Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 41
KINI pohon
itu makin besar, seolah-olah terbang naik ke arah mereka, bukan mereka yang
meluncur ke arah pohon. Sin Liong siap dengan tangan kirinya sedangkan lengan
kanan tetap merangkul pinggang Bi Cu. Meski maut sekali pun tidak akan mampu
memaksa dia melepaskan pinggang dari rangkulan lengan kanannya itu.
"Bresssss...!"
Mereka telah
tiba di tengah-tengah pohon itu dan tubuh mereka berhenti meluncur. Sin Liong
telah berhasil! Tangan kirinya dapat menangkap sebatang cabang pohon itu hingga
mereka bergantung di sana. Pakaian mereka robek-robek dan tubuh mereka
lecet-lecet, bahkan Bi Cu yang masih dirangkul pinggangnya oleh lengan kanan
Sin Liong itu terkulai lemas. Pingsan!
Sin Liong
cepat menarik dirinya duduk di atas cabang, lalu menarik Bi Cu, dipangkunya di
tempat aman itu, di dahan yang bercabang. Lengan kirinya terasa nyeri bukan
main. Baru terasa setelah dia dapat duduk dengan aman di atas dahan. Ketika
digerakkannya lengan itu, hampir dia menjerit dan tahulah dia bahwa lengan itu
terkilir pada sambungan paling atas dekat pundak.
"Bi
Cu... Bi Cu... sadarlah...!"
Berkali-kali
dia memanggil dara yang dipangkunya dan dirangkulnya itu. Dalam keadaan lengan
kirinya terkilir, sukarlah baginya untuk melanjutkan mencari jalan selamat.
Mereka masih tergantung di dalam pohon besar itu yang tumbuh agak miring pada
dinding yang terjal. Di bawah curam sekali maka mereka belumlah terbebas sama
sekali dari bahaya, sungguh pun sementara ini tidak lagi terancam maut seperti
tadi.
Akhirnya Bi
Cu bergerak lemah dan bibirnya pun bergerak, berbisik lirih, "Sin Liong...
ah, Sin Liong... jangan tinggalkan aku...!"
Hampir Sin
Liong tertawa. Gadis ini seperti orang tidur mengigau saja! Akan tetapi hatinya
amat terharu sebab igauannya itu membayangkan rasa takutnya, bukan takut mati
karena seorang gadis seperti Bi Cu agaknya tidak takut akan kematian, tetapi
takut ditinggalkan sendirian di atas sana, bersama Pangeran Ceng Han Houw dan
para musuh itu!
Mengingat
pangeran itu, Sin Liong menggeram di dalam batinnya. Sungguh kejam sekali
pangeran itu! Mengapa dulu dia selalu menganggap pangeran itu orang yang baik
budi? Sekarang dia mulai sadar bahwa apa pun yang dilakukan oleh pangeran itu
adalah demi kepentingan pangeran itu sendiri.
Andai kata
ada perbuatannya yang tampak baik, seperti ketika menyelamatkannya dahulu itu,
maka perbuatan itu bukanlah terdorong oleh hati yang baik, melainkan
dipergunakan sebagai siasat demi kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri
belaka. Baru kini terbuka matanya dan dia mengenal betul orang macam apa adanya
Ceng Han Houw yang selama ini dianggapnya sebagai kakak angkat!
Kini Bi Cu
sudah membuka matanya. Terbelalak dia ketika melihat betapa dia berada di atas
dahan, dikelilingi daun-daun yang begitu banyaknya dan tubuhnya terasa
sakit-sakit. Teringatlah dia dan dia terbelalak bertanya, "Eh, Sin Liong,
kita... kita ini di alam baka? Ini sorga atau neraka?"
Kini Sin
Liong tak dapat menahan ketawanya. Akan tetapi dia menyeringai karena lengan
kirinya terasa nyeri sekali.
"Heiii,
kita di mana ini? Di dalam pohon? Jadi kita belum mati? Wah, alangkah
ngerinya... begini tingginya!" Bi Cu kini merangkul dahan yang berada di
atasnya sambil memandang ke bawah dengan mata terbelalak.
"Kita
masih hidup, Bi Cu. Pohon ini menolong kita, akan tetapi lengan kiriku... ahh,
sakit bukan main, agaknya sudah terkilir. Harus dikembalikan ke tempatnya
sebelum aku dapat mencarikan jalan keluar dari sini."
"Ahh,
mengapa sampai terkilir, Sin Liong? Hemm, aku mengerti sekarang. Tentu ketika
melayang jatuh tadi engkau menggunakan tangan kirimu menyambut dahan pohon!
Betul tidak?" Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kegembiraan seperti
anak-anak yang bisa menebak teka-teki dengan tepat.
"Aihhhh...
kau ini!" Sin Liong tersenyum lebar, tak dapat ditahannya itu karena sikap
Bi Cu yang begitu lincah gembira, padahal mereka berada di mulut maut! Akan
tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri bukan main, senyumnya menjadi senyum
menyeringai.
"Sakit
sekalikah, Sin Liong?" Bi Cu bertanya sambil memegang lengan kiri itu,
akan tetapi tubuhnya bergoyang dan cepat dia menyambar dahan di atasnya lagi
dan memandang ke bawah dengan hati ngeri. Hampir dia lupa agaknya bahwa dia
duduk di atas dahan pohon berada di tempat demikian curamnya.
Gerakannya
ini menarik lengan Sin Liong maka tentu saja pemuda itu berteriak saking
nyerinya.
"Ahh,
maaf, Sin Liong. Dapatkah aku membantu?"
"Bi Cu,
engkau harus menarik lengan kiriku ini sampai tulangnya kembali ke tempat yang
benar. Tariklah kuat-kuat dengan tangan kanan, ada pun tangan kirimu tetap
memegang dahan dan jangan lupa, kedua kakimu kau kaitkan pada dahan di bawah
itu. Hati-hatilah, tempat ini berbahaya sekali. Jangan terlalu banyak
bergerak."
Bi Cu
mengangguk-angguk, kemudian mencari tempat berpegang yang kuat, mengkaitkan
kedua kakinya pada dahan di bawah, lalu mengulurkan tangan kanan. "Mana
lenganmu, kesinikan!"
Sin Liong
sudah merangkulkan lengan kanannya kepada sebatang dahan, memegangnya erat-erat
kemudian dia mengulurkan lengan kirinya kepada gadis itu. Bi Cu menangkap
pergelangan tangan Sin Liong, lalu mulai menarik.
Sin Liong
menyeringai, memejamkan mata karena rasa nyeri yang amat luar biasa terasa
olehnya, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk dari pundak sampai ke seluruh tubuh.
"Terus...
terus... tarik terus sedikit lagi...!" Dia berkata terengah-engah.
Bi Cu merasa
tidak tega ketika melihat wajah pemuda itu menjadi basah oleh peluh yang
besar-besar, namun dia menguatkan hatinya dan membetot terus sambil mengerahkan
seluruh tenaganya.
"Klokkk!"
Terdengar suara pada sambungan lengan dan pundak.
"Sudah...!
Cukup...!" seru Sin Liong. Bi Cu melepaskan pegangannya dan melihat betapa
Sin Liong menyandarkan kepalanya pada dahan di depan dan lengan kirinya yang
sudah tersambung kembali itu tergantung lemas.
"Sin
Liong... sakit sekalikah...?" Suara itu amat lembutnya dan mengandung isak
gemetar sehingga Sin Liong melupakan rasa nyerinya seketika, membuka mata dan
memandang gadis itu sambil tersenyum.
"Terima
kasih, Bi Cu. Sekarang kedudukan tulangnya sudah baik kembali, hanya tinggal
memulihkan saja. Sayang kita harus tetap tinggal di sini sampai aku dapat
menggerakkan tanganku kembali... Lalu dia bertanya heran, "Eh, engkau
menangis? Engkau tentu... takut sekali, bukan?"
Bi Cu
menggunakan punggung tangan menghapus beberapa butir air mata di pipi dan yang
tergantung di bulu mata. Dia menggelengkan kepala. "Tidak takut, bukankah
engkau juga di sini. Aku hanya... kasihan sekali padamu tadi. Mukamu menjadi
mengerikan ketika engkau menahan nyeri tadi..."
Sin Liong
tersenyum. "Sekarang telah sembuh..."
"Tapi kita
tidak bisa ke mana-mana. Bagaimana kita dapat keluar dari tempat ini?"
Sin Liong
memandang ke arah dinding tebing. Memang tidak mudah. Akan tetapi kalau
lengannya telah sembuh, dia pasti akan menemukan jalan. Akan tetapi sekarang
ini tidak mungkin. Hanya menggunakan sebelah lengan saja, mana bisa mencari
jalan keluar. Dan dia pun tidak tega membiarkan Bi Cu yang mencari jalan
keluar. Pekerjaan itu berbahaya sekali. Dan untuk sementara waktu mereka aman
di pohon itu. Pohon yang cukup besar dan kuat.
"Kita
terpaksa tinggal di sini, Bi Cu."
"Sampai
berapa lama?"
"Sampai
aku dapat menggerakkan kembali lengan kiriku."
Demikianlah,
dua orang muda itu lalu tinggal di pohon itu laksana dua ekor kera! Dapat
dibayangkan betapa sengsaranya keadaan mereka, apa lagi karena lengan kiri Sin
Liong belum juga sembuh. Mereka terpaksa melewatkan malam gelap di dalam pohon
itu!
"Hati-hati,
jangan sampai engkau tertidur kemudian peganganmu terlepas sehingga jatuh ke
bawah, Bi Cu." Sin Liong memperingatkan ketika cuaca sudah menjadi gelap.
Hatinya khawatir sekali.
Untung bahwa
Bi Cu adalah seorang gadis yang berhati baja, dan juga mempunyai watak riang
gembira sehingga dalam keadaan seperti itu pun masih suka bergurau! Sikap
lincah jenaka ini membuat mereka tak begitu merasakan penderitaan yang menekan
lahir batin.
"Kalau
terlepas kenapa? Malah tidak lagi menderita hidup seperti kera kelaparan
begini!" jawab Bi Cu berolok-olok.
"Engkau
lapar, Bi Cu?"
"Kau
kira perutku terbuat dari pada batu? Tentu saja aku lapar. Kau tidak?"
"Mungkin."
"Eh,
mungkin bagaimana? Engkau jangan berteka-teki! Tinggal menjawab lapar atau
tidak, mengapa mungkin? Habis rasanya bagaimana, lapar atau tidak?"
"Aku
bilang mungkin, karena menurut patut tentu lapar, akan tetapi tidak terasa
karena kalah oleh rasa nyeri di pundakku dan rasa khawatir di hatiku."
"Apa
sih yang kau khawatirkan?"
"Kau
masih bertanya lagi? Tentu saja keadaan kita ini. Apakah engkau tidak
khawatir?"
"Tidak!
Sekarang kita masih hidup, bukan? Dan aman..."
"Hanya
lapar..."
"Ya,
hanya lapar. Sayang aku tidak bisa memburu kelinci. Ahhh, enaknya daging
kelinci bakar dimakan panas-panas, apa lagi bagian paha dan pinggul, hemmm...
sedap...!"
Mau tidak
mau Sin Liong tersenyum dan anehnya, membayangkan gambaran itu, dia pun
tiba-tiba saja merasa lapar! Akan tetapi hatinya masih sangat khawatir,
bagaimana kalau gadis yang lincah itu menjadi lengah malam nanti, mengantuk dan
terlepas lalu jatuh ke bawah sana. Dia menggigil kalau membayangkan kemungkinan
ini.
Maka di
dalam keremangan senja itu, secara diam-diam dia mulai menanggalkan bajunya dan
dengan hati-hati dirobek-robeknya baju itu menjadi robekan panjang selebar
tangan. Dia merobeknya dengan tangan kanan dan giginya, kemudian dia menggulung
robekan-robekan itu menjadi tali yang cukup kuat kemudian
menyambung-nyambungnya. Setelah selesai, dia lalu menyodorkan satu ujungnya
kepada Bi Cu.
"Bi Cu,
kau terima ujung tali ini," katanya.
Bi Cu
menerima ujung tali itu, meraba-rabanya lalu berkata, "Hemm, sejak tadi
engkau diam saja ternyata engkau membuat tali ini? Dari apa kau buat?"
"Dari
bajuku."
"Lalu
untuk apa?"
"Ikatkan
ujungnya pada pinggangmu, yang kuat. Kalau engkau mengantuk dan terlepas, maka
engkau tidak akan jatuh melainkan tergantung pada tali. Sesudah
kubelit-belitkan di cabang-cabang yang kuat, ujung yang satu lagi akan
kuikatkan pada pinggangku."
Bi Cu tak
berkata apa-apa, akan tetapi dari tali yang bergerak-gerak Sin Liong tahu bahwa
dara itu melaksanakan petunjuknya. Hatinya lega. Kini cuaca sudah gelap sekaii
sehingga dia tak dapat melihat Bi Cu. Bayangannya pun tidak, karena tidak ada
bayangan apa-apa sama sekali. Gelap pekat malam itu, melihat tangannya sendiri pun
dia tidak mampu.
Lama mereka
diam saja. Sin Liong selalu mengingat keadaan Bi Cu. Tadi dia sempat melihat
betapa dara itu telah mendapatkan tempat yang enak, di antara dahan besar yang
bercabang tiga, sehingga dara itu dapat duduk terjepit cabang dan tak akan
mudah jatuh dan dapat duduk dengan enak. Tentu saja seenak-enaknya orang
melewatkan malam di atas pohon!
Dia telah
melibat-libatkan tali itu pada dahan yang kuat, barulah ujungnya diikatkan pada
pinggangnya. Dengan demikian, andai kata salah seorang di antara mereka
terlepas dan jatuh, tentu akan tertahan oleh dahan itu dan tergantung,
sedangkan orang yang satunya akan dapat menarik dan menyelamatkan yang jatuh.
Sin Liong
merasa betapa ada gerakan-gerakan dari arah tempat Bi Cu duduk. Tali yang mengikat
pinggangnya itu seolah-olah menghubungkan dia dengan Bi Cu, setiap dara itu
bergerak tentu akan terasa olehnya. Hal ini menimbulkan perasaan lega pula.
Akan tetapi sampai lama Bi Cu tidak bicara, dan dia tidak dapat bertahan lagi.
"Bi Cu,
engkau tidak apa-apa, kan?"
"Tentu
saja apa-apa, berada dalam keadaan seperti ini mana bisa dikatakan tak apa-apa!
Aku sedang memikirkan betapa lucunya keadaan kita ini. Tidakkah engkau merasa
lucu, Sin Liong?"
"Lucu?"
Sin Liong mengingat-ingat akan tetapi tidak menemukan apa yang lucu.
"Bagiku tidak lucu melainkan menyedihkan dan sengsara, terutama lengan
kiriku."
"Belum
sembuhkah lengan kirimu, Sin Liong?"
"Sudah
agak mendingan," kata Sin Liong berbohong. Pundaknya membengkak, nyerinya
bukan main, akan tetapi letak tulangnya sudah benar. "Ehh, Bi Cu, mengapa
kau bilang lucu?"
"Bayangkan
saja! Kita saling berpisah, lalu saling jumpa. Dan lihat, apa yang kita alami
bersama. Kita terjatuh ke dalam jurang maut, akan tetapi tidak mati dan
tersangkut pada pohon ini dan kita terpaksa menjadi dua ekor monyet di sini!
Lucu tidak?"
"Kenapa
engkau ikut meloncat ke dalam jurang? Benar-benar bodoh sekali perbuatanmu itu,
mempermainkan nyawa sendiri," Sin Liong menegur karena dia memang marah
kalau teringat betapa dara itu hampir membuang nyawa dengan sia-sia dan mati
konyol.
"Apa?"
Terdengar dara itu berkata marah. "Dan kau menghendaki aku berada di sana,
di atas sana bersama jahanam-jahanam itu sedangkan engkau sendiri enak-enakan
berada di bawah sini?"
"Enak-enakan?"
"Ya,
enak-enakan! Seribu kali lebih enak berada di tempat ini dari pada berada di
atas sana bersama iblis-iblis itu!" Bi Cu membentak.
"Bi
Cu..."
"Sudahlah,
aku mau tidur!"
"Tidur...?
Hati-hatilah, Bi Cu, jangan sampai terlepas dan jatuh..., meski pun sudah
terikat akan tetapi ngeri aku memikirkan kau jatuh..."
"Peduli
apa? Biar jatuh dan mampus!"
Jawaban ini
demikian penuh kemarahan sehingga mengejutkan Sin Liong. Maka dia tidak berani
bicara lagi, hanya mengingat-ingat mengapa dara itu menjadi marah tidak karuan.
Mungkin karena lapar, mungkin karena takut, dan dia pun tidak boleh terlalu
cerewet.
Sin Liong
duduk dan mengumpulkan napas, mengerahkan hawa murni untuk mengobati lengan
kirinya. Dengan pengerahan hawa dari pusar, dia mengirim hawa yang panas itu
menjalar naik hingga memenuhi lengannya. Ia melakukan hal ini sesuai dengan
pelajaran dari kitab yang diwarisinya dari Bu Beng Hud-couw. Dan ternyata
hasilnya hebat sekali.
Rasa nyeri
pada pundaknya perlahan-lahan lenyap, terbungkus hawa panas itu sehingga pundak
yang tadinya berdenyut-denyut nyeri, kini menjadi nyaman dan denyut itu makin
melemah dan akhirnya tidak terasa nyeri lagi. Dia melanjutkan usahanya itu,
melupakan keadaan sekelilingnya. Dia harus dapat sembuh semalam ini agar besok
dia dapat mulai mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya bersama Bi Cu.
"Sin
Liong..."
Entah sudah
berapa lamanya mereka berdiam sampai Bi Cu memanggilnya itu. Mungkin kini telah
lewat tengah malam. Siapa tahu? Dia tadi dalam keadaan setengah bersemedhi dan
lupa segala sehingga lupa pula akan waktu. Panggilan suara Bi Cu itu
mengejutkan dan seperti menarik dia kembali kepada kenyataan bahwa dia dan Bi
Cu berada di dalam pohon di atas jurang yang curam, di tengah malam yang gelap
pekat.
Akan tetapi
baru sekarang ini Sin Liong melihat adanya perubahan, bahwa cuaca tidaklah
segelap tadi, bahkan dia dapat melihat bayangan tangannya sendiri walau pun dia
tidak dapat melihat Bi Cu. Di langit terdapat bintang-bintang berkelap-kelip. Aneh
sekali melihat bintang-bintang ini, membuat dia hampir tidak percaya bahwa dia
berada di dalam pohon tergantung di antara langit dan jurang, bukan di atas
bumi seperti biasa.
"Ada
apakah, Bi Cu?"
"Apakah
engkau tidak lapar?"
Tadinya Sin
Liong sudah lupa segala, juga lupa akan perutnya yang kosong, maka begitu Bi Cu
berkata lapar, otomatis perutnya langsung terasa perih dan lapar sekali. Akan
tetapi bersamaan dengan itu, juga dia merasa lengan kirinya sudah sehat
kembali, tidak nyeri sama sekali!
"Tentu
saja aku lapar. Dan engkau?"
"Aku
tidak lapar, aku sudah kenyang!"
Hemm,
mengajak bergurau lagi, pikir Sin Liong.
"Engkau
kenyang? Makan apa?" Dia melayani.
"Makan
paha kelinci panggang di dalam khayalan!" Bi Cu tertawa. "Tapi aku
benar-benar kenyang, aku makan daun."
"Daun?"
"Ya,
kau pilihlah daun-daun muda di ujung ranting. Cobalah, enak, tidak pahit dan
banyak airnya, lumayan, Sin Liong."
Sin Liong
menjadi tertarik. Tangan kanannya meraih dan dengan meraba-raba dia dapat
merasakan perbedaan antara daun tua dan daun muda yang lebih kecil dan lebih
halus. Dipetiknya ujung ranting itu lantas dengan hati-hati dimakannya sehelai
daun muda. Tentu saja bau daun, akan tetapi tidak bau busuk dan tidak pahit,
bahkan ada manis-manisnya sedikit. Maka dimakannya daun itu sampai beberapa
helai.
"Bagaimana
rasanya?"
"Kau
benar. Daun ini cukup enak dimakan!"
"Hi-hik,
engkau harus berterima kasih kepadaku, Sin Liong. Temuanku ini memungkinkan
kita bisa hidup di atas pohon ini seperti dua ekor kera, bukan hanya untuk
beberapa hari, bahkan mungkin untuk selamanya!"
"Apa?
Selamanya? Mana mungkin?"
"Mungkin
saja! Setiap hari kita makan daun muda, dan daun-daun muda itu tentu akan
tumbuh kembali, demikianlah setiap hari. Kita tidak akan kehabisan daun muda.
Daun itu mengandung air, jadi kita tidak akan kehausan pula, dan andai kata
kehausan, bila mana hujan turun, kita tinggal berdongak dan membuka mulut saja!
Hi-hik!"
"Tapi
mana mungkin kita dapat hidup dan makan daun-daun saja?"
"Siapa
bilang tidak mungkin? Ehh, Sin Liong, kenapa engkau begitu bodoh? Jangan lupa,
binatang-binatang yang terbesar dan terkuat di dunia ini, seperti kerbau, sapi,
kuda, dan bahkan gajah itu makan apa saja? Mereka tidak makan daging, tidak
makan capcai atau mi bakso, melainkan makan daun dan rumput saja. Akan tetapi
mereka itu bukan hanya hidup, bahkan hidup lebih sehat dan lebih kuat dari pada
manusia!"
"Tapi
kita ini manusia, bukan kerbau..."
"Memang,
tapi otakmu lebih bodoh dari pada kerbau!" Kembali Bi Cu berkata dengan
nada suara marah.
"Bi
Cu... aku..."
"Sudahlah!
Memang aku yang cerewet dan bodoh!" Kini suara itu bukan hanya marah,
bahkan mengandung isak!
Sin Liong
melongo. Untung waktu itu cuaca masih terlampau gelap untuk mereka dapat saling
melihat, kalau tidak tentu dia akan kelihatan lucu sekali. Dia benar-benar
bingung menghadapi Bi Cu. Mengapa Bi Cu begitu mudah tertawa gembira, bergurau,
akan tetapi di lain saat sudah marah-marah dan cengeng?
Hening lagi
sampai lama. Sin Liong merasa menyesal sekali bahwa dia begitu bodoh tidak bisa
menyelami watak Bi Cu sehingga dia selalu membuat dara itu marah-marah. Padahal
Bi Cu sudah begitu baik kepadanya.
"Bi Cu,
kau maafkanlah aku kalau aku bersalah kepadamu sehingga membuatmu marah.
Percayalah, sungguh mati aku tak sengaja membikin engkau marah. Aku menyesal
akan kebodohanku."
"Siapa
bilang engkau bodoh? Engkau terlampau pintar, engkau lihai bukan main, engkau
seorang pendekar sakti yang bersikap sederhana dan bodoh, dan saking pintarnya
maka engkau tidak memperhatikan seorang gadis tolol macam aku yang cerewet
sehingga aku dibikin kesal...!"
"Maafkan,
aku Bi Cu..., aku tidak mengerti mengapa aku selalu membuatmu marah... tadi pun
engkau sudah marah-marah..."
"Tentu
saja aku merasa marah, habis engkau selalu menghendaki aku tidak berada di sini
bersamamu, engkau lebih senang jika aku berada bersama iblis-iblis itu. Engkau
sungguh mati tidak menghargai orang, aku suka bersamamu, hidup mati, dan engkau
cerewet saja mengkhawatirkan diriku. Mengapa engkau tidak mengkhawatirkan
dirimu sendiri?"
"Ahhh...!"
"Apa
lagi ah-ah!"
Sekarang Sin
Liong mulai mengerti dan dia pun sadar bahwa dia terlalu mengkhawatirkan
keselamatan Bi Cu, tidak ingat bahwa Bi Cu memang tadinya sengaja menyusulnya
untuk mati bersama!
"Tidak
apa-apa, hanya saja aku sudah merasa salah. Engkau tentu mau memaafkan aku,
bukan? Ataukah tiada maaf bagiku?"
"Sudahlah,
perutku sudah kenyang, aku mau mengaso."
Sin Liong
lalu memetik lagi daun-daun muda dan mengisi perutnya yang kosong dengan
daun-daun muda itu. Seperti sayur mentah, akan tetapi bukan tidak enak, malah
lumayan untuk menahan perihnya perut.
Akan tetapi
semalam dia tidak tidur, mana mungkin dia tidur? Dia harus menjaga Bi Cu, siap
menolong kalau-kalau dara itu terjatuh dan tergantung pada tali. Segera timbul
rasa khawatirnya, jangan-jangan dara itu kurang kuat mengikat pinggangnya.
Hampir saja
mulutnya bertanya, akan tetapi ditahannya karena dia teringat bahwa hal itu
bahkan akan membikin marah dara yang berwatak aneh itu. Maka dia pun
melanjutkan menghimpun hawa murni untuk mengobati lengan kirinya yang biar pun
kini sudah tidak terasa nyeri namun dia masih belum berani untuk menggunakannya
dengan pengerahan tenaga. Luka-luka pada tempat sambungan tulang tentu belum
pulih benar, pikirnya, maka berbahaya kalau dipakai untuk bekerja berat.
Dan ternyata
selanjutnya Bi Cu tidak lagi mengeluarkan suara, meski pun kadang-kadang dia
masih melakukan gerakan perlahan. Dan tidak terdengar napasnya yang menyatakan
bahwa dara itu tertidur. Maka tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu memang sengaja diam
saja sungguh pun dara itu juga tidak dapat tidur dalam keadaan seperti itu.
Pada
keesokan harinya, begitu sinar matahari pagi mengusir kegelapan sehingga mereka
dapat saling melihat, Bi Cu segera berkata. "Bagaimana dengan lengan
kirimu?"
Sin Liong
menggerak-gerakkan lengan kirinya. "Sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi
luka di sekitar sambungan masih belum pulih benar, kiraku belum mungkin dapat
dipakai bekerja berat. Kalau sampai luka-luka itu pecah lagi, akan sukarlah
pulihnya jika tanpa obat."
"Kalau
begitu biar kita tinggal di sini sampai kau sembuh betul!" kata Bi Cu.
Akan tetapi
Sin Liong masih bisa menangkap nada suara yang amat kecewa, yang ditutup dengan
kemauan keras, dan dara itu lalu mengatupkan bibirnya kuat-kuat setelah berkata
demikian. Tentu dara itu sudah menderita hebat sekali akibat duduk semalam
suntuk di atas dahan itu, pikir Sin Liong.
"Walau
pun aku belum dapat bekerja berat dengan lengan kiriku, akan tetapi kiranya aku
akan dapat mencarikan tempat yang lebih enak untuk kita, bukan di atas pohon
ini, Bi Cu. Kau tinggallah di sini dulu, aku yang mencari tempat yang baik di
tebing itu."
"Aku
tidak mau sendirian di sini. Aku harus ikut engkau!" kata Bi Cu dan Sin
Liong tidak mau membantah. Dia melepaskan ikatan di pinggangnya.
"Baiklah,
lepaskan ikatan di pinggangmu itu. Tali ini akan ada gunanya kelak."
Bi Cu lalu
melepaskan tali yang diikatkan di pinggangnya. Baru tahulah Sin Liong bahwa
ikatan itu kuat sekali sehingga kini sukar bagi Bi Cu untuk membuka simpulnya.
Ternyata kekhawatirannya semalam tidak ada gunanya.
"Eh,
kenapa kau masih memakai bajumu? Bukankah bajumu telah kau robek-robek untuk
dijadikan tali ini?"
"Itu
baju dalamku yang terbuat dari sutera, lebih lemas dan lebih kuat."
"Baju
dalam sutera? Wah, tentu indah dan mahal sekali...!"
"Memang,
itu baju adik angkat pangeran! Pemberian Pangeran Ceng Han Houw."
"Ihhh...!"
Bi Cu melepaskan ujung tali itu seperti orang merasa jijik. Sin Liong
menggulung dan menyimpan di saku bajunya.
"Mari
kau ikuti aku, tapi hati-hatilah, Bi Cu."
Mulailah
keduanya merangkak di antara dahan-dahan dan daun-daun pohon. Sin Liong di
depan, diikuti oleh Bi Cu, mendekati tebing ketika mereka merangkak turun dari
pohon yang tumbuh agak miring di tebing itu. Pohon itu besar dan cukup tinggi,
dan batangnya ternyata besar dan kokoh kuat, tertanam di dalam tebing di antara
batu-batu.
Sin Liong
turun dari batang itu, matanya mencari-cari jalan lantas dia pun turun ke atas
celah-celah batu yang besar. Dia menunggu sebentar untuk memberi kesempatan Bi
Cu juga turun. Ketika Bi Cu sudah meletakkan dua kakinya pada celah-celah batu
besar dan memandang ke bawah, dia menjerit sehingga Sin Liong langsung
merangkulnya. Tubuh Bi Cu menggigil, maka mengertilah Sin Liong apa yang
menyebabkan dara itu ketakutan seperti itu.
"Jangan
melihat ke bawah! Lagi pula, di sini tidak berbahaya, di atas pohon itu bahkan
lebih berbahaya lagi!" katanya menghibur dan akhirnya Bi Cu dapat tenang
kembali akan tetapi dia tidak mau memandang ke bawah.
Memang
mengerikan sekali kalau memandang ke arah bawah yang demikian curamnya. Baru
membayangkan tubuh melayang ke bawah saja sudah membuat jantung berdetak dan
kaki menggigil.
Sin Liong
mencari jalan dengan hati-hati karena lengan kirinya belum dapat dipakai untuk
bergantung, terlalu berbahaya untuk mencoba itu. Akhirnya mereka sampai di
tepian yang lebarnya ada dua meter dan panjangnya empat meter, tempat datar
sempit ini ditumbuhi rumput dan merupakan jalan buntu karena dikelilingi oleh
batu-batu yang bersusun rata sehingga tentu amat licin dan tak mungkin didaki.
Jalan satu-satunya dari dataran sempit ini hanyalah jalan yang mereka lalui
tadi, yang menuju ke pangkal batang pohon besar.
Betapa pun
juga, menemukan tempat ini membuat mereka merasa lega. Bi Cu gembira sekali dan
dia pun segera menjatuhkan diri rebah terlentang dengan tarikan napas lega.
Tubuhnya yang terasa lelah semua itu kini dapat berbaring sesukanya di atas
rumput dan sebentar saja dara itu sudah tidur pulas, miring menghadap dinding
batu!
Sin Liong
merasa terharu dan kasihan sekali. Sampai lama dia memandangi wajah dara yang
tidur pulas itu, tidur sambil tersenyum seolah-olah tiada apa pun yang
mengancam mereka. Dara itu agaknya merasa beruntung sekali dan lapang hatinya
setelah mereka menemukan tempat datar ini sehingga tidurnya demikian nyenyak
dan enak.
Sin Liong
lalu bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk mencari jalar keluar dari
tempat itu. Akan tetapi baru saja beberapa langkah dia meninggalkan Bi Cu, dia
segera teringat dan cepat dia membalikkan tubuhnya, menghampiri batu sebesar
sepelukan tangan dan mengangkat. Akan tetapi baru sedikit dia mengerahkan
tenaga pada lengan kirinya, dia hampir berteriak kesakitan, maka cepat dia
melepaskan kembali batu itu.
Untung tadi
dia tidak memaksa mengangkat. Jelaslah bahwa lengan kirinya belum boleh
dipergunakan untuk bekerja berat dan harus beristirahat beberapa hari sampai
pulih betul. Sekarang dia hanya menggunakan tangan kanannya, disusupkannya
jari-jari tangannya ke bawah batu dan diangkatnya dengan ringan saja lalu batu
itu dibawa dan diletakkan di tepi jurang.
Dia
memindahkan empat buah batu yang cukup berat sehingga cukup menjadi penjaga dan
penahan tubuh Bi Cu kalau-kalau di dalam tidurnya dara itu bergerak dan
bergulingan sampai ke tepi jurang! Setelah yakin bahwa Bi Cu tidak akan
terancam bahaya terguling ke dalam jurang, barulah dia meninggalkan Bi Cu dan
mencurahkan perhatiannya untuk mencari jalan keluar.
Ditelitinya
semua bagian dari dataran sempit itu, melihat ke kanan kiri, ke atas bawah dan
depan belakang, mencari-cari jalan yang dapat mereka lalui untuk mendaki ke
atas. Tapi dataran itu benar-benar merupakan jalan buntu, dan satu-satunya
jalan yang dapat dilalui hanyalah yang menuju ke pohon besar itu! Jalan naik ke
atas tidak mungkin didaki karena batu-batu itu tersusun demikian rata sehingga
merupakan dinding rata yang amat tinggi. Tidak mungkin mendaki tempat seperti
itu.
Dengan
menggunakan sinkang sekuatnya, mungkin juga dia mampu naik untuk beberapa belas
tombak tingginya, akan tetapi tidak mungkin kuat bertahan sampai naik setinggi
itu, puluhan, bahkan ratusan tombak tingginya. Dan itu pun terkandung bahaya,
yaitu sekali kakinya terpeleset, tubuhnya akan jatuh dan biar pun dengan ilmu
apa juga dia tidak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi! Apa lagi kalau harus
menggendong Bi Cu. Dia tidak mau mengambil resiko berbahaya seperti itu!
Sesudah
memeriksa, meneliti dan mencari-cari sampai beberapa jam lamanya, akhirnya Sin
Liong terduduk dengan pandang mata muram dan dia pun termenung. Tidak ada jalan
keluar! Itulah kesimpulan sebagai hasil dari pemeriksaannya tadi. Mereka sama
dengan terkubur hidup-hidup di tempat itu! Tali dari baju dalamnya yang
panjangnya hanya lebih kurang empat lima meter itu tidak ada artinya sama
sekali untuk membantu mereka keluar dari tempat ini.
Matahari
telah naik agak tinggi dan hawa udara cukup panas ketika Bi Cu terbangun dari
tidurnya. "Haus...!" Demikian kataanya begitu dia membuka matanya.
Tak heran
jika dia kehausan karena tubuhnya sama sekali tidak terlindung dari panasnya
sinar matahari. Peluhnya membasahi leher dan mukanya. Akan tetapi dia kini
telah sadar betul dan bangkit duduk, mengusap keringatnya dan memandang kepada
Sin Liong yang menghampirinya.
"Wah,
agaknya aku telah tertidur."
"Nyenyak
dan enak tidurmu," kata Sin Liong tersenyum.
"Ya,
segar rasanya tubuh sekarang, hilang sudah segala kelelahan semalam. Tapi,
aku... aku haus bukan main...!" Dia menjilat-jilat bibirnya yang kering
dan mengelus lehernya.
"Haus...?"
Sin Liong baru merasa betapa dia pun haus bukan main, apa lagi karena dia tadi
sudah bekerja mencari tempat yang dapat dijadikan jalan keluar dan baru
sekarang dia merasa bahwa kerongkongannya juga kering sekali. "Ahh, ke
mana kita harus mencari minum? Di sekitar sini tidak ada air, juga tidak ada
jalan keluar..."
"Tidak
ada jalan keluar...?" Bi Cu bangkit berdiri, lalu memandang ke sana-sini.
"Engkau sudah pasti benar?"
"Entahlah,
akan tetapi tadi sudah kuperiksa dan sungguh tidak terdapat jalan keluar dari
tempat ini, kecuali ke pohon besar itu. Ahhh... pohon itu! Biar kupetik
daun-daun muda untukmu..."
"Untukmu
juga...!"
"Ya,
untukku juga," Sin Liong lalu merangkak dengan hati-hati melalui jalan
yang tidak mudah itu, jalan yang mereka lalui pagi tadi, kembali ke batang
pohon dan dia memanjat pohon besar itu, memetik daun-daun muda. Setelah cukup,
dia pun turun dan membawa daun-daun muda itu kepada Bi Cu.
Dengan lahap
Bi Cu makan daun-daun muda, mengunyahnya lama-lama untuk mencari airnya. Dia
tidak lapar, hanya haus. Dan celakanya meski pun daun itu mengandung air,
tetapi rasa air daun itu tidak dapat dan tidak cukup banyak untuk menghilangkan
hausnya.
Sin Liong
juga makan daun itu, sebab itu tahulah dia bahwa daun-daun itu tidak berhasil
mengusir haus. Maka dia pun lantas duduk di atas batu sambil termenung. Akan
berapa lamakah mereka mampu bertahan dalam keadaan begini? Kasihan Bi Cu,
pikirnya, akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu karena dia maklum bahwa
hal itu hanya akan membikin dara itu menjadi marah.
"Ahh,
daun-daun keparat ini hanya mampu menahan lapar, tidak mampu menghilangkan
haus! Tunggu, aku akan mencari tumbuh-tumbuhan lain!" Dia pun kemudian
sibuk sekali meneliti setiap tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu. Setiap
macam rumput dicabut dan dimakannya, diisap-isap, dan kalau dia menemukan
sesuatu larilah dia kepada Sin Liong sambil membawa beberapa batang rumput yang
baru saja dicobanya.
"Coba
ini, Sin Liong, agaknya manis rasanya!" teriaknya girang, dan Sin Liong
lalu makan rumput itu dan mengisap-isap.
Memang agak
manis, akan tetapi airnya sedikit sekali, jauh lebih sedikit bila dibandingkan
dengan daun pohon besar itu. Dan Bi Cu juga tahu hal ini, maka dia pun mencari
lagi dengan kecewa. Semua tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu sudah dicobanya
semua! Akhirnya dia kembali ke dekat Sin Liong dan duduk di atas rumput, kedua
alisnya yang hitam kecil berbentuk indah itu berkerut.
Sin Liong
merasa kasihan sekali. "Bi Cu... tak ada jalan lain, kita harus makan
daun-daun muda ini. Biar pun tidak cukup, akan tetapi lumayan untuk membasahi
kerongkongan."
"Iya...,"
jawab Bi Cu sunyi dan lirih lalu dengan enggan dia makan juga daun-daun muda
itu satu demi satu dan rasanya makin lama makin tak enak saja baginya. Makin
perlahan saja dia mengunyah, matanya termenung memandang jauh, kemudian
mulutnya berhenti bergerak dan air matanya pun berderai, akan tetapi dia belum
terisak, hanya berkata lirih, "Sin Liong... haruskan kita berdua mati di
sini, mati kehausan...?"
Sin Liong
mendekatinya kemudian menyentuh pundaknya. "Tenanglah, Bi Cu. Daun-daun
ini akan menyelamatkan kita untuk sementara waktu..."
"Dan
kalau kita sudah tidak kuat bertahan lagi? Bahkan sekarang pun aku sudah hampir
tidak kuat, Sin Liong, aku... haus bukan main..."
"Ke
sanalah, mari... kita berlindung dari cahaya matahari yang panas..."
Dengan
lembut Sin Liong lalu menarik tangan dara itu untuk diajak berdiri dan berteduh
di dekat dinding batu sehingga mereka sedikit terlindung dari panas matahari.
Bi Cu hanya menurut saja sambil mengusap air matanya. Dia berusaha menahan
kesedihannya agar tidak membuat Sin Liong makin bingung. Mereka duduk
berdekatan di bawah dinding batu itu.
"Bagaimana
lenganmu?" Bi Cu menyentuh lengan kiri Sin Liong. Sentuhan itu lembut dan
penuh perhatian.
"Tidak
nyeri... akan tetapi belum dapat digunakan. Tadi kucoba untuk mengangkat batu,
belum sanggup..."
"Kaukah
yang menjajarkan batu-batu di sana itu?" jari Bi Cu menuding. "Sudah
kuduga demikian. Engkau terlalu baik kepadaku, Sin Liong, selalu
menjagaku!"
Ada rasa
girang menghujani perasaan Sin Liong, akan tetapi sekaligus juga membuatnya
malu-malu, maka dia lalu berkata, "Kita di sini hanya berdua saja, kalau
kita tidak saling menjaga, habis bagaimana?"
Setiap hari
Sin Liong melakukan siulian untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati lengan
kirinya dengan penuh kesungguhan hati. Akan tetapi, mereka berdua benar-benar
tersiksa oleh kehausan. Mereka selalu makan daun muda dari pohon itu dan
sungguh pun tidak dapat terlalu memuaskan perut, setidaknya mereka terhindar
dari kelaparan.
Akan tetapi
mereka dicekik kehausan, semakin lama semakin menghebat sehingga tubuh mereka
menjadi lemah bukan main, pandang mata berkunang dan kepala mereka pening.
Kadang-kadang, pada waktu siang hari, bila mana matahari sedang panas-panasnya,
Bi Cu terengah-engah kehausan, tidak mampu menangis lagi karena air matanya pun
sudah kering, mukanya pucat dan cekung.
"Ahhh...
kuda dan sapi pun tidak bisa... hanya makan rumput dan daun-daun saja... harus
minum, aku harus minum... ah Sin Liong, aku tidak kuat, aku haus..." Hari
itu adalah hari ke tiga dan siang hari, sedang panas-panasnya.
"Bi Cu,
kuatkanlah hatimu...!" kata Sin Liong, padahal dia sendiri juga tersiksa
hebat oleh kehausan. Dia sudah membuka semua kancing bajunya, akan tetapi masih
merasa panas dan tubuhnya terasa lemas sekali.
"Sin
Liong... aku sudah tidak tahan lagi... tapi aku tidak menyesal... aku rela mati
di sini bersamamu, Sin Liong..."
"Bi
Cu...!" Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia merangkul dara itu,
mendekap kepala dara itu ke dadanya.
Sejenak
mereka tak bergerak dalam keadaan seperti itu. Bi Cu merasa betapa nikmatnya
bersandar pada dada Sin Liong, seperti lenyap rasa panas yang menyelinap ke
seluruh tubuh dan kepalanya, terasa sejuk terlindung oleh tubuh Sin Liong dari
sinar matahari. Dia merasa betapa tubuh Sin Liong tergetar, dan betapa dada
pemuda itu menahan tangis sehingga kadang-kadang terisak.
Bi Cu
mengangkat mukanya memandang. Dia melihat Sin Liong memejamkan matanya
kuat-kuat, akan tetapi terlihat ada dua titik air mata di bawah pelupuk mata
pemuda itu. Diusapnya dua butir air mata itu dengan telunjuknya. Melihat dua
tetes air di telunjuknya, tiba-tiba Bi Cu membawa telunjuknya ke mulutnya dan
mengisap dua tetes air mata itu. Hanya lenyap di lidah, tidak sampai ke
tenggorokannya yang kering.
"Sin
Liong, jangan menangis...," lalu dia hendak menghibur pemuda itu dan
mengalihkan pikirannya. "Eh, bagaimana dengan lengan kirimu...?" Biar
pun dia bersikap gembira yang dibuat-buat, namun suaranya lirih dan serak,
sedangkan tubuhnya lemah sekali.
"Lengan...?
Ah, sudah sembuh sama sekali... kau tunggu, aku akan mencari jalan...!"
Sin Liong bergerak hendak bangkit. Akan tetapi Bi Cu merangkulnya, dan
menahannya.
"Tidak
perlu sekarang... ini sedang panas-panasnya, tunggu kalau sudah tidak panas
lagi, Sin Liong. Aku... aku mengantuk sekali... biarkan aku tidur..."
Rangkulannya terlepas dan tubuhnya yang lunglai itu melorot ke bawah lalu dia
rebah terlentang, berbantal paha Sin Liong.
Melihat keadaan
Bi Cu, Sin Liong diam tidak bergerak, membiarkan dara itu tidur di atas
pangkuannya dan dia pun lantas memejamkan mata sambil bersandar pada dinding
batu. Keduanya diam saja, tak bergerak seperti tidur, seperti pingsan, seperti
telah mati!
Sin Liong
masih dalam keadan setengah sadar, akan tetapi dia merasakan kenikmatan yang
luar biasa ketika dia bersandar dan memejamkan mata, dengan sadar sepenuhnya
bahwa Bi Cu tidur di atas pangkuannya, rasa nikmat dan nyaman yang belum pernah
dia rasakan sebelumnya, seluruh urat syaraf di tubuhnya mengendur dan lemas.
Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa keadaan ini amatlah berbahaya.
Kelemasan seperti ini dapat membuat orang tertidur untuk tidak bangun kembali!
Maka dia
cepat-cepat menggunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membuka mata dan
terkejutlah dia. Mengapa pandang matanya menjadi gelap? Butakah dia, atau
terserang penyakit buta, atau kehausan yang sangat itu membuat pandang matanya
menjadi gelap?
Dia
mengangkat mukanya lantas memandang ke atas. Langit pun gelap! Tidak ada lagi
sinar matahari, padahal tadi amat panasnya. Apa yang terjadi? Dia mencari-cari
dengan matanya dan melihat awan mendung bergumpal-gumpal datang dari arah timur
terbawa oleh angin keras. Bagaimana mungkin siang yang tadinya terang benderang
itu tiba-tiba tertutup mendung bergumpal-gumpal seperti itu?
"Bi
Cu...! Bi Cu, bangun...!"
Hati Sin
Liong penuh kekhawatiran. Badan Bi Cu yang lunglai hanya bergoyang-goyang, akan
tetapi matanya tetap terpejam! Pingsankah dia? Atau... atau matikah...?
"Bi Cu!
Ohh, Bi Cu, bangunlah...! Bangunlah Bi Cu, demi Tuhan... bangunlah...!"
Sin Liong berteriak-teriak hampir menangis karena mulai takut kalau-kalau Bi Cu
sudah mati.
Akhirnya
bibir yang kering itu bergerak. "Hah...? Ada apa...? Kau... mengganggu...
orang tidur..."
Bukan main
leganya rasa hati Sin Liong. Mau rasanya dia bersorak, maka dia pun berseru
seperti orang bersorak, akan tetapi tetap sambil menguncang pundak Bi Cu yang
masih memejamkan matanya.
"Bi Cu,
lihat...! Mendung tebal...! Lihat dan bangunlah!"
"Hehhh...?"
Bi Cu membuka matanya akan tetapi dia sedemikian lemahnya sehingga baru dapat
bangkit duduk setelah dirangkul dan ditarik oleh Sin Liong. "Mana...? Ada
apa...?"
"Lihat
di atas itu...!"
Pada saat
itu pula terdengar suara menggelegar disertai kilat. Bi Cu terkejut, memandang
ke atas dan dia pun melihat mendung bergumpal-gumpal serta kilat
menyambar-nyambar disertai guntur meledak-ledak.
"Ada
apa di sana itu?" Bi Cu masih bingung dan merasa ngeri juga karena cuaca
menjadi gelap.
"Ada
apa? Artinya akan hujan. Air!" Sin Liong berteriak.
"Air?
Mana...?" Pertanyaan Bi Cu ini segera dijawab dari udara karena tepat pada
saat itu pula turunlah air hujan yang deras sekali.
"Air...!"
Bi Cu berteriak dan melepaskan dirinya dari Sin Liong, bangkit berdiri akan
tetapi dia terhuyung dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat dipeluk oleh
Sin Liong.
"Air!
Hujan turun!" Sin Liong juga bersorak.
Mereka
berdua berangkulan, menangis, menengadah sambil membuka mulut lebar-lebar,
membiarkan air memasuki mulut mereka, mata mereka, hidung mereka sampai mereka
tersedak-sedak. Sin Liong dan Bi Cu tertawa-tawa dengan air mata bercucuran,
sambil mengeluarkan teriakan-teriakan girang yang tidak ada artinya.
"Bi
Cu...!"
"Sin
Liong...!"
Mereka
seperti mendapat tenaga baru setelah tubuh mereka basah kuyup, setelah perut
mereka terisi air hujan, mereka berangkulan dan tanpa disengaja, tahu-tahu
mereka telah berciuman! Sampai lama mereka berdekapan dan berciuman, ciuman
yang sebenarnya tidak disengaja, terjadi karena kegembiraan mereka yang luar
biasa, mulut mereka saling bertemu dalam keadaan tertawa gembira, lalu saling
kecup, seperti tidak dapat dilepaskan lagi.
Mereka baru
saling melepaskan ciuman sesudah napas mereka berdua terengah-engah, kemudian
keduanya mundur selangkah, saling pandang dengan mata terbelalak di antara
cucuran air hujan dan kilatan guntur di dalam cuaca yang remang-remang, dan
keduanya seperti orang terkejut dan memang terkejut karena baru saja sadar
betapa mereka saling cium seperti itu, dan tiba-tiba mereka merasa betapa muka
mereka menjadi panas karena malu.
"Bi
Cu..."
"Sin
Liong..."
Mereka lalu
saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, entah mengapa mereka menangis
mereka sendiri tidak mengerti. Ada rasa girang, ini sudah jelas karena jatuhnya
air hujan itu se卢akan-akan mengembalikan nyawa mereka
yang sudah hampir melayang, ada rasa bahagia yang lain yang tidak mampu mereka
gambarkan, ada rasa haru, akan tetapi juga ada rasa sedih karena mereka
menyadari bahwa mereka masih berada dalam ancaman maut, terkubur hidup-hidup
dalam tempat yang tidak ada jalan keluarnya ini.
Tiba-tiba
terdengar suara keras dari atas. Sin Liong menoleh dan cepat dia menarik tubuh
Bi Cu, meloncat ke dekat jalan kecil menuju ke pohon besar. Untung dia
bertindak cepat karena terlambat beberapa detik saja mereka berdua tentu akan
tertimpa batu-batu dan lumpur yang terbawa air dari atas, dan tentu akan
diseret masuk ke dalam jurang.
Sin Liong
memegangi lengan Bi Cu, diajaknya dara itu merangkak hati-hati meninggalkan
dataran sempit itu, kembali ke pohon, berpegang pada batang pohon itu,
bersandar di situ sambil memandang ke tempat mereka selama tiga hari berlindung
itu, tempat yang kini menjadi sasaran batu-batu berikut lumpur yang menimpanya
dengan suara gedebukan, diseret air yang tercurah dari atas dan menyapu segala
yang berada di atas tempat itu. Batu-batu, lumpur dan segala apa disapu dan diseretnya
turun ke dalam jurang.
Bi Cu
bergidik dan mengeluh, kemudian dirangkul oleh Sin Liong dan selanjutnya Bi Cu
menyembunyikan muka dalam dekapan dada Sin Liong.
Akhirnya
hujan berhenti. Akan tetapi air yang masih mengucur menimpa dataran sempit itu,
walau pun kini tidak ada lagi batu yang jatuh menimpa. Matahari yang sudah
mulai condong ke barat itu nampak lagi sinarnya, dan tepat menimpa dinding batu
tebing di atas dataran yang sempit itu.
"Bi Cu,
lihat...!" Sin Liong mengangkat muka Bi Cu dan menuding ke arah dinding
batu tebing itu.
Bi Cu
mengangkat muka dan memandang. Ada perubahan besar pada dinding batu itu. Banyak
batu-batu yang tanggal, hanyut oleh air. Batu-batu yang tanggal ini membentuk
bekas-bekas lubang sehingga terdapat celah-celahnya, tidak lagi rata seperti
sebelumnya. Bahkan nampak akar-akar tumbuh-tumbuhan menonjol keluar karena
tanah yang tadinya menutupinya terbawa oleh air.
"Hujan
membuat tebing itu longsor," bisik Bi Cu.
"Itulah!
Dan nampaknya kini tidak sukar untuk mendaki ke atas!" kata Sin Liong.
Sesudah air
dari atas tebing itu berhenti mengalir, Sin Liong lalu menggandeng tangan Bi Cu
dan dengan hati-hati mereka kembali ke dataran sempit itu. Tempat itu menjadi
bersih, bahkan rumput-rumput dan batu-batunya lenyap, semua tinggal dataran
batu seperti baru dicuci bersih.
Sin Liong
memeriksa dinding tebing. Dinding itu tidak licin lagi, tetapi kasar karena
semua permukaannya disapu air dan memang benar, kelihatan celah-celah dan
tonjolan-tonjolan yang memungkinkan mereka mendaki ke atas. Memang sangat
tinggi hingga bagian atas sekali tidak kelihatan jelas, akan tetapi yang sudah
pasti terdapat perubahan besar pada dinding tebing itu.
"Biar
kita tunggu semalam ini, biar tebing itu kering, baru besok kita mencoba untuk
naik. Jangan putus harapan, Bi Cu. Selama nyawa masih ada di dalam tubuh kita,
kita harus berusaha dan tidak boleh putus asa."
Bi Cu
mengangguk-angguk. "Memang kita harus dapat keluar dari sini...,"
katanya seolah termenung, "entah kapan lagi ada hujan turun..."
Malam itu
mereka kedinginan! Akan tetapi Sin Liong yang sudah sehat benar dan lengan
kirinya sudah pulih kembali, lalu mendekap tubuh Bi Cu sambil mengerahkan sinkang-nya
sehingga ada hawa panas dari tubuhnya menjalar ke tubuh Bi Cu. Dara itu pun
dapat tidur dalam dekapan Sin Liong.
Dan mereka
berdua tidak ingat lagi akan sopan santun, karena mereka melakukan hal itu,
yaitu tidur berdekapan, sama sekali bebas dari pada nafsu birahi. Yang ada
hanya saling kasihan, saling menaruh kasih sayang dan iba, ingin saling
melindungi dan ingin melihat masing-masing dalam keadaan selamat, tak ada
keinginan lain untuk kesenangan pribadi! Yang ada hanya cinta kasih!
Walau pun
tidak diucapkan dengan kata-kata, walau pun dalam batin mereka sendiri tidak
pernah ada pertanyaan tentang hal itu, tidak ada dugaan tentang itu, tidak ada
sedikit pun bayangan nafsu mengotorinya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu matahari menyinari langit yang
bersih, hari dimulai dengan pagi yang cerah dan bersih, seolah-olah hujan
kemarin telah mencuci semua yang berada di atas bumi dan langit. Segalanya
nampak bersih, baru dan bahkan batu-batu tebing yang baru terbongkar itu
mengeluarkan bau tanah yang sedap.
"Bi Cu,
kita mulai mendaki, mencari jalan keluar, mencari jalan hidup. Oleh karena itu
kau ikatkan ujung tali ini pada pinggangmu. Kita tetap bersatu, terikat oleh
tali ini. Satu hidup semua hidup, satu gagal semua gagal..."
"Satu
mati semua mati!" sambung Bi Cu yang segera megikatkan ujung tali itu
erat-erat pada pinggangnya yang ramping. Sin Liong juga segera mengikatkan
ujung yang lain di pinggangnya.
"Nah,
kita mulai," katanya kemudian, mendekati bagian celah terendah dari tebing
itu.
"Nanti
dulu, Sin Liong," kata Bi Cu.
Dan dara ini
lalu menghampirinya dan merangkul kedua pundaknya. Wajah mereka saling
berdekatan dan mereka saling pandang, terlihat betapa wajah masing-masing amat
kurus, cekung dan rambut mereka amat kusut. Wajah-wajah yang tidak dapat
dibilang tampan atau cantik dalam keadaan seperti itu.
"Ada
apakah, Bi Cu?"
"Sin
Liong, malam tadi..."
"Ya...?"
"Kita...
telah... berciuman..."
Sin Liong
merasa betapa wajahnya panas, "Aku... aku tidak sengaja...
maafkan..."
Bi Cu
tersenyum. "Aku pun tidak sengaja... dan sekarang, sebelum kita menempuh
jalan maut untuk hidup terus atau mati, aku... aku ingin... seperti malam tadi,
akan tetapi kali ini kita sengaja..." Dia memandang dengan mata
berkedap-kedip malu.
Sin Liong
lalu mendekapnya, dan mereka berdua sama-sama mendekatkan muka, lantas mereka
pun berciuman. Ciuman yang sangat canggung karena keduanya belum pernah
melakukan hal ini selamanya, akan tetapi dorongan hati membuat mereka tahu apa
yang harus dilakukan maka dua mulut yang saling mencinta itu berciuman dengan
mesra dan lembut. Ciuman yang sama sekali bersih dari nafsu birahi, akan tetapi
penuh getaran cinta kasih yang mendalam.
Kembali
mereka baru melepaskan ciuman karena perlu bernapas. Kini pandangan mata mereka
mengandung kemesraan aneh dan mendadak mereka berdua merasa berani dan kuat
menempuh apa saja asalkan berdua.
"Mari
kita berangkat!" kata Bi Cu, suaranya mengandung kesegaran serta
kegembiraan, seakan-akan mereka itu hendak berangkat pesiar ke tempat indah,
bukan sedang hendak melakukan perjalanan yang amat berbahaya dengan taruhan
nyawa!
"Mari!
Engkau tunggu sampai aku naik setingkat, baru engkau mengikuti setiap jejakku.
Mengertikah, Bi Cu?"
"Aku
mengerti. Kalau engkau bergerak naik, aku diam menjaga. Sebaliknya pada saat
aku bergerak naik, engkau diam menjaga. Begitukah?"
"Benar
sekali. Bedanya, engkau menjaga di bawah sedangkan aku dari atas. Sebaiknya
pada saat aku naik, engkau melibatkan sisa tali pada akar atau batu untuk
membantumu kalau-kalau aku terjatuh, demikian pula akan kulakukan kalau engkau
yang naik."
"Baik,
aku mengerti. Marilah!"
Sin Liong
mulai mendaki naik, akan tetapi baru menaruh kaki kanannya ke dalam celah di
sebelah atas, dia menoleh ke bawah dan berbisik, "Bi Cu, aku cinta
padamu!"
Bi Cu yang
berdongak itu pun berbisik mesra, "Sin Liong, aku pun cinta padamu!"
Kata-kata
yang diucapkan sebagai salam terakhir ini menambah tenaga yang bukan main, baik
bagi Sin Liong mau pun bagi Bi Cu. Sin Liong naik sampai dua meter di atas Bi
Cu, lalu berhenti dan menanti sampai Bi Cu mengikuti jejaknya. Setelah itu,
baru dia naik lagi. Bi Cu bergerak setelah Sin Liong berhenti.
Demikianlah,
mereka melakukan pendakian yang luar biasa sukarnya. Kadang-kadang Bi Cu yang
sudah melibatkan sisa tali pada akar atau batu menonjol, harus memejamkan mata
melihat betapa Sin Liong melakukan pendakian yang amat sukar, bergantung pada
batu dengan kedua kaki tergantung sedemikian rupa. Ketika tiba gilirannya
melalui tempat sukar itu, Sin Liong selalu membantunya dengan menarik tali yang
mengikat pinggangnya sehingga baginya tidaklah sesukar Sin Liong yang naik
lebih dulu.
Beberapa
kali Sin Liong memesan agar Bi Cu jangan sekali-kali menengok ke belakang. Hal
ini karena dia melihat betapa mengerikan kalau melihat ke belakang atau ke
bawah. Dia sendiri terpaksa harus melihat ke bawah karena dia berada di atas Bi
Cu. Akan tetapi dia tidak merasa takut melihat bawah, betapa pun mengerikan,
karena dia sudah bertekad untuk membawa Bi Cu keluar dari tempat ini!
Memang aneh
bukan main! Hujan kemarin itu benar-benar seperti membuka jalan bagi mereka!
Biar pun masih sukar, akan tetapi toh bukan tidak mungkin mendaki terus ke atas
seperti sudah dibuktikan oleh dua orang muda yang keras hati itu. Beberapa kali
mereka seperti menghadapi jalan buntu.
Di sebelah
atas Sin Liong hanya ada batu rata menonjol sehingga tidak ada tempat untuk
berpegang tangan sama sekali. Untuk mendaki batu bundar ini jelas tidak
mungkin. Maka sampai lama Sin Liong berhenti dan berpikir-pikir. Keringatnya
sudah membasahi seluruh tubuh.
Bi Cu yang
berdiri di bawah kakinya, berpegang kepada akar pohon yang tumbuh miring itu,
lalu bertanya khawatir, "Ada apakah, Sin Liong? Mengapa berhenti?"
Sebenarnya dia sudah dapat menduga. Tentu Sin Liong menghadapi jalan buntu!
"Naik
terus tidak mungkin," akhirnya Sin Liong menjawab. "Satu-satunya
jalan hanya ke kanan itu kemudian kita harus melanjutkan pendakian dari
situ!" Dia menunjuk ke kanan di mana terdapat sebuah batu besar menonjol.
Memang agaknya
air kemarin mengambil jalan dari situ, karena ada bekasnya dan jalan mendaki
dari atas batu menonjol itu tidak begitu sukar. Akan tetapi untuk mencapai batu
menonjol itulah yang sukar, apa lagi batu itu menjulur ke depan sehingga seolah
setengah tergantung di udara! Jarak antara Sin Liong dan batu menonjol di kanan
itu ada tiga meter dan yang memisahkan mereka adalah celah seperti goa yang
tidak mungkin dapat dilalui. Meloncat? Mungkin saja dengan mudah mampu
dilakukan oleh Sin Liong di tempat biasa, bukan di tempat seperti ini!
"Sin
Liong, engkau jangan meloncat ke sana!" Bi Cu berseru ketika dia
membayangkan kemungkinan yang mengerikan ini.
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Tidak, terlalu berbahaya untuk meloncat. Bi Cu, kau
lepaskan ikat pinggang itu, maksudku, tali yang mengikat pinggangmu."
"Tidak,
aku tidak mau berpisah darimu lagi!" jawab Bi Cu cepat-cepat.
"Jangan
salah mengerti, Bi Cu. Aku hanya ingin mempergunakan tali itu untuk mencapai
batu di sebelah kanan itu, sesudah aku tiba di situ, baru aku dapat menarikmu
ke sana. Hanya itulah jalan satu-satunya agar kita dapat melanjutkan pendakian
kita ke atas."
Bi Cu
mengerutkan sepasang alisnya dan mulutnya cemberut, tanda bahwa hatinya tidak
senang, akan tetapi dia tidak membantah lagi dan melepaskan ikatan ujung tali
itu dari pinggangnya. Sin Liong lalu menarik tali itu ke atas, kemudian
menggulung ujung yang tadi mengikat pinggang Bi Cu menjadi laso dan dia
mengayunkan ujung tali itu ke arah batu yang menonjol.
Ayunannya
tepat sekali, ujung tali itu dengan tepat menjerat batu dan ketika ditariknya,
jeratnya mengencang dan ujung batu menonjol itu terikat sudah. Kemudian dia
mencoba kekuatan tali itu dengan tarikan keras dan kuat, tidak kurang dari tiga
ratus kati kuatnya dan ternyata tali mau pun batu dapat bertahan.
Sin Liong
memandang ke bawah dan Bi Cu juga semenjak tadi mengikuti gerak-geriknya. Gadis
itu tahu apa yang dilakukan Sin Liong, maka tanpa dapat ditahannya lagi, biar
pun hatinya sedang tidak senang, dia berseru,
"Sin
Liong, hati-hatilah...!"
Sin Liong
tersenyum. "Jangan khawatir, batu dan tali ini kuat sekali. Kau lihat
bagaimana caranya agar nanti engkau mudah mengikuti jejakku." Setelah
berkata demikian, dengan hati-hati dan perlahan-lahan dia mengayun dirinya ke
kanan, perlahan saja agar supaya tidak memberatkan tali itu. Tubuhnya terayun
dan bergantungan kepada tali yang bukan hanya mengikat pinggangnya, akan tetapi
juga dipegangnya dengan kedua tangan itu.
Dari bawah
batu menonjol itu, mudah saja bagi Sin Liong untuk memanjat naik melalui tali
dan menangkap tonjolan batu, terus mengangkat tubuhnya naik ke atas batu. Ia
berhasil! Dan dengan mudah!
Cepat-cepat
Sin Liong melepaskan tali yang mengikat pinggangnya, juga ujung lain yang
mengikat di batu, lalu ujung ini diikatkan kepada lengan kanannya. Dengan
demikian dia merasa lebih yakin. Kemudian dilemparkan ujung tali itu kepada Bi
Cu sambil berkata,
"Tangkaplah!"
Bi Cu
menangkap ujung tali dan mengikatnya pada pinggangnya. Melihat dara itu nampak
ragu dan takut-takut, Sin Liong berkata,
"Bi Cu,
jangan takut. Mudah saja, dan kau lihatlah, ujung ini sudah mengikat lenganku,
berarti kalau engkau jatuh ke bawah, aku akan ikut jatuh pula. Kita sudah
bersama-sama lagi bukan?"
Ucapan itu
menolong banyak, karena Bi Cu langsung mendaki naik ke tempat Sin Liong berayun
tadi, kemudian dengan perlahan dia lalu mengayun diri ke kanan, memejamkan
matanya karena dia sesungguhnya merasa ngeri bukan main. Dengan memegangi tali
di atasnya dengan kedua tangan, Bi Cu merasa betapa tubuhnya terayun-ayun di
udara!
"Nah,
memanjatlah naik, perlahan-lahan saja, Bi Cu," terdengar suara Sin Liong
tepat di atasnya.
Tanpa
membuka mata, Bi Cu memanjat hati-hati melalui tali itu dan akhirnya dia
ditarik naik oleh Sin Liong yang sudah dapat menangkap pergelangan tangannya.
Setelah tiba di atas batu itu, Bi Cu merangkul Sin Liong dengan tubuh
menggigil!
Sin Liong
membiarkan Bi Cu dalam dekapannya sampai beberapa lamanya, sampai Bi Cu menjadi
tenang kembali, tiada hentinya berbisik untuk membesarkan hati, "Kita
berhasil! Engkau berhasil dengan baik sekali. Dan kita pasti akan sampai di
atas!"
Sesudah Bi
Cu tenang kembali, mereka melanjutkan perjalanan mereka mendaki seperti tadi,
dengan kedua ujung tali mengikat pinggang masing-masing. Pendakian yang sama
sekali tidak mudah dan setelah siang, akhirnya, dengan kedua telapak tangan
lecet-lecet berdarah, napas terengah-engah, keduanya dapat tiba di atas, di
dataran yang aman, di dunia yang lama. Keduanya langsung menggulingkan diri di
atas tanah di pinggir jurang, terengah-engah dengan mulut terbuka tertawa, akan
tetapi dengan mata basah air mata.
"Kita
selamat!" Sin Liong berkata.
"Terima
kasih kepada hujan!" Bi Cu berseru kemudian dara itu berlutut dan
menyembah-nyembah, ditujukan ke atas, ke udara karena dari sanalah datangnya
hujan kemarin!
"Kepada
hujan? Kepada Thian (Tuhan) maksudmu...?"
"Tidak,
kepada hujan!" Bi Cu membantah. "Bukankah hujan yang menyelamatkan
kita? Kalau tidak ada hujan kemarin, kita sudah mati kehausan, dan kalau tidak
ada hujan yang membuka jalan, mana mungkin kita naik ke sini?
"Tapi
Tuhan yang membuat hujan! Tuhan yang mengatur itu semua sehingga sekarang kita
tertolong."
"Aku
tidak tahu, akan tetapi yang jelas, air hujan itu menolong kita. Aku tidak tahu
siapa yang mengaturnya, akan tetapi aku tahu benar, air hujan itu memungkinkan
kita masih dapat hidup se卢karang ini, maka aku berterima kasih
kepada hujan kemarin!"
Sin Liong
tidak mau membantah. Apa artinya berbantah tentang hal siapa yang mengatur air
hujan? Ada dongeng yang mengatakan bahwa hujan diatur oleh Dewa Naga Pengatur
Hujan, ada dongeng lain yang mengatakan bahwa dewa ini, malaikat itu yang
mengatur hujan, dan Tuhan hanya memerintahkan para dewa atau para malaikat
untuk menunaikan segala macam tugas di alam ini. Jadi siapa yang berjasa
menyelamatkan mereka?
Tidak ada
artinya untuk bercekcok tentang teori itu karena bagaimana pun juga, tidak ada
seorang pun manusia yang mengetahui dengan sebenarnya tentang siapa yang
mengatur hujan itu. Yang jelas seperti Bi Cu, air hujan kemarin itulah yang
menyelamatkan mereka. Dan hal itu tidak dapat dibantah lagi, karena merupakan
kenyataan sesungguhnya. Apa yang terjadi di balik kenyataan itu merupakan hal
rahasia, dan memperbantahkan sesuatu yang rahasia, yang tidak diketahui, hanya
merupakan perbuatan bodoh dan menimbulkan pertentangan saja. Dan dia jelas tidak
ingin bertentangan dengan Bi Cu.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja Bi Cu mengeluh lalu terguling roboh! Sin Liong terkejut sekali,
menubruk dan merangkulnya. Ternyata tubuh dara itu panas sekali, akan tetapi
ketika Sin Liong merangkulnya, dia menggigil seperti orang kedinginan. Tahulah
Sin Liong bahwa Bi Cu terserang demam! Inilah akibat perut kosong, tekanan
batin yang sangat hebat penuh ketegangan dan ketakutan, kemudian kehujanan
serta kedinginan tadi malam dilanjutkan dengan keletihan dan ketegangan yang
sangat luar biasa ketika mereka mendaki selama setengah hari tadi.
"Bi
Cu...! Bi Cu...!" Sin Liong memanggil ketika melihat dara itu pingsan,
memondongnya dan membawanya ke dalam hutan tidak jauh dari tepi jurang itu. Dia
harus mencari air, harus mencari makanan, harus mencari obat untuk Bi Cu. Sin
Liong tak lagi merasakan betapa tubuhnya sendiri amat lelah dan lapar, yang
diperhatikan hanyalah keadaan Bi Cu seorang.
***************
Dengan dada
lapang kita tinggalkan dulu Sin Liong dan Bi Cu yang sudah berhasil lolos dari
bahaya maut itu dan mari kita mengikuti kembali keadaan Pangeran Ceng Han Houw
di istananya di kota raja. Walau pun pangeran ini melihat kegiatan-kegiatan
dilakukan oleh istana, malah dia mendengar pula bahwa istana telah mengumumkan
pengampunan dan kebebasan kepada keluarga Cin-ling-pai, namun tidak ada
tindakan atau perintah sesuatu dari istana yang ditujukan kepada dirinya. Oleh
karena itu dia merasa agak lega, sungguh pun sejak peristiwa kehilangan surat
Raja Sabutai itu dia tidak lagi berani mengadakan hubungan dengan utara mau pun
dengan sekutu-sekutunya yang lain. Dia harus bersikap hati-hati.
Ada dua
kemungkinan, pikirnya. Pertama, kaisar belum pernah menerima surat rahasia itu.
Atau, kaisar sudah menerima akan tetapi tidak percaya sepenuhnya atau juga
tidak mau menimbulkan keributan antara keluarga istana sendiri, maka kaisar
memerintahkan tindakan-tindakan yang berhati-hati. Dia sudah tahu siapa yang ditunjuk
oleh kaisar untuk menanggulanginya. Tentu Pangeran Hung Chih!
Malam itu
sangat sunyi di istana Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran yang cerdik ini telah
lama menyuruh orang Mongol pergi dari istananya, bahkan dia pun sudah menyuruh
Hai-liong-ong Phang Tek kembali ke selatan. Dia tak ingin menimbulkan
kecurigaan fihak istana dan hidup tenang di istananya seolah-olah tidak pernah
terjadi apa-apa.
Akan tetapi
para pengawalnya yang menjadi orang-orang kepercayaannya, telah dipesan agar
berjaga dengan hati-hati sekali dan jangan sampai kebobolan seperti ketika Sun
Eng lenyap dilarikan orang malam itu. Dia mengganti para pengawalnya dengan
orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian cukup boleh diandalkan.
Dan pada
malam yang sunyi itu para pengawal dikejutkan oleh munculnya seorang wanita
muda yang cantik jelita dan gagah, yang muncul secara terang-terangan di pintu
gerbang dan minta kepada para pengawal agar disampaikan kepada Pangeran Ceng
Han Houw bahwa dia hendak bertemu dengan sang pangeran pada waktu itu juga.
Ketika
menyatakan ini, wanita cantik itu mengeluarkan sebuah cincin yang dikenal oleh
para pengawal sebagai cincin sang pangeran, cincin tanda bahwa wanita ini
adalah orang kepercayaan sang pangeran! Tentu saja para pengawal langsung
bersikap hormat, lalu mempersilakan wanita itu menunggu di dalam ruangan tamu
sedangkan kepala pengawal tergopoh-gopoh melaporkan ke dalam istana.
Pada waktu
Ceng Han Houw menerima laporan ini, ada dua macam perasaan mengaduk hatinya.
Pertama tentu saja perasaan gembira karena dia sudah dapat menduga siapa adanya
wanita itu. Di dunia ini hanya ada seorang wanita yang pernah diberinya cincin
kekuasaan dan wanita itu adalah Lie Ciauw Si! Dan kedua dia merasa curiga dan
juga tegang.
Dara perkasa
itu adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan sungguh pun saling
mencinta dengan dia, akan tetapi kalau dara itu maklum bahwa dia dimusuhi pula
oleh keluarga Cin-ling-pai, apakah dara itu akan tetap mencintanya dan apakah
tidak akan ikut memusuhinya pula? Diam-diam dia segera mengatur sikap dan
secara kilat dia mencari siasat bagaimana untuk menghadapi dara cantik yang
sudah menarik hatinya dan yang membuatnya benar-benar jatuh cinta itu. Setelah
merapikan pakaiannya, Pangeran Ceng Han Houw lalu keluar menuju ke ruangan tamu
untuk menyambut.
Ketika dia
membuka pintu, tamunya itu bangkit berdiri. Kini mereka berdiri berhadapan dan
saling berpandangan. Tak salah dugaannya, dara itu memang Lie Ciauw Si. Nampak
semakin cantik dan semakin gagah saja. Sebaliknya, Ciauw Si juga memandang
kepada pangeran itu. Alangkah tampannya pangeran itu, dalam pakaian yang sangat
gemerlapan dan indah!
"Nona
Lie Ciauw Si...! Moi-moi, ternyata engkau datang mengunjungiku...!"
Akhirnya Han
Houw berseru girang dan menghampiri, lalu memegang kedua tangan dara itu. Ciauw
Si membiarkan tangannya dipegang karena dia sendiri juga merasa amat rindu
kepada pria yang menjatuhkan hatinya ini dan merasa girang dengan pertemuan
ini.
"Pangeran,
engkau baik-baik selama ini, bukan?"
"Tentu
saja! Ah, Si-moi, betapa rinduku kepadamu...!" Dan pangeran itu merangkul,
terus menciumnya. Akan tetapi hanya sebentar saja Ciauw Si membiarkan dirinya
dicium, lalu dia mendorong dada pangeran itu perlahan.
"Cukup
pangeran...," katanya sambil melangkah mundur.
"Tapi,
Si-moi..."
"Pangeran,
aku pun rindu kepadamu. Akan tetapi ingat, kita masih belum menjadi suami
isteri, oleh karena itu kita harus dapat membatasi diri..."
Pangeran itu
maklum bahwa terhadap seorang dara seperti Ciauw Si ini, dia tidak boleh
bertindak ceroboh. Lagi pula, dia memang benar-benar mencinta dara ini dan
tidak ingin memperlakukan seperti wanita lain yang disenanginya hanya akibat
dorongan nafsu birahi semata. Terhadap Ciauw Si dia memiliki perasaan lain.
Bukan semata-mata nafsu birahi, melainkan dia memang kagum dan suka sekali
kepada wanita ini, dan kalau sekali waktu dia ingin mempunyai isteri, bukan
selir, agaknya inilah pilihannya.
"Si-moi,
marilah masuk. Ahhh, engkau datang malam-malam begini? Tentu belum makan
malam." Pangeran itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan agar cepat
disediakan hidangan malam. Kemudian dengan sikap mesra dan ramah dia
mempersilakan Ciauw Si untuk masuk ke bagian dalam istananya.
"Saya
tidak akan lama, pangeran, hanya akan membicarakan sesuatu yang penting, yaitu
hendak mohon bantuanmu..."
"Aih,
Si-moi! Kita baru saja berjumpa setelah berbulan-bulan kita saling berpisah.
Masa engkau begitu datang lalu hendak pergi lagi? Itu namanya menyiksa
perasaanku! Tidak, engkau harus menjadi tamu agungku, setidaknya untuk semalam
dua malam, kita bicara nanti sambil makan malam. Nah, mari kuantar engkau ke
kamar tamu, setelah mengaso dan mungkin hendak mandi dulu, kita makan dan
bicara. Sungguh engkau tidak boleh menolak permintaanku ini, Si-moi."
Ciauw Si
memang tidak dapat menolak, juga tidak ingin menolak. Pangeran itu demikian
ramah dan dia pun sesungguhnya rindu kepada pria yang dikasihinya ini. Lagi
pula, apa salahnya tidur di istana yang mewah itu asal saja dia mendapatkan
kamar sendiri? Tidur di rumah penginapan pun sama saja, tidur bersanding kamar
dengan orang lain, bahkan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya malah.
Bagi seorang
gadis kang-ouw, tidur di mana pun tidak ada halangannya. Apa lagi tidur di
dalam sebuah kamar tersendiri di dalam istana pangeran ini! Dia mengagumi
keindahan istana itu yang dilengkapi dengan perabot-perabot indah dan mewah,
lukisan-lukisan yang amat indah.
"Silakan,
inilah kamarmu, Si-moi. Engkau perlu pelayan?"
"Tidak,
tidak... aku tak biasa dilayani, pangeran. Cukup asal disediakan air hangat
saja... dan..."
Seorang
pelayan wanita yang muda dan cantik lalu menghampiri, "Perintahkan
segalanya kepada saya, nona, dan saya akan mempersiapkan segala keperluan nona."
Pangeran
Ceng Han Houw tersenyum. "Nah, dia itulah pelayanmu. Sampai nanti,
Si-moi." Pangeran itu lalu membungkuk dan mengundurkan diri.
Diam-diam
Ciauw Si girang sekali. Kekasihnya itu selain tampan dan memiliki kepandaian
tinggi, juga amat sopan dan lemah lembut, pikirnya penuh kebanggaan.
Ciauw Si
mandi air hangat dan berganti pakaian yang dibawanya di dalam buntalan. Tak
lama kemudian, Pangeran Ceng Han Houw sendiri menjemput dirinya untuk diajak
makan malam di kamar makan. Pangeran itu juga sudah berganti pakaian serba baru
yang indah, sehingga diam-diam Ciauw Si merasa malu juga dengan pakaiannya
sendiri yang biasa saja, pakaian seorang wanita perantau yang ringkas. Tetapi
pangeran itu memandangnya penuh kagum.
"Engkau
nampak semakin cantik dan gagah saja dalam pakaian itu, Si-moi!" Memang
dia seorang pria yang pandai merayu, maka tentu saja diam-diam Ciauw Si merasa
girang sekali. Wanita mana yang tidak akan merasa girang kalau dipuji? Apa lagi
yang memuji adalah pria yang dicintanya. Pedang Pek-kong-kiam yang memang tidak
pernah berpisah dari tubuhnya, terselip di punggungnya.
Pada waktu
mereka tiba di ruangan makan yang indah dan segar karena di mana-mana terdapat
pot-pot bunga, di situ telah menanti enam orang wanita muda yang berpakaian mewah
dan cantik-cantik sekali dengan sikap yang agak genit menyambut pangeran dan
Ciauw Si. Hidangan sudah diatur di atas meja, masih mengepulkan uap karena
masakan itu masih panas.
Para wanita
itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan pangeran dan Ciauw Si duduk.
Sementara itu, dari luar ruangan itu terdengar suara nyanyian diiringi musik
yang dilakukan oleh beberapa orang wanita muda yang cantik pula. Seluruh
ruangan itu penuh dengan bau semerbak harum yang keluar dari pakaian para
wanita itu.
Ciauw Si
tidak segera duduk, memandang ke sekelilingnya dengan dua alis berkerut, lalu
dia pun bertanya kepada Han Houw, "Pangeran, siapakah mereka ini?
Pelayan-pelayan?" tanyanya meragu karena tak mungkin pelayan berpakaian
begini indah, terlebih lagi sikap mereka terhadap sang pangeran bukanlah
seperti pelayan yang menghormat, melainkan sikap yang merayu!
Pangeran
Ceng Han Houw tersenyum bangga. "Mereka ini? Ahh, mereka ini adalah
selir-selirku, Si-moi. Dia itu adalah Hong Kiauw, yang itu Bwee Sian, dan itu..."
"Pangeran,
suruh mereka pergi!" Tiba-tiba saja Ciauw Si berkata dengan suara dingin
dan sepasang matanya memandang marah. Para selirnya itu terkejut dan cemberut,
juga Han Houw terkejut dan bingung.
"Ehhh...
ini..." Dia tergagap.
"Cukup,
suruh mereka pergi atau aku yang akan pergi dari sini!"
Melihat
sikap yang tegas dan keras ini, Ceng Han Houw cepat-cepat melambaikan tangan
menyuruh para selir itu untuk meninggalkan ruangan makan. Para selir itu
cemberut dan mengerling marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani
membantah.
"Yang
main musik dan bernyanyi itu juga! Dan aku tidak mau dilayani, aku ingin bicara
denganmu, pangeran!" kata Ciauw Si tegas.
"Baiklah...
baiklah...!" Pangeran Ceng Han Houw kemudian memberi isyarat kepada para
pemain musik, para pelayan dan pengawal untuk pergi meninggalkan ruang itu.
Sebentar saja mereka sudah pergi semua sehingga mereka kini hanya berdua saja,
Ciauw Si masih berdiri, belum mau duduk.
"Nah,
mereka telah pergi semua, silakan duduk dan mari kita makan dulu sebelum
bicara, Si-moi."
Ciauw Si pun
duduk, akan tetapi belum mau menyentuh makanan. Wajahnya muram dan pandang
matanya masih marah. Tiba-tiba dia menatap wajah pangeran itu dengan tajam dan
pertanyaannya mengejutkan pangeran itu, "Pangeran, aku minta ketegasan.
Apakah engkau sungguh-sungguh cinta kepadaku?"
Pangeran
Ceng Han Houw mengerti bahwa wanita ini bersungguh-sungguh, bahkan cara
bicaranya juga kasar terhadapnya, tanda bahwa perasaan wanita itu terganggu
sekali. Dia tidak boleh main-main dan harus bersikap tegas pula.
"Tentu
saja, Si-moi. Aku cinta padamu dengan sepenuh hatiku."
"Pangeran,
aku tidak menyalahkan engkau yang mempunyai banyak selir. Aku juga tahu bahwa
memang itu sudah menjadi kebiasaan para bangsawan yang memelihara banyak selir,
baik sebelum mau pun sesudah menikah. Akan tetapi aku adalah seorang wanita
yang membela kebenaran dan keadilan, oleh karena itu, terus terang saja, aku tidak
mau menjadi kekasih seorang pria yang mempunyai banyak selir! Aku hanya mau
satu sama satu atau... tidak sama sekali! Nah, sebelum hubungan kita bertambah
akrab, aku harap engkau suka memilih, pangeran. Pilihlah, aku ataukah
selir-selirmu!"
"Tapi...
tapi... apa artinya semua ini...?" Pangeran berkata tergagap sebab
kata-kata yang dikeluarkan Ciauw Si itu sungguh-sungguh tak pernah diduganya.
"Artinya
sudah jelas, pangeran. Kalau engkau sungguh mencintaku, itu berarti bahwa aku
akan menjadi isterimu, dan apa bila aku menjadi isterimu, aku tidak ingin
melihat engkau memiliki selir seorang pun. Inilah syaratku, tinggal terserah
padamu sekarang, pangeran."
Sementara
itu, Pangeran Ceng Han Houw sudah berhasil menenangkan dirinya kembali. Dia
menarik napas panjang lalu berkata, "Baiklah, Si-moi. Tentu saja
permintaanmu itu amat pantas dan aku setuju sekali. Sekarang juga aku akan
perintahkan agar mereka itu dipulangkan ke rumah orang tua masing-masing!"
Ciauw Si
sendiri terkejut mendengar keputusan mendadak itu, akan tetapi sebelum dia
sempat berkata-kata, pangeran itu sudah memberi tanda tepukan tangan dan
muncullah seorang pengawal dari pintu belakang. Walau pun seorang pengawal tadi
sudah disuruh pergi meninggalkan ruangan itu, namun mereka itu siap siaga di
luar ruangan, menjaga kalau-kalau sang pangeran memanggil mereka.
"Laporkan
kepada kepala pengawal bahwa malam ini juga semua selirku harus disuruh pergi
dari istana, dan boleh antarkan mereka pulang ke rumah orang tua masing-masing.
Hadiah dan kerugian untuk mereka semua akan kukirim kemudian. Laksanakan
perintah ini sekarang juga. Mengerti?"
Pengawal itu
membelalakkan mata seolah-olah tak mendengar dengan baik atau merasa ragu akan
perintah yang dianggapnya aneh itu. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi
kekeliruan salah dengar yang kelak mengakibatkan dirinya celaka, maka dia
berdiri tegak dan mengulang,
"Paduka
memerintahkan agar semua selir paduka malam ini juga dipulangkan ke rumah orang
tua masing-masing, dan bahwa hadiah untuk mereka masing-masing akan paduka
kirimkan kemudian?"
"Benar.
Lekas laksanakan sekarang juga!"
"Baik,
pangeran!" Pengawal itu segera pergi meninggalkan ruangan itu sesudah
memberi hormat.
Ceng Han
Houw menoleh dengan senyum kepada kekasihnya, lantas memegang tangan kekasihnya
dan digandengnya ke meja makan lalu dengan halus nona itu dipersilakannya
duduk.
"Sudah
puaskah engkau sekarang?"
Ciauw Si
tersenyum manis dan wajahnya berseri. "Sungguh tak kuduga bahwa pangeran
akan memenuhi permintaanku seketika. Aku girang dan berterima kasih sekali,
pangeran. Kini aku tidak ragu-ragu lagi akan cinta kasihmu kepadaku."
Mereka lalu
makan minum sambil kadang-kadang saling berpandangan mesra. Ceng Han Houw
berani mengambil keputusan demikian cepat mengenai selir-selirnya bukan karena
dia tidak sayang terhadap selir-selirnya itu, sama sekali tidak. Dia adalah
seorang yang amat cerdik.
Dia tahu
bahwa keadaannya pada waktu itu sedang terancam, rahasianya mungkin sudah
diketahui oleh kaisar. Dalam keadaan terjepit ini dia membutuhkan bantuan
orang-orang pandai, kalau sewaktu-waktu dia akan turun tangan atau harus
membela diri. Dan Ciauw Si dalam hal ini jauh lebih berharga dari pada para
selirnya itu.
Apa lagi
kalau diingat bahwa di belakang Ciauw Si ini berdiri keluarga Cin-ling-pai yang
memiliki banyak orang sakti. Jika dia dapat memperisteri Ciauw Si dan menarik
keluarga Cin-ling-pai menjadi para pembantunya, atau paling tidak menjadi
sahabat-sahabat atau keluarga, tentu kedudukannya akan menjadi lebih kuat.
Dibandingkan
dengan kemungkinan yang amat baik ini, apa artinya beberapa orang selir itu?
Tentu saja lebih baik dia merelakan selir-selirnya untuk kemungkinan yang jauh
lebih menguntungkan itu.
Sesudah
mereka selesai makan dan sang pangeran memanggil pelayan membersihkan meja, dia
lalu mengajak Ciauw Si duduk di dalam taman yang penuh bunga dan diterangi
lampu merah, di dekat kolam ikan. Di situ hawanya sejuk sekali, dan sunyi.
"Nah,
sekarang katakanlah, keperluan apakah yang hendak kau sampaikan kepadaku,
Si-moi?"
"Pangeran,
kedatanganku ini di samping hendak mengunjungimu seperti yang pernah kita
janjikan pada saat kita saling jumpa dulu, juga untuk minta pertolonganmu.
Engkau tentu telah mengetahui, pangeran, bahwa ibu kandungku, ayah tiriku,
paman Cia Bun Houw dan juga bibi Yap In Hong, pendeknya semua keluarga
Cin-ling-pai, oleh pemerintah dianggap sebagai pemberontak dan buruan."
Pangeran
Ceng Han Houw memang sudah menduga akan hal ini, maka dia tidak terkejut dan
mengangguk sambil tersenyum, matanya penuh kekaguman memandang bibir yang
sedang bicara tadi.
"Maka,
aku mohon bantuanmu agar fitnah yang dijatuhkan atas diri keluarga kami itu
bisa dicabut, agar keluarga kami yang sejak dahulu tidak pernah memberontak itu
dibebaskan dari tuduhan. Harap engkau suka membujuk kepada sri baginda kaisar
agar bersikap dan bertindak bijaksana..." Ciauw Si menghentikan
kata-katanya karena dia melihat pangeran itu menarik napas sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Jantungnya berdebar dan timbul kekhawatiran di dalam hatinya.
"Bagaimana, pangeran?" Dia mendesak.
"Ciauw
Si moi-moi, agaknya engkau masih belum tahu akan kedudukanku. Dengarlah, aku
hanyalah adik tiri dari kaisar, dan sejak kecil aku ikut ibu kandungku yang
menjadi permaisuri Raja Sabutai. Walau pun aku diterima oleh mendiang ayah
kandungku dan sampai sekarang aku dianggap pangeran di sini, namun diam-diam
kaisar membenciku. Oleh karena itu, kalau aku menghadap kaisar dan mengusulkan
agar keluarga Cin-ling-pai dibebaskan, bukan saja hal itu akan sia-sia, bahkan
tentu kaisar akan memperoleh alasan untuk menangkap aku yang akan dituduhnya
bersekongkol dengan para pemberontak dan buruan. Kalau engkau menghadap, tentu
engkau akan ditangkap pula. Tidak mungkinlah untuk mengharapkan aku dapat
membujuk kaisar sampai berhasil."
Mendengar
penuturan ini, tentu saja Ciauw Si menjadi kaget dan kecewa sekali. Seketika
lenyap harapannya untuk bisa menyelamatkan keluarganya dengan perantaraan
pangeran ini.
"Ahh,
lalu bagaimana baiknya...?" Dia berkata lirih.
Ceng Han
Houw memegang kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya.
"Si-moi,
jangan khawatir. Aku masih mempunyai pengaruh besar di antara para pembesar di
seluruh daerah. Akan dapat kuusahakan agar para pembesar daerah tak lagi
mengejar-ngejar keluargamu sebagai keluarga pemberontak. Akan tetapi, kita
tidak mungkin dapat mengharapkan pengampunan dari kaisar lalim!"
"Pangeran...!"
Ciauw Si terkejut mendengar kekasihnya itu menyebut kaisar lalim.
"Apa
lagi dia kalau bukan kaisar lalim? Ingat, selamanya keluarga Cin-ling-pai merupakan
keluarga gagah perkasa yang tak pernah memberontak, bukan? Akan tetapi, kaisar
lalim ini sudah menuduh mereka sebagai pemberontak! Oleh karena itu, kita harus
menentang dia, Si-moi! Jalan satu-satunya untuk menolong keluargamu, juga untuk
menolong rakyat dari kelalimannya, hanyalah dengan jalan menentangnya!"
"Tetapi...
tetapi, pangeran... maaf, bukankah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai justru
adalah suci-mu yang bernama Kim Hong Liu-nio beserta gurumu yang bernama
Hek-hiat Mo-li?"
Pangeran Ceng
Han Houw menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Engkau salah
mengerti, Si-moi. Aku telah menjadi murid orang sakti lain sekarang. Memang
tentu saja bekas guruku itu, Hek-hiat Mo-li, merupakan musuh dari keluarga
Cin-ling-pai akan tetapi ini merupakan urusan pribadi antara Hek-hiat Mo-li dan
keluarga Cin-ling-pai. Dan kurasa suci Kim Hong Liu-nio hanya menjalankan tugas
sebagai murid saja. Akan tetapi, kaisar lalim menggunakan kesempatan itu untuk
membonceng dan dengan pengerahan pasukan menyuruh suci dan subo itu untuk
menyerang keluargamu! Tentu saja suci tidak berani membantah kehendak kaisar
yang merupakan perintah. Jadi, yang menjadi biang keladi adalah kaisar lalim.
Oleh karena itu dia harus kita tumpas!"
Dengan
pandainya Ceng Han Houw memutar balikkan kenyataan sehingga pada akhirnya Ciauw
Si yang merupakan seorang gadis kang-ouw yang jujur itu terpikat juga. Hatinya
mulai menjadi panas kepada kaisar yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai, yang
menurut pangeran kekasihnya, merupakan golongan yang berbahaya bagi kerajaan!
"Bagi
kaisar lalim, golongan-golongan yang ilmunya tinggi menjadi ancaman bahaya bagi
keselamatan kerajaan, oleh karena itu dilakukan pembasmian besar-besaran. Dan
semua ini adalah siasat yang diatur oleh Pangeran Hung Chih yang menjilat-jilat
terhadap kaisar. Bahkan aku sudah mendengar kabar bahwa Pangeran Hung Chih
sedang mengumpulkan orang-orang pandai yang dapat dibelinya untuk menghadapi
aku."
"Ahhh...?"
"Akan
tetapi jangan khawatir, Si-moi. Kini aku bukanlah Ceng Han Houw seperti yang
kau jumpai beberapa bulan yang lalu. Aku telah mewarisi ilmu yang amat tinggi
dan aku tidak akan mudah dikalahkan oleh siapa pun juga di dunia ini. Maka, aku
hendak mengadakan pertemuan besar dengan seluruh jagoa di dunia kang-ouw, untuk
memilih jago nomor satu di dunia ini. Kalau aku bisa memenangkan kedudukan itu,
tentu semua tokoh kang-ouw di dunia ini akan berpihak kepadaku dan kekuatanku
menjadi makin besar. Setelah itu, barulah kita akan menghadapi kaisar lalim
itu. Tentunya engkau akan berpihak kepadaku, bukan?"
"Tentu
saja, pangeran." Lalu gadis itu mendesak. "Dan mengenai keluargaku,
bagaimana caramu untuk dapat menolong mereka?"
"Jangan
kau khawatir, untuk sementara ini tak akan ada pembesar yang berani mengusik
mereka. Akan kutulis surat perintah kepada seluruh pembesar supaya jangan
sampai ada yang mengganggu keluargamu. Surat itu boleh kau berikan kepada ibu
kandungmu, dan menunjukkan kepada setiap pembesar yang hendak mengganggu. Akan
kubuat beberapa buah agar dapat kau bagi-bagi kepada mereka, dan percayalah,
suratku itu akan menjadi jimat penyelamat yang ampuh. Ingat bahwa saat ini aku
pun masih memegang kekuasaan tinggi sebagai orang kepercayaan kaisar!"
Bukan main
lega dan girangnya rasa hati Ciauw Si mendengar ini. Juga ada rasa bangga di
hatinya bahwa pangeran itu, pria yang dikasihinya itu, ternyata mampu untuk
menolong keluarganya, "Ahh, terima kasih, pangeran. Engkau sungguh baik
hati sekali..."
Ceng Han
Houw bangkit berdiri dan pindah duduk ke dekat gadis itu, lalu merangkulnya
mesra, "Si-moi, tentu saja aku baik kepadamu karena aku cinta kepadamu,
Si-moi. Aku sudah membuktikan cinta kasihku kepadamu, akan tetapi apakah
buktinya bahwa engkau cinta padaku?"
"Pangeran,
bukti apa lagi yang kau kehendaki? Aku sekarang berada dalam pelukanmu, maukah
aku kalau aku tidak cinta padamu?"
Ceng Han
Houw menciumnya. Untuk beberapa lama mereka berpelukan dan berciuman dengan
curahan hati penuh kasih sayang.
"Si-moi..,"
Han Houw berbisik dengan napas agak memburu di dekat telinga kiri gadis itu.
"Kalau engkau benar mencintaku... marilah engkau bermalam di dalam kamarku
malam ini, sayang..."
Tiba-tiba
tubuh yang tadinya lemas menyerah itu menegang dan Ciauw Si melepaskan pelukan
pangeran itu, lalu menatap tajam di bawah sinar lampu merah. Sejenak mereka
saling berpandangan dan terdengar pangeran itu berbisik, "Maaf Si-moi,
bukan maksudku untuk merendahkanmu, akan tetapi sungguh... aku cinta padamu, aku
membutuhkanmu, dan dalam keadaan aku dimusuhi oleh kaisar seperti sekarang ini,
apa bila engkau pergi besok... entah kapan kita bertemu kembali, Si-moi... maka
sebelum berpisah, aku ingin memiliki dirimu dulu... aku ingin engkau menjadi
isteriku..."
"Pangeran,
engkau tahu bahwa hal itu tidak boleh kita lakukan sebelum kita menikah. Aku
harus memberitahukan ibuku, dan engkau harus mengajukan pinangan dulu. Baru
kalau kita sudah menikah, aku akan menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, pangeran.
Engkau tahu bahwa aku mencintamu dan akan berbahagia sekali menjadi
isterimu..."
"Akan
tetapi, moi-moi, mana mungkin kita dapat melaksanakan pernikahan dalam waktu
dekat-dekat ini, sesudah engkau mengetahui keadaanku? Pernikahan antara kita
berdua tentu akan membuat kaisar menjadi makin curiga dan merasa tak senang,
karena engkau adalah puteri dari keluarga yang memusuhinya. Dalam menghadapi
perjuangan ini, belum tentu kalau aku akan keluar dengan selamat. Maka... tidak
kasihankah engkau padaku? Tegakah engkau membiarkan aku setiap hari
merindukanmu, Si moi?" Ceng Han Houw merayu dan kembali dia sudah memeluk
gadis itu.
Belaian,
pelukan serta ciuman-ciuman pangeran itu memang sudah membuat Ciauw Si seperti
mabuk, maka kini rayuan-rayuan pangeran itu membuat dia semakin bimbang. Dia
hampir tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak dapat menolak ketika pangeran
itu kembali menciuminya, karena dia sendiri merasa seperti sedang dibuai oleh
keadaan yang sangat membahagiakan perasaannya. Akan tetapi pada saat pangeran
itu semakin berani dalam belaiannya, dia tersentak dan berbisik,
"Kita
harus menikah dulu... harus menikah dulu...," dan Ciauw Si pun menangis!
Pangeran
Ceng Han Houw tidak berani memaksa. Dia mendekap kepala yang menangis di atas
dadanya itu, mengelus rambut yang halus itu dan berbisik, "Moi-moi, engkau
tahu betapa besar cintaku kepadamu. Aku menghormati pendirianmu. Akan tetapi
karena aku tidak ingin menderita sengsara dalam kerinduan, maka kuharap engkau
akan setuju kalau kita lebih dulu melakukan upacara pernikahan sekarang
juga..."
Ciauw Si
mengangkat muka dan memandang heran melalui matanya yang basah dengan air mata.
"Apa...? Bagaimana...?"
"Dengar,
sayang. Kita dapat menikah sekarang juga di dalam kuil. Kalau kita sudah saling
bersumpah di hadapan Tuhan, dengan disaksikan Langit dan Bumi, upacaranya
dilakukan oleh hwesio dalam kuil, bukankah pernikahan itu sudah sah pula
namanya? Hanya belum dirayakan dan disaksikan oleh keluarga dan manusia lain?
Akan tetapi setelah disaksikan Tuhan, bukankah itu sudah lebih dari sah?"
Ciauw Si
yang sudah bimbang itu dan telah siap melakukan apa saja dengan kekasihnya, dan
hanya melihat pernikahan sebagai hal satu-satunya yang merupakan penghalang,
kini melihat jalan keluar ini, menjadi gembira sekali. "Tapi... tapi...
dapatkah hal itu dilakukan, pangeran?"
"Tentu
saja. Ketua Kuil Hok-te Seng-kun di kota raja adalah seorang sahabatku. Malam
ini juga kita dapat melakukan upacara pernikahan dan sembahyang itu di dalam
kuilnya, dan dengan demikian kita akan sah menjadi suami isteri."
"Ohhh..."
"Dan
engkau akan menjadi isteriku, calon permaisuriku..."
Pangeran itu
mencium dan Ciauw Si lalu pasrah. Pergilah mereka keluar dari taman dan tak
lama kemudian, mereka sudah mengendarai sebuah kereta berangkat ke Kuil Hok-te
Seng-kun di sebelah barat dalam kota raja itu....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment