Wednesday, September 5, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Lembah Naga Jilid 39



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo    
     Serial Pendekar Lembah Naga
                Jilid 39


DIA menceritakan penyelewengannya pada saat dia masih menjadi murid Cia Bun Houw, betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa kasihan terhadap Bun Houw dan dia sudah mencoba untuk merayu gurunya sendiri. Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan hatinya akibat dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-penyelewengan dan akhirnya tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar itu.

Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, mengenai usahanya menolong kedua gurunya itu sehingga dia pun bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, kemudian mereka masing-masing berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan akhirnya bertemu lagi tetapi cinta mereka bahkan semakin mendalam.

"Demikianlah, enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah. Aku pun tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku, enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini, saat aku melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci. Ketika dia bentrok dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan begitulah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang nasib Lie-koko terletak dalam tangan enci..." Dan menangislah Sun Eng.

Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Dalam hatinya terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya, atau ibu kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan mengajak main gila kepada suhu-nya sendiri?

Akan tetapi, mereka sudah saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan cinta wanita ini kepada sute-nya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh menilainya, tidak boleh mencampurinya.

Tentu saja apa bila menurut suara hatinya sendiri, dia pun akan merasa kecewa melihat sute-nya berjodoh dengan seorang gadis yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan membahagiakan hati sute-nya. Maka dia menarik napas panjang.

"Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah sute-ku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicarakan lebih lanjut." Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk bersama suci-nya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, maka mengertilah Lie Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk penyelewengannya. Oleh karena itu dia cepat menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya, meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seakan-akan dia sudah menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemudian mereka duduk mengelilingi meja seperti tadi.

Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap Mei Lan dengan rela dan senang hati mau menolong sute-nya dan dia setuju sepenuhnya apa bila suaminya memberi pekerjaan yang layak kepada sute-nya. Akan tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.

"Hal itu tak mungkin bisa kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku bersama suamiku berani bertindak demikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan pernikahanmu? Hal itu tentu saja menjadi lain bila andai kata ibu kandungmu itu memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus engkau ingat bahwa ibu kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu akan marah sekali kepadaku apa bila aku sampai berani selancang itu. Maka, kau maafkanlah kami berdua, sute."

Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari itu juga, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain pekerjaan, suami isteri yang kaya ini menyediakan pula sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng.

Penyambutan yang amat baik ini makin mengharukan hati Sun Eng. Dia merasa semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Semakin dia kagum kepada Lie Seng dan keluarganya, semakin dia merasa dirinya kecil dan tidak berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti Lie Seng! Oleh karena itu, biar pun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh dengan kemesraan dan cinta kasih, akan tetapi di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh dengan penyesalan terhadap diri sendiri!

Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-perbuatan kita yang telah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan sebagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak penting bahwa penyesalan terhadap perbuatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah hal ini? Benarkah bahwa penyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang?

Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasanya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari di sekeliling kita, di dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalan pun makin lama akan semakin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh dengan kesesatan! Lalu, setelah menilai dan mengingat, timbul penyesalan kembali.

Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tak ada putus-putusnya, seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut akan tetapi sebenarnya tidak baik bagi perut. Ketika makan sangatlah enaknya sehingga kita yang terlalu mementingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru sesudah perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak baik untuk perut. Akan tetapi, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi apa bila kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu! Kenyataannya demikianlah!

Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan baru sesudah kesenangan itu terdapat lalu timbullah hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda sehingga senang dan susah tidak terpisahkan, akhirnya timbul penyesalan! Jadi penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang mendatangkan kesenangan itu!

Semua ini akan nampak jelas sekali jika kita waspada terhadap segala gerak-gerik lahir batin kita sendiri, bila kita waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan adalah kesadaran dan kesadaran adalah pengertian, dan pengertian ini akan melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran.

Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuatan itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan yang tidak ada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TAK SADAR. Bukan penyesalan yang melenyapkan kesesatan-kesesatan itu!

Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar! Karena apa bila ada si aku yang mengatur serta mengendalikan semua kewaspadaan di dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamakan kesenangan, kedamaian, kesucian dan sebagainya. Semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan.

Yap Mei Lan berdua suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi, yaitu di pelabuhan, semakin banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini merasa senang dapat menolong Lie Seng yang tampak hidup cukup bahagia dengan Sun Eng, ada pun bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng menjadi ringan.

Semenjak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan raya di depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampan dan gagah, bertubuh tinggi tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.

"Waspadalah, sikap orang itu amat mencurigakan," bisik Yap Mei Lan kepada suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat kepada pemuda itu akan tetapi biar pun tidak melihat langsung dari sudut matanya, dia selalu mengawasi gerak-geriknya.

Pemuda itu agaknya merasa bimbang, akan tetapi kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon sehingga kelihatan teduh itu, dengan langkah tenang dan lebar menghampiri ruangan depan di mana suami isteri itu sedang duduk.

Melihat betapa pemuda yang dicurigai isterinya itu memasuki pekarangan rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu bangkit dari tempat duduknya, melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini mungkin seorang tamu, pikirnya.

Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang mempunyai hubungan amat luas, bahkan dengan luar negeri, maka tidak mengherankan andai kata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu mengunjunginya. Dia tidak curiga seperti isterinya dan menyambut kedatangan tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.

"Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara ini, datang dari mana dan hendak mencari siapa?" tegur Souw Kwi Beng dengan sikap ramah.

Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan sinar mata tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni undak-undakan di depan rumahnya.

Ada sesuatu di dalam sinar mata pemuda ganteng itu yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan. Kedua mata yang mencorong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya mata pria yang memandangnya dengan kagum saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan, namun pandang mata ini aneh sekali, seolah-olah sinar mata itu memiliki kekuasaan untuk menelanjanginya, seolah-olah sinar mata itu bisa menggerayangi tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya!

Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan hormat oleh Souw Kwi Beng, melainkan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara langsung dan lantang, sedikit pun tak menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita yang belum pernah dikenalnya.

"Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?"

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena jengah atau malu, akan tetapi merah karena marah.

"Aku adalah nyonya Souw Kwi Beng!"

Akan tetapi nampak pemuda itu telah menggerakkan tangannya dengan kesal. "Aku tidak ada urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya, bukan?"

Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh lengannya, mencegah isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu.

"Kami tidak mengerti kenapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini. Memang betul bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan siapakah engkau?" Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan penghormatannya.

Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan. "Bagus! Yap Mei Lan, engkau puteri dari Yap Kun Liong, bukan? Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi tawananku."

Makin kaget kedua orang suami isteri itu. "Siapakah engkau manusia sombong?" Yap Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

"Ha-ha, ingin mengenalku? Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan terlebih dahulu sebagai sandera dan baru sesudah seluruh keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu menyerah, engkau akan kubebaskan lagi."

Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia telah mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai.

"Siapa sudi menyerah? Pertama, aku tidak bersalah apa pun terhadap pemerintah. Ke dua, aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya pengacau saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau pasukan. Dan ke tiga, andai kata benar engkau pangeran, aku pun tidak akan sudi menyerah karena aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai bukanlah pemberontak!"

"Ha-ha-ha, apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan? Aku sebenarnya tidak suka mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apa lagi terhadap wanita secantik engkau..."

"Keparat sombong, tutup mulutmu yang kotor!" Yap Mei Lan sudah membentak dan dia pun telah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang kecil tetapi yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.

"Bagus! Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo keluarkan semua kepandaianmu!" kata Han Houw.

Dia memang gembira melihat betapa pukulan wanita ini sangat hebat, hal yang memang sudah disangkanya mengingat bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, namun puteri kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, tetapi sebelum dia sempat membalas Mei Lan sudah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya yang langsing itu bergerak demikian cepatnya, kadang-kadang berputar laksana gasing, tahu-tahu telah menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu seakan-akan sudah mengubah dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari semua jurusan!

"Bagus sekali...!" Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis.

Memang hebat dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia telah menggunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) yang dahulu diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu, dan dia mengisi kedua lengannya itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari mendiang Kok Beng Lama!

Tentu saja serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga dibandingkan dengan Lie Seng, Mei Lan memiliki kelebihan. Lie Seng hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Kok Beng Lama saja, sebaliknya Mei Lan mempunyai dua sumber dari ilmu-ilmunya, yaitu Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu. Di samping itu, melihat bakatnya yang hebat, dia pun mewarisi khikang yang amat hebat dari Kok Beng Lama yang sengaja menurunkan ilmu ini kepada Mei Lan.

Di lain fihak, Yap Mei Lan amat terkejut ketika melihat betapa semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu! Lebih terkejut lagi dia ketika mereka beradu lengan, dia merasa tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa pangeran ini memiliki tenaga yang amat kuat!

Han Houw juga mengerti bahwa boleh dibilang semua anggota keluarga Cin-ling-pai, atau golongan mereka, mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, maka biar pun sekarang yang dihadapinya hanya seorang wanita cantik yang kelihatan lemah lembut, dia sama sekali tak berani memandang ringan. Maka dia pun bersilat dengan cepat sambil mengerahkan tenaganya.

Dalam keadaan seperti itu, setiap bertemu dengan lawan pandai, kumatlah penyakit Han Houw. Dia ingin sekali menguras dan mengenal ilmu-ilmu lawan. Maka dalam menghadapi Mei Lan dia pun lebih banyak bertahan dari pada menyerang, karena lebih dulu dia ingin melihat lawannya mengeluarkan seluruh kepandaiannya, baru dia akan merobohkannya dan menawan wanita ini sebagai sandera.

Melihat betapa isterinya agaknya belum juga dapat mengalahkan pangeran itu, Souw Kwi Beng menjadi tidak sabar. Dia mengerti bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat isterinya atau pun pangeran itu, akan tetapi sebagai seorang suami, tidak mungkin dia mendiamkannya saja melihat isterinya berkelahi dengan orang lain.

Karena itu dia lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring kemudian turunlah dia ke dalam gelanggang perkelahian itu. Begitu menerjang maju, dia mainkan ilmu silat yang diperoleh dari ibunya, yaitu Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga Im-yang Sinkang. Dia menyerang dengan pukulan-pukulan keras, akan tetapi kadang kala diselingi pula dengan totokan-totokan yang disebut It-ci-san, yaitu totokan satu jari yang amat ampuh dan yang merupakan ilmu andalan dari ibunya.

"Hemm, bagus!" Pangeran Ceng Han Houw menjadi semakin gembira.

Dia melihat bahwa pria tampan ini tidak begitu hebat gerakan mau pun tenaganya, namun mempunyai ilmu silat yang aneh dan juga indah kuat. Mulailah dia dikeroyok dua dan Han Houw memang sudah memperoleh tingkat yang amat tinggi sehingga pengeroyokan dua orang suami isteri itu sama sekali tidak membuat dia terdesak. Bahkan kini mulailah dia mengeluarkan jurus-jurus serangan balasan yang membuat Mei Lan dan terutama sekali Kwi Beng, terdesak dan sering kali terpaksa meloncat jauh ke belakang karena memang hantaman pangeran itu berbahaya dan kuat bukan main.

Beberapa kali Mei Lan menyuruh suaminya mundur, akan tetapi Kwi Beng sama sekali tidak mau. Hal ini amat mengkhawatirkan hati Mei Lan. Dia pun tahu bahwa pangeran ini memang lihai bukan main dan dia mengerti sampai di mana tingkat kepandaian suaminya maka tentu saja melawan pangeran itu amat berbahaya bagi suaminya.

Tiba-tiba dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang menggetarkan keadaan di sekelilingnya. Kwi Beng sendiri sampai terhuyung dan meloncat ke belakang akibat tergetar oleh suara isterinya itu. Han Houw terkejut dan sejenak dia termangu, dan saat itu digunakan oleh Mei Lan untuk menerjangnya dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

"Plak-plak-plakkk!"

Han Houw terhuyung dan walau pun dia berhasil menangkis, namun serangan itu sangat hebatnya sehingga membuat dia lengah dan terdesak, terutama lengah karena lengking yang hebat tadi. Akan tetapi pangeran ini segera membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba Mei Lan menjerit lantas cepat meloncat jauh ke belakang karena tanpa diduga-duganya, ada kaki yang menyerang ke arah ubun-ubun kepalanya dengan hebatnya karena pangeran itu tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan aneh.

"Ha-ha-ha!" Han Houw tertawa dan dia pun meloncat dan berdiri seperti biasa lagi.

Untuk menghadapi suami isteri itu, dia tidak perlu menggunakan ilmu simpanannya. Kalau tadi dia terpaksa mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun adalah karena dia terkejut hingga terdesak oleh pukulan-pukulan sakti wanita cantik itu.

"Lebih baik engkau menyerah saja, Yap Mei Lan, dan mengingat akan kecantikanmu, aku tentu akan bersikap manis kepadamu."

Wajah yang cantik itu menjadi semakin merah. "Manusia busuk!" bentaknya dan dia pun telah menerjang lagi, dibantu oleh suaminya yang juga marah karena pemuda itu bersikap dan berbicara kurang ajar kepada isterinya.

Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, "Manusia dari mana berani mengacau di sini?" Bentakan itu disusul menyambarnya sesosok bayangan dan tahu-tahu Lie Seng sudah berada di situ dan pemuda ini menerjang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada Han Houw.

"Ehhh...!" Han Houw menarik tubuh ke belakang untuk mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh.

Melihat Lie Seng sudah datang membantu, Souw Kwi Beng meloncat lantas menyerang dengan tendangan dari atas ke arah pundak kiri Han How. Akan tetapi pangeran ini sudah siap sedia, lengan kirinya menyampok dan begitu kaki Kwi Beng tertangkis, tubuhnya lalu terlempar dan terpelanting. Tentu dia akan terbanting keras kalau lengannya tidak segera disambar oleh Mei Lan.

Lie Seng terkejut bukan main melihat betapa mudahnya orang itu mengelak dari pukulan-pukulannya yang hebat tadi, dan alangkah mudahnya pula dia membuat tendangan Kwi Beng selain gagal juga membuat Kwi Beng terlempar. Tahulah dia bahwa lawan ini bukan orang sembarangan, apa lagi dia melihat sendiri betapi suci-nya dan suami suci-nya tidak mampu mengalahkannya.

"Pengacau, siapakah engkau?!" bentaknya.

"Sute, dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, katanya datang untuk menangkap aku!" kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi.

Hatinya menjadi besar dengan kemunculan sute-nya karena dia maklum bahwa agaknya kepandaiannya sendiri tidak akan mampu menandingi lawan. Namun kalau sute-nya turut membantunya, dia yakin akan dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar amat lihai ini.

Lie Seng terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang pangeran itu penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si dahulu pernah menyebut-nyebut nama pangeran ini, malah menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu dulu mampu mengundurkan pasukan pemerintah!

"Benarkah engkau Pangeran Ceng Han Houw?" tanyanya meragu.

"Benar, dan siapakah engkau, kepandaianmu boleh juga."

Akan tetapi Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, malah sebaliknya dia menegur pangeran itu, "Kalau begitu, kenapa engkau hendak menangkap suci-ku ini? Apa salahnya?"

"Ha-ha-ha-ha, agaknya orang-orang Cin-ling-pai dan golongannya masih juga belum mau menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong, seorang pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para pemberontak itu suka menyerah."

"Hemm, mana ada aturan demikian? Bila memang hendak menangkap, mana surat kuasa atau surat perintah untuk menangkapnya? Keluarga Cin-ling-pai baru dituduh saja sebagai pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andai kata benar mereka melakukan hal-hal yang dianggap memberontak, apa hubungannya hal itu dengan suci? Jika hendak menangkap, harus ada surat kuasa atau surat perintah dan alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap?"

Melihat sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng Han Houw merasa kagum sehingga dia meragu. "Siapakah engkau yang berani bicara seperti ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?"

"Aku orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan menurut penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw adalah orang yang baik dan gagah, akan tetapi apa bila benar engkau pangeran itu dan kini engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta, sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!"

Han Houw terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini adalah kakak kandung dari Ciauw Si? Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tidak pernah dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata,

"Semua perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara. Akan tetapi kalau memang kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan datang lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tak akan membangkang lagi karena aku pun tidak ingin menggunakan kekerasan!" Sesudah berkata demikian, dia menjura dan membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi meninggalkan halaman rumah itu.

Para tetangga yang berkerumun di depan melihat perkelahian itu pun lalu bubar karena mereka tak berani mencampuri. "Mari kita bicara di dalam!" kata Souw Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung kesungguhan dan diliputi kegelisahan.

Sesudah tiba di ruangan dalam, mereka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara penuh kesungguhan. "Pangeran itu benar-benar mempunyai kepandaian yang amat lihai, sute. Aku sendiri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat mengalahkannya!"

Ucapan yang sejujurnya dari sang suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Suci-nya itu mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri, akan tetapi sekarang suci-nya mengatakan bahwa dia tak mampu mengalahkan pangeran ini!

"Betapa pun juga kita akan melawannya, suci! Biarlah aku akan membantu suci, kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan mampu banyak berlagak!" kata Lie Seng, masih merasa terkejut.

Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukan seorang tokoh kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat melawan pemerintah.

Melihat wajah suaminya yang penuh kegelisahan itu, Mei Lan menjadi ikut khawatir. Jadi, bagaimana sekarang baiknya?" tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu sebenarnya mengkhawatirkan keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri.

Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba saja masuk seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan ketika melihat Lie Seng berada di situ bersama suci-nya dan suami suci-nya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan dada.

Ahhh... syukurlah kalian tidak apa-apa...," katanya terengah. Aku... aku tadi mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini..."

Lie Seng sudah merangkul kekasihnya kemudian membawanya duduk menghadapi meja. Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah."

Lalu dengan singkat dia menceritakan mengenai kemunculan Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak.

Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras itu segera berkata, kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?"

"Ah, tak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkau pun tahu betapa keluarga Cin-ling-pai telah difitnah, dituduh pemberontak. Jika kita sampai membunuh seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya."

"Ohhh...?! Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang memiliki kepandaian setinggi itu. Habis, bagaimana baiknya?"

"Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi," jawab Lie Seng.

Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan sebab mereka merasa tegang dan khawatir.

Kalau tidak boleh melawan, jadi... apakah kita harus melarikan diri?" akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran.

"Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pemerintah, tidak ada jalan lain...," kata suaminya.

"Tapi, engkau sudah begitu royal dengan hadiah-hadiahmu kepada boleh di bilang semua pejabat dari yang terendah sampai yang tertinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang kau berikan kepada mereka bahkan lebih besar dari pada gaji yang mereka terima!" isterinya mencela.

Souw Kwi Beng menarik napas panjang. Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di Yen-tai ini sudah sangat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Tentu kekuasaannya jauh lebih besar sehingga para pejabat di sini tentu tidak mampu menentangnya. Betapa pun juga, aku akan menghubungi mereka dan..."

Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu pula muncullah seorang pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan itu.

Tidak lama kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki ruangan itu kemudian cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lain-lain. Kwi Beng mengenal orang ini sebagai orang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu kepala daerah Yen-tai.

"Saya tidak dapat bicara banyak dan lama," kata orang itu sesudah dipersilakan duduk. Saya diutus oleh taijin supaya menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pemegang kekuasaan dari kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota agar mengerahkan pasukan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tidak dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk memberi tahu. Taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi dari kota ini, dan kalau mungkin menyeberang lautan!"

Souw Kwi Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang itu pun cepat-cepat pergi melalui pintu belakang.

Hah, tidak urung begini jadinya," kata Souw Kwi Beng, Itulah jalan satu-satunya. Isteriku, cepatlah berkemas. Kita akan membawa barang-barang berharga saja dan terpaksa yang lain-lain kita tinggalkan pada orang-orang kita. Sebelum keadaan menjadi dingin, biarlah kita lari menyeberang ke selatan."

Yap Mei Lan nampak gelisah. Hhh, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?"

"Suci, cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pemerintah. Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula, cihu memiliki banyak teman di luar negeri. Takut apa? Tentang aku..."

"Mari kalian ikut saja bersama kami!" kata Souw Kwi Beng.

Lie Seng menggelengkan kepala. erima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak kebaikan terhadap kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian berangkatlah, sedangkan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian berkemas, dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku sudah selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan kita pun akan segera pergi hari ini juga."

Sun Eng memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini saling pandang dan biar pun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak berwatak cengeng atau lemah, akan tetapi menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan lalu keduanya berpelukan dan menangis.

"Enci, hati-hatilah di jalan...," Sun Eng berkata.

"Engkau pun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus membawa bekal..."

Mei Lan menarik tangan Sun Eng memasuki kamarnya dan memberi banyak perhiasan-perhiasan berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan hati terharu.

Akhirnya, dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula. Ada pun Lie Seng sibuk membantu suci-nya dan cihu-nya berkemas lalu mengangkuti barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya kemudian menunjuk beberapa orang untuk menjadi wakil dalam mengatur perusahaannya.

Persiapan itu dilakukan secepatnya dan ketika lewat tengah hari berangkatlah perahu itu meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh suci-nya dan cihu-nya. Dia berdiri memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam.

Teringatlah dia kepada Sun Eng maka cepat dia berjalan pulang. Dia dan Sun Eng juga harus pergi secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan Mei Lan dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya.

Akan tetapi, ketika tiba di rumah dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun Eng tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalan-buntalan, dan nampak bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan pemberian Yap Mei Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng dalam buntalan pakaiannya yang diletakkan di atas meja.

Jantung Lie Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran ketika dia menemukan sesampul surat di atas buntalan pakaiannya. Dengan jari-jari gemetar dibukanya sampul surat itu dan wajahnya makin pucat ketika dia membaca surat tulisan tangan Sun Eng!

Kanda Lie Seng tercinta.

Terbuka kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu serta keluargamu. Pangeran itulah yang menjadi sumber mala petaka bagi keluargamu. Maka tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku, koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Kalau aku gagal dengan menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu. Selamat tinggal, koko, aku selamanya cinta padamu dan kenekatanku sekali ini pun karena cintaku kepadamu.

Yang mencinta selamanya, Sun Eng

"Eng-Moi...!" Lie Seng mengeluh.

Ingin dia menjerit, dan ingin dia mengejar, memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya? Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu?

Sejenak dia termangu, terduduk di atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia mengingat-ingat apa yang menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti itu. Nekat dan berbahaya! Kemudian dia mengerti.

Selama ini Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut menjadi jodohnya, apa lagi melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan suaminya kepada mereka berdua. Sekarang tiba-tiba saja muncul pangeran itu yang bukan hanya merupakan musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang menyebabkan keluarga Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan pula kebahagiaan Sun Eng yang telah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yen-tai. Inilah agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang ditulis oleh Sun Eng, dia melihat kesempatan baik.

Akan tetapi, apa yang akan dilakukan? Membunuh pangeran itu? Ahhh, lamunan kosong belaka dan sama dengan membunuh diri! Lalu apa? Apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu?

"Sun Eng...! Eng-moi...!" Lie Seng mengeluh.

Tanpa mempedulikan buntalan-buntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia lalu mencari keterangan di mana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus mencari kekasihnya, harus mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia akan melindungi Sun Eng dengan taruhan nyawanya!

Akan tetapi, dalam penyelidikannya dia mendengar bahwa pangeran itu sedang menjadi tamu agung di gedung Ciong-taijin, kepala daerah kota Yen-tai! Kemudian menurut hasil penyelidikannya pula, dia mendengar Sun Eng tidak berada di tempat itu. Hatinya merasa lega, akan tetapi segera dia merasa bingung kembali karena dia tidak tahu ke mana dia harus menyusul dan mencari Sun Eng.

Akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja, karena menurut suratnya, Sun Eng hendak berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Ini berarti bahwa tentu kekasihnya itu akan pengi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah terhadap nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan di dalam surat itu, Sun Eng mengatakan bahwa kalau usahanya gagal, maka dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng Han Houw. Ke mana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja?

Akan tetapi, Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu tidak tahu bahwa sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini setelah mengadakan pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika pulang ke rumahnya dan berkemas, tidak pernah dapat membendung mengalirnya air matanya.

Mei Lan dan Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu menghadapi mala petaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tak mungkin dia diam saja. Sekarang dia harus menunjukkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng. Dia harus melakukan sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan perbuatan yang akan menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya akibat penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tak sudi menerimanya sebagai mantu. Dia akan memperlihatkan kepada mereka bahwa biar pun dia pernah menyeleweng, namun dia masih mempunyai kegagahan, masih memiliki harga diri yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau perlu dia akan berkorban nyawa!

Tentu saja hatinya seperti disayat-sayat rasanya kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria yang dicintanya dan sangat mencintanya. Dia akan jauh dari pria itu, dia akan menderita rindu, dia akan merasa kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan yang dinikmatinya bersama Lie Seng. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia harus melakukan ini selagi terdapat kesempatan, karena kalau tidak, segala kemesraan dengan Lie Seng itu selalu akan tidak lengkap, selalu akan ternoda oleh rasa rendah diri!

Demikianlah, dia lalu mempersiapkan segala sesuatu untuk pria yang dicintanya, bahkan pemberian perhiasan dari Mei Lan ditinggalkan untuk kekasihnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya demikian menghancurkan hati Lie Seng hingga pria ini pun sampai tidak mempedulikan lagi semua benda-benda itu, bahkan pergi tanpa membawa apa pun!

Sun Eng yang merupakan penduduk baru di Yen-tai, dengan mudahnya dapat melakukan penyelidikan dan terus membayangi Pangeran Ceng Han Houw, tanpa dicurigai orang lain karena dia memang belum mempunyai banyak kenalan. Dia melihat betapa pangeran itu membawa pasukan setempat menyerbu ke rumah Souw Kwi Beng, akan tetapi tentu saja kedua suami isteri itu telah lama meninggalkan rumah, bahkan telah lama meninggalkan pelabuhan. Para pegawai mereka yang diperiksa menyatakan dengan terus terang bahwa majikan mereka bersama nyonya majikan berlayar ke selatan.

Pangeran Ceng Han Houw menjadi sangat kecewa dan marah, akan tetapi karena dia tak membutuhkan para pengawal itu, dia hanya memesan kepada Ciong-taijin supaya terus mengawasi dan kalau sewaktu-waktu suami isteri itu pulang, harus segera ditangkap dan dibawa ke kota raja! Kemudian, atas petunjuk dari para pegawai, dia membawa pasukan menyerbu rumah Lie Seng di mana dia pun mendapatkan rumah kosong belaka karena Lie Seng dan kekasihnya juga sudah kabur entah ke mana.

Sun Eng menyaksikan semua ini dari tempat persembunyiannya dan dia terus mengikuti perjalanan pangeran itu. Han Houw tidak lama tinggal di Yen-tai. Pada keesokan harinya, dia menunggang kereta yang disediakan oleh Ciong-taijin, menuju ke arah utara karena dia hendak kembali ke kota raja.

Akan tetapi dua hari kemudian, pada saat kereta itu melewati sebuah hutan, dia melihat sesosok tubuh wanita menggeletak di tengah jalan liar itu. Tentu saja kusir kereta cepat menghentikan keretanya dan ketika Han Houw membuka tirai memandang, dia melihat tubuh wanita itu dan dia merasa tertarik sekali, apa lagi melihat betapa pakaian wanita itu robek-robek hingga nampaklah kulit paha yang putih mulus! Hal seperti ini tentu saja amat menarik mata pangeran itu.

Dia segera meloncat turun, kemudian dengan beberapa lompatan saja dia sudah tiba di dekat wanita itu menelungkup dalam keadaan lemas, masih hidup namun keadaannya amat memelas sekali, selain pakaiannya robek-robek, juga lengan dan kakinya lecet-lecet dan sepatunya juga bolong-bolong, rambutnya awut-awutan.

Han Houw lalu membalikkan tubuh itu dengan memegang pundaknya. Sesudah tubuh itu membalik, dia pun terbelalak. Wanita ini masih amat muda dan cantik manis bukan main! Wajah itu pucat, akan tetapi kulitnya halus bukan main dan agaknya tadinya terpelihara baik-baik, dengan alis yang seperti dilukis saja, mata terpejam dengan bulu mata panjang, hidung kecil mancung dan mulut yang menggairahkan, dengan bibir penuh lembut serta lehernya panjang, putih mulus berbentuk indah.

Usia wanita ini tak akan lebih dari dua puluh tahun, dan di balik pakaian yang robek-robek itu, bahkan di bagian dada juga robek, membayanglah buah dada yang padat dan lekuk lengkung tubuh yang penuh berisi, tubuh seorang wanita muda yang mulai masak!

Han Houw cepat-cepat meraba nadi pergelangan tangan wanita itu. Lemah sekali! Dari pengetahuannya yang cukup tentang keadaan tubuh manusia, dia mengerti bahwa wanita ini tidak terluka, hanya sangat lelah dan mungkin sekali kelaparan! Wanita itu pun tidak pingsan, melainkan setengah sadar karena dia menggerakkan mata dan mulut. Mata itu terbuka perlahan dan untuk kedua kalinya Han Houw terpesona. Mata itu pun demikian indahnya, bening dan penuh perasaan, hanya terselimut duka yang mendalam.

Bibir yang kemerahan dan lunak itu berbisik-bisik, "Biarkan aku mati... ahhh, biarkan aku mati..."

"Hemm, engkau masih muda dan cantik, kenapa ingin mati, nona?"

Wanita muda itu menangis sesenggukkan. "...lebih baik mati dari pada hidup merana... aku akan tersiksa..."

"Hemmm, jangan takut! Setelah aku berada di sampingmu, biar raja setan neraka sekali pun takkan berani mengganggumu. Aku akan melindungimu. Mari engkau ikut denganku, nona."

Wanita itu lalu bangkit duduk dengan lemah, matanya yang seperti hendak terpejam saja, seperti mata orang mengantuk karena lemahnya itu, memandang wajah pria yang tampan itu. "Kau... kau... siapakah...?"

Wajah tampan itu tersenyum penuh gaya. "Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw...!"

"Aduh...! Ampunkan hamba...!" Wanita itu cepat-cepat berlutut dan memberi hormat, akan tetapi karena badannya lemah dia terguling dan tentu sudah roboh lagi kalau tidak cepat dirangkul Han Houw.

"Siapa namamu?"

"Hamba... hamba she Sun bernama Eng..."

Han Houw yang merangkul wanita itu mendekatkan mukanya dan mencium bau sedap, membuat hatinya makin berdebar penuh gairah.

"Maukah engkau ikut bersamaku, menikmati hidup dan terlepas dari penderitaanmu?" Dia berbisik dekat telinga wanita itu, hidungnya menyentuh pipi dengan lembut.

"Hamba... hamba mau... akan tetapi suami hamba..."

Sepasang alis pangeran itu berkerut, akan tetapi hatinya sudah terlampau tertarik dengan kecantikan dan kelembutan yang sudah terasa oleh kedua tangannya yang merangkul dan sudah tercium oleh hidungnya. "Suamimu...?"

"Hamba... melarikan diri dari suami hamba... kalau dia tahu hamba... hamba tentu akan dibunuhnya..."

Lega rasa hati Han Houw dan dia tersenyum. "Engkau lari darinya? Mengapa engkau lari dari suamimu?"

"Hamba... hamba dipaksa menikah dengan suami yang tua bangka itu... biar pun dia kaya raya, hamba tidak suka... dan setelah tiga bulan menjadi isterinya, hamba tidak sanggup menahan lagi maka hamba lalu melarikan diri. Sampai tiga hari tiga malam hamba lari... hamba tidak makan dan..."

Semakin giranglah hati Han Houw. Diciumnya mata kanan yang bening itu dengan ujung hidungnya. Sun Eng memejamkan matanya kemudian membuat suara dengan napasnya seperti tersentak kaget, sikap seorang wanita yang tidak biasa bermain gila dengan pria lain!

"Pangeran...! Jangan..."

Tentu saja sikap ini sangat menyenangkan bagi Han Houw, maka dia tersenyum. "Kalau begitu jangan khawatir, mari kau ikut bersamaku dan hidup senang di kota raja. Tentang suamimu tua bangka itu, kalau dia berani muncul, akan kujebloskan ke dalam penjara!" Tanpa menanti jawaban lagi, dia lalu memondong tubuh Sun Eng kemudian dibawanya ke dalam kereta.

Tirai kereta ditutup lantas dengan suara lantang gembira Han Houw memerintahkan kusir untuk membalapkan kereta itu menuju ke kota raja!

Dapatlah dibayangkan alangkah senangnya hati Han Houw menemukan seorang wanita secantik manis Sun Eng. Selama dalam perjalanan itu dia membelai dan membujuk rayu sehingga wanita itu tidak berani banyak berkutik atau bersuara karena merasa malu sekali terhadap kusir yang duduk di depan. Dia terpaksa diam saja ketika dipeluk, diciumi dan digerayangi oleh pangeran itu.

Sun Eng hanya memejamkan matanya, bahkan dicobanya untuk membayangkan bahwa yang diciuminya itu adalah Lie Seng, pria yang amat dicintanya! Hatinya perih bukan main bahwa dia terpaksa harus melakukan hal ini, terpaksa harus menyerahkan dirinya kepada seorang pria lain, betapa pun tampan, gagah dan tingginya kedudukan pria yang sedang memangkunya ini. Dia melakukan akal ini dengan perasaan hancur.

Hanya ini satu-satunya jalan, pikirnya. Satu-satunya jalan untuk mengorbankan diri demi kebaikan keluarga Lie Seng. Pertama, dia akan dapat berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai dengan cara menundukkan pangeran yang berkuasa ini. Ke dua, dia pun bisa memutuskan hubungannya dengan Lie Seng karena dia insyaf bahwa sesungguhnya dia tidak patut menerima cinta yang demikian besarnya dari Lie Seng.


cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum


Diam-diam Sun Eng merasa heran, betapa cintanya terhadap Lie Seng sudah merubah dirinya sama sekali, merubah perasaan hatinya. Dia tahu pasti bahwa dulu, sebelum dia berjumpa dengan Lie Seng, tentu dia akan merasa bangga, merasa gembira bukan main bila bertemu dengan seorang seperti pangeran ini. Masih muda, tampan, pandai merayu, pandai bermain cinta, berkepandaian tinggi sekali, serta berkedudukan tinggi pula! Akan tetapi mengapa kini dia menerima belaian dan peluk cium pangeran ini dengan hati yang demikian perihnya?


"Ehh, mengapa engkau menangis?" bisik pangeran itu di dekat telinganya sesudah puas menciuminya dan melihat ada beberapa butir air mata menuruni kedua pipi yang halus dan kemerahan itu.

"Hamba... hamba takut...," bisik Sun Eng.

"Takut? Ha-ha-ha, aku suka padamu, Eng-moi, jangan takut, aku akan melindungimu dan mulai saat ini, semua orang akan menghormatimu. Hai, kusir, kita berhenti di kota ini dan pergi ke rumah kepala daerah!" Pangeran Ceng Han Houw berkata ketika melihat bahwa keretanya memasuki pintu gerbang sebuah kota.

Sun Eng digandeng turun sesudah kereta berhenti di depan gedung kepala daerah, dan pangeran itu bersama Sun Eng lalu disambut dengan penuh kehormatan. Memang benar seperti yang dijanjikan oleh pangeran itu, karena dia datang sambil digandeng oleh sang pangeran, maka Sun Eng disambut dengan penuh penghormatan!

Han Houw diberi kamar yang terindah di gedung itu, dan atas perintah Han Houw, kepala daerah itu bergegas mencarikan pakaian-pakaian yang paling indah untuk Sun Eng! Dan mereka berdua pun lalu dijamu dengan hidangan-hidangan istimewa yang serba lezat dan mahal! Sun Eng merasa seakan-akan dia hidup di dalam mimpi. Kepala daerah kota itu mengadakan pesta untuk menghormati dan menyenangkan dia!

Akan tetapi kembali dia menangis dan hatinya terasa hancur ketika pada malam itu dia terpaksa harus melayani sang pangeran bermain cinta. Dia hanya bisa menyerah, bahkan demi tercapainya rencana yang sedang dijalankannya, dia tidak hanya melayani dengan pasrah dan diam saja, bahkan sebaliknya dari pada itu, dia mempergunakan kepandaian dan pengalamannya untuk menyenangkan pangeran itu.

Pangeran Ceng Han Houw makin tergila-gila kepada Sun Eng dan pangeran yang cerdik ini merangkul dan bertanya, "Eng-moi, dari mana engkau mempelajari semua kelihaianmu yang penuh gairah ini?"

Sun Eng tersenyum dan bersikap malu-malu, lalu mencubit lengan pangeran itu.

"Ah, pangeran... saya yang setiap hari harus menderita... merasa tersiksa dalam pelukan seorang tua bangka yang napasnya sudah empas-empis, yang untuk mengangkat tubuh sendiri saja sudah tidak kuat... betapa setiap saat saya selalu merindukan seorang pria yang muda, kuat dan tampan seperti paduka... karena itu, tentu saja saya merasa sangat berterima kasih dan girang..."

Han Houw tertawa dan malam itu mereka bermain cinta tanpa mengenal lelah atau puas. Pada keesokan harinya, Han Houw melanjutkan perjalanan ke kota raja. Mulai saat itu, Sun Eng menjadi selir yang terkasih dari Han How. Selir baru ini, seperti biasa, diterima dengan penuh kerelaan dan sikap manis oleh selir-selir yang lain.

Pada jaman itu, selir-selir dari seorang bangsawan atau hartawan tidak ada yang berani menentang apa bila suami mereka yang lebih tepat disebut majikan mengambil selir baru. Apa lagi selir-selir Pangeran Ceng Han Houw yang kesemuanya tunduk dan takut sekali terhadap sang pangeran, di samping rasa kagum mereka dan keinginan mereka untuk menjadi orang yang paling dikasihi.

Sun Eng memang mengalami kehidupan yang mewah dan enak. Setiap hari dilayani para pelayan, hidup serba mewah, dan satu-satunya pekerjaan hanyalah bersama para selir lain melayani sang pangeran, berusaha menyenangkan hati pangeran sebaik mungkin. Dia terkenal sebagai selir baru yang pendiam terhadap lain selir, akan tetapi amat manis budi dan menarik terhadap sang pangeran sehingga sampai beberapa bulan lamanya dia menjadi selir terkasih dan paling dipercaya oleh Han Houw.

Menggunakan saat-saat sang pangeran terbuai oleh pelayanannya di dalam kamar, pada waktu pangeran muda itu dalam keadaan setengah mabuk oleh rayuannya, sedikit demi sedikit Sun Eng dapat memperkuat kepercayaan pangeran itu kepadanya hingga sedikit demi sedikit pula dia dapat mengorek rahasia pribadi sang pangeran!

"Aku adalah putera tiri dari Raja Sabutai yang besar!" demikian Han Houw berbisik dalam mabuknya sambil membelai Sun Eng penuh gairah birahi. "Dan aku akan menjadi orang terbesar di seluruh dunia! Aku mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aku harus menjadi Jago Nomor Satu di dunia ini!"

Perlahan-lahan, dengan beberapa pertanyaan yang seolah-olah mengagumi dan memuji, dengan sikap manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri penuh gairah, Sun Eng berhasil menuntun Han Houw sehingga pangeran muda ini akhirnya menceritakan semua cita-citanya.

Dia ingin menjadi jago nomor satu di dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan mengandung niat yang lebih besar. Yaitu, sesudah menjadi jagoan nomor satu, dia akan dapat menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya! Dan dia pun perlahan-lahan hendak menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan Beng-tiauw agar mereka pun berdiri di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia yang sudah siap di sebelah dalam ini akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut tahta kerajaan.

"Ha-ha-ha, kekasihku, akulah yang patut menjadi kaisar, bukan?"

Sun Eng merangkul manja. "Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang pria lain mana pun yang lebih pantas menjadi kaisar selain paduka."

Han Houw tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu. "Dan engkau mungkin menjadi permaisuriku!"

"Ahhh... pangeran, mana hamba ada harga untuk itu..."

"Kau cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke tiga atau selir terkasih."

"Ahhh, terima kasih, pangeran junjungan hamba..."

Demikianlah, dengan segala kepandaian yang ada padanya, Sun Eng membikin pangeran itu tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya benar dalam waktu kurang dari dua bulan saja.

Pada suatu senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman. Dia duduk di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi rotan yang kepalanya berupa kepala seekor ular raksasa. Dengan santai pangeran itu duduk dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum nikmat dikelilingi oleh para selirnya terkasih.

Sun Eng duduk paling dekat dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati tubuh pangeran itu. Sun Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha pangeran itu. Ada pula selir yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja hari itu agak panas. Seorang selir lainnya membawa buah-buahan segar, dan ada seorang selir yang sedang melakukan tari sutera yang indah dengan diiringi suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa orang selir lain dengan yang-kim dan suling. Para selir itu semua cantik-cantik dan muda-muda, akan tetapi agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat itu.

Sun Eng kelihatan diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali sesudah apa yang didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam, ketika dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang kelelahan dan malas memperhatikan sesuatu sehingga tak nampak oleh sang pangeran betapa kekasihnya itu termenung. Pangeran itu terlampau lelah karena sesudah semalam dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan permainan asmara bersama Sun Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu birahinya dengan para selir lain.

Di dalam hati Sun Eng terjadi keraguan akan hasil dari pada semua pengorbanannya. Dia mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai bukanlah kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liu-nio yang mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal.

Pertama, karena keluarga itu adalah musuh besar subo-nya. Ke dua karena Kim Hong Liu-nio merasa sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan justru pembunuh dari panglima kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng! Jadi bukan pangeran inilah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai!

Apa bila demikian, percuma saja dia menghambakan diri kepada pangeran ini! Hampir dia putus asa, akan tetapi setidaknya dia hendak mempergunakan pengaruhnya sebagai selir terkasih, menggunakan pengaruh tangannya pula! Dia harus membongkar semua rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya dan mana buktinya? Tanpa bukti, tentu saja tidak mungkin hal itu dilakukan. Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai seorang adik tiri dari pada seorang selir pangeran!

Pada waktu itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan dibuai oleh suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, mendadak seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang menghadap. Saat mendengar kedatangan tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw seketika bangkit dan wajahnya membayangkan kesungguhan serta penuh semangat, kemudian dengan berseri dia berkata,

"Suruh dia menanti di ruangan baca di dalam."

Pengawal itu memberi hormat kemudian cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di sebelah dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapa pun tidak boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting.

"Pangeran, bolehkah hamba ikut?" tiba-tiba Sun Eng berbisik.

Pangeran menoleh dan sudah bersiap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi pada saat dia memandang sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, maka dia tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang dengan rasa iri tersembunyi oleh para selir lainnya.

"Hanya engkau saja yang boleh, aku percaya kepadamu," bisik pangeran itu yang segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju ke kamar baca itu.

Tiga orang yang duduk di dalam kamar yang luas dengan diterangi lampu-lampu besar itu langsung bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu lantas menggerakkan tangannya menyuruh mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya.

"Duduklah dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian," katanya tenang.

Tiga orang itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang kepada Sun Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran tersenyum ketika melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia berkata,

"Jangan kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang paling kupercaya di sini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu."

Sun Eng menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya sebab saat itu dia merasa tegang bukan main. Dia tidak mengenal ketiga orang ini dan tadi dia memandang penuh perhatian.

Salah seorang di antara mereka adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok menyeramkan. Dia tidak tahu bahwa orang ini adalah seorang tokoh selatan yang sangat terkenal, karena dia adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo yang amat ditakuti orang.

Ada pun orang ke dua dan ke tiga adalah orang asing, kemungkinan orang Mongol, dan pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang cerdik. Salah seorang di antara keduanya, yang usianya kurang dari lima puluh tahun, sesudah membungkuk-bungkuk dengan hormat kemudian bicara singkat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran.

Dan sambil tersenyum-senyum sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, agaknya menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu. Orang ke dua yang usianya kurang lebih enam puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar mata orang ke dua ini seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul.

"Nah, sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya."

Kembali orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu menyerahkan sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi karena tidak mengerti bahasa mereka, dia hanya termangu-mangu. Girang hatinya ketika dia melihat pangeran membuka peti itu lantas mengeluarkan gulungan kertas yang merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat itu lalu tertawa.

"Ha-ha-ha, ayahanda Raja Sabutai masih suka menggunakan peraturan kuno, mengirim surat secara resmi! Syukurlah bahwa kini di utara telah diadakan persiapan. Nah, Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu kita di utara sudah siap. Karena itu kita juga harus cepat-cepat mempersiapkan diri. Apakah engkau telah menghubungi fihak Pek-lian-kauw yang sudah kutundukkan?"

Dengan sikap sangat menghormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk. "Sudah, pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh anggota Pek-lian-kauw telah siap untuk membantu paduka."

"Bagus! Kalau demikian tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu perlu lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor satu. Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka. Kau boleh atur pertemuan besar itu..."

"Baik, pangeran."

Melihat selirnya yang tercinta itu kelihatan kesal karena agaknya tidak tertarik, Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata, "Eng-moi, kau lebih baik pergi mengaso dulu. Ehh, baiknya kotak ini kau bawa dan kau simpan dulu baik-baik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan penting dengan para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau tentu tidak tertarik."

Sun Eng menyembunyikan debar jantungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan sikap manis dan berkata, "Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan menyiapkan segalanya untuk menyenangkan paduka..." Dalam ucapan ini terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lirih.

"Ah, agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai pagi. Kau mengasolah saja, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah..." dia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil memperlihatkan sikap tersipu-sipu.

Memang selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang pangeran tentu berada di dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru berbulan madu saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa kotak hitam terukir indah itu.

Setelah tiba di dalam kamamya, Sun Eng cepat-cepat mengeluarkan alat tulis dan kertas kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun sebuah surat pelaporan kepada kaisar! Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran Ceng Han Houw, betapa pangeran ini sudah mengadakan persekutuan dengan Raja Sabutai dan dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw yang telah siap membantu apa bila Raja Sabutai mengadakan serbuan!

Betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakannya selengkapnya dalam pelaporan itu tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena fitnah. Semua ini telah didengarnya sendiri dari penuturan Pangeran Ceng Han Houw!

Sesudah selesai membuat surat itu, Sun Eng berganti pakaian ringkas yang disimpannya secara sembunyi, kemudian dia meninggalkan gedung besar itu melalui jendela dan terus berloncatan di atas genteng. Selir yang biasanya sangat manja dan lemah lembut penuh daya tarik kewanitaan itu, kini berubah menjadi bayangan yang amat gesit dan ringan.

Selama menjadi selir terkasih Pangeran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu di dalam belaiannya, Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat tinggi yang dianggap musuh oleh sang pangeran, sebab pejabat itu merupakan pembesar-pembesar yang amat setia kepada kaisar.

Oleh karena itu bayangan hitam yang berkelebatan pada malam hari berlompatan di atas genteng-genteng itu kini menuju sebuah gedung besar, yaitu tempat tinggal dari Menteri Liang, seorang menteri tua yang terkenal sangat setia terhadap pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya hanyalah sebagai menteri bagian kebudayaan, maka kejujuran dan keadilannya tak dapat berbuat banyak terhadap para menteri durna yang lain. Maklumlah, kedudukannya tidak mengijinkan dia mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat dengan kaisar.

Para pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang besar menteri itu, "Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan negara."

Mendengar ini, para pengawal segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar ini tidak pernah takut menghadapi apa pun juga, maka mendengar betapa malam-malam begitu ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw ingin menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera menyuruh para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi keamanan dirinya sendiri, dia juga memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.

Dengan jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu, diiringkan oleh belasan orang pengawal yang memegang tombak. Sesudah dia berjumpa dengan pembesar tua yang berwibawa itu, dia segera menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah seorang selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw..."

"Ahhh...!" Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh selidik.

"Hamba sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng Han Houw dan inilah hasil penyelidikan hamba, harap paduka sudi melaporkannya kepada sri baginda kaisar untuk menyelamatkan kerajaan." Dengan singkat tetapi jelas Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat dari Raja Sabutai itu, dan menambahkan, "Semua fitnah yang dijatuhkan kepada keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam laporan ini. Sekarang hamba mohon diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus cepat melarikan diri."

Melihat wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain berwarna kuning, menteri itu tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal menerimanya dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat bertanya. "Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona melakukan semua ini?"

"Hamba adalah seorang yang berhutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka hamba sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat tinggal, taijin."

Dengan mempergunakan ginkang-nya, Sun Eng sudah melompat dan lenyap dari tempat itu. Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga membuat menteri itu terkejut. Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar, dia memberi tanda dengan tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal membuka buntalan itu.

Di lain saat Liang-taijin sudah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam dengan mata terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan dibacanya. Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai mengatur rencana pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang sebetulnya putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng Hwa yang sekarang!

Dengan jari-jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua pelaporan yang ditulis secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng. Maka dia lalu menyimpan baik-baik semua benda itu kemudian memerintahkan para pengawal supaya melakukan penjagaan yang seketatnya dan secara diam-diam dia menyuruh panggil para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah menyebabkan keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga gagah yang dianggap pemberontak.

Malam itu juga para pembesar ini mengadakan perundingan dan memeriksa surat-surat itu. Akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran Hung Chih, yaitu seorang pangeran kakak tiri dari kaisar sendiri yang terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi penasehat dari kaisar.

Malam itu juga Pangeran Hung Chih menerima berita itu berikut semua bukti-buktinya, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap kaisar dan melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun Eng.

Kaisar terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi dengan bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk menanggulangi persoalan itu dengan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam menghadapi Ceng Han Houw, mempergunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi perang saudara. Apa lagi bila diingat bahwa di samping Ceng Han Houw merupakan seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sendiri, juga Kim Hong Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng Tung.

"Akan tetapi, bagaimana pun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan mereka yang hendak memberontak, siapa pun juga harus ditumpas secara halus mau pun, kalau perlu, kasar!"

Demikianlah, Pangeran Hung Chih yang telah mendapat kekuasaan penuh secara tertulis dari kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan mengatur rencana dan siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus.


                ***************


 Sun Eng merasa lega sekali sesudah dia menyerahkan semua benda itu kepada Menteri Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil dengan baik. Menteri Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang sangat penting bagi keamanan kerajaan itu kepada kaisar. Tugasnya telah selesai dan dia sudah melakukan sesuatu demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu saja, bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan!

Akan tetapi di samping perasaan bangga bahwa dia telah mampu mengangkat namanya, memberi isi kepada namanya sehingga dia tak akan terlampau rendah dalam pandangan keluarga Cin-ling-pai, ada perasaan duka yang mendalam kalau dia teringat betapa untuk semua hasil itu, dia telah menyerahkan diri dan menjadi permainan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua yang dia lakukan itu, apakah dia ada harga lagi untuk melanjutkan hubungannya dengan Lie Seng? Ah, rasanya untuk bertemu muka saja pun dia sudah tak sanggup lagi!

Mengingat hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Dia merasa betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga dari pada sebelum dia membuat jasa terhadap keluarga Cin-ling-pai! Memang dia telah melakukan sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng karena memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang digunakannya untuk mencapai tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor!

Padahal tujuannya adalah untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu telah tercapai, akan tetapi dia tak merasa bangga, tak merasa bahagia, malah sebaliknya, tercapainya tujuan itu membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi dari pada sebelumnya.

Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu menurut jalan pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian.

Pada dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa sayang diri, timbul dari rasa iba diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebaliknya, dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia tak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah dilakukannya. Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri lantas disulap menjadi perbuatan baik demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang dilakukannya adalah suci.

Oleh karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, sedangkan semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguh pun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatannya seolah-olah demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta tidak dapat melihat lagi yang terpenting dari pada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.

Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memperoleh sesuatu. Dan kalau cara yang digunakan tidak benar, mana mungkin akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar.

Hanya kalau batin tak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu akan melahirkan tindakan yang benar. Tindakan benar adalah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindakan itu.

Akan tetapi Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap bahwa dia telah mengorbankan diri demi orang lain, demi orang yang dicintanya, dan dia buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang ditempuhnya itu merupakan cara yang kotor bagi seorang wanita. Dia hendak mencuci kekotoran yang dianggapnya menempel pada dirinya dengan melumuri badan dengan kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin.

Dan akibatnya kini dia menyesal, kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk berjumpa dengan Lie Seng, sungguh pun dia telah berjasa terhadap Cin-ling-pai, bahkan terhadap kerajaan.

Dengan isak tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu gerbang untuk melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Tetapi dia terlalu memandang rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika di dekat pintu gerbang mendadak muncul beberapa orang dari tempat gelap dan di antara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri!

Seketika pucatlah wajah Sun Eng, apa lagi karena dia mengenakan pakaian hitam, wajah yang putih halus itu kelihatan sepucat kapur, matanya terbelalak dan mulutnya setengah ternganga tanpa mampu mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah tampan yang kini tersenyum dingin itu.

"Bukankah engkau ini Eng-moi? Ahhh, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi! Sejak kapan engkau berganti pakaian seperti ini, berkeliaran di tengah malam dan gerakanmu demikian gesit?"

Tentu saja Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tidak mampu menjawab dan ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar serta tergagap. "Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan mencari angin..."

Jawaban itu tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai mencari jalan keluar, maklum bahwa dia telah tersudut. Dia melihat bahwa pangeran itu muncul bersama kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah mengepung tempat itu.

"Jalan-jalan makan angin...? Hemm, Eng-moi, marilah kita pulang dan bicara baik-baik di rumah...!" Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri.

"Tidak... hamba... hamba ingin jalan-jalan dahulu...!" Karena takutnya Sun Eng bingung untuk menjawab, bahkan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke kiri untuk melarikan diri.

Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah berada di hadapannya. Sun Eng maklum bahwa tidak ada jalan lain baginya. Jalan halus sudah tidak mungkin dilakukannya, sebab itu satu-satunya jalan hanyalah mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan.

"Minggir!" bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat ke arah dada lawan.

Sebagai murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja wanita ini sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pukulannya yang dilakukan dalam keadaan terjepit itu amat dahsyatnya.

Terkejut juga Pangeran Ceng Han Houw saat melihat pukulan itu, tak disangkanya bahwa selirnya yang terkasih ini memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya. Ngeri dia memikirkan betapa dia bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu dan kalau wanita itu menghendaki, di waktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan wanita itu, tentu dapat dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya!

Hai-liong-ong Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu kepandaiannya sangat tinggi, masih jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat Sun Eng, maka dia tidak gentar menghadapi pukulan dahsyat itu. Oleh karena kakek ini tadinya mengenal sang pangeran, maka biar pun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi pengkhianat, namun dia pun masih belum berani untuk berlancang tangan melukai wanita yang menjadi selir terkasih junjungannya. Oleh karena itu, menghadapi serangan Sun Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk!"

Sun Eng terhuyung ke belakang sehingga dia terkejut sekali. Ternyata kakek ini memiliki tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat menguasai keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya sudah ditangkap oleh Han Houw.

Sun Eng meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanannya maka dia cepat membalik lantas secara nekat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher pangeran itu dengan maksud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul. Oleh karena itu, pukulan itu pun hebat bukan main dan ditujukan ke arah jalan darah pada leher sambil dia mengerahkan seluruh tenaganya.

"Plakkk!"

Kembali pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh pangeran itu.

"Hemm, engkau hendak membunuhku, ya?!" bentak Han Houw dengan marah sambil dia mengerahkan tenaga.

Pegangan pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi kuat sekali hingga Sun Eng merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung rasanya dan dia menyeringai. Agaknya, melihat wajah yang biasanya sangat manis memikat dan yang biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han Houw merasa kasihan juga sehingga dia cepat mengendurkan pegangannya, kemudian dengan sekali totok dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk mencari kotak hitam, namun ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa.

"Di mana kotak itu? Di mana surat itu?" desisnya marah.

"Hamba... hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar...," Sun Eng menjawab sedapatnya saja.

Han Houw telah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya mendorong tubuh wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling roboh.

"Bawa dia!" bentak Han Houw dengan suara bernada kesal.

Han Houw lalu pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek beserta para pengawal yang menggotong Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu.

Pada waktu itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Apa bila tadi dia menjadi gugup adalah karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu. Rasa kaget membuat dia gugup sekali. Akan tetapi sekarang, sesudah dia tahu benar bahwa tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang.

Sebaiknya begini, pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran kalau usahanya itu tak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan laporannya kepada kaisar dan bila kaisar tidak mengambil tindakan terhadap pangeran ini dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan.

Setelah sampai di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di dalam kamarnya. Han Houw lantas menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di atas bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng, kadang-kadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan marah.

"Sun Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu, betapa aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!" Han Houw mengepal tinju. "Sepatutnya kita tak perlu banyak bicara lagi dan aku harus membunuhmu! Ketika engkau rebah di jalan dahulu itu, ternyata semua itu hanyalah siasatmu untuk dapat menyelundup ke sini dan memperoleh kepercayaanku belaka! Sungguh aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kau serahkan seluruhnya kepadaku, hanya untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu, siapakah engkau sesungguhnya?" Han Houw membentak dan memandang tajam.

Sun Eng diam saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat dikenalnya itu. Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu rayu dengan pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di langit-langit itu pada saat dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan cintanya. Kini pun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih itu.

"Baiklah, agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut," kata Ceng Han Houw. "Akan tetapi semua itu pun tidak ada gunanya dan aku tidak peduli. Yang terpenting, hayo kau katakan di mana engkau menyembunyikan kotak surat itu. Apa bila engkau menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan membebaskanmu, demi mengingat semua hubungan kita yang lalu dan mengingat pula betapa engkau sudah banyak mendatangkan kesenangan padaku."

Akan tetapi Sun Eng tetap membisu, bahkan menengok pun tidak kepada pangeran itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup parah. Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak mencintanya, akan tetapi hanya mempermainkan dirinya, benar-benar merupakan pukulan bagi harga dirinya.

Dia tadinya mengira bahwa semua wanita tentu akan tergila-gila kepadanya dan dengan senang hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu dia pernah merasa terpukul oleh penolakan gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini bahkan hanya mempermainkannya untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai seorang pria hidung belang biasa saja yang lemah terhadap wanita!

Tiba-tiba saja pangeran itu merubah sikapnya. Dia lalu menghampiri Sun Eng yang masih terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga wajahnya menyentuh wajah Sun Eng.

"Eng-moi... mungkinkah tidak ada sedikit pun perasaan cinta di dalam hatimu terhadap aku? Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi di antara kita selama ini? Aku tahu benar, andai kata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih untukku, setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin bisa menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku..."

Suara pangeran itu merayu lantas bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, dan diciuminya bibir wanita itu dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng, dan biasanya selalu wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan tetapi, sekali ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak menjawab, bahkan mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah.

Akhirnya terdengar bibir itu berbisik, "Bunuhlah aku... bunuhlah..."

"Engkau minta mati?" Suara sang pangeran masih lembut. "Akan kuturuti, engkau minta apa pun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sampingku, akan kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Di manakah engkau menyimpannya?"

Akan tetapi Sun Eng menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak akan kuberikan, biar aku dibunuh sekali pun!"

Wajah yang tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan kemarahan. "Perempuan rendah berhati palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu memusuhi aku! Kalau begitu, biar kau rasakan siksa neraka lebih dahulu, hendak kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu kepadaku!"

Sesudah berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat kedua lengan Sun Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati, juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula direnggutnya kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil halus dan putih kemerahan itu menjadi telanjang.

Sun Eng tetap tenang saja, malah saat pangeran itu membalikkan tubuhnya menelungkup kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia dapat menggerakkan tubuh lagi, dia masih tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia mendengar suara pangeran itu di belakangnya, tidak tahu apa yang tengah dilakukan. Akan tetapi nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah obor kecil yang sudah dinyalakan ke dekat muka Sun Eng.

"Sun Eng, kau lihat baik-baik apa yang kupegang ini? Aku tak ingin, bahkan merasa benci untuk menyiksamu, akan tetapi jika kau tetap membandel dan tidak mau mengembalikan suratku itu, terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!"

Namun, Sun Eng yang sudah mengerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi itu sudah nekat. "Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat itu akan bisa kau dapatkan kembali!".....























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12