CeritaSilat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Lembah Naga
Jilid 06
TANPA terasa
karena tidak diingat-ingat, sepuluh tahun telah lewat sejak hari pernikahan
antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan di Padang Bangkai itu. Sepuluh tahun telah
lewat semenjak terjadinya peristiwa menggegerkan di dalam pesta pernikahan itu.
Dan selama sepuluh tahun itu, Liong Si Kwi dengan Kui Hok Boan hidup sebagai
suami isteri yang saling mencinta. Hidup rukun dan damai, menikmati kebahagiaan
hidup suami isteri yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan.
Dan selama
sepuluh tahun itu, terjadi perubahan hebat di tempat itu. Tempat yang dulu
bernama Padang Bangkai dan merupakan tempat yang berbahaya serta menyeramkan,
kini sudah menjadi sebuah perkampungan besar. Sudah banyak dibuka toko dan
pasar di tempat itu. Kui Hok Boan sendiri bersama isteri dan keluarganya sudah
pindah ke Istana Lembah Naga, dan kini Padang Bangkai hanya tinggal dongengnya
saja. Sekarang telah menjadi dusun-dusun yang makmur karena tanah di daerah itu
memang subur.
Sekarang Kui
Hok Boan dan isterinya telah mempunyai dua orang puteri. Dua orang anak
perempuan kembar yang kini sudah berusia sembilan tahun. Dua orang anak kembar
itu diberi nama Lan dan Lin. Sulit sekali bagi orang lain untuk membedakan
antara Kui Lan dan Kui Lin. Wajah mereka sama benar. Bahkan ayah bunda mereka sendiri
kadang-kadang suka keliru memanggil dan hanya sesudah melihat leher sebelah
kiri dari seorang di antara mereka saja maka ayah bunda ini tahu mana yang Kui
Lan dan mana yang Kui Lin.
Di leher
kiri Kui Lan terdapat sebuah titik berwarna merah, tanda semenjak lahir. Selain
tanda itu, tidak ada lagi tanda lahiriah yang dapat membedakan antara dua orang
anak kembar itu. Segala-galanya sama dari ujung kaki sampai ke ujung rambut!
Akan tetapi
kalau dua orang anak itu berbicara atau bergerak, terdapat perbedaan antara
mereka. Sejak kecil, Kui Lan atau yang biasa dipanggil Lan Lan selalu cerewet
dan nakal, sedangkan Lin Lin lebih pendiam. Lan Lan agak bandel dan pemberani,
sebaliknya Lin Lin agak penakut dan cengeng. Akan tetapi kalau keduanya duduk
diam dan Lan Lan tidak memperilhatkan tanda titik merah pada leher kirinya,
biar ayah bundanya sendiri pun tidak akan dapat mengenal dan membedakan mereka.
Selain Lan
Lan dan Lin Lin, di dalam Istana Lembah Naga yang menjadi tempat tinggal
sasterawan Kui Hok Boan dan isterinya itu, terdapat pula dua orang anak
laki-laki yang sebaya, berusia kurang lebih dua belas tahun. Mereka ini adalah
keponakan-keponakan dari Kui Hok Boan, yang oleh sasterawan itu diambil dari
selatan untuk menjadi teman dua orang anak kembarnya.
Yang seorang
bersikap gagah dan berwajah tampan dan angkuh, bernama Kwan Siong Bu. Anak ini
memang tampan dan biar pun usianya baru dua belas tahun, namun dalam segala hal
dia meniru pamannya sehingga seperti juga pamannya, dia selalu berpakaian bersih
dan rapi, rambutnya disisir rapi pula, muka, leher dan tangannya tak pernah
kotor.
Wajahnya
tampan, membayangkan keangkuhan, keangkuhan yang timbul dari kesadaran bahwa
dia adalah keponakan penghuni Istana Lembah Naga yang sangat disegani, kaya
raya dan ilmu silatnya pun lihai. Sikapnya halus meniru pamannya, sikap seorang
kongcu hartawan
Sedangkan
anak ke dua sungguh jauh bedanya dengan Kwan Siong Bu. Anak ini juga keponakan
dari Kui Hok Boan, akan tetapi meski pun wajahnya juga tidak buruk, bahkan boleh
dibilang tampan, tapi wajahnya bulat dengan sepasang pipi yang gendut. Matanya
lebar penuh kejujuran, mulutnya selalu menyeringai lucu, tersenyum bukan untuk
melucu, akan tetapi memang wajahnya memiliki garis-garis yang lucu. Tubuhnya
juga kegemuk-gemukan sehingga cocok benar dengan wajahnya yang bulat dan bundar
itu. Anak ini bernama Tee Beng Sin, seorang anak yang tidak bisa membohong dan
terlampau jujur sehingga menyenangkan hati siapa pun juga yang berhadapan
dengan dia.
Sejak
berusia lima tahun, Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin dibawa oleh paman mereka ke
Istana Lembah Naga, menjadi teman bermain Lan Lan dan Lin Lin. Karena suaminya
sangat mencintai dua orang keponakan itu, dan karena dia sendiri pun tidak
mempunyai anak laki-laki dari suaminya, maka Si Kwi juga menyayangi mereka.
Tentu saja Si Kwi sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedua anak laki-laki
itu sebetulnya sama sekali bukan keponakan dari Kui Hok Boan, melainkan
anak-anak kandungnya sendiri!
Seperti
diketahui, pada waktu mudanya Kui Hok Boan adalah seorang petualang asmara,
seorang yang gila perempuan dan entah sudah berapa ratus orang wanita yang
dirayunya dan dijatuhkannya, menjadi kekasihnya. Baik wanita itu sudah
bersuami, janda mau pun perawan, jarang ada yang sanggup bertahan terhadap
rayuan petualang asmara ini. Dan tanpa dapat dihindarkan lagi, di antara
wanita-wanita yang sudah dijatuhkannya itu, ada pula yang mengandung dan
melahirkan anak keturunannya!
Kwan Siok Bu
adalah anak keturunannya sendiri dari seorang janda bernama Kwan Sian Li, dan
Tee Beng Sin adalah anak keturunannya dari seorang gadis yatim piatu bernama
Tee Cui Hwa yang sekarang telah menjadi seorang nikouw. Tentu saja Kui Hok Boan
tak berani mengakui mereka sebagai putera-puteranya sendiri, maka dia memakai
she dari ibu anak masing-masing ketika dia mengajak Siong Bu dan Beng Sin ke
Lembah Naga.
Dan
bagaimanakah dengan keadaan Sin Liong? Anak dari Si Kwi yang semenjak lahirnya
dipelihara oleh monyet betina? Kini Sin Liong sudah besar pula, sudah berusia
kurang lebih dua belas tahun. Tubuhnya tegap dan kuat karena semenjak kecil
anak ini sering kali bergaul dengan monyet-monyet, berloncatan dari pohon ke
pohon.
Ketika anak
itu sudah berusia lima tahun, Kui Hok Boan mendesak kepada isterinya agar Sin
Liong tidak lagi diperkenankan untuk hidup liar di hutan-hutan bersama para
monyet. "Anak itu bukan monyet, melainkan manusia," kata sasterawan
ini. "Dan dia adalah anak angkat kita, maka sudah sepatutnya kita didik
menjadi calon manusia yang baik. Paling tidak, dia harus diajar baca tulis agar
kelak menjadi manusia yang berguna."
Si Kwi yang
masih merasa yakin bahwa anak itu adalah anak kandungnya, melihat betapa wajah
anak itu mirip dengan pendekar sakti Cia Bun Houw, tidak membantah. Memang dia
setuju dengan pendapat suaminya. Akan tetapi, melihat betapa suaminya amat
mencintanya, amat baik terhadap dirinya dan dia menemukan kebahagiaan di
samping suaminya dan dua orang anak kembarnya, Si Kwi sama sekali tidak berani
menceritakan kepada suaminya bahwa Sin Liong adalah puteranya sendiri!
Maka,
sungguh pun dalam hatinya dia kadang-kadang merasa kasihan, rindu dan prihatin
melihat putera kandungnya ini, namun pada lahirnya dia tidak pernah
memperlihatkan sesuatu yang melebihi sikap seorang ibu angkat!
Sin Liong
amat taat kepada ibu angkatnya. Maka ketika Si Kwi melarang dia berkeliaran di
hutan lagi, dia menurut biar pun merasa berduka. Hanya kalau semua orang sudah
tidur saja, anak berusia lima enam tahun itu masih suka keluar dari kamarnya
untuk menemani para monyet itu bergembira di bawah sinar bulan.
Dan dia pun
tidak pernah menolak apa bila Kui Hok Boan memberi dia pekerjaan, yaitu
membersihkan rumah, menyapu halaman, dan menggembalakan sapi dan kuda. Bahkan
dia sayang sekali kepada kuda dan sapi yang dipelihara oleh ayah angkatnya
sehingga pekerjaannya amat memuaskan.
Akan tetapi,
karena sudah menjadi kebiasaan, Sin Liong tak pernah dapat menjaga bersih
pakaiannya sehingga pakaiannya selalu kotor. Akhirnya, untuk menanamkan
kebersihan dan kerapian kepada anak itu, Kui Hok Boan menyuruh isterinya
mengajarkan anak itu menjahit serta menambal sendiri pakaiannya yang mudah
robek karena dia tidak pernah menjaganya.
Demikianlah,
pada waktu berusia dua belas tahun, Sin Liong bekerja di istana itu sebagai
seorang jongos atau pelayan, berpakaian cukup bersih namun ada
tambal-tambalannya, dan mempelajari, membaca dan menulis huruf di bawah
pimpinan Kui Hok Boan sendiri, bersama-sama dengan Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu
dan Beng Sin.
Walau pun
pada waktu sama-sama mempelajari ilmu bun (sastera) ini dia duduk di sudut
terpisah, namun ternyata bahwa Sin Liong amat cerdas dan dapat lebih cepat
menghafal dibandingkan dengan empat orang anak yang lain itu. Juga dia sudah
mempunyai bakat menulis baik, coretan-coretan tangannya ketika menulis huruf
amat kuat dan mengandung keindahan serta gaya tersendiri yang mengagumkan. Dia
pandai pula menggambar dan suka membaca kitab-kitab kuno.
Anak ini
berwatak sederhana, pendiam dan lebih suka menyendiri. Wajahnya tampan dan
matanya mempunyai sinar yang tajam. Dia lebih banyak mendengarkan dari pada
bicara, dan memiliki kekerasan hati yang amat luar biasa. Anak ini tidak pernah
menangis! Atau setidaknya, tak pernah kelihatan menangis oleh orang lain.
Agaknya anak ini mempunyai pantangan menangis di depan orang lain!
Kecuali
pakaian dan pelajaran ilmu silat, di dalam segala hal Kui Hok Boan tidak pernah
membedakan sikapnya terhadap Sin Liong mau pun terhadap dua orang keponakannya
itu. Dia selalu bersikap baik dan manis terhadap anak angkatnya ini.
Hal ini
kadang-kadang membuat Si Kwi merasa tidak puas. Dia mengerti bahwa dalam hal
pakaian, memang Sin Liong yang sembarangan itu patut memelihara pakaiannya
sendiri, dan memang tidak mengapalah memakai pakaian sederhana karena
seingatnya, ayah kandung anak ini, pendekar sakti Cia Bun Houw juga seorang
pria berjiwa sederhana. Akan tetapi dia tidak setuju kalau Sin Liong tidak
diberi latihan ilmu silat. Anak pendekar sakti Cia Bun Houw namun tidak belajar
ilmu silat!
Akan tetapi
suaminya membantah, "Isteriku, kita harus mencegah Sin Liong nanti menjadi
seorang manusia yang mudah menyeleweng ke dalam kejahatan. Ingatlah, anak itu
sejak kecil dipelihara monyet dan sampai sekarang pun dia masih memiliki watak
aneh, penuh rahasia dan pendiam sekali, kadang-kadang seperti masih mengandung
watak atau sifat liar. Bayangkan saja, anak sebesar itu sejak kecil belum
pernah menangis! Aku khawatir sekali, apa bila dia diberi pelajaran ilmu silat
dan sudah menguasai ilmu itu, kelak akan muncul sifat liarnya dan dia tentu
sukar untuk dikendalikan lagi. Lebih baik kita jejali dia dengan pelajaran bun
dan kebudayaan, karena pelajaran ini tentu akan dapat menahan keliarannya. Dan
aku melihat dia sangat tekun dan berbakat mempelajari sastera. Kalau kelak dia
sudah pandai kemudian menempuh ujian di kota raja sampai berhasil, alangkah
baiknya."
Seperti
biasa, Si Kwi tidak berani membantah lagi. Dia amat tunduk kepada suaminya yang
telah mengembalikan kebahagiaan dalam kehidupannya itu. Dia tidak pernah dapat
melupakan kebaikan suaminya, tidak ada habisnya dia berterima kasih kepada
suaminya yang telah menuntunnya kembali ke dalam kehidupan yang bahagia,
setelah dia hampir kehilangan harapan untuk memperoleh kebahagiaan di dalam
istana kuno yang sunyi itu. Apa lagi, dia tahu bahwa suaminya amat baik hati
dan menyayangi Sin Liong.
Dan memang
sesungguhnyalah. Sama sekali tidak ada rasa benci dalam hati Kui Hok Boan
terhadap anak itu. Dia menganggap anak itu sebagai anak angkat isterinya, dan
dia pun merasa kasihan kepada anak yang aneh sekali riwayatnya ini, anak yang
tak pernah mengenal siapa ayah bundanya, anak yang ditemukan isterinya dalam
rawatan monyet-monyet.
Dia malah
pernah mencoba untuk menyelidiki asal usul anak ini dengan bertanya-tanya
kepada para penduduk dusun, akan tetapi tidak pernah dapat menemukan jejak
orang tua anak itu. Sebab itu dia juga tidak keberatan memberikan she Kui
kepada anak yang tidak mempunyai nama keturunan itu. Hanya dia menekankan
supaya diketahui oleh Sin Liong bahwa she Kui hanyalah she pinjaman saja.
"Sin
Liong, engkau tahu bahwa meski pun engkau memakai nama Kui Sin Liong, namun
she-mu itu bukanlah she-mu yang sesungguhnya. Oleh karena itu, belajarlah yang
tekun supaya kelak engkau dapat memperoleh kedudukan yang tinggi dan engkau
mendapat kesempatan untuk menyelidiki siapa orang tuamu yang sesungguhnya, atau
kalau engkau memperoleh kedudukan, maka engkau tentu akan dihadiahi she oleh
kaisar." Memang pada masa itu terdapat kebiasaan aneh bahwa orang yang
sudah berjasa dan membuat pahala, dihadiahi she yang terhormat oleh kaisar!
Semenjak
kecil sudah tertanam dalam hati Sin Liong bahwa dia bukanlah anak dari ayah dan
ibu angkatnya. Dia tahu diri dan tidak banyak minta. Hanya satu hal yang
membuat hati Sin Liong kadang-kadang merasa tidak senang, yaitu bahwa dia tidak
pernah diajar ilmu silat! Hanya satu kali saja dia pernah mengajukan permintaan
dan pertanyaan ini kepada Hok Boan.
"Gihu
(ayah angkat), mengapa saya tidak diberikan pelajaran ilmu silat seperti yang
gihu ajarkan kepada kedua siocia dan kedua kongcu?"
Sin Liong
menyebut siocia (nona) kepada Lan Lan dan Lin Lin, sedangkan kepada dua orang
keponakan dari Kui Hok Boan itu dia menyebut kongcu (tuan muda). Hal ini adalah
atas perintah dari Hok Boan dan ditaati oleh Sin Liong, juga tidak dibantah
oleh Si Kwi.
Bagaimana
pun juga, Hok Boan menganggap bahwa Sin Liong bukan darah dagingnya, juga bukan
keluarga dari isterinya. Sin Liong adalah seorang anak berdarah lain, karena
itu sudah semestinya menyebut nona dan tuan muda kepada anak-anak kandungnya!
"Sin
Liong, ilmu silat tidaklah tepat untuk kau pelajari. Bakatmu lebih baik dalam
ilmu bun saja, oleh karena itu maka kau tekunlah menghafal kitab dan
memperdalam pelajaranmu dalam kesusasteraan agar supaya kelak engkau dapat
menjadi seorang sasterawan yang berkedudukan tinggi."
Sekali saja
bertanya dan meminta, sekali ditolak, Sin Liong tidak mau meminta lagi. Akan
tetapi, kadang kala dia termenung dan ingin sekali mempelajari ilmu silat,
bahkan secara diam-diam dia selalu memperhatikan bila mana empat orang anak itu
berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Kui Hok Boan. Dan kadang-kadang juga
dipimpin sendiri oleh Liong Si Kwi.
Kini wanita
ini tidak lagi prihatin melihat anak kandungnya, Sin Liong, tidak diperbolehkan
belajar ilmu silat, karena dia menganggap suaminya benar. Lebih baik melihat
Sin Liong kelak menjadi seorang sasterawan yang lemah lembut dan berhasil
menjadi seorang yang berpangkat dari pada anak itu terancam bahaya tersesat
karena memiliki sifat keras dan liar setelah mempelajari ilmu silat.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah menyapu pekarangan belakang. Tidak
banyak kotoran di pekarangan ini karena musim rontok telah tiba, pohon-pohon
banyak yang gundul tak berdaun. Maka sebentar saja dia telah selesai menyapu.
Pada pagi hari itu, Kui Hok Boan melatih ilmu silat di pekarangan belakang ini
kepada empat orang anaknya.
"Kalian
kurang giat berlatih," terdengar dia mengomel. "Masa sudah hampir
satu bulan berlatih, jurus itu belum juga kalian kuasai dengan baik."
"Ayah,
jurus Heng-pai-hud (Memuja Sang Buddha dengan Tangan Miring) itu memang sukar
sekali, terutama perubahan dari tangan memukul kemudian menangkis dalam satu
gerakan sukar sekali, ayah," kata seorang di antara dua anak kembar itu.
Baik ayah
mereka sendiri mau pun Siong Bu dan Beng Sin, tidak mungkin dapat yakin siapa
yang berbicara itu. Lan Lan ataukah Lin Lin. Akan tetapi Sin Liong yang berdiri
di belakang dua orang anak kembar itu sambil memegang gagang sapunya, diam-diam
bisa mengenal dan tahu bahwa yang bicara adalah Lan Lan.
Bagi anak
ini, dia bukan hanya mengenal dan dapat membedakan antara dua orang anak kembar
itu dari tahi lalat merah di leher atau sifat mereka, akan tetapi dari
gerak-gerik mereka dia dapat membedakan mereka. Kepekaan atau naluri ini
didapatnya dari monyet-monyet itu.
Tadi dia
melihat betapa kepala anak perempuan yang bicara itu agak bergoyang, maka
tahulah dia bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Biar pun tidak diketahui orang
lain, namun kewaspadaan Sin Liong yang diperoleh ketika dia hidup di antara
monyet-monyet, dapat membuat dia mengenal kebiasaan dari gerakan yang
sekecil-kecilnya.
Lan Lan
biasa menggoyang-goyangkan kepala tanpa disadarinya, mungkin dari perasaan yang
menggerakkan syarafnya kalau bicara, sedangkan kebiasaan Lin Lin kalau
berbicara adalah agak menundukkan muka.
"Memang
benar, paman. Agak sukarlah gerakan jurus itu, harap paman suka mengulang lagi
dan memberi contoh," kata Siong Bu.
"Saya
sudah melatih diri setiap hari, akan tetapi belum juga dapat bergerak dengan
baik!" Beng Sin juga berkata, matanya terbelalak dan sikapnya lucu.
Kui Hok Boan
menarik napas panjang. "Ilmu silat bukan hanya membutuhkan ketekunan, akan
tetapi juga membutuhkan bakat. Bagi yang berbakat, setiap gerakan akan terasa
sampai di tulang sumsum, gerakan seperti menjadi berirama dan otomatis saja
sehingga setiap jurus yang baru bisa dikuasai dengan mudah, seperti pada
gerakan menari. Kalian jangan hanya menguasainya secara lahiriah saja,
melainkan harus dapat menjiwai ilmu itu! Ah, memang tidak mudah! Ilmu
kesusasteraan hanya pekerjaan otak, akan tetapi ilmu silat adalah pekerjaan
seluruh tubuh, lahir batin, harus ada keserasian antara otak, otot, tulang dan
syaraf. Nah, kalian lihat baik-baik, aku akan memberi contoh lagi bagaimana
harus bergerak dalam jurus Heng-pai-hud."
Kui Hok Boan
segera bersilat, memainkan jurus itu. Jurus ini adalah jurus serangan yang
sekaligus juga merupakan jurus pertahanan. Jadi, dengan menggunakan jurus ini
dapat saja orang menyerang atau menangkis serangan lawan.
Kedua tangan
itu berganti gerakan, dari memukul ditarik ke depan dada dengan tangan miring
untuk menghalau serangan lawan, dan dari menangkis ditarik ke pinggang lantas
memukul lagi. Memang harus ada keseimbangan antara memukul dan menangkis dengan
tangan miring di depan dada ini agar dapat menjadi otomatis dan tidak kaku.
Jurus ini amat llhai, dalam keadaan diserang dapat membalas serangan dengan
cepat, dan dalam keadaan menyerang selalu terjaga dan tidak terbuka.
"Nah,
sekarang coba kau lakukan jurus itu lebih dahulu, Beng Sin!" berkata Kui
Hok Boan kepada si gendut itu.
Siong Bu
menonton penuh perhatian dan dia duduk setengah berlutut di atas batu sambil
menunjang dagunya, ada pun dua orang anak perempuan kembar berdiri berdampingan
sambil memperhatikan dengan kedua mata terbuka lebar.
Sin Liong
masih berdiri di belakang mereka, memegang gagang sapunya dan menonton pula
dengan hati tertarik. Dia tadi memperhatikan gerakan ayah angkatnya dan
mencatat di dalam ingatannya semua gerakan itu hingga yang sekecil-kecilnya.
Apa sih sukarnya bergerak seperti itu, pikirnya. Di dalam benaknya dia
menirukan gerakan itu dan merasa sudah dapat meniru dengan sempurna!
Beng Sin
mulai memainkan jurus itu. Dengan penuh kesungguhan dia mencoba untuk menirukan
gerakan pamannya. Anak ini mempunyai gerakan yang mantap dan tenaganya besar,
akan tetapi gerakannya terlalu lamban.
"Keluarkan
bentakan dan atur napas!" kata Kui Hok Boan.
"Heiiiittt!
Ahh...! Heiiittt! Ahh...!"
Anak gendut
itu memukul dan menangkis sambil mengatur langkahnya, beberapa langkah maju ke
depan sesudah memukul dan menangkis, membalik dengan merubah kuda-kuda dan
sekaligus memukul lantas cepat menangkis, mulutnya terus mengeluarkan
bentakan-bentakan.
Terlalu
lamban, pikir Sin Liong dan ketika memukul, Beng Sin kurang memutar lengannya.
Seharusnya lengan itu cepat diputar, dengan kepalan menelungkup ketika tiba di
ujung pukulan sehingga pada waktu disambung gerakan menangkis, dapat dilakukan
tangkisan dengan tangan miring di depan dada secara tepat. Kelihatan jelas
olehnya kelemahan-kelemahan anak gendut itu. Tetapi tentu saja dia tidak berani
mengeluarkan pendapatnya itu dan hanya menonton.
Kui Hok Boan
masih belum puas juga dengan hasil yang diperlihatkan Beng Sin. Kadang-kadang
dia menghentikan gerakan anak itu, lantas memberi petunjuk-petunjuk. Beng Sin
mainkan jurus itu berulang-ulang tanpa mengenal lelah.
"Masih
belum sempurna, kau harus banyak belajar," kata Kui Hok Boan dan sekarang
tiba giliran Siong Bu.
Siong Bu
juga memainkan jurus itu di bawah petunjuk pamannya. Gerakannya jauh lebih
gesit dari pada gerakan Beng Sin, dia lincah dan kuat, namun tidak semantap
gerakan si gendut. Kedudukan kedua tangan Siong Bu sudah banyak lebih baik dari
pada Beng Sin, akan tetapi gerakan sepasang kakinya masih kurang berirama dan
kurang sesuai dengan gerakan tangan sehingga dia pun mendapat teguran dan harus
mengulang terus. Begitu pula Lan Lan dan Lin Lin diharuskan melatih jurus itu
di bawah petunjuk-petunjuk ayah mereka.
Agak jengkel
hati Kui Hok Boan melihat betapa empat orang anaknya itu tidak mudah menguasai
jurus Heng-pai-hud, maka ketika dia melihat Sin Liong sejak tadi berdiri saja
menonton, kejengkelan hatinya membuat dia menegur ketus, "Sin Liong, mau
apa engkau berdiri di situ? Apakah tidak ada lagi pekerjaan yang lain?"
Sin Liong
terkejut, lalu menunduk dan melangkah pergi untuk mengurus kuda yang harus
diberi makan dan sapi yang harus dibawa keluar. Akan tetapi, jurus Heng-pai-hud
itu tidak pernah terlupa olehnya dan ketika dia mengambil makanan kuda, tanpa
disadari kedua kakinya melakukan gerak langkah jurus itu, dari ketika dia sudah
menaruh makanan kuda di depan lima ekor kuda itu, tanpa disadarinya pula kedua
tangannya melakukan gerakan memukul dan menangkis dalam jurus Heng-pai-hud!
Diam-diam di
hatinya timbul rasa iri terhadap empat orang anak itu dan mulai saat itu dia
mengambil keputusan untuk mengintai di waktu mereka berlatih dan menirukan
gerakan-gerakan mereka. Dengan cara demikian, dalam waktu tiga bulan Sin Liong
sudah dapat mencuri empat macam jurus dan sudah mampu melakukan gerakan-gerakan
itu dengan baiknya. Dia selalu melihat gerakan itu ketika dimainkan oleh ayah
angkatnya, kemudian menirunya. Dia tidak mau meniru gerakan empat orang anak
itu yang dianggapnya kaku dan tidak sama dengan gerakan ayah angkatnya.
Di dalam
pergaulan sehari-hari, Sin Liong seperti sahabat-sahabat biasa dengan keempat
orang anak itu. Terutama sekali Lan Lan dan Lin Lin. Kedua orang anak perempuan
ini suka sekali kepada Sin Liong yang amat ringan tangan dan kaki, mau memenuhi
segala permintaan mereka sungguh pun Sin Liong kurang pandai bergaul, tidak
banyak bicara dan lebih suka menyendiri.
Beng Sin
sering kali menggoda Sin Liong, akan tetapi diam-diam Sin Liong suka kepada
anak gendut yang jujur dan suka melucu ini. Satu-satunya anak yang menimbulkan
rasa tidak senang dalam hati Sin Liong hanyalah Siong Bu karena anak ini agak
angkuh dan terhadap dirinya bersikap bagaikan seorang majikan. Bahkan
kadang-kadang dia merasa sakit hati karena Siong Bu seringkali memakinya
sebagai anak monyet!
Pada suatu
hari, dengan amat tekun dan sungguh-sungguh Sin Liong berlatih silat, yaitu
gerakan-gerakan dari empat jurus yang dikenalnya dan dikuasainya dari hasil
mengintai itu. Dia tidak mengetahui bahwa Lan Lan, Lin Lin dan Beng Sin,
mengintai dengan mata terbelalak heran dari balik semak-semak.
Ketika itu,
Sin Liong sedang menggembala sapi di padang rumput tak jauh dari taman istana.
Tiga orang anak ini bermain-main dan akhirnya tiba di tempat itu, melihat dari
jauh betapa Sin Liong bergerak-gerak seperti orang bersilat maka dengan penuh
keheranan mereka menghampiri dan bersembunyi, mengintai.
Pada waktu melihat
Sin Liong bergerak dengan jurus Heng-pai-hud, Beng Sin tidak dapat menahan
keheranannya dan dia meloncat keluar dari balik semak-semak sambil berseru,
"Heii, itu adalah jurus Heng-pai-hud!"
Sin Liong
kaget bukan main, cepat menghentikan gerakannya dan menengok. Wajahnya berubah
merah ketika dia melihat Beng Sin dan dua orang anak perempuan itu berlari-lari
menghampirinya.
"Heiii,
Sin Liong, dari mana engkau dapat memainkan jurus-jurus itu?" Beng Sin
berkata dengan mata terbelalak, "Apakah paman diam-diam mengajarmu?"
Sin Liong
menggelengkan kepala. "Ahh, aku hanya main-main, Tee-kongcu."
"Aha,
kalau di sini tidak ada paman, jangan menyebut kongcu-kongcu-an segala. Namaku
Beng Sin dan kau Sin Liong. Bukankah kita sahabat?"
"Terima
kasih, Beng Sin. Akan tetapi lebih baik aku menyebutmu kongcu sesuai dengan
perintah gihu."
"Sin
Liong, aku melihat engkau tadi memainkan Heng-pai-hud. Dari mana engkau dapat
melakukan gerakan itu?" Kui Lin bertanya.
"Lin-siocia,
aku hanya menonton kalian berlatih dan meniru-niru saja..."
"Ahh,
tapi gerakanmu tadi baik benar!" Kui Lan juga memuji.
"Benar!"
kata Beng Sin. "Sebaliknya aku belum juga dapat melakukan gerakan jurus
itu dengan baik."
"Gerakanmu
sudah baik, hanya perlu lebih dipercepat, kongcu. Terlalu lamban sehingga
gerakan kedua tanganmu kalah cepat oleh kedua kakimu. Juga di waktu kau
memukulkan tanganmu ke depan, engkau kurang memutar lenganmu sehingga saat
gerakan memukul itu disambung gerakan menangkis, kurang tepat."
Beng Sin membelalakkan
matanya dan menjadi gembira. "Ah, begitukah? Biar kucoba!"
Dan anak ini
segera bergerak melakukan jurus Heng-pai-hud dan mengubah gerakannya sesuai
dengan petunjuk Sin Liong. Dia merasa betapa setelah dia mempercepat gerakan
kedua lengannya, dia dapat mengikuti gerakan kaki secara baik, dan ketika dia
memukul, dia memutar lengannya dan mendapat kenyataan bahwa perubahan gerak
dari memukul menjadi menangkis dapat dia lakukan dengan baik!
"Horeeee...!
Aku dapat melakukannya dengan baik!" Dia bersorak girang sekali dan dua
orang anak perempuan itu pun ikut gembira, tertawa-tawa melihat si gendut itu
bersorak dan menari-nari dengan pinggul megal-megol.
"Hei,
apa-apaan kalian di situ?" tiba-tiba terdengar teguran Siong Bu yang
datang berlari ke tempat itu.
"Ahh,
Bu-ko, terjadi keajaiban di sini!" Beng Sin berkata sambil tertawa dan
menudingkan telunjuknya pada Sin Liong. "Kau lihat, Sin Liong ternyata
pandai mainkan Heng-pai-hud, dan dia telah memberi petunjuk sehingga sekarang
gerakanku menjadi baik!"
"Betul,
Bu-ko, dan Sin Liong dapat pula mainkan jurus-jurus lain dengan baiknya,
padahal dia hanya melihat dan meniru-niru kita saja!" Lan Lan berkata.
Alis yang
sudah kelihatan panjang tebal di atas sepasang mata Siong Bu berkerut pada saat
dia memandang kepada Sin Liong, akan tetapi dia memandang rendah anak angkat
bibinya ini dan menganggap seorang bujang yang derajatnya lebih rendah dari
pada dia dan saudara-saudaranya.
"Sin
Liong, bukankah paman sudah melarangmu untuk belajar silat?!" bentaknya.
Sin Liong menundukkan mukanya. "Memang aku tidak belajar, hanya melihat
dan ingat gerakannya."
"Dia
benar, Bu-ko. Dia hanya mengenal jurus yang pernah dilihatnya saja, akan tetapi
gerakannya hebat. Dia bisa memainkan jurus Heng-pai-hud lebih baik dari pada
engkau, Bu-koko!" Beng Sin berkata lagi dengan jujur, tidak tahu betapa
kata-katanya itu membuat hati Siong Bu menjadi makin panas dan iri.
"Hemmm,
golongan monyet mana bisa bermain silat?" dia mengejek.
"Ah,
jangan begitu, Bu-ko. Menurut penuturan paman, bukankah banyak ilmu silat
diambil dari gerakan-gerakan binatang, misalnya harimau, bangau, monyet dan
lain-lain?" bantah Beng Sin. "Ingat jurus-jurus seperti Hek-wan
Hian-ko (Lutung Hitam Memberi Buah), atau Sin-kauw Pai-bwe (Kera Sakti
Menggerakkan Ekor) dan lain-lain."
"Hemmm,
jurus-jurus itu ciptaan manusia. Mana ada anak monyet bisa bersilat?"
kembali Siong Bu mengejek.
"Bu-koko,
mengapa kau menghina Sin Liong? Dia tidak mempunyai kesalahan apa-apa,"
tiba-tiba Lin Lin mencela Siong Bu.
"Benar,
kau sengaja hendak memakinya anak monyet. Kau terlalu, Bu-ko, dan kau sudah
mengganggu kami yang sedang bergembira di sini!" Lan Lan juga membela Sin
Liong.
Melihat dua
orang anak perempuan itu membela Sin Liong, semakin panaslah rasa hati Siong
Bu. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang cerdik. Dia tidak mau mendesak
lagi karena biar pun dia sudah dapat memperolok Sin Liong, dia tidak mau kalau
untuk itu dia menimbulkan rasa tidak suka di hati Lan Lan dan Lin Lin.
"Aku
sebenarnya tidak menghina, hanya tidak percaya. Akan tetapi kalau Sin Liong mau
berlatih silat bersamaku, baru aku percaya," katanya sambil menghampiri
Sin Liong.
Beng Sin
berseru girang. "Bagus! Itu bugus sekali! Sin Liong, hayo layani Bu-ko
berlatih. Dia baru akan percaya setelah melihat sendiri dan engkau pun akan
mendapat kemajuan kalau mau berlatih dengan dia."
Sin Liong
tentu saja tak mengerti apa yang dimaksudkan. Dia memang ingin sekali belajar
silat, akan tetapi dia tidak berani belajar dari ayah angkatnya yang sudah
melarangnya. Kini dia meragu dan memandang kepada Lan Lan dan Lin Lin.
Kedua orang
anak perempuan itu pun mengangguk dengan gembira. Mereka suka sekali belajar
silat, dan melihat gerakan Sin Liong tadi, mereka mengira bahwa tentu Sin Liong
sudah pandai pula, maka tiada buruknya untuk berlatih bersama Siong Bu.
Sin Liong
adalah seorang anak yang keras hati. Tadinya dia ingin meninggalkan mereka
pergi, akan tetapi melihat Siong Bu berlagak menantang, hatinya pun menjadi
panas. Dia menatap wajah Siong Bu dan berkata, "Kwan-kongcu, kau mau
mengajarku?"
Siong Bu
menyeringai. "Kata mereka engkau pandai. Kalau engkau lebih pandai,
berarti engkaulah yang mengajariku. Mungkin engkau mempunyai jurus-jurus monyet
lain yang belum kukenal." Ucapan ini tentu saja bermaksud mengejek.
Beng Sin
mengerti juga akan ejekan itu. Hati anak gendut ini berpihak kepada Sin Liong
karena tidak jarang dia juga menjadi sasaran kenakalan dan ejekan-ejekan Siong
Bu yang lebih tua beberapa bulan dari dia dan merasa lebih menang.
"Sin
Liong, apakah kau takut? Aku tahu engkau kuat sekali, dan... hemmm, siapa tahu
engkau benar-benar menyimpan jurus-jurus monyet sakti. Hayo, kau layani
Bu-ko!" Dia mendesak.
"Benar,
kau hadapi dia, Sin Liong!" kata Lan Lan.
"Aku
ingin sekali melihatnya!" sambung Lin Lin.
Sin Liong
merasa tersudut, apa lagi sekarang Siong Bu telah menghampirinya dekat, lalu
mempergunakan jari telunjuk mendorong dada Sin Liong, dengan lagak angkuh
berkata, "Kalau takut, kau berlutut saja minta ampun tiga kali!"
Marahlah Sin
Liong. "Kwan-kongcu, terhadap setan pun aku tidak takut, apa lagi terhadap
engkau!"
"Heh-heh-heh,
dia memakimu setan, Bu-ko!" kata Beng Sin tertawa keras. "Dia memaki
engkau setan!" Anak nakal ini sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk
memaki kepada Siong Bu yang sering memakinya tanpa dia berani membalas.
Merahlah
wajah Siong Bu. "Anak monyet! Berani kau?" Dan tangannya lalu memukul
ke arah muka Sin Liong. Sin Liong terkejut, dan dengan gerakan otomatis dia
memalingkan mukanya.
"Plakkk!"
Bukan hidungnya yang kena dijotos, melainkan pipinya. Sin Liong terhuyung ke
belakang.
"Ehh,
kenapa kau memukulku?" tanyanya, matanya terbelalak heran.
"Itu
namanya latihan silat, tolol! Habis apa lagi artinya silat jika bukan saling
pukul? Nah, kau jaga ini!" Kembali Siong Bu menyerangnya dengan sebuah
pukulan yang ditujukan ke arah dada Sin Liong.
Kini Sin
Liong sudah siap. Kalau tadi mukanya terkena pukulan adalah karena dia tidak
menyangka bahwa latihan itu berarti saling pukul! Kini dia pun lalu teringat
akan gerakan Heng-pai-hud, yaitu dengan tangan miring melakukan tangkisan,
karena itu dia pun cepat memasang kuda-kuda seperti yang sering dilatihnya,
melangkah mundur sambil miringkan tangan ke depan dada, menangkis pukulan itu.
"Dessss...!"
Karena cara
Sin Liong memasang kuda-kuda tidak tepat, walau pun gerakannya benar namun dia
tidak tahu untuk apa kuda-kuda itu, maka penanaman tenaga di kakinya tidak
benar dan dia terhuyung oleh pertemuan lengannya dengan lengan lawan, dan
sebelum dia tahu harus berbuat apa, tiba-tiba kaki lawan sudah membabatnya dari
samping, tepat mengenai belakang lututnya.
"Bresss...!"
Tubuh Sin Liong terpelanting roboh.
"Hei,
kenapa begitu mudah roboh?" Lan Lan berseru heran.
"Hayo,
Sin Liong, kau jangan mengalah. Serampangan kaki itu mestinya bisa dihindarkan
dengan loncatan, dan kau boleh balas memukul!" Beng Sin berseru.
Sin Liong
bangkit berdiri dan pada saat itu pula Siong Bu sudah menerjang lagi dengan
pukulan bertubi-tubi. Sin Liong masih mencoba untuk bergerak dengan jurus-jurus
yang pernah dilihat dan dilatihnya, akan tetapi tentu saja gerakan-gerakan itu
biar pun sangat baik akan tetapi tidak tepat, dipergunakan bukan pada saatnya,
oleh karena itu mulailah dia menjadi bulan-bulanan pukulan tangan serta
tendangan kaki Siong Bu. Sudah empat kali mukanya menerima pukulan keras
sehingga kedua pipinya menjadi biru dan mata kanannya membengkak!
"Bu-koko,
jangan memukul sungguh-sungguh!" Lin Lin berseru marah.
"Sin
Liong, kenapa kau tidak membalas? Kau boleh membalas! Latihan ini umpamakanlah
kau sedang berkelahi! Kalau kau diserang harimau, masa diam saja?" Beng
Sin berteriak-teriak gemas melihat Sin Liong dijadikan bulan-bulanan.
Mendengar
ucapan diserang harimau, seketika bangkitlah kemarahan di hati Sin Liong.
Seperti terbayang olehnya pengalamannya pada waktu kecil ketika dia hampir mati
oleh harimau dan diselamatkan oleh teman-temannya, yaitu para monyet. Kini dia
tidak peduli akan latihan ilmu silat, tidak peduli akan jurus-jurus ilmu silat,
akan tetapi menggunakan naluri dan tanggapan syarafnya terhadap ancaman dari
luar.
Dengan
cekatan dia lalu meloncat ke sana-sini, seperti seekor monyet, dan dia pun
dapat menghindarkan semua pukulan lawan. Pada waktu tangan kiri Siong Bu
meluncur lewat, dengan cepat sekali dia menangkap tangan itu, memilinnya ke
belakang sampai Siong Bu berteriak kesakitan, dan hampir saja dia lupa.
Hampir saja
tadi Sin Liong menggigit leher lawannya! Akan tetapi dia masih teringat dan
segera menggunakan kedua tangannya, mencengkeram pakaian lawan dan mengangkat
tubuh Siong Bu ke atas dengan kedua tangan kemudian melemparkannya ke depan.
"Brukkk...!"
Debu mengepul ketika tubuh Siong Bu terbanting.
"Hebat...!
Kau hebat, Sin Liong...!" Beng Sin memuji dan bersorak, akan tetapi
tiba-tiba Siong Bu yang sudah bangkit itu menerjang lagi dan sebuah tendangan
mengenai perut Sin Liong, membuatnya terhuyung.
"Ehh,
kau curang, Bu-ko. Engkau sudah roboh dan latihan ini sudah berakhir,"
kata Beng Sin.
Akan tetapi
Siong Bu tidak peduli dan dia menerjang terus, menghujankan pukulan serta
tendangan. Akan tetapi, Sin Liong yang tidak bisa silat itu memiliki tubuh yang
jauh lebih kuat, mempunyai daya tahan yang kuat, kegesitan sewajarnya yang
didapatkan karena pergaulannya dengan monyet-monyet. Dia dapat mengelak ke
kanan kiri, dan satu dua kali pukulan yang mengenai tubuhnya tidak
dirasakannya.
Betapa pun
juga, mukanya sudah terasa panas dan nyeri karena pukulan-pukulan yang tadi,
dan kemarahannya memuncak ketika Siong Bu sambil menyerang memaki-makinya.
"Anak monyet bocah hina!"
Dia
mengeluarkan suara menggereng seperti binatang dan tiba-tiba dia maju menubruk.
"Bukkk!"
Pukulan yang
mengenai lehernya tidak dirasakannya dan kini sepasang tangannya sudah mencengkeram
pundak Siong Bu. Meski pun anak ini sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi
kepandaiannya masih belum matang, maka ketika merasa pundaknya dicengkeram dan
sakit, dia pun Ialu mencengkeram dan terjadilah pergulatan yang tidak memakai
jurus ilmu silat lagi! Mereka saling jambak, saling cengkeram dan saling cekik!
Tadinya Sin
Liong tak ingin berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, dia merasa sangat nyeri
ketika rambutnya dijambak, maka dia segera membuka mulut dan menggigit daun
telinga Siong Bu! Begitu keras gigitannya sehingga ujung daun telinga Siong Bu
robek dan anak ini berteriak-teriak kesakitan!
"Heii,
berhenti kalian!" terdengar bentakan keras dan tiba-tiba dua buah tangan
yang amat kuat sudah menarik tubuh Siong Bu dan Sin Liong ke kanan kiri dan
mendorong mereka terpisah.
Siong Bu
cepat berlutut di depan pamannya, terisak menangis sambil memegangi telinga
kanannya yang berdarah. Sedangkan Sin Liong berdiri dengan kepala tunduk,
mukanya bengkak-bengkak dan biru-biru, akan tetapi sedikit pun tidak ada
tanda-tanda bahwa dia menderita kesakitan atau menangis!
Kui Hok Boan
berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak marah. Tangannya sudah meraih
sebatang ranting kayu dan dia menoleh kepada Siong Bu. "Kenapa
telingamu?"
"Di...
digigit... oleh monyet cilik itu... aduhhhh...!" Siong Bu mengeluh ketika
pamannya memeriksa telinga itu. Ternyata hanya ujungnya yang robek bekas
gigitan.
"Bocah
liar! Berani kau berkelahi dengan kongcu dan menggigit telinganya? Kalau tidak
dihajar, engkau tentu akan menjadi monyet liar!" Kui Hok Boan segera
menghampiri Sin Liong yang masih berdiri. "Hayo berlutut kau!"
Sin Liong
berlutut dan sasterawan yang marah itu kemudian mengayun ranting itu yang
segera meledak-ledak dan melecuti tubuh anak itu. Kulit leher dan punggung Sin
Liong pecah-pecah dan darah mulai mengalir keluar pada saat ranting itu
menyambar-nyambar ganas. Akan tetapi, anak itu hanya menunduk dan memejamkan
matanya, menahan rasa nyeri dan sedikit pun tak mengeluarkan suara mengeluh.
Juga tak nampak dia menangis.
"Prat-prat-prat-prat!"
Ranting itu
terus menari-nari dan sesudah melihat baju itu berdarah, barulah Hok Boan
menghentikan sabetannya. Dia terengah-engah dan kemarahannya semakin memuncak
melihat anak itu sama sekali tidak mengeluh atau menangis. Hal ini diterimanya
sebagai tantangan!
"Kau
bandel, ya? Kau berkulit tebal, ya? Ingin kuhajar sampai mampus?" teriak
Hok Boan yang semakin marah mengingat bahwa daun telinga puteranya digigit
sampai pecah dan melihat Sin Liong sama sekali tidak menangis atau mengeluh.
"Ayah...
harap ampunkan Sin Liong, ayah...!" Mendadak terdengar suara Lin Lin
meratap dan terdengar isak terkandung dalam suara itu. Anak ini tidak tega dan
merasa kasihan melihat keadaan Sin Liong.
Hok Boan
tidak jadi mencambuki lagi, lantas menoleh kepada Beng Sin. "Beng Sin,
hayo katakan apa yang terjadi!" bentaknya.
Beng Sin
berlutut dengan tubuh agak menggigil. "Mereka... mereka berkelahi...
dan..." Dia melirik ke arah Siong Bu, melihat pandang mata kakaknya itu
sehingga dia tidak berani untuk berterus terang. "Dan... paman lalu
datang." Dia menutup mulut dan menunduk.
"Sin
Liong, engkau tidak tahu diri! Berani engkau berkelahi dengan seorang dari
mereka? Apakah kerjamu di sini hanya untuk menentang dan berkelahi? Hayo
jawab!" bentak Hok Boan. Akan tetapi Sin Liong tetap menunduk, tidak mau
menjawab.
"Kau
sungguh bandel! Apa ingin dihajar lagi?"
"Ayah,
Sin Liong tidak bersalah!" tiba-tiba Lan Lan berkata dengan suara lantang.
Hok Boan
memandang puterinya itu, dan Lan Lan melanjutkan kata-katanya. "Mula-mula
kami bertiga di sini melihat Sin Liong berlatih silat seorang diri, dia pandai
mainkan jurus Heng-pai-hud..."
"Ehhh...?!"
Hok Boan terkejut bukan main.
"Dia
menonton ketika kami berlatih, ayah, lalu dia meniru-niru gerakan kami. Akan
tetapi gerakannya baik sekali dan selagi kami bergembira, datang Bu-koko yang
menantang Sin Liong."
"Dan
Bu-koko memaki Sin Liong monyet," sambung Lin Lin.
"Bu-koko
menantang untuk berlatih silat, mereka berkelahi sungguh-sungguh," sambung
pula Lan Lan. "Akan tetapi Sin Liong terus didesak, maka dia melawan, apa
bila Bu-koko tidak mendesak dan memaksa, tentu dia tidak akan balas memukul dan
menggigit."
Kui Hok Boan
mengerutkan alisnya. Soal perkelahian antara anak kecil tidak begitu aneh
baginya, akan tetapi mendengar Sin Liong pandai memainkan jurus Heng-pai-hud,
hal ini benar-benar mengejutkan hatinya. Dan kenyataan yang lebih mengejutkan
hatinya adalah bahwa Siong Bu yang sudah dilatihnya selama lima tahun itu
ternyata kini tidak mampu mengalahkan Sin Liong biar pun muka Sin Liong matang
biru dan kalau dia tidak datang, bukan tidak mungkin Siong Bu akan kalah!
"Sin
Liong, benarkah engkau sudah menonton jurus-jurus itu dan menirunya?"
bentaknya kepada Sin Liong.
"Benar,
gi-hu."
"Mulai
sekarang, engkau tidak boleh lagi menonton dan meniru-niru. Mengerti?!"
"Baik,
gi-hu."
"Mulai
malam nanti, engkau harus menulis kalimat 'Saya tidak boleh melawan terhadap
Kwan-kongcu dan Tee-kongcu' sampai seribu kali di atas kertas!"
"Ayah,
Sin Liong tidak bersalah!" Lan Lan dan Lin Lin berkata hampir berbareng.
"Diam
kalian! Hayo semua pulang! Dan kau jaga sapi-sapi itu baik-baik!" kata Hok
Boan dengan bengis.
Empat orang
anak itu bangkit dan mengikuti Kui Hok Boan meninggalkan Sin Liong yang masih
berlutut di situ. Setelah semua orang pergi, barulah Sin Liong menggunakan
ujung lengan bajunya untuk mengusap darah dan keringat dari lehernya, kemudian
cepat-cepat menghapus dua titik air mata dengan kepalan tangannya.
Malam itu,
pada saat semua orang belum tidur, dengan tekun Sin Liong mulai menuliskan
kalimat hukuman itu di atas kertas. Akan tetapi setelah semua orang tidur, dia
lalu pergi menemui monyet-monyet, jauh tinggi di atas pohon dan monyet betina
tua itu menjilati luka-luka bekas cambukan di leher, lengan dan punggungnya.
Akhirnya Sin Liong tertidur di atas pohon, tetapi pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali dia telah kembali ke dalam kamarnya.
***************
Semenjak
terjadi peristiwa itu, sikap Siong Bu semakin angkuh dan menghina Sin Liong.
Siong Bu masih merasa penasaran dan sakit hati karena daun telinganya digigit.
Biar pun kini lukanya telah sembuh, tetapi ujung telinganya masih berbekas, dan
ini mengingatkan dia betapa dia hampir kalah oleh anak monyet itu! Kekalahan
ini lebih menyakitkan dari pada luka di daun telinganya.
Akan tetapi
kini Sin Liong tidak pernah mau melayaninya biar pun dia sudah sering kali
menghinanya dan memancing suatu perkelahian lagi. Oleh karena sikap Sin Liong
yang mengalah ini, maka hal itu menimbulkan perasaan tidak senang di hati Beng
Sin yang menganggap bahwa Sin Liong pengecut dan penakut.
Juga Lan Lan
dan Lin Lin merasa tidak senang. Rasa kagumnya terhadap Sin Liong yang berani
melawan Siong Bu bahkan hampir saja menang, segera lenyap sebab mereka pun
menganggap bahwa Sin Liong penakut. Padahal, bukan demikianlah sesungguhnya.
Ada sebabnya mengapa Sin Liong tidak lagi mau melayani penghinaan Siong Bu yang
merasa sakit hati kepadanya itu. Bukan karena takut dihajar lagi oleh ayah
angkatnya.
Pada
keesokan harinya sesudah perkelahian itu, Sin Liong dipanggil oleh Si Kwi.
Dalam pertemuan empat mata ini, Si Kwi menerimanya dengan alis berkerut dan
memandang wajahnya dengan penuh perhatian.
"Sin
Liong, aku mendengar bahwa engkau berkelahi dengan Siong Bu?" tanya nyonya
ini dengan suara halus. Semalam dia diceritakan oleh suaminya betapa Sin Liong
mencuri belajar silat dan berani berkelahi melawan Siong Bu, lantas dalam
keliarannya menggigit telinga Siong Bu hampir putus!
Sin Liong
menunduk dan mengangguk. Satu-satunya orang yang dipandang dan dihormati serta
dicintanya di dalam rumah itu hanyalah ibu angkatnya ini. Dia tidak ingin
membuat ibu angkatnya ikut berduka atau marah kepadanya.
"Dan
engkau telah mencuri dan mempelajari ilmu silat mereka?"
"Ibu...
saya... saya hanya menonton dan meniru-niru saja."
"Hemm,
yang sudah lalu biarlah. Akan tetapi mulai sekarang jangan kau ikut mempelajari
ilmu silat mereka, dan terutama sekali jangan engkau berkelahi dengan siapa
pun."
Sin Liong
menundukkan mukanya, wajahnya kelihatan berduka sekali, akan tetapi dia tak
menjawab. Melihat wajah itu, teringatlah Si Kwi kepada Cia Bun Houw maka dia
menarik napas panjang.
Dia sendiri
merasa heran kenapa anaknya ini, yang semenjak kecil tidak pernah belajar ilmu
silat, dapat bersilat hanya dengan menonton saja. Dan yang lebih mengejutkan
lagi, dapat melawan dan menandingi Siong Bu yang sudah memiliki kepandaian
lumayan dan paling kuat di antara empat orang anak yang dipimpin suaminya!
"Sin
Liong, mengapa kau ingin sekali belajar silat?" Tiba-tiba dia bertanya,
pertanyaan yang digerakkan karena teringat akan Cia Bun Bouw.
Tiba-tiba
anak itu mengangkat mukanya dan Si Kwi merasa jantungnya tergetar ketika
melihat sepasang mata yang mencorong dan tajam sekali itu!
"Ibu,
katakan... siapa yang membuntungi tangan kiri ibu?"
Wajah Si Kwi
seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak. "Ahhhh...!"
"Saya
ingin membalasnya, saya ingin memotong dan membuntungi kedua tangannya! Siapa
dia, ibu?"
"Ohhh...
Liong-ji...!" Si Kwi merintih dan tak dapat menahan air matanya. Dia
cepat-cepat menggunakan sapu tangan untuk menyusuti air mata yang mengalir
turun di atas kedua pipinya itu.
Melihat ini,
Sin Liong cepat berlutut di depan kaki ibu angkatnya. "Ibu, ampunkan
saya... sakit sekali hati saya melihat ada orang berbuat demikian keji terhadap
ibu. Saya ingin belajar silat karena ingin membalasnya!"
Si Kwi
menggunakan tangan kanannya mengelus-elus rambut kepala anak itu. Sejenak
tangannya membelai rambut itu dan jantungnya seperti diremas-remas. Anak ini
adalah anaknya! Tidak salah lagi! Anak Cia Bun Houw!
"Jangan
salah mengerti, anak yang baik. Tangan kiriku ini bukan dibuntungi oleh musuh, melainkan
oleh mendiang guruku sendiri."
"Ahhh...!"
Sin Liong memandang wajah ibu angkatnya dengan mata terbelalak. "Betapa
kejamnya! Mengapa ibu?"
"Itulah
kalau orang belajar ilmu silat, anakku. Guru-guru yang mengajar ilmu silat
memang biasanya keras. lbumu ini sudah melakukan kesalahan maka hukumannya
adalah potong tangan kiri! Oleh karena itu, janganlah kau belajar ilmu silat,
tidak ada gunanya, anakku. Ayah angkatmu masih lunak ketika menghajarmu dengan
cambukan. Maka, kalau engkau suka mendengarkan kata-kata ibumu, mulai sekarang,
jangan engkau layani siapa pun untuk berkelahi. Belajarlah dengan tekun,
anakku, supaya kelak engkau menjadi seorang manusia yang baik dan
berguna."
Sin Liong
kecewa sekali, akan tetapi dia amat mencinta ibunya ini yang sejak dia kecil
amat baik kepadanya, maka dia pun mengangguk, lalu bangkit dan meninggalkan
kamar ibunya. Ketika sampai di pintu, dia menengok. "Ibu, apakah sampai
sekarang ibu belum juga mendengar siapa adanya ayah dan ibuku yang
sesungguhnya?"
"Ahhh...!"
Si Kwi merasa ditampar lalu dicekik lehernya. Dia hanya memandang dengan wajah
pucat. Entah sudah berapa kali anak ini menanyakan hal itu, dan selalu
dijawabnya bahwa dia tidak tahu, bahwa dia akan berusaha untuk menyelidikinya.
Dan sekarang anak itu kembali menanyakan masalah itu. Dia tidak mampu menjawab,
hanya menggelengkan kepalanya. Sin Liong menunduk, memutar tubuh dan melangkah
pergi.
"Liong-ji...!"
Sin Liong
berhenti dan ibunya sudah berada dekatnya. Dengan sentuhan mesra Si Kwi membuka
baju anaknya, melihat jalur-jalur merah di punggungnya. Dia lalu berkata,
"Mari kuobati luka-lukamu akibat cambukan itu dan... heiiii, sudah kering
semua..."
"Tidak perlu,
ibu. Semalam luka-luka itu sudah dijilati oleh monyet betina tua dan sudah
sembuh." Sesudah berkata demikian, Sin Liong melangkah pergi, menghilang
di dalam gelap.
Nah, itulah
sebabnya mengapa Sin Liong tidak pernah mau melayani godaan dan ejekan Siong
Bu. Dia selalu teringat akan pesan ibu angkatnya dan dia tidak ingin
menyusahkan hati ibu angkatnya. Maka ditelannya semua hinaan dan godaan, dan
dia sama sekali tidak pernah mau melayani.
Akan tetapi,
sebenarnya Sin Liong menderita batin yang sukar dapat dipertahankannya. Pada
dasarnya dia memiliki watak keras dan tidak takut terhadap siapa pun juga, maka
ejekan, hinaan dan tantangan Siong Bu yang dilontarkan kepadanya dan tidak
dijawabnya karena dia teringat akan ibu angkatnya, membuat hatinya sakit
sekali.
Akhirnya dia
tidak mampu menahan kemarahannya lagi, apa pula ketika melihat betapa Beng Sin,
Lan Lan dan Lin Lin mulai tidak suka kepadanya dan menganggapnya sebagai
seorang anak yang pengecut dan penakut. Dia tahu bahwa tiga orang ini tadinya
berfihak kepadanya dan tidak suka melihat dia dihina dan ditantang, mereka
menghendaki supaya dia melawan. Akan tetapi, bukannya dia takut terhadap Siong
Bu, bukan pula takut akan hukuman dari ayah angkatnya, melainkan dia tak ingin
menyusahkan hati ibu angkatnya, tidak ingin melanggar pesan ibu angkatnya.
Akan tetapi
kekerasan hatinya membuat dia makin tidak kuat bertahan, apa lagi sesudah dia
merasa kesepian karena anak-anak yang lain mulai menjauhkan diri darinya.
Karena itu, pada suatu malam diam-diam dia meninggalkan kamarnya, pergi menemui
kawan-kawannya, yaitu para monyet besar dan bersama mereka dia memasuki hutan
lebat dan tidak mau kembali lagi ke Istana Lembah Naga!
Pada
keesokan harinya, semua orang di Istana Lembah Naga kehilangan. Si Kwi menjadi
bingung sekali.
"Biarlah,"
kata suaminya. "Aku sudah tahu bahwa dia terlampau banyak terpengaruh oleh
monyet-monyet itu sehingga dia tak betah lagi tinggal bercampur dengan manusia
biasa. Kita sudah terlalu baik kepadanya, dan kalau kita lebih baik lagi, aku
khawatir dia akan menjadi manja dan rusak. Ingat akan sifat-sifatnya yang
liar."
Akan tetapi
tentu saja Kui Hok Boan tidak tahu bahwa hati seorang ibu kandung mana mungkin
bisa menegakan anaknya begitu saja? Si Kwi juga masih tidak berani membuka rahasianya.
Kalau dia
mau, tentu saja dia dapat mengerahkan tenaga para anak buah suaminya yang
banyak jumlahnya. Akan tetapi dia tahu akan kekerasan hati dan keanehan watak
Sin Liong. Kalau hanya mengandalkan para anak buah itu untuk mencari dan
membujuknya, sudah pasti anak itu tidak akan sudi pulang! Maka dia lalu
diam-diam mencari sendiri dan dia tahu ke mana dia harus mencari.
Si Kwi
membawa seperangkat pakaian dan memasuki hutan. Tepat sekali dugaannya, lewat
tengah hari dia tiba di tengah hutan dan dengan hati hancur dia melihat anaknya
itu sedang berloncatan dari dahan ke dahan di atas pohon-pohon yang sangat
besar dan tinggi bersama beberapa ekor monyet besar.
Yang
mengharukan hatinya adalah melihat anak laki-laki itu sama sekali telanjang
bulat! Agaknya Sin Liong sudah membuang semua pakaiannya dan bertelanjang
seperti teman-temannya. Dan dari tempat dia mengintai, Si Kwi melihat betapa
wajah anak itu tampak berseri-seri, penuh keberuntungan dan kegembiraan,
terbebas dari kungkungan manusia berikut segala peraturannya, iri hatinya,
kebenciannya dan permusuhannya!
Melihat
wajah yang tampan dan gembira itu, hampir saja Si Kwi pergi lagi. Tidak tega
dia mengganggu kebahagiaan anak itu! Akan tetapi dia kemudian teringat bahwa
anaknya itu adalah seorang manusia. Dia akan merasa sangat berdosa, berdosa
terhadap Sin Liong, terhadap dirinya sendiri dan terhadap Cia Bun Houw jika dia
membiarkan saja anaknya menjadi monyet!
"Liong-ji...!"
Dia meratap, memanggil dan air matanya bercucuran.
"Grrrr...
grrrr...!" Monyet-monyet itu menggereng dan Sin Liong juga mengeluarkan
suara gerengan seperti monyet. Akan tetapi ketika dia melihat ibu angkatnya di
bawah pohon, dia terkejut sekali. Cepat dia meloncat ke dahan lain dan hendak
melarikan diri.
"Sin
Liong... kau... kau... tidak kasihankah kepada ibumu...? Sin Liong,
anakku...!"
Mendengar
seruan dan ratapan yang dikeluarkan dengan isak tangis ini, Sin Liong segera
berhenti, termenung, kemudian dia berloncatan turun. "Ibu...!" Dia
meloncat ke atas tanah lalu berlutut di depan kaki ibunya.
Sudah dua
hari dua malam dia tinggal bersama monyet-monyet itu, dan sekarang ibunya
menyusulnya. Kalau saja ibunya tidak menangis dan keadaannya demikian
menyedihkan, tentu dia tadi sudah melarikan diri.
"Liong-ji...
mengapa kau meninggalkan ibumu? Apakah kau tidak suka lagi kepada ibumu,
anakku?"
"Ibu..."
Sin Liong merasa lehernya seperti dicekik.
Dua hari dua
malam tidak bicara, hanya mengeluarkan suara seperti monyet-monyet itu, membuat
lidahnya kaku dan sukar baginya untuk bicara. Akan tetapi akhirnya dapat juga
dia berkata, "Aku tidak meninggalkan ibu, tapi aku meninggalkan mereka
itu!" Suaranya mengandung kemarahan.
"Akan
tetapi, meninggalkan mereka berarti engkau meninggalkan ibu, anakku. Marilah
kita kembali, kau tidak boleh meninggalkan aku."
Sin Liong
mengangkat mukanya, matanya mengeluarkan sinar berapi lalu dia menggeleng
kepalanya. "Tidak, ibu! Aku tidak mau kembali ke sana untuk menerima
hinaan mereka!"
Si Kwi
merangkul dan memeluk anaknya, mengelus kepala anaknya. "Salahku,
Liong-ji, salahku. Sekarang aku berjanji bahwa tidak akan ada orang yang berani
mengganggumu lagi. Aku akan melarang mereka! Ya, aku akan melindungi
anakku!"
"Akan
tetapi... mereka pandai silat dan aku tidak boleh..."
"Aku akan
melatihmu, Liong-ji. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu."
"Benarkah?"
Sin Liong girang sekali. "Menurut Lan-siocia dan Lin-siocia..."
"Mulai
sekarang kau boleh menyebut mereka moi-moi, jangan menyebut siocia!"
"Ahhh...!
Menurut mereka, kepandaian ibu tidak kalah oleh gi-hu..."
"Asal
engkau rajin belajar, engkau tentu akan pandai, anakku, karena engkau mempunyai
bakat dan tenaga yang kuat."
"Akan
tetapi, apa artinya belajar silat kalau aku tidak tahu siapa ayah dan
ibuku?"
Si Kwi
menarik napas panjang dan membantu anaknya memakai pakaian yang dibawanya dari
rumah tadi. "Pakailah ini dan marilah kita pulang, nanti akan kuceritakan
kepadamu siapa adanya ayahmu..."
Janji dan
bujukan ini berhasil. Wajah Sin Liong berseri, matanya terbelalak lebar penuh
harapan. Dia tak membantah lagi, cepat mengenakan pakaian itu kemudian dia
mengikuti ibunya pulang.
Mereka tiba
di rumah di waktu senja. Karena tidak ingin melihat Sin Liong merasa malu dan
sungkan bertemu dengan anggota keluarga lain, maka dia langsung mengajak Sin
Liong memasuki kamar anaknya itu di dekat kandang kuda. Sin Liong lalu
menyalakan lampu minyak sederhana yang berada di atas meja kasar di dalam
kamarnya.
Semua
gerak-geriknya terus diikuti oleh pandang mata Si Kwi dengan penuh keharuan.
Insyaflah wanita ini bahwa dia memang telah membiarkan anak kandungnya ini
terlantar! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipinya ketika dia
duduk di atas bangku dan melihat keadaan di kamar itu. Dia telah memperlakukan
anaknya sendiri seperti seorang bujang saja! Hal itu dia terpaksa lakukan agar
suaminya dan semua orang tidak akan ada yang menyangka bahwa Sin Liong adalah
anak kandungnya.
Sin Liong
menoleh. Melihat ibunya menangis, dia lalu menubruk, menjatuhkan diri berlutut
di hadapan ibunya dan berkata, "Ibu... aku hanya tahu bahwa ibu merawatku
sejak kecil, bahwa aku adalah anak angkat dari ibu... bahwa katanya ibu
menemukan aku di antara monyet-monyet itu. Akan tetapi aku tahu, aku juga
melihat perbedaan antara aku dengan mereka, aku tahu bahwa aku bukanlah anak
monyet, melainkan anak manusia seperti juga kedua kongcu dan kedua siauw-moi.
Hanya ibu yang tahu siapa ayah bundaku yang sesungguhnya..."
"Liong-ji..."
Si Kwi memejamkan matanya, membelai kepala anaknya yang rebah di atas
pangkuannya itu.
Biar pun
anak itu lenyap semenjak dilahirkan, biar pun dia tak menyaksikan dengan mata
kepala sendiri bahwa anak ini adalah anak yang dilahirkannya di dalam goa itu,
namun dia yakin. Inilah anaknya itu! Wajah anak ini mengingatkan dia kepada Cia
Bun Houw, terutama matanya.
"Angkatlah
mukamu anakku, lapangkan dadamu. Engkau bukan anak orang sembarangan saja, Sin
Liong. Ayahmu adalah seorang pendekar sakti yang sukar dicari bandingannya di
dunia ini."
Sin Liong
mengangkat mukanya, memandang kepada wajah wanita yang selama ini dia anggap
sebagai ibunya itu, "Ayah saya... siapa namanya, ibu?"
"Namanya
adalah... Cia Bun Houw..."
"She
Cia?" Sin Liong yang merasa tegang hatinya itu tidak memperhatikan suara
ibunya yang tergetar penuh keharuan ketika menyebut nama itu.
Ibunya
mengangguk. "Engkau pun sesungguhnya she Cia..."
"Dan
ibuku...?"
"Ibumu...
ibumu... dia sudah meninggal dunia, anakku."
"Ahhh...!"
Sin Liong tertegun, mukanya berubah agak pucat, akan tetapi dia tak menangis
lagi.
Tadi pun dia
hanya menitikkan beberapa butir air mata yang cepat diusapnya. Sesudah
mendengar bahwa ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang tiada keduanya atau
tak ada bandingannya di dunia ini, dia merasa malu untuk menangis!
"Ya,
dia sudah meninggal dunia, dia adalah murid seorang wanita sakti yang berjuluk
Hek I Siankouw dan yang sudah meninggal pula..."
"Namanya,
ibu? Siapa namanya?"
"Aku
tidak tahu. Kelak engkau akan mengetahuinya dari ayahmu... kalau... kalau
engkau ada jodoh bertemu dengan dia..."
"Di
mana ayah kandungku itu tinggal, ibu?"
Si Kwi
menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu, anakku. Dia adalah
putera dari ketua Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san. Hanya itu saja yang
kuketahui. Sudahlah, jangan kau bertanya-tanya lagi... mulai sekarang, kau
belajarlah ilmu silat yang tekun dan kelak... siapa tahu, engkau akan dapat
mencari ayahmu itu."
"Baik,
ibu!" Sin Liong berkata penuh semangat. Dia kemudian bangkit berdiri,
memandang kepada Si Kwi dengan sepasang matanya yang lebar. "Mulai
sekarang, selain menjadi ibu angkatku, engkau juga menjadi guruku!" Dan
anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi penghormatan dengan jalan
menyentuhkan dahinya ke atas lantai di depan kali ibunya.
"Sin
Liong..." Si Kwi merangkulnya penuh keharuan.
Ibu dan anak
ini tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, ada orang di luar jendela yang
sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Orang itu adalah Kwan
Siong Bu yang memang sejak tadi sudah berada di dekat pondok itu sehingga dia
tahu akan kedatangan ibu dan anak itu dan dengan mudah dia dapat mengintai
tanpa diketahui oleh Si Kwi yang pandai. Kalau anak itu banyak bergerak, atau kalau
Si Kwi tidak sedang dilanda keharuan, tentu wanita yang lihai ini akan segera
tahu bahwa ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka di luar jendela
pondok itu.
Demikianlah,
mulai saat itu, Sin Liong belajar silat di bawah asuhan ibunya sendiri. Dan Si
Kwi menegur kedua orang keponakan dari suaminya itu agar jangan lagi mengejek
dan menghina Sin Liong.
Melihat
pembelaan dan perlindungan yang diberikan oleh isterinya kepada anak angkat
itu, Kui Hok Boan pun hanya mengangkat bahu saja. Dia tentu saja tidak mau
ribut-ribut dengan isteri yang dicintainya itu hanya karena urusan Sin Liong,
si anak monyet.
Dengan
sangat rajin dan tekun sekali Sin Liong mulai mempelajari dasar-dasar ilmu
silat. Ternyata memang dia amat berbakat sehingga pelajaran ilmu silat itu
dapat dikuasainya dengan lancar sekali. Hal ini membuat Si Kwi merasa girang.
Akan tetapi,
selain mempelajari ilmu silat dari ibunya, Sin Liong masih tetap melakukan
pekerjaannya sehari-hari, tak pernah dia kelihatan malas. Anak ini tahu bahwa
dia adalah seorang luar dalam keluarga itu, hanya seorang anak pungut atau anak
angkat, maka dia pun tahu diri. Karena sikapnya ini, biar pun di dalam hatinya
Kui Hok Boan merasa tidak senang dengan anak ini, akan tetapi dia tidak
menemukan alasan untuk memperlihatkan ketidak senangannya itu dan Sin Liong
dapat bekerja seperti biasa.
Setahun sudah
lewat tanpa terasa. Pada suatu pagi yang cerah, terdengar suara nyaring dan
merdu dari dua orang anak perempuan yang bermain-main di dalam taman indah
Istana Lembah Naga. Mereka adalah Kui Lan dan Kui Lin yang sedang bermain-main
di situ.
Tadinya kedua
orang anak perempuan kembar ini berlatih silat, tetapi sebagai anak-anak yang
baru berusia sepuluh tahun, mereka pun merasa bosan lalu bermain-main sambil
tertawa-tawa. Mereka saling berkejar-kejaran, mengumpulkan bunga-bunga, kadang
kala mengejar kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga yang sedang
bermekaran. Memang, musim bunga sudah tiba sehingga taman itu penuh dengan
bunga-bunga yang beraneka ragam dan warna.
"Ahhh,
bunga di pohon itu indah sekali, Lin Lin," kata Kui Lan sambil menuju ke puncak
pohon besar yang tumbuh di tengah-tengah taman.
"Benar,"
jawab Kui Lin. "Ibu juga suka memakai kembang ini sebagai hiasan rambut.
Nah, itu di sana ada beberapa tangkai yang gugur dari atas." Kui Lin
berlari dan mengambil bunga berwarna merah muda yang rontok dari atas pohon.
"Ah,
aku tidak suka bunga yang sudah gugur, sudah hampir layu dan kotor, Lin Lin.
Kalau bisa mendapatkan yang masih segar di atas itu, baru indah!"
"Mana
bisa, Lan Lan? Tempatnya begitu tinggi. Ngeri bila harus memanjat pohon setinggi
ini dan cabangnya banyak yang basah pula, licin dan sukar."
"Hei,
Lin-moi! Kenapa engkau mulai lagi menyebut namaku begitu saja? Sudah berapa
kali ibu mengharuskan engkau menyebut cici kepadaku?" Kui Lan menegur.
Kui Lin
cemberut. "Memangnya berselisih berapa sih usia kita? Tidak ada sehari,
hanya beberapa menit!"
"Kau
memang bandel! Sudahlah, kita mencari bunga lain saja, aku tidak suka bunga
yang layu itu."
Tiba-tiba
muncul Sin Liong yang tadi menyapu di pinggir taman. Jalan menuju ke taman itulah
yang harus selalu bersih dan harus disapu setiap pagi karena penuh dengan daun
dan bunga gugur.
"Kalian
menginginkan bunga merah yang ada di atas itu? Biar kuambilkan untuk
kalian." katanya melihat dua orang anak perempuan itu kecewa karena tidak
dapat memperoleh bunga-bunga yang mereka inginkan.
"Kau
bisa mengambil bunga itu?" Kui Lin menudingkan telunjuknya di atas.
"Tentu
saja dia bisa! Dia ahli memanjat pohon! Lekas ambilkan, Sin Liong!" kata
Kui Lan dengan girang.
"Lan
Lan, bukankah ibu sudah memesan agar kita menyebut koko kepadanya?" Kui
Lin menegur kakaknya.
Sekarang Kui
Lan yang cemberut dan melotot kepada adiknya. "Huh, kau sendiri tak mau
menyebut cici kepadaku!"
Sin Liong
tersenyum. "Sudahlah, segala sebut-sebutan itu apa bedanya sih? Lihatlah,
aku akan mengambilkan bunga-bunga yang paling segar untuk kalian. Akan
kuambilkan yang berada di paling puncak!"
Sebelum dua
orang anak perempuan itu menjawab, Sin Liong sudah melompat kemudian bagaikan
seekor kera saja, dengan cekatan dan cepat sekali dia sudah memanjat pohon
besar itu. Ketika tiba di atas, dia sengaja berayun-ayun di antara
cabang-cabang pohon.
Dua orang
anak perempuan kembar yang berada di bawah bertepuk tangan dan berteriak-teriak
memuji, kadang-kadang mereka menjerit karena merasa ngeri menyaksikan tubuh Sin
Liong berayun-ayun seperti itu. Hati mereka merasa ngeri.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment