Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Mata Keranjang
Jilid 32
Nenek itu
tersenyum menyeringai dan kini melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat,
mendatangkan kesan aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar
sekali.
"Heh-heh,
tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak semua benda, baik
yang hidup seperti burung atau ular, maupun yang mati seperti batu, jamur dan
pohon…"
"Jamur
dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batupun mungkin hidup, siapa tahu?"
Hay Hay
berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, pemuda ini sudah
memperoleh kembali kejenakaanya.
"Hemm,
maksudku yang tidak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu
bicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang
aku menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan di tempat ini, bahkan hanya aku
yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada
kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku
lahir batin seperti ini."
"Aku
siap, Nek! Katakan dimana laki-laki jahanam itu dan aku akan
menghajarnya!" kata Kui Hong lantang.
"Akan
tetapi yang penting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan
main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, kiranya hanya
dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya."
"Hay
Hay, engkau tentu juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?"
Kui Hong
segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada
gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan agaknya biarpun
lumpuh, amat cerdik dan juga lihai ini.
Karena dia
sendiri maklum bahwa sekali berjanji, maka janji itu harus ditepatinya, maka
Hay Hay mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil
menatap nenek itu diantara kedua matanya, lalu berkata sambil tersenyum namun
suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa.
"Lociapwe
percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini, dan ke tempat tinggal
laki-laki itu sekarang juga."
Nenek itu
mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih,
"Baik...
aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu…!”
Kemudian ia
menundukkan muka dan nampaknya bingung. Melihat ini, Kui Hong mengerutkan
alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay.
"Hay
Hay, permainan apa yang kau lakukan ini?"
Ia merasa
tidak senang karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah
mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya!
Hay Hay
tersenyum.
"Kui
Hong, aku tidak main-main." Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata.
"Engkau tahu aku tidak main-main Locianpwe dan marilah kita berangkat
sekarang juga keluar dari sini."
Nenek itu
mengangkat mukanya perlahan dan menjawab.
"Aku
tahu engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari
sini.”
Ia seperti
seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang
diucapkan Hay Hay.
Kui Hong
tidak mengerti, permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir
nenek yang telah menolong mereka itu. Namun, iapun girang mendengar bahwa
mereka akan keluar dari tempat itu.
"Marilah
kita berangkat!" katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu.
"Aku...
kakiku... tidak dapat berjalan…." kata nenek itu.
Agaknya baru
Hay Hay dan Kui Hong sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri bodoh
sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti ia tidak akan
sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam guha itu! Kui Hong tersenyum.
"Aih,
betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!" katanya.
Hay Hay juga
tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya,
"Hay
Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia
menggendongmu!"
Karena
sihirnya itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mentaati
kata-kata Hay Hay, dan mendengar ucapan Kui Hong, ia mengerutkan alisnya dan
berkata dengan ketus.
"Ihh!
Kau kira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria?
Tidak, sampai matipun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar
dari tempat ini, Nona."
Kui Hong
merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak,
malu-malu seperti wanita muda saja. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya. Nenek
itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tak bertulang
saja. Ia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik.
"Hay
Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa ia agar suka kau gendong!"
Akan tetapi
Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala.
"Tidak
bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat.
Ia tidak mungkin dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari
sini."
Biar ia tahu
rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapapun juga, ia mendongkol mendengar Kui Hong
hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Pula, di lubuk hatinya, dia
masih belum percaya kepada wanita ini. Kalau dia yang menggendong, lalu wanita
itu menyerangnya, akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, kalau
Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari marabahaya.
Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui
Hong tanpa sebab, tidak boleh dipercaya begitu saja.
Kui Hong
bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti
hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi ia mengalah dan terpaksa lalu
berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya.
"Baiklah,
baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!"
Hay Hay ingin
tertawa besar namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu
menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya merangkul pundak
Kui Hong dan mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan
pinggul Kui Hong.
Gadis ini
merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu
bergantungan di kedua sisinya. Terpaksa ia menahan pantat nenek itu dengan
tangan kirinya dan membentak Hay Hay.
“Mari kita
berangkat!"
Akan tetapi
Hay Hay menggeleng kepalanya.
"Aku
tidak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan?
Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong dan Locianpwe ini yang menjadi
penunjuk jalan, aku mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang
baik?"
Nenek itu
mengangguk.
"Benar,
engkaulah yang berjalan di depan, Nona, aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda
ini mengikuti dari belakang kita."
Kui Hong
merasa semakin mendongkol. Sambil mengerling ke arah Hay Hay, sambil
bersungut-sungut ia berkata,
“Seenak
perutya sendiri saja!”
Dan kembali
Hay Hay menahan ketawanya dan mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi
petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi
lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh
dinding karang. Lorong itu mati sampai disitu.
"Wah,
jalan ini buntu, Nek!" Kui Hong berteriak penasaran. "Apakah engkau
hendak mempermainkan kami?"
Nenek itu
tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada di dekat
telinganya, maka suara ketawa itu terdengar mengerikan.
"Inilah
rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku
ke ujung kiri sana itu!"
Kui Hong
melangkah ke sudut kiri dan nenek itu menggerayangi dinding batu karang itu
dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara
bergerit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, satu meter
lebarnya dan dua meter tingginya, tepat untuk masuk satu orang.
***************
Kui Hong
merasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan
keluar dan sebentar lagi ia akan bebas disana! Kegembiraan ini membuat ia
melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu.
"Hati-hati,
Nona. Jalan ini selain sempit, gelap, juga menanjak dan licin bukan main.
Dibagian yang paling berbahaya dimana engkau harus merangkak atau meloncati
lubang, akan kuberitahukan. Karena itu, jangan melangkah terlampau cepat,
satu-satu saja."
Berkata
demikian, nenek itu mengulur tangan ke kanan, meraba dinding, agaknya inilah
caranya mengenal jalan itu.
Hay Hay
sudah melepaskan pengaruh sihirnya karena dia berada di belakang nenek itu dan
setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan
nada biasa.
"Locianpwe
tadi sudah memperkenalkan nama suami Locianpwe yang bernama Hek-hiat-kwi Lauw
Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami."
Nenek itu
mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah
seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus.
"Hemm,
orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dahulu memperkenalkan nama kalian
walaupun aku sudah tahu dari cara kalian saling panggil nama."
Hay Hay
tertawa.
"Kalau
sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan ia bernama
Kui Hong."
"Namaku...
Ma Kim Siu." kata nenek itu singkat dan Hay Hay juga tidak mendesak dengan
pertanyaan lain karena nama itu asing baginya.
Tidak
mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang berguha itu
selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia!
Jalan mulai
menanjak dan sudah lima kali nenek memberi peringatan agar Kui Hong merangkak.
Gadis itu menurut karena ia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu,
akan berbahaya sekali. Ketika ia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang
menanjak. Tiga kali ia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter.
Ia sudah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay
Hay.
Akhirnya,
setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di
tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah
nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira.
"Di
depan terang!" teriaknya, dan ia melangkah lebar .
"Tenanglah,
Kui Hong." kata nenek itu. "Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup
lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!"
Benar saja.
Kui Hong kini berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya ada empat meter.
Namun, ia yang memiliki gin-kang yang cukup tinggi tingkatnya, dengan mudah
sambil menggendong tubuh yang ringan itu, dapat melompatinya dengan mudah,
disusul oleh Hay Hay.
"Nah,
kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!" kata nenek itu, suaranya agak
gemetar, tanda bahwa iapun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah
dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah, ia berhasil
pula tertolong dan keluar dari tempat itu!
Kini jalan
menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk
menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru.
"Aih,
terlalu menyilaukan!"
Selama
berada di dalam guha, ia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena
guha itu menghadap ke barat sehingga tak pernah ia tertimpa sinar matahari
siang.
Ternyata
jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di
lereng sebuah bukit yang lain daripada bukit dimana Hay Hay dan Kui Hong jatuh
ke dalam jurang!
Setelah
mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking
gembiranya. Ia cepat mengusap kedua matanya dan mulutnya tersenyum, dengan
penuh perasaan terima kasih ia memandang ke sekeliling. Demikian indahnya
permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi ia merasa
lelah sekali, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si
Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu.
"Kau
turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat." katanya kepada nenek itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui
Hong merasa betapa nenek itu mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat
berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, ia akan roboh dan
tewas!
"Tidak!
Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!"
bentak nenek itu.
"Hayo,
Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan
Hek-hiat-kwi Lauw Kin!"
Hay Hay
tersenyum dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap
wajah nenek itu.
"Locianpwe
Ma Kim Siu, tenanglah dan engkau sendiripun merasa lelah. Kita perlu
beristirahat dan turunlah dari punggung Kui Hong." Dia mengerahkan
kekuatan sihir untuk menalukkan sikap melawan nenek itu.
Akan tetapi,
sekali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu menghadapi permintaannya yang
diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh!
"Simpanlah
permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hihi-hik, jangan harap
engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, cepat engkau berjalan
di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kau cinta ini!"
Hay Hay
terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh oleh
sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang
mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta!
"Kalau
begitu... tadi, di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja
terpengaruh?" tanyanya, melongo.
"Tentu
saja, setelah kalian berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku
mempercayai omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai?
Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong!
Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe
Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga
Cin-ling-pai, heh-heh-heh!"
"Kiu-bwe
Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?" Kui Hong berseru heran.
"Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor
Sembilan…..")
"Nah,
mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enciku.”
"Ia...
seorang diantara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!" kembali Kui Hong
berseru, karena ia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat
itu.
"Memang
dan aku ini adiknya."
"Tapi,
bagaimana engkau bisa tahu…?”
"Kui
Hong, tentu ketika kita bicara di pohon itu, ia sudah lama mengintai dan
mendengarkan. Pantas saja begitu muncul ia menyerang kita dengan
kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, ia
menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!"
kata Hay Hay.
"Hi-hi-hik!
Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah, sejak
dari dalam guha aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku
akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda
macam engkau. Sekarang, kalau engkau memperlihatkan perlawanan sedikit saja,
sekali menggerakkan tangan gadis kekasihmu ini akan mampus!"
"Nenek
lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!"
Kui Hong
menjerit marah dan biarpun ia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu
mempererat cengkeramannya, ia tidak takut sedikitpun juga.
"Hi-hi-hik,
kalian tidak dapat mengelabuhi mataku. Aku ahli dalam soal cinta, heh-heh!
Pemuda itu mencintamu dan engkau pun mencintanya, Kui Hong. Dan kalau engkau
banyak tingkah, engkau benar-benar akan kubunuh!"
"Sudahlah,
Kui Hong. Biarkan saja ia mengoceh dan jangan membunuh diri hanya urusan
sekecil ocehannya. Nenek, julukanmu memang tepat. Engkau benar-benar Tok-li
(Wanita Beracun), akan tetapi yang beracun adalah hatimu. Nah, katakan, dimana
tempat bertapa laki-laki yang kau cari itu?"
"Heh-heh,
begitu lebih baik, Hay Hay. Maju saja, menuju ke lereng yang sana. Tidak
terlalu jauh dari sini. Mudah-mudahan jahanam itu masih berada disana dan belum
mampus!”
Hay Hay
melangkah ke depan, menurut petunjuk nenek itu. Diam-diam diapun mengharapkan
seperti yang diharapkan nenek itu, agar pria itu masih berada disana dan masih
hidup. Karena kalau tidak, tentu nyawa Kui Hong benar-benar terancam bahaya
maut. Dia masih heran bagaimana nenek itu tidak terpengaruh oleh kekuatan
sihirnya, padahal biasanya amat ampuh.
Dia tidak
tahu bahwa seorang yang sudah memiliki sin-kang sedemikian kuatnya seperti
nenek itu, apalagi setelah selama puluhan tahun digemblengnya dan dilatihnya di
dalam guha, tentu tidak akan mudah terpengaruh kekuatan sihir, dapat dilawannya
dengan sin-kangnya. Memang untuk pertama kalinya, nenek itu terpengaruh karena
ia belum tahu akan kepandaian Hay Hay. Akan tetapi, segera ia dapat merasakan
dan menolak dengan tenaga sakti di dalam tubuhnya. Bahkan ia dapat berpura-pura
terpengaruh untuk melaksanakan sandiwaranya sehingga kini ia dapat menguasai
mereka berdua dengan menjadikan gadis itu sebagai sandera.
Memang tidak
jauh tempat yang dimaksudkan oleh Kiu-bwe Tok-li itu. Untung bagi Kui Hong yang
sudah merasa semakin lelah. Mereka tiba di depan sebuah guha dan nenek itu
memberi isarat agar Hay Hay berhenti, akan tetapi ia tetap menyuruh Kui Hong
berada di belakang pemuda itu. Kemudian dengan suara melengking nyaring,
Kiu-bwe Tok-li berteriak ke arah guha yang jaraknya hanya tinggal lima belas
meter.
"Hek-hiat-kwi,
laki-laki berhati binatang, kejam dan tak berperikemanusiaan, keluarlah! Aku
datang untuk membalas dendam!"
Suara
melengking itu bergema sampai jauh dan setelah gaungnya tak terdengar lagi,
muncullah seorang kakek dari dalam guha. Usianya tentu sudah enam puluh tahun
lebih, bertubuh sedang dan masih tegak, wajahnya pun bersih dan menunjukkan
bekas ketampanan, kini dia membiarkan jenggot dan kumisnya yang sudah berwarna
kelabu itu tumbuh subur. Pakaiannya kuning dan longgar seperti pakaian pertapa,
dan sinar matanya lembut akan tetapi kini mata itu terbelalak memandang ke arah
nenek di atas punggung seorang gadis cantik, seolah-olah dia tidak percaya akan
pandang matanya sendiri.
"Kim
Siu…! Benar engkaukah ini? Masih… masih hidup…?”
"Lauw
Kin, buka matamu baik-baik. Ini benar aku, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu, biarpun
kedua kakiku sudah lumpuh, namun kini aku datang untuk membalas dendam atas
segala perbuatanmu yang membuat aku sengsara sampai dua puluh lima tahun!"
Sepasang
mata itu bersinar dan wajah itu berseri.
"Ah,
sungguh Tuhan masih melindungimu, Kim Siu! Akan tetapi, mengapa engkau pulang
dengan dendam kebencian di hatimu? Mengapa engkau mengatakan bahwa perbuatanku
yang membuat engkau sengsara sampai dua puluh lima tahun?"
Nenek itu
gemetar seluruh tubuhnya, terasa benar oleh Kui Hong, dan ia tahu bahwa nenek
itu marah sekali. Akan tetapi, cengkeraman di tengkuknya, tidak pernah
sedikitpun mengendur sehingga ia tidak melihat kesempatan sama sekali untuk
membebaskan diri dari penguasaan nenek yang lihai itu.
"Huh,
engkau masih belum juga merasa betapa kejam perbuatanmu kepadaku, kepada kami!
Engkau melukainya dengan hebat, dan dia tersiksa sampai berbulan-bulan, hampir
setahun sebelum akhirnya dia meninggal dunia! Gara-gara engkau! Hay Hay, cepat
kau maju dan serang dia, bunuh dia... ah, tidak, lukai dan robohkan saja agar
aku sendiri yang akan membunuhnya!"
Nenek itu
melotot kepada Hay Hay, pelototan matanya yang mengandung arti bahwa kalau pemuda
itu menolak, tentu nenek itu akan membunuh Kui Hong!
Akan tetapi
Hay Hay bersikap tenang saja, sambil tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang
amat cerdik, tidak mudah digertak sembarangan saja. Dia mengerti bahwa nenek
itu hendak memaksa dia dan Kui Hong untuk membantunya menghadapi kakek yang
tenang ini. Nenek itu membutuhkan bantuan, tidak mungkin berani membunuh Kui
Hong, karena kalau dibunuhnya gadis itu, berarti nenek itu akan menghadapi
pengeroyokan kakek itu dan dia!
"Nanti
dulu, Kiu-bwe Tok-li!" Kini dia tidak mau lagi menyebut locianpwe.
"Aku bukanlah seorang pembunuh bayaran begitu saja, yang menyerang orang
tanpa tahu sebabnya. Oleh karena itu, ceritakanlah dahulu apa yang telah
terjadi antara engkau dan kakek ini, baru aku mau bergerak."
***************
“Tapi kau
sudah berjanji!"
"Berjanji
membantumu, memang. Akan tetapi setelah aku mendengar apa yang sesungguhnya
telah terjadi sehingga engkau mendendam kepada kakek ini. Melihat sikapnya, dia
sama sekali tidak memusuhimu!"
"Tak
peduli! Kalau Engkau mau tahu, tanya saja kepadanya!"
Hay Hay kini
menghadapi kakek itu, lalu berkata.
"Locianpwe,
sebenarnya apakah yang telah terjadi maka Kiu-bwe Tok-li mendendam kepadamu dan
hari ini datang untuk membalas dendamnya? Locianpwe tahu bahwa kami berdua
terpaksa membantunya, akan tetapi aku hanya mau turun tangan setelah mendengar
permasalahannya."
Pria tua itu
adalah Hek-hiat-kwi Lauw Kin, suami dari Kiu-bwe Tok-Ii Ma Kim Siu. Dia
mengerutkan alisnya memandang kepada Hay Hay, kemudian kepada nenek yang pernah
menjadi isterinya itu.
"Kim
Siu, haruskah urusan pribadi kita diketahui orang lain?" .
"Ceritakanlah!
Ceritakanlah selagi engkau masih mampu dan belum mampus di tanganku!"
sambut nenek itu dengan ketus sekali.
Kakek itu menarik
napas panjang dan mengangguk-angguk.
"Baiklah
kalau begitu. Orang mudat siapapun adanya engkau, dengarlah baik-baik apa yang
telah terjadi diantara kami suami isteri yang malang ini. Dua puluh lima tahun
yang lalu, kami masih menjadi suami isteri yang hidup rukun. Karena aku
menyadari betapa tidak menguntungkan lahir batin hidup dalam dunia hitam, aku
mengajak isteriku bertapa disini, menjauhi jalan sesat untuk menebus
dosa." Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang. "Akan tetapi
keputusan yang kuambil itu agaknya membuat ia tidak senang sehingga sejak aku
mengajaknya meninggalkan dunia hitam, ia mulai selalu merajuk dan bersikap
marah kepadaku."
"Huh,
Lauw Kin, bukan hanya marah, melainkan benci!" Tiba-tiba nenek itu
membentak, telunjuknya menuding ke arah suaminya itu seperti orang yang
menyalahkan. "Engkau telah berubah menjadi orang yang lemah, pengecut dan
memalukan! Dahulu aku bangga menjadi isterimu. Engkau murid Hek-hiat Lo-mo dan
Hek-hiat Lo-bo, keturunan Hek-hiat Mo-li yang terkenal sebagai datuk-datuk
sesat, dan aku adalah adik Kiu-bwe Coa-li, seorang diantara Tiga Belas Setan.
Kita cocok menjadi suami isteri dan ditakuti semua orang. Huh, kemudian engkau
pura-pura alim dan mengajak aku menjadi pertapa!” Nenek itu mengumpat dan kelihatan
menyesal bukan main.
Kakek itu
tersenyum sedih. Kui Hong yang mendengarkan umpatan nenek dipunggungnya itu,
melihat betapa sedetik pun nenek itu tidak pernah melepaskan ancamannya pada
tengkuknya sehingga tidak ada kemungkinan baginya untuk membebaskan diri. Namun
ia terkejut mendengar bahwa kakek di depannya itu adalah murid Hek-hiat Lo-mo
dan Hek-hiat Lo-bo. Ia pernah mendengar cerita dari ibunya tentang suami isteri
Iblis Berdarah Hitam itu.
Menurut
cerita ibunya, suami isteri iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Lembah
Naga karena Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong yang dahulu membunuh Hek-hiat
Mo-li yang menurunkan mereka. Suami isteri itu menyerbu ke Lembah Naga dan
berhasil membunuh banyak murid Pek-liong-pai perkumpulan yang didirikan di
Lembah Naga dan diketahui oleh Cia Han Tiong, ayah kandung Cia Sun. Bukan hanya
murid-murid yang terbunuh, bahkan ibu kandung Cia Sun juga terbunuh oleh
mereka! Dan kakek di depannya ini adalah murid suami isteri itu!
Agaknya
nenek itu merasa betapa gadis yang menggendongnya terkejut, maka ia membentak,
"Ada
apa kau? Kenapa terkejut?" Dan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu makin
kuat.
Kui Hong
terkejut dan ia tidak membohong ketika berkata.
"Aku
terkejut mendengar nama suami isteri Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo.
Bukankah mereka itu yang pernah menyerang Lembah Naga, membunuh banyak orang
Pek-liong-pai, bahkan membunuh pula ibu dari Cia Sun?"
Nenek itu
terkekeh.
"Heh-heh,
aku lupa! Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai tentu saja engkau tahu akan hal
itu, heh-heh!"
"Ya
Tuhan….!" Kakek itu berseru kaget. "Nona ini puteri Ketua
Cin-ling-pai? Kim Siu, apakah engkau sudah menjadi gila? Bebaskan Nona
itu!"
"Huh,
sebelum pemuda itu membunuhmu, aku takkan membebaskannya. Hay Hay, hayo cepat
serang dia!"
Akan tetapi
Hay Hay berkata kepada Hek-hiat-kwi Lauw Kin.
"Locianpwe,
harap lanjutkan keteranganmu tadi. Aku harus tahu sebab-sebabnya Locianpwe
bermusuhan dengan Kiu-bwe Tok-li."
Kakek itu
nampak bingung dan khawatir memandang Kui Hong, lalu menarik napas panjang.
"Baiklah,
akan kuceritakan semuanya. Justeru peristiwa yang terjadi di Lembah Naga itulah
yang membuat aku mengambil keputusan untuk meninggalkan jalan sesat. Kedua
orang guruku itu menyerang keluarga Lembah Naga dan berhasil menewaskan banyak
murid, juga menewaskan isteri ketua Pek-liong-pang. Akan tetapi mereka berdua
kalah oleh Ketua Pek-liong-pang, pendekar Cia Han Tiong. Mereka berdua sudah
tidak berdaya dan pendekar itu hanya tinggal mengangkat tangan saja untuk
membunuh mereka. Akan tetapi, pendekar itu tidak melakukannya! Tidak membunuh
Suhu dan Subo bahkan mengampuni mereka, dan menasihati mereka tentang buruknya
dendam! Ah, Suhu dan Subo menceritakan hal itu sambil menangis kepadaku, dan
akupun merasa terharu sekali dan seketika terbuka kesadaranku betapa selama itu
kami semua hidup bergelimang kejahatan. Betapa mulianya pendekar Cia dari
Lembah Naga itu. Nah, karena Suhu dan Subo juga merasa menyesal dan bertaubat,
lalu kembali ke Sailan untuk menjadi hwesio dan nikouw, akupun lalu mengajak
isteriku untuk menebus dosa dan bertapa di tempat ini."
"Huh,
menjemukan! Bilang saja nyali kalian guru dan murid menjadi sempit karena takut
menghadapi pendekar Cia dari Lembah Naga itu!" teriak Si Nenek penasaran.
"Keputusanku
itu agaknya membuat isteriku merasa kesal dan mulailah terjadi kerenggangan
antara kami, isteriku bersikap dingin dan marah-marah dan sering kali
meninggalkan aku seorang diri."
"Siapa
sudi membusuk di dalam guha kotor itu?" nenek yang dahulu menjadi
isterinya yang cantik dan tercinta itu mencela.
"Pada
suatu hari, ia datang bersama seorang laki-laki." kakek itu melanjutkan
tanpa mempedulikan celaan isterinya.
"Isteriku
dan laki-laki tampan itu terang-terangan menyatakan kepadaku bahwa mereka
saling mencinta. Aku mencinta isteriku dengan hati yang tulus dan setelah aku
menjadi pertapa dan banyak merenungkan kehidupan, akupun mengenal arti cinta
yang sebenarnya. Oleh karena itu, aku merelakan isteriku kalau memang ia hendak
meninggalkan aku dan hidup bersama laki-laki itu. Akan tetapi mereka berdua tidak
mau pergi begitu saja dan berkeras hendak membunuhku lebih dahulu karena tidak
percaya bahwa aku merelakan isteriku dan mereka takut kalau aku kelak akan
mengejar dan menyusahkan mereka. Mereka lalu menyerangku dan berusaha
membunuhku."
"Ihhh…..!"
Kui Hong
berseru dan menurutkan kata hatinya yang menjadi marah sekali, ingin ia
melemparkan tubuh nenek itu dari atas punggungnya. Akan tetapi, cengkeraman
nenek itu kuat sekali dan begitu ia bergerak, tengkuknya terasa nyeri sekali
sehingga terpaksa ia menghentikan penyaluran tenaganya.
"Heh-heh,
dia tolol, bukan? Dan engkaupun akan mati konyol kalau engkau berani melakukan
kebodohan!" Kiu-bwe Tok-li berkata di dekat telinga Kui Hong.
"Locianpwe,
sungguh apa yang Locianpwe lakukan itu membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati
yang luar biasa." kata pula Hay Hay dengan kagum.
“Aih, orang
muda. Aku hanya belajar dari pendekar Cia di Lembah Naga itu dengan
perbuatannya terhadap kedua orang Guruku. Dibandingkan dia, sikapku ini bukan
apa-apa. Aku dikeroyok oleh mereka dan terpaksa aku membela diri. Akhirnya,
karena aku terancam maut oleh pukulan berbahaya dari laki-laki itu yang amat
lihai, terpaksa akupun mengeluarkan jurus simpanan untuk menandinginya. Dalam
adu tenaga itulah, dia kalah dan terluka parah. Akan tetapi, aku tidak mau
melukai isteriku sehingga aku terkena beberapa pukulannya yang beracun. Melihat
kekasihnya pingsan dan terluka, ia lalu memondongnya pergi dengan cepat. Aku
mengobati luka-lukaku dan setelah sembuh, aku mengkhawatirkan keadaan isteriku.
Kucari kemana-mana tanpa hasil, maka akhirnya aku kembali bertapa disini dengan
tekun. Dan ini hari ia muncul dalam keadaan lumpuh dan penuh dendam hendak
membunuhku."
Mendengar
cerita itu, Hay Hay mengerutkan alisnya dan menghadapi Kiu-bwe Tok-li.
"Tok-li,
benarkah apa yang diceritakan suamimu tadi?"
"Benar
atau tidak benar, engkau harus menyerangnya. Engkau sudah berjanji dan kalau
engkau melanggar janji, gadis ini tentu akan kubunuh lebih dahulu!"
"Akan
tetapi, kalau yang dlceritakannya itu benar, bagaimana engkau kini menjadi
lumpuh? Padahal, dalam perkelahian itu engkau tidak terluka oleh suamimu!"
kata Hay Hay. "Kiu-bwe Tok-li, sebelum aku memenuhi permintaanmu,
ceritakanlah dahulu bagaimana engkau menjadi lumpuh dan tinggal puluhan tahun
dalam guha itu, dan mana pula adanya laki-laki kekasihmu itu?"
“Pertanyaan
itu tepat, Kim Siu, apakah yang telah terjadi? Engkau tahu benar bahwa bukan
aku yang membuat engkau menjadi lumpuh begini…"
“Sama saja!
Engkaulah penyebabnya!" bentak nenek itu. "Engkau telah melukainya
secara hebat. Aku membawanya pergi dan dia mengenal tempat rahasia itu, sumur
yang mempunyai lorong dan tembus sampai ke dalam guha di tengah tebing itu. Dia
menyuruh aku membawanya kesana. Setelah tiba di dalam guha itu, aku berusaha
merawat lukanya. Akan tetapi lukanya terlampau parah. Dia tahu bahwa dia tidak
akan dapat sembuh. Dia tidak ingin aku meninggalkannya lagi, ingin agar aku
selamanya menemaninya di dalam guha itu, maka tiba-tiba dia lalu menyerangku
dengan pukulan dahsyat yang membuat kedua kakiku lumpuh sehingga aku tidak akan
dapat keluar dari dalam guha itu tanpa bantuan orang lain."
"Ih,
betapa kejamnya orang itu!" Kui Hong berseru, jijik.
"Bocah
tolol! Dia melakukan itu karena cintanya kepadaku! Dia mengerahkan tenaga
terakhir untuk membuat aku lumpuh agar aku tidak meninggalkannya lagi. Dia
melumpuhkan kedua kakiku karena terlalu cinta padaku."
Nenek itu
lalu menangis! Hay Hay, Kui Hong dan Lauw Kin suami nenek itu tertegun dan
tenggelam dalam perasaan masing-masing.
"Lalu,
dimana dia? Ketika kami memasuki guha, kami tidak melihatnya." kata Hay
Hay.
"Pengerahan
tenaga dahsyat yang dipergunakannya untuk melumpuhkan kedua kakiku itu membuat
lukanya semakin parah. Akhirnya, dalam waktu beberapa bulan saja dia meninggal
dunia dalam pelukanku, dan aku hidup sendirian disana, penuh dendam kepada
keparat ini. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memperdalam ilmu, dalam
keadaan lumpuh tak mampu keluar, dan dendamku kepada keparat ini semakin
berkobar."
"Semoga
Tuhan mengampuni dosa kita semua…" Kakek itu mengeluh, “Sudahlah, Kim Siu,
turunlah engkau dari punggung Nona itu. Bagaimanapun juga, engkau adalah
isteriku dan aku tetap cinta kepadamu. Turunlah dan mari kuusahakan untuk
mengobati kakimu sampai sembuh…"
Kui Hong dan
Hay Hay saling pandang dan mereka semakin kagum kepada kakek itu. Tak dapat
disangsikan lagi. Cinta kasih kakek itu sungguh murni! Akan tetapi, Kiu-bwe
Tok-li Ma Kim Siu membentak.
"Tidak!
Engkau harus mampus di tanganku. Engkaulah yang menyebabkan aku kehilangan dia,
dan menyebabkan aku selama puluhan tahun menderita sengsara! Hay Hay, cepat
maju dan serang dia, tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau engkau membantah,
gadis ini akan mampus!”
Dan
tangannya yang mencengkeram tengkuk Kui Hong diperkuat, membuat gadis itu
menyeringai karena nyeri.
Hay Hay
tidak melihat jalan lain.
"Baiklah!
Locianpwe, terpaksa aku akan menyerangmu!"
Hay Hay lalu
maju, menyerang kakek itu yang cepat mengelak ketika melihat betapa cepat dan
kuatnya gerakan pemuda yang menyerangnya. Tahulah dia bahwa pemuda ini bukan
orang sembarangan, akan tetapi diapun maklum bahwa pemuda ini terpaksa mentaati
perintah Ma Kim Siu karena gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu telah ditawan
dan dijadikan sandera. Perih rasa hatinya. Dia maklum karena dapat menduga
bahwa tentu pemuda dan gadis itu telah menolong Ma Kim Siu keluar dari dalam
guha, akan tetapi sebagai balas jasa, nenek itu malah menyandera dan memaksa
mereka membantunya.
***************
Bagaimanapun
juga, puteri Ketua Cin-ling-pai itu harus diselamatkan, demikian pikir
Hek-hiat-kwi Lauw Kin. Inilah kesempatan baginya untuk menebus dosa suhu dan
subonya terhadap keluarga Cia! Suhu dan subo telah membunuh isteri Cia, Han
Tiong, dan kalau sekarang dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan seorang
gadis keturunan keluarga Cia, biarpun sedikit berarti dia telah mengurangi dosa
suhu dan subonya. Dia harus berkorban, itulah satu-satunya jalan. Kalau dia
kalah dan roboh terbunuh oleh pemuda ini, tentu gadis puteri Ketua Cin-ling-pai
itu akan dibebaskan.
Akan tetapi,
dia tahu akan kecerdikan isterinya. Kalau isterinya mengetahui bahwa dia
mengalah dan berkorban, belum tentu gadis itu dibebaskan. Untung baginya,
pemuda itu lihai sekali, melihat dari gerakannya dan tenaganya, sehingga tidak
akan terlalu sukar baginya untuk berpura-pura kalah sehingga menerima pukulan
maut yang akan dapat menewaskannya tanpa menimbulkan kecurigaan.
Maka, diapun
kini menangkis dan membalas serangan sehingga seolah-olah terjadi perkelahian
sungguh-sungguh dan mati-matian antara Hek-hiat-kwi Lauw Kin dan Hay Hay!
Bagaimanapun juga, Hek-hiat-kwi adalah seorang yang sejak mudanya berkecimpung
dalam dunia persilatan, maka seperti para tokoh persilatan pada umumnya, diapun
memiliki satu kelemahan, yaitu ingin sekali melihat atau menguji ilmu silat
apabila bertemu lawan yang pandai!
Kini,
berhadapan dengan Hay Hay dan melihat gerakan yang amat hebat dari pemuda ini,
timbullah kegembiraan dalam hatinya dan biarpun dia sudah mengambil keputusan
untuk mengorbankan diri dan menyerahkan nyawanya demi keselamatan puteri Ketua
Cin-ling-pai, dia akan memuaskan hatinya lebih dulu dengan menguji kepandaian
pemuda ini!
Sebaliknya,
penyakit yang serupa juga melanda watak Hay Hay. Ketika pemuda ini melihat
gerakan kakek itu, merasakan kekuatan yang terkandung dalam kedua lengannya,
diapun merasa gembira dan ingin menguji sampai dimana kelihaian kakek itu.
Inilah
sebabnya maka kedua orang ini mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaga
secara sungguh-sungguh dan nampak keduanya seperti terlibat dalam perkelahian
yang mati-matian! Demikian hebat gerakan kedua orang ini sehingga Kui Hong
sendiri, juga nenek iblis itu, dapat dikelabuhi!
Setelah
bertanding dan merasa puas melihat betapa pemuda itu benar-benar hebat dan dia
tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tidak kalah olehnya, Hek-hiat-kwi baru
merasa puas dan diapun kini ingin mengakhiri perkelahian dengan mengorbankan
nyawanya.
Hay Hay
sedang melancarkan serangan dahsyat, dengan tangan kiri mencengkeram lambung
dan tangan kanan menampar ke arah ubun-ubun kepala. Serangan ini dahsyat
sekali, angin pukulannya menyambar ganas. Hek-hiat-kwi sengaja memperlambat
gerakannya mengelak dan menangkis dan dia merasa yakin bahwa serangan itu tentu
akan mengenai dirinya terutama bagian ubun-ubunnya agar dia dapat tewas dengan
cepat.
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa heran rasa hatinya ketika pada saat yang tepat, sama
sekali tidak kentara, pemuda itu menyelewengkan serangannya sehingga meleset
dan tidak mengenai sasaran, seolah-olah terelak atau tertangkis! Dan pada saat
dia membalas dengan tendangan yang ringan saja, tendangannya itu mengenai
pangkal paha pemuda itu yang membuat Hay Hay terhuyung ke belakang!
Hampir saja
Hek-hiat-kwi berseru heran. Ini tidak mungkin, pikirnya! Tadi dia mengeluarkan
ilmu tendangan simpanannya yang amat dahsyat, dan semua tendangan dapat
dihindarkan pemuda itu. Mana mungkin tendangan ringan saja dapat mengenai paha
dan membuat pemuda itu terhuyung? Dan serangan pemuda tadipun sengaja
diselewengkan! Ini hanya berarti bahwa pemuda itu sengaja mengalah! Akan tetapi
apa maksudnya?
Ketika dia
mengangkat muka memandang dengan tajam, dia melihat betapa pemuda itu berkedip
kepadanya. Kiu-bwe Tok-li tidak melihat kedipan ini karena ia berada di
punggung nona yang berdiri di belakang pemuda itu. Dan diapun bukan orang
bodoh. Pemuda ini sengaja mengalah tentu mempunyai maksud dan merupakan suatu
siasat! Maka, biarpun dia belum dapat menduga dengan tepat apa maksudnya, dia
mengambil keputusan untuk ikut bersandiwara!
"Engkau
masih belum menyerah kalah?" bentaknya ketika melihat pemuda itu maju lagi
menyerang.
Kini dia
bahkan mengeluarkan lagi ilmu-ilmunya yang paling dahsyat. Tadi, semua ilmu
simpanannya dapat digagalkan oleh pemuda itu, akan tetapi sekarang, begitu dia
membalas dan mendesak, pemuda itu segera kelihatan terdesak sekali dan beberapa
kali terhuyung, dan main mundur saja! Kakek itu semakin yakin bahwa lawannya
benar-benar bersandiwara, memainkan suatu siasat.
Melihat
betapa Hay Hay terdesak hebat, Kui Hong berseru.
“Nek, lihat!
Hay Hay terdesak terus. Turunlah, biar aku yang membantunya menghadapi kakek
itu!"
Mendengar
teriakan gadis itu, mengertilah Hek-hiat-kwi apa maksud permaian sandiwara
lawannya. Tentu untuk mengelabuhi Kiu-bwe Tok-li agar mau membebaskan gadis itu
agar dapat membantu mengeroyoknya! Maka diapun mendesak semakin hebat dan sebuah
tamparan tangan kirinya diterima dengan sengaja namun tidak kentara oleh Hay
Hay, membuat tubuh Hay Hay terpelanting, akan tetapi pemuda itu tidak sampai
roboh. Dia menyusulkan tendangannya yang dapat dielakkan oleh Hay Hay.
"Tok-li,
lihat, dia makin payah!" kata Kui Hong yang benar-benar merasa khawatir.
"Hemm,
jangan ribut dan jangan bergerak! Dia belum kalah!" kata nenek itu,
sepasang matanya dengan tajam dan cerdik mengamati gerakan kedua orang itu.
"Tapi,
Nek. Kalau sampai dia benar-benar kalah dan tewas, tentu engkau dan aku akan
tewas pula di tangan kakek itu!" Kui Hong membantah.
"Desss….!"
pada saat itu, Hay Hay terkena pukulan pada pundaknya dan sekali ini tubuhnya
terguling-guling dan terbanting keras sampai debu mengepul dan pemuda itu memuntahkan
darah segar!
Sejak tadi
Hay Hay menaruh perhatian akan percakapan antara Kui Hong dan nenek itu.
Melihat betapa nenek itu masih belum terpancing, dia sengaja menerima hantaman
tadi dengan pundaknya dan dengan tingkat kepandaiannya yang tinggi, dia mampu
berlagak seolah-olah dia terluka parah dan muntahkan darah segar.
Sekali ini
Kiu-bwe Tok-Li terjebak. Melihat keadaan pemuda itu memang parah, ia lalu
berkata,
"Kui
Hong, majulah akan tetapi biar aku yang membantu Hay Hay!"
Dengan
girang Kui Hong meloncat ke depan dan melihat gerakan yang amat ringan dari
gadis itu, diam-diam Hek-hiat-kwi terkejut. Kiranya puteri Ketua Cin-ling-pai
itupun memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sekali! Dia merasa
kagum.
Akan tetapi
karena gadis itu telah berada di depannya dan isterinya telah menyerangnya
dengan cambuk ekor sembilan yang amat berbahaya, diapun meloncat ke belakang.
Hay Hay bangkit dan mengerling ke arah nenek itu. Ternyata nenek itu tetap
hanya mempergunakan tangan kanan untuk memainkan cambuknya, sedangkan tangan
kiri masih mencengkeram tengkuk Kui Hong! Maka diapun maju lagi dan membantu
nenek itu mengcroyok Hek-hiat-kwi.
Hek-hiat-kwi
segera terdesak hebat. Dengan kagum dia melihat betapa isterinya, walaupun
kedua kakinya lumpuh, telah memperoleh kemajuan pesat dengan gerakan cambuknya,
dan juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan cambuk itu kuat bukan
main.
Biarpun
lumpuh, karena digendong seorang gadis yang memiliki gin-kang sedemikian hebat,
gerakannya tentu saja menjadi semakin lincah. Cambuk itu meledak-ledak dari
sembilan penjuru karena cambuk sembilan ekor bergerak dengan aneh,
masing-masing ekor seperti hidup tersendiri. Ada yang menotok, ada yang
melecut, ada pula yang membabat, dan setiap ekor cambuk menyambar bagian tubuh
yang berbahaya!
Hay Hay yang
beraksi telah menderita luka itu, membantu dengan kacau sehingga seringkali dia
malah menghalangi sambaran cambuk! Beberapa kali nenek itu memaki dan
membentaknya agar minggir.
Hek-hiat-kwi
kini melihat kesempatan bagaimana untuk menolong nona itu, tanpa mengorbankan
nyawanya walaupun bukan tidak berbahaya. Dia harus dapat membuat nenek itu
melepaskan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu, dan satu-satunya jalan adalah
membuat cambuk itu tak berdaya agar nenek itu terpaksa menggunakan tangan kirinya.
"Tar-tar-tarrr…!"
Kembali
cambuk sembilan ekor itu meledak-ledak dan menari-nari. Hek-hiat-kwi sudah
mengenal ilmu cambuk isterinya ini, maka begitu ujung-ujung cambuk menyambar,
dia tidak mengelak, bahkan langsung menerjang ke depan.
Hay Hay menyerang
dari samping dengan kedua tangannya gencar memukul, akan tetapi pukulan-pukulan
ini tidak mengenai tubuh lawan bahkan hawa pukulannya menangkis sedikitnya enam
batang ujung cambuk yang seperti ditiup ke samping!
Dan
Hek-hiat-kwi sudah dapat menangkap yang tiga ujung lainnya, kemudian dengan
sebelah tangan berhasil pula menangkap enam ujung yang menyeleweng oleh hawa
pukulan Hay Hay tadi.
Nenek itu
terkejut. Tak disangkanya bahwa bekas suaminya kini sedemikian lihainya
sehingga cambuknya yang sembilan ekor itu telah dapat ditangkap oleh kedua
tangan sehingga cambuk itu tidak berdaya lagi. Ia melihat betapa kepala bekas
suaminya itu demikian dekat, tak terlindung karena kedua tangan suaminya
mencengkeram sembilan ujung cambuk.
Melihat ini,
sejenak ia lupa diri, lupa bahwa ia harus selalu mengancam Kui Hong dengan
cengkeraman tangan kiri pada tengkuk. Tangan kirinya melepaskan tengkuk Kui
Hong dan menyambar ke arah kepala bekas suaminya!
Sejak
tengkuknya dicengkeram nenek itu, tak pernah sedetikpun Kui Hong lengah. Ia
selalu menanti datangnya kesempatan untuk membebaskan dirinya. Oleh karena itu,
begitu merasa bahwa cengkeraman tangan nenek itu meninggalkan tengkuknya, ia
mengeluarkan lengkingan panjang dan sambil mengerahkan tenaganya, tubuhnya diguncang
dan iapun meloncat ke samping.
Tentu saja
tubuh nenek yang hanya nongkrong di atas punggungnya tanpa daya, tanpa adanya
kekuatan untuk melekat, dengan mudah terlepas. Pada saat yang sama, Hay Hay
sudah membuat gerakan membalik dan melihat tangan kiri nenek itu menghantam ke
arah kepala Hek-hiat-kwi, diapun cepat menangkis dan tangan yang lain menotok.
Maka
robohlah tubuh nenek itu dengan mengeluarkan jeritan marah. Tubuh itu kini
terpelanting dan tak mampu bergerak lagi, di atas tanah. Hanya sepasang matanya
yang tajam itu saja yang masih melotot dengan penuh kebencian.
"Hay
Hay, mari kita hajar suaminya yang tadi hampir mencelakaimu!" kata Kui
Hong, siap untuk menyerang Hek-hiat-kwi Lauw Kin.
"Tahan
dulu, Kui Hong!" kata Hay Hay. "Dia tidak pernah mau mencelakaiku.
Tadi kami hanya bermain sandiwara untuk mengelabuhi nenek ini. Aku pura-pura
terdesak agar Kiu-bwe Tok-li maju, dan siasat kami berhasil baik.”
"Ohhh…?"
Kui Hong terkejut dan merasa malu sendiri. "Kalau begitu, biar kubunuh
saja nenek iblis ini!"
“Nona…
jangan….!”
Hek-hiat-kwi
Lauw Kin berseru sambil meloncat ke depan, melindungi tubuh isterinya.
"Kalau
ia sudah melakukan kesalahan terhadap Nona, biarlah aku sebagai suaminya yang
mintakan ampun."
Berkata
demikian, kakek itu tanpa segan-segan lalu menjura berkali-kali kepada Kui Hong
sebagai penghormatan sehingga gadis itu menjadi kikuk dan menyingkir.
"Kui
Hong tidak sepatutnya kita membunuhnya. Biarpun ia telah berbuat jahat terhadap
kita, menyanderamu dan memaksa kita membantunya, akan tetapi bagaimanapun juga,
ia telah menyelamatkan kita dari pohon itu."
Hay Hay lalu
menceritakan apa yang mereka alami sampai dapat bertemu dengan nenek Kiu-bwe
Tok-li di guha tebing yang amat curam itu.
Mendengar
kisah yang diceritakan Hay Hay, kakek itu merasa kagum bukan main.
"Ji-wi
(kalian berdua) masih muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang tinggi
sekali. Ingin aku bicara lebih banyak, mengenai riwayat Ji-wi dan bicara
tentang para pendekar, akan tetapi lebih dulu aku harus mencoba untuk mengobati
kedua kaki isteriku ini dan juga berusaha mengobati batinnya yang rusak oleh
dendam dan derita. Akan tetapi sedikitnya ingin aku mengetahui siapa guru
Ji-wi. Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai, kiranya mudah diduga bahwa ilmu
silatnya tentulah dari Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Akan tetapi kalau
boleh aku bertanya., siapakah guru Taihiap (Pendekar Besar) yang perkasa?”
***************
Sebetulnya
jarang sekali Hay Hay menyebut nama guru-gurunya, maka menghadapi pertanyaan
ini, dia menjadi ragu-ragu. Melihat keraguan pemuda itu, Hek-hiat-kwi cepat
berkata,
"Biarlah
kita bicara kelak saja, akan tetapi aku mohon sukalah Ji-wi menjadi tamuku dan
makan bersamaku, agar aku mendapat kesempatan mengenal Ji-wi lebih baik dan
untuk menunjukkan hormat dan terima kasihku."
"Terima
kasih? Untuk apa Locianpwe harus berterima kasih kepada kami?" tanya Kui
Hong yang telah mendapatkan kembali kelincahannya.
Semenjak ia
dan Hay Hay terjatuh ke dalam jurang, gadis ini mengalami peristiwa yang
menegangkan, selalu terancam maut dan baru sekarang ia merasa memperoleh
kernbali kebebasannya.
"Benar,
Locianpwe tidak berhutang budi apapun kepada kami, sebaliknya Lociapwe telah
membantu sehingga Kui Hong dapat terlepas dari cengkeraman Kiu-bwe Tok-li. Kami
yang sepatutnya berterima kasih." sambung Hay Hay.
Akan tetapi
kakek itu menggeleng kepala dengan pasti.
"Kalian
orang-orang muda yang gagah perkasa telah menolong isteriku keluar dari tempat
terasing dan telah berhasil mempertemukan kami suami isteri, dan tanpa bantuan
Ji-wi kiranya tidak mudah bagiku untuk menundukkannya. Mari, sobat-sobat muda
yang baik, silakan masuk ke dalam guha dan aku mempunyai semua bahan masakan
untuk dapat kita masak dan makan bersama."
Kakek itu
lalu memondong tubuh isterinya yang masih lemas oleh totokan Hay Hay, dan
setelah saling pandang, dua orang muda itu mengikutinya dari belakang. Tanpa
mengeluarkan kata, dalam batin Hay Hay dan Kui Hong terdapat keinginan yang
sama, tertarik oleh penawaran kakek itu, ialah ingin mengisi perut mereka yang
kini terasa lapar bukan main!
Guha itu
lebar dan dalam, juga bersih. Seperti ruangan dalam rumah saja, ada kamarnya.
"Sobat-sobat
muda, disudut sana terdapat sayur-sayur, daging kering, beras, buah-buahan
boleh kalian pilih untuk dimasak. Aku harus lebih dulu memberi pengobatan
pertama kepada isteriku. Nah, silakan dan harap jangan sungkan. Nanti setelah
aku mengobati isteriku, kita makan sambil bicara dengan leluasa."
Hek-hiat-kwi membawa isterinya ke dalam kamarnya di bagian paling dalam dari
guha itu.
Setelah
kakek itu membawa isterinya ke dalam kamar guha, Kui Hong dan Hay Hay saling
pandang dan Hay Hay tersenyum nakal sambil menuding ke arah sudut dan menepuk
perutnya.
Melihat
sikap ini, Kui Hong menjadi geli dan tersenyum pula, .bahkan menutup mulut agar
suara tawanya jangan sampai terlepas. Keduanya lalu berindap ke sudut tadi dan
dapat dibayangkan betapa girang hati mereka menemukan barang-barang yang amat
dibutuhkan mereka saat itu.
Daging
dendeng kering asin dan manis, terbuat dari daging yang segar. Sayur-sayuran
yang juga masih segar, bermacam-macam, ada pula lobak dan sawi kegemaran Kui
Hong, juga terdapat buah-buahan yang manis segar itu. Disitu terdapat pula
gandum, beras dan bumbu-bumbu masak yang serba lengkap!
"Heh-heh,
makan besar kita sekali ini!” Hay Hay berbisik.
"Kita
masak di luar guha saja, kita harus masak yang cukup banyak untuk kakek itu dan
isterinya." bisik pula Kui Hong.
Hay Hay
merasa setuju dan mereka lalu mengangkut bahan-bahan masakan ke luar guha
dimana terdapat batu-batu yang telah dlsusun sedemikian rupa untuk menjadi
tempat perapian. Agaknya Hek-hiat-kwi juga kadang-kadang masak di luar guha.
Hay Hay lalu
mencari kayu bakar, Kui Hong memotong daging dan sayur, menanak nasi dan
mulutnya tiada hentinya mengunyah buah segar. Banyak buah apel disitu, juga
jeruk yang manis.
Tak lama
kemudian, setelah kedua orang muda itu sibuk memasak beberapa macam masakan dan
siap untuk mempersilakan tuan dan nyonya rumah untuk makan, tiba-tiba mereka
mendengar jerit melengking dari dalam guha.
Dua orang
muda itu terkejut bukan main dan bagaikan terbang saja keduanya lari ke dalam
guha dan langsung menghampiri kamar guha yang daun pintunya tertutup. Tanpa
ragu lagi Hay Hay mendorong daun pintu itu sehingga terbuka dan penglihatan di
dalam kamar membuat mereka berdua terbelalak.
Kakek
Hek-hiat-kwi duduk bersila, seperti tidak percaya menunduk dan memandang ke
arah dadanya yang terluka parah. Bajunya robek dan darah merah membasahi
seluruh dada, bahkan bercucuran keluar. Adapun nenek itu, dalam keadaan
telanjang bulat dan rebah miring, mukanya menyeringai seperti iblis dan kini
nenek itu tertawa, seperti suara tawa yang muncul dari balik kubur.
“Hi-hi-hi-heh-heh!
Jahanam Lauw Kin, mampuslah engkau sekarang, mampuslah di tanganku… ha-ha, kita
berjumpa lagi dengan dia di neraka…. aughhhhh…!" Dan tubuh itu terkulai
tewas!
“Kim
Siu…..!” Kakek itu mengeluh, seperti orang meratap.
"Locianpwe,
apa yang telah terjadi?" Hay Hay berseru dan menghampiri, diikuti Kui
Hong. Mereka bersiap siaga.
"Kim
Siu….. ah, tak kusangka... ketika aku sedang mengobatinya dengan pengerahan
sin-kang mencoba mengusir hawa dari pukulan beracun yang melumpuhkan kakinya,
ia siuman dan tiba-tiba saja ia menyerangku dengan pukulan tangannya. Tangannya
seperti sebatang golok menusuk dadaku... akan tetapi... sin-kang dari kedua
tanganku tanpa terkendali lagi juga menyusup liar ke tubuhnya dan ia... ia
terluka parah dan tewas dan... dan…"
"Tenanglah,
Locianpwe, biar kuperiksa lukamu." kata Hay Hay yang cepat menghampiri
kakek itu dan merobek bajunya.
Kui Hong
memandang ngeri. Dada itu seperti dibacok golok, robek dan parah.
"Lihat..."
kakek itu terengah, "Lihat, darahku merah! Tidak hitam lagi... tanda bahwa
aku... aku telah bersih..." kakek itu tertawa bergelak, kemudian terkulai
dan ketika Hay Hay memeriksanya, dia pun sudah tewas seperti isterinya!
Hay Hay
menarik napas panjang. Memang luka di dada oleh pukulan Kiu-bwe Tok-li itu
hebat, lebih parah daripada kalau nenek itu mempergunakan sebatang golok besar.
"Gila…
sungguh gila…”
Hay Hay
memandang gadis itu, akan tetapi dia diam saja walaupun dia merasa heran
mengapa Kui Hong berkata demikian.
"Mari
kita keluar dari sini." ajaknya.
Kui Hong dan
Hay Hay keluar dari dalam kamar maut itu, dan Hay Hay mengangkat daun pintu
yang tadi roboh oleh dorongannya, memasangnya kembali.
"Aku
akan mengganjalnya dengah batu besar agar tidak mudah dibuka orang."
"Hemm,
mengapa kau lakukan itu?” tanya Kui Hong.
"Kita
biarkan saja mereka di dalam kamar guha, karena tempat itu merupakan kuburan
yang cukup baik. Mereka takkan diganggu binatang buas."
Kui Hong
membantu Hay Hay mendorong masuk guha itu sebuah batu besar dan batu itu mereka
dorong sampai menutupi pintu kamar dengan rapat. Tak seekorpun binatang buas
akan dapat memasuki kamar itu dan mengganggu dua sosok mayat di dalamnya.
Kemudian mereka keluar.
"Mari
kita makan dulu sebelum pergi." kata pula Hay Hay.
Peristiwa
yang terjadi dalam kamar guha itu amat mengerikan dan mengesankan sehingga dua
orang muda yang biasanya berwatak gembira itu kini seperti kehilangan
kegembiraan mereka.
Bahkan Kui
Hong kehilangan nafsu makannya. Tadinya ia tidak mau makan karena biarpun
perutnya amat lapar namun lenyap sama sekali nafsu makannya, akan tetapi Hay
Hay membujuknya dan akhirnya mau juga dara itu makan sedikit nasi dengan sayur.
Ia lebih banyak makan buah untuk mengisi perut yang kosong.
Setelah
makan Hay Hay dan Kui Hong mengembalikan semua alat masak ke dalam guha dan
membersihkan tempat itu, kemudian sebelum pergi, Hay Hay mengajak gadis itu
berdiri di depan pintu kamar guha yang sudah tertutup batu besar.
"Locianpwe
Lauw Kin, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu. Kami hendak pergi dari
sini dan semoga Locianpwe memperoleh kedamaian dan ketenteraman bersama isteri
Locianpwe."
Kui Hong
diam saja, hanya mendengarkan ucapan Hay Hay yang seperti berdoa itu. Mereka
lalu keluar dari dalam guha, menuruni bukit itu tanpa banyak bicara, namun
terasa kelegaan menyusup ke dalam hati setelah mereka meninggalkan tempat yang
mengerikan itu.
Setelah
mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya dan
menjatuhkan diri di atas rumput dan…. menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut
bukan main. Sejenak dia hanya dapat memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget
dan heran.
Semenjak
bertemu dengan Kui Hong, berebutan bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi
cengkeraman maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang tinggi
ilmunya, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka.
Maka, melihat betapa gadis itu kini tiba-tiba saja menangis sambil menutupi
mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali.
"Kui
Hong mengapa engkau menangis?"
Akhirnya Hay
Hay bertanya lembut setelah diapun duduk di depan gadis itu. Tempat itu sunyi
dan angin senja semilir dari barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui
Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari
semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka terjatuh
ke dalam jurang.
Gadis ini
seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah
mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang dialaminya bersama Hay Hay
itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan
ketika ia merasa amat terhina oleh nenek iblis dan ketidak-berdayaan ketika
disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya.
Mendengar
pertanyaan Hay Hay, Kui Hong mengusap sisa air matanya. Kemudian ia menurunkan
kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir
terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak
oleh tangis, memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan,
bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri!
Saking
herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata
terbelalak, tak pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu.
"Ihh,
Hay Hay! Kenapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!"
Dan Kui Hong
tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti para gadis pada
umumnya.
"Lho!
Bagaimana pula ini?" kata Hay Hay yang sudah dapat menguasai diri yang
tadi dicekam keheranan. "Sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang
masih merah oleh bekas tangis. Engkau tadi menangis tanpa sebab lalu kini
tertawa geli. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat
ulahmu, Kui Hong?"
Gadis itu
tersenyum geli, lalu menggeleng kepala.
"Entah,
Hay Hay, aku sendiripun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua
peristiwa yang terjadi semenjak kita terjatuh ke dalam jurang itu, mendadak
saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti, aku
merasa demikian lega dan ringan hatiku sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi
dan bersorak!"
Kini
mengertilah Hay Hay dan diapun mengangguk-angguk.
"Ah,
engkau seorang yang beruntung, Kui Hong."
“Beruntung?
Apa maksudmu?"
“Orang yang
dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara
langsung seperti engkau, adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang
menyimpan semua perasaan dalam batin, tidak mampu melampiaskannya keluar
sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan
melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita
terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena
engkau sudah terbebas dari semua itu, kemudian setelah semua himpitan perasaan
itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi lega dan gembira sehingga
engkau memperoleh kembali watakmu yang asli, yaitu gembira dan lincah jenaka,
juga galak…”
Sepasang
mata itu melotot dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah
melengkung itu berkerut.
"Aku?
Kau berani mengatakan aku galak?"
Hay Hay
tertawa.
"Nah…
nah… baru dikatakan galak saja sudah marah. Apalagi sikap itu kalau bukan
galak? Sudahlah, aku hanya main-main, kau maafkan aku, Nona manis."
***************
Akan tetapi
Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Ia nampak
termenung karena ia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam
kamar guha itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berka lirih,
“Gila,
sungguh gila….!”
Hay Hay
teringat dan dia menatap wajah gadis itu.
"Ah,
sudah dua kali engkau mengatakan itu, Kui Hong!"
"Dua
kali?" Gadis inipun bertanya heran.
“Iya, ketika
kita hendak meninggalkan guha, di depan kamar guha itu engkaupun mengatakan
demikian, dan sekarang engkau mengulanginya. Apa dan siapa yang kau katakan
gila itu?”
"Mereka,
kakek dan nenek itu. Mereka menjadi gila karena cinta."
Kata Kui
Hong, termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja.
Hay Hay
tersenyum memandang wajah yang manis itu. Manis sekali puteri Ketua
Cin-ling-pai ini, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu
demi satu. Mulut itu manis sekali biarpun ada tarikan keras pada kedua
ujungnya. Dan hidung itu. Lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat
bergerak-gerak, kelucuan yang menghapus kekerasan pada ujung kedua bibirnya.
"Gila
karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam soal cinta sehingga tahu bahwa
mereka menjadi gila karena cinta." pancing Hay Hay.
Mata itu,
biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui amat
indah, bening kalau mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata
yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil
hitam dengan bentuk indah pula.
Seraut wajah
yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun
telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar,
juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik
sekali.
"Biarpun
bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila
karena cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu.
Sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih
bersusah payah mau mengobati nenek itu, sehingga akibatnya dia terbunuh oleh
nenek yang jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang
membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tidak
semestinya dia demikian mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li."
Hay Hay
mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah
itu dengan penuh perhatian dan kekaguman.
"Menurut
pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya amat murni dan suci.
Biarpun isterinya telah melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain, bahkan
isterinya itu bersama kekasihnya berusaha membunuhnya kemudian meninggalkannya
sampai puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya,
tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati
isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah
cinta kasih yang suci murni dan kiranya di dunia ini sukar dicari seorang pria
yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita."
"Itu
sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu
tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya patut dimiliki
seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap
isterinya! Dan nenek itupun sudah gila karena cintanya kepada kekasihnya.
Kekasihnya itu telah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, akan tetapi
kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan
membawanya pergi ke guha, merawatnya. Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan
melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin ditinggalkan. Dan nenek itu masih
tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematiannya kepada
Hek-hiat-kwi. Apalagi namanya itu kalau tidak gila?"
"Wah,
kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta berahi,
cinta nafsu belaka! Mungkin pria yang menjadi kekasihnya itu amat tampan, amat
menyenangkan hatinya sehingga ketika ia kehilangan kekasihya itu, ia merasa
kecewa dan berduka, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu
tewas."
"Itulah,
bukankah gila keduanya itu? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita,
tidak semestinya begitu!" kata pula Kui Hong penuh semangat dan dengan
mata berapi-api karena ia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya
sendiri.
Senyum di
mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta
itu seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, hamba nafsu berahi yang sudah
penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali
menikah dan gagal, tidak akan aneh terdengarnya. Akan tetapi keluar dari mulut
gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan
belas tahun usianya, sungguh terdengar lucu dan ganjil.
"Kui
Hong, engkau hebat! Kalau menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta
antara pria dan wanita itu?"
Hay Hay
menyembunyikan senyumnya karena dia khawatir kalau gadis itu menjadi marah.
Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh
selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar memberi kuliah kepada para
mahasiswanya, ia berkata,
"Cinta
kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja
mengandung berahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan
untuk perkembangbiakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri
itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya,
tanpa berahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung
nafsu berahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi,
saling terikat dan saling memiliki maka terdapat pula cemburu, terdapat pula
pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada
keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar berahi semata, atau
persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang
dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan
lancar dan kesetiaanpun dapat mereka pertahankan."
Hay Hay
terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih “hijau” ini dapat
bicara demikian panjang lepar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia
bertepuk tangan memuji.
"Hebat,
engkau hebat, Nona! Engkau ternyata seorang guru besar soal cinta mencinta.
Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!"
Tiba-tiba
Kui Hong meloncat berdiri dan bertolak pinggang.
"Keparat,
hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!"
Tentu saja
Hay Hay terkejut dan tidak mau bangkit berdiri.
"Aduh
tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?"
"Masih
bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Jelas engkau menghinaku, mengatakan
bahwa aku sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kau kira aku ini
petualang cinta ?"
"Aduh,
ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, akan tetapi
benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada)
sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tidak bermaksud menghina, hanya saja,
bagaimana engkau tidak banyak pengalaman kalau pandai menguraikan soal cinta
demikian jelas dan terperinci? Dari mana engkau memperoleh pengetahuan yang
demikian luas tentang cinta?”
"Huh,
orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!"
"Akan
tetapi, bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa
mengalaminya sendiri?"
"Hay
Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan
aku?" bentak Kui Hong. "Tentu saja orang dapat memperoleh pengetahuan
apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau
mempelajari kehidupan seekor monyet, anjing atau babi, apakah engkau juga harus
lebih dulu mengalami menjadi monyet, anjing atau babi?"
Hay Hay
tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa
pula harus pakai berputar-putar segala?"
"Memang
aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!"
"Sudah
dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong. Mengapa perutmu
menjadi mual karena aku?"
"Habis
engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang
cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau
tentu laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Dan Ibuku selalu
memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap laki-laki perayu!"
"Wah-wah,
banyaknya tuduhan itu! Kau bilang aku hidung belang." dia mengelus
hidungnya yang mancung dan sama sekali tidak belang, "akan tetapi aku
yakin hidungku tidak pernah belang, dan mata keranjang? Matakupun tidak
sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar,
mungkin aku kurang ajar karena sejak kecil tidak mengenal Ayah Ibu. Dan perayu?
Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?"
Kui Hong
membanting kaki kanannya, lalu duduk lagi di atas rumput dan mengomel karena
merasa kewalahan berdebat.
"Huh,
dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang
manislah, yang apalah... apakah itu bukan merayu namanya?"
"Tidak,
aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya orang bicara jujur
dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu
yang amat manis itu menjadi amat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu!
Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis
melengkung indah, kerling matamu demikian tajam menyayat!"
Wajah Kui
Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena canggung dan malu, akan tetapi ia
diam saja, hanya menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata
pemuda itu.
"Dan
hidungmu itu! Sungguh mati, belum pernah hidupku aku melihat hidung seindah
itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali.
Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang amat pandai, kulit mukamu
begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat "
Kui Hong
memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat
dan bahagia sekali.
"Orang
tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti
mata burung Hong. Dan mulutmu! Ah, tidak mudah melukiskan keindahan mulutmu,
Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, dalam
keadaan bagaimanapun tetap indah menarik. Kalau diam begitu anggun dan manis,
kalau tersenyum seperti bunga mawar mekar merekah, kalau tertawa seperti sinar
matahari siang yang panas, kalau cemberut juga bertambah manis, seperti bulan
redup. Dan rambutmu kacau tak tersisir akan tetapi di dalam kekacauan itu
terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan
malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di
lehermu, aduhai…!"
Kui Hong
menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya ia merasakan kenikmatan dan
kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali
dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya
karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment