Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 33
AKAN tetapi
pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus
hatinya, membuat dia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Dia menggigit
bibir dan dengan mengeraskan hati dia berseru. "Cukup...!"
Bentakannya
itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan dia menatap wajah Hay Hay dengan
sepasang mata bersinar dan penuh selidik. Tetapi dia tidak menemukan kekurang
ajaran di dalam pandang mata pemuda itu.
"Nah,
Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang tadi kugambarkan secara
canggung sekali karena bagaimana mungkin bisa menggambarkan keindahan seperti
itu. Aku bukanlah seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis!
Apakah itu namanya rayuan? Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan
sembarang memuji, juga bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana
mungkin aku mengatakan buruk? Lelaki yang menyembunyikan kecantikan wanita,
tidak jujur dan menyimpan saja di dalam hati agar dianggap sopan, maka dia
adalah seorang munafik!"
Sejenak
keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walau pun dia merasa malu dan
canggung, Akhirnya dia mengangkat muka sehingga kedua orang itu beradu pandang.
"Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?"
"Tentu
saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau
seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui
Hong."
Kali ini Kui
Hong tidak cemberut, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang
dianggapnya istimewa ini. Dia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum
pernah ada yang seperti Hay Hay, begitu pintar memuji dan menyenangkan hati
dengan kata-kata yang indah seperti merayu, akan tetapi tidak memiliki pandang
mata kurang ajar atau tak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang
sekali.
"Dan
engkau pun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki kepandaian yang
amat tinggi, Hay Hay."
Hay Hay
tertawa girang. Dia pun bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk
sampai dalam. "Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu.
Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!" Dia lalu
memandang ke sekelilingnya. "Akan tetapi senja sudah larut dan malam
hampir tiba. Apakah tidak sebaiknya kalau kita melanjutkan perjalanan mencari
dusun supaya kita memperoleh rumah untuk melewatkan malam?"
Kui Hong
menggelengkan kepalanya. "Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat ini pun
cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam di sini
saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun,
silakan pergi dan biarlah aku tinggal sendiri di sini!" Kalimat terakhir
mengandung kekerasan.
"Ha-ha-ha,
engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!"
"Hemm?
Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?"
"Batu
tapi bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala,
indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras laksana baja. Baiklah, kalau engkau
menghendaki bermalam di sini, aku pun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap
agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa
engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin
mengetahui lebih banyak."
"Engkau
harus bercerita lebih dulu," kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua
kakinya dan duduk bersandar di batang pohon yang tumbuh di situ. Tempat itu
memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi
mereka dan tidak jauh dari situ agaknya terdapat anak sungai karena terdengar
suara gemericik air.
"Baiklah,
akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau
boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab."
"Hay
Hay, tadi pada saat engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak
tapi kemudian ternyata engkau hanya bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek
iblis itu. Andai kata engkau tak mengalah, apakah engkau akan bisa mengalahkan
Hek-hiat-kwi?"
"Locianpwe
itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya juga aneh dan matang, dan
tenaga saktinya sangat kuat. Akan tetapi aku yakin akan mampu mengatasinya
kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh," jawab Hay Hay sejujurnya.
Gadis itu
mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya pada wajah pemuda itu dengan
sinar mata kagum. "Aku pun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai,
ilmu silatmu jauh lebih tinggi dibandingkan kepandaianku, bahkan engkau pun
pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia
Sun..."
"Ehh?
Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun? Apa hubunganmu..."
"Nanti
dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang
membuat engkau demikian lihai?"
"Wah,
Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tak pernah menceritakan kepada
siapa pun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk
menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang
hebat, sangat pantas mendapat keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang
mengajar ilmu silat ialah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu Ciu-sian Sin-kai,
majikan Pulau Hiu di Laut Pohai, serta See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin,
yaitu gurunya suheng Cia Sun. Yang mematangkan seluruh ilmuku adalah suhu Song
Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau
san-jin."
Kui Hong
memandang penuh kagum. "Pantas saja engkau hebat. Ternyata yang menjadi
guru-gurumu dalam hal ilmu silat adalah dua orang di antara Delapan Dewa. Aku
pernah mendengar dari Kongkong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang
aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri..."
"Ahhh,
jangan mengejekku, Kui Hong! Siapa sudi dengan orang macam aku? Aku belum menikah,
bertunangan pun belum, pacar pun tidak punya!"
"Hemm,
benarkah? Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati
wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi."
"Aku
baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh."
"Begitu
pendapatmu? Dan siapa nama Ayah Ibumu? Di mana mereka tinggal?"
Kali ini
lenyaplah seri pada wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja
mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat
perubahan mukanya yang kini diliputi mendung.
"Ayahku
she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku juga tidak tahu siapa nama ibuku.
Aku pun tidak pernah melihat ayah ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih
kecil dan ayahku, aku tidak tahu dia berada di mana."
"Ohhhh...!"
Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba. "Kasihan engkau, Hay
Hay..."
Keriangan
watak Hay Hay pulih kembali. "Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiri
pun tidak kasihan pada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau keadaan
hidupku memang sudah semestinya begitu?"
"Tapi...
tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal ayah ibumu? Apa
yang telah terjadi dengan mereka?"
Hay Hay
merasa canggung sekali. Akan tetapi karena sudah berjanji, maka terpaksa dia
pun menuturkan sebagian dari riwayat hidupnya tanpa harus menceritakan keadaan
ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek.
"Aku
sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Pada waktu aku masih kecil sekali, agaknya
ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Tetapi perahu itu terguling sehingga
ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu
dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak
ada yang menarik tentang diriku, bukan? Sekarang giliranmu, Kui Hong."
"Nanti
dulu," bantah Kui Hong. "Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku
sendiri pun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan
kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kau pengaruhi dengan ilmu
sihirmu?"
"Ahh,
hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau
memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku
ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biar pun aku sudah tahu bahwa ayahmu
adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama
kedua orang tuamu."
"Ayah
bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, sedangkan ibuku
bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis..."
"Ahh!
Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kongkong-mu?" kata Hay Hay
penuh kagum. "Dan semua ilmu silatmu tentu kau dapat dari orang
tuamu."
"Benar,
akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah
dan menerima petunjuk dari kakek dan nenekku."
"Pantas
saja! Ilmu silatmu lihai bukan main, Kui Hong. Apa lagi dalam hal ginkang (ilmu
meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan takluk."
"Sudahlah,
jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau," kata
Kui Hong yang tidak ingin berbicara lebih banyak tentang orang tuanya karena
tidak mungkin baginya untuk menceritakan mengenai keretakan rumah tangga orang
tuanya. "Sekarang engkau sedang hendak pergi ke manakah?"
Hay Hay lalu
menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana
di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo
kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah
Yangce.
"Menurut
keterangan dua orang pejabat tinggi yang bijaksana dan setia itu, gerakan para
pemberontak itu dipimpin oleh para datuk sesat, kabarnya diketuai oleh Lam-hai
Giam-lo, bahkan Pek-lian-kauw juga sudah bergabung dengan persekutuan itu. Nah,
sekarang aku sedang menuju ke sana. Ketika perutku terasa amat lapar, aku lalu
berburu kijang itu dan bertemu denganmu." Hay Hay tersenyum ketika
teringat akan peristiwa itu. "Dan engkau sendiri, hendak pergi ke
manakah?"
"Aku?
Aku hanya ingin merantau, meluaskan pengalaman, juga hendak mencari seorang
pengkhianat keji, seorang murid murtad yang sudah sepantasnya dihancurkan
karena dia dapat menjadi orang yang amat berbahaya." Kui Hong mengepal
tinju dan nampak marah sekali.
Hay Hay
terkejut sekali dan mengerutkan alisya. Tak nyaman rasa hatinya melihat gadis
itu dicengkeram dendam yang demikian penuh kebencian terhadap seseorang.
"Hemmm, siapakah orang itu? Seorang murid Cin-ling-pai?"
"Kalau
hanya seorang murid Cin-ling-pai, kiranya tidaklah demikian membahayakan, tidak
perlu aku bersusah payah mencarinya sendiri. Akan tetapi dia jauh lebih lihai
dari sekedar seorang murid Cin-ling-pai, karena dia adalah murid gemblengan
dari Kakek dan Nenek di Pulau Teratai Merah."
"Ahhh...!
Maksudmu, dia itu murid dari kakekmu Pendekar Sadis?"
"Benar.
Namanya Ciang Ki Liong. Seperti juga engkau, dia seorang korban kecelakaan di
laut yang ketika kecil ditolong oleh kakek dan nenekku lalu diambil murid dan
digembleng. Ketika tiga tahun yang lalu berkunjung ke pulau itu, aku sendiri
sama sekali tidak mampu menandinginya. Tiga tahun yang silam dia minggat dari
pulau sambil membawa banyak pusaka Pulau Teratai Merah, dan karena itulah kakek
dan nenek kemudian mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku agar aku dapat
menandinginya."
"Tapi...
tapi sebagai murid Pendekar Sadis, tentu dia memiliki akhlak yang baik. Mengapa
dia sampai pergi meninggalkan pulau itu dan membawa banyak pusaka milik
kakekmu?"
"Menurut
kakek dan nenek, sejak kecil dia memang kelihatan berwatak baik sekali, akan
tetapi ketika aku berkunjung ke pulau itu, malam itu dia... dia mempunyai niat
kotor dan kurang ajar terhadap diriku. Aku menolak dan menyerangnya, kami
lantas berkelahi dan begitulah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia
minggat membawa barang-barang pusaka, termasuk pedang kakek yang bernama
Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak)."
"Aihh,
kiranya begitu?" Hay Hay mengangguk-angguk. "Terbuktilah sekarang
bahwa aku tidak membohong ketika aku memuji-muii kecantikanmu, Kui Hong. Pantas
saja Ciang Ki Liong itu tergila-gila kepadamu sebab engkau memang cantik
menggairahkan, hanya saja dia tidak sanggup melawan nafsu birahinya sendiri
sehingga melakukan hal yang buruk. Kecantikan, seperti juga semua keindahan,
menjadi sangat berbahaya kalau ingin dimiliki dan dinikmati sebagai
kesenangan."
"Hemmm,
engkau sendiri seorang laki-laki mata keranjang yang suka dengan kecantikan
wanita. Tentu engkau pun sering kali tertarik oleh kecantikan wanita,
bukan?"
"Tidak
kusangkal, Kui Hong. Aku suka sekali dan sering tertarik akan kecantikan wanita
seperti aku suka dan tertarik dengan kecantikan bunga-bunga yang beraneka
bentuk dan warna. Semuanya indah mengagumkan. Akan tetapi aku tidak membiarkan
diriku dikuasai nafsu untuk memetik bunga-bunga itu, karena hal itu berarti
merusak dan merusak adalah perbuatan jahat. Aku hanya menikmati kecantikan
wanita melalui pandang mataku, tanpa dipengaruhi birahi yang akan mendorongku
ke arah perbuatan yang melanggar susila."
Hening
sejenak dan malam pun tiba. Tanpa bicara keduanya lantas mengumpulkan kayu
kering dan membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Api
bernyala dengan indahnya karena kayu yang dimakannya sudah kering betul dan
malam itu tidak ada angin. Kehangatan dan penerangan diciptakan api yang
bernyala itu.
Mereka duduk
berhadapan, terhalang oleh api unggun. Hay Hay mengagumi wajah yang tertimpa
cahaya api itu, mewarnai wajah cantik itu dengan warna kemerahan. Ketika gadis
itu mengangkat muka dan menatapnya, dia tidak melepaskan pandang matanya
sehingga sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut.
"Hay
Hay, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Hay Hay
terkejut. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tak tersangka, seperti sebuah
jurus serangan yang aneh dan berbahaya. Dia melihat betapa sepasang mata jeli
dan tajam itu memandang kepadanya penuh selidik.
Hay Hay
tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku bersyukur bahwa aku belum pernah
jatuh cinta, Kui Hong."
"Bersyukur?
Kenapa mesti bersukur?"
"Karena,
seperti katamu tadi, cinta merupakan ikatan, seperti burung di dalam sangkar.
Aku tidak ingin kakiku terikat atau terkurung di dalam sangkar, lebih suka
terbang bebas di angkasa seperti seekor burung garuda! Bagaimana dengan engkau
sendiri, Kui Hong? Seorang gadis selihai dan secantik engkau tentu banyak
pengagumnya dan tentu engkau pernah jatuh cinta."
"Huh,
engkau yang sudah berusia dua puluh satu tahun saja belum pernah jatuh cinta,
apa lagi aku yang baru berusia delapan belas tahun. Sudahlah, tidak perlu kita
berbicara tentang cinta. Aku tertarik mendengar ceritamu tadi tentang para
datuk yang bersekutu untuk memberontak itu. Siapa pula nama pemimpin mereka
tadi, dan di mana mereka bersarang?"
"Menurut
keterangan Menteri Yang, pemimpin mereka adalah Lam-hai Giam-lo, seorang datuk
sesat yang amat sakti. Dan masih banyak tokoh sesat lihai yang bergabung dalam
persekutuan itu, juga Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak tokoh lihai. Mereka
sedang menyusun kekuatan di sepanjang Lembah Yangce, di Pegunungan Yunan."
"Hemm,
aku tertarik sekali. Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai, sudah selayaknya kalau
aku turun tangan menentang mereka. Dan siapa tahu di sana aku akan dapat
bertemu dengan murid murtad itu. Aku pun akan pergi ke sana, Hay Hay."
"Bagus!
Kalau begitu kita melakukan perjalanan bersama, Kui Hong. Betapa senangnya
melakukan perjalanan bersamamu!"
"Mengapa
senang?" Kui Hong bertanya sambil mengerling, disertai senyum. Bagaimana
pun juga hati gadis ini senang sekali mendengar pujian-pujian pemuda itu
sehingga ingin lebih banyak mendengarnya.
"Kenapa?
Tentu saja amat menyenangkan melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang
cantik manis, lincah jenaka dan lihai pula ilmu silatnya. Biar bertemu setan
dan iblis di jalan, aku tidak akan takut kalau melakukan perjalanan bersamamu,
Kui Hong."
"Hushhh,
di malam gelap dan sunyi seperti ini, jangan bicara tentang setan dan iblis,
Hay Hay!"
"Ah,
sebentar lagi bulan akan muncul. Lihat di timur itu, sudah ada cahaya merah di
langit timur, berarti bulan akan segera muncul."
"Apa
lagi waktu terang bulan, katanya setan dan iblis suka berkeliaran. Hihhh! Sungguh
mengerikan!" Dan Kui Hong benar-benar agak menggigil ketika mengenang
tentang setan dan iblis.
"Ha-ha-ha,
seorang gadis selihai engkau ini merasa ngeri dan takut soal setan dan iblis?
Sesungguhnya merekalah yang harus merasa ngeri dan takut berhadapan denganmu,
Kui Hong, bukan engkau yang takut!" Hay Hay berkelakar.
"Kalau
setan dan iblis yang hanya dipakai penjahat untuk julukan mereka, tentu saja
aku tidak takut sama sekali. Tetapi kalau setan dan iblis sungguh-sungguh,
makhluk-makhluk halus, hiiihhh, siapa yang tidak merasa ngeri?" Kui Hong
memandang ke kanan kiri, lalu menoleh ke belakang.
Selama
melakukan perjalanan seorang diri, gadis ini tidak takut menghadapi siapa pun,
dan karena tidak pernah berbicara atau berpikir tentang setan, maka dia pun
tidak pernah takut. Tapi kini, sekali Hay Hay menyebut tentang setan dan iblis
yang suka mengganggu manusia, teringatlah dia akan dongeng-dongeng mengerikan
tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia.
"Kui
Hong, apakah engkau pernah melihat sendiri setan itu?"
Kui Hong
menggeleng kepala menyangkal.
"Kalau
belum pernah melihat sendiri, bagaimana engkau bisa percaya adanya setan?"
"Hay
Hay, banyak hal-hal yang gaib di dunia ini, yang tak dapat dilihat namun toh
ada dan keberadaannya harus dipercaya. Siapa dapat melihat adanya angin? Siapa
dapat melihat adanya nyawa? Siapa yang dapat melihat adanya Tuhan? Akan tetapi
kita toh percaya. Aku percaya akan adanya setan dan iblis seperti yang
didongengkan orang."
Hay Hay
mengangguk. "Memang, di dalam ilmu sihir juga ada ilmu yang dinamakan ilmu
hitam, yang kekuatannya berpangkal kepada kepercayaan dan pemujaan setan dan
iblis. Seperti juga kepercayaan terhadap Tuhan, walau pun tak dapat dilihat,
namun kekuasaan Tuhan dapat kita lihat di mana-mana, bahkan di dalam detak
jantung kita sendiri, di dalam pertumbuhan kuku dan rambut dan dalam seluruh
kehidupan diri kita. Kalau Tuhan adalah sumber segala kebenaran dan kebaikan,
maka sebaliknya setan itu adalah sumber segala kejahatan. Aku sendiri ingin
sekali melihat setan dengan mata kepala, namun tak pernah berhasil..."
"Ihh...
sudahlah, Hay Hay, jangan bicara tentang setan dan iblis di waktu seperti ini.
Lihat, bulan mulai muncul dan bayangan-bayangan pohon itu sungguh
menyeramkan!" Kembali Kui Hong nampak ketakutan dan diam-diam gadis ini
merasa beruntung sekali malam itu ada Hay Hay yang menemaninya. Dia menambahkan
kayu pada api unggun sehingga api membesar.
"Sekarang
aku mau tidur, tubuhku masih terasa lelah bukan main," katanya dan dia pun
merebahkan diri miring di bawah pohon itu berbantal tangan.
"Engkau
tidurlah, biar aku yang berjaga. Tidurlah dengan tenang dan nyenyak dan jangan
takut akan diganggu setan..."
Tiba-tiba
saja Kui Hong menahan jeritnya, lantas meloncat duduk dengan mata terbelalak
memandang ke sebelah kirinya.
"Kui
Hong! Ada apakah?" tanya Hay Hay dan dia pun menoleh.
Dia pun
terbelalak karena melihat asap hitam mengepul dan di tengah asap itu muncullah
bentuk yang sangat menyeramkan, seorang manusia mirip raksasa, bertubuh tinggi
besar, mukanya hitam arang, matanya lebar melotot hidungnya besar dan mulutnya
bertaring! Pendeknya, yang muncul dari dalam asap hitam itu bukan bentuk
manusia umum, namun wujud yang biasanya dimiliki setan di dalam dongeng!
Kui Hong
yang tadinya terkejut sekali, kini tiba-tiba meloncat ke arah bayangan raksasa
itu dan dia menyerang dengan pukulan dahsyat. Akan tetapi gadis itu menahan
pekiknya ketika tangannya ternyata tembus saja seolah-olah dia memukul
bayangan! Dan 'raksasa' itu tertawa bergelak, nampak giginya yang besar-besar
dan lidahnya terjulur panjang! Kui Hong menjadi pucat dan kini ia tidak
meragukan lagi bahwa yang diserangnya itu sudah pasti setan! Bukan manusia
biasa.
"Kui
Hong, mundurlah dan biarkan aku yang menghadapinya," terdengar suara Hay
Hay di belakangnya.
Kui Hong
cepat melompat ke arah Hay Hay dan dengan tubuh gemetar dia ikut duduk di atas
rumput dekat Hay Hay karena pemuda itu pun masih duduk seperti tadi. Saking
ngeri dan takutnya, tanpa disadarinya Kui Hong duduk merapat dan merangkul
leher pemuda itu, seolah-olah meminta perlindungan.
"Aku...
aku takut...," bisiknya dan suaranya juga gemetar.
Api unggun
kini mulai padam karena tidak ditambah kayu, akan tetapi bulan telah muncul
sehingga cuaca cukup terang, akan tetapi penerangan redup yang menambah
keseraman suasana. Kini suara ketawa terdengar semakin ramai dan dengan muka
pucat serta mata terbelalak Kui Hong melihat bahwa sekarang, bersama dengan
mengepulnya asap hitam, muncul pula empat sosok bayangan lain yang kesemuanya
merupakan makhluk-makhluk mengerikan yang mengepung mereka dari depan dengan
barisan setengah lingkaran.
Kui Hong
merasa semakin takut hingga di luar kesadarannya kedua lengannya merangkul
pundak dan leher Hay Hay, seperti seorang anak kecil yang sangat ketakutan dan
minta perlindungan dalam dekapan ibunya.
"Tenanglah,
Kui Hong, itu hanya permainan kanak-kanak!" bisik Hay Hay.
Padahal di
dalam hatinya pemuda ini juga sangat terkejut karena maklum bahwa dia kini
sedang berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kekuatan sihir yang sangat
kuat. Bayangan-bayangan menyeramkan itu adalah jadi-jadian atau wujud yang
muncul karena kekuatan sihir ilmu hitam!
Hay Hay
mengerahkan kekuatan batinnya, tangannya mengambil tanah di bawah rumput,
kemudian menujukan pandang matanya ke arah lima sosok bayangan setan yang
sangat menyeramkan itu. Bayangan-bayangan itu masih mengeluarkan suara ketawa
yang tidak seperti suara manusia.
"Kalian
datang dari tiada, kembalilah kepada tiada!" serunya dan tangannya
melontarkan tanah ke arah bayangan-bayangan itu.
Tanah itu
melayang berpencar lebar kemudian mengenai lima sosok bayangan. Terdengar
pekik-pekik mengerikan dan lima sosok bayangan setan itu menghilang, berubah
menjadi asap hitam dan sekarang lima gumpal asap itu menjadi satu, hitam dan
tebal bergerak perlahan, membentuk sosok bayangan yang amat panjang dan
ternyata berubah menjadi seekor naga hitam yang amat mengerikan!
"Ihhh...!"
Kui Hong menggigil ketakutan.
Dara ini
adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan memiliki
keberanian menghadapi lawan yang bagaimana pun juga. Akan tetapi karena
sebelumnya tadi dia sudah merasa ngeri ketika berbicara mengenai setan dengan
Hay Hay, maka kini dia kehilangan ketabahannya dan merasa takut bukan kepalang
begitu muncul apa yang disangkanya setan benar-benar.
Dia
menganggap bahwa semua ilmu silatnya tak ada artinya sama sekali untuk melawan
setan, dan kemunculan bentuk-bentuk yang menyeramkan itu menambah rasa
takutnya. Apa lagi tadi dia sudah sempat mencoba, ketika memukul tangannya tembus
saja tanpa ada pengaruh sedikit pun kepada bayangan-bayangan itu. Sekarang rasa
takut membuat wajahnya pucat, kepalanya pening dan tubuhnya lemas seakan-akan
seluruh tenaganya lenyap meninggalkan tubuhnya.
Melihat
betapa Kui Hong ketakutan, Hay Hay merasa mendongkol juga kepada lima orang
yang tengah mengganggu mereka dengan ilmu hitam. Maka dia pun mengerahkan semua
tenaganya, sebab lima orang itu dengan mempersatukan kekuatan sihir mereka
sekarang telah membentuk bayangan seekor naga hitam.
Seperti yang
pernah dia pelajari dari Pek-mau San-jin, kembali tangannya mencengkeram
segenggam tanah, mulutnya membaca mantra yang artinya 'Ngo-heng (Lima Unsur
Inti) adalah senjataku, Im-yang (Positip Negatip) menjadi perisaiku, kekuasaan
Tuhan menjadi peganganku, dan hancurlah semua anasir jahat!'
Dia
melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga yang amat menyeramkan itu, yang
kini agaknya hendak menerkam kedua orang muda itu, dengan mata yang bernyala,
dengan mulut terbuka sehingga tampak gigi dan lidahnya yang mengeluarkan asap
dan terdengar suara geraman dahsyat.
"Darrrrr...!"
Terdengar bunyi ledakan, lantas bayangan naga hitam itu pun lenyap berubah
menjadi asap hitam, dan kini nampaklah lima orang laki-laki berpakaian pendeta
dengan gambar bunga teratai pada jubah bagian dada mereka.
Lima orang
itu kelihatan marah sekali dan dengan cepat mereka menerjang ke arah Hay Hay
dengan gaya masing-masing. Ada yang menubruk seperti seekor harimau menubruk
kambing, ada yang menghantamkan kedua tangannya ke arah kepala Hay Hay, ada
pula yang melakukan tendangan kilat, dan ada pula yang mempergunakan tenaga
dalam untuk menghantamkan kedua telapak tangan ke arah pemuda itu. Gerakan
mereka itu dilakukan secara berbareng, dan agaknya memang disengaja supaya
pemuda itu tidak lagi mampu menghindarkan diri dari pengeroyokan itu.
Akan tetapi
mereka terlalu memandang rendah pada pemuda sederhana ini. Pengalaman mereka
tadi saja, pada saat mereka menggabungkan kekuatan sihir tetapi dengan mudah
bisa dibikin hancur oleh Hay Hay, mestinya telah memperingatkan mereka bahwa
mereka menghadapi seorang pemuda yang sangat lihai. Namun agaknya mereka memang
bandel dan belum mengaku kalah.
Kui Hong
masih ketakutan, tubuhnya lemas sehingga dia hanya bersandar kepada Hay Hay.
Dia masih bingung dan masih menganggap bahwa lima orang itu adalah setan-setan
atau para siluman yang menyeramkan, yang tidak dapat dilawan dengan ilmu silat.
Sebab itu, melihat betapa mereka kini menerjang Hay Hay, dia pun hanya menonton
saja dengan tubuh masih gemetar.
Begitu
melihat serangan mereka, Hay Hay yang waspada sudah dapat mengukur tenaga
mereka, maka dia pun masih tetap duduk saja. Untuk menghadapi serangan mereka
itu, dia menyambutnya dengan dorongan dua tangannya, dengan telapak tangan
menghadap ke depan.
"Haiiittttt...!"
Pemuda itu membentak dan suaranya mengandung khikang yang amat kuat, sedangkan
dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat menyambut serangan
lima orang itu.
Terdengar
teriakan-teriakan keras dan tubuh lima orang itu terjengkang lantas terbanting
roboh! Mereka terkejut bukan main, baru menyadari bahwa mereka berhadapan
dengan orang yang mempunyai tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada
mereka, maka tanpa dikomando lagi lima orang itu pun segera berloncatan dan
lari menghilang di dalam kegelapan bayangan-bayangan pohon.
Setelah lima
orang pendeta Pek-lian-kauw itu pergi, baru Hay Hay dapat memperhatikan keadaan
Kui Hong. Gadis itu masih merangkulnya dan dengan tubuh lemas bersandar di
tubuhnya, seperti orang yang kehabisan tenaga, dengan tubuh masih agak dingin
gemetar seperti seekor kelinci ketakutan yang baru saja terhindar dari terkaman
harimau.
"Tenanglah,
Kui Hong, kini mereka sudah pergi," kata Hay Hay dengan hati iba. Dia tahu
bahwa Kui Hong bukan seorang pengecut atau penakut, akan tetapi pada waktu itu
gadis ini sedang dilanda rasa takut dan kengerian terhadap setan yang dia merasa
tidak akan mampu melawannya.
Mendengar
ucapan Hay Hay itu, Kui Hong menarik napas tanda lega hatinya, akan tetapi
ketegangan hatinya masih belum lenyap sehingga dia masih menyandarkan kepalanya
di pundak Hay Hay dan untuk melepaskan ketegangan hatinya, dia lalu memejamkan
kedua matanya.
"Aku...
aku tadi takut sekali...," desahnya.
Hay Hay
tersenyum dan menunduk. Dilihatnya wajah yang manis itu masih pucat, bahkan
nampak lebih pucat karena sinar bulan memang sudah membuat suasana nampak makin
pucat. Rambut itu terurai dan nampak leher yang panjang, kulit leher yang
demikian halus seperti lilin, putih mulus dan menantang.
Hay Hay
terbayang akan semua pengalamannya. Pertama dengan Ji Sun Bi, kemudian dengan
Kok Hui Lian, lantas tergeraklah hatinya, bernyalalah api gairah di dalam
dirinya dan bagaikan orang yang tidak sadar, dia pun mendekatkan bibirnya dan
pada lain saat dengan lembut mulutnya sudah mencium leher Kui Hong.
Leher itu
menegang sesaat, akan tetapi lalu lemas kembali. Kui Hong tetap memejamkan kedua
matanya dan napasnya terengah-engah, akan tetapi Hay Hay merasa betapa leher
itu menjadi hangat dan lembut. Dia menjadi semakin lupa diri, tenggelam dalam
perasaan mesra yang mendalam. Bibirnya mengecup kulit leher itu, ujung lidahnya
menjilat-jilat dan Kui Hong mengeluarkan keluhan lirih memanjang dan tubuhnya
menggelinjang.
Bibir Hay
Hay menciumi leher itu dengan lembut, kemudian ke atas, ke bawah dagu dan ke
bawah daun teiinga. Kui Hong mendesah tanpa membuka mata, bahkan ketika mulut
Hay Hay bergerak lembut ke atas pipinya dan sampai ke ujung mulutnya, dia
menengok, menyambut dan dua mulut itu saling bertemu dalam sebuah ciuman yang
mesra. Rintihan halus terdengar dari leher Kui Hong.
Ketika Hay
Hay merasa betapa mulut yang panas dan basah itu menyambutnya seperti bunga
merekah, dia amat terkejut kemudian cepat melepaskan ciuman dan rangkulannya.
Napasnya terengah-engah, berpacu dengan napas Kui Hong yang juga memburu.
Pada saat
Hay Hay melepaskan dekapannya, Kui Hong seperti baru sadar dan keduanya bagai
tersentak kaget kemudian saling menjauhi. Kui Hong terbelalak, mukanya sebentar
pucat sebentar merah, sedangkan Hay Hay merasa menyesal bukan main bahwa dia
tadi telah lupa diri.
"Setan
kau! Iblis kau! Berani menggodaku!" bentak Hay Hay sambil memukul tanah
tiga kali.
"Hay
Hay... apa... kenapa...?" Kui Hong berkata gagap karena hatinya masih
terguncang hebat oleh peristiwa tadi, sejak munculnya setan-setan itu sampai
pengalaman yang amat mengguncang hatinya, ketika kemesraan menenggelamkannya, pengalaman
yang selama hidupnya baru sekali ini pernah dirasakannya dan yang membuatnya
bingung.
Hay Hay
cepat menghadapi gadis itu. "Ahhh, Kui Hong, kau... kau maafkanlah aku,
kau ampunkanlah aku... aku tadi telah tergoda setan! Benar-benar setan dan iblis
sendiri yang telah menggodaku, menggoda kita sehingga kita... kita lupa
diri..."
Kui Hong
memandang dengan muka merah karena merasa malu dan canggung, dengan sinar mata
bingung tidak mengerti. "Akan tetapi... apa salahnya... kalau kita... kita
saling mencinta... apa salahnya...?"
Hay Hay
merasa terharu dan juga terkejut. Terharu karena gadis ini benar-benar polos
dan jujur, masih bersih dan suci, dan dia yang telah menodai kebersihan batin
gadis itu! Juga dia terkejut mendengar ucapan Kui Hong yang jelas menyatakan
gadis itu mencintanya! Pernyataan bahwa mereka saling mencinta itu saja sudah
cukup jelas membuktikan kalau gadis itu cinta padanya dan mengira bahwa dia pun
cinta pada Kui Hong!
Akan tetapi
dia tidak boleh berbohong, tidak boleh menipu gadis yang hebat seperti Kui Hong
ini. Memang, alangkah mudahnya menyatakan cinta kepada seorang gadis sehebat
Kui Hong, akan tetapi pernyataan itu hanya merupakan suatu kebohongan belaka.
Dalam lubuk hatinya dia tidak merasakan adanya cinta seperti yang dimaksudkan
Kui Hong, cinta yang akan mendorong pria dan wanita untuk menjadi suami isteri
dan hidup bersama untuk selamanya.
Tidak, dia
tidak menghendaki itu, dia tak ingin menjadi suami Kui Hong atau suami wanita
mana pun juga. Dia suka kepada Kui Hong, kagum dan mungkin mencintanya, akan
tetapi bukan cinta untuk kemudian diikat menjadi suami! Bukan pula cinta nafsu
karena betapa pun juga, walau pun dia kagum bukan main akan kecantikan gadis
ini, dia masih mampu mengatasi kekuasaan nafsu birahinya.
Tanpa berani
memandang kepada Kui Hong, Hay Hay yang masih duduk di atas rumput itu
menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Kui Hong, aku
menyesal sekali... akan tetapi aku... terus terang saja aku... aku tidak
mencintamu seperti yang kau maksudkan. Aku kagum padamu, aku suka padamu,
bahkan aku pun cinta padamu, akan tetapi bukan cinta untuk kelak menjadi
jodohmu, Kui Hong! Aku tak ingin mencinta seperti itu, tidak ingin menjadi
suami wanita mana pun, aku... aku..."
Kui Hong
telah meloncat berdiri. Mukanya pucat bukan kepalang, matanya terbelalak dan
kini beberapa butir air mata mengalir keluar membasahi pipinya. "Kau...!
Kau tidak cinta padaku akan tetapi tadi engkau berani menciumku! Aku cinta
padamu tapi engkau hanya mempermainkan aku...! Ahh... hu-huh-huhhh... aku benci
padamu! Aku benci padamu..." Kui Hong menyambar buntalan pakaiannya, lalu
melompat jauh dari tempat itu, membawa pergi isak tangisnya.
"Kui
Hong..." Hay Hay memanggil lirih sambil berdiri, akan tetapi gadis itu
tidak nampak lagi, hanya lapat-lapat terdengar isaknya dari jauh. Hay Hay tidak
mengejarnya, bahkan dia menjatuhkan diri ke atas rumput, lalu menjambak-jambak
rambutnya sendiri.
"Kau
goblok! Kau tolol sudah membiarkan setan menggodamu!" Dia memaki-maki
dirinya sendiri, maklum bahwa dia telah menyinggung perasaan hati Kui Hong,
bahkan juga telah menghancurkan cintanya dan sebaliknya menumbuhkan kebencian
dalam hati gadis yang dikaguminya itu.
Akhirnya dia
tidak peduli lagi dan tak lama kemudian Hay Hay sudah tidur pulas di tempat
itu, tanpa api unggun, di bawah sinar bulan dan di dalam hawa yang semakin
dingin.
***************
Jauh dari
situ Kui Hong menjatuhkan diri di bawah pohon, lantas dia pun menangis
sejadi-jadinya. Hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk, dan kesedihan menyelimuti
seluruh dirinya. Ingin dia membunuh Hay Hay, akan tetapi dua hal tidak
memungkinkan hal itu terjadi.
Pertama, dia
kalah jauh sehingga tidak akan mungkin dapat memenangkan pertandingan melawan
pemuda lihai itu. Ke dua, dia tidak akan tega membunuhnya, karena selain dia
telah berhutang budi dan nyawa, juga dia sadar betul bahwa dia telah jatuh
cinta kepada Hay Hay.
Ia mencinta
pemuda itu sepenuh hatinya. Semua gerak-gerik pemuda itu menyenangkan hatinya
dan mendatangkan perasaan kagumnya. Betapa pemuda itu dapat menundukkan
musuh-musuh yang lihai, bahkan setan yang mengganggu pada malam itu, secara
jantan dan hebat. Betapa dia akan berbahagia berada di samping pemuda itu
selama hidupnya.
Akan tetapi
kenyataan pahit yang tak dapat ditolak lagi, dengan mulutnya sendiri pemuda itu
menyatakan bahwa dia tidak cinta kepadanya! Padahal kalau dia membayangkan apa
yang baru saja terjadi, betapa mesranya pemuda itu membelainya dan menciumnya,
dia hampir tak mau percaya bahwa Hay Hay tidak cinta padanya. Akan tetapi
kenyataannya, dengan mulutnya sendiri pemuda itu mengatakan bahwa dia tidak
cinta kepadanya atau wanita lain. Cintanya bukan untuk berjodoh!
Kui Hong
menangis dan ingin dia mengamuk, bukan kepada Hay Hay akan tetapi kepada siapa
saja. Kalau saja pada saat itu ada musuh di hadapannya, tak peduli manusia atau
setan, tentu akan diamuknya. Biar setan-setan itu muncul kembali, sekarang dia
tak akan merasa takut. Akan diamuknya sampai membunuh mereka semua atau dia
yang dibunuh mereka! Lebih baik lagi karena dia tidak akan menderita sakit hati
seperti sekarang ini.
Akhirnya Kui
Hong juga dapat tidur di bawah pohon itu, tidak peduli dengan keselamatan
dirinya lagi. Akan tetapi, seperti juga Hay Hay, tidurnya gelisah bukan main,
kadang kala tersenyum penuh kebahagiaan apa bila dia bermimpi tentang
kemesraannya bersama Hay Hay, lalu terganti isak tangis.
Pada
keesokan harinya, ketika kicau burung dan kokok ayam hutan membangunkannya, Kui
Hong segera meninggalkan tempat itu. Ia hendak pergi ke Pegunungan Yunan, bukan
untuk membantu Hay Hay yang hendak menyelidiki ke sana, akan tetapi hendak
mencari Ciang Ki Liong, murid murtad dari Pulau Teratai Merah itu. Dan inilah
satu-satunya tujuan hidupnya saat ini. Menyeret Ciang Ki Liong, dalam keadaan
hidup atau mati, kembali ke Pulau Teratai Merah agar menerima hukuman dari
kakek dan neneknya!
***************
Bukan watak
Hay Hay mau membiarkan diri tenggelam dalam duka. Dia memang merasa menyesal
bukan main bahwa dia sempat lupa diri dan membiarkan dirinya hanyut dalam
kemesraan, bahkan menyeret Kui Hong hingga gadis itu mengira bahwa dia
mencintanya. Kemudian, karena dia tidak membohong atau menipu, biar pun pahit,
dia berterus terang dan tentu saja gadis itu tersinggung dan menjadi benci
kepadanya.
Hanya sehari
dua hari saja dia kelihatan muram dan menyesal, akan tetapi beberapa hari
kemudian dia sudah melupakan pengalaman yang tidak enak itu. Dia sudah pulih
kembali, menjadi orang yang riang jenaka dan memandang dunia dari segi yang
terang benderang. Senyumnya kembali lagi, tidak pernah meninggalkan sudut
bibirnya dan matanya kembali bersinar-sinar, wajahnya kembali berseri-seri.
Biarlah yang
lewat berlalu sudah, tidak perlu dikenang lagi. Inilah pendiriannya sehingga
Hay Hay tidak pernah mau menyimpan semua pengalaman yang lampau, maklum bahwa
mengingat kembali hal-hal silam hanya akan mendatangkan sesal dan duka, kecewa
dan dendam. Dengan gembira dia melanjutkan perjalanan, menuju selatan, ke
Pegunungan Yunan.
Hay Hay tahu
bahwa yang mengganggu dia dan Kui Hong tadi malam adalah lima orang pendeta
Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang selain memiliki ilmu silat yang cukup
lihai juga pandai ilmu sihir sehingga telah membikin takut kepada Kui Hong. Dia
berhasil mengusir mereka tanpa perkelahian, hanya dengan mengalahkan ilmu sihir
mereka dan hanya satu kali menangkis serangan mereka dengan tenaga saktinya
yang jauh lebih kuat dari pada tenaga mereka.
Dia mengira
bahwa lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi takut lantas melarikan diri.
Dia tidak tahu bahwa peristiwa malam itu sudah membuat orang-orang
Pek-lian-kauw menjadi curiga dan waspada kepadanya sehingga kini perjalanannya
selalu dibayangi dari jauh.
Mereka
melihat seorang lawan yang amat berbahaya pada diri pemuda ini, apa lagi ketika
melihat bahwa pemuda itu melakukan perjalanan ke selatan! Kecurigaan mereka
semakin besar sesudah mereka tahu bahwa di dalam perjalanannya, ketika melewati
sebuah kota pemuda itu mencari keterangan kepada orang-orang di jalan tentang
Pegunungan Yunan. Jelaslah bahwa pemuda itu hendak pergi ke Pegunungan Yunan.
Walau pun
pemuda itu tidak pernah mengatakan kepada siapa pun juga apa urusannya di
Pegunungan Yunan, akan tetapi pihak Pek-lian-kauw sudah bisa menduga bahwa
pemuda ini tentu hendak mencari sarang persekutuan mereka! Karena itulah, maka
jauh sebelum Hay Hay tiba di perbatasan Pegunungan Yunan, para pimpinan
persekutuan kaum sesat itu telah lebih dulu tahu akan keadaan dirinya.
Berdasarkan
keterangan yang didapatnya dalam perjalanan, Hay Hay mendengar bahwa yang
disebut Dataran Tinggi Yunan adalah daerah di bagian utara Propinsi Yunan yang
berbatasan dengan Propinsi Secuan dan Kwi-couw. Di perbatasan itulah terdapat
Sungai Cin-sa yang menjadi anak sungai besar Yang-ce-kiang.
Menurut
keterangan Menteri Yang Ting Hoo, sarang Lam-hai Giam-lo berada di lembah
sungai itu, di antara kedua gunung besar atau Pegunungan Heng-tuan-san di barat
dan Pegunungan Tatiang-san di timur, dan pegunungan atau dataran tinggi Yunan
itu terapit oleh dua pegunungan ini.
Hay Hay
mengambil jalan melewati Propinsi Kwi-couw, dan pada suatu hari tibalah dia di
kota Wei-ning. Kota ini terletak di dekat sebuah telaga besar yang disebut
Cao-hai (Laut Cao) atau juga Cao-hu (Telaga Cao). Sebuah telaga yang sangat
indah, terletak di bagian bawah lereng Pegunungan Wu-meng-san, dekat tapal
batas sebelah barat dari Propinsi Kwi-couw, tak berapa jauh lagi dari daerah
Yunan sebelah timur.
Karena
melihat telaga yang demikian indahnya di dekat kota Wei-ning itu, Hay Hay tidak
dapat menahan hatinya untuk tidak berhenti di kota itu dan menikmati keindahan
telaga itu selama beberapa hari. Sudah terlalu lama dia melakukan perjalanan
melewati gunung-gunung yang tinggi, bukit-bukit yang luas, melalui dusun dan
kota, akan tetapi baru sekali ini dia melihat sebuah telaga besar yang airnya
kebiruan dan demikian luasnya.
Pantaslah
bila Telaga Cao itu kadang-kadang disebut Lautan Cao, karena memang airnya
berwarna biru saking dalamnya, mirip air laut. Apa lagi dilihat dari ketinggian
sebelum Hay Hay memasuki kota Wei-ning, telaga itu nampak amat indahnya. Banyak
pohon tumbuh di sekelilingnya, dan di bagian selatan nampak kelompok pohon
cemara yang indah, tumbuh di lereng di tepi telaga.
Rumah-rumah
para penduduk kampung berada di sebelah barat dan utara, sedangkan di bagian
timur telaga itu adalah kota Wei-ning. Penghuni perkampungan di sekitar telaga
itu pada umumnya adalah para petani dan nelayan karena telaga itu selain dapat
mengairi sawah sehingga para petani dapat menanam bermacam tanaman sepanjang
tahun, juga telaga itu sendiri mengandung ikan yang seakan-akan tiada habisnya
biar pun setiap hari dikail dan dijala oleh para nelayan.
Nampak
burung camar beterbangan di permukaan air telaga, kadang-kadang menyambar turun
dan pada saat melayang naik kembali, paruh mereka telah menangkap seekor ikan.
Riuh rendah suara mereka, seperti sedang bekerja mencari nafkah dengan gembira
dan bersendau-gurau di antara teman.
Tampak pula
perahu-perahu nelayan dan perahu-perahu indah di mana orang-orang kota, baik
dari Wei-ning mau pun dari kota lain yang sengaja datang berkunjung dan
bersenang-senang di telaga itu. Perahu para nelayan memilih bagian yang sepi,
jauh di barat dan di tepi-tepi yang sunyi, sebab usaha mereka mencari ikan akan
sia-sia saja jika berdekatan dengan perahu-perahu pelesiran yang selalu gaduh
itu.
Memang
sebagian besar perahu-perahu pelesiran itu disediakan bagi para pria yang ingin
bersenang-senang. Ada yang bermain kartu sambil minum arak, ada yang hanya
minum arak saja sampai mabok. Ada pula yang memanggil gadis-gadis penyanyi dan
penari, dan banyak pula yang memanggil gadis panggilan atau para pelacur untuk
menemani mereka minum arak atau menemani mereka tidur di bilik-bilik perahu
besar itu.
Namun ada
pula pria-pria tua muda yang lebih suka menyendiri, menyewa perahu-perahu kecil
dan mereka itu ada yang mencoba peruntungan mereka mengail ikan, ada pula yang
hanya duduk membaca buku, ada yang bermain musik sendirian, bermain yang-kim
atau meniup suling, ada yang melukis atau menulis sanjak sambil minum arak.
Tak lama
kemudian perahu yang ditumpangi Hay Hay telah menyelinap di antara ratusan buah
perahu yang lain. Dia menyewa sebuah perahu kecil yang dicat merah, membawa bekal
makanan dan minuman yang telah dibelinya di pantai tempat menyewa perahu, lalu
mendayung perahu itu meluncur ke tengah telaga dan bercampur dengan ratusan
buah perahu lain.
Hay Hay
mulai merasa lapar, maka dia memilih tempat yang agak sunyi, jauh di tengah,
lalu membuka bungkusan daging ayam panggang saus tomat, semacam sayur hijau
yang menjadi masakan, beberapa butir buah pir dan apel, juga seguci kecil arak
serta seguci kecil air teh. Mulailah dia makan minum seorang diri dengan hati
lapang. Sungguh nikmat makan di atas perahu, di tengah telaga dengan hawa yang
sejuk nyaman dan bersih.
Ahh, kalau
saja ada Kui Hong di dalam perahunya, pikirnya dan ingin Hay Hay menampar
kepalanya sendiri. Kenapa mendadak saja dia merasa kesepian dan teringat kepada
Kui Hong? Gadis itu tentu akan marah-marah dan mungkin akan langsung
menyerangnya di atas perahu! Mengingat akan hal ini, Hay Hay tersenyum lucu.
Tentu mereka keduanya akan tercebur ke dalam air telaga lantas akan mengalami
hal-hal aneh dan berbahaya lagi bersama-sama! Tidak, tak boleh dia mengharapkan
kehadiran Kui Hong.
Bagaimana
kalau Bi Lian? Setelah pikirannya menolak kehadiran Kui Hong, Hay Hay lalu
teringat pada Bi Lian. Cu Bi Lian yang berjuluk Tiat-sim Sian-li itu. Murid
dari dua di antara Empat Setan, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Bukan main
gadis itu! Tak kalah oleh Kui Hong dalam segala hal. Cantiknya, lincahnya,
galaknya! Bahkan lebih galak dibanding Kui Hong, walau pun belum tentu menang
lihai. Akan tetapi Bi Lian juga lihai bukan main, dengan ilmu yang aneh-aneh.
Tahi lalat di dagunya itu, bukan main manisnya!
Akan tetapi,
kemunculan Bi Lian tentu juga hanya akan mendatangkan keributan, karena
bukankah gadis itu pernah mengancamnya bahwa apa bila mereka bertemu lagi,
gadis itu tentu akan menyerangnya dan tak akan memberi ampun? Dia tersenyum
gembira teringat kepada Bi Lian. Seorang gadis yang hebat dan dia kagum dan
suka sekali kepada gadis itu. Akan tetapi tidak, terlampau berbahaya kalau di
tempat ini berjumpa dengan Bi Lian. Kalau sampai Bi Lian menggulingkan perahu!
Memang
benar, selama tinggal bersama suhu-nya yang ke dua, yaitu Ciu Sian Lokai yang
menjadi majikan di Pulau Hiu, dia sering kali mandi di laut sehingga sudah
pandai dan menguasai ilmu renang, akan tetapi ilmunya ini tidak cukup tinggi
untuk dapat melindungi diri di dalam air kalau sampai dia diserang musuh.
Tidak, lebih baik jauh dari Bi Lian kalau dia ingin bersantai di telaga itu.
Begitu dia
mengusir bayangan wajah Bi Lian dengan tahi lalat di dagunya yang manis itu,
tiba-tiba saja muncul bayangan Pek Eng! Hay Hay mengeluh. Ada apakah dengan
dirinya hari ini? Mengapa perempuan melulu yang memenuhi benaknya? Bayangan
gadis-gadis cantik saja yang teringat olehnya?
Biar pun dia
mencela diri sendiri namun tetap saja kini nampak wajah Pek Eng yang lucu dan
manis menarik itu. Hitam manis, mata sipit yang indah, hidung yang ujungnya
agak menjungkat naik, bibir yang selalu merah membasah, dan lesung pipit di
pipi kiri itu. Aihh, sungguh gadis remaja yang segar, dengan tubuh tinggi
semampai yang menggairahkan. Lincah jenaka dan manja!
Hay Hay
tersenyum ketika teringat betapa Pek Eng pernah mencium pipinya, menyangka
bahwa dia adalah kakaknya yang bernama Pek Han Siong! Gadis yang menyenangkan
sekali, kalau saja berada di dalam perahunya, tentu akan diajaknya
bersendau-gurau!
Dan Pek Eng
tidak akan membahayakan dirinya. Pek Eng sudah memaafkannya karena kesalah
pahaman itu, ketika gadis itu marah-marah karena menciumnya, mencium orang yang
salah. Kembali Hay Hay tersenyum dan tanpa disadarinya, tangan kirinya mengusap
pipi kiri yang pernah disentuh hidung dan bibir lembut Pek Eng.
Tetapi aku
tidak mencinta Pek Eng, juga tidak mencinta Bi Lian atau Kui Hong walau pun
terhadap mereka ada rasa suka yang mendalam pada lubuk hatinya. Dia tidak
mencinta mereka, maka sebaiknya kalau dia tidak dekat dengan mereka. Selalu
timbul keributan kalau dia dekat dengan seorang gadis.
Bagaimana
jika Hui Lian? Jantungnya berdebar kencang karena dia membayangkan apa yang
pernah terjadi di antara dia dengan Hui Lian, janda muda itu. Aroma tubuhnya
yang harum! Bagaimana dia bisa melupakan wanita itu? Selamanya dia takkan
pernah mampu melupakan Hui Lian!
Dengan Hui
Lian hampir saja dia tidak mampu menguasai dirinya lagi, hampir saja terjadi
pelanggaran antara mereka. Dan dia tidak pernah menyalahkan dirinya. Pria mana
yang akan sanngup bertahan kalau sudah bergaul demikian dekatnya dengan seorang
wanita seperti Hui Lian? Baru keharuman tubuhnya saja sudah membuat pria
menjadi mabok.
Ahhh, kalau
ada Hui Lian di sana, di dalam perahu bersamanya, tentu dia akan merasa semakin
gembira. Tidak akan ada bahaya diserang Hui Lian, yang ada hanyalah diserang
gairah nafsunya sendiri. Dan ini bahkan jauh lebih berbahaya dari pada kalau
dia diserang orang!
Bagaimana
dengan keadaan Hui Lian sekarang? Di mana dia berada dan apa saja yang
dilakukannya? Tiba-tiba dia merasa rindu sekali kepada Hui Lian, apa lagi
karena dia pun yakin bahwa Hui Lian cinta kepadanya. Dia tahu bahwa andai kata
dia menanggapi cinta itu, sudah pasti mereka berdua tak akan pernah saling
berpisah lagi.
Ahhh, betapa
akan senangnya kalau kini mereka berdua berperahu di telaga itu, makan bersama
sambil bersenda gurau bersama. Dia tidak membayangkan hal-hal yang mesra, hanya
ingin dekat dan bercakap-cakap dengan wanita yang luar biasa itu!
"Hay
Hay...!"
Hay Hay
terlonjak kaget. Suara Hui Lian! Gila benar! Apakah lamunannya tentang wanita
itu tadi membuat dia menjadi gila sehingga dia mendengar suaranya? Meski pun
dia tidak percaya bahwa itu adalah suara Hui Lian yang sesungguhnya, namun dia
menengok juga ke kanan dan... tak salah lagi! Yang memanggilnya tadi bukan lain
adalah Kok Hui Lian!
Wanita itu
nampak semakin cantik, wajahnya segar berseri tidak seperti dulu yang agak
diliputi mendung kedukaan. Wanita itu duduk di dalam sebuah perahu berukuran
sedang dan sekarang nampak melambai kepadanya.
Bisa
dibayangkan betapa girangnya rasa hati Hay Hay. Baru saja dirindukan,
dilamunkan dan kini wanita itu benar-benar berada di situ, di atas perahu yang
jaraknya hanya sekitar lima meter dari perahunya, Hui Lian yang cantik jelita,
Hui Lian yang manis, Hui Lian yang harum!
Saking
gembiranya Hay Hay langsung bangkit berdiri, lantas sekali loncat tubuhya sudah
melayang ke arah perahu Hui Lian. Untunglah bahwa mereka berada di bagian yang
sepi sehingga perbuatan Hay Hay itu tidak kelihatan orang lain yang tentu akan
menimbulkan kekaguman dan perhatian.
"Enci
Hui Lian...!" teriaknya. "Ahh, Enci Hui Lian, betapa rindu aku
padamu...!"
"Hay
Hay, tidak kusangka akan berjumpa denganmu di sini!" kata Hui Lian, juga
dengan suara yang gembira sekali.
Begitu kedua
kakinya hinggap di atas perahu Hui Lian, Hay Hay segera menghampiri dan
memegang kedua tangan wanita itu sambil mengamati Hui Lian dari ujung rambut
kepala sampai ke kaki.
"Aihh,
engkau nampak segar dan semakin cantik saja, Enci Hui Lian!"
"Hushhhh...!
Engkau masih belum berubah juga, pemuda mata keranjang!" kata Hui Lian
sambil tertawa geli, akan tetapi kedua tangannya juga membalas remasan tangan
Hay Hay, tanda bahwa dia girang dan gembira sekali bertemu dengan pemuda itu.
Pada saat
itu terdengar suara batuk-batuk lantas seorang laki-laki muncul dari dalam
bilik perahu itu. Hay Hay merasa terkejut dan heran, akan tetapi Hui Lian
bersikap tenang dan biasa saja, bahkan dia belum melepaskan kedua tangan pemuda
itu dari genggamannya, hanya menoleh dan memandang kepada laki-laki yang baru
muncul itu sambil tersenyum girang.
"Suheng,
inilah pemuda luar biasa yang pernah kuceritakan kepadamu itu, yang bernama Hay
Hay!" katanya gembira.
Hay Hay
memandang pada pria yang disebut suheng (kakak seperguruan) oleh Hui Lian dan
diam-diam dia pun kagum. Seorang pria yang usianya tentu sudah lima puluh tahun
lebih, lengan kirinya buntung sebatas siku, memiliki tubuh tinggi besar dan
pada wajahnya terbayang kejujuran, keterbukaan serta wibawa yang besar sehingga
dia kelihatan gagah perkasa meski pun lengan kirinya buntung. Mengingat akan
kehebatan dan tingginya ilmu kepandaian Hui Lian, dapat dia bayangkan bahwa
tingkat suheng wanita itu sudah tentu lebih hebat lagi.
"Hay
Hay, perkenalkanlah. Dia itu adalah Suheng Ciang Su Kiat. Dia adalah suheng-ku,
juga guruku, juga suamiku."
"Ahhh...!"
Begitu mendengar kata 'suamiku' itu, cepat-cepat Hay Hay melepaskan kedua
tangannya yang semenjak tadi saling berpegangan dengan kedua tangan Hui Lian,
dan mukanya berubah kemerahan, sikapnya menjadi kikuk sekali.
Ciang Su
Kiat memandang dengan sikap kereng, sepasang alisnya yang tebal berkerut dan
matanya mengamati wajah Hay Hay dengan tajam. "Hemmm, kiranya inikah
pemuda itu? Pantas! Dia tampan menarik dan pandai merayu, seorang pemuda lihai
yang mata keranjang. Sumoi, kau menyebut dia pendekar mata keranjang? Hai,
orang muda, kenapa engkau segera melepaskan kedua tanganmu setelah mengetahui
bahwa Hui Lian adalah isteriku? Itu adalah suatu sikap pengecut yang sama sekali
tak dapat kuhargai. Bukankah katamu tadi dia nampak segar dan makin cantik?
Ataukah itu pun hanya sekedar rayuan belaka?"
"Suheng...!"
Hui Lian terbelalak memandang suaminya, terkejut karena suaminya belum pernah
memperlihatkan sikap kurang senang seperti itu dan tahulah dia bahwa suaminya
secara tiba-tiba dilanda cemburu!
"Sumoi,
aku meragukan ceritamu bahwa pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Sikapnya menunjukkan bahwa dia hanyalah seorang perayu yang mata keranjang dan
tak mampu menguasai perasaan hatinya sendiri. Orang muda, mari kita bicara di
pantai agar tidak nampak orang lain."
"Tapi...
baiklah!" kata Hay Hay yang tadinya meragu akan tetapi ketika melihat
sinar mata yang demikian jujur dan gagah dari Si Lengan Buntung, juga melihat
sikap Hui Lian yang meragu dan agaknya gelisah, dia lalu mengambil keputusan
untuk menghadapi persoalan ini sampai tuntas. Dia harus berani bertanggung
jawab, untuk membela diri yang memang tidak memiliki niat buruk, juga sekalian
untuk mencuci nama baik Hui Lian dari kecurigaan suaminya. Apa pun yang akan
terjadi, akan dihadapinya secara jantan!
Maka sekali
melompat dia pun sudah melayang ke atas perahunya sendiri. Dia menunggu sambil
memegang dayung, dan untuk sesaat lamanya dua orang pria itu saling pandang
dari atas perahu masing-masing. Hay Hay mengangguk kepada Su Kiat, memberi
tanda bahwa dia akan mengikutinya dan Su Kiat lantas mendayung perahunya menuju
ke pantai yang sepi.
Hay Hay
cepat mengikutinya dari belakang, diam-diam mengagumi suami isteri itu karena
selama mendayung perahu ke tepi, keduanya diam saja dan sama sekali tidak
kelihatan mereka bertengkar. Sungguh sikap dua orang yang sudah matang sehingga
tidak hanya menurutkan perasaan hati saja.
Biar pun
hatinya merasa tegang, namun diam-diam Hui Lian ingin sekali melihat apa yang
akan terjadi antara suaminya dan Hay Hay. Secara diam-diam dia pun mendongkol
sekali terhadap suaminya. Tidak tahukah suaminya bahwa cintanya hanya untuk
suaminya, ada pun terhadap Hay Hay dia hanya merasa suka dan kagum, seperti
seorang enci terhadap adiknya saja?
Memang tidak
disangkal bahwa dia pernah tergila-gila kepada pemuda ini, terdorong oleh
gairah nafsu birahinya, akan tetapi itu terjadi dulu sebelum dia menjadi isteri
suheng-nya. Kini tentu saja tidak ada lagi gairah nafsu terhadap pria lain
karena dia telah mendapatkan segala-galanya dari suaminya yang amat dicintanya.
Biarlah dia
cemburu dan hendak kulihat apa yang akan dilakukannya terhadap Hay Hay,
pikirnya. Dia tidak merasa khawatir karena dia mengenal benar Hay Hay yang
sudah pasti tidak akan mencelakakan suaminya, dan dia pun tahu bahwa suaminya
tidak akan dapat mencelakakan Hay Hay yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi
itu. Lagi pula suaminya adalah seorang pendekar perkasa, tidak mungkin mau
berbuat jahat terhadap orang lain hanya karena cemburu buta yang tidak
beralasan sama sekali!
Ketika suami
isteri itu meloncat ke darat, Hay Hay juga sudah tiba di darat dan dia pun
meloncat dengan sigapnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang sekali.
"Toako,
aku masih belum tahu apa maksudmu mengundangku ke tepi. Apabila engkau
menganggap aku bersalah karena kegembiraanku berjumpa dengan Enci Hui Lian yang
tadinya belum kuketahui bahwa dia sekarang telah menjadi isterimu, maka harap
engkau suka memaafkan aku. Sungguh aku tidak mempunyai maksud buruk, aku hanya
demikian gembira dan hanya luapan kegembiraan inilah yang membuat aku tadi
memegang kedua tangan isterimu."
"Hemmm,
orang muda. Aku sudah mendengar tentang dirimu dari isteriku dan aku dapat
menghargai kejujuranmu. Melihat kemunculanmu dan engkau berpegang tangan dengan
Sumoi Hui Lian, aku tidak apa-apa karena aku maklum bahwa tentu engkau
bergembira berjumpa dengannya, seperti juga isteriku bergembira bertemu
denganmu. Tetapi engkau segera melepaskan pegangan tanganmu begitu mendengar
bahwa aku suaminya. Hal ini kuanggap bahwa engkau tidak jujur, bahwa engkau tak
lain hanyalah seorang lelaki mata keranjang yang pandai merayu wanita. Kini
timbul dugaanku bahwa kalau dahulu engkau tidak sampai melanjutkan pelanggaran
susila terhadap Sumoi hanya karena engkau tidak berani menghadapi kelihaian
Sumoi. Jika sekarang engkau dapat memperlihatkan bahwa tingkat ilmu yang kau
miliki memang lebih tinggi dari tingkat Sumoi atau tingkatku, baru aku percaya
bahwa engkau memang tidak mau melakukan pelanggaran susila, dan baru akuakan
percaya kejujuranmu. Nah, orang muda, bersiaplah untuk menandingiku dan jika
engkau tidak mampu mengalahkan aku, maka aku akan menghajarmu karena engkau tak
lain hanyalah seorang laki-laki mata keranjang perayu wanita yang hina!"
"Suheng...!"
Hui Lian berseru. "Jangan menuduh sedemikian keji terhadap Hay Hay! Dia
bukanlah orang yang seperti kau duga itu, dan engkau tidak akan menang melawan
dia, Suheng! Engkau dibikin buta oleh cemburu!"
Ciang Su
Kiat mengangguk-angguk akan tetapi tersenyum kepada isterinya, sama sekali dia
tak memperlihatkan sikap marah kepada isterinya yang amat dicintanya itu.
"Memang benar aku merasa cemburu, Sumoi. Belum pernah aku merasa cemburu
seperti sekarang ini! Tapi alasanku untuk merasa cemburu kuat sekali, bukan
cemburu karena menyangka engkau tak setia padaku. Sama sekali bukan. Dijauhkan
Tuhan aku dari perasaan seperti itu kepadamu, Sumoi. Akan tetapi aku merasa
cemburu oleh sikap pemuda ini. Karena itu, sebelum dia bisa menunjukkan bahwa
persangkaanku terhadap dirinya tidak benar, yaitu dengan mengalahkan aku, maka
hatiku akan selalu digoda cemburu dan prasangka buruk terhadap dirinya."
"Tapi
telah kuceritakan kepadamu betapa dia seorang yang kuat lahir batin. Memang
dulu aku pernah tergila-gila kepadanya dan andai kata bukan dia yang kuat
batinnya sehingga mengingatkan aku, tentu saat itu akan terjadi pelanggaran
susila. Dialah yang mencegah terjadinya pelanggaran itu, Suheng. Semua itu
telah kuceritakan kepadamu."
"Aku
percaya padamu, Sumoi. Akan tetapi aku tidak percaya padanya. Dia bukan dewa,
dan tidak mungkin dia kuat menolak dirimu! Kalau dia melakukan hal itu, tentu
karena dia takut akan akibatnya, takut akan kelihaianmu dan takut menghadapi
kemarahanmu pada kemudian hari. Nah, orang muda, majulah dan kita akan melihat
bukti kejujuranmu."
"Suheng,
engkau tak akan menang," kata pula Hui Lian.
"Kalau
begitu barulah puas hatiku dan aku akan minta maaf kepadanya, juga kepadamu,
Sumoi. Marilah, orang muda."
"Hay
Hay, layani dia. Si Keras Hati ini memang harus diperlihatkan buktinya, kalau
tidak, dia akan gelisah terus, tak enak makan tak enak tidur!" akhirnya
Hui Lian berkata.
Hay Hay
menghela napas panjang, lantas melangkah maju menghadapi Su Kiat sambil
berkata, "Ciang-toako, aku tidak menyangkal bahwa aku suka akan keindahan,
suka akan kecantikan wanita seperti aku suka akan tamasya alam indah, akan
bunga-bunga. Aku suka dengan keindahan dan kecantikan wanita merupakan suatu
keindahan yang sangat mengagumkan. Enci Hui Lian adalah seorang wanita yang
cantik jelita luar biasa. Harus kuakui bahwa aku pernah tergila-gila kepadanya,
namun bukan berarti aku mencintanya. Demikian pula Enci Hui Lian, dia tidak
cinta kepadaku. Kami saling tertarik karena saling mengagumi, karena dorongan
gairah birahi yang wajar. Katakanlah aku mata keranjang, akan tetapi jangan mengira
bahwa nafsu birahi akan mudah begitu saja mengalahkan aku sehingga aku menjadi
mata gelap lantas melakukan pelanggaran susila. Aku sama sekali bukan takut
menghadapi ilmu kepandaian Enci Hui Lian, melainkan takut kalau sampai aku
menodainya lalu membuat hidupnya sengsara karena merasa kehormatannya sudah
ternoda. Sekarang engkau tak percaya kepadaku dan hendak mengujiku. Silakan,
Ciang-toako!"
Ciang Su
Kiat mengangguk-angguk. "Bagus, nah, kau terimalah seranganku ini!"
Dan begitu
orang yang buntung lengan kirinya ini menyerang, Hay Hay merasa terkejut dan
kagum. Dia sudah menyangka bahwa Si Lengan Kiri Buntung ini tentulah ahli
ginkang yang hebat, mengingat betapa Hui Lian juga hebat bukan main dalam hal
ginkang. Dan dugaannya memang tepat. Meski pun tadinya Ciang Su Kiat tidak
memasang kuda-kuda, hanya berdiri biasa saja, akan tetapi begitu kata-katanya
habis, tubuhnya telah menerjang dengan kecepatan yang akan mengaburkan pandang
mata lawan saking cepatnya.
Lengan
kanannya bergerak menyambar dengan sebuah pukulan ke arah dada Hay Hay,
nampaknya perlahan saja, akan tetapi datangnya cepat sekali dan dari telapak
tangannya menyambar hawa pukulan yang dahsyat. Pukulan ini menjadi semakin
berbahaya karena dibayangi sambaran ujung lengan baju kosong yang menotok ke
arah pelipis kanan Hay Hay!
Memang, Su
Kiat yang ingin menguji kepandaian pemuda itu tak mau membuang banyak waktu dan
begitu bergerak dia telah mainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, ilmu silat sakti
peninggalan kitab dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara Delapan Dewa.
Tentu saja serangannya itu hebat bukan main.
Akan tetapi
yang diserangnya adalah seorang pemuda yang juga menjadi murid dua orang di
antara Delapan Dewa, bahkan pemuda ini digembleng oleh dua orang sakti itu
sendiri, tidak seperti Ciang Su Kiat yang hanya mempelajari dari peninggalan
kitab. Oleh karena itu, kalau dibuat perbandingan, tentu saja dalam hal ilmu
silat Su Kiat masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Hay Hay.
Akan tetapi,
untuk mengurangi jarak kekalahannya dalam pendidikan ilmu silat, si lengan kiri
buntung ini telah memiliki tenaga yang luar biasa berkat makan jamur selama
sepuluh tahun, jamur aneh yang hanya terdapat di dalam sebuah goa di tebing
yang terjal, maka kekalahannya itu bisa ditebus dengan kekuatan mukjijat itu.
Makan jamur selama sepuluh tahun ini membuat Su Kiat dan Hui Lian mempunyai
tenaga sinkang dan ginkang yang istimewa, dan pada Hui Lian bahkan akibatnya
membuat wanita ini memiliki keringat yang harum baunya!
Melihat
datangnya serangan, Hay Hay cepat melangkah ke belakang sambil mengibaskan
kedua tangannya menangkis. Akan tetapi dengan kecepatan yang luar biasa Su Kiat
telah menarik lengan kanannya, kemudian segera melangkah maju mendesak dan menyerang
lagi dengan lebih ganas.
Kini ujung
lengan baju kiri itu tiba-tiba menegang dan menusuk seperti sebatang pedang ke
arah muka Hay Hay, tepat di antara kedua matanya, sedangkan tangan kanan sudah
melakukan cengkeraman ke arah perut. Dua serangan ini datang secara bertubi dan
yang berbahaya adalah karena kecepatannya. Ujung lengan baju tangan kiri itu
juga tidak boleh dipandang ringan karena sesudah dialiri tenaga sinkang,
menjadi kaku seperti sebatang pedang dan kalau mengenai sasaran antara kedua mata
Hay Hay, tentu amat berbahaya.
Akan tetapi
dengan tenang dan mudah saja Hay Hay kembali mampu menghindarkan diri, dengan
memutar tubuh sambil mengibaskan kedua tangan menangkis. Dia masih belum mau
membalas karena belum merasa perlu dan belum terdesak. Melihat betapa pemuda
itu dengan mudahnya dapat menghindarkan diri, Ciang Su Kiat tak mau memberi
hati dan kini dia menyusulkan serangan bertubi-tubi, dengan ujung lengan baju
kiri, dengan tangan kanan, bahkan dengan kedua kakinya yang dapat mengirim tendangan
istimewa.
Kini Hay Hay
didesak terus dengan serangan yang datang laksana gelombang samudera,
susul-menyusul dan tiada hentinya. Dibandingkan dengan Kok Hui Lian, tentu saja
tingkat Ciang Su Kiat lebih tinggi, karena sebelum keduanya menemukan kitab-kitab
peninggalan dua orang di antara Delapan Dewa, yaitu mendiang Sian-eng-cu The
Kok dan mendiang In Liong Nio-nio, Su Kiat sudah memiliki ilmu silat yang cukup
kuat sebagai murid pilihan Cin-ling-pai sedangkan Hui Lian masih merupakan
seorang gadis cilik yang belum pernah belajar ilmu silat.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment