CeritaSilat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 05
PESTA
berjalan dengan lancar dan hidangan-hidangan yang dikeluarkan adalah
hidangan-hidangan pilihan karena memang Kui Hok Boan tidak segan-segan
mengeluarkan uang untuk menjamu para tamunya.
Selagi para
tamu menikmati hidangan yang disuguhkan, mendadak terdengar suara hiruk pikuk,
lantas teriakan-teriakan kaget itu menjalar ke dalam dan suasana gembira
menjadi geger ketika para tamu melihat puluhan ekor monyet besar kecil menyerbu
tempat pesta dipimpin oleh seorang anak kecil yang usianya belum ada empat tahun!
Seperti juga
monyet-monyet lainnya, anak itu berloncatan dengan gerakan yang sangat cekatan.
Mereka segera menyerbu makanan-makanan di atas meja, ada pun para tamu
menjauhkan diri karena kaget dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Ketika para orang kang-ouw itu pulih kembali ketenangan mereka, tentu saja
mereka menjadi marah saat melihat bahwa yang datang menyerbu itu adalah
monyet-monyet liar besar dan kecil, maka mereka sudah siap untuk menghajar
binatang-binatang itu.
Akan tetapi
mendadak terdengar suara merdu dan nyaring, "Cu-wi sekalian harap jangan
turun tangan mengganggu monyet-monyet itu!"
Semua orang
terkejut dan menoleh. Yang berbicara adalah pengantin wanita yang sudah bangkit
berdiri di samping pengantin pria yang juga telah ikut berdiri. Dari balik
tirai manik yang bergantungan di depan muka pengantin wanita, nampak sepasang
mata yang tajam bersinar, kemudian terdengar suara nyaring yang ditujukan
kepada anak kecil yang masih menikmati makanan di atas meja bersama
monyet-monyet itu,
"Liong-ji
(anak Liong), hayo lekas kau ajak teman-temanmu pergi! Lekas pergi!"
Anak itu
memandang ke arah pengantin wanita, kelihatan sangat penasaran dan marah,
kemudian mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya seperti seekor kera marah.
"Sin Liong,
lekas ajak teman-temanmu pergi!" Kembali Si Kwi membentak dan sekali ini
di dalam suaranya terkandung kemarahan.
Anak itu
menyambar sepotong paha ayam, lalu meloncat turun dan sambil mengeluarkan
mengeluarkan teriakan segera berlari keluar, diikuti oleh monyet-monyet besar
dan kecil itu. Lucunya, ada monyet yang menyambar seguci arak, dan ada pula
yang menyambar mangkok berikut sumpitnya.
Para tamu
tertawa ketika melihat lagak monyet-monyet itu dan mereka terheran-heran
memandang kepada pengantin wanita. Tadi pengantin itu menyebut anak yang
memimpin monyet-monyet itu dengan ‘anak Liong’! Apa artinya ini? Apakah
pengantin itu, yang bagi seorang pengantin usianya sudah tidak muda lagi, telah
mempunyai anak?
"Cu-wi
sekalian yang mulia," terdengarlah suara Hok Boan sambil menjura ke arah
para tamu ada pun Si Kwi sudah duduk kembali sambil menundukkan mukanya.
"Harap cu-wi memaafkan bila kedatangan rombongan monyet tadi mengejutkan
dan mengganggu cu-wi. Hendaknya diketahui bahwa kumpulan monyet itu adalah
monyet-monyet yang tinggal di sekitar tempat ini dan dipimpin oleh seorang anak
kecil. Ketahuilah bahwa di sini terjadi hal aneh sekali. Dua tahun yang lalu
anak itu ditemukan oleh isteri saya dalam keadaan luka-luka tergigit oleh ular
beracun dan dirawat oleh monyet-monyet besar. Isteri saya lalu menolongnya dan
merawatnya sampai sembuh, kemudian mengangkatnya sebagai anak dan diberi nama
Sin Liong. Akan tetapi, karena sejak kecil dirawat oleh monyet-monyet, agaknya
anak itu masih suka bermain-main dengan rombongan monyet-monyet dan tidak kami
sangka bahwa hari ini dia mengajak para monyet itu untuk ikut berpesta!"
Keterangan
yang lucu ini disambut suara ketawa, akan tetapi semua tamu menjadi amat
terheran-heran hingga suasana menjadi berisik karena membicarakan peristiwa
aneh ini. Seorang bocah yang jelas adalah seorang manusia cilik, dirawat oleh
monyet-monyet dan hidup di antara monyet-monyet!
Akan tetapi,
dengan cekatan para pelayan cepat membereskan tempat-tempat yang telah
dikacaukan oleh rombongan monyet tadi, mengganti semua hidangan masakan dan
arak. Pesta dilanjutkan lagi dan kini suasana menjadi lebih gembira sebab
mereka memperoleh bahan percakapan yang amat mengasyikkan, yaitu anak kecil
pemimpin monyet-monyet tadi. Mereka menduga-duga dan mengkhayal menurut
perkiraan masing-masing.
"Hemmm,
anak angkatmu itu perlu dididik secara baik, kalau tidak kelak dia bisa menjadi
binal," bisik Hok Boan kepada isterinya.
Dengan muka
masih tetap menunduk, Si Kwi menjawab suaminya dengan bisikan pula. "Aku
mengharapkan kebijaksanaanmu untuk mendidiknya."
"Jangan
khawatir, anak angkatmu berarti juga anak angkatku. Karena telah menjadi anak
angkat kita, maka dia harus dididik. Bukankah akan memalukan kalau anak angkat
kita berwatak seperti monyet?"
Hok Boan
berkelakar dan isterinya hanya tersenyum. Akan tetapi karena wajah itu berada
di balik tirai manik, maka Hok Boan tidak melihat betapa wajah isterinya agak
pucat dan betapa jantung wanita itu berdebar tegang.
Di antara
para tamu itu terdapat seorang guru silat dari kota Koan-sun-jiu, seorang yang
bernama Tio Kok Le. Dia mengenal baik Hok Boan sebab itu dia datang pula, akan
tetapi diam-diam dia merasa iri hati melihat kemakmuran hidup Hok Boan.
Dulu pernah
dia bersama Hok Boan menjadi teman senasib dalam keadaan yang serba kekurangan.
Kini, setelah melihat betapa Hok Boan menjadi majikan Padang Bangkai dan
menikah dengan wanita cantik, juga dapat mengadakan pesta pernikahan yang
demikian mewahnya, mengundang banyak tokoh kang-ouw, hatinya menjadi iri.
Dia tahu
pula akan peristiwa di kota Koan-sui, di mana Hok Boan hampir dikeroyok oleh
murid-murid guru silat yang juga dikenalnya, pada saat Hok Boan berani main
gila merayu anak perempuan guru silat itu. Bahkan dialah yang dahulu sudah
membantu Hok Boan menyembunyikan diri ketika dikejar-kejar, dan membantunya
mencari jalan keluar dan lari ke utara. Dia tahu pula siapakah Kui Hok Boan,
tahu bahwa temannya ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang telah diusir karena
berjinah dengan isteri petani dan ketahuan oleh gurunya.
Sekarang,
melihat keadaan temannya serta melihat pula kehadiran seorang hwesio yang
diketahuinya sebagai seorang tokoh Go-bi-pai, susiok dari temannya itu, dia
memperoleh kesempatan untuk melampiaskan iri hatinya dengan jalan merusak
suasana yang meriah dan tenang itu! Keberaniannya diperbesar karena semenjak
tadi dia sudah terlalu banyak minum arak untuk menutupi iri hatinya. Kini dia
bangkit berdiri, membawa guci dan cawan arak, agak terhuyung menghampiri tempat
duduk kedua mempelai.
"Ha-ha-ha,
Kui-hiante, apakah engkau sudah lupa kepadaku?" Tio Kok Le berkata sambil
tertawa, berdiri di depan pengantin pria yang masih duduk.
Kui Hok Boan
tersenyum, "Tentu saja tidak, Tio-twako. Duduklah dan nikmatilah hidangan
kami seadanya."
"Cukup...
sudah cukup... aku hanya ingin memberi selamat kepadamu dengan secawan arak,
Kui-hiante." Biar pun dia agak limbung tetapi guru silat ini masih dapat
menuangkan arak ke dalam cawan itu lalu menyerahkannya kepada Hok Boan.
Pengantin
pria ini maklum bahwa bekas sahabat baiknya ini sudah mabok, maka dia pun
menerima cawan itu dan berkata, "Terima kasih atas ucapan selamatmu,
twako," lalu dia minum cawan itu sampai kosong.
"Ehh,
mana walimu, Kui-hiante? Aku ingin memberi selamat kepada walimu."
Hok Boan
mengerutkan alisnya. "Tio-twako, agaknya engkau sudah lupa bahwa aku tidak
mempunyai ayah bunda lagi."
"Ha-ha-ha,
yang kumaksudkan adalah gurumu, hiante."
Makin dalam
kerut di antara kedua mata pengantin pria itu. "Tio-twako, kau tahu aku
tidak mempunyai guru."
"Ahhh,
di hari baik begini mengapa membohong, hiante? Engkau adalah murid Go-bi-pai
yang pandai dan terkenal! Engkau adalah Kui-taihiap, jago muda dari Go-bi-pai,
seorang tokoh kang-ouw baru di daerah utara ini!" Suaranya meninggi dan
mengeras sehingga kini banyak tamu yang sudah menoleh dan memperhatikan guru
silat itu.
"Tio-twako,
sudahlah. Bekas suhu-ku juga sudah meninggal dunia. Kembalilah ke tempat
dudukmu, twako, dan terima kasih atas kebaikanmu," Hok Boan membujuk.
Akan tetapi
tentu saja Tio Kok Le tidak mau berhenti sampai di situ, karena memang dia
bermaksud untuk mengacau dan membongkar rahasia riwayat busuk pengantin pria
yang menimbulkan iri dalam hatinya itu. Dia menoleh ke arah tempat duduk hwesio
tinggi besar muka hitam itu dan tiba-tiba wajahnya berseri,
"Haaa,
bukankah beliau itu Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang menjadi susiok-mu,
hiante?" Tio Kok Le lalu menghampiri tempat itu sambil membawa guci arak
dan cawan kosong.
"Tio-twako,
jangan...!" Hok Boan mencoba untuk mencegah.
Akan tetapi
guru silat itu sudah menghampiri Lan Kong Hwesio dengan langkah lebar dan
diikuti oleh pandang mata banyak tamu yang merasa tertarik. Dia lalu menjura di
depan hwesio bermuka hitam itu.
"Locianpwe,
harap locianpwe sudi menerima pemberian selamat saya kepada locianpwe untuk
hari yang berbahagia ini."
Tentu saja
pendeta itu tidak menerima suguhan cawan arak itu dan dengan alis berkerut dia
bertanya, "Apakah maksudmu, sicu?"
Para tamu
kini memandang ke arah mereka dengan penuh perhatian.
"Ah,
bukankah locianpwe adalah Lan Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai?" Tio Kok Le
bertanya dengan suara nyaring hingga terdengar oleh para tamu yang kini makin
memperhatikan.
"Benar,
pinceng seorang murid Go-bi-pai, bukan tokoh besar. Habis, mengapa?"
"Ha,
kalau begitu saya tidak keliru. Kui Hok Boan merupakan murid mendiang Kaw Kong
Hwesio tokoh Go-bi-pai, sebab itu pengantin pria adalah keponakan locianpwe.
Bukankah sepantasnya kalau locianpwe saya anggap sebagai walinya dan saya
memberi selamat kepada locianpwe dengan secawan arak?"
Pendeta itu
memandang dengan penuh selidik kepada wajah guru silat itu. "Omitohud,
pinceng tidak mengerti apa yang sicu maksudkan dengan sikap ini, akan tetapi
ketahuilah bahwa sudah sejak lama Kui-sicu bukan lagi terhitung murid
Go-bi-pai. Pinceng datang bukan sebagai paman gurunya, melainkan sebagai tamu
biasa, karena itu pinceng tidak dapat menerima selamat itu."
"Wah,
wah ini namanya penasaran!" Guru silat itu berseru dengan muka merah,
ditujukan kepada para tamu. "Pengantin pria adalah seorang gagah perkasa
yang berkedudukan tinggi sebagai majikan Padang Bangkai dan sudah jelas dia
merupakan tokoh Go-bi-pai, mengapa tidak diakui oleh golongan atasan dari
Go-bi-pai sendiri? Locianpwe, agar tidak membikin para tamu yang terdiri dari
kaum kang-ouw menjadi penasaran, harap sukalah locianpwe memberi tahu apa
sebabnya pengantin pria tidak lagi dianggap sebagai murid Go-bi-pai?"
Wajah Kui
Hok Boan menjadi pucat, maka dia memandang kepada guru silat itu dengan marah.
Dia tidak tahu mengapa bekas sahabat baiknya itu secara tiba-tiba menyerangnya
dengan ucapan seperti itu? Kalau saja dia tidak sedang menjadi pengantin dan
menjadi tuan rumah, tentu sudah diserangnya bekas sahabat yang kini berkhianat
itu, agaknya berusaha untuk mencemarkan namanya di dalam pesta ini!
"Sicu,
urusan Go-bi-pai adalah urusan kami sendiri, sebagai orang luar sicu tidak
berhak mencampuri atau bertanya-tanya!" ucapan hwesio itu dilakukan dengan
nada menegur dan suara menggeledek sehingga terdengar oleh semua orang. Secara
diam-diam Hok Boan merasa kagum dan berterima kasih kepada bekas susiok-nya
itu.
Tio Kok Le
menyeringai setelah mendengar bentakan itu. Dia tidak berani main-main di depan
hwesio ini, akan tetapi dia merasa belum puas apa bila belum berhasil menyeret
nama teman atau bekas teman yang kini makmur itu ke lumpur penghinaan, maka dia
lalu berkata lantang,
"Cu-wi
sekalian, apakah cu-wi ingin mendengar mengapa pengantin pria tidak diakui lagi
sebagai murid Go-bi-pai? Apakah cu-wi ingin mendengar apa yang pernah terjadi
di kota Koan-sui ketika pengantin pria ini masih menjadi sahabat baikku senasib
sependeritaan? Ha-ha-ha, cu-wi akan tertawa kegelian mendengar cerita-cerita
saya yang amat lucu..."
"Orang
she Tio! Apakah engkau bermaksud hendak mengacau hari baikku ini?"
Tiba-tiba terdengar Hok Boan berteriak karena dia sudah marah sekali.
"Siapa
dia yang mempunyai she Tio?" Suara ini nyaring merdu dan mengandung
getaran sedemikian hebatnya sehingga mengatasi semua suara yang ada dan memaksa
semua muka menoleh dan memandang ke arah pintu luar.
Sepasang
pengantin itu sendiri merasa terheran-heran saat melihat bahwa tahu-tahu dari
luar berjalan masuk seorang wanita yang amat luar biasa. Wanita ini tampak
masih amat muda, agaknya paling banyak berusia dua puluh dua tahun, wajahnya
memiliki kecantikan campuran antara wajah orang Han dan wajah orang Mongol.
Kulitnya halus kuning seperti wanita Han.
Wajah yang
cantik itu dirias dengan bedak dan yanci, juga bibirnya yang berbentuk indah
itu dipermerah lagi dengan gincu. Rambutnya digelung dengan model seperti
gelung puteri kerajaan dan agaknya rambutnya panjang sekali karena gelung itu
malang melintang dan terhias hiasan rambut dari emas permata. Pakaiannya juga
merupakan kombinasi pakaian Han dan Mongol, maka bila dilihat pantasnya dia
adalah puteri bangsawan Mongol yang sudah ‘terpelajar’, yaitu sudah mempelajari
kebudayaan Han.
Dari hiasan
pakaian, tata rambut dan sikapnya yang angkuh, dengan dagu terangkat dan dada
dibusungkan, dapat diduga bahwa dia tentu tergolong wanita keluarga bangsawan
atau hartawan. Akan tetapi, sebatang pedang yang terikat di punggungnya
mendatangkan rahasia keanehan meliputi dirinya. Lebih aneh lagi, wanita cantik
ini membawa sebungkus hio (dupa bergagang) yang membuka bagian gagangnya.
Semua mata
terus mengikuti gerakan wanita ini yang melangkah memasuki ruang pesta dengan
sikap angkuh. Ketika dia menggerakkan tangan kiri yang memegang bungkusan hio
itu, terdengar bunyi gelang-gelangnya berkerincing nyaring. Biar pun dia cantik
manis dan memiliki bentuk tubuh yang padat menggiurkan, namun terdapat sesuatu
yang amat dingin menyelubungi seluruh pribadinya, yang membuat orang-orang
merasa seram dan berhati-hati.
Pada
punggung wanita itu, selain sebatang pedang juga tergantung sebatang kayu papan
yang bentuknya seperti salib dan sesudah tiba di tengah-tengah ruangan itu,
mata yang berbentuk indah, lebar serta bersinar tajam itu memandang ke kanan
kiri, lalu terdengar suaranya yang merdu dan nyaring seperti tadi.
"Siapa
di antara kalian yang memiliki nama keturunan ini?" Tangan kanannya
bergerak ke punggung melalui atas pundaknya dan tahu-tahu dia sudah memegang
papan kayu yang berbentuk salib tadi lantas mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas
kepalanya, membalikkan papan itu sehingga kini dapat terbaca tiga huruf besar
yang tertulis di situ. Di atas papan yang melintang, terdapat tiga huruf yang
berbunyi, CIA-YAP-TIO, tiga macam she (nama keluarga) Bangsa Han.
Semua orang
membaca tiga huruf itu, akan tetapi tidak ada yang mengerti apa maksud wanita
itu menanyakan tiga buah nama keturunan atau nama keluarga itu.
"Siapa
tadi yang mengaku she Tio?" terdengar lagi dia bertanya, suaranya merdu
sekali, akan tetapi juga nyaring melengking sehingga dapat terdengar oleh
mereka yang duduk di bagian paling sudut dari ruangan pesta itu.
Tio Kok Le
yang tadi sudah berada di puncak hendak menyeret turun pengantin laki-laki yang
membuat dia iri hati itu, telah siap untuk mencemarkan nama Hok Boan di hadapan
orang banyak, merasa amat mendongkol akibat kemunculan wanita ini yang
dianggapnya mengganggu dan menggagalkan usahanya melampiaskan isi hatinya. Akan
tetapi, ketika melihat wanita ini cantik dan berpakaian mewah, dia cepat-cepat
melangkah maju dengan guci arak masih di tangan, menyeringai dan memandang wanita
itu dengan mata haus.
"Sayalah
she Tio bernama Kok Le, nona. Apakah saya akan menerima nasib baik seperti
sahabatku Kui Hok Boan itu? Ha-ha, percayalah, mutu diriku tidak kalah oleh
sahabatku itu!" Kok Le adalah manusia kasar, akan tetapi saat itu dia menjadi
lebih kasar lagi karena pengaruh arak.
Akan tetapi
suara ketawanya mendadak terhenti ketika secara tiba-tiba sinar mata wanita itu
menyambar laksana kilat kepadanya. Dan wanita itu kembali berseru, "Siapa
lagi yang she Cia, she Yap dan she Tio? Majulah yang merasa mempunyai she itu,
jangan bersikap pengecut dan aku hendak bicara!"
Biar pun
wanita itu memperlihatkan sikap luar biasa dan penuh rahasia, tapi nampaknya
dia hanyalah seorang wanita muda yang cantik, maka tentu saja tidak menimbulkan
rasa takut kepada orang-orang kang-ouw itu. Terdengar suara tertawa-tawa
kemudian nampak beberapa orang laki-laki maju dan menghampiri wanita itu. Dua
orang mengaku she Tio dan tiga orang pula mengaku she Yap. Tidak ada seorang
pun she Cia.
"Hemm,
hanya tiga orang she Tio dan tiga orang she Yap?" Wanita cantik itu
bertanya dengan suara kecewa. "tidak seorang pun she Cia di sini?"
Tidak ada
yang menjawab, dan agaknya memang tidak ada, atau kalau pun ada, tentu orang
itu diam saja. Dan memang ada seorang she Cia dan beberapa orang lagi she Yap
dan she Tio yang tidak mau melayani panggilan wanita itu. Enam orang laki-laki
itu kini berdiri menghadapi si wanita, sikap mereka seperti anak-anak yang akan
diberi hadiah, tersenyum-senyum agak malu-malu.
"He,
nona manis. Engkau telah memanggil kami berenam di sini, sebenarnya kau hendak
memberi apakah?" tanya salah seorang di antara mereka yang bernama
keluarga Yap, orangnya tinggi besar dan kelihatan kuat sekali, di punggungnya
terselip sebatang golok besar.
Selain Tio
Kok Le dan orang she Yap tinggi besar ini, empat orang yang lain juga jelas
memperlihatkan diri sebagai orang-orang kang-ouw yang mempunyai kepandaian.
Malah salah seorang di antara mereka, she Tio yang bertubuh tinggi kurus,
membawa sepasang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak) dan orang yang mahir
memainkan senjata ini tentu memiliki ilmu silat yang sudah tinggi.
Akan tetapi
wanita itu mencibirkan bibirnya dan makin tampak nyata sebuah titik tahi lalat
hitam yang menghias dagunya sebelah kiri, menambah manis wajahnya. Wanita ini
tidak menjawab, melainkan mengambil enam batang hio dari dalam bungkusan hio,
kemudian menyelipkan sisa bungkusan di ikat pinggangnya.
Dengan sikap
tenang sekali dia lalu membuat api dan menyalakan enam batang hio itu. Gerak-geriknya
dilakukan dengan sikap tenang dan dingin sehingga di dalam kesunyian yang
mencekam itu semua orang mengikuti semua gerak-geriknya sambil di dalam hati
masing-masing semua orang menduga-duga apa yang hendak dilakukan oleh wanita
luar biasa ini.
Sementara
itu, Kui Hok Boan sudah hendak bangkit dari tempat duduknya untuk menegur
wanita yang aneh dan yang dianggapnya hendak mengacaukan pestanya itu, akan
tetapi tiba-tiba tangannya disentuh oleh tangan kanan Si Kwi. Dia menoleh dan
melihat isterinya memandang dengan dua mata terbelalak ke arah papan salib yang
bertuliskan tiga buah nama keluarga itu, bibirnya berbisik, "Jangan
bergerak..."
Kui Hok Boan
terheran-heran, akan tetapi melihat sikap isterinya dan juga melihat wajah
isterinya yang tiba-tiba berubah pucat itu, ia merasa seram sehingga tidak jadi
melakukan sesuatu, hanya menonton saja dengan berdebar dan dengan urat syaraf
siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak wajar.
Kini wanita
cantik itu telah selesai membakar enam batang hio. Enam orang she Tio dan she
Yap itu sudah menjadi tidak sabar. Mereka berdiri bagaikan anak wayang, menjadi
tontonan banyak orang akan tetapi didiamkan saja oleh wanita yang memanggil
mereka, seolah-olah wanita itu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada
mereka.
"Heiiiii!
Engkau memanggil kami mau bicara apakah?" bentak orang she Yap yang tinggi
besar itu, nadanya kehilangan kesabaran dan sudah mulai marah.
"Nona
yang baik, kalau aku akan kau ajak kawin, sebelum sembahyang harus memakai
pakaian pengantin dulu!" Tio Kok Le berkelakar dan terdengar suara tertawa
di sana-sini karena kelakar ini setidaknya mengurangi ketegangan hati mereka
yang penuh dengan dugaan-dugaan.
"Aku
akan menyembahyangi roh yang baru saja meninggalkan badannya."
"Ehh,
dalam pesta pernikahan ini kenapa menyebut-nyebut orang mati? Siapa yang akan
mati dan siapa yang akan kau sembahyangi itu?" tanya Tio Kok Le dengan
mulut masih menyeringai dan menganggap ucapan wanita itu sebagai kelakar
belaka.
"Hari
ini yang kusembahyangi adalah enam orang, yaitu tiga oreng she Tio dan tiga
orang she Yap. Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mati!"
"Heiii...!"
Tio Kok Le membentak marah,
Akan tetapi
tiba-tiba tampak sinar-sinar api menyambar. Orang she Yap yang tinggi besar itu
cepat mencabut golok, demikian pula empat orang lain sudah siap, akan tetapi
mereka itu tidak mampu menghindar ketika ada sinar-sinar api meluncur dan
menyambar ke arah mereka.
"Oughhh...!"
"Aduhhh...!"
"Iiiihkkk...!"
Jerit-jerit
mengerikan terdengar susul-menyusul dan keenam orang itu roboh terpelanting,
berkelojotan sebentar dan tidak bergerak lagi. Mereka itu tewas seketika dengan
gagang-gagang hio menancap pada ulu hati mereka, menancap sampai dalam sekali,
menembus jantung sehingga yang terlihat hanya sebagian hio yang masih terbakar
dan mengepulkan asap. Senjata-senjata mereka terlempar ke sana-sini dan guci
arak di tangan Tio Kok Le yang masih dipegangnya erat-erat itu tumpah hingga
arak wangi berhamburan baunya.
Sesudah
suara berisik jeritan mereka, diikuti jatuhnya senjata-senjata mereka lalu
disusul robohnya tubuh mereka, disusul pula oleh teriakan dari para tamu, kini
keadaan menjadi sunyi sekali. Sunyi yang menyeramkan dan semua wajah menjadi
pucat, semua mata memandang kepada wanita itu dengan terbelalak dan kebanyakan
dari para tamu merasa ngeri dan jeri.
Menggunakan
hio-hio biting sekaligus membunuh enam orang yang tidak lemah, hanya dengan
sekali serang, benar-benar membayangkan tenaga dan kepandaian seperti iblis!
Dan wanita cantik itu sama sekali tidak pernah berkedip menyaksikan hasil
perbuatannya yang mengerikan. Dia hanya mencibirkan bibirnya dan memandang
ketika enam orang itu berkelojotan dan mati, kemudian dengan tenangnya dia
menyimpan salib yang bertuliskan nama she tiga macam itu, diselipkannya di
punggung dengan terbalik sehingga huruf-huruf itu tidak nampak lagi.
Tentu saja
kawan-kawan dari enam orang yang dibunuh secara mengerikan itu menjadi marah.
Mereka meloncat dan mencabut senjata mereka. Ada delapan orang laki-laki yang
meloncat dan menerjang wanita cantik itu dengan senjata mereka.
"Siluman
betina...!"
"Bunuh
iblis keji ini!"
Mereka lalu
menyerbu dengan senjata pedang, golok dan sebagainya. Tapi dengan bibir masih
tetap mencibir dan bersikap tenang saja wanita itu membiarkan mereka menerjang.
Ketika mereka sudah datang dekat, tiba-tiba tangan kanannya yang sudah
mengeluarkan sehelai sabuk merah itu bergerak, dan nampaklah sinar
bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuhnya.
Terdengar
delapan kali bunyi ledakan-ledakan seperti pecut, dan delapan orang itu lantas
terhuyung ke belakang, senjata mereka terlepas dan mereka pun mengaduh-aduh
sambil memegangi lengan tangan yang tersambar sinar merah itu, bahkan ada yang
terbanting roboh dan ada pula yang lengannya berdarah, ada yang lepas sambungan
tulang sikunya atau pergelangan tangannya! Delapan orang itu mundur semua dan
memandang dengan mata terbelalak.
Wanita itu
kini tersenyum mengejek. Senyuman itu dimaksudkan untuk mengejek, akan tetapi
tahi lalat hitam di dagu itu betul-betul membuat dia nampak manis sekali pada
saat tersenyum, sungguh pun senyum itu dibuat-buat untuk mengejek.
"Untung
bahwa kalian bukan orang-orang she Cia, Yap atau Tio, sehingga tidak perlu aku
membunuh kalian!" Setelah berkata demikian, dengan langkah ringan dia lalu
melangkah ke depan, hendak menghampiri sepasang mempelai.
"Omitohud,
dari mana datangnya wanita yang begini kejam?"
Seruan itu
keluar dari mulut Lan Kong Hwesio dan kakek pendeta besar bermuka hitam tokoh
Go-bi-pai itu sudah berdiri menghadang di hadapan wanita itu. Lan Kong Hwesio
adalah seorang tokoh Go-bi-pai dan sebagai hwesio, juga seorang ahli silat
tingkat tinggi, tentu saja dia selalu menentang segala bentuk kejahatan dan
kekejaman, apa lagi melihat wanita yang seperti iblis ini agaknya mengancam
keselamatan sepasang mempelai.
Melihat
hwesio tinggi besar itu menghadang dan menggerakkan ujung lengan baju yang
menyambar dahsyat ke arah pinggangnya, ujung lengan baju yang dapat digunakan
untuk menotok sehingga serangan itu dahsyat dan hebat bukan main, wanita itu
mengeluarkan seruan marah dan ujung sabuk merahnya menyambar ke depan.
"Pratttt…!"
Sabuk merah
itu membalik keras, akan tetapi ujung lengan baju Lan Kong Hwesio juga
pecah-pecah! Hwesio tinggi besar itu terkejut bukan main. Kiranya wanita yang
masih sangat muda ini telah memiliki tingkat tenaga sinkang yang amat hebat,
dan ujung sabuk itu merupakan senjata maut. Kalau tadi wanita itu menghendaki,
tentu delapan orang itu sudah menjadi mayat semua!
Akan tetapi,
sebagai seorang tokoh besar yang tentu saja tidak mau mendiamkan fihak yang
jahat merajalela, Lan Kong Hwesio sudah kembali menubruk ke depan. Sekali ini
dia menggunakan jurus pukulan tangan kosong yang amat lihai dari Go-bi-pai,
yang bernama jurus Siang-liong Pai-hud (Sepasang Naga Memuja Buddha).
Dua
tangannya menyambar dari luar, dari kanan kiri dan menyambarlah angin yang amat
dahsyat dari dua jurusan. Gerakan ini membuat dua buah ujung lengan baju yang
panjang itu laksana dua ekor ular menotok ke arah leher dan pinggang, atas dan
bawah dengan kecepatan yang sukar diduga mana lebih dulu.
"Plakk-plakk!”
“Aihhhhh...!"
Wanita itu berhasil menangkis dua serangan itu dan meloncat ke belakang sambil
melengking. "Losuhu adalah seorang tokoh Go-bi-pai yang berjubah pendeta,
tapi kenapa begitu kejam sudah mempergunakan jurus Siang-liong Pai-hud untuk
membunuh orang?"
Ketika
tertangkis tadi, Lan Kong Hwesio merasakan betapa kedua lengannya tergetar. Dia
kaget bukan main, apa lagi ketika mendengar ucapan itu. Gadis muda ini mengenal
ilmu silatnya! Padahal, jurus itu merupakan jurus simpanan dan hanya dikenal
oleh para tokoh Go-bi-pai yang sudah tinggi ilmunya. Seorang murid dengan
tingkat seperti Kui Hok Boan itu pun tentu belum dapat mengenalnya!
Dan melihat
betapa wanita itu dapat menangkis dengan tepat, dia tidak akan heran kalau
wanita itu bukan hanya mengenal melainkan juga dapat memainkan jurus itu! Akan
tetapi, mendengar teguran itu, Lan Kong Hwesio menjadi makin penasaran.
"Omitohud...!
Gadis muda yang kejam, engkau sendiri tanpa sebab apa pun membunuh enam orang
yang tidak berdosa, sekarang engkau berani menegur pinceng yang hendak
menentang kejahatanmu?"
Sementara
itu, para tamu sudah bangkit semuanya dan kini mengurung gadis itu sambil
meraba gagang senjata masing-masing. Jumlah tamu ada kurang lebih dua ratus
orang dan mereka kelihatan sudah marah semua, baik golongan putih mau pun
golongan hitam karena di antara mereka tidak ada yang mengenal wanita muda ini!
Mereka itu, kedua golongan yang biasanya saling bertentangan, sekali ini
mempunyai niat yang sama, yaitu menentang wanita yang telah mengganggu
kesenangan mereka berpesta.
"Losuhu,
aku bukanlah orang gila yang membunuh orang tanpa sebab. Urusanku dengan semua
orang she Cia, Yap dan Tio adalah urusan pribadi, merupakan permusuhan dan
dendam turun-menurun yang seluas bumi, sedalam lautan dan setinggi langit.
Apakah engkau hendak mencampuri urusan pribadi?"
Mendengar
kata-kata ini, hwesio itu tercengang. Dia menjadi ragu-ragu hingga berkali-kali
mengucapkan kata-kata memuji untuk memohon kekuatan batin dari Sang Buddha yang
dipujanya. "Omitohud... omitohud..."
Sementara
itu, para tamu berbeda pendapat dengan Lan Kong Hwesio. Mereka semua tidak
ragu-ragu lagi dan karena itu mereka mulai berteriak-teriak.
"Bunuh
siluman ini!"
"Tangkap
iblis betina ini!"
"Kurung!"
"Serbu...!"
Akan tetapi
tiba-tiba saja wanita itu mengangkat kedua tangannya dan terdengarlah bunyi
ledakan keras bertubi-tubi empat kali dan terdengar suara berisik dari banyak
sekali orang di empat penjuru mengurung gedung besar tempat pesta itu. Semua
orang terkejut dan menengok keluar dan nampaklah banyak sekali prajurit
berpakaian seragam dan bersikap gagah telah mengurung tempat itu dengan rapat
seperti tembok benteng yang kokoh kuat!
"Hemm,
kalian adalah orang-orang yang telah memasuki wilayah yang mulia Sri Baginda
Raja Sabutai tanpa ijin, dan kini masih ingin berlagak? Tempat ini telah
dikepung oleh tiga ratus orang prajurit-prajurit sri baginda, dan kalian masih
berani hendak mengurung aku? Aku adalah utusan sri baginda, hayo kalian semua
mundur! Ataukah kalian ingin dibasmi semua sebagai pelanggar-pelanggar wilayah
kami?"
Semua orang
terkejut sekali. Tentu saja mereka telah mendengar akan raja liar yang dulu
pernah menggemparkan Tiong-goan dengan serbuan-serbuannya itu. Ternyata wanita
ini adalah utusan raja itu untuk membasmi mereka!
Para tamu
yang berhati kecil menjadi panik, akan tetapi mendadak Si Kwi bangkit berdiri,
mengangkat tangan kanannya ke atas kemudian berkata dengan suaranya yang
lantang, "Cu-wi, sekalian, silakan duduk kembali dan harap tenang! Cu-wi
adalah tamu-tamu kami dan kalau ada sesuatu, kamilah yang harus bertanggung
jawab karena kedatangan cu-wi adalah atas undangan kami!"
Kui Hok Boan
merasa terkejut dan kagum menyaksikan keberanian isterinya. Dia sendiri sudah
gemetar saking jerinya menyaksikan kelihaian wanita itu yang mampu menandingi
susiok-nya dan yang telah membunuh enam orang secara begitu mudah dan
mengerikan.
Tentu saja
dia tidak pernah menyangka, karena memang isterinya belum pernah bercerita
kepadanya, betapa isterinya itu pernah membantu suhu dan subo-nya yang menjadi
kaki tangan Raja Sabutai! Karena itu, Si Kwi juga mengenal raja liar itu, dan
melihat tiga huruf yang menjadi tiga nama keturunan itu, Si Kwi segera mengerti
siapa yang dimaksudkan dengan tiga huruf she itu. Karena itu dia berani
bertindak menenangkan semua tamu dan hendak menghadapi sendiri wanita yang
mengaku utusan Raja Sabutai.
Kini wanita
cantik itu telah melangkah maju, berhadapan dengan Si Kwi. Pengantin wanita ini
segera menjura dan membungkuk rendah sambil berkata, "Kami tidak tahu akan
kunjungan utusan Sri Baginda Sabutai yang terhormat, maka tidak cepat-cepat
menyambut. Harap sudi memaafkan kami."
Wanita itu
tersenyum, dan kini senyumnya sangat ramah, membuat wajahnya nampak makin manis
saja. Dia bertepuk tangan tiga kali dan dari luar masuklah seorang prajurit
Mongol yang tinggi besar memanggul sebuah peti hitam berukir indah. Atas
isyarat wanita utusan Raja Sabutai itu, prajurit ini menurunkan peti di depan
kaki sepasang mempelai, lalu mundur lagi dan keluar setelah memberi hormat
dengan berlutut sebelah kaki.
Wanita itu
berkata lagi, "Liong-kouwnio, kami diutus oleh Sri Baginda Raja Sabutai
untuk menyampaikan ucapan selamat beliau dan mengirimkan hadiah bagi sepasang
mempelai, harap diterima dengan baik." Dia menuding ke arah peti itu.
Wajah di
balik tirai pengantin itu berseri saking girangnya. Sungguh tidak pernah
disangka oleh Si Kwi bahwa Raja Sabutai masih ingat kepadanya, bahkan masih
ingat pula untuk mengirimkan hadiah pernikahan. Hal ini selain menggirangkan
hatinya, juga mengejutkan karena menjadi bukti bahwa daerah yang ditempatinya
bersama suaminya ini bukanlah daerah bebas, melainkan milik Raja Sabutai dan
bahwa raja itu agaknya tahu akan segala gerak-geriknya di Lembah Naga dan Padang
Bangkai!
"Ahh...!"
Dia cepat memberi hormat. "Sungguh mulia sekali sri baginda! Harap
sampaikan permohonan ampun dari kami berdua bahwa kami tidak berani mengundang
sri baginda. Karena itu, harap saja nona yang menjadi utusan beliau suka duduk
sebagai tamu agung kami."
Akan tetapi
wanita itu menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. "Tugas saya
hanya menyampaikan selamat dan hadiah ini. Selain itu, juga kami diutus
menyampaikan pesan sri baginda kepada Liong-kouwnio dan Kui-sicu.
Sepasang
mempelai itu saling pandang dengan hati berdebar tegang akan tetapi mereka
telah mendengarkan lagi suara wanita itu. "Tadinya, sri baginda sudah akan
turun tangan melihat Padang Bangkai ditempati orang tanpa perkenan dari beliau.
Kalau Liong-kouwnio memang dianggap orang sendiri dan boleh saja mendiami
istana yang kosong itu. Akan tetapi kemudian Kui-sicu muncul dan setelah
melihat usaha Kui-sicu memajukan Padang Bangkai, maka sri baginda memberi
ampun, apa lagi sesudah beliau mendengar bahwa Kui-sicu hendak menikah dengan
Liong-kouwnio, maka beliau malah memberikan ucapan selamat dan hadiah, dengan
pesan agar ji-wi dapat hidup bahagia di sini dan selalu ingat bahwa daerah ini
masih termasuk daerah kekuasaan sri baginda, jadi sewaktu-waktu apa bila
diperlukan agar ji-wi suka menyerahkan dengan baik-baik kepada sri
baginda."
Si Kwi lalu
memegang tangan suaminya dan cepat menariknya sehingga mereka berdua berlutut.
"Harap sampaikan ucapan terima kasih kami kepada sri baginda dan tentu
kami akan selalu mentaati perintah beliau."
Wanita itu
menggangguk dan menjura ketika sepasang mempelai itu bangkit berdiri lagi.
"Nah, tugasku sudah selesai, saya mohon diri, Kui-sicu dan
Liong-kouwnio."
Tanpa
menanti jawaban dia segera membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan
sepasang mempelai itu menuju keluar. Ketika tiba di tengah-tengah ruangan, dia
berhenti, memandang sekeliling di antara tamu-tamu sambil berkata, suaranya
nyaring seperti tadi, penuh tantangan dan ancaman.
"Jika
cu-wi sebagai orang-orang kang-ouw di selatan masih merasa penasaran, dengarlah
bahwa aku adalah Kim Hong Liu-nio. Katakan kepada semua orang she Cia, Yap dan
Tio bahwa mereka harus menjaga kepala mereka baik-baik, karena akan tiba
saatnya Kim Hong Liu-nio akan datang mengambil kepala mereka sampai di dunia
ini tidak tersisa lagi keturunan she Cia, Yap, dan Tio!" Setelah berkata
demikian, wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio itu melangkah
pergi, diikuti oleh pandang mata semua tamu sampai akhirnya dia lenyap di
tengah-tengah pasukan Mongol yang berbaris pergi.
Kini
sibuklah Kui Hok Boan menyuruh anak buahnya untuk menyingkirkan mayat-mayat
itu, membersihkan tempat pesta kemudian melanjutkan pesta. Akan tetapi, suasana
pesta sudah berubah dan para tamu tidak bisa bergembira lagi. Mereka semua
menjadi tegang karena secara tak terduga-duga, di utara muncul seorang wanita
yang demikian lihainya, seorang wanita yang tidak saja mempunyai tingkat
kepandaian yang tinggi, akan tetapi bahkan juga menjadi utusan dari Raja
Sabutai sehingga tentu saja kedudukan wanita itu amat kuat.
Wanita itu
telah memperlihatkan kepandaian di depan hidung mereka tanpa mereka dapat
menentangnya, karena wanita itu dilindungi oleh ratusan orang prajurit Mongol.
Peristiwa ini merupakan pukulan bagi orang-orang kang-ouw ini, baik golongan
putih mau pun hitam sehingga suasana pesta tidak lagi gembira. Bahkan sebelum
pesta selesai, sudah banyak yang berpamit kepada sepasang mempelai dan sebelum
lewat hari itu, semua tamu telah meninggalkan Padang Bangkai!
Malam itu,
setelah sepasang mempelai itu berada berdua saja di kamar, barulah Si Kwi
memperoleh kesempatan untuk bercerita kepada suaminya yang merasa
terheran-heran. Dia lalu bercerita bahwa suhu dan subo-nya, yaitu mendiang Hwa
Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw pernah membantu Raja Sabutai, bahkan membantu
kakek dan nenek iblis yang menjadi guru dari Raja Sabutai, yaitu mendiang
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang tinggal di Istana Lembah Naga. Dan pada
waktu itu dia sendiri pun ikut dengan subo-nya tinggal di Lembah Naga sampai
tempat itu diserbu oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pendekar
sakti.
Kui Hok Boan
sudah mendengar sedikit-sedikit tentang penyerbuan itu dari para anggota
pasukan kerajaan pada saat dia menyelidiki tentang keadaan Lembah Naga dan
Padang Bangkai, akan tetapi dia tidak tahu akan keadaan yang sesungguhnya, maka
dia merasa tertarik sekali.
"Kiranya
Raja Sabutai diam-diam masih memperhatikan tempat kita ini dan menganggap
tempat ini sebagai daerahnya," katanya.
"Tentu
saja," isterinya menjawab. "Memang tempat ini bukan termasuk daerah
kekuasaan kerajaan di selatan, akan tetapi aku juga tak mengira bahwa beliau
masih menaruh minat akan tempat-tempat kita ini."
"Isteriku,
tahukah engkau tentang orang-orang she Cia, Yap dan Tio itu?"
Si Kwi
mengangguk dan menarik napas panjang. "Yang dimaksudkan adalah tiga orang
pendekar yang mempunyai kesaktian hebat. Tak kusangka bahwa Raja Sabutai
menaruh dendam pribadi yang demikian mendalam terhadap mereka. Ataukah, barang
kali bukan Raja Sabutai yang menyuruh Kim Hong Liu-nio itu memusuhi tiga
pendekar itu?"
"Tiga
pendekar? Siapakah mereka dan mengapa dimusuhi demikian hebat?"
"Pendekar
she Cia itu ialah Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai, pendekar sakti
Cia Keng Hong..."
"Ahhh...!"
Kui Hok Boan terkejut bukan kepalang sehingga dia tidak melihat betapa terjadi
perubahan pada wajah isterinya ketika menyebutkan nama Cia Bun Houw tadi.
"Kenapa
kau terkejut?" Si Kwi bertanya, memandang wajah suaminya. "Apakah kau
kenal kau dengan nama itu?"
"Kenal?
Tentu saja orang seperti aku ini tidak mungkin dapat kenal secara pribadi
dengan mereka, akan tetapi aku sudah mendengar nama Cia-taihiap tua dan muda
itu. Ayah dan anak itu merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya menduduki
deretan paling tinggi di dunia kang-ouw."
Si Kwi
menggangguk kemudian menunduk. Memang terlampau tinggi kedudukan Cia Bun Houw,
terlampau tinggi sehingga tentu saja tidak mau memandang kepadanya. Biarlah,
dia yang duduk di tingkat rendah sekarang bertemu dengan suaminya yang juga
mengaku sebagai seorang yang bertingkat rendah. Teringat akan ini, hatinya
menjadi gembira dan dia memegang tangan suaminya. Gerakan ini disambut senyum
oleh Hok Boan yang lalu merangkul. Mereka berangkulan dan berciuman.
"Eh,
nanti dulu, isteriku yang manis. Kau lupa untuk menceritakan dua she yang
lainnya. She Yap dan Tio? Siapa mereka itu?"
"Yang
she Yap itu adalah nona Yap In Hong, seorang pendekar wanita yang luar biasa
lihainya, dan dia itu adalah adik kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong..."
"Wah,
aku belum pernah mendengar nama Yap In Hong ini, akan tetapi nama Yap Kun
Liong, sama tingginya dengan nama ketua Cin-ling-pai! Hebat sekali, kenapa
orang berani memusuhi dua orang pendekar Cia dan Yap itu? Dan yang she
Tio?"
"Yang
dimaksudkan adalah Tio Sun, juga seorang pendekar muda, putera dari seorang
bekas panglima pengawal kota raja yang bernama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan."
"Wah-wah-wah...!
Kakek bertenaga raksasa itu pun amat terkenal! Heran sekali, mengapa mereka
dimusuhi orang?"
"Merekalah
yang dahulu selalu menentang orang-orang kang-ouw yang membantu Raja Sabutai,
dan mereka pula yang mengobrak-abrik Istana Lembah Naga."
"Kalau
begitu, mereka juga termasuk musuh-musuh mendiang gurumu?"
Si Kwi
mengangguk.
"Jadi
termasuk musuh-musuhmu juga?"
Si Kwi
menghela napas panjang. "Sudah semenjak dahulu aku tidak setuju dengan
sepak terjang subo yang membantu Raja Sabutai. Aku... aku tidak memusuhi
mereka... karena aku tahu bahwa para pendekar itu adalah patriot-patriot
sejati, orang-orang gagah yang berada di fihak yang benar."
"Ahh,
syukurlah, isteriku! Apa bila engkau juga memusuhi mereka, sungguh... berbahaya
sekali. Akan tetapi, membantu mereka pun berbahaya! Wanita itu tadi sungguh
amat lihai dan mengerikan. Engkau yang pernah mengenal para pembantu Raja
Sabutai, mengapa tidak mengenal dia?"
"Entah,
beberapa tahun yang lalu dia tidak ada, mungkin belum menjadi kaki tangan Raja
Sabutai. Mungkin dia seorang pembantu baru. Bahkan nama Kim Hong Liu-nio pun
baru sekarang aku mendengarnya."
Suami isteri
pengantin baru ini lalu membicarakan soal mereka dan biar pun siang tadi
terjadi hal yang amat menegangkan, namun penumpahan rasa cinta mereka pada
malam pertama sebagai pengantin baru itu membuat mereka melupakan segala hal
yang buruk dan mengkhawatirkan. Mereka saling mencinta, dan ini sudah cukup
bagi mereka, cukup kuat untuk bersama-sama menghadapi segala bahaya, senasib
sependeritaan, sehidup semati.
Mulai malam
itu, kedua orang itu menemukan kebahagiaan. Bahkan Kui Hok Boan yang
benar-benar mencinta Si Kwi, merasa menyesal bila dia teringat akan segala
petualangan dan perbuatannya di masa lalu, dan berjanji kepada dirinya sendiri
untuk menjadi suami yang mencinta dan baik dari isterinya.
Manusia
selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tiada kesenangan
yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat, dalam diri
manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali waktu
kejahatannya menonjol, tetapi ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa demikian?
Karena
sesungguhnya pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh
kehidupan sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan
jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai dan
membanding-bandingkan, semua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang
selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan.
Oleh karena
perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebalikan, susah
senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebalikan ini pula yang
menimbulkan adanya kebalikan tunggal, kebalikan abadi yang lalu menguasai serta
menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang
menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita anggap
menyusahkan kita benci. Karena itu terjadilah pertentangan, permusuhan
kelompok, bangsa, dan perang!
Apakah kita
bisa terbebas dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin
bisa jika kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam
KEINGINAN, dalam bentuk apa pun juga, adalah hal yang MENYESATKAN. Ingin baik,
ingin bebas, ingin suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN
SENANG!
Betapa pun
tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan
keinginan untuk mencapai kesenangan, baik itu kesenangan batin mau pun
kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, baik dalam bentuk apa pun
juga, pasti akan mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang
merintangi, maka timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan
permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang
demikianlah hidup ini.
Contohnya,
seorang pendeta bertapa hendak mencari kedamaian. Ini merupakan suatu
keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan
damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam
pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini maka terjadilah permusuhan.
Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itu pun hancur lebur! Betapa
banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini!
Bangsa-bangsa
berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang
pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam
mengejar perdamaian ini, apa bila perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah
perang, mana ada perdamaian lagi? Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar,
tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah
ada kedamaian itu!
Demikian
pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal
yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari,
tidak mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar,
padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tetapi dalam keadaan perang
tadi. Apa bila kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri,
penglihatan ini akan menyadarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak
ada marah perlukah belajar sabar lagi?
Kita manusia
sebagai perorangan, sebagai kelompok, atau sebagai bangsa, agaknya lupa bahwa
segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada
dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak
pernah mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan.
Kehidupan
adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya,
kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari
kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri belaka selama
hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh
gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada
sukanya.
Maukah kita
menyadari semuanya ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang
hari setiap saat? Bercermin lahir batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA! HAYO...!
Sang waktu
berlalu terus tanpa mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.
Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa mempedulikan segala yang terjadi,
bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah ABADI! Apa pun
yang terjadi atas dirinya, ada mau pun tiada, begini mau pun begitu, tidak
mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada hanya SEKARANG.
Dan sekaranglah abadi!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment