ini
pun tersenyum, memandang wajah Bi Cu penuh pesona. Siapa tak akan ikut
tersenyum gembira melihat dara seperti ini? Tadi di waktu menangis, wajah dara
itu tentu akan meluluhkan hati siapa pun juga, akan tetapi setelah sekarang
tertawa, dengan mata yang masih agak kemerahan dan pipi agak basah itu bersinar
dan berseri-seri, bibir yang merah itu terbuka sedikit dengan sopan, nampak
sedikit ujung deretan giginya pada saat tertawa, membentuk lesung pipit pada
sebelah kiri mulutnya saja, ahh, betapa manisnya, betapa cerahnya, seolah-olah
matahari yang baru muncul dari balik awan hitam yang tadi menghalanginya!
"Ihhh,
tak tahu malu!" Bi Cu berseru sambil tertawa geli.
"Apa
yang tak tahu malu?" Sin Liong bertanya, hanyut dalam kegembiraan dara
itu.
"Hi-hik-hik,
masih tanya lagi. Perutmu yang tak tahu malu, siapa lagi! Aku mendengar ada
ayam jantan berkeruyuk di dalamnya tadi!"
Sin Liong
tertawa. "Dan aku pun mendengar ada ayam betinanya yang berkotek, entah
dalam perut siapa! Tak mungkin dalam perutku ada ayam jantan dan ayam
betinanya!"
Bi Cu
tertawa dan menutup mulutnya. "Dalam perutku! Memang perut kita keduanya
tak tahu malu!"
Melihat dara
itu kini telah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk di atas akar
pohon. "Bi Cu, selama ini engkau ke mana sajakah? Bagaimana engkau sampai
dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?"
Wajah Bi Cu
masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang. "Ahh, semua
ini gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, kemudian banyak hal menimpa
diriku." Dia lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia
hampir saja ditangkap oleh pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim
Hwa Cinjin dan diajak pergi ke Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.
"Hemm,
Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia telah berjanji tak akan mengganggu
engkau, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi
mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu? Apakah kau tidak tahu
bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?"
"Aku
tidak tahu, andai kata aku tahu pun agaknya hal itu tidak mempengaruhi, karena
aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong, dia yang
membunuh belasan orang prajurit itu, dan dia begitu lihai sehingga aku kagum
sekali. Entah kenapa, biar pun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi muridnya,
akan tetapi ternyata aku telah menerimanya dan turut dengan dia ke pusat
perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua
muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak
ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ahh,
mereka harus dibunuh!" Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga
orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Akan tetapi
Sin Liong sudah memegang lengannya. "Tenanglah, mereka sudah terhukum dan
mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan pemerintah."
"Ehh,
apa maksudmu?"
"Engkau
diberi obat bius hingga tak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum terlambat
dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu keluar
dari sarang Pek-lian-kauw, di malam itu pula Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan
pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang prajurit yang
telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Kalau yang memimpin penyerbuan pasukan itu
Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar
suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos."
"Sin
Liong, bagaimana engkau dapat menolongku? Ke mana saja engkau pergi selama kita
berpisah?"
"Sesudah
kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran Ceng Han
Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke utara dan
mulai mencarimu."
"Sin
Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik angkatnya,
mengapa pangeran itu memusuhimu?"
"Tidak
memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ahhh, kelak engkau pun akan mengerti sendiri.
Sekarang tak perlu kita membicarakan dia, engkau tahu... mungkin sekarang dia
bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!"
"Aku
tidak takut!" Tiba-tiba Bi Cu berseru. "Dan sekali ini, jangan engkau
mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tetapi
harus meninggalkanmu. Aku tak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang
menemaniku, selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa
engkau takkan meninggalkan aku, apa pun yang terjadi. Kita akan menghadapi
bahaya bersama, dan kalau perlu, aku tidak takut mati, asal selalu
bersamamu!"
Kembali
keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, dia pun memiliki
perasaan persis seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia
terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang sudah terjadi, adalah karena dia
ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan
berkata lirih,
"Percayalah,
aku tidak akan akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."
"Sin
Liong, sudah berkali-kali engkau berhasil menolongku. Bagaimana mungkin dengan
kepandaianmu yang tidak seberapa tinggi... ah, aku tahu sekarang! Engkau tentu
memiliki kepandaian hebat yang kau sembunyikan. Betul, tidak? Jika tidak, mana
mungkin engkau bisa mengalahkan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu? Juga tak
mungkin engkau mampu melarikan aku yang dalam keadaan pingsan itu lolos dari
Pek-lian-kauw! Sudah lama hal ini menjadi pikiranku. Engkau tentu memiliki
kepandaian tinggi, Sin Liong."
"Ahh,
engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian apa-apa, Bi Cu."
"Ilmu
silatmu tentu tinggi..."
"Tidak
lebih tinggi dari pada ilmu silatmu."
"Benarkah?"
Dara itu
menarik napas panjang, memandang dengan penuh keraguan kepada Sin Liong.
Bagaimana pun juga, dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
tentang kepandaian pemuda ini. Maka dia pun belum yakin benar. Mendadak
telinganya kembali menangkap suara berkeruyuk dan kebetulan sekali kembali
perut mereka berdua yang mengeluarkan bunyi itu secara berbareng! Bi Cu tertawa
lagi.
"Ihh,
lekas kau mencari makanan untuk mendiamkan perut-perut tak tahu malu ini, Sin
Liong."
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Dia merasa sangsi untuk meninggalkan Bi Cu seorang diri di
tempat itu, akan tetapi untuk menolak permintaan itu pun dia tidak tega karena
maklum bahwa memang dara itu lapar sekali, seperti juga dia sendiri.
"Aku
harus melihat dulu di mana terdapat makanan di sini." Dia lalu memanjat
sebatang pohon besar.
Tentu saja
kalau dia menghendaki, sekali loncat saja dia sudah akan dapat melayang naik ke
puncak pohon, akan tetapi dia tidak mau menunjukkan kepandaiannya secara
terang-terangan kepada Bi Cu, khawatir kalau-kalau sikap Bi Cu akan berubah
bila mana melihat bahwa dia mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari
pada dara itu. Maka dia lalu memanjat sampai ke puncak dan dari situ dia
memandang ke sekeliling.
"Heiiii,
di sebelah barat sana ada sebuah dusun!" teriaknya dari atas. Lalu dia
bergegas turun, disambut oleh Bi Cu dengan wajah berseri.
"Kalau
begitu, kau cepatlah ke sana mencari makanan, Sin Liong. Perutku sudah sangat
lapar."
"Bi Cu,
apakah tidak sebaiknya kalau kita berdua yang pergi ke sana? Dengan demikian
akan lebih aman bagimu, bukan? Dusun itu tidak jauh, paling lama berjalan satu
jam akan sampai..."
"Tidak,
Sin Liong. Aku lelah sekali. Lagi pula tempat ini amat sunyi, siapa yang akan
dapat menggangguku? Aku masih mampu menjaga diri. Jangan khawatir, lekaslah kau
mencari makanan, biar kutunggu di sini."
Sin Liong
mulai mengenal kekerasan hati Bi Cu, maka dia menghela napas panjang dan
berkata, "Baiklah, harap engkau jangan pergi ke mana-mana, Bi Cu. Kau
tunggulah aku di sini saja, aku pergi tak akan lama." Sin Liong akhirnya
menyetujui untuk meninggalkan Bi Cu, karena dia pun berpikir bahwa kalau Bi Cu
tidak ikut, dia akan dapat pergi ke dusun itu dan kembali dalam waktu yang jauh
lebih cepat. Lagi pula hari telah menjelang gelap, apa bila masih ada
pengejaran dan pencarian dari fihak pasukan pemerintah sekali pun, tentu mereka
itu akan menundanya dan akan melanjutkan besok pagi.
Sin Liong
sudah melangkah ke depan ketika Bi Cu memanggil, "Sin Liong..."
Pemuda itu
berhenti membalikkan tubuh. "Ada apa, Bi Cu?"
"Jangan
lupa... ehh, kau carikan pakaian untukku!"
"Pakaian?
Akan tetapi engkau sudah..."
"Hushhh,
siapa sudi memakai pakaian ini terus-terusan? Aku ingin pakaian wanita yang
sopan dan pantas, berikut sepatunya. Maukah kau...?"
"Tentu
saja! Akan kucarikan untukmu, jangan khawatir."
Bi Cu
tersenyum sambil memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah
berseri penuh perasaan syukur dan terima kasih. Sin Liong menelan ludah. Bukan
main manisnya Bi Cu kalau sudah begitu! Bukan hanya manis, akan tetapi juga ada
sesuatu yang menyentuh perasaannya, yang membuat dia merasa terharu, membuat
dia merasa ingin untuk merangkul dara itu, mendekapnya, menghiburnya,
menyenangkan hatinya.
Akan tetapi
Sin Liong melawan perasaan ini dengan membalikkan tubuhnya lagi kemudian mulai
melangkah meninggalkan Bi Cu, menuju ke arah barat. Tanpa disadarinya sendiri,
bibirnya meruncing lantas dia mendengar mulutnya sendiri bersiul-siul! Perasaan
senang yang bukan karena sesuatu, melainkan perasaan nyaman di hati, yang
membuat segala sesuatu nampak indah!
Memang
demikianlah, senang atau susah bukan datang dari luar, melainkan tergantung
dari keadaan batin kita sendiri, sungguh pun keadaan itu pun dipengaruhi oleh
keadaan luar. Senang mau pun susah masih berada dalam daerah terbatas, daerah
terkurung dari kesibukan si aku. Kalau si aku merasa diuntungkan, maka
senanglah batin, kalau si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin
seperti ini berada dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu
sendiri.
Pikiran
mencatat segala pengalaman, baik yang senang mau pun yang susah, lalu pikiran
menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai penikmat
kesenangan mau pun penderita kesusahan. Timbullah keinginan untuk mengulang
atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan. Keinginan ini yang lalu
menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di antara gelombang-gelombang
kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan kehidupan kita menjadi seperti
sekarang ini.
Setiap
manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan, dan demi kesenangan yang
dikejar inilah maka terjadi perebutan persaingan, permusuhan, kebencian,
cemburu, iri hati dan lain sebagainya. Pengejaran kesenangan memisah-misahkan
antara manusia, memupuk dan memperkuat si aku.
Keadaan
bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan, biar pun kita
biasanya menganggap bahwa kesenangan adalah kebahagiaan! Kebahagiaan berada di
atas senang dan susah, sama sekali tidak tersentuh oleh keduanya itu. Keadaan
bahagia adalah lenyapnya si aku, lenyapnya keinginan mengejar kesenangan serta
menghindari kesusahan yang hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang
terpengaruh oleh masa lalu, kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang
yang menyenangkan dan menjauhi kesusahan. Keadaan bahagia tidak dapat diulang-ulang,
merupakan sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau
terdapat cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya apa bila batin dalam
keadaan hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibukan pikiran atau si
aku yang selalu ingin senang!
Setelah
merasa yakin bahwa Bi Cu tak bisa melihatnya lagi, Sin Liong lalu mengerahkan
kepandaiannya, mempergunakan ginkang dan ilmu berlari cepat, berlompatan dan
berlari bagai seekor kijang muda saja menyusup-nyusup antara pohon-pohon dan
semak-semak menuju ke barat, ke arah dusun yang tadi dilihatnya dari atas
puncak pohon.
Biar pun
dusun itu kecil saja dan tidak ada restorannya, namun tidak sukar bagi Sin
Liong untuk mendapatkan sekedar roti gandum dan sebotol arak, bahkan dia juga
membeli satu stel pakaian yang masih baru milik seorang gadis petani yang tentu
saja mau menjual pakaiannya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada harga
sebenarnya. Akan tetapi untuk sepatunya, Sin Liong terpaksa hanya dapat
memperoleh sepasang sepatu bekas saja, bersama kaus kakinya yang masih baik.
Dengan girang pemuda ini lalu berlari cepat kembali ke dalam hutan.
Cuaca sudah
mulai gelap ketika dia sampai di dalam hutan itu. Hatinya berdebar penuh
kegembiraan membayangkan betapa akan senangnya hati Bi Cu bila melihat dia
kembali membawa makanan dan arak, bahkan membawa pula pakaian dan sepatu yang
cukup baik untuk dara itu. Dibayangkannya betapa wajah manis itu akan menjadi
semakin manis karena senyum yang cerah dan sepasang mata yang bersinar-sinar, dan
terutama sekali betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan penuh
kegembiraan.
Tiba-tiba
saja bayangan ini dihancurkan oleh berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu ada
seorang laki-laki berdiri di hadapannya, bertolak pinggang sambil memandang kepadanya
dengan senyum dikulum dan sinar mata penuh ejekan. Dapat dibayangkan betapa
kaget rasa hati Sin Liong ketika mengenal orang ini yang bukan lain adalah
Pangeran Ceng Han Houw!
"Pangeran...!"
"Liong-te,
apakah engkau sudah lupa menyebutku Houw-ko? Apakah engkau sudah lupa bahwa
kita adalah saudara angkat? Bukan main, di mana pun ada keributan, di situ
pasti ada engkau! Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau tahu-tahu bisa berada
di sarang Pek-lian-kauw, dan ketika aku melihat bayanganmu berkelebat, aku
segera mengenalmu. Sayang aku terlalu sibuk dengan tosu-tosu pemberontak itu
sehingga baru sekarang aku dapat menyusulmu."
"Houw-ko,
di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Kini engkau mengejarku
dengan maksud apakah?" tanyanya, harap-harap cemas karena dia tidak tahu
apakah Bi Cu sudah tertawan lagi oleh pangeran yang berwatak palsu ini.
"Ha-ha-ha,
adik angkatku yang selalu menjauhi wanita, yang tidak pernah mau menerima cinta
kasih wanita, yang alim dan suci, ternyata selalu menjadi pelindung wanita!
Ha-ha, aku yakin bahwa sekali engkau jatuh cinta, engkau akan menyerahkan
segala-galanya kepada wanita. Beberapa kali engkau mengorbankan diri untuk
wanita-wanita, untuk dara bernama Bi Cu itu, untuk Kui Lan dan Kui Lin,
ha-ha-ha, padahal engkau selalu menolak kalau kusuruh wanita-wanita cantik
melayanimu. Sungguh engkau mengherankan hatiku, Liong-te."
"Sudahlah,
aku tidak ingin berbicara tentang wanita. Sebetulnya, ada keperluan apa lagi
maka engkau menghadangku, Houw-ko? Masih belum puaskah hatimu telah menghinaku
di hadapan banyak orang kang-ouw? Aku telah mengaku kalah, aku juga telah
menerima penghinaanmu tanpa banyak melawan. Harap saja engkau tahu bahwa kini
di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dan aku tidak ingin
berurusan lagi denganmu."
Pangeran itu
menggeleng-geleng kepalanya sehingga hiasan di atas topinya yang terbuat dari
pada bulu itu bergerak-gerak melambai-lambai. "Tidak, Liong-te, aku belum
merasa puas. Engkau tentu mengerti, tempo hari aku menghinamu dengan sengaja
hanya untuk memancing kemarahanmu supaya engkau suka melawanku. Akan tetapi
engkau memang manusia aneh, luar biasa sekali, tahan hinaan, tahan ujian.
Engkau hebat dan inilah yang membuat aku penasaran, Liong-te. Sekarang, mau tak
mau, engkau harus melayani aku untuk bertanding mengadu ilmu. Ingin sekali aku
melihat apakah engkau betul-betul kalah olehku, bukan hanya pengakuan kosong
belaka!"
Sin Liong
merasa sebal dan muak. Dia menggelengkan kepalanya dan diam-diam hatinya merasa
lega. Agaknya pangeran ini belum sempat melihat Bi Cu. Inilah satu-satunya hal
yang terpenting baginya. Dia lalu berkata, "Pangeran Ceng Han Houw, di
depan banyak orang aku sudah menyatakan tidak akan melawanmu, sekarang pun, aku
mengulang lagi pernyataanku bahwa aku tidak mau mengadu ilmu denganmu. Ilmu
yang kupelajari bukan untuk diperlombakan, bukan untuk disombongkan. Kalau
engkau mau memborong gelar Pendekar Lembah Naga, atau Pendekar Nomor Satu di
Dunia, silakan saja, engkau boleh memilikinya semua. Aku tidak butuh akan
segala gelar itu. Nah, sekarang minggirlah dan biarkan aku lewat."
"Liong-te!
Begini keras kepalakah engkau? Dengar, sekali ini, tanpa seorang pun saksi, aku
memaksa engkau untuk kita saling menguji kepandaian. Mau tak mau engkau harus
melayaniku, kalau tidak engkau tetap akan kuserang sampai mati! Nah, kau
sambutlah ini!"
Pangeran itu
sudah menerjang dengan hebatnya! Ada angin dahsyat menyambar ketika dia
menyerang, padahal pukulannya itu masih jauh, dalam jarak hampir satu meter
namun hawa pukulannya telah menyambar sedemikian hebatnya.
Sin Liong
terkejut sekali. Maklumlah dia bahwa setelah mempelajari ilmu dari ouwyang Bu
Sek atau lebih tepat lagi, dari Bu Beng Hud-couw, pangeran ini telah menguasai
ilmu yang luar biasa. Pukulannya ini saja ampuhnya menggila!
Maka dia pun
cepat-cepat meloncat ke belakang, kemudian dengan hati-hati dia menaruh
bungkusan roti kering, botol arak dan pakaian berikut sepatu di bawah pohon.
Pada saat itu, Ceng Han Houw telah menerjangnya lagi, merasa penasaran karena
pukulan pertama dihindarkan oleh Sin Liong dengan loncatan jauh ke belakang.
Dia mengira
bahwa pemuda itu gentar menghadapinya. Gentar atau tidak, mau atau tidak sekali
ini Sin Liong harus melayaninya bertanding, kalau tidak, dia akan membunuhnya!
Dia maklum bahwa kalau belum dapat mengalahkan Sin Liong maka dia akan masih
terus merasa penasaran. Dia telah melihat kehebatan ilmu dari pemuda yang
dianggap sebagai adiknya ini, ketika Sin Liong mengamuk dan merobohkan
orang-orang kang-ouw dengan amat mudahnya.
Sin Liong
kini sudah siap. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain untuk menolak serangan
pangeran itu yang hendak memaksanya mengadu ilmu. Tentu saja dia tidak mau mati
konyol dan juga sekarang tidak ada alasan untuk mengalah lagi. Sudah
berkali-kali dia mengalah demi menyelamatkan nyawa orang lain, akan tetapi
sekarang mereka berdua bertemu di hutan itu tanpa saksi, tanpa ada hal-hal yang
memaksanya untuk mengalah, maka tentu saja dia tidak ingin membiarkan dirinya
dipukul sampai mati.
Begitu
pukulan Han Houw datang, pukulan yang dahsyat bukan main sebab kedua tangan
pemuda bangsawan itu maju dengan kecepatan kilat, yang kiri memukul dengan
tangan miring ke arah lehernya, yang kanan menusuk dengan jari tangan ke arah
ulu hatinya, dia pun cepat menggerakkan dua tangannya yang melakukan gerak dan
diisi dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.
"Plakk!
Plakkk!"
Keduanya
terpelanting!
"Bagus!"
Han Houw gembira bukan main.
Memang
dugaannya tidak kosong. Adik angkatnya ini kuat sekali sehingga tangkisannya
tadi mengandung tenaga besar yang membuat dia terpelanting, sungguh pun
tenaganya sendiri pun membuat Sin Liong terpelanting pula. Dengan demikian,
jelaslah bahwa dalam tenaga sinkang, mereka memiliki kekuatan seimbang.
Namun Han
Houw masih belum merasa puas. Tenaga yang dikeluarkannya tadi belum sepenuhnya,
baru tiga per empat bagian saja. Maka kini dia menggereng dan kembali dia
menubruk dengan serangan pukulan dahsyat, menggunakan seluruh tenaganya, dengan
kedua tangan dia mendorong ke arah dada Sin Liong untuk membikin pecah dada
lawan itu.
Sin Liong
mengerti bahwa kakak angkatnya ini merasa penasaran dan hendak mengadu tenaga.
Baiklah, pikirnya. Dia sudah mewarisi Thian-te Sin-ciang dari mendiang Kok Beng
Lama, maka kini dia pun menahan napas dan mempergunakan seluruh tenaganya dari
pusat di bawah perut, menyalurkannya kepada kedua lengannya dan dia pun
mendorong untuk menyambut hantaman lawan.
"Desssss...!"
Hebat bukan
main akibat adu tenaga keras lawan keras itu. Keduanya terjengkang dan
bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, dan sesudah keduanya meloncat
bangun, wajah Sin Liong pucat sekali akan tetapi pada ujung bibir kiri Ceng Han
Houw nampak setetes darah segar!
"Bukan
main! Tenagamu amat luar biasa!" kata Han Houw agak terengah.
"Houw-ko,
perlukah pertandingan gila ini dilanjutkan?"
"Haiiitttttt...!"
Pukulan yang
datang disertai loncatan kilat ini benar-benar dahsyat bukan main. Saat itu Sin
Liong sedang bicara, maka dia kurang cepat sehingga biar pun dia dapat
menangkis pukulan itu, tetap saja hawa pukulan yang amat berat menghimpit
pundaknya, membuat dia terpelanting kemudian bergulingan sampai beberapa meter
jauhnya.
Han Houw
girang sekali. Akalnya berhasil, yaitu mempergunakan kesempatan selagi Sin
Liong bicara tadi melakukan serangan kilat. Melihat tubuh lawan bergulingan itu
dia sudah meloncat dan mengejar, mengirim pukulan lagi ke arah kepala Sin Liong
ketika pemuda ini sedang bangun.
Sin Liong
yang sudah waspada itu cepat-cepat miringkan kepala dan menerima pukulan itu
dengan bahunya.
"Dukkk...!"
Tangan kanan
Han Houw tepat mengenai bahu kiri Sin Liong, akan tetapi tubuh Sin Liong tidak
bergoyang, sebaliknya pangeran itu yang terbelalak.
"Aihhhh...!"
Dia terkejut bukan main karena begitu tangannya yang memukul itu mengenai bahu
lawan, dia merasakan sesuatu yang lunak dan tiba-tiba tenaga sinkang-nya sudah
membanjir keluar memasuki tubuh Sin Liong melalui kontak antara tangannya dan
bahu adik angkat itu.
"Thi-khi
I-beng...!" serunya.
Mendadak
tangannya itu menjadi lemas dan tentu saja tangan yang tidak lagi dipenuhi hawa
sinkang ini tidak dapat disedot oleh Thi-khi I-beng maka dengan mudah Han Houw
sudah dapat menarik kembali tangannya tanpa mengerahkan tenaga. Ternyata dia
sudah mempunyai persiapan menghadapi ilmu mukjijat itu dan memperoleh ajaran
dari Hek-hiat Mo-li. Begitu tangannya terlepas, dia langsung mengirim tusukan
dengan dua jari tangan kiri mengarah kedua mata Sin Liong.
"Syuuuttt...!"
Untunglah
Sin Liong cepat melompat ke belakang. Kalau sampai kedua matanya terkena
tusukan itu, tentu akan menjadi buta, tanpa dia dapat melindungi matanya.
Ceng Han
Houw merasa semakin penasaran. Tadi dia telah mengalami kekagetan ketika Sin
Liong menggunakan Thi-khi I-beng dan meski pun sinkang-nya tidak sampai
tersedot banyak, namun dia menganggap hal itu sebagai kekalahan di fihaknya,
kalah segebrakan. Maka untuk menebus kekalahan ini, dia telah meloncat ke
depan, kembali menerjang dan memukul dengan tenaga pukulan Hok-liong Sin-ciang.
Inilah salah satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng
Hud-couw dan dia memperoleh petunjuk sendiri dari bayangan kakek dewa itu, maka
hebatnya pukulan itu bukan main.
Melihat
pukulan yang mengeluarkan suara sampai bercuitan itu, dengan gelombang hawa
berputaran menyambar ke arahnya, Sin Liong maklum bahwa pangeran itu
benar-benar menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan agaknya siap untuk
membunuhnya, karena itu dia pun tidak mau mengalah lagi. Dia pun langsung
mengeluarkan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menyambut pukulan lawan itu
sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.
"Dessss...!"
Kembali
mereka bertemu di udara karena keduanya meloncat, dan kedua tangan mereka
saling bertemu didahului hawa pukulan yang dahsyat bukan main dan akibatnya,
kembali keduanya terjengkang, terbanting keras dan bergulingan ke belakang.
Sepasang
mata Han Houw menjadi merah. Tadinya dia mengangkat dan memandang diri sendiri
terlalu tinggi. Tak pernah dibayangkannya bahwa dia sampai bisa dibuat
terbanting seperti itu, bahkan telah dua kali padahal baru bertanding dalam
beberapa gebrakan saja, sungguh pun lawannya juga sama-sama terbanting. Hal ini
dianggapnya tak masuk akal, bahkan menghinanya!
Maka sambil
mengeluarkan seruan nyaring melengking dia lalu meloncat dan menyerang lagi,
mengirim pukulan bertubi-tubi mengandalkan kecepatannya bergerak. Memang hebat
sekali pangeran ini. Gerakannya cepat bagaikan seekor burung walet yang
menyambar-nyambar, kedua kaki serta tangannya bertubi-tubi mengirim serangan ke
arah tubuh Sin Liong, mengarah bagian-bagian tubuh yang paling berbahaya karena
lemah.
Namun Sin
Liong menyambut dengan sama cepatnya dan mereka saling serang dengan amat
hebatnya. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan andai kata ada orang yang
menonton pertandingan itu, dia tentu akan menjadi bingung karena sukarlah
mengikuti gerakan mereka berdua itu dengan pandang mata, yang nampak hanya dua
bayangan yang menjadi satu, berkelebatan dengan kecepatan yang luar biasa.
Agaknya Han
Houw memang sengaja hendak menguras dan mencoba semua ilmu yang dimiliki oleh
adik angkatnya ini, maka dia tidak segera mempergunakan ilmu yang paling
diandalkannya, yaitu Hok-te Sin-kun. Ilmu ini merupakan andalan yang terakhir,
maka dia hendak menguji kepandaian Sin Liong dengan ilmu-ilmu yang lain lebih
dulu.
Dan
sebaliknya, walau pun di dalam hatinya dia mulai merasa penasaran kepada kakak
angkat yang wataknya aneh ini, namun Sin Liong masih tetap teringat budi yang
pernah diterimanya dari Han Houw, maka dia pun tidak mau mengeluarkan jurus
terampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, tetapi melayani pangeran itu dengan
ilmu-ilmu silat yang dahulu pernah dipelajarinya dari kakeknya, yaitu San-in
Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, kadang-kadang menggantinya dengan
pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang. Tiga macam ilmu silat ini adalah ilmu-ilmu
silat tingkat tinggi, maka cukuplah untuk dapat membendung semua serangan Han
Houw, bahkan dapat pula mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Sesudah
mereka bertanding selama seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau
menang, kedua lengan mereka sudah menjadi matang biru karena sering beradu
dengan kekuatan seimbang, dan daun-daun pohon banyak yang rontok karena
sambaran hawa pukulan mereka, Han Houw mulai merasa penasaran sekali. Kini
tahulah dia bahwa adik angkatnya ini benar-benar merupakan lawan yang amat
tangguh dan berat, dan kalau tidak dilenyapkan dari permukaan bumi, tentu akan
menjadi penghalang terbesar baginya untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di
dunia. Sebab itu dia mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmu andalannya
yang terakhir, yaitu Hok-te Sin-kun.
Akan tetapi
sebelum dia mulai, mendadak muncul sesosok bayangan yang tidak nampak jelas
dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Han Houw hanya melihat betapa
bayangan ini adalah seorang lelaki yang bertubuh kecil ramping, agaknya masih
seorang pemuda remaja. Akan tetapi pemuda remaja itu mengangkat sebongkah batu
besar dan kini pemuda itu melontarkan batu besar yang diangkatnya ke arahnya
ketika dia meloncat ke belakang menjauhi Sin Liong untuk memulai ilmunya yang
hebat, yaitu Hok-te Sin-kun!
Sin Liong
juga melihat pemuda remaja itu yang dia kenal sebagai Bi Cu! Karena memakai
pakaian pria, pakaian tosu Pek-lian-kauw, maka Han Houw tidak mengenalnya, apa
lagi cuaca saat itu mulai gelap, dan menyangka bahwa Bi Cu adalah seorang
pemuda remaja.
Sin Liong
melihat serangan yang dilakukan oleh Bi Cu untuk membantunya. Batu besar itu
lewat di dekatnya dan dia kemudian menggerakkan kedua tangan mendorongnya dan
membantu luncuran batu itu dengan tenaga sinkang-nya hingga batu itu melesat
dengan kekuatan yang amat hebat!
Sementara
itu, saat melihat pemuda remaja itu melemparkan batu besar ke arahnya, Han Houw
tersenyum. Tentu mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia
sudah akan memulai dengan Ilmu Hok-te Sin-kun, maka dia ingin mendemonstrasikan
kehebatan ilmu ini untuk membikin gentar hati Sin Liong.
Dia cepat
berjungkir balik dan tindakannya ini membuat dia tidak dapat melihat betapa Sin
Liong telah membantu lontaran batu oleh Bi Cu itu dengan dorongan tenaga
sinkang-nya. Kini batu meluncur cepat ke arah Han Houw yang sudah berjungkir
balik. Pangeran itu tiba-tiba menggerakkan kedua kakinya menyambut, dengan
tendangan yang amat keras.
"Darrrrr...!"
Batu besar itu hancur berantakan dan nampaklah debu mengepul tebal. Debu ini
menghindari pandangan mata Sin Liong, sehingga dia tidak tahu betapa ketika
kedua kaki Han Houw itu menyambut batu dan menendangnya hancur, tubuh pangeran
itu pun terdorong sampai kedua kakinya hampir rebah menyentuh tanah!
PANGERAN itu
terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa ‘pemuda remaja’ yang membantu
Sin Liong itu memiliki tenaga lontaran yang demikian kuatnya! Maka gentarlah
hatinya. Melawan Sin Liong saja masih belum tentu dia menang, apa lagi kalau
Sin Liong dibantu oleh seorang kawan yang demikian tangguh pula. Kalau dia maju
dikeroyok dua, agaknya sukar baginya untuk menang dan kalau kalah sungguh amat
memalukan. Maka dia lalu melompat pergi, mengandalkan keremangan cuaca dan
tebalnya debu. Dari jauh dia ‘mengirim’ suara melalui khikang,
"Sin
Liong, lain kali kita lanjutkan pertandingan ini!"
Sin Liong
tentu saja tidak menjawab dan juga tidak mengejar, hatinya merasa lega bukan
main dan dia mengusap keringat dari leher serta dahinya, mempergunakan ujung
lengan bajunya. Bi Cu menghampirinya dan memegang lengannya. Sejenak mereka
hanya saling berpandangan di antara keremangan senja yang mulai terganti oleh
malam.
"Aihhh...
Sin Liong, tidak kusangka... engkau ternyata memiliki ilmu kepandaian silat
yang hebat!" akhirnya Bi Cu berkata dan suaranya terdengar gemetar,
mukanya agak pucat dan napasnya memburu.
Sin Liong
tersenyum dan menyentuh pundaknya. "Kau kenapakah?"
"Aku
tadi menonton dari balik pohon, wah, bukan main gelisah hatiku. Ingin membantu
namun tak mungkin, kalian bertanding sedemikian cepatnya sehingga untuk melihat
mana engkau dan mana lawanmu pun tidak mungkin bagiku. Aku... aku sudah siap
dengan batu itu, kemudian kulihat dia meloncat mundur. Nah, baru aku berani
menyambitkan batu itu sekuat tenagaku."
"Dan
kau berhasil mengusirnya, Bi Cu. Sekarang ini, engkaulah yang menolongku!"
Sin Liong berkata.
"Hemm,
jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah menyaksikan betapa engkau melawan musuh
dan engkau hebat, aku malah tak mampu mengikuti gerakanmu. Dan lontaranku tadi,
entah bagaimana, batu itu sangat berat dan aku merasa khawatir tidak akan dapat
mencapainya. Dan dia begitu hebat, Sin Liong... hiiih, ngeri aku melihat betapa
dia yang berjungkir balik mampu menghancurkan batu sebesar itu. Aku tahu bahwa
kepandaianku tidak ada seperseratusnya orang itu, jadi tak mungkin dia lari
karena aku. Sin Liong, siapa sih dia?"
"Apa
kau tidak mengenalnya? Dia itu Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ah...!
Begitu lihaikah dia? Cuaca remang-remang dan dia bergerak sedemikian cepatnya
sehingga aku tidak dapat mengenalnya. Berbeda dengan engkau. Hanya melihat
sebuah tanganmu atau sebuah kakimu yang kadang-kadang nampak di antara bayangan
kalian yang menjadi satu saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa di
antara dua orang yang bertanding itu adalah engkau. Engkau hebat sekali, Sin Liong..."
"Sudahlah,
buktinya kalau tidak ada engkau, belum tentu aku sanggup mengalahkan dan
mengusir dia. Mari kita cepat pergi dari sini. Dengan adanya orang seperti dia
di sini, kita tidak akan pernah aman kalau belum pergi sejauhnya dari
dia." Sin Liong lalu mengambil bungkusan roti dan sebotol arak, juga
pakaian untuk Bi Cu yang tadi ditaruhnya di bawah pohon. "Ini makanan
kita, kita makan sambil berjalan saja, dan ini pakaian serta sepatu untukmu, Bi
Cu."
"Kau...
baik sekali, Sin Liong, terima kasih..."
Akan tetapi
Sin Liong yang masih tetap mengkhawatirkan kalau-kalau Han Houw muncul dan
mengganggunya lagi, langsung mengajak Bi Cu melanjutkan perjalanan, menyusup
makin dalam di hutan itu dan karena tadi Han Houw lari ke timur, maka dia pun
mengajak Bi Cu lari ke barat. Dia baru saja datang dari dusun di sebelah barat,
maka dia sudah agak mengenal jalan dan biar pun cuaca menjadi semakin gelap,
dapat juga mereka maju sampai akhirnya mereka tiba di tepi hutan dan mereka
terpaksa berhenti karena malam yang gelap telah tiba.
Mereka makan
roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlampau besar dengan
pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti pakaian,
dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang pemuda
itu.
"Sin
Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya dengan
tubuhku?" tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah
cahaya api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru.
"Mudah
saja, aku membelinya dari seorang gadis yang mempunyai bentuk tubuh seperti
tubuhmu."
"Engkau
memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?"
"Aku...
pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat jelas
olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok."
"Eh,
mengapa engkau memperhatikan kakiku?" tanya Bi Cu dengan polos, tanpa
maksud apa-apa, hanya memang karena heran mendengar ada orang memperhatikan
kakinya. "Kau maksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?"
"Kenapa,
ya? Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang aneh dan
kakimu... kakimu begitu mungil..."
"Ihh!
Jangan ceriwis kau...!" Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak
sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di
hatinya yang berdebar-debar.
"Kau
bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah..."
"Sudahlah,
aku mau tidur. Nanti tengah malam kau gugah aku, biar aku yang bergantian
menjaga dan engkau tidur."
Akan tetapi
tentu saja Sin Liong tidak pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya
Bi Cu terbangun dari tidurnya, dia marah-marah.
"Mengapa
engkau tidak mau menggugahku semalam? Kau membiarkan aku tidur pulas sampai
pagi! Kau... kau sungguh kejam!"
"Aku...?
Kejam...? Hee, apa maksudmu?" Sin Liong bertanya, merasa bingung karena
tak mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam.
"Kau
membiarkan aku tidur semalaman dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku
sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?"
Sin Liong
tercengang, lalu dia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku kejam dan kau
maafkan aku, Bi Cu."
Bi Cu
menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan memegang kedua tangan
Sin Liong. "Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya? Betapa kurang penerimanya
aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah
memakimu kejam!"
Tentu saja
Sin Liong menjadi semakin bingung, tetapi dia hanya senyum-senyum gugup saja.
"Ti...
tidak, Bi Cu, kau tidak jahat."
"Kau
heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam? Aku marah karena demi aku engkau
menderita. Aku marah terhadap diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja,
tidak bisa bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau
kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ahh,
kau maafkan aku, Sin Liong."
Senyum Sin
Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara istimewa!
"Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini. Sudah
sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku seorang laki-laki."
"Dan
kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, apa bila aku yang berjaga dan
tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, maka akan celakalah kita..."
"Hayo
kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tak enak sekali, karena aku
tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja."
Mereka
bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala
penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali!
Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong.
Pemuda ini
merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia segera menggenggamnya dan
berbisik, "Jangan takut, ada aku di sini."
"Tapi...
mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!"
Suara Bi Cu juga gemetar.
"Bi Cu,
bukankah kita ada berdua? Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?"
Ucapan ini
seperti meniupkan api ke dalam semangat Bi Cu, membuat matanya langsung
bersinar-sinar dan matanya kemerahan. Dia pun menggenggam keras tangan pemuda
itu lantas dia pun berkata, "Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku
akan mati dengan senyum kalau bersamamu Sin Liong!"
Ucapan dalam
saat yang berbahaya itu amat menusuk perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong
untuk merangkul kemudian mendekap kepala dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah
saja sehingga keduanya seolah-olah tenggelam ke dalam keadaan lain, ke dalam
dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan datangnya bahaya.
"Kejar,
cari dan tangkap mereka!" Tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenal
oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun
sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
khikang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah
berada di sebelah barat hutan.
Suara
teriakan itu menyadarkan mereka berdua. Sin Liong cepat menggandeng tangan Bi
Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara. "Lihat, ke sanalah kita harus
pergi!"
Wajah Bi Cu
berubah pucat. "Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat sulit, amat
terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sini pun nampak jurang-jurang
dalam!"
"Justru
itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan bersembunyi. Kalau
ke barat, apa lagi melalui dusun-dusun dan tanah datar, sangat sukar untuk
dapat menyembunyikan diri, lagi pula mereka mengejar dengan berkuda."
Bi Cu tidak
membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong menuju ke
bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar untuk dilalui, baru
naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke batu dan
mendaki tebing-tebing yang sangat sukar karena selain terjal, juga
tebing-tebing ini hanya terdiri dari batu-batu gunung yang kasar dan licin.
Tidak ada jalan umum, bahkan tak ada jalan setapak di situ karena daerah liar
ini tidak pernah dilalui manusia.
Melihat Bi
Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong berkata,
"Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!"
Akan tetapi
Bi Cu memandang ragu. "Tempat ini amat berbahaya, kenapa engkau justru
mengambil jalan ini, Sin Liong?"
"Sengaja
kuambil jalan ini agar para prajurit yang mengejar tidak dapat melaluinya.
Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan pengejaran,
dan jika hanya ada seorang lawan saja, aku masih dapat menanggulanginya.
Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih cepat kita dapat
pergi."
Bi Cu
menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia melihat
betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam!
"Tempat
ini begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah sangat sukar, apa lagi
harus menggendongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!"
Sin Liong
tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan demi
keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya.
Tiba-tiba
saja terdengar suara berdesing dan nampak cahaya hitam berkelebat. Sin Liong
terkejut, akan tetapi dia telah berhasil memukul benda hitam yang menyambar itu
dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan
tangan yang meluncur dari bawah.
"Sin
Liong, engkau hendak lari ke mana?!" Terdengar bentakan.
Pada saat
Sin Liong menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang,
sedangkan yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong
dapat mengenal empat orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin
terkejut. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek,
Kim-liong-ong Phang Sun, beserta seorang yang berpakaian panglima! Ternyata ada
lima orang pandai yang mengejarnya dan lemparan batu dari tempat sedemikian
jauhnya namun masih dapat menyambarnya dengan sangat tepat dan cepat saja sudah
membuktikan bahwa lima orang itu sungguh merupakan lawan yang amat berat.
"Celaka,
mereka telah menemukan jejak kita!" Sin Liong berkata dan tanpa banyak
cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat serta dipanggulnya tubuh dara itu
lalu dia pun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat
saja.
"Maaf,
Bi Cu, tidak ada lain jalan!" katanya.
Bi Cu
terbelalak, kemudian dia memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan
secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan
main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu ginkang dari pemuda yang tadinya
dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah
tingkatannya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Apa
bila dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini!
Kedua
pipinya berubah merah dan dia pun lalu berbisik. "Sin Liong, biarkan aku
berada di belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau
tidak perlu memondongku dengan sebelah lengan."
Sin Liong
merasa girang. Memang sebaiknya begitu sehingga dengan Bi Cu di belakang, dia
dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua tangannya untuk membela
diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu kemudian dia menggendong
Bi Cu di punggungnya.
Dara itu
merangkul lehernya dari belakang sambil mempergunakan kedua kakinya untuk
merangkul pinggangnya. Berdebar juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh
dara itu dengan hangat melekat di tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya
bayangan ini dan dia berlari terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya
mengerahkan ginkang mereka dengan secepatnya.
Tentu saja
Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini, dan dia terus memanjat puncak
bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas puncak itu ke
daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan
betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak itu
merupakan batu datar yang luasnya hanya beberapa tombak saja!
Puncak itu
dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari
situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan
batu-batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada
hanya mulut maut yang terbuka lebar!
Jalan naik
satu-satunya hanya melewati jalan yang digunakannya tadi, dengan memanjat
melalui dinding batu-batu bertumpuk-tumpuk. Dari puncak itu tak mungkin bisa
melarikan diri ke lain tempat, kecuali kembali lagi melalui jalan tadi!
Padahal, ketika dia menengok ke bawah, dia melihat Han Houw dan empat orang
temannya sudah mulai medaki puncak itu!
"Wah,
tidak ada jalan lari lagi!" katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan
merasa khawatir sekali. "Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi
Cu, jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan
kalah oleh mereka. Kurasa di antara mereka, yang terlihai adalah Pangeran Ceng
Han Houw. Kau jangan ikut-ikut, kau tunggulah saja di sudut sana, berlindung di
balik batu itu."
"Tapi...
tapi... aku harus membantumu!"
"Bi Cu,
terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya dengan
ilmu kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa untuk
mati sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan bila sampai engkau menyerahkan nyawa
dan mati konyol? Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan
melawan mereka mati-matian."
"Kalau
kau kalah...?"
Sin Liong
menggerakkan pundak. "Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku
kalah dan tewas..."
"Aku
akan mati bersamamu, Sin Liong!" seru Bi Cu.
"Aku
tak akan kalah, akan tetapi kau penuhilah permintaanku, jangan kau keluar dari
balik batu itu. Maukah kau berjanji?" Sin Liong memegang kedua pundak dara
itu.
Karena dia
maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan penentuan mati
hidupnya dan dia meragu untuk dapat menangkan mereka berlima, saat memegang
kedua pundak dara itu dia merasa bahwa seolah-olah dia tengah berpamit untuk
berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya!
Hal ini
menimbulkan keharuan hatinya, maka dia lalu menunduk dan mencium dahi yang
halus dan basah karena peluh itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul dan
terisak, kemudian dia melepaskan diri dan berlari ke sudut tanah atau batu
datar itu, bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di sudut.
Legalah hati
Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi andai kata
dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudahan mereka tidak
melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari tempat
itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang sekali.
Tidak
terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke atas
puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat sebab pengejaran tadi
dilakukan dengan sekuat tenaga dan memang pendakian puncak itu amat melelahkan.
Akan tetapi wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar pada saat dia
melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda itu dapat
meloloskan diri.
Dekat di
belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio, wanita yang masih tetap nampak muda
den cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk salib masih ada juga di
punggungnya. Sesudah kematian Lee Siang, pria pertama yang dicintanya, dia
memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan Tio, terutama
keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh gurunya sekarang,
namun juga untuk membalas kematian kekasihnya itu.
Kemudian
muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, yaitu Lam-hai Sam-lo yang kini
hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-ong
Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu Bi
Kun, dulu telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak
‘melindungi’ Sin Liong.
Mereka
berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, bagaikan lima ekor harimau yang
menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han Houw
tertawa.
"Ha-ha-ha-ha!
Liong-te, tidak kau sangka, ya? Engkau terjebak di tempat ini, sama sekali
tidak ada jalan keluar!" Pangeran itu memandang ke sekelilingnya, kemudian
kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.
"Pangeran,
engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat, bahkan hingga
sekarang pun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang engkau
mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa artinya
semua ini?" Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia penasaran,
bukan dengan maksud untuk minta dikasihani.
Mendengar
pertanyaan ini, pangeran itu tertawa lagi. Agaknya dia tidak ingin cepat-cepat
menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya itu, bagaikan
seekor kucing ingin lebih dulu mempermainkan sang tikus sebelum diterkam, untuk
memuaskan hatinya.
Dia sudah
begitu pasti bahwa sekali ini pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu
tidak akan dapat lolos lagi. Dia sendiri, walau pun belum tentu kalah oleh Sin
Liong, namun mungkin mengalami kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apa
lagi kalau Sin Liong dibantu oleh orang pandai. Akan tetapi kini di situ
terdapat suci-nya, dua orang dari Lam-hai Sam-lo yang pandai, dan seorang
panglimanya yang cukup tangguh.
Sin Liong
tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan jalan
buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah tidak
ada lagi.
"Sin
Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi?
Akan tetapi biarlah, supaya jangan sampai engkau mati penasaran sehingga
arwahmu menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik
adalah karena aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali
melihat ilmu silatmu hingga aku juga ingin sekali mempelajarinya. Di dalam hal
ini aku berhasil, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh
dibandingkan ilmu-ilmu yang kau kuasai. Kemudian, kenapa aku mengejar-ngejarmu
dan ingin membunuhmu? Jelas pula! Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu
dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah cukup bagiku untuk menangkap atau
membunuhmu karena engkau adalah keturunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh
pemerintah. Kemudian, engkau menjadi penghalang bagiku untuk mencapai gelar
jagoan nomor satu di dunia dan gelar Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah
maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan dalam persoalan ke dua ini pun aku
berhasil, karena sekarang ini engkau sudah tersudut dan tidak akan mampu lari
lagi! Ha-ha-ha!"
"Manusia
she Cia, telah kupersiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!" terdengar
Kim Hong Liu-nio berkata halus, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung
kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.
"Bocah
setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!" terdengar
Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong
Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja.
Mendengar
ini, Sin Liong mengerutkan alisnya lalu memandang kepada Han Houw, akan tetapi
pangeran itu hanya tersenyum-senyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah
bertindak curang, mengabarkan kepada dua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa
dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah
pangeran itu sendiri.
Akan tetapi,
dia tahu bahwa membantah pun tidak akan ada gunanya. Dua orang kakek itu tentu
lebih percaya kepada sang pangeran dari pada kepadanya, maka dia pun diam saja
dan hanya sepasang matanya makin mencorong penuh kegeraman.
"Cia
Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!" panglima
yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula.
Pada saat
itu pula terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata ditujukan
ke sana. Ternyata Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak, mendengar
semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan lagi dia
bergerak untuk mengintai.
Hati siapa
yang tidak akan menjadi terkejut mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di
waktu kecilnya terlunta-lunta itu adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang
namanya sudah menggetarkan langit dan bumi? Mendengar kenyataan yang amat
mengejutkan sekaligus mengherankan ini membuat dia merasa bangga akan tetapi
juga sangat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka dia bergerak dan hendak mengintai.
Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam Sin Liong kesemuanya adalah
orang-orang yang sudah mempunyai ilmu sedemikian tingginya sehingga sedikit
gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh pendengaran mereka!
"Chan-ciangkun,
kau tangkap orang di belakang batu itu!" Han Houw berseru keras.
"Baik,
pangeran!"
Panglima she
Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan sepasang matanya lebar.
Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa seperti tokoh cerita Sam-kok
yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia gembira menerima perintah ini, seolah-olah
memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan membuat jasa.
Sementara
itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia sudah ketahuan dan
percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang tadinya dia tidak
ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di samping Sin Liong!
Apa lagi sekarang dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah keturunan
Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati!
Muncullah
dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun terbelalak
dan merasa heran, bingung, juga kecewa. Mana mungkin dia, seorang panglima
besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara remaja
seperti itu?
Sedangkan
Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut, kemudian tertawa bergelak sesudah
mengenal gadis itu. "Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal sebagai pria
alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita cantik! Tangkap
dia, Chan-ciangkun!"
Karena
perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun cepat menubruk ke depan hendak
menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekali, maka sekali sambar saja
dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu.
"Kerbau
bau, lepaskan aku!" bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar.
"Plakk!"
Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan Bi Cu.
Tentu saja
Chan-ciangkun menjadi marah bukan kepalang. Dia dimaki kerbau busuk dan bahkan
pipinya ditampar oleh bocah ini!
"Perempuan
liar kau!" Tangannya bergerak dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi
Cu terpelanting dan untung tubuhnya menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia
akan terguling ke dalam jurang yang berada di dekat batu besar itu!
"Keparat!"
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong sudah tiba di
depan si panglima yang sudah hendak mengejar kembali, entah untuk memukul lagi
atau menangkap.
Melihat
pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun yang marah dan merasa malu
itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan memang dia ingin membuat jasa,
maka dia pun langsung menghantamkan kedua tangan secara bertubi-tubi ke arah
kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat dan amat kuatnya karena
memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang telah melatih kedua
lengannya hingga menjadi matang biru dan luar biasa kerasnya.
Akan tetapi,
Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria ini,
sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-te
Sin-ciang.
"Krekk!
Krekk!"
Panglima
Chan mengeluarkan rintihan yang bercampur teriakan kaget. Dua pergelangan
lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia
terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung
tangan kiri.
"Desss…!"
Tubuh
perwira tinggi itu terpelanting lantas terbanting keras. Dia tidak dapat bangun
lagi karena sudah pingsan setelah terkena tamparan keras yang membuat tulang
rahangnya retak-retak itu!
Akan tetapi,
pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan dekat dan
pada waktu Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun, atas isyarat Han Houw, mereka
berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya kepada
Sin Liong!
Han Houw
yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu, sudah berjungkir balik dan
menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi kaki dan kedua kakinya
mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua tangan yang melakukan
pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio sudah
menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke arah sembilan jalan
darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara bertubi-tubi.
Hai-liong-ong
Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan pedangnya yang ganas,
dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, ada pun si kecil pendek Kim-liong-ong
Phang Sun telah mengandalkan ginkang-nya, meloncat tinggi lantas menyerang dari
atas mempergunakan pukulan dengan tangan kirinya yang bergelang emas tebal!
Dalam satu gebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang menyerangnya
sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya dan dahsyat!
Tentu saja
Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan tenaga
Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata tajam.
Sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan sehingga
ujung sabuk itu membalik, lantas pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan
Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya sehingga
membuat pedang itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu
mencelat ke belakang.
Akan tetapi,
pada saat itu kedua kaki Han Houw sudah melakukan tendangan-tendangan aneh
dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong cepat menggunakan kedua tangannya untuk
menangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua kaki itu menyambar
hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu ini aneh sekali.
Selagi dia
hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, tiga orang yang lain telah
menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak dan menangkis. Pada saat
itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking lantas tubuhnya yang
berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh ke arah Sin
Liong yang sedang sibuk menghadapi serbuan tiga orang lihai itu.
Sekali ini
Sin Liong menjadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke belakang,
akan tetapi di belakangnya, hanya sejauh satu tombak, adalah jurang yang amat
dalam. Maka terpaksa sekali dia menangkis lagi, berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua tangannya didorongkan
ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu. Hawa yang sangat
dahsyat menyambar dari kedua telapak tangannya, menangkis semua serangan itu.
Terjadilah
pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw yang
berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus talinya, juga Kim
Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu
terjengkang dan bergulingan, mereka seperti dilanda angin taufan yang amat
kuat. Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang disatukan itu,
Sin Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya
melayang ke dalam jurang!
"Sin
Liong, aku ikut...!" Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa
ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan mempergunakan
tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya
sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong.
"Bi
Cu...!" Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget
melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya.
Empat orang
itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua orang itu
meluncur turun dengan amat cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi pasti
akan menyambut mereka berdua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa
bergelak sambil memandang langit.
"Ha-ha-ha!
Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, sekarang akulah Pendekar Lembah Naga!
Inilah Pendekar Lembah Naga!" Han Houw menepuk-nepuk dadanya sendiri
sambil tertawa-tawa.
Baru
sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat membenci Sin Liong,
semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati. Meski pun dia seorang
pangeran, namun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian gagah berani,
demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar besar dari
Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apa lagi setelah dia tahu bahwa Sin Liong
mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi!
Kini
satu-satunya saingan baginya telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau
dekat dengan Sin Liong! Pemuda itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu
birahi, begitu tenang dan dapat menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah
tiada, telah hancur lebur di dasar jurang yang tak nampak itu.
***************
"Sudahlah,
jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau
menangis."
Mereka duduk
di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepala di dada
Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu.
Akan tetapi
Sun Eng menangis makin sedih. "Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa
hatiku, koko..." Dia masih terisak-isak. "Melihat ada seorang pria di
dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku...
aku seorang hina yang ternyata sekarang malah membuat hidupmu menderita,
menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu,
koko..."
"Sudahlah,
Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak
peduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi!
Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau pendapatnya tidak
tepat, ingin menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari
mereka."
Sun Eng
merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya itu,
matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh kemesraan
dan terbuka sehingga sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara
yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk bermesraan, di
mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.
"Hanya
maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!"
Sun Eng
memegang tangan Lie Seng, lalu menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh
perasaan terharu dan bersyukur. "Lie-koko, engkau dari keluarga besar,
engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, dan seluruh keluargamu
terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau sudah mengangkat
aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi
untukku..."
"Sudahlah,
Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri."
"Tidak,
koko, akan tetapi aku selalu merasa rendah diri bila aku tidak melakukan
sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diriku, melainkan
setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan
aku..."
Lie Seng
mengecup bibir itu lantas bertanya dengan suara main-main, "Habis, apa
yang akan kau lakukan, sayang?"
"Entahlah,
koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi
keluargamu. Harus!" Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal
tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu
Lie Seng.
Lama setelah
gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah
duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan
Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.
"Lie-koko,
setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke mana kita
sekarang hendak pergi?" terdengar Sun Eng bertanya halus.
"Kita
akan ke Yen-tai!"
"Yen-tai
di timur itu, di pantai?"
"Benar,
Eng-moi, kita ke sana."
"Mau
apa ke sana, koko? Ke rumah siapa?"
"Aku
mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah
dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha besar,
maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci supaya bisa mendapatkan
pekerjaan di sana."
Sun Eng
girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie
Seng lalu menceritakan siapa suci-nya itu. "Dia adalah puteri dari paman
Yap Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda,
peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu
adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan."
Sesudah
banyak bercerita mengenai Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak
kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Semakin kagum sajalah hati
Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri
dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan.
Mengingat
akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri
pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andai kata tidak
tentu dia pun akan termasuk ‘keluarga besar’ dari para pendekar itu, sebagai
cucu murid ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia semakin merasa bahwa dengan
masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia
merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal
putih yang bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng,
terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia
berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biar pun hatinya merasa tidak
enak dan merasa rendah diri.
Tentu saja
Yap Mei Lan menyambut kedatangan sute-nya itu dengan hati girang sekali.
Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun
Eng dipersilakan masuk kemudian suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu
mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira
sekali akan kedatangan sute-nya. Bagaimana pun juga, Lie Seng bukan hanya
sute-nya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya.
Bukankah ibu kandung sute-nya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya
sendiri?
"Bagaimana
kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In
Hong dan paman Bun Houw?" pada saat mereka makan minum sambil
bercakap-cakap, Mei Lan tak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan
empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah
khawatir.
Berdebar
rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak
menceritakan mengenai keadaannya dan mengenai perselisihannya dengan
keluarganya tentang diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia
dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat
sehingga suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan
hanya menduga, melihat sikap serta gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa
agaknya ada apa-apa di dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang
ibunya!
"Mereka...
mereka semua baik-baik saja, suci. Kini mereka tinggal dalam keadaan aman di
Yen-ping..."
"Ehhh...?"
Yap Mei Lan kelihatan heran kemudian saling pandang dengan suaminya yang tampan
dan yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan
alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu dia pun ikut bicara.
"Seng-te,
sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?"
"Kurang
lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat
masih berada di sana dengan aman... ehhh, ada apakah?" Lie Seng bertanya,
hatinya terasa tidak enak.
"Ah,
kalau begitu engkau belum tahu, sute," kata Mei Lan. "Mereka sekarang
telah pindah lagi, sesudah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami
menerima berita dari ayah tentang hal itu." Mei Lan lalu menceritakan
berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong.
Ternyata
keluarga pendekar yang telah meninggalkan Yen-ping lalu diam-diam melarikan
diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam
mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya.
"Mereka
diserbu musuh? Ahh, lalu... mereka kini berada di mana?"
"Di
Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang."
Mei Lan lalu
menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal.
"Kalau
aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi
musuh!" katanya.
Diam-diam
Sun Eng merasa gelisah sekali sekaligus juga menyesal, karena kekasihnya itu
terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!
"Sudahlah,
sute. Mereka kini sudah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh
dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah
mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan suamiku
yang sedang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri bersama adik
Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk
menengok suci-mu ini?"
Lie Seng
menarik napas panjang. Sekarang saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus
menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di
Yen-tai ini.
"Sebetulnya
amat sulit bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku
telah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan
akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap
engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku."
Tentu saja
Mei Lan terkejut bukan main mendengar kata-kata sute-nya yang dikeluarkan
dengan nada berduka itu. "Sute, apakah yang sudah terjadi? Tentu saja aku
akan suka membantu sedapat mungkin!"
Tentu saja
agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan
melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata,
"Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di
hadapanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu..."
"Ah,
tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar)," Kemudian dia menoleh
kepada Sun Eng lalu berkata, "Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita
kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi
Beng."
Sun Eng
balas memandang kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari
duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, "Marilah, adik Sun Eng,
kita bicara di dalam."
Dua orang
wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar Mei Lan.
Sesudah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa dan berceritalah dia kepada
Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng, bahwa ibu kandungnya dan
pamannya telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka.
"Mereka
itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw
dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria.
Ibu tak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah
persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan
mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana lagi, maka aku mengajaknya ke
sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama
Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat
meresmikan pernikahan kami."
Souw Kwi
Beng mengangguk-angguk dan kedua alisnya yang tebal berkerut. Dia sendiri
merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang
pernah tergoda oleh kaum pria! Dia masih belum dapat membayangkan sampai berapa
jauhnya kata ‘menggoda’ itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan
lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta
kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.
"Tentu
saja aku sanggup menolongmu dengan pekerjaan yang kau perlukan, dan supaya
engkau dapat tinggal di kota ini pun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur
sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemm... agaknya hal itu amat
sukar. Kurasa suci-mu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja takkan
berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu serta ayah kandung
isteriku untuk meresmikan pernikahanmu, seakan-akan mereka orang-orang tua itu
kini sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin."
Lie Seng
menarik napas panjang. "Andai kata tak mungkin pun tak mengapa. Kami telah
mengambil keputusan untuk hidup bersama, dinikahkan secara resmi atau pun
tidak, bagi kami sama saja!" Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan
tetapi juga mengandung keputusan nekat.
Sementara
itu, di dalam sebuah kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi
berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa
ditutup-tutupi lagi....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment