Wednesday, September 5, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Lembah Naga Jilid 38



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo    
     Serial Pendekar Lembah Naga
                Jilid 38


Setelah merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu saja, timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan tadi malam hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, sebab itu, orang-orang seperti ini patut dihajar, bahkan patut dibunuh!

Melihat mereka bertiga menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk tamparan yang dia tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali tidak mau mengelak dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan kepala agar mukanya jangan sampai terkena pukulan.

"Plak! Plak! Plak!"

Pukulan atau tamparan tiga orang tosu itu semuanya mengenai dada, pundak, dan leher. Akan tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika tangan mereka seperti mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka ketika tangan mereka itu melekat tanpa dapat ditarik kembali lantas sinkang mereka membanjir keluar melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu.

Mereka meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, maka makin hebat lagi tenaga rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru tergagap-gagap,

"Thi... khi... i... beng...!"

Mereka pernah mendengar dari guru mereka mengenai ilmu yang mukjijat ini, akan tetapi belum pernah melihat sendiri ilmu yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng itu. Akan tetapi kini, merasakan betapa tenaga sinkang mereka memberobot keluar tanpa dapat dicegah, mereka teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan setengah mati. Makin lemaslah mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena kehabisan tenaga.

Tiba-tiba timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang, pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat akan tetapi kejahatan mereka itu belum merupakan alasan yang kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong alias malaikat pencabut nyawa! Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka patah-patah tulangnya.

Untuk menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sinkang mereka dengan jalan mempergunakan ilmu Thi-khi I-beng kemudian menampar remuk tulang-tulang kedua pundak mereka. Dengan demikian, meski pun kesehatan ketiga orang itu akan dapat pulih lagi, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi ahli-ahli silat yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapa daksa dan lenyap kekuatan mereka.

"Sin Liong..."

Pemuda itu cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak, maka cepat dia menghampiri dan berlutut di dekatnya. "Bi Cu, kau sudah siuman...?" teriaknya. "Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat yang sedang mengejar kita!" Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.

"Ihhh...!" Bi Cu menjerit dan tangan kanannya menampar.

"Plakkk!"

Pipi kiri Sin Liong kena ditampar dengan keras karena memang pemuda itu selain sama sekali tidak menyangka-nyangka, juga tidak mau menangkis. Dia terbelalak memandang dengan heran dan menyangka bahwa obat bius semalam masih mempengaruhi otak dara ini sehingga melakukan tamparan dalam keadaan masih belum sadar benar!

"Manusia cabul kau! Mata keranjang kau! Ceriwis kau!"

Mendengar caci-maki Bi Cu dan melihat betapa Bi Cu dengan susah payah menggunakan dua telapak tangan untuk menutupi bagian-bagian depan tubuhnya kemudian cepat-cepat membalikkan tubuh membelakanginya, tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian dara itu memperlihatkan dua buah bukit pinggul yang indah bentuknya, yang dapat kelihatan melalui pakaian dalam yang tipis itu, mengertilah Sin Liong dan mukanya berubah merah sekali.

"Bi Cu, jangan salah mengerti," katanya lirih sambil menunduk, tidak berani terlalu lama memandang dua bukit menonjol beserta garis punggung itu, "ketahuilah bahwa ketika aku melarikanmu dari Pek-lian-kauw, engkau sudah berada dalam keadaan seperti sekarang ini sementara aku tak mempunyai banyak waktu untuk mencari pakaian untukmu karena keadaan amat berbahaya dan semalam di dalam hutan ini... tak mungkin mencari pakaian untukmu dan sekarang..."

"Ihh, cerewet amat sih! Yang mereka pakai itu apa lagi kalau bukan pakaian!" bentak Bi Cu.

Sin Liong menoleh ke arah telunjuk yang menuding itu dan hampir dia menampar kepala sendiri. Mengapa dia sebodoh itu? Sin Liong tertawa lalu menghampiri seorang di antara tiga tosu tadi yang paling kecil tubuhnya, kemudian dengan paksa dia lalu menanggalkan pakaian luar tosu ini yang sudah tak mampu bergerak lagi dan hanya dapat menyeringai menahan nyeri ketika baju dan celana luarnya dilucuti karena kedua pundak yang hancur itu membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan.

"Nah, pakailah ini, Bi Cu."

Bi Cu tidak banyak cakap lagi, segera menyambar pakaian itu kemudian lari ke belakang batang pohon besar untuk memakai jubah serta celana yang masih kebesaran untuknya itu. Diam-diam Sin Liong menahan ketawa. Tinggal merangkapkan jubah dan celana itu di luar pakaian dalamnya saja, kenapa harus bersembunyi di balik pohon segala?

Tak lama kemudian Sin Liong melihat Bi Cu muncul dari balik pepohonan dan kembali dia harus menahan ketawanya karena memang Bi Cu nampak lucu sekali dalam pakaian tosu yang kebesaran itu. Biar pun dia sudah menahan-nahan ketawanya, tetap saja mulutnya bergerak-gerak meruncing dan hal ini nampak oleh dara itu.

"Ehh, ehh, kenapa kau mecuca-mecucu seperti itu? Kau mentertawakan aku, ya?"

"Ti... tidak, hanya... kau lucu sekali dalam pakaian itu, Bi Cu."

"Buatmu lucu, buatku sama sekali tidak lucu! Ehh, Sin Liong, apa sih yang terjadi dengan diriku? Yang teringat olehku hanya bahwa aku ikut bersama Kim Hwa Cinjin dan diambil murid olehnya."

"Engkau telah terjebak ke dalam perangkap yang berbahaya, Bi Cu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak, jahat dan cabul. Aku mendapatkan dirimu pingsan akibat obat bius, dan hampir saja engkau dinodai oleh tiga orang keji itu!" Sin Liong menuding ke arah tiga orang tosu yang masih rebah di atas tanah, salah seorang di antara mereka hanya memakai cawat saja karena pakaiannya telah dilucuti.

Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan matanya terbelalak, membayangkan kemarahan. "Apa?! Bukankah mereka itu murid-murid Kim Hwa Cinjin...?"

"Benar, dan agaknya engkau diambil murid dengan maksud yang amat kotor dan keji."

"Keparat! Kalau begitu mereka ini patut dibunuh!" Bi Cu melangkah maju, akan tetapi Sin Liong cepat memegang tangannya.

"Sudahlah, Bi Cu. Mereka sudah terhukum dan mereka selanjutnya tak akan mampu lagi mengganggu wanita. Mari kita cepat pergi karena masih banyak musuh yang mengejar, bahkan ada pasukan pemerintah..."

Mendengar ini, wajah Bi Cu sudah berubah pucat dan dia cepat memegang tangan Sin Liong. "Pasukan? Wah, ke mana kita harus lari?"

"Mari kau ikut denganku!" Sin Liong menggandeng tangannya kemudian mengajaknya lari menyusup ke dalam hutan yang lebih gelap.

Mereka berlari terus, akan tetapi tiba-tiba dari depan terdengar suara hiruk-pikuk banyak orang sehingga terpaksa dia mengambil jurusan lain dan terus melarikan diri, makin lama semakin jauh ke dalam hutan lebat yang sama sekali tidak dikenalnya.

Pada senja hari itu, terpaksa mereka berhenti di bawah pohon yang lebat di tengah hutan karena semenjak tadi Bi Cu sudah mengomel dan mengeluh saja karena lapar dan lelah. Sehari itu mereka berlari-larian terus tanpa berkesempatan makan, bahkan tidak sempat bercakap-cakap karena lelah.

Sekarang tanpa berkata apa-apa lagi Bi Cu sudah menjatuhkan diri ke bawah pohon itu, bersandar pada batang pohon melepaskan lelah dengan mata terpejam. Kasihan sekali rasa hati Sin Liong melihat dara ini, maka dia pun lalu duduk di atas tanah di depannya.

Dara itu diam saja, hanya bersandar dengan wajah pucat dan mata terpejam, kelihatan amat lelah dan menderita. Kerutan alisnya membuat Sin Liong ragu-ragu untuk bertanya, karena kerutan itu membayangkan bahwa Bi Cu kembali sedang ngambek.

Agaknya Bi Cu merasakan pula keheningan ini. Dia membuka kedua matanya, bertemu pandang dengan Sin Liong, menarik napas panjang, bibirnya bergerak-gerak namun tidak mengeluarkan suara sampai akhirnya sepasang mata yang jeli itu terpejam kembali.

Sin Liong menelan ludah, memberanikan hatinya. Suasana itu sangat mencekam hatinya, karena biasanya, ketika berdua dengan Bi Cu amatlah gembira karena kelincahan serta kejenakaan dara itu, dan sekarang dara itu demikian pendiam dan dingin.

"Bi Cu... sudah lama aku mencarimu..."

Bi Cu merapatkan pelupuk matanya. Ada sedu sedan naik dari dadanya. Ingin sekali dia memaki, ingin dia menjerit, mencela mengapa baru sekarang Sin Liong muncul, padahal dia sudah mencarinya sejak mereka berpisah, betapa dia amat merindukan kehadiran Sin Liong, betapa dia amat membutuhkan Sin Liong untuk menemaninya, untuk membantu dirinya kalau menghadapi bahaya. Dan sekarang, baru sekarang pemuda itu muncul, dan dalam keadaan hatinya penasaran itu tiba-tiba pemuda itu menyatakan bahwa telah lama mencarinya. Akan tetapi dia menahan kegemasannya, dan dengan suara datar dingin dia bertanya tanpa membuka matanya,

"Mau apa kau mencariku?"

Sin Liong mengangkat muka memandang wajah yang menunduk dan mata yang terpejam itu, dia merasa heran bukan main. Bukankah selama dia mencari Bi Cu, di mana-mana dia menemukan keterangan bahwa dara itu pun sedang mencari-carinya? Mengapa dara itu kini kelihatan marah dan berduka?

"Bi Cu, tentu saja aku mencarimu. Sejak kita berpisah, aku tak pernah melupakanmu, Bi Cu. Aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu, mengingat betapa engkau hidup sebatang kara di dunia ini, aku menjelajah sampai jauh dan akhirnya baru aku dapat keterangan tentang engkau beberapa hari yang lalu dan..."

Tiba-tiba Sin Liong menghentikan kata-katanya. Dia bengong memandang dara itu yang ternyata kini telah menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di balik kedua tangan dan dari celah-celah jari tangannya menetes air matanya. Sekarang Bi Cu telah menangis terisak-isak dan sesenggukan seperti anak kecil!

"Ehh, kau kenapa Bi Cu...?"

Bi Cu mencoba mengangkat mukanya. Matanya masih terpejam dan basah oleh air mata yang bercucuran, lalu dengan susah payah dia berkata di antara isaknya,

"Mengapa kau... kau tidak membiarkan aku mati saja...? Kenapa engkau menolongku...? Hu-hu-huk, aku memang anak... celaka... kenapa kau pedulikan aku? Kau orang kejam...! Kau telah memaksaku pergi... kau kira aku takut bahaya dan takut mati? Kau menyuruh aku pergi... hu-huukk... aku lalu terlunta-lunta, mati-matian mencarimu... hu-huuuhh... dan sekarang kau masih... pura-pura mencariku...?"

Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia mendekat, menyentuh pundak dara itu. "Bi Cu, ketahuilah bahwa dulu itu aku menyuruhmu pergi karena engkau terancam bahaya hebat. Kau masih belum tahu alangkah jahatnya pangeran itu. Aku melakukan semua itu hanya demi keselamatanmu, Bi Cu."

"Kenapa...? Kenapa engkau pedulikan keselamatanku...?"

"Entahlah. Mungkin karena engkau sebatang kara, seperti juga aku. Dan aku... senang sekali berada di dekatmu, melakukan perjalanan bersamamu, Bi Cu."

Bi Cu makin mengguguk dan kini dia merangkul, menangis di pundak Sin Liong. Pemuda itu menjadi terharu, tak dapat menahan kedua matanya menjadi basah dan dia mengusap rambut kepala dara itu. "Sudahlah, Bi Cu, jangan menangis. Bukankah kita sudah saling jumpa dengan selamat?"

"Sin Liong, jangan... jangan tinggalkan aku lagi..."

"Tidak! Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."

Isak tangis itu mereda dan mereka masih saling rangkul. Pada saat itu tidak ada sedikit pun perasaan cinta asmara di dalam batin mereka, yang ada hanyalah perasaan saling membutuhkan dan saling menyukai bagaikan kakak dan adik, atau bagaikan dua orang sahabat yang senasib sependeritaan saja.

"Kau akan mengantarku ke utara untuk mencari musuhku...?"

Sin Liong terkejut dan teringatlah dia akan ocehan yang keluar dari mulut Kui Hok Boan ketika orang itu menjadi miring otaknya. Mendengar ucapan yang keluar dari orang yang terserang tekanan batin sehingga hampir gila itu, mudah diduga bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu tentulah Kui Hok Boan! Akan tetapi bagaimana dia dapat berterus terang kepada Bi Cu tentang hal ini?

Kalau Bi Cu tahu tentang hal itu, tentu dara ini akan berusaha membalaskan kematian ayahnya, dan kalau itu terjadi, dia sendiri yang akan menjadi bingung. Mungkinkah dia membiarkan orang lain atau Bi Cu sekali pun membunuh Kui Hok Boan lantas dengan demikian akan menyusahkan hati kedua orang adik tirinya, Kui Lan dan Kui Lin yang disayangnya? Sin Liong menjadi bingung akan tetapi dengan suara lirih dia menjawab,

"Ya, tentu saja..."

Kembali hening dan Bi Cu masih bersandar pada pundak Sin Liong. Tangisnya terhenti dan tiba-tiba saja terdengar suara lirih, suara berkeruyuk yang hanya dapat didengar oleh mereka berdua saja.

Suara lirih ini seperti suara gaib yang sama sekali melenyapkan kedukaan dan keharuan hati mereka, yang dalam seketika memulihkan watak Bi Cu yang sebenarnya. Tiba-tiba saja dara yang tadi menangis sesenggukan sedemikian sedihnya, kini tertawa begitu geli dan gembira, bebas lepas dan dia telah melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Sin Liong.

Pemuda ini pun tersenyum, memandang wajah Bi Cu penuh pesona. Siapa tak akan ikut tersenyum gembira melihat dara seperti ini? Tadi di waktu menangis, wajah dara itu tentu akan meluluhkan hati siapa pun juga, akan tetapi setelah sekarang tertawa, dengan mata yang masih agak kemerahan dan pipi agak basah itu bersinar dan berseri-seri, bibir yang merah itu terbuka sedikit dengan sopan, nampak sedikit ujung deretan giginya pada saat tertawa, membentuk lesung pipit pada sebelah kiri mulutnya saja, ahh, betapa manisnya, betapa cerahnya, seolah-olah matahari yang baru muncul dari balik awan hitam yang tadi menghalanginya!

"Ihhh, tak tahu malu!" Bi Cu berseru sambil tertawa geli.

"Apa yang tak tahu malu?" Sin Liong bertanya, hanyut dalam kegembiraan dara itu.

"Hi-hik-hik, masih tanya lagi. Perutmu yang tak tahu malu, siapa lagi! Aku mendengar ada ayam jantan berkeruyuk di dalamnya tadi!"

Sin Liong tertawa. "Dan aku pun mendengar ada ayam betinanya yang berkotek, entah dalam perut siapa! Tak mungkin dalam perutku ada ayam jantan dan ayam betinanya!"

Bi Cu tertawa dan menutup mulutnya. "Dalam perutku! Memang perut kita keduanya tak tahu malu!"

Melihat dara itu kini telah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk di atas akar pohon. "Bi Cu, selama ini engkau ke mana sajakah? Bagaimana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?"

Wajah Bi Cu masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang. "Ahh, semua ini gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, kemudian banyak hal menimpa diriku." Dia lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia hampir saja ditangkap oleh pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim Hwa Cinjin dan diajak pergi ke Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.

"Hemm, Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia telah berjanji tak akan mengganggu engkau, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu? Apakah kau tidak tahu bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?"

"Aku tidak tahu, andai kata aku tahu pun agaknya hal itu tidak mempengaruhi, karena aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong, dia yang membunuh belasan orang prajurit itu, dan dia begitu lihai sehingga aku kagum sekali. Entah kenapa, biar pun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi muridnya, akan tetapi ternyata aku telah menerimanya dan turut dengan dia ke pusat perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ahh, mereka harus dibunuh!" Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.

Akan tetapi Sin Liong sudah memegang lengannya. "Tenanglah, mereka sudah terhukum dan mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan pemerintah."

"Ehh, apa maksudmu?"

"Engkau diberi obat bius hingga tak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum terlambat dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu keluar dari sarang Pek-lian-kauw, di malam itu pula Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang prajurit yang telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Kalau yang memimpin penyerbuan pasukan itu Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos."

"Sin Liong, bagaimana engkau dapat menolongku? Ke mana saja engkau pergi selama kita berpisah?"

"Sesudah kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran Ceng Han Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke utara dan mulai mencarimu."

"Sin Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik angkatnya, mengapa pangeran itu memusuhimu?"

"Tidak memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ahhh, kelak engkau pun akan mengerti sendiri. Sekarang tak perlu kita membicarakan dia, engkau tahu... mungkin sekarang dia bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!"

"Aku tidak takut!" Tiba-tiba Bi Cu berseru. "Dan sekali ini, jangan engkau mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tetapi harus meninggalkanmu. Aku tak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang menemaniku, selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa engkau takkan meninggalkan aku, apa pun yang terjadi. Kita akan menghadapi bahaya bersama, dan kalau perlu, aku tidak takut mati, asal selalu bersamamu!"

Kembali keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, dia pun memiliki perasaan persis seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang sudah terjadi, adalah karena dia ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan berkata lirih,

"Percayalah, aku tidak akan akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."

"Sin Liong, sudah berkali-kali engkau berhasil menolongku. Bagaimana mungkin dengan kepandaianmu yang tidak seberapa tinggi... ah, aku tahu sekarang! Engkau tentu memiliki kepandaian hebat yang kau sembunyikan. Betul, tidak? Jika tidak, mana mungkin engkau bisa mengalahkan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu? Juga tak mungkin engkau mampu melarikan aku yang dalam keadaan pingsan itu lolos dari Pek-lian-kauw! Sudah lama hal ini menjadi pikiranku. Engkau tentu memiliki kepandaian tinggi, Sin Liong."

"Ahh, engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian apa-apa, Bi Cu."

"Ilmu silatmu tentu tinggi..."

"Tidak lebih tinggi dari pada ilmu silatmu."

"Benarkah?"

Dara itu menarik napas panjang, memandang dengan penuh keraguan kepada Sin Liong. Bagaimana pun juga, dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kepandaian pemuda ini. Maka dia pun belum yakin benar. Mendadak telinganya kembali menangkap suara berkeruyuk dan kebetulan sekali kembali perut mereka berdua yang mengeluarkan bunyi itu secara berbareng! Bi Cu tertawa lagi.

"Ihh, lekas kau mencari makanan untuk mendiamkan perut-perut tak tahu malu ini, Sin Liong."

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangsi untuk meninggalkan Bi Cu seorang diri di tempat itu, akan tetapi untuk menolak permintaan itu pun dia tidak tega karena maklum bahwa memang dara itu lapar sekali, seperti juga dia sendiri.

"Aku harus melihat dulu di mana terdapat makanan di sini." Dia lalu memanjat sebatang pohon besar.

Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali loncat saja dia sudah akan dapat melayang naik ke puncak pohon, akan tetapi dia tidak mau menunjukkan kepandaiannya secara terang-terangan kepada Bi Cu, khawatir kalau-kalau sikap Bi Cu akan berubah bila mana melihat bahwa dia mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dara itu. Maka dia lalu memanjat sampai ke puncak dan dari situ dia memandang ke sekeliling.

"Heiiii, di sebelah barat sana ada sebuah dusun!" teriaknya dari atas. Lalu dia bergegas turun, disambut oleh Bi Cu dengan wajah berseri.

"Kalau begitu, kau cepatlah ke sana mencari makanan, Sin Liong. Perutku sudah sangat lapar."

"Bi Cu, apakah tidak sebaiknya kalau kita berdua yang pergi ke sana? Dengan demikian akan lebih aman bagimu, bukan? Dusun itu tidak jauh, paling lama berjalan satu jam akan sampai..."

"Tidak, Sin Liong. Aku lelah sekali. Lagi pula tempat ini amat sunyi, siapa yang akan dapat menggangguku? Aku masih mampu menjaga diri. Jangan khawatir, lekaslah kau mencari makanan, biar kutunggu di sini."

Sin Liong mulai mengenal kekerasan hati Bi Cu, maka dia menghela napas panjang dan berkata, "Baiklah, harap engkau jangan pergi ke mana-mana, Bi Cu. Kau tunggulah aku di sini saja, aku pergi tak akan lama." Sin Liong akhirnya menyetujui untuk meninggalkan Bi Cu, karena dia pun berpikir bahwa kalau Bi Cu tidak ikut, dia akan dapat pergi ke dusun itu dan kembali dalam waktu yang jauh lebih cepat. Lagi pula hari telah menjelang gelap, apa bila masih ada pengejaran dan pencarian dari fihak pasukan pemerintah sekali pun, tentu mereka itu akan menundanya dan akan melanjutkan besok pagi.

Sin Liong sudah melangkah ke depan ketika Bi Cu memanggil, "Sin Liong..."

Pemuda itu berhenti membalikkan tubuh. "Ada apa, Bi Cu?"

"Jangan lupa... ehh, kau carikan pakaian untukku!"

"Pakaian? Akan tetapi engkau sudah..."

"Hushhh, siapa sudi memakai pakaian ini terus-terusan? Aku ingin pakaian wanita yang sopan dan pantas, berikut sepatunya. Maukah kau...?"

"Tentu saja! Akan kucarikan untukmu, jangan khawatir."

Bi Cu tersenyum sambil memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri penuh perasaan syukur dan terima kasih. Sin Liong menelan ludah. Bukan main manisnya Bi Cu kalau sudah begitu! Bukan hanya manis, akan tetapi juga ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, yang membuat dia merasa terharu, membuat dia merasa ingin untuk merangkul dara itu, mendekapnya, menghiburnya, menyenangkan hatinya.

Akan tetapi Sin Liong melawan perasaan ini dengan membalikkan tubuhnya lagi kemudian mulai melangkah meninggalkan Bi Cu, menuju ke arah barat. Tanpa disadarinya sendiri, bibirnya meruncing lantas dia mendengar mulutnya sendiri bersiul-siul! Perasaan senang yang bukan karena sesuatu, melainkan perasaan nyaman di hati, yang membuat segala sesuatu nampak indah!

Memang demikianlah, senang atau susah bukan datang dari luar, melainkan tergantung dari keadaan batin kita sendiri, sungguh pun keadaan itu pun dipengaruhi oleh keadaan luar. Senang mau pun susah masih berada dalam daerah terbatas, daerah terkurung dari kesibukan si aku. Kalau si aku merasa diuntungkan, maka senanglah batin, kalau si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin seperti ini berada dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu sendiri.

Pikiran mencatat segala pengalaman, baik yang senang mau pun yang susah, lalu pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai penikmat kesenangan mau pun penderita kesusahan. Timbullah keinginan untuk mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan. Keinginan ini yang lalu menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di antara gelombang-gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan kehidupan kita menjadi seperti sekarang ini.

Setiap manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan, dan demi kesenangan yang dikejar inilah maka terjadi perebutan persaingan, permusuhan, kebencian, cemburu, iri hati dan lain sebagainya. Pengejaran kesenangan memisah-misahkan antara manusia, memupuk dan memperkuat si aku.

Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan, biar pun kita biasanya menganggap bahwa kesenangan adalah kebahagiaan! Kebahagiaan berada di atas senang dan susah, sama sekali tidak tersentuh oleh keduanya itu. Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku, lenyapnya keinginan mengejar kesenangan serta menghindari kesusahan yang hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang terpengaruh oleh masa lalu, kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang menyenangkan dan menjauhi kesusahan. Keadaan bahagia tidak dapat diulang-ulang, merupakan sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau terdapat cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya apa bila batin dalam keadaan hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibukan pikiran atau si aku yang selalu ingin senang!

Setelah merasa yakin bahwa Bi Cu tak bisa melihatnya lagi, Sin Liong lalu mengerahkan kepandaiannya, mempergunakan ginkang dan ilmu berlari cepat, berlompatan dan berlari bagai seekor kijang muda saja menyusup-nyusup antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke barat, ke arah dusun yang tadi dilihatnya dari atas puncak pohon.

Biar pun dusun itu kecil saja dan tidak ada restorannya, namun tidak sukar bagi Sin Liong untuk mendapatkan sekedar roti gandum dan sebotol arak, bahkan dia juga membeli satu stel pakaian yang masih baru milik seorang gadis petani yang tentu saja mau menjual pakaiannya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada harga sebenarnya. Akan tetapi untuk sepatunya, Sin Liong terpaksa hanya dapat memperoleh sepasang sepatu bekas saja, bersama kaus kakinya yang masih baik. Dengan girang pemuda ini lalu berlari cepat kembali ke dalam hutan.

Cuaca sudah mulai gelap ketika dia sampai di dalam hutan itu. Hatinya berdebar penuh kegembiraan membayangkan betapa akan senangnya hati Bi Cu bila melihat dia kembali membawa makanan dan arak, bahkan membawa pula pakaian dan sepatu yang cukup baik untuk dara itu. Dibayangkannya betapa wajah manis itu akan menjadi semakin manis karena senyum yang cerah dan sepasang mata yang bersinar-sinar, dan terutama sekali betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan penuh kegembiraan.

Tiba-tiba saja bayangan ini dihancurkan oleh berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu ada seorang laki-laki berdiri di hadapannya, bertolak pinggang sambil memandang kepadanya dengan senyum dikulum dan sinar mata penuh ejekan. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong ketika mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Han Houw!

"Pangeran...!"

"Liong-te, apakah engkau sudah lupa menyebutku Houw-ko? Apakah engkau sudah lupa bahwa kita adalah saudara angkat? Bukan main, di mana pun ada keributan, di situ pasti ada engkau! Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau tahu-tahu bisa berada di sarang Pek-lian-kauw, dan ketika aku melihat bayanganmu berkelebat, aku segera mengenalmu. Sayang aku terlalu sibuk dengan tosu-tosu pemberontak itu sehingga baru sekarang aku dapat menyusulmu."

"Houw-ko, di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Kini engkau mengejarku dengan maksud apakah?" tanyanya, harap-harap cemas karena dia tidak tahu apakah Bi Cu sudah tertawan lagi oleh pangeran yang berwatak palsu ini.

"Ha-ha-ha, adik angkatku yang selalu menjauhi wanita, yang tidak pernah mau menerima cinta kasih wanita, yang alim dan suci, ternyata selalu menjadi pelindung wanita! Ha-ha, aku yakin bahwa sekali engkau jatuh cinta, engkau akan menyerahkan segala-galanya kepada wanita. Beberapa kali engkau mengorbankan diri untuk wanita-wanita, untuk dara bernama Bi Cu itu, untuk Kui Lan dan Kui Lin, ha-ha-ha, padahal engkau selalu menolak kalau kusuruh wanita-wanita cantik melayanimu. Sungguh engkau mengherankan hatiku, Liong-te."

"Sudahlah, aku tidak ingin berbicara tentang wanita. Sebetulnya, ada keperluan apa lagi maka engkau menghadangku, Houw-ko? Masih belum puaskah hatimu telah menghinaku di hadapan banyak orang kang-ouw? Aku telah mengaku kalah, aku juga telah menerima penghinaanmu tanpa banyak melawan. Harap saja engkau tahu bahwa kini di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dan aku tidak ingin berurusan lagi denganmu."

Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya sehingga hiasan di atas topinya yang terbuat dari pada bulu itu bergerak-gerak melambai-lambai. "Tidak, Liong-te, aku belum merasa puas. Engkau tentu mengerti, tempo hari aku menghinamu dengan sengaja hanya untuk memancing kemarahanmu supaya engkau suka melawanku. Akan tetapi engkau memang manusia aneh, luar biasa sekali, tahan hinaan, tahan ujian. Engkau hebat dan inilah yang membuat aku penasaran, Liong-te. Sekarang, mau tak mau, engkau harus melayani aku untuk bertanding mengadu ilmu. Ingin sekali aku melihat apakah engkau betul-betul kalah olehku, bukan hanya pengakuan kosong belaka!"

Sin Liong merasa sebal dan muak. Dia menggelengkan kepalanya dan diam-diam hatinya merasa lega. Agaknya pangeran ini belum sempat melihat Bi Cu. Inilah satu-satunya hal yang terpenting baginya. Dia lalu berkata, "Pangeran Ceng Han Houw, di depan banyak orang aku sudah menyatakan tidak akan melawanmu, sekarang pun, aku mengulang lagi pernyataanku bahwa aku tidak mau mengadu ilmu denganmu. Ilmu yang kupelajari bukan untuk diperlombakan, bukan untuk disombongkan. Kalau engkau mau memborong gelar Pendekar Lembah Naga, atau Pendekar Nomor Satu di Dunia, silakan saja, engkau boleh memilikinya semua. Aku tidak butuh akan segala gelar itu. Nah, sekarang minggirlah dan biarkan aku lewat."

"Liong-te! Begini keras kepalakah engkau? Dengar, sekali ini, tanpa seorang pun saksi, aku memaksa engkau untuk kita saling menguji kepandaian. Mau tak mau engkau harus melayaniku, kalau tidak engkau tetap akan kuserang sampai mati! Nah, kau sambutlah ini!"

Pangeran itu sudah menerjang dengan hebatnya! Ada angin dahsyat menyambar ketika dia menyerang, padahal pukulannya itu masih jauh, dalam jarak hampir satu meter namun hawa pukulannya telah menyambar sedemikian hebatnya.

Sin Liong terkejut sekali. Maklumlah dia bahwa setelah mempelajari ilmu dari ouwyang Bu Sek atau lebih tepat lagi, dari Bu Beng Hud-couw, pangeran ini telah menguasai ilmu yang luar biasa. Pukulannya ini saja ampuhnya menggila!

Maka dia pun cepat-cepat meloncat ke belakang, kemudian dengan hati-hati dia menaruh bungkusan roti kering, botol arak dan pakaian berikut sepatu di bawah pohon. Pada saat itu, Ceng Han Houw telah menerjangnya lagi, merasa penasaran karena pukulan pertama dihindarkan oleh Sin Liong dengan loncatan jauh ke belakang.

Dia mengira bahwa pemuda itu gentar menghadapinya. Gentar atau tidak, mau atau tidak sekali ini Sin Liong harus melayaninya bertanding, kalau tidak, dia akan membunuhnya! Dia maklum bahwa kalau belum dapat mengalahkan Sin Liong maka dia akan masih terus merasa penasaran. Dia telah melihat kehebatan ilmu dari pemuda yang dianggap sebagai adiknya ini, ketika Sin Liong mengamuk dan merobohkan orang-orang kang-ouw dengan amat mudahnya.

Sin Liong kini sudah siap. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain untuk menolak serangan pangeran itu yang hendak memaksanya mengadu ilmu. Tentu saja dia tidak mau mati konyol dan juga sekarang tidak ada alasan untuk mengalah lagi. Sudah berkali-kali dia mengalah demi menyelamatkan nyawa orang lain, akan tetapi sekarang mereka berdua bertemu di hutan itu tanpa saksi, tanpa ada hal-hal yang memaksanya untuk mengalah, maka tentu saja dia tidak ingin membiarkan dirinya dipukul sampai mati.

Begitu pukulan Han Houw datang, pukulan yang dahsyat bukan main sebab kedua tangan pemuda bangsawan itu maju dengan kecepatan kilat, yang kiri memukul dengan tangan miring ke arah lehernya, yang kanan menusuk dengan jari tangan ke arah ulu hatinya, dia pun cepat menggerakkan dua tangannya yang melakukan gerak dan diisi dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Plakk! Plakkk!"

Keduanya terpelanting!

"Bagus!" Han Houw gembira bukan main.

Memang dugaannya tidak kosong. Adik angkatnya ini kuat sekali sehingga tangkisannya tadi mengandung tenaga besar yang membuat dia terpelanting, sungguh pun tenaganya sendiri pun membuat Sin Liong terpelanting pula. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam tenaga sinkang, mereka memiliki kekuatan seimbang.

Namun Han Houw masih belum merasa puas. Tenaga yang dikeluarkannya tadi belum sepenuhnya, baru tiga per empat bagian saja. Maka kini dia menggereng dan kembali dia menubruk dengan serangan pukulan dahsyat, menggunakan seluruh tenaganya, dengan kedua tangan dia mendorong ke arah dada Sin Liong untuk membikin pecah dada lawan itu.

Sin Liong mengerti bahwa kakak angkatnya ini merasa penasaran dan hendak mengadu tenaga. Baiklah, pikirnya. Dia sudah mewarisi Thian-te Sin-ciang dari mendiang Kok Beng Lama, maka kini dia pun menahan napas dan mempergunakan seluruh tenaganya dari pusat di bawah perut, menyalurkannya kepada kedua lengannya dan dia pun mendorong untuk menyambut hantaman lawan.

"Desssss...!"

Hebat bukan main akibat adu tenaga keras lawan keras itu. Keduanya terjengkang dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, dan sesudah keduanya meloncat bangun, wajah Sin Liong pucat sekali akan tetapi pada ujung bibir kiri Ceng Han Houw nampak setetes darah segar!

"Bukan main! Tenagamu amat luar biasa!" kata Han Houw agak terengah.

"Houw-ko, perlukah pertandingan gila ini dilanjutkan?"

"Haiiitttttt...!"

Pukulan yang datang disertai loncatan kilat ini benar-benar dahsyat bukan main. Saat itu Sin Liong sedang bicara, maka dia kurang cepat sehingga biar pun dia dapat menangkis pukulan itu, tetap saja hawa pukulan yang amat berat menghimpit pundaknya, membuat dia terpelanting kemudian bergulingan sampai beberapa meter jauhnya.

Han Houw girang sekali. Akalnya berhasil, yaitu mempergunakan kesempatan selagi Sin Liong bicara tadi melakukan serangan kilat. Melihat tubuh lawan bergulingan itu dia sudah meloncat dan mengejar, mengirim pukulan lagi ke arah kepala Sin Liong ketika pemuda ini sedang bangun.

Sin Liong yang sudah waspada itu cepat-cepat miringkan kepala dan menerima pukulan itu dengan bahunya.

"Dukkk...!"

Tangan kanan Han Houw tepat mengenai bahu kiri Sin Liong, akan tetapi tubuh Sin Liong tidak bergoyang, sebaliknya pangeran itu yang terbelalak.

"Aihhhh...!" Dia terkejut bukan main karena begitu tangannya yang memukul itu mengenai bahu lawan, dia merasakan sesuatu yang lunak dan tiba-tiba tenaga sinkang-nya sudah membanjir keluar memasuki tubuh Sin Liong melalui kontak antara tangannya dan bahu adik angkat itu.

"Thi-khi I-beng...!" serunya.

Mendadak tangannya itu menjadi lemas dan tentu saja tangan yang tidak lagi dipenuhi hawa sinkang ini tidak dapat disedot oleh Thi-khi I-beng maka dengan mudah Han Houw sudah dapat menarik kembali tangannya tanpa mengerahkan tenaga. Ternyata dia sudah mempunyai persiapan menghadapi ilmu mukjijat itu dan memperoleh ajaran dari Hek-hiat Mo-li. Begitu tangannya terlepas, dia langsung mengirim tusukan dengan dua jari tangan kiri mengarah kedua mata Sin Liong.

"Syuuuttt...!"

Untunglah Sin Liong cepat melompat ke belakang. Kalau sampai kedua matanya terkena tusukan itu, tentu akan menjadi buta, tanpa dia dapat melindungi matanya.

Ceng Han Houw merasa semakin penasaran. Tadi dia telah mengalami kekagetan ketika Sin Liong menggunakan Thi-khi I-beng dan meski pun sinkang-nya tidak sampai tersedot banyak, namun dia menganggap hal itu sebagai kekalahan di fihaknya, kalah segebrakan. Maka untuk menebus kekalahan ini, dia telah meloncat ke depan, kembali menerjang dan memukul dengan tenaga pukulan Hok-liong Sin-ciang. Inilah salah satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw dan dia memperoleh petunjuk sendiri dari bayangan kakek dewa itu, maka hebatnya pukulan itu bukan main.

Melihat pukulan yang mengeluarkan suara sampai bercuitan itu, dengan gelombang hawa berputaran menyambar ke arahnya, Sin Liong maklum bahwa pangeran itu benar-benar menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan agaknya siap untuk membunuhnya, karena itu dia pun tidak mau mengalah lagi. Dia pun langsung mengeluarkan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menyambut pukulan lawan itu sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.

"Dessss...!"

Kembali mereka bertemu di udara karena keduanya meloncat, dan kedua tangan mereka saling bertemu didahului hawa pukulan yang dahsyat bukan main dan akibatnya, kembali keduanya terjengkang, terbanting keras dan bergulingan ke belakang.

Sepasang mata Han Houw menjadi merah. Tadinya dia mengangkat dan memandang diri sendiri terlalu tinggi. Tak pernah dibayangkannya bahwa dia sampai bisa dibuat terbanting seperti itu, bahkan telah dua kali padahal baru bertanding dalam beberapa gebrakan saja, sungguh pun lawannya juga sama-sama terbanting. Hal ini dianggapnya tak masuk akal, bahkan menghinanya!

Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring melengking dia lalu meloncat dan menyerang lagi, mengirim pukulan bertubi-tubi mengandalkan kecepatannya bergerak. Memang hebat sekali pangeran ini. Gerakannya cepat bagaikan seekor burung walet yang menyambar-nyambar, kedua kaki serta tangannya bertubi-tubi mengirim serangan ke arah tubuh Sin Liong, mengarah bagian-bagian tubuh yang paling berbahaya karena lemah.

Namun Sin Liong menyambut dengan sama cepatnya dan mereka saling serang dengan amat hebatnya. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan andai kata ada orang yang menonton pertandingan itu, dia tentu akan menjadi bingung karena sukarlah mengikuti gerakan mereka berdua itu dengan pandang mata, yang nampak hanya dua bayangan yang menjadi satu, berkelebatan dengan kecepatan yang luar biasa.

Agaknya Han Houw memang sengaja hendak menguras dan mencoba semua ilmu yang dimiliki oleh adik angkatnya ini, maka dia tidak segera mempergunakan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu Hok-te Sin-kun. Ilmu ini merupakan andalan yang terakhir, maka dia hendak menguji kepandaian Sin Liong dengan ilmu-ilmu yang lain lebih dulu.

Dan sebaliknya, walau pun di dalam hatinya dia mulai merasa penasaran kepada kakak angkat yang wataknya aneh ini, namun Sin Liong masih tetap teringat budi yang pernah diterimanya dari Han Houw, maka dia pun tidak mau mengeluarkan jurus terampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, tetapi melayani pangeran itu dengan ilmu-ilmu silat yang dahulu pernah dipelajarinya dari kakeknya, yaitu San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, kadang-kadang menggantinya dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang. Tiga macam ilmu silat ini adalah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, maka cukuplah untuk dapat membendung semua serangan Han Houw, bahkan dapat pula mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Sesudah mereka bertanding selama seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, kedua lengan mereka sudah menjadi matang biru karena sering beradu dengan kekuatan seimbang, dan daun-daun pohon banyak yang rontok karena sambaran hawa pukulan mereka, Han Houw mulai merasa penasaran sekali. Kini tahulah dia bahwa adik angkatnya ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan berat, dan kalau tidak dilenyapkan dari permukaan bumi, tentu akan menjadi penghalang terbesar baginya untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia. Sebab itu dia mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmu andalannya yang terakhir, yaitu Hok-te Sin-kun.

Akan tetapi sebelum dia mulai, mendadak muncul sesosok bayangan yang tidak nampak jelas dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Han Houw hanya melihat betapa bayangan ini adalah seorang lelaki yang bertubuh kecil ramping, agaknya masih seorang pemuda remaja. Akan tetapi pemuda remaja itu mengangkat sebongkah batu besar dan kini pemuda itu melontarkan batu besar yang diangkatnya ke arahnya ketika dia meloncat ke belakang menjauhi Sin Liong untuk memulai ilmunya yang hebat, yaitu Hok-te Sin-kun!

Sin Liong juga melihat pemuda remaja itu yang dia kenal sebagai Bi Cu! Karena memakai pakaian pria, pakaian tosu Pek-lian-kauw, maka Han Houw tidak mengenalnya, apa lagi cuaca saat itu mulai gelap, dan menyangka bahwa Bi Cu adalah seorang pemuda remaja.

Sin Liong melihat serangan yang dilakukan oleh Bi Cu untuk membantunya. Batu besar itu lewat di dekatnya dan dia kemudian menggerakkan kedua tangan mendorongnya dan membantu luncuran batu itu dengan tenaga sinkang-nya hingga batu itu melesat dengan kekuatan yang amat hebat!

Sementara itu, saat melihat pemuda remaja itu melemparkan batu besar ke arahnya, Han Houw tersenyum. Tentu mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sudah akan memulai dengan Ilmu Hok-te Sin-kun, maka dia ingin mendemonstrasikan kehebatan ilmu ini untuk membikin gentar hati Sin Liong.

Dia cepat berjungkir balik dan tindakannya ini membuat dia tidak dapat melihat betapa Sin Liong telah membantu lontaran batu oleh Bi Cu itu dengan dorongan tenaga sinkang-nya. Kini batu meluncur cepat ke arah Han Houw yang sudah berjungkir balik. Pangeran itu tiba-tiba menggerakkan kedua kakinya menyambut, dengan tendangan yang amat keras.

"Darrrrr...!" Batu besar itu hancur berantakan dan nampaklah debu mengepul tebal. Debu ini menghindari pandangan mata Sin Liong, sehingga dia tidak tahu betapa ketika kedua kaki Han Houw itu menyambut batu dan menendangnya hancur, tubuh pangeran itu pun terdorong sampai kedua kakinya hampir rebah menyentuh tanah!

PANGERAN itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa ‘pemuda remaja’ yang membantu Sin Liong itu memiliki tenaga lontaran yang demikian kuatnya! Maka gentarlah hatinya. Melawan Sin Liong saja masih belum tentu dia menang, apa lagi kalau Sin Liong dibantu oleh seorang kawan yang demikian tangguh pula. Kalau dia maju dikeroyok dua, agaknya sukar baginya untuk menang dan kalau kalah sungguh amat memalukan. Maka dia lalu melompat pergi, mengandalkan keremangan cuaca dan tebalnya debu. Dari jauh dia ‘mengirim’ suara melalui khikang,

"Sin Liong, lain kali kita lanjutkan pertandingan ini!"

Sin Liong tentu saja tidak menjawab dan juga tidak mengejar, hatinya merasa lega bukan main dan dia mengusap keringat dari leher serta dahinya, mempergunakan ujung lengan bajunya. Bi Cu menghampirinya dan memegang lengannya. Sejenak mereka hanya saling berpandangan di antara keremangan senja yang mulai terganti oleh malam.

"Aihhh... Sin Liong, tidak kusangka... engkau ternyata memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat!" akhirnya Bi Cu berkata dan suaranya terdengar gemetar, mukanya agak pucat dan napasnya memburu.

Sin Liong tersenyum dan menyentuh pundaknya. "Kau kenapakah?"

"Aku tadi menonton dari balik pohon, wah, bukan main gelisah hatiku. Ingin membantu namun tak mungkin, kalian bertanding sedemikian cepatnya sehingga untuk melihat mana engkau dan mana lawanmu pun tidak mungkin bagiku. Aku... aku sudah siap dengan batu itu, kemudian kulihat dia meloncat mundur. Nah, baru aku berani menyambitkan batu itu sekuat tenagaku."

"Dan kau berhasil mengusirnya, Bi Cu. Sekarang ini, engkaulah yang menolongku!" Sin Liong berkata.

"Hemm, jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah menyaksikan betapa engkau melawan musuh dan engkau hebat, aku malah tak mampu mengikuti gerakanmu. Dan lontaranku tadi, entah bagaimana, batu itu sangat berat dan aku merasa khawatir tidak akan dapat mencapainya. Dan dia begitu hebat, Sin Liong... hiiih, ngeri aku melihat betapa dia yang berjungkir balik mampu menghancurkan batu sebesar itu. Aku tahu bahwa kepandaianku tidak ada seperseratusnya orang itu, jadi tak mungkin dia lari karena aku. Sin Liong, siapa sih dia?"

"Apa kau tidak mengenalnya? Dia itu Pangeran Ceng Han Houw..."

"Ah...! Begitu lihaikah dia? Cuaca remang-remang dan dia bergerak sedemikian cepatnya sehingga aku tidak dapat mengenalnya. Berbeda dengan engkau. Hanya melihat sebuah tanganmu atau sebuah kakimu yang kadang-kadang nampak di antara bayangan kalian yang menjadi satu saja sudah cukup bagiku untuk mengetahui bahwa di antara dua orang yang bertanding itu adalah engkau. Engkau hebat sekali, Sin Liong..."

"Sudahlah, buktinya kalau tidak ada engkau, belum tentu aku sanggup mengalahkan dan mengusir dia. Mari kita cepat pergi dari sini. Dengan adanya orang seperti dia di sini, kita tidak akan pernah aman kalau belum pergi sejauhnya dari dia." Sin Liong lalu mengambil bungkusan roti dan sebotol arak, juga pakaian untuk Bi Cu yang tadi ditaruhnya di bawah pohon. "Ini makanan kita, kita makan sambil berjalan saja, dan ini pakaian serta sepatu untukmu, Bi Cu."

"Kau... baik sekali, Sin Liong, terima kasih..."

Akan tetapi Sin Liong yang masih tetap mengkhawatirkan kalau-kalau Han Houw muncul dan mengganggunya lagi, langsung mengajak Bi Cu melanjutkan perjalanan, menyusup makin dalam di hutan itu dan karena tadi Han Houw lari ke timur, maka dia pun mengajak Bi Cu lari ke barat. Dia baru saja datang dari dusun di sebelah barat, maka dia sudah agak mengenal jalan dan biar pun cuaca menjadi semakin gelap, dapat juga mereka maju sampai akhirnya mereka tiba di tepi hutan dan mereka terpaksa berhenti karena malam yang gelap telah tiba.


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Mereka makan roti dan minum arak. Bi Cu menukar pakaiannya yang terlampau besar dengan pakaian yang diperoleh Sin Liong dari dalam dusun. Setelah berganti pakaian, dia mendekati Sin Liong yang membuat api unggun, duduk dan memandang pemuda itu.


"Sin Liong, bagaimana engkau bisa memilih pakaian yang begini pas ukurannya dengan tubuhku?" tanyanya sambil mengamati pakaian yang dipakainya itu di bawah cahaya api unggun, pakaian gadis petani yang sederhana, namun masih baru.

"Mudah saja, aku membelinya dari seorang gadis yang mempunyai bentuk tubuh seperti tubuhmu."

"Engkau memang pintar. Tapi sepatu ini. Bagaimana bisa pas sekali?"

"Aku... pernah memperhatikan kakimu, dan bayangan ukuran kakimu masih teringat jelas olehku sehingga mudah bagiku untuk mencarikan yang cocok."

"Eh, mengapa engkau memperhatikan kakiku?" tanya Bi Cu dengan polos, tanpa maksud apa-apa, hanya memang karena heran mendengar ada orang memperhatikan kakinya. "Kau maksudkan ketika kedua kakiku tidak bersepatu?"

"Kenapa, ya? Mungkin karena melihat kaki tidak bersepatu merupakan hal yang aneh dan kakimu... kakimu begitu mungil..."

"Ihh! Jangan ceriwis kau...!" Bi Cu kini menundukkan mukanya karena dia tidak sanggup menentang pandang mata Sin Liong dan ada perasaan aneh menyelinap di hatinya yang berdebar-debar.

"Kau bertanya, aku menjawab sejujurnya dan kau marah..."

"Sudahlah, aku mau tidur. Nanti tengah malam kau gugah aku, biar aku yang bergantian menjaga dan engkau tidur."

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak pernah menggugahnya dan ketika pada keesokan harinya Bi Cu terbangun dari tidurnya, dia marah-marah.

"Mengapa engkau tidak mau menggugahku semalam? Kau membiarkan aku tidur pulas sampai pagi! Kau... kau sungguh kejam!"

"Aku...? Kejam...? Hee, apa maksudmu?" Sin Liong bertanya, merasa bingung karena tak mengerti apa yang menyebabkan Bi Cu mengatakannya kejam.

"Kau membiarkan aku tidur semalaman dan kau berjaga semalam suntuk, membikin aku sungguh merasa tidak enak hati, bukankah itu kejam?"

Sin Liong tercengang, lalu dia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku kejam dan kau maafkan aku, Bi Cu."

Bi Cu menatap wajah pemuda itu, kemudian dia menghampirinya dan memegang kedua tangan Sin Liong. "Sin Liong, betapa jahatnya aku, ya? Betapa kurang penerimanya aku ini! Engkau sudah berjaga semalam suntuk, aku tidak berterima kasih malah memakimu kejam!"

Tentu saja Sin Liong menjadi semakin bingung, tetapi dia hanya senyum-senyum gugup saja.

"Ti... tidak, Bi Cu, kau tidak jahat."

"Kau heran mengapa aku marah dan menyebutmu kejam? Aku marah karena demi aku engkau menderita. Aku marah terhadap diriku sendiri yang tidur seperti mayat saja, tidak bisa bangun untuk menggantikanmu. Aku memang kejam karena memang engkau kejam, bukan kejam terhadap diriku melainkan kejam kepada dirimu sendiri. Ahh, kau maafkan aku, Sin Liong."

Senyum Sin Liong melebar, hatinya senang sekali. Bi Cu memang seorang dara istimewa! "Sudahlah, Bi Cu, tidak perlu dipersoalkan lagi urusan kecil ini. Sudah sepatutnya kalau aku yang berjaga, karena aku seorang laki-laki."

"Dan kepandaianmu hebat sekali. Aku mengerti sekarang, apa bila aku yang berjaga dan tiba-tiba muncul pangeran siluman itu, maka akan celakalah kita..."

"Hayo kita melanjutkan perjalanan, Bi Cu. Hatiku merasa tak enak sekali, karena aku tahu bahwa pangeran itu tentu tidak akan mau sudah begitu saja."

Mereka bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara suitan-suitan di segala penjuru, disusul ramainya suara derap kaki manusia dan kuda yang banyak sekali! Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia sudah memegang tangan Sin Liong.

Pemuda ini merasa betapa tangan dara itu gemetar, maka dia segera menggenggamnya dan berbisik, "Jangan takut, ada aku di sini."

"Tapi... mereka itu... tentu pasukan pemerintah, pasukan yang besar jumlahnya!" Suara Bi Cu juga gemetar.

"Bi Cu, bukankah kita ada berdua? Mati hidup kita hadapi bersama, bukan?"

Ucapan ini seperti meniupkan api ke dalam semangat Bi Cu, membuat matanya langsung bersinar-sinar dan matanya kemerahan. Dia pun menggenggam keras tangan pemuda itu lantas dia pun berkata, "Engkau benar! Mari kita hadapi mereka! Aku akan mati dengan senyum kalau bersamamu Sin Liong!"

Ucapan dalam saat yang berbahaya itu amat menusuk perasaan Sin Liong, membuat dia terdorong untuk merangkul kemudian mendekap kepala dara itu ke dadanya! Bi Cu juga mandah saja sehingga keduanya seolah-olah tenggelam ke dalam keadaan lain, ke dalam dunia lain dan tidak merasa sama sekali akan datangnya bahaya.

"Kejar, cari dan tangkap mereka!" Tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenal oleh Sin Liong. Suara itu adalah suara Ceng Han Houw, masih amat jauh namun sudah terdengar olehnya karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang yang amat kuat sehingga bergema di seluruh hutan. Mereka berdua sudah berada di sebelah barat hutan.

Suara teriakan itu menyadarkan mereka berdua. Sin Liong cepat menggandeng tangan Bi Cu sambil menunjuk ke depan, ke arah utara. "Lihat, ke sanalah kita harus pergi!"

Wajah Bi Cu berubah pucat. "Tapi... itu adalah daerah pegunungan yang amat sulit, amat terjal dan penuh tempat liar. Lihat, dari sini pun nampak jurang-jurang dalam!"

"Justru itulah merupakan tempat yang amat baik untuk melarikan diri dan bersembunyi. Kalau ke barat, apa lagi melalui dusun-dusun dan tanah datar, sangat sukar untuk dapat menyembunyikan diri, lagi pula mereka mengejar dengan berkuda."

Bi Cu tidak membantah lagi dan dia lalu ikut berlari digandeng oleh Sin Liong menuju ke bukit di sebelah utara. Benar saja, daerah ini amat sukar untuk dilalui, baru naik sedikit ke lerengnya, mereka sudah harus berloncatan dari batu ke batu dan mendaki tebing-tebing yang sangat sukar karena selain terjal, juga tebing-tebing ini hanya terdiri dari batu-batu gunung yang kasar dan licin. Tidak ada jalan umum, bahkan tak ada jalan setapak di situ karena daerah liar ini tidak pernah dilalui manusia.

Melihat Bi Cu kesukaran untuk melalui tebing yang amat terjal itu, Sin Liong berkata, "Bi Cu, sebaiknya engkau kugendong saja. Marilah!"

Akan tetapi Bi Cu memandang ragu. "Tempat ini amat berbahaya, kenapa engkau justru mengambil jalan ini, Sin Liong?"

"Sengaja kuambil jalan ini agar para prajurit yang mengejar tidak dapat melaluinya. Paling banyak hanya pangeran sendiri saja yang dapat melanjutkan pengejaran, dan jika hanya ada seorang lawan saja, aku masih dapat menanggulanginya. Marilah, Bi Cu, jangan kau khawatir, mari kugendong agar lebih cepat kita dapat pergi."

Bi Cu menggeleng kepala dan memandang ke bawah, bergidik ngeri karena dia melihat betapa di sebelah bawah nampak jurang yang amat dalam!

"Tempat ini begitu berbahaya, berjalan sendirian saja sudah sangat sukar, apa lagi harus menggendongku! Tidak, aku tidak mau membikin kau terancam bahaya jatuh...!"

Sin Liong tersenyum lebar. Kembali dara itu menolak demi keselamatannya, bukan demi keselamatan dara itu sendiri! Dan hal ini amat menyenangkan hatinya.

Tiba-tiba saja terdengar suara berdesing dan nampak cahaya hitam berkelebat. Sin Liong terkejut, akan tetapi dia telah berhasil memukul benda hitam yang menyambar itu dengan tangannya dan benda itu ternyata adalah sepotong batu sebesar kepalan tangan yang meluncur dari bawah.

"Sin Liong, engkau hendak lari ke mana?!" Terdengar bentakan.

Pada saat Sin Liong menoleh, jauh di bawah sana dia melihat bayangan beberapa orang, sedangkan yang berteriak itu bukan lain adalah Ceng Han Houw! Ketika Sin Liong dapat mengenal empat orang lain yang datang bersama Han Houw, dia makin terkejut. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio, Hai-liong-ong Phang Tek, Kim-liong-ong Phang Sun, beserta seorang yang berpakaian panglima! Ternyata ada lima orang pandai yang mengejarnya dan lemparan batu dari tempat sedemikian jauhnya namun masih dapat menyambarnya dengan sangat tepat dan cepat saja sudah membuktikan bahwa lima orang itu sungguh merupakan lawan yang amat berat.

"Celaka, mereka telah menemukan jejak kita!" Sin Liong berkata dan tanpa banyak cakap dia menyambar pinggang Bi Cu, diangkat serta dipanggulnya tubuh dara itu lalu dia pun berloncatan naik dengan cepatnya, seperti seekor monyet memanjat saja.

"Maaf, Bi Cu, tidak ada lain jalan!" katanya.

Bi Cu terbelalak, kemudian dia memejamkan mata saking ngerinya dibawa berloncatan secepat itu. Diam-diam dia merasa ngeri dan takut, akan tetapi juga kagum bukan main menyaksikan betapa cekatan dan hebat ilmu ginkang dari pemuda yang tadinya dia kira adalah Sin Liong yang dahulu, yang ilmu silatnya jauh di bawah tingkatannya karena dia sendiri sudah menjadi murid mendiang Hwa-i Sin-kai! Apa bila dia ingat betapa dia selalu hendak melindungi Sin Liong selama ini!

Kedua pipinya berubah merah dan dia pun lalu berbisik. "Sin Liong, biarkan aku berada di belakangmu saja, sehingga aku dapat merangkul kedua pundakmu dan kau tidak perlu memondongku dengan sebelah lengan."

Sin Liong merasa girang. Memang sebaiknya begitu sehingga dengan Bi Cu di belakang, dia dapat berlari lebih cepat, dan dapat mengandalkan kedua tangannya untuk membela diri kalau perlu. Maka dia berhenti, menurunkan Bi Cu kemudian dia menggendong Bi Cu di punggungnya.

Dara itu merangkul lehernya dari belakang sambil mempergunakan kedua kakinya untuk merangkul pinggangnya. Berdebar juga jantung Sin Liong merasakan betapa tubuh dara itu dengan hangat melekat di tubuh belakangnya, akan tetapi cepat dusirnya bayangan ini dan dia berlari terus. Akan tetapi lima orang pengejarnya mengerahkan ginkang mereka dengan secepatnya.

Tentu saja Sin Liong sama sekali belum mengenal daerah ini, dan dia terus memanjat puncak bukit itu dengan harapan akan dapat melarikan diri dari atas puncak itu ke daerah lain dan terbebas dari para pengejarnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika akhirnya dia tiba di puncak bukit itu, puncak itu merupakan batu datar yang luasnya hanya beberapa tombak saja!

Puncak itu dikelilingi oleh jurang-jurang yang dalamnya tak dapat diukur lagi karena dari situ memandang ke bawah tidak kelihatan dasarnya, hanya nampak tonjolan batu-batu di sepanjang tebing itu seolah-olah sekeliling puncak itu yang ada hanya mulut maut yang terbuka lebar!

Jalan naik satu-satunya hanya melewati jalan yang digunakannya tadi, dengan memanjat melalui dinding batu-batu bertumpuk-tumpuk. Dari puncak itu tak mungkin bisa melarikan diri ke lain tempat, kecuali kembali lagi melalui jalan tadi! Padahal, ketika dia menengok ke bawah, dia melihat Han Houw dan empat orang temannya sudah mulai medaki puncak itu!

"Wah, tidak ada jalan lari lagi!" katanya kepada Bi Cu yang menjadi pucat dan merasa khawatir sekali. "Satu-satunya jalan hanyalah melawan mereka. Bi Cu, jangan khawatir, aku akan melawan mereka mati-matian. Belum tentu aku akan kalah oleh mereka. Kurasa di antara mereka, yang terlihai adalah Pangeran Ceng Han Houw. Kau jangan ikut-ikut, kau tunggulah saja di sudut sana, berlindung di balik batu itu."

"Tapi... tapi... aku harus membantumu!"

"Bi Cu, terus terang saja, tingkat kepandaianmu masih jauh sekali selisihnya dengan ilmu kepandaian mereka. Sekali maju, berarti engkau menyerahkan nyawa untuk mati sia-sia. Apa artinya lagi aku melawan bila sampai engkau menyerahkan nyawa dan mati konyol? Tidak, Bi Cu. Kau sembunyi di balik batu itu dan aku akan melawan mereka mati-matian."

"Kalau kau kalah...?"

Sin Liong menggerakkan pundak. "Yah, yang ada hanya menang atau kalah. Kalau aku kalah dan tewas..."

"Aku akan mati bersamamu, Sin Liong!" seru Bi Cu.

"Aku tak akan kalah, akan tetapi kau penuhilah permintaanku, jangan kau keluar dari balik batu itu. Maukah kau berjanji?" Sin Liong memegang kedua pundak dara itu.

Karena dia maklum bahwa menghadapi lima orang itu benar-benar merupakan penentuan mati hidupnya dan dia meragu untuk dapat menangkan mereka berlima, saat memegang kedua pundak dara itu dia merasa bahwa seolah-olah dia tengah berpamit untuk berpisah, perpisahan terakhir dan selamanya!

Hal ini menimbulkan keharuan hatinya, maka dia lalu menunduk dan mencium dahi yang halus dan basah karena peluh itu. Bi Cu memejamkan matanya, merangkul dan terisak, kemudian dia melepaskan diri dan berlari ke sudut tanah atau batu datar itu, bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di sudut.

Legalah hati Sin Liong. Kalau dia menang itulah yang dlharapkannya. Akan tetapi andai kata dia kalah dan tewas, dia masih mempunyai harapan mudah-mudahan mereka tidak melihat Bi Cu dan dara itu akan ditinggalkan dan akan dapat lolos dari tempat itu dengan selamat. Dia lalu menanti dan berdiri tegak, sikapnya tenang sekali.

Tidak terlalu lama dia menanti. Ceng Han Houw muncul dengan lompatan terakhir ke atas puncak batu datar itu, muka dan lehernya penuh keringat sebab pengejaran tadi dilakukan dengan sekuat tenaga dan memang pendakian puncak itu amat melelahkan. Akan tetapi wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar-sinar pada saat dia melihat Sin Liong berada di situ. Tadinya dia sudah khawatir pemuda itu dapat meloloskan diri.

Dekat di belakangnya muncul pula Kim Hong Liu-nio, wanita yang masih tetap nampak muda den cantik sekali itu. Kayu papan berbentuk salib masih ada juga di punggungnya. Sesudah kematian Lee Siang, pria pertama yang dicintanya, dia memakai lagi papan itu untuk membasmi keluarga Cia, Yap dan Tio, terutama keluarga Cin-ling-pai, bukan hanya untuk membalas musuh-musuh gurunya sekarang, namun juga untuk membalas kematian kekasihnya itu.

Kemudian muncul pula tiga orang pembantu Han Houw itu, yaitu Lam-hai Sam-lo yang kini hanya tinggal dua orang lagi, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek den Kim-liong-ong Phang Sun, karena orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, yaitu Hek-liong-ong Cu Bi Kun, dulu telah dibunuh oleh Han Houw sendiri ketika pangeran ini hendak ‘melindungi’ Sin Liong.

Mereka berlima berdiri berhadapan dengan Sin Liong, bagaikan lima ekor harimau yang menghadapi seekor kelinci yang sudah tidak dapat melarikan diri lagi. Han Houw tertawa.

"Ha-ha-ha-ha! Liong-te, tidak kau sangka, ya? Engkau terjebak di tempat ini, sama sekali tidak ada jalan keluar!" Pangeran itu memandang ke sekelilingnya, kemudian kepada Sin Liong lagi dengan wajah berseri membayangkan kemenangan.

"Pangeran, engkau dahulu yang minta kepadaku untuk menjadi saudara angkat, bahkan hingga sekarang pun engkau masih menyebutku adik Liong. Akan tetapi sekarang engkau mengejar-ngejarku, selalu menggangguku, bahkan menghendaki nyawaku. Apa artinya semua ini?" Pertanyaan ini diajukan oleh Sin Liong karena memang dia penasaran, bukan dengan maksud untuk minta dikasihani.

Mendengar pertanyaan ini, pangeran itu tertawa lagi. Agaknya dia tidak ingin cepat-cepat menyerang Sin Liong, tidak ingin cepat-cepat menghabisi korbannya itu, bagaikan seekor kucing ingin lebih dulu mempermainkan sang tikus sebelum diterkam, untuk memuaskan hatinya.

Dia sudah begitu pasti bahwa sekali ini pemuda yang merupakan lawan amat tangguhnya itu tidak akan dapat lolos lagi. Dia sendiri, walau pun belum tentu kalah oleh Sin Liong, namun mungkin mengalami kesukaran merobohkan adik angkatnya itu, apa lagi kalau Sin Liong dibantu oleh orang pandai. Akan tetapi kini di situ terdapat suci-nya, dua orang dari Lam-hai Sam-lo yang pandai, dan seorang panglimanya yang cukup tangguh.

Sin Liong tak dapat lari ke mana-mana lagi, karena puncak itu ternyata merupakan jalan buntu! Dan pembantu Sin Liong yang pandai semalam itu agaknya kini sudah tidak ada lagi.

"Sin Liong, dua pertanyaanmu itu sudah demikian jelas, perlukah kujelaskan lagi? Akan tetapi biarlah, supaya jangan sampai engkau mati penasaran sehingga arwahmu menjadi setan, dengarkan baik-baik. Aku mengangkatmu menjadi adik adalah karena aku tertarik melihat keberanianmu, tertarik terutama sekali melihat ilmu silatmu hingga aku juga ingin sekali mempelajarinya. Di dalam hal ini aku berhasil, bahkan aku mewarisi ilmu-ilmu dari suhu yang lebih ampuh dibandingkan ilmu-ilmu yang kau kuasai. Kemudian, kenapa aku mengejar-ngejarmu dan ingin membunuhmu? Jelas pula! Engkau adalah putera dari Cia Bun Houw, cucu dari ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah cukup bagiku untuk menangkap atau membunuhmu karena engkau adalah keturunan pemberontak yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Kemudian, engkau menjadi penghalang bagiku untuk mencapai gelar jagoan nomor satu di dunia dan gelar Pendekar Lembah Naga. Oleh karena itulah maka engkau harus mati, Sin Liong. Dan dalam persoalan ke dua ini pun aku berhasil, karena sekarang ini engkau sudah tersudut dan tidak akan mampu lari lagi! Ha-ha-ha!"

"Manusia she Cia, telah kupersiapkan hio untuk menyembahyangi arwahmu!" terdengar Kim Hong Liu-nio berkata halus, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekejaman yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma.

"Bocah setan, engkau harus membayar nyawa saudara kami Hek-liong-ong!" terdengar Phang Tek orang pertama dari Lam-hai Sam-lo berkata, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun yang tetap bertelanjang tubuh bagian atas itu menyeringai saja.

Mendengar ini, Sin Liong mengerutkan alisnya lalu memandang kepada Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum-senyum saja. Tahulah dia bahwa pangeran itu telah bertindak curang, mengabarkan kepada dua orang dari Lam-hai Sam-lo itu bahwa dialah yang membunuh Hek-liong-ong, padahal jelas bahwa pembunuhnya adalah pangeran itu sendiri.

Akan tetapi, dia tahu bahwa membantah pun tidak akan ada gunanya. Dua orang kakek itu tentu lebih percaya kepada sang pangeran dari pada kepadanya, maka dia pun diam saja dan hanya sepasang matanya makin mencorong penuh kegeraman.

"Cia Sin Liong, aku harus menangkapmu sebagai pemberontak yang buron!" panglima yang bertubuh tinggi besar itu membentak pula.

Pada saat itu pula terdengar sedikit suara di balik batu besar dan semua mata ditujukan ke sana. Ternyata Bi Cu yang tadinya bersembunyi tanpa bergerak, mendengar semua ucapan itu menjadi sedemikian kagetnya sehingga tak tertahankan lagi dia bergerak untuk mengintai.

Hati siapa yang tidak akan menjadi terkejut mendengar bahwa Sin Liong, pemuda yang di waktu kecilnya terlunta-lunta itu adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang namanya sudah menggetarkan langit dan bumi? Mendengar kenyataan yang amat mengejutkan sekaligus mengherankan ini membuat dia merasa bangga akan tetapi juga sangat khawatir akan keselamatan Sin Liong, maka dia bergerak dan hendak mengintai. Tak disangkanya, lima orang yang datang mengancam Sin Liong kesemuanya adalah orang-orang yang sudah mempunyai ilmu sedemikian tingginya sehingga sedikit gerakannya itu saja sudah dapat ditangkap oleh pendengaran mereka!

"Chan-ciangkun, kau tangkap orang di belakang batu itu!" Han Houw berseru keras.

"Baik, pangeran!"

Panglima she Chan itu bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan sepasang matanya lebar. Dalam pakaian perang itu dia nampak gagah perkasa seperti tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi. Agaknya dia gembira menerima perintah ini, seolah-olah memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan membuat jasa.

Sementara itu, ketika mendengar perintah ini, tahulah Bi Cu bahwa dia sudah ketahuan dan percuma saja bersembunyi terus. Dia tidak takut karena memang tadinya dia tidak ingin bersembunyi, melainkan hendak menghadapi bencana di samping Sin Liong! Apa lagi sekarang dia telah mengetahui bahwa Sin Liong adalah keturunan Cin-ling-pai, maka hatinya menjadi semakin besar dan tidak takut mati!

Muncullah dara itu dari balik batu besar dan melihat dara ini, Chan-ciangkun terbelalak dan merasa heran, bingung, juga kecewa. Mana mungkin dia, seorang panglima besar, seorang laki-laki gagah perkasa, harus menghadapi seorang dara remaja seperti itu?

Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw juga terkejut, kemudian tertawa bergelak sesudah mengenal gadis itu. "Ha-ha-ha, Cia Sin Liong yang terkenal sebagai pria alim itu ternyata secara diam-diam di mana-mana disertai wanita cantik! Tangkap dia, Chan-ciangkun!"

Karena perintah itu diulangi, terpaksa Chan-ciangkun cepat menubruk ke depan hendak menangkap Bi Cu. Karena gerakannya memang cepat sekali, maka sekali sambar saja dia sudah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Bi Cu.

"Kerbau bau, lepaskan aku!" bentak Bi Cu dan tangannya bergerak menampar.

"Plakk!" Pipi yang lebar dari panglima itu sudah kena ditampar oleh tangan kanan Bi Cu.

Tentu saja Chan-ciangkun menjadi marah bukan kepalang. Dia dimaki kerbau busuk dan bahkan pipinya ditampar oleh bocah ini!

"Perempuan liar kau!" Tangannya bergerak dan muka Bi Cu sudah ditamparnya sehingga Bi Cu terpelanting dan untung tubuhnya menabrak batu besar, kalau tidak tentu dia akan terguling ke dalam jurang yang berada di dekat batu besar itu!

"Keparat!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong sudah tiba di depan si panglima yang sudah hendak mengejar kembali, entah untuk memukul lagi atau menangkap.

Melihat pemuda itu sudah berada di depannya, Chan-ciangkun yang marah dan merasa malu itu menimpakan kemarahannya kepada Sin Liong dan memang dia ingin membuat jasa, maka dia pun langsung menghantamkan kedua tangan secara bertubi-tubi ke arah kepala dan perut Sin Liong. Serangannya ini cepat dan amat kuatnya karena memang dia seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang telah melatih kedua lengannya hingga menjadi matang biru dan luar biasa kerasnya.

Akan tetapi, Sin Liong yang sudah marah sekali melihat betapa Bi Cu ditampar oleh pria ini, sudah menggerakkan kedua lengan menyambar sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Krekk! Krekk!"

Panglima Chan mengeluarkan rintihan yang bercampur teriakan kaget. Dua pergelangan lengannya patah ketika bertemu dengan lengan pemuda itu dan selagi dia terbelalak itu Sin Liong sudah menggerakkan tangan menampar dengan punggung tangan kiri.

"Desss…!"

Tubuh perwira tinggi itu terpelanting lantas terbanting keras. Dia tidak dapat bangun lagi karena sudah pingsan setelah terkena tamparan keras yang membuat tulang rahangnya retak-retak itu!

Akan tetapi, pada saat itu, Han Houw dan tiga orang temannya sudah berlompatan dekat dan pada waktu Sin Liong merobohkan Chan-ciangkun, atas isyarat Han Houw, mereka berempat secara berbareng telah melakukan serangan yang amat dahsyatnya kepada Sin Liong!

Han Houw yang sudah maklum akan kelihaian adik angkat itu, sudah berjungkir balik dan menggunakan ilmu Hok-te Sin-kun, kepalanya menjadi kaki dan kedua kakinya mengirim tendangan-tendangan aneh dibantu oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan jarak jauh dari bawah. Sementara itu, Kim Hong Liu-nio sudah menyerang pula dengan sabuk merahnya, melakukan totokan ke arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh lawan bagian depan secara bertubi-tubi.

Hai-liong-ong Phang Tek yang bermuka hitam sudah menerjang dengan pedangnya yang ganas, dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw Kiam-sut, ada pun si kecil pendek Kim-liong-ong Phang Sun telah mengandalkan ginkang-nya, meloncat tinggi lantas menyerang dari atas mempergunakan pukulan dengan tangan kirinya yang bergelang emas tebal! Dalam satu gebrakan ini Sin Liong menghadapi empat lawan yang menyerangnya sekaligus, masing-masing menggunakan serangan yang amat berbahaya dan dahsyat!

Tentu saja Sin Liong terkejut sekali. Dia sudah mengisi kedua lengannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat kedua lengan itu kebal terhadap senjata tajam. Sinar merah sabuk Kim Hong Liu-nio ditamparnya dengan jari tangan sehingga ujung sabuk itu membalik, lantas pedang Hai-liong-ong Phang Tek dan pukulan Kim-liong-ong Phang Sun ditangkisnya pula dengan kedua tangannya sehingga membuat pedang itu menyeleweng dan Phang Sun yang tertangkis pukulannya itu mencelat ke belakang.

Akan tetapi, pada saat itu kedua kaki Han Houw sudah melakukan tendangan-tendangan aneh dalam keadaan jungkir balik! Sin Liong cepat menggunakan kedua tangannya untuk menangkis dan mengelak, dan dia merasa betapa dari kedua kaki itu menyambar hawa yang aneh dan kuat bukan main. Tahulah dia bahwa ilmu ini aneh sekali.

Selagi dia hendak menggunakan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, tiga orang yang lain telah menerjangnya lagi. Maka sibuklah Sin Liong mengelak dan menangkis. Pada saat itu Han Houw mengeluarkan suara nyaring melengking lantas tubuhnya yang berjungkir balik itu kembali menerjang maju. Kakinya bergerak aneh ke arah Sin Liong yang sedang sibuk menghadapi serbuan tiga orang lihai itu.

Sekali ini Sin Liong menjadi sibuk juga, jalan satu-satunya hanya meloncat ke belakang, akan tetapi di belakangnya, hanya sejauh satu tombak, adalah jurang yang amat dalam. Maka terpaksa sekali dia menangkis lagi, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, lalu dia membentak dengan suara keras, kedua tangannya didorongkan ke depan, sekaligus menangkis serangan empat orang itu. Hawa yang sangat dahsyat menyambar dari kedua telapak tangannya, menangkis semua serangan itu.

Terjadilah pertemuan tenaga yang amat dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Han Houw yang berjungkir balik itu terlempar seperti layang-layang putus talinya, juga Kim Hong Liu-nio terhuyung ke belakang, dan kedua orang Lam-hai Sam-lo itu terjengkang dan bergulingan, mereka seperti dilanda angin taufan yang amat kuat. Akan tetapi, menghadapi gempuran tenaga empat orang yang disatukan itu, Sin Liong sendiri terlempar ke belakang dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya melayang ke dalam jurang!

"Sin Liong, aku ikut...!" Bi Cu menjerit, meloncat ke tepi jurang lalu tanpa ragu-ragu lagi dia meloncat turun! Karena dia meloncat dengan mempergunakan tenaga, maka tenaga loncatan itu menambah cepatnya tenaga luncuran tubuhnya sehingga dia dapat menyusul tubuh Sin Liong.

"Bi Cu...!" Sin Liong yang jatuh dalam keadaan telentang itu berteriak kaget melihat tubuh Bi Cu juga jatuh menyusulnya.

Empat orang itu merangkak bangun dan berlari ke tepi jurang. Melihat tubuh kedua orang itu meluncur turun dengan amat cepatnya, kematian tak dapat disangsikan lagi pasti akan menyambut mereka berdua di bawah sana. Pangeran Ceng Han Houw tertawa bergelak sambil memandang langit.

"Ha-ha-ha! Selamat jalan, Cia Sin Liong! Ha-ha-ha, sekarang akulah Pendekar Lembah Naga! Inilah Pendekar Lembah Naga!" Han Houw menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil tertawa-tawa.

Baru sekarang terasa benar bahwa betapa sesungguhnya dia amat membenci Sin Liong, semenjak permulaan. Benci yang timbul karena iri hati. Meski pun dia seorang pangeran, namun dia iri melihat betapa pemuda itu demikian gagah berani, demikian jujur, demikian setia, dan keturunan dari para pendekar besar dari Cin-ling-pai pula. Dia merasa iri, apa lagi setelah dia tahu bahwa Sin Liong mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi!

Kini satu-satunya saingan baginya telah lenyap! Dia selalu merasa rendah diri kalau dekat dengan Sin Liong! Pemuda itu begitu alim, tidak dapat digoda nafsu birahi, begitu tenang dan dapat menguasai perasaan dan keadaan. Kini telah tiada, telah hancur lebur di dasar jurang yang tak nampak itu.


                 ***************


 "Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau menangis."

Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepala di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu.

Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih. "Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa hatiku, koko..." Dia masih terisak-isak. "Melihat ada seorang pria di dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang hina yang ternyata sekarang malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko..."

"Sudahlah, Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak peduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau pendapatnya tidak tepat, ingin menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari mereka."

Sun Eng merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh kemesraan dan terbuka sehingga sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk bermesraan, di mana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.

"Hanya maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!"

Sun Eng memegang tangan Lie Seng, lalu menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh perasaan terharu dan bersyukur. "Lie-koko, engkau dari keluarga besar, engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, dan seluruh keluargamu terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau sudah mengangkat aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku..."

"Sudahlah, Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri."

"Tidak, koko, akan tetapi aku selalu merasa rendah diri bila aku tidak melakukan sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diriku, melainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan aku..."

Lie Seng mengecup bibir itu lantas bertanya dengan suara main-main, "Habis, apa yang akan kau lakukan, sayang?"

"Entahlah, koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi keluargamu. Harus!" Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie Seng.

Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.

"Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu ke mana kita sekarang hendak pergi?" terdengar Sun Eng bertanya halus.

"Kita akan ke Yen-tai!"

"Yen-tai di timur itu, di pantai?"

"Benar, Eng-moi, kita ke sana."

"Mau apa ke sana, koko? Ke rumah siapa?"

"Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci supaya bisa mendapatkan pekerjaan di sana."

Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie Seng lalu menceritakan siapa suci-nya itu. "Dia adalah puteri dari paman Yap Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan."

Sesudah banyak bercerita mengenai Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Semakin kagum sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan.

Mengingat akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng! Andai kata tidak tentu dia pun akan termasuk ‘keluarga besar’ dari para pendekar itu, sebagai cucu murid ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia semakin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang bersih dan indah! Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biar pun hatinya merasa tidak enak dan merasa rendah diri.

Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sute-nya itu dengan hati girang sekali. Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun Eng dipersilakan masuk kemudian suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali akan kedatangan sute-nya. Bagaimana pun juga, Lie Seng bukan hanya sute-nya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung sute-nya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri?

"Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In Hong dan paman Bun Houw?" pada saat mereka makan minum sambil bercakap-cakap, Mei Lan tak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir.

Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak menceritakan mengenai keadaannya dan mengenai perselisihannya dengan keluarganya tentang diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat sehingga suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya menduga, melihat sikap serta gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada apa-apa di dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!

"Mereka... mereka semua baik-baik saja, suci. Kini mereka tinggal dalam keadaan aman di Yen-ping..."

"Ehhh...?" Yap Mei Lan kelihatan heran kemudian saling pandang dengan suaminya yang tampan dan yang semenjak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu dia pun ikut bicara.

"Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?"

"Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat masih berada di sana dengan aman... ehhh, ada apakah?" Lie Seng bertanya, hatinya terasa tidak enak.

"Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute," kata Mei Lan. "Mereka sekarang telah pindah lagi, sesudah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima berita dari ayah tentang hal itu." Mei Lan lalu menceritakan berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong.

Ternyata keluarga pendekar yang telah meninggalkan Yen-ping lalu diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya.

"Mereka diserbu musuh? Ahh, lalu... mereka kini berada di mana?"

"Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang."

Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal.

"Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi musuh!" katanya.

Diam-diam Sun Eng merasa gelisah sekali sekaligus juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!

"Sudahlah, sute. Mereka kini sudah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan suamiku yang sedang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri bersama adik Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk menengok suci-mu ini?"

Lie Seng menarik napas panjang. Sekarang saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-tai ini.

"Sebetulnya amat sulit bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku telah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku."

Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar kata-kata sute-nya yang dikeluarkan dengan nada berduka itu. "Sute, apakah yang sudah terjadi? Tentu saja aku akan suka membantu sedapat mungkin!"

Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata, "Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di hadapanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu..."

"Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar)," Kemudian dia menoleh kepada Sun Eng lalu berkata, "Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng."

Sun Eng balas memandang kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata, "Marilah, adik Sun Eng, kita bicara di dalam."

Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar Mei Lan. Sesudah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa dan berceritalah dia kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng, bahwa ibu kandungnya dan pamannya telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka.

"Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria. Ibu tak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi ke mana lagi, maka aku mengajaknya ke sini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat meresmikan pernikahan kami."

Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan kedua alisnya yang tebal berkerut. Dia sendiri merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah tergoda oleh kaum pria! Dia masih belum dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata ‘menggoda’ itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.

"Tentu saja aku sanggup menolongmu dengan pekerjaan yang kau perlukan, dan supaya engkau dapat tinggal di kota ini pun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemm... agaknya hal itu amat sukar. Kurasa suci-mu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja takkan berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu serta ayah kandung isteriku untuk meresmikan pernikahanmu, seakan-akan mereka orang-orang tua itu kini sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin."

Lie Seng menarik napas panjang. "Andai kata tak mungkin pun tak mengapa. Kami telah mengambil keputusan untuk hidup bersama, dinikahkan secara resmi atau pun tidak, bagi kami sama saja!" Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga mengandung keputusan nekat.

Sementara itu, di dalam sebuah kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa ditutup-tutupi lagi....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12