Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 39
DIA
menceritakan penyelewengannya pada saat dia masih menjadi murid Cia Bun Houw,
betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan pengasingan diri tidak
melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa kasihan terhadap Bun Houw
dan dia sudah mencoba untuk merayu gurunya sendiri. Kemudian betapa dia
terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan hatinya akibat dibenci
oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-penyelewengan dan akhirnya tidak
diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar itu.
Kemudian,
diceritakan pula tentang penyesalannya, mengenai usahanya menolong kedua
gurunya itu sehingga dia pun bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah
menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, kemudian mereka
masing-masing berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan
akhirnya bertemu lagi tetapi cinta mereka bahkan semakin mendalam.
"Demikianlah,
enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa diriku,
seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah. Aku pun
tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah
menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku,
enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini,
saat aku melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci.
Ketika dia bentrok dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau
rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat
Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan
begitulah, kami berdua tiba di sini. Agaknya, sekarang nasib Lie-koko terletak
dalam tangan enci..." Dan menangislah Sun Eng.
Sejenak Yap
Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Dalam hatinya terjadi perang.
Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya, atau ibu kandung Lie Seng
yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak menyalahkan suami Isteri
Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat puteranya berjodoh
dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah menjadi permainan
kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan mengajak main
gila kepada suhu-nya sendiri?
Akan tetapi,
mereka sudah saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia
tidak meragukan cinta wanita ini kepada sute-nya. Baginya, cinta kasih asmara
adalah urusan dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali
tidak boleh menilainya, tidak boleh mencampurinya.
Tentu saja
apa bila menurut suara hatinya sendiri, dia pun akan merasa kecewa melihat
sute-nya berjodoh dengan seorang gadis yang sudah pernah menyeleweng seperti
Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa campur tangan perasaannya ini
tidaklah benar, setidaknya, tidak akan membahagiakan hati sute-nya. Maka dia
menarik napas panjang.
"Sudahlah,
adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-masing.
Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah sute-ku
yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicarakan lebih lanjut."
Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk
bersama suci-nya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, maka
mengertilah Lie Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya,
termasuk penyelewengannya. Oleh karena itu dia cepat menyambut dan menggandeng
tangan kekasihnya, meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini
seakan-akan dia sudah menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemudian
mereka duduk mengelilingi meja seperti tadi.
Memang
tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap Mei
Lan dengan rela dan senang hati mau menolong sute-nya dan dia setuju sepenuhnya
apa bila suaminya memberi pekerjaan yang layak kepada sute-nya. Akan tetapi dia
tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.
"Hal
itu tak mungkin bisa kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu kandungmu
masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku bersama suamiku berani bertindak
demikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan pernikahanmu? Hal itu
tentu saja menjadi lain bila andai kata ibu kandungmu itu memberi kekuasaan dan
persetujuan kepada kami. Harus engkau ingat bahwa ibu kandungmu berarti juga
ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu akan marah sekali
kepadaku apa bila aku sampai berani selancang itu. Maka, kau maafkanlah kami
berdua, sute."
Lie Seng
dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari itu juga,
Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng
meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan
perahu-perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan
Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil
bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain
pekerjaan, suami isteri yang kaya ini menyediakan pula sebuah rumah lengkap
dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng.
Penyambutan
yang amat baik ini makin mengharukan hati Sun Eng. Dia merasa semakin terpukul
melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Semakin dia kagum kepada Lie
Seng dan keluarganya, semakin dia merasa dirinya kecil dan tidak berharga,
rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti Lie Seng!
Oleh karena itu, biar pun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan hidup
sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh dengan kemesraan
dan cinta kasih, akan tetapi di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh
dengan penyesalan terhadap diri sendiri!
Sudah
menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-perbuatan
kita yang telah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan sebagainya.
Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak penting bahwa
penyesalan terhadap perbuatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat
kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru dan yang
mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah hal ini? Benarkah bahwa
penyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang?
Penyesalan
selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasanya, seperti yang
dapat kita lihat setiap hari di sekeliling kita, di dalam kehidupan masyarakat,
dalam kehidupan kita sendiri, penyesalan pun makin lama akan semakin menipis
dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh dengan
kesesatan! Lalu, setelah menilai dan mengingat, timbul penyesalan kembali.
Perbuatan
sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan
yang tak ada putus-putusnya, seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang
terasa enak segar di mulut akan tetapi sebenarnya tidak baik bagi perut. Ketika
makan sangatlah enaknya sehingga kita yang terlalu mementingkan keenakan itu
tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru sesudah perut kita sakit
melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan
pedas itu tidak baik untuk perut. Akan tetapi, penyesalan ini dalam sedikit
waktu sudah terlupa lagi apa bila kita menghadapi makanan pedas yang segar enak
bagi mulut itu! Kenyataannya demikianlah!
Pengejaran
kesenangan membuat kita buta dan baru sesudah kesenangan itu terdapat lalu
timbullah hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang
memiliki muka ganda sehingga senang dan susah tidak terpisahkan, akhirnya
timbul penyesalan! Jadi penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat
dari kesenangan itu mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si
perbuatan sesat itu sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk
dari perbuatan yang mendatangkan kesenangan itu!
Semua ini
akan nampak jelas sekali jika kita waspada terhadap segala gerak-gerik lahir
batin kita sendiri, bila kita waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak
dalam pikiran kita. Kewaspadaan adalah kesadaran dan kesadaran adalah
pengertian, dan pengertian ini akan melahirkan perbuatan yang spontan,
perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran.
Karena
perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuatan
itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti
menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan
yang tidak ada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah
yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya
dilakukan dalam keadaan TAK SADAR. Bukan penyesalan yang melenyapkan
kesesatan-kesesatan itu!
Yang amat
penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat terhadap diri
sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi yang ada
hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri sendiri tanpa ada
aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar! Karena apa bila ada
si aku yang mengatur serta mengendalikan semua kewaspadaan di dalam pengamatan
itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu mengandung pamrih
dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang
sesuatu itu dinamakan kesenangan, kedamaian, kesucian dan sebagainya. Semua
tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah
menimbulkan konflik dan kesengsaraan.
Yap Mei Lan
berdua suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah mereka.
Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi, yaitu di
pelabuhan, semakin banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya di
rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini
merasa senang dapat menolong Lie Seng yang tampak hidup cukup bahagia dengan
Sun Eng, ada pun bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng
menjadi ringan.
Semenjak
tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan raya
di depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampan dan gagah, bertubuh tinggi
tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan
dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.
"Waspadalah,
sikap orang itu amat mencurigakan," bisik Yap Mei Lan kepada suaminya,
namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat kepada
pemuda itu akan tetapi biar pun tidak melihat langsung dari sudut matanya, dia
selalu mengawasi gerak-geriknya.
Pemuda itu
agaknya merasa bimbang, akan tetapi kemudian dia melangkah memasuki pekarangan
yang luas dan ditumbuhi banyak pohon sehingga kelihatan teduh itu, dengan
langkah tenang dan lebar menghampiri ruangan depan di mana suami isteri itu
sedang duduk.
Melihat
betapa pemuda yang dicurigai isterinya itu memasuki pekarangan rumah mereka,
Souw Kwi Beng lalu bangkit dari tempat duduknya, melangkah keluar untuk
menyambut. Pemuda ini mungkin seorang tamu, pikirnya.
Souw Kwi
Beng adalah seorang saudagar yang mempunyai hubungan amat luas, bahkan dengan
luar negeri, maka tidak mengherankan andai kata pemuda asing yang pakaiannya
aneh dan menyolok itu mengunjunginya. Dia tidak curiga seperti isterinya dan
menyambut kedatangan tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.
"Selamat
datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara ini, datang dari
mana dan hendak mencari siapa?" tegur Souw Kwi Beng dengan sikap ramah.
Pemuda
jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan sinar mata tertarik
dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia menoleh ke
arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni undak-undakan
di depan rumahnya.
Ada sesuatu
di dalam sinar mata pemuda ganteng itu yang membuat kedua pipi pendekar wanita
ini menjadi kemerahan. Kedua mata yang mencorong itu mengandung kegairahan yang
kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya mata pria yang memandangnya dengan kagum saja,
hal ini sudah biasa bagi Mei Lan, namun pandang mata ini aneh sekali,
seolah-olah sinar mata itu memiliki kekuasaan untuk menelanjanginya,
seolah-olah sinar mata itu bisa menggerayangi tubuhnya dan memandang tembus
pakaian yang menutupi tubuhnya!
Pemuda
tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan hormat oleh
Souw Kwi Beng, melainkan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan, kemudian
terdengar dia bertanya dengan suara langsung dan lantang, sedikit pun tak
menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita
yang belum pernah dikenalnya.
"Apakah
engkau yang bernama Yap Mei Lan?"
Tentu saja
suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama sekali Mei Lan
yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena jengah atau malu,
akan tetapi merah karena marah.
"Aku
adalah nyonya Souw Kwi Beng!"
Akan tetapi
nampak pemuda itu telah menggerakkan tangannya dengan kesal. "Aku tidak
ada urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya,
bukan?"
Mei Lan
semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang ajar
ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh lengannya,
mencegah isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu.
"Kami
tidak mengerti kenapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini.
Memang betul bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan
siapakah engkau?" Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan
penghormatannya.
Pemuda itu
tertawa dan wajahnya memang tampan. "Bagus! Yap Mei Lan, engkau puteri
dari Yap Kun Liong, bukan? Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan bibimu
adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi
tawananku."
Makin kaget
kedua orang suami isteri itu. "Siapakah engkau manusia sombong?" Yap
Mei Lan bertanya dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Ha-ha,
ingin mengenalku? Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw dan sebaiknya engkau
menyerah saja baik-baik. Engkau akan kutawan terlebih dahulu sebagai sandera
dan baru sesudah seluruh keluarga Cin-ling-pai, para pemberontak buronan itu
menyerah, engkau akan kubebaskan lagi."
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Akan
tetapi kekagetan Mei Lan ini disertai rasa marah yang makin hebat. Dia telah
mendengar tentang pangeran ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan dari Kim
Hong Liu-nio yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai.
"Siapa
sudi menyerah? Pertama, aku tidak bersalah apa pun terhadap pemerintah. Ke dua,
aku tidak tahu apakah engkau ini benar seorang pangeran ataukah hanya pengacau
saja karena engkau tidak membawa surat perintah atau kuasa atau pasukan. Dan ke
tiga, andai kata benar engkau pangeran, aku pun tidak akan sudi menyerah karena
aku tahu benar bahwa ayahku dan semua keluarga Cin-ling-pai bukanlah
pemberontak!"
"Ha-ha-ha,
apakah engkau menghendaki aku menggunakan kekerasan? Aku sebenarnya tidak suka
mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita, apa lagi terhadap wanita
secantik engkau..."
"Keparat
sombong, tutup mulutmu yang kotor!" Yap Mei Lan sudah membentak dan dia
pun telah menerjang dengan pukulan tangan kiri dari kepalan tangannya yang
kecil tetapi yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu.
"Bagus!
Aku girang sekali melawan orang-orang pandai dari Cin-ling-pai! Hayo keluarkan
semua kepandaianmu!" kata Han Houw.
Dia memang
gembira melihat betapa pukulan wanita ini sangat hebat, hal yang memang sudah
disangkanya mengingat bahwa wanita cantik ini bukan orang sembarangan, namun
puteri kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Cepat dia mengelak, tetapi
sebelum dia sempat membalas Mei Lan sudah menyerangnya bertubi-tubi, tubuhnya
yang langsing itu bergerak demikian cepatnya, kadang-kadang berputar laksana
gasing, tahu-tahu telah menyerang dari arah-arah lain sehingga wanita itu
seakan-akan sudah mengubah dirinya menjadi banyak dan menyerang lawan dari
semua jurusan!
"Bagus
sekali...!" Han Houw menggerakkan kaki tangan, mengelak dan menangkis.
Memang hebat
dan indah serangan-serangan yang dilakukan oleh Yap Mei Lan. Dia telah
menggunakan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) yang
dahulu diwarisinya dari mendiang Bun Hwat Tosu, dan dia mengisi kedua lengannya
itu dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang yang diwarisinya dari mendiang Kok
Beng Lama!
Tentu saja
serangan-serangannya itu amat hebatnya, juga dibandingkan dengan Lie Seng, Mei
Lan memiliki kelebihan. Lie Seng hanya mewarisi ilmu-ilmu dari Kok Beng Lama
saja, sebaliknya Mei Lan mempunyai dua sumber dari ilmu-ilmunya, yaitu Kok Beng
Lama dan Bun Hwat Tosu. Di samping itu, melihat bakatnya yang hebat, dia pun
mewarisi khikang yang amat hebat dari Kok Beng Lama yang sengaja menurunkan
ilmu ini kepada Mei Lan.
Di lain
fihak, Yap Mei Lan amat terkejut ketika melihat betapa semua serangannya dapat
dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu! Lebih terkejut lagi dia ketika
mereka beradu lengan, dia merasa tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa pangeran
ini memiliki tenaga yang amat kuat!
Han Houw
juga mengerti bahwa boleh dibilang semua anggota keluarga Cin-ling-pai, atau
golongan mereka, mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, maka biar pun
sekarang yang dihadapinya hanya seorang wanita cantik yang kelihatan lemah
lembut, dia sama sekali tak berani memandang ringan. Maka dia pun bersilat
dengan cepat sambil mengerahkan tenaganya.
Dalam
keadaan seperti itu, setiap bertemu dengan lawan pandai, kumatlah penyakit Han
Houw. Dia ingin sekali menguras dan mengenal ilmu-ilmu lawan. Maka dalam
menghadapi Mei Lan dia pun lebih banyak bertahan dari pada menyerang, karena
lebih dulu dia ingin melihat lawannya mengeluarkan seluruh kepandaiannya, baru
dia akan merobohkannya dan menawan wanita ini sebagai sandera.
Melihat
betapa isterinya agaknya belum juga dapat mengalahkan pangeran itu, Souw Kwi
Beng menjadi tidak sabar. Dia mengerti bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh
kalau dibandingkan dengan tingkat isterinya atau pun pangeran itu, akan tetapi
sebagai seorang suami, tidak mungkin dia mendiamkannya saja melihat isterinya
berkelahi dengan orang lain.
Karena itu
dia lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring kemudian turunlah dia ke dalam
gelanggang perkelahian itu. Begitu menerjang maju, dia mainkan ilmu silat yang
diperoleh dari ibunya, yaitu Jit-goat Sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga
Im-yang Sinkang. Dia menyerang dengan pukulan-pukulan keras, akan tetapi kadang
kala diselingi pula dengan totokan-totokan yang disebut It-ci-san, yaitu
totokan satu jari yang amat ampuh dan yang merupakan ilmu andalan dari ibunya.
"Hemm,
bagus!" Pangeran Ceng Han Houw menjadi semakin gembira.
Dia melihat
bahwa pria tampan ini tidak begitu hebat gerakan mau pun tenaganya, namun
mempunyai ilmu silat yang aneh dan juga indah kuat. Mulailah dia dikeroyok dua
dan Han Houw memang sudah memperoleh tingkat yang amat tinggi sehingga
pengeroyokan dua orang suami isteri itu sama sekali tidak membuat dia terdesak.
Bahkan kini mulailah dia mengeluarkan jurus-jurus serangan balasan yang membuat
Mei Lan dan terutama sekali Kwi Beng, terdesak dan sering kali terpaksa
meloncat jauh ke belakang karena memang hantaman pangeran itu berbahaya dan
kuat bukan main.
Beberapa
kali Mei Lan menyuruh suaminya mundur, akan tetapi Kwi Beng sama sekali tidak
mau. Hal ini amat mengkhawatirkan hati Mei Lan. Dia pun tahu bahwa pangeran ini
memang lihai bukan main dan dia mengerti sampai di mana tingkat kepandaian
suaminya maka tentu saja melawan pangeran itu amat berbahaya bagi suaminya.
Tiba-tiba
dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mengeluarkan suara teriakan melengking
nyaring yang menggetarkan keadaan di sekelilingnya. Kwi Beng sendiri sampai
terhuyung dan meloncat ke belakang akibat tergetar oleh suara isterinya itu.
Han Houw terkejut dan sejenak dia termangu, dan saat itu digunakan oleh Mei Lan
untuk menerjangnya dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.
"Plak-plak-plakkk!"
Han Houw
terhuyung dan walau pun dia berhasil menangkis, namun serangan itu sangat
hebatnya sehingga membuat dia lengah dan terdesak, terutama lengah karena
lengking yang hebat tadi. Akan tetapi pangeran ini segera membuat gerakan aneh
dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik dan tiba-tiba Mei Lan menjerit
lantas cepat meloncat jauh ke belakang karena tanpa diduga-duganya, ada kaki
yang menyerang ke arah ubun-ubun kepalanya dengan hebatnya karena pangeran itu
tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan aneh.
"Ha-ha-ha!"
Han Houw tertawa dan dia pun meloncat dan berdiri seperti biasa lagi.
Untuk
menghadapi suami isteri itu, dia tidak perlu menggunakan ilmu simpanannya.
Kalau tadi dia terpaksa mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun adalah karena dia
terkejut hingga terdesak oleh pukulan-pukulan sakti wanita cantik itu.
"Lebih
baik engkau menyerah saja, Yap Mei Lan, dan mengingat akan kecantikanmu, aku
tentu akan bersikap manis kepadamu."
Wajah yang
cantik itu menjadi semakin merah. "Manusia busuk!" bentaknya dan dia
pun telah menerjang lagi, dibantu oleh suaminya yang juga marah karena pemuda
itu bersikap dan berbicara kurang ajar kepada isterinya.
Pada saat
itu, terdengar bentakan nyaring, "Manusia dari mana berani mengacau di
sini?" Bentakan itu disusul menyambarnya sesosok bayangan dan tahu-tahu
Lie Seng sudah berada di situ dan pemuda ini menerjang dengan pukulan yang amat
kuat ke arah dada Han Houw.
"Ehhh...!"
Han Houw menarik tubuh ke belakang untuk mengelak karena dia mengenal pukulan
ampuh.
Melihat Lie
Seng sudah datang membantu, Souw Kwi Beng meloncat lantas menyerang dengan
tendangan dari atas ke arah pundak kiri Han How. Akan tetapi pangeran ini sudah
siap sedia, lengan kirinya menyampok dan begitu kaki Kwi Beng tertangkis,
tubuhnya lalu terlempar dan terpelanting. Tentu dia akan terbanting keras kalau
lengannya tidak segera disambar oleh Mei Lan.
Lie Seng
terkejut bukan main melihat betapa mudahnya orang itu mengelak dari
pukulan-pukulannya yang hebat tadi, dan alangkah mudahnya pula dia membuat
tendangan Kwi Beng selain gagal juga membuat Kwi Beng terlempar. Tahulah dia
bahwa lawan ini bukan orang sembarangan, apa lagi dia melihat sendiri betapi
suci-nya dan suami suci-nya tidak mampu mengalahkannya.
"Pengacau,
siapakah engkau?!" bentaknya.
"Sute,
dia adalah Pangeran Ceng Han Houw, katanya datang untuk menangkap aku!"
kata Mei Lan yang sudah siap untuk menggempur lagi.
Hatinya
menjadi besar dengan kemunculan sute-nya karena dia maklum bahwa agaknya
kepandaiannya sendiri tidak akan mampu menandingi lawan. Namun kalau sute-nya
turut membantunya, dia yakin akan dapat mengalahkan pangeran yang benar-benar
amat lihai ini.
Lie Seng
terkejut dan alisnya yang tebal berkerut. Sejenak dia memandang pangeran itu
penuh perhatian. Adiknya, Lie Ciauw Si dahulu pernah menyebut-nyebut nama
pangeran ini, malah menurut adiknya, pangeran ini amat baik, memberi adiknya
sebuah cincin yang sudah terbukti pula kekuasaannya karena cincin itu dulu
mampu mengundurkan pasukan pemerintah!
"Benarkah
engkau Pangeran Ceng Han Houw?" tanyanya meragu.
"Benar,
dan siapakah engkau, kepandaianmu boleh juga."
Akan tetapi
Lie Seng tidak ingin memperkenalkan diri atau berkenalan, malah sebaliknya dia
menegur pangeran itu, "Kalau begitu, kenapa engkau hendak menangkap
suci-ku ini? Apa salahnya?"
"Ha-ha-ha-ha,
agaknya orang-orang Cin-ling-pai dan golongannya masih juga belum mau
menginsyafi dosa-dosanya. Yap Mei Lan ini adalah puteri dari Yap Kun Liong,
seorang pemberontak buruan. Aku hendak menangkapnya untuk sandera, agar para
pemberontak itu suka menyerah."
"Hemm,
mana ada aturan demikian? Bila memang hendak menangkap, mana surat kuasa atau
surat perintah untuk menangkapnya? Keluarga Cin-ling-pai baru dituduh saja
sebagai pemberontak, yang hanya merupakan fitnah belaka. Andai kata benar
mereka melakukan hal-hal yang dianggap memberontak, apa hubungannya hal itu
dengan suci? Jika hendak menangkap, harus ada surat kuasa atau surat perintah
dan alasan-alasannya yang kuat mengapa dia hendak ditangkap?"
Melihat
sikap yang tenang dan tegas dari pria muda yang gagah ini, Pangeran Ceng Han
Houw merasa kagum sehingga dia meragu. "Siapakah engkau yang berani bicara
seperti ini terhadap Pangeran Ceng Han Houw?"
"Aku
orang biasa, yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Aku Lie Seng, dan menurut
penuturan adikku Ciauw Si, yang namanya Pangeran Ceng Han Houw adalah orang
yang baik dan gagah, akan tetapi apa bila benar engkau pangeran itu dan kini
engkau bersikap seperti ini, hendak menangkap orang secara membabi-buta,
sungguh aku kecewa atas penuturan adikku itu!"
Han Houw
terkejut. Ah, kiranya pria yang gagah ini adalah kakak kandung dari Ciauw Si?
Sejenak dia termangu dan meragu. Dia merasa tidak enak kalau harus
memperlihatkan kekerasan di depan kakak kandung Ciauw Si, dara yang tidak
pernah dapat dilupakannya itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata,
"Semua
perbuatanku ini adalah tugasku sebagai pangeran, demi baktiku kepada negara.
Akan tetapi kalau memang kalian menghendaki surat kuasa, tunggulah. Aku akan
datang lagi membawa surat kuasa dan setelah demikian, kuharap kalian tak akan
membangkang lagi karena aku pun tidak ingin menggunakan kekerasan!" Sesudah
berkata demikian, dia menjura dan membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi
meninggalkan halaman rumah itu.
Para
tetangga yang berkerumun di depan melihat perkelahian itu pun lalu bubar karena
mereka tak berani mencampuri. "Mari kita bicara di dalam!" kata Souw
Kwi Beng kepada isterinya dan Lie Seng, suaranya mengandung kesungguhan dan
diliputi kegelisahan.
Sesudah tiba
di ruangan dalam, mereka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara
penuh kesungguhan. "Pangeran itu benar-benar mempunyai kepandaian yang
amat lihai, sute. Aku sendiri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat
mengalahkannya!"
Ucapan yang
sejujurnya dari sang suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Suci-nya itu
mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan masih lebih tinggi dari pada
tingkat kepandaiannya sendiri, akan tetapi sekarang suci-nya mengatakan bahwa
dia tak mampu mengalahkan pangeran ini!
"Betapa
pun juga kita akan melawannya, suci! Biarlah aku akan membantu suci, kurasa
dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan mampu banyak berlagak!"
kata Lie Seng, masih merasa terkejut.
Akan tetapi
Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Hendaknya kalian
berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukan seorang tokoh kang-ouw yang dapat
dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang
pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan
keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita
harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia
kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat
melawan pemerintah.
Melihat
wajah suaminya yang penuh kegelisahan itu, Mei Lan menjadi ikut khawatir. Jadi,
bagaimana sekarang baiknya?" tanyanya sambil memandang kepada suaminya,
maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu sebenarnya mengkhawatirkan
keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri.
Selagi tiga
orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba saja masuk seorang
wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu
ternyata adalah Sun Eng, dan ketika melihat Lie Seng berada di situ bersama
suci-nya dan suami suci-nya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan
dada.
Ahhh...
syukurlah kalian tidak apa-apa...," katanya terengah. Aku... aku tadi
mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari ke sini..."
Lie Seng
sudah merangkul kekasihnya kemudian membawanya duduk menghadapi meja.
Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting
dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah."
Lalu dengan
singkat dia menceritakan mengenai kemunculan Pangeran Ceng Han Houw yang hendak
menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak.
Tentu saja
Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras
itu segera berkata, kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?"
"Ah,
tak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkau pun tahu betapa keluarga
Cin-ling-pai telah difitnah, dituduh pemberontak. Jika kita sampai membunuh
seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu,
pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat
menandinginya."
"Ohhh...?!
Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang
memiliki kepandaian setinggi itu. Habis, bagaimana baiknya?"
"Itulah
yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi," jawab Lie
Seng.
Kembali
suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan sebab mereka merasa tegang
dan khawatir.
Kalau tidak
boleh melawan, jadi... apakah kita harus melarikan diri?" akhirnya Yap Mei
Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran.
"Agaknya
itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pemerintah,
tidak ada jalan lain...," kata suaminya.
"Tapi,
engkau sudah begitu royal dengan hadiah-hadiahmu kepada boleh di bilang semua
pejabat dari yang terendah sampai yang tertinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang
kau berikan kepada mereka bahkan lebih besar dari pada gaji yang mereka
terima!" isterinya mencela.
Souw Kwi
Beng menarik napas panjang. Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di
Yen-tai ini sudah sangat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh
perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Tentu kekuasaannya
jauh lebih besar sehingga para pejabat di sini tentu tidak mampu menentangnya.
Betapa pun juga, aku akan menghubungi mereka dan..."
Souw Kwi
Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu pula muncullah seorang
pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon
bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu
minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan
itu.
Tidak lama
kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki ruangan itu
kemudian cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lain-lain. Kwi
Beng mengenal orang ini sebagai orang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu kepala
daerah Yen-tai.
"Saya
tidak dapat bicara banyak dan lama," kata orang itu sesudah dipersilakan
duduk. Saya diutus oleh taijin supaya menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan
Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan
bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pemegang kekuasaan dari
kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota agar
mengerahkan pasukan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tidak
dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk
memberi tahu. Taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi dari
kota ini, dan kalau mungkin menyeberang lautan!"
Souw Kwi
Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang itu pun
cepat-cepat pergi melalui pintu belakang.
Hah, tidak
urung begini jadinya," kata Souw Kwi Beng, Itulah jalan satu-satunya.
Isteriku, cepatlah berkemas. Kita akan membawa barang-barang berharga saja dan
terpaksa yang lain-lain kita tinggalkan pada orang-orang kita. Sebelum keadaan
menjadi dingin, biarlah kita lari menyeberang ke selatan."
Yap Mei Lan
nampak gelisah. Hhh, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?"
"Suci,
cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pemerintah.
Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula, cihu
memiliki banyak teman di luar negeri. Takut apa? Tentang aku..."
"Mari
kalian ikut saja bersama kami!" kata Souw Kwi Beng.
Lie Seng
menggelengkan kepala. 鈥淭erima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak kebaikan terhadap
kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian berangkatlah,
sedangkan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian berkemas,
dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku sudah
selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan kita pun
akan segera pergi hari ini juga."
Sun Eng
memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini saling
pandang dan biar pun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak berwatak
cengeng atau lemah, akan tetapi menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu
mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan lalu keduanya berpelukan
dan menangis.
"Enci,
hati-hatilah di jalan...," Sun Eng berkata.
"Engkau
pun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus membawa
bekal..."
Mei Lan
menarik tangan Sun Eng memasuki kamarnya dan memberi banyak perhiasan-perhiasan
berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan hati terharu.
Akhirnya,
dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula. Ada pun
Lie Seng sibuk membantu suci-nya dan cihu-nya berkemas lalu mengangkuti
barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah
dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya kemudian menunjuk beberapa
orang untuk menjadi wakil dalam mengatur perusahaannya.
Persiapan
itu dilakukan secepatnya dan ketika lewat tengah hari berangkatlah perahu itu
meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di
pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh suci-nya dan cihu-nya. Dia
berdiri memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam.
Teringatlah
dia kepada Sun Eng maka cepat dia berjalan pulang. Dia dan Sun Eng juga harus
pergi secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan
Mei Lan dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya.
Akan tetapi,
ketika tiba di rumah dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun Eng tidak dapat
ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalan-buntalan, dan nampak
bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan pemberian Yap Mei
Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng dalam buntalan pakaiannya yang diletakkan di
atas meja.
Jantung Lie
Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran ketika dia menemukan sesampul surat di
atas buntalan pakaiannya. Dengan jari-jari gemetar dibukanya sampul surat itu
dan wajahnya makin pucat ketika dia membaca surat tulisan tangan Sun Eng!
Kanda Lie
Seng tercinta.
Terbuka
kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu serta keluargamu.
Pangeran itulah yang menjadi sumber mala petaka bagi keluargamu. Maka tiba
saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku,
koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai.
Kalau aku gagal dengan menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu.
Selamat tinggal, koko, aku selamanya cinta padamu dan kenekatanku sekali ini
pun karena cintaku kepadamu.
Yang
mencinta selamanya, Sun Eng
"Eng-Moi...!"
Lie Seng mengeluh.
Ingin dia
menjerit, dan ingin dia mengejar, memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan
tetapi ke mana dia harus mencarinya? Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu?
Sejenak dia
termangu, terduduk di atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia
mengingat-ingat apa yang menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti
itu. Nekat dan berbahaya! Kemudian dia mengerti.
Selama ini
Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut menjadi jodohnya, apa lagi
melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan suaminya kepada mereka
berdua. Sekarang tiba-tiba saja muncul pangeran itu yang bukan hanya merupakan
musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang menyebabkan keluarga
Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan pula kebahagiaan
Sun Eng yang telah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yen-tai. Inilah
agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang ditulis oleh Sun
Eng, dia melihat kesempatan baik.
Akan tetapi,
apa yang akan dilakukan? Membunuh pangeran itu? Ahhh, lamunan kosong belaka dan
sama dengan membunuh diri! Lalu apa? Apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu?
"Sun
Eng...! Eng-moi...!" Lie Seng mengeluh.
Tanpa
mempedulikan buntalan-buntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia
lalu mencari keterangan di mana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus
mencari kekasihnya, harus mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia
akan melindungi Sun Eng dengan taruhan nyawanya!
Akan tetapi,
dalam penyelidikannya dia mendengar bahwa pangeran itu sedang menjadi tamu
agung di gedung Ciong-taijin, kepala daerah kota Yen-tai! Kemudian menurut
hasil penyelidikannya pula, dia mendengar Sun Eng tidak berada di tempat itu.
Hatinya merasa lega, akan tetapi segera dia merasa bingung kembali karena dia
tidak tahu ke mana dia harus menyusul dan mencari Sun Eng.
Akhirnya dia
mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja, karena menurut suratnya, Sun Eng
hendak berusaha menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Ini berarti bahwa tentu
kekasihnya itu akan pengi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah terhadap
nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan di dalam surat itu, Sun Eng mengatakan
bahwa kalau usahanya gagal, maka dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng
Han Houw. Ke mana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja?
Akan tetapi,
Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu tidak tahu bahwa
sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini setelah mengadakan
pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika pulang ke rumahnya
dan berkemas, tidak pernah dapat membendung mengalirnya air matanya.
Mei Lan dan
Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu menghadapi mala
petaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tak mungkin dia diam saja. Sekarang
dia harus menunjukkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng. Dia harus melakukan
sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan perbuatan yang akan
menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya akibat
penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tak sudi menerimanya
sebagai mantu. Dia akan memperlihatkan kepada mereka bahwa biar pun dia pernah
menyeleweng, namun dia masih mempunyai kegagahan, masih memiliki harga diri
yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau perlu
dia akan berkorban nyawa!
Tentu saja
hatinya seperti disayat-sayat rasanya kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria
yang dicintanya dan sangat mencintanya. Dia akan jauh dari pria itu, dia akan
menderita rindu, dia akan merasa kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan
yang dinikmatinya bersama Lie Seng. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia
harus melakukan ini selagi terdapat kesempatan, karena kalau tidak, segala
kemesraan dengan Lie Seng itu selalu akan tidak lengkap, selalu akan ternoda
oleh rasa rendah diri!
Demikianlah,
dia lalu mempersiapkan segala sesuatu untuk pria yang dicintanya, bahkan
pemberian perhiasan dari Mei Lan ditinggalkan untuk kekasihnya. Dia sama sekali
tidak pernah menyangka bahwa kepergiannya demikian menghancurkan hati Lie Seng
hingga pria ini pun sampai tidak mempedulikan lagi semua benda-benda itu,
bahkan pergi tanpa membawa apa pun!
Sun Eng yang
merupakan penduduk baru di Yen-tai, dengan mudahnya dapat melakukan
penyelidikan dan terus membayangi Pangeran Ceng Han Houw, tanpa dicurigai orang
lain karena dia memang belum mempunyai banyak kenalan. Dia melihat betapa
pangeran itu membawa pasukan setempat menyerbu ke rumah Souw Kwi Beng, akan
tetapi tentu saja kedua suami isteri itu telah lama meninggalkan rumah, bahkan
telah lama meninggalkan pelabuhan. Para pegawai mereka yang diperiksa
menyatakan dengan terus terang bahwa majikan mereka bersama nyonya majikan
berlayar ke selatan.
Pangeran
Ceng Han Houw menjadi sangat kecewa dan marah, akan tetapi karena dia tak
membutuhkan para pengawal itu, dia hanya memesan kepada Ciong-taijin supaya
terus mengawasi dan kalau sewaktu-waktu suami isteri itu pulang, harus segera
ditangkap dan dibawa ke kota raja! Kemudian, atas petunjuk dari para pegawai,
dia membawa pasukan menyerbu rumah Lie Seng di mana dia pun mendapatkan rumah kosong
belaka karena Lie Seng dan kekasihnya juga sudah kabur entah ke mana.
Sun Eng
menyaksikan semua ini dari tempat persembunyiannya dan dia terus mengikuti
perjalanan pangeran itu. Han Houw tidak lama tinggal di Yen-tai. Pada keesokan
harinya, dia menunggang kereta yang disediakan oleh Ciong-taijin, menuju ke
arah utara karena dia hendak kembali ke kota raja.
Akan tetapi
dua hari kemudian, pada saat kereta itu melewati sebuah hutan, dia melihat
sesosok tubuh wanita menggeletak di tengah jalan liar itu. Tentu saja kusir
kereta cepat menghentikan keretanya dan ketika Han Houw membuka tirai
memandang, dia melihat tubuh wanita itu dan dia merasa tertarik sekali, apa
lagi melihat betapa pakaian wanita itu robek-robek hingga nampaklah kulit paha
yang putih mulus! Hal seperti ini tentu saja amat menarik mata pangeran itu.
Dia segera
meloncat turun, kemudian dengan beberapa lompatan saja dia sudah tiba di dekat
wanita itu menelungkup dalam keadaan lemas, masih hidup namun keadaannya amat
memelas sekali, selain pakaiannya robek-robek, juga lengan dan kakinya
lecet-lecet dan sepatunya juga bolong-bolong, rambutnya awut-awutan.
Han Houw
lalu membalikkan tubuh itu dengan memegang pundaknya. Sesudah tubuh itu
membalik, dia pun terbelalak. Wanita ini masih amat muda dan cantik manis bukan
main! Wajah itu pucat, akan tetapi kulitnya halus bukan main dan agaknya
tadinya terpelihara baik-baik, dengan alis yang seperti dilukis saja, mata
terpejam dengan bulu mata panjang, hidung kecil mancung dan mulut yang
menggairahkan, dengan bibir penuh lembut serta lehernya panjang, putih mulus
berbentuk indah.
Usia wanita
ini tak akan lebih dari dua puluh tahun, dan di balik pakaian yang robek-robek
itu, bahkan di bagian dada juga robek, membayanglah buah dada yang padat dan
lekuk lengkung tubuh yang penuh berisi, tubuh seorang wanita muda yang mulai
masak!
Han Houw
cepat-cepat meraba nadi pergelangan tangan wanita itu. Lemah sekali! Dari
pengetahuannya yang cukup tentang keadaan tubuh manusia, dia mengerti bahwa
wanita ini tidak terluka, hanya sangat lelah dan mungkin sekali kelaparan!
Wanita itu pun tidak pingsan, melainkan setengah sadar karena dia menggerakkan
mata dan mulut. Mata itu terbuka perlahan dan untuk kedua kalinya Han Houw
terpesona. Mata itu pun demikian indahnya, bening dan penuh perasaan, hanya
terselimut duka yang mendalam.
Bibir yang
kemerahan dan lunak itu berbisik-bisik, "Biarkan aku mati... ahhh, biarkan
aku mati..."
"Hemm,
engkau masih muda dan cantik, kenapa ingin mati, nona?"
Wanita muda
itu menangis sesenggukkan. "...lebih baik mati dari pada hidup merana...
aku akan tersiksa..."
"Hemmm,
jangan takut! Setelah aku berada di sampingmu, biar raja setan neraka sekali
pun takkan berani mengganggumu. Aku akan melindungimu. Mari engkau ikut
denganku, nona."
Wanita itu
lalu bangkit duduk dengan lemah, matanya yang seperti hendak terpejam saja,
seperti mata orang mengantuk karena lemahnya itu, memandang wajah pria yang
tampan itu. "Kau... kau... siapakah...?"
Wajah tampan
itu tersenyum penuh gaya. "Aku adalah Pangeran Ceng Han Houw...!"
"Aduh...!
Ampunkan hamba...!" Wanita itu cepat-cepat berlutut dan memberi hormat,
akan tetapi karena badannya lemah dia terguling dan tentu sudah roboh lagi
kalau tidak cepat dirangkul Han Houw.
"Siapa
namamu?"
"Hamba...
hamba she Sun bernama Eng..."
Han Houw
yang merangkul wanita itu mendekatkan mukanya dan mencium bau sedap, membuat
hatinya makin berdebar penuh gairah.
"Maukah
engkau ikut bersamaku, menikmati hidup dan terlepas dari penderitaanmu?"
Dia berbisik dekat telinga wanita itu, hidungnya menyentuh pipi dengan lembut.
"Hamba...
hamba mau... akan tetapi suami hamba..."
Sepasang
alis pangeran itu berkerut, akan tetapi hatinya sudah terlampau tertarik dengan
kecantikan dan kelembutan yang sudah terasa oleh kedua tangannya yang merangkul
dan sudah tercium oleh hidungnya. "Suamimu...?"
"Hamba...
melarikan diri dari suami hamba... kalau dia tahu hamba... hamba tentu akan
dibunuhnya..."
Lega rasa
hati Han Houw dan dia tersenyum. "Engkau lari darinya? Mengapa engkau lari
dari suamimu?"
"Hamba...
hamba dipaksa menikah dengan suami yang tua bangka itu... biar pun dia kaya
raya, hamba tidak suka... dan setelah tiga bulan menjadi isterinya, hamba tidak
sanggup menahan lagi maka hamba lalu melarikan diri. Sampai tiga hari tiga
malam hamba lari... hamba tidak makan dan..."
Semakin
giranglah hati Han Houw. Diciumnya mata kanan yang bening itu dengan ujung
hidungnya. Sun Eng memejamkan matanya kemudian membuat suara dengan napasnya
seperti tersentak kaget, sikap seorang wanita yang tidak biasa bermain gila
dengan pria lain!
"Pangeran...!
Jangan..."
Tentu saja
sikap ini sangat menyenangkan bagi Han Houw, maka dia tersenyum. "Kalau
begitu jangan khawatir, mari kau ikut bersamaku dan hidup senang di kota raja.
Tentang suamimu tua bangka itu, kalau dia berani muncul, akan kujebloskan ke
dalam penjara!" Tanpa menanti jawaban lagi, dia lalu memondong tubuh Sun
Eng kemudian dibawanya ke dalam kereta.
Tirai kereta
ditutup lantas dengan suara lantang gembira Han Houw memerintahkan kusir untuk
membalapkan kereta itu menuju ke kota raja!
Dapatlah
dibayangkan alangkah senangnya hati Han Houw menemukan seorang wanita secantik
manis Sun Eng. Selama dalam perjalanan itu dia membelai dan membujuk rayu
sehingga wanita itu tidak berani banyak berkutik atau bersuara karena merasa
malu sekali terhadap kusir yang duduk di depan. Dia terpaksa diam saja ketika
dipeluk, diciumi dan digerayangi oleh pangeran itu.
Sun Eng
hanya memejamkan matanya, bahkan dicobanya untuk membayangkan bahwa yang
diciuminya itu adalah Lie Seng, pria yang amat dicintanya! Hatinya perih bukan
main bahwa dia terpaksa harus melakukan hal ini, terpaksa harus menyerahkan
dirinya kepada seorang pria lain, betapa pun tampan, gagah dan tingginya
kedudukan pria yang sedang memangkunya ini. Dia melakukan akal ini dengan
perasaan hancur.
Hanya ini
satu-satunya jalan, pikirnya. Satu-satunya jalan untuk mengorbankan diri demi
kebaikan keluarga Lie Seng. Pertama, dia akan dapat berusaha menyelamatkan
keluarga Cin-ling-pai dengan cara menundukkan pangeran yang berkuasa ini. Ke
dua, dia pun bisa memutuskan hubungannya dengan Lie Seng karena dia insyaf
bahwa sesungguhnya dia tidak patut menerima cinta yang demikian besarnya dari
Lie Seng.
Diam-diam
Sun Eng merasa heran, betapa cintanya terhadap Lie Seng sudah merubah dirinya
sama sekali, merubah perasaan hatinya. Dia tahu pasti bahwa dulu, sebelum dia
berjumpa dengan Lie Seng, tentu dia akan merasa bangga, merasa gembira bukan
main bila bertemu dengan seorang seperti pangeran ini. Masih muda, tampan,
pandai merayu, pandai bermain cinta, berkepandaian tinggi sekali, serta
berkedudukan tinggi pula! Akan tetapi mengapa kini dia menerima belaian dan
peluk cium pangeran ini dengan hati yang demikian perihnya?
"Ehh,
mengapa engkau menangis?" bisik pangeran itu di dekat telinganya sesudah
puas menciuminya dan melihat ada beberapa butir air mata menuruni kedua pipi
yang halus dan kemerahan itu.
"Hamba...
hamba takut...," bisik Sun Eng.
"Takut?
Ha-ha-ha, aku suka padamu, Eng-moi, jangan takut, aku akan melindungimu dan
mulai saat ini, semua orang akan menghormatimu. Hai, kusir, kita berhenti di
kota ini dan pergi ke rumah kepala daerah!" Pangeran Ceng Han Houw berkata
ketika melihat bahwa keretanya memasuki pintu gerbang sebuah kota.
Sun Eng
digandeng turun sesudah kereta berhenti di depan gedung kepala daerah, dan
pangeran itu bersama Sun Eng lalu disambut dengan penuh kehormatan. Memang
benar seperti yang dijanjikan oleh pangeran itu, karena dia datang sambil
digandeng oleh sang pangeran, maka Sun Eng disambut dengan penuh penghormatan!
Han Houw
diberi kamar yang terindah di gedung itu, dan atas perintah Han Houw, kepala
daerah itu bergegas mencarikan pakaian-pakaian yang paling indah untuk Sun Eng!
Dan mereka berdua pun lalu dijamu dengan hidangan-hidangan istimewa yang serba
lezat dan mahal! Sun Eng merasa seakan-akan dia hidup di dalam mimpi. Kepala
daerah kota itu mengadakan pesta untuk menghormati dan menyenangkan dia!
Akan tetapi
kembali dia menangis dan hatinya terasa hancur ketika pada malam itu dia
terpaksa harus melayani sang pangeran bermain cinta. Dia hanya bisa menyerah,
bahkan demi tercapainya rencana yang sedang dijalankannya, dia tidak hanya
melayani dengan pasrah dan diam saja, bahkan sebaliknya dari pada itu, dia
mempergunakan kepandaian dan pengalamannya untuk menyenangkan pangeran itu.
Pangeran
Ceng Han Houw makin tergila-gila kepada Sun Eng dan pangeran yang cerdik ini
merangkul dan bertanya, "Eng-moi, dari mana engkau mempelajari semua
kelihaianmu yang penuh gairah ini?"
Sun Eng
tersenyum dan bersikap malu-malu, lalu mencubit lengan pangeran itu.
"Ah,
pangeran... saya yang setiap hari harus menderita... merasa tersiksa dalam pelukan
seorang tua bangka yang napasnya sudah empas-empis, yang untuk mengangkat tubuh
sendiri saja sudah tidak kuat... betapa setiap saat saya selalu merindukan
seorang pria yang muda, kuat dan tampan seperti paduka... karena itu, tentu
saja saya merasa sangat berterima kasih dan girang..."
Han Houw
tertawa dan malam itu mereka bermain cinta tanpa mengenal lelah atau puas. Pada
keesokan harinya, Han Houw melanjutkan perjalanan ke kota raja. Mulai saat itu,
Sun Eng menjadi selir yang terkasih dari Han How. Selir baru ini, seperti
biasa, diterima dengan penuh kerelaan dan sikap manis oleh selir-selir yang
lain.
Pada jaman
itu, selir-selir dari seorang bangsawan atau hartawan tidak ada yang berani
menentang apa bila suami mereka yang lebih tepat disebut majikan mengambil
selir baru. Apa lagi selir-selir Pangeran Ceng Han Houw yang kesemuanya tunduk
dan takut sekali terhadap sang pangeran, di samping rasa kagum mereka dan
keinginan mereka untuk menjadi orang yang paling dikasihi.
Sun Eng
memang mengalami kehidupan yang mewah dan enak. Setiap hari dilayani para
pelayan, hidup serba mewah, dan satu-satunya pekerjaan hanyalah bersama para
selir lain melayani sang pangeran, berusaha menyenangkan hati pangeran sebaik
mungkin. Dia terkenal sebagai selir baru yang pendiam terhadap lain selir, akan
tetapi amat manis budi dan menarik terhadap sang pangeran sehingga sampai
beberapa bulan lamanya dia menjadi selir terkasih dan paling dipercaya oleh Han
Houw.
Menggunakan
saat-saat sang pangeran terbuai oleh pelayanannya di dalam kamar, pada waktu
pangeran muda itu dalam keadaan setengah mabuk oleh rayuannya, sedikit demi
sedikit Sun Eng dapat memperkuat kepercayaan pangeran itu kepadanya hingga
sedikit demi sedikit pula dia dapat mengorek rahasia pribadi sang pangeran!
"Aku
adalah putera tiri dari Raja Sabutai yang besar!" demikian Han Houw
berbisik dalam mabuknya sambil membelai Sun Eng penuh gairah birahi. "Dan
aku akan menjadi orang terbesar di seluruh dunia! Aku mewarisi ilmu kepandaian
yang amat tinggi dan aku harus menjadi Jago Nomor Satu di dunia ini!"
Perlahan-lahan,
dengan beberapa pertanyaan yang seolah-olah mengagumi dan memuji, dengan sikap
manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri
penuh gairah, Sun Eng berhasil menuntun Han Houw sehingga pangeran muda ini
akhirnya menceritakan semua cita-citanya.
Dia ingin
menjadi jago nomor satu di dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan
mengandung niat yang lebih besar. Yaitu, sesudah menjadi jagoan nomor satu, dia
akan dapat menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya!
Dan dia pun perlahan-lahan hendak menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan
Beng-tiauw agar mereka pun berdiri di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan
ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia
yang sudah siap di sebelah dalam ini akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng
Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut tahta kerajaan.
"Ha-ha-ha,
kekasihku, akulah yang patut menjadi kaisar, bukan?"
Sun Eng
merangkul manja. "Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang
pria lain mana pun yang lebih pantas menjadi kaisar selain paduka."
Han Houw
tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu. "Dan
engkau mungkin menjadi permaisuriku!"
"Ahhh...
pangeran, mana hamba ada harga untuk itu..."
"Kau
cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke tiga
atau selir terkasih."
"Ahhh,
terima kasih, pangeran junjungan hamba..."
Demikianlah,
dengan segala kepandaian yang ada padanya, Sun Eng membikin pangeran itu
tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya benar dalam
waktu kurang dari dua bulan saja.
Pada suatu
senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman. Dia duduk
di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi rotan yang
kepalanya berupa kepala seekor ular raksasa. Dengan santai pangeran itu duduk
dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum nikmat dikelilingi
oleh para selirnya terkasih.
Sun Eng
duduk paling dekat dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati
tubuh pangeran itu. Sun Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha
pangeran itu. Ada pula selir yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja
hari itu agak panas. Seorang selir lainnya membawa buah-buahan segar, dan ada
seorang selir yang sedang melakukan tari sutera yang indah dengan diiringi
suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa orang selir lain dengan yang-kim
dan suling. Para selir itu semua cantik-cantik dan muda-muda, akan tetapi
agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat itu.
Sun Eng
kelihatan diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali sesudah apa yang
didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam, ketika
dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang kelelahan dan
malas memperhatikan sesuatu sehingga tak nampak oleh sang pangeran betapa
kekasihnya itu termenung. Pangeran itu terlampau lelah karena sesudah semalam
dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan permainan asmara bersama Sun
Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu birahinya dengan para selir
lain.
Di dalam
hati Sun Eng terjadi keraguan akan hasil dari pada semua pengorbanannya. Dia
mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai bukanlah
kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liu-nio yang
mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal.
Pertama,
karena keluarga itu adalah musuh besar subo-nya. Ke dua karena Kim Hong Liu-nio
merasa sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan justru pembunuh dari
panglima kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng! Jadi bukan pangeran
inilah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai!
Apa bila
demikian, percuma saja dia menghambakan diri kepada pangeran ini! Hampir dia
putus asa, akan tetapi setidaknya dia hendak mempergunakan pengaruhnya sebagai
selir terkasih, menggunakan pengaruh tangannya pula! Dia harus membongkar semua
rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya
dan mana buktinya? Tanpa bukti, tentu saja tidak mungkin hal itu dilakukan.
Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai seorang adik tiri dari pada seorang
selir pangeran!
Pada waktu
itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan dibuai oleh
suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, mendadak
seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang
menghadap. Saat mendengar kedatangan tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw
seketika bangkit dan wajahnya membayangkan kesungguhan serta penuh semangat,
kemudian dengan berseri dia berkata,
"Suruh
dia menanti di ruangan baca di dalam."
Pengawal itu
memberi hormat kemudian cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di sebelah
dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapa pun tidak
boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam
ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting.
"Pangeran,
bolehkah hamba ikut?" tiba-tiba Sun Eng berbisik.
Pangeran
menoleh dan sudah bersiap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi pada
saat dia memandang sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang
membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, maka
dia tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang
dengan rasa iri tersembunyi oleh para selir lainnya.
"Hanya
engkau saja yang boleh, aku percaya kepadamu," bisik pangeran itu yang
segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju
ke kamar baca itu.
Tiga orang
yang duduk di dalam kamar yang luas dengan diterangi lampu-lampu besar itu
langsung bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan
Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu lantas menggerakkan tangannya menyuruh
mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun
Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya.
"Duduklah
dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian," katanya tenang.
Tiga orang
itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang kepada Sun
Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran tersenyum ketika
melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia berkata,
"Jangan
kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang paling
kupercaya di sini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu."
Sun Eng
menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya sebab saat itu dia merasa
tegang bukan main. Dia tidak mengenal ketiga orang ini dan tadi dia memandang
penuh perhatian.
Salah
seorang di antara mereka adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun,
bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok menyeramkan. Dia tidak tahu bahwa
orang ini adalah seorang tokoh selatan yang sangat terkenal, karena dia adalah
Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo yang amat ditakuti
orang.
Ada pun
orang ke dua dan ke tiga adalah orang asing, kemungkinan orang Mongol, dan
pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang
cerdik. Salah seorang di antara keduanya, yang usianya kurang dari lima puluh
tahun, sesudah membungkuk-bungkuk dengan hormat kemudian bicara singkat dalam
bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran.
Dan sambil
tersenyum-senyum sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, agaknya
menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu. Orang ke dua yang usianya
kurang lebih enam puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar
mata orang ke dua ini seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul.
"Nah,
sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja
dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya."
Kembali
orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu menyerahkan
sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi karena tidak
mengerti bahasa mereka, dia hanya termangu-mangu. Girang hatinya ketika dia
melihat pangeran membuka peti itu lantas mengeluarkan gulungan kertas yang
merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat
itu lalu tertawa.
"Ha-ha-ha,
ayahanda Raja Sabutai masih suka menggunakan peraturan kuno, mengirim surat
secara resmi! Syukurlah bahwa kini di utara telah diadakan persiapan. Nah,
Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu kita di utara sudah siap. Karena itu
kita juga harus cepat-cepat mempersiapkan diri. Apakah engkau telah menghubungi
fihak Pek-lian-kauw yang sudah kutundukkan?"
Dengan sikap
sangat menghormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk. "Sudah,
pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh anggota Pek-lian-kauw
telah siap untuk membantu paduka."
"Bagus!
Kalau demikian tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu perlu
lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor satu.
Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka. Kau boleh
atur pertemuan besar itu..."
"Baik,
pangeran."
Melihat
selirnya yang tercinta itu kelihatan kesal karena agaknya tidak tertarik,
Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata, "Eng-moi, kau
lebih baik pergi mengaso dulu. Ehh, baiknya kotak ini kau bawa dan kau simpan
dulu baik-baik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan
penting dengan para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau
tentu tidak tertarik."
Sun Eng
menyembunyikan debar jantungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan sikap
manis dan berkata, "Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan
menyiapkan segalanya untuk menyenangkan paduka..." Dalam ucapan ini
terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran
itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan
suara lirih.
"Ah,
agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai pagi.
Kau mengasolah saja, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah..." dia
tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil
memperlihatkan sikap tersipu-sipu.
Memang
selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang pangeran tentu berada di
dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru berbulan madu
saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa kotak hitam
terukir indah itu.
Setelah tiba
di dalam kamamya, Sun Eng cepat-cepat mengeluarkan alat tulis dan kertas
kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun
sebuah surat pelaporan kepada kaisar! Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran
Ceng Han Houw, betapa pangeran ini sudah mengadakan persekutuan dengan Raja
Sabutai dan dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw yang telah
siap membantu apa bila Raja Sabutai mengadakan serbuan!
Betapa
keluarga Cin-ling-pai difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakannya
selengkapnya dalam pelaporan itu tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena
fitnah. Semua ini telah didengarnya sendiri dari penuturan Pangeran Ceng Han
Houw!
Sesudah
selesai membuat surat itu, Sun Eng berganti pakaian ringkas yang disimpannya
secara sembunyi, kemudian dia meninggalkan gedung besar itu melalui jendela dan
terus berloncatan di atas genteng. Selir yang biasanya sangat manja dan lemah
lembut penuh daya tarik kewanitaan itu, kini berubah menjadi bayangan yang amat
gesit dan ringan.
Selama
menjadi selir terkasih Pangeran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu di dalam
belaiannya, Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat tinggi yang
dianggap musuh oleh sang pangeran, sebab pejabat itu merupakan
pembesar-pembesar yang amat setia kepada kaisar.
Oleh karena
itu bayangan hitam yang berkelebatan pada malam hari berlompatan di atas
genteng-genteng itu kini menuju sebuah gedung besar, yaitu tempat tinggal dari
Menteri Liang, seorang menteri tua yang terkenal sangat setia terhadap
pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya hanyalah sebagai menteri bagian
kebudayaan, maka kejujuran dan keadilannya tak dapat berbuat banyak terhadap
para menteri durna yang lain. Maklumlah, kedudukannya tidak mengijinkan dia
mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat dengan kaisar.
Para
pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang besar
menteri itu, "Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin
karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan
negara."
Mendengar
ini, para pengawal segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar ini tidak
pernah takut menghadapi apa pun juga, maka mendengar betapa malam-malam begitu
ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw ingin
menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera menyuruh
para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi keamanan
dirinya sendiri, dia juga memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga
menghadapi segala kemungkinan.
Dengan
jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu, diiringkan oleh belasan
orang pengawal yang memegang tombak. Sesudah dia berjumpa dengan pembesar tua
yang berwibawa itu, dia segera menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah
seorang selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw..."
"Ahhh...!"
Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh
selidik.
"Hamba
sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng Han Houw
dan inilah hasil penyelidikan hamba, harap paduka sudi melaporkannya kepada sri
baginda kaisar untuk menyelamatkan kerajaan." Dengan singkat tetapi jelas
Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat dari
Raja Sabutai itu, dan menambahkan, "Semua fitnah yang dijatuhkan kepada
keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam laporan ini. Sekarang hamba mohon
diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus
cepat melarikan diri."
Melihat
wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain berwarna kuning, menteri itu
tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal menerimanya
dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat bertanya.
"Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona
melakukan semua ini?"
"Hamba
adalah seorang yang berhutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka hamba
sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat
tinggal, taijin."
Dengan
mempergunakan ginkang-nya, Sun Eng sudah melompat dan lenyap dari tempat itu.
Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga membuat menteri itu terkejut.
Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar, dia memberi tanda dengan
tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal membuka buntalan itu.
Di lain saat
Liang-taijin sudah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam dengan mata
terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan dibacanya.
Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai mengatur rencana
pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang sebetulnya
putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng Hwa yang
sekarang!
Dengan
jari-jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua pelaporan yang ditulis
secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng. Maka dia lalu
menyimpan baik-baik semua benda itu kemudian memerintahkan para pengawal supaya
melakukan penjagaan yang seketatnya dan secara diam-diam dia menyuruh panggil
para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada kaisar
dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw dan Kim
Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah menyebabkan
keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga gagah yang
dianggap pemberontak.
Malam itu
juga para pembesar ini mengadakan perundingan dan memeriksa surat-surat itu.
Akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran
Hung Chih, yaitu seorang pangeran kakak tiri dari kaisar sendiri yang terkenal
sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi
penasehat dari kaisar.
Malam itu
juga Pangeran Hung Chih menerima berita itu berikut semua bukti-buktinya, maka
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap kaisar dan
melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja
Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun
Eng.
Kaisar
terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi dengan
bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk
menanggulangi persoalan itu dengan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam
menghadapi Ceng Han Houw, mempergunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi
perang saudara. Apa lagi bila diingat bahwa di samping Ceng Han Houw merupakan
seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sendiri, juga Kim Hong
Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng
Tung.
"Akan
tetapi, bagaimana pun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan mereka
yang hendak memberontak, siapa pun juga harus ditumpas secara halus mau pun,
kalau perlu, kasar!"
Demikianlah,
Pangeran Hung Chih yang telah mendapat kekuasaan penuh secara tertulis dari
kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan mengatur rencana dan
siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus.
***************
Sun Eng
merasa lega sekali sesudah dia menyerahkan semua benda itu kepada Menteri
Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil dengan baik. Menteri
Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang sangat
penting bagi keamanan kerajaan itu kepada kaisar. Tugasnya telah selesai dan
dia sudah melakukan sesuatu demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu
saja, bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan!
Akan tetapi
di samping perasaan bangga bahwa dia telah mampu mengangkat namanya, memberi
isi kepada namanya sehingga dia tak akan terlampau rendah dalam pandangan
keluarga Cin-ling-pai, ada perasaan duka yang mendalam kalau dia teringat
betapa untuk semua hasil itu, dia telah menyerahkan diri dan menjadi permainan
Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua yang dia lakukan itu, apakah dia ada
harga lagi untuk melanjutkan hubungannya dengan Lie Seng? Ah, rasanya untuk
bertemu muka saja pun dia sudah tak sanggup lagi!
Mengingat
hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Dia merasa
betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga dari pada sebelum
dia membuat jasa terhadap keluarga Cin-ling-pai! Memang dia telah melakukan
sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng karena
memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang digunakannya untuk mencapai
tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor!
Padahal
tujuannya adalah untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu telah tercapai,
akan tetapi dia tak merasa bangga, tak merasa bahagia, malah sebaliknya,
tercapainya tujuan itu membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi dari pada
sebelumnya.
Tidaklah
mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu menurut jalan
pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cin-ling-pai.
Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian.
Pada
dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa sayang diri, timbul dari
rasa iba diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebaliknya,
dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia
tak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah dilakukannya. Semua
ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri lantas
disulap menjadi perbuatan baik demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu
membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang dilakukannya
adalah suci.
Oleh karena
pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, sedangkan semua
tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguh pun boleh
saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatannya seolah-olah demi kesenangan
atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta tidak dapat melihat lagi
yang terpenting dari pada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri
atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
Tujuan
membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang menghalalkan segala
cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memperoleh sesuatu. Dan kalau cara yang
digunakan tidak benar, mana mungkin akhirnya benar? Tidak mungkin menanam
rumput keluar padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu
yang benar.
Hanya kalau
batin tak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah nafsu
keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala
tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan
ini tentu akan melahirkan tindakan yang benar. Tindakan benar adalah tindakan
wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau
keuntungan dari tindakan itu.
Akan tetapi
Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap bahwa dia
telah mengorbankan diri demi orang lain, demi orang yang dicintanya, dan dia
buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang
ditempuhnya itu merupakan cara yang kotor bagi seorang wanita. Dia hendak
mencuci kekotoran yang dianggapnya menempel pada dirinya dengan melumuri badan
dengan kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin.
Dan
akibatnya kini dia menyesal, kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk
berjumpa dengan Lie Seng, sungguh pun dia telah berjasa terhadap Cin-ling-pai,
bahkan terhadap kerajaan.
Dengan isak
tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu gerbang untuk
melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Tetapi dia terlalu memandang
rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayangkan betapa kaget
hatinya ketika di dekat pintu gerbang mendadak muncul beberapa orang dari
tempat gelap dan di antara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri!
Seketika
pucatlah wajah Sun Eng, apa lagi karena dia mengenakan pakaian hitam, wajah
yang putih halus itu kelihatan sepucat kapur, matanya terbelalak dan mulutnya
setengah ternganga tanpa mampu mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah
tampan yang kini tersenyum dingin itu.
"Bukankah
engkau ini Eng-moi? Ahhh, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi! Sejak
kapan engkau berganti pakaian seperti ini, berkeliaran di tengah malam dan
gerakanmu demikian gesit?"
Tentu saja
Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tidak mampu menjawab dan
ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar serta tergagap.
"Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan
mencari angin..."
Jawaban itu
tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai mencari jalan keluar,
maklum bahwa dia telah tersudut. Dia melihat bahwa pangeran itu muncul bersama
kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah mengepung tempat itu.
"Jalan-jalan
makan angin...? Hemm, Eng-moi, marilah kita pulang dan bicara baik-baik di
rumah...!" Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri.
"Tidak...
hamba... hamba ingin jalan-jalan dahulu...!" Karena takutnya Sun Eng
bingung untuk menjawab, bahkan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke
kiri untuk melarikan diri.
Akan tetapi
tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah
berada di hadapannya. Sun Eng maklum bahwa tidak ada jalan lain baginya. Jalan
halus sudah tidak mungkin dilakukannya, sebab itu satu-satunya jalan hanyalah
mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan.
"Minggir!"
bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat ke arah dada
lawan.
Sebagai
murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja wanita ini sudah memiliki
kepandaian yang cukup tinggi dan pukulannya yang dilakukan dalam keadaan
terjepit itu amat dahsyatnya.
Terkejut
juga Pangeran Ceng Han Houw saat melihat pukulan itu, tak disangkanya bahwa
selirnya yang terkasih ini memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya.
Ngeri dia memikirkan betapa dia bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu
dan kalau wanita itu menghendaki, di waktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan
wanita itu, tentu dapat dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya!
Hai-liong-ong
Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu kepandaiannya sangat
tinggi, masih jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat Sun Eng, maka dia tidak
gentar menghadapi pukulan dahsyat itu. Oleh karena kakek ini tadinya mengenal
sang pangeran, maka biar pun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi
pengkhianat, namun dia pun masih belum berani untuk berlancang tangan melukai
wanita yang menjadi selir terkasih junjungannya. Oleh karena itu, menghadapi
serangan Sun Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukkk!"
Sun Eng
terhuyung ke belakang sehingga dia terkejut sekali. Ternyata kakek ini memiliki
tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat menguasai
keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya sudah ditangkap oleh Han Houw.
Sun Eng
meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanannya maka dia cepat
membalik lantas secara nekat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher
pangeran itu dengan maksud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul.
Oleh karena itu, pukulan itu pun hebat bukan main dan ditujukan ke arah jalan
darah pada leher sambil dia mengerahkan seluruh tenaganya.
"Plakkk!"
Kembali
pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh pangeran itu.
"Hemm,
engkau hendak membunuhku, ya?!" bentak Han Houw dengan marah sambil dia
mengerahkan tenaga.
Pegangan
pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi kuat sekali hingga Sun Eng
merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung rasanya dan dia
menyeringai. Agaknya, melihat wajah yang biasanya sangat manis memikat dan yang
biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han Houw merasa kasihan
juga sehingga dia cepat mengendurkan pegangannya, kemudian dengan sekali totok
dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk
mencari kotak hitam, namun ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa.
"Di
mana kotak itu? Di mana surat itu?" desisnya marah.
"Hamba...
hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar...," Sun Eng menjawab
sedapatnya saja.
Han Houw
telah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya mendorong tubuh
wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling roboh.
"Bawa
dia!" bentak Han Houw dengan suara bernada kesal.
Han Houw
lalu pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek beserta para pengawal yang
menggotong Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu.
Pada waktu
itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Apa bila tadi dia menjadi gugup adalah
karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu. Rasa kaget
membuat dia gugup sekali. Akan tetapi sekarang, sesudah dia tahu benar bahwa
tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang.
Sebaiknya
begini, pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran
kalau usahanya itu tak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan
laporannya kepada kaisar dan bila kaisar tidak mengambil tindakan terhadap
pangeran ini dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan.
Setelah
sampai di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di
dalam kamarnya. Han Houw lantas menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di
atas bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng,
kadang-kadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan
marah.
"Sun
Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu, betapa
aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!" Han Houw
mengepal tinju. "Sepatutnya kita tak perlu banyak bicara lagi dan aku
harus membunuhmu! Ketika engkau rebah di jalan dahulu itu, ternyata semua itu
hanyalah siasatmu untuk dapat menyelundup ke sini dan memperoleh kepercayaanku
belaka! Sungguh aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kau serahkan seluruhnya
kepadaku, hanya untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu,
siapakah engkau sesungguhnya?" Han Houw membentak dan memandang tajam.
Sun Eng diam
saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat dikenalnya itu.
Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu rayu dengan
pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di langit-langit
itu pada saat dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan cintanya. Kini
pun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih itu.
"Baiklah,
agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut," kata Ceng Han Houw.
"Akan tetapi semua itu pun tidak ada gunanya dan aku tidak peduli. Yang
terpenting, hayo kau katakan di mana engkau menyembunyikan kotak surat itu. Apa
bila engkau menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan
membebaskanmu, demi mengingat semua hubungan kita yang lalu dan mengingat pula
betapa engkau sudah banyak mendatangkan kesenangan padaku."
Akan tetapi
Sun Eng tetap membisu, bahkan menengok pun tidak kepada pangeran itu. Han Houw
mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup parah.
Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak
mencintanya, akan tetapi hanya mempermainkan dirinya, benar-benar merupakan
pukulan bagi harga dirinya.
Dia tadinya
mengira bahwa semua wanita tentu akan tergila-gila kepadanya dan dengan senang
hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu
dia pernah merasa terpukul oleh penolakan gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin,
kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini bahkan hanya mempermainkannya
untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai seorang pria hidung belang biasa
saja yang lemah terhadap wanita!
Tiba-tiba
saja pangeran itu merubah sikapnya. Dia lalu menghampiri Sun Eng yang masih
terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga
wajahnya menyentuh wajah Sun Eng.
"Eng-moi...
mungkinkah tidak ada sedikit pun perasaan cinta di dalam hatimu terhadap aku?
Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi di antara kita selama
ini? Aku tahu benar, andai kata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih untukku,
setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin bisa
menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak
hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku..."
Suara
pangeran itu merayu lantas bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, dan diciuminya
bibir wanita itu dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng, dan
biasanya selalu wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan
tetapi, sekali ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak
menjawab, bahkan mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah.
Akhirnya
terdengar bibir itu berbisik, "Bunuhlah aku... bunuhlah..."
"Engkau
minta mati?" Suara sang pangeran masih lembut. "Akan kuturuti, engkau
minta apa pun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sampingku,
akan kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Di manakah engkau
menyimpannya?"
Akan tetapi
Sun Eng menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak akan kuberikan, biar aku
dibunuh sekali pun!"
Wajah yang
tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan
kemarahan. "Perempuan rendah berhati palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu
memusuhi aku! Kalau begitu, biar kau rasakan siksa neraka lebih dahulu, hendak
kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu kepadaku!"
Sesudah
berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat kedua lengan Sun
Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati,
juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu
terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak
halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita
itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula
direnggutnya kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil
halus dan putih kemerahan itu menjadi telanjang.
Sun Eng
tetap tenang saja, malah saat pangeran itu membalikkan tubuhnya menelungkup
kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia dapat menggerakkan
tubuh lagi, dia masih tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia mendengar suara
pangeran itu di belakangnya, tidak tahu apa yang tengah dilakukan. Akan tetapi
nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah obor kecil yang sudah
dinyalakan ke dekat muka Sun Eng.
"Sun
Eng, kau lihat baik-baik apa yang kupegang ini? Aku tak ingin, bahkan merasa
benci untuk menyiksamu, akan tetapi jika kau tetap membandel dan tidak mau
mengembalikan suratku itu, terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan
kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!"
Namun, Sun
Eng yang sudah mengerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi itu sudah
nekat. "Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat itu
akan bisa kau dapatkan kembali!".....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment